DETERMIN
ANTS OF
TAX ON
INDUSTRY
SECTOR IN
INDONESI
A
Universitas Indonesia
2
Proposed By :
Destarita Indah
Permatasari
Perencanaan Advokasi dalam Penyelesaian Permasalahan Kemacetan
di Provinsi DKI Jakarta
I. Latar Belakang
a. Kondisi DKI Jakarta saat ini
DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pemerintahan
dengan jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dengan kepadatan
penduduk 15.234 orang per km², dikelilingi dengan kawasan permukiman Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) . Dari hasil survey komuter Jabodetabek
tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178
orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah / kursus di
DKI Jakarta 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek.
b. Permasalahan
Kemacetan sebagai salah satu masalah yang belum teratasi di DKI Jakarta yang
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Rasio kendaraan pribadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan rasio kendaraan
umum.
Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% untuk
kendaraan pribadi dan 2% adalah kendaraan umum. Padahal idealnya rasio antara
kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 35% dan 65%.
Penurunan minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, berbeda
dengan adanya peningkatan masyarakat sebagai pengguna kendaraan pribadi.
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa telah terjadi penurunan minat di
masyarakat dalam menggunakan transportasi umum hingga mencapai 12,8%,
namun tidak demikian halnya dengan masyarakat pengguna kendaraan pribadi
yang justru menunjukkan peningkatan sekitar 11%.
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
Konsep perencanaan advokasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Davidoff dalam
tulisannya yang berjudul “Advocacy and Pluralism in Planning” yang diterbitkan di Journal of
the American Institute of Planners tahun 1965. Konsep perencanaan advokasi pada dasarnya
meragukan adanya kesatuan kepentingan umum dan ada kepentingan lain yang belum terwakili
dalam proses perencanaan. Davidoff dalam Angotti (2007) menjelaskan bahwa setiap kelompok
dalam masyarakat akan memiliki kebutuhannya masing-masing, sehingga akan memiliki visi
dan misi yang berbeda terhadap perencanaan.
Selain itu, Davidoff dalam Angotti (2007) memaparkan bahwa harus ada seorang
perencana yang mampu menjadi “advokat” atau pengacara untuk dapat membantu menyalurkan
keinginan dan kebutuhan dari “klien” atau dalam hal ini kelompok masyarakat miskin atau
termarjinalkan, agar permasalahan mereka dapat dimasukkan ke dalam perencanaan kota. Para
perencana ini akan bertindak sebagai wakil untuk membuat atau menyusun perencanaan atas
nama kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut. Perencanaan advokasi dinilai cukup
berhasil dalam menghadapi kebijakan – kebijakan publik serta permasalahan yang tidak sensitif
dan merugikan masyarakat yang termarjinalkan (Hudson, 1979).
Seringkali kita harus melakukan advokasi sebagai bagian penting dalam strategi
program. Dalam hal ini berbicara tentang advokasi. Intinya, advokasi merupakan proses untuk
mempengaruhi pengambil kebijakan. Ia dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi program,
karena untuk mencapai hasil yang kita inginkan kita memerlukan pendekatan yang lebih luas,
dan menyasar kepada penyebab majemuk.
Menurut Johns Hopkins (1990) Advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.
B. TUJUAN ADVOKASI
Tujuan utama dari pendekatan advokasi adalah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam
proses perencanaan dengan mengakomodasi gagasan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat.
Proses advokasi juga berarti bahwa masyarakat akan selalu mendapat informasi yang akurat
berkenaan dengan perencanaan yang diajukan dan mampu merespon umpan balik dari
masyarakat dalam bahasa teknis. Perencana sebagai advokat akan bertindak sebagai penyaji
informasi, analisis situasi sekarang, pendorong ke arah masa depan, dan pemrakarsa akan solusi
yang spesifik.
Namun demikian, pendekatan advokasi hanya memiliki pengaruh kecil pada struktur
yang sedang berjalan. Richard Hart, salah seorang penganut strategi ini mengkritik perencanaan
advokasi bahwa penduduk miskin tidak memiliki kekuasaaan untuk mengontrol tindakan
sehingga dianggap pendekatan ini tidak menawarkan strategi yang potensial yang dapat
menimbulkan perubahan.
Universitas Indonesia
5
Metode atau cara dan teknik advokasi untuk mencapai tujuan ada bermacam-macam,
yaitu :
1. Lobi politik ( political lobying )
2. Seminar/presentasi
3. Media
4. Perkumpulan
C.SASARAN ADVOKASI
Sasran advokasi seperti yang kita ketahui adalah sebagian besar yaitu masyarakat sendiri
yang kurang tentang pengetahuan.
Selain masyarakat secara umum, secara khusus kita dapat melakukan advokasi terhadap
intansi – intansi yang terkait.
Kita juga dapat melakukan advokasi kepada pemerintah jika menyangkut keberadaan
peraturan yang berlaku.
D. SALURAN ADVOKASI
Semua ide dapat dikomunikasikan melalui berbagai cara misalnya dengan menulis surat,
menelepon, berkunjung, buletin, demonstrasi, laporan di media baik media cetak atau elektronik
dan sebagainya.6 Badan legislatif/legislator dapat merupakan saluran apabila tujuan akhir yang
diinginkan adalah perbaikan situasi yang memerlukan adanya pemberlakuan undang-undang.
Jadi selain dapat berfungsi sebagai sasaran, ia juga dapat berperan sebagai saluran advokasi.
Saluran apa yang akan dipakai tentunya bergantung pada lingkup masalah, siapa yang
melakukan advokasi, siapa yang diwakili serta siapa yang akan menjadi sasaran advokasi
tersebut. Semakin kuat posisi oposisi, tentu dibutuhkan saluran yang bervariasi, yang tentunya
membutuhkan dana yang cukup besar.
Dibandingkan dengan saluran advokasi lainnya, media merupakan saluran yang sangat
efektif dalam advokasi karena media menjangkau lebih banyak sasaran advokasi, dan juga
orang-orang atau instansi yang bisa menjadi saluran, bahkan masyarakat yang diwakili. Ada
beberapa bentuk pemanfaatan media untuk advokasi, antara lain media advisory, press release,
surat kepada editor, the op-ed, editorial dan memberikan wawancara.
The op-ed merupakan tulisan tentang isu tersebut yang dibuat oleh seseorang, siapa pun,
tentunya yang mempunyai kompetensi untuk menulis isu tersebut. Di media nasional biasanya
ditulis oleh seseorang yang cukup terkenal di bidang tersebut.
Universitas Indonesia
6
1. Jelas ( clear )
2. Benar ( correct )
3. Konkret ( concrete )
4. Lengkap ( complete )
5. Ringkas ( concise )
6. Meyakinkan ( Convince )
7. Konstekstual ( contexual )
8. Berani ( courage )
9. Hati –hati ( coutious )
10. Sopan ( courteous )
Prinsip dasar Advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik,tetapi mencakup
kegiatan persuasif ,memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan pressure atau
tekanan kepada para pemimpin institusi.
Ruang lingkup advokasi sangat bervariasi. Bisa bersifat lokal, nasional bahkan
internasional. Kasus yang sebenarnya bersifat lokal kadang menjadi kasus nasional karena pada
kenyataannya pihak oposisi melibatkan instansi yang bersifat nasional. Sebaliknya kasus yang
bersifat nasional, dapat ditarik oleh seorang pemerhati menjadi kasus lokal atau bahkan dalam
dimensi yang lebih sempit misalnya ke dalam lingkup instansi.
Proyek 6 Ruas Tol Dalam Kota Tetap Berjalan, Investor Siap Talangi Dana
Lahan
Universitas Indonesia
7
JIBI/Abdullah Azzam
Direktur Utama JTD Frans S. Sunito mengungkapkan pihaknya telah melakukan pertemuan
dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk membahas masalah ini. Dalam
pertemuan tersebut, dia meyakinkan Gubernur Ahok bahwa proyek ini telah memiliki
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang sah sejak 2014.
Dia juga menjelaskan bahwa proyek tol ini telah termasuk ke dalam 47 ruas tol yang
ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional.
“Pada prinsipnya gubernur ingin tol ini berjalan. Masalahnya memang pembebasan lahan, kami
menyadari anggaran pemerintah juga terbatas. Untuk itu kami bisa berikan dana talangan
asalkan sudah ada regulasi yang jelas mengenai mekanismenya pengembaliannya,” ujarnya.
Meski demikian, dia belum bisa memaparkan lebih rinci mengenai alokasi dana yang disiapkan
untuk pembebasan lahan. Menurutnya, besaran dana tersebut sangat tergantung dari nilai tanah,
mekanisme termasuk jangka waktu pengembalian yang dijanjikan pemerintah.
Universitas Indonesia
8
Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa surat yang diajukan Gubernur Ahok ke Kementerian
PUPR bukan mengenai pembatalan proyek tol menjadi jalan nasional, seperti yang banyak
diberitakan oleh media.
Namun, surat tersebut menyatakan permohonan pembatalan Perjanjian Kerja Sama (PKS)
pengadaan lahan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta, karena jalur tol
layang itu akan dibangun di atas jalan provinsi yang juga memerlukan pembebasan lahan
supaya bisa dilebarkan.
“Sekarang koordinasi sudah terjadi. Gubernur juga telah mengeluarkan pergub mengenai
mana lahan lokasi tol yang akan menjadi jalan nasional, dan mana lahan untuk jalan provinsi.
Jadi sebenarnya solusinya sudah ada,” ujarnya.
Selain itu, JTD juga telah mengirimkan surat kepada Kementerian PUPR yang menyatakan siap
untuk melakukan percepatan konstruksi. Dalam surat tersebut, pihaknya menyatakan telah
memulai konstruksi awal berupa pemancangan pondasi di Pegangsaan II, yang menjadi bagian
dari pembangunan Tahap I ruas Semanan—Sunter—Pulogebang segmen Kelapa gading—
Pulogebang.
Frans menambahkan saat ini pihaknya juga tengah menjajaki pinjaman yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pendanaan kepada sindikasi perbankan yang salah satunya terdiri dari
Bank Mandiri. Berdasarkan rencana perusahaan, pembiayaan tol ini akan berasal dari 30% atau
sekitar Rp12,35 triliun ekuitas perusahaan dan 70% atau sekitar Rp 28,81 triliun pinjaman.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan pihaknya
tetap menjalankan proyek ini sesuai acuan kontraktual yang berlaku. Dia juga menyatakan
telah menerima surat dari JTD tentang percepatan pembangunan proyek enam ruas tol dalam
kota.
“Sebetulnya tidak ada yang berubah. Kemarin itu hanya untuk menekankan saja bahwa proyek
harus tetap berjalan. Kami juga sudah mulai proses pengadaan lahan, ,” ujarnya ketika ditemui
di Kementerian PUPR akhir pekan lalu.
Pihaknya menegaskan meskipun dana lahan senilai Rp1,4 triliun di Kementerian PUPR telah
terserap seuruhnya, tetapi proses negosiasi di lapangan mulai berjalan. Pihaknya tengah
mengusahakan pencairan dana Badan Layanan Umum (BLU) senilai Rp2,4 triliun ke
Kementerian Keuangan.
Dia mengungkapkan proses penandatanganan kontrak untuk proyek ini telah lama berjalan,
sejak 24 Juli 2014. Sebagian besar lahan tol layang tersebut, ujarnya, menggunakan jalan
provinsi yang telah ada, sehingga lahan yang perlu dibebaskan hanya sekitar 30%.
Universitas Indonesia
9
Dia mengakui tertundanya pembangunan tol ini akibat pengadaan lahan yang tersendat dapat
meningkatkan biaya investasi dan estimasi kebutuhan dana tanah. Untuk itu dia menyatakan
terbuka terhadap penghitungan ulang biaya investasi, seperti yang dimungkinkan oleh PPJT.
Berdasarkan data BPJT, PPJT jalan tol 6 ruas tol dalam kota telah diteken sejak 25 Juli 2014
oleh Kementerian PUPR dengan PT Jakarta Tollroad Development. JTD ini merupakan
konsorsium yang terdiri dari 12 pemegang saham, antara lain PT Pembangunan Jaya Tol
(0,00075%), PT Pembangunan Jaya (9%), PT Jakarta Propertindo (7%), PT Jaya Konstruksi
Manggala Pratama Tbk (15,99%), PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (22,5%), PT Jaya Land
(3,5%), PT Pembangunan Perumahan Tbk (3%), PT Wijaya Karya Tnk (5%), PT Hutama Karya
Tbk (5%), PT Hutama Karya (3%), PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (8%) dan PT Adhi
Karya (3%).
Adapun jadwal konstruksi Tahap I terdiri dari dua ruas, yakni Semanan-Sunter dan Sunter—
Pulogebang. Konstruksi Semanan—Sunter dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2015 hingga
Juni 2018, sementara Sunter—Pulogebang dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2016 hingga
Desember 2018. Adapun keempat ruas tol lainnya akan dibangun secara bertahap hingga 2022.
Tahap pertama
Ruas Koridor Sunter-Bekasi raya sepanjang 11 km dengan nilai investasi Rp 7,37 triliun.
Tahap kedua
Ruas Duri pulo-kampung Melayu sepanjang 11,38 km dengan nilai investasi Rp 5,96 triliun.
Tahap Ketiga
Ruas koridor Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,27 km dengan nilai investasi Rp 4,25
triliun.
Tahap keempat
Ruas Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 km dengan nilai investasi Rp 5,71 triliun.
Universitas Indonesia
10
Tol ini akan terkoneksi dengan jalan layang non tol di Casablanca, dengan lebar jalan
masing-masing 25,8 meter. Masing-masing ruas akan dilengkapi jalur busway yang akan
dilantasi bus umum di kanan dan kiri tol
Tol ini diperkirakan akan memakan biaya investasi Rp 41,17 triliun, mencakup Rp 20,62
triliun dan Rp 5,48 triliun untuk lahan.
Tarif tol ini diperkirakan untuk tahap I (2017) mencapai Rp 31.339 (golongan I), Tahap I
dan II (2019) Rp 46.579, dan tahap I, II, III (2020) Rp 50.591 km. Investor proyek ini akan
mendapat konsesi selama 45 tahun.
Enam ruas tol ini rencananya akan dimulai dibangun Juli 2015, dan total keseluruhan
selesai pada 2022, yang dikembangkan oleh PT Jakarta Tollroad Development (JTD).
http://finance.detik.com/ dibangun 2015, ini lokasi keluar-masuk mobil di 6 ruas tol dalam
kota Jakarta diakses pada 11 Oktober 2016 pukul 22.17
IV. Proses Perencanaan Advokasi
a. Pihak yang terlibat
Ideal
Review
Pihak yang terlibat dalam perencanaan advokasi pembangunan 6 (enam) ruas
jalan tol dalam kota di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
b. bentuk advokasi
Ideal (agusjero.blogspot.co.id)
Untuk poses advokasi yang dapat dinilai berhasil, setidaknya telah melahirkan
perubahan positif di lingkungan para pengambil kebijakan. Perubahan positif
dimaksud, antara lain:
(1) meningkatnya kesadaran dan antusiasme para pengambil kebijakan
terhadap isu-isu kebijakan yang disampaikan;
(2) para pengambil kebijakan menindaklanjuti rekomendasi kebijakan ke dalam
berbagai formulasi program, kegiatan dan rencana-rencana aksi; dan
(3) kesediaan para pengambil kebijakan untuk didampingi dalam proses
formulasi dan implementasi rencana-rencana aksi. Kesemuanya ini tampaknya
merupakan peluang-peluang yang menjanjikan di masa depan terkait dengan
kegiatan advokasi.
Pertama, kemampuan untuk memilih “isu-isu yang menarik dan seksi”, baik
bagi para pengambil kebijakan maupun bagi publik. Para advokator harus
memiliki kepekaan untuk menemukan isu-isu yang menimbulkan minat dan
membuat para pengambil kebijakan tertarik dan antusias. Hingga saat ini, isu-
isu penanggulangan kemiskinan, pengentasan anak jalanan dan gelandangan,
perbaikan kualitas manusia, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan,
pengembangan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, tetap merupakan isu-
isu yang diminati oleh para pengambil kebijakan.
Kedua, para pengambil kebijakan seringkali lebih berfokus pada “siapa yang
menyampaikan” ketimbang “apa yang disampaikan”. Persepsi pengambil
kebijakan terhadap figur advokator seringkali menjadi faktor penentu
keberhasilan proses advokasi. Ketika pengambil kebijakan tidak lagi meragukan
kapasitas dan kapabilitas sang advokator, substansi kebijakan yang
diadvokasikan akan memperoleh tempat dan mendapatkan perhatian penuh.
Ketiga, proses advokasi tampaknya akan jauh lebih mudah jika sudah ada
“hubungan” yang terbangun, sebelum proses advokasi dimulai. Ikatan
kekerabatan-sosial dan emosional yang terjalin jauh sebelum proses advokasi
dilakukakan seringkali menjadi faktor yang membuka dan memuluskan jalan
bagi proses advokasi.
mulut para pengambil kebijakan: “beritahu saya apa yang harus saya lakukan”.
Ucapan ini lebih berkonotasi “kegiatan-operasional” ketimbang “kebijakan-
normatif”.
Perencanaan
Bagian terpenting dari advokasi adalah aspek perencanaannya. Sebuah perencanaan lengkap
yang kita sebut sebagai kerangka kerja (framework) advokasi yang mancakup hasil analisis
kasus sesuai isu, aktivitas, dan situasi yang mempunyai peran dalam suatu advokasi. Kerangka
kerja ini sangat diperlukan mengingat advokasi merupakan jalinan interaksi dari berbagai pihak,
aktivitas dan situasi. Kerangka kerja advokasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
1. Identifikasi dan memahami masalah, yang akan diangkat menjadi isu strategis. Kriteria
penentuan isu strategis meliputi:
a. masalah yang paling prioritas dirasakan oleh stakeholder lokal dan mendapat perhatian publik
dikaitkan dengan hasil penelitian,
b. masalahnya mendesak (aktual) dan sangat penting untuk diberi perhatian segera, jika tidak
diatasi akan segera berakibat fatal di masa depan,
c. relevan dengan masalah-masalah nyata dan aktual yang dihadapi oleh masyarakat (sedang
hangat atau sedang menjadi perhatian masyarakat).
1.
a. Aktual : apakah isu ini sedang jadi pusat perhatian?
b. Urgensi : apakah isu ini mendesak?
c. Relevansi : apakah isu ini sesuai kebutuhan?
d. Dampak positif : apakah isu ini sesuai dengan visi & misi kita?
e. Kesesuaian: dapatkah konstituen kita berpartisipasi dalam isu ini?
f. Sensitivitas: apakah isu ini aman dari dampak sampingan?
dan memilih masalah serta dikembangkan dalam tujuan advokasi, membuat pesan, memperluas
basis dukungan dan mempengaruhi pembuat kebijakan. Data hasil riset akademik yang
dilakukan mendukung pelaksanaan kegiatan advokasi, terutama untuk memperoleh gambaran
umum tentang situasi problematik, keadaan sarana prasarana, dan kebijakan yang berlaku
termasuk kebijakan anggaran. Kegaitan advokasi juga ditunjang oleh pakar secara akademis
sehingga menghasilkan daya dorong kuat karena akan bersifat mendesak
kepada stakeholder (isunya terbukti merupakan kepentingan publik) sekaligus sahih secara
ilmiah.
5. Analisis SWOT
Metode perencanaan strategi menggunakan
analisis SWOT: Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats yang dirancang untuk
membantu mengidentifikasi kekuatan internal, kelemahan organisasi atau kelompok dalam
hubungannya dengan peluang dan ancaman yang ditemui dalam pelaksanaan kerja.
Peluang kerjasama ini dimaksudkan untuk membangun konstituen dalam hal mendukung
keberhasilan advokasi. Semakin besar basis dukungan, semakin besar peluang keberhasilan.
Kita perlu membangun aliansi dengan berbagai kelompok dan memanfaatkan berbagai media,
antara lain membangun jejaring dengan organisasi melalui kegiatan-kegiatan bersama,
pertemuan publik, media-media sosial, serta menggunakan jaringan berbasis internet.
Universitas Indonesia
14
a. Rencana implementasi : tujuan yang akan dicapai per kegiatan, waktu pelaksanakan, melakukan
apa oleh siapa, serta informasi yang mendukung
b. Mengembangkan pesan dan memilih saluran komunikasi
c. Anggaran kegiatan, sumber daya diperlukan untuk pengembangan dan penyebaran materi,
perjalanan anggota tim peneliti untuk bertemu dengan pembuat keputusan dan menghasilkan
dukungan, biaya komunikasi, dan keperluan logistik lainnya.
Pelaksanaan
Pelaksanaan advokasi mencakup banyak kegiatan, baik berurutan maupun serempak. Satu
tujuan yang dapat diraih dengan melakukan beberapa hal secara serentak dan saling mendukung.
Dalam pelaksanaannya setelah disusun kerangka kerja lengkap, kegiatan advokasi yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Legislasi, upaya yang dilakukan adalah di level legislatif dengan membangun payung hukum,
misalnya legal drafting dan judicial review.
b. Birokrasi, dilakukan untuk mengusulkan dan memperbaiki tata laksana suatu peraturan/payung
hukum di level eksekutif pemerintah (melalui lobby, mediasi, audiensi, kapasitasi, dll) sehingga
terjadi peningkatan pelayanan.
c. Sosialisasi dan Mobilisasi, dilakukan untuk membangun suatu budaya (terutama budaya hukum)
di masyarakat sebagaistakeholder utama (melalui pengembangan program komunikasi
partisipatif, kampanye, penggalangan dukungan basis masa/networking, tekanan sosial, dll).
Universitas Indonesia
15
Kegiatan evaluasi dan monitoring terjadi selama proses advokasi dilakukan, sebelum
melaksanakan advokasi perlu ditentukan bagaimana akan memantau rencana pelaksanaannya.
Dalam hal ini indikator sebagai ukuran kemajuan dan hasil yang dicapai, perlu
dipersiapkan.Dapatkah kita secara realistis mengharapkan untuk membawa perubahan dalam
kebijakan, program, atau dana sebagai hasil dari upaya? Secara spesifik, apa yang akan berbeda
setelah selesainya kampanye advokasi? Bagaimana kita tahu bahwa situasi telah berubah?
Kegiatan advokasi yang sering kali dilakukan di lingkungan yang bergejolak. Seringkali, kita
tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti setiap langkah dalam proses advokasi sesuai
dengan model yang disajikan di sini. Namun demikian, pemahaman yang sistematis dari proses
advokasi akan membantu advokat merencanakan dengan bijaksana, menggunakan sumber daya
secara efisien, dan tetap fokus pada tujuan advokasi.
2. Membangun Jejaring
Jaringan komunikasi
Universitas Indonesia
16
erjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah
perusahaan (Gonzales, 1993).
Kita dapat melakukan analisa terhadap jaringan berdasarkan unit analisis hubungan diantara
individu-indivu. Suatu perangkat hubungan yang biasa disebut personal network. Istilah ini
menunjukkan lingkaran pergaulan langsung seseorang pada suatu topik tertentu. Network
seseorang dapat bervariasi tergantung pada topik yang didiskusikan, ketika individu-individu
lebih sering berinterakasi satu sama lain daripada dengan individu-individu lain dalam suatu
kelompok yang lebih besar, maka mereka telah membentuk sebuah klik.
Peranan jaringan komunikasi dalam proses perubahan perilaku
Dalam suatu jaringan komunikasi, terdapat pemuka-pemuka opini, yaitu orang yang
mempengaruhi orang-orang lain secara teratur pada isu-isu tertentu. Karakteristik pemuka-
pemuka opini ini bervariasi menurut tipe kelompok yang mereka pengaruhi. Jika pemuka opini
terdapat dalam kelompok-kelompok yang bersifat inovatif, maka mereka biasanya lebih inovatif
daripada anggota kelompok, meskipun pemuka opini seringkali bukan termasuk inovator yang
pertama kali menerapkan inovasi. Di pihak lain, pemuka-pemuka opini dari kelompok-
kelompok yang konservatif juga bersikap agak konservatif (Gonzales, 1993). Pada proses difusi,
yaitu proses masuknya inovasi dalam suatu kelompok sehingga terjadi perubahan perilaku,
hampir semua pemuka-pemuka opini menyokong perubahan.
Pada beberapa peranan jaringan komunikasi dalam perubahan kelompok/organisasi, seperti
disampaikan di atas adanya klik yang muncul di suatu organisasi yang disebabkan adanya
adanya persamaan-persamaan tertentu (karena adanya tipe homofili), seseorang dalam suatu
organisasi bisa menjadi anggota dari beberapa klik. Klik yang terlalu banyak dalam suatu
klompok/organisasi biasanya terjadi karena banyaknya perbedaan, dan dapat mengakibatkan
perpecahan dalam suatu organisasi. Tetapi bila klik dapat diatasi maka perubahan yang positif
dalam organisasi dapat dicapai.
Perkembangan jaringan seiring dengan perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi kian pesat. Perkembangan teknologi yang signifikan menjadikan
perubahan yang mulai merambah dalam tiap hal yang dijajaki dan diperdalami oleh teknologi.
Perkembangan computer, sistem data, dalam hardware dan software, hingga ke perkembangan
komunikasi. Dengan perkembangan demikian membuat manusia kembali beradaptasi dan
menyesuaikan seiring dengan perkembangan tersebut. Teknologi pun mewabah ke jaringan
informasi yang ada, sehingga menjadikan perkembangan komunikasi yang mengalami
perubahan dalam pemanfaatan teknologi. Dalam perkembangan teknologi Indonesia,
perkembangan teknologi dalam jaringan kian pesat dan sudah mulai terkenal hingga melekat di
hati pengguna. Semakin banyak yang harus dipahami, semakin banyak yang harus diketahui dan
banyak yang mengalami perubahan. Perkembangan teknologi dalam jaringan sudah dijajaki
oleh para produsen ternama, bahkan sudah mengembangkan hingga memiliki jaringan tersendiri.
Dengan hal seperti ini, membuat persaingan di dunia komunikasi dan teknologi semakin
menarik. Tidak hanya itu, jaringan yang ada bahkan sudah bayak diakses dan mulai dikenal
orang banyak tanpa dengan adanya publikasi.
Saat ini untuk melakukan suatu komunikasi sangatlah mudah karena banyak dukungan
teknologi dalam berkomunikasi dengan komunitas kita ataupun masyarakat luas, teknologi
Universitas Indonesia
17
memberikan kemudahan dalalm kegiatan kita sehari-hari khususnya membangun suatu jaringan
komunikasi.
Kesibukan membuat kita tidak dapat berkomunikasi dengan mudah namun saat ini komunikasi
tidaklah sesulit seperti waktu lampau, siapapun dapat lebih mudah berkomunikasi dengan
komunitas atau keluarganya walaupun terbatasi oleh jarak yang sangat jauh. Teknologi
menghilangkan kesenjangan ruang dan waktu.
Jejaring Sosial
Saat ini orang mulai berbicara santai mengenai net dan kemudian world wide web, mereka
mulai menyadari bahwa mereka pun saling terhubung sama seperti komputer mereka.
Hubungan-hubungan jelas bersifat sosial, hingga sekarang nyaris semua orang akrab dengan
laman dan situs web jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Linkedln, MySpace,
DeviantART, Flickr, Friendster, Google, dan lainnya.
Social media membawa manfaat namun juga kerugian bagi penggunanya apabila tidak
digunakan secara bijaksana. Nicholas dan James dalam bukunya Connected menjelaskan
jejaring sosial sebagai barang indah yang rumit.
Universitas Indonesia
18
Keragaman asal-usul sosial dan genesis dalam pilihan ini menghasilkan aneka ragam struktur
jaringan dan menempatkan kita di lokasi unik dalam jaringan sosial.
Berdasarkan aturan tersebut di atas secara emosional individu nilai positif yang dapat diambil
antara lain adanya prinsip bahwa dukungan yang diberikan pasangan dapat banyak manfaat.
Pasangan hidup saling memberi dukungan sosial dan saling menghubungkan dengan jejaring
sosial yang lebih luas mencakup teman, tetangga, dan kerabat.
Cara bekerja Jaringan
Jaringan dapat dibentuk dan dimonitor melalui beberapa bentuk kegiatan, yaitu:
Universitas Indonesia
19
a. Identifikasi bidang program, tujuan dan kelompok minat untuk pengembangan jaringan
b. Membangun hubungan melalui komunikasi yang tepat
c. Membangun kesepakatan dengan pertemuan tatap muka antara manajemen puncak masing-
masing lembaga
d. Membahas bentuk dan mengembangkan jaringan, melalui analisis situasi
e. Identifikasi sumber daya yang dibutuhkan
f. Menetapkan pengukuran kinerja
Sedangkan untuk mengelola jaringan perlu dilakukan langkah monitoring dan evaluasi secara
terus menerus untuk melihat keefektivitasan dan pencapaian tujuan. Untuk membangun jaringan
yang bertahan lama dibutuhkan elemen esensial seperti saling menyajikan informasi terkini,
saling percaya dan kebijaksanaan.
Review
Bentuk perencanaan yang dilakukan dalam proyek pembangunan 6 (enam) rua
jalan tol di DKI Jakarta adalah sebagai berikut :
VI. Referensi
Angotti, Tom. 2007. Advocacy and Community Planning: Past, Present and Future.
Veneklassen, Lisa. 2002. A New Weave of Power, People, and Politics: The Action Guide for
Advocacy and Citizen Participation. World Neighbors and The Asia Foundation.
www.bond.org.uk. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.12.
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
COMPOSED BY :
DESTARITA INDAH PERMATASARI (1606936631)
“Saya / kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah / tugas terlampir
adalah murni hasil pekerjaan saya / kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.”
Materi ini tidak / belum pernah disajikan / digunakan sebagai bahan untuk makalah / tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya / kami menyatakan dengan jelas bahwa saya / kami menyatakan
menggunakannya.
Saya / kami memahami bahwa tugas yang saya / kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.
Universitas Indonesia
23
A. INTRODUCTION
Electricity is one of important needs in daily life. Electricity management as written in
basic law 1945 are managed by Government and used to increase the prosperity of citizens.
To deal with it, Goverment create one of national company to manage electricity called
National Electricity Company (PT.PLN). The main task of this company are produce
electricity to public. For region which is have not electricity network, Governmment and
local government give an opportunity to State own enterprises, regional own enterprises,
private company, and cooperation to do an activity of supplying electricity. The scopes of
suplying electrity are generating electricity, distributing electricity, and transmitting
electricity.
Nowadays, demand of electric power is increase. The electric power sector have to struggle
with this situation.
The forecast of electricity demand
Universitas Indonesia
24
B. LITERATURE REVIEW
Natural monopoly has been standard for regulate rate –base, rate of return which is being
practiced by state utility comission and federal agencies since the end of 19th century. On
the several industries , the economics of scale are sufficiently great so that the unit costs of
service would rise significantly if more than one firm supplied service in the relevant
market. Some of them are electricity, natural gas, train, and telephone. (Rahayu,2003).
Natural monopoly is needed in economy because it’s efficiency, altough still needed
regulation from Government for setting up tariff to provie fair rate of return, after operation
cost on used and useful access.
As with monopoly, in monopolistic competition firms face downward-sloping
demand curves. Therefore, they have some monopoly power. But this does not
mean that monopolistically competitive firms are likely to earn large profits.
Monopolistic competition is also similar to perfect competition: Because there
is free entry, the potential to earn profits will attract new firms with competing
brands, driving economic profits down to zero.
To make this clear, let’s examine the equilibrium price and output level for a
monopolistically competitive firm in the short and long run. Figure 12.1(a) shows
the short-run equilibrium. Because the firm’s product differs from its competitors’,
its demand curve DSR is downward sloping. (This is the firm’s demand
curve, not the market demand curve, which is more steeply sloped.) The profit maximizing
quantity QSR is found at the intersection of the marginal revenue
Universitas Indonesia
25
and marginal cost curves. Because the corresponding price PSR exceeds average
cost, the firm earns a profit, as shown by the shaded rectangle in the figure.
In the long run, this profit will induce entry by other firms. As they introduce
competing brands, our firm will lose market share and sales; its demand
curve will shift down, as in Figure 12.1(b). (In the long run, the average and
marginal cost curves may also shift. We have assumed for simplicity that costs
do not change.) The long-run demand curve DLR will be just tangent to the firm’s
average cost curve. Here, profit maximization implies the quantity QLR and the
price PLR. It also implies zero profit because price is equal to average cost. Our
firm still has monopoly power: Its long-run demand curve is downward sloping
because its particular brand is still unique. But the entry and competition of
other firms have driven its profit to zero.
More generally, firms may have different costs, and some brands will be more
distinctive than others. In this case, firms may charge slightly different prices, and some
will earn small profits.
C. ANALYSIS
Based on Statistical of Electricity here are some fact in 2015, compared with 2014:
the capacity of power system Indonesia In the end of 2015 is 55.528,10 MW, that consist
PLN’s Power Plan 38.314,23 MW and Non-PLN 17.213,87 MW. It’s compared the last
year of 2014 is 53.065,50 MW, so the capacity of the power system increased 2.462,60
MW or 4,64%.
the transmission lines In the end of 2015 is 41.682,56 kmc. The consisting of each line is as
follows: Extra high voltage transmission lines has reached 5.053 kmc, and High voltage
transmission lines has reached to 41.682,56 kmc. Total distribution lines increased to
Universitas Indonesia
26
890.099,64 kmc. The consisting of each line is as follows : Medium voltage distribution
lines has reached 346.978,98 kmc and low voltage distribution lines has reched 543.120,66
kmc. The sub stations increased 6.179 MVA or 7,14% as from 86.472 MVA on 2014 to
92.651 MVA of the end of 2015, and distribution sub stations has also increased 3.372,45
MVA or 7,20% as from 46.778,69 MVA on 2014 to 50.151,14 MVA of the end of
2015.Total distributions sub stations has also increased until 16.223 units or 4% from
389.311 units on 2014 to 405.534 units on 2015.
The supply of electricity in 2015 was 233.981,98 GWh, consisting of PLN’s self
production of 176.472,21 GWh and purchase of 57.509,77 GWh. Compared to the year
2014, the electricity of PLN’s production was 175.269,97 GWh increased 1.175,24 GWh
or 0,67%, while the purchased electricity on 2015 was 57.509,77 GWh increased
4.251,84Wh or 7,98 %.
The sale of PLN electricity in 2015 was 202.845,82 GWh, Compared to the year 2014 was
increased of 3.674.746 GWh or 6,39 % consisting of sales to industrial sector 64.079,39
GWh, to residential sector 88.682,13 GWh, to commercial sector or business enterprises
36.978,05 GWh and to public sector 13.106,25 GWh.
The number of customers in 2015 reached 61.167.980 customers, compared to the year
2014 was increased of 3.674.746 or 6,39 %. Residential was the largest group of customers,
numbering in 56.605.260 or 92,54 % of all customers.
PLN Energy’s losses in 2015 reached 22.588,97 GWh, the consisting of each line is as
follows; transmission losses as 5.248,08 GWh and distribution losses as 16.808,81 GWh.
Compared to the netto production was 225.723,37 GWh, these represented of 2,33 % and
7,63 % in overall transmission and distribution losses respectively.
The electrification ratio is the ratio of the electrified household to the total households.
Until in the end of 2015 electrification ratio has reached 88,30%. Compared to 2014, where
electrification ratio was 84,35%, had increased to 3,94%.
Component B and D
Universitas Indonesia
27
These are known as variable cost or Operation and Maintenance Cost. Component B i
known a fixed Operation and Maintenance cost, such as labour cost, management cost.
While component D is variable cost of Operation and Maintenance like engine cost.
Component C
Is familiarly known as fuel cost.
Component E
Is can be understood as networking cost from trafo to transmitter.
Another scheme of electricity pricing is Government set that PLN have a chance to
determine the tariff and there is subsidy to deal with the difference between their cost and
revenue. PLN have not an authority to increase the selling price, their income predictable
can not overcome their generation and distribution cost.
There are four main characteristic of current PLN selling prices. First, the rate is classified
according to consumer characteristic. Which are residential, business, industrial, social
activities, government, and street – light purposes. Second, each group have to pay
different rate according to basic charge and utilization charge. Consumer with higher
power installed should pay higher, in another condition monthly usage as a term to power
utilization being paid progressively. Third, the household pay lower price if they installed
lower power. Fourth, there is no difference in tariff of usage on peak and off – peak time.
Figure 1. Average Selling Prices of PLN
Universitas Indonesia
28
The last scheme of electricity pricing is a flat –rate pre – paid. In this condition consumers
could manage the usage of electricity become more efficient.
D. POLICY RECCOMENDATION
Policy Reccomendation related to electricity pricing are :
1. The Government should reformulate the electricity pricing that can represent the
certainty of PLN income. The tarif consist of base electricity tarif and adjustment tarif.
2. There is a need to make differenciation between peak and off-peak period to avoid the
inefficiency use of electricity.
3. There should be a limitation of subsidizes to specific group, such as the poor househol
isnce the main users of subsidize electricity are the household.
Refferences
1. Rahayu, Arrester Christina Slamet. 1998. Analisis Kerugian Operasional dan Alternatif
Pemecahan Masalah PT.PLN (Persero).
2. Law number 30 year 2009 about electricity.
3. http://annualreport.id/annualreport/pt-perusahaan-listrik-negara-(persero)-
laporan-tahunan-2015
Universitas Indonesia
29
Paket Pekerjaan
SATUAN KERJA
30
Universitas Indonesia
31
Gambar 1.1 Komposisi Sektor Penerima Aliran Asing Langsung pada Tahun
2009-2018
Sumber: bkpm.go.id
Pada tahun 2009-2018, sebagian besar aliran FDI yang diinvestasikan di Pulau Jawa
adalah sebesar 48,71 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Kalimantan sebesar
17,30 % kemudian diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 11,49 %. Keempat terakhir
adalah Papua sebesar 9,50 %, Sumatera sebesar 8,87 %, Bali dan Nusa Tenggara
sebesar 2,41 %, serta Maluku sebesar 1,71 %.
Universitas Indonesia
32
Di sisi lain, sektor dominan penerima FDI pada kurun waktu 2009-2018 adalah sebagai
berikut :
Tabel 1.
distribusi
Pulau/Kepulauan
pertanian pertambangan industri
Upah minimum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi FDI
industri (Owuka, 2011).
Universitas Indonesia
33
Gambar 1.4.
Rata-rata Upah minimum di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun
waktu 2009-2016
Dapat dilihat dari grafik di atas bahwa pada kurun waktu 2009-2015, Rata-rata Upah
Minimum Regional di Pulau Sumatera selalu lebih tinggi dari Pulau Jawa dan Pulau
Sulawesi. Hanya saja pada tahun 2016, Pulau Jawa menetapkan Upah Minimum
Regional lebih tinggi dari kedua pulau lainnya.
Infrastruktur sebagai faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi FDI industri
(Iskandar, 2014), Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008).
Universitas Indonesia
34
Gambar 1.5.
Jumlah Panjang Jalan di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu
2009-2014
Universitas Indonesia
35
Gambar 1.6.
Keterbukaan Pasar di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu
2009-2017
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (industri) di
Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa. Tren dari aliran investasi asing
langsungperanan upah minimum regional dan infrastruktur yang mempengaruhi aliran
FDI ke sektor industri di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
Universitas Indonesia
36
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dampak upah dan infrastruktur dari aliran FDI ( industri) di
Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap
aliran FDI (industri) di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
38
BAB
23
Universitas Indonesia
40
BAB 25
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
Universitas Indonesia
46
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah
dapat mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah
sehingga permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).
permintaan meningkat
Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama
(2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011
12 Universitas Indonesia
47
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat
biaya tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment
(FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi
juga lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba
perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan
persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah
menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan
meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang
memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).
Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis
Harga output
Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah
rendah
Daya saing tinggi
Rekomendasi
Universitas Indonesia
investasi
48
Bagan 2.5. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-1
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
• Teori efisiensi upah pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan
tenaga kerja menjadi lebih produktif. Upah juga memiliki pengaruh terhadap
kesehatan. Pengaruh upah terhadap efisiensi akan menjadi kegagalan suatu
perusahaan karena dengan mengurangi upah akan berdampak pada menurunnya
produktivitas tenaga kerja dan tentu saja laba perusahaan.
Bagan 2.6. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-2
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan
siklus tenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan
mengurangi tenaga kerja. tenaga kerjaketenagakerjaan Jumlah tenaga kerja
tentunya akan berkurang, namun pada saat yang sama perusahaan tidak perlu waktu
untuk merekrut dan melatih para tenaga kerja baru.
Universitas Indonesia
49
Bagan 2.7. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-3
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata tenaga kerja
bergantung pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan
mengurangi upah, sebagai konsekuensinya tenaga kerja terbaik akan meninggalkan
perusahaan dan pindah ke tempat lain. Sementara itu, tenaga kerja yang tidak
terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih sedikit alternatif.
Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
terampil tetap
Bagan 2.8. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-4
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Teori efisiensi upah keempat menyatakan bahwa upah yang tinggi dapat
memperbaiki upaya produktivitas tenaga kerja. Fokus teori ini menyatakan bahwa
jika perusahaan tidak dapat memonitor dengan sempurna upaya tenaga kerja,
tenaga kerja akan memutuskan sendiri seberapa jauh mereka dapat bekerja keras.
Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan dapat memotivasi tenaga kerja
untuk bekerja lebih keras dan meningkatkan produktivitas.
Bagan 2.9. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-5
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)
Universitas Indonesia
50
dan permintaan yang akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Tentunya, hal
ini harus sesuai juga dengan keuangan perusahaan.
Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan kereta
cepat adalah kekuatan yang bisa memacu munculnya produktivitas (Legowo, 2010).
((Jayne, dkk., 2009) dalam (Priyanti, 2012: 20)) menambahkan bahwa peningkatan
biaya pada infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi perusahaan, sehingga sebagai
konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.
Infrastruktur produktivita
s Merangsang
(jalan, bandara, dan kereta
cepat) Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan Produktivit
berkurang as
Bagan 2.10. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Jayne (2009)
Sumber: Journal IPB
Universitas Indonesia
51
2.2.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait investasi asing langsung menggunakan data
panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat
informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien,
mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih
besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan
analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret
waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku
yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat
menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan
setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014).
Universitas Indonesia
52
Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect
method (FEM) untuk menguji determinannya. Lainnya adalah Rashid (2016) tentang
investasi asing langsung di industri sumber minyak dan gas di Indonesia. Analisis
tingkat upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan investasi asing antara
lima negara ASEAN selama 1976-2000 dengan menggunakan data panel.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model
seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait
dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai
informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel
diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous
atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari
pengaruh upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada investasi asing langsung adalah
analisis rangkaian waktu. Kemungkinan interaksi simultan antara investasi langsung
dan beberapa variabel independen diperbolehkan dengan menggunakan pendekatan tiga
tahap kuadrat terkecil.
2.2.4 Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah (Owuka, 2011).
Temuan ini memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan
penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi industri tekstil dan
produk tekstil dengan hasil negatif tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga
ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman (1987) dan Amaro (2006). Hal yang sama
dikemukakan oleh Mihai bahwa peningkatan upah berimbas pada penurunan investasi
asing langsung.
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung sumber
utama industri minyak dan gas bumi. Penelitian menyangkut hal itu dilakukan oleh
Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008).
Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa infrastruktur menghasilkan
pengaruh yang tidak signifikan terhadap investasi asing langsung.
Sementara itu, Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap
investasi asing langsung sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang
Universitas Indonesia
53
sama dinyatakan oleh Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki
pengaruh negatif terhadap investasi asing langsung. Hampir memiliki hasil yang sama,
Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan bahwa inflasi negatif tidak
berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung.
Sedangkan variabel Produk Domestik Regional Bruto secara signifikan
mempengaruhi aliran FDI sektor pertanian dan pertambangan (Santangelo, 2018).
Universitas Indonesia
54
BAB 3
METODOLOGI
Universitas Indonesia
20
55
Universitas Indonesia
56
Universitas Indonesia
57
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan
Universitas Indonesia
59
Universitas Indonesia
60
7) Β7> 0; Produk domestik regional bruto. Jika produk domestik regional bruto
meningkat maka investasi juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
8) β 8> 0; Rasio antara beban dan bongkar. Jika rasio beban dan bongkar meningkat
maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
9) Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam national
spatial planning maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
Universitas Indonesia
61
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL
Universitas Indonesia
62
Dalam model dummy RTR Pulau / Kepulauan, IHK dan jalan memiliki nilai VIF
kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di ketiga variabel tersebut.
Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10,
sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
Variabel Jalan
Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri
yang memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi (Samir, 2016).
Variabel Listrik
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya, Odi
(1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai
halangan maupun peluang investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah,
dianggap sebagai salah satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor
asing juga menunjukkan kalau potensi untuk menarik investasi asing jika pemerintah di
negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di
sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut Jordan (2004) mengemukakan
bahwa infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik
meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara. Oleh karena itu,
merangsang aliran investasi asing ke negara tersebut. Menurut Emi (2015) dengan
meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor
manufaktur. Kondisi yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos
produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari
ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik akan mendorong biaya ekonomi yang
Universitas Indonesia
65
rendah. Kondisi ini tentu akan mendorong kemudahan investor atau pengusahan dalam
menjalankan usaha.
Universitas Indonesia
66
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
201 tidak
3 11.754.248,30 tinggi 1.143.894 tinggi sesuai
201 tidak
4 8.493.718,20 tinggi 1.277.417 tinggi sesuai
201 tidak
5 6.955.528,20 tinggi 1.366.417 tinggi sesuai
201 tidak
6 8.673.934,20 tinggi 1.672.083 tinggi sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2012 964.956,80 rendah 1.055.300 tinggi sesuai
2013 1.202.358,10 rendah 1.291.041 tinggi' sesuai
2014 1.514.471,90 rendah 1.512.500 tinggi sesuai
2015 1.162.836,40 rendah 1.759.583 tinggi sesuai
2016 2.240.182,90 rendah 1.984.833 tinggi sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,
maka FDI nya rendah. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan
bahwa di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi dengan kategori Upah
Minimum Regional (UMR) tinggi seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih
rendah dari rata-rata keseluruhan Pulau – Pulau tersebut. Walaupun di masing – masing
Pulau mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran FDInya
sama, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran FDI dapat
dirinci sebagai berikut: Untuk Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi menunjukkan reaksi
FDI rendah, sedangkan untuk Pulau Jawa FDI masih tinggi, walaupun UMRnya tinggi.
permintaan meningkat
67
Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2009 436.162,00 rendah 867.933 rendah tidak sesuai
2010 318.477,50 rendah 943.133 rendah tidak sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
tidak
2009 3.320.760,00 rendah 743.426 rendah sesuai
tidak
2010 2.454.995,20 rendah 796.751 rendah sesuai
tidak
2011 5.496.085,10 rendah 842.000 rendah sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
tidak
2009 59.891,00 rendah 818.150 rendah sesuai
tidak
2010 172.445,00 rendah 881.950 rendah sesuai
tidak
2011 364.627,30 rendah 946.000 rendah sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 1 : teori Sinchei
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,
maka FDI nya rendah. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan
bahwa di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi dengan kategori Upah Minimum
Regional (UMR) rendah pada tahun – tahun sebagai berikut masing – masing 2009-
2010; 2009-2012; serta 2009-2011 seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih
Universitas Indonesia
68
tinggi dari rata-rata keseluruhan ketiga Pulau tersebut. Walaupun di masing – masing
Pulau tersebut mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran
FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran
FDI dapat dirinci sebagai berikut: tidak sesuai untuk Pulau Sumatera, tidak sesuai untuk
Pulau Jawa, dan tidak sesuai untuk Pulau Sulawesi.
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
Bagan
produktivitas 4.3. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita (2013)
pekerja
Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2009 436.162,00 867.933
2010 318.477,50 turun 943.133 naik sesuai
2011 tidak
614.126,00 naik 1.030.594 naik sesuai
2012 tidak
2.173.082,20 naik 1.135.572 naik sesuai
2013 tidak
2.352.695,40 naik 1.358.509 naik sesuai
2014 2.128.666,10 turun 1.582.719 naik sesuai
2015 tidak
2.138.734,70 naik 1.783.735 naik sesuai
2016 tidak
4.233.550,20 naik 1.982.696 naik sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
2009 3.320.760,00 743.426
Universitas Indonesia
69
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2009 59.891,00 818.150
2010 tidak
172.445,00 naik 881.950 naik sesuai
2011 tidak
364.627,30 naik 946.000 naik sesuai
2012 964.956,80 naik 1.055.300 naik sesuai
2013 1.202.358,10 naik 1.291.041 naik sesuai
2014 1.514.471,90 naik 1.512.500 naik sesuai
2015 1.162.836,40 turun 1.759.583 naik sesuai
2016 2.240.182,90 naik 1.984.833 naik sesuai
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.9 terkait dengan Analisis 3 : teori Frederica
dan Juwita (2013), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya
naik, maka FDI nya berkurang. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi
menunjukkan bahwa di semua Pulau tersebut di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau
Sulawesi dengan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) seharusnya memiliki
aliran investasi yang berkurang setiap tahunnya. Walaupun di masing – masing Pulau
tersebut mengalami peningkatan setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran
FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran
FDI dapat dirinci sebagai berikut: sesuai untuk Pulau Sumatera pada tahun 2010 dan
Universitas Indonesia
70
2014, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai; sesuai untuk Pulau Jawa pada
tahun 2010, 2014, dam 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai; serta
sesuai untuk Pulau Sulawesi pada tahun 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya
tidak sesuai.
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.14 terkait dengan Analisis 6 : teori I Mankiw
(2003), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,
Universitas Indonesia
71
Tidak bisa diterapkan di penelitian ini karena tidak ada penurunan upah.
Infrastruktur
produktivita
(jalan, bandara, dan kereta s Merangsang
cepat)
Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan Produktivit
berkurang as
Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data panjang jalan menunjukkan fluktuasi dengan
respon terhadap FDI sebagai berikut :
Provinsi DKI Jakarta mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2009-2011,
dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2011, FDI industri padat karya
mengalami kenaikan pada tahun 2010, aliran FDI industri padat modal mengalami
peningkatan pada tahun 2011, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2010 –
2011.
Provinsi Jawa Barat mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2008-2009,
2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008, 2011 dan
2013. FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun –tahun tersebut,
Universitas Indonesia
73
aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun –tahun tersebut,
dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun –tahun tersebut.
Provinsi Jawa Tengah mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007-
2009 dan 2012-2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008.
FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2008-2012, aliran FDI
industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2008 dan 2012-2013, dan
FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2007-2008 dan 2012.
Provinsi DIY mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2006 dan 2008-
2009 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2006 dan 2008. FDI
industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2006 dan 2008, aliran FDI
industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2006 dan 2008, dan FDI
jumlah MNC meningkat pada tahun 2006 dan 2008.
Provinsi Jawa Timur mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007,
2009-2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2007,
2010 dan 2013. FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 dan
2009-2010, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun
2007, 2010 dan 2013, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2007, 2010 -
2011 dan 2013.
Provinsi Banten mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007 -2010 dan
2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008-2009 dan 2013.
FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 – 2008 dan 2013,
aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2013,
dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2008, 2010 dan 2013.
Universitas Indonesia
74
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan aliran FDI
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto
dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah
rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi di Pulau Jawa
mempengaruhi rendah atau tingginya aliran FDI sektor industri di Pulau Jawa (sesuai dengan
teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di
masing – masing Provinsi di Pulau Jawa mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga
kerja di sektor industri di Pulau Jawa, walaupun dan menyebabkan berkurangnya aliran FDI
sektor industri di Pulau Jawa. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto
juga dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa
ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan
infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan aliran FDI sektor industri di
Pulau Jawa.
Adapun rincian analisis teori ditunjukkan dari minimal 1 provinsi yang hasilnya
sesuai.sebagaimana berikut.
Terdapat beberapa teori yang sesuai dengan data tabulasi, yaitu: teori 1 dan 4, teori 2
dan 5, teori 3, teori 6 dan 9, serta teori 10.
Teori 1(Sichei, 2012) dan 4 (Marcelia) menjelaskan adanya pengaruh biaya tenaga
kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk provinsi DKI
Jakarta adalah sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai.
Untuk teori 2 (Yogatama, 2012) dan teori 5 (Mankiw,2003), biaya tenaga kerja yang
rendah berpengaruh terhadap FDI yang tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk
provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak
sesuai.
Teori 3 (Frederica dan Juwita, 2010), menjelaskan adanya peningkatan upah
beropengaruh terhadap berkurangnya FDI menunjukkan hasil yang sesuai terhadap FDI
semua industri di provinsi Jawa Barat, FDI industri padat karya di Provinsi Banten, dan FDI
Universitas Indonesia
75
industri padat modal di provinsi Jawa Timur. Sedangkan provinsi lainnya menunjukkan hasil
yang tidak sesuai.
Teori 6 dan 9, keduanya dikemukakan oleh Makiw pada tahun 2003 menjelaskan
apabila terjadi kenaikan upah , maka pendapatan perusahaan dan produktivtas pekerja
meningkat, menunjukkan hasil yang sesuai di provinsi DKI Jakarta dan provinsi Banten.
Teori 7(Aschaeur, 2010) menjelaskan apabila upah tinggi, maka jumlah tenaga kerja
berkurang, menunjukkan hasil yang sesuai untuk DKI Jakarta, tetapi tidak sesuai untuk
provinsi Banten.
Lain halnya dengan teori 10 (Jayne, 2010), apabila infrastruktur transportasi
meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya sesuai unutuk semua provinsi.
Lebih lanjut, ada teori yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu teori 8
(teori 3 Mankiw, 2003: teori efisiensi upah ketiga) karena tidak adanya kebijakan atau
kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, di teori 8 upah berkurang, sehingga jumlah tenaga
kerja berubah. Oleh karena itu, tidak dapat dibuktikan karena di Pulau Jawa tidak terjadi
penurunan upah di sektor industri.
53
5.1.1. Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris
Ada beberapa variabel, yaitu: upah minimum, sebagai variabel kontrol dipengaruhi
oleh aliran foreign direct investment (FDI).
Berbeda halnya dengan variabel listrik, IHK, dan dummy RTR Pulau/Kepulauan
yang signifikan mempengaruhi aliran FDI industri di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan dan tenaga kerja tidak signifikan mempengaruhi
aliran FDI sektor industri di tiga Pulau tersebut.
Universitas Indonesia
76
DAFTAR PUSTAKA
Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and
Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.
Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi.
Vol. 1 (2).
Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco.
Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.
Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows
to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of Economics.
Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.
Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.
Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap Perkembangan
Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi di pulau Jawa). Tesis.
Universitas Indonesia.
Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages. NBER
Working Papers Series. 5121.
Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country
Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.
Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment
(FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social and Behavioral
Sciences,.
Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen.
Vol.2.
Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic
Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.
International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.
Universitas Indonesia
77
Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth Publishers.
Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
International Journal of Economic Sciences and Applied Research. Vol.3(2). 41-56.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business. Vol. 2
(9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign
Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review. 134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7;
Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).
Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic
Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. Journal of
Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.
Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation States:
an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.
Universitas Indonesia
78
Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an
Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol. 52 (1). 57 – 77.
Universitas Indonesia
79
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 stata@stata.com
979-696-4601 (fax)
IDRE-UCLA
Notes:
. edit
delta: 1 unit
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
> 5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
Universitas Indonesia
80
Lampiran 1 (lanjutan)
------------------------------------------------------------------------------
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
> 5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. vif
-------------+----------------------
Universitas Indonesia
81
Lampiran 1 (lanjutan)
-------------+----------------------
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
> 5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. hettest
chi2(1) = 1.03
-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76
Universitas Indonesia
82
Lampiran 1 (lanjutan)
> 5
------------------------------------------------------------------------------
-------------+----------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------
. bgodfrey
---------------------------------------------------------------------------
-------------+-------------------------------------------------------------
1 | 5.861 1 0.0155
---------------------------------------------------------------------------
..
Gambar 1. Besaran dan Kontribusi Output Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
2005-2014
Universitas Indonesia
83
Tabel 1. Sebaran Nilai Produksi Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 2005-2014
Nilai Output dari industri tekstil dan pakaian jadi masih dengan kontribusi terbesar dari Pulau Jawa.
Kedua adalah Pulau Sumatera. Diikuti oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara di peringkat
ketiga. Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan berada di peringkat keempat dan Kelima. Adapun
rinciannnya sebagaimana tabel di atas.
Tabel 2. Kontribusi Nilai Produksi Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 2005-2014
Universitas Indonesia
84
PULAU / PRESENTASE
KEPULAUAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
JAWA 99,59% 98,99% 99,11% 98,56% 98,76% 98,36% 98,60% 97,65% 98,97% 98,34%
SULAWESI 0,02% 0,08% 0,06% 0,06% 0,03% 0,03% 0,04% 0,05% 0,07% 0,08%
BALI - NUSA 0,29% 0,35% 0,28% 0,30% 0,27% 0,26% 0,21% 1,32% 0,15% 0,48%
TENGGARA
SUMATERA 0,09% 0,58% 0,54% 1,07% 0,92% 1,33% 1,12% 0,96% 0,80% 1,03%
0,00% 0,01% 0,01% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,07%
KALIMANTAN 0,01%
sumber : Kemenperin, 2016
Terjadi fluktuasi Produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Meskipun masih didominasi oleh
Pulau Jawa sebesar 97,65 % sampai dengan 99,59 % diikuti oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa
Tenggara sebesar 0,21 % - 1,32 % . Pulau Sumatera di peringkat ketiga sebesar 0,09 % sampai dengan
1,33 %. Peringkat keempat adalah Pulau Sulawesi 0,02 % sampai dengan 0,08 Persen. Dengan
presentase sebesar 0,00% sampai dengan 0,07 % adalah Pulau Kalimantan.
Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel,
dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
Universitas Indonesia
85
Variabel Dependen
Jurnal yang ada menggunakan produktivitas sebagai variabel dependen (Islam, 2005).
Perlu diketahui bahwa menurut teori Ekonomi Klasik, produktivitas merupakan output yeng
tersisa yang tidak dapat dijelaskan dengan input sumberdaya dari kontribusi secara langsung.
Sisa ini yang biasa disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). (Kim, 2017).
Variabel Independen
Keterbukaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi produktivitas. (Islam,
2005). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah lokasi dari negara tersebut.
Metode
Penelitian terkait produktivitas menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan
derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke
waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab
dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian,
serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap
unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian
lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu
umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi
tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai
endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Hasil
Produktivitas merespon secara positif terhadap Keterbukaan Ekonomi (Islam, 2005).
Kondisi geografis tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (Islam, 2005).
Universitas Indonesia
86
F(9,216) = 9.08
corr(u_i, Xb) = -1.0000 Prob > F = 0.0000
sigma_u 2.552e+16
sigma_e 7.597e+09
rho 1 (fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0: F(24, 216) = 2.49 Prob > F = 0.0003
Hasil dari uji chow test menunjukkan bahwa P Value 0.0003 < α 0.05 maka
H1 diterima, artinya fixed effect merupakan pilihanterbaik.
Universitas Indonesia
87
yaitu FDI, DDI, IHK, Ekspor, dan RTRW Provinsi tidak signifikan mempengaruhi
produktivitas di 24 provinsi.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang
mempengaruhi produktivitas dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah upah
nominal, pengurangan lokasi kawasan peruntukan industri di lereng dan lembah untuk
mengendalikan besaran produktivitas sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kim, Young Eun. et.al. 2017. Productivity and its Determinants : Innovation, Education, Efficiency,
Infrastructure, and Institutions.
Islam, Nazrul. 2005. Determinants of Productivity : A Two Stage Analysis.
Universitas Indonesia
88
PERAN KEBIJAKAN TATA RUANG DALAM RANGKA MENDORONG DAN MENGENDALIKAN NILAI TAMBAH PADA SEKTOR INDUSTRI TEKSTIL
DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA
IKHTISAR FLUKTUASI NILAI TAMBAH DILIHAT DARI KEBIJAKAN PENETAPAN KAWASAN ANDALAN DENGAN KEGIATAN INDUSTRI
Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu 2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015
adalah sebesar 4,33 % dan titik terendah pada 2016 yaitu 4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan pada 2017 – 2018
mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Ilyas (2009), menunjukkan bahwa modal tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting
dalam pembentukan PDB, yaitu diukur berdasarkan nilai tambah.
Pada kurun waktu tahun 2015 – 2018, bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri terbanyak pada Industri Makanan, Kayu,
diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % -
1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual, keluaran dari industri sebagaimana dilihat pada data diatas terkait dengan Indeks Harga Perdagangan
Besar pada tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor industri selalu berada di
peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut: 122,54; 129,36; 132,21 untuk bahan baku pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri
sebesar 136,57; 141,66; dan 142,74. Teringgi 138,82; 143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian. 170,78; 170,25;173,91 untuk
Universitas Indonesia
89
barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan 154,91. Teringgi 523,47; 524,13;
526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang
modal industri sebesar 118,93; 123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal sektor pertanian.
Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Sehingga
walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak untuk
pengembangan nilai tambah.
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan impor
non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun besarannya
masih berflukltuasi.
Sejak tahun 2008, berdasarkan PP No 26 Tahun 20008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tersebar kawasan andalan
dengan kegiatan industri di 32 provinsi di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dari gambar di bawah ini.
Universitas Indonesia
90
Sulawesi 10
Maluku 3
Papua 5
sumber : KemenPUPR, 2008 dan Kemen ATR, 2017
Universitas Indonesia
91
Selanjutnya direspos Oleh Kementerian Perindustrian pada kurun waktu 2005 – 2014 dengan kebijakan penatapan Industri Tekstil
dan Pakaian Jadi di 24 provinsi sebagai berikut :
Universitas Indonesia
92
Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan
hipotesis penelitian.
Variabel Dependen
Universitas Indonesia
93
Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan nilai tambah industri manufaktur sebagai variabel dependen. Mengingat tingkat
nilai tambah industri merupakan salah satu indikator kinerja industri, dimana digunakan juga untuk menguji seberapa banyak tingkat nilai
tambah yang bisa diproduksi apabila industri tumbuh lebih tinggi di Indonesia. (Ita,et.al,2003).
Variabel Independen
Faktor Produksi total adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai tambah. (Ilyas,et.al, 2010). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini
adalah Tingkat Harga Investasi dan Keterbukaan pasar.
Metode
Sebagian besar penelitian terkait nilai tambah menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data
yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel,
memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan analisis
masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis
dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret
waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM) untuk
menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri
waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam
vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous
atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Universitas Indonesia
94
Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi Total (Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap nilai tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.
Universitas Indonesia
95
Universitas Indonesia
96
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai
signifikansi variabel–variabel yang mempengaruhi nilaitambah dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi listrik ke
industri, pengurangan harga mesin dan pengurangan pajak tidak langsung untuk mendorong aliran nilai tambah, peningkatan upah minimum
dan pembatasan luas ruang kawasan industri untuk mengendalikan aliran nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Muhammad. 2010. Determinant of Manufacturing Value Added in Pakistan : an Application of Bounds Testing Approach to Cointegration.
Minimum Wages and Labour Productivity.
Raising the Standard : Minimum Wages and Firm Productivity.
Ita,et.al.2003. Effect of Credit Financing to the Value Added of Manufacture Industry in Indonesia.
Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural Sector in Indonesia.
Mochammad Aravano Siregar. 2013. Determinant of Value Added in Cacao Industry.
de la Croix, D. (2015). Economic Growth. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition.
https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.71057-9
Pujiati, A. (2009). Analisis Kawasan Andalan in Central Java. 11(2), 117–128.
Robiani, B. (2005). Analisis Pengaruh Industrialisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan
Indonesia, Vol. 6, p. 93. https://doi.org/10.21002/jepi.v6i1.153
Universitas Indonesia
97
OG ARA O
RA N K
M STR AS
ATE I
GIS
/SAS
ARA
N
PRO
GRA
M
(OU
TCO
ME)
/ SI 2 2 2 2 2 202
SAS F JE SA 0 0 0 0 0 0-
ARA A NI TU Kegia 2 2 2 2 2 202 202 202 202 202 202
N T S AN tan 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 4
Universitas Indonesia
98
KEGI
ATA
N
(OU
TPU
T)
Sasaran
Program
1:
tersedia
nya
rencana
tata
ruang
nasional 1.92
dan
daerah
420. 407. 388. 373. 333. 4.15
yang 450. 845. 958. 519. 377. 0.84
berkualit tek
as nis 000 000 500 950 395 5
Renca
na
Tata
Ruan Doku
g men
Wilay Harm
ah onisa 3.000. 3.300. 6.130. 12.43
Nasio si PP 0 0 1 1 2 - - 000 000 000 0.000
Universitas Indonesia
99
nal
Review/Pe
ninjauan
kembali PP 3.000. 3.300. 3.630. 9.930.
RTRWN 0 0 1 1 1 - - 000 000 000 000
Penyusuna
n
Peraturan
Pemerinta 2.500. 2.500.
h RTRWN 0 0 0 0 1 - - - - 000 000
Renca
na Doku
Tata men
Ruan Harm
g onisa
Pulau si
/Kepu Perpr 4.500. 6.000. 6.500. 4.500. 21.50
lauan es 2 3 3 2 0 000 000 000 000 - 0.000
Review/Pe
ninjauan
kembali
Perpres
RTR
Pulau/Kep 2.000. 6.000. 4.000. 2.000. 14.00
ulauan 1 3 2 1 0 000 000 000 000 - 0.000
Penyusuna
n Perpres
RTR
Pulau/Kep 2.500. 2.500. 2.500. 7.500.
ulauan 1 0 1 1 0 000 - 000 000 - 000
Renca Doku 14 16 16 15 11
na men 1 0 3 8 5 184.50 235.15 251.37 270.85 224.00 1.165.
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
Universitas Indonesia
102
alat/tools
dalam
proses
GCI/ICP
atau
proses
perpetaan
lainnya
Mekanism
e berbagi
data
pertanaha
n yang
mudah
dan jelas
sehingga
data
pertanaha
n
terintegras
i dengan 0 1 0 0 0 300.00
- - - -
data 0
lainnya
yang
sudah
dihasilkan
oleh
sektor lain
(misal:
instansi
selain BPN
menghasil 300.0
kan data 00
Universitas Indonesia
103
terkait
pertanaha
n)
Mekanism
e
penyederh
anaan dan
pembantu
an/percep
atan 0 1 0 0 0 800.00
proses 0
legalisasi
(terutama
pembahas
an dengan 800.0
DPRD 00
SOP alur
analisis di
dalam
penyusuna
n RTR, 1 500.00
pemberian 0
persetujua
n 500.0
substansi 00
penyusuna
n NSPK
kajian dan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
monev 000 000 000 500 150 9.157.
kebutuhan 650
Universitas Indonesia
104
ruang
penyusuna
n NSPK
terkait
proyeksi
produksi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
pertanian, 000 000 000 500 150
pertamba
ngan, dan 9.157.
industri 650
penyusuna
n NSPK
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196. 9.157.
000 000 000 500 150 650
penyusuna
n NSPK
pengarusu
tamaan
perubahan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
iklim 000 000 000 500 150
dalam
penyusuna 9.157.
n RTR 650
pembentu
kan tim
kajian
kebutuhan
dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
dampak
000 000 000 500 150
pembangu
nan
infrastrukt 9.157.
ur 650
Universitas Indonesia
105
terhadap
kesejahter
aan,
kemiskina
n, dan
emisi
karbon
Kajian
family tree
pedoman 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
penysunan 000 000 000 500 150 9.157.
RTR 650
Penyusuna
n
Pedoman
Analisis
Aspek
Fisik,
Lingkunga
n,
Ekonomi,
Sosial dan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
Budaya 000 000 000 500 150
dalam
Penyusuna
n RTR
(revisi) -
termasuk
pengurang
an risiko 9.157.
bencana 650
Pedoman
1 1 1 1 1
Kriteria 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
107
Perkotaan
Review
pedoman
penyusuna
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196. 9.339.
000 000 500 500 150
n RTR 150
Penyusuna
n
Pedoman
tata cara
penetapan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
LP2B
000 000 500 500 150
dalam
setiap
tingkatan 9.339.
RTR 150
Penyusuna
n
Pedoman
Penyelaras
an dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penyerasia
000 000 500 500 150
n
RZWP3K
dan RTRW 9.339.
Provinsi 150
Penyusuna
n 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
pedoman 000 000 500 500 150 9.339.
Universitas Indonesia
108
kesesuaian 150
skala
substansi
dan skala
peta
Penyusuna
n RTRWN-
RTR
Pulau/Kep
ulauan-
RTR KSN
Penyusuna
n
pedoman
kesesuaian
skala
substansi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan skala 000 000 500 500 150
peta
Penyusuna
n RTRWP- 9.339.
RTR KSP 150
Penyusuna
n
pedoman
kesesuaian
skala
substansi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan skala 000 000 500 500 150
peta
penyusuna
n RTRWK- 9.339.
RTR KSK- 150
Universitas Indonesia
109
RDTR
Review
Penyusuna
n
Pedoman
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Persetujua
000 000 500 500 150
n
Substansi 9.339.
RTRW 150
Evaluasi
Pengatura
n
Kebijakan
Bidang
Perencana
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
an Tata
000 000 500 500 150
Ruang
dalam
Peraturan
Perundang 9.339.
an 150
Pedoman
Perencana
an Tata
Ruang
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Berbasis
000 000 500 500 150
Pengurang
an Risiko 9.339.
Bencana 150
Pedoman
Penyajian 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan 000 000 500 500 150 9.339.
Universitas Indonesia
110
Interprest 150
asi Peta
Rencana
Tata
Ruang
Pedoman
Kemitraan
dalam 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penataan 000 000 500 500 150 9.339.
Ruang 150
Pedoman
Penyusuna
n RTR 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan 000 000 500 500 150 9.339.
Industri 150
Pedoman
Perencana
an Tata
Ruang di 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan 000 000 500 500 150
Reklamasi 9.339.
Pantai 150
Pedoman
Teknis
Penyusuna
n Rencana
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Tata
000 000 500 500 150
Ruang
Wilayah 9.339.
Tematik 150
Pedoman
Penyusuna 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
n Kajian 000 000 500 500 150 9.339.
Universitas Indonesia
111
Lingkunga 150
n Hidup
Strategis
untuk
RDTR
Pedoman
Perencana
an Kota
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kompak
(Compact
000 000 500 500 150 9.339.
City) 150
Pedoman
Perencana
an Tata 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Ruang 000 000 500 500 150 9.339.
Partisipatif 150
Pedoman
Penguatan
Kelembaga
an 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penataan 000 000 500 500 150
Ruang 9.339.
Daerah 150
Pedoman
Pelaksana
an
Konsultasi
Publik 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Bidang 000 000 500 500 150
Perencana
an Tata 9.339.
Ruang 150
Universitas Indonesia
112
Pedoman
Pengemba
ngan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan
Ketahanan
000 000 500 500 150 9.339.
Pangan 150
penyusuna
n NSPK
ketelitian
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196. 9.157.
000 000 000 500 150
peta 650
Kebija
kan
dan
Kemit
raan
Bidan
g
Peren Doku
canaa men
n Tata MOU
Ruan /PKS/
g BAK 0 0 0 0 0 - - - - - -
Data
dan
Infor
masi
Bidan Siste
g m
Peren Infor
canaa masi
n Tata dan
Ruan Basis 30.250 9.975. 10.219 3.599. 3.717. 57.76
g Data 13 10 8 4 4 .000 000 .000 750 725 1.475
Universitas Indonesia
113
Penyempu
rnaan
SITARUNA
S,
SIFATARU
dan
SITAWAS
sebagai
sistem
informasi
tata ruang
skala
nasional
(spasial
dan non
spasial)
dan
pengintegr
asian
diantara 350.00 350.0
ketiganya 0 1 0 0 0 - 0 00
Pengemba
ngan dan
pemutakhi
ran
SITARUNA
S,
SIFATARU
dan
SITAWAS
sebagai
sistem 500.00 550.00 605.00 665.50 2.320.
informasi 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 500
Universitas Indonesia
114
tata ruang
skala
nasional
(spasial
dan non
spasial)
Mekanism
e
seleksi/pe
milihan
dan
penggunaa
n
keabsahan
(validasi)
data
spasial dan
non
spasial,
serta
pencantu
man
labelisasi
keabsahan 200.00 220.00 242.00 266.20 928.2
data 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 00
Perapihan
dan
pengemba
ngan
penggunaa
n aplikasi
dan basis 2.000. 2.200. 2.420. 2.420. 9.040.
data 0 1 1 1 1 - 000 000 000 000 000
Universitas Indonesia
115
pertanaha
n
Pembuata
n website
integrasi
Bank Data
pertanaha
n dan Tata
Ruang
dengan
sektor 500.00 500.0
lainnya 0 1 0 0 0 - 0 - - - 00
Mekanism
e
pemantau
an progres
penyusuna
n RTR
terintegras
i diantara
sesama
Direktorat
yang ada
di
lingkungan
Direktorat
Jenderal
Tata 250.00 275.00 302.50 332.75 366.02 1.526.
Ruang 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 275
penyiapan
database
penyusuna 1.500. 1.650. 3.150.
n prosun 0 1 1 0 0 - 000 000 - - 000
Universitas Indonesia
116
pengadaa
n software
untuk
perencana
an tata
ruang
dengan
mengarus
utamakan
data
pertanaha 2.500. 2.500.
n 1 0 0 0 0 000 - - - - 000
pengadaa
n software
penyusun 2.500. 2.500.
RTR 1 000 000
penyiapan
database
penyusuna 1.500. 1.650. 3.150.
n RTR 0 1 1 - 000 000 000
pengadaa
n software
RTR yang
menggam
barkan
proyeksi
kebutuhan 2.500. 2.500.
ruang 1 000 000
pengadaaa
n software
analisa
skenario 2.500. 2.500.
pengemba 1 000 000
Universitas Indonesia
117
ngan
wilayah
penyiapan
database
data
mengenai
variabel
makro dan
mikro
ekonomi
terkait
pengemba
ngan 1.650. 1.996. 3.646.
wilayah 0 1 1 0 0 - 000 500 - - 500
pengadaa
n sofware
RTR yang
idominasi
penggamb
aran
rencana
masa 2.500. 2.500.
depan 1 000 000
pengadaa
n software
terbaru
yang
dibutuhka
n dalam
tahap
perencana 2.500. 2.500.
an 1 000 000
Universitas Indonesia
118
pengadaa
n sofware
analisis
potensi 2.500. 2.500.
bencana 1 000 000
pengadaa
n sofware
analisis
dan
monev
pembangu
nan jangka 2.500. 2.500.
panjang 1 000 000
pengadaa
n software
untuk
analisis
aspek
geologi
dalam
penentuan
daya
dukung
dan daya
tampung 2.500. 2.500.
lingkungan 1 000 000
pengadaa
n software
untuk
analisis
spasial dan
non 2.500. 2.500.
spasial 1 000 000
Universitas Indonesia
119
pengadaa
n software
analisi dan
monev 2.500. 2.500.
investasi 1 000 000
penyiapan
database
data
sektoral
yang
dibutuhka
n dalam
penyusuna
n dan
review 1.500. 1.650. 3.150.
pedoman 1 1 000 000 000
pengadaa
n software
terbaru
terkait
ketelitian 2.500. 2.500.
peta 1 000 000
SDM
Penyu
sun
Renca
na 102.6
Tata
Ruan Oran 11.200 16.570 18.227 27.373 29.245 16.27
g g 3 7 7 13 12 .000 .000 .000 .700 .570 0
Universitas Indonesia
120
Diklat
penyusuna
n peta
dasar,
tematik,
dan
analisis
dengan
pemerinta
h dan
swasta
(USULAN:
Diklat ini
dihapus,
lebih tepat
di 01.1.2) -
Usulan
menjadi
sosialisasi,
disseminas
i di bawah 750.00 825.00 907.50 998.25 3.480.
berikut: 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 750
Sosialisasi,
disseminas
i,
penyiapan
pusat bank
data
spasial dan
non
spasial
untuk 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 6.961.
kebutuhan 0 1 1 1 1 - 000 000 000 500 500
Universitas Indonesia
121
penyusuna
n RTR dan
urgensi
kebutuhan
bank data
spasial dan
non
spasial
Sosialisasi,
disseminas
i
kebutuhan
dan
fasilitas
ketersedia
an peta
dasar,
tematik
kepada
masyaraka 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 6.961.
t 0 1 1 1 1 - 000 000 000 500 500
Pengemba
ngan
forum
substansi
per sektor
(misal:
perkotaan,
perdesaan
, rawan
bencana)
sebagai 350.00 385.00 423.50 465.85 512.43 2.136.
forum 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 785
Universitas Indonesia
122
koordinasi
penataan
ruang
Pembentu
kan/penge
mbangan
Tim
Koordinasi
Pembangu
nan
Perkotaan
Nasional
(TKPPN)
sebagai
forum
koordinasi
penataan
ruang di 350.00 385.00 423.50 465.85 512.43 2.136.
pusat 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 785
Penambah
an SDM
penyusun
tata ruang
dalam
kantor
pertanaha
n dan
kantor
wilayah 500.00 550.00 605.00 1.655.
ATR/BPN 0 1 1 1 0 - 0 0 0 - 000
Universitas Indonesia
123
peningkat
an
kapasitas
penyusuna
n SOP
pendampi
ngan
penyusuna
n RTR
dengan
pemerinta
h,
akademisi,
dan 1.000. 1.000. 2.000.
swasta 0 0 0 1 1 - - - 000 000 000
sosialisasi
dan
peningkat
an
kapasitas
analisis
dan
tahapan
pengemba
ngan 1.000. 1.000. 2.000.
wilayah 0 0 0 1 1 - - - 000 000 000
peningkat
an
kapasitas
kajian
2.79
pembangu 5.10
nan jangka 1.331. 1.464.
panjang 1 1 000 100 0
Universitas Indonesia
124
penyusuna
n NSPK
dalam
analisis
dan
rencana
penyusuna
n RTR 64.1
berdasark 03.5
an aspek 10.500 11.550 12.705 13.975 15.373
geologi 1 1 1 1 1 .000 .000 .000 .500 .050 50
peningkat
an
kapasitas
dalam
rangka
analisi dan
penyusuna
n rencana 2.79
spasial dan 5.10
non 1.331. 1.464.
spasial 1 1 000 100 0
peningkat
an
kapasitas
dalam
rangka
analisis
dan
monev 2.79
investasi 5.10
terhadap 1.331. 1.464.
rekomend 1 1 000 100 0
Universitas Indonesia
125
asi dan
perizinan
pemanfaat
an dan
pengendal
ian tata
ruang
peningkat
an
kapasitas
pegawai
dalam
rangka
sinkronisas
i kebijakan
sektor dan
2.79
tata ruang 5.10
sebagai 1.331. 1.464.
NSPK 1 1 000 100 0
BAB 24
Universitas Indonesia
126
Pada tahun 1931, saat perekonomian AS menderita depresi besar (Great Depression), klub New York
Yankee membayar gaji pemain baseball terkenal, Babe Ruth, sebesar $ 80.000. Pada saat itu, jumlah
pembayaran ini sangat luar biasa, bahkan diantara para pemain baseball lainnya. Menurut penuturan
salah satu sumber, seorang reporter pernah bertanya pada Ruth apakah ia berpikir bahwa ia berhak
mendapatkan penghasilkan melebihi Presiden Herbert Hoover, yang memilliki gaji sebesar $75.000.
Ruth menjawab, “Aku memiliki tahun yang lebih baik tahun ini.”
Pada tahun 2012, gaji rata – rata yang diperoleh pemain New York Yankee adalah sebesar $1,9 juta, dan
Alex Rodrigues dibayar sebesar $30 juta. Pada awalnya, fakta tersebut mungkin menyebabkan Anda
untuk berpikir pada baseball telah sangat menguntungkan sejak delapan dekade yang lalu. Namun,
seperti yang diketahui siapapun, harga barang dan jasa juga meningkat. Pada tahun 1931, uang
sejumlah 5 sen dapat digunakan untuk membeli es krim, dan uang 25 sen dapat digunakan membeli
Universitas Indonesia
127
tiket bioskop lokal. Karena harga pada masa Babe Ruth sangat rendah dibandingkan sekarang, tidaklah
jelas apakah Ruth menikmati standar hidup lebih tinggi atau lebih rendah daripada pemain sekarang.
Pada bab sebelumnya, kita melihat bagaimana para ekonom menggunakan produk domestik bruto
(PDB untuk menghitung jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Bab ini akan
membahasa bagaimana para ekonom menghitung biaya hidup keseluruhan. Untuk membandingkan
gaji Babe Ruth sebesar $80.000 terhadap gaji hari ini, kita perlu menemukan beberapa cara untuk
melakukan konversi nilai uang menjadi pengukuran daya beli. Itulah yang menjadi tugas dari statistik
yang disebut indeks harga konsumen. Setelah melihat bagaimana merancang suatu indeks harga
konsumen, kita akan membahs bagaimana menggunakan semacam indeks harga terebut untuk
melakukan perbandingan nilai uang dalam waktu yang berbeda.
Indeks harga konsumen digunakan untuk mengamati perubahan biaya hidup dari waktu ke waktu.
Ketika indeks harga konsumen meningkat, rumah tangga pada umumnya mengeluarkan lebih uang
untuk mempertahankan standar hidup yang sama. Para ekonom menggunakan istilah inflasi untuk
menjelaskan suatu situasi ketika tingkat harga keseluruhan dalam perekonomian meningkat. Tingkat
inflasi merupakan persentase perubahan tingkat harga dari periode sebelumnya. Pada bab sebelumnya,
Universitas Indonesia
128
ditunjukkan bahw para ekonom dapat menghitung inflasi menggunakan deflator PDB. Tingkat inflasi
yang sering Anda dengar pada berita tiap malam, dihitung dari indeks harga konsumen, yang
merupakan cerminan barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen.
Seperti yang akan kita lihat pada bab berikut ini, inflasi merupakan aspek yanng sangat diperhatikan
terkait dengan kinerja ekonomi makro dan menjadi variabel utama ntuk memandu penentuan
kebijakan makroekonomi. Bab ini menyajikan latar belakang untuk melakukan analisis tersebut dengan
menunjukkan bagaimana para ekonom menghitung tingkat inflasi menggunakan indeks harga
konsumen dan bagaimana statistik dapat digunakan untuk membandingkan nilai uang dari waktu yang
berbeda.
Universitas Indonesia
129
Universitas Indonesia
130
Nilai Output dari industri tekstil dan pakaian jadi masih dengan kontribusi terbesar dari Pulau Jawa. Kedua adalah Pulau Sumatera. Diikuti oleh Pulau Bali
dan Kepulauan Nusa Tenggara di peringkat ketiga. Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan berada di peringkat keempat dan Kelima. Adapun rinciannnya
sebagaimana tabel di atas.
Universitas Indonesia
131
PRESENTASE
PULAU / KEPULAUAN
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
JAWA 99,59% 98,99% 99,11% 98,56% 98,76% 98,36% 98,60% 97,65% 98,97% 98,34%
SULAWESI 0,02% 0,08% 0,06% 0,06% 0,03% 0,03% 0,04% 0,05% 0,07% 0,08%
BALI - NUSA TENGGARA 0,29% 0,35% 0,28% 0,30% 0,27% 0,26% 0,21% 1,32% 0,15% 0,48%
SUMATERA 0,09% 0,58% 0,54% 1,07% 0,92% 1,33% 1,12% 0,96% 0,80% 1,03%
KALIMANTAN 0,01% 0,00% 0,01% 0,01% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,07%
Terjadi fluktuasi Produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Meskipun masih didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 97,65 % sampai dengan 99,59 % diikuti
oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara sebesar 0,21 % - 1,32 % . Pulau Sumatera di peringkat ketiga sebesar 0,09 % sampai dengan 1,33 %. Peringkat
keempat adalah Pulau Sulawesi 0,02 % sampai dengan 0,08 Persen. Dengan presentase sebesar 0,00% sampai dengan 0,07 % adalah Pulau Kalimantan.
Bila dilihat dari kondisi morfologi dari setiap pulau/kepulauan, bisa dilihat bahwa semua pulau / kepulauan tersebut sebagian besar terdiri dari wilayah
daratan. Hanya saja jumlah desa yang merupakan daratan terbanyak ada di Pulau Jawa sebanyak 20.036 desa. Sedangkan Pulau Sumatera berada di peringkat
kedua dengan 16.969 desa. Sulawesi dengan jumlah desa di daratan sebanyak 7.676 berada di peringkat ketiga. Sedangkan di peringkat 4 dan 5 adalah Bali
dan Nusa Tenggara sebanyak masing – masing 3.129 dan 2.745.
Universitas Indonesia
132
Dilihat dari jumlah usaha pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau
Sulawesi dan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Bali –
Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Dilihat dari jumlah tengaa kerja pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan tenga kerja di Pulau
Sulawesi lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Pulau Sumatera mencatat jumlah tenaga kerja
Universitas Indonesia
133
yang sama. Sedangkan untuk Pulau Bali – Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih
berada di bawah Pulau Jawa.
Dilihat dari nilai produksi pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau
Sulawesi dan Pulau Bali –Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Sedangkan untuk Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Dilihat dari nilai input pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafi garis di atas menunjukkan
bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan
untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya
saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan input di Pulau Sulawesi dan Pulau
Bali – Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk
Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.
Universitas Indonesia
134
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
3. Untuk menguji dampak kondisi wilayah dari besaran output industri tekstil dan pakaian
jadi di 24 provinsi.
4. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap dari besaran
output industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.
Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel,
dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
Variabel Dependen
Jurnal yang ada menggunakan produktivitas sebagai variabel dependen (Islam, 2005).
Perlu diketahui bahwa menurut teori Ekonomi Klasik, produktivitas merupakan output yeng
tersisa yang tidak dapat dijelaskan dengan input sumberdaya dari kontribusi secara langsung.
Sisa ini yang biasa disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). (Kim, 2017).
Variabel Independen
Keterbukaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi produktivitas. (Islam,
2005). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah lokasi dari negara tersebut.
Metode
Penelitian terkait produktivitas menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan
Universitas Indonesia
135
derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke
waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab
dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian,
serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap
unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian
lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu
umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi
tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai
endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Hasil
Produktivitas merespon secara positif terhadap Keterbukaan Ekonomi (Islam, 2005).
Kondisi geografis tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (Islam, 2005).
REGRESI IRSA
1. CHOW TEST
a. OLS
Universitas Indonesia
136
. reg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV
b. Fixed effect
. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, fe
F(9,216) = 9.08
corr(u_i, Xb) = -1.0000 Prob > F = 0.0000
sigma_u 2.552e+16
sigma_e 7.597e+09
rho 1 (fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0: F(24, 216) = 2.49 Prob > F = 0.0003
Hasil dari uji chow test menunjukkan bahwa P Value 0.0003 < α 0.05 maka
H1 diterima, artinya fixed effect merupakan pilihanterbaik.
2. UJI HAUSMAN
Universitas Indonesia
137
. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, re
sigma_u 0
sigma_e 7.597e+09
rho 0 (fraction of variance due to u_i)
Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of
coefficients being tested (9); be sure this is what you expect, or there may
be problems computing the test. Examine the output of your estimators for
anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the
coefficients are on a similar scale.
Coefficients
(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
fe re Difference S.E.
chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 51.35
Prob>chi2 = 0.0000
(V_b-V_B is not positive definite)
Dari hasil uji hausman diatas, didapatkan P Value 0.00 < α 0.05 maka tolak H0
yang artinya model fixed effect yang diterima. Uji hausman dan chos test
memiliki hasil yang konsisten sehingga tidak perlu dilanjutkan dengan uji
lagrang.
Universitas Indonesia
138
Nilai VIF >10 atau tolerance 4,5/10 adalah .45 mengindikasikan tidak
adanya masalah multikolinearitas.
b. Uji heteroskedastisitas
. xttest3
Universitas Indonesia
139
c. Uji Autokorelasi
. xtserial Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV
Dari hasil uji diatas, didapatkan nilai P value < α 0.05 yang artinya terjadi
masalah autokorelasi.
d. Khsadh
Universitas Indonesia
140
mempengaruhi produktivitas dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah upah
nominal, pengurangan lokasi kawasan peruntukan industri di lereng dan lembah untuk
mengendalikan besaran produktivitas sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kim, Young Eun. et.al. 2017. Productivity and its Determinants : Innovation, Education, Efficiency,
Infrastructure, and Institutions.
Islam, Nazrul. 2005. Determinants of Productivity : A Two Stage Analysis.
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
BAB
Paket I
Pekerjaan
PENDAHULUAN
Tabel 1.1.
DETERMINAN PRODUKTIVITAS
capital / input value (per year) in SEKTOR INDUSTRI
millions rupiahs
2013 2014 2015
indonesia (INDUSTRI TEKSTIL DAN311111481
300777949 PAKAIAN JADI)349626357
west 257323521 237908689 301236497
east 43454428 73202792 48389860
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
SATUAN KERJA
Tabel 1.2.
labor amount (per year) in people
2013 2014 2015
Indonesia 9734111 8362746 8735781
West 7901109 6538924 7195984
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Tabel 1.3.
labor cost ( per year) in millions rupiahs
2013 2014 2015
Indonesia 86546669 48602183 48188828
West 73118315 37654464 39942804
East 13428354 10947719 8246024
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Tabel 1.4.
producer / Number of micro and small industries / companies (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 3418366 3505064 3668873
West 2610866 2659782 2971231
East 807500 845282 697642
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Tabel 1.5.
output value (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 489861304 513309953 570366901
West 413679797 388275108 482250498
East 76181507 125034845 88116403
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Tabel 1.6
Tabel 1.7
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
BAB II
STUDI EMPIRIS
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa jumlah perusahaan ,menurut
provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan Indonesia
menunjukkan tren peningkatan, sedangkan di Wilayah Timur menunjukkan tren
penurunan.
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa jumlah tenaga kerja menurut
provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat, Wilayah Timur dan
Indonesia menunjukkan tren penurunan.
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa tenaga kerja menurut provinsi
pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat, Wilayah Timur dan
Indonesia menunjukkan tren penurunan.
BAB III
ANALISIS
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Jika melihat grafik diatas, pertumbuhan jumlah tenaga kerja linear dengan biaya
tenaga kerja, sedangkan tren input sepertinya dipengaruhi oleh hal lain.
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Jumlah UMKM di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi, hal
ini tidak linear dengan pertumbuhan value added, tetapi linear dengan output.
Kemungkinan ini disebabkan oleh biaya bahan-bahan masukan, bahan mentah, dan
jasa untuk produksi mengalami kenaikan harga. Bisa dilihat dari grafik nilai input
yang terus mengalami kenaikan meskipun jumlah tenaga kerja mengalami tren
penurunan.
Universitas Indonesia
REGION INDONESIA
Universitas Indonesia
REGION: WEST
Universitas Indonesia
REGION: WEST
Universitas Indonesia
REGION: WEST
Universitas Indonesia
REGION: WEST
Di wilayah barat, penurunan jumlah tenaga kerja linear dengan penurunan pada
biaya tenaga kerja yang mana secara teoritis masuk akal, tapi berkorelasi negatis
dengan biaya input/capital input dimana semakin meningkat. Hal ini kemungkinan
biaya variabel cost seperti bahan mentah dan jasa lain meningkat, atau mungkin ada
pembelian teknologi untuk efisiensi produksi.
Universitas Indonesia
REGION: WEST
Trend line jumlah UMKM dari 2013-2014 meningkat walau tidak signifikan,
peningkatan jumlah UMKM linear dengan nilai output. Secara teoritis, jika UMKM
meningkat memang output akan meningkat, tapi data ini hanya menggambarkan
hubungan linear jumlah UMKM dengan output. Jika ingin melihat apakah
peningkatan UMKM per unit akan meningkatkan output, maka seharusnya
menggunakan data rasio UMKM/Output value, berlaku juga untuk nilai tambah.
Jika melihat grafik diatas, tren nilai input dan output adalah linear. Jika input
meningkat, maka output meningkat. Sedangkan pertumbuhan produksinya
peningkatan input dan output terlihat berkorelasi negatif dengan pertumbuhan biaya
produksi, ini kemungkinan karena industri pada tahun 2014 efisien dalam produksi
atau dalam kondisi decreasing return to scale, tapi pada tahun 2015, pertumbuhan
nilai input dan output tidak berkorelasi dengan pertumbuhan produksi, kemungkinan
ini karena faktor harga.
Universitas Indonesia
157
Peningkatan pada
pertumbuhan produksi
sebesar 1%, berkorelasi
dengan peningkatan capital
input sebesar 1,29 triliun
rupiah.
Jika dilihat data diatas, maka nilai output dan nilai tambah berkorelasi negatif,
sedangkan nilai tambah dengan jumlah UMKM berkorelasi positif, hanya saja
tahun 2014 menjadi outlier.
Jika melihat grafik diatas, tren input dan output linear. Sedangkan tren
pertumbuhan produksi sepertinya dipengaruhi oleh hal lain. Jika merujuk data
sebelumnya, Jumlah tenaga kerja meningkat tajam pada tahun 2014, diikuti oleh
pertumbuhan produksi sebesar kurang lebih 3% dan terus mengalami
peningkatan jumlah produksi secara signifikan pada tahun 2015, padahal jumlah
tenaga kerjanya berkurang signifikan pada 2015 (perlu dicari tahu sebabnya).
BAB IV
KESIMPULAN
Paket Pekerjaan
164
Email : destaritaindah@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan Upah terhadap
fluktuasi aliran Foreign Direct Investment (FDI) pada sektor industri di Pulau Jawa dengan
menggunakan metode regresi data panel pada kurun waktu tahun 2005-2014. Dari hasil
penelitian terbukti bahwa variabel upah (minimum dan relative) tidak signifikan
mempengaruhi aliran FDI pada sektor industri di Pulau Jawa. Sedangkan variabel
infrastruktur (panjang jalan dan distribusi listik), maupun ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan) berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI pada sektor industri di Pulau
Jawa.
Impact Regional Wage (Minimum dan Relative) on Foreign Direct Investment (FDI) of
Industry Sector in Java Island
Abstract
This research aims to analyze the impact of policy related to setted the wage on fluctuation
of Foreign Direct Investment (FDI) inflow on Industry Sector in Java Island which used
regression Panel Data as the method during period 2005-2014. As the result, wage is not
significantly affecting, while infrastructure (length of road and electricity distribution),
moreover market size (trade infrastructure) showing the reverse impact.
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki karakter small open economy dimana
partisipasi pada perdagangan internasional masih kecil sehingga tidak dapat mempengaruhi
harga – harga barang dunia, tingkat suku bunga dan pendapatan (Tommy, 2018).
Dalam bidang perdagangan internasional, peran FDI sangat penting. Karena di dunia yang
sudah mengglobal ini suatu negara seperti Indonesia harus saling terbuka dan saling
bekerjasama untuk membangun ekonomi negara. Indonesia merupakan negara berkembang
yang masih banyak membutuhkan dana investasi untuk membangun negarqa ini, telah
dikatakan bahwa negara – negara utama sebagai negara yang menanamkan modal di
Indonesia adalah negara- negara maju yang dimana mereka melihat peluang yang ada untuk
berinvestasi secara besar – besaran dengan jangka waktu yang panjang (Annisa, 2017).
Aliran FDI ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan pada data Badan Koordinasi Penanaman
Modal pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pada kurun waktu tahun 2011 – 2014, realisasi
Aliran FDI secara umum meningkat. Titik tertinggi adalah pada tahun 2013 sebesar 7.4 triliun
dollar AS, dimana titik terendah adalah pada tahun 2011 sebesar 5,1 triliun dollar A.S. Jumlah
Aliran FDI pada tahun 2011-2014 meningkat 33,33 %, dimana ada tren penurunan dari tahun
ke tahun, masing – masing dari tahun 2011 – 2012 FDI meningkat 23,53 %, dari 2012 – 2013
meningkat 17,46 %, dan dari 2013 ke 2014 menurun 8,11 %.
Oleh karena itu, komposisi sektor – sektor yang menerima Aliran FDI pada tahun 2014 masih
didominasi oleh sektor manufaktur sebesar 45,6 %, jasa pada peringkat kedua sebesar 29,9 %,
dan tempat ketiga adalah pertambangan sebesar 16,4 % dan tempat keempat adalah tanaman
pangan dan perkebunan sebesar 7,7 %, sedangkan terendah adalah kehutanan, perikanan,
dan peternakan, masing –masing 0,1 %.
Pada tahun 2014, sebagian besar aliran FDI yang diienvestasikan di Pulau Jawa adalah
sebesar 65 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Sumatera sebesar 16 %. Diikuti oleh Pulau
Sulawesi sebesar 12 %. Ketiga terakhir adalah Kalimantan sebesar 7 %, Bali dan Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua adalah sebesar 0%.
Upah minimum sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi. Dalam kurun
waktu tahun 2005 – 2014, Upah Minimum Regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa, selalu
meningkat. Tetapi tingkat peningkatan dari tahun ke tahun berbeda diantara tiap provinsi. Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan upah
minimum yang hampir sama. Sedangkan Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menetapkan upah minimum lebih tinggi daripada 4 (empat) sprovinsi tersebut, walaupun sejak
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
166
tahun 2011 – 2014, Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan upah minimum jauh lebih
tinggi dari Banten.
Gambar 1.3. Volatilitas dari upah minimum regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa
selama periode 2005 -2014
Gambar 1.4. Volatilitas aliran Investasi Asing Langsung pada sektor industri di Pulau
Jawa selama periode 2005 - 2014
Sumber : bkpm.go.id
Dari grafik garis di atas, kita dapat melihat bahwa aliran FDI pada sektor industri selama
periode 2005 – 2014 pada provinsi – provinsi tersebut dapat dilihat bahwa ada sebuah tren
peningkatan dari Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Walaupun mereka menunjukkan
volatilitas selama 2005 – 2011, tetapi meningkat selama 2011 – 2014. Sedangkan pada
provinsi – provinsi lain menunjukkan stabilitas pertumbuhan FDI pada sektor Industri.
Terkait dengan volatilitas pada upah minimum regional pada keenam provinsi di Pulau Jawa,
aliran FDI di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi kedua terendah diduga karena
tingginya Upah Minimum Regional (UMR). Sedangkan Jawa Tengah dan Daerah Khusus
Ibukota Yogyakarta mendapatkan FDI lebih rendah walaupun upah minimum regionalnya
rendah. Kondisi berbeda terjadi pada Jawa Barat dan Jawa Timur, walaupun upah minimum
regionalnya hampir sama dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
tetapi aliran FDI lebih tinggi. Dan Banten sebagai tertinggi kedua dimana Jawa Tengah dan
Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta menunjukkan tingginya FDI, lebih tinggi daripada Jawa
Timur, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat.
Gambar 1.5. Fluktuasi dari jumlah perusahaan multinasional pada tiap provinsi di Pulau
Jawa
Di sisi lain, jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi di Pulau Jawa berfluktuasi.
Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut tercatat bahwa jumlah perusahaan multi
nasional meningkat. Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu terendah dalam hal jumlah
perusahaan asing. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan jumlah
perusahaan multi nasional. Jumlah perusahaan multi nasional di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Banten menunjukkan fluktuasi yang stabil. Dimana Jawa Barat selalu menjadi peringkat
teratas jumlah perusahaan asing.
Terkait dengan volatilitas upah minimum regional di 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah
Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan jumlah perusahaan multi nasional teremdah
walaupun upah minimum regionalnya rendah,jumlah perusahaanmulti nasional di wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi secara konstan menurun karena tingginya upah
minimum regional. Sedangkan di Jawa Tengah mendapatkan jumlah perusahaan multi nasional
yang stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta karena upah minimum regional rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Barat,
dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dibandingkan dengan
Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi jumlah perusahaan multi nasional
ke mereka selalu lebih tinggi dibandingkan dengan keempat provinsi lainnya.Dan Banten dan
Jawa Barat selalu menjasi peringkat tertinggi pertama dan kedua, walaupun tingginya jumlah
perusahaan multi nasional, walaupun upah minimum regionalnya tinggi dan di Jawa Barat upah
minimum regionalnya relatif sama dengan di Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat.
Gambar 1.6. Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada industri Padat karya di
Pulau Jawa pada kurun waktu 2005 – 2014
Sumber: bkpm.go.id
Dari grafik garis di bawah, industri yang padat karya yang paling berfluktuasi adalah di Banten,
Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sejak 2007, Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menunjukkan fluktuasi yang sama dan jumlah Aliran FDI hampir sama. Sedangkan Daerah
Khusus Ibukota Yogyakarta stabil.
Kita berpindah dari aliran FDI dari industri padat karya di setiap provinsi di Pulau Jawa juga
telah berfluktuasi.Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut merekam bahwa aliran FDI
langsung ke industri – industri padat karya relatif meningkat. Daerah Khusus Ibukota
Yogyakarta selalu menjadi terbawah dalam hal aliran FDI. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menunjukkan penurunan aliran FDI selama 2010 – 2012. Aliran FDI pada industri padat karya
di Pulau Jawa relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tetapi lebih tinggi sejak
tahun 2011- 2014. Sedangkan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten selalu menjadi tiga teratas
aliran FDI industri padat karya.
Terkait dengan volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa,
Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan aliran FDI yang terendah walaupun
upah minimum regionalnya lebih rendah. Aliran investasi asing langsung dari industri padat
karya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun selama kurun waktu 2009 – 2012 diduga
karena tingginya upah minimum regional. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memperoleh aliran
FDI stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta karena upah minimumj regionalnya lebih rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Timur,
dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dengan Jawa
Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi aliran FDI nya selalu lebih tinggi
daripada keempat provinsi tersebut. Dan Banten dan Jawa Barat selalu menjadi tertinggi
pertama dan kedua dalam hal jumlah perusahaan multi nasional, walaupun upah minimum
regional di Jawa Barat relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat.
Gambar 1.7. Volatilitas dari Aliran investasi asing langsung dari Industri Padat Modal
Sumber : nswi.bkpm.go.id
Di sisi lain, aliran FDI dari industri padat modal di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah
berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi tersebut mencatat bahwa jumlah aliran FDI dari
sektor industri padat modal relatif meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta selalu menjadi yang terbawah dari aliran investasi asing
langsung dari industri padat modal. Jawa Timur menunjukkan aliran investasi asing langsung
dari industri padat modal sedikit lebih tinggi dari ketiga provinsi lainnya. Aliran FDI dari industri
padat modal di Jawa Barat dan banten menunjukkan fluktuasi yang tidak stabil walaupun
menjadi dua teratas dari aliran FDI dari industri padat modal selama periode 2011 – 2014.
Terkait dari volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selalu mendapatkan aliran FDI dari industri padat
modal yang rendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Aliran FDI dari industri padat
modal menjadi tetap rendah sebagai tiga terbawah karena tingginya upah minimum
regional.Sedangkan Jawa Timur memdapatkan aliran FDI yang sedikit lebih tinggi daripada
ketiga provinsi lainnya merujuk pada upah minimum regional yang hampir sama. Kondisi yang
berbeda terjadi di Jawa Barat, dimana upah minimum regional dari provinsi- provinsi tersebut
relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan Banten dan Jawa
Barat selalu menjadi pertama dan kedua tertinggi dalam hal aliran FDI dari industri padat
modal,walaupun upah minimum regional di Banten tinggi dan di Jawa Barat upah minimum
regional sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Menurut Wahyono pada tahun 2012, beberapa faktor – faktor lain yang mempengaruhi lokasi
pabrik adalah lokasi konsumen, sumber bahan mentah, upah pegawai, ketersediaan air, suhu,
listrik, transportasi, lingkungan, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Peraturan yang
dimaksud adalah Peraturan Tata Ruang dan Pertanahan yang mengatur luas Kabupaten / Kota
yang diperuntukan untuk kegiatan lindustri ataupun kawasan budidaya yang diperbolehkan
untuk dibangun untuk kegiatan industri. Sebagaimana tercantum pada dokumen Rencana
Strategis 2015-2019 Direktorat Jenderal Tata Ruang, bahwa fungsi tata ruang dalam
pembangunan adalah menentukan sektor – sektor yang didorong atau dikendalikan.
Sedangkan fungsi pertanahan adalah menentukan luas lahan kawasan budidaya berdasarkan
UMR menurut PP 13 tahun 2006 dan PP 46 tahun 2002, dan penentuan izin kawasan budidaya
berdasarkan zona nilai tanah pada PP128 tahun 2015.
Menurut Bank Indonesia pada tahun 2007, walaupun memiliki potensi yang menjanjikan dapat
dilihat dari pasar dan sumberdaya yang melimpah, tetapi iklim investasi yang tidak kondusif di
Indonesia, menyebabkan tidak menarik investor seperti beberapa tahun yang lalu sebelum
krisiskeuangan. Terutama, investasi jangka panjang sehingga investasi baru dalam hal
peningkatan kualitas produk dalam jumlah kecil bahkan negatif. Akar dari permasalahan dari
permasalahan mengarahkan pada produk ekpor dari Indonesia menjadi mahal dan tidak
kompetitif.
Permasalahan yang terkait dengan investasi sangat kompleks, mulai dari keamanan, stabilitas
politik dan sosial, ketidakpastian hukum, kondisi infrastruktur sebagai contoh ketersediaan listrik
yang tidak stabil, telekomunikasi, juga jalan dan fasilitas pelabuhan dan kondisi tenaga tenaga
kerja yang menjadi lebih buruk. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah beberapa perusahaan
asing yaitu industri padat karya seperti elektronik, tekstil, pakaian jadi, dan perusahaan sepatu
merelokasi produksinya ke negara – negara lainnya seperti Thailand, Malaysia,dan Vietnam.
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (semua industri, industri padat
karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi nasional) di Pulau Jawa, tren dari
aliran FDI (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan
multi nasional), peranan upah minimum regional dan faktor – faktor lain mempengaruhi aliran
FDI (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi
nasional) ke sektor industri di Pulau Jawa.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Sichei, et.al (2012) Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI adalah biaya tenaga
tenaga kerja yang tinggi menyiratkan biaya produksi yang lebih tinggi dan diharapkan untuk
membatasi arus masuk FDI. Biaya tenaga tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat
upah.
Dengan tingkat tenaga tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
FDI. Karena biaya tenaga tenaga kerja yang rendah dapat mengurangi biaya produksi. Karena
konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat meningkatkan laba perusahaan. Jadi,
harga produk relatif rendah, sebagai akibatnya permintaan juga akan meningkat. (Yogatama,
2011).
Peningkatan Upah Minimum Regional di Indonesia memiliki korelasi dengan biaya produksi
suatu perusahaan. Jika peningkatan tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas tenaga tenaga
kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya, tingkat investasi akan
berkurang juga. (Frederica dan Ratna Juwita, 2013).
Biaya tenaga tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan. Ketika
ada peningkatan biaya tenaga tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya
tenaga kerja rendah sebagai salah satu faktor pendorong FDI karena biaya tenaga tenaga kerja
yang lebih rendah akan menjaga biaya produksi rendah. Biaya produksi yang rendah akan
diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan. Biaya tenaga tenaga kerja yang tinggi
menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya
tenaga tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi
sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di
negara-negara yang memiliki biaya tenaga tenaga kerja rendah. (Marcelia, et.al)
Berdasarkan Teori Efisiensi Upah (Mankiw, 2003 tentang Syarif 2015) menjelaskan bahwa
Teori Efisiensi Upah menggambarkan bahwa ada korelasi antara upah dan produktivitas tenaga
tenaga kerja. Jadi, jika ada penurunan upah yang akan mengurangi laba perusahaan, kondisi
ini akan menurunkan produktivitas dan laba perusahaan.
• Teori Efisiensi Upah Pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan petenaga
kerja menjadi lebih produktif, upah juga memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruh upah
terhadap efisiensi akan menjadi kegagalan suatu perusahaan karena dengan mengurangi upah
akan berdampak pada menurunnya produktivitas petenaga kerja dan tentu saja laba
perusahaan.
Teori Efisiensi Upah Kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan siklus
petenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan mengurangi
petenaga kerja, kemungkinan petenaga kerja yang akan meninggalkan petenaga kerjaan
mereka, pada saat yang sama tidak perlu waktu untuk merekrut dan melatih para petenaga
kerja baru.
Teori Efisiensi Upah Ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata petenaga kerja bergantung
pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan mengurangi upah, karena
konsekuensinya petenaga kerja terbaik akan meninggalkan perusahaan dan pindah ke
tempat lain, dan petenaga kerja tidak terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih
sedikit alternatif.
Teori Efisiensi Upah Keempat menyatakan bahwa jika upah tinggi memperbaiki upaya
produktivitas petenaga kerja. Fokus teory ini jika perusahaan tidak dapat memonitor dengan
sempurna pada upaya petenaga kerja, dan petenaga kerja harus memutuskan dengan
mereka sendiri seberapa jauh mereka dapat betenaga kerja keras. Dengan membayar upah
yang tinggi, perusahaan dapat memotivasi petenaga kerja untuk betenaga kerja lebih keras,
untuk meningkatkan produktivitas.
Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara efisien jika
membayar petenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga perusahaan
berpendapat bahwa mempertahankan upah yang tinggi akan menjaga keseimbangan
penawaran dan permintaan yang mendatangkan keuntungan, tentunya hal ini juga sesuai
dengan keuangan perusahaan.
Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan massa yang cepat
adalah kekuatan daripada yang bisa mengungguli munculnya produktivitas (Legowo, 2010).
Jayne, dkk (2009) menambahkan bahwa peningkatan biaya pada infrastruktur mengurangi
biaya produksi perusahaan dan sebagai konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi (Priyanti, 2012: 20).
Sebagian besar jurnal-jurnal tersebut menggunakan total FDI sebagai variabel dependen.
Sedangkan tiga jurnal lainnya telah melakukan studi yang lebih spesifik yang menggunakan
Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (Asmara, 2013), FDI di Sektor Pertanian (Rashid,
2016), dan FDI Sumber Utama Minyak dan Gas Bumi (Iskandar) , 2014).
Upah adalah faktor utama yang mempengaruhi FDI. Selain itu, variabel penjelas lainnya telah
ditambahkan ke model dalam penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang hubungan FDI. Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011),
Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), dan Mihai.
Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk berinvestasi. Ini dapat
didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William
(2015) dan Amaro (2006).
Faktor-faktor terakhir yang didefinisikan sebagai penentu FDI adalah inflasi. Menurut Iskandar
pada tahun 2014, Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015) dan Ruth (2003).
Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulisnya. Calhoun, et all (2002) telah menyelidiki
hubungan kualitas tenaga tenaga kerja dan orientasi ekspor ke Investasi Asing Langsung di
Negara-negara Berkembang Individu. Onwuka dalam penelitiannya tentang tingkat Upah, blok
perdagangan regional, dan lokasi keputusan Investasi Asing Langsung (2011) memperkirakan
bahwa tingkat upah, intensitas ekspor, intensitas impor, keterbukaan perdagangan, nilai tukar,
dan tarif rata-rata juga mempengaruhi FDI ke ASEAN lima negara.
2.2.3. Metode
Sebagian besar penelitian terkait FDI menggunakan Data Panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat freedoom, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat
heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu diantara waktu,
memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan
analisis deret waktu dan penampang lintang, relatif tinggi dalam fleksibilitas saat memodelkan
perilaku yang berbeda dari individu dibandingkan dengan data lintas bagian, dan dapat
menjelaskan penyesuaian dinamis pada cara yang lebih baik (Alia Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross
section memiliki jumlah observasi time series yang sama (Ruth, 2014). Sedangkan, penelitian
lain yang diterapkan Panel Data dilakukan menggunakan Fixed Effect Method (FEM) untuk
menguji The Determinant. FDI di Industri Sumber Minyak dan Gas di Indonesia. Analisis Tingkat
Upah, Blok Perdagangan Regional, dan Lokasi Keputusan FDI antara lima Negara ASEAN
selama 1976 hingga 2000 menggunakan Data Panel. Lainnya adalah Rashid (2016) .
Vektor Autoregression Model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya
digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis
dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam
Vector Autoregression Model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan
beberapa sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged
endogeneous). (Mutasen).
Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari pengaruh Upah Riil dan
Produktivitas Tenaga Tenaga kerja pada FDI adalah Analisis Rangkaian Waktu. Kemungkinan
interaksi simultan antara investasi langsung dan beberapa variabel independen diperbolehkan
dengan menggunakan pendekatan tiga tahap-kuadrat terkecil.
2.2.4. Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah. (Owuka, 2011). Temuan ini
memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan penelitian tentang Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil dengan hasil negatif
tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman
(1987) dan Amaro (2006). Juga menurut Mihai, peningkatan upah disumbangkan ke penurunan
FDI.
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap Investasi Asing Langsung Sumber Utama Industri
Minyak dan Gas Bumi, yang reserach dilakukan oleh Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen
(2015), William (2015) Singh (2008). Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa
infrastruktur menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap FDI.
Sedangkan Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap Investasi Langsung
Asing sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang sama dinyatakan oleh
Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap Investasi
Asing Langsung. Hampir hasil yang sama, Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan
bahwa Inflasi negatif tetapi tidak signifikan terhadap FDI.
3. METODOLOGI
Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan data panel FDI sektor Industri di 6 (enam)
provinsi di Pulau Jawa selama periode 2005 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 10 x 6 = 60.
Analisis menggunakan pendekatan regresi data panel karena cross section 6 (enam) provinsi
dan time series waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir (2005 - 2014). Dalam hal ini Regresi Data
Panel akan diterapkan pada data sekunder karena terikat dengan realisasi total FDI Sektor
Industri dari 6 (enam) provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Metode yang saya gunakan adalah Panel, karena ada aturan
bahwa minimal obsevasi adalah 30 (tiga puluh).
Ketersediaan data, deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data
tersedia dari 2005-2014. Periode Observasi adalah 10 (sepuluh) tahun.
Variabel Dependen adalah Investasi Asing Langsung Sektor Industri. Sesuai dengan isu-isu
strategis yang relevan dengan penelitian. Untuk membuktikan di mana variabel dependen
memiliki korelasi dengan latar belakang observasi.
Variabel Independen yang berfungsi sebagai variabel control adalah Upah (minimum dan relatif)
Sedangkan variabel independen lainnya adalah infrastruktur (panjang jalan dan kapasitas
distribusi listrik), inflasi, PDRB, keterbukaan perdagangan (rasio bongkar muat), dan dummy
RTRWN. Ada kerangka empiris dan teoritis yang mendukung menjembatani antara variabel
dependen dan independen. Beberapa orang mengklaim koneksi antara variabel independen
dan dependen.
Area Obeservasi adalah Semua provinsi di pulau Jawa. Tidak ada bias pemilihan ommit.
Semua data yang terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia.
Kemudian persamaan dari variabel dependen tersebut dibagi menjadi 4 (empat) persamaan,
seperti di bawah ini:
Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi investasi
di atas adalah:
1) β 1 <0; upah minimum regional Peningkatan upah minimum regional akan mengurangi
investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya
produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus, (Emmi,2015).
2) β 2 <0; upah minimum relatif Peningkatan upah minimum relatif akan mengurangi
investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya
produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
3) β 3> 0; Indeks Harga Konsumen Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai
realisasi investasi. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga barang
sebagai input produksi, kondisi ini akan memaksa kenaikan biaya produksi secara keseluruhan,
sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh investor, kondisi ini
akan mengurangi faktor dorongan investasi di akhirnya akan menurunkan nilai total nilai
investasi, ceteris paribus.
4) β 4> 0; Panjang jalan nasional Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif terhadap total
nilai investasi, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total aspal jalan akan
mempercepat mobilitas distribusi produk sehingga menurunkan biaya produksi secara
keseluruhan, dalam kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim investasi yang kondusif dan
peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris paribus. (Emmi,2015).
5) β 5> 0; Distribusi listrik ke industri Jika kapasitas listrik meningkat maka investasi juga
meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena meningkatkan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
6) Β6> 0; jumlah tenaga tenaga kerja Jumlah tenaga tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga
tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.
7) Β7> 0; Produk Domestik Regional Bruto Jika Produk Domestik Regional Bruto meningkat
maka investasi juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
8) β 8> 0; rasio antara beban dan membongkar Jika rasio beban dan membongkar
meningkat maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
9) Kebijakan dummy Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam National Spatial
Planning maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya,
ceteris paribus.
Analisis Regresi Data Panel: Membuat model penentu penelitian Investasi Langsung Asing;
Lakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Lakukan estimasi dengan model
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
175
Fixed Effect Model (FEM); Lakukan Chow test untuk menentukan memilih model PLS dan FEM.
Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih; Lakukan estimasi
model Random Effect model (REM); Lakukan tes Hausman untuk menentukan model antara
FEM atau REM. Jika probabilitas Chi Square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.
Uji Asumsi Regresi untuk menghasilkan model yang robust dimana perlu dilihat uji multikolinier,
uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear akan dilakukan dengan Breusch
Pagan LM Test of Independence dimana jika p-value tes etimation chi square akan kurang dari
alpha 5% sehingga terjadi fenomena otokorelasi. Heteroskedastisitas mana p-value uji estimasi
chi square kurang dari alpha 5% sehingga ada fenomena heteroskedastisitas.
Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi
industri, investasi luar negeri industri – industri padat karya, investasi luar negeri industri padat
modal, dan jumlah perusahaan asing di sektor industri dilakukan dengan pendekatan regresi
data panel yang melibatkan data cross section yaitu 6 (enam) provinsi di pulau Jawa dan time
series dengan kurun waktu 10 (sepuluh) tahun (2005-2014). Penelitian ini lebih
mengedepankan variabel utama upah minimum dan upah relatif dengan faktor variabel control
yaitu, indeks harga konsumen, panjang jalan, listrik yang didistribusikan ke industri, jumlah
tenaga tenaga kerja yang betenaga kerja di sektor industri,Produk Domestik Regional Bruto,
Keterbukaan Pasar dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan antara
model Pooled Least Square ( PLS) dengan Fixed Effect Model (FEM) dengan uji Chow. Bila
hasil pengujian diperoleh jika nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5% maka FEM adalah
model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model Pooled Least Square (PLS)
dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Breusch Pagan Lagrange Multiplier (LM). Bila
hasil pengujian diperoleh jika p-value uji Breusch Pagan Lagrange Multiplier kurang dari alpha
5 % maka REM adalah model yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian Fixed Effect Model
(FEM) dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Hausman. Bila hasil pengujian diperoleh
jika p-value uji Hausman kurang dari alpha 5 % maka REM adalah model yang terbaik.
1. Model 1. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) semua jenis industri
Hasil Uji Chow = 0.0055, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0000.
2. Model 2. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Karya
Hasil Uji Chow = 0.0002, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0401.
3. Model 3. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Modal
Hasil Uji Chow = 0.0474, Hasil Uji LM = 1.0000, danHasil Uji Hausman = 0.0545.
4. Model 4. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Jumlah Perusahaan Asing
Hasil Uji Chow = 0.0000, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0,0384.
Dalam model pertama terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value
kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model
terbaik adalah FEM. Dalam model kedua terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman
diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha
5 % maka model terbaik adalah FEM. Dalam model ketiga terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji
Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih
dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Bagitu juga dengan model keempat terlihat
bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%,
sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM.
Secara keseluruhan model terbaik yang menggambarkan keterkaitan faktor – faktor yang
memperngaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri –
industri padat karya, investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah perusahaan asing di
sektor industri adalah FEM.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier, uji
otokorelasi `dan uji heterokedastisitas.Uji multikolinier dilakukan dengan analisis korelasi
sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM test dan uji heterokedastisitas
dilaukan dengan modified Wqald Test yang dilakukan dengan software Stata 13.
Dalam model kesatu, kedua, ketiga, dan keempat Keternukaan Pasar dan Dummy RTRWN
memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol dikedua variabel tersebut.
Sedangkan untuk variabel – variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga
ditemukan multikol di variabel –variabel tersebut.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sementara variabel listrik berperngaruh positif
signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sedangkan variabel –
variabel lainnya tidak berperngaruh aliran FDI semua jenis industri.
Berdasarkan hasil di atas, variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 5 % terhadap
aliran FDI Industri Padat Karya. Sementara variabel jalan berpengaruh positif signifikan pada
alfa 10 % terhadap aliran FDI Industri Padat Karya. Sedangkan variabel – variabel lainnya tidak
terbukti berpengaruh terhadap aliran FDI Industri Padat Karya.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sementara variabel listrik berpengaruh positif
signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sedangkan variabel –
variabel lainnya tidak berpengaruh aliran FDI Industri Padat Modal.
Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel jalan berpengaruh negatif
signifikan pada alfa 5 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel
listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan
Asing. Sementara variabel – variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap aliran FDI Jumlah
Perusahaan Asing.
Pada model kesatu, kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
terlihat bahwa upah minimum berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri
aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya
tidak signifikan. Sementara pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat
modal terlihat bahwa upah minimum berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat
modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang serupa bahwa
upah tidak berpengaruh terhadap investasi pada industri padat karya. Sedangkan menurut
penelitian Emi (2015) menunjukkan upah minimum juga tidak berpengaruh terhadap investasi
baik aliran FDI maupun Domestic Direct Investment (DDI). Dalam proses jangka pendek
memang terlihat bahwa investasi di Indonesia meningkat akan tetapi kenaikan upah minimum
yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan investasi yang selanjutnya
dapat berdampak buruk terhadap struktur perekonomian. Upah yang tinggi menjadi beban
pengusaha atau investor karena biaya operasional perusahaan dari biaya tenaga tenaga kerja
meningkat. Disatu sisi bila produk yang dihasilkan tidak kompetitif maka dalam jangka panjang
perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang
mengatakan peningkatan upah minimum menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap
keuntungan yang mungkin diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan resiko berbisnis di
Indonesia, petenaga kerja mengiinginkan peningkatan upah melalui unjuk rasa dan mogok
tenaga kerja. Tetapi jika peningkatan upah diikuti dengan peningkatan produktivitas maka
Indonesia akan tetap kompetitif bersaing dengan negara lain dan bisa menarik minat investor.
Pada keempat model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI
industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI
jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah relatif berpengaruh positif terhadap aliran FDI
semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal dan aliran
FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Aliran modal yang meningkat menyebabkan naiknya permintaan tenaga kerja yang terampil,
sehingga upah relatif juga meningkat. (Feenstra, 2015).
Pada model kesatu dan kedua, terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan
determinan aliran FDI industri pada karya terlihat bahwa Indeks Harga Konsumen
berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat
karya, walaupun tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga dan keempat terkait
determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan
asing terlihat bahwa indeks Harga Konsumen berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri
padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun tidak signifikan.
Variabel Jalan
Pada model pertama, ketiga dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan
asing menunjukkan bahwa panjang jalan berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis
industri, aliran FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun
hasilnya tidak signifikan. Sementara pada model kedua terkait determinan aliran FDI industri
padat karya menunjukkan panjang jalan berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat
karya dan hasilnya signifikan.
Variabel Listrik
Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat
karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan
bahwa listrik berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri
padat karya aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing dan
hasilnya signifikan.
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya Odi (1997) menyatakan
infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai halangan maupun peluang
investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah satu faktor
yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau potensi
untuk menarik investasi asing jika pemerintah di negara yang bersangkutan memberikan izin
yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut
Jordan (2004) mengemukakan bahwa
Infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik meningkatkan
produktivitas potensial investasi di suatu negara dan oleh karena itu merangsang aliran
investasi asing ke negara tersebut. Sementara menurut Emi (2015) dengan meningkatnya
kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi
yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos produksi dan perdagagangan
yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang
baik maka akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Tentu kondisi ini akan mendorong
kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.
Pada model kesatu, kedua, dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI industri padat modal
menunjukkan bahwa tenaga tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis
industri, aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI industri padat modal tetapi tidak
signifikan. Pada model keempat terkait determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa tenaga tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap aliran FDI jumlah
perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI
industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI
jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa Ukuran Pasar berpengaruh negatif terhadap
aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah
perusahaan asing, dan hasilnya signifikan, sedangkan untuk aliran FDI industri padat karya
hasilnya tidak signifikan.
Pada model kesatu dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan
determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan
berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat
modal, walupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model kedua dan keempat terkait
determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat
karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Menurut penelitian sebelumnya dari Giordano (2007) menunjukkan bahwa keterbukaan pasar
berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung. Peran dari FDI untuk pasar dalam
negeri dan sisanya untuk pasar luar negeri.
Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri,
aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya
tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat
modal menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat
modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Menurut penelitian sebelumnya, dengan adanya kebijakan spasial yang menyebabkan adanya
aglomerasi perusahaan, sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran
perusahaan. (Garretsen,et.al, 2007).
Sebagaimana pada analisis teori dan regresi, signifikansi variabel listrik, jalan dan PDRB
dipengaruhi juga oleh kebijakan spasial yang berlaku, diantaranya kebijakan tata ruang dan
pertanahan. Dimana pada kedua kebijakan tersebut sebagai prasyarat dibangunnya
infrastruktur pendukung dari kawasan industri.
Analisis Peraturan Tata Ruang yang terkait dengan peruntukan Kawasan Industri sebagaimana
termuat di PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Tingkat Nasional yang berlaku sejak
tahun 2008.
Gambar 4.1. Peruntukan ruang untuk Kawasan Industri di Pulau Jawa pada kurun waktu
2008 – 2017
Sumber: Direktorat Perencanaan Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019
Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan industri di provinsi
DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,dan Jawa Barat hampir sama (56% - 98 %), sedangkan
ruang untuk kawasan industri di Provinsi Banten dan DI Yogyakarta masih tergolong kecil (1 %-
17%). Adapun perincian luas kawasan industri di masing – masing provinsi didasarkan pada
kabupaten – kota apa saja yang dijadikan kawasan budidaya strategis nasional dengan
peruntukan ruang untuk kegiatan industri(RTRWN, 2008).Dengan perincian sebagai berikut:
provinsi Banten dialokasikan pada 2 kabupaten / kota dengan total luas 1.909.780 hektar atau
17,37 % dari luas provinsi Banten. Provinsi DKI Jakarta dialokasikan pada 5 kabupaten / kota
dengan total luas 653.630 hektar atau 98,69 %dari luas provinsi DKI Jakarta. Berikutnya untuk
provinsi Jawa Barat dialokasikan pada 16 kabupaten / kota dengan total luas 21.123.940 hektar
atau 56,73 % dari luas provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah dengan alokasi di 20
kabupaten / kota dan total luas 19.973.482 hektar atau 61, 37 % dari luas provinsi Jawa Tengah.
Sebagai provinsi terkecil, DIY dialokasikan pada 1 kota dengan luas 32,5 hektar atau 1,02 %
dari luas provinsi DIY. Terakhir adalah provinsi Jawa Timur dimana dialokasikan pada 19
kabupaten / kota dengan total luas 3.112.425 hektar atau 65 % dari luas provinsi Jawa Timur.
Gambar 4.2. Peruntukan ruang untuk Kawasan Budidaya di Pulau Jawa pada kurun
waktu 2008 – 2017
Sumber: Direktorat Penilaian Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019
Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan budidaya di provinsi Jawa
Tengah, DKIJakarta, Banten, dan DI Yogyakarta tergolong tinggi (66% - 100 %), sedangkan
ruang untuk kawasan industri di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masih tergolong kecil
(9 %-34%). Pada zona-1, dengan kisaran 100 – 136 % adalah provinsi Jawa Tengah dan DKI
Jakarta. Tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah dengan presentase luas kawasan budidaya
136 %. Hampir menyamai provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta dengan presentase luas
kawasan budidaya 100, 42 %. Pada zona -2 dengan presentase 51 % - 100 % adalah provinsi
DIY dan Banten, dengan masing – masing presentase 66, 15 % dan 77,19 %. Terakhir pada
zona – 3 dengan kisaran presentase kurang dari 50 % adalah 34,09 % untuk provinsi Jawa
Timur dan 9,06 % untuk provinsi Jawa Barat.
5.1. Kesimpulan
Terdapat beberapa channeling yang berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, yaitu :
Channeling 1 dan Channeling 2. Dimana Channeling 1 menjelaskan adanya pengaruh biaya
tenaga tenaga kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk
provinsi DKI Jakarta sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai. Sedangkan untuk
Channeling 2, dimana biaya tenaga tenaga kerja rendah, berpengaruh terhadap FDI yang
tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur,
sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak sesuai.
Terdapat juga channeling yang tidak berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, dikarenakan
inkonsistensi hasil, yaitu : Channeling 3, Channeling 4, Channeling 5, Channeling 6,7, dan 9,
serta Channeling 10. Dimana Channeling 3, yang menjelaskan pengaruh UMR meningkat
dengan konsekuensi FDI berkurang. Kami menemukan hasil tidak konsisten di semua provinsi.
Hal yang sama terdapat di Channeling 4, dimana biaya tenaga tenaga kerja tinggi, diharapkan
tidak ada rekomendasi investasi, hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Selain itu,
Channeling 5, dimana biaya tenaga tenaga kerja rendah, sehikngga ada rekomendasi investasi,
hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Situasi yang sama terjadi pada Channeling 6,7,
dan 9, dimana upah naik, diharapkan jumlah tenaga tenaga kerja berkurang, hasilnya tidak
konsisten untuk semua provinsi. Serupa dengan Channeling 10, dimana apabila infrastruktur
transportasi meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya tidak konsisten di semua provinsi.
Lebih lanjut, ada channeling yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu Channeling 8,
dikarenakan tidak adanya kebijakan atau kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh Channeling
8, dimana upah berkurang, sehingga jumlah tenaga tenaga kerja berubah, tidak dapat
dibuktikan karena di Pulau Jawa karena tidak terjadi penurunan upah di sektor industri.
Ada beberapa variabel,yaitu : Upah minimum dan upah relatif, sebagai variabel kontrol tidak
dipengaruhi oleh aliran FDI.
Berbeda halnya dengan variabel listrik, jalan, dan ukuran pasar yang signifikan mempengaruhi
aliran FDI. Dimana Model pertama terkait determinan Model pertama terkait determinan aliran
FDI semua jenis industri secara signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Model
kedua terkait determinan aliran FDI industri padat karya secara signifikan dipengaruhi oleh
listrik dan jalan. Pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat modal secara
signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Pada model keempat terkait determinan
aliran FDI jumlah perusahaan asing secara signifikan dipengeruhi oleh listrik, jalan, dan ukuran
pasar.
Sedangkan variabel lainnya yaitu, IHK, keterbukaan perdagangan, tenaga kerja, dan dummy
RTRWN tidak signifikan mempengaruhi aliran FDI.
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah perlu mendahulukan sesuai urutan signifikansi variabel – variabel yang
mempengaruhi aliran FDI. Dimana harus diutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi
listrik ke industri untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya,
aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing peningkatan
PDRB untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI
jumlah perusahaan asing, dan peningkatan panjang jalan untuk aliran FDI industri padat
karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing).
Untuk arah pengembangan wilayah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah, orientasi pembangunan diarahkan pada kondisi eksisting dari masing – masing
variabel yang secara signifikan mempengaruhi aliran FDI. Yaitu pengembangan semua
industri diutamakan untuk wilayah yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya
(infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) tinggi, yaitu DKI Jakarta dan
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta. pengembangan
industri padat karya untuk wilayah dengan distribusi listrik dan jalan lebih tinggi, yaitu Jawa
Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan D.I Yogyakarta.
Pengembangan industri padat modal untuk provinsi yang distribusi listrik industri dan
ukuran pasarnya (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) lebih tinggi,
yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta.
Sedangkan pengembangan jumlah perusahaan asing untuk provinsi dengan distribusi
listrik industri, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall,
dan pasar) lebih tinggi, yaitu Jawa Barat, DKI dan Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan
D.I.Yogyakarta.
Untuk arahan pendanaan per sektor, perlu menitikberatkan pada signifikansi dan nilai
koefisien masing – masing provinsi. Seperti yang tercantum di bab 4, bahwa variabel –
variabel yang signifikan adalah listrik, jalan, dan ukuran pasar. Sehingga pendanaannya
mengikuti urutan nilai koefisien dari variabel – variabel tersebut.Untuk provinsi Banten :
pengurangan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa
toko, kios, mall, dan pasar). Sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta:penambahan anggaran listrik, jalan,dan ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar). Sementara untuk provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tidak ada perubahan anggaran listrik,
jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar).
Sedangkan terkait perizinan kawasan budidaya mengikuti aliran FDI yang masuk untuk
setiap kelompok FDI sebagai berikut : Provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta, provinsi
Banten, DI Yogyakarta, provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Sehingga perlu ada
pengurangan luas lahan budidaya untuk provinsi Banten dan penambahan luas lahan
budidaya untuk provinsi Jawa Barat.
REFERENSI
The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows to Individual Developing Countries.
Puget Sound e Journal of Economics.
The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign Direct Investment. Southern
Economic Journal, Vol. 54, No.1.
The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco. Giordano Dell-Amore
Foundation, 2007.
DAFTAR LAMAN
www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.
www.kompasiana.com. Foreign Direct Investment dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.
www.sbm.binus.ac.id. FDI di Indonesia.
Picture 1.
In general, the DDI of the agricultural sector in the period 2009–2018 increased.
The decrease was only in 2013.
Table 1
Picture 2
Table 2.
Based on the forest zones enactment policy, it can be seen that Papua Island has
the largest forest area with 40 million hectares. This is followed by the island of
Kalimantan with 36 million hectares. In the third place is Sumatra with 22 million
hectares. Sulawesi is in the fourth place with 13 million hectares. The last three
are Maluku, Java, and Bali and Nusa Tenggara respectively with 12 million
hectares, 3 million hectares, and 2 million hectares.
Table 3
Table 4
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
189
From the amount of clean water production in each island island/archipelago, the
scoring is done by giving the highest score for the island/archipelago with the
highest amount of clean water production while the lowest score is for the
island/archipelago with the least amount of clean water production.
Table 5
Unemployment percentage in each island/archipelago during 2009-2018
Tenggara 2,70
4
Kalimantan
4,92
2
Sulawesi
4,35
7
Maluku
6,02
3
Papua
4,75
Source: BPS, 2019
Table 6
From the number of field areas in each island/archipelago, the scoring is done
by giving the highest score for the island/archipelago with the highest amount
of field area while the lowest score is for the island/archipelago with the least
percentage of field area.
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
191
Table 7
4 6 5 6 21
Sumatera
6 7 6 7 26
Jawa
Bali dan Nusa 7 5 1 3 16
Tenggara
2 4 4 5 15
Kalimantan
3 3 2 4 12
Sulawesi
5 2 7 1 15
Maluku
1 1 3 2 7
Papua
Source: researcher’s analysis, 2021
The calculation shows the following results: The highest score is Java Island with
total score of 26. The second place is Sumatra island with total score of 21, Bali
and Nusa Tenggara in the third place with total score of 16. Kalimantan and
Maluku is 15 at the score, while in rank 6 and 7 are Sulawesi and Papua with
total scores of 12 and 7, respectively.
The Comparison of the total scoring and the change in the number of forest
zones
2 3 addition
Sumatera
1 6 reduction
Jawa
Bali dan Nusa 3 7 reduction
Tenggara
5 2 reduction
Kalimantan
6 4 addition
Sulawesi
4 5 reduction
Maluku
7 1 unchanged
Papua
source: researcher’s analysis, 2021
Policy Recommendations
When it comes to forest zone enactment policy, the proposed policy
recommendations are as follows:
Reducing the forest zones in Java, Kalimantan, Bali and Nusa Tenggara, and
also Maluku.
CHAPTER 1
INTRODUCTION
Foreign Direct Investment inflow to Indonesia is fluctuated. The line graph bellow showed that
from 2011 until 2016, realization of Foreign Direct Investment in general increased but in some
period in quarter is decreased. The highest point was in the 4th uarter in 2015 while the lowest
was on the 1st uarter in 2011
Picture 1
Source: bkpm.go.id
Picture 2
Source: bkpm.go.id
Most of FDI is invested in Java island (53,6 %). The second place is Sumatera island at 19,2 %.
Followed by Kalimantan at 11, 2 %. The last three are Sulawesi at 8,4 %, Maluku and Papua at
5 %, and Bali and Nusa Tenggara at 2,6 %.
From that amount of FDI, arround half of it has been invested in Manufacturing sector (34,8 % -
57.7 %). At the second place is services sector at 26,6 % - 40 %). Getting investation at 9,5 % -
18,6 %, mining sector became the third. The others were food and plantation (5,5 % -7,7 %),
and having nearly the same percentage (0,1 % - 0,3 % are forestry, fishery, and livestock).
Textile Industry as the most prospective sector in Manufacture. This sector is stable and the
contribution to the trade was never defisit. (republika, 2014).
Minimum wage as one of factors affecting location decision. According to Wahyono (2012),
some of factors affecting location of the factory are the location of consumer, source of raw
materials, the wage of employee, the availability of water, temperature, electricity,
transportation, environment, the rules, etc.
This research try to monitor Foreign Direct Investment inflow to the Textile Industry in Java
island.The trend of FDI inflow. The role of regional minimum wage and other factors affecting
Foreign Direct Investment.
Objectives
Problem definition
Research Contribution
1. Provide information about factors affecting Foreign Direct Investment inflow to the
Textile Industry.
2. Give information factors significantly affecting Foreign Direct Investment inflow to the
Textile Industry.
CHAPTER 2
LITERATURES REVIEW
Teoritical Framework
According to Sichei, et.al (2012) The relation between labour cost and Foreign Direct
Investment is High labour costs imply higher costs of production and is expected to limit the
FDI inflows. Labour costs can be proxied by wage rates.
With low labour rate is believed as one push factors of Foreign Direct Investment. Because low
labour cost can reduce the production cost. As the consequences of the low production cost may
increase the firm profit. So, the price of product is relatively low, as a result the demand wil be
increase too. (Yogatama, 2011).
The increasing of Regional Minimum Wage in Indonesia has a correlation with the production
cost of a firm. If those increasing not be followed by the increasing of labour productivity, the
product of a firm will be decrease to. As a result the investement rate will be decrease too.
(Frederica dan Ratna Juwita, 2013).
Labour cost has connection with the production cost of a firm. When there is increasing of
lavour cost, the production cost will increase. Low labour cost rate as one push factors of
Foreign Direct Investment because the lower labour cost will keep the production cost low. The
low production cost will be followed by the increasing of firm profit. The high labour cost
caused the hight price of output and poor competitivenes. In other condicition, low labour cost
caused the low output price and high competitiveness so the demand will increase. For that
reason investor are encouraged to invest in the countries that have low labour cost. (Marcelia,
et.al)
Empirical Framework
Dependent Variable
Most of those journals used total Foreign Direct Investment as the dependent variable. While
the other three journals had conducted more spesific studies which used Investment of Textile
and Textile Product Industry (Asmara, 2013), Foreign Direct Invetsment on Agriculture Sector
(Rashid, 2016), and Foreign Direct Investment of Primary Source of Oil and Gas (Iskandar,
2014).
Explanatory Variables
Wage is the main factors affecting Foreign Direct Investment. Besides, other explanatory
variables have been added to the model in the studies in order to acquire a better understanding
of the Foreign Direct Investment relation. The using of wage can be founded in the research of
Owuka (2011), Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), and Mihai.
Infrastructure also be choosen as the factor encourage investor to invest. This can be defined in
the resesarch of Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William (2015) and Amaro
(2006).
The third factors that had used by some researchers is Market Size, which has proxy Gross
Domestic Product. For instance market size is be considered as factor effecting Foreign Direct
Investment (Onwuka, 2011), Sharma (2012), Singh (2008), Kahouli (2015), and Mihai.
The last factors that defined as determinant of Foreign Direct Investment is inflation.
According to Iskandar in 2014 , Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015) and Ruth
(2003).
Other determinants will be grouped by their authors. Calhoun, et all (2002) had investigated the
relation of labor quality and export orientation to the Foreign Direct Investment in Individual
Developing Countries. While Lakesha (2012) had proven that foreign exchange and interest
rate also contributed into Foreign Direct Investment flow. Onwuka on his research about Wage
rate, regional trade bloc, and location of Foreign Direct Investment decision (2011) estimated
that employement rate, export intensity, import intensity, trade openess, exchange rate, and
average tarif also effecting Foreign Direct Investment to the ASEAN five countries. Iskandar
(2014) tried to find corelation between technologi and education to the Foreign Direct
Investment. Ruth (2014) has already capture the impact of interest rate and depreciation rate to
the Foreign Direct Investment.
More spesific, according Alia (2003) that some determinants of Foreign Direct Investment in
Textile and Product Textile are the price of raw materials, the price of electricity, interest rate,
the price of fuel, and productivity of labour.
Method
Most of the research related to the Foreign Direct Investment used Panel Data. The advantage of
using this method are gave data which are informative, more variation, added degree of
freedoom, more efficient, reduced colinearity between variables, estimated bigger heteroganity
degree which can be as characterictics of individuals bertween time, enabled analysis of crucial
economic problems that are can not be answered by analysis of time series and cross section,
relative high in flexibility while modeling different behaviour of individus compared with cross
section data, and could explained the dynamic adjustment on better ways (Alia Asmara,2013).
More spesific, model data which is used is balanced panel ,whereas each cross section unit has
same number of time series observation (Ruth, 2014).While, another research applied Panel
Data is conducted used Fixed Effect Method (FEM) to examine The Determinant of Foreign
Direct Investment in the Source Industry of Oil and Gas in Indonesia.The analysis of Wage Rate,
Regional Trade Bloc, and Location of Foreign Investment Decision between five ASEAN
Countries during 1976 to 2000 applied Panel Data.The other is Rashid (2016).
Vector Autoregression Model (VAR) is applied because of fact that such a model is commonly
used for forecasting systems of interrelated time series and for analyzing the dynamic impact of
random disturbances on the system of variables. As additional information, in Vector
Autoregression Model (VAR) some variables are treated as endogeneous and some as
exogeneoous or predetermined (exogeneous plus lagged endogeneous). (Mutasen).
The other method which is used by Cushmand (1987) to study the effect of Real Wages and
Labour Productivity on Foreign Direct Investment is Time Series Analysis. The possibility of
simultaneous interaction among direct investment and several of the independent variables is
allowed by using a three – stage-least-squares approach.
Result
FDI responds negatively and significant to the wage. (Owuka, 2011). This finding has similar
result with Alia (2013) which already conducted research about Factors Affecting Investment of
Textile and Product Textile Industry with the result negative but unsignificant. The same FDI
respons also be showed by the estimation result of Cushman (1987) and Amaro (2006). Also
according to Mihai, the increasing of wage contibuted to the decreasing of Foreign Direct
Investment.
Infrastructure has positive effect to the Foreign Direct Investment of Primary Source of Oil and
Gas Industry, which reserach is conducted by Iskandar in 2014 and Huyen (2015), William
(2015) Singh (2008). This finding suitable with the result of Amaro (2006) that infrastructure
yiels unsignificant effect to Foreign Direct Investment.
From the research of Ruth in 2003 related to Factors Effecting Foreign Direct Investment in
ASEAN, Gross Domestic Product has positive corelation with Foreign Direct Investment. The
same result also was published by Owuka (2011) that Gross Domestic Product has positive
impact with Foreign Direct Investment. Mihai, Kahouli (2015) Sharma (2012) also showed the
same finding, that the increasing of Gross Domestic Product is followed by the increase of
Foreign Direct Investment.
While Inflation has negative but not significant effect to the Foreign Direct Investment as be
stated by Amaro (2006). The same condition is declared by Iskandar (2016) and William (2015)
that inflation has negative effect to Foreign Direct Investment. Nearly the same result, Ruth
(2003) and Huyen (2015) had proven that Inflation has negative but unsignificant to the Foreign
Direct Investment.
CHAPTER 3
METHOD
• In this research, I will use a panel data of Foreign Direct Investment of Textile and
Product Textile Industry in 6 provinces in Java Island during period 2006 to 2015. The
number of observation is 10 x 6= 60.
• The data that will be used come from different sources.The information about Foreign
Direct Investment is from Coordination Investment Board. Information about regional
minimum wage is from Ministry of Man Power. The information about infllation is
from Centre Stathystical Agency. The quality of infrastructure’s data come from
Ministry of Public Works and Housing. Another data related to Market size is from
Foreign Direct Investment. And the last data, trade opennes is from Ministry of Trade.
• The Dependent variable is Foreign Direct Investment, with the proxy the amount of
FDI flows in textile and textile product industry in each province in Java Island.
• The independent variables are :regional minimum wage is minimum regional wage
in each province of Java Island, infllation is inflation data of each selected city in each
province of Java Island, the quality of infrastructure’s means the length of national
roads in each province of Java Island, Market size is the amount of gross regional
domestic product in each province of Java Island, and trade opennes is the ratio
between export and import in each province of Java Island.
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5 : coefficient regression
After estimated the research model, we will get the value and sign of the each parameter of
those model. Either it is positive or negative next will be use untuk examine reearch hypothesis.
(Raharjo, et.al, 2005).
LIST OF LITERATURES
1. The determinants of FDI and the impact of the economic crisis on the implementation of
RTAs: A static and dynamic gravity model (International Business Review ,2015)
2. Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment (FDI) flow to Thanh Hoa
province in Vietnam (Procedia, 2015)
3. Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In Agriculture Sector Based on Selected
Highincome Developing Economies in OIC Countries: an Empirical Study on The
Provincial Panel Data By Using Stata, 2003-2012 (Procedia, 2016)
4. Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A Panel Data Analysis (Global
Journal of Management and Business Research, 2012)
5. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada Industri Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT) Indonesia (J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013)
6. Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New Evidence From
Cointegration and Error Correction Model (The Journal of developing Areas, 2012)
Paket Pekerjaan
Work Package
Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan
barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya 1.22 1.42 1.34 1.37
Industri kertas dan barang dari kertas 0.21 0.20 0.21 0.23
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 0.29 0.24 0.29 0.29
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi 0.04 0.01 0.05 0.05
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 0.28 0.26 0.35 0.34
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 0.12 0.08 0.11 0.11
Industri karet, barang dari karet dan plastik 0.49 0.39 0.44 0.45
Industri barang galian bukan logam 1.02 1.04 0.99 0.99
Industri logam dasar 0.20 0.16 0.20 0.18
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya 0.42 0.43 0.44 0.51
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
210
Industri komputer, barang elektronik dan optik 0.17 0.10 0.14 0.14
Industri peralatan listrik 0.15 0.12 0.14 0.14
Industri mesin dan perlengkapan YTDL 0.10 0.09 0.13 0.14
Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 0.18 0.17 0.15 0.17
Industri alat angkutan lainnya 0.27 0.16 0.23 0.22
Industri furniture 0.73 0.62 0.57 0.60
Industri pengolahan lainnya 0.47 0.49 0.54 0.55
Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 0.16 0.11 0.17 0.17
INDONESIA 13.53 13.41 14.51 14.72
Tabel 1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019
[Metode
Baru] Indeks
Provinsi / Kabupaten / Kota Pembangunan
Manusia
2018
ACEH 71.19
SUMATERA UTARA 71.18
SUMATERA BARAT 71.73
RIAU 72.44
JAMBI 70.65
SUMATERA SELATAN 69.39
BENGKULU 70.64
LAMPUNG 69.02
KEP. BANGKA BELITUNG 70.67
KEP. RIAU 74.84
DKI JAKARTA 80.47
JAWA BARAT 71.30
JAWA TENGAH 71.12
DI YOGYAKARTA 79.53
JAWA TIMUR 70.77
BANTEN 71.95
BALI 74.77
NUSA TENGGARA BARAT 67.30
NUSA TENGGARA TIMUR 64.39
KALIMANTAN BARAT 66.98
KALIMANTAN TENGAH 70.42
KALIMANTAN SELATAN 70.17
KALIMANTAN TIMUR 75.83
KALIMANTAN UTARA 70.56
SULAWESI UTARA 72.20
SULAWESI TENGAH 68.88
SULAWESI SELATAN 70.90
SULAWESI TENGGARA 70.61
GORONTALO 67.71
SULAWESI BARAT 65.10
MALUKU 68.87
MALUKU UTARA 67.76
PAPUA BARAT 63.74
PAPUA 60.06
INDONESIA 71.39
Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak
untuk pengembangan nilai tambah.
Sektor/Kelompok
2017 2018 2019
Barang IHPB
Persentase
dan Andil
Persentase dan Andil Persentase dan Andil
Perubahan
Perubahan Indeks Harga Perubahan Indeks Harga
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) Perdagangan Besar (IHPB)
Perdagangan
Besar (IHPB)
1.1 Pertanian 284.01 1.28 0.23 285.14 0.48 0.09 288.34 -0.34 -0.06
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 122.54 -0.01 0.00 129.36 -0.35 -0.02 132.21 0.06 0.00
1.3 Industri 136.57 0.41 0.22 141.66 0.16 0.08 142.74 0.21 0.11
Impor 104.58 0.25 0.05 109.30 0.02 0.00 109.79 0.16 0.04
II. Barang Konsumsi 195.00 0.75 0.75 199.22 0.37 0.37 201.29 0.02 0.02
1.1 Pertanian 523.47 1.28 0.42 524.13 0.56 0.18 526.19 -0.71 -0.23
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 170.78 0.20 0.00 170.25 0.32 0.00 173.91 0.12 0.00
1.3 Industri 148.36 0.51 0.32 152.81 0.29 0.19 154.91 0.38 0.25
Impor 155.96 0.11 0.01 166.52 0.00 0.00 168.04 0.10 0.00
III. Barang Modal 122.75 0.10 0.10 126.98 0.40 0.40 128.24 0.29 0.29
1.1 Pertanian 205.91 1.08 0.02 179.33 -2.05 -0.03 194.57 0.18 0.01
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 93.07 -0.24 0.00 104.36 -1.02 -0.01 106.73 0.00 0.00
1.3 Industri 118.93 0.06 0.05 123.76 0.61 0.48 125.14 0.33 0.26
Impor 135.93 0.18 0.03 139.11 -0.22 -0.04 138.92 0.12 0.02
Tabel 1.3. Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia pada periode 2016 – 2019
sumber : bps.go.id, 2019
Ekspor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Migas 51927.4 48291.5 45710.9 44800.9 46072.8 55925.1 59053.9 48446.0 44041.9 41743.1 44964.7 43328.8 42505.0 37055.5
Non Migas 206804.1 278880.8 297062.6 310253.1 332926.3 422921.7 523165.9 551690.6 655963.2 507722.4 463862.5 468399.3 503341.6 571852.0
Jumlah 258731.5 327172.3 342773.5 355054.0 378999.1 478846.8 582219.8 600136.6 700005.0 549465.5 508827.2 511728.1 545846.6 608907.5
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan
impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun
besarannya masih berfkultuasi.
Tabel 1.7. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 1.8. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
221
Tabel 1.9. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan wilayah di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 1.10. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan klasifikasi sektor di Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
223
Tabel 1.11. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor penerimadi Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
224
Kawasan Bregas
Kawasan Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora
Kawasan Purwokerto, Kebumen, Cilacap dsk
15. Daerah Istimewa Yogyakarta Kawasan Yogyakarta dsk
16. Jawa Timur Kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
Kawasan Malang dsk
Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang
Kawasan Tuban – Bojonegoro
Kawasan Kediri – Tulung Agung – Blitar
Kawasan Situbondo – Bondowoso – Jember
Kawasan madiun dsk
Kawasan Madura dan kepulauan
17. Bali Kawasan Denpasar – Ubud – Kintamani
18. Nusa Tenggara Barat Kawasan Lombok dsk
Kawasan Bima
Kawasan Sumbawa dsk
19. Nusa Tenggara Timur Kawasan Kupang dsk
Kawasan Meumere – Ende
Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
sumber : Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional, 2008
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Kepulauan Riau
6. Jambi
7. Sumatera Selatan
8. Bengkulu
9. Bangka Belitung
10. Lampung
12. Banten
17. Bali
29. Maluku
32. Papua
33. Gorontalo
Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014
sumber : Kementerian Perindustrian, 2016
Berdasarkan Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional dan Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan
Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidak sesuaian antara indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi nilai tambah per
provinsi dalam kurun waktu tersebut. Sebanyak 27 dari 32 provinsi sesuai (Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Lampung, Daerah Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Ibukota
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), dan 5 provinsi lainnya tidak sesuai (Bengkulu,
Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). Sedangkan terdapat tambahan 1 provinsi
(Gorontalo) yang telah berkontribusi dalam pengumpulan nilai tambah yang belum
diakomodir pada dokumen RTRWN.
Dilihat lebih detil lagi, kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya dengan
tingkat survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi. Sebagaimana dapat
dicermati dari kedua tabel tersebut, walaupun izin lokasi yang ada di RTRWN berlaku untuk
selama periode 2010 – 2014, masih ada provinsi yang menunjukkan ketidak adaaan
kontribusi di tahun- tahun tertentu dan ada juga yang menambahkan perluasan industri tekstil
saja menjadi industri pakaian jadi. Ketidakstabilan nilai tambah terdapat di 5 provinsi berikut,
yaitu Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sedangkan provinsi – provinsi lainnya menunjukkan kondisi yang stabil.
Lebih lanjut, terkait hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih
belum terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan andalannya.
Sebanyak provinsi memiliki keduanya dan sebagian provinsi masih bersifat linear ( hanya
memiliki industri tekstil / pakaian jadi saja. Sebanyak 20 provinsi (Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Khusus Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo) menunjukkan hilirasi industri tekstil
dan pakaian jadi dan 7 provinsi lainnya (Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barart,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat) menunjukkan
lineraritas kedua industri tersebut.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
5. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali
Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
6. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi kegiatan
industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah (industri tekstil
dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah dapat
mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah sehingga
permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).
permintaan meningkat
Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama (2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya
tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment (FDI)
karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi juga lebih
rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan. Biaya
tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk.
Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output
dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor
didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang memiliki biaya tenaga kerja rendah
(Marcelia, et al.).
Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis
Harga output
Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah
rendah
Daya saing tinggi
Rekomendasi
investasi
2.2.4 Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi Total
(Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap nilai
tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.
BAB 3
METODOLOGI
Kawasan Industri, Jumlah Sentra Industri, Jumlah Lingkungan Industri Kecil, Jumlah
perkampunganindustrikecil, Indeks Harga Konsumen, Produk Domestik Regional Bruto,
Keterbukaan Pasar, Ekspor Barang, Impor Barang, Impor Bahan Bakar, Impor Makanan
Minuman Industri, Impor Bahan Baku Industri, Impor Bahan Bakar dan Pelumas, Impor
Suku Cadang dan Peralatan, Penyerapan Tenaga Kerja, RTR Pulau / Kepulauan. Ada
kerangka empiris dan teoretis yang mendukung menjembatani variabel dependen dan
independen. Beberapa orang mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.
21. Jumlah Lingkungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Lingkungan
Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
22. Jumlah Perkampungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah
Perkampungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
23. Indeks Harga Konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
24. Produk Domestik Regional Bruto: Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik
Regional Bruto untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
25. Keterbukaan Pasar : Badan Pusat Statistik (BPS), Keterbukaan Pasar untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
26. Ekspor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Ekspor Barang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
27. Impor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Barang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
28. Impor Bahan Bakar: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
29. Impor Makanan Minuman Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Makanan
Minuman Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
30. Impor Bahan Baku Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Baku Industri
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
31. Impor Bahan Bakar dan Pelumas: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar dan
Pelumas untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
32. Impor Suku Cadang dan Peralatan: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Suku Cadang dan
Peralatan untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
33. Penyerapan Tenaga Kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), Penyerapan Tenaga Kerja untuk
masing – masing provinsi di 24 provinsi;
34. RTR Pulau / Kepulauan: Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dummy kebijakan, sudah atau
belumnya ditetapkan RTR Pulau / Kepulauan.
Area obeservasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di Pulau Sumatera, Pulau
Jawa dan Pulau Sulawesi. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang terkait dengan
variabel independen dan dependen tersedia.
Menurut Pyndick dan Rubinfield (2008) pada model panel data ini dikenal tiga jenis
pendekatan estimasi yang dikumpulkan, yaitu least square, fixed effect, dan random effect.
Pendekatan least square dengan cara sederhana menggabungkan/ mengumpulkan semua data
time series dan cross-section, dan model yang diestimasi digunakan model ordinary least
squares. Di sini konstanta (intersep) akan diasumsikan untuk time-series atau cross-section.
Efek tetap mengimplikasikan perbedaan time-series atau cross-section. Sedangkan
pendekatan efek acak memperbaiki proses efisiensi least square dengan estimasi eror time-
series dan cross-section dan perbedaan intersep.
Menurut Nachrowi (2005) untuk model efek tetap dari model efek acak sebagai model
yang cocok dalam beberapa hal, yaitu: Jika T (nomor data time-series)> N (jumlah data
cross–section) disarankan menggunakan fixed effect model (FEM), Jika N (data jumlah
cross–section) > T (nomor data time-series) disarankan menggunakan random effect model
(REM), Jika efek cross-section memiliki korelasi dengan salah satu buah lebih banyak
variabel X, maka diprediksi FEM adalah tidak bias dan bugar. Uji hipotesis tidak digunakan
untuk keputusan yang lebih meyakinkan dalam hal memilih model terbaik, yaitu
menggunakan Hausman test. Hal ini untuk mengetahui hubungan fungsional antara realisasi
total investasi asing langsung dan dengan upah minimum regional, indeks harga konsumen,
panjang jalan, kapasitas pelabuhan, kapasitas bandara, ukuran pasar, rasio antara ekspor dan
impor. Meskipun tidak menentukan model terbaik dapat dilihat dari uji antara model pooled
least square dan model fixed effect melalui Chow test. Jika nilai probabilitas Chi square
kurang dari alpha 5% maka model fixed effect dapat ditentukan sebagai model terbaik.
VA1314it : Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di provinsi i pada
tahun t
pjktdklangsungIBSit : Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk di
provinsi i pada tahun t.
UMRit : Upah Minimum Regional di provinsi i tahun t.
BiBangit : Biaya Bangunan di provinsi i tahun t.
BiMesit : Biaya Mesin di provinsi i tahun t.
BiAngit : Biaya Angkutan di provinsi i tahun t.
PjJlit : Panjang Jalan di provinsi i tahun t.
DisLisIndit : Distribusi Listrik di provinsi i tahun t.
JmlhKwsIndit : Jumlah Kawasan Industri di provinsi i tahun t.
JmlhSntrIndit : Jumlah Sentra Industri di provinsi i tahun t.
JmlhLingIndKclit : Jumlah Lingkungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
JmlhPrkmpngnIndKcilit : Jumlah Perkampungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
IndksHrgKnsmnit : Indeks Harga Konsumen di provinsi i tahun t.
PDRBit : Produk Domestik Regional Bruto di provinsi i tahun t.
KtrbknPsrit : Keterbukaan Pasar di provinsi i tahun t.
EksprBrngit : Ekspor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBrngit : Impor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrit : Impor Bahan Bakar di provinsi i tahun t.
ImprMknnMnmnIndit : Impor Makanan Minuman Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkIndit : Impor Bahan Baku Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrPlmsit : Impor Bahan Bakar dan Pelumas di provinsi i tahun t.
ImprSkCdngPrltnit : Impor Suku Cadang dan Peralatan di provinsi i tahun t.
tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, sPulau
Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi; Pilihan variabel non biaya dan keterbukaan
pasar mengenai arah tesis adalah ekonomi daerah sehingga variabel-variabel tersebut telah
terbukti menunjukkan dampak yang signifikan dari beberapa jurnal penelitian, baik di dalam
maupun di luar negeri; Pilihan variabel utama mengenai kutipan satu jurnal yang
menunjukkan hubungan antara nilai tambah dan variabel-variabel tersebut; Pilihan kebijakan
dummy RTR Pulau / Kepulauan, mengenai ada kebijakan nasional sebagai panduan izin
untuk perencanaan, jadi kita harus tahu dampak dari kebijakan ini terhadap nilai tambah,
sebelum dan sesudah kebijakan ini ditetapkan. Sehingga apakah kebijakan tersebut terkai
juga dengan pilihan menjadi Pulau dengan nilai tambah industri vertikal atau horizontal atau
sebaliknya.
Setelah memperkirakan model penelitian, kita akan mendapatkan nilai dan tanda
masing-masing parameter dari model tersebut. Entah itu positif atau negatif, selanjutnya akan
digunakan untuk menguji hipotesis penelitian (Raharjo, et al., 2005).
8) β 8> 0; Jumlah Kawasan Industri. Jika jumlah kawasan industri meningkat maka nilai
tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
9) β 8> 0; Jumlah Sentra Industri. Jika jumlah sentra industri meningkat maka nilai
tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
10) β 8> 0; Jumlah Lingkungan Industri Kecil. Jika jumlah lingkungan industri kecil
meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan
wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
11) β 8> 0; Jumlah Perkampungan Industri Kecil. Jika jumlah perkampungan industri
kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah
nyata karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan
perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
12) β 2 <0; Indeks Harga Konsumen. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai
realisasi nilai tambah. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga
barang sebagai input produksi. Kondisi ini akan memaksa kenaikan biaya produksi
secara keseluruhan sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat
oleh investor dan pengusaha. Kondisi ini akan mengurangi faktor dorongan investasi dan
pada akhirnya akan menurunkan nilai total nilai tambah, ceteris paribus.
13) β 8> 0; Produk Domestik Regional Bruto. Jika produk domestik regional bruto
meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
14) β 8> 0; Keterbukaan Pasar . Jika rasio beban dan bongkar meningkat maka nilai
tambah akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris
paribus.
15) β 8> 0; Ekspor Barang. Jika ekspor barang meningkat maka nilai tambah juga
meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan,
dan sebaliknya, ceteris paribus.
16) β 2 <0; Impor Barang. Peningkatan impor barang akan mengurangi nilai tambah,
karena jika terjadi peningkatan impor barang akan menambah biaya variabel yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di
masa depan, ceteris paribus.
17) β 2 <0; Impor Bahan Bakar. Peningkatan impor bahan bakar akan mengurangi nilai
tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
18) β 2 <0; Impor Makanan Minuman Industri. Peningkatan impor makanan dan
minuman industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
makanan dan minuman industri akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
19) β 2 <0; Impor Bahan Baku Industri. Peningkatan impor bahan baku industri akan
mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan baku industri
akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
20) β 2 <0; Impor Bahan Bakar dan Pelumas. Peningkatan impor bahan bakar dan
pelumas akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan
bakar dan pelumas akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
21) β 2 <0; Impor Suku Cadang dan Peralatan. Peningkatan impor suku cadang dan
peralatan akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor suku
cadang dan peralatan akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
22) β 8> 0; Penyerapan Tenaga Kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga
kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.
23) β 8> 0; RTR Pulau / Kepulauan. Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan lokasi
telah ditata dalam national spatial planning maka nilai tambah akan meningkat melalui
peningkatan laba pserusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL
1. Chow test:
> ---------
sigma_u | 8.661e+09
sigma_e | 2.459e+09
rho | .92540492 (fraction of variance due to u_i)
---------------------------------------------------------------------
> ---------
F test that all u_i=0: F(23, 80) = 18.63 Prob > F
> = 0.0000
Karena P Value < α maka pilihan terbaik adalah menggunakan fixed effect
7. Hausman test:
Dilihat nilai P Value dari hauman test adalah 0.0042 artinya < α, maka H1 diterima
dan pilihan terbaik berarti fixed effect.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan
membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model (FEM)
dengan uji Chow. Jika hasil pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5%
maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model pooled least
square (PLS) dengan random effect model (REM) dengan uji Breusch Pagan Lagrange
multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Breusch Pagan Lagrange
multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Selanjutnya
dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random effect model (REM) dengan uji
Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Hausman kurang dari alpha 5%
maka REM adalah model yang terbaik. Dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
regresi pada model hanya bisa dilakukan dengan fixed effect model (FEM), sedangkan regresi
dengan ke-2 model lainnya tidak bisa dilakukan.
Antar variabel pajak dengan impor industri, impor bahan baku, impor bahan bakar,
dan impor suku cadang peralatan; biaya bangunan dengan impor bahan bakar; biaya mesin
dengan impor barang; biaya; biaya angkutan dengan impor angkutan, impor bahan baku, dan
impor bahan bakar; dan ihk dengan impor bahan bakar memiliki nilai multikolinearitas >
0.75 yang artinya menerima H1 atau dengan kata lain hubungan antar variabel-variabel
tersebut memiliki nilai multikolinearitas yang tinggi.
Saat diuji nilai variance inflating factor setelah fe juga menghasilkan nilai mean
VIFnya 182.25 atau > 10, hal ini berarti ada indikasi multikolinearitas yang tinggi, sesuai
dengan tes yang sebelumnya dilakukan.
Note:
Dari hasil diatas beberapa variabel dihapus oleh stata karena masalah kolinearitas pada
pengujian fixed effect, PLS dan random effect. Setelah terpilih yang terbaik yaitu fixed effect
ternyata masih bermasalah pada uji asumsi klasik terindikasi terdapat multikolinearitas yang
tinggi antar variabel dengan alasan tersebut maka disarankan untuk mencari model yang lebih
stabil.
Dalam model dummy upah minimum, penyerapan tenaga kerja, kawasan industri, pajak tidak
langsung, pendapatan regional bruto, RTR Pulau / Kepulauan, sentra indutsri, perkampungan
industri, listrik, lingkungan industri, dan keterbukaan pasar memiliki nilai VIF kurang dari 10,
sehingga tidak ditemukan multikol di variabel - variabel tersebut. Sementara itu, untuk
variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol di
variabel-variabel tersebut.
pakaian jadi tersebut dipengaruhi oleh listrik. Sementara itu, variabel-variabel lainnya tidak
mempengaruhi nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi.
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila biaya tenaga kerja tinggi, seharusnya nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga rendah.
Bagan 4.2. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)
permintaan meningkat
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
975.000
2012 MENINGKAT BERKURANG,
832.271.020 SESUAI
1.015.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.284.176.397 TIDAK SESUAI
1.365.087
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.464.616.430 TIDAK SESUAI
1.665.000
1.290.000
745.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
866.250 9.817.319.142
2014 MENINGKAT BERKURANG,
6.434.342.522 SESUAI
1.000.000
955.300
8.782.646.866
3.148.543
2013 MENINGK BERTAMBAH,
1.100.000 AT 10.674.83 TIDAK SESUAI
5
2014 MENINGK BERKURANG,
1.210.000 AT SESUAI
8.651.984
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga
kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut
juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci
sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %, yaitu Jambi.
Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 75 %, 11 provinsi
menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan
Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 25 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya
menunjukkan tingkat kesesuaian 0 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga
kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut
juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci
sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 0 %, yaitu Jambi.
Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 25 %, 11 provinsi
menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan
Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 75 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya
menunjukkan tingkat kesesuaian 100 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto
dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah
rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi mempengaruhi rendah atau
tingginya nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi (sesuai dengan
teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di
masing – masing Provinsi tersebut mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di
sektor industri tekstil dan pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai tambah industri
tekstil dan pakaian jadi. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga
dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa
ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan
infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri
tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan UMR
tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai 100 %, diperbolehkan adanya kenaikan UMR,
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka
Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur disarankan mengurangi UMR sampai
berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.
tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan IHK, dan RTR
Pulau/kepulauan tidak signifikan mempengaruhi nilai tambah di 24 provinsi.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural Sector in
Indonesia.
Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and
Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.
Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi.
Vol. 1 (2).
Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco.
Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.
Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows
to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of Economics.
Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.
Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.
Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap Perkembangan
Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi di pulau Jawa). Tesis.
Universitas Indonesia.
Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages. NBER
Working Papers Series. 5121.
Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country
Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.
Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment
(FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social and Behavioral
Sciences,.
Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen.
Vol.2.
Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic
Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.
International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.
Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth Publishers.
Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
International Journal of Economic Sciences and Applied Research. Vol.3(2). 41-56.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business. Vol. 2
(9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign
Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review. 134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7;
Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).
Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic
Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. Journal of
Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.
Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation States:
an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.
Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an
Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol. 52 (1). 57 – 77.
In general, the value of purchases in Indonesia increased, despite the change in order
in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place, followed by
Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively Bali Island - Nusa
Tenggara-Maluku- Papua and Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order
changed as follows: the first and second order respectively Kalimantan Island -
Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third and the island of Bali -
Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth. (BPS, 2021). In general, the value of sales
in Indonesia increased, despite changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the
largest in Java Island in the first place, followed by Sumatra Island in second place.
Third and fourth respectively Bali Island - Nusa Tenggara-Maluku- Papua and
Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order changed as follows: the first
and second order respectively Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the
island of Sumatra in third and the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in
fourth. (BPS, 2021). In general, the trade balance in Indonesia increased, despite
changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place,
followed by Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively –
Kalimantan Island – Sulawesi and Bali Island – Nusa Tenggara-Maluku - Papua. While
in 2018 the order changed as follows: the first and second order respectively
Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third and
the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth.
From the purchase value data, sales value data, and trade balance this shows that development in
Indonesia has not been fully successful, it is said to be successful where the economy in Indonesia is
no longer dependent on the island of Java with the improving economy on the island of Kalimantan -
Sulawesi, but has not succeeded in strengthening the role of Sumatra Island and Bali-Nusa Tenggara-
Maluku-Papua Island. So we need to know what factors affect the condition.
Infrastructure development as one of the main policies that became the focus of President Jokowi.
In line with that, in the research I have done, as a hypothesis we try to test whether macroeconomic
variables such as: rice field area, area of forest and non-forest, power generation capacity,
electricity distribution, number of loading and unloading at the port, number of loading and
unloading at the airport, length of road, clean water capacity, drinking water capacity, amount of
housing, poverty rate, and human development index it significantly affects the value of purchases,
the value of sales, and the trade balance. Furthermore, from the significance of these variables,
we can recommend policies to strengthen the role of Kalimantan - Sulawesi Island, increase the role
of Sumatra island and Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua and reduce the dominance of Java Island in
its contribution to the Indonesian economy.
I would like to study about planning and public policy, because now I am working at
planning and monitoring – evaluation division which has job description on
preparing budgeting document and do monitoring and evaluation of annual
budgeting process. In my work, I never applied the economic theory. In only focus on
collecting data of the exercise of budgeting and implementing it.
I want to study further about Economic and Public Policy. Now, I am working in a
institution which has routine task on formulationg annual budgeting related to
spatial planning and arranging policy based on the policy result which can be
categorized as a spatial planning. The arranging is suitable with the documents of
strategic planning which is prepared by my own institution, while the policy is
prepared from the strategis issues which is actual for recent time.
Besides that, learning Economic Sciences and Public Policy may make me science
easier on implementing for socialization Spatial Planning and Publc Policy. The result
of policy research and planning document will be better because in Economic alsi be
taught regional economic, so we expect that we can analyze and give some
alternative recommendations of public policy related to Spatial Planning either in city
or regional scale.
The same importantness, I also eiger to find out the factors affecting the succesfull of
development. In which how development acan achieve 3 ( three) national goals,
which are equaIity in economic growth, increasing of society welfare, and
sustainability of environment. Through monitoring and evaluation, regularly
commonly be monitored the growth of Regional Domestic Product in each provinces,
the poor rate in every region, and the decreasing of carbon emission in all place. As
the result, the rate of development can be measured, so in the certain period can be
gathered policy recommendations in order to maximize development achievement. If
this method can be done effectively, planning cycle become closed cycle whereas
planning and monitoring – evaluation walks synergic.
Nilai Pembelian
sumatera Jawa Kalimantan-Sulawesi Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua Indonesi
124.548.474 1.427.999.463 44.288.889 120.835.070 1.717.67
209.056.372 671.033.719 4.758.051.753 69.710.927 5.707.85
Nilai pembelian di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat drastis.
Dari 1.717.671.896 pada tahun 2017 menjadi 5.707.852.771 pada tahun 2018. Femonena ini terjadi
di Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Sumatera. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau
Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian masing –
masing sebagai berikut : Pulau Kalimantan – Sulawesi mengalami peningkatan dari
44.288.889 pada tahun 2017 menjadi 4.758.051.753 pada tahun 2018 dan Pulau Sumatera juga
mengalami kenaikan dari 124.548.474 pada tahun 2017 menjadi 209.056.372 pada tahun 2018.
Sedangkan di Pulau Jawa terjadi penurunan dari tahun 2017 sebesar 1.427.999.463 pada tahun 2018
menjadi 671.033.719. Dan pengurangan terjadi juga di Pulau Bali-Nusa Tenggara – Maluku – Papua
sebesar 120.835.070 pada tahun 2017, tahun 2018 menjadi 69.710.927.
Nilai Penjualan
hun sumatera Jawa Kalimantan-Sulawesi Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua Indonesia
17 139.380.292 1.870.125.934 50.680.976 91.752.165 2.151.939.3
18 182.174.480 1.143.882.629 6.870.604.152 12.412.225 8.209.073.4
Nilai penjualan di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat drastis. Dari
2.151.939.367 pada tahun 2017 menjadi 8.209.073.486 pada tahun 2018. Femonena ini terjadi di
Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Sumatera. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau Bali-
Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian masing –
Neraca Perdagangan
Kalimantan- Bali-Nusa Tenggara-Maluku-
Tahun sumatera Jawa Sulawesi Papua Indonesia
2017 14.831.818 442.126.470 273.379 -43.413.906 413.817.761
2018 -26.881.889 372.848.912 2.103.646.397 -57.398.701 2.392.214.719
neraca perdagangan di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat
drastis. Dari 413.817.761 pada tahun 2017 menjadi 2.392.214.719 pada tahun 2018. Femonena ini
terjadi di Pulau Kalimantan – Sulawesi. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dan
Pulau Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian
Dari data nilai pembelian,nilai penjualan, dan neraca perdagangan ini menunjukkan bahwa
pembangunan di Indonesia berhasil, dimana perekonomian di Indonesia tidak lagi bergantung pada
pulau Jawa dengan membaiknya perekonomian di Pulau Kalimantan – Sulawesi, tapi belum berhasil
memperkuat peran Pulau Sumatera dan Pulau Bali-Nusa Tenggara- Maluku-Papua. Sehingga kita
perlu mengetahui factor- factor apa saja yang mempengaruhi kondisi tersebut.
Sebagai hipotesis kami mencoba menguji apakah variabel – variable makro ekonomi seperti : luas
lahan sawah, luas Kawasan hutan dan non hutan, kapasitas pembangkit listrik, distribusi listrik,
jumlah bongkar muat di Pelabuhan, jumlah bongkar muat di bandara, Panjang jalan, kapasitas air
bersih, kapasitas air minum, jumlah perumahan, angka kemiskinan, dan indeks pembangunan
manusia secara signifikan mempengaruhi nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan.
Untuk selanjutnya dari signifikansi variable – variable tersebut, kami dapat merekomendasikan
kebijakan untuk memperkuat peran Pulau Kalimantan – Sulawesi, meningkatkan peran pulau
Sumatera dan pullau Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua dan mengurangi dominansi Pulau Jawa
dalam kontribusinya ke perekonomian Indonesia.
1. luas lahan sawah,dengan koefisien >1, maka apabila luas sawah bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
2. luas Kawasan hutan dan non hutan, dengan koefisien<1, maka apabila luas Kawasan hutan
bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan berkurang;
3. kapasitas pembangkit listrik, dengan koefisien >1, maka apabila kapasitas pembangkit listrik
bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
4. distribusi listrik, dengan koefisien >1, maka apabila distribusi listrik bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
5. jumlah bongkar muat di Pelabuhan, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah bongkar
muat di Pelabuhan bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca
perdagangan akan meningkat;
6. jumlah bongkar muat di bandara, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah bongkar muat
di bandara bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan
meningkat;
7. Panjang jalan, dengan koefisien >1, maka apabila Panjang jalan bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
8. kapasitas air bersih, dengan koefisien >1, maka apabila kapasitas air bersih bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
9. kapasitas air minum, dengan koefisien >1 , maka apabila kapasitas air minum bertambah
maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
10. jumlah perumahan, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah perumahan bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
11. angka kemiskinan, dengan koefisien <1, maka apabila angka kemiskinan bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat; dan
12. indeks pembangunan manusia, dengan koefisien >1, maka apabila indeks pembangunan
manusia bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan
meningkat;
Luas
Provinsi
2003 2004 2005 2006 2007 2008
ACEH 348232.00 346305.00 356649.00 315277.00 312803.00 323010.00
SUMATERA UTARA 538180.00 502839.00 462767.00 460486.00 453372.00 478521.00
SUMATERA BARAT 225369.00 231939.00 228176.00 229469.00 227355.00 225623.00
RIAU 128225.00 125966.00 118955.00 124985.00 128242.00 122255.00
JAMBI 120552.00 122126.00 117482.00 119242.00 117543.00 116212.00
SUMATERA SELATAN 512510.00 474429.00 484207.00 523922.00 530204.00 577821.00
BENGKULU 88432.00 85641.00 84164.00 83885.00 93779.00 89244.00
LAMPUNG 303380.00 316017.00 313621.00 317413.00 342507.00 348732.00
KEP. BANGKA
BELITUNG 3186.00 3773.00 4111.00 4048.00 4176.00 3506.00
KEP. RIAU - - 76.00 82.00 124.00 133.00
DKI JAKARTA 2738.00 2563.00 1866.00 1466.00 1200.00 1200.00
JAWA BARAT 934140.00 932337.00 925900.00 926782.00 934845.00 945544.00
JAWA TENGAH 995469.00 996197.00 964102.00 963401.00 962942.00 963984.00
DI YOGYAKARTA 57612.00 56982.00 57188.00 56218.00 55540.00 55332.00
JAWA TIMUR 1115239.00 1108361.00 1100574.00 1096479.00 1096605.00 1108578.00
BANTEN 207530.00 196589.00 194504.00 196538.00 196370.00 195583.00
BALI 81870.00 81557.00 80211.00 79252.00 80251.00 80873.00
NUSA TENGGARA
BARAT 226627.00 222968.00 225708.00 232851.00 231129.00 230986.00
NUSA TENGGARA
TIMUR 103341.00 109070.00 100194.00 112715.00 122649.00 124416.00
KALIMANTAN BARAT 253316.00 283021.00 292220.00 321838.00 290392.00 292687.00
KALIMANTAN TENGAH 156645.00 167776.00 159516.00 166703.00 159059.00 157406.00
KALIMANTAN SELATAN 420086.00 423884.00 435940.00 440720.00 471042.00 477336.00
KALIMANTAN TIMUR 92982.00 89769.00 88846.00 90786.00 92934.00 84235.00
KALIMANTAN UTARA - - - - - -
SULAWESI UTARA 64605.00 59393.00 57969.00 60262.00 61098.00 61133.00
SULAWESI TENGAH 121670.00 120049.00 113715.00 119463.00 128250.00 129016.00
SULAWESI SELATAN 619084.00 626634.00 558935.00 552940.00 560989.00 567520.00
SULAWESI TENGGARA 66939.00 69432.00 73646.00 62286.00 65338.00 82806.00
GORONTALO 27598.00 25955.00 25561.00 25668.00 27794.00 31327.00
SULAWESI BARAT - - 60531.00 48884.00 50800.00 53220.00
Data Provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2013 dan 2014 masih bergabung dengan Provinsi Kalimantan
Timur
Source Url: https://www.bps.go.id/indicator/23/192/2/persentase-penduduk-miskin-menurut-provinsi.htm
Access Time: August 27, 2021, 1:53 pm
No. Tipologi KSN Jml Sudah Belum Belum Penyusunan Tahap Keterangan
KSN Perpres Perpres Disusun Matek Legilasi
1 Ekonomi 27 7 20 1 14 5 … harus dilakukan penyusunan
matek ulang krn disusun tahun
2015
2 Sosial Budaya 7 1 6 3 0 3
3 SDA dan 8 0 8 1 3 4 … harus dilakukan penyusunan
Teknologi Tinggi matek ulang krn disusun tahun
2015
4 Lingkungan 25 2 23 3 14 6 .. KSN harus dilakukan
Hidup penyusunan matek ulang krn
disusun tahun 2015
5 Pertahanan 9 8 1 0 - 1
Keamanan
76 18 58 8 31 19
PAPUA BARAT 64.83 66.08 67.28 67.95 68.58 59.60 59.90 60.30 60.91 61.28 61.73
PAPUA 62.08 62.75 63.41 64.00 64.53 54.45 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25
INDONESIA 69.57 70.10 70.59 71.17 71.76 66.53 67.09 67.70 68.31 68.90 69.55
EKONOMI
PERTAHANAN KEAMANAN
1. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut (Kawasan
Perbatasan Laut RI dengan negara India/Thailand/Malaysia (termasuk 2 pulau
kecil terluar -Pulau Rondo dan Berhala) ACEH-SUMUT Perpres
SOSIAL BUDAYA
1. Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi BLM
2. Kawasan Borobudur dan Sekitarnya Perpres
3. Kawasan Candi Prambananfasleg
4. Kawasan Sangiran BLM
5. Kawasan Kerajaan Majapahit Trowulan BLM
6. Kawasan Subak - Bali Landscapefasleg. Penyusunan matek 2015
7. Kawasan Toraja dan Sekitarnyafasleg
PROSES PENYUSUNAN
STANDAR PENYIAPAN
SCEMATIC DESAIN
PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN RTH DI KSN
PERKOTAAN
ISU STRATEGIS
Ilustrasi/Bisnis.com/WD
Bisnis.com, SEMARANG - PT
Karet Murni Kencana (KMK),
melalui anak usahanya PT Selalu
Cinta Indonesia (SCI),
membangun pabrik sepatu
dengan total investasi senilai
US$50 juta atau setara Rp740
miliar di Salatiga Jawa Tengah.
Oktober 2015)
baru groundbreaking.
• “Dalam pembangunan ke
depan, kami berdoa tidak ada
halangan,” terangnya. Kepala
Badan Penanaman Modal
Daerah Provinsi Jateng
Sujarwanto Dwiatmoko
mengakui kepeminatan investor
asing membangun perusahaan
di wilayah berpenduduk 33,5 juta
jiwa cukup banyak. Hal ini
CAKUPAN WILAYAH
PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN
Sumber : tribunnews.com
Sumber : www.google.com
H. DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba diakses pada 4 Januari 2021.
Lukman.2013. Danau Toba. Karakteristik Limnologis dan Mitigasi Ancaman
Lingkungan dari Pengembangan Karamba Jaring Apung. Jakarta : LIPI Press.
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah – Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Integrated Tourism Masterplan for
Lake Toba.
DAFTAR PUSTAKA
Ministry of Environment anda
Forestry. Pemali Jratun Watershed
and Protected Forest Technical
Management Unit. Recent
APPLIED ECONOMETRICS
THE IMPACT OF ENERGY FACTORS (BASIC ELECTRICITY RATE AND FUEL PRICE)
TO THE GROWTH OF MICRO AND SMALL INDUSTRY
BY:
ABSTRACT
Industry sector has already known as one of main prime over economic growth. It can be seen from its
contribution to Gross Domestic Product (GDP), labor absorbance, and the quantity of industry itself.
(Tuti, 2010)
According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the value of GDP
based on current price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013,
reached 5.440.007,9 (thousands rupiah) or equals to 60, 34 %. While, the value of GDP on constant
price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached value
1,536,918. 8 (thousands rupiah) or equals 57.56 %.
The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or equals to 99, 99 %.
In terms of absorbing labors, on 2013, micro, small, and medium Enterprises had absorbed
114.144.082 people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises sectors. Labors
absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %.
In this research, the authors had tried to analyze the impact of energy factors (basic electricity rate and
fuel price towards the growth of micro and small industry, also as a consideration for decision makers
to be considered on establishing fuel price and basic electricity rate. The data and information is
mainly collected from BPS, such as quantity of micro and small industries from 33 provinces during
2014 – 2015 as dependent variable. While, to conduct research about elasticity of energy price
fluctuation towards the growth of micro and small industry, data of basic electricity rate and fuel price
are derived from www.google.com. Then, as control variable, we used other data from BPS, for
example the number of population and expenditure per capita.
From the result of this research, finally we can conclude that the increasing number of micro and
small industry is significantly influenced by fuel price in a negative relationship. It means that the
increasing fuel price will decrease the number of micro and small industry. On the other hand, basic
electricity rate has not significantly affected on the number of micro and small industry. Surprisingly,
the number of population and expenditure per capita as control variables has significant impact to the
quantity of micro and small industry.
A. INTRODUCTION
1. Background
Small and micro enterprises are already known as the sector that plays important role
on saving and recovering national economics. Those role can endorse economic growth rate
and absorbs labors in order to it would be beginning steps of Government to activate
production sector on various work field (Asty, 2010). Industry sector has already known as
one of main prime over economic. It can be seen from the contribution to Gross Domestic
Product, labor absorbance, and the number of industry itself. (Tuti, 2010)
According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the
value of Gross Domestic Product based on current price which was contributed by the Small,
Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached value 5.440.007,9 (thousands rupiah) or
equals to 60.34 %, can be detailed as follows micro had contributed 3.326.564,8
(thousands rupiah) or equaled to 36.90 %, small Enterprises had contributed 876.385,3
(thousands rupiah) or equals 9.72 %, and medium Enterprises had contributed 1.237.057,8
(thousands rupiah) or equals 13.72 %. Another 3,574,943.3 (thousands rupiah) or equals
39.66 % for sure was contributed by Big Enterprises. The growth of Gross Domestic
Product based on current price during 2012 – 2013 was by 9.38 %, higher than Big
Enterprises by 6.01 %.
The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or
equals to 99,99 %, can be detailed as follows : micro Enterprises 57.189.393 or equals to
98, 77 %, small Enterprises 654.222 or equals to 1, 13 %, and medium Enterprises 52.106 or
equals to 0,09 %. Growth number of micro, small, and medium Enterprises on 2012 – 2013
was 2, 41 % nearly doubled than big Enterprises on the same period which was 1, 97 %.
In terms of absorbing labors, micro, small, and medium Enterprises also had absorbed more
labors than big Enterprises did. On 2013, micro, small, and medium Enterprises had
absorbed 114.144.082 people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises
sectors, this number had increased if we compared with the labors absorbance in 2012 which
was 107.657.509 people or equals to 97,16 %. The aggregate labor absorbance by micro,
small, and medium Enterprises can be detailed as follows, micro Enterprises had absorbed
104.624.466 people or equals to 88.90 %, small Enterprises had contributed 5.570.231 or
equals to 4.73 %, and medium Enterprises 3.949.385 people or equals to 3.36 %. Big
Enterprises
Labors absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %, this number
was increased than on 2012 which was 3.150.645 or equals to 2.84 %.
There are some factors that influence the growth number of micro, small, and
medium enterprises. According to the research result conducted by Purwaningsih (2015),
factors influencing performance of micro, small, and medium enterprises were external
factors consist of government policy aspect, social - culture and economic aspect,
organization role aspect, while the internal factors were human resources aspect, spatial
aspect, operation and technical production aspect, market and marketing aspect, and labor.
Another research conducted by Adrianto Trimarjono (2015) resulting different factors
influencing the growth of micro, small, and medium enterprises were hard workers,
confidence, want to learn, ambition to move on, communication skill, the nearest of location
and industry, easiness to get new market, information about competitors, information if
chance, information of product development, easiness toi capital access, government policy
support, and finance management.
The rate of industry sector contribution toward economy, make this sector needs to be
encouraged the role in the future. But, until now, industry sector still face some problems,
mainly on the limited of energy source and electricity. Tuti (2010), in her research also
stated that textile and product textile industry are depend on the two main energy source,
which are fuel and electricity.
2. Objectives
The objective of this research is to analyze the impact of energy factors (electricity
basic rate and fuel price) to the growth of micro and small Industry as consideration for
policy makers on establishing fuel price and basic electricity rate.
3. Previous Studies
This study considers previous studies regarding micro and small medium enterprises.
Here are some of them:
1. Tuti Ernawati (2010): “The affect of policy on fuel price and electricity basic rate to
textile industry and textile product sector in West Java province (2010).”
This research had examined the affect of energy policy (fuel price and basic electricity
rate) towards big and medium industry which is included compact energy. The result of
this examination gives some recommendation policy such as some adjustment ways in
order to give minimum impact towards economic activity in industry field.
4. Hypothesis :
Hypothesis that will be examined in this research are:
a. Fuel price influences the number of micro and small industry;
b. Basic electricity rate influences the number of micro and small industry; and
c. Population and expenditure per capita influences the quantity of micro and small industry.
B. Literature Review
There are some criterias of micro, small, and medium industry which were established by
government as follows:
1. As is established by Ministry of Cooperation, Small, and Medium Industry ( Law no 9,
1995);
Table 1.1
Table 1.3
Determinant Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises
Assets Maximum Between Rp.50.000.000,- Between Rp.500.000.000,- and
Rp.500.000.000,- and Rp.500.000.000,- Rp.10.000.000.000,-
Omzets Maximum Between Rp. Between Rp.2.500.000.000,- and
Rp.300.000.000,- 300.000.000,- and Rp. Rp.50.000.000.000,-
2.500.000.000,-
Source: Law no 20, 2008 about micro, small, and minimum enterprises
C. METHOD
1. Sample
Sample of this research uses data of micro and small industry in 33 provinces during
2014 and 2015 by quarterly as the dependent variable, which is issued by BPS. To examine
elasticity fluctuation on energy price to the growth of micro and small industries, we chose
data of fuel price and basic electricity rate on the same period. As control variables we also
consider data of population, expenditure per capita.
The details of data as follows:
a. Number of small and micro industry in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);
2. Model
The function of micro and small industry can be written as follows:
log (��� ) = �� + �1 log (���1 ) + �2 log (���2 ) + �3 log (���3 ) + �4 log (���4) + �
��� = increasing number of small and micro industry (%)
���1 = increasing of basic electricity rate (%)
���2 = increasing of fuel price (%)
���3 = increasing of population number (%)
���4 = increasing of expenditure per capita (%)
3. Model Examination
After got the model, we continued with model examination, which is consist of:
a. Economy examination
With, the initial hypothesis (Ho): fuel price and basic electricity rate do not gve impact to
the growth of micro and small industry;
And the alternative hypothesis (Ha): fuel price or basic electricity rate give the impact to
the growth of micro and small industry
b. Statistic examination
Model examination that already done is F-test, to examine the influence of independent
variable simultaneously to the growth of micro and small industry and t test to examines
the impact of basic electricity rate and fuel price independently to the growth of micro
and small industry.
c. Econometric examination
We need to examine whether in this model contains heteroscedasticity, multicollinearity,
and autocorrelation or not.
The probability of F equals to 0,000. This result implies that by comparing α 0.05, all
independence variables affect the quantity of micro-small enterprise simultaneously. The
value of Constanta is 30.86. It means that if all independent variables (electricity price, fuel
price, population, expenditure per capita) equal to zero (0), the increasing of small micro
enterprise is 30.86 %.
From the table 1, we also obtain that the value of electricity price equals to - 0,533.
This implies that between electricity price elasticity and the quantity of small micro enterprise
have a negative correlation. If electricity price increases by 1 %, then the quantity of micro
small enterprise will decrease by 0.533 %. However, from the T test, we know that the
probability of t more than α 0.05 (0,151). This means that electricity price has no significant
correlation with the quantity of micro small enterprise.
On the other hand, the increasing of fuel price will significantly affect the quantity of
small micro enterprise in a negative correlation (P <|t| < α). We also can obtain the coefficient
of fuel price is - 0.98. It means that if fuel price increases by 1 %, the quantity of micro small
enterprise will decrease by 0.98 %. This value is nearly close to the value of unitary elasticity
(E=1).
From both energy variables which are electricity price and fuel price, they give
different impact to the quantity of micro and small enterprise. Adjustment on electricity has
no significance impact to micro and small enterprise, while the adjustment on fuel price has a
significant impact to the quantity of micro and small industry.
Furthermore, the increasing of population also has a strong relationship with the
quantity of micro and small enterprise. The coefficient equals to 1.107, it implies that the
increasing of population by 1 % will lead to the rising of small micro enterprise quantity by
1.107 %. Meanwhile, the coefficient of expenditure per capita is - 1,746. It implies that if the
expenditure per capita increases by 1 %, the quantity of small micro enterprise will decrease
by 1,746 %.
The Tests
As an initial hypothesis (H0) is electricity price and fuel price have no significant
impact to the quantity of micro-small enterprise, while, as an alternative hypothesis is one of
both variables have significant impact to the quantity of micro-small enterprise. Based on
table 1, although electricity price has no impact to the quantity of micro small enterprise, we
also can obtain that the increasing of fuel price will lead to the increasing of micro-small
enterprise quantity. As a consequence, we cannot accept the initial hypothesis (H0).
From the table 1, we also can derive the determinant coefficient (R-squared). This R-
squared has a quite significance value by 0.8154. It indicates that the model can be explained
by all variables as much as 81.54 %, while a 18.66 % cannot be explained by all variables. As
previous explanation, F test give a significance value with the probability less than α 0.05.
Therefore, all variables simultaneously affect the quantity of micro small enterprise by using
α 0.05. Meanwhile, from the partial test (t-test), we can derive that all variables except
electricity price have a significance impact to micro small enterprise by using α 0.05.
From the OLS violation tests which are heteroscedasticity, multicollinierity and auto
correlation, we can obtain the results as follows:
1. Heteroscedasticity
Table 2.2. White Test
. estat imtest, white
chi2(14) = 24.32
Prob > chi2 = 0.0419
Source chi2 df p
From table 2.2, the white test results give evidence that there is a heteroscedasticity. We
can derive from the probability of chi squared. The value of probability of chi squared is
0.049. It means that by using α 0.05, the probability of chi squared less than α, so that
there is a heteroscedasticity. Therefore, to overcome this problem, we do white robust
estimator treatment. The result is as explained in table 2.3 below
Table 2.3. White Robust Estimator
Robust
lnumk Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
F 286.0380 382.2506
After this treatment, almost all standard error decrease from its initial value except
standard error of fuel price that experiences a slight increasing. Then, we continue to
second white test to the model, but the result still experiences the heteroscedasticity.
2. Multicollinierity
Tabel 2.4. VIF Test
. vif
In order to test the multicollinierity, we calculate Variance Inflation Factor (VIF). As the
result, the value of VIF is 1.06, so that we can conclude that there is no multicollinierity
(value of VIF < 10). For further evidence, we do partial correlation test among variables.
The result can be seen on table. 2.5
lnumk 1.0000
lntdl -0.0118 1.0000
lnpbensin -0.0348 -0.2957 1.0000
lnpop 0.8544 0.0014 0.0041 1.0000
lnexp -0.3747 -0.0232 -0.0665 -0.1083 1.0000
From table. 5 above, we obtain that all partial correlation value less than 0,75, so that
there is no multicollinierity.
3. Autocorrelation
The data is a panel data, so we do not need to test the autocorrelation.
E. Conclusion
The increasing of small and micro industry is significantly affected by fuel price. Moreover,
between them have a negative correlation. It means that the increasing of fuel price will lead to
the rising of small and micro enterprise. However, for the other energy variable which is
electricity price has no significant impact to the small micro enterprise. Furthermore, population
and expenditure per capita as control variables also have significant impact to the amount of small
micro industry.
F. Study Limitation
1. The data has only two years interval (2014-2015), so that, further study may consider long
time series data.
2. This study only observes the impact of energy factors to the increasing of small micro
enterprise with population and expenditure per capita as control variables. The further
research can consider other macro indicators, such as inflation rate, interest rate and Gross
Domestic Product.
G. LIST OF REFERENCES
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 – 2013.
http://www.depkop.go.id/. Downloaded 4th October 2016 at 7:31 p.m
Setia Utami, Asty. 2008. Dampak Pembiayaan UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia (2001 –
2007).
Tuti Ernawati : Pengaruh Kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Tarif Dasar Listrik (TDL) terhadap
Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) di Jawa Barat (2010)
Ratna Purwaningsih (2015): Analisis Faktor – faktor yang mempengaruhi Kinerja Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dengan Metode Structural Equation Modelling
Kristiningsih dan Adrianto Trimarjono (2015) : Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Usaha Kecil Menengah (Studi Kasus pada UKM di Wilayah Surabaya)
KALIMANTAN
TENGAH Q4 2014
19932 1214 8500 2439900 1095963
KALIMANTAN
TENGAH Q1 2015
12599 1214 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q2 2015
12599 1352 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q3 2015
12599 1523 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q4 2015
12599 1507 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
SELATAN Q1 2014
70866 1496 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q2 2014
70866 1496 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q3 2014
70866 1214 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q4 2014
70866 1214 8500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q1 2015
57477 1214 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q2 2015
57477 1352 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q3 2015
57477 1523 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q4 2015
57477 1507 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN TIMUR Q1 2014 17721 1496 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q2 2014 17721 1496 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q3 2014 17721 1214 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q4 2014 17721 1214 8500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q1 2015 12028 1214 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q2 2015 12028 1352 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q3 2015 12028 1523 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q4 2015 12028 1507 7600 4068600 1274888
SULAWESI UTARA Q1 2014 35587 1496 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q2 2014 35587 1496 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q3 2014 35587 1214 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q4 2014 35587 1214 8500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q1 2015 39470 1214 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q2 2015 39470 1352 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q3 2015 39470 1523 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q4 2015 39470 1507 7600 2412400 909622
SULAWESI TENGAH Q1 2014 40295 1496 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q2 2014 40295 1496 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q3 2014 40295 1214 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q4 2014 40295 1214 8500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q1 2015 22396 1214 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q2 2015 22396 1352 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q3 2015 22396 1523 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q4 2015 22396 1507 7600 2876700 840951
MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM KEBIJAKAN EKONOMI
DISUSUN OLEH:
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... 383
3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi & Pencapaian Ketahanan Energi395
BAB I
PENDAHULUAN
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar konstitusional “hak menguasai“ negara atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. “Hak Menguasai”
kemakmuran rakyat”. Kedua aspek kaidah itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
kemakmuran
menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam yang terdapat dalam
Secara historis salah satu perumus UUD 45 adalah Mohammad Hatta. Menurut Hatta:
Pengertiaan “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara, akan
tetapi dapat menyerahkan kepada pihak swasta yang disertai dengan pengawasan
pemerintah. Selain itu, Hatta membagi bidang ekonomi ke dalam 3 sektor usaha,
oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 45 adalah negara tidak harus secara
langsung ikut mengelola atau menyelanggarakan cabang produksi, akan tetapi hal
itu dapat diserahkan kepada koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat
Penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 mengenai “hak menguasai negara” dalam
1. Fungsi kebijakan (beleid) oleh negara melalui Pemerintah dalam merumuskan perencanaan
penguasaan negara atas sumber daya alam yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di
bidang sumber daya alam.
2. Fungsi pengurusan (bestuursdaad), dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya
untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (consessie).
3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
4. Fungsi pengelolaan (beheersdaad), Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan,
yang melaluinya negara, dalam hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh organ negara
dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.
Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
harus dapat menjamin kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh rakyat serta dapat
skala prioritas yang berbeda-beda. Tema RPJMN tahun 2015-2019 atau RPJMN ke-3,
tersedia, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, serta kemampuan Iptek”.
RPJMN tahun 2015-2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun
Adapun tantangan dan isu strategis di sektor energi terkait dengan pemenuhan
Pengendalian laju produksi minyak, seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Indonesia
merupakan net importir minyak, di dalam RPJMN produksi minyak dikendalikan laju
produksinya, hal ini mengingat cadangan minyak bumi Indonesia yang terbatas jumlahnya serta
mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi primer.
Pemanfaatan energi domestik masih rendah, hal ini dapat kita lihat dari pemanfaatan batubara
domestik yang masih rendah.
Akses energi terbatas, pemerintah berupaya agar setiap daerah di Indonesia dapat menikmati
energi (listrik, BBM).
Ketergantungan Impor BBM, pemerintah harus memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber
energi lain sehingga tidak lagi ketergantungan terhadap impor BBM.
Harga energi belum kompetitif. Harga energi yang tidak kompetitif dapat menyebabkan
rendahnya minat investor untuk berinvestasi di pengembangan sektor energi terutama di
sektor Energi Baru Terbarukan.
Bauran energi masih didominasi BBM, sedangkan EBT (Energi Baru Terbarukan) masih rendah.
Sumber-sumber EBT harus dimanfaatkan lebih maksimal, sehingga tidak tergantung tehadap
energi yang sifatnya tidak terbarukan.
Pemanfaatan energi belum efisien, angka pertumbuhan konsumsi energi lebih besar daripada
pertumbuhan ekonomi. Akan lebih baik bila pemerintah bisa membalik keadaan ketika
pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dari pertumbuhan konsumsi energi. Dengan demikian,
perekonomian bisa tumbuh dengan konsumsi energi yang lebih efisien.
Peningkatan nilai tambah mineral dan pengawasan pertambangan perlu ditingkatkan.
Dalam menyelesaikan tantangan dan isu strategis terkait dengan sektor energi,
energi di Indonesia?
1.3 Tujuan
Untuk dapat mengetahui kesesuaian antar peraturan perundang-undangan di sektor
BAB II
LANDASAN TEORI
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil
yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada
kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan
kegiatan ekonominya.
Sektor energi adalah salah satu sektor yang harganya diatur oleh pemerintah (administered price).
Harga sektor energi yang diatur pemerintah saat ini adalah harga Bahan Bakar Minyak dan tarif
tenaga listrik. Peningkatan harga di sektor energi yang bersifat administered price akan
menyebabkan terjadinya inflasi. Pentingnya kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi yang disebabkan oleh
komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Energi Nasional,
Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses
masyarakat
terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan
1. Availability, merupakan ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun
luar negeri. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan ketersediaan sumber energi antara
lain :
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan pada pembangkitan listrik. Hal ini menjadi
penting karena penggunaan energi fosil relatif mahal, sementara EBT merupakan
sumberdaya energi lokal.
Pengaruh ekspor energi terhadap ketahanan energi. Ekspor energi pada dasarnya
adalah untuk mendapatkan devisa, sementara ekspor energi akan mengurangi
potensi energi dan melemahkan ketahanan energi nasional.
Pengaruh impor terhadap ketahanan energi. Impor energi pada dasarnya untuk
memenuhi kebutuhan energi, tetapi peningkatan impor atau dominasi energi impor
pada konsumsi energi akan melemahkan ketahanan energi.
Peranan diversifikasi pada konsumsi energi. Diversifikasi dapat meningkatkan
fleksibilitas penyediaan energi yang akan meningkatkan ketahanan energi.
2. Affordability, merupakan keterjangkauan atau kemampuan dalam mendapatkan dan
memanfaatkan sumber energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan keterjangkauan
antara lain :
Konsumsi listrik per kapita, konsumsi listrik yang meningkat memberikan gambaran
bahwa masyarakat makin mampu dalam menyediakan energinya.
Konsumsi energi per kapita. Indikator ini menunjukkan bahwa menunjukkan
pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat dalam penyediaan energi.
3. Accessability, menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber energi, dan
infrastruktur jaringan energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan kemampuan
masyarakat untuk mengakses seumber energi antara lain :
Penilaian tingkat ketahanan energi nasional dilakukan oleh Dewan Energi Nasional
ketahanan energi Indonesia di tahun 2014 sebesar 5,82 termasuk kedalam skala
rendah, yang berarti tingkat ketahanan energi nasional Indonesia tergolong rendah
(untuk angka resmi tingkat ketahanan energi nasional tahun 2015-2017 belum ada
BAB III
PEMBAHASAN
tentang Energi. adapun materi pokok yang diatur oleh undang-undang tersebut
antara lain :
1. Pengaturan energi yang terdiri dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi;
2. Cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energi nasional;
3. Keadaan krisis dan darurat energi serta harga energi;
4. Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan di bidang energi;
5. Kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, dan pembentukan dewan energi
nasional;
6. Hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;
7. Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan di bidang energi; dan
8. Penelitian dan pengembangan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang merupakan pedoman untuk memberi arah
pemerintah juga menetapkan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi
pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang bersifat lintas sektor untuk
undang ini yaitu pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan lagi kedalam
melakukan pengusahaan panas bumi pada kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi. Materi pokok lain yang diatur oleh undang-undang panas bumi ini antara
lain :
3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi dan Pencapaian Ketahanan Energi
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor energi dapat kita lihat apakah
1. Fungsi kebijakan (beleid), sesuai yang tercantum di RPJMN (Perpres No. 2 Tahun 2015) bahwa
fungsi kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah sebagai berikut :
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan
cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan
produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan
teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional,
dan kebijakan pembangunan.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan pasal 5 ayat (1) fungsi kebijakan
yang dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan kebijakan ketenagalistrikan nasional, sedangkan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan kebijakan.
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara fungsi kebijakan yang dilakukan
oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
Pasal 4
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan /
atau pemerintah daerah.
Pasal 5
Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutaam mineral
dan / atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.
Penetapan izin usaha penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik
negara atau penanaman modal asing / mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam
modal (asing/ dalam negeri) ;
Penetapan izin pemanfaatan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi,
multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh (Pemerintah/ pemerintah provinsi/
pemerintah kabupaten/kota);
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, fungsi perizinan yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional.
Pemberian IUP, pemberian IUPK Eksplorasi, pemberian IUPK Operasi industry.
d. Menurut UU No. 21 tahun 2014 tentang panas bumi, fungsi perizinan yang dilakukan adalah
pemberian izin pemanfaatan langsung dan tidak langsung pada wilayah yang menjadi
kewenangannya.
3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengaturan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Menetapkan pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama,
penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja
Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja.
Menetapkan pedoman pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu
penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian
cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan.
Menetapkan pedoman dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga.
Menetapkan pedoman ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara,
pungutan negara, dan bonus.
Menetapkan pedoman pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak
daerah dan retribusi daerah.
Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
d. badan usaha swasta.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan penguasaan dan pengusahaan sebagai berikut:
Pasal 3
Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kebijakannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pasal 4
Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipas dalam
usaha penyediaan tenaga listrik.
Untuk penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan
dana untuk :
- Kelompok masyarakat kurang mampu;
- Pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah belum berkembang;
- Pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
- Pembangunan listrik perdesaan.
c. Menurut UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
Pasal 4
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan /
atau pemerintah daerah.
d. Menurut UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
Pasal 4
Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan panas bumi oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten / kota sesuai dengan kewenangannya dan
berdasarkan prinsip pemanfaatan.
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh organ negara dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait.
Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan
oleh Badan Pengatur.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah adalah sebagai berikut : pasal 5 ayat (1) pembinaan dan pengawasan kepada
badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Menurut UU No.4 tahun 2009 tentang MIneral dan Batubara, fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut : pasal (5)
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
Pembinaan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
Pembinaan dan pengawasan reklamasi lahan pasca tambang
d. Menurut UU No 24 tahun 2014 tentang Panas Bumi pasal 6, fungsi pengawasan hanya
disebutkan pembinaan dan pengawasan.
Hasil Evaluasi pencapaian sasaran RPJMN sektor energi adalah sebagai berikut:
Sasaran pokok Pembangunan nasional: Capaian produksi minyak bumi sampai dengan tahun
2017 adalah sebesar 804 ribu SBM. Produksi minyak
Pengendalian produksi minyak bumi dari
bumi dilakukan pengendalian laju penurunannya
818 ribu SBM per hari pada tahun 2014
hingga mencapai 700 ribu SBM per hari di tahun
menjadi 700 ribu SBM per hari;
2019.
Meningkatkan Produksi Gas Bumi dari
Capaian produksi Gas Bumi sampai dengan tahun
1.224 ribu SBM per hari menjadi 1.295
2017 adalah sebesar 1.140. Masih belum mencapai
ribu SBM per hari;
target 2019 yaitu sebesar 1.295 SBM. Adapun
Meningkatkan Produksi Batubara dari permasalahannya lebih disebabkan oleh kendala
397 juta ton menjadi 442 juta ton; operasional dilapangan.
Meningkatkan Penggunaan Gas Bumi Capaian produksi batubara sampai dengan tahun
dalam Negeri dari 53% menjadi 64 %; 2017 adalah sebesar 461 juta ton. Sudah melebihi
Meningkatkan Penggunaan Batubara target 2019 yaitu sebesar 442 juta ton.
dalam Negeri dari 24% menjadi 32 % Capaian alokasi gas domestik sampai dengan tahun
2017 adalah sebesari 61%. Masih belum mencapai
target 2019 yaitu sebesar 64%. Adapun
permasalahannya adalah realisasi penggunaan gas
oleh industri masih rendah, hal ini terkait dengan
perlambatan pertumbuhan ekonomi, sehingga sektor
industri tidak melakukan produksi dengan maksimal.
Dua sasaran pokok peningkatan daya Capaian pembangunan smelter pada tahun 2017
saing komoditas mineral dan tambang adalah sebesar 25 unit masih belum mencapai target
yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015 2019 yaitu sebanyak 30 unit.
- 2019 adalah :
Di RPJMN tidak disebutkan upaya untuk mencapai
Meningkatnya nilai tambah komoditas
pembangunan smelter
mineral dan pertambangan di dalam
negeri :
Sasaran utama penguatan ketahanan Capaian elektrifikasi pada tahun 2017 adalah sebesar
energi yang akan dicapai dalam kurun 95,35%, masih belum mencapai target 2019 yaitu
waktu 2015-2019adalah: sebanyak 100%.
Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati Capaian produksi biodiesel pada tahun 2017 adalah
adalah : sebesar 3,42 juta KL, masih belum mencapai target
Produksi biodiesel sebesar 4,3 juta KL; 2019 yaitu sebesar 4,3 juta KL.
Sasaran peningkatan bauran energi baru Capaian bauran EBT sampai dengan tahun 2017
dan terbarukan (EBT) terdiri atas: adalah sebesar 8,43%, masih belum mencapai target
Biomassa) sebesar 7,5 GW; sebesar 9,017 GW. Sudah melebihi target 2019 yaitu
sebesar 7,5 GW
Pelaksanaan pilot project pembangkit
listrik tenaga arus laut minimal 1 MW. DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya
pengembangan energi baru terbarukan
BAB IV
REKOMENDASI
terbarukan.
Sebagaimana sudah diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
kebijakan apa saja yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah, hal yang sama
Daftar Pustaka
Putuhena, M. Ilham. 2014. Ratio Legal Prinsip Penguasaan Negara Atas Sumber Daya
Energi. dalam http://pushep.or.id/view_publikasi.php?id=40#.WtreNdRua01
diakses pada tanggal 21 April 2018.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2018. Laporan Kinerja Kementerian
ESDM 2017. Jakarta.
Mata Kuliah
Ekonomi Perencanaan Daerah
STATEMENT OF AUTHORSHIP
“Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni
hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan
sumbernya”.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata
ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya.
Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan
untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.
ABSTRAK
Sebagai konsekuensi dari adanya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic
Cooperation sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade
Agreement hingga ASEAN Economic Community di tahun 2015, menyebabkan
kondisi pasar internasional berubah dimana produk asing akan lebih mudah beredar
di pasar dalam negeri dan begitu sebaliknya. Selain itu sebagai akibat dari urbanisasi,
pedesaan mengalami penurunan daya tarik dalam rangka menggerakkan
perekonomiannya. Di lain pihak masih tinggi ketergantungan desa terhadap
pemerintah pusat dan daerah. Untuk menyikapinya, Pemerintah meluncurkan
program One Village One Product (OVOP). Program ini merupakan program yang
juga dilaksanakan di beberapa negara lain di Asia. Setiap desa difasilitasi oleh
Pemerintah untuk mengembangkan komoditas lokal dan memasarkannya ke daerah
/ negara lain. Gerakan One Village One product diharapkan dapat menginspirasi keinginan
daerah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan pendapatan daerah dengan
memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta dapat menunjang kebijakan
percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UKM. Tujuan pembuatan makalah
ini adalah untuk memberikan informasi mengenai penerapan OVOP di negara lain yang
dianggap berhasil, mengetahui perkembangan implementasi program OVOP, dan
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini. Kunci kesuksesan program sejenis OVOP di
Jepang dan Thailand adalah peran masyarakat dalam menciptakan jejaring dan peran
Pemerintah sebagai fasilitator. Sampai sekarang, program One Village One Product ini masih
terus berjalan. Mulai tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM
menargetkan ada 500 OVOP sampai tahun 2020. Sejak diluncurkan, telah ada 100 OVOP
yang dikelola oleh Koperasi dan telah difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Dari 100
OVOP, 50 diantaranya sudah berhasil menembus pasar internasional, dan yang dinilai paling
berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya di
Pontianak. Kunci kesuksesan adanya kerjasama yang baik antara pemeritah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, koperasi, dan masyarakat. Dampak dari kegiatan ini berhasil mengurangi
disparit as pendapatan
ABSTRACT
As the consequences of the emerging some trade policies such as ASEAN Free Trade
Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation which is implemented in 2010,
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara anggota World Trade Organization (WTO)
menghadapi suatu kondisi pasar dalam negeri yang terbuka seiring dengan
diterapkannya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation
sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade Agreement hingga
ASEAN Economic Community di tahun 2015. Dengan adanya pasar bebas ini,
maka mau tidak mau produk-produk luar negeri dapat beredar luas di pasaran
nasional bahkan hingga ke pasar-pasar tradisional. Dalam rangka menghadapi
persaingan tersebut, maka diperlukan produk-produk dalam negeri yang mampu
bertahan dan bersaing dengan produk-produk mancanegara yang berkualtas
global di pasar dunia.
Gerakan ini didasari dengan ide ingin mengembangkan potensi daerah supaya
menjadi lebih baik dengan melibatkan tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri
sehingga termotivasi bangkit dan membangun daerahnya menjadi daerah yang makmur
serta mensejahterakan masyarakat. Gerakan One Village One peroduct diharapkan dapat
menginspirasi keinginan daerah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan
pendapatan daerah dengan memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta
dapat menunjang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan
UKM
B. HASIL ANALISA
1. Teori Perdagangan Antar Wilayah dan Hubungannya dengan Konsep
Program One Village One Product
Menurut Triakoso (2017), terjadinya perdagangan antar negara
dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, negara yang melakukan perdagangan karena
memiliki perbedaan kepemilikan sumberdaya. Dari perbedaan tersebut masing –
masing pihak mendapatkan keuntungan. Kedua negara tersebut ingin mencapai
skala ekonomi produksi. Apabila negara memproduksi barang tertentu dalam
kuantitas yang lebih banyak akan lebih baik dibandingkan bila mereka memproduksi
semua jenis barang dengan kuantitas lebih sedikit.
Bila dikaitkan dengan kebijakan One Village One Product setiap desa dipacu
untuk dapat mengembangkan 1 produk unggulan sehingga dapat memproduksi 1
jenis barang yang input sumber dayanya ada di daerah tersebut yang diharapkan
menimbulkan efisiensi dalam proses produksinya yang pada akhirnya memicu
perdagangan antar wilayah dan antar negara.
Teori yang digunakan dalam implementasi kebijakan One Village One Product
adalah sebagai berikut :
individu, perusahaan, bahkan negara untuk menghasilkan lebih banyak barang dan j
asa dengan lebih efisien serta memungkinkan untukmendapatkan keuntungan lebih
Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang
dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah produk tertentu yang dapat
diproduksi secara efisien di negara / wilayah tersebut. Sehingga terjadi perdagangan
antar wilayah yang memiliki produk dengan efisiensi produk lebih tinggi dengan
produk lain yang lebih efisien diproduksi di wilayah lain.
Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang
dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah barang yang walaupun terdapat di
wilayah / negara lain tetapi memiliki keunggulan komparatif (harga barang yang
dijual relatif lebih murah dibandingkan barang yang sama diproduksi wilayah /
negara lain, dan sebaliknya membeli barang dari negara / wilayah lain yang
harganya lebih murah bila dibandingkan dengan barang lain yang diproduksi wilayah
/ negara sendiri, tetapi harganya lebih mahal.
untuk menciptakan kompetensi inti bagi daerah tersebut untuk dapat bersaing di
tingkat global. Program ini difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi
kompetensi yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan
mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah. Pengertian
sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi mencakup sumber-
sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi manusia. Konsep ini sangat
diperlukan agar sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah diarahkan
untuk menciptakan kompetensi inti.
Konsep inti dari gerakan One Village One Product ini adalah (1) Membangun
produk unggulan, yaitu mengembangkan produk lokal yang memiliki keunggulan
dari sisi keunikan, kekhasan, kemanfaatan yang lebih besar bagi pengguna produk
serta memberikan keuntungan yang besar bagi penghasil produk tersebut, (2)
Membangun kompetensi inti daerah, dalam hal ini daerah harus memilih kompetensi
inti daerah yang bersangkutan dilihat dari keunikan, kekhasan daerah, kekayaan
sumberdaya alam, peluang untuk menembus pasar nasional dan internasional.
Jadi, Konsep OVOP mengutamakan produk unik yang terdapat pada daerah,
bahkan produk tersebut menjadi ikon atau lambang daerah tersebut. Keunikan
tersebut menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan
proses produksinya. Sementara produk OVOP adalah produk suatu daerah dengan
keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Karena keunikannya dan proses produksinya
yang langka, sehingga akan memberikan nilai tambah produk tersebut.
budaya dan keaslian lokal, Berpotensi pasar domestik dan ekspor, Bermutu dan
berpenampilan baik, Diproduksi secara kontiniu dan konsisten. Produk ini bisa berupa
(1) Produk makanan dan minuman olahan berbasis hasil pertanian dan perkebunan,
(2) Produk hasil tenun atau konveksi khas masyarakat lokal, (3) Produk kebutuhan
rumah tangga termasuk produk dekoratif atau interior, (4) Produk barang seni dan
kerajinan termasuk produk cinderamata.
Pada tahun 2007 saja, program ini sudah di adopsi di 51 negara di dunia,
diantaranya negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa
Timur. Walaupun setiap negara memiliki nama yang berbeda-beda, tapi pada
konsepnya sama dengan program OVOP ini, misalnya One city one product (China),
One Barangay one product (Phipihina), Isson Ippin Undo (Jepang), One tambon One
Product (Thailand), One Town One Product (Taiwan), Satu distrik satu industri
(Malaysia).
Adapun negara yang dianggap paling berhasil dalam penerapan program ini
adalah negara Jepang dan Thailand. Untuk belajar dari kesuksesan dua negara ini,
berikut akan diuraikan bagaimana penerapan program ini di negara Jepang dan
Thailand.
JEPANG
Sebagai negara awal munculnya gerakan ini, Jepang telah terbukti berhasil
dengan program One Village One Product nya. Gerakan ini dimulai di Oita
Perfecture pada tahun 1997. Dalam konsep OVOP, masyarakat Jepang harus dapat
menghasilkan barang-barang terpilih dengan nilai tambah tinggi. Satu Desa
menghasilkan satu produk utama yang kompetitif sebagai suatu usaha
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kunci kesuksesan Jepang dalam
pengelolaan program ini adalah adanya identifikasi sumber daya lokal yang baik di
tambah dengan optimalisai pemanfaatan keterampilan lokal. Kedua hal ini didukung
penuh oleh semua stakeholder yang terdiri dari masyarakat, pemerintah, dan swasta
sehingga menghasilkan produk-produk yang bisa bersaing di tingkat internasional.
Hasil akhirnya, kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan yang signifikan.
THAILAND
pendekatan OVOP
2011 Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha/business
matching serta promosi produk: local, nasional dan internasional
Peningkatan Supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan
study banding.
Tahap Ketiga (Lanjutan) Tahun 2013
2012 Chain)
Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha serta
promosi produk; lokal, nasional dan Internasional
Peningkatan supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan
studi banding.
Tahun Ke empat (Peningkatan berkelanjutan) Tahun 2013
2013 Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan dan
packaging
Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh(budaya, produk
dan potensi alam) di tingkat Provinsi
2014 Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industri pengolahan dan
packaging
Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh (budaya, produk
dan potensi alam) di tingkat Provinsi
Peningkatan promosi produk unggulan OVOP secara nasional dan internasional
(fairs, events, festival)
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia
OVOP di Indonesia umumnya adalah UKM yang konsisten menjalin kerjasama
dengan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan terus mendapat
bimbingan serta aneka bantuan dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan produk yang
dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara. Dimana produk-produknya
mencerminkan keunikan suatu daerah atau desa. Dengan keunggulan yang dimiliki,
maka produk tersebut dapat meningkatkan pendapatan bagi daerahnya melalui
kunjungan turis, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan Sumber
Daya Manusia.
Sampai tahun 2013, Program One Village One Product sudah menjangkau 30
(tiga puluh) provinsi di Indonesia. Pada tabel di bawah ini, diuraikan pencapaian
program OVOP mulai tahun 2009:
Tabel 2. Sebaran Daerah program One Village One Village
NO Tahun Jumlah Nama Provinsi/Kabupaten
Provinsi/Kabupaten
1. 2009-2010 2 provinsi / 4 kabupaten Jawa Barat (Cianjur, Garut)
Bali (Bangli, Badung)
2. 2011 9 provinsi / 9 kabupaten Kep. Babel (Kota Pangkal Pinang)
Bengkulu (Bengkulu)
Sumatera Selatan (Prabu Milih)
Lampung (Kab. Tenggamus)
Badan Usaha Milik Desa adalah Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh
Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomi desa dan di
bentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Pendirian BUMDes dilandasi oleh
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005
tentang Desa.Tujuan Pendirian BUMDes adalah (1) Meningkatkan perekonomian
desa, (2) Meningkatkan pendapatan asli desa, (3) Meningkatkan pengelolaan potensi
desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat (4) Menjadi tulang punggung
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.
Kementerian/Lembaga Fokus
• OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada
masalah pemetaan produk yang layak disebut OVOP
• Produk OVOP kebanyakan belum mampu menembus pasar dunia
c) OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada masalah
pemetaan produk yang layak disebut OVOP.
d) Indonesia baru memasuki ranah kebijakan, itupun baru sebagian
kabupaten/kota yang menerapkannya sehingga untuk bersaing dalam tataran
global seringkali mengalami kendala akibat diversifikasi produk yang belum
optimal.
e) Jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Indonesia yang mencapai 70
ribu desa maka jumlah desa yang menerapkan OVOP masih relatif kecil. Tidak
mudah mengembangkan usaha dan/atau kemampuan lain diluar apa yang telah
menjadi kebiasaan masyarakat selama ini, khususnya dalam bidang
industri mikro dan kecil.
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
1) Gerakan OVOP (One Village One Product) atau satu desa satu produk (SDSP)
merupakan suatu gerakan sosial yang tumbuh dari bawah ke atas (bottom up)
dan mulai dikembangkan oleh Morihiko Hiramatsu, seorang mantan pejabat MITI
yang terpilih menjadi Gubernur Oita di Jepang pada tahun 1979.
2) Model OVOP difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi
yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan
mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah.
Pengertian sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi
mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi
manusia.
3) Sejak tahun 2007, sudah ada 51 negara yang mengadopsi OVOP diantaranya
negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur.
Negara yang dianggap paling berhasil dengan penerapan program ini adalah
Jepang dan Thailand.
4) Sampai tahun 2013, Program One Village One Product di Indonesia sudah
tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan berbagai macam produk
unggulan masing-masing. Daerah di Indonesia yang dianggap paling berhasil
diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya
di Pontianak.
5) Kunci kesuksesan ketiga daerah tersebut diatas adalah kualitas produk yang baik
dan unik, Kelembagaan koperasi yang mantap, kerjasama yang baik antara
pemerintah pusat dan daerah, kerjasama inovasi dengan perguruan tinggi, dan
kemasan produk yang menjual, serta pemenuhan prasyarat untuk pasar
internasional.
6) Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dapat
menjadi media pengembangan OVOP.
7) Program OVOP di Indonesia sendiri masih menghadapi banyak masalah
diantaranya belum adanya sinergi antar sektor sehingga masing-masing
kementerian memiliki program OVOP dengan konsep dan daerah rintisan masing-
masing. Akibatnya, terjadi ego sektoral dan tanggung jawab lembaga hanya
sebatas pada proyek percontohan
2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang ditawarkan untuk lebih menyukseskan
program OVOP ini adalah:
unggulan yang bisa diproduksi oleh suatu desa. Badan Usaha Milik Desa bisa
dimanfaatkan untuk mengatasi kendala modal yang selama ini menjadi kendala
utama usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia.
5) Diharapkan adanya sosialisasi regional yang akan membuat adanya sinergi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta teridentifikasinya problem,
potensi dan kelayakan pengembangan produk andalan setempat.
6) Penyusunan program yang tidak hanya dititikberatkan pada pengembangan
teknis produksi, desain dan pemasaran, tetapi juga harus dapat lebih
membangun motivasi
dan kesadaran masyarakat untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan potensi yang
dimiliki dalam menghasilkan produk yang baik dan dapat bersaing di pasar global.
7) Perlunya perbaikan menyeluruh pada kualitas produk, mulai dari perijinan,
kemasan, produk hingga citarasa. Agar bisa bersaing dengan pasar asing, produk
OVOP perlu menerapkan standar internasional untuk meningkatkan produk
unggulan tanah air OVOP adalah suatu gerakan bukan proyek.
Referensi
• Cahyani, Rusnandari Retno. Pendekatan One Village One Product Untuk Meninkatkan
Kreativitas UMKM dan Kesejahteraan Masyarakat.
• http://www.asiaseed.org/apec2006sme/presentation_pdf/session1_natiya_1.pdf
• http://asparagusovopbali.blogspot.com/
• http://www.kompasiana.com/purwandi_wawan/akselerasi-ovop-melalui-badan-
usaha-milik-desa-bumdes_58e4c4a8759373e86bfdbf91
• Hanitokreasindoo.blogspot.co.id