(Illegal Mining)
-Siti Istiqamah, Dwi Safitri, Dendik Wargianto-
A. PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sektor perekonomian
terpenting di Indonesia dan dinilai mampu menunjang pembangunan ekonomi
dan sosial masyarakat.1 Namun, kebanyakan operasi penambangan
menimbulkan kerusakan lingkungan, tata ruang penggunaan lahan, serta
mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan para
pekerjanya.2 Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran lingkungan
(environmental conciousness) agar Sumber Daya Alam saat ini dapat
dinikmati hingga generasi yang akan datang.3 Salah satu upaya untuk
menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu menghadirkan eksistensi Tuhan
dalam aktifitas penjagaan alam ilmiah yang kemudian disebut sebagai
Ekosufisme.4 Dengan konsep eko-sufisme yang berdasarkan pada hubungan
antara Tuhan, manusia dan alam yang menjadikan alam semesta sebagai
media dan sarana untuk sampai kepada Tuhan. Sehingga manusia diharapkan
mampu mengelola alam berdasarkan konsep-konsep yang ada dalam sufisme.
Tasawuf memiliki domain yang menarik untuk dikaji dalam kaitannya
dengan konsep pengelolaan lingkungan. Telaah tentang ekosufisme ini
sebenarnya sudah banyak dikaji oleh para peneliti, akan tetapi lebih banyak
didominasi oleh kajian-kajian teoritik, seperti Ibnu Adam Yusuf5, Ahmad
1
Fardan Mahmudatul Imamah, “Menghadapi Kapitalisme Pendekatan Eco-Sufism Dalam
Gerakan Environmentalisme Islam Indonesia”, Kontemplasi, Volume 05 Nomor 01, Agustus
2017: 109.
2
Danny Z. Herman. Pertambangan Tanpa izin Dan Kemungkinan Alih Status Menjadi
Pertambangan Skala Kecil.
3
Prof. dr. mujiyono abdillah,m.a., Fiqih Lingkungan (Panduan Spiritual Hidup
Berwawasan Lingkungan), (Yogyakarta: Unit Penerbit Dan Percetakan Akademi Managemen
Perusahaan YKPN, 2005: 4.
4
Nur Laila, “Ekosufisme Majlis Zikir Kraton Habib Muhammad Dardanylla Shahab
Pekalongan,” Religia Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol.21 No.1 2018: 68.
5
Ibnu Adam Yusuf, Krisis Lingkungan Di Indonesia (Sebuah Kajian Ecosophy dalam
Pandangan Seyyed Hossein Nasr), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017).
1
Munji6, dan Nur Arfiyah Febriani7 yang membahas mengenai konsep
ekosufisme dalam menyikapi krisis ekologis secara umum.. Dari literatur-
literatur tersebut belum ada yang membahas secara spesifik mengenai
eksploitasi barang tambang dengan paradigma ekosufisme. Oleh karena itu,
penelitian ini layak untuk dilakukan.
Dari latar belakang permasalahan di atas dan berbagai solusi yang belum
signifikan, maka akan memunculkan pertanyaan apakah dampak-dampak dari
Pertambangan Tanpa Izin (illegal mining) bagi lingkungan? dan bagaimana
pandangan ekosufisme Al-Qur'an mengenai Pertambangan Tanpa Izin (illegal
mining)?
Dari pembahasan ini, diharapkan munculnya paradigma baru mengenai
Pertambangan Tanpa Izin (illegal mining) berdasarkan prinsip-prinsip
ekosufisme Al-Qur'an demi terciptanya keadilan lingkungan (eco-justice).
2
meliputi penyelidikan umum ,eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
pertambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pasca tambang. 10
Secara hukum Pertambangan ada dua jenis yaitu: pertambangan resmi
(dengan izin) dan pertambangan tidak resmi (tanpa izin). Pertambangan
resmi yaitu pertambangan yang memiliki izin dari pemerintah dan
memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. Sedangkan
pertambangan yang tidak resmi adalah pertambangan yang tidak memiliki
izin dari pemerintah, tidak memiliki tempat yang khusus serta tidak
memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. 11
Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha
pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang yaitu Bupati/Gurbernur/Menteri
sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang menjadi
kewenangannya masing-masing.
Jadi, Pertambangan Tanpa Izin (Illegal Mining) adalah urusan terkait
kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi baik berupa benda padat, cair,
maupun gas yang dilakukan dengan tidak tidak memiliki izin dari
pemerintah, tidak memiliki tempat yang khusus serta tidak memperdulikan
dampaknya terhadap lingkungan.12
Sampai saat ini Pertambangan Tanpa Izin (illegal mining) marak
terjadi, misalnya pada tanggal 28 Januari 2016 sebanyak 26 juta orang
yang bekerja di tambang galian C illegal di kecamatan Patumbak,
Deliserdang, Sumatra Utara, ditangkap jajaran Kepolisian Resor Medan
karena di lokasi penambangan galian C diduga tidak memiliki izin
pertambangan. Begitu pula penegakan hukum atas dugaan Pertambangan
Tanpa Izin (illegal mining) di Bogor, Jawa Barat oleh Kepolisian Resor
10
Kustiana Ayu F.S, Dkk, “Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sekitar
Pertambangan Nikel Di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali,” Jurnal Ekonomi (JE)
Vol .1(1) (2016): 138.
11
Mido Putra. “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi Dalam Pengendalian
Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).”, JOM FISIP Vol. 3
No. 2. 2016 : 2.
12
Chandra Nandiwardhana, Tindak Pidana Pertambangan, 21
3
Bogor yang menangkap 22 penambang emas liar yang beroperasi di
wilayah penambangan milik PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Gunung
Pongkor. Selain kasus di atas, banyak lagi kasus Pertambangan Tanpa Izin
(illegal mining) yang terjadi antara lain di Gunung Botak, Maluku, di
Gunung Guntur, Garut, di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, di Silo Jember,
di Telabang, Gunung Mas, dan berbagai wilayah lainnya di Indonesia.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa sesuai verifikasi lapangan oleh
KLHK pada September-Oktober 2015 terdapat 302 lokasi Pertambangan
Tanpa Izin (illegal mining) yang terverifikasi dari sisi jenis tambang
ditemukan berupa tambang emas sebanyak 22%, sirtu sebanyak 13%, pasir
kuarsa sebanyak 9%, batu, tanah, dan timah masing-masing 8%, pasir dan
pasir urug masing-masing 7%, batu gamping sebanyak 6%, granit dan batu
kuarsa masing-masing 3%, serta lainnya sebanyak 6%.13
4
c. Dampak pencemaran limbah-limbah pertambangan yang melibatkan
sejumlah bahan beracun berbahaya (B3). Dan logam berat seperti
merkuri kadmium timbal kromium tembaga dan lain-lain.
d. Terganggu hingga rusaknya sumber air, tanah dan keanekaragaman
hayati.
e. Dampak erosi sosial budaya akibat masuknya modal dan para
pendatang terhadap sosial budaya masyarakat lokal.
f. Lubang-lubang raksasa dan limbah tambang yang dibiarkan terbuka
secara permanen saat pertambangan usai.15
5
prosedural disertai jangka waktu pemrosesannya. Namun kenyataanya
banyak birokrasi yang tidak reformis yang ditandai dengan perilaku
koruptif, nepotis, lamban, dan berbelit-belit oknum birokrat berakibat
pada buruknya pelayanan publik dan berdampak pada buruknya
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan.
c. Faktor Pembinaan dan Pengawasan yang Normatif.
Pertambangan Tanpa Izin bukanlah bagian dari skema pembinaan
dan pengawasan sebagaimana diatur dalam PP No. 55 Tahun 2010.
Namun ia termasuk perbuatan pidana yang tidak mengenal pendekatan
persuasif.
d. Faktor Kendala Penegakan Hukum.
Mekanisme pembinaan dan pengawasan skala kecil tidak
diperhatikan oleh penambang dengan tetap melakukan Pertambangan
Tanpa Izin, maka instrumen hukum pidana diperlakukan. Itulah yang
menjadikan dilema dalam penegakan hukum pidana terhadap kegiatan
Pertambangan Tanpa Izin.
e. Faktor Sosial Ekonomi.
Pengangguran dan kemiskinan menjadi salah satu pendorong
Pertambangan Tanpa Izin yang menjadi dilematis bagi aparat penegak
hukum dan pemerintah.17
f. Faktor Karakter Penambang.
1) Usaha pertambangan pada umumnya memberikan keuntungan
materi yang relatif tinggi, karena hasil pertambangan emas tanpa
melalui pengolahan langsung dapat dijual dengan harga yang
sangat tinggi.
2) Permintaan terhadap pasar emas yang relatif tinggi.
3) Tingkat pengusahaan yang mudah, terutama untuk bahan tambang
emas.
17
Ahmad Redi, “ Dilema Penegakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara Tanpa
Izin pada Pertambangan Skala Kecil (Dilemma of Law Enforcement in Small Scale Iilegal
Mining”: 407-413.
6
4) Umur tambang yang sangat singkat, beberapa diantaranya lebih
singkat dari lamanya proses perizinan, karena sebagian besar
berupa pertambangan skala kecil.18
7
dikaji dan bagian dari ekosistem. Dengan demikian ekologi, ekosistem,
lingkungan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan
keteraturan yang diciptakan oleh hubungan ketigannya akan
menghasilkan keseimbangan. Untuk menjaga konsep keseimbangan ini
diperlukan upaya kesadaran manusia untuk tidak mengeksploitasi
lingkungannya hingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Karena pada
dasarnya kerusakan lingkungan yang kita perbuat justru membahayakan
kehidupan manusia itu sendiri.19
Para ulama menghubungkan kata tasawuf ke berbagai kata dan
istilah, sehingga terdapat perbedaan mengenai asal usul kata tasawuf dan
artinya. Sebagian mengatakan tasawuf berasal dari kata shafa’ yang
artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Ada pula yang mengatakan tasawuf
berasal dari kata shuf yang artinya bulu binatang. Selanjutnya, ada juga
yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuffah, yaitu segolongan
sahabat Nabi yang menyisihkan diri disuatu tempat terpencil di dekat
masjid. Pendapat lain mengatakan tasawuf berasal dari kata shufanah,
yaitu sejenis kayu yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Dari sekian
istilah tersebut semuanya merupakan asal kata yang diambil dari bahasa
Arab, sedangkan pendapat yang berbeda mengatakan bahwa tasawuf
berasal dari bahasa Yunani lama yang telah diarabkan yaitu kata
theosofie, artinya ilmu keTuhanan, kemudian diarabkan sehingga
berubah menjadi tasawuf.
Lebih jelas lagi Samsul Munir menyimpulkan, tasawuf adalah
melatih jiwa dengan kesungguhan yang dapat membebaskan manusia
dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Allah,
sehingga jiwa menjadi lebih bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam
kehidupan, serta menemukan kebahagiaan spiritual. 20
19
Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis Dalam Al-Qur’an”, ESENSIA Vol. XIV No. 1.
(2013), 62-68.
20
Ida Munfarida, Nilai – Nilai Tasawuf Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Etika
Lingkungan Hidup, Tesis(Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2017), 154.
8
2. Definisi Ekosufisme
Ekosufisme terdiri dari dua kata gabungan, ekologi dan sufisme.
Menurut Suwito NS, ecosufism atau green sufisme adalah konsep baru
sufi yang dikonstruksi melalui penyatuan kesadaran antara kesadaran
berlingkungan dan berketuhanan, yakni:
1) Kesadaran berlingkungan (save it, study it, and use it) adalah
bagian tidak terpisahkan dari kesadaran spiritual (spiritual consiousness).
Mencintai alam merupakan bagian dari mencintai Tuhan.
2) Mengupayakan adanya proses transformasi dari spiritual
conciousness menuju ecological consciousness (tataran
implementasi/gerakan).
Menurut Arne Naes, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973,
ecosophy juga sering disebut deep ecology yang berarti kearifan
mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam
arti luas.21 Dalam ekosufisme terdapat proses yang dinamis pada diri
manusia yang bercorak integratif, yakni humanistik teistik (al-insani al-
Rabbani). Dinamika diri bergeser dari zona yang berpusat pada diri
(egoistik) ke wilayah zona bersama (komunalistik), yakni kebersamaan
secara ilahiyah, insaniyah dan alamiyah. 22
21
Ibnu Adam Yusuf, Krisis Lingkungan Di Indonesian(Sebuah Kajian Ecosophy dalam
Pandangan Seyyed Hossein Nasr), 37.
22
Nur Arfiyah Febriani, Ekosufisme Berwawasan Gender Dalam Al-Qur’an.
9
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). Q.S. Ali Imran: 14
Emas dan perak dijadikan indah di mata manusia. Oleh karena itu,
komoditas emas dan perak sangat berharga tinggi dan menjadi simbol
dari kekayaan23, sehingga mayoritas mereka mengeksploitasinya agar
menjadikan mereka kaya raya.24 Emas dan perak hanya bisa didapatkan
dari dalam bumi (barang tambang). Dalam tafsir Ruhul Ma’any karya Al-
Alusi, kekayaan dari emas dan perak dimaknai ilmu-ilmu yang popular
dan ilmu-ilmu yang tidak popular atau ilmu Usul dan ilmu cabang.25
Berangkat dari emas dan perak yang menjadi salah satu sarana
kekayaan, timbullah ketamakan dan kerakusan dari manusia untuk
mengeksploitasinya sekehendak mereka. Mereka tidak ingin melihat
dampak dari eksploitasi tersebut yang menimbulkan banyak kerusakan,
baik kerusakan sosial maupun kerusakan ekologis.
10
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-
halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. Q.S. At-Taubah Ayat 34.
11
disebabkan oleh faktor alam saja, melainkan ada faktor besar yang
menyebabkan hal itu, yaitu faktor yang berasal dari manusia, salah
satunya adalah Pertambangan Tanpa Izin yang marak dilakukan. Krisis
lingkungan disebabkan karena cara pandang pola hubungan yang salah.
Selama ini manusia cenderung menggunakan cara pandang pola
hubungan yang cenderung kurang harmonis. Manusia cenderung
menggunakan pola hubungan antroposentrisme dan biosentrisme. Kedua
pola hubungan tersebut masihlah pola hubungan yang cenderung
mementingkan makhluk-makhluk biotik, padahal alam ini tidak hanya
dihuni oleh makhluk-makhluk biotik. Melainkan terdiri dari makhluk
biotik dan abiotik yang keduanya tidak bisa hidup sendiri-sendiri tetapi
saling membutuhkan.28
12
Dengan Ekosufisme ini manusia akan dapat memelihara lingkungan
hidupnya dan sekaligus dapat mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya di hadapan Allah.30
a. Konsep Wahdatul Wujud (Tauhid)
Secara etimologi (bahasa), kata wahdat al-Wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yakni wahdat dan al-Wujud.
Wahdat artinya tunggal atau kesatuan, sedangkan wujud artinya ada,
keberadaan atau eksistensi. Secara terminologi (istilah) wahdat al-
Wujud berarti kesatuan eksistensi.31 Allah SWT berfirman:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Q.S. Al-Baqarah ayat 115.
30
Nur Laila, “Ekosufisme Majelis Zikir Kraton Habib Muhamad Dardanylla Shahab
Pekalongan: 69.
