Anda di halaman 1dari 15

INFLAMASI EOSINOFIL

OLEH :

Dr. Heny Syahrini

NIP. 19800127 200604 2 002

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2011

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI ................................................................................................................ i

PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

FISIOLOGI EOSINOFIL............................................................................................... 2

PATAGENESIS EOSINOFILIA .................................................................................... 3

KESIMPULAN............................................................................................................. 7

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 8

DAFTAR TABEL

TABEL 1. SEL-SEL PENYEBAB INFLAMASI ............................................................... 2

TABEL 2. PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN EOSINOFILIA ....................... 9

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. PROSES YANG TERLIBAT PADA EOSINOFOLIA ................................... 3

GAMBAR 2. KEADAAN YANG MENYEBABKAN EOSINOFILIA SELAMA

RESPON FASE LAMBAT ........................................................................ 5


GAMBAR 3. EOSINOFIL DAN KOMPONENNYA ......................................................... 7

INFLAMASI EOSINOFIL

Heny Syahrini, Zuhrial Zubir, E.N.Keliat, Alwinsyah Abidin


Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik/RSU Dr. Pirngadi Medan

PENDAHULUAN

Reaksi tubuh terhadap adanya injuri disebut juga inflamasi


(peradangan) atau respon inflamasi. Banyaknya kejadian inflamasi pada
seseorang dikendalikan oleh sitokin atau molekul pengatur yang kecil, dalam
hal ini disebut juga dengan mediator inflamasi. Terminologi alergi, atopi,
hypersensitivitas, dan anafilaksis digunakan untuk menggambarkan berbagai
macam efek berbahaya dari reaksi inflamasi yang diperantarai imunologi
yang secara langsung melawan substansi asing yang tidak merusak seperti
debu, serbuk sari, makanan maupun obat-obatan. Beberapa sel berperan
untuk terjadinya reaksi inflamasi yang disebut juga dengan sel penyebab
inflamasi (table 1). Salah satu sel penyebab inflamasi ini adalah eosinofil1.

Adanya akumulasi eosinofil dapat terjadi pada beberapa gangguan


yang penting seperti penyakit alergi, infeksi parasit, dan kanker. Pada
keadaan penyakit tertentu, eosinofil secara selektif terkumpul pada darah
perifer atau beberapa jaringan di tubuh. Beberapa gangguan yang
menyebabkan eosinofilia, didefinisikan sebagai peningkatan eosinofil secara
abnormal dalam darah dan jaringan, dapat memberikan efek klinis yang
cukup besar. Kadar eosinofil di dalam tubuh secara normal dikendalikan
cukup ketat. Pada individu yang normal, jumlah eosinofil hanya sebagain
kecil dari leukosit darah di perifer dan keberadaannya di jaringan terutama
terbatas pada mukosa gastrointestinal. Eosinofilia dapat berbahaya, hal ini
disebabkan oleh efek proinflamasi eosinofil, atau dapat juga berguna, oleh
karena efek anti parasitiik dari sel-sel tersebut2.

dikutip dari 1
Tabel 1. Sel-sel penyebab inflamasi

Sirkulasi Jaringan

Limfosit Sel Mast

Neutrofil Makrofag

Eosinofil
Basofil

Paltelet

FISIOLOGI EOSINOFIL

Eosinofil merupakan leukosit polimorfonuklear dengan diameter 12-


15μm, terdiri dari nucleus berlobus dua, kaya reticulum endoplasmic,
kompleks golgi yang aktif, dan granul eosinofil dua tipe (besar dan kecil).
Aktivitasnya dipengaruhi factor kemotaktik, factor kemokinetik, dan factor
deaktivasi. Factor kemotaktik menyebabkan perpindahan menuju sel
berdasarkan perbedaan konsentrasi, sementara factor kemokinetik
mempercepat motilitas secara random, dan factor deaktivasi menyebabkan
tidak respon terhadap pengaruh kemotaktik berikutnya, sehingga eosinofil
menjadi terlokalisir dan tidak bergerak di jaringan 3.

Migrasi eosinofil dari sirkulasi ke jaringan melibatkan tahapan interaksi


antara eosinofil dan sel endotel. Tahapan tersebut diperantarai molekul
adhesi pada sel endotel dan pengikat pada eosinofil dan selanjutnya diikuti
oleh pergerakan eosinofil antara sel endotel (gambar 1). Eosinofil menempel
pada endothelium diperantarai oleh tiga selectin (molekul adhesi pada sel
endotel) dan pengikat yang sesuai. Perjalanan eosinofil sirkulasi pada
endotel terutama diperantarai oleh P-selectin. Setelah aktivasi seluler
(misalnya paparan terhadap kemoatraktan seperti platelet-activating factor
atau eotaxin), eosinofil menempel dengan kuat pada endotel melalui molekul
adhesi dari kelompok integrin. Migrasi eosinofil ke jaringan diawali oleh
molekul kemoatraktan local. Molekul-molekul ini bertanggung jawab terhadap
dua keadaan fisiologis yaitu dimana eosinofil secara langsung masuk ke
dalam lamina propria dan pengerahan eosinofil ke jaringan inflamasi.
Sejumlah substansi kemotaktik bekerja pada eosinofil, termasuk turunan
asam arakidonat seperti leukotrien B 4, mediator lemak lainnya seperti platelet
activating factor, produk bakteri, interleukin (misanya IL-16), dan berbagai
kemokin. Meskipun seluruh sbstansi ini memperantarai pengerahan eosinofil,
tetapi kebanyakan tidak selektif terhadap eosinofil. Walaupun begitu, ada dua
kemokin yang baru dijelaskan, eotaxin-1 dan eotaxin-2, secara relative
spesifik untuk eosinofil 2.
Dikutip dari 2

Eosinofil dapat bertahan di jaringan untuk waktu yang panjang


(mungkin beberapa minggu), tergantung pada sitokin pada lingkungannya.
Ketiga sitokin yaitu interleukin-3 (IL-3), IL-5 dan granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) merupakan pengatur yang penting untuk
perkembangan eosinofil. Dari ketiga sitokin tersebut, IL-5 (yang juga dikenal
sebagai factor diferensiasi eosinofil) merupakan yang paling spesifik terhadap
turunan eosinofil dan bertanggung jawab terhadap diferensiasi selektif
eosinofil. IL-5 juga mempengaruhi pengeluaran eosinofil dari sumsum tulang
ke sirkulasi perifer. Hanya eosinofil dan basofil memiliki reseptor untuk IL-3,
IL-5, dan GM-CSF sebagai prekursol sel pada sumsum tulang dan sirkulasi
sel. Masa hidup eosinofil tidak diketahui, tetapi IL-3, IL-5, da GM-CSF
menghambat apoptosis eosinofil untuk sedikitnya 12-14 hari secara in vitro
dan di dalam explant (jaringan yang diambil dari tubuh dan dibiakkan di
media buatan) jaringan sinus yang alergi. Dan sebaliknya eosinofil bertahan
kurang dari 48 jam tanpa adanya sitokin-sitokin tersebut. Eosinofil jaringan
dapat juga mengatur ketahanan hidupnya sendiri melalui jalur autokrin 2.

Sirkulasi eosinofil secara normal berkisar 1-3% sel darah putih di


perifer. Sirkulasi sel tersebut mewakili hanya sebagian kecil dari total populasi
eosinofil. Diperkirakan, setiap sirkulasi eosinofil, ada sekitar 200 eosinofil
matang pada sumsum tulang dan 500 pada jaringan pengikat di seluruh
tubuh1.

PATOGENESIS EOSINOFILIA

Eosinofil berperan terhadap respon imun melawan parasit cacing


dengan mengeluarkan granular sitotoksik terhadap parasit, kemudian
membunuhnya. Eosinofilia diinduksi oleh infeksi parasit tergantung pada IL-5
diproduksi oleh limfosit Th2. Sejak eosinofilia jaringan menjadi petanda
penyakit atopi dan eosinofil merupakan sel efektor utama pada kelainan ini,
penyakit alergi dijadikan sebagai dasar terhadap patogenesis dan akibat dari
eosinofilia yang tidak dimengerti 2.

Setelah paparan allergen, banyak pasien yang alergi memiliki respon


klinis yang progresif yang dimulai dalam jangka waktu 3-4 jam, mencapai
puncaknya sekitar 8 jam dan mereda dalam beberapa hari. Proses ini dikenal
sebagai respon fase lambat, diikuti dengan influks sel inflamasi yang
mengandung banyak eosinofil (gambar 2). Komponen inflamasi dari respon
tersebut diyakini bertanggung jawab terhadap inflamasi kronik pada pasien
dengan paparan ulang terhadap allergen (misalnya debu rumah). Eosinofil
dibawah kendali sel T yang merupakan sel efektor yang esensial pada
respon fase lambat 2.

Dikutip dari 2

Sel mast berperan pada awal kejadian setelah paparan allergen, tetapi
kepentingannya dalam pengaturan eosinofil masih belum ditentukan. Setelah
Ig E yang tercetus mengalami aktivasi, sel mast dapat menyebabkan
inflamasi pada saluran nafas bersama eosinofil dengan menghasilkan
mediator proinflamasi (seperti IL-1 dan TNF α) dan secara langsung sitokin
eosinofil (seperti IL-4 dan IL-5). Substansi-substansi ini, menginduksi
kemokin yang menarik eosinofil. Sementara sel limfosit T helper diperlukan
untuk respon fase lambat, karena mereka menghasilkan tiga sitokin yang
menyebabkan respon alergi yaitu IL-4 dan IL-13 (keduanya mengatur
produksi Ig E dan VCAM -1), dan IL-5. Sel helper yang mengatur respon ini
adalah Th2. Sel penyaji antigen tidak hanya mengaktivasi sel Th2 tetapi juga
mensekresikan mediator proinflamasi dengan menginduksi sel tempat tinggal
(misalnya sel epitel) untuk memproduksi kemokin yang menarik eosinofil 2.

Satu eosinofil tiba pada focus inflamasi, selanjutnya mengalami


apoptosis denga bersihan yang cepat oleh makrofag, tetapi jika eosinofil
distimulasi oleh IL-3, IL-5, atau GM-CSF, maka eosinofil akan bertahan untuk
waktu yang panjang dan meningkatkan respon terhadap agen aktif lainnya.
Eosinofil yang teraktivasi mengekspriesikan sejumlah reseptor terhadap
sitokin, immunoglobulin, dan komplemen. Eosinofil menghasilkan mediator
inflamasi toksik yang unik, yang tersimpan di dalam granul dan disintesis
setelah sel teraktivasi. Granul-granul tersebut mengandung inti kristaloid
yang terbuat dari protein dasar yang utama dan matriks terbuat dari protein
kationik eosinofil, neurotoksin yang diperoleh dari eosinofil, dan eosinofil
peroksidase (gambar 3). Protein-protein kationik ini merupakan bagian dari
proinflamasi tetapi berbeda jalur. Sebagai contoh, pada konsentrasi yang
sama dengan cairan pada pasien dengan eosinofilia, protein dasar utama,
eosinofil peroksidase, dan protein kationik eosinofil memiliki efek sitotoksik
pada epitel saluran nafas. Sebagai tambahan, protein kationik eosinofil dan
neurotoksin yang berasal dari eosinofil merupakan ribonuklease. Protein
kationik eosinofil dapat menyebabkan tidak sensitifnya voltase, pori-pori ion
tidak selektif pada membrane sel target dan pori-pori ini dapat memfasilitasi
masuknya molekul-molekul toksik lainnya. Protein dasar utama secara
langsung meningkatkan reaktivitas otot polos yang menyebabkan disfungsi
reseptor vagal muskarinik M2. Hal tersebut juga mencetuskan degranulasi sel
mast dan basofil. Sebagai tambahan, eosinofil menjelaskan kaskade
inflamasi dengan memproduksi kemoatraktan sendiri (misalnya RANTES –
regulated upon activation normal T-cell expressed and secreted, eotaxin,
platelet activating factor), yang meningkatkan pengerahan eosinofil ke dalam
focus inflamasi. Kerusakan lebih jauh disebabkan oleh hydrogen peroksida
dan asam halide yang dihasilkan oleh eosinofil peroksidase, dan superoksid
yang dihasilkan oleh ledakan pada saluran nafas – jalur oksidase pada
eosinofil. Eosinofil juga menghasilkan jumlah yang besar sisteinil leukotrien,
leukotrien C4, yang dimetabilsme menjadi leukotrien D4 dan leukotrien E4.
Ketiga mediator lemak ini merupakan substansi reaksi lambat anafilaksis
yang meningkatkan permeabilitas vaskuler dan sekresi mucus dan stimulator
yang baik terhadap kontraksi otot polos. Pada akhirnya, eosinofil yang
teraktivasi menghasilkan banyaknya sitokin inflamasi yang berpotensi untuk
mengatur banyak aspek respon imun 2.

Dikutip dari 2
ASPEK KLINIS EOSINOFILIA

Kebanyakan kasus eosinofilia di dunia karena infeksi cacing dan


paling banyak penyebab di Negara industri adalah penyakit atopi2. Penderita
asma dengan patogenesis adanya inflamasi saluran nafas sering dkaitkan
dengan peningkatan kadar eosinofil dan protein kationik eosinofil. Yoshikawa
T, dkk melaporkan bahwa penderita asma dimana derajat keparahan
bronkokonstriksinya yang dipengaruhi oleh adanya latihan menunjukkan
persentase eosinofil dan kadar protein kationik eosinofil yang lebih tinggi
dibanding control 4. Romagnoli M, dkk melaporkan bahwa penderita asma
dengan control yang jelek dijumpai peningkatan eosinofil dan mediator
eosinofil (protein kationik eosinofil, leukotrien E4, RANTES) terlepas dari
derajat asma kroniknya5. Sementara Nilmi dkk, juga menyebutkan bahwa
dijumpai peningkatan jumlah eosinofil dan kadar protein kationik eosinofil
pada bilasan bronkoalveolar pada penderita cough variant asthma dan asma
klasik6. Penderita eosinofilia karena obat-obatan biasanya tidak berbahaya
tetapi kadang dijumpai juga kerusakan jaringan, seperti pada penumonitis
hipersensitivitas. Infeksi parasit yang menyebabkan eosinofilia biasanya
terbatas pada parasit cacing, dengan pengecualian dua protozoa enteric,
Isospora belli dan Dientamoeba fragilis. Infeksi Strongyloides stercoralis
penting untuk didiagnosa, karena hal tersebut dapat mengakibatkan fatal
pada penderita imunosupresi. Infeksi lainnya yang memegang peranan
diantaranya parasit filarial, trichinosis, da T.canis2.

Eosinofilia terjadi pada berbagai gangguan (table 2) dan


diklasifikasikan sebagai derajat ringan (351-1500 sel / mm3), derajat sedang
(> 1500-5000 sel /mm3), atau derajat berat (>5000 sel / mm3). Diagnosa
banding eosinofilia diperlukan tinjauan riwayat pasien yang menyatakan
wheezing, rhinitis atau eczema (mengindikasikan penyebab atopi); bepergian
ke daerah infeksi cacing (misalnya skistosomiasis) endemis; adanya anjing
peliharaan (mengindikasikan kemungkinan infeksi Toxocara canis); gejala
kanker; atau mengkonsumsi obat-obatan (mengindikasikan kemungkinan
rekasi hipersensitifitas)2.

Dikutip dari 2

KESIMPULAN

Reaksi tubuh terhadap adanya injuri disebut juga inflamasi


(peradangan) atau respon inflamasi Salah satu sel yang berperan untuk
terjadinya reaksi inflamasi adalah eosinofil. Adanya akumulasi eosinofil dapat
terjadi pada beberapa gangguan yang penting seperti penyakit alergi, infeksi
parasit, dan kanker. Perkembangan eosinofil dipengaruhi oleh tiga sitokin
yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. IL-5 merupakan sitokin paling spesifik terhadap
turunan eosinofil dan bertanggung jawab terhadap diferensiasi selektif
eosinofil serta mempengaruhi pengeluaran eosinofil dari sumsum tulang ke
sirkulasi perifer.

Aktivitas eosnofil dipengaruhi oleh factor kemotaktik, factor


kemokinetik, dan factor deaktivasi. Pegaturan eosinofil dipengaruhi oleh sel
mast (mengeluarkan mediator proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α) dan
limfosit Th2 (menghasilkan tiga sitokin yaitu IL-4, IL-13, dan IL-5 serta sel
penyaji antigen (mengaktivasi sel Th2 dan mensekresikan mediator
proinflamasi dengan menginduksi sel tempat tinggal misalnya sel epitel).

Eosinofilia dapat dihubungkan oleh penyebab atopi, infeksi cacing,


gejala kanker, atau reaksi hipersensitifitas. Tinjauan riwayat pasien
diperlukan untuk mendiagnosa banding adanya eosinofilia ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Terr AT. Inflammation. In Parslow T, et al (eds), Medical Immunology,


10th ed, Mc Graw Hill. Singapore. 2003.

2. Rothenberg ME. Eosinophilia. The New England Journal of Medicine


1998, vol 338, no 22, 1592-1600.

3. Leitch AG. Pulmonary Eosinophilias. In Seaton A,et al (eds) ,


Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Blackwell
Science Ltd. Berlin. 2000.

4. Yoshikawa T, Shoji S, Fujii T, et al. Severity of exercise-induced


bronchoconstriction is related to airway eosinophilic
inflammation in patients with astma. Eur Respir J 1998, 12, 879-
884.
5. Romagnoli M, Vachier I, Fuente T, et al. Eosinophilic Inflammation I
sputum of poorly controlled asthmatics. Eur Respi J 2002, 20,
1370-1377.

6. Nilmi A, Amitani R, Suzuki K, et al. Eosinophilic inflammation in


cough variant asthma. Eur Respir J 1998, 11, 1064-1069.

Anda mungkin juga menyukai