Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

KONSEP KETUHANAN DAN TUHAN YANG MAHA ESA- MENURUT PERSPEKTIF


KEINDONESIAAN DAN TINJAUAN AJARAN AGAMA ISLAM

Diajukan sebagai memenui Tugas Pada Mata Kuliah Pendidikan Agama


(MKU60101-20221)

Oleh

NAMA : NOFRI HARDI SAPUTRA


BP/NIM : 2022/
PRODI : S1 Hukum (Kelas Nagari)
JABATAN : WALI NAGARI SUNGAI ASAM
ALAMAT : Pasa Minggu Sungai Asam, Nagari Sungai
Asam, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung,
Kabupaten Padang Pariaman, 25584

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MOHAMMAD NATSIR
YARSI SUMATERA BARAT
BUKITTINGGI
2022
KATA PENGANTAR

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Semesta Alam atas
Berkat Rahmad dan Karunianya sehingga Penulis mampu menyelesaikan
Makalah ini dengan Harapan agar Penulis diharapkan dapat mengetahui konsep
Ketuhanan dan Tuhan Yang Maha Esa menurut perspektif keindonesiaan dan
tinjauan ajaran agama Islam. Manfa'at dari pemahaman yang baik dan benar
terhadap tema ini adalah Penulis bisa mendapatkan informasi yang bisa
membinbing Penulis untuk mewujudkan kerukunan ummat beragama dan
setelah itu Penulis bisa melaksanakan tugas-tugas kita sebagai seorang muslim
yang ideal.
Penulis menyadari, bahwa penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan
bagi semua pembaca demi kesempurnaan tulisan ini. Terima Kasih.

Sungai Asam, 06 Oktober 2022


Penulis

NOFRI HARDI SAPUTRA


BAB I
Pendahuluan

Manusia, sejak mula pertama sejarah pemikiran, sudah mengenal


adanya suatu kekuatan-kekuatan yang mengatasi manusia, suatu yang
dianggap mahakuasa, dapat mendatangkan kebaikan ataupun kejahatan serta
dapat mengabulkan doa dan keinginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang Tuhan sudah sejak dini dimiliki oleh manusia.
Masyarakat manusia diberbagai tempat mengenal adanya kekuatan-kekuatan
supranatural, orang melanesia menyebutnya mana, orang Jepang
menyebutnya kami, orang India menyebutnya , orang Indian Amerika
menyebutnya wakan,orenda dan maniti. dan dalam bahasa Indonesia disebut
tuhan yang mereka yakini kekuatan-kekuatan tersebut berada pada tempat-
tempat tertentu seperti batu, pohon besar, binatang, atau gunung. Perasaan
dan keyakinan adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan lebih tinggi, yang
tidak dapat dijangkau dan dikuasai manusia itu oleh Rudolf Otto disebut
niminous, yang merupakan dasar bagi setiap agama.
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama. Dari
konsep Tuhan inilah, kemudian dijabarkan konsep-konsep lain dalam agama,
baik konsep tentang manusia, konsep tentang kenabian, konsep tentang wahyu,
konsep tentang alam, dan sebagainya. Karena itu, setiap berbicara
tentang ”agama”, maka mau tidak mau, yang pertama kali perlu dipahami adalah
konsep Tuhannya. konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu
dalam al-Quran yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam
memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-
agama lain.
Berdasarkan ini maka disusun sebuah Makalah dengan Judul : KONSEP
KETUHANAN DAN TUHAN YANG MAHA ESA MENURUT PERSPEKTIF
KEINDONESIAAN DAN TINJAUAN AJARAN AGAMA ISLAM.
BAB II
Pembahasan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata ketuhanan


adalah sifat keadaan Tuhan. Arti lainnya dari ketuhanan adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan Tuhan. Contoh: Hal-hal ketuhanan, yang
berhubungan dengan Tuhan, ilmu ketuhanan, ilmu mengenai keadaan Tuhan dan
agama, dasar ketuhanan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sila pertama dalam Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” (KYMA)
adalah kalimat rumusan politik (political redactions), yang disepakati oleh the
founding fathers kita. KYMA tidak memiliki doktrin tersendiri di luar dari doktrin
yang dianut di dalam agama para pemeluk agama di Indonesia. Sorotan paling
tajam terhadap konsep Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)
sebagaimana pernah dipompakan pada masa pemerintahan Orde Baru, tentu
ada maksud baik di sana, tetapi dikesankan banyak pihak sebagai indoktrinasi
Pancasila. Indoktrinasi bisa dipahami sebagai sakralisasi nilai-nilai provan.
Sehingga, pada saatnya Pancasila yang tadinya hanya dianggap sebagai rumusan
provan tiba-tiba dipromosikan menjadi rumusan sakral. Sakralisasi nilai-nilai
provan bukannya mengangkat nilai-nilai itu, tetapi malah sebaliknya bisa
menjatuhkan dirinya sendiri.
Jika Pancasila disakralkan, tentu akan berhadapan dengan nilai-nilai
agama yang diyakini sebagai nilai-nilai sakral bagi pemeluknya. Jika demikian
adanya, wajar jika muncul reaksi keras dari penganut agama karena ada nilai-nilai
baru yang akan merongrong keberadaan nilai-nilai yang sudah berurat berakar di
dalam jiwa dan pikirannya. Dengan kata lain, sakralisasi Pancasila berpotensi
menyebabkan desakralisasi ajaran agama yang menjadi keyakinan doktrinal para
pemeluknya.
Namun, tidak boleh atas nama atau demi kemurnian agama, misalnya,
agama Islam, Pancasila ditolak. Selama Pancasila tetap dalam eksistensinya
sebagai nilai-nilai proven, maka tidak ada alasan untuk menolak Pancasila dari
sudut logika manapun. Doktrin setiap agama, khususnya Islam, adalah doktrin
terbuka, dalam arti menerima nilai-nilai luar untuk mendandani dirinya,
sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Alhikmath dhalatun lil muk’min fahaitsu
wajadaha fahuwa ahaqqu biha”. (Hikmah atau keluhuran ada dimana-mana dan
diperuntukkan untuk orang beriman, di manapun kalian temukan, maka
ambillah). Nabi Muhammad SAW juga pernah menegaskan kapasitas dirinya
dengan mengatakan, “Innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq”. (Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak), artinya Nabi bukan untuk memulai
sesuatu yang baru, tetapi untuk menyempurnakan yang sudah ada, menambah
yang kurang, menghiasi yang kurang indah, meluruskan yang bengkok,
membersihkan yang kotor, melunakkan yang keras yang seharusnya lunak, dan
mengeraskan yang lunak yang seharusnya keras.
Keberadaan sila pertama, KYME, meskipun bukan kalimat sakral dari segi
rumusan kata, tetapi menjadi sakral jika rumusannya dipinjam untuk
mengungkapkan keadaan batin setiap umat beragama untuk menggambarkan
suasana kebatinannya terhadap Tuhannya. Keadaan ketuhanan para pemeluk
yang menyembah Tuhan hanya satu (esa) bisa saja menggambarkan suasana
bantinnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya yang bersangkutan
berketuhanan dengan dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pola relasi antara agama dan Pancasila sebaiknya berdasarkan pola relasi
fungsional dan struktural. Secara fungsional karena nilai-nilai Pancasila bisa
dianggap sebagai artikulasi dan sekaligus wahana untuk mewujudkan doktrin
ajaran agama (the tool of values), dan agama tetap pada fungsinya yang terusik
sebagai sumber nilai-nilai sakral (the resouces of values). Dengan logika seperti
ini Pancasila tidak perlu lagi dikhawatirkan menjadi apa yang pernah
diungkapkan Hegel sebagai “sebuah kekuatan dalam” (inner werkande gaist) di
dalam konsep nasionalisme Hegel yang akan menggilas seluruh nilai-nilai yang
berasal dari luar dirinya. Fenomena ini pernah dikesankan di zaman Ali Murtopo
memiliki power otoritas lebih besar pada zamannya. Zaman itu, aktivis dan
pemikir umat beragama resah karena Pancasila dibayangkan akan menjurus
kepada perlakukan nilai-nilai agama dari luar sebagai “imigran gelap” yang tidak
boleh menjadi in house values di dalam NKRI. Pancasila jika nilai-nilainya ingin
hidup di Indonesia.
Pola pendekatan negasi (principle of negation) seperti kebiasaan Hegelian
tidak cocok untuk dijadikan sebagai dasar logika bagi sebuah bangsa yang
majemuk seperti Indonesia. Sebaliknya yang paling kompatibel ialah pendekatan
titik temu (principle of identity) atau istilah yang diperkenalkan dalam QS Ali
‘Imran [3]: 64 ialah, “Ta’alau ila kalimatin sawa’.” (kembali ke titik yang sama).
Doktrin ajaran agama seperti ini tentu sangat sesuai atau tidak boleh
dipertentangkan dengan akronim budaya luhur kita, Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetapi tetap satu).
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah (bahasa Arab: ‫ )هللا‬dan diyakini
sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan
Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam
menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa
(tauhid).[3] Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha
Kuasa.[4] Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:
"nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang
berbeda.[5][6] Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas.[7] Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal
dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha
Penyayang" (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu
tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut
ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk
apa pun.[8] Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha
Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103)
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun
juga Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia
daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan
memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia
memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.” Islam
mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang
disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya
seperti Kristen dan Yahudi. Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh
kalangan kedua agama tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Surah Al Imran ayat 64 dan Al-'An'am ayat 103

Undang Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea 4

https://www.neliti.com/publications/177914/konsepsi-ketuhanan-sepanjang-
sejarah-manusia
https://www.uinjkt.ac.id/konsep-keesaan-tuhan-perspektif-pancasila/

Republika, https://www.uinjkt.ac.id/konsep-keesaan-tuhan-perspektif-pancasila/

https://id.wikipedia.org/wiki/Allah_(Islam)

Anda mungkin juga menyukai