31
Yulya Sari, Konsep Wahdat Al-Wujud Dalam Pemikiran Hamzah Al-Fansuri,Skripsi,
(Lampung: UIN Raden Intan, 2017) , 35.
32
Jalaluddin Abi Abdi Ar-Rahman As-Suyuthy, Lubabu An-Nuqul Fi Asbabi An-Nuzul,
(Lebanon: Muassisatu Al-Kutub Ats-Tsaqafiyyah, 2002), 22.
13
manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta semua yang ada
termasuk Tuhan.33
Jika kita lihat alur fikir tauhid Nasr, kemungkinan besar
gagasannya terpengaruh oleh ide-ide wahdatul wujud Ibn Arabi.
Dalam teori Ibn 'Arabi dijelaskan sebagai berikut:
“Wujud dalam pandangan Ibn 'Arabî adalah Satu, hanya ada satu
wujud hakiki yaitu Tuhan, segala sesuatu selain Tuhan tidak ada
pada dirinya sendiri. Ia ada hanya sebatas memanifestasikan wujud
Tuhan. Alam adalah tempat penampakan diri Tuhan dan manusia
sempurna adalah tempat penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna. Tajalli al-haqq merupakan ajaran sentral Ibn 'Arabî,
wujud alam tidak lain adalah wujud pinjaman yang berasal dari
Tuhan.34 Alam dengan keanekaragamannya tidak lain sebagai
manifestasi dari wujud yang satu. Logika yang digunakan antara
alam dan wujud yang tunggal diilustrasikan melalui “wajah” dengan
wajah yang ada pada beberapa cermin. Wujud yang tunggal bisa
dilihat dalam beberapa cermin yang ada.”
Dalam pemahaman ini, sakralitas wujud yang tunggal terpantul
dan mengalir pada wujud yang banyak. Hal senada juga disampaikan
Nasr, pada dasarnya sufisme mengijinkan manusia memperlakukan
alam sebagai hal yang sakral. Proses yang demikian melahirkan
pemahaman bahwa melihat alam adalah melihat tuhan, karna alam
adalah Teofani Tuhan.35
Keberadaan alam yang unik dan teratur memberi isyarat tentang
eksistensi sang pengatur, Tuhan Pencipta alam. Cara memandang
alam seperti di atas merupakan ciri khas dari faham waḥdat wujūd
Ibn ‘Arabī, yang melihat benar tidak hanya bersumber pada rasio
33
Ridhatullah Assya’bani & Ahmad Syadzali, “Pandangan Ulama Balangan Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam Batubara Di Balangan Dalam Perspektif Eko-Sufisme,”: 66.
34
Ibnu Adam Yusuf, Krisis Lingkungan Di Indonesia (Sebuah Kajian Ecosophy dalam
Pandangan Seyyed Hossein Nasr),16.
35
Ahmad Munji, “Tauhid Dan Etika Lingkungan: Telaah Atas Pemikiran Ibn ‘Arabī,”:
522.
14
tetapi juga mengakui kebenaran metafistik. Kedua faktor ini menjadi
signifikan dalam penyusunan etika lingkungan dan proses
peningkatan kesadaran berlingkungan.
Hal ini bisa dijadikan argumen bahwa ciptaan Tuhan adalah
dimensi yang tak terpisahkan dari eksistensi Tuhan. Keberadaan
alam yang unik dan teratur memberi isyarat tentang eksistensi sang
pengatur, Tuhan pencipta alam. Ketika kita memahami bahwa yang
menjadi tujuan utama (main goal) penciptaan alam semesta adalah
pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya, maka hal ini menuntut manusia
untuk mampu menegakkan kehendak Allah dan menerapkan semua
ketetapan-ketetapan-Nya. Terhadap alam, manusia harus tetap
menjaga kehendak Allah dan tetap mengawasi berbagai ketetapan-
Nya atas alam. Ibn ‘Arabī menegaskan, alam dan segala isinya,
meskipun wujudnya bermacam-macam pada dasarnya satu, yaitu
irādah (kehendak Tuhan). Sumber ini bisa menjelaskan bahwa semua
unsur alam semesta memiliki nilai dan manfaat sehingga menuntut
kita untuk berbaik kepada alam.36
b. Konsep Zuhud
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zuhud berarti tapa.
