Sebulan lebih Ajeng mengenal Mas Dana. Kali pertama bertemu di sebuah tempat
makan pinggiran Sungai Serayu. Dengan suara gemericik air yang membuka
pembicaraan mereka, keduanya masih tampak malu-malu. Wajar saja, perkenalan
mereka adalah upaya keras dari budhe Mas Dion yang merupakan teman dari
Tantenya Ajeng. Sebelumnya, mereka sudah bertukar informasi lewat whatsapp
seperti anak muda kebanyakan.
Usia Mas Danan terpaut lima tahun dibanding Ajeng. Sosok yang dewasa dan sudah
pantas untuk menikah. Dia bekerja di sektor wisata dan kuliner. Banyak orang yang
mengira di masih mahasiswa. Begitu juga Ajeng. Beberapa kali dia melontarkan
pujian kalau wajah Mas Dion masih seperti anak kuliahan.
Waktu itu berjalan kian cepat. Kau tahu sendiri kan ketika sepasang manusia
dipertemukan? Rasanya baru sebentar berbincang, masih banyak pertanyaan yang
ingin dilontarkan, tapi harus dihentikan sebab waktu hendak berubah petang. Sebelum
pulang, mereka sepakat untuk berjumpa kembali.
Ketimbang Ajeng, Mas Dana lebih sering mengirim pesan lebih dahulu. Menanya
bagaimana Ajeng menjalani harinya saat malam. Tiada pertanyaan sedang apa, sudah
makan atau belum, selamat tidur-mimpi indah atau pertanyaan yang serupa. Bukan
lagi masanya mereka demikian.
Sebelum bertemu, baik Ajeng maupun Mas Dana sudah tahu arah tujuan yang hendak
dicapainya. Orang terdekat mereka pun senang dengan kabar kedetan mereka. Banyak
doa kebaikan yang mengalir.
Tapi, Ajeng masih belum yakin pada dirinya sendiri. Apakah dia sudah mantap untuk
melepas masa lajangnya bersama Mas Dana?
“Aku paham niat baikmu, Mas. Aku cuma ragu pada diriku sendiri,” sebuah pesan
terkirim dari nomor Ajeng. Sebagai lelaki, ia merasa makin tertantang.
Ajeng bilang, takut membuang-buang waktu Mas Dana untuk hal yang sia-sia