Anda di halaman 1dari 27

Belajar dari Jepang: Cerita

JEO - Insight

Fujifilm Keluar dari Krisis dengan


Inovasi Tanpa Henti...
JEO - Insight

Jumat, 19 Mei 2023 | 16:10 WIB

APA yang membuat sebuah perusahaan bertahan dan tumbuh menjadi perusahaan terkemuka?
Inovasi terus-menerus sesuai perubahan zaman, menghadirkan makna untuk setiap capaian, dan
memberikan kebaikan bagi masyarakat dunia adalah tiga pijakan. Selama 88 tahun, Fujifilm berpijak
pada tiga hal ini dan terus melangkah ke depan.

Dalam perjalanannya, Fujifilm memperkenalkan beragam produk, mulai dari photographic product,
kosmetik, farmasi, hingga alat kesehatan. Produk dikembangkan sesuai filosofi perusahaan asal
Negeri Sakura itu:  berkontribusi pada kebudayaan, sains, teknologi dan industri, serta kesehatan.

Yuk, mengenal Fujifilm lebih dekat.

Sejarah Fujifilm
Adaptasi dengan Teknologi Digital serta Diversifikasi Produk
Budaya Perusahaan: Keterbukaan, Keadilan, dan Kejelasan
Kontribusi pada Masyarakat dan Lingkungan
Sejarah Fujifilm
JEO - Insight

Fujifilm didirikan atas rencana pemerintah Jepang membangun industri photographic film domestik
pada Januari 1934. Nama yang dipilih Fuji Photo Film Co Ltd.

Sebulan berselang, Fujifilm mendirikan pabrik pertama di Ashigara, sekitar 80-kilometer dari Tokyo.
Pabrik ini memproduksi rol film, kertas foto, dry plate, dan material untuk keperluan fotografi.

Selepas Perang Dunia II, Fujifilm melakukan diversifikasi produk. Penetrasi di pasar alat kesehatan
dengan memproduksi alat rontgen dilakukan. Jangkauan produk ke lini cetak, pencitraan elektronik,
dan material magnetis diluaskan.

Perlahan tapi pasti, Fujifilm mulai melebarkan sayap bisnis ke mancanegara. Sepanjang tahun 1958
hingga 2010, Fujifilm gencar melirik bisnis dalam skala global. Perusahaan mendirikan kantor, pabrik,
dan entitas penjualan di luar negeri di berbagai belahan dunia, yaitu di Brasil, Amerika Serikat,
Jerman, Cina, India, Rusia, dan Timur Tengah.
JEO - Insight
JEO - Insight
Linimasa Fujifilm
JEO - Insight

Adaptasi dengan Teknologi Digital serta


Diversifikasi Produk
Pada dekade 1990-2000, kamera analog mencapai puncak popularitasnya. Saat itu, gerai pencucian
film—istilah yang barangkali sudah terlupakan saat ini—ramai dikunjungi untuk mencetak foto atau
membeli film dan album.

Pada saat itu, 60 persen penjualan Fujifilm dan 70 persen profit perusahaan disumbang dari berjualan
photographic product. Bisa dibayangkan betapa penting photographic product sebagai tulang
punggung perusahaan.

Namun, selepas milenium baru, bisnis photographic film turun drastis. Sebabnya, teknologi digital
yang pada medio 1990-an masih mahal mulai terjangkau dan sudah diaplikasikan pada banyak
peralatan elektronik.

Pada 2003, industri photographic film dan kamera analog memasuki senjakala. Seperti dilansir dari
crm.org, Kamis (17/9/2020), gerai pencucian film mengalami penurunan omzet secara drastis, dari
memproses 5.000 rol film per hari menjadi 1.000, bahkan lebih rendah lagi jika dibandingkan pada
tahun 2000.

Hal tersebut berdampak pada penjualan photographic film Fujifilm. Saat ini, photographic film
menyusut hingga hanya satu persen dari total penjualan keseluruhan produk perusahaan.

***

Awal 2000-an adalah masa krisis perusahaan-perusahaan yang mengandalkan penjualan teknologi
analog. Tidak sedikit perusahaan harus gulung tikar karena tak bisa beradaptasi dengan perubahan
teknologi dan kebiasaan konsumen.