Pertapaan Zuhud berarti raqa'a ‘an syai’in watarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi ad-
Dunya , berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia. Berbicara
tentang defenisi zuhud secara terminologi berarti tidak ingin pada
sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Harun Nasution zuhud
artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa para ulama berbeda
pendapat dalam mengartikan zuhud. Ada yang mengatakan bahwa
zuhud adalah orang yang zuhud dalam masalah yang haram, karena
36
Ibid,. 521.
15
yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu
orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia
bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri.
Sebagian ada pula yang mengatakan zuhud terhadap sesuatu yang
haram merupakan suatu kewajiban. Mukti Ali memberi definisi
bahwa zuhud adalah menghindari dari berkehendak terhadap hal-hal
yang bersifat duniawi atau apa yang selain Allah. Dalam kaitan ini
Abdul Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah berpaling dari
dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah, melatih dan
mendidik jiwa, memerangi kesenangan dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi nafsu makan, dan memperbanyak
zikir. Allah SWT berfirman:
37
Muhammad Ilham, Konsep Zuhud dalam Tasawuf Hamka,Tesis, (Makasar: UIN
Makasar, 2014), 72-73
16
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. Q.S. Al-Hadid: 20.
ِ الد ْنيا لَعِب وهَل و و ِزينَةٌ وَت َفاخر بينَ ُكم وتَ َكاثُر يِف األمو ِال واألو
{الد ْ َ َْ ٌ َ ْ َْ ٌ ُ َ َ ٌْ َ ٌ َ ُّ ُ}َأمَّنَا احْلَيَاة
dijelaskan bahwa Allah SWT memandang rendah dan hina perkara-
perkara dunia, seperti mengumpulkan harta benda dan anak.38
Sedangkan dalam tafsir Al-Jalalain ayat
17
hanya sebuah konsep dan sikap mental yang menjadi pandangan
hidup, akan tetapi sebuah perwujudan dalam kehidupan yang sangat
penting untuk menekan laju angka konsumsi dan produksi yang
sifatnya berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang. Sikap zuhd
yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan menetralisir
perilaku konsumtif manusia yang berlebihan dan membawa manusia
untuk hidup dalam kesederhanaan yang mana pada gilirannya akan
memberikan jalan bagi konservasi lingkungan demi terciptanya
pelestarian alam.40 Hal ini senada dengan Abu Al Wafa’ al-Ghanimi
Al Taftazani yang menjelaskan bahwa dalam Islam, asketisisme
(zuhd) mempunyai pengertian khusus, yaitu pengendalian hawa
nafsu yang dapat diandalkan dalam menekan kerusakan alam.41 Jika
hawa nafsu dapat dikendalikan maka muncullah konsep proporsional
dalam penggunaan sumber daya alam, khususnya pertambangan. Hal
ini sejalan dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur'an, yaitu:
1. Larangan berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. Q.S. Al-A’raf: 31.
18
Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman)
kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di
dunia maupun di akhirat dan Sesungguhnya kita kembali kepada
Allah dan Sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas,
mereka Itulah penghuni neraka. Q.S. Ghafir: 43.
E. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pertambangan
tanpa izin (illegal mining) adalah Pertambangan Tanpa Izin (Illegal Mining)
adalah urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi baik berupa
benda padat, cair, maupun gas yang dilakukan dengan tidak tidak memiliki
izin dari pemerintah, tidak memiliki tempat yang khusus serta tidak
memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. Dan memiliki dampak yang
cukup serius bagi kerusakan lingkungan diantaranya adanya penggusuran
lahan pertanian, makam, dan sumber air di daerah pertambangan, terjadinya
pencemaran lingkungan oleh bahan beracun dan berbahaya, rusaknya sumber
air, tanah, dan keanekaragaman hayati, dan tidak jarang kegiatan ini
mengabaikan kesehatan, serta keselamatan pekerjanya. Dan salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut adalah dengan
menghadirkan kesadaran lingkungan (environmental consciousness) dan
menghadirkan eksistensi Tuhan dalam menjaga lingkungan. Dengan
kesadaran ini akan melahirkan sebuah konsep yaitu Ekosufisme, yang
meruapakan perpaduan antara konsep ekologi dengan konsep tasawuf.
43
Kemenag Saudi Arabia, Tafsir Al-Muyassar, 472.
19
Konsep ekologi ini awalnya dikenalkan oleh Irnst Haeckel pada tahun
1966, namun ada pendapat yang menyartakan bahwa konsep ini
diperkenalkan oleh Raiter pada tahun 1865. Terlepas dari itu semua, ekologi
dapat diartiakan sebagai hubungan timabal balik, hubungan antar organisme,
dan hubungan organisme dengan lingkungannya. Hubungan ini mempunyai
kerterikatan untuk membentuk suatu keteraturan dan keseimbangan alam.
Sedangakan konsep tasawuf diartikan sebagai upaya untuk melatih jiwa
dengan kesungguhan untuk membebaskan manusia dari pengaruh duniawi,
agar lebih dekat debngan Allah, sehingga jiwa menjadi bersih, akhlak yang
mulia serta kebahagiaan spiritual. Perpaduan dua konsep ini akan
menumbuhkan kesadaran berlingkungan dan kesadaran berketuhanan, dimana
mencintai alam, merupakan bagian dari mencintai Tuhan. Setelah kesadaran
spiritual ini terbentuk diharapkan mampu bertransformasi menuju (ecological
counsisness) atau gerakan nyata.
Salah satu contoh konsep ekosufisme adalah Wahdatul Wujud (kesatuan)
yang menganggap Alam adalah tempat penampakan diri Tuhan dan manusia
sempurna adalah tempat penampakan diri Tuhan yang paling sempurna
sehingga, alam dengan keanekaragamannya tidak lain sebagai manifestasi
dari wujud yang satu. Selain wahdatul wujud konsep ekosufisme lainnya
yaitu Zuhd dimana dalam konsep ini menyadarkan manusia untuk bersikap
arif terhadap lingkungan dan tidak serakah dalam hal duniawi, khususnya
dalam eksploitasi barang tambang.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. 2005. Fiqih Lingkungan (Panduan Spiritual Hidup
Berwawasan Lingkungan). Yogyakarta: Unit Penerbit Dan Percetakan
Akademi Managemen Perusahaan YKPN.
Al-Alusi. Tafsir Ruhul Ma’any Jus 2. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Alusy, Tafsir Ruhul Al-Ma’any juz 8. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Mahally, Jalaluddin, dkk. Tafsir Al-Jalalain juz 3. Al-Maktabah Asy-
Syamilah.
20
As-Suyuthy, Jalaluddin, Abi, Abdi, Ar-Rahman. 2002. Lubabu An-Nuqul Fi
Asbabi An-Nuzul. Lebanon: Muassisatu Al-Kutub Ats-Tsaqafiyyah.
Assya’bani, Ridhatullah, dkk. “Pandangan Ulama Balangan Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam Batubara Di Balangan Dalam
Perspektif Eko-Sufisme”.
Assya’bani, Ridhatullah, dkk. “Pandangan Ulama Balangan Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam Batubara Di Balangan Dalam
Perspektif Eko-Sufisme”.
F.S, Kustiana, Ayu, Dkk. “Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sekitar
Pertambangan Nikel Di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali”.
Jurnal Ekonomi (JE) Vol . 1(1) (2016).
Febriani, Nur, Arfiyah. “Ekosufisme Berwawasan Gender Dalam Al-Qur’an”.
Musãwa Vol. 16. No. 1. (2017).
Herman, Danny Z. “Pertambangan Tanpa izin Dan Kemungkinan Alih Status
Menjadi Pertambangan Skala Kecil”.
Hidayat, Taupik. 2018. Analisis Perbandingan Antara Fatwa Lembaga Bahtsul
Masail Nahdhotul Ulama Tentang Eksploitasi Alam Dengan UU NO 4
Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batu Bara. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Ilham, Muhammad. 2014. Konsep Zuhud dalam Tasawuf Hamka, Tesis. Makasar:
UIN Makasar.
Ilham, Muhammad. 2014. Konsep Zuhud dalam Tasawuf Hamka. Makasar: UIN
Makasar.
Imamah, Fardan, Mahmudatul. “Menghadapi Kapitalisme Pendekatan Eco-
Sufismdalam Gerakan Environmentalisme Islam Indonesia”.
Kontemplasi. Volume 05 Nomor 01. (2017).
Katsir, Ismail bin. Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim Jus 8. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Kemenag Arab Saudi. 2013. At-Tafsirul Al- Muyassar. Saudi Arabia: Majma Al-
Mulk Fahd Li Thoba’ati Al-Mushaf Asy- Syarif.
21
Laila, Nur. “Ekosufisme Majelis Zikir Kraton Habib Muhamad Dardanylla
Shahab Pekalongan”. Jurnal Religia : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman. Vol.
21 No. 1 (2018).
Munfarida, Ida. 2017. Nilai – Nilai Tasawuf Dan Relevansinya Bagi
Pengembangan Etika Lingkungan Hidup. Lampung: Universitas Islam
Negeri Raden Intan.
Munji, Ahmad. “Tauhid Dan Etika Lingkungan: Telaah atas Pemikiran Ibn
‘Arabī,” Teologia. Volume 25. Nomor 2. (2014).
Nandiwardhana, Chandra. Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin Khususnya
Batu Mangan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surabaya Putusan No
285/Pid.B/2012/PN. Sby) Skripsi. Surabaya: Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran”. (2013).
Putra, Mido. “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi Dalam
Pengendalian Kerusakan Lingkungan”.
Putra, Widya, Mahendra. 2010. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
Mengenai Izin Usaha Pertambangan Dalam Rangka Mewujudkan
Pembangunan Nasional Yang Berkelanjutan. Surakarta,UIN Sebelas
Maret.
Quthb, Sayyud. At-Tafsir Fi Dzilali Al-Qur'an Jus 1, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Redi, Ahmad. “ Dilema Penegakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
Tanpa Izin pada Pertambangan Skala Kecil (Dilemma of Law
Enforcement in Small Scale Iilegal Mining)”. Jurnal Rechtsvinding:
Media Pembinaan Hukum Nasional Volume 5. Nomor 3. (2016).
Sari, Yulya. 2017. Konsep Wahdat Al-Wujud Dalam Pemikiran Hamzah Al-
Fansuri, Skripsi. Lampung: UIN Raden Intan.
Subiman, Nina L, dkk. “Tambang Untuk Kesejahteraan Rakyat: Konflik Dan
Usaha Penyelesaiannya”. Emil Salim Isi Esti. Indd. (2010).
Suhendra, Ahmad. “Menelisik Ekologis Dalam Al-Qur’an”. ESENSIA Vol. XIV
No. 1. (2013).
Sujatmiko, Bambang. “Pertambangan Emas Tanpa Izin Di Daerah Aliran Sungai
(Das) Arut Kecamatan Arut Utara Ditinjau Dari Undang-Undang
22
Nomor 4 Tahun 2009”. Socioscienta: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Volume 4
nomor 1. (2012).
Yusuf, Ibnu, Adam. 2017. Krisis Lingkungan Di Indonesia (Sebuah Kajian
Ecosophy dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr), Skripsi. Surabaya:
UIN Sunan Ampel.
23