Anda di halaman 1dari 15

EVALUASI PERENCANAAN DAN PENGADAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI

RUMAH SAKIT NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN BANYUWANGI PADA


BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2021

INDAH AYU LESTARI


202005026

PROGRAM STUDI D3 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, dengan
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan serta gawat darurat (Permenkes No 3,
2020). Pelayanan kesehatan rumah sakit tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan
kefarmasian (Permenkes No 3, 2020). Pelayanan kefarmasian merupakan sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien,
penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarat (Depkes RI, 2014).
Perlu adanya pengelolaan obat yang menyangkut dari perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan serta
laporan obat guna menjamin kelangsungan serta ketersediaan pelayanan obat yang
efesien, efektif , rasional dan bermutu berupa tepat pasien ,tepat obat, tepat dosis,
tepat cara pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan tepat harga (Maspekeh dkk.,
2018). Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus menentukan perencanaaan dan pengadaan
obat.
Perencanaan merupakan kegiatan dalam menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, serta bahan medis habis pakai sesuai dengan
hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jumlah, tepat jenis,
tepat waktu dan efisien (Febreani & Chalidyanto, 2016). Pengadaan merupakan suatu
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan obat sesuai dengan kebutuhan operasional yang
telah ditetapkan didalam proses perencanaan. Tujuan pengadaan obat adalah untuk
memenuhi kebutuhan obat di setiap unit pelayanan kesehatan (Rosmania, 2015).
Sistem perencanaan dan pengadaan obat yang tidak baik akan mengakibatkan
persediaan obat mengalami stagnant (kelebihan persediaan obat) dan stockout
(kekurangan atau kekosongan persediaan obat) (Rosmian, 2015), Sehingga obat akan
dibeli di apotek bahkan di rumah sakit lain keadaan ini menyebabkan kerugian serta
peningkatan biaya pada rumah sakit sehingga pasien akan mengalami pembengkakan
biaya (Anggriani dkk., 2020), selain itu waktu pelayanan obat di rumah sakit menjadi
lama karena adanya penggantian obat (Budiantoro, 2018), hal tersebut dapat
mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kapabilitas pelayanan kesehatan
di Rumah Sakit serta mutu pelayanan kesehatan rumah sakit menjadi menurun, terutama
mutu pelayanan di instalasi farmasi sehingga pelayanan farmasi kepada pasien menjadi
lebih lama serta tidak optimal. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit yaitu dengan adanya perencanaan dan pengadaan obat yang tepat (Pratiwi
dkk., 2017).
Terdapat beberapa tahapan yang digunakan dalam perencanaan dan pengadaan
obat antara lain yaitu tahap pemilihan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, tahap
ini bertujuan untuk menentukan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang sangat
diperlukan sesuai dengan kebutuhan, kemuadian tahap perhitungan kebutuhan
perbekalan farmasi, tahapan ini bertujuan untuk menghindari masalah kekosongan obat
atau kelebihan obat yang diharapkan perbekalan farmasi dapat tepat jenis, tepat jumlah,
dan tepat waktu, metode yang digunakan pada tahap perencanaan obat di Rumah Sakit
meliputi metode konsumsi, metode epidemiologi dan metode gabungan antara metode
konsumsi dengan metode epidemiologi. Metode konsumsi merupakan salah satu metode
yang sering digunakan di Rumah Sakit. (Rusli., 2017).
Menurut Nesi & Kristin (2018) di Indonesia masih banyak fasilitas kesehatan
yang mengalami kekurangan bahkan kekosongan stok obat hal tersebut disebabkan
karena terjadinya keterlambatan pengiriman serta penetapan harga yang tidak sesuai.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Suryatini., dkk (2016) yang dihasilkan bahwa
perencanaan dan pengadaan obat diRumah Sakit masih terdapat adanya keterlambatan
dalam pengiriman obat, pembayaran, distributor yang tidak menyanggupi penyediaan
obat karena tidak tersedianya bahan bakudan penetapan harga obat yang kurang tepat,
mengingat mutu pengembangan pelayanan kesehatan pada masyarakat dan begitu
banyaknya permasalahan-permasalahan yang terdapat pada pengelolaan obat di Rumah
Sakit maka perlu dilakukan perbaikan pengelolaan obat dengan metode hanlon, metode
ini merupakan alat yang digunakan untuk membandingakan berbagai masalah kesehatan
dengan cara relative bukan absolut, framework, seadil mungkin dan obyektif (Dewi
dkk., 2021), oleh karena itu digunakan metode hanlon dalam menjawab permasalahan
penentuan prioritas dengan menghitung 4 komponen kriteria, yakni A adalah
ukuran/besarnya masalah, komponen B adalah tingkat keseriusan masalah, komponen C
adalah kemudahan penanggulangan masalah dan komponen D adalah faktor yang
menentukan dapat tidaknya program dilaksanakan (Dewi dkk., 2021).
Rumah Sakit Nahdlatul Ulama’ Banyuwangi (RSNU Banyuwangi) merupakan
suatu institusi yang memperoleh dukungan dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang
dapat dilihat dari fasilitas yang dimiliki diantaranya memiliki luas bangunan cukup besar
kurang lebih sekitar 3.740 m2 sehingga dapat menampung jumlah pasien yang cukup
banyak. Setiap bulan kunjungan pasien terus meningkat sehingga mengakibatkan
permintaan obat di Instalasi Farmasi RSNU Banyuwangi semakin meningkat, RSNU
Banyuwangi turut melaksanakan upaya perbaikan kesehatan serta peningkatan mutu
pelayanan kesehatan pada masyarakat, maka perlu dilakukan evaluasi perencanaan dan
pengadaan obat akan tetapi di Instalasi Farmasi RSNU Banyuwangi belum pernah
dilakukan evaluasi perencanaan serta pengadaan obat (Anonim, 2018).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Perencanaan dan Pengadaan Obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021.
Dengan tujuan untuk untuk mengevaluasi pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi yang meliputi tahap perencaan dan
pengadaan obat serta mengetahui cara perbaikan pengelolaan obat dengan menggunakan
metode Hanlon.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tingkat kesesuaian perencanaan dan pengadaan terhadap standar
pelayanan di Instalasi Farmasi Rumah Rumah sakit Nahdlatul Ulama
Kabupaten Banyuwangi ?
2. Bagaimana strategi perbaikan perencanaan dan pengadaan obat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian dari perencanaan dan pengadaan obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi pada
tahun 2021
2. Untuk mengetahui bagaimana cara strategi perbaikan perencanaan dan
pengadaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Kabupaten
Banyuwangi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit


Menurut Permenkes RI Nomor 3 Tahun 2020 rumah sakit merupakan institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,
2.1.1 Kewajiban Rumah Sakit
1. Memberikan informasi pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat.
2. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah
Sakit.
3. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
4. Memliki peran aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana.
5. Menyediakan sarana dan pelayanan yang baik untuk masyarakat tidak mampu.
6. Menjalankan fungsi sosial dengan cara memberi fasilitas pelayanan kepaa pasien
yang tidak mampu, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,
pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial.
7. Melaksanakan, dan menjaga mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan
dalam melayani Pasien.
8. Menyelenggarakan rekam medis.
9. Menyediakan sarana cian prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusrri, anak-anak, dan
lanjut usia.
10. Melaksanakan sistem rujukan.
11. Menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
ketentuan peraturan perund ang-urrdangan.
12. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban
Pasien.
13. Menghormati serta melindungi hak Pasien (Peraturan Pemerintah,2021).

2.1.2 Tujuan Rumah Sakit


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit adalah :
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
rumah sakit, dan Rumah Sakit.

2.1.3 Fungsi Rumah Sakit


Menurut undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah
sakit adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan seuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahan bidang kesehatan.
2.1 Akreditasi Rumah Sakit
2.2.1 Definisi
Program akreditasi rumah sakit di Indonesia dimulai pada sejak tahun 1996 yang
mana merupakan pelaksanaan dari sistem kesehatan nasional (SKN) (Hasibuan,
2019). Akreditasi rumah sakit merupakan pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah
Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi standar
akreditasi (Permenkes No 12, 2020). Pedoman standar akreditasi berisi tingkat
pencapaian yang harus dipenuhi oleh Rumah Sakit dalam meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien (Permenkes No 12, 2020).
Pentingnya akreditasi bagi rumah sakit yaitu akreditasi dapat menjadi forum
komunikasi dan konsultasi antara rumah sakit dengan lembaga akreditasi yang akan
memberikan saran perbaikan untuk peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, melalui
self evaluation rumah sakit dapat mengetahui pelayanan yang berada pada bawah
standar, penting untuk penerimaan tenaga kerja, menjadi salah satu alat negosiasi
dengan perusahaan asuransi kesehatan, alat memasarkan kepada masyarakat, suatu
saat pemerintah akan mensyaratkan akreditasi sebagai kriteria untuk memberi ijin
rumah sakit, meningkatkan citra dankepercayaan di rumah sakit (Hasibuan, 2019).
2.2.2 Tujuan Akreditasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 tahun 2020 mengatakan bahwa
tujuan dari akreditasi Rumah Sakit yaitu :
1. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkelanjutan dan melindungi
keselamatan pasien Rumah Sakit.
2. Meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di Rumah Sakit,
dan Rumah Sakit sebagai institusi.
3. Meningkatkan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis.
4. Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.

2.2 Standar Pelayanan Kefarmasian


2.3.1 Definisi
Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan yang digunakan sebagai pedoman
untuk tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di rumah
sakit (Permenkes, 2016). Menurut Permenkes (2016) mengatakan
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Standar pelayanan farmasi sangat diperlukan dalam melaksanakan
pelayanan kefarmasian yaitu untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian,
menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan melindungi pasien dan
masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(Permenkes No 72, 2016).
2.3.2 Tujuan Pelayanan Kefarmasian.
1. Melakukan pelayanan kefarmasian dengan baik dalam kondisi biasa ataupun dalam
kondisi gawat darurat sesuai dengan kondisi pasien maupun fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional sesuai dengan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) kepada pasien yang akan
mengkonsumsi atau menerima obat, sesuai dengan obat yang pasien terima.
4. Melaksanakan sistem untuk mengawasi obat berdasarkan aturan yang berlaku.
5. Melakukan pelayanan farmasi yang bermutu melalui analisa, telaah resep dan evaluasi
pelayanan.
6. Memberikan pelayanan bermutu kepada pasien (Kepmenkes, 2004).

2.3.3 Sarana Pelayanan Kefarmasian


Pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus di dukung oleh sarana dan peralatan
yang memenuhi ketentuan dan perundang – undangan kefarmasian yang berlaku.
Lokasi yang digunakan harus menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit, dan
dipisahkan antara fasilitas untuk penyelanggaraan manajemen, pelayanan langsung
kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang dilengkapi
penanganan limbah(Permenkes No 58, 2014).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 72 (2016) mengakatan bahwa
pelayanan kefarmasian harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian,
pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatn pasien, dan standar prosedur
operasional, sumber daya kefarmasian yang dimaksud yaitu sumber daya manusia dan
sarana serat perlatan.
Fasilitas sarana instalasi farmasi yaitu ruang harus memadai dalam hal kualitas
dan kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan proses pelayanan kefarmasian,
menjamin lingkungan kerja yang aman untuk petugas dan memudahkan sistem
komunikasi rumah sakit (Permenkes No 58, 2014). Fasilitas utama dalam kegiatan
pelayanan di instalasi farmasi yaitu ruang kantor/administrasi, yang terdiri dari :
1. Ruang pimpinan.
2. Ruang staf.
3. Ruang kerja tata usaha.
4. Ruang pertemuan.
5. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
Rumah sakit harus mempunyai ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan habis pakai yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
serta harus memperhatikan kondisi sanitasi, tempratur, sinar/cahaya, kelembaban,
ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan yang terdiri dari :
1. Kondisi umum dan khusus untuk ruang penyimpanan.
2. Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
terdiri dari distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
rawat jalan (apotek rawat jalan) dan rawat inap (satelit farmasi)(Permenkes No 58,
2014).
2.3.4 Perencanaan Obat
Menurut Kemenkes (2019) Perencanaan merupakan kegiatan seleksi obat yang
dapat menentukan jumlah obat dalam rangka pengadaan, tujuan dari perencanaan
pengadaan obat antara lain:
1. Jumlah dan jenis obat yang sesuai kebutuhan.
2. Menghindari akan terjadi kekosongan obat.
3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Tahapan dalam proses perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit :


1. Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana kebutuhan
obat :
a. Perlu dipastikan kembali program dan komoditas apa yang akan disusun
perencanaannya.
b. Perlu ditetapkan stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan,
diantaranya adalah pemegang kebijakan dan pemasok/vendor.
c. Daftar obat harus sesuai Formularium Nasional dan Formularium Rumah Sakit.
Formularium rumah sakit yang telah diperbaharui secara teratur harus menjadi
dasar untuk perencanaan, karena daftar tersebut mencerminkan obat yang
diperlukan untuk pola morbiditas terkini.
d. Perencanaan perlu sekali untuk memerhatikan waktu yang dibutuhkan untuk
mengestimasi periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan
memperhitungkan lead time.
e. Ketersediaan anggaran dan rencana pengembangan jika ada.
2. Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat pasien periode
sebelumnya (data konsumsi), sisa stok, data morbiditas dan usulan kebutuhan obat
dari unit pelayanan.
3. Analisa terhadap usulan kebutuhan meliputi :
a. Spesifikasi item obat.
b. Jika spesifikasi item obat yang diusulkan berbeda dengan data penggunaan
sebelumnya, dilakukan konfirmasi ke pengusul.
c. Kuantitas kebutuhan.
Jika kuantitas obat yang diusulkan jauh berbeda dengan penggunaan periode
sebelumnya, harus dilakukan konfirmasi ke pengusul.
4. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan metode yang
sesuai.
5. Melakukan evaluasi rencana kebutuhan menggunakan analisis yang sesuai.
6. Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
7. IFRS menyampaikan draft usulan kebutuhan obat ke manajemen rumah sakit untuk
mendapatkan persetujuan. (Kemenkes.,2019),

Manajemen pengelolaan obat meliputi :


1. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan dalam menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, serta bahan medis habis pakai sesuai
dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jumlah, tepat jenis, tepat waktu dan efisien (Febreani & Chalidyanto, 2016).
Adapun tujuan perencanaan menurut (Permenkes, 2016) antara lain :
a. Perkiraan jumlah adan jenis sediaan farmasi serta bahan medis habis pakai
hampir mendekati kebutuhan.
b. Meningkatkan penggunaan obat yang rasiaonal.
c. Meningkatkan efisiensi dari penggunaan obat.
2. Pengadaan
Pengadaan adalah suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan obat sesuai
dengan kebutuhan operasional yang telah ditetapkan didalam proses perencanaan
(Febreani & Chalidyanto, 2016).
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk menjamin
jumlah mutu, jenis spesifiksasi waktu penyerahan serta harga yang tertera di surat
pesanan serta kondisi fisik yang diterima beserta faktur (Kemenkes RI,2016)
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan untuk menyimpan serta memelihara obat
dengan cara menempatkan obat – obatan yang diterima pada sebuah tempat yang
dinilai aman dari pencurian dan ganguan fisik yang dapat mengganggu terjaminnya
mutu obat (Kemenkes.,2019). Obat / bahan obat sebaiknya disimpan dalam wadah
asli dari pabrik.
5. Pemusnahan
Obat kadaluwarsa atau yang sudah rusak wajib dimusnahkan sesuai dengan
bentuk dan jenis sediannya. Pemusnahan obat kadaluwarsa yang mengandung
narkotika dan psikotropika harus dilakukan oleh seorang Apoteker dan disaksikan
langsung oleh Dinas kesehatan Kabupaten / Kota. Pemusnahan obat selanjutnya,
selain narkotika serta psikotropika dapat dilakukan oleh seorang Apoteker serta
disaksikan langsung oleh tenaga kefarmasian lainnya yang memliki surat izin
praktik ataupun surat izin kerja. Pemusnahan tersebut dapat dibuktikan dengan
membuat berita acara pemusnahan menggunakan formulir 1 sebagaimana yang
terlampir (Kemenkes RI, 2016).
6. Pengendalian
Pengendalian persediaan dilakukan untuk mempertahankan jumlah dan jenis
persediaan harus sesuai dengan kebutuhan pelayanan, melalui sistem pesanan
maupun pengadaan, penyimpanan serta pengeluaran (Kemenkes RI, 2016).
7. Pencatatan Pelaporan
Pencatatan dapat dilakukan di setiap proses sediaan farmasi, Bahan habis
pakai, Serta alat kesehatan yang terdiri dari pengadaan (faktur, surat pesanan),
penyerahan (nota maupun struk penjualan), penyimpanan (kartu stok), yang sesua
dengan kebutuhan.(Kemenkes RI, 2016)

2.3.5 Pengadaan obat


Pengadaan obat merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan obat yang
telah direncanakan dan telah disetujui oleh pihak rumah sakit, melalui Pembelian,
Produksi/pembuatan sediaan farmasi, dan sumbangan/droping/ hibah. Pembelian obat
di Rumah Sakit harus berdasarkan pada kriteria berikut : mutu produk, reputasi
produsen, distributor resmi, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu
pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan,
dan pengemasan (Kemenkes.,2019).
Ada 4 metode pada proses pembelian :
1. Tender terbuka, berlaku untuk semua distributor yang terdaftar, dan sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga metode ini lebih
menguntungkan. Untuk pelaksanaannya memerlukan staf yang kuat, waktu yang
lama serta perhatian penuh.
2. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada
distributor tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik. Harga
masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih ringan bila dibandingkan
dengan lelang terbuka.
3. Pembelian dengan tawar menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak banyak
dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu.
4. Pembelian langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga tertentu,
relatif agak lebih mahal.
Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
mengatakan bahwa dalam hal obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam Katalog
Elektronik (E-Katalog) obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya
sebagaimana diatur dalam.
Tahapan pengadaan obat pada RS yang melayani peserta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) :
1. Kepala Instalasi Farmasi menentukan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan
selanjutnya menyampaikannya kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
2. Skrining dan klasifikasi RKO, identifikasi obat yang ada di E-katalog dan yang
tidak masuk E-katalog.
3. Obat E-katalog dapat langsung dibuat pesanan ke sistem Elektronik Purchasing.
4. Melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah disetujui dengan
distributor yang ditunjuk oleh penyedia obat/industri farmasi.
5. Dalam hal obat yang ada di E-Katalog tidak dapat disediakan oleh penyedia, maka
pengadaan dilakukan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.3 Metode Hanlon


2.4.1 Definisi
Metode hanlon adalah metode yang lebih tepat jika daftar outcome dari tujuan
yang ingin dicapai tersedia dari daftar prioritas yang ada dengan data yang memadai
dan system penilaian.
Metode hanlon lebih tepat digunakan untuk menentukan prioritas masalah
kesehatan dengan memperhatikan teknik responsive dimana tujuan yang dicapai dari
program jelas yang dituangkan dalam criteria dan faktor-faktor lain yang
memungkinkan.
Ada 3 aspek penting dalam menetukan prioritas masalah pada metode hanlon :
1. Besarnya masalah.
2. Keseriusan masalah.
3. Efektif intervensi yang diberikan.
2.4.2 Langkah dan cara perbaikan Hanlon
Perbaikan manajemen diawali dengan mengidentifikasi masalah dan solusi
manajemen obat yang terdiri atas seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
distribusi dan penggunaan. Kemudian, dilakukan pemberian skor (bobot) atas
serangkaian kriteria A, B, C dan D (PEARL). Setelah serangkaian kriteria tersebut
berhasil diisi, maka selanjutnya dihitung nilai Basic Priority Rating (BPR) dan
Overall Priority Rating (OPR) dengan rumus sebagai berikut :
BPR (Basic Priority Rating) = (A + B) C/3
OPR (Overall Priority Rating)= [(A + B) C/3] x D
Keterangan :
A = skor 0–10(kecil–besar)
B = skor 0 – 10 ( tidak serius – sangat serius )
C = skor 0–10 (sulit–mudah)
D = skor 0 ( ya ) dan 1 ( tidak )
Skor dengan nilai Overall Priority Rating (OPR) tertinggi adalah prioritas
pertama penangan masalah. Penilaian dilakukan untuk A (besar permasalahan), B
(kegawatan masalah), C (kemudahan masalah). Pemberian point dari nilai 0-10
dilakukan wawancara mendalam kepada kepala IFRS, menentukan nilai 0-10 setelah
dilakukan analisis terhadap seleksi, pengadaan, distribusi, dan penggunaan. Pemberian
skor 0-10 (Wati dkk.,2021).
Skala prioritas yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tiap tahapan
manajemen pengelolaan obat antara lain sebagai berikut:
1. Membetuk Panitia Farmasi Terapi (PFT), untuk menyusun formularium dan
untuk memilih obat yang memenuhi stnadar efficacy, safety serta berbagai
kriteria dalam seleksi obat (Wati dkk.,2021).
2. Memberikan masukan berbasis data kepada pemerintah daerah untuk
melibatkan instalasi farmasi rumah sakit dalam proses pengadaan sehingga
proses pengadaan obat menjadi bagian integral dan obat akan menjadi produk
teraupetik dan bukan barang (komoditas bisnis) (Wati dkk.,2021).
3. Perlu adanya pengusulan kenaikan anggaran pengadaan obat kepada
pemerintah supaya ketersediaan obat dapat terpenuhi (Wati dkk.,2021).
4. Menggunakan data sisa persediaan tahun lalu dan data penggunaan periode
yang lalu sebagai dasar perencanaan (Wati dkk.,2021).
5. Perlu adanya sistem informasi manajemen didalam mengawasi dan menjamin
kualitas obat dan kondisi stock sehingga terhindar dari kekosongan obat (Wati
dkk.,2021).
6. Melakukan perencanaan obat dengan selektif yang mengacu pada prinsip
efektif, aman, ekonomis, dan rasional (Wati dkk.,2021).
7. Menggunakan 10 penyakit teratas didalam proses seleksi dan perencanaan
(Wati dkk.,2021).
8. Mengadakan/mengikutsertakan tenaga intalasi farmasi didalam kegiatan
pelatihan mengenai inventory control management (Wati dkk.,2021).
9. Mengoptimalkan sistme penerapan satu pintu disertai dengan sarana dan
prasarana serta sumber daya manusi yang menunjang serta mengevaluasi dan
melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan
dengan kebutuhan rumah sakit serta mengacu pada prinsip efektif, aman,
ekonomis dan rasional (Wati dkk.,2021).
10. Melakukan koordinasi rutin kepada supplier atau distributor dan bekerjasama
dengan beberapa apotek diluar (Wati dkk.,2021).
11. Harus memilih supplier secara selektif yang memenuhi aspek mutu produk
yang terjamin, aspek legal dan harga murah (Wati dkk.,2021).
12. Pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap bulan agar dapat diketahui
adanya obat yang merupakan stock mati (Wati dkk.,2021).
13. Menetapkan standard operating procedure (SOP) dan waktu pengadaan obat
melalui pembelian langsung (Wati dkk.,2021).
DAFTAR PUSTAKA

Anggriani, Y., Rosdiana, R., & Khairani, S. (2020). Evaluasi Perencanaan dan
Pengadaan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Kabupaten
Cianjur. Jurnal Farmasi Indonesia .

Maspekeh, h., satibi, & widodo, g. p. (2018). Evaluasi Perencanaan dan Pengadaan
Obat Publik Serta Ketersediaan Obat di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Daerah
Kota Tomohon Tahun 2016. Jurnal farmasi & sains indonesia, november 2018.

Nesi, G., & Kristin, E. (2018). Evaluasi Perencanaan Dan Pengadaan Obat Di
Instalasi Farmasi Rsud Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara. JKKI.

Depkes RI , 1990. Pedoman Perancanaan Dan Pengelolaan Obat Diktorat Jenderal


Pengawasan Obat Dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai