TINJAUAN PUSTAKA
7
8
kelamin, massa otot, dan lemak tubuh. Diperkirakan, bayi usia 0 – 6 bulan
memerlukan cairan 700 mL/hari: bayi 7 – 12 bulan memerlukan cairan
800
mL/hari: anak 1 – 3 tahun memerlukan 1300 mL/hari: anak 4 – 8 tahun
memerlukan 1700 mL/hari: anak 9 – 13 tahun memerlukan 2400 mL/hari
pada laki – laki dan 2100 mL/hari pada perempuan; anak 14 – 18 tahun
memerlukan 3300 mL/hari (laki – laki) dan 2300 mL/hari untuk
perempuan. Cairan tersebut dapat berasal dari makanan maupun minuman.
Cairan dari minuman dapat berasal dari air putih, susu, atau jus buah
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
Menurut (Solikhah et al., 2017) cairan dalam tubuh dibagi menjadi
2 , yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler.
a) Cairan intraseluler (CIS) merupakan cairan yang berada dalam sel
tubuh, dan jumlahnya sekitar 70% dari total cairan tubuh atau TBW
(total body water).
b) Cairan ekstraseluler (CES) merupakan cairan yang berada diluar sel
tubuh, menyusun sekitar 30% dari total cairan tubuh. CES terbagi
menjadi tiga yakni Cairan interstisial (CIT), cairan intravaskuler (CIV)
dan cairan transseluler (CTS). Cairan interstisial (CIT) Merupakan
cairan yang berada disekitar sel. Pada bayi baru lahir jumlahnya 2 kali
lebih besar dari orang dewasa. Kemudian cairan intravaskuler (CIV)
adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah. Pada anak-anak
jumlahnya sama dengan orang dewasa yaitu sekitar 5-6 liter.
Sedangkan untuk cairan transeluler (CTS) merupakan cairan yang
berada di rongga khusus pada tubuh. Cairan transeluler terdiri dari
cairan serebrospinal, pericardial, pleural, sinovial, cairan intraokular
dan sekresi lambung.
a. Usia
Pada usia anak-anak dimasa pertumbuhan memerlukan
proporsi jumlah cairan yang lebih besar dibandingkan orang dewasa
9
c. Status kesehatan
Status kesehatan anak berpengaruh terhadap kebutuhan
cairan tubuh misalnya pada anak dengan penyakit Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) umumnya akan mengalami demam
tinggi dan pada kondisi yang lebih buruk bisa terjadi kebocoran
plasma akibat dari peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah sehingga terjadi trombositopenia atau fungsi trombosit yang
mengalami penurunan kemudian terjadi perdarahan yang dapat
mengakibatkan kekurangan volume cairan dalam tubuh (Fitria,
2019).
10
d. Aktivitas
Aktivitas seseorang dapat mempengaruhi kebutuhan cairan.
Tingkat intensitas aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme dan berakibat meningkatnya haluaran
cairan melalui keringat. Contohnya pada anak-anak usia sekolah
dengan aktivitas yang padat, mereka akan beresiko kehilangan
cairan (Abdurrahman, 2018).
Terapi cairan pada pasien DHF dapat dilakukan dengan 2 hal yakni
yang bersifat suportif dan simtomatis. Terapi suportif dilakukan
dengan memberikan cairan pengganti berupa cairan intravena dengan
memahami patogenesis penyakit dan gambaran klinisnya.Terapi
suportif ini bertujuan untuk mengatasi kehilangan cairan yang
diakibatkan oleh kebocoran plasma. Sedangkan terapi simptomatis
merupakan pengobatan yang dilakukan dengan memberikan antipiretik
semacam pemberian paracetamol (Elan dkk., 2011).
Jenis cairan yang umumnya diberikan pada pasien DHF adalah
cairan kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan saline). Ringer
laktat (RL) adalah larutan isotonic yang memiliki osmolalitas sama
dengan cairan tubuh yaitu antara 250 dan 375 mOsm. Cairan kristaloid
diberikan sebagai terapi cairan pada pasien DHF karena komposisi
yang ada pada kristaloid menyerupai komposisi plasma, mudah
disimpan pada suhu ruang dan tidak ada kemungkinan reaksi
anafilaktik, selain itu cairan kristaloid juga mudah didapat.
Pemberian cairan pada pasien DHF menurut (Hadinegoro et al.,
2012) juga harus memperhatikan jumlah cairannya yang harus
disesuaikan dengan derajat penyakit DHF itu sendiri :
11
c) DHF grade IV
1) Pemberian cairan cukup dengan infus RL dosis 30
ml/KgBb/jam jika tekanan darah baik, maka lanjutkan
dengan RL sebanyak 10 ml/KgBb/jam, seperti perhitungan
diatas.
2) Jika tekanan darah memburuk maka perlu dipasang 2
saluran infus, dengan fungsi satu untuk RL 10
ml/KgBb/jam dan yang lain untuk pemberian plasma
expander sejumlah 20 ml/KgBb/jam selama 1 jam, jika
kondisi membaik maka dilanjutkan dengan pemberian RL
sebagaimana perhitungan diatas.
3) Jika kondisi masih memburuk, maka berikan plasma
ekspander 20 ml/KgBb/jam, apabila membaik berikan RL
sesuai perhitungan di atas
4) Jika kondisi tetap buruk, maka perlu diberikan plasma
ekspander 10 ml/KgBb/jam diulangi maksimum 30
ml/KgBb/24 jam. Apabila membaik maka lanjutkan
dengan pemberian RL sebagaimana perhitungan di atas
5) Apabila setelah 2 jam pemberian plasma dan RL tidak
menunjukkan perbaikan, maka perlu dikonsultasikan ke
bagian anestesi untuk perlu atau tidaknya dipasang Central
Vascular Pressure (CVP).
a. Hipovolemia
Hipovolemia merupakan suatu kondisi akibat kekurangan volume
cairan ekstraseluler (CES) dan dapat terjadi karena kehilangan
cairan melalui kulit, ginjal, gastrointestinal, perdarahan sehingga
dapat menimbulkan syok hipovolemik (Tarwoto & Wartonah,
2015).
Tanda dan gejala dari hipovolemia adalah sebagai berikut :
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Nadi teraba lemah
3) Tekanan darah menurun
4) Turgor kulit menurun
5) Membrane mukosa kering
6) Volume urin menurun
7) Hematokrit meningkat
b. Hipervolemia
Merupakan kondisi ketidakseimbangan cairan tubuh yang ditandai
dengan kelebihan cairan di ruang ekstrasel yang umumnya
disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal, biasanya ditandai dengan
edema akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan
tekanan osmotic (Wahyudi & Wahid, 2016)
Keterangan :
TPM : Tetes Per Menit
Factor tetes : Mikro : 60
Makro : 20
Transuset : 15
1. Definisi DHF
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Pathway
Arbovirus masuk ke
Beredar Infeksi
tubuh manusia mll
dalam &
Membentuk virus
Mengaktifk
nyamuk aedes
pembuluh
melepaskan zat andengue
system
aegepty
C3a,C5a komplemen
PGE₂
hipotalamus
Peningkatan
RenjatanPermeabilitas
Hipovolemik dan hipotensi
Hipertermi Peningkatan reabsorbsi Na₊ dan H₂O
Kebocoran Plasma
Syok Hipovolemik
5. Klasifikasi
6. Manifestasi Klinis
7. Pemeriksaan Penunjang
135 mEq/L)
c. Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah < 3,8
mEq/L)
d. Uji tourniquet positif ( ditemukan 20 petekie atau lebih
dalam 2,5 cm₂.)
e. Radiologi photo thorax 50% ditemukan efusi pleura,
terjadi karena adanya rembesan plasma
f. Pemeriksaan serologi : uji HI (hemagglutination inhabition
test)
g. Pemeriksaan imunoserologi mulai hari ke 3-5 dan
meningkat sampai minggu ke-3 serta menghilang setelah
60-90 hari, IgG pada infeksi primer dan mulai terdeteksi
pada hari ke 14 sedangkan pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi pada hari ke 2.
8. Penatalaksanaan
a. Perkembangan Fisik
d. Perkembangan Kognitif
1. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Pertama yang perlu dikaji adalah identitas pasien yang terdiri dari
nama, umur (penyakit DHF umumnya sering menyerang anak-anak
usia < 15 tahun ), alamat, jenis kelamin, pendidikan anak, tanggal
dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa. Selain itu
perlu adanya identitas penanggung jawab meliputi nama orang tua
atau penanggung jawab, pendidikan orang tua, pekerjaan, agama
dan suku bangsa. Pengkajian identitas pasien perlu dilakukan
tujuannya untuk identifikasi pasien saat dilakukan tindakan
keperawatan agar terhindar dari tindakan salah pasien.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasanya terjadi pada pasien Dengue
Hemorrhagic Fever dengan permasalahan gangguan keseimbangan
cairan saat ke Rumah sakit adalah demam tinggi, anak tampak
27
6) Riwayat Imunisasi
Pada riwayat imunisasi yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi
dan umur pemberiannya, apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya. Jika anak memiliki kekebalan yang baik maka resiko
kemungkinan timbulnya komplikasi dapat dihindarkan.
7) Kondisi Lingkungan
Penyakit DHF sering terjadi pada lingkungan yang memiliki
kondisi lembab, daerah padat penduduk, dan kondisi lingkungan
yang kotor, banyak terdapat air menggenang dan baju
bergelantungan. Data pada pengkajian kondisi lingkungan ini dapat
digunakan untuk data fokus dalam menentukan masalah.
3. Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola fungsi ekskresi, kandung kemih dan kulit.
Kaji bagaimana frekuensi defekasi, bagaimana kebiasaan
defekasi, bagaimana karakteristik urine dan feses, dan apakah
terdapat masalah defekasi. Kemudian apakah pasien sering
BAK, bagaimana jumlahnya sedikit atau banyak, terasa sakit
atau tidak. Pada anak DHF biasanya terdapat masalah eliminasi
seperti diare atau konstipasi sehingga mengakibatkan sering
terjadi gangguan keseimbangan cairan pada klien. Kondisi
parah bisa terjadi pada DHF grade III dan IV yaitu terjadinya
melena (pendarahaan pada usus besar ditandai dengan tinja
berwarna hitam)
9) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien DHF meliputi
inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi secara head to toe.
Keadaan fisik pada anak dengan DHF dilihat berdasarkan
tingkatannya :
1) DHF grade I : keadaan compos mentis, keadaan umum lemah ,
tanda-tanda vital nadi lemah
2) DHF grade II : keadaan compos mentis, keadaan umum lemah,
terjadi perdarahan spontan berupa petekie, perdarahan pada
gusi dan telinga, nadi lemah, kecil dan tidak teratur.
3) DHF grade III : kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum
lemah, nadi lemah, kecil, tidak teratur, tensi menurun.
4) DHF grade IV : kesadaran koma, nadi tidak teraba, tensi tidak
terukur, pernapasan tidak teratur, ektremitas dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.
1. Sistem Integumen
1) Pada kulit terdapat petekie, turgor kulit menurun (ketika
dicubit kulit perut kembali >2 detik), keringat dingin dan
lembab
2) Pada kuku tampak sianosis atau tidak
3. Thoraks
Inspeksi : apakah dada tampak simetris dan tidak ada lesi
33
4. Abdomen
Pada pemeriksaan inspeksi tampak perut rata dan tidak terdapat
pembesaran hati. Saat di palpasi apakah terdapat nyeri tekan
dan edema. Pada pemeriksaan perkusi apakah terdapat suara
redup, kemudian pada auskultasi apakah terdapat kebisingan
usus.
5. Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas pasien DHF yang perlu dikaji
ialah apakah teraba akral dingin nyeri otot,sendi dan tulang
atau tidak.
6. Genitalia
Pada pemeriksaan genitalia yang perlu dikaji ialah apakah
keadaan genitalia pasien bersih atau tidak dan apakah terdapat
kelainan.
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan Keperawatan
4. Implementasi Keperawatan
2) Intervensi
a. Independen
Asuhan keperawatan independen merupakan tindakan perawat
yang dilakukan tanpa petunjuk dan instruksi dari dokter atau
tenaga kesehatan lain. Tindakan independen yang dapat dilakukan
oleh perawat yakni mengkaji terhadap klien dan keluarga melalui
riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui
status kesehatan klien, melakukan pemeriksaan tanda dan gejala
hipovolemia seperti frekuensi nadi, pengukuran tekanan darah,
menghitung kebutuhan cairan, menganjurkan pasien untuk
memperbanyak asupan cairan oral dengan tujuan untuk mengganti
cairan plasma yang hilang.
38
b. Interdependen
Merupakan tindakan atau kegiatan perawat yang memerlukan
kerjasama dengan profesi kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi,
atau fisioterapi.
c. Dependen
Asuhan keperawatan dependen merupakan kegiatan perawat yang
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.
Tindakan dependent dalam pemberian cairan pasien DHF yakni
dengan memberikan cairan intravena kristaloid (RL) untuk
meningkatkan cairan tubuh dan mencegah terjadinya syok
hipovolemik.
d. Dokumentasi
Implementasi keperawatan harus didokumentasikan secara
lengkap dan akurat sesuai dengan kejadian yang terjadi dalam
proses keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan