Anda di halaman 1dari 432

1

DETERMIN
ANTS OF
TAX ON
INDUSTRY
SECTOR IN
INDONESI
A
Universitas Indonesia
2

Proposed By :
Destarita Indah
Permatasari
Perencanaan Advokasi dalam Penyelesaian Permasalahan Kemacetan
di Provinsi DKI Jakarta
I. Latar Belakang
a. Kondisi DKI Jakarta saat ini
DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pemerintahan
dengan jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dengan kepadatan
penduduk 15.234 orang per km², dikelilingi dengan kawasan permukiman Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) . Dari hasil survey komuter Jabodetabek
tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178
orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah / kursus di
DKI Jakarta 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek.
b. Permasalahan
Kemacetan sebagai salah satu masalah yang belum teratasi di DKI Jakarta yang
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
 Rasio kendaraan pribadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan rasio kendaraan
umum.
Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% untuk
kendaraan pribadi dan 2% adalah kendaraan umum. Padahal idealnya rasio antara
kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 35% dan 65%.
 Penurunan minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, berbeda
dengan adanya peningkatan masyarakat sebagai pengguna kendaraan pribadi.
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa telah terjadi penurunan minat di
masyarakat dalam menggunakan transportasi umum hingga mencapai 12,8%,
namun tidak demikian halnya dengan masyarakat pengguna kendaraan pribadi
yang justru menunjukkan peningkatan sekitar 11%.

Universitas Indonesia
3

 Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang cukup signifikan.


Tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit, panjang
jalan di DKI Jakarta 6.956.842, 26 meter, luas jalan di DKI Jakarta 48.502.763,16
m². Panjang jalan menurut jenisnya jalan kota administrasi sepanjang 5.117,26 km,
jalan provinsi sepanjang 1.562,28 km, jalan negara sepanjang 152,57 km dan jalan
tol sepanjang 123,73 km.
Jumlah penumpang bus TransJakarta pada tahun 2013 112.522.638 dengan nilai
pendapatan 369.426.421.500.
Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2014 : sepeda motor 13.084.372, mobil
berpenumpang 3.266.009, mobil beban 673.661, mobil bis 362.066, dan kendaraan
khusus 137.869. Pertumbuhan kendaraan bermotor selama lima tahun terakhir
mencapai 9,93 persen per tahun. Jika dirinci menurut jenis kendaraan, sepeda
motor mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 10,54 persen per tahun,
mobil penumpang 8,75 persen, mobil beban 4,46 persen, mobil bus 4,46 persen.
 Jumlah angkutan umum yang masih terbatas
Jumlah angkutan umum tahun 2014 tercatat sebanyak 68 537 kendaraan.
Angkutan taksi pada 2014 27.079 unit bus pariwisata 4648 bus, bus antar kota
3.322 bus, angkutan lingkungan 14.424 kendaraan.
Penumpang kereta api Jabodetabek tumbuh 13,80 persen setiap tahunnya.
Jumlah armada Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek sebanyak 664 unit pada
2014 dengan mengakut lebih dari 500 ribu penumpang setiap hari.
 Rasio jalan yang relatif kecil dibandingkan dengan negara lain
Rasio jalan terhadap luas kota Jakarta baru mencapai 6,3%. Padahal menurut
Ngurah, kota besar di dunia seperti Singapura mencapai lebih dari 15%, juga
Tokyo yang di atas 18%. Bahkan kota-kota besar itu memiliki jaringan transportasi
massal berbasis rel yang sangat baik.

II. Definisi Perencanaan Advokasi


Permasalahan kemacetan di Jakarta tidak dapat diselesaikan hanya dengan melihat pada
satu sisi saja. Kompleksitas permasalahan kemacetan memerlukan berbagai macam sudut
pandang serta langkah-langkah yang terukur untuk menemukan solusinya. Untuk itu diperlukan
suatu perencanaan yang menyeluruh dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut.
Perencanaan secara umum merupakan suatu proses yang mengorganisir atau mengatur
semua aktifitas untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan diperlukan karena umumnya
sumber daya yang dimiliki terbatas, batasan waktu pencapaian tujuan yang terbatas, serta
diperlukan untuk menyatakan dengan jelas tujuan bersama agar tidak menuai konflik dan
perbedaan pendapat (Veneklassen, 2002). Berdasarkan pendekatan perencanaan, Hudson (1979)
membagi perencanaan menjadi perencanaan synoptik, perencanaan inkremental, perencanaan
transactif, perencanaan advokasi, serta perencanaan radikal. Tulisan ini hanya akan membahas
konsep perencanaan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta melalui pendekatan advokasi.

Universitas Indonesia
4

Konsep perencanaan advokasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Davidoff dalam
tulisannya yang berjudul “Advocacy and Pluralism in Planning” yang diterbitkan di Journal of
the American Institute of Planners tahun 1965. Konsep perencanaan advokasi pada dasarnya
meragukan adanya kesatuan kepentingan umum dan ada kepentingan lain yang belum terwakili
dalam proses perencanaan. Davidoff dalam Angotti (2007) menjelaskan bahwa setiap kelompok
dalam masyarakat akan memiliki kebutuhannya masing-masing, sehingga akan memiliki visi
dan misi yang berbeda terhadap perencanaan.
Selain itu, Davidoff dalam Angotti (2007) memaparkan bahwa harus ada seorang
perencana yang mampu menjadi “advokat” atau pengacara untuk dapat membantu menyalurkan
keinginan dan kebutuhan dari “klien” atau dalam hal ini kelompok masyarakat miskin atau
termarjinalkan, agar permasalahan mereka dapat dimasukkan ke dalam perencanaan kota. Para
perencana ini akan bertindak sebagai wakil untuk membuat atau menyusun perencanaan atas
nama kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut. Perencanaan advokasi dinilai cukup
berhasil dalam menghadapi kebijakan – kebijakan publik serta permasalahan yang tidak sensitif
dan merugikan masyarakat yang termarjinalkan (Hudson, 1979).
Seringkali kita harus melakukan advokasi sebagai bagian penting dalam strategi
program. Dalam hal ini berbicara tentang advokasi. Intinya, advokasi merupakan proses untuk
mempengaruhi pengambil kebijakan. Ia dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi program,
karena untuk mencapai hasil yang kita inginkan kita memerlukan pendekatan yang lebih luas,
dan menyasar kepada penyebab majemuk.

Menurut Johns Hopkins (1990) Advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.

B. TUJUAN ADVOKASI

Tujuan utama dari pendekatan advokasi adalah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam
proses perencanaan dengan mengakomodasi gagasan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat.
Proses advokasi juga berarti bahwa masyarakat akan selalu mendapat informasi yang akurat
berkenaan dengan perencanaan yang diajukan dan mampu merespon umpan balik dari
masyarakat dalam bahasa teknis. Perencana sebagai advokat akan bertindak sebagai penyaji
informasi, analisis situasi sekarang, pendorong ke arah masa depan, dan pemrakarsa akan solusi
yang spesifik.

Namun demikian, pendekatan advokasi hanya memiliki pengaruh kecil pada struktur
yang sedang berjalan. Richard Hart, salah seorang penganut strategi ini mengkritik perencanaan
advokasi bahwa penduduk miskin tidak memiliki kekuasaaan untuk mengontrol tindakan
sehingga dianggap pendekatan ini tidak menawarkan strategi yang potensial yang dapat
menimbulkan perubahan.

Di Indonesia, bentuk-bentuk advokasi banyak dilakukan oleh LSM yang melakukan


pendampingan kepada masyarakat dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya misalnya
dalam pada masalah pencemaran lingkungan, sengketa ganti rugi tanah, kasus penggusuran, dll.
dengan adanya pendamping an LSM, masyarakat menjadi lebih berani memperjuangkan haknya.

Universitas Indonesia
5

Metode atau cara dan teknik advokasi untuk mencapai tujuan ada bermacam-macam,
yaitu :
1. Lobi politik ( political lobying )
2. Seminar/presentasi
3. Media
4. Perkumpulan

C.SASARAN ADVOKASI

Sasran advokasi seperti yang kita ketahui adalah sebagian besar yaitu masyarakat sendiri
yang kurang tentang pengetahuan.

Selain masyarakat secara umum, secara khusus kita dapat melakukan advokasi terhadap
intansi – intansi yang terkait.

Kita juga dapat melakukan advokasi kepada pemerintah jika menyangkut keberadaan
peraturan yang berlaku.

D. SALURAN ADVOKASI

Semua ide dapat dikomunikasikan melalui berbagai cara misalnya dengan menulis surat,
menelepon, berkunjung, buletin, demonstrasi, laporan di media baik media cetak atau elektronik
dan sebagainya.6 Badan legislatif/legislator dapat merupakan saluran apabila tujuan akhir yang
diinginkan adalah perbaikan situasi yang memerlukan adanya pemberlakuan undang-undang.
Jadi selain dapat berfungsi sebagai sasaran, ia juga dapat berperan sebagai saluran advokasi.
Saluran apa yang akan dipakai tentunya bergantung pada lingkup masalah, siapa yang
melakukan advokasi, siapa yang diwakili serta siapa yang akan menjadi sasaran advokasi
tersebut. Semakin kuat posisi oposisi, tentu dibutuhkan saluran yang bervariasi, yang tentunya
membutuhkan dana yang cukup besar.

Dibandingkan dengan saluran advokasi lainnya, media merupakan saluran yang sangat
efektif dalam advokasi karena media menjangkau lebih banyak sasaran advokasi, dan juga
orang-orang atau instansi yang bisa menjadi saluran, bahkan masyarakat yang diwakili. Ada
beberapa bentuk pemanfaatan media untuk advokasi, antara lain media advisory, press release,
surat kepada editor, the op-ed, editorial dan memberikan wawancara.

Media advisory digunakan untuk mengingatkan atau memberikan informasi kepada


media tentang kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kita. Media advisory harus ringkas,
sederhana, mencakup beberapa hal antara lain: Apa, siapa, kapan, di mana, dan sponsor bila ada.
Selain itu yang paling penting harus berisi informasi mengapa kegiatan tersebut sangat penting
dan perlu diliput oleh media.

Press release berguna untuk menjelaskan suatu kegiatan/isu secara detail.

The op-ed merupakan tulisan tentang isu tersebut yang dibuat oleh seseorang, siapa pun,
tentunya yang mempunyai kompetensi untuk menulis isu tersebut. Di media nasional biasanya
ditulis oleh seseorang yang cukup terkenal di bidang tersebut.

Universitas Indonesia
6

Dalam advokasi peran komunikasi sangat penting,sehingga komunikasi dalam rangka


advokasi kesehatan memerlukan kiat khusus agar komunikasi efektif.Kiat-kiatnya antara lain
sebagai berikut :

1. Jelas ( clear )
2. Benar ( correct )
3. Konkret ( concrete )
4. Lengkap ( complete )
5. Ringkas ( concise )
6. Meyakinkan ( Convince )
7. Konstekstual ( contexual )
8. Berani ( courage )
9. Hati –hati ( coutious )
10. Sopan ( courteous )

Prinsip dasar Advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik,tetapi mencakup
kegiatan persuasif ,memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan pressure atau
tekanan kepada para pemimpin institusi.

F. RUANG LINGKUP ADVOKASI

Ruang lingkup advokasi sangat bervariasi. Bisa bersifat lokal, nasional bahkan
internasional. Kasus yang sebenarnya bersifat lokal kadang menjadi kasus nasional karena pada
kenyataannya pihak oposisi melibatkan instansi yang bersifat nasional. Sebaliknya kasus yang
bersifat nasional, dapat ditarik oleh seorang pemerhati menjadi kasus lokal atau bahkan dalam
dimensi yang lebih sempit misalnya ke dalam lingkup instansi.

III. Studi Kasus


Dia juga menjelaskan bahwa proyek tol ini telah termasuk ke dalam 47 ruas tol yang
ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional. http://industri.bisnis.com/

Proyek 6 Ruas Tol Dalam Kota Tetap Berjalan, Investor Siap Talangi Dana

Lahan

Deandra Syarizka Selasa, 08/03/2016 04:20 WIB

Universitas Indonesia
7

Proyek pembangunan jalan tol

JIBI/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA—PT Jakarta Tollroad Development (JTD) siap melakukan percepatan


konstruksi enam ruas tol dalam kota DKI Jakarta senilai total Rp41,17 triliun setelah
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memutuskan untuk tetap
melanjutkan proyek tersebut.

Direktur Utama JTD Frans S. Sunito mengungkapkan pihaknya telah melakukan pertemuan
dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk membahas masalah ini. Dalam
pertemuan tersebut, dia meyakinkan Gubernur Ahok bahwa proyek ini telah memiliki
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang sah sejak 2014.

Dia juga menjelaskan bahwa proyek tol ini telah termasuk ke dalam 47 ruas tol yang
ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional.

“Pada prinsipnya gubernur ingin tol ini berjalan. Masalahnya memang pembebasan lahan, kami
menyadari anggaran pemerintah juga terbatas. Untuk itu kami bisa berikan dana talangan
asalkan sudah ada regulasi yang jelas mengenai mekanismenya pengembaliannya,” ujarnya.

Meski demikian, dia belum bisa memaparkan lebih rinci mengenai alokasi dana yang disiapkan
untuk pembebasan lahan. Menurutnya, besaran dana tersebut sangat tergantung dari nilai tanah,
mekanisme termasuk jangka waktu pengembalian yang dijanjikan pemerintah.

Universitas Indonesia
8

Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa surat yang diajukan Gubernur Ahok ke Kementerian
PUPR bukan mengenai pembatalan proyek tol menjadi jalan nasional, seperti yang banyak
diberitakan oleh media.

Namun, surat tersebut menyatakan permohonan pembatalan Perjanjian Kerja Sama (PKS)
pengadaan lahan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta, karena jalur tol
layang itu akan dibangun di atas jalan provinsi yang juga memerlukan pembebasan lahan
supaya bisa dilebarkan.

“Sekarang koordinasi sudah terjadi. Gubernur juga telah mengeluarkan pergub mengenai
mana lahan lokasi tol yang akan menjadi jalan nasional, dan mana lahan untuk jalan provinsi.
Jadi sebenarnya solusinya sudah ada,” ujarnya.

Selain itu, JTD juga telah mengirimkan surat kepada Kementerian PUPR yang menyatakan siap
untuk melakukan percepatan konstruksi. Dalam surat tersebut, pihaknya menyatakan telah
memulai konstruksi awal berupa pemancangan pondasi di Pegangsaan II, yang menjadi bagian
dari pembangunan Tahap I ruas Semanan—Sunter—Pulogebang segmen Kelapa gading—
Pulogebang.

Frans menambahkan saat ini pihaknya juga tengah menjajaki pinjaman yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pendanaan kepada sindikasi perbankan yang salah satunya terdiri dari
Bank Mandiri. Berdasarkan rencana perusahaan, pembiayaan tol ini akan berasal dari 30% atau
sekitar Rp12,35 triliun ekuitas perusahaan dan 70% atau sekitar Rp 28,81 triliun pinjaman.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan pihaknya
tetap menjalankan proyek ini sesuai acuan kontraktual yang berlaku. Dia juga menyatakan
telah menerima surat dari JTD tentang percepatan pembangunan proyek enam ruas tol dalam
kota.

“Sebetulnya tidak ada yang berubah. Kemarin itu hanya untuk menekankan saja bahwa proyek
harus tetap berjalan. Kami juga sudah mulai proses pengadaan lahan, ,” ujarnya ketika ditemui
di Kementerian PUPR akhir pekan lalu.

Pihaknya menegaskan meskipun dana lahan senilai Rp1,4 triliun di Kementerian PUPR telah
terserap seuruhnya, tetapi proses negosiasi di lapangan mulai berjalan. Pihaknya tengah
mengusahakan pencairan dana Badan Layanan Umum (BLU) senilai Rp2,4 triliun ke
Kementerian Keuangan.

Dia mengungkapkan proses penandatanganan kontrak untuk proyek ini telah lama berjalan,
sejak 24 Juli 2014. Sebagian besar lahan tol layang tersebut, ujarnya, menggunakan jalan
provinsi yang telah ada, sehingga lahan yang perlu dibebaskan hanya sekitar 30%.

Universitas Indonesia
9

Dia mengakui tertundanya pembangunan tol ini akibat pengadaan lahan yang tersendat dapat
meningkatkan biaya investasi dan estimasi kebutuhan dana tanah. Untuk itu dia menyatakan
terbuka terhadap penghitungan ulang biaya investasi, seperti yang dimungkinkan oleh PPJT.

Berdasarkan data BPJT, PPJT jalan tol 6 ruas tol dalam kota telah diteken sejak 25 Juli 2014
oleh Kementerian PUPR dengan PT Jakarta Tollroad Development. JTD ini merupakan
konsorsium yang terdiri dari 12 pemegang saham, antara lain PT Pembangunan Jaya Tol
(0,00075%), PT Pembangunan Jaya (9%), PT Jakarta Propertindo (7%), PT Jaya Konstruksi
Manggala Pratama Tbk (15,99%), PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (22,5%), PT Jaya Land
(3,5%), PT Pembangunan Perumahan Tbk (3%), PT Wijaya Karya Tnk (5%), PT Hutama Karya
Tbk (5%), PT Hutama Karya (3%), PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (8%) dan PT Adhi
Karya (3%).

Adapun jadwal konstruksi Tahap I terdiri dari dua ruas, yakni Semanan-Sunter dan Sunter—
Pulogebang. Konstruksi Semanan—Sunter dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2015 hingga
Juni 2018, sementara Sunter—Pulogebang dijadwalkan berlangsung sejak Juli 2016 hingga
Desember 2018. Adapun keempat ruas tol lainnya akan dibangun secara bertahap hingga 2022.

Rencana pembangunan keenam ruas tol

Tahap pertama

Ruas semanan-Sunter sepanjang 17,88 km dengan nilai investasi Rp 9,76 triliun.

Ruas Koridor Sunter-Bekasi raya sepanjang 11 km dengan nilai investasi Rp 7,37 triliun.

Tahap kedua

Ruas Duri pulo-kampung Melayu sepanjang 11,38 km dengan nilai investasi Rp 5,96 triliun.

Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65 km dengan investasi Rp 6,95 triliun.

Tahap Ketiga

Ruas koridor Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,27 km dengan nilai investasi Rp 4,25
triliun.

Tahap keempat

Ruas Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 km dengan nilai investasi Rp 5,71 triliun.

http://pkps.bappenas.go.id/ 24 perusahaan minati 6 ruas tol dalam kota, diakses pada


11 oktober 2016 pukul 22.12

Universitas Indonesia
10

Tol ini akan terkoneksi dengan jalan layang non tol di Casablanca, dengan lebar jalan
masing-masing 25,8 meter. Masing-masing ruas akan dilengkapi jalur busway yang akan
dilantasi bus umum di kanan dan kiri tol

Tol ini diperkirakan akan memakan biaya investasi Rp 41,17 triliun, mencakup Rp 20,62
triliun dan Rp 5,48 triliun untuk lahan.

Tarif tol ini diperkirakan untuk tahap I (2017) mencapai Rp 31.339 (golongan I), Tahap I
dan II (2019) Rp 46.579, dan tahap I, II, III (2020) Rp 50.591 km. Investor proyek ini akan
mendapat konsesi selama 45 tahun.

Enam ruas tol ini rencananya akan dimulai dibangun Juli 2015, dan total keseluruhan
selesai pada 2022, yang dikembangkan oleh PT Jakarta Tollroad Development (JTD).
http://finance.detik.com/ dibangun 2015, ini lokasi keluar-masuk mobil di 6 ruas tol dalam
kota Jakarta diakses pada 11 Oktober 2016 pukul 22.17
IV. Proses Perencanaan Advokasi
a. Pihak yang terlibat
 Ideal
 Review
Pihak yang terlibat dalam perencanaan advokasi pembangunan 6 (enam) ruas
jalan tol dalam kota di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
b. bentuk advokasi
 Ideal (agusjero.blogspot.co.id)
Untuk poses advokasi yang dapat dinilai berhasil, setidaknya telah melahirkan
perubahan positif di lingkungan para pengambil kebijakan. Perubahan positif
dimaksud, antara lain:
(1) meningkatnya kesadaran dan antusiasme para pengambil kebijakan
terhadap isu-isu kebijakan yang disampaikan;
(2) para pengambil kebijakan menindaklanjuti rekomendasi kebijakan ke dalam
berbagai formulasi program, kegiatan dan rencana-rencana aksi; dan
(3) kesediaan para pengambil kebijakan untuk didampingi dalam proses
formulasi dan implementasi rencana-rencana aksi. Kesemuanya ini tampaknya
merupakan peluang-peluang yang menjanjikan di masa depan terkait dengan
kegiatan advokasi.

Proses menyebarluaskan hasil kajian dan melakukan advokasi, dilakukan


melalui berbagai cara, antara lain:
(1) menyusun ringkasan hasil penelitian atau membuat risalah kebijakan;
(2) mempublikasikan ringkasan hasil penelitian dan risalah kebijakan tersebut
melalui blog pribadi, website, koran, dan majalah;
(3) mendiseminasikan hasil-hasil penelitian ke berbagai stakeholderkunci,
melalui kegiatan road-show ke daerah, workshop, dan dialog publik (news cape
BaKTI);
(4) melakukan konferensi pers dan menerima wawancara dengan media massa;
(5) merancang pertemuan dengan para pengambil kebijakan kunci; dan
Universitas Indonesia
11

(6) mendampingi para pengambil kebijakan dalam mendesain, memfomulasi,


dan mengimplementasikan rencana-rencana aksi.
Secara umum, proses mengadvokasikan hasil-hasil kajian kepada para
pengambil kebijakan ternyata tidaklah sesederhana yang kita bayangkan.
Terdapat begitu banyak tantangan, namun jika tantangan tersebut bisa kita atasi,
maka peluang keberhasilannya menjadi sangat besar. Tantangan-tantangan
dimaksud, antara lain:

Pertama, kemampuan untuk memilih “isu-isu yang menarik dan seksi”, baik
bagi para pengambil kebijakan maupun bagi publik. Para advokator harus
memiliki kepekaan untuk menemukan isu-isu yang menimbulkan minat dan
membuat para pengambil kebijakan tertarik dan antusias. Hingga saat ini, isu-
isu penanggulangan kemiskinan, pengentasan anak jalanan dan gelandangan,
perbaikan kualitas manusia, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan,
pengembangan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, tetap merupakan isu-
isu yang diminati oleh para pengambil kebijakan.

Kedua, para pengambil kebijakan seringkali lebih berfokus pada “siapa yang
menyampaikan” ketimbang “apa yang disampaikan”. Persepsi pengambil
kebijakan terhadap figur advokator seringkali menjadi faktor penentu
keberhasilan proses advokasi. Ketika pengambil kebijakan tidak lagi meragukan
kapasitas dan kapabilitas sang advokator, substansi kebijakan yang
diadvokasikan akan memperoleh tempat dan mendapatkan perhatian penuh.

Ketiga, proses advokasi tampaknya akan jauh lebih mudah jika sudah ada
“hubungan” yang terbangun, sebelum proses advokasi dimulai. Ikatan
kekerabatan-sosial dan emosional yang terjalin jauh sebelum proses advokasi
dilakukakan seringkali menjadi faktor yang membuka dan memuluskan jalan
bagi proses advokasi.

Keempat, rekomendasi kebijakan juga harus disampaikan secara “lisan”,


melengkapi penyampaian secara “tertulis”. Para advokator harus memahami
dua kondisi yang dialami oleh para pengambil kebijakan, yaitu:
(1) tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca hasil-hasil kajian,
sekalipun sudah dalam bentuk ringkasan eksekutif (executive summary); dan
(2) lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan secara lisan ketimbang
secara tertulis. Cara ini juga seringkali diinginkan oleh para pengambil
kebijakan untuk membangun dialog guna memperjelas pesan yang disampaikan.

Kelima, rekomendasi kebijakan harus bermain di level “kegiatan”, bukan level


‘kebijakan”. Dengan kata lain, rekomendasi kebijakan harus ‘operasional” dan
sebaiknya “tidak normatif”. Para pengambil kebijakan cenderung mengabaikan
rekomendasi kebijakan yang bersifat verbal dan normatif. Ini mudah dipahami,
karena rekomendasi kebijakan semacam itu masih menuntut elaborasi lebih
lanjut dari pengambil kebijakan, sesuatu yang seringkali dihindari oleh para
pengambil kebijakan. Terlalu sering kita dengarkan ucapan yang keluar dari
Universitas Indonesia
12

mulut para pengambil kebijakan: “beritahu saya apa yang harus saya lakukan”.
Ucapan ini lebih berkonotasi “kegiatan-operasional” ketimbang “kebijakan-
normatif”.

Keenam, seluruh rekomendasi kebijakan dan desain program harus tampak


simple dalam ‘implementasi”. Para pengambil kebijakan cenderung
menghindari rekomendasi kebijakan yang rumit, kompleks, melibatkan banyak
pihak, membutuhkan anggaran besar, dan berdimensi jangka
panjang. Rekomendasi kegiatan berupa pemberian susu gratis pada saat gerak
jalan santai misalnya, lebih cepat direspon oleh para pengambil kebijakan
ketimbang rekomendasi kebijakan mengenai penanganan gizi buruk misalnya.

Kerangka kerja advokasi

1. Kerangka Kerja Advokasi

 Perencanaan

Bagian terpenting dari advokasi adalah aspek perencanaannya. Sebuah perencanaan lengkap
yang kita sebut sebagai kerangka kerja (framework) advokasi yang mancakup hasil analisis
kasus sesuai isu, aktivitas, dan situasi yang mempunyai peran dalam suatu advokasi. Kerangka
kerja ini sangat diperlukan mengingat advokasi merupakan jalinan interaksi dari berbagai pihak,
aktivitas dan situasi. Kerangka kerja advokasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1. Identifikasi dan memahami masalah, yang akan diangkat menjadi isu strategis. Kriteria
penentuan isu strategis meliputi:
a. masalah yang paling prioritas dirasakan oleh stakeholder lokal dan mendapat perhatian publik
dikaitkan dengan hasil penelitian,
b. masalahnya mendesak (aktual) dan sangat penting untuk diberi perhatian segera, jika tidak
diatasi akan segera berakibat fatal di masa depan,
c. relevan dengan masalah-masalah nyata dan aktual yang dihadapi oleh masyarakat (sedang
hangat atau sedang menjadi perhatian masyarakat).

Daftar tolok ukur analisa isu strategis:

1.
a. Aktual : apakah isu ini sedang jadi pusat perhatian?
b. Urgensi : apakah isu ini mendesak?
c. Relevansi : apakah isu ini sesuai kebutuhan?
d. Dampak positif : apakah isu ini sesuai dengan visi & misi kita?
e. Kesesuaian: dapatkah konstituen kita berpartisipasi dalam isu ini?
f. Sensitivitas: apakah isu ini aman dari dampak sampingan?

2. Pemanfaatan data sebagai bahan advokasi


Dalam tahap ini dilakukan pula pengumpulan dan analisis data untuk dapat mengidentifikasi
Universitas Indonesia
13

dan memilih masalah serta dikembangkan dalam tujuan advokasi, membuat pesan, memperluas
basis dukungan dan mempengaruhi pembuat kebijakan. Data hasil riset akademik yang
dilakukan mendukung pelaksanaan kegiatan advokasi, terutama untuk memperoleh gambaran
umum tentang situasi problematik, keadaan sarana prasarana, dan kebijakan yang berlaku
termasuk kebijakan anggaran. Kegaitan advokasi juga ditunjang oleh pakar secara akademis
sehingga menghasilkan daya dorong kuat karena akan bersifat mendesak
kepada stakeholder (isunya terbukti merupakan kepentingan publik) sekaligus sahih secara
ilmiah.

3. Tentukan tujuan advokasi


Penentuan tujuan diharapkan fokus pada satu tujuan kunci, yang merupakan pernyataan apa saja
harapan yang ingin dicapai dengan melakukan advokasi, baik dalam hal kebutuhan-kebutuhan
kepada pembuat kebijakan maupun hasil-hasil jangka menengah. Tujuan merupakan penyataan
umum tentang apa yang diharapkan dan akan dicapai dalam jangka panjang (tiga sampai lima
tahun), disusun dengan prinsip SMART: Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-
bound

4. Identifikasi target audiens


Penentuan ini juga berkaitan dengan permasalahan yang ingin diatasi oleh komunikator melalui
advokasi. Target audiens atau komunikan bisa merupakan kelompok-kelompok yang mewakili
masyarakat umum ataupun yang mewakili pemuka masyarakat atau pengambil kebijakan.
Siapa aktor kunci potensial, kita perlu melakukan analisis kepentingan mereka dan tingkat
pengaruhnya. Sehingga menghasilkan matriks siapa-siapa yang mendukung, dapat diyakinkan,
mungkin akan menentang, dan harus dinetralkan.

5. Analisis SWOT
Metode perencanaan strategi menggunakan
analisis SWOT: Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats yang dirancang untuk
membantu mengidentifikasi kekuatan internal, kelemahan organisasi atau kelompok dalam
hubungannya dengan peluang dan ancaman yang ditemui dalam pelaksanaan kerja.

6. Identifikasi peluang kerjasama :


Organisasi / grup yang dapat menjadi patner:
a. Institusi/organisasi atau individu yang memiliki komitmen terhadap tujuan yang sama
b. Pengalaman dalam hal komunikasi (communication specialist)

Peluang kerjasama ini dimaksudkan untuk membangun konstituen dalam hal mendukung
keberhasilan advokasi. Semakin besar basis dukungan, semakin besar peluang keberhasilan.
Kita perlu membangun aliansi dengan berbagai kelompok dan memanfaatkan berbagai media,
antara lain membangun jejaring dengan organisasi melalui kegiatan-kegiatan bersama,
pertemuan publik, media-media sosial, serta menggunakan jaringan berbasis internet.

7. Agenda/aktivitas advokasi dan mengumpulkan/menyusun dokumen rencana strategi


Penyusunan agenda kegiatan secara detail, terdiri:

Universitas Indonesia
14

a. Rencana implementasi : tujuan yang akan dicapai per kegiatan, waktu pelaksanakan, melakukan
apa oleh siapa, serta informasi yang mendukung
b. Mengembangkan pesan dan memilih saluran komunikasi
c. Anggaran kegiatan, sumber daya diperlukan untuk pengembangan dan penyebaran materi,
perjalanan anggota tim peneliti untuk bertemu dengan pembuat keputusan dan menghasilkan
dukungan, biaya komunikasi, dan keperluan logistik lainnya.

 Pelaksanaan

Pelaksanaan advokasi mencakup banyak kegiatan, baik berurutan maupun serempak. Satu
tujuan yang dapat diraih dengan melakukan beberapa hal secara serentak dan saling mendukung.
Dalam pelaksanaannya setelah disusun kerangka kerja lengkap, kegiatan advokasi yang dapat
dilakukan antara lain:

Berbagai pendekatan model komunikasi untuk mendefinisikan advokasi dalam mempengaruhi


kebijakan publik dan masing-masing memiliki proses berbeda-beda, sebagai berikut:

a. Legislasi, upaya yang dilakukan adalah di level legislatif dengan membangun payung hukum,
misalnya legal drafting dan judicial review.
b. Birokrasi, dilakukan untuk mengusulkan dan memperbaiki tata laksana suatu peraturan/payung
hukum di level eksekutif pemerintah (melalui lobby, mediasi, audiensi, kapasitasi, dll) sehingga
terjadi peningkatan pelayanan.
c. Sosialisasi dan Mobilisasi, dilakukan untuk membangun suatu budaya (terutama budaya hukum)
di masyarakat sebagaistakeholder utama (melalui pengembangan program komunikasi
partisipatif, kampanye, penggalangan dukungan basis masa/networking, tekanan sosial, dll).

Gb. 1 . Proses advokasi melalui legislasi, birokrasi, sosialisasi dan mobilisasi

Universitas Indonesia
15

 Evaluasi dan monitoring

Kegiatan evaluasi dan monitoring terjadi selama proses advokasi dilakukan, sebelum
melaksanakan advokasi perlu ditentukan bagaimana akan memantau rencana pelaksanaannya.
Dalam hal ini indikator sebagai ukuran kemajuan dan hasil yang dicapai, perlu
dipersiapkan.Dapatkah kita secara realistis mengharapkan untuk membawa perubahan dalam
kebijakan, program, atau dana sebagai hasil dari upaya? Secara spesifik, apa yang akan berbeda
setelah selesainya kampanye advokasi? Bagaimana kita tahu bahwa situasi telah berubah?
Kegiatan advokasi yang sering kali dilakukan di lingkungan yang bergejolak. Seringkali, kita
tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti setiap langkah dalam proses advokasi sesuai
dengan model yang disajikan di sini. Namun demikian, pemahaman yang sistematis dari proses
advokasi akan membantu advokat merencanakan dengan bijaksana, menggunakan sumber daya
secara efisien, dan tetap fokus pada tujuan advokasi.

2. Membangun Jejaring
Jaringan komunikasi

Dalam kamus Bahasa Indonesia, jaringan komunikasi adalah


sejumlah kegiatan komunikasi yang saling bertautan. Dalam jaringan komunikasi ini tidak
hanya mencakup satu atau dua orang saja, namun lebih luas lagi yaitu antar
kelompok/komunitas atau pun masyarakat luas. Jaringan komunikasi adalah penggambaran
bagian proses komunikasi "how say to whom" (siapa berbicara kepada siapa) dalam suatu sistem
sosial. Dalam menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka
opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu yang

Universitas Indonesia
16

erjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah
perusahaan (Gonzales, 1993).
Kita dapat melakukan analisa terhadap jaringan berdasarkan unit analisis hubungan diantara
individu-indivu. Suatu perangkat hubungan yang biasa disebut personal network. Istilah ini
menunjukkan lingkaran pergaulan langsung seseorang pada suatu topik tertentu. Network
seseorang dapat bervariasi tergantung pada topik yang didiskusikan, ketika individu-individu
lebih sering berinterakasi satu sama lain daripada dengan individu-individu lain dalam suatu
kelompok yang lebih besar, maka mereka telah membentuk sebuah klik.
Peranan jaringan komunikasi dalam proses perubahan perilaku
Dalam suatu jaringan komunikasi, terdapat pemuka-pemuka opini, yaitu orang yang
mempengaruhi orang-orang lain secara teratur pada isu-isu tertentu. Karakteristik pemuka-
pemuka opini ini bervariasi menurut tipe kelompok yang mereka pengaruhi. Jika pemuka opini
terdapat dalam kelompok-kelompok yang bersifat inovatif, maka mereka biasanya lebih inovatif
daripada anggota kelompok, meskipun pemuka opini seringkali bukan termasuk inovator yang
pertama kali menerapkan inovasi. Di pihak lain, pemuka-pemuka opini dari kelompok-
kelompok yang konservatif juga bersikap agak konservatif (Gonzales, 1993). Pada proses difusi,
yaitu proses masuknya inovasi dalam suatu kelompok sehingga terjadi perubahan perilaku,
hampir semua pemuka-pemuka opini menyokong perubahan.
Pada beberapa peranan jaringan komunikasi dalam perubahan kelompok/organisasi, seperti
disampaikan di atas adanya klik yang muncul di suatu organisasi yang disebabkan adanya
adanya persamaan-persamaan tertentu (karena adanya tipe homofili), seseorang dalam suatu
organisasi bisa menjadi anggota dari beberapa klik. Klik yang terlalu banyak dalam suatu
klompok/organisasi biasanya terjadi karena banyaknya perbedaan, dan dapat mengakibatkan
perpecahan dalam suatu organisasi. Tetapi bila klik dapat diatasi maka perubahan yang positif
dalam organisasi dapat dicapai.
Perkembangan jaringan seiring dengan perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi kian pesat. Perkembangan teknologi yang signifikan menjadikan
perubahan yang mulai merambah dalam tiap hal yang dijajaki dan diperdalami oleh teknologi.
Perkembangan computer, sistem data, dalam hardware dan software, hingga ke perkembangan
komunikasi. Dengan perkembangan demikian membuat manusia kembali beradaptasi dan
menyesuaikan seiring dengan perkembangan tersebut. Teknologi pun mewabah ke jaringan
informasi yang ada, sehingga menjadikan perkembangan komunikasi yang mengalami
perubahan dalam pemanfaatan teknologi. Dalam perkembangan teknologi Indonesia,
perkembangan teknologi dalam jaringan kian pesat dan sudah mulai terkenal hingga melekat di
hati pengguna. Semakin banyak yang harus dipahami, semakin banyak yang harus diketahui dan
banyak yang mengalami perubahan. Perkembangan teknologi dalam jaringan sudah dijajaki
oleh para produsen ternama, bahkan sudah mengembangkan hingga memiliki jaringan tersendiri.
Dengan hal seperti ini, membuat persaingan di dunia komunikasi dan teknologi semakin
menarik. Tidak hanya itu, jaringan yang ada bahkan sudah bayak diakses dan mulai dikenal
orang banyak tanpa dengan adanya publikasi.
Saat ini untuk melakukan suatu komunikasi sangatlah mudah karena banyak dukungan
teknologi dalam berkomunikasi dengan komunitas kita ataupun masyarakat luas, teknologi

Universitas Indonesia
17

memberikan kemudahan dalalm kegiatan kita sehari-hari khususnya membangun suatu jaringan
komunikasi.
Kesibukan membuat kita tidak dapat berkomunikasi dengan mudah namun saat ini komunikasi
tidaklah sesulit seperti waktu lampau, siapapun dapat lebih mudah berkomunikasi dengan
komunitas atau keluarganya walaupun terbatasi oleh jarak yang sangat jauh. Teknologi
menghilangkan kesenjangan ruang dan waktu.
Jejaring Sosial

Saat ini orang mulai berbicara santai mengenai net dan kemudian world wide web, mereka
mulai menyadari bahwa mereka pun saling terhubung sama seperti komputer mereka.
Hubungan-hubungan jelas bersifat sosial, hingga sekarang nyaris semua orang akrab dengan
laman dan situs web jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Linkedln, MySpace,
DeviantART, Flickr, Friendster, Google, dan lainnya.
Social media membawa manfaat namun juga kerugian bagi penggunanya apabila tidak
digunakan secara bijaksana. Nicholas dan James dalam bukunya Connected menjelaskan
jejaring sosial sebagai barang indah yang rumit.

Gb. Jejaring. Nicholas A. Christakis & James H. Flower (2010)


Aturan dalam jejaring:

Universitas Indonesia
18

1. Kita membentuk jejaring kita


Manusia sengaja membuat dan merombak jejaring sosialnya sepanjang waktu, seperti tertulis
dalam tipe jejaring homofili yaitu kecenderungan orang berkomunikasi dengan orang lain yang
berkarakter sama. Kata homofili berarti "mencintai yang mirip".
Memilih struktur jejaring dengan tiga cara:
a. Berapa banyak orang yang berhubungan dengan kita
b. Kita mempengaruhi seberapa akrab hubungan antar teman dan anggota keluarga kita
c. Kita mengendalikan seberapa sentral diri kita dalam jejaring sosial

Keragaman asal-usul sosial dan genesis dalam pilihan ini menghasilkan aneka ragam struktur
jaringan dan menempatkan kita di lokasi unik dalam jaringan sosial.

2. Jejaring kita membentuk kita


Orang yang memiliki dan terlibat jejaring perilakunya akan dipengaruhi oleh jejaring itu sendiri.
Orang yang tidak mempunyai teman akan punya kehidupan berbeda dengan orang yang
mempunyai banyak teman.

3. Teman mempengaruhi kita


Dalam hal ini bukan hanya bentuk jejaring di sekeliling, namun apa yang mengalir melintasi
sambungan-sambungannya. Biasanya orang mempunyai hubungan dengan berbagai bentuk
dengan orang lain, dan setiap ikatan menawarkan kesempatan untuk saling mempengaruhi.

4. Temannya teman mempengaruhi kita


Dalam sebuah permainan 'pesan berantai', sebuah pesan dioper sepanjang rangkaian orang yang
saling menerima dan menyampaikan. Pesan yang diterima tiap orang mengandung kesalahan
yang dibuat oleh orang yang menyampaikannya. Hal ini mencerminkan bahwa orang meniru
orang lain yang tidak berhubungan langsung dengannya, disebut sebagai penyebaran
hiperdyadik. Sebagian hal mungkin tidak menyebar dengan cara demikian, namun lebih pada
penyebaran fenomena yang lebih rumit. Misalnya jika kita akan menyuruh orang berhenti
merokok tidak mungkin kita menggunakan pesan berantai, namun kita akan mengerahkan
orang-orang yang tidak merokok mengerubungi seorang perokok.

5. Jejaring punya kehidupan sendiri


Sifat dan fungsi yang dimiliki dalam jejaring sosial tidak dikontrol atau disadari oleh orang-
orang di dalamnya. Sifat tersebut dapat dipelajari dengan memahami dan mempelajari
keseluruhan kelompok dan strukturnya, bukan mempelajari individu-individu di dalam secara
tersendiri. Sifat yang dimiliki jejaring sosial ini adalah sifat emergen yaitu sifat-sifat baru yang
timbul dari interaksi dan saling hubung antar bagian-bagiannya.

Berdasarkan aturan tersebut di atas secara emosional individu nilai positif yang dapat diambil
antara lain adanya prinsip bahwa dukungan yang diberikan pasangan dapat banyak manfaat.
Pasangan hidup saling memberi dukungan sosial dan saling menghubungkan dengan jejaring
sosial yang lebih luas mencakup teman, tetangga, dan kerabat.
Cara bekerja Jaringan
Jaringan dapat dibentuk dan dimonitor melalui beberapa bentuk kegiatan, yaitu:
Universitas Indonesia
19

a. Pertemuan tatap muka, dilakukan dengan menyelenggarakan melalui komunikasi interpersonal


dengan stakeholder penting, diskusi/FGD, workshop dan seminar (diseminasi) untuk
mendiskusikan hal-hal penting. Sampai saat ini bentuk kegiatan tatap muka cukup efektif karena
berhadapan langsung dengan target audien yang tepat dan mendapatkan umpan balik secara
langsung.
b. Menggunakan media konvensional, melalui penyusunan opinisi, menyelenggarakan media
briefing, dan broadcast (artikel, berita, opini) dengan melibatkan anggota jaringan yang akan
dituju.
c. Memanfaatkan media baru, dilakukan dengan membuat sites, email dan memanfaatkan jejaring
sosial. Pada proses ini diskusi dan pembahasan dilakukan dapat secara terus menerus dengan
melibatkan berbagai pihak. Metode ini cukup efektif karena mampu mengirimkan pesan ke
target audiens dalam waktu yang relatif lebih cepat dan biaya yang tidak mahal.

Langkah dalam membangun jaringan


Berikut ini tips yang dapat dilakukan untuk membangun sebuah jaringan dan bagaimana
meningkatkan pengelolaannya. Langkah yang dapat dilakukan meliputi:

a. Identifikasi bidang program, tujuan dan kelompok minat untuk pengembangan jaringan
b. Membangun hubungan melalui komunikasi yang tepat
c. Membangun kesepakatan dengan pertemuan tatap muka antara manajemen puncak masing-
masing lembaga
d. Membahas bentuk dan mengembangkan jaringan, melalui analisis situasi
e. Identifikasi sumber daya yang dibutuhkan
f. Menetapkan pengukuran kinerja

Sedangkan untuk mengelola jaringan perlu dilakukan langkah monitoring dan evaluasi secara
terus menerus untuk melihat keefektivitasan dan pencapaian tujuan. Untuk membangun jaringan
yang bertahan lama dibutuhkan elemen esensial seperti saling menyajikan informasi terkini,
saling percaya dan kebijaksanaan.

 Review
Bentuk perencanaan yang dilakukan dalam proyek pembangunan 6 (enam) rua
jalan tol di DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

V. Kesimpulan dan rekomendasi


Perencanaan Advokasi yang baik mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :

 Mengarah pada upaya pemecahan masalah di wilayah tersebut;


 Sesuai dengan kewenangan, tugas pokok, dan pencapaian indikator kinerja;
 Memperhatikan sumberdaya dan kapasitas yang ada;
 Melibatkan berbagai pihak potensial terkait;
 Memperhatikan kendala – kendala yang ada; dan
Universitas Indonesia
20

 Bersifat fleksibel, memungkinkan diadakan perubahan – perubahan di dalam rencana


tanpa mengganggu hasil akhirnya.

a. Kesimpulan dan Rekomendasi terkait pihak yang terlibat dalam advokasi


b. Kesimpulan dan Rekomendasi terkait Bentuk advokasi

VI. Referensi
Angotti, Tom. 2007. Advocacy and Community Planning: Past, Present and Future.

Progressive Planning Magazine, Spring 2007. www.plannersnetwork.org. Diunduh 2


Oktober 2016, pukul 10.30.

Hudson, Barclay M. 1979. Comparison of Current Planning Theories: Counterparts and

Contradictions. Journal of the American Planning Association. Volume 25 No. 4


October 1979. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.45.

Veneklassen, Lisa. 2002. A New Weave of Power, People, and Politics: The Action Guide for

Advocacy and Citizen Participation. World Neighbors and The Asia Foundation.
www.bond.org.uk. Diunduh 2 Oktober 2016, pukul 10.12.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Proses Perencanaan Advokasi 2.


www.ocw.ui.ac.id.Diunduh 3 Oktober 2016, pukul 18.41.

www. Transformasi.org. Mengatasi Kemacetan di Jakarta : mengubah perilaku pengguna


kendaraan pribadi ke kendaaraan umum. Diakses pada 3 Oktober 2016, pukul 19.40.
www.bps.go.id. Statistik Transportasi DKI Jakarta 2015. Diunduh pada 4 Oktober 2016, pukul
2.01.
Sabirin. Advokasi terhadap Komunitas Difabel Anak Jalanan dan Remaja Jalanan. Diunduh
pada 2 Oktober 2016 pukul 2.04.
www.agusjero.blogspot.co.id Mengefektifkan Advokasi Hasil Kajian: Sebuah Refleksi. Diakses
pada 11 Oktober 2016 pukul 21.39
http://icharus-mydreamlife.blogspot.co.id/ Advokasi. Diakses pada 11 Oktober 2016 pukul
21.49.
http://dhanyvironment.blogspot.co.id/ Perbandingan teori Perencanaan John
Friedman dan Barclay Hudson. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 21.55
http://kebijakankesehatanindonesia.net/Pengembangan ketrampilan advokasi. Diakses pada 11
Oktober 2016 pukul 21.58.

Universitas Indonesia
21

MICROECONOMICS FOR PUBLIC POLICY


ANALYSIS OF ELECTRICITY PRICING WHICH FORMULATED BY STATE
ELECTRICITY FIRM

Universitas Indonesia
22

COMPOSED BY :
DESTARITA INDAH PERMATASARI (1606936631)

MASTER OF PLANNING AND PUBLIC POLICY


FACULTY OF ECONOMOMICS AND BUSSINESS
UNIVERSITY OF INDONESIA
2017
STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya / kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah / tugas terlampir
adalah murni hasil pekerjaan saya / kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.”
Materi ini tidak / belum pernah disajikan / digunakan sebagai bahan untuk makalah / tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya / kami menyatakan dengan jelas bahwa saya / kami menyatakan
menggunakannya.
Saya / kami memahami bahwa tugas yang saya / kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.

Nama : Destarita Indah Permatasari


NPM : 1606936631
Mata Ajar : Mikroekonomi untuk Kebijakan Publik 2
Tanggal : 10 Juni 2017

Universitas Indonesia
23

Dosen : Dr. Halimah Halimatussadiyah

Jakarta, 10 Juni 2017

(Destarita Indah Permatasari)

A. INTRODUCTION
Electricity is one of important needs in daily life. Electricity management as written in
basic law 1945 are managed by Government and used to increase the prosperity of citizens.
To deal with it, Goverment create one of national company to manage electricity called
National Electricity Company (PT.PLN). The main task of this company are produce
electricity to public. For region which is have not electricity network, Governmment and
local government give an opportunity to State own enterprises, regional own enterprises,
private company, and cooperation to do an activity of supplying electricity. The scopes of
suplying electrity are generating electricity, distributing electricity, and transmitting
electricity.
Nowadays, demand of electric power is increase. The electric power sector have to struggle
with this situation.
The forecast of electricity demand

Universitas Indonesia
24

From the graph above, the forecasting of electricity is dominated by industry


sector,followed by household, enterprises, and public.
This increasing may be happened because of the leveling up of economic growth by 6 % and the
number of population. That can bring Indonesia to energy crisis. As a result, electric
power coverage and utilization is still very low compare to other countries as Figure 1
described.

B. LITERATURE REVIEW
Natural monopoly has been standard for regulate rate –base, rate of return which is being
practiced by state utility comission and federal agencies since the end of 19th century. On
the several industries , the economics of scale are sufficiently great so that the unit costs of
service would rise significantly if more than one firm supplied service in the relevant
market. Some of them are electricity, natural gas, train, and telephone. (Rahayu,2003).
Natural monopoly is needed in economy because it’s efficiency, altough still needed
regulation from Government for setting up tariff to provie fair rate of return, after operation
cost on used and useful access.
As with monopoly, in monopolistic competition firms face downward-sloping
demand curves. Therefore, they have some monopoly power. But this does not
mean that monopolistically competitive firms are likely to earn large profits.
Monopolistic competition is also similar to perfect competition: Because there
is free entry, the potential to earn profits will attract new firms with competing
brands, driving economic profits down to zero.
To make this clear, let’s examine the equilibrium price and output level for a
monopolistically competitive firm in the short and long run. Figure 12.1(a) shows
the short-run equilibrium. Because the firm’s product differs from its competitors’,
its demand curve DSR is downward sloping. (This is the firm’s demand
curve, not the market demand curve, which is more steeply sloped.) The profit maximizing
quantity QSR is found at the intersection of the marginal revenue

Universitas Indonesia
25

and marginal cost curves. Because the corresponding price PSR exceeds average
cost, the firm earns a profit, as shown by the shaded rectangle in the figure.
In the long run, this profit will induce entry by other firms. As they introduce
competing brands, our firm will lose market share and sales; its demand
curve will shift down, as in Figure 12.1(b). (In the long run, the average and
marginal cost curves may also shift. We have assumed for simplicity that costs
do not change.) The long-run demand curve DLR will be just tangent to the firm’s
average cost curve. Here, profit maximization implies the quantity QLR and the
price PLR. It also implies zero profit because price is equal to average cost. Our
firm still has monopoly power: Its long-run demand curve is downward sloping
because its particular brand is still unique. But the entry and competition of
other firms have driven its profit to zero.
More generally, firms may have different costs, and some brands will be more
distinctive than others. In this case, firms may charge slightly different prices, and some
will earn small profits.
C. ANALYSIS
Based on Statistical of Electricity here are some fact in 2015, compared with 2014:
the capacity of power system Indonesia In the end of 2015 is 55.528,10 MW, that consist
PLN’s Power Plan 38.314,23 MW and Non-PLN 17.213,87 MW. It’s compared the last
year of 2014 is 53.065,50 MW, so the capacity of the power system increased 2.462,60
MW or 4,64%.
the transmission lines In the end of 2015 is 41.682,56 kmc. The consisting of each line is as
follows: Extra high voltage transmission lines has reached 5.053 kmc, and High voltage
transmission lines has reached to 41.682,56 kmc. Total distribution lines increased to
Universitas Indonesia
26

890.099,64 kmc. The consisting of each line is as follows : Medium voltage distribution
lines has reached 346.978,98 kmc and low voltage distribution lines has reched 543.120,66
kmc. The sub stations increased 6.179 MVA or 7,14% as from 86.472 MVA on 2014 to
92.651 MVA of the end of 2015, and distribution sub stations has also increased 3.372,45
MVA or 7,20% as from 46.778,69 MVA on 2014 to 50.151,14 MVA of the end of
2015.Total distributions sub stations has also increased until 16.223 units or 4% from
389.311 units on 2014 to 405.534 units on 2015.
The supply of electricity in 2015 was 233.981,98 GWh, consisting of PLN’s self
production of 176.472,21 GWh and purchase of 57.509,77 GWh. Compared to the year
2014, the electricity of PLN’s production was 175.269,97 GWh increased 1.175,24 GWh
or 0,67%, while the purchased electricity on 2015 was 57.509,77 GWh increased
4.251,84Wh or 7,98 %.
The sale of PLN electricity in 2015 was 202.845,82 GWh, Compared to the year 2014 was
increased of 3.674.746 GWh or 6,39 % consisting of sales to industrial sector 64.079,39
GWh, to residential sector 88.682,13 GWh, to commercial sector or business enterprises
36.978,05 GWh and to public sector 13.106,25 GWh.
The number of customers in 2015 reached 61.167.980 customers, compared to the year
2014 was increased of 3.674.746 or 6,39 %. Residential was the largest group of customers,
numbering in 56.605.260 or 92,54 % of all customers.
PLN Energy’s losses in 2015 reached 22.588,97 GWh, the consisting of each line is as
follows; transmission losses as 5.248,08 GWh and distribution losses as 16.808,81 GWh.
Compared to the netto production was 225.723,37 GWh, these represented of 2,33 % and
7,63 % in overall transmission and distribution losses respectively.
The electrification ratio is the ratio of the electrified household to the total households.
Until in the end of 2015 electrification ratio has reached 88,30%. Compared to 2014, where
electrification ratio was 84,35%, had increased to 3,94%.

Cost of Electricity (watergius,2011) are as follows :


Component A
Known as fixed cost, which is permanent cost either transmitter is being operated or not.
This cost consist of civil work, buying turbine cost, generator.

Component B and D

Universitas Indonesia
27

These are known as variable cost or Operation and Maintenance Cost. Component B i
known a fixed Operation and Maintenance cost, such as labour cost, management cost.
While component D is variable cost of Operation and Maintenance like engine cost.
Component C
Is familiarly known as fuel cost.
Component E
Is can be understood as networking cost from trafo to transmitter.

As written by (Damuri,2012) the price of electricity in Indonesia is setted as electricity


tariff adjustment mechanism (ETAM), which is enable adjustment on tariff because there is
a fluctuation of several factors, such as exchange rate and oil price. This scheme give a
chance to state owned company to take 8 % rate of return from its fixed assets in operation
had made
the company to operate in financially sound environment and secure appropriate
investment
growth.

Another scheme of electricity pricing is Government set that PLN have a chance to
determine the tariff and there is subsidy to deal with the difference between their cost and
revenue. PLN have not an authority to increase the selling price, their income predictable
can not overcome their generation and distribution cost.
There are four main characteristic of current PLN selling prices. First, the rate is classified
according to consumer characteristic. Which are residential, business, industrial, social
activities, government, and street – light purposes. Second, each group have to pay
different rate according to basic charge and utilization charge. Consumer with higher
power installed should pay higher, in another condition monthly usage as a term to power
utilization being paid progressively. Third, the household pay lower price if they installed
lower power. Fourth, there is no difference in tariff of usage on peak and off – peak time.
Figure 1. Average Selling Prices of PLN

Universitas Indonesia
28

Source: Perusahaan Listrik Negara, Electricity Statistics, various years

The last scheme of electricity pricing is a flat –rate pre – paid. In this condition consumers
could manage the usage of electricity become more efficient.

D. POLICY RECCOMENDATION
Policy Reccomendation related to electricity pricing are :
1. The Government should reformulate the electricity pricing that can represent the
certainty of PLN income. The tarif consist of base electricity tarif and adjustment tarif.
2. There is a need to make differenciation between peak and off-peak period to avoid the
inefficiency use of electricity.
3. There should be a limitation of subsidizes to specific group, such as the poor househol
isnce the main users of subsidize electricity are the household.

Refferences
1. Rahayu, Arrester Christina Slamet. 1998. Analisis Kerugian Operasional dan Alternatif
Pemecahan Masalah PT.PLN (Persero).
2. Law number 30 year 2009 about electricity.

3. http://annualreport.id/annualreport/pt-perusahaan-listrik-negara-(persero)-

laporan-tahunan-2015

4. Statistical Electricity 2015. Ministry of Energy and Mineral Resources.


5. Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana. Proyeksi Kebutuhan Listrik PLN Tahun 2003
s.d 2020
6. Damuri, Yose Rizal.2012. Pricing Practices in Indonesia’s Electricity Power Services.

Universitas Indonesia
29

KAJIAN PENINJAUAN KEMBALI RTR PULAU SUMATERA, PULAU SULAWESI DAN


PULAU JAWA

Paket Pekerjaan

PENGARUH UPAH DAN INFRASTRUKTUR TERHADAP ALIRAN FDI SEKTOR


INDUSTRI DI PULAU SUMATERA, PULAU SULAWESI DAN PULAU JAWA

TAHUN ANGGARAN 2019


Universitas Indonesia

SATUAN KERJA
30

Aliran foreign direct investment (selanjutnya disingkat FDI) ke Indonesia


berfluktuasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2018,
dalam kurun waktu tahun 2009-2018, realisasi aliran FDI secara umum meningkat. Titik
tertinggi terdapat pada tahun 2013 sebesar 21,5 triliun dolar AS, sedangkan titik
terendah adalah tahun 2009 sebesar 3,9 triliun dolar AS. Dengan demikian, jumlah
aliran FDI pada tahun 2009-2018 meningkat 231,39 %. Walaupun masih terjadi
penurunan di beberapa tahun tertentu. Sebagaimana dapat dilihat dari data tersebut,
bahwa terjadi penurunan FDI pada tahun 2014, 2015, 2017 dan 2018 sebesar masing –
masing 11,01 %, 5,19 %, 10,62 % dan 22,69 %. Namun demikian, terlihat juga adanya
tren peningkatan yang terus menurun di tahun – tahun yang lain dengan perincian
sebagaimana berikut : 63,38 % pada periode 2009-2010, 77,46% pada 2010- 2011,
38,86 % pada tahun 2012 dan 36,93 % pada 2013 serta 3,11 % pada 2016.
Komposisi sektor-sektor yang menerima aliran FDI pada tahun 2009-2018
didominasi oleh sektor industri, yaitu sebesar 66,93 %. Sektor pertambangan berada
pada peringkat kedua sebesar 22,77 %. Tempat ketiga adalah pertanian sebesar 10,29 %.
Sedangkan sektor-sektor lain dengan nilai FDI kecil, tidak menjadi bagian dari
penelitian ini.

Universitas Indonesia
31

Gambar 1.1 Komposisi Sektor Penerima Aliran Asing Langsung pada Tahun
2009-2018
Sumber: bkpm.go.id

Pada tahun 2009-2018, sebagian besar aliran FDI yang diinvestasikan di Pulau Jawa
adalah sebesar 48,71 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Kalimantan sebesar
17,30 % kemudian diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 11,49 %. Keempat terakhir
adalah Papua sebesar 9,50 %, Sumatera sebesar 8,87 %, Bali dan Nusa Tenggara
sebesar 2,41 %, serta Maluku sebesar 1,71 %.

Universitas Indonesia
32

Gambar 1.2 Realisasi Investasi Berdasarkan wilayah


Sumber: bkpm.go.id

Di sisi lain, sektor dominan penerima FDI pada kurun waktu 2009-2018 adalah sebagai
berikut :
Tabel 1.
distribusi
Pulau/Kepulauan
pertanian pertambangan industri

14,77% 16,50% 68,73%


Sumatera
1,02% 1,60% 97,38%
Jawa
1,91% 91,41% 6,69%
Bali dan Nusa Tenggara
37,83% 41,36% 20,81%
Kalimantan
1,52% 19,06% 79,42%
Sulawesi
4,66% 54,42% 40,92%
Maluku
6,64% 85,35% 8,00%
Papua
10,29% 22,77% 66,93%
Nasional
sumber : bkpm.go.id
Dari tabel di atas diperoleh informasi bahwa industri sebagai sektor dominan di 3 (tiga)
Pulau, yaitu Jawa, Sulawesi dan Sumatera sebesar masing – masing 97,38 %, 79,42 %
dan Sumatera 68,73 %. Pulau Bali dan Nusa Tenggara, Pulau Papua serta Kalimantan
didominasi oleh sektor pertambangan dengan presentase investasi pada kisaran 41,36 %
- 85,35 %. Sedangkan pertanian bukan merupakan sektor dominan di Pulau/Kepulauan
tersebut.

Upah minimum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi FDI
industri (Owuka, 2011).

Universitas Indonesia
33

Gambar 1.4.

Rata-rata Upah minimum di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun
waktu 2009-2016

sumber: bps.go.id, 2019

Dapat dilihat dari grafik di atas bahwa pada kurun waktu 2009-2015, Rata-rata Upah
Minimum Regional di Pulau Sumatera selalu lebih tinggi dari Pulau Jawa dan Pulau
Sulawesi. Hanya saja pada tahun 2016, Pulau Jawa menetapkan Upah Minimum
Regional lebih tinggi dari kedua pulau lainnya.

Infrastruktur sebagai faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi FDI industri
(Iskandar, 2014), Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008).

Universitas Indonesia
34

Gambar 1.5.

Jumlah Panjang Jalan di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu
2009-2014

sumber : bps.go.id, 2019


Dari grafik di atas, secara umum Panjang Jalan pada kurun waktu tahun 2009-2014
tetap dan menunjukkan bahwa Panjang Jalan di Pulau Sumatera selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi.

Sedangkan FDI pertambangan dipengaruhi oleh Keterbukaan Pasar (Walsh, 2010).

Universitas Indonesia
35

Gambar 1.6.

Keterbukaan Pasar di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi pada kurun waktu
2009-2017

sumber : bps.go.id, 2019


Dari grafik di atas, secara umum Keterbukaan Pasar pada kurun waktu tahun 2009-2017
tetap dan menunjukkan bahwa keterbukaan pasar di Pulau Sumatera selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (industri) di
Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa. Tren dari aliran investasi asing
langsungperanan upah minimum regional dan infrastruktur yang mempengaruhi aliran
FDI ke sektor industri di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

1.2 Definisi Permasalahan


Definisi permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Aliran FDI selama 2009-2018 tidak selalu meningkat. Pada tahun 2014-
2015 dan 2017-2018 aliran FDI menurun. Sehingga, kita seharusnya
mengetahui mengapa kondisi ini terjadi.
• Sebagian besar dari aliran FDI adalah di sektor industri. Sekitar 66,93 %
aliran FDI adalah ke sektor industri. Menurut Bank Indonesia pada tahun
2007 kontribusi dari sektor manufaktur ke ekonomi lebih tinggi dari sektor
sumber daya alam karena tingginya nilai tambah. Untuk menemukan latar
belakang, kita seharusnya menentukan fenomena dengan mempelajari
penelitian-penelitian serupa dari negara-negara lain.
• Aliran FDI sektor industri masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pulau Jawa
sebagai pusat perekonomian di Indonesia mempunyai banyak fasilitas,
kebijakan, dan faktor-faktor yang menarik aliran FDI. Faktor-faktor tersebut
harus ditemukan sehingga dapat diterapkan di wilayah lain.
• Dampak upah (upah minimum regional) dan infrastruktur terhadap aliran
FDI (industri) beragam di antara provinsi-provinsi di Pulau Sumatera,
Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

Universitas Indonesia
36

• Dengan demikian, diduga ada faktor-faktor yang mempengaruhi aliran FDI.


Sebagai konsekuensi adalah kita harus melakukan investigasi terhadap
faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran FDI tersebut.
• Dengan berkurangnya dominasi Pulau Jawa, adanya kebijakan RTR pulau
yang telah ditetapkan pada tahun 2011-2014 menyebabkan ada penambahan
konsentrasi kegiatan industry di Pulau Sumatra dan Sulawesi.

1.3 Peran Penting Penelitian


Peran penting penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kenaikan UMR merupakan salah satu gejala adanya perlambatan ekonomi yang
akan berdampak pada sektor perdagangan Indonesia dan arus foreign direct
investment (FDI). Meroketnya nilai UMR di dalam negeri mengakibatkan
penanaman modal asing (FDI) di dalam negeri menjadi lemah. Hal ini dapat
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Investor
asing akan berfikir lagi untuk berinvestasi di Indonesia. Naiknya UMR dapat
memicu para investor asing untuk memindahkan usahanya ke negara lain yang
UMR-nya lebih murah. Turunnya investasi terutama di sektor riil, juga akan
berdampak pada berkurangnya lapangan tenaga kerja dan dapat menimbulkan
PHK besar-besaran di setiap wilayah (Handayani, 2013).

1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dampak upah dan infrastruktur dari aliran FDI ( industri) di
Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap
aliran FDI (industri) di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

1.5 Kesenjangan Penelitian


Terdapat beberapa kesenjangan penelitian, meliputi:

Universitas Indonesia
37

1. Menguji faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran investasi asing FDI di


sektor industri yang siap untuk diselidiki dari penelitian sebelumnya, yaitu
penelitian (Emi, 2015) yang menguji semua sektor.
2. Megelompokkan aliran FDI dari klasifikasi aliran FDI dari sektor industri
(semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah
perusahaan multinasional).
3. Menyelidiki dampak upah minimum regional, yang notabene lebih luas dari
penelitian sebelumnya (Emi, 2015) yang penyelidikannya terbatas pada
upah minimum regional.
4. Menguji pengaruh pembangunan infrastruktur (jalan) yang merupakan
cakupan penelitian yang lebih luas daripada penelitian sebelumnya (Priyanti,
2012) yang berfokus pada jalan saja.

1.6 Kontribusi Penelitian


Kontribusi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan informasi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi aliran FDI
ke sektor industri.
2. Menyediakan informasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi
aliran FDI ke sektor industri.
3. Berkontribusi memberikan rekomendasi jenis industri apa saja yang dapat
dipercaya untuk dikembangkan di tiap provinsi di Pulau Jawa. Hal ini dapat
dilihat dari skoring pembobotan urutan signifikansi variabel di masing –
masing provinsi.
4. Memberikan rekomendasi proporsi alokasi anggaran untuk pengembangan
kelompok industri berdasarkan koefisien dari masing-masing variabel yang
signifikan mempengaruhi aliran FDI di Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan
Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari urutan signifikansi variabel.

1.7 Batasan Studi


Berikut adalah beberapa batasan studi:

Universitas Indonesia
38

1. Cakupan wilayah di penelitian ini meliputi Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi


dan Pulau Jawa sebagai wilayah utama dari lokasi foreign direct investment
(FDI) di sektor industri.
2. Penelitian ini berfokus pada sektor industri sebagai sektor terbesar yang
berkontribusi pada aliran FDI.
3. Periode penelitian ini meliputi tahun 2009 hingga tahun 2018 dengan
mempertimbangkan ketersediaan data terakhir dari semua variabel.

BAB

23

Perhitungan Pendapatan Nasional


Ketika Anda lulus sekolah dan mencari pekerjaan, Anda akan
merasakan bahwa ini sangat ditentukan olek kondisi perekonomian
negara. Selama beberapa tahun, perusahaan – perusahaan akan
menambah produksi barang dan jasa, lapangan kerja meningkat, dan
pekerjaan mudah ditemukan. Sementara ada beberapa tahun yang lain,
perusahaan akan memangkas jumlah produksinya, lapangan kerja
berkurang, sehingga mencari pekerjaan memerlukan waktu lama.
Tidaklah mengejutkan bahwa siapapun yang telah menyelesaikan
pendidikan di perguruan tinggi berharap untuk memasuki angkatan kerja
pada saat ekspansi ekonomi dibandingkan pada saat kontradiksi ekonomi.

Dikarenakan kesejahteraan dari perekonomia secara keseluruhan sangat


mempengaruhi kondisi masyarakat, perubahan kondisi perekonomian
akan banyak dilaporkan oleh media. Ketika membaca surat kabar,
mengecek berita daring, atau menyalakan TV, kita pasti menemukan
Universitas Indonesia
39

beberapa mengenai laporan statistik ekonomi. Laporan statistik tersebut


mungkin berupa hasil perhitungan dari pendapatan total setiap orang di
perekonomian ( produk domestik bruto-PDB), tingkat dimana harga
mengalami kenaikan / penurunan secara rata – rata (inflasi/ deflasi),
persentase angkatan kerja yang bekerja ( pengangguran), total
pengeluaran belanja di toko ( penjual eceran), ataupun
ketidakseimbangan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara lain
(defisit perdagangan). Statistik yang demikian disebut makroekonomi
yang menjelaskan kepada kita mengenal keadaan keseluruhan dalam
perekonomian.

Sebagaimana yang telah dibahas pada Bab 2, studi mengenai ilmu


ekonomi dapat dibagi menjadi dua cabang, mikroekonomi dan
makroekonomi. Mikroekonomi (microeconomics) merupakan studi yang
menpelajari bagaimana individu, rumah tangga dan perusahaan
membuat keputusan dan bagaimana interaksi mereka di pasar.
Makroekonomi (macroeconomics) merupakan studi yang membahas
perekonomian secara keseluruhan. Tujuan dari studi makroekonomi
adalah menjelaskan fungsi perubahan kondisi perekonomian yang dapat
mempengaruhi menjelaskan perubahan pada kondisi perekonomian yang
mempengaruhi menjelaskan pada kondisi perekonomian yang
mempengaruhi individu, perusahaan, dan pasar secara simultan.
Makroekonomi mampu menyajikan jawaban bagi beragam pertanyaan,
seperti : Mengapa pendapatan rata – rata di beberapa negara sangat
tinggi, sementara di beberapa negara lain sangat rendah? Mengapa
harga barang kadang – kadang naik dengan cepat, namun pada waktu
lain harga lebih stabil? Mengapa produksi dan lapangan kerja
berekspansi pada beberapa waktu tertentu dan mengalami kontraksi
pada beberapa tahun yang lain? Dapatkan pemerintah mendorong
kenaikan pendapatan secara cepat, menjaga inflasi tetap rendah,d an

Universitas Indonesia
40

menciptakan lapangan pekerjaan yang stabil? Pertanyaan – pertanyaan


ini berada dalam lingkup makroekonomi dikarenakan hal ini
membutuhkan analisi terhadap kerja perekonomianm secara keseluruhan.

Dikarenakan perekonomian secraa keseluruhan merupakan kumpulan


dari banyak rumah tangga serta banyak perusahaan merupakan pada
banyak pasar, maka mikroekonomi dan makroekonomi memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Alat analisis utama penawaran dan
permintaan, sebagai contoh, merupakan alat analisis uatama pada
makroekonomi sebagaimana halnya pada mikroekonomi. Studi mengenai
eknomi secara keseluruhan dapat memunculkan berbagai pertanyaan dan
tantangan yang penuh dengan intrik sebelumnya.

Pada bab 1 dan bab selanjutnya, kita akan berdiskusi dengan


menggunakan beberapa data yang digunakan oleh para ekonom dan
pembuat kebijakan untuk mengamati kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Data tersebut merefleksikan perubahan kondisi ekonomi yang coba
dijelaskan oleh makroekonomi. Bab ini terutama akan membahas produk
domestik bruto, yang merupakan perhitungan total pendapatan nasional.
PDB merupakan alat yang paling dekat untuk memantau kondisi statistil
ekonomi dikarenakan PDB merupakan salah satu cara perhitungan
terbaik untuk mengukur kesejahteraan ekonomi masyarakat.

BAB 25

PRODUKSI DAN PERTUMBUHAN

Universitas Indonesia
41

Jika Anda bepergian ke berbagai tempat di dunia, akan Anda


saksikan perbedaan yang sangat beragam dalam standar hidup.
Rata – rata penduduk negara kaya seperti Amerika Serikat,
Jepang, atau Jerman memiliki pendapatan lebih dari sepuluh
kali lipat penduduk di negara miskin seperti India, Indonesia,
atau Nigeria. Hal ini terlihat pada perbedaan kualitas hidup
yang sangat besar. Negara kaya memiliki lebih banyak mobil,
telepon, televisi, nutrisi yang baik, permukiman yang lebih
layak, tingkat kesehatan yang lebih baik, dan usia harapan
hidup yang lebih lama.

Bahkan pada suatu negara, dapat terlihat perubahan standar


hidup yang lebih besar dalm kurun waktu tertentu. Di Amerika
Serikat dalam kurun waktu seratus tahun terakhir rata – rata
pendapatan tiap penduduk, seperti diukur dalam GDP riil,
tumbuh lebih dari 2 persen per tahun. Walaupun angka 2
persen sepertinya sedikit, pertumbuhan ini menunjukkan
bahwa rata – rata pendapatan berlipat setiap 35 tahun. Karena
pertumbuhan ini, rata – rata penduduk rata – rata pendapatan
berlipat setiap 35 tahun. Karena pertumbuhan ini, rata – rata
penduduk Jepang secara umum memiliki tingkat kemakmuran
ekonomi yang lebih tinggi daripada orang tua, kakek nenek,
dan eyang buyutnya.

Universitas Indonesia
42

Rata – rata pertumbuhan pada hakikatnya berbeda – berbeda


setiap negara. Dalam sejarah, pada beberapa negara Asia
Timur seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan rata – rata
pendapatan nyata penduduknya meningkat sekitr 7 persen per
tahun. Pada tingkat ini rata – rata pendapatan hampir berlipat
setiap sepuluh tahun. Lebih dari dfua dekade terakhir,
Tiongkok telah menikmati tingkat pertumbuhan yang lebih
tinggi sekitar 12 persen per tahun, menurut beberapa
perkiraan. Suat nugera yang mengalami pertumbuhan pesat
semacam itu bisa, dalam satu generasi, berubah dari kelompok
negara termiskin menjadi negara – negara yang termasuk
paling kaya di dunia. Sebaliknya, beberapa negara Afrika rata –
rata pendapatannya tidak berubah selama beberapa kurun
waktu terakhir. Zimbabwe salah satu yang telah mengalami
pertumbuhan terburuk. Dari 1991 sampai 2011, pendapatan
orang turun sebesar 38 persen.

Apa penyebabnya terjadinya perbedaan tersebut? Bagaimana


negara kaya dapat mengelola standar hidupnya yang tinggi?
Kebijakan apa yang harus diambil negara miskin dalam usaha
meningkatkan pertumbuhannya sehingga termasuk kelompok
dunia berkembang? Pertanyaan – pertanyaan ini termasuk hal
penting dalam makroekonomi. Seperti dikatakan ahli ekonomi
Robert Lucas bahwa, “ konsekuensi dalam memikirkan
kesejahteraan manusia dan menjawab pertanyaan seperti ini

Universitas Indonesia
43

sangat mengejutkan : jika seseorang mulai memikirkannya,


maka sulit untuk memikirkan hal yang lainnya”.

Dalam dua bab selanjutnya kita membahas bagaima ahli


ekonomi mengukur jumlah dan harga dalam makroekonomi.
Pada bab ini kita mulai mempelajari kekuatan yang
menentukan munculnya variabel – variabel tersebut. Seperti
kita ketahuk, secara ekonomi sebuah produk domestik bruto
( PDB-gross domestic bruto/ GDP) menunjukkan nilai
keseluruhan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
ekonomi dan keseluruhan pengeluaran dalam produksi
ekonomi barang dan jasa. Tingkat PDB nyata merupakan
pengeluaran produksi ekonomi barang dan jasa. Tingkat PDB
nyata merupakan kemajuan ukuran kesejahteraan ekonomi,
dan pertumbuhan PDB nyata menunjukkan kemajuan uurna
kesejahteraan ekonomi, dan pertumbuhan PDB nyata
menunjukka kemaju ekonomi. Di sini kita menfokuskan dalam
menjaga kesinambungan mutu dan pertumbuhan PDB nyata.
Lebih lanjut dalam buku ini akan dibahas fluktuasi jangka
pendek PDB nyata dalam kecenderungan jangka panjangnya.

Kita awali dalam tiga langkah pembahasan. Pertama, kita akan


memeriksa data internasional PDB nyata tiap penduduk. Data
ini akan memberikan petunjuk tentang seberpa jauh

Universitas Indonesia
44

perbedaan tingkat mutu dan pertumbuhan standar hidup tiap


negara di dunia. Kedua, kita mempelajari peran produktivitas-
sejumlah barang dan jasa yang dihasilkan setiap jam oleh
seorang pekerjanya, dan kita mempertimbangkan faktor –
faktor apa yang menentukan produktivitas suatu negara.
Ketiga, kita menghubungkan antara tingkat produktivitas dan
kebijakan ekonomi yang dipakai dalam sebuah negara.

Universitas Indonesia
45

Universitas Indonesia
46

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


Menurut Sichei, et al. (2012) hubungan antara biaya tenaga kerja dan foreign
direct investment (FDI) adalah jika biaya tenaga kerja tinggi maka menyiratkan biaya
produksi yang lebih tinggi pula, sehingga dapat membatasi arus masuk FDI. Biaya
tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat upah.

Biaya Arus masuk


Biaya tenaga kerja
produksi FDI terbatas
tinggi
Bagan 2.1 Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Sichei (2012)
Sumber: Global Journal of Management and Business Research, 2012

Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah
dapat mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah
sehingga permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).

Biaya tenaga kerja Biaya Laba perusahaan


rendah produksi meningkat

permintaan meningkat

Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama
(2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011

Peningkatan upah minimum regional di Indonesia memiliki korelasi dengan


biaya produksi suatu perusahaan. Jika peningkatan upah tidak diikuti oleh peningkatan
produktivitas tenaga kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya,
tingkat investasi akan berkurang juga (Frederica dan Juwita, 2013).

12 Universitas Indonesia
47

Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang

produktivitas pekerja

Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013

Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat
biaya tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment
(FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi
juga lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba
perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan
persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah
menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan
meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang
memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).

Harga output Tidak ada


Biaya tenaga kerja
tinggi rekomendasi
tinggi
Persaingan investasi

Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis

Harga output
Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah
rendah
Daya saing tinggi

Rekomendasi
Universitas Indonesia
investasi
48

Bagan 2.5. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-1
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)

Berdasarkan teori efisiensi upah (Mankiw, 2003 dalam Syarif, 2015)


menjelaskan bahwa teori efisiensi upah menggambarkan bahwa ada korelasi antara upah
dan produktivitas para tenaga kerja. Dengan demikian, jika ada penurunan upah yang
akan mengurangi laba perusahaan, kondisi ini akan menurunkan produktivitas dan laba
perusahaan.

• Teori efisiensi upah pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan
tenaga kerja menjadi lebih produktif. Upah juga memiliki pengaruh terhadap
kesehatan. Pengaruh upah terhadap efisiensi akan menjadi kegagalan suatu
perusahaan karena dengan mengurangi upah akan berdampak pada menurunnya
produktivitas tenaga kerja dan tentu saja laba perusahaan.

Upah Produktivitas tenaga Keuntungan

kerja meningkat perusahaan meningkat

Bagan 2.6. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-2
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)

 Teori efisiensi upah kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan
siklus tenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan
mengurangi tenaga kerja. tenaga kerjaketenagakerjaan Jumlah tenaga kerja
tentunya akan berkurang, namun pada saat yang sama perusahaan tidak perlu waktu
untuk merekrut dan melatih para tenaga kerja baru.

Jumlah pekerja lama


Upah Jumlah pekerja
berkurang
dikurangi Jumlah pekerja baru
belum bisa

Universitas Indonesia
49

Bagan 2.7. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-3
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)

 Teori efisiensi upah ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata tenaga kerja
bergantung pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan
mengurangi upah, sebagai konsekuensinya tenaga kerja terbaik akan meninggalkan
perusahaan dan pindah ke tempat lain. Sementara itu, tenaga kerja yang tidak
terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih sedikit alternatif.

Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
terampil tetap
Bagan 2.8. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-4
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)

 Teori efisiensi upah keempat menyatakan bahwa upah yang tinggi dapat
memperbaiki upaya produktivitas tenaga kerja. Fokus teori ini menyatakan bahwa
jika perusahaan tidak dapat memonitor dengan sempurna upaya tenaga kerja,
tenaga kerja akan memutuskan sendiri seberapa jauh mereka dapat bekerja keras.
Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan dapat memotivasi tenaga kerja
untuk bekerja lebih keras dan meningkatkan produktivitas.

Upah Produktivitas pekerja


tinggi meningkat

Bagan 2.9. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Mankiw-5
(2003)
Sumber: Pyndick dan Rubenfield dalam Microeconomics (2003)

Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara


efisien jika membayar tenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga
mempertahankan upah yang tinggi akan lebih dapat menjaga keseimbangan penawaran

Universitas Indonesia
50

dan permintaan yang akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Tentunya, hal
ini harus sesuai juga dengan keuangan perusahaan.
Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan kereta
cepat adalah kekuatan yang bisa memacu munculnya produktivitas (Legowo, 2010).
((Jayne, dkk., 2009) dalam (Priyanti, 2012: 20)) menambahkan bahwa peningkatan
biaya pada infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi perusahaan, sehingga sebagai
konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur produktivita
s Merangsang
(jalan, bandara, dan kereta
cepat)  Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan  Produktivit
berkurang as

Bagan 2.10. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Jayne (2009)
Sumber: Journal IPB

Sebagai informasi, dengan adanya teori tersebut, digunakan untuk menjustifikasi


variabel-variabel yang hasil regresinya tidak signifikan. Dengan mengurai data statistik
di masing-masing provinsi.

2.2 Kerangka Empiris


Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel-
variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
2.2.1 Variabel Dependen
Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan total investasi asing
langsung sebagai variabel dependen. Sementara itu, tiga jurnal lainnya telah melakukan
studi yang lebih spesifik yang menggunakan investasi industri tekstil dan produk tekstil
(Asmara, 2013); investasi asing langsung di sektor pertanian (Rashid, 2016), dan
investasi asing langsung terhadap sumber utama minyak dan gas bumi (Iskandar ,2014).

Universitas Indonesia
51

2.2.2 Variabel Independen


Upah adalah faktor utama yang mempengaruhi investasi asing langsung. Selain
itu, variabel penjelas lainnya telah ditambahkan ke dalam model penelitian untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hubungan investasi asing langsung.
Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011), Alia (2013),
Cushman (1987), Amaro (2006), dan Mihai.
Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk
berinvestasi. Ini dapat didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar
(2014), Huyen (2015), William (2015), dan Amaro (2006). Faktor-faktor terakhir yang
didefinisikan sebagai penentu investasi asing langsung adalah inflasi, yang termuat
dalam penelitian Iskandar, (2014), Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015), dan
Ruth (2003).
Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulis. Calhoun, et al. (2002) telah
menyelidiki hubungan kualitas tenaga kerja dan orientasi ekspor terhadap investasi
asing langsung di negara-negara berkembang. Onwuka dalam penelitiannya tentang
tingkat upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan investasi asing langsung
(2011) memperkirakan bahwa tingkat upah, intensitas ekspor, intensitas impor,
keterbukaan perdagangan, nilai tukar, dan tarif rata-rata dapat mempengaruhi investasi
asing langsung ke lima negara ASEAN.

2.2.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait investasi asing langsung menggunakan data
panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat
informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien,
mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih
besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan
analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret
waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku
yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat
menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan
setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014).

Universitas Indonesia
52

Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect
method (FEM) untuk menguji determinannya. Lainnya adalah Rashid (2016) tentang
investasi asing langsung di industri sumber minyak dan gas di Indonesia. Analisis
tingkat upah, blok perdagangan regional, dan lokasi keputusan investasi asing antara
lima negara ASEAN selama 1976-2000 dengan menggunakan data panel.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model
seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait
dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai
informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel
diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous
atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari
pengaruh upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada investasi asing langsung adalah
analisis rangkaian waktu. Kemungkinan interaksi simultan antara investasi langsung
dan beberapa variabel independen diperbolehkan dengan menggunakan pendekatan tiga
tahap kuadrat terkecil.

2.2.4 Hasil
FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah (Owuka, 2011).
Temuan ini memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan
penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi industri tekstil dan
produk tekstil dengan hasil negatif tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga
ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman (1987) dan Amaro (2006). Hal yang sama
dikemukakan oleh Mihai bahwa peningkatan upah berimbas pada penurunan investasi
asing langsung.
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung sumber
utama industri minyak dan gas bumi. Penelitian menyangkut hal itu dilakukan oleh
Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen (2015), William (2015), dan Singh (2008).
Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa infrastruktur menghasilkan
pengaruh yang tidak signifikan terhadap investasi asing langsung.
Sementara itu, Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap
investasi asing langsung sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang

Universitas Indonesia
53

sama dinyatakan oleh Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki
pengaruh negatif terhadap investasi asing langsung. Hampir memiliki hasil yang sama,
Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan bahwa inflasi negatif tidak
berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung.
Sedangkan variabel Produk Domestik Regional Bruto secara signifikan
mempengaruhi aliran FDI sektor pertanian dan pertambangan (Santangelo, 2018).

Universitas Indonesia
54

BAB 3
METODOLOGI

3.1 Deskripsi Penelitian


Sebagai awalan dari deskripsi penelitian ini, saya mengkaitkan dengan studi
pustaka, yaitu sebagaimana disebutkan di BAB 2, bahwasannya pemilihan variabel dan
metode sesuai dengan hasil studi pustaka. Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan
data panel foreign direct investment (FDI) sektor industri di 10 (sepuluh) provinsi di
Pulau Sumatera, 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa dan 6 (enam) provinsi di Pulau
Sulawesi selama periode 2009 hingga 2018. Jumlah observasi adalah 10 x 22 = 220.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan regresi data panel cross
section 22 provinsi dan time series selama 10 tahun terakhir (2009-2018). Dalam hal ini,
regresi data panel akan diterapkan pada data sekunder karena terikat oleh realisasi total
foreign direct investment (FDI) sektor industri dari 22 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara. Metode yang saya gunakan adalah panel sehubungan dengan
peraturan minimal obsevasi yang berjumlah 220. Ketersediaan data, deret waktu tidak
dapat diterapkan berkenaan dengan periode data tersedia dari 2009-2018. Periode
observasi adalah 10 tahun.

3.2 Variabel Dependen


Variabel dependen adalah investasi asing langsung sektor industri. Hal ini sesuai
dengan isu-isu strategis yang relevan dengan penelitian untuk membuktikan variabel
dependen memiliki korelasi dengan latar belakang observasi.

3.3 Variabel Independen


Variabel independen yang berfungsi sebagai variabel kontrol adalah upah
(minimum dan relatif), sedangkan variabel independen lainnya adalah infrastruktur
(panjang jalan dan kapasitas distribusi listrik), inflasi, PDRB, keterbukaan perdagangan
(rasio bongkar muat), dan dummy RTRWN. Ada kerangka empiris dan teoretis yang

Universitas Indonesia
20
55

mendukung menjembatani variabel dependen dan independen. Beberapa orang


mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.

3.4 Sinkronikasi Variabel Operasional


Sinkronikasi variabel operasional sebagai berikut (Variabel-variabel operasional,
sumber, detil, dan penyesuaian data):
1. Investasi asing langsung dari semua industri: Badan Koordinasi Penanaman
Modal, dan investasi asing langsung dari semua sektor di Pulau Sumatera, Pulau
Jawa dan Pulau Sulawesi, dan Investasi Asing Langsung dari sektor industri di
Pulau Jawa;
2. Upah minimum regional, Badan Pusat Statistik (BPS), dan upah minimum
regional di setiap provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi;
3. Upah minimum relatif: Badan Pusat Statistik (BPS), dan upah daerah relatif di
setiap provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi;
4. Indeks harga konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), dan indeks harga
konsumen data kota yang dipilih di Indonesia, dan data indeks harga konsumen
dari ibu kota di setiap provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi;
5. Panjang jalan: Kementerian Ketenagakerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Peraturan Menteri Ktenagakerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait dengan
panjang jalan nasional di Indonesia, dan total panjang jalan nasional setiap
provinsi;
6. Kapasitas listrik: Badan Pusat Statistik (BPS), dan kapasitas transmisi listrik
selama periode 2005-2009, 2006-2010, 2007-2013, 2010-2014, distribusi listrik
ke sektor industri;
7. Tenaga kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tenaga-tenaga kerja di semua
sektor, jumlah tenaga-tenaga kerja di sektor industri;
8. Ukuran pasar (produk domestik regional Bruto): Badan Pusat Statistik (BPS),
dan jumlah bruto produk domestik regional, jumlah produk domestik regional
bruto sektor industri;
9. Keterbukaan perdagangan: Badan Pusat Statistik (BPS), dan jumlah total
ekspor dan impor dari dan ke pelabuhan di Indonesia, rasio antara muat dan
bongkar di masing-masing pelabuhan;

Universitas Indonesia
56

10. Dummy RTRWN.

3.5 Area Obeservasi


Area obeservasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di Pulau Sumatera,
Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang
terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia.
Menurut Pyndick dan Rubinfield (2008) pada model panel data ini dikenal tiga
jenis pendekatan estimasi yang dikumpulkan, yaitu least square, fixed effect, dan
random effect. Pendekatan least square dengan cara sederhana menggabungkan/
mengumpulkan semua data time series dan cross-section, dan model yang diestimasi
digunakan model ordinary least squares. Di sini konstanta (intersep) akan diasumsikan
untuk time-series atau cross-section. Efek tetap mengimplikasikan perbedaan time-
series atau cross-section. Sedangkan pendekatan efek acak memperbaiki proses efisiensi
least square dengan estimasi eror time-series dan cross-section dan perbedaan intersep.
Menurut Nachrowi (2005) untuk model efek tetap dari model efek acak sebagai
model yang cocok dalam beberapa hal, yaitu: Jika T (nomor data time-series)> N
(jumlah data cross–section) disarankan menggunakan fixed effect model (FEM), Jika N
(data jumlah cross–section) > T (nomor data time-series) disarankan menggunakan
random effect model (REM), Jika efek cross-section memiliki korelasi dengan salah
satu buah lebih banyak variabel X, maka diprediksi FEM adalah tidak bias dan bugar.
Uji hipotesis tidak digunakan untuk keputusan yang lebih meyakinkan dalam hal
memilih model terbaik, yaitu menggunakan Hausman test. Hal ini untuk mengetahui
hubungan fungsional antara realisasi total investasi asing langsung dan dengan upah
minimum regional, indeks harga konsumen, panjang jalan, kapasitas pelabuhan,
kapasitas bandara, ukuran pasar, rasio antara ekspor dan impor. Meskipun tidak
menentukan model terbaik dapat dilihat dari uji antara model pooled least square dan
model fixed effect melalui Chow test. Jika nilai probabilitas Chi square kurang dari
alpha 5% maka model fixed effect dapat ditentukan sebagai model terbaik.

Universitas Indonesia
57

3.6 Persamaan Ekonometri


Persamaan dari variabel dependen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

FDI allit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5


electricityit + β 6 tenaga kerjait + β 7 ukuran pasarit + β 8 keterbukaan pasarit +
kebijakan dummyit + εit

FDI allit : total foreign direct investment (FDI) sektor industri di


provinsi – provinsi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau
Sulawesi i pada tahun t
minwageit : rata – rata upah minimum regional provinsi – provinsi di
Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada
tahun t.
relwageit : rata – rata upah relatif regional provinsi – provinsi di Pulau
Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t.
CPIit : indeks harga konsumen di ibu kota provinsi – provinsi i
Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi pada tahun
t.
roadit : panjang jalan nasional di provinsi – provinsi i Pulau
Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
electricity : distribusi listrik PLN ke industri di provinsi – provinsi i
Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada
tahun t
labourit : jumlah tenaga kerja di sektor industri di provinsi – provinsi
i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada
tahun t
ukuran pasarit : produk domestik regional bruto di provinsi – provinsi i
Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada
tahun t
keterbukaan pasarit : rasio antara ekspor dan impor di provinsi – provinsi i Pulau
Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi i pada tahun t
Kebijakan dummy : untuk menginvestasikan dampak kebijakan nasional ke
Universitas Indonesia
58

masing-masing provinsi – provinsi Pulau Sumatera, Pulau


Jawa dan Pulau Sulawesi.

β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan

3.6.1 Latar Belakang Pemilihan Model


Pemilihan model persamaan tersebut untuk membagi dampak trend upah
minimum regional dan upah relatif sebagai variabel utama dan variabel lain sebagai
variabel kontrol terhadap fluktuasi total foreign direct investment (FDI) provinsi –
provinsi i Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi; Pilihan variabel non
infrastruktur mengenai arah tesis adalah ekonomi daerah sehingga variabel-variabel
tersebut telah terbukti menunjukkan dampak yang signifikan dari beberapa jurnal
penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri; Pilihan infrastruktur variabel mengenai
kutipan satu buku yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang menunjukkan hubungan
antara investasi dan variabel-variabel tersebut; Pilihan kebijakan dummy, mengenai ada
kebijakan nasional sebagai panduan izin untuk perencanaan, jadi kita harus tahu dampak
dari kebijakan ini terhadap investasi, sebelum dan sesudah kebijakan ini ditetapkan.
Setelah memperkirakan model penelitian, kita akan mendapatkan nilai dan tanda
masing-masing parameter dari model tersebut. Entah itu positif atau negatif, selanjutnya
akan digunakan untuk menguji hipotesis penelitian (Raharjo, et al., 2005).

Universitas Indonesia
59

3.6.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi
realisasi investasi di atas adalah:
1) β 1 <0; Upah minimum regional. Peningkatan upah minimum regional akan
mengurangi investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya
tenaga kerja (biaya produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
(Emmi, 2015).
2) β 2 <0; Upah minimum relatif. Peningkatan upah minimum relatif akan
mengurangi investasi karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya
tenaga kerja (biaya produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
3) β 3> 0; Indeks harga konsumen. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total
nilai realisasi investasi. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga
termasuk harga barang sebagai input produksi. Kondisi ini akan memaksa
kenaikan biaya produksi secara keseluruhan sehingga menurunkan tingkat
keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh investor. Kondisi ini akan
mengurangi faktor dorongan investasi dan pada akhirnya akan menurunkan nilai
total nilai investasi, ceteris paribus.
4) β 4> 0; Panjang jalan nasional. Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif
terhadap total nilai investasi, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total
aspal jalan akan mempercepat mobilitas distribusi produk sehingga menurunkan
biaya produksi secara keseluruhan. Kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim
investasi yang kondusif dan peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris
paribus (Emmi,2015).
5) β 5> 0; Distribusi listrik ke industri. Jika kapasitas listrik meningkat maka
investasi juga meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena
meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
6) Β6> 0; Jumlah tenaga-tenaga kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari
tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris
paribus.

Universitas Indonesia
60

7) Β7> 0; Produk domestik regional bruto. Jika produk domestik regional bruto
meningkat maka investasi juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
8) β 8> 0; Rasio antara beban dan bongkar. Jika rasio beban dan bongkar meningkat
maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
9) Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam national
spatial planning maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

3.7 Analisis Regresi


Analisis regresi data panel: Membuat model penentu penelitian investasi asing
langsung; Melakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Melakukan
estimasi dengan model fixed effect model (FEM); Melakukan Chow test untuk
menentukan memilih model PLS dan FEM. Jika probabilitas Chi square kurang dari
alpha 5% maka FEM akan dipilih; Melakukan estimasi model random effect model
(REM); Melakukan tes Hausman untuk menentukan model Choosong FEM atau REM.
Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.

3.7.1 Uji Asumsi Regresi


Agar uji asumsi regresi menghasilkan model yang robust maka memerlukan
pengujian multikolinier, uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear
akan dilakukan dengan Breusch Pagan LM test of independence.Jika p-value tes
estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka artinya terjadi fenomena otokorelasi.
Jika heteroskedastisitas p-value uji estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka
terjadi fenomena heteroskedastisitas.

Universitas Indonesia
61

BAB 4
ANALISIS DAN HASIL

4.1 Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa


4.1.1 Deskripsi Singkat Model Ekonometrik
Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi investasi luar negeri
terhadap semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri-industri padat karya,
investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah perusahaan asing di sektor
industri dilakukan dengan pendekatan regresi data panel yang melibatkan data cross
section yang meliputi 10 (sepuluh) provinsi di Pulau Sumatera, 6 (enam) provinsi di
Pulau Jawa dan 6 (enam) provinsi di Pulau Sulawesi dan time series dengan kurun
waktu 10 tahun, yaitu (2009-2018). Penelitian ini lebih mengedepankan variabel utama
upah minimum dengan faktor variabel kontrol yaitu, indeks harga konsumen, panjang
jalan, listrik yang didistribusikan ke industri, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor
industri, produk domestik regional bruto, serta keterbukaan pasar dan rencana tata ruang
Pulau/Kepulauan.

4.1.2. Pemeriksaan Awal


Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan
membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model
(FEM) dengan uji Chow. Jika hasil pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang
dari alpha 5% maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara
model pooled least square (PLS) dengan random effect model (REM) dengan uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model
yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random
effect model (REM) dengan uji Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-
value uji Hausman kurang dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Dari
hasil pengolahan data menunjukkan bahwa regresi pada model hanya bisa dilakukan
dengan pooled least square (PLS), sedangkan regresi dengan ke-2 model lainnya tidak
bisa dilakukan.

Universitas Indonesia
62

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji


multikolinier, uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinier dilakukan
dengan analisis korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM
test dan uji heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald test yang dilakukan
dengan perangkat lunak Stata 13.

Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolinier


Variabel Model 1
upah min 49.82
IHK 7.56
Jalan 7.55
Listrik 12.35
tenaga kerja 43.54
RTRPulau/Kepulauan 3.51

Dalam model dummy RTR Pulau / Kepulauan, IHK dan jalan memiliki nilai VIF
kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di ketiga variabel tersebut.
Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10,
sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.

Tabel 4.2 Hasil Estimasi Model


Variabel Model 1
C 3019009 (0.23)
upah minimum -0.5811298 (-0.18)*
Jalan 1.608759 (0.30)
Listrik 9.064084 (0.11)*
tenaga kerja -218344.4 (-0.35)
dummy RTRPulau/Kepulauan -552580.25 (-0.05)**

Universitas Indonesia
63

4.1.3 Hasil Pengujian Ekonometrik


Berdasarkan hasil di atas, variabel upah minimum berpengaruh negatif
signifikan pada alfa 10% terhadap aliran foreign direct investment (FDI) semua jenis
industri. Sementara variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 10%
terhadap aliran foreign direct investment (FDI) industri di Pulau Sumatera, Jawa dan
Sulawesi. Sedangkan secara positif dan signifikan pada alfa 5 %, FDI industri di ke-3
pulau tersebut dipengaruhi oleh IHK dan RTR Pulau / Kepulauan. Sementara itu,
variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi aliran FDI semua jenis industri.

4.1.4 Pembahasan Hasil Regresi Ekonometrik


Pembahasan Hasil Regresi Ekonometrik memuat koefisien masing-masing
variabel dan hasil penelitian sebelumnya yang sesuai dan tidak sesuai dengan penelitian
ini.
Variabel Upah Minimum
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang
serupa bahwa upah tidak berpengaruh terhadap investasi pada industri padat karya.
Sedangkan menurut penelitian Emi (2015) menunjukkan upah minimum juga tidak
berpengaruh terhadap investasi baik aliran FDI maupun PMDN. Dalam proses jangka
pendek memang terlihat bahwa investasi di Indonesia meningkat. Akan tetapi, kenaikan
upah minimum yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan
investasi yang selanjutnya dapat berdampak buruk terhadap struktur perekonomian.
Upah yang tinggi menjadi beban pengusaha atau investor karena biaya operasional
perusahaan dari biaya tenaga kerja meningkat. Di satu sisi bila produk yang dihasilkan
tidak kompetitif maka dalam jangka panjang perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai
dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang mengatakan bahwa
peningkatan upah minimum menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap
keuntungan yang mungkin diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan risiko berbisnis
di Indonesia. Terlebih lagi, tenaga kerja umumnya mengiinginkan peningkatan upah
melalui unjuk rasa dan mogok tenaga kerja. Akan tetapi, jika peningkatan upah diikuti
dengan peningkatan produktivitas maka Indonesia akan tetap kompetitif bersaing
dengan negara lain dan bisa menarik minat investor.

Universitas Indonesia
64

Variabel Indeks Harga Konsumen


Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Giordano Dell-Amore Foundatio
menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor stabilitas makro ekonomi
merupakan determinan penting dari aliran investasi, karena hasilnya signifikan.
Sedangkan menurut Emi (2015), dengan meningkatnya inflasi maka akan menurunkan
minat investasi di sektor manufaktur. Pengaruh inflasi terhadap investasi dengan arah
kausalitas negatif dapat dijelaskan pertama dengan kenaikan inflasi yang menunjukkan
adanya kenaikan harga yang selanjutnya akan mendorong masyarakat untuk
mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua, penurunan uang
beredar akan menekan suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi
akan menurun.

Variabel Jalan
Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri
yang memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi (Samir, 2016).

Variabel Listrik
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya, Odi
(1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai
halangan maupun peluang investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah,
dianggap sebagai salah satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor
asing juga menunjukkan kalau potensi untuk menarik investasi asing jika pemerintah di
negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di
sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut Jordan (2004) mengemukakan
bahwa infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik
meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara. Oleh karena itu,
merangsang aliran investasi asing ke negara tersebut. Menurut Emi (2015) dengan
meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor
manufaktur. Kondisi yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos
produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari
ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik akan mendorong biaya ekonomi yang

Universitas Indonesia
65

rendah. Kondisi ini tentu akan mendorong kemudahan investor atau pengusahan dalam
menjalankan usaha.

Variabel Tenaga kerja


Hal ini sesuaipenelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa angkatan kerja
sebagai salah satu penentu aliran FDI dalam hal penentuan lokasi FDI, yang
menjelaskan pentingnya modal manusia. Walaupun hasilnya tidak signifikan (Danciu,et
al., 2015).

Dummy RTR Pulau / Kepulauan


Menurut penelitian sebelumnya, adanya kebijakan spasial menyebabkan adanya
aglomerasi perusahaan sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran
perusahaan (Garretsen,et al., 2007).

4.2. Analisis Terkait Teori


Pembahasan Hasil Analisis terkait teori memuat statistik deskriptif untuk masing –
masing provinsi sesuai dengan variabel yang ada di teori (teori) sebelumnya yang
sesuai dan tidak sesuai dengan penelitian ini

Biaya Arus masuk


Biaya tenaga kerja
produksi FDI terbatas
tinggi

Bagan 4.1. Analisis 1 : teori Sinchei (2012)


Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2011 614.126,00 rendah 1.030.594 tinggi sesuai
2012 2.173.082,20 rendah 1.135.572 tinggi sesuai
2013 2.352.695,40 rendah 1.358.509 tinggi sesuai
2014 2.128.666,10 rendah 1.582.719 tinggi sesuai
2015 2.138.734,70 rendah 1.783.735 tinggi sesuai
2016 4.233.550,20 rendah 1.982.696 tinggi sesuai

Universitas Indonesia
66

Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
201 tidak
3 11.754.248,30 tinggi 1.143.894 tinggi sesuai
201 tidak
4 8.493.718,20 tinggi 1.277.417 tinggi sesuai
201 tidak
5 6.955.528,20 tinggi 1.366.417 tinggi sesuai
201 tidak
6 8.673.934,20 tinggi 1.672.083 tinggi sesuai

Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2012 964.956,80 rendah 1.055.300 tinggi sesuai
2013 1.202.358,10 rendah 1.291.041 tinggi' sesuai
2014 1.514.471,90 rendah 1.512.500 tinggi sesuai
2015 1.162.836,40 rendah 1.759.583 tinggi sesuai
2016 2.240.182,90 rendah 1.984.833 tinggi sesuai

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,
maka FDI nya rendah. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan
bahwa di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi dengan kategori Upah
Minimum Regional (UMR) tinggi seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih
rendah dari rata-rata keseluruhan Pulau – Pulau tersebut. Walaupun di masing – masing
Pulau mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran FDInya
sama, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran FDI dapat
dirinci sebagai berikut: Untuk Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi menunjukkan reaksi
FDI rendah, sedangkan untuk Pulau Jawa FDI masih tinggi, walaupun UMRnya tinggi.

4.2.5. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)

Biaya tenaga kerja Biaya Laba perusahaan


Universitas Indonesia
rendah produksi meningkat

permintaan meningkat
67

Bagan 4.2. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)

Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2009 436.162,00 rendah 867.933 rendah tidak sesuai
2010 318.477,50 rendah 943.133 rendah tidak sesuai
Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
tidak
2009 3.320.760,00 rendah 743.426 rendah sesuai
tidak
2010 2.454.995,20 rendah 796.751 rendah sesuai
tidak
2011 5.496.085,10 rendah 842.000 rendah sesuai
Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
tidak
2009 59.891,00 rendah 818.150 rendah sesuai
tidak
2010 172.445,00 rendah 881.950 rendah sesuai
tidak
2011 364.627,30 rendah 946.000 rendah sesuai

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 1 : teori Sinchei
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,
maka FDI nya rendah. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi menunjukkan
bahwa di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi dengan kategori Upah Minimum
Regional (UMR) rendah pada tahun – tahun sebagai berikut masing – masing 2009-
2010; 2009-2012; serta 2009-2011 seharusnya memiliki aliran investasi asing lebih
Universitas Indonesia
68

tinggi dari rata-rata keseluruhan ketiga Pulau tersebut. Walaupun di masing – masing
Pulau tersebut mengalami fluktuasi setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran
FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran
FDI dapat dirinci sebagai berikut: tidak sesuai untuk Pulau Sumatera, tidak sesuai untuk
Pulau Jawa, dan tidak sesuai untuk Pulau Sulawesi.

4.2.10. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita , 2013)

Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang

Bagan
produktivitas 4.3. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita (2013)
pekerja

Pulau Sumatera
total FDI rata2 UMR hasil
2009 436.162,00 867.933
2010 318.477,50 turun 943.133 naik sesuai
2011 tidak
614.126,00 naik 1.030.594 naik sesuai
2012 tidak
2.173.082,20 naik 1.135.572 naik sesuai
2013 tidak
2.352.695,40 naik 1.358.509 naik sesuai
2014 2.128.666,10 turun 1.582.719 naik sesuai
2015 tidak
2.138.734,70 naik 1.783.735 naik sesuai
2016 tidak
4.233.550,20 naik 1.982.696 naik sesuai

Pulau Jawa
total FDI rata2 UMR hasil
2009 3.320.760,00 743.426

Universitas Indonesia
69

2010 2.454.995,20 turun 796.751 naik sesuai


2011 tidak
5.496.085,10 naik 842.000 naik sesuai
2012 tidak
7.690.267,40 naik 958.968 naik sesuai
2013 tidak
11.754.248,30 naik 1.143.894 naik sesuai
2014 8.493.718,20 turun 1.277.417 naik sesuai
2015 6.955.528,20 turun 1.366.417 naik sesuai
2016 tidak
8.673.934,20 naik 1.672.083 naik sesuai

Pulau Sulawesi
total FDI rata2 UMR hasil
2009 59.891,00 818.150
2010 tidak
172.445,00 naik 881.950 naik sesuai
2011 tidak
364.627,30 naik 946.000 naik sesuai
2012 964.956,80 naik 1.055.300 naik sesuai
2013 1.202.358,10 naik 1.291.041 naik sesuai
2014 1.514.471,90 naik 1.512.500 naik sesuai
2015 1.162.836,40 turun 1.759.583 naik sesuai
2016 2.240.182,90 naik 1.984.833 naik sesuai

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.9 terkait dengan Analisis 3 : teori Frederica
dan Juwita (2013), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya
naik, maka FDI nya berkurang. Pada kurun waktu tahun 2009-2016, data investasi
menunjukkan bahwa di semua Pulau tersebut di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau
Sulawesi dengan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) seharusnya memiliki
aliran investasi yang berkurang setiap tahunnya. Walaupun di masing – masing Pulau
tersebut mengalami peningkatan setiap tahun, namun reaksi dampak terhadap aliran
FDInya berbeda, sebagaimana dikemukakan di bab 1. Adapun respon pergerakan aliran
FDI dapat dirinci sebagai berikut: sesuai untuk Pulau Sumatera pada tahun 2010 dan
Universitas Indonesia
70

2014, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai; sesuai untuk Pulau Jawa pada
tahun 2010, 2014, dam 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya tidak sesuai; serta
sesuai untuk Pulau Sulawesi pada tahun 2015, sedangkan pada tahun – tahun lainnya
tidak sesuai.

4.2.15. Analisis Channeling 4 (Marcelia)

Harga output Tidak ada


Biaya tenaga kerja
tinggi Rekomendasi
tinggi

Bagan 4.4. Analisis Teori 4 (Marcelia)

Pembahasan sama dengan channeling 1.

4.2.16. Analisis Channeling 5 (Marcelia)

Harga output Permintaan tinggi


Biaya tenaga kerja
rendah
rendah
Daya saing tinggi
Rekomendasi
investasi
Bagan 4.5. Analisis Teori 5 (Marcelia)
Pembahasan sama dengan channeling 2.

4.2.16. Analisis Channeling 6 (Mankiw, 2003)

Upah Produktivitas tenaga Keuntungan

kerja meningkat perusahaan meingkat

Bagan 4.6. Analisis Teori 6 (Mankiw :Teori Efisiensi Upah Pertama)

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.14 terkait dengan Analisis 6 : teori I Mankiw
(2003), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah Upah nya tinggi,

Universitas Indonesia
71

maka produktivitas pekerja dan keuntungan perusahaannya meningkat. Kami


menggunakan proksi Pendapatan Domestik Regional Bruto. Pada kurun waktu tahun
2005-2014, data PDRB menunjukkan bahwa di Provinsi DKI Jakarta dan Banten
dengan Upah Minimum Regional (UMR) tinggi memang PDRBnya juga selalu
meningkat.

4.2.17. Analisis Channeling 7 (Mankiw, 2003)

Jumlah pekerja lama


Upah Jumlah pekerja
berkurang
dikurangi Jumlah pekerja baru
belum bisa
Bagan 4.7. Analisis Teori 7 (Mankiw : Teori Efisiensi Upah Kedua)

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.15 terkait dengan Analisis Channneling 7 :


teori II Mankiw (2003), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di suatu daerah
Upah nya tinggi, maka jumlah pekerja dikurangi. Kami menggunakan proksi jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor industri. Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data
tenaga kerja menunjukkan bahwa di Provinsi DKI Jakarta dan Banten dengan Upah
Minimum Regional (UMR) tinggi memberikan respon yang berbeda terhadap
permintaan tenaga kerja. Provinsi DKI mengalami kecenderungan penurunan yang
tenaga kerja ( pada tahun 2006, 2008-2009,2011 dan 2013-2014). Sedangkan provinsi
Banten menunjukkan trenkenaikan (penurunan terjadi pada tahun 2006 dan 2013).

4.2.18. Analisis Channeling 8 (Mankiw, 2003)


Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
terampil tetap
Bagan 4.8. Analisis Teori 8 (Mankiw: Teori Efisiensi Upah Ketiga)

Tidak bisa diterapkan di penelitian ini karena tidak ada penurunan upah.

4.2.19. Analisis Channeling 9 (Mankiw, 2003)

Upah Produktivitas pekerja


Universitas Indonesia
tinggi meningkat
72

Bagan 4.9. Analisis Teori 9 (Mankiw : Teori Efisiensi Upah Keempat)

Pembahasan sama dengan channeling 6

4.2.20. Analisis Channeling 10 (Aschaeur dalam Legowo , 2010)

Infrastruktur
produktivita
(jalan, bandara, dan kereta s Merangsang
cepat)
 Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan  Produktivit

berkurang as

Bagan 4.10. Analisis Teori 10 (Aschaeur dalam Legowo , 2010)

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.16 terkait dengan Analisis Channneling 10 :


teori Aschaeur dalam Legowo (2010), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila di
suatu daerah mengalami peningkatan biaya infrastruktur, maka jumlah investasinya
meningkat. Kami menggunakan proksi panjang jalan.Data yang kemi peroleh
menunjukkan peningkatan FDI di semua provinsi dengan bertambahnya panjang jalan.

Pada kurun waktu tahun 2005-2014, data panjang jalan menunjukkan fluktuasi dengan
respon terhadap FDI sebagai berikut :

 Provinsi DKI Jakarta mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2009-2011,
dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2011, FDI industri padat karya
mengalami kenaikan pada tahun 2010, aliran FDI industri padat modal mengalami
peningkatan pada tahun 2011, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2010 –
2011.
 Provinsi Jawa Barat mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2008-2009,
2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008, 2011 dan
2013. FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun –tahun tersebut,
Universitas Indonesia
73

aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun –tahun tersebut,
dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun –tahun tersebut.
 Provinsi Jawa Tengah mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007-
2009 dan 2012-2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008.
FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2008-2012, aliran FDI
industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2008 dan 2012-2013, dan
FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2007-2008 dan 2012.
 Provinsi DIY mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2006 dan 2008-
2009 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2006 dan 2008. FDI
industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2006 dan 2008, aliran FDI
industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2006 dan 2008, dan FDI
jumlah MNC meningkat pada tahun 2006 dan 2008.
 Provinsi Jawa Timur mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007,
2009-2011 dan 2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2007,
2010 dan 2013. FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 dan
2009-2010, aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun
2007, 2010 dan 2013, dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2007, 2010 -
2011 dan 2013.
 Provinsi Banten mengalami penambahan panjang jalan pada tahun 2007 -2010 dan
2013 dengan aliran FDI semua jenis industri naik di tahun 2008-2009 dan 2013.
FDI industri padat karya mengalami kenaikan pada tahun 2007 – 2008 dan 2013,
aliran FDI industri padat modal mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2013,
dan FDI jumlah MNC meningkat pada tahun 2008, 2010 dan 2013.

Universitas Indonesia
74

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan aliran FDI
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto
dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah
rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi di Pulau Jawa
mempengaruhi rendah atau tingginya aliran FDI sektor industri di Pulau Jawa (sesuai dengan
teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di
masing – masing Provinsi di Pulau Jawa mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga
kerja di sektor industri di Pulau Jawa, walaupun dan menyebabkan berkurangnya aliran FDI
sektor industri di Pulau Jawa. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto
juga dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa
ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan
infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan aliran FDI sektor industri di
Pulau Jawa.
Adapun rincian analisis teori ditunjukkan dari minimal 1 provinsi yang hasilnya
sesuai.sebagaimana berikut.
Terdapat beberapa teori yang sesuai dengan data tabulasi, yaitu: teori 1 dan 4, teori 2
dan 5, teori 3, teori 6 dan 9, serta teori 10.
Teori 1(Sichei, 2012) dan 4 (Marcelia) menjelaskan adanya pengaruh biaya tenaga
kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk provinsi DKI
Jakarta adalah sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai.
Untuk teori 2 (Yogatama, 2012) dan teori 5 (Mankiw,2003), biaya tenaga kerja yang
rendah berpengaruh terhadap FDI yang tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk
provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak
sesuai.
Teori 3 (Frederica dan Juwita, 2010), menjelaskan adanya peningkatan upah
beropengaruh terhadap berkurangnya FDI menunjukkan hasil yang sesuai terhadap FDI
semua industri di provinsi Jawa Barat, FDI industri padat karya di Provinsi Banten, dan FDI

Universitas Indonesia
75

industri padat modal di provinsi Jawa Timur. Sedangkan provinsi lainnya menunjukkan hasil
yang tidak sesuai.
Teori 6 dan 9, keduanya dikemukakan oleh Makiw pada tahun 2003 menjelaskan
apabila terjadi kenaikan upah , maka pendapatan perusahaan dan produktivtas pekerja
meningkat, menunjukkan hasil yang sesuai di provinsi DKI Jakarta dan provinsi Banten.
Teori 7(Aschaeur, 2010) menjelaskan apabila upah tinggi, maka jumlah tenaga kerja
berkurang, menunjukkan hasil yang sesuai untuk DKI Jakarta, tetapi tidak sesuai untuk
provinsi Banten.
Lain halnya dengan teori 10 (Jayne, 2010), apabila infrastruktur transportasi
meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya sesuai unutuk semua provinsi.
Lebih lanjut, ada teori yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu teori 8
(teori 3 Mankiw, 2003: teori efisiensi upah ketiga) karena tidak adanya kebijakan atau
kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, di teori 8 upah berkurang, sehingga jumlah tenaga
kerja berubah. Oleh karena itu, tidak dapat dibuktikan karena di Pulau Jawa tidak terjadi
penurunan upah di sektor industri.
53
5.1.1. Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris
Ada beberapa variabel, yaitu: upah minimum, sebagai variabel kontrol dipengaruhi
oleh aliran foreign direct investment (FDI).
Berbeda halnya dengan variabel listrik, IHK, dan dummy RTR Pulau/Kepulauan
yang signifikan mempengaruhi aliran FDI industri di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan dan tenaga kerja tidak signifikan mempengaruhi
aliran FDI sektor industri di tiga Pulau tersebut.

5.2. Rekomendasi Kebijakan


Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang
mempengaruhi aliran FDI dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi
listrik ke industri dan IHK untuk mendorong aliran FDI industri di Pulau Sumatera, Jawa dan
Sulawesi, peningkatan upah minimum dan pembatasan luas ruang kawasan industri untuk
mengendalikan aliran FDI sektor industri di ke-3 pulau tersebut.

Universitas Indonesia
76

DAFTAR PUSTAKA

Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and
Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.

Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi.
Vol. 1 (2).

Atmaja(2017). Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan


Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tesis.Universitas Gadjah Mada.

Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco.
Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.

Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows
to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of Economics.

Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.

Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.

Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap Perkembangan
Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi di pulau Jawa). Tesis.
Universitas Indonesia.

Erdal, et.al (2008). Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing


Countries : A cross sectional Analysis.Prague Economic Papers.356-369.

Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages. NBER
Working Papers Series. 5121.

Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country
Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.

Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment
(FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social and Behavioral
Sciences,.

Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen.
Vol.2.

Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic
Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.
International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.

Universitas Indonesia
77

Lakesha, B.K (2012). Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective.


Indian Journal of Industrial Relations. Vol. 47.459 – 469.

Liu, et. al (2012). Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing


Industry. International Journal of Economics and Finance. Vol. 4 (12).

Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth Publishers.

Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
International Journal of Economic Sciences and Applied Research. Vol.3(2). 41-56.

Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business. Vol. 2
(9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign
Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review. 134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).

Randelovic,et.al (2017). Market Size as a Determinant of The Foreign Direct Investment


Inflows in the Western Balkans Countries. Economics and Organization. Vol. 14 (2).
93 – 104.
Rashid, Intan Maizura Abdul (2016). Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In
Agriculture Sector Based on Selected Highincome Developing Economies in OIC
Countries: an Empirical Study on The Provincial Panel Data By Using Stata, 2003-
2012. Procedia Economics and Finance . 26-33.

Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7;
Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).

Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic
Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. Journal of
Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.

Sharma, Kishor (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New


Evidence From Cointegration and Error Correction Model. The Journal of
developing Areas.Vol. 46. 71-89.

Sichei, Moses Muse,et.al (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A


Panel Data Analysis. Global Journal of Management and Business Research. Vol.12.

Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation States:
an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.

Universitas Indonesia
78

Wafure, Obida Gobna (2010). Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An


Empirical Analysis. Global Journal of Human Social Science. Vol. 10. 26 – 34.

Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an
Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol. 52 (1). 57 – 77.

www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.


www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.

Universitas Indonesia
79

LAMPIRAN 1: Hasil Regresi


___ ____ ____ ____ ____ (R)

/__ / ____/ / ____/

___/ / /___/ / /___/ 13.0 Copyright 1985-2013 StataCorp LP

Statistics/Data Analysis StataCorp

4905 Lakeway Drive

MP - Parallel Edition College Station, Texas 77845 USA

800-STATA-PC http://www.stata.com

979-696-4600 stata@stata.com

979-696-4601 (fax)

3-user 8-core Stata network perpetual license:

Serial number: 501306208483

Licensed to: IDRE-UCLA

IDRE-UCLA

Notes:

1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables

. edit

. *(9 variables, 10 observations pasted into data editor)

. xtset province year

panel variable: province (strongly balanced)

time variable: year, 2009 to 2018

delta: 1 unit

reg fdiall upahminimum jalan listrik ihk tenagakerja rtrpulaukepulauan

Source | SS df MS Number of obs = 10

-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76

Model | 2.0594e+12 6 3.4323e+11 Prob > F = 0.6459

Residual | 1.3520e+12 3 4.5067e+11 R-squared = 0.6037

-------------+------------------------------ Adj R-squared = -0.1890

Total | 3.4114e+12 9 3.7904e+11 Root MSE = 6.7e+0

> 5

------------------------------------------------------------------------------

fdiall | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

Universitas Indonesia
80

Lampiran 1 (lanjutan)

upahminimum | -.5811298 3.175287 -0.18 0.866 -10.68631 9.524051

jalan | 1.608759 5.42707 0.30 0.786 -15.6626 18.88012

listrik | 9.064084 78.96156 0.11 0.916 -242.2268 260.355

ihk | 10958.54 275205.4 0.04 0.971 -864867.9 886785

tenagakerja | -218344.4 624440.7 -0.35 0.750 -2205594 1768905

rtrpulauke~n | -52580.25 994995.6 -0.05 0.961 -3219100 3113940

_cons | 3019009 1.34e+07 0.23 0.836 -3.96e+07 4.56e+07

------------------------------------------------------------------------------

reg fdiall upahminimum jalan listrik ihk tenagakerja rtrpulaukepulauan

Source | SS df MS Number of obs = 10

-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76

Model | 2.0594e+12 6 3.4323e+11 Prob > F = 0.6459

Residual | 1.3520e+12 3 4.5067e+11 R-squared = 0.6037

-------------+------------------------------ Adj R-squared = -0.1890

Total | 3.4114e+12 9 3.7904e+11 Root MSE = 6.7e+0

> 5

------------------------------------------------------------------------------

fdiall | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

upahminimum | -.5811298 3.175287 -0.18 0.866 -10.68631 9.524051

jalan | 1.608759 5.42707 0.30 0.786 -15.6626 18.88012

listrik | 9.064084 78.96156 0.11 0.916 -242.2268 260.355

ihk | 10958.54 275205.4 0.04 0.971 -864867.9 886785

tenagakerja | -218344.4 624440.7 -0.35 0.750 -2205594 1768905

rtrpulauke~n | -52580.25 994995.6 -0.05 0.961 -3219100 3113940

_cons | 3019009 1.34e+07 0.23 0.836 -3.96e+07 4.56e+07

------------------------------------------------------------------------------

. vif

Variable | VIF 1/VIF

-------------+----------------------

upahminimum | 49.82 0.020073

tenagakerja | 43.54 0.022966

listrik | 12.35 0.080963

ihk | 7.56 0.132314

jalan | 7.55 0.132427

Universitas Indonesia
81

Lampiran 1 (lanjutan)

rtrpulauke~n | 3.51 0.284510

-------------+----------------------

Mean VIF | 20.72

reg fdiall upahminimum jalan listrik ihk tenagakerja rtrpulaukepulauan

Source | SS df MS Number of obs = 10

-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76

Model | 2.0594e+12 6 3.4323e+11 Prob > F = 0.6459

Residual | 1.3520e+12 3 4.5067e+11 R-squared = 0.6037

-------------+------------------------------ Adj R-squared = -0.1890

Total | 3.4114e+12 9 3.7904e+11 Root MSE = 6.7e+0

> 5

------------------------------------------------------------------------------

fdiall | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

upahminimum | -.5811298 3.175287 -0.18 0.866 -10.68631 9.524051

jalan | 1.608759 5.42707 0.30 0.786 -15.6626 18.88012

listrik | 9.064084 78.96156 0.11 0.916 -242.2268 260.355

ihk | 10958.54 275205.4 0.04 0.971 -864867.9 886785

tenagakerja | -218344.4 624440.7 -0.35 0.750 -2205594 1768905

rtrpulauke~n | -52580.25 994995.6 -0.05 0.961 -3219100 3113940

_cons | 3019009 1.34e+07 0.23 0.836 -3.96e+07 4.56e+07

------------------------------------------------------------------------------

. hettest

Breusch-Pagan / Cook-Weisberg test for heteroskedasticity

Ho: Constant variance

Variables: fitted values of fdiall

chi2(1) = 1.03

Prob > chi2 = 0.3094

reg fdiall upahminimum jalan listrik ihk tenagakerja rtrpulaukepulauan

Source | SS df MS Number of obs = 10

-------------+------------------------------ F( 6, 3) = 0.76

Model | 2.0594e+12 6 3.4323e+11 Prob > F = 0.6459

Residual | 1.3520e+12 3 4.5067e+11 R-squared = 0.6037

-------------+------------------------------ Adj R-squared = -0.1890

Universitas Indonesia
82

Lampiran 1 (lanjutan)

Total | 3.4114e+12 9 3.7904e+11 Root MSE = 6.7e+0

> 5

------------------------------------------------------------------------------

fdiall | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

upahminimum | -.5811298 3.175287 -0.18 0.866 -10.68631 9.524051

jalan | 1.608759 5.42707 0.30 0.786 -15.6626 18.88012

listrik | 9.064084 78.96156 0.11 0.916 -242.2268 260.355

ihk | 10958.54 275205.4 0.04 0.971 -864867.9 886785

tenagakerja | -218344.4 624440.7 -0.35 0.750 -2205594 1768905

rtrpulauke~n | -52580.25 994995.6 -0.05 0.961 -3219100 3113940

_cons | 3019009 1.34e+07 0.23 0.836 -3.96e+07 4.56e+07

------------------------------------------------------------------------------

. bgodfrey

Breusch-Godfrey LM test for autocorrelation

---------------------------------------------------------------------------

lags(p) | chi2 df Prob > chi2

-------------+-------------------------------------------------------------

1 | 5.861 1 0.0155

---------------------------------------------------------------------------

H0: no serial correlation

..

PERAN KEBIJAKAN TATA RUANG DALAM MENDORONG SERTA MENGENDALIKAN


PRODUKTIVITAS PADA SEKTOR INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA

Destarita Indah Permatasari¹, Mersi Ayu Desinderella², Eva Fauzyah Rahmah3

1. Pejabat Fungsional Penata Ruang Pertama, Direktorat Perencanaan Tata Ruang;


2. Kepala Seksi di Subdit Perencanaan dan Kemitraan, Direktorat Perencanaan Tata Ruang;
3. Editor

IKHTISAR FLUKTUASI PRODUKTIVITAS DILIHAT DARI KEBIJAKAN PENETAPAN


RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

Gambar 1. Besaran dan Kontribusi Output Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
2005-2014

Universitas Indonesia
83

sumber : Kemenperin, 2016

Tabel 1. Sebaran Nilai Produksi Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 2005-2014

PULAU / KEPULAUAN NILAI PRODUKSI


JAWA 311.664.831.064 sumber
: SULAWESI 263.701.045
BALI - NUSA TENGGARA 1.510.012.534
SUMATERA 3.254.857.022
KALIMANTAN 233.244.008
Kemenperin, 2016

Nilai Output dari industri tekstil dan pakaian jadi masih dengan kontribusi terbesar dari Pulau Jawa.
Kedua adalah Pulau Sumatera. Diikuti oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara di peringkat
ketiga. Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan berada di peringkat keempat dan Kelima. Adapun
rinciannnya sebagaimana tabel di atas.

Tabel 2. Kontribusi Nilai Produksi Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 2005-2014

Universitas Indonesia
84

PULAU / PRESENTASE
KEPULAUAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
JAWA 99,59% 98,99% 99,11% 98,56% 98,76% 98,36% 98,60% 97,65% 98,97% 98,34%
SULAWESI 0,02% 0,08% 0,06% 0,06% 0,03% 0,03% 0,04% 0,05% 0,07% 0,08%
BALI - NUSA 0,29% 0,35% 0,28% 0,30% 0,27% 0,26% 0,21% 1,32% 0,15% 0,48%
TENGGARA
SUMATERA 0,09% 0,58% 0,54% 1,07% 0,92% 1,33% 1,12% 0,96% 0,80% 1,03%
0,00% 0,01% 0,01% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,07%
KALIMANTAN 0,01%
sumber : Kemenperin, 2016

Terjadi fluktuasi Produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Meskipun masih didominasi oleh
Pulau Jawa sebesar 97,65 % sampai dengan 99,59 % diikuti oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa
Tenggara sebesar 0,21 % - 1,32 % . Pulau Sumatera di peringkat ketiga sebesar 0,09 % sampai dengan
1,33 %. Peringkat keempat adalah Pulau Sulawesi 0,02 % sampai dengan 0,08 Persen. Dengan
presentase sebesar 0,00% sampai dengan 0,07 % adalah Pulau Kalimantan.

Tabel 3. Morfologi Wilayah pada tahun 2014

PULAU / KEPULAUAN LEMBAH LERENG DARATAN

Jawa 490 4772 20036


Sulawesi 624 2108 7676
Bali –NusaTenggara 327 1671 3129
Sumatera 1103 3315 16969
Kalimantan 64 225 2745

sumber : BPS, 2019


Bila dilihat dari kondisi morfologi dari setiap pulau/kepulauan, bisa dilihat bahwa semua pulau /
kepulauan tersebut sebagian besar terdiri dari wilayah daratan. Hanya saja jumlah desa yang
merupakan daratan terbanyak ada di Pulau Jawa sebanyak 20.036 desa. Sedangkan Pulau Sumatera
berada di peringkat kedua dengan 16.969 desa. Sulawesi dengan jumlah desa di daratan sebanyak
7.676 berada di peringkat ketiga. Sedangkan di peringkat 4 dan 5 adalah Bali - Nusa Tenggara dan
Kalimantan sebanyak masing – masing 3.129 dan 2.745.

VARIABEL, METODE, DAN GAMBARAN HASIL DARI PENELITIAN PRODUKTIVITAS

Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel,
dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.

Universitas Indonesia
85

Variabel Dependen
Jurnal yang ada menggunakan produktivitas sebagai variabel dependen (Islam, 2005).
Perlu diketahui bahwa menurut teori Ekonomi Klasik, produktivitas merupakan output yeng
tersisa yang tidak dapat dijelaskan dengan input sumberdaya dari kontribusi secara langsung.
Sisa ini yang biasa disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). (Kim, 2017).

Variabel Independen
Keterbukaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi produktivitas. (Islam,
2005). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah lokasi dari negara tersebut.

Metode
Penelitian terkait produktivitas menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan
derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke
waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab
dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian,
serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap
unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian
lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu
umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi
tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai
endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).

Hasil
Produktivitas merespon secara positif terhadap Keterbukaan Ekonomi (Islam, 2005).
Kondisi geografis tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (Islam, 2005).

Universitas Indonesia
86

ANALISIS DAN HASIL


. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, fe

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 250


Group variable: ID Number of groups = 25

R-sq: within = 0.2745 Obs per group: min = 10


between = 0.7829 avg = 10.0
overall = 0.6709 max = 10

F(9,216) = 9.08
corr(u_i, Xb) = -1.0000 Prob > F = 0.0000

Y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

FDI -5.99e+09 8.82e+09 -0.68 0.498 -2.34e+10 1.14e+10


DDI -1.37e+10 1.07e+10 -1.29 0.199 -3.48e+10 7.27e+09
IHK -6.48e+07 1.31e+08 -0.50 0.621 -3.23e+08 1.93e+08
LEMBAH 4.58e+07 8740474 5.24 0.000 2.86e+07 6.30e+07
LERENG -4.88e+07 7900623 -6.18 0.000 -6.44e+07 -3.32e+07
DARATAN -253609 2592629 -0.10 0.922 -5363700 4856482
EKSPOR -52639.06 102874.7 -0.51 0.609 -255405.8 150127.7
UPAHNOMINAL 8699352 2468147 3.52 0.001 3834615 1.36e+07
RTRWPROV -1.29e+09 1.89e+09 -0.68 0.497 -5.01e+09 2.44e+09
_cons 9.27e+15 6.65e+15 1.39 0.165 -3.84e+15 2.24e+16

sigma_u 2.552e+16
sigma_e 7.597e+09
rho 1 (fraction of variance due to u_i)

F test that all u_i=0: F(24, 216) = 2.49 Prob > F = 0.0003

Hasil dari uji chow test menunjukkan bahwa P Value 0.0003 < α 0.05 maka
H1 diterima, artinya fixed effect merupakan pilihanterbaik.

Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa


Berdasarkan hasil di atas, lembah dan lereng industri berpengaruh negatif dan
signifikan pada alfa 1% terhadap produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara
variabel upah nominal berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 % terhadap produktivitas
industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara itu, variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi
produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN


Kesimpulan
Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris
Ada beberapa variabel, yaitu: lereng dan lembah, sebagai variabel kontrol dipengaruhi
oleh produktivitas.
Berbeda halnya dengan upah nominal yang signifikan mempengaruhi besaran
produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya,

Universitas Indonesia
87

yaitu FDI, DDI, IHK, Ekspor, dan RTRW Provinsi tidak signifikan mempengaruhi
produktivitas di 24 provinsi.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang
mempengaruhi produktivitas dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah upah
nominal, pengurangan lokasi kawasan peruntukan industri di lereng dan lembah untuk
mengendalikan besaran produktivitas sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kim, Young Eun. et.al. 2017. Productivity and its Determinants : Innovation, Education, Efficiency,
Infrastructure, and Institutions.
Islam, Nazrul. 2005. Determinants of Productivity : A Two Stage Analysis.

Universitas Indonesia
88

PERAN KEBIJAKAN TATA RUANG DALAM RANGKA MENDORONG DAN MENGENDALIKAN NILAI TAMBAH PADA SEKTOR INDUSTRI TEKSTIL
DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA

Destarita Indah Permatasari¹, Mersi Ayu Desinderella², Eva Fauzyah Rahmah3

1. Pejabat Fungsional Penata Ruang Pertama, Direktorat Perencanaan Tata Ruang;


2. Kepala Seksi di Subdit Perencanaan dan Kemitraan, Direktorat Perencanaan Tata Ruang;
3. Editor

IKHTISAR FLUKTUASI NILAI TAMBAH DILIHAT DARI KEBIJAKAN PENETAPAN KAWASAN ANDALAN DENGAN KEGIATAN INDUSTRI

Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu 2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015
adalah sebesar 4,33 % dan titik terendah pada 2016 yaitu 4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan pada 2017 – 2018
mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Ilyas (2009), menunjukkan bahwa modal tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting
dalam pembentukan PDB, yaitu diukur berdasarkan nilai tambah.
Pada kurun waktu tahun 2015 – 2018, bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri terbanyak pada Industri Makanan, Kayu,
diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % -
1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual, keluaran dari industri sebagaimana dilihat pada data diatas terkait dengan Indeks Harga Perdagangan
Besar pada tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor industri selalu berada di
peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut: 122,54; 129,36; 132,21 untuk bahan baku pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri
sebesar 136,57; 141,66; dan 142,74. Teringgi 138,82; 143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian. 170,78; 170,25;173,91 untuk

Universitas Indonesia
89

barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan 154,91. Teringgi 523,47; 524,13;
526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang
modal industri sebesar 118,93; 123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal sektor pertanian.
Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Sehingga
walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak untuk
pengembangan nilai tambah.
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan impor
non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun besarannya
masih berflukltuasi.

Sejak tahun 2008, berdasarkan PP No 26 Tahun 20008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tersebar kawasan andalan
dengan kegiatan industri di 32 provinsi di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Tabel 1. Sebaran Kawasan Andalan 2008-2017

Jumlah Kawasan Andalan


Pulau / Kepulauan Industri
Sumatera 25
Jawa - Bali 22
Nusa Tenggara 6
Kalimantan 10

Universitas Indonesia
90

Sulawesi 10
Maluku 3
Papua 5
sumber : KemenPUPR, 2008 dan Kemen ATR, 2017

Gambar 1. Sebaran Kawasan Andalan 2008-2017

sumber : KemenPUPR, 2008 dan Kemen ATR, 2017

Universitas Indonesia
91

Selanjutnya direspos Oleh Kementerian Perindustrian pada kurun waktu 2005 – 2014 dengan kebijakan penatapan Industri Tekstil
dan Pakaian Jadi di 24 provinsi sebagai berikut :

Tabel 2. Sebaran KBLI 13 dan / atau 14 pada Kurun Waktu 2010-2014

Jenis Industri Tekstil dan


Pakaian Jadi Jumlah Provinsi
13 dan 14 21
13 6
14 1
sumber : Kemenperin, 2016

Gambar 2. Sebaran KBLI 13 dan / atau 14 pada Kurun Waktu 2010-2014

Universitas Indonesia
92

sumber : Kemenperin, 2016

VARIABEL, METODE, DAN GAMBARAN HASIL DARI PENELITIAN NILAI TAMBAH

Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan
hipotesis penelitian.

Variabel Dependen

Universitas Indonesia
93

Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan nilai tambah industri manufaktur sebagai variabel dependen. Mengingat tingkat
nilai tambah industri merupakan salah satu indikator kinerja industri, dimana digunakan juga untuk menguji seberapa banyak tingkat nilai
tambah yang bisa diproduksi apabila industri tumbuh lebih tinggi di Indonesia. (Ita,et.al,2003).

Variabel Independen
Faktor Produksi total adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai tambah. (Ilyas,et.al, 2010). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini
adalah Tingkat Harga Investasi dan Keterbukaan pasar.
Metode
Sebagian besar penelitian terkait nilai tambah menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data
yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel,
memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan analisis
masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis
dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret
waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM) untuk
menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri
waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam
vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous
atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).

Universitas Indonesia
94

Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi Total (Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap nilai tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.

ANALISIS DAN HASIL


Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa
Berdasarkan hasil di atas, variabel pajak tidak langsung dan perkampungan industri berpengaruh positif dan negatif signifikan pada alfa
1% terhadap nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara variabel biaya mesin dan sentra industri kecil berpengaruh positif
signifikan pada alfa 5 % terhadap nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi. Sedangkan secara positif dan signifikan pada alfa 10 %, nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi tersebut dipengaruhi oleh listrik. Sementara itu, variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi.
Analisis Terkait Teori
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 2 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga kerja rendah, seharusnya nilai tambah industri tekstil
dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga tinggi. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari ke-2 teori itu dapat dirinci sebagai berikut: 19
provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %, yaitu meliputi provinsi – provinsi sebagai berikut : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan ke-5
provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian masing – masing 80 % (Nusa Tenggara Timur); 60 % (Jawa Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan 20 % (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Universitas Indonesia
95

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN


Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional,
Pendapatan Domestik Regional Bruto dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah rata – rata
Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi mempengaruhi rendah atau tingginya nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi
di 24 provinsi (sesuai dengan teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi
tersebut mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri tekstil dan pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga dipengaruhi oleh rendah atau
tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan
infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan UMR tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai
100 %, diperbolehkan adanya kenaikan UMR, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka
Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta,
Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur disarankan mengurangi UMR sampai berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.
Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris
Ada beberapa variabel, yaitu: variabel pajak tidak langsung dan biaya mesin, sebagai variabel kontrol dipengaruhi oleh nilai tambah.
Berbeda halnya dengan variabel listrik, perkampungan industri, perkampungan industri dan sentra industri kecil yang signifikan
mempengaruhi aliran nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan IHK, dan RTR
Pulau/kepulauan tidak signifikan mempengaruhi nilai tambah di 24 provinsi.
Rekomendasi Kebijakan

Universitas Indonesia
96

Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai
signifikansi variabel–variabel yang mempengaruhi nilaitambah dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi listrik ke
industri, pengurangan harga mesin dan pengurangan pajak tidak langsung untuk mendorong aliran nilai tambah, peningkatan upah minimum
dan pembatasan luas ruang kawasan industri untuk mengendalikan aliran nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Muhammad. 2010. Determinant of Manufacturing Value Added in Pakistan : an Application of Bounds Testing Approach to Cointegration.
Minimum Wages and Labour Productivity.
Raising the Standard : Minimum Wages and Firm Productivity.
Ita,et.al.2003. Effect of Credit Financing to the Value Added of Manufacture Industry in Indonesia.
Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural Sector in Indonesia.
Mochammad Aravano Siregar. 2013. Determinant of Value Added in Cacao Industry.
de la Croix, D. (2015). Economic Growth. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition.
https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.71057-9
Pujiati, A. (2009). Analisis Kawasan Andalan in Central Java. 11(2), 117–128.
Robiani, B. (2005). Analisis Pengaruh Industrialisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan
Indonesia, Vol. 6, p. 93. https://doi.org/10.21002/jepi.v6i1.153

N ALOKASI (DALAM JUTAAN


PR SAS L
O OUTPUT TARGET RUPIAH)

Universitas Indonesia
97

OG ARA O
RA N K
M STR AS
ATE I
GIS
/SAS
ARA
N
PRO
GRA
M
(OU
TCO
ME)
/ SI 2 2 2 2 2 202
SAS F JE SA 0 0 0 0 0 0-
ARA A NI TU Kegia 2 2 2 2 2 202 202 202 202 202 202
N T S AN tan 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 4

Universitas Indonesia
98

KEGI
ATA
N
(OU
TPU
T)
Sasaran
Program
1:
tersedia
nya
rencana
tata
ruang
nasional 1.92
dan
daerah
420. 407. 388. 373. 333. 4.15
yang 450. 845. 958. 519. 377. 0.84
berkualit tek
as nis 000 000 500 950 395 5
Renca
na
Tata
Ruan Doku
g men
Wilay Harm
ah onisa 3.000. 3.300. 6.130. 12.43
Nasio si PP 0 0 1 1 2 - - 000 000 000 0.000

Universitas Indonesia
99

nal
Review/Pe
ninjauan
kembali PP 3.000. 3.300. 3.630. 9.930.
RTRWN 0 0 1 1 1 - - 000 000 000 000
Penyusuna
n
Peraturan
Pemerinta 2.500. 2.500.
h RTRWN 0 0 0 0 1 - - - - 000 000
Renca
na Doku
Tata men
Ruan Harm
g onisa
Pulau si
/Kepu Perpr 4.500. 6.000. 6.500. 4.500. 21.50
lauan es 2 3 3 2 0 000 000 000 000 - 0.000
Review/Pe
ninjauan
kembali
Perpres
RTR
Pulau/Kep 2.000. 6.000. 4.000. 2.000. 14.00
ulauan 1 3 2 1 0 000 000 000 000 - 0.000
Penyusuna
n Perpres
RTR
Pulau/Kep 2.500. 2.500. 2.500. 7.500.
ulauan 1 0 1 1 0 000 - 000 000 - 000
Renca Doku 14 16 16 15 11
na men 1 0 3 8 5 184.50 235.15 251.37 270.85 224.00 1.165.

Universitas Indonesia
100

Tata Harm 0.000 0.000 7.500 8.500 7.300 893.3


Ruan onisa
g si
00
Kawa Perpr
san es
Strate
gis
Nasio
nal
Penyusuna
n materi
263.5
teknis/rap
erpres RTR 106.00 88.850 48.702 19.965 17.50
KSN 78 62 34 13 0 0.000 .000 .500 .000 - 0
Review/Pe
ninjauan
902.3
kembali
Perpres 12 14 11 78.500 146.30 202.67 250.89 224.00 75.80
RTR KSN 63 98 9 5 5 .000 0.000 5.000 3.500 7.300 0
Renca
na
Detil
Tata
Ruan
g Doku
Kawa men
san Harm
Perba onisa 264.1
tasan si
Negar Perpr 142.00 85.800 36.300 00.00
a es 71 39 15 0 0 0.000 .000 .000 - - 0
Penyusuna
n materi 71 39 15 0 0 142.00 85.800 36.300 - -

Universitas Indonesia
101

teknis/rap 0.000 .000 .000 264.1


erpres
RDTR KPN
00.00
0
NSPK
Bidan
g
Peren
canaa Perat 299.8
n Tata uran
Ruan Ment 48.000 54.350 63.335 63.888 70.276 49.80
g eri 32 36 33 32 32 .000 .000 .000 .000 .800 0
Mekanism
e asistensi
peta dasar
dan
tematik
secara
efektif dan
0 1 1 0 0 750.00 825.00
efisien
0 0
untuk
mendapat
kan Berita
- - -
Acara peta
terverifika 1.575.
si oleh BIG 000
Mekanism
e
kebutuhan
peminjam
an atau
pengadaa
n -

Universitas Indonesia
102

alat/tools
dalam
proses
GCI/ICP
atau
proses
perpetaan
lainnya
Mekanism
e berbagi
data
pertanaha
n yang
mudah
dan jelas
sehingga
data
pertanaha
n
terintegras
i dengan 0 1 0 0 0 300.00
- - - -
data 0
lainnya
yang
sudah
dihasilkan
oleh
sektor lain
(misal:
instansi
selain BPN
menghasil 300.0
kan data 00

Universitas Indonesia
103

terkait
pertanaha
n)

Mekanism
e
penyederh
anaan dan
pembantu
an/percep
atan 0 1 0 0 0 800.00
proses 0
legalisasi
(terutama
pembahas
an dengan 800.0
DPRD 00
SOP alur
analisis di
dalam
penyusuna
n RTR, 1 500.00
pemberian 0
persetujua
n 500.0
substansi 00
penyusuna
n NSPK
kajian dan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
monev 000 000 000 500 150 9.157.
kebutuhan 650

Universitas Indonesia
104

ruang
penyusuna
n NSPK
terkait
proyeksi
produksi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
pertanian, 000 000 000 500 150
pertamba
ngan, dan 9.157.
industri 650
penyusuna
n NSPK
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196. 9.157.
000 000 000 500 150 650
penyusuna
n NSPK
pengarusu
tamaan
perubahan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
iklim 000 000 000 500 150
dalam
penyusuna 9.157.
n RTR 650
pembentu
kan tim
kajian
kebutuhan
dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
dampak
000 000 000 500 150
pembangu
nan
infrastrukt 9.157.
ur 650

Universitas Indonesia
105

terhadap
kesejahter
aan,
kemiskina
n, dan
emisi
karbon
Kajian
family tree
pedoman 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
penysunan 000 000 000 500 150 9.157.
RTR 650
Penyusuna
n
Pedoman
Analisis
Aspek
Fisik,
Lingkunga
n,
Ekonomi,
Sosial dan 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
Budaya 000 000 000 500 150
dalam
Penyusuna
n RTR
(revisi) -
termasuk
pengurang
an risiko 9.157.
bencana 650
Pedoman
1 1 1 1 1
Kriteria 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.

Universitas Indonesia
106

Nilai 000 000 000 500 150 9.157.


Strategis
untuk KSN,
650
KSP dan
KSK
Standar
Penyediaa
n Sarana
dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
Prasarana
000 000 000 500 150
di
Kawasan 9.157.
Perdesaan 650
Pedoman
Kriteria
Teknis
Kawasan
Budidaya
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
(Revisi
000 000 000 500 150
Permen
PU No. 41
Tahun 9.157.
2007) 650
Pedoman
Perencana
an
Prasarana
dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196.
Sarana
000 000 000 500 150
Jaringan
Jalur
Sepeda di 9.157.
Kawasan 650

Universitas Indonesia
107

Perkotaan

Review
pedoman
penyusuna
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196. 9.339.
000 000 500 500 150
n RTR 150
Penyusuna
n
Pedoman
tata cara
penetapan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
LP2B
000 000 500 500 150
dalam
setiap
tingkatan 9.339.
RTR 150
Penyusuna
n
Pedoman
Penyelaras
an dan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penyerasia
000 000 500 500 150
n
RZWP3K
dan RTRW 9.339.
Provinsi 150
Penyusuna
n 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
pedoman 000 000 500 500 150 9.339.

Universitas Indonesia
108

kesesuaian 150
skala
substansi
dan skala
peta
Penyusuna
n RTRWN-
RTR
Pulau/Kep
ulauan-
RTR KSN
Penyusuna
n
pedoman
kesesuaian
skala
substansi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan skala 000 000 500 500 150
peta
Penyusuna
n RTRWP- 9.339.
RTR KSP 150
Penyusuna
n
pedoman
kesesuaian
skala
substansi 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan skala 000 000 500 500 150
peta
penyusuna
n RTRWK- 9.339.
RTR KSK- 150

Universitas Indonesia
109

RDTR

Review
Penyusuna
n
Pedoman
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Persetujua
000 000 500 500 150
n
Substansi 9.339.
RTRW 150
Evaluasi
Pengatura
n
Kebijakan
Bidang
Perencana
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
an Tata
000 000 500 500 150
Ruang
dalam
Peraturan
Perundang 9.339.
an 150
Pedoman
Perencana
an Tata
Ruang
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Berbasis
000 000 500 500 150
Pengurang
an Risiko 9.339.
Bencana 150
Pedoman
Penyajian 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
dan 000 000 500 500 150 9.339.

Universitas Indonesia
110

Interprest 150
asi Peta
Rencana
Tata
Ruang
Pedoman
Kemitraan
dalam 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penataan 000 000 500 500 150 9.339.
Ruang 150
Pedoman
Penyusuna
n RTR 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan 000 000 500 500 150 9.339.
Industri 150
Pedoman
Perencana
an Tata
Ruang di 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan 000 000 500 500 150
Reklamasi 9.339.
Pantai 150
Pedoman
Teknis
Penyusuna
n Rencana
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Tata
000 000 500 500 150
Ruang
Wilayah 9.339.
Tematik 150
Pedoman
Penyusuna 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
n Kajian 000 000 500 500 150 9.339.

Universitas Indonesia
111

Lingkunga 150
n Hidup
Strategis
untuk
RDTR
Pedoman
Perencana
an Kota
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kompak
(Compact
000 000 500 500 150 9.339.
City) 150
Pedoman
Perencana
an Tata 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Ruang 000 000 500 500 150 9.339.
Partisipatif 150
Pedoman
Penguatan
Kelembaga
an 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Penataan 000 000 500 500 150
Ruang 9.339.
Daerah 150
Pedoman
Pelaksana
an
Konsultasi
Publik 1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Bidang 000 000 500 500 150
Perencana
an Tata 9.339.
Ruang 150

Universitas Indonesia
112

Pedoman
Pengemba
ngan
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.996. 1.996. 2.196.
Kawasan
Ketahanan
000 000 500 500 150 9.339.
Pangan 150
penyusuna
n NSPK
ketelitian
1 1 1 1 1 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 2.196. 9.157.
000 000 000 500 150
peta 650
Kebija
kan
dan
Kemit
raan
Bidan
g
Peren Doku
canaa men
n Tata MOU
Ruan /PKS/
g BAK 0 0 0 0 0 - - - - - -
Data
dan
Infor
masi
Bidan Siste
g m
Peren Infor
canaa masi
n Tata dan
Ruan Basis 30.250 9.975. 10.219 3.599. 3.717. 57.76
g Data 13 10 8 4 4 .000 000 .000 750 725 1.475

Universitas Indonesia
113

Penyempu
rnaan
SITARUNA
S,
SIFATARU
dan
SITAWAS
sebagai
sistem
informasi
tata ruang
skala
nasional
(spasial
dan non
spasial)
dan
pengintegr
asian
diantara 350.00 350.0
ketiganya 0 1 0 0 0 - 0 00
Pengemba
ngan dan
pemutakhi
ran
SITARUNA
S,
SIFATARU
dan
SITAWAS
sebagai
sistem 500.00 550.00 605.00 665.50 2.320.
informasi 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 500

Universitas Indonesia
114

tata ruang
skala
nasional
(spasial
dan non
spasial)
Mekanism
e
seleksi/pe
milihan
dan
penggunaa
n
keabsahan
(validasi)
data
spasial dan
non
spasial,
serta
pencantu
man
labelisasi
keabsahan 200.00 220.00 242.00 266.20 928.2
data 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 00
Perapihan
dan
pengemba
ngan
penggunaa
n aplikasi
dan basis 2.000. 2.200. 2.420. 2.420. 9.040.
data 0 1 1 1 1 - 000 000 000 000 000

Universitas Indonesia
115

pertanaha
n
Pembuata
n website
integrasi
Bank Data
pertanaha
n dan Tata
Ruang
dengan
sektor 500.00 500.0
lainnya 0 1 0 0 0 - 0 - - - 00
Mekanism
e
pemantau
an progres
penyusuna
n RTR
terintegras
i diantara
sesama
Direktorat
yang ada
di
lingkungan
Direktorat
Jenderal
Tata 250.00 275.00 302.50 332.75 366.02 1.526.
Ruang 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 275
penyiapan
database
penyusuna 1.500. 1.650. 3.150.
n prosun 0 1 1 0 0 - 000 000 - - 000

Universitas Indonesia
116

pengadaa
n software
untuk
perencana
an tata
ruang
dengan
mengarus
utamakan
data
pertanaha 2.500. 2.500.
n 1 0 0 0 0 000 - - - - 000
pengadaa
n software
penyusun 2.500. 2.500.
RTR 1 000 000
penyiapan
database
penyusuna 1.500. 1.650. 3.150.
n RTR 0 1 1 - 000 000 000
pengadaa
n software
RTR yang
menggam
barkan
proyeksi
kebutuhan 2.500. 2.500.
ruang 1 000 000
pengadaaa
n software
analisa
skenario 2.500. 2.500.
pengemba 1 000 000

Universitas Indonesia
117

ngan
wilayah
penyiapan
database
data
mengenai
variabel
makro dan
mikro
ekonomi
terkait
pengemba
ngan 1.650. 1.996. 3.646.
wilayah 0 1 1 0 0 - 000 500 - - 500
pengadaa
n sofware
RTR yang
idominasi
penggamb
aran
rencana
masa 2.500. 2.500.
depan 1 000 000
pengadaa
n software
terbaru
yang
dibutuhka
n dalam
tahap
perencana 2.500. 2.500.
an 1 000 000

Universitas Indonesia
118

pengadaa
n sofware
analisis
potensi 2.500. 2.500.
bencana 1 000 000
pengadaa
n sofware
analisis
dan
monev
pembangu
nan jangka 2.500. 2.500.
panjang 1 000 000
pengadaa
n software
untuk
analisis
aspek
geologi
dalam
penentuan
daya
dukung
dan daya
tampung 2.500. 2.500.
lingkungan 1 000 000
pengadaa
n software
untuk
analisis
spasial dan
non 2.500. 2.500.
spasial 1 000 000

Universitas Indonesia
119

pengadaa
n software
analisi dan
monev 2.500. 2.500.
investasi 1 000 000
penyiapan
database
data
sektoral
yang
dibutuhka
n dalam
penyusuna
n dan
review 1.500. 1.650. 3.150.
pedoman 1 1 000 000 000
pengadaa
n software
terbaru
terkait
ketelitian 2.500. 2.500.
peta 1 000 000
SDM
Penyu
sun
Renca
na 102.6
Tata
Ruan Oran 11.200 16.570 18.227 27.373 29.245 16.27
g g 3 7 7 13 12 .000 .000 .000 .700 .570 0

Universitas Indonesia
120

Diklat
penyusuna
n peta
dasar,
tematik,
dan
analisis
dengan
pemerinta
h dan
swasta
(USULAN:
Diklat ini
dihapus,
lebih tepat
di 01.1.2) -
Usulan
menjadi
sosialisasi,
disseminas
i di bawah 750.00 825.00 907.50 998.25 3.480.
berikut: 0 1 1 1 1 - 0 0 0 0 750
Sosialisasi,
disseminas
i,
penyiapan
pusat bank
data
spasial dan
non
spasial
untuk 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 6.961.
kebutuhan 0 1 1 1 1 - 000 000 000 500 500

Universitas Indonesia
121

penyusuna
n RTR dan
urgensi
kebutuhan
bank data
spasial dan
non
spasial
Sosialisasi,
disseminas
i
kebutuhan
dan
fasilitas
ketersedia
an peta
dasar,
tematik
kepada
masyaraka 1.500. 1.650. 1.815. 1.996. 6.961.
t 0 1 1 1 1 - 000 000 000 500 500
Pengemba
ngan
forum
substansi
per sektor
(misal:
perkotaan,
perdesaan
, rawan
bencana)
sebagai 350.00 385.00 423.50 465.85 512.43 2.136.
forum 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 785

Universitas Indonesia
122

koordinasi
penataan
ruang
Pembentu
kan/penge
mbangan
Tim
Koordinasi
Pembangu
nan
Perkotaan
Nasional
(TKPPN)
sebagai
forum
koordinasi
penataan
ruang di 350.00 385.00 423.50 465.85 512.43 2.136.
pusat 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 785
Penambah
an SDM
penyusun
tata ruang
dalam
kantor
pertanaha
n dan
kantor
wilayah 500.00 550.00 605.00 1.655.
ATR/BPN 0 1 1 1 0 - 0 0 0 - 000

Universitas Indonesia
123

peningkat
an
kapasitas
penyusuna
n SOP
pendampi
ngan
penyusuna
n RTR
dengan
pemerinta
h,
akademisi,
dan 1.000. 1.000. 2.000.
swasta 0 0 0 1 1 - - - 000 000 000
sosialisasi
dan
peningkat
an
kapasitas
analisis
dan
tahapan
pengemba
ngan 1.000. 1.000. 2.000.
wilayah 0 0 0 1 1 - - - 000 000 000
peningkat
an
kapasitas
kajian
2.79
pembangu 5.10
nan jangka 1.331. 1.464.
panjang 1 1 000 100 0

Universitas Indonesia
124

penyusuna
n NSPK
dalam
analisis
dan
rencana
penyusuna
n RTR 64.1
berdasark 03.5
an aspek 10.500 11.550 12.705 13.975 15.373
geologi 1 1 1 1 1 .000 .000 .000 .500 .050 50
peningkat
an
kapasitas
dalam
rangka
analisi dan
penyusuna
n rencana 2.79
spasial dan 5.10
non 1.331. 1.464.
spasial 1 1 000 100 0
peningkat
an
kapasitas
dalam
rangka
analisis
dan
monev 2.79
investasi 5.10
terhadap 1.331. 1.464.
rekomend 1 1 000 100 0

Universitas Indonesia
125

asi dan
perizinan
pemanfaat
an dan
pengendal
ian tata
ruang
peningkat
an
kapasitas
pegawai
dalam
rangka
sinkronisas
i kebijakan
sektor dan
2.79
tata ruang 5.10
sebagai 1.331. 1.464.
NSPK 1 1 000 100 0

BAB 24

Universitas Indonesia
126

MENGUKUR BIAYA HIDUP

Pada tahun 1931, saat perekonomian AS menderita depresi besar (Great Depression), klub New York
Yankee membayar gaji pemain baseball terkenal, Babe Ruth, sebesar $ 80.000. Pada saat itu, jumlah
pembayaran ini sangat luar biasa, bahkan diantara para pemain baseball lainnya. Menurut penuturan
salah satu sumber, seorang reporter pernah bertanya pada Ruth apakah ia berpikir bahwa ia berhak
mendapatkan penghasilkan melebihi Presiden Herbert Hoover, yang memilliki gaji sebesar $75.000.
Ruth menjawab, “Aku memiliki tahun yang lebih baik tahun ini.”

Pada tahun 2012, gaji rata – rata yang diperoleh pemain New York Yankee adalah sebesar $1,9 juta, dan
Alex Rodrigues dibayar sebesar $30 juta. Pada awalnya, fakta tersebut mungkin menyebabkan Anda
untuk berpikir pada baseball telah sangat menguntungkan sejak delapan dekade yang lalu. Namun,
seperti yang diketahui siapapun, harga barang dan jasa juga meningkat. Pada tahun 1931, uang
sejumlah 5 sen dapat digunakan untuk membeli es krim, dan uang 25 sen dapat digunakan membeli

Universitas Indonesia
127

tiket bioskop lokal. Karena harga pada masa Babe Ruth sangat rendah dibandingkan sekarang, tidaklah
jelas apakah Ruth menikmati standar hidup lebih tinggi atau lebih rendah daripada pemain sekarang.

Pada bab sebelumnya, kita melihat bagaimana para ekonom menggunakan produk domestik bruto
(PDB untuk menghitung jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Bab ini akan
membahasa bagaimana para ekonom menghitung biaya hidup keseluruhan. Untuk membandingkan
gaji Babe Ruth sebesar $80.000 terhadap gaji hari ini, kita perlu menemukan beberapa cara untuk
melakukan konversi nilai uang menjadi pengukuran daya beli. Itulah yang menjadi tugas dari statistik
yang disebut indeks harga konsumen. Setelah melihat bagaimana merancang suatu indeks harga
konsumen, kita akan membahs bagaimana menggunakan semacam indeks harga terebut untuk
melakukan perbandingan nilai uang dalam waktu yang berbeda.

Indeks harga konsumen digunakan untuk mengamati perubahan biaya hidup dari waktu ke waktu.
Ketika indeks harga konsumen meningkat, rumah tangga pada umumnya mengeluarkan lebih uang
untuk mempertahankan standar hidup yang sama. Para ekonom menggunakan istilah inflasi untuk
menjelaskan suatu situasi ketika tingkat harga keseluruhan dalam perekonomian meningkat. Tingkat
inflasi merupakan persentase perubahan tingkat harga dari periode sebelumnya. Pada bab sebelumnya,

Universitas Indonesia
128

ditunjukkan bahw para ekonom dapat menghitung inflasi menggunakan deflator PDB. Tingkat inflasi
yang sering Anda dengar pada berita tiap malam, dihitung dari indeks harga konsumen, yang
merupakan cerminan barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen.

Seperti yang akan kita lihat pada bab berikut ini, inflasi merupakan aspek yanng sangat diperhatikan
terkait dengan kinerja ekonomi makro dan menjadi variabel utama ntuk memandu penentuan
kebijakan makroekonomi. Bab ini menyajikan latar belakang untuk melakukan analisis tersebut dengan
menunjukkan bagaimana para ekonom menghitung tingkat inflasi menggunakan indeks harga
konsumen dan bagaimana statistik dapat digunakan untuk membandingkan nilai uang dari waktu yang
berbeda.

Universitas Indonesia
129

PULAU / KEPULAUAN NILAI PRODUKSI


JAWA 311.664.831.064
SULAWESI 263.701.045
BALI - NUSA TENGGARA 1.510.012.534
SUMATERA 3.254.857.022
KALIMANTAN 233.244.008

Universitas Indonesia
130

Nilai Output dari industri tekstil dan pakaian jadi masih dengan kontribusi terbesar dari Pulau Jawa. Kedua adalah Pulau Sumatera. Diikuti oleh Pulau Bali
dan Kepulauan Nusa Tenggara di peringkat ketiga. Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan berada di peringkat keempat dan Kelima. Adapun rinciannnya
sebagaimana tabel di atas.

Universitas Indonesia
131

PRESENTASE
PULAU / KEPULAUAN
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
JAWA 99,59% 98,99% 99,11% 98,56% 98,76% 98,36% 98,60% 97,65% 98,97% 98,34%
SULAWESI 0,02% 0,08% 0,06% 0,06% 0,03% 0,03% 0,04% 0,05% 0,07% 0,08%
BALI - NUSA TENGGARA 0,29% 0,35% 0,28% 0,30% 0,27% 0,26% 0,21% 1,32% 0,15% 0,48%
SUMATERA 0,09% 0,58% 0,54% 1,07% 0,92% 1,33% 1,12% 0,96% 0,80% 1,03%
KALIMANTAN 0,01% 0,00% 0,01% 0,01% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,07%

Terjadi fluktuasi Produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Meskipun masih didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 97,65 % sampai dengan 99,59 % diikuti
oleh Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara sebesar 0,21 % - 1,32 % . Pulau Sumatera di peringkat ketiga sebesar 0,09 % sampai dengan 1,33 %. Peringkat
keempat adalah Pulau Sulawesi 0,02 % sampai dengan 0,08 Persen. Dengan presentase sebesar 0,00% sampai dengan 0,07 % adalah Pulau Kalimantan.

LEMBAH LERENG DARATAN

Jawa 490 4772 20036


Sulawesi 624 2108 7676
Bali –
NusaTenggara 327 1671 3129
Sumatera 1103 3315 16969
Kalimantan 64 225 2745

Bila dilihat dari kondisi morfologi dari setiap pulau/kepulauan, bisa dilihat bahwa semua pulau / kepulauan tersebut sebagian besar terdiri dari wilayah
daratan. Hanya saja jumlah desa yang merupakan daratan terbanyak ada di Pulau Jawa sebanyak 20.036 desa. Sedangkan Pulau Sumatera berada di peringkat
kedua dengan 16.969 desa. Sulawesi dengan jumlah desa di daratan sebanyak 7.676 berada di peringkat ketiga. Sedangkan di peringkat 4 dan 5 adalah Bali
dan Nusa Tenggara sebanyak masing – masing 3.129 dan 2.745.

Universitas Indonesia
132

Dilihat dari jumlah usaha pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau
Sulawesi dan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Bali –
Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.

Dilihat dari jumlah tengaa kerja pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan tenga kerja di Pulau
Sulawesi lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Pulau Sumatera mencatat jumlah tenaga kerja

Universitas Indonesia
133

yang sama. Sedangkan untuk Pulau Bali – Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan masih
berada di bawah Pulau Jawa.

Dilihat dari nilai produksi pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafik garis di atas
menunjukkan bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013.
Sedangkan untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang
sama. Hanya saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan unit usaha di Pulau
Sulawesi dan Pulau Bali –Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Sedangkan untuk Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.

Dilihat dari nilai input pada kurun waktu 2005 – 5014, berdasarkan grafi garis di atas menunjukkan
bahwa Pulau Jawa selalu menjadi peringkat terbanyak pada kurun waktu 2005 – 2013. Sedangkan
untuk keempat Pulau / Kepulauan lainnya selalu lebih rendah pada kurun waktu yang sama. Hanya
saja pada tahun 2014 terjadi perubahan konfigurasi, dimana jumlan input di Pulau Sulawesi dan Pulau
Bali – Kepulauan Nusa Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sedangkan untuk
Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berada di bawah Pulau Jawa.

Universitas Indonesia
134

1.2. Definisi Permasalahan

Definisi permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


• Output selama 2005-2014 tidak selalu meningkat.
• Sebagian besar dari Output adalah di sektor industri tekstil dan pakaian jadi. Sekitar
98,34 % kontribusi output dari Pulau Jawa..
• Unit usaha industri tekstil dan pakaian jadi didominasi Pulau Jawa pada kurun waktu
2005 – 20111113, baru pada tahun 2014 diungguli oleh Pulau Sulawesi dan Sumatera.
• tenaga kerja industri tekstil dan pakaian jadi didominasi Pulau Jawa pada kurun waktu
2005 – 20111113, baru pada tahun 2014 diungguli oleh Pulau Sulawesi.
• input industri tekstil dan pakaian jadi didominasi Pulau Jawa pada kurun waktu 2005 –
20111113, baru pada tahun 2014 diungguli oleh Pulau Sulawesi dan Kepulauan Bali –
Nusa Tenggara.
• produksi industri tekstil dan pakaian jadi didominasi Pulau Jawa pada kurun waktu 2005
– 20111113, baru pada tahun 2014 diungguli oleh Pulau Sulawesi dan Kepulauan Bali –
Nusa Tenggara.

1.3 Peran Penting Penelitian


Peran penting penelitian ini adalah sebagai berikut:
Jika topografi wilayah mempengaruhi menurunnya dominansi Pulau Jawa di bidang industri
tekstil dan pakaian jadi, tetapi outputnya masih terbesar. Sehingga kita perlu mengetahu
faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut.

1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
3. Untuk menguji dampak kondisi wilayah dari besaran output industri tekstil dan pakaian
jadi di 24 provinsi.
4. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap dari besaran
output industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.

Kerangka Empiris
Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel,
dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
Variabel Dependen
Jurnal yang ada menggunakan produktivitas sebagai variabel dependen (Islam, 2005).
Perlu diketahui bahwa menurut teori Ekonomi Klasik, produktivitas merupakan output yeng
tersisa yang tidak dapat dijelaskan dengan input sumberdaya dari kontribusi secara langsung.
Sisa ini yang biasa disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). (Kim, 2017).
Variabel Independen
Keterbukaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi produktivitas. (Islam,
2005). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah lokasi dari negara tersebut.
Metode
Penelitian terkait produktivitas menggunakan data panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan

Universitas Indonesia
135

derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke
waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab
dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian,
serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap
unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian
lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu
umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi
tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai
endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).
Hasil
Produktivitas merespon secara positif terhadap Keterbukaan Ekonomi (Islam, 2005).
Kondisi geografis tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (Islam, 2005).

REGRESI IRSA

MENENTUKAN MODEL TERBAIK

1. CHOW TEST
a. OLS

Universitas Indonesia
136

. reg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV

Source SS df MS Number of obs = 250


F( 9, 240) = 174.55
Model 1.0421e+23 9 1.1579e+22 Prob > F = 0.0000
Residual 1.5921e+22 240 6.6340e+19 R-squared = 0.8675
Adj R-squared = 0.8625
Total 1.2014e+23 249 4.8247e+20 Root MSE = 8.1e+09

Y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

FDI 45754.67 2433.02 18.81 0.000 40961.87 50547.48


DDI 1757.128 762.4266 2.30 0.022 255.2261 3259.031
IHK 2.46e+07 1.36e+08 0.18 0.856 -2.43e+08 2.92e+08
LEMBAH 9394136 5263310 1.78 0.076 -974045.5 1.98e+07
LERENG -2696625 1727318 -1.56 0.120 -6099263 706014.2
DARATAN 216528.3 494388.4 0.44 0.662 -757366.3 1190423
EKSPOR -4394.153 40345.48 -0.11 0.913 -83870.63 75082.32
UPAHNOMINAL 4732794 1882904 2.51 0.013 1023666 8441923
RTRWPROV 2.54e+09 1.60e+09 1.58 0.115 -6.20e+08 5.70e+09
_cons -6.98e+09 2.68e+09 -2.60 0.010 -1.23e+10 -1.70e+09

b. Fixed effect
. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, fe

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 250


Group variable: ID Number of groups = 25

R-sq: within = 0.2745 Obs per group: min = 10


between = 0.7829 avg = 10.0
overall = 0.6709 max = 10

F(9,216) = 9.08
corr(u_i, Xb) = -1.0000 Prob > F = 0.0000

Y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

FDI -5.99e+09 8.82e+09 -0.68 0.498 -2.34e+10 1.14e+10


DDI -1.37e+10 1.07e+10 -1.29 0.199 -3.48e+10 7.27e+09
IHK -6.48e+07 1.31e+08 -0.50 0.621 -3.23e+08 1.93e+08
LEMBAH 4.58e+07 8740474 5.24 0.000 2.86e+07 6.30e+07
LERENG -4.88e+07 7900623 -6.18 0.000 -6.44e+07 -3.32e+07
DARATAN -253609 2592629 -0.10 0.922 -5363700 4856482
EKSPOR -52639.06 102874.7 -0.51 0.609 -255405.8 150127.7
UPAHNOMINAL 8699352 2468147 3.52 0.001 3834615 1.36e+07
RTRWPROV -1.29e+09 1.89e+09 -0.68 0.497 -5.01e+09 2.44e+09
_cons 9.27e+15 6.65e+15 1.39 0.165 -3.84e+15 2.24e+16

sigma_u 2.552e+16
sigma_e 7.597e+09
rho 1 (fraction of variance due to u_i)

F test that all u_i=0: F(24, 216) = 2.49 Prob > F = 0.0003

Hasil dari uji chow test menunjukkan bahwa P Value 0.0003 < α 0.05 maka
H1 diterima, artinya fixed effect merupakan pilihanterbaik.

2. UJI HAUSMAN

Universitas Indonesia
137

. xtreg Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV, re

Random-effects GLS regression Number of obs = 250


Group variable: ID Number of groups = 25

R-sq: within = 0.1378 Obs per group: min = 10


between = 0.9895 avg = 10.0
overall = 0.8675 max = 10

Wald chi2(9) = 1570.91


corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000

Y Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

FDI 45754.67 2433.02 18.81 0.000 40986.04 50523.31


DDI 1757.128 762.4266 2.30 0.021 262.7998 3251.457
IHK 2.46e+07 1.36e+08 0.18 0.856 -2.42e+08 2.91e+08
LEMBAH 9394136 5263310 1.78 0.074 -921761.7 1.97e+07
LERENG -2696625 1727318 -1.56 0.118 -6082105 688855.6
DARATAN 216528.3 494388.4 0.44 0.661 -752455.3 1185512
EKSPOR -4394.153 40345.48 -0.11 0.913 -83469.85 74681.54
UPAHNOMINAL 4732794 1882904 2.51 0.012 1042370 8423219
RTRWPROV 2.54e+09 1.60e+09 1.58 0.113 -6.04e+08 5.68e+09
_cons -6.98e+09 2.68e+09 -2.60 0.009 -1.22e+10 -1.72e+09

sigma_u 0
sigma_e 7.597e+09
rho 0 (fraction of variance due to u_i)

Memilih yang terbaik antara fixed effect dan random effect


. hausman fe re

Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of
coefficients being tested (9); be sure this is what you expect, or there may
be problems computing the test. Examine the output of your estimators for
anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the
coefficients are on a similar scale.

Coefficients
(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
fe re Difference S.E.

FDI -5.99e+09 45754.67 -5.99e+09 8.82e+09


DDI -1.37e+10 1757.128 -1.37e+10 1.07e+10
IHK -6.48e+07 2.46e+07 -8.95e+07 .
LEMBAH 4.58e+07 9394136 3.64e+07 6978069
LERENG -4.88e+07 -2696625 -4.61e+07 7709489
DARATAN -253609 216528.3 -470137.3 2545055
EKSPOR -52639.06 -4394.153 -48244.9 94633.19
UPAHNOMINAL 8699352 4732794 3966558 1595751
RTRWPROV -1.29e+09 2.54e+09 -3.83e+09 1.00e+09

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg


B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 51.35
Prob>chi2 = 0.0000
(V_b-V_B is not positive definite)

Dari hasil uji hausman diatas, didapatkan P Value 0.00 < α 0.05 maka tolak H0
yang artinya model fixed effect yang diterima. Uji hausman dan chos test
memiliki hasil yang konsisten sehingga tidak perlu dilanjutkan dengan uji
lagrang.

Universitas Indonesia
138

3. UJI ASUMSI KLASIK


a. Uji multikolinearitas
. vif, uncentered

Variable VIF 1/VIF

UPAHNOMINAL 7.41 0.134867


LERENG 7.01 0.142656
DDI 6.94 0.144030
DARATAN 5.75 0.174013
FDI 3.97 0.252169
IHK 3.49 0.286622
LEMBAH 2.87 0.349022
RTRWPROV 2.30 0.435699
EKSPOR 1.55 0.644684

Mean VIF 4.59

Nilai VIF >10 atau tolerance 4,5/10 adalah .45 mengindikasikan tidak
adanya masalah multikolinearitas.

b. Uji heteroskedastisitas
. xttest3

Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity


in fixed effect regression model

H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i

chi2 (25) = 79399.40


Prob>chi2 = 0.0000
5.000e+10 1.000e+11 1.500e+11 2.000e+11
Y
0

-8.00e+16 -6.00e+16 -4.00e+16 -2.00e+16 0 2.00e+16


Y predicted

Melihat hasil scatter plot dan

Universitas Indonesia
139

c. Uji Autokorelasi

. xtserial Y FDI DDI IHK LEMBAH LERENG DARATAN EKSPOR UPAHNOMINAL RTRWPROV

Wooldridge test for autocorrelation in panel data


H0: no first-order autocorrelation
F( 1, 24) = 5.175
Prob > F = 0.0321

Dari hasil uji diatas, didapatkan nilai P value < α 0.05 yang artinya terjadi
masalah autokorelasi.

d. Khsadh

Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa


Berdasarkan hasil di atas, lembah dan lereng industri berpengaruh negatif dan
signifikan pada alfa 1% terhadap produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara
variabel upah nominal berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 % terhadap produktivitas
industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara itu, variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi
produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN


Kesimpulan
Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris
Ada beberapa variabel, yaitu: lereng dan lembah, sebagai variabel kontrol dipengaruhi
oleh produktivitas.
Berbeda halnya dengan upah nominal yang signifikan mempengaruhi besaran
produktivitas industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya,
yaitu FDI, DDI, IHK, Ekspor, dan RTRW Provinsi tidak signifikan mempengaruhi
produktivitas di 24 provinsi.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang

Universitas Indonesia
140

mempengaruhi produktivitas dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah upah
nominal, pengurangan lokasi kawasan peruntukan industri di lereng dan lembah untuk
mengendalikan besaran produktivitas sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kim, Young Eun. et.al. 2017. Productivity and its Determinants : Innovation, Education, Efficiency,
Infrastructure, and Institutions.
Islam, Nazrul. 2005. Determinants of Productivity : A Two Stage Analysis.

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

KAJIAN PENINJAUAN KEMBALI RTR PULAU / KEPULAUAN

PENGARUH KARAKTERISTIK GEOGRAFI WILAYAH TERHADAP OUTPUT INDUSTRI

BAB
Paket I
Pekerjaan
PENDAHULUAN

Tabel 1.1.
DETERMINAN PRODUKTIVITAS
capital / input value (per year) in SEKTOR INDUSTRI
millions rupiahs
2013 2014 2015
indonesia (INDUSTRI TEKSTIL DAN311111481
300777949 PAKAIAN JADI)349626357
west 257323521 237908689 301236497
east 43454428 73202792 48389860
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

TAHUN ANGGARAN 2020

SATUAN KERJA

DIREKTORAT JENDERAL TATA RUANG


KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Tabel 1.2.
labor amount (per year) in people
2013 2014 2015
Indonesia 9734111 8362746 8735781
West 7901109 6538924 7195984

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

East 1833002 18223822 1539797


Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

Tabel 1.3.
labor cost ( per year) in millions rupiahs
2013 2014 2015
Indonesia 86546669 48602183 48188828
West 73118315 37654464 39942804
East 13428354 10947719 8246024
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Tabel 1.4.
producer / Number of micro and small industries / companies (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 3418366 3505064 3668873
West 2610866 2659782 2971231
East 807500 845282 697642
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

Tabel 1.5.
output value (per year)
2013 2014 2015
Indonesia 489861304 513309953 570366901
West 413679797 388275108 482250498
East 76181507 125034845 88116403
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Tabel 1.6

value added (per year)


2013 2014 2015
indonesia 300777949 55658747 220740544
west 257323520 150366420 181014001
east 43454429 5182053 39726543
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

Tabel 1.7

production growth (per year)


2013 2014 2015
Indonesia 7,51 4,91 5,71

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

West 3,85 4,56 4,19


East 3,56 7,63 10,29
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2017

BAB II
STUDI EMPIRIS

Regional Jumlah Perusahaan Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 2610866 2659782 2971231
Wilayah Timur 807500 845282 697642
Indonesia 3418366 3505064 368873

Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa jumlah perusahaan ,menurut
provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan Indonesia
menunjukkan tren peningkatan, sedangkan di Wilayah Timur menunjukkan tren
penurunan.

Regional Jumlah Tenaga Kerja Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 7901109 6538924 7195984
Wilayah Timur 1833002 1823822 1539797
Indonesia 9734111 8362746 8735781

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa jumlah tenaga kerja menurut
provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat, Wilayah Timur dan
Indonesia menunjukkan tren penurunan.

Regional Nilai Input Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 257323521 237908689 301236497
Wilayah Timur 43454428 73202792 48389860
Indonesia 300777949 311111481 349626357
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa nilai input menurut provinsi
pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan Indonesia
menunjukkan tren peningkatan, sedangkan di Wilayah Timur menunjukkan tren
penurunan.

Regional Nilai Output Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 413679797 388275108 482250948
Wilayah Timur 76181507 125034845 88116403
Indonesia 489861304 513309953 570366901
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa nilai output menurut provinsi
pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan Indonesia
menunjukkan tren peningkatan, sedangkan di Wilayah Timur menunjukkan tren
penurunan.

Regional Nilai Tambah (Harga Pasar) Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 257323520 150366420 181014001
Wilayah Timur 43454429 51832053 39726543
Indonesia 300777949 55658747 220740544
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa nilai tambah (harga pasar)
menurut provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat, Wilayah
Timur dan Indonesia menunjukkan tren penurunan.

Regional Pengeluaran untuk Tenaga Kerja Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 73118315 37654464 39942804
Wilayah Timur 13428354 10947719 8246024
Indonesia 8546669 48602183 481888828

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa tenaga kerja menurut provinsi
pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat, Wilayah Timur dan
Indonesia menunjukkan tren penurunan.

Regional Pertumbuhan Produksi Menurut Provinsi


(Unit)
2013 2014 2015
Wilayah Barat 3,85 4,56 4,19
Wilayah Timur 3,56 7,63 10,29
Indonesia 7,51 4,91 5,71
Dari tabel di atas dapat didapatkan informasi bahwa pertumbuhan produksi menurut
provinsi pada kurun waktu 2013 – 2015 di Regional Wilayah Barat dan dan Indonesia
menunjukkan tren peningkatan sedangkan di Wilayah Timur menunjukkan tren
penurunan.

BAB III
ANALISIS

Peningkatan pada Labor


sebanyak 1rb orang,
berkorelasi dengan penurunan
capital input sebesar 0,065
triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 20%.

Peningkatan pada biaya


tenaga kerja sebesar 1 trilyun
rupiah, berkorelasi dengan
penurunan capital input
sebesar 0,78 triliun rupiah.

Universitas Indonesia

Jadi dua hal ini berkorelasi


REGION INDONESIA

Peningkatan pada 1 unit


UMKM, berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,0002 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 98%.

Peningkatan pada 1 Trilyun


Output, berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,61 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 99%.

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Peningkatan pada 1 Trilyun


Value Added, berkorelasi
dengan penurunan capital
input sebesar 0,003 triliun
rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 0,03%.

Jika melihat grafik diatas, pertumbuhan jumlah tenaga kerja linear dengan biaya
tenaga kerja, sedangkan tren input sepertinya dipengaruhi oleh hal lain.

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Jumlah UMKM di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi, hal
ini tidak linear dengan pertumbuhan value added, tetapi linear dengan output.
Kemungkinan ini disebabkan oleh biaya bahan-bahan masukan, bahan mentah, dan
jasa untuk produksi mengalami kenaikan harga. Bisa dilihat dari grafik nilai input
yang terus mengalami kenaikan meskipun jumlah tenaga kerja mengalami tren
penurunan.

Universitas Indonesia
REGION INDONESIA

Pertumbuhan produksi mengalami penurunan tren, meskipun begitu tren outputnya


mengalami peningkatan. Melihat tren jumlah tenaga kerja dan biaya tenaga kerja
yang menurun, kemungkinan ini dikarenakan adanya peningkatan pada jumlah
UMKM. Walaupun UMKM meningkat, jumlah tenaga kerja menurun ini sangat wajar,
karena biasanya sistem kerja UMKM adalah kekeluargaan, sehingga kemungkinan
tenaga kerja yang bekerja pada sektor UMKM tidak terdaftar sebagai pekerja. (Ini
perlu dicek)

Universitas Indonesia
REGION: WEST

Peningkatan pada Labor


sebanyak 1 juta orang,
berkorelasi dengan kenaikan
capital input sebesar 10 triliun
rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 5%.

Peningkatan pada Labor Cost


sebanyak 1 triliun rupiah,
berkorelasi dengan penurunan
capital input sebesar 0,263
triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 2%.

Universitas Indonesia
REGION: WEST

Peningkatan pada Jumlah


UMKM sebanyak sepuluh ribu
unit, berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 180 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 90%.

Peningkatan pada nilai output


sebanyak 1 triliun rupiah,
berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,67 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 90%.

Universitas Indonesia
REGION: WEST

Peningkatan pada nilai tambah


sebanyak 1 triliun rupiah,
berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,04 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 0,5%.

Penurunan pada pertumbuhan


produksi sebesar 1% ,
berkorelasi dengan penurunan
input value sebesar 30 triliun
rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 10%.

Universitas Indonesia
REGION: WEST

Di wilayah barat, penurunan jumlah tenaga kerja linear dengan penurunan pada
biaya tenaga kerja yang mana secara teoritis masuk akal, tapi berkorelasi negatis
dengan biaya input/capital input dimana semakin meningkat. Hal ini kemungkinan
biaya variabel cost seperti bahan mentah dan jasa lain meningkat, atau mungkin ada
pembelian teknologi untuk efisiensi produksi.

Universitas Indonesia
REGION: WEST

Trend line jumlah UMKM dari 2013-2014 meningkat walau tidak signifikan,
peningkatan jumlah UMKM linear dengan nilai output. Secara teoritis, jika UMKM
meningkat memang output akan meningkat, tapi data ini hanya menggambarkan
hubungan linear jumlah UMKM dengan output. Jika ingin melihat apakah
peningkatan UMKM per unit akan meningkatkan output, maka seharusnya
menggunakan data rasio UMKM/Output value, berlaku juga untuk nilai tambah.

Jika melihat grafik diatas, tren nilai input dan output adalah linear. Jika input
meningkat, maka output meningkat. Sedangkan pertumbuhan produksinya
peningkatan input dan output terlihat berkorelasi negatif dengan pertumbuhan biaya
produksi, ini kemungkinan karena industri pada tahun 2014 efisien dalam produksi
atau dalam kondisi decreasing return to scale, tapi pada tahun 2015, pertumbuhan
nilai input dan output tidak berkorelasi dengan pertumbuhan produksi, kemungkinan
ini karena faktor harga.

Universitas Indonesia
157

Peningkatan pada jumlah


tenaga kerja sebanyak satu
juta orang, berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 1,67 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 8%.
Tapi, data 2014 pada data

Peningkatan pada biaya


tenaga kerja sebanyak 1
triliun rupiah, berkorelasi
dengan penurunan capital
input sebesar 1,7 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 7%.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


158

Peningkatan pada Jumlah


UMKM sebanyak seribu unit,
berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,12 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 33%.

Peningkatan pada Jumlah


UMKM sebanyak seribu unit,
berkorelasi dengan penurunan
capital input sebesar 0,79
triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


negatif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 99%.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


159

Peningkatan pada Jumlah


UMKM sebanyak seribu unit,
berkorelasi dengan
peningkatan capital input
sebesar 0,62 triliun rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 99%.

Peningkatan pada
pertumbuhan produksi
sebesar 1%, berkorelasi
dengan peningkatan capital
input sebesar 1,29 triliun
rupiah.

Jadi dua hal ini berkorelasi


positif. Sedangkan koefisien
determinasinya adalah 7%.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


160

Pada tahun 2014, jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan signifikan,


namun turun kembali pada tahun 2015 (perlu dicari tahu kenapa). Jika melihat
grafik diatas, nilai input dan jumlah tenaga kerja memiliki korelasi linear
sedangkan biaya tenaga kerjanya berkorelasi negatif.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


161

Jika dilihat data diatas, maka nilai output dan nilai tambah berkorelasi negatif,
sedangkan nilai tambah dengan jumlah UMKM berkorelasi positif, hanya saja
tahun 2014 menjadi outlier.

Jika melihat grafik diatas, tren input dan output linear. Sedangkan tren
pertumbuhan produksi sepertinya dipengaruhi oleh hal lain. Jika merujuk data
sebelumnya, Jumlah tenaga kerja meningkat tajam pada tahun 2014, diikuti oleh
pertumbuhan produksi sebesar kurang lebih 3% dan terus mengalami
peningkatan jumlah produksi secara signifikan pada tahun 2015, padahal jumlah
tenaga kerjanya berkurang signifikan pada 2015 (perlu dicari tahu sebabnya).

BAB IV

KESIMPULAN

 Value added dan capital input di Indonesia berkorelasi negative dengan


koefisien determinasinya adalah 0,03%.
 Labor dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi positif dengan
koefisien determinasinya adalah 5%.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


162

 Labor Cost dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi negative


dengan koefisien determinasinya adalah 2%.
 Nilai tambah dan capital input di Wilayah Barat berkorelasi negative
dengan koefisien determinasinya adalah 0,5%.
 Pertumbuhan produksi dan input value di Wilayah Barat berkorelasi
positif dengan koefisien determinasinya adalah 10%.
 Biaya tenaga kerja dan capital input di Wilayah Timur berkorelasi
negative dengan koefisien determinasinya adalah 7%.
 Pertumbuhan produksi dan capital input di Wilayah Timur berkorelasi
positif dengan koefisien determinasinya adalah 7%.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


163

PROPOSAL KAJIAN PENGARUH JUMLAH PERUSAHAAN, TENAGA KERJA, INPUT,


TERHADAP OUTPUT, NILAI TAMBAH DAN NILAI PERTUMBUHAN INDUSTRI
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019

Paket Pekerjaan
164

PENGARUH UPAH (MINIMUM DAN RELATIF) REGIONAL TERHADAP FOREIGN DIRECT


INVESTMENT (FDI) PADA SEKTOR INDUSTRI DI PULAU JAWA

Destarita Indah Permatasari¹, Ashintya Damayati²

4. Mahasiswa Program Studi Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan,


Universitas Indonesia
5. Dosen Program Studi Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Universitas
Indonesia

Email : destaritaindah@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan Upah terhadap
fluktuasi aliran Foreign Direct Investment (FDI) pada sektor industri di Pulau Jawa dengan
menggunakan metode regresi data panel pada kurun waktu tahun 2005-2014. Dari hasil
penelitian terbukti bahwa variabel upah (minimum dan relative) tidak signifikan
mempengaruhi aliran FDI pada sektor industri di Pulau Jawa. Sedangkan variabel
infrastruktur (panjang jalan dan distribusi listik), maupun ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan) berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI pada sektor industri di Pulau
Jawa.

Kata Kunci : aktivitas Ekonomi Regional : Pertumbuhan Pembangunan, isu lingkungan,


dan perubahan, Pemerintah dan pemerintah daerah: hubungan antar pemerintah, Upah,
Kompensasi, dan Upah pekerja, pekerja-relasi manajemen, perdagangan dan tawar-
menawar kolektif, dan kebijakan dan perencanaan pembangunan.

Klasifikasi JEL : CR12, H7, J2, J5, dan O2

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


165

Impact Regional Wage (Minimum dan Relative) on Foreign Direct Investment (FDI) of
Industry Sector in Java Island

Abstract

Keywords: Regional Economic Activity : Growth Development, Environmental issues, and


Changes, State and Local Government : Intergovernmental Relations,
Wages,Compensation, and Labor Costs, Labor – Management Relations, Trade Union, and
Collective Bargaining, and Development Planning and Policy.

JEL Clasification : CR12, H7, J2, J5, dan O2

This research aims to analyze the impact of policy related to setted the wage on fluctuation
of Foreign Direct Investment (FDI) inflow on Industry Sector in Java Island which used
regression Panel Data as the method during period 2005-2014. As the result, wage is not
significantly affecting, while infrastructure (length of road and electricity distribution),
moreover market size (trade infrastructure) showing the reverse impact.

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki karakter small open economy dimana
partisipasi pada perdagangan internasional masih kecil sehingga tidak dapat mempengaruhi
harga – harga barang dunia, tingkat suku bunga dan pendapatan (Tommy, 2018).
Dalam bidang perdagangan internasional, peran FDI sangat penting. Karena di dunia yang
sudah mengglobal ini suatu negara seperti Indonesia harus saling terbuka dan saling
bekerjasama untuk membangun ekonomi negara. Indonesia merupakan negara berkembang
yang masih banyak membutuhkan dana investasi untuk membangun negarqa ini, telah
dikatakan bahwa negara – negara utama sebagai negara yang menanamkan modal di
Indonesia adalah negara- negara maju yang dimana mereka melihat peluang yang ada untuk
berinvestasi secara besar – besaran dengan jangka waktu yang panjang (Annisa, 2017).

Aliran FDI ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan pada data Badan Koordinasi Penanaman
Modal pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pada kurun waktu tahun 2011 – 2014, realisasi
Aliran FDI secara umum meningkat. Titik tertinggi adalah pada tahun 2013 sebesar 7.4 triliun
dollar AS, dimana titik terendah adalah pada tahun 2011 sebesar 5,1 triliun dollar A.S. Jumlah
Aliran FDI pada tahun 2011-2014 meningkat 33,33 %, dimana ada tren penurunan dari tahun
ke tahun, masing – masing dari tahun 2011 – 2012 FDI meningkat 23,53 %, dari 2012 – 2013
meningkat 17,46 %, dan dari 2013 ke 2014 menurun 8,11 %.

Oleh karena itu, komposisi sektor – sektor yang menerima Aliran FDI pada tahun 2014 masih
didominasi oleh sektor manufaktur sebesar 45,6 %, jasa pada peringkat kedua sebesar 29,9 %,
dan tempat ketiga adalah pertambangan sebesar 16,4 % dan tempat keempat adalah tanaman
pangan dan perkebunan sebesar 7,7 %, sedangkan terendah adalah kehutanan, perikanan,
dan peternakan, masing –masing 0,1 %.

Pada tahun 2014, sebagian besar aliran FDI yang diienvestasikan di Pulau Jawa adalah
sebesar 65 %. Pada tempat kedua adalah di Pulau Sumatera sebesar 16 %. Diikuti oleh Pulau
Sulawesi sebesar 12 %. Ketiga terakhir adalah Kalimantan sebesar 7 %, Bali dan Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua adalah sebesar 0%.

Upah minimum sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi. Dalam kurun
waktu tahun 2005 – 2014, Upah Minimum Regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa, selalu
meningkat. Tetapi tingkat peningkatan dari tahun ke tahun berbeda diantara tiap provinsi. Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan upah
minimum yang hampir sama. Sedangkan Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menetapkan upah minimum lebih tinggi daripada 4 (empat) sprovinsi tersebut, walaupun sejak
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
166

tahun 2011 – 2014, Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan upah minimum jauh lebih
tinggi dari Banten.

Gambar 1.3. Volatilitas dari upah minimum regional pada setiap provinsi di Pulau Jawa
selama periode 2005 -2014

Sumber : Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 2017

Gambar 1.4. Volatilitas aliran Investasi Asing Langsung pada sektor industri di Pulau
Jawa selama periode 2005 - 2014

Sumber : bkpm.go.id

Dari grafik garis di atas, kita dapat melihat bahwa aliran FDI pada sektor industri selama
periode 2005 – 2014 pada provinsi – provinsi tersebut dapat dilihat bahwa ada sebuah tren
peningkatan dari Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Walaupun mereka menunjukkan
volatilitas selama 2005 – 2011, tetapi meningkat selama 2011 – 2014. Sedangkan pada
provinsi – provinsi lain menunjukkan stabilitas pertumbuhan FDI pada sektor Industri.

Terkait dengan volatilitas pada upah minimum regional pada keenam provinsi di Pulau Jawa,
aliran FDI di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi kedua terendah diduga karena

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


167

tingginya Upah Minimum Regional (UMR). Sedangkan Jawa Tengah dan Daerah Khusus
Ibukota Yogyakarta mendapatkan FDI lebih rendah walaupun upah minimum regionalnya
rendah. Kondisi berbeda terjadi pada Jawa Barat dan Jawa Timur, walaupun upah minimum
regionalnya hampir sama dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
tetapi aliran FDI lebih tinggi. Dan Banten sebagai tertinggi kedua dimana Jawa Tengah dan
Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta menunjukkan tingginya FDI, lebih tinggi daripada Jawa
Timur, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat.

Gambar 1.5. Fluktuasi dari jumlah perusahaan multinasional pada tiap provinsi di Pulau
Jawa

sumber: Statistik Industri, 2014

Di sisi lain, jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi di Pulau Jawa berfluktuasi.
Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut tercatat bahwa jumlah perusahaan multi
nasional meningkat. Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu terendah dalam hal jumlah
perusahaan asing. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan jumlah
perusahaan multi nasional. Jumlah perusahaan multi nasional di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Banten menunjukkan fluktuasi yang stabil. Dimana Jawa Barat selalu menjadi peringkat
teratas jumlah perusahaan asing.

Terkait dengan volatilitas upah minimum regional di 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah
Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan jumlah perusahaan multi nasional teremdah
walaupun upah minimum regionalnya rendah,jumlah perusahaanmulti nasional di wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi secara konstan menurun karena tingginya upah
minimum regional. Sedangkan di Jawa Tengah mendapatkan jumlah perusahaan multi nasional
yang stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta karena upah minimum regional rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Barat,
dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dibandingkan dengan
Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi jumlah perusahaan multi nasional
ke mereka selalu lebih tinggi dibandingkan dengan keempat provinsi lainnya.Dan Banten dan
Jawa Barat selalu menjasi peringkat tertinggi pertama dan kedua, walaupun tingginya jumlah
perusahaan multi nasional, walaupun upah minimum regionalnya tinggi dan di Jawa Barat upah
minimum regionalnya relatif sama dengan di Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


168

Gambar 1.6. Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada industri Padat karya di
Pulau Jawa pada kurun waktu 2005 – 2014

Sumber: bkpm.go.id

Dari grafik garis di bawah, industri yang padat karya yang paling berfluktuasi adalah di Banten,
Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sejak 2007, Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menunjukkan fluktuasi yang sama dan jumlah Aliran FDI hampir sama. Sedangkan Daerah
Khusus Ibukota Yogyakarta stabil.

Kita berpindah dari aliran FDI dari industri padat karya di setiap provinsi di Pulau Jawa juga
telah berfluktuasi.Sebagian besar dari provinsi – provinsi tersebut merekam bahwa aliran FDI
langsung ke industri – industri padat karya relatif meningkat. Daerah Khusus Ibukota
Yogyakarta selalu menjadi terbawah dalam hal aliran FDI. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
menunjukkan penurunan aliran FDI selama 2010 – 2012. Aliran FDI pada industri padat karya
di Pulau Jawa relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tetapi lebih tinggi sejak
tahun 2011- 2014. Sedangkan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten selalu menjadi tiga teratas
aliran FDI industri padat karya.

Terkait dengan volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa,
Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta selalu mendapatkan aliran FDI yang terendah walaupun
upah minimum regionalnya lebih rendah. Aliran investasi asing langsung dari industri padat
karya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun selama kurun waktu 2009 – 2012 diduga
karena tingginya upah minimum regional. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memperoleh aliran
FDI stabil lebih tinggi daripada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta karena upah minimumj regionalnya lebih rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Timur,
dimana upah minimum regional di provinsi – provinsi tersebut relatif sama dengan Jawa
Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, tetapi aliran FDI nya selalu lebih tinggi
daripada keempat provinsi tersebut. Dan Banten dan Jawa Barat selalu menjadi tertinggi
pertama dan kedua dalam hal jumlah perusahaan multi nasional, walaupun upah minimum
regional di Jawa Barat relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


169

Gambar 1.7. Volatilitas dari Aliran investasi asing langsung dari Industri Padat Modal

Sumber : nswi.bkpm.go.id

Di sisi lain, aliran FDI dari industri padat modal di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah
berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi tersebut mencatat bahwa jumlah aliran FDI dari
sektor industri padat modal relatif meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta selalu menjadi yang terbawah dari aliran investasi asing
langsung dari industri padat modal. Jawa Timur menunjukkan aliran investasi asing langsung
dari industri padat modal sedikit lebih tinggi dari ketiga provinsi lainnya. Aliran FDI dari industri
padat modal di Jawa Barat dan banten menunjukkan fluktuasi yang tidak stabil walaupun
menjadi dua teratas dari aliran FDI dari industri padat modal selama periode 2011 – 2014.

Terkait dari volatilitas dari upah minimum regional dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selalu mendapatkan aliran FDI dari industri padat
modal yang rendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Aliran FDI dari industri padat
modal menjadi tetap rendah sebagai tiga terbawah karena tingginya upah minimum
regional.Sedangkan Jawa Timur memdapatkan aliran FDI yang sedikit lebih tinggi daripada
ketiga provinsi lainnya merujuk pada upah minimum regional yang hampir sama. Kondisi yang
berbeda terjadi di Jawa Barat, dimana upah minimum regional dari provinsi- provinsi tersebut
relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan Banten dan Jawa
Barat selalu menjadi pertama dan kedua tertinggi dalam hal aliran FDI dari industri padat
modal,walaupun upah minimum regional di Banten tinggi dan di Jawa Barat upah minimum
regional sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Menurut Wahyono pada tahun 2012, beberapa faktor – faktor lain yang mempengaruhi lokasi
pabrik adalah lokasi konsumen, sumber bahan mentah, upah pegawai, ketersediaan air, suhu,
listrik, transportasi, lingkungan, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Peraturan yang
dimaksud adalah Peraturan Tata Ruang dan Pertanahan yang mengatur luas Kabupaten / Kota
yang diperuntukan untuk kegiatan lindustri ataupun kawasan budidaya yang diperbolehkan
untuk dibangun untuk kegiatan industri. Sebagaimana tercantum pada dokumen Rencana
Strategis 2015-2019 Direktorat Jenderal Tata Ruang, bahwa fungsi tata ruang dalam
pembangunan adalah menentukan sektor – sektor yang didorong atau dikendalikan.
Sedangkan fungsi pertanahan adalah menentukan luas lahan kawasan budidaya berdasarkan
UMR menurut PP 13 tahun 2006 dan PP 46 tahun 2002, dan penentuan izin kawasan budidaya
berdasarkan zona nilai tanah pada PP128 tahun 2015.

Menurut Bank Indonesia pada tahun 2007, walaupun memiliki potensi yang menjanjikan dapat
dilihat dari pasar dan sumberdaya yang melimpah, tetapi iklim investasi yang tidak kondusif di
Indonesia, menyebabkan tidak menarik investor seperti beberapa tahun yang lalu sebelum
krisiskeuangan. Terutama, investasi jangka panjang sehingga investasi baru dalam hal
peningkatan kualitas produk dalam jumlah kecil bahkan negatif. Akar dari permasalahan dari
permasalahan mengarahkan pada produk ekpor dari Indonesia menjadi mahal dan tidak
kompetitif.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


170

Permasalahan yang terkait dengan investasi sangat kompleks, mulai dari keamanan, stabilitas
politik dan sosial, ketidakpastian hukum, kondisi infrastruktur sebagai contoh ketersediaan listrik
yang tidak stabil, telekomunikasi, juga jalan dan fasilitas pelabuhan dan kondisi tenaga tenaga
kerja yang menjadi lebih buruk. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah beberapa perusahaan
asing yaitu industri padat karya seperti elektronik, tekstil, pakaian jadi, dan perusahaan sepatu
merelokasi produksinya ke negara – negara lainnya seperti Thailand, Malaysia,dan Vietnam.

Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran FDI (semua industri, industri padat
karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi nasional) di Pulau Jawa, tren dari
aliran FDI (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan
multi nasional), peranan upah minimum regional dan faktor – faktor lain mempengaruhi aliran
FDI (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multi
nasional) ke sektor industri di Pulau Jawa.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori

Menurut Sichei, et.al (2012) Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI adalah biaya tenaga
tenaga kerja yang tinggi menyiratkan biaya produksi yang lebih tinggi dan diharapkan untuk
membatasi arus masuk FDI. Biaya tenaga tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat
upah.

Dengan tingkat tenaga tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
FDI. Karena biaya tenaga tenaga kerja yang rendah dapat mengurangi biaya produksi. Karena
konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat meningkatkan laba perusahaan. Jadi,
harga produk relatif rendah, sebagai akibatnya permintaan juga akan meningkat. (Yogatama,
2011).

Peningkatan Upah Minimum Regional di Indonesia memiliki korelasi dengan biaya produksi
suatu perusahaan. Jika peningkatan tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas tenaga tenaga
kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya, tingkat investasi akan
berkurang juga. (Frederica dan Ratna Juwita, 2013).

Biaya tenaga tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan. Ketika
ada peningkatan biaya tenaga tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya
tenaga kerja rendah sebagai salah satu faktor pendorong FDI karena biaya tenaga tenaga kerja
yang lebih rendah akan menjaga biaya produksi rendah. Biaya produksi yang rendah akan
diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan. Biaya tenaga tenaga kerja yang tinggi
menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya
tenaga tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi
sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di
negara-negara yang memiliki biaya tenaga tenaga kerja rendah. (Marcelia, et.al)

Berdasarkan Teori Efisiensi Upah (Mankiw, 2003 tentang Syarif 2015) menjelaskan bahwa
Teori Efisiensi Upah menggambarkan bahwa ada korelasi antara upah dan produktivitas tenaga
tenaga kerja. Jadi, jika ada penurunan upah yang akan mengurangi laba perusahaan, kondisi
ini akan menurunkan produktivitas dan laba perusahaan.

• Teori Efisiensi Upah Pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi menyebabkan petenaga
kerja menjadi lebih produktif, upah juga memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruh upah
terhadap efisiensi akan menjadi kegagalan suatu perusahaan karena dengan mengurangi upah
akan berdampak pada menurunnya produktivitas petenaga kerja dan tentu saja laba
perusahaan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


171

 Teori Efisiensi Upah Kedua menyatakan bahwa upah yang tinggi akan menurunkan siklus
petenaga kerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan akan mengurangi
petenaga kerja, kemungkinan petenaga kerja yang akan meninggalkan petenaga kerjaan
mereka, pada saat yang sama tidak perlu waktu untuk merekrut dan melatih para petenaga
kerja baru.

 Teori Efisiensi Upah Ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata petenaga kerja bergantung
pada upah yang dibayarkan kepada mereka. Jika perusahaan mengurangi upah, karena
konsekuensinya petenaga kerja terbaik akan meninggalkan perusahaan dan pindah ke
tempat lain, dan petenaga kerja tidak terampil akan tetap tinggal karena memiliki lebih
sedikit alternatif.

 Teori Efisiensi Upah Keempat menyatakan bahwa jika upah tinggi memperbaiki upaya
produktivitas petenaga kerja. Fokus teory ini jika perusahaan tidak dapat memonitor dengan
sempurna pada upaya petenaga kerja, dan petenaga kerja harus memutuskan dengan
mereka sendiri seberapa jauh mereka dapat betenaga kerja keras. Dengan membayar upah
yang tinggi, perusahaan dapat memotivasi petenaga kerja untuk betenaga kerja lebih keras,
untuk meningkatkan produktivitas.

Teori-teori tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan akan beroperasi secara efisien jika
membayar petenaga kerja mereka dengan upah yang tinggi, sehingga perusahaan
berpendapat bahwa mempertahankan upah yang tinggi akan menjaga keseimbangan
penawaran dan permintaan yang mendatangkan keuntungan, tentunya hal ini juga sesuai
dengan keuangan perusahaan.

Menurut Aschauer bahwa inti dari infrastruktur seperti jalan, bandara, dan massa yang cepat
adalah kekuatan daripada yang bisa mengungguli munculnya produktivitas (Legowo, 2010).
Jayne, dkk (2009) menambahkan bahwa peningkatan biaya pada infrastruktur mengurangi
biaya produksi perusahaan dan sebagai konsekuensinya, merangsang investasi, produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi (Priyanti, 2012: 20).

2.2. Kerangka Empiris

2.2.1. Variabel Dependen

Sebagian besar jurnal-jurnal tersebut menggunakan total FDI sebagai variabel dependen.
Sedangkan tiga jurnal lainnya telah melakukan studi yang lebih spesifik yang menggunakan
Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (Asmara, 2013), FDI di Sektor Pertanian (Rashid,
2016), dan FDI Sumber Utama Minyak dan Gas Bumi (Iskandar) , 2014).

2.2.2. Variabel Independen

Upah adalah faktor utama yang mempengaruhi FDI. Selain itu, variabel penjelas lainnya telah
ditambahkan ke model dalam penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang hubungan FDI. Penggunaan upah dapat ditemukan dalam penelitian Owuka (2011),
Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), dan Mihai.

Infrastruktur juga dipilih sebagai faktor yang mendorong investor untuk berinvestasi. Ini dapat
didefinisikan dalam penelitian ulang Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William
(2015) dan Amaro (2006).

Faktor-faktor terakhir yang didefinisikan sebagai penentu FDI adalah inflasi. Menurut Iskandar
pada tahun 2014, Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015) dan Ruth (2003).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


172

Determinan lain akan dikelompokkan oleh penulisnya. Calhoun, et all (2002) telah menyelidiki
hubungan kualitas tenaga tenaga kerja dan orientasi ekspor ke Investasi Asing Langsung di
Negara-negara Berkembang Individu. Onwuka dalam penelitiannya tentang tingkat Upah, blok
perdagangan regional, dan lokasi keputusan Investasi Asing Langsung (2011) memperkirakan
bahwa tingkat upah, intensitas ekspor, intensitas impor, keterbukaan perdagangan, nilai tukar,
dan tarif rata-rata juga mempengaruhi FDI ke ASEAN lima negara.

2.2.3. Metode

Sebagian besar penelitian terkait FDI menggunakan Data Panel. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi, menambahkan
derajat freedoom, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat
heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu diantara waktu,
memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan
analisis deret waktu dan penampang lintang, relatif tinggi dalam fleksibilitas saat memodelkan
perilaku yang berbeda dari individu dibandingkan dengan data lintas bagian, dan dapat
menjelaskan penyesuaian dinamis pada cara yang lebih baik (Alia Asmara, 2013).

Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap unit cross
section memiliki jumlah observasi time series yang sama (Ruth, 2014). Sedangkan, penelitian
lain yang diterapkan Panel Data dilakukan menggunakan Fixed Effect Method (FEM) untuk
menguji The Determinant. FDI di Industri Sumber Minyak dan Gas di Indonesia. Analisis Tingkat
Upah, Blok Perdagangan Regional, dan Lokasi Keputusan FDI antara lima Negara ASEAN
selama 1976 hingga 2000 menggunakan Data Panel. Lainnya adalah Rashid (2016) .

Vektor Autoregression Model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu umumnya
digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis
dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi tambahan, dalam
Vector Autoregression Model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai endogen dan
beberapa sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged
endogeneous). (Mutasen).

Metode lain yang digunakan oleh Cushmand (1987) untuk mempelajari pengaruh Upah Riil dan
Produktivitas Tenaga Tenaga kerja pada FDI adalah Analisis Rangkaian Waktu. Kemungkinan
interaksi simultan antara investasi langsung dan beberapa variabel independen diperbolehkan
dengan menggunakan pendekatan tiga tahap-kuadrat terkecil.

2.2.4. Hasil

FDI merespon secara negatif dan signifikan terhadap upah. (Owuka, 2011). Temuan ini
memiliki hasil yang serupa dengan Alia (2013) yang telah melakukan penelitian tentang Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil dengan hasil negatif
tetapi tidak signifikan. Respon FDI yang sama juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Cushman
(1987) dan Amaro (2006). Juga menurut Mihai, peningkatan upah disumbangkan ke penurunan
FDI.

Infrastruktur berpengaruh positif terhadap Investasi Asing Langsung Sumber Utama Industri
Minyak dan Gas Bumi, yang reserach dilakukan oleh Iskandar pada tahun 2014 dan Huyen
(2015), William (2015) Singh (2008). Temuan ini sesuai dengan hasil Amaro (2006) bahwa
infrastruktur menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap FDI.

Sedangkan Inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap Investasi Langsung
Asing sebagaimana dinyatakan oleh Amaro (2006). Kondisi yang sama dinyatakan oleh
Iskandar (2016) dan William (2015) bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap Investasi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


173

Asing Langsung. Hampir hasil yang sama, Ruth (2003) dan Huyen (2015) telah membuktikan
bahwa Inflasi negatif tetapi tidak signifikan terhadap FDI.

3. METODOLOGI

4.1. Deskripsi Penelitian

Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan data panel FDI sektor Industri di 6 (enam)
provinsi di Pulau Jawa selama periode 2005 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 10 x 6 = 60.
Analisis menggunakan pendekatan regresi data panel karena cross section 6 (enam) provinsi
dan time series waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir (2005 - 2014). Dalam hal ini Regresi Data
Panel akan diterapkan pada data sekunder karena terikat dengan realisasi total FDI Sektor
Industri dari 6 (enam) provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Metode yang saya gunakan adalah Panel, karena ada aturan
bahwa minimal obsevasi adalah 30 (tiga puluh).

Ketersediaan data, deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data
tersedia dari 2005-2014. Periode Observasi adalah 10 (sepuluh) tahun.

4.2. Variabel Dependen

Variabel Dependen adalah Investasi Asing Langsung Sektor Industri. Sesuai dengan isu-isu
strategis yang relevan dengan penelitian. Untuk membuktikan di mana variabel dependen
memiliki korelasi dengan latar belakang observasi.

4.3. Variabel Independen

Variabel Independen yang berfungsi sebagai variabel control adalah Upah (minimum dan relatif)
Sedangkan variabel independen lainnya adalah infrastruktur (panjang jalan dan kapasitas
distribusi listrik), inflasi, PDRB, keterbukaan perdagangan (rasio bongkar muat), dan dummy
RTRWN. Ada kerangka empiris dan teoritis yang mendukung menjembatani antara variabel
dependen dan independen. Beberapa orang mengklaim koneksi antara variabel independen
dan dependen.

4.4. Area Obeservasi

Area Obeservasi adalah Semua provinsi di pulau Jawa. Tidak ada bias pemilihan ommit.
Semua data yang terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia.

4.5. Persamaan Ekonometri

Kemudian persamaan dari variabel dependen tersebut dibagi menjadi 4 (empat) persamaan,
seperti di bawah ini:

FDI allit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit +


β 6 tenaga kerja itu + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan dummy
itu + εit

logFDI labintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI it + β 5


electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit +
kebijakan dummy itu + εit

logFDI capintit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5


electricityit + β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit +
kebijakan dummy itu + εit

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


174

logMNCit = β 0 + β 1 minwageit + β 2 relwageit + β 3 roadit + β 4 CPI itu + β 5 electricityit


+ β 6 tenaga kerjakan + β 7 ukuran pasarit + β 8 keternbukaan pasarsit + kebijakan
dummy itu + εit

4.5.1. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi investasi
di atas adalah:

1) β 1 <0; upah minimum regional Peningkatan upah minimum regional akan mengurangi
investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya
produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus, (Emmi,2015).

2) β 2 <0; upah minimum relatif Peningkatan upah minimum relatif akan mengurangi
investasi, karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya tenaga kerja (biaya
produksi) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.

3) β 3> 0; Indeks Harga Konsumen Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai
realisasi investasi. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga barang
sebagai input produksi, kondisi ini akan memaksa kenaikan biaya produksi secara keseluruhan,
sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh investor, kondisi ini
akan mengurangi faktor dorongan investasi di akhirnya akan menurunkan nilai total nilai
investasi, ceteris paribus.

4) β 4> 0; Panjang jalan nasional Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif terhadap total
nilai investasi, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total aspal jalan akan
mempercepat mobilitas distribusi produk sehingga menurunkan biaya produksi secara
keseluruhan, dalam kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim investasi yang kondusif dan
peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris paribus. (Emmi,2015).

5) β 5> 0; Distribusi listrik ke industri Jika kapasitas listrik meningkat maka investasi juga
meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena meningkatkan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

6) Β6> 0; jumlah tenaga tenaga kerja Jumlah tenaga tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga
tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.

7) Β7> 0; Produk Domestik Regional Bruto Jika Produk Domestik Regional Bruto meningkat
maka investasi juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

8) β 8> 0; rasio antara beban dan membongkar Jika rasio beban dan membongkar
meningkat maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan
sebaliknya, ceteris paribus.

9) Kebijakan dummy Jika industri bilangan dan lokasi telah ditata dalam National Spatial
Planning maka investasi akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya,
ceteris paribus.

4.6. Analisis Regresi

Analisis Regresi Data Panel: Membuat model penentu penelitian Investasi Langsung Asing;
Lakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Lakukan estimasi dengan model
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
175

Fixed Effect Model (FEM); Lakukan Chow test untuk menentukan memilih model PLS dan FEM.
Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih; Lakukan estimasi
model Random Effect model (REM); Lakukan tes Hausman untuk menentukan model antara
FEM atau REM. Jika probabilitas Chi Square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.

4.6.1. Uji Asumsi Regresi

Uji Asumsi Regresi untuk menghasilkan model yang robust dimana perlu dilihat uji multikolinier,
uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear akan dilakukan dengan Breusch
Pagan LM Test of Independence dimana jika p-value tes etimation chi square akan kurang dari
alpha 5% sehingga terjadi fenomena otokorelasi. Heteroskedastisitas mana p-value uji estimasi
chi square kurang dari alpha 5% sehingga ada fenomena heteroskedastisitas.

4. PEMBAHASAN DAN HASIL

Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa

4.1.1. Deskripsi singkat Model Ekonometrik

Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi
industri, investasi luar negeri industri – industri padat karya, investasi luar negeri industri padat
modal, dan jumlah perusahaan asing di sektor industri dilakukan dengan pendekatan regresi
data panel yang melibatkan data cross section yaitu 6 (enam) provinsi di pulau Jawa dan time
series dengan kurun waktu 10 (sepuluh) tahun (2005-2014). Penelitian ini lebih
mengedepankan variabel utama upah minimum dan upah relatif dengan faktor variabel control
yaitu, indeks harga konsumen, panjang jalan, listrik yang didistribusikan ke industri, jumlah
tenaga tenaga kerja yang betenaga kerja di sektor industri,Produk Domestik Regional Bruto,
Keterbukaan Pasar dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

4.1.2. Pemeriksaan Awal

Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan antara
model Pooled Least Square ( PLS) dengan Fixed Effect Model (FEM) dengan uji Chow. Bila
hasil pengujian diperoleh jika nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5% maka FEM adalah
model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model Pooled Least Square (PLS)
dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Breusch Pagan Lagrange Multiplier (LM). Bila
hasil pengujian diperoleh jika p-value uji Breusch Pagan Lagrange Multiplier kurang dari alpha
5 % maka REM adalah model yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian Fixed Effect Model
(FEM) dengan Random Effect Model (REM) dengan uji Hausman. Bila hasil pengujian diperoleh
jika p-value uji Hausman kurang dari alpha 5 % maka REM adalah model yang terbaik.

Hasil pengolahan Stata 13 adalah sebagai berikut:

1. Model 1. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) semua jenis industri

Hasil Uji Chow = 0.0055, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0000.

2. Model 2. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Karya

Hasil Uji Chow = 0.0002, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0.0401.

3. Model 3. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Industri Padat Modal

Hasil Uji Chow = 0.0474, Hasil Uji LM = 1.0000, danHasil Uji Hausman = 0.0545.

4. Model 4. Determinan aliran Foreign Direct Investment (FDI) Jumlah Perusahaan Asing

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


176

Hasil Uji Chow = 0.0000, Hasil Uji LM = 1.0000, dan Hasil Uji Hausman = 0,0384.

Dalam model pertama terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value
kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model
terbaik adalah FEM. Dalam model kedua terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman
diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha
5 % maka model terbaik adalah FEM. Dalam model ketiga terlihat bahwa hasil Uji Chow dan Uji
Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih
dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM. Bagitu juga dengan model keempat terlihat
bahwa hasil Uji Chow dan Uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%,
sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah FEM.
Secara keseluruhan model terbaik yang menggambarkan keterkaitan faktor – faktor yang
memperngaruhi investasi luar negeri semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri –
industri padat karya, investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah perusahaan asing di
sektor industri adalah FEM.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier, uji
otokorelasi `dan uji heterokedastisitas.Uji multikolinier dilakukan dengan analisis korelasi
sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM test dan uji heterokedastisitas
dilaukan dengan modified Wqald Test yang dilakukan dengan software Stata 13.

Tabel 4.1. Hasil Uji multikolinier

Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4


Upah min 26.37 26.37 26.37 26.37

Upah rel 20.84 20.84 20.84 20.84

IHK 15.85 15.85 15.85 15.85

Jalan 21.24 21.24 21.24 21.24

Listrik 18.81 18.81 18.81 18.81

Tenaga tenaga 24.01 24.01 24.01 24.01


kerja

PDRB 27.79 27.79 27.79 27.79

Ketrbukaan 1,32 1,32 1,32 1,32


Pasar

RTRWN 7.07 7.07 7.07 7.07

Dalam model kesatu, kedua, ketiga, dan keempat Keternukaan Pasar dan Dummy RTRWN
memiliki nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol dikedua variabel tersebut.
Sedangkan untuk variabel – variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga
ditemukan multikol di variabel –variabel tersebut.

Tabel 4.2. Hasil Estimasi Model

Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4


C -1578456 -810541.5 -455983.1 303.0742
(0.200) (0.001) (0.704) (0.000)
Upah minimum -179.8194 -103.9691 76.69592 -.0331034
(0.743) (0.307) (0.886) (0.315)
Upah Relatif 133.9019 56.3148 86.12858 .0178263
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
177

(0.739) (0.451) (0.827) (0.461)


IHK 2780.542 903.4048 -286.2701 -.176282
(0.646) (0.421) (0.962) (0.627)
Jalan -66.33947 19.6362 -85.26525 -.0076325
(0.281) (0.087)* (0.159) (0.042)**
Listrik 590.2502 71.11903 494.5184 .0479597
(0.002)*** (0.034)** (0.006)*** (0.000)***
Tenaga tenaga .6459331 .042506 .7205807 -.0000351
kerja (0.339) (0.732) (0.277) (0.385)
Ukuran Pasar -3.682255 -.1605622 -3.811872 -.0002535
(0.088)* (0.683) (0.072)* (0.051)*
Keterbukaan 18300.32 -1341.462 24590.62 .1020613
Perdagangan (0.762) (0.904) (0.678) (0.977)
Dummy RTRWN 11822.74 1966.619 -33875.2 .1485628
(0.966) (0.969) (0.900) (0.993)

4.1.3. Hasil Pengujian Ekonometrik

Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sementara variabel listrik berperngaruh positif
signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI semua jenis industri. Sedangkan variabel –
variabel lainnya tidak berperngaruh aliran FDI semua jenis industri.

Berdasarkan hasil di atas, variabel listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 5 % terhadap
aliran FDI Industri Padat Karya. Sementara variabel jalan berpengaruh positif signifikan pada
alfa 10 % terhadap aliran FDI Industri Padat Karya. Sedangkan variabel – variabel lainnya tidak
terbukti berpengaruh terhadap aliran FDI Industri Padat Karya.

Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sementara variabel listrik berpengaruh positif
signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI Industri Padat Modal. Sedangkan variabel –
variabel lainnya tidak berpengaruh aliran FDI Industri Padat Modal.

Berdasarkan hasil di atas, variabel ukuran pasar berpengaruh negatif signifikan pada alfa 10 %
terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel jalan berpengaruh negatif
signifikan pada alfa 5 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan Asing. Sementara variabel
listrik berpengaruh positif signifikan pada alfa 1 % terhadap aliran FDI Jumlah Perusahaan
Asing. Sementara variabel – variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap aliran FDI Jumlah
Perusahaan Asing.

4.1.4. Pembahasan Hasil Regresi Ekonometrik

Variabel Upah Minimum

Pada model kesatu, kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
terlihat bahwa upah minimum berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri
aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya
tidak signifikan. Sementara pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat
modal terlihat bahwa upah minimum berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat
modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


178

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang serupa bahwa
upah tidak berpengaruh terhadap investasi pada industri padat karya. Sedangkan menurut
penelitian Emi (2015) menunjukkan upah minimum juga tidak berpengaruh terhadap investasi
baik aliran FDI maupun Domestic Direct Investment (DDI). Dalam proses jangka pendek
memang terlihat bahwa investasi di Indonesia meningkat akan tetapi kenaikan upah minimum
yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan investasi yang selanjutnya
dapat berdampak buruk terhadap struktur perekonomian. Upah yang tinggi menjadi beban
pengusaha atau investor karena biaya operasional perusahaan dari biaya tenaga tenaga kerja
meningkat. Disatu sisi bila produk yang dihasilkan tidak kompetitif maka dalam jangka panjang
perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang
mengatakan peningkatan upah minimum menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap
keuntungan yang mungkin diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan resiko berbisnis di
Indonesia, petenaga kerja mengiinginkan peningkatan upah melalui unjuk rasa dan mogok
tenaga kerja. Tetapi jika peningkatan upah diikuti dengan peningkatan produktivitas maka
Indonesia akan tetap kompetitif bersaing dengan negara lain dan bisa menarik minat investor.

Variabel Upah Relatif

Pada keempat model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI
industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI
jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah relatif berpengaruh positif terhadap aliran FDI
semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal dan aliran
FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.

Aliran modal yang meningkat menyebabkan naiknya permintaan tenaga kerja yang terampil,
sehingga upah relatif juga meningkat. (Feenstra, 2015).

Variabel Indeks Harga Konsumen

Pada model kesatu dan kedua, terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan
determinan aliran FDI industri pada karya terlihat bahwa Indeks Harga Konsumen
berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat
karya, walaupun tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga dan keempat terkait
determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan
asing terlihat bahwa indeks Harga Konsumen berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri
padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun tidak signifikan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Giordano Dell-Amore Foundatio menunjukkan


bahwa inflasi sebagai salah satu faktor stabilitas makroekonomi merupakan determinan penting
dari aliran investasi, karena hasilnya signifikan. Sedangkan menurut Emi (2015) dengan
meningkatnya inflasi maka akan menurunkan minat investasi di sektor manufaktur. Pengaruh
inflasi terhadap investasi dengan arah kausalitas negatif dapat dijelaskan pertama dengan
kenaikan inflasi menunjukkan adanya kenaikan harga yang mana selanjutnya akan mendorong
masyarakat untuk mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua, penurunan
uang beredar akan menekan suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi
akan menurun.

Variabel Jalan

Pada model pertama, ketiga dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan
asing menunjukkan bahwa panjang jalan berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis
industri, aliran FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun
hasilnya tidak signifikan. Sementara pada model kedua terkait determinan aliran FDI industri

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


179

padat karya menunjukkan panjang jalan berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat
karya dan hasilnya signifikan.

Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri yang


memerlukan penggunaan kendaraan sebagai sarana transportasi. (Samir, 2016)

Variabel Listrik

Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat
karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan
bahwa listrik berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri
padat karya aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing dan
hasilnya signifikan.

Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya Odi (1997) menyatakan
infrastruktur yang kondisinya tidak bagus, dapat dilihat sebagai halangan maupun peluang
investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah satu faktor
yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau potensi
untuk menarik investasi asing jika pemerintah di negara yang bersangkutan memberikan izin
yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan penelitian menurut
Jordan (2004) mengemukakan bahwa
Infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik meningkatkan
produktivitas potensial investasi di suatu negara dan oleh karena itu merangsang aliran
investasi asing ke negara tersebut. Sementara menurut Emi (2015) dengan meningkatnya
kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi
yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos produksi dan perdagagangan
yang semakin rendah. Total biaya transportasi dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang
baik maka akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Tentu kondisi ini akan mendorong
kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.

Variabel tenaga kerja

Pada model kesatu, kedua, dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI industri padat modal
menunjukkan bahwa tenaga tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis
industri, aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI industri padat modal tetapi tidak
signifikan. Pada model keempat terkait determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa tenaga tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap aliran FDI jumlah
perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.

Sebagaimana penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa angkatan kerja sebagai


salah satu penentu aliran FDI dalam hal penentuan lokasi FDI, yang menjelaskan pentingnya
modal manusia. Walaupun hasilnya tidak signifikan. (Danciu,et.al, 2015)

Variabel Ukuran Pasar

Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI
industri padat karya, determinan aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI
jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa Ukuran Pasar berpengaruh negatif terhadap
aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah
perusahaan asing, dan hasilnya signifikan, sedangkan untuk aliran FDI industri padat karya
hasilnya tidak signifikan.

Sebagaimana penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa PDB mempengaruhi penentuan


lokasi dan perkiraaan pendapatan dari adanya FDI , (Randelovie,2017).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


180

Variabel keterbukaan Perdagangan

Pada model kesatu dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan
determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan
berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat
modal, walupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model kedua dan keempat terkait
determinan aliran FDI industri padat karya dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat
karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.

Menurut penelitian sebelumnya dari Giordano (2007) menunjukkan bahwa keterbukaan pasar
berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung. Peran dari FDI untuk pasar dalam
negeri dan sisanya untuk pasar luar negeri.

Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri,
determinan aliran FDI industri padat karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing
menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri,
aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya
tidak signifikan. Sedangkan pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat
modal menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh negatif terhadap aliran FDI industri padat
modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.

Menurut penelitian sebelumnya, dengan adanya kebijakan spasial yang menyebabkan adanya
aglomerasi perusahaan, sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran
perusahaan. (Garretsen,et.al, 2007).

4.2.Analisis terkait Peraturan Tata Ruang dan Pertanahan

Sebagaimana pada analisis teori dan regresi, signifikansi variabel listrik, jalan dan PDRB
dipengaruhi juga oleh kebijakan spasial yang berlaku, diantaranya kebijakan tata ruang dan
pertanahan. Dimana pada kedua kebijakan tersebut sebagai prasyarat dibangunnya
infrastruktur pendukung dari kawasan industri.

Analisis Peraturan Tata Ruang yang terkait dengan peruntukan Kawasan Industri sebagaimana
termuat di PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Tingkat Nasional yang berlaku sejak
tahun 2008.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


181

Gambar 4.1. Peruntukan ruang untuk Kawasan Industri di Pulau Jawa pada kurun waktu
2008 – 2017

Sumber: Direktorat Perencanaan Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019

Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan industri di provinsi
DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,dan Jawa Barat hampir sama (56% - 98 %), sedangkan
ruang untuk kawasan industri di Provinsi Banten dan DI Yogyakarta masih tergolong kecil (1 %-
17%). Adapun perincian luas kawasan industri di masing – masing provinsi didasarkan pada
kabupaten – kota apa saja yang dijadikan kawasan budidaya strategis nasional dengan
peruntukan ruang untuk kegiatan industri(RTRWN, 2008).Dengan perincian sebagai berikut:
provinsi Banten dialokasikan pada 2 kabupaten / kota dengan total luas 1.909.780 hektar atau
17,37 % dari luas provinsi Banten. Provinsi DKI Jakarta dialokasikan pada 5 kabupaten / kota
dengan total luas 653.630 hektar atau 98,69 %dari luas provinsi DKI Jakarta. Berikutnya untuk
provinsi Jawa Barat dialokasikan pada 16 kabupaten / kota dengan total luas 21.123.940 hektar
atau 56,73 % dari luas provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah dengan alokasi di 20
kabupaten / kota dan total luas 19.973.482 hektar atau 61, 37 % dari luas provinsi Jawa Tengah.
Sebagai provinsi terkecil, DIY dialokasikan pada 1 kota dengan luas 32,5 hektar atau 1,02 %
dari luas provinsi DIY. Terakhir adalah provinsi Jawa Timur dimana dialokasikan pada 19
kabupaten / kota dengan total luas 3.112.425 hektar atau 65 % dari luas provinsi Jawa Timur.

Gambar 4.2. Peruntukan ruang untuk Kawasan Budidaya di Pulau Jawa pada kurun
waktu 2008 – 2017

Sumber: Direktorat Penilaian Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019

Dari grafik di atas terlihat bahwa presentase ruang untuk kawasan budidaya di provinsi Jawa
Tengah, DKIJakarta, Banten, dan DI Yogyakarta tergolong tinggi (66% - 100 %), sedangkan
ruang untuk kawasan industri di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masih tergolong kecil
(9 %-34%). Pada zona-1, dengan kisaran 100 – 136 % adalah provinsi Jawa Tengah dan DKI
Jakarta. Tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah dengan presentase luas kawasan budidaya
136 %. Hampir menyamai provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta dengan presentase luas
kawasan budidaya 100, 42 %. Pada zona -2 dengan presentase 51 % - 100 % adalah provinsi
DIY dan Banten, dengan masing – masing presentase 66, 15 % dan 77,19 %. Terakhir pada

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


182

zona – 3 dengan kisaran presentase kurang dari 50 % adalah 34,09 % untuk provinsi Jawa
Timur dan 9,06 % untuk provinsi Jawa Barat.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Terkait hasil statistik deskriptif, keterkaitan dengan kerangka teori

Terdapat beberapa channeling yang berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, yaitu :
Channeling 1 dan Channeling 2. Dimana Channeling 1 menjelaskan adanya pengaruh biaya
tenaga tenaga kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk
provinsi DKI Jakarta sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai. Sedangkan untuk
Channeling 2, dimana biaya tenaga tenaga kerja rendah, berpengaruh terhadap FDI yang
tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur,
sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan DIY tidak sesuai.

Terdapat juga channeling yang tidak berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, dikarenakan
inkonsistensi hasil, yaitu : Channeling 3, Channeling 4, Channeling 5, Channeling 6,7, dan 9,
serta Channeling 10. Dimana Channeling 3, yang menjelaskan pengaruh UMR meningkat
dengan konsekuensi FDI berkurang. Kami menemukan hasil tidak konsisten di semua provinsi.
Hal yang sama terdapat di Channeling 4, dimana biaya tenaga tenaga kerja tinggi, diharapkan
tidak ada rekomendasi investasi, hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Selain itu,
Channeling 5, dimana biaya tenaga tenaga kerja rendah, sehikngga ada rekomendasi investasi,
hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Situasi yang sama terjadi pada Channeling 6,7,
dan 9, dimana upah naik, diharapkan jumlah tenaga tenaga kerja berkurang, hasilnya tidak
konsisten untuk semua provinsi. Serupa dengan Channeling 10, dimana apabila infrastruktur
transportasi meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya tidak konsisten di semua provinsi.

Lebih lanjut, ada channeling yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu Channeling 8,
dikarenakan tidak adanya kebijakan atau kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh Channeling
8, dimana upah berkurang, sehingga jumlah tenaga tenaga kerja berubah, tidak dapat
dibuktikan karena di Pulau Jawa karena tidak terjadi penurunan upah di sektor industri.

5.1.2. Terkait hasil regresi, keterkaitan dengan kerangka empiris:

Ada beberapa variabel,yaitu : Upah minimum dan upah relatif, sebagai variabel kontrol tidak
dipengaruhi oleh aliran FDI.

Berbeda halnya dengan variabel listrik, jalan, dan ukuran pasar yang signifikan mempengaruhi
aliran FDI. Dimana Model pertama terkait determinan Model pertama terkait determinan aliran
FDI semua jenis industri secara signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Model
kedua terkait determinan aliran FDI industri padat karya secara signifikan dipengaruhi oleh
listrik dan jalan. Pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat modal secara
signifikan dipengaruhi oleh listrik dan ukuran pasar. Pada model keempat terkait determinan
aliran FDI jumlah perusahaan asing secara signifikan dipengeruhi oleh listrik, jalan, dan ukuran
pasar.

Sedangkan variabel lainnya yaitu, IHK, keterbukaan perdagangan, tenaga kerja, dan dummy
RTRWN tidak signifikan mempengaruhi aliran FDI.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


183

 Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah perlu mendahulukan sesuai urutan signifikansi variabel – variabel yang
mempengaruhi aliran FDI. Dimana harus diutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi
listrik ke industri untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya,
aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing peningkatan
PDRB untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI
jumlah perusahaan asing, dan peningkatan panjang jalan untuk aliran FDI industri padat
karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing).

 Untuk arah pengembangan wilayah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah, orientasi pembangunan diarahkan pada kondisi eksisting dari masing – masing
variabel yang secara signifikan mempengaruhi aliran FDI. Yaitu pengembangan semua
industri diutamakan untuk wilayah yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya
(infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) tinggi, yaitu DKI Jakarta dan
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta. pengembangan
industri padat karya untuk wilayah dengan distribusi listrik dan jalan lebih tinggi, yaitu Jawa
Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan D.I Yogyakarta.
Pengembangan industri padat modal untuk provinsi yang distribusi listrik industri dan
ukuran pasarnya (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar) lebih tinggi,
yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan D.I.Yogyakarta.
Sedangkan pengembangan jumlah perusahaan asing untuk provinsi dengan distribusi
listrik industri, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall,
dan pasar) lebih tinggi, yaitu Jawa Barat, DKI dan Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan
D.I.Yogyakarta.

 Untuk arahan pendanaan per sektor, perlu menitikberatkan pada signifikansi dan nilai
koefisien masing – masing provinsi. Seperti yang tercantum di bab 4, bahwa variabel –
variabel yang signifikan adalah listrik, jalan, dan ukuran pasar. Sehingga pendanaannya
mengikuti urutan nilai koefisien dari variabel – variabel tersebut.Untuk provinsi Banten :
pengurangan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa
toko, kios, mall, dan pasar). Sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta:penambahan anggaran listrik, jalan,dan ukuran pasar (infrastruktur
perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar). Sementara untuk provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tidak ada perubahan anggaran listrik,
jalan, dan ukuran pasar (infrastruktur perdagangan berupa toko, kios, mall, dan pasar).

 Sedangkan terkait perizinan kawasan budidaya mengikuti aliran FDI yang masuk untuk
setiap kelompok FDI sebagai berikut : Provinsi Jawa Tengah, provinsi DKI Jakarta, provinsi
Banten, DI Yogyakarta, provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Sehingga perlu ada
pengurangan luas lahan budidaya untuk provinsi Banten dan penambahan luas lahan
budidaya untuk provinsi Jawa Barat.

REFERENSI

Atmaja, 2017. Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan


Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
Danciu, Aniela Raluca. 2015. Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct Investments
Located in Romania. Romanian Statistical Review.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


184

Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing Countries : A cross sectional


Analysis
Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment (FDI) flow to Thanh Hoa province
in Vietnam. Procedia, 2015.
Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In Agriculture Sector Based on Selected
Highincome Developing Economies in OIC Countries: an Empirical Study on The Provincial
Panel Data By Using Stata, 2003-2012. Procedia, 2016.
Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A Panel Data Analysis. Global Journal of
Management and Business Research, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New Evidence From Cointegration and
Error Correction Model. The Journal of developing Areas, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective. Indian Journal of Industrial
Relations, 2012.
Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An Empirical Analysis. Global Journal of
Human Social Science, 2010.
Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada Industri Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi, 2013.
Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an Empirical Analysis. Latin
American Journal of Economics, 2015.
Feestra, Robert, et.al. Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages, 1995. NBER
Working Papers Series.
Garretsen, Harry, et al., 2007. FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country
Effects Matter for Dutch FDI? DNB Working Paper.
Iskandar, Yudi.et.al. Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta Dampaknya periode
Tahun 2003 – 2013. Journal IPB.
Mankiw, Gregory. 2006. Macroeconomics. Jakarta:Erlangga.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al. 2011. Does ukuran pasar affect FDI? The Case of
Pakistan.
Onwuka, Kevin Odulukwe. 2011. Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign
Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review.
Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and Infrastructure. The
Journal of Developing Areas.
Randelovie,et.al 2017. Market Size as a Determinant of The Foreign Direct Investment Inflows
in the Western Balkans Countries. Economics and Organization.
Raharjo, et.al. 2005. The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing Industry. 2012.
International Journal of Economics and Finance.
Samir, Saidi. Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic Growth :
Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. 2016. Journal of Bussiness
Management and Economics.
Syarif, Emi.2015. The Impact of Increasing Minimum Wage Policy on The Development of
Investment on Manufacturing Industry.
The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic Crisis On the Implementation of
RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model. International Business Review, 2015.
The Determinants of FDI in Small Developing Nation States: an Exploratory Study. Social and
Economic Studies, 2008.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


185

The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows to Individual Developing Countries.
Puget Sound e Journal of Economics.
The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign Direct Investment. Southern
Economic Journal, Vol. 54, No.1.
The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco. Giordano Dell-Amore
Foundation, 2007.

DAFTAR LAMAN
www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.
www.kompasiana.com. Foreign Direct Investment dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.
www.sbm.binus.ac.id. FDI di Indonesia.

THE ROLE OF SPATIAL PLANNING POLICY IN PROMOTING AND CONTROLLING


INVESTMENT IN AGRICULTURAL SECTOR IN INDONESIA

Destarita Indah Permatasari¹

Functional Position of Junior Superintendent, Directorate of National Spatial Planning

DOMESTIC INVESTMENT FLUCTUATION IMPRESSION VIEWED FROM THE


POLICY OF FOREST ZONES ENACTMENT

Picture 1.

Domestic Direct Investment (DDI) Fluctuation during 2009-2018

source: nswi.bkpm.go.id, 2019

In general, the DDI of the agricultural sector in the period 2009–2018 increased.
The decrease was only in 2013.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


186

Table 1

The contribution of DDI in each island/archipelago during 2009-2018

DOMESTIC DIRECT INVESTMENT (DDI)


Investment value
island/archipelago total
agriculture mining industry
Sumatera 35.631.305,60 12.815.117,70 125.965.483,60 174.411.906,90
Jawa 5.919.166,20 18.102.312,20 394.551.834,80 418.573.313,20
Bali dan Nusa
Tenggara 3.294.250,80 6.045.892,00 2.981.143,50 12.321.286,30
Kalimantan 89.191.516,10 63.249.857,70 53.448.400,70 205.889.774,50
Sulawesi 7.313.352,50 7588706,4 33410143,9 48.312.202,80
Maluku 27.634,10 0:00:00 4.513.042,90 4.540.677,00

Papua 3.329.032,20 60.599 1.669.412,50 5.059.043,80


National 144.706.257,50 107.862.485,10 616.539.461,90 869.108.204,50
source: nswi.bkpm.go.id, 2019

Nationally, the cumulative domestic direct investment in 2009-2018 is still


dominated by the industrial sector at 616 T, followed by agriculture at 144 T,
and mining at 107 T.

Picture 2

The contribution of DDI in agriculture in each island/archipelago

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


187

source: nswi.bkpm.go.id, 2019

The DDI in agricultural sector is still dominated by Papua Island as much as


65.80%, Kalimantan Island as much as 43.32%, then Bali and Nusa Tenggara as
much as 26.74%. While the last four are Sumatra, Sulawesi, Java, and Maluku
respectively as much as 20.43%, 15.14%, 1.41% and 0.61%.

Table 2.

Forest Area in each Island/Archipelago

Island/Archipelago Forest Area


Sumatera 22.918.163,10
Jawa 3.313.547,97
Bali dan Nusa Tenggara 2.920.044,01
Kalimantan 36.722.401,65
Sulawesi 13.512.845,00
Maluku 12.228.357,00
Papua 40.100.636,00
source: BPS, 2019

Based on the forest zones enactment policy, it can be seen that Papua Island has
the largest forest area with 40 million hectares. This is followed by the island of
Kalimantan with 36 million hectares. In the third place is Sumatra with 22 million

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


188

hectares. Sulawesi is in the fourth place with 13 million hectares. The last three
are Maluku, Java, and Bali and Nusa Tenggara respectively with 12 million
hectares, 3 million hectares, and 2 million hectares.

THE VARIABLES, METHODS, AND DESCRIPTION OF RESULTS OF THE FOREST ZONES


ENACTMENT RESEARCH

To determine the direction of the investment locations in agricultural sector, it


will be carried out by weighing the factors that influence the investment, namely:
the field area, the availability of water sources, the unemployment, and the
minimum wages are associated with the forest zones enactment policies. The
determination of this parameter is based on the availability of data at the
Central Statistics Agency in the period of 2009–2018.

Table 3

Average Minimum Wages in Each Island/Archipelago during 2009-2018

Average minimum Scoring


Island/Archipelago wages
Sumatera 1.982.696 4
Jawa 1.672.083 6
Bali dan Nusa Tenggara 1.571.850 7
Kalimantan 2.043.720,2 2
Sulawesi 1.984.833 3
Maluku 1.728.133 5
Papua 2.336.000 1
Source: BPS, 2019

Based on the average minimum wages in each island/archipelago, the scoring is


done by giving the highest score for the island/archipelago with the lowest
minimum wages and the lowest score for the island/archipelago with the
highest minimum wages.

Table 4
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
189

Clean water production capacity in each island/archipelago during 2009-2018

Clean water production Scoring


Island/Archipelago capacity
Sumatera 47924 6
Jawa 105295 7
Bali dan Nusa 5
Tenggara 23444
Kalimantan 21866 4
Sulawesi 20221 3
Maluku 2339 2
Papua 1983 1

Source: BPS, 2019

From the amount of clean water production in each island island/archipelago, the
scoring is done by giving the highest score for the island/archipelago with the
highest amount of clean water production while the lowest score is for the
island/archipelago with the least amount of clean water production.

Table 5
Unemployment percentage in each island/archipelago during 2009-2018

Island/Archipelago Unemployment Scoring


5
Sumatera
5,01
6
Jawa
5,80
Bali dan Nusa 1

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


190

Tenggara 2,70
4
Kalimantan
4,92
2
Sulawesi
4,35
7
Maluku
6,02
3
Papua
4,75
Source: BPS, 2019

from the percentage of unemployment in each island/archipelago, scoring is


done by giving the highest score for the island/archipelago with the highest
percentage of unemployment while the lowest score is for the
island/archipelago with the least percentage of unemployment.

Table 6

Field area in each island/archipelago during 2009-2018

Island/Archipelago Field area Scoring


Sumatera 2.200.950 6
Jawa 3.223.523 7
Bali dan Nusa 3
Tenggara 517.826
Kalimantan 1.055.877 5
Sulawesi 1.009.453 4
Maluku 25.196 1
Papua 54.588 2
Source: BPS, 2019

From the number of field areas in each island/archipelago, the scoring is done
by giving the highest score for the island/archipelago with the highest amount
of field area while the lowest score is for the island/archipelago with the least
percentage of field area.
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
191

ANALYSIS AND RESULT


Analysis and results are obtained by sum up the scores of each variable as
follows:

Table 7

The scoring results of each variable in each island/archipelago

Island/Archipelag Average Clean Unemploymen Fiel Total


o Minimu Water t d Scorin
m Wages Productio Area g
n Capacity

4 6 5 6 21
Sumatera
6 7 6 7 26
Jawa
Bali dan Nusa 7 5 1 3 16
Tenggara
2 4 4 5 15
Kalimantan
3 3 2 4 12
Sulawesi
5 2 7 1 15
Maluku
1 1 3 2 7
Papua
Source: researcher’s analysis, 2021

The calculation shows the following results: The highest score is Java Island with
total score of 26. The second place is Sumatra island with total score of 21, Bali
and Nusa Tenggara in the third place with total score of 16. Kalimantan and
Maluku is 15 at the score, while in rank 6 and 7 are Sulawesi and Papua with
total scores of 12 and 7, respectively.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


192

CONCLUSION AND POLICY RECOMMENDATIONS


Conclusion
Table 8

The Comparison of the total scoring and the change in the number of forest
zones

Island/Archipelago The need Forest zone Changes


for non-
forest zone

2 3 addition
Sumatera
1 6 reduction
Jawa
Bali dan Nusa 3 7 reduction
Tenggara
5 2 reduction
Kalimantan
6 4 addition
Sulawesi
4 5 reduction
Maluku
7 1 unchanged
Papua
source: researcher’s analysis, 2021

Policy Recommendations
When it comes to forest zone enactment policy, the proposed policy
recommendations are as follows:

• Protecting forest zones in Papua Island according to the current conditions;

 Adding forest zones in Sumatera and Sulawesi;

 Reducing the forest zones in Java, Kalimantan, Bali and Nusa Tenggara, and
also Maluku.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


193

Impact of Minimum Regional Wage to


Foreign Direct Investment ( FDI) of
Textile Industry in Java Island.

CHAPTER 1

INTRODUCTION

Foreign Direct Investment inflow to Indonesia is fluctuated. The line graph bellow showed that
from 2011 until 2016, realization of Foreign Direct Investment in general increased but in some

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


194

period in quarter is decreased. The highest point was in the 4th uarter in 2015 while the lowest
was on the 1st uarter in 2011

Picture 1

Realization of FDI during 2011 - 2016

Source: bkpm.go.id

Picture 2

Investment Realization based on region

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


195

Source: bkpm.go.id

Most of FDI is invested in Java island (53,6 %). The second place is Sumatera island at 19,2 %.
Followed by Kalimantan at 11, 2 %. The last three are Sulawesi at 8,4 %, Maluku and Papua at
5 %, and Bali and Nusa Tenggara at 2,6 %.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


196

From that amount of FDI, arround half of it has been invested in Manufacturing sector (34,8 % -
57.7 %). At the second place is services sector at 26,6 % - 40 %). Getting investation at 9,5 % -
18,6 %, mining sector became the third. The others were food and plantation (5,5 % -7,7 %),
and having nearly the same percentage (0,1 % - 0,3 % are forestry, fishery, and livestock).

Textile Industry as the most prospective sector in Manufacture. This sector is stable and the
contribution to the trade was never defisit. (republika, 2014).

Minimum wage as one of factors affecting location decision. According to Wahyono (2012),
some of factors affecting location of the factory are the location of consumer, source of raw
materials, the wage of employee, the availability of water, temperature, electricity,
transportation, environment, the rules, etc.

This research try to monitor Foreign Direct Investment inflow to the Textile Industry in Java
island.The trend of FDI inflow. The role of regional minimum wage and other factors affecting
Foreign Direct Investment.

Objectives

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


197

The objectives of this research are :

• To examine factors affecting investation to Java island

• To examine factors affecting investment to Manufacture

• Giving recommendation to government to attract foreign invetment to other sectors and


other islands

Problem definition

The problem definition of this research are :

• FDI had fluctuated during 2011 -2016

• FDI still concentrated in Java

• Most of the Fdi are in Manufacturing sector

Research Contribution

The Research contribution are :

1. Provide information about factors affecting Foreign Direct Investment inflow to the
Textile Industry.
2. Give information factors significantly affecting Foreign Direct Investment inflow to the
Textile Industry.

Limitation of the study


The limitation of this study are :
1. Coverage area of this study is only in Java island regarding the data of the Foreign Direct
Investment inflow to the Textile Industry.
2. The time period of this research on 2006 to 2015 because the availability data of minimum
regional wage.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


198

CHAPTER 2

LITERATURES REVIEW

Teoritical Framework

According to Sichei, et.al (2012) The relation between labour cost and Foreign Direct
Investment is High labour costs imply higher costs of production and is expected to limit the
FDI inflows. Labour costs can be proxied by wage rates.

With low labour rate is believed as one push factors of Foreign Direct Investment. Because low
labour cost can reduce the production cost. As the consequences of the low production cost may
increase the firm profit. So, the price of product is relatively low, as a result the demand wil be
increase too. (Yogatama, 2011).

The increasing of Regional Minimum Wage in Indonesia has a correlation with the production
cost of a firm. If those increasing not be followed by the increasing of labour productivity, the
product of a firm will be decrease to. As a result the investement rate will be decrease too.
(Frederica dan Ratna Juwita, 2013).

Labour cost has connection with the production cost of a firm. When there is increasing of
lavour cost, the production cost will increase. Low labour cost rate as one push factors of
Foreign Direct Investment because the lower labour cost will keep the production cost low. The
low production cost will be followed by the increasing of firm profit. The high labour cost
caused the hight price of output and poor competitivenes. In other condicition, low labour cost
caused the low output price and high competitiveness so the demand will increase. For that
reason investor are encouraged to invest in the countries that have low labour cost. (Marcelia,
et.al)

Empirical Framework

Dependent Variable

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


199

Most of those journals used total Foreign Direct Investment as the dependent variable. While
the other three journals had conducted more spesific studies which used Investment of Textile
and Textile Product Industry (Asmara, 2013), Foreign Direct Invetsment on Agriculture Sector
(Rashid, 2016), and Foreign Direct Investment of Primary Source of Oil and Gas (Iskandar,
2014).

Explanatory Variables

Wage is the main factors affecting Foreign Direct Investment. Besides, other explanatory
variables have been added to the model in the studies in order to acquire a better understanding
of the Foreign Direct Investment relation. The using of wage can be founded in the research of
Owuka (2011), Alia (2013), Cushman (1987), Amaro (2006), and Mihai.

Infrastructure also be choosen as the factor encourage investor to invest. This can be defined in
the resesarch of Singh (2008), Iskandar (2014), Huyen (2015), William (2015) and Amaro
(2006).

The third factors that had used by some researchers is Market Size, which has proxy Gross
Domestic Product. For instance market size is be considered as factor effecting Foreign Direct
Investment (Onwuka, 2011), Sharma (2012), Singh (2008), Kahouli (2015), and Mihai.

The last factors that defined as determinant of Foreign Direct Investment is inflation.
According to Iskandar in 2014 , Amaro (2006), Huyen (2015), William (2015) and Ruth
(2003).

Other determinants will be grouped by their authors. Calhoun, et all (2002) had investigated the
relation of labor quality and export orientation to the Foreign Direct Investment in Individual
Developing Countries. While Lakesha (2012) had proven that foreign exchange and interest
rate also contributed into Foreign Direct Investment flow. Onwuka on his research about Wage
rate, regional trade bloc, and location of Foreign Direct Investment decