ANALISIS PRINSIP LAND USE, LAND DEVELOPMENT, LAND TENURE, DAN LAND VALUE DALAM PENATAAN RUANG DAN PENGELOLAAN AGRARIA
ABSTRAK
Pada RPJMN 2015-2019, pemerintah mendorong pembangunan 14 kawasan industri prioritas di luar Jawa. “Artinya dalam lima tahun ke depan, pemerintah konsisten untuk terus
mendorong pengembangan industri di luar Pulau Jawa,” tambahnya. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah mengusulkan 19 kawasan industri prioritas di luar Jawa. Ke-19 kawasan
industri itu meliputi Kawasan Industri Sei Mangkei (Simalungun, Sumatera Utara), Kawasan Industri Kuala Tanjung (Batubara, Sumatera Utara), Kawasan Industri Galang Batang (Bintan,
Kepulauan Riau), Kawasan Industri Bintan (Bintan, Kepulauan Riau), dan Kawasan Industri Kemingking (Muaro Jambi, Jambi). Kemudian Kawasan Industri Tanjung Enim (Muara Enim,
Sumatera Selatan), Kawasan Industri Pesawaran (Pesawaran, Lampung), Kawasan Industri Way Pisang (Way Pisang, Lampung), Kawasan Industri Sadai (Bangka Selatan, Bangka Belitung),
Kawasan Industri Ketapang (Ketapang, Kalimantan Barat), dan Kawasan Industri Surya Borneo (Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Berikutnya, Kawasan Industri Buluminung
(Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur), Kawasan Industri Tanah Kuning (Bulungan, Kalimantan Utara), Kawasan Industri Batulicin (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan), Kawasan Industri
Jorong (Tanah Laut, Kalimantan Selatan), dan Kawasan Industri Bangkalan (Madura, Jawa Timur). Selanjutnya, Kawasan Industri Weda Bay (Halmahera Tengah, Maluku Utara), Kawasan
Industri Palu (Palu, Sulawesi Tengah), dan Kawasan Industri Bintuni (Teluk Bintuni, Papua Barat). Agus mengutarakan pengembangan kawasan industri prioritas tahun 2020-2024 ini
difokuskan pada industri berbasis agro, minyak dan gas bumi, logam dan batubara serta industri teknologi tinggi dan aerospace.
Pada RPJMN 2015-2019, pemerintah mendorong pembangunan 14 kawasan industri prioritas di luar Jawa. “Artinya dalam lima tahun ke depan, pemerintah konsisten untuk terus
mendorong pengembangan industri di luar Pulau Jawa,” tambahnya. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah mengusulkan 19 kawasan industri prioritas di luar Jawa. Ke-19 kawasan
industri itu meliputi Kawasan Industri Sei Mangkei (Simalungun, Sumatera Utara), Kawasan Industri Kuala Tanjung (Batubara, Sumatera Utara), Kawasan Industri Galang Batang (Bintan,
Kepulauan Riau), Kawasan Industri Bintan (Bintan, Kepulauan Riau), dan Kawasan Industri Kemingking (Muaro Jambi, Jambi). Kemudian Kawasan Industri Tanjung Enim (Muara Enim,
Sumatera Selatan), Kawasan Industri Pesawaran (Pesawaran, Lampung), Kawasan Industri Way Pisang (Way Pisang, Lampung), Kawasan Industri Sadai (Bangka Selatan, Bangka Belitung),
Kawasan Industri Ketapang (Ketapang, Kalimantan Barat), dan Kawasan Industri Surya Borneo (Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Berikutnya, Kawasan Industri Buluminung
(Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur), Kawasan Industri Tanah Kuning (Bulungan, Kalimantan Utara), Kawasan Industri Batulicin (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan), Kawasan Industri
Jorong (Tanah Laut, Kalimantan Selatan), dan Kawasan Industri Bangkalan (Madura, Jawa Timur). Selanjutnya, Kawasan Industri Weda Bay (Halmahera Tengah, Maluku Utara), Kawasan
Industri Palu (Palu, Sulawesi Tengah), dan Kawasan Industri Bintuni (Teluk Bintuni, Papua Barat). Agus mengutarakan pengembangan kawasan industri prioritas tahun 2020-2024 ini
difokuskan pada industri berbasis agro, minyak dan gas bumi, logam dan batubara serta industri teknologi tinggi dan aerospace.
Faktor kunci industrialisasi meliputi tanah, tenaga kerja, modal, teknologi dan koneksi. Tanpa pasokan besar dari elemen-elemen tersebut dan kemampuan mengaturnya, masyarakat
tidak dapat berkembang menjadi masyarakat industri. Tanah Tanah merujuk bukan hanya permukaan yang digunakan untuk pertanian, pabrik atau sarana transportasi. Apa yang ada di
pg. 1
bawah tanah terutama mineral adalah penting. Kandungan material mentah membantu industri suatu negara menjadi berkembang. Baca juga: Menyelisik Peran Industri Hulu Migas untuk
Pembangunan Daerah 2. Tenaga kerja Tenaga kerja adalah elemen manusia dalam industrialisasi. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Pada awal
perusahaan bekerja, banyak tenaga dibutuhkan. Faktor manusia ini juga meliputi para pelaku usaha, atau orang yang membuat keuangan, mengelola materi dan pekerja, operasional dan
lainnya. 3. Modal Modal adalah uang, mesin produksi, dan perusahaan itu sendiri. Halaman Selanjutnya Modal memungkinkan pekerja mendapatkan izin.
A. PENDAHULUAN
Penulis Yohanes Enggar Harususilo | Editor Yohanes Enggar Harususilo KOMPAS.com - Kebudayaan dipandang menjadi kunci masa yang berdampak luas bagi masa depan Indonesia
dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0. "Kebudayaan menjadi kunci masa depan yang memiliki dampak luas, termasuk dampak ekonomi. Dan budaya bisa menjadi nilai
sumber kehidupan, membangun integritas moral yang berbasis nilai budaya," ujar Gubernur Bali I Wayan Koster saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Kebudayaan di Bali (18/12/2019).
I Wayan Koster meyakini jika kebudayaan akan menjadi penentu masa depan Indonesia dalam menghadapi arus global revolusi industri 4.0. Kebudayaan juga dinilai sebagai salah satu
elemen dasar dimiliki Indonesia, bilamana dikelola dengan tata yang baik menjadi penentu masa depan. Namun sayangnya, ia melihat kekayaan kebudayaan Indonesia masih belum
dikelola secara serius.
Pemerintah Fokus Bangun 19 Kawasan Industri Prioritas Kompas.com - 19/12/2019, 19:34 WIB . Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah gencar meningkatkan
investasi di sektor industri. Hal ini direalisasikan lewat pembangunaan kawasan industri. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasismita
pada acara Temu Dialog Pengembangan Industri Prioritas di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Saat ini, terdapat 103 kawasan industri yang telah beroperasi dengan cakupan wilayah seluas
55.000 hektare. Sebanyak 58 di antaranya berada di Pulau Jawa, sisanya tersebar di Pulau Sumatera (33 kawasan industri), Kalimantan (8), dan Sulawesi (4). “Terdapat 15 kawasan industri
yang masih dalam proses konstruksi dan 10 kawasan industri pada tahap perencanaan,” ujarnya. Agus menuturkan langkah tersebut diambil sesuai dengan arahan Presiden Joko
Widodo kepadanya untuk menciptakan atau mengembangkan kawasan industri di seluruh wilayah Indonesia. “Sejak tahun 2014, ada peningkatan hingga 20 kawasan industri atau
sebesar 28,15 persen,” ungkapnya. Melihat kawasan industri yang masih terpusat di Pulau Jawa, pemerintah berupaya untuk mengembangkan kawasan-kawasan industri baru di luar
Jawa.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Hal tersebut adalah upaya pemerintah untuk mendorong pemerataan ekonomi yang inklusif dan mewujudkan
Indonesia sentris. Pemerintah berencana untuk memfokuskan kawasan industri di Pulau Jawa untuk pengembangan industri teknologi tinggi, industri padat karya, dan industri dengan
konsumsi air rendah. Sementara itu, kawasan industri di luar Jawa akan dititikberatkan pada industri berbasis sumber daya alam dan peningkatan efisiensi sistem logistik. Selain itu,
pengembangan kawasan industri ini juga diharapkan dapat mendorong terciptanya pusat ekonomi baru. Agus mengungkapkan pengembangan pusat-pusat ekonomi baru ini perlu
terintegrasi dengan pengembangan perwilayahan, termasuk pembangunan infrastruktur. “Sehingga dapat memberi efek positif yang maksimal dalam pengembangan ekonomi
wilayah,” ujarnya. Kawasan Industri Prioritas dalam RPJMN 2020-2024 Komitmen pemerintah untuk membangun sejumlah kawasan industri prioritas di luar Jawa tertuang di dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Upaya tersebut, menurut Agus, telah dilakukan sejak periode sebelumnya.
Pada RPJMN 2015-2019, pemerintah mendorong pembangunan 14 kawasan industri prioritas di luar Jawa. “Artinya dalam lima tahun ke depan, pemerintah konsisten untuk terus
mendorong pengembangan industri di luar Pulau Jawa,” tambahnya. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah mengusulkan 19 kawasan industri prioritas di luar Jawa. Ke-19 kawasan
industri itu meliputi Kawasan Industri Sei Mangkei (Simalungun, Sumatera Utara), Kawasan Industri Kuala Tanjung (Batubara, Sumatera Utara), Kawasan Industri Galang Batang (Bintan,
Kepulauan Riau), Kawasan Industri Bintan (Bintan, Kepulauan Riau), dan Kawasan Industri Kemingking (Muaro Jambi, Jambi). Kemudian Kawasan Industri Tanjung Enim (Muara Enim,
pg. 2
Sumatera Selatan), Kawasan Industri Pesawaran (Pesawaran, Lampung), Kawasan Industri Way Pisang (Way Pisang, Lampung), Kawasan Industri Sadai (Bangka Selatan, Bangka Belitung),
Kawasan Industri Ketapang (Ketapang, Kalimantan Barat), dan Kawasan Industri Surya Borneo (Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Berikutnya, Kawasan Industri Buluminung
(Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur), Kawasan Industri Tanah Kuning (Bulungan, Kalimantan Utara), Kawasan Industri Batulicin (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan), Kawasan Industri
Jorong (Tanah Laut, Kalimantan Selatan), dan Kawasan Industri Bangkalan (Madura, Jawa Timur). Selanjutnya, Kawasan Industri Weda Bay (Halmahera Tengah, Maluku Utara), Kawasan
Industri Palu (Palu, Sulawesi Tengah), dan Kawasan Industri Bintuni (Teluk Bintuni, Papua Barat). Agus mengutarakan pengembangan kawasan industri prioritas tahun 2020-2024 ini
difokuskan pada industri berbasis agro, minyak dan gas bumi, logam dan batubara serta industri teknologi tinggi dan aerospace.
Pada RPJMN 2015-2019, pemerintah mendorong pembangunan 14 kawasan industri prioritas di luar Jawa. “Artinya dalam lima tahun ke depan, pemerintah konsisten untuk terus
mendorong pengembangan industri di luar Pulau Jawa,” tambahnya. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah mengusulkan 19 kawasan industri prioritas di luar Jawa. Ke-19 kawasan
industri itu meliputi Kawasan Industri Sei Mangkei (Simalungun, Sumatera Utara), Kawasan Industri Kuala Tanjung (Batubara, Sumatera Utara), Kawasan Industri Galang Batang (Bintan,
Kepulauan Riau), Kawasan Industri Bintan (Bintan, Kepulauan Riau), dan Kawasan Industri Kemingking (Muaro Jambi, Jambi). Kemudian Kawasan Industri Tanjung Enim (Muara Enim,
Sumatera Selatan), Kawasan Industri Pesawaran (Pesawaran, Lampung), Kawasan Industri Way Pisang (Way Pisang, Lampung), Kawasan Industri Sadai (Bangka Selatan, Bangka Belitung),
Kawasan Industri Ketapang (Ketapang, Kalimantan Barat), dan Kawasan Industri Surya Borneo (Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Berikutnya, Kawasan Industri Buluminung
(Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur), Kawasan Industri Tanah Kuning (Bulungan, Kalimantan Utara), Kawasan Industri Batulicin (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan), Kawasan Industri
Jorong (Tanah Laut, Kalimantan Selatan), dan Kawasan Industri Bangkalan (Madura, Jawa Timur). Selanjutnya, Kawasan Industri Weda Bay (Halmahera Tengah, Maluku Utara), Kawasan
Industri Palu (Palu, Sulawesi Tengah), dan Kawasan Industri Bintuni (Teluk Bintuni, Papua Barat). Agus mengutarakan pengembangan kawasan industri prioritas tahun 2020-2024 ini
difokuskan pada industri berbasis agro, minyak dan gas bumi, logam dan batubara serta industri teknologi tinggi dan aerospace.
Modal memungkinkan pekerja mendapatkan izin untuk mengeola dan memproses materi menjadi produk. Baca juga: Cita-cita Jokowi: Jadikan Indonesia Pusat Industri Mobil Listrik Dunia
4. Teknologi Teknologi adalah ilmu pengetahuan terapan untuk penggunaan industri maupun komersil. Ribuan penemuan pada abad ke-19 membantu mekanisasi dan memperbaiki
proses manufaktur. Penemuan-penemuan tersebut membuat lebih efisien dan meningkatkan produktivitas. 5. Koneksi Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan
email Koneksi adalah elemen kunci dalam perkembangan industrial. Transportasi menghubungan antara materi mentah, produsen dan konsumen. Koneksi adalah infrastruktur yang
merupakan kombinasi jaringan transportasi dan komunikasi. Koneksi adalah pondasi dan bingkai pertumbuhan ekonomi. Baca juga: Dorong Daya Saing UMKM di Era Industri 4.0, Ini
Langkah Pemerintah Halaman Selanjutnya Karakteristik IndustrialisasiIndustrialisasi adalah proses transformasi…
Karakteristik Industrialisasi Industrialisasi adalah proses transformasi ekonomi dari pertanian menjadi berbasis pada produksi barang. Kerja manual individu sering digantikan oleh
produksi massal mekanis dan pengrajin diganti oleh jalur perakitan. Dikutip dari Investopedia, berikut ini adalah karakteristik atau ciri-ciri industrialisasi: Pertumbuhan ekonomi meliputi
peningkatan total pendapatan dan standar hidup dalam masyarakat. Pembagian kerja yang lebih efisien. Penggunaan inovasi teknologi untuk memecahkan masalah dari ketergantungan
pada kondisi di luar kendali manusia. Baca juga: Industri Fashion Penyumbang Devisa Terbesar Ketiga di Indonesia, Capai Rp 122 T Menurut PK O'Brien, proses industrialisasi ditandai
dengan: Perubahan teknologi dan organisasi yang mengarah ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Peningkatan standar hidup. Pertumbuhan penduduk. Urbanisasi. Perubahan
budaya. Pergeseran keseimbangan di antara negara-negara. Proses industrialisasi Esensi proses industrialisasi pada masyarakat kapitalis dan juga masyarakat yang didominasi negara
dengan perencanaan pusat (seperti bekas Uni Soviet) memiliki kesamaan. Berikut ini bagaimana proses industrialisasi terjadi menurut R Biernacki: Dapatkan informasi, inspirasi dan insight
di email kamu. Daftarkan email Awalnya industrialisasi ditandai dengan transfer besar-besaran tenaga kerja dari pertanian dan ke pabrik-pabrik yang memiliki konsentrasi peralatan modal.
pg. 3
Peningkatan produktivitas tenaga kerja yang dikhususkan untuk manufaktur menjadi seimbang dengan peningkatan permintaan barang. Lapangan kerja di sektor jasa meningkat lebih
cepat daripada manufaktur setelah awal industrialisasi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di
Kalimantan Utara menggunakan skema business to business (B2B), sehingga sama sekali tidak ada keterlibatan pemerintah baik dalam penyertaan modal maupun akuisisi lahan.
Kawasan Industri Hijau tersebut baru saja diresmikan peletakan batu pertama pembangunannya (groundbreaking) oleh Presiden Joko Widodo, pada Selasa (21/12/2021).
"Peran pemerintah dalam pengembangan kawasan industri hijau ini adalah memfasilitasi percepatan perizinan dan insentif sesuai ketentuan aturan yang ada, supaya pembangunan
kawasan industri ini dapat menjadi kawasan yang kondusif dan ramah bagi investor," kata Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi melalui siaran persnya, Kamis (23/12/2021).
Jodi bilang, Luhut sendiri telah diinstruksikan oleh Presiden untuk mengawal dan mempercepat proses perizinan sehingga tidak timbul permasalahan dalam proses pembangunannya.
Pemerintah, lanjut Jodi, sangat serius untuk mengawal pembangunan kawasan industri ini karena dapat memulai transformasi ekonomi melalui hilirisasi industrialisasi bahan mentah dan
pemanfaatan energi hijau.
Kawasan ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diperoleh melalui penerimaan negara yang juga akan turut meningkat.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penulis Arum Sutrisni Putri | Editor Nibras Nada Nailufar KOMPAS.com - Industrialisasi awalnya terjadi di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke-18 dan 19 kemudian di negara-negara
lain di dunia termasuk Indonesia. Sebenarnya apa pengertian industrialisasi, bagaimana ciri-ciri, faktor dan prosesnya? Pengertian Industrialisasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), industrialisasi adalah usaha menggalakan industri dalam suatu negara. Menurut Kamus Oxford, industrialisasi adalah pengembangan industri di suatu negara atau wilayah dalam
skala luas. Baca juga: Gencarkan Investasi, Pemerintah Bangun 19 Kawasan Industri Prioritas.
Menurut Kamus Cambridge, industrialisasi adalah proses pengembangan industri dalam sebuah negara. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Dilansir
dari Encyclopaedia Britannica, industrialisasi adalah proses konversi menuju tatanan sosial ekonomi yang didominasi industri.
Dikutip dari Ekonomi Pembangunan (2004) karya Lincolin Arsyad, industrialisasi adalah proses modernisasi ekonomi yang mencakup seluruh sektor ekonomi yang berkaitan satu sama
lain dengan industri pengolahan. Artinya, industrialisasi bertujuan meningkatkan nilai tambah seluruh sektor ekonomi dengan sektor industri pengolahan sebagai sektor utama.
Maksudnya, dengan adanya perkembangan industri maka akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya. Baca juga: Kementan Dorong Geliat Industri Benih Dalam
Negeri SR Parker dalam The Sociology of Industry (1967) menjelaskan industrialisasi adalah proses segala hal yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya
Revolusi industri kedua Revolusi industri kedua bermula dari penggunaan listrik secara meluas dan mesin pembakaran internal pada 1870. Revolusi industri kedua ini mendorong
perkembangan kapitalisme di dunia barat. 3. Revolusi industri ketiga Revolusi industri ketiga dimulai setelah Perang Dunia II akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
biologi, komputer, digital, nuklir, ruang angkasa dan lainnya. Revolusi industri ketiga adalah lompatan besar lain yang mengubah masyarakat informasi modern. Baca juga: Universitas dan
pg. 4
Industri Perlu Berkolaborasi Aktif Siapkan SDM Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Lima faktor industrialisasi Agar dapat tumbuh dalam skala yang
signifikan, industrialisasi membutuhkan beberapa elemen atau faktor kunci.
• Faktor kunci industrialisasi meliputi tanah, tenaga kerja, modal, teknologi dan koneksi. Tanpa pasokan besar dari elemen-elemen tersebut dan kemampuan mengaturnya, masyarakat
tidak dapat berkembang menjadi masyarakat industri. Tanah Tanah merujuk bukan hanya permukaan yang digunakan untuk pertanian, pabrik atau sarana transportasi. Apa yang ada di
bawah tanah terutama mineral adalah penting. Kandungan material mentah membantu industri suatu negara menjadi berkembang. Baca juga: Menyelisik Peran Industri Hulu Migas untuk
Pembangunan Daerah 2. Tenaga kerja Tenaga kerja adalah elemen manusia dalam industrialisasi. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Pada awal
perusahaan bekerja, banyak tenaga dibutuhkan. Faktor manusia ini juga meliputi para pelaku usaha, atau orang yang membuat keuangan, mengelola materi dan pekerja, operasional dan
lainnya. 3. Modal Modal adalah uang, mesin produksi, dan perusahaan itu sendiri. Halaman Selanjutnya Modal memungkinkan pekerja mendapatkan izin.
1. Inventori Inventori adalah persediaan yang dikuasai oleh unit yang menghasilkan untuk digunakan dalam proses lebih lanjut, dijual, atau diberikan pada pihak lain, atau digunakan
dengan cara lain. Merupakan persediaan yang berasal dari pihak lain, yang akan digunakan sebagai input antara atau dijual kembali tanpa mengalami proses lebih lanjut.
pg. 5
2. Ekspor - Impor Secara umum, konsep ekspor-impor luar negeri yang digunakan dalam penyusunan PDB/PDRB Penggunaan mengacu pada System of National Accounts (SNA) 1993.
Dalam SNA 1993, transaksi ekspor-impor barang luar negeri dalam komponen PDRB Penggunaan Provinsi merupakan salah satu bentuk transaksi internasional antara pelaku ekonomi
yang merupakan residen suatu wilayah Provinsi terhadap pelaku ekonomi luar negeri (non-resident). Transaksi ekspor barang didefinisikan sebagai transaksi perpindahan kepemilikan
ekonomi (baik berupa penjualan, barter, hadiah ataupun hibah) atas barang dari residen suatu wilayah Provinsi terhadap pelaku ekonomi luar negeri (non-resident). Sebaliknya, impor
barang didefinisikan sebagai transaksi perpindahan kepemilikan ekonomi (mencakup pembelian, barter, hadiah ataupun hibah) atas barang dari pelaku ekonomi luar negeri (non-
resident) terhadap residen suatu wilayah Provinsi.
3. Untuk menghitung angka-angka PDB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu :
1. Menurut Pendekatan Produksi PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu :
• Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
• Pertambangan dan Penggalian
• Industri Pengolahan
• Listrik, Gas dan Air Bersih
• Konstruksi
• Perdagangan, Hotel dan Restoran
• Pengangkutan dan Komunikasi
• Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
• Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.
• Y = [(Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) ……]
2. Menurut Pendekatan Pendapatan PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak
penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).
•Y=r+w+i+p
4. Menurut Pendekatan Pengeluaran PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari :
• pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba
• pengeluaran konsumsi pemerintah
• pembentukan modal tetap domestik bruto
• perubahan inventori, dan
• ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).
• Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan
harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah
dicakup pajak tak langsung neto.
pg. 6
• Y = C + I + G + (X – M)
Dinamika pertumbuhan wilayah perkotaan dan peningkatan kebutuhan lahan adalah suatu rangkaian yang satu sama lain saling mempengarunhi. Menurut Zahnd, 1999 (dalam Hamzah,
2010) kehidupan kota sudah lebih disamakan dengan ekologi kota yang melibatkan tiga pokok yang hubungannya sangat erat yakni dinamika secara ekonomi, politis dan budaya kota.
Sementara perencanaan suatu kota tidak bisa lepas dari aspek tata ruangnya, dimana tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak.
Penggunaan lahan pada suatu kota umumnya berbentuk tertentu dan pola perkembangannya dapat diestimasikan. Keputusan-keputusan pembangunan kota biasanya berkembang bebas,
tetapi diupayakan sesuai dengan perencanaan penggunaan lahan. Motif ekonomi adalah motif utama dalam pembentukan struktur penggunaan tanah suatu kota dengan timbulnya pusat-pusat
bisnis yang strategis.
Selain motif bisnis terdapat pula motif politik, bentuk fisik kota, seperti topografi, drainase. Meskipun struktur kota tampak tidak beraturan, namun kalau dilihat secara seksama memiliki
keteraturan pola tertentu. Bangunan-bangunan fisik membentuk zona-zona intern kota. Teori-teori struktur kota yang ada digunakan mengkaji bentukbentuk penggunaan lahan yang biasanya
terdiri dari penggunaan tanah untuk perumahan, bisnis, industri, pertanian dan jasa (Koestoer, 2001).
pg. 7
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, terutama di daerah perkotaan, serta bertambah banyaknya tuntutan kebutuhan masyarakat akan lahan, seringkali mengakibatkan timbulnya
benturan kepentingan atas penggunaan sebidang lahan bagi berbagai penggunaan tertentu. Acapkali pula terjadi panggunaan lahan yang sebetulnya tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal
semacam ini, bila tidak segera diatasi, pada suatu saat nanti akan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. (Khadiyanto, 2005). Secara teoritis, sejauh mana efisiensi alokasi sumber daya
lahan dapat dicapai melalui mekanisme pasar, akan tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan. Himpunan karakteristik ini antara
lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan.
Dalam prakteknya, pemerintah di sebagian besar negara di dunia memegang peran kunci dalam alokasi lahan. Dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan tanah dalam kehidupan
masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan tanah. Peran pemerintah dalam alokasi lahan
sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti pembangunan waduk dan kepemilikan lahan seperti hutan,
daerah lahan tambang, dan sebagainya. Dengan demikian peranan pemerintah melalui system perencanaan wilayah (tata guna) ditujukan untuk: (1) menyediakan sumberdaya lahan untuk
kepentingan umum, (2) meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan (3) melindungi hak milik melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Rumah dan perumahan seyogyanya dipandang sebagai bagian dari lingkungan permukiman dan lingkungan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup. Perluasan areal untuk
permukiman dan perumahan mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan alam yang semua berfungsi sebagai area penyerapan air menjadi lingkungan buatan yang menolak resapan air.
Kontradiksi antara perlunya perumahan dan permukiman dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan upaya pelestarian lingkungan ibarat dua mata uang yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya (Wiradisuria dalam Budihardjo, 2009).
Menurut Catanesse (1986), bahwa dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktivitas, dan lokasi. Dimana hubungan antar ke tiganya sangat berkaitan,
sehingga dapat dianggap sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.
Dari uraian kajian teori di atas maka dapat dipahami bahwa dengan berpedoman pada pertumbuhan wilayah kota yang diinterpretasikan pada kota sebagai proses, hal ini menunjukkan
bahwa dinamika pertumbuhan wilayah perkotaan tidak bisa lepas dari 3 (tiga) unsur pokok yakni dinamika ekonomi, dinamika politik dan dinamika budaya, yang dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Dinamika ekonomi dapat berupa;
a. Status tanah yang berhubungan dengan situasi topografi dan intervensi manusia,
b. Hirarki nilai yang berhubungan dengan nilai pakai dan nilai tukar,
c. Tingkat strutur yang berkaitan dengan global dan lokal.
2. Dinamika politik atau sistem pengelolaan, merupakan peran dari pihak yang terlibat dalam suatu dimensi kehidupan perkotaan atau pewilayahan. Politik dalam hal ini juga dapat dirumuskan
dalamlingkup yang lebih sederhana dengan arti kebijakan. Suatu kebijakan menjadi hal yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan kota karena proses tersebut merupakan
pelaksanaan sejumlah keputusan oleh individu maupun kelompok demi kepentingan masyarakat banyak.
3. Dinamika budaya, adalah unsur budaya sebagai pembentuk ruang fisik kota lebih kepada sifat dan karakter masyarakat baik di perdesaan maupun di perkotaan. Biasanya kehidupan yang saling
berinteraksi antar komunitas tertentu akan membentuk lingkungan permukiman dimana terdapat berbagai etnis budaya yang berbaur.
pg. 8
C. ANALISIS
Berdasarkan Amanat RTRWN
pg. 9
pg. 10
Arah Kebijakan dan Strategi
pg. 12
a. Penyiapan daftar proyek KPS;
b. Penyiapan proyek ( project development).
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang mempengaruhi aliran FDI dan juga
harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi listrik ke industri untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah
perusahaan asing, peningkatan PDRB (untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing), dan peningkatan panjang jalan (untuk aliran FDI industri
padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing). Untuk arah pengembangan wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, orientasi pembangunan diarahkan pada kondisi
eksisting dari masing-masing variabel yang secara signifikan mempengaruhi aliran FDI. Pengembangan semua industri diutamakan untuk wilayah yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya tinggi, yaitu
DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Pengembangan industri padat karya untuk wilayah dengan distribusi listrik dan jalan lebih tinggi, yaitu Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Pengembangan industri padat modal untuk provinsi yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya lebih tinggi, yaitu 55 Universitas Indonesia
DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Sementara itu, pengembangan jumlah perusahaan asing untuk provinsi dengan distribusi listrik industri, jalan, dan ukuran
pasar lebih tinggi, yaitu Jawa Barat, DKI, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Untuk arahan pendanaan persektor, perlu menitikberatkan pada signifikansi dan nilai koefisien masing-masing
provinsi. Seperti yang tercantum di bab 4, bahwa variabel–variabel yang signifikan adalah listrik, jalan, dan ukuran pasar. Dengan demikian, pendanaannya mengikuti urutan nilai koefisien dari variabel-variabel
tersebut. Untuk provinsi Banten sebaiknya melakukan pengurangan anggaran listrik, serta memperhatikan variabel jalan dan ukuran pasar. Sementara itu, untuk provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta perlu melakukan penambahan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar. Sementara untuk provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tidak ada perubahan anggaran listrik,
jalan, dan ukuran pasar. (Permatasari, Destarita Indah,et.al.2019 Dampak Ubah terhadap Investasi Asing Langsung Sektor Industri di Pulau Jawa).
Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dalam rangka penguatan investasi lima tahun ke depan, adalah sebagai berikut :
1. Menurunnya waktu pemrosesan perijinan investasi nasional di pusat dan di daerah menjadi maksimal 15 hati per jenis perizinan pada tahun 2019;
2. Menurunnya waktu dan jumlah prosedur dan jumlah prosedur untuk memulai usaha ( starting a business) menjadi 7 hari dan 5 prosedur pada tahun 2019, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
peringkat Indonesia sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan peringkat Indonesia pada Ease of Doing Bussiness ( EoDB);
3. Meningkatnya pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto ( PMTB) menjadi sebesar 12,1 persen pada tahun 2019;
4. Meningkatnya investasi PMA dan PMDB menjadi 933 triliun pada tahun 2019 dengan kontribusi PMDN yang meningkat menjadi 38,9 persen.
pg. 13
pg. 14
Tabel 1.9. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan wilayah di Indonesia pada tahun 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
pg. 15
Tabel 1.10. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan klasifikasi sektor di Indonesia pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
pg. 16
Tabel 1.11. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor penerimadi Indonesia pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 6.6.
1) Peningkatan iklim investasi dan iklim usaha untuk meningkatkan efisiensi proses perijinan bisnis; dan
2) Peningkatan Investasi yang inklusif terutama dari investor domestic.
Kedua pilar kebijakan ini akan dilakukan secara terintegrasi baik di tingkat pusat maupun di daerah.
pg. 17
[Type here]
Arah kebijakan yang ditempuh dalam pilar pertama penguatan investasi adalah menciptakan iklim investasi dan iklim usaha yang lebih berdaya saing, baik di tingkat pusat maupan daerah, ynag dapat
meningkatkan efisiensi proses perijinan, meningkatkan kepastian berinvestasi dan berusaha di Indonesia, serta mendorong persaingan usaha yang lebih sehat dan berkeadilan. Adapun strategi yang ditempuh
adalah :
1. Peningkatan kepastian hukum terkait investasi dan usaha, yang terutama dilakukan melalui :
a. Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan pusat dan daerah agar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah dapat selaras dengan kebijakan pemerintah pusat.Salah satu upayanya adalah
dengan penyusunan peta jalan harmonisasi regulasi investasi;
b. Penghapusan regulasi dan peraturan di pusat dan daerah yang menghambat dan mempersulit dunia usaha untuk berinvestasi dan berusaha;
c. Penghapusan rente ekonomi yang menyebabkan tingginya biaya perijinan, baik di pusat maupun di daerah;
d. Penyeediaan tata ruang wilayah kabupaten / kota yang telah dijabarkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang untuk untuk kepastian perijinan lokasi usaha dan investasi.
2. Penyederhanaan prosedur perijinan investasi dan usaha di pusat dan di daerah, terutama untuk sector pengolahan dan jasa, antara lain : sector migas, jasa transportasi laut, serta sector industri
manufaktur berbasis sumber daya alam.
3. Pengembangan layanan investasi yang memberikan kemudahan, kepastian, dan transparansi proses perijinan bagi investor dan pengusaha, melalui:
a. Optimalisasi penyelenggaraan PTSP di daerah, antara lain dengan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari Lembaga / instansi yang memiliki kewenangan;
b. Pendirian pelayanan terpadu satu pintu – tingkat pusat (PTSP-Pusat), untuk menyatukan perijinan tingkat pusat pada satu tempat layanan perijinan. Adapun Langkah yang akan dilakukan antara lain
adalah:
Pengembangan kelembagaan PTSP-Pusat;
Penyederhanaan dan standarisasi prosedur, pengembangan proses perijinan secara paralel untuk menghemat waktu, serta pengembangan layanan pengaduan permasalahan perijinan;
Penciptaan transparanssi dan akuntabilitas proses perijinan, sehingga dapat meningkatkan kepastian waktu dan kredibilitas layanan;
Pengembangan tracking system perijinan di PTSP-Pusat.
4. Pemberian insentif dan fasilitasi investasi ( berupa : insentif fiscal dan non fiscal) yang lebih selektif dan proses yang transparan, yang bertujuan untuk:
a. Mendorong pengembangan investasi sector manufaktur dengan mengedepankan keseimbangan sebaran investasi antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa;
b. Mendorong pengembangan investasi untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dan pengembangan sector kelautan;
c. Mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan insfrastruktur energi nasional;
d. Mendorong pengembangan industri yang dalat menghasilkan bahan baku atau barang modal sederhana;
e. Mendorong investor terutama investor dalam negeri untuk mengembangkan industri pengolahan bahan tambang dalam negeri;
f. Mendorong investasi sector minyak dan gas yang mempertimbangkan aspek kesulitas geologi dan meningkatkan produktivitas sumur – sumur tua, daerah baru, dan laut dalam.
5. Pendirian forum investasi, yang beranggotakan lintas kementerian dan lintas pemangkutan kepentingan yang secara rutin mengeadakan pertemuan untuk memonitor, mengatasi permasalahan investasi,
dan mencarikan ssolusi terbaik agar dapat terus menjaga iklim investasi dan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha dan investor.
6. Peningkatan iklim ketenagakerjaan yang lebih kondusif, ( dimana rincian strateginya dituangkan dalam bagian ketenagakerjan).
7. Peningkatan persaingan usaha yang sehat melalui pencegahan dan penegakan hukum peprsaingan usaha dalam rangka penciptaan kelembagaan ekonomi yang mendukung iklim persaingan usaha yang
sehat, penyehatan struktur pasar serta penguatan sistem logistic nasional yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi yang berkeadilan, melalui:
a. Reposisi dan penguatan kelembagaan KPPU;
b. Pencegahan dan penegakan hukum terhadap praktek anti persaingan usaha yang sehat ( seperti : monopoli dan kartel) uyang mendistorsi pasar;
c. Pengawasan yang dititikberatkan pada komoditas pangan, energi, keuangan, Kesehatan dan Pendidikan,serta infrastruktur dan logistic;
d. Peningkatan harmonisasi kebijakan pemerintah agar sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat;
e. Pengawasan kemitraan antara usaha besar, menengah, kecil dan mikro.
Tabel 1.1. Fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019
Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu 2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015 adalah sebesar 4,33 % dan titik terendah pada 2016
yaitu 4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan pada 2017 – 2018 mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh …. pada…. ( ), menunjukkan bahwa modal tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan PDB. Yang dimaksud sini PDB yang
diukur berdasarkan nilai tambah.
Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri Makanan, Kayu, diikuti oleh Industri
Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana dilihat dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa
harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut : 122,54; 129,36;132,21 untuk bahan baku pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri sebesar 136,57; 141,66; dan 142,74. Teringgi 138,82;
143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian. 170,78; 170,25;173,91 untuk barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81;
dan 154,91. Teringgi 523,47; 524,13; 526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang modal
industri sebesar 118,93; 123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal sektor pertanian.
Arah kebijakan yang ditempuh dalam pilah kedua penguatan investasi adalah mengembangkan dan memperkuat investasi di sector riil, terutama yang berasal dari sumber investaso domestic, yang dapat
mendorong pengembangan investasi dan usaha di Indonesia secara inklusif dan berkeadilan terumata pada sector produktif yang mengutamakan sumber daya local yang akan dilaksanakan melalui strategi:
f. Pendorong penyediaan kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri, baik berupa bahan setengah jadi, komponen, maupun sub komponen.
2. Peningkatan upaya penyebaram investasi di daerah yang lebih berimbang
a. Pengembangan potensi investasi daerah ( regional champions) sesuai dengan sector unggulan dan mendorong daerah untuk meningkatkan kesiapan dalam menarik investasi;
b. Promosi investasi di daerah, untuk mendorong investor awareness and willingness untuk berinvestasi di daerah, yang antara lain melalui gelar promosi investasi daerah;
c. Pemberian insentif investasi di daerah, sesuai dengan kewenanangan daerah, terutama UKM;
d. Pengembangan mekanisme konsultasi Pemerintah dan Pelaku Bisnis ( terutama UKM).
3. Peningkatan kemitraan antara PMA dan UKM local, melalui:
a. Pembinaan kemitraan antara PMA dengan UKMM dengan mengedepankan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan;
b. Penguatan rangkaian proses kemitraan yang dimulai dengan pengenalan calon mitra usaha, pemahaman posisi keunggulan dan kelemahan usaha, pengembangan strategi kemitraan, fasilitasi pelaksanaan
kemitraan usaha, serta monitoring dan evaluasi kemitraan PMA dan UKM.
4. Peningkatan efektivitas strategi dan upaya promosi investasi melalui:
a. Pengembangan mekanisme promosi investasi yang lebih efektif yang antara lain meliputi penyelerasan kegiatan promosi Tourism, Trade, and Investment, pengembangan kantor promosi terpadu di negara -
negara tertentu, serta optimalisasi peran kantor perwakilan investasi di luar negeri.
b. Pengembangan strategi promosi yang lebih efisien dan efektif untuk :
Mendukung pengembangan sector industri dalam negeri dalam jangka pendek, menengah dan Panjang.
Mendorong Laju Pertumbuhan PDB Industri persebaran investasi di Luar Pulau Jawa dengan emmperimbangkan karakter dan kondisi geografis daerah.
c. Peningkatan Wilayah Manufaktur keikutsertaan daerah dalam ajang pertemuan bisnis antara pelaku usaha dengan pemerintah pusat . daerah.
5. Peningkatan koordinasi 2015 2016 2017 2018 dan Kerjasama investasi antara pemerintah dan dunia usaha. Kerjasama pemerintah dan swasta ( KPS) merupakan salah
satu altenatif Indonesia 4.33 4.26 4.29 4.27 pembaiayaan dalam penyediaan infrastruktur untuk memberikan pelayanan public yang lebih baik secara kualitas maupun
kuantitas.
6. Pengembangan investasi local terutama melalui investasi antar wilayah yang dapat emndiring pengembangan ekonomi daerah.
7. Pengembangan investasi keluar ( outward investment), diutamakan pada ketahanan energi ( energy security) dan ketahanan pangan ( food security) dengan mengutamakan kegiatan investasi yang dapat
memberikan efek pengganda ( multiflier effect) yang besar terhadap perekonomian nasional.
8. Pengurangan dampak negative dominasi PMA terhadap perekonomian nasional, yang akan secara bertahap akan dilakukan melalui tiga jalur proses pengalihan, yaitu:
1) Alih kepemilikan ke masyarakat domestic mellaui pasar modal;
2) Alih teknologi / keahlian kepada pengusaha an pekerja domestic; serta
3) Alih proses produksi dengan secara bertahap meningkatkan porsi pemasok domestic bagi kebutuhan bahan baku, barang setengah jadi, serta jasa – jasa industri.
Strategi dan kebijakan bidang investasi ini akan didukung oleh pengembangan kualitas layanan manajemen birokrasi pemerintah baik di pusat maupun di daerah agar dapat berdaya saing terutama dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Tabel 1.1. Fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019
Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu 2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015 adalah sebesar 4,33 % dan titik terendah pada 2016 yaitu
4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan pada 2017 – 2018 mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh …. pada…. ( ), menunjukkan bahwa modal tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan PDB. Yang dimaksud sini PDB yang diukur
berdasarkan nilai tambah.
Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri Makanan, Kayu, diikuti oleh Industri
Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana dilihat dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa harga
bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut : 122,54; 129,36;132,21 untuk bahan baku pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri sebesar 136,57; 141,66; dan 142,74. Teringgi 138,82; 143,58;
144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian. 170,78; 170,25;173,91 untuk barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan
154,91. Teringgi 523,47; 524,13; 526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang modal industri
sebesar 118,93; 123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal sektor pertanian. (Permatasari, Destarita Indah. 2020. Kajian Peninjauan Kembali Indikasi
Lokasi Kawasan Andalan di Indonesia).
1) Peningkatan agroindustry, hasil hutan dan kayu, perikanan, dan hasil tambang.
2) Akselerasi pertumbuhan dan industri manufaktur;
3) Akselerasi pertumbuhan pariwisata;
4) Akselerasin pertumbuhan ekonomi kreatif; serta
5) Peningkatan daya saing UMKM dan koperasi.
Aliran foreign direct investment (selanjutnya disingkat FDI) ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2016, dalam kurun waktu tahun 2011-2014, realisasi aliran
FDI secara umum meningkat. Titik tertinggi terdapat pada tahun 2013 sebesar 7,4 triliun dolar AS, sedangkan titik terendah adalah tahun 2011 sebesar 5,1 triliun dolar AS. Dengan demikian, jumlah aliran FDI pada
tahun 2011-2014 meningkat 33,33%. Namun demikian, tren peningkatan tersebut semakin menurun dari tahun ke tahun dengan angka 23,53% pada periode 2011-2012, 17,46% pada 2012- 2013, dan menurun
pada angka 8,11% pada 2013-2014. Komposisi sektor-sektor yang menerima aliran FDI pada tahun 2014 didominasi oleh sektor manufaktur, yaitu sebesar 45,6%. Sektor jasa berada pada peringkat kedua sebesar
29,9%. Tempat ketiga adalah pertambangan sebesar 16,4%, dan tempat keempat adalah tanaman pangan dan perkebunan sebesar 7,7%, sedangkan yang terendah adalah kehutanan, perikanan, dan peternakan,
masing-masing 0,1%. ( Permatasari, Destarita Indah,et.al.2019. Dampak Upah terhadap Investasi Asing Lansung pada Sektor Industri di Pulau Jawa).
Gambar 1.1 Komposisi Sektor Penerima Aliran Asing Langsung pada Tahun 2014
Sumber: bkpm.go.id
Pada tahun 2014, sebagian besar aliran FDI yang diienvestasikan di Pulau Jawa adalah sebesar 65%. Pada tempat kedua adalah di Pulau Sumatera sebesar 16% kemudian diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 12%.
Ketiga terakhir adalah Kalimantan sebesar 7%, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 0%, serta Maluku dan Papua sebesar 0%.
Sumber: bkpm.go.id
Tabel 6.7.
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Kepulauan Riau
6. Jambi
7. Sumatera Selatan
8. Bengkulu
9. Bangka Belitung
10. Lampung
12. Banten
17. Bali
29. Maluku
32. Papua
33. Gorontalo
Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014
sumber : Kementerian Perindustrian, 2016
Berdasarkan Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
per Provinsi pada periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa masih terdapat ketidak sesuaian antara indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi nilai tambah per provinsi dalam kurun waktu
tersebut. Sebanyak 27 dari 32 provinsi sesuai (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Daerah Ibukota Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), dan 5 provinsi lainnya tidak sesuai (Bengkulu, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua).
Sedangkan terdapat tambahan 1 provinsi (Gorontalo) yang telah berkontribusi dalam pengumpulan nilai tambah yang belum diakomodir pada dokumen RTRWN.
Dilihat lebih detil lagi, kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya dengan tingkat survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi. Sebagaimana dapat dicermati dari
kedua tabel tersebut, walaupun izin lokasi yang ada di RTRWN berlaku untuk selama periode 2010 – 2014, masih ada provinsi yang menunjukkan ketidak adaaan kontribusi di tahun- tahun tertentu
dan ada juga yang menambahkan perluasan industri tekstil saja menjadi industri pakaian jadi. Ketidakstabilan nilai tambah terdapat di 5 provinsi berikut, yaitu Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat. Sedangkan provinsi – provinsi lainnya menunjukkan kondisi yang stabil.
Lebih lanjut, terkait hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih belum terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan andalannya. Sebanyak provinsi
memiliki keduanya dan sebagian provinsi masih bersifat linear ( hanya memiliki industri tekstil / pakaian jadi saja. Sebanyak 20 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau,
Sumatera Selatan, Lampung, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Khusus Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo) menunjukkan hilirasi industri tekstil dan pakaian jadi dan 7 provinsi lainnya (Riau, Bangka
Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat) menunjukkan lineraritas kedua industri tersebut.
Untuk mencapai sasaran pokok peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian yang telah ditetapkan tersebut, maka arah kebijakan difokuskan pada :
1. Peningkatan produktivitas, mutu hasil pertanian komoditi andalan ekspor, potensial untuk ekspor dan substitusi impor akan dicapai melalui strategi:
a. Revitalisasi perkebunan dan hortikultura rakyat diarahkan terutama pada kebun yang sudah tua dan menurun produktivitasnya, melalui :
1) Dukungan peremajaan tanaman perkebunan dan hortikultura rakyat,serta komoditi andalan ekspor dan memiliki potensi ekspor;
2) Intensifikasi pemeliharaan dan pemupukan sesuai kebutuhan.
b. Peningkatan mutu, pengembangan standarisasi mutu hasil pertanian, dan peningkatan kualitas pelayanan karantina dan pengawasan keamanan hayati, melalui:
1) Penguatan dan perbaikan teknologi produksi dann pasca panen / pengolahan;
2) Pengembangan / penerapan standar mutu komoditas pertanian dan standar mutu pada penanganan produk segar dan produk olahan pertanian, serta pada kaomoditas prospektif ekspor;
3) Peningkatan pengawasan mutu produk pertanian;
4) Peningkaktan jumlah dan peran Lembaga sertifikasi; dan
5) Peningkatan kualitas layanan pengawasan perkarantinaan.
c. Peningkatan aksesibilitas petani terhadap teknologi, sumber – sumber pembiayaan, serta informasi pasar dan akses pasar termasuk pengembangan infrastruktur pengolahan dan pemasaran melalui:
1) Diseminasi informasi teknologi melalui penyuluhan dan media informasi;
2) Penyediaan skim kredit yang mudah diakses oleh petani dan pelaku usaha pertanian;
3) Pengembangan jaringan pasar, dan pelayanan informasai pasar, pasar lelang komoditi, dan market intelligence; serta
4) Pembangunan science park dan techno park.
2. Pengembangan industri pengolahan termasuk di perdesaan serta peningkatan ekspor hasil pertanian akan dilaksanakan dengan strategi :
a. Pengembangan agroindustry perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah ertanian yang akan dilakukan melalui:
1) Perbaikan teknologi agroindustry perdesaan yang sudah ada;
2) Penumbuhan agroindustry perdesaan yang dapat memanfaatkan hasil samping secara optimal;
3) Penumbuhan industri pengolahan pertanian yang dilaksanakan oleh kelompok tani dan koperasi; serta
4) Pengembangan industri perdesaaan yang menangani produk segar hortikultura;
b. Penguatan kemitraan antara petani dengan pelaku / pengusaha pengolahan dan pemasaran ( eksportir) melalui kemitraan Gapoktan dengan industri pengolahan dan eksportir serta membangun dan
memperkuat jaringan ( networking) denga asosiaisi, industri, dan sector jasa terkait lainnya.
c. Akselerasi ekspor untuk komoditas – komoditas unggulan serta komoditas prospektif melalui:
1) Identifikasi daerah – daerah potensial untuk pengembangan komoditi ekspor;
2) Harmonisasi standar mutu;
3) Optimalisasi negosiasi dan diplomasi perdagangan hasil pertanian;
4) Advokasi, pameran, dan pencitraan produk dalam rangka promosi produk pertanian; serta
5) Promosi investasi agroindustry.
PDB PENGGGUNAAN
Tahun
(seri 2010)
Restoran dan Hotel 337.157,88 355.868, 48 381 366.61 403.321,45 430.865,48 452.030,50
In reality, the PDB according the expenditure of household consumption on transport and telecomunication are showing that the amount increasing constantly from 2010 – 2015, same condition also happened on the
other sectors.
Makanan dan Minuman, selain Restoran 38,50% 37,45% 36,84% 36,46% 36,21% 36,38%
Pakaian, Alas Kaki dan Jasa Perawatannya 4,07% 4,08% 4,12% 4,11% 4,09% 4,04%
Perumahan dan Perlengkapan Rumahtangga 13,64% 13,66% 13,71% 13,75% 13,68% 13,66%
• Increased slighty until 2014 then decreased on 2015 : transportation and telecommunication, others; alaways become the second highest contributor to expenditure GDP; more than one third of total
household consumption
• Increased slighty until 2013 then decreased on 2014 - 2015 : housing and household equipments;
• Increased slighty until 2012 then decreased on 2013 - 2015 : meals and beverages, exclude restaurant, clothes, slippers, and care service
Tabel 6.8.
d. Memperkuat sumber daya manusia yang berkompeyten untuk mendukung operasionalisasi KPH;
e. Pengembangan forest based cluster industry; serta
f. Memperkuat fungsi pemerintah sebagai fasilitator.
Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Hutan dan Non Hutan Menurut Provinsi Tahun 2014-2019 (Ribu Ha)
Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan
N Provins Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
o i Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Juml Penut Penut Juml Penut Penut Juml
upan upan Juml upan upan Juml upan upan Juml upan upan upan upan upan upan
% % % % % % % % ah % % ah % % ah
Lahan Lahan ah Lahan Lahan ah Lahan Lahan ah Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan
(Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu
Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha)
(1
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24) (25) (26) (27) (23) (24) (25) (26) (27)
)
3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 5
1 ACEH 55, 44, 56, 44, 57, 42, 55, 44, 55, 44, 55, 44,
156,7 490,6 647,3 161,9 485,4 647,3 270,9 376,4 647,3 120,2 527,1 647,3 110,2 537,1 647,3 155,6 491,7 647,3
9 1 0 0 9 1 3 7 1 9 9 1
SUMATE
1 5 7 1 5 7 1 5 7 1 5 7 1 5 7 1 5 7
2 RA 25, 74, 24, 75, 25, 74, 25, 74, 25, 75, 26, 73,
826,9 275,1 102,0 759,9 342,1 102,0 813,1 288,9 102,0 785,9 316,1 102,0 778,4 323,6 102,0 853,4 248,6 102,0
UTARA 7 3 8 2 5 5 1 9 0 0 1 9
SUMATE
1 2 4 1 2 4 1 2 4 1 2 4 1 2 4 1 2 4
3 RA 46, 53, 46, 53, 46, 54, 46, 53, 46, 53, 45, 54,
927,7 256,2 183,9 934,7 249,2 183,9 924,1 259,8 183,9 936,6 247,3 183,9 931,0 252,9 183,9 907,1 276,8 183,9
BARAT 1 9 2 8 0 0 3 7 2 8 6 4
2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
4 RIAU 28, 71, 26, 73, 29, 70, 25, 74, 25, 74, 27, 72,
562,3 320,6 882,8 350,0 532,9 882,8 617,6 265,2 882,8 304,3 578,6 882,8 260,5 622,3 882,8 459,2 423,6 882,8
8 2 5 5 5 5 9 1 4 6 7 3
1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4
5 JAMBI 28, 71, 27, 72, 28, 71, 26, 73, 26, 73, 25, 74,
358,2 474,1 832,3 341,3 491,1 832,3 385,6 446,8 832,3 283,4 549,0 832,3 274,2 558,2 832,3 253,2 579,2 832,3
1 9 8 2 7 3 6 4 4 6 9 1
SUMATE
RA 1 7 8 1 7 8 1 7 8 1 7 8 1 7 8 1 7 8
6 17, 82, 13, 86, 17, 82, 13, 86, 13, 86, 16, 83,
SELATA 523,6 103,3 626,9 200,6 426,3 626,9 536,4 090,5 626,9 144,4 482,5 626,9 141,0 485,9 626,9 445,0 181,9 626,9
7 3 9 1 8 2 3 7 2 8 8 2
N
BENGKU 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
7 34, 65, 34, 65, 34, 66, 34, 65, 33, 66, 33, 66,
LU 693,0 309,9 002,9 688,9 314,0 002,9 681,5 321,4 002,9 685,1 317,9 002,9 677,2 325,7 002,9 674,6 328,3 002,9
6 4 4 6 0 0 2 8 8 2 7 3
LAMPU 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
8 10, 89, 90, 10, 89, 90, 90, 90,
NG 364,5 070,9 435,4 339,1 9,9 096,3 435,4 354,9 080,5 435,4 334,4 9,7 101,0 435,4 333,1 9,7 102,2 435,4 335,9 9,8 099,5 435,4
6 4 1 3 7 3 3 2
9 KEP. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
BANGKA 250,9 15, 408,8 84, 659,7 233,3 14, 426,5 85, 659,7 229,7 13, 430,0 86, 659,7 221,8 13, 437,9 86, 659,7 218,1 13, 441,6 86, 659,7 192,1 11, 467,6 88, 659,7
BELITUN 1 9 1 9 8 2 4 6 1 9 6 4
G
1 KEP.
34, 65, 30, 70, 32, 67, 32, 67, 32, 67, 33, 66,
0 RIAU 282,6 534,4 817,0 245,0 572,0 817,0 268,7 548,3 817,0 268,8 548,2 817,0 269,1 547,9 817,0 271,6 545,4 817,0
6 4 0 0 9 1 9 1 9 1 2 8
DKI
1
JAKART 99, 99, 99, 99, 99, 99,
1 0,3 0,5 65,1 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,1 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3
A 5 5 5 5 5 5
1 JAWA 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3
17, 82, 17, 82, 17, 82, 17, 82, 17, 82, 21, 78,
2 BARAT 643,4 055,2 698,6 634,7 063,9 698,6 650,0 048,6 698,6 648,1 050,5 698,6 639,8 058,8 698,6 797,2 901,4 698,6
4 6 2 8 6 4 5 5 3 7 6 4
1 JAWA 2 3 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3
22, 77, 29, 70, 22, 77, 29, 70, 29, 70, 19, 80,
3 TENGAH 776,7 679,9 456,6 019,5 437,1 456,6 787,3 669,2 456,6 019,7 436,9 456,6 019,0 437,6 456,6 665,1 791,4 456,6
5 5 5 5 8 2 5 5 5 5 2 8
DI
1 3
YOGYAK 10, 89, 10, 89, 14, 85, 10, 89, 10, 89, 10, 89,
4 34,5 285,0 319,4 34,3 285,2 319,4 45,9 273,5 194,0 34,6 284,8 319,4 34,0 285,4 319,4 32,6 286,8 319,4
ARTA 8 2 7 3 4 6 8 2 7 3 2 8
1 JAWA 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4
28, 71, 28, 71, 29, 70, 28, 71, 28, 72, 25, 75,
5 TIMUR 367,9 469,8 837,7 365,8 471,9 837,7 435,6 402,0 837,7 367,8 469,8 837,7 356,3 481,3 837,7 207,3 630,4 837,7
3 7 2 8 7 3 3 7 0 0 0 0
1
BANTEN 16, 83, 16, 83, 17, 82, 17, 82, 17, 82, 15, 84,
6 154,8 784,4 939,2 151,4 787,8 939,2 167,1 772,1 939,2 162,9 776,3 939,2 163,2 775,9 939,2 147,1 792,1 939,2
5 5 1 9 8 2 3 7 4 6 7 3
1
BALI 18, 81, 18, 82, 16, 83, 16, 83, 16, 83, 17, 82,
7 102,7 464,1 566,9 102,1 464,7 566,9 91,6 475,3 566,9 94,9 472,0 566,9 94,6 472,6 566,9 99,8 467,0 566,9
1 9 0 0 2 8 7 3 7 3 6 4
NUSA
1 TENGGA 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
42, 57, 40, 60, 46, 53, 40, 59, 39, 60, 44, 55,
8 RA 842,4 137,7 980,2 791,2 188,9 980,2 920,0 060,2 980,2 793,4 186,8 980,2 783,2 196,9 980,2 878,6 101,6 980,2
5 5 0 0 5 5 1 9 6 4 4 6
BARAT
NUSA
1 TENGGA 1 3 4 1 2 4 1 2 4 1 2 4 1 2 4 1 3 4
26, 73, 41, 58, 37, 62, 41, 58, 41, 58, 36, 63,
9 RA 245,2 477,4 722,5 967,0 755,5 722,5 760,8 961,8 722,5 977,2 745,3 722,5 957,2 765,4 722,5 719,2 003,4 722,5
4 6 7 3 3 7 9 1 4 6 4 6
TIMUR
KALIMA 1 1 1 1 1 1
2 5 8 5 8 5 8 5 8 5 8 5 8
NTAN 39, 60, 4 39, 60, 4 38, 61, 4 38, 61, 4 38, 61, 4 38, 61, 4
0 788,7 784,1 754,9 817,8 583,1 989,7 623,5 949,3 590,8 982,0 587,0 985,7
BARAT 7 3 572,8 5 5 572,8 3 7 572,8 6 4 572,8 4 6 572,8 3 7 572,8
KALIMA 1 1 1 1 1 1
2 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
NTAN 51, 48, 5 51, 48, 5 49, 50, 5 49, 50, 5 49, 50, 5 48, 51, 5
1 866,9 399,3 866,9 399,3 609,1 657,0 544,1 722,1 516,4 749,7 396,6 869,6
TENGAH 5 5 266,2 5 5 266,2 8 2 266,2 4 6 266,2 2 8 266,2 5 5 266,2
KALIMA
2 NTAN 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
25, 74, 24, 75, 24, 75, 23, 77, 22, 77, 25, 75,
2 SELATA 940,3 773,7 713,9 899,6 814,3 713,9 897,0 817,0 713,9 855,5 858,4 713,9 840,9 873,0 713,9 926,9 787,0 713,9
3 7 2 8 2 8 0 0 6 4 0 0
N
KALIMA 1 1 1 1 1 1
2 13 5 12 6 13 6 12 6 12 6 12 6
NTAN 69, 30, 9 66, 34, 9 67, 32, 9 65, 35, 9 64, 35, 9 65, 34, 9
3 564,8 940,0 873,7 631,1 122,9 381,9 672,1 832,7 615,0 889,8 806,4 698,4
TIMUR 5 5 504,8 0 0 504,8 3 7 504,8 0 0 504,8 7 3 504,8 7 3 504,8
KALIMA
2
NTAN
4
UTARA
SULAWE
2 1 1 1 1 1 1
SI 39, 60, 38, 61, 38, 61, 38, 61, 38, 61, 38, 61,
5 563,8 875,7 439,5 560,1 879,4 439,5 555,3 884,3 439,5 557,1 882,5 439,5 553,2 886,3 439,5 555,4 884,2 439,5
UTARA 2 8 9 1 6 4 7 3 4 6 6 4
SULAWE
2 3 2 6 3 2 6 3 2 6 3 2 6 3 2 6 3 2 6
SI 63, 36, 64, 35, 63, 36, 63, 36, 63, 36, 63, 36,
6 806,6 228,1 034,7 907,9 126,8 034,7 854,3 180,4 034,7 846,5 188,2 034,7 825,1 209,6 034,7 816,3 218,5 034,7
TENGAH 1 9 8 2 9 1 7 3 4 6 2 8
SULAWE
2 SI 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4 1 3 4
32, 67, 31, 68, 31, 68, 31, 68, 31, 68, 32, 67,
7 SELATA 481,3 017,1 498,4 433,6 064,8 498,4 415,4 083,0 498,4 404,4 094,0 498,4 409,8 088,6 498,4 457,8 040,6 498,4
9 1 9 1 5 5 2 8 3 7 4 6
N
2 SULAWE 1 1 3 1 1 3 1 1 3 1 1 3 1 1 3 1 1 3
8 SI 929,4 53, 682,2 46, 611,6 914,4 53, 697,2 47, 611,6 896,8 52, 714,8 47, 611,6 877,0 52, 734,7 48, 611,6 846,6 51, 765,1 48, 611,6 861,4 51, 750,2 48, 611,6
TENGGA 4 6 0 0 5 5 0 0 1 9 5 5
RA
2 GORON 1 1 1 1 1 1
59, 40, 59, 41, 57, 42, 59, 40, 59, 40, 59, 40,
9 TALO 710,8 487,7 198,5 707,5 491,0 198,5 692,7 505,8 198,5 709,9 488,6 198,5 710,3 488,2 198,5 717,6 480,9 198,5
3 7 0 0 8 2 2 8 3 7 9 1
SULAWE
3 1 1 1 1 1 1
SI 49, 50, 48, 51, 49, 51, 48, 51, 48, 51, 49, 51,
0 838,7 841,5 680,2 822,1 858,1 680,2 823,2 857,0 680,2 817,4 862,9 680,2 815,6 864,6 680,2 823,3 856,9 680,2
BARAT 9 1 9 1 0 0 6 4 5 5 0 0
3 MALUK 3 1 4 3 1 4 3 1 4 3 1 4 3 1 4 3 1 4
65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34,
1 U 030,7 591,4 622,1 016,8 605,3 622,1 030,0 592,1 622,1 011,8 610,3 622,1 007,8 614,3 622,1 012,6 609,5 622,1
6 4 3 7 6 4 2 8 1 9 2 8
MALUK
3 2 1 3 2 1 3 1 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3
U 67, 32, 66, 33, 62, 37, 64, 35, 64, 35, 64, 35,
2 110,1 020,5 130,6 070,9 059,7 130,6 946,8 183,8 130,6 019,0 111,6 130,6 009,3 121,3 130,6 014,1 116,5 130,6
UTARA 4 6 1 9 2 8 5 5 2 8 3 7
3 PAPUA 8 9 8 9 8 9 8 9 8 9 8 9
92, 91, 91, 90, 90, 92,
3 BARAT 864,5 760,4 7,9 624,9 790,0 834,9 8,7 624,9 821,6 803,3 8,3 624,9 750,9 874,0 9,1 624,9 751,1 873,7 9,1 624,9 874,9 750,0 7,8 624,9
1 3 7 9 9 2
3 3 3 3 3 3
3 25 5 25 5 25 5 25 6 24 6 25 5
PAPUA 80, 19, 1 80, 19, 1 80, 19, 1 80, 19, 1 80, 19, 1 81, 19, 1
4 155,5 921,4 088,4 988,5 082,6 994,3 076,9 000,0 993,6 083,3 168,7 908,2
9 1 076,9 7 3 076,9 7 3 076,9 7 3 076,9 4 0 076,9 0 0 076,9
1 1 1 1 1 1
INDONE 95 91 95 92 95 92 93 93 93 94 94 93
51, 49, 87 50, 49, 87 50, 49, 87 50, 50, 87 49, 50, 87 50, 49, 87
SIA 766,4 985,5 028,0 723,9 271,9 480,0 949,7 802,1 526,2 225,7 114,1 637,8
0 0 751,9 6 4 751,9 7 3 751,9 0 0 751,9 8 2 751,9 1 9 751,9
i. Sektor/Kelompok Barang
2017 2018 2019
IHPB
Persentase
dan Andil
Persentase dan Andil Persentase dan Andil
Perubahan
Perubahan Indeks Harga Perubahan Indeks Harga
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) Perdagangan Besar (IHPB)
Perdagangan
Besar (IHPB)
1.1 Pertanian 284.01 1.28 0.23 285.14 0.48 0.09 288.34 -0.34 -0.06
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 122.54 -0.01 0.00 129.36 -0.35 -0.02 132.21 0.06 0.00
1.3 Industri 136.57 0.41 0.22 141.66 0.16 0.08 142.74 0.21 0.11
Impor 104.58 0.25 0.05 109.30 0.02 0.00 109.79 0.16 0.04
II. Barang Konsumsi 195.00 0.75 0.75 199.22 0.37 0.37 201.29 0.02 0.02
1.1 Pertanian 523.47 1.28 0.42 524.13 0.56 0.18 526.19 -0.71 -0.23
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 170.78 0.20 0.00 170.25 0.32 0.00 173.91 0.12 0.00
1.3 Industri 148.36 0.51 0.32 152.81 0.29 0.19 154.91 0.38 0.25
Impor 155.96 0.11 0.01 166.52 0.00 0.00 168.04 0.10 0.00
III. Barang Modal 122.75 0.10 0.10 126.98 0.40 0.40 128.24 0.29 0.29
1.1 Pertanian 205.91 1.08 0.02 179.33 -2.05 -0.03 194.57 0.18 0.01
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 93.07 -0.24 0.00 104.36 -1.02 -0.01 106.73 0.00 0.00
1.3 Industri 118.93 0.06 0.05 123.76 0.61 0.48 125.14 0.33 0.26
Impor 135.93 0.18 0.03 139.11 -0.22 -0.04 138.92 0.12 0.02
Tabel 1.3. Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia pada periode 2016 – 2019
sumber : bps.go.id, 2019
Ekspor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Migas 51927.4 48291.5 45710.9 44800.9 46072.8 55925.1 59053.9 48446.0 44041.9 41743.1 44964.7 43328.8 42505.0 37055.5
Non Migas 206804.1 278880.8 297062.6 310253.1 332926.3 422921.7 523165.9 551690.6 655963.2 507722.4 463862.5 468399.3 503341.6 571852.0
Jumlah 258731.5 327172.3 342773.5 355054.0 378999.1 478846.8 582219.8 600136.6 700005.0 549465.5 508827.2 511728.1 545846.6 608907.5
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018,
menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun besarannya masih berfkultuasi.
l. Pengembangan sistem informasi dan distribusi induk unggul dan benih bermutu.
2. Peningkatan kualitas sarana dan prasaram perikanan, melalui :
a) Revitalisasi fungsi dan peran Pelabuhan melalui pembangumam dan pengebangan sarana prasarana Pelabuhan perikanan, serta penguatan fasilitas armada penangkapann, terutama Pelabuhan dan
armada di daerah perbatasan;
b) Peningkatam pelayanan dan kelengkapan Pelabuhan perikanan terutama di tiga Pelabuhan percontohan sesuai dengan standar internasional, dengan menerapkan prinsip – prinsip eco fishing port di
lokasi – lokasi terpilih dan strategis;
c) Restrukturisasi dan modernisxasi armada perikanan untuk peningkatan operasional kapal – kapal skala menengah dan besar ( 30 GT ke atas);
d) Revitalisasi prasarana dan sarana budidaya termasuk tambak – tambak dan kolam yang tidak produktif;
e) Lanjutan pengembangan sistem logistic ikan yang terintegrasi dengan sistem logistic nasional didukung oleh sarana transportasi
Yang memadai, cepat, dan tepat memperlancar distribusi produk perikanan yang efisien dan efektif, dari aderah produsen sampai konsumen,sejalan dengan upaya pemenuhan keterrsediaan produk ikan
yanh berkualitas, mudah dan terjangkau;
f) Fasilitasi dan pemenuhan kebutuhan bahan bakar bersubsidi pada sentra – sentra nelayan secara memadai di seluruh Indonesia;
g) Pengembangan balai benih ikan / udang, kebun bibit rumput laut dan perikanan jalan produksi dan irigasi di sentra produksi perikanan;
h) Pengembangan pekan mandiri berbahan baku lo;kal dengan basis kelompok;
i) Pengembangan sarana prasarana pengolahan hasil perikanan.
3. Penyempurnaan tata Kelola perikanan, melalui :
a) Penguatan forum koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumbe daya ikan menuju kelembagaaan pengelolaa WPP ( Wilayah Pengelolaan Perikanan);
b) Penguatan pengelolaan wilayah perikanan sebagai sentra wilayah pertumbuhan produksi;
c) Pengembangan sistem insentif dan penataan perizinan yang terintegrasi antara pusat dan daerah dab berbasis IT;
d) Penguatan kelompok usaha perikanan mndiri dalam rangka pengembangan usage dan fasilitasi akses permodalan yang mudah dan terjangkau;
e) Pengembangan arsitektur riset perikanan dan kelautan, termsuk peningkatan kualitas serta dan sistem informasi perikanan yang andal; serta
f) Pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM perikanan, peningkatan kualitas kegiatan penyuluhan, Pendidikan dan pelatihan.
4. Pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui :
a) Pengelolaan sumber daya ikan berbasis WP dengan melakukan penguatan data SDP dan statistic perikanan;
b) Pembentukan dan pengualan Lembaga ( otoritas) pengelola WPP;
c) Revitalisasi pengelolaan SDI di perairan umum daratan dan pemulihan habitat ikan;
d) Pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk perikanan tangkap dan budidaya;
e) Penguatan armada pengawasan dan kerja sama lintas institusi untuk pencegahan dan pemberantasan IUU fishing secara sungguh – suingguh;
f) Penguatan standar pengelolaan perikanan ramah lingkungan;
g) Perbaikan rejim pengelolaan perikanan melalui penataan aturan penangkapan dan mekanisme pemberian ijin yang andil, transparan dan efisien;
h) Pengembangan kemampuan armada samudera ( distant water fising vessel), untuk memanfaatkan potensi perikanan di ZEEI dan laut lepas ( high seas); serta
i) Partisipasi aktif di dalam organisasi perikanan dunia untuk menjaga kepentingan nasional.
Gambar Usulan Penambahan delineasi pola ruang zona Kawasan perikanan tangkap ( 12 mil sampai dengan 200 mil), sedangkan delineasi pola ruang zona Kawasan perikanan budidaya ( 0 mil – 12 mil)
per gugusan pulau /kepulauan.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sekaligus meningkatkan daya saing produk tambang serta menjaga kelangsungann produksi dan sumberdaya pertambangan, arah kebijakan yang ditempuh adalah :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
1. TUJUAN : mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam pertambangan dan mengembangkan kegiatan pertanian dan perikanan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan perekonomian nasional serta kesejahteraan
masyarakat dengan didukung prasarana dan sarana.
1.1 Kebijakan 1 : Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan pertambangan yang berkelanjutan dan berdaya saing internasional untuk kesejahteraan masyarakat;
1.1.1 Strategi 1 :
Mengoptimalkan a. Kecamatan Porehu, Tidak diatur Pengembangan KPP mineral Wilayah Usaha Kawasan - Pemanfaatan Kawasan Di Kecamatan Kecamatan WUP : Nikel KWASAN YANG PROGRAM
pemanfaatan potensi Batu Putih, dan Tolala kawasan meliputi : Pertambangan potensil dan peruntukan Routa terdapat Asera Laterit di DIDORON PEMBANGUNAN
pertambangan dengan di Kabupaten Kolaka peruntukan Nikel terdapat di (WUP) Meliputi : tambang logam pengendalian pertambangan WUP, WPR merupakan Kecamatan INFRASTRUKTUR
tetap memperhatikan Utara; pertambangan Kabupaten Kabupaten meliputi: kagiatan nikel terdapat di dan WPN bagian dari Tolala, Porehu, 1. Pengembangan BIDANG SDA
prinsip konservasi b. Kecamatan Asera, dengan Morowali Konawe seluas tambang emas, pertambangan Kecamatan dengan kawasan dan Batu Putih; dan peningkatan
lingkungan dan sumber Wiwirano, dan komoditas Kecamatan 458.623,41 Ha besi, Kromit, agar tidak Bungku cadangan andalan Biji Besi seluas di fungsi kawasan Sumber Air Baku
daya alam; Langgikima di unggulan nikel, Bungku Tengah, dengan potensi nikkel di mengganggu Selatan, tambang Nikel. Asesolo dengan Kecamatan Batu pertambangan (WS) Pompengan –
Kabupaten Konawe emas, dan Kecamatan tambang Nikel wilayah fungsi lindung Kecamatan Ekploitasi sector unggulan Putih dan Tolala; Kecamatan Laroenai,
Utara; mineral lainnya Bungku Selatan Laterit, Batu pertambangan - Pengendalian Bahodopi, tambang nikel agroindustry, Mangan di Porehu, Batu WS Lasolo –
c. Kecamatan Routa di yang didukung Chromit terdapat Gamping dan Kabupaten fungsi lindung Kecamatan di Kecamatan pertambangan, Kecamatan Batu Putih, dan Tolala Sampara, dan
Kabupaten Konawe; oleh industry di Kabupaten Marmer; Luwu Timur, dan rahabilitasi Bungku Tengah Routa harus perikanan, Putih; di Kabupaten WS Laa -
d. Kecamatan Bahodopi pengolahan yang Morowali Kabupaten tanah pada memperhatikan perkebunan, Kromit terdapat Kolaka Utara; Tambalako.
di Kabupaten berdaya saing Kecamatan Konawe Utara kawasan bekas Pengendalian pertanian dan di Kecamatan Kecamatan Cekungan Air Tanah
Morowali; serta dan ramah Bungku Tengah seluas 278.297,91 kuasa fungsi lindung pariwisata Batu Putih dan Asera, Wiwirano, (CAT) Morowali, CAT
e. Kecamatan Nuha di lingkungan Biji Besi terdapat Ha dengan potensi pertambangan. dan Tolala. dan Langgikima Tomori dan CAT
Kabupaten Luwu a. Pengembangan di Kabupaten tambang Nikel a. kawasan rahabilitasi Kawasan di Kabupaten Tanona yang berada
Timur. kawasan Morowali Laterit, Biji Besi, tambang batu tanah pada potensi WPR, ditetapkan Konawe Utara; di Kabupaten
pertambangan Kecamatan Batu Gamping dan bara di kawasan- pertambangan pada lokasi yang Kecamatan Morowali dan CAT
nikel di Bungku Tengah Marmer; Kecamatan kawasan mineral yaitu dilakukan usaha Routa di Lelewawo yang
Kabupaten dan Kecamatan Malili bekas kuasa potensi nikel pertambangan Kabupaten tersebar di
Soroako (Luwu Bungku Selatan Wilayah b. kawasan pertambanga yang tersebar di rakyat dengan Konawe; Kecamatan Porehu
Timur), (Termasuk Pencadangan tambang batu n. Kecamatan komoditas terdiri Kecamatan dan Batu Putih yang
Kabupaten kedalam Negara (WPN) gamping, Pemanfaatan Asera, atas sirtu dan Bahodopi di berada di Kabupaten
Morowali, kawasan yang Meliputi : kristas di dan Kecamatan batu gunung Kabupaten Kolaka Utara.
Kabupaten dikendalikan ) Kabupaten Kecamatan pengendalian Langgikima yang tersebar di Morowali; serta
Konawe Utara, Konawe seluas Towuti, kagiatan seluruh Kecamatan Prasarana Sumber
dan Kabupaten 6.923,87 Ha Wasuponda pertambanga Kawasan kecamatan. Nuha di Daya Air
Kolaka Utara; dengan cadangan c. kawasan n agar tidak potensi Kabupaten Luwu Daerah Irigasi (DI) :
b. Pengembangan tambang Nikel; tambang biji mengganggu pertambangan WPN ditetapkan Timur. DI Lele Dampala
kawasan besi di fungsi lindung non mineral seluas seluas 200 Ha, DI
pertambangan Kecamatan yaitu marmer 100.979,38 ha 2. Pengembangan Keurea seluas 175
mineral lainnya Malili; dan batuan yang terdapat dan peningkatan Ha, dan DI Labota
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
di, Kabupaten d. kawasan ultra basa pada kawasan fungsi kawasan seluas 200 Ha di
Morowali, tambang kromit (bahan hutan lindung di Perikanan dan Kecamatan Bahodopi
Kabupaten di Kecamatan ornamen) di setiap kecamatan Pertanian di Kabupaten
Konawe, Malili; Kecamatan Kawasan Morowali,
e. kawasan Asera potensial DI Angkona, DI
tambang oksida Perikanan Bakkara, DI
besi di Kecamatan Malili Balambano, DI
Kecamatan Kabupaten Luwu Bambulu, DI
Malili; Timur dan Bantilang, DI
f. kawasan Kecamatan Cerekang I, DI
tambang pasir Bungku Selatan Cerekang II, DI
besi di Kabupaten Cerekang III, DI
Kecamatan Morowali Cerekang IV, DI
Malili; Kawasan Kondube, DI
g. kawasan potensial Kurandeme, DI
tambang pertanian di Leduledu , dan DI
peridotit, durit Kecamatan Batu Lioka; DI Loeha, DI
dan serpentin di Putih Kabupaten Mantadulu, DI Pao
Kecamatan Kolaka Utara Bali, DI Puncak
Wasponda, Indah, DI Senggeni II,
Malili DI Singgeni, DI
h. kawasan Tarabbi, DI
tambang rijang Tokalimbo, DI Tokke,
dan serping di DI Waelalu, DI Asuli;
Kecamatan dan DI Lanosi di
Wasponda; Kabupaten Luwu
i. kawasan Timur
tambang sirtu di
Kecamatan PROGRAM
Malili PEMBANGUNAN
j. kawasan INFRASTRUKTUR
tambang talk di BIDANG BINA MARGA
Kecamatan
Malili Jalan
1.Peningkatan Fungsi
1.1.2 Strategi 2 : Jaringan jalan arteri
Mendayagunakan (WS) Pompengan – WS Strategis WS Strategis WS Strategis WS Lintas Provinsi WS Lintas Kawasan taman WS Strategis WS strategis Wilayah sungai WS Lintas primer dan kolektor
sumberdaya air Laroenai, Nasional Laa - Nasional Laa - Nasional Laa - Pompengan – Provinsi wisata alam Nasional yaitu nasional yaitu yang berada Provinsi yaitu WS primer
khususnya danau dan WS Lasolo – Sampara, Tambalako (I- Tambalako Tambalako Laroenai dan WS Pompengan – (Taman Nasional) WS Laa – WS Lasolo – pada Pompengan- Jaringan jalan arteri
sungai secara terencana dan IV/A/1) WS Lintas WS Lintas Lasolo – Sampara Laroenai dan Danau Matano Tambalako Sampara. Kabupaten Larona primer di jaringan
terkendali dan WS Laa - Tambalako. WS Lintas Provinsi Provinsi WS Lasolo – dan Danau mencakup DAS Konawe Utara jalan strategis
berkelanjutan guna Cekungan Air Tanah Provinsi Pompengan – Pompengan – Danau Biru di Sampara Mahalona seluas Salato, DAS yaitu WS Cekungan Air nasional lintas
mendukung kegiatan (CAT) Morowali, CAT Pompengan – Laroenai dan Laroenai dan Kabupaten Kolaka 18.660,97 Ha dan Morowali, DAS Lasolo Tanah (CAT) Lele tengah Sulawesi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
pertambangan Tomori dan CAT Laroenai (I- WS Lasolo – WS Lasolo – Utara Taman Kawasan Wisata Sumare dan Konaweha yang Wawo di meliputi Wotu-
khususnya untuk sarana Tanona yang berada di IV/A/1) Sampara Sampara Nasional Alam Danau DAS merupakan WS Kecamatan Tarengge-Malili –
pendukung seperti Kabupaten Morowali WS Lintas Taman Wisata Danau Tiga Warna Danau Matano, Towuti seluas Bahonbelu. Lintas Provinsi Porehu dan Batu Tolala – Lelewawo
penyediaan air baku, dan CAT Lelewawo Provinsi Lasolo Alam Danau Linomoio di Mahalona dan 56.370,66 Ha; dengan Daerah Putih -Batu Putih –
pembangkit listrik, yang tersebar di – Sampara (I- Matano, Kabupaten Towuti Ditetapkan WS lintas Aliran Sungai Lasusua- Wolo-
maupun sebagai inputan Kecamatan Porehu dan IV/A/1) Mahalona dan Konawe Utara Kabupaten sebagai Kawasan Provinsi terdiri (DAS). Kolaka
dalam proses Batu Putih yang berada Taman Wisata Towuti Luwu Timur strategis atas : WS Jaringan jalan
pengolahan bijih nikel di Kabupaten Kolaka Alam Danau Kabupaten Bendung Nasional penggunaan Pompengan – kolektor primer di
serta pemenuhan Utara. Matano dan Luwu Timur Bendung Taman Wisata teknologi tinggi. Laroenai; dan jaringan jalan
kebutuhan pokok rumah Mahalona Provinsi Wawotobi di Alam Danau (yangtermasuk WS Lasolo – strategis nasional
tangga terutama di Danau Matano, (II/B/6) Sulawesi Kabupaten Matano, dalam kawasan Sampara lintas Timur
wilayah permukiman; Mahalona dan Towuti Taman Wisata Selatan Konawe Mahalona dan potensial mencakup DAS Sulawesi meliputi
Kabupaten Luwu Timur Alam Danau Towuti pertambangan Lasolo, DAS Wosu-Bungku-
Waduk Karebbe di Towuti (I/B/6) Bendung Provinsi Kabupaten adalah Danau Sampara, DAS Bahodopi-
Kabupaten Luwu Timur meliputi Bendung Luwu Timur Matano) Lalindu, DAS Lamonae-
(Lampiran Asolu, Walay, Aopa, DAS Landawe-Kota
(Dalam peta disebutkan VI,Wilayah Laeya, Roraya 1 Luhumbuti, Maju-Asera-
terdapat 4 WS, yang Sungai WS, dan Roraya 2, DAS Landawe, Andowia; batu
tidak disebutkan WS No.62) Kabupaten dan DAS putih-porehu-tolala
Towari-Lasusua) Konawe Amesiu (kolaka utara).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Kabupaten Kolaka Utara, Soroako dan Pertambangan dan wasu poda, Bungku Tengah Kecamatan Kawasan Lindung -
Langgikima di Kabupaten sekitarnya Kawasan (PKIP) meliputi sedangkan dalam Asera Pengembangan 1. Pengembangan
Konawe Utara, Routa di Provinsi Andalan Asesolo Asera- Wiwirano- RTR KSN kawasan kegiatan
Kabupaten Konawe, Sulawesi Selatan (Asera – Lasolo) Langgikima sorowako Mengembangka strategis pemanfaatan
Bahodopi di Kabupaten (I/D/2) Tahap hanya disebutkan (AWILA) Kab. pusatnya terdapat n Kawasan pertambangan Sumber daya
Morowali, dan Sorowako pengembangan / sebagai kawasan Konawe Utara di Kecamatan industry besar meliputi alam di Kawasan
(Nuha) di Kabupaten Peningkatan unggulan Pengembangan Nuha) kegiatan Kecamatan Danau Matano,
Luwu Timur Kualitas perikanan potensi pertambangan Tolala, Porehu Towuti dan Danau
Kawasan pertambangan di Kecamatan dan Batu Putih Mahalona
sebagai Langgikima 2. Pengembangan
(Lampiran X, pendorong kegiatan
Penetapan pertumbuhan Mengembangka Pengembangan pemanfaatan
Kawasan wilayah di n Pusat kawasan industry Sumber daya
Strategis Kabupaten Kawasan besar kegiatan alam di Kawasan
Nasional No.61) Konawe, Konawe Ekonomi pertambangan di Cekungan Air
Utara. Khusus Kecamatan Tanah (CAT)
Kawasan Pengembangan Pertambangan Tolala 3. Pengembangan
Andalan Asesolo pusat kegiatan (PKIP) Awila kegiatan
(Asera – Lasolo) industri sebagai pusat pemanfaatan
(III/C/2) pertambangan pertumbuhan Sumber daya
pengembangan sebagai kawasan ekonomi alam di Kawasan
kawasan ekonomi khusus Hutan Lindung;
andalan untuk di Kabupaten Resapan Air;
pertambangan Kolaka Utara; Sepadan Pantai;
Sepadan
(Lampiran IX, Sungai;
Kawasan Sepadan
Andalan No.29) Danau/Waduk;
Cagar Alam;
1.1.5 Strategi 5: Taman
Meningkatkan keterkaitan Nasional;
antar-pusat-pusat Kawasan Pantai
kegiatan pemanfaatan Berhutan Bakau;
sumber daya alam dan Cagar Budaya
antara pusat-pusat - - - - - - - - - - - dan Ilmu
kegiatan pemanfaatan Pengetahuan;
potensi pertambangan Rawan Tanah
dengan kawasan longsor;
sekitarnya; Rawan
1.1.6 Strategi 6: Gelombang
Sarana Dan Prasarana Pasang;
Transportasi Rawan Banjir;
TRANSPORTASI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
DARAT Rawan Abrasi
Mengembangkan dan Jaringan Jalan Jaringan Jalan Jaringan Jalan Jaringan Jalan Jaringan Jalan Tidak Terdapat Jaringan Jalan Jaringan Jalan Tidak Terdapat Jaringan Jalan Jaringan Jalan 4. Pengembangan
meningkatkan kualitas Jaringan jalan arteri Pengembangan Mengembangkan Pemantapan dan Jaringan jalan Peningkatan Jaringan Jalan Jaringan Jalan Jaringan jalan Kegiatan di Jalan
serta jangkauan primer di jaringan jalan jaringan jalan dan memantafkan pengembangan nasional Jaringan jalan Kolektor Primer Kolektor Primer nasional nasional
pelayanan sarana dan strategis nasional lintas arteri primer di jaringan jalan sistem jaringan jalan arteri primer arteri sekunder K1 meliputi : Lintas Timur jalan arteri primer pendukung
prasarana transportasi, tengah Sulawesi : jaringan lintas arteri primer jalan. meliputi jalan meliputi Malili – Ruas jalan meliputi : meliputi Batas kegiatan
energi, listrik, Lelewawo – Tolala – Tengah dan kolektor primer lintas tengah Soroako Wosu – Lasolo – Sulawesi Selatan pendayagunaan
telekomunikasi, dan Batas Kecamatan Malili lintas Timur dan strategis Jaringan Jalan Sulawesi meliputi (Dalam RTR KSN Bungku Andowia – Tolala – sumberdaya alam
sumber daya air sebagai Jaringan jalan kolektor pulau sulawesi nasional pada Kolektor Primer Bts. Prov. Sulsel - Sorowako sepanjang ± sepanjang Lelewawo – Batu di kawasan
sarana dan prasarana primer di jaringan jalan jaringan jalan K1 meliputi Tolala - Lelewawo jaringan jalan 48,806 Km; 25,7Km Putih. sorowako yaitu
pendukung kawasan strategis nasional lintas (Lampiran XI, lintas Timur dan Kolonodale- sepanjang 40,071 tersebut termasuk (pada Andowia – ruas jalan batas
pertambangan yang Timur Sulawesi Indikasi Program Lintas Tengah Tompira-Wosu- Km, kedalam rencana kawasan yang Asera jaringan jalan Kecamatan Malili
berwawasan ekologis meliputi Utama Lima Pulau Sulawesi Bungku- jaringan jalan dikendalikan) sepanjang kolektor primer – Batas
dan eko-kontruksi; 1. Bahodopi – Batas Tahunan) Bahodopi sampai jaringan jalan nasional untuk Ruas jalan 12,2Km Jaringan jalan Kecamatan Nuha
Kecamatan Bungku jaringan jalan batas provinsi kolektor primer mendukung Bungku – Asera – Kota Kolektor Primer dan Batasa
Selatan kolektor primer Sultra. jalan lintas timur kegiatan Bahodopi Maju – K3 meliputi Batu Kecamatan Nuha
2. Batas Kecamatan Jaringan Kolektor Untuk wilayah Sulawesi meliputi pendayagunaan sepanjang ± Landawe Putih Porehu – Batsa
Bungku Pesisir – Primer pada potensi Bts. Prov. Sulteng sumberdaya 42,046 Km; sepanjang Tolala Kecamatan
Lamonae – Andowia. jaringan jalan pertambangan (Buleleng) – alam) 31,0Km; Bahodopi.
Jaringan jalan kolektor lintas Timur Pulau hanya pada ruas Lamonae – Landawe –
primer Batu Putih – Sulawesi yang Bahodopi sampai Landawe Lamonae –
Porehu – Tolala. menghubungkan batas Kecamatan sepanjang 55,769 Batas Sulteng
Pembangunan Kolondale- Bungku Selatan Km, Landawe – sepanjang
Jaringan jalan nasional Tompira-Wosu- Kota Maju – Asera 55,7
untuk mendukung Bungku- sepanjang 31,033
kegiatan Bahodopi- Km, Asera
pendayagunaan Lamonae-Asera- (Jembatan Lasolo)
sumber daya alam di Andowiya- – Andowia
Kawasan Sorowako Lasoslo-Pohara sepanjang 12,210
dan sekitarnya : Km
meliputi Malili – Jaringan Arteri
Sorowako - Bahodopi Primer pada Jaringan jalan
(di Kabupaten Luwu jaringan jalan provinsi meliputi
Timur dan Kabupaten lintas Tengah jalan kolektor
Morowali) Pulau Sulawesi primer yang
yang menghubungkan
menghubungkan antar ibukota
Tarumpakae- kabupaten/kota (K-
Pareman-Palopo- 3)
Masamba-Wotu- 1. Batu Putih –
Malili-Tolala- Porehu – Tolala.
Lelewawo-Batu
2. Tetewatu -
Putih-Lapai-
Pondoa (S.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Lasusua-Wolo- Wataraki)
Kolaka-Tunaha- sepanjang 25,50
Kendari Km, Pondoa (S.
Wataraki) –
Mengembangkan Routa
Jaringan Jalan sepanjang 48,93
Nasional untuk Km, Batu Putih –
menghubungkan Porehu – Tolala
kawasan sepanjang 50,80
perkotaan Km, Lagadi –
Nasional dengan Tondasi
pelabuhan dan sepanjang 35,50
atau Bandar Km,
udara
Kereta Api Jaringan jalur KA Jaringan jalur KA Tidak Terdapat Rencana Jaringan jalur Tidak Terdapat Jaringan Rel Tidak Terdapat Tidak Terdapat Jaringan Rel
Jaringan jalur kereta api lintas Barat lintas Barat Pulau pengembangan KA Nasional Kereta Api yaitu Kereta Api Tidak
antar kota lintas Barat Pulau Sulawesi Bagian sistem jaringan lintas utama di jaringan rel disebutkan dalam
Pulau Sulawesi Bagian Sulawesi Bagian Selatan perkeretaapian Provinsi kereta api yang RTRW
Selatan di Kecamatan Selatan jalur kereta api Sulawesi menghubungka Kabupaten
Porehu lintas cabang Selatan, Wotu n Poso dengan Kolaka Utara
kolaka – poso – Malili – Kolaka yang
Perbatasan melewati
Sultra Kabupaten
(Kawasan Morowali.
Potensi (Dalam RTR
Perikanan) KSN Sorowako
jaringan rel
kereta api tidak
melewati
Kabupaten
Morowali)
Jaringan transportasi Tidak Terdapat Pengembangan Tidak Terdapat Rencana Pemantapan Pembangunan Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pelabuhan Tidak Terdapat
sungai dan danau : jaringan pelabuhan Dermaga dan Peningkatan walalindu di
Pelabuhan Walalindu di transportasi penyebrangan Penyebrangan Dermaga Kecamatan
Kecamatan Asera danau untuk antar provinsi di Antar Penyebrangan Asera .
Kabupaten Konawe meningkatkan kabupaten konawe Kabupaten – Matano dan Rencana
Utara; keterkaitan antar utara, Kota terdapat Sorowako Pengembang
Pelabuhan Puu wilayah di Danau (Untuk pelabuhan di : Kecamatan Nuha an Pelabuhan
Wanggudu di Matano Walalindu dan Puu Datau Puuwanggudu
Kecamatan Asera di Wanggudu tidak Matano yaitu di Kecamatan
Kabupaten Konawe teridentifikasi Dermaga Asera
Utara secara jelas) Nuha dan
transportasi danau di Soroako.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Danau Matano Danau Towuti
yaitu
Dermaga
Beau dan
Timampu
(termasuk
dalam
kawasan
yang
dikendalikan)
TRANSPORTASI LAUT
Pelabuhan Pengumpan Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Laut Tidak Terdapat Pelabuhan Tidak Terdapat Pelabuhan Pelabuhan
Sekunder di Tolala Pengumpul di Pengumpan Nasional di Nasional pengumpan Pengumpan yaitu
Kabupaten Kolaka Pelabuhan Lameruru di Malili sebagai Lameruru di Pelabuhan Tolala
Utara dan Bahodopi Bungku Kabupaten Kabupaten pelabuhan Kecamatan di Kecamatan
Kabupaten morowali; Kabupaten Konawe Utara Luwu Timur. Pengumpul Langgikima Tolala
Pelabuhan pengumpan Morowali (diluar (Pelabuhan yaitu
(lokal lainnya) di kawasan potensi Luar Negeri pelabuhan Pelabuhan Terminal Khusus
Bahodopi Kabupaten pertambangan) Pengangkut Bungku di khusus Pertambangan di
morowali; Nikel) Kecamatan pertambanga Desa Tolala
Pelabuhan Pengumpul (termasuk Bungku n di Kecamatan
Lameru di Kabupaten kedalam Tengah Langgikima Tolala.
Konawe Utara; wilayah potensi (Terdapat di
Terminal khusus di kawasan kawasan yang
Desa Tolala perikanan) dikendalikan)
KecamatanTolala di Pelabuhan
Kabupaten Kolaka Pengumpan
Utara (rencana), Desa Primer
Fatufia Kecamatan (Regional)
Bahodopi Kabupaten yaitu
morowali. Pelabuhan
Sambalagi
Kecamatan
Bungku
Selatan.
(Dalam RTR
KSN
Sorowako
Pelabuhan
terdapat di
Kecamatan
Bahodopi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Kabupaten
morowali
sebagai
pelabuhan
Pngumpan)
TRANSPORTASI
UDARA
Bandar Udara Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pengembangan Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pembangunan Tidak Terdapat
Pengumpan di Soroako dan peningkatan Bandar Udara
Kabupaten Luwu Timur fungsi Bandar Perintis di
Provinsi Sulawesi Udara Soroako Kecamatan
Selatan Kecamatan Nuha Langgikima
Bandar Udara Khusus Kabupaten Luwu
di Langgikima Timur
Kabupaten Konawe
Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara
Prasarana Sumber Daya
Air
Daerah Irigasi (DI) : DI Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Konsevasi Pengendalian DI kewenangan Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat
Lele Dampala seluas SDA, terhadap Kabupaten
200 Ha, DI Keurea Pendayagunaa pemanfaatan air meliputi :
seluas 175 Ha, dan DI n SDA dan baku. DI Lele
Labota seluas 200 Ha Pengendalian Dampala
di Kecamatan Daya Rusak Air DI Angkona, DI seluas 200 Ha
Bahodopi di Kabupaten di Bakkara, DI di Kecamatan
Morowali, DI Kalaena Balambano, DI Bahodopi;
DI Angkona, DI Kiri/Kanan Bambulu, DI 63. DI
Bakkara, DI (Kab. Luwu Bantilang, DI Keurea seluas
Balambano, DI Timur), luas Cerekang I, DI 175 Ha di
Bambulu, DI Bantilang, 16.945 ha (I- Cerekang II, DI Kecamatan
DI Cerekang I, DI IV/A/1) Cerekang III, DI Bahodopi;
Cerekang II, DI Kalaena Cerekang IV, DI dan
Cerekang III, DI (Kab. Luwu Kondube, DI 64. DI
Cerekang IV, DI Timur), luas Kurandeme, DI Labota seluas
Kondube, DI 17.584 ha. Leduledu , dan DI 200 Ha di
Kurandeme, DI Lioka; DI Loeha, Kecamatan
Leduledu , dan DI DI Mantadulu, DI Bahodopi.
Lioka; DI Loeha, DI Pao Bali, DI
Mantadulu, DI Pao Bali, Puncak Indah, DI
DI Puncak Indah, DI Senggeni II, DI
Senggeni II, DI Singgeni, DI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Singgeni, DI Tarabbi, Tarabbi, DI
DI Tokalimbo, DI Tokalimbo, DI
Tokke, DI Waelalu, DI Tokke, DI
Asuli; dan DI Lanosi di Waelalu, DI Asuli;
Kabupaten Luwu Timur dan DI Lanosi di
Kabupaten Luwu
Timur
1.1.7 Strategi 7:
Mengembalikan fungsi PERLINDUNGAN Kawasan Taman PERLINDUNGAN PERLINDUNGA PERLINDUNGAN PERLINDUNG PERLINDUNGAN PERLINDUNG PERLINDUNG PERLINDUNG PERLINDUNGAN
dan kualitas kawasan TERHADAP KAWASAN Wisata Alam TERHADAP N TERHADAP TERHADAP AN TERHADAP AN TERHADAP AN TERHADAP AN TERHADAP TERHADAP
lindung yang telah BAWAHANNYA Danau Matano, KAWASAN KAWASAN KAWASAN TERHADAP KAWASAN KAWASAN KAWASAN KAWASAN KAWASAN
menurun akibat Kawasan Hutan Lindung Mahalona, BAWAHANNYA BAWAHANNYA BAWAHANNYA KAWASAN BAWAHANNYA BAWAHANNYA BAWAHANNYA BAWAHANNYA BAWAHANNYA
pengembangan kegiatan Kawasan hutan lindung Towuti Kawasan Hutan Kawasan Hutan Kawasan Hutan BAWAHANNY Kawasan Hutan Kawasan Hutan Kawasan Hutan Kawasan Hutan Kawasan Hutan
pertambangan dan terdapat hampir disemua (Dalam wilayah Lindung Lindung Lindung A Lindung Lindung Lindung Lindung Lindung
budidaya lainnya dalam Kecamatan yang potensi Rehabilitasi kawasan hutan Kabupaten Kawasan Rehabilitasi dan Kawasan Reboisasi dan Terdapat Terdapat di
rangka memelihara termasuk kedalam pertambangan kawasan hutan tersebar di Konawe Utara Hutan Lindung pemantapan hutan pengelolaan diseluruh Kecamatan
keseimbangan kawasan potensi yang termasuk lindung yang Kecamatan 209.661 Ha, Rehabilitasi fungsi kawasan Tangofa dan Kawasan kecamatan di Tolala, Batu Puti
lingkungan pertambangan hanya Danau terdegradasi Bahodopi dan Kabupaten dan hutan lindung di Tokala di hutang lindung Kabupaten dan Porehu
Matano, dalam serta sebagian Konawe, 236.190 pemantapan Towuti, Nuha, Kecamatan di Kecamatan Konawe Utara
Kawasan Resapan Air lingkup KSN mempertahankan Kecamatan Ha, Kabupaten fungsi kawasan Wasuponda, Bungku routa Kawasan
Tidak ada peta CAP di termasuk dan Bungku Timur Kolaka Utara, hutan lindung Malili. Selatan; Kawasan Resapan Air
RTR KSN semua) meningkatkan Kabupaten 159.133 Ha Kabupaten (Yang termasuk Kawasan Kawasan bergambut di Kecamatan
luasan kawasan Morowali Luwu Timur dalam KSN hutan Bete- perlindungan Kecamatan Tolala dan
hutan lindung Propinsi Kawasan Resapan Kecamatan Sorowako Bete di terhadap air Asera Porehu.
KAWASAN Kabupaten Sulawesi Air Malili kawasan potensi Kecamatan tanah semua
PERLINDUNGAN Worowali, Luwu Tengah. Terdapat di (Dalam KSN pertambangan Bahodopi; kecamatan di Sempadan Sempadan Pantai
SETEMPAT Timur, Kolaka Kabupaten Termasuk adalah Kawasan Kabutan Pantai Sepanjang pantai
Sempadan Pantai Utara. Sempadan Konawe, 17.115 dalam Kecamatan Nuha) hutan Konawe Di sepanjang di Kecamatan
di sepanjang pantai Pantai Ha Kawasan Bahotobungk pesisir pantai Tolala.
Kecamatan Bahodopi, Kawasan Sempadan Potensi Kawasan u di Kecamatan
Sebagian kecamatan Resapan Air Pantai terdapat di Sempadan Pantai Perikanan) Resapan Air Kecamatan Langgikima Sempadan
Langgikima, Kecamatan Rehabilitasi Kecamatan Terdapat di Pengendalaian Bungku Sungai
Tolala kawasan resapan Bahodopi dan Kecamatan Kawasan kawasan untuk Tengah; Sempadan Di sepanjang
air yang sebagian langgikima Resapan Air menunjang fungsi Sungai sungai
Sempadan Sungai terdegradasi Kecamatan Kabupaten Terdapat di kawasan dan Sempadan Di sepanjang Kabupaten
serta Bungku Timur Konawe Utara kawasan hutan pelestarian Sungai sungai Kolaka Utara
pemertahanan Kabupaten lindung lingkungan di Kecamatan Kabupaten
fungsi lahan dan Morowali Cagar Budaya Dan Kawasan danau Bahodopi Konawe Utara Gelombang
Sekitar Danau/Waduk pengendalian alih Propinsi Ilmu Pengetahuan Sempadan Matano Sungai Baho Pasang
Sekitar Danau Matano fungsi lahan pada Sulawesi Goa Tengkorak di Sungai Dopi dan Cagar Budaya Di Kecamatan
CAT Wasopote Tengah. Kabupaten Sempadan Sungai Sungai La Dan Ilmu Tolala
yang berada di Konawe Utara Sempadan (tersebar Siumbatu , Pengetahuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
KAWASAN CAGAR Kabupaten Kawasan rawan Pantai diseluruh Kecamatan Goa Tengkorak Rawan Banjir
BUDAYA DAN ILMU Morowali dan gempa bumi, KAWASAN Kawasan patai kecamatan) Bungku Tengah di Desa Desa Laleulu
PENGETAHUAN Kabupaten kawasan rawan RAWAN di Kecamatan Sungai La Parawonua Kecamatan
Cagar Alam Luwu Timur; dan abrasi, kawasan BENCANA ALAM Malili Sekitar Danau Rongsangi, dan Kecamatan Tolala
Cagar Alam CAT Lelewolo rawan tanah Tanah Longsor (Dalam KSN Rehabilitasi dan Baho Ipi. Wiwirano di
Faruhumpenai dan yang berada di longsor, kawasan Kawasan tanah Termasuk konservasi lahan Kabupaten Kawasan Rawan
Kalaena yang terletak di Kabupaten Luwu rawan longsor terdapat di dalam di kawasan danau KAWASAN Konawe Utara Gempa Bumi
Kecamatan Nuha, Timur dan gelombang Kecamatan Asera, Kawasan Matano CAGAR Pada Jalur
Kabupaten pasang, kawasan Langgikima, Potensi BUDAYA DAN Rawan Banjir Patahan atau
Kolaka Utara. rawan banjir Wiwirano Perikanan) KAWASAN ILMU Dikecamatan Secar di
Taman Nasional terdapat Kabupaten CAGAR BUDAYA PENGETAHUA Asera Kecamatan
Taman Nasional Danau KAWASAN diseluruh wilayah Konawe Utara Sekitar DAN ILMU N Porehu
Matano terletak di PERLINDUNGAN provinsi Danau/Waduk PENGETAHUAN Kawasan Rawan
kecamatan Nuha SETEMPAT Gelombang Sekitar Danau Cagar Alam Pantai Berhutan Gerakan Tanah
Pengendalian Pasang Matano, Pengembangan Bakau Kecamatan
Kawasan Pantai pemanfaatan Di Kecamatan Towuti, dan pengelolaan Kawasan Asera,
Berhutan Bakau ruang pada Tolala Kabupaten Mahalona. cagar alam hutan bakau Langgikia,
Kawasan hutan bakau sempadan sungai Kolaka Utara paruhum penai Bungku Wiwirano
Bahodopi terdapat di yang berpotensi KAWASAN dan cagar alam Selatan
Kec. Bahodopi di merusak/mengga Rawan Banjir CAGAR kalaena terdapat di
Kabupaten Morowali nggu fungsi Kecamatan Batu BUDAYA DAN Kecamatan Nuha Kec. Bungku
sempadan sungai Putih dan Tolala ILMU Selatan
Cagar Budaya Dan Ilmu meliputi : Kabupaten Kolaka PENGETAHUA Taman Nasional dengan luas
Pengetahuan 1. sempadan Utara. N Rehabilitasi dan kurang lebih
Goa Tengkorak di Desa Sungai Kecamatan Asera Cagar Alam konservasi lahan 125 Ha;
Parawonua Kecamatan Pompengan, Kabupaten Pengembanga Taman Nasional Kawasan
Wiwirano di Kabupaten Sungai Larona, Konawe Utara n dan Danau Matano. hutan bakau
Konawe Utara Sungai Pengelolaan Bungku
Kalaena, kawasan Cagar KAWASAN Tengah
KAWASAN RAWAN Sungai KAWASAN Alam RAWAN terdapat di
BENCANA ALAM Latuppa, LINDUNG Parukumpenai BENCANA ALAM Kec. Bungku
Tanah Longsor Sungai Bua, GEOLOGI dan Kalaena di Tanah Longsor Tengah
Kecamatan Nuha Sungai Lamasi, Rawan Abrasi Kecamatan Di Kecamatan dengan luas
Kabupaten Luwu Timur Sungai Pesisir Pantai Nuha Nuha kurang lebih
Makawa, Kecamatan Tolala Kabupaten 75 Ha (belum
Gelombang Pasang Sungai Kabupaten Kolaka Luwu Timur Gempa Bumi ada SK
Kecamatan bahodopi Bungadidi, Utara II/B/3. Di Kecamatan penetapan);
Kabupaten Morowali dan Sungai Kebo, Pesisir Pantai Nuha dan
Kecamatan Tolala Sungai Kecamatan Pengembanga Kawasan
Kabupaten Kolaka Utara Rongkong, dan Langgikima n dan hutan bakau
Sungai Kabupaten Pengelolaan Bahodopi
Rawan Banjir Balease pada Konawe Utara Taman Wisata terdapat di
Desa Laleulu Kecamatan WS Alam Kec.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Tolala Kabupaten Kolaka Pompengan- Rawan Tsunami Danau Bahodopi
Utara dan Kecamatan Lorena Pesisir Pantai Matano di terdapat di
Asera di Kabupaten (Provinsi Kecmatan Batu Nuha Kec. bahodopi
Konawe Utara Sulawesi Putih dan Tolala Danau dengan luas
elatan-Provinsi Kabupaten Kolaka Mahalona di kurang lebih
Rawan Abrasi ulawesi Utara. Towuti. 378 ha.
Kecamatan Bahodopi Tengah- Pesisir Pantai Danau Towuti Cagar Budaya
Kabupaten Morowali Provinsi Kecamatan di Towuti Dan Ilmu
Sulawesi Langgikima Pengetahuan
Tenggara); Kabupaten Kawasan Kawasan cagar
KAWASAN LINDUNG 2. sempadan Konawe Utara Pantai budaya mesjid
GEOLOGI Sungai Lasolo, Berhutan tua Bungku
Rawan Bencana Alam Sungai Bakau terdapat di Kec.
Geologi Sampara, (dalam Bungku Tengah
Kecamatan Asera, Sungai Lalindu, peraturan Kawasan cagar
Kecamatan Langgikima, Sungai Aopa, zonasi budaya benteng
Kecamatan Wiwirano di Sungai Tinobu, disebutkan tapi fafontofure di
Kabupaten Konawe Sungai lokasi tidak Kec. Bungku
Utara, Porehu di Luhumbuti, disebutkan). Tengah
Kabupaten Kolaka Utara Sungai
Landawe, dan KAWASAN KAWASAN
Sungai Amesiu RAWAN RAWAN
pada WS BENCANA BENCANA
Lasolo- ALAM ALAM
Sampara Tanah Longsor Gelombang
(Provinsi Terdapat di Pasang
Sulawesi Kecamatan Terdapat di
Tenggara- Wasuponda Kecamatan
Provinsi Kabupaten Bungku
Sulawesi Luwu Timur Selatan,
Selatan- (termasuk Kecamatan
Provinsi kedalam Bahodopi,
Sulawesi kawasan yang Kecamatan
Tengah). di kendalikan) Bungku Tengah
3. sempadanSun
gai Laa, KAWASAN
Sungai Salato, LINDUNG
Sungai GEOLOGI
Morowali, dan Rawan Abrasi
Sungai Kecamatan
Bahonbelu Bungku
pada WS Laa- Selatan,
Tambalako Bahodopi,
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
(Provinsi Bungku Tengah
Sulawesi
Tengah). Gerakan Tanah
Kecamatan
KAWASAN Bungku Tengah
CAGAR BUDAYA
DAN ILMU
PENGETAHUAN
Pengendalian
pemanfaatan
ruang pada
kawasan sekitar
danau Matano.
Pengembangan
pengelolaan
kawasan Taman
wisata alam
Danau Matano,
Mahalona dan
Towuti.
Pemertahanan
kawasan pantai
berhutan bakau
diwilayah pesisir.
KAWASAN
RAWAN
BENCANA ALAM
Gelombang
Pasang
Pengendalian
perkembangan
kegiatan
budidaya
terbangun di
kawasan rawan
gelombang
pasang diwilayah
pesisir
Rawan Banjir
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Pengendalian
perkembangan
kegiatan
budidaya
terbangun di
kawasan rawan
banjir di
Kabupaten Luwu
Timur
Rawan Bencana
Alam Geologi
Pengendalian
perkembangan
kegiatan
budidaya
terbangun di
kawasan rawan
bencana alam
geologi dalam
kawasan rawan
gempa bumi di
Kabupaten
Morowali dan
Luwu Timur.
1.2 Kebijakan 2 : Pengembangan dan peningkatan kegiatan budidaya pertanian dan perikanan yang berkelanjutan sebagai alternatif kegiatan perekonomian masyarakat yang mampu bersaing dalam perekonomian nasional
1.2.1 Strategi 1 :
Mengembangkan Kawasan potensial Pengembangan Pemertahanan Kabupaten Pengembangan Pengembanga Pembangunan Pengembangan Dalam RTR Dalam RTR Dalam RTR KSN
kegiatan pertanian dan perikanan terdapat di kawasan dan Morowali Provinsi Kawasan Andalan n kawasan sarana dan kegiatan KSN Sorowako KSN Sorowako Sorowako
perikanan yang Kecamatan Malili andalan pengembangan Sulawesi Tengah Pertanian di pertanian dan prasarana pertanian dan Kecamatan Kabupaten Kabupaten Batu
berwawasan lingkungan Kabupaten Luwu Timur perikanan di kawasan tidak Kawasan Asesolo perikanan di penunjang perikanan Routa Konawe Utara Putih hanya
dan Kecamatan Bungku kawasan peruntukan dikembangkan (Dalam KSN Kabupaten kegiatan Kabupaten hanya termasuk termasuk
Selatan Kabupaten Asesolo (I/F/2) pertanian pangan sebagai potensi Sorowako Asera Luwu Timur perikanan Konawe hanya kedalam kedalam wialyah
Morowali (Asera) berkelanjutan perikanan termasuk kedalam Provinsi bududaya dan termasuk wialyah kawasan
yang di dukung wilayah potensi Sulawesi perikanan tangkap kedalam kawasan potensial
Kawasan potensial Pengembangan dengan industry pertambangan) Selatan di Kecamatan wialyah potensial pertanian
pertanian di Kecamatan dan peningkatan pengolahan dan Malili kawasan pertambangan
Batu Putih Kabupaten kualitas kawasan industry jasa potensial Pengembangan
Kolaka Utara pertania di untuk pertambangan Pengembangan kawasan
kawasan mewujudkan potensi tanaman pangan
andalan ketahanan perikanan dan lahan basah di
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
pertanian di pangan nasional pertanian di Kecamatan Batu
kawasan di Kabupaten Kabupaten Putih
Asesolo (III/A/2) Luwu Timur, Konawe Utara
Morowali, termasuk
(Lampiran IX, Konawe, Konawe kedalam
Kawasan Utara. pengembnagan
Andalan No.29) kawasan
mengendalikan andalan
perkembangan Asesolo.
kawasan
peruntukan
pertanian yang
berada di sekitar
kawasan hutan
lindung dan
kawasan hutan
konservasi di
Kabupaten Luwu
Timur, Morowali,
Konawe, Konawe
Utara.
Pengembangan
kegiatan
perikanan budi
daya dengan
memperhatikan
daya
dukung dan daya
tampung
lingkungan hidup
di Kabupaten
Morowali dan
Konawe
1.2.2 Strategi 2 :
Mengembangkan pusat- Kawasan potensial Pengembangan Tidak Terdapat Kabupaten Pertanian tanaman Pengembanga Pembangunan Pertanian Tidak Terdapat Kecamatan Tidak Terdapat
pusat pertumbuhan perikanan terdapat di kawasan Morowali Provinsi pangan lahan n kawasan sarana dan Tanaman Asera termasuk
berbasis potensi Kecamatan Malili andalan Sulawesi Tengah basah di pertanian dan prasarana Pangan, Kakao, kedalam
sumberdaya alam Kabupaten Luwu Timur perikanan di tidak Kabupaten perikanan di penunjang Jambu mete, kawasan
unggulan pertanian dan dan Kecamatan Bungku kawasan dikembangkan Konawe, lahan Kabupaten kegiatan kelapa di pertanian
perikanan sebagai Selatan Kabupaten Asesolo (I/F/2) sebagai potensi Kering , Luwu Timur perikanan Bungku pangan
penggerak Morowali (Asera) perikanan perkebunan, Provinsi bududaya dan Selatan, berkelanjutan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
pengembangan wilayah hortikultura dan Sulawesi perikanan tangkap (KP2B) dan
Kawasan potensial Pengembangan peternakan Selatan di Kecamatan Pertanian termasuk
pertanian di Kecamatan dan peningkatan tersebar diseluruh Malili perkebunan kedalam lahan
Batu Putih Kabupaten kualitas kawasan kawasan provinsi Kawasan cengkeh di pertanian
Kolaka Utara pertania di Sulawesi Tenggara potensil Bungku Selatan pangan
kawasan budidaya padi berkelanjutan
andalan Kawasan sawah, Padi Pengembangan (LP2B)
pertanian di Minapolitan Ladang, Kakao, kawasan
kawasan Nasional di peternakan perikanan Pengembangan
Asesolo (III/A/2) Kabupaten Kolaka Sapi, di budidaya di Kawasan
Utara dan Konawe Kabupaten Bungku Selatan perikanan
(Lampiran IX, Utara Luwu Timur tangkap di
Kawasan Budidaya Kecamatan
Andalan No.29) Budidaya Tambak Langgikima
Perikanan Perairan terdapat di
darat di kawasan Kecamatan Pengembangan
provinsi Sulawesi Bungku Tengah Kawasan
Tenggara (Termasuk Budidaya Air
pada kawasan Tawar di
yang di Kecamatan
kendalikan) Asera dan
Wiirano
Kawasan
Pengolahan
ikan di
kecamatan
Asera dan
Wiwirano
1.2.3 Strategi 3 :
Sarana Dan Prasarana
Transportasi
TRANSPORTASI
DARAT
Meningkatkan kualitas Jaringan Jalan Pengembangan Mengembangkan Pemantapan dan Jaringan jalan Pengembanga Peningkatan Jaringan Jalan Tidak Terdapat Jaringan Jalan Jaringan Jalan
serta pelayanan (Wilayah potensi jaringan jalan dan memantafkan pengembangan nasional n jaringan jalan Jaringan jalan Kolektor Primer Jaringan Jalan Jaringan jalan
prasarana dan sarana kawasan perikanan) arteri primer di jaringan jalan sistem jaringan jaringan jalan arteri Jalan Alteri arteri Primer K1 meliputi : Kolektor Primer nasional
penunjang kegiatan Jaringan jalan arteri jaringan lintas arteri primer, jalan. primer meliputi Primer Lintas Lintas Tengah Ruas jalan Lintas Timur jalan arteri primer
budidaya pertanian dan primer di jaringan jalan Tengah dan kolektor primer jalan lintas tengah Timur Sulawesi meliputi Bahodopi batas meliputi : meliputi
perikanan strategis nasional lintas lintas Timur dan strategis Jaringan Jalan Sulawesi di meliputi perbatasan Provinsi Sultra Lasolo – Lelewawo – Batu
tengah Sulawesi pulau sulawesi nasional pada Kolektor Primer Kecamatan Batu Malili – Sulteng – Malili sepanjang ± Andowia Putih – Lasusua.
meliputi ruas Wotu – jaringan jalan K1 meliputi Putih Kabupaten Tarengge. – Wotu 69,697 sepanjang
Malili – Batas (Lampiran XI, lintas Timur dan Bahodopi sampai Kolaka Utara Malili – 25,7Km jaringan jalan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Kecamatan Tolala Indikasi Program Lintas Tengah batas provinsi Perbatasan Peningkatan Andowia – kolektor primer
Jaringan jalan kolektor Utama Lima Pulau Sulawesi Sultra. Jaringan jalan Prov Sultra Jaringan jalan Asera Jaringan jalan
primer di jaringan jalan Tahunan) provinsi meliputi arteri sekunder sepanjang Kolektor Primer
strategis nasional lintas Jaringan Kolektor jalan kolektor meliputi Malili – 12,2Km K3 meliputi Batu
Timur Sulawesi Primer pada primer yang Soroako Asera – Kota Putih – Porehu.
meliputi Batas jaringan jalan menghubungkan (Dalam RTR KSN Maju –
Kecamatan Bungku lintas Timur Pulau antar ibukota Sorowako Landawe
Selatan – Kecamatan Sulawesi yang kabupaten/kota (K- jaringan jalan sepanjang
Bungku Pesisir – Batas menghubungkan 3) meliputi Batu tersebut termasuk 31,0Km;
Kecamatan Wiwirano Bahodopi- Putih kedalam rencana Landawe –
Pembangunan Lamonae. jaringan jalan Lamonae –
Jaringan jalan nasional nasional untuk Batas Sulteng
untuk mendukung Jaringan Arteri mendukung sepanjang
kegiatan Primer pada kegiatan 55,7
pendayagunaan jaringan jalan pendayagunaan
sumber daya alam di lintas Tengah sumberdaya
Kawasan Sorowako Pulau Sulawesi alam)
dan sekitarnya meliputi yang
Malili – Sorowako menghubungkan
(Malili – Batas Wotu-Malili-Tolala
Kecamatan (Wilayah
Wasuponda) kawasan
potensial
(Wilayah potensi perikanan)
kawasan Pertanian) Lelewao – Batu
Jaringan jalan arteri Putih(Wilayah
primer di jaringan jalan kawasan
strategis nasional lintas potensial
tengah Sulawesi pertanian)
meliputi ruas Lelewawo
– Batu Putih – Latali.
Jaringan jalan kolektor
primer ruas Batu Putih
– Porehu.
Kereta Api Jaringan jalur KA Jaringan jalur KA Tidak Terdapat Rencana Jaringan jalur Pembangunan Jaringan Rel Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat
(Wilayah potensi lintas Barat lintas Barat Pulau pengembangan KA Nasional Rel Kereta Api Kereta Api yaitu
kawasan perikanan) Pulau Sulawesi Bagian sistem jaringan lintas utama di poros lintas utama jaringan rel
Jaringan jalur kereta api Sulawesi Bagian Selatan perkeretaapian Provinsi timur Bulukumba kereta api yang
antar kota lintas Barat Selatan jalur kereta api Sulawesi – Palopo – Malili menghubungka
Pulau Sulawesi Bagian lintas cabang Selatan, Wotu (Tahun 2021) n Poso dengan
Selatan di Kecamatan kolaka – poso – Malili – Kolaka yang
Malili Perbatasan melewati
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Sultra Kabupaten
(Wilayah potensi Morowali.
kawasan Pertanian) (Dalam RTR
Jaringan jalur kereta api KSN Sorowako
antar kota lintas Barat jaringan rel
Pulau Sulawesi Bagian kereta api tidak
Selatan di Kecamatan melewati
Batu Putih Kabupaten
Morowali)
TRANSPORTASI LAUT
(Wilayah potensi Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pelabuhan Tidak Terdapat Pelabuhan Laut Pembangunan Pelabuhan Tidak Terdapat Pelabuhan Terminal Khusus
kawasan perikanan) Pengumpul di Nasional di dan peningkatan Pengumpan walalindu di Pertambangan di
Pelabuhan Pengumpan Pelabuhan Malili Pelabuhan Primer Kecamatan Desa Mosiku
Primer di Malili dan Bungku Kabupaten Nasional Lampia, (Regional) Asera . Kecamatan Batu
Bungku Selatan Kabupaten Luwu Timur. Langkea, yaitu Rencana Putih
(pelabuhan Morowali (diluar (Pelabuhan Balantang, di Pelabuhan Pengembang
Sambalagi); kawasan potensi Luar Negeri Kecamatan Malili Sambalagi an Pelabuhan
Pelabuhan pengumpan perikanan) Pengangkut Kabupaten Luwu Kecamatan Puuwanggudu
lokal lainnya di Nikel) Timur. Bungku di Kecamatan
Kaleroang Kecamatan Selatan. Asera
Bungku Selatan;
Pelabuhan khusus (Dalam RTR
Pelabuhan Balantang KSN
Kecamatan Malili. Sorowako
Terminal khusus Pelabuhan
Bungku Selatan terdapat di
Kecamatan
(Wilayah potensi Bahodopi
kawasan Pertanian) Kabupaten
Terminal khusus Desa morowali
Mosiku Kecamatan Batu sebagai
Putih pelabuhan
Pngumpan)
TRANSPORTASI
UDARA
(Wilayah potensi Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pembangunan Tidak Terdapat Tidak Terdapat Pembangunan Tidak Terdapat
kawasan perikanan) Bandara Puncak Bandar Udara
Bandar Udara Malili Perintis di
Pengumpan di Malili Kecamatan
Langgikima
Prasarana Sumber Daya
Air
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
Bendung Karebe di Tidak Terdapat Tidak Tidak Terdapat Konsevasi Pengendalian Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Rehabilitasi,
Malili Teridentifikasi SDA, terhadap pemeliharaan
DI Kecamatan Pendayagunaa pemanfaatan air dan peningkatan
Batuputih di Kabupaten n SDA dan baku. DI Batu Putih
Kolaka Utara dengan Pengendalian Kewenangan
luas pelayanan 280 ha. Daya Rusak Air Kabupaten di
di Kecamatan Batu
DI Kalaena Putih
Kiri/Kanan
(Kab. Luwu
Timur), luas
16.945 ha (I-
IV/A/1)
Kalaena
(Kab. Luwu
Timur), luas
17.584 ha.
1.2.4 Strategi 4 :
Memanfaatkan potensi Danau Towuti, Danau Kawasan Taman Pengendalian Tidak Terdapat Tidak Terdapat Danau Towuti, Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat
sumber daya alam di Matano dan Danau Wisata Alam pemanfaatan Danau Matano
kawasan Danau Towuti, Mahalona tidak terdapat Danau Matano, ruang pada dan Danau
Danau Matano dan pada Wilayah potensi Mahalona, kawasan sekitar Mahalona tidak
Danau Mahalona dengan kawasan perikanan dan Towuti danau Matano. terdapat pada
tetap memperhatikan pertanian (Dalam wilayah wilayah potensi
fungsi lindungnya potensi pertanian Pengembangan perikanan dan
dan perikanan pengelolaan pertanian
tidak termasuk, kawasan Taman
dalam lingkup wisata alam
KSN termasuk Danau Matano,
semua) Mahalona dan
Towuti.
1.2.5 Strategi 5 :
Mendayagunakan fungsi
danau antara lain
sebagai sumber air baku
dan pembangkit listrik
untuk mendukung - - - - - - - - - - -
pengembangan kawasan
budidaya pertanian dan
perikanan dengan tetap
memperhatikan fungsi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
lindungnya
Keterangan:
1) Penjelasan mengenai kolom:
a. Kolom (2): arahan spasial RTR KSN berupa tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang KSN
b. Kolom (3): arahan spasial RTR KSN berupa rencana struktur ruang dan/atau rencana pola ruang
c. Kolom (4),(5),(6),(7), dan (8) dan: arahan spasial RTR yang sesuai dengan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang, serta rencana struktur ruang dan rencana pola ruangKSN
d. Kolom (9): hasil integrasi seluruh arahan spasial pengembangan KSN berupa kawasan yang didorong perkembangannya dan/atau kawasan yang dikendalikan untuk masing-masing tujuan penataan ruang KSN
e. Kolom (10): indikasi program pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum untuk mewujudkan tujuan penataan ruang KSN.
2) Catatan:
a. Dalam kondisi, ada arahan spasial yang belum terakomodasi, tetapi bertentangan, merujuk pada ketentuan bahwa arahan spasial yang lebih tinggi menjadi acuan
b. Dalam kondisi, ada arahan spasial yang belum terakomodasi tetapi tidak bertentangan langsung maupun implikasinya, diakomodasi dengan tetap mengacu pada ketentuan bahwa arahan spasial yang lebih rendah mengacu pada yang lebih tinggi. Dalam hal tertentu dan
prinsip, dimungkinkan penambahan arahan spasial yang lebih tinggi, dengan memberikan tanda khusus, misalnya: dengan keterangan.
MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM KEBIJAKAN EKONOMI
DISUSUN OLEH:
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 69
3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi & Pencapaian Ketahanan Energi 76
BAB I
PENDAHULUAN
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar konstitusional “hak menguasai“ negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. “Hak Menguasai” negara yang berdasarkan konstitusi tersebut
“dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua aspek kaidah itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik. “Hak menguasai“ negara merupakan
instrument, sedangkan “dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat “ merupakan tujuan (objektif). Dalam kerangka “penguasaan negara atas pertambangan“ mengandung pengertian : Negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya
alam yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Secara historis salah satu perumus UUD 45 adalah Mohammad Hatta. Menurut Hatta: Pengertiaan “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara, akan tetapi dapat menyerahkan kepada pihak
swasta yang disertai dengan pengawasan pemerintah. Selain itu, Hatta membagi bidang ekonomi ke dalam 3 sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara dan usaha asing.
Dapat disimpulkan bahwa menurut Mohammad Hatta pengertian frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 45 adalah negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelanggarakan
cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi menjamin
kesejahteraan rakyat.
Penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 mengenai “hak menguasai negara” dalam pengertian bahwa negara melakukan 5 hal yaitu:
1. Fungsi kebijakan (beleid) oleh negara melalui Pemerintah dalam merumuskan perencanaan penguasaan negara atas sumber daya alam yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di bidang sumber daya
alam.
2. Fungsi pengurusan (bestuursdaad), dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
4. Fungsi pengelolaan (beheersdaad), Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara,
dalam hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh organ negara dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya harus dapat menjamin kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh rakyat serta dapat mendukung pembangunan nasional, hal ini
sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi pasal 2 yang menyatakan :
“bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan
nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional”.
“bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi antara lain kemandirian, penyediaan, pengelolaan,
pemanfaatan energi, akses masyarakat, industri energi dan lingkungan hidup”.
Lalu sebagaimana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, terdapat 4 (empat) tahap pelaksanaan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 5 tahunan. Masing-masing periode RPJMN tersebut memiliki tema atau skala prioritas yang berbeda-beda. Tema RPJMN tahun 2015-2019 atau RPJMN ke-3, adalah:
“Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) yang
tersedia, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, serta kemampuan Iptek”. RPJMN tahun 2015-2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 pada tanggal 8 Januari 2015.
Adapun tantangan dan isu strategis di sektor energi terkait dengan pemenuhan sasaran pokok pembangunan nasional yang ada di RPJMN antara lain :
Pengendalian laju produksi minyak, seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Indonesia merupakan net importir minyak, di dalam RPJMN produksi minyak dikendalikan laju produksinya, hal ini mengingat
cadangan minyak bumi Indonesia yang terbatas jumlahnya serta mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi primer.
Pemanfaatan energi domestik masih rendah, hal ini dapat kita lihat dari pemanfaatan batubara domestik yang masih rendah.
Akses energi terbatas, pemerintah berupaya agar setiap daerah di Indonesia dapat menikmati energi (listrik, BBM).
Ketergantungan Impor BBM, pemerintah harus memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi lain sehingga tidak lagi ketergantungan terhadap impor BBM.
Harga energi belum kompetitif. Harga energi yang tidak kompetitif dapat menyebabkan rendahnya minat investor untuk berinvestasi di pengembangan sektor energi terutama di sektor Energi Baru Terbarukan.
Bauran energi masih didominasi BBM, sedangkan EBT (Energi Baru Terbarukan) masih rendah. Sumber-sumber EBT harus dimanfaatkan lebih maksimal, sehingga tidak tergantung tehadap energi yang
sifatnya tidak terbarukan.
Pemanfaatan energi belum efisien, angka pertumbuhan konsumsi energi lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Akan lebih baik bila pemerintah bisa membalik keadaan ketika pertumbuhan ekonomi yang
lebih besar dari pertumbuhan konsumsi energi. Dengan demikian, perekonomian bisa tumbuh dengan konsumsi energi yang lebih efisien.
Peningkatan nilai tambah mineral dan pengawasan pertambangan perlu ditingkatkan.
Dalam menyelesaikan tantangan dan isu strategis terkait dengan sektor energi, pemerintah tentu memerlukan peraturan atau ketentuan yang dapat mendukung untuk menyelesaikan tantangan dan isu strategis
tersebut.
1.3 Tujuan
Untuk dapat mengetahui kesesuaian antar peraturan perundang-undangan di sektor energi dalam mendukung pemenuhan kebutuhan energi domestik untuk mencapai ketahanan energi di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku
ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.
Sektor energi adalah salah satu sektor yang harganya diatur oleh pemerintah (administered price). Harga sektor energi yang diatur pemerintah saat ini adalah harga Bahan Bakar Minyak dan tarif tenaga listrik.
Peningkatan harga di sektor energi yang bersifat administered price akan menyebabkan terjadinya inflasi. Pentingnya kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi yang disebabkan oleh komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
1. Availability, merupakan ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan ketersediaan sumber energi antara lain :
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan pada pembangkitan listrik. Hal ini menjadi penting karena penggunaan energi fosil relatif mahal, sementara EBT merupakan sumberdaya energi lokal.
Pengaruh ekspor energi terhadap ketahanan energi. Ekspor energi pada dasarnya adalah untuk mendapatkan devisa, sementara ekspor energi akan mengurangi potensi energi dan melemahkan
ketahanan energi nasional.
Pengaruh impor terhadap ketahanan energi. Impor energi pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan energi, tetapi peningkatan impor atau dominasi energi impor pada konsumsi energi akan
melemahkan ketahanan energi.
Peranan diversifikasi pada konsumsi energi. Diversifikasi dapat meningkatkan fleksibilitas penyediaan energi yang akan meningkatkan ketahanan energi.
2. Affordability, merupakan keterjangkauan atau kemampuan dalam mendapatkan dan memanfaatkan sumber energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan keterjangkauan antara lain :
Konsumsi listrik per kapita, konsumsi listrik yang meningkat memberikan gambaran bahwa masyarakat makin mampu dalam menyediakan energinya.
Konsumsi energi per kapita. Indikator ini menunjukkan bahwa menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat dalam penyediaan energi.
3. Accessability, menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber energi, dan infrastruktur jaringan energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan kemampuan masyarakat untuk
mengakses seumber energi antara lain :
Kapasitas kilang, penambahan kapasitas kilang memberi gambaran adanya jaminan untuk pemenuhan kebutuhan minyak masyarakat.
Penambahan jaringan transmisi dan distribusi listrik menunjukkan masayarakat dapat mengakses listrik secara lebih baik.
Kesuksesan konservasi memberi gambaran adanya peningkatan kapasitas penyediaan energi melalui pengurangan kebutuhan.
Rasio kelistrikan yang menunjukkan kemampuan dalam menyediakan listrik
Cadangan strategis, peningkatan cadangan strategis dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pasokan energi dan menjamin kelangsungan penyediaan energi.
4. Acceptability, atau penerimaan masyarakat merupakan suatu faktor yang mendorong atau menghambat penerapan program maupun jenis energi tertentu yang berpengaruh pada kualitas hidup, kesehatan,
pencemaran lingkungan serta adaptasi perubahan iklim.
Penilaian tingkat ketahanan energi nasional dilakukan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dengan menggunakan metode Analytical Hierarcy Process (AHP). Nilai ketahanan energi Indonesia di tahun 2014 sebesar
5,82 termasuk kedalam skala rendah, yang berarti tingkat ketahanan energi nasional Indonesia tergolong rendah (untuk angka resmi tingkat ketahanan energi nasional tahun 2015-2017 belum ada angka resmi yang
dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional).
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengaturan energi yang terdiri dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi;
2. Cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energi nasional;
3. Keadaan krisis dan darurat energi serta harga energi;
4. Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan di bidang energi;
5. Kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, dan pembentukan dewan energi nasional;
6. Hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;
7. Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan di bidang energi; dan
8. Penelitian dan pengembangan
Dalam pelaksanaan UU No.30/2007 pemerintah menetapkan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang merupakan pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna
mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Selain itu pemerintah juga menetapkan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum
Energi Nasional (RUEN) yang merupakan kebijakan pemerintah pusat mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang merupakan penjabaran dan rencana pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional (KEN)
yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran kebijakan energi nasional.
Dalam pelaksanaan UU Migas ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU Migas.
Dalam pelaksanaan UU Ketenagalistrikan ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU Ketenagalistrikan.
Dalam pelaksanaan UU Pertambangan Mineral dan Batubara ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pelaksanaan UU Panas Bumi ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU Panas Bumi.
3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi dan Pencapaian Ketahanan Energi
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor energi dapat kita lihat apakah sudah sesuai dengan fungsi penguasaan oleh negara :
1. Fungsi kebijakan (beleid), sesuai yang tercantum di RPJMN (Perpres No. 2 Tahun 2015) bahwa fungsi kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah sebagai berikut :
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan Bahan
Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan pasal 5 ayat (1) fungsi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan kebijakan ketenagalistrikan nasional, sedangkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan kebijakan.
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara fungsi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
Pasal 4
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan / atau pemerintah daerah.
Pasal 5
Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutaam mineral dan / atau batubara untuk
kepentingan dalam negeri.
Kepentingan nasional yang dimaksud dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor.
Dalam pelaksanaan pengendalian, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap - tiap komoditas per tahun per provinsi.
Lebih lanjut, menurut pasal 6, kebijakan yang ditetapkan meliputi:
Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
Penetapan kebijakan, kerjasama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat.
d. Menurut UU No 24 tahun 2014, fungsi kebijakan dilakukan oleh Pemerintah dengan pembuatan kebijakan nasional (Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional).
2. Fungsi pengurusan (bestuursdaad), dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengurusan yang menjadi kewenangan negara adalah sebagai berikut:
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengurusan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Pemerintah melakukan pengurusan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu (Eksplorasi dan eksploitasi), dan Kegiatan Usaha Hilir (pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga).
b. Menurut UU 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) , Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten /Kota di bidang kelistrikan adalah :
penetapan izin jual beli tenaga listrik (lintas negara/lintas kabupaten/kota/ dalam kabupaten/kota);
Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya lintas provinsi, dilakukan oleh badan usaha milik negara, dan menjual tenaga listrik dan / atau menyewakan
jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh (Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota);
Penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup (lintas provinsi/ lintas kabupaten / kota, dalam kabupaten / kota);
Penetapan izin usaha penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanaman modal asing / mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal (asing/ dalam negeri) ;
Penetapan izin pemanfaatan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang
ditetapkan oleh (Pemerintah/ pemerintah provinsi/ pemerintah kabupaten/kota);
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, fungsi perizinan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional.
Pemberian IUP, pemberian IUPK Eksplorasi, pemberian IUPK Operasi industry.
d. Menurut UU No. 21 tahun 2014 tentang panas bumi, fungsi perizinan yang dilakukan adalah pemberian izin pemanfaatan langsung dan tidak langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya.
3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian
Wilayah Kerja.
Menetapkan pedoman pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan.
Menetapkan pedoman dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus.
Menetapkan pedoman pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah.
Menetapkan pedoman tentang menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, fungsi pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah/ pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota adalah sebagai berikut:
Penetapan (peraturan perundang - undangan / peraturan daerah provinsi / peraturan daerah kabupaten / kota) di bidang ketenagalistrikan;
Penetapan pedoman, standar, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan;
Penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrk untuk konsumen;
Penetapan rencana umum ketenagalistrikan (nasional / daerah provinsi / daerah kabupaten / kota).
c. Menurut UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, fungsi pengaturan dilakukan dengan :
Pembuatan perundang-undangan (nasional/ daerah) dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria.
d. Menurut UU No.21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, fungsi pengaturan tidak dijelaskan secara spesifik hanya pengaturan di bidang Panas Bumi.
4. Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, dalam
hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama.
Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan.
Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha. Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
Hasil Evaluasi pencapaian sasaran RPJMN sektor energi adalah sebagai berikut:
SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI SAMPAI DENGAN 2017
Sasaran pokok Pembangunan nasional: Capaian produksi minyak bumi sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 804 ribu SBM. Produksi minyak bumi dilakukan pengendalian
laju penurunannya hingga mencapai 700 ribu SBM per hari di tahun 2019.
Pengendalian produksi minyak bumi dari 818 ribu SBM per hari
pada tahun 2014 menjadi 700 ribu SBM per hari; Capaian produksi Gas Bumi sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 1.140. Masih belum mencapai target 2019 yaitu sebesar 1.295
SBM. Adapun permasalahannya lebih disebabkan oleh kendala operasional dilapangan.
Meningkatkan Produksi Gas Bumi dari 1.224 ribu SBM per hari
menjadi 1.295 ribu SBM per hari; Capaian produksi batubara sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 461 juta ton. Sudah melebihi target 2019 yaitu sebesar 442 juta ton.
Meningkatkan Produksi Batubara dari 397 juta ton menjadi 442 Capaian alokasi gas domestik sampai dengan tahun 2017 adalah sebesari 61%. Masih belum mencapai target 2019 yaitu sebesar 64%.
juta ton; Adapun permasalahannya adalah realisasi penggunaan gas oleh industri masih rendah, hal ini terkait dengan perlambatan pertumbuhan
ekonomi, sehingga sektor industri tidak melakukan produksi dengan maksimal.
Meningkatkan Penggunaan Gas Bumi dalam Negeri dari 53%
menjadi 64 %; Capaian penggunaan batubara domestik sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 21,04 %, belum mencapai target 2019 yaitu sebesar
24-32%. Adapun permasalahannya: produsen batubara tidak memenuhi penjualan untuk dalam negeri, penurunan konsumsi batubara
Meningkatkan Penggunaan Batubara dalam Negeri dari 24%
domestik terkait dengan penurunan pertumbuhan ekonomi.
menjadi 32 %
Di RTRWN dan RPJMN, tidak disebutkan upaya untuk mencapai produksi migas dan mineral batubara
Dua sasaran pokok peningkatan daya saing komoditas mineral dan Capaian pembangunan smelter pada tahun 2017 adalah sebesar 25 unit masih belum mencapai target 2019 yaitu sebanyak 30 unit.
tambang yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015 - 2019
Di RPJMN tidak disebutkan upaya untuk mencapai pembangunan smelter
adalah :
Sasaran utama penguatan ketahanan energi yang akan dicapai Capaian elektrifikasi pada tahun 2017 adalah sebesar 95,35%, masih belum mencapai target 2019 yaitu sebanyak 100%.
dalam kurun waktu 2015-2019adalah:
SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI SAMPAI DENGAN 2017
Memperkuat ketersediaan energi primer dari produksi minyak Di RTRWN Dan RPJMN elektrifikasi terkait dengan pembangunan transmisi dan pembangkit listrik
bumi yang didukung oleh produksi gas bumi dan batubara;
Pembangunan kilang minyak sebanyak 1 unit dengan total Target pembangunan kilang minyak, berbeda dengan yang tercantum di RTRWN (PP no. 13 tahun 2017), yaitu pengembangan kilang
kapasitas 300 ribu barel per hari; minyak di Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan RIau. SUmatera SElatan, dan Jawa Barat sampai dengan tahun 2019
yang didanai oleh APBN, APBD, dan swasta
Penambahan kapasitas penyimpanan BBM sebesar 2,7 juta KL
dan LPG sebesar 42 ribu ton; Capaian kapasitas penyimpanan minyak bumi sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 1.1 juta KL . Masih belum mencapai target 2019
sebesar 2,7 juta KL.
Pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU)
sebanyak 3 unit; Capaian pembangunan pipa gas sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 10.671 km. Sudah melebihi target capaian 2019 sebesar
6.378 km.
Pembangunan regasifikasi onshore sebanyak 6 unit;
Walaupun perwujudan jaringan transmisi dan distrinbusi gas bumi nasional menurut RTRWN (PP No. 13 tahun 2017) dilaksanakan pada
Pembangunan pipa gas dengan total panjang 6.378 km;
tahun 2015-2027, namun optinalisasi dan pengembangan jaringan pipa transmisi dan distribusi gas nasional di provinsi Jawa Barat, Jawa
Pembangunan SPBG sebanyak 118 unit; dan Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera Tengah, SUmatera Utara, dan Batam) hanya dialokasikan sampai dengan
tahun 2019 yang didanai oleh APBN, APBD, dan swasta.
Kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 75,56 GW
Di RPJMN tidak disebutkan upaya pencapauan target pembangunan pipa minyak dan gas bumi
Capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik pada tahun 2017 adalah sebesar 60 GW. Masih belum mencapai target 2019 yaitu sebesar
75,56 GW. Pencapaian target tersebut bisa saja dikarenakan adanya target di RTRWN (PP No. 13 Tahun 2017) bahwa Rehabilitasi
Jaringan Transmisi Listrik di Pantai Utara Jawa hanya sampai dengan tahun 2019, sedangkan untuk Sumatera Timur, Sumatera Tengah,
Pantai Selatan Jawa, Bali, Pantai Timur Kalimantan, Pantai Barat Kalimantan, Sulawesi Bagian SElatan, dan Sulawesi Bagian Utara
sampai dengan tahun 2024), sedangkan pengembangan Jaringan Transmisi Tenaga Listrik di Pulau - Pulau Pantai Barat Sumatera
ditargetkan sampai dengan tahun 2019, sedangkan di Pulau - Pulau Pantai Timur SUmatera, Pedesaan Kalimantan, Pedesaan dan Pulau -
Pulau Sulawesi, Papua, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku ditargetkan sampai dengan tahun 2024 yang didanai oleh APBN, APBD,
dan swasta.
Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati adalah : Capaian produksi biodiesel pada tahun 2017 adalah sebesar 3,42 juta KL, masih belum mencapai target 2019 yaitu sebesar 4,3 juta KL.
Produksi biodiesel sebesar 4,3 juta KL; DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya pengembangan energi baru terbarukan
SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI SAMPAI DENGAN 2017
Sasaran peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) Capaian bauran EBT sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 8,43%, masih belum mencapai target 2019 yaitu sebesar 10-16%.
terdiri atas:
Capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik energi EBT sampai dengan tahun 2017 adalah sebesar 9,017 GW. Sudah melebihi target
Bauran EBT sebesar 10-16 % 2019 yaitu sebesar 7,5 GW
Kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT (PLTP, PLTA, DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya pengembangan energi baru terbarukan
PLTMH, PLTS, dan PLT Biomassa) sebesar 7,5 GW;
BAB IV
REKOMENDASI
Rekomendasi yang diusulkan dalam rangka pencapaian dan keberlanjutan program Ketahanan Energi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, sebagai berikut:
1. Penambahan muatan rencana pembangunan dan rencana tata ruang, dikarenakan belum sinkron dengan sasaran RPJMN, meliputi:
Di RTRWN dan RPJMN, tidak disebutkan upaya untuk mencapai produksi migas dan mineral batubara;
Di RPJMN tidak disebutkan upaya pencapaian target pembangunan pipa minyak dan gas bumi; dan
DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya pengembangan energi baru terbarukan.
2. Penambahan muatan di peraturan perundang-undangan terkait sektor energi, dikarenakan belum sinkron dengan peraturan perundang-undangan sektor energi lainnya, meliputi:
Sebagaimana sudah diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, bahwa dalam penguasaan mineral dan batubara sudah disebutkan kebijakan apa saja yang sudah ditetapkan oleh
Pemerintah, hal yang sama perlu juga diatur dalam UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.24 tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Sebagaimana sudah dirinci di No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengenai pengawasan yang dilakukan, perlu diperjelas di UU No.24 tahun
2014 tentang Panas Bumi.
Daftar Pustaka
Putuhena, M. Ilham. 2014. Ratio Legal Prinsip Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Energi. dalam http://pushep.or.id/view_publikasi.php?id=40#.WtreNdRua01 diakses pada tanggal 21 April 2018.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2018. Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2017. Jakarta.
Boedoyo, M. Sidik. 2012. Analisis Ketahanan Energi di Indonesia. Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012, ISBN 978-979-95202-7-2, At BPPT, Jakarta, Indonesia, Volume: 1.
Nugroho, Hanan. 2014. Ketahanan Energi Indonesia : Gambaran Permasalahan dan Strategi Memperbaikinya. Bappenas.
Sasaran
Pertumbuhan industri tahun 2015 – 2019 ditargetkan lebiih tinggi dari perumbuhan PDB dengan sasaran sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut. Untuk mencapai sasaran gtersebut, jumlah industri
berskala menengah dan besar perlu meningkat sekitar 9.000 unit usaha selama 5 tahun ke depan.
Tabel 6.9.
Arah kebijakan pertama adalah menarik investasi industri dengan menyediakan tempat industri tesebut dibangun, dalam arti tempat yang seluruh sara prasarana yang dibutuhkan telah tersedia. Setelah itu baru
kebijakan yang menyangkut arah pertumbuhan populasi tersebut serta arah peningkatan produktivitasnya.
Uraian rinci tentang arah kebijakan pembangunan industri adalah sebagai berikut:
2. Pertumbuhan populasi industri dengan menambah paling tidak sekitar 9 ribu usaha industri berskala besar dan sedang dimana 50 % tumbuh di luar Jawa, serta tumbuhnya industri ekcil sekitar 20 ribu unit
usaha.
Strategi utama penumbuhan populasi adalah dengan mendorong investasi baik melalui penanaman modal asing maupun modal dalam negeri, terutama pada:
a. Industri pengolah sumber daya alam, yaitu industri pengolah:
b. Industri penghasil barang konsumsi kebutuhan dalam negeri yang padat tenaga kerja : industri mesin – permesinan, tekstil dan produk tekstil, alah uji dan kedokteran, alat transportasi, kulit dan alas kaki,
alat kelistrikan, elektronika dan telematika.
c. Industri penghasil bahan baku, bahan setengah jadi, komponen, dan sub – assembly ( endalaman struktur).
d. Industri yang memanfaatkan kesempatan dalam jaringan produksi global, baik sebagai perusahaan subsidiary, contract manufacture, maupun sebagai pemasok independent ( Global Production
Network).
Dari grafik garis di atas, kita dapat melihat bahwa aliran FDI pada sektor industri selama periode 2005-2014 pada provinsi-provinsi tersebut mengalami sebuah tren peningkatan terutama Jawa Barat, Banten, dan
Jawa Timur. Meskipun selama 2005-2011 mereka menunjukkan volatilitas, tetapi selama 2011-2014 mereka 0.00 1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 7,000,000.00
8,000,000.00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 FDI industri Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur 4 Universitas Indonesia menunjukkan peningkatan.
Sementara itu, FDI sektor Industri provinsi-provinsi lain menunjukkan stabilitas pertumbuhan.
Terkait dengan volatilitas pada upah minimum regional pada keenam provinsi di Pulau Jawa, aliran FDI di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi kedua terendah. Hal ini diduga karena tingginya upah
minimum regional (UMR) di daerah tersebut. Seebaliknya, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendapatkan FDI lebih rendah walaupun upah minimum regionalnya juga rendah. Kondisi berbeda
terjadi pada Jawa Barat dan Jawa Timur. Meskipun upah minimum regionalnya hampir sama dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi aliran FDI lebih tinggi. Banten menjadi yang
tertinggi kedua. Sementara itu, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, lebih tinggi daripada Jawa Timur, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat. Gambar 1.5 Fluktuasi Jumlah Perusahaan Multinasional
pada Tiap Provinsi di Pulau Jawa Sumber: Statistik Industri, 2014
Di sisi lain, jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi di Pulau Jawa juga berfluktuasi. Dari sebagian besar provinsi-provinsi tersebut tercatat bahwa jumlah perusahaan multinasional meningkat. Daerah
Istimewa Yogyakarta selalu terendah dalam hal jumlah perusahaan asing. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan jumlah perusahaan multinasional. Jumlah perusahaan multinasional di Jawa - 200
400 600 800 1,000 1,200 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT DI YOGYAKARTA JAWA TENGAH JAWA TIMUR 5 Universitas Indonesia Tengah, Jawa
Timur, dan Banten menunjukkan fluktuasi yang stabil. Jawa Barat selalu menjadi peringkat teratas jumlah perusahaan asing. Terkait dengan volatilitas upah minimum regional di 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah
Istimewa Yogyakarta selalu mendapatkan jumlah perusahaan multinasional terendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Sementara itu, jumlah perusahaan multinasional di wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta menurun secara konstan karena tingginya upah minimum regional. Jawa Tengah mendapatkan jumlah perusahaan multinasional yang stabil lebih tinggi daripada Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena upah minimum regionalnya rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Barat. Upah minimum regional di provinsi tersebut relatif sama dibandingkan dengan Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, jumlah perusahaan multinasional ke Jawa Barat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan keempat provinsi lainnya. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi peringkat tertinggi
pertama dan kedua walaupun upah minimum regionalnya lebih tinggi. Namun demikian, sebetulnya upah minimum regional di Jawa Barat masih relatif sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Gambar 1.6 Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada Industri Padat Karya di Pulau Jawa pada Kurun Waktu 2005-2014 Sumber: bkpm.go.id 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000
700000 800000 900000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT DI YOGYAKARTA JAWA TENGAH JAWA TIMUR 6 Universitas Indonesia
Dari grafik garis di atas, industri padat karya yang paling fluktuatif adalah di Banten, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sejak 2007, Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan fluktuasi yang sama
dan jumlah aliran FDI hampir sama sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta stabil. Aliran FDI industri padat karya di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi-provinsi
tersebut merekam bahwa aliran FDI langsung ke industri-industri padat karya yang relatif meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta selalu menjadi terbawah dalam hal aliran FDI. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menunjukkan penurunan aliran FDI selama 2010-2012. Aliran FDI pada industri padat karya di Pulau Jawa relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tetapi lebih tinggi sejak tahun 2011-2014. Sedangkan
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten selalu menjadi tiga teratas aliran FDI industri padat karya. Terkait dengan volatilitas dari upah minimum regional dari 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta
selalu mendapatkan aliran FDI yang terendah walaupun upah minimum regionalnya lebih rendah. Aliran investasi asing langsung dari industri padat karya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun selama kurun
waktu 2009-2012. Hal ini diduga karena tingginya upah minimum regional. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memperoleh aliran FDI stabil lebih tinggi daripada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta karena upah minimum regionalnya lebih rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Timur. Upah minimum regional di provinsi ini relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
tetapi memiliki aliran FDI yang selalu lebih tinggi daripada keempat provinsi lainnya tersebut. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi provinsi tertinggi pertama dan kedua dalam hal jumlah perusahaan multinasional
meskipun upah minimum regional di Jawa Barat relatif sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. 7 Universitas Indonesia Gambar 1.7 Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung
dari Industri Padat Modal Sumber: nswi.bkpm.go.id
Di sisi lain, aliran FDI dari industri padat modal di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi-provinsi tersebut mencatat bahwa jumlah aliran FDI dari sektor industri padat
modal relatif meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta selalu menjadi yang terbawah dari aliran investasi asing langsung dari industri padat modal. Jawa Timur
menunjukkan aliran investasi asing langsung dari industri padat modal sedikit lebih tinggi dari ketiga provinsi lainnya. Aliran FDI dari industri padat modal di Jawa Barat dan banten menunjukkan fluktuasi yang tidak
stabil walaupun menjadi dua teratas dari aliran FDI dari industri padat modal selama periode 2011-2014.
Terkait volatilitas upah minimum regional dari 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selalu mendapatkan aliran FDI dari industri padat modal yang rendah walaupun upah minimum
regionalnya rendah. Aliran FDI dari industri padat modal menjadi tetap rendah sebagai tiga terbawah karena tingginya upah minimum regional. Sementara itu, Jawa Timur mendapatkan aliran investasi asing
langsung yang sedikit lebih tinggi daripada ketiga provinsi lainnya, merujuk pada upah minimum regional yang hampir sama. Kondisi yang berbeda terjadi di Jawa Barat, yaitu upah minimum regional dari provinsi
tersebut relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi pertama dan kedua 8 Universitas Indonesia tertinggi dalam hal aliran investasi asing langsung
dari industri padat modal, walaupun upah minimum regional di Banten tinggi dan di Jawa Barat upah minimum regional relatif sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Menurut Wahyono pada tahun 2012, beberapa faktor lain yang mempengaruhi lokasi pabrik adalah lokasi konsumen, sumber bahan mentah, upah pegawai, ketersediaan air, suhu, listrik, transportasi, lingkungan,
peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Dari variabel – variabel tersebut, dapat dikelompokkan menjadi variabel yang mengurangi atau menambah biaya produksi dari perusahaan. Dengan pengendalian variabel
– variabel tersebut dapat juga mempengaruhi besaran biaya variabel, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penentuan keputusan pengalokasian FDI di wilayah tertentu. Menurut Bank Indonesia pada tahun
2007, walaupun memiliki potensi yang menjanjikan dilihat dari pasar dan sumber daya yang melimpah, tetapi iklim investasi yang tidak kondusif di Indonesia menyebabkan investor tidak tertarik seperti beberapa
tahun yang lalu sebelum krisis keuangan. Terutama untuk investasi jangka panjang yang dapat menyebabkan investasi baru dalam meningkatkan kualitas produk berjumlah kecil bahkan negatif. Akar dari
permasalahan ini mengakibatkan produk ekspor dari Indonesia menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Permasalahan yang terkait dengan investasi sangat kompleks, mulai dari keamanan, stabilitas politik dan sosial, ketidakpastian hukum, serta kondisi infrastruktur. Sebagai contoh, ketersediaan listrik yang tidak stabil,
telekomunikasi, juga jalan dan fasilitas pelabuhan dan kondisi tenaga-tenaga kerja menjadi faktor yang memperburuk. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah beberapa perusahaan asing, yaitu industri padat karya
seperti elektronik, tekstil, pakaian jadi, dan perusahaan sepatu merelokasi produksinya ke negara-negara lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran investasi asing langsung (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional) di Pulau Jawa. Tren dari aliran
investasi asing langsung (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional), peranan upah minimum regional, dan juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran
investasi asing langsung (semua industri, industri padat karya, 9 Universitas Indonesia industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional) ke sektor industri di Pulau Jawa.
province Prov year Fdi fdilabint fdicapint Fdimnc wage minimum wage relative Cpi road(all) port(bongkar) port (muat) electricity (distribusi industri) telekomunikasi (seluler) labour marketsize
tradeopenes Dummy rtrwn 1 Banten 2005 559915.5 84056.1 488454 245 585 450.0286 136.79 4473 5766 913 4720.2 380 686210 201074.076 0.16 0 1 Banten 2006 411422.6 56552.3 340716.3 313
661.613 513.3508 147.28 4326 3344000 860864 4742.55 380 660742 213181.6213 0.26 0 1 Banten 2007 301024.1 174730.5 299082.4 295 746.5 573.012 102.67 4773 3916060 1459400 4781.7 380
695161 227653.6976 0.37 0 1 Banten 2008 394034.2 211880.3 182281.2 322 837 634.7596 116.95 4856 3916060 1459400 5013 386 705831 242600.2158 0.37 1 1 Banten 2009 1160081.5 127739.1
1056116.9 296 917.5 708.6112 122.29 5211 5063033 2711387 4806.53 386 842303 256408.6154 0.54 1 1 Banten 2010 370351.4 96303.9 179092.7 316 955.3 765.0406 129.85 6456 3811145 3449484
6555.45 386 1053922 271465.3 0.91 1 1 Banten 2011 1926324.4 476050.4 1458007 309 1000 842 133.46 6456 3811145 3449484 6470.1 486 1140427 290545.6 0.91 1 1 Banten 2012 2126636.6
319709.3 1823463 312 1042 942.362 139.34 6506 6451418 3594836 6661.35 486 1190185 310385.6 0.56 1 1 Banten 2013 2713747.2 404300.3 2342752.9 337 1170 1127.782 152.11 6845 6451418
3594836 7897.8 486 1201656 332517.3 0.56 1 1 Banten 2014 1389675.1 499382.2 999824.2 339 1325 1267.9 124.82 6845 6451418 3594836 6936.01 387 1273015 350699.74 0.56 1 2 DKI Jakarta 2005
109893 13455.8 96437.2 126 711.843 424.66 134.55 7130 29142 13630 7974.15 261 650392 800546.5219 0.47 0 2 DKI Jakarta 2006 176060.8 14430.4 167617.4 129 819.1 481.8534 142.66 6185
27655865 14741213 8029.36 261 556086 848546.8227 0.53 0 2 DKI Jakarta 2007 204438.1 19622.6 184815.5 146 900.56 542.2 151.27 6185 129346250 15955568 8331.93 261 708643 903607.1755
0.12 0 2 DKI Jakarta 2008 490711.2 48775.9 448797.5 147 972.605 607.6386 113.08 6185 129346250 15955568 8855.33 261 674949 960393.3497 0.12 1 2 DKI Jakarta 2009 167806.6 82599.5 87941.1
120 1069.865 678.1382 115.73 6410 28308590 15757065 8172.67 261 667883 1009089.806 0.56 1 2 DKI Jakarta 2010 138241.9 68434.3 72137.8 131 1118.009 732.4988 122.92 6743 28308590
15757065 9104.08 261 754985 1075183.481 0.56 1 2 DKI Jakarta 2011 157812.6 23040.6 135972 130 1290 784 127.8 7094 35339355 19910566 9975.65 261 690816 1147558.226 0.56 1 2 DKI Jakarta
2012 260317.7 9246.3 255750.8 121 1529.15 844.932 133.58 7094 38772527 22644044 10958.99 261 706871 1222527.925 0.58 1 2 DKI Jakarta 2013 279125.7 11541.5 273734.8 117 2200 932.6728
144.27 7094 38772527 22644044 11182.44 261 682257 1297195.426 0.58 1 2 DKI Jakarta 2014 211317.3 29574.7 192915 115 2441 1044.7 119.41 7094 38772527 22644044 11555.33 261 669033
1374348.612 0.58 1 3 Jawa Barat 2005 1819575.5 323285.4 1496291.1 731 408.3 485.3686 142.48 26332 2837 144 12762.03 1757 2616946 682804.4754 0.05 0 3 Jawa Barat 2006 1404945.9 113280.1
1291665.8 830 447.654 556.1426 150.08 25679 3015190 227725 13018.71 1757 2699250 725988.5669 0.08 0 3 Jawa Barat 2007 1125096.5 221558.5 903538 794 516 619.112 157.96 25679 3607700
190552 14112.84 1757 2767105 773844.8992 0.05 0 3 Jawa Barat 2008 2221149.3 308504.3 1912645 795 568.193 688.521 112.7 25857 3607700 190552 14766.85 1784 2935324 823413.8864 0.05 1
Lampiran 1. (Lnjutan) 3 Jawa Barat 2009 1494324.9 160321.2 1334003.7 712 628.191 766.473 115.08 26881 13728214 5098293 14336.1 1784 3073499 852776.6913 0.37 1 3 Jawa Barat 2010 1153834.8
212107.6 940973 798 671.5 821.8006 120.29 25494 13728214 5098293 15723.73 1784 3389287 906685.7605 0.37 1 3 Jawa Barat 2011 2856321.56 239134.3 2617187.3 830 732 895.6 123.6 25500
17856122 6903777 17050.46 2295 3571915 965622.0612 0.39 1 3 Jawa Barat 2012 3842809.7 608324.3 3234485.4 830 780 994.762 128.57 24549 16517666 22644044 18535.99 2295 3863392
1028409.74 1.37 1 3 Jawa Barat 2013 6749113.5 636279.5 6112834 1043 850 1202.6728 138.82 24608 16517666 22644044 19546.28 2295 3916702 1093585.505 1.37 1 3 Jawa Barat 2014 4987095
568530.4 4399958.6 1069 1000 1332.9 117.11 24607 16517666 22644044 21548.23 1980 3902850 1148948.817 1.37 1 4 Jawa Tengah 2005 33753.5 33361.5 392 103 390 489.0286 138.6 29056
25749.9 129.6 3628.93 1957 2782008 473481.5901 0.01 0 4 Jawa Tengah 2006 353709.4 24207.1 329502.3 135 450 555.6734 147.02 28358 21028086.9 70682383.8 3879.98 1957 2662078
499259.6663 3.36 0 4 Jawa Tengah 2007 68073 17790.2 50282.8 144 500 622.312 156.94 28490 24270019.2 8225392.5 4255.79 1957 2765644 527832.9353 0.34 0 4 Jawa Tengah 2008 118060.2
60593.7 56002 156 547 692.7596 112.66 28904 24270019.2 8225392.5 4466.48 1988 2703427 559096.8104 0.34 1 4 Jawa Tengah 2009 78712.1 40690.6 38021.5 132 575 777.1112 116.25 29674
646830516.6 8215594.2 4527.13 1988 2656673 588186.4782 0.01 1 4 Jawa Tengah 2010 29161.4 17642.9 11518.5 131 660 2060.2515 124.51 29203 646830516.6 8215594.2 4890.77 1988 2815292
623224.6213 0.01 1 4 Jawa Tengah 2011 130042.8 73488.7 56554.1 148 675 907 128.08 29110 17517266.1 9914841 5235.82 2234 3046724 656268.1299 0.57 1 4 Jawa Tengah 2012 164039.2 92090.9
71948.3 135 765 997.762 134.29 29342 26117052.3 16065555.3 5738.43 2234 3297707 691343.116 0.62 1 4 Jawa Tengah 2013 301359 41948.4 259410.6 148 830 1202.6728 145.29 29703 26117052.3
16065555.3 6189.73 2234 3044428 726899.7064 0.62 1 4 Jawa Tengah 2014 399957.6 127945.5 272012.1 189 910 1350.9 118.73 29703 26117052.3 16065555.3 6674.7 2042 3173217 766271.7713
0.62 1 5 DI Yogyakarta 2005 510 510 0 22 400 487.0286 136.75 4825 2861.1 28481.4 151.209 140 223818 51598.30644 9.95 0 5 DI Yogyakarta 2006 3573.5 580 2993.5 30 460 553.6734 150.97 4859
2336454.1 893598.2 160.71 140 239829 53487.90819 0.38 0 5 DI Yogyakarta 2007 428.7 428.7 0 19 500 622.312 103.13 4833 2696668.8 913932.5 174.9 140 209456 55922.62857 0.34 0 5 DI
Yogyakarta 2008 7531.1 4100 3431.1 24 586 684.9596 113.32 4859 71870057.4 912843.8 193 153 250507 58742.14904 0.01 1 5 DI Yogyakarta 2009 1717 350 1367 28 700 752.1112 116.64 4890
71870057.4 912843.8 189.05 153 237240 61399.53611 0.01 1 5 DI Yogyakarta 2010 1377.4 212.3 1165.1 27 745.694 806.9618 125.25 4753 71870057.4 912843.8 197.66 153 247093 64678.9681 0.01 1
Lampiran 1. (Lnjutan) 5 DI Yogyakarta 2011 729 129 600 29 808 880.4 130.11 4592 1946362.9 1101649 193.86 171 266768 68049.8743 0.57 1 5 DI Yogyakarta 2012 2518.3 205.6 2312.7 26 892.66
997.762 135.72 4592 2901894.7 1785061.7 209.89 171 282602 71702.4491 0.62 1 5 DI Yogyakarta 2013 4785.5 1710.2 3075.3 27 947.114 1183.25 145.65 4267 2901894.7 1785061.7 220.58 171 248473
75637.0075 0.62 1 5 DI Yogyakarta 2014 5831.2 245 5586.2 29 988.5 1335.2 116.84 4267 2901894.7 1785061.7 236.93 172 273329 79557.2479 0.62 1 6 Jawa Timur 2005 603316.4 153012.5 512788.4
195 340 499.0286 133.33 36803 27630 15573 8497.55 2369 2323652 746857.1468 0.56 0 6 Jawa Timur 2006 673053 107575.9 211689.7 189 390 567.6734 142.27 36337 21862504 12718372 8737.33
2369 2361798 785838.8861 0.58 0 6 Jawa Timur 2007 1709886.7 112158.1 1526577.391 212 448.5 632.612 102.38 37027 36658212 18835570 8947.22 2369 2458401 830327.5204 0.51 0 6 Jawa Timur
2008 511422.3 116895.1 276397 205 500 702.1596 111.32 37814 36658212 18835570 9159 2320 2412284 887107.8928 0.51 1 6 Jawa Timur 2009 441928.7 184217.4 178872.2 176 570 778.1112
115.09 38565 50439842 14575404 8970.26 2320 2385686 930770.0421 0.29 1 6 Jawa Timur 2010 788599.3 284193.3 475057.6 177 630 830.1006 123.53 44044 50439842 14575404 9838.65 2320
2482563 990648.8 0.29 1 6 Jawa Timur 2011 579808.9 195892.3 247161.4 194 705 901 129.36 45589 29621080 10046702 10609.4 2664 2665473 1054401.8 0.34 1 6 Jawa Timur 2012 1536716.4
644493.7 420490.7 180 745 1001.762 135.04 42512 43119601 12726108 12295.75 2664 2834939 1124464.6 0.30 1 6 Jawa Timur 2013 1973544.1 508974.1 1162699 201 866.25 1199.4228 145.65
42555 43119601 12726108 12631.67 2664 2774504 1192841.8 0.30 1 6 Jawa Timur 2014 1789654.8 797787.7 591909.5 236 1000 1332.9 145.19 42555 43119601 12726108 13430.55 2340 2776552
1262700.1 0.30 1
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia's development aims to realize national goals, namely: accelerate economic growth, increase equitable welfare, and continue the sustainable environment. As stated by the Deputy Minister of Public Works at konreg PU, 2013.
Where each is projected PDRB value, poverty rate, and amount of carbon emissions. In our research, we focused only on contributing to the purchase value, sales value, and trade balance, while the poverty rate and fluctuations in
carbon emissions were not the scope of the study. Taking into account the availability of data, the accuracy of the research, and the coverage of the regions we grouped based on the Islands cluster in Indonesia.
In general, the value of purchases in Indonesia increased, despite the change in order in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place, followed by Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively Bali
Island - Nusa Tenggara-Maluku- Papua and Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order changed as follows: the first and second order respectively Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in
third and the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth. (BPS, 2021).
Source: bps.go.id
In general, the value of sales in Indonesia increased, despite changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place, followed by Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively Bali Island -
Nusa Tenggara-Maluku- Papua and Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order changed as follows: the first and second order respectively Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third and
the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth. (BPS, 2021).
Table Sales Values
Source: bps.go.id
In general, the trade balance in Indonesia increased, despite changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place, followed by Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively – Kalimantan
Island – Sulawesi and Bali Island – Nusa Tenggara-Maluku - Papua. While in 2018 the order changed as follows: the first and second order respectively Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third
and the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth.
Source: bps.go.id
From the purchase value data, sales value data, and trade balance this shows that development in Indonesia has not been fully successful. It is said to be successful where the economy in Indonesia is no longer dependent on the island
of Java with the improving economy on the island of Kalimantan - Sulawesi, but has not succeeded in strengthening the role of Sumatra Island and Bali-Nusa TenggaraMaluku-Papua Island. So we need to know what factors affect the
condition.
I try to look in depth on the usage of land, for the forest and non forest area, the infrastructures development, about road, electricity, fuel station, telecommunication and transportation (port and air port).
the highest contribution of The output amount of textiles and appareals industries is Jva. The second is Sumatera. Followed by Bali and Nusa Tenggara are the third. While Sulawesi and Kalimantan are on the fourth and fifth. With the
details are as follow :
The fluctuations of productivity of textiles and appareals industries can be exlplaines as that’re. Eventough there is still a domainancy of Java as many as 97,65 % - 99,59 %. Followed by Bali and Nusa Tenggara as many as 0,21 % -
1,32%. Lied on the third is Sumatera by 0,09 5 – 1,33 %. The forth rank is Sulawesi by 0,02 % - 0,08 %. With percentages of 0,00 - 0,07 % is Kalimantan.
From the morphology conditions from each Island / Islands above, we can see that all Island / Islands are most consist of land. In Java as the lowest land with 20.036 villages. While Sumatera is at the second with 16.969 villages.
Sulawesi with 7.676 is in the third. In other hand the forth and the fifth are Bali and Nusa Tenggara as many as 3.129 and 2.745.
The use of land can be approached from the use of forest for agriculture and mining, while the rest of land which are non forest land become industries and small and medium enterprises areas.
Electricity is one of important needs in daily life. Electricity management as written in basic law 1945 are managed by Government and used to increase the prosperity of citizens. To deal with it, Goverment create one of national company
to manage electricity called National Electricity Company (PT.PLN). The main task of this company are produce electricity to public. For region which is have not electricity network, Governmment and local government give an opportunity
to State own enterprises, regional own enterprises, private company, and cooperation to do an activity of supplying electricity. The scopes of suplying electrity are generating electricity, distributing electricity, and transmitting electricity.
Nowadays, demand of electric power is increase. The electric power sector have to struggle with this situation. The forecast of electricity demand From the graph above, the forecasting of electricity is dominated by industry
sector,followed by household, enterprises, and public. This increasing may be happened because of the leveling up of economic growth by 6 % and the number of population. That can bring Indonesia to energy crisis. As a result, electric
power coverage and utilization is still very low compare to other countries as Figure 1 described.
Why Gross Domestic Product of expenditure on household Consumption on Transportation and Telecomunication :
• Household continously take a part on development by paying taxes
• Transportation and telecomunication is easy to be monitored and evaluated since it received the direct impact of government policy on changing fuel prices and subsidize
• The stable increasing of expenditure are depend on the number of household and inflation.
• More than 55 % GDP are allocating for consumption, compared with Governmenat expenditure at 9 %.
• The development of infrastructure to encourage the increasing of production and distribution at the end to bring people’s welfare
Tabel 1.1.
capital / input value (per year) in millions rupiahs
2013 2014 2015
indonesia 300777949 311111481 349626357
west 257323521 237908689 301236497
east 43454428 73202792 48389860
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.2.
labor amount (per year) in people
2013 2014 2015
Indonesia 9734111 8362746 8735781
West 7901109 6538924 7195984
East 1833002 18223822 1539797
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.3.
labor cost ( per year) in millions rupiahs
2013 2014 2015
Indonesia 86546669 48602183 48188828
West 73118315 37654464 39942804
East 13428354 10947719 8246024
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.4.
producer / Number of micro and small industries / companies (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 3418366 3505064 3668873
West 2610866 2659782 2971231
East 807500 845282 697642
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.5.
output value (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 489861304 513309953 570366901
West 413679797 388275108 482250498
East 76181507 125034845 88116403
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.6
Tabel 1.7
BAB II
STUDI EMPIRIS
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa jumlah perusahaan ,menurut provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan Indonesia menunjukkan tren peningkatan, sedangkan di
Wilayah Timur menunjukkan tren penurunan.
BAB III
ANALISIS
rupiah.
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SALATIGA_ PART A. PENDAHULUAN, LITERATUR, DAN KETERSEDIAAN DATA DAN USULAN PETA
Jika melihat grafik diatas, pertumbuhan jumlah tenaga kerja linear dengan biaya tenaga kerja, sedangkan tren input sepertinya dipengaruhi oleh hal lain.
Jumlah UMKM di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi, hal ini tidak linear dengan pertumbuhan value added, tetapi linear dengan output. Kemungkinan ini disebabkan oleh biaya bahan-
bahan masukan, bahan mentah, dan jasa untuk produksi mengalami kenaikan harga. Bisa dilihat dari grafik nilai input yang terus mengalami kenaikan meskipun jumlah tenaga kerja mengalami tren penurunan.
Pertumbuhan produksi mengalami penurunan tren, meskipun begitu tren outputnya mengalami peningkatan. Melihat tren jumlah tenaga kerja dan biaya tenaga kerja yang menurun, kemungkinan ini dikarenakan
adanya peningkatan pada jumlah UMKM. Walaupun UMKM meningkat, jumlah tenaga kerja menurun ini sangat wajar, karena biasanya sistem kerja UMKM adalah kekeluargaan, sehingga kemungkinan tenaga kerja
yang bekerja pada sektor UMKM tidak terdaftar sebagai pekerja. (Ini perlu dicek)
Di wilayah barat, penurunan jumlah tenaga kerja linear dengan penurunan pada biaya tenaga kerja yang mana secara teoritis masuk akal, tapi berkorelasi negatis dengan biaya input/capital input dimana semakin
meningkat. Hal ini kemungkinan biaya variabel cost seperti bahan mentah dan jasa lain meningkat, atau mungkin ada pembelian teknologi untuk efisiensi produksi.
Trend line jumlah UMKM dari 2013-2014 meningkat walau tidak signifikan, peningkatan jumlah UMKM linear dengan nilai output. Secara teoritis, jika UMKM meningkat memang output akan meningkat, tapi data ini
hanya menggambarkan hubungan linear jumlah UMKM dengan output. Jika ingin melihat apakah peningkatan UMKM per unit akan meningkatkan output, maka seharusnya menggunakan data rasio UMKM/Output
value, berlaku juga untuk nilai tambah.
Jika melihat grafik diatas, tren nilai input dan output adalah linear. Jika input meningkat, maka output meningkat. Sedangkan pertumbuhan produksinya peningkatan input dan output terlihat berkorelasi negatif
dengan pertumbuhan biaya produksi, ini kemungkinan karena industri pada tahun 2014 efisien dalam produksi atau dalam kondisi decreasing return to scale, tapi pada tahun 2015, pertumbuhan nilai input dan
output tidak berkorelasi dengan pertumbuhan produksi, kemungkinan ini karena faktor harga.
Peningkatan pada
pertumbuhan produksi
sebesar 1%, berkorelasi
dengan peningkatan capital
input sebesar 1,29 triliun
rupiah.
Pada tahun 2014, jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan signifikan, namun turun kembali pada tahun 2015 (perlu dicari tahu kenapa). Jika melihat grafik diatas, nilai input dan jumlah tenaga kerja memiliki
korelasi linear sedangkan biaya tenaga kerjanya berkorelasi negatif.
Jika dilihat data diatas, maka nilai output dan nilai tambah berkorelasi negatif, sedangkan nilai tambah dengan jumlah UMKM berkorelasi positif, hanya saja tahun 2014 menjadi outlier.
Jika melihat grafik diatas, tren input dan output linear. Sedangkan tren pertumbuhan produksi sepertinya dipengaruhi oleh hal lain. Jika merujuk data sebelumnya, Jumlah tenaga kerja meningkat tajam pada tahun
2014, diikuti oleh pertumbuhan produksi sebesar kurang lebih 3% dan terus mengalami peningkatan jumlah produksi secara signifikan pada tahun 2015, padahal jumlah tenaga kerjanya berkurang signifikan pada
2015 (perlu dicari tahu sebabnya).
BAB IV
KESIMPULAN
Value added dan capital input di Indonesia berkorelasi negative dengan koefisien determinasinya adalah 0,03%.
Labor dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi positif dengan koefisien determinasinya adalah 5%.
Labor Cost dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi negative dengan koefisien determinasinya adalah 2%.
Nilai tambah dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi negative dengan koefisien determinasinya adalah 0,5%.
Pertumbuhan produksi dan input value di Wilayah Barat berkorelasi positif dengan koefisien determinasinya adalah 10%.
Biaya tenaga kerja dan capital input di Wilayah Timur berkorelasi negative dengan koefisien determinasinya adalah 7%.
Pertumbuhan produksi dan capital input di Wilayah Timur berkorelasi positif dengan koefisien determinasinya adalah 7%.
• Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China memberikan dampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu terhadap masuknya
investasi ke dalam negeri.
• Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan, adanya perang dagang menimbulkan ketidakpastian kondisi ekonomi global. Ini membuat investor menahan diri untuk
menanamkan modalnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
• "Mungkin dampak kepada investasi terutama melalui jalur sentimen dan kepercayaan. Tentunya perang dagang dapat menimbulkan ketidakpastian. Kalangan pengusaha dan investor itu paling sensitif, paling
peka terhadap ketidakpastian. Kita harus menyiapkan insentif tambahan untuk menanggapi dan menanggulangi dampak kepada sentimen investor," ujar dia di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).
• Namun demikian, lanjut dia, pemerintah terus berupaya menarik investasi sebanyak-banyaknya ke dalam negeri, khususnya untuk investasi d industri hulu yang mampu menyerap modal tinggi seperti di
industri petrokimia.
• "Lalu petrokimia, mungkin sudah hampir di tangan beberapa megaproyek petrokimia. Dari total kebutuhan petrokimia dan plastik kita, lebih dari separuh itu masih impor," kata dia.
• Jika proyek-proyek investasi ini bisa berjalan lancar, maka bukan hanya meningkatkan pertumbuhan investasi tetapi juga mendorong ekspor dan menekan impor.
• "Kalau kita bisa mempercepat realisasi investasi megaproyek ini, ini bisa kena tiga-tiganya, investasi masuk, arus modal masuk, ekspor meningkat dan impor dikurangi demi menjaga kestabilan atau
kewajaran neraca dagang. Industri hulu itu cenderung investasi sangat besar. Sekali dapet langsung puluhan triliun," tandas dia.
Empat hal di balik angka kemiskinan Indonesia yang disebut mencatat 'sejarah'
• Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, tingkat kemiskinan Indonesia kurang dari 10% setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa angka kemiskinan Indonesia adalah 9,82%.
• "Untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di dalam satu digit," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di kantornya.
• Kalimat ini disuarakan kembali Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berbicara kepada wartawan seperti dikutip dari Kompas, 17 Juli 2018.
• "For the first time in the history of Indonesia tingkat kemiskinan di bawah 10%," ujar mantan pejabat Bank Dunia itu.
• Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang, semakin sedikit dari jumlah warga miskin pada September 2017, yaitu 26,58 juta orang.
• Tren penurunan ini mendapat banyak sambutan dari warganet, yang memuji keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi.
• 1. Definisi miskin
• Angka rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2018 adalah Rp401.220 per kapita per bulan.
• BPS menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang diukur dari pengeluaran.
• Artinya, orang yang pengeluarannya di bawah angka rata-rata garis kemiskinan termasuk warga miskin.
• Data BPS menunjukkan bahwa angka ini lebih tinggi dibanding pada 2017, yang pada semester pertama (Maret) berjumlah Rp361.496 dan Rp 370.910 pada semester kedua 2017.
• Pada Maret 2017, provinsi dengan rata-rata garis kemiskinan tertinggi adalah Bangka Belitung dengan Rp602.942 dan yang terendah adalah Sulawesi Selatan dengan Rp274.434.
• Angka ini menimbulkan kontroversi di media sosial. Beberapa warganet protes karena pengeluaran Rp500.000 tidak dianggap miskin.
• "Garis kemiskinan Rp401.000 per bulan memang masih terlalu rendah, perlu dievaluasi lagi," kata peneliti di Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira.
• Dia menjelaskan bahwa angka ini adalah pengeluaran per orang. Jadi, dalam keluarga yang terdiri atas empat orang misalnya, mereka dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp1,6 juta per bulan.
• BPS juga menjelaskan bahwa ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin pun berkurang.
• Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk diukur dengan angka rasio gini. Saat rasio gini semakin mendekati angka satu, artinya ketimpangan semakin besar. Ketika rasio gini semakin dekat ke angka nol,
artinya sudah ada kesetaraan dalam pengeluaran penduduk.
• Rasio gini pada Maret 2018 adalah 0,389. Angka ini turun dari rasio gini setahun lalu, Maret 2017 sebesar 0,391.
• Dia menjelaskan bahwa berdasarkan data BPS, ketimpangan turun karena pengeluaran 20% penduduk terkaya berkurang (dari 46,4% ke 46,09%).
• Angka kemiskinan memang tidak berasal dari jumlah pemasukan, tapi dari pengeluaran.
• "Diduga orang kaya Indonesia menahan belanja karena khawatir dengan ketidakpastian kondisi ekonomi makro," kata Bhima.
• Sementara itu, pengeluaran masyarakat kelas bawah didorong oleh bantuan sosial dan bantuan beras yang jumlahnya naik secara signifikan.
• Sementara, program infrastruktur belum banyak dirasakan hasilnya. "Ada yang sampai lima tahun," kata Bhima.
• Meskipun persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai rekor terendah dengan 9,82%, penyebarannya tidak merata.
• Penduduk miskin yang tinggal di desa lebih banyak dari penduduk yang miskin kota.
• Di Maluku dan Papua, 29,15% penduduk yang tinggal di desa masih miskin. Di kota, hanya 5,03% penduduk masuk kategori miskin.
• Di Bali dan Nusa Tenggara, 17,77% penduduk desa masuk kategori miskin.
• Daerah dengan persentase penduduk miskin terendah adalah di Kalimantan, 7,6% (di kota 4,33%)
• Menurut Bhima, hal ini disebabkan karena usaha pemerataan yang dilakukan pemerintah melalui dana desa belum bekerja optimal karena birokrasi pencairan dana desa masih lambat.
• "Pemberdayaan petani masih kurang, idealnya petani miskin diberi sertifikat lahan, kemudian bekerja sama dengan BUMN dan swasta untuk menyerap hasil pertanian yang lebih besar," kata Bhima.
• 4. Perkiraan ke depan
• Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertekad untuk terus menurunkan angka kemiskinan. "Jadi kita tidak berhenti di situ, ingin menurunkan lebih lanjut. Masalah pemerataan juga lebih bagus," kata Sri
Mulyani.
• Namun Bhima Yudhistira ragu dengan hal itu. Menurutnya, angka kemiskinan justru bisa naik seiring naiknya harga energi dan kebutuhan pokok, yang terpengaruh pelemahan kurs. Pasalnya, masyarakat
miskin sensitif terhadap kenaikan harga pangan.
• Menurut BPS, makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan di kota dan desa adalah beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, mi instan dan gula pasir.
• Selain makanan, kebutuhan yang pengaruhnya besar adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi.
• "Tantangan kemiskinan paling berat adalah soal stabilitas harga pangan dan energi," kata Bhima. Pasalnya, masyarakat miskin sensitif terhadap kenaikan harga pangan.
Indonesia Telah Berhasil Turunkan Emisi Karbon 8,7% dari Target 29%
• Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 18 Juli 2018. Hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional menunjukkan Indonesia berkontribusi menurunkan emisi karbon
sebesar 8,7% pada tahun 2016, dari target penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% tahun 2030 dari Business As Usual pada Nationally Determined Contribution (NDC). Menurut data tingkat
emisi Gas Rumah Kaca di tahun 2016 sebesar 1.514.949,8 GgCO2e, atau meningkat sebesar 507.219 GgCO2e dibanding tingkat emisi tahun 2000, dengan kata lain mengalami peningkatan 2,9% per tahun
selama periode tahun 2000-2016.
• Dalam Sambutan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK pada acara Workshop Percepatan Operasionalisasi Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) di Jakarta
(18/07/2018), yang dibacakan Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, menegaskan dari hasil capaian kontribusi penurunan emisi tersebut, perlu adanya upaya peningkatan aksi mitigasi
semua pihak berkontribusi pada pencapaian target NDC.
• Dijelaskan Emma, angka 8,7% itu dihitung berdasarkan aksi yang ada di KLHK, oleh karena itu untuk mencapai target penurunan emisi 29% di tahun 2030, perlu upaya yang dilakukan oleh provinsi,
kabupaten, kota, dunia usaha dan pasar lokal, dan tidak hanya bergantung dari upaya yang dilakukan pemerintah.
• “Kami mengetahui dari berbagai informasi seperti misalkan melalui program PROPER ataupun misalnya program-program lainnya, banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh dunia usaha yang sebetulnya
masuk ke dalam kategori adaptasi maupun mitigasi. Kemudian juga banyak kegiatan yang dilakukan oleh provinsi maupun di kabupaten kota dalam rangka misalkan program Adipura ataupun program-
program seperti green city, smart city, itu sebetulnya adalah aksi-aksi adaptasi maupun mitigasi yang belum tercatat secara resmi oleh pemerintah”, ucap Emma.
• Untuk memudahkan pencatatan upaya-upaya penurunan Emisi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang
diluncurkan pada tanggal 1 november tahun 2016. SRN PPI dibentuk mencangkup pendataan seluruh aksi dan sumberdaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di berbagai sektor dan yang dilaksanakan
oleh berbagai pihak mencangkup pemerintah, provinsi, kabupaten usaha, dunia usaha, masyarakat dan berbagai pihak lainnya.
• Sebagai Bentuk nyata komitmen di bawah Persetujuan Paris, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan menyampaikan Laporan Pertama Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional atau First
Nationally Determined Contribution (NDC) kepada United Nations Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2016. Dalam NDC, Indonesia menyatakan komitmen kontribusi penurunan emisi
GRK pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada kerjasama internasional dari kondisi tanpa ada aksi.
• Kerangka waktu periode komitmen I (pertama) implementasi NDC dimulai pada tahun 2020 dan secara regular dilakukan pembaharuan (update) lima tahun sekali sesudahnya sesuai dengan Persetujuan
Paris. Untuk itu diperlukan upaya pemantauan yang mencakup kerangka waktu tahun 2017-2019 (pra-2020) dan tahun 2020-2030 (pasca-2020).
• “Komitmen pemerintah Indonesia tentu tidak hanya semata-mata dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia melalui kementrian/lembaga tetapi melibatkan seluruh pihak karena akan menjadi kontribusi
kesatuan secara nasional”, tegas Emma
• Jakarta - Pemerintahan kabinet kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedari awal telah memfokuskan kerjanya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang jauh tertinggal
jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
• Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengatakan, tersedianya infrastruktur baik dasar maupun penunjang lainnya seperti jalan, ketenagalistrikan dan lainnya bisa menjadi jalan bagi investasi untuk masuk ke
Indonesia.
• "Infrastruktur yang memadai membuka jalan investasi, penyanggah, serta mendorong percepatan ekonomi, dan ini yang menjadikan infrastruktur menjadi alat ukur kemapanan ekonomi negara, karena
bergantung keberadaan infrastruktur, sehingga mobilitasnya bisa terjamin," kata Mardiasmo dalam acara Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama tentang Penggunaan Dana Badan Usaha Untuk
Uang Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Jalan Tol di Jakarta, Senin (18/12/2017).
• Mardiasmo menuturkan, ekonomi Indonesia terus menunjukan perbaikan setelah pada 2015 tumbuh di level 4,9%, saat ini berada di level 5%. Hal ini sekaligus menjadikan Indonesia berada di posisi ketiga
dalam G20.
• Pertumbuhan ekonomi yang sudah berada di level 5% tidak begitu saja membuat puas. Pemerintah, kata Mardiasmo, terus meningkatkan target pertumbuhan ekonomi di atas 5%, pada 2017 ditargetkan
5,2%, dan pada tahun depan di level 5,4%.
• Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan yang merata dan berkeadilan, setidaknya pemerintah bergantung dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi jalan seperti masuknya investasi
serta mendorong percepatan ekonomi.
• "Dalam mendorong pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan jalan tol, Kemenkeu turut memberikan dukungan, dukungan itu dengan alokasi belanja negara, yang setiap tahunnya meningkat
dengan peningkatannya sekitar 20% per tahun, dari Rp 74 triliun di 2009, hingga mencapai Rp 388 tahun 2017, bahkan di 2018 menjadi lebih Rp 400 triliun," tambah dia.
• Selain itu, lanjut Mardiasmo, Kementerian Keuangan juga mendukung pembangun infrastruktur jalan tol dengan menerbitkan surat nomor 8 Tahun 2017, tentang penggunaan dana talangan.
• "Untuk mempercepat ke depan, harus mengedepankan tata kelola yang baik dalam proses. Saya juga melihat semua pihak turut serta, seperti yang sudah hadir sekarang ini. Menteri ATR/BPN, semua
Kementerian, PUPR, BPKP juga, serta KPPIP, LMAN juga dengan demikian proses pendanaan proses pengadaan tanah bisa dapat ditingkatkan terus, jika menjadi lebih cepat," tukas dia
• JAKARTA - Dua tahun telah berlalu sejak program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) dimulai. Dalam rentang waktu relatif singkat itu, sektor kelistrikan nasional tumbuh pesat.
• Tak kurang dari 14.593 MW pembangkit baru tengah dalam fase konstruksi. Data yang dilansir PT Perusahaan Listrik Negara (persero)/PLN menyebutkan, hingga Juli 2017 pembangkit yang sudah dalam
tahap commercial operation date (COD) mencapai 758 MW, disusul lebih dari 14.000 MW lainnya yang tengah dibangun dan segera masuk ke sistem.
• Artinya, hingga paruh pertama tahun ini, sekitar 43% dari total 35.826 MW kapasitas pembangkit dalam megaproyek yang dikerjakan hingga 2019 itu telah terealisasi. Sementara itu, 8.150 MW pembangkit
tengah dalam tahap penandatanganan jual-beli listrik (power purchase agreement/PPA), 5.355 MW lainnya dalam proses pengadaan dan 6.970 MW dalam tahap perencanaan.
• Pembangunan pembangkit-pembangkit yang tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua itu membawa perubahan besar. Satu hal yang pasti, di sejumlah
daerah, cadangan listrik saat ini sudah cukup besar sehingga yang tadinya mengalami defisit, kini mulai surplus pasokan listrik. Sebagai contoh, di Jawa cadangan listrik kini mencapai 7.432 MW, di Sumatera
bagian utara cadangan listrik tersedia hingga 413 MW, dan di Sumatera bagian selatan cadangannya mencapai 531 MW.
• Di beberapa daerah, cadanganlistrikkinibahkanmencapai30% hingga50%. SepertidaerahBangka-Belitung(Babel) yangkini cadangan listriknya surplus 30%. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding tahun 2014 di
mana defisit listrik mencapai 15%. Atau, Nias yang pada 2014 hanya surplus 1% kini cadangan listriknya melonjak hingga 54%. Hal yang sama terjadi di sistem besar di Kalimantan serta kawasan timur
Indonesia.
• Daerah-daerah tersebut juga telah siap menampung masuknya investor, seperti Ambon yang kini sudah mengantongi cadangan listrik lebih dari 100%. Bertambahnya cadangan memang tak semata
meningkatkan keandalan pasokan listrik bagi masyarakat, namun juga menjadi peluang bagi daerah-daerah untuk membuka pintu bagi masuknya investasi baru.
• Investor diyakini akan semakin rajin mengintai potensi- potensi bisnis di daerah-daerah setelah kini pasokan energi tak lagi menjadi kendala. Capaian itu bahkan tampak pada laporan yang dilansir Bank
Dunia mengenai kemudahan berbisnis awal tahun ini. Indonesia didapuk sebagai satu dari 10 negara dengan kenaikan terbesar pada peringkat kemudahan berbisnis.
• Peringkat negara ini naik dari 106 menjadi 91, di mana salah satu aspek reformasi yang dilakukan Indonesia terkait perbaikan iklim usaha adalah kemudahan memperoleh sambungan listrik. Tak heran jika
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy Noorsaman Sommeng memberikan apresiasi atas perkembangan positif di ranah kelistrikan nasional tersebut.
• “Dengan demikian, daerah siap menanti masuknya investor-investor baru. Juga para pelanggan yang akan menambah kapasitas konsumsi listriknya,” ujar Andy baru-baru ini. Meningkatnya cadangan listrik
menjadi harapan besar bagi para kepala daerah untuk menggerakkan ekonomi daerahnya masing-masing.
• Di wilayah Bangka-Belitung yang potensial sebagai daerah tujuan wisata, misalnya, setelah mengantongi cadangan masing- masing 30,85 MW dan 30,1 MW di sistem kelistrikannya, PLN menyebut sudah
ada beberapa hotel dan operator lapangan golf yang siap untuk menyerap tambahan pasokan listrik tersebut. Wakil Bupati Kabupaten Belitung Erwandi A Rani pun optimistis tambahan pasokan listrik serta
jaringan transmisi PLN hingga pulau-pulau terluar di bakal menambah geliat ekonomi masyarakat wilayahnya.
• “Contohnya di Pulau Sumedang, dengan adanya listrik dari PLN nanti nelayan bisa mengolah ikan sehingga ada nilai tambahnya. Selama ini mereka hanya mengandalkan es yang didatangkan dari Belitung
yang perjalanan lautnya saja bisa empat jam,” tuturnya saat ditemui KORAN SINDO beberapa waktu lalu. Di bagian lain, PLN telah menyatakan kesiapannya mendukung masuknya investasi baru dengan
layanan terbaiknya.
• Seperti diungkapkan General Manager PLN Wilayah Babel Susiana Mutia, untuk melayani pelanggan korporasi maka PLN siap bergerak cepat merealisasikan sambungan dalam waktu sekitar 25 hari.
Adapun untuk sambungan rumah tangga, penyambungan jaringan bahkan jauh lebih cepat yakni maksimal lima hari. Optimisme yang sama juga disuarakan Gubernur SulawesiSelatan(Sulsel)
SyahrulYasinLimpodiMakassar beberapa waktu lalu.
• Dengan kondisi surplus listrik saat ini, Syahrul yakin masyarakat dan wilayah Sulsel akan semakin maju, mandiri, dan modern, ditunjang oleh pilar ketersediaan listrik yang disiapkan oleh PLN. “Pilar penting
untuk kemajuan adalah ketersediaan listrik. Kenapa Sulsel merupakan daerah yang tepat untuk berinvestasi? Itu karena selain memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga karena adanya ketersediaan
listrik,” tegasnya. Syahrul mengaku belum puas.
• Surplus sekitar 250 MW saat ini menurutnya masih perlu ditambah untuk mengantisipasi laju perkembangan Sulsel yang cepat. Kebutuhan listrik di Sulsel setiap tahun menurutnya tumbuh sekitar 60 MW
sehingga idealnya terdapat cadangan 500 MW. Dengan begitu, kata dia, selain dapat memenuhi kebutuhan perkembangan industri ke depan, listrik untuk masyarakat pun terjamin hingga ke pelosok desa.
• Harapan para kepala daerah tersebut sejalan dengan tujuan pemerintah yang memang menyiapkan program 35.000 MW untuk mengakomodasi pertumbuhan nasional dan daerah hingga 2019. Itu pun
dibarengi dengan terus dibangunnya jaringan transmisi oleh PLN yang secara total kini telah mencapai sepanjang 46.872 kilometer sirkuit dan terus bertambah.
• Kini tinggal lagi mengawal pelaksanaan program 35.000 MW agar terealisasi sesuai rencana, sebab dengan begitu secara bertahap pasokan listrik yang andal dan merata ke depan akan tersedia di seluruh
pelosok negeri. Berbarengan dengan itu, peluang-peluang investasi pun akan semakin terbuka, mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di seluruh nusantara.
• PENATAAN ruang merupakan matra spesial pembangunan dan faktor pendukung investasi di semua sektor. Dalam kaitan itu, pemerintah melalui gagasan pengembangan koridor ekonomi, berupaya
menggabungkan pendekatan pembangunan yang terintegrasi dalam suatu struktur spasial/kewilayahan dengan investasi. Sehingga, kegiatan investasi menjadi sinkron dengan tata ruang dan pengembangan
wilayah.
• Investasi dan penataan ruang yang diejawantahkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Tetapi, sayangnya, kedua hal itu kerap menjadi
salah satu persoalan pokok di negeri ini. Karena tidak ada kepastian hukum mengenai RTRW, khususnya di daerah, impaknya investasi menjadi terkendala. Pembangunan pun mandek.
• Sementara, investor memerlukan kepastian hukum. Kepastian hukum tentang RTRW sejatinya berkait dengan pembebasan lahan. Jangan sampai lokasi yang ingin dijadikan garapan investasi, ternyata
peruntukannya tidak sesuai dengan RTRW. Kalau lokasi investasi tidak sesuai RTRW, investor tentu tidak berani menanamkan modalnya. Jadi, RTRW sangatlah vital menjadi salah satu prasyarat bagi
kegiatan investasi di daerah.
• Lebih rinci lagi, sesungguhnya RTRW juga berfungsi sebagai pedoman untuk beberapa hal. Pertama, penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah daerah. Kedua, pemanfaatan ruang
dan pengendaliannya. Ketiga, keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor. Keempat, penataan kawasan strategis. Kelima, penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi
pertanahan.
• Peraturan Daerah
• Kendati demikian, tidak semua daerah memiliki RTRW. Padahal, mestinya, RTRW dituangkan dalam peraturan daerah. Sehingga, kedudukannya kuat sebagai acuan bagi pembangunan daerah dan
penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi. Masuknya investasi tentu akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus upaya memangkas kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
• Dari 491 kabupaten/kota di Indonesia, hingga kini hanya 202 kabupaten/kota atau sekira 40 persen saja yang memiliki RTRW. Sebanyak 14 provinsi sudah membuat Perda RTRW dan 19 provinsi lainnya
masih memproses aturan itu. Di Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, hingga kini baru delapan kabupaten yang memiliki Perda RTRW, yakni Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Jeneponto, Parepare, Enrekang
dan Tana Toraja. Menyusul Wajo dan Bantaeng.
• Padahal, pemerintah telah menerbitkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Semestinya, sejak 2010 lalu daerah sudah bisa mengimplementasikannya menjadi perda. Apalagi, Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) pun telah mengeluarkan Peraturan Menteri PU No 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.
• Lambannya pemerintah daerah merespons aturan RTRW ini umumnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintah daerah lebih senang mengeluarkan izin yang “bernilai jual tinggi” seperti perkebunan
dan pertambangan ketimbang bersusah payah membuat atau pun merevisi Perda RTRW. Apalagi, selama ini tidak ada sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak memiliki Perda RTRW.
• Kedua, membuat atau merevisi Perda RTRW butuh waktu yang lama. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda Rencana Tata Ruang
Daerah, tahapan penetapan RTRW diawali dengan konsultasi ke DPRD, kemudian diajukan ke provinsi untuk dicocokkan dengan RTRW provinsi, lalu menunggu rekomendasi gubernur.
• Setelah memperoleh rekomendasi gubernur, baru diajukan ke Menteri PU untuk mendapatkan persetujuan. Lalu, dikembalikan lagi ke daerah untuk disetujui DPRD dan bupati/walikota. Setelah itu, baru
dievaluasi lagi oleh provinsi sebelum ditetapkan. Jadi, prosesnya cukup kompleks dan menyita waktu.
• Perbedaan Persepsi
• Sehingga, RTRW tidaklah sesederhana yang dikira. Selain prosesnya rumit, pada dasarnya RTRW menyangkut bagaimana menyinkronkan dan memeroleh kesepakatan di antara tiga tingkatan pemerintah,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dan, RTRW pun bukan hanya sekadar persoalan koordinasi tata ruang, melainkan juga masalah penggunaan ruang.
• Sebagai contoh, acap terjadi perbedaan persepsi dan kesepakatan di antara pemangku kepentingan. Kementerian Kehutanan, misalnya, mendapatkan warisan peta yang menyatakan suatu wilayah adalah
hutan. Sebaliknya, pemerintah daerah yang memiliki lahan hutan itu berencana mengembangkannya menjadi perkantoran, kawasan industri, maupun lainnya. Kalau seperti ini, investor jadi bingung. Pihak
mana yang mesti diikuti.
• Memang, pengaturan tentang detilnya suatu daerah, yang termuat dalam RTRW, daerah itu sendirilah yang lebih tahu. Tetapi, yang harus diperhatikan, apakah rencana tersebut mengakomodasi kepentingan
nasional dan ramah terhadap pembukaan ruang-ruang investasi di daerah atau tidak? Oleh karena itu, perlu supervisi yang kuat dari pemerintah pusat, supaya arahnya tidak melenceng.
• Di samping itu, mesti ada regulasi berupa Instruksi atau Keputusan Presiden guna menuntaskan RTRW. Regulasi tersebut harus tegas mewajibkan pemerintah daerah agar segera menyelesaikan Perda
RTRW, yang disesuaikan dengan RTRW nasional. Lebih jauh lagi, harus ada insentif yang menarik bagi daerah yang sigap membuat atau pun merevisi Perda RTRW. Serta sebaliknya, ditegakkan disinsentif
atau sanksi bagi yang lamban merampungkannya.
• Berharap, paling lambat akhir 2012 ini pemerintah daerah mampu merampungkan Perda RTRW. Sehingga, kegiatan pembangunan dan investasi di daerah bisa berlangsung aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan. Dengan begitu, akan tercipta kepastian hukum, keharmonisan, keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, yang berimpak pada perlindungan dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan investasi.
• Pengertian inflasi
• Kenaikan harga barang dapat bersifat sementara atau berlangsung terus – menerus.; Ketika kenaikan tersebut berlangsung dalam waktu lama dan terjadi hampir pada seluruh barang dan jasa maka gejala
ini disebut inflasi. Jadi, kenaikan harga pada satu atau dua jenis barang tidak dapat dikategorikan sebagai inflasi.
• Dengan demikian, inflasi (inflation) adalah kenaikan harga barang – barang yang bersifat umum dan terus – menerus. Lawan dari inflasi adalah deflasi (deflation), yaitu kondisi dimana tingkat harga
mengalami penurunan terus – menerus.
• Dampak inflasi
• Inflasi tidak selalu memiliki dampak negatif. Di balik banyaknya dampak negative dari inflasi terdapat dampak – dampak positif yang ditimbulkan oleh inflasi itu sendiri antara lain :
• Produksi barang – barang bertambah. Hal ini terjadi karena keuntungan pengusaha yang terus bertambah karena terjadinya inflasi.
• Kesempatan kerja bertambah. Lapangan pekerjaan semakin erbuka karena kegiatan produksi akan melebihi dari biasanya dan juga akan terjadi tambahan investasi.
• Pendapatan nominal bergtambah, tetapi riil berkjurang, karenakenaikan pendapatan kecil karena nilai mata uangnya yang kecil juga.
• Adapun beberapa pihak yang sangat diuntungkan denganterjadinya infasi di suatu negara, berikut adalah sedikitnya dari beberapa pihak itu:
• Para pengusaha, yang pada saat sebelum terjadinya inflasi, telah memeiliki stock / persediaanj produksi barang yang siap dijual dalam jumlah besar;
• Para pedagang, yang dengan terjadinya inflasi menggunakan kesempatan memainkan harga barang. Cara yang dipakai adalah denganj menaikkan harga, karena ingin mendapatkan laba/ keuntungan yang
besar.
• Para spekulan, yaitu orang – orang atau badan usaha yang mengadakan spekulasi, dengan cara menimbun barang sebanyak – banyaknya sebelum terjadinya inflasi dan menjualnya kembali pada saat inflasi
terjadi, sehingga terjadinya kenaikan harga sangat menguntungan mereka.
• Para peminja, karena pinjaman telah diambil sebelum harga barang – barang naik, sehingga nilai riil-nya lebih tinggi daripada sesudah inflasi terjadi, tetapi peminjam membayar kembali tetap sesuai dengan
perjanjian yang dibuat sebelum terjadi inflasi.
• Upah adalah pembayaran dari perusahaan yang diperoleh tenaga kerja. Dalam hal pemberian upah, perusahaan harus menyesuaikan dengan UMR ( Upah Minimum Regional) di daerah perusahaan tersebut.
Pemberian upahh merupakan salah satu masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh perusahaan atau pemerintah. Perusahaan saya berupaya mempertahankan kelayakan biaya dan keuntungan
produksi sedangkan para pekerja berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup. Bagi pekerja, kenaikan upah minim,um regional (UMR) tiap tahun amat dinantikan. Ketika pemerintah di Indonesia
menaikkan UMR maka yang terjadi adalah naiknya juga harga barang – barang. Dengan adanya kenaikan upah bagi buruh atau pun pekerja, tentu akan ada pengaruhnya terhadap tingkat ekonomi Indonesia.
• Upah Mimimum Regional (UMR) adalah suatu standar minim,um yang digunakan oleh perusahaan untuk memberikan upah kepada pekerjanya. Seperti yang kita ketahui, UMR merupakan salah satu
komponen penting dalam kehidupan masyarakat. Penetapan UMR harus kepada hasil survey KHL (Kebutuhan Hidup Layak) dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Survey
KHL dilakukan oleh Dewan Pengupahan. Pada saat ini, UMR dikenal juga dengan istilah UMP ( Upah Minimum Provinsi) yang didasarkan pada ruang lingkup sebatas satu provinsi. Dan dikenal juga istilah
UMK ( Upah Minimum Kabupaten / Kota) yang didasarkan pada ruang lingkup kota atau kabupaten.
• Meroketnya nilaiUMR memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Secara tidak langsung, naiknya UMR akan membuat kenaikan harga – harga barang di pasaran. Bahwa ketika pekerja
memperoleh upah yang lebih besar maka pekerja akan menggunakan upahnya untuk membeli kebutuhan secara berlebihan dan mengakibatkan uang yang beredar lebih banyak. Sehingga ketika UMR naik
maka inflasi juga akan lebih tinggi. Dengan tingkat inflasi yang tinggi akan berdampak pada pengangguran.
• Kenaikan UMR juga merupakan salah satu gajala adanya perlambatan ekonomi yang akan berdampak pada sektor perdagangan Indonesia dan arus investasi asing (FDI). Meroketnya nikai UMR di dalam
negeri mengakibatkan penanaman modal asing (FDI) di dalam negeri menjadi lemah. Hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonmomi di dalam negeri.. Investor asing akanj berfikir lagi
untuk berinvestasi di Indonesia. Naiknya UMR dapat mmeicu para investor asinng untuk memindahkan usahanya ke negara lain yang UMR-nya lebih murah. Turunnya investasi terutama di sektor riil, juga
akan berdampak pada berkuragnya lapangan kerja dan dapat menimbulkan PHK besar – besaran di setiap wilayah.
• Pembiayaan Infrastruktur
• Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas ketertinggalan kita di sektor infrastruktur. Pemerintah selama ini kurang memberikan prioritas pada pembangunan infrastruktur.
• Ketiadaan dana menjadi alasan klasik, karena anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) habis tersedot untuk pengeluaran subsidi, belanja pegawai, belanja barang, pembayaran utang, dan belanja
rutin lainnya.
• Hal ini membuat seluruh lini infrastruktur kita kalah dibanding sejumlah negara kompetitor. Mulai dari jalan biasa maupun jalan tol, jembatan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, pembangkit listrik, waduk, dan
bendungan irigasi, hingga infrastruktur telekomunikasi. Semuanya tidak mampu mengimbangi pesatnya pembangunan di berbagai sektor yang menuntut adanya dukungan infrastruktur.
• Tidak mengherankan jika buruknya infrastruktur menimbulkan dampak yang sangat luas, mulai dari pemadaman listrik, kemacetan luar biasa di jalanan berbagai kota besar, kongesti di pelabuhan,
semrawutnya kondisi sejumlah bandara, bencana banjir, hingga biaya internet yang mahal.
• Pemerintah kemudian mencoba membuat terobosan, dengan menggulirkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Peb angunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada 2011. Program ini bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mendorong konektivitas, serta menciptakan pemerataan ekonomi melalui pembangunan proyek – proyek di sektor infrastruktur dan sektor riil. Proyek
MP3EI terpetakan dalam enam koridor ekonomi, yang masing – masing memiliki fokus dan spesifikasi.
• Sejak dicanangkan 2011 hingga pertengahan 2014, realisasi pembangunan infrastruktur dan sektor riil mencapai Rp.854 triliun yang meliputi 350 proyek. Realisasi itu baru 41%.
• Mayoritas proyek berada di luar Pulau Jawa dengan nilai Rp. 544 triliun. Proyek dibangun dengan pendanaan dari BUMN senilai Rp. 157 triliun, pemerintah Rp.133 triliun, swasta Rp.29 triliun, dan campuran
Rp. 98 triliun.
• Pembiayaan menjadi faktor terpenting dalam pembangunan infrastruktur. Dengan keterbatasan dana APBN, swasta dan BUMN menjadi tumpuan. Namun kenyataannya, seringkali proyek – proyek yang
ditawarkan pemerintah melalui skema publ.ic private partnership (PPP) tidak laku. Hal ini tidak terlepas dari sifat proyek infrastruktur yang jangkanya sangat panjang dan tingkat pengembaliannya rendah,
sehingga beresiko tinggi.
• Itu sebabnya, perbankan sangat hati – hati dalam membiayai proyek infrastruktur. Selain sebagai kreditor tunggal, bank kerap membentuk sindikasi atau konsorsium dalam pendanaan proyek infrastruktur
yang umumnya berskala besar. Sejauh ini, 70 % pembiayaan infrastruktur bersumber dari bank, sisanya dari lembaga non bank.
• Ke depan, komposisi itu mesti diubah. Lembaga nonbank harus menjadi sumber pembiayaan utama infrastruktur. Sebab, bank sangat beresiko membiayai infrastruktur, karena sumber dananya jangka
pendek sementara sifat pembiayaannya jangka panjang, sehingga rentan terjadinya mismatch. Dalam konteks itu, pasar modal bisa menjadi pemeran utama, selain dana – dana jangka panjang yang
bersumber dari dana pensiun dan asuransi.
• Namun demikian, kendala pembiayaan bukan merupakan satu – satunya yang menghambat akselerasi proyek infrastruktur. Ada persoalan klasik yang lamban dipecahkan oleh pemerintah, yakni kendala
dalam pembebasan lahan, masalah tata ruang, perizinan yang berbelit – belit, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, hingga menyangkut kepastian hukum.
• Pembebasan lahan bahkan bisa dibilang menjadi kendala terbesar. Berbagai regulasi yang tersedia se[erti macan ompong karena tidak sanggu[ menembus resistensi yang terkait denganm pembebasan
lahan.UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum mestinya sanggup mengatasi kendala pembebasan lahan. Sedangkan kendala kepastian hukum sangat
dibutuhkan untuk melindungi proyek infrastruktur yang berjangka panjang.
• Kita berharap pemerintahan baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla mampu mengoreksi kebijakan pemerintahan terdahulu yang mengabaikan infrastruktur. Kita tahu bahwa infrastrukturyang bagus
mampu menjadi jantung perekonomian, karena mampu mendorong pertumbuhan jauh lebih cepat dan lebih berkualitas, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan multiefek yang luar biasa.
• Pelaku industri di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai eksodus dan membuka pabrik di Kota Semarang, Jawa Tengah. Mereka terdata sudah mengajukan izin
beroperasi di Kota Semarang sejak akhir 2014. “Mereka pindah ke sini karena upah buruh yang lebih murah dibandingkan dengan upah di Jakarta”, kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Semarang Nurjannah, Rabu, 14 Januari 2014.
• Tahun ini, upah minimum di Jakarta sekitar Rp.2,7 juta, sementara di Kota Semarang sekitar Rp. 1,6 juta. Tingginya upah di Jakarta sempat diprotes oleh sejumlah pengusaha garmen . Gubernur Basuki
Tjahaja Purnama berkukuh dengan upah sebesar itu dan mempersilakan para pengusaha mencari tempat lain jika ingin menggaji buruh dengan lebih rendah.
• Menurut Nurjannah, sejak akhir tahun lalu, banyak pengusaha yang sudah mensurvey kawasan industri di Semarang serta menanyakan proses perizinan pendirian dan operasional pabrik. Ia mencatat,
setidaknya ada dua investor garmen yang sudah membangun pabrik di Kawasan Industri Wijayakusuma dengan nilai investasi mencapai Rp.100 miliar. “ Sebenernya banyak yang tertarik ke Semarang, tapi
yang terealisasi tahun ini baru ada dua. Kalau tahun ini perizinan sudah beres, jumlahnya bisa bertambah, “ ujarnya.
• Selain industri garmen, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang mencatat, ada produsen air aki yang sudah merealisasikan investasinya pada 20115.
• Ketua Himpunan Kawasan Industri Jawa Tengah Mohammad Djajadi mengakui adanya eksodus perusahaan dari Jabodetabek ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang. Menurut
dia, industri yang eksodus itu mencari tenaga kerja yang leih banyak tersedia di daerah.” Di sini juga masih banyak lahan cukup luas dan upah tenaga lebih murah cukup luas dan upah tenaga lebih murah
dibanding di Jakarta dan sekitarnya,” kata Djajadi.
• Sejumlah kawasan industri untuk pengembangan usaha di Jawa Tengah telah tersedia di Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Demak, Cilacap, Boyolali, Pekalongan, dan sejumlah kota lainnya. “ Setiap
pabrik atau investor baru harus masuk ke dalam kawasan industri tersebut,” kata Djajadi
11. Peningkatan daya saing dan produktivitas ( nilai ekspor dan nilai tambah per tenaga kerja ) dengan strategi sebagai berikut:
a. Peningkatan efisiensi teknis
b. Peningkatan penguasaan iptek . inovasi
c. Peningkatan penguasaan dan pelaksanaan pengembangan produk baru ( new product development) oleh industri domestic.
d. Pembangunan faktor input
1) Peningkatan kualitas SDM industri;
2) Akses ke sumber pembinayaan yang terjangkau.
Fasilitasi dan pemberian insentif dalam rangka peningkatan daya saing dan produktivitas diprioritaskan pada :
Kebijakan fiscal terhadap impor bahan baku, komponen, barang setengah jadi jadi diharmonisasikan sesuai dengan rantai pertambahan nilai berikutnya di dalam negeri.
2.1 Kerangka Teori Menurut Sichei, et al. (2012) hubungan antara biaya tenaga kerja dan foreign direct investment (FDI) adalah jika biaya tenaga kerja tinggi maka menyiratkan biaya produksi yang lebih tinggi pula,
sehingga dapat membatasi arus masuk FDI. Biaya tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat upah.
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan. Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya tenaga kerja rendah adalah salah satu
faktor pendorong foreign direct investment (FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi juga lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya
laba perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output
dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).
Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara efisien jika membayar tenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga mempertahankan upah yang tinggi akan lebih dapat
menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan yang akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Tentunya, hal ini harus sesuai juga dengan keuangan perusahaan. Upah turun Jumlah pekerja
berubah Jumlah pekerja terampil berkurang Jumlah pekerja tidak terampil tetap Upah tinggi Produktivitas pekerja meningkat 16 Universitas Indonesia Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan,
bandara, dan kereta cepat adalah kekuatan yang bisa memacu munculnya produktivitas (Legowo, 2010). ((Jayne, dkk., 2009) dalam (Priyanti, 2012: 20)) menambahkan bahwa peningkatan biaya pada
infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi perusahaan, sehingga sebagai konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011), Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), dan Mihai. Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk berinvestasi.
Ini dapat didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William (2015), dan Amaro (2006). Faktor-faktor terakhir yang didefinisikan sebagai penentu investasi asing langsung
adalah inflasi, yang termuat dalam penelitian Iskandar, (2014), Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015), dan Ruth (2003). Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulis. Calhoun, et al. (2002) telah
menyelidiki hubungan kualitas tenaga kerja dan orientasi ekspor terhadap investasi asing langsung di negara-negara berkembang. Onwuka dalam penelitiannya tentang tingkat upah, blok perdagangan regional,
dan lokasi keputusan investasi asing langsung (2011) memperkirakan bahwa tingkat upah, intensitas ekspor, intensitas impor, keterbukaan perdagangan, nilai tukar, dan tarif rata-rata dapat mempengaruhi
investasi asing langsung ke lima negara ASEAN.
2.3.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait investasi asing langsung menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan
analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu
dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013). Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced,
sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya. Lainnya adalah Rashid (2016) tentang investasi asing langsung di industri sumber minyak dan gas di Indonesia. 18 Universitas Indonesia Analisis tingkat upah, blok perdagangan
regional, dan lokasi keputusan investasi asing antara lima negara ASEAN selama 1976-2000 dengan menggunakan data panel. Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti
itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam vector
autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous)
(Mutasen). Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari pengaruh upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada investasi asing langsung adalah analisis rangkaian waktu. Kemungkinan
interaksi simultan antara investasi langsung dan beberapa variabel independen diperbolehkan dengan menggunakan pendekatan tiga tahap kuadrat terkecil.
2.3.4 Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah (Owuka, 2011). Temuan ini memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi
investasi industri tekstil dan produk tekstil dengan hasil negatif tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman (1987) dan Amaro (2006). Hal yang sama
dikemukakan oleh Mihai bahwa peningkatan upah berimbas pada penurunan investasi asing langsung. Infrastruktur berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung sumber utama industri minyak dan gas
bumi. Penelitian menyangkut hal itu dilakukan oleh Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008). Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa infrastruktur
menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap investasi asing langsung. Sementara itu, Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap investasi asing langsung sebagaimana dinyatakan oleh
Amaro (2006). Kondisi yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap investasi asing langsung. Hampir memiliki hasil yang sama, 19
Universitas Indonesia Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan bahwa inflasi negatif tidak berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung. 20 Universitas Indonesia
BAB 3 METODOLOGI
Sebagai awalan dari deskripsi penelitian ini, saya mengkaitkan dengan studi pustaka, yaitu sebagaimana disebutkan di BAB 2, bahwasannya pemilihan variabel dan metode sesuai dengan hasil studi pustaka.
Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan data panel foreign direct investment (FDI) sektor industri di 6 provinsi di Pulau Jawa selama periode 2005 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 10 x 6 = 60.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan regresi data panel cross section 6 provinsi dan time series selama 10 tahun terakhir (2005-2014). Dalam hal ini, regresi data panel akan diterapkan
pada data sekunder karena terikat oleh realisasi total foreign direct investment (FDI) sektor industri dari 6 provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Metode
yang saya gunakan adalah panel sehubungan dengan peraturan minimal obsevasi yang berjumlah 30. Ketersediaan data, deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data tersedia dari 2005-
2014. Periode observasi adalah 10 tahun.
Variabel dependen adalah investasi asing langsung sektor industri. Hal ini sesuai dengan isu-isu strategis yang relevan dengan penelitian untuk membuktikan variabel dependen memiliki korelasi dengan latar
belakang observasi.
Variabel independen yang berfungsi sebagai variabel kontrol adalah upah (minimum dan relatif), sedangkan variabel independen lainnya adalah infrastruktur (panjang jalan dan kapasitas distribusi listrik), inflasi,
PDRB, keterbukaan perdagangan (rasio bongkar muat), dan dummy RTRWN. Ada kerangka empiris dan teoretis yang mendukung menjembatani variabel dependen dan independen. Beberapa orang
mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen. 20 21 Universitas Indonesia
Sinkronikasi variabel operasional sebagai berikut (Variabel-variabel operasional, sumber, detil, dan penyesuaian data):
1. Investasi asing langsung dari semua industri: Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan investasi asing langsung dari semua sektor di Pulau Jawa, dan Investasi Asing Langsung dari sektor industri di Pulau
Jawa;
2. Investasi asing langsung dari industri padat karya: Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan investasi asing langsung dari industri padat karya di Pulau Jawa;
3. Investasi asing langsung dari industri padat modal: Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan investasi asing langsung dari industri padat modal di Pulau Jawa;
4. Jumlah perusahaan multinasional:Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi, jumlah perusahaan multinasional sektor industri di masing-masing provinsi;
5. Upah minimum regional, Badan Pusat Statistik (BPS), dan upah minimum regional di setiap provinsi Pulau Jawa;
6. Upah minimum relatif: Badan Pusat Statistik (BPS), dan upah daerah relatif di setiap provinsi Pulau Jawa;
7. Indeks harga konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), dan indeks harga konsumen data kota yang dipilih di Indonesia, dan data indeks harga konsumen dari ibu kota di setiap provinsi Pulau Jawa;
8. Panjang jalan: Kementerian Ketenagakerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Peraturan Menteri Ktenagakerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait dengan panjang jalan nasional di Indonesia, dan total
panjang jalan nasional setiap provinsi;
9. Kapasitas listrik: Badan Pusat Statistik (BPS), dan kapasitas transmisi listrik selama periode 2005-2009, 2006-2010, 2007-2013, 2010-2014, distribusi listrik ke sektor industri;
10. Tenaga kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tenaga-tenaga kerja di semua sektor, jumlah tenaga-tenaga kerja di sektor industri;
11. Ukuran pasar (produk domestik regional Bruto): Badan Pusat Statistik (BPS), 22 Universitas Indonesia dan jumlah bruto produk domestik regional, jumlah produk domestik regional bruto sektor industri;
12. Keterbukaan perdagangan: Badan Pusat Statistik (BPS), dan jumlah total ekspor dan impor dari dan ke pelabuhan di Indonesia, rasio antara muat dan bongkar di masing-masing pelabuhan;
Area obeservasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di pulau Jawa. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia. Menurut Pyndick dan
Rubinfield (2008) pada model panel data ini dikenal tiga jenis pendekatan estimasi yang dikumpulkan, yaitu least square, fixed effect, dan random effect. Pendekatan least square dengan cara sederhana
menggabungkan/ mengumpulkan semua data time series dan cross-section, dan model yang diestimasi digunakan model ordinary least squares. Di sini konstanta (intersep) akan diasumsikan untuk time-series
atau cross-section. Efek tetap mengimplikasikan perbedaan timeseries atau cross-section. Sedangkan pendekatan efek acak memperbaiki proses efisiensi least square dengan estimasi eror time-series dan
cross-section dan perbedaan intersep. Menurut Nachrowi (2005) untuk model efek tetap dari model efek acak sebagai model yang cocok dalam beberapa hal, yaitu: Jika T (nomor data time-series)> N (jumlah
data cross–section) disarankan menggunakan fixed effect model (FEM), Jika N (data jumlah cross–section) > T (nomor data time-series) disarankan menggunakan random effect model (REM), Jika efek cross-
section memiliki korelasi dengan salah satu buah lebih banyak variabel X, maka diprediksi FEM adalah tidak bias dan bugar. Uji hipotesis tidak digunakan untuk keputusan yang lebih meyakinkan dalam hal
memilih model terbaik, yaitu menggunakan Hausman test. Hal ini untuk mengetahui hubungan fungsional antara realisasi total investasi asing langsung dan dengan upah minimum regional, indeks harga
konsumen, panjang jalan, kapasitas pelabuhan, kapasitas bandara, ukuran pasar, rasio antara ekspor dan impor. Meskipun tidak menentukan model terbaik dapat dilihat dari uji antara model pooled least square
dan 23 Universitas Indonesia model fixed effect melalui Chow test. Jika nilai probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka model fixed effect dapat ditentukan sebagai model terbaik. 3.6 Persamaan
Ekonometri Persamaan dari variabel dependen dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 (empat) persamaan, seperti di bawah ini: FDI allit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5
electricityit + β 6 tenaga kerja itu + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit logFDI labintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI it + β 5 electricityit + β 6
tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit logFDI capintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga
kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit logMNCit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7
ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit FDI allit : foreign direct investment (FDI) sektor industri di provinsi i pada tahun t FDI labintit : foreign direct investment (FDI) sektor industri
intensif tenaga kerja di provinsi i pada tahun t FDI capintit : foreign direct investment (FDI) dari modal industri intensif sektor industri di provinsi i pada tahun t MNCit : jumlah Perusahaan sektor Industri
multinasional di provinsi i pada tahun t minwageit : upah minimum regional di provinsi i pada tahun t. relwageit : upah relatif regional di provinsi i pada tahun t. 24 Universitas Indonesia CPIit : indeks harga
konsumen di ibu kota provinsi i pada tahun t. roadit : panjang jalan nasional di provinsi i pada tahun t electricity : distribusi listrik PLN ke industri di provinsi i pada tahun t labourit : jumlah tenaga kerja di sektor
industri di provinsi i pada tahun t ukuran pasarit : produk domestik regional bruto di provinsi i pada tahun t keternbukaan pasaresit : rasio antara ekspor dan impor di provinsi i pada tahun t Kebijakan dummy :
untuk menginvestasikan dampak kebijakan nasional ke masing-masing provinsi di Pulau Jawa. β 0: constanta β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi εit: istilah kesalahan
regresi menghasilkan model yang robust maka memerlukan pengujian multikolinier, uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear akan dilakukan dengan Breusch Pagan LM test of
independence.Jika p-value tes estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka artinya terjadi fenomena otokorelasi. Jika heteroskedastisitas p-value uji estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka
terjadi fenomena heteroskedastisitas. 27 Universitas Indonesia
1. Model 1. Determinan aliran foreign direct investment (FDI) semua jenis industri
Hasil Uji Chow = 0.0055 Hasil Uji LM = 1.0000 Hasil Uji Hausman = 0.0000 27 28 Universitas Indonesia
2. Model 2. Determinan aliran foreign direct investment (FDI) industri padat karya
Hasil Uji Chow = 0.0002 Hasil Uji LM = 1.0000 Hasil Uji Hausman = 0.0401
3. Model 3. Determinan aliran foreign direct investment (FDI) industri padat modal
Hasil Uji Chow = 0.0474 Hasil Uji LM = 1.0000 Hasil Uji Hausman = 0.0545
4. Model 4. Determinan aliran foreign direct investment (FDI) jumlah perusahaan asing
Hasil Uji Chow = 0.0000 Hasil Uji LM = 1.0000 Hasil Uji Hausman = 0,0384 Dalam model pertama terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji
LM diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik adalah FEM. Dalam model kedua terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM
diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Dalam model ketiga terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM
diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik adalah FEM. Bagitu juga pada model keempat terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%,
sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik adalah FEM. Secara keseluruhan, model terbaik yang menggambarkan keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi
luar negeri semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri-industri padat karya, investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah perusahaan asing di sektor industri adalah FEM. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier, uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinier dilakukan dengan analisis korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan
dengan Breusch Pagan LM 29 Universitas Indonesia test dan uji heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald test yang dilakukan dengan perangkat lunak Stata 13. Tabel
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 upah min 26.37 26.37 26.37 26.37 upah rel 20.84 20.84 20.84 20.84 IHK 15.85 15.85 15.85 15.85 jalan 21.24 21.24 21.24 21.24 listrik 18.81 18.81 18.81 18.81 tenaga kerja
24.01 24.01 24.01 24.01 PDRB 27.79 27.79 27.79 27.79 keterbukaan pasar 1,32 1,32 1,32 1,32 RTRWN 7.07 7.07 7.07 7.07 Dalam model kesatu, kedua, ketiga, dan keempat keternukaan pasar dan dummy
RTRWN memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di kedua variabel tersebut. Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol
di variabel-variabel tersebut.
Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 C -1578456 (0.200) -810541.5 (0.001) -455983.1 (0.704) 303.0742 (0.000) upah minimum -179.8194 (0.743) -103.9691 (0.307) 76.69592 (0.886) -.0331034 (0.315)
upah relatif 133.9019 (0.739) 56.3148 (0.451) 86.12858 (0.827) .0178263 (0.461) IHK 2780.542 (0.646) 903.4048 (0.421) -286.2701 (0.962) -.176282 (0.627) 30 Universitas Indonesia
Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 jalan -66.33947 (0.281) 19.6362 (0.087)* -85.26525 (0.159) -.0076325 (0.042)** listrik 590.2502 (0.002)*** 71.11903 (0.034)** 494.5184 (0.006)*** .0479597
(0.000)*** tenaga kerja .6459331 (0.339) .042506 (0.732) .7205807 (0.277) -.0000351 (0.385) ukuran pasar -3.682255 (0.088)* -.1605622 (0.683) -3.811872 (0.072)* -.0002535 (0.051)* keterbukaan
perdagangan 18300.32 (0.762) -1341.462 (0.904) 24590.62 (0.678) .1020613 (0.977) dummy RTRWN 11822.74 (0.966) 1966.619 (0.969) -33875.2 (0.900) .1485628 (0.993)
Pembahasan Hasil Regresi Ekonometrik memuat koefisien masing – masing variabel dan hasil penelitian sebelumnya yang sesuai dan tidak sesuai dengan penelitian ini.
Variabel Upah Minimum Upah minimum -179.8194 (0.743) -103.9691 (0.307) 76.69592 (0.886) -.0331034 (0.315) Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan FDI semua jenis industri,
determinan FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah minimum berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri yang meliputi industri padat
karya dan jumlah perusahaan asing walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara itu, pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat modal terlihat bahwa upah minimum berpengaruh positif
terhadap aliran FDI industri padat modal, walaupun hasilnya tidak signifikan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang serupa bahwa upah tidak berpengaruh terhadap
investasi pada industri padat karya. Sedangkan menurut penelitian Emi (2015) menunjukkan upah minimum juga tidak berpengaruh terhadap investasi baik aliran FDI maupun PMDN. Dalam proses jangka
pendek memang terlihat bahwa investasi di Indonesia meningkat. Akan tetapi, kenaikan upah minimum yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan investasi yang selanjutnya dapat
berdampak buruk terhadap struktur perekonomian. Upah yang tinggi menjadi beban pengusaha atau investor karena biaya operasional perusahaan dari biaya tenaga kerja meningkat. Di satu sisi bila produk
yang dihasilkan tidak kompetitif maka dalam jangka panjang perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang mengatakan bahwa peningkatan upah minimum
menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap 32 Universitas Indonesia keuntungan yang mungkin diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan risiko berbisnis di Indonesia. Terlebih lagi, tenaga kerja
umumnya mengiinginkan peningkatan upah melalui unjuk rasa dan mogok tenaga kerja. Akan tetapi, jika peningkatan upah diikuti dengan peningkatan produktivitas maka Indonesia akan tetap kompetitif
bersaing dengan negara lain dan bisa menarik minat investor.
Variabel Upah Relatif Upah Relatif 133.9019 (0.739) 56.3148 (0.451) 86.12858 (0.827) .0178263 (0.461) Pada keempat model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri
padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah relatif berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, FDI industri
padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Aliran modal yang meningkat menyebabkan naiknya permintaan tenaga kerja yang
terampil, sehingga upah relatif juga meningkat (Feenstra, 2015).
Variabel Indeks Harga Konsumen IHK 2780.542 (0.646) 903.4048 (0.421) -286.2701 (0.962) -.176282 (0.627) Pada model kesatu dan kedua, terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan
FDI industri pada karya terlihat bahwa IHK berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat karya, walaupun tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga dan keempat
terkait determinan FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa IHK berpengaruh negatif terhadap FDI industri padat modal dan FDI jumlah perusahaan asing,
walaupun tidak signifikan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Giordano Dell-Amore Foundatio menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor stabilitas makro ekonomi 33 Universitas Indonesia
merupakan determinan penting dari aliran investasi, karena hasilnya signifikan. Sedangkan menurut Emi (2015), dengan meningkatnya inflasi maka akan menurunkan minat investasi di sektor manufaktur.
Pengaruh inflasi terhadap investasi dengan arah kausalitas negatif dapat dijelaskan pertama dengan kenaikan inflasi yang menunjukkan adanya kenaikan harga yang selanjutnya akan mendorong masyarakat
untuk mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua, penurunan uang beredar akan menekan suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi akan menurun.
Variabel Jalan
Jalan -66.33947 (0.281) 19.6362 (0.087)* -85.26525 (0.159) -.0076325 (0.042)** Pada model pertama, ketiga, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat
modal dan determinan FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa panjang jalan berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri, FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan
asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara itu, pada model kedua terkait determinan FDI industri padat karya menunjukkan panjang jalan berpengaruh positif terhadap FDI industri padat karya dan
hasilnya signifikan. Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri yang memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi (Samir, 2016).
Variabel Listrik
Listrik 590.2502 (0.002)*** 71.11903 (0.034)** 494.5184 (0.006)*** .0479597 (0.000)*** Pada semua model terkait determinan FDI semua jenis industri, FDI industri padat karya, FDI industri padat modal, dan
aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa listrik berpengaruh positif terhadap FDI semua jenis industri, FDI industri padat karya FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing
dan hasilnya signifikan. 34 Universitas Indonesia Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya, Odi (1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai
halangan maupun peluang investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau
potensi untuk menarik investasi asing jika pemerintah di negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut Jordan (2004)
mengemukakan bahwa infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara. Oleh karena itu, merangsang aliran investasi asing
ke negara tersebut. Menurut Emi (2015) dengan meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi
ongkos produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Kondisi ini tentu akan
mendorong kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.
Tenaga kerja .6459331 (0.339) .042506 (0.732) .7205807 (0.277) -.0000351 (0.385) Pada model kesatu, kedua, dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliranFDI industri padat
karya, dan determinan aliranFDI industri padat modal menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliranFDI industri padat karya, dan aliranFDI industri padat
modal tetapi tidak signifikan. Pada model keempat terkait determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap aliranFDI jumlah perusahaan
asing,walaupun hasilnya tidak signifikan. Hal ini sesuaipenelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa angkatan kerja sebagai salah satu penentu aliran FDI dalam hal penentuan lokasi FDI, yang
menjelaskan pentingnya modal manusia. Walaupun hasilnya tidak signifikan (Danciu,et al., 2015). 35 Universitas Indonesia
Ukuran Pasar -3.682255 (0.088)* -.1605622 (0.683) -3.811872 (0.072)* -.0002535 (0.051)* Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya,
determinan aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa ukuran pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri, FDI industri
padat modal, dan FDI jumlah perusahaan asing, dan hasilnya signifikan, sedangkan untuk aliranFDI industri padat karya hasilnya tidak signifikan. Temuan ini senada dengan hasilpenelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa PDB mempengaruhi penentuan lokasi dan perkiraaan pendapatan dari adanya FDI (Randelovie, 2017).
Keterbukaan Perdagangan 18300.32 (0.762) -1341.462 (0.904) 24590.62 (0.678) .1020613 (0.977) Pada model kesatu dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan aliran FDI
industri padat modal menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat modal, walupun hasilnya tidak signifikan.
Sedangkan pada model kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh negatif
terhadap aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Menurut penelitian sebelumnya dari Giordano (2007), keterbukaan pasar berpengaruh
signifikan terhadap investasi asing langsung. FDI berperan untuk pasar dalam negeri dan sisanya untuk pasar luar negeri.
Dummy RTRWN 11822.74 (0.966) 1966.619 (0.969) -33875.2 (0.900) .1485628 (0.993) 36 Universitas Indonesia Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri
padat karya, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa RTRWN
berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat modal, walaupun hasilnya tidak signifikan. Menurut penelitian sebelumnya, adanya kebijakan spasial menyebabkan adanya aglomerasi perusahaan
sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran perusahaan (Garretsen,et al., 2007). 37 Universitas Indonesia
Tabel 4.4 Analisis Channneling 1 : teori Sinchei (2012) Foreign Direct Investment 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta rendah Rendah rendah Rendah Rendah Rendah rendah
Rendah rendah rendah West Java Tinggi Tinggi rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi tinggi Central Java rendah Rendah rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah DI
Yogyakarta rendah Rendah rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah tinggi East Java Tinggi Tinggi tinggi Rendah Rendah Tinggi rendah Tinggi rendah tinggi Banten Tinggi Rendah rendah
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi rendah Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi Banten, masih tidak
konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi. Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Timur. Sedangkan Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali. Diprovinsi-provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah. 39 Universitas Indonesia
4.2.2 Persamaan 2 : FDI Industri Padat Karya Tabel 4.5 Analisis Channneling 1 : teori Sinchei (2012) Foreign Direct Investment padat karya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta
13455.8 14430.4 19622.6 48775.9 82599.5 68434.3 23040.6 9246.3 11541.5 29574.7 West Java 323285.4 113280.1 221558.5 308504.3 160321.2 212107.6 239134.3 608324.3 636279.5 568530.4 Central
Java 33361.5 24207.1 17790.2 60593.7 40690.6 17642.9 73488.7 92090.9 41948.4 127945.5 DI Yogyakarta 510 580 428.7 4100 350 212.3 129 205.6 1710.2 245 East Java 153012.5 107575.9 112158.1
116895.1 184217.4 284193.3 195892.3 644493.7 508974.1 797787.7 Banten 84056.1 56552.3 174730.5 211880.3 127739.1 96303.9 476050.4 319709.3 404300.3 499382.2 101,280.216 7 52,770.966 7
91,048.100 0 125,124.883 3 99,319.633 3 113,149.050 0 167,955.883 3 279,011.683 3 267,459.000 0 337,244.250 0 Foreign Direct Investment : padat karya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
2014 DKI Jakarta Rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah West Java Tinggi tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi Central Java Rendah rendah
Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah DI Yogyakarta Rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah tinggi East Java Tinggi tinggi Tinggi Rendah Tinggi
Tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi Banten Rendah tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah tinggi Tinggi tinggi tinggi Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di
DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi Banten, masih tidak konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi. 40 Universitas Indonesia Untuk provinsi-provinsi dengan UMR
rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa Timur hampir konsisten tinggi. Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali, dimana dikedua provinsi tersebut
UMR-nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah.
4.2.3 Persamaan 3 : FDI Industri Padat Modal Tabel 4.6. Analisis Channneling 1: teori Sinchei (2012) Foreign Direct Investment : padat modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta
96437.2 167617.4 184815.5 448797.5 87941.1 72137.8 135972 255750.8 273734.8 192915 West Java 1496291.1 1291665.8 903538 1912645 1334003.7 940973 2617187.3 3234485.4 6112834 4399958.6
Central Java 392 329502.3 50282.8 56002 38021.5 11518.5 56554.1 71948.3 259410.6 272012.1 DI Yogyakarta 0 2993.5 0 3431.1 1367 1165.1 600 2312.7 3075.3 5586.2 East Java 512788.4 211689.7
1526577.391 276397 178872.2 475057.6 247161.4 420490.7 1162699 591909.5 Banten 488454 340716.3 299082.4 182281.2 1056116.9 179092.7 1458007 1823463 2342752.9 999824.2 432,393.7833
390,697.5000 494,049.3485 479,925.6333 449,387.0667 279,990.7833 752,580.3000 968,075.1500 1,692,417.7667 1,077,034.2667 Foreign Direct Investment : padat modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah West Java Tinggi tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi Tinggi Central Java
Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah DI Yogyakarta Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah tinggi East Java Tinggi rendah Tinggi
Rendah rendah Tinggi rendah Rendah rendah rendah Banten Tinggi rendah Rendah Rendah tinggi Rendah tinggi Tinggi tinggi rendah 41 Universitas Indonesia Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR
tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi Banten, masih tidak konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi. Untuk
provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa Timur tidak konsisten. Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali, dimana
dikedua provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah.
4.2.4 Persamaan 4 : FDI Jumlah Perusahaan Multinasional Tabel 4.7 Analisis Channneling 1: teori Sinchei (2012) Foreign Direct Investment : mnc 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI
Jakarta 126 129 146 147 120 131 130 121 117 115 West Java 731 830 794 795 712 798 830 830 1043 1069 Central Java 103 135 144 156 132 131 148 135 148 189 DI Yogyakarta 22 30 19 24 28 27 29 26 27
29 East Java 195 189 212 205 176 177 194 180 201 236 Banten 245 313 295 322 296 316 309 312 337 339 237.0000 271.0000 268.3333 274.8333 244.0000 263.3333 273.3333 267.3333 312.1667 329.5000
42 Universitas Indonesia
Foreign Direct Investment :mnc 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta rendah rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah rendah Rendah West Java tinggi tinggi
tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi Tinggi Central Java rendah rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah rendah Rendah DI Yogyakarta rendah rendah rendah Rendah Rendah Rendah
Rendah rendah rendah tinggi East Java tinggi rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah rendah Rendah Banten tinggi tinggi tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi Tinggi Tabel di atas
membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi Banten, walaupun UMRnya tinggi, FDI jumlah perusahaan multinasional selalu tinggi.
Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa Timur menunjukkan hasil yang tidak konsisen. Hal berbeda terjadi di Jawa
Tengah dan D.I. Yogyakarta. Diprovinsi-provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah. 43 Universitas Indonesia
Bagan 4.2. Analisis Channeling 2 (Yogatama, 2012)
Tabel 4.8. Analisis Channneling 2 (Yogatama, 2012)
Monthly Minimum Wage 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 DKI Jakarta Tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi tinggi Tinggi West Java Rendah rendah rendah rendah
rendah rendah Rendah rendah rendah rendah Rendah Central Java Rendah rendah rendah rendah rendah rendah Rendah rendah rendah rendah Rendah DI Yogyakarta Rendah rendah rendah rendah rendah
rendah Rendah rendah rendah rendah Rendah East Java Rendah rendah rendah rendah rendah rendah Rendah rendah rendah rendah Rendah Banten Tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi
tinggi Tinggi Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam kurun waktu 2005-2015, provinsi Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai provinsi-provinsi kategori rendah, sehingga seharusnya aliran
investasi asing ke wilayah tersebut seharusnya lebih dari rata-rata. Biaya tenaga kerja rendah Biaya produksi rendah Laba perusahaan meningkat permintaan meningkat 44 Universitas Indonesia
Bagan 4.3. Analisis Channeling 3 (Frederica dan Juwita (2013)
Tabel 4.9 Analisis Channneling 3 (Frederica dan Juwita (2013) Monthly Minimum Wage 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Monthly Minimum Wage: DKI Jakarta Naik Naik Naik Naik Naik
naik naik naik Naik Monthly Minimum Wage: West Java Naik Naik Naik Naik Naik naik naik naik Naik Monthly Minimum Wage: Central Java Naik Naik Naik Naik Naik naik naik naik Naik Monthly Minimum Wage:
DI Yogyakarta Naik Naik Naik Naik Naik naik naik naik Naik Monthly Minimum Wage: East Java Naik Naik Naik Naik Naik naik naik naik Naik Monthly Minimum Wage: Banten Naik Naik Naik Naik Naik naik naik
naik Naik Peningkatan UMR Output produksi berkurang Investasi berkurang Peningkatan produktivitas pekerja 45 Universitas Indonesia
Tabel 4.10. Analisis Channneling 3 (Frederica dan Juwita (2013) FDI : Padat Modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 DKI Jakarta naik naik Naik turun Turun Naik naik naik turun West
Java turun turun Naik turun Turun Naik naik naik turun Central Java naik turun Naik turun Turun Naik naik naik turun DI Yogyakarta naik turun Naik turun Turun turun naik naik naik East Java turun naik Turun
turun Naik turun naik naik turun Banten turun turun Turun naik Turun Naik naik naik turun Dari tabel di atas, masih terdapat inkonsistensi, yaitu di setiap provinsi di Pulau Jawa, walaupun UMR-nya selalu naik,
tetapi aliran FDInya juga berfluktuasi.
hubungkan bahwa seharusnya total panjang jalan di Pulau Jawa terus bertambah tiap tahunnya untuk merangsang investasi. Namun demikian, kenyataannya panjang jalan berfluktuasi sehingga aliran FDI juga
mengalami fluktuasi. 52 Universitas Indonesia 53 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI
8. Distribusi Listrik untuk Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Distribusi Listrik untuk Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
9. Jumlah Kawasan Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Kawasan Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
10. Jumlah Sentra Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Sentra Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
11. Jumlah Lingkungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Lingkungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
12. Jumlah Perkampungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Perkampungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
13. Indeks Harga Konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
14. Produk Domestik Regional Bruto: Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Regional Bruto untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
15. Keterbukaan Pasar : Badan Pusat Statistik (BPS), Keterbukaan Pasar untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
16. Ekspor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Ekspor Barang untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
17. Impor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Barang untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
18. Impor Bahan Bakar: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
19. Impor Makanan Minuman Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Makanan Minuman Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
20. Impor Bahan Baku Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Baku Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
21. Impor Bahan Bakar dan Pelumas: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar dan Pelumas untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
22. Impor Suku Cadang dan Peralatan: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Suku Cadang dan Peralatan untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
23. Penyerapan Tenaga Kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), Penyerapan Tenaga Kerja untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
24. RTR Pulau / Kepulauan: Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dummy kebijakan, sudah atau belumnya ditetapkan RTR Pulau / Kepulauan.
Persamaan dari variabel dependen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
VA1314it = β 0 + β 1 pjktdklangsungIBSit + β 2 UMRit + β 3 BiBangit + β 4 PjJlit + β 5 DisLisIndit + β 6 JmlhKwsIndit + β 7 JmlhSntrIndit + β 8 JmlhLingIndKclit+ β 9 JmlhLingIndKclit + β 10
JmlhPrkmpngnIndKcilit + β 11 IndksHrgKnsmnit + β 12 PDRBit + β 13 KtrbknPsrit + β 14 EksprBrngit + β 15 ImprBrngit + β 16 ImprBhnBkrit + β 17 ImprMknnMnmnIndit + β 18
ImprBhnBkIndit + β 19 ImprBhnBkrPlmsit + β 20 ImprSkCdngPrltnit + β 21 PnyrpnTngKrjit + β 22 RTRPlKepit + εit
VA1314it : Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di provinsi i pada tahun t
pjktdklangsungIBSit : Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk di provinsi i pada tahun t.
UMRit : Upah Minimum Regional di provinsi i tahun t.
BiBangit : Biaya Bangunan di provinsi i tahun t.
BiMesit : Biaya Mesin di provinsi i tahun t.
BiAngit : Biaya Angkutan di provinsi i tahun t.
PjJlit : Panjang Jalan di provinsi i tahun t.
DisLisIndit : Distribusi Listrik di provinsi i tahun t.
JmlhKwsIndit : Jumlah Kawasan Industri di provinsi i tahun t.
JmlhSntrIndit : Jumlah Sentra Industri di provinsi i tahun t.
JmlhLingIndKclit : Jumlah Lingkungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
JmlhPrkmpngnIndKcilit : Jumlah Perkampungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
IndksHrgKnsmnit : Indeks Harga Konsumen di provinsi i tahun t.
PDRBit : Produk Domestik Regional Bruto di provinsi i tahun t.
KtrbknPsrit : Keterbukaan Pasar di provinsi i tahun t.
EksprBrngit : Ekspor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBrngit : Impor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrit : Impor Bahan Bakar di provinsi i tahun t.
ImprMknnMnmnIndit : Impor Makanan Minuman Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkIndit : Impor Bahan Baku Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrPlmsit : Impor Bahan Bakar dan Pelumas di provinsi i tahun t.
ImprSkCdngPrltnit : Impor Suku Cadang dan Peralatan di provinsi i tahun t.
PnyrpnTngKrjit : Penyerapan Tenaga Kerja di provinsi i tahun t.
RTRPlKepit : dummy kebijakan, sudah atau belumnya ditetapkan RTR Pulau / Kepulauan
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan
8) β 8> 0; Jumlah Kawasan Industri. Jika jumlah kawasan industri meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan
melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
9) β 8> 0; Jumlah Sentra Industri. Jika jumlah sentra industri meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan melalui
perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
10)β 8> 0; Jumlah Lingkungan Industri Kecil. Jika jumlah lingkungan industri kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba
perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
11)β 8> 0; Jumlah Perkampungan Industri Kecil. Jika jumlah perkampungan industri kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena
meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
12)β 2 <0; Indeks Harga Konsumen. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai realisasi nilai tambah. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga barang sebagai
input produksi. Kondisi ini akan memaksa kenaikan biaya produksi secara keseluruhan sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh investor dan pengusaha.
Kondisi ini akan mengurangi faktor dorongan investasi dan pada akhirnya akan menurunkan nilai total nilai tambah, ceteris paribus.
13)β 8> 0; Produk Domestik Regional Bruto. Jika produk domestik regional bruto meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
14)β 8> 0; Keterbukaan Pasar . Jika rasio beban dan bongkar meningkat maka nilai tambah akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
15)β 8> 0; Ekspor Barang. Jika ekspor barang meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris
paribus.
16)β 2 <0; Impor Barang. Peningkatan impor barang akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor barang akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
17)β 2 <0; Impor Bahan Bakar. Peningkatan impor bahan bakar akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar akan menambah biaya variabel yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
18)β 2 <0; Impor Makanan Minuman Industri. Peningkatan impor makanan dan minuman industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor makanan dan minuman
industri akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
19)β 2 <0; Impor Bahan Baku Industri. Peningkatan impor bahan baku industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan baku industri akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
20)β 2 <0; Impor Bahan Bakar dan Pelumas. Peningkatan impor bahan bakar dan pelumas akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar dan pelumas akan
menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
21)β 2 <0; Impor Suku Cadang dan Peralatan. Peningkatan impor suku cadang dan peralatan akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor suku cadang dan peralatan
akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
22)β 8> 0; Penyerapan Tenaga Kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga kerja, dan sebaliknya
sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.
23)β 8> 0; RTR Pulau / Kepulauan. Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam national spatial planning maka nilai tambah akan meningkat melalui peningkatan laba
pserusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL
1. Chow test:
> ---------
sigma_u | 8.661e+09
sigma_e | 2.459e+09
rho | .92540492 (fraction of variance due to u_i)
---------------------------------------------------------------------
> ---------
F test that all u_i=0: F(23, 80) = 18.63 Prob > F
> = 0.0000
Karena P Value < α maka pilihan terbaik adalah menggunakan fixed effect
1. Hausman test:
Dilihat nilai P Value dari hauman test adalah 0.0042 artinya < α, maka H1 diterima dan pilihan terbaik berarti fixed effect.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model (FEM) dengan uji Chow. Jika hasil
pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5% maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model pooled least square (PLS) dengan random effect
model (REM) dengan uji Breusch Pagan Lagrange multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Breusch Pagan Lagrange multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model
yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random effect model (REM) dengan uji Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Hausman kurang
dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa regresi pada model hanya bisa dilakukan dengan fixed effect model (FEM), sedangkan
regresi dengan ke-2 model lainnya tidak bisa dilakukan.
Antar variabel pajak dengan impor industri, impor bahan baku, impor bahan bakar, dan impor suku cadang peralatan; biaya bangunan dengan impor bahan bakar; biaya mesin dengan impor
barang; biaya; biaya angkutan dengan impor angkutan, impor bahan baku, dan impor bahan bakar; dan ihk dengan impor bahan bakar memiliki nilai multikolinearitas > 0.75 yang artinya menerima
H1 atau dengan kata lain hubungan antar variabel-variabel tersebut memiliki nilai multikolinearitas yang tinggi.
Saat diuji nilai variance inflating factor setelah fe juga menghasilkan nilai mean VIFnya 182.25 atau > 10, hal ini berarti ada indikasi multikolinearitas yang tinggi, sesuai dengan tes yang
sebelumnya dilakukan.
Note:
Dari hasil diatas beberapa variabel dihapus oleh stata karena masalah kolinearitas pada pengujian fixed effect, PLS dan random effect. Setelah terpilih yang terbaik yaitu fixed effect ternyata masih
bermasalah pada uji asumsi klasik terindikasi terdapat multikolinearitas yang tinggi antar variabel dengan alasan tersebut maka disarankan untuk mencari model yang lebih stabil.
Dalam model dummy upah minimum, penyerapan tenaga kerja, kawasan industri, pajak tidak langsung, pendapatan regional bruto, RTR Pulau / Kepulauan, sentra indutsri, perkampungan industri,
listrik, lingkungan industri, dan keterbukaan pasar memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di variabel - variabel tersebut. Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya
memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.
9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 TINGGI 5.018.454.098 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 5.265.528.713 RENDAH, SESUAI
1.290.000
2012 1.529.150 TINGGI 4.859.789.937 RENDAH, SESUAI
2013 2.200.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.159.975.582
2014 TINGGI 7.942.606.038 RENDAH, SESUAI
2.441.000
TAMBAH
13. Jawa Timur 2010 RENDAH RENDAH, TIDAK
630.000 SESUAI
3.444.671.166
Kesesuaian = 20 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
705.000 3.814.104.719
2012 745.000 RENDAH RENDAH, TIDAK
8.222.591.823 SESUAI
2013 866.250 RENDAH 9.817.319.142 RENDAH, TIDAK
SESUAI
2014 1.000.000 RENDAH RENDAH, TIDAK
6.434.342.522 SESUAI
O N RI TAMBAH
16. Nusa Tenggara Barat 2010 TINGGI 4.611.582 RENDAH SESUAI
890.775
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
950.000 3.292.034
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.000.000 3.148.543
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.100.000 10.674.835
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.210.000 8.651.984
O N RI TAMBAH
19. Kalimantan Timur 2010 1.002.000 TINGGI 15.958.389 RENDAH, SESUAI
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama (2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila biaya tenaga kerja tinggi, seharusnya nilai tambah industri
tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga rendah.
permintaan meningkat
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja Bagan 4.3. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita (2013)
NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
1. Aceh 2010
1.300.000 7.399.040
Kesesuaian = 75 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,
1.350.000 6.407.616 SESUAI
2012 MENINGKAT BERKURANG,
1.400.000 3.410.552 SESUAI
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.550.000 5.316.186 SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG,
1.750.000 4.752.411 SESUAI
975.000
2012 MENINGKAT BERKURANG,
832.271.020 SESUAI
1.015.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.284.176.397 SESUAI
1.365.087
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.464.616.430 SESUAI
1.665.000
NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 5.018.454.098
745.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
866.250 9.817.319.142
2014 MENINGKAT BERKURANG,
6.434.342.522 SESUAI
1.000.000
955.300
8.782.646.866
3.148.543
2013 MENINGKA BERTAMBAH, TIDAK
1.100.000 T 10.674.83 SESUAI
5
2014 MENINGKA BERKURANG,
1.210.000 T SESUAI
8.651.984
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga
berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa
Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 75 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten,
Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 25 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 0 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga
berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 0 %, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa
Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 25 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten,
Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 75 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 100 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto dan
Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi mempengaruhi rendah atau tingginya nilai
tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi (sesuai dengan teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi tersebut
mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri tekstil dan pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi. Kenaikan /
Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana
dengan adanya pembangunan infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan UMR tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai 100 %, diperbolehkan adanya kenaikan UMR, yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa
Tenggara Timur disarankan mengurangi UMR sampai berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.
Dilihat dari jumlah usaha pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan untuk
keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau Sulawesi dan Sumatera
lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Bali – Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Dilihat dari jumlah tengaa kerja pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan
untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan tenga kerja di Pulau Sulawesi lebih tinggi
dibandingkan dengan Pulau Jawa. Pulau Sumatera mencatat jumlah tenaga kerja yang sama. Sedangkan untuk Pulau Bali – Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau
Jawa.
Dilihat dari nilai produksi pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan untuk
keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau Sulawesi dan Pulau Bali –
Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Dilihat dari nilai input pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafi garis di atas menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan untuk
keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan input di Pulau Sulawesi dan Pulau Bali –
Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
Variabel Dependen
Jurnal yang ada menggunakan produktivitas sebagai variabel dependen (Islam, 2005). Perlu diketahui bahwa menurut teori Ekonomi Klasik, produktivitas merupakan output yeng
tersisa yang tidak dapat dijelaskan dengan input sumberdaya dari kontribusi secara langsung. Sisa ini yang biasa disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). (Kim, 2017).
Variabel Independen
Keterbukaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi produktivitas. (Islam, 2005). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah lokasi dari negara tersebut.
Metode
Penelitian terkait produktivitas menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat
kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu,
memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku yang
berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain
yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM) untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen
dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Hasil
Produktivitas merespon secara positif terhadap Keterbukaan Ekonomi (Islam, 2005).
Kondisi geografis tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (Islam, 2005).
REGRESI IRSA
1. CHOW TEST
a. OLS
. reg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV
b. Fixed effect
. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, fe
F(9,216) = 9.08
corr(u_i, Xb) = 1.0000 Prob > F = 0.0000
sigma_u 2.552e+16
sigma_e 7.597e+09
rho 1 (fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0: F(24, 216) = 2.49 Prob > F = 0.0003
Hasil dari uji chow test menunjukkan bahwa P Value 0.0003 < α 0.05 maka H1 diterima, artinya fixed effect merupakan pilihanterbaik.
2. UJI HAUSMAN
. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, re
sigma_u 0
sigma_e 7.597e+09
rho 0 (fraction of variance due to u_i)
Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of
coefficients being tested (9); be sure this is what you expect, or there may
be problems computing the test. Examine the output of your estimators for
anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the
coefficients are on a similar scale.
Coefficients
(b) (B) (bB) sqrt(diag(V_bV_B))
fe re Difference S.E.
chi2(7) = (bB)'[(V_bV_B)^(1)](bB)
= 51.35
Prob>chi2 = 0.0000
(V_bV_B is not positive definite)
Dari hasil uji hausman diatas, didapatkan P Value 0.00 < α 0.05 maka tolak H0 yang artinya model fixed effect yang diterima. Uji hausman dan chos test memiliki hasil yang konsisten sehingga tidak
perlu dilanjutkan dengan uji lagrang.
Nilai VIF >10 atau tolerance 4,5/10 adalah .45 mengindikasikan tidak adanya masalah multikolinearitas.
b. Uji heteroskedastisitas
. xttest3
c. Uji Autokorelasi
. xtserial Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV
Dari hasil uji diatas, didapatkan nilai P value < α 0.05 yang artinya terjadi masalah autokorelasi.
d. Khsadh
Sasaran
Tabel 6.10
Meningkatnya usaha local dalam industri pariwisata dan meningkatnya jumlah tenaga kerja local yang tersertifikasi.
14. Pembangunan destinasi pariwisata diarahkan untuk meningkatkan daya Tarik daerah tujuan wisata sehingga berdayasaing di dalam negeri dan di luar negeri melalui :
1) Fasilitasi pembangunan destinasi pariwisata nasional yang menjadi fokus :
a) Wisata alam terdiri dari wisara bahari, wisata petualangan dan wisata ekologi;
b) Wisata budaya yang terdiri dari wisata heritage dan religi, wisata kuliner dan belanja, dan wisata kota dan desa; dan
c) Wisata buatan dan minat khusus yang terdiri dari wisata Meeting Incentive Conference and Exhibition & Event, wisata olahraga, dab wisata Kawasan terpadu;
2) Meningkatkan citra kepariwisataan dan pergerakan wisatawan nusantara;
3) Tata Kelola destinasi; serta
4) Pemberdayaan masyarakat di destinasi pariwisata.
Jenis pariwisata yang akan dikembangkan khuususnya untuk wisatawan mancanegara mencakup :
a) Wisata alam yang terdiri dari wisaata bahari, wisata ekologi, dan wisata petualangan;
b) Wisata budaya yanhg terdiri dari wisata heritage dan relogi, wisata kuliner dan belanja, dan wisata kota dan desa; dan
c) Wisata ciptaan yang terdiri dari wisata MICE dan event, wisata olahraga, wisata kebugaran ( wellness) berbasis budaya nusantara, serta wisata Kawasan terpadu.
15. Pemasaran pariwisata nasional diarahkan untuk meningkatkan kerjsama internasional kepariwisataan dan mendatangkan sebanyak mungkin kunjungan wisatawan mancanegara, mencakup pasar
wisatawan Kawasan
d) Asia Tenggara,
e) Australia dan Amerika,
f) Asia Pasifik, dan
g) Europe, Middle East dan Africa.
16. Pembangunan industri pariwisata diarahkan untuk meningkatkan partisipasi usaha local dalam industri pariwisata nasional serta meningkatkan keragaman dan daya saing produk / jasa pariwisata nasional
di setiap destinasi pariwisata yang menjadi fokus pemasaran melalui :
a. Pembinaan usaha pariwisata bagi masyarakat local;
b. Fasilitasi investasi usaha sector pariwisata; serta
c. Pengembangan standarisasi dan sertifikasi usaha dan produk pariwisata; serta
d. Pengembangan integrasi ekosistem industri pariwisata.
17. Pembangunan kelembagaan pariwisata diarahkan untuk membangun sumber daya manusia pariwisata serta organisasi kepariwisataan nasional dengan strategi :
a. Berkoordinasi dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan sarjana di bidang kepariwisataan;
b. Meningkatkan kapasitas dan kualitas Lembaga Pendidikan kepariwisataan;
c. Fasilitasi pengembangan dan peningkatan jenjang ketrampilan tenaga kerja local di bidang pariwisata;
d. Peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan kebijakan kepariwisataan; serta
e. Mengelola dan mengendalikan manajemen perubahan.
H. DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba diakses pada 4 Januari 2021.
Lukman.2013. Danau Toba. Karakteristik Limnologis dan Mitigasi Ancaman Lingkungan dari Pengembangan Karamba Jaring Apung. Jakarta : LIPI Press.
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Integrated Tourism Masterplan for Lake Toba.
4. Meningkatnya daya saing UMKM, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan produktivitas UMKM rata – rata sebesar 5,0 – 7,0 persen per tahun;
5. Meningkatnya usaha baru yang berpotensi tumbuh dan inovatif yang ditunjukkan oleh pertambahan jumlah wirausaha baru sebesar 1 juta unknit dalam lima tahun yang dikontribusikan dari program
nasional dan daerah; dan
6. Meningkatnya kinerja kelembagaan dan usaha koperasi, yang ditunjukkan oleh peningkatan partisipasia anggota koperasi dalam permodalan dari sebesar 52,5 persen menjadi 55,0 persen dalam lima
tahun dan perumbuhan volume usaha koperasi rata – rata sebesar 15,5 – 18,0 persen per tahun.
Dalam lima tahun mendatang, arah kebijakan yang akan ditempuh yaitu meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi sehingga mampu tumbuh menjadi usaha ynag berkelanjutan dengan skala yang lebih
besar ( “naik kelas” atau scaling up) dalam rangka untuk mendukung kemandirian perekonomian nasional. Untuk itu strategi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut :
Berdasarkan kelima strategi tersebut, reformasi kebijakan UMKM dan koperasi yang akan dilaksanakan pada periode tahun 2015 – 2019 mencakup :
APPLIED ECONOMETRICS
THE IMPACT OF ENERGY FACTORS (BASIC ELECTRICITY RATE AND FUEL PRICE) TO THE GROWTH OF MICRO AND SMALL INDUSTRY
BY:
ABSTRACT
Industry sector has already known as one of main prime over economic growth. It can be seen from its contribution to Gross Domestic Product (GDP), labor absorbance, and the quantity of industry itself. (Tuti,
2010)
According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the value of GDP based on current price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached
5.440.007,9 (thousands rupiah) or equals to 60, 34 %. While, the value of GDP on constant price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached value 1,536,918. 8
(thousands rupiah) or equals 57.56 %.
The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or equals to 99, 99 %. In terms of absorbing labors, on 2013, micro, small, and medium Enterprises had absorbed 114.144.082
people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises sectors. Labors absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %.
In this research, the authors had tried to analyze the impact of energy factors (basic electricity rate and fuel price towards the growth of micro and small industry, also as a consideration for decision makers to
be considered on establishing fuel price and basic electricity rate. The data and information is mainly collected from BPS, such as quantity of micro and small industries from 33 provinces during 2014 – 2015 as
dependent variable. While, to conduct research about elasticity of energy price fluctuation towards the growth of micro and small industry, data of basic electricity rate and fuel price are derived from
www.google.com. Then, as control variable, we used other data from BPS, for example the number of population and expenditure per capita.
From the result of this research, finally we can conclude that the increasing number of micro and small industry is significantly influenced by fuel price in a negative relationship. It means that the increasing fuel
price will decrease the number of micro and small industry. On the other hand, basic electricity rate has not significantly affected on the number of micro and small industry. Surprisingly, the number of
population and expenditure per capita as control variables has significant impact to the quantity of micro and small industry.
A. INTRODUCTION
1. Background
Small and micro enterprises are already known as the sector that plays important role on saving and recovering national economics. Those role can endorse economic growth rate and absorbs
labors in order to it would be beginning steps of Government to activate production sector on various work field (Asty, 2010). Industry sector has already known as one of main prime over economic. It
can be seen from the contribution to Gross Domestic Product, labor absorbance, and the number of industry itself. (Tuti, 2010)
According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the value of Gross Domestic Product based on current price which was contributed by the Small, Micro, and
Medium Enterprises on 2013, reached value 5.440.007,9 (thousands rupiah) or equals to 60.34 %, can be detailed as follows micro had contributed 3.326.564,8 (thousands rupiah) or equaled to
36.90 %, small Enterprises had contributed 876.385,3 (thousands rupiah) or equals 9.72 %, and medium Enterprises had contributed 1.237.057,8 (thousands rupiah) or equals 13.72 %. Another
3,574,943.3 (thousands rupiah) or equals 39.66 % for sure was contributed by Big Enterprises. The growth of Gross Domestic Product based on current price during 2012 – 2013 was by 9.38 %, higher
than Big Enterprises by 6.01 %.
The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or equals to 99,99 %, can be detailed as follows : micro Enterprises 57.189.393 or equals to 98, 77 %, small
Enterprises 654.222 or equals to 1, 13 %, and medium Enterprises 52.106 or equals to 0,09 %. Growth number of micro, small, and medium Enterprises on 2012 – 2013 was 2, 41 % nearly doubled
than big Enterprises on the same period which was 1, 97 %.
In terms of absorbing labors, micro, small, and medium Enterprises also had absorbed more labors than big Enterprises did. On 2013, micro, small, and medium Enterprises had absorbed 114.144.082
people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises sectors, this number had increased if we compared with the labors absorbance in 2012 which was 107.657.509 people or equals to
97,16 %. The aggregate labor absorbance by micro, small, and medium Enterprises can be detailed as follows, micro Enterprises had absorbed 104.624.466 people or equals to 88.90 %, small
Enterprises had contributed 5.570.231 or equals to 4.73 %, and medium Enterprises 3.949.385 people or equals to 3.36 %. Big Enterprises
Labors absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %, this number was increased than on 2012 which was 3.150.645 or equals to 2.84 %.
There are some factors that influence the growth number of micro, small, and medium enterprises. According to the research result conducted by Purwaningsih (2015), factors influencing
performance of micro, small, and medium enterprises were external factors consist of government policy aspect, social - culture and economic aspect, organization role aspect, while the internal factors
were human resources aspect, spatial aspect, operation and technical production aspect, market and marketing aspect, and labor.
Another research conducted by Adrianto Trimarjono (2015) resulting different factors influencing the growth of micro, small, and medium enterprises were hard workers, confidence, want to learn,
ambition to move on, communication skill, the nearest of location and industry, easiness to get new market, information about competitors, information if chance, information of product development,
easiness toi capital access, government policy support, and finance management.
The rate of industry sector contribution toward economy, make this sector needs to be encouraged the role in the future. But, until now, industry sector still face some problems, mainly on the
limited of energy source and electricity. Tuti (2010), in her research also stated that textile and product textile industry are depend on the two main energy source, which are fuel and electricity.
2. Objectives
The objective of this research is to analyze the impact of energy factors (electricity basic rate and fuel price) to the growth of micro and small Industry as consideration for policy makers on
establishing fuel price and basic electricity rate.
3. Previous Studies
This study considers previous studies regarding micro and small medium enterprises. Here are some of them:
1. Tuti Ernawati (2010): “The affect of policy on fuel price and electricity basic rate to textile industry and textile product sector in West Java province (2010).”
This research had examined the affect of energy policy (fuel price and basic electricity rate) towards big and medium industry which is included compact energy. The result of this examination gives
some recommendation policy such as some adjustment ways in order to give minimum impact towards economic activity in industry field.
2. Ratna Purwatiningsih (2015) : “Analysis factors affecting performance of small and medium enterprises with Structural Equation Modeling Method.”
This study focus on examination the correlation between external and internal factors in terms of theirs affect to performance of small and medium enterprises on creative industry sector with Partial
Least Squares Equation Modeling (PLS – SEM) method.
3. Kristiningsih and Adrianto Trimarjono (2015): “Analysis factors affecting the growth of small and medium enterprises (study case of small and medium enterprises in Surabaya).
This research aimed to find factors affect the growth of small and medium enterprises in Surabaya.
4. Hypothesis :
Hypothesis that will be examined in this research are:
a. Fuel price influences the number of micro and small industry;
b. Basic electricity rate influences the number of micro and small industry; and
c. Population and expenditure per capita influences the quantity of micro and small industry.
B. Literature Review
There are some criterias of micro, small, and medium industry which were established by government as follows:
1. As is established by Ministry of Cooperation, Small, and Medium Industry ( Law no 9, 1995);
Table 1.1
Source: Ministry of Cooperation, Small, and Medium Industry, 1995
b. Small enterprise as productive economy business which can be stand out, which was done by individual or part of business organization which can be owned or become an part directly or indirectly
from medium enterprise or big enterprise which was fulfilled criteria of small enterprises which was established in this laws.
c. Medium enterprises are economic productive business which can stands out, can be done by individual or business board which was not a part of company or part of company which was owned
directly or indirectly of small enterprises or big enterprises with amount of wealth or annual omzet as was established by this law.
Table 1.3
Determinant Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises
Assets Maximum Rp.500.000.000,- Between Rp.50.000.000,- and Rp.500.000.000,- Between Rp.500.000.000,- and Rp.10.000.000.000,-
Omzets Maximum Rp.300.000.000,- Between Rp. 300.000.000,- and Rp. 2.500.000.000,- Between Rp.2.500.000.000,- and Rp.50.000.000.000,-
Source: Law no 20, 2008 about micro, small, and minimum enterprises
C. METHOD
1. Sample
Sample of this research uses data of micro and small industry in 33 provinces during 2014 and 2015 by quarterly as the dependent variable, which is issued by BPS. To examine elasticity
fluctuation on energy price to the growth of micro and small industries, we chose data of fuel price and basic electricity rate on the same period. As control variables we also consider data of population,
expenditure per capita.
The details of data as follows:
a. Number of small and micro industry in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);
b. Number of population in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);
c. Expenditure per capita in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);
d. Fuel price, 2014 – 2015 ; and
e. Basic electricity rate, 2014 – 2015
2. Model
The function of micro and small industry can be written as follows:
log (���) = �� + �1 log (���1 ) + �2 log (���2 ) + �3 log (���3 ) + �4 log (���4) + �
��� = increasing number of small and micro industry (%)
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
192
3. Model Examination
After got the model, we continued with model examination, which is consist of:
a. Economy examination
With, the initial hypothesis (Ho): fuel price and basic electricity rate do not gve impact to the growth of micro and small industry;
And the alternative hypothesis (Ha): fuel price or basic electricity rate give the impact to the growth of micro and small industry
b. Statistic examination
Model examination that already done is F-test, to examine the influence of independent variable simultaneously to the growth of micro and small industry and t test to examines the impact of basic
electricity rate and fuel price independently to the growth of micro and small industry.
c. Econometric examination
We need to examine whether in this model contains heteroscedasticity, multicollinearity, and autocorrelation or not.
The probability of F equals to 0,000. This result implies that by comparing α 0.05, all independence variables affect the quantity of micro-small enterprise simultaneously. The value of Constanta is
30.86. It means that if all independent variables (electricity price, fuel price, population, expenditure per capita) equal to zero (0), the increasing of small micro enterprise is 30.86 %.
From the table 1, we also obtain that the value of electricity price equals to - 0,533. This implies that between electricity price elasticity and the quantity of small micro enterprise have a negative
correlation. If electricity price increases by 1 %, then the quantity of micro small enterprise will decrease by 0.533 %. However, from the T test, we know that the probability of t more than α 0.05 (0,151).
This means that electricity price has no significant correlation with the quantity of micro small enterprise.
On the other hand, the increasing of fuel price will significantly affect the quantity of small micro enterprise in a negative correlation (P <|t| < α). We also can obtain the coefficient of fuel price is -
0.98. It means that if fuel price increases by 1 %, the quantity of micro small enterprise will decrease by 0.98 %. This value is nearly close to the value of unitary elasticity (E=1).
From both energy variables which are electricity price and fuel price, they give different impact to the quantity of micro and small enterprise. Adjustment on electricity has no significance impact to
micro and small enterprise, while the adjustment on fuel price has a significant impact to the quantity of micro and small industry.
Furthermore, the increasing of population also has a strong relationship with the quantity of micro and small enterprise. The coefficient equals to 1.107, it implies that the increasing of population
by 1 % will lead to the rising of small micro enterprise quantity by 1.107 %. Meanwhile, the coefficient of expenditure per capita is - 1,746. It implies that if the expenditure per capita increases by 1 %, the
quantity of small micro enterprise will decrease by 1,746 %.
The Tests
As an initial hypothesis (H0) is electricity price and fuel price have no significant impact to the quantity of micro-small enterprise, while, as an alternative hypothesis is one of both variables have
significant impact to the quantity of micro-small enterprise. Based on table 1, although electricity price has no impact to the quantity of micro small enterprise, we also can obtain that the increasing of fuel
price will lead to the increasing of micro-small enterprise quantity. As a consequence, we cannot accept the initial hypothesis (H0).
From the table 1, we also can derive the determinant coefficient (R-squared). This R-squared has a quite significance value by 0.8154. It indicates that the model can be explained by all variables
as much as 81.54 %, while a 18.66 % cannot be explained by all variables. As previous explanation, F test give a significance value with the probability less than α 0.05. Therefore, all variables
simultaneously affect the quantity of micro small enterprise by using α 0.05. Meanwhile, from the partial test (t-test), we can derive that all variables except electricity price have a significance impact to
micro small enterprise by using α 0.05.
From the OLS violation tests which are heteroscedasticity, multicollinierity and auto correlation, we can obtain the results as follows:
1. Heteroscedasticity
Table 2.2. White Test
. estat imtest, white
chi2(14) = 24.32
Prob > chi2 = 0.0419
Source chi2 df p
From table 2.2, the white test results give evidence that there is a heteroscedasticity. We can derive from the probability of chi squared. The value of probability of chi squared is 0.049. It means that
by using α 0.05, the probability of chi squared less than α, so that there is a heteroscedasticity. Therefore, to overcome this problem, we do white robust estimator treatment. The result is as
explained in table 2.3 below
Robust
lnumk Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
F 286.0380 382.2506
After this treatment, almost all standard error decrease from its initial value except standard error of fuel price that experiences a slight increasing. Then, we continue to second white test to the model,
but the result still experiences the heteroscedasticity.
2. Multicollinierity
Tabel 2.4. VIF Test
. vif
In order to test the multicollinierity, we calculate Variance Inflation Factor (VIF). As the result, the value of VIF is 1.06, so that we can conclude that there is no multicollinierity (value of VIF < 10). For
further evidence, we do partial correlation test among variables. The result can be seen on table. 2.5
lnumk 1.0000
lntdl 0.0118 1.0000
lnpbensin 0.0348 0.2957 1.0000
lnpop 0.8544 0.0014 0.0041 1.0000
lnexp 0.3747 0.0232 0.0665 0.1083 1.0000
From table. 5 above, we obtain that all partial correlation value less than 0,75, so that there is no multicollinierity.
3. Autocorrelation
The data is a panel data, so we do not need to test the autocorrelation.
E. Conclusion
The increasing of small and micro industry is significantly affected by fuel price. Moreover, between them have a negative correlation. It means that the increasing of fuel price will lead to the rising of
small and micro enterprise. However, for the other energy variable which is electricity price has no significant impact to the small micro enterprise. Furthermore, population and expenditure per capita as
control variables also have significant impact to the amount of small micro industry.
F. Study Limitation
1. The data has only two years interval (2014-2015), so that, further study may consider long time series data.
2. This study only observes the impact of energy factors to the increasing of small micro enterprise with population and expenditure per capita as control variables. The further research can consider other
macro indicators, such as inflation rate, interest rate and Gross Domestic Product.
G. LIST OF REFERENCES
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 – 2013. http://www.depkop.go.id/. Downloaded 4th
October 2016 at 7:31 p.m
Setia Utami, Asty. 2008. Dampak Pembiayaan UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia (2001 – 2007).
Tuti Ernawati : Pengaruh Kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Tarif Dasar Listrik (TDL) terhadap Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) di Jawa Barat (2010)
Ratna Purwaningsih (2015): Analisis Faktor – faktor yang mempengaruhi Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan Metode Structural Equation Modelling
Kristiningsih dan Adrianto Trimarjono (2015) : Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha Kecil Menengah (Studi Kasus pada UKM di Wilayah Surabaya)
Provinsi Quartile Year umk TDL (/kwh) Pbensin Jumlah penduduk expenditure per capita
Aliran foreign direct investment (selanjutnya disingkat FDI) ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2018, dalam kurun waktu tahun
2009-2018, realisasi aliran FDI secara umum meningkat. Titik tertinggi terdapat pada tahun 2013 sebesar 21,5 triliun dolar AS, sedangkan titik terendah adalah tahun 2009 sebesar 3,9 triliun
dolar AS. Dengan demikian, jumlah aliran FDI pada tahun 2009-2018 meningkat 231,39 %. Walaupun masih terjadi penurunan di beberapa tahun tertentu. Sebagaimana dapat dilihat dari data
tersebut, bahwa terjadi penurunan FDI pada tahun 2014, 2015, 2017 dan 2018 sebesar masing – masing 11,01 %, 5,19 %, 10,62 % dan 22,69 %. Namun demikian, terlihat juga adanya tren
peningkatan yang terus menurun di tahun – tahun yang lain dengan perincian sebagaimana berikut : 63,38 % pada periode 2009-2010, 77,46% pada 2010- 2011, 38,86 % pada tahun 2012
dan 36,93 % pada 2013 serta 3,11 % pada 2016.
Komposisi sektor-sektor yang menerima aliran FDI pada tahun 2009-2018 didominasi oleh sektor industri, yaitu sebesar 66,93 %. Sektor pertambangan berada pada peringkat kedua
sebesar 22,77 %. Tempat ketiga adalah pertanian sebesar 10,29 %. Sedangkan sektor-sektor lain dengan nilai FDI kecil, tidak menjadi bagian dari penelitian ini.
Gambar 1.1 Komposisi Sektor Penerima Aliran Asing Langsung pada Tahun 2009-2018
Sumber: bkpm.go.id
Pada tahun 2009-2018, sebagian besar aliran FDI yang diinvestasikan di Pulau Jawa adalah sebesar 48,71 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Kalimantan sebesar 17,30 % kemudian
diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 11,49 %. Keempat terakhir adalah Papua sebesar 9,50 %, Sumatera sebesar 8,87 %, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,41 %, serta Maluku sebesar
1,71 %.
Di sisi lain, sektor dominan penerima FDI pada kurun waktu 2009-2018 adalah sebagai berikut :
Tabel 1.
distribusi
Pulau/Kepulauan
pertanian pertambangan industri
sumber : bkpm.go.id
Dari tabel di atas diperoleh informasi bahwa industri sebagai sektor dominan di 3 (tiga) Pulau, yaitu Jawa, Sulawesi dan Sumatera sebesar masing – masing 97,38 %, 79,42 % dan Sumatera
68,73 %. Pulau Bali dan Nusa Tenggara, Pulau Papua serta Kalimantan didominasi oleh sektor pertambangan dengan presentase investasi pada kisaran 41,36 % - 85,35 %. Sedangkan
pertanian bukan merupakan sektor dominan di Pulau/Kepulauan tersebut.
Upah minimum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi FDI industri (Owuka, 2011).
Gambar 1.4.
Rata-rata Upah minimum di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu 2009-2016
Dapat dilihat dari grafik di atas bahwa pada kurun waktu 2009-2015, Rata-rata Upah Minimum Regional di Pulau Sumatera selalu lebih tinggi dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Hanya saja
pada tahun 2016, Pulau Jawa menetapkan Upah Minimum Regional lebih tinggi dari kedua pulau lainnya.
Infrastruktur sebagai faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi FDI industri (Iskandar, 2014), Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008).
Gambar 1.5.
Jumlah Panjang Jalan di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu 2009-2014
Gambar 1.6.
Keterbukaan Pasar di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu 2009-2017
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (industri) di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa. Tren dari aliran investasi asing langsungperanan upah
minimum regional dan infrastruktur yang mempengaruhi aliran FDI ke sektor industri di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
2. Untuk menguji dampak upah dan infrastruktur dari aliran FDI ( industri) di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
3. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap aliran FDI (industri) di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
BAB
23
Dikarenakan kesejahteraan dari perekonomia secara keseluruhan sangat mempengaruhi kondisi masyarakat, perubahan kondisi perekonomian akan banyak dilaporkan oleh media. Ketika
membaca surat kabar, mengecek berita daring, atau menyalakan TV, kita pasti menemukan beberapa mengenai laporan statistik ekonomi. Laporan statistik tersebut mungkin berupa hasil
perhitungan dari pendapatan total setiap orang di perekonomian ( produk domestik bruto-PDB), tingkat dimana harga mengalami kenaikan / penurunan secara rata – rata (inflasi/ deflasi),
persentase angkatan kerja yang bekerja ( pengangguran), total pengeluaran belanja di toko ( penjual eceran), ataupun ketidakseimbangan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara
lain (defisit perdagangan). Statistik yang demikian disebut makroekonomi yang menjelaskan kepada kita mengenal keadaan keseluruhan dalam perekonomian.
Sebagaimana yang telah dibahas pada Bab 2, studi mengenai ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua cabang, mikroekonomi dan makroekonomi. Mikroekonomi (microeconomics) merupakan
studi yang menpelajari bagaimana individu, rumah tangga dan perusahaan membuat keputusan dan bagaimana interaksi mereka di pasar. Makroekonomi (macroeconomics) merupakan studi
yang membahas perekonomian secara keseluruhan. Tujuan dari studi makroekonomi adalah menjelaskan fungsi perubahan kondisi perekonomian yang dapat mempengaruhi menjelaskan
perubahan pada kondisi perekonomian yang mempengaruhi menjelaskan pada kondisi perekonomian yang mempengaruhi individu, perusahaan, dan pasar secara simultan. Makroekonomi
mampu menyajikan jawaban bagi beragam pertanyaan, seperti : Mengapa pendapatan rata – rata di beberapa negara sangat tinggi, sementara di beberapa negara lain sangat rendah?
Mengapa harga barang kadang – kadang naik dengan cepat, namun pada waktu lain harga lebih stabil? Mengapa produksi dan lapangan kerja berekspansi pada beberapa waktu tertentu dan
mengalami kontraksi pada beberapa tahun yang lain? Dapatkan pemerintah mendorong kenaikan pendapatan secara cepat, menjaga inflasi tetap rendah,d an menciptakan lapangan
pekerjaan yang stabil? Pertanyaan – pertanyaan ini berada dalam lingkup makroekonomi dikarenakan hal ini membutuhkan analisi terhadap kerja perekonomianm secara keseluruhan.
Dikarenakan perekonomian secraa keseluruhan merupakan kumpulan dari banyak rumah tangga serta banyak perusahaan merupakan pada banyak pasar, maka mikroekonomi dan
makroekonomi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Alat analisis utama penawaran dan permintaan, sebagai contoh, merupakan alat analisis uatama pada makroekonomi sebagaimana
halnya pada mikroekonomi. Studi mengenai eknomi secara keseluruhan dapat memunculkan berbagai pertanyaan dan tantangan yang penuh dengan intrik sebelumnya.
Pada bab 1 dan bab selanjutnya, kita akan berdiskusi dengan menggunakan beberapa data yang digunakan oleh para ekonom dan pembuat kebijakan untuk mengamati kinerja ekonomi
secara keseluruhan. Data tersebut merefleksikan perubahan kondisi ekonomi yang coba dijelaskan oleh makroekonomi. Bab ini terutama akan membahas produk domestik bruto, yang
merupakan perhitungan total pendapatan nasional. PDB merupakan alat yang paling dekat untuk memantau kondisi statistil ekonomi dikarenakan PDB merupakan salah satu cara perhitungan
terbaik untuk mengukur kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
212
BAB 25
Jika Anda bepergian ke berbagai tempat di dunia, akan Anda saksikan perbedaan yang sangat beragam dalam standar hidup. Rata – rata penduduk negara kaya
seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Jerman memiliki pendapatan lebih dari sepuluh kali lipat penduduk di negara miskin seperti India, Indonesia, atau Nigeria. Hal
ini terlihat pada perbedaan kualitas hidup yang sangat besar. Negara kaya memiliki lebih banyak mobil, telepon, televisi, nutrisi yang baik, permukiman yang lebih
layak, tingkat kesehatan yang lebih baik, dan usia harapan hidup yang lebih lama.
Bahkan pada suatu negara, dapat terlihat perubahan standar hidup yang lebih besar dalm kurun waktu tertentu. Di Amerika Serikat dalam kurun waktu seratus
tahun terakhir rata – rata pendapatan tiap penduduk, seperti diukur dalam GDP riil, tumbuh lebih dari 2 persen per tahun. Walaupun angka 2 persen sepertinya
sedikit, pertumbuhan ini menunjukkan bahwa rata – rata pendapatan berlipat setiap 35 tahun. Karena pertumbuhan ini, rata – rata penduduk rata – rata pendapatan
berlipat setiap 35 tahun. Karena pertumbuhan ini, rata – rata penduduk Jepang secara umum memiliki tingkat kemakmuran ekonomi yang lebih tinggi daripada
orang tua, kakek nenek, dan eyang buyutnya.
Rata – rata pertumbuhan pada hakikatnya berbeda – berbeda setiap negara. Dalam sejarah, pada beberapa negara Asia Timur seperti Singapura, Korea Selatan,
dan Taiwan rata – rata pendapatan nyata penduduknya meningkat sekitr 7 persen per tahun. Pada tingkat ini rata – rata pendapatan hampir berlipat setiap sepuluh
tahun. Lebih dari dfua dekade terakhir, Tiongkok telah menikmati tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi sekitar 12 persen per tahun, menurut beberapa perkiraan.
Suat nugera yang mengalami pertumbuhan pesat semacam itu bisa, dalam satu generasi, berubah dari kelompok negara termiskin menjadi negara – negara yang
termasuk paling kaya di dunia. Sebaliknya, beberapa negara Afrika rata – rata pendapatannya tidak berubah selama beberapa kurun waktu terakhir. Zimbabwe
salah satu yang telah mengalami pertumbuhan terburuk. Dari 1991 sampai 2011, pendapatan orang turun sebesar 38 persen.
Apa penyebabnya terjadinya perbedaan tersebut? Bagaimana negara kaya dapat mengelola standar hidupnya yang tinggi? Kebijakan apa yang harus diambil
negara miskin dalam usaha meningkatkan pertumbuhannya sehingga termasuk kelompok dunia berkembang? Pertanyaan – pertanyaan ini termasuk hal penting
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
213
dalam makroekonomi. Seperti dikatakan ahli ekonomi Robert Lucas bahwa, “ konsekuensi dalam memikirkan kesejahteraan manusia dan menjawab pertanyaan
seperti ini sangat mengejutkan : jika seseorang mulai memikirkannya, maka sulit untuk memikirkan hal yang lainnya”.
Dalam dua bab selanjutnya kita membahas bagaima ahli ekonomi mengukur jumlah dan harga dalam makroekonomi. Pada bab ini kita mulai mempelajari kekuatan
yang menentukan munculnya variabel – variabel tersebut. Seperti kita ketahuk, secara ekonomi sebuah produk domestik bruto ( PDB-gross domestic bruto/ GDP)
menunjukkan nilai keseluruhan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi dan keseluruhan pengeluaran dalam produksi ekonomi barang dan jasa. Tingkat
PDB nyata merupakan pengeluaran produksi ekonomi barang dan jasa. Tingkat PDB nyata merupakan kemajuan ukuran kesejahteraan ekonomi, dan pertumbuhan
PDB nyata menunjukkan kemajuan uurna kesejahteraan ekonomi, dan pertumbuhan PDB nyata menunjukka kemaju ekonomi. Di sini kita menfokuskan dalam
menjaga kesinambungan mutu dan pertumbuhan PDB nyata. Lebih lanjut dalam buku ini akan dibahas fluktuasi jangka pendek PDB nyata dalam kecenderungan
jangka panjangnya.
Kita awali dalam tiga langkah pembahasan. Pertama, kita akan memeriksa data internasional PDB nyata tiap penduduk. Data ini akan memberikan petunjuk tentang
seberpa jauh perbedaan tingkat mutu dan pertumbuhan standar hidup tiap negara di dunia. Kedua, kita mempelajari peran produktivitas- sejumlah barang dan jasa
yang dihasilkan setiap jam oleh seorang pekerjanya, dan kita mempertimbangkan faktor – faktor apa yang menentukan produktivitas suatu negara. Ketiga, kita
menghubungkan antara tingkat produktivitas dan kebijakan ekonomi yang dipakai dalam sebuah negara.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah dapat mengurangi
biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah sehingga permintaanpun akan
meningkat (Yogatama, 2011).
permintaan meningkat
Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama (2011)
Peningkatan upah minimum regional di Indonesia memiliki korelasi dengan biaya produksi suatu perusahaan. Jika peningkatan upah tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas tenaga
kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya, tingkat investasi akan berkurang juga (Frederica dan Juwita, 2013).
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan. Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya tenaga kerja
rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment (FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi juga lebih rendah. Biaya produksi
yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya
tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-
negara yang memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).
Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Harga output
Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah
rendah
Daya saing tinggi
Rekomendasi
investasi
Bagan 2.5. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-1 (2003)
Berdasarkan teori efisiensi upah (Mankiw, 2003 dalam Syarif, 2015) menjelaskan bahwa teori efisiensi upah menggambarkan bahwa ada korelasi antara upah dan produktivitas para
tenaga kerja. Dengan demikian, jika ada penurunan upah yang akan mengurangi laba perusahaan, kondisi ini akan menurunkan produktivitas dan laba perusahaan.
• Teori efisiensi upah pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan tenaga kerja menjadi lebih produktif. Upah juga memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruh upah
terhadap efisiensi akan menjadi kegagalan suatu perusahaan karena dengan mengurangi upah akan berdampak pada menurunnya produktivitas tenaga kerja dan tentu saja laba
perusahaan.
Bagan 2.6. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-2 (2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan siklus tenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan mengurangi tenaga kerja.
tenaga kerjaketenagakerjaan Jumlah tenaga kerja tentunya akan berkurang, namun pada saat yang sama perusahaan tidak perlu waktu untuk merekrut dan melatih para tenaga kerja baru.
Bagan 2.7. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-3 (2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata tenaga kerja bergantung pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan mengurangi upah, sebagai
konsekuensinya tenaga kerja terbaik akan meninggalkan perusahaan dan pindah ke tempat lain. Sementara itu, tenaga kerja yang tidak terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih
sedikit alternatif.
Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
terampil tetap
Bagan 2.8. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-4 (2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah keempat menyatakan bahwa upah yang tinggi dapat memperbaiki upaya produktivitas tenaga kerja. Fokus teori ini menyatakan bahwa jika perusahaan tidak dapat
memonitor dengan sempurna upaya tenaga kerja, tenaga kerja akan memutuskan sendiri seberapa jauh mereka dapat bekerja keras. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan
dapat memotivasi tenaga kerja untuk bekerja lebih keras dan meningkatkan produktivitas.
tinggi meningkat
Bagan 2.9. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-5 (2003)
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
217
Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara efisien jika membayar tenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga mempertahankan upah
yang tinggi akan lebih dapat menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan yang akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Tentunya, hal ini harus sesuai juga dengan
keuangan perusahaan.
Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan kereta cepat adalah kekuatan yang bisa memacu munculnya produktivitas (Legowo, 2010). ((Jayne, dkk., 2009)
dalam (Priyanti, 2012: 20)) menambahkan bahwa peningkatan biaya pada infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi perusahaan, sehingga sebagai konsekuensinya, merangsang
investasi, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.
Infrastruktur produktivita
s Merangsang
(jalan, bandara, dan kereta cepat)
Investasi
Peningkatan biaya infrastruktur Biaya
perusahaan Produktivit
berkurang as
Bagan 2.10. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Jayne (2009)
Sumber: Journal IPB
Sebagai informasi, dengan adanya teori tersebut, digunakan untuk menjustifikasi variabel-variabel yang hasil regresinya tidak signifikan. Dengan mengurai data statistik di masing-masing
provinsi.
Upah adalah faktor utama yang mempengaruhi investasi asing langsung. Selain itu, variabel penjelas lainnya telah ditambahkan ke dalam model penelitian untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang hubungan investasi asing langsung. Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011), Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), dan
Mihai.
Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk berinvestasi. Ini dapat didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William
(2015), dan Amaro (2006). Faktor-faktor terakhir yang didefinisikan sebagai penentu investasi asing langsung adalah inflasi, yang termuat dalam penelitian Iskandar, (2014), Amaro (2006),
Huyen (2015), William (2015), dan Ruth (2003).
Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulis. Calhoun, et al. (2002) telah menyelidiki hubungan kualitas tenaga kerja dan orientasi ekspor terhadap investasi asing langsung di
negara-negara berkembang. Onwuka dalam penelitiannya tentang tingkat upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan investasi asing langsung (2011) memperkirakan bahwa
tingkat upah, intensitas ekspor, intensitas impor, keterbukaan perdagangan, nilai tukar, dan tarif rata-rata dapat mempengaruhi investasi asing langsung ke lima negara ASEAN.
2.2.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait investasi asing langsung menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih
bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas
individu dari waktu ke waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel
saat memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain
yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM) untuk menguji determinannya. Lainnya adalah Rashid (2016) tentang investasi asing langsung di
industri sumber minyak dan gas di Indonesia. Analisis tingkat upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan investasi asing antara lima negara ASEAN selama 1976-2000 dengan
menggunakan data panel.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen
dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari pengaruh upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada investasi asing langsung adalah analisis rangkaian waktu.
Kemungkinan interaksi simultan antara investasi langsung dan beberapa variabel independen diperbolehkan dengan menggunakan pendekatan tiga tahap kuadrat terkecil.
2.2.4 Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah (Owuka, 2011). Temuan ini memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan penelitian tentang Faktor-
faktor yang mempengaruhi investasi industri tekstil dan produk tekstil dengan hasil negatif tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman (1987)
dan Amaro (2006). Hal yang sama dikemukakan oleh Mihai bahwa peningkatan upah berimbas pada penurunan investasi asing langsung.
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung sumber utama industri minyak dan gas bumi. Penelitian menyangkut hal itu dilakukan oleh Iskandar pada tahun 2014
dan Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008). Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa infrastruktur menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap investasi asing
langsung.
Sementara itu, Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap investasi asing langsung sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang sama dinyatakan oleh
Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap investasi asing langsung. Hampir memiliki hasil yang sama, Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah
membuktikan bahwa inflasi negatif tidak berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung.
Sedangkan variabel Produk Domestik Regional Bruto secara signifikan mempengaruhi aliran FDI sektor pertanian dan pertambangan (Santangelo, 2018).
BAB 3
METODOLOGI
FDI allit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerjait + β 7 ukuran pasarit + β 8 keterbukaan pasarit + kebijakan dummyit + εit
FDI allit : total foreign direct investment (FDI) sektor industri di provinsi – provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
minwageit : rata – rata upah minimum regional provinsi – provinsi di Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t.
relwageit : rata – rata upah relatif regional provinsi – provinsi di Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t.
CPIit : indeks harga konsumen di ibu kota provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi pada tahun t.
roadit : panjang jalan nasional di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
electricity : distribusi listrik PLN ke industri di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
labourit : jumlah tenaga kerja di sektor industri di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada
tahun t
ukuran pasarit : produk domestik regional bruto di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
keterbukaan pasarit : rasio antara ekspor dan impor di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
Kebijakan dummy : untuk menginvestasikan dampak kebijakan nasional ke
masing-masing provinsi – provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi.
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL
Dalam model dummy RTR Pulau / Kepulauan, IHK dan jalan memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di ketiga variabel tersebut. Sementara itu, untuk variabel-
variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.
inflasi terhadap investasi dengan arah kausalitas negatif dapat dijelaskan pertama dengan kenaikan inflasi yang menunjukkan adanya kenaikan harga yang selanjutnya akan mendorong
masyarakat untuk mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua, penurunan uang beredar akan menekan suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi
akan menurun.
Variabel Jalan
Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri yang memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi (Samir, 2016).
Variabel Listrik
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya, Odi (1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai halangan maupun peluang
investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau potensi untuk
menarik investasi asing jika pemerintah di negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut Jordan
(2004) mengemukakan bahwa infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara. Oleh karena itu,
merangsang aliran investasi asing ke negara tersebut. Menurut Emi (2015) dengan meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi
yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik
akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Kondisi ini tentu akan mendorong kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.
Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2011 614.126,00 Rendah 1.030.594 tinggi sesuai
2012 2.173.082,20 Rendah 1.135.572 tinggi sesuai
2013 2.352.695,40 Rendah 1.358.509 tinggi sesuai
2014 2.128.666,10 Rendah 1.582.719 tinggi sesuai
2015 2.138.734,70 Rendah 1.783.735 tinggi sesuai
2016 4.233.550,20 Rendah 1.982.696 tinggi sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
2013 tidak
11.754.248,30 Tinggi 1.143.894 tinggi sesuai
2014 tidak
8.493.718,20 Tinggi 1.277.417 tinggi sesuai
2015 tidak
6.955.528,20 Tinggi 1.366.417 tinggi sesuai
2016 tidak
8.673.934,20 Tinggi 1.672.083 tinggi sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2012 964.956,80 Rendah 1.055.300 tinggi sesuai
2013 1.202.358,10 Rendah 1.291.041 tinggi' sesuai
2014 1.514.471,90 Rendah 1.512.500 tinggi sesuai
2015 1.162.836,40 Rendah 1.759.583 tinggi sesuai
2016 2.240.182,90 Rendah 1.984.833 tinggi sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama (2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi, maka FDI nya
rendah. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan bahwa di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi dengan kategori Upah Minimum Regional (UMR) tinggi
seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih rendah dari rata-rata keseluruhan Pulau – Pulau tersebut. Walaupun di masing – masing Pulau mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
228
dampak terhadap aliran FDInya sama, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran FDI dapat dirinci sebagai berikut: Untuk Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi
menunjukkan reaksi FDI rendah, sedangkan untuk Pulau Jawa FDI masih tinggi, walaupun UMRnya tinggi.
permintaan meningkat
Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR Hasil
2009 436.162,00 rendah 867.933 rendah tidak sesuai
2010 318.477,50 rendah 943.133 rendah tidak sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR Hasil
2009 3.320.760,00 rendah 743.426 rendah tidak sesuai
2010 2.454.995,20 rendah 796.751 rendah tidak sesuai
2011 5.496.085,10 rendah 842.000 rendah tidak sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR Hasil
2009 59.891,00 rendah 818.150 rendah tidak sesuai
2010 172.445,00 rendah 881.950 rendah tidak sesuai
2011 364.627,30 rendah 946.000 rendah tidak sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 1 : teori Sinchei (2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi, maka FDI nya rendah.
Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan bahwa di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi dengan kategori Upah Minimum Regional (UMR) rendah pada tahun – tahun
sebagai berikut masing – masing 2009-2010; 2009-2012; serta 2009-2011 seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih tinggi dari rata-rata keseluruhan ketiga Pulau tersebut. Walaupun di
masing – masing Pulau tersebut mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan
aliran FDI dapat dirinci sebagai berikut: tidak sesuai untuk Pulau Sumatera, tidak sesuai untuk Pulau Jawa, dan tidak sesuai untuk Pulau Sulawesi.
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2009 436.162,00 867.933
2010 318.477,50 turun 943.133 naik sesuai
2011 614.126,00 naik 1.030.594 naik tidak sesuai
2012 2.173.082,20 naik 1.135.572 naik tidak sesuai
2013 2.352.695,40 naik 1.358.509 naik tidak sesuai
2014 2.128.666,10 turun 1.582.719 naik sesuai
2015 2.138.734,70 naik 1.783.735 naik tidak sesuai
2016 4.233.550,20 naik 1.982.696 naik tidak sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
2009 3.320.760,00 743.426
2010 2.454.995,20 turun 796.751 naik sesuai
2011 5.496.085,10 naik 842.000 naik tidak sesuai
2012 7.690.267,40 naik 958.968 naik tidak sesuai
2013 11.754.248,30 naik 1.143.894 naik tidak sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2009 59.891,00 818.150
2010 172.445,00 naik 881.950 naik tidak sesuai
2011 364.627,30 naik 946.000 naik tidak sesuai
2012 964.956,80 naik 1.055.300 naik sesuai
2013 1.202.358,10 naik 1.291.041 naik sesuai
2014 1.514.471,90 naik 1.512.500 naik sesuai
2015 1.162.836,40 turun 1.759.583 naik sesuai
2016 2.240.182,90 naik 1.984.833 naik sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.9 terkait dengan Analisis 3 : teori Frederica dan Juwita (2013), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya naik, maka FDI
nya berkurang. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan bahwa di semua Pulau tersebut di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi dengan kenaikan Upah
Minimum Regional (UMR) seharusnya memiliki aliran investasi yang berkurang setiap tahunnya. Walaupun di masing – masing Pulau tersebut mengalami peningkatan setiap tahun, namun
reaksi dampak terhadap aliran FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran FDI dapat dirinci sebagai berikut: sesuai untuk Pulau Sumatera pada
tahun 2010 dan 2014, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai; sesuai untuk Pulau Jawa pada tahun 2010, 2014, dam 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai;
serta sesuai untuk Pulau Sulawesi pada tahun 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai.
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.14 terkait dengan Analisis 6 : teori I Mankiw (2003), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi, maka produktivitas
pekerja dan keuntungan perusahaannya meningkat. Kami menggunakan proksi Pendapatan Domestik Regional Bruto. Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data PDRB menunjukkan bahwa di
Provinsi DKI Jakarta dan Banten dengan Upah Minimum Regional (UMR) tinggi memang PDRBnya juga selalu meningkat.
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.15 terkait dengan Analisis Channneling 7 : teori II Mankiw (2003), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi, maka
jumlah pekerja dikurangi. Kami menggunakan proksi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri. Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data tenaga kerja menunjukkan bahwa di
Provinsi DKI Jakarta dan Banten dengan Upah Minimum Regional (UMR) tinggi memberikan respon yang berbeda terhadap permintaan tenaga kerja. Provinsi DKI mengalami
kecenderungan penurunan yang tenaga kerja ( pada tahun 2006, 2008-2009,2011 dan 2013-2014). Sedangkan provinsi Banten menunjukkan trenkenaikan (penurunan terjadi pada tahun 2006
dan 2013).
Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
Tidak bisa diterapkan di penelitian ini karena tidak ada penurunan upah.
Infrastruktur
produktivita
(jalan, bandara, dan kereta s Merangsang
cepat)
Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan Produktivit
berkurang as
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.16 terkait dengan Analisis Channneling 10 : teori Aschaeur dalam Legowo (2010), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah
mengalami peningkatan biaya infrastruktur, maka jumlah investasinya meningkat. Kami menggunakan proksi panjang jalan.Data yang kemi peroleh menunjukkan peningkatan FDI di semua
provinsi dengan bertambahnya panjang jalan.
Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data panjang jalan menunjukkan fluktuasi dengan respon terhadap FDI sebagai berikut :
Provinsi DKI Jakarta mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2009-2011, dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2011, FDI industri padat karya mengalami
kenaikan pada tahun 2010, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2011, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2010 – 2011.
Provinsi Jawa Barat mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2008-2009, 2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008, 2011 dan 2013. FDI industri
padat karya mengalami kenaikan pada tahun –tahun tersebut, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun –tahun tersebut, dan FDI jumlah MNC meningkat pada
tahun –tahun tersebut.
Provinsi Jawa Tengah mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007-2009 dan 2012-2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008. FDI industri padat karya
mengalami kenaikan pada tahun 2008-2012, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2008 dan 2012-2013, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2007-
2008 dan 2012.
Provinsi DIY mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2006 dan 2008-2009 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2006 dan 2008. FDI industri padat karya
mengalami kenaikan pada tahun 2006 dan 2008, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2006 dan 2008, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2006
dan 2008.
Provinsi Jawa Timur mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007, 2009-2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2007, 2010 dan 2013. FDI
industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 dan 2009-2010, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2007, 2010 dan 2013, dan FDI jumlah MNC
meningkat pada tahun 2007, 2010 - 2011 dan 2013.
Provinsi Banten mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007 -2010 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008-2009 dan 2013. FDI industri padat
karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 – 2008 dan 2013, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2013, dan FDI jumlah MNC meningkat pada
tahun 2008, 2010 dan 2013.
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan aliran FDI dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto dan
Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi di Pulau Jawa mempengaruhi rendah atau
tingginya aliran FDI sektor industri di Pulau Jawa (sesuai dengan teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi di Pulau Jawa
mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri di Pulau Jawa, walaupun dan menyebabkan berkurangnya aliran FDI sektor industri di Pulau Jawa. Kenaikan / Penurunan
Pendapatan Domestik Regional Bruto juga dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan
adanya pembangunan infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan aliran FDI sektor industri di Pulau Jawa.
Adapun rincian analisis teori ditunjukkan dari minimal 1 provinsi yang hasilnya sesuai.sebagaimana berikut.
Terdapat beberapa teori yang sesuai dengan data tabulasi, yaitu: teori 1 dan 4, teori 2 dan 5, teori 3, teori 6 dan 9, serta teori 10.
Teori 1(Sichei, 2012) dan 4 (Marcelia) menjelaskan adanya pengaruh biaya tenaga kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk provinsi DKI Jakarta adalah
sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai.
Untuk teori 2 (Yogatama, 2012) dan teori 5 (Mankiw,2003), biaya tenaga kerja yang rendah berpengaruh terhadap FDI yang tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk provinsi
Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak sesuai.
Kantor Pertanahan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2022 - 2023
234
Teori 3 (Frederica dan Juwita, 2010), menjelaskan adanya peningkatan upah beropengaruh terhadap berkurangnya FDI menunjukkan hasil yang sesuai terhadap FDI semua industri di
provinsi Jawa Barat, FDI industri padat karya di Provinsi Banten, dan FDI industri padat modal di provinsi Jawa Timur. Sedangkan provinsi lainnya menunjukkan hasil yang tidak sesuai.
Teori 6 dan 9, keduanya dikemukakan oleh Makiw pada tahun 2003 menjelaskan apabila terjadi kenaikan upah , maka pendapatan perusahaan dan produktivtas pekerja meningkat,
menunjukkan hasil yang sesuai di provinsi DKI Jakarta dan provinsi Banten.
Teori 7(Aschaeur, 2010) menjelaskan apabila upah tinggi, maka jumlah tenaga kerja berkurang, menunjukkan hasil yang sesuai untuk DKI Jakarta, tetapi tidak sesuai untuk provinsi Banten.
Lain halnya dengan teori 10 (Jayne, 2010), apabila infrastruktur transportasi meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya sesuai unutuk semua provinsi.
Lebih lanjut, ada teori yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu teori 8 (teori 3 Mankiw, 2003: teori efisiensi upah ketiga) karena tidak adanya kebijakan atau kondisi yang diharapkan.
Sebagai contoh, di teori 8 upah berkurang, sehingga jumlah tenaga kerja berubah. Oleh karena itu, tidak dapat dibuktikan karena di Pulau Jawa tidak terjadi penurunan upah di sektor industri.
DAFTAR PUSTAKA
Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.
Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi. Vol. 1 (2).
Atmaja(2017). Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tesis.Universitas Gadjah Mada.
Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco. Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.
Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of Economics.
Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.
Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.
Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap Perkembangan Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi di pulau Jawa). Tesis. Universitas
Indonesia.
Erdal, et.al (2008). Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing Countries : A cross sectional Analysis.Prague Economic Papers.356-369.
Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages. NBER Working Papers Series. 5121.
Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.
Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment (FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social and Behavioral Sciences,.
Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen. Vol.2.
Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model. International Business. Vol.24
(3). 518 – 529.
Lakesha, B.K (2012). Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective. Indian Journal of Industrial Relations. Vol. 47.459 – 469.
Liu, et. al (2012). Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing Industry. International Journal of Economics and Finance. Vol. 4 (12).
Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth Publishers.
Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case. International Journal of Economic Sciences and Applied Research. Vol.3(2). 41-56.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business. Vol. 2 (9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review. 134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
Randelovic,et.al (2017). Market Size as a Determinant of The Foreign Direct Investment Inflows in the Western Balkans Countries. Economics and Organization. Vol. 14 (2). 93 – 104.
Rashid, Intan Maizura Abdul (2016). Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In Agriculture Sector Based on Selected Highincome Developing Economies in OIC Countries: an Empirical
Study on The Provincial Panel Data By Using Stata, 2003-2012. Procedia Economics and Finance . 26-33.
Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).
Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. Journal of Bussiness Management
and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.
Sharma, Kishor (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New Evidence From Cointegration and Error Correction Model. The Journal of developing Areas.Vol. 46. 71-89.
Sichei, Moses Muse,et.al (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A Panel Data Analysis. Global Journal of Management and Business Research. Vol.12.
Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation States: an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.
Wafure, Obida Gobna (2010). Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An Empirical Analysis. Global Journal of Human Social Science. Vol. 10. 26 – 34.
Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol. 52 (1). 57 – 77.
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 stata@stata.com
979-696-4601 (fax)
IDRE-UCLA
Notes:
. edit
delta: 1 unit
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
>5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
Lampiran 1 (lanjutan)
------------------------------------------------------------------------------
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
>5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. vif
-------------+----------------------
Lampiran 1 (lanjutan)
-------------+----------------------
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
>5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. hettest
chi2(1) = 1.03
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
Lampiran 1 (lanjutan)
>5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. bgodfrey
---------------------------------------------------------------------------
-------------+-------------------------------------------------------------
1 | 5.861 1 0.0155
---------------------------------------------------------------------------
PERAN KEBIJAKAN TATA RUANG DALAM RANGKA MENDORONG DAN MENGENDALIKAN NILAI TAMBAH PADA SEKTOR INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA
IKHTISAR FLUKTUASI NILAI TAMBAH DILIHAT DARI KEBIJAKAN PENETAPAN KAWASAN ANDALAN DENGAN KEGIATAN INDUSTRI
Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu 2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015 adalah sebesar 4,33 % dan titik terendah pada 2016 yaitu
4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan pada 2017 – 2018 mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Ilyas (2009), menunjukkan bahwa modal tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan PDB, yaitu diukur berdasarkan
nilai tambah.
Pada kurun waktu tahun 2015 – 2018, bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri terbanyak pada Industri Makanan, Kayu, diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar
masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual, keluaran dari industri sebagaimana dilihat pada data diatas terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa harga
bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut: 122,54; 129,36; 132,21 untuk bahan baku pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri sebesar 136,57; 141,66; dan 142,74. Teringgi 138,82;
143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian. 170,78; 170,25;173,91 untuk barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan
154,91. Teringgi 523,47; 524,13; 526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang modal industri
sebesar 118,93; 123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal sektor pertanian.
Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 – 85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 %
- 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua
Barat, dan Papua. Sehingga walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak untuk pengembangan nilai tambah.
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018,
menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun besarannya masih berflukltuasi.
Sejak tahun 2008, berdasarkan PP No 26 Tahun 20008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tersebar kawasan andalan dengan kegiatan industri di 32 provinsi di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat
dari gambar di bawah ini.
Selanjutnya direspos Oleh Kementerian Perindustrian pada kurun waktu 2005 – 2014 dengan kebijakan penatapan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di 24 provinsi sebagai berikut :
Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
Variabel Dependen
Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan nilai tambah industri manufaktur sebagai variabel dependen. Mengingat tingkat nilai tambah industri merupakan salah satu indikator
kinerja industri, dimana digunakan juga untuk menguji seberapa banyak tingkat nilai tambah yang bisa diproduksi apabila industri tumbuh lebih tinggi di Indonesia. (Ita,et.al,2003).
Variabel Independen
Faktor Produksi total adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai tambah. (Ilyas,et.al, 2010). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah Tingkat Harga Investasi dan Keterbukaan
pasar.
Metode
Sebagian besar penelitian terkait nilai tambah menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi,
menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke
waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku
yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain yang
menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM) untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis
dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan beberapa
sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi Total (Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap nilai tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Muhammad. 2010. Determinant of Manufacturing Value Added in Pakistan : an Application of Bounds Testing Approach to Cointegration.
Minimum Wages and Labour Productivity.
Raising the Standard : Minimum Wages and Firm Productivity.
Ita,et.al.2003. Effect of Credit Financing to the Value Added of Manufacture Industry in Indonesia.
Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural Sector in Indonesia.
Mochammad Aravano Siregar. 2013. Determinant of Value Added in Cacao Industry.
de la Croix, D. (2015). Economic Growth. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.71057-9
Pujiati, A. (2009). Analisis Kawasan Andalan in Central Java. 11(2), 117–128.
Robiani, B. (2005). Analisis Pengaruh Industrialisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, Vol. 6, p. 93.
https://doi.org/10.21002/jepi.v6i1.153
TUGAS MAKALAH PENGGANTI UAS
Mata Kuliah
Universitas Indonesia
2017
STATEMENT OF AUTHORSHIP
“Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan sumbernya”.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya.
Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.
ABSTRAK
Sebagai konsekuensi dari adanya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade Agreement hingga ASEAN
Economic Community di tahun 2015, menyebabkan kondisi pasar internasional berubah dimana produk asing akan lebih mudah beredar di pasar dalam negeri dan begitu sebaliknya. Selain itu
sebagai akibat dari urbanisasi, pedesaan mengalami penurunan daya tarik dalam rangka menggerakkan perekonomiannya. Di lain pihak masih tinggi ketergantungan desa terhadap pemerintah
pusat dan daerah. Untuk menyikapinya, Pemerintah meluncurkan program One Village One Product (OVOP). Program ini merupakan program yang juga dilaksanakan di beberapa negara lain di
Asia. Setiap desa difasilitasi oleh Pemerintah untuk mengembangkan komoditas lokal dan memasarkannya ke daerah / negara lain. Gerakan One Village One product diharapkan dapat menginspirasi
keinginan daerah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta dapat menunjang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil
dan pemberdayaan UKM. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai penerapan OVOP di negara lain yang dianggap berhasil, mengetahui perkembangan implementasi program
OVOP, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini. Kunci kesuksesan program sejenis OVOP di Jepang dan Thailand adalah peran masyarakat dalam menciptakan jejaring dan peran Pemerintah sebagai
fasilitator. Sampai sekarang, program One Village One Product ini masih terus berjalan. Mulai tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan ada 500 OVOP sampai tahun 2020.
Sejak diluncurkan, telah ada 100 OVOP yang dikelola oleh Koperasi dan telah difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Dari 100 OVOP, 50 diantaranya sudah berhasil menembus pasar internasional, dan yang
dinilai paling berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya di Pontianak. Kunci kesuksesan adanya kerjasama yang baik antara pemeritah pusat, provinsi, kabupaten/kota,
koperasi, dan masyarakat. Dampak dari kegiatan ini berhasil mengurangi disparit as pendapatan
ABSTRACT
As the consequences of the emerging some trade policies such as ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation which is implemented in 2010, followed by ChinaASEAN Free
Trade Agreement as well as ASEAN Economic Community in 2015,caused market condition has been changed in term of foreign product become easier distributed and traded to another countries,
vice versa. On the other hand, as the result of urbanization, village area met with the decreasing of the attraction to run their economy. On the other side, the dependency of village to central and
local government is relative high. To del with this situation, Government had launched program named One Village One Product (OVOP). This program is also already implemented in some Asia
countries. The concept of this program, every village is being facilitated by the Government to develop local commodities dan market to other areas / countries. One Village One Product movement
is hoped can insipire the region to increase their income by maximazing the use of their local potention also could support the acceleration improvement of real sector dan the empowerent of small
and medium enterprises. The aim of this paper is to give information about the success story of OVOP in other countries, to monitor the implementation of OVOP in Indonesia, and evaluate OVOP
in Indonesia. As the result the success of OVOP in the Japan and Thailand is the role of society on creating network and the role of Government as facilitator. Until now, program OVOP is still exist.
From 2015, Government via Ministry of cooperation and small – medium enterprises had target 500 OVOP by 2020. After had launched, there are 100 OVOP which is managed by cooperation.
From that number, 50 has succes to enter international market, and the three most successful implementation of OVOP in Indonesia are cultivation asparagus in Bali, fried onion in Palu, and
Sanseivera in Pontianak. The key of their succes is the partnership among Central Government, Local Government, cooperation, and society. Impact of this program is reducing income disparity.
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara anggota World Trade Organization (WTO) menghadapi suatu kondisi pasar dalam negeri yang terbuka seiring dengan diterapkannya ASEAN Free Trade
Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade Agreement hingga ASEAN Economic Community di tahun 2015. Dengan adanya
pasar bebas ini, maka mau tidak mau produk-produk luar negeri dapat beredar luas di pasaran nasional bahkan hingga ke pasar-pasar tradisional. Dalam rangka menghadapi persaingan
tersebut, maka diperlukan produk-produk dalam negeri yang mampu bertahan dan bersaing dengan produk-produk mancanegara yang berkualtas global di pasar dunia.
Dari dalam negeri sendiri, adanya konsentrasi dan kepadatan populasi di perkotaan sebagai akibat pola urbanisasi dan menimbulkan menurunnya populasi penduduk di pedesaan. Akibatnya, pedesaan
menjadi kehilangan penggerak dan gairah untuk bisa menumbuhkan roda kegiatan ekonomi. Untuk dapat menghidupkan kembali gerakan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan, maka perlu dibangkitkan suatu
roda kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada didesa tersebut serta melibatkan para tokoh masyarakat setempat.
Mengurangi ketergantungan masyarakat desa yang terlalu tinggi terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, maka perlu diciptakan inisiatif dan semangat membangun dalam masyarakat desa,
sehingga timbul rasa memiliki dan ingin membangun desa menjadi lebih baik.
Untuk memajukan potensi industri kecil dan menengah di daerah dan menghadapi persaingan global, pemerintah meluncurkan program One Village One Product (OVOP). Program ini
dimaksudkan dapat menghidupkan kembali gerakan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan, karenanya perlu dibangkitkan suatu roda kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan
dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada didesa tersebut serta melibatkan para tokoh masyarakat setempat. Melalui program ini diharapkan dapat mewujudkan kemandirian, kreativitas dan
kesejahteraan masyarakat setempat dengan sasaran pada peningkatan peluang pasa produk UMKM melalui peningkatan evektifitas dengan pengembangan sentra industri kecil dan menengah.
Gerakan ini didasari dengan ide ingin mengembangkan potensi daerah supaya menjadi lebih baik dengan melibatkan tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri sehingga termotivasi bangkit dan
membangun daerahnya menjadi daerah yang makmur serta mensejahterakan masyarakat. Gerakan One Village One peroduct diharapkan dapat menginspirasi keinginan daerah yang saat ini sedang berupaya
meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta dapat menunjang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UKM
B. HASIL ANALISA
1. Teori Perdagangan Antar Wilayah dan Hubungannya dengan Konsep Program One Village One Product
Menurut Triakoso (2017), terjadinya perdagangan antar negara dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, negara yang melakukan perdagangan karena memiliki perbedaan kepemilikan sumberdaya.
Dari perbedaan tersebut masing – masing pihak mendapatkan keuntungan. Kedua negara tersebut ingin mencapai skala ekonomi produksi. Apabila negara memproduksi barang tertentu dalam kuantitas
yang lebih banyak akan lebih baik dibandingkan bila mereka memproduksi semua jenis barang dengan kuantitas lebih sedikit.
Bila dikaitkan dengan kebijakan One Village One Product setiap desa dipacu untuk dapat mengembangkan 1 produk unggulan sehingga dapat memproduksi 1 jenis barang yang input sumber dayanya
ada di daerah tersebut yang diharapkan menimbulkan efisiensi dalam proses produksinya yang pada akhirnya memicu perdagangan antar wilayah dan antar negara.
Teori yang digunakan dalam implementasi kebijakan One Village One Product adalah sebagai berikut :
Menurut Triakoso (2017) berdasarkan Teori Keunggulan Mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith, suatu negara melakukan spesialisasi pada produk yang
mempunyai efisiensi produksi lebih baik dari negara lain, dan melakukan perdagangan internasional dengan negara lain yang mempunyai kemampuan spesialisasi pada produk yang
tidak dapat diproduksi di negara tersebut secara efisien. Hal ini memungkinkan suatu individu, perusahaan, bahkan negara untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dengan lebih
efisien serta memungkinkan untukmendapatkan keuntungan lebih
Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah produk tertentu yang dapat diproduksi secara efisien di negara / wilayah tersebut.
Sehingga terjadi perdagangan antar wilayah yang memiliki produk dengan efisiensi produk lebih tinggi dengan produk lain yang lebih efisien diproduksi di wilayah lain.
Menurut Triakoso (2017) berdasarkan Teori Keunggulan Komparatif, setiap negara atau bangsa seperti halnya orang, akan memperoleh hasil dari perdagangannya dengan mengekspor barang-
barang atau jasa yang merupakan keunggulan komparitifbya terbesarnya dan mengimpor barang atau jasa yang bukan merupakan keunggulan komparifnya.
Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah barang yang walaupun terdapat di wilayah / negara lain tetapi memiliki
keunggulan komparatif (harga barang yang dijual relatif lebih murah dibandingkan barang yang sama diproduksi wilayah / negara lain, dan sebaliknya membeli barang dari negara / wilayah lain yang
harganya lebih murah bila dibandingkan dengan barang lain yang diproduksi wilayah / negara sendiri, tetapi harganya lebih mahal.
Jadi, Konsep OVOP mengutamakan produk unik yang terdapat pada daerah, bahkan produk tersebut menjadi ikon atau lambang daerah tersebut. Keunikan tersebut menyangkut kultur budaya,
lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan proses produksinya. Sementara produk OVOP adalah produk suatu daerah dengan keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Karena keunikannya dan proses
produksinya yang langka, sehingga akan memberikan nilai tambah produk tersebut.
Pendekatan One Village One Product (OVOP) sejak tahun 2006 mulai dipelajari dan diadopsi oleh berbagai negara, khususnya di Asia. OVOP diterapkan pada umumnya untuk menyelesaikan
permasalahan kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara desa dan kota di negara-negara Asia. Dalam sepuluh tahun terakhir, gerakan One Village One Product terus dikembangkan hampir seluruh
negara di dunia, dan produk produknya mendapat respon cukup besar dari pembeli di setiap negara.
Pada tahun 2007 saja, program ini sudah di adopsi di 51 negara di dunia, diantaranya negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur. Walaupun setiap negara memiliki
nama yang berbeda-beda, tapi pada konsepnya sama dengan program OVOP ini, misalnya One city one product (China), One Barangay one product (Phipihina), Isson Ippin Undo (Jepang), One tambon One
Product (Thailand), One Town One Product (Taiwan), Satu distrik satu industri (Malaysia).
Adapun negara yang dianggap paling berhasil dalam penerapan program ini adalah negara Jepang dan Thailand. Untuk belajar dari kesuksesan dua negara ini, berikut akan diuraikan bagaimana
penerapan program ini di negara Jepang dan Thailand.
JEPANG
Sebagai negara awal munculnya gerakan ini, Jepang telah terbukti berhasil dengan program One Village One Product nya. Gerakan ini dimulai di Oita Perfecture pada tahun 1997. Dalam konsep
OVOP, masyarakat Jepang harus dapat menghasilkan barang-barang terpilih dengan nilai tambah tinggi. Satu Desa menghasilkan satu produk utama yang kompetitif sebagai suatu usaha meningkatkan
pendapatan dan standard kehidupan penduduk di desa tersebut. Diantara produk yang berhasil dikembangkan dengan pendekatan OVOP di Oita Prefecuture adalah Jamur Shitake, jeruk kabasu, green
house mikan, beef, aji, dan barley (shochu). Jamur Shitake merupakan salah satu contoh produk unggulan yang berhasil dikembangkan di Oita Prefecture.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kunci kesuksesan Jepang dalam pengelolaan program ini adalah adanya identifikasi sumber daya lokal yang baik di tambah dengan optimalisai pemanfaatan
keterampilan lokal. Kedua hal ini didukung penuh oleh semua stakeholder yang terdiri dari masyarakat, pemerintah, dan swasta sehingga menghasilkan produk-produk yang bisa bersaing di tingkat
internasional. Hasil akhirnya, kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan yang signifikan.
THAILAND
Gerakan sejenis OVOP juga dikembangkan di Thailand dengan nama One Tambon One Product (OTOP). One Tambon One Product (OTOP) adalah program stimulus kewirausahaan lokal yang
didisain oleh Perdana Menteri Thailand, Taksin Sinawat tahun 2001-2006. Program ini ditujukan untuk mendukung produk-produk lokal yang unik dan dipasarkan oleh Thambon (subdistrict). Program
ini dijalankan setelah melihat Jepang berhasil menjalankan program One Vilage One Product (OVOP). OTOP di Thailand membantu masyaakat pedesaan untuk memperbaiki kualitas produk lokal dan
pemasarannya melalui penyediaan promosi di tingkat lokal dan internasional. Dalam menjalankan program ini, pendekatan OTOP Thailand dimulai dengan memilih satu produk yang paling superior diantara
produk-produk yang ada di desa itu, dan setiap produk diberikan branding "bintang produk OTOP". Produk-produk OTOP Thailand mencakup kerajinan, baju cotton dan sutra, barang-barang tembikar,
asesori fashion,barang-barang rumah tangga, dan makanan.
Identifikasi potensi yang diusulkan daerah untuk dikembangkan dengan pendekatan OVOP
Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan/prosesing (value Chain)
Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha/business matching serta promosi produk: local, nasional dan
2011 internasional
Peningkatan Supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan study banding.
Tahap Ketiga (Lanjutan) Tahun 2013
Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan (Value Chain)
2012 Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha serta promosi produk; lokal, nasional dan Internasional
Peningkatan supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan studi banding.
Tahun Ke empat (Peningkatan berkelanjutan) Tahun 2013
Peningkatan dan perluasan pendampingan komunitas masyarakat local sesuai dengan potensi ekonomi daerah
Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan dan packaging
2013 Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh(budaya, produk dan potensi alam) di tingkat Provinsi
Peningkatan promosi produk unggulan OVOP secara nasional dan internasional(fairs, events, festival)
Tahun ke 5 (lanjutan) tahun 2014
Peningkatan dan perluasan pendampingan komunitas masyarakat lokal sesuai dengan potensi ekonomi daerah
Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industri pengolahan dan packaging
2014 Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh (budaya, produk dan potensi alam) di tingkat Provinsi
Peningkatan promosi produk unggulan OVOP secara nasional dan internasional (fairs, events, festival)
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia
OVOP di Indonesia umumnya adalah UKM yang konsisten menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan terus mendapat bimbingan serta aneka bantuan
dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan produk yang dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara. Dimana produk-produknya mencerminkan keunikan suatu daerah atau desa. Dengan keunggulan
yang dimiliki, maka produk tersebut dapat meningkatkan pendapatan bagi daerahnya melalui kunjungan turis, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan Sumber Daya Manusia.
Sampai tahun 2013, Program One Village One Product sudah menjangkau 30 (tiga puluh) provinsi di Indonesia. Pada tabel di bawah ini, diuraikan pencapaian program OVOP mulai tahun 2009:
Tabel 2. Sebaran Daerah program One Village One Village
NO Tahun Jumlah Provinsi/Kabupaten Nama Provinsi/Kabupaten
5. Peranan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pengembangan program One Village One Product di Indonesia
Badan Usaha Milik Desa adalah Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomi desa dan di bentuk berdasarkan kebutuhan dan
potensi desa. Pendirian BUMDes dilandasi oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.Tujuan Pendirian BUMDes adalah (1) Meningkatkan
perekonomian desa, (2) Meningkatkan pendapatan asli desa, (3) Meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat (4) Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi desa.
Bila melihat tujuan didirikannya di atas, keberadaan BUMDes dan program OVOP dapat berjalan beriringan. Melihat kewenangan yang diberikan presiden pada desa untuk mengelola ekonominya
ditambah dengan alokasi dana desa yang sangat besar, diharapkan melalui BUMDes dapat menggenjot kedaulatan pangan, memfokuskan kemadirian dan peningkatan kompetensi desa ke program One
Village One Product.
Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dapat menjadi media pengembangan
OVOP. Meskipun BUMDES dapat menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh desa dan atau kerjasama antar desa, namun BUMDES juga dapat bersifat
spesifik untuk mengembangkan satu produk unggulan desa. BUMDES dapat bertindak sebagai lembaga penyedia permodalan, lembaga pemasar hingga penyedia bahan baku. Dengan pengelolaan
BUMdes yang baik mulai dari dari transparansi pengelolaan keuangan hingga pertanggung jawaban di hadapan penduduk desa akselerasi OVOP melalui BUMDes akan menjadi keuntungan tersendiri bagi
masyarakat desa.
Kementerian/Lembaga Fokus
Kementerian perindustrian 17 Propinsi (Fokus pada industri kecil menengah pada sentra kerajinan)
Kementerian pembangunan daerah tertinggal 183 kabupaten tertinggal dengan nama program unggulan kabupaten
• OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada masalah pemetaan produk yang layak disebut OVOP
• Produk OVOP kebanyakan belum mampu menembus pasar dunia
Target gerakan OVOP ini adalah untuk mereduksi jurang pemisah pembangunan di kota dan pedesaan dengan mengembangkan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Diharapkan program ini dapat
menghidupkan kembali vitalitas kehidupan di pedesaan lewat kegiatan ekonomi yang sesuai skala dan ukuran perdesaan tanpa ketergantungan tinggi terhadap pemerintah.
Sampai sekarang, program One Village One Product ini masih terus berjalan. Mulai tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan ada 500 OVOP sampai tahun 2020.
Sejak diluncurkan, telah ada 100 OVOP yang dikelola oleh Koperasi dan telah difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Dari 100 OVOP, 50 diantaranya sudah berhasil menembus pasar internasional,
dan yang dinilai paling berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya di Pontianak.
Dibawah ini akan diuraikan success story ke 3 (tiga) daerah tersebut:
1. Kabupaten Badung, Bali
• Produk unggulan asparagus, dengan kualitas terbaik di Indonesia
• Kabupaten Badung mendapatkan penghargaan Penggiat Pengembangan Produk Unggulan daerah melalui pendekatan OVOP (One Village One Product) Terbaik Tingkat Nasional.
• Keberhasilan Badung ini tidak lepas dari support dari Pemkab Badung, kementerian Koperasi UKM bersama International Coorporation and Development Fund (ICDF) Taiwan dalam pengembangan
tanaman sayuran asparagus sebagai komoditi unggulan di Badung
• Telah terbukti berhasil mengurangi disparitas pendapatan penduduk di Kabupaten Badung.
2. Bawang Goreng, Palu
• Bawang goreng merupakan produk unggulan OVOP Kota Palu
• Memiliki kualitas terbaik di Indonesia dan memiliki SNI dan diminati dunia internasional.
• Rasanya lebih renyah dan kering, musim tanamnya tidak putus sepanjang tahun.
• Dikelola oleh koperasi Magau Bulava dalam proses produksi dan dalam pemasaran dengan KONTRA Korea.
• Produk ini sudah menjadi produk ekspor ke sampai Korea Selatan.
• Kunci kesuksesan adanya kerjasama yang baik antara pemeritah pusat, provinsi, kabupaten/kota, koperasi, dan masyarakat.
3. Lidah buaya, Pontianak
• Lidah buaya menjadi icon kota Pontianak sekaligus Kalimantan Barat
• Merupakan komoditas ekspor ke Jepang, Hongkong, taiwan, Singapura, Malaysia, dan Brunei Drussalam.
• Pendapatan petani lidah buaya mengalami peningkatan.
• Industri lidah buaya di Kota Pontianak juga berhasil menambah lapangan kerja masyarakat.
• Produk OVOP dengan merek dagang sun vera memproduksi aneka makanan dan minuman berbahan utama lidah buaya. Seperti agar-agar, kerupuk, dodol, sabun, bakso , nasi kering dan kue basah
hingga aneka kerajinan dari kulit lidah buaya
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa kunci kesuksesan ketiga daerah tersebut diatas adalah kualitas produk yang baik dan unik, Kelembagaan koperasi yang mantap, kerjasama yang baik antara
pemerintah pusat dan daerah, kerjasama inovasi dengan perguruan tinggi, dan kemasan produk yang menjual, serta pemenuhan prasyarat untuk pasar internasional.
Program OVOP di Indonesia sendiri masih menghadapi banyak masalah diantaranya:
a) OVOP Indonesia masih berada pada tahap pencarian government structure yang tepat untuk membuat program berjalan sesuai tujuan.
b) Belum adanya sinergi antar sektor sehingga masing-masing kementerian memiliki program OVOP dengan konsep dan daerah rintisan masing-masing. Akibatnya, terjadi ego sektoral dan tanggung jawab
lembaga hanya sebatas pada proyek percontohan
c) OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada masalah pemetaan produk yang layak disebut OVOP.
d) Indonesia baru memasuki ranah kebijakan, itupun baru sebagian kabupaten/kota yang menerapkannya sehingga untuk bersaing dalam tataran global seringkali mengalami kendala akibat diversifikasi
produk yang belum optimal.
e) Jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Indonesia yang mencapai 70 ribu desa maka jumlah desa yang menerapkan OVOP masih relatif kecil. Tidak mudah mengembangkan usaha dan/atau
kemampuan lain diluar apa yang telah menjadi kebiasaan masyarakat selama ini, khususnya dalam bidang industri mikro dan kecil.
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
1) Gerakan OVOP (One Village One Product) atau satu desa satu produk (SDSP) merupakan suatu gerakan sosial yang tumbuh dari bawah ke atas (bottom up) dan mulai dikembangkan oleh Morihiko
Hiramatsu, seorang mantan pejabat MITI yang terpilih menjadi Gubernur Oita di Jepang pada tahun 1979.
2) Model OVOP difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada
suatu daerah. Pengertian sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi manusia.
3) Sejak tahun 2007, sudah ada 51 negara yang mengadopsi OVOP diantaranya negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur. Negara yang dianggap paling berhasil dengan
penerapan program ini adalah Jepang dan Thailand.
4) Sampai tahun 2013, Program One Village One Product di Indonesia sudah tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan berbagai macam produk unggulan masing-masing. Daerah di
Indonesia yang dianggap paling berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya di Pontianak.
5) Kunci kesuksesan ketiga daerah tersebut diatas adalah kualitas produk yang baik dan unik, Kelembagaan koperasi yang mantap, kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, kerjasama
inovasi dengan perguruan tinggi, dan kemasan produk yang menjual, serta pemenuhan prasyarat untuk pasar internasional.
6) Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dapat menjadi media pengembangan OVOP.
7) Program OVOP di Indonesia sendiri masih menghadapi banyak masalah diantaranya belum adanya sinergi antar sektor sehingga masing-masing kementerian memiliki program OVOP dengan konsep
dan daerah rintisan masing-masing. Akibatnya, terjadi ego sektoral dan tanggung jawab lembaga hanya sebatas pada proyek percontohan
2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang ditawarkan untuk lebih menyukseskan program OVOP ini adalah:
1) Agar dapat mengikuti kesuksesan Jepang, Indonesia perlu mengadopsi kemudian memodifikasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh negara tersebut. Misalnya yang telah dilakukan oleh Jepang
yang memiliki kantor-kantor publik baik pemerintah pusat maupun daerah yang berfungsi sebagai fasilitator kegiatan OVOP berupa inovasi teknis, produksi, dan pemasaran.
2) Perlunya dukungan penuh seluruh stakeholder seperti pemerintah, swasta dan masyarakat dalam rangka pengomptimalan program OVOP ini. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Thailand dimana semua
stakeholder bersinergi untuk mempromosikan produk lokal untuk bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
3) Diharapkan adanya sinergi lintas sektor untuk membuat program ini berhasil, tidak kemudian mengedepankan ego sektoral yang justru membuat masing-masing kementerian memiliki program OVOP
dengan daerah rintisan masing-masing yang berjalan sendiri-sendiri.
4) Program OVOP perlu dikembangkan untuk menambah kapasitas modal pelaku usaha mikro di daerah dengan menggenjot peningkatan kualitas produk unggulan yang bisa diproduksi oleh suatu desa.
Badan Usaha Milik Desa bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kendala modal yang selama ini menjadi kendala utama usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia.
5) Diharapkan adanya sosialisasi regional yang akan membuat adanya sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta teridentifikasinya problem, potensi dan kelayakan pengembangan
produk andalan setempat.
6) Penyusunan program yang tidak hanya dititikberatkan pada pengembangan teknis produksi, desain dan pemasaran, tetapi juga harus dapat lebih membangun motivasi
dan kesadaran masyarakat untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan potensi yang
dimiliki dalam menghasilkan produk yang baik dan dapat bersaing di pasar global.
7) Perlunya perbaikan menyeluruh pada kualitas produk, mulai dari perijinan, kemasan, produk hingga citarasa. Agar bisa bersaing dengan pasar asing, produk OVOP perlu menerapkan standar
internasional untuk meningkatkan produk unggulan tanah air OVOP adalah suatu gerakan bukan proyek.
Referensi
• Triharini et al Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembankan Potensi Kerajinan daerah studi Kasus : Kerajinan gerabah di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta.
• Cahyani, Rusnandari Retno. Pendekatan One Village One Product Untuk Meninkatkan Kreativitas UMKM dan Kesejahteraan Masyarakat.
• paparan Deputi Menteri Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM.Pengembangan Produk Unggulan Daerah melalui Pendekatan One Village One Product (OVOP).
• http://www.asiaseed.org/apec2006sme/presentation_pdf/session1_natiya_1.pdf
• http://asparagusovopbali.blogspot.com/
• http://www.kompasiana.com/purwandi_wawan/akselerasi-ovop-melalui-badan-usaha-milik-desa-bumdes_58e4c4a8759373e86bfdbf91
• Hanitokreasindoo.blogspot.co.id
I. Latar Belakang
a. Kondisi DKI Jakarta saat ini
DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pemerintahan dengan jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dengan kepadatan penduduk 15.234 orang per km²,
dikelilingi dengan kawasan permukiman Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) . Dari hasil survey komuter Jabodetabek tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak
3.566.178 orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah / kursus di DKI Jakarta 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek.
b. Permasalahan
Kemacetan sebagai salah satu masalah yang belum teratasi di DKI Jakarta yang disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Rasio kendaraan pribadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan rasio kendaraan umum.
Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% untuk kendaraan pribadi dan 2% adalah kendaraan umum. Padahal idealnya rasio antara kendaraan pribadi dan kendaraan
umum adalah 35% dan 65%.
Penurunan minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, berbeda dengan adanya peningkatan masyarakat sebagai pengguna kendaraan pribadi.
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa telah terjadi penurunan minat di masyarakat dalam menggunakan transportasi umum hingga mencapai 12,8%, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat
pengguna kendaraan pribadi yang justru menunjukkan peningkatan sekitar 11%.
Tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit, panjang jalan di DKI Jakarta 6.956.842, 26 meter, luas jalan di DKI Jakarta 48.502.763,16 m². Panjang jalan menurut jenisnya
jalan kota administrasi sepanjang 5.117,26 km, jalan provinsi sepanjang 1.562,28 km, jalan negara sepanjang 152,57 km dan jalan tol sepanjang 123,73 km.
Jumlah penumpang bus TransJakarta pada tahun 2013 112.522.638 dengan nilai pendapatan 369.426.421.500.
Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2014 : sepeda motor 13.084.372, mobil berpenumpang 3.266.009, mobil beban 673.661, mobil bis 362.066, dan kendaraan khusus 137.869. Pertumbuhan
kendaraan bermotor selama lima tahun terakhir mencapai 9,93 persen per tahun. Jika dirinci menurut jenis kendaraan, sepeda motor mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 10,54 persen per
tahun, mobil penumpang 8,75 persen, mobil beban 4,46 persen, mobil bus 4,46 persen.
Angkutan taksi pada 2014 27.079 unit bus pariwisata 4648 bus, bus antar kota 3.322 bus, angkutan lingkungan 14.424 kendaraan.
Jumlah armada Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek sebanyak 664 unit pada 2014 dengan mengakut lebih dari 500 ribu penumpang setiap hari.
Permasalahan kemacetan di Jakarta tidak dapat diselesaikan hanya dengan melihat pada satu sisi saja. Kompleksitas permasalahan kemacetan memerlukan berbagai macam sudut pandang serta langkah-
langkah yang terukur untuk menemukan solusinya. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang menyeluruh dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut.
Perencanaan secara umum merupakan suatu proses yang mengorganisir atau mengatur semua aktifitas untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan diperlukan karena umumnya sumber daya yang dimiliki
terbatas, batasan waktu pencapaian tujuan yang terbatas, serta diperlukan untuk menyatakan dengan jelas tujuan bersama agar tidak menuai konflik dan perbedaan pendapat (Veneklassen, 2002). Berdasarkan
pendekatan perencanaan, Hudson (1979) membagi perencanaan menjadi perencanaan synoptik, perencanaan inkremental, perencanaan transactif, perencanaan advokasi, serta perencanaan radikal. Tulisan ini
hanya akan membahas konsep perencanaan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta melalui pendekatan advokasi.
Konsep perencanaan advokasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Davidoff dalam tulisannya yang berjudul “Advocacy and Pluralism in Planning” yang diterbitkan di Journal of the American Institute of
Planners tahun 1965. Konsep perencanaan advokasi pada dasarnya meragukan adanya kesatuan kepentingan umum dan ada kepentingan lain yang belum terwakili dalam proses perencanaan. Davidoff dalam
Angotti (2007) menjelaskan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat akan memiliki kebutuhannya masing-masing, sehingga akan memiliki visi dan misi yang berbeda terhadap perencanaan.
Selain itu, Davidoff dalam Angotti (2007) memaparkan bahwa harus ada seorang perencana yang mampu menjadi “advokat” atau pengacara untuk dapat membantu menyalurkan keinginan dan kebutuhan dari
“klien” atau dalam hal ini kelompok masyarakat miskin atau termarjinalkan, agar permasalahan mereka dapat dimasukkan ke dalam perencanaan kota. Para perencana ini akan bertindak sebagai wakil untuk
membuat atau menyusun perencanaan atas nama kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut. Perencanaan advokasi dinilai cukup berhasil dalam menghadapi kebijakan – kebijakan publik serta
permasalahan yang tidak sensitif dan merugikan masyarakat yang termarjinalkan (Hudson, 1979).
Seringkali kita harus melakukan advokasi sebagai bagian penting dalam strategi program. Dalam hal ini berbicara tentang advokasi. Intinya, advokasi merupakan proses untuk mempengaruhi pengambil
kebijakan. Ia dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi program, karena untuk mencapai hasil yang kita inginkan kita memerlukan pendekatan yang lebih luas, dan menyasar kepada penyebab majemuk.
Menurut Johns Hopkins (1990) Advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.
B. TUJUAN ADVOKASI
Tujuan utama dari pendekatan advokasi adalah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dengan mengakomodasi gagasan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Proses advokasi juga
berarti bahwa masyarakat akan selalu mendapat informasi yang akurat berkenaan dengan perencanaan yang diajukan dan mampu merespon umpan balik dari masyarakat dalam bahasa teknis. Perencana sebagai
advokat akan bertindak sebagai penyaji informasi, analisis situasi sekarang, pendorong ke arah masa depan, dan pemrakarsa akan solusi yang spesifik.
Namun demikian, pendekatan advokasi hanya memiliki pengaruh kecil pada struktur yang sedang berjalan. Richard Hart, salah seorang penganut strategi ini mengkritik perencanaan advokasi bahwa
penduduk miskin tidak memiliki kekuasaaan untuk mengontrol tindakan sehingga dianggap pendekatan ini tidak menawarkan strategi yang potensial yang dapat menimbulkan perubahan.
Di Indonesia, bentuk-bentuk advokasi banyak dilakukan oleh LSM yang melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya misalnya dalam pada masalah
pencemaran lingkungan, sengketa ganti rugi tanah, kasus penggusuran, dll. dengan adanya pendamping an LSM, masyarakat menjadi lebih berani memperjuangkan haknya.
Metode atau cara dan teknik advokasi untuk mencapai tujuan ada bermacam-macam, yaitu :
1. Lobi politik ( political lobying )
2. Seminar/presentasi
3. Media
4. Perkumpulan
C.SASARAN ADVOKASI
Sasran advokasi seperti yang kita ketahui adalah sebagian besar yaitu masyarakat sendiri yang kurang tentang pengetahuan.
Selain masyarakat secara umum, secara khusus kita dapat melakukan advokasi terhadap intansi – intansi yang terkait.
Kita juga dapat melakukan advokasi kepada pemerintah jika menyangkut keberadaan peraturan yang berlaku.
D. SALURAN ADVOKASI
Semua ide dapat dikomunikasikan melalui berbagai cara misalnya dengan menulis surat, menelepon, berkunjung, buletin, demonstrasi, laporan di media baik media cetak atau elektronik dan sebagainya.6
Badan legislatif/legislator dapat merupakan saluran apabila tujuan akhir yang diinginkan adalah perbaikan situasi yang memerlukan adanya pemberlakuan undang-undang. Jadi selain dapat berfungsi sebagai
sasaran, ia juga dapat berperan sebagai saluran advokasi. Saluran apa yang akan dipakai tentunya bergantung pada lingkup masalah, siapa yang melakukan advokasi, siapa yang diwakili serta siapa yang akan
menjadi sasaran advokasi tersebut. Semakin kuat posisi oposisi, tentu dibutuhkan saluran yang bervariasi, yang tentunya membutuhkan dana yang cukup besar.
Dibandingkan dengan saluran advokasi lainnya, media merupakan saluran yang sangat efektif dalam advokasi karena media menjangkau lebih banyak sasaran advokasi, dan juga orang-orang atau instansi
yang bisa menjadi saluran, bahkan masyarakat yang diwakili. Ada beberapa bentuk pemanfaatan media untuk advokasi, antara lain media advisory, press release, surat kepada editor, the op-ed, editorial dan
memberikan wawancara.
Media advisory digunakan untuk mengingatkan atau memberikan informasi kepada media tentang kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kita. Media advisory harus ringkas, sederhana, mencakup beberapa
hal antara lain: Apa, siapa, kapan, di mana, dan sponsor bila ada. Selain itu yang paling penting harus berisi informasi mengapa kegiatan tersebut sangat penting dan perlu diliput oleh media.
The op-ed merupakan tulisan tentang isu tersebut yang dibuat oleh seseorang, siapa pun, tentunya yang mempunyai kompetensi untuk menulis isu tersebut. Di media nasional biasanya ditulis oleh seseorang
yang cukup terkenal di bidang tersebut.
Dalam advokasi peran komunikasi sangat penting,sehingga komunikasi dalam rangka advokasi kesehatan memerlukan kiat khusus agar komunikasi efektif.Kiat-kiatnya antara lain sebagai berikut :
1. Jelas ( clear )
2. Benar ( correct )
3. Konkret ( concrete )
4. Lengkap ( complete )
5. Ringkas ( concise )
6. Meyakinkan ( Convince )
7. Konstekstual ( contexual )
8. Berani ( courage )
9. Hati –hati ( coutious )
10. Sopan ( courteous )
Prinsip dasar Advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik,tetapi mencakup kegiatan persuasif ,memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan pressure atau tekanan kepada para pemimpin
institusi.
Ruang lingkup advokasi sangat bervariasi. Bisa bersifat lokal, nasional bahkan internasional. Kasus yang sebenarnya bersifat lokal kadang menjadi kasus nasional karena pada kenyataannya pihak oposisi
melibatkan instansi yang bersifat nasional. Sebaliknya kasus yang bersifat nasional, dapat ditarik oleh seorang pemerhati menjadi kasus lokal atau bahkan dalam dimensi yang lebih sempit misalnya ke dalam
lingkup instansi.
Proyek 6 Ruas Tol Dalam Kota Tetap Berjalan, Investor Siap Talangi Dana Lahan
JIBI/Abdullah Azzam
Bisnis.com, JAKARTA—PT Jakarta Tollroad Development (JTD) siap melakukan percepatan konstruksi enam ruas tol dalam kota DKI Jakarta senilai total Rp41,17 triliun setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) memutuskan untuk tetap melanjutkan proyek tersebut.
Direktur Utama JTD Frans S. Sunito mengungkapkan pihaknya telah melakukan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk membahas masalah ini. Dalam pertemuan tersebut,
dia meyakinkan Gubernur Ahok bahwa proyek ini telah memiliki Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang sah sejak 2014.
Dia juga menjelaskan bahwa proyek tol ini telah termasuk ke dalam 47 ruas tol yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3
Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
“Pada prinsipnya gubernur ingin tol ini berjalan. Masalahnya memang pembebasan lahan, kami menyadari anggaran pemerintah juga terbatas. Untuk itu kami bisa berikan dana talangan asalkan sudah ada regulasi
yang jelas mengenai mekanismenya pengembaliannya,” ujarnya.
Meski demikian, dia belum bisa memaparkan lebih rinci mengenai alokasi dana yang disiapkan untuk pembebasan lahan. Menurutnya, besaran dana tersebut sangat tergantung dari nilai tanah, mekanisme termasuk
jangka waktu pengembalian yang dijanjikan pemerintah.
Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa surat yang diajukan Gubernur Ahok ke Kementerian PUPR bukan mengenai pembatalan proyek tol menjadi jalan nasional, seperti yang banyak diberitakan oleh media.
Namun, surat tersebut menyatakan permohonan pembatalan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengadaan lahan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta, karena jalur tol layang itu akan dibangun
di atas jalan provinsi yang juga memerlukan pembebasan lahan supaya bisa dilebarkan.
“Sekarang koordinasi sudah terjadi. Gubernur juga telah mengeluarkan pergub mengenai mana lahan lokasi tol yang akan menjadi jalan nasional, dan mana lahan untuk jalan provinsi. Jadi sebenarnya solusinya
sudah ada,” ujarnya.
Selain itu, JTD juga telah mengirimkan surat kepada Kementerian PUPR yang menyatakan siap untuk melakukan percepatan konstruksi. Dalam surat tersebut, pihaknya menyatakan telah memulai konstruksi awal
berupa pemancangan pondasi di Pegangsaan II, yang menjadi bagian dari pembangunan Tahap I ruas Semanan—Sunter—Pulogebang segmen Kelapa gading—Pulogebang.
Frans menambahkan saat ini pihaknya juga tengah menjajaki pinjaman yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kepada sindikasi perbankan yang salah satunya terdiri dari Bank Mandiri.
Berdasarkan rencana perusahaan, pembiayaan tol ini akan berasal dari 30% atau sekitar Rp12,35 triliun ekuitas perusahaan dan 70% atau sekitar Rp 28,81 triliun pinjaman.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan pihaknya tetap menjalankan proyek ini sesuai acuan kontraktual yang berlaku. Dia juga menyatakan telah menerima surat dari JTD
tentang percepatan pembangunan proyek enam ruas tol dalam kota.
“Sebetulnya tidak ada yang berubah. Kemarin itu hanya untuk menekankan saja bahwa proyek harus tetap berjalan. Kami juga sudah mulai proses pengadaan lahan, ,” ujarnya ketika ditemui di Kementerian PUPR
akhir pekan lalu.
Pihaknya menegaskan meskipun dana lahan senilai Rp1,4 triliun di Kementerian PUPR telah terserap seuruhnya, tetapi proses negosiasi di lapangan mulai berjalan. Pihaknya tengah mengusahakan pencairan dana
Badan Layanan Umum (BLU) senilai Rp2,4 triliun ke Kementerian Keuangan.
Dia mengungkapkan proses penandatanganan kontrak untuk proyek ini telah lama berjalan, sejak 24 Juli 2014. Sebagian besar lahan tol layang tersebut, ujarnya, menggunakan jalan provinsi yang telah ada,
sehingga lahan yang perlu dibebaskan hanya sekitar 30%.
Dia mengakui tertundanya pembangunan tol ini akibat pengadaan lahan yang tersendat dapat meningkatkan biaya investasi dan estimasi kebutuhan dana tanah. Untuk itu dia menyatakan terbuka terhadap
penghitungan ulang biaya investasi, seperti yang dimungkinkan oleh PPJT.
Berdasarkan data BPJT, PPJT jalan tol 6 ruas tol dalam kota telah diteken sejak 25 Juli 2014 oleh Kementerian PUPR dengan PT Jakarta Tollroad Development. JTD ini merupakan konsorsium yang terdiri dari 12
pemegang saham, antara lain PT Pembangunan Jaya Tol (0,00075%), PT Pembangunan Jaya (9%), PT Jakarta Propertindo (7%), PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (15,99%), PT Pembangunan Jaya
Ancol Tbk (22,5%), PT Jaya Land (3,5%), PT Pembangunan Perumahan Tbk (3%), PT Wijaya Karya Tnk (5%), PT Hutama Karya Tbk (5%), PT Hutama Karya (3%), PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (8%)
dan PT Adhi Karya (3%).
Adapun jadwal konstruksi Tahap I terdiri dari dua ruas, yakni Semanan-Sunter dan Sunter—Pulogebang. Konstruksi Semanan—Sunter dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2015 hingga Juni 2018, sementara
Sunter—Pulogebang dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2016 hingga Desember 2018. Adapun keempat ruas tol lainnya akan dibangun secara bertahap hingga 2022.
Tahap pertama
Ruas Koridor Sunter-Bekasi raya sepanjang 11 km dengan nilai investasi Rp 7,37 triliun.
Tahap kedua
Ruas Duri pulo-kampung Melayu sepanjang 11,38 km dengan nilai investasi Rp 5,96 triliun.
Tahap Ketiga
Ruas koridor Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,27 km dengan nilai investasi Rp 4,25 triliun.
Tahap keempat
Ruas Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 km dengan nilai investasi Rp 5,71 triliun.
http://pkps.bappenas.go.id/ 24 perusahaan minati 6 ruas tol dalam kota, diakses pada 11 oktober 2016 pukul 22.12
Tol ini akan terkoneksi dengan jalan layang non tol di Casablanca, dengan lebar jalan masing-masing 25,8 meter. Masing-masing ruas akan dilengkapi jalur busway yang akan dilantasi bus umum di kanan dan
kiri tol
Tol ini diperkirakan akan memakan biaya investasi Rp 41,17 triliun, mencakup Rp 20,62 triliun dan Rp 5,48 triliun untuk lahan.
Tarif tol ini diperkirakan untuk tahap I (2017) mencapai Rp 31.339 (golongan I), Tahap I dan II (2019) Rp 46.579, dan tahap I, II, III (2020) Rp 50.591 km. Investor proyek ini akan mendapat konsesi selama 45
tahun.
Enam ruas tol ini rencananya akan dimulai dibangun Juli 2015, dan total keseluruhan selesai pada 2022, yang dikembangkan oleh PT Jakarta Tollroad Development (JTD).
http://finance.detik.com/ dibangun 2015, ini lokasi keluar-masuk mobil di 6 ruas tol dalam kota Jakarta diakses pada 11 Oktober 2016 pukul 22.17
Proses menyebarluaskan hasil kajian dan melakukan advokasi, dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:
(1) menyusun ringkasan hasil penelitian atau membuat risalah kebijakan;
(2) mempublikasikan ringkasan hasil penelitian dan risalah kebijakan tersebut melalui blog pribadi, website, koran, dan majalah;
(3) mendiseminasikan hasil-hasil penelitian ke berbagai stakeholderkunci, melalui kegiatan road-show ke daerah, workshop, dan dialog publik (news cape BaKTI);
(4) melakukan konferensi pers dan menerima wawancara dengan media massa;
(5) merancang pertemuan dengan para pengambil kebijakan kunci; dan
(6) mendampingi para pengambil kebijakan dalam mendesain, memfomulasi, dan mengimplementasikan rencana-rencana aksi.
Secara umum, proses mengadvokasikan hasil-hasil kajian kepada para pengambil kebijakan ternyata tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Terdapat begitu banyak tantangan, namun jika
tantangan tersebut bisa kita atasi, maka peluang keberhasilannya menjadi sangat besar. Tantangan-tantangan dimaksud, antara lain:
Pertama, kemampuan untuk memilih “isu-isu yang menarik dan seksi”, baik bagi para pengambil kebijakan maupun bagi publik. Para advokator harus memiliki kepekaan untuk menemukan isu-isu
yang menimbulkan minat dan membuat para pengambil kebijakan tertarik dan antusias. Hingga saat ini, isu-isu penanggulangan kemiskinan, pengentasan anak jalanan dan gelandangan, perbaikan
kualitas manusia, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, tetap merupakan isu-isu yang diminati oleh para pengambil kebijakan.
Kedua, para pengambil kebijakan seringkali lebih berfokus pada “siapa yang menyampaikan” ketimbang “apa yang disampaikan”. Persepsi pengambil kebijakan terhadap figur advokator seringkali
menjadi faktor penentu keberhasilan proses advokasi. Ketika pengambil kebijakan tidak lagi meragukan kapasitas dan kapabilitas sang advokator, substansi kebijakan yang diadvokasikan akan
memperoleh tempat dan mendapatkan perhatian penuh.
Ketiga, proses advokasi tampaknya akan jauh lebih mudah jika sudah ada “hubungan” yang terbangun, sebelum proses advokasi dimulai. Ikatan kekerabatan-sosial dan emosional yang terjalin jauh
sebelum proses advokasi dilakukakan seringkali menjadi faktor yang membuka dan memuluskan jalan bagi proses advokasi.
Keempat, rekomendasi kebijakan juga harus disampaikan secara “lisan”, melengkapi penyampaian secara “tertulis”. Para advokator harus memahami dua kondisi yang dialami oleh para pengambil
kebijakan, yaitu:
(1) tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca hasil-hasil kajian, sekalipun sudah dalam bentuk ringkasan eksekutif (executive summary); dan
(2) lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan secara lisan ketimbang secara tertulis. Cara ini juga seringkali diinginkan oleh para pengambil kebijakan untuk membangun dialog guna
memperjelas pesan yang disampaikan.
Kelima, rekomendasi kebijakan harus bermain di level “kegiatan”, bukan level ‘kebijakan”. Dengan kata lain, rekomendasi kebijakan harus ‘operasional” dan sebaiknya “tidak normatif”. Para pengambil
kebijakan cenderung mengabaikan rekomendasi kebijakan yang bersifat verbal dan normatif. Ini mudah dipahami, karena rekomendasi kebijakan semacam itu masih menuntut elaborasi lebih lanjut
dari pengambil kebijakan, sesuatu yang seringkali dihindari oleh para pengambil kebijakan. Terlalu sering kita dengarkan ucapan yang keluar dari mulut para pengambil kebijakan: “beritahu saya apa
yang harus saya lakukan”. Ucapan ini lebih berkonotasi “kegiatan-operasional” ketimbang “kebijakan-normatif”.
Keenam, seluruh rekomendasi kebijakan dan desain program harus tampak simple dalam ‘implementasi”. Para pengambil kebijakan cenderung menghindari rekomendasi kebijakan yang rumit,
kompleks, melibatkan banyak pihak, membutuhkan anggaran besar, dan berdimensi jangka panjang. Rekomendasi kegiatan berupa pemberian susu gratis pada saat gerak jalan santai misalnya, lebih
cepat direspon oleh para pengambil kebijakan ketimbang rekomendasi kebijakan mengenai penanganan gizi buruk misalnya.
Perencanaan
Bagian terpenting dari advokasi adalah aspek perencanaannya. Sebuah perencanaan lengkap yang kita sebut sebagai kerangka kerja (framework) advokasi yang mancakup hasil analisis kasus sesuai isu, aktivitas,
dan situasi yang mempunyai peran dalam suatu advokasi. Kerangka kerja ini sangat diperlukan mengingat advokasi merupakan jalinan interaksi dari berbagai pihak, aktivitas dan situasi. Kerangka kerja advokasi
terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
1. Identifikasi dan memahami masalah, yang akan diangkat menjadi isu strategis. Kriteria penentuan isu strategis meliputi:
a. masalah yang paling prioritas dirasakan oleh stakeholder lokal dan mendapat perhatian publik dikaitkan dengan hasil penelitian,
b. masalahnya mendesak (aktual) dan sangat penting untuk diberi perhatian segera, jika tidak diatasi akan segera berakibat fatal di masa depan,
c. relevan dengan masalah-masalah nyata dan aktual yang dihadapi oleh masyarakat (sedang hangat atau sedang menjadi perhatian masyarakat).
1.
a. Aktual : apakah isu ini sedang jadi pusat perhatian?
5. Analisis SWOT
Metode perencanaan strategi menggunakan analisis SWOT: Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats yang dirancang untuk membantu mengidentifikasi kekuatan internal, kelemahan organisasi atau
kelompok dalam hubungannya dengan peluang dan ancaman yang ditemui dalam pelaksanaan kerja.
Peluang kerjasama ini dimaksudkan untuk membangun konstituen dalam hal mendukung keberhasilan advokasi. Semakin besar basis dukungan, semakin besar peluang keberhasilan. Kita perlu membangun aliansi
dengan berbagai kelompok dan memanfaatkan berbagai media, antara lain membangun jejaring dengan organisasi melalui kegiatan-kegiatan bersama, pertemuan publik, media-media sosial, serta menggunakan
jaringan berbasis internet.
Pelaksanaan
Pelaksanaan advokasi mencakup banyak kegiatan, baik berurutan maupun serempak. Satu tujuan yang dapat diraih dengan melakukan beberapa hal secara serentak dan saling mendukung. Dalam pelaksanaannya
setelah disusun kerangka kerja lengkap, kegiatan advokasi yang dapat dilakukan antara lain:
Berbagai pendekatan model komunikasi untuk mendefinisikan advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik dan masing-masing memiliki proses berbeda-beda, sebagai berikut:
a. Legislasi, upaya yang dilakukan adalah di level legislatif dengan membangun payung hukum, misalnya legal drafting dan judicial review.
b. Birokrasi, dilakukan untuk mengusulkan dan memperbaiki tata laksana suatu peraturan/payung hukum di level eksekutif pemerintah (melalui lobby, mediasi, audiensi, kapasitasi, dll) sehingga terjadi peningkatan
pelayanan.
c. Sosialisasi dan Mobilisasi, dilakukan untuk membangun suatu budaya (terutama budaya hukum) di masyarakat sebagaistakeholder utama (melalui pengembangan program komunikasi partisipatif, kampanye,
penggalangan dukungan basis masa/networking, tekanan sosial, dll).
Kegiatan evaluasi dan monitoring terjadi selama proses advokasi dilakukan, sebelum melaksanakan advokasi perlu ditentukan bagaimana akan memantau rencana pelaksanaannya. Dalam hal ini indikator sebagai
ukuran kemajuan dan hasil yang dicapai, perlu dipersiapkan.Dapatkah kita secara realistis mengharapkan untuk membawa perubahan dalam kebijakan, program, atau dana sebagai hasil dari upaya? Secara spesifik,
apa yang akan berbeda setelah selesainya kampanye advokasi? Bagaimana kita tahu bahwa situasi telah berubah?
Kegiatan advokasi yang sering kali dilakukan di lingkungan yang bergejolak. Seringkali, kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti setiap langkah dalam proses advokasi sesuai dengan model yang disajikan di
sini. Namun demikian, pemahaman yang sistematis dari proses advokasi akan membantu advokat merencanakan dengan bijaksana, menggunakan sumber daya secara efisien, dan tetap fokus pada tujuan advokasi.
2. Membangun Jejaring
Jaringan komunikasi
Dalam kamus Bahasa Indonesia, jaringan komunikasi adalah sejumlah kegiatan komunikasi yang saling bertautan. Dalam jaringan komunikasi ini tidak hanya mencakup satu atau dua orang
saja, namun lebih luas lagi yaitu antar kelompok/komunitas atau pun masyarakat luas. Jaringan komunikasi adalah penggambaran bagian proses komunikasi "how say to whom" (siapa berbicara kepada siapa)
dalam suatu sistem sosial. Dalam menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu yang erjadi
dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah perusahaan (Gonzales, 1993).
Kita dapat melakukan analisa terhadap jaringan berdasarkan unit analisis hubungan diantara individu-indivu. Suatu perangkat hubungan yang biasa disebut personal network. Istilah ini menunjukkan lingkaran
pergaulan langsung seseorang pada suatu topik tertentu. Network seseorang dapat bervariasi tergantung pada topik yang didiskusikan, ketika individu-individu lebih sering berinterakasi satu sama lain daripada
dengan individu-individu lain dalam suatu kelompok yang lebih besar, maka mereka telah membentuk sebuah klik.
Dalam suatu jaringan komunikasi, terdapat pemuka-pemuka opini, yaitu orang yang mempengaruhi orang-orang lain secara teratur pada isu-isu tertentu. Karakteristik pemuka-pemuka opini ini bervariasi menurut
tipe kelompok yang mereka pengaruhi. Jika pemuka opini terdapat dalam kelompok-kelompok yang bersifat inovatif, maka mereka biasanya lebih inovatif daripada anggota kelompok, meskipun pemuka opini
seringkali bukan termasuk inovator yang pertama kali menerapkan inovasi. Di pihak lain, pemuka-pemuka opini dari kelompok-kelompok yang konservatif juga bersikap agak konservatif (Gonzales, 1993). Pada
proses difusi, yaitu proses masuknya inovasi dalam suatu kelompok sehingga terjadi perubahan perilaku, hampir semua pemuka-pemuka opini menyokong perubahan.
Pada beberapa peranan jaringan komunikasi dalam perubahan kelompok/organisasi, seperti disampaikan di atas adanya klik yang muncul di suatu organisasi yang disebabkan adanya adanya persamaan-
persamaan tertentu (karena adanya tipe homofili), seseorang dalam suatu organisasi bisa menjadi anggota dari beberapa klik. Klik yang terlalu banyak dalam suatu klompok/organisasi biasanya terjadi karena
banyaknya perbedaan, dan dapat mengakibatkan perpecahan dalam suatu organisasi. Tetapi bila klik dapat diatasi maka perubahan yang positif dalam organisasi dapat dicapai.
Perkembangan teknologi kian pesat. Perkembangan teknologi yang signifikan menjadikan perubahan yang mulai merambah dalam tiap hal yang dijajaki dan diperdalami oleh teknologi. Perkembangan computer,
sistem data, dalam hardware dan software, hingga ke perkembangan komunikasi. Dengan perkembangan demikian membuat manusia kembali beradaptasi dan menyesuaikan seiring dengan perkembangan
tersebut. Teknologi pun mewabah ke jaringan informasi yang ada, sehingga menjadikan perkembangan komunikasi yang mengalami perubahan dalam pemanfaatan teknologi. Dalam perkembangan teknologi
Indonesia, perkembangan teknologi dalam jaringan kian pesat dan sudah mulai terkenal hingga melekat di hati pengguna. Semakin banyak yang harus dipahami, semakin banyak yang harus diketahui dan banyak
yang mengalami perubahan. Perkembangan teknologi dalam jaringan sudah dijajaki oleh para produsen ternama, bahkan sudah mengembangkan hingga memiliki jaringan tersendiri. Dengan hal seperti ini,
membuat persaingan di dunia komunikasi dan teknologi semakin menarik. Tidak hanya itu, jaringan yang ada bahkan sudah bayak diakses dan mulai dikenal orang banyak tanpa dengan adanya publikasi.
Saat ini untuk melakukan suatu komunikasi sangatlah mudah karena banyak dukungan teknologi dalam berkomunikasi dengan komunitas kita ataupun masyarakat luas, teknologi memberikan kemudahan dalalm
kegiatan kita sehari-hari khususnya membangun suatu jaringan komunikasi.
Kesibukan membuat kita tidak dapat berkomunikasi dengan mudah namun saat ini komunikasi tidaklah sesulit seperti waktu lampau, siapapun dapat lebih mudah berkomunikasi dengan komunitas atau keluarganya
walaupun terbatasi oleh jarak yang sangat jauh. Teknologi menghilangkan kesenjangan ruang dan waktu.
Jejaring Sosial
Saat ini orang mulai berbicara santai mengenai net dan kemudian world wide web, mereka mulai menyadari bahwa mereka pun saling terhubung sama seperti komputer mereka. Hubungan-hubungan jelas bersifat
sosial, hingga sekarang nyaris semua orang akrab dengan laman dan situs web jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Linkedln, MySpace, DeviantART, Flickr, Friendster, Google, dan lainnya.
Social media membawa manfaat namun juga kerugian bagi penggunanya apabila tidak digunakan secara bijaksana. Nicholas dan James dalam bukunya Connected menjelaskan jejaring sosial sebagai barang indah
yang rumit.
Keragaman asal-usul sosial dan genesis dalam pilihan ini menghasilkan aneka ragam struktur jaringan dan menempatkan kita di lokasi unik dalam jaringan sosial.
Berdasarkan aturan tersebut di atas secara emosional individu nilai positif yang dapat diambil antara lain adanya prinsip bahwa dukungan yang diberikan pasangan dapat banyak manfaat. Pasangan hidup saling
memberi dukungan sosial dan saling menghubungkan dengan jejaring sosial yang lebih luas mencakup teman, tetangga, dan kerabat.
Jaringan dapat dibentuk dan dimonitor melalui beberapa bentuk kegiatan, yaitu:
a. Pertemuan tatap muka, dilakukan dengan menyelenggarakan melalui komunikasi interpersonal dengan stakeholder penting, diskusi/FGD, workshop dan seminar (diseminasi) untuk mendiskusikan hal-hal penting.
Sampai saat ini bentuk kegiatan tatap muka cukup efektif karena berhadapan langsung dengan target audien yang tepat dan mendapatkan umpan balik secara langsung.
b. Menggunakan media konvensional, melalui penyusunan opinisi, menyelenggarakan media briefing, dan broadcast (artikel, berita, opini) dengan melibatkan anggota jaringan yang akan dituju.
c. Memanfaatkan media baru, dilakukan dengan membuat sites, email dan memanfaatkan jejaring sosial. Pada proses ini diskusi dan pembahasan dilakukan dapat secara terus menerus dengan melibatkan berbagai
pihak. Metode ini cukup efektif karena mampu mengirimkan pesan ke target audiens dalam waktu yang relatif lebih cepat dan biaya yang tidak mahal.
Berikut ini tips yang dapat dilakukan untuk membangun sebuah jaringan dan bagaimana meningkatkan pengelolaannya. Langkah yang dapat dilakukan meliputi:
a. Identifikasi bidang program, tujuan dan kelompok minat untuk pengembangan jaringan
b. Membangun hubungan melalui komunikasi yang tepat
c. Membangun kesepakatan dengan pertemuan tatap muka antara manajemen puncak masing-masing lembaga
d. Membahas bentuk dan mengembangkan jaringan, melalui analisis situasi
e. Identifikasi sumber daya yang dibutuhkan
f. Menetapkan pengukuran kinerja
Sedangkan untuk mengelola jaringan perlu dilakukan langkah monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk melihat keefektivitasan dan pencapaian tujuan. Untuk membangun jaringan yang bertahan lama
dibutuhkan elemen esensial seperti saling menyajikan informasi terkini, saling percaya dan kebijaksanaan.
Review
Bentuk perencanaan yang dilakukan dalam proyek pembangunan 6 (enam) rua jalan tol di DKI Jakarta adalah sebagai berikut :
VI. Referensi
Angotti, Tom. 2007. Advocacy and Community Planning: Past, Present and Future.
Progressive Planning Magazine, Spring 2007. www.plannersnetwork.org. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.30.
Contradictions. Journal of the American Planning Association. Volume 25 No. 4 October 1979. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.45.
Veneklassen, Lisa. 2002. A New Weave of Power, People, and Politics: The Action Guide for
Advocacy and Citizen Participation. World Neighbors and The Asia Foundation. www.bond.org.uk. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.12.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Proses Perencanaan Advokasi 2. www.ocw.ui.ac.id.Diunduh 3 Oktober 2016, pukul 18.41.
www. Transformasi.org. Mengatasi Kemacetan di Jakarta : mengubah perilaku pengguna kendaraan pribadi ke kendaaraan umum. Diakses pada 3 Oktober 2016, pukul 19.40.
www.bps.go.id. Statistik Transportasi DKI Jakarta 2015. Diunduh pada 4 Oktober 2016, pukul 2.01.
Sabirin. Advokasi terhadap Komunitas Difabel Anak Jalanan dan Remaja Jalanan. Diunduh pada 2 Oktober 2016 pukul 2.04.
www.agusjero.blogspot.co.id Mengefektifkan Advokasi Hasil Kajian: Sebuah Refleksi. Diakses pada 11 Oktober 2016 pukul 21.39
http://dhanyvironment.blogspot.co.id/ Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 21.55
A. Arahan dari Bapak Gabriel Triwibawa yang merupakan Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional;
Menginformasikan bahwa telah ditetapkannya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan;
Pasal 27
tiap Warga Negara berhak untuk pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pembangunana masyarakat Indonesia seutuhnya.
Menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan.
Meningkatkan perekonomian nasional.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Memperluas jaringan sosial.
Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
Mempercepat pemenuhan kesejahteraan pekerja, juga keluarganya.
Visi Indonesia pada tahun 2036 adan menjadi negara berpenghasilan tinggi sebelum tahun 2045.
Target sosialisasi kegiatan ini juga menyasar beberapa asosiasasi profesi, diantaranya:
Secaraa umum., target perumbuhan ekonomi adalah sebesar 25 % share dari Indonesia Bagian Timur, tingkat kemiskinan 0 %, dan tingkat pengangguran 3 – 5 %.
Pendapatan dari wisatawan 73 T per tahun; peringkat Negara dengan nilai Ease of Doing Bussiness 30 di tahun 2024; dan penerapan Energi baru Terbarukan sebesar 30 %.
Dalam rangka mengelola SUmber Daya Manusia menurut pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 bahwa ditujukan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Undang – Undang 13 tahun 2022 ditetapkan sebagai pengganti Undang - Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan.
Pasal 42
Overview dari Undang – Undang Cipta Kerja, Peraturan perundang – undangannya; dan terobosannya
Penyusunan revisi dan penetapan RTR;
Pemanfaatan ruang melalui pengajuan KKPR;
Penyiapan RTR dengan melibatkan tenaga professional tata ruang dengan memberikan lisensi RTR dan pembentukan Jabatan Fungsional Penata Ruang;
Kelembagaan Ppenataa ruang dengan pembentukan forum penataan ruang;
Tata Ruang Laut yang merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan diterbitkan juga KKPR laut;
Integrasi Tata Ruang darat dan tata ruang laut.
B. Paparan dari Bapak Farid Hiyadat yang merupakan Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional tentang Pembekalan UU CK
terkait Bidang Penataan Ruang dan Peraturan Turunannya;
Berbagai manusia harus dikendalikan untuk mendorong supaya produktif demi memenuhi kebutuhan manusia dengan menjaga supply SDA dan melestarikan kekayaan flora dan fauna.
Dari segi jumlah penduduk, selalu meningkat dari 4,4 M pada tahun 1980 menjadi 6,9 M pada tahun 2010 dan meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 7,7 M.
PDB dunia meningkat juga dari sebesar 11.300 padda 1980 menjadi 84.710 pada tahun 2020.
Jumlah penduduk Indonesia meningkat dari 147,5 Juta penduduk menjadi 273,5 juta penduduk yang merupakan perbandingan pada tahun 1980 dan 2020.
PDB Indonesia menjadi 1,058 T pada tahun 2020 dari semula 72,48 M pada tahun 1980.
Dari data – data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada kurun waktu 1980 hingga 2020, PDB Indonesia meningkat sebanyak 14 kali dibandingkan dengan PDB dunia yang meningkat
hanya 7 kali, sehingga diperoleh kesimpulan lain bahwa PDB Indonesia lebih besar daripada rata – rata PDB dunia.
Semoga nantinya kitab isa menjadi tuan rumah di negara sendiri, sehingga pertumbuhan ekononomi bisa dirasakan oleh penduduk dunia.
Menurut UU CK yang menjadikan pintu gerbang masuknya investasi berdasarkan asas kebersamaan dan kemandirian.
Nantinya diharapkan proses pembangunan lebih baik lagi, dimana meningkatkan perekonomian dan meningkatkan investasi dari sebelumnya.
Perizinan dengan penyederhanaan proses perizinan dan penyederhanaan proses penyusunan rencana tata ruang;
Menurut amanat adanya pemberlakukan pengajuan KKPR dengan adanya koordinasi perizinan ke daerah, sehingga mudah, murah, dan ramah;
Sebelum diberlakukannya OSS, proses perizinan multi entry, multi exit.
Taksonomi sebelumnya diberlakukan PP 15 tahun 2010 dan sekarang sudah diperbarui dengan diberlakukannya PP 21 tahun 2021.
Dengan adanya pelibatan kalangan praofesional dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dan mempervepat penyelesaian RDTR dan RTRW, sehingga lebib massif dan terkontrol. Disebut juga
profesi penyusunan RTR berlisensi.
1. Permen ATR / KBPN No. 11 tahun 2021 tentang tata cara penyusunan, pengajuan Kembali, revisi, dan penerbitan persetujuan substansi rtrw provinsi, kabupaten, kota, dan RDTR.
2. Permen ATR / KBPN No. 13 tahun 2021 tentang Pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
3. Permen ATR / KBPN No, 14 tahun 2021 tentang pedoman penyusunan basis data dan penyajian peta rtrw, provinsi, kabupaten dan kota, serta peta rdtr kabupaten / kota.
4. Permen ATR / KBPN no. 15 tahun 2021 tentang koordinasi penyelenggaraan penataan ruang dan permen nomor 9 tahun 2022 tentang perubahan permen ATR / KBPN no. 15 tahun 2021.
5. Permen ATR / KBPN no. 10 tahun 2021 tentang pedoman penyusunan dan revisi rencana tata ruang pulau / kepulauan, rtr Kawasan strategis nasional dan rdtr Kawasan perbatasan negara.
6. Pemen ATR / KBPN Nomor 15 tahun 2022 tentang prosedur dan tata cara pemberian lisensi tenaga professional perencana tata ruang.
Dengan adanya deregulasi dan penyederjanaan prosedur dengan status sebanyak 224 rdtr kabupaten / kota yang telah disusun, diharapkan nantinya pada tahun 2025 sudah terlampaui target
2.000 rdtr yang telah selesai disusun.
Sejujurnya, untuk mencapai target yang cukup ambisius tersebut, kementerian ATR/BPN tidak bisa bekerja sendiri, harus melibatkan kalangan professional sebagai penyusun rencana tata ruang
sehingga proses penyusunannya lebih lancar lagi. Dalam pratisipasi tersebut tetap dengan mempertimbangkan kualitas, kuantitas dalam penunjukan personilnya.
1. Dengan menghapus RTR Kawasan Strategis Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Kabupaten / Kota.
2. Sehingga tersisa: RTRWN; RTR Pulau / Kepulauan ; RTRW Provinsi; RTRW Kabupaten / Kota; dan RDTR .
3. Terkait sinkronisasi dengan RTR Laut ada 2 macam:
a. RTRW Provinsi dengan RZ WP3K; dan
b. RTR KSN dengan RZ KSN Dan RZ KSNT.
C. Paparan dari Bapak Suharyanto yang merupakan Direktur Perencanaan Tata Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut
Dasar pengaturan laut adalah sebagai berikut :
Perubahan UUD 1945;
UU Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
UU nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea;
UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil;
UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Pasal 19 angka 4
RTR Laut dengan skala 1 : 1.000.000 merupakan integrasi dengan RTRWN dengan skala yang sama ( 1:1.000.000) ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah;
RZ KAW dengan skala 1 : 500.000 merupakan integrasi dengan RZ Pulau / Kepulauan dengan skala yang sama (1:500.000) ditetapkan sebagai Peraturan Presiden;
RZ WPK dengan skala 1 : 250.000 merupakan integrasi dengan RTRW Provinsi dengan skala yang sama ( 1: 250.000) ditetapkan sebagai Peraturan Daerah;
RZ KSN dan RZ KSNT dengan skala 1: 50.000 merupakan integrasi dengan RTR KSN dengan skala yang sama ( 1 : 50.000) ditetapkan sebagai Peraturan Presiden.
Pasal 43 ayat (1) perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) meliputi:
Progress perencanaan ruang laut di berbagai Negara dunia pada tahun 2020
g. Pre – planning
31. Israel;
32. Malaysia.
k. Implementation
33. Indonesia;
34. Latvia;
35. Belanda;
36. Lithuania;
37. Estonia;
38. Jerman;
39. Malta.
l. Revision
40. UK;
41. Australia;
42. Belgia;
43. Belize;
44. China;
45. Norwegia;
46. USA;
47. Korea Selatan.
Common property;
Daya dukung lingkungan;
Moving material;
Pengaruh aktivitas hulu.
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dari pemerintah pusat.
Pasal 49
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai
sanksi administrative.
Pasal 49 A
m. Peringatan tertulis;
n. Penghentian sementara kegiatan;
o. Penutupan lokasi;
p. Pencabutan perizinan berusaha;
q. Pembatalan perizinan berusaha; dan / atau
r. Denda administrative.
Permukaan laut;
Kolom laut;
Dasar laut.
Terkait putusan MK yang mengubah rezim pemberian hak menjadi rezim perizinan
Hak atas tanah laut ( hak pengusahaan perairan pesisir, ha katas tanah)
KKPR untuk rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang termuat dalam RTR< RZ KAW atau RZ KSNT, pada perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi dilakukan melalui persetujuan
KKPR laut.
Masyarakat di pesisir
Masyarakat hukum adat: sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara kesatuan republic Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adatr dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan
Dikecualikan atas kewajiban KKPRL (sudah ditetapkan dalam RTR / RZ sebagai wilayah Masyarakat Hukum Adat);
Masyarakat tradisional : masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui ha katas tanah tradisionalnya dalam melakuakan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah
tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum internasional.
Fasilitasi pemerintah / pemda untuk persetujuan KKPRL sesuai lokasi dalam RZ.
Masyarakat local : kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari – hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai – nilai yang berlaku umum, tetapi tidak
sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau – pulau kecil tertentu.
Fasilitas pemerintah / pemda untuk persetujuan KKPRL sesuai lokasi dalam RZ.
Pasal 4
Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib memenuhi:
Pasal 5
Persyaratan dasar perizinan berusaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan Gedung, sertifikat laik fungsi.
Ketentuan menengai persyaratan dasar perizinan berusaha diatur dalam peraturan perundang – undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup dan bangunan Gedung.
b. Persetujuan lingkungan
Kewenangan
Menteri KLHK atau pemda di ruang laut dan ruang darat
Output
Persetujuan lingkungan ( UKL-UPL/AMDAL)
PP 22 tahun 2021
2. Perizinan berusaha
c. Perizinan berusaha berbasis resiko
Kewenangan
K/L/D sector kegiatan:
Perikanan;
Perhubungan;
Pariwisata;
Pertambangan
Output
KBLI beresiko:
Rendah – NIB;
Menengah rendah – NIB + standar;
Menengah tinggi – NIB + standar;
Tinggi NIB + izin.
PP 5 tahun 2021 dan PP sektor
PP 21 tahun 2021
Pasal 98
1) Pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 huruf a terdiri atas:
a. Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha;
b. KKPR untuk kegiatan non berusaha; dan
c. KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategi nasional.
PP 22 tahun 2021
Tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Pasal 21
4) Amdal disusun oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan pada tahap perencanaan suatu usaha dan atau kegiatan.
5) Lokasi rencana usaha dan atau kegiatan sevagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan rencana tata ruang.
6) Kesesuaian lokasi rencana usaha dan atau kegiata dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikab dengan konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
/ rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7) Dalam hal lokasi rencana usaha dan / atau kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat(3), dokumen amdal tidak dapat dinilai dan dikembalikan
kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan.
PP 21 tahun 2021
Tentang Penyelanggaraan Penataan Ruang
Pasal 101
(3) pelaksana KKPR untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 ayat (1) di perairan pesisir, wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, dilakukan melalui PKKPR.
Pasal 106
(2) PKKPRL sebagaimana dimaksud di dalam pasal 101 ayat (3) diberikan untuk KKPRL secara menetap di perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi.
Kawasan Konservasi
Dikelola oleh :
KLHK;
KKP; dan
pemda.
Alur Laut
PP 21 tahun 2021
(2) PKKPR untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 107 ayat (1) diberikan setelah dilakukan kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
c. RTR KSN;
d. RZ KSNT;
e. RZ KAW;
f. RTR PUlau / Kepulauan; dan atau
g. RTRWN
Pasal 111
(3) PKKPRL tidak dapat diberikan pada zona inti Kawasan konservasi di laut;
(4)PKKPRL dapat diberikan di wilayah masyarakat hukum adat setelah mendapat persetujuan masyarakat hukum adat.
(5) PKKPR di Kawasan konservasi laut tidak dapat diberikan di dalam maupun di luar zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kegiatan :
a. Pertambangan terbuka;
b. Dumping ( pembuangan); dan
c. Reklamasi.
Pasal 113
(2) penerbitan PKKPRL untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 110 huruf c di perairan pesisir, dapat didelegasikanb kewenangannnya kepada gubernur tanpa mengurango
kewenangan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.
Pasal 131
(2) kegiatan PRL oleh instansi ipemerintah pusat dan atau pemda provinsi sebagaimana dimaksdud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang dibiayai oleg APBN dan atau APBD.
Pasal 132
Konfirmasi kesesuaian ruang laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 131 ayat (1) dilaksanakan melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan dengan tahapan:
d. Pendaftaran;
e. Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut terhadap RTR. RZ KSNT, dann RZ KAW; dan
f. Penerbitan konfirmasi kesesuaian ruang Kawasan.
Pasal 133
(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 huruf a paling sedikit dilengkapi dengan :
g. Koordinat lokasi;
h. Kebutuhan luas kegiatan pemanfaatan ruang laut;
i. Kedalaman lokasi;
D. Paparan dari Bapak Dwi Hariyawan yang merupakan Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional;
E. Paparan dari Ibu Kartika yang merupakan Pelaksana Asisten Deputi Penataan Ruang dan Tanah, Kementeriann Koordinator Bidang Perekonomian/
A. Pengantar Oleh Bapak Eko Budi Kurniawan selaku Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional
Terkait Bimtek Penguatan Pelayanan KKPR
Dalam penyusunan Kesesuaian Kegiatan Pemanfatan dibutuhkan peta pertanahan sebagai berikut :
1. Peta neraca penatagunaan tanah;
2. Peta IP4T;
3. Peta tematik; dan
4. Peta PTSL.
Peta persil sebagai peta dengan skala terkecil yang dibutuhkan dalam penyusunan Peraturan Zonasi.
Rencana Detail Tata Ruang merupakan payung hukum penerbitan Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang transparan.
Saat ini tugas Direktorat jenderal Tata Ruang fokus pada percepat penyelesaian rencana detail tata ruang yang merupakan tugas dan fungsi sebagaimana tercantum pada Permen ATR / BPN nomor 17
tahun 2020, yaitu tugas dan fungsi Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan ATR / BPN.
Terkait dengan kegiatan Bimbingan Teknis dan Bantuan Teknis, dilakukan pada wilayah – wilayah strategis yang memiliki dan diminati pleh para investor.
Dalamn rangka mencapai target penyelesaian KKPR yang merupakan single referensi, dibutuhkan peran aktif dari Forum Penataan Ruang, sebagaimana diamanahkan oleh Permen ATR/BPN Nomor 9
Tahun 2022 dan permen ATR / BPN nomor 15 tahun 2021.
B. Pembukaan oleh Bapak Dwi Purnama selaku Kepala Kantor Wilayah Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional
Terkait tugas penerbitan KKPR di Kantor Pertanahan dan Kantor wilayah
Perlu diketahui bahwa sudah terbit peraturan perundang – undang terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, yaitu:
1. Permen ATR / BPN Nomor 12 tahun 2021;
2. Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021; dan
3. Permen ATR / BPN NOmor 21 tahun 2021.
Sedangkan dari segi Undang – Undangk sudah ditetapkan Undang – Undang Cipta kerja yang mempunyai azas:
Pemerataan;
Kebersamaan;
Kemandirian;
Stimulus; dan
Membuka lapangan kerja.
Dimana nantinya dapat mengintegrasikan lintas sector, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Perlu diketahui, bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ini merupakan terobosan pemerintah dalam rangka :
Membuka investasi dari luar negeri;
Penyederhanaan izin; dan
Pemangkasan prosedur.
Selain itu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang merupakan pengganti darri izin – izin yang sudah ada, yaitu Izin lingkungan ( AMDAL) dan Izin bangunan ( IMB).
Adapun kendala dalam pemberlakuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah sebagai berikut :
Kebocoran sistem dimana terbit secara otomatis ( sertified);
Terbit otomatis di tempat yang seharusnya tidak otomatis;
Terbit tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
Terbit otomatis sudah diverifikasia oleh OPD teknis, informasia internal, tetapi belum disosialisasikan kepada pemohon.
Apabila terdapat Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak valid, sehingga mengembang atau tidak jelas karena data pemohon hilang dan tidak tercatat dalam sistem, bisa berkoordinasi lebih
lanjut dengan Kementerian Investasi / BKPM atau Kementerian ATR / BPN.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang menunggu ditetapkannya rencana detail tata ruang;
Kurangnya petugas verificatory sehingga berkas belum diselesaikan, imbasnya layanan terhambat; dan
Berkas ditolak karena kurang pahamnya pemohon terhadap proses bisnis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
C. Paparan oleh Bapak Abdul Kamarzuki selaku Pejabat Fungsional Penata Ruang Utama, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional
Terkait pelayanan KKPR
Sekilas tentang Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah sebagai berikut:
Persyaratan dasar perizinan;
Tentunya sebelum diterbitkan perizinan oleh sector – sector lainnya;
Dilanjutkan dengan izin – izin lanjutan seperti : izin usaha pertambangan, izin usaha perkebunan, dan izin usaha industri izin lingkungan (AMDAL) dan izin bangunan Gedung ( IMB).
Menurut pasal 15 terkait penilaian, penyusunan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang mengacu pada 7 dokumen sebagai berikut:
1. RTRW Nasional;
2. RTRW provinsi;
3. RTRW kabupaten / kota;
4. RTR KSN;
5. RZ KNT;
6. RZ KAW; dan
7. RTR Pulau / Kepulauan.
Menurut pasal 18
Penyusunan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang didasarkan pada :
Daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Neraca tata guna tanah;
Neraca sumber daya air;
Kondisi sosial masyarakat.
Sedangkan prosedur penyesuaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :
Bisa dilihat ke rencana atta ruang level lebih tinggi;
Rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 20 hari kerja;
Analisis dan penilaian dokumen terbit;
Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 20 hari kerja; dan
Konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 1 hari kerja.
PP 21 tahun 2021
Pasal 98 : Kesesuaian Kegiatan pemanfaatan ruang disetujui atau ditolak.
Pasal 99 : Kesesuaian Kegiatan pemanfaatan dicatat,diadministrasikan, dan data lokasi.
Pasal 104
Adapun data - data yang diperlukan Ketika memohonkan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :
Koordinat lokasi;
Kebutuhan luas lahan;
Penguasaan tanah;
Jenis usaha;
Jumlah lantai bangunan; dan
Luas lantai bangunan.
Sedangkan fungsi dari Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah sebagai berikut :
Acuan pemanfaatan ruang; dan
Acuan perolehan tanah.
Sebelum era Undang – Undang CIpta Kerja dan PP 21 tahun 2021, dibutuhkan izin – izin berikut ini:
Rekom;
SKPK;
Advis planning;
Izin lokasi; dan
IPPT.
Pasal 176 UU CK
Kesesuaian kegiatan permanfaatan ruang dari 22.000 permohonan, yang sudah divalidasi hanya 48 saja yang terbit. Hal ini terjadi karena banyak pelaku usaha yang tidak mengerti proses pendaftaran
Kesesuaian kegiatan permanfaatan ruang tersebut.
Tugas selanjutnya untuk setiap pemerintah daerah adalah mnelakukan sosialisasi ke 2 asosiasi , yaitu APINDO dan KADIN.
Sedangkan terkait pemberkasan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, diperlukan data – data sebagai berikut :
1. Koordinat lokasi Geojson;
2. Koordinat lokasi SHP;
3. Kebutuhan luas lahan;
4. Informasi penguasaan tanah;
5. Ada atau tidaknya bangunan;
6. Rencana bangunan baru;
7. Jumlah bangunan yang direncanakan;
8. Rencana jumlah lantai;
9. Rencana luas lantai;
10. Rencana teknis bangunan dan / atau rencana induk Kawasan; dan
11. Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Sekedar catatan dari daftar dokumen yang dibutuhkan pada saat pemberkasan, diantaranya:
Luas yang diinput adalah luas polygon;
Analisis satuan kemampuan lahan dimana makin tinggi nilainya maka semakin tinggi daya dukung dan daya tampung lingkungannnya semakin kuat ( sesuai untuk bangunan tinggi dan perumahan
kepadatan tinggi), dan begitu seballiknya. Apabila nilainya semakin rendah, maka semakin lemah daya dukung dan daya tampung lingkungannya ( sesuai untuk lahan pertanian dan perkebunan).
D. Paparan oleh Bapak Fuad selaku Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan, Kementerian Investasi / Badan Koordinasi Penanaman Modal
Terkait pelaksanaan KKPR OSS RBA
Penyusunan RDTR OSS dimaksudkan untuk :
Pemerataan pembangunan;
Terciptanya kesempatan kerja;
Pemerataan kesejahteraan.
Adapun target pendapatan dari investasi pada 2022 adalah 4,7 % dari APBN atau sebanyak 47 T; sedangkan pada 2023 masih pada scenario optimis.
Tanpa kolaborasi kta semua, maka tidak ada instrument perizinan barusaha dan tidak tercapainya penyelesaian KKPR.
Sebelum OSS dan setelah OSS: perlu dicermati dan menentukan peran dari kita adalah hal yang penting.
Sebelumnya, Nomor Induk Berusaha dan izin berusaha belum efektif setelah tercapai komitmen dan persyaratan makai izin diberikan.
Setelah UU CK
Nomor Induk Berusaha diberikan setelah memperoleh persyaratan dasar:
KKPR;
Izin lingkungan;
Izin bangunan Gedung.
Apabila telah disetujui, perizinan berusaha diterbitkan oleh Pemerintah melalu OSS RBA.
BKPM merupakan unjung tombak, memerlukan perhatian dari seluruh pihak demi terbitnya perizinan berusaha.
Perlu untuk diketahui, bahwa elemen data KKPR Darat, adalah sebagai berikut :
1. Koordinat lokasi;
2. Kebutuhan luas lahan;
3. Informasi penguasaan tanah;
4. Informasi jenis usaha /kegiatan ( KBLI);
5. Rencana jumlah lantai bangunan;
6. Rencana luas lantai bangunana; dan
7. Rencana bangunan tinggi atau rencana induk Kawasan.
Ketentuan PKKPR tanpa penilaian berdasarkan PP 5 tahun 2021 pasal 181; dan Permen ATR / BPN nomor 13 tahun 2021 pasal 13.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam Alur PKKPR penilaian yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
PKKPR dapat dibatalkan apabila catat hukum, terdapat kekeliruan, ketidakbenaran dan pemalsuan data, dokumen, dan informasi.
KKPR yang terintegrasi dengan OSS sebanyak 92 RDTR dan masih terdapat 16 RDTR yang siap dinaikkan.
Sedangkan berikut ini disampaikan pembagian kewenangan dalam penerbita KKPR, yaitu :
DPUTR pemda kabupaten / kota mempunyai wewenang terhadap] validasi dokumen;
Kantor pertanahan berwenang pada proses PTP KKKPR sesuai SLA;
Temuan yang didapatkan oleh BKPM bahwa UMK terfilter dengan baik sehingga OSS bekerja dengan baik, dari data modal dan investasi per titik lokasi.
Ada juga PKKPR yang terbit dalam masa transisi ( SE Menteri ATR dan SE Kepala BKPM) , mohon segera disampaikan kepada Kementerian Investasi, untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik,
akuntabel, dan good governance tetap terjaga.
E. Paparan oleh Bapak Ginanjar selaku Direktur Penataan Gunaan Tanah, Direktorat Jenderal Penataan Agraria, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan
Pertanahan Nasional
1. UU 5 tahun 1960;
2. UU 26 tahun 2007;
3. UU 11 tahun 2020;
4. PP 16 tahun 2004(Penatagunaan tanah); kebijakan penatagunaan tanah : objek kebijakan PGT ( pasal 6) dan pelaksanaan administrasi pertanahan dilaksanakan disertai pengaturan ;
5. PP 15 tahun 2010 (izin lokasi sebagai salah satu izin pemanfaatan ruang);
6. PP 24 tahun 2018 ( perizinan berusaha elektronik);
7. PP 5 tahun 2021( RBA);
8. PP 21 tahun 2021 ( PPRKKPR); dan
9. PP turunan lainnya;
10. Permen ATR / BPN 12 tahun 2021 ( PTP);
11. Permen ATR 13 tahun 2021 (pelaksanaan KKPR dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang);
2. Tahapan Pelaksanaan
a. Persiapan administrasi
1) Pemeriksanaan;
2) Penerbitan surat perintah setor;
3) Penyiapan surat tugas.
b. Persiapan tekniss
4) Penyiapan data spasial (wilayah administrasi, penggunaan dan penguasaan tanah, polar uang RTRW / RDTR, kemampuan tanah, serta tempat penting dan ketersediaan tanah;
5) Pembuatabn peta kerja;
6) Penyiapan alat lapangan (peta kerja lapangan data spasial penatagunaan tanah);
c. Peninjauan lapangan
d. Pengolahan dan analisis data
e. Penyusunan PTP
7) Rapat pembahasan
8) Penyusunan risalah dan peta
9) Penerbitan PTP
10) Upload PTP dan peta PTP
f. Penyerahan hasil
g. Pengarsipan data.
7. Badan Hukum foro copy akta pendirian dan pengesahan badan hukum;
8. Nomor Induk Berusaha;
9. Proposal rencana kegiatan ( latar belakang kegiatan permodelan nilai proyek, penyerapan tenaga kerja, site plan, rencana tapak / rencana penggunaan); dan
10. Persyaratan lain ( foto copy sertifikat; surat penyataaan kesediaan dari pemilik tanah untuk melepaskan dan rekomendasi kesesuaian rejcana penggunaan tanah dan pola ruang dan pendukungnya).
Berdasarkan SK 1589/ HK.02.01/XII/2021 ( Provinsi Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat).
Adapun untuk contoh kasus delineasi polygon LSD yang terdapat di pola ruang non pertanian, maka PTP tetap dapat diterbitkan peda lokasi LSD dengan kondisi sesuai bersyarat dengan tetap memperhatikan
kondisi fisik dan tata ruang yang mendukung kegiatan yang dimohonkan.
Tabel 6.12
NO URAIAN TAHUN
1. Rata – rata rasio biaya logistic terhadap 23,6 22,4 21,3 20,2 19,2
PDB (%)
2. Rata – rata dwelling time ( hari) 5-6 4-5 4-5 3-4 3-4
5. Koefisien variasi harga kebutuhan pokok <14,2 <14,2 <13,8 <13,8 <13,0
antar wilayah
Tabel 6.13
NO URAIAN TAHUN
1. Pertumbuhan ekspor produk non – migas ( %) 8,0 9,9 11,9 13,7 14,3
2. Rasio ekspor jasa terhadap PDB ( %) 2,7 2,8 2,9 3,2 3,5
3. Kontribussi produk manufaktur terhadap total 44,0 47,0 51,0 57,0 65,0
ekspor ( %)
Pengembangan kapasitas perdagangan nasional dilakukan melalui dua pilar arah kebijakan, yaitu :
Kedua kebijakan ini dilakukan secara sinergis dan inklusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Arah kebijakan untuk mencapai sasaran bidang perdagangan dalam negeri adalah meningkatkan aktivitas perdagangan dalam negeri melalui pembenahan sistem distribusi bahan pokok dan bahan logistic rantai
suplai agar kebiih efisien dann lebih andal dan pemberian insentif perdagangan domestic agar dapat mendorong peningkatan produktivitas ekonomi dan mengurangi kesenjangan antarwilayah, serta peningkatan
daya saing produk local melalui standarisasi produk.
Adapun strategi pembangunan untuk pengembangan perdagangan dalam negeri adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan efisiensi jalur distribusi bahan pokok dann stratef]hgis, terutama untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaa stok;
2. Mengembangkan sistem logistic dan distribusi termasuk sistem informasinya, melalui integrasi layanan secara elektronik dari proses pre – clearance sampai dengan post clearance, optimalisasi sistem perijinan
ekspor dan impor secara elektronik yang terintegrasi antarsektor, serta pengembangan sistem informasi logistic lainnya untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi biaya;
3. Meningkatkan ketersediaan sarana perdagangan dan meningkatkan kelayakan sarana perdagangan terutama yang telah berumur di atas 25 tahun, rusak berat, dan tidak layak digunakan untuk memperlancar
arus distribusi barang kebutuhan pokok dan barang strategis, terutama di daerah yang masih minim sarana perdagangannya;
4. Meningkatkan kualitas sarana perdagangan ( terutama pasar rakyat) melalui pelaksanaan pemberdayaan terpadu nasionall pasar rakyat, yang merupakan penyediaan dukungan non – fisik untuk
pengembangan pasar rakyat yang berkualitas, nyaman, bersih, dan sehat.
5. Mengembangkan rantai suplai dingin ( cold supply chain) terutama untuk mendukung distribusi barang yang mudah rusak ( perishable goods) di pasar domestic;
6. Meningkatkan ketersediaan dan kapasitas SDM dan pelaku jasa logistic, agar dapat bersaing baik di pasar local dan internasional;
7. Meningkatkan efisiensi logistic Pelabuhan, terutama pengurangan waktu tunggu di Pelabuhan, penghapusan biaya kepelabuhan yang tidak perlu, serta pengembangan infrastruktur lunak berbasis teknologi
informasi;
8. Mendorong pengembangan Kawasan logistic terpadu,, terutama di bandara dan pelabuhan yang menjadi hub internasional dan di Kawasan dry port.
9. Menerapkab standar nasional Indonesia secara konsisten, baik untuk produk impor maupun produk domestic, untuk mendorong daya saing produk nasional, peningkatan citra kualitas produk ekspor Indonesia
di pasar internasional, serta melindungi pasar domestic dari barang / jasa yang tidak sesuai standar.
10. Meningkatkan aktivitas dan efisiensi perdagangan antarwilayah di Indonesia, melalui promosi produk unggulan daerah di wilayah lain di Indonesia, serta fasilitasi Kerjasama dan penurunan hambatan
perdagangan antar wilayah Indonesia.
Arah kebijakan yang ditempuh untuk mencapai sasaran bidang perdagangan luar negeri adalah meningkatkan daya saing produk ekspor non – migas dan jasa melalui peningkatan nilai tambah yang lebih tinggi dan
peningkatan kualitas agar lebih kompetitif di pasar internasional, serta optimalisasi upaya pengamanan perdagangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Adapun strategi pembangunan untuk mendorong pengembangan perdagangan luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan ekspor barang bernilai tambah lebih tinggi dan berdaya saing di pasar global termasuk yang melalui titik lintas batas di daerah perbatasan, agar dapat memberikan efek pengganda yang lebih
besar terhadap perekonomian nasional dan megurangi tingkat kerentanan ekspor Indonesia terhdap gejolak harga komoditas dunia. Untuj itu, pengembangan ekspor bernilai tambah tinggi akan dititikberatkan
pada: produk manufaktur yang berbasis sumber daya alam, produk olahan hasil tambang, serta produk olahan hasil pertanian / perikanan.
2. Meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional melalui peninggkatan kualitas produk ekspor, peningkatan pencitraan, penetapan harga produk ekspor, peningkatan pencitraan, penetapan
harga produk yang lebih bersaing, serta pengembangan layanan berstandar internasional.
3. Memanfaatkan rantai nilai global dan jaringan produksi global untuk meningkatkan ekposr barang terutama produk manufaktur yang dapat mendorong proses alih teknologi, meningkatkan kemitraan dengan
pelaku usaha local serta meningkatkan daya saing produk nasional;
4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ekspor sector jasa prioritas melalui upaya:
i. Peningkatan koordinasi dengan instansi terkait yang antara lain melalui pengembangan dan implementasi roadmap sector jasa;
ii. Peningkatan pemanfaatan jasa prioritas yang dihasilkan pelaku usaha domestic sehingga mampu memberikan insentif bagi perkembangan industri jasa nasional dan mengurangi impor;
iii. Pemanfaatan jaringan produksi global bidang jasa dalam meningkatkan daya saing sector jasa;
iv. Peningkatan pemanfaatan hasil perundingan jasa;
v. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia terkait perdagangan jasa sehingga memberikan nilai tambah bagi ekspor jasa; serta
vi. Peningkatan kualitas statistic perdagangan jasa dalam menyediakan data dan informasi yang akurat.
a) Jasa pendorong ekspor nonmigas, yaitu : jasa transportasi, jasa pariwisata, dan jasa konstruksi; serta
b) Jasa yang mendukung fasilitasi perdagangan dan produktivitas ekonomi, yaitu : jasa logistic, jasa distribusi, dan jasa keuangan. Rincian strategiu sector jasa tersebut di atas akan dibahas lebih lanjut pada
subbidang yang terkait sector masing – masing;
5. Mengembangkan fasilitasi perdagangan yang lebih efektifm terutama guna mempercepat proses perizinan dan memperlancar aktivitas ekspor dan impor melalui pemanfaatan teknologi informasi,
pengembangan skema pembiayann ekspor, skema harmonisasi regulasi terkait ekspor dan impor.
6. Mengembangkan keragaman aktivitas dan mekanisme promosi ekspor yang lebih efektif untuk meningkatkan citra produk Indonesia di pasar global, yang antara lain melalui:
i. Penyelarasan kegiatan promosu Tourism, Trade, and Investment;
ii. Pengembangan kantor promossi terpadu di negara – negara tertentu; serta
iii. Peningkatan peran kantor perwakilan dagang di luar negeri agar mampu menangkap potensi pasar dan produk yang dibutuhkan di suatu negara;
7. Meningkatkan pengelolaan impor yang efektif untuk :
i. Meningkatkan daya saing produk ekspor non migas. Hal ini dilakukan melalui upaya untuk memperlancar impor barang modal dan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi produks ekspor
nonmigas, akan tetapi kebutuhannya belum dapat dipenuhi dari dalam negeri, serta melakukan upaya harmonisasi kebijakan impor;
ii. Meningkatkan daya saing produk nasional di pasaer domestic; serta
iii. Mengatasi impor illegal, termasuk di daerah perbatasan yang telah menjadi Kawasan pabean.
8. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas safe guards dan pengamanan perdagangan lainnya untuk melindungi produk dan pasar dalam negeru dari praktek – prakter perdagangan yang tidak adil ( unfair trade).
9. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan free trade agreements yang sudah dilakukan, termasuk pemanfaatan fasilitas safe guard untuk memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kepentingan dan daya
saing produk nasional. Strategi ini secara rinci dijabarkan dalam bagian tentang meminimalisasi dampak globalisasi ekonomi.
Nilai Ekspor Menurut Pelabuhan Utama (Nilai FOB: juta US$), 2000-2020
Pelabuhan
Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 20
Utama
Aceh Blang Lancang - - 1 476,0 1 637,6 1 786,8 1 013,0 1 227,2 1 731,7 2 104,4 1 035,0 1 326,3 1 406,3 1 197,2 930,4
(Arun)
Sumatera Utara Belawan 1 962,9 1 896,6 2 434,0 2 217,1 3 648,2 3 845,5 4 580,4 5 931,9 7 873,3 5 369,0 7 429,0 10 057,7 8 871,9 7 982,3
Sumatera Utara Pangkalan Susu 1,2 0,1 - - - - - 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Padang/Teluk
Sumatera Barat Bayur 237,1 207,9 307,6 377,2 594,8 730,9 1 073,0 1 512,8 2 379,7 1 344,3 2 214,6 3 030,0 2 362,9 2 208,6
Riau Dumai - - 3 594,8 3 997,6 4 536,9 5 349,6 6 582,2 8 974,2 12 453,2 8 993,7 11 770,9 16 485,3 15 516,8 14 195,7
Pakanbaru/Rumb
Riau ai 2,3 10,6 - - - - - 34,6 21,4 27,5 84,1 109,3 35,2 2,1
Kepulauan Riau Batu Ampar - - 1 755,5 1 664,5 1 968,7 2 874,9 2 830,3 3 237,6 3 451,8 2 548,5 3 690,0 4 677,9 3 803,2 4 036,8
Kepulauan Riau Sekupang - - 1 152,1 1 201,0 1 217,6 1 395,8 1 238,1 1 239,2 1 297,1 1 701,2 2 154,7 2 722,5 2 660,6 2 931,1
Kepulauan Riau Tanjung Pinang 63,8 61,2 - - - - - 145,8 72,9 90,7 191,6 201,0 79,4 149,2
Kepulauan Riau Kabil/Panau - - 676,9 643,4 621,1 711,7 869,9 1 287,0 1 332,3 1 292,1 1 583,1 1 531,6 1 800,2 2 096,7
Kepulauan Riau Pulau Sambu 414,2 55,2 - - - - - 11,9 12,1 12,8 708,7 2 213,3 2 119,4 2 404,9
Sumatera Selatan Palembang-Plaju - - 145,8 163,8 162,3 220,0 986,1 649,6 777,6 395,3 500,3 501,4 642,4 845,4
Palembang
Sumatera Selatan (Kertapati) - - - - - - - 26,1 43,4 41,4 49,7 66,3 99,4 90,9
Musi River/Boom
Sumatera Selatan Baru 445,7 366,6 432,8 655,2 859,7 922,1 1 186,3 2 039,3 2 626,1 1 557,5 2 963,6 4 489,7 3 629,9 2 979,3
Lampung Panjang 681,2 388,7 531,5 739,8 667,8 1 083,0 1 520,9 1 540,5 2 743,7 2 258,7 2 467,4 3 222,6 3 698,4 3 892,3
Sumatera Lainnya 13 762,2 11 026,2 3 642,9 3 920,1 3 862,7 6 185,7 7 208,3 6 787,8 8 995,5 7 999,2 12 553,8 16 046,8 15 391,9 13 940,8
DKI Jakarta Tanjung Priok 18 817,2 17 567,5 17 582,6 17 999,5 21 696,4 24 074,3 26 076,1 28 010,7 31 693,2 28 165,4 34 237,8 40 079,1 42 697,3 41 708,5
DKI Jakarta Soekarno Hatta 1
- - 2 372,1 2 446,7 2 794,7 2 875,9 3 725,7 4 116,5 4 331,8 4 243,1 5 282,0 6 269,9 5 320,9 5 580,1
Jawa Barat Balongan - - 84,5 218,2 282,2 278,0 262,0 242,1 195,1 148,7 345,3 511,1 421,5 425,6
Jawa Barat Cirebon 0,4 0,2 - - - - - 0,0 0,3 0,6 0,9 2,8 4,3 17,1
Jawa Barat Arjuna 132,7 129,5 1 303,6 - - - - 190,0 180,6 268,8 595,3 498,6 248,3 0,0
Banten Merak 371,4 219,9 287,5 371,1 584,2 519,1 2 839,2 391,2 595,4 567,4 790,8 917,1 634,0 825,2
Banten Cigading - - 116,3 166,9 232,4 190,9 245,8 188,7 129,5 59,8 147,2 189,4 85,9 103,2
Jawa Tengah Tanjung Emas 1 794,4 1 641,1 1 640,8 1 768,3 2 001,3 2 371,9 704,8 3 095,8 3 160,3 2 850,8 3 663,8 4 166,8 4 423,9 4 697,3
Jawa Tengah Cilacap 263,5 212,8 201,3 268,0 294,5 284,2 8 145,8 348,0 122,6 208,2 199,4 511,5 213,2 622,4
Jawa Timur Tuban - - 70,2 108,8 90,0 280,7 525,1 1 572,3 443,0 683,7 1 823,3 2 355,4 328,8 111,7
Jawa Timur Tanjung Perak 5 419,0 5 507,7 4 989,2 5 282,4 5 974,3 6 925,5 278,8 10 038,8 10 513,0 9 702,0 12 386,5 14 609,0 13 228,4 12 649,8
Jawa Lainnya 4 613,7 3 743,9 - 1 041,6 755,7 625,0 782,8 1 000,8 1 384,7 1 366,5 2 446,8 3 500,5 3 954,2 3 690,0
Bali Benoa/Loloan 14,3 11,6 7,4 5,3 18,9 28,5 34,5 39,9 26,9 22,9 43,8 43,6 46,0 49,3
Bali Ngurah Rai 1
262,3 236,9 234,5 220,2 217,8 196,0 264,1 247,7 240,6 230,7 328,3 331,8 301,0 277,3
NTB Bima - - 443,3 450,4 837,1 888,8 1 218,9 1 066,5 741,4 1 243,9 1 994,2 1 136,3 596,2 399,9
NTT Atapupu - - - - - - - 0,0 0,0 19,4 20,1 18,0 7,0 9,0
NTT Waingapu - - 1,3 0,0 0,0 0,0 1,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
NTT Tenau - - 18,1 21,5 8,9 16,8 10,0 4,2 12,4 8,8 12,7 7,7 36,6 10,9
NTT Kupang 3,8 2,0 - - - - - 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Bali dan Nusa
Tenggara Lainnya 436,2 409,1 2,2 2,5 0,5 5,1 0,7 1,7 0,1 1,6 3,9 1,9 1,4 2,9
Kalimantan Barat Pontianak 378,6 362,3 347,0 372,1 414,4 398,9 540,6 604,2 727,3 393,8 580,9 1 260,8 964,1 893,5
Kalimantan Selatan Banjarmasin 615,5 605,8 637,1 703,3 808,7 977,9 1 295,1 1 566,4 2 284,8 3 117,9 3 499,3 4 899,3 4 654,7 4 318,9
Kalimantan Selatan Kotabaru - - 421,4 491,6 770,4 1 084,9 1 066,2 1 182,2 1 227,3 2 443,4 2 840,4 4 717,7 4 821,8 4 162,8
Kalimantan Timur Balikpapan 1 105,3 1 206,9 922,9 1 089,4 1 408,3 1 804,3 2 114,7 2 241,1 2 917,1 2 177,8 2 912,9 3 274,4 3 688,1 3 066,9
Kalimantan Timur Samarinda 519,7 566,0 578,5 608,9 658,3 719,7 1 015,9 1 158,8 1 799,9 2 286,6 4 460,2 6 245,8 6 025,8 5 366,9
Kalimantan Timur Tanjung Santan - - 557,2 552,3 886,8 1 443,2 1 504,9 1 635,3 2 822,0 963,9 839,1 1 567,8 1 307,7 1 107,9
Kalimantan Timur Tanjung Sangata - - 432,0 431,6 596,9 958,5 1 377,5 1 304,8 1 781,8 2 238,6 2 859,4 3 830,4 3 134,5 3 878,2
Kalimantan Timur Bontang 5 226,8 5 455,1 4 551,6 5 448,0 6 443,5 8 119,9 9 074,5 9 006,5 12 764,8 7 950,0 9 893,0 17 079,8 13 577,9 11 566,6
Kalimantan Timur Senipah 290,5 372,7 422,3 597,1 537,5 734,5 496,8 493,9 1 214,9 763,6 858,4 1 032,6 1 013,0 1 123,0
Kalimantan Utara Lingkas Tarakan 79,6 120,3 - - - - - 103,0 135,2 125,5 453,8 392,1 738,7 835,6
Kalimantan Lainnya 1 756,4 1 715,0 460,0 491,7 623,8 825,2 1 156,2 1 392,3 2 468,4 2 864,6 3 659,7 5 715,5 5 204,6 5 654,7
Sulawesi Utara Bitung 177,6 21,6 66,1 174,2 205,7 335,9 182,6 501,7 645,3 396,0 373,6 744,0 941,8 665,4
Sulawesi Tengah Pantoloan 60,2 70,1 129,7 142,5 139,3 139,7 193,9 197,8 307,0 244,1 320,4 147,0 85,1 38,8
Sulawesi Selatan Ujung Pandang 337,6 378,9 502,4 332,7 319,2 450,9 604,4 591,4 709,7 713,2 867,1 660,5 547,9 605,7
Sulawesi Selatan Malili 181,9 156,3 0,0 190,0 736,2 927,7 1 189,9 2 113,2 1 381,1 555,1 1 429,6 1 221,3 949,0 924,0
Sulawesi Selatan Hasanuddin 1 - - 22,5 13,2 21,1 15,1 37,0 35,6 9,2 8,4 15,3 16,8 19,7 21,2
Sulawesi Barat Mamuju - - 0,2 12,8 21,0 0,5 18,9 19,6 25,6 60,4 24,0 2,7 0,0 0,0
Sulawesi Tenggara Kolaka - - 0,0 6,7 5,0 10,5 17,5 5,5 10,8 3,1 7,4 38,4 107,9 101,8
Sulawesi Tenggara Pomalaa 96,2 67,3 38,7 70,0 82,5 114,3 332,3 399,7 527,7 279,1 454,5 720,0 486,3 307,4
Sulawesi Lainnya 143,5 121,2 55,4 54,8 51,3 30,1 56,2 63,6 87,2 150,8 212,1 584,0 805,9 925,4
Maluku Ambon - - 9,1 28,7 39,0 23,0 47,3 91,7 106,4 69,5 130,4 134,9 166,7 134,3
Maluku Utara Ternate 31,1 41,0 55,0 67,5 82,5 130,4 3 429,9 486,2 366,4 167,6 275,0 487,2 368,9 569,9
Papua Amamapare 1 172,1 1 130,9 1 271,1 1 342,6 853,5 2 304,4 249,8 3 109,2 2 584,1 3 857,5 4 885,4 3 528,7 1 996,8 2 609,3
Papua Bade Irian Jaya - - 4,8 43,0 10,6 15,4 59,1 0,0 0,0 0,0 121,7 75,5 72,4 63,3
Teluk
Papua Barat Kasim/Salawati 93,2 45,7 57,3 75,4 72,0 79,2 82,1 79,7 107,9 154,4 73,8 34,2 14,0 41,4
Papua Barat Sorong 80,3 52,0 - - - - - 0,0 0,0 0,0 170,4 194,4 222,4 203,2
Papua Barat Bintuni, Papua 20,4 21,7 - - - - - 0,0 0,0 15,0 1 411,7 2 738,5 3 338,5 3 198,6
Maluku dan Papua
Lainnya 58,0 114,8 111,7 129,4 81,6 123,0 236,6 12,6 53,0 50,9 139,7 240,2 308,4 300,3
Pelabuhan
Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 2009 1 2010 1 2011 1 2012 1 2013 1 2014 1 2015 1 2016 1
Utama
Sumatera
Utara Belawan 647,1 662,0 621,3 584,0 832,7 1 000,0 1 200,5 1 821,8 3 250,4 2 484,2 3 296,3 4 606,5 4 775,6 4 826,3 4 777,7 3 771,1 3 669,9
Riau Dumai 209,1 179,5 206,3 202,2 138,4 421,1 309,5 351,0 520,7 265,9 504,7 1 175,2 1 084,9 1 064,5 778,1
Perawang,
Riau Sumatra 492,5 332,7
Sumatera Musi River/Boom
Selatan Baru 0,0 0,0 109,4 98,0 33,2 135,9 216,3 146,7 209,4 205,3 359,3 552,2 506,4 551,3 740,0 1 435,5 977,7
Lampung Kota Agung 939,9 808,5 939,5 878,5 1 200,6 3 243,3 2 668,6 1 131,2 87,2 656,9 866,7 1 247,8 1 716,2 1 552,9 1 393,1
Lampung Panjang 1 474,0 1 535,9
Kepulauan
Riau Pulau Sambu 327,3 112,5 149,1 176,1 111,8 454,6 317,8 439,4 2 008,3 191,2 163,2 513,8 105,6 0,0 223,5
Kepulauan
Riau Tanjung Uban 6,3 13,3 107,1 211,7 577,2 726,9 656,8 1 262,7 973,2 363,6 955,0 1 214,6 2 624,9 2 417,3 2 072,7
Kepulauan
Riau Batu Ampar 3 642,5 3 445,3
Kepulauan
Riau Sekupang 2 423,2 1 850,6
Sumatera
Lainnya 2 055,8 1 427,2 1 028,1 600,4 697,1 1 663,4 1 905,8 2 249,5 12 868,5 10 654,1 11 738,0 13 694,0 15 158,5 14 218,2 13 189,9 5 322,1 5 149,6
DKI Jakarta Tanjung Priok 15 637,2 14 653,4 14 763,7 14 668,4 22 141,2 24 226,5 24 267,4 30 899,0 54 388,6 40 917,0 60 071,5 77 260,8 81 102,9 77 412,0 72 616,2 58 738,8 58 168,8
DKI Jakarta Sukarno Hatta 2 1 269,6 1 152,7 1 297,7 1 406,2 2 547,8 2 334,6 2 609,5 3 836,1 8 617,1 6 975,8 9 690,4 11 047,9 15 303,6 12 110,4 11 663,4 12 160,5 12 902,0
Banten Merak 1 639,7 1 063,3 1 236,0 1 337,0 2 518,6 2 199,0 2 970,3 3 015,7 5 017,2 3 719,7 5 096,1 6 904,5 6 463,0 6 631,8 7 257,8 4 732,7 3 748,0
Banten Cigading 259,0 231,9 361,7 479,6 1 063,4 1 127,3 1 455,7 1 811,7 2 076,5 1 744,7 2 507,6 3 549,8 3 961,7 4 059,0 3 347,7 2 852,9 2 807,5
Jawa Tengah Tanjung Emas 916,3 878,8 735,0 778,6 998,0 997,6 992,8 1 521,8 2 758,2 2 704,6 4 385,7 4 904,8 5 103,1 5 704,7 5 949,5 5 484,8 5 315,9
Jawa Tengah Cilacap 2 002,4 2 042,9 2 083,6 2 618,8 3 678,2 4 954,9 5 272,7 5 484,5 6 532,0 3 623,1 5 233,1 8 093,3 8 869,3 10 031,1 9 818,4 5 232,2 3 453,2
Jawa Timur Tanjung Perak 3 511,1 3 279,7 3 433,5 3 710,1 4 882,4 5 649,3 6 089,4 7 995,4 12 676,3 9 309,3 12 475,2 15 721,7 16 430,7 17 463,6 17 449,7 13 841,2 13 593,1
Jawa Lainnya 1 569,6 1 544,5 1 438,4 1 650,4 1 317,3 3 308,3 3 180,3 5 638,6 8 263,5 4 557,3 6 216,4 11 240,8 12 336,4 11 795,4 11 533,2 9 810,0 9 429,8
Bali Ngurah Rai 2 27,2 26,6 22,1 29,7 22,4 29,8 88,1 78,1 90,4 122,6 129,3 102,9 83,3 93,9 90,7
Bali Benoa/Loloan 5,0 1,1 7,3 15,6 3,8 25,9 5,3 504,0 644,4 637,1 828,1 911,8 41,9 36,9 161,9 33,4 45,9
NTB Benete ; 131,8 75,1
NTB Bima 140,0 131,2 139,2 141,2 112,8 204,1 261,6 230,9 291,8 175,3 287,6 306,8 263,7 171,9 97,9
NTT Tenau 7,2 26,5
NTT Waingapu 0,5 0,6 2,0 12,0 13,0 0,4 4,7 5,8 12,0 41,4 19,0 2,3
Bali dan Nusa Tenggara lainnya 49,0 22,7 45,3 20,2 3,6 35,1 22,1 7,6 3,2 3,5 91,7 66,2 60,0 426,4 182,4 40,6 109,4
Kalimantan
Barat Pontianak 108,2 60,4 39,0 54,0 37,0 50,1 66,1 85,2 94,9 85,6 131,1 207,6 470,2 404,5 428,7 267,0 255,7
Kalimantan
Selatan Kota Baru 121,1 140,3 85,7 80,5 99,0 102,3 411,8 169,8 76,5 660,2 1 419,4 2 593,7 2 752,7 2 478,1 2 127,9 785,8 555,1
Kalimantan
Selatan Banjarmasin 285,3 143,1
Kalimantan
Timur Balikpapan 747,3 1 217,4 1 404,2 1 835,5 2 488,4 2 942,0 3 428,9 3 868,6 4 239,2 3 908,8 5 042,8 5 572,6 6 122,0 7 228,0 6 557,7 4 319,4 2 963,5
Kalimantan
Timur Samarinda 103,0 219,3 215,4 244,0 101,6 194,0 173,7 152,1 298,9 255,5 486,2 513,1 543,7 439,7 533,8 248,4 162,0
Kalimantan
Timur Tanjung Sangata 70,0 70,2 66,6 50,8 86,7 300,6 224,7 138,2 490,9 454,2 334,5 742,5 1 135,5 1 008,2 699,8
Kalimantan
Utara Lingkas Tarakan 44,9 68,4 70,0 93,7 33,0
Kalimantan
Utara Nunukan 11,0 12,3
Kalimantan
Lainnya 396,7 313,5 188,8 99,2 83,6 174,1 897,9 269,2 498,4 595,3 868,5 1 238,5 1 233,6 1 328,8 1 192,6 1 712,0 992,4
Sulawesi
Utara Bitung 16,7 0,3 14,5 17,8 3,2 6,3 8,5 6,1 9,1 19,5 70,8 144,4 122,6 106,5 117,7 68,9 122,1
Sulawesi
Tengah Pantoloan 0,1 0,1 4,8 2,6 0,9 4,6 9,3 0,3 2,6 0,3 11,8 11,9 2,7 15,5 42,1 28,4 9,4
Sulawesi
Selatan Ujungpandang 102,2 92,3 8,0 82,5 134,6 166,8 179,7 277,6 500,9 422,8 688,8 1 072,1 872,3 876,7 570,1 345,6 250,2
Sulawesi
Selatan Malili, Sulawesi 68,4 55,1 40,6 7,4 11,9 237,8 293,9 232,6 365,8 144,6 266,8 292,4 308,5 313,1 243,5
Sulawesi
Selatan Makassar 266,5 415,2
Sulawesi
Lainnya 38,8 9,3 11,0 5,6 171,7 53,9 48,4 30,5 22,9 102,1 58,3 269,7 497,1 838,6 847,3 1 532,2 1 811,8
Maluku Ambon 13,7 0,3 65,2 4,4 3,2 4,7 14,0 7,1 113,7 92,4 312,3 340,9 423,8 354,7 387,0 256,6 204,2
Papua Barat Sorong 13,1 31,5 8,8 5,0 4,6 31,0 0,5 1,3 0,1 11,0 46,7 40,3 14,2 30,3 27,5 30,8 2,5
Papua Amamapare 498,6 507,8 422,1 456,3 413,9 690,0 867,8 832,2 1 206,0 793,8 921,7 1 099,2 1 020,4 503,9 1 011,1 653,0 614,0
Maluku dan Papua Lainnya 32,5 39,1 12,0 1,0 3,5 3,2 3,5 12,2 2,4 11,7 95,9 81,2 21,1 12,8 20,3 163,0 411,7
610644.0 572234. 610668.0 492913.0 658435.0 609337. 606350.0 615215.0 567447.0 566593.0 547444.0 502695.0 45216.0 44787.0 62019.0 44570.0 44978.0
Belawan 0 00 0 0 0 00 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0
Tanjung 1117078. 894915. 1305580. 1077441. 1224259. 953162. 1145766. 1300726. 1184112. 1277330. 1292991. 1247252. 404636. 387675. 567709. 419367. 474604.
Priok 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 - 00 00 00 00 00
Tanjung 961522.0 805570. 759429.0 633536.0 832729.0 875302. 667937.0 1177654. 1101502. 1118347. 717150.0 1007679. 553117. 595508. 657972. 585496. 935875.
Perak 0 00 0 0 0 00 0 00 00 00 0 00 - 00 00 00 00 00
Balikpap 924719.0 611667. 728115.0 679334.0 756491.0 531242. 876392.0 691453.0 118429.0 756674.0 999397.0 919314.0 974771. 803966. 704835. 777277. 861067.
an 0 00 0 0 0 00 0 0 0 0 0 0 - 00 00 00 00 00
Makass 233852.0 252455. 247506.0 207657.0 259356.0 234658. 278980.0 305820.0 299249.0 268643.0 249419.0 345845.0 189610. 242226. 218405. 247885. 206813.
ar 0 00 0 0 0 00 0 0 0 0 0 0 - 00 00 00 00 00
Sumber : Kantor Ad
ANALISIS DELINEASI PERBATASAN NEGARA (DARAT, LAUT, DAN LAUT LEPAS) PER KEPULAUAN MENURUT PETA YANG DIAKSES DI SOFTWARE GOOGLE MAPS
Indonesia terdiri dari 3 Perbatasan Darat ( Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara), Nusa Tenggara Timur, dan Papua; 5 Perbatasan Laut (Aceh dan Sumatera Utara), Riau dan Kepulauan Riau,
Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah; dan 1 Perbatasan Laut Lepas ( Seluruh provinsi di Kepulauan Sumatera Bagian Barat, seluruh provinsi di Kepulauan Jawa bagian Selatan), Seluruh
Kepulauan Nusa Tenggara bagian Selatan) .
Namun ada penambahan 3 provinsi yang tenyata berbatasan dengan negara tetangga maupun yang berbatasan dengan laut lepas, yaitu : Bangka Belitung; Bali; Nusa Tenggara Timur;
313
1. Perbatasan Darat Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara dengan Tidak berubah
dengan Malaysia Malaysia
Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste Tidak berubah
Papua dengan Papua Nugini Papua dengan Papua Nugini Tidak berubah
Perbatasan
2 Laut Aceh dan Sumatera Utara dengan Aceh dengan Myanmar Berubah (pemecahan provinsi karena beda negara tetangganya)
. Malaysia
Sumatera Utara dengan Thailand Berubah (pemecahan provinsi karena beda negara tetangganya)
JENIS
N PERBATASAN RTRWN 2008-2021 RTRWN 2022-2028 KETERANGAN
O
Perbatasan
2 Laut Riau – Kepri dengan Malaysia dan Riau dengan Malaysia Berubah
. Singapura (pemecahan provinsi, karena beda negara tetangga)
Jawa Timur dengan Australia Berubah ( penambahan 4 provinsi dengan negara tetangga yang
sama)
Perbatasan
2 Laut Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tidak berubah
. Tengah dengan Filiphina Tengah dengan Filiphina
Berubah
(1 provinsi tetap, 2 provinsi penambahan baru dengan negara
tetangga yang sama)
JENIS
N PERBATASAN RTRWN 2008-2021 RTRWN 2022-2028 KETERANGAN
O
Perbatasan
3 dengan Laut Seluruh Provinsi di Pulau Sumatera Bagian Seluruh Provinsi di Kepulauan Sumatera Tetap ( semua provinsi tersebut berbatasan dengan laut lepas di
Lepas
. Barat (Aceh, Sumatera Barat, dan Bagian Barat (Aceh, Sumatera Barat, dan bagian selatannya)
Bengkulu) Bengkulu)
JENIS
N PERBATASAN RTRWN 2008-2021 RTRWN 2022-2028 KETERANGAN
O
Perbatasan
3 dengan Laut Seluruh Provinsi di Kepulauan Nusa Seluruh Provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara
Lepas
. Tenggara Bagian Selatan bagian Barat (Nusa Tenggara Barat)
ana semua perbatasan per provinsi di masing – masing pulau / kepulauan eksisting menurut RTR Kepulauan revisi tidak tertangkap semua dengan software Google Maps. Sehingga dapat disandingkan
sebagai berikut.
Sasaran
Daya saing tenaga kerja salah satunya dicerminkan oleh keahlian dan ketrampilan pekerjaan merespon pasar yang semakin terbuka. Kecenderungan perusahaan untuk menjadi lebih fleksibel, dengan karakteristik
usaha yang tidak berorientasi pada tenaga kerja murah dan produksi massal, namun fleksibel untuk merespon berbagai kebutuhan tenaga kerja yang memiliki berbagai keahlian ( multi tasking), termasuk
kemampuan komunikasi, serta sikap untuk bekerja dalam bentuk kontrak maupun part time merupakan peluang dalam meningkatkan daya saing. Pasar tenaga kerja juga dituntut lebih efisien sehingga dapat
meningkatkan daya saingnya di pasar tenaga kerja global. Iklim ketenagakerjaan yang baik, mempertiimbangkan keperntingan pekerja dan pemberi kerja turut meningkatkan investasi, khususnya industri manufaktur
dan produktivitas.
1. Meningkatkan kualitas dan ketrampilan pekerja dengan memperbesar proporsi jumlah tenaga kerja yang kompeten dan diakui secara nasional dan internasional melalui serangkaian proses sertifikasi untuk
tenaga kerja berkeahlian tinggi dari 8,4 persen menjadi 14,0 perssen dan keahlian menengah dari 30,0 persen menjadi 42 persen;
2. Meningkatkan kinerha Lembaga pelatihan milik pemerintah untuj menjadi Lembaga pelatihan berbasis kompetensi dari 5 persen menjadi 25 persen;
3. Mempercepat pelaksanaan perjanjian saling pengakuan ( mutual recognition arrangement) yang belum dapat direaslisasikan, untuk sector jasa yang diprioritaskan, yaitu transportasi udara,teknologi informasi
dan komunikasi, dan jasa logistic;
4. Mengupayakan 7 ( tujuh) sector industri / perdagangan yang juga dibuka yaitu produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, produk bebasis kayu untuk melaksanakan
MRA;
5. Mengembangkan standard kompetensi regional ( regional competency standard framework), untuk sector jasa yang diprioritaskan dalam masyarakat ekonomi ASEAN;
6. Penetapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia di Lembaga Pendidikan / pelatihan untuk mencapai kesetaraan pengakuan, khususnya Lembaga pelatihan pemerintah;
7. Tersusunnya peraturan pemerintah dalam rangka pembentukan Lembaga independent pengelolaan dana pengembangan pelatihan;
8. Tersusunnya peta kompetensi industri untuk bidang dan sector jasa konstruksi, transportasi, pariwisata, industri pengolahan, pertanian – perikanan, industri kreatif, jasa logistic, teknologi komunikasi dan
informasi, jasa Kesehatan, jasa Pendidikan, dan sector energi, mineral, dan kelistrikan;
9. Meningkatnya peringkat daya saing efisiensi pasar tenaga kerja di tingkat internasional; dan
10. Meningkatnya jumlah pekerja formal dari 40,5 persen tahun 2014 menjadi 51,0 pedrsen tahun 2019.
Adapun arah kebijakan dan strategi yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja adalah :
d. Penataan Lembaga pelatihan berbasis kompetensi melalui pengelolaan program pelatihan yang komprehensif, dengan mengembangkan Lembaga pelatihan di tingkat pusat sebagai tempat pelatihan
unggulan, dan pendampingan bagi Lembaga pelatihan provinsi, serta Lembaga pelatihan provinsi menjadi unggulan dan pendampingan bagi Lembaga pelatihan kabupaten / kota, melalui :
1) Mempromosikan program penjangkauan ( outreach) dalam rangka menjalin hubungan Kerjasama dengan pemberi kerja dan Lembaga pelatihan swasta;
2) Membangun jejaring dan komunikasi intensif dengan masyarakat sekitar Lembaga pelatihan di daerah;
3) Memberikan sistem insentif berdasarkan kinerja untuk mendorong hasil pelatihan yang sesuai kebutuhan industri, dan
4) Meningkatkan kinerja dan efisiensi Lembaga pelatihan dengan memberikan otonomi / kewenangan penuh penyelenggara pelatihan.
2. Memperbaiki iklim ketenagakerjaan dan menciptakan hubungan industrial
a. Penyempurnaan peraturan yang dapat mendorong investasi padat pekerja agar dapat menyerap tenaga kerja di industri padat pekerja seperti sector sector tekstil dan garmen, alas kaki, makanan dan
minuman serta industri lainnya. Berkaitan dengan hal itu, peraturan mengenai kontrak berjangka waktu tertentu ( fixed terms) dan sub-kontrak terkait dengan permintaan output yang bersifat musiman,
menjadi prioritas untuk disempurnakan.
Peraturan pengupahan sebagai payung hukum kebijakan, antara lain upah minimum harus dapat menjada tingkat pendapatan dan standar hidup, daya belil pekerjaan menjaga tingkat pendapatan dan
standar hidup, daya beli pekerja berpenghasilan rendah, dan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja tetap lancar (adil, mudah dipahami, dan kepastian). Tinjauan terhadap kedua peraturan tersebut
haruslah menjadi bagian dari agenda pemerintah dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja.
1) Mengurangi biaya untuk mempekerjakan pekerja baru secara tetap atau permanen;
2) Memperbaiki fleksibilitas pengaturan kerja di tempat kerja;
3) Menyusun regulasi sistem pengupahan dikaitkan dengan produktivitas;
4) Menyempurnakan kebijakan pesangon dikaitkan dengan sistem jaminan pension; dan
5) Menignkatkan pencapaian kepatuhan perusahaan terhadap standar ketenagakerjaan yang berlaku.
b. Dalam menghadapi transisi hubungan industrial sesuai dengan lingkungan domestic dan internasional, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator mengawal “desentralisasi sistim hubungan industrial”. Sistim
hubungan industrial yang kuat didasarkan pada prinsip dan standar yang mengakui secara efektif terhadap kebebasan berserikat, dan hak untuk berorganisasi serta collective bargaining.
1) Perbaikan dalam prosedut penyelesaian perselisihan agar bersifat netral, transparan, kredibel ( dapat dipercaya) dan menghasilkan keputusan yang tepat waktu;
2) Meningkatkan kualitas Pendidikan Teknik – Teknik negosiasi;
3) Meningkatkan kelembagaan bipartite dan tripartite;
4) Pengaturan infrastrktur hubungan industrial dalam mewujudkan terselenggaranya desentralisasi hubungan industrial;
5) Perbaikan kerangka hubungan industrial untuk meningkatkan perkembangan serikat pekerja dan perundingan Bersama;
6) Pengenalan kewajiban hukum bagi semua pihak untuk bertindak berdasarkan itikad baik dalam negosiasi – negosiasi bipartite;
7) Pemberdayaan serikat pekerja sehingga serikat pekerja dapat sepenuhnya iktu serta dalam negosiasi – negosiasi bipartite dalam kedudukan yang sejajar dengan pemberi kerja;
8) Penegakan hukum bagi pelanggaran peraturan yang dapat merugikan pekerja dan pemberi kerja; dan
9) Peran instansi pemerintah di daerah seperti BAPPEDA perlu diefektifkan terutama di daerah / wilayah industri, dalam mendiring penguatan Lembaga hubungan industrial.
Tabel 1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Indonesia pada periode 2015 – 2018
Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri
Jenis Industri Manufaktur (Persen)
2015 2016 2017 2018
Industri Makanan 2.89 3.23 3.63 3.68
Industri Minuman 0.19 0.22 0.28 0.27
Industri Pengolahan Tembakau 0.41 0.29 0.36 0.36
Industri Tekstil 1.09 1.01 1.13 1.11
Industri Pakaian Jadi 1.89 1.89 1.98 2.04
Industri Kulit, barang dari kulit dan alas kaki 0.58 0.66 0.64 0.61
Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang
anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya 1.22 1.42 1.34 1.37
Industri kertas dan barang dari kertas 0.21 0.20 0.21 0.23
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 0.29 0.24 0.29 0.29
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi 0.04 0.01 0.05 0.05
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 0.28 0.26 0.35 0.34
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 0.12 0.08 0.11 0.11
Industri karet, barang dari karet dan plastic 0.49 0.39 0.44 0.45
Industri barang galian bukan logam 1.02 1.04 0.99 0.99
Industri logam dasar 0.20 0.16 0.20 0.18
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya 0.42 0.43 0.44 0.51
Industri komputer, barang elektronik dan optic 0.17 0.10 0.14 0.14
Industri peralatan listrik 0.15 0.12 0.14 0.14
Industri mesin dan perlengkapan YTDL 0.10 0.09 0.13 0.14
Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 0.18 0.17 0.15 0.17
Industri alat angkutan lainnya 0.27 0.16 0.23 0.22
Industri furniture 0.73 0.62 0.57 0.60
Industri pengolahan lainnya 0.47 0.49 0.54 0.55
Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 0.16 0.11 0.17 0.17
INDONESIA 13.53 13.41 14.51 14.72
SULAWESI UTARA 74.21 74.37 74.68 75.16 75.68 67.83 68.31 69.04 69.49 69.96 70.39 71.05 71.66 72.20 72.99 72.93
SULAWESI TENGAH 68.47 68.85 69.34 70.09 70.70 63.29 64.27 65.00 65.79 66.43 66.76 67.47 68.11 68.88 69.50 69.55
SULAWESI
SELATAN 68.06 68.81 69.62 70.22 70.94 66.00 66.65 67.26 67.92 68.49 69.15 69.76 70.34 70.90 71.66 71.93
SULAWESI
TENGGARA 67.52 67.80 68.32 69.00 69.52 65.99 66.52 67.07 67.55 68.07 68.75 69.31 69.86 70.61 71.20 71.45
GORONTALO 67.46 68.01 68.83 69.29 69.79 62.65 63.48 64.16 64.70 65.17 65.86 66.29 67.01 67.71 68.49 68.68
SULAWESI BARAT 65.72 67.06 67.72 68.55 69.18 59.74 60.63 61.01 61.53 62.24 62.96 63.60 64.30 65.10 65.73 66.11
MALUKU 69.24 69.69 69.96 70.38 70.96 64.27 64.75 65.43 66.09 66.74 67.05 67.60 68.19 68.87 69.45 69.49
MALUKU UTARA 66.95 67.51 67.82 68.18 68.63 62.79 63.19 63.93 64.78 65.18 65.91 66.63 67.20 67.76 68.70 68.49
PAPUA BARAT 64.83 66.08 67.28 67.95 68.58 59.60 59.90 60.30 60.91 61.28 61.73 62.21 62.99 63.74 64.70 65.09
PAPUA 62.08 62.75 63.41 64.00 64.53 54.45 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25 58.05 59.09 60.06 60.84 60.44
INDONESIA 69.57 70.10 70.59 71.17 71.76 66.53 67.09 67.70 68.31 68.90 69.55 70.18 70.81 71.39 71.92 71.94
THE EFFECT OF WAGES AND INFRASTRUCTURE ON FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) BY INDUSTRY IN SUMATERA ISLAND, SULAWESI ISLAND, AND JAVA ISLAND
ABSTRACT
As preliminary, there were some stylist facts related to : fluctuation of FDI, the spreadment of region as the investment recipient, and the dominancy of sectors as the investment targets. The inflow of foreign
direct investment (later is abbreviated as FDI) to Indonesia fluctuates. The sectors composition of FDI inflows recipient from 2009 to 2018 are dominated by the industrial sector i.e. 66.93%. During 2009 to 2018,
most of the FDI inflows were invested in Java by 48.71%. According to the table above, industry emerges as a dominant sector in 3 (three) islands, namely Java, Sulawesi, and Sumatra respectively 97.38%, 79.42%,
and 68.73%. Essentially, this study attempts to portrait the FDI (industry) flows of Sumatra Island., Sulawesi, and Java.
Based on several previous styudies showed that Minimum wages are one of the factors influencing the FDI choice of industrial locations (Owuka, 2011). And Infrastructure was another factor that significantly
influenced FDI industry (Iskandar, 2014), Huyen (2015), William (2015), and Singh (2008).
As a start of this study description, this section relates to the literature study as stated in CHAPTER 2, that the choices of variables and methods refers to the results of the respective examination. In this study,
researcher uses panel data of foreign direct investment (FDI) by industry from 10 (ten) provinces of Sumatra Island, 6 (six) provinces of Java Island, and 6 (six) provinces of Sulawesi Island from 2009 to 2018. The
number of observations is 10 x 22 = 220. Analysis of the data in this study uses regression of 22 provinces cross section panel data approach and time series of the last 10 years (2009-2018). In this case, panel data
regression will be applied to the secondary data since it is bound by the realization of the total foreign direct investment (FDI) by industry.
There are several variables one of which is minimum wages, which is a control variable, that is affected by the foreign direct investment (FDI) inflows. On the other hand, the electricity variable, CPI, and
dummy of Island/Islands spatial plan are variables affect significantly to the flow of FDI by industry in Sumatra, Java, and Sulawesi. At the same time, other variables, namely roads and labor do not significantly affect
the flow of FDI by industry in the three islands.
Keywords : CR12 (Regional Economic Activity : Growth Development, Environmental issues, and Changes), H7 (State and Local Government : Intergovernmental Relations), J2 (Wages,Compensation, and Labor
Costs), J5 (Labor – Management Relations, Trade Union, and Collective Bargaining), and O2 (Development Planning and Policy).
PENGARUH UPAH (MINIMUM DAN RELATIF) REGIONAL TERHADAP FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) PADA SEKTOR INDUSTRI DI PULAU JAWA
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan Upah terhadap fluktuasi aliran Foreign Direct Investment (FDI) pada sektor industri di Pulau Jawa dengan menggunakan metode regresi
data panel pada kurun waktu tahun 2005-2014. Dari hasil penelitian terbukti bahwa variabel upah (minimum dan relative) tidak signifikan mempengaruhi aliran FDI pada sektor industri di Pulau Jawa. Sedangkan
variabel infrastruktur (panjang jalan dan distribusi listik), maupun ukuran pasar (infrastruktur perdagangan) berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI pada sektor industri di Pulau Jawa.
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki karakter small open economy dimana partisipasi pada perdagangan internasional masih kecil sehingga tidak dapat mempengaruhi harga – harga barang dunia,
tingkat suku bunga dan pendapatan (Tommy, 2018).
Dalam bidang perdagangan internasional, peran FDI sangat penting. Karena di dunia yang sudah mengglobal ini suatu negara seperti Indonesia harus saling terbuka dan saling bekerjasama untuk membangun
ekonomi negara. Indonesia merupakan negara berkembang yang masih banyak membutuhkan dana investasi untuk membangun negarqa ini, telah dikatakan bahwa negara – negara utama sebagai negara yang
menanamkan modal di Indonesia adalah negara- negara maju yang dimana mereka melihat peluang yang ada untuk berinvestasi secara besar – besaran dengan jangka waktu yang panjang (Annisa, 2017).
Aliran FDI ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pada kurun waktu tahun 2011 – 2014, realisasi Aliran FDI secara umum
meningkat. Titik tertinggi adalah pada tahun 2013 sebesar 7.4 triliun dollar AS, dimana titik terendah adalah pada tahun 2011 sebesar 5,1 triliun dollar A.S. Jumlah Aliran FDI pada tahun 2011-2014 meningkat
33,33 %, dimana ada tren penurunan dari tahun ke tahun, masing – masing dari tahun 2011 – 2012 FDI meningkat 23,53 %, dari 2012 – 2013 meningkat 17,46 %, dan dari 2013 ke 2014 menurun 8,11 %.
Oleh karena itu, komposisi sektor – sektor yang menerima Aliran FDI pada tahun 2014 masih didominasi oleh sektor manufaktur sebesar 45,6 %, jasa pada peringkat kedua sebesar 29,9 %, dan tempat ketiga
adalah pertambangan sebesar 16,4 % dan tempat keempat adalah tanaman pangan dan perkebunan sebesar 7,7 %, sedangkan terendah adalah kehutanan, perikanan, dan peternakan, masing –masing 0,1 %.
Pada tahun 2014, sebagian besar aliran FDI yang diienvestasikan di Pulau Jawa adalah sebesar 65 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Sumatera sebesar 16 %. Diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 12 %. Ketiga
terakhir adalah Kalimantan sebesar 7 %, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua adalah sebesar 0%.
Upah minimum sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi. Dalam kurun waktu tahun 2005 – 2014, Upah Minimum Regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa, selalu meningkat. Tetapi tingkat
peningkatan dari tahun ke tahun berbeda diantara tiap provinsi. Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan upah minimum yang hampir sama. Sedangkan Banten dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan upah minimum lebih tinggi daripada 4 (empat) sprovinsi tersebut, walaupun sejak tahun 2011 – 2014, Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan upah minimum jauh
lebih tinggi dari Banten.
Gambar 1.3. Volatilitas dari upah minimum regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa selama periode 2005 -2014
Gambar 1.4. Volatilitas aliran Investasi Asing Langsung pada sektor industri di Pulau Jawa selama periode 2005 - 2014
Sumber : bkpm.go.id
Dari grafik garis di atas, kita dapat melihat bahwa aliran FDI pada sektor industri selama periode 2005 – 2014 pada provinsi – provinsi tersebut dapat dilihat bahwa ada sebuah tren peningkatan dari Jawa Barat,
Banten, dan Jawa Timur. Walaupun mereka menunjukkan volatilitas selama 2005 – 2011, tetapi meningkat selama 2011 – 2014. Sedangkan pada provinsi – provinsi lain menunjukkan stabilitas pertumbuhan FDI
pada sektor Industri.
Terkait dengan volatilitas pada upah minimum regional pada keenam provinsi di Pulau Jawa, aliran FDI di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi kedua terendah diduga karena tingginya Upah Minimum
Regional (UMR). Sedangkan Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta mendapatkan FDI lebih rendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Kondisi berbeda terjadi pada Jawa Barat dan Jawa
Timur, walaupun upah minimum regionalnya hampir sama dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi aliran FDI lebih tinggi. Dan Banten sebagai tertinggi kedua dimana Jawa Tengah
dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta menunjukkan tingginya FDI, lebih tinggi daripada Jawa Timur, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat.
Gambar 1.5. Fluktuasi dari jumlah perusahaan multinasional pada tiap provinsi di Pulau Jawa
Di sisi lain, jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi di Pulau Jawa berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut tercatat bahwa jumlah perusahaan multi nasional meningkat. Daerah
Khusus Ibukota Yogyakarta selalu terendah dalam hal jumlah perusahaan asing. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan jumlah perusahaan multi nasional. Jumlah perusahaan multi nasional di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten menunjukkan fluktuasi yang stabil. Dimana Jawa Barat selalu menjadi peringkat teratas jumlah perusahaan asing.
Terkait dengan volatilitas upah minimum regional di 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan jumlah perusahaan multi nasional teremdah walaupun upah minimum
regionalnya rendah,jumlah perusahaanmulti nasional di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi secara konstan menurun karena tingginya upah minimum regional. Sedangkan di Jawa Tengah mendapatkan
jumlah perusahaan multi nasional yang stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena upah minimum regional rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa
Barat, dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi jumlah perusahaan multi nasional ke mereka
selalu lebih tinggi dibandingkan dengan keempat provinsi lainnya.Dan Banten dan Jawa Barat selalu menjasi peringkat tertinggi pertama dan kedua, walaupun tingginya jumlah perusahaan multi nasional, walaupun
upah minimum regionalnya tinggi dan di Jawa Barat upah minimum regionalnya relatif sama dengan di Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Gambar 1.6. Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada industri Padat karya di Pulau Jawa pada kurun waktu 2005 – 2014
Sumber: bkpm.go.id
Dari grafik garis di bawah, industri yang padat karya yang paling berfluktuasi adalah di Banten, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sejak 2007, Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan fluktuasi
yang sama dan jumlah Aliran FDI hampir sama. Sedangkan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta stabil.
Kita berpindah dari aliran FDI dari industri padat karya di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi.Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut merekam bahwa aliran FDI langsung ke industri –
industri padat karya relatif meningkat. Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu menjadi terbawah dalam hal aliran FDI. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan aliran FDI selama 2010 – 2012.
Aliran FDI pada industri padat karya di Pulau Jawa relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tetapi lebih tinggi sejak tahun 2011- 2014. Sedangkan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten selalu menjadi
tiga teratas aliran FDI industri padat karya.
Terkait dengan volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan aliran FDI yang terendah walaupun upah minimum regionalnya
lebih rendah. Aliran investasi asing langsung dari industri padat karya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun selama kurun waktu 2009 – 2012 diduga karena tingginya upah minimum regional. Sedangkan
Provinsi Jawa Tengah memperoleh aliran FDI stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena upah minimumj regionalnya lebih rendah. Kondisi berbeda
terjadi di Jawa Timur, dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi aliran FDI nya selalu lebih tinggi daripada
keempat provinsi tersebut. Dan Banten dan Jawa Barat selalu menjadi tertinggi pertama dan kedua dalam hal jumlah perusahaan multi nasional, walaupun upah minimum regional di Jawa Barat relatif sama dengan
Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Gambar 1.7. Volatilitas dari Aliran investasi asing langsung dari Industri Padat Modal
Sumber : nswi.bkpm.go.id
Di sisi lain, aliran FDI dari industri padat modal di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi tersebut mencatat bahwa jumlah aliran FDI dari sektor industri padat modal relatif
meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta selalu menjadi yang terbawah dari aliran investasi asing langsung dari industri padat modal. Jawa Timur menunjukkan
aliran investasi asing langsung dari industri padat modal sedikit lebih tinggi dari ketiga provinsi lainnya. Aliran FDI dari industri padat modal di Jawa Barat dan banten menunjukkan fluktuasi yang tidak stabil
walaupun menjadi dua teratas dari aliran FDI dari industri padat modal selama periode 2011 – 2014.
Terkait dari volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selalu mendapatkan aliran FDI dari industri padat modal yang rendah
walaupun upah minimum regionalnya rendah. Aliran FDI dari industri padat modal menjadi tetap rendah sebagai tiga terbawah karena tingginya upah minimum regional.Sedangkan Jawa Timur memdapatkan aliran
FDI yang sedikit lebih tinggi daripada ketiga provinsi lainnya merujuk pada upah minimum regional yang hampir sama. Kondisi yang berbeda terjadi di Jawa Barat, dimana upah minimum regional dari provinsi-
provinsi tersebut relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan Banten dan Jawa Barat selalu menjadi pertama dan kedua tertinggi dalam hal aliran FDI dari industri padat
modal,walaupun upah minimum regional di Banten tinggi dan di Jawa Barat upah minimum regional sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Menurut Wahyono pada tahun 2012, beberapa faktor – faktor lain yang mempengaruhi lokasi pabrik adalah lokasi konsumen, sumber bahan mentah, upah pegawai, ketersediaan air, suhu, listrik, transportasi,
lingkungan, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Tata Ruang dan Pertanahan yang mengatur luas Kabupaten / Kota yang diperuntukan untuk kegiatan lindustri
ataupun kawasan budidaya yang diperbolehkan untuk dibangun untuk kegiatan industri. Sebagaimana tercantum pada dokumen Rencana Strategis 2015-2019 Direktorat Jenderal Tata Ruang, bahwa fungsi tata
ruang dalam pembangunan adalah menentukan sektor – sektor yang didorong atau dikendalikan. Sedangkan fungsi pertanahan adalah menentukan luas lahan kawasan budidaya berdasarkan UMR menurut PP 13
tahun 2006 dan PP 46 tahun 2002, dan penentuan izin kawasan budidaya berdasarkan zona nilai tanah pada PP128 tahun 2015.
Menurut Bank Indonesia pada tahun 2007, walaupun memiliki potensi yang menjanjikan dapat dilihat dari pasar dan sumberdaya yang melimpah, tetapi iklim investasi yang tidak kondusif di Indonesia, menyebabkan
tidak menarik investor seperti beberapa tahun yang lalu sebelum krisiskeuangan. Terutama, investasi jangka panjang sehingga investasi baru dalam hal peningkatan kualitas produk dalam jumlah kecil bahkan
negatif. Akar dari permasalahan dari permasalahan mengarahkan pada produk ekpor dari Indonesia menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Permasalahan yang terkait dengan investasi sangat kompleks, mulai dari keamanan, stabilitas politik dan sosial, ketidakpastian hukum, kondisi infrastruktur sebagai contoh ketersediaan listrik yang tidak stabil,
telekomunikasi, juga jalan dan fasilitas pelabuhan dan kondisi tenaga tenaga kerja yang menjadi lebih buruk. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah beberapa perusahaan asing yaitu industri padat karya seperti
elektronik, tekstil, pakaian jadi, dan perusahaan sepatu merelokasi produksinya ke negara – negara lainnya seperti Thailand, Malaysia,dan Vietnam.
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi nasional) di Pulau Jawa, tren dari aliran FDI (semua industri,
industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi nasional), peranan upah minimum regional dan faktor – faktor lain mempengaruhi aliran FDI (semua industri, industri padat karya, industri
padat modal, dan jumlah perusahaan multi nasional) ke sektor industri di Pulau Jawa.
2. TINJAUAN PUSTAKA
the Investment Coordinating Board data in 2018, from 2009 to 2018, the realization of
The inflow of foreign direct investment (later is abbreviated as FDI) to Indonesia fluctuates. Based on FDI inflows showed an increasing trend. The highest point was recorded in 2013
attracted 21.5 trillion US dollars, while the lowest was in 2009 to the point of 3.9 trillion US dollars. In light of the above, the number of FDI inflows from 2009 to 2018 increased by 231.39% despite
some declines in certain years. As can be seen from these data, there were some FDI decreased in 2014, 2015, 2017, and 2018 respectively amounted to 11.01%, 5.19%, 10.62%, and 22.69%. In
addition, there was also an increasing trend of decline in other years as showed in this following breakdown: 63.38% in 2009-2010 period, 77.46% in 2010-2011, 38.86% in 2012 and 36, 93% in
2013, and 3.11% in 2016.
The sectors composition of FDI inflows recipient from 2009 to 2018 are dominated by the industrial sector i.e. 66.93%. The mining sector is 22.77% equals to the second rank. The third place
is agriculture at 10.29%, while other sectors with small FDI values are not the part of this study.
According to the table above, industry emerges as a dominant sector in 3 (three) islands, namely Java, Sulawesi, and Sumatra respectively 97.38%, 79.42%, and 68.73%. Bali Island, Nusa
Tenggara, Papua, and Kalimantan are dominated by the mining sector with an investment percentage in the range of 41.36%-85.35%. On the other hand, agriculture is not a dominant sector in the
island/islands.
Minimum wages are one of the factors influencing the FDI choice of industrial locations (Owuka, 2011).
During 2009 to 2018, most of the FDI inflows were invested in Java by 48.71%. In the second place was Kalimantan Island at 17.30%, followed by Sulawesi Island at 11.49%. The last four are
Papua at 9.50%, Sumatra at 8.87%, Bali and Nusa Tenggara at 2.41%, and Maluku at 1.71%.
Menurut Sichei, et.al (2012) Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI adalah biaya tenaga tenaga kerja yang tinggi menyiratkan biaya produksi yang lebih tinggi dan diharapkan untuk membatasi arus masuk FDI.
Biaya tenaga tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat upah.
Dengan tingkat tenaga tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong FDI. Karena biaya tenaga tenaga kerja yang rendah dapat mengurangi biaya produksi. Karena konsekuensi dari biaya
produksi yang rendah dapat meningkatkan laba perusahaan. Jadi, harga produk relatif rendah, sebagai akibatnya permintaan juga akan meningkat. (Yogatama, 2011).
Peningkatan Upah Minimum Regional di Indonesia memiliki korelasi dengan biaya produksi suatu perusahaan. Jika peningkatan tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas tenaga tenaga kerja, maka produk suatu
perusahaan akan berkurang. Akibatnya, tingkat investasi akan berkurang juga. (Frederica dan Ratna Juwita, 2013).
Biaya tenaga tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan. Ketika ada peningkatan biaya tenaga tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya tenaga kerja rendah
sebagai salah satu faktor pendorong FDI karena biaya tenaga tenaga kerja yang lebih rendah akan menjaga biaya produksi rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan.
Biaya tenaga tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output dan daya
saing tinggi sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang memiliki biaya tenaga tenaga kerja rendah. (Marcelia, et.al)
Berdasarkan Teori Efisiensi Upah (Mankiw, 2003 tentang Syarif 2015) menjelaskan bahwa Teori Efisiensi Upah menggambarkan bahwa ada korelasi antara upah dan produktivitas tenaga tenaga kerja. Jadi, jika ada
penurunan upah yang akan mengurangi laba perusahaan, kondisi ini akan menurunkan produktivitas dan laba perusahaan.
• Teori Efisiensi Upah Pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan petenaga kerja menjadi lebih produktif, upah juga memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruh upah terhadap efisiensi akan
menjadi kegagalan suatu perusahaan karena dengan mengurangi upah akan berdampak pada menurunnya produktivitas petenaga kerja dan tentu saja laba perusahaan.
Teori Efisiensi Upah Kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan siklus petenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan mengurangi petenaga kerja, kemungkinan
petenaga kerja yang akan meninggalkan petenaga kerjaan mereka, pada saat yang sama tidak perlu waktu untuk merekrut dan melatih para petenaga kerja baru.
Teori Efisiensi Upah Ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata petenaga kerja bergantung pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan mengurangi upah, karena konsekuensinya petenaga
kerja terbaik akan meninggalkan perusahaan dan pindah ke tempat lain, dan petenaga kerja tidak terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih sedikit alternatif.
Teori Efisiensi Upah Keempat menyatakan bahwa jika upah tinggi memperbaiki upaya produktivitas petenaga kerja. Fokus teory ini jika perusahaan tidak dapat memonitor dengan sempurna pada upaya petenaga
kerja, dan petenaga kerja harus memutuskan dengan mereka sendiri seberapa jauh mereka dapat betenaga kerja keras. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan dapat memotivasi petenaga kerja untuk
betenaga kerja lebih keras, untuk meningkatkan produktivitas.
Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara efisien jika membayar petenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga perusahaan berpendapat bahwa mempertahankan
upah yang tinggi akan menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan yang mendatangkan keuntungan, tentunya hal ini juga sesuai dengan keuangan perusahaan.
Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan massa yang cepat adalah kekuatan daripada yang bisa mengungguli munculnya produktivitas (Legowo, 2010). Jayne, dkk (2009)
menambahkan bahwa peningkatan biaya pada infrastruktur mengurangi biaya produksi perusahaan dan sebagai konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Priyanti, 2012: 20).
Sebagian besar jurnal-jurnal tersebut menggunakan total FDI sebagai variabel dependen. Sedangkan tiga jurnal lainnya telah melakukan studi yang lebih spesifik yang menggunakan Investasi Industri Tekstil dan
Produk Tekstil (Asmara, 2013), FDI di Sektor Pertanian (Rashid, 2016), dan FDI Sumber Utama Minyak dan Gas Bumi (Iskandar) , 2014).
Upah adalah faktor utama yang mempengaruhi FDI. Selain itu, variabel penjelas lainnya telah ditambahkan ke model dalam penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hubungan FDI.
Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011), Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), dan Mihai.
Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk berinvestasi. Ini dapat didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William (2015) dan Amaro (2006).
Faktor-faktor terakhir yang didefinisikan sebagai penentu FDI adalah inflasi. Menurut Iskandar pada tahun 2014, Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015) dan Ruth (2003).
Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulisnya. Calhoun, et all (2002) telah menyelidiki hubungan kualitas tenaga tenaga kerja dan orientasi ekspor ke Investasi Asing Langsung di Negara-negara
Berkembang Individu. Onwuka dalam penelitiannya tentang tingkat Upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan Investasi Asing Langsung (2011) memperkirakan bahwa tingkat upah, intensitas ekspor,
intensitas impor, keterbukaan perdagangan, nilai tukar, dan tarif rata-rata juga mempengaruhi FDI ke ASEAN lima negara.
2.2.3. Metode
Sebagian besar penelitian terkait FDI menggunakan Data Panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat freedoom, lebih
efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu diantara waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial
yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, relatif tinggi dalam fleksibilitas saat memodelkan perilaku yang berbeda dari individu dibandingkan dengan data lintas bagian, dan dapat
menjelaskan penyesuaian dinamis pada cara yang lebih baik (Alia Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama (Ruth, 2014). Sedangkan, penelitian lain yang diterapkan
Panel Data dilakukan menggunakan Fixed Effect Method (FEM) untuk menguji The Determinant. FDI di Industri Sumber Minyak dan Gas di Indonesia. Analisis Tingkat Upah, Blok Perdagangan Regional, dan Lokasi
Keputusan FDI antara lima Negara ASEAN selama 1976 hingga 2000 menggunakan Data Panel. Lainnya adalah Rashid (2016) .
Vektor Autoregression Model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan
acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam Vector Autoregression Model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous). (Mutasen).
Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari pengaruh Upah Riil dan Produktivitas Tenaga Tenaga kerja pada FDI adalah Analisis Rangkaian Waktu. Kemungkinan interaksi simultan
antara investasi langsung dan beberapa variabel independen diperbolehkan dengan menggunakan pendekatan tiga tahap-kuadrat terkecil.
2.2.4. Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah. (Owuka, 2011). Temuan ini memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan penelitian tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil dengan hasil negatif tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman (1987) dan Amaro (2006). Juga menurut Mihai,
peningkatan upah disumbangkan ke penurunan FDI.
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap Investasi Asing Langsung Sumber Utama Industri Minyak dan Gas Bumi, yang reserach dilakukan oleh Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen (2015), William (2015) Singh
(2008). Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa infrastruktur menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap FDI.
Sedangkan Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap Investasi Langsung Asing sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2016) dan William (2015)
bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap Investasi Asing Langsung. Hampir hasil yang sama, Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan bahwa Inflasi negatif tetapi tidak signifikan terhadap FDI.
3. METODOLOGI
Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan data panel FDI sektor Industri di 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa selama periode 2005 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 10 x 6 = 60. Analisis menggunakan
pendekatan regresi data panel karena cross section 6 (enam) provinsi dan time series waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir (2005 - 2014). Dalam hal ini Regresi Data Panel akan diterapkan pada data sekunder karena
terikat dengan realisasi total FDI Sektor Industri dari 6 (enam) provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Metode yang saya gunakan adalah Panel, karena ada
aturan bahwa minimal obsevasi adalah 30 (tiga puluh).
Ketersediaan data, deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data tersedia dari 2005-2014. Periode Observasi adalah 10 (sepuluh) tahun.
Variabel Dependen adalah Investasi Asing Langsung Sektor Industri. Sesuai dengan isu-isu strategis yang relevan dengan penelitian. Untuk membuktikan di mana variabel dependen memiliki korelasi dengan latar
belakang observasi.
Variabel Independen yang berfungsi sebagai variabel control adalah Upah (minimum dan relatif) Sedangkan variabel independen lainnya adalah infrastruktur (panjang jalan dan kapasitas distribusi listrik), inflasi,
PDRB, keterbukaan perdagangan (rasio bongkar muat), dan dummy RTRWN. Ada kerangka empiris dan teoritis yang mendukung menjembatani antara variabel dependen dan independen. Beberapa orang
mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.
Area Obeservasi adalah Semua provinsi di pulau Jawa. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia.
Kemudian persamaan dari variabel dependen tersebut dibagi menjadi 4 (empat) persamaan, seperti di bawah ini:
FDI allit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerja itu + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit
logFDI labintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI it + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit
logFDI capintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit
logMNCit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy itu + εit
Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi investasi di atas adalah:
1) β 1 <0; upah minimum regional Peningkatan upah minimum regional akan mengurangi investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya produksi) yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus, (Emmi,2015).
2) β 2 <0; upah minimum relatif Peningkatan upah minimum relatif akan mengurangi investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya produksi) yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
3) β 3> 0; Indeks Harga Konsumen Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai realisasi investasi. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga barang sebagai input produksi, kondisi
ini akan memaksa kenaikan biaya produksi secara keseluruhan, sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh investor, kondisi ini akan mengurangi faktor dorongan investasi di akhirnya
akan menurunkan nilai total nilai investasi, ceteris paribus.
4) β 4> 0; Panjang jalan nasional Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif terhadap total nilai investasi, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total aspal jalan akan mempercepat mobilitas distribusi
produk sehingga menurunkan biaya produksi secara keseluruhan, dalam kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim investasi yang kondusif dan peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris paribus.
(Emmi,2015).
5) β 5> 0; Distribusi listrik ke industri Jika kapasitas listrik meningkat maka investasi juga meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris
paribus.
6) Β6> 0; jumlah tenaga tenaga kerja Jumlah tenaga tenaga kerja yang besar dan berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah
kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.
7) Β7> 0; Produk Domestik Regional Bruto Jika Produk Domestik Regional Bruto meningkat maka investasi juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
8) β 8> 0; rasio antara beban dan membongkar Jika rasio beban dan membongkar meningkat maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
9) Kebijakan dummy Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam National Spatial Planning maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
Analisis Regresi Data Panel: Membuat model penentu penelitian Investasi Langsung Asing; Lakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Lakukan estimasi dengan model Fixed Effect Model (FEM);
Lakukan Chow test untuk menentukan memilih model PLS dan FEM. Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih; Lakukan estimasi model Random Effect model (REM); Lakukan tes
Hausman untuk menentukan model antara FEM atau REM. Jika probabilitas Chi Square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.
Uji Asumsi Regresi untuk menghasilkan model yang robust dimana perlu dilihat uji multikolinier, uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear akan dilakukan dengan Breusch Pagan LM Test of
Independence dimana jika p-value tes etimation chi square akan kurang dari alpha 5% sehingga terjadi fenomena otokorelasi. Heteroskedastisitas mana p-value uji estimasi chi square kurang dari alpha 5%
sehingga ada fenomena heteroskedastisitas.
Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri – industri padat karya, investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah
perusahaan asing di sektor industri dilakukan dengan pendekatan regresi data panel yang melibatkan data cross section yaitu 6 (enam) provinsi di pulau Jawa dan time series dengan kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
(2005-2014). Penelitian ini lebih mengedepankan variabel utama upah minimum dan upah relatif dengan faktor variabel control yaitu, indeks harga konsumen, panjang jalan, listrik yang didistribusikan ke industri,
jumlah tenaga tenaga kerja yang betenaga kerja di sektor industri,Produk Domestik Regional Bruto, Keterbukaan Pasar dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan antara model Pooled Least Square ( PLS) dengan Fixed Effect Model (FEM) dengan uji Chow. Bila hasil pengujian diperoleh
jika nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5% maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model Pooled Least Square (PLS) dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Breusch
Pagan Lagrange Multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh jika p-value uji Breusch Pagan Lagrange Multiplier kurang dari alpha 5 % maka REM adalah model yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian
Fixed Effect Model (FEM) dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Hausman. Bila hasil pengujian diperoleh jika p-value uji Hausman kurang dari alpha 5 % maka REM adalah model yang terbaik.
1. Model 1. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) semua jenis industri
Hasil Uji Chow = 0.0055, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0000.
2. Model 2. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Karya
Hasil Uji Chow = 0.0002, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0401.
3. Model 3. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Modal
Hasil Uji Chow = 0.0474, Hasil Uji LM = 1.0000, danHasil Uji Hausman = 0.0545.
4. Model 4. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Jumlah Perusahaan Asing
Hasil Uji Chow = 0.0000, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0,0384.
Dalam model pertama terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Dalam
model kedua terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Dalam model
ketiga terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Bagitu juga dengan
model keempat terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Secara
keseluruhan model terbaik yang menggambarkan keterkaitan faktor – faktor yang memperngaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri – industri padat karya, investasi luar
negeri industri padat modal, dan jumlah perusahaan asing di sektor industri adalah FEM.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier, uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas.Uji multikolinier dilakukan dengan analisis korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan
dengan Breusch Pagan LM test dan uji heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald Test yang dilakukan dengan software Stata 13.
Dalam model kesatu, kedua, ketiga, dan keempat Keternukaan Pasar dan Dummy RTRWN memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol dikedua variabel tersebut. Sedangkan untuk variabel –
variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol di variabel –variabel tersebut.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 % terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sementara variabel listrik berperngaruh positif signifikan pada alfa 1 %
terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sedangkan variabel – variabel lainnya tidak berperngaruh aliran FDI semua jenis industri.
Berdasarkan hasil di atas, variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 5 % terhadap aliran FDI Industri Padat Karya. Sementara variabel jalan berpengaruh positif signifikan pada alfa 10 % terhadap aliran
FDI Industri Padat Karya. Sedangkan variabel – variabel lainnya tidak terbukti berpengaruh terhadap aliran FDI Industri Padat Karya.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 % terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sementara variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 %
terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sedangkan variabel – variabel lainnya tidak berpengaruh aliran FDI Industri Padat Modal.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel jalan berpengaruh negatif signifikan pada alfa 5 %
terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel – variabel lainnya tidak
berpengaruh terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing.
Pada model kesatu, kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah
minimum berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara pada model ketiga
terkait determinan aliran FDI industri padat modal terlihat bahwa upah minimum berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang serupa bahwa upah tidak berpengaruh terhadap investasi pada industri padat karya. Sedangkan menurut penelitian Emi (2015)
menunjukkan upah minimum juga tidak berpengaruh terhadap investasi baik aliran FDI maupun Domestic Direct Investment (DDI). Dalam proses jangka pendek memang terlihat bahwa investasi di Indonesia
meningkat akan tetapi kenaikan upah minimum yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan investasi yang selanjutnya dapat berdampak buruk terhadap struktur perekonomian. Upah yang
tinggi menjadi beban pengusaha atau investor karena biaya operasional perusahaan dari biaya tenaga tenaga kerja meningkat. Disatu sisi bila produk yang dihasilkan tidak kompetitif maka dalam jangka panjang
perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang mengatakan peningkatan upah minimum menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap keuntungan yang mungkin
diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan resiko berbisnis di Indonesia, petenaga kerja mengiinginkan peningkatan upah melalui unjuk rasa dan mogok tenaga kerja. Tetapi jika peningkatan upah diikuti dengan
peningkatan produktivitas maka Indonesia akan tetap kompetitif bersaing dengan negara lain dan bisa menarik minat investor.
Pada keempat model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
terlihat bahwa upah relatif berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya
tidak signifikan.
Aliran modal yang meningkat menyebabkan naiknya permintaan tenaga kerja yang terampil, sehingga upah relatif juga meningkat. (Feenstra, 2015).
Pada model kesatu dan kedua, terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan aliran FDI industri pada karya terlihat bahwa Indeks Harga Konsumen berpengaruh positif terhadap aliran FDI
semua jenis industri dan aliran FDI industri padat karya, walaupun tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga dan keempat terkait determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah
perusahaan asing terlihat bahwa indeks Harga Konsumen berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun tidak signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Giordano Dell-Amore Foundatio menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor stabilitas makroekonomi merupakan determinan penting dari aliran investasi, karena
hasilnya signifikan. Sedangkan menurut Emi (2015) dengan meningkatnya inflasi maka akan menurunkan minat investasi di sektor manufaktur. Pengaruh inflasi terhadap investasi dengan arah kausalitas negatif
dapat dijelaskan pertama dengan kenaikan inflasi menunjukkan adanya kenaikan harga yang mana selanjutnya akan mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua,
penurunan uang beredar akan menekan suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi akan menurun.
Variabel Jalan
Pada model pertama, ketiga dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa
panjang jalan berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara pada model
kedua terkait determinan aliran FDI industri padat karya menunjukkan panjang jalan berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat karya dan hasilnya signifikan.
Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri yang memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi. (Samir, 2016)
Variabel Listrik
Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa listrik
berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing dan hasilnya signifikan.
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya Odi (1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai halangan maupun peluang investasi asing. Mayoritas
negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau potensi untuk menarik investasi asing jika pemerintah di
negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut Jordan (2004) mengemukakan bahwa
Infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara dan oleh karena itu merangsang aliran investasi asing ke negara tersebut.
Sementara menurut Emi (2015) dengan meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos
produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik maka akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Tentu kondisi ini akan
mendorong kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.
Pada model kesatu, kedua, dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa tenaga
tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI industri padat modal tetapi tidak signifikan. Pada model keempat terkait determinan aliran
FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa tenaga tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Sebagaimana penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa angkatan kerja sebagai salah satu penentu aliran FDI dalam hal penentuan lokasi FDI, yang menjelaskan pentingnya modal manusia. Walaupun
hasilnya tidak signifikan. (Danciu,et.al, 2015)
Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa Ukuran Pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, dan hasilnya signifikan, sedangkan untuk
aliran FDI industri padat karya hasilnya tidak signifikan.
Sebagaimana penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa PDB mempengaruhi penentuan lokasi dan perkiraaan pendapatan dari adanya FDI , (Randelovie,2017).
Pada model kesatu dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan berpengaruh positif terhadap aliran
FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat modal, walupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran
FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Menurut penelitian sebelumnya dari Giordano (2007) menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung. Peran dari FDI untuk pasar dalam negeri dan sisanya untuk
pasar luar negeri.
Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa
RTRWN berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga
terkait determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Menurut penelitian sebelumnya, dengan adanya kebijakan spasial yang menyebabkan adanya aglomerasi perusahaan, sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran perusahaan. (Garretsen,et.al,
2007).
Sebagaimana pada analisis teori dan regresi, signifikansi variabel listrik, jalan dan PDRB dipengaruhi juga oleh kebijakan spasial yang berlaku, diantaranya kebijakan tata ruang dan pertanahan. Dimana pada kedua
kebijakan tersebut sebagai prasyarat dibangunnya infrastruktur pendukung dari kawasan industri.
Analisis Peraturan Tata Ruang yang terkait dengan peruntukan Kawasan Industri sebagaimana termuat di PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Tingkat Nasional yang berlaku sejak tahun 2008.
Gambar 4.1. Peruntukan ruang untuk Kawasan Industri di Pulau Jawa pada kurun waktu 2008 – 2017
Sumber: Direktorat Perencanaan Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019
Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan industri di provinsi DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,dan Jawa Barat hampir sama (56% - 98 %), sedangkan ruang untuk kawasan industri di
Provinsi Banten dan DI Yogyakarta masih tergolong kecil (1 %-17%). Adapun perincian luas kawasan industri di masing – masing provinsi didasarkan pada kabupaten – kota apa saja yang dijadikan kawasan
budidaya strategis nasional dengan peruntukan ruang untuk kegiatan industri(RTRWN, 2008).Dengan perincian sebagai berikut: provinsi Banten dialokasikan pada 2 kabupaten / kota dengan total luas 1.909.780
hektar atau 17,37 % dari luas provinsi Banten. Provinsi DKI Jakarta dialokasikan pada 5 kabupaten / kota dengan total luas 653.630 hektar atau 98,69 %dari luas provinsi DKI Jakarta. Berikutnya untuk provinsi Jawa
Barat dialokasikan pada 16 kabupaten / kota dengan total luas 21.123.940 hektar atau 56,73 % dari luas provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah dengan alokasi di 20 kabupaten / kota dan total luas 19.973.482
hektar atau 61, 37 % dari luas provinsi Jawa Tengah. Sebagai provinsi terkecil, DIY dialokasikan pada 1 kota dengan luas 32,5 hektar atau 1,02 % dari luas provinsi DIY. Terakhir adalah provinsi Jawa Timur dimana
dialokasikan pada 19 kabupaten / kota dengan total luas 3.112.425 hektar atau 65 % dari luas provinsi Jawa Timur.
Gambar 4.2. Peruntukan ruang untuk Kawasan Budidaya di Pulau Jawa pada kurun waktu 2008 – 2017
Sumber: Direktorat Penilaian Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019
Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan budidaya di provinsi Jawa Tengah, DKIJakarta, Banten, dan DI Yogyakarta tergolong tinggi (66% - 100 %), sedangkan ruang untuk kawasan
industri di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masih tergolong kecil (9 %-34%). Pada zona-1, dengan kisaran 100 – 136 % adalah provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Tertinggi adalah provinsi Jawa
Tengah dengan presentase luas kawasan budidaya 136 %. Hampir menyamai provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta dengan presentase luas kawasan budidaya 100, 42 %. Pada zona -2 dengan
presentase 51 % - 100 % adalah provinsi DIY dan Banten, dengan masing – masing presentase 66, 15 % dan 77,19 %. Terakhir pada zona – 3 dengan kisaran presentase kurang dari 50 % adalah 34,09 %
untuk provinsi Jawa Timur dan 9,06 % untuk provinsi Jawa Barat.
5.1. Kesimpulan
Terdapat beberapa channeling yang berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, yaitu : Channeling 1 dan Channeling 2. Dimana Channeling 1 menjelaskan adanya pengaruh biaya tenaga tenaga kerja tinggi
terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk provinsi DKI Jakarta sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai. Sedangkan untuk Channeling 2, dimana biaya tenaga tenaga kerja
rendah, berpengaruh terhadap FDI yang tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak sesuai.
Terdapat juga channeling yang tidak berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, dikarenakan inkonsistensi hasil, yaitu : Channeling 3, Channeling 4, Channeling 5, Channeling 6,7, dan 9, serta Channeling 10.
Dimana Channeling 3, yang menjelaskan pengaruh UMR meningkat dengan konsekuensi FDI berkurang. Kami menemukan hasil tidak konsisten di semua provinsi. Hal yang sama terdapat di Channeling 4,
dimana biaya tenaga tenaga kerja tinggi, diharapkan tidak ada rekomendasi investasi, hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Selain itu, Channeling 5, dimana biaya tenaga tenaga kerja rendah,
sehikngga ada rekomendasi investasi, hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Situasi yang sama terjadi pada Channeling 6,7, dan 9, dimana upah naik, diharapkan jumlah tenaga tenaga kerja berkurang,
hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Serupa dengan Channeling 10, dimana apabila infrastruktur transportasi meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya tidak konsisten di semua provinsi.
Lebih lanjut, ada channeling yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu Channeling 8, dikarenakan tidak adanya kebijakan atau kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh Channeling 8, dimana upah
berkurang, sehingga jumlah tenaga tenaga kerja berubah, tidak dapat dibuktikan karena di Pulau Jawa karena tidak terjadi penurunan upah di sektor industri.
Ada beberapa variabel,yaitu : Upah minimum dan upah relatif, sebagai variabel kontrol tidak dipengaruhi oleh aliran FDI.
Berbeda halnya dengan variabel listrik, jalan, dan ukuran pasar yang signifikan mempengaruhi aliran FDI. Dimana Model pertama terkait determinan Model pertama terkait determinan aliran FDI semua jenis
industri secara signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Model kedua terkait determinan aliran FDI industri padat karya secara signifikan dipengaruhi oleh listrik dan jalan. Pada model ketiga terkait
determinan aliran FDI industri padat modal secara signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Pada model keempat terkait determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing secara signifikan dipengeruhi
oleh listrik, jalan, dan ukuran pasar.
Sedangkan variabel lainnya yaitu, IHK, keterbukaan perdagangan, tenaga kerja, dan dummy RTRWN tidak signifikan mempengaruhi aliran FDI.
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah perlu mendahulukan sesuai urutan signifikansi variabel – variabel yang mempengaruhi aliran FDI. Dimana
harus diutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi listrik ke industri untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan
asing peningkatan PDRB untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, dan peningkatan panjang jalan untuk aliran FDI industri padat karya dan
aliran FDI jumlah perusahaan asing).
Untuk arah pengembangan wilayah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, orientasi pembangunan diarahkan pada kondisi eksisting dari masing – masing variabel yang secara signifikan
mempengaruhi aliran FDI. Yaitu pengembangan semua industri diutamakan untuk wilayah yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) tinggi,
yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta. pengembangan industri padat karya untuk wilayah dengan distribusi listrik dan jalan lebih tinggi, yaitu Jawa Timur, DKI
Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan D.I Yogyakarta. Pengembangan industri padat modal untuk provinsi yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya (infrastruktur perdagangan berupa toko,
kios, mall, dan pasar) lebih tinggi, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta. Sedangkan pengembangan jumlah perusahaan asing untuk provinsi dengan
distribusi listrik industri, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) lebih tinggi, yaitu Jawa Barat, DKI dan Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan D.I.Yogyakarta.
Untuk arahan pendanaan per sektor, perlu menitikberatkan pada signifikansi dan nilai koefisien masing – masing provinsi. Seperti yang tercantum di bab 4, bahwa variabel –variabel yang signifikan adalah listrik,
jalan, dan ukuran pasar. Sehingga pendanaannya mengikuti urutan nilai koefisien dari variabel – variabel tersebut.Untuk provinsi Banten : pengurangan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar). Sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta:penambahan anggaran listrik, jalan,dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan
berupa toko, kios, mall, dan pasar). Sementara untuk provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tidak ada perubahan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar).
Sedangkan terkait perizinan kawasan budidaya mengikuti aliran FDI yang masuk untuk setiap kelompok FDI sebagai berikut : Provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta, provinsi Banten, DI Yogyakarta,
provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Sehingga perlu ada pengurangan luas lahan budidaya untuk provinsi Banten dan penambahan luas lahan budidaya untuk provinsi Jawa Barat.
REFERENSI
Atmaja, 2017. Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
Danciu, Aniela Raluca. 2015. Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.
Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing Countries : A cross sectional Analysis
Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment (FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia, 2015.
Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In Agriculture Sector Based on Selected Highincome Developing Economies in OIC Countries: an Empirical Study on The Provincial Panel Data By Using Stata,
2003-2012. Procedia, 2016.
Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A Panel Data Analysis. Global Journal of Management and Business Research, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New Evidence From Cointegration and Error Correction Model. The Journal of developing Areas, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective. Indian Journal of Industrial Relations, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An Empirical Analysis. Global Journal of Human Social Science, 2010.
Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi, 2013.
Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics, 2015.
Feestra, Robert, et.al. Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages, 1995. NBER Working Papers Series.
Garretsen, Harry, et al., 2007. FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country Effects Matter for Dutch FDI? DNB Working Paper.
Iskandar, Yudi.et.al. Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Journal IPB.
Mankiw, Gregory. 2006. Macroeconomics. Jakarta:Erlangga.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al. 2011. Does ukuran pasar affect FDI? The Case of Pakistan.
Onwuka, Kevin Odulukwe. 2011. Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review.
Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and Infrastructure. The Journal of Developing Areas.
Randelovie,et.al 2017. Market Size as a Determinant of The Foreign Direct Investment Inflows in the Western Balkans Countries. Economics and Organization.
Raharjo, et.al. 2005. The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing Industry. 2012. International Journal of Economics and Finance.
Samir, Saidi. Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. 2016. Journal of Bussiness Management and Economics.
Syarif, Emi.2015. The Impact of Increasing Minimum Wage Policy on The Development of Investment on Manufacturing Industry.
The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model. International Business Review, 2015.
The Determinants of FDI in Small Developing Nation States: an Exploratory Study. Social and Economic Studies, 2008.
The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows to Individual Developing Countries. Puget Sound e Journal of Economics.
The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54, No.1.
The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco. Giordano Dell-Amore Foundation, 2007.
DAFTAR LAMAN
www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.
www.kompasiana.com. Foreign Direct Investment dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.
www.sbm.binus.ac.id. FDI di Indonesia.
6.7. Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan menggerakkan sector – sector strategis ekonomi domestik
Table 6.14.
Sesuai arahan UU No, 17 / 2007 tentang RPJPN 2005 – 2025, UU No. 18 / 2012 tentang Pangan, dan UU No. 19 / 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani dan sasaran di atas, maka arah kebijakan
umum ketahanan pangan dalam RPJMN 2015 – 2019 adalah :
1) Pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok;
2) Stabilisasi harga bahan pangan;
3) Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat;
4) Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan; serta
5) Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan terutama petani, nelayan, dan pembudidayaan ikan.
Arah kebijakan pemantapan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan pokok dilakukan dengan 4 strategi utama, sebagai berikut :
3) Peningkatan kapasitas pusat – pusat pembibitan ternak untuk menghasilkan bibit – bibit unggul, penambahan induk sapi, penyediaan pakan yang cukup dan pengembangan padang penggembalanaan,
serta memperkuat system pelayananan Kesehatan hewan nasional untuk pengendalian penyakit, khususnya zoonozis;
4) Pengembangan produksi daginga non sapi dengan meningkatkan produktivitas melallui perbaikan bibit, pakan, dan Kesehatan hewan;
c. Peningkatan produksi tanaman pangan lainnya, kebun, dan hortikultura berbasis sumber daya local melalui peningkatan luas tanam termasuk di lahan kering seluas 1 juta ha di luar pulau Jawa dan Bali dan
produktivitas tanaman pangan dan hortikultura terutama jagung, kedelai, sagu, cabai, bawang yang adaptif terhadap kondisi iklim serta pengembangan 1.000 desa pertanian organic;
d. Peningkatan akses petani terhadap sumber – sumber pembiayaan dan penyempurnaan skim kredit yang didukung Pemerintah melalui kemudahan prosedur bagi petani, penyediaan jaminan resiko dan
pembayaran subsidii bunga yang tepat waktu serta pendirian unit perbankan atau Lembaga pembiayaan untuk pertanian, UMKM dan koperasi;
e. Peningkatan kemampuan petani, organisasi petani dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama pelibatan aktif perempuan petani / pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan;
f. Penciptaan daya Tarik sector pertanian bagi petani / tenaga kerja muda melalui peningkatan investasi dalam negeri di pedesaan terutama dalam industrialisasi dan mekanisasi pertanian;
g. Penciptaan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas komoditas pertanian terutama melalui Kerjasama antara swasta, Pemerintah dan Perguruan tinggi;
h. Pengembangan Kawasan sentra produksi komoditas unggulan yang diintegrasikan dengan model pengembangan techno park dan science park, dan pasar tradisional serta terhubung dengan tol laut;
i. Penguatan system keamanan pangan melalui perkarantinaan dengan pengendalian zoonosis; dan
j. Pengembangan pola produksi ramah lingkungan dan sesuai perubahan iklim dengan penerapan produksi organic, bibit spesifik local yang bernilai tinggi, pertanian hemat air dan penggunaan pupuk organic.
3. Peningkatan produksi perikanan, melalui:
a. Ekstensifikasi dan intensifikasi produksi perikanan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi, melalui:
1) Peningkatanproduktivitas dan pengembangan Kawasan sentra produksi perikanan budidaya sesuai potensi dan keunggulan local;
2) Peningkatan produksi perikanan tangkap dengan memperhatikan stok dan aspek berkelanjutan;
3) Pengembangan budidaya laut ( marikultur) di lokasi – lokasi potensial;
4) Pendayagunaan perairan umum daratan untuk perikanan dan didukung penerapaan teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan;
5) Penguasaan dan inovasi teknologi intensif untuk pembesaran komoditas ikan strategis dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;
6) Melanjutkan revitalisasi tambak – tambak dan kolam yang tidak produktif;
7) Pengembangan, penyediaan, dan penerapan teknologi perikanan yang memperhatikan daya dukung lingkungan;
b. Penguatan factor input dan sarana prasarana pendukung produksi, dengan :
1) Menjamin ketersediaan dan kemudahan rantai distribusi input, yang mencakup BBM, induk unggul, benih ikan berkualitas, obat – obatan, dan pakan bermutu berbasis bahan baku local;
2) Penguatan system dan jaringan penyediaan induk dan perbenihan, termasuk di daerah Timur Indonesia;
3) Pengembangan kapasitas manajemen dan infrastruktur Pelabuhan perikanan dan sarana penangkapan ikan;
4) Pemenuhan pasokan air minum dan energi ( listrik) di Pelabuhan perikanan;
5) Pengembangan infrastruktur irigasi ke tambak dan kolam dengan Kerjasama li;ntas pelaku dan pemerintah daerah;
6) Pengembangan pelayanan Kesehatan ikan dan lingkungan di sentra produksi perikanan budidaya;
7) Penyediaan sarana karamba jarring apung untuk akuakultur; dan
c. Penguatan keamanan produk pangan perikanan, melalui :
1) Penguatan pengendalian, pengawasan dan advokasi mutu dan keamanan produk periknan, sertifikasi dan standarisasi mutu dalam negeri serta pengembangan dan penerapan sertifikasi eco labelling
dan ketelusuluran product, serta cara penangkapan ikan yang baik, cara budidaya ikan yang baik dan penerapan sertifikasi hasil tangkapan ikan;
2) Peningkatan efektivitas karantina untuk pengendalian penyakit, jaminan mutu produksi dan keamanan pangan melalui system karantina yang terintegrasi (integrated quarantine and safety control
mechanism) dan pencegahan / penanggulangan penyakit ikan (bio security); dan
3) Pengembangan produk perikanan berkualitas dan memenuhi standar hazard analysis dan critical control untuk menjamin keamanan produk dan mutu pangan olahan.
Arah kebijakan peningkatan stabilitas harga melalui peningkatan kualitas distribusi pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan dilakukan melalui :
Arah kebijakan perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat, dilakukan melalui :
1) Penguatan promosi, advokasi dan kampanye public untuk konsumsi ikan dan produk olahan berbasis ikan, melalui Gerakan ekonomi kuliner rakyat kreatif dari hasil laut, bazaar, lo;mba inovasi menu ikan,
pengembangan pusat promosu dan pemasaran hasil perikanan;
2) Peningkatan peran serta berbagai pemangku kepentingan dalam upaya penggalakan minat dan konsumsi makan ikan di masyarakat;
3) Pengembangan system informasi produk perikanan dan harga ikan yang mudah diakses masyarakat;
4) Pemenuhan ketersediaan komoditas perikanan yang berkualitas, mudah dan terjangkau di masyarakat dalam rangka mendukung ketahanan pangan;
5) dan diversifikasi konsumsi produk olahan perikanan; dan
7. Peningkatan peran industry dan pemerintah daerah dalam ketersediaan pangan beragam, aman, dan bergizi:
1) Peningkatan komposisi bahan pangan local dalam industry pangan;
2) Pengembangan “beras” yang menggunakan bahan tepung – tepungan local non beras dan non terigu didukung fortifikasi mikronutrien penting ( misalnya vitamin A dan E, zat besi);
3) Penguatan pengawasan peredaran bahan pangan berbahaya dalam rangka keamanan pangan.
Arah kebijakan mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama mengan tisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme tanaman dan penyakit hewan, melalui :
8. Penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi bagi petani dan pembudidaya ikan yang terkena puso atau banjir sserta kompensasi bagi nelayan yang terkena dampak ekstrim perubahan iklim;
9. Pelaksanaan dan pengembangan instrument asuransi pertanian untuk petani dan nelayan yang diawali dengan pilot project;
10. Pengembangan penih unggul tanaman pangan dan jenis / varietas ikan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim dan penerapan kalender tanam; dan
11. Perluasan penggunaan teknologi budidaya pertanian dan perikanan yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Arah kebijakan peningkatan Kesehatan pelaku utama penghasil bahan pangan, dilakukan melalui :
1. Perlindungan petani melalui penyediaan dan penyempurnaan system penyaluran subsidi input, pengamanan harga produk hasil pertanian di tingkat petani dan pengurangan beban resiko usaha tani;
2. Pemberdayaan petani, nelayan. Pembudidaya ikan, dan petambak garamm melalui pendataan usaha petani, peningkatan ketrampilan, dan akkses terhadap sumber – sumber permodalan;
3. Peningkatan akses dan asset opetani, nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dengan land reform dan program penguasaan lahan untuk pertanian terutama bagi petani gurem dan buruh tani.
KALIMANTAN
TIMUR 92982.00 89769.00 88846.00 90786.00 92934.00 84235.00 88308.00 82796.00 90518.00 90887.00 63323.00 55485.00 57000.00
KALIMANTAN
UTARA - - - - - - - - - - 21762.00 21775.00 21448.00
SULAWESI UTARA 64605.00 59393.00 57969.00 60262.00 61098.00 61133.00 61134.00 52789.00 56181.00 56173.00 56157.00 60475.00 55820.00
SULAWESI
TENGAH 121670.00 120049.00 113715.00 119463.00 128250.00 129016.00 130879.00 136241.00 137786.00 143475.00 146721.00 141448.00 128323.00
SULAWESI
SELATAN 619084.00 626634.00 558935.00 552940.00 560989.00 567520.00 565601.00 572089.00 576559.00 592376.00 602728.00 623139.00 628148.00
SULAWESI
TENGGARA 66939.00 69432.00 73646.00 62286.00 65338.00 82806.00 89601.00 83356.00 85585.00 92280.00 95378.00 96826.00 103812.00
GORONTALO 27598.00 25955.00 25561.00 25668.00 27794.00 31327.00 29062.00 29566.00 28707.00 30728.00 32239.00 32116.00 32058.00
SULAWESI BARAT - - 60531.00 48884.00 50800.00 53220.00 56056.00 59476.00 55016.00 59020.00 61070.00 62312.00 61292.00
MALUKU 8401.00 8542.00 8542.00 8657.00 10035.00 11461.00 11281.00 11451.00 14085.00 15972.00 15042.00 13519.00 13394.00
MALUKU UTARA 11867.00 11867.00 11867.00 11867.00 11782.00 13630.00 8890.00 9478.00 9093.00 9359.00 10510.00 10516.00 11802.00
PAPUA BARAT 4719.00 6290.00 7051.00 7735.00 8395.00 9116.00 9249.00 7711.00 7648.00 8330.00 9587.00 9587.00 10126.00
PAPUA 36021.00 36021.00 28970.00 28970.00 26397.00 29018.00 27454.00 27757.00 27756.00 27756.00 42350.00 42843.00 44462.00
7876565.0 7844292.0 7743764.0 7791290.0 7855941.0 7991464.0 8068327.0 8002552.0 8095962.0 8127264.0 8128499.0 8111593.0 8087393.0
INDONESIA 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7. Mendukung kedaulatan pangan melalui rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi dan pembangunan 1 juta ha jaringan irigasi yang meliputi jaringan irigasi permukaan, jaringan irigasi rawa dan jaringan irigasi air
tanah;
8. Mengurangi area rawan genangan melalui solusi structural pengendalian banjir, sedimen /lahar gunung berapi dan pengamanan pantai serta solusi structural manajemen banjir antara lain kesiapsiagaan
banjir serta penataan Kawasan. Indikator sasaran tersebut adalah terbangunnya flood management di 33 Balai Wilayah Sungai beserta penerapan perangkat manajemen pengendalian banjirnya;
9. Pembangunan prasarana air baku dalam rangka mendukung pencapaian pelayanan air minum dari kapasitas sebelumnya sebesar 51,44 m3/detik menjadi 118,6 m3 . detik, dengan indicator terbangunnya
prasarana air baku sebesar 67,16 m3/detik; dan
10. Pengelolaan kualitas air, baik di sungai, waduk, danau, situ, muara sungai, pantai, dengan indicator membaiknya kualitas air di 15 danau, 5 wilayah sungai.
Tabel 6.15
dan DAS
c. Pemulihan kesehatan 5 DAS prioritas ( DAS CIliwung, DAS 0 DAS 15 DAS 5 DAS Prioritas yang
Citarum, DAS Serayu, DAS Bengawan Solo dan DAS Brantas) Prioritas difokuskan dimulai sejak
dan 10 DAS prioritas lainnya s.d. 2019 tahun 2015 dan 10 DAS
prioritas lainnya ( total 15
DAS s.d. 2019)
d. Perlindungan mata air di 5 DAS prioritas ( DAS Ciliwung, DAS 0 DAS 15 DAS 5 DAS Prioritas yang
Citarum, DAS Serayu, DAS Bengawan Solo dan DAS Brantas) Prioritas difokuskan dimulai sejak
dan 10 DAS prioritas lainnya sampai dengan 2019 tahun 2015 dan 10 DAS
prioritas lainnya ( total 15
DAS s.d. 2019) melalui
konservasi sumber daya
air secara vegetatif,
pembangunan embung
dan pengendali, dam
penahan,gully plug di
daerah hulu DAS,serta
sumur resapan
e. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemulihan 500.000 ha 12.700.000 Dalam bentuk
kesehatan DAS melalui pengembangan hutan tanaman rakyat, ha penambahan luas HTR,
hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat, dan hutan rakyat HKM,, HD, Hutan adat
serta peningkatan hasil hutan bukan kayu danHR dan peningkatan
hasil hutan non kayu
f. Internalisasi 108 RPDAST yang sudah disusun ke dalam RTRW 0 108 Dipastikannya 108
RPDAST RPDAST yang sudah
disusun dalam RPJMN
2010 - 2014 diacu oleh
RTRW prov/Kab//Kota
yang bersangkutan
g. Pembangunan embung dan dam pengendali skala kecil dan 0 DAS 15 DAS 5 DAS Prioritas yang
menengah di daerah hulu 15 DAS prioritas difokuskan dimulai sejak
tahun 2015 dan 10 DAS
prioritas lainnya ( total 15
DAS s.d. 2019)
h. Peningkatan kualitas air sungai sebagai sumber air baku Baku mutu Baku mutu Penyediaan sistem
rata – rata rata- raya pemantauan
KODE SUB
PULAU / CARBON HOUSEHOLD GOVERNMENT
KEPULAUAN NAMA PROVINSI TAHUN EMISSION CONSUMPTION SPENDING IPM EKSPOR IMPOR PENDUDUK INFLATION TOWERS
1 ACEH 2010 0 55438432.71 19572175.74 67.09 1 326,3 223,6 4494410 4.64 159.26
1 ACEH 2011 247 59464214.13 22804177.33 67.45 1 406,3 345,7 4494410 3.32 159.26
1 ACEH 2012 137,41 63571782.01 25153975.63 67.81 1 197,2 546,1 4494410 0.06 156.93
1 ACEH 2013 102,41 68817214.34 29655933.43 68.30 930,4 483,5 4494410 6.39 128.54
1 ACEH 2014 50,01 74185221.08 31463525.27 68.81 501,2 459,2 4494410 7.83 201.25
1 ACEH 2015 -195,72 79851130.37 35180034.54 69.45 38,8 1213,1 4494410 1.27 232.10
1 ACEH 2016 110,02 85639166.37 31802695.62 70.00 0,0 1059,2 4494410 3.13 232.10
1 ACEH 2017 109,41 91768957.81 34058018.76 70.60 0,0 1106,4 4494410 4.86 224.27
1 ACEH 2018 55,6 97053993.71 35423023.59 71.19 0,8 1656,7 4494410 1.93 221.13
1 ACEH 2019 9,63 103294496.91 38121413.50 71.90 4,8 1593,1 4494410 1.93 239.55
1 ACEH 2020 0 104428468.72 35299828.62 71.99 0,3 1569,7 4494410 1.93 239.55
1 SUMATERA UTARA 2010 0 178332312.83 25707619.69 67.09 7 429,0 3296,3 12982204 7.65 2450.67
1 SUMATERA UTARA 2011 247 198151435.05 29568520.01 67.34 10 057,7 4606,5 12982204 3.54 2450.67
1 SUMATERA UTARA 2012 137,41 222744922.75 33386620.71 67.74 8 871,9 4775,6 12982204 3.79 3501.67
1 SUMATERA UTARA 2013 102,41 251415642.84 37523215.11 68.36 7 982,3 4826,3 12982204 10.09 3625.32
1 SUMATERA UTARA 2014 50,01 281431384.00 40798560.90 68.87 7 808,1 4777,7 12982204 8.24 4116.45
1 SUMATERA UTARA 2015 -195,72 306071858.51 43960453.55 69.51 6 618,1 3771,1 12982204 3.32 4241.54
1 SUMATERA UTARA 2016 110,02 333511725.39 46072715.84 70.00 6 768,8 3669,9 12982204 6.60 4241.54
1 SUMATERA UTARA 2017 109,41 364057391.98 51838128.31 70.57 8 111,6 4392,7 12982204 3.18 4832.95
1 SUMATERA UTARA 2018 55,6 397422809.82 56298765.87 71.18 7 743,3 5206,3 12982204 1.00 5017.05
1 SUMATERA UTARA 2019 9,63 430766355.21 57417178.40 71.74 6 786,8 4256,6 12982204 1.00 5679.04
1 SUMATERA UTARA 2020 0 424494987.37 56258272.38 71.77 6 921,4 3786,1 12982204 1.00 5679.04
2 SUMATERA BARAT 2010 0 59421725.64 14298111.53 67.25 2 214,6 223,6 4846909 7.84 33.45
2 SUMATERA BARAT 2011 247 65668166.97 15856436.96 67.81 3 030,0 345,7 4846909 5.37 33.45
2 SUMATERA BARAT 2012 137,41 72191823.49 17675534.77 68.36 2 362,9 546,1 4846909 4.16 32.93
2 SUMATERA BARAT 2013 102,41 80265541.43 19683675.57 68.91 2 208,6 483,5 4846909 10.87 32.91
2 SUMATERA BARAT 2014 50,01 88282601.42 21622467.67 69.36 2 105,4 459,2 4846909 11.90 72.67
2 SUMATERA BARAT 2015 -195,72 96531830.74 24255718.84 69.98 1 753,1 1213,1 4846909 0.85 305.15
2 SUMATERA BARAT 2016 110,02 103844966.07 25511598.02 70.73 1 708,1 1059,2 4846909 5.02 305.15
2 SUMATERA BARAT 2017 109,41 112706034.50 26894124.14 71.24 2 045,5 1106,4 4846909 2.11 283.03
2 SUMATERA BARAT 2018 55,6 122631948.77 28994008.80 71.73 1 598,1 1656,7 4846909 2.55 59.84
2 SUMATERA BARAT 2019 9,63 133817325.72 31103493.49 72.39 1 337,7 1593,1 4846909 2.55 821.68
2 SUMATERA BARAT 2020 0 130886399.01 28852523.81 72.38 1 531,3 1569,7 4846909 2.55 821.68
2 RIAU 2010 0 107024045.49 15917523.93 68.65 11 855,0 504,7 5538367 7.00 111.23
2 RIAU 2011 247 128523814.32 18344814.53 68.90 16 594,6 1175,2 5538367 5.09 111.23
2 RIAU 2012 137,41 149001458.78 19750383.10 69.15 15 552,0 1084,9 5538367 3.35 157.67
2 RIAU 2013 102,41 171473394.95 21227801.18 69.91 14 197,8 1064,5 5538367 8.83 175.48
2 RIAU 2014 50,01 197162815.61 20562897.64 70.33 14 021,3 778,1 5538367 8.53 172.62
2 RIAU 2015 -195,72 222173095.96 23462836.56 70.84 11 416,4 492,5 5538367 2.71 173.80
2 RIAU 2016 110,02 241264481.36 25547536.97 71.20 10 894,4 332,7 5538367 4.19 173.80
2 RIAU 2017 109,41 259002304.12 26760715.29 71.79 12 979,7 391,2 5538367 4.07 353.76
2 RIAU 2018 55,6 272940741.94 27733833.57 72.44 12 506,6 436,9 5538367 2.54 317.09
2 RIAU 2019 9,63 287375389.50 31529677.36 73.00 8 961,7 502,4 5538367 2.54 373.22
2 RIAU 2020 0 288576671.18 32802658.50 72.71 10 403,9 310,1 5538367 2.54 373.22
2 KEP. RIAU 2010 0 41227435.61 6740477.81 71.13 8 328,1 118,2 1679163 6.17 301.47
2 KEP. RIAU 2011 247 45818761.02 7599014.19 71.61 11 346,3 1728,4 1679163 3.32 301.47
2 KEP. RIAU 2012 137,41 50422624.19 8661512.44 72.36 10 462,8 2730,5 1679163 3.92 371.43
2 KEP. RIAU 2013 102,41 56772721.87 9780476.89 73.02 11 618,7 2417,3 1679163 10.09 381.21
2 KEP. RIAU 2014 50,01 63725521.84 10962687.42 73.40 9 116,8 2296,2 1679163 7.49 736.48
2 KEP. RIAU 2015 -195,72 73064167.14 12384396.32 73.75 7 549,8 6065,7 1679163 2.46 736.80
2 KEP. RIAU 2016 110,02 82862014.41 13810271.14 73.99 7 411,7 5295,9 1679163 3.06 736.80
2 KEP. RIAU 2017 109,41 92444110.41 14737145.11 74.45 7 232,2 5531,9 1679163 3.37 882.54
2 KEP. RIAU 2018 55,6 99260506.76 14732688.97 74.84 7 883,9 8283,3 1679163 2.36 969.62
2 KEP. RIAU 2019 9,63 106928431.18 15130646.71 75.48 8 323,7 7965,5 1679163 2.36 1005.94
2 KEP. RIAU 2020 0 109034717.89 14952633.06 75.59 9 481,8 7848,5 1679163 2.36 1005.94
3 JAMBI 2010 0 44927946.05 8024190.02 65.39 4 184,6 223,6 3092265 10.52 12.82
3 JAMBI 2011 247 48838206.95 9417666.96 66.14 5 348,9 345,7 3092265 2.76 12.82
3 JAMBI 2012 137,41 54317104.07 10881354.28 66.94 5 130,6 546,1 3092265 4.22 51.38
3 JAMBI 2013 102,41 59598782.59 12000226.23 67.76 4 646,9 483,5 3092265 8.74 50.06
3 JAMBI 2014 50,01 66802356.10 13000173.13 68.24 5 075,4 459,2 3092265 8.72 51.54
3 JAMBI 2015 -195,72 71817541.17 14353139.19 68.89 4 086,9 1213,1 3092265 1.37 60.37
3 JAMBI 2016 110,02 76982264.56 14663951.76 69.62 3 683,2 1059,2 3092265 4.54 60.37
3 JAMBI 2017 109,41 83274310.36 15936632.29 69.99 4 650,0 1106,4 3092265 2.68 50.57
3 JAMBI 2018 55,6 89324493.96 16968265.43 70.65 5 033,7 1656,7 3092265 3.02 43.13
3 JAMBI 2019 9,63 96343529.88 18189861.51 71.26 4 331,0 1593,1 3092265 3.02 52.77
3 JAMBI 2020 0 97657350.81 17840939.69 71.29 3 533,6 1569,7 3092265 3.02 52.77
3 SUMATERA SELATAN 2010 0 124895817.95 15769668.87 64.44 3 513,6 359,3 7450394 6.02 2380.92
3 SUMATERA SELATAN 2011 247 145350838.51 18500923.96 65.12 5057,4 552,2 7450394 3.78 2380.92
3 SUMATERA SELATAN 2012 137,41 164016852.81 20445006.34 65.79 4 371,7 506,4 7450394 2.72 2540.13
3 SUMATERA SELATAN 2013 102,41 188289444.92 22542613.64 66.16 3 915,6 551,3 7450394 7.04 2663.26
3 SUMATERA SELATAN 2014 50,01 208208393.62 24444772.49 66.75 3 083,8 740 7450394 8.38 3018.06
3 SUMATERA SELATAN 2015 -195,72 222487659.92 25889700.37 67.46 2 442,4 1435,5 7450394 3.05 3146.21
3 SUMATERA SELATAN 2016 110,02 240977338.86 26313943.52 68.24 1 978,6 977,7 7450394 3.68 3146.21
3 SUMATERA SELATAN 2017 109,41 257277121.62 29902575.60 68.86 3 307,4 398,7 7450394 2.85 4494.22
3 SUMATERA SELATAN 2018 55,6 277771062.14 32460274.02 69.39 3 734,1 718,7 7450394 2.78 4458.37
3 SUMATERA SELATAN 2019 9,63 296904975.01 36686874.55 70.02 3 611,9 503,3 7450394 2.78 4348.66
3 SUMATERA SELATAN 2020 0 296555351.56 32465000.46 70.01 3 050,2 936,9 7450394 2.78 4348.66
3 BENGKULU 2010 0 17930119.30 5681452.76 65.35 4 184,6 223,6 1715518 9.08 23.24
3 BENGKULU 2011 247 20297687.14 6214001.11 65.96 5 348,9 345,7 1715518 3.96 23.24
3 BENGKULU 2012 137,41 23006942.59 6867336.72 66.61 5 130,6 546,1 1715518 4.61 24.04
3 BENGKULU 2013 102,41 26025111.97 7615202.55 67.50 4 646,9 483,5 1715518 9.94 24.04
3 BENGKULU 2014 50,01 29476477.89 8850671.55 68.06 5 075,4 459,2 1715518 10.85 43.54
3 BENGKULU 2015 -195,72 33165076.29 10231616.83 68.59 4 086,9 1213,1 1715518 3.25 25.89
3 BENGKULU 2016 110,02 36475574.53 11235134.10 69.33 3 683,2 1059,2 1715518 5.00 25.89
3 BENGKULU 2017 109,41 39301815.64 12028795.14 69.95 4 650,0 1106,4 1715518 3.56 47.20
3 BENGKULU 2018 55,6 42192931.74 13051200.00 70.64 5 033,7 1656,7 1715518 2.35 51.06
3 BENGKULU 2019 9,63 45570351.31 13880337.00 71.21 4 331,0 1593,1 1715518 2.35 66.61
3 BENGKULU 2020 0 46324562.29 14261866.07 71.40 3 533,6 1569,7 1715518 2.35 66.61
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2010 0 17984595.16 3480126.96 66.02 4 184,6 223,6 1223296 9.36 91.78
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2011 247 20157179.83 4035831.92 66.59 5 348,9 345,7 1223296 5.00 91.78
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2012 137,41 22650828.98 4592183.44 67.21 5 130,6 546,1 1223296 6.57 111.46
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2013 102,41 25833873.89 5249823.87 67.92 4 646,9 483,5 1223296 8.71 106.46
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2014 50,01 29332294.80 5768625.90 68.27 5 075,4 459,2 1223296 6.81 234.71
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2015 -195,72 32577016.35 6423805.18 69.05 4 086,9 1213,1 1223296 4.66 314.56
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2016 110,02 36367008.68 7250911.64 69.55 3 683,2 1059,2 1223296 7.78 314.56
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2017 109,41 40307286.64 7691271.99 69.99 4 650,0 1106,4 1223296 2.66 265.40
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2018 55,6 44168089.23 8065844.82 70.67 5 033,7 1656,7 1223296 3.45 285.92
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2019 9,63 48174449.58 8702146.57 71.30 4 331,0 1593,1 1223296 3.45 285.92
KEP. BANGKA
3 BELITUNG 2020 0 48463619.47 8636405.04 71.47 3 533,6 1569,7 1223296 3.45 285.92
4 LAMPUNG 2010 0 89663683.33 12483702.35 63.71 2 467,4 866,7 7608405 9.95 4.30
4 LAMPUNG 2011 247 102964888.38 14518137.08 64.20 3 222,6 1247,8 7608405 4.24 4.30
4 LAMPUNG 2012 137,41 114543996.76 16587050.20 64.87 3 698,4 1716,2 7608405 4.30 124.79
4 LAMPUNG 2013 102,41 125242183.96 18426476.90 65.73 3 892,3 1552,9 7608405 7.56 124.79
4 LAMPUNG 2014 50,01 138464983.37 20697888.09 66.42 3 856,7 1393,1 7608405 8.36 121.21
4 LAMPUNG 2015 -195,72 153233045.67 23972125.49 66.95 2 315,9 1474 7608405 4.65 121.12
4 LAMPUNG 2016 110,02 166902925.33 25534195.80 67.65 1 873,6 1535,9 7608405 2.75 121.12
4 LAMPUNG 2017 109,41 182403658.02 26627970.00 68.25 2 132,2 1489,9 7608405 3.14 124.38
4 LAMPUNG 2018 55,6 200716577.65 27876520.81 69.02 1 714,2 1365,3 7608405 2.92 237.38
4 LAMPUNG 2019 9,63 220341172.78 29201111.71 69.57 1 561,2 1087,4 7608405 2.92 237.38
4 LAMPUNG 2020 0 220906122.30 29387687.52 69.69 1 555,9 911,7 7608405 2.92 237.38
4 BANTEN 2010 0 167676809.85 12440201.36 67.54 938,0 7603,7 10632166 6.18 6773.53
4 BANTEN 2011 247 181174857.92 14690532.87 68.22 1 106,5 10454,3 10632166 2.78 6773.53
4 BANTEN 2012 137,41 201707891.24 16606262.30 68.92 719,9 10424,7 10632166 4.41 11323.54
4 BANTEN 2013 102,41 219159467.84 18671954.43 69.47 928,4 10690,8 10632166 9.16 11703.54
4 BANTEN 2014 50,01 234035090.85 19237577.65 69.89 895,8 10605,5 10632166 11.27 12873.34
4 BANTEN 2015 -195,72 253382608.28 21118167.43 70.27 591,2 7585,6 10632166 4.67 12873.34
4 BANTEN 2016 110,02 272806888.68 22897756.57 70.96 735,3 6555,5 10632166 3.26 12873.34
4 BANTEN 2017 109,41 294423894.26 24616488.96 71.42 1 098,9 8135,2 10632166 5.17 7443.90
4 BANTEN 2018 55,6 321788260.05 27576241.87 71.95 1 249,5 9326 10632166 3.78 8052.30
4 BANTEN 2019 9,63 348229115.87 29744840.99 72.44 1 227,6 8098,4 10632166 3.78 7653.14
4 BANTEN 2020 0 345666629.05 27343037.41 72.45 938,7 7350,4 10632166 3.78 7653.14
5 DKI JAKARTA 2010 0 637740455.50 136946657.70 76.31 39519,8 67716,9 9607787 6.21 1093.00
5 DKI JAKARTA 2011 247 713778798.44 159302046.31 76.98 46349 88308,7 9607787 3.97 1093.00
5 DKI JAKARTA 2012 137,41 809845077.26 183259652.61 77.53 48018,2 96406,5 9607787 4.52 1448.49
5 DKI JAKARTA 2013 102,41 939160695.69 211344789.27 78.08 47288,6 89522,4 9607787 8.00 1448.00
5 DKI JAKARTA 2014 50,01 1065088137.67 222659398.25 78.39 48108 84279,6 9607787 8.95 1348.00
5 DKI JAKARTA 2015 -195,72 1208347575.84 260416641.32 78.99 46355,3 70899,3 9607787 3.30 1359.54
5 DKI JAKARTA 2016 110,02 1313385627.11 288981665.15 79.60 45993,2 71070,8 9607787 2.37 1359.54
5 DKI JAKARTA 2017 109,41 1437261814.83 306859749.57 80.06 51,675,9 81310,5 9607787 3.72 6095.82
5 DKI JAKARTA 2018 55,6 1571964454.61 354471421.51 80.47 54483,9 93573,4 9607787 3.27 4183.74
5 DKI JAKARTA 2019 9,63 1719143962.44 360977058.91 80.76 54044,4 88077,8 9607787 3.27 3504.30
5 DKI JAKARTA 2020 0 1726005834.07 413163767.16 80.77 53655,1 71751,4 9607787 3.27 3504.30
5 JAWA BARAT 2010 0 609626574.67 54922081.00 66.15 941,5 3108,2 43053732 4.53 3217.80
5 JAWA BARAT 2011 247 671158666.78 59786927.33 66.67 1012,5 5620,4 43053732 2.75 3217.80
5 JAWA BARAT 2012 137,41 734272453.27 68994157.99 67.32 674,1 6168,2 43053732 4.02 4013.05
5 JAWA BARAT 2013 102,41 812568323.76 73717544.96 68.25 442,7 5897,7 43053732 7.97 3998.74
5 JAWA BARAT 2014 50,01 881109398.50 81202692.40 68.80 851,8 5766,6 43053732 7.76 4076.66
5 JAWA BARAT 2015 -195,72 983765226.82 98292764.94 69.50 351 4905 43053732 3.93 4077.90
5 JAWA BARAT 2016 110,02 1075522040.90 100672816.97 70.05 210,4 4714,9 43053732 2.93 4077.90
5 JAWA BARAT 2017 109,41 1169367387.39 107939500.30 70.69 207,1 6570,4 43053732 3.46 7272.16
5 JAWA BARAT 2018 55,6 1278278895.69 112935058.42 71.30 230,7 8050,9 43053732 3.76 9697.06
5 JAWA BARAT 2019 9,63 1387762269.96 117448944.50 72.03 207,7 6444,3 43053732 3.76 10273.56
5 JAWA BARAT 2020 0 1378904384.43 118688957.77 72.09 184,3 5043,2 43053732 3.76 10273.56
6 JAWA TENGAH 2010 0 389637550.12 49467504.64 66.08 3863,2 9618,8 32382657 7.11 6509.12
6 JAWA TENGAH 2011 247 429912439.03 55282980.32 66.64 4678,3 12998,1 32382657 2.87 6509.12
6 JAWA TENGAH 2012 137,41 474886733.82 61581493.37 67.21 4637,1 13972,4 32382657 4.85 5168.49
6 JAWA TENGAH 2013 102,41 520380304.38 69299782.96 68.02 5319,7 15735,8 32382657 8.19 5153.86
6 JAWA TENGAH 2014 50,01 570433401.17 75556448.86 68.78 5626,9 15767,9 32382657 8.53 5154.85
6 JAWA TENGAH 2015 -195,72 620264015.08 85225912.08 69.49 5369,8 10717 32382657 2.56 5155.26
6 JAWA TENGAH 2016 110,02 660988585.60 87589147.24 69.98 5384,6 8769,1 32382657 2.32 5155.26
6 JAWA TENGAH 2017 109,41 711586510.45 94261559.47 70.52 5982,3 10457,3 32382657 3.64 7096.65
6 JAWA TENGAH 2018 55,6 764808380.14 98717169.57 71.12 6579 14266,8 32382657 2.76 7150.68
6 JAWA TENGAH 2019 9,63 821948116.89 103209517.34 71.73 6743,6 12355,5 32382657 2.76 7162.82
6 JAWA TENGAH 2020 0 822095502.18 98359804.69 71.87 6455,7 8635,6 32382657 2.76 7162.82
6 DI YOGYAKARTA 2010 0 38442940.59 9847893.44 75.37 2446,8 3108,2 3457491 7.38 0.32
6 DI YOGYAKARTA 2011 247 44029582.93 11039649.77 75.93 3500,5 5620,4 3457491 3.88 0.32
6 DI YOGYAKARTA 2012 137,41 49403400.71 11982949.65 76.15 3954,2 6168,2 3457491 4.31 0.32
6 DI YOGYAKARTA 2013 102,41 57101887.22 13629833.88 76.44 3690 5897,7 3457491 7.32 0.32
6 DI YOGYAKARTA 2014 50,01 62875141.17 15347428.32 76.81 5299,8 5766,6 3457491 6.59 0.32
6 DI YOGYAKARTA 2015 -195,72 68730527.54 17214154.28 77.59 4776,6 4905 3457491 3.09 0.18
6 DI YOGYAKARTA 2016 110,02 74429795.62 18321761.49 78.38 6005,7 4714,9 3457491 2.29 0.18
6 DI YOGYAKARTA 2017 109,41 81335809.99 19508071.64 78.89 5003,4 6570,4 3457491 4.20 -
6 DI YOGYAKARTA 2018 55,6 86753196.83 21382113.04 79.53 4567,7 8050,9 3457491 2.66 -
6 DI YOGYAKARTA 2019 9,63 92436088.69 22434453.68 79.99 4522,8 6444,3 3457491 2.66 -
6 DI YOGYAKARTA 2020 0 92753541.94 22889206.61 79.97 3095,1 5043,2 3457491 2.66 -
7 JAWA TIMUR 2010 0 629630362.60 59765151.65 65.36 14209,8 12 475,2 37476757 7.33 9620.62
7 JAWA TIMUR 2011 247 703343083.11 70530906.42 66.06 16964,4 15 721,7 37476757 4.72 9620.62
7 JAWA TIMUR 2012 137,41 781591548.57 86194972.19 66.74 13557,2 16 430,7 37476757 4.39 11595.42
7 JAWA TIMUR 2013 102,41 866916172.60 93232474.47 67.55 12761,5 17 463,6 37476757 7.52 11547.76
7 JAWA TIMUR 2014 50,01 949343437.70 96944244.35 68.14 14528,7 17 449,7 37476757 7.90 14668.05
7 JAWA TIMUR 2015 -195,72 1019622140.96 104912333.83 68.95 13156,4 13 841,2 37476757 3.43 13504.40
7 JAWA TIMUR 2016 110,02 1109014191.23 100536919.26 69.74 13994,1 13 593,1 37476757 3.22 13504.40
7 JAWA TIMUR 2017 109,41 1193915047.01 109444001.07 70.27 15737,7 15 472,2 37476757 4.37 8199.50
7 JAWA TIMUR 2018 55,6 1298390491.77 120991067.09 70.77 16985,6 17 652,6 37476757 3.03 9396.50
7 JAWA TIMUR 2019 9,63 1396604489.98 131003936.27 71.50 16536,8 16 545,7 37476757 3.03 11072.58
7 JAWA TIMUR 2020 0 1398516772.62 129886860.99 71.71 16618,7 14 546,3 37476757 3.03 11072.58
7 BALI 2010 0 53059800.33 10949789.04 70.10 373,4 949,1 3890757 8.10 3.84
7 BALI 2011 247 59713201.51 12772674.64 70.87 376,033 1 056,5 3890757 3.75 3.84
7 BALI 2012 137,41 65812887.91 14643132.46 71.62 347,367 191,2 3890757 4.71 453.87
7 BALI 2013 102,41 69651681.90 16611925.76 72.09 327,57 281,9 3890757 7.35 454.02
7 BALI 2014 50,01 76468024.97 15985791.10 72.48 297,267 306,0 3890757 8.03 441.89
7 BALI 2015 -195,72 85910954.33 17750679.10 73.27 745,13 140,8 3890757 2.70 1017.19
7 BALI 2016 110,02 95497686.01 19977806.53 73.65 783,87 173,1 3890757 2.94 1017.19
7 BALI 2017 109,41 102152931.82 22603583.30 74.30 646,2 136,0 3890757 3.31 911.39
7 BALI 2018 55,6 111762439.69 24531443.84 74.77 457,1 314,1 3890757 3.40 786.84
7 BALI 2019 9,63 121140031.51 26717603.75 75.38 407,03 261,1 3890757 3.40 1041.52
7 BALI 2020 0 119957693.75 28068998.65 75.50 327,57 123,3 3890757 3.40 1041.52
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2010 0 42502375.08 9183330.60 61.16 1995,5 318,2 4500212 11.07 146.00
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2011 247 47321574.78 10399526.98 62.14 1136,93 328,9 4500212 6.38 146.00
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2012 137,41 52815732.96 11160516.74 62.98 596,67 283,7 4500212 4.10 172.70
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2013 102,41 56643475.61 11658708.80 63.76 400,867 314,0 4500212 9.27 170.04
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2014 50,01 62018051.91 15387606.46 64.31 307,97 1 158,7 4500212 7.18 445.39
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2015 -195,72 66021500.37 16862329.01 65.19 491,13 145,3 4500212 3.25 393.80
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2016 110,02 70678200.51 17766902.48 65.81 525,17 111,6 4500212 2.47 393.80
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2017 109,41 74854229.77 19218414.15 66.58 366,7 81,7 4500212 3.59 418.49
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2018 55,6 79113027.33 19757219.46 67.30 157,8 161,3 4500212 3.15 624.93
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2019 9,63 83915658.79 20238840.55 68.14 64,83 180,7 4500212 3.15 795.75
NUSA TENGGARA
7 BARAT 2020 0 82051299.10 20758268.34 68.25 197,07 193,9 4500212 3.15 795.75
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2010 0 33894767.77 11979590.90 59.21 34,1 36,4 4683827 9.97 145.75
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2011 247 38363267.80 13934970.82 60.24 26,33 34,1 4683827 4.32 145.75
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2012 137,41 42639921.72 15958534.47 60.81 44,067 61,4 4683827 5.10 158.69
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2013 102,41 47342068.61 17083005.23 61.68 20,867 161,1 4683827 8.84 160.54
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2014 50,01 50692465.46 19486122.13 62.26 21,67 63,12 4683827 8.32 272.80
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2015 -195,72 56851466.36 22091092.85 62.67 515,13 20,7 4683827 5.07 297.25
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2016 110,02 61506312.16 23994706.03 63.13 558,27 63 4683827 2.31 297.25
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2017 109,41 66707542.95 25754331.57 63.73 389,3 54,2 4683827 2.05 302.69
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2018 55,6 71254439.23 29098507.51 64.39 167,6 171,1 4683827 3.23 331.21
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2019 9,63 76891365.23 29845270.42 65.23 81,03 76,1 4683827 3.23 333.42
NUSA TENGGARA
7 TIMUR 2020 0 74626626.07 27542846.60 65.19 212,87 58,5 4683827 3.23 333.42
8 KALIMANTAN BARAT 2010 0 47904067.54 10912057.82 61.97 580,9 131,1 4395983 8.52 230.51
8 KALIMANTAN BARAT 2011 247 53680214.16 12278039.14 62.35 1260,8 207,6 4395983 4.91 230.51
8 KALIMANTAN BARAT 2012 137,41 59923683.53 12750236.72 63.41 964,1 470,2 4395983 6.62 239.55
8 KALIMANTAN BARAT 2013 102,41 67412498.73 14648322.59 64.30 893,5 404,5 4395983 9.48 243.03
8 KALIMANTAN BARAT 2014 50,01 74326099.85 17080086.16 64.89 596,5 428,7 4395983 9.38 508.09
8 KALIMANTAN BARAT 2015 -195,72 80934225.86 19309344.49 65.59 495,8 267,0 4395983 6.17 653.49
8 KALIMANTAN BARAT 2016 110,02 88906169.78 18998423.90 65.88 459 255,7 4395983 3.88 653.49
8 KALIMANTAN BARAT 2017 109,41 96802975.14 20593759.26 66.26 431,3 222,0 4395983 3.86 603.49
8 KALIMANTAN BARAT 2018 55,6 102938461.37 22306179.83 66.98 367,5 281,0 4395983 3.99 778.82
8 KALIMANTAN BARAT 2019 9,63 110748437.24 24867885.32 67.65 413,5 107,5 4395983 3.99 804.92
8 KALIMANTAN BARAT 2020 0 110572713.95 26104494.27 67.66 572,8 101,2 4395983 3.99 804.92
KALIMANTAN
9 TENGAH 2010 0 25562603.09 8217457.86 65.96 3659,7 868,5 2212089 9.49 89.05
KALIMANTAN
9 TENGAH 2011 247 28486203.75 9411470.39 66.38 5715,5 1 238,5 2212089 5.28 89.05
KALIMANTAN
9 TENGAH 2012 137,41 31670844.20 10761622.42 66.66 5204,6 1 233,6 2212089 6.73 79.01
KALIMANTAN
9 TENGAH 2013 102,41 34618909.41 11907576.72 67.41 5654,7 1 328,8 2212089 6.45 76.00
KALIMANTAN
9 TENGAH 2014 50,01 38029999.71 13513158.06 67.77 4493,8 1 192,6 2212089 6.63 76.00
KALIMANTAN
9 TENGAH 2015 -195,72 42418617.95 15744457.12 68.53 8144,9 1 712,0 2212089 4.20 242.15
KALIMANTAN
9 TENGAH 2016 110,02 47357348.11 16218632.57 69.13 7668,7 992,4 2212089 1.91 242.15
KALIMANTAN
9 TENGAH 2017 109,41 52183860.42 17283856.20 69.79 10928,2 1 199,2 2212089 3.11 356.76
KALIMANTAN
9 TENGAH 2018 55,6 56315879.35 18738116.92 70.42 11564,5 2 142,8 2212089 3.68 485.48
KALIMANTAN
9 TENGAH 2019 9,63 61920206.68 19927038.58 70.91 10499,2 1 641,7 2212089 3.68 256.51
KALIMANTAN
9 TENGAH 2020 0 64126131.26 21754735.17 71.05 8697,3 1 237,3 2212089 3.68 256.51
KALIMANTAN
10 SELATAN 2010 0 40777814.72 10657862.63 65.20 6339,7 1 419,4 3626616 9.06 306.82
KALIMANTAN
10 SELATAN 2011 247 44995001.57 11626595.46 65.89 9617 2 593,7 3626616 3.98 306.82
KALIMANTAN
10 SELATAN 2012 137,41 48832898.72 13541402.39 66.68 9476,5 2 752,7 3626616 5.96 468.92
KALIMANTAN
10 SELATAN 2013 102,41 52998241.86 14981234.14 67.17 8481,7 2 478,1 3626616 6.98 478.32
KALIMANTAN
10 SELATAN 2014 50,01 58574581.04 16030654.93 67.63 7931,2 2 127,9 3626616 7.16 645.41
KALIMANTAN
10 SELATAN 2015 -195,72 63942093.65 18230518.16 68.38 35644,4 1 071,1 3626616 5.03 1671.13
KALIMANTAN
10 SELATAN 2016 110,02 69096597.17 19094318.98 69.05 3327,2 698,2 3626616 3.68 1671.13
KALIMANTAN
10 SELATAN 2017 109,41 74554961.35 19758967.90 69.65 4373,3 1 141,9 3626616 3.82 1831.94
KALIMANTAN
10 SELATAN 2018 55,6 80467494.75 21248561.97 70.17 5054,2 1 143,7 3626616 2.63 2790.84
KALIMANTAN
10 SELATAN 2019 9,63 86960666.27 22162649.33 70.72 4693,4 1 042,4 3626616 2.63 3050.81
KALIMANTAN
10 SELATAN 2020 0 87613070.43 21946711.15 70.91 3293,5 485,6 3626616 2.63 3050.81
10 KALIMANTAN TIMUR 2010 0 51059096.90 14013989.57 71.31 21823 5 863,5 3553143 7.00 381.28
10 KALIMANTAN TIMUR 2011 247 57527377.45 15108733.82 72.02 33030,8 6 828,2 3553143 6.23 381.28
10 KALIMANTAN TIMUR 2012 137,41 65493370.52 17342813.74 72.62 28747 7 801,2 3553143 4.81 424.88
10 KALIMANTAN TIMUR 2013 102,41 73396421.73 20281615.33 73.21 26109,5 8 765,9 3553143 10.37 518.50
10 KALIMANTAN TIMUR 2014 50,01 80180286.67 23523174.00 73.82 21475,2 7 791,3 3553143 6.74 977.56
10 KALIMANTAN TIMUR 2015 -195,72 86786223.85 25949715.17 74.17 12546 4 567,8 3553143 4.24 1053.03
10 KALIMANTAN TIMUR 2016 110,02 91536846.47 23578343.61 74.59 9175,5 3 125,5 3553143 2.83 1053.03
10 KALIMANTAN TIMUR 2017 109,41 96807319.69 21596788.97 75.12 11349,1 2 489,3 3553143 3.69 1437.95
10 KALIMANTAN TIMUR 2018 55,6 102584196.19 23760619.51 75.83 11576,2 3 418,7 3553143 3.32 1192.23
10 KALIMANTAN TIMUR 2019 9,63 109767656.05 26298927.52 76.61 9941,9 1 555,8 3553143 3.32 785.85
10 KALIMANTAN TIMUR 2020 0 111183751.56 26163828.57 76.24 8149,6 1 168,6 3553143 3.32 785.85
10 KALIMANTAN UTARA 2010 0 6848352.68 3327520.96 - 453,8 44,9 0 7.92 31.22
10 KALIMANTAN UTARA 2011 247 7827140.83 3470878.56 - 392 68,4 0 6.43 31.22
10 KALIMANTAN UTARA 2012 137,41 8909550.86 4000676.90 - 5204,6 70,0 0 5.99 31.22
10 KALIMANTAN UTARA 2013 102,41 4000676.90 5123223.18 67.99 5654,7 93,7 0 10.35 31.22
10 KALIMANTAN UTARA 2014 50,01 5123223.18 6586508.87 68.64 4493,8 33,0 0 11.91 84.82
10 KALIMANTAN UTARA 2015 -195,72 12243723.32 6884835.73 68.76 8144,9 11,0 0 3.42 99.82
10 KALIMANTAN UTARA 2016 110,02 13041725.87 6722185.09 69.20 7668,7 12,3 0 4.31 99.82
10 KALIMANTAN UTARA 2017 109,41 13747600.94 6184828.23 69.84 10928,2 15,3 0 2.77 73.60
10 KALIMANTAN UTARA 2018 55,6 14608034.44 6595911.72 70.56 11564,5 37,2 0 5.00 238.20
10 KALIMANTAN UTARA 2019 9,63 16004279.42 7184812.63 71.15 10499,2 20,2 0 5.00 238.20
10 KALIMANTAN UTARA 2020 0 15997555.15 7103647.47 70.63 8697,3 46,9 0 5.00 238.20
11 SULAWESI UTARA 2010 0 25425197.31 8422590.91 67.83 373,6 70,8 2270596 6.28 202.06
11 SULAWESI UTARA 2011 247 28031771.92 10077730.91 68.31 744 144,4 2270596 0.67 202.06
11 SULAWESI UTARA 2012 137,41 30908682.00 11110270.30 69.04 941,8 122,6 2270596 6.04 458.32
11 SULAWESI UTARA 2013 102,41 32781303.72 12349804.59 69.49 665,4 106,5 2270596 8.12 345.19
11 SULAWESI UTARA 2014 50,01 36541276.27 14016073.31 69.96 833,2 117,7 2270596 9.67 350.45
11 SULAWESI UTARA 2015 -195,72 41806112.12 16267833.70 70.39 676,7 68,9 2270596 5.56 358.03
11 SULAWESI UTARA 2016 110,02 45568217.29 17219164.56 71.05 693,4 122,1 2270596 0.35 358.03
11 SULAWESI UTARA 2017 109,41 49364986.52 19033744.10 71.66 627,9 65,6 2270596 2.44 580.77
11 SULAWESI UTARA 2018 55,6 52740064.07 21146537.13 72.20 520,3 98,5 2270596 3.83 557.22
11 SULAWESI UTARA 2019 9,63 57744090.60 22182004.38 72.99 296,4 133,5 2270596 3.83 295.50
11 SULAWESI UTARA 2020 0 57272630.53 22416894.57 72.93 320,6 87,7 2270596 3.83 295.50
11 GORONTALO 2010 0 9691201.35 3642768.28 62.65 212,1 19,4 1040164 7.43 33.20
11 GORONTALO 2011 247 10894675.25 4277192.00 63.48 584 89,9 1040164 4.08 33.20
11 GORONTALO 2012 137,41 12229032.64 4843216.78 64.16 805,9 165,7 1040164 5.31 31.44
11 GORONTALO 2013 102,41 13717787.55 5497584.18 64.70 925,4 279,5 1040164 5.84 31.44
11 GORONTALO 2014 50,01 15403967.17 6077544.61 65.17 306,3 282,4 1040164 6.14 64.73
11 GORONTALO 2015 -195,72 17483651.60 6809069.25 65.86 1469,5 510,7 1040164 4.30 31.49
11 GORONTALO 2016 110,02 19300321.72 7215175.33 66.29 2345,3 603,9 1040164 1.30 31.49
11 GORONTALO 2017 109,41 21233931.10 7804161.78 67.01 3938,8 824,1 1040164 4.34 56.83
11 GORONTALO 2018 55,6 23234274.80 8245792.68 67.71 6480,5 1 294,9 1040164 2.15 57.91
11 GORONTALO 2019 9,63 25432278.57 8725060.00 68.49 7554,5 1 590,2 1040164 2.15 57.41
11 GORONTALO 2020 0 25860313.11 8246397.97 68.68 9986,5 1 343,2 1040164 2.15 57.41
SULAWESI
11 TENGGARA 2010 0 25438020.25 7712647.84 65.99 461,9 19,4 2232586 3.87 91.30
SULAWESI
11 TENGGARA 2011 247 28223869.28 9683828.69 66.52 758,4 89,9 2232586 5.09 91.30
SULAWESI
11 TENGGARA 2012 137,41 32397970.95 10036522.54 67.07 594,2 165,7 2232586 5.25 125.24
SULAWESI
11 TENGGARA 2013 102,41 36489259.48 10897203.38 67.55 409,2 279,5 2232586 5.92 129.24
SULAWESI
11 TENGGARA 2014 50,01 40339623.11 11717190.11 68.07 278,3 282,4 2232586 7.40 233.07
SULAWESI
11 TENGGARA 2015 -195,72 44092255.44 13103283.67 68.75 128,9 510,7 2232586 1.64 127.47
SULAWESI
11 TENGGARA 2016 110,02 48316552.74 14220093.00 69.31 107,1 603,9 2232586 3.07 127.47
SULAWESI
11 TENGGARA 2017 109,41 53297732.04 15897054.71 69.86 141 824,1 2232586 2.96 296.59
SULAWESI
11 TENGGARA 2018 55,6 58267074.66 17403784.03 70.61 286,1 1 294,9 2232586 2.55 293.38
SULAWESI
11 TENGGARA 2019 9,63 63466417.86 18878976.19 71.20 319,1 1 590,2 2232586 2.55 148.92
SULAWESI
11 TENGGARA 2020 0 64390663.53 18887975.66 71.45 119,4 1 343,2 2232586 2.55 148.92
12 SULAWESI TENGAH 2010 0 31595755.09 8009483.78 63.29 320,4 11,8 2635009 6.40 175.73
12 SULAWESI TENGAH 2011 247 34943533.27 9169333.77 64.27 147 11,9 2635009 4.47 175.73
12 SULAWESI TENGAH 2012 137,41 39208294.30 10425364.46 65.00 85,1 2,7 2635009 5.87 189.18
12 SULAWESI TENGAH 2013 102,41 43987610.28 11783906.76 65.79 38,I,8 15,5 2635009 7.57 198.09
12 SULAWESI TENGAH 2014 50,01 50558562.97 50558562.97 66.43 118,6 42,1 2635009 8.85 422.41
12 SULAWESI TENGAH 2015 -195,72 55834296.84 15369757.18 66.76 340,2 28,4 2635009 4.17 421.12
12 SULAWESI TENGAH 2016 110,02 60961078.61 16210691.37 67.47 364,4 9,4 2635009 1.49 421.12
12 SULAWESI TENGAH 2017 109,41 66440683.51 17545237.69 68.11 404,7 3,1 2635009 4.33 490.62
12 SULAWESI TENGAH 2018 55,6 72976447.27 17936010.91 68.88 457,8 4,4 2635009 6.46 1718.47
12 SULAWESI TENGAH 2019 9,63 79421563.15 19792709.68 69.50 467,7 11,6 2635009 6.46 1746.21
12 SULAWESI TENGAH 2020 0 77624593.72 20086146.18 69.55 507,8 2,9 2635009 6.46 1746.21
12 SULAWESI SELATAN 2010 0 99661110.94 20578073.82 66.00 2312 955,6 8034776 6.82 625.96
12 SULAWESI SELATAN 2011 247 113547230.59 23491337.09 66.65 1898,6 1 364,5 8034776 2.87 625.96
12 SULAWESI SELATAN 2012 137,41 129687947.32 129687947.32 67.26 1516,6 1 180,8 8034776 4.57 1045.81
12 SULAWESI SELATAN 2013 102,41 146643073.88 28718940.13 67.92 1550,9 1 189,8 8034776 6.24 1084.85
12 SULAWESI SELATAN 2014 50,01 165652215.83 31774365.70 68.49 1736,1 813,6 8034776 8.51 968.92
12 SULAWESI SELATAN 2015 -195,72 185585543.03 36396615.59 69.15 568,4 612,1 8034776 5.18 1232.35
12 SULAWESI SELATAN 2016 110,02 204368749.91 37399191.96 69.76 513,6 665,4 8034776 3.18 1232.35
12 SULAWESI SELATAN 2017 109,41 225404554.58 39393172.37 70.34 265,1 8 328,6 8034776 4.48 1450.85
12 SULAWESI SELATAN 2018 55,6 251147504.70 44827507.85 70.90 395,8 1 013,3 8034776 3.48 2953.94
12 SULAWESI SELATAN 2019 9,63 274463638.68 49429293.61 71.66 828,2 977,6 8034776 3.48 2995.60
12 SULAWESI SELATAN 2020 0 278594012.06 48633679.90 71.93 818,6 747,6 8034776 3.48 2995.60
12 SULAWESI BARAT 2010 0 10453566.60 3192723.39 59.74 24 19,4 1158651 5.12 6.49
12 SULAWESI BARAT 2011 247 11733846.66 3732160.42 60.63 2,7 89,9 1158651 4.91 6.49
12 SULAWESI BARAT 2012 137,41 12726692.87 4267713.89 61.01 0 165,7 1158651 3.28 6.39
12 SULAWESI BARAT 2013 102,41 14014432.23 4694733.05 61.53 0 279,5 1158651 5.91 12.39
12 SULAWESI BARAT 2014 50,01 15261635.11 5153208.58 62.24 152 282,4 1158651 7.88 11.68
12 SULAWESI BARAT 2015 -195,72 17219020.72 6026226.40 62.96 0 510,7 1158651 5.07 3.22
12 SULAWESI BARAT 2016 110,02 18883977.76 6781949.00 63.60 0 603,9 1158651 2.23 3.22
12 SULAWESI BARAT 2017 109,41 20388814.62 7342269.61 64.30 0,2 824,1 1158651 3.79 3.22
12 SULAWESI BARAT 2018 55,6 22146397.19 7902508.45 65.10 0 1 294,9 1158651 1.80 63.22
12 SULAWESI BARAT 2019 9,63 23261840.60 8087420.28 65.73 1,4 1 590,2 1158651 1.80 67.77
12 SULAWESI BARAT 2020 0 24190133.25 7371770.45 66.11 2,1 1 343,2 1158651 1.80 67.77
13 MALUKU 2010 0 12502864.76 7126877.38 64.27 165,3 336,3 1533506 8.78 134.65
13 MALUKU 2011 247 13812754.73 9245920.57 64.75 195 361,2 1533506 2.85 134.65
13 MALUKU 2012 137,41 16230482.46 16230482.46 65.43 243,8 429,1 1533506 6.73 135.06
13 MALUKU 2013 102,41 18167297.01 10831192.56 66.09 209,4 357,9 1533506 8.81 147.61
13 MALUKU 2014 50,01 21226234.07 11825587.55 66.74 152,2 392,1 1533506 6.81 211.79
13 MALUKU 2015 -195,72 24048412.34 13775000.51 67.05 42,8 297,4 1533506 5.92 236.76
13 MALUKU 2016 110,02 26646284.39 14900712.08 67.60 121,1 307,1 1533506 3.28 236.76
13 MALUKU 2017 109,41 28656669.59 15638089.97 68.19 95,8 495,2 1533506 -0.05 263.37
13 MALUKU 2018 55,6 30096578.75 30096578.75 68.87 192,7 642,7 1533506 3.53 297.06
13 MALUKU 2019 9,63 32753525.98 16456585.84 69.45 245,2 515,8 1533506 3.53 363.43
13 MALUKU 2020 0 33008212.31 16738236.08 69.49 186,3 503,9 1533506 3.53 363.43
13 MALUKU UTARA 2010 0 9638268.05 4215399.12 62.79 309,9 24,0 1038087 5.32 62.04
13 MALUKU UTARA 2011 247 10566933.36 5184808.38 63.19 547,3 20,3 1038087 4.52 62.04
13 MALUKU UTARA 2012 137,41 11546049.48 6022774.64 63.93 446 5,3 1038087 3.29 44.60
13 MALUKU UTARA 2013 102,41 12748837.48 6903319.10 64.78 645 3,2 1038087 9.78 49.60
13 MALUKU UTARA 2014 50,01 13957149.41 7965612.06 65.18 52,4 5,1 1038087 9.34 65.70
13 MALUKU UTARA 2015 -195,72 15464567.77 8856577.32 65.91 40 40,8 1038087 4.52 73.81
13 MALUKU UTARA 2016 110,02 16943243.12 9222776.71 66.63 36,1 102,9 1038087 1.91 73.81
13 MALUKU UTARA 2017 109,41 18359622.74 9893536.19 67.20 101,1 100,9 1038087 1.97 124.38
13 MALUKU UTARA 2018 55,6 19996617.07 19996617.07 67.76 194,5 156,5 1038087 4.12 88.36
13 MALUKU UTARA 2019 9,63 21400016.62 12158565.81 68.70 245 355,2 1038087 4.12 120.27
13 MALUKU UTARA 2020 0 21697152.93 11668834.91 68.49 286,7 404,6 1038087 4.12 120.27
13 PAPUA BARAT 2010 0 10906686.08 6781745.40 59.60 1690,8 70,7 760422 4.68 55.67
13 PAPUA BARAT 2011 247 11507209.97 7792314.61 59.90 3027,2 60,6 760422 3.64 55.67
13 PAPUA BARAT 2012 137,41 12299650.83 9037898.58 60.30 3652 19,5 760422 4.88 58.67
13 PAPUA BARAT 2013 102,41 13375761.35 10296201.40 60.91 3518,3 33,5 760422 4.63 66.64
13 PAPUA BARAT 2014 50,01 14716998.61 11594723.56 61.28 3894 32,6 760422 5.70 102.80
13 PAPUA BARAT 2015 -195,72 16573309.27 12982662.64 61.73 2768,1 71,6 760422 2.77 112.76
13 PAPUA BARAT 2016 110,02 18549037.83 14383111.84 62.21 1852,3 105,4 760422 5.75 112.76
13 PAPUA BARAT 2017 109,41 20483626.43 14893736.70 62.99 2050,6 107,8 760422 1.78 403.59
13 PAPUA BARAT 2018 55,6 22513251.69 15413561.42 63.74 2986,6 193,5 760422 6.02 121.09
13 PAPUA BARAT 2019 9,63 24598065.60 17256062.45 64.70 2537,6 399,8 760422 6.02 147.92
13 PAPUA BARAT 2020 0 24681138.44 16704529.27 65.09 2040,7 421,7 760422 6.02 147.92
13 PAPUA 2010 0 39252306.16 18189543.25 54.45 5042 945,7 2833381 4.48 91.64
13 PAPUA 2011 247 44810410.89 20351449.70 55.01 3664,3 1 119,5 2833381 3.40 91.64
13 PAPUA 2012 137,41 50164829.26 22734799.38 55.55 2146,3 1 025,7 2833381 4.52 96.25
13 PAPUA 2013 102,41 57323963.55 26176235.14 56.25 2747,7 507,1 2833381 8.27 106.30
13 PAPUA 2014 50,01 65393761.18 30457008.67 56.75 1493,2 1 016,2 2833381 7.98 242.44
13 PAPUA 2015 -195,72 71699211.76 34069654.56 57.25 1940,7 693,8 2833381 2.79 271.14
13 PAPUA 2016 110,02 80062232.52 36238896.82 58.05 1988,9 716,9 2833381 4.13 271.14
13 PAPUA 2017 109,41 87903533.79 38810543.43 59.09 2489 362,0 2833381 2.41 128.19
13 PAPUA 2018 55,6 98110317.91 40859615.11 60.06 4003,1 398,4 2833381 6.70 550.02
13 PAPUA 2019 9,63 105361803.20 43898192.85 60.84 1384,4 486,4 2833381 6.70 580.64
13 PAPUA 2020 0 101038245.83 44100358.32 60.44 2128,7 475,5 2833381 6.70 580.64
14 34 PROVINSI 2010 0 3785774662.09 618177992.00 66.53 157779,1 135 663,3 237641326 6.96 35596.74
14 34 PROVINSI 2011 247 4224618838.30 709501533.02 67.09 203496,6 177 435,6 237641326 3.79 35596.74
14 34 PROVINSI 2012 137,41 4711673963.82 807504505.19 67.70 190020,3 191 689,5 237641326 4.30 44841.54
14 34 PROVINSI 2013 102,41 5270286756.16 904046557.38 68.31 182,551,8 186 628,7 237641326 8.38 45476.31
14 34 PROVINSI 2014 50,01 5830308768.94 980342235.59 68.90 175980 178 178,8 237641326 8.36 53015.70
14 34 PROVINSI 2015 -195,72 6429999703.23 1113773453.19 69.55 150366,3 142 694,8 237641326 3.35 54624.17
14 34 PROVINSI 2016 110,02 6988195176.70 1166886102.93 70.18 145134 135 652,8 237641326 3.02 54624.17
14 34 PROVINSI 2017 109,41 7579779032.04 1248350823.73 70.81 168828,2 156 985,5 237641326 3.61 58647.49
14 34 PROVINSI 2018 55,6 8235739335.27 1364688111.84 71.39 180012,7 188 711,3 237641326 3.13 63946.60
14 34 PROVINSI 2019 9,63 8910892062.96 1438889391.65 71.92 167683 171 275,7 237641326 3.13 66607.83
14 34 PROVINSI 2020 0 8905756851.84 1475387803.30 71.94 163191,8 141 568,8 237641326 3.13 66607.83
KALIMANTAN TIMUR 381.28 424.88 518.50 977.56 1053.03 1437.95 1192.23 785.85
KALIMANTAN
UTARA 31.22 31.22 31.22 84.82 99.82 73.60 238.20 238.20
SULAWESI UTARA 202.06 458.32 345.19 350.45 358.03 580.77 557.22 295.50
SULAWESI TENGAH 175.73 189.18 198.09 422.41 421.12 490.62 1718.47 1746.21
SULAWESI
SELATAN 625.96 1045.81 1084.85 968.92 1232.35 1450.85 2953.94 2995.60
SULAWESI
TENGGARA 91.30 125.24 129.24 233.07 127.47 296.59 293.38 148.92
GORONTALO 33.20 31.44 31.44 64.73 31.49 56.83 57.91 57.41
SULAWESI BARAT 6.49 6.39 12.39 11.68 3.22 3.22 63.22 67.77
MALUKU 134.65 135.06 147.61 211.79 236.76 263.37 297.06 363.43
MALUKU UTARA 62.04 44.60 49.60 65.70 73.81 124.38 88.36 120.27
PAPUA BARAT 55.67 58.67 66.64 102.80 112.76 403.59 121.09 147.92
PAPUA 91.64 96.25 106.30 242.44 271.14 128.19 550.02 580.64
INDONESIA 35596.74 44841.54 45476.31 53015.70 54624.17 58647.49 63946.60 66607.83
JAWA TENGAH 15315.89 16600.42 18205.08 19631.46 20408.19 21057.04 23558.02 24750.62
DI YOGYAKARTA 1869.77 2043.75 2205.79 2369.60 2484.16 2724.49 2856.95 2856.95
JAWA TIMUR 24018.69 26910.18 28708.11 30523.98 30824.81 34114.16 35817.90 37228.94
BANTEN 7955.54 8457.80 9750.37 8562.97 8575.10 22557.53 23736.30 24646.11
BALI 3223.94 3546.60 3914.32 4335.03 4594.18 5069.64 5247.16 5706.73
NUSA TENGGARA
BARAT 837.17 976.39 1133.33 1291.47 1402.30 1677.54 1776.81 1950.25
NUSA TENGGARA
TIMUR 486.91 567.32 639.57 702.26 749.76 855.25 927.41 999.49
KALIMANTAN
BARAT 1434.72 1603.72 1889.39 1862.44 1989.63 2252.06 2373.12 2572.69
KALIMANTAN
TENGAH 649.95 752.34 854.78 970.16 1048.64 1134.95 1223.79 1358.77
KALIMANTAN
SELATAN 1467.13 1688.44 1880.66 2092.23 2187.64 2391.87 2602.39 2819.16
KALIMANTAN
TIMUR 2277.22 2502.32 2731.58 2815.55 3007.30 3418.33 3637.27 3952.88
KALIMANTAN
UTARA - - 180.73 199.37 206.50 180.59 183.32 264.55
SULAWESI UTARA 986.62 1087.08 1192.52 1240.32 1302.58 1544.87 1676.89 1787.87
SULAWESI TENGAH 574.71 686.19 758.70 865.77 948.78 1068.79 1171.08 1146.23
SULAWESI
SELATAN 3246.42 3639.63 4156.49 4339.22 4479.46 5172.50 5472.48 5945.56
SULAWESI
TENGGARA 441.08 528.42 621.64 670.71 703.59 850.70 911.73 986.89
GORONTALO 236.52 293.13 328.40 366.08 398.82 460.13 503.49 543.84
SULAWESI BARAT 151.52 177.63 207.59 238.03 258.70 312.89 345.28 380.08
MALUKU 336.69 397.49 469.96 480.08 509.51 463.05 597.37 519.13
MALUKU UTARA 204.67 235.88 259.10 309.37 329.44 237.12 401.48 537.52
PAPUA BARAT 305.08 346.65 383.99 430.63 455.58 533.47 569.02 510.01
PAPUA 522.80 600.67 713.26 724.78 763.32 868.01 916.96 1057.65
INDONESIA 158694.89 174341.92 188342.41 199028.08 204279.97 226014.06 239012.04 247653.33
6.7.4 Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Hutan dan Non Hutan Menurut Provinsi Tahun 2014-2019 (Ribu Ha)
Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan Hutan Non Hutan
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
N Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut Penut
Provinsi Juml Juml Juml
o upan upan Juml upan upan Juml upan upan Juml upan upan upan upan upan upan
% % % % % % % % ah % % ah % % ah
Lahan Lahan ah Lahan Lahan ah Lahan Lahan ah Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan
(Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu (Ribu
Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha) Ha)
(1
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24) (25) (26) (27) (23) (24) (25) (26) (27)
)
5 5 5 5 5 5
3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2
1 ACEH 55, 44, 56, 44, 57, 42, 55, 44, 55, 44, 55, 44,
156,7 490,6 161,9 485,4 270,9 376,4 120,2 527,1 110,2 537,1 155,6 491,7
9 1 647, 0 0 647, 9 1 647, 3 7 647, 1 9 647, 9 1 647,
3 3 3 3 3 3
7 7 7 7 7 7
SUMATE
1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5
2 RA 25, 74, 24, 75, 25, 74, 25, 74, 25, 75, 26, 73,
826,9 275,1 102, 759,9 342,1 102, 813,1 288,9 102, 785,9 316,1 102, 778,4 323,6 102, 853,4 248,6 102,
UTARA 7 3 8 2 5 5 1 9 0 0 1 9
0 0 0 0 0 0
4 4 4 4 4 4
SUMATE
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
3 RA 46, 53, 46, 53, 46, 54, 46, 53, 46, 53, 45, 54,
927,7 256,2 183, 934,7 249,2 183, 924,1 259,8 183, 936,6 247,3 183, 931,0 252,9 183, 907,1 276,8 183,
BARAT 1 9 2 8 0 0 3 7 2 8 6 4
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
2 6 2 6 2 6 2 6 2 6 2 6
4 RIAU 28, 71, 26, 73, 29, 70, 25, 74, 25, 74, 27, 72,
562,3 320,6 882, 350,0 532,9 882, 617,6 265,2 882, 304,3 578,6 882, 260,5 622,3 882, 459,2 423,6 882,
8 2 5 5 5 5 9 1 4 6 7 3
8 8 8 8 8 8
4 4 4 4 4 4
1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
5 JAMBI 28, 71, 27, 72, 28, 71, 26, 73, 26, 73, 25, 74,
358,2 474,1 832, 341,3 491,1 832, 385,6 446,8 832, 283,4 549,0 832, 274,2 558,2 832, 253,2 579,2 832,
1 9 8 2 7 3 6 4 4 6 9 1
3 3 3 3 3 3
SUMATE 8 8 8 8 8 8
RA 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7
6 17, 82, 13, 86, 17, 82, 13, 86, 13, 86, 16, 83,
SELATA 523,6 103,3 626, 200,6 426,3 626, 536,4 090,5 626, 144,4 482,5 626, 141,0 485,9 626, 445,0 181,9 626,
7 3 9 1 8 2 3 7 2 8 8 2
N 9 9 9 9 9 9
2 2 2 2 2 2
BENGK 1 1 1 1 1 1
7 34, 65, 34, 65, 34, 66, 34, 65, 33, 66, 33, 66,
ULU 693,0 309,9 002, 688,9 314,0 002, 681,5 321,4 002, 685,1 317,9 002, 677,2 325,7 002, 674,6 328,3 002,
6 4 4 6 0 0 2 8 8 2 7 3
9 9 9 9 9 9
3 3 3 3 3 3
LAMPUN 3 3 3 3 3 3
8 10, 89, 90, 10, 89, 90, 90, 90,
G 364,5 070,9 435, 339,1 9,9 096,3 435, 354,9 080,5 435, 334,4 9,7 101,0 435, 333,1 9,7 102,2 435, 335,9 9,8 099,5 435,
6 4 1 3 7 3 3 2
4 4 4 4 4 4
KEP. 1 1 1 1 1 1
BANGKA 1 1 1 1 1 1
9 15, 84, 14, 85, 13, 86, 13, 86, 13, 86, 11, 88,
BELITU 250,9 408,8 659, 233,3 426,5 659, 229,7 430,0 659, 221,8 437,9 659, 218,1 441,6 659, 192,1 467,6 659,
1 9 1 9 8 2 4 6 1 9 6 4
NG 7 7 7 7 7 7
1 KEP.
34, 65, 817, 30, 70, 817, 32, 67, 817, 32, 67, 817, 32, 67, 817, 33, 66, 817,
0 RIAU 282,6 534,4 245,0 572,0 268,7 548,3 268,8 548,2 269,1 547,9 271,6 545,4
6 4 0 0 0 0 9 1 0 9 1 0 9 1 0 2 8 0
DKI
1
JAKART 99, 99, 99, 99, 99, 99,
1 0,3 0,5 65,1 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,1 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3 0,3 0,5 65,0 65,3
A 5 5 5 5 5 5
3 3 3 3 3 3
1 JAWA 3 3 3 3 3 2
17, 82, 17, 82, 17, 82, 17, 82, 17, 82, 21, 78,
2 BARAT 643,4 055,2 698, 634,7 063,9 698, 650,0 048,6 698, 648,1 050,5 698, 639,8 058,8 698, 797,2 901,4 698,
4 6 2 8 6 4 5 5 3 7 6 4
6 6 6 6 6 6
1 JAWA 2 3 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3
3 TENGAH 776,7 22, 679,9 77, 019,5 29, 437,1 70, 787,3 22, 669,2 77, 019,7 29, 436,9 70, 019,0 29, 437,6 70, 665,1 19, 791,4 80,
5 5 456, 5 5 456, 8 2 456, 5 5 456, 5 5 456, 2 8 456,
6 6 6 6 6 6
3
DI
1
YOGYA 10, 89, 319, 10, 89, 319, 14, 85, 10, 89, 319, 10, 89, 319, 10, 89, 319,
4 34,5 285,0 34,3 285,2 45,9 273,5 194, 34,6 284,8 34,0 285,4 32,6 286,8
KARTA 8 2 4 7 3 4 4 6 8 2 4 7 3 4 2 8 4
0
4 4 4 4 4 4
1 JAWA 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
28, 71, 28, 71, 29, 70, 28, 71, 28, 72, 25, 75,
5 TIMUR 367,9 469,8 837, 365,8 471,9 837, 435,6 402,0 837, 367,8 469,8 837, 356,3 481,3 837, 207,3 630,4 837,
3 7 2 8 7 3 3 7 0 0 0 0
7 7 7 7 7 7
1
BANTEN 16, 83, 939, 16, 83, 939, 17, 82, 939, 17, 82, 939, 17, 82, 939, 15, 84, 939,
6 154,8 784,4 151,4 787,8 167,1 772,1 162,9 776,3 163,2 775,9 147,1 792,1
5 5 2 1 9 2 8 2 2 3 7 2 4 6 2 7 3 2
1
BALI 18, 81, 566, 18, 82, 566, 16, 83, 566, 16, 83, 566, 16, 83, 566, 17, 82, 566,
7 102,7 464,1 102,1 464,7 91,6 475,3 94,9 472,0 94,6 472,6 99,8 467,0
1 9 9 0 0 9 2 8 9 7 3 9 7 3 9 6 4 9
NUSA 1 1 1 1 1 1
1 TENGG 1 1 1 1 1 1
42, 57, 40, 60, 46, 53, 40, 59, 39, 60, 44, 55,
8 ARA 842,4 137,7 980, 791,2 188,9 980, 920,0 060,2 980, 793,4 186,8 980, 783,2 196,9 980, 878,6 101,6 980,
5 5 0 0 5 5 1 9 6 4 4 6
BARAT 2 2 2 2 2 2
NUSA 4 4 4 4 4 4
1 TENGG 1 3 1 2 1 2 1 2 1 2 1 3
26, 73, 41, 58, 37, 62, 41, 58, 41, 58, 36, 63,
9 ARA 245,2 477,4 722, 967,0 755,5 722, 760,8 961,8 722, 977,2 745,3 722, 957,2 765,4 722, 719,2 003,4 722,
4 6 7 3 3 7 9 1 4 6 4 6
TIMUR 5 5 5 5 5 5
1 1 1 1 1 1
KALIMA
2 5 8 4 5 8 4 5 8 4 5 8 4 5 8 4 5 8 4
NTAN 39, 60, 39, 60, 38, 61, 38, 61, 38, 61, 38, 61,
0 788,7 784,1 572, 754,9 817,8 572, 583,1 989,7 572, 623,5 949,3 572, 590,8 982,0 572, 587,0 985,7 572,
BARAT 7 3 5 5 3 7 6 4 4 6 3 7
8 8 8 8 8 8
1 1 1 1 1 1
KALIMA
2 7 7 5 7 7 5 7 7 5 7 7 5 7 7 5 7 7 5
NTAN 51, 48, 51, 48, 49, 50, 49, 50, 49, 50, 48, 51,
1 866,9 399,3 266, 866,9 399,3 266, 609,1 657,0 266, 544,1 722,1 266, 516,4 749,7 266, 396,6 869,6 266,
TENGAH 5 5 5 5 8 2 4 6 2 8 5 5
2 2 2 2 2 2
KALIMA 3 3 3 3 3 3
2 NTAN 2 2 2 2 2 2
25, 74, 24, 75, 24, 75, 23, 77, 22, 77, 25, 75,
2 SELATA 940,3 773,7 713, 899,6 814,3 713, 897,0 817,0 713, 855,5 858,4 713, 840,9 873,0 713, 926,9 787,0 713,
3 7 2 8 2 8 0 0 6 4 0 0
N 9 9 9 9 9 9
1 1 1 1 1 1
KALIMA
2 13 5 9 12 6 9 13 6 9 12 6 9 12 6 9 12 6 9
NTAN 69, 30, 66, 34, 67, 32, 65, 35, 64, 35, 65, 34,
3 564,8 940,0 504, 873,7 631,1 504, 122,9 381,9 504, 672,1 832,7 504, 615,0 889,8 504, 806,4 698,4 504,
TIMUR 5 5 0 0 3 7 0 0 7 3 7 3
8 8 8 8 8 8
KALIMA
2
NTAN
4
UTARA
1 1 1 1 1 1
SULAW
2
ESI 39, 60, 38, 61, 38, 61, 38, 61, 38, 61, 38, 61,
5 563,8 875,7 439, 560,1 879,4 439, 555,3 884,3 439, 557,1 882,5 439, 553,2 886,3 439, 555,4 884,2 439,
UTARA 2 8 9 1 6 4 7 3 4 6 6 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
SULAW
2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2
ESI 63, 36, 64, 35, 63, 36, 63, 36, 63, 36, 63, 36,
6 806,6 228,1 034, 907,9 126,8 034, 854,3 180,4 034, 846,5 188,2 034, 825,1 209,6 034, 816,3 218,5 034,
TENGAH 1 9 8 2 9 1 7 3 4 6 2 8
7 7 7 7 7 7
SULAW 4 4 4 4 4 4
2 ESI 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
32, 67, 31, 68, 31, 68, 31, 68, 31, 68, 32, 67,
7 SELATA 481,3 017,1 498, 433,6 064,8 498, 415,4 083,0 498, 404,4 094,0 498, 409,8 088,6 498, 457,8 040,6 498,
9 1 9 1 5 5 2 8 3 7 4 6
N 4 4 4 4 4 4
SULAW 3 3 3 3 3 3
2 ESI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
53, 46, 53, 47, 52, 47, 52, 48, 51, 48, 51, 48,
8 TENGG 929,4 682,2 611, 914,4 697,2 611, 896,8 714,8 611, 877,0 734,7 611, 846,6 765,1 611, 861,4 750,2 611,
4 6 0 0 5 5 0 0 1 9 5 5
ARA 6 6 6 6 6 6
1 1 1 1 1 1
2 GORON
59, 40, 59, 41, 57, 42, 59, 40, 59, 40, 59, 40,
9 TALO 710,8 487,7 198, 707,5 491,0 198, 692,7 505,8 198, 709,9 488,6 198, 710,3 488,2 198, 717,6 480,9 198,
3 7 0 0 8 2 2 8 3 7 9 1
5 5 5 5 5 5
1 1 1 1 1 1
SULAW
3
ESI 49, 50, 48, 51, 49, 51, 48, 51, 48, 51, 49, 51,
0 838,7 841,5 680, 822,1 858,1 680, 823,2 857,0 680, 817,4 862,9 680, 815,6 864,6 680, 823,3 856,9 680,
BARAT 9 1 9 1 0 0 6 4 5 5 0 0
2 2 2 2 2 2
4 4 4 4 4 4
3 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1
MALUKU 65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34, 65, 34,
1 030,7 591,4 622, 016,8 605,3 622, 030,0 592,1 622, 011,8 610,3 622, 007,8 614,3 622, 012,6 609,5 622,
6 4 3 7 6 4 2 8 1 9 2 8
1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3
3 MALUKU 2 1 2 1 1 1 2 1 2 1 2 1
67, 32, 66, 33, 62, 37, 64, 35, 64, 35, 64, 35,
2 UTARA 110,1 020,5 130, 070,9 059,7 130, 946,8 183,8 130, 019,0 111,6 130, 009,3 121,3 130, 014,1 116,5 130,
4 6 1 9 2 8 5 5 2 8 3 7
6 6 6 6 6 6
9 9 9 9 9 9
3 PAPUA 8 8 8 8 8 8
92, 91, 91, 90, 90, 92,
3 BARAT 864,5 760,4 7,9 624, 790,0 834,9 8,7 624, 821,6 803,3 8,3 624, 750,9 874,0 9,1 624, 751,1 873,7 9,1 624, 874,9 750,0 7,8 624,
1 3 7 9 9 2
9 9 9 9 9 9
3 3 3 3 3 3
3 25 5 1 25 5 1 25 5 1 25 6 1 24 6 1 25 5 1
PAPUA 80, 19, 80, 19, 80, 19, 80, 19, 80, 19, 81, 19,
4 155,5 921,4 076, 088,4 988,5 076, 082,6 994,3 076, 076,9 000,0 076, 993,6 083,3 076, 168,7 908,2 076,
9 1 7 3 7 3 7 3 4 0 0 0
9 9 9 9 9 9
1 1 1 1 1 1
INDONE 95 91 87 95 92 87 95 92 87 93 93 87 93 94 87 94 93 87
51, 49, 50, 49, 50, 49, 50, 50, 49, 50, 50, 49,
SIA 766,4 985,5 751, 028,0 723,9 751, 271,9 480,0 751, 949,7 802,1 751, 526,2 225,7 751, 114,1 637,8 751,
0 0 6 4 7 3 0 0 8 2 1 9
9 9 9 9 9 9
PROVINSI ENERGI
SUMATERA 463606382,80
JAWA - BALI 3996978018,05
NUSA
TENGGARA 1715355,21
KALIMANTAN 50359523,68
SULAWESI 28548184,32
MALUKU 2572865,89
PAPUA 0
PROVINSI IPPU
SUMATERA 2960749,94
JAWA – BALI 17377162,74
NUSA
TENGGARA 0
KALIMANTAN 0
SULAWESI 0
MALUKU 0
PAPUA 0
PROVINSI PERTANIAN
SUMATERA 19273116,80
PROVINSI KEHUTANAN
SUMATERA 326148179,55
JAWA - BALI 373184997,49
NUSA
TENGGARA 633038,31
KALIMANTAN 55752318,7
SULAWESI -23868608,04
MALUKU -20070119,23
PAPUA -36148837,3
PROVINSI LIMBAH
SUMATERA 15614573,19
JAWA - BALI 115727034,70
NUSA
TENGGARA 0,00
KALIMANTAN 1189021,66
SULAWESI 2047211,9
MALUKU 458900,46
PAPUA 0
KALIMANTAN TIMUR 11.04 9.51 7.73 7.66 6.77 6.38 6.38 6.31 6.10 6.00 6.08 6.06 5.91
KALIMANTAN UTARA - - - - - - - - 6.32 6.99 6.96 6.86 6.49
SULAWESI UTARA 11.42 10.10 9.79 9.10 8.51 7.64 8.50 8.26 8.98 8.20 7.90 7.59 7.51
SULAWESI TENGAH 22.42 20.75 18.98 18.07 15.83 14.94 14.32 13.61 14.07 14.09 14.22 13.69 13.18
SULAWESI SELATAN 14.11 13.34 12.31 11.60 10.29 9.82 10.32 9.54 10.12 9.24 9.48 8.87 8.56
SULAWESI
TENGGARA 21.33 19.53 18.93 17.05 14.56 13.06 13.73 12.77 13.74 12.77 11.97 11.32 11.04
GORONTALO 27.35 24.88 25.01 23.19 18.75 17.22 18.01 17.41 18.16 17.63 17.14 15.83 15.31
SULAWESI BARAT 19.03 16.73 15.29 13.58 13.89 13.01 12.23 12.05 11.90 11.19 11.18 11.22 10.95
MALUKU 31.14 29.66 28.23 27.74 23.00 20.76 19.27 18.44 19.36 19.26 18.29 17.85 17.65
MALUKU UTARA 11.97 11.28 10.36 9.42 9.18 8.06 7.64 7.41 6.22 6.41 6.44 6.62 6.91
PAPUA BARAT 39.31 35.12 35.71 34.88 31.92 27.04 27.14 26.26 25.73 24.88 23.12 22.66 21.51
PAPUA 40.78 37.08 37.53 36.80 31.98 30.66 31.53 27.80 28.40 28.40 27.76 27.43 26.55
INDONESIA 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 11.66 11.47 10.96 11.13 10.70 10.12 9.66 9.22
Data Provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2013 dan 2014 masih bergabung dengan Provinsi
Kalimantan Timur
Source Url: https://www.bps.go.id/indicator/23/192/2/persentase-penduduk-miskin-menurut-
provinsi.html
Access Time: August 27, 2021, 1:53
pm