Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI PSIKOLOGI BELAJAR BERDASARKAN PENDEKATAN


FUNGSIONALISTIK
Dosen Pengampu : Prianggi Amelasasih S.Psi., M.Si

Disusun oleh :

Siti Ikfin Rahayu Wilayati Al Ghina 220700005

Putri Maulani Sri Prasasti 220701013

Regita Nayla Endriani 220701031

Sayyid Daud Husein Akbar 220701032

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK


2022-2023

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum w.w

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Teori Psikologi Belaajar Berdasarkan Pendekatan Fungsionalistik”
sebagai tugas dari mata kuliah Psikologi Belajar yang diampu oleh Ibu Prianggi Amelasasih
S.Psi., M.Si.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya Dosen Pengampu
mata kuliah Psikologi Belajar yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Gresik, 5 April 2023


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teori psikologi belajar yang berbasis pada pendekatan fungsionalistik mengacu pada
pandangan bahwa belajar adalah proses yang kompleks dan multidimensional yang
melibatkan interaksi antara faktor internal dan eksternal. Pendekatan fungsionalistik
memandang bahwa perilaku manusia adalah hasil dari interaksi antara individu dan
lingkungannya, di mana pengalaman belajar membentuk perilaku individu.
Teori psikologi belajar yang berbasis pada pendekatan fungsionalistik seringkali
dikaitkan dengan beberapa tokoh terkenal dalam sejarah psikologi, seperti John Dewey,
Edward Thorndike, dan B.F. Skinner. Mereka memandang bahwa belajar adalah hasil dari
tindakan manusia dalam lingkungan yang spesifik, yang mencakup stimulus dan respons,
atau tindakan yang dilakukan oleh individu sebagai respons terhadap stimulus.
Menurut pandangan fungsionalistik, belajar terjadi melalui beberapa tahapan, yang
dimulai dari pengenalan terhadap stimulus, pemahaman terhadap makna dari stimulus
tersebut, dan pembentukan respons yang tepat terhadap stimulus. Selain itu, faktor internal
seperti motivasi, emosi, dan persepsi juga memainkan peran penting dalam proses belajar.
Pendekatan fungsionalistik dalam teori psikologi belajar juga menekankan pentingnya
pengulangan dan penguatan dalam pembentukan perilaku. Pengulangan yang dilakukan
secara terus-menerus terhadap stimulus tertentu dapat membantu individu dalam memahami
makna dari stimulus tersebut, sehingga dapat membentuk respons yang tepat. Penguatan
yang diberikan setelah respons yang tepat juga dapat meningkatkan probabilitas individu
untuk melakukan respons yang sama di masa depan.
Secara umum, teori psikologi belajar berdasarkan pendekatan fungsionalistik sangat
berpengaruh dalam mengembangkan konsep dan strategi pembelajaran yang efektif, baik
dalam lingkungan pendidikan formal maupun informal. Konsep seperti pengulangan,
penguatan, dan penggunaan stimulus dan respons terkait dengan teori ini telah diadaptasi
dalam berbagai bentuk strategi pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa konsep dasar dalam pendekatan fungsionalistik dalam teori psikologi belajar?
1.2.2 Bagaimana tahapan pembelajaran menurut pendekatan fungsionalistik dalam teori
psikologi belajar?
1.2.3 Bagaimana pengaruh faktor internal seperti motivasi, emosi, dan persepsi individu
terhadap proses pembelajaran menurut pendekatan fungsionalistik?
1.2.4 Bagaimana penerapan strategi pembelajaran yang efektif berdasarkan pendekatan
fungsionalistik dalam teori psikologi belajar?
1.2.5 Bagaimana kontribusi tokoh seperti John Dewey, Edward Thorndike, dan B.F.
Skinner dalam pengembangan teori psikologi belajar berdasarkan pendekatan
fungsionalistik?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar dalam pendekatan fungsionalistik dalam teori
psikologi belajar
1.3.2 Untuk mengetahui tahapan pembelajaran menurut pendekatan fungsionalistik
dalam teori psikologi belajar
1.3.3 Untuk mengetahui pengaruh faktor internal terhadap proses pembelajaran
menurut pendekatan fungsionalistik
1.3.4 Untuk memahami penerapan strategi pembelajaran yang efektif berdasarkan
pendekatan fungsionalistik dalam teori psikologi belajar
1.3.5 Untuk mengetahui kontribusi tokoh seperti John Dewey, Edwad Thorndike, dan
B.F. Skinner dalam pengembangan teori psikologi belajar berdasarkan pendekatan
fungsionalistik
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Pendekatan Fungsionalistik dalam Teori Psikologi Belajar


