Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KODE ETIK APOTEKER INDONESIA

Untuk Memenuhi Syarat di Mata Kuliah Etika dan Hukum Kesehatan


Diampu oleh : Prof. Dr. H. Sufirman Rahman, SH., MH

Sandi Andi Natal Butarbutar 000110182022

Fitriatunnisa 000310182022

Besse Rafiqah Andi Wajuanna 001210182022

Melisa Solo 001410182022

Nuryanggi Igusti 001610182022

PROGRAM PASCASARJANA
STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang “Kode Etik
Apoteker Indonesia”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Makassar, 26 Mei 2023

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI…………………………………………….………………………………………………………………………………iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………………………………………………………1
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………………………………………2
C. TUJUAN……………………………………………………………………………………………………………………..2
BAB 2 PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI APOTEKER………………………………………………………………4
B. KODE ETIK APOTEKER INDONESIA………………………………………………………………………………5
C. KEWAJIBAN UMUM……………………………………………………………………………………………………6
D. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN…………………………………………………………………9
E. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT……………………………………………….11
F. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN………………..12
G. PEDOMAN PENILAIAN PELANGGARAN ETIK APOTEKER………………………………………….…14
H. TATA LAKSANA PENANGANAN PELANGGARAN ETIK APOTEKER……………………………….20
I. MAJELIS ETIK DAN APOTEKER INDONESIA (MEDAI)…………………………………………………..24
J. LANDASAN FORMAL…………………………………………………………………………………………………28
K. BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER……………………………………………………………28
L. SANKSI DISIPLIN……………………………………………………………………………………………………….31
BAB 3 PENUTUP
A. KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………………….33
B. SARAN………………………………………………………………………………………………………………………34
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………..40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam beberapa tahun belakangan ini kesehatan menjadi topik pembicaraan

yang sering muncul di masyarakat hingga media cetak dan media elektronik,

khususnya dunia kefarmasian. Dalam dunia kesehatan tersebut banyak kendala

yang dihadapi baik dari internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, kita sebagai

salah satu Tenaga Kesehatan harus turut serta bersama-sama melaksanakan

kewajiban dan peranan kita secara langsung di bidang keahlian sebagai ahli farmasi.

Merupakan sebuah tantangan bagi kita semua untuk lebih mengenalkan Profesi

Apoteker pada masyarakat, sehingga masyarakat akan menjadikan kita sebagai

tempat rujukan untuk memperoleh informasi mengenai obat. Sebagai generasi

muda sudah menjadi tugas kita untuk membuat sebuah perubahan.

Apotek merupakan suatu tempat untuk melaksanakan kegiatan praktek

kefarmasian yang dimaksudkan untuk membenahi masalah kesehatan dengan

menyediakan sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional,

hingga kosmetika. Setiap orang yang mengelola apotek seharusnya dilakukan oleh

tenaga kesehatan yang merupakan setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan

di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan.

Pada saat ini, Apotek di Indonesia meningkat secara kuantitasnya baik secara

1
luas maupun di daerah pelosok terpencil. Hal ini lagi-lagi dimaksudkan untuk

memperbaiki kesehatan penduduk Indonesia sekaligus sebagai profesi yang

menjanjikan namun tetap berorientasi kepada keperluan masyarakat mayoritas.

Seperti biasa, ada kemajuan maka ada pula kemunduran. Tidak dapat dipungkiri

bahwa semakin banyak apotek yang bermunculan semakin banyak pula pelanggaran

yang terjadi. Hal ini menjadi sorotan di tengah permasalahan kesehatan yang ingin

dibenahi tersebut. Sangat jelas ini menjadi masalah yang juga tidak kalah serius

karena apabila tenaga medis yang tidak berkompeten atau seseorang atau

sekelompok orang yang bukan tenaga medis melakukan praktek kesehatan maka hal

ini dikhawatirkan akan mengancam atau bahkan dapat membahayakan keselamatan

dari pasien. Begitu juga apabila fasilitas yang diperlukan tidak memadai, maka hal ini

akan menghambat tujuan utama dari setiap upaya kesehatan yang dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kode etik Profesi Apoteker ?

2. Apa saja Kode Etik Apoteker Indonesia ?

3. Bagaimana Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik Apoteker?

4. Bagaimana Tata Laksana Penanganan Pelanggaran Etik Apoteker?

5. Bagaimana contoh kasus pelanggaran etika oleh Apoteker

6. Apa saja isi dari Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI)

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian kode etik Profesi Apoteker.

