Anda di halaman 1dari 364

‫ و الصالة و السالم على سيدنا و موالنا محمد سيد‬،‫الحمد هلل رب العالمين‬

‫ أما بعد‬.‫ و على آله و أصحابه أجمعين‬،‫األنبياء و المرسلين‬.


Kitab ini adalah kitab ringkasan dari Matan
al-Ḥikam karya Syaikh al-‘Allāmah al-‘Ārif Billāh
Syaikh Aḥmad bin ‘Athā’illāh. Saya sengaja
meringkas sekira 2/3 (133 hikmah dari 264
hikmah) dari kitab aslinya supaya dapat
mempermudah masyarakat awam untuk
memahaminya. Kitab ini saya terjemahkan ke
dalam bahasa Jawa agar lebih mempermudah
pemahaman orang yang mempelajarinya.
Penerjemahan ini dimulai pada tahun 1289 H.
Semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin.

SYARAH AL-HIKAM
[Ditulis tahun 1868]
Oleh: KH. SHOLEH DARAT
Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)
SYARAH HIKMAH KE-1

‫الز َل ِل‬
َّ ‫اء عِ ْندَ ُو ُج ْو ِد‬
ِ ‫الر َج‬ َ ‫ت ااْل ِ ْع ِت َما ِد َع َلى ا ْل َع َم ِل ُن ْق‬
َّ ُ‫صان‬ ِ ‫مِنْ َعاَل َما‬

“Di antara tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu


pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya
pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah)
ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.”

Ketahuilah wahai Sālik (1), bahwasanya wajib bagi


orang mu’min yang shādiq (2) untuk berpegang
teguh pada Allah s.w.t. semata. Yakni, jangan
sekali-kali kamu bersandar diri pada selain Allah.
Ilmu dan amal ibadahmu itu tidak bisa dijadikan
pengharapan. Jangan pernah sekali-kali membuat
keyakinan di dalam hatimu bahwa amal ibadahmu
bisa memasukkanmu ke dalam surga,
menyelamatkan dari api neraka, serta menjadikan
wushūl (sampai) kepada Allah. Hal itu tidak bisa
benar-benar tidak bisa.
Apakah kamu tidak mengetahui kisah Pendeta
Bal‘am bin Ba‘ura dan Qārūn yang keduanya
adalah ahli ibadah? Qārūn merupakan ulama Bani
Isrā’īl, tetapi saat menghadapi ajal keduanya mati
dalam keadaan kafir. Apakah kamu tidak
mengetahui kisah Sayyidah ‘Ā’isyah binti Muzāhim,
walaupun beliau menjadi istri Fir‘aun, beliau adalah
kekasih Allah s.w.t. bahkan beliau akan menjadi
istri Rasūlullāh s.a.w. besok di surga.

Akhirnya, baik iman ataupun kufur, masuk surga


atau masuk neraka, itu semua adalah berkat
fadhal (karunia) dan keadilan dari Allah s.w.t.
semata. Sama sekali bukan dikarenakan ketaatan
dan kemaksiatan setiap insan. Yang benar adalah,
ketaatan dan kemaksiatan itu menjadi sebab dan
menjadi tanda bagi orang yang akan masuk surga
atau masuk neraka, tetapi kesemuanya tidak dapat
memberi akibat atau dampak.
Wahai murīd (3), ambillah ibarat dari kisah putra
Nabi Nūḥ a.s. dan kisah istri Nabi Lūth a.s. yang
keduanya mati dalam keadaan kafir. Tegasnya,
orang tua tidak bisa menjamin anaknya, suami
tidak bisa menolong istrinya dari siksa Allah s.w.t.
walaupun keduanya adalah seorang nabi. Bahkan,
wajib baginya berpegang teguh kepada Allah
s.w.t., bukan kepada yang lain.

Saat kamu, hai orang yang berakal, sudah


mengetahuinya, maka bersandarlah kamu pada
Allah s.w.t. semata dalam segala keadaan, bahkan
dalam urusan rezeki sekali pun. Jangan sekali-kali
hatimu merasa ada sesuatu selain Dia yang dapat
memberi manfaat atau memberi bahaya
kepadamu, dan tentu ini tidak akan terjadi.

Dari sini, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan


tanda-tanda orang yang menyandarkan diri kepada
selain Allah s.w.t. melalui perkataan beliau berikut
ini:

‫الز َل ِل‬
َّ ‫اء عِ ْندَ ُو ُج ْو ِد‬
ِ ‫الر َج‬ َ ‫ت ااْل ِ ْع ِت َما ِد َع َلى ا ْل َع َم ِل ُن ْق‬
َّ ُ‫صان‬ ِ ‫مِنْ َعاَل َما‬

“Di antara tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu


pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya
pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah)
ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.”

Di antara tanda-tanda bahwa seseorang itu


bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah
kurangnya pengharapan terhadap rahmat
anugerah Allah ketika terjadi padanya suatu
kesalahan atau dosa.

Misalnya, maksiat atau lupa dari mengingat Allah


s.w.t., yaitu ketika hati seseorang berkata setelah
melakukan kesalahan: “Aku pasti akan masuk
neraka sebab dosaku ini, dan Allah tidak akan
mengampuni dosaku ini”. Akan tetapi, seharusnya
orang yang jatuh dalam sebuah dosa harus
mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. dan
merasa bahwa ia melakukan dosa itu karena sifat
Qahhār (Maha Pemaksa) Allah s.w.t. Takutlah
kamu jika Allah s.w.t. menempatkanmu dalam
melakukan maksiat dan selalu berharaplah pada
sifat Maha Pengampun Allah s.w.t. berikut
anugerah-Nya.

Demikian halnya, wajib bagi orang yang memiliki


sifat (4), jangan sekali-kali kamu merasa bahwa
kamu ahli berbuat ketaatan dan jangan sekali-kali
kamu merasa ketaatanmu bisa mendekatkan pada
Allah s.w.t. atau bisa memasukkanmu ke dalam
surga. Akan tetapi, merasalah bahwa ketaatan
yang kamu perbuat itu lantaran anugerah Allah
s.w.t. kepadamu dan kamu sudah dikeluarkan dari
perbuatan maksiat dan kembali kepada Allah s.w.t.
Jika tidak ada anugerah Allah, niscaya kamu tidak
akan mau berbuat ketaatan, dan sesungguhnya
anugerah Allah yang diberikan pada kamu itu
karena fadhal Allah semata, bukan karena amal
yang menyertaimu.

Jika sudah begitu, maka tidak patut bagimu untuk


memohon pahala kepada Allah atas amal
perbuatan yang kamu lakukan, karena kamu
bukanlah orang yang ahli dalam amal-ibadah. Akan
tetapi, Allah-lah yang memberi amal pada kamu
dan hendaklah kamu bersyukur atas pemberian
yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Banyak
dari kamu yang dikasihi Allah ialah diberi ketaatan
dan iman, dan tanda murkanya Allah adalah
diberikannya maksiat dan kufur.

Catatan:

1). Perambah jalan kebenaran spiritual dengan


berbagai riyādhah. ↩
2). Istilah shādiq diberikan kepada orang yang ahli
dalam melakukan kebenaran dan selalu dikaitkan
dengan kebenaran. Di atasnya terdapat shiddīq,
yaitu kebenaran yang lebih banyak lagi daripada
yang dilakukan shādiq. Maksudnya, baik shādiq
maupun shiddīq sama-sama didominasi oleh
kebenaran, bedanya dominasi kebenaran yang
menguasai shiddīq lebih banyak. Tak ubahnya
seperti pemabuk yang kecanduan khamar, seperti
itulah orang yang shiddīq, ia kecanduan akan
kebenaran. Tingkat terendah dari shiddīq adalah
kesamaan antara yang rahasia dan yang tampak.
Shādiq diberikan kepada orang yang benar dalam
ucapannya, sementara shiddiq diberikan kepada
orang yang benar dalam segala ucapan, perbuatan
dan keadaannya. Lihat Abul-Qāsim ‘Abdul-Karīm
Ḥawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī,
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 210. ↩
3). Orang yang menghendaki sampai kepada Allah
s.w.t. ↩
4). Barang kali yang dimaksud adalah ḥāl dalam
istilah kaum sufi. ↩

SYARAH HIKMAH KE-2


‫ش ْه َو ِة ا ْل َخفِ َّي ِة َو ِإ َرادَ ُت َك‬ َّ ‫ب مِنَ ال‬ ِ ‫هللا ِإ َّيا َك فِي اَأْل ْس َبا‬ ِ ‫ِإ َرادَ ُت َك ال َّت ْج ِر ْي ُد َم َع ِإ َقا َم ِة‬
‫هللا ِإ َّيا َك فِي ال َّت ْج ِر ْي ِد ا ْنح َِطا ٌط مِنَ ا ْل ِه َّم ِة ا ْل َعلِ َّي ِة‬
ِ ‫اب َم َع ِإ َقا َم ِة‬ َ ‫اَأْل ْس َب‬

“Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah tanpa


berusaha mencari dunia), padahal Allah masih
menempatkan engkau pada asbāb (harus berusaha
untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari),
termasuk syahwat nafsu yang samar. Sebaliknya
keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal
Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd
(melulu beribadah tanpa berusaha), maka
demikian itu berarti menurun dari semangat yang
tinggi.”

Hendaknya orang yang sudah mencapai makrifah


Allah mau menerima apa pun yang ditentukan oleh
Allah baik (tingkatan) usaha atau lainnya.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:

‫ش ْه َو ِة ا ْل َخفِ َّي ِة‬ ِ ‫هللا ِإ َّيا َك فِي اَأْل ْس َبا‬


َّ ‫ب مِنَ ال‬ ِ ‫ِإ َرادَ ُت َك ال َّت ْج ِر ْي ُد َم َع ِإ َقا َم ِة‬
“Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah tanpa
berusaha mencari dunia), padahal Allah masih
menempatkan engkau pada asbāb (harus berusaha
untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari),
termasuk syahwat nafsu yang samar.”

Keinginanmu untuk meninggalkan kasab (usaha)


mencari ridhā’ Allah, padahal Allah telah
menempatkanmu pada maqām (51) kasab itu
termasuk syahwat nafsu yang samar.

Boleh jadi, keinginanmu untuk meninggalkan


kasab (usaha), padahal Allah telah
menempatkanmu pada (maqām) kasab itu adalah
keinginan nafsu agar engkau dianggap oleh
masyarakat sebagai orang yang zuhud. Dengan
demikian, engkau termasuk orang yang tidak
mempunyai tata-krama kepada Allah s.w.t. karena
tidak mau menerima apa yang sudah ditentukan
oleh Allah untukmu. Engkau menjadi orang yang
melampaui kehendak Allah. Adapun tanda bahwa
engkau ditempatkan pada maqām kasab itu adalah
dengan wujud selamatnya agamamu. Engkau tetap
berusaha, tetap melakukan ibadah, shalat
berjamā‘ah, mengaji, memperbanyak ketaatan,
serta bekerja memenuhi nafkah keluarga.

Berubahnya keinginanmu untuk meninggalkan


kasab itu temasuk bujuk rayu iblis. Maka
sesungguhnya iblis terkadang berucap kepadamu:
“Jila engkau meninggalkan kasab niscaya engkau
menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh
Allah, menjadi golongan orang-orang yang
ber-tawakkal kepada Allah, bisa dekat dengan
Allah, dan semakin taat kepada Allah. Jika engkau
mau menurutinya maka setelah meninggalkan
kasab engkau akan dilanda kegalauan dalam
imanmu, hilanglah ketauhidanmu, bersandar diri
pada makhluk sebab sempitnya rezekimu, dan
selalu mengharapkan pemberian makhluk. Pada
akhirnya, engkau yang asalnya menyembah Allah
berbalik menjadi menyembah makhluk. Dengan
begitu, hilanglah keimananmu, dan bergembiralah
Iblis.

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:

‫هللا ِإ َّيا َك فِي ال َّت ْج ِر ْي ِد ا ْنح َِطا ٌط مِنَ ا ْل ِه َّم ِة ا ْل َعلِ َّي ِة‬ َ ‫َو ِإ َرادَ ُت َك اَأْل ْس َب‬
ِ ‫اب َم َع ِإ َقا َم ِة‬

“Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb (berusaha),


padahal Allah telah menempatkan dirimu pada
tajrīd (melulu beribadah tanpa berusah), maka
demikian itu berarti menurun dari semangat yang
tinggi.”
Keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal
Allah sudah menempatkanmu untuk meninggalkan
usaha itu bisa menurunkan dirimu dari semangat
yang tinggi pada semangat yang lebih rendah.
Karena setelah engkau mengharap hanya kepada
Allah disertai dengan keayakinan iman, bahwa
hanya Allah-lah Dzat yang Maha Memberi Rezeki,
maka engkau akan kembali berharap kepada
makhluk. Angan-anganmu akan menjadi hina.

Alhasil, wajib bagi orang yang sudah makrifah


Allah rela menerima apapun maqām (tempat) yang
ditentukan oleh Allah dan menetapinya, hingga
Allah memindahkannya pada maqām yang lain.
Adapun tanda engkau ditempatkan pada maqām
tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha mencari
dunia atau meningalkan usaha) adalah mudahnya
engkau mendapatkan penghidupan dari manapun
datangnya rezeki tersebut. Dengan begitu, engkau
tidak mengharap-harapkan pemberian makhluk,
tidak tamak terhadap haknya makhluk, dan hati
pun tetap tenang meskipun rezekinya sulit. Ketika
hatimu telah terpatri hanya kepada Allah,
istaqamah dalam beribadah, tidak meninggalkan
ibadah karena sulitnya rezeki, jika engkau sudah
mendapatkan hal-hal tadi pada dirimu maka, wajib
bagimu untuk meninggalkan kasab (usaha) dan
menerima anugerah yang diberikan Allah.

Wallāhu a‘lam.

Catatan:

5). Maqām adalah sebuah istilah dunia sufistik


yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika
yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh
seorang sālik (seorang hamba perambah
kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) melalui
beberapa tingkatan mujāhadah secara gradual dari
satu tingkatan laku batin menuju pencapaian
tingkatan maqām berikutnya dengan sebentuk
amalan (mujāhadah) tertentu. Tegasnya, ia adalah
pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian
yang tak kenal lelah. Syaratnya berat, beban
kewajibannya pun juga berat. Ketika itu, seseorang
yang sedang menduduki atau memperjuangkan
untuk menduduki sebuah maqām (proses
pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang
terkandung dalam maqām yang sedang
dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk
dengan berbagai riyādhah (latihan jiwa).
Seseorang tidak akan mencapai suatu maqām dari
maqām sebelumnya selama dia belum memenuhi
ketentuan, hukum dan syarat maqām yang hendak
dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya.
Orang yang belum mampu bersikap qanā‘ah
(kepuasan batin terhadap pemberian Allah, meski
amat kecil), maka tawakkal-nya tidak sah. Orang
yang belum mampu berpasrah diri kepada Allah
maka penyerahan totalitas dirinya
(kemuslimannya) tidak sah. Orang yang belum
taubat maka penyesalannya tidak sah. Orang yang
belum wirā‘i (sikap hati-hati dalam penerapan
hukum), maka ke-zuhud-annya tidak sah. Berarti,
maqām zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapi
sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan maqām
wirā‘i. Secara bahasa “al-maqām” berarti
“al-iqāmah”, yaitu penegakan atau aktualisasi
suatu nilai moral. Hal ini seperti kata “al-madkhal”
yang berarti “idkhāl”, yaitu proses pemasukan atau
memasukkan. Sebaliknya, term “al-makhraj”
berarti “al-ikhrāj”, yaitu proses pengeluaran.
Karena itu, keberadaan maqām seseorang tidak
dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran
Allah secara khusus dalam nilai maqām yang
diaktualkannya, mengingat sahnya suatu
bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas
dasar yang sah pula. Lihat: Abul-Qāsim
‘Abd-ul-Karīm Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī,
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 56-57.

SYARAH HIKMAH KE-3

.‫ار اَأْل ْقدَ ِار‬


َ ‫س َو ِاب ُق ا ْل ِه َم ِم اَل َت ْح ِر ُق َأ ْس َر‬
َ

“Menggebunya semangat itu tidak dapat


menembus benteng takdir.”

Jika engkau sudah menetapi maqām tajrīd dan


suatu hari mengalami kesulitan dalam hal rezeki,
lalu syaithan menggodamu dan berbisik di hatimu:
“jika engkau mau berusaha maka engkau tidak
akan menjadi seperti ini.” Jika hal itu terjadi, maka
jangan hiraukan bisikan tersebut dan perhatikan
perkataan Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berikut:

.‫ار اَأْل ْقدَ ِار‬


َ ‫س َو ِاب ُق ا ْل ِه َم ِم اَل َت ْح ِر ُق َأ ْس َر‬
َ

“Menggebunya semangat itu tidak dapat


menembus benteng takdir.”

Angan-anganmu yang sudah ada itu tidak bisa


mengalahkan ketentuan takdir Allah.

Sebagaimana halnya berangan-angan, “jika aku


berusaha atau bekerja maka aku pasti
mendapatkan keuntungan dan rezekiku akan
tercukupi.” Angan-angan seperti ini tidak akan bisa
mengalahkan qadhā’ dan qadar Allah, yang sudah
ditetapkan sejak zaman Azali, sama sekali tidak!
Oleh karena itu jangan memperbanyak
angan-angan dan jangan terlalu hanyut dalam
angan-angan dalam urusan rezeki, sebab Allah
telah menetapkan rezekimu, bahkan sebelum
kamu ada.

SYARAH HIKMAH KE-4

Sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah


semenjak engkau belum ada.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫َأ ِر ْح َن ْف‬
‫س َك مِنَ ال َّتدْ ِب ْي ِر‬

“Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan


mengatur kebutuhan duniamu.”

Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu


yang belum terjadi. Yakni jangan banyak
berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang
belum terjadi, seperti halnya memikirkan makan
apa untuk hari esok atau bulan depan, karena
Allah sudah mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh
sebelum engkau ada, begitu juga ajalmu, nikmat,
dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang
engkau pikirkan besok akan terjadi, sehingga
pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan
sia-sia belaka.

Tidak pernahkan engkau berpikir, dulu sebelum


engkau ada, engkau pun tidak pernah memikirkan
dan tidak meminta pada Allah untuk
mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak untuk
menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri
bukan dengan adanya permintaanmu. Allah
menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri
melalui tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah
memindahkan dalam kandungan ibumu, mulai dari
segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi
segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah
membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan
selama 40 hari dan memberinya ruh, sehingga
menjadi sebuah janin yang membutuhkan makan
dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah
haidh sebagai makanan dan minuman janin
tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki,
cobaan dan nikmat untuknya begitu pula
keberuntungan dan musibah atau kegagalan.

Kemudian Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu


(lahir), engkau pun berkeinginan untuk makan dan
minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak
berdaya untuk mengunyah. Sehingga Allah
menjadikan air susu ibumu sebagai makanan dan
minuman supaya engkau mampu bertahan.
Engkau menjadi beban yang teramat
menyusahkan, akan tetapi Allah menaruh rasa
belas kasih pada hati kedua orang tuamu.
Sehingga mereka mau merawatmu dengan
sungguh-sungguh dan penuh kasih-sayang.
Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan
kebutuhanmu, mulai engkau bayi sampai engkau
besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan,
memberi akal sesuai kadarnya, memberi iman,
ilmu dan lainnya.

Apakah semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan


permohonanmu kepada Allah? Atau karena
angan-angan dan pemikiranmu? Tidak! Semua itu
terjadi atas kehendak qadhā’ qadar dan belas
kasih Allah. Jika begitu halnya, maka apalah guna
engkau ikut serta mengangankan, memikirkan,
dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut
serta memikirkan perkara yang bukan menjadi
urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu,
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫ُك َع ْن َك اَل َتقُ ْم ِب ِه لِ َن ْفسِ َك‬


َ ‫َف َما َقا َم ِب ِه َغ ْير‬
“Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh
selain kamu, tidak usah engkau sibuk
memikirkannya.”

Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu


(Allah), janganlah engkau turut mengurusnya.

Apa yang sudah ditanggung oleh Allah untukmu,


apakah itu dalam hal-ihwal rezekimu serta lainnya,
maka engkau jangan ikut serta mengurusnya,
karena Allah berfirman:
ِ ْ‫َو َما َمنْ دَ ا َّب ٍة فِي اَأْلر‬
ِ ‫ض ِإاَّل َع َلى‬
.‫هللا ِر ْزقُ َها‬

“Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini


kecuali Allah sudah menanggung rezekinya....”
(Hūd [11]: 6).

Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung


kebutuhan duniawi selama hidupmu, dia
memberimu sebuah bukti berupa surat yang di
dalamnya ada tanda tangan raja itu sendiri, bahwa
beliau benar-benar sudah menanggung makanan
dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka
engkau akan benar-benar mau mempercayainya
dengan adanya surat dari raja tersebut. Nah,
bagaimana bila yang menjamin dan
menanggungnya adalah raja dari semua raja yang
menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah
menurukan sebuah surat melalui kitab suci-Nya
(al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak
mempercayainya dan engkau masih saja
memikir-mikirkan masalah pangan dan
sandangmu, dalam artian, tidak mempercayai janji
Allah. Maka dengan adanya imanmu yang seperti
ini, sungguh amat hina dirimu. Jikalau engkau mau
mempercayai janji raja dunia yang lemah tapi
tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang
menguasai langit dan bumi, maka sungguh telah
hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah
nasehat ini, wallāhu a‘lam.

Ketahuilah, wahai saudaraku sekalian,


sesungguhnya sesuatu yang bisa menjadikan
hilangnya tadbīr (memikirkan suatu hal yang
belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan
syahwat dan ikhtiyār adalah melihat pada 10
perkara:

Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur


urusanmu sebelum engkau ada.
Kedua, engkau akan mengetahui bahwasanya
tadbīr yang engkau lakukan itu karena engkau
tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang
mu’min pasti tahu bahwa meskipun dia tidak
men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti memberikan
yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak
mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?

ِ ‫َو َمنْ َي َت َو َّك ْل َع َلى‬


.ُ‫هللا َفه َُو َحسْ ُبه‬

“….dan barang siapa yang berserah diri kepada


Allah maka Allah-lah Dzat yang mencukupinya….”
(ath-Thalāq [65]: 3).

Maka ketika engkau ingin mengurus suatu


kebaikan untuk dirimu maka janganlah engkau
mengurusnya lagi akan tetapi hanya berserah
dirilah kepada Allah.

Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya


ketentuan (qadar) Allah itu tidak berjalan sesuai
tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi
pada dirimu itu adalah sesuatu yang tidak pernah
engkau pikirkan dan rencanakan.

Keempat, ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang


menguasai segala kerajaan; 7 langit, 7 bumi, ‘arsy,
kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta
berkuasa. Kesemuanya itu tunduk pada apa yang
diperintahkan Allah s.w.t. dan berserah diri pada
tadbīr Allah, maka lebih besar manakah antara
kepala manusia dan langit beserta bumi seisinya?
Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah
dan engkau masih saja ikut serta mengurus
dirimu.
Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa engkau
adalah milik Allah, jika engkau sudah dimiliki Allah
maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil
bahwa engkau tidak bisa membuat kesembuhan
pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu yang bukan
menjadi milikmu maka tidak layak bagimu untuk
mengurusnya, karena engkau akan
meng-ghashab, sebab memerintah yang bukan
milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka
kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘,
bukan menurut hukum ḥaqīqī. Maka pahamilah!
Keenam, hendaknya engkau ketahui bahwa
engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Karena
semua dunia ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah,
dan engkau itu hanya beristirahat di dalamnya,
sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak
tamu adalah tidak perlu ikut mengurus makanan
apa yang hendak dimakan, bahkan jangan
ber-ikhtiyār untuk membuat hidangan sendiri
karena pemilik rumah pasti sudah mengatur
hidangannya. Begitu pula jika yang didatangi
(dikunjungi) adalah raja yang amat kaya raya,
maka tidak layak bagimu untuk ikut serta
mengurusnya hingga mencapai tiga hari.
Karena sabda Rasūlullāh s.a.w.:
‫َأ‬
ٍ ‫ض َيا َف ُة َثاَل َث ُة ي‬
‫َّام‬ ِّ ‫ال‬
“Hidangan tamu itu selama tiga hari.”

Engkau bertamu kepada Allah s.w.t., sedang satu


hari menurut Allah sama dengan seribu tahun
menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:

.‫ِّك َكَأ ْلفِ َس َن ٍة ِممَّا َت ُع ُّد ْو َن‬


َ ‫َو ِإنَّ َي ْومًا عِ ْندَ َرب‬

“Sesungguhnya satu hari menurut Allah itu sama


halnya seribu tahun menurut perhitungan hari
kalian….” (al-Ḥajj [22]: 47).
Maksudnya, jika engkau hidup selama tiga ribu
tahun, maka Allah akan memberimu hidangan
(rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu
apapun, dan bila umurmu tidak sampai tiga ribu
tahun, maka Allah akan menyempurnakan
hidangan tersebut di akhirat kelak, dengan
menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu
a‘lam.
Pahamilah!

Ketujuh, hendaknya engkau merenungkan firman


Allah yang berbunyi:

.‫هللاُ اَل ِإل َه ِإاَّل ه َُو ْال َحيُّ ْال َقي ُّْو ُم‬

“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup


Kekal lagi Terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya)….” (al-Baqarah [2]: 255).

Allah adalah Dzat yang mengurus hamba-Nya baik


di dunia maupun di akhirat, di dunia dengan
memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi
pahala dan pembalasan (amal perbuatannya).
Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah
bersifat Qayyūm (Maha Mengurus makhluk-Nya)
maka berserah dirilah kepada-Nya!
Kedelapan, hendaklah engkau disibukkan dengan
beribadah kepada Allah sampai ajal menjemputmu,
Allah berfirman:

. ُ‫َّك َح َّتى َيْأ ِت َي َك ْال َي ِقيْن‬


َ ‫َو اعْ ب ُْد َرب‬
“Beribadah atau sembahlah Tuhanmu hingga
engkau menghadapi kematian….” (al-Ḥijr [15]:
99).

Ketika engkau tersibukkan oleh ibadah maka


engkau tidak akan berangan-angan dan ber-tadbīr
untuk dirimu sendiri. Wallāhu a‘lam.
Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah
mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah,
dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut
serta mengurus dan mengatur sebagaimana
tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah
melayani apa yang diperintahkan sang majikan,
majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah
engkau mendengar firman Allah di dalam
al-Qur’ān?

َّ ‫َو ْأمُرْ َأهْ َل َك ِبال‬


.‫صاَل ِة َو اصْ َط ِبرْ َع َل ْي َها اَل َنسْ َألُ َك ِر ْز ًقا َنحْ نُ َنرْ ُزقُ َك‬

“(Wahai Muḥammad) Perintahkanlah keluargamu


untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di
dalamnya (perkara shalat). Aku tidak meminta
rezeki darimu (untuk memberi rezeki kepada
keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu
(dan keluargamu) rezeki…..” (Thāhā [20]: 132).

Hal ini berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah)


dan majikanmu yang akan menyiapkan atau
mengurus sandang panganmu.

Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak


mengetahui tentang akhir suatu perkara dan
engkau tidak bisa memperkirakannya. Engkau
menganggap suatu perkara itu bermanfaat, namun
nyatanya membahayakan, engkau anggap
berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.

Ketahuilah, sesungguhnya meninggalkan tadbīr


dan ikhtiyār serta mau menerima atau rela dengan
tadbīr Tuhanmu itu adalah ibadah yang paling
utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar
adalah ikut campur mengatur dengan ikhtiyār dan
tadbīr-nya sendiri. Musibah putra nabi Nūḥ a.s.
yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab
mengikuti tadbīr-nya sendiri dan menjauh dari
tadbīr Allah. Dan juga kafirnya iblis itu sebab
mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau
menerima tadbīr Allah

SYARAH HIKMAH KE-5

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ضمِنَ َل َك َو َت ْقصِ ْي ُر َك فِ ْي َما ُطل َِب ِم ْن َك دَ لِ ْيل ٌ َع َلى ا ْنطِ َم‬


‫اس ا ْل َبصِ ْي َر ِة‬ ُ ‫ا ِْج ِت َها ُد َك فِ ْي َما‬
‫ِم ْن َك‬

“Kesungguhanmu untuk mencapai sesuatu yang


telah dijamin pasti akan sampai kepadamu, dan
(disertai) keteledoranmu terhadap
kewajiban-kewajiban yang telah diamanatkan
(ditugaskan) kepadamu, itu membuktikan butanya
mata hatimu.”
Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijamin
oleh Allah untukmu, dan kelalaianmu
melaksanakan apa yang dituntut darimu itu
merupakan bukti butanya mata hatimu.

Rajin dalam mencari rezeki dan teledor dalam


beribadah itu menunjukkan butanya mata hatimu.
Karena Allah s.w.t. sudah menanggung rezeki
untukmu, apakah kalian semua tidak mendengar
firman Allah:
.‫َو َكَأيِّنْ ِمنْ دَ ا َّب ٍة اَل َتحْ ِم ُل ِر ْز َق َها هللاُ َيرْ ُزقُ َها َو ِإيَّا ُك ْم‬
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat)
membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah
yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu.”
(al-‘Ankabūt [29]: 60).

Dan juga ayat yang telah disebutkan sebelumnya,


bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
kita semua untuk beribadah, Allah berfirman:

َ ‫ت ْال ِجنَّ َو اِإْل ْن‬


.‫س ِإاَّل لِ َيعْ ُب ُد ْو َن‬ ُ ‫َو َما َخ َل ْق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia


melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku...”
(adz-Dzāriyāt [51]: 56).

.‫َو الَّ ِذي َْن َجا َه ُد ْوا ِف ْي َنا َل َن ْه ِد َي َّن ُه ْم ُس ُب َل َنا‬

“Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam


(beribadah) kepada-Ku, maka sungguh Aku akan
menunjukkan kalian jalan menuju kepada-Ku….”
(al-‘Ankabūt [29]: 69).
.‫ان ِإاَّل َما َس َعى‬ َ ‫َو َأنْ َلي‬
ِ ‫ْس لِِإْل ْن َس‬

“Sesungguhnya tidak ada satupun yang dimiliki


manusia kecuali pahala dari apa yang dikerjakan.”
(an-Najm [53]: 39).

Alhasil, barang siapa yang disibukkan pada hal


yang sudah ditanggung oleh Allah dan malah
meninggalkan perkara yang diperintahkan
oleh-Nya, maka amat bodohlah orang tersebut,
dan sungguh ia benar-benar melupakan Allah.
Bukankah kewajiban seorang hamba adalah
menyibukkan diri pada apa yang diperintah, serta
meninggalkan apa yang sudah ditanggung oleh
Tuhannya? Tidakkah engkau renungkan, jika Allah
saja memberikan rezeki kepada orang yang ahli
berbuat kekufuran, maka tidakkah Allah memberi
rezeki kepada orang-orang yang beriman dan
berbuat ketaatan? Maka jelaslah, bahwa perkara
rezeki itu sudah ditanggung (untuk kalian) dan
perkara ibadah itu dituntut (atas kalian) untuk
bersungguh-sungguh (melaksanakannya).

Ketahuilah! Sesungguhnya seorang hamba tidak


boleh melecehkan Tuhannya dalam suatu perkara
apapun. Boleh jadi, perkara yang engkau senangi
itu terkadang buruk menurut Allah, sebaliknya,
perkara yang tidak engkau senangi itu malah
menjadi suatu kebaikan bagi dirimu. Allah
berfirman:

.‫َو َع َسى َأنْ َت ْك َره َُوا َش ْيًئ ا َو ه َُو َخ ْي ٌر َل ُك ْم َو َع َسى َأنْ ُت ِحب ُّْوا َش ْيًئ ا َو ه َُو َشرٌّ َل ُك ْم‬

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia


amat baik bagimu, dan bisa jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.”
(al-Baqarah [2]: 216).
‫‪SYARAH HIKMAH KE-6‬‬

‫‪Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:‬‬

‫اء ُم ْو ِج ًبا لِ َيْأسِ َك‬


‫ُّع ِ‬ ‫اَل َي ُكنْ َتَأ ُّخ ُر َأ َم ِد ا ْل َع َط ِ‬
‫اء َم َع اِإْل ْل َح ِ‬
‫اح فِي الد َ‬
“Janganlah kelambatan masa pemberian Tuhan
kepadamu, padahal engkau sungguh-sungguh
dalam berdoa, itu menyebabkanmu patah
harapan.”
Janganlah lamanya masa pemberian (Tuhanmu
kepadamu), padahal engkau bersungguh-sungguh
dalam berdoa, itu menjadikanmu berputus asa
dalam berdoa dan berputus asa dalam
dikabulkannya doamu. Ketika engkau memohon
kepada Allah agar berhasil dalam suatu perkara,
lantas tidak berhasil, maka janganlah hal tersebut
menjadikan engkau memutuskan doamu dan
jangan berkeyakinan bahwa Allah tidak mau
mengabulkan doamu. Janganlah doamu untuk
meminta tercapainya sebuah tujuan
menjadiakanmu musyrik, sebab Allah sudah
berjanji akan mengabulkan setiap orang yang
berdoa.
Oleh karena itu Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
ِ ‫ضمِنَ َل َك اِإْل َجا َب َة فِ ْي َما َي ْخ َتا ُرهُ َل َك اَل فِ ْي َما َت ْخ َتا ُر لِ َن ْفسِ َك َو فِي ا ْل َو ْق‬
ْ ‫ت ا َّلذ‬
‫ِي‬ َ ‫َف ُه َو‬
ِ ‫ُي ِر ْي ُد اَل فِي ا ْل َو ْق‬
ْ ‫ت ا َّلذ‬
‫ِي ُت ِر ْي ُد‬

“Sebab Allah telah menjamin menerima semua doa


dalam apa yang Ia kehendaki untukmu, bukan
menurut kehendakmu, pada waktu yang
ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau
tentukan.”
Pada hakikatnya, Allah itu sudah menjamin akan
mengabulkan doa-doamu, menurut apa yang Ia
pilihkan untukmu, bukan menurut apa yang
engkau pilihkan untuk dirimu sendiri, pada waktu
yang sudah Ia kehendaki, bukan pada waktu yang
engkau inginkan.
Allah adalah Dzat yang mengabulkan doa-doa
hamba-Nya, sebab Allah telah berfirman:
.‫ا ُ ْدع ُْو ِنيْ َأسْ َت ِجبْ َل ُك ْم‬
“….Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku
perkenankan bagimu..…” (al-Mu’min [40]: 60).
Pengabulan tersebut menurut apa yang telah Allah
pilihkan, bukan menurut apa yang engkau pilih,
karena engkau tidak mengetahui apa yang
bermanfaat untukmu dan apa yang madharat
bagimu. Terkadang engkau meminta luasnya rezeki
dan memohon dikaruniai anak karena engkau
mengiranya bermanfaat, tetapi kemudian engkau
tidak diberi rezeki dan anak seperti yang engkau
pinta tersebut. Boleh jadi, ketidakterkabulnya
permohonanmu tersebut, karena Allah sudah
mengetahui jika engkau diberi rezeki yang lapang,
akan membahayakan atau memberi madharat
pada agamamu. Atau jika engkau dikaruniai anak,
engkau lantas berbuat maksiat. Maka tidak
dikabulkannya doamu itu berarti sudah dikabulkan.
Pahamilah! Allah mengabulkan permohonan
hamba-Nya pada waktu yang dikehendaki-Nya
bukan yang engkau inginkan, pengabulan yang
Allah berikan itu menurut fadhal-Nya, bukan
karena menuruti keinginanmu, pahamilah.
SYARAH HIKMAH KE-7

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ َو ُر َّب َما َم َن َع َك َفَأ ْع َطا َك‬،‫ُر َّب َما َأ ْع َطا َك َف َم َن َع َك‬

“Terkadang Allah memberimu harta dunia tapi


tidak memberimu pertolongan untuk ibadah, dan
terkadang Allah tidak memberimu harta dunia tapi
memberimu pertolongan untuk beribadah”.

Maka dengan tidak diberikannya perkara dunia


bagimu menunjukkan bahwa Allah sedang
menganugerahimu perkara akhirat. Begitulah
(hakikat) pemberian agung yang diberikan Allah
kepadamu, walaupun secara lahiriah (harta dunia)
Allah tidak memberikannya. Janganlah engkau
melihat sebuah pertolongan pada hal-ihwal apa
yang tampak saja (kekayaan, misalnya), tetapi
lihatlah pada hakikatnya juga (keistiqamahanmu
dalam beribadah). Berdasarkan uraian di atas,
wajib bagi seorang hamba untuk meninggalkan
tadbīr dan ikhtiyār.
SYARAH HIKMAH KE-8

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫اب ا ْل َف ْه ِم فِي ا ْل َم ْن ِع َعادَ ا ْل َم ْن ِع َع ْينَ ا ْل َع َط‬


‫اء‬ ُ ‫َم َتى فُت َِح َل َك َب‬

“Ketika dibuka pintu kepahaman untukmu tentang


arti sebuah pencegahan (tidak memberimu perkara
dunia), maka bisa jadi tidak diberinya (perkara
dunia) itu adalah hakikat pemberian.”

Ketika engkau tidak dianugerahi harta dunia,


hendaknya engkau menyadari dan memahami
bahwa tidak diberinya harta dunia itu adalah wujud
kasih-sayang Allah terhadapmu. Karena Allah
sudah mengetahui (keadaan) dirimu bahwa
kefakiranmu itu lebih baik untukmu, sebab jika hal
itu tidak baik, Allah tidak akan memberikanmu
kefakiran. Dan Allah s.w.t. bersifat belas-kasih
terhadap hamba-Nya.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa salah satu
sahabat yang bernama Tsa‘labah yang sangat fakir
dan beliau menjadi pelayan Rasūlullāh s.a.w., tidak
pernah lepas dari shalat berjama‘ah bersama
Rasūl, suatu hari beliau berkata pada Rasūl: “Ya
Rasūlullāh, hendaklah engkau memohonkan
kepada Allah agar rezekiku menjadi luas.”
Kemudian Rasūl menjawab: “Wahai Tsa‘labah
kefakiranmu itu lebih baik untukmu.” Kemudian
Tsa‘labah memintanya lagi kepada Rasūl, dan
Rasūl menjawab: “Wahai Tsa‘labah kefakiranmu itu
lebih baik untukmu.” Tsa‘labah mengulang-ulang
permintaannya kepada Rasūl berkali-kali. Hingga
akhirnya Rasūlullāh pun mendoakan sesuai
permintaan Tsa‘labah. Rezeki Tsa‘labah menjadi
lapang, akan tetapi ia tidak lagi istiqāmah shalat
berjamā‘ah. Seiring berjalannya waktu, harta
bendanya semakin berlimpah, ia menjadi ingkar
untuk membayar kewajiban zakat. Pada akhirnya
ia menjadi orang yang munafik, sampai-sampai
mati dalam keadaan munafik. Allah s.w.t. dan
Rasūlullāh s.a.w. tidak mau menerima taubat
Tsa‘labah, maka ia menjadi seperti Qārūn. Oleh
karena itu, jangan merasa bahagia dengan
bertambahnya hartamu, sementara ibadahmu
semakin berkurang.
SYARAH HIKMAH KE-9

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menuturkan tentang


luasnya pemahaman ketika tidak diberi
(dikabulkannya doa), melalui perkataan beliau:

ْ ‫َم َتى َأ ْع َطا َك َأ‬


.ُ‫ش َهدَ َك ِب َّره‬
“Ketika Allah memberikan sebuah pengabulan
kepadamu, Allah memperlihatkan sifat
kebaikan-Nya dan sifat dermawan-Nya.”

Ketahuilah, bahwa sekiranya Allah telah


memberimu, maka janganlah engkau berpaling
dari-Nya.

‫ َو ُم ْق ِبل ٌ ِب ُو ُج ْو ِد لُ ْطفِ ِه‬،‫ف ِإ َل ْي َك‬ ْ ‫َو َم َتى َم َن َع َك َأ‬


ٌ ‫ َف ُه َو ف ِْي ُكل ِّ ذلِ َك ُم َت َع ِّر‬،ُ‫ش َهدَ َك َق ْه َره‬
.‫َع َل ْي َك‬

“Ketika Allah tidak memberikan pengabulan


kepadamu, Allah memperlihatkan sifat Qahhar-Nya
(memaksa) kepadamu, agar engkau tahu bahwa
suatu ketika Allah tidak berkenan memberimu,
maka ketika Allah tidak memberikan pengabulan
kepadamu itu karena hendak menunjukkan
(memperkenalkan) diri kepadamu, dan ketika Allah
memberikan perkara kedua (memberi pengabulan)
itu karena hendak menemuimu dengan sifat
belas-kasihNya kepadamu (agar engkau
mengenal-Nya dan mengharap kepada-Nya)”.

Alhasil, hal yang dituntut dari seorang hamba


adalah, mengenal Tuhannya beserta sifat-sifatNya.
Seorang hamba tidak bisa mengenal Tuhannya
kecuali dengan pengetahuan yang diberikan Tuhan
kepadanya. Allah mengenalkan diri-Nya pada
hamba-Nya dengan cara memberi anugerah
ataupun tidak memberikannya. Tujuannya, agar
seorang hamba mengingat-Nya dalam kondisi
apapun. Sebagai perumpamaan, seorang yang
mengajarkan tatakrama pada anaknya atau
budaknya, terkadang orang tersebut harus
memukul atau memberi sesuatu yang disukai, agar
sang anak mengenal ayahnya, dan sang hamba
mengenal tuannya. Pahamilah masalah ini !
SYARAH HIKMAH KE-10

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ِإ َّن َما ُيْؤ لِ ُم َك ا ْل َم ْن ُع ِب َعدَ ِم َف ْه ِم َك َع ِن‬


.ِ‫هللا فِ ْيه‬

“Sesungguhnya yang menjadikanmu bersusah hati


karena tidak adanya pemberian, itu karena engkau
tidak memahami pemberian Allah (kepadamu yang
sebenarnya).”

Ketika engkau meminta suatu perkara dunia, lalu


Allah tidak mengabulkannya, hatimu menjadi
susah, itu disebabkan karena engkau tidak
memahami kehendak Allah. Jika engkau paham,
engkau akan bahagia. Tenangkan dirimu saat
permintaanmu tidak dikabulkan. Saat
permintaanmu tidak dikabulkan, pahamilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki agar engkau
merendahkan (mendekatkan) diri kepada Allah dan
selalu menyandarkan hatimu kepada Allah, jika
sudah begitu engkau akan menjadi kekasih Allah.
Karena sesungguhnya ketika Allah mengasihi atau
mencintai hamba-Nya, niscaya Allah akan
menghalangi dunia darinya dan menjauhkannya
dari dunia.
Sebagai perumpamaan, apakah kamu tidak
mengetahui, bahwa seorang ayah yang sangat
mencintai dan mengasihi putranya, niscaya akan
membawa putranya pada tukang bekam agar
badannya menjadi sembuh? Apakah engkau tidak
mengetahui, bahwa seorang ibu yang menyayangi
anaknya, pasti akan mencegah anaknya dari
mengonsumsi makanan yang berbahaya bagi
kesehatan anaknya? Apakah engkau tidak
mengetahui bahwa tabib yang mengobatimu yang
berbelas-kasih terhadapmu, pasti akan
mencegahmu dari mengonsumsi makanan yang
tidak patut engkau makan karena penyakitmu
tadi? Padahal, belas-kasih Allah terhadap
hamba-Nya itu melebihi belas-kasih seorang ayah
ataupun ibu terhadap putra-putrinya.

Rasūlullāh pernah menyaksikan seorang


perempuan yang sedang menggendong anaknya.
Lalu Nabi bersabda kepada para sahabat yang
hadir pada waktu itu: “Apakah sang ibu ini tega
jika anaknya dimasukkan ke dalam api?” Lalu para
sahabat menjawab: “tidak akan tega wahai Rasūl.”
Lalu Nabi bersabda: “Allah itu lebih berbelas-kasih
terhadap hamba-Nya yang mu’min dari pada
belas-kasih perempuan ini kepada putranya, akan
tetapi Allah memberimu rasa perih dan sakit
karena Allah menaruh fadhal dan kenikmatan-Nya
di dalam rasa pedih dan sakit tersebut.”

Syaikh Abū Ḥasan asy-Syādzilī berkata:

“Ketahuilah, sesungguhnya ketika Allah tidak


memberimu, itu bukan karena membencimu, tapi
karena sangat belas kasih terhadapmu. Maka tidak
memberi itulah yang (hakikatnya) dinamakan
memberi.” Pahamilah!

Setengah dari memahami adalah mau memahami


ketika engkau tidak diberi perkara dunia,
sesungguhnaya Allah menjalankanmu pada
tempatnya para auliyā’ (wali-wali) Allah yang
muqarrabīn (dekat dengan Allah). Karena
kebanyakan para auliyā’ Allah itu fakir miskin,
sakit-sakitan, dan kekurangan sandang pangan.
Jika dunia ini diumpamakan sebuah tambang,
dunia hanyalah bagaikan sebelah sayat lalat. Allah
tidak memberimu minum kecuali hanya satu teguk
air. Allah tidak khawatir jikalau sekian banyak
orang mu’min berbalik mengkufuri Allah, kemudian
sekian banyak orang kafir tersebut diberi rumah
yang beralaskan perak dan berjubin emas. Dunia
tidak ada harga dan kedudukannya sama sekali di
sisi Allah, sehingga Allah memberikannya pada
orang-orang kafir dan mencegahnya dari menjadi
kekasih-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-11

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.ِ‫شْأنُ َأنْ ُت ْر َز َق ُح ْسنَ اَأْلدَ ب‬ َّ ‫شْأنُ ُو ُج ْو ُد‬


َّ ‫ ِإ َّن َما ال‬،ِ‫الط َلب‬ َّ ‫َما ال‬

“Bukanlah tujuan utama itu tercapainya suatu


permohonan, akan tetapi tujuan yang utama
adalah diberikannya engkau sebuah tata krama
yang baik (terhadap Tuhanmu).”

Yakni, sesuatu yang paling indah menurut ahli


kebenaran itu bukanlah tercapainya suatu
permohonan pada Allah ketika mempunyai hajat
pada sesuatu, tidak meminta pada selain-Nya,
akan tetapi yang paling indah menurut mereka
adalah engkau meminta semua kebutuhanmu
kepada Allah, jangan engkau meminta pada
selain-Nya. Permintaan yang engkau buat jangan
hanya bertujuan pada tercapainya keinginanmu itu
saja, akan tetapi permohonanmu kepada Allah itu
juga untuk menunjukkan penghambaanmu
kepada-Nya, dengan melaksanakan dan meyakini
secara benar, sifat rubūbiyyah Allah. Dengan kata
lain, hal demikian ini adalah sebagai bentuk tata
krama yang bagus dalam melaksanakan adab satu
tata krama berdoa. Jika harapanmu tercapai, maka
jangan berkeyakinan bahwa ketercapaian harapan
itu sebab doamu, akan tetapi sebab fadhl dan
pilihan Allah semata.
Wallāhu a‘lam.

SYARAH HIKMAH KE-12

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ش ِّك َك َّن َك فِي ا ْل َو ْع ِد َعدَ ُم ُوقُ ْو ِع ا ْل َم ْو ُع ْو ِد َو ِإنْ َت َع َّينَ َز َم ُن ُه‬


َ ‫اَل ُي‬

“Jangan sampai kamu ragu terhadap janji Allah


karena tidak terlaksananya apa yang telah
dijanjikan itu, meskipun telah tertentu (tiba)
masanya.”

Janganlah engkau meragukan janji Allah sebab


tidak terlaksananya apa yang dijanjikan, walaupun
sudah ditentukan waktunya (tibanya janji
tersebut). Jika Allah menjanjikan suatu hal
kepadamu lewat mimpi, lisan malaikat atau ilhām
Raḥmānī, kemudian tidak terwujud, maka
janganlah engkau ragu, walaupun waktunya sudah
ditetapkan.

َ ‫لَِئ اَّل َي ُك ْونَ ذلِ َك َقدْ ًحا ف ِْي َبصِ ْي َر ِت َك َو ِإ ْخ َمادًا لِ ُن ْو ِر‬
‫س ِر ْي َر ِت َك‬

“Supaya tidak menyalahi pandangan mata hatimu


atau memadamkan nur cahaya hatimu
(sirr(6)-mu).”

Supaya tidak mengaburkan pandangan mata


hatimu atau memadamkan cahaya lubuk hatimu.

Jika seorang murīd mengalami khāthir (72)


raḥmānī atau khāthir malikī akan terjadinya
sesuatu, lalu sesuatu tersebut tidak terjadi, maka
hendaklah ia tidak merasa ragu, akan tetapi
hendaklah ia mengetahui tingkatan tata krama di
hadapan Allah dan meyakinkan hatinya. Barang
siapa seperti penggambaran ini, maka ia adalah
‘ārif billāh. Wallāhu a‘lam.

Catatan:
6). Secara bahasa “sarīrah” berarti sesuatu yang
dirahasiakan dalam hati. Akan tetapi, menurut
kaum sufi, term sirr dinyatakan sebagai barang
lembut yang dititipkan dalam hati manusia. Seperti
halnya ruh yang dasar-dasarnya musyāhadah
maḥabbah, maka sirr adalah tempat musyāhadah
dan hati tempat makrifat. Sirr, menurut mereka,
adalah “raja pengawas” sedangkan sirr-nya siri
atau rahasianya rahasia adalah sesuatu yang tidak
bisa dilihat oleh selain al-Ḥaqq. Sirr lebih lembut
daripada ruh, sementara ruh lebih mulia daripada
hati. Kaum sufi mengatakan: sirr bebas dari
belenggu, perubahan, jejak-jejak dan bekas-bekas.
Sirr merupakan sesuatu yang terpelihara dan
tertutup antara hamba dan al-Ḥaqq dalam
aḥwāl-nya. Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm Hawāzin
al-Qusyairī an-Naisābūrī,
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Al-Maktubah
al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 88.
7). Al-Khawāthir (bisikan) adalah informasi atau
inspirasi yang mendatangi hati sanubari.
Terkadang kedatangannya melalui malaikat
(ilhām), syaithan (waswas), bisikan-bisikan nafsu
(hawājis) atau langsung dari Allah
(naqrat-ul-khāthir). Jika dari malaikat, maka
dinamakan ilham; jika dari nafsu, maka dinamakan
angan-angan atau kecemasan; jika dari syaithan,
maka dinamakan waswas; dan jika dari Allah,
maka dinamakan inspirasi yang paling benar (ḥaqq
atau ḥaqīqah). Dikutip dari “diktat tashawwuf” oleh
KH. Moch. Djamaluddin Achmad, Sekolah Tinggi
Islam Bani Fattah Tambakberas Jombang, 2011,
hal. 47.

SYARAH HIKMAH KE-13

Ketahuilah wahai murīd, bahwasanya ma‘rifat


billāh adalah akhir atau puncak dari segala tujuan
dan harapan, oleh karena itu, Syaikh berkata:

ِ ‫ِإ َذا فُت َِح َل َك ِو ْج َه ٌة مِنَ ال َّت َع ُّرفِ َفاَل ُت َب‬


‫ال َم َع َها ِإنْ َقل َّ َع َملُ َك‬
“Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan
untuk ma‘rifat (mengenal-Nya), maka jangan
hiraukan soal ‘amalmu yang masih sedikit.”

Jika pintu ma‘rifat sudah dibukakan untukmu


(wahai murīd), maka tak perlu engkau
mempedulikan ‘amalmu yang masih sedikit.

Sesungguhnya seorang murīd atau sālik tidak


berkuasa dalam hal memperbanyak ‘amal ibadah,
juga tidak bisa menyingkap tabir yang
menghalanginya dari Allah. Dengan demikian,
ketika salah satu pintu ma‘rifat sudah dibukakan
untuknya, seperti sakit, sehingga ibadahnya
menjadi berkurang, maka pada waktu ibadahnya
berkurang karena sakit tersebut, jangan merasa
sedih akan banyaknya ibadah yang terlewat.
Sebab, dengan sakit tersebut bisa membuka pintu
ma‘rifat, seakan mengetahui bahwa Allah itu hadir
dan melihatnya, ia sadar bahwa tidak ada yang
bisa melakukan hal tersebut kecuali Allah. Itu lebih
utama dari pada beberapa ibadah badaniyyah,
sebab tujuan dari memperbanyak ‘amal (ibadah)
adalah untuk mengharapkan ma‘rifat Allah, serta
mendekatkan dari kepada Allah dengan cara
menyadari bahwa terbukanya pintu ma‘rifat itu
menunjukkan tercapainya ma‘rifat, maka
terkadang sedikitnya ‘amal sebab sakit itu
menunjukkan suatu yang lebih utama.

Dengan demikian, ketika seorang murīd mencapai


salah satu tangga ma‘rifat, dengan mengetahui
datangnya sakit, itu lebih baik dari pada masa
sehatnya. Karena, dengan kehadiran masa
sakitnya, maka di dalam hatinya muncul rasa benci
terhadap dunia dan rela akan kematian,
merindukan pertemuan dengan Tuhan, dan
mengetahui bahwa Allah itu melakukan sesuatu
sesuai yang dikehendaki-Nya. Pada akhirnya, ia
menjadi tahu akan kelemahan dirinya dan
mengetahui kenikmatan telah diciptakannya
dirinya. Jika sudah demikian halnya, maka jangan
bersusah hati akan sedikitnya ‘amal badaniyyah.

َ ‫َفِإ َّن ُه َما َف َت َح َها َل َك ِإاَّل َو ه َُو ُي ِر ْي ُد َأنْ َي َت َع َّر‬


‫ف ِإ َل ْي َك‬

“Sebab Tuhan tidak membukakannya, melainkan


Ia akan memperkenalkan diri kepadamu.”

Karena sesungguhnya Allah itu tidak akan


membukanya kecuali hendak memperkenalkan diri
kepadamu.
Sesungguhnya Allah itu tidak akan menurunkan
penyakit kepadamu, kecuali untuk
memperkenalkan diri kepadamu, menampakkan
sifat-sifatNya kepadamu, menampakkan
asmā’-asmā’Nya kepadamu dan tidak ragu lagi
bahwa perkenalan-Nya kepadamu itu lebih utama
daripada ‘amal badaniyyah atau ‘amal zhāhir(mu).
‫ف ه َُو ُم ْو ِر ُدهُ َع َل ْي َك َو اَأْل ْع َمال ُ َأ ْن َت ُم ْهدِي َها ِإ َل ْي ِه َو َأ ْينَ َما‬ َ ‫) َأنَّ ال َّت َع ُّر‬8( ‫َأ َل ْم َت َر‬
.‫ُت ْه ِد ْي ِه ِإ َل ْي ِه ِم َّما ه َُو ُم ْو ِر ُدهُ َع َل ْي َك‬

“Tidakkah kau ketahui bahwa ma‘rifat itu


semata-mata pemberian karunia Allah kepadamu,
sedangkan ‘amal perbuatanmu adalah hadiah
darimu untuk-Nya, maka di manakah letak
perbandingannya antara hadiahmu dengan
pemberian karunia Allah kepadamu.”
Tidakkah engkau mengerti bahwa ta‘arruf (9)
dengan Allah itu semata-mata anugerah dari Allah
untukmu dan ibadah itu merupakan bentuk hadiah
darimu untuk-Nya, maka lebih mulia manakah
hadiahmu kepada Allah dari pada anugerah-Nya
kepadamu?
Sesungguhnya ta‘arruf itu adalah pemberian
anugerah Allah dan ibadah itu bentuk hadiahmu
kepada-Nya, maka tidak diragukan lagi bahwa
pemberian anugerah Tuhan itu jauh lebih utama
dan lebih mulia walaupun lebih sedikit dari apa
yang kau hadiahkan. Karena hadiah dari seorang
hamba itu merupakan hal yang tidak berguna
(tidak ada nilainya). Alhasil, sedikitnya ‘amal
ibadah yang disertai ma‘rifat itu lebih utama dari
pada banyaknya ‘amal tapi tidak disertai ma‘rifat.

Catatan:
8). Dalam naskah asli Matan-ul-Ḥikam karya
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh ditulis (‫)َأ َل ْم َتعْ َل ْم‬.
9). Maksud ta‘arruf di sini adalah ma‘rifat.
Berkaitan dengan istilah ini, Imām al-Qusyairī
menukil pernyataan Imām al-Junaid:
Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh seorang
hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah
ma‘rifat-nya ciptaan (makhluk) terhadap Sang
Pencipta, kebaruan dirinya dan perbedaan antara
ciptaan dengan Sang Pencipta. Karenanya, orang
yang tak kenal siapa Sang Raja, maka ia tak akan
tahu akan status kekuasaan-Nya untuk siapa.
Lebih lanjut, Imām al-Qusyairī mempertegas
makna ma‘rifat ini seraya menukil pernyataan Abū
Thayyib al-Marāghī: Setiap unsur dalam diri
manusia mempunyi fungsi yang berbeda-beda jika
dikaitkan dengan ma‘rifat. Akal digunakan untuk
pembuktian dalil secara logis, hikmah yang
memberikan isyarat, kemudian ma‘rifat-lah yang
mampu mempersaksikan secara utuh. Karenanya,
kejernihan ibadah tak akan diperoleh seorang
hamba kecuali dengan kejernihan tauhid.

Tampaknya, makna ma‘rifat hampir sama dengan


makna tauhid di kalangan kaum sufi. Bedanya,
seorang yang ma‘rifat akan tercegah dari
kekufuran, karena pengetahuannya (ma‘rifat-nya)
terhadap Allah s.w.t. utuh. Lihat; Abul-Qāsim
‘Abd-ul-Karīm Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī,
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 42.
SYARAH HIKMAH KE-14

Sejatinya, sedikitnya ‘amal ibadah yang disertai


ma‘rifat itu lebih utama dari pada banyaknya ‘amal
tapi tidak disertai ma‘rifat.

ِ ‫ت اَأْل ْح َو‬
.‫ال‬ ِ ‫اس اَأْل ْع َم‬
ِ ‫ال َل َت َن ُّو ِع َو ِاردَ ا‬ ُ ‫َت َن َّو َع ْت َأ ْج َن‬
“Beraneka ragamnya jenis ‘amal perbuatan itu
adalah karena bermacam-macamnya kondisi
spiritual yang datang di dalam hati.”

Beraneka ragamnya jenis ‘amal perbuatan itu


adalah karena bermacam-macamnya kondisi yang
datang pada hati seorang murīd.
Sesungguhnya di antara macamnya murīd itu ada
yang bisa menghadirkan hatinya (merasakan
nikmatnya ibadah) dengan gemar mendirikan
shalat; ada yang gemar berpuasa; ada yang gemar
menyebarkan ilmu nāfi‘ (yang bermanfaat); juga
ada yang gemar membaca al-Qur’ān. Hal yang
demikian itu disebabkan berbeda-bedanya wārid
(10) dari Allah di dalam hati seorang murīd. Yang
mana, kesemuanya itu terjadi ketika murīd sudah
tidak lagi berada pada bimbingan seorang guru.
Jika masih dalam bimbingan guru, seorang murīd
harus mengikuti apa yang diperintahkan gurunya,
ia tidak boleh melaksanakan apa yang dikatakan
hatinya sendiri jika tidak mendapat izin gurunya,
dan murīd juga tidak diperkenankan mengamalkan
wārid orang lain.
Catatan:
10). Wārid: sesuatu yang datang pada hati, berupa
bisikan-bisikan yang terpuji. Kehadirannya bukan
karena disengaja. Demikian juga sesuatu yang
kedatangannya tidak berupa bisikan, dikatakan
pula wārid. Dikutip dari “diklat tashawwuf” oleh
KH. Moch Djamaluddin Achmad, Sekolah Tinggi
Islam Bani Fattah Tambakberas Jombang, 2011,
hal. 49.
SYARAH HIKMAH KE-15

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ُ ‫اََأْل ْع َمال‬
ِ ‫ص َو ٌر َقاِئ َم ٌة َو َأ ْر َوا ُح َها ُو ُج ْو ُد سِ ِّر اِإْل ْخاَل‬
.‫ص فِ ْي َها‬

“Amal perbuatan itu laksana kerangka yang tegak,


sedangkan ruh (jiwa)-nya ialah adanya rahasia
ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan itu.”

Amal zhāhir itu bagaikan kerangka yang tegak,


sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di
dalamnya. Sesungguhnya amal perbuatan itu
bagaikan kerangka tanpa ruh, sehingga tidak bisa
bermanfaat, sementara ruhnya bisa didapatkan
dengan ikhlas di dalam amal tersebut. Kerangka
barulah bisa bermanfaat setelah adannya ruh.
Ketahuilah, makna ikhlas itu bermacam-macam,
sebab berbedanya amal yang dikerjakan. Berikut
adalah tiga tingkatan ikhlas:

Pertama, ikhlasnya ‘Ābidīn, yaitu orang yang ahli


ibadah hendaknya menjaga amalnya dari riyā’
khafiy (riyā’ yang samar) dan riyā’ jaliy (riyā’ yang
jelas), menjaganya dari sifat ‘ujub, yakni beramal
hanya karena Allah, seraya mengharap pahala
dari-Nya, dan merasa takut akan siksa neraka.
Namun, pada tingkatan ini masih me-nisbat-kan
amal perbuatan pada dirinya, berharap dengan
amal perbuatan yang dikerjakan bisa mendapatkan
surga dan selamat dari siksa neraka.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

. ُ‫َّاك َنسْ َت ِعيْن‬


َ ‫َّاك َنعْ ُب ُد َو ِإي‬
َ ‫ِإي‬

Hanya kepada-Mulah kami menyembah (bukan


selain-Mu). Dan hanya kepada Engkaulah, hamba
memohon pertolongan (bukan kepada yang
lainnya). (Qs. al-Fātiḥah [1]: 5).
Kedua, ikhlasnya Muḥibbīn, yaitu orang-orang
yang mencintai Allah, beramal karena Allah dengan
tujuan untuk memuliakan Allah, tidak untuk
meminta pahala kepada-Nya, tidak pula untuk
berlindung dari siksa neraka. Yakni, me-nisbat-kan
amal perbuatan pada dirinya sebagaimana
perkataan waliyullāh, seorang perempuan yang
bernama Rābi‘ah al-Adawiyah: “Hamba tidak
menyembah-Mu karena takut akan siksa-Mu, juga
bukan karena mengharap akan surga-Mu, akan
tetapi hamba menyembah-Mu karena ingin
memuliakan engkau (wahai Tuhan)”, hal ini yang
dijelaskan oleh firman Allah: “Hanya kepada-Mulah
kami menyembah (bukan selain-Mu).”

Dan ketiga, ikhlasnya ‘Ārifīn, yaitu orang yang


mengenal Tuhan-Nya, bahwa Allah-lah yang
menggerakkan dan mendiamkan dirinya, ia tidak
mempunyai daya upaya dan kehendak. Dengan
demikian, ia menyaksikan bahwa dirinya tidak
memiliki kekuasaan dan kehendak, maka tidak ada
amal yang dilakukan kecuali billāh. Yakni, dengan
kehendak dan kuasa Allah, bukan atas kehendak
dan kuasa dirinya, sehingga ia tidak sekali-kali
berharap pada amal perbuatannya. Maka, maqām
ini lebih utama daripada dua tingkatan ikhlas yang
sudah disebutkan di atas, inilah yang dimaksud
firman Allah: “Dan hanya kepada Engkaulah,
hamba memohon pertolongan (bukan kepada yang
lainnya).”
Dengan demikian, ikhlas itu hukumnya fardhu
pada tiap-tiap amal, sebab amal tidak akan
bermanfaat jika tidak disertai ikhlas. Maka,
hendaklah engkau menempati salah satu tingkatan
ikhlas yang ada tiga, jika engkau tidak menempati
salah satu di antaranya (ikhlāsh) maka itu
dinamakan riyā’. Riyā’ itu hukumnya ḥarām di
setiap amal, karena amal tidak akan sah, jika
disertai dengan riyā’.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ucapanmu “Aku
sengaja shalat zhuhur” atau lainnya, itu bukan
dinamakan niat, akan tetapi suara hati atau lisan
saja. Sesungguhnya hakikat daripada niat adalah
kesadaran, kemantapan, serta kecondongan hati
pada perkara zhāhir yang menjadi inti sebuah
tujuan. Baik tujuan itu merupakan tujuan duniawī
ataupun tujuan ukhrawī. Tujuan yang paling
rendah (nilainya) itu adalah mengingat neraka,
merasa takut pada (siksa) neraka, dan
menginginkan surga beserta kenikmatannya.
Maka, ketika mengingat semua hal tersebut,
menjadi sah-lah niat atau tujuannya. Tujuan yang
paling mulia adalah menyengaja memuliakan Allah
karena sudah menjadi hak orang yang mulia itu
dilayani dan ditaati. Dan keikhlasan niat akan
menjadi bersih jika tujuannya jauh dari tujuan
selain Allah, dengan demikian, surga atau neraka
itu jangan dijadikan sebagai tujuan. Jika seorang
tidak ikhlas (dalam beramal) maka itu dinamakan
musyrik. Jangan merasa ikhlas, jangan merasa
bisa beramal, jangan merasa benar di dalam
beramal, sehingga niat yang benar adalah lillāh,
billāh, minallāh, dan ilallāh (karena Allah, karena
perintah Allah dan mengikuti Rasūlullāh, dari
fadhal Allah, dan bertujuan karena ingin bertemu
dengan Allah). Wallāhu a‘lam.
SYARAH HIKMAH KE-16

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menuturkan tentang


sesuatu yang bisa menolong ikhlasnya niat melalui
perkataan beliau:

ِ ‫اِدْ فِنْ ُو ُج ْودَ َك ف ِْي َأ ْر‬


.‫ض ا ْل ُخ ُم ْو ِل‬
“Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan.”

Jangan menampakkan derajat atau kedudukan


yang masyhūr, bersembunyilah, dan menyepilah
tatkala berbuat amal.

.‫َف َما َن َب َت ِم َّما َل ْم ُيدْ َفنْ اَل َي ِت ُّم َن َتاِئ ُج ُه‬

“Sebab tiap sesuatu yang tumbuh tetapi tidak


ditanam, maka tidak sempurna hasil buahnya.”

Karena sesuatu yang tumbuh tidak dengan


ditanam, hasil tumbuhnya tidak bisa sempurna.

Sesuatu yang tumbuh dan bijinya tidak ditanam


terlebih dahulu, maka tumbuhnya tidak bisa
menjadi sempurna, akan menjadi kurus ketika
tumbuh (tidak sehat). Jika tidak bisa tumbuh
biasanya akan dimakan burung. Begitu pula amal,
jika tidak disembunyikan atau disepikan maka
akan dimakan burung riyā’.

SYARAH HIKMAH KE-17

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫شيٌْئ ِم ْثل َ ُع ْز َل ٍة َيدْ ُخل ُ ِب َها ِم ْيدَ انُ ف ِْك َر ٍة‬ ُ ‫َما َن َف َع ا ْل َق ْل‬
َ ‫ب‬

“Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati


(jiwa), sebagaimana menyendiri yang dapat
menyebabkan masuk ke medan berpikir
(tafakkur).”

Tidak ada sesuatu yang bisa berguna bagi hati


seorang murīd, sebagaimana menyendiri. Karena,
dengan menyendiri, ia bisa memasuki luasnya
medan perenungan.

Yang bisa berguna atau bermanfaat bagi hati


seorang murīd adalah ‘uzlah. Yakni, menjauhi
hiruk-pikuk manusia. Karena sesungguhnya murīd,
ketika bercampur dengan (hiruk-pikuk) manusia,
maka pikirannya akan tersibukkan dengan
berangan-angan terhadap sesuatu yang tampak
oleh mata. Sebaliknya, bila ia memilih menyendiri
atas menyepi, pikirannya akan tersibukkan oleh
perkara akhirat, hatinya akan menjadi jernih sebab
memikirkan akhirat. Al-fikir (perenungan) itu
ada tiga macam:
Pertama, perenungan orang khusus
(khāshsh-ul-khāshsh), yakni merenungkan
nikmat-nikmat Allah dan pemberian Allah, dengan
begitu ia mencapai ma‘rifat Allah.

Kedua, perenungan orang khas (khāshsh), yakni


merenungkan janji dan pahala Allah, dengan
begitu ia menyukai pahala yang Allah berikan
sehingga (bersemangat dalam) melaksanakan
perintah Allah.

Ketiga, perenungun orang awam (‘awām) yakni


merenungkan ancaman dan siksaan Allah, dengan
begitu timbul rasa takut kepada Allah, sehingga
mau menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya.

Di dalam hadits Nabi disebutkan bahwa merenung


satu jam itu lebih baik daripada ibadah 70 tahun.

Ketahuilah, sesungguhnya perenungan (tafakkur)


adalah yang menjadi tujuan. Ber-‘uzlah (menyepi)
adalah perantaranya dan sesuatu yang
mempermudah dalam tafakkur.

SYARAH HIKMAH KE-18

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ص َو ُر اَأْل ْك َو‬
.‫ان ِم ْن َط ِب َع ٌة ف ِْي م ِْرآ ِت ِه‬ ٌ ‫ش ُر ُق َق ْل‬
ُ ‫ب‬ ْ ‫ف َي‬
َ ‫َك ْي‬

“Bagaimana akan dapat terang hati seseorang, jika


gambar dunia ini terlukis dalam lensa atau cermin
hatinya.
Bagaimana bisa, hati menjadi terang, jikalau
potret sesuatu selain Allah masih melekat dalam
cermin hatinya?
.‫ش َه َوا ِت ِه‬
َ ‫هللا َو ه َُو ُم َك َّبل ٌ ِب‬ َ ‫َأ ْم َك ْي‬
ِ ‫ف َي ْر َحل ُ ِإ َلى‬

“Atau bagaimana akan pergi menuju kepada Allah,


padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh
syahwat hawa nafsunya.

Lantas bagaimana bisa berjalan menuju Allah,


sementara ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?
Tidak akan sempurna amal ibadah seseorang
selama masih saja menuruti hawa nafsunya.

.‫هللا َو ه َُو َل ْم َي َت َط َّه ْر مِنْ َج َنا َب ِة َغ َفاَل ِت ِه‬ ْ ‫ف َي ْط َم ُع َأنْ َيدْ ُخل َ َح‬
ِ ‫ض َر َة‬ َ ‫َأ ْم َك ْي‬

“Atau bagaimana akan dapat masuk ke ḥadhirat


Allah, padahal ia belum bersih (suci) dari kelalaian
(yang di sini diumpamakan) janabatnya.
Bagaimana ia bisa mengharap (untuk bisa) masuk
ke ḥadhirat Allah, sementara ia belum bersuci dari
janabat kelalaiannya?

Kelalaian dari mengingat Allah itu diumpamakan


seperti orang yang junub, dan orang yang junub
itu diharamkan masuk masjid. Begitu pula orang
yang lalai mengingat Allah juga tercegah masuk ke
ḥadhirat Allah, mendekatkan diri kepada-Nya.

.ِ‫اِئق اَأْل ْس َر ِار َو ه َُو َل ْم َي ُت ْب مِنْ َه َف َوا ِته‬


َ ‫ف َي ْر ُج ْو َأنْ َي ْف َه َم دَ َق‬
َ ‫َأ ْم َك ْي‬

“Atau bagaimana mengharap akan mengerti


rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum
taubat dari berbagai kekeliruan.”
Atau bagaimana ia berharap bisa memahami
berbagai macam rahasia yang samar, sementara ia
belum bertaubat dari kekeliruannya kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-19

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.ِ‫ت َغ ْي َر َما َأ ْظ َه َرهُ هللاُ فِ ْيه‬ َ ‫ش ْيًئ ا َمنْ َأ َرادَ َأنْ ُي ْحد‬
ِ ‫ِث فِي ا ْل َو ْق‬ َ ‫َما َت َر َك مِنَ ا ْل َج ْه ِل‬

“Sangatlah dungu orang yang menginginkan


terjadinya sesuatu di waktu yang tidak dikehendaki
Allah.”

Sejatinya, orang yang paling bodoh ialah yang


mengharapkan terjadinya sesuatu di waktu yang
tidak dikehendaki oleh Allah.

Ketika seorang murīd dalam keadaan maqām


kasab atau tajarrud (tajrīd), sakit atau fakir, lalu ia
hendak meminta supaya Allah mengubah
keadaannya, seperti meminta kesembuhan ketika
sakit, meminta kaya ketika fakir, maka ia amat
sangatlah bodoh dan rendah adab tatakramanya
kepada Allah. Akan tetapi, hendaklah ia mau
menerima dengan lapang dada dan rela dengan
tempat (keadaan) yang sudah ditentukan oleh
Allah. Jika keadaan tersebut bukan merupakan
sesuatu yang bertentangan dengan syara‘.
SYARAH HIKMAH KE-20

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ت ال َّن ْف‬ ‫َأْل‬


.‫س‬ ِ ‫ِإ َحا َل ُت َك ا ْع َمال َ َع َلى ُو ُج ْو ِد ا ْل َف َر‬
ِ ‫اغ مِنْ ُر ُع ْو َنا‬

“Menunda beramal guna menantikan kesempatan


yang lebih luang, termasuk tanda kebodohan diri.”
Menunda berbuat amal sampai selesainya
pekerjaanmu adalah termasuk tanda kebodohan
dirimu, karena nafsumu.

Jika ada seorang murīd masih lebih mementingkan


pekerjaan dunia ketimbang amal akhirat;
mendahulukan pekerjaan dunia sehingga
mencegah atau menghalangi amal atau beribadah
menghadap Allah; atau hendak menunda berbuat
kebaikan hingga menyelesaikan pekerjaan
dunianya, dan ia bergumam di dalam hatinya “jika
aku sudah menyelesaikan pekerjaan ini, maka aku
akan melakukan amal (ibadah)”, maka hal ini
menunjukkan kebodohan dirinya. Karena, seiring
dengan banyaknya penundaan waktu untuk
berbuat amal, mengakibatkan tersitanya waktu
hingga habislah kesempatannya. Sebab datangnya
ajal itu tidak disangka-sangka, dan tidak ada yang
tahu kapan ia menjemput nyawa. Di samping itu,
karena pekerjaan dunia itu tidak akan ada
habisnya, satu pekerjaan akan menarik pada
pekerjaan yang lain, jikapun sudah selesai pasti
ada kehendak lainnya.

Adapun yang menjadikan kebodohan


seseorang itu ada tiga perkara:

Pertama, lebih memilih dunia daripada berbuat


amal akhirat, dan yang seperti ini bukanlah
perbuataan orang mu’min.

Kedua, dengan menunda-nunda amal, ia merasa


usianya masih tersisa untuk besok, jadilah ia orang
yang thūl-ul-amal (berangan-angan panjang). Dan
thūl-ul-amal itu bisa menghalangi untuk bertaubat,
menjadikan cinta dunia, tidak mencintai akhirat.

Ketiga, jika sudah menyelesaikan tugas atau


pekerjaannya, ia akan mempunyai maksud dan
tujuan duniawi yang lain. Dengan begitu
keinginannya beribadah menjadi lemah, ia hanya
menyia-nyiakan waktu dan merasa mampu
menyelesaikan pekerjaan dengan (kekuatan)
dirinya sendiri. Hal yang demikian ini menunjukkan
rendahnya adab tatakrama kepada Allah. Padahal,
seorang murid wajib untuk melakukan sesuatu
yang bisa menghantar dirinya ke (ḥadhirat) Allah,
sebelum habis masanya. Karena sesungguhnya
waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak
menggunakannya, ia yang akan menghunusmu.

SYARAH HIKMAH KE-21

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫اَل َت ْطلُ ْب ِم ْن ُه َأنْ ُي ْخ ِر َج َك مِنْ َحا َل ٍة لِ َي ْس َت ْع ِم َل َك فِ ْي َما سِ َواهَا‬

“Jangan engkau meminta kepada-Nya untuk


mengeluarkanmu dari satu kondisi guna
dipekerjakan pada kondisi lain.
Jangan engkau meminta dari Tuhanmu (Allah) agar
mengeluarkanmu dari satu kondisi dunia atau
agama, agar Allah menjalankanmu atau
menaruhmu pada kondisi lainnya.

Jika engkau (wahai murīd) berada dalam satu


kondisi dunia seperti bekerja, atau kondisi agama
seperti mencari ilmu, lalu engkau memohon
kepada Allah agar menindahkanmu pada kondisi
lainnya, sebab engkau merasa hal tersebut hanya
menghalangimu menghadap kepada Allah. Maka
hal tersebut menunjukkan sedikitnya adab
tatakramamu kepada Allah.

‫َأ‬
ٍ ‫َف َل ْو َرادَ َك اَل ْس َت ْع َم َل َك مِنْ َغ ْي ِر ِإ ْخ َر‬
.‫اج‬

“Sebab, jika memang menghendaki, tentu Dia


akan mempekerjakanmu tanpa harus
mengeluarkanmu (dari kondisi sebelumnya).”
Jika Allah berkehendak mengasihimu, niscaya Ia
akan menggerakkanmu tanpa harus
mengeluarkanmu dari kondisi sebelumnya.

Jika Allah hendak mengasihimu dan engkau


sedang dalam maqām kasab atau mencari ilmu,
Allah akan memberimu pertolongan, berupa
kemudahan berbuat amal shāliḥ dan menghadap
ke ḥadhirat-Nya.

SYARAH HIKMAH KE-22

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ِف ا ْل َحقِ ْي َق ِة ا َّلذ‬


‫ِي‬ ُ ‫ف َل َها ِإاَّل َو َنادَ ْت ُه ه ََوات‬
َ ِ‫ِف عِ ْندَ َما ُكش‬ َ ‫َما َأ َرادَ ْت ِه َّم ُة‬
َ ‫سالِكٍ َأنْ َتق‬
.‫ب َأ َما َم َك‬
ُ ُ‫َت ْطل‬

“Ketika tekad salik hendak berhenti manakala


melihat hal ghaib, ia segera diseru oleh suara
hakikat: “yang kau tuju masih di depan”.”
Perenungan seorang sālik tidak hendak berhenti
saat melihat sesuatu (perkara ghaib) yang
disingkapkan dari perenungannya, kecuali ketika
hendak berhenti dari perenungannya, suara
hakikat memanggil-manggilnya dengan perkataan:
“apa yang kau cari masih berada di depanmu,
jangan berhenti sampai di sini saja.”

Sesungguhnya ketika seorang sālik larut dalam


dzikir dan berbuat amal shāliḥ, lalu ia mendapati
hatinya menjadi terang dan hatinya disingkapkan
serta hatinya bisa melihat perkara ghaib seperti
keagungan atau ketinggian langit dan kerendahan
bumi, dan ia merasa bahwa ia sudah sampai pada
tujuannya, maka ketika ia merasa seperti itu,
suara hakikat dari Tuhannya akan
memanggil-manggilnya, yang berbunyi: “tujuan
yang kau cari masih ada di depan, bukan ini
tujuanmu, jangan terpaku pada apa yang kau
saksikan.”

.‫ ِإ َّن َما َن ْحنُ فِ ْت َن ٌة َفاَل َت ْكفُ ْر‬:‫ت ِإاَّل َو َنادَ ْت َك َح َقاِئقُ َها‬
ِ ‫َو اَل َت َب َّر َج ْت َظ َوا ِه ُر ا ْل َك َّو َنا‬

“Serta ketika lahiriyyah alam terlihat indah


olehnya, hakikatnya berkata: “Kami hanyalah ujian
jangan sampai engkau kufur karena tertipu.”

Ketika keindahan lahiriah alam menyilaukanmu


(memperlihatkan keindahannya), hakikatnya akan
berkata: “kami hanyalah fitnah (ujian) jangan
engkau terpukau pada kami.”

Ketika keindahan mumkināt (alam atau segala


sesuatu selain Allah) nampak kepadamu wahai
murīd, seperti ketulusan makhluk melayanimu;
luasnya rezeki; bisa berjalan di atas air; hewan
yang jinak di bawah perintahmu; perkara yang
sedikit menjadi banyak; perjalanan yang jauh jadi
dekat; maka, hakikat kesemuanya akan berkata
kepadamu “aku hanyalah godaan untukmu, jangan
berhenti sampai di sini, jangan menyukainya.”
Alhasil, ketika seorang murīd sudah disibukkan
dengan hal-hal yang mendekatkan ke ḥadhirat
Allah, jagan lagi disibukkan dengan selainnya,
jangan lagi disibukkan dengan
permohonan-permohonan tentang rezeki.

SYARAH HIKMAH KE-23

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َط َل ُب َك ِم ْن ُه ا ِّت َها ٌم َل ُه‬

“Permohonan atau tuntutanmu dari-Nya, bukti


kesangsianmu kepada-Nya.

Permohonanmu kepada Allah untuk memberikan


rezeki kepadamu agar bisa menolong ibadahmu
(menjadikan ibadahmu menjadi khusyu‘), adalah
bukti kesangsianmu kepada-Nya.

Seringkali engkau memohon kepada Allah agar


memberikan keluasan rezeki untukmu, dengan
alasan luasnya rezeki menjadi bekal ibadahmu.
Padahal, permohonan akan luasnya rezeki itu,
berarti engkau berprasangka bahwa Allah tidak
memberimu rezeki. Dengan kata lain, engkau tidak
mempercayai-Nya, karena jika engkau percaya
kepada-Nya pasti engkau tidak akan memintanya.

.‫َو َط َل ُب َك َل ُه َغ ْي َب ٌة َع ْن ُه ِم ْن َك‬

“Permintaanmu kepada-Nya, bukti


pengumpatanmu kepada-Nya.
Permintaanmu agar mendekatkan dirimu
pada-Nya, menjadikanmu semakin jauh dari-Nya.
Karena prasangkamu pada-Nya, engkau menjadi
jauh dari-Nya, karena jika engkau merasa dekat
dengan-Nya, engkau tidak akan meminta
didekatkan lagi pada-Nya, padahal Allah berada di
manapun engkau berada.

.‫َو َط َل ُب َك ل َِغ ْي ِر ِه لِقِ َّل ِة َح َياِئ َك ِم ْن ُه‬

“Permohonanmu pada selain-Nya, bukti sedikitnya


rasa malumu kepada-Nya.”

Permintaanmu pada perkara dunia, kedudukan


dunia dan karāmah dunia, itu disebabkan
sedikitnya rasa malu yang kau miliki kepada-Nya.

.‫َو َط َل ُب َك مِنْ َغ ْي ِر ِه ل ُِو ُج ْو ِد ُب ْع ِد َك َع ْن ُه‬

“Permohonanmu dari selain-Nya, bukti jauhmu


dari-Nya.”
Permintaanmu dari selain-Nya, itu disebabkan
jauhnya dirimu dari Allah.
Permintaan yang engkau tujukan pada selain-Nya,
dengan memohon atau meminta suatu perkara
dunia kepada makhluk, engkau tak merasa
meminta pada sesama makhluk, engkau
melupakan Tuhanmu, itu disebabkan jauhnya
dirimu dari Allah. Sebab, jika engkau merasa dekat
dengan-Nya, engkau tidak akan meminta dari
selain-Nya.

Alhasil, permintaan seorang murīd itu semuanya


tidak baik, baik ditujukan kepada Allah ataupun
kepada makhluk. Akan tetapi yang baik adalah
meminta kepada Allah atas dasar menghambakan
diri kepada Allah, menyembah-Nya, beradab
tatakrama, melaksanakan perintah-Nya dan
menunjukkan kelemahan diri kepada-Nya, bukan
hanya agar tercapainya tujuan yang engkau pinta.
SYARAH HIKMAH KE-24

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫س ُت ْب ِد ْي ِه ِإاَّل َو َل ُه َقدَ ٌر فِ ْي َك ُي ْمضِ ْي ِه‬


ٍ ‫َما مِنْ َن َف‬

“Tidak satupun dari tarikan nafas yang kau


keluarkan, kecuali terdapat takdir Allah yang
berlaku atas dirimu.”
Dalam setiap hembusan nafas yang kau keluarkan
dengan kekuasaan Allah, itu terdapat takdir-Nya
yang berlaku atas dirimu. Dengan kata lain, Allah
hendak melestarikan takdirnya dalam tiap
hembusan nafas tersebut.

Di tiap hembusan nafasmu terdapat takdir dari


Allah. Di dalamnya terdapat nikmat, musibah atau
cobaan, dan juga maksiat, maka hendaklah
engkau menjaga tatakrama-mu terhadap Allah,
dan merendahkan dirimu di hadapan-Nya dengan
adanya nafas tersebut.
SYARAH HIKMAH KE-25

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫اَل َت َت َر َّق ْب فُ ُر ْو َغ اَأْل ْغ َي‬


.‫ار‬

“Jangan menantikan tuntasnya urusan dunia.

Jangan engkau menunggu hilangnya sisi gelap


hatimu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Jangan menantikan terselesaikannya urusan dunia.

.‫َفِإنَّ ذلِ َك َي ْق َط ُع َك َعنْ ُو ُج ْو ِد ا ْل ُم َرا َق َب ِة َل ُه فِ ْي َما ه َُو ُمقِ ْي ُم َك فِ ْي ِه‬

“Sebab hal itu bisa membuatmu lupa kepada


pengawasan Allah atas kondisi yang telah Dia
tetapkan untukmu.”

Sebab dengang engkau menantikan itu,


menjadikan terputusnya perjalanannya
menuju-Nya di tempat yang sudah diatur
oleh-Nya.

Hendaklah seorang murīd mau


bersungguh-sungguh dalam beribadah, dan
berdzikir di segala keadaannya. Tak perlu
menunggu berubahnya kondisimu dari kegelapan
hati (yang melingkupi), yang menyusahkan
hatimu, dan keterpautan pada dunia. Karena
dengan engkau menunggunya, justru menghalangi
perjalananmu menuju-Nya.

SYARAH HIKMAH KE-26

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫اَل َت ْس َت ْغ ِر ْب ُوقُ ْو َع اَأْل ْكدَ ِار َما د ُْم َت فِي ه ِذ ِه الدَّ ِار‬

“Jangan merasa heran dengan banyaknya


kekeruhan selama engkau berada di dunia.

Jangan merasa aneh dengan berbagai macam


kesusahan selagi engkau masih hidup di dunia.

Tidak selayaknya seseorang yang masih hidup di


dunia ini, mengharap rehat dan ketenangan hati
(jiwa). Karena, Allah sudah menciptakan dunia
sebagai tempatnya ujian dan cobaan, maka
pastilah kesusahan itu masih tetap ada selama
engkau masih berada di dunia. Jangan
mengharapkan ada istirahat (dari kesusahan).

Oleh karenanya, Syaikh Junaidi r.a. berkata:


“Sesungguhnya dunia adalah ladang kesusahan,
ladang keprihatinan, ladang ujian dan ladang
cobaan.”
Syaikh Abū Turāb r.a. berkata: “Ingatlah wahai
manusia, bahwa kalian semua menyenangi tiga
perkara yang bukan menjadi milikmu:

Pertama, menyenangi nafsu, sementara nafsu


adalah miliki hawa-nya.
Kedua, menyenangi ruh, sementara ruh adalah
milik Allah.
Ketiga, menyenangi harta, sementara harta
adalah milik ahli warisnya.

Kalian gemar mencari dua perkara, padahal kalian


tidak akan mendapatkannya: yakni, istirahat dan
bahagia di dunia, sementara keduanya hanya ada
di surga. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dunia
adalah penjara bagi orang mu’min, dan surga bagi
orang kafir.”
.‫ب َن ْع ِت َها‬ ْ ‫َفِإ َّن َها َما َأ ْب َر َز ْت ِإاَّل َما ه َُو ُم ْس َتح ُِّق َو‬
ُ ‫صفِ َها َو َوا ِج‬

“Sebab yang ia tampakkan hanyalah yang memang


layak dan mesti menjadi sifatnya.”

Sesungguhnya tidak ada yang ditampakkan dunia,


kecuali kesusahan. Karena kesusahan sudah
dijadikan sifatnya dan ditetapkan sebagai yang
layak baginya.

SYARAH HIKMAH KE-27

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menuturkan hikmah


kesusahan (di) dunia:
.‫ب َأ ْن َت َطالِ ُب ُه ِب َر ِّب َك‬
ٌ ‫ف َم ْط َل‬
َ ‫َما َت َو َّق‬

“Apa yang kau pinta, tidak akan tertahan selama


engkau memintanya kepada Tuhan (Allah).

Tidaklah sulit mencapai tujuan dunia ataupun


akhirat selama kau memintanya kepada Tuhanmu.

Tujuan dunia ataupun akhirat tidak sulit kau


dapatkan selama kau memintanya kepada
Tuhanmu dengan meng-ḥadhir-kan hatimu seraya
bersandar kepada-Nya pada keberhasilan
tujuanmu.

.‫ب َأ ْن َت َطالِ ُب ُه ِب َن ْفسِ َك‬


ٌ ‫س َر َم ْط َل‬
َّ ‫َو اَل َت َب‬

“Namun, apa yang kau pinta tidak mudah dicapai


bila engkau mengandalkan dirimu sendiri.”

Tidaklah mudah mencapai tujuan dunia ataupun


tujuan akhirat, sementara kau memintanya dengan
mengandalkan dirimu sendiri.

Tujuan yang kau pinta dengan mengandalkan


dirimu sendiri seraya melalaikan Allah, bersandar
pada kemauan dan kehendakmu, maka tidak akan
berhasil dan akan sulit mencapainya. Barang siapa
menyerahkan seluruh hajatnya kepada Allah dan
bersandar kepada-Nya, niscaya Allah yang akan
mencukupi hajatnya. Barang siapa menempatkan
atau menyandarkan seluruh hajatnya pada
keinginannya sendiri dan akal pikirannya, niscaya
ia tidak akan berhasil dan tidak akan mudah
baginya.
SYARAH HIKMAH KE-28

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫هللا فِي ا ْل ِبدَ ا َيا‬


.‫ت‬ ِ ‫الر ُج ْو ُع ِإ َلى‬
ُّ ‫ت‬ ِ ‫مِنْ َعاَل َما‬
ِ ‫ت ال ُّن ْج ِح فِي ال ِّن َها َيا‬

“Di antara tanda sukses di akhir perjalanan adalah


kembali kepada Allah sejak permulaan.”

Di antara tanda-tanda keselamatan dan


kebahagiaan di akhir suatu perjalanan adalah
kembali kepada Allah sejak permulaan.
Masa-masa awal seorang murīd adalah perjalanan
sulūk-nya menuju Allah. Sedangkan masa akhir
seorang murīd adalah keadaan wushūl kepada
Allah. Yakni, ketika perjalanan murīd diawali
dengan kembali dan tawakkal kepada Allah serta
tidak bersandar pada amalnya, maka ia akan
bahagia di akhir perjalanannya yakni wushūl
kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-29

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ش َر َق ْت ِبدَ ا َي ُت ُه َأ‬
ِ ‫ش َر َق ْت ِن َه‬
.‫اي ُت ُه‬ ْ ‫َمنْ َأ‬

“Barang siapa awal perjalanannya bersinar, akhir


perjalanannya pun bersinar.”

Barang siapa mengawali ibadahnya dengan tulus


dan ikhlas, niscaya akan mendapatkan akhir yang
bersinar, dengan meraih terangnya hati, ma‘rifat
Allah, dan hilangnya kesusahan nafsu.

SYARAH HIKMAH KE-30

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ‫ش ُّوفِ َك ِإ َلى َما ُح ِج َب َع ْن َك مِن‬ ِ ‫ش ُّوفُ َك ِإ َلى َما َب َطنَ فِ ْي َك مِنَ ا ْل ُع ُي ْو‬
َ ‫ب َخ ْي ٌر مِنْ َت‬ َ ‫َت‬
.ِ‫ا ْل ُغ ُي ْوب‬

“Kegigihanmu mengetahui perkara samar yang


tersimpan di dalam dirimu dengan mengetahui
kejelekan atau kekuranganmu itu lebih utama
daripada kegigihanmu mengetahui perkara yang
terhalangkan darimu dengan mengetahui perkara
yang samar atau ghaib.”

Kegigihanmu mengetahui perkara samar yang


tersimpan dalam dirimu dengan mengetahui
kejelekanmu, itu lebih utama dari pada
mengetahui perkara yang dihalangi darimu melalui
perkara ghaib. Kegigihanmu mengetahui sifatmu
lebih utama dari kegigihanmu mengetahui perkara
ghaib seperti beberapa keramat dan rahasia takdir.

Sifat tercela itu ada banyak, yaitu: ‘ujub


(mengagungkan amal perbuatan), riyā’
(memamerkan amal, agar dipuji manusia),
takabbur (merasa dirinya lebih baik daripada
lainnya), walaupun hanya seekor anjing –
maksudnya, jangan merasa bahwa dirimu itu lebih
baik daripada seekor anjing, ḥasūd atau iri dengki
(mengharap hilangnya nikmat dari orang lain),
pelit, dendam, mengkufuri nikmat, bersedih ketika
mendapat cobaan, adu domba, hatinya mencintai
dunia, menyenangi harta, suka dipuji, takut dicela
masyarakat, bersedih pada perkara dunia, takut
fakir, tidak senang atau marah terhadap takdir
Allah, senang abadi di dunia agar bisa menguasai
dunia, kejam terhadap orang lain, memusuhi
manusia, banyak berbicara, suka menyibukkan diri
dengan menggunjing kejelekan orang lain
sementara tidak mengetahui kejelekan diri sendiri,
senang dunia, bersedih ketika tidak mendapatkan
dunia, hatinya menyenangi makhluk, bersedih
ketika berpisah dengan makhluk, tidak punya
malu, tidak berbelas kasihan kepada makhluk,
tergesa-gesa dalam beramal, menunda-nunda
beramal, itu semua adalah sifat tercela menurut
syara‘ dan merupakan sifatnya nafsu.

Asalnya nafsu itu ada empat hal:


Pertama, suka mengingkari janji.
Kedua, suka berbuat ketaatan atas dasar riya’.
Ketiga, suka beristirahat.
Keempat, lemah dalam melaksanakan kefardhuan
terhadap Allah.

Maka engkau harus memadamkannya (dari


hatimu). Adapun cara memadamkan nafsu adalah
dengan ilmu, ma‘rifat, melaksanakan perintah
Allah dan mengikuti ajaran Rasūlullāh.
Adapun bentuk taqarrub (mendekatkan diri) yang
paling utama ialah mengingkari (tdk
mengikuti/menuruti) nafsu.
SYARAH HIKMAH KE-31

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اء ا ْل َح ِّق‬ ٍ ‫ف ُم َناق‬


ِ َ‫ِض لِ ُع ُب ْو ِد َّي ِت َك لِ َت ُك ْونَ لِنِد‬ ْ ‫ش ِر َّي ِت َك َعنْ ُكل ِّ َو‬
ٍ ‫ص‬ َ ‫صافِ َب‬ َ ‫ُأ ْخ ُر ْج مِنْ َأ ْو‬
.‫ض َر ِت ِه َق ِر ْي ًبا‬
ْ ‫ُم ِج ْي ًبا َو مِنْ َح‬

“Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari


semua sifat yang bertentangan dengan
penghambaanmu, agar engkau dapat menyambut
seruan Allah dan dekat dengan hadhirat-Nya”

Keluarkan dirimu dari sifat-sifat manusiawimu yang


tercela, dari sifat-sifat yang bisa merusak sifat
penghambaanmu, agar engkau bisa melaksanakan
seruan Allah dan dekat dengan hadhirat-Nya.

Wahai murīd, buanglah sifat-sifat manusiawimu


yang tercela, layaknya, ‘ujub, riyā’, takabbur,
dengki, dan lainnya sebagaimana dulu sudah
dituturkan, buanglah dengan jalan riyādhah dan
giat dalam ber‘ibādah agar engkau dapat
melaksanakan seruan Allah. Jika engkau sudah
membuang sifat-sifat tercelamu, engkau akan
memiliki sifat-sifat penghambaan, seperti
tawādhu‘, khusyū‘, ta‘zhīm, dan ikhlāsh di dalam
segala ‘amal ‘ibādahmu. Ketika engkau diseru
oleh-Nya dengan seruan yang samar “wahai
hamba-Ku”, engkau menjawabnya “labbaik”,
benarlah jawabanmu karena engkau adalah hamba
yang sejati.

SYARAH HIKMAH KE-32

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ضا َع ِن ال َّن ْف‬


‫س‬ ِّ ‫ش ْه َو ٍة‬
َ ‫الر‬ ْ ‫َأ‬
َ ‫صل ُ ُكل ِّ َم ْعصِ َي ٍة َو َغ ْف َل ٍة َو‬

“Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat


adalah pengumbaran nafsu..”

Pangkal segala macam maksiat, lalai dari


mengingat Allah dan syahwat nafsu adalah rela
menuruti hawa-nafsu.
Para ‘ulamā’ ahli hakikat sudah bersepakat, bahwa
pangkal dari segala macam maksiat dan berpaling
dari Allah adalah suka menuruti nafsu. Mengetahui
hawa-nafsu itu wajib hukumnya, karena seseorang
tidak akan bisa memerangi hawa-nafsunya jika
tidak mengetahuinya. Nafsu adalah perkara yang
kasat mata dan menjadi kekuatan hidup manusia.
Ia menjadi gerak atau diamnya laku tubuh
manusia, yang menyinari jasad. Ketika ia padam,
cahayanya terputus pada zhāhir dan bāthin jasad,
ketika hanya tertidur maka cahaya tersebut hanya
terputus dari zhāhir jasadnya saja, dan ini
dinamakan nafsu rūḥ-ul-ḥayawān.

Sifat nafsu itu ada tujuh:

1.Nafsu ammārah, yaitu nafsu yang cenderung


pada tabiat jasmani, cenderung pada
ke-ladzat-an atau keni‘matan sementara. Yang
dimaksud syahwat di sini adalah ingin makan
yang enak, tidur yang nyenyak, mengikuti
perbuatan syaithān dan senang dunia. Dunia
menurut nafsu ammārah itu bagaikan
mempelai perempuan yang dihias dan
dipersiapkan dan nafsu sangat ingin
memeluknya.
2.Nafsu lawwāmah, nafsu yang hadir ketika
mengingat Allah, melaksanakan perintah-Nya
dan berbuat kebajikan. Ketika melakukan
perbuatan tercela, nafsu ini menyalahkan
dirinya sendiri atas perbuatan aniaya yang
diperbuat, kemudian memperbaikinya.
3.Nafsu mulhimah, nafsu yang menghilangkan
sifat waswas, ḥadīts nafsi (bisikan nafsu).
Nafsu ini seringkali mengikuti nafsu ilhām para
malaikat tentang kebenaran dan mengikuti apa
yang telah diperintahkan Allah. Jika,
kebodohan nafsunya masih tersisa, ia menjadi
rusak, walaupun badannya sudah rusak,
nafsunya masih tetap.
4.Nafsu muthma’innah, nafsu yang bercahaya
sebab cahaya hati, mampu membuang
sifat-sifat yang tercela, seperti ‘ujub dan
takabbur, mempunyai sifat yang baik seperti
tawādhu‘, ikhlāsh dan lainnya, tenang atau
menerima apa yang diberikan Allah, tidak
terombang-ambing.
5.Nafsu rādhiyah, merasa telah melebur, sebab
dirinya adalah sesuatu yang fanā’ (111), ia
menjadi jernih dengan tajalliy kepada Allah.
6.Nafsu mardhiyyah, bisa dicapai dengan
maqām baqā’ (122).
7.Nafsu ‘ubūdiyyah, nafsu yang suka mengabdi
atau menghamba, ya‘ni melakukan segala
‘amal perbuatan yang sifatnya mengabdi
kepada Allah.

Nafsu tidak bisa menjadi sempurna, juga tidak bisa


naik derajatnya pada derajat tertinggi kecuali
setelah melakukan suluk dengan mengikuti salah
satu tharīqat yang bisa mengantar kepada Allah.
Maka, hendaklah engkau mencari guru tharīqat
(mursyid) yang bisa menunjukkan jalan
kepadamu. Jika engkau tidak mencari atau
mempunyai guru, engkau tidak akan bisa
mencapai derajat ini walaupun ‘ibādahmu layaknya
‘ibādahnya jinn dan manusia.

Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara sālik


dan ‘ābid. Terkadang seorang ‘ābid melaksanakan
‘ibādah selama 500 tahun, tidak bisa meneruskan
perjalanan, yang bisa ditempuh oleh sālik hanya
dengan sekali perjalanan. Dan kesemuanya tidak
bisa dicapai kecuali oleh mereka yang sudah
pernah merasakannya. Tharīqat yang paling dekat
adalah tharīqat naqsyabandiyyah (Ini pendapat
sang penulis -S.H.). Memerangi hawa-nafsu fardhu
‘ain hukumnya, inilah yang disebut peperangan
yang besar.
Nafsu ammārah itu memiliki tujuh kepala dari
syaithān;

Pertama; syahwat,

Kedua; ghadhab (benci dan marah-marah),

Ketiga; takabbur (dirinya merasa lebih baik


dari orang lain),

Keempat; dengki,

Kelima; sombong (baik menyombongkan


badan (jasmani) atau ruhaninya seperti ‘ilmu,
sombong lisannya karena lebih banyak
berdzikir, banyak pujian dan lain-lain),

Keenam; rakus,

Ketujuh; riyā’.
Syahwat itu bisa dipadamkan melalui riyādhah,
menghindar dari perkumpulan manusia ketika
makan dan minum. Ghadhab bisa dipadamkan
dengan sifat lapang dada. Takabbur bisa
dibunuh dengan sifat tawādhu‘. Dengki bisa
dibunuh melalui keyakinan bahwa pemilik segala
yang ada hanya Allah, manusia hanyalah
hamba-Nya, dan Allah memberi sesuatu kepada
hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Sombong dan
rakus bisa dibunuh melalui qanā‘ah – menerima
(apa yang diberikan). Riyā’ bisa dipadamkan
melalui ikhlāsh. Karena itu, hendaknya engkau
gigih dalam membunuh nafsu sebelum ruhmu
dicabut.

Ketahuilah, sesungguhnya orang yang tidak


mengenal nafsunya ketika masih hidup, ia tidak
akan pernah mengenal nafsunya kecuali setelah
terpisahnya nafsu dari badannya (mati), sehingga
ia tidak bisa mengenal Tuhannya.
Sebagaimana firman Allah:

‫ان ِفيْ ه ِذ ِه َأعْ َمى َفه َُو فِي اآْل خ َِر ِة َأعْ َمى‬
َ ‫ َو َمنْ َك‬.

“Barang siapa yang ketika di dunia buta (tidak


mengetahui sifat nafsunya), maka di akhiratnya
juga buta (dari ma‘rifat Allah).” (QS. al-Isrā’ [17]:
72).
Tidak akan bisa mengetahui atau mendeteksi nafsu
kecuali dengan cahaya yang mana Allah
meletakkannya di dalam hati kita, dan Allah tidak
akan menempatkan cahaya pada hati seorang
hamba kecuali hamba yang memegang teguh
syarī‘at, yang memegang teguh ajaran Nabi s.a.w.,
serta riyādhah, dan ber-mujāhadah dan
menjauhkan hatinya dari mencintai dunia,
menjauhi sifat-sifat tercela yang sudah dijelaskan,
dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji menurut
syara‘ seperti tawādhu‘, ikhlāsh dan lainnya. Dan
kesemuanya bisa didapat melalui tarbiyyah atau
pengajaran seorang guru mursyid. Jangan mengira
hasilnya cahaya tersebut dengan melalui banyak
muthāla‘ah atau mempelajari kitab-kitab
tashawwuf atau lainnya, ia tidak akan bisa
walaupun dengan ber-mujāhadah.

Jangan takut akan matinya nafsu, tabiat nafsu


bagaikan bayi, jika disapih mau menurut,
walaupun dengan cara yang susah-payah dalam
waktu yang sebentar. Imām Bushiriy berkata:

‫اع َو ِإنْ َت ْفطِ مْ ُه َي ْن َفطِ ُم‬ ِّ ‫ َو ال َّن ْفسُ َك‬.


َ َّ‫الط ْف ِل ِإنْ ُت ْهم ِْل ُه َشبَّ َع َلى حُبِّ الر‬
ِ ‫ض‬

Nafsu itu bagaikan bayi, jika kau biarkan,


tumbuhlah ia dengan suka menetek, jika kau
sapih, maka tersapihlah ia.

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


‫ضا ِم ْن َك َع ْن َها‬ ِّ ‫اع ٍة َو َي َق َظ ٍة َو عِ َّف ٍة َعدَ ُم‬
َ ‫الر‬ ْ ‫َو َأ‬
َ ‫صل ُ ُكل ِّ َط‬

“Dan pangkal dari segala ketaatan, kewaspadaan,


dan kebajikan adalah pengekangan nafsu.”
Sumber dari segala ketaatan dan mengenal Allah
sebab engkau tidak mau menuruti nafsu.

Dengan engkau mengekang nafsu, kau akan


mendapatkan ketaatan (pada dirimu) dan ma‘rifat
Allah, sebab dengan tidak menuruti kemauan
nafsu, ia tidak ingin memperindah dirinya dan
tidak ingin menempatkan (segala keinginan) pada
nafsunya. Barang siapa yang seperti ini halnya,
berarti ia adalah orang yang waspada hatinya
kepada jalan kebenaran, jika api syahwat telah
padam dari dalam dirinya, ia akan memiliki sifat
yang ‘adil. Jika bersifat ‘adil, ia akan menjauhi
perkara yang dilarang oleh Allah serta menjaga
atau melaksanakan segala perintah-Nya. Inilah
yang dimaksud berhasilnya ketaatan. Syaikh
Dhiyā’-ud-Dīn bin Mushthafā berkata:
Wahai murīd, ketahuilah, bahwasanya
tercapainya ‘amal terpuji itu dengan tiga
cara:
1.Takut kepada Allah, dalam keadaan samar
maupun zhahir, ya‘ni dalam keadaan sepi
maupun dalam keramaian.
2.Rela dengan taqdīr (yang ditentukan) Allah,
sedikit ataupun banyak.
3.Memperlakukan makhluq Allah dengan
baik, di depan maupun di belakang. Jangan
hanya berperilaku baik di hadapan seseorang,
sementara di belakangnya kau menggunjing.

Ujian terbesar itu ada tiga:

1. Takut kepada makhluq.


2. Bersedih dalam memikirkan rezeki.
3. Menuruti hawa-nafsu.
Ni‘mat dan kesehatan yang paling besar itu
ada tiga:
1. Percaya kepada Allah dalam segala
sesuatu atau keadaan.
2. Rela dengan taqdīr Allah pada setiap
keadaan, sehat maupun sakit, kaya
maupun miskin.
3.menjaga (diri dari) keburukan manusia.
Wallāhu a‘lam.
SYARAH HIKMAH KE-33

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ضى َعنْ َن ْفسِ ِه َخ ْي ٌر َل َك مِنْ َأنْ َت‬


َ ‫ص َح َب َعالِ ًما َي ْر‬
‫ضى‬ ْ ‫َو َأَلنْ َت‬
َ ‫ص َح َب َجا ِهاًل اَل َي ْر‬
.ِ‫َعنْ َن ْفسِ ه‬
“Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak
memperturutkan hawa-nafsunya itu lebih baik
bagimu dari pada bersahabat dengan orang pandai
yang memperturutkan hawa-nafsunya. Kepintaran
apalagi yang dapat disandangkan pada orang yang
pintar yang selalu memperturutkan
hawa-nafsunya?.”

Demi Allah, sesungguhnya persahabatanmu


dengan orang yang bodoh dalam ‘ilmu zhāhir
(‘ilmu keduniawian) yang tidak memperturutkan
hawa-nafsunya itu lebih baik bagimu dan lebih
bermanfaat daripada persahabatanmu dengan
orang pintar ‘ilmu zhāhir yang memperturutkan
hawa-nafsunya.

Persahabatan dan perkumpulan yang lebih utama


adalah bersahabat dengan orang yang tidak suka
menuruti hawa-nafsunya walaupun ia bodoh, dan
jangan bersahabat dengan orang-orang yang suka
menuruti hawa-nafsunya walaupun ia pandai.
Karena persahabatan dan perkumpulan itu
mempunyai dampak yang baik (positif) dan buruk
(negatif) dari diri kita.
.ِ‫ضى َعنْ َن ْفسِ ه‬ ُّ ‫َفَأ‬
َ ‫ي عِ ْل ٍم ل َِعال ٍِم َي ْر‬

“Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada


orang yang pintar yang selalu memperturutkan
hawa-nafsunya?”

Tidak ada pengetahuan bagi orang ‘ālim yang


memperturutkan hawa-nafsunya.

Walaupun ia ‘ālim atau piawai ‘ilmu zhāhir. Sebab,


berkumpul dengan orang yang suka mengumbar
hawa-nafsunya itu akan berdampak buruk bagi
(diri)mu.

‫ضى َعنْ َن ْفسِ ِه‬ ُّ ‫َو َأ‬


َ ‫ي َج ْه ٍل ل َِجاه ٍِل اَل َي ْر‬

“Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan


pada orang bodoh yang tidak memperturutkan
hawa-nafsunya?”
Tidak ada kebodohan bagi orang yang bodoh yang
tidak suka mengumbar hawa-nafsunya.

Sebab dengan tidak memperturutkan hawa-nafsu


itulah ia disebut ‘ālim, walaupun ia bodoh dalam
hal ‘ilmu zhāhir.

SYARAH HIKMAH KE-34

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


‫اَل َت َت َعدَّ ِن َّي ُة ِه َّم َت َك ِإ َلى َغ ْي ِر ِه‬

“Janganlah cita-citamu tertuju pada selain-Nya.”

Wahai sālik, janganlah engkau melampaui batas


niat dan cita-citamu pada selain-Nya, ketika
menginginkan keberhasilan suatu hajatmu. Akan
tetapi memohonlah kepada Allah dalam segala
hajat kebutuhanmu dengan adab tatakrama orang
yang meminta, sebagaimana yang sudah
dijelaskan.
.ُ ‫َفا ْل َك ِر ْي ُم اَل َت َت َخ َّطاهُ اآْل َمال‬

“Harapan seseorang tak akan dapat melampaui


Yang Maha Pemurah.”

Dzat Yang Maha Mulia, tidak ada satu pemimpin


pun yang dapat melampaui-Nya.

Janganlah engkau menengadahkan angan-angan


harapanmu kepada selain Allah, sebab Allah itu
bersifat al-Karīm. Adapun ma‘na al-Karīm adalah
Dzāt yang ketika menaqdirkan pasti akan
mengampuni, ketika berjanji pasti akan menepati,
ketika memberi pasti akan menambahi atau
melebihkan atas apa yang diharapkan hamba-Nya.
Tidak kira-kira dalam memberi, dan tidak
memilih-milih orang yang akan diberi. Ya‘ni, baik
(orang yang diberi adalah) orang yang
menyembah-Nya maupun tidak. Tidak ada satupun
yang memiliki sifat ini kecuali hanya Allah semata.
Oleh karena itu, hendaklah seorang murīd tidak
menggantungkan harapannya pada selain-Nya.
Meminta kepada makhlūq itu dilarang apabila
seseorang menggantungkan keberhasilan
permintaannya pada makhlūq.

SYARAH HIKMAH KE-35

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اج ًة‬
َ ‫اَل َت ْر َف َعنَّ ِإ َلى َغ ْي ِر ِه َح‬

“Jangan memohon kepada selain-Nya.”


Wahai murīd, janganlah engkau berharap pada
selain Allah.
Untuk menghilangkan cobaan seperti sakit ataupun
kefakiran, akan tetapi engkau hanya wajib
mengharap dan memohon kepada Allah untuk
menghilangkannya.
‫ه َُو ُم ْو ِر ُدهَا َع َل ْي َك‬

“Dia-lah yang memenuhi hajatmu.”

Sesungguhnya hanya Allah yang memenuhi


hajatmu, yang menurunkan kepadamu.

‫ف َي ْر َف ُع َغ ْي َرهُ َما َكانَ ه َُو َل ُه َواضِ ًعا‬


َ ‫َف َك ْي‬

“Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengubah


sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya?”

Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengangkat


cobaan, sementara Allah yang meletakkan.
Sesungguhnya penyakit, kefakiran, maupun
cobaan, itu semuanya Allah yang memberi atau
yang menurunkan, maka tidak ada yang bisa
menolak selain-Nya. Jika begitu, engkau jangan
bersandar kepada makhlūq untuk
menghilangkannya.

‫ف ْي ْس َتطِ ْي ُع َأنْ َي ُك ْونَ َل َها َعنْ َغ ْي ِر ِه‬ َ ‫َمنْ اَل َي ْس َتطِ ْي ُع َأنْ َي ْر َف َع َح‬
َ ‫اج ًة َعنْ َن ْفسِ ِه َف َك ْي‬
.‫َرافِ ًعا‬

“Bagaimana orang yang tak mampu membebaskan


dirinya dari kebutuhan, dapat membebaskan
kebutuhan orang lain?”
Orang yang tidak dapat melepaskan kebutuhan
dirinya sendiri, maka bagaimana bisa
membebaskan kebutuhan orang lain?

Semua makhlūq itu lemah, tak berdaya memenuhi


hajatnya, walaupun ia seorang raja, bagaimana
bisa memenuhi hajat orang lain dengan memberi
kemanfaatan atau memberi kesembuhan? Sebab
jikalau bisa, pasti akan menciptakan sesuatu yang
bisa bermanfaat atau berguna bagi dirinya sendiri.
Ketika seseorang sudah tak berdaya berbuat
manfaat pada dirinya sendiri, apalagi yang bisa ia
lakukan bagi orang lain? Pengharapanmu kepada
makhlūq terhadap sesuatu itu menunjukkan
kebodohan dirimu.

SYARAH HIKMAH KE-36

Maka, ketahuilah wahai murīd, sesungguhnya


ḥusn-uzh-zhann (berbaik-sangka) kepada Allah itu
wajib hukumnya. Ya‘ni perbaikilah prasangkamu
kepada Allah, Dari sini Syaikh berkata:

‫سنْ َظ َّن َك ِب ِه ل ُِو ُج ْو ِد ُم َعا َم َل ِت ِه َم َع َك‬ ْ ‫ِإنْ َل ْم ُت ْحسِ نْ َظ َّن َك ِب ِه َأِل ْج ِل ُح ْس ِن َو‬
ِّ ‫صفِ ِه َف َح‬

“Jika engkau tidak bisa berbaik-sangka


kepada-Nya lantaran keindahan sifat-Nya,
berbaik-sangkalah kepada-Nya lantaran
karunia-Nya kepadamu.”

Jika engkau tidak bisa berbaik-sangka kepada-Nya


lantaran keindahan sifat-Nya, berbaik-sangkalah
kepada-Nya karena ni‘mat-Nya yang
dianugerahkan kepadamu.

Ḥusn-uzh-zhann (berbaik-sangka) kepada Allah itu


ada dua macam: ḥusn-uzh-zhann-nya orang khash
dan ḥusn-uzh-zhann-nya orang awam.

Pertama, ḥusn-uzh-zhann-nya orang khash yaitu


melihat sifat-sifat Allah yang mulia karena
sifat-Nya yang belas-kasih terhadap
hamba-hambaNya, Maha Memberi dan sifat-sifat
mulia lainnya. Maka segala sesuatu yang
menimpamu, sakit, sehat, fakir atau lainnya,
kesemuanya menjadikannya tetap berbaik-sangka
kepada-Nya. Karena Allah bersifat belas-kasih.
Jangan berprasangka bahwa Allah tidak
belas-kasih, sewaktu engkau ditimpa cobaan,
kesulitan rezeki, dan sakit. Jangan berprasangka
bahwa datangnya cobaan itu berdampak buruk
bagi dirimu, atau menunjukkan hilangnya sifat
belas kasih Allah padamu. Sebab Allah itu juga
mempunyai sifat Raḥīm (Maha Penyayang), Karīm
(Maha Mulia), Ra’ūf (Maha Mengetahui –
belas-kasih dan dermawan – ). Jangan menyangka
belas-kasih Allah itu seperti belas-kasih makhlūq,
sebab jika Allah berbelas-kasih kepada
hamba-hambaNya, Ia akan memberikan sakit,
rezeki seret, dan banyak cobaan.

Kedua, ḥusn-uzh-zhann-nya orang awam karena


mereka melihat pada keni‘matan yang telah Allah
anugerahkan kepada mereka, mulai dari tidak ada
hingga ada, mulai kecil hingga besar. Allah tidak
pernah berbuat jelek kepadamu.
SYARAH HIKMAH KE-37

Ḥusn-uzh-zhann-nya orang khash itu dapat


menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, percaya
kepada Allah–tawakkal kepada-Nya. Adapun
ḥusn-uzh-zhann-nya orang awam bisa
menumbuhkan rasa syukur atas ni‘mat yang
diberikan oleh Allah dan rindu bertemu fadhal dan
raḥmat Allah. Oleh karenanya Syaikh Ibnu
‘Athā’illāh berkata:

‫ب ِم َّما اَل ا ْنفِ َكا َك َل ُه َع ْن ُه‬ ِ ‫ب ُكل ُّ ا ْل َع َج‬


ُ ‫ب ِم َّمنْ َي ْه َر‬ ُ ‫ا ْل َع َج‬
“Sungguh mengherankan, orang yang lari dari apa
yang dia tidak bisa terlepas darinya.”

Paling mengherankannya sesuatu yang


mengherankan adalah orang yang berlari dari apa
yang ia tidak bisa terbebas lepas darinya (Allah).

Mengherankan sekali seorang hamba yang berlari


dari Allah, menjauhi ‘amal yang bisa mendekatkan
diri kepada Allah dan menyibukkan diri
mengumbar syahwat, memperturutkan keni‘matan
dunia, serta membelakang akhirat.

َ ‫اء َل ُه َم َع ُه َفِإ َّن َها اَل َت ْع َمى اَأْل ْب‬


.‫صا ُر‬ َ ‫ب َما اَل َب َق‬
ُ ُ‫َو َي ْطل‬

“Dan malah mencari yang tidak kekal baginya:


“Sesungguhnya mata kepala itu tidak buta”.”

Dan malah mencari sesuatu yang tidak kekal abadi


bagi-Nya, sesungguhnnya hal itu tidak disebabkan
butanya mata zhāhir atau mata kepala, akan tetapi
disebabkan matinya mata hati.
Jika engkau mengalaminya, wahai murīd, carilah
sesuatu yang kekal. Ya‘ni, engkau berbuat ‘amal
yang bisa mendekatkan dirimu kepada Allah
dengan ikhlas, tidak dengan riyā’.

SYARAH HIKMAH KE-38

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫اَل َت ْر َحلْ مِنْ َك ْو ٍن ِإ َلى َك ْو ٍن َف َت ُك ْونُ َك ِح َم‬


َّ ‫ار‬
‫الر َحى‬

“Jangan pergi dari satu alam ke alam lain sehingga


engkau seperti keledai yang berputar di
penggilingan.”

Janganlah engkau berpindah dari satu alam


menuju alam yang lain sehingga engkau seperti
ḥimār atau keledai yang menarik penggilingan
gandum.

Seorang murīd dituntut berbuat ‘amal dengan


ikhlas, tidak boleh disertai riyā’. Karena seorang
murīd diharapkan gigih ber‘amal dengan ikhlas,
ya‘ni tanpa ada campuran riyā’ di dalamnya.
Apabila ia ber‘amal karena menginginkan pahala
surga dan mencari kedudukan yang tinggi di surga,
hal itu juga masih dilarang bagi seorang murīd. Ia
diumpamakan keledai yang sedang menarik
penggilingan. Perumpamaan meninggalkan alam
(seperti riyā’) menuju alam lainnya (seperti surga)
itu tidak ada bedanya, karena surga itu juga alam
atau makhlūq yang tidak patut dicari. Akan tetapi,
hendaknya ia meninggalkan alam berpindah
menuju Dzāt yang Qadīm ya‘ni hanya menuju Allah
belaka.

Sesungguhnya Allah itu Dzāt yang berhak untuk


disembah, Allah bersifat Rubūbiyyah. Dan haknya
Tuhan adalah disembah.

ْ ‫ار َت َحل َ ِإ َل ْي ِه ه َُو ا َّلذِي‬


‫ار َت َحل َ ِم ْن ُه‬ ْ ‫َيسِ ْي ُر َو ا ْل َم َكانُ ا َّلذِي‬

“Tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak.”

Ia (keledai) berjalan, padahal tempat yang ia tuju


adalah tempat ia beranjak.

Sesungguhnya, jika tujuan ‘amalmu adalah pahala


surga, engkau bagaikan keledai yang berjalan
menarik penggilingan. Jalan yang ditempuh adalah
jalan pertama yang dilewatinya, ia hanya
berputar-putar, tidak beranjak dari tempatnya
semula. Begitu pula orang yang ber‘amal, beranjak
atau pergi meninggalkan riyā’ (sesuatu yang baru
atau makhlūq) menuju surga (yang juga baru atau
makhlūq), ia meninggalkan sesuatu yang baru
menuju sesuatu yang baru, sama halnya ia
berputar-putar dari tempatnya semula.

ِ ‫ار َحلْ مِنَ اَأْل ْك َو‬


.‫ان ِإ َلى ا ْل ُم َك ِّو ِن‬ ِ ‫َو لك‬
ْ ‫ِن‬

“Namun, berpindahlah dari alam menuju Pencipta


alam.”

Akan tetapi, hendaklah engkau berpindah


meninggalkan mumkin (alam duniawi), menuju
Pencipta Alam (Allah).

Berlakulah ikhlas karena Allah saja, bukan karena


mengharap pahala atau imbalan dunia ataupun
akhirat. Barang siapa ber‘amal karena mengharap
surga, ia adalah hambanya surga, barang siapa
ber‘amal kerena Allah semata, ia menjadi hamba
Allah.
‫ِّك ْال ُم ْن َت َهى‬
َ ‫َو ِإنَّ ِإ َلى َرب‬
“Sesungguhnya, kepada Tuhanmu segala sesuatu
berakhir.” (Q.S. an-Najm [53]: 42).

Dan sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah


puncak atau akhir tujuanmu. Orang yang ber‘amal
hanya karena Allah, ia akan mencapai Allah.
Perhatikan sabda Nabi s.a.w.:

ْ ‫ َو َمنْ َكا َن‬،ِ‫هللا َو َرس ُْولِه‬


‫ت‬ ِ ‫َو َرس ُْولِ ِه َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى‬ ِ ‫ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى‬
‫هللا‬ ْ ‫َف َمنْ َكا َن‬
‫ت‬
َ ‫امْ َرَأ ٍة َي ْن ِك ُح َها َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى َما َه‬
‫اج َر ِإ َل ْي ِه‬ ‫ َأ ِو‬،‫ُد ْن َيا يُصِ ْي ُب َها‬ ‫ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى‬

Renungkan sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Barang siapa


berhijrah dari kota Makkah menuju kota Madīnah
tujuannya karena Allah dan Rasūl-Nya, maka
hijrahnya (sampai) kepada Allah dan Rasūl-Nya,
barang siapa berhijrah dari kota Makkah menuju
kota Madīnah bertujuan mendapatkan harta dunia,
maka ia akan mendapatkan dunia, dan barang
siapa berhijrah dari kota Makkah menuju kota
Madīnah bertujuan mendapatkan wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya akan mendapatkan
apa yang ia tuju.”

Maka, pahamilah dan renungkanlah sabda Nabi ini


jika memang engkau adalah orang yang cerdas.

Adapun yang dituju dari sabda Nabi adalah bagian


yang terakhir, ya‘ni “Hijrah seseorang itu sesuai
dengan apa yang ia tuju.” Seseorang tidak akan
bisa wushūl atau sampai kepada Allah selama ia
masih mengharapkan sesuatu selain-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-39

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫هللا َم َقالُ ُه‬


ِ ‫ض َك َحالُ ُه َو اَل َي ُدلُّ َك َع َلى‬
ُ ‫ص َح ْب َمنْ اَل ُي ْن ِه‬
ْ ‫اَل َت‬

“Jangan berteman dengan orang yang kondisinya


tidak membangkitkan semangatmu dan
perkataanya tidak mengantarmu kepada Allah.”

Jangan berteman dengan orang yang kondisinya


tidak membangkitkan hatimu untuk ber‘ibādah
kepada Allah dan ucapannya tidak bisa dijadikan
petunjuk.

Jangan berkumpul dengan perkumpulan orang


yang bekerja, orang yang mengaji, orang yang
telah berkeluarga, kecuali mereka yang
keadaannya bisa membangkitkan atau
menggerakkan hatimu untuk mau ber‘ibadah dan
bertaubat kepada Allah, serta ucapannya bisa kau
jadikan petunjuk menuju kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-40
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ص ْح َب ُت َك َمنْ ه َُو َأ ْس َوُأ َحااًل ِم ْن َك‬ َ ‫ُر َّب َما ُك ْن َت ُمسِ ْيًئ ا َفَأ َرا َك اِإْل ْح‬
ُ ‫سانَ ِم ْن َك‬

“Bisa jadi engkau berbuat buruk, namun


persahabatanmu dengan orang yang kondisinya
lebih buruk menjadikanmu tampak baik.”

Pergaulanmu dengan orang-orang bodoh hanya


akan menjadikan madharat bagimu, dan
menjadikanmu melakukan maksiat kepada Allah,
karena mungkin saja engkau akan berbuat tercela
dan engkau berkeyakinan apa yang engkau
kerjakan itu baik, engkau rela melakukannya, dan
bergembira dengannya, maka engkau menjadi
‘ujub dan senang dengan pujian temanmu. Dengan
demikian, jadilah engkau orang yang terkena tipu
daya syaithan dan tipu-daya hawa-nafsumu. Maka,
carilah teman yang benci dunia dan cinta akhirat.
SYARAH HIKMAH KE-41

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ٍ ‫َما َقل َّ َع َمل ٌ َب َر َز مِنْ َق ْل‬


.ٍ‫ب َزا ِهد‬
“Tidak disebut sedikit ‘amal yang bersumber dari
qalbu yang zuhud.”

Tidak bisa disebut sedikit, ‘amal yang keluar dari


hati yang zuhud atau tidak suka dunia.

‘Amal yang keluar dari hati orang yang zuhud itu


mulia walaupun ‘amalnya hanya sedikit menurut
zhāhir-nya, akan tetapi mulia menurut hakikatnya.
Karena, ‘amal orang yang zuhud itu selamat dari
riyā’, berbuat ‘amal karena ingin dipuji masyarakat
dan selamat dari tujuan mendapat harta dunia,
juga selamat dari berpaling dari-Nya, berbeda
dengan ‘amal orang yang cinta dunia.

.‫ب‬ ٍ ‫َو اَل َك ُث َر َع َمل ٌ َب َر َز مِنْ َق ْل‬


ٍ ِ‫ب َراغ‬

“Dan tidak dapat disebut banyak ‘amal yang


bersumber dari qalbu yang tamak.”

Tidak bisa disebut banyak, suatu ‘amal yang keluar


dari hati orang yang cinta dunia.

Sesungguhnya ‘amal yang keluar atau bersumber


dari hati orang yang cinta dunia itu dianggap
sedikit, walaupun secara kasat mata ‘amalnya
banyak. Karena pada hakikatnya, ‘amal orang yang
cinta dunia itu tidak selamat dari riyā’, ber‘amal
karena ingin dipuji masyarakat, dan menjadikan
berpaling dari Allah, karena hatinya condong
kepada dunia. Oleh karena itu, dikisahkan dari
Ibnu Mas‘ūd, sesungguhnya Ibnu Mas‘ūd berkata:
“Shalat dua rakaat yang bersumber atau dilakukan
oleh orang yang zuhud yang ‘ālim itu lebih utama
dari pada ‘ibādahnya seorang ‘ābid (ahli ‘ibādah)
yang rajin ber‘ibādah selama hidupnya.” Syaikh
Abū ‘Abdillāh al-Qusyairī r.a. berkata: “Seorang
laki-laki bertanya kepada orang shāliḥ: “saya
sudah melakukan berbagai ‘amal ‘ibādah dan
mengapa belum juga mendapatkan manisnya
ber‘ibādah di dalam hatiku?” Orang yang shāliḥ
menjawab: “engkau tidak menemukan manisnya
ber‘ibādah, karena engkau mencintai putri Iblīs
ya‘ni dunia, dan pastinya ayahnya (Iblīs)
mengunjungi anaknya di rumahnya, dan rumahnya
adalah hatimu, dan ketika Iblīs hendak masuk ke
dalam hatimu ia berkeinginan untuk merusak
seluruh perintah hatimu atau seluruh anggota
badanmu.” Syaikh Abū Muḥammad ibn Sahal r.a.
berkata: “besok di hari qiyāmat tidak ada
penglihatan yang lebih utama dari pada
penglihatan orang zāhid yang ‘ālim.” Ya‘ni, orang
‘ālim yang tidak cinta dunia di hatinya.

SYARAH HIKMAH KE-42

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ال َن َتاِئ ُج ُح ْس ِن اَأْل ْح َو‬


.‫ال‬ ِ ‫ُح ْسنُ اَأْل ْع َم‬

“‘Amal yang baik buah dari kondisi yang baik.”

‘Amal yang baik tumbuh dari kondisi hati yang


bagus.

Kondisi hati menjadi baik, sebab mempunyai sifat


zāhid atau tidak suka terhadap dunia, ikhlas dalam
segala ‘amal ‘ibādah, tawādhu‘ dan sifat terpuji
lainnya. Hal demikian menjadi sebab indahnya
seluruh ‘amal zhāhir yang bersih dari riyā’

.‫ال‬
ِ ‫ت اِإْل ْن َز‬ ِ ‫َو ُح ْسنُ اَأْل ْح َو‬
ِ ‫ال مِنَ ال َّت َح ُّق ِق ف ِْي َم َقا َما‬

“Sementara kondisi spiritual yang baik bersumber


dari kemampuannya menerima berbagai
kedudukan atau tingkatan yang Dia berikan.”

Bagusnya kondisi hati adalah sebagian tanda


diberikannya cahaya uluhiyyah, yang turun di hati
seorang ‘ārif, yang disebut dengan cahaya ma‘rifat.
Ketika cahaya tersebut sudah bersemayam di
dalam hati, ia (hati) tak akan mau mengaku-ngaku
atau memamerkan ‘amal, tidak berpaling dari cinta
Allah kepada cinta surga. Jika demikian halnya,
maka seluruh ‘amal yang dilakukan itu sudah
dikategorikan ke dalam ikhlas. Sebab tercapainya
keikhlasan itu lantaran meninggalkan cinta dunia,
karena ikhlas wajib hukumnya, maka
meninggalkan cinta dunia juga wajib hukumnya,
sebab sumber dari munculnya segala macam
maksiat adalah cinta dunia.

SYARAH HIKMAH KE-43

Hati tidak bisa meninggalkan cinta dunia kecuali


dengan memperbanyak dan mengistiqāmahkan
dzikir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh
berkata:
.ِ‫هللا فِ ْيه‬ ِّ ِ‫اَل َت ْت ُرك‬
ُ ‫الذ ْك َر ل َِعدَ ِم ُح‬
ِ ‫ض ْو ِر َك َم َع‬

“Jangan meninggalkan dzikir lantaran tidak bisa


berkonsentrasi kepada Allah ketika berdzikir.”

Jangan meninggalkan dzikir karena sebab tidak


bisa ḥudhūr atau konsentrasinya hatimu bersama
Allah di dalam dzikir.

Karena dzikir adalah jalan terdekat menuju Allah.

َ ‫َأِلنَّ َغ ْف َل َت َك َعنْ ُو ُج ْو ِد ذ ِْك ِر ِه َأ‬


‫ش ُّد مِنْ َغ ْف َل ِت َك ف ِْي ُو ُج ْو ِد ذ ِْك ِر ِه‬

“Karena kelalaianmu (terhadap Allah) ketika tidak


berdzikir itu lebih buruk ketimbang kelalaianmu
ketika berdzikir.”

Karena sesungguhnya berpalingnya hatimu dari


mengingat Allah serta tidak berdzikirnya lisanmu
itu lebih buruk daripada berpalingnya hatimu dari
Allah saat lisanmu berdzikir. Karena walalupun
hatimu lupa mengingat Allah, engkau masih
mengingat-Nya dalam dzikir lisanmu. Maka
hendaklah engkau tetap berdzikir kepada Allah
walaupun hatimu lalai.
.‫سى َأنْ َي ْر َف َع َك مِنْ ذ ِْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد َغ ْف َل ٍة ِإ َلى ذ ِْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد َي َق َظ ٍة‬
َ ‫َف َع‬

“Mudah-mudahan Allah berkenan mengangkatmu


dari dzikir penuh kelalaian menuju dzikir penuh
kesadaran.”

Mudah-mudahan Allah menaikkanmu dari dzikir


yang disertai ghaflah (lalai mengingat-Nya),
menuju dzikir yang disertai adanya kesadaran atau
mengingat Allah.

ُ ‫َو مِنْ ذ ِْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد َي ْق َظ ٍة ِإ َلى ذ ِْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد ُح‬


‫ض ْو ٍر‬

“Dan dari dzikir penuh kesadaran menuju dzikir


yang disemangati kehadiran-Nya.”

Dan dari dzikir yang disertai kesadaran


mengingat-Nya naik derajatnya menuju dzikir yang
disertai adanya ḥudhūr, ya‘ni hatimu merasa
berada dalam naungan-Nya, sehingga engkau
menjadi ber-murāqabah kepada-Nya.

Dan dari dzikir yang disertai adanya ḥudhūr


menuju dzikir yang meniadakan selain-Nya.

ِ ‫َو َما ذلِ َك َع َلى‬


.‫هللا ِب َع ِز ْي ٍز‬

“Dan yang demikian itu bagi Allah tidak sukar.”


(Q.S. Fāthir [35]: 17).

Hal yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah,


tidak.
Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Maka
wajib bagi setiap murid untuk melaksanakan
segala perintah-Nya, berprasangka bahwa hanya
Allah yang memberikan pertolongan akan
keberhasilan murāqabah dan wushūl kepada-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-44

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.ِ‫ب َعدَ ُم ا ْل ُح ْز ِن َع َلى َما َفا َت َك مِنَ ا ْل ُم َوافِ َقات‬


ِ ‫ت ا ْل َق ْل‬ ِ ‫مِنْ َعاَل َما‬
ِ ‫ت َم ْو‬

“Di antara tanda matinya qalbu adalah tidak


bersedih atas ketaatan yang terlewat.”

Sebagian dari tanda matinya hati seorang murīd


adalah tidak bersedih atas terlewatnya ketaatan
(‘ibādah) darinya.
َّ ‫َو َت ْر ُك ال َّندَ ِم َع َلى َما َف َع ْل َت ُه مِنْ ُو ُج ْو ِد‬
.ِ‫الزاَّل ت‬

“Dan tidak menyesal atas dosa yang diperbuat.”


Dan tanda matinya hati seorang murīd adalah tidak
menyesali hal-hal maksiat yang telah dilakukan.

Adapun tanda hidupnya hati seorang murīd sebab


adanya cahaya ilāhiyyah, adalah merasa bersedih
hati atas beberapa ketaatan yang sudah
dilewatkan dan menyesali perbuatan maksiat yang
telah diperbuat. Kebahagiaanmu atas buah
ketaatan (‘ibādah) yang diberikan Allah kepadamu
dan bersedih jika tersibukkan oleh maksiat itu
menunjukkan hidupnya hatimu. Engkau menjadi
orang yang cinta kepada Allah, maka bergegaslah
menuju kepada-Nya, jangan berhenti!
SYARAH HIKMAH KE-45

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫اَل َع َمل َ َأ ْر َجى لِ ْل َق ُب ْو ِل مِنْ َع َم ٍل َي ِغ ْي‬


ُ ‫ب َع ْن َك‬
ُ‫ش ُه ْو ُده‬

“Tidak ada ‘amal yang lebih berpeluang diterima


dari pada ‘amal yang tidak engkau sadari.”

Tidak ada ‘amal yang lebih berpeluang diterima di


sisi-Nya, kecuali ‘amal yang samar dari
penglihatanmu.
Karena, bagaimanapun engkau tidak akan bisa
ber‘amal kecuali atas pertolongan Allah.

.ُ‫َو ُي ْح َت َق ُر عِ ْندَ َك ُو ُج ْو ُده‬

“Dan engkau pandang tak berarti.”

Dan engkau tak akan berharap akan mendapatkan


surga serta bisa ber-taqarrub kepada-Nya dengan
‘amal tersebut. Karena engkau merasa masih
sembrono dalam ber‘amal. Suatu ‘amal tak akan
bisa selamat dari riyā’, ‘ujub dan sum‘ah.
SYARAH HIKMAH KE-46

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ب َو اَأْل ْس َر ِار‬


ِ ‫اََأْل ْن َوا ُر َم َطا َيا ا ْلقُلُ ْو‬

“Cahaya adalah tunggangan qalbu dan segala


rahasia jiwa.”

Cahaya iman dan yakin itu bagaikan kendaraan


yang membawa segala rahasia jiwa dan qalbu
menuju kepada Allah (cahaya yang bernama
wāridāt).
SYARAH HIKMAH KE-47

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ب َك َما َأنَّ ال ُّظ ْل َم َة ُج ْن ُد ال َّن ْف‬


‫س‬ ِ ‫ال ُّن ْو ُر ُج ْن ُد ا ْل َق ْل‬

“Cahaya adalah prajurit qalbu, sebagaimana


kegelapan prajurit nafsu.”

Cahaya tauḥīd dan cahaya yakin bagaikan prajurit


qalbu, sebagaiman kegelapan syirik dan ragu-ragu
bagaikan prajurit nafsu ammārah.
‫ص َر َع ْبدَ هُ َأ َمدَّ هُ ِب ُج ُن ْو ِد اَأْل ْن َو ِار َو َق َط َع َع ْن ُه َمدَ دَ ال ُّظ َل ِم َو‬
ُ ‫َفِإ َذا َأ َرادَ هللاُ َأنْ َي ْن‬
ِ ‫اَأْل ْغ َي‬
.‫ار‬

“Apabila Allah hendak menolong hamba-Nya, maka


Dia membantunya dengan prajurit cahaya serta
memutus bantuan kegelapan dan makhlūq
darinya.”

Ketika Allah berkehendak menolong hamba-Nya,


Allah akan menolongnya dengan bantuan prajurit
hati ya‘ni nūr tauḥīd. Dan Allah memutuskan
prajurit nafsu ya‘ni kegelapan syirik dan kegelapan
makhlūq dari dalam hatinya.

Sesungguhnya, nūr tauḥīd dan iman dengan


kegelapan syirik, keduanya saling bermusuhan,
ketika Allah berkehendak menolong hamba-Nya,
Allah akan menghilangkan kegelapan dan
memberikannya nūr īmān. Misal, ketika hati
condong berbuat kebajikan seperti puasa dan
shalat, sementara nafsu ammārah condong
meninggalkan ‘amal tersebut, hati dan nafsu
berperang, bala tentara nūr īmān yang dari Allah
membantu hatimu, dan bala tentara nafsu ya‘ni
kegelapan syirik akan membantu nafsumu. Ketika
pertempuran ini terjadi pada dirimu maka tidak
ada jalan keluarnya kecuali berserah diri
kepada-Nya dan mengembalikan kepada-Nya
SYARAH HIKMAH KE-48

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اع ُة َأِل َّن َها َب َر َز ْت ِم ْن َك‬ َّ ‫اَل ُت َف ِّر ْح َك‬


َ ‫الط‬

“Janganlah engkau digembirakan dengan taat


lantaran engkau mampu melaksanakannya.”

Janganlah engkau berbahagia sebab adanya


ketaatan yang kau laksanakan dengan ikhtiyār dan
kekuatanmu sendiri.
ِ َ‫َو ا ْف َر ْح ِب َها َأِل َّن َها َب َر َز ْت مِن‬
.‫هللا ِإ َل ْي َك‬
“Namun bergembiralah dengannya lantaran ia bisa
dilakukan karena karunia Allah kepadamu.”
Akan tetapi berbahagialah dengan ketaatan, sebab
adanya taat tersebut karena pertolongan yang
Allah berikan kepadamu.

Jangan merasa, ketaatan yang kau lakukan itu


karena kekuatan dirimu, namun merasalah bahwa
itu karena anugerah yang Allah berikan kepadamu.
Berbahagialah lantaran anugerah itu, maka
bahagia yang terpuji menurut syara‘. Hal ini
berdasarkan firman Allah:

.‫هللا َو ِب َرحْ َم ِت ِه َو ِبذل َِك َف ْل َي ْف َرح ُْوا ه َُو َخ ْي ٌر ِممَّا َيجْ َمع ُْو َن‬
ِ ‫قُ ْل ِب َفضْ ِل‬

“Katakanlah: Berkat karunia dan rahmat Allah


itulah hendaknya mereka bergembira. Ia lebih baik
daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Yūnus
[10]: 58).
Wahai Muḥammad, katakan kepada umatmu:
“dengan atau lantaran fadhal Allah dan lantaran
rahmat Allah, hendaklah berbahagia kalian semua
karena dua perkara tadi.

Berbahagia dengan anugerah dan rahmat Allah itu


lebih baik daripada berbahagia dengan harta
kekayaan dunia yang kalian kumpulkan.
SYARAH HIKMAH KE-49

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫س َق ْت َأ ْغ‬
.‫صانُ ُذل ٍّ ِإاَّل َع َلى ِب ْذ ِر َط َم ٍع‬ َ ‫َما َب‬
“Dahan-dahan kehinaan tidak akan berkembang
kecuali dari benih ketamakan.”

Tamak adalah perkara terburuk yang bisa merusak


‘ubūdiyyah. Tamak merupakan sumber dari
keberbagai macam cobaan hati. Karena orang yang
tamak itu hanya mau bersandar kepada makhlūq
saja. Sebab terjadinya tamak adalah ragu atau
menyangsikan taqdīr dan tidak diragukan lagi
bahwa orang yang tamak itu agamanya rusak.

Kebalikan dari tamak adalah wara‘, ya‘ni keyakinan


hati kepada taqdīr Allah dan berserah diri dan
menyandarkan hati kepada-Nya, hatinya tentram
bersama dengan-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-50

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ش ْي ٌء ِم ْثل ُ ا ْل َوهْ ِم‬


َ ‫َما َقادَ َك‬

“Tidak ada yang dapat menyeretmu (memperdaya)


seperti ilusi (angan-angan atau bayang-bayang
kosong).”

Tidak satupun bisa menyeretmu sebagaimana ilusi.

Sesungguhnya wahm atau ilusi itu yang


menjadikan tamak pada diri manusia, sebab jika
hatinya yakin pasti tidak akan tamak pada sesuatu
yang sudah ditentukan oleh Allah. Sesuatu yang
sudah ditentukan Allah jelas adanya dan sesuatu
yang tidak ditentukan oleh-Nya jelas tidak adanya.

SYARAH HIKMAH KE-51

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


.‫س‬ ِ ‫َأ ْن َت ُح ٌّر ِم َّما َأ ْن َت َع ْن ُه‬
ٌ ‫آي‬
“Engkau merdeka dari sesuatu yang tidak kau
inginkan.”

Engkau terbebaskan dari sesuatu, yang hatimu


tidak mengharapkannya (engkau tidak tamak
terhadap sesuatu tersebut).
.‫َو َع ْب ٌد لِ َما َأ ْن َت َل ُه َطا ِم ٌع‬
“Dan menjadi budak dari sesuatu yang kau
harapkan.”
Engkau adalah hamba sahaya dari sesuatu yang
kau idamkan.

SYARAH HIKMAH KE-52

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ان قُ ِّيدَ ِإ َل ْي ِه ِب‬


ِ ‫ساَل سِ ل َ ااْل ِ ْمت َِح‬
‫ان‬ ِ ‫س‬َ ‫ت اِإْل ْح‬ ِ ‫ َمنْ َل ْم ُي ْق ِبلْ َع َلى‬.
ِ ‫هللا ِب ُماَل َط َفا‬

“Siapa yang tidak menghampiri Allah dengan


pemberian-Nya yang halus akan diseret
kepada-Nya dengan rantai ujian.”

Barang siapa tidak menghadap Allah ketika diberi


keni‘matan, ia akan diseret atau ditarik dengan
rantai cobaan dan kefakiran.
Sesuatu yang menjadikan seorang hamba
menghampiri Tuhannya dengan ketaatan itu ada
dua; pertama, ketika diberi ni‘mat kesembuhan
atau dicukupkan rezekinya, ia bersyukur atas
ni‘mat yang dianugerahkan kepadanya dan
menjadikan ia menghadap kepada Tuhan dengan
ketaatan. Kedua, ketika dicoba dengan penyakit
pada tubuhnya atau diberi cobaan dengan
hartanya, menjadikan ia mengingat Allah dan
ber-tawādhu‘ kepada-Nya memohon akan
dihilangkannya cobaan tersebut. Mungkin hal
tersebut yang menjadikan ia tersibukkan dengan
dunia, lalu hanya bersandar kepada Allah.

Yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya adalah


kembalinya seorang hamba kepada Tuhannya,
walaupun dalam keadaan terpaksa.
SYARAH HIKMAH KE-53

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ش ُك ِر ال ِّن َع َم َف َقدْ َت َع َّر‬


‫ض ل َِز َوالِ َها‬ ْ ‫َمنْ َل ْم َي‬

“Siapa yang tidak mensyukuri ni‘mat, berarti


sengaja membiarkan hilangnya ni‘mat tersebut.”

Barang siapa yang tidak mau bersyukur atas


ni‘mat yang Allah berikan, sungguh hal itu akan
mengeluarkan ia dari keni‘matan tersebut.
‫ش َك َرهَا َف َقدْ َق َّيدَ هَا ِب ِع َقالِ َها‬
َ ْ‫ َو َمن‬.

“Sementara siapa yang mensyukurinya, berarti


mengikatnya dengan erat.”

Barang siapa mensyukuri ni‘mat-ni‘mat Allah


sungguh ia telah mengikat ni‘mat tersebut dengan
tali ni‘mat-Nya, ni‘mat tersebut akan menjadi
langgeng untuknya, tidak dapat segera pudar.

Mensyukuri ni‘mat itu menjadikan langgengnya


ni‘mat. Mengingkari ni‘mat itu menyebabkan lekas
hilangnya ni‘mat. Ni‘mat terbesar adalah ni‘mat
Islam dan iman. Mensyukuri ni‘mat adakalanya
dengan hati, dengan cara meyakini bahwa ni‘mat
itu dari Allah. Adakalanya dengan lisan, dengan
cara menampakkan ni‘mat tersebut. Adakalanya
dengan anggota tubuh dengan cara berbuat
ketaatan, menggerakkan lisannya membaca
al-Qur’ān, shalat, berdzikir, bertasbih,
menggunakan penglihatannya untuk melihat
keajaiban makhlūq ciptaan-Nya, agar menjadikan
ia ma‘rifat Allah dan untuk melihat kitab Allah atau
al-Qur’ān, tidak digunakan untuk melihat hal-hal
yang diharamkan, telinganya digunakan untuk
mendengarkan perintah dan larangan Allah, agar
bisa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, kakinya digunakan untuk berjalan
dalam perjalanan ‘ibādah seperti mencari ‘ilmu dan
shalat berjamā‘ah di masjid, tangan digunakan
untuk melakukan pekerjaan yang ḥalāl menurut
syara‘. Ketika seseorang menggunakan anggota
tubuh untuk melakukan perbuatan haram berarti ia
mengkufuri ni‘mat.
SYARAH HIKMAH KE-54

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اجا َل َك‬ ْ ‫اء ِت َك َم َع ُه َأنْ َي ُك ْونَ ذلِ َك‬


ً ‫استِدْ َر‬ َ ‫س‬َ ‫سا ِن ِه ِإ َل ْي َك َو دَ َو ِام ِإ‬ ْ ‫ َخ‬..
َ ‫ف مِنْ ُو ُج ْو ِد ِإ ْح‬

“Takutlah bila kebaikan Allah selalu kau raih


meskipun engkau terus berbuat maksiat
kepada-Nya, bisa jadi, lambat-laun akan
menghancurkanmu.”

Takut atau khawatirlah jika dianugerahkan ni‘mat


kepadamu, sementara engkau selalu melakukan
perbuatan maksiat, melanggar perintah-Nya.

Takutlah, jika ni‘mat itu adalah bentuk istidrāj-Nya


kepadamu, jika kau tidak menyadarinya. Sebagian
tanda istidrāj adalah ketika kau berbuat kejelekan,
ni‘mat untukmu malah bertambah, rezekimu
semakin bertambah banyak, sementara engkau
lupa bersyukur, lupa bertaubat kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-55

‫س َع َما‬ َ ‫ار اَل َت‬ ِ ‫ار اآْل خ َِر َة َم َحاًّل ل َِج َز‬
َ َّ‫اء عِ َبا ِد ِه ا ْل ُمْؤ ِم ِن ْينَ َأِلنَّ ه ِذ ِه الد‬ َ َّ‫ِإ َّن َما َج َعل َ الد‬
‫ ُي ِر ْي ُد َأنْ ُي ْعطِ َي ُه ْم‬.

“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat


memberi balasan kepada para hamba-Nya yang
beriman, karena negeri (dunia) ini tidak bisa
menampung apa yang hendak Dia berikan kepada
mereka.”

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ار اَل َت‬


‫س َع َما‬ ِ ‫ار اآْل خ َِر َة َم َحاًّل ل َِج َز‬
َ َّ‫اء عِ َبا ِد ِه ا ْل ُمْؤ ِم ِن ْينَ َأِلنَّ ه ِذ ِه الد‬ َ َّ‫ِإ َّن َما َج َعل َ الد‬
‫ ُي ِر ْي ُد َأنْ ُي ْعطِ َي ُه ْم‬.

“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat


memberi balasan kepada para hamba-Nya yang
beriman, karena negeri (dunia) ini tidak bisa
menampung apa yang hendak Dia berikan kepada
mereka.”

Allah tidak menciptakan akhirat kecuali untuk


memberi balasan hamba-Nya yang mu’min. Hal ini
karena hamparan dunia sudah tidak bisa
menampung apa yang hendak Dia berikan kepada
mereka. Sebab, hamparan dunia ini sangat sempit,
Allah memberikan hamparan surga bagi seorang
mu’min yang awam seluas perjalanan tujuh puluh
tahun, maka begitu pula bagi orang yang khawāsh.

Sesungguhnya tempat cambuknya ahli surga itu


lebih baik dari pada dunia seisinya. Cahaya para
bidadari lebih berkilau daripada cahaya matahari.
SYARAH HIKMAH KE-56

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫ َمنْ َو َجدَ َث َم َر َة َع َملِ ِه َعا ِجاًل َف ُه َو دَ لِ ْيل ٌ َع َلى ُو ُج ْو ِد ا ْل َق ُب ْو ِل آ ِجاًل‬.

“Siapa yang merasakan buah ‘amalnya di dunia


maka itulah bahwa di akhirat ‘amalnya diterima.”

Barang siapa merasakan buah ‘amalnya ketika


melaksanakan ‘amal, maka itu pertanda ‘amalnya
diterima.

Tanda Allah menerima ‘amal hamba-Nya adalah


dengan hamba tersebut merasakan manisnya buah
‘amal yang telah diperbuatnya. Manisnya hati atas
‘amal yang dilakukan adalah tanda akan diberi
pahala besok di akhirat. Dengan tidak adanya
tanda tersebut, menunjukkan tidak diterimanya
‘amal dan menunjukkan kemarahan Allah.
SYARAH HIKMAH KE-57

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ِإ َذا َأ َردْ َت َأنْ َت ْع ِر‬.


‫ف َقدْ َر َك عِ ْندَ هُ َفا ْن ُظ ْر ف ِْي َم َاذا ُيقِ ْي ُم َك‬

“Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di


sisi-Nya, maka perhatikanlah di mana Dia
menempatkanmu.”

Tatkala engkau ingin mengetahui kedudukanmu di


sisi Allah, maka perhatikanlah posisi dirimu.

Apakah dalam keadaan taat ataukah maksiat, jika


engkau ditempatkan dalam ketaatan, maka
engkau akan menjadi orang yang bahagia dan
akan diterima, bersyukurlah kepada-Nya dan
sadarilah bahwa engkau bukan orang yang ahli
berbuat ketaatan jika tidak ada pemberian dan
pertolongan dari-Nya. Jika engkau ditempatkan
dalam kemaksiatan, maka bergegaslah untuk
bertaubat dan keluarlah dari kemaksiatan itu, dan
bersyukurlah karena Allah tidak melanggengkanmu
dalam kemaksiatan itu.

Disebutkan dalam salah satu kitab suci Allah, Allah


berfirman: “Wahai anak Ādam, laksanakanlah apa
yang Aku perintahkan, jangan menasehati Aku
atas perkara yang lebih baik untukmu, karena Aku
sudah mengetahui apa-apa yang Aku ciptakan,
Aku memulyakan orang yang memulyakan Aku,
Aku menghina orang yang menghina-Ku.”
SYARAH HIKMAH KE-58

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اع َل ْم َأ َّن ُه َقدْ َأ ْس َب َغ َع َل ْي َك ن َِع َم ُه َظاه َِر ًة َو‬


ْ ‫اع َة َو ا ْل ِغ َنى ِب ِه َع ْن َها َف‬ َّ ‫َم َتى َر َز َق َك‬
َ ‫الط‬
‫ َباطِ َن ًة‬.

“Ketika Allah menganugerahimu ketaatan dan


engkau merasa cukup dengannya, berarti Dia telah
mencurahkan ni‘mat-Nya, lahir dan bāthin.”

Ketika Allah memberimu kemauan melaksanakan


perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berpegang
teguh mentaati-Nya, maka ketahuilah bahwa Allah
sudah menyempurnakan ni‘matmu, lahir dan
bāthin. Maka, hendaklah engkau mensyukuri dan
memohon kekalnya ni‘mat tersebut.

SYARAH HIKMAH KE-59

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫ َخ ْي ُر َما َت ْطلُ ُب ُه ِم ْن ُه َما ه َُو َطالِ ُب ُه ِم ْن َك‬.

“Sebaik-baik yang kau minta kepada-Nya adalah


apa yang Dia tuntut darimu.”

Sebaik-baiknya sesuatu yang kau mohon dari-Nya


adalah memohon dilanggengkan ‘ibādahmu, lahir
dan bāthin.

‘Ibādah lahir yang menggerakkan badan untuk


melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. ‘Ibādah bāthin yaitu tidak bersandar
pada ‘ibādah yang dilakukan, menerima apa yang
sudah ditaqdīrkan oleh Allah baik berupa cobaan
ataupun ni‘mat, dan bersandar kepada Allah dalam
setiap keadaan.
SYARAH HIKMAH KE-60

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫ت ااْل ِ ْغت َِر ِار‬


ِ ‫ض ِإ َل ْي َها مِنْ َعاَل َما‬
ِ ‫اع ِة َم َع َعدَ ِم ال ُّن ُه ْو‬
َ ‫الط‬ ِ َ‫ا ْل ُح ْزنُ َع َلى فُ ْقد‬.
َّ ‫ان‬

“Sedih lantaran kehilangan kesempatan berbuat


ketaatan tanpa disertai upaya untuk bangkit
mengerjakannya merupakan salah satu tanda
ketertipuan.”

Bersedih hati lantaran kehilangan kesempatan


berbuat ketaatan namun tidak bergegas
melakukan ketaatan adalah termasuk tanda orang
yang terkena tipu-daya nafsu dan syaithān.
Bersedih yang murni adalah segera bergegas
melakukan ketaatan dan menangisi kesempatan
berbuat taat yang telah terlewat.

SYARAH HIKMAH KE-61

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُّ ‫الصدْ ُق فِي ا ْل ُع ُب ْو ِد َّي ِة َو ا ْلقِ َيا ُم ِب ُحقُ ْو ِق‬


.ِ‫الر ُب ْو ِب َّية‬ ِّ ‫هللا َت َعا َلى‬ ُ ‫َم ْط َل‬
ِ ‫ب ا ْل َع‬
ِ َ‫ارفِ ْينَ مِن‬

“Yang diminta orang ‘ārif kepada Allah adalah


ketulusan dalam ber‘ibādah dan dapat memenuhi
hak-hak rubūbiyyah-Nya.”

Permohonan orang yang ‘ārif adalah memohon


(agar) benar dalam menyembah atau ber‘ibādah
dan memohon agar dapat memenuhi hak-hak
Allah.
Benar dalam ber‘ibādah adalah tetapnya adab
tatakrama ber‘ibādah dan memenuhi hak-hak
Allah. Seperti syukur ketika diberi keni‘matan,
bersabar ketika diberi cobaan, membenci
orang-orang yang membenci-Nya, mencintai
orang-orang yang dicintai-Nya, meninggalkan
ikhtiyār dan tadbīr (cemas yang berlebihan akan
masa depan), pasrah pada ketentuan yang
ditetapkan Allah, melanggengkan ḥādhir (dzikir
dan ‘ibādah) kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-62

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.ٌ‫اأْل ْك َوانُ َظا ِه ُرهَا غِ َّرةٌ َو َباطِ ُن َها عِ ْب َرة‬

“Alam ini lahiriahnya berupa tipuan sementara


bāthiniyyahnya berupa pelajaran (peringatan).”

Segala hal yang disukai nafsu berupa harta-benda


atau lainnya, itu secara lahiriah menggiurkan dan
melenakan sebab keindahannya.

Sementara sisi bāthiniyyah bisa dijadikan pelajaran


karena keburukannya dan akhirnya juga akan
rusak. Maka, lahiriah dunia itu indah dan
bāthiniyyahnya buruk. Barang siapa melihat
lahiriahnya ia akan tertipu dengan keindahannya
dan hatinya akan menyukai dunia. Sebaliknya,
barang siapa melihat bāthiniyyahnya maka dia
akan melihat akan kejelekannya dan kehinaannya,
karenanya dunia juga akan sirna dan menjadi tidak
berguna.

.‫س َت ْن ُظ ُر ِإ َلى َظاه ِِر غِ َّر ِت َها‬


ُ ‫َفال َّن ْف‬

“Nafsu melihat kepada lahiriah yang menipu.”

Nafsu ammārah itu suka melihat sisi lahiriah ya‘ni


perhiasan dunia, sehingga lupa akan
bāthiniyyahnya, ia tertipu oleh lahiriahnya, maka ia
menjadi orang yang rusak.

.‫ب َي ْن ُظ ُر ِإ َلى َباطِ ِن عِ ْب َر ِت َها‬


ُ ‫َو ا ْل َق ْل‬
“Sementara qalbu melihat kepada bāthinya yang
menjadi pelajaran.”

Adapun hati seorang mu’min itu melihat sisi


bāthiniyyah keburukan dunia, dunia tak akan
pernah mau menepati orang yang hendak mencari
tujuannya. Karena orang yang mencari dunia itu,
jika ia ingin berisitirahat, ia menjadi lelah; jika
hendak mencari kebahagiaan, ia menjadi gelisah
dan bersedih hati. Kesedihan itu hadir sebagai
taqdirnya karena telah mencintai dunia; dan jika ia
mencari kekayaan, yang didapatkan adalah
kefakiran. Karena semisal engkau mendapat uang
10 dirham, sejatinya engkau telah fakir atau
kehilangan 100 dirham, jika mendapat 1.000
dirham engkau kehilangan 10.000 dirham, padahal
sebelum kau mendapatkannya, engkau adalah
orang yang kaya.
SYARAH HIKMAH KE-63

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ِإنْ َأ َردْ َت َأنْ َي ُك ْونَ َل َك عِ ٌّز اَل َي ْف َنى َفاَل َت ْس َتع َِّزنَّ ِبع ٍِّز َي ْف َنى‬

“Jika engkau menginginkan kemuliaan abadi maka


jangan membanggakan kemuliaan yang fanā’.”

Jika engkau menginginkan kemuliaan yang tak


akan pudar dan abadi selamanya, maka jangan
mencintai dan bersandar kepada kemuliaan yang
fanā’ yaitu dunia.

Jika engkau membangga-banggakan dunia,


bersandar kepada selain-Nya atau mencintai
selain-Nya, maka kebahagiaanmu itu tidak kekal
abadi, hilanglah sandaranmu, hilanglah
kecintaanmu, dan engkau akan bersedih hati atas
apa yang sudah kau banggakan.
Barang siapa berbahagia karena mempunyai Tuhan
dan cinta kepada Allah, maka kebahagiaannya
tidak akan rusak, begitu pula kemuliaan yang ia
dapat. Yang dinamakan dunia adalah sesuatu yang
melebihi kadar kebutuhan menurut syara‘.
SYARAH HIKMAH KE-64

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫َجل َّ َر ُّب َنا َأنْ ُي َعا ِم َل ُه ا ْل َع ْب ُد َن ْقدًا َف ُي َج‬


.‫از َي ُه َنسِ ْيَئ ًة‬

“Maha Agung Tuhan untuk menangguhkan balasan


bagi hamba yang ber‘amal baik kepada-Nya secara
kontan.”

Maha Suci Allah yang menciptakan ‘amal


hamba-Nya sehingga menangguhkan pahalanya.

Pahala ‘amal itu tidak selamanya dibalas di akhirat


saja, kadang juga ditampakkan di dunia untuk
sebagian para waliyullāh.
SYARAH HIKMAH KE-65

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

. ‫اع ِة َأنْ َرضِ َي َك َل َها َأهْ اًل‬ َّ ‫َك َفى مِنْ َج َزاِئ ِه ِإ َّيا َك َع َلى‬
َ ‫الط‬

“Cukuplah sebagai balasan Allah atas ketaatanmu


ketika Dia meridhāimu sebagai pelaku ketaatan.”

Cukuplah balasan yang diberikan Allah kepadamu


atas diberikannya pertolongan kepadamu untuk
berbuat ketaatan, dan atas dikuasakannya
kepadamu menjadi pelaku ketaatan.

Kemampuan yang Allah berikan kepadamu untuk


mampu berbuat ketaatan itu sudah cukup menjadi
balasan yang Allah berikan kepadamu. Karena jika
tidak ada pertolongan dari-Nya, maka engkau tak
akan mampu melaksanakan ketaatan, karena sifat
dasarmu adalah berat dan malas dalam
melaksanakan ketaatan. Dengan demikian, ketika
Allah memberimu pertolongan melaksanakan
ketaatan, maka, pertolongan itulah yang menjadi
balasan ketaatanmu. Sesungguhnya engkau
adalah hamba yang hina tidak layak melayani
Maha Kuasa, maka kesempatan berdekatan
dengan-Nya, yang diberikan agar kau
melayaninya, itu adalah sebuah keni‘matan yang
sungguh amat mulia bagimu.
SYARAH HIKMAH KE-66

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫َك َفى ا ْل َعا ِملِ ْينَ َج َزا ًء َما ه َُو َفا ِت ُح ُه َع َلى قُلُ ْو ِب ِه ْم ف ِْي َط‬
.ِ‫اع ِته‬

“Cukuplah sebagai balasan bagi orang-orang yang


ber‘amal sesuatu yang Allah bukakan pada hati
mereka saat melaksanakan ketaatan.”

Cukuplah menjadi balasan yang Allah berikan


kepada hamba-Nya yang berbuat ‘amal, dengan
balasan berupa perasaan bahagia, senang, dan
manis. Allah membukakan perasaan bahagia itu
atas hamba-Nya yang berbuat ‘amal, ketika
mereka berbuat ketaatan.
Sebagian orang yang ‘ārif berkata: “tidak ada
masa di dunia ini yang menyerupai keni‘matan
penghuni surga, kecuali sesuatu yang telah
didapatkan oleh orang-orang yang mencintai Allah
di hati mereka saat malam tiba dan menemukan
manisnya ketaatan, kebahagiaan bermunajat
kepada-Nya. Inilah yang disebut Aḥwāl menurut
orang-orang yang ahli tharīqat.”

َ ‫َو َما ه َُو ُم ْو ِر ُدهُ َع َل ْي ِه ْم مِنْ ُو ُج ْو ِد ُمَؤ ا َن‬


.‫س ِت ِه‬

“Dan keni‘matan ‘ibādah yang Allah limpahkan


kepada mereka.”

Dan cukuplah balasan yang Allah berikan kepada


hamba-Nya yang ahli berbuat ‘amal, akan imbalan
kebahagiaan atau ketenangan hati mereka semua,
yang mana Allah sudah melimpahkan kebahagiaan
kepada mereka semua.
SYARAH HIKMAH KE-67

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ش ْي ٍء َي ْر ُج ْوهُ ِم ْن ُه َأ ْو لِ َيدْ َف َع ِب َط‬


‫اع ِت ِه ُو ُر ْودَ ا ْل ُعقُ ْو َب ِة َع ْن ُه َف َما َقا َم ِب َح ِّق‬ َ ِ‫َمنْ َع َبدَ هُ ل‬
.‫صافِ ِه‬ َ ‫َأ ْو‬

“Siapa yang ber‘ibādah lantaran mengharap


sesuatu dari-Nya atau untuk menangkal hukuman
dari dirinya berarti belum menunaikan hak-hak
sifat Allah.”

Barang siapa menyembah Allah lantaran


mengharapkan sesuatu dari-Nya, seperti surga,
atau ber‘ibādah kepada Allah, sebab ketaatannya,
menolak siksaan neraka pada dirinya, maka ia
belum menunaikan hak sifat-sifat Allah.

‘Ibādah karena mengharap surga dan menghindari


siksaan neraka itu bukan hak seorang hamba,
akan tetapi hanya menuruti keinginan
hawa-nafsunya saja. Karena hak seorang hamba
adalah menyembah Tuhannya karena kemuliaan
Tuhannya dan lantaran sifat kemuliaan dan
keluhuran Tuhannya. Sesungguhnya Dzāt Yang
Maha Mulia itu berhak untuk disembah.

Nabi s.a.w. bersabda: “Jangan engkau menjadi


budak yang buruk perangainya, ketika
ditakut-takuti Tuhannya baru mau ber‘amal, dan
jangan engkau menjadi bujangan yang bekerja
(menjadi buruh) ketika diberi upah baru mau
bekerja.”

Syaikh Wahab bin Munabbah menukilkan dari kitab


Zābūr: “Allah berfirman dalam kitab Zābūr: “Tidak
ada orang yang paling zhālim di dalam
menyembah-Ku lantaran mengharap surga atau
karena takut akan neraka, jika Aku tidak
menciptakan surga dan neraka, tidakkah Aku juga
masih berhak disembah?” Syaikh Abū Ḥazam
al-Madaniy berkata: “Sesungguhnya aku malu jika
menyembah Tuhanku hanya karena takut siksa
neraka, jika begitu aku bagaikan menjadi seorang
hamba yang buruk perangainya, jika tidak takut
tidak mau ber‘amal, dan aku malu jika
menyembah Tuhanku hanya lantaran
mengharapkan surga, jika begitu, aku bagaikan
bujangan yang buruk perangainya, jika tidak diberi
upah tidak mau bekerja. Akan tetapi aku
menyembah-Nya lantaran aku mencintai-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-68

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫اع ِة َو َما َف َت َح َل َك َب‬


.‫اب ا ْل َق ُب ْو ِل‬ َّ ‫اب‬
َ ‫الط‬ َ ‫ُر َّب َما َف َت َح َل َك َب‬

“Adakalanya Dia membukakan pintu ketaatan


untukmu namun tidak membukakan pintu
penerimaan.”
Mungkin saja Allah memberi pertolongan
kepadamu untuk mau menjalankan ketaatan,
sementara Allah tidak membukakanmu pintu
pengabulan.

Tidak layak bagi seorang hamba melihat atau


mengukur ketaatan dan kemaksiatanya, namun
hendaklah ia melihat bathin atau intisari dan
hakikat dari semuanya itu. Maka adanya ketaatan
itu tidak mesti bisa diterima, karena terkadang
terdapat cobaan di dalamnya, seperti riyā’ dan
‘ujub. Adanya maksiat dan dosa itu tidak barang
mesti menjauhkan dari Allah dan tidak mesti
menjadi tertolak, namun, mungkin saja maksiat
tersebut menjadi lantaran atau sebab dekatnya
engkau kepada Allah. Karena ada beberapa dosa
yang bisa memasukkan ke dalam sorga. Oleh
karenanya Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ َ‫ب َف َكان‬
ُ ‫س َب ًبا فِي ا ْل ُو‬
.‫ص ْو ِل‬ َّ ‫ضى َع َل ْي َك ِب‬
ِ ‫الذ ْن‬ َ ‫َو ُر َّب َما َق‬

“Adakalanya Dia menetapkanmu berbuat dosa


namun ternyata ia menjadi sebab engkau sampai
kepada-Nya.”

Adakalanya Allah menetapkanmu berbuat dosa,


namun ternyata ia menjadi sebab engkau wushūl
kepada-Nya, dan dekat dengan-Nya. Karena,
terkadang orang taat itu disertai cobaannya seperti
‘ujub dengan ‘amal serta bersandar dengannya,
dan menghina-hina orang yang tidak taat, di mana
kesemuanya menjadi sebab terhalangnya
pengabulan ‘amalnya, atau tidak diterimanya
‘amal. Orang yang terjatuh dalam lubang dosa,
terkadang ber-tawādhu‘ kepada-Nya, mendekatkan
diri dalam munajatnya, menghina dirinya sendiri,
memuliakan orang yang tidak melakukan dosa,
maka hal yang demikian ini menjadikan sebab
turunnya pengampunan Allah kepadanya dan
menjadikan ia semakin dekat kepada-Nya.

Syaikh Abū Ḥazm r.a. berkata: “Ketika seorang


hamba melakukan kebajikan dan menjadikan ia
bangga saat melakukannya, maka ini menjadi awal
yang lebih madharat (berbahaya) baginya, ketika
ia mendapatkan keburukan pada dirinya saat
melakukan ‘amalnya, maka itulah kebaikan yang
lebih bermanfaat untuknya.”

SYARAH HIKMAH KE-69

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ارا‬ ْ ‫اع ٍة َأ ْو َر َث ْث عِ ًّزا َو‬


ً ‫است ِْك َب‬ ً ‫َم ْعصِ َي ٌة َأ ْو َر َث ْث ُذاًّل َو ا ْف ِت َق‬
َ ‫ارا َخ ْي ٌر مِنْ َط‬

“Maksiat yang melahirkan rasa hina dan papa lebih


baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa
bangga dan kesombongan.”

Maksiat yang melahirkan rasa hina pada dirimu


hingga engkau menjadi butuh kepada Allah, itu
lebih baik daripada taat yang menimbulkan
perasaan mulia dan sombong atau membanggakan
dirimu.

Hina dan butuh kepada Allah, keduanya adalah


sifat orang yang menghamba. Adapun mulia dan
agung adalah sifat Tuhan, sehingga tidak ada
kebaikan di dalam taat yang menimbulkan perasan
mulia dan agung, sebab keduanya adalah sifat
Tuhan. Dan tawādhu‘-nya orang yang berbuat
maksiat dan perasaan hina dan takut kepada Allah,
itu lebih utama daripada takabbur-nya orang ‘ālim
atau orang yang ‘ābid.

Alkisah, terdapatlah seorang lelaki kaum Bani


Isrā’īl yang dijuluki Khali‘, ya‘ni orang yang gemar
berbuat maksiat yang besar. Suatu ketika ia
bertemu dengan ‘ābid dari kaum Bani Isrā’īl, ya‘ni
orang yang ahli berbuat ketaatan dan di atas
kepalanya selalu terdapat payung mika, kemudian
Khali‘ bergumam: “aku adalah pendosa yang
gemar berbuat maksiat dan ini adalah ‘ābid-nya
kaum Bani Isrā’īl, lebih baik aku bersanding duduk
dengannya, semoga Allah memberi rahmat
kepadaku.” Lalu si Khali‘ tadi duduk di dekat si
‘ābid. Lantas si ‘ābid pun bergumam: “aku adalah
seorang ‘ābid yang ‘ālim dan ini adalah khali‘ yang
gemar bermaksiat, layakkah aku duduk
berdampingan dengannya?” Lalu si ‘ābid dengan
serta-merta menendang si khali‘. Lalu Allah
memberikan wahyu kepada Nabinya Bani Isrā’īl
dengan firman-Nya: “Perintahkan dua orang ini
ya‘ni ‘ābid dan khali‘ untuk sama-sama
memperbanyak ‘amal, Aku benar-benar telah
mengampuni dosa-dosa khali‘ dan merusak ‘amal
‘ābid.” Maka, berpindahlah payung tersebut kepada
khali‘. Wallāhu a‘lam.
SYARAH HIKMAH KE-70

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ان َما َخ َر َج َم ْو ُج ْو ٌد َع ْن ُه َما َو اَل ُبدَّ لِ ُكل ِّ ُم َك َّو ٍن ِم ْن ُه َما‬


ِ ‫ن ِْع َم َت‬

“Ada dua ni‘mat yang pasti dialami dan dirasakan


oleh semua makhlūq.”

Ada dua keni‘matan yang tak pernah terlewatkan


oleh segala yang maujūd atau makhlūq.

.‫ن ِْع َم ُة اِإْل ْي َجا ِد َو ن ِْع َم ُة اِإْل ْمدَ ا ِد‬

“Yaitu, ni‘mat penciptaan dan ni‘mat pemenuhan


kebutuhan.”
(Ni‘mat yang tak pernah terlewatkan oleh
makhlūq). Yaitu ni‘mat al-ījād dan ni‘mat al-imdād.

Ni‘mat al-ījād adalah menciptakan dari tiada


menjadi ada, ketika Ia berkehendak melanjutkan
keberadaanmu, maka Ia memberi ni‘mat al-imdād
yaitu menghilangkan ketiadaan dan menggantinya
dengan keberlangsungan wujūd. Ketika ni‘mat
al-ījād tiada, maka tidak satupun yang dikeluarkan
dari ketiadaan menuju ada. Jika ni‘mat al-imdād
tiada, maka wujūd atau keberadaan sesuatu
menjadi tidak sempurna dan keberadaannya tidak
bisa langgeng.
SYARAH HIKMAH KE-71

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.ِ‫َأ ْن َع َم َع َل ْي َك َأ َّواًل ِباِإْل ْي َجا ِد َو َثا ِن ًيا ِب َت َوالِي اِإْل ْمدَ اد‬

“Mula-mula Dia memberimu ni‘mat penciptaan,


baru kemudian terus-menerus memenuhi semua
kebutuhan.”

Allah sudah memberimu dua macam keni‘matan:


Pertama, diberi keni‘matan keberadaanmu dari
ketiadaanmu. Kedua, keni‘matan berupa
pertolongan yang terus-menerus Allah berikan
dengan dilanggengkannya keberadaanmu. Jika
kalian semua sudah mengetahui permulaan
wujūdmu dari (ni‘mat pertolongan) Allah, begitu
pula kelanggengan keberadaanmu, maka engkau
akan mengetahui bahwa kelemahan dan tak
berdayanya dirimu itu sudah menjadi sifat
dasarmu, ya‘ni keberadaanmu itu fanā’, tidak bisa
kekal abadi selamanya. Engkau akan selalu
membutuhkan pertolongan-Nya dan inilah yang
dinamakan imdād.

Sesungguhnya pertolongan Allah kepada


hamba-Nya itu ada dua macam:

Pertama, pertolongan yang menjadi sebab kuatnya


jasmani seorang hamba, seperti makan, minum
dan berpakaian.

Kedua, pertolongan yang menjadi kekuatan dan


makanan ruhaninya, seperti īmān, ‘ilmu yang
bermanfaat, dan ma‘rifat Allah, sebab manusia itu
mempunyai rūḥ dan jasad.
Pertolongan yang pertama itu berlaku umum bagi
sekalian orang mu’min dan kafir sebagaimana
ni‘mat al-ījād. Sedangkan pertolongan yang kedua
itu hanya berlaku bagi orang mu’min saja. Oleh
sebab itu, wahai mu’minīn sekalian, hendaknya
kalian semua tidak melupakan pemberian Allah
yang berupa ni‘mat īmān, senang berbuat taat di
dalam hatimu, tetapnya ni‘mat īmān dan taat,
ni‘mat membenci kekufuran dan maksiat di dalam
hatimu, karena sesungguhnya kesemuanya itu
paling agungnya pemberian ni‘mat dari Allah.
Seorang hamba tak akan bisa mendapatkan ni‘mat
tersebut, begitu pula tidak ada perantara sama
sekali yang bisa mencapai keni‘matan-keni‘matan
tadi jika tidak ada pemberian dan fadhal dari Allah.
Sehingga engkau harus mensyukuri ni‘mat-ni‘mat
tadi (ni‘mat īmān, taat, membenci kekufuran dan
maksiat). Allah sungguh telah mengabadikannya
dalam firman-Nya:
‫ان َو َز َّي َن ُه ِفيْ قُلُ ْو ِب ُك ْم َو َكرَّ َه ِإ َل ْي ُك ُم ْال ُك ْف َر َو ْالفُس ُْو َق َو‬
َ ‫َّب ِإ َل ْي ُك ُم اِإْل ْي َم‬
َ ‫هللا َحب‬
َ َّ‫َو لكِن‬
‫هللا َو ِنعْ َم ًة َو هللاُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫ َفضْ اًل م َِّن‬.‫ولِئك ُه ُم الرَّ اشِ ُد ْو َن‬ َ ‫ان ُأ‬ َ ‫ْال ِعصْ َي‬

“Allah sudah membuatmu mencintai keimanan,


menghiasinya di dalam sanubarimu, dan Ia
menyembunyikan kekufuran, kefasikan, dan
kemaksiatan dari dalamnya. Mereka adalah orang
yang mendapatkan petunjuk dari Allah karena
fadhal dan keni‘matan dari-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Ḥujurāat
[49]: 7-8).

Maka, wajib bagi seorang hamba untuk


mengetahui taqdīr ini, ni‘mat īmān dan taat,
membenci kekufuran dan kemaksiatan. Mohonlah
kepada Tuhanmu agar melanggengkan keni‘matan
ini serta memohonlah kepada-Nya agar mampu
menjalankannya. Jangan sekali-kali bersandar dan
menyangka keni‘matan ini bisa langgeng lantaran
kekuatan akal dan pikiranmu saja. Sebagian orang
‘ārif berkata: “Barang siapa meyakini kemampuan
menauḥīdkan Allah pada akal pikirannya, maka hal
itu tidak bisa menyelamatkannya dari siksa neraka.
Mengetahui bahwa īmān yang kita miliki adalah
ni‘mat dari Allah merupakan bentuk syukur ni‘mat,
dan tidak mengetahuinya merupakan kufur ni‘mat,
inilah yang menyebabkan siksa.” Allah berfirman di
dalam al-Qur’ān:

.‫َو َلِئنْ َش َكرْ ُت ْم َأَل ِزيْدَ َّن ُك ْم‬

“Jika kalian mau mensyukuri ni‘mat-Ku, maka akan


Aku tambahkan.” (Q.S. Ibrāhīm [14]: 7).

Syaikh Abū Thālib r.a. berkata: “Barang siapa


menyatakan bahwa īmān adalah hasil dari usaha
akal pikiran atau karena kemampuan dirinya
sendiri, maka dialah yang disebut orang yang
mengkufuri ni‘mat īmān. Dan aku khawatir Allah
akan menghilangkan īmān orang-orang yang
menyatakan hal tersebut, karena ia menggantikan
syukurnya dengan mengkufurinya, sebab Allah
mampu membolak-balikkan hati hamba-Nya,
tauḥīd menjadi musyrik, taat menjadi maksiat.
Maka ingatlah ni‘mat dan syukurilah semua
ni‘mat-ni‘matNya, dengan cara berīmān dan
bertaat kepada Allah. Wallāhu a‘lam.
SYARAH HIKMAH KE-72

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َفا َق ُت َك َل َك َذا ِت َّي ٌة‬

“Merasa butuh adalah watak aslimu.”

Merasa butuh itu adalah sifat aslimu, tidak bisa


terlepas darimu. Karena engkau pasti
menginginkan ni‘mat al-ījād dan ni‘mat al-imdād.
Jika keduanya (ni‘mat al-ījād dan ni‘mat al-imdād)
tidak ada, tidak akan ada keberadaanmu, karena
asal kejadianmu adalah dari kehendak Allah, dan
engkau menerima kehendak Allah. Sifat “merasa
butuh” ini tidak diketahui oleh manusia pada
umumnya, selama mereka sehat dan memiliki
uang, mereka lupa akan sifat dasarnya dan lupa
pada Tuhannya, kemudian Allah memberi ni‘mat
berupa sakit dan fakir kepada hamba yang
dikasihi-Nya, agar mereka kembali ingat kepada
Allah s.w.t. Sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu
‘Athā’illāh:

ِ ‫َو ُو ُر ْو ُد اَأْل ْس َبا‬


ٌ ‫ب ُم َذ ِّك َر‬
.‫ات َل َك ِب َما َخف َِي َع َل ْي َك ِم ْن َها‬

“Sedangkan sebab-sebab adalah menjadi


pengingatmu terhadap apa yang tersembunyi
darinya bagimu.”

Datangnya sebab kebutuhanmu seperti sakit dan


fakir itu menjadikan engkau mengingat sesuatu
yang samar dari kebutuhanmu, sebab selama
engkau sehat dan kecukupan harta engkau
melupakan Tuhanmu.

Jika sakit dan fakir menghampiri dan engkau


sangat membutuhkan Allah, maka engkau
menunjukkan sifat dasarmu. Sehingga engkau
menempati sifat ‘ubūdiyyah dan menetapkan sifat
rubūbiyyah-Nya. Karena di saat sakit dan fakir,
engkau merasa dirimu lemah lalu berdoa
kepada-Nya untuk menghilangkannya, berarti
engkau mengaku menjadi hamba-Nya dan
mengakui-Nya sebagai Tuhanmu. Oleh sebab itu,
bersyukur dan relalah ketika engkau sakit dan
fakir. Jangan pernah menyangka Allah memberimu
sakit dan fakir karena Allah tidak menyayangi dan
mengasihimu, jangan pernah! Penyebab Fir‘aun
mengaku sebagai tuhan, adalah karena selama
400 tahun ia tidak pernah sakit, tidak pernah fakir,
sehingga tidak pernah berkeringat dan tidak
pernah merasa kesusahan. Andaikan ia pernah
merasakan sakit kepala satu jam saja, maka ia tak
akan pernah mengaku sebagai tuhan, ini menurut
pemikiran awamnya manusia. Orang ‘ārif itu tidak
pernah berhenti mengingat Allah dan butuh
kepada-Nya walaupun sedetik, baik dalam keadaan
sehat atau sakit, dalam keadaan kaya atau miskin.
Sehingga orang ‘ārif tidak perlu menunggu
peringatan dari Allah dengan sakit atau miskin,
jikalau diberi sakit atau miskin maka menambah
pahala dan mengangkat derajatnya di sisi Allah.
Wallāhu a‘lam.

ُ ‫الذا ِت َّي ُة اَل َت ْر َف ُع َها ا ْل َع َو ِار‬


.‫ض‬ َّ ‫َو ا ْل َفا َق ُة‬

“Sedang kebutuhan yang asli itu tidak dapat


dihindarkan oleh sesuatu yang sementara
(fantasi).”

Kebutuhan dzātiyyah-mu tidak dapat dihilangkan


oleh sesuatu yang baru datang.

Kesehatanmu, kekayaanmu, kekuasaanmu,


pangkatmu, dan kedudukanmu itu tidak ada yang
bisa menghilangkan kebutuhan dzātiyyah-mu.
Sesungguhnya Allah berkuasa menjadikan engkau
sakit, menjadikanmu miskin, lemah, dan
menjadikanmu hina dalam setiap keadaan.
Maka, selalu ingatlah kepada Allah dalam segala
keadaan, mendekatlah kepada-Nya pada tiap
waktu!
SYARAH HIKMAH KE-73

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ش َه ُد فِ ْي ِه ُو ُج ْو ُد َفا َق ِت َك َو ُت َر ُّد فِ ْي ِه ِإ َلى ُو ُج ْو ِد ِذ َّل ِت َك‬ ٌ ‫َخ ْي ُر َأ ْو َقا ِت َك َو ْق‬


ْ ‫ت َت‬

“Sebaik-baik masa dalam masa hidupmu, ialah


saat-saat di mana engkau merasa dan mengakui
kebutuhanmu dan kembali kepada adanya
kerendahan dirimu.”

Sebaik-baik waktumu adalah waktu di mana di


dalam hatimu engkau merasa adanya
kebutuhanmu dan engkaupun kembali mengakui
kerendahanmu.

Wujudnya kebutuhanmu seperti sakit dan


wujudnya kemiskinanmu seperti saat engkau tidak
memiliki harta dunia itu lebih baik bagimu.
Karenanya engkau mengingat Tuhanmu serta
mengabaikan perantaranya dan menjadi sebab
engkau hanya melihat atau mengingat Allah.
Diceritakan, sesungguhnya Syaikh ‘Athā’ Salāmī
selama 70 tahun tidak pernah makan apapun dan
tidak mampu melakukan apapun, maka muncullah
kebahagiaan di dalam hatinya sebab kemiskinan
tadi, lalu ia bermunajat kepada Allah: “Jika Engkau
tidak memberi makan hamba-Mu ini selama tiga
hari lagi, maka hamba akan shalat 1.000 rakaat
karena engkau, sebab apa yang engkau berikan.”
Kebanyakan waliyyullāh selalu merasakan
kemiskinan dan sering sakit-sakitan.
SYARAH HIKMAH KE-74

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫ف َأ َل َم ا ْل َباَل ِء َع َل ْي َك عِ ْل ُم َك ِبَأ َّن ُه‬


.‫س ْب َحا َن ُه ه َُو ا ْل ُم ْبل ِْي َل َك‬ ْ ‫لِ ُي َخ ِّف‬

“Agar ujian terasa ringan, harusnya engkau


mengetahui bahwa Allahlah yang memberimu
ujian.”

Agar kepedihan cobaan terasa ringan engkau


seharusnya mengetahui bahwa Allah s.w.t. yang
menurunkan cobaan tersebut.

Pengetahuanmu bahwa Allah yang memberimu


cobaan seperti sakit, kehilangan harta-benda dan
kehilangan anak itu bisa meringankan kepedihan
hatimu.
ْ ‫اج َه ْت َك ِم ْن ُه اَأْل ْقدَ ا ُر ه َُو ا َّلذ‬
ِ ‫ِي َع َّودَ َك ُح ْسنَ ااْل ِ ْخ ِت َي‬
.‫ار‬ ْ ‫َفا َّلذ‬
َ ‫ِي َو‬

“Dzāt yang menetapkan beragam taqdīr atasmu


adalah Dzāt yang selalu membiasakanmu
merasakan sebaik-baik pilihan-Nya.”

Karena sesungguhnya Dzat yang memberimu


berbagai macam cobaan, sakit dan fakir adalah
Dzat yang membiasakanmu untuk merasakan hal
yang terbaik bagimu.

Sesungguhnya Allah selalu berbuat baik


kepadamu, ketika Ia memberimu cobaan berupa
sakit, miskin, atau mencabut nyawa orang yang
kau cintai, maka yang benar dan lebih baik kau
lakukan adalah sabar dan menyikapi dengan baik
pemberian cobaan yang Ia berikan. Semisal, ketika
engkau berada di sebuah rumah yang gelap, lalu
engkau dipukul dengan sangat keras, engkau tidak
tahu siapa gerangan yang memukulmu, tiba-tiba
ada penerangan yang datang kepadamu, sehingga
engkau bisa mengetahui bahwa yang tadi
memukulmu adalah gurumu atau ayahmu, maka
dengan engkau mengetahuinya menjadi sebab
engkau bersabar dan menerima pukulan itu.
Karena sesungguhnya guru atau ayahmu tidak
pernah berbuat jahat kepadamu, tatkala beliau
memukulmu itu karena saking sayang dan cintanya
beliau kepadamu, begitu pula Allah s.w.t., ketika
memberi cobaan kepada hamba-Nya itu karena
belas kasihnya terhadap hamba-hambaNya, dan
belas kasih Allah kepada hamba-Nya itu melebihi
kasih-sayang seorang ayah kepada putranya. Allah
berfirman:

‫ان ِب ْالمُْؤ ِم ِني َْن َر ِح ْيمًا‬


َ ‫َو َك‬

“Allah sangat mengasihi hamba-hambaNya yang


mu’min.” (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 43).

Tetapi kasih-sayang Allah itu berbeda dengan


kasih-sayang makhlūq-Nya, oleh karena itu, ketika
Allah mengasihi hamba-Nya, maka Allah
memberinya banyak cobaan, kemiskinan, sakit,
dan banyak kesusahan.

Syaikh Junaid r.a. berkata: “Pada suatu ketika aku


menginap di ruma Syaikh Sirrī Saqthī, ketika
malam sudah beranjak, Syaikh Sirrī
membangunkanku, dan beliau berkata kepadaku:
“Wahai Junaid, sesungguhnya aku bermimpi
(seakan-akan) bertemu Allah dan Allah berfirman
kepadaku: “Wahai Sirrī, sesungguhnya Aku
menciptakan makhlūq, maka mereka semua
mengaku mencintai-Ku. Kemudian Aku
menciptakan dunia, lalu sebanyak 90% dari
mereka semua berlari dari-Ku, dan hanya tinggal
10% yang masih mencintai-Ku. Kemudian Aku
menciptakan surga, kemudian 90% dari sisanya
berlari dari-Ku karena mereka menyenangi surga,
sehingga tinggal 10% dari sisanya tadi yang masih
mengaku mencintai-Ku. Lalu aku menciptakan
neraka, maka 90% dari sisanya (kedua) berlari
dari-Ku karena takut pada siksa neraka. Lalu Aku
mencambuk sisanya dengan satu dzarrah
cambukan berupa cobaan, sehingga 90% dari
sisanya berlari dari-Ku. Lalu Aku berkata pada sisa
hamba-Ku tadi: “Jika kalian tidak hendak
mengambil atau menginginkan dunia, berlari dari
siksa neraka, berlari dari cobaan lantas apa yang
kalian inginkan?” Mereka menjawab: “Engkau telah
mengetahui keinginan kami wahai Tuhan.” Aku
berkata lagi kepada mereka: “Aku akan
menuangkan kepadamu balā’ yang tidak akan
sanggup menanggungnya walau bukit yang besar.
Sabarkah kamu?” Jawab mereka: “Apabila Engkau
yang menguji, maka terserahlah kepada-Mu”
(berbuatlah sesuai yang Engkau kehendaki wahai
Tuhan). Maka mereka itulah hamba-Ku yang
sebenarnya.” Wallāhu a‘lam.
Misal, jika jumlah hamba 10.000 dan kesemuanya
mengaku cinta kepada Allah, ketika Allah
menciptakan dunia, maka yang berjumlah 9.000
berlari menghampiri dunia, dan tersisa 1.000
Kemudian Allah menciptakan surga, yang
berjumlah 900 berlari menuju surga, karena
berpaling menjadi cinta surga dan menyembah
(kepada Allah) lantaran menyukai surga, dan
tersisa 100. Kemudian Allah menciptakan neraka,
maka yang berjumlah 90 berlari karena takut siksa
neraka dan menyembah (Allah) lantaran takut
siksa neraka, dan tersisa 10 yang masih mengaku
mencintai Allah. Kemudian Allah menurunkan satu
dzarrah cobaan kepada mereka yang berjumlah 9
lari dari-Nya dan mereka menyembah karena takut
akan tertimpa cobaan, dan akhirnya tinggal satu
orang saja yang masih mengaku cinta kepada-Nya.
Lalu Allah bertanya kepada satu orang ini: “Apa
yang engkau inginkan? Dunia tak mau, surga juga
tak mau, neraka tak takut, dan kau juga tidak
berlari agar terhindar dari cobaan.” Lalu hamba-Ku
menjawab: “Engkau lebih mengetahuinya wahai
Tuhan-ku.” Kemudian Allah menurunkan berbagai
macam cobaan kepadanya di setiap hembusan
nafasnya, ia bersabar, Allah berfirman kepada si
hamba tadi: “Engkau adalah benar-benar
hamba-Ku”.
Wallāhu a‘lam.
SYARAH HIKMAH KE-75

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ُ‫َمنْ َظنَّ ا ْنفِ َكا َك لُ ْطفِ ِه َعنْ َقدَ ِر ِه َفذلِ َك لِق‬


.‫ص ْو ِر َن َظ ِر ِه‬

“Barang siapa mengira kelembutan-Nya terlepas


dari taqdīr-Nya hal itu lantaran piciknya
(dangkalnya) pandangan īmān.”

Barang siapa mengira terlepasnya atau hilangnya


sifat belas-kasih Allah kepada hamba-Nya ketika
menurunkan cobaan dan ujian, hal itu disebabkan
kedangkalan pandangan imannya.

Wahai murid, jangan sekali-kali menyangka bahwa


Allah sudah tidak lagi mengasihi hamba-Nya ketika
Dia menurunkan cobaan kepada hamba-hambaNya
berupa sakit atau miskin. Sebaliknya, hal tersebut
dikarenakan Ia mengasihi mereka, karena di setiap
cobaan itu terdapat faedah yang sangat besar. Di
antara faedahnya adalah menjadikanmu bersandar
kepada-Nya tatkala ditimpa cobaan, melemahkan
nafsu, melenyapkan kekuatan nafsu, merusak
sifat-sifat nafsu yang berupa suka kemaksiatan
dan sangat cinta dunia, mendapatkan ketaatan
hati seperti sabar, ridha atau rela akan
hukum-hukumnya Allah, ber-tawakkal kepada-Nya,
membenci dunia, sangat menginginkan bertemu
dengan-Nya. Amalan hati seberat satu biji dzarrah
itu lebih utama daripada amalan anggota lahiriah
seberat gunung. Di antara faidah dari cobaan
adalah diampuni atau diringankan dosa-dosa dan
kesalahannya.

Nabi s.a.w. bersabda, “Ketika Allah mengasihi


hamba-Nya, maka Ia menurunkan cobaan
kepadanya, jika hamba mau bersabar, maka Allah
mencintai si hamba tadi, jika hamba mau ridha
maka Allah akan menjadikannya kekasih.”
Nabi s.a.w. bersabda, “Seorang mukmin tidak akan
ditimpa penyakit dan kepayahan, kesusahan dan
keprihatinan, kecuali Allah akan melebur segala
keburukan mukmin tadi.”

Nabi s.a.w. bersabda, “Seorang muslim tidak akan


diberi musibah, kecuali Allah akan mengangkatnya
satu derajat dan mengampuni atau melebur
dosa-dosanya.”

Nabi s.a.w. bersabda, “Barang siapa yang


dikehendaki baik oleh Allah, maka akan diturunkan
cobaan untuknya.”

Nabi s.a.w. bersabda, “Barang siapa sembuh dari


penyakitnya, maka kebersihan dan
kebahagiaannya diumpamakan hujan yang turun
dari langit.”
Nabi ‘Īsā a.s. bersabda, “Seseorang tidak disebut
‘ālim jika ia tidak mau bergembira saat ditimpa
musibah dan penyakit, pada badan maupun
hartanya.”

Hadits-hadits lain yang menerangkan tentang


terpilihnya orang yang terkena balā’, seperti
penyakit panas atau demam tinggi dan buta,
sebagaimana hadits Nabi berikut:

Nabi pernah berkata kepada sahabat Anshār yang


kesemuanya terserang demam tinggi: “Sakit
demam tinggi itu bisa membersihkan dan melebur
dosa.” Sahabat berkata, “Wahai Rasul, kami mohon
engkau berkenan mendoakan kami agar penyakit
demam ini bertambah parah.” Lalu nabi menjawab,
“Penyakit demam ini bisa menghilangkan
kesalahan-kesalahan bani adam (manusia)
sebagaimana pembakaran api bisa menghilangkan
karat besi.”
Rasul berkata, “Allah pernah berfirman: “ketika
Aku memberi cobaan hamba-Ku yang mukmin
berupa sakit mata, lalu ia mau bersabar, maka aku
akan memberikannya surga sebagai ganti sakit
mata yang dialaminya.””

Nabi s.a.w. bersabda, “Tidak ada cobaan yang


lebih berat bagi seorang hamba setelah hilangnya
agama kecuali hilangnya pandangan (tidak bisa
melihat), Allah tidak akan menghilangkan
penglihatan hambanya, kemudian dia mau
bersabar, kecuali dia akan bertemu dengan Allah
dan tidak ada hisab baginya.”

Faedah terbesar dengan adanya penyakit yaitu


kemauan untuk bertaubat, memperbanyak
istighfar, dzikirnya menjadi lebih baik, lebih banyak
mengingat kematian, dan di dalam mengingat
kematian ini terdapat banyak fadhīlah
(keutamaan).
Sayyidah ‘Ā’isyah r.a. pernah bertanya kepada
Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, adakah selain
syuhadā’ yang bisa berkumpul dengan syuhadā’?”
Rasul menjawab: “Orang yang bisa berkumpul
dengan para syuhadā’ yaitu orang yang bisa
mengingat kematian sebanyak dua puluh kali
dalam sehari-semalam.” Lalu Rasul melanjutkan
sabda beliau: “Wahai ‘Alī, barang siapa setiap
harinya membaca doa
ِ ‫ت َو ِف ْي َما َبعْ دَ ْال َم ْو‬
(‫ت‬ ِ ‫ )اللَّ ُه َّم با َ ِركْ لِي فِي ْال َم ْو‬sebanyak 21 kali,
maka aku tidak akan menghisab kenikmatan dunia
yang aku berikan kepadanya.”

Di dalam kitab Tadzkirah, Imām Qurthūbī


menuturkan, “Barang siapa memperbanyak
mengingat kematian, maka Allah akan
memberikan tiga kemuliaan kepadanya:
Pertama, segera bertaubat.
Kedua, nafsunya rela menerima dengan apa
yang sudah ditentukan oleh Allah.
Ketiga, bersemangat dalam melaksanakan
ibadah.

Barang siapa lupa mengingat kematian, maka


akan disiksa dengan tiga hal:
Pertama, menunda-nunda bertaubat.
Kedua, nafsunya tidak merasa cukup dengan
pemberian Allah.
Ketiga, malas dalam beribadah.”

Nabi bersabda, “Jika engkau mengetahui


kesengsaraan saat mati, maka kamu tidak akan
bisa merasakan dan menikmati makanan, sebab
sangat beratnya kesengsaraan dalam kematian.”

Nabi bersabda, “Sesungguhnya mauqif itu memiliki


seribu kesulitan, kesulitan paling rendah adalah
kematian. Kematian memiliki 99 kesulitan, seribu
tebasan pedang masih lebih ringan dibandingkan
satu dari 99 kesulitan kematian, barang siapa ingin
selamat dari kesulitan tersebut, hendaknya
membaca do’a ini sebanyak 10 kali setiap setelah
melakukan shalat maktubah:

‫ َو لِ ُك ِّل َه ٍّم َو َغ ٍّم َما َشا َء هللاُ َو لِ ُك ِّل‬،ُ‫ت لِ ُك ِّل َه ْو ٍل الَ ِإل َه ِإالَّ هللا‬ُ ‫ِإ ِّني َأعْ دَ ْد‬ ‫اللَّ ُه َم‬
‫ َو‬،‫هللا‬ ِ ‫ان‬ َ ‫ َو لِ ُك ِّل َأعْ ج ُْو َب ٍة ُسب َْح‬،‫هلل‬
ِ ‫ضا ٍء َو شِ َّد ٍة ال ُّش ْك ُر‬ ِ ‫ْال َحمْ ُد‬
َ ‫ َو لِ ُك ِّل ِر‬،‫هلل‬ ‫ِنعْ َم ٍة‬
‫ْق‬ٍ ‫ َو لِ ُك ِّل ضِ ي‬،‫هلل َو ِإ َّنا ِإ َل ْي ِه َرا ِجع ُْو َن‬
ِ ‫ َو لِ ُك ِّل مُصِ ْي َب ٍة ِإ َّنا‬،‫هللا‬ِ ‫ب َأسْ َت ْغ ِف ُر‬
ٍ ‫لِ ُك ِّل َذ ْن‬
َ ‫ َو لِ ُك ِّل َط‬،‫هللا‬
‫اع ٍة َو َمعْ صِ َي ٍة الَ َح ْو َل‬ ِ ‫ت َع َلى‬ ُ ‫ضا ٍء َو َقدَ ٍر َت َو َّك ْل‬
َ ‫ َو لِ ُك ِّل َق‬،ُ‫َحسْ ِب َي هللا‬
‫هلل ْال َعلِيِّ ْال َعظِ ي ِْم‬
ِ ‫َو الَ قُوَّ َة ِإاَّل ب ِا‬

Nabi s.a.w. bersabda: “Ketika seorang hamba sakit


atau sedang bepergian, maka Allah menyuruhnya
menulis semua amal shalih yang ia kerjakan ketika
sehat atau dalam keadaan mukim (menetap).” Dan
hadits-hadits lainnya.
SYARAH HIKMAH KE-76

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫اف َع َل ْي َك مِنْ َغ َل َب ِة ا ْل َه َوى‬ َ ‫اف َع َل ْي َك َأنْ َت ْل َت ِب‬


ُ ‫س ال ُّط ُر ُق َع َل ْي َك َو ِإ َّن َما ُي َخ‬ ُ ‫اَل ُي َخ‬
.‫َع َل ْي َك‬

“Bukan kebingungan jalan yang dikhawatirkan dari


dirimu, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah
menangnya hawa-nafsu atas dirimu.”

Hal yang dikhawatirkan darimu bukanlah


kebingungan mencari jalan yang bisa mendekatkan
kepada Allah, sebab telah ada ‘ilmu syarī‘at yang
sudah dijelaskan dalam al-Qur’ān dan Hadits,
sehingga tidak lagi samar bagimu, akan tetapi
yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa-nafsu
atas dirimu, dengan cara mengajakmu pada ‘ujub
ketika berbuat ‘amal, atau riyā’, lebih
mengutamakan berbuat maksiat dan tidak
mensyukuri ni‘mat, dan merasa bersedih saat
mengalami cobaan.
SYARAH HIKMAH KE-77

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ص ْوصِ َّي ِة ِب ُظ ُه ْو ِر ا ْل َب‬


.‫ش ِر َّي ِة‬ ُ ‫س َت َر سِ َّر ا ْل ُخ‬
َ ْ‫س ْب َحانَ َمن‬
ُ

“Maha Suci Dzāt yang telah menutupi


rahasia-rahasia keistimewaan orang wali (‘ārif)
dengan tampaknya sifat-sifat yang umum pada
manusia.”

Maha Suci Dzāt yang telah menutupi ‘ilmu para


wali-Nya dengan menampakkan sifat-sifat umum
manusia.

Para wali Allah itu disamarkan atau disembunyikan


kewaliannya, sehingga tidak ada yang bisa
mengetahuinya kecuali Allah memberitahukan
kepadanya. Karena para wali Allah berada pada
kondisi yang paling hina, sehingga tidak ada yang
bisa mengetahuinya kecuali dari kalangannya
sendiri.

ِ ‫الر ُب ْو ِب َّي ِة ف ِْي ِإ ْظ َه‬


.‫ار ا ْل ُع ُب ْو ِد َّي ِة‬ ُّ ‫َو َظ َه َر ِب َع َظ َم ِة‬

“Dan Dia tampak terang dengan keagungan


ke-Tuhan-an-Nya ketika memperlihatkan
penghambaan makhlūq-Nya.”

Dan ‘ilmu para wali menjadi jelas sebab agungnya


sifat rubūbiyyah-Nya ketika menampakkan
sifat-sifat kehambaan makhlūq-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-78

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫اَل ُت َطال ِْب َر َّب َك ِب َتَأ ُّخ ِر َم ْط َل ِب َك‬

“Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu


terlambat dikabulkan.”

Jangan menuntut dan berprasangka buruk kepada


Tuhanmu lantaran lamanya pengabulan
permintaanmu.

Ketika engkau berdoa kepada Allah memohon


sesuatu dan tidak lekas dikabulkan, maka jangan
berprasangka buruk kepada-Nya dan juga jangan
menuntut apapun kepada-Nya. Karena Allah
melakukan sesuatu atas kehendak-Nya Sendiri,
tidak menuruti kehendak hamba-Nya, dan tidak
diperkenankan menuntut apapun dari-Nya. Jika
keinginanmu dikabulkan, jangan berprasangkat
bahwa pengabulan itu karena permintaanmu, Allah
mustahil dipaksa. Allah memberikan sesuatu pada
hamba karena fadhal-Nya, bukan semata-mata
karena ‘amal atau permintaanmu.

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫س َك ِب َتَأ ُّخ ِر َأدَ ِب َك‬


َ ‫َو لكِنْ َطال ِْب َن ْف‬

“Akan tetapi, tuntutlah dirimu lantaran terlambat


melaksanakan kewajiban.”

Jika permohonanmu lama tidak dikabulkan, maka


berprasangkalah pada dirimu sendiri yang tidak
punya tata krama kepada Allah. Karena
tuntutanmu agar permintaanmu segera dikabulkan
itu termasuk sū’-ul-adab kepada Allah.
Tidak sepantasnya seorang hamba menuntut
sesuatu dari Tuhannya agar lekas mengabulkan
permintaannya. Selain itu, engkau berdoa agar
diberi apa yang kaupinta, itu menunjukkan bahwa
engkau berdoa sebab ingin diberi, bukan sebab
menjalankan perintah Allah. Berdoa agar
tercapainya tujuanmu itu sungguh tidak layak bagi
seseorang yang menghamba kepada-Nya. Dan
juga prasangkamu bahwa Allah sudah tidak
berkenan mengabulkan doamu itu disebut
sū’-ul-adab (tidak punya tatakrama) kepada-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-79

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata dalam menuturkan


keindahan tatakrama seorang hamba yang
mengabdi kepada Tuhan-nya melalui perkataan
beliau:

ْ‫الظاه ِِر ُم ْم َت ِثاًل َأِل ْم ِر ِه َو َر َز َق َك فِي ا ْل َباطِ ِن ااْل ِ ْست ِْساَل َم لِ َق ْه ِر ِه َف َقد‬
َّ ‫َم َتى َج َع َل َك فِي‬

.‫َأ ْع َظ َم ا ْل ِم َّن َة َع َل ْي َك‬

“Ketika secara lahirnya Allah menjadikanmu


melaksanakan perintah-Nya dan dalam hatimu
menganugerahkan sifat berserah diri atau pasrah
kepada-Nya, maka berarti Dia telah memberikan
sebesar-besar ni‘mat kepadamu.”

Ketika Allah sudah memberikan pertolongan


kepadamu secara zhāhir dengan mampu
melaksanakan perintah-Nya, dan memberikan
pertolongan secara bāthin dengan rela dan
mencintai taqdīr-Nya kepadamu, baik berupa sakit
atau keadaaan miskin, maka tak bisa dipungkiri
bahwa siapapun yang diberikan pertolongan
seperti ini, maka ia telah diberi karunia yang
sangat agung. Ini adalah pemberian-Nya yang
paling besar kepadamu. Karena pada orang
tersebut terkumpul istiqāmah dan juga disebut
(‫اط ْالمُسْ َت ِقي ِْم‬
َ ‫)صِ َر‬. Oleh karena itu, Allah mengajari

hamba-hambaNya agar memohon keistiqāmahan


dengan firman-Nya yang berbunyi (‫اط ْالمُسْ َت ِق ْي َم‬
َ ‫) ِاهْ ِد َنا الص ََّر‬

ya‘ni; jika kalian memohon sesuatu kepada-Ku


(Allah), maka mohonlah secara istiqāmah dan
katakanlah: “Ya Allah, tunjukkanlah kami kepada
jalan yang lurus (‘ubūdiyyah zhāhir dan bāthin).”
SYARAH HIKMAH KE-80

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ص ُه‬ ُ ‫س ُكل ُّ َمنْ َث َب َت َت ْخصِ ْي‬


ُ ‫ص ُه َك ُمل َ َت ْخلِ ْي‬ َ ‫َل ْي‬

“Tidaklah semua orang yang telah tampak terang


kekeramatannya itu berarti telah sempurna
pembersihannya.”

Belum tentu orang yang memiliki karāmah


(kemuliaan di sisi-Nya) itu sudah sempurna sifat
ikhlāsh-nya. Terkadang ada orang yang
dianugerahi karāmah akan tetapi tidak diberi
ke-istiqāmah-an. Padahal, hakikat kekeramatan
yang sejati berasal dari sifat ikhlāsh dan istiqāmah.
SYARAH HIKMAH KE-81

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ا ْل َغافِل ُ ِإ َذا َأ‬


.ُ ‫ص َب َح َي ْن ُظ ُر َم َاذا َي ْف َعل‬

“Seseorang yang lupa (dalam tauḥīdnya bahwa


segala sesuatu itu berjalan menurut ketentuan
taqdīr Allah) jika pagi hari dia bingung dengan apa
yang dilakukan.”

Seorang yang lupa akan tauḥīd, qadhā’ dan qadar


Allah, ketika bangun pagi, di dalam hatinya
berkata: “Apa yang akan aku lakukan pagi ini?”

.ِ‫َو ا ْل َعاقِل ُ َي ْن ُظ ُر َم َاذا ُي ْف َعل ُ هللاُ ِبه‬

“Sedangkan seorang yang sempurna akal


tauḥīdnya memikirkan apakah yang akan
ditaqdīrkan oleh Allah baginya hari ini.”
Adapun orang yang tidak melupakan tauḥīd serta
tidak melupakan taqdīr Allah, maka ketika bangun
tidur, ia bergumam: “Apa yang hendak ditaqdīrkan
Allah atasku?”

Neraca inilah yang bisa digunakan oleh seorang


murīd untuk mengetahui keadaan dirinya. Bisikan
hati yang pertama kali berada pada diri seorang
murīd, maka itulah neraca atau timbangan
tauḥīdnya.
Ketika seorang murīd mengawali pekerjaannya,
jika merasa bahwa itu semua atas daya kekuatan
dirinya dan kehendak dirinya, berarti ia sudah
putus-asa dari Allah dan jauh dari-Nya, sehingga
ketauḥīdannya menjadi tidak sempurna. Jika ketika
mengawali pekerjaannya ia merasa bahwa semua
itu atas kehendak dan pertolongan Allah, berarti ia
wushūl kepada Allah.
SYARAH HIKMAH KE-82

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َأ َم َر َك ف ِْي ه ِذ ِه الدَّ ِار ِبال َّن َظ ِر ف ِْي ُم َك ِّو َنا ِت ِه‬

“Allah menyuruhmu semasa hidup di dunia ini


untuk merenungkan alam ciptaan-Nya.”

Allah memerintahkanmu untuk selalu


merenungkan alam ciptaan-Nya.

Agar engkau bisa mengetahui taqdīr-Nya pada


lahiriah ciptaan-Nya. Allah berfirman:

ِ ْ‫ت َو اَأْلر‬
.‫ض‬ ُ ‫قُ ِل ا ْن‬
َ ‫ظر ُْوا َم َاذا فِي الس‬
ِ ‫َّموا‬

“(Wahai Muḥammad) perintahkanlah pada umatmu


agar mau merenungkan apa yang ada di tujuh
langit dan bumi.” (Q.S. Yūnus [10]: 101).
.ِ‫ال َذا ِته‬
ِ ‫ف َل َك ف ِْي ِت ْل َك الدَّ ِار َعنْ َك َم‬
ُ ِ‫س َي ْكش‬
َ ‫َو‬

“Dan kelak di akhirat, Allah akan memperlihatkan


kepadamu kesempurnaan Dzāt-Nya.”

Kelak di akhirat, Allah akan membukakan


kepadamu kesempurnaan Dzāt Allah ‘azza wa jalla,
agar engkau bisa melihat dengan mata kepalamu.

Penglihatan seorang hamba kepada Allah menurut


apa yang dibukakan oleh Allah kepadanya, maka
selama hidup di dunia Allah memperlihatkan
kepada mereka kebesaran kekuasaan-Nya,
penglihatan mereka dengan menggunakan mata
hati. Kelak di akhirat akan dibukakan hijab
sehingga langsung melihat Dzāt Allah dengan
dibayangkan seperti apa, tanpa arah, tanpa
tempat, tanpa waktu menggunakan mata kepala.
SYARAH HIKMAH KE-83

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ص ِب ُر َع ْن ُه َفَأ‬
.‫ش َهدَ َك َما َب َر َز ِم ْن ُه‬ ْ ‫َعلِ َم ِم ْن َك َأ َّن َك اَل َت‬

“Dia mengetahui, bahwa engkau tidak bisa sabar


ingin menyaksikan-Nya, maka Ia memperlihatkan
kepadamu apa-apa yang asli buatan-Nya.”

Allah sudah mengetahui bahwa kalian wahai


muḥibbīn (orang-orang yang mencintai Allah),
tidak akan pernah bisa untuk jauh dari-Nya,
sehingga Allah menampakkan kepadamu sesuatu
yang zhāhir dari Allah, melalui seluruh alam,
supaya engkau bisa melihat-Nya dalam alam itu,
dengan mata hatimu. Itulah pemberian rahmat
Allah kepadamu.
SYARAH HIKMAH KE-84

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ت‬
ِ ‫اعا‬ َّ ‫َل َّما َعلِ َم ا ْل َح ُّق ِم ْن َك ُو ُج ْودَ ا ْل َم َل ِل َل َّونَ َل َك‬
َ ‫الط‬

“Ketika Allah mengetahui bahwa engkau mudah


jemu, maka Allah membuatkanmu
bermacam-macam taat.”

Ketika Allah sudah mengetahui bahwa engkau


mudah bosan, maka Dia membuatkanmu
bermacam-macam ketaatan, seperti shalat, puasa,
dzikir dan bertasbīḥ. Ini semua termasuk rahmat
karunia dari Allah, sebab jika engkau ditaqdīrkan
berbuat taat hanya satu macam saja maka engkau
akan merasa sangat bosan.
ِ ‫ض اَأْل ْو َقا‬
.‫ت‬ ِ ‫ش َر ِه َف َح َج َرهَا َع َل ْي َك ف ِْي َب ْع‬
َّ ‫َو َعلِ َم َما فِ ْي َك مِنْ ُو ُج ْو ِد ال‬

“Ketika Allah telah mengetahui bahwa engkau juga


bersifat rakus, maka Dia membatasinya (berbuat
ketaatan) pada waktu-waktu tertentu.”

Allah juga sudah mengetahui bahwa engkau juga


bersifat rakus dalam suatu ‘amal, maka Dia
mencegahmu berbuat taat dalam sebagian waktu.
Sebab itu, shalat fardhu tidak boleh dilaksanakan
kecuali dalam waktu yang sudah ditentukan, shalat
sunnah juga tidak boleh dilakukan pada waktu
karāhah yang ada lima, dan juga puasa tidak boleh
dilakukan pada dua hari raya dan tiga hari tasyrīq.

َ ‫الصاَل ِة َف َما ُكل ُّ ُم‬


.‫صل ٍّ ُمقِ ْي ٌم‬ َّ ‫لِ َي ُك ْونَ َه ُّم َك ِإ َقا َم ُة‬
َّ ‫الصاَل ة اَل ُو ُج ْو ُد‬

“Supaya semangatmu tertuju pada sempurnanya


sembahyang, sebab bukan semua orang yang
sembahyang itu sempurna sembahyangnya.”
Agar terdapat perhatian atau semangatmu untuk
merenungkan semua itu agar engkau bisa
melaksanakan shalat (dengan sempurna), bukan
sekedar mendirikan shalat, sebab tidak setiap
orang shalat bisa melaksanakan shalat. Adapun
yang dinamakan mendirikan atau melaksanakan
shalat adalah menjaga adab tata krama shalat,
serta menjaga sirr hati sanubarinya agar selalu
bersama Allah, sekiranya engkau tidak mengingat
selain-Nya, sehingga tubuhmu menghadap qiblat
dan hatimu menghadap kepada Allah. Shalat yang
seperti ini besar fadhīlah-nya dan jarang
ditemukan.
SYARAH HIKMAH KE-85

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ب مِنْ َأدْ َن‬


.ِ‫اس ال ُّذ ُن ْوب‬ ِ ‫الصاَل ةُ ُط ْه َرةٌ لِ ْلقُلُ ْو‬
َّ

“Shalat itu sebagai penyucian hati dari kotoran


dosa.”

Shalat yang sempurna itu bisa mensucikan hati


dari segala dosa dan kotoran hati.

ِ ‫ب ا ْل ُغ ُي ْو‬
.‫ب‬ ٌ ‫اس ِت ْف َتا‬
ِ ‫ح لِ َبا‬ ْ ‫َو‬

“Dan untuk membuka pintu yang ghaib.”


Dan shalat juga menjadi penyebab terbukanya
perkara yang ghaib.
SYARAH HIKMAH KE-86

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫الصاَل ةُ َم َحل ُّ ا ْل ُم َن‬


.‫اجا ِة‬ َّ

“Shalat itu sebagai tempat bermunajat.”

Shalat adalah tempat bermunajatnya seorang


hamba kepada Tuhannya.
.‫صا َفا ِة‬
َ ‫َو َم ْعدِنُ ا ْل ُم‬

“Serta memanjatkan puji syukur.”

(Shalat) menjadi tempat bercinta-kasihnya hamba


dengan Tuhannya, Tuhan dengan hamba-Nya.

.‫َت َّتسِ ُع فِ ْي َها َم َيا ِد ْينُ اَأْل ْس َر ِار‬


“Leluasa di dalamnya datangnya berbagai
rahasia-rahasia Tuhan.”

Dengan shalat, segala macam hal yang ghaib dan


‘ilmu ladunnī akan terbuka.

.‫ش َو ِار ُق اَأْل ْن َو ِار‬


َ ‫ش ُر ُق فِ ْي َها‬
ْ ‫َو َت‬

“Dan terbit terang padanya cahaya-cahaya ‘ilmu


dan ma‘rifat.”

Dengan shalat, cahaya (‘ilmu dan ma‘rifat) akan


menjadi terang.
SYARAH HIKMAH KE-87

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫الض ْعفِ ِم ْن َك َف َق َّلل َ َأ ْعدَ ادَ هَا‬


َّ َ‫َعلِ َم ُو ُج ْود‬

“Allah telah mengetahui kelemahanmu, maka Ia


menyederhanakan bilangannya (yaitu hanya lima
waktu).”

Allah sudah mengetahui kelemahanmu, karenanya


Dia menyedikitkan bilangan-bilangan shalat,
sehingga hanya menjadi lima waktu.

.‫ضلِ ِه َف َك َّث َر َأ ْمدَ ادَ هَا‬


ْ ‫اج َك ِإ َلى َف‬
َ ‫اح ِت َي‬
ْ ‫َو َعلِ َم‬

“Dan Allah juga mengetahui bahwa engkau sangat


membutuhkan anugerah-Nya, maka ia
memperbanyak pahalanya, melipat-gandakan
pahalanya.”
Allah juga mengetahui bahwa engkau sangat
menginginkan anugerah Allah, maka Allah
memperbanyak pahala shalatmu, dengan
melipat-gandakan pahala shalat lima waktu setara
dengan lima puluh waktu.
SYARAH HIKMAH KE-88

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِّ ‫ضا َع َلى َع َم ٍل ُط ْولِ ْب َت ِب ُو ُج ْو ِد‬


.‫الصدْ ِق فِ ْي ِه‬ ً ‫َم َتى َط َل َب ْت عِ َو‬

“Apabila engkau menuntut upah atau pahala dari


sesuatu ‘amal, pasti engkau juga akan dituntut
kesempurnaan dan keikhlasanmu dalam ‘amal
perbuatan itu.”

Ketika engkau mencari pahala atas ‘amal


perbuatan yang kau lakukan, shalat atau lainnya,
maka engkau juga akan dituntut melakukannya
dengan benar dan sempurna.

Ketika ‘amal perbuatanmu karena ingin mendapat


pahala akhirat atau dunia, maka Allah juga akan
menuntut engkau melakukannya dengan benar.
Dan Allah akan berfirman kepadamu: “Engkau
tidak melakukan ‘amal perbuatanmu dengan benar,
bahkan engkau melakukannya atas dasar
hawa-nafsu, karenanya Aku tidak akan
memberimu pahala, sebab engkau tidak
menyembah-Ku. Dan mintalah pahala dari apa
yang kau sembah.” Karena yang dinamakan benar
(‘ibādahnya) adalah adanya kesesuaian antara
zhāhir dan bāthin dan ‘amalmu itu belum benar.
Sebab secara zhāhir engkau ber‘amal karena Allah,
tapi secara bāthin engkau ber‘amal karena
nafsumu.
SYARAH HIKMAH KE-89

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

. ‫ضا َع َلى َع َم ٍل َل ْس َت َل ُه َفاعِ اًل‬


ً ‫اَل َت ْطلُ ْب عِ َو‬

“Jangan menuntut upah (ganti) dari ‘amal


perbuatanmu yang kau sendiri tidak
melakukannya.”

Jangan menuntut pahala dari ‘amal perbuatan


yang tidak kau lakukan. Karena yang menciptakan
‘amal itu adalah Allah, hanya secara zhāhir-nya
saja engkau yang melakukannya, sehingga engkau
tidak layak menuntut pahala dari-Nya, justru
harusnya engkau bersyukur atas ni‘mat yang Ia
berikan.
ِ ‫اء َل َك َع َلى ا ْل َع َم ِل َأنْ َكانَ َل ُه َق‬
. ‫اباًل‬ ِ ‫َي ْكف ِْي مِنَ ا ْل َج َز‬

“Cukup besar upah balasan Allah bagimu jika Allah


menerima hal itu.”

Cukuplah balasan yang diberikan Allah kepadamu


atas ‘amal perbuatan yang kau lakukan dengan
bersedia menerima ‘amal perbuatanmu.
SYARAH HIKMAH KE-90

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َل ْو اَل َج ِم ْيل ُ سِ ْت ِره َل ْم َي ُكنْ َع َمل ٌ َأهْ اًل لِ ْل َق ُب ْو ِل‬

“Andaikata tidak ada kebaikan tabir (tutup)


dari-Nya, niscaya tidak ada ‘amal yang layak untuk
diterima.”

Jika tidak ada keindahan tabir-Nya, maka tidak


akan ada ‘amal perbuatan yang layak untuk
diterima.

Karena sesungguhnya seorang hamba sering diuji


dengan merasa memiliki kekuatan ber‘amal dan
bangga dengan ‘amal perbuatan yang dilakukan,
terkadang juga diuji dengan adanya riyā’,
mengharap pujian masyarakat, semua itu
dinamakan syirik khafī (samar). Jika bukan karena
fadhal(karunia) Allah, maka dari sekian ‘amal itu
tidak akan ada satu pun yang diterima oleh Allah.
SYARAH HIKMAH KE-91

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫َأ ْن َت ِإ َلى ِح ْل ِم ِه ِإ َذا َأ َط ْع َت ُه َأ ْح َو‬


َ ‫ج ِم ْن َك ِإ َلى ِح ْل ِم ِه ِإ َذا َع‬
.‫ص ْي َت ُه‬

“Engkau lebih membutuhkan (Ḥilm) pengampunan


dan kesabaran-Nya, ketika engkau berbuat taat
melebihi ketika engkau berbuat maksiat dosa.”

Kebutuhanmu akan sifat Ḥilm Allah saat engkau


berada dalam ketaatan itu lebih besar daripada
saat engkau berada dalam kemaksiatan.

Sebab terkadang ketika engkau dalam ketaatan


justru engkau dihampiri cobaan seperti riyā’, ‘ujub,
merasa melakukan kebaikan, takabbur dan
menghina orang yang tidak berbuat ketaatan, yang
kesemuanya termasuk dosa besarnya hati.
Sedangkan ketika engkau dalam keadaan berbuat
maksiat, hal itu malah menjadikanmu takut
kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya,
sangat mengharapkan rahmat-Nya, memuliakan
orang yang berbuat ketaatan dan menghina diri
sendiri, yang kesemuanya bisa menyebabkan
wushūl kepada-Nya. Oleh karena itu, seorang
hamba lebih membutuhkan sifat Ḥilm Allah, ketika
dalam keadaan taat kepada-Nya.
SYARAH HIKMAH KE-92

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ سِ ْت ٌر َع ِن ا ْل َم ْعصِ َي ِة َو سِ ْت ٌر فِ ْي َها‬:‫الس ْت ُر َع َلى ق ِْس َم ْي ِن‬


ِّ

“Satir (tutup) Allah ada dua: tertutup dari berbuat


maksiat dan tertutup dalam perbuatan maksiat.”

Satir (tutup) Allah ada dua, yaitu tertutup dari


melakukan maksiat, ya‘ni terhindar dari melakukan
maksiat dan sebab-sebab yang mendekatkan pada
maksiat. Dan tertutup dalam melakukan maksiat,
ya‘ni ketika melakukan maksiat atau setelah
melakukannya tidak ditampakkan pada manusia.

ِ َ‫َفا ْل َعا َّم ُة َي ْطلُ ُب ْونَ مِن‬


ِّ ‫هللا َت َعا َلى‬
.‫الس ْت ُر فِ ْي َها‬

“Manusia pada umumnya meminta kepada Allah


supaya ditutupi dalam perbuatan dosa.”
Orang-orang awam meminta kepada Allah agar
ditutup dalam maksiat.

Mereka memohon kepada Allah agar perbuatan


maksiatnya tidak sampai diketahui oleh orang lain
(masyarakat).
ُ ‫ش َي َة‬
.‫سقُ ْوطِ َم ْر َت َب ِت ِه ْم عِ ْندَ ا ْل َخ ْل ِق‬ ْ ‫َخ‬

“Karena khawatir derajatnya menjadi jatuh di mata


makhlūq.”

Meminta tutup agar derajat atau kedudukan


mereka tidak jatuh di mata masyarakat.

Ketika orang awam melakukan maksiat, mereka


tidak takut kepada Allah, akan tetapi mereka takut
jika diketahui oleh masyarakat karena derajat dan
harga dirinya akan jatuh dari pandangan
masyarakat, mereka bersandar kepada selain-Nya.
Orang-orang yang seperti ini dinamakan
melakukan syirik khafī, dan Allah tidak akan
mengampuni orang-orang yang berbuat syirik.
Allah berfirman:

ِ ‫اس َو اَل َيسْ َت ْخفُ ْو َن م َِن‬


.‫هللا َو ه َُو َم َع ُه ْم‬ ِ ‫َيسْ َت ْخفُ ْو َن م َِن ال َّن‬

“Mereka (orang-orang munāfiq) sembunyi dari


sesama manusia, tetapi tidak sembunyi dari Allah
padahal Allah selalu beserta mereka.” (Q.S.
an-Nisā’ [4]: 108).

ِّ )ِ‫اص ُة َي ْطلُ ُب ْونَ (مِنَ هللا‬


.‫الس ْت َر َع ْن َها‬ َّ ‫َو ا ْل َخ‬

“Akan tetapi orang-orang khusus, meminta kepada


Allah, supaya ditutupi dari perbuatan maksiat.”

Akan tetapi, orang khawwāsh meminta tutup


supaya mereka tertutupi atau terhalangi dari
berbuat maksiat.
Mereka memohon agar dijauhkan dari perbuatan
maksiat, agar jangan sampai melihat maksiat,
jangan sampai hatinya bergerak untuk melakukan
maksiat.

ُ ‫ش َي َة‬
.‫سقُ ْوطِ ِه ْم مِنْ َن َظ ِر ا ْل َملِكِ ا ْل َح ِّق‬ ْ ‫َخ‬

“Karena takut jatuh dari pandangan Allah.”

Mereka memohon demikian karena takut


martabatnya jatuh dalam pandangan Allah Yang
Maha Ḥaqq.

Seluruh orang khawwāsh, memohon kepada Allah


agar dijauhkan dari maksiat karena takut Allah
akan membencinya.

.‫اس َي ْمدَ ُح ْو َن َك لِ َما َي ُظ ُّن ْو َن ُه فِ ْي َك َف ُكنْ َأ ْن َت َذا ًّما لِ َن ْفسِ َك لِ َما َت ْع َل ُم ُه ِم ْن َها‬
ُ ‫ال َّن‬
“Orang-orang memujimu karena apa yang mereka
sangka ada pada dirimu. Maka celalah dirimu
karena apa yang engkau ketahui ada pada dirimu.”

Masyarakat memujimu karena sifat terpuji yang


mereka duga ada pada dirimu, maka janganlah
engkau tertipu oleh pujian tersebut. Akan tetapi
justru celalah dirimu karena keburukan yang telah
engkau ketahui ada pada dirimu.

Termasuk dari keburukanmu yaitu engkau bahagia


dan suka atas pujian yang ditujukan kepadamu
sebab merasa kebaikan tersebut tumbuh dari
dirimu. Padahal Allahlah yang menciptakan segala
‘amal perbuatanmu dan engkau hanyalah tempat
ditampakkannya kebaikan tersebut.

Alhasil, memuji makhlūq itu tidak dianjurkan jika


akan menyebabkan terlena dan tertipu dengan
pujian tersebut. Oleh karena itu Rasūlullāh s.a.w.
bersabda kepada orang yang suka memuji
temannya: “Sungguh engkau telah memenggal
leher temanmu, dan takutlah engkau pada pujian,
karena orang yang memuji itu sama saja
menyembelih orang yang telah ia puji.”
SYARAH HIKMAH KE-93

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ف اَل َي‬
ْ‫ش َه ُدهُ مِن‬ ْ ‫هللا َت َعا َلى َأنْ ُي ْث َنى َع َل ْي ِه ِب َو‬
ٍ ‫ص‬ ِ َ‫اس َت ْح َيا مِن‬ َ ‫ا ْل ُمْؤ مِنُ ِإ َذا ُمد‬
ْ ‫ِح‬
.ِ‫َن ْفسِ ه‬

“Seorang mu’min, jika dipuji, ia malu kepada Allah


karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati
pada dirinya.”

Orang mu’min yang hakiki (sejati) itu ketika dipuji


orang, ia akan merasa malu kepada Allah, karena
ia dipuji dengan sifat-sifat yang tidak ia dapati
pada dirinya. Sebaliknya, ia merasa bahwa
kebaikan itu semua adalah karunia Allah, ciptaan
Allah dan mereka sekalipun tidak pernah merasa
mampu melakukan kebaikan tersebut. Oleh karena
itu, ketika ia dipuji karena suatu kebaikan, maka ia
menjadi semakin malu kepada Allah, ia semakin
mengagungkan Allah, semakin mencela dirinya
sendiri, semakin mensyukuri anugerah Allah, maka
inilah yang dinamakan syukur atas ketaatan yang
menjadi sebab bertambahnya anugerah Allah
kepadanya.
SYARAH HIKMAH KE-94

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫َأ ْج َهل ُ ال َّن‬


ِ ‫اس َمنْ َت َر َك َيقِ ْينَ َما عِ ْندَ هُ ل َِظنِّ َما عِ ْندَ ال َّن‬
.‫اس‬

“Sebodoh-bodoh manusia yaitu orang yang


meninggalkan (mengabaikan) keyakinannya
karena mengikuti sangkaan orang-orang.”

Orang yang paling bodoh adalah orang yang


meninggalkan (mengabaikan) keyakinan akan
kejelekan yang sungguh ada padanya, karena
mengikuti prasangka manusia yang mengatakan ia
baik.

Orang yang tertipu dan menyukai pujian


masyarakat adalah orang yang sangat bodoh,
karena ia mengabaikan keyakinan yang ada pada
dirinya dan tertipu dengan sangkaan masyarakat.
Perumpamaan orang tersebut seperti orang yang
dipuji bahwa kotoran yang keluar dari perutnya itu
berbau harum, diapun mempercayainya dan
merasa senang atas pujian tersebut. Jika engkau
seperti orang ini, maka tidak diragukan lagi bahwa
engkau adalah orang gila dan sangat bodoh.
Sifat-sifat burukmu seperti riyā’, ‘ujub, suka dipuji,
dan dosa-dosa hatimu itu lebih busuk baunya
dibanding kotoran yang keluar dari perutmu.
SYARAH HIKMAH KE-95

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫اء َع َل ْي َك َو َل ْس َت ِبَأهْ ٍل َفا ْث ِن َع َل ْي ِه ِب َما ه َُو َأهْ لُ ُه‬


َ ‫ِإ َذا َأ ْط َل َق ال َّث َن‬
“Jika masyarakat memujimu, padahal engkau tidak
layak mendapatkannya, maka pujilah Dia (Allah)
sebagai Dzāt yang memang layak
menyandangnya.”

Ketika masyarakat memujimu, padahal engkau


tidak layak dipuji karena tetapnya sifat-sifat tercela
yang secara dzātiyyah menetap pada dirimu, maka
pujilah Dzāt yang memberimu kebaikan dan
memang layak dipuji ya‘ni Tuhanmu yang agung
(Allah).

Engkau jangan tertipu oleh orang-orang yang


memujimu, akan tetapi celalah dirimu sendiri dan
pujilah Tuhamu (Allah).
SYARAH HIKMAH KE-96

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ض َك ا ْل َم ْن ُع َف‬
‫اس َت ِدل َّ ِبذلِ َك َع َلى‬ َ ‫َم َتى ُك ْن َت ِإ َذا ُأ ْعطِ ْي َت َب‬
َ ‫س َط َك ا ْل َع َطا ُء َو ِإ َذا ُمن ِْع َت َق َب‬
.‫ت ُطفُ ْولِ َّي ِت َك‬
ِ ‫ُث ُب ْو‬

“Apabila diberi sesuatu engkau gembira, dan saat


ditolak engkau kecewa, maka simpulkanlah bahwa
yang demikian itu adalah bukti dari
kekanak-kanakanmu.”

Apabila diberi kesehatan dan rezeki yang luas


engkau berbahagia atas anugerah tersebut, dan
apabila Allah memberimu sakit dan miskin, engkau
bersedih. Maka yang demikian membuktikan
bahwa engkau masih berlaku kekanak-kanakan.
.‫َو َعدَ ِم صِ دْ قِ َك ف ِْي ُع ُب ْو ِد َّي ِت َك‬

“Dan ketidaktulusan penghambaanmu.”

Dan menunjukkan bahwa ‘amal ‘ibādah yang kau


lakukan masih belum benar.
SYARAH HIKMAH KE-97

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫س َب ًبا لِ َبْأسِ َك مِنْ ُح‬


.‫ص ْو ِل ااْل ِ ْس ِت َقا َم ِة َم َع َر ِّب َك‬ َ ْ‫ب َفاَل َي ُكن‬
ٌ ‫ِإ َذا َو َق َع ِم ْن َك َذ ْن‬

“Jika engkau terjatuh dalam perbuatan dosa,


janganlah hal itu membuatmu putus-asa untuk
bisa beristiqāmah bersama Tuhanmu.”

Ketika engkau terjatuh dalam perbuatan dosa,


maka janganlah hal tersebut menyebabkan engkau
berputus-asa untuk bisa beristiqāmah lahir dan
bāthin ber‘ibādah kepada Allah.

Jangan berkeyakinan dosa tersebut menyebabkan


akan hilangnya istiqāmah, akan tetapi tentunya
dengan tidak terus-menerus melakukan dosa
tersebut.
SYARAH HIKMAH KE-98

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫س فِي ا ْل َم ْعصِ َي ِة َظا ِه ٌر َحل ٌِّي‬


ِ ‫َح ُّظ ال َّن ْف‬

“Andil nafsu dalam melakukan maksiat itu tampak


jelas.”

Kehendak nafsu ammarah untuk selalu mengajak


kepada perbuatan maksiat itu sudah menjadi
sesuatu yang tampak jelas dan tidak samar lagi
bagimu.
.‫اع ِة َباطِ نٌ َخف ٌِّي‬ َّ ‫َو َح ُّظ َها فِي‬
َ ‫الط‬

“Sedangkan andilnya dalam perbuatan taat itu


samar tersembunyi.”

Sedangkan kehendak nafsu dalam mengajak


melakukan ketaatan itu samar.
Tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang
terbuka mata hatinya, sebab dalam melaksanakan
ketaatan itu terdapat masyaqqah (kesulitan yang
amat sangat), maka ketika nafsumu mengajak
melakukan ketaatan, lihatlah dengan seteliti
mungkin. Karena, terkadang zhāhirnya mengajak
berbuat taat dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah, sedangkan bathinnya bertujuan agar
disebut sebagai orang yang shalih. Agar supaya
bentuk ketaatannya itu menjadikan terkenal,
supaya semakin banyak orang yang
menyenangimu, padahal kesemuanya ini bisa
menjadikan batalnya ‘amal ‘ibādah yang kau
lakukan.

.‫ب عِ اَل ُج ُه‬ َ ‫َو ُمدَ َاواةُ َما َي ْخ َفى‬


ٌ ‫ص ْع‬

“Dan mengobati yang tersembunyi itu amat sukar


sekali untuk menyembuhkannya.”
Sesuatu yang tersembunyi itu lebih sulit untuk
diobati.

Oleh karena itu, orang yang mata hatinya terjaga


selalu waspada dengan hawa nafsunya, maka
ketika ia condong untuk melakukan ketaatan,
orang-orang ahli bashā’ir memandangnya dengan
penuh kewaspadaan.
SYARAH HIKMAH KE-99

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ث اَل َي ْن ُظ ُر ا ْل َخ ْل ُق ِإ َل ْي َك‬


ُ ‫الر َيا ُء مِنْ َح ْي‬
ِّ ‫ُر َّب َما دَ َخل َ َع َل ْي َك‬

“Terkadang penyakit riyā’ masuk dalam dirimu dari


tempat yang tidak terlihat oleh masyarakat.”

Mungkin saja riyā’ masuk pada dirimu dari sisi


yang tidak diketahui oleh masyarakat.

Riyā’ itu ada dua macam:


Pertama, riyā’ jallī (jelas atau terang), ya‘ni
memperlihatkan ‘amal perbuatan di hadapan
masyarakat agar dipuji dan disebut sebagai orang
yang shālih.
Kedua, riyā’ khafī (tersembunyi atau samar),
ya‘ni melakukan ‘amal perbuatan dengan
bersembunyi dari pandangan masyarakat akan
tetapi tujuannya dengan bersembunyi adalah agar
diagungkan dan dihormati masyarakat.

Adapun tanda-tanda riyā’ khafī adalah: suka


dihormati, benci ketika dihina orang, ketika duduk
lebih suka berada di atas, ketika diketahui
kekurangannya ia mengingkari dan sangat marah,
ketika berbelanja ingin harga yang murah karena
memandang tingkat agama dan ‘ilmunya, ketika
menginginkan sesuatu harus lekas dituruti karena
merasa menjadi orang yang ahli agama dan ahli
‘ilmu.
Ketika ditemukan tanda-tanda ini di dalam diri
seseorang, maka bisa dipastikan bahwa orang
tersebut riyā’ dalam ber‘amal, meskipun ‘amal
perbuatannya disembunyikan dari pangangan
manusia.
Diceritakan bahwa Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib r.a.
berkata: Kelak pada hari kiamat Allah s.w.t.
berfirman kepada para qurrā’ (penghafal
al-Qur’ān): “Wahai qurrā’, tidakkah kalian semua
telah mendapatkan harga yang murah ketika
berbelanja? Tidakkah kalian semua telah dihormati
masyarakat? Tidakkah hajat kalian semua telah
dihormati masyarakat? Tidakkah hajat kalian
semua sudah tersampaikan? Maka tidak ada
pahala apapun untuk kalian semua, karena kalian
sudah mendapatkan balasan pahala kalian di
dunia.”
Wallāhu a‘lam.

Tidak ada yang bisa selamat dari riyā’ khafī kecuali


orang-orang yang ‘ārif.
SYARAH HIKMAH KE-100

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫ش َرافُ َك َأنْ َي ْع َل َم ا ْل َخ ْل ُق ِب ُخ‬


.‫ص ْوصِ َّي ِت َك دَ لِ ْيل ٌ َع َلى َعدَ ِم صِ دْ قِ َك ف ِْي ُع ُب ْو ِد َّي ِت َك‬ ْ ‫ا ِْس ِت‬

“Keinginanmu agar orang mengetahui


keistimewaanmu adalah bukti ketidakjujuran
dalam ‘ubūdiyyah-mu.”

Keinginanmu untuk memberitahukan ‘amal


perbuatan dan ‘ilmumu kepada orang lain adalah
bukti ketidakjujuran dalam ‘ubūdiyyah-mu.

Karena yang dinamakan jujur dalam ber‘ibādah


adalah tidak bersombong diri pada makhlūq dan
tidak mengharap apapun dari mereka. Sebagian
‘ulamā’ berkata: “barang siapa suka memamerkan
‘amal perbuatannya maka ia disebut orang yang
riyā’, dan barang siapa yang suka memamerkan
‘ilmunya, ia termasuk yang berbohong.”
Tanda seseorang yang suka memamerkan ‘amal
perbuatan baiknya adalah tidak menerima jika
disebut jelek dan jika dicela oleh orang yang ahli
berbuat kejelekan ia akan sangat marah.
Tanda seseorang yang memamerkan ‘ilmunya
adalah tidak menerima dan marah ketika dianggap
bodoh. Sebab timbulnya itu semua adalah ketika
berada di khalayak umum, di majlis perkumpulan,
dan bersama orang banyak. Oleh karena itu wahai
murīd, takut (khawatirlah) kalian ketika berada
pada suatu perkumpulan, dan berhati-hatilah
kalian karena itu adalah tempat yang menjadikan
rusaknya manusia pada umumnya.
Alhasil, hendaknya seorang murīd
menyembunyikan ‘amal perbuatannya dan merasa
cukup atas penglihatan Allah padanya.
SYARAH HIKMAH KE-101

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫َغ ِّي ْب َن َظ َر ا ْل َخ ْل ِق ِإ َل ْي َك ِب َن َظ ِر‬


.‫هللا ِإ َل ْي َك‬

“Hilangkan pandangan makhlūq terhadapmu


karena merasa puas dengan pandangan Allah
terhadapmu.”

Hilangkanlah pandangan makhlūq terhadapmu dan


cukupkanlah dengan pandangan Allah terhadapmu.

Jangan memperhatikan pandangan makhlūq,


jangan mencari pandangan makhlūq, akan tetapi
jadikanlah semua makhlūq sirna dari
pandanganmu dan selalu beranggapanlah bahwa
Allah s.w.t. selalu memperhatikan ‘amal
perbuatanmu.
ُ ‫َو غِ ْب َعنْ ِإ ْق َبالِ ِه ْم َع َل ْي َك ِب‬
.‫ش ُه ْو ِد ِإ ْق َبالِ ِه َع َل ْي َك‬

“Dan lupakanlah sambutan mereka dengan


menyaksikan sambutan-Nya kepadamu.”

Hilangkanlah sambutan makhlūq terhadapmu dan


merasa yakinlah sesungguhnya Allah selalu
melihatmu.
SYARAH HIKMAH KE-102

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫اَل ُت َمدَّ نَّ َيدَ َك إ َلى اَأْل ْخ ِذ مِنَ ا ْل َخاَل‬


.‫ِئق ِإاَّل َأنْ َت َرى َأنَّ ا ْل ُم ْعطِ ْي فِ ْي ِه ْم َم ْواَل َك‬

“Jangan mengulurkan tanganmu untuk menerima


sesuatu dari pemberian makhlūq kecuali engkau
merasa bahwa yang memberimu itu sebenarnya
adalah Tuhanmu.”

Jangan mengulurkan tangan untuk menerima


pemberian makhlūq berupa harta dan lainnya,
kecuali jika engkau telah memenuhi dua syarat,
maka engkau boleh mengambilnya.

Pertama, engkau berkeyakinan bahwa Dzāt yang


memberi adalah Tuhanmu.

Jangan meyakini yang memberimu adalah


makhlūq, akan tetapi makhlūq hanyalah menjadi
sebab ditampakkannya pemberian Allah.
Keyakinan yang seperti ini tidak cukup hanya
diketahui saja, akan tetapi harus disertai
kemantapan hati bahwa yang memberi hanyalah
Allah s.w.t. semata.

.‫َفِإ َذا ُك ْن َت َكذلِ َك َف ُخ ْذ َما َوا َف َق َك ا ْل ِع ْل ِم‬

“Jika engkau telah demikian, maka ambillah apa


yang sesuai dengan pengetahuanmu.”

Syarat yang kedua adalah setelah engkau


meyakini (mengimani) bahwa yang memberimu
adalah Allah s.w.t., maka ambillah apa yang sudah
jelas engkau ketahui, baik secara syarī‘at maupun
hakikat.

Dengan cara mengambil (bagianmu) hanya dari


orang yang mukallaf, yang asal-usulnya tidak
syubhat, dan untuk tujuan menolong, maksudnya
hanya mengambil sebatas memenuhi
kebutuhannya dan keluarganya. Kendati demikian,
jangan terlalu berlebihan dalam hal memberi
nafkah, makan, minum, pakaian dan tempat
tinggal. Jangan mengambil sesuatu sebelum
engkau membutukannya.

Jangan mengambil lebih dari apa yang kau


butuhkan.

Jangan mengambil dari orang yang suka


mengungkit-ungkit pemberian.

SYARAH HIKMAH KE-103


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ف َأنْ َي ْر َف َع َح‬
.‫اج َت ُه ِإ َلى َم ْواَل هُ اِل ِ ْك ِت َفاِئ ِه ِب َمشِ ْيَئ ِت ِه‬ ِ ‫اس َت ْح َيا ا ْل َع‬
ُ ‫ار‬ ْ ‫ُر َّب َما‬

“Kadangkala seorang ‘ārif itu malu untuk


mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah,
karena merasa cukup dengan kehendak-Nya.”

Adakalanya seorang ‘ārif itu merasa malu untuk


mengungkapkan hajatnya kepada Tuhannya,
karena merasa cukup dengan kehendak-Nya.

.‫ف اَل َي ْس َت ْحيِ َأنْ َي ْر َف َع َها ِإ َلى َخلِ ْي َق ِت ِه‬


َ ‫َف َك ْي‬

“Bagaimana tidak malu meminta hajatnya kepada


makhlūq-Nya.”

Bagaimana ia tidak malu untuk meminta hajatnya


kepada makhlūq-Nya?
Tak satupun orang ‘ārifīn yang meminta sesuatu
dan menyampaikan hajatnya kepada makhlūq.
Karena makhlūq semuanya miskin, yang kaya
hanyalah Allah saja.

SYARAH HIKMAH KE-104


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫س َفا َّت ِبعْ ُه َفِإ َّن ُه اَل َي ْثقُ ُل َع َل ْي َها ِإاَّل َما‬
ِ ‫ظرْ َأ ْث َق َل ُه َما َع َلى ال َّن ْف‬ ِ ‫ْك َأمْ َر‬
ُ ‫ان َفا ْن‬ َ ‫ِإ َذا ْال َت َب‬
َ ‫س َع َلي‬
.‫ان َح ًّقا‬ َ ‫َك‬

“Jika ada dua hal yang tidak jelas bagimu, lihatlah


(perhatikanlah) di antara keduanya yang paling
berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia. Sebab tidak akan
terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang
benar (hak).”

Jika ada dua hal yang serupa bagimu, dua perkara


wajib atau dua perkara sunnah, sedangkan engkau
tidak mengetahui mana yang lebih utama, seperti
memilih untuk mengaji (mengajarkan ‘ilmu) dan
mencari nafkah untuk anak istri. Padahal,
keduanya sama-sama berhukum wajib, dan
engkau tidak mengetahui salah satu di antaranya
yang kebih baik. Maka tanyakanlah pada nafsumu,
mana yang lebih berat baginya, itulah yang lebih
utama dan lebih benar. Lalu ikuti yang lebih berat
dan tinggalkan perkara yang lebih ringan baginya,
beginilah timbangan ‘amal perbuatanmu tatkala
saat terdapat keserupaan.

Contoh lainnya, semisal engkau bingung memilih


menyibukkan diri dengan mengaji ‘ilmu nāfi‘ yang
hukumnya fardhu ‘ain atau dengan mengikuti
tharīqat ‘ulamā’ dalam meng‘amalkan wirid. Lalu
engkau tidak mengetahui salah satu di antaranya
yang lebih utama. Maka lihat dan perhatikanlah
mana yang lebih disenangi nafsumu, lalu
tinggalkan itu, karena nafsu selalu ingin riyā’ dan
sibukkanlah dirimu dengan hal yang berat
dilakukan oleh nafsumu.

Cara lain yang lebih sesuai adalah dengan


mengambil ‘ibarat (pelajaran) jika engkau
meninggal, ‘amal manakah yang lebih engkau
senang ketika ruhmu keluar? Apakah engkau lebih
suka dalam keadaan melakukan dzikir ataukah
dalam keadaan membawa (mempelajari kitab?)
Maka mana yang lebih engkau senangi,
lakukanlah! Jika engkau lebih menyukai ruhmu
keluar saat kamu larut dalam berdzikir kepada
Allah, sibukkanlah dirimu dengan berdzikir,
tinggalkanlah mengaji. Sedangkan jika engkau
lebih suka jika ruhmu keluar saat engkau
memegang (mengaji) kitab, maka sibukkanlah
dirimu dengan mengaji atau mengajar, tinggalkan
tharīqat dzikir.

Pembahasan contoh-contoh atas selain belajar


yang berhukum fardhu ‘ain, yaitu mengetahui
zhāhirnya ‘ilmu syarī‘at tentang ‘ibādah zhāhir,
seperti shalat dan lainnya. Dan untuk mengetahui
bāthinnya ‘ilmu syarī‘at, seperti mempelajari sifat
madzmūmah (tercela) dan sifat maḥmūdah
(terpuji) yang ada di dalam hati, meyakini i’tiqād
ushūl-ud-dīn tentang ‘aqā’id khamsīn (akidah 50)
dan mempelajari ‘ilmu adab (tatakrama). Sebab
‘ilmu yang wajib dipelajari itu ada tiga; pertama,
‘ilmu yang bisa membenarkan taat. Kedua, ‘ilmu
yang bisa membenarkan i‘tiqād. Ketiga,
mempelajari ‘ilmu yang bisa membersihkan hati
dari segala sifat muhlikāt (sifat-sifat yang merusak
‘amal) dan munjiyāt (sifat-sifat yang
menyelamatkan ‘amal).

Seseorang yang belum mempelajari ketiga ‘ilmu


tersebut tidak diperkenankan mengikuti tharīqat
para ‘ulamā’ dengan cara apapun. Sebab
tanda-tanda orang yang mengikuti hawa-nafsunya
adalah bergegas melakukan ‘ibādah sunnah dan
bermalas-malasan melaksanakan ‘ibādah fardhu.

SYARAH HIKMAH KE-105


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ار َع ُة ِإ َلى َن َواف ِِل ا ْل َخ ْي َرا‬


.‫ت‬ َ ‫س‬َ ‫اع ا ْل َه َوى ا ْل ُم‬ ِ ‫مِنْ َعاَل َما‬
ِ ‫ت ا ِّت َب‬

“Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah


bersegera melakukan amalan sunnah.”

Sebagian tanda seseorang yang suka menuruti


hawa-nafsunya adalah bersegera melaksanakan
‘ibādah sunnah.
ِ ‫س ِل َع ِن ا ْلقِ َي ِام ِبا ْل َوا ِج َبا‬
.‫ت‬ ُ ‫َو ال َّت َكا‬

“Dan malas menunaikan kewajiban.”

Dan malas melaksanakan ‘ibādah wajib.

Orang seperti ini termasuk jenis orang yang mudah


melakukan perkara bāthil dan berat melakukan
sesuatu yang hak dan ini yang terjadi pada
kebanyakan manusia, merasa berat melakukan
taubat dari ḥaqqullāh dan ḥaqqu adamī, tidak
meminta kehalalan kepada orang yang telah
digunjingkan, padahal meminta maaf (minta halal)
kepada orang yang telah diambil haknya itu
hukumnya fardhu ‘ain.
Mereka justru sibuk melakukan ‘ibādah sunnah,
shalat sunnah, puasa sunnah, berkali-kali
berangkat ke Makkah untuk melakukan haji
sunnah (atau ‘umrah), meninggalkan hal yang
berhukum fardhu ‘ain yaitu bermujāhadah
(memerangi nafsunya), padahal jika manusia sibuk
melaksanakan ‘ibādah yang fardhu ‘ain, maka ia
tidak akan sempat melaksanakan ‘ibādah sunnah.
Manusia pada umumnya berat menunaikan ‘ibādah
wajib. Sebab, dalam melaksanakan ‘ibādah fardhu
itu tidak bisa menaikkan derajatnya dalam
pandangan masyarakat, berbeda apabila
melakukan ‘ibādah sunnah maka kemungkinan
besar ia akan terkenal dan mendapat selisih
kedudukan dari orang lain, dan inilah yang
diinginkan oleh nafsu ammārah.

Kebanyakan manusia merasa berat hati untuk


belajar ‘ilmu yang fardhu ‘ain sementara mereka
ringan untuk masuk tharīqat ‘ulamā’ dan auliyā’
padahal mencari ilmu tadi lebih fardhu. Amal tidak
akan sah jika tidak disertai ilmu. Sehingga
mayoritas manusia tersibukkan dengan mengikuti
tharīqat ‘ulamā’ padahal mereka belum
mengetahui rukun, syarat dan perkara yang
membatalkan syahādat, padahal syahādat adalah
awal dari rukun Islam, begitu pula tata cara shalat
dan asrār-nya (rahasia shalat).

Sebagian manusia sibuk melaksanakan ‘ibādah


haji, padahal dia belum memenuhi syarat dan
kewajiban haji dan tidak mempelajari tata cara
‘ibādah haji dan shalat, maka yang demikian itu
hanyalah karena menuruti hawa-nafsunya, karena
mereka menganggap bahwa dengan mencari ‘ilmu
dan tidak akan mendapatkan kedudukan di mata
masyarakat. Padahal ‘ilmu hakikat tidak akan sah
jika tidak disertai ‘ilmu syarī‘at. (131) Maka
takutlah kalian wahai murīd dari tipu-daya nafsu
ammārah. Oleh karenanya, engkau harus
mengetahui sifat-sifat nafsu.

Catatan:
13). Syarī‘at adalah perintah yang harus ditepati
dalam ‘ibādah, sementara hakikat adalah
kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan
dalam setiap sisi kehidupan. Setiap syarī‘at yang
kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak
dapat diterima, sebaliknya setiap hakikat yang
perwujudannya tidak dilandasi syarī‘at tidak akan
berhasil. Syarī‘at adalah hukum dari Sang Maha
Pencipta, sementara hakikat bersumber dari
dominasi kreativitas al-Ḥaqq. Syarī‘at merupakan
penyembahan makhlūq kepada Sang Khāliq,
sementara hakikat adalah kesaksian akan
kehadiran-Nya. Syarī‘at adalah penegakan apa
yang diperintahkan-Nya, sementara hakikat adalah
kesaksiannya terhadap sesuatu yang telah
ditentukan dan ditaqdīrkan oleh-Nya.
Menurut pentaḥqīq kitab
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Ma‘rūf Mushthafā
Zurā’iq, dengan demikian, dapat disimpulkan,
syarī‘at adalah pengetahuan atau konsep
merambah jalan menuju Allah, sementara hakikat
adalah keabadian melihat-Nya, sementara thariqah
adalah proses perjalanan hamba meniti jalan
syarī‘at menuju hakikat. Dengan kata lain,
aktualisasi dengan ketentuan hukum yang sah
secara syarī‘at itulah yang kemudian disebut
dengan tharīqah. Lihat: Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm
Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī,
ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 82-83.
SYARAH HIKMAH KE-106
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ان اَأْل ْو َقا‬


. ِ‫ت َك ْي اَل َي ْم َن َع َك َع ْن َها ُو ُج ْو ُد ال َّت ْس ِو ْيف‬ ِ ‫ت ِبَأ ْع َي‬
ِ ‫اعا‬ َّ َ‫َق َّيد‬
َ ‫الط‬

“Allah mengikat (membatasi) ketaatan dengan


ketentuan waktu agar sikap suka menangguhkan
tidak merintangimu untuk mengerjakannya.”

Allah membatasi ketaatan dengan menentukan


waktunya, agar engkau tidak menunda-nunda
berbuat taat.

ِ ‫ِص َة ااْل ِ ْخ ِت َي‬


.‫ار‬ َّ ‫س َع َع َل ْي َك ا ْل َو ْق َت َك ْي َت ْب َقى َل َك ح‬
َّ ‫َو َو‬

“Namun, Allah memperluas waktunya agar tetap


ada peluang bagimu untuk memilih.”

Allah memperluas waktu untukmu supaya engkau


memiliki peluang untuk memilih.

Ketika engkau melakukan ketaatan di awal waktu,


pertengahan waktu atau akhir waktu, engkau tidak
akan dikategorikan orang yang suka
menyia-nyiakan waktu.

SYARAH HIKMAH KE-107


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ض ا ْل ِع َبا ِد ِإ َلى ُم َعا َم َل ِت ِه َفَأ ْو َج َب َع َل ْي ِه ْم ُو ُج ْو ُد َط‬


.‫اع ِت ِه‬ ِ ‫َعلِ َم قِ َّل َة ُن ُه ْو‬

“Allah mengetahui kurang semangatnya hamba


dalam ber‘ibādah. Oleh karena itu, Dia
mengharuskan mereka untuk menunaikan
sejumlah ketaatan.”

Allah sudah mengetahui akan kemalasan


hamba-Nya dalam ber‘ibadah, maka Allah
mewajibkan mereka untuk melaksanakan
ketaatan, dan mengancam atau menakut-nakuti
orang yang suka meninggalkan ketaatan dengan
dimasukkan ke dalam neraka.

َ ‫سا َق ُه ْم ِإ َل ْي َها ِب‬


ِ ‫ساَل سِ ِل اِإْل ْي َجا‬
.‫ب‬ َ ‫َف‬
“Sehingga Ia menggiring mereka dengan rantai
kewajiban.”

Allah menggiring mereka semua agar melakukan


ketaatan dengan rantai kewajiban.

Allah s.w.t. menggiring hamba-Nya menuju


ketaatan dengan kewajiban melakukan ‘ibādah.
Agar kelak di akhirat, hamba tersebut
mendapatkan kebahagiaan sebab ketaatan yang
dia lakukan, walaupun terdapat masyaqqat
(kesulitan) di saat melaksanakannya. Allah
memperlakukan hamba-Nya sebagaimana
perlakuan ayah terhadap anaknya.

Tidakkah engkau melihat seorang ayah yang


mengajari, bahkan memukuli anaknya karena ia
terlalu menuruti hawa-nafsunya? Ketika seorang
anak akan memakan sesuatu yang membahayakan
dirinya, sang ayah akan memaksa anaknya untuk
menjauhi makanan tersebut, si anak kesulitan
sekali melaksanakannya, ia membenci larangan
tersebut, ia tidak suka melakukannya. Sebenarnya
tindakan sang ayah adalah untuk kebaikan si anak,
hanya saja si anak belum mengerti hal itu. Ketika
ia sudah besar dan akalnya sudah sempurna, maka
ia akan tahu bahwa pemaksaan dan pengajaran
ayahnya itu ternyata bermanfaat untuk dirinya
sendiri, bukan untuk ayahnya. Begitu pula apa
yang dilakukan Allah terhadap hamba-Nya,
memaksa hamba-Nya untuk melaksanakan
kewajiban itu manfaatnya hanya akan kembali
kepada diri hamba sendiri bukan kembali kepada
Allah.
Oleh karena itu Syaikh berkata:

.‫بالساَل سِ ِل‬
َّ َ ‫َع ِج َب َر ُّب َك مِنْ َق ْو ٍم ُي‬
‫ساقُ ْونَ ِإ َلى ا ْل َج َّن ِة‬

“Tuhan kagum dengan kaum yang digiring menuju


surga dengan rantai tersebut.”

Apakah engkau tidak heran kepada manusia yang


digiring menuju surga dengan paksa, sedangkan
leher mereka semua dirantai?

Allah mewajibkan ketaatan hanya karena


bertujuan untuk memasukkan mereka ke dalam
surga.

SYARAH HIKMAH KE-108


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َأ ْو َج َب َع َل ْي َك ُو ُج ْودَ خِدْ َم ِت ِه َو َما َأ ْو َج َب َع َل ْي َك ِإاَّل ُد ُخ ْول ُ َج َّن ِت ِه‬

“Allah mewajibkanmu berbuat taat, padahal yang


sebenarnya hanya mewajibkanmu masuk ke dalam
surga-Nya.”

Secara lahiriah Allah mewajibkanmu ber‘ibādah,


namun secara hakikinya Allah tidak mewajibkan
apa-apa kepadamu kecuali hanya mewajibkanmu
masuk surga-Nya.

Allah itu Maha Kaya dan tidak membutuhkan


makhlūq-Nya, tidak ada manfaat apapun bagi Allah
sebab disembah, dan tidak ada bahaya apapun
bagi Allah sebab didurhakai dan dibohongi. Allah
tidak akan mewajibkan suatu hukum kepadamu
kecuali kebaikannya hanya akan kembali kepada
dirimu sendiri, ya‘ni memasukkanmu ke dalam
surga. Allah mewajibkan semua itu kepadamu
bukan untuk mendapatkan kemanfaatan atau
bertambahnya kemuliaan-Nya. Tidak!

SYARAH HIKMAH KE-109


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ش ْه َو ِت ِه َو َأنْ ُي ْخ ِر َج ُه مِنْ ُو ُج ْو ُد َغ ْف َل ِت ِه َف َق ِد‬


‫اس َت ْع َج َز‬ َ ْ‫اس َت ْغ َر َب َأنْ ُي ْنق َِذهُ هللاُ مِن‬
ْ ‫َم ِن‬
َ ِّ ‫ َو َكانَ هللاُ َع َلى ُكل‬:‫ا ْلقُدْ َر َة اِإْلل ِه َّي َة‬
.‫ش ْي ٍء ُم ْق َتد ًِرا‬

“Barang siapa merasa tidak mungkin dapat


diselamatkan oleh Allah dari pengaruh hawa-nafsu
syahwatnya, atau dihindarkan dari kelalaiannya,
maka berarti ia telah menganggap lemah qudrat
Ilahi (kekuasaan Allah). Padahal, “Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.”

Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah tidak


mampu menyelamatkan hamba-hambaNya dari
syahwatnya dan ujian hawa-nafsunya, maka ia
sungguh melemahkan sifat Qudrah Allah.

Padahal Allah adalah Dzāt yang menguasai segala


sesuatu. Ya‘ni, sangat rasional jika Allah
berkehendak mengasihi hamba-Nya maka Ia akan
mengeluarkan mereka dari pengaruh syahwat dan
hawa-nafsunya, walaupun mereka selalu berbuat
maksiat, jika Allah hendak menjadikan mereka
kekasih maka ia akan menjauhkannya dari
perbuatan maksiat dan menjadikannya orang yang
shāliḥ.

Sebagaimana cerita Syaikh Fudhail bin ‘Iyādh r.a.,


awalnya beliau adalah pembegal besar, lalu ia
meninggalkan kemaksiatan tersebut, dan ia
menjadi kekasih dan wali Allah.

SYARAH HIKMAH KE-110


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ت ال ُّظ ْل ُم َع َل ْي َك لِ ُي َع ِّر َف َك َقدْ َر َما َمنَّ هللاُ ِب ِه َع َل ْي َك‬


ِ َ‫ُر َّب َما َو َرد‬

“Adakalanya kegelapan (dosa atau maksiat dan


syahwat) datang kepadamu, untuk mengingatkan
anugerah Allah atas dirimu.”

Karena mungkin saja maksiat datang kepadamu


supaya engkau mengetahui kadar anugerah yang
Allah berikan kepadamu.

SYARAH HIKMAH KE-111


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫َمنْ َل ْم َي ْع ِرفِ ال ِّن َع َم ِب ُو ْجدَ ا ِن َها َع َر َف َها ِب ُو ُج ْو ِد فُ ْقدَ ا ِن َها‬

“Barang siapa yang tidak mengetahui nilai sebuah


keni‘matan ketika ada , maka ia akan
mengetahuinya ketika sudah tidak ada (lenyap).”

Barang siapa yang tidak mengetahui kadar sebuah


ni‘mat tatkala ada, maka Allah akan
memberitahukan kepadanya ketika ni‘mat tersebut
sudah tidak ada.

Semisal, awalnya engkau tidak mengetahui nilai


ni‘mat adanya air, lantas engkau tersesat di hutan
belantara dan tidak menemukan air, maka engkau
akan mengetahui betapa berharganya ni‘mat
adanya air. Maka bersyukurlah saat engkau diberi
ni‘mat Islām dan Īmān, ketika engkau meninggal
dunia akan mengetahui celakanya orang yang
tidak diberi ni‘mat Islām dan Īmān.

SYARAH HIKMAH KE-112


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ُ ‫ات ال ِّن َع ِم َع ِن ا ْلقِ َي ِام ِب ُحقُ ْو ِق‬


.‫ش ْك ِر َك‬ ُ ‫اَل ُتدْ ِه‬
ُ َ‫ش َك َو ِارد‬

“Jangan sampai limpahan ni‘mat membuatmu


bingung dalam menunaikan kewajiban untuk
bersyukur.”

Jangan sampai berlimpahnya keni‘matan


membingungkanmu untuk menunaikan kewajiban
mensyukurinya.
.‫َفِإنَّ ذلِ َك ِم َّما َي ُح ُّط مِنْ ُو ُج ْو ِد َقدْ ِر َك‬

“Sebab perasaan yang demikian berarti


merendahkan harga dirimu sendiri.”

Sebab hal itu (tidak mensyukuri ni‘mat) akan


menjadikan derajatmu turun, karena Allah telah
memuliakanmu dengan melipatgandakan ‘amal
perbuatanmu. Dan menjadikan ‘amal yang sedikit
menjadi banyak. Allah berfirman:

‫َمنْ َجا َء ِب ْال َح َس َن ِة َف َل ُه َع ْش ُر َأمْ َثالِ َها‬

“Barang siapa mendatangi Allah dengan membawa


satu kebaikan maka baginya sepuluh (pahala)
‘amal yang sama dengan yang ia bawa.” (Q.S.
al-An‘ām [6]: 160).

Sahal bin ‘Abdillāh r.a. berkata: “Tidak ada satupun


ni‘mat yang datang kecuali mensyukurinya itu
lebih utama daripada ni‘mat itu sendiri.”

Dan ni‘mat yang mendatangkan rasa syukur itulah


yang lebih utama lagi daripada ni‘mat-ni‘mat yang
telah lalu, sebab ni‘mat akan bertambah jika
disyukuri. Cara mensyukuri ni‘mat adalah dengan
menggunakannya untuk melakukan ketaatan.
SYARAH HIKMAH KE-113
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫َت َم ُّكنُ َحاَل َو ِة ا ْل َه َوى مِنَ ا ْل َق ْل‬


َ ‫ب ه َُو الدَّ ا ُء ا ْل ُع‬
.ُ ‫ضال‬

“Kelezatan hawa nafsu yang sudah bersarang di


qalbu merupakan penyakit kronis.”

Senang dunia yang sudah melekat di dalam qalbu


adalah penyakit yang sudah kronis, sulit diobati,
sehingga obat iman dan yakin tidak lagi
bermanfaat.

Sangat sulit memasukkan iman dan keyakinan


yang sempurna pada hati yang dihinggapi
kelezatan hawa-nafsu dan tidak akan pernah bisa
yakin kepada Allah.

Ketika penyakit sudah bersarang di dalam hati,


maka tidak ada lagi obat yang bermanfaat dan
sangat sulit mengobatinya kecuali jika ada fadhal
dari Allah. Di antara fadhal itu adalah wārid ilāhī.

SYARAH HIKMAH KE-114


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫ف ُم ْزعِ ٌج َأ ْو‬
.‫ش ْو ٌق ُم ْقل ٌِق‬ ِ ‫ش ْه َو َة مِنَ ا ْل َق ْل‬
ٌ ‫ب ِإاَّل ُخ ْو‬ ُ ‫اَل ُي ْخ ِر‬
َّ ‫ج ال‬

“Tiada yang bisa mengusir syahwat dari hati,


kecuali rasa takut yang menggetarkan atau rindu
yang menggelisahkan.”

Tidak ada yang bisa keluar dari jeratan cinta dunia


yang sudah bersarang di relung qalbu, kecuali jika
ditakut-takuti dengan siksa Allah yang tercantum
di dalam al-Qur’ān yang bisa menggetarkan. Ya‘ni,
mengingatkan kesulitan ajal dan kesakitannya,
dikuburnya orang mati, dan mengingat bahwa
semuanya pasti juga akan dimasukkan ke liang
lahat sendirian tanpa teman, mengingat
pertanyaan malaikat munkar dan nakir, mengingat
kesulitan di padang maḥsyar. Sejatinya kita semua
akan berdiri di padang maḥsyar selama 1.000
tahun atau 50.000 tahun, dan pada waktu itu
matahari diturunkan berjarak tepat di atas kepala
seluruh makhlūq, ‘amal kita semua pasti akan
dihisab dan dimintai pertanggungjawaban, umur,
keni‘matan, ketaatan, ‘amal buruk dan hal-hal lain
yang sudah disebutkan dalam hadits Nabi. Atau
dengan membayangkan keni‘matan surga yang
sudah dipersiapkan untuk orang yang ahli berbuat
ketaatan. Hak-hak di atas bisa dilakukan dengang
mengikuti perkumpulan orang ahli dzikir, dan
perkumpulan orang yang gemar mempelajari ‘ilmu
nāfi‘. Atau bisa juga dengan membaca al-Qur’ān
yang disertai dengan merenungkan ma‘na yangg
terkandung di dalamnya.

SYARAH HIKMAH KE-115


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ْ ‫ِب ا ْل َق ْل َب ا ْل ُم‬
.‫ش َت ِر َك‬ ُّ ‫ش َت َر َك َكذلِ َك اَل ُيح‬
ْ ‫ِب ا ْل َع َمل َ ا ْل ُم‬
ُّ ‫َك َما اَل ُيح‬

“Sebagaimana Allah tidak menyukai ‘amal yang


dipersekutukan dengan-Nya, demikian pula Allah
tidak menyukai hati yang bersekutu.”

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dan juga


tidak memberi pahala ‘amal perbuatan yang
disekutukan dengan riyā’ khafī dan riyā’ jalī.
Demikian pula, Allah juga tidak akan menerima
dan tidak akan memberi pahala pada hati yang
disekutukan dengan mencintai dan menyukai
selain-Nya serta bersandar kepada selain-Nya,
bersandar kepada ‘amal perbuatan, ‘ilmu dan
lainnya.

SYARAH HIKMAH KE-116


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ُحقُ ْو ٌق فِي اَأْل ْو َقا‬


َ ‫ت ُي ْمكِنُ َق‬
.‫ضاُؤ هَا‬

“Berbagai kewajiban yang dikerjakan pada


sejumlah waktu dapat di-qadhā’.”

Kewajiban yang berada pada waktu yang sudah


ditetapkan itu dapat di-qadhā’. Seperti ‘ibādah
shalat atau puasa ketika tidak sempat
dilaksanakan maka bisa di-qadha’ pada waktu
yang lain.

ِ ‫َو ُحقُ ْو ُق اَأْل ْو َقا‬


َ ‫ت اَل ُي ْمكِنُ َق‬
.‫ضاُؤ هَا‬

“Akan tetapi, hak-hak yang disediakan Allah dalam


berbagai waktu tidak dapat diulangi.”

Haknya waktu tidak bisa di-qadhā’ atau


dilaksanakan pada waktu lain.
Hak waktu yang dimiliki oleh setiap hamba
itu ada 4 macam, yaitu ni‘mat, musibah, taat
dan maksiat.

Adapun Hak ketika mendapatkan keni‘matan


adalah dengan bersyukur.

Hak ketika terkena musibah adalah bersabar


dan ridhā,

Hak ketika melakukan taat adalah


menganggapnya sebagai anugerah Allah dan
sebagai keni‘matan dari-Nya, jangan merasa
bahwa ketaatan itu timbul dari dirimu sendiri.

Hak ketika melakukan maksiat adalah


memohon ampun dan bertaubat.
Itu semua adalah hak-hak yang ketika terlewatkan
tidak bisa di-qadhā’.
‫هلل َع َل ْي َك فِ ْي ِه َح ٌّق َج ِد ْي ٌد َو َأ ْم ٌر َأ ِك ْي ٌد‬ ٍ ‫ِإ ْذ َما مِنْ َو ْق‬
ِ ‫ت َي ِر ُد ِإاَّل َو‬

“Sebab tiada suatu waktu melainkan ada hak


kewajiban yang baru dan perintah yang
ditekankan.”

Karena tak satupun waktu yang diciptakan Allah,


kecuali terdapat hak dan kewajiban yang harus
kau penuhi di dalamnya.

.ِ‫هللا فِ ْيه‬ ِ ‫ف َت ْقضِ ْي فِ ْي ِه َح ٌّق َغ ْي ِر ِه َو َأ ْن َت َل ْم َت ْق‬


ِ ‫ض َح َّق‬ َ ‫َف َك ْي‬

“Maka bagaimanakah engkau akan menyelesaikan


hak lainnya, sedangkan engkau belum
menyelesaikan hak Allah dalam waktu itu?.”

Maka bagaimana bisa engkau melaksanakan hak


orang lain, sementara engkau belum
melaksanakan hak Allah pada waktu tersebut,
seperti syukur, ridhā, memandang anugerah Allah
dalam ketaatan dan bertaubat ketika maksiat.

Maka wajib bagi seorang murīd untuk menjaga dan


berwaspada atas waktu yang ada empat tadi,
jangan sampai tersibukkan dengan menuruti
hawa-nafsunya, sebab engkau akan merugi dan
tidak mampu untuk meng-qadhā’-nya.

SYARAH HIKMAH KE-117


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫َما َف‬
َ ‫ات مِنْ ُع ْم ِر َك اَل عِ َو‬
.‫ض َل ُه‬

“Yang berlalu dari usiamu tidak bisa diganti


kembali.”

Sesuatu yang sudah terlewatkan dari usia hidupmu


sudah tidak bisa digantikan lagi (diulang kembali).

Usiamu yang berlalu tidak bisa kembali lagi, ketika


engkau tidak melakukan ‘amal shāliḥ pada usia
hidupmu, maka engkau termasuk orang yang rugi,
engkau tidak dapat mendapatkan keberuntungan
dan tidak bisa mengulang atau meng-qadhā’-nya
kembali.

.‫صل َ َل َك ِم ْن ُه اَل قِ ْي َم َة َل ُه‬


َ ‫َو َما َح‬
“Dan apa yang kau raih darinya tidak ternilai
harganya.”

Apa yang kau hasilkan di masa hidupmu maka


tidak ternilai harganya.

Sebab engkau bisa mendapatkan keberuntungan


untuk selamanya jika engkau mengisi waktumu
dengan ‘amal shāliḥ. Oleh karenanya orang-orang
shalih sangat memperatikan setiap nafas dan
waktunya, mereka bersegera dalam
memaksimalkan usia dan hidupnya untuk berbuat
‘amal kebaikan, mereka tidak menyia-nyiakan
usianya untuk berbuat yang tercela.

Disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w., bahwasanya


Nabi bersabda: “Tiada suatu masa yang datang
pada seorang hamba yang tidak dia gunakan untuk
berdzikir kepada Allah, melainkan pada hari kiamat
ia hanya bisa meratapi nasib dan menyesal. Kelak
di hari kiamat, manusia melewati siang dan malam
selama 24 jam, mereka akan diperlihatkan 24
gedung yang berjejer, akan terlihat di tiap gedung
tersebut dipenuhi dengan ni‘mat pembalasan
terhadap ‘amal perbuatan yang dilakukan pada
saat itu, adapun waktu-waktu yang tidak ada ‘amal
apapun di dalamnya, maka gedungnya pun
kosong, di situlah letak penyesalan yang tidak
terhingga, dan sesal kemudian tetap tidak
berguna.”

Disebutkan di dalam hadits lain bahwa saat seluruh


penduduk surga sedang meni‘mati kesenangan
surga, tiba-tiba terpancar sebuah cahaya yang
melebihi cahaya semua penduduk surga,
sebagaimana pancaran cahaya matahari lebih
terang dari pada cahaya rembulan, seluruh
penduduk surga menyaksikan cahaya tersebut
kemudian muncul laki-laki di atas surga ‘illiyyīn
yang bersinar bagaikan bintang durrī di atas langit.
Cahaya dan keindahan mereka melebihi semua
penduduk surga. Seluruh penduduk surga melihat
ke arah laki-laki bersinar yang beterbangan
menghadap kepada Allah Dzil-Jalāli wal-Ikrām dan
penduduk surga memanggil-manggil orang yang
beterbangan tadi: “wahai saudaraku, apa gerangan
yang menjadikan kalian lebih baik dari aku,
padahal aku juga melaksanakan shalat
sebagaimana shalat kalian, aku juga
melaksanakan puasa sebagaimana puasa kalian,
apa penyebab kalian bisa mengungguliku?” Maka
terdengarlah firman Allah yang tanpa huruf dan
tanpa suara: “Mereka bisa mengungguli kalian
semua, karena mereka selalu lapar ketika kalian
kenyang; mereka selalu dahaga ketika kalian
dalam keadaan segar; mereka bertelanjang ketika
kalian memakai pakaian yang indah; mereka selalu
berdzikir saat kalian diam; mereka menangis
karena taubat ketika engkau bergembira seraya
tertawa terbahak-bahak; mereka bangun untuk
ber‘ibadah ketika kalian tertidur pulas; maka
karena itulah mereka lebih diutamakan dan lebih
diunggulkan atas kalian semua.” Wallāhu a‘lam.

Maka berhati-hatilah wahai murīd dan


bersungguh-sungguhlah dalam ketaatan selagi
usiamu masih tersisa. Jangan sampai kalian kalah
dengan ayam, karena ayam jagomu selalu bangun
malam berkotek seraya membaca tasbih dan
mengingatkan kalian semua, sementara kalian
semua melupakan Allah, engkau meninggalkan
Allah dan justru mencintai selain-Nya.

SYARAH HIKMAH KE-118


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ِب َأنْ َت ُك ْونَ ل َِغ ْي ِر ِه َع ْبدًا‬ َ ‫َما َأ ْح َب ْب َت‬


ُّ ‫ش ْيًئ ا ِإاَّل ُك ْن َت َل ُه َع ْبدًا َو ه َُو اَل ُيح‬

“Tiada engkau mencintai sesuatu melainkan pasti


engkau menjadi hamba dari apa engkau cintai itu,
dan Allah tidak suka bila engkau menjadi hamba
selain dari pada-Nya.”

Engkau tidak mencintai sesuatu kecuali engkau


akan menjadi budak dari sesuatu yang kau cintai
tersebut, sementara Allah tidak akan pernah
menyukai jika engkau menjadi hamba sesuatu
selain-Nya dan menyembah kepada selain-Nya.

SYARAH HIKMAH KE-119


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

‫ض ُّرهُ َم ْعصِ َي ُت َك َو ِإ َّن َما َأ َم َر َك ِبه ِذ ِه و َن َها َك َعنْ ه ِذ ِه لِ َما‬ َ ‫اَل َت ْن َف ُع ُه َط‬
ُ ‫اع ُت َك َو اَل َت‬
.‫َي ُع ْو ُد َع َل ْي َك‬

“Ketaatanmu tidak bermanfaat untuk-Nya dan


maksiatmu tidak mendatangkan bahaya
kepada-Nya. Allah memerintahkan ini dan
melarang itu tidak lain untuk kepentinganmu
sendiri.”

Ketaatanmu tidak bermanfaat bagi Allah dan


maksiatmu juga tidak membahayakan-Nya, akan
tetapi Allah memerintahkamu untuk berbuat taat
dan melarangmu berbuat maksiat. Karena itu
semua manfaatnya akan kembali kepada dirimu
sendiri, tidak kembali kepada-Nya, ini adalah
anugerah dari Allah.
SYARAH HIKMAH KE-120
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ص مِنْ عِ ِّز ِه ِإدْ َبا ُر َمنْ َأدْ َب َر َع ْن ُه‬


ُ ُ‫اَل َي ِز ْي ُد ف ِْي عِ ِّز ِه ِإ ْق َبال ُ َمنْ َأ ْق َبل َ َع َل ْي ِه َو اَل َي ْنق‬

“Ketaatan seseorang tidak menambah


kemuliaan-Nya dan pembangkangan seseorang
tidak mengurangi kemuliaan-Nya.”

Kemuliaan Allah tidak menjadi bertambah sebab


ketaatan dan ‘ibādahmu dan juga kemuliaan-Nya
tidak menjadi berkurang sebab engkau
membangkang dari-Nya.

Karena sifat kemuliaan Allah adalah sifat yang


qadīm (dahulu) tidak bisa bertambah dan
berkurang.

SYARAH HIKMAH KE-121

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


ُ ِ‫ال َّن ِع ْي ُم َو ِإنْ َت َن َّو َع ْت َم َظا ِه ُرهُ َفِإ َّن َما ه َُو ل‬
.ِ‫ش ُه ْو ِد ِه َو ا ْقت َِر ِابه‬

“Keni‘matan itu meskipun beraneka ragam


bentuknya hanyalah disebabkan karena melihat
dan dekat kepada Allah.”

Keni‘matan akhirat yang berupa bidadari dan


semua keni‘matan surga itu tidak didapatkan
kecuali sebab melihat dan berdekatan dengan
Allah meskipun beraneka ragam bentuknya.

ِ ‫اب َو ِإنْ َت َن َّو َع ْت َم َظا ِه ُرهُ َفِإ َّن َما ه َُو ل ُِو ُج ْو ِد ح َِج‬
.‫اب ِه‬ ُ ‫َو ا ْل َع َذ‬

“Demikian pula siksa meski beraneka ragam


bentuknya hanyalah disebabkan terḥijāb dari
Allah.”
Adanya siksa neraka itu karena terḥijāb dan jauh
dari Allah s.w.t., walaupun berangeka ragam
bentuk lahiriah siksa tersebut.
.‫ب َو ِإ ْت َما ُم ا ْل َّن ِع ْي ِم ِبال َّن َظ ِر ِإ َلى َو ْج ِه ِه ا ْل َك ِر ْي ِم‬ ِ ‫ب ا ْل َع َذا‬
ِ ‫ب ُو ُج ْو ُد ا ْلح َِجا‬ َ ‫َف‬
ُ ‫س َب‬

“Penyebab siksa adalah adanya ḥijāb, dan


kesempurnaan ni‘mat adalah dengan memandang
Dzāt Allah Yang Maha Mulia.”

Penyebab siksa adalah karena adanya ḥijāb (jauh


dari Allah), dan kesempurnaan ni‘mat itu sebab
melihat Dzāt Allah yang Mulia.

SYARAH HIKMAH KE-122

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


.‫مِنْ َت َم ِام ال ِّن ْع َم ِة َع َل ْي َك َأنْ َي ْر ُز َق َك َما َي ْكفِ ْي َك َو َي ْم َن َع َك َما ُي ْط ِغ ْي َك‬

“Di antara bentuk kesempurnaan ni‘mat Allah


kepadamu adalah jika Allah memberimu rezeki
yang cukup dan menahan darimu apa yang dapat
menyesatkanmu.”

Setengah dari sempurnanya keni‘matan yang


diberikan Allah kepadamu yaitu engkau diberi
rezeki yang cukup, tidak lebih dan tidak kurang.
Karena dengan pemberian ini akan mencegahmu
dari lupa pada Allah, ya‘ni saat engkau memiliki
banyak harta. Allah berfirman:

.‫ َأنْ َرآهُ اسْ َت ْغ َنى‬،‫ان َل َي ْط َغى‬


َ ‫َكاَّل ِإنَّ اِإْل ْن َس‬

“Sesungguhnya manusia (kafir) itu kesemuanya


adalah orang-orang yang tersesat di seluruh
tempatnya ketika melihat dirinya mempunyai
banyak harta.” (Q.S. al-‘Alaq [96]: 6-7).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Rezeki sedikit yang


cukup itu lebih baik daripada rezeki banyak yang
menjadikan lupa kepada Allah dan melupakan
kematian.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

.‫س‬ ِ ‫ْس ْال ِغ َنى َعنْ َك ْث َر ِة ْال َع َر‬


ِ ‫ض َو لكِنَّ ْال ِغ َنى غِ َنى ال َّن ْف‬ َ ‫َلي‬

“Bukannya kekayaan itu dengan banyaknya


harta-benda, akan tetapi kekayaan yang
sesungguhnya ialah kaya hati, jauh dari mencintai
dunia.”

SYARAH HIKMAH KE-123

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


ُ ‫لِ َيقِل َّ َما َت ْف َر‬
.ِ‫ح ِب ِه َيقِل َّ َما َت ْح َزنُ َع َل ْيه‬

“Kurangilah kesenanganmu dengan dunia, supaya


berkurang pula kedukaanmu pada dunia.”

Hendaknya engkau mengurangi sesuatu yang


membuat hatimu bahagia, harta-benda atau
lainnya, sehingga sesuatu yang membuatmu sedih
semakin berkurang, baik perkara dunia atau
lainnya.

Ketika kebahagiaan terhadap harta duniawi itu


sedikit saja, maka kesedihanmu saat tidak
mendapatkan harta dunia juga akan sedikit.

Sesuatu yang ada di dunia ini pasti akan rusak,


engkau akan bersedih ketika tidak bisa
mendapatkannya.
Jikalau dunia tidak rusak engkau pun tetap rusak
(binasa) karena ajal pasti akan menjemputmu,
engkau pun akan menyesal dan lupa mengingat
kematian.

Dengan demikian, kadar kesenanganmu seperti


kadar kesedihanmu.

Maka sudah selayaknya bagi orang-orang yang


berakal jangan berbahagia karena (mendapatkan)
selain Allah s.w.t., karena sesuatu selian-Nya pasti
akan rusak (binasa).

SYARAH HIKMAH KE-124

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


.‫ِإنْ َأ َردْ َت َأنْ اَل ُت ْع َزل َ َفاَل َت َت َول َّ ِواَل َي ًة اَل َتد ُْو ُم َل َك‬

“Jika engkau tidak ingin dipecat, maka jangan


memangku jabatan yang tidak kekal.”

Jika engkau tidak ingin dipecat, maka jangan


mengemban suatu jabatan seperti menjadi ketua,
penghulu, dan lainnya yang tidak kekal untukmu.

Karena jabatan itu permulaannya pasti


membahagiakan dan akhirnya pasti akan
menyedihkan. Sebab jabatan itu pasti akan lepas,
baik karena dipecat atau dilengserkan, atau sebab
kematian (lepasnya nyawa) maka akhir dari
jabatan pasti kesedihan. Sehingga orang yang
berakal seharusnya meninggalkan jabatan, sebab
akhirnya pasti mengalami kesusahan di dunia dan
akhirat.
Susah di dunia itu sudah jelas sebab dipecat atau
penyebab yang lain, sedangkan susah di akhirat
adalah pasti kelak dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah Rabb-ul-‘Ālamīn, dihisab, ditanya
tentang bagaimana ia menjalankannya dengan
ḥaqq (kebenaran) ataukah bāthil? Sebab orang
yang memangku jabatan itu sedikit sekali yang
selamat agamanya.

SYARAH HIKMAH KE-125

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


. ٌ‫ات ِإنْ دَ َعا َك ِإ َل ْي َها َظا ِه ٌر َن َها َك َع ْن َها َباطِ ن‬ ُ ‫ِإنْ َر َّغ َب ْت َك ا ْل ِبدَ ا َي‬
ُ ‫ات َزهَّدَ ْت َك ال ِّن َها َي‬

“Jika engkau terpikat oleh permulaannya


(pandangan luar), maka engkau akan jemu pada
akhirnya, jika engkau terpengaruh oleh pandangan
lahir, maka engkau akan dilarang dari pandangan
bāthin.”

Ketika engkau tertarik dengan keni‘matan pada


permulaan memangku jabatan, maka lihatlah
akhirnya, pasti engkau akan mengalami
kesusahan. Jika nafsumu tertarik dengan
keindahan lahiriah jabatan, maka lihatlah sisi
bāthinnya, sebab akhirnya akan dihisab, sehingga
orang yang berakal pasti enggan mendudukinya.
Sebagian ‘ulamā’ ahli tashawwuf berkata:

‫حُبُّ ال ُّد ْن َيا َرْأسُ ُك ِّل َخطِ ْيَئ ٍة‬


“Cinta dunia adalah sumber dari segala dosa.”
Sehingga dengan membencinya menjadi pangkal
dari segala kebaikan.

SYARAH HIKMAH KE-126

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


.‫ار َو َم ْع ِد ًنا لَِأْل ْكدَ ِار َت ْز ِه ْيدًا َل َك فِ ْي َها‬ ‫اًّل‬
ِ ‫ِإ َّن َما َج َع َل َها َم َح لَِأْل ْغ َي‬

“Sesungguhnya Allah menjadikan dunia ini sebagai


tempat kerusakan dan sumber kerusuhan, untuk
menjemukan kau terhadapnya.”

Sesungguhnya Allah menjadikan dunia sebagai


tempat bersedih hati, seperti sakit dan miskin,
tujuannya agar engkau membenci dunia dan
perpaling kepada akhirat.

Orang yang mencintai dunia tidak ada yang


mendapatkan kebahagiaan. Sebab selamatnya
dunia pasti akan dihisab pula.

SYARAH HIKMAH KE-127

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:


ْ ‫َعلِ َم َأ َّن َك اَل َت ْق َبل ُ ال ُّن‬
.‫ص َح ا ْل ُم َج َّردَ َف َذ َّو َق َك مِنْ َذ َواقِ َها َما ُي ْس َت ِهل ُ َع َل ْي َك ُو ُج ْودَ ف َِراقِ َها‬

“Allah telah mengetahui bahwa engkau tidak dapat


menerima nasihat yang hanya berupa teori
(kata-kata), karena itu, Allah merasakan
kepadamu rasa pahitnya, untuk memudahkan
bagimu cara meninggalkannya.”

Allah telah mengetahui bahwa engkau tidak akan


menerima hanya sekedar diberi nasehat tanpa
disertai dengan diberikan sakit dan musibah,
karena engkau sudah terbiasa menyukai dunia.
Oleh karenanya, Allah memberi sakit dan berbagai
musibah untuk kau cicipi agar memudahkan dan
meringankanmu berpisah dari dunia.
Umumnya manusia jika diuji dengan penyakit yang
sangat parah ia akan menginginkan kematian, dan
berharap agar lekas mati, ia rela berpisah dengan
keni‘matan dunia, sehingga datangnya penyakit
seperti ini adalah ni‘mat teragung dari-Nya.
‫‪SYARAH HIKMAH KE-128‬‬

‫‪Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:‬‬

‫ف ِب ِه َع ِن ا ْل َق ْل ِ‬
‫ب قِ َنا ُع ُه‪.‬‬ ‫ش َعا ُع ُه‪َ ،‬و َي ْن َكشِ ُ‬ ‫ِي َي ْن َبسِ ُط فِي َّ‬
‫الصدْ ِر ُ‬ ‫ا ْل ِع ْل ُم ال َّنافِ ُع ه َُو ا َّلذ ْ‬
“Ilmu yang berguna adalah yang sinar cahayanya
meluas dalam dada (shadr – hati tahap pertama –
yang menghadap ke makhlūq) dan membuka
penutup hati.”

Ilmu nāfi‘ adalah ‘ilmu untuk mengetahui Allah,


sifat-sifat Allah, asmā’-asmā’ Allah, tata cara
ber‘ibādah dan bertatakrama kepad Allah. ‘Ilmu
inilah yang cahayanya bersinar di dalam hati dan
menyingkapkan tirai dari hati.

Alhasil, ‘ilmu nāfi‘ yaitu ‘ilmu yang bisa menjadikan


dekat kepada Allah, menjauhkan diri dari
memandang dirinya. Imām Mahdī berkata:
“Hakikat ‘ilmu adalah mengetahui tentang hak-hak
waktu, cara kejernihan hati, membenci dunia,
mendekatkan kepada surga, menjauhkan diri dari
neraka, meningkatkan rasa takut kepada Allah,
mengharapkan Allah, dan ‘ilmu adalah musibah
(lawan) bagi nafsu.”

SYARAH HIKMAH KE-129

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ش َي ُة َم َع ُه‬ ِ ‫َخ ْي ُر ا ْل ِع ْل ِم َما َكا َن‬


ْ ‫ت ا ْل َخ‬
“Sebaik-baik ‘ilmu adalah yang disertai rasa takut
kepada-Nya.”

Sebaik-baik ‘ilmu adalah yang bisa meninggalkan


rasa takut kepada Allah dan membenci dunia.

‘Ilmu yang tidak bisa mendatangkan rasa takut


kepada Allah dan justru semakin menambah rasa
suka terhadap dunia adalah ‘ilmu yang
membahayakan. Tidak mengetahui ‘ilmu seperti ini
justru lebih baik.

Wallāhu a‘lam.

SYARAH HIKMAH KE-130

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

ِ ‫ار ِج ْع ِإ َلى عِ ْل ِم‬


.‫هللا فِ ْي َك‬ َّ ‫اس َع َل ْي َك َأ ْو َت َو َّج ُه ُه ْم ِب‬
ْ ‫الذ ِّم ِإ َل ْي َك َف‬ ِ ‫َم َتى آ َل َم َك َعدَ ُم ِإ ْق َب‬
ِ ‫ال ال َّن‬
“Ketika engkau merasa sakit hati lantaran tidak
disambut oleh manusia atau mereka mencacimu,
maka kembalilah kepada pengetahuan Allah
tentang dirimu.”

Ketika engkau bersedih karena tidak disukai


masyarakat atau tidak disambut dengan baik oleh
mereka, atau mereka menyambutmu dengan
celaan, maka cukupkanlah dirimu dengan ‘ilmu
Allah pada zama azali.

Jika pada zaman azali, menurut ‘ilmu Allah engkau


adalah orang yang beruntung dan semua ‘amalmu
diterima oleh-Nya. Lantas mengapa engkau
bersedih lantaran makian manusia?

Jika pada zaman azali, menurut ‘ilmu Allah engkau


adalah orang yang celaka. Lantas mengapa engkau
berbahagia dan bergembira lantaran disebut
sebagai orang yang baik di dunia?
َ ‫اع ِت َك ِب ِع ْل ِم ِه َأ‬
‫ش ُّد مِنْ ُمصِ ْي َب ُت َك ِب ُو ُج ْو ِد‬ َ ‫َفِإنْ َكانَ اَل ُي ْق ِن ُع َك عِ ْل ُم ُه َف ُمصِ ْي َب ُت َك ِب َعدَ ِم َق َن‬
.‫اَأْل َذى ِم ْن ُه ْم‬

“Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu


puas, maka musibahmu lantaran tidak puas
dengan pengetahuan-Nya itu lebih berbahaya
daripada musibah karena disakiti manusia.”

Jika engkau tidak merasa cukup dengan ‘ilmu Allah


terhadapmu, maka engkau akan mendapat
musibah yang lebih besar dan lebih berbahaya
daripada celaan manusia terhadapmu. Inilah
seburuk-buruknya cobaan dan maksiat, karena
engkau tidak menerima ‘ilmu Allah, sebab engkau
lebih suka dipuji makhlūq dan mengharapkan
makhlūq untuk menyukaimu.

Penganiayaan manusia terhadapmu, dengan cara


mengumpat atau memukulmu, itu sebenarnya
bukanlah cobaan, juga bukan maksiat, hal ini bagi
orang yang sudah memahami apa yang
dikehendaki oleh Allah.

SYARAH HIKMAH KE-131

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ َ‫ِإ َّن َما َأ ْج َرى اَأْل َذى َع َلى َأ ْي ِد ْي ِه ْم َك ْياَل َت ُك ْون‬


.‫سا ِك ًنا ِإ َل ْي ِه ْم‬

“Allah mendatangkan gangguan lewat tangan


manusia agar engkau tidak merasa nyaman
dengan mereka.”

Allah memang sengaja mendatangkan kepadamu


rasa sakit dengan disakiti oleh masyarakat, dipukul
atau difitnah, agar engkau (wahai murīd) tidak
senang terhadap makhlūq dan tidak bersandar
kepada mereka.

Begitu pula jika yang menyakitimu adalah


sanak-keluarga atau saudaramu sendiri. Boleh jadi
hal demikian merupakan ni‘mat yang agung, sebab
bisa meningkatkan rasa tidak sukamu terhadap
makhlūq, dan tidak berharap kepada mereka. Hal
itu bisa mengantarkanmu wushūl kepada Allah
s.w.t.
SYARAH HIKMAH KE-132

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

.‫ش ْي َطانَ اَل َي ْغفُل ُ َع ْن َك َفاَل َت ْغفُلْ َأ ْن َت َع َّمنْ َناصِ َي ُت َك ِب َي ِد ِه‬


َّ ‫ِإ َذا َعل ِْم َت َأنَّ ال‬

“Jika engkau mengetahui bahwa syaithān tidak


pernah melupakanmu, maka jangan engkau lupa
terhadap Dzāt yang menggenggam nasibmu.”

Ketika engkau sudah mengetahui bahwa syaithān


adalah musuhmu dan menggodamu di setiap
waktu tanpa henti serta tidak melupakanmu, maka
jangan lupa untuk selalu mengingat Allah dan
memohon pertolongan kepada-Nya untuk
menghilangkan gangguan syaithān. Sejatinya Allah
adalah Dzāt yang menguasai segala yang ada
padamu.

Berserahlah kepada-Nya dan selalu


mengingat-Nya. Allah berfirman:

. ٌ‫ْس َل َك َع َلي ِْه ْم س ُْل َطان‬


َ ‫ِإنَّ عِ َبا ِديْ َلي‬

“Sesungguhnya hamba-hambaKu, tidak ada daya


bagimu (syaithān) untuk mengganggu mereka.”
(Q.S. Al-Ḥijr [15]: 42).
Allah juga berfirman:

.‫ْس َل ُه س ُْل َطانٌ َع َلى الَّ ِذي َْن آ َم ُن ْوا َو َع َلى َرب ِِّه ْم َي َت َو َّكلُ ْو َن‬
َ ‫ِإ َّن ُه َلي‬

“Sesungguhnya syaithān tidak berdaya (tidak


kuasa) terhadap orang yang betul-betul beriman
dan kepada Tuhan, mereka berserah diri dan
bertawakkal.” (Q.S. an-Naḥl [16]: 100).

SYARAH HIKMAH KE-133

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

َ ‫َج َع َل ُه َل َك َعد ًُّوا ل ُي ْح ِو‬


.ِ‫ش َك ِب ِه ِإ َل ْيه‬

“Allah menjadikan syaithān sebagai musuhmu agar


engkau jemu kepadanya dan berlindung
kepada-Nya.”

Allah menjadikan syaithan sebagai musuhmu agar


engkau berlindung kepada-Nya dan selalu
mengingat-Nya dan supaya engkau bertawakkal
kepada-Nya.

.‫س لِ َيد ُْو َم ِإ ْق َبالُ َك َع َل ْي ِه‬


َ ‫َو َح َّر َك ِإ َل ْي ِه ال َّن ْف‬

“Dia tetap menggerakkan hawa-nafsumu supaya


engkau tetap selalu menghadap kepada Allah
untuk melawan hawa-nafsumu.”
Allah sudah memberi manusia hawa-nafsu yang
selalu mengajak kepada syahwat dan cinta kepada
selain-Nya, diberikannya hawa-nafsu itu menjadi
ni‘mat bagi mereka semua. Karena sesungguhnya
engkau tidak mampu memerangi hawa-nafsu yang
sudah menjadi satu dengan daging dan darahmu,
engkaupun menghadap kepada Allah Yang Maha
Kuasa, meminta pertolongan kepada-Nya agar
mampu memerangi nafsumu. Engkau senantiasa
menghadap pada Allah, dengan begitu adanya
nafsu menjadi sebab kedekatanmu dengan Allah
atau nafsulah yang menyebabkan engkau selalu
mendekat pada Allah s.w.t.

Nafsu adalah musuh terbesarmu karena nafsu


berkumpul denganmu dalam satu rumah yang
sama (jasad/tubuh), sedangkan syaithān adalah
musuh yang berada di luar rumahmu. Oleh
karenanya Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya
pertempuran melawan hawa-nafsu adalah
pertempuran yang besar dan pertempuran
melawan orang kafir adalah pertempuran yang
kecil, maka engkau tidak akan mampu memerangi
hawa-nafsu kecuali dengan pertolongan Allah,
maka selalu menghadaplah kepada Allah.”

Musuh manusia itu ada 4, yaitu:


Iblīs, dunia, ammārah dan hawa nafsu.

Semua musuh ini juga menjadi sebuah ni‘mat,


sebab jika tidak ada musuh maka engkau tidak
bersungguh-sungguh berjalan menuju Allah,
padahal bersungguh-sungguh di jalan Allah itu
sangat besar pahalanya.
Wallāhu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai