Anda di halaman 1dari 9

34

Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

PEMBAGIAN ZONA PENANGANAN BANJIR SEBAGAI


EVALUASI KAPASITAS DRAINASE KOTA LABUAN BAJO

Denik dan Dian Noorvy Khaerudin


PS. Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi

Abstract
The rate of development of storage capacity drainage channels are often not as fast as
the rain water runoff caused by land use change. Macro drainage system as the primary
drainage system is a system of channels that accommodate and drain water from a rain
water catchment area, this qualifies as rivers and canals which are generally used in
planning the return period of between 5 to 10 years with a detailed topography
measurements. Komodo in general, with the total area is 121 980 ha, nearly 40% of the
topography between 0-100 m above sea level (m asl). Approximately 54% of the area is
at an elevation of 100 to 500 m above sea level, while the remainder is at an elevation of
500 m above sea level up to 1000 m above sea level. City Topography Labuan Bajo
including hilly. Ground elevation ranging from ± 0.00 m above sea level (m asl) up to ±
525 m above sea level. With conditions like this it is given form an effective drainage
network for hilly areas in the district such as Komodo, Labuan Bajo is the return period
discharge plan 10 m3 / sec. Parameter election is based on the amount of discharge
runoff plan out to the primary drainage channel and on the basis of a comparison of the
length of time the concentration of the root canal and the slope of the land.
Kata kunci : shape of drainage system, discharge run off, the primary drainage

Pendahuluan kondisi saluran drainase, jika suatu


permukiman tergenang maka akan
Pertumbuhan penduduk dan
sangat berdampak bagi kehidupan kota.
perkembangan permukiman di Kota
Laju pengembangan kapasitas
Labuan Bajo mengakibatkan adanya
tampungan saluran drainase tidak
perubahan tata guna lahan, khususnya
secepat air limpasan hujan yang terjadi
pada kawasan-kawasan rendah yang
akibat perubahan tata guna lahan.
semula berfungsi sebagai retarding pond
Kondisi tersebut diperparah dengan
menjadi kawasan permukiman, pusat
paradigma drainase yang mencoba untuk
kegiatan ekonomi masyarakat, serta
mengalirkan air limpasan ke saluran
pengembangan sarana dan prasarana
utama secepat mungkin, dengan tujuan
lainnya. Perubahan tutupan lahan dapat
agar tidak terjadi genangan. Padahal, air
mengakibatkan menurunnya
limpasan akibat hujan adalah air bersih
kemampuan drainase untuk mengalirkan
yang dapat dimanfaatkan dengan cara
air. Pertambahan penduduk yang pesat,
meresapkannya ke dalam tanah untuk
seharusnya diikuti dengan penyediaan
menambah cadangan air tanah.
prasarana dan sarana kota, yaitu drainase.
Kota yang baik tentunya memperhatikan
35
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk 3. Metode Eksponensial


merubah paradigma dalam penanganan Perkembangan penduduk menurut
dan pengelolaan drainase. Pematusan air metode Eksponensial dirumuskan
secepatnya ke badan air terdekat menjadi sebagai berikut (Rusli, 1996):
sedapat mungkin menahan air terlebih Pn = Po . e(rn)
dahulu, agar dapat meresap ke dalam Keterangan:
tanah. Sehingga diperoleh sistem
drainase yang membentuk pola pikir dan Pn = jumlah penduduk pada tahun
kesadaran masyarakat akan pentingnya n (jiwa)
sanitasi dan lingkungan hidup yang Po = jumlah penduduk pada tahun
bersih. awal dasar (jiwa)
r = angka pertumbuhan
Tinjauan Pustaka penduduk (%)
n = perode waktu (tahun)
Perhitungan proyeksi jumlah penduduk e = bilangan logaritma natural
Kota Labuan Bajo sampai dengan tahun yang besarnya sama dengan
2030 dilakukan dengan menggunakan 3 2,71828
(tiga) metode yang lazim digunakan,
yaitu: Pengolahan data hujan
1. Metode Linear Aritmatik Data hujan yang dipergunakan untuk
Perkembangan penduduk menurut analisis, dari stasiun hujan yang berada di
metode Aritmatik dirumuskan sebagai dalam dan disekitar daerah pengaliran
berikut (Muliakusuma) : setempat, dengan lama pengamatan lebih
Pn = Po ( 1 + r.n ) dari 10 tahun. Sebagai input analisis
Keterangan: curah hujan perencanaan, dipilih hujan
harian maksimum tahunan (annual
Pn = jumlah penduduk pada tahun
maximum daily rainfall), untuk masing -
(jiwa)
masing stasiun penakar hujan yang ada.
Po = jumlah penduduk pada tahun
awal dasar (jiwa) Mengisi data hujan kosong
r = angka pertumbuhan
penduduk (%) Pengisian data hujan yang kosong adalah
n = perode waktu (tahun) data curah hujan harian maksimum
dalam setahun yang dinyatakan dalam
2. Metode Geometrik mm/hari, untuk stasiun curah hujan
Metode ini adalah untuk rumus bunga yang terdekat dengan lokasi sistem
berganda, dimana pertumbuhan rata-rata drainase, jumlah data curah hujan paling
penduduk berkisar pada prosentase (r) sedikit dalam jangka waktu 10 tahun
yang konstan setiap tahun dengan rumus berturut-berturut. Stasiun hujan kadang
sebagai berikut (Muliakusuma): tidak mempunyai data yang lengkap, jika
Pn = Po (1 + r)n ditemui data yang kurang, perlu
Keterangan: dilengkapi dengan melakukan pengisian
Pn = jumlah penduduk pada tahun data terhadap stasiun yang tidak lengkap
n (jiwa) atau kosong, dengan beberapa metode
Po = jumlah penduduk pada tahun antara lain:
awal dasar (jiwa)  Bila perbedaan hujan tahunan normal
r = angka pertumbuhan di stasiun yang mau dilengkapi tidak
penduduk (%) lebih dari 10%, untuk mengisi
n = periode waktu (tahun) kekurangan data dapat mengisinya
36
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

dengan harga rata-rata hujan dari jumlah logaritma dan rerata


stasiun-stasiun disekitarnya. logaritmanya.
 Bila perbedaan hujan tahunan lebih 3. Menghitung harga Standar Deviasi
dari 10%, melengkapi data dengan dengan menggunakan sebagai rumus
metode Rasio Normal, yakni dengan berikut :

 logxi  logx 
membandingkan data hujan tahunan n
2
stasiun yang kurang datanya terhadap
stasiun disekitarnya dengan cara Sd  i 1

sebagai berikut : n 1

1  R  rA R  rB R  rC  4. Menghitung koefisien kepencengan


r    
n  RA RB RC 
dengan rumus berikut:
 

n. logx  logx
3
Keterangan:
n = jumlah stasiun hujan Cs  i 1

r = curah hujan yang dicari n  1. n  2..Sd 3


(mm) 5. Menghitung logaritma hujan P
R = curah hujan rata-rata dengan waktu balik yang dikehendaki
setahun di tempat dengan rumus:
pengamatan R yang Log P = Log X + G. Sd
datanya akan
dilengkapi Untuk menghitung intensitas hujan
rA, rB, rC = curah hujan di tempat- digunakan rumus Mononobe sebagai
tempat pengamatan A, berikut:
B, dan C R 24  24 
m

RA, RB, RC = curah hujan rata-rata I  


24  t 
setahun di stasiun A,
B, dan C Keterangan :
R24 = Curah hujan harian (24 jam)
Metode log pearson type III t = waktu konsentrasi hujan
Perhitungan curah hujan rencana dengan (jam)
Metode Log Pearson III dapat dijelaskan m = sesuai dengan angka Van
sebagai berikut : Breen diambil m = 2/3
1. Mengurutkan data curah hujan harian
maksimum dari data terkecil sampai Waktu konsentrasi adalah waktu yang
terbesar, dan dihitung probabilitasnya diperlukan oleh air untuk mengalir dari
dengan menggunakan rumus Gumbel titik yang terjauh ke titik yang akan
sebagai berikut : dihitung debitnya. Metode Kirpich
m merupakan metode yang biasa digunakan
p x 100% untuk menghitung waktu.
n 1
( )
Keterangan :
m = nomor urut data Keterangan :
n = jumlah data t = waktu konsentrasi (menit)
L = panjang sungai/saluran dari
2. Data curah hujan harian maksimum hulu sampai titik yang
yang telah diurutkan dihitung nilai diambil debitnya (m)
logaritma dari masing-masing data, S = kemiringan daerah saluran /
sungai = H/L
37
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

Koefisien pengaliran merupakan 6. Menentukan drainase makro dan


perbandingan antara jumlah air yang drainase mikro daerah
mengalir di suatu daerah akibat turunnya 7. Mengukur saluran drainase yang ada
hujan, dengan jumlah hujan yang turun (eksisting)
di daerah tersebut (Subarkah, 1980). 8. Mengevaluasi kapasitas saluran
Koefisien pengaliran ini merupakan drainase yang ada dengan saluran
cerminan dari karakteristik daerah drainase rencana
pengaliran dan dinyatakan dengan angka 9. Melakukan analisis arahan hasil
antara 0–1 yaitu bergantung pada banyak pengolahan data
faktor. Disamping faktor – faktor Kondisi lokasi studi
meteorologis, faktor daerah aliran, faktor
penting yang juga mempengaruhi Secara astronomis, letak geografis
besarnya koefisien pengaliran ini adalah Kabupaten Manggarai Barat antara
campur tangan manusia dalam 8o14’00” – 9o00’00” LS dan 119o21’0” –
merencanakan tata guna lahan. 120o20’00” BT. Wilayah ini terbagi atas
beberapa kecamatan yaitu, Kecamatan
Metode Rasional Komodo, Kecamatan Boleng,
Rumus umum Metode Rasional Kecamatan Macang Pacar, Kecamatan
Qt  0,278C.I.A Kuwus, Kecamatan Welak, Kecamatan
Sano Nggoang, dan Kecamatan Lembar.
Keterangan: Sedangkan Kota Labuan Bajo
Qt = Debit banjir (m3/det) merupakan ibukota Kabupaten
C = Koefisien pengaliran Manggarai Barat berada di Kecamatan
I = Intensitas hujan (mm/jam) Komodo. Kota Labuan Bajo, secara
A = Luas Daerah Aliran (km2) administratif dibatasi:
Utara = Laut Flores
Metode Penelitian Timur = Desa Tanjung Boleng,
Penelitian ini menggunakan metodologi Desa Potang Wangka,
pendekatan empiris, yaitu segala Desa Cunca Wulang
penelitian yang dilakukan melalui Selatan = Desa Cunca Wulang,
eksperimen, penelitian atau observasi. DesaWatung Gelek, Desa
Penelitian yang dilakukan adalah dengan Macang Tanggar
membandingkan antara kapasitas saluran Barat = Laut Flores
drainase yang ada (eksisting) dan Identifikasi lokasi di Kota Labuan Bajo
kapasitas saluran yang direncanakan. yang mengalami permasalahan genangan,
Kemudian diberikan rekomendasi
perencanaan jaringan drainase yang
berwawasan lingkungan. Data-data yang
dibutuhkan antara lain:
1. Pengumpulan data hujan
2. Perhitungan intensitas hujan dengan
memperhitungkan waktu konsentrasi,
panjang saluran dan kemiringan
saluran
3. Menentukan nilai koefisien debit
limpasan (C) berdasarkan penggunaan
lahan daerah studi
4. Menentukan luas catchment area. Gambar 1. Peta genangan Kota Labuan
5. Mendapatkan nilai Q (debit limpasan) Bajo
38
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

Hasil dan Pembahasan wilayah Kecamatan Komodo dan


melintasi Desa Golo Bilas dan Desa
Sistem drainase makro sebagai sistem
Gorontalo. Kemiringan lahan rata-
saluran pembuangan utama (drainase
rata DAS Sungai Waekemiri adalah
primer) merupakan sistem
4% dengan variasi topografi curam
saluran/badan air yang menampung dan
pada bagian hulu dan landai pada
mengalirkan air dari suatu daerah
bagian hilir.
tangkapan air hujan (catchment area). Pada
wilayah penelitian yang termasuk dalam  DAS Waemese merupakan DAS
kriteria tersebut, yaitu sungai dan kanal terbesar di Kota Labuan Bajo
yang dalam perencanaan umumnya meliputi sebagian wilayah Labuan
dipakai dengan periode ulang antara 5 Bajo. Pada umumnya kondisi DAS
sampai 10 tahun dengan pengukuran Waemese berupa pegunungan dan
topografi yang detail. Kota Labuan bajo hutan dan membentuk banyak aliran
terbagi atas empat sistem drainase sungai yang bentuknya tidak teratur.
makro, keempat sistem tersebut Luas keseluruhan DAS Waemese
terbentuk dari empat sungai utama yaitu: tidak kurang dari 51,247 km2 baik
yang masuk dalam wilayah Kota
 Sungai Waebo terletak di wilayah
Labuan Bajo maupun yang terdapat di
utara Kota Labuan Bajo dengan hulu
luar area kota.
di Bukit Senaru dan bermuara di Selat
Sistem drainase mikro yaitu sistem
Flores. Panjang Sungai Waebo adalah
saluran dan bangunan pelengkap
3,026 km dengan luas daerah aliran
drainase yang menampung dan
sungai 5,44 km2. Sungai Waebo
mengalirkan air dari daerah tangkapan
melintasi wilayah Lancang, Waemaso,
hujan. Sistem drainase mikro adalah
Cowangdereng, dan Waekesambi.
saluran di sepanjang sisi jalan,
Kemiringan lahan rata-rata DAS
saluran/selokan air hujan di sekitar
Waebo adalah 17% dengan variasi
bangunan, gorong-gorong, saluran
kemiringan yang paling beragam
drainase kota dan lain sebagainya.
adalah pada sisi timur sungai.
 Sungai Waemata terletak di tengah Analisa Log Pearson III dan Gumbel
Kota Labuan Bajo dengan hulu di Debit air yang dapat ditampung tidak
Golo Gulung dan bermuara di Laut terlalu besar, dengan periode ulang 1
Flores. Panjang Sungai Waemata atau 2 tahun tergantung pada tata guna
adalah 8,472 km dengan luas daerah lahan yang ada. Sistem drainase untuk
aliran sungai 17,857 km2. Sungai lingkungan permukiman lebih cenderung
Waemata berada di Kecamatan sebagai sistem drainase mikro. Berikut
Komodo dan melintasi wilayah adalah curah hujan rancangan metode
Senaru hingga Belancang. Kemiringan Log Pearson III dan Gumbel, dengan
lahan rata-rata DAS Waemata adalah stasiun hujan Labuan Bajo (Tabel 1).
10% dengan topografi yang relatif Tabel 1. Curah hujan rancangan metode
curam pada hulu dan kemiringan Log Pearson III dan Gumbel
landai pada bagian hilir. Metode Hujan rencana (mm/hari) dengan kala ulang
 Sungai Waekemiri terletak di tengah analisis 1 2 10 25 50 100
Kota Labuan Bajo dengan hulu di Log 79.28 120.4 159.3 225.7 290.7 372.2
person
Golo Bilas dan bermuara di Laut III
Flores. Panjang Sungai Sungai Gumbel 89.06 156.2 200.7 256.9 289.6 340
Waekemiri adalah 5,162 km dengan
luas daerah aliran sungai 8,616 km2. Hasil analisis hujan selanjutnya akan
Sungai Sungai Waekemiri berada pada digunakan dalam analisis debit banjir
39
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

rencana dan analisis hidrolika untuk Dalam perencanaan saluran utama tiap
dimensi saluran. Untuk perencanaan DAS, debit rancangan yang disarankan
hidrolik, menggunakan hasil analisis adalah kala ulang 20 tahun, 25 tahun dan
dengan kala ulang 2 dan 5 tahun sesuai 50 tahun. Penggunaan debit kala ulang
dengan kriteria dan standar nasional SNI 50 tahun hanya digunakan dalam
(Gambar 2). perencanaan di kawasan muara, apabila
terjadi pengaruh air pasang yang besar.
Grafik Intensitas Hujan
Sementara apabila pengaruh kenaikan
muka air sungai tidak signifikan saat
250.00
Int_2Thn
200.00
terjadi pasang, maka digunakan kala
Intensitas (mm/jam)

Int_5Thn
150.00
Int_10Thn ulang 20 tahun dan 25 tahun. Debit
100.00 Int_25Thn rencana dan kapasitas eksisting keempat
50.00 Int_50Thn sungai di Kota Labuan Bajo dapat dilihat
0.00
Int_100Thn
pada Tabel 3.
20 60 100 140 180 220 260 300 340 380 420 460 500

Waktu (Menit)
Perhitungan debit rencana digunakan
untuk perhitungan dimensi rencana
Gambar 2. Grafik intensitas hujan setiap untuk saluran sekunder. Metode yang
kala ulang digunakan adalah Metode Rasional
Metoda Nakayasu Modifikasi, dimana waktu tiba puncak
Pendekatan perhitungan hidrograf banjir banjir dihitung secara iterasi dengan
rancangan dilakukan dengan metode unit Metode Kirpich. Berikut Gambar 3
hidrograf satuan menggunakan aplikasi skema jaringan drainase Kota Labuan
Metoda Nakayasu. Debit puncak pada Bajo.
keempat DAS dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Debit puncak metode nakayasu
Debit puncak (m3/detik)
Kala DAS DAS DAS
DAS
ulang wae Waem Waeke
Waemese
bo ata miri
2-th 61.92 64.38 51.43 204.75
5-th 93.68 90.36 77.80 309.76
10-th 123.74 119.36 102.77 409.16
20-th 161.34 155.63 134.00 533.50
50-th 226.64 218.62 188.24 749.45
100-th 291.67 281.35 242.25 964.49
200-th 374.42 361.17 310.97 1238.11
1000-th 665.3 Gambar 3. Skema jaringan drainase Kota
641.75 552.56 2199.98
Labuan Bajo eksisting
Tabel 3. Debit rencana dan kapasitas eksisting di 4 sungai/saluran
Q Debit puncak (m3/detik)
Nama Panjang C.A
Eksisting Q2 Q5 Q10 Q20 Q25
sungai (m) (km2)
(m3/dtk) (m3/dtk) (m3/dtk) (m3/dtk) (m3/dtk) (m3/dtk)
Sungai 3.026 7.82 311.037 41.36 62.82 83.13 151.69 194.17
Waebo
Sungai 8.089 15.07 66.538 41.58 63.16 83.58 152.51 195.22
Waemata
Sungai 5.295 11.14 31.116 30.91 46.94 62.12 113.35 145.09
Waekemi
ri
Sungai 32.552 96.59 47.844 199.18 302.52 400.35 730.52 935.06
Waemese
40
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

Kota Labuan Bajo sebagai kota yang beragam adalah pada sisi timur
berbatasan dengan laut, memiliki pola sungai.
aliran air yang menyebar. Pola aliran ini  Zona 2 terdapat Sungai Waemata
tidak fokus pada satu muara yang sama, yang bermuara di sebelah barat Pulau
melainkan menuju ke berbagai arah. Flores. Sistem pengelolaan pada zona
Sebagain besar arah alirannya mengarah ini lebih terfokus karena mengacu
pada sungai-sungai sebagai badan air pada sistem manajemen satu sungai.
pada tiap daerah aliran sungai. Hal Sungai Waemata dengan hulu di Golo
tersebut dapat dilihat dari Gulung dan bermuara di Laut Flores.
mengumpulnya arah aliran pada sungai- Panjang Sungai Waemata 8.089 m
sungai yang ada. Sedangkan beberapa dengan luas daerah aliran sungai
wilayah yang berbatasan langsung 15,07 km2. Sungai Waemata berada
dengan laut, arah aliran air limpasannya pada wilayah Kecamatan Komodo
akan langsung menuju ke laut melalui dan melintasi wilayah Senaru hingga
sistem drainase mikro setempat. Belancang. Kemiringan lahan rata-
rata DAS Waemata adalah 10%
Pembagian zonasi penanganan banjir dengan topografi yang relatif curam
Zonasi drainase Kota Labuan Bajo pada hulu dan kemiringan landai pada
mengikuti pola dari daerah aliran sungai. bagian hilir.
Konsep ini merupakan penerapan one  Zona 3 terdapat Sungai Waekemiri
river (catchment) one management yang yang bermuara di sebelah barat Pulau
diharapkan akan dapat mempermudah Flores. Sama halnya dengan Zona 2,
penanganan sistem drainase secara sistem pengelolaan pada zona ini
keseluruhan. Sebagai sistem satu DAS lebih terfokus karena mengacu pada
satu manajemen maka satu DAS tersebut sistem manajemen satu sungai. Sungai
dapat dikatakan sebagai satu zona. Waekemiri terletak di tengah Kota
Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut Labuan Bajo dengan hulu di Golo
maka penanganan satu zona sistem Bilas dan bermuara di Laut Flores.
drainase mengacu pada penanganan satu Panjang Sungai Sungai Waekemiri
DAS secara keseluruhan. Pembagian 5.295 m dengan luas daerah aliran
penanganan banjir di Kota Labuan Bajo sungai 11,14 km2. Sungai Sungai
terdiri dari 4 zona (Gambar 4) , yaitu : Waekemiri berada pada wilayah
Kecamatan Komodo dan melintasi
 Zona 1, seluas 21,42 km2 ini terdapat Desa Golo Bilas dan Desa Gorontalo.
sungai utama yaitu Sungai Waebo Kemiringan lahan rata-rata DAS
yang mengalir menuju sisi utara Pulau Sungai Waekemiri adalah 4% dengan
Flores. Sungai Waebo terletak variasi topografi curam pada bagian
diwilayah utara Kota Labuan Bajo hulu dan landai pada bagian hilir.
dengan hulu di Bukit Senaru dan  Zona 4, seluas 51,25 km2, terdapat
bermuara di Selat Flores. Panjang Sungai Waemese yang bermuara di
Sungai Waebo 3.026 m dengan luas sebelah barat Pulau Flores. DAS
daerah aliran sungai 7,82 km2. Sungai Waemese merupakan DAS terbesar di
Waebo melintasi wilayah Lancang, Kota Labuan Bajo meliputi sebagian
Waemaso, Cowangdereng, dan wilayah Labuan Bajo. Kondisi DAS
Waekesambi. Kemiringan lahan rata- Waemese berupa pegunungan dan
rata DAS Waebo adalah 17% dengan hutan membentuk banyak aliran
variasi kemiringan yang paling
41
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

sungai yang bentuknya tidak teratur,


dengan panjang sungai utama 32.552
m. Luas keseluruhan DAS Waemese
tidak kurang dari 96,59 km2 baik yang
masuk dalam wilayah Kota Labuan
Bajo maupun yang terdapat di luar
area kota. Namun demikian, karena
sungai ini merupakan batas selatan
dari Kota Labuan Bajo, sehingga
perlu penanganan bersama wilayah
administrasi di sebelah selatan Sungai
Waemese. Pada zona ini, aktivitas
permukiman dan pemerintahan, serta
sosial ekonomi sangat jarang karena
merupakan kawasan yang tidak padat
penduduk.

Gambar 7. Skema pengembangan


jaringan drainase

Kondisi saat ini empat saluran utama


tidak mengalami luapan air, namun
kedepannya perlu dilakukan antisipasi.
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan
sistem drainase, yaitu :
Gambar 4. Zona pembagian penanganan 1. Tahap 1
banjir Pengembangan sistem drainase
primer yaitu daerah aliran sungai Wae
Pengembangan sistem drainase Bo (3.026 m; 7,82 km2), Wae Mata
(8.089 m; 15,07 km2), Wae Kemiri
Berdasarkan kondisi wilayah, sistem (5.295 m; 11,14 km2) dan Wae Mese
jaringan drainase dikembangkan dengan (32.552 m; 96,59 km2).
melihat sistem drainase eksisting, Pengembangannya dalam bentuk
perkembangan wilayah hingga saat ini, menjaga alur sungai, menjaga
serta solusi untuk mengatasi kapasitas saluran, pengendalian
permasalahan saat ini dan masa akan perubahan tata guna lahan di daerah
datang. Pengembangan sistem drainase aliran sungai, pembuatan tampungan-
kedepan berdasarkan kondisi sistem tampungan air, dan lain-lain.
drainase eksisting. Pembuangan akhir Tampungan air tersebut tidak hanya
(laut) dan empat saluran primer (Wae berupa embung, namun juga dapat
Bo, Wae Mata, Wae Kemiri dan Wae berupa penggunaan sumur resapan
Mese), merupakan acuan dari disetiap bangunan, untuk
pengembangan sistem drainase di Kota menampung air hujan agar dapat
Labuan Bajo. skema jaringan drainase menambang cadangan air tanah serta
hasil pengembangan berdasarkan system mengurangi debit limpasan air hujan.
drainase pada gambar 7
42
Jurnal Reka Buana Volume 1 No 1, September 2015 - Februari 2016

2. Tahap 2
Pengembangan sistem drainase
sekunder, yaitu dengan membuat
saluran sekunder yang belum Kesimpulan
terbangun yang menyesuaikan dengan 1. Drainase makro Kota Labuan Bajo
kondisi saluran primer yang ada serta terbagi atas empat zona dengan
topografi sekitarnya, terutama masing-masing memiliki satu saluran
menyangkut elevasi dan dimensinya. drainase utama (primer), yaitu Wae
3. Tahap 3 Bo, Wae Mata, Wae Kemiri dan Wae
Pengembangan saluran tersier yang Messe. Keempat saluran utama
menyesuaikan dengan topografi tersebut saat ini tidak pernah
daerah tangkapan airnya, dan mengalami luapan air, dengan kata
pengembangan wilayah permukiman lain selalu dapat menampung debit
dan kegiatan ekonomi lainnya. aliran yang terjadi.
2. Kondisi drainase eksisting masih
Dengan penanganan banjir kota melalui berupa saluran alam, sedangkan pada
pembagian zona maka secara saluran yang ada konstruksinya
pengelolaan akan lebih mudah banyak yang mengalami rusak (pecah,
terselesaikan dengan memperhatikan longsor), tertutup sedimen dan
permasalahan setiap kondisi daerah sampah, serta ditumbuhi oleh rumput
genangan. Prinsip yang digunakan adalah liar.
satu sungai/saluran, satu pengelolaan 3. Daerah genangan adalah sifatnya
dan satu perencanaan. Dengan setempat, beberapa kasus karena
pembagian sistem zona ini, setiap memang tidak ada salurannya,
penangan lebih detail. Sistem yang sedangkan genangan yang sifatnya
digunakan adalah sistem drainase, yaitu mengganggu dalam skala yang lebih
melewati saluran-saluran tersier luas terjadi pada daerah Cowang
berkumpul di saluarn primer pada setiap Dereng.
zona. Pembagian zona pada Kota Daftar Pustaka
Labuhan Bajo ini efektif karena dalam
satu DAS terdapat sub-sub DAS yang C.D Soemarto. 1987. Hidrologi Teknik.
mempunyai muara sendiri-sendiri. Secara Usaha Nasional. Surabaya.
mikro, sistem drainase ini sangat efektif Hasmar, H. 2002. Drainase Perkotaan.
untuk mengurangi genangan yang terjadi UII. Yogyakarta.
di masing-masing zona dengan
kondisinya masing-masing. Maryono, A, Muth W dan Eisenhaver,
N. 2001. Hidrolika Terapan. Jakarta
Press, Yogyakarta
Hindarko. S. 2000, Drainase Perkotaan,
ES-HA
Subarkah. 1987. Hidrologi untuk
Perencanaan Bangunan Air. Nova,
Bandung

Anda mungkin juga menyukai