Anda di halaman 1dari 18

BAB VI

PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah proses belajar mengajar selesai, diharapkan para mahasiswa dapat menjelaskan:
1. Konsep mental frontier berkaitan dengan lingkungan hidup dengan tepat.
2. Konsep permasalahan lingkungan global dengan benar.
3. Pemanasan global sebagai permasalahan lingkungan global dengan benar.
4. Konsep efek rumah kaca sebagai permasalahan lingkungan global dengan benar.
5. Konsep hujan asam sebagai permasalahan lingkungan global dengan benar.
6. Penipisan lubang ozon sebagai permasalahan lingkungan global dengan benar.
7. Konsep permasalahan lingkungan hidup nasional dengan benar.
8. Kerusakan hutan sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
9. Kerusakan terumbu karang sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
10. Kerusakan hutan mangrove sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
11. Pencemaran air sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
12. Pencemaran tanah sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
13. Pencemaran udara sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
14. Banjir sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.
15. Kekeringan sebagai permasalahan lingkungan dengan benar.

B. URAIAN MATERI

1. Pendahuluan
Masalah lingkungan hidup saat ini tengah menjadi keprihatinan bersama, bukan saja di
Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Di Indonesia sendiri masalah lingkungan hidup menjadi isu
mendasar yang terpinggirkan dalam simpang siur dan hiruk-pikuk isu politik yang berkembang saat ini.
Kerusakan lingkungan terjadi karena kemampuan manusia untuk melihat dengan jangkauan jauh
melampaui batas kepentingan sendiri di samping kemampuan dalam melihat kenyataan yang
sebenarnya dalam kehidupan (Soerjani, 1992). Laporan hasil studi ”The Club of Roma” tahun 1971,
memprediksi bahwa sekitar tahun 2050 sistem kehidupan di bumi akan menghadapi ”total collape”
kalau kelima faktor pendukung kehidupan manusia tetap berkembang secara eksponensial seperti
sekarang ini. Kelima faktor tersebut yaitu pertumbuhan penduduk, peningkatan produksi pangan,
peningkatan produksi industri, penggunaan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan yang saling
berhubungan dan mempengaruhi.
Masalah kerusakan lingkungan pada hakekatnya adalah masalah kemanusiaan yang erat
hubungannya dengan sistem nilai, adat istiadat dan agama dalam mengendalikan eksistensinya sebagai
pengelola lingkungan hidup. Oleh karena itu cara mengatasinya tidak hanya dengan melakukan usaha
yang bersifat teknis semata, melainkan yang lebih utama haruslah ada usaha yang bersifat educatif dan
persuasif. Dengan demikian akan dapat dilakukan usaha kearah perubahan sikap dan perilaku yang
sudah lama berurat dan berakar dalam masyarakat. Krisis lingkungan merupakan isu sosial dan
ekologis, sebagai hasil interaksi dari berbagai keprihatinan global (Van Rensburg, 1994). Chiras
(1985) telah mengingat kita bahwa akar dari kerusakan lingkungan yang terjadi pada saat ini lebih
banyak disebabkan oleh manusia yang bermental frontier.
Chiras (dalam Yusuf, 2000) menjelaskan bahwa manusia dengan mental frontier atau
pendobrak lahan baru adalah manusia dengan pandangan yang berpusat pada manusia atau
antroposentris dan memiliki tiga persepsi sebagai ciri khasnya, yaitu : a. Memandang alam dan bumi
sebagai pemberi sumber bahan kehidupan manusia yang tidak terbatas dengan keyakinan bahwa selalu

161
ada sesuatu lagi b. Memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam dan bukan bagian dari
alam c. Memandang alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai. Dengan mental frontier ini masyarakat
yang berkembang dengan basis industri mendirikan beratus pabrik besar dan kecil dengan eksplorasi
dan eksploitasi secara maksimal (Yusuf, 2000). Biaya yang harus diperhitungkan untuk mengganti
kerusakan lingkungan sumber daya alam sebagai external cost tidak pernah diperhitungkan. Hadi
(2000) menyebutkan bahwa keberadaan manusia di muka bumi memiliki dimensi ganda, sebagai
perusak dan pemelihara. Dengan daya nalarnya manusia mampu menciptakan keserasian dengan
lingkungannya, tetapi di lain pihak dengan daya nalarnya pula manusia memiliki potensi besar merusak
lingkungan
Mentalitas frontier ini sudah dimiliki oleh manusia selama berpuluh ribu tahun dan sampai
sekarang masih mempengaruhi usaha manusia dalam mengejar kesejahteraan hidupnya. Mentalitas
frontier ini disebabkan oleh:
1) Adanya tabiat imperialisme biologis yang terdapat pada setiap makhluk hidup termasuk manusia.
Dengan tabiat ini makhluk hidup berkembang biak dan selalu mencari makan untuk dirinya dan
untuk keturunannya;
2) Dibanding dengan makhluk hidup lainnya manusia diberi nalar dan kemampuan verbal dalam usaha
mencari kesejahteraan hidup.
Dengan kemampuan ini manusia tidak sekedar ingin memenuhi kebutuhan hidupnya tapi juga ingin
memiliki kelebihan jika dibanding makhluk hidup lainnya termasuk sesama manusia;
3) Manusia melihat lingkungan sekelilingnya sebagai bagian yang lain di luar manusia atau
memandang bahwa manusia bukan termasuk bagian alam; dan
4) Manusia selalu berkeinginan membentuk status yang lebih tinggi, sehingga berkeinginan
mendapatkan materi yang berlebihan.
Mentalitas frontier ini berdasarkan atas sikap dasar manusia, yaitu:
1) Melihat dunia sebagai sumber yang tidak terbatas;
2) Pandangan bahwa manusia terlepas dari alam; dan
3) Pandangan bahwa alam sebagai suatu yang perlu dikuasai.
Sebagai negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan kekayaan alam yang melimpah,
Indonesia belum memiliki desain pengelolaan lingkungan yang visioner dan dapat dimengerti oleh
sebagian besar penduduknya. Salah satu penyebabnya adalah karena pada tingkat pengambilan
keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan dan dikalahkan oleh kepentingan lainnya seperti
kepentingan pembangunan, pengentasan kemiskinan dan kepentingan ekonomi. Kualitas lingkungan
hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-
sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Jika dicermati paradigma pengelolaan
lingkungan hidup mulai bergeser kearah paradigma pembangunan berkelanjutan sejak tahun 1980-an.
Istilah ini muncul dalam world conservation strategy dari the international union for the conservation
of nature pada tahun 1980, kemudian pada tahun 1981 digunakan oleh Lester R. Brown dalam buku
Building a Substainable Society (Sony Keraf, 2010). Saat ini krisis lingkungan bukan lagi sebagai
ancaman masa depan. Tetapi telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan
kemampuan adaptasi lingkungan. Pertumbuhan dan pertambahan kerusakan lingkungan (environmental
disasters) telah mencapai dimensi regional bahkan global. Sistem pengelolaan lingkungan hidup,
prinsip yang sangat menentukan adalah asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas
manfaat dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya.

162
2. Hukum Thermodinamika
2.1. Hukum kekekalan energi.
Hukum ini dikenal sebagai hukum termodinamika pertama yang memberi pemahaman bahwa
energi dapat pindah dari suatu bentuk ke bentuk lain, tetapi tidak dapat dihancurkan atau diciptakan.
Energi yang memasuki organisme hidup, populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang
tersimpan atau terlepaskan. Sistem kehidupan dapat dianggap sebagai pengubah energi. Ada berbagai
strategi untuk mentransformasikan energi. Energi yang masuk berupa bahan makanan dan yang keluar
untuk pertumbuhan, kembang biak proses metabolisme, dan sebagainya dan barapa yang terbuang.
Energi yang terbuang dapat berbentuk tinja, yang dihisap oleh parasit dalam tubuh, dan sebagainya.
2.2. Hukum Energi Entropi
Hukum ini menyatakan bahwa meskipun energi itu tidak pernah hilang di alam ini, tetapi energi
itu akan terus diubah ke dalam bentuk yang kurang bermanfaat. Misalnya energi yang masuk ke dalam
tubuh organisme berbentuk bahan makanan yang padat dan bermanfaat, sedangkan energi yang keluar
dari tubuh hewan berbentuk panas (kalor). Jadi bentuk energi telah mengalami kemunduran (degradasi)
ke dalam bentuk panas, yang akan beradiasi ke angkasa lepas, tanpa dapat balik. Demikianlah semua
sistem biologi kurang efisien, hanya sebagian energi yang merupakan masukan ke dalam tubuh
organisme atau ekosistem lain.
Manusia mendapatkan masalah baru di awal abad 21 ini, yaitu krisis energi. Kebutuhan energi
selalu meningkat, sedangkan ketersediaan energi selalu berkurang atau ongkos produksinya bertambah
mahal. Sebenarnya hanya ada sedikit jenis sumber energi primer yang tersedia di bumi:
1) Energi surya, berupa radiasi yang berasal dari matahari.
2) Energi panas bumi, yaitu energi yang berasal dari perbedaan temperatur antara inti bumi dan
permukaan bumi.
3) Bahan bakar fosil, yaitu peninggalan dari hewan dan tumbuhan purbakala yang mengendap di perut
bumi, termasuk di antaranya adalah batu bara, minyak bumi dan gas alam.
4) Bahan bakar nuklir seperti Uranium dan Plutonium.
5) Pasang surut air laut yang disebabkan oleh efek gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi.
Sebagian energi surya sendiri diserap secara alamiah menjadi misalnya energi hidro, energi
angin, energi ombak dan energi kimiawi yang tersimpan pada tanaman. Terkadang lebih praktis dan
ekonomis bagi manusia untuk memanfaatkan energi-energi sekunder ini ketimbang memanfaatkan
energi surya secara langsung.
Di antara energi-energi primer tersebut, hanya energi surya (beserta hasil konversi alaminya),
panas bumi, dan pasang surut air laut yang merupakan energi terbaharui, atau dengan kata lain energi-
energi tersebut tidak akan pernah habis dalam jangka waktu kehidupan umat manusia. Sedangkan
bahan bakar fosil dan nuklir suatu saat nanti akan habis.
Masalah paling serius adalah masalah pemanasan global yang diakibatkan oleh penggunaan
bahan bakar fosil. Masalah yang terakhir merupakan yang dibicarakan pada UNFCCC 2007 di Nusa
Dua, Bali. Di masa yang akan datang, penggunaan jenis bahan bakar ini akan ditekan seminimal
mungkin. Semakin sedikit penggunaan bahan bakar fosil, maka semakin ramah terhadap lingkungan.
Bicara soal energi tentunya kita juga perlu mengetahui hukum-hukum alam tentang energi.
Yang paling penting adalah hukum kekekalan energi dan hukum pertama termodinamika: energi tidak
dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

163
Implikasi lain dari hukum ini adalah: efisiensi konversi energi dari satu bentuk ke bentuk lain tidak
akan pernah melebihi 100%.
Dengan demikian setiap klaim apapun tentang ide dan penemuan energi serta hal-hal lain yang
berhubungan dengan energi perlu kita cermati bersama, paling tidak sesuai dengan hukum kekekalan
energi yang seharusnya tidak terlalu sulit untuk dimengerti ini. Selain itu kita juga perlu menelusuri apa
sumber energi primer dari ide atau penemuan tersebut.
Sebagai contoh, tahun lalu media sering membicarakan minyak pohon jarak yang diproyeksikan
untuk menggantikan bahan bakar diesel. Pohon jarak menghasilkan minyak yang kemudian diproses
menjadi biodiesel. Sedangkan energi yang digunakan pohon jarak untuk mensintesis minyak jarak
tersebut berasal dari sinar matahari. Konversi energi dari sinar matahari ke energi kimiawi tersebut
tentunya tidak 100% efisien, tetapi hal ini tidak begitu menjadi masalah karena sinar matahari itu gratis
dan melimpah. Menyebut minyak jarak sebagai ’sumber energi’ sebenarnya tidak tepat, karena sumber
energi sebenarnya adalah sinar matahari.
Beberapa tahun yang lalu waduk Jatiluhur (kalau tidak salah) mengalami kekeringan.
Akibatnya, pembangkit listrik tenaga air Jatiluhur tidak bekerja dengan optimal. Kemudian seseorang
memiliki ide brilian, “Bagaimana kalau kita pompa air laut ke waduk Jatiluhur, Indonesia kan punya
banyak laut?” Tentunya ini adalah argumen yang melupakan hukum kekekalan energi. Energi yang
dikeluarkan untuk memompa air laut ke waduk Jatiluhur dapat dipastikan lebih besar daripada energi
yang didapatkan dari PLTA Jatiluhur tersebut. Dengan demikian, memompa air laut ke waduk Jatiluhur
sebenarnya hanya akan membuang-buang energi.
Kembali lagi ke urusan bahan bakar berbasis air. Informasi soal teknologi ini sampai saat ini
masih sangat tidak jelas, yang ada hanyalah klaim-klaim belaka. Tetapi untuk keperluan pembahasan,
anggaplah yang dilakukan penemunya adalah mensintesis bahan bakar dari air (saya pun tidak yakin ini
yang dimaksud). Jika itu yang dilakukan, maka proses tersebut haruslah membutuhkan energi karena
air sendiri sudah berada dalam potensial energi yang rendah. Menyebut air sebagai ‘bahan bakar’
adalah pernyataan yang menyesatkan. Berdasarkan hukum kekekalan energi, maka energi yang dipakai
untuk mensintesis bahan bakar dari air haruslah lebih tinggi daripada energi yang dihasilkan. Jika
energi ini berasal dari bahan bakar fosil, maka masalah justru bertambah besar. Segala klaim dan
perhitungan tentang ramah lingkungan dan sebagainya haruslah dilakukan terhadap emisi dari energi
masukan ini, dan tentunya bukan dengan misalnya mengukur atau bahkan mencium emisi dari knalpot
mobil yang menggunakan bahan bakar tersebut.
3. Permasalahan Lingkungan Global
Permasalahan lingkungan global atau yang lebih sering disebut isu lingkungan global
merupakan permasalahan lingkungan dan dampak yang ditimbulkan dari permasalahan lingkungan
tersebut mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi dunia serta menyeluruh. Isu lingkungan
global mulai muncul dalam berberapa dekade belakangan ini. Kesadaran manusia akan lingkungannya
yang telah rusak membuat isu lingkungan ini mencuat. Isu lingkungan global yang mencuat ke
permukaan yang bersifat global serta yang paling penting dalam lingkungan adalah mengenai
pemanasan global, hujan asam, efek rumah kaca dan penpisan ozon.

3.1. Pemanasan Global


Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan
Bumi. Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), menjelaskan, bahwa
pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (gelombang
panas atau infra merah), yang dipancarkan ke bumi oleh gas-gas rumah kaca. Ada enam jenis gas
rumah kaca, yaitu Karbondioksida ( CO ), Metana ( CH4 ), Nitrous oksida ( N2O ),
Hydroperfluorokarbon ( HFCs ), Perfluorokarbon ( CFCs ), Sulfur Heksaflorida ( SF6). Gas-gas ini
secara alami terdapat di udara (atmosfer).

164
Penyebab pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas
manusia di seluruh dunia, pertambahan populasi penduduk, serta pertumbuhan teknologi dan industri.
Scafeta (2006) menyebutkan beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya pemanasan
global terdiri dari: a. Konsumsi energi bahan bakar fosil; b. Sampah menghasilkan gas metama (CHa)
dan diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana; c. Kerusakan hutan, sehingga
proses penyerapan karbon dioksida tidak dapat optimal; d. Aktivitas pada sektor pertanian dan
peternakan, sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui
sawah-sawah yang tergenang menghasilkan gas metana (CH+), pemanfaatan pupuk serta praktek
pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman dan pembusukan sisa-sisa pertafiian serta pembusukan
kotoran temak (Idayati, 2007: 43-47).
Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan baik
terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia, diantaranya:
1) Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan yang mengancam kehidupan masyarakat yang
hidup di daerah pesisir terancam serta dapat mengakibatkan sejumlah pulau-pulau kecil tenggelam.
2) Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim yang dapat mengacaukan musim tanam
akibat musim yang juga tidak menentu sehingga mengancam produksi panen;
3) Punahnya berbagai jenis fauna;
4) Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan produktivitas primer
sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk menemukan habitat baru yang sesuai.
5) Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu menyebabkan
meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
6) Perubahan tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan terjadinya perubahan arus
laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan, sehingga memberi dampak pada hasil perikanan
tangkap.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak pemanasan global, diantaranya:
1) Konservasi lingkungan, dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di lahan-lahan
kritis;
2) Menggunakan energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi penggunaan energi
bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara);
3) Daur ulang dan efisiensi energi.
4) Upaya pendidikan kepada masyarakat luas dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya
pemeliharaan lingkungan; dan
5) Penegakan hukum (Utina, 2015: 1-11).

2.1. Efek Rumah Kaca


Efek rumah kaca adalah proses masuknya radiasi dari matahari dan terjebaknya radiasi di dalam
atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Justru pada proporsi tertentu, efek
rumah kacalah yang memberikan kesempatan kehidupan berbagai makhluk di planet ini. Artinya efek
rumah kaca bukan sesuatu yang buruk, namun justru memberikan manfaat bagi kehidupan. Perhatikan
gambar berikut:

165
Gambar 6.1 : Efek Rumah Kaca

Sumber:https://www.google.com/search?q=efek+rumah+kaca&client=firefox-b-ab&source=
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiG9rPjxu7bAhUWSX0KHdWCCLcQ_AUICygC&
biw=1150&bih=654

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpa efek rumah kaca planet bumi akan menjadi sangat dingin lebih kurang -18°C, sehingga sekuruh
permukaan bumi akan tertutup lapiesan es. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15°C, bumi sebenarnya
telah lebih panas 33°C dengan efek rumah kaca. Akan tetapi jika gas-gas tersebut telah berlebih di
atmosfer, maka akan terjadi sebaliknya dan mengakibatkan pemanasan global (Utina, 2015: 1-11).
2.2. Hujan Asam
Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Hujan asam terjadi
karena hujan mengandung asam sehingga pH menjadi di bawah pH normal. Hujan asam ialah turunnya
asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asam di udara larut dalam butirbutir air di awan. Jika
hujan turun dari awan itu, air hujan bersifat asam. Masalah hujan asam terjadi dilapisan athmosfir
rendah, yaitu di troposfir. Asam-asam yang terkandung dalam air hujan adalah karbonat, nitrat dan
sulfat (Manahan,2 2000; Aikawa et al, 2009; Huang et al, 2008). Asam-asam tersebut merupakan
polutan sekunder sebagai hasil reaksi kimia di atmosfer dari polutan primer CO2, NO2 dan SO2 yang
berasal dari proses pembakaran (Butler et al, 2003). Dengan semakin meningkatnya CO2 di atmosfer
menyebabkan pH air hujan turun hingga 5,6 meskipun tidak ada sumber pencemaran penyebab hujan
asam lain (Tietenberg, 2003).
Asam yang terkandung dalam hujan asam ialah asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO)3,
keduanya merupakan asam kuat. Asam sulfat berasal dari gas SO2 dan asam nitrat dari gas NOx.
Sekitar 50% SO2 yang ada dalam atmosfer di seluruh dunia adalah alamiah, antara lain, dari letusan
gunung dan kebakaran hutan yang alamiah. Yang 50% lainnya adalah antropogenik, yaitu berasal dari

166
kegiatan manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) dan peleburan logam. Di daerah
yang banyak mempunyai industri dan lalu lintas berat bagian SO2yang antropogenik lebih tinggi
daripada 50 %. BBF terbentuk jutaan tahun yang lalu dari makhluk hidup yang setelah mati mengalami
proses fosilisasi. Semua makhluk hidup mengandung belerang dan belerang itu tinggal dalam BBF.
Minyak mentah mengandung BBF antara 0,1% sampai 3% dan teroksidasi menjadi belerang dioksida
(SO2) dan lepas ke udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Sumarwoto,
1992).
Sumber emisi polutan berasal dari sumber alami dan dari kegiatan antropogenik. Sumber
pencemar dari kejadian alam yaitu aktifitas gunung api, kebakaran hutan, dan pembusukan material
organik baik di darat maupun di perairan. Pada umumnya pencemaran dari sumber alami sulit diketahui
jumlahnya (Feichter et al, 1995). Dalam beberapa kasus kejadian alam dapat mengemisikan pencemar
dalam jumlah besar seperti letusan gunung api dapat mengeluarkan jutaan ton gas dan partikel ke
atmosfer.
Sumber utama sulfur adalah : (1) asap gunung berapi mengandung sulfur dioksida (SO2) dan
asam sulfide (H2S); (2) dekomposisi biologis (biogenik) dari material organik dan reduksi sulfat
menghasilkan (CH3)2 S dan H2S, sumber utama dimetil sulfida ((CH3)2S) adalah emisi hasil
biodegradasi dari laut; (3) Aktifitas manusia (antropogenik) adalah pembakaran biomasa dan bahan
bakar fosil (batubara dan minyak bumi) (Feichter et. al., 1995). Sulfur dalam batu bara berbentuk pyrite
(FeS2) dan sulfur organik. Pembakaran pyrite membentuk SO2 dan hanya sebagian kecil (1 – 2 %)
membentuk SO3 (Manahan, 2000).
Hujan asam berdampak terhadap kesehatan, hutan, pertanian, ekosistem akuatik dan material
(Yatim, 2007: 146-151), sebagai berikut:
1) Kesehatan Hujan asam mempengaruhi kesehatan melalui tiga cara, yaitu pertama efek jangka
pendek karena menghirup udara yang tercemar berat; efek jangka panjang karena menghirup udara
yang tercemar sedang atau ringan; efek tidak langsung karena terexposed pada logam berat seperti
alumunium dan logam berat lain yang terbebaskan dari zarah tanah pada pH yang rendah,
akumulasi logam berat melalui rantai makanan dan terlarutnya logam berat dari pipa air yang
terbuat dari timbal atau tembaga.
2) Hutan Dampak terhadap hutan dan pertanian sebagian karena pH tanah turun. Penurunan pH tanah
dan air danau dipengaruhi kemampuan tanah dan air untuk menetralisir asam tersebut. Daya
netralisasi asam itu ditentukan oleh adanya zat yang dapat menetralisir asam, misalnya, kalsium
karbonat (CaCO3) dan humus. Jika ada kalsium karbonat ion H+ bereaksi dengan zat itu dan
diubah menjadi air, karbonat dan CO2. Kerusakan hutan oleh hujan asam gejalanya berbeda dengan
gejala kerusakan oleh kekeringan dan serangan hama atau penyakit. Kerusakan dan kematian hutan
disebut Forest Dieback atau Waldsterben. Kematian hutan mengakibatkan naiknya resiko terjadinya
tanah longsor dan juga kelonggaran salju pada musim dingin, yang sangat berbahaya bagi
penduduk dan wisatawan.
Proses terjadinya kerusakan dapat dikelompokan menjadi enam, yaitu:
(1) Stres umum,
(2) Penurunan pH tanah-keracunan aluminium,
(3) Peracunan oleh SO2,
(4) Kekurangan magnesium,
(5) Kelebihan hara atau nitrogen, dan
(6) Zat organik pengatur tumbuh.
3) Pertanian Hasil padi dapat turun sampai 30% karena hujan asam. Karena besarnya laju
pertumbuhan industri dan transpor, ada kemungkinan telah terjadi kenaikan kadar SO2 sampai pada
kadar yang menyebabkan keracunan kronik dan penurunan hasil pertanian tanpa adanya gejala
morfologik dan kasat mata pada tanaman.

167
4) Ekosistem akuatik Hujan asam yang berkepanjangan akan mempengruhi pH air ekosistem
akuatik (Kupchella, 1989). Karena kehidupan organisme hidup akuatik sangat dipengaruhi oleh pH
air tempat hidupnya, hujan asam mempunyai pengaruh yang besar terhadap biologi ekosistem
akuatik
5) Material Hujan asam mempunyai dampak penting terhadap berbagai jenis material. Logam,
bangunan baru, keramik dan gelas, cat, kertas, bahan fotografi, tekstil, kulit dan karet terpengaruh
oleh oksida belerang, oksida nitrogen dan zat pencemar udara lainnya. Sebagian kerusakan ini
disebabkan oleh deposisi kering asam sulfat yang berasal dari transpor dalam kota dan dari industri
Mengendalikan hujan asam ialah menggunakan bahan bakar yang mengandung sedikit zat
pencemar, menghindari terjadinya zat pencemar pada waktu pembakaran, menangkap zat pencemar
dari gas buangan dan penghematan energy, yaitu sebagai berikut:
1) Bahan bakar dengan kandungan belerang rendah, misalnya dengan penggunaan gas alam;
menggunakan bahan bakar alternatif yang tidak mengandung belerang dan nitrogen, antara lain,
metanol, etanol dan hidrogen.
2) Mengurangi kandungan belerang sebelum pembakaran. Kadar belerang dalam bahan bakar dapat
dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu. Dalam proses produksi batubara, batubara biasa
dicuci. Proses pencucian itu, yang bertujuan untuk membersihkan batubara dari pasir, tanah dan
kotoran lain, juga mengurangi kadar belerang yang berupa pirit (belerang dalam bentuk besi
sulfida) sampai 5090%.
3) Pengendalian pencemaran selama pembakaran. Misalnya penggunaan teknologi itu ialah lime
injection in multiple burners (LIMB), emisi SO2dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
4) Pengendalian setelah pembakaran. Misalnya dengan penggunaan teknologi yang flue-gas
desulfurization (FGD).
5) Penghematan energy.

2.3. Penipisan Lubang Ozon


Ozon adalah salah satu dari gas penyusun atmosfer. Ozon terdiri atas dua jenis yaitu ozon dekat
permukaan bumi dan ozon yang berada di stratosfer. Ozon dekat permukaan bumi berada di biosfer
berperan sebagai polutan udara dan mempunyai pengaruh yang berbahaya pada sistem pernapasan
manusia, hewan dan metabolisme tanaman. Ozon di stratosfer, pada lapisan ini ozon berperan sebagai
filter photon yang keluar dengan gelombang pendek (<320 nm) sinar ultraviolet dari radiasi matahari
yang berbahaya pada semua bentuk kehidupan. Ozon di stratosfer sebagian besar dihasilkan dari sinar
ultraviolet yang bereaksi dengan oksigen (Anonymous, 1998).
Penipisan Lapisan Ozon Lapisan ozon adalah lapisan konsentrasi molekul ozon yang terdapat di
stratosfer. Ozon adalah senyawa kimia yang terdiri dan 3 atom oksigen (O3). Sekitar 90% dari ozon
yang ada di bumi terdapat di lapisan ozon. Di lapisan atmosfer (dekat permukaan bumi) ozon dapat
mengganggu kesehatan, tetapi di lapisan stratosfer ozon akan melindungi mahluk hidup dan sinar ultra
violet yang dipancarkan oleh matahari. Berlubangnya lapisan ozon mengakibatkan semakin banyak
radiasi yang mencapai permukaan bumi. Untuk manusia, paparan sinar UV yang berlebihan dapat
mengakibatkan kanker kulit, katarak, dan memperlemah sistem kekebalan tubuh. Peningkatan radiasi
UV juga mengakibatkan berkurangnya hasil panen dan gangguan pada rantai makanan di laut.
Berlubangnya lapisan ozon sebagian besar disebabkan oleh CFC (Chlorofluorocarbons), HCFC
(Hydrochlorofluorocarbons), HFC (Hydrofluorocarbons), dan PFC (Perfluorocarbon). Gas-gas ini
biasanya digunakan pada AC dan lemari es, emisi dari industri energi, semen, pulp dan kertas.
Peristiwa berlubangnya ozon karena CFC melalui urutan sebagai berikut: CFC terlepas dari sumber dan
naik ke stratosfer, sinar matahari memecah CFC sehingga menjadi atom klorin yang kemudian menjadi
penyebab rusaknya lapisan ozon.

168
3. Permasalahan Lingkungan Nasional
Masalah lingkungan secara nasional tidak jauh berbeda dengan masalah lingkungan secara
global. Bedanya terletak pada corak, bobot besaran masalahnya. Masalah lingkungan secara nasional
mempunyai persamaan yang jelas bila dibandingkan dengan masalah lingkungan di negara-negara
berkembang dalam lingkup nasional. Keadaan dan masalah lingkungan pada tingkat nasional didahului
oleh uraian mengenai keadaan dan masalah kependudukan yang secara global merupakan penyebab
utama dan munculnya masalah lingkungan tersebut. Masalah lingkungan nasional (lokal) yang
ditimbulkan juga menimbulkan kerusakan pada alam, yaitu:

3.1. Kerusakan Hutan


Kerusakan hutan yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia, dapat dipastikan 70 persen
sampai dengan 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia. Permasalahan ini bagi Indonesia
merupakan sesuatu yang sangat sulit, kerusakan hutan di Indonesia disebabkan karena ulah manusia,
baik sebagai masyarakat maupun sebagai pengusaha, namun pada sisi lain negara maju mendesak
kepada negara berkembang, terutama negara yang memiliki hutan tropis menghentikan pemanfaatan
hutan untuk keperluan pembangunannya (Supriadi, 2011: 387-388). Secara keseluruhan, Bappenas
telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan yaitu pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang
tidak merata, konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan, pengabaian atau
ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam
memanfaatkan sumber daya alam, program transmigrasi, pencemaran industri dan pertanian pada hutan
lahan basah, degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak, pemungutan spesies hutan
secara berlebihan dan introdusir spesies eksotik (Supriadi, 2011: 15-16).
Ari Wibowo dan A. Ngakolen Gintings menyoroti bahwa deforestasi dan degradasi hutan di
Indonesia antara lain disebabkan oleh: (a) kebakaran dan perambahan hutan, (b) illegal loging dan
illegal trading yang didorong oleh permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar
lokal, nasional dan global, (c) konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan,
pemukiman, dan keperluan lain, (d) penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui
pinjam pakai kawasan hutan, dan (e) pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsipprinsip
pengelolaan hutan lestari (PHL) (Ari Wibowo, dan A. Ngakolen Gintings, tt: 67).
Menurut berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar pemerhati lingkungan dan
kehutanan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi, disinyalir sebagai akibat dari kerusakan hutan.
Hutan lindung tidak bisa lagi berfungsi menjaga konservasi tanah dan air; Peresapan air hujan ke dalam
tanah juga berkurang sehingga pada musim kemarau terjadi pengeringan mata air. Fluktuasi debit air
pada musim penghujan dan musim kemarau menjadi sangat besar sehingga air yang ada umumnya
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Upaya pemulihan yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan di bidang
kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu
ilegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi
sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor kehutanan. Kebijakan tersebut telah dituangkan dalam
rencana strategis kehutanan pada periode kabinet Gotong Royong yang lalu. Untuk periode tahun 2009-
2014 telah disusun program prioritas Kementerian Kehutanan yang bertujuan untuk mencapai
pengelolaan hutan yang lestari (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2009) yaitu: 1.
Pemantapan kawasan hutan. 2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai
(DAS). 3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan. 4. Konservasi keanekaragaman
hayati. 5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan. 6. Pemberdayaan masyarakat di
sekitar hutan. 7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan. 8. Penguatan kelembagaan
kehutanan (Ari Wibowo, dan A. Ngakolen Gintings, tt: 76-77).

169
3.2. Kerusakan Terumbu Karang.
Berdasarkan laporan hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), bahwa
terumbu karang di Indonesia hanya 7 % yang berada dalam kondisi sangat baik, 24 % berada dalam
kondisi baik, 29 % dalam kondisi sedang dan 40 % dalam kondisi buruk (Suharsono, 1998: 44-52).
Diperkirakan terumbu karang akan berkurang sekitar 70 % dalam waktu 40 tahun jika pengelolaannya
tidak segera dilakukan. Saat ini, ekosistem terumbu karang secara terus menerus mendapat tekanan
akibat berbagai aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas
manusia yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang diantaranya:
1) Menangkap ikan dengan menggunakan bom dan racun sianida (potas), pembuangan jangkar,
berjalan di atas terumbu, penggunaan alat tangkap muroami, penambangan batu karang,
penambangan pasir, dan sebagainya.
2) Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh karena adanya faktor
alam. Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh
CoTs (crown-of-thorns starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang.
3) Overfishing. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) oleh cukup
banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam.
Ada dua upaya yang harus dilakukan oleh manusia dalam mengelola terumbu karang secara
lestari yaitu pertama, melakukan pencegahan berbagai aktivitas manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan terumbu karang baik langsung ataupun tidak langsung; Kedua, melakukan penangan ataupun
penyembuhan terhadap terumbu karang yang telah mengalami kerusakan baik akibat aktivitas manusia
ataupun aktivitas alam. Beberapa hal yang dapat dilakukan Amin, 2009: 1-12) adalah sebagai berikut:
1) Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada pengelolaan terumbu
karang;
2) Mengembangkan mata pencaharian alternative yang bersifat berkelanjutan bagi masyarakat pesisir;
3) Meningkatkan penyuluhan dan menumbuhkembangkan keadaan masyarakat akan tanggung jawab
dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya melalui bimbingan, pendidikan
dan penyuluhan tentang ekosistem terumbu karang;
4) Memberikan hak dan kepastian hukum untuk mengelola terumbu karang bagi mereka yang
memiliki kemampuan;
5) Mengurangi laku degradasi kondisi terumbu karang yang ada saat ini;
6) Mengidentifikasi dan mencegah penyebab kerusakan terumbu karang secara dini;
7) Mengembangkan program penyuluhan konservasi terumbu karang dan mengembangkan berbagai
alternative mata pencaharian bagi masyarakat local yang memanfatakannya;
8) Meningkatkan efektifitas penegakan hokum terhadap berbagai kegiatan yang dilarang oleh hukum
seperti pemboman dan penangkapan ikan dengan potas;
9) Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, pemanfaatan dan status
hukumnya;
10) Mengidentifikasi potensi terumbu karang dan pemanfaatannya; dan
11) Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

3.3. Kerusakan hutan bakau.


Hutan bakau atau lebih dikenal dengan mangrove adalah hutan yang tumbuh sepanjang daerah
pantai atau sekitar muara sungai dan sangat dipengaruhi pasang surut air laut. Ekosistem hutan
mangrove tumbuh di daerah pantai yang landai dan terlindung. Tempat yang paling ideal untuk
pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar muara dan delta sungai yang lebar dan kaya dengan
lumpur dan pasir. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km,
memiliki hutan mangrove yang sangat luas. Hutan mangrove di Indonesia menurut catatan yang
diungkapkan oleh Darsidi (1984), luasnya adalah sekitar 4,25 juta hektar ((Pramudji, 2002: 11-17) dan
tahun 2015 luas mangrove sebesar 3.489.140,68 Ha (Biro Humas Kementrian KLH, 2017). Hal ini

170
terjadi konversi hutan mangrove untuk kegiatan tambak, perkebunan, pertanian, tempat tinggal atau
pembangunan lainnya, sehinga luas areal hutan mangrove berkurang drastic (Pramudji, 2002: 11-17).
Selain itu juga karena penebangan untuk kebutuhan kayu bakar dan bencana minyak yang tmpah dilaut
ikut mempercepat berkurangnya areal hutan bakau atau mangrove.
Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove ini umumnya akan
menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat
menyebabkan hilangnya sumberdaya tersebut. Kerusakan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir
pantai Indonesia sudah cukup serius, misalnya pantai Teluk Naga (Tangerang), pesisir Teluk Jakarta,
pantai utara Pulau Jawa (PANTURA), daerah pesisir Kabupaten Penajam Kalimantan Timur, beberapa
pesisir Sulawesi Selatan, pesisir Passo (Teluk Ambon), pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), pantai barat
Pulau Lombok, pesisir Lampung, daerah Riau dan daerah Aceh. Permasalahan ekologis yang muncul
dari pemanfaatan areal hutan mangrove yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain
adalah terjadinya perubahan ekosistem, penurunan produksi ikan, udang, berkurangnya peranan
sebagai filter terhadap bahan-bahan polutan yang berupa limbah rumah tangga, limbah industri maupun
tumpahan minyak.

3.4. Pencemaan Air


Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti
danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP RI No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air yang dimaksud dengan Pencemaran Air adalah masuknya atau
dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia,
sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukkannya
Air tercemar juga dapat diketahui dari matinya atau terganggunya organisme perairan, baik
ikan, tanaman dan hewan-hewan yang berhubungan dengan air tersebut. Dalam menentukan
karakteristik limbah, parameter-parameter yang dipakai antara lain: suhu, rasa dan bau, warna, tingkat
kekeruhan, padatan, konduktivitas, pH, Oxidation Reduction Potential (ORP), alkalinitas, aciditas,
kesadahan, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen yang dinyatakan BOD dan COD, nitrogen, khlorida,
dan parameter biologi (Herlambang, 2006: 16-29)
Air tercemar oleh bermacam -macam limbah dari hasil kegiatan rumah tangga, industri, maupun
kegiatan lainnya. Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga). Menurut Allaby (1997), limbah adalah zat baik berupa padatan, cair,
maupun gas yang dihasilkan oleh organisme atau sistem yang dibuang ke lingkungan daan tidak
digunakan oleh organisme atau sistem yang menghasilkannya. Limbah cair merupakan gabungan atau
campuran dari air dan bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air, baik dalam keadaan terlarut
maupun tersuspensi yang terbuang dari sumber pertanian, sumber industri, dan sumber domestic
(perumahan, perdagangan, dan perkantoran), dan pada saat tertentu tercampur dengan air tanah, air
permukaan, atau air hujan (Zain, 2005). Limbah jenis ini dapat dihasilkan dari kegiatan atau proses di
dalam rumah tangga, industri, pertanian bahkan kegiatan atau proses di dalam pertambangan.
Adapun penanganan pencemaran air dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
1) Stabilisasi limbah yaitu merupakan salah satu metode sederhana untuk mengurangi kandungan
polutan dalam air limbah terutama dengan pengendapan. Stabilisasi merupakan unit operasi untuk
memisahkan fasa cair atau fasa padat dari fasa cair yang didasarkan pada berat jenis partikel.
Apabila berat jenis partikel lebih kecil dari cairannya maka partikel akan terendapkan secara
spotan, sedangkan partikel padat atau cair yang berat jenisnya lebih besar dari cairannya dipisahkan
dengan bantuan gelembung udara (Metcalf, 1991).
2) Biofiltrasi yaitu suatu cara pemurnian limbah dengan bantuan bahan pengendalian biologis seperti
menggunakan bantuan tanaman maupun mikroorganisme yang sangat efektif dan tidak

171
membahayakan perairan, bahkan dapat menyerap logam berat seperti Mg dan lainnya (Muhammad,
2010).
3) Biofiltrasi ekosistem buatan (Saringan Pasir), yaitu bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan-
bahan padat yang ada di air dan kandungan lumpur. Umumnya, air kotor yang akan disaring oleh
pasir mengandung bahan padat dan endapan lumpur. Ukuran pasir untuk menyaring bermacam-
macam, tergantung jenis bahan pencemar yang akan disaring. Semakin besar bahan padat yang
perlu disaring, semakin besar ukuran pasir yang digunakan;
4) Rhizodegradasi adalah penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba seperti ragi, fungi,
atau bakteri yang berada disekitar akar tumbuhan. Mikroorganisme (ragi, fungi, atau bakteri)
mengkonsumsi dan mengurai atau mengubah bahan organik untuk digunakan sebagai bahan
nutrient. Beberapa jenis mikroorganisme dapat mengurai bahan organik seperti minyak atau larutan
yang berbahaya bagi manusia dan mengubah bahan-bahan berbahaya tersebut menjadi bahan
kurang berbahaya melalui proses degradasi. Senyawa-senyawa alami yang dilepaskan oleh akar
tumbuhan seperti zat gula, alkohol, dan asam yang mengandung karbon organik berfungsi sebagai
sumber nutrien bagi mikroba tanah dan penambahan nutrient akan memacu aktivitas mikroa
tersebut (Kurniawan, 2008);
5) Pengolahan limbah biologis dengan suspensi aktif (lumpur aktif). Dalam penanganan air limbah,
mikroorganisme merupakan dasar fungsional untuk sejumlah proses penanganan. Proses
penanganan air limbah secara biologi terdiri dari campuran mikroorganisme yang mampu
memetabolisme limbah organic. Salah satu proses pengolahan limbah mikroorganisme adalah
dengan munggunakan suspense aktif (lumpur aktif).

3.5. Pencemaran Tanah


Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah
lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan
kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar
ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah;
air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah
secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari
permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah.
Timbunan sampah yang berasal dari limbah domestik dapat mengganggu/ mencemari karena:
lindi (air sampah), bau dan estetika. Timbunan sampah juga menutupi permukaan tanah sehingga tanah
tidak bisa dimanfaatkan. Padatan, lumpur, bubur yang berasal dari proses pengolahan adalah limbah
padat hasil buangan industri.  Adanya reaksi kimia yang menghasilkan gas tertentu menyebabkan
penimbunan limbah padat ini busuk selain itu pencemaran tanah juga menyebabkan timbulnya bau di
sekitarnya. Karena tertimbunnya limbah ini dalam jangka waktu lama menyebabkan permukaan tanah
menjadi rusak dan air yang meresap ke dalam tanah terkontaminasi bakteri tertentu dan berakibat
turunnya kualitas air tanah pada musim kemarau oleh karena telah terjadinya pencemaran tanah.
Timbunan yang mengering akan dapat mengundang bahaya kebakaran. Sisa hasil industri pelapisan
logam yang mengandung zat-zat seperti tembaga, timbal, perak,khrom, arsen dan boron adalah limbah
cair yang sangat beracun terhadap mikroorganisme. Peresapannya ke dalam tanah akan mengakibatkan
kematian bagi mikroorganisme yang memiliki fungsi sangat penting terhadap kesuburan tanah dan
dalam hal ini pun menyebabkan pencemaran tanah.
Pupuk yang digunakan secara terus menerus dalam pertanian akan merusak struktur tanah, yang
menyebabkan kesuburan tanah berkurang dan tidak dapat ditanami jenis tanaman tertentu karena hara
tanah semakin berkurang. Dalam kondisi ini tanpa disadari justru pupuk juga mengakibatkan
pencemaran tanah. Pestisida yang digunakan bukan saja mematikan hama tanaman tetapi juga
mikroorga-nisme yang berguna di dalam tanah. Padahal kesuburan tanah tergantung pada jumlah

172
organisme di dalamnya. Selain pencemaran tanah penggunaan pestisida yang terus menerus akan
mengakibatkan hama tanaman kebal terhadap pestisida tersebut.
Begitu juga limbah dari industry, masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia
beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika
bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya
Berbagai dampak ditimbulkan akibat pencemaran tanah, diantaranya:
1) Kesehatan. Hal ini tergantung pada tipe polutan, jalur masuk ke dalam tubuh dan kerentanan
populasi yang terkena. Semakin besar dosis, pencemaran tanah dapat menyebabkan kematian; dan
2) Ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia
beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan
perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan
tanah tersebut.
Ada beberapa langkah penangan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran
tanah, diantaranya:
1) Remidiasi. yaitu kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis
remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah
pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan,
venting (injeksi), dan bioremediasi. Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar
dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan
dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat
pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari
bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih
mahal dan rumit;
2) Bioremediasi yaitu proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme
(jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi
bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

3.6. Pencemaran Udara


Pencemaran udara umumnya diartikan sebagai udara yang mengandung suatu atau lebih bahan
kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan harta benda (Sugianto, 2005). Di dalam Undang-undang
No. 23 tahun 1997 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya
zat, energi, dan/atau komponen lainnya ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya.
Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan 3 (tiga) proses yaitu atrisi (atrition),
penguapan (vaporization), dan pembakaran (combution). Dari ketiga proses di atas proses yang sangat
dominan dalam kemampuannya menimbulkan bahan pollutan (Mukono, 1997). Partikel pencemar
antara lain debu, timbal (Pb), partikel debu karet, dan partikel asbes. Adapun pencemar gas yang kerap
terhirup warga yang banyak beraktivitas di jalan adalah karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2)
dan nitrogen dioksida (NO2) (Nurdin Z dan R Azizah, 2013: 75-81).
Secara global, sektor transportasi sebagai tulang punggung aktifitas manusia mempunyai
kontribusi yang cukup besar bagi pencemaran udara, 44 % TSP (total suspended particulate), 89 %
hidrokarbon, 100 % PB, dan 73 % NOx. Sementara dari data inventarisasi Bapedal menunjukkan
bahwa di Jakarta emisi yang di lepaskan ke udara sebagai dampak penggunaan konsumsi energi
mencakup 15 % TSP, 16 % NOx, dan 63 % SOx (Budiyono, 2001: 21-27)
Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam yaitu biogenik (secara alamiah),
contohnya debu yang berterbangan akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan

173
Gunung berapi berikut gas-gas vulkanik, proses pembusukan sampah organik, dan lain-lain. Penyebab
pencemaran udara yang lain adalah antropogenik (karena ulah manusia), contohnya hasil pembakaran
bahan bakar fosil, debu atau serbuk dari kegiatan industri, pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan
ke udara. Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran darisalah satu atau
lebih dari bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara
kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan penyebaran ini sudah tentu akan tergantung
pada keadaan geografi dan meteorologi setempat (Nurdin Z dan R Azizah, 2013: 75-81).
Pencemaran udara pada tingkat tertentu mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat buruk
terhadap lingkungan, baik untuk kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan alam
itu sendiri. Terjadinya iritasi mukosa saluran pernafasan, seperti asma dan bronchitis, juga beberapa
bahan organik berupa partikel debu dapat menyebabkan pneumokoniosis, bahan biologis seperti virus,
bakteri dan jamur dapat menimbulkan infeksi dan reaksi alergi . Dampak pencemaran udara bagi
lingkungan flora dan fauna baik secara primer ataupun sekunder mempunyai mata rantai yang sama
seperti pada manusia, dimana pada tingkat-tingkat tertentu akan berdampak pada menurunnya tingkat
produktivitas pertanian, yang juga akan berakibat pada sektor lainnya. Sementara dampak pencemaran
udara pada material adalah terjadinya korosi dan hilangnya keindahan material tersebut (Budiyono,
2001: 21-27).
Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran udara antara lain menggunakan
kendaraan yang ramah lingkungan; Mengurangi pemakaian kendaraan bermotor: Menggunakan
kendaraan yang hemat energy; Mengurangi konsumsi produk dari pabrik yang menimbulkan
pencemaran udara. Selain itu, pencemaran udara juga dapat ditanggulangi dengan menggunakan atau
menambah alat bantu berupa berupa filter udara, pengendap silikon, filter basah, pengendap sistem
gravitasi dan pengendap elektrostatik.

3.7. Banjir
Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Banjir
terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya, mampu membanjiri wilayah luas dan
mendorong peluapan air di dataran rendah, sehingga banjir yang meluap dari sungai-sungai selain
induk sungai biasa disebut banjir kiriman. Masalah banjir cenderung meningkat dari tahun ketahun
terutama disebabkan oleh adanya perubahan watak banjir serta pesatnya pembangunan berbagai
kegiatan manusia di dataran banjir. Bencana banjir yang terjadi akan memberikan dampak negatif dan
buruk bagi suatu daerah dimana masyarakat mengalami kerugian yang besar secara materi.
Besarnya banjir tergantung kepada beberapa faktor, di antaranya kondisi-kondisi tanah
(kelembaban tanah, vegetasi, perubahan suhu/musim, keadaan permukaan tanah yang tertutup rapat
oleh bangunan; batu bata, blok-blok semen, beton, pemukiman/perumahan dan hilangnya kawasan-
kawasan tangkapan air/alih fungsi lahan (Asdak, 2004). Data sejarah banjir luapan sungai yang
melanda kota-kota di lembah utama membuktikan bahwa tindakan-tindakan perlindungan tidak bisa
diandalkan, akibat beraneka-ragamnya sumber banjir, yang bukan hanya dari induk sungai melainkan
juga dari anak anak sungai (Mulyanto, 2007).
Dampak yang ditimbulkan banjir dapat dikategorikan kedalam dampak primer, sekunder dan
tersier. Dampak primer berupa kerusakan fisik struktur bangunan, termasuk jembatan, mobil,
bangunan, sistem selokan bawah tanah, jalan raya, dan kanal. Dampak sekunder, meluputi
terganggunya persediaan air karena terkontaminasi sehingga air bersih mulai langka; timbulnya
berbagai macam penyakit, karena kondisi tidak higienis dan juga penyebaran penyakit bawaan air;
Timbul permasalahan di bidang pertanian dan persediaan makanan disebabkan oleh kegagalan panen;
Punahnya spesies tumbuhan yang tidak tahan manakala terendam banjir; Jalur transportasi
terganggu. Sedangkan dampak tersier/jangka panjang adalah kesulitan ekonomi karena penurunan
jumlah wisatawan, biaya pembangunan kembali, kelangkaan makanan yang mendorong kenaikan
harga, dll.

174
Menurut Widiati (2008) risiko bahaya dan kerugian dapat dikurangi dengan menerapkan
manajemen risiko bencana, yang manfaatnya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya dan
mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Untuk menanggulanginya terdapat
metode pengendalian banjir, yaitu metode struktural dan non-struktural. Pertama, metode structural ada
dua jenis yaitu Perbaikan dan pengaturan sistem sungai yang meliputi sistem jaringan sungai,
normalisasi sungai, perlindungan tanggul, tanggul banjir, sudetan (short cut) dan floodway; dan
Pembangunan pengendali banjir yang meliputi bendungan (dam), kolam retensi, pembuatan check dam
(penangkap sedimen), bangunan pengurang kemiringan sungai, groundsill, retarding basin dan
pembuatan polder. Kedua, metode non struktural adalah pengelolaan DAS, yaitu pengaturan tata guna
lahan, pengendalian erosi, peramalan banjir, partisipasi masyarakat, law enforcement, dsb. Pengelolan
DAS berhubungan erat dengan peraturan, pelaksanaan dan pelatihan. Kegiatan penggunaan lahan
dimaksudkan untuk menghemat dan menyimpan air dan konservasi tanah (Sebastian, 2008: 162-169).

3.8. Kekeringan
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika musim kemarau
tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah kekurangan air atau defisit air atau kekeringan.
Secara umum kejadian kekeringan dapat ditinjau dari aspek: hidro-meteorologi, pertanian, dan
hidrologi (Wilhite, 2010 dalam Indarto dkk. 2014: 112-121). Dari aspek hidro-meteorologi kekeringan
timbul dan disebabkan oleh berkurangnya curah hujan selama periode tertentu. Dari aspek pertanian
dinyatakan kekeringan jika lengas tanah berkurang sehingga tanaman kekurangan air. Lengas tanah
(soil moisture) merupakan parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. Ketersediaan lengas
tanah juga erat kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah. Secara hidrologi kekeringan ditandai dengan
berkurang-nya air pada sungai, waduk dan danau (Nalbantis et al., 2008 Indarto dkk. 2014: 112-121).
Secara umum, kekeringan dikelompok menjadi dua, yaitu kekeringan alamiah dan kekeringan
akibat ulah manusia.
1) Kekeringan alamiah, yang terdiri atas:
(1) Kekeringan meteorologis, yaitu kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di
bawah normal dalam satu musim di suatu kawasan.
(2) Kekeringan hidrologis, yaitu kekeringan yang berkaitan dengan kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah.
(3) Kekeringan agronomis atau kekeringan pertanian, yaitu kekeringan yang berhubungan
dengan berkurangnya lengas tanah (kandungan air dalam tanah), sehingga mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan
pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis; dan
(4) Kekeringan sosial ekonomi, yaitu kekeringan yang berkaitan dengan kondisi dimana pasokan
komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi,
hidrologi dan agronomi (pertanian).
2) Kekeringan akibat perilaku manusia atau kekeringan antropogenik, yang terdiri atas:
(1) Kebutuhan air lebih besar daripada pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan pengguna
terhadap pola tanam/pola penggunaan air; dan
(2) Kerusakan kawasan tangkapan air dan sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

Penyebab Kekeringan Kekeringan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya curah hujan saja,
tetapi ada beberapa faktor lain yang berpengaruh, antara lain (Pratiwi Adi, 2011: 1-10):
1) Faktor meteorology, yaitu merupakan ekspresi perbedaan presipitasi dari kondisi normal untuk
suatu periode tertentu, karena itu faktor meteorologi bersifat spesifik wilayah sesuai dengan iklim
normal di suatu wilayah, misalnya dipengaruhi oleh dua gejala alam yaitu gejala alam La Nina yang
dapat menimbulkan banjir dan gejala alam El Nino yang menimbulkan dampak musim kemarau
yang kering;

175
2) Faktor hidrologi, yaitu berkaitan dengan gundulnya tanah di daerah tangkapan air yang
menyebabkan bertambahnya koefisien run-off dan berkurangnya resapan air ke dalam tanah
(infiltrasi);
3) Faktor agronomi, yaitu kekurangan kelembaban tanah menyebabkan tanah tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu, karena itu apabila para petani tidak
disiplin dan tidak patuh pada pelaksanaan pola tanam dan tata tanam yang telah disepakati dan
merupakan salah satu dasar untuk perhitungan kebutuhan air, maka akan mempengaruhi efektifitas
dan efisiensi pemberian air untuk tanaman;
4) Faktor prasarana sumberdaya air, seperti waduk, embung dan lain-lain masih sangat terbatas,
disamping kondisi prasarana yang ada tersebut banyak yang rusak atau kapasitasnya menurun;
5) Faktor penegakan hukum; dan
6) Faktor sosial ekonomi, yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi dan handarbeni masyarakat
akan pentingnya pelestarian sumberdaya air dan lingkungannya karena tata guna lahan yang tidak
serasi.

C. TUGAS/ EVALUASI
1. Coba kalian jelaskan konsep mental frontier berkaitan dengan lingkungan hidup!
2. Coba kalian jelaskan konsep permasalahan lingkungan global!
3. Coba kalian jelaskan pemanasan global sebagai permasalahan lingkungan global!
4. Coba kalian jelaskan konsep efek rumah kaca sebagai permasalahan lingkungan global!
5. Coba kalian jelaskan konsep hujan asam sebagai permasalahan lingkungan global!
6. Coba kalian jelaskan penipisan lubang ozon sebagai permasalahan lingkungan global!
7. Coba kalian jelaskan konsep permasalahan lingkungan hidup nasional!
8. Coba kalian jelaskan kerusakan hutan sebagai permasalahan lingkungan!
9. Coba kalian jelaskan kerusakan terumbu karang sebagai permasalahan lingkungan!
10. Coba kalian jelaskan kerusakan hutan mangrove sebagai permasalahan lingkungan!
11. Coba kalian jelaskan pencemaran air sebagai permasalahan lingkungan!
12. Coba kalian jelaskan pencemaran tanah sebagai permasalahan lingkungan!
13. Coba kalian jelaskan pencemaran udara sebagai permasalahan lingkungan !
14. Coba kalian jelaskan banjir sebagai permasalahan lingkungan!
15. Coba kalian jelaskan kekeringan sebagai permasalahan lingkungan!

D. REFERENSI
Aikawa M., dan Hiraki T. 2009. Washout/rainout contribution in wet deposition estimated by 0.5 mm
precipitation sampling/analysis. Atmospheric Environment 43, 4935-4939.
Anonymous. 1998. Tropospheric Ozone in EU - The consolidated report. European Environ. Agency.
Ari Wibowo, dan A. Ngakolen Gintings. Tt. Degradasi dan upaya Pelestarian Hutan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. www.litbang.pertanian.go.id/buku/membalik-kecenderungan-
degrad/BAB-III-3.pdf. Diakses tanggal 26 Juni 2018.
Asdak. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Pres. Yogyakarta.
Atkinson R, 1988, Atmospheric transformations of automotive emissions dalam Air Pollution the
Automobile and Public Health, Washington D.C : National Academy Press
www.nap.edu/catalog/1033.htm
Budiyono, Afif. 2001. Pencemaran Udara: Dampak Pencemaran Udara Pada Lingkungan. Jurnal
Berita Dirgantara Vol. 2, No. 1 Maret 2001, hal 21-27.
Butler T.J., Gene E. Likens, Francoise M. Vermeylen, Barbara J.B. Stunder, 2003, The relation
between NOx emission and precipitation NO3-in the eastern USA, Atmospheric Environment
37, 2093-2104.

176
Chiras DD. 1985. Environmental a Frame Work Decision Making. Menlo Park. California: The
Benyamin Cumming Publishing Company Inc.
Feichter J., KjellstÖm E., Rodhe H., Detener F., Lelieveld J., and Roelofs G., 1995, Simulation of
Tropospheric Sulfur Cycle in A Global Climate Model, Atmospheric Environmental Vol. 30,
No.10/11, pp, 1693-1707, 1996
Herlambang, Arie. 2006. Pencemaran Air dan Strategi Penangannya. JAI Vol. 2 , No.1 2006. Hal 16-
29.
Huang K., G. Zhuang, C Xu, Y. Wang dan A. Tang, 2008, The chemistry of the severe precipitation in
Shanghai, China, Atmospheric Research 89, 149-160
Idayati, Ratna. 2007. Pengaruh Pemanasan Global (Global Warning) Terhadap Lingkungan dan
Kesehatan. Jurnal Kedokteran Syah Kuala, Volume 7 Nomor 1 April 2007, hal 43-47.
Indarto, Sri Wahyuningsih, Muhardjo Pudjojono, Hamid Ahmad, Ahmad Yusron. 2014. Studi
Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat Untuk Analisis Kekeringan
Hidrologi pada 15 DAS di Wilayah Jawa Timur. Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014),
hal 112-121
Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Lenden Marpaung. 2000. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa. Rajawali Press.
Jakarta
Manahan Stanlay E, 2000. Environmental Chemistry, 7 th edition, Boca Raton Florida : CRC Press
LLC.
Mulyanto, 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Nalbantis, I, and Tsakiris, G. 2008. Assessment of Hydrological Drought Revisited. Water Resources
Management 23 (5) (July 22): 881-897.
Nurdin Zakaria, R. Azizah. 2013. Analisis Pencemaran Udara (SO2) Keluhan Iritasi Tenggorokan dan
Keluhan Kesehatan Iritasi Mata Pada Pedagang Makanan di Sekitar Terminal Joyoboyo
Surabaya. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 1 Jan-Jun
2013: 75–81
Pramudji. 2002. Eksploitasi Hutan Mangrove di Indonesia: Dampak dan Upaya Untuk
Penanggulangannya. Jurnal Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002. Hal. 11-17. ISSN 0216-1877
Pratiwi Adi, Henny. 2011. Kondisi dan Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan di Jawa Tengah.
Proseding Seminar Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana 26 Juli 2011, UNISSULA
Semarang. Hal 1-10.
Sebastian, Ligal. 2008. Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir. Jurnal dinamika TEKNIK
SIPIL, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008 : 162–169
Sumarwoto, Otto, 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Supriadi. 2011. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Tietenberg, 2003, Environmental and Natural Resource Economics, 6 th edition, Boston, New York :
Addison Wesley
Utina, Ramli. 2015. Pemanasan Global: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya.
https://www.google.com/search?q=Ramli+Utina%3A+pemanasan+global&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-b-ab diakses 25 Juli 2018.
Van Rensburg, Eureta J. 1994. “Social Transformation in Response to the Environment Crisis: The
Role of Education and Research”. Australian Journal of Environmental Education Vol 10. 1994
Widiati, Ati. 2008. Aplikasi Manajemen Risiko Bencana Alam dalam Penataan Ruang Kabupaten
Nabire. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 10 No. 1 April 2008: 7-15.
Wilhite, D. A. 2010. Quantification of agricultural drought for effective drought mitigation, in
agricultural drought indices. Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June. Murcia, Spain, WMO,
Geneva.

177
Yatim, Erni M. 2007. Dampak dan Pengendalian Hujan Asam di Indonesia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Volume II Nomor I September 2007. Hal 146-151.
https://www.google.com/search?q=efek+rumah+kaca&client=firefox-b-ab&source=
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiG9rPjxu7bAhUWSX0KHdWCCLcQ_AUICygC&bi
w=1150&bih=654

E. GLOSARIUM
1. Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan.
2. Efek rumah kaca adalah proses masuknya radiasi dari matahari dan terjebaknya radiasi di dalam
atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Justru pada proporsi tertentu,
efek rumah kacalah yang memberikan kesempatan kehidupan berbagai makhluk di planet ini
3. Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Hujan asam terjadi
karena hujan mengandung asam sehingga pH menjadi di bawah pH normal.
4. Hutan bakau atau lebih dikenal dengan mangrove adalah hutan yang tumbuh sepanjang daerah
pantai atau sekitar muara sungai dan sangat dipengaruhi pasang surut air laut.
5. Isu lingkungan global merupakan permasalahan lingkungan dan dampak yang ditimbulkan dari
permasalahan lingkungan tersebut mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi dunia serta
menyeluruh
6. Mental frontier adalah mental atau pandangan yang berpusat pada manusia atau antroposentris dan
memiliki tiga persepsi sebagai ciri khasnya, yaitu : a. Memandang alam dan bumi sebagai pemberi
sumber bahan kehidupan manusia yang tidak terbatas dengan keyakinan bahwa selalu ada sesuatu
lagi b. Memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam dan bukan bagian dari alam c.
Memandang alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai
7. Ozon adalah salah satu dari gas penyusun atmosfer. Ozon terdiri atas dua jenis yaitu ozon dekat
permukaan bumi dan ozon yang berada di stratosfer. Ozon dekat permukaan bumi berada di biosfer
berperan sebagai polutan udara dan mempunyai pengaruh yang berbahaya pada sistem pernapasan
manusia, hewan dan metabolisme tanaman. Ozon di stratosfer, pada lapisan ini ozon berperan
sebagai filter photon yang keluar dengan gelombang pendek (<320 nm) sinar ultraviolet dari radiasi
matahari yang berbahaya pada semua bentuk kehidupan.
8. Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan
Bumi
9. Pencemaran Air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
10. Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah
lingkungan tanah alami.
11. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lainnya
ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

178

Anda mungkin juga menyukai