Anda di halaman 1dari 9

Nama : Moch.

Wasil (22201022004)

Matkul : Historigrafi

Kelas :A

Tugas Resume dan Kritik

“Historiografi Islam Klasik pada awal Islam dan karya Historiografi Orientalis”

Dr. Nurul Hak, S.Ag., M.Hum

Pertama-tama masalah historiografi yang akan ditelaah dan dikaji dalam artikel ini ialah
karya historiografi Islam awal dan modern, khususnya karya para orientalis. Yang kedua
ialah metodologi yang digunakan oleh para sejarawan tersebut, baik sejarawan Muslim awal
maupun modern. Metodologi transmisi para sejarawan Muslim awal diadopsi dari transmisi
hadis nabi lmisalnya, meskipun memiliki peran signifikan dalam mengangkat kisah dan
peristiwa sejarah Islam awal, namun mereka belum menjelaskan makna yang benar-benar
substansial dari yang disusun dalam buku mereka. karya historiografi. Sebaliknya, ia hanya
mengutip kisah-kisah itu dari para perawi dan pendongeng tanpa menjelaskan konteks sosio-
historisnya juga. Hal ini secara empiris dapat menyebabkan penyesatan historiografi, seperti
pendapat yang dikatakan Ibnu Khaldun bahwa kutipan transmisi peristiwa sejarah tanpa kritik
dapat menyiratkan difraksi. (Di sini, Ibnu Khaldun menyoroti penulisan historiografi oleh
kalangan sejarawan Islam awal dan modern yang hanya normatif dan terpaku pada Al-
Quran dan Hadis sehingga akan menjadi polemik tersendiri bagi penulisan karya
historiografi).
Metodologi juga menjadi permasalahan yang ditemukan dalam karya-karya orientalis,
meskipun sangat berbeda dengan karya historiografis Islam awal. Masalah di sini terletak
pada pandangan dunia Barat yang didasarkan pada filosofi sekularistik dan materialistis serta
positivistik di satu sisi, dan bias kerangka interpretasi analisis mereka terhadap historiografi
di sisi lain. Bagaimanapun pandangan dunia ini secara komparatif, tidak sesuai dengan
semangat fakta sejarah Islam awal yang didasarkan pada pandangan metafisis dan fisik.
Selain itu, sebagian orientalis memiliki pandangan yang bias terhadap historiografi Islam
maupun biografi Nabi Muhammad, sehingga karya-karya historiografi mereka kebanyakan
cenderung dibiaskan oleh mereka. Oleh karena itu, perspektif alternatif historiografi adalah
upaya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dan menemukan beberapa paradigma
alternatif untuk mencari akar epistemologisnya dan membangunnya dalam historiografi
bersama dengan paradigma-paradigma tersebut. (Di sini dijelaskan bahwa dalam
menulisan karya historiografi, para kaum orientalis hanya menggunakan metodologi
yang kurang komparatif dan cenderung bias terhadap historiografi yang ditulis oleh
sejarawan Islam masa awal dana modern).
Mayoritas sejarawan membagi sejarah Islam sebagaimana mereka membagi sejarah Eropa
menjadi tiga kategori, yaitu periode klasik, abad pertengahan, dan modern. Historiografi
Islam klasik adalah periode yang dimulai dari dakwah Nabi Muhammad SAW sampai dengan
periode terakhir Abbasiyah, yaitu dari tahun 622 M sampai 1258 M. Istilah klasik digunakan
oleh beberapa sejarawan modern, seperti Tarif Khalidi, Franz Rosenthal, G.E.Von
Grunebaum, M.A.J. Beg dan George Mikdasi, sementara yang lain, seperti Nizar Ahmad
Faruqi dan Martin Hinds, serta Watt menamakannya Islam awal, bukan klasik yang
merupakan bagian dari tahapan periodik peradaban Islam. Oleh karena itu, sejarah Islam
klasik adalah tahap sejarah Islam pertama dari sejarah dan peradaban Islam awal seiring
dengan kemunculan dan perkembangan Islam sebagai periode formatif. (Di sini dijelaskan
awal munculnya historiografi Islam klasik atau awal yakni sejak zaman Nabi
Muhammad sampai periode akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah).
Istilah historiografi memang berasal dari dua kata yang berbeda, history dan graph. Yang
pertama berarti cerita, terutama cerita masa lalu sedangkan yang kedua berarti garis, coretan,
serta tulisan. Oleh karena itu, historiografi secara etimologis berarti menulis cerita atau
sejarah menulis sejarah. Dari definisi ini, istilah historiografi sedikit berbeda dari sejarah itu
sendiri karena yang pertama mencakup makna metodologis dan epistemologis juga,
sedangkan yang terakhir adalah peristiwa masa lalu, proses kronologis waktu serta fakta
empiris masa lalu. Dengan kata lain, itu hanyalah cerita, tindakan, dan pengalaman tentang
masa lalu, sedangkan yang pertama adalah bagaimana mengkonstruksi atau
merekonstruksinya sesuai dengan paradigma keilmuan, khususnya pendekatan metodologi
penulisan sejarah atau historiografi. (Di sini dijelaskan bahwa terciptanya historiografi
agar bisa menjadi suatu yang dapat membabarkan makna metodologi dan epistimelogi
sejarah serta dapat mengkonstruksi dan merekonstruksi sejarah di masa lalu).
Agness Heller membagi istilah historiografi menjadi tiga ciri, yang pertama adalah konsep
atau epistem ilmiah yang jelas berbeda dari informasi sehari-hari. Kedua, selalu kritik dengan
cara menyaring sumber-sumber sejarah yang otentik atau tidak. Terakhir, selalu berkaitan
dengan peristiwa ilmiah masa lalu. Dalam konteks ini, istilah ini erat kaitannya dengan
filsafat, bukan sekadar sejarah sebagai peristiwa masa lalu atau kronis, karena metodologi
dan epestimologi merupakan kajian filosofis. Menurut Franz Rosenthal, istilah tersebut
mengkaji proses perkembangan konsep dan pemikiran sejarah, ciri penulisan sejarah pada
zaman sejarah tertentu serta kemunculan, perkembangan dan kecenderungan bentuk-bentuk
sejarah, menelaah isi dan pendekatan sejarah oleh sejarawan. (Di sini dijelaskan mengenai
tiga bagian ciri-ciri historiografi yang dijelaskan oleh para sejarawan).

Oleh karena itu, historiografi Islam awal berarti sejarah Islam awal dan historiografi dimulai
dari periode Nabi Muhammad hingga periode Abbasiyah. Ini berfokus pada studi penulisan
sejarah, perkembangannya, sejarawan, metode serta metodologi yang digunakan oleh mereka
pada masa itu. Akan tetapi, dalam artikel ini, historiografi Islam klasik secara khusus
mencakup dua pengertian. Pertama, menandai awal sejarah Islam khususnya konseptualisasi
dan pemaknaannya serta peristiwa sejarah yang menyangkut sejarah. Kedua, ini juga
menyiratkan karya historiografi awal yang ditulis oleh sejarawan Muslim seperti Ibn Ishaq,
al-Waqidi serta al-Tabari dan yang modern, khususnya orientalis, seperti H.A.R. Gibb,
Montgomery Watt, serta Wellhausen. (Sudah jelas bahwasanya dalam penulisan
historiografi Islam awal dimulai sejak zaman Nabi Muhammad dan berakhi ketika
runtuhnya dinasti Abbasiyah yang tulisan historiografinya berkonotasikan kepada
sejarah, perkembangan, sejarawan, metode dan metodologi yang digunakan waktu itu).

Masalah Historiografi Islam Klasik

Asumsi dasar dari penelitian ini menunjukkan bahwa historiografi Islam klasik merupakan
masalahnya yang ditulis oleh sejarawan Muslim awal. Persoalan-persoalan tersebut secara
empiris berarti bahwa ada fenomena kesesatan sejarah yang nyata dari historiografi, yang
diterima secara ilmiah untuk dianalisis baik dari metodologi maupun dari sumber tertulis
faktual sejarah. Sekurang-kurangnya ada dua masalah pokok tentang historiografi yang ingin
kami bahas lebih lanjut di sini, termasuk isi materi dan juga masalah metodologis.

Masalah Isi

Yang dimaksud dengan masalah ini adalah yang bersifat material seperti tema-tema kajian
sejarah Islam dan substansinya menyangkut historiografi. Kita bisa mengkategorikan masalah
menjadi setidaknya dua masalah; pertama adalah sejarah yang berorientasi politik atau
historiografi politik sejarah, sedangkan yang kedua adalah masalah materialisme atau dalam
beberapa kasus materialisme sejarah. Dalam konteks historiografi Islam klasik, sejarah politik
memiliki tiga makna yang berbeda. Pertama, historiografi Islam awal secara konseptual tidak
berbeda jauh dengan konsep sejarah pra Islam; bahkan melanjutkan konsep yang mengacu
pada konsep kesukuan pra Islam dan juga sejarah politik. Kedua, muatan tema terkait
langsung dengan politik seperti khilafah, dinasti, pertempuran, fitnah besar, baik untuk
merebut atau mengganti kekuasaan. Ketiga, memang karya historiografi yang ditulis baik
oleh sejarawan Muslim awal maupun modern hampir sama dan berkesinambungan dengan
historiografi orientalis. (Di sini dijelaskan bahwa historiografi Islam awal mempunyai
karakteristik dengan penulisan historiografi pra Islam yang berkonotasikan kepada
politik, sedangkan dalam masa penulisan historiografi Islam awal politik mengacu
kepada khalifah, dinasti dan kekuasaan dan mempunyai segi penulisan yang sama
dengan historiografi orientalis).

Masalah Sejarah Politik Historiografi

Salah satu kesalahan yang ditemukan dalam historiografi adalah bahwa historiografi
cenderung didominasi oleh sejarah politik, baik yang ditulis oleh sejarawan Muslim awal
maupun modern, terutama orientalis tentang historiografi. Ukita ambil contoh yang pertama,
kita dapat memeriksa karya Sirah al-Nabi karya Ibn Ishaq, karya al-Maghazi dan karya al-
Waqidi, serta karya Tarikh al-Tabari karya al-Tabari; Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Sejarah
Umat dan Raja, atau Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Sejarah Para Rasul dan Raja. Untuk yang
terakhir, beberapa karya historiografis orientalis yang ditulis oleh William Montgomery Watt,
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Margoliouth, Sir William Muir serta Wellhausen bisa
menjadi karya yang representatif untuk ditelaah secara kritis guna menunjukkan
permasalahan dalam kajian orientalis. Namun, dalam artikel ini kami cukup memaparkan dua
orientalis pertama, yaitu William Montgomery Watt dan H.A.R. Gibb karena mereka adalah
orientalis representatif di mana karya-karya mereka sebagian besar berkaitan dengan sejarah
dan peradaban Islam, juga misalnya Sirah al-Nabi atau The Biography of Prophet
Muhammad, karya Ibnu Ishaq, merupakan karya tulis historiografi Islam klasik pertama yang
isinya sebagian besar sarat dengan orientasi politik atau sejarah politik. (Karya-karya yang
sudah disebutkan di atas menjadi sebuah bukti bahwa historiografi yang ditulis oleh
sejarawan Muslim awal maupun modern dan historiografi yang ditulis oleh kaum
orientalis mayoritas menjurus ke perpolitikan).
“INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU-ILMU DALAM SEJARAH ISLAM AWAL:
KAJIAN TARIKH AL-RUSL WA AL-MULUK OLEH AT-THABARI”

Dr. Nurul Hak, S.Ag., M.Hum

Pada abad ke-21 banyak penelitian tentang sejarah, tampaknya sejarah telah menjadi sesuatu
yang baru dalam ilmu pengetahuan modern. Apalagi, sebagian besar kajian mutakhir belum
mendalami karya-karya ulama Islam awal. Akibatnya, terjadi pemutusan rantai sejarah dalam
mengkaji kajian tersebut. Di sisi lain, masih terdapat dikotomi kajian ilmu-ilmu keislaman
dan ilmu-ilmu umum, atau antara sains dan agama. Bahkan, Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk
karya al-Thabarī telah menyaksikan adanya integrasi-interkoneksi antara sains dan agama.
Dalam hal ini, artikel ini berargumen bahwa al-Thabarī telah berkontribusi besar dalam
mendorong integrasi-interkoneksi ilmu, sehingga dikotomi antara sains dan agama menjadi
terbantahkan. Ketegangan antara agama dan sains yang terjadi baik di peradaban Barat
maupun Islam memunculkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Selama periode abad
pertengahan Eropa, otoritas gereja meniadikan berbagai temuan ilmiah yang tidak sesuai
dengan dogma gereja. Dapat dikatakan bahwa seorang astronom bernama Galileo Galilei
menjadi korban dari ketegangan ini. Fenomena ini berlanjut setelah renaisans di Eropa
dengan munculnya sekularisme, di mana gereja dibatasi dalam lingkup otoritas agama dan
spiritual, tanpa mencampuri urusan duniawi, termasuk ilmu pengetahuan. Masalah serupa
terjadi pada orang-orang Islam mereka di Abad Pertengahan waktu umat Islam mulai
meninggalkan studi filsafat dan sains dan lebih mengutamakan aspek ritual keagamaan dan
praktik tasawuf. Hal itu bisa dibilang menyebabkan mereka tertinggal dan terbelakang dalam
sains, dan mewariskan dikotomi agama dan sains di Zaman Modern. Mereka beranggapan
bahwa keduanya adalah entitas yang berbeda dan sulit untuk disatukan. Meskipun demikian,
integrasi-interkoneksi sebenarnya telah ada dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman sejak awal
perkembangannya di awal Islam. (Di sini dijelaskan bahwa dalam ilmu agama dan ilmu
umu serta sains tidak ada separasi di antar keduanya melainkan hubungan inegrasi
serta relasi di antar kedua ilmu tersebut yang sudah dikemukakan oleh At-Thabari
dalam karyanya sehingga membantah pelbagai tuduhan atas separasi kedua ilmu
tersebut. Namun, orang-orang Islam pada zaman Islam awal dan pertengahan mulai
banyak meninggalkan filsafat dan membelot ke lebih sering mempelajari ilmu-ilmu
agam dan tasawuf sehingga membuat kalangan Muslim banyak tertinggal dari segi
ilmu pengetahuan umum maupun sains).
Tārīkh al-Thabarī adalah karya historiografi Islam yang ditulis oleh Muhammad bin Jarir al-
Thabarī, seorang sejarawan Islam awal yang hidup pada Era Abbasiyah. Muhammad bin Jarir
bin Yazid bin Kathir bin Ghālib lahir di Amol, Tabaristan pada tahun 224/225 H, Al-Thabarī
yang juga dikenal dari kunyahnya, Abū Ja‘far, adalah seorang polymath. Dia paling dikenal
dari karyanya tentang tafsir dan historiografi Al-Qur’an. Namun, sebagai seorang mufassir, ia
juga menguasai berbagai bidang ilmu keislaman yang tercermin dalam karya-karyanya. Oleh
karena itu, beliau juga terkenal dengan gelar faqīh, muhaddith dan gelar-gelar lainnya.
Sebagaimana terlihat dalam ruang lingkup kajian, Tārīkh al-Thabari merupakan karya
sejarah dunia. Pembahasan yang disajikan kompres penciptaan alam semesta, Adam dan
Hawa, sejarah berbagai bangsa di berbagai daerah dan negara, para nabi dan rasul
sebelumnya, periode Pra-Islam, periode awal Islam sampai akhir hidupnya d i era Abbasiyah,
lebih tepatnya sampai tahun 302 H/915 M pada masa pemerintahan Khalifah al-Muqtadir
Billāh. Yang menarik dari karya ini adalah bahwa meskipun Tarikh al-Thabari adalah karya
sejarah, pembahasan yang disajikan dalam buku ini juga melibatkan banyak ilmu Islam awal
yang berbeda. Untuk beberapa derajat, karya itu juga berisi 'Ulum al-Qur'an, yang
melibatkan Al-Qur'an dan ilmu tafsīr, dan 'Ulūm al-Hadits, khususnya dalam bagaimana dia
menggunakan narasi haditsh sanad al-hadits. Selain itu, buku tersebut juga berisi literatur
Arab, termasuk puisi, korespondensi dan pidato, sebagai bagian dari kajian yang disajikan.
Keterlibatan ilmu-ilmu tersebut membuktikan bahwa interkoneksi-interkoneksi telah ada
dalam karya historiografi Islam awal. masalah dalam sejarah Islam, justru menjadi ciri khas
dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. (Di sini dijelaskan bahwa pada dasarnya At-
Thabari merupakan ilmuwan Muslim yang mahir pada berbagai disiplin keilmuan, di
antaranya mulai sejarah, tafsir, fiqih dan historiografi, salah satu karya At-Thabari
yakni Tarikh al-Thabarī).
Secara umum, kajian integrasi-interkoneksi dapat dipetakan ke dalam tiga kategori.
Kelompok pertama menekankan pentingnya kesatuan antara agama dan sains. Kelompok ini
menggunakan pendekatan kontekstual-filosofis yang dilandasi semangat ajaran Islam dan
tuntutan realitas kontemporer sebagaimana yang dilakukan oleh Amin Abdullah. Kelompok
kedua menegaskan penyatuan ilmu dengan menjadikan Islam dan peradaban Islam klasik
sebagai basis perspektif. seperti yang dilakukan oleh Mulyadi Kartanegara. Kelompok ketiga
memfokuskan pada kajian integrasi-interkoneksi dalam kaitannya dengan permasalahan yang
dihadapi dalam bidang keilmuan tertentu. Mereka menggunakan paradigma integrasi-
interkoneksi untuk mencoba memecahkan masalah yang dianalisis. Implementasi sistem
ekonomi Islam untuk mengatasi masalah sosial ekonomi yang nyata di masyarakat mungkin
bisa menjadi contoh yang cocok. (Di sini dijelaskan bahwa kajian integritas-interkoneksi
mempunyai fungsi untuk disiplin keilmuan untuk mencoba memecahkan masalah yang
dianalisis, dan lain sebagainya).
Penelitian ini termasuk dalam kelompok kedua. Namun, berusaha mengisi kekosongan
tersebut dengan mempelajari integrasi-interkoneksi ilmu dalam karya historiografi Islam awal
melalui Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk yang juga dikenal dengan Tārīkh al-Umam wa al-
Mulūk, al-Tārīkh al-Kabīr, atau Tārīkh al-Thabari dan masih banyak nama lain untuk karya
tersebut. Integrasi berarti menyatukan atau menjadi satu dari dua atau lebih entitas yang
berbeda, sedangkan interkoneksi berarti berhubungan satu sama lain. Dalam ranah akademik-
ilmiah, istilah integrasi yang dikemukakan Kartanegara adalah penyatuan ilmu agama dan
ilmu umum. Perkembangan gagasan integrasi-interkoneksi terkait erat dengan fakta bahwa
dikotomi masih ada, baik secara normatif-konseptual maupun sosial-empiris. Secara
normatif-konseptual, dikotomi tersebut tampak dalam diskursus keilmuan antara agama dan
sains, termanifestasi dalam hubungan yang saling bertentangan antara keduanya seperti
dikemukakan oleh Ian G. Barbour. Sementara itu, Abdullah melakukan penjabarannya secara
empiris-sosial dalam kajiannya pada empat kasus. yang muncul di Indonesia antara tahun
2012 dan 2013 M. (Di sini dijelaskan bahwa maksud dari integrasi adalah penyatuan
ilmu agama dan ilmu umum dan interkoneksi adalah hubungan satu sama lain. Dengan
demikian, integrasi-interkoneksi adalah hubungan dan penyatuan ilmu agama dengan
ilmu umum).
Dalam relasi ini, integrasi-interkoneksi menjadi upaya keilmuan untuk menyatukan dan
menghubungkan kembali antara agama dan sains secara sinergis, sehingga terbangun
paradigma non-dikotomis antara keduanya. Di sisi lain, kajian integrasi-interkoneksi juga
digunakan sebagai solusi alternatif untuk menghubungkan tradisi keilmuan dengan
permasalahan kontemporer. Sebagai bagian dari ilmu sejarah, historiografi mengkaji karya-
karya sejarah sebagai objek kajian dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan,
perkembangan, dan kemunduran penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah, baik dalam
konsep maupun pemikiran. Dengan demikian, historiografi Islam adalah bagian dari sejarah
Islam yang mempelajari karya-karya sejarah Islam untuk memahami perkembangan,
kemajuan dan kemunduran dalam penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah. Baik itu di
zaman klasik, abad pertengahan, atau di zaman modern. Berada direntang waktu 622 sampai
1258, Tārīkh al-Thabari dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok historiografi Islam klasik.
Keterlibatan ilmu-ilmu lain, selain sejarah, dalam kajiannya menjadikan Tārikh al-Thabarī
sebagai karya historiografi Islam klasik memiliki kualitas integrasi-interkoneksi ilmu,
khususnya di bidang agama dan humaniora. Namun, kajian sebelumnya pada pekerjaan
dibatasi pada tiga aspek berikut; aspek historis, metodologis, dan substansial yang berkaitan
dengan tema tertentu. (Sisi integrasi dan interkoneksi dalam karya historiografi Tarikh
al-Thabarī terbilang sangat ikonik. Karya yang diciptakan oleh At-Thabari seakan-
akan menginterpretasikan ilmu agama dan ilmu umum saling berkaitan).
Berfokus pada aspek kesejarahan, Chase Robinson mengkaji Tārikh al-Thabarī sebagai
sumber yang sangat berkontribusi terhadap Tarikh al-Mawshil karya al-Azdī yang sumber
narasinya dikutip dari karya al-Thabari. Mirip dengan itu, Muhidin Mulalic mengkaji konsep
sejarah menurut al-Thabari, Ulrika Mårtensson memfokuskan pada wacana dan analisis
Tārīkh al-Thabarī, Mohammad Luqman pada analisis sejarawan Arab pada era awal Islam,
dan Abdelkader Tayob tentang karakter politik dan moral para sahabat Nabi Muhammad
dalam Tarikh al-Thabarī. Kelompok-kelompok lain berfokus pada aspek metodologis. Azhar
Luthfurrahman Aftad tentang perbandingan metodologi al-Thabarī dan al-Mas῾udi, Ghayda
dan Munīrah tentang metodologi al-Thabari dalam penulisan sejarah awal kerajaan
'Abbasiyah. Marianna Klar membandingkan antara strategi metodologis al-Thabari dalam
penulisan tarikh dan tafsir. (Di sini dijelaskan Tarikh al-Thabarī memiliki berbagai
penjelasan mengenai sejarah Nabi Muhammad, para sahabat serta penguasa Dinasti
Abbasiyah, sehingga para ilmuwan banyak mengkaji tentang karya At-Thabari yakni
Tarikh al-Thabarī).
Karena itu, penelitian ini akan menghasilkan wawasan baru tentang integrasi-interkoneksi
ilmu-ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lainnya dalam Tarikh al-Thabarī. Metode sejarah yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat langkah; heuristik, verifikasi sumber,
interpretasi dan historiografi. Dalam heuristik, Tārīkh al-Thabarī diperiksa sebagai sumber
utama. Selain itu, kami juga menggunakan literatur terkait lainnya sebagai sumber sekunder,
termasuk manuskrip, buku, artikel ilmiah, dan karya lainnya. Mengenai sumber primer,
verifikasi sumber dilakukan melalui kritik internal dan eksternal. Kritik internal dilakukan
dengan mengamati dan menyeleksi naskah asli Tarikh al-Thabarī. Dalam hal itu, karya yang
pengantarnya dari mufassir, Muhammad Abū al-Fadil Ibrāhīm, dipandang sebagai karya yang
otentik. Sedangkan kritik eksternal dilakukan dengan memperhatikan dan mengamati aspek-
aspek eksternal teks, seperti kertas, tinta, dan sebagainya. Seperti yang dapat dilihat dalam
pengantar karyanya, Abū al-Fadil telah melakukan penyelidikan ini. Interpretasi dilakukan
dengan meninjau sumber dan data untuk menemukan makna yang tersirat dalam teks terkait
integrasi-interkoneksi yang selanjutnya kami jelaskan implikasinya. (Di sini dijelaskan
mengenai sumber-sumber apa saja yang dikaji dalam karya At-Thabari, Tarikh al-
Thabarī serta kritik-kritik yang ada di dalamnya).

Anda mungkin juga menyukai