2. Mahasiswa dapat mengetahui Kode Etik Apoteker Indonesia

2
3. Mahasiswa dapat mengetahui Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik Apoteker

4. Mahasiswa dapat mengetahui Tata Laksana Penanganan Pelanggaran Etik

Apoteker

5. Mahasiswa dapat mengetahui contoh kasus pelanggaran etika oleh Apoteker

6. Mahasiswa dapat mengetahui isi dari Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia

(MEDAI)

3
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kode Etik Profesi Apoteker

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas

menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi

profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa

yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Tujuan kode etik adalah agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada

pemakai atau yang membutuhkan. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak

profesional. Kode etik dibuat untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok yang

berguna untuk kepercayaan masyarakat akan suatu profesi. Kode etik berfungsi sebagai

pemandu sikap dan perilaku, manakala menjadi fungsi dari nurani.

Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, sebab dihasilkan berkat

penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode

etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi

sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan

semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri.

Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah

atau instansi-instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup

dalam kalangan profesi itu sendiri.

Apoteker adalah satu-satunya profesi tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan

kewenangan pada praktek kefarmasian, khususnya di Apotek. Seorang Apoteker harus

4
memahami dan menyadari peranannya dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan kode

etik dan lafal sumpah atau janji Apoteker yang diucapkan. Ketika seorang Apoteker dengan

sadar dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya sehingga tercapailah standar

pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan undang-undang yang mengatur di Indonesia.

B. Kode Etik Apoteker Indonesia

Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta

dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan

keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.

Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu

berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.

Pedoman Pelaksanaan

1. Setiap Apoteker dalam melakukan pengabdian dan pengamalan ilmunya harus


didasari oleh sebuah niat luhur untuk kepentingan makhluk lain sesuai dengan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Sumpa dan Janji Apoteker adalah komitmen seo-rang Apoteker yang harus
dijadikan landasan moral dalam pengabdian profesinya
3. Kode etik sebagai kumpulan nilai-nilai atau prinsip harus diikuti oleh Apoteker
sebagai pedoman dan petunjuk serta standar perilaku dalam bertindak dan
mengambil keputusan

Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman


pada satu ikatan moral yaitu:

5
C. KEWAJIBAN UMUM

1. Pasal 1 sumpah Apoteker Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi,


menghayati, dan mengamalkan sumpah Apoteker
Pedoman Pelaksanaan:
Sumpah/janji Apoteker yang diucapkan seorang Apoteker untuk dapat
diamalkan dalam pengabdiannya, harus dihayati dengan baik dan dijadikan
landasan moral dalam setiap tindakan dan prilaku. Dalam sumpah Apoteker ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Melaksanakan asuhan kefarmasian
b. Merahasiakan kondisi pasien, resep dan “medication record” untuk pasien
c. Melaksanakan praktik profesi sesuai landasan praktik profesi yaitu ilmu,
hukum dan etik.

2. Pasal 2 Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan


mengamalkan Kode Etik Apoteker
Pedoman Pelaksanaan:

a. Kesungguhan dalam menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker

Indonesia dinilai dari: ada tidaknya laporan masyarakat, ada tidaknya

laporan dari sejawat Apoteker atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta

tidak ada laporan dari sejawat Apoteker atau sejawat tenaga kesehatan

lain, serta tidak ada laporan dari dinas kesehatan.

b. Pengaturan pemberian sanksi ditetapkan dalam peraturan organisasi

(PO)

3. Pasal 3 setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai Standar

Kompetensi Apoteker Indonesia serta mengutamakan dan berpegang teguh pada

prinsip kemanusiaan dalam menjalankan kewajiabannya.

Pedoman Pelaksanaan :

6
a. Setiap Apoteker Indonesia harus mengerti, menghayati dan mengamalkan

kompetensi sesusai dengan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia.

Kompetensi yang dimaksud adalah: ketrapilan, sikap, dan perilaku yang

berdasarkan pada ilmu, hukum, dan etik

b. Ukuran kompetensi seorang Apoteker dinilai lewat uji kompetensi

c. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap

tindakan dan keputusan seorang Apoteker Indonesia

d. Bilamana suatu saat seorang Apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung

jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada, seorang Apoteker

harus memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan

pasien serta masyarakat.

4. Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang

Kesehatan pada umumnya dan bidang farmasi pada khususnya.

Pedoman Pelaksanaan:

a. Seorang Apoteker harus mengembangan pengetahuan dan keterampilan

profesionalnya secara terus menerus.

b. Aktifitas seorang Apoteker dalam mengikuti perkebangan di bidang

kesehatan, diukur dari nilai SKP yang diperoleh dari hasil uji kompetensi

c. Jumlah SKP minimal yang harus diperoleh Apoteker ditetapkan dalam

peraturan organisasi.

7
5. Pasal 5 di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri

dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan

martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Pedoman Pelaksanaan:

a. Seorang Apoteker harus menjaga kepercayaan masyarakat atas profesi yang

disandangkan dengan jujur dan penuh integritas.

b. Seorang Apoteker tidak akan menyalahgunakan kemampuan profesionalnya

kepada orang lain.

c. Seorang Apoteker harus menjaga perilakunya dihadapan publik.

6. Pasal 6 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan

profesinya

Pedoman Pelaksanaan:

a. Seorang Apoteker membeberikan informasi kepada pasien / masyarakat

harus dengan cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi

tersebut harus sesuai, relevan, dan “up to date”

b. Sebelum memberikan informasi, Apoteker harus menggali informasi yang

dibutuhkan dari pasien ataupun orang yang datang menemui Apoteker

mengenai pasien serta penyakitnya.

c. Seorang Apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan

kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat.

8
d. Seorang Apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat

terhadap obat, dala bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas,

melakukan monitoring penggunaan obat dan sebagainya.

e. Kegiatan penyuluhan ini mendapat nilai Satuan Kredit Profesi (SKP).

7. Pasal 7 seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan

perundang-undangan di bidang Kesehatan pada umumnya dan di bidang

farmasi pada khususnya

Pedoman Pelaksanaan:

a. Tidak ada alasan bagi Apoteker tidak tahu peraturan perundangan yang

terkait dengan kefarmasian. Untuk itu setiap Apoteker harus selalu aktif

mengikuti perkembangan peraturan, sehingga setiap Apoteker dapat

menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan

perundangan yang berlaku.

b. Apoteker harus membuat Standar Porsedur Operasional (SPO) sebagai

pedoman kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan

kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar peraturan perundangan yang

ada

D. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN

1. Pasal 8 seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus

mengutamakan kepentingan masyarakat menghormati hak asasi pasien dan

leindungi makhluk hidup insani.

Pedoman Pelaksanaan:

9
a. Kepedulian kepada pasien adalah merupakan hal yang paling utama dari

seorang Apoteker

b. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari Apoteker harus berpihak

kepada kepentingan pasien dan masyarakat

c. Seorang Apoteker harus mampu mendorong pasien untuk terlibat dalam

keputusan pengobatan mereka

d. Seorang Apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga

kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang yang dalam

kondisi lemah

e. Seorang Apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien

adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan kahsiat dan cara pakai obat

yang tepat

f. Seorang Apoteker harus menjaga kerahasiaan pasien, rahasia kefarmasian,

dan rahasia kedokteran dengan baik

g. Seorang Apoteker harus menghormati keputusan profesi yang telah

ditetapkan oleh dokter dalam bentuk penulisan resep dan sebagainya

h. Dalam hal seorang Apoteker akan mengambil kebijakan yang berbeda

dengan permintaan seo-rang dokter, maka Apoteker harus melakukan

komunikasi dengan dokter tersebut, kecuali peraturan perundangan

membolehkan Apoteker mengambil keputusan demi kepentingan dan atas

persetujuan pasien.

10
E. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

1. Pasal 9 Seorang Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia

ingin diperlakukan

Pedoman Pelaksanaan:

a. Setiap Apoteker harus menghargai teman sejawatnya, termasuk rekan kerjanya

b. Bilamana seorang Apoteker dihadapkan kepada suatu situasi yang

problematik, baik secara moral atau peraturan perundangan yang berlaku,

tentang hubungannya dengan sejawatnya, maka komunikasi antar sejawat

harus dilakukan dengan baik dan santun

c. Apoteker harus berkoordinasi dengan IAI ataupun Majelis Etik dan Disiplin

Apoteker Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan dengan teman

sejawat

2. Pasal 10 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling

menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik.

Pedoman Pelaksanaan:

a. Bilamana seorang Apoteker mengetahui sejawatnya melanggar kode etik,

dengan cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan

sejawatnya tersebut untuk mengingatkan kekeliruan yang ada.

b. Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat

menyampaikan kepada Pengurus Cabang dan atau MEDAI secara

berjenjang.

3. Pasal 11 seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

11
meningkatkan Kerjasama yang baik sesame Apoteker di dalam memelihara keluhuran

martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam

menunaikan tugasnya.

Pedoman Pelaksanaan:

a. Seorang Apoteker harus menjalin dan memelihara kerjasama dengan sejawat

Apoteker lainnya

b. Seorang Apoteker harus membantu teman sejawatnya dalam menjalankan

pengabdian profesinya

c. Seorang Apoteker harus saling mempercayai teman sejawatnya dalam

menjalin/ memelihara kerjasama.

F. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN

1. Pasal 12 seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai

dan menghormati sejawat petugas Kesehatan lain.

Pedoman Pelaksanaan:

Apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi

kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat

2. Pasal 13 seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari Tindakan atau

perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kepercayaan

masyarakat kepada sejawat petugas Kesehatan lain.

12
Pedoman Pelaksanaan:

Bilamana seorang Apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari pelayanan

profesi kesehatan lainnya, maka Apoteker tersebut harus mampu

mengkomunikasikannya dengan baik kepada profesi tersebut, tanpa yang

bersangkutan harus merasa dipermalukan.

3. Pasal 14 seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode

etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika

seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak

mematuhi Kode etik Apoteker Indonesia, maka wajib mengakui dan menerima sanksi

dari pemerintah, organisasi profesi farmasi yang menanganinya (IAI) dan

mempertanggung jawabkannya kepda Tuhan Yang Maha Esa.

Pedoman Pelaksanaan:

Apabila Apoteker melakukan pelanggaran Kode Etik Apoteker Indonesia, yang

bersangkutan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat berupa pembinaan,

peringatan, pencabutan keanggotaan sementara, atau pencabutan keanggotaan

tetap.

Kriteria pelanggaran kode etik diatur dalam peraturan organisasi, dan sanksi

ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam dari MEDAI Daerah.

Selanjutnya MEDAI Daerah menyampaikan hasil telaahnya kepada Pengurus Cabang,

Pengurus Daerah, dan MEDAI Pusat.

13
G. Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik Apoteker

1. Prinsip Penegakan Etik

2. Kriteria Pelanggaran Etika

a. Ignorant (tidak tahu)

b. Kelalaian (alpa)

c. Kurang Perhatian

d. Kurang terampil

e. Sengaja

3. Kriteria Pembuktian

a. Melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan

b. Tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan

c. Melakukan sesuatu yang melanggar peraturan perundang-undangan.

14
4. Penilaian, Pembuktian dan Sanksi terhadap Pelanggaran Etik.

a. Adanya unsur ketidak tahuan

Adanya celah (”Gap”) pengetahuan dan atau keterampilan antara kenyataan

yang dihadapi dalam praktek dengan apa yang diketahui pada saat kuliah.

Sehingga dapat diperkirakan seorang Apoteker yang telah lama meninggalkan

bangku kuliah dan tidak adanya pendidikan berkelanjutan, menimbulkan

adanya unsur ketidak tahuan.

Pembuktian diperoleh dengan:

1) Tahun kelulusan Apoteker

2) Pernah/ tidak mengikuti pendidikan berkelanjutan Sanksi yang

dijatuhkan: Kewajiban untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan yang

terkait dengan kesalahan yang diperbuat

b. Adanya unsur kelalaian

Penilaian terhadap unsur kelalaian Kelalaian dapat terjadi/disebabkan

1) Tidak menjalankan apa yang seharusnya dilakukan

2) Menjalankan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan

3) Lalai terhadap aturan perundangan yang berlaku untuknya. Penilaian

terhadap bobot kelalaian:

15
a) Kelalaian yang tidak berbobot (Deminimis non curat lex) Hukum

tidak mencampuri hal hal yang sepele

b) Pembobotan kelalaian

Ada 4 unsur yang menjadi landasan penilaian :

a) Perbuatan tersebut nyata bertentangan dengan etika

Apoteker dan atau penjabarannya.

b) Perbuatan tersebut dapat diperkirakan akibatnya terhadap

pasien/ orang lain, sejawat.

c) Perbuatan tersebut layak dan dapat dihindari

d) Perbuatan tersebut layak dipersalahkan

Apabila keempat unsur dipenuhi, maka bobot kelalaian layak untuk

diteruskan.

4) Tolok ukur penilaian berat ringannya kelalaian:

a) Adanya ”duty” (Kewajiban yang nyata-nyata tercantum dalam

Kode Etik Apoteker Indonesia atau pedoman pelaksanaan)

b) Adanya unsur yang membuktikan terjadinya

pelanggaran kewajiban (”dereliction of duty”) Untuk

dapat membuktikan diperlukan saksi yang memiliki

pengalaman dan pendidikan yang setaraf dengan tersangka.

16
c) Adanya akibat langsung, yakni perbuatan nyata berakibat

langsung terhadap pasien/ sejawat. Akibat tidak langsung tidak

boleh menjadi pertimbangan

Kelalaian berpengaruh langsung terhadap terjadinya kerugian harta atau jiwa

pasien/ sejawat:

a) Apabila tidak ditemukan pengaruh langsung maka tidak boleh

menjadi pertimbangan.

b) Untuk mengetahui ada/tidaknya pengaruh langsung dapat dipanggil

saksi ahli.

c) Bobot kelalaian disesuaikan dengan pem-buktian 4 unsur

pembobotan diatas.

5) Rex Ipsa Loquitor

Perbuatan yang jelas kelalaian tanpa harus membuktikan sesuai

dengan kriteria pembuktian pada butir 3 di atas. Pertimbangan

lanjutan dalam memutuskan perbuatan yang dinyatakan sebagai

kelalaian:

a) Berat kerugian akibat kelalaian (magnitude )

b) Kemungkinan terjadi kelalaian ( Probability)

c) Kesulitan melakukan tindakan pencegahan (Burden of

Prevention) Apabila a+b > c , maka kelalaian telah terjadi.

6) Akibat kelalaian besar (nilai tinggi = 5)

17
7) Kemungkinan terjadinya kecil (nilai tinggi = 5 )

8) Tindakan pencegahan mudah (nilai rendah = 2) 5 + 5 > 2 🡪 kelalaian

terbukti

c. Adanya unsur kurang perhatian

Penilaian terhadap kurang perhatian

Seorang anggota profesi dianggap kurang perhatian apabila ia tidak

menjalankan prosedur kerja yang seharusnya diikuti. Untuk membuktikan

kekurang perhatian, diperlukan tanya jawab tentang sejauh mana ia

mengetahui ada prosedur kerja profesi.

Apabila ia tidak mengetahui, maka terpenuhi unsur ketidaktahuan, maka

penyelidi- kan kembali kearah unsur ketidak tahuan.

Apabila ia mengetahui tetapi tidak menjalankan, tetapi terpenuhi unsur

kelalaian, maka penyelidikan diarahkan kepada unsur kelalaian.

d. Adanya unsur kurang terampil

Penilaian terhadap unsur kurang terampil

Seorang profesi diangap kurang terampil apabila ia tidak mampu

mengerjakan sesuatu pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas

profesionalnya.

Contoh:

18
a) Ketrampilan menggunakan timbangan

b) Ketrampilan meracik

c) Ketrampilan memberi informasi

d) Ketrampilan melakukan konsultasi

Untuk membuktikan adanya unsur kekurangterampilan, maka

diperlukan simulasi yang disaksikan oleh saksi ahli. Apabila ternyata

memang terjadi kekurang terampilan, maka sanksi yang diberikan adalah

mengulangi belajar di perguruan tinggi terhadap kekurang trampilan yang

dimiliki.

e. Adanya kesengajaan

Penilaian terhadap unsur kesengajaan

Mengingat bahwa unsur kesengajaan merupakan pelanggaran etika

Apoteker berat, maka sebelum membuat keputusan harus memperhatikan

faktor sebagai berikut:

a) Faktor Personal

1) Ada sejawat yang memiliki kelemahan personal, misalnya

kurang teliti.

2) Apabila ia memiliki sifat itu, yang harus diukur adalah apakah

faktor kekurang telitian masih dalam batas yang bisa

ditoleransi.

3) Apabila masih dalam batas, maka dapat berlanjut ke unsur

19
kedua.

4) Apabila diluar batas, maka usulan pembinaan untuk

meningkatkan ketelitian layak disampaikan.

b) Faktor Situasional

1) Penyelidikan apakah lingkungan profesi ditempat tersebut

memang mendorong terjadinya kesengajaan.

2) Hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan

adanya unsur kesengajaan.

c) Faktor ada/ tidaknya kelompok seminat

1) Sesuai dengan etik Apoteker, kewajiban antar sejawat adalah

saling menasehati sehingga pembentukan kelompok seminat

yang melakukan ”peer review” merupakan keharusan .

2) Apabila belum ada kelompok seminat, berarti tidak ada kontrol

antar sejawat yang menyebabkan kesengajaan terjadi, maka

saran yang layak diberikan adalah rekomendasi pembentukan

kelompok seminat di wilayah tersangka.

3) Apabila sudah ada, tetapi tidak berbuat apa apa, berarti

diperlukan saran peningkatan peran kelompok seminat .

4) Apabila sudah ada dan telah memberi teguran yang dibuktikan

dengan kesaksian maka unsur kesengajaan terpenuhi.

20
H. Tata Laksana Penanganan Pelanggaran Etik Apoteker

1) Sasaran:

1) Perilaku menyimpang dari etik Apoteker yang terjadi ditempat pengabdian profesi

Apoteker.

2) Cakupan pengabdian profesi meliputi: pelayanan kefarmasian, pendidikan farmasi,

penyelidikan farmasi.

2) Pengaduan adanya pelanggaran Kode Etik Apoteker Indonesia.

a) Sumber pengaduan:

a. Pasien

b. Dokter atau tenaga kesehatan lain

c. Teman sejawat

d. Pengurus Cabang / Pengurus Daerah IAI

b) Prosedur Pengajuan Pengaduan:

a. Diajukan kepada MEDAI Daerah dengan dilengkapi dengan bukti yang layak

(pengaduan tertulis)

b. Menuliskan alamat lengkap pengadu yang jelas

c. Menyampaikan kronologis kejadian/peristiwa yang diadukan, beserta tempat

dan waktu terjadinya pelanggaran

d. Pengaduan dianggap tidak syah apabila tidak lengkap.

21
e. Pengaduan dianggap kadaluwarsa apabila peristiwa pelanggaran etik terjadi

lebih dari 1 tahun terhitung waktu pembuatan surat aduan.

f. Pengaduan yang tidak syah akan dikembalikan ke pengadu untuk dilengkapi.

g. Pengaduan yang kadaluwarsa akan diberitahukan kepada pengadu.

3) Penelaahan pengaduan

a) MEDAI Daerah diberi kesempatan untuk menelaah pengaduan selama 20 hari

kerja.

b) Untuk dapat menelaah pengaduan, MEDAI Daerah dapat berkunjung kelokasi

terjadinya pelanggaran etik

c) MEDAI Daerah menetapkan ketentuan etik Apoteker yang dilanggar .

d) Apabila MEDAI Daerah tidak menemukan pelang-garan etik, maka MEDAI Daerah

memberi tahu kepada pengurus PD/PC IAI.

4) Persiapan Persidangan.

a) MEDAI Daerah melakukan rapat pleno dengan di-hadiri minimal 50 % pengurus

untuk menetapkan jadwal sidang dan penetapan pimpinan sidang yang

diharapkan tidak ada hubungan kekerabatan dengan tersangka.

b) Sekretaris MEDAI Daerah mempersiapkan barang bukti, saksi, saksi ahli untuk

dapat hadir pada jadwal sidang

c) Sekretaris MEDAI Daerah menghubungi tersangka untuk menghadiri sidang

5) Persidangan

a) Setiap persidangan pelanggaran etika Apoteker harus dihadiri oleh tersangka.

22
b) Apabila tersangka tidak hadir, maka persidangan ditunda maksimal 3 kali

persidangan.

c) Apabila setelah 3 kali persidangan, tersangka tidak hadir tanpa penjelasan yang

dapat diterima, maka sidang diteruskan secara in absentia.

d) Sidang dibuka oleh pimpinan sidang dan mempersilahkan Sekretaris MEDAI

Daerah membacakan tuduhan dari pengadu.

e) Tersangka diberi kesempatan untuk membela diri

f) Sekretaris MEDAI Daerah mengajukan barang bukti dan pernyataan saksi dibawah

sumpah yng mendukung kebenaran tuduhan.

g) Apabila diperlukan Sekretaris MEDAI Daerah dapat mengajukan saksi ahli untuk

memperkuat tuduhan

h) Tersangka diberi kesempatan membela diri dan dapat didampingi oleh pembela

yang berasal dari anggota lain yang bersifat netral / tidak terkait dengan tersangka

i) Pimpinan sidang menskor sidang untuk menyiapkan keputusan sidang.

6) Keputusan Sidang

a) Didalam membuat keputusan maka pimpinan sidang harus mengacu kepada

kaidah etik Apoteker dan atau pedoman pelaksanaan.

b) Didalam menetapkan keputusan, pimpinan sidang harus mengacu kepada

Pedoman Penilaian Pelanggaran Etika Apoteker.

c) Keputusan sidang dapat diambil secara musyawarah dan apabila tidak tercapai

maka diambil berdasarkan suara terbanyak.

d) Keputusan sidang harus didasarkan atas akibat yang ditimbulkan terhadap

23
kehormatan profesi, keselamatan pasien, kepentingan umum, dan itikad baik

pengadu.

e) Pembacaan keputusan sidang harus dilakukan dihadapan tersangka.

f) Tersangka diberi kesempatan naik banding dalam waktu 2 minggu dengan

pengajuan keberatan atas keputusan sidang.

g) PC/PD IAI diberi kesempatan naik banding atas keputusan sidang dengan

mengirim surat keberatan kepada MEDAI Daerah.

h) Dalam waktu 1 bulan setelah sidang dan apabila tidak ada banding maka MEDAI

7) Rehabilitasi

a) Apabila dalam persidangan ternyata tersangka dinyatakan tidak bersalah dan tidak

ada keberatan dari PC/PD IAI, maka MEDAI Daerah mengeluarkan surat

rehabilitasi nama baik tersangka kepada PC/PD IAI setempat dengan tembusan

kepada MEDAI Pusat dan PP IAI.

b) Surat rehabilitasi tersebut, dapat digunakan oleh tersangka yang direhabilitasi

untuk mengajukan tuduhan pelanggaran etik Apoteker kepada sejawat pelapor.

I. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI)

1. Ketentuan Umum

a. Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati

kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak

ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

24
b. Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau

ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang

harus diikuti oleh Apoteker.

c. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia yang disingkat MEDAI,

adalah organ organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia yang

bertugas membina, mengawasi dan menilai pelaksanaan Kode Etik

Apoteker Indonesia oleh Anggota maupun oleh Pengurus, dan

menjaga, meningkatkan dan menegakkan disiplin apoteker Indonesia.

d. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan

telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

e. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional, harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

f. Tenaga kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang melakukan

pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis

Kefarmasian.

g. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang membantu

Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas

25
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga

Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker;

h. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia, yang selanjutnya disingkat

SPAI adalah pendidikan akademik dan pendidikan profesional yang

diarahkan guna mencapai kriteria minimal sistem pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, di seluruh wilayah

hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

i. Kode Etik adalah Kode Etik Apoteker Indonesia yang menjadi landasan

etik Apoteker Indonesia.

j. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi

penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge,

skill dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

k. Standar Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan

bertanggungjawab yang dimiliki oleh seorang Apoteker sebagai syarat

untuk dinyatakan mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan

profesinya.

l. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap

kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan

pekerjaan/praktik profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji

kompetensi.

m. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang

telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi

26
tertentu serta diakui secara hukum untuk menjalankan

pekerjaan/praktik profesinya.

n. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah

bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah

diregistrasi.

o. Praktik Apoteker adalah upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan

penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan

kesehatan.

p. Standar Praktik Apoteker adalah pedoman bagi Apoteker dalam menjalankan

praktiknya yang berisi prosedur-prosedur yang dilaksanakan apoteker dalam

upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan

kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

q. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin

yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik

kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.

r. Standar Prosedur Operasional, yang selanjutnya disingkat SPO adalah

serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses

penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan,

dimana dan oleh siapa dilakukan.

s. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin

praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan

27
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau

penyaluran.

t. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di

Indonesia.

J. Landasan Formal

1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras.

2. Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

3. Undang-Undang tentang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Sumpah Apoteker.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

9. Peraturan Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan, dan peraturan

turunannya yang terkait.

10. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),

Kode Etik Apoteker Indonesia, serta peraturan-peraturan organisasi lainnya yang

dikeluarkan oleh IAI yang masih berlaku.

28
K. Bentuk Pelanggaran Disiplin Apoteker

1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten. Melakukan Praktek kefarmasian

tidak dengan standar praktek Profesi/standar kompetensi yang benar, sehingga

berpotensi menimbulkan/ mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat.

2. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung jawabnya,

tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker pengganti dan/ atau Apoteker

pendamping yang sah.

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/ atau tenaga-

tenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan

tersebut.

4. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan pasien/

masyarakat.

5. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan cara yang

mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan

kerusakan dan/ atau kerugian pasien.

6. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasional sebagai

Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan kefarmasian,

sesuai dengan kewenangannya.

7. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin „mutu‟, ‟keamanan‟, dan

‟khasiat/ manfaat‟ kepada pasien.

29
8. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan baku

obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan tidak

terjaminnya mutu, khasiat obat.

9. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan kerusakan

atau kerugian kepada pasien.

10. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga berpotensi

menimbulkan penurunan kualitas obat.

11. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun

mental yang sedang terganggu sehingga merugikan kualitas pelayanan profesi.

12. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya tidak

dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung

jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah, sehingga dapat

membahayakan pasien.

13. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik swa-medikasi

(self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan kefarmasian.

14. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/ atau tidak etis, dan/atau tidak objektif

kepada yang membutuhkan.

15. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien tanpa alasan

yang layak dan sah.

16. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak.

30
17. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.

18. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak baik dan tidak

benar.

19. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) atau Surat

Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker (SIPA/SIKA) dan/atau sertifikat

kompetensi yang tidak sah.

20. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan

MEDAI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

21. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang

dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.

22. Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan kepada hasil pekerjaan yang

diketahuinya secara benar dan patut.

L. Sanksi Disiplin

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan per-Undang-

Undang an yang berlaku adalah:

1) Pemberian peringatan tertulis;

2) Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi

Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker;

dan/atau

31
3) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang dimaksud

dapat berupa:

1) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau

2) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap

atau selamanya;

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker yang

dimaksud dapat berupa:

1) Pendidikan formal; atau

2) Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi

pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana

pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga)bulan dan

paling lama1 (satu) tahun

32
BAB Ill
PENUTUP

A. Kesimpulan

Apoteker memiliki cita-cita dan nila-nilai bersama, disatukan dengan latar belakang

pendidikan yang sama, memiliki keahlian yang sama, punya otoritas dalam profesinya,

sehingga kita mempunyai kewenangan sendiri. Untuk itu, Apoteker haruslah berpraktik

sebagai tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi dan etika.

Sebagai profesi, seorang Apoteker antara lain memiliki karakteristik:

1) telah mengucapkan, menghayati dan senantiasa mentaati sumpah / janji dan Kode

Etik Apoteker Indonesia.

2) selalu memelihara kompetensi melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi

khusus dalam bidang kefarmasian.

3) memahami dan memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi perilaku yang

33
mementingkan klien, khsususnya peduli terhadap kesehatan pasien.

4) melaksanakan pekerjaan / praktik berdasarkan standar profesi, antara lain standar

pelayanan dan sistem penjaminan mutu.

5) mempunyai kewenangan profesi, sehingga untuk itu Apoteker harus bersedia

memperoleh sanksi, sebagai konsekwensi dari hak mendapatkan surat izin kerja /

praktik. Hal ini adalah untuk perlindungan terhadap hak klien.

Pasien sebagai pengguna jasa profesi, mengharapkan Apoteker mengambil

keputusan profesi untuk kepentingannya. Sebagian besar pasien tidak mengetahui

tentang proses pelayanan yang diberikan oleh Apoteker karena otonomi dan monopoli

keilmuan dan profe-sinya. Oleh sebab itu mereka menyerahkan diri dan pasrah, kadang

kadang curiga, jangan-jangan dimainkan.

Disinilah letaknya proses pengambilan keputusan sebagai pertanggung jawaban profesi

diperlukan, antara lain melalui pernyataan kewajiban Apoteker terhadap klien, yang

dituangkan dalam bentuk kode etik.

Kode Etik Apoteker Indonesia yang berisi tentang kumpulan asas atau nilai yang

berkenaan denan akhlak dan nilai-nilai yang dianut dan menjadi pegangan dalam praktik

kefarmasian. Kode Etik Apoteker Indonesia disusun dengan tujuan antara lain:

1) Menjunjung tinggi martabat Profesi.

2) Menjaga dan memelihara kesejahteraan anggota.

3) Meningkatkan pengabdian anggota.

34
4) Meningkatkan mutu Profesi.

5) Meningkatkan layanan kepada pengguna jasa.

6) Untuk menentukan standard sendiri

B. Saran

Kode Etik Apoteker Indonesia diharapkan dapat berfungsi :

1) Sebagai pedoman setiap anggota dalam menjalankan profesinya.

2) Sebagai sarana kontrol bagi masyarakat atas pelaksanaan profesi tersebut.

3) Mencegah campur tangan pihak luar organisasi tentang hubungan etika dan

keanggotaan organisasi.

Kode Etik Apoteker Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan merupakan naskah azasi

organisasi Ikatan Apoteker Indonesia yang sudah ditetapkan dalam Kongres ISFI ke XVIII

tahun 2009 di Jakarta dan sesuai dengan amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga . Sebagai naskah azazi, maka setiap Anggota, Anggota Luar Biasa, dan Anggota

Kehormatan berkewajiban untuk menjaga dan membela nama baik organisasi dan

menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.

Dengan demikian kita mengharapkan agar Apoteker menjadi seorang yang berbudi

luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi, dan inovatif, serta berorientasi ke

masa depan dan dapat menjaga dan meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga

mampu menjalankan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab.

Kode Etik Apoteker Indonesia terdiri dari 5 bab, dan 15 pasal, meliputi 8 pasal

35
kewajiban umum, 1 pasal kewajiban terhadap pasien, 3 pasal kewajiban terhadap teman

sejawat, 2 pasal terhadap tenaga kesehatan lain, dan 1 pasal penutup.

Apoteker secara umum diminta mentaati Kode Etik Apoteker Indonesia, dimulai

dengan ketatatan terhadap sumpah/janji Apoteker, berpraktik sesuai kompetensi,

menjaga martabat dan tradisi luhur jabatan Apoteker dan menjadi contoh, dan

mengikuti perkembangan iptek dan peraturan perundangan, dan menjadi sumber

informasi.

Kewajiban terhadap pasien adalah mengutamakan kepentingan masyarakat. Meng-

hormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani. Sedangkan terhadap

teman sejawat adalah memperlakukan teman sejawat sebagaimana ingin diperlakukan,

dan menjaga hubungan baik dengan sejawat tenaga kesehatan lain. Apoteker

diharapkan menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dan jika ada

pelanggaran agar mengakui dan menerima sanksi serta mempertanggung-jawabkan

kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai denan sumpah yang pernah diucapkan sesaat

setelah lulus jadi Apoteker.

Disamping itu, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1962

tentang Sumpah Apoteker dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No 51/ 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian, maka Apoteker juga bertanggung jawab sebagai warga

negara untuk mematuhi dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.

Agar Kode Etik Apoteker Indonesia ini dapat berfungsi dan diterapkan dengan

baik oleh Apoteker, seperti sudah disampaikan diatas, MEDAI Pusat mengharapkan

36
agar setiap insan Apoteker Indonesia dapat dengan konsisten mempelajari, memahami

dan menjalankan Kode Etik Apoteker Indonesia ini dalam setiap perilaku kehidupannya

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/Sk/X/2002 Tentang

Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian lzin Apotek.

Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI). 2015. Kode Etik dan Pedoman Disiplin

Apoteker Indonesia. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian

37
38

Anda mungkin juga menyukai