Anda di halaman 1dari 40

l o r i o u s

Ya n g U t a m a Ya n g M u l i a

theG
F i r st

PA M E R AN T U N G GA L 6-11 Desember 2022


KE K UATAN G OR E SA N N N A r t S p a ce
KA RYA S KETSA Kurator: Aa Nurjaman
Pembukaan Oleh Bupati Karanganyar
JUWANTO Bp. Drs. H. Juliyatmono, MM
Isi Booklet

Sambutan Pemilik Galeri NN Art Space ............ 1

Riwayat Singkat Juwanto ..................................... 2

“Yang Utama Yang Mulia - Glorous First” ........ 3-6


Pengantar Kuratorial Oleh Aa Nurjaman

Karya-karya __1 ..................................................... 7-13

Testimoni “Kata Mereka” __ 1 ............................. 14

Karya-karya __2 ..................................................... 15-16

“Sketsa Merdeka Juwanto” .................................. 17-20


Catatan Tulisan Zamrud Setya Negara

Karya-karya __3 ..................................................... 21-22

Testimoni “Kata Mereka” __ 2 ............................. 23

Karya-karya __4 ..................................................... 24-35

Testimoni “Kata Mereka” __ 3 ............................. 36

Foto dokumentasi OTS ......................................... 37

Ucap Terima Kasih ................................................ 38


Sambutan Galeri NN Art Space

Oleh: Nanang Yulianto


Pemilik NN Art Space

Salam Budaya!

NN artspace sebagai salah satu ruang alternatif untuk pameran yang berada di Jaten Karanganyar, Solo, pada tahun 2022 ini
kembali menggelar pameran. Pameran kali ini menyajikan karya-karya sketsa karya Mas Juwanto, seorang sketser Solo yang
pernah menempuh studi di Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS. Mas Juwanto sampai saat ini masih intens berkarya sketsa dengan
berbagai media. Karya-karya sketsa yang dipamerkan merupakan sketsa yang tidak ingin berthele-thele atau menyampaikan
banyak hal secara rinci dan detail tentang objek maupun realitas. Bila diibaratkan orang berbicara, karya-karya sketsa Mas
Juwanto bicaranya tegas tentang hal-hal yang substantif, penting, inti, pokok, tidak membicarakan hal-hal yang sifatnya sebagai
pelengkap. Garis-garis yang dihadirkan efektif, disampaikan melalui kekuatan spontanitas yang kuat. Berbagai garis ekspresif
seakan-akan bergerak dan mengalir secara spontan dari jari-jari tangan yang dikendalikan oleh intuisinya. Intuisi menjadi
semacam gas sekaligus rem kalau di kendaraan, kapan ia memanjangkan dan menekan garis secara kuat, kapan ia harus
mengaburkan garis dan menghentikan tarikan garisnya. Gas dan rem intuisinya berjalan seimbang, sehingga sketsa-sketsa yang
dihasilkan garis dan ruang yang tercipta, terkontrol dan terkendalikan secara baik.

Pertemuan berbagai garis dalam bidang kertas membentuk ruang-ruang ilusif yang mengajak memori kita untuk mengingat
tentang sesuatu, yaitu objek-objek keseharian yang kita akrabi bersama. Mas Juwanto melalui karya sketsanya ingin
menunjukkan kepada kita bagaimana ia menghargai dan memaknai lingkungan dimana ia menjalani hidup dan kehidupan itu
sendiri. Objek maupun realitas yang biasa saja menjadi istimewa, memiliki bobot estetis, saat hadir dalam karya-karya sketsanya.
Berbagai objek dan suasana dihadirkan dalam citra hening, tenang dan damai, yang digapai melalui pertemuan garis-garis sketsa
hitam pekat dengan isian-isian ruang menggunakan blok-blok tinta yang encer sehingga terlihat abu-abu, serta warna putih
kertas. Pertemuan ketiganya menjadikan tiap-tiap karya tercipta suasana yang mendorong kita untuk melakukan kontemplasi
saat menikmatinya. Keberadaan objek pepohonan, tugu, gapura, keraton, benteng, tarian, sudut rumah kampung, suasana
perkampungan, kelentheng, kereta api, figur manusia, dll, pada karya sketsa Juwanto mengajak kepada kita untuk merenungi
lebih jauh tentang keberadaan dan kebermaknaan objek-objek tersebut dalam perjalanan hidup manusia. Selamat berpameran
Mas Juwanto, semoga karya-karya yang disajikan memberikan pencerahan dan kebermaknaan bagi apresian dan kehidupan ini.

Solo, 28 November 2022

1
Juwanto
Lahir di Klaten 31 Januari 1970, belajar melukis pada Mas
Agih & Mas Kunara Satya Wardhana beberapa bulan semasa
SMA di Delanggu. Pernah Kuliah di FKIP UNS Jurusan Seni
Rupa dengan bimbingan Bp. Edy Tri Sulistyo dan
mendapatkan ilmu-ilmu sketsa.

Sekitar tahun 2018 Bergabung dengan Indonesia Skether,


Komunitas para Penggiat SKetsa Indonesia dalam mengasah
keahlian sketsa dan saing berbagi pengalaman dalam
bersketsa
Menjelang tahun 2019 bergabung dengan grup whatsapp
Heritage & Sketch suatu komunitas yang tertarik melakukan
sketsa dengan obyek-obyek yang berkaitan dengan sejarah
dan warisan budaya (Heritage). Pada masa ini terpace lagi
dalam mengolah keahlian dalam bersketsa sangat terlihat dan
memiliki kepercayaan diri yang lebih baik baik karena
keberadaan teman-teman komunitas yang sangat mendukung
dan menyemangati. Pada saat yang sama bergabung dengan
Komunitas Perupa Bunga Rumput di SOlo dan sekitarnya yang
aktif melakukan sketsa OTS (on the spot)

Di bawah ini adalah peralatan yang paling sering dipakai


dalam bersketsa.

Ini peralatan sederhana saya untuk bersketsa. Spidol, pen


kodok,charcoal, tinta Cina, botol fresh terisi tinta Cina, wadal
alteco kosong terisi tinta Cina. Tempat air untuk celup2,
ngatur kepekatan tinta Cina Kadang charcoal saya celupkan
ke tinta Cina dan cairan untuk finishing furniture untuk
memunculkan efek tertentu.. Fresh care; alat semisal kuas
yang saya pakai adalah sepotong kain dan kuas buatan dari
pelepah pohon palem yg dirumbuk ujungnya..