Kala itu, mantan Chief Executive Officer (CEO) Fujifilm, Shigetaka Komori, langsung mengaktifkan
mode krisis. Dalam bukunya Innovating Out of Crisis: How Fujifilm Survived (and Thrived) As Its Core
Business was Vanishing (2015), ia menceritakan, perusahaan sebenarnya sudah memprediksi
dampak yang dibawa akibat digitalisasi.
Pada 1980-an, Fujifilm telah melakukan sejumlah riset untuk mengantisipasi perkembangan
JEO - Insight
digitalisasi. Pada periode tersebut, Fujifilm mengembangkan kamera kompak digital pertama, DS-1P.

Fujifilm juga tak berhenti berinovasi pada kamera saja. Guna menyambut teknologi serba digital,
perusahaan juga melakukan riset terhadap printer inkjet dan diska optik. Printer inkjet disiapkan
sebagai pengganti cetak menggunakan pelat.

Sementara, diska optik sebagai antisipasi ketika perangkat komputer sudah digunakan banyak orang.
Bila hal ini terjadi, Fujifilm telah menyiapkan media penyimpanan data di perangkat komputer.

Perusahaan juga memperkuat riset material fotosensitif serta merambah industri farmasi. Meski
terlihat berseberangan, sebenarnya industri photographic film dan farmasi memiliki kemiripan, yakni
sama-sama berkaitan dengan senyawa kimia.

Kendati demikian, upaya menyambut digitalisasi dua dekade lebih awal ternyata belum membuahkan
hasil memuaskan. Kualitas foto dari kamera digital saat itu belum bisa menyaingi kamera analog.
Ditambah lagi, kamera digital merupakan barang mahal saat itu. Alhasil, kamera analog masih jadi
primadona dan penjualan rol film semakin meroket pada penghujung abad ke-20.

Komori menulis, semua orang percaya diri bahwa kinerja penjualan rol film yang bagus tidak akan
terganggu oleh kehadiran digitalisasi. Di sisi lain, bisnis baru, seperti print inkjet, diska optik, serta
produk farmasi, ditangguhkan untuk sementara waktu pada saat itu. Alhasil, fokus perusahaan masih
tertuju pada penjualan photographic film pada 1980-2000.

Lalu, selepas tahun 2000, teknologi digital meluluhlantakkan bisnis photographic film. Di masa sulit,
sejumlah manufaktur photographic film terpaksa ditutup. Fujifilm juga harus mengambil keputusan
berat untuk mengurangi 5.000 karyawan yang berhubungan dengan bisnis film secara global.

Secara bersamaan, perusahaan berjuang untuk menyelamatkan sebanyak mungkin pekerjaan dengan
memindahkan karyawan lain ke lini bisnis yang berbeda agar bisnis photographic film terus berjalan.

Fujifilm kemudian kembali fokus pada core dan fundamental technology yang mereka miliki untuk
melakukan diversifikasi. Riset-riset pengembangan film fotografi diimplementasikan pada industri
kosmetik dan farmasi.

Contohnya adalah produk Astalift. Skincare anti-aging ini dikembangkan dari teknologi yang
diciptakan dalam riset photographic film, yakni antioksidasi yang sebelumnya diaplikasikan pada
konversi warna film, teknologi nano untuk mengontrol partikel kecil di film, dan teknologi kolagen.
JEO - Insight

1/7

Infografik 2
Infografik 2 JEOxFujifilm

Sebagai bahan dasar dalam photographic film, Fujifilm melakukan riset terhadap kolagen (gelatin)
sejak lama. Pada 2011, Fujifilm menandatangani kontrak pengembangan dan pembuatan biofarmasi
yang memanfaatkan teknologi produksi dan rekayasa yang dikembangkan melalui photographic film. 

Bisnis sistem medis, termasuk alat radiologi, juga sudah menjadi salah satu bisnis penting Fujifilm.
Saat ini, bisnis tersebut telah berkembang dan menawarkan beragam produk peralatan medis, seperti
alat radiologi, endoskopi, ultrasuara, alat diagnostik in-vitro, serta sistem teknologi informasi (TI)
medis yang dipimpin oleh CEO Fujifilm saat ini, Teiichi Goto. 

Terbaru, perusahaan berhasil menciptakan alat radiologi portabel. Alat ini memudahkan tenaga
medis mengambil dan memeriksa hasil rontgen dengan mudah di tempat-tempat dengan ruang
terbatas, seperti di rumah. Inovasi yang bermanfaat luas bagi kemanusiaan. 

1/4

Infografik 3.1
Infografik 3.1 JEOxFujifilm
Lini bisnis sistem medis menyumbang
JEO - 32 persen dari total pendapatan Fujifilm pada tahun fiskal
Insight
yang berakhir Maret 2022, yakni 801,7 miliar yen. Menariknya, perusahaan tidak meninggalkan inti
bisnis di bidang pencitraan. Saat perusahaan lain memutuskan meninggalkan bisnis photographic
film, Fujifilm justru menegaskan komitmennya untuk mempertahankan lini bisnis tersebut.

Foto merupakan aspek yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Foto mengingatkan pada
sejumlah momen istimewa di kehidupan manusia. Salah satu misi Fujifilm adalah mendukung
keajaiban yang diciptakan fotografi.

Kamera mirrorless seri X dan seri GFX, serta kamera instan “instax” disambut baik pencinta fotografi.
Lewat inovasi secara konsisten, pendapatan Fujifilm secara total mengalami peningkatan 15 persen
dari tahun-ke-tahun pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2022 menjadi 2.525,8 miliar yen.
Perusahaan juga mencatatkan rekor pendapatan operasional tertinggi sebesar 229,7 miliar yen.

Selain itu, segmen perawatan kesehatan tumbuh menjadi segmen terbesar, baik dari segi pendapatan
kotor maupun pendapatan operasional untuk pertama kali.

Budaya Perusahaan: Keterbukaan, Keadilan, dan


Kejelasan
Kemampuan Fujifilm lepas dari masa krisis, bahkan tumbuh berkembang di era digital bisa terjadi
berkat peran manajemen perusahaan. Respons cepat menghadapi krisis menjadi kunci Fujifilm bisa
berbalik.

Manajemen perusahaan fokus pada apa yang dimiliki dan mengembangkan peluang dari hal itu. Dari
bisnis utama photographic film, Fujifilm menjelajah ke bisnis perawatan kesehatan dan sukses.

Semangat perusahaan selalu berinovasi atau never stop innovating merupakan fondasi Fujifilm.
Inovasi dan solusi yang diciptakan perusahaan berkontribusi untuk menciptakan dunia baru yang
lebih baik.

Fujifilm juga menciptakan budaya perusahaan yang mampu mendorong inovasi. Visi perusahaan,
yakni keterbukaan, keadilan, dan kejelasan, memungkinkan budaya perusahaan ini tumbuh pada
semua karyawan.

Karena terbuka, disrupsi di sektor industri film negatif tidak menumbangkan Fujifilm. Selain bertahan,
Fujifilm bahkan berkembang merambah ke sektor kesehatan dan kecantikan. Dua sektor yang tidak
mungkin dilihat peluangnya jika tidak ada sikap terbuka berdialog dengan perubahan yang sedang
terjadi.
JEO - Insight

Selain terbuka, sikap adil dan tidak memihak juga menjadi pijakan bersama di Fujifilm. Pijakan ini kian
kuat dengan kebiasaan orang-orang di dalamnya yang selalu jelas ketika memberikan instruksi atau
arahan. Terbuka, adil, dan jelas menjadi kultur di Fujifilm.

Dalam artikelnya di Forbes, Kamis (25/6/2020), pakar manajemen sumber daya manusia Paul
McDonald menyebutkan, kultur perusahaan yang positif adalah lem yang merekatkan organisasi dan
karyawan.

“Kultur positif membuat karyawan yakin bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah lingkungan
yang baik untuk meniti karier. Moral, kepercayaan diri, dan keinginan bekerja sama mencapai tujuan
dapat terbangun,” tulis McDonald.

Sikap terbuka dipraktikkan tidak hanya ketika menghadapi tantangan dari luar. Di Fujifilm Indonesia
(FFID), sikap ini ditunjukkan langsung oleh pucuk pimpinan perusahaan, yakni Presiden Direktur
(Presdir) FFID Masato Yamamoto.

Dalam Teori Dimensi Budaya Hofstede–sebuah kerangka kerja yang digunakan untuk memahami
perbedaan budaya antarnegara, Indonesia termasuk dalam budaya dengan jarak kekuasaan yang
tinggi dan senioritas.
JEO - Insight

Dok. FFID
Keceriaan karyawan Fujifilm Indonesia (FFID) saat merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2022. (Dok. FFID)

Selain itu, status atau pangkat kerap jadi ganjalan dalam masyarakat. Karena itu, Masato melakukan
sederet pendekatan agar gap akibat perbedaan budaya ataupun jabatan tidak ada di FFID. Masato tak
pernah segan membuka ruang dialog dengan karyawan untuk semua hal, termasuk ketika
perusahaan menghadapi isu-isu kritis yang kerap tidak menyenangkan.

Ia juga membiarkan pintu ruangannya terbuka sebagai pesan bahwa dirinya mudah diajak bicara.
Tidak pasif menunggu, Masato memangkas jarak dengan menghampiri karyawan untuk sekadar
bercengkerama atau ngobrol hal-hal ringan untuk saling memahami. Hierarki lebur karena sikap
terbuka ini. Terbuka untuk membangun dialog dan saling memahami juga menjadi pintu masuk ketika
bisnis berada di masa-masa sulit.

Saat FFID melakukan berbagai efisiensi agar tetap bertahan menghadapi dampak pandemi Covid-19,
sikap terbuka itu menyelamatkan. Keputusan efisiensi yang didialogkan secara terbuka bisa diterima
karyawan dengan lapang dada. Pemahaman yang sama karena dialog terbuka ini membuahkan
sejumlah inisiatif untuk mencari solusi bersama.
Sikap terbuka Masato dicontoh para
JEOmanajer
- Insightdan seluruh staf. Sikap baik yang menular ini menjadi
iklim dan kemudian menjadi kultur. Karyawan nyaman karena merasa tidak ada yang ditutup-tutupi
oleh manajemen.

***

Meskipun perusahaan asal Jepang, sebagian besar karyawan FFID adalah orang Indonesia. Di FFID,
hanya Masato dan beberapa saja yang merupakan orang Jepang. Kenyataan ini memunculkan peran-
peran “corporate culture translator” dari Jepang ke Indonesia. Peran-peran general manager (GM)
sebagai penyerap kultur perusahaan Fujifilm Tokyo untuk diinternalisasikan di FFID nyata di sini.

Teladan pimpinan tertinggi, peran-peran GM sebagai “corporate culture translator”, dan kegigihan
bersama menerapkan nilai membuat kultur yang dihidupi di Fujifilm Tokyo dan FFID sama. Selain
mengikuti teladan pimpinan, keterbukaan di FFID juga tumbuh karena aturan khusus dalam
penerimaan karyawan baru. 

Sejak awal masuk, karyawan sudah diinformasikan dan diajari beragam hal terkait perseroan, mulai
dari peraturan, performa bisnis, hingga target ke depan.

GM Finance, Accounting, Logistics, and IT FFID Rochadian Maulana menuturkan, transparansi


menjaga FFID terhindar dari konflik internal, baik vertikal maupun horizontal.

Metode dengan fokus pada solusi di FFID, iklim kerja terbuka, adil, dan jelas dijalankan dengan
metode kerja unik nan inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, omzet, dan profit.
Peningkatan profit sendiri berpengaruh pada kepuasan karyawan selama bekerja.

Perlu diketahui, kebanyakan perusahaan memilih metode kerja berbasis plan, do, check, and act
(PDCA). Metode ini diciptakan oleh ahli fisika dan statistik asal AS Walter Shewhart pada 1920 dan
dikembangkan oleh William Edwards Deming dengan tujuan untuk perbaikan perusahaan ataupun
individu.

Sementara, cara kerja di Fujifilm lebih ditekankan pada see, think, plan, and do (STPD). Metode yang
berfokus pada problem solving ini merupakan inovasi Fujifilm pada 2005. Pembuatannya merujuk
pada cara kerja karyawan berprestasi yang mampu mengatasi sejumlah persoalan saat itu. Metode
STPD, misalnya, memudahkan perusahaan dan karyawan merancang target tahunan atau
management by objective (MBO).

“STPD bisa juga (dijadikan) sebagai tool untuk problem solving,” ujar GM Corporate Affairs Fujifilm
Indonesia (FFID) Rudy Handojo kepada Kompas.com, Jumat (5/8/2022).
JEO - Insight

Infografik 4

Efektivitas metode STPD sebagai problem solving terlihat ketika tim keuangan FFID melakukan
penagihan. Rochadian mengatakan, penagihan merupakan tugas berat, misalnya menghadapi pihak
tertagih yang telat membayar.

Menghadapi situasi itu, tim keuangan FFID tidak lantas menyalahkan pihak yang ditagih atas kendala
yang terjadi. Tim keuangan FFID justru mencari tahu penyebabnya.
“Misalnya, customer A belum bayar.
JEO Kami see (lihat) dulu penyebabnya. Mungkin saja ia punya
- Insight
masalah. Jadi, fokusnya bukan pada masalah, melainkan solusi,” ungkap Dian, sapaan akrab
Rochadian.

Metode kerja STPD, lanjut Dian, juga diterapkan dalam pekerjaan reguler. Ketika ada karyawan tidak
mencapai target, atasan tidak akan langsung menghakimi, tapi mencari solusi dengan metode ini.

Pertama-tama, atasan akan menganalisis permasalahan yang ada (see), mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi (think), lalu bersama-sama mendiskusikan jalan keluar terbaik yang bisa diambil
(plan), dan pada akhirnya mengeksekusi tindakan bersama-sama (do).

Fokus pada solusi dapat terbentuk di FFID karena metode STPD. Karena keinginan mencari solusi,
ruang saling menyalahkan sirna. Tim juga tidak terlalu lama terkungkung pada permasalahan
sehingga bisa bertumbuh dan berkembang.

***

Kultur perusahaan yang terbuka, adil, dan jelas, serta metode kerja STPD di FFID ditopang kuat kode
etik. Sebagai profesional, kode etik adalah alat kontrol dalam bekerja dan bertindak. Ada sembilan
kode etik FFID yang wajib dipatuhi.

Lima pertama adalah larangan penyuapan, pengadaan yang adil, patuh terhadap peraturan
pengendalian perdagangan, pengungkapan informasi, dan persaingan yang adil. Empat berikutnya
adalah aktivitas penjualan yang adil, pemasaran yang bertanggung jawab, jaminan mutu, dan
pencegahan korupsi.
JEO - Insight
JEO - Insight
9 Etika Fujifilm Indonesia
JEO - Insight

Kode etik yang dipahami dan diadopsi secara sukarela ini dijadikan panduan untuk menjaga
profesionalitas. Karyawan sangat menghindari transaksi bisnis di luar jalur resmi, seperti melayani
pemesanan via WhatsApp pribadi, adalah turunan penerapan kode etik ini. Pemesanan diajukan lewat
e-mail resmi perusahaan. Kode etik ini dijadikan panduan dan dijalankan bukan karena rasa takut,
melainkan alasan kebaikan yang dihadirkan.

Kode etik sebagai panduan dan bukan aturan yang kaku mengantar karyawan mampu menjaga
integritas. Pada akhirnya, hal ini menciptakan iklim kerja yang nyaman untuk semua.

***

Kultur perusahaan, metode kerja, dan kode etik yang diterapkan adalah untuk pencapaian tujuan
perusahaan. Tujuan perusahaan dicapai bersama-sama dengan kerja sama dan inovasi. Ruang
mengemukakan pendapat dan menyampaikan ide yang dibuka lebar memungkinkan kebaruan-
kebaruan muncul tanpa henti sebagai implementasi kultur Never Stop.

Never Stop merupakan kampanye global Fujifilm pada 2022. Semua karyawan dari semua divisi
diajak berkreasi dalam kultur perusahaan yang dihidupi untuk melahirkan inovasi. Manajemen
membuka ruang dan mewadahi ide-ide yang masuk.

Atas inovasi yang muncul, proyek akan dibuatkan, mulai dari perencanaan hingga kelengkapan tim
yang terlibat. Usaha FFID selama ini selaras dengan arahan presiden, CEO, dan direktur perwakilan
perusahaan Fujifilm Holding Tokyo, Teiichi Goto, pada April 2022.

“Setiap individu di Fujifilm harus memiliki earning power. Untuk memiliki earning power, Fujifilm telah
menyediakan ruang untuk setiap karyawan untuk mengemukakan ide dan gagasan baru. Dengan
keterbukaan ini, diharapkan setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang,”
kata Teiichi. 

Dalam lingkup FFID, perusahaan telah menyediakan ruang bagi karyawan untuk mengemukakan ide.
Dengan keterbukaan ini, setiap karyawan diharapkan memiliki kesempatan sama untuk berkembang.
Perusahaan pun berpeluang untuk semakin bertumbuh, baik secara nilai ekonomi maupun sosial.
Apresiasi FFID kepada karyawan dilakukan juga lewat program pelatihan. Tujuan pelatihan adalah
untuk menggali potensi karyawan lebih dalam.

Semangat tanpa henti ini membuat Fujifilm selalu siap menghadapi perubahan. Sebagai contoh, pada
2019, perusahaan bekerja sama dengan MarkPlus mendesain program manajerial (manager
development program). Kurikulum yang diajarkan mirip seperti Master in Business Administration
(MBA).
Saat ini masih berlangsung pelatihan
JEO dari Microsoft Power BI yang diikuti divisi keuangan. Lewat
- Insight
program pelatihan ini, tim mendapat pengetahuan tentang laporan berbasis data science.

Berkat pelatihan itu, Dian mengungkapkan, tim keuangan FFID kini bisa membuat laporan yang lebih
interaktif.

***

Kultur, metode, kode etik, dan apresiasi kepada karyawan FFID diterapkan juga di masa pandemi
Covid-19 dengan sejumlah keterbatasannya. Work from home (WFH) membuat karyawan terpisah
jarak dan tidak bisa berinteraksi secara nyata.

Seiring kasus Covid-19 yang mulai terkendali, FFID kembali menggelar Funesday dan Lunch with
President Director untuk merekatkan kembali interaksi langsung dan menumbuhkan semangat
setelah pandemi.

Funesday adalah kegiatan minum teh atau kopi bersama seluruh karyawan FFID yang digelar di
kantor, tepatnya di Green Corner. Agenda rutin ini terhenti selama dua tahun terakhir akibat pandemi.

Green Corner adalah saksi keceriaan kerja-kerja di FFID. Di area tempat berkumpul ini, panggung bagi
acara seru internal digelar rutin, seperti perkenalan karyawan baru dan perayaan ulang tahun di
samping Funesday.

Ide-ide yang diutarakan, inovasi yang dirancang, atau sekadar keluh kesah karyawan FFID terjadi di
Green Corner. Di sudut hijau ini, kultur keterbukaan dan kegamblangan FFID ditumbuhkan, dirawat,
dan dikembangkan secara berkelanjutan.

Hijau, warna utama perusahaan yang membalut Green Corner, seolah menjadi simbol pertumbuhan
dan keberlanjutan ide-ide dan inovasi di FFID.

Bagi FFID, Funesday sangat penting. Lewat Funesday, seluruh karyawan dari delapan unit bisnis yang
jarang bertegur sapa bisa berkumpul. Karyawan FFID sangat antusias untuk hadir di acara Funesday
yang bersifat informal dan kasual.

Rindu kebersamaan yang biasa terjalin sebelum pandemi Covid-19 dengan bercengkerama atau
makan siang bersama terobati di Funesday. Untuk memberikan pengalaman lebih seru, Funesday
akan dilaksanakan kembali di luar kantor setelah pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.

Sementara itu, ada satu lagi keunikan FFID yang perlu dikemukakan, yaitu Lunch with President
Director FFID Masato Yamamoto.

Kultur terbuka membuat agenda ini berjalan dengan rasa kekeluargaan penuh simpati dan empati.
Simpati untuk saling mengenal lebih dalam. Empati untuk mendengar keluh kesah guna dicarikan
solusinya bersama. Suasana hangat penuh penerimaan dimulai dari Masato.
Kultur, metode kerja, kode etik, reward
JEO ,-dan keseruan-keseruan yang terjadi di antaranya membuat
Insight
karyawan FFID kerasan layaknya di “rumah”. Karena itu, turn over di FFID rendah. Di FFID, karyawan
menemukan rumah.

Kontribusi pada Masyarakat dan Lingkungan


Tak sekadar menjadi pemenang di dunia industri dan berhasil mengembangkan budaya perusahaan,
Fujifilm juga ikut berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan melalui kegiatan corporate social
responsibility (CSR). Kegiatan CSR ini merupakan bagian dari Sustainable Value Plan 2030 (SVP
2030).

Masato mengatakan, SVP 2030 merupakan wujud komitmen Fujifilm terhadap Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SVP 2030 menjadi peta jalan (roadmap)
bagi perusahaan untuk berkontribusi pada pembentukan masyarakat berkelanjutan, penyelesaian isu
sosial, serta pengurangan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.

CSR merupakan salah satu implementasi SVP 2030. Kegiatan tersebut difokuskan di setiap kantor
perwakilan Fujifilm, termasuk di Fujifilm Indonesia.
JEO - Insight
JEO - Insight
Infografik 6
JEO - Insight

Masato menjelaskan, program CSR Fujifilm Indonesia tersebut terdiri dari tiga pilar. Pertama,
menyelesaikan isu sosial melalui aktivitas bisnis. Kedua, mempertimbangkan kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian lingkungan dalam berbagai proses bisnis. Ketiga, mengimplementasikan
perilaku etis berdasarkan Piagam Perilaku Perusahaan yang jadi prinsip dalam menjalankan aktivitas
bisnis. Menjaga integritas, misalnya.

Sesuai keunikan lokal, Fujifilm Indonesia mengimplementasikan kontribusi sosial dengan berbagi
kebahagiaan pada Hari Raya Idul Fitri dan Natal. Dua agenda kontribusi sosial rutin digelar Fujifilm
Indonesia dengan memberikan bantuan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di panti asuhan
yang tersebar di sekitar kantor.

“Kami ingin anak-anak di panti asuhan merasakan kebahagiaan pada momen hari raya,” ucap Masato.

Kegiatan tersebut juga mengimplementasikan pilar ketiga CSR Fujifilm Indonesia. Tidak hanya donasi
dari komunitas eksternal, Fujifilm Indonesia, termasuk Masato, turut serta memberikan bingkisan
kecil kepada panti asuhan.

Dok. FFID
Kegiatan kontribusi sosial Fujifilm Indonesia setelah gempa bumi terjadi di Palu, Sulawesi Tengah.
JEO - Insight

Sejalan dengan semangat “Never Stop” yang dipegang Fujifilm, sejumlah program kontribusi sosial
tidak hanya menyasar masyarakat sekitar, tetapi juga seluruh Indonesia, khususnya mereka yang
membutuhkan.

Rudy Handojo menjelaskan, saat gempa bumi meluluhlantakkan puluhan ribu rumah di Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB), FFID mengumpulkan donasi. Gempa berkekuatan magnitudo 7 itu membuat
555 orang meninggal dan 390.529 orang mengungsi.
JEO - Insight

Dok. FFID
Aksi nyata Fujifilm Indonesia melakukan penanaman gambut dan koral di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.
JEO - Insight

KOMENTAR

Syarat & Ketentuan


JEO - Insight
Tulis komentar anda...

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Kirim

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Artikel JEO Lainnya Indeks

Insight / 25 April 2023

Menyusuri Jalan Islam di Kawasan Pecinan

Insight / 23 April 2023

Foto Cerita: Jejak Pembauran Tionghoa di Masjid Lautze

Insight / 19 April 2023

Ingatan Kelam di Stadion Hillsborough

Peristiwa / 6 April 2023

Foto yang Menguras Air Mata: Kecelakaan Bus di Tol Cikupa

Insight / 29 Maret 2023

Polusi Udara di TPST Bantargebang Ancam Kesehatan Anak dan Balita

Peristiwa / 7 Maret 2023

Tambang Timah Bangka Belitung: Sejarah, Dampak, dan Asa untuk Masa Depan
JEO - Insight

Penulis WISNU NUGROHO

Editor FABIAN JANUARIUS KUWADO

Infografik YUKARI PUTRI ANDIA

Cover Dok. Fujifilm

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media


(Kompas Gramedia Digital Group).
Group).
All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai