Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kebutuhan Cairan

1. Definisi Kebutuhan Cairan

Kebutuhan cairan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia


yang harus dipenuhi. Cairan merupakan komponen tubuh yang berperan
dalam proses homeostatis dan memelihara fungsi tubuh. Air menyusun
sekitar 60% tubuh manusia dan tersebar baik di dalam sel maupun di luar
sel. (Tarwoto & Wartonah, 2015)
Kebutuhan cairan pada setiap individu berbeda-beda tergantung
pada usia individu tersebut. Cairan berfungsi dalam mempertahankan
fungsi tubuh manusia. Kebutuhan cairan sangat dibutuhkan dalam tubuh
untuk mengangkut zat makanan ke dalam sel, sisa metabolisme, zat pelarut
elektrolit, memelihara suhu tubuh, mempermudah eliminasi dan membantu
pencernaan (Vita & Fitriana, 2017).
Pada anak-anak kebutuhan cairan merupakan hal yang penting bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Pada anak 1 tahun pertama, volume
air total dalam tubuh sebanyak 65% – 80% dari berat badan. Persentase ini
akan berkurang seiring bertambahnya usia, menjadi 55% – 60% saat
remaja. Cairan diperlukan untuk berbagai fungsi tubuh, antara lain dalam
metabolisme, fungsi pencernaan, fungsi sel, pengaturan suhu, pelarutan
berbagai reaksi biokimia, pelumas, dan pengaturan komposisi elektrolit.
Secara normal, cairan tubuh keluar melalui urin, feses, keringat, dan
pernapasan dalam jumlah tertentu. Cairan merupakan komponen yang
penting karena status hidrasi yang cukup bermanfaat untuk pertumbuhan
dan perkembangan. Kebutuhan cairan berbeda berdasarkan usia, jenis

7
8

kelamin, massa otot, dan lemak tubuh. Diperkirakan, bayi usia 0 – 6 bulan
memerlukan cairan 700 mL/hari: bayi 7 – 12 bulan memerlukan cairan
800
mL/hari: anak 1 – 3 tahun memerlukan 1300 mL/hari: anak 4 – 8 tahun
memerlukan 1700 mL/hari: anak 9 – 13 tahun memerlukan 2400 mL/hari
pada laki – laki dan 2100 mL/hari pada perempuan; anak 14 – 18 tahun
memerlukan 3300 mL/hari (laki – laki) dan 2300 mL/hari untuk
perempuan. Cairan tersebut dapat berasal dari makanan maupun minuman.
Cairan dari minuman dapat berasal dari air putih, susu, atau jus buah
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
Menurut (Solikhah et al., 2017) cairan dalam tubuh dibagi menjadi
2 , yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler.
a) Cairan intraseluler (CIS) merupakan cairan yang berada dalam sel
tubuh, dan jumlahnya sekitar 70% dari total cairan tubuh atau TBW
(total body water).
b) Cairan ekstraseluler (CES) merupakan cairan yang berada diluar sel
tubuh, menyusun sekitar 30% dari total cairan tubuh. CES terbagi
menjadi tiga yakni Cairan interstisial (CIT), cairan intravaskuler (CIV)
dan cairan transseluler (CTS). Cairan interstisial (CIT) Merupakan
cairan yang berada disekitar sel. Pada bayi baru lahir jumlahnya 2 kali
lebih besar dari orang dewasa. Kemudian cairan intravaskuler (CIV)
adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah. Pada anak-anak
jumlahnya sama dengan orang dewasa yaitu sekitar 5-6 liter.
Sedangkan untuk cairan transeluler (CTS) merupakan cairan yang
berada di rongga khusus pada tubuh. Cairan transeluler terdiri dari
cairan serebrospinal, pericardial, pleural, sinovial, cairan intraokular
dan sekresi lambung.

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan

a. Usia
Pada usia anak-anak dimasa pertumbuhan memerlukan
proporsi jumlah cairan yang lebih besar dibandingkan orang dewasa
9

dikarenakan kebutuhan cairan intake dan output juga lebih besar


dibandingkan usia dewasa. Pada usia anak-anak, rentan mengalami
kekurangan cairan karena pada usia tersebut masih rentan terserang
penyakit yang dapat menyebabkan dehidrasi, sehingga kebutuhan
cairan yang cukup merupakan hal yang penting. Sedangkan pada
usia lansia, penurunan kebutuhan cairan umumnya dipengaruhi
oleh fungsi ginjal yang mulai menurun yang mengakibatkan sistem
perkemihan terganggu. (Aningsi, 2018)

b. Iklim atau temperatur lingkungan


Iklim dan temperatur lingkungan bisa mempengaruhi
kebutuhan cairan seseorang, individu yang tinggal di daerah yang
lingkungannya bersuhu tinggi atau daerah yang panas cenderung
lebih sering mengalami kehilangan cairan melalui keringat.
Umumnya, individu tersebut dapat kehilangan cairan sebanyak 700
ml/jam, sedangkan untuk seseorang yang tidak biasa berada di
lingkungan panas bisa kehilangan cairan hingga 2 liter/jam
(Shakespeare, 2014).

c. Status kesehatan
Status kesehatan anak berpengaruh terhadap kebutuhan
cairan tubuh misalnya pada anak dengan penyakit Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) umumnya akan mengalami demam
tinggi dan pada kondisi yang lebih buruk bisa terjadi kebocoran
plasma akibat dari peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah sehingga terjadi trombositopenia atau fungsi trombosit yang
mengalami penurunan kemudian terjadi perdarahan yang dapat
mengakibatkan kekurangan volume cairan dalam tubuh (Fitria,
2019).
10

d. Aktivitas
Aktivitas seseorang dapat mempengaruhi kebutuhan cairan.
Tingkat intensitas aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme dan berakibat meningkatnya haluaran
cairan melalui keringat. Contohnya pada anak-anak usia sekolah
dengan aktivitas yang padat, mereka akan beresiko kehilangan
cairan (Abdurrahman, 2018).

3. Prinsip Pemberian cairan pada pasien Dengue Hemoragic Fever

Terapi cairan pada pasien DHF dapat dilakukan dengan 2 hal yakni
yang bersifat suportif dan simtomatis. Terapi suportif dilakukan
dengan memberikan cairan pengganti berupa cairan intravena dengan
memahami patogenesis penyakit dan gambaran klinisnya.Terapi
suportif ini bertujuan untuk mengatasi kehilangan cairan yang
diakibatkan oleh kebocoran plasma. Sedangkan terapi simptomatis
merupakan pengobatan yang dilakukan dengan memberikan antipiretik
semacam pemberian paracetamol (Elan dkk., 2011).
Jenis cairan yang umumnya diberikan pada pasien DHF adalah
cairan kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan saline). Ringer
laktat (RL) adalah larutan isotonic yang memiliki osmolalitas sama
dengan cairan tubuh yaitu antara 250 dan 375 mOsm. Cairan kristaloid
diberikan sebagai terapi cairan pada pasien DHF karena komposisi
yang ada pada kristaloid menyerupai komposisi plasma, mudah
disimpan pada suhu ruang dan tidak ada kemungkinan reaksi
anafilaktik, selain itu cairan kristaloid juga mudah didapat.
Pemberian cairan pada pasien DHF menurut (Hadinegoro et al.,
2012) juga harus memperhatikan jumlah cairannya yang harus
disesuaikan dengan derajat penyakit DHF itu sendiri :
11

a. DHF grade I dan II


Pada anak penderita DHF yang memiliki BB < 10 kg terapi
cairan yang diberikan yakni infus RL dengan dosis 75 ml/
kg/BB/hari, selain itu dapat pula diberikan cairan oralit, jus
buah, air putih, susu atau minuman isotonic secukupnya.
Cairan pada pasien DHF grade I dan II juga bisa diberikan
dalam waktu 24 jam dengan ketentuan :
1) 100 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB <25 kg
2) 75 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB 26 – 30 kg
3) 60 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB 31 – 40 kg
4) 50 ml/ Kg Bb/24 jam untuk anak dengan BB 41 – 50 kg

b. DHF grade III

Pada pasien DHF grade III diberikan cairan dengan infus RL


dosis 20 ml/KgBb/jam, apabila kondisi pasien membaik maka
pemberian cairan bisa dilanjutkan dengan RL 10 ml/KgBb/jam.
Jika nadi dan tekanan darah pasien stabil maka pemberian
cairan dilanjutkan lagi berdasarkan kebutuhan dalam 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dengan perhitungan
sebagai berikut :

1) 100 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB <25 kg


2) 75 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB 26 – 30 kg
3) 60 ml/KgBb/24 jam untuk anak dengan BB 31 – 40 kg
4) 50 ml/ KgBb/24 jam untuk anak dengan BB 41 – 50 kg

Jika pada saat diberikan RL 10 ml/KgBb dalam 1 jam


kondisi pasien tidak membaik dengan tekanan darah masih
menurun dan dibawah 80 mmHg maka pasien perlu
memperoleh plasma ekspander sebanyak 10 ml/KgBb/jam
diulangi maksimal 30 ml/KgBb/24 jam. Pemberian cairan bisa
dilanjutkan seperti ketentuan diatas apabila kondisi pasien
membaik.
12

c) DHF grade IV
1) Pemberian cairan cukup dengan infus RL dosis 30
ml/KgBb/jam jika tekanan darah baik, maka lanjutkan
dengan RL sebanyak 10 ml/KgBb/jam, seperti perhitungan
diatas.
2) Jika tekanan darah memburuk maka perlu dipasang 2
saluran infus, dengan fungsi satu untuk RL 10
ml/KgBb/jam dan yang lain untuk pemberian plasma
expander sejumlah 20 ml/KgBb/jam selama 1 jam, jika
kondisi membaik maka dilanjutkan dengan pemberian RL
sebagaimana perhitungan diatas.
3) Jika kondisi masih memburuk, maka berikan plasma
ekspander 20 ml/KgBb/jam, apabila membaik berikan RL
sesuai perhitungan di atas
4) Jika kondisi tetap buruk, maka perlu diberikan plasma
ekspander 10 ml/KgBb/jam diulangi maksimum 30
ml/KgBb/24 jam. Apabila membaik maka lanjutkan
dengan pemberian RL sebagaimana perhitungan di atas
5) Apabila setelah 2 jam pemberian plasma dan RL tidak
menunjukkan perbaikan, maka perlu dikonsultasikan ke
bagian anestesi untuk perlu atau tidaknya dipasang Central
Vascular Pressure (CVP).

Pada pasien DHF perlu diberikan banyak cairan untuk


mengganti cairan yang hilang atau keluar akibat adanya
kebocoran plasma, cairan yang dapat diberikan dianjurkan
memiliki kandungan karbohidrat, gula dan elektrolit contohnya
pada minuman isotonic, susu atau jus buah, karena air putih saja
tidaklah cukup untuk menggantikan elektrolit pada tubuh pasien.
13

4. Gangguan dan Masalah dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan

a. Hipovolemia
Hipovolemia merupakan suatu kondisi akibat kekurangan volume
cairan ekstraseluler (CES) dan dapat terjadi karena kehilangan
cairan melalui kulit, ginjal, gastrointestinal, perdarahan sehingga
dapat menimbulkan syok hipovolemik (Tarwoto & Wartonah,
2015).
Tanda dan gejala dari hipovolemia adalah sebagai berikut :
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Nadi teraba lemah
3) Tekanan darah menurun
4) Turgor kulit menurun
5) Membrane mukosa kering
6) Volume urin menurun
7) Hematokrit meningkat

b. Hipervolemia
Merupakan kondisi ketidakseimbangan cairan tubuh yang ditandai
dengan kelebihan cairan di ruang ekstrasel yang umumnya
disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal, biasanya ditandai dengan
edema akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan
tekanan osmotic (Wahyudi & Wahid, 2016)

5. Teknik Menghitung Balance Cairan pada Anak

a. Rumus Balance Cairan


Balance Cairan = Intake Cairan – Output Cairan
Tujuan menghitung balance cairan adalah untuk mengetahui
keseimbangan cairan antara input dan output. Untuk menghitung
14

balance cairan pada seorang anak tergantung pada umur anak


tersebut dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Usia 1-3 tahun : 8 ml/KgBb/hari
2) Usia 5-7 tahun : 8 - 8,5 ml/KgBb/hari
3) Usia 7-11 tahun : 6 - 7 ml/KgBb/hari
4) Usia 12 – 14 tahun : 5 – 6 ml/KgBb/hari
b. Untuk menghitung Insensible Water Loss (IWL) pada seorang anak
dapat menggunakan rumus
IWL = ( 30 – usia anak dalam tahun) x ml/KgBb/hari
c. Rumus IWL Kenaikan Suhu
IWL + 200 (suhu tinggi – 36,8⁰C)

d. Untuk menghitung cairan infus dapat menggunakan rumus :

Jumlah cairan TPM x 60


Jumlah waktu factor tetesan

Gambar 1.1 Rumus menghitung cairan infus

Keterangan :
TPM : Tetes Per Menit
Factor tetes : Mikro : 60
Makro : 20
Transuset : 15

B. Konsep Dengue Hemorrhagic Fever

1. Definisi DHF

Penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu


masalah kesehatan di Indonesia yang jumlah penderitanya semakin
meningkat dan penyebarannya semakin luas , umumnya menyerang pada
usia anak-anak umur kurang dari 15 tahun dan juga bisa menyerang pada
orang dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2018)
15

Penyakit DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue


yang merupakan Arbovirus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
(Aedes Albopictus dan Aedes Aegepti) dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. (Candra et al., 2019)
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang
disertai dengan pembesaran hati dan manifestasi perdarahan yang
disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya
adalah Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal
dengan DEN- 1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Pada keadaan yang parah
bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok
hipovolemik akibat kebocoran plasma, keadaan ini disebut Dengue Shock
Syndrome (DSS) (Dania, 2016).
Dapat disimpulkan bahwa Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk yang ditandai dengan gejala demam,
nyeri otot dan sendi dan pada kondisi parah dapat disertai dengan
perdarahan yang dapat beresiko menyebabkan syok dan kematian.

2. Etiologi

Dengue Hemorragic Fever (DHF) disebabkan oleh virus dari


keluarga Flaviviridae dan terdapat empat serotipe virus yang berbeda
yakni (DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4). Virus tersebut
dapat menginfeksi tubuh manusia melalui perantara nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Apabila seseorang terinfeksi oleh satu serotipe virus
dengue maka dapat menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap
serotipe yang menginfeksi tersebut. Namun, jika seseorang terinfeksi oleh
serotipe yang berbeda, maka kekebalan tidak dapat dihasilkan pada
tubuhnya, bahkan Infeksi sekunder oleh serotipe lain ini dapat
meningkatkan risiko berkembangnya demam berdarah yang parah.
16

Seseorang yang tinggal di daerah endemik dengue dapat terinfeksi lebih


dari satu kali dengan serotipe berbeda (WHO, 2021).
Faktor pemicu infeksi virus dengue yakni kekebalan tubuh, apabila
sistem kekebalan tubuh seseorang dalam keadaan baik maka akan mampu
mengatasi virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan
nyamuk, sehingga seseorang tidak akan mengalami DHF. Faktor
lingkungan juga menjadi pemicu adanya virus dengue, curah hujan yang
tinggi dan lingkungan yang lembab juga dapat mempermudah
perkembangbiakan nyamuk aedes aegepti penyebab virus dengue (Kadafi,
2018).

3. Patofisiologi

Penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dimulai ketika


nyamuk aedes aegepti yang telah terinfeksi oleh virus dengue menggigit
manusia dan menularkan virusnya. Virus yang dibawa oleh nyamuk
tersebut masuk ke dalam peredaran darah manusia, Kemudian virus
bereaksi dengan antibodi dan mengakibatkan tubuh menghasilkan sistem
komplemen C3 dan C5 dan akan dilepas C3a dan C5a yang merupakan
dua komponen yang memicu terjadinya peningkatan permeabilitas dinding
kapiler dan mengakibatkan kebocoran plasma. (Widyorini dkk., 2017)
Terjadinya kebocoran plasma ini menyebabkan cairan yang ada di
intravaskuler keluar ke ekstravaskuler sehingga menyebabkan terjadinya
kekurangan cairan yang dialami oleh pasien Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF). Akibat dari kebocoran plasma juga dapat menyebabkan
berkurangnya volume plasma yang secara otomatis jumlah trombosit
menjadi berkurang, terjadinya hipotensi (tekanan darah rendah) yang
dikarenakan kekurangan hemoglobin, terjadinya hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit > 20%) dan renjatan (syok) (Nisa, 2019).
17

4. Pathway

Arbovirus masuk ke
Beredar Infeksi
tubuh manusia mll
dalam &
Membentuk virus
Mengaktifk
nyamuk aedes
pembuluh
melepaskan zat andengue
system
aegepty
C3a,C5a komplemen
PGE₂
hipotalamus

Peningkatan
RenjatanPermeabilitas
Hipovolemik dan hipotensi
Hipertermi Peningkatan reabsorbsi Na₊ dan H₂O

Kebocoran Plasma

Kekurangan volume cairan (Hipovolemia)

Syok Hipovolemik

Gambar 2.2 Pathway DHF

Sumber : (Lisdianawati, 2014)


18

5. Klasifikasi

Klasifikasi DHF menurut (WHO, 2011) dapat diuraikan sebagai berikut.


1) Derajat I: Demam terjadi 2-7 hari yang disertai dengan nyeri
dibelakang mata (retro orbital), sakit kepala, nyeri otot (myalgia),
nyeri sendi (arthralgia) dan uji tourniquet (+). Hasil
laboratorium menunjukkan trombositopenia

(<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran plasma.


2) Derajat II: ciri-cirinya sama dengan Derajat I akan tetapi
disertai dengan perdarahan spontan seperti adanya
epistaksis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Hasil
laboratorium menunjukkan trombositopenia

(<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran plasma.


3) Derajat III: manifestasinya sama dengan derajat II
disertai dengan kegagalan sirkulasi (nadi yang cepat dan
lemah, tekanan darah menurun atau hipotensi, kulit
teraba lembab dan dingin, gelisah). Hasil laboratorium

menunjukkan adanya trombositopenia (<100.000/mm3)


disertai bukti kebocoran plasma.
4) Derajat IV: syok berat disertai dengan tekanan darah dan
nadi tidak terukur. Hasil laboratorium menunjukkan

trombositopenia (<100.000/mm3) disertai bukti


kebocoran plasma.

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) menurut


(Indriyani & Gustawan, 2020) ditandai dengan:
1) Demam yang terjadi selama 2-7 hari diikuti oleh fase kritis
selama 2-3 hari. Pada fase ini pasien tidak demam tetapi
memiliki resiko terjadi renjatan jika tidak mendapat
19

penanganan yang adekuat.


2) Muncul perdarahan ditandai dengan uji tourniquet positif,
peteki (bintik merah dibawah kulit yang menandakan
terjadinya perdarahan), ekimosis (pendarahan di bawah kulit
berupa bintik ungu gelap berukuran lebih dari 1 cm),
purpura (bintik merah dengan permukaan kulit yang lebih
menonjol), epitaksis (perdarahan yang terjadi di hidung),
perdarahan pada mukosa, perdarahan pada gusi serta
hematemesis melena.
3) Nyeri otot, tulang sendi, abdomen dan ulu hati, nyeri kepala
dan belakang mata
4) Takikardi (nadi cepat) perfusi jaringan buruk ditambah
dengan nadi lemah, penurunan tekanan darah (< 20 mmHg)
atau hipotensi dengan akral dingin dan/atau tampak gelisah
5) Mual, muntah , tidak nafsu makan, diare, konstipasi
6) Terjadi pembesaran hati
7) Trombositopeni (100.000/mmꝫ atau kurang)
8) Hemokonsentrasi (terlihat dari peningkatan hematokrit >
20%).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik pada Dengue


Hemorrhagic Fever (DHF) menurut (Suciari, 2019) menunjukkan
hasil berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : terjadi trombositopenia
akibat munculnya antibodi terhadap trombosit
(100.000/mmꝫ atau kurang), terjadi hemokonsentrasi
akibat dari peningkatan kadar sel dan penurunan volume
plasma darah yang terjadi pada pasien DHF (hematokrit
meningkat 20 % atau lebih)
b. Hiponatremia (suatu kondisi kadar sodium atau natrium <
20

135 mEq/L)
c. Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah < 3,8
mEq/L)
d. Uji tourniquet positif ( ditemukan 20 petekie atau lebih
dalam 2,5 cm₂.)
e. Radiologi photo thorax 50% ditemukan efusi pleura,
terjadi karena adanya rembesan plasma
f. Pemeriksaan serologi : uji HI (hemagglutination inhabition
test)
g. Pemeriksaan imunoserologi mulai hari ke 3-5 dan
meningkat sampai minggu ke-3 serta menghilang setelah
60-90 hari, IgG pada infeksi primer dan mulai terdeteksi
pada hari ke 14 sedangkan pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi pada hari ke 2.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


menurut (Yuliastati & Arnis, 2016) terbagi menjadi 2 yaitu
penatalaksanaan DHF tanpa syok dan penatalaksanaan DHF
dengan Syok.
a. Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic Fever Tanpa Syok
Penatalaksanaan disesuaikan dengan gambaran klinis maupun
fase, dan untuk diagnosis DHF pada derajat I dan II
menunjukkan bahwa anak mengalami DHF tanpa syok
sedangkan pada derajat III dan derajat IV maka anak
mengalami DHF disertai dengan syok.
Tatalaksana untuk anak yang dirawat di rumah sakit meliputi:
1) Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus
buah, air sirup, susu untuk mengganti cairan yang
hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
2) Berikan paracetamol bila demam, jangan berikan
21

asetosal atau ibuprofen karena dapat merangsang


terjadinya perdarahan.
3) Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
a) Berikan hanya larutan isotonic seperti ringer
laktat/asetat.
b) Kebutuhan cairan parenteral:
1. Berat badan < 15 kg : 7 ml/KgBb/jam
2. Berat badan 14-40 kg : 5 ml/KgBb/jam
3. Berat badan > 40 kg : 3 ml/KgBb/jam
c) Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta
periksa laboratorium (hematokrit, trombosit,
leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam.
d) Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis
membaik, turunkan jumlah cairan secara bertahap
sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya
hanya memerlukan waktu 24 - 48 jam sejak
kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah
pemberian cairan.
4) Apabila terjadi perburukan klinis maka berikan
tatalaksana sesuai dengan tatalaksana syok
terkompensasi.

b. Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic Fever dengan Syok


1) Perlakukan sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2 - 4
liter per menit secara nasal.
2) Berikan 20 ml/KgBb/jam larutan kristaloid seperti ringer
laktat/asetat secepatnya.
3) Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian
kristaloid 20 ml/KgBb secepatnya (maksimal 30 menit)
atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/KgBb/jam
maksimal 30 ml/KgBb/24 jam.
22

4) Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan


hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan
tersembunyi: berikan transfusi darah/komponen.
5) Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan
perfusi perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar),
jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/KgBb dalam 2 - 4
jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4 - 6 jam sesuai
kondisi klinis laboratorium.
6) Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan
setelah 36 - 48 jam. Perlu diingat banyak kematian terjadi
karena pemberian cairan yang terlalu banyak dari pada
pemberian yang terlalu sedikit.

C. Konsep Anak Usia Sekolah

1. Definisi dan Karakteristik Anak Usia sekolah

Menurut (Amrizal, 2018) anak usia sekolah merupakan golongan


anak usia 6- 12 tahun yang sudah dapat menunjukkan rangsang
intelektual dan melakukan tugas-tugas belajar yang menuntut
kemampuan intelektual serta kemampuan kognitif seperti menulis,
menghitung dan membaca. Anak usia sekolah umumnya sudah sangat
peka terhadap stimulus yang dirasakan yang mengancam keutuhan
tubuhnya. Untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan anak
diusia ini harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan
berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya.
Anak pada usia ini juga sudah lebih mampu berkomunikasi dengan
orang dewasa. Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000
kata dikuasai dan anak sudah mampu berpikir secara konkret.
Anak usia sekolah (6-12 tahun) umumnya mulai mengenal dunia
dan suasana baru di lingkungannya, selain itu mereka juga cenderung
mulai
23

berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya. Ciri-ciri atau


karakteristik yang biasa dimiliki oleh anak pada usia sekolah (6-12
tahun) adalah banyak bermain diluar rumah, melakukan aktivitas fisik
yang cukup tinggi sehingga beresiko terkena penyakit, dan perilaku
hidup yang tidak sehat (Supariasa, 2016).
Anak usia sekolah biasanya cenderung banyak menghabiskan
waktunya di dalam ruangan kelas dari pagi hingga sore yang apabila
sekolah tidak memiliki sanitasi dan lingkungan yang baik dan bersih
dapat beresiko menjadi tempat bersarangnya nyamuk, sehingga dapat
menjadi penyebab terjadinya penyakit Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF). Anak-anak yang telah terpapar penyakit DHF dapat beresiko
mengalami kekurangan cairan dan elektrolit akibat adanya demam dan
kebocoran plasma. Selain itu Anak-anak juga belum mampu untuk
menyadari dengan cepat, bahwa mereka membutuhkan asupan air
selama mereka beraktivitas. Jika kebutuhan cairan dan elektrolit anak
tidak dipenuhi, hal tersebut dapat berbahaya karena akan menyebabkan
anak-anak mudah kekurangan cairan atau dehidrasi. Ditambah dengan
aktivitas yang padat selama proses belajar mengajar, hal ini akan
membahayakan anak-anak. Kekurangan cairan juga akan membuat
anak-anak cenderung untuk tidak dapat berkonsentrasi dengan
maksimal dalam menyerap pelajaran (project child, 2018).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan pada Anak Usia Sekolah

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik anak pada usia 6-12 tahun cenderung lebih


lambat dan konsisten bila dibandingkan dengan masa usia dini.
Rata-rata anak usia 6-12 tahun mengalami penambahan BB sekitar
2,5 - 3,5 kg dan penambahan tinggi 5-7 cm per tahun. Selama
proses masa ini terjadi, ukuran sistem rangka dan otot
mengalami
24

pertambahan ukuran. Pada saat yang sama kekuatan otot secara


berangsur-angsur dapat bertambah dan gemuk bayi (baby fat)
berkurang. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan
dan latihan (olahraga). Kemudian adanya faktor perbedaan jumlah
sel- sel otot, yang menyebabkan umunnya anak laki-laki lebih kuat
dari anak perempuan (Akmala, 2015).

b. Perkembangan Psikososial (Erikson)

1) Erikson menyatakan bahwa krisis psikososial pada anak usia 6 –


12 tahun merupakan “ industry vs inferioritas”, industri
maksudnya kemampuan anak dalam menguasai tugas
perkembangan (kepandaian), sedangkan inferioritas artinya
perasaan seorang anak yang merasa rendah diri dan tingkat
kepercayaan diri yang kurang akibat dari suatu kegagalan
dalam memenuhi standar yang ditentukan oleh orang lain.
1. Hubungan dengan orang terdekat anak meluas hingga
mencakup teman sekolah dan guru.
2. Anak usia sekolah secara normal telah menguasai tiga tugas
perkembangan pertama (kepercayaan, otonomi, dan
inisiatif) dan saat ini berfokus pada penguasaan kepandaian
(Industri).
3. Perasaan industri berkembang dari suatu keinginan untuk
pencapaian.
4. Perasaan inferioritas dapat tumbuh dari harapan yang tidak
realistis atau perasaan gagal dalam memenuhi standar yang
ditetapkan orang lain untuk anak. Ketika anak merasa tidak
adekuat, rasa percaya dirinya akan menurun.
2) Rasa takut yang sering terjadi pada anak usia sekolah yakni
gagal di sekolah, gertakan, sikap intimidasi, sesuatu yang buruk
terjadi pada orang tua nya. Untuk itu, orang tua dan pemberi
asuhan lainnya harus dapat membantu anak dalam mengurangi
25

rasa takut dengan cara berkomunikasi secara empatik dan


perhatian tanpa adanya over protective.
3) Anak pada usia sekolah (6- 12 tahun) cenderung merasa senang
jika orang-orang mendengarkan mereka dan memahami
perkataannya.
4) Anak usia sekolah mulai menerapkan pengendalian diri akan
tetapi tetap membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari
orang dewasa.

c. Perkembangan Psikoseksual Anak (Freud)

1) Anak usia 6-12 tahun mengalami periode latensi Periode


latensi yang menunjukan tahap yang relatif tidak
memperhatikan masalah seksual sebelum masa pubertas dan
remaja
2) Selama periode latensi, perkembangan harga diri berkaitan erat
dengan perkembangan keterampilan untuk menghasilkan
konsep nilai dan menghargai seseorang.
3) Pada tahap awal usia sekolah, anak memperoleh lebih banyak
pengetahuan dan sikap mengenai seks. Selama usia sekolah,
anak menyaring pengetahuan dan sikap tersebut.
4) Pertanyaan mengenai seks memerlukan jawaban jujur yang
berdasarkan tingkat pemahaman anak.

d. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif pada anak usia sekolah menurut (Surya et


al., 2018) adalah sebagai berikut :
1) Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan
kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah
2) Adanya sikap mematuhi peraturan-peraturan permainan
tradisional
26

3) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri


4) Adanya minat terhadap kehidupan praktis yang konkret
5) Amat realistis, ingin tahu, dan ingin belajar.

e. Perkembangan Moral (Kohlberg)

Menurut Kohlberg, anak anak sampai pada tingkat konvensional


tahap konformitas peran biasanya antara usia 10-12 tahun. Mereka
mengalami peningkatan keinginan untuk menyenangkan orang
lain.

D. Konsep Asuhan Keperawatan

Menurut (Nursalam dkk., 2013), pengkajian pada pasien anak dengan


Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah :

1. Pengkajian

1) Identitas Pasien
Pertama yang perlu dikaji adalah identitas pasien yang terdiri dari
nama, umur (penyakit DHF umumnya sering menyerang anak-anak
usia < 15 tahun ), alamat, jenis kelamin, pendidikan anak, tanggal
dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa. Selain itu
perlu adanya identitas penanggung jawab meliputi nama orang tua
atau penanggung jawab, pendidikan orang tua, pekerjaan, agama
dan suku bangsa. Pengkajian identitas pasien perlu dilakukan
tujuannya untuk identifikasi pasien saat dilakukan tindakan
keperawatan agar terhindar dari tindakan salah pasien.

2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasanya terjadi pada pasien Dengue
Hemorrhagic Fever dengan permasalahan gangguan keseimbangan
cairan saat ke Rumah sakit adalah demam tinggi, anak tampak
27

lemah, dan terdapat tanda dehidrasi. Keluhan ini menandakan


masuknya virus dengue ke dalam tubuh, serta dapat menimbulkan
dehidrasi dan syok akibat kebocoran plasma yang mungkin terjadi
apabila demam pada DHF tidak segera diatasi.

3) Riwayat Penyakit sekarang


Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang yang perlu dikaji pada
pasien DHF dengan masalah kebutuhan cairan meliputi keluhan
demam yang terjadi pada pasien, umumnya ditemukan data demam
mendadak disertai menggigil serta demam yang turun antara hari
ke 3 - 7 dan kondisi anak yang lemah terkadang disertai dengan
keluhan nyeri telan, mual, muntah, nyeri otot dan persendian.
Kemudian kaji apakah terdapat manifestasi perdarahan pada kulit,
gusi , melena dan hematemesis. Selain itu kaji jumlah cairan yang
bisa diukur melalui oral, parental atau internal. Kemudian jumlah
pengeluaran cairan yang dapat diukur melalui jumlah produksi
urine, feses, muntah atau pengeluaran lainnya, status
kehilangan/kelebihan cairan dan perubahan berat badan yang dapat
menentukan tingkat dehidrasi pasien, tanyakan pada pasien
maupun keluarga kronologi dari awal mula pasien mengalami
keluhan hingga di bawa ke tempat pelayanan kesehatan.

4) Riwayat penyakit dahulu


Pada pengkajian ini yang perlu dikaji pada pasien DHF adalah
penyakit apa saja yang sebelumnya pernah diderita pasien. Pada
anak biasanya bisa mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe
virus yang lain. Dalam pengkajian riwayat penyakit dahulu pada
anak DHF dapat digunakan sebagai data untuk mengantisipasi
resiko komplikasi yang mungkin terjadi.
28

5) Riwayat Kesehatan Keluarga


Apakah terdapat anggota keluarga yang sedang menderita DHF,
karena apabila ada anggota keluarga yang sedang menderita
penyakit DHF, maka kemungkinan dapat menularkan pada anggota
keluarga yang lain.

6) Riwayat Imunisasi
Pada riwayat imunisasi yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi
dan umur pemberiannya, apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya. Jika anak memiliki kekebalan yang baik maka resiko
kemungkinan timbulnya komplikasi dapat dihindarkan.

7) Kondisi Lingkungan
Penyakit DHF sering terjadi pada lingkungan yang memiliki
kondisi lembab, daerah padat penduduk, dan kondisi lingkungan
yang kotor, banyak terdapat air menggenang dan baju
bergelantungan. Data pada pengkajian kondisi lingkungan ini dapat
digunakan untuk data fokus dalam menentukan masalah.

8) Pola Fungsional Gordon


1. Pola Persepsi dan manajemen Kesehatan
Menjelaskan mengenai persepsi dan penanganan kesehatan,
tujuannya untuk mengetahui cara penanganan keluarga ketika
terdapat anggota keluarga nya yang sakit dan harus diberi
pengobatan apa serta dibawa kemana keluarga yang sakit
tersebut.

2. Pola Nutrisi dan Metabolik


Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
status nutrisi dan keseimbangan cairan pada anak yang
menderita DHF. Dalam pengkajian ini menunjukkan masukan
29

nutrisi, balance cairan dan elektrolit, pola makan, fluktuasi


berat badan dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan, mual
atau muntah. Selain itu pada pengkajian ini juga menunjukkan
informasi mengenai riwayat pasien tentang konsumsi makanan
dan cairan, tipe intake makan dan minum dalam sehari,
penggunaan suplemen dan vitamin makanan, gangguan nafsu
makan, mual muntah, rasa panas di perut rasa lapar dan haus
berlebihan, karena pada umumnya pasien anak DHF
mengalami gangguan pola nutrisi dan cairan.

3. Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola fungsi ekskresi, kandung kemih dan kulit.
Kaji bagaimana frekuensi defekasi, bagaimana kebiasaan
defekasi, bagaimana karakteristik urine dan feses, dan apakah
terdapat masalah defekasi. Kemudian apakah pasien sering
BAK, bagaimana jumlahnya sedikit atau banyak, terasa sakit
atau tidak. Pada anak DHF biasanya terdapat masalah eliminasi
seperti diare atau konstipasi sehingga mengakibatkan sering
terjadi gangguan keseimbangan cairan pada klien. Kondisi
parah bisa terjadi pada DHF grade III dan IV yaitu terjadinya
melena (pendarahaan pada usus besar ditandai dengan tinja
berwarna hitam)

4. Pola Tidur dan Istirahat


Kaji bagaimana pola tidur pasien, persepsi tentang energi,
bagaimana dengan jam tidur siang dan malam pasien,
kemudian apakah terdapat masalah selama tidur. Pada pasien
DHF biasanya mengalami nyeri otot dan sendi yang dapat
mengganggu kualitas dan kuantitas tidurnya.
30

5. Pola Aktivitas dan latihan


Menjelaskan bagaimana aktivitas dan latihan/gerak yang biasa
dilakukan oleh pasien, latihan dan gerak sangat penting untuk
kesehatan. Kemampuan pasien dalam menata diri apabila
tingkat kemampuan
0 : mandiri
1 : dengan alat bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang dan alat
4 : tergantung dalam melakukan ADL.

Pengkajian pola aktivitas dan latihan pada anak DHF ini


bertujuan untuk mengetahui motorik anak ketika sehat atau
sakit maupun sebelum sakit.

6. Pola Peran dan hubungan


Kaji bagaimana hubungan dan peran anak dalam keluarga,
masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Tujuan dari
pengkajian ini adalah untuk mengetahui gambaran peran anak
dalam keluarga.

7. Pola persepsi sensori


Menggambarkan bagaimana pola persepsi sensori seperti
apakah fungsi penglihatan, pendengaran, pembau, nyeri dan
kompensasinya terhadap tubuh. Sedangkan kognitif di
dalamnya mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap
peristiwa yang telah lama atau baru terjadi dan kemampuan
orientasi terhadap tempat, nama orang atau benda dan waktu.
Pengkajian pola persepsi dan sensori perlu dilakukan karena
pada anak DHF biasanya terjadi nyeri otot dan sendi, sakit
kepala, dan peningkatan suhu yang berpengaruh pada
keseimbangan cairan.
31

8. Pola persepsi diri/ Konsep diri


Tujuan dari pengkajian persepsi diri ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pasien (anak) dalam menerima
keadaannya diri nya, pada pengkajian ini bisa didapatkan data
mengenai bagaimana persepsi, sikap dan gambaran diri pasien
pada sakit yang dialaminya, apakah pasien merasa cemas dan
takut jika penyakitnya tidak bisa disembuhkan.

9. Pola seksual dan reproduksi


Pengkajian seksual dan reproduksi pada anak DHF bertujuan
untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan sistem
reproduksi anak. Pada pengkajian ini menjelaskan apakah
pasien berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, apakah sakit
yang dialami berdampak pada seksualitas pasien, apakah
terdapat masalah dengan organ reproduksinya.

10. Pola Mekanisme Koping


Kaji bagaimana kemampuan pasien untuk mengatasi stress dan
bagaimana peran orang tua, apakah terdapat penggunaan obat
untuk mengatasi stress, bagaimana interaksi dengan orang
terdekat, kontak mata, metode koping yang biasa digunakan,
efek penyakit terhadap stress. Pengkajian mekanisme koping
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara anak untuk
mengatasi stress selama berada di rumah sakit.

11. Pola Nilai dan Kepercayaan


Bagaimana penilaian dan keyakinan anak dalam menjalankan
ibadah sesuai agama yang di anut, bagaimana persepsi anak
tentang agama atau keyakinan dan kegiatan keagamaan dan
budaya apa yang di ikuti anak.
32

9) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien DHF meliputi
inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi secara head to toe.
Keadaan fisik pada anak dengan DHF dilihat berdasarkan
tingkatannya :
1) DHF grade I : keadaan compos mentis, keadaan umum lemah ,
tanda-tanda vital nadi lemah
2) DHF grade II : keadaan compos mentis, keadaan umum lemah,
terjadi perdarahan spontan berupa petekie, perdarahan pada
gusi dan telinga, nadi lemah, kecil dan tidak teratur.
3) DHF grade III : kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum
lemah, nadi lemah, kecil, tidak teratur, tensi menurun.
4) DHF grade IV : kesadaran koma, nadi tidak teraba, tensi tidak
terukur, pernapasan tidak teratur, ektremitas dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.

1. Sistem Integumen
1) Pada kulit terdapat petekie, turgor kulit menurun (ketika
dicubit kulit perut kembali >2 detik), keringat dingin dan
lembab
2) Pada kuku tampak sianosis atau tidak

2. Kepala dan leher


Umumnya pada pasien DHF di bagian kepala akan terasa nyeri,
konjungtiva anemis, muka tampak kemerahan akibat demam
(flusy). Pada DHF grade II, III, IV akan mengalami epistaksis
atau perdarahan di hidung, perdarahan telinga dan tenggorokan
yang mengalami hiperemia pharing, perdarahan gusi dan nyeri
telan.

3. Thoraks
Inspeksi : apakah dada tampak simetris dan tidak ada lesi
33

Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan


Perkusi : apakah paru saat diperkusi berbunyi sonor
Auskultasi : apakah ada bunyi tambahan
Pada pasien DHF terkadang terasa sesak dan pada foto toraks
menunjukkan adanya cairan yang berada pada paru-paru
sebelah kanan (efusi pleura)

4. Abdomen
Pada pemeriksaan inspeksi tampak perut rata dan tidak terdapat
pembesaran hati. Saat di palpasi apakah terdapat nyeri tekan
dan edema. Pada pemeriksaan perkusi apakah terdapat suara
redup, kemudian pada auskultasi apakah terdapat kebisingan
usus.

5. Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas pasien DHF yang perlu dikaji
ialah apakah teraba akral dingin nyeri otot,sendi dan tulang
atau tidak.

6. Genitalia
Pada pemeriksaan genitalia yang perlu dikaji ialah apakah
keadaan genitalia pasien bersih atau tidak dan apakah terdapat
kelainan.

10) Pemeriksaan Diagnostik


Pada pemeriksaan diagnostik umumnya didapatkan data :
1) Hb dan PCV meningkat (≥ 20 %)
2) Trombositopeni (≤ 100.000/ml)
3) Leukopenia (mungkin normal atau terjadi leukositosis)
4) Ig D dengue positif
5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan adanya
hipoproteinemia, hipokloremia, hiponatremia
34

6) Ureum dan PH darah mungkin meningkat


7) Asidosis metabolic pCO₂ < 35 – 40 mmHg, HCOꝫ rendah
8) SGOT / SGPT mungkin menurun.
9) Sistem respirasi
Perdarahan hidung (epitaksis), pernapasan dangkal , takipnea,
pergerakan dada simetris, perkusi sonor pada auskultasi terdengar
ronki, efusi pleura (cracless).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang kemungkinan didapatkan pada pasien anak


DHF dengan gangguan pemenuhan kebutuhan cairan menurut Tim Pokja
SDKI PPNI (2016) adalah:
Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler

3. Perencanaan Keperawatan

Perencanaan Keperawatan merupakan tindakan yang dilakukan untuk


membantu pasien dalam mengatasi masalah keperawatan dan mencapai
hasil serta tujuan yang diharapkan. Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI
(2018), perencanaan keperawatan pada pasien DHF antara lain :

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Kriteria hasil

Hipovolemia Tujuan Manajemen Manajemen


berhubungan Setelah dilakukan hipovolemia hipovolemia
dengan tindakan (I.03116) (I.03116)
peningkatan keperawatan Observasi : Observasi
permeabilitas selama 3 x 24 jam, 1. Monitor tanda 1. Tanda-tanda vital
kapiler maka gangguan tanda vital merupakan bagian
35

(D.0023) kebutuhan cairan 2. Periksa tanda yang penting


dapat teratasi dan gejala dalam melakukan
dengan hipovolemia pemeriksaan atau
kriteria hasil : (misal: tindakan pada
1. Turgor kulit frekuensi nadi pasien
membaik (<2 meningkat, nadi 2. Untuk
detik) teraba lemah, mengidentifikasi
2. Output urine tekanan darah perubahan-
meningkat menurun, turgor perubahan yang
3. Tekanan darah kulit menurun, terjadi pada
dan nadi volume urine keadaan umum
dalam batas menurun, pasien terutama
normal hematokrit untuk
4. Kadar meningkat) mengetahui tanda-
hematokrit dan 3. Monitor intake tanda
hemoglobin output cairan hipovolemik agar
dalam batas 4. Monitor hasil bisa
normal pemeriksaan mendapatkan
laboratorium penanganan
Terapeutik segera
5. Berikan asupan 3. Untuk membantu
cairan oral air dalam
putih ± 1000 ml menganalisis
dan/ ditambah keseimbangan
susu cairan dan derajat
Edukasi kekurangan
6. Anjurkan cairan.
memperbanyak 4. Untuk kebutuhan
asupan cairan pengganti dan
oral keefektifan terapi
Kolaborasi Terapeutik
36

7. Kolaborasi 5. Untuk menambah


pemberian cairan cairan tubuh
isotonis melalui pasien per oral
intravena Edukasi
(misal:RL) dosis 6. Untuk mengedukasi
disesuaikan pasien dan keluarga
dengan derajat dalam memenuhi
DHF dan berat kebutuhan cairan
badan pasien. tubuh pasien per oral
Kolaborasi
7. Untuk meningkatkan
jumlah cairan tubuh
dan mencegah
terjadinya
hipovolemik.

Table 1.1 Intervensi Keperawatan


37

4. Implementasi Keperawatan

Tahap Implementasi merupakan tahap dimana perawat


mengimplementasikan intervensi keperawatan. Implementasi terdiri dari
melakukan dan mendokumentasikan tindakan keperawatan yang
diperlukan untuk melaksanakan intervensi atau program keperawatan
(Kozier & Glenora, 2010). Implementasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu
persiapan, intervensi dan dokumentasi
1) Persiapan
a. Meninjau ulang tindakan antisipasi dari asuhan keperawatan yang
akan dilakukan
b. Menganalisis pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang
dibutuhkan
c. Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul
d. Mempersiapkan peralatan (resources) yang diperlukan
e. Mempersiapkan lingkungan yang kondusif mengidentifikasi
aspek-aspek hukum dan kode etik keperawatan.

2) Intervensi
a. Independen
Asuhan keperawatan independen merupakan tindakan perawat
yang dilakukan tanpa petunjuk dan instruksi dari dokter atau
tenaga kesehatan lain. Tindakan independen yang dapat dilakukan
oleh perawat yakni mengkaji terhadap klien dan keluarga melalui
riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui
status kesehatan klien, melakukan pemeriksaan tanda dan gejala
hipovolemia seperti frekuensi nadi, pengukuran tekanan darah,
menghitung kebutuhan cairan, menganjurkan pasien untuk
memperbanyak asupan cairan oral dengan tujuan untuk mengganti
cairan plasma yang hilang.
38

b. Interdependen
Merupakan tindakan atau kegiatan perawat yang memerlukan
kerjasama dengan profesi kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi,
atau fisioterapi.
c. Dependen
Asuhan keperawatan dependen merupakan kegiatan perawat yang
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.
Tindakan dependent dalam pemberian cairan pasien DHF yakni
dengan memberikan cairan intravena kristaloid (RL) untuk
meningkatkan cairan tubuh dan mencegah terjadinya syok
hipovolemik.
d. Dokumentasi
Implementasi keperawatan harus didokumentasikan secara
lengkap dan akurat sesuai dengan kejadian yang terjadi dalam
proses keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima dalam proses


keperawatan, merupakan proses yang berkelanjutan saat melakukan
kontak dengan pasien dan penulis menggunakan metode sesuai teori yaitu
SOAP, S (Subyektif) yang berisi pernyataan atau data dari pasien melalui
anamnesis (wawancara) yang merupakan ungkapan langsung, O
(Obyektif) merupakan analisa dan interpretasi, A (Assessment)
berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang
meliputi diagnosis, antisipasi, atau laboratorium potensial serta perlu
tidaknya dilakukan tindakan segera, P (Planning) merupakan rencana dari
tindakan yang akan diberikan, termasuk asuhan mandiri, kolaborasi,
diagnosis atau laboratorium, serta konseling untuk tindakan lanjut (Potter
dan Perry,2009).

Anda mungkin juga menyukai