SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Rahma Syifa Nur Azizah
11170183000065
Yang mengesahkan,
Pembimbing
NIP. 195804171992031001
i
LEMBAR PENGESAHAN KARYA ILMIAH
PERAN GURU DALAM MENANAMKAN KECERDASAN
EMOSIONAL SISWA KELAS V SDI AL-ANSHAR BEKASI
Skripsi
Oleh:
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Skripsi berjudul Peran Guru dalam Menanamkan Kecerdasan Emosional
Siswa Kelas V SDI Al-Anshar Bekasi disusun oleh Rahma Syifa Nur Azizah
Nomor Induk Mahasiswa 11170183000065, diajukan kepada Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan
lulus dalam Ujian Munaasah pada tanggal 2 Juli 2021 di hadapan dewan penguji.
Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI).
Penguji I
Dra. Zikri Neni Iska, M.Psi 16 Juli 2021
NIP. 19690206 199503 2 001
Penguji II
Dr. Khalimi, M.A. 15 Juli 2021 .
NIP. 19650515 199403 1 006
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan
(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asep Ediana Latip, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah yang telah memberikan nasehat, arahan, dan kemudahan dalam
penyusunan proposal ini.
3. Rohmat Widiyanto, M.Pd., selaku sekretaris prodi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Drs. Ja’far Sanusi, M.A., selaku pembimbing dalam penyusunan
proposal skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik saya. Apresiasi
dan terima kasih yang sebesar-besarnya secara khusus saya haturkan atas
keikhlasan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan serta saran kepada
penulis.
5. Kepada segenap dosen PGMI, terima kasih atas ilmu, nasehat, dan
motivasi yang sudah diberikan sehingga membangun pribadi saya menjadi
lebih baik dan memiliki tujuan yang lebih baik dalam niat menjadi
pendidik.
6. UU Bahru Ubaidillah, ayah saya. Kesanggupan saya untuk bisa terus
menuntut ilmu tidak lepas dari doa dan kerja keras beliau selama ini. Ibu
saya, Enung Relistia Fauziah. Tanpa doa dan ridha beliau maka saya tidak
akan menjadi siapa saya sekarang. Terima kasih sudah mendoakan hal-hal
baik untuk terus terjadi di dalam hidup saya.
7. Ali Imran, S.Pd. I, selaku Kepala Sekolah SDI Al-Anshar Bekasi dan
seluruh dewan guru yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan
menerima saya dengan tangan terbuka.
8. Lu’lu’a Farah Adiba, S.Pd., terimakasih kepada kakak tingkat PGMI
yang sudah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran dalam
perjalanan penulisan skripsi mulai dari persiapan seminar proposal.
Demikian ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan dan
tak lupa iringan doa selalu penulis ucapkan semoga segala hal baik yang
telah diberikan mendapat balasan yang besar dari Allah SWT. Tak lupa
penulis juga mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar- besarnya jika
dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kesalahan. Penulis dengan
senang hati menerima saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Penulis sangat berharap bahwa karya ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, juga bagi pengembangan pendidikan.
Bekasi, 27 April 2021
Penulis,
viii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan upaya dalam membantu jiwa peserta didik
untuk mampu berkembang baik secara lahir maupun batin. Pendidikan
adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending
process) yang dimana bertujuan untuk menghasilkan kualitas yang sesuai
untuk mewujudkan sosok manusia masa depan yang sesuai dengan nilai-
nilai budaya Pancasila dan budaya bangsa Indonesia.1
Berjalannya proses pendidikan tentu memiliki tujuan, yakni tujuan
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ini sesuai dengan
undang-undang No. 2 Tahun 2003 yaitu pendidikan diupayakan dari
manusia yang apa adanya (aktualisasi) dengan mempetimbangkan
berbagai kemungkinan yang potensial, lalu akan diarahkan menuju
terwujudnya manusia yang ideal atau manusia yang dicita-citakan.2
Tujuan pendidikan tidak lepas dari iman dan takwa manusia
kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak yang mulia, sehat, cerdas,
berperasaan, berperikemanusiaan, dan mampu memenuhi berbagai
kebutuhan dirinya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya,
mampu menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, dan berbudaya.
Pendidikan seharusnya mampu mengembangkan beragam potensi yang
ada pada diri seseorang dari berbagai dimensi. 3 Dengan demikian,
pendidikan memiliki tujuan yang besar dalam membangun pribadi
manusia karena tujuan yang diharapkannya begitu mendalam. Sehingga
proses pendidikan yang baik akan membawa kepada hasil yang
diharapkan. S. Nasution mengatakan bahwa setiap sekolah bertugas untuk
mendidik anak menjadi anggota masyarakat yang berguna. Salah satu
tujuan pendidikan nasional yang sudah dipaparkan di atas adalah
1
I Wayan Cong Sujana, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Indonesia, ADI WIDYA: Jurnal
Pendidikan Dasar Vol. 4, No. 1 April 2019, h. 29.
2
Ibid,h. 31.
3
Ibid.
1
mencerdaskan seseorang . Kecerdasan adalah kemampuan di dalam diri
seseorang yang bisa dilihat dari segi kognitif (otak) maupun afektif (sikap
dan nilai).4
Fenomena yang terjadi di masyarakat khususnya di dunia sekolah,
adalah nilai bagus yang divisualisasikan dengan prestasi akademik yang
baik masih menjadi sebuah fokus utama dalam mendidik anak. Semakin
tinggi nilainya, semakin baik prestasinya, maka anak akan dianggap
sukses. Sementara jika kurang baik dalam prestasi akademiknya, siswa
dianggap belum belajar dengan maksimal. Beberapa orang banyak
beranggapan bahwa IQ yang bagus akan membawa seseorang pada
kesuksesan. Hal tersebut sebenarnya kurang tepat. Untuk menjadi
seseorang yang berhasil perlu memiliki kecerdasan tertentu, ini yang
benar. Tidak ada kepastian bahwa yang kecerdasan intelektualnya tinggi,
akan memiliki karir yang cemerlang.
Di sekolah, anak cenderung terbiasa menjalani kegiatan
pembelajaran dengan mengikuti serangkaian aktifitas. Mereka harus
mendapat nilai bagus sebagai tanda bahwa mereka benar-benar paham dan
mengerti pelajaran tertentu. Orang tua dan para guru sering kali lupa
bahwa faktor lain dalam diri siswa juga perlu ditanamkan dan
dikembangkan. Untuk pengetahuan, sebenarnya anak bisa mencari tahu
dan hal ini tidak terlalu sulit untuk menanamkan pemahaman pada anak-
anak. Karena pada dasarnya, anak lebih mudah dalam belajar.
Salah satu tempat di mana seseorang bisa belajar menjadi cerdas
dan mengolah kecerdasan yang sudah di milikinya adalah sekolah.
Sekolah juga menjadi pilihan tempat di mana para orang tua menitipkan
anaknya untuk ditempa menjadi anak yang cerdas. Saat ini, sekolah sudah
mengalami kemajuan seiring dengan perubahan kurikulum. Kemunculan
kurikulum 2013 yang memiliki Kompetensi Inti (KI) dan juga KD
(Kompetensi Dasar) membuat proses belajar anak di Sekolah Dasar tidak
hanya mengarah pada kemampuan anak dalam pengetahuan saja. Namun
4
Ibid, h. 32.
2
juga dirancang supaya anak mampu memiliki kompetensi dalam sikap
sosial, keterampilan, dan sikap spritualnya. Sehingga anak bukan hanya
dilihat dari sisi kecerdasan intelektualnya saja, karena aspek lain juga ada
penilaiannya.
Masalah yang ditemukan di lapangan adalah para guru sering kali
melupakan bahwa ada capaian lain dan bukan hanya menjadikan
kecerdasan intelektual anak sebagai tujuan pembelajaran. Cukup banyak
siswa yang diharapkan menjadi anak cerdas oleh orang tuanya, diminta
bimbingan belajar di luar sekolah formal, dan guru yang tampak fokus
mencapai Kompetensi Dasar pengetahuannya saja. Kecerdasan emosi anak
kadang dikesampingkan.
Guru adalah yang paling besar peranannya mendidik anak di
sekolah. Buku guru dan siswa dibuat, administrasi sekolah perlu disusun,
sehingga peran guru sangat diperlukan dalam membantu menyukseskan
perkembangan anak khususnya selama di sekolah. Pengembangan emosi
bagi siswa di sekolah bukan hal yang mudah dan ringan. Perlu usaha dan
perhatian lebih dari guru di sekolah. Di lingkungan sekolah, akan terjadi
proses di mana siswa akan bergaul dengan teman-teman seusianya. Dalam
pergaulan, bisa saja baik untuk anak jika dia diterima di dalam
pergaulannya. Namun akan lebih baik bagi anak untuk bisa merasa
diterima di tengah lingkungannya. Kondisi masa kini di mana pandemi
terjadi sejak Maret tahun 2020, membuat siswa belajar di rumah sehingga
tidak bisa bertatap muka secara langsung dengan teman sebayanya
maupun dengan guru-gurunya. Proses bergaul siswa pun jadi terbatas.
Pada siswa kelas 5 SDI Al-Anshar ditemukan bahwa ada anak-
anak yang memiliki emosi yang stabil dan ada pula yang kurang stabil.
Pada anak yang kurang stabil emosinya, reaksinya ketika marah cenderung
berlebihan, seperti membanting meja, melempar buku, merusak barang,
dan berbicara kasar pada temannya. Dan ketika guru berusaha untuk
menasehatinya, anak cenderung melawan dan sulit untuk diatasi.
Beberapa siswa yang kurang baik sikap dan emosinya ini cenderung
kurang disukai oleh teman-temannya, dan sedikit memiliki teman.
Temannya cenderung merasa takut untuk berteman dengan anak-anak
yang memiliki sikap kasar atau pemarah. Sehingga, yang jadi persoalan
adalah bagaimana peran guru dalam proses penanaman kecerdasan
emosional ini.
Di SDI Al-Anshar sendiri, para siswa diberi banyak muatan agama
karena memang sekolah ini merupakan Sekolah Dasar Islam Terpadu.
Siswa diajarkan hadist dan Al-Qur’an. Namun dalam praktiknya, tentu
pengetahuan mengenai agama sama tidak sama dengan pengamalannya.
Siswa boleh saja tahu tentang hadist anjuran duduk ketika makan dan
minum, namun pengamalannya masih dirasa kurang. Anak-anak masih
perlu diingatkan untuk duduk saat makan atau minum. Maka memang
memberikan ilmu pengetahuan tidaklah sulit, namun menanamkannya
pada siswa sehingga ilmu tersebut terserap dan mampu diaplikasikan
menjadi sebuah tantangan yang lebih kompleks. Para guru tampaknya
lupa, bahwa nilai-nilai agama tersebut tidak cukup hanya dengan
mengajarkannya kepada mereka melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini
memberikan gambaran bahwa dalam mendidik karakter dan menanamkan
nilai tertentu bukanlah hal yang mudah.
Penelitian ini ditujukan khususnya untuk guru Sekolah Dasar yang
memiliki peran besar dalam proses pendidikan anak. Pendidikan yang
sempurna tentu divisualisasikan dengan seimbangnya semua kemampuan
dan potensi di dalam diri anak. Peneliti menginginkan para pendidik
mampu mempertimbangkan untuk mengambil peran yang lebih besar
dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa. Memperhatikan
kecerdasan emosional siswa untuk membantu siswa mengelola emosinya
dan lebih sempurna dalam perkembangannya.
B. Identifikasi Masalah
1. Peran guru dalam kecerdasan emosional menjadi salah satu
faktor penting dalam penanaman kecerdasan emosional.
4
2. Penanaman kecerdasan intelektual dan emosional yang
dilakukan guru kepada siswa belum seimbang.
3. Kurangnya perhatian guru dalam hal kecerdasan emosional
siswa.
4. Adanya faktor psikologis dalam diri siswa dan lingkungan
sekitarnya yang berbeda yang pada akhirnya menghambat
penanaman kecerdasan emosional siswa saat di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian tersebut
lebih terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan
penelitian akan tercapai. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah
kurangnya peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa
kelas V di SDI Al-Anshar Bekasi.
D. Rumusan Masalah
Agar penulisan penelitian ini lebih terarah berdasarkan pembatasan
masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian ini yaitu:
Bagaimana peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa
kelas 5 di SDI Al-Anshar Bekasi?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran guru
dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa kelas V di SDI Al-
Anshar Bekasi.
F. Manfaat Penelitian
1. Secara akademik, penelitian ini dapat menambah wawasan penulis
dan masyarakat sekolah atau guru mengenai pentingnya kecerdasan
emosional untuk diperhatikan oleh guru yang menjadi pendidik di
lingkungan sekolah khususnya di SDI Al-Anshar Bekasi. Selain
itu, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan
kepustakaan bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
mengenai peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional
anak di Sekolah Dasar.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi
materi bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah yang ingin memahami tentang
pentingnya kecerdasan emosional untuk diperhatikan sejak dini
sehingga seorang anak mampu berkembang kecerdasannya dengan
lebih seimbang.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
1
Yohana Afliani Ludo Buan, Guru dan Pendidikan Karakter Sinegritas Peran Guru
dalam Menanamkan Nilai-nilai Pendidikan Karakter di Era Milenial, (Indramayu: Penerbit Adab,
2020), h. 1.
2
Askhabul Kirom, Peran Guru Dan Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran Berbasis
Multikultural, Jurnal Al-Murrabi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3 No. 1, Desember 2017,
h. 73.
3
Ibid.
7
meningkatkan perkembangan intelektual, emosional, spiritual, dan
sosialnya.4
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa peran guru
dalam proses perkembangan anak cukup besar. Bahkan jika di sekolah,
guru adalah pihak yang paling banyak mengambil peran. Guru perlu
merencanakan proses pembelajaran, mengelola proses berjalannya, dan
menilai hasil dari proses yang sudah dijalani siswa. Bukan hanya dalam
hal intelektual dan kemampuan berpikir mengenai ilmu pengetahuan,
namun guru juga berperan dalam perkembangan emosional sehingga siswa
mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik ketika berhadapan
dengan orang lain.
Kecerdasan emosional anak bisa dilihat dari bagaimana
karakternya, sehingga guru akan berperan dalam melakukan pendidikan
karakter anak. Dikatakan bahwa meski pembangunan infrakstruktur
dilakukan dengan sangat baik, tanpa pembangunan karakter maka hasilnya
hanya membuat rakyat kesulitan sementara pihak yang berkuasa dan yang
berkepentingan yang akan menerima keuntungan.5
Kita dapat melihat bagaimana Negara di belahan dunia yang lain
mengaplikasikan pendidikan karakter pada siswanya. Seperti Finlandia
yang menjadi Negara maju karena tingkat kejujuran yang menjadi asas
pembangunan negaranya, Jepang dengan nilai kedisiplinan, juga Amerika
Serikat dengan penanaman kesantunan dan penghormatan terhadap orang
lain.6
Artinya, ketika sebuah bangsa didominasi oleh orang-orang yang
cerdas secara intelektual dan kurang baik dalam kecerdasan emosi, maka
pihak-pihak ini bisa mencari keuntungan dengan kecerdasan mereka.
4
Askhabul Kirom, Peran Guru Dan Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran Berbasis
Multikultural, Jurnal Al-Murrabi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3 No. 1, Desember 2017,
h. 72.
5
Asep Ediana Latip, Pembangunan Karakter Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan
Dasar, (Repository FITK Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, diakses pada 23 Januari 2021,
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39107/1/Asep-FITK), h. 307.
6
Ibid, h. 307.
8
Namun tidak memikirkan dampak buruk yang mereka hasilkan kepada
orang lain. Jika ada orang cerdas namun tidak jujur, orang cerdas namun
tidak santun, atau orang yang cerdas namun pemarah dan juga pendendam.
Justru dampaknya bisa saja merugikan orang lain. Penjahat yang cerdas
sungguh berbahaya. Namun orang yang kurang cerdas namun jujur, akan
tampak bersahaja.
Jika melihat betapa besar efek sebuah pendidikan bagi sebuah
bangsa, maka seharusnya pendidik perlu mengambil perhatian untuk
meningkatkan peran dan kontribusi dalam mendidik siswanya. Bukan
hanya dalam mencerdaskan intelektualnya saja, namun juga mencerdaskan
karakter siswa sebagai salah satu aspek dari kecerdasan emosional.
Dengan begitu, kelak anak-anak di Negara ini akan tumbuh menjadi orang
yang cerdas otaknya juga baik kepribadiannya.
7
Yohana, Op.Cit. h. 3-5
8
Ibid.
10
konsep kecerdasan pengetahuan atau kecerdasan yang melalui pemikiran
rasional (IQ).9
Sementara tokoh lain, yakni Michele Borba merumuskan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk memahami apa yang benar dan apa
yang salah pada suatu masyarakat sosial yang disebut dengan kecerdasan
moral. Kecerdasan moral ini lebih merujuk kepada nilai atau etika
universal yang akan digunakan seseorang ketika dia berada di sebuah
lingkungan sosial yang tentu di dalamnya memiliki aturan tersendiri.
Artinya, seseorang dengan kemampuan ini memiliki karakter yang mampu
merasakan penderitaan oran lain. Sehingga, kecerdasan menurut Borba
lebih merujuk kepada kecerdasan Emosional (EQ).10
Paradigma mengenai kecerdasan emosional membawa kita pada
bagaimana emosi seseorang akan dikenali, disadari, dikelola, dan
dimotivasi. Ajaran filsuf Socrates mengenai “kenalilah dirimu”
menunjukkan bahwa ada kecerdasan emosional di dalam diri manusia. 11
Emosi adalah pengalaman yang dapat dirasakan secara fisik yakni berupa
sistem isyarat yang menjadi alarm informasi yang dibutuhkan seseorang
dan akan mengarahkannya kepada berbagai jalan keluar, juga
menghasilkan tindakan atau perubahan pada waktu tertentu. Biasanya
emosi mampu dirasakan setelah mendengar pesan yang berasal langsung
dari hati.12
Kecerdasan intelektual saja tidak dapat menjamin keberhasilan
hidup seseorang. Anggapan tentang seseorang yang memiliki IQ tinggi
adalah orang pintar dan yang IQ-nya rendah adalah orang bodoh adalah
pernyataan yang kurang benar. Para psikolog sepakat bahwa dalam faktor
yang menentukan keberhasilan seseorang, IQ sekiranya hanya
9
Faisal Faliyandra, Tri Pusat Kecerdasan Sosial Membangun Hubungan Baik Antar
Manusia Pada Lingkungan Pendidikan di Era Teknologi, (Batu: Literasi Nusantara, 2019), h. 77.
10
Ibid, h. 78.
11
Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ lebih
Penting daripada IQ dan EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) , h. 44
12
Nofianty Djafri. Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah (Pengetahuan Manajemen,
Efektivitas, Kemandirian Keunggulan Bersaing dan Kecerdasan Emosi). (Yogyakarta:
Deepublish, Cet. 2, 2017), h. 29.
menyumbangkan 20% dan 80% berasal dari faktor lain yakni kecerdasan
emosional. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam
mengatur dan mengelola dorongan-dorongan emosi yang ada di dalam
dirinya dengan baik.13
Goleman dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional dengan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk menghadapi
frustrasi, mengendalikan dorongan hati, juga mengatur suasana hati dalam
artian tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesedihan, dan mampu
menjaga agar kemampuan berpikir tidak dipengaruhi oleh stres yang
dialaminya, juga mampu berempati pada orang lain dan mampu berdoa
dalam arti mampu mengingat Tuhan.14
Menurut Goleman kecerdasan emosional dapat dikelompokan
dalam lima komponen penting yaitu: mengenali emosi, mengelola emosi,
motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina
15
hubungan. Bagian dari kecerdasan emosional yakni melibatkan
kemampuan dalam memantau perasaan dan emosi orang lain maupun
emosi dirinya sendiri, sehingga mampu membedakan emosi-emosi yang
dirasakannya. Ketika informasi mengenai emosi ini, maka seseorang akan
menggunakannya sebagai cara dalam mengatur pola pemikiran dan
tindakan yang akan dilakukan.16
Goleman mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan
seseorang dalam mengatur emosinya dengan inteligensi, menjaga
kesehatan emosi dan cara mengungkapkan emosi yang tepat dengan
13
Dra. Wiwik Suciati, M.Pd. Kiat Sukses Melalui Kecerdasan emosional dan
Kemandirian Belajar. (Bandung: CV. Rasi Terbit, 2016), h. 2.
14
Yohanes Temaluru Dominikus Dolet Unaradjan. Pengembangan Kemampuan Personal,
(Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019), h. 102.
15
Nur Istiqomah Hidayati, Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi, Dan
Kemandirian Anak SD, Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Januari 2014, Vol. 3, No. 01, h. 3.
16
Gwalior dan Madhya Pradesh, “Role of Emotional Intelligence for Academic
Achievement for Students, Bhadouria Preeti Boston College for Professional Studies”, Research
Journal of Educational Sciences, ISSN 2321-0508, Vol. 1(2), Mei (2013), h. 8.
12
kesadaran dan keterampilan, motivasi, empati, dan keterampilan sosial
dalam diri.17
Menurut Salover dan Mayer kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) diartikan sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial di mana seseorang
melibatkan kemampuannya kepada orang lain, lalu memilah dan
menggunakan informasi ini sehingga mampu membimbing pikiran dan
tindakannya.18 Menurut Bar-On kecerdasan emosional adalah serangkaian
kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang pada akhirnya mempengaruhi
kemampuan seseorang sehingga mampu mengatasi tuntutan dan tekanan
dari lingkunganya. 19 Sementara itu, Ginanjar mengatakan bahwa hati
nurani akan menjadi pembimbing dalam hal-hal yang harus ditempuh dan
diperbuat. Seolah manusia memiliki radar hati sebagai pembimbingnya.20
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah sebuah kemampuan individu dalam mengolah diri dan
emosinya dengan melibatkan pikirannya, seperti ketika seseorang mampu
berempati dengan orang lain dan mengekspresikannya dengan baik dan
benar, menata emosi dengan akal sehatnya, atau mampu mengalahkan
perasaan sedih dan putus asa dalam dirinya untuk tidak membawanya pada
tindakan yang buruk.
Meski terkadang ada beberapa orang yang tidak menyadari, anak-
anak cenderung meniru ucapan dan perilaku di sekitarnya. Sehingga guru
dan orang tua perlu memberikan contoh nyata dan keteladanan yang baik
kepada anak-anak. Anak memang cerminan dari orang tua, namun bukan
hanya itu karena anak juga akan bercermin pada lingkungannya baik dari
17
Yohanes Temaluru, Op.Cit., h. 101.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Nofianty Djafri, Op.Cit., h. 32.
lingkungan terdekatnya maupun lingkungan dari media yang dilihatnya
seperti televisi, games, dan lainnya21.
Kecerdasan emosional pun dikenal dalam islam karena islam
muslim diharapkan menjadi masyarakat yang cerdas secara emosi. Hal ini
berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Konsep kecerdasan emosional
ini juga diberikan perhatian lebih awal di dalam psikologi islam. Hasan
Langgulung dalam jurnal Hamidah Sulaiman dkk dikatakan bahwa emosi
di sini sama dengan potensi fitrah manusia yang lain dengan melalui
proses pertumbuhan serta perkembangan.22
21
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), h. 3.
22
Hamidah Sulaiman dkk, Kecerdasan Emosional Menurut Al-Quran dan Al-Sunnah:
Aplikasinya dalam Membentuk Akhlak Remaja, The Online Journal of Islamic Education, Vol. 1,
No. 2, h. 51.
23
Ibid.
24
Mushlih Muhammad, Kecerdasan Emosional menurut Al-Qur’an, terj. Emiel Theeska,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2010, h. 21-22.
14
Syaikh Ahmad asy-Syarbashi dalam Mushlih Muhammad
mengatakan, “Setiap manusia selalu berupaya dengan sungguh-sungguh
untuk mencari kebahagiaan. Ia sangat ingin untuk mendapatkannya. Ia
berupaya mencarinya, betapapun mahal harganya.” Ini menandakan bahwa
emosi positif perlu dimiliki seseorang dan banyak yang mencoba untuk
mencarinya di luar kenyataan apakah ia sudah menemukannya atau
belum.25
Ajaran Islam telah membimbing manusia untuk tidak lalai dalam
memandang dirinya. Jika demikian, maka di antara pemicunya adalah:
a. Tubuh yang kepentingannya hanyalah makan, minum, dan
tambahan asupan tanpa batas;
b. Jiwa yang kepentingannya hanya untuk bersenang-senang dalam
dosa dan kedurhakaan;
c. Hati yang selalu terguncang dengan kecemasan dan kesedihan;
d. Lidah yang selalu berbicara hal yang sia-sia yang melukai dan
tidak dapat disembuhkan.26
Tsabit Bin Qarrah, seorang dokter muslim terkenal mengemukakan
jalan yang dapat mencapai kebahagiaan. Dikatakan bahwa ketenangan
tubuh ada di dalam sedikitnya makanan, ketenangan jiwa dalam sedikitnya
dosa, ketenangan hati dalam sedikitnya kesedihan, dan ketenangan lidah
dalam sedikit bicara.27
25
Ibid, h. 22.
26
Ibid, h. 23-24.
27
Ibid, h. 24.
kemudian mampu memenuhi fungsinya masing-masing. Termasuk juga
perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungan.28
Anak usia dini mulai peka atau atau sensitif untuk menerima
berbagai rangsangan. Setiap anak memiliki masa peka yang berbeda
seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan sang anak sebagai
individu. Peletakan dasar pengembangan aspek bahasa, moral, agama,
kognitif, fisik, motorik, sosial, dan emosional sangat baik dilakukan pada
masa usia ini. Sebab itulah perkembangan anak usia dini dijadikan sebagai
masa keemasan atau golden age. 29
28
Soedjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta: EGC, 1995), h. 1.
29
Tien Asmara Palintan, Membangun Kecerdasan Emosi dan Sosial Anak Sejak Usia Dini,
(Bogor: Penerbit Lindan Bestari, 2020), h. 1.
30
Ibid, h. 2.
31
Papalia Olds Feldman, Human Development (Perkembangan Manusia), (Jakarta:
Salemba Humanika, 2008), h. 262.
32
Tien Asmara Palintan., Loc.cit, h. 12.
16
dengan baik maka akan meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola
emosinya terutama emosi negatif.33
Untuk anak usia 9-10 tahun, anak dapat mengatur ekspresi emosi
dalam situasi sosial dan dapat memberikan respon terhadap distress
emosional atau sebuah stress negatif yang menimbulkan rasa tidak nyaman
yang terjadi pada orang lain. Anak juga mampu mengontrol emosi negatif
seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya marah,
sedih, atau takut sehingga ia juga belajar untuk beradaptasi agar emosi
tersebut dapat dikontrol.35
33
Erna Labudasari dan Wafa Sriastria, Perkembangan Emosi pada Anak Sekolah Dasar,
Jurnal Pendidikan Dasar dan Pebelajaran 9 (1), 58, Tahun 2019, h. 2.
34
Ibid, h. 6.
35
Ibid.
36
Ibid.
Peran dan fungsi emosi pada perkembangan anak adalah sebuah
bentuk komunikasi dan berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan
penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, tingkah
laku yang sama dan berulang-ulang kali dilihat atau dialaminya dapat
menghambat aktivitas motorik dan mental anak.37
37
38
Nafia Wafiqni, M.Pd dan Asep Ediana Latip, Psikologi Perkembangan Anak Usia
MI/SD Teori dan Grand Desain Pendidikan Berbasis Perkembangan (Education Based Child’s
Development), Ciputat: UIN Press, 2015), h. 133.
39
Ibid, h. 134.
18
2. Managing Emotion
Ketika ada seseorang mendapat masalah yang membuatnya
merasa stress atau tertekan, lalu kemudian ia menjadi sensitive dan
mudah marah, maka akar persoalannya adalah karena
ketidakpahaman individu mengenai cara menyelesaikan masalah.
Ketika seseorang mampu menyelesaikan masalah dalam kondisi
emosi yang baik dan stabil, managing emotion dapat
dikembangkan dengan cara meningkatkan pengetahuan atau
40
kecerdasannya. Managing Emotion dapat diartikan sebagai
sebuah kemampuan untuk mengendalikan dan mengolah emosi
dengan baik. Ketika seseorang kecerdasannya tinggi maka
seharusnya ia mampu mengendalikan emosinya dengan lebih baik
karena intelegensi adalah dasarnya. Kecerdasan dan emosi adalah
dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ketika seseorang mengalami
masalah, ia harus cerdas dalam mencari cara penyelesaian dan
cerdas dalam mengatur tingkat emosinya sehingga tidak berlebihan
baik dalam pikiran maupun tindakan.
3. Motivating Oneself
Motivasi dapat hadir bergantung dengan suasana hati
seseorang. Suasana emosi yang baik, mampu menjadi motivasi
bagi siswa dalam menjalankan aktivitas mau pun belajar. Ketika
anak usia MI/SD memiliki suasana emosi yang damai dan tidak
tertekan, maka motivasi belajarnya pun akan meningkat.41 Desnita
menjelaskan, bahwa emosi adalah bahan bakar yang melahirkan
motivasi dan motivasi adalah ujung tombak terealisasinya sebuah
aktivitas yang penuh dengan semangat. Motivating oneself adalah
proses memotivasi diri sendiri mau pun memotivasi orang lain.
Ketika seseorang mendengar motivator berbicara, menonton, dan
mendengar sebuah kisah yang akhirnya memicu seseorang untuk
40
Ibid.
41
Ibid, h. 135.
42
lebih termotivasi. Contoh sederhananya, ketika seseorang
menonton film tentang semangat mengejar mimpi dan cita-cita.
Maka orang tersebut akan terpicu untuk ikut mengejar mimpinya
dan merasa sangat bersemangat dalam menjalankannya.
4. Empathy
Empati adalah sebuah bagian kecil dari emosi positif yang
menjadikan seseorang menjadi matang dan dewasa. Ketika
individu ditampilkan sebuah peristiwa di masyarakat, kisah yang
dialami seseorang, tentu akan memicu rasa empati. Ini adalah salah
satu upaya untuk mengoptimalkan rasa empati seseorang.43 Empati
dan kepedulian kepada orang lain perlahan muncul ketika seorang
anak berusia 9 atau 10 tahun.44
5. Handling Relationship
Emosi yang berkembang dalam diri seorang anak tidak
terlepas dari kemampuannya membangun relasi dengan teman
sebayanya, orang tua, maupun dengan guru. Kemampuan
membangun hubungan adalah salah satu ciri matangnya emosi.
Saat kematangan emosi ini tercapai, tanda yang muncul biasanya
berupa percaya diri, ramah, dan menyayangi. Sementara ketika
seseorang terganggu emosinya maka muncul sikap seperti menjadi
pemurung, pemarah, pembenci dan lain-lain.45
Secara khusus, aspek-aspek yang termasuk ke dalam lima
komponen utama di atas terbagi ke dalam dua bagian. Yang
pertama adalah kecakapan pribadi dan yang kedua kecakapan
sosial. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1. Kecakapan Pribadi
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Gita Sekar Prihanti, Empati dan Komunikasi (Dilengkapi Modul Pengajaran dengan
Model Pendidikan Berbasis Komunitas), (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,
2017), h. 32.
45
Nafia Wafiqni, Op.Cit., h.137.
20
Kecakapan pribadi ini akan menentukan bagaimana
seseorang mengolah dirinya sendiri. Kecakapan pribadi terbagi
menjadi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran Diri
Kesadaran diri akan membantu seseorang untuk
mengetahui dan peka terhadap kondisi diri sendiri, kesukaan,
sumber daya dan intuisi. Selain itu, seseorang akan mampu
mengenali emosi dirinya sendiri dan apa efeknya. Penilaian diri
yang teliti juga termasuk ke dalam kesadaran diri, yakni
mengetahui kekuatan dan batas diri. Bentuk lain dari kesadaran diri
adalah percaya diri, merasa yakin tentang betapa berharga dan
penting dirinya dan menyadari bahwa dia mampu.
b. Pengaturan Diri
Dalam pengaturan diri, seseorang akan mengelola kondisi,
impuls, dan sumber daya diri. Beberapa hal diantaranya adalah,
yang pertama, mengenali dirinya sendiri yakni mengelola emosi
dan desakan hati yang merusak. Kedua, sifat dapat dipercaya yakni
mampu memelihara norma kejujuran dan integritas. Ketiga,
memiliki kewaspadaan artinya mampu bertanggungjawab atas
pekerjaannya sendiri. Yang ke empat, adaptabilitas yakni luwes
ketika terjadi perubahan. Dan yang terakhir, mampu berinovasi
seperti mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan atau
informasi baru yang diperoleh.
c. Motivasi
Beberapa aspek dari motivasi adalah memiliki dorongan
prestasi seperti memiliki dorongan untuk menjadi lebih baik,
memiliki komitmen, inisiatif, dan optimis artinya memiliki
kegigihan dalam memperjuangkan sebuah tujuan meskipun
menghadapi halangan dan kegagalan. 46
2. Kecakapan Sosial
Kecakapan sosial akan menentukan bagaimana seseorang
mampu mengatasi suatu hubungan. Kecakapan atau keterampilan
sosial biasanya ditunjukkan dengan sikap mudah berbicara sebagai
tanda lain dari kecerdasan emosional. Mereka yang kuat
keterampilan sosialnya biasanya adalah tipikal orang yang mampu
bekerja di dalam tim. Daripada mengutamakan kesuksesan diri
sendiri, biasanya orang-orang dengan keterampilan sosial mau
membantu orang lain untuk berkembang, dapat mengatasi
perselisihan, seorang komunikator yang baik dan mampu
membangun dan mempertahankan sebuah hubungan. 47 Kecakapan
sosial terdiri dua hal, sebagai berikut:
a. Empati
Empati adalah sebuah kepekaan terhadap perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Beberapa tanda dari empati
adalah mampu memahami orang lain seperti mengerti perspektif
dan mampu menunjukan kepedulian terhadap minat mau pun
keadaan mereka.
b. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah sebuah kecerdasan dalam
memberikan respon yang dikehendaki pada orang lain. Beberapa
bagian dari keterampilan sosial adalah mampu berkomunikasi,
memiliki kemampuan dalam memimpin, dan mampu bekerja sama
dengan tim mau pun orang lain.48
c. Penerimaan Emosi
46
Lauw Tjun Tjun dkk, Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Pemahaman
Akuntansi Dilihat dari Perspektif Gender, Jurnal Akuntansi Vol I, No. 2, November 2009: 101-
118, h. 104.
47
Sandhya Mehta dan Namrata Singh, Development of The Emotional Intelligence Scale,
International Journal of Management & Information Technology Vol. 8, No. 1, 2013, h.1253.
48
Ibid.
22
Penerimaan emosi atau emotional receptivity memiliki arti
menerima dan mendorong pandangan orang lain dengan terbuka
pada emosi mereka. Selain itu, juga memberikan upaya dalam
memfasilitasi arus masuk dan arus ke luarnya emosi sehingga
mampu meningkatkan kemampuan intrapersonalnya.49
Kemampuan intrapersonal adalah kepekaan seseorang
terhadap perasaan dirinya sendiri.50 Daya penerimaan emosi yang
baik mampu membuat seseorang secara pribadi dan sosial menjadi
kompeten. Dan bahkan lebih jauhnya, reseptor emosi atau
penerimaan emosi ini mampu membuat individu menjadi
berempati dan peka terhadap kebutuhan orang lain.51
49
Sandhya Mehta dan Namrata Singh, Op.Cit., h.1256
50
Nur Asiah, Analisis Kemampuan Praktik Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning)
Mahasiswa PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung, Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol. 4, No. 1 Tahun 2017, h. 24.
51
Sandhya Mehta dan Namrata Singh, Op.Cit., h.1256
52
Nurafni, Devi Murnianti & Maya Khairani, “Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah
Dasar Negeri (SDN) dengan Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Banda Aceh”,
Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, Vol. 3, No.1, Tahun 2017, h.
33.
tengah persaingan. Sementara di lain sisi, orang yang kecerdasan
intelektualnya biasa saja namun sukses menjadi pengusaha bahkan seorang
pemimpin. 53 Kondisi di masyarakat kita adalah anak-anak yang kurang
pandai dalam pelajaran sekolah dianggap anak yang tidak cerdas. Tempat
les dibuka untuk membantu siswa mengembangkan kecerdasan
intelektualnya, namun proses penanaman karakter atau proses
menanamkan kecerdasan emosional ini cukup jarang ditemukan. Tidak
banyak orang yang cukup paham atau sekedar mengetahui bahwa ada
kecerdasan lain selain IQ.
Padahal ketika anak mampu menyadari emosi orang lain dan
mampu memberikan respon yang tepat, maka anak tersebut bisa dibilang
anak cerdas. Cerdas secara emosi. Contoh ketika ada anak yang dimarahi
orang lain terlalu keras, lalu ia merasa tidak nyaman dan sedih. Jika anak
tersebut cerdas emosinya, maka ia tidak akan berbicara dengan cara yang
ia sendiri pun tidak ingin terima. Ketika anak mampu menyadari hal ini,
maka itu sebuah hal yang luar biasa. Sama hebatnya dengan anak-anak
yang mampu berhitung dengan cepat, atau menghafal dengan mudah.
Menurut Shapiro, kemampuan anak untuk mengungkapkan
emosinya ke dalam kata-kata adalah bagian dari pemenuhan kebutuhan
dasar seorang anak. Belajar mengidentifikasi dan menyampaikan emosi
adalah bagian penting dalam komunikasi dan penentu untuk mendapatkan
kendali emosional. Konsep mengenal diri sendiri dimulai dengan
kebangkitan diri. Ini menghasilkan kemampuan seseorang untuk melihat
pada pikiran, perasaan dan tindakannya.54
Kecerdasan emosional sangat penting dalam membina hubungan
antar manusia karena emosi memegang peranan dalam mengembangkan
sesuatu di masa depan seperti institusi atau lembaga, misalnya. Selain itu,
juga akan membantu dalam memahami dan memecahkan dan mengambil
keputusan pada beragam masalah penting bagi dirinya sendiri maupun
53
Faisal Faliyandra, Op.Cit., h. 81.
54
Melanie Richburg dan Teresa Fletcher, “Emotional Intelligence: Directing A Child's
Emotional Education”, Child Study Journal, Tahun 2002, h. 2.
24
bagi orang banyak di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan pemikiran
yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian dari
kecerdasan sosial.55
Fungsi kecerdasan emosi bisa diumpamakan dengan sonar pada
sebuah kapal namun dalam hal ini, sonar tersebut mampu memberikan
gambaran situasi yang lebih lengkap, dan membantu menghindari
hambatan dan masalah yang tak terlihat. Seperti halnya kapten kapal yang
hanya mampu melihat ke atas permukaan air, lalu sonar akan menyediakan
informasi tentang penampakan yang ada di bawah air. Seperti itulah
kecerdasan emosi akan bekerja dalam membantu seseorang melihat hal
yang logika kita abaikan sehingga mampu mengarahkan kepada haluan
terbaik dan teraman demi keberhasilan.56
Jika ingin mendapatkan manfaat dari kecerdasan emosi maka
terlebih dahulu seseorang perlu memerhatikan kecerdasan emosinya.
Tentu semua sudah punya potensi ini di dalam diri masing-masing, namun
perlu diperhatikan jangan sampai potensi yang sudah ada tidak
dikembangkan dan akhirnya justru terlupakan. Sehingga, sebaiknya
kecerdasan emosional ini di perhatikan sejak usia dini.
Menurut Schutte dkk, kecerdasan emosi yang lebih tinggi dapat
berhubungan dengan perasaan hati yang lebih baik dan kontrol yang lebih
bersifat keinginan hati. Hal ini akan membuat orang lain mengaitkan
bahwa kecerdasan emosi yang rendah akan berkaitan dengan tingkat
gangguan kendali impuls dan gangguan adiktif yang tinggi. Beberapa studi
yang dilakukan oleh Bracket, Mayer dan Warner, Riley dan Schutte, juga
Trinidad dan Johnsin menemukan bahwa ketika kecerdasan emosional
yang rendah dikaitkan dengan masalah penyalahgunaan obat, berdasarkan
penelitian tersebut subjek mengalami kesulitan dalam persepsi dan
pengolahan emosi. Sementara pada orang yang memiliki kecerdasan
55
Nofianty Djafri, Loc.Cit.
56
David Ryback, Putting Emotional Intelligence to Work Succesfull Leadership is More
Than IQ, (New York: Routlegde, 2012), h. 53.
emosional yang lebih baik, akan memiliki rasa percaya diri yang lebih
tinggi. Mereka akan memiliki keyakinan bahwa mereka mampu berhasil
mengatasi masalah kehidupan tanpa menggunakan obat-obatan. Dengan
kecerdasan emosi yang baik, seseorang akan melawan dorongan dalam diri
mereka untuk tidak menggunakan bahan-bahan adiktif. 57
Artinya ketika ada seseorang yang memiliki pengendalian emosi
yang baik atau cerdas secara emosi, mereka mampu mengalihkan pikiran
dan mencari cara untuk mengatasi kesulitan yang mereka alami dengan
cara yang lebih positif dan bukan dengan mencari pelarian yang
membahayakan diri mereka sendiri.
Orang dengan kecerdasan emosional yang baik lebih mungkin
untuk mencapai kesuksesan karena mereka tahu bagaimana cara
mengidentifikasi emosi sehingga mampu memahami emosi itu dengan
baik. Hal ini diperlukan bagi mereka karena merupakan sebuah
keterampilan yang bukan hanya meningkatkan pertumbuhan dirinya saja,
namun juga meningkatkan hubungannya dengan orang lain. Meskipun
kecerdasan emosional ini penting dan sudah bisa dijelaskan, namun
pendekatan dalam proses mengelola dan mendidiknya masih belum terjadi
terlalu luas dan besar. Cara dalam membesarkan anak akan sangat
dipengaruhi oleh emosi dan kompetensi sosial anak-anak itu sendiri. 58
Sehingga emosi orang lain di sekitarnya juga akan mempengaruhi
pertumbuhan emosi seseorang.
Cara untuk memperoleh kecerdasan emosional adalah dengan
mengarahkan hati agar melakukan sesuatu dengan pikiran jernih dan
objektif yang mampu dilakukan dengan mengenali faktor yang
mempengaruhinya dan unsur yang ada di dalamnya terlebih dahulu. Faktor
yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional ini adalah dengan
57
Inderjit Kaur, Nicola S. Schutt, Einar B. Thorsteinsson, “Gambling Control Self-
efficacy as a Mediator of the Effects of Low Emotional Intelligence on Problem Gambling”, J
Gambl Stud (2006) Vol. 22, h. 406.
58
Helen Y. Sung, “The Influence of Culture on Parenting Practices of East Asian
Families and Emotional Intelligence of Older Adolescents A Qualitative Study”, School
Psychology International (2010), Vol. 31, No. 2, h. 200.
26
mampu melihat, memilih, dan memprioritaskan sesuatu dengan baik.
Selain itu, menurut Ginanjar, unsur di dalam kecerdasan emosi meliputi
suara hati, kesadaran diri, motivasi, etos kerja, keyakinan, integritas,
komitmen, konsistensi, persistensi, kejujuran, daya tahan dan
keterbukaan.59
Kecerdasan emosional anak bisa ditingkatkan dengan
meningkatkan kesadaran guru tentang masalah emosional anak dan
memotivasi pendidik untuk menangani masalah kecerdasan emosional ini
dengan serius. 60 Kecerdasan emosional memang bukan sebuah cara paling
ajaib untuk berbagai masalah hidup. Namun banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kemampuan dalam memahami dan menangani emosi
secara efektif memainkan peran penting dalam kehidupan. 61
59
Nofianty Djafri, Loc.,Cit.
60
Moshe Zeidner, Israel Richard D. Roberts, Gerald Matthews, “Can Emotional
Intelligence Be Schooled? A Critical Review”, Educational Psychologist Journal, Vol. 37 No. 4,
Tahun 2002, h. 229.
61
Mihaly Csikszentmihalyi dan Isabella Selega Csikszentmihalyi, Library of Congress
Cataloging in Publication Data, (New York: Oxford University Press, 2006), hal. 104.
62
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, Cet. Ke-17, 2007), h. 355.
Jika siswa sejak Sekolah Dasar sudah memiliki dasar kecerdasan
emosional yang baik, diharapkan ketika ia beranjak dewasa tidak akan
mengalami kesulitan yang berarti dalam mengolah emosinya. Yang jadi
persoalan adalah ketika anak tidak bisa mengendalikan diri dengan baik,
emosi yang mengontrol dirinya adalah emosi yang tidak sehat untuk
mentalnya. Karena, kecerdasan emosional juga merupakan hal penting dan
perlu dilatih sejak kecil sama seperti kecerdasan lainnya. Peran dan
pengaruh keluarga, sekolah, dan lingkungan bagi kecerdasan emosional
anak sangat besar.63
Selain itu, jika dilihat dari sisi lain maka akan ditemukan fakta
bahwa ada bagian penting dalam otak manusia yang mengelola emosi.
Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting primitif yang
dalam evolusinya memunculkan korteks dan neokorteks. Amigdala adalah
spesialis berbagai masalah emosional. Jika bagian ini dihilangkan atau
dipisahkan dari bagian otak lainnya maka akan memunculkan hasil
ketidakmampuan yang sangat mencolok dari seseorang dalam menangkap
makna emosional dari sebuah peristiwa. Dengan istilah lain dikatakan
sebagai “kebutaan afektif”. Ketika tidak adanya bobot emosional, maka
peristiwa yang terjadi menjadi tidak bermakna. Pemuda yang dibuang
amigdala-nya untuk mengendalikan penyakit epilepsinya menjadi tidak
berminat kepada manusia dan menarik diri dari hubungan antar manusia.64
Dapat dikatakan bahwa emosi itu perlu ada sebagai bagian dari manusia,
tidak baik jika dihilangkan dan tidak baik pula jika tidak dikendalikan.
Anak yang memiliki kecerdasan emosi rendah hingga pada
akhirnya mendatangkan dampak negatif bagi dirinya sendiri. Goleman
mengatakan bahwa anak yang mengalami gangguan kecerdasan emosional
akan menutup diri dari pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi,
memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, serta nakal atau
63
Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, Anak Unggul Berotak Prima, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 20-21.
64
Daniel Goleman, Op.Cit., hal 19.
28
agresif. 65 Selain itu, siswa dengan kecerdasan emosional yang rendah
memiliki ciri-ciri seperti sulit bergaul, senang menyendiri, acuh tak acuh,
pesimis, pasif, dan sulit berdaptasi dengan orang lain.66
Pengaruh protektif dari kecerdasan emosional, didorong oleh aspek
strategic emotional intelligence yang merupakan kemampuan untuk
memahami dan mengelola emosi. Pada sebuah penelitian lain ditemukan
bahwa ada risiko perilaku yang kecenderungan ingin melakukan bunuh
diri. Hal ini sebagai salah satu dampak negatif jika memiliki kecerdasan
emosional yang rendah, khususnya dengan aspek emotional clarity dan
emotional repair yaitu kemampuan memahami emosi dan kemampuan
memoderasi respon emosional, serta memperbaiki keadaan suasana hati
yang negatif.67
Ketika anak tidak dibantu untuk mengendalikan emosinya, tidak
ditanamkan kecerdasan emosionalnya, anak menjadi kurang seimbang.
Tidak semua hal mampu dipikirkan secara logika, ada masyarakat yang
bukan hanya membutuhkan orang cerdas, ada banyak aspek dalam
kehidupan yang memerlukan lebih dari sebatas cerdas secara intelektual.
Anak perlu memahami teman sebayanya, mampu merasakan sebuah
perasaan yang dialaminya dan mengekspresikannya dalam porsi yang
sesuai. Seperti tidak marah berlebihan, juga tidak perlu memendam
kesedihan sampai akhirnya berdampak buruk ketika ia dewasa. Bahkan
pengelolaan emosi yang buruk, dapat berdampak negatif pada seseorang.
Dalam manajemen stress yang buruk, seseorang bisa mengalami depresi
dan berujung pada pengambilan keputusan yang salah dan yang paling
parah adalah keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
65
Enda Yulita dkk, “Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan
Emosional (Emotional Intelligence) Siswa Kelas V SDN 50 Kota Bengkulu”, Jurnal Riset
Pendidikan Dasar, Vol. 1, No. 3, T.T, h. 235.
66
Olivia Cherly Wuwung, Strategi Pembelajaran dan Kecerdasan Emosional, (Surabaya:
Scopindo Media Pustaka, 2020), h. 62.
67
Ratu Ayu Safira Destianda & Hamidah, “Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan
Ide Bunuh Diri Pada Remaja”, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 8, Tahun
2009, h. 18.
Bunuh diri bukan saja menjadi pikiran bagi orang-orang dewasa
yang sudah merasa stress dan frustrasi dengan masalah dan beban
hidupnya. Bahkan pada remaja dan anak-anak pun, kasus serupa
ditemukan. Dilansir dari SuaraJawaTengah.id, diketahui bahwa ada siswa
Sekolah Dasar di Kelurahan Butuh, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah
yang dilaporkan meninggal dunia akibat gantung diri. Anak kelas 5
Sekolah Dasar berinisial HAN yang berusia 12 tahun ditemukan
meninggal dunia setelah melakukan tindakan gantung diri. HAN diketahui
sebagai anak yang periang dan kesehariannya baik di mata masyarakat.
Namun sebuah informasi mengatakan bahwa HAN sempat dimarahi oleh
orang tuanya karena tidak pulang ke rumah malam Minggu sebelumnya.68
Kendali dalam emosi perlu diperhatikan karena apa bila kesedihan,
kemarahan, kesenangan, dan emosi-emosi lain ini terlalu berlebihan
sampai mengambil kendali dan keputusan yang salah justru akan
berdampak buruk. Apalagi jika terjadi kepada anak-anak yang memang
pola pikirnya belum bisa sebaik orang dewasa. Ketika ada fakta bahwa
anak bisa memikirkan dan bahkan memutuskan hal sebesar ini, maka
sudah jelas anak tersebut membutuhkan pertolongan.
Humphrey mengemukakan adanya hubungan yang kuat antara
emosi dan kepemimpinan. Dan menurut Lyons & Schneider dalam Con
Stough dkk dikatakan bahwa ada banyak literatur yang menunjukkan
bahwa kecerdasan emosional dapat dikaitkan dengan pengurangan stres
kerja pada sampel siswa. 69 Jika emosi berbentuk stress atau frustrasi
menimpa seorang anak tanpa anak ini tahu bagaimana cara mengendalikan
diri, atau bagaimana jika lingkungan seperti keluarga dan sekolah tidak
bisa membantu anak untuk belajar mengatasi emosinya, anak akan
kebingungan untuk tumbuh. Anak akan merasa kesulitan dalam mengatasi
68
Bangun Santoso, “Isi Surat Memilukan Bocah SD Gantung Diri di Temanggung”,
https://jateng.suara.com/read/2019/10/08/060908/isi-surat-memilukan-bocah-sd-gantung-diri-di-
temanggung?page=all diakses pada 17 Oktober 2020).
69
Con Stough, Donald H. Saklofske, James D.A. Parker, Assessing Emotional Intelligence
Theory, Research and Aplications, (New York: Springer Science and Business Media, 2009), h.
176-177.
30
masalah hidup yang kelak bisa lebih rumit dan kesulitan dalam
mengendalikan amarah juga emosi negatif lainnya. Ini pentingnya
memperhatikan kecerdasan emosi anak dan perkembangannya.
Dikatakan juga bahwa orang tua yang sedang mengalami stress,
dapat menimbulkan perilaku kekerasan kepada anak. Ketika anak tumbuh
dengan emosi yang tidak baik atau dengan perilaku kasar dari orang tua,
hal ini dapat menjadikan anak tersebut tumbuh menjadi orang yang kasar
sama seperti apa yang dia lihat dalam kesehariannya.70 Di sinilah mengapa
guru sebaiknya mengambil peran untuk memutus mata rantai yang seolah
tidak ada habisnya. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan, menjadi
remaja yang kasar, lalu menjadi orang tua yang kasar pula. Tentu semua
bisa diperbaiki walau hanya dengan satu peran kecil dari seorang guru. Hal
ini diharapkan berdampak besar bagi kehidupan siswanya. Satu langkah
kecil yang memperbaiki ribuan langkah ke depannya.
70
Lu’luil Maknun, Kekerasan terhadap Anak yang Dilakukan oleh Orang Tua (Child
Abuse), Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 3, No. 1, Oktober 2017, h. 76.
71
Ardiani, Halida dan Lukmanulhakim, “Peran Guru Dalam Mengembangkan Sosial
Emosional di Kelas B3 TK Gembala Baik Kota Pontianak”, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Khatulistiwa, Vol. 6, No. 10, Tahun. 2017, h. 8.
2. Hasil penelitian Stella Mavroveli, K. V. Petrides, Yolanda
Sangareau dan Adrian Furnham yang berjudul Exploring The
Relationships Between Trait Emotional Intelligence and Objective
Socio-Emotional Outcomes in Childhood menyatakan bahwa
konstruksi sifat kecerdasan emotional sebagian besar tidak
bergantung pada kemampuan kognitif, tetapi sangat prediktif
melalui kriteria emosional dan sosial. Kesimpulan umumnya
adalah sifat kecerdasan emosi berkorelasi kuat dengan affect-laden
(pengaruh saraf), tetapi kurang begitu berhubungan dengan
variabel yang terkait dengan kemampuan kognitif. Dari perspektif
praktis, profiling kecerdasan emosional dapat membantu
mengidentifikasi anak-anak sehingga lebih mungkin untuk
mendapatkan keuntungan dari intervensi sosial dan juga memiliki
harga diri di sekolahnya.72
3. Hasil penelitian dari K. V. Petrides yang berjudul Trait Emotional
Intelligence and Children’s Peer Relations at School menunjukkan
bahwa mengukur kecerdasan emosional akan menjadi sebuah
tambahan berharga untuk penilaian psikologis sehingga mampu
mengidentifikasi anak-anak dan remaja yang berisiko terhadap
perilaku antisosial. Mengingat kecerdasan emosi memiliki peran
sentral dalam kehidupan sehari-hari, sifat kecerdasan emosional
terlibat dalam kinerja akademis dan perilaku siswa di sekolah,
dengan pengaruh yang sangat relevan khususnya pada siswa yang
rentan terhadap emosi negatif.73
4. Dalam penelitian Himmatul Farihah yang berjudul Peran Guru
Dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini
dikatakan bahwa peran guru dalam perkembangan kecerdasan
72
Stella Mavroveli, K. V. Petrides, Yolanda Sangareau, Adrian Furnham, “Exploring The
Relationships Between Trait Emotional Intelligence and Objective Socio-Emotional Outcomes in
Childhood”, British Journal Psychology Vol. 79, DOI:10.1348/000709908X368848 Tahun 2009,
h. 268.
73
K. V. Petrides, “Trait Emotional Intelligence and Children’s Peer Relations at School”,
Social Development Journal, Vol. 15, No. 3 Tahun 2006, h. 545.
32
emosional anak adalah: 1) Mengembangkan Kemampuan
Mengenali Emosi, 2) Mengembangkan Kemampuan Mengelola
Emosi, 3) Mengembangkan Kemampuan Memotivasi Diri, 4)
Mengembangkan Kemampuan Empati, 5) Mengembangkan
Kemampuan Menjalin Hubungan Dengan Orang Lain.74
74
Himmatul Farihah, “Peran Guru Dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak Usia
Dini”, Proseding Seminar Naional Unirow Tuban, Vol 1 No 1 (2017): Pengembangan Luaran
Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Yang Mendukung Pendidikan Dan Saintek Menuju Dunia
Usaha Dan Industri, Tahun 2017, h. 58-60.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
2. Seminar Proposal
Skripsi
3. Revisi Proposal Skripsi
4. Penyusunan instrument
5. Penelitian
6. Penyusunan BAB 4-5
34
B. Metode Penelitian
Di dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah mixed
methods, yang berarti menggabungkan dua bentuk penelitian yang telah
ada sebelumnya yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan
di dalamnya banyak menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Pendekatan kualitatif menekankan kepada makna, definisi kondisi tertentu,
serta meneliti hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. 1
Sementara untuk meneliti sampel dan populasi tertentu digunakan
2
penelitian kuantitatif. Tujuan metode ini secara umum adalah untuk
mendapatkan hasil penelitian yang lebih mendalam dan memperkecil
kesalahan data. 3 Metode gabungan atau mixed method menurut Hanson
adalah mencakup koleksi, analisis, dan integrasi data kualitatif dan
kuantitatif dalam kajian tunggal atau bertahap. Artinya metode ini
menggunakan lebih dari satu metode dalam sebuah kegiatan penelitian.4
Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan instrumen penelitian
yang ada di dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Strategi yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi
Embeded/Nested Konkuren yang merupakan bagian dari strategi metode
campuran sewaktu-waktu atau concurrent mixed methods yakni sebuah
strategi yang dalam pelaksanaannya peneliti mengumpulkan data kualitatif
dan data kuantitatif pada waktu yang bersamaan.5
Pada pelaksanaannya, penelitian ini memiliki metode primer yang
memandu proyek dan metode sekunder yang berperan sebagai metode
pendukung dalam prosedur penelitian. Metode sekunder yang kurang
1
Rukin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Talakar: Yayasan Ahmar Cendekia Indonesia,
2019), h. 6.
2
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D, (Alfabeta: Bandung, 2017), h.
8
3
Iskandar, Metode Penelitian Campuran (Konsep, Prosedur, dan Contoh Penerapan),
(Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management, 2021), h. 9.
4
Jonathan Sarwono, Mixed Metods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset
Kualitatif Secara Benar, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011) h. 1
5
Iskandar, Op.Cit., h. 19.
dominan akan disandarkan keapda metode yang lebih dominan, yakni
metode kualitatif.
Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan metode kualitatif sebagai
metode primer sementara metode kuantitatif dijadikan sebagai metode
sekunder. Pertama, peneliti akan mengumpulkan data kualitatif mengenai
peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional dengan
menggunakan wawancara dan studi dokumentasi. Di saat yang bersamaan,
peneliti juga mengumpulkan data kuantitatif dengan menyebarkan angket
kepada guru kelas untuk melihat peran guru dan angket siswa kelas V
untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional siswa.
Tahap selanjutnya, peneliti menganalisis setiap sumber data yang
telah didapatkan untuk dikombinasikan dan dibandingkan. Dengan
demikian, peneliti akan mendapat informasi yang mendalam mengenai
peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa kelas V di
SDI Al-Anshar Bekasi.
6
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006) , hal. 115.
36
D. Situasi Sosial
Penelitian ini utamanya menggunakan metode kualitatif. Penelitian
kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, namun Spradley
menamakannya dengan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri
atas tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis.7
Pelaku dalam aktivitas penelitian ini adalah guru kelas V dan
seluruh siswa dan siswi kelas V baik kelas Reguler maupun kelas TECC
(Tahfidz and International Curriculum Class) di SDI Al-Anshar Bekasi.
Aktivitas dalam penelitian ini adalah peran guru yang telah
diaplikasikan di sekolah dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa
kelas V.
7
Sugiyono, Op.Cit, h. 242.
8
Ibid, h. 260.
9
Ibid, h. 262.
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan antara peneliti
dan guru kelas V di SDI Al-Anshar baik kelas V reguler maupun
kelas V TECC. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat memiliki
data dan informasi yang lebih mendalam dan sebagai bentuk
konfirmasi dari data yang sudah diambil melalui studi
dokumentasi RPP.
2. Dokumentasi
Bentuk instrument dokumentasi memiliki dua variasi yakni
yang pertama pedoman dokumentasi yang membuat garis-garis
besar atau kategori yang akan dicari datanya. Kedua, checklist
yang berisi daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya.
Instumen dokumentasi dikembangkan untuk penelitian dengan
menggunakan pendekatan analisis isi. Subjek penelitiannya dapat
berupa dokumen, majalah, peraturan, buku-buku, catatan harian,
dan lainnya. 10 Dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud
adalah Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru kelas V
Reguler maupun TECC.
3. Angket
Angket atau yang disebut juga dengan kuisioner adalah
suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberikan sejumlah pernyataan atau pertanyaan tertulis kepada
responden untuk kemudian dijawab sesuai dengan instruksinya.11
Dalam penelitian ini, angket berisi sejumlah pernyataan
mengenai peran guru dalam kecerdasan emosional siswa yang
mencakup komponen kecerdasan emosional kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial, dan
penerimaan emosi siswa kelas V di SDI Al-Anshar Bekasi.
10
Sandu Siyoto dan Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi
Media Publishing, 2015), h. 83.
11
Sugiyono, Op.Cit., h. 158.
38
F. Instrumen Penelitian
Di dalam penelitian, terdapat masalah atau pertanyaan-pertanyaan
yang perlu dijawab dengan melaksanakan penelitian. Pada saat inilah,
peneliti memerlukan alat yang dapat membantu untuk mengumpulkan data
sehingga pertanyaan penelitian dapat terjawab. Alat untuk menunjang
pengumpulan data disebut dengan instrumen penelitian. Instrumen yang
digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengetahui
peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa kelas V di
SDI Al-Anshar Bekasi. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk
mengetahui kondisi sekolah dan kondisi kecerdasan emosional siswa
kelas V.
Tabel 3. 2
Kisi-kisi Instrumen Wawancara
Indikator Pertanyaan Nomor
Pertanyaan
Pemahaman mengenai peran guru 2 1,3
Penanaman mengenai kecerdasan emosional 1 2
Penanaman kesadaran diri kepada siswa 3 5, 6, 7
Penanaman pengaturan diri kepada siswa 3 8, 9,10
Penanaman motivasi kepada siswa 3 11, 12,13
Penanaman empati kepada siswa 3 14, 15,16
Penanaman keterampilan sosial kepada siswa 3 17, 18, 19
Penanaman penerimaan emosi kepada siswa 3 20, 21, 22
Faktor yang membuat penanaman kecerdasan 2 23, 24
emosional sulit
Karakteristik kecerdasan emosional siswa kelas 3 25, 26, 27
V
Respon siswa dengan kecerdasan emosional yang 2 28, 29
baik dan kurang baik
Fokus guru dalam pembelajaran 1 30
2. Dokumentasi
Dokumentasi meliputi kegiatan mengumpulkan Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru kelas V untuk menelaah peran
guru apakah sudah tergambar dalam perencanaan pembelajaran bahwa
guru menanamkan kecerdasan emosional pada siswa.
Tabel 3. 3
Tabel Analisis Dokumen RPP Guru Kelas V
No Jenis Sub-Aspek Indikator Ketersediaan
Ada Tidak
1. Kesadaran Diri Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
memiliki kesadaran diri.
2. Pengaturan Diri Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
dalam mengatur dirinya sendiri.
3. Motivasi Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
dalam membangun motivasi
dalam dirinya.
4. Empati Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
dalam membangun empati
terhadap orang lain.
5. Keterampilan Sosial Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
membangun dan mengembangkan
keterampilan sosial yang
40
dimilikinya.
6. Penerimaan Emosi Guru merancang pembelajaran
yang membantu peserta didik
dalam membangun dan
mengembangkan penerimaan
emosi dalam diri.
3. Angket
Tabel 3. 4
Kisi-kisi Intrumen Angket
No. Fokus Aspek Indikator Sumber No
Penelitian Data Item
42
Menanamkan 1. Guru membelajarkan cara dalam
keterampilan memberikan respon. 26,
sosial kepada 27
siswa 2. Guru merancang pembelajaran
yang membantu siswa terampil dalam 28,
berteman dan membangun relasi. 29
44
Penerimaan 1. Siswa mudah bekerja sama 32,33
Emosi dengan orang lain
2. Siswa mampu membantu orang 34,35
lain dalam keadaan sulit
3. Siswa mampu memberikan 36,37
dukungan dan semangat kepada
orang lain.
12
Suwardi Endaswara, Op.Cit., h. 110
13
Suyigono, Op.Cit., h. 270.
Peneliti secara jujur menuliskan apa yang dilihat, didengar dan
diamati tanpa memasukkan kepentingan pribadi, orang lain, atau suatu
organisasi ke dalam skripsi ini dan secara objektif tidak mendukung
pihak-pihak tertentu. Selain itu, peneliti juga memberikan beberapa
hasil gambar terkait penelitian yang berlangsung dengan sumber yang
relevan.
3. Perpanjangan Penelitian
Perpanjangan penelitian yakni peneliti kembali ke lapangan,
melakukan pengamatan, wawancara, dan yang lainnya dengan sumber
data yang lama maupun data yang baru.14
H. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari serta menyusun secara
sistematis data yang telah didapatkan dari hasil wawancara dan dokumen
RPP, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam beberapa bagian untuk kemudian dilakukan sintesa, menyusun
ke dalam pola, memilih mana yang penting, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dimengerti oleh orang lain.15
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
Miles dan Huberman yang terbagi menjadi beberapa tahan, yaitu:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
utama, memfokuskan pada hal-hal yang penting, lalu dicari tema
polanya.16
Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, yakni wawancara dan studi dokumen
RPP.
2. Penyajian Data (Data Display)
14
Ibid, h. 302
15
Ibid, h. 275.
16
Ibid, h. 277
46
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
bagan, uraian singkat, dan hubungan antar kategori.
Penggunaan gambar, bagan, dan tabel bisa memperkuat data
deskriptif, dan mempermudah pembaca dalam memahami isi
penelitian.17
3. Verifikasi Data (Conclusion Drawing)
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan
mendukung pada pengumpulan data berikutnya. 18
b. Skor Ideal
Skor ideal adalah skor yang digunakan untuk menghitung
skor untuk menentukan rating scale dan jumlah seluruh
17
Ibid, h. 71
18
Ibid, h. 283.
jawaban. Untuk menghitung jumlah skor ideal (kriterium)
dari seluruh item, digunakan rumus berikut, yaitu:
Rumus Skala
4 x 43 = 172 Sangat Baik
3 x 43 = 129 Baik
2 x 43 = 86 Kurang Baik
1 x 43 = 43 Sangat Tidak Baik
Rumus Skala
4x2=8 Sangat Baik
3x2=6 Baik
2x2=4 Kurang Baik
1x2=2 Sangat Tidak Baik
c. Rating Scale
Selanjutnya semua jawaban responden dijumlahkan dan
dimasukkan ke dalam rating skale dan ditentukan daerah
jawabannya. Rating scale berfungsi untuk mengetahui hasil
data angket (kuisioner) secara umum dan keseluruhan yang
didapat dari penilaian angket dengan ketentuan sebagai
berikut:
48
Angket Siswa
Nilai Jawaban Skala
130 – 172 Sangat Baik
87 – 129 Baik
44 – 86 Kurang Baik
0 - 43 Sangat Tidak Baik
Angket Guru
Nilai Jawaban Skala
7-8 Sangat Baik
5-6 Baik
3-4 Kurang Baik
0-2 Sangat Tidak Baik
d. Persentase Persetujuan
𝐹
P = X 100%
𝑁
Keterangan:
P : Presentasi untuk setiap alternative jawaban
F : Frekuensi (jumlah jawaban responden)
N : Number of Cases (jumlah responden)
100% : Bilangan tetap
50
BAB IV
PEMBAHASAN
51
Panitia Pembangunan Masjid Muhammad Ramadhan yang melebur di
dalam keanggotaan Yayasan, baik itu sebagai pendiri, pembina dan
pengurus serta pengawas.
52
f. Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar
untuk pemberdayaan diri;
g. Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan
hasil yang terbaik;
h. Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung
jawab;
i. Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok;
j. Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani,
serta kebersihan lingkungan;
k. Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun.
Tabel 4. 1
Sarana Bangunan SDI Al-Anshar Bekasi
No Jenis Fasilitas Jumlah
1. Aula untuk pembelajaran 1
2. Lab. IPA 1
3. Lab. Komputer 1
4. Kantin 1
5. Lapangan Olahraga 1
6. Ruang Kelas 13
7. Ruang Kepala Madrasah 1
8. Ruang Guru 2
9. Ruang Tata Usaha 1
10. Perpustakaan 1
11. Ruang UKS 1
12. Koperasi 1
13. WC Guru 4
14. WC Murid 4
B. Prasarana
Tabel 4. 2
Prasarana SDI Al-Anshar Bekasi
C. Kegiatan Ekstrakulikuler
a. Pramuka (wajib) f. Calistung
b. Bahasa Arab g. Science Class
c. Pesantren Sabtu Ahad h. Memanah
d. English Club i. Karate
e. Tijaroh/ Perdagangan
D. Kegiatan Tahunan
a. Outing Class e. Renang
b. Cooking Class f. Field Trip
c. Student Competition g. Market Day
d. Pembinaan Karakter Keislaman
54
5. Guru dan Tenaga Kependidikan
STRUKTUR ORGANISASI
SEKOLAH DASAR ISLAM AL-ANSHAR BEKASI
YAYASAN
ISLAM AL ANSHAR
DIREKTUR
PENDIDIKAN
KEPALA SEKOLAH
GENERAL AFFAIR
WAKIL KEPALA
SEKOLAH
SARPRAS
KORDINATOR KEPALA TU DAN
KURIKULUM ADMINISTRASI
KEAMANAN
WALI KELAS /
GURU MAPEL KEBERSIHAN
DAN PETUGAS
LAPANGAN
SISWA
DATA PENDIDIK SDI AL-ANSHAR BEKASI
Tahun Pelajaran 2019/2020
56
38 Chepy Ragil Septian Guru Olah Raga S1
39 Reza Erli Putra Guru Tahfidz & PAI SMA/MA
40 Wafiatul Khoiriyah Guru Tahfidz & PAI SMA/MA
41 Diyah Aviyanti Guru Walikelas S1
42 Yusuf Gymnastiar bin Dasiya Guru Tahfidz & PAI SMA/MA
43 Ahmad Arif Fadilah Guru Walikelas S1
44 Aliffuddin Al Islami Guru Tahfidz & PAI SMA/MA
45 Dedi Kusmaya Staff Umum / Keamanan SMA/MA
46 Andi Putra Irawan Staff Yayasan S1
47 Muflih Bayu Gumilang, SE Staff Yayasan S1
48 Kamas Ibrahim Salam Guru Tahfidz & PAI SMA/MA
S2
S1
D3
SMA
SMK
STM
6. Siswa
Tabel 4. 3
Rekap Jumlah Siswa SDI Al-Anshar Bekasi
JUMLAH SISWA
TAHUN AJARAN
DHUAFA MANDIRI TOTAL
2008 – 2009* 30 10 40
2009 – 2010* 58 17 75
2010 – 2011* 88 22 110
2011 – 2012* 118 26 144
2012 – 2013* 135 46 181
2013 – 2014* 135 27 162
2014 – 2015* 165 46 211
2015 – 2016* 173 77 250
2016 – 2017* 177 85 262
2017 – 2018* 177 98 275
2018 – 2019* 120 172 292
2019 – 2020* 120 204 324
Keterangan :
*termasuk murid TECC
Untuk kelas lima, SDI Al-Anshar memiliki dua kelas yakni kelas V
reguler dengan 33 siswa dan kelas V TECC dengan 17 orang siswa.
Program TICC merupakan kependekan dari Tahfidz and International
Curriculum Class dengan bahasa pengantar beberapa bidang studi adalah
bahasa Inggris dan Arab. Pendirian kelas khusus ini dilatarbelakangi
adanya kebutuhan akan kelangsungan dukungan operasional kelas dhuafa
dengan cara subsidi silang. Selain itu kualitas TICC yang berstandard
lebih tinggi diharapkan bisa mengangkat kualitas kelas reguler. Kelas
TICC ini direncanakan bisa menjadi cikal bakal untuk berdirinya sebuah
sekolah unggulan yang nantinya berdiri sendiri terpisah operasionalnya
dengan SDI Al Anshar baik tempat maupun struktur organisasinya.
Namun sekolah tersebut masih di bawah naungan Yayasan Islam Al
Anshar. Pada tahun ajaran 2017/2018 program TICC berubah nama
menjadi TECC (Tahfidz English Curriculum Class) dengan tujuan untuk
mengoptimalkan program unggulan secara bertahap agar diperoleh hasil
58
yang lebih optimal. Dengan program ini diharapkan para siswa memiliki
kemampuan dalam hafalan Al Quran yang lebih tinggi daripada siswa
reguler Al Anshar.
Secara lebih luas, definisi peran guru menurut Dr. Oemar Hamalik
peran guru adalah sebagai pengajar, mampu memberikan pelayanan
kepada para siswa supaya peserta didik selaras dengan tujuan sekolah,
sebagai pembimbing yakni mampu memberikan bimbingan dan bantuan
terhadap setiap siswa agar mampu memahami dan mengarahkan dirinya
sendiri dalam melakukan penyesuaian yang optimal dengan
2
lingkungannya. Apabila melihat latar belakang sekolah yang memiliki sisi
keislaman baik dari nama sekolah, kegiatan pembelajaran, sampai kepada
seragam atau pakaian para guru dan siswa, maka seharusnya ada
perbedaan cara guru dalam menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa.
Dengan begitu, pemahaman guru mengenai perannya pun akan berbeda
1
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
2
Rusman,. Model-Model Pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 62-64.
60
dan sedikit banyak didasari oleh nilai-nilai agama. Guru di SDI Al-Anshar
bukan hanya menginginkan peserta didik cerdas secara akademik, namun
juga memiliki akhlak yang baik. Hal ini sejalan dengan yang telah peneliti
tanyakan kepada guru kelas V yang lain, mengenai pemahaman guru
mengenai perannya sebagai guru:
“Peran saya adalah membimbing dan mengarahkan anak supaya mereka
bisa menjadi anak yang lebih baik dari segala sisi. Dari mulai
akademiknya, akhlaknya, maupun adabnya."3
3
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
4
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
5
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
adalah dengan memberikan nasehat dan memberikan contoh untuk bisa
ditiru oleh peserta didik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh guru kelas
V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya sebagai guru berperan dalam membimbing anak agar anak mampu
me-manage emosinya.”6
“Menyampaikan kepada anak tentang adab yang baik kepada orang yang
lebih tua maupun yang lebih muda, cara berbicara yang baik dengan
orang lain. Cara yang saya lakukan dengan lisan, perkataan yang
mengajarkan mereka. Dan juga dengan perbuatan, supaya bisa ditiru oleh
mereka.”7
8
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
Pendapat lain diutarakan oleh guru kelas V reguler yang
mencoba menyelipkan ajaran agama dalam proses penanaman nilai
kesadaran diri kepada siswa. Siswa diajarkan bahwa setiap perbuatan ada
sebabnya yang pada akhirnya akan memberikan akibat bagi yang
melakukan. Sehingga, siswa akan berpikir mengenai dampak dari
perbuatannya sebelum benar-benar melakukan sebuah tindakan. Hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan guru kelas V reguler SDI Al-
Anshar Bekasi:
“Kalau saya mengajarkan kepada anak-anak, bahwa di dalam Agama
kita diajarkan untuk menanamkan hal-hal baik. Sehingga saya
menanamkan kepada mereka bahwa setiap perbuatan itu ada sebab dan
ada juga akibatnya. Saya menanamkan kepada mereka untuk bertanya
pada dirinya, apa yang akan mereka dapatkan jika melakukan sesuatu
sehingga anak akan berpikir, “jika saya melakukan ini, maka saya akan
mendapatkan ini.”9
Selain itu, penanaman kesadaran diri juga terlihat pada butir angket
1 dengan pernyataan “Saya mengajarkan materi kepada siswa untuk
menghubungkan hal yang dirasakan dan lakukan”, diperoleh data bahwa
dari 2 guru kelas V SDI Al-Anshar diketahui bahwa satu guru menjawab
setuju dan satu guru lainnya menjawab sangat setuju.
Dan hasil serupa ditemukan pada butir angket 2 dengan pernyataan
“Saya mengajarkan materi kepada siswa untuk menghubungkan hal yang
dipikirkan dan lakukan”, butir angket 3 dengan pernyataan “Saya
mengajarkan materi kepada siswa untuk menghubungkan hal yang
dirasakan dan dipikirkan”, dan butir angket 4 dengan pernyataan “Saya
menanamkan kepada siswa bahwa perasaannya sering kali bisa
mempengaruhi prestasi”.
Kedua, mengetahui tujuan dan nilai dirinya sendiri. Ketika
seseorang memiliki tujuan maka ia akan punya semangat untuk
menggapainya dan merasa berharga karena ia tahu bahwa dirinya berarti
dan bernilai. Namun tidak semua tujuan individu bisa berdampak positif
9
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
64
bagi orang lain, sehingga menanamkan tujuan dengan menyandarkannya
kepada ajaran agama dengan harapan meski memiliki tujuan mereka tetap
mengetahui apa yang boleh dan yang tidak adalah salah satu upaya yang
baik. Diharapkan tujuan yang dibuat oleh anak-anak adalah tujuan yang
baik karena guru menanamkan untuk mengembalikannya kepada ajaran
agama. Dan sejatinya hal yang diatur dalam agama tentu adalah hal yang
baik bagi manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan guru kelas V reguler
SDI Al-Anshar:
“Karena sekolah ini latarnya memang sekolah Islam, saya selalu
mengembalikan segala sesuatu kepada ajaran agama. Karena ketika
mereka berpegang pada agama, mereka jadi tahu apa yang boleh dan
tidak dan akhirnya akan memiliki tujuannya yakni memiliki akhlak
yang baik. Dengan begitu, saya rasa karakter lain akan mengikuti.”10
Selain itu, cara untuk menanamkan tujuan dan nilai diri juga bisa
dengan cara meminta siswa untuk berkaca pada dirinya sendiri. Artinya,
siswa melihat apa mimpinya, apa yang diinginkannya. Namun yang
terpenting adalah bagaimana seseorang mampu memberikan manfaat
kepada orang lain. Contohnya ketika siswa ingin menjadi guru lalu ia
menyadari bahwa cita-citanya itu kelak bisa menjadikan ilmu yang ia
miliki menjadi manfaat bagi orang lain. Cara lain yang lebih
menyenangkan dalam menanamkan hal ini bisa dengan menggunakan
cerita menarik yang berisi nilai dan pesan-pesan bermakna. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara dengan guru kelas V TECC SDI Al-Anshar
Bekasi:
“Pertama, saya minta siswa melihat dirinya sendiri dulu. Cita-cita anak
di kelas saya itu macam-macam, tapi harapan saya yang penting
mereka bisa jadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Tujuan
hidup itu penting, jadi mereka perlu memilikinya. Cara yang biasanya
saya gunakan itu dengan memberikan cerita dan perumpamaan yang
berisi pesan tentang kisah-kisah tertentu.”11
10
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
11
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
Selain dari hasil wawancara, penanaman tujuan kepada siswa ini
juga terlihat dari butir angket 5 yang bertuliskan, “Saya biasa memberitahu
siswa bahwa memiliki cita-cita dan tujuan itu penting” dengan hasil bahwa
kedua guru kelas V SDI Al-Anshar menjawab sangat setuju. Dan pada
penanaman nilai diri terlihat pada jawaban guru kelas V SDI Al-Anshar
yang keduanya menjawab sangat setuju pada butir angket 6 dengan
pernyataan “Saya selalu menekankan kepada siswa bahwa diri mereka
berharga dan disayangi”.
Tanda seseorang memiliki kesadaran diri yang baik yang ketiga
adalah menyadari kelebihan dan kekurangannya. Siswa diberikan
pemahaman bahwa setiap manusia itu ada kekurangan dan kelebihannya.
Hal ini didukung dengan hasil angket guru butir 7 dengan pernyataan
“Saya memberi tahu siswa bahwa selalu ada kekurangan dan kelebihan
dalam setiap orang”, diketahui bahwa kedua guru menjawab sangat setuju.
Selain itu, pada butir angket 8 dengan pernyataan “Saya menanamkan
kepada siswa bahwa mereka punya bakat dan istimewa”, dari dua guru
kelas V diketahui bahwa satu guru menjawab sangat setuju dan satu guru
lain menjawab setuju.
Guru kelas V menanamkan kepada anak agar mampu mengetahui
kekurangannya. Guru mencoba untuk memberikan pertanyaan mengenai
apa kesulitannya dalam belajar, dalam hal ini siswa bisa melihat
kekurangan dan kelebihannya dalam sisi akademik. Jika anak memiliki
kekurangan, maka ia juga pasti memiliki kelebihan. Baik guru kelas
reguler maupun TECC dirasa memiliki pemahaman yang sama disini.
Namun perbedaannya terletak pada cara menanamkannya. Guru
kelas V reguler menggunakan tanya jawab untuk mengetahui kesulitan
siswa dalam belajar. Dan dalam hal kekurangan di luar kesulitan belajar,
seperti dalam kekurangan dari sisi fisik, siswa masih memiliki rasa
percaya diri yang baik sehingga tidak menyadari kekurangannya sebelum
ada temannya yang mulai mengusik atau meledeknya. Sementara guru
kelas V TECC mengajarkannya dengan menggunakan cerita. Hal ini
66
sesuai dengan hasil wawancara dengan guru kelas V SDI Al-Anshar
Bekasi:
“Saya menerapkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri. Misalnya, “kamu lebih kesulitan di pelajaran
apa?” lalu ia menjawab bahwa ia merasa lebih kesulitan menghafal
daripada menghitung. Dari sana, mereka akan mengetahui
kekurangannya di sisi apa dan lebih unggul di sisi apa. Saya juga sering
bertanya mengenai pelajaran apa yang membuat kalian merasa
kesulitan, sehingga mereka akan menjawab di bagian apa mereka
kurang menguasai atau sulit. Sementara dalam hal di luar pelajaran,
seperti masalah fisik, siswa justru baru mengeluhkan keadaan dirinya.
Ketika ia dikatain hitam atau tidak cantik dengan temannya, ia baru
merasa kurang. Di luar itu, saya rasa percaya diri siswa di kelas saya
masih baik dan baru mengadu kalau diledek oleh temannya.”12
12
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
13
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
dengan orang lain atau lingkungannya. Jika seorang anak tidak bisa
mengendalikan amarahnya, misalnya ia mudah marah ketika diajak
bercanda dengan temannya dan respon marahnya ini berlebihan maka
hanya sedikit anak yang ingin berteman dengannya. Jika sudah begini,
bagaimana anak bisa belajar bekerja sama, sementara temannya untuk
dekat saja tidak mau. Dengan begitu, anak harus bisa mengatur dirinya
sendiri. Mengatur emosi negatif yang ada dan mempertahankan emosi
positif sebisa mungkin agar kondisinya tetap stabil. Hal ini sejalan dengan
hasil wawancara dengan guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Jika kita egois atau pemarah, maka nanti kita dijauhi teman. Jadi saya
jelaskan dampak jika melakukan hal baik dan buruk.”14
Hal ini didukung dengan hasil angket guru pada butir 9 dengan
pernyataan “Saya meminta siswa paham apa saja hal-hal yang
membuatnya sedih atau marah”, diketahui bahwa guru kelas V SDI Al-
Anshar menjawab setuju. Dan pada butir angket 10 dengan pernyataan
“Saya memberi tahu siswa bahwa ada emosi yang positif dan ada juga
emosi negatif”, kedua guru kelas menjawab sangat setuju.
14
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
68
dan sulit beradaptasi dengan orang lain.15 Hal ini didukung dengan hasil
wawancara guru kelas V reguler SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya selalu mengajarkan kepada anak bahwa setiap apa yang dilakukan
pasti ada sebabnya dan juga ada akibatnya. Saya menanamkan dengan
cara menjelaskan untung dan rugi. Jika melakukan hal negatif, maka
akan mendatangkan hal yang negatif kepada dirinya. Jika saya memukul
orang, selain saya diberikan sanksi maka saya akan diberi pukulan balik
oleh teman saya. Lebih ke menanamkan sebab akibat atau untung dan
rugi dalam bersikap.”16
15
Olivia Cherly Wuwung, Strategi Pembelajaran dan Kecerdasan Emosional, (Surabaya:
Scopindo Media Pustaka, 2020), h. 62.
16
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
lain, ketika mereka marah saya memintanya untuk tenang dulu. Saya
bertanya, jika mereka kesal dan marah dengan berlebihan, apa
akibatnya nanti. Dan pada kasus anak yang bertengkar misalnya,
pernah ketika pembelajaran offline itu jadi ada anak yang usil dengan
temannya. Yang di usili tidak terima, dan bertengkar mereka. Saya
pisahkan, saya minta mereka duduknya agak jauh. Saya minta mereka
diam dulu, baru ketika mereka tenang saya tanya apa masalahnya dan
bagaimana solusinya. Saya prinsipnya, mereka harus selesaikan
masalah saat itu, Saya berikan nasehat yang berbeda untuk si A dan si
B sesuai dengan akar masalahnya. Misalnya anak ini dipukul atau
disuruh keluar kelas, memang kelasnya akan tenang. Tapi apakah
masalahnya selesai? Apakah di hati anak ini masih ada dendam dengan
temannya? Kita coba kurangi efek untuk kedepannya, dengan
menyelesaikan sesegera mungkin. Agar tidak ada rasa kesal yang
berkelanjutan.”17
Hal ini diperkuat dengan hasil dari angket guru pada butir 11
dengan pernyataan ”Saya memberi tahu siswa bahwa berteriak bukanlah
cara untuk meredakan emosi”, diketahui bahwa guru kelas TECC
menjawab setuju sementara guru kelas V Reguler menjawab sangat setuju.
Dan pada butir angket 12 dengan pernyataan “Saya membiasakan siswa
untuk diam dan tenang ketika sedang marah”, diketahui bahwa kedua guru
kelas V menjawab sangat setuju.
Selain menanamkan untuk sadar akan emosi negatif dan cara
untuk meredakan emosi, guru juga bisa mengajarkan kepada siswa untuk
merasa bahagia. Dengan rasa bahagia yang tertanam di dalam diri,
seseorang bisa menjadi positif karena tindakan maupun ucapannya
mampu tertata dengan baik. Ketika anak bisa berprasangka baik, merasa
bahagia dengan dirinya sendiri, maka anak bisa menjadi lebih positif.
Dengan ditanamkan hal-hal positif, maka siswa bisa menghindari sikap
yang buruk terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
dengan guru kelas V TECC SDI Al-Anshar:
“Saya mencoba menanamkan rasa bahagia kepada anak, tentu. Karena
jika orang yang merasa bahagia, tindakan dan ucapannya jadi baik.
Upaya yang saya lakukan adalah menanamkan siswa untuk
berprasangka baik dengan orang lain, sehingga dia tidak bersikap
buruk. Dengan berprasangka baik, saya pikir nantinya anak menjadi
17
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
70
lebih positif. Jadi anak harus bahagia dengan dirinya dulu, pikirannya
dulu yang harus baik.“18
18
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
menjadi lebih baik dari sebelumnya”, diketahui bahwa guru kelas TECC
menjawab sangat setuju dan guru kelas V Reguler menjawab setuju. Sela
Siswa perlu memiliki motivasi dalam dirinya, dan kemampuan
untuk memotivasi dirinya atau orang lain. Motivasi dapat hadir
bergantung pada suasana hati seseorang. Suasana emosi yang baik
mampu menjadi motivasi bagi siswa untuk menjalankan sesuatu seperti
belajar. Dengan begitu, emosi memang menjadi bahan bakar yang
mampu melahirkan motivasi. Salah satu aspek dari motivasi adalah
memiliki dorongan atau semangat untuk menjadi lebih baik. Dari hasil
wawancara dengan guru kelas V ditemukan dua cara guru dalam
menanamkan semangat dalam meningkatkan kualitas diri siswa di SDI
Al-Anshar:
“Kalau saya, menanamkan anak untuk berusaha dulu. Apa pun hasilnya,
saya rasa itu sudah usaha, saya hargai. Intinya, saya ingin anak berusaha
dulu sebisanya. Jangan menyerah. Jadi anak dengan sendirinya punya
tekad untuk berusaha, saya juga menghargai hasilnya apapun itu. Saya
menghargai usahanya, apapun hasilnya. Saya sebagai pendidik, tidak
ingin membuat mereka down dengan menyalahkan hasil yang kurang.
Kalau misalnya dia salah langsung dimarahi, maka tekadnya saya rasa
akan turun. Namun jika usahanya dihargai, maka akan ingin lebih baik
lagi. Saya memberikan motivasi dan apresiasi siswa. Jika sedang offline,
biasanya diberikan reward kecil selain ucapan-ucapan positif.”19
“Saya menanamkan bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, karena
jika sama dengan hari kemarin maka kita orang yang rugi. Sehingga dia
bisa termotivasi untuk menjadi lebih baik. Saya biasanya mengajarkan
nilai-nilai tertentu dengan video motivasi, cerita teladan, supaya mereka
bisa meniru dan memetik hikmahnya.”20
72
mengerjakannya. Cara kedua, yaitu dengan memberikan apresiasi
kepada siswa. Meskipun pada akhirnya akan ada hasil yang belum sesuai
harapan, guru perlu menghargai usaha siswa dengan menunjukkan
apresiasi berupa ucapan atau reward kecil lainnya. Dengan demikian,
guru bisa memberikan semangat kepada siswa yang membuatnya merasa
semangat untuk lebih baik karena melihat kepercayaan dan penghargaan
dari gurunya. Tidak membuat mental siswa jatuh adalah salah satu cara
yang bijak untuk menanamkan semangat. Artinya, berikan dulu
semangat kepada siswa agar tertanam semangat lain dalam dirinya. Cara
yang lainnya adalah dengan memberikan nasehat bahwa sebaiknya kita
menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin. Hal ini diperkuat
dengan butir angket 17 dengan pernyataan “Saya biasanya tidak
membiarkan siswa menyerah dalam mata pelajaran yang tidak
kuasainya”, yang diketahui bahwa guru kelas V TECC menjawab sangat
setuju dan guru kelas V Reguler menjawab setuju.
Selain dalam bentuk tindakan dan ucapan, guru juga perlu
merancang pembelajaran yang membantu siswa untuk belajar berinisiatif
dan bersikap optimis sebagai salah satu jalan untuk membangun
motivasi. Pembelajaran aktif bisa menjadi salah satu alternatif pilihan.
Seperti yang diungkapkan oleh Gery Flewing dan William Hingginson
bahwa salah satu peran guru adalah memberikan stimulasi dengan
membuat pembelajaran yang baik sehingga mampu membantu
perkembangan siswa dari sisi intelektual, emosional, spiritual, dan
sosialnya. Dengan pembelajaran yang aktif, diskusi kelompok, maka
akan timbul rasa ingin tahu siswa yang mengantarkannya kepada
keberanian untuk bertanya. Dan dengan interaksi tanya jawab dalam
pembelajaran ini, siswa juga dilatih sikap optimisnya untuk berani
menjawab atau mengajukan pendapat. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara dengan guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya biasanya membuat pembelajaran untuk tanya jawab agar
pembelajaran menjadi aktif. Saya tidak memaksa siswa untuk
menyebutkan pengertian sebuah pelajaran dengan bahasa buku.
Menggunakan bahasanya sendiri tidak masalah, yang penting ia paham
dan berani menjawab. Selain itu, juga ada diskusi kelompok supaya ada
inisiatif siswa untuk bertanya maupun menjawab. Biasanya dari satu
pertanyaan, temannya menjawab, lalu anak lain akan bertanya lagi. Jadi
ini memancing siswa untuk ingin tahu dan aktif. Ada presentasi juga,
saya wajibkan tiap kelompok mengajukan pertanyaan.”21
Penanaman sikap optimis ini juga terlihat dari hasil jawaban angket
guru pada butir angket 20 dengan pernyataan “Saya selalu menanamkan
sikap optimis kepada siswa”, diketahui bahwa kedua guru kelas V SDI
Al-Anshar Bekasi menjawab sangat setuju.
Dalam aspek motivasi, guru memberikan gambaran mengenai
manfaat mempelajari pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan
sehari-hari sehingga hal tersebut diharapkan mampu membangkitkan
motivasi siswa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Hal ini tercantum
di dalam setiap pembelajaran dari pembelajaran 1-6 pada kegiatan
pendahuluan dalam RPP guru kelas V Reguler. Sementara itu, hasil
temuan pada RPP guru kelas V TECC adalah dengan meminta siswa untuk
berdiskusi dengan temannya, guru mencoba untuk membangun inisiatif
siswa dan dilatih untuk optimis dalam memberi tahu teman
sekelompoknya akan ide-ide atau gagasannya.
Dengan demikian, jika melihat hasil wawancara dengan guru kelas
V, analisis terhadap dokumen RPP guru, dan jawaban pada butir angket,
dapat disimpulkan bahwa guru berperan di dalam penanaman motivasi
siswa.
Selain kecakapan pribadi, aspek kecerdasan emosional juga dimuat
ke dalam kategori kecakapan sosial. Kecakapan sosial akan menentukan
seseorang dalam mengatasi hubungannya dengan orang lain yang
ditunjukkan dengan keterampilan berbicara dan komunikasi yang baik.
Ketika seseorang cakap dalam keterampilan sosial ia mampu bekerja
dengan orang lain dengan baik, mampu membantu orang lain untuk
21
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB
74
berkembang. Tiga aspek yang masuk ke dalam kecakapan sosial adalah
empati, keterampilan sosial, dan penerimaan emosi. Bagi anak-anak,
ketiga hal ini bisa dilatih sejak dini dengan bantuan guru di sekolah.
Karena berinteraksi dengan orang lain di sekolah, siswa harus
belajar memahami orang lain. Memahami apa yang orang lain pikirkan,
rasakan, butuhkan juga cara menghargai orang lain yang disebut dengan
empati. Empati yang dimiliki siswa Sekolah Dasar memiliki perbedaan
jika dibandingkan dengan empati siswa SMA. Siswa Sekolah Dasar
memiliki kepekaan dalam menyadari temannya yang bersikap berbeda.
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan guru kelas V Reguler
SDI Al-Anshar Bekasi:
“Mungkin tingkatan anak kelas 5, tidak akan sama ya dengan rasa
kepedulian anak SMA. Tidak serta merta melihat anak yang sedih atau
bagaimana, kepedulian mereka akan sama dengan orang yang lebih
dewasa. Namun, mereka mengetahui ketika temannya bersikap berbeda.
Misalnya temannya ada yang diam dan tidak seperti biasa, mereka akan
bertanya.”22
Hal ini sejalan dengan hasil angket guru pada butir angket 21
dengan pernyataan “Saya membiasakan siswa untuk mengerti perasaaan
temannya”, di mana guru kelas V TECC menjawab sangat setuju dan
guru kelas V Reguler menjawab setuju. Jawaban serupa juga terlihat
pada butir angket 24 dengan pernyataan “Saya mengkondisikan siswa
untuk selalu peduli dengan orang lain”.
Meski tidak sama dengan orang dewasa, kepekaan yang muncul ini
memiliki arti yang baik. Siswa sudah memiliki sisi empati dalam dirinya
dan harapannya adalah kemudian hari bisa lebih berkembang. Untuk
menanamkan kepekaan terhadap orang lain, upaya yang dilakukan oleh
guru bisa dengan meminta siswa memposisikan dirinya sebagai orang
lain. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan guru kelas V reguler
maupun kelas V TECC SDI Al-Anshar Bekasi:
22
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB
“Saya tanamkan kepada mereka, untuk melihat dirinya sendiri. Jika aku
tidak punya uang untuk jajan, aku merasa sedih. Jadi mereka peka
dengan melihat dirinya sendiri dulu. Dengan begitu, mereka akan
melakukan sesuatu karena bisa melihat dirinya. Merasakan dulu, atau
membayangkan posisinya dalam kondisi orang lain supaya lebih peka.
‘Oh dia diam karena ini, aku biasanya kalau begitu inginnya seperti ini’,
Jadi bercermin dengan diri sendiri dulu.”23
23
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
24
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
76
sekolah. Pertama, ada yang biaya sekolahnya digratiskan dan disubsidi.
Ada juga yang biaya normal namun dibiayai oleh orang tua asuh. Selain
itu, yang kedua, ada siswa yang biaya sendiri atau mandiri. Dari hal ini,
siswa belajar bahwa kondisi tiap keluarga berbeda. Mereka secara tidak
langsung belajar menghargai temannya yang memiliki latar belakang
ekonomi berbeda.
Penanaman mengenai menghargai perbedaan dengan orang lain
terlihat pada jawaban guru dalam angket butir 25 dengan pernyataan “Saya
memberikan pemahaman kepada siswa untuk menghargai perbedaan”, dan
diketahui baik guru kelas V TECC maupun guru kelas V Reguler
menjawab sangat setuju. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan
guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya tanamkan kepada mereka bahwa kita hidup butuh orang lain, tidak
selamanya juga kita hidup di atas. Kalau kita tidak menghargai orang
lain, maka kita tidak akan dihargai. Kebetulan di sekolah ini, di kelas
regular, ada sistem mandiri dan subsidi. Nah anak yang mandiri ini
biasanya sudah paham, mereka tidak membedakan orang lain.”25
25
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
bahwa yang aku punya, bukan milikku. Dan saya berikan contoh sesuai
dengan kehidupan.”26
28
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara yang
dilakukan dengan guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Ketika sedang belajar, ada sesi tanya jawab biasanya.”29
Hal ini diperkuat dengan hasil angket guru pada butir angket 27
dengan pernyataan “Saya merancang pembelajaran yang aktif sehingga
siswa mampu memberikan respon” dan diketahui guru kelas V TECC
menjawab sangat setuju sementara guru kelas V Reguler menjawab setuju.
Dengan demikian, guru kelas V SDI Al-Anshar telah mengambil peran di
dalam penanaman empati siswa. Jawaban serupa muncul pada butir
angket 28 dengan pernyataan “Saya melatih siswa untuk mampu
memberikan saran kepada temannya”.
29
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
30
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
31
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
80
“Bagi saya, sopan santun itu sangat penting. Karena banyak ilmu tanpa
adab, sia-sia.”32
32
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
33
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
oleh gurunya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan guru kelas V
TECC SDI Al-Anshar Bekasi:
“Cara menanamkannya yakni dengan memberi contoh dari gurunya
sendiri, sehingga anak bisa mengikuti.”34
Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis dokumen RPP guru
kelas V SDI Al-Anshar Bekasi yang mana ditemukan bahwa guru
merancang pembelajaran yang menanamkan keterampilan sosial
khususnya keterampilan memberikan respon dengan baik, terampil dalam
berteman dan membangun relasi dengan desain pembelajaran kelompok.
Selain itu, pada kegiatan pendahuluan siswa dibiasakan untuk membaca,
menulis, mendengarkan, dan berbicara selama 15-20 menit setiap harinya.
Selain terlihat pada dokumen RPP, pembelajaran kelompok juga muncul
pada jawaban guru dalam butir angket 33 dengan pernyataan “Saya sering
membagi siswa ke dalam kelompok dalam mengerjakan tugas”, diketahui
bahwa guru kelas V TECC menjawab sangat setuju, dan guru kelas V
Reguler menjawab setuju.
34
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
82
Penerimaan emosi ini memiliki tiga indikator yakni mampu membantu
orang lain yang kesulitan, dan mampu memberikan dukungan kepada
orang lain, dan mudah bekerja sama.
Dalam kerja sama, siswa memang ada dalam lingkungan di mana
ia tidak hanya terlibat dengan dirinya sendiri. Ia juga terlibat dengan teman
sebaya, guru, dan orang-orang lain di lingkungan sekolah. Contoh
terdekatnya adalah siswa harus bekerja sama dengan teman sekelasnya
dalam pembelajaran yang mengharuskan siswa terlibat dalam sebuah
kelompok. Upaya yang dilakukan guru untuk menanamkan kerja sama
kepada siswa adalah memberikan pemahaman tentang konsep membantu
orang lain. Contohnya dengan membantu teman. Hal ini seperti yang
dipaparkan oleh guru kelas V TECC SDI Al-Anshar Bekasi:
“Kalau dengan teman, dengan cara mereka saling membantu.”35
35
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
36
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
emosi kepada siswa, guru kelas V merancangnya di dalam RPP dengan
membentuk kelompok ketika belajar. Saat pembelajaran didesain untuk
siswa belajar di dalam kelompok, siswa akan secara otomatis akan melatih
kerja sama siswa dengan teman kelompoknya.
84
terlebih dahulu kepada orang lain. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh
guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya menanamkan mereka untuk bertanya pada dirinya. Kalau
kesusahan enak apa engga? Misalnya gitu. Lalu apa yang kalian
harapkan? Ingin dibantu. Saya mencoba supaya anak ini bisa merasakan
dulu.”37
“Seperti yang tadi, saya menanamkan anak untuk mau bersikap baik dulu
kepada orang lain. Dengan memberikan hal baik, maka orang di sekitar
juga akan bersikap baik dengan kita.”38
37
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
38
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan guru
kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Saya mencoba untuk menyeimbangkan. Kecerdasan emosional ini saya
coba latih, tapi juga saya usahakan untuk sisi agama, motorik,
pengetahuan juga. Menurut saya antara kecerdasan intelektual atau
emosional, saya rasa emosional itu lebih besar ya. Pengaruhnya lebih
besar untuk anak.“39
40
“Iya, tentu. Karena merupakan salah satu hal yang penting bagi anak.”
39
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
40
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
41
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
86
meminta gurunya menangangi. Contohnya ketika melihat temannya
menangis. Sementara anak laki-laki dianggap lebih cuek, meski tidak
seluruhnya seperti ini. Mereka memperhatikan teman, namun
kepeduliannya tidak seperti anak-anak perempuan. Hal ini seperti yang
dipaparkan oleh guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Ada anak-anak yang peka dengan temannya. Biasanya, pada anak-
anak perempuan itu lebih peka. Ketika ada anak yang tidak istirahat,
sikapnya beda, dia tahu kalau anak ini ada masalah. Dan ketika ia tidak
bisa menangani masalah temannya, maka akan bilang sama saya.
“Bunda, tadi si A gak jajan. Aku ajak jajan, dia gak mau.” Misalnya
seperti itu. Anak perempuan peka, dan ambil tindakan biasanya.
Sementara anak laki-laki biasanya jarang yang ambil tindakan. Anak
juga biasanya terlihat dari tindaknya.”42
Dengan kondisi emosional yang baik, ternyata mendatangkan
dampak positif yang muncul. Dampak positif ini seperti memiliki
kedisiplinan yang baik dalam belajar, interaksi dengan teman yang baik,
dan memiliki kemandirian yang baik. Ketika anak memiliki kedisiplinan
yang baik, maka ia tahu kapan ia harus belajar dan apa tanggung jawabnya
sehingga anak yang seperti ini juga akan lebih baik dalam belajar.
Ternyata ada perbedaan yang jelas antara sikap anak yang cerdas secara
emosional dan yang tidak. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan
guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Disiplin belajarnya, interaksinya dengan teman, tanggung jawabnya,
juga kemandiriannya itu baik. Jadi sifatnya ini terlihat jelas berbeda
dengan teman yang biasa saja. Dengan disiplin yang baik kan siswa
jadinya bisa lebih baik dalam belajarnya juga.”43
42
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
43
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
kecerdasan emosional anak, seharusnya anak-anak dengan kecerdasan
emosional mampu membantu hambatan yang ada ini. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara dengan guru kelas V Reguler SDI Al-Anshar
Bekasi:
“Dampaknya ia bisa menjadi contoh yang baik untuk teman-temannya.
Jadi bisa ditiru.”44
Respon dari anak yang cerdas secara emosi juga baik. Entah untuk
dirinya sendiri, dia memiliki karakter yang baik seperti disiplin dan sopan
dengan siapa saja. Responnya dengan teman yang kurang baik pun tidak
memberikan reaksi yang berlebihan, namun biasanya dia hanya
mengadukannya kepada guru. Hal ini sesuai dengan wawancara dengan
guru kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Baik. Responnya pada dirinya sendiri seperti disiplin belajarnya
itu bagus. Dan sopan dengan siapa saja. Kecerdasan emosional
yang baik ini, menghasilkan respon yang baik dari siswa.”45
44
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
45
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
46
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
47
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
88
Cara yang dilakukan dalam menanamkan sopan santun kepada
siswa diantaranya dengan memberikan cerita yang mengandung amanat
baik dan kembali kepada penanaman kepekaan atau empati. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara dengan guru kelas V SDI Al-Anshar:
“Dia biasanya jadi kurang baik dalam berinteraksi dengan orang lain. Dia
jadi memberikan respon yang tidak baik ya.”52
“Biasanya dia dilihat kurang enak ya sama temannya. Jadi biasanya juga
dijauhi dengan teman, gak mau main sama dia gitu.”53
48
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
49
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
50
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
51
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
52
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
Hal ini ternyata sesuai dengan pendapat Goleman yang
menyatakan bahwa anak yang mengalami gangguan dalam emosi akan
mendatangkan dampak yakni anak akan menutup diri dari pergaulan,
memiliki masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal
perhatian atau berpikir, serta nakal atau agresif.
Dengan sifat yang kurang baik pada akhirnya respon dari temannya
pun akan kurang baik. Sehingga anak dijauhi dan teman-temannya ini
tidak mau bergaul dengannya. Sikap guru adalah dengan menasehatinya
perlahan-lahan. Artinya, dalam memahami dan menangani karakter siswa
tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Guru pun memutuskan untuk bersikap
bijak pada situasi seperti ini.
“Sementara saya, gurunya, berusaha untuk menasehatinya perlahan-
lahan. Memang butuh waktu. Jadi saya bersikap bijak saja.”54
= 7, 263
= 90, 45.
53
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
54
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
90
Kategori Presentase
Sangat Setuju 2 5
Setuju 17 38
1 Tidak Setuju 18 42
Sangat Tidak Setuju 6 14
Jumlah 43 100
Pada butir angket 1 dengan pernyataan “Jika merasa marah
maka saya akan menunjukkannya”, diperoleh data sebanyak 2
siswa atau setara dengan 5% siswa menjawab sangat setuju untuk
menunjukkan amarahnya, 17 siswa atau 38% persen siswa
menjawab setuju, 18 siswa atau 42% menjawab tidak setuju, dan 6
siswa atau 14% siswa menjawab sangat tidak setuju.
Dapat disimpulkan bahwa mayoritas siswa ketika merasa
marah tidak menunjukkannya, hal ini membuktikan bahwa tidak
menghubungkan antara yang ia rasakan dengan yang apa yang
harus dilakukan. Menunjukkan rasa marah tidak harus dengan
membentak, berteriak, atau bersikap agresif. Namun dari data
tersebut diketahui bahwa kebanyakan siswa tidak menunjukkan
perasaan marahnya.
Selain menghubungkan antara apa yang dirasakan dengan
yang dilakukan, siswa juga perlu menghubungkan antara yang dia
pikirkan dengan yang ia lakukan. Hal ini dilihat dari hasil butir
angket 2.
Tabel 4. 5
Siswa mengerti hubungan antara yang dipikirkan dengan yang
dilakukan
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 11 26
Setuju 23 53
2 Tidak Setuju 7 16
Sangat Tidak Setuju 2 5
Jumlah 43 100
92
atau 16% siswa menjawab tidak setuju, dan 2 siswa atau 5% siswa
menjawab sangat tidak setuju.
Mayoritas siswa akan menangis jika memikirkan hal yang
menyedihkan. Dengan demikian, siswa mampu menghubungkan
perasaan dengan perilakunya.
Selanjutnya adalah siswa juga perlu mengerti hubungan
antara yang dipikirkan dengan yang dirasakan. Hal ini akan
dibuktikan dengan hasil angket butir 3.
Tabel 4. 6
Siswa mengerti hubungan antara yang dipikirkan dengan yang
dirasakan
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 21 49
Setuju 19 44
3 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 2 5
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 33 77
Setuju 9 21
4 Tidak Setuju 0 0
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Tabel 4. 8
Sangat Setuju 25 58
Setuju 17 40
5 Tidak Setuju 0 0
Sangat Tidak Setuju 1 2
94
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 19 44
Setuju 18 42
6 Tidak Setuju 5 12
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 10 23
Setuju 20 47
7 Tidak Setuju 12 28
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 9 21
Setuju 25 58
96
8 Tidak Setuju 5 12
Sangat Tidak Setuju 4 9
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 14 33
Setuju 20 46
9 Tidak Setuju 8 19
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 2 5
Setuju 6 14
10 Tidak Setuju 24 56
Sangat Tidak Setuju 11 26
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 11 26
Setuju 22 51
11 Tidak Setuju 9 21
Sangat Tidak Setuju 1 2
98
Jumlah 43 100
Tabel 4. 15
Siswa mengetahui hal yang membuatnya bahagia
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 19 44
Setuju 17 40
12 Tidak Setuju 6 14
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 25 59
Setuju 16 37
13 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
100
untuk membantu siswa bisa merasa senang dalam belajar sehingga rasa
bahagia bisa dirasakan oleh siswa.
Melihat dari hasil jawaban siswa dalam butir-butir angket yang
memuat pengaturan diri siswa, diketahui bahwa secara umum
pengaturan diri siswa kelas V SDI Al-Anshar cukup baik.
c. Aspek Motivasi
Motivasi dalam diri seseorang menjadi sebuah pemicu untuk
bisa terus bertahan ketika ada masalah atau kesulitan yang datang.
Dengan motivasi yang tinggi, semangat dan sikap optimis akan
tercermin dan dirasakan oleh seseorang.
Motivasi siswa kelas V SDI Al-Anshar dalam hal semangat
meningkatkan kualitas diri terlihat dalam jawaban siswa dalam butir
angket 14 dengan pernyataan “Saya selalu belajar supaya menjadi
lebih pandai dari sebelumnya”.
Tabel 4. 17
Siswa memiliki semangat dalam meningkatkan kualitas diri
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 19 44
Setuju 23 54
14 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 20 46
Setuju 17 40
15 Tidak Setuju 4 9
Sangat Tidak Setuju 2 5
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 15 35
102
Setuju 25 58
16 Tidak Setuju 3 7
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 15 35
Setuju 23 54
17 Tidak Setuju 4 9
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 15 35
Setuju 26 60
18 Tidak Setuju 2 5
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Tabel 4. 22
Siswa memiliki sikap optimis
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 27 63
Setuju 15 35
104
19 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
d. Aspek Empati
Empati adalah salah satu keterampilan sosial yang perlu
ditanamkan sejak usia sekolah karena akan membentuk kepekaan
siswa terhadap orang lain. Dengan memiliki empati, siswa mampu
menyadari kondisi teman atau keluarganya mengenai apa yang mereka
pikirkan atau rasakan.
Dari hasil angket yang diberikan kepada siswa kelas V di SDI
Al-Anshar dengan pernyataan “Saya cukup mudah dalam mengetahui
perasaan orang lain walau hanya dari ekspresi wajahnya”, diketahui
bahwa sebagian siswa menyatakan mereka mampu mengetahui
perasaan orang lain dari ekspresi wajahnya.
Tabel 4. 23
Kemampuan siswa dalam mengetahui perasaan orang lain
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 9 21
Setuju 22 51
20 Tidak Setuju 11 26
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 5 12
Setuju 15 35
21 Tidak Setuju 19 44
Sangat Tidak Setuju 4 9
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 18 42
Setuju 23 54
22 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 16 37
Setuju 24 56
23 Tidak Setuju 3 7
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 24 56
Setuju 18 42
24 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
108
Bentuk lain dalam menghargai sesama adalah mendengarkan
apabila ada teman yang berbicara dengan kita. Siswa kelas V SDI Al-
Anshar diketahui memiliki sikap yang baik dengan temannya ketika
ada yang sedang berbicara. Hal tersebut sesuai dengan hasil angket
pada butir 25 dengan pernyataan “Saya mendengarkan saat teman
sedang berbicara” .
Tabel 4. 28
Siswa mendengarkan saat teman sedang berbicara
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 15 35
Setuju 27 63
25 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 6 14
Setuju 20 47
26 Tidak Setuju 16 37
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 12 28
Setuju 29 68
27 Tidak Setuju 1 2
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
110
Data di atas menggambarkan bahwa sebesar 12 siswa atau
28% siswa menjawab sangat setuju, 29 siswa atau 68% siswa
menjawab setuju, 1 atau 2% siswa menjawab tidak setuju, dan 1
atau 2% menjawab sangat tidak setuju.
Seperti yang diucapkan guru kelas bahwa pembelajaran
yang dibuat sering kali berupa membagi siswa ke dalam beberapa
kelompok. Jika dilihat dari sudut siswa, apakah hal ini akhirnya
menanmkan keterampilan dalam berteman dan membangun relasi
antar siswa. Dengan butir angket 28 dengan pernyataan “Saya
sangat mudah berteman dengan siapa saja”, diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 4. 31
Keterampilan berteman siswa
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 11 25
Setuju 21 49
28 Tidak Setuju 9 21
Sangat Tidak Setuju 2 5
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 11 26
Setuju 17 39
29 Tidak Setuju 15 35
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 14 33
Setuju 24 56
30 Tidak Setuju 4 9
Sangat Tidak Setuju 1 2
Jumlah 43 100
112
Kesopanan siswa yang lain lebih lanjut terlihat pada butir
angket 31 dengan pernyataan “Saya mengucapkan permisi ketika
berjalan melewati orang tua” dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4. 34
Siswa mengucapkan permisi ketika berjalan melewati orang tua.
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 17 40
Setuju 26 60
31 Tidak Setuju 0 0
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 19 44
Setuju 16 37
32 Tidak Setuju 8 19
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
114
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 3 7
Setuju 14 33
33 Tidak Setuju 19 44
Sangat Tidak Setuju 7 16
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 13 30
Setuju 23 54
34 Tidak Setuju 7 16
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 13 30
Setuju 26 54
35 Tidak Setuju 2 5
Sangat Tidak Setuju 2 5
Jumlah 43 100
Sangat Setuju 16 37
Setuju 24 56
36 Tidak Setuju 3 7
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
116
Pada butir angket 36 dengan pernyataan “Saya suka memuji
pencapaian teman agar dia terus semangat melakukannya”, diperoleh
data sebesar 16 siswa atau 37% menjawab sangat setuju, 24 siswa atau
56% menjawab setuju, 3 siswa atau 7% siswa menjawab tidak setuju,
serta 0 siswa atau 0% yang menjawab sangat tidak setuju.
Peneliti ingin melihat apakah guru berperan di dalam
mengajarkan kepedulian siswa dalam hal memberikan semangat
dengan memberikan pernyataan pada butir angket 37 yakni “Guru saya
selalu mengajarkan untuk memberikan semangat kepada orang lain”,
lalu ditemukan data sebagai berikut:
Tabel 4. 40
Guru mengajarkan siswa untuk memberikan semangat kepada orang
lain
No Alternatif Jawaban F P (%)
Sangat Setuju 27 63
Setuju 14 32
37 Tidak Setuju 2 5
Sangat Tidak Setuju 0 0
Jumlah 43 100
136,432
Presentase skor = 𝑥 100%
172
= 78,86%
Kategori Presentase
118
internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini diantaranya adalah anak
yang masih dalam tahapan meniru. Sehingga faktor internal dikatakan
berkaitan dengan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi lebih besar
dalam penanaman kecerdasan emosional ini.
“Untuk faktor internal, saya pikir karena anak-anak ini masih meniru.
Sehingga karena lingkungannya tidak mendukung, maka secara naluri
anak-anak ini meniru. Terus menerus melihat, maka sedikit demi sedikit
jadi terbawa kepada dirinya kan. Jadi menurut saya, faktor internal diri
siswa ini pun jadi bergantung dengan lingkungannya. Yang sudah baik
dari dalam diri saja bisa berubah karena lingkungan, apa lagi yang
memang anak ini masih kurang. Karena kan anak ini belum bisa
mengambil sikap ingin jadi sifat seperti apa dia. Dia masih meniru.”55
55
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB
56
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB
57
Ahmad Arif Fadilah, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V TECC, 31 Maret 2021,
pukul 13.00 WIB.
Contoh yang muncul adalah siswa jadi membandingkan dengan
orang lain, menganggap apa yang dilakukan orang lain benar dan dia boleh
mengikutinya. Sementara, tidak semua hal yang orang lain lakukan dan dia
tiru perilakunya merupakan hal yang sesuai dengan nilai yang diajarkan
oleh guru di sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan guru
kelas V SDI Al-Anshar Bekasi:
“Misalnya anak melihat orang tuanya berkata kasar, tidak disiplin, tidak
ada tanggung jawabnya, itu nanti tertanam kepada dirinya. Padahal di
sekolah diajarkan semuanya, tapi ketika di rumah, tidak berlanjut. Saya
pikir itu jadi sulit untuk menanamkan kecerdasan emosional kepada
anak. Gurunya ditiru di sekolah, sementara di rumah maka keluarganya
yang ditiru. Di sekolah ditanamkan, ‘Jangan teriak-teriak kalau bicara’.
Nanti dia bisa mengungkit orang lain, ‘Dia aja teriak-teriak.’ Jadi ya
faktor lingkungan menurut saya salah satu yang membuat sulit. Kerja
samanya yang masih kurang antara pihak sekolah dan lingkungan luar.”58
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki kekurangan disebabkan keterbatasan
peneliti. Penelitian ini hanya berfokus kepada peran guru dalam
menanamkan kecerdasan emosional di kelas V saja dan tidak bisa
menjangkau keseluruhan kelas yang ada di setiap tingkatannya. Selain itu,
penelitian ini dilaksanakan di masa pandemi sehingga peneliti tidak bisa
melihat secara langsung proses penanaman kecerdasan emosional yang
dilakukan guru ketika pembelajaran sedang bertatap muka.
58
Farida, Hasil Wawancara dengan Guru Kelas V Reguler di SDI Al-Anshar Bekasi, 31
Maret 2021 pukul 11.00 WIB.
120
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Peran guru dalam menanamkan kecerdasan emosi berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan nasehat dan memberikan contoh sikap teladan untuk bisa
ditiru oleh peserta didik, seperti dengan memberikan contoh dalam
perbuatan sehari-hari.
2. Memberikan perumpamaan yang sederhana namun mampu dipahami
oleh siswa. Dengan memberikan perumpaan seperti untung dan rugi,
untuk mengajarkan siswa bahwa apa yang kita perbuat dapat
mendatangkan kebaikan (keuntungan) atau justru mendatangkan
keburukan (kerugian). Dan juga memberikan perumpamaan lain
seperti sebab dan akibat, agar siswa memahami bahwa apa yang ia
lakukan akan berdampak kepadanya.
3. Memberikan pemahaman kepada siswa untuk memposisikan dirinya
sebagai orang lain. Ketika siswa mampu memposisikan atau
membayangkan kondisi orang lain, maka dia bisa lebih mengerti
keadaan orang lain.
4. Meminta siswa bercermin pada dirinya sendiri. Siswa diminta bertanya
pada dirinya terlebih dahulu sebelum bersikap atau berucap, apakah
tindakan atau ucapan tersebut bisa dia terima dengan baik jika ia
dapatkan dari orang lain.
5. Menanamkan nilai-nilai agama supaya siswa mampu bersandar pada
ajaran agamanya. Hal ini dilakukan guru dalam aspek kecerdasan
emosional pengaturan diri dalam mengajarkan siswa untuk tidak marah
berlebihan, sehingga menerapkan ajaran Islam dalam mengatasi
amarah seperti meminta siswa berubah posisi atau berwudhu.
121
6. Bertanya mengenai hal yang dikuasai atau tidak dikuasai siswa.
Dengan menanyakan hal ini, siswa mampu menyadari apa yang kurang
dan apa kelebihan dirinya. Dengan demikian, siswa bisa
memaksimalkan kelebihannya.
7. Menghargai usaha siswa bagaimana pun hasilnya. Tidak perduli
hasilnya belum maksimal, guru mencoba untuk menghargainya
sehingga siswa mau mencoba lebih baik.
8. Guru merancang pembelajaran yang memuat penanaman kecerdasan
emosional. Dalam membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran
guru kelas V SDI Al-Anshar secara umum memasukkan aspek sikap
berupa sikap tanggung jawab, kemandirian, bekerja sama, dan lain
sebagainya sebagai komponen yang masuk ke dalam kecerdasan
emosional. Salah satu contohnya, guru mendesain pembelajaran
kelompok yang mampu melatih kemampuan siswa dalam membangun
pertemanan dan kerja sama (aspek keterampilan sosial). Guru juga
memberikan motivasi kepada siswa dengan menampilkan video, cerita
motivasi, atau reward sebagai apresiasi kepada siswa sehingga siswa
mampu terpacu lebih baik.
Guru sudah berperan dengan baik dalam menanamkan kecerdasan
emosional dengan ucapan, tindakan, sampai pada tahap perencanaan
pembelajaran walaupun dalam praktiknya ditemukan juga faktor yang
menghambat proses penanaman kecerdasan emosional siswa. Faktor
penghambat yang paling besar dan paling mungkin mengganggu proses
penanaman kecerdasan emosional adalah lingkungan siswa baik
lingkungan bermain dalam media sosial, keluarga, dan lingkungan
sekitarnya. Perlu ada kerja sama yang baik antara semua pihak mulai dari
orang tua, masyarakat, keluarga, dan khususnya orang tua bersama-sama
membangun lingkungan yang sesuai demi menyukseskan penanaman
kecerdasan emosional yang sudah dilakukan oleh guru di sekolah. Selain
itu, secara umum kondisi kecerdasan emosional siswa di SDI Al-Anshar
dalam kategori baik, dan diharapkan bisa lebih baik lagi.
122
B. Rekomendasi
Dalam menanamkan kecerdasan emosional siswa, cara yang
digunakan oleh guru hendaknya lebih beragam tidak terbatas pada menjadi
contoh teladan atau membuat pembelajaran secara berkelompok saja.
Akan lebih baik apabila guru mampu membuat inovasi baru dalam
menanamkan kecerdasan emosional siswa, khususnya guru kelas sehingga
perhatian guru dalam aspek ini bisa lebih jelas terlihat. Faktor penghambat
yang ada sebaiknya dijadikan motivasi untuk guru sehingga mampu
mengembangkan ide-ide kreatifnya dan membawa perubahan yang baru
pada kecerdasan emosional siswa di Sekolah Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Buan, Yohana Afliani Ludo. 2020. Guru dan Pendidikan Karakter Sinegritas
Peran Guru dalam Menanamkan Nilai-nilai Pendidikan Karakter di Era
Milenial. Indramayu: Penerbit Adab.
Enda Yulita, Herman Lusa, Sri Dadi. T.T. “Hubungan Antara Pola Asuh Orang
Tua dengan Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) Siswa Kelas
V SDN 50 Kota Bengkulu”, Jurnal Riset Pendidikan Dasar, Vol. 1, No. 3.
124
Endraswara. Suwardi. 2009. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan
Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hardywinoto dan Tony Setiabudhi. 2003. Anak Unggul Berotak Prima, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayati, Nur Istiqomah. 2014. Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi,
Dan Kemandirian Anak SD, Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Januari,
Vol. 3, No. 01.
Kirom, Askhabul. 2017. “Peran Guru Dan Peserta Didik Dalam Proses
Pembelajaran Berbasis Multikultural”. Jurnal Al-Murrabi: Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol. 3 No. 1, Desember 2017.
Labudasari, Erna dan Wafa Sriastria. 2019. Perkembangan Emosi pada Anak
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar dan Pebelajaran 9 (1), 58.
126
Latip, Asep Ediana. 2017. Pembangunan Karakter Peserta Didik pada Jenjang
Pendidikan Dasar. Repository FITK Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,
diakses pada 23 Januari 2021.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39107/1/Asep-
FITK).
Maknun, Lu’luil. 2017. Kekerasan terhadap Anak yang Dilakukan oleh Orang Tua
(Child Abuse). Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah. Vol. 3, No. 1,
Oktober.
Nurafni, Devi Murnianti & Maya Khairani. 2017. “Kecerdasan Emosional Siswa
Sekolah Dasar Negeri (SDN) dengan Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu
(SDIT) di Kota Banda Aceh”, Gender Equality: International Journal of
Child and Gender Studies, Vol. 3, No.1.
Palintan, Tien Asmara. 2020. Membangun Kecerdasan Emosi dan Sosial Anak
Sejak Usia Dini. Bogor: Penerbit Lindan Bestari.
Pradesh, Madhya dan Gwalior. 2013. “Role of Emotional Intelligence for
Academic Achievement for Students”, Research Journal of Educational
Sciences. ISSN 2321-0508. Vol. 1, No. 2.
Sarwono, Jonathan. 2011. Mixed Metods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan
Riset Kualitatif Secara Benar. Jakarta: Elex Media Komputindo.
128
Suciati, Wiwik. 2016. Kiat Sukses Melalui Kecerdasan emosional dan
Kemandirian Belajar. Bandung: CV. Rasi Terbit.
Sujana, I Wayan Cong. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Indonesia, ADI WIDYA:
Jurnal Pendidikan Dasar Vol. 4, No. 1 April 2019
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wafiqni, Nafia dan Asep Ediana Latip. 2015. Psikologi Perkembangan Anak Usia
MI/SD Teori dan Grand Desain Pendidikan Berbasis Perkembangan
(Education Based Child’s Development). Ciputat: UIN Press.
130
Lampiran 1
132
Lampiran 3
SURAT PERNYATAAN TELAH MELAKUKAN PENELITIAN
Lampiran 4
SURAT PERMOHONAN VALIDASI INSTRUMEN
134
Lampiran 5
136
3. Guru menanamkan Wawancara 10
hal-hal yang mampu
membuat diri siswa Angket 13,14
bahagia dan cara
membangun rasa
bahagia.
Menanamkan 1. Guru menanamkan Wawancara 11
motivasi semangat untuk
kepada siswa meningkatkan kualitas Angket 15,16
diri kepada siswa.
2. Guru membelajarkan Wawancara 12
cara memiliki tekad yang
kuat dalam menjalankan Angket 17,18
sesuatu.
3. Guru merencanakan Wawancara 13
pembelajaran yang
memicu siswa memiliki Angket 19,20
inisiatif dan menanamkan
sikap optimis kepada
siswa.
Menanamkan 1. Guru membelajarkan Wawancara 14
empati siswa untuk peka
kepada siswa terhadap apa yang orang Angket 21,22
lain pikirkan maupun
orang lain rasakan.
2. Guru membelajarkan Wawancara 15
siswa untuk paham apa
yang orang lain Angket 23, 24
butuhkan.
3. Guru menanamkan Wawancara 16
cara menghargai orang
lain. Angket 25, 26
Menanamkan 1. Guru membelajarkan Wawancara 17
keterampilan cara dalam memberikan
sosial kepada respon. Angket 27, 28
siswa 2. Guru merancang Wawancara 18
pembelajaran yang
membantu siswa terampil Angket 29, 30
dalam berteman dan
membangun relasi.
3. Guru menanamkan Wawancara 19
sopan santun siswa
terhadap orang lain. Angket 31, 32
138
perasaaan, pikiran, dan jurnal, 4,5,6
perlakuan. siswa.
2. Siswa mengetahui 4,5
tujuan dan nilai diri.
3. Siswa memiliki 6,7
kesadaran mengenai
kelebihan dan
kekurangan diri.
Pengaturan 1. Siswa menyadari hal- Angket 8,9
Diri hal terkait emosi negatif
dalam diri.
2. Siswa menyadari cara 10,11
mengatasi emosi negatif
yang muncul.
3. Siswa mengetahui 12,13
hal-hal yang mampu
membuat diri bahagia
dan cara membangun
rasa bahagia.
Motivasi 1. Siswa memiliki Angket 14,15
semangat untuk
meningkatkan kualitas
diri.
2. Siswa memiliki tekad 16,17
yang kuat dalam
menjalankan sesuatu.
3. Siswa memiliki 18,19
inisiatif dan merupakan
pribadi yang optimis.
Empati 1. Siswa menyadari apa Angket 20,21
yang orang lain pikirkan
maupun orang lain
rasakan.
2. Siswa menyadari apa 22,23
yang orang lain
butuhkan.
3. Siswa menghargai 24,25
orang lain.
Keterampilan 1. Siswa memiliki Angket 26,27
Sosial kecakapan dalam
memberikan respon.
2. Siswa terampil dalam 28,29
berteman dan
membangun relasi.
3. Siswa memiliki sopan 30,31
santun terhadap orang
lain.
Penerimaan 1. Siswa mudah bekerja Angket 32,33
Emosi sama dengan orang lain
2. Siswa mampu 34,35
membantu orang lain
dalam keadaan sulit
3. Siswa mampu 36,37
memberikan dukungan
dan semangat kepada
orang lain.
140
Lampiran 7
PEDOMAN WAWANCARA
Peran Guru dalam Menanamkan Kecerdasan Emosional Siswa di Kelas V
SDIT Al-Anshar Bekasi
A. Identitas Informan
Nama :
Waktu :
Guru Kelas :
Alamat Sekolah :
Tanggal Wawancara :
B. Pengetahuan
1. Menggali pengetahuan informan tentang perannya sebagai guru secara
umum.
2. Menggali pengetahuan informan tentang kecerdasan emosional.
3. Menggali pengetahuan informan tentang perannya dalam menanamkan
kecerdasan emosional.
C. Sikap
1. Menggali sikap yang meliputi tanggapan/penilaian informan tentang
karakteristik kecerdasan emosional siswa kelas V yang dipegang oleh
informan.
2. Menggali sikap meliputi tanggapan/penilaian informan tentang dampak
negatif kecerdasan emosional yang rendah bagi siswa.
3. Menggali sikap meliputi tanggapan/penilaian informan tentang kesulitan
penanaman kecerdasan emosional.
D. Tindakan
1. Menggali tindakan yang meliputi upaya yang dilakukan informan dalam
menanamkan kecerdasan emosional siswa.
2. Menggali tindakan yang meliputi upaya yang dilakukan informan terhadap
kecerdasan emosional siswa yang rendah.
Lampiran 8
Pertanyaan Wawancara
Pertanyaan : Apa yang Ibu ketahui mengenai peran Ibu sebagai guru?
Jawaban : Peran saya adalah membimbing dan mengarahkan anak supaya
mereka bisa menjadi anak yang lebih baik dari segala sisi. Dari
mulai akademiknya, akhlaknya, maupun adabnya.
Pertanyaan : Apa yang Ibu ketahui mengenai peran Ibu dalam menanamkan
kecerdasan emosional?
Jawaban : Saya sebagai guru berperan dalam membimbing anak agar anak
mampu me-manage emosinya.
Pertanyaan : Pembelajaran seperti apa yang Ibu rancang untuk dalam upaya
memancing inisiatif dan sikap optimis siswa?
Jawaban : Saya biasanya membuat pembelajaran untuk tanya jawab agar
pembelajaran menjadi aktif. Saya tidak memaksa siswa untuk
menyebutkan pengertian sebuah pelajaran dengan bahasa buku.
Menggunakan bahasanya sendiri tidak masalah, yang penting ia
paham dan berani menjawab. Selain itu, juga ada diskusi kelompok
supaya ada inisiatif siswa untuk bertanya maupun menjawab.
Biasanya dari satu pertanyaan, temannya menjawab, lalu anak lain
akan bertanya lagi. Jadi ini memancing siswa untuk ingin tahu dan
aktif. Ada presentasi juga, saya wajibkan tiap kelompok
mengajukan pertanyaan.
Pertanyaan : Seberapa pentingkah sopan santun siswa bagi Ibu dan bagaimana
cara Ibu menanamkan sopan santun kepada siswa?
Jawaban : Bagi saya, sopan santun itu sangat penting. Karena banyak ilmu
tanpa adab, sia-sia. Untuk menanamkannya, saya biasanya iringi
dengan ajaran agama. Jika sopan dengan orang, maka orang lain
akan bersikap baik. Bahasa anak-anaknya, “kalau gak mau dicubit,
jangan mencubit.” Saya juga menanamkan mereka mengucapkan
salam, dan menanamkan sopan santun dalam kegiatan sehari-hari.
Pertanyaan : Bagaimana cara Ibu untuk membangun rasa kerja sama siswa
dengan orang lain?
150
Jawaban : Kalau dengan teman, dengan cara mereka saling membantu. Dan
kebetulan ada kegiatan di masa pandemi ini, berupa kegiatan
harian seperti sholat dan membantu orang tua. Jadi apa yang
mereka lakukan di rumah dicatat. Itu untuk melatih kerja sama
mereka dengan keluarga ya. Dan ada pembelajaran yang memberi
tugas untuk siswa berinteraksi dengan tetangga, seperti kemarin
ada wawancara.
Pertanyaan : Apa yang Ibu lakukan untuk menanamkan rasa tolong menolong
kepada siswa?
Jawaban : Tentu dengan yang tadi, menanamkan kepekaan terhadap emosi
diri sendiri baru dengan begitu bisa mengambil sikap untuk orang
lain karena ia paham dengan kondisinya sendiri.
Pertanyaan : Bagaimana cara Ibu agar siswa mau dan mampu memberikan
dukungan kepada orang lain?
Jawaban : Saya menanamkan mereka untuk bertanya pada dirinya. Kalau
kesusahan enak apa engga? Misalnya gitu. Lalu apa yang kalian
harapkan? Ingin dibantu. Saya mencoba supaya anak ini bisa
merasakan dulu.
Pertanyaan : Apa dampak positif yang muncul pada siswa yang memiliki
kecerdasan emosional yang baik?
152
Jawaban : Disiplin belajarnya, interaksinya dengan teman, tanggung
jawabnya, juga kemandiriannya itu baik. Jadi sifatnya ini terlihat
jelas berbeda dengan teman yang biasa saja. Dengan disiplin yang
baik kan siswa jadinya bisa lebih baik dalam belajarnya juga.
154
Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
NIM : 11170183000065
Status : Mahasiswa
Pertanyaan : Apa yang Bapak ketahui mengenai peran Bapak sebagai guru?
Jawaban : Menurut saya, menyampaikan ilmu kepada anak-anak.
156
Pertanyaan : Apa yang Bapak lakukan untuk mengajarkan siswa agar mampu
mengubungkan hubungan antara perasaan, pikiran, dan
perasaannya?
Jawaban : Pertama, dengan menasehati dan yang kedua dengan contoh
perilaku. Tentu butuh waktu untuk menanamkannya kepada
siswa, jadi berproses saja. Setelah diajarkan, maka siswa nanti
akan paham apa yang gurunya ajarkan. Cara yang saya gunakan
yakni dengan melakukan pendekatan untuk mengetahui
karakteristik siswa, satu persatu. Saya mencoba mengenal siswa
terlebih dahulu sebelum mengajarkan atau menanamkan nilai-
nilai tertentu.
158
Pertanyaan : Bagaimana cara Bapak mengajarkan siswa agar memiliki tekad
yang kuat dalam menjalani sesuatu?
Jawaban : Dengan memberikan contoh bahwa orang yang rajin dan ulet
pasti akan ada hasilnya. Jika orang yang malas, maka hasilnya
juga kurang. Sehingga anak ini memiliki tekad untuk menggapai
tujuannya.
160
Pertanyaan : Bagaimana cara Bapak agar siswa mau dan mampu
memberikan dukungan kepada orang lain?
Jawaban : Seperti yang tadi, saya menanamkan anak untuk mau bersikap
baik dulu kepada orang lain. Dengan memberikan hal baik, maka
orang di sekitar juga akan bersikap baik dengan kita.
Pertanyaan : Apa dampak positif yang muncul pada siswa yang memiliki
kecerdasan emosional yang baik?
Jawaban : Dampaknya ia bisa menjadi contoh yang baik untuk teman-
temannya. Jadi bisa ditiru.
162
Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
NIM : 11170183000065
Status : Mahasiswa
164
Lampiran 12
166
Lampiran 14
RPP GURU KELAS V TECC
168
Lampiran 15
ANGKET SISWA
Nama Siswa :
No. Absen :
Kelas :
Petunjuk : Jawablah dengan jujur dan teliti dengan memberi tanda ()
pada jawaban yang tersedia!
No Pernyataan Jawaban
170
21 Saya mampu mengerti cara berpikir orang
lain.
22 Saya menunjukkan kepedulian dengan
membantu orang lain.
23 Saya mengetahui apa yang harus dilakukan
ketika mendengar teman mulai menangis.
24 Saya menghargai teman yang memiliki
latar belakang ekonomi berbeda.
25 Saya mendengarkan saat teman sedang
berbicara.
26 Saya hebat dalam meyakinkan orang lain.
172
Lampiran 16
ANGKET GURU
Nama Guru :
Kelas :
Petunjuk : Jawablah dengan jujur dan teliti dengan memberi tanda ()
pada jawaban yang tersedia!
No Pernyataan Jawaban
174
setiap siswa.
176
Lampiran 17
HASIL ANGKET
Peran Guru
178
untuk diam dan tenang
ketika sedang marah.
13 Saya selalu memiliki ide 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
agar dalam upaya
menanamkan pentingnya
rasa bahagia dalam diri
siswa.
14 Saya selalu membuat 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
suasana bahagia di dalam
kelas.
15 Saya menyemangati 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
siswa agar semangat
menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
16 Saya cenderung lupa 0 0 2 0 0% 0% 100% 0%
dalam hal menanamkan
semangat kepada siswa.
17 Saya biasanya tidak 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
membiarkan siswa
menyerah dalam mata
pelajaran yang tidak
kuasainya.
18 Saya menanamkan 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
ketekunan kepada setiap
siswa.
19 Saya selalu 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
merencanakan
pembelajaran yang
memberikan kesempatan
untuk siswa menyalurkan
ide-ide.
180
28 Saya melatih siswa untuk 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
mampu memberikan
saran kepada temannya.
29 Saya merancang 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
pembelajaran yang
membantu siswa
terampil dalam berteman
dan membangun relasi.
30 Saya meminta siswa 0 2 0 0 0% 100% 0% 0%
untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri.
31 Saya membiasakan siswa 2 0 0 0 100% 0% 0% 0%
untuk tidak berteriak
ketika memanggil
temannya.
32 Saya selalu menanamkan 2 0 0 0 100% 0% 0% 0%
norma kesopanan kepada
siswa.
33 Saya sering membagi 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
siswa ke dalam
kelompok dalam
mengerjakan tugas.
34 Saya lebih suka 0 2 0 0 0% 100% 0% 0%
memberikan tugas
individu kepada siswa.
35 Saya selalu mengajarkan 2 0 0 0 100% 0% 0% 0%
siswa untuk menolong
orang lain.
36 Saya membiasakan 1 1 0 0 50% 50% 0% 0%
siswa untuk menawarkan
bantuan kepada
temannya.
182
Lampiran 18
HASIL ANGKET
Kecerdasan Emosional Siswa
184
meskipun ada rintangan.
18. Saya memiliki cara tertentu 15 26 2 0 35% 60% 5% 0%
untuk memberikan
semangat kepada diri
sendiri dalam meraih cita-
cita.
19. Saya yakin usaha yang 27 15 1 0 63% 35% 2% 0%
baik akan mengantarkan
pada cita-cita.
20. Saya cukup mudah dalam 9 22 11 1 21% 51% 26% 2%
mengetahui perasaan orang
lain walau hanya dari
ekspresi wajahnya.
21. Saya mampu mengerti cara 5 15 19 4 12% 35% 44% 9%
berpikir orang lain.
22. Saya menunjukkan 18 23 1 1 42% 54% 2% 2%
kepedulian dengan
membantu orang lain.
23. Saya mengetahui apa yang 16 24 3 0 37% 56% 7% 0%
harus dilakukan ketika
mendengar teman mulai
menangis.
24. Saya menghargai teman 24 18 1 0 56% 42% 2% 0%
yang memiliki latar
belakang ekonomi berbeda.
25. Saya mendengarkan saat 15 27 1 0 35% 63% 2% 0%
teman sedang berbicara.
26. Saya hebat dalam 6 20 16 1 14% 47% 37% 2%
meyakinkan orang lain.
27. Saya akan memberikan 12 29 1 1 28% 68% 2% 2%
saran jika teman
memintanya.
28. Saya sangat mudah 11 21 9 2 25% 49% 21% 5%
berteman dengan siapa
saja.
29. Saya bisa mengatasi 11 17 15 0 26% 39% 35% 0%
pertengkaran di antara dua
orang teman.
30. Saya selalu menggunakan 14 24 4 1 33% 56% 9% 2%
bahasa yang baik dalam
berbicara.
31. Saya mengucapkan permisi 17 26 0 0 40% 60% 0% 0%
ketika berjalan melewati
orang tua.
32. Saya suka bekerja sama 19 16 8 0 44% 37% 19% 0%
dengan teman dalam
mengerjakan tugas
kelompok.
33. Saya lebih suka bekerja 3 14 19 7 7% 33% 44% 16%
sendirian dari pada dengan
orang lain.
34. Saya membantu teman 13 23 7 0 30% 54% 16% 0%
merasa lebih baik saat
suasana hatinya buruk.
35. Saya menawarkan bantuan 13 26 2 2 30% 60% 5% 5%
ketika ada teman yang
mengalami kesulitan
36. Saya suka memuji 16 24 3 0 37% 56% 7% 0%
pencapaian teman agar dia
186
terus semangat
melakukannya.
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul Peran
Guru dalam Menanamkan Kecerdasan Emosional Siswa Kelas V SDI Al-Anshar
Bekasi yang disusun oleh Rahma Syifa Nur Azizah, NIM. 11170183000065.
Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah diuji
kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi.
Dosen pembimbing,
NIP. 195804171992031001
188
UJI REFERENSI
NIM : 11170183000065
192
28. Ratu Ayu Safira Destianda & 51 25
Hamidah, “Hubungan Kecerdasan
Emosional Dengan Ide Bunuh Diri
Pada Remaja”, Jurnal Psikologi
Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 8,
Tahun 2009, h. 18.
29. Bangun Santoso, “Isi Surat 52 26
Memilukan Bocah SD Gantung Diri
di Temanggung”,
https://jateng.suara.com/read/2019/10
/08/060908/isi-surat-memilukan-
bocah-sd-gantung-diri-di-
temanggung?page=all diakses pada
17 Oktober 2020).
30. Con Stough, Donald H. Saklofske, 53 26
James D.A. Parker, Assessing
Emotional Intelligence Theory,
Research and Aplications, (New
York: Springer Science and Business
Media, 2009), hal. 176-177.
31. Lu’luil Maknun, Kekerasan terhadap 54 27
Anak yang Dilakukan oleh Orang
Tua (Child Abuse), Muallimuna:
Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 3,
No. 1, Oktober 2017, h. 76.
32. Ardiani, Halida dan Lukmanulhakim, 55 27
“Peran Guru Dalam
Mengembangkan Sosial Emosional di
Kelas B3 TK Gembala Baik Kota
Pontianak”, Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Khatulistiwa, Vol. 6,
No. 10, Tahun. 2017, h. 8.
33. Stella Mavroveli, K. V. Petrides, 56 28
Yolanda Sangareau, Adrian Furnham,
“Exploring The Relationships
Between Trait Emotional Intelligence
and Objective Socio-Emotional
Outcomes in Childhood”, British
Journal Psychology Vol. 79,
DOI:10.1348/000709908X368848
Tahun 2009, h. 268.
34. K. V. Petrides, “Trait Emotional 57 28
Intelligence and Children’s Peer
Relations at School”, Social
Development Journal, Vol. 15, No. 3
Tahun 2006, h. 545.
35. Himmatul Farihah, “Peran Guru 58 29
Dalam Mengembangkan Kecerdasan
Emosional Anak Usia Dini”,
Proseding Seminar Naional Unirow
Tuban, Vol 1 No 1 (2017):
Pengembangan Luaran Penelitian
Dan Pengabdian Masyarakat Yang
Mendukung Pendidikan Dan Saintek
Menuju Dunia Usaha Dan Industri,
Tahun 2017, h. 58-60.
36. Daniel Goleman, Kecerdasan 46, 48 23, 24
Emosional, Terj. T. Hermaya,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Cet. Ke-17, 2007), h. 19, h. 355
BAB III
37. Rukin, Metodologi Penelitian 1 31
Kualitatif, (Talakar: Yayasan Ahmar
Cendekia Indonesia, 2019), h. 6.
194
Lampiran 20
DOKUMENTASI
196
BIODATA PENULIS