ANGGOTA KELOMPOK :
Kemiskinan dapat dimaknai sebagai situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau
sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai taraf yang
dianggap manusiawi. Kemiskinan dapat memberikan dampak yang cukup serius dikarenakan
permasalahan ini sangatlah kompleks, bermula dari kemampuan daya beli masyarakat yang
tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok sehingga kebutuhan yang lain seperti pendidikan
dan kesehatan terabaikan (Ngarifun & Hartono, 2022)
Kemiskinan merupakan salah satu prioritas dari pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs). Dan telah menjadikan penanggulangan kemiskinan
sebagai prioritas nasional. Dilihat dari data Badan Pusat Statistik, Provinsi yang menjadi
penyumbang penduduk miskin perkotaan terbanyak di Indonesia pada tahun 2020 yakni Jawa
Barat sebanyak 3.920 jiwa. Padahal di sisi lain, Jawa Barat merupakan wilayah yang cukup
besar perannya bagi pertumbuhan ekonomi karena memberikan kontribusi sebanyak 13,1%
bagi PDB Indonesia (Dihni, 2021)
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin di Jawa Barat menyentuh angka tertinggi
pada rentang waktu 2010-2022 yaitu mencapai 4.717 jiwa. Kemudian mengalami penurunan
hingga tahun 2014, terjadi sedikit kenaikan pada tahun 2015 namun kemudian angka tersebut
berhasil ditekan hingga 2019. Di tahun 2020-2021 terjadi kenaikan kembali yang disebabkan
oleh pandemi covid-19. Setelah pandemi mereda angka kemiskinan di tahun 2022 mengalami
penurunan meski tidak drastis dengan jumlah 4.071 jiwa, hal ini menggambarkan angka
kemiskinan terus berfluktuasi setiap tahunnya.
Data dari dinas keseahatan Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa tingkat kematian
bayi masih tinggi dengan jumlah 3.064 pada tahun 2019, terdapat masalah gizi buruk pada
balita yang ditandai dengan stunting mencapai 226.436 balita pada tahun 2019. Jumlah
penyakit seperti campak,tuberculosis,pneumonia,kusta,tetanus,diare,DBD,AIDS,Malaria
mencapai 979.894 kasus pada tahun 2019. Kondisi tersebut diperparah dengan akses
terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas juga masih terbatas di beberapa daerah,
terutama di pedesaan. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi masyarakat dalam mendapatkan
perawatan yang dibutuhkan.
Jumlah kepemilikan rumah sakit di setiap kabupaten atau kota di Jawa Barat terjadi
disparitas, menurut data BPS pada tahun 2018, Bekasi memiliki rumah sakit sebanyak 28,
dibandingkan dengan daerah seperti Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Majalengka,
Sumedang, Kota Banjar, dan Pangandaran memiliki rumah sakit yang jumlahnya kurang dari
10 rumah sakit. Apalagi Kabupaten Pangandaran pada tahun 2018-2019 tidak memiliki
rumah sakit daerah, sebagai kabupaten hasil dari pemekaran kabupaten ciamis pada 2012,
Kabupaten Pangandaran memiliki rumah sakit setelah 8 tahun kabupaten tersebut berdiri
yakni tahun 2020, Kabupaten ini memiliki 1 Rumah Sakit daerah. Sebelumnya terbayangkan
kondisi ketika tidak ada kepemilikan rumah sakit di kabupaten ini. masyarakat jika ingin
mendapatkan pelayanan kesehatan harus menempuh jarak yang jauh ke wilayah lain yang
terdekat seperti, kabupaten ciamis dan kota banjar. Sehingga masyarakat miskin memilih
tidak mengobati penyakit yang diderita karena keterbatasan biaya karena mahalnya biaya
transportasi pengobatan.
Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas
layanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Jawa Barat. Program Jamkesmas berupaya
memastikan bahwa masyarakat miskin dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau tanpa harus menghadapi beban finansial yang berlebihan. Selain
itu, program ini juga bertujuan untuk mengurangi disparitas kesehatan di Jawa Barat.
Target populasi Program ini adalah masyarakat miskin. Yang berdasarkan parameter
sosial dan ekonomi, seperti tingkat pendapatan, kepemilikan aset, dan kondisi sosial ekonomi
keluarga. Dengan adanya program ini, diharapkan masyarakat miskin di Jawa Barat dapat
memperoleh perlindungan kesehatan yang lebih baik dan akses yang lebih mudah ke layanan
kesehatan.
Berdasarkan data penerima jaminan kesehatan masyarakat miskin dibagi menjadi dua,
yaitu yang menerima bantuan langsung dari pemerintah (APBN & APBD) dan penerima dari
iuran kepesertaan (kategori pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah/mandiri,
dan bukan pekerja). Perbandingan jumlah keduanya lebih banyak penerima bantuan iuran
yang mana mereka adalah kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang iurannya
dibiayai oleh APBN dan APBD dengan jumlah tahun 2018 mencapai 18.050.987 orang.
Sedangkan penerima bantuan dari iuran kepesertaan pada 2018 mencapai 14.032.197 orang.
Setiap tahunnya penerima bantuan Kesehatan ini meningkat meski di tahun 2021 terjadi
penurunan yang tidak begitu signifikan. Kenaikan jumlah penerima tersebut menunjukan
bahwa progress program jaminan Kesehatan masyarakat miskin ini dijalankan cukup efektif
dari sisi jumlah penerima bantuan.
Jumlah sarana Kesehatan seperti rumah bersalin, klinik, praktik dokter Bersama,
praktik dokter perorangan, praktik pengobatan tradisional, puskesmas. Dilihat dari diagram
diatas terjadi peningkatan sarana Kesehatan yang cukup tinggi peningkatannya dengan
persentase 13,2% . artinya akses terhadap sarana Kesehatan bertambah, namun dari data
disini tidak dijelaskan lokasi sarana Kesehatan tersebut. Sehingga tidak bisa disimpulkan
disparitas distribusi sarana Kesehatan itu menurun atau tidak.
Namun dari data yang diimput sebelumnya yaitu data jumlah rumah sakit di
kabupaten dan kota di Jawa barat, jika dilihat pertumbuhan jumlah rumah sakit yang cukup
tinggi ada di Bekasi dan Bandung. Di wilayah lain pertumbuhannya kecil bahkan tetap,
apalagi di wilayah wilayah yang tertinggal. Progress pemerataan fasilitas Kesehatan di
kabupaten dan kota di jawa barat masih menunjukan disparitas. Ada kemungkinan bagi
masyarakat yang fasilitas kesehatannya tidak memadai di rumah sakit daerahnya kemudian
harus dilarikan ke rumah sakit daerah lain, ada keringanan biaya dengan adanya program
jaminan Kesehatan masyarakat miskin yang data penerimanya selalu naik sehingga dengan
adanya program jaminan Kesehatan masyarakat miskin ini ketersediaan rumah sakit di daerah
yang memiliki fasilitas Kesehatan yang tidak menunjang penyakit yang derita masyarakat
(biasanya disebut rumah sakit Faskes 1) bisa dilarikan ke rumah sakit faskes 2 atau sampai
rumah sakit Provinsi (faskes tertinggi) dengan biaya yang minim bahkan gratis.
Dilihat dari data diatas yang merupakan jumlah masyarakat yang mendapatkan
pelayanan kesehatan terus meningkat, namun pada tahun 2020 bagi perempuan usia 30-50
mengalami penurunan yang diakibatkan keterbatasan akses pelayanan kesehatan yang
terhambat akibat pandemi covid-19. Aksesbilitas masyarakat akan pelayanan kesehatan bisa
dikatakan mengalami peningkatan yang cukup baik, hal ini sejalan dengan tujuan program
jaminan kesehatan masyarakat miskin yaitu meningkatkan akses fasilitas pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin.
Selain itu, program jaminan kesehatan masyarakat miskin dapat menekan tingkat gizi
buruk pada balita yang menyebabkan stunting. Dari data yang diperoleh, pada tahun 2014
dimana program ini baru diluncurkan, tingkat stunting di tahun ini menduduki angka tertinggi
pada periode 2014-2021 yaitu mencapai 371.989 balita.
Sejalan dengan program ini dilaksanakan, angka stunting pada balita mencapai titik
terendah pada tahun 2018 yaitu mencapai 224.525 balita, kemudian tahun 2019 mengalami
kenaikan yang tipis, namun pada tahun 2020 peningkatan terjadi cukup ektrim yang
disebabkan oleh pandemi covid-19 yang menghambat program pencegahan stunting. Setelah
pandemi mereda angka stunting mengalami penurunan yang signifikat hingga mencapai titik
paling rendah dari siklus tahun 2014-2021. Fluktuasi angka stunting terus mengalami
penurunan yang cukup stabil meski tahun 2019-2020 mengalami hambatan karena adanya
pandemi, namun tahun 2021 mencapai rekor terendah.
Dilihat dari pertumbuhan angka harapan hidup dan indeks kesehatan sebelum
diluncurkan program ini, tahun 2010-2012 indeks kesehatan hanya mencapai point 75,8 –
75,9 peningkatannya sangat kecil. Kemudian pada tahun 2013 indeks kesehatan dan harapan
hidup mengalami peningkatan yang sangat jauh yaitu dengan point 78,9 dan angka harapan
hidup 71,29 tahun. Setelah diluncurkan program jaminan kesehatan masyarakat miskin di
tahun 2014 peningkatan angka harapan hidup dan indeks kesehatan meningkat cukup stabil
hingga mencapai puncaknya di tahun 2020 dengan point 80,37 dan angka harapan hidup
72,24 tahun. Namun penurunan yang ektrim terjadi di tahun 2021 yang diakibatkan oleh
pandemi gelombang 2 variant omicron, hingga menyebabkan angka harapan hidup mencapai
69 tahun dan indeks kesehatan 77 point.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelum program ini di luncurkan tahun 2014,
ditahun 2010-2012 indeks kesehatan dan angka harapan hidup berada diposisi paling rendah
dan peningkatannya cenderung sulit, setelah program ini diluncurkan indeks kesehatan dan
angka harapan hidup mampu menahan kenaikan yang ektrim di tahun 2013 agar tidak terjadi
penurunan, bahkan mampu berjalan meningkat secara stabil hingga 2020.
Partisipasi dan keterlibatan aktif dari Faktor-faktor sosial dan budaya, seperti
berbagai pemangku kepentingan, seperti stigma terhadap penggunaan jaminan
pemerintah daerah, lembaga kesehatan, kesehatan, kepercayaan tradisional terhadap
BPJS Kesehatan, dan masyarakat, dapat pengobatan alternatif, atau ketidaktahuan
memperkuat implementasi program tentang hak dan manfaat jaminan kesehatan,
dapat menghambat partisipasi masyarakat
miskin dalam program ini.
Ngarifun, & Hartono, D. (2022). Upah Dan Harga Konsumen Terhadap Pembangunan
Manusia Di Provinsi DKI Jakarta Pada Tahun 2002-2019. Sosio E-Kons, 14(3), 240– 245.