2.1.1 Belajar sebagai penyesuaian diri
Belajar didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk
mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari
interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas di sini dipahami sebagai
serangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik, menuju ke perkembangan pribadi individu
seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa
(psikomotor). Psikologi belajar dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
berusaha mempelajari, menganalisis prinsip-prinsip perilaku manusia dalam proses
belajar dan pembelajaran. Dalam pengertian lain, psikologi belajar diartikan sebagai
sebuah disiplin psikologi yang berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama
mengupas bagaimana cara individu belajar atau melakukan pembelajaran.
Psikologi belajar berfungsi memberikan pemahaman mengenai sifat dan
keterkaitan berbagai aspek dalam belajar dan pembelajaran. Di samping fungsi
pemahaman, psikologi belajar berfungsi memberikan prediksi-prediksi berkenaan saling
terlibatnya aspek-aspek dalam belajar-pembelajaran. Terjadinya perubahan dalam satu
aspek akan berpengaruh pada aspek lainnya yang bersifat subjektif dan menunjukkan
adanya perubahan tingkah laku berdasarkan penyesuaiannya dengan lingkungan. Proses
belajar yang menunjukkan adanya perubahan di berbagai aspek berdasarkan pengalaman
serta penyesuaian ini dapat dikaji dengan pendekatan fungsionalistik.
Pendekatan fungsionalistik pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai suatu
tujuan berdasarkan kebutuhan tingkah laku individu. Dimana terdapat proses belajar yang
mencakup banyak aspek kehidupan. Fungsionalistik juga mengakui pentingnya konteks
sosial dalam proses belajar. Individu belajar melalui interaksi sosial dengan orang lain
dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, konteks sosial harus dipertimbangkan dalam
merancang program pembelajaran yang efektif.
Proses belajar yang efektif ini dapat dicapai apabila lingkungan internal maupun
eksternal memberikan dukungan dalam proses pembelajaran. Berbagai bentuk dukungan
ini memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Pendekatan
fungsionalistik memandang seorang individu akan lebih mudah menjalani proses belajar
apabila adanya dukungan yang maksimal dari lingkungan. Sebab, proses belajar dalam
pendekatan ini mengutamakan pengalaman yang tidak lepas dari keterikatan seorang
individu dengan lingkungan.

2.2 Tahapan Pembelajaran Menurut Pendekatan Fungsionalistik dalam Teori Psikologi


Belajar
Berbagai teori belajar telah tercipta sebagai hasil kerja keras dari penelitian. Teori
psikologi belajar adalah kumpulan konsep, prinsip, dan teori yang digunakan untuk
menjelaskan bagaimana manusia memperoleh dan memperkuat perilaku tertentu melalui
interaksi dengan lingkungannya. Teori ini sangat penting dalam bidang pendidikan,
psikologi, dan ilmu-ilmu terkait lainnya, karena dapat membantu kita memahami
bagaimana seseorang dapat belajar dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuan.
Ada beberapa teori psikologi belajar yang berbeda, namun pada dasarnya, teori-teori ini
mengemukakan bahwa belajar melibatkan interaksi antara stimulus dan respons. Teori
psikologi belajar menekankan pada interaksi stimulus dan respon karena tahapan utama
dalam proses belajar adalah terjalinnya respon pada individu yang menerima stimulus,
baik dari faktor internal maupun eksternal. Salah satu tokoh yang mendukung teori
adalah Edward Lee Thorndike, yang menggunakan pendekatan fungsionalistik melalui
beberapa tahapan proses belajar.
a. Pemilihan dan Pengaitan
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalah Trial-
and- error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai
selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Teori ini adalah teori yang
ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar Lee Thorndike berdasarkan eksperimen
yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen ini menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak
berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu,
dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini
ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh
makanan yang tersedia di depan sangkar. Thorndike berkesimpulan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme
juga disebut "S-R Bond Theory" dan "S-R Psycology of learning". Selain itu,
teori ini juga terkenal dengan "Trial and Error Learning". Istilah ini menunjuk
pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu
tujuan.
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan
membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu,
dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan
keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan Trial-and-error learning adalah:
1) Adanya motif pendorong aktivitas
2) Adanya berbagai respon terhadap situasi
3) Adanya aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4) Adanya kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu
b. Belajar Merupakan Inkremental, Bukan Langsung ke Pengertian Mendalam
(Insightful)
Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk mendapatkan
solusi sebagai fungsi percobaan suksestif, Thorndike menyimpulkan bahwa
belajar bersifat incremental (incremental/bertahap), bukan insightful (langsung ke
pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil
yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam.
Thorndike mencatat bahwa jika belajar adalah Insightful maka grafik akan
menunjukkan waktu untuk mencapai solusi tampak relative stabil dan tinggi pada
saat hewan dalam keadaan belum belajar. Pada saat hewan mendapat pengertian
mendalam untuk memecahkan masalah, grafiknya akan langsung turun dengan
cepat dan akan tetap di titik itu selama durasi percobaan.
c. Belajar Tidak Dimediasi Oleh Ide
Berdasarkan risetnya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa
belajar itu bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran.
Sebagaimana pernyataannya sebagai berikut: Kucing tidak melihat-lihat situasi,
apalagi memikirkan situasi, lalu memutuskan apa yang harus dilakukan. Kucing
langsung melakukan aktifitas berdasarkan pengalaman danreaksi naluriah
terhadap situasi "terpenjara saat lapar dengan makanan berada di luar kerangkeng.
Bahkan setelah sukses sekalipun, kucing itu tidak menyadari bahwa tindakannya
akan membuatnya mendapatkan makanan dan karenanya memutuskan untuk
melakukan lagi dengan segera, namun ia bertindak berdasarkan dorongannya
(impuls) (Twibowo, 2008: 62).
Pada tempat lain Thorndike (1911) mengemukakan hal serupa dalam
percobaan monyet: Dalam mendiskusikan fakta-fakta ini kita mungkin pertama-
tama menjelaskan salah satu pendapat popular, bahwa belajar adalah dengan
"penalaran" (reasoning). Jika kita menggunakan kata penalaran dalam makna
psikologis teknisnya sebagai fungsi untuk mendapatkan konklusi melalui persepsi
relasi, perbandingan dan inferensi, jika kita menganggap isi mental di dalamnya
sebagai peraaan akan relasi, persepsi dan kesamaan, gagasan abstrak dan umum,
dan penilain, maka kita tidak menemukan bukti adanyapenalaran dalam perilaku
monyet terhadap mekanisme yang dipakai. Dan fakta ini membantah argumen
tentang penalaran itu, seperti juga dalam kasus kucing dan anjing. Terdapat
argument bahwa keberhasilan hewan dalam menangani peralatan mekanis
mengimplikasikan bahwa hewan itu memikirkan prosperti-properti mekanisme,
namun argument ini tidak bisa dipertahankan lagi saat kita menemukan bahwa
dengan pemilihan aktivitas-aktivitas naluriah umum hewan itu sudah cukup untuk
menghasilkan solusi yang berkaitan dengan galah, kait, tombol dan sebagainya.
Juga ada bukti positif dari tidaka adanya fungsi penalaran umum (Twibowo,
2008: 63).
Dengan demikian, Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar
dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar.
Penentangan terhadap arti penting nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal
dari apa yang kemudian menjadi gerakan behavioristik di Amerika Serikat.
d. Semua Mamalia Belajar dengan Cara yang Sama
Thorndike berpandangan bahwa semua proses belajar adalah langsung dan
tidak dimediasi oleh ide-ide, dan Thorndike juga menegaskan bahwa proses
belajar semua mamalia, termasuk manusia mengikuti kaidah yang sama. Menurut
Thorndike, tidak ada proses khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka
menjelaskan proses belajar manusia.

2.3 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Proses Pembelajaran Menurut
Pendekatan Fungsionalistik
Keterkaitan antara belajar dengan proses pembelajaran cukup erat. Sesuai dengan
definisi belajar yaitu serangkaian kegiatan jiwa untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dengan lingkungannya yang
menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.
Perubahan yang terjadi itu sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah
dilakukan oleh individu. Perubahan itu adalah hasil yang telah dicapai dari proses belajar.
Jadi, untuk mendapatkan hasil belajar dalam bentuk "perubahan" harus melalui proses
tertentu yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan di luar inidividu Proses
di sini tidak dapat dilihat karena bersifat psikologis. Kecual bila seseorang telah berhasil
dalam belajar, maka seseorang itu telah mengalami proses tertentu dalam belajar. Oleh
karena itu, proses belajar telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari
hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan. Misalnya. dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. dari tidak berilmu menjadi berilmu, dan
sebagainya.
Di dalam proes pembelajaran, sejumlah faktor lingkungan membawa pengaruh
yang cukup besar, yang merupakan masukan dari lingkungan dan sejumlah faktor
instrumental guna menunjang tercapainya hasil belajar yang dikehendaki.
A. Faktor Lingkungan
Lingkungan memainkan peran penting dalam proses pembelajaran psikologi
belajar. Faktor lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran dapat dibagi
menjadi dua yaitu faktor fisik dan sosial.
1) Faktor Fisik
Faktor fisik lingkungan, seperti pencahayaan, suhu, kebisingan,
dan kenyamanan, dapat mempengaruhi konsentrasi dan motivasi dalam
belajar. Lingkungan yang kurang nyaman, seperti ruangan yang terlalu
panas atau bising, dapat mengganggu konsentrasi dan mempengaruhi
kemampuan individu untuk memproses informasi dengan efektif. Selain
itu, fasilitas dan sumber daya pendukung seperti buku, komputer, dan
akses internet yang memadai juga dapat mempengaruhi kemampuan
individu untuk belajar dengan baik.
2) Faktor Sosial
Faktor sosial lingkungan, seperti dukungan sosial dari teman,
keluarga, atau guru, serta norma sosial dan ekspektasi masyarakat, juga
mempengaruhi proses pembelajaran. Dukungan sosial dapat memberikan
motivasi dan inspirasi dalam belajar, serta memberikan sumber daya dan
dukungan praktis seperti bantuan dalam memahami materi pelajaran.
Norma sosial dan ekspektasi masyarakat juga dapat mempengaruhi
motivasi dan keyakinan individu dalam belajar, seperti harapan untuk
meraih prestasi yang tinggi atau mengejar karir yang sukses.
Selain itu, lingkungan juga dapat mempengaruhi gaya belajar
individu. Beberapa individu lebih memilih lingkungan yang ramai dan
interaktif, sedangkan yang lain lebih memilih lingkungan yang tenang dan
teratur. Memahami preferensi individu dalam hal lingkungan belajar dapat
membantu individu mengoptimalkan proses pembelajaran mereka.
B. Faktor Instrumental
Dalam rangka mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran,
terdapat pula faktor intstrumental yang merupakan seperangkat kelengkapan
dalam berbagai bentuk pendukung proses pembelajaran. Faktor instrumental atau
faktor yang berkaitan dengan alat, media, dan metode yang digunakan dalam
proses pembelajaran juga memengaruhi efektivitas dan efisiensi belajar. Beberapa
faktor instrumental yang memengaruhi proses pembelajaran psikologi belajar
antara lain:
1) Media dan teknologi (Sarana dan Fasilitas)
Penggunaan media dan teknologi yang tepat dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belajar. Contohnya, penggunaan presentasi visual,
video pembelajaran, atau simulasi dapat membantu individu memahami
konsep dengan lebih baik dan cepat. Selain itu, penggunaan teknologi
seperti komputer atau aplikasi pendidikan dapat memberikan pengalaman
belajar yang lebih interaktif dan menyenangkan.
2) Metode pembelajaran (Program)
Pemilihan metode pembelajaran yang tepat juga dapat
mempengaruhi efektivitas dan efisiensi belajar. Setiap individu memiliki
gaya belajar yang berbeda-beda, sehingga penting untuk memilih metode
pembelajaran yang sesuai dengan preferensi individu. Beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan antara lain pembelajaran berbasis
masalah, pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran berbasis proyek.
3) Kurikulum dan materi pembelajaran
Kurikulum dan materi pembelajaran yang baik juga mempengaruhi
efektivitas belajar. Kurikulum yang disusun dengan baik dan materi
pembelajaran yang relevan dan menarik dapat memotivasi individu untuk
belajar dengan lebih giat dan memahami konsep dengan lebih baik.
4) Kualitas pengajar (Guru)
Kualitas pengajar juga memengaruhi proses pembelajaran.
Pengajar yang memiliki pengetahuan yang baik dan kemampuan mengajar
yang efektif dapat membantu individu memahami konsep dengan lebih
baik dan memberikan motivasi yang tepat dalam belajar.
C. Faktor Fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap
kemampuan belajar seseorang Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan
berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang
kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak
kekurangan gizi, mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima
pelajaran. Demikian pendapat Noehi Nasution, dkk. (1993: 6).
Selain itu, menurut Noehi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi
panca indra (mata, hidung, pengecap, telinga, dan tubuh), terutama mata sebagai
alat untuk melihat dan sebagai alat untuk mendengar. Sebagian besar yang
dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat
contoh, atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen,
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan
keterangan orang lain dalam diskusi dan sebagainya. Karena pentingnya peranan
penglihatan dan pendengaran inilah maka lingkungan pendidikan formal, orang
melakukan penelitian untuk menemukan bentk dan cara penggunaan alat peraga
yang dapat diihat dan didengar. Tinjauan fisiologis merupakan kebijakan yang
tidak pasti dan sangat utama sehingga tidak bisa diabaikan dalam penentuan
keberhasilan proses pembelajaran.
D. Faktor Psikologis
Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua
keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu
berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari
luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja
merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak.
Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung, maka
faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh karena itu, minat, kecerdasan, bakat,
motivasi, dan kemampuan-kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis
yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar.
1) Minat
Minat, menurut Slameto (1991: 182), adalah suatu rasa lebih suka
dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang
menyuruh Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu
hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat
atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.
Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar
artinya untuk mencapai/ memperoleh benda atau tujuan yang diminati
itu. Timbulnya minat belajar disebabkan berbagai hal, antara lain
karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau
memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan
bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi
yang tinggi, sebaliknya minat belajar kurang akan menghasilkan
prestasi yang rendah (Dalyono, 1997: 56).
Dalam konteks itulah diyakini bahwa minat mempengaruhi proses
dan hasil belajar. Tidak banyak yang dapat diharapkan untuk
menghasilkan prestasi belajar yang baik dari seorang individu yang
tidak berminat untuk mempelajari sesuatu. Namun minat dapat
ditumbuhkan dan dikembangkan pada diri seorang individu, melalui
proses pengingatan maupun pengalaman masa lampau. Proses
penumbuhan minat dari masa lampau ini dianggap lebih efektif karena
secara tidak sadar telah terjadi proses belajar pada diri individu.
2) Kecerdasan
Raden Cahaya Prabu (1986) pernah mengatakan dalam mottonya
bahwa: "Didiklah anak sesuai taraf umurnya. Pendidikan yang berhasil
karena menyelami jiwa anak didiknya". Seorang ahli seperti Raden
Cahaya Prabu berkeyakinan bahwa perkembangan taraf inteligensi
sangat pesat pada masa umur balita dan mulai menetap pada akhir
masa remaja. Taraf inteligensi tidak mengalami penurunan, yang
menurun hanya penerapannya saja, terutama setelah berumur 65 tahun
ke atas bagi mereka yang alat indranya mengalami kerusakan.
Karena inteligensi diakui ikut menentukan keberhasilan belajar
seseorang, M. Dalyono secara tegas mengatakan bahwa seseorang
yang memiliki inteligensi baik (1Q-nya tinggi) umumnya mudah
belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang
inteligensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar,
lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Karenanya
Walter B. Kolesnik (1979) mengatakan bahwa: In most cases there is a
fairly high cerrelation between one's IQ. and his scholastic success.
Usually, the higher a person's IQ, the higher the grades he receives.
(Slameto, 1991: 130) Oleh karena itu, kecerdasan mempunyai peranan
yang besar dalam ikut menentukan berhasil dan tidaknya seseorang
mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan dan
pengajaran. Dan orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih
mampu belajar daripada orang yang kurang cerdas. (Noehi Nasution,
1993: 7)
Di samping kecerdasan intelegensi, terdapat pula kecerdasan emosi
yang sama pentingnya dalam mendukung proses pembelajaran. Emosi
dapat memengaruhi proses belajar individu. Emosi yang positif seperti
kegembiraan dan antusiasme dapat meningkatkan minat dan partisipasi
individu dalam pembelajaran. Di sisi lain, emosi yang negatif seperti
stres atau kecemasan dapat mengganggu konsentrasi dan
mempengaruhi kemampuan individu untuk memproses informasi.
3) Bakat
Di samping inteligens: (kecerdasan), bakat merupakan faktor yang
besar pengahnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang Hampir
tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang
sesuar dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu.
Akan tetapi, banyak sekali hal-hal yang menghalangi untuk.
Terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam
lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi
tempat seorang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sesuai
dengan bakat orang tersebut. Kemungkinan penghambat lain adalah
biaya. Suatu lapangan studi yang sesuai dengan bakat seseorang
mungkin terlalu mahal bagi orang tersebut. Dan penghambat terbesar
di Indonesia adalah belum adanya alat pengukur atau tes bakat yang
benar-benar dapat diandalkan. Memang dewasa ini telah banyak
dilakukan usaha-usaha untuk mengembangkan tes bakat itu, namun
kiranya masih diperlukan waktu agak lama untuk tersusunnya tes
bakat yang benar-benar dapat diandalkan dan dipergunakan. (Noehi
Nasution, 1993: 8).
Tidak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa bakat merupakan
kemampuan bawaan yang menjadi potensi jika dikembangkan melalui
proses latihan. Dalam kenyataannya banyak individu yang
mengembangkan bakat bawaannya dalam lingkungan yang kreatif.
Bakat bawaan ada kemungknan terkait dengan garis keturunan ayah
atau ibu. Bakat memungkinkan seseorang berhasil mencapai prestasi
dalam bidang tertentu, akan tetap diperlukan latihan, pengetahuan,
pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat
terwujud. Pengembangan bakat bawaan tersebut tergantung dari
kondisi dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan keluarga dan
masyarakat. Banyak anak yang berbakat tidak dapat mewujudkan
keunggulannya karena lingkungan mereka menghambat pertumbuhan
intelektual secara optimal.
4) Motivasi
Menurut Noehi Nasution (1993: 8) motivasi adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi
motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan
bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk
belajar bertambah. Hal ini dipandang masuk akal, karena seperti
dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (1995: 61) bahwa banyak bakat
anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat.
Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga
yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak
terduga. Bahkan menurut Slameto (1991: 136) seringkali anak didik
yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi
untuk mencapai prestasi sebaik mungkin.
Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi
keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan.
terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara
senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus
dihadapi untuk mencapai cita-cita Senantiasa memasang tekad bulat
dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar (M.
Dalyono, 1997: 57)
Mengingat motivasi merupakan motor penggerak dalam perbuatan,
maka bila ada anak didik yang kurang memiliki motivasi intrinsik,
diperlukan dorongan dari luar, yaitu motivasi ekstrinsik, agar anak
didik termotivasi untuk belajar. Di sini diperlukan pemanfaatan
bentuk-bentuk motivasi secara akurat dan bijaksana Penjabaran dan
pembahasan lebih mendalam tentang bentuk-bentuk motivasi dalam
belajar ini dapat dibaca kembali pada uraian terdahulu tentang
"motivasi belajar".
5) Kemampuan Kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat
dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan yang
selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan
kemampuan pada tingkatan ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu
pengetahuan.
Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk
sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi.
mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut
masuknya pesan atau infomasi kedalam otak manusia kemudian
dihasilkan output berupa respons melalui alat indera penglihatan,
pendengaran, peraba, perasa, dan pencium. Mengingat merupakan
suatu aktivitas kognitif dimana orang menyadari bahwa
pengetahuannya berasal dari masa lampau atau berdasarkan pesan-
pesan yang diperoleh di masa lampau. Berpikir adalah kelangsungan
tanggapan-tanggapan yang disertai sikap pasif dari subjek. Frohn
berpendapat ada tiga tingkt berpikir manusia, yaitu berpikir kognitif,
berpikir skematis, dan berpikir abstrak.
2.4 Penerapan Strategi Pembelajaran yang Efektif Berdasarkan Pendekatan Fungsionalistik
dalam Teori Psikologi Belajar
Pendekatan fungsionalistik dalam psikologi belajar menekankan bahwa strategi
pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan individu. Berikut ini adalah
beberapa strategi pembelajaran yang efektif berdasarkan pendekatan fungsionalistik
dalam teori psikologi belajar:
1) Mengembangkan tujuan belajar yang jelas: Penting bagi individu untuk memiliki
tujuan yang jelas dalam belajar. Pengajar dapat membantu siswa mengembangkan
tujuan belajar yang spesifik, terukur, dan terkait dengan kebutuhan mereka.
2) Menyesuaikan strategi pembelajaran: Setiap individu memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan
gaya belajar siswa. Pengajar dapat menggunakan berbagai metode pengajaran,
seperti ceramah, diskusi kelompok, atau aktivitas praktis, untuk memenuhi
kebutuhan belajar siswa.
3) Meningkatkan motivasi belajar: Motivasi adalah faktor kunci dalam proses
belajar. Pengajar dapat meningkatkan motivasi siswa dengan mengaitkan materi
pembelajaran dengan kebutuhan dan minat siswa. Selain itu, memberikan umpan
balik yang positif dan memotivasi juga dapat membantu meningkatkan motivasi
belajar siswa.
4) Menerapkan pembelajaran aktif: Pembelajaran aktif melibatkan siswa dalam
proses belajar, bukan hanya sebagai penerima informasi. Pengajar dapat
menerapkan pembelajaran aktif dengan memberikan tugas-tugas yang menantang
dan membutuhkan pemecahan masalah serta pengambilan keputusan.
5) Mengintegrasikan pembelajaran: Pembelajaran yang terintegrasi membantu siswa
untuk melihat hubungan antara topik yang berbeda dan menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Pengajar
dapat menerapkan strategi pembelajaran terintegrasi dengan mengaitkan topik
pembelajaran yang berbeda dalam satu pelajaran.
6) Mendorong refleksi: Refleksi dapat membantu siswa untuk mempertimbangkan
bagaimana mereka belajar dan memahami materi pembelajaran. Pengajar dapat
mendorong refleksi dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berbicara
tentang pengalaman pembelajaran mereka atau meminta mereka untuk menulis
jurnal refleksi.
7) Melibatkan konteks sosial: Lingkungan sosial dapat mempengaruhi proses belajar
siswa. Pengajar dapat memperhitungkan konteks sosial siswa dalam merancang
program pembelajaran yang efektif. Selain itu, penggunaan kelompok belajar atau
aktivitas kelompok juga dapat membantu membangun keterampilan sosial dan
keterampilan kerja sama siswa.
2.5 Kontribusi Tokoh Seperti John Dewey, Edwad Thorndike, dan B.F. Skinner dalam
Pengembangan Teori Psikologi Belajar Berdasarkan Pendekatan Fungsionalistik
1)
DAFTAR PUSTAKA

Nurjan, S., & Setiawan, W. (n.d.). PSIKOLOGI BELAJAR. In http://eprints.umpo.ac.id/.

Retrieved April 7, 2023, from http://eprints.umpo.ac.id/4909/1/Buku%20Psikologi

%20Belajar.pdf

‌View of MENGENAL SOSOK EDWARD LEE THORNDIKE ALIRAN FUNGSIONALISME

DALAM TEORI BELAJAR. (2023). Kopertais4.Or.id.

http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/pwahana/article/view/3353/2517

Anda mungkin juga menyukai