2
Pengantar Kuratorial

Yang Utama Yang Mulia – The Glorious First


Oleh: Aa Nurjaman

Pada tanggal 25 Oktober saya mengunjungi rumah Kang Juwanto di Solo untuk menyeleksi karya-karyanya yang akan
dipamerkan di NN Art Space, Karanganyar, Jawa Tengah. Karya-karya Juwanto bermediakan tinta hitam di atas kertas sehingga
berwarna hitam-putih, meskipun ada beberapa karya yang diwarnai dengan pewarna kayu. Karya-karyanya diwujudkan dengan
teknik sketsa. Sketsa-sketsa itu dihasilkan dari kegemarannya melancong ke berbagai tempat terutama bangunan-bangunan
bersejarah (heritage) untuk menyeketnya yang lazim disebut on the spot. Kegemarannya itu ternyata sudah lama dilakukannya.
Saya menemukan salah satu karyanya berangka tahun 1991. Juwanto bercerita seputar pengalamannya melakukan kegiatan on
the spot yang mendasari kelahiran karya-karya sketsanya. Terkadang situasi tenang sehingga ia bisa menyelesaikan dua atau tiga
buah sketsa. Tetapi tidak jarang dihadapkan pada situasi dan kondisi yang demikian ekstrim sehingga hanya mampu
menghasilkan satu buah karya sketsa.

Kekuatan Karya Sketsa

Karya sketsa menurut saya memiliki kekuatan tersendiri karena merupakan ekspresi ide-ide pertama. Suatu karya seniman yang
bisa dibilang asli adalah karya sketsa. Sedangkan karya selanjutnya seperti lukisan, gambar, grafis murni, patung dan lain
sebagainya adalah karya-karya yang sudah mendapat pertimbangan di luar kepentingan gagasan senimannya. Asal-mula sketsa
ditemukan beberapa ahli dari karya-karya Leonardo Davinci yang hidup di masa Renaisance. Karya-karya sketsa itu terdapat
dalam riwayat proses penelitian Leonardo setebal lima ribu halaman, yang memperlihatkan proses pembedahan tubuh manusia
untuk mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi tubuh manusia. Sketsa lainnya menggambarkan proses penelitian
pembuatan kapal selam, perangkat pakaian penyelam, proses pembuatan kapal terbang dan penggambaran perspektif tata kota.
Dari penelitian terhadap rancangan karya-karya Leonardo inilah, para ahli menyimpulkan bahwa Leonardo adalah orang
pertama yang menemukan teknik pembuatan sketsa, dan orang pertama pula yang menemukan pandangan perspektif.

Pada masa renaisance itulah kemudan berkembang teknik pembuatan sketsa. Karya-karya seni rupa, baik lukisan, patung,
ornamen ukiran sampai arsitektur, semuanya diawali dengan sketsa. Pada waktu kemudian, sketsa digunakan pula dalam
ilustrasi ilmu pengetahuan seperti ilmu anatomi, biologi, kedokteran, fisika, dokumentasi budaya purbakala hingga perancangan
kota dan penataan daerah jajahan negara-negara imperialis. Karya-karya sketsa kaum seniman mencapai bentuknya di masa
imperialis Eropa.

Dalam upaya menguasai berbagai ilmu pengetahuan itu terlihat prinsip yang mendasar dalam sketsa-sketsa representatif, yaitu
kemampuan menggambarkan manusia yang tidak hanya melibatkan kepekaan melihat tetapi juga melibatkan pengetahuan
pemahaman (kognitif). Pendekatan yang melibatkan kepekaan melihat dan pemahaman ini berlaku dalam membuat sketsa dan
menggambar semua objek. Apabila dalam membuat sketsa manusia diperlukan pemahaman tentang manusia, maka dalam
membuat sketsa situasi perkotaan diperlukan pemahaman ilmu prespektif. Dasar-dasar pendidikan representatif inilah yang
menjadi dasar pendidikan seni rupa akademik di seluruh dunia.

3
Sketsa masuk ke Indonesia diperkenalkan oleh para pelukis Belanda yang diundang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
membuat dokumentasi seni budaya, rancangan pembuatan jalan transportasi darat seperti jalan raya dan rail kereta api. Karena
para pembuat sketsa itu terdiri dari para pelukis, maka berkembanglah pembuatan karya-karya sketsa itu menjadi rancangan
pembuatan karya seni seperti karya-karya lukisan, patung, seni ukir dan seni batik.

Salah satu pelukis yang memperkenalkan teknik pembuatan sketsa kepada calon pelukis pribumi adalah Antoine Payen ketika
mengajar teknik merancang lukisan kepada Raden Saleh Syarif Bustaman. Secara umum para pelukis Barat yang tinggal dan
berkarya di (Hindia Belanda) Indonesia ketika itu, selalu mengawali karya-karyanya dengan pembuatan sketsa. Pembuatan
sketsa menjadi media pembelajaran para pelukis Barat yang mengajar calon pelukis pribumi dari kaum priyayi. Para pelukis
kaum priyayi seperti Abdullah Surio Subroto, Raden Mas Pirngadi dan lain-lain mendapatkan pendidikan sketsa dari para pelukis
Barat. Pada masa pergerakan nasional, sketsa menjadi karya-karya propaganda berupa poster yang disertai grafiti-grafiti. Sketsa
kemudian diyakini bukan sebagai gambar rancangan karya seni semacam lukisan, patung maupun arsitektur, tetapi kemudian
dianggap sebagai karya seni. Di antara karya-karya termashur seperti Raden saleh, terdapat karya-karya sketsanya yang dianggap
sebagai karya seni yang sudah selesai. Secara umum pelukis-pelukis maestro seperti Affandi,Basuki Abdullah, Hendra Gunawan,
Henk Ngantung, Sudjojono banyak menyimpan karya-karya sketsa yang mereka anggap sebagai karya seni.

Karya-karya Juwanto yang terlahir dari situasi di lapangan umumnya berupa sketsa yang melahirkan garis-garis yang tegas dan
ekspresif, yang dalam pandangan saya, justru lebih hidup karena situasinya lebih murni. Salah satu pandangan saya mengenai
estetika Juwanto, ia mampu menghentikan akspresinya disaat yang tepat, yaitu ketika perasaannya sudah cukup dalam suatu
pandangan terhadap objeknya. Karena alasan inilah maka karya-karya yang terlahir dari proses ‘on the spot’ yang digelar dalam
bentuk pameran tunggal di NN Art Space, pada tanggal 4 – 9 Desember 2022 memancarkan estetika tersendiri yang layak
dianalisis melalui suatu sudut pandang pendekatan fenomenologi.

Landasan Analisis Fenomenologi

Analisis yang saya gunakan dalam mengevaluasi karya-karya sketsa Juwanto adalah teori Fenomenologi Edmund Husserl.
Menurut Huserl bahwa kenyataan pertama dan paling mendasar seperti yang dijalani Juwanto adalah ‘kehidupan yang dialami,
dirasakan dan diimajinasikan’ pada tingkat pra-reflektif dan pra-teoretis. Dalam fenomenologi,pengalaman berekspresi melukis
langsung yang dilakukan Juwanto disebut pengalaman primer sebagai lebenswelt atau live-world, dunia yang langsung dialami.
Suatu dunia estetika yang konkret sebelum direfleksi, dunia yang bentuknya tak jelas (amorf), dan sangat kompleks. Dunia yang
mengatasi kategori Subjek-Objek (Husserl, 1960: 136-37).

Kekuatan Gerak Imajinasi

Juwanto mengungkapkan alasan mengenai kegemaran melukis bangunan-bangunan heritage seperti kraton, pasar gede Solo,
bangunan perjuangan yang melegenda, sudut rumah dan lain sebagainya yang menggugah perasaannya. Sketsa
bangunan-bangunan itu mungkin di masa depan akan sangat berharga, karena belum tentu bangunan-bangunan itu berdiri
selamanya! Bangunan-bangunan hebat itu lama-kelamaan berganti bangunan baru. Jadi melukis on the spot suatu jalan terbaik
untuk mengabadikan ruh bangunan lama itu.

Bangunan kuno yang menjadi objek karya-karya sketsa Juwanto adalah bangunan-bangunan yang di dalamnya tertanam
beragam misteri kehidupan yang pernah berlangsung dan berpengaruh terhadap masyarakat setempat pada zamannya. Di
dalamnya tentu saja terdapat nilai kesejarahan yang menyimpan cerita-cerita yang melegenda, seperti: “Klenteng Tua” (2021),
“Lokomotif Tua” (2022), “Beteng Vastenburg Solo” (2022), “Gedung Joeang 45 Solo” (2021), “Sam Poo Kong Semarang” (2022).

4
Ia tertarik untuk mengeksplorasi kekayaan yang pernah ada di dalamnya yang terungkap melalui bentuk gedung yang termakan
usia untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Gedung-gedung heritage itu dalam keadaan kosong, tetapi dalam
sketsa-sketsanya terdapat goresan-goresan hitam tebal yang sesuai dengan apa yang dirasakan Juwanto melalui imajinasi
kreatifnya mengenai orang-orang yang mengisi tempat-tempat itu di masa lalu dan juga masa kini. “Sudut Kota Lama Semarang
# 2” (2021), “Kraton Kasunanan Solo # 2” (2022), “Kraton Kasunanan Solo # 1” (2022). Di sinilah peran Imajinasi Juwanto turut
berperan. Imajinasi adalah segala upaya untuk memberi bentuk batiniah pada hidup dan semesta, berbagai cara membiakkan
aspirasi batin lewat penciptaan benda dan peristiwa. Dan dunia yang diciptakannya itu diubahnya setiap kali, karena perubahan
situasi dan kondisi. Penggubahan realitas semacam inilah yang terlihat dalam karya-karya sketsanya.

Ia tertarik untuk mengeksplorasi kekayaan yang pernah


ada di dalamnya yang terungkap melalui bentuk gedung
yang termakan usia untuk dikomunikasikan kepada orang
lain. Gedung-gedung heritage itu dalam keadaan kosong,
tetapi dalam sketsa-sketsanya terdapat goresan-goresan
hitam tebal yang sesuai dengan apa yang dirasakan
Juwanto melalui imajinasi kreatifnya mengenai
orang-orang yang mengisi tempat-tempat itu di masa lalu
dan juga masa kini. “Sudut Kota Lama Semarang # 2” (2021),
“Kraton Kasunanan Solo # 2” (2022), “Kraton Kasunanan
Solo # 1” (2022). Di sinilah peran Imajinasi Juwanto turut
berperan. Imajinasi adalah segala upaya untuk memberi
bentuk batiniah pada hidup dan semesta, berbagai cara
membiakkan aspirasi batin lewat penciptaan benda dan
peristiwa. Dan dunia yang diciptakannya itu diubahnya
setiap kali, karena perubahan situasi dan kondisi. Geliat Alun2 Utara,Solo
Penggubahan realitas semacam inilah yang terlihat dalam 23,5 x 37 cm, tinta Cina mix di atas kertas, th.2021
karya-karya sketsanya.

Demikian pula ketika Juwanto mengungkapkan gedung-gedung lama yang beralih fungsi di masa kini seperti: “Sudut Galeri
Nasional Indonesia # 2” (2022), “Plengkung Gading Solo” (2021), “Pecinan Sekitar Pasar Gede” (2022), “Pasar Gede Solo # 2” (2022),
“Pasar Gede Solo, Malam Hari” (2022), “Rumah Kauman Solo” (2022), “Geliat Alun-alun Utara Solo” (2021), “Geliat Regol di
Baluwarti Solo” (2021), “BI 1946 Solo (2020), “Tugu Jogjakarta” (2021), “Rumah Teh Pancoran” (2021).

Penggambaran kekosongan yang kerap diisinya dengan goresan-goresan ekspresif adalah ungkapan kepekaannya terhadap
misteri dan tendensi kreatif untuk membentuk kehidupan agar menjadi lebih manusiawi, yang pada akhirnya menghasilkan
rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Tak mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller
menyebut tingkat tertinggi peradaban sebagai Aestethetic State, suatu situasi hidup yang dikelola olah rasa ‘keindahan terdalam’.
Di sana , katanya, peradaban adalah situasi di mana manusia sebagai Ruh semakin mampu memandang lebih dalam aspek
ke-Ruhaniannya (Schiller, 1997/123-136).

Temuan Esensial

Seni akhirnya menyoal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam semesta, bentuk perilaku
manusia, yang menggubahnya menjadi bentuk kehidupan kreatif yang menggerakkannya. Semua itu dihasilkan melalui

5
imajinasi yang melahirkan ilmu dan teknologi, segala sistem kepercayaan
dan sistem-sistem gagasan filsafati yang menggerakkan seluruh bentuk
kebudayaan dan peradaban. Maka dalam arti luas, seni adalah berbagai
siasat untuk memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan tanpa
batas atas pengalaman kesemestaan dan kemanusiaan.

Pengalaman melihat bangunan-bangunan kuno atau dunia (lebenswelt)


mengutarakan bahwa bangunan-bangunan itu pada awalnya berupa karya
seni juga, yaitu seni arsitekstur. Tetapi ilmu pengetahuan
memposisikannya dalam bentuk yang lain, misalnya berupa benda
fungsional, apakah sebagai benteng pertahanan, tempat peribadatan,
rumah tradisional, kota lama yang sudah jadi kota wisata, dan lain
sebagainya. Di sini terdapat perbandingan pengalaman antara seniman
dengan orang pada umumnya sehingga pengalaman itu menjadi tidak jelas
bentuknya (amorf). Orang umum melihat bangunan kuno berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang berpijak pada nalar, sehingga secara umum
orang memaknai bentuk-bentuk bangunan (subjek-objek) dengan
mereduksi, menyederhanakan, menciutkan bahkan menyingkatnya untuk
kepentingan pragmatis alias kepentingan untuk menggunakan dan
memanfaatkannya. Dan cilakanya, ketika gedung itu sudah tidak bisa
difungsikan, biasanya dibongkar diganti dengan gedung baru. Seniman
memandang alam secara berbeda. Ia tidak mengeksploitasi dan
memanipulasinya untuk kepentingan apapun, melainkan membantu
menampilkan keindahan hakiki, the splendor. Di dalam seni, logika yang
digunakan adalah logika perasaan. Logika perasaan adalah permainan efek
asosiasi bentuk dan metafora tentang esensi sesuatu.
Kekuatan seni yang ditorehkan Juwanto melalui karya-karya sketsa
hitam-putihnya adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang
sebenarnya tak tampak dan tak terlukiskan, memperkatakan yang tak
terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan
inti pengalaman batin yang tak terungkapkan.

Karya-karya sketsa Juwanto adalah penggambaran imajinasi yang


disadarinya karena hidup memang sebuah proses ‘menjadi’, proses
pertumbuhan ruh ke tingkat lebih halus dan lebih tinggi.

Pustaka
E. Husserl, (David Cairns-pent.), Cartesian Meditations, (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1960), hal. 136-37.
Schiller, Friedrich. “On the Aesthetic Education of Man” dalam David E.
Cooper (ed.). Aesthetic: The Classic Readings. Oxford: Blackwell Publishers
Ltd. 1997/123-136.

6
Pasar Gede__1
33 x 21,7 cm, snowman di atas kertas,
th.2020

Sudut Istana Tampak Siring


27 x 19 cm, tinta Cina di atas kertas
th.1991

Rumah Kampung di Magetan


33 x 21,7 cm, tinta Cina di atas kertas
th 2019

7
BNI 1946 ,Solo
25 x 20 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2020

Tugu Jogjakarta,
36 x 23 cm, charcoal mix. di atas kertas
th.2021

8
Sam Poo Kong ,Semarang
56 x 76 cm, charcoal di atas kertas
th.2022

Pasar Gede Masa Lalu


49 x 74 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2021

9
Pesona Regol di Baluwarti, Solo
29 x 21 cm, tinta Cina di atas kertas craft
th.2021

Rumah Kampung di Sukoharjo


26 x 18 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

10
Geliat Alun-alun Utara, Solo
23,5 x 37 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

11
Legenda Pasar Triwindu
28 x 42 cm, tinta Cina mix di atas
kertas kuno
th.2021

Damai di Kampung
20 x 29,5 cm, tinta Cina mix
di atas kertas
h.2021

12
Pintu Regol Timur Klowor Art House
23 x 16 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

13
Kata Mereka
Klowor Waldiyono Edy Tri Sulistyo
Pelukis Dosen Seni Rupa FKIP UNS

Mas Juwanto, sudah aku kenal berpuluh tahun yang lampau.


Ketika itu dia menjadi mahasiswa pendidikan seni rupa FKIP
UNS Surakarta terutama ketika menempuh mata kuliah Sketsa
dan Seni Lukis. Proses kreatifnya pada periode awal masih aku
ingat dia berani tampil beda jika dibandingkan dengan
teman-teman lainnya. Kekuatan garisnya sangat kuat secara
dekoratif meliuk-liuk membentuk subject matter yang
dipilihnya antara lain bangunan atau perkampungan secara
unik. Bahkan dalam perspektif, ia berani tampil yang tidak
lazim dikerjakan oleh sketcher seorang arsitek maupun desain
interior.

Proses kreatifnya terus berlanjut hingga kini, baik secara


mandiri secara on the spot maupun bersama dengan
teman-teman sketcher lainnya misalnya bergabung dengan
sanggar Bunga Rumput Sukoharjo, ia sering eksis dalam
mengeksploitasi secara intens esensi-esensi bentuk yang
ditangkapnya misalnya bangunan kuno yang ada di kota Solo.
Medium yang sudah diantepi yakni chines ink bahkan medium
alternatif lain misalnya memadukan medium chines ink mix
dengan pewarna furnitur yang dieksekusi dengan teknik
aquarel menghasilkan warna seperti efek kopi.

Secara keseluruhan, hasilnya tidak diragukan lagi, brush strokes


kuas yang diekspresikan nampak liar dan menghasilkan
tekstur yang unik. Dari sisi kuantitas dan kualitasnya,
karya-karya sketsanya sebagian telah dipamerkan perdana ini,
namun karya lainnya telah didokumentasi di dalam buku yang
berjudul "Sketsa Karya Pemula dan Manula" disusun oleh Edy
Tri Sulistyo yang telah diterbitkan oleh Penerbit Wawasan Ilmu
2022 Anggota IKAPI (215/JTE/2021. Pameran sketsa perdana ini
tidak menutup kemungkinan untuk mengurangi surutnya
berkarya, namun hasil evaluasi akan membawa mas Juwanto
menjadi percaya diri selalu berproses untuk menemukan
jatidirinya yang hakiki. Sebagai teman berdiskusi dan
mendampingi ketika berkreasi di bangku akademi, selamat
berpameran, maju terus, perjalanan belum berhenti.

14
Pesona Alam
39 x 47 cm, charcoal di atas kertas
th. 2022

Rumah Teh Pancoran


21,7 x 33 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2021

Sudut Galnas_1
Tinta Cina mix di atas kertas, th .2022

15
Lembayung Hutan Sore
19,5 x 14 cm
Tinta Cina mix
di atas kertas
th.2022

16
Sketsa Merdeka Juwanto
Zamrud Setya Negara
(Penggiat Sketsa Indonesia dan Pamong Budaya Ahli Muda Galeri Nasional Indonesia)

“Sketsa Juwanto adalah perayaan kebahagiaan tentang objek


yang menyentuh rasa sebagai kado artistik bagi dunia...”

Sketsa kini, sketsa hari ini.

Menyimak karya-karya sketsa Juwanto, penulis memilih untuk memulai dengan mengurai tentang semarak aktivitas serta
perkembangan sketsa yang terjadi saat ini. Selanjutnya penulis menyebut dengan “Sketsa Kini”.

Sketsa Kini menjadi wacana yang sangat kompleks yang melibatkan banyak aspek, dapat dikaji, serta ditelaah dari berbagai sisi.
Memperbincangkan “Sketsa Kini” menjadi sesuatu yang menarik dan tidak berkesudahan. Menjadi gambaran di mana seni rupa
secara spesifik dalam hal ini adalah sketsa, menjadi salah satu bagian seni rupa yang semakin diminati oleh publik luas. Bahkan
dilakukan dan disemarakkan oleh pelaku (penggiat) dari berbagai latar belakang profesi yang mampu melampaui ruang
komunitas bahkan menembus batas ruang kewilayahan dengan peran pemanfaatan berbagi piranti kini. Seperti media sosial
yang setiap saat dibawa pada telepon genggam juga aplikasi lainnya yang sarat dengan jelajah komunikasinya

Tidak dapat dipungkiri, sketsa kini tidak hanya dilakukan oleh orang yang memiliki latar belakang seni rupa baik akademis
maupun non akademis. Tetapi juga dilakukan oleh berbagai macam profesi atau latar belakang pekerjaan yang berbeda. Mulai
dari dokter, pegawai, perawat, tentara, guru, buruh pabrik, dan profesi lainnya. Bahkan banyak ibu rumah tangga pun melakukan
aktivitas tersebut. Artinya apa? Bahwa Sketsa Kini menjadi milik bersama, tidak lagi menjadi hal yang sifatnya eksklusif di area
seni rupa saja sebagai penggiatnya. Dengan pola urban yang sangat kentara sebagai gejala besarnya.

Sketsa Kini menjadi gejala pergerakan yang massal yang belum secara khusus tergarap pada area akademis. Keberadaan dan
aktivitasnya diwarnai dengan munculnya komunitas-komunitas dan kecenderungan memanfaatkan berbagai media sosial
(Facebook, Instagram, dan lainnya) sebagai penunjang persebaran ataupun perluasan informasi serta eksistensi. Sepintas terlihat
jika hal tersebut menjadi inti dari Sketsa Kini bahkan sering kali menjadi perbincangan yang seru. Tapi secara prinsip tidak
demikian! Sketsa Kini tetap mengusung keahlian (skill) sebagai pokoknya dengan kemampuan teknik menggambar, proses sosial
(bermasyarakat), dokumentasi visual, serta proses interpersonal yang dialami oleh tiap pelakunya. Pergerakan Sketsa Kini
berimpitan erat dengan bergulirnya sketsa urban (Urban Sketch).

dengan munculnya perhimpunan Urban Sketchers pada 2009 lalu yang diperankan secara semarak di seluruh jelajah wilayah
sampai pada pertalian komunitas yang massal dan menjangkau berbagai negara. Dengan ciri khusus melakukan sketsa langsung
di lokasi atau ruang kejadian (on the spot) sebagai salah satu manifestonya. Manifesto lainnya adalah menceritakan lingkungan
tempat tinggal dan bepergian, menjadikan sebagai catatan tentang waktu dan tempat, memvisualkan secara jujur adegan atau
kejadian yang disaksikan, menggunakan segala jenis media dan menghargai gaya individu lainnya, saling mendukung dan
menggambar bersama, membagikan gambar kami secara daring, serta menunjukkan kepada dunia, sebuah gambar pada satu
waktu. Urban Sketch yang menggejala dan menjangkau berbagai negara memiliki peranan penting dalam perkembangan
bahkan perubahan tren sketsa di berbagai negara, juga di Indonesia. Bersifat terbuka dan lebih merujuk pada aktivitas membuat

17
sketsa secara bersama. Tumbuh kembang Urban Sketch disuburkan dengan tumbuhnya berbagai komunitas sketsa di berbagai
wilayah dan semakin berkembangnya perangkat dukung media sosial.

Komunitas sebagai wadah penguat kebersamaan dan semangat mencipta sketsa secara bersama memiliki peranan penting yang
tidak dapat terhindarkan. Bahkan dalam perkembangannya, pameran sketsa yang digelar tidak hanya mengakomodasi dan
mempresentasikan pelaku sketsa secara personal. Tetapi menghimpun berbagai komunitas. Salah satu pembuktian kompilasi
tersebut direalisasikan pada Festival Sketsa Indonesia yang bertajuk “Sketsaforia Urban” yang diselenggarakan oleh Galeri
Nasional Indonesia pada tahun 2019 lalu. Gelaran ini mengusung dan mempresentasikan berbagai komunitas sketsa di Indonesia
yang terdiri dari 12 arsip dan 616 karya sketsa beragam medium dari 122 pembuat sketsa (sketchers), lembaga, dan komunitas
penggerak sketsa terkini. Dari jumlah tersebut, 76 karya dan 76 sketchers di antaranya merupakan yang lolos seleksi aplikasi
terbuka dari 411 karya, 256 calon peserta, dari 17 provinsi di Indonesia.

Bahkan di sisi lain pergerakan tersebut, muncul pola lain sebagai respon atas terjadinya Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh
dunia pada tahun 2020. Keberadaan dan pemanfaatan media sosial dan piranti terkini mampu menghimpun penggiat-penggiat
sketsa tersebut bersatu dalam forum dan ajang kreatif untuk melakukan sketsa secara bersama dengan pola virtual sketch.
Pergerakan ini mendokumentasikan berbagai ruang perkotaan, aktivitas, dan kejadian yang dilakukannya ataupun yang ada
pada masyarakat urban yang direkam dengan pemanfaatan Google street view. Diikuti oleh para penggiat sketsa dari berbagai
negara.

Merunut berapa uraian tersebut, penulis berlanjut pada karya-karya dan keberadaan Sketsa Juwanto dalam perkembangan
Sketsa Kini. Sketsa Juwanto adalah karya-karya sketsa merdeka. Menilik sketsa Juwanto, kembali mengingatkan saya pada
sebuah moment saat tim kurasi KamiSketsa GalNas harus memilih 20 karya sketsa terpilih dari ratusan sketsa yang masuk
aplikasi seleksi dalam rangka 4 Tahun KamiSketsa GalNas (#4TahunKamiSketsaGalnas). Dari sekian banyak sketsa kami dibuat
terpukau dengan “pesona lain” yang disajikan oleh salah satu tampilan sketsa yang selanjutnya secara mutlak tidak dapat lagi
ditawar bahwa sketsa tersebut dengan keunikannya di antara ratusan karya yang diseleksi mampu memberi tawaran artistik
keluar dari tren maraknya sketsa saat ini. Sketsa tersebut adalah karya Juwanto dari Solo.

Selanjutnya komunikasi dengan penggiat sketsa kelahiran 1970-an ini pun terjalin. Beberapa kali terjadi secara selintas dalam sesi
pendek pesan pribadi via FaceBook dan WhatsApp untuk berbagi kabar dan saling menyemangati di antara kami. Secara
bersamaan kami terkumpul dalam group Heritage Sketch yang terdiri dari hampir seluruh penggiat sketsa arsitek di Indonesia.
Banyak ruang berbagi hasil karya, teknis, kabar, informasi, serta semangat-menyemangati yang terus kontinu sampai sekarang
ini. Komunitas ini menjadi salah satu penyokong atau kontributor besar bagi proses sketsanya dalam beberapa tahun terakhir.
Juwanto sebagai salah satu anggota aktif, ia seringkali berbagi foto karya yang telah dibuatnya dengan jumlah yang lumayan
banyak dalam setiap share nya. Saat orang lain berbagi satu atau dua sketsa terbarunya, ia selalu berbagi secara bertubi-tubi
dalam jumlah yang banyak. Sering kali kami berujar “betapa produktifnya” seorang Juwanto sebagai seorang penggiat sketsa
yang tampil dengan kekhasan gayanya. Tidak jarang kami membincangkan karya-karyanya dalam berbagai kesempatan.

Latar belakang dan kesehariannya yang lebih dominan menggeluti bidang furnitur sedikit banyak memberikan pengaruh
baginya dalam beberapa hal baik proses ataupun teknis sketsanya. Pengalaman sebagai Quality Control, drafter, finishing dan
repairing barang antik yang menguasai gambar mebel secara manual dan non manual menjadi bekal lebih dalam perjalanan
sketsanya.

Baginya pencapaian artistik menjadi “panglima” dan prioritas yang dicapai dalam karya-karyanya. Sketsa-sketsanya dibuat
dengan material dan media yang sangat sederhana, bisa jadi dibilang seadanya. Saat banyak penggiat sketsa melakukan

18
eksplorasi material dan media-media “mahal” justru ia memilih untuk eksplorasi berbagai media dan material yang mudah
dijangkau di sekitarnya. Mulai dari kertas misalnya sebagai media sketsanya. Ia lebih memilih apa pun kertasnya untuk
eksplorasi goresan-goresan artistik dengan berbagai efek yang muncul dalam lembarannya. Naluri kreatif dan eksplorasinya
mendorong ia harus menciptakan bahan dan alat dengan “menyulap” barang-barang yang tidak lazim menjadi mungkin untuk
digunakan pada proses membuat sketsanya.

Sungguh, keadaan dan posisinya saat ini tidak menjadi alasan dan keterbatasan. Akan tetapi sebaliknya, bagi Juwanto hal
tersebut menjadi tantangan yang harus ia taklukan dengan segala kecerdasan dan pengalaman lapangannya. Ia tidak tersentuh
“manja” nya alat dan bahan serta fasilitas penunjang lainnya. Bahkan tidak terkontaminasi oleh gejolak hiruk pikuk juga serunya
perburuan produk alat dan bahan sketsa “mahal” yang marak di pasaran. Sebagai contoh, gejolak kreatif untuk mencapai
artistiknya adalah ketika ia gunakan charcoal celup yang memakai bekas kemasan lem alteco dan bekas/wadah freshcare untuk
dijadikan alat gores pada sketsanya. Bahkan tidak jarang berbagai bahan sederhana yang ada di sekitarnya tidak luput ia jadikan
sebagai “senjata utama” dalam membuat sketsanya. Seperti memanfaatkan bekas kemasan lem, cairan pewarna furnitur yang
terkadang menjadi bagian ekspresi garisnya, juga beberapa alat yang nyata adalah hasil gejolak kreatifnya. Berbagai jalan
kreatifnya tersebut ia jadikan pilihan sebagai teman melakukan “sketsa merdeka”nya.

Sketsa Juwanto adalah garis lain yang murni sebagai menu asyik menggemaskan!

Kita dapat melihat betapa Sketsa Juwanto tidak ia dimulai dari kegelisahan akan teori dan teknis dalam prinsip sketsa seperti
perspektif, proporsi, dan komposisi. Ia lebih memilih mengikuti “jiwa liarnya” yang melihat segala sesuatu yang ada di depannya
tidak sebagai rekaman murni yang ditransfer pada media gambar. Sementara lingkungan dan komunitas
sketsa dalam kesehariannya memegang prinsip dasar sketsa dan segala keteraturannya. Heritage sketch misalnya, sebagai
komunitas yang sebagian besar berlatar belakang arsitek menjadi tempat singgah yang sangat dominan dalam komunitas
keseharian sketsanya. Ia tidak tunduk pada objek yang ada di depan matanya. Akan tetapi “kejujuran”nya menjadikan ia
melakukan intervensi dan olah artistik dalam ruang imajinasinya yang merdeka secara dominan sebelum dipindahkan pada
media gambar. Ia tidak sedang melakukan gambar bentuk, ilustrasi , ataupun sebuah proyek pemindahan objek saja. Ia
menyertakan kebahagiaan dalam proses tersebut yang dicapai. Sering kali Juwanto meniadakan perspektif dan proporsional.
Meskipun seiring waktu dan berkomunitas sketsa, terjadi transfer pengetahuan dan rekam visual menjadikan Juwanto lebih jeli
dalam melakukan pemilihan dan bidikan perspektifnya. Tapi tetap tidak menanggalkan “keliaran” sketsanya. Ia terus
menunjukkan contoh bagaimana jiwa kreatif yang terus tumbuh dan berkecamuk menjadikan segalanya mungkin bahkan
melampaui segala keterbatasan.
Pergelutan perjalanan Sketsa Juwanto tentu saja tak terhindarkan dari kebersamaan para penggiat sketsa dan karya-karyanya
yang sering kali dijumpainya, bahkan menjadikan referensi baginya. Lebih dari itu, motivasi yang terus mengalir dari para kawan
Juwanto. Seperti; LK Bing, Kieah Kiean, Iqbal Amirdha, Seto Parama Artho, Arief Setiawan, Gigih Budi Abadi, Klowor Waldiyono,
Artyan Trihandono, dan para penggiat sketsa lainnya yang bertemu dan berbagi dalam sesi pertemuan baik personal maupun
sesi aktivitas sketsa komunitas baik pada Indonesia Sketchers, Heritage Sketch, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tak jarang pula
sesi pelengkap berbagi tentang sketsa dan karya-karyanya melalui pesan pribadi dengan penulis. Jelasnya! Sketsa Juwanto adalah
bagian timbal balik dari pola sketsa urban yang terus bergulir dengan beberapa prinsip yang ia kolaborasikan untuk mencipta
karya-karya sketsa terbaiknya yang membahagiakan.

Sketsa Juwanto menjadi “pisau cerdas”. Betapa Sketsa Juwanto mengingatkan kembali pada kita bahwa urusan skill tidak mutlak
berangkat dari bakat tapi lebih pada proses “filosofi pisau”. Apa pun bahan bakunya ketika sering diasah maka akan terus makin
tajam yang dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa adanya beban menggumpal yang selalu menjadi penghalang berat untuk
memulai dan menyalurkan jiwa kreatifnya. Ia menunjukkan jika sederetan keterbatasan, latar belakang, dan lingkungan yang

19
membelenggu kemerdekaan kreatifnya terlampaui tekad dan olah cerdas kreatifnya.

Eksplorasi Sketsa Juwanto tentu saja tidak terhenti pada penyajian karyanya dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “The
Glorious First”. Tumbuh kembang konsistensi dan kreativitasnya menjadi bagian perjalanannya untuk terus melaju sebagai
penggiat sketsa Indonesia yang mengisi ragam perkembangan Sketsa Kini.

Selamat dan apresiasi yang tinggi untuk Juwanto dalam merayakan kebahagiaan melalui sajian “The Glorious First”!

*Tulisan ini dibuat sebagai hadiah dan semangat Sketsa Kini untuk Sketsa Juwanto

Kali Besar, Jakarta


34 x 47 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2021

20
Rumah tua di ujung kampung
21 x 29.5 cm, snowman di atas
kertas payung
th.2021

Sam Poo Kong 2, Semarang


40 x 55 cm, snowman di atas kertas
th.2022

21
Suasana jalan alun-alun utara, Solo
22 x 32 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

Potret Rumah Kauman, Solo


39 x 39 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2022

22
Kata Mereka
Arief Setiawan Agus M P Seto Parama
Desainer Interior & Penggiat Sketsa Dosen Arsitektur, Pelukis Sketsa Arsitek, Pelukis & Penggiat Sketsa
& Pelukis Cat Air
Sebagai praktisi yang selalu membuat
sketsa sebagai bagian dari proses
penciptaan sebuah produk, menikmati
sketsa mas Juwanto adalah sebuah
penyegaran. Sketsa mas Ju begitu spontan
dan bebas, bebas dari kaidah proporsi dan
perspektif obyek yang beliau gambar. Garis
liar bergerak kemana–mana seperti
menari, obyek yang distorsi, sudut
pemgambilan obyek yang menghasilkan Hani Santana
komposisi yang menarik dan terkadang Pelukis
tak terbayangkan.

Sketsa – sketsa tersebut menurut saya


sudah bukan lagi bagian dari proses
penciptaan karya, tapi layak berdiri sendiri
sebagai karya jadi yang siap diapresiasi.
Menariknya, sebagian sketsa dibuat
dengan tinta china dicampur dengan Artyan Trihandono
cairan bahan finishing kayu dan cara Arsitek, Pelukis & Penggiat Sketsa
menggambarnya menggunakan botol
plastik bekas lem sebagai wadah yang
berujung pipa kecil. Membuat sketsa
dengan alat ini menghasilkan garis – garis
sketsa tebal- tipis, pekat-transparan yang
variatif tak terduga dan membuatnya lebih
berdimensi dengan tanpa menambah
warna dengan media lain, ini bisa dilihat
contohnya di sketsa yang berjudul “ Kali
Besar Jakarta”, dan beberapa sketsa lain.
Menurut saya, karya – karya sketsa mas Ju
ini sangat berkarakter dan cukup orisinal
dengan tekniknya.

23
Keraton Kasunanan Solo_2
31 x 46 cm, pensil cat air di atas kertas
th.2022

29
Taman Belakang rumahku Plengkung Gading, Solo
32 x 23 cm, tinta Cina mix di atas kertas 29,5 x 21cm, snowman di atas kertas payung
th 2020 th.2021

30
Sudut Galnas _2
16,5 x 21 cm, charcoal mix di atas kertas
th.2022

Rumah Kampung, Gunung Kidul


26 x 35 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2022

31
Damainya Pasar Rakyat
20 x 31 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

35
Adi Surya Triwibowo
Praktisi Desain Interior, Penggiat Profesi & Penikmat Sketsa
Kata Mereka
Co-Founder Palakali Creative Art Space

Bermula dari kekaguman saya terhadap karya “sketsa” mas Juwanto yang
dikirim beberapa kali di Group WA yang baru saja pada waktu itu saya
ikuti, kemudian saya pingin mengenalnya lebih dekat secara pribadi,
ketika itu masih dalam kondisi Pandemi dan mas Juwanto sedang
berpameran lukisan bersama dengan para Perupa Solo dan sekitarnya di
Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta.

Sengaja kami sekeluarga bertandang ke Solo untuk menemuinya dan


semenjak itulah kami menjalin hubungan yang baik, sampai beberapa saat
yang lalu di Pameran Tunggal Sketsa saya beliaunya hadir di awal waktu.

Beberapa kali merencanakan untuk bersketsa bareng belum bisa


terlaksana, padahal sangat ingin melihat mas Juwanto berekspresi dengan
tinta dan media media sketsanya secara langsung, bahkan kemudian ingin
berpameran bersama, walaupun belum tentu beliau mau menyandingkan
karyanya dengan punyaku.

Mendengarkan cerita mas Ju ketika proses berkarya dengan media apa


adanya yang ditemukan di sekitarnya dan melihat karya karya yang
dihasilkan , saya sebagai sebagai orang awam , yang tidak lagi
mempertentangkan definisi dari kata ‘sketsa’ ,sebagai bagian dari
berproses untuk karya selanjutnya atau kemudian berkembang menjadi
Seorang Penari sedang Beraksi
karya jadi dan seterusnya dan seterusnya…
37 x 29.5 cm, charcoal di atas kertas, th.2021

Tetapi saya melihat karya mas Juwanto sebagai sebuah karya seni
independent yang mengandung nilai estetis, kedalaman makna dan
berhasil mempunyai goresan yang khas, yang sangat indah untuk Gigih Budi Abadi
dinikmati, seolah karya tersebut bercerita kepada kami penikmat Sketcher
karyanya. Mas Juwanto sudah tidak perlu lagi melakukan pencarian
terhadap kekhasan goresannya tetapi produktifitas karya dan eksistensi Kuas, pena, tinta, pensil, lidi dan batang
kehadirannya di masyarakat penikmat karya seni itulah yang pada charcoal di tangan mas Ju jadi menari-nari
akhirnya akan mendapatkan kegembiraan ketika karya karya itu beralih seperti penari yang bebas melenggangkan
ke tempat lain dan diapresiasi , dikoleksi oleh para penikmat karya seni tangan kaki dan selendang yang melilitnya,
rupa, untuk menghiasi dinding dinding ruang interior , baik area personal, indah gemulai, nampak dari hasil goresan mas
area publik atau area komersial. Ju, unik, dan jarang menemukan gaya yang
seperti ini.... Menunggu kesempatan karyamu
…dengan kesederhanaan , keramahan dan goresan tangan yang Ngangeni tarian goresan mas Ju di dinding yang besar di
itu… Karya karya njenengan tetap menjadi karya idolaku mas JU… sebuah istana.... Terus berkarya mas, biarkan
jarimu menari dengan tinta. Katakan dengan
Ndherek Bingah, Selamat Berpameran dan Berkah tinta!

36
Pasar Gede Solo Malam Hari
42 x 30 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2020

24
Malam hari sekitaran
Gladag Solo
42 x 29,5 cm, tinta Cina
di atas kertas
th.2020
Gedung Joeang '45 ,Solo
38 x 26 cm, charcoal di atas kertas
th.2021

Eksotik atap Rumah Pecinan_1


29 x 41 cm, charcoal mix di atas kertas
th.2022

25
Beteng Vastenburg
40 x 55 cm, charcoal mix di atas kertas
th. 2022

No.27. Keraton Kasunanan Solo


39 x 51 cm, charcoal mix di atas kertas
th 2022

26
Eksotik Atap rumah Pecinan_2
42 x 29 cm, charcoal mix di atas kertas
th.2022

Rumah di Pantai Sundak


29,5 x 21 cm, snowman di atas kertas payung
th.2021

27
Loko tua Ngopi sik, biar "greng".
37 x 29,5 cm, charcoal di atas kertas 36 x 26 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2022 th.2021

32
Kelenteng tua
34 x 24 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

Eksotik wuwungan rumah Jawa


43 x 33 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2021

33
Sudut Kota Lama Semarang _2
31 x 51 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

34
Pecinan sekitar Pasar Gede, Solo
33 x 46 cm, charcoal mix di atas kertas
th. 2022

Sudut Kota Lama Semarang _1


33 x 43 cm, tinta Cina di atas kertas
th.2021
Depan rumahku
37 x 26 cm, tinta Cina mix di atas kertas
th.2021

28
Menggambar / Sketsa OTS (on the spot)

37
Ucap Terima Kasih

Kami sampaikan kepada:

Bp. Drs. Juliyatmono, M.M. - Bupati Karanganyar


Dr. Nanang Yulianto, M. Des - NN Art Space
Aa Nurjaman - Kurator
Zamrud Setya Negara
Gigih Wiyono
Klowor Waldiyono
Nanang Widjaya
Hani Santana
Dr. Edy Tri Sulistyo, M.Pd
Arief Setiawan
Seto Parama Artho
Artyan Trihandono
Agus MP
Gigih Budi Abadi
Istri tercinta & Keluarga
Ershad
Defi Indra Permana
Ikhwan
Abdul Aziz
Suroto
Giyatmo
Barkas Aretha
Komunitas Heritage Sketch
Dll semua pihak yang telah mendukung
yang tidak disebutkan satupersatu

38

Anda mungkin juga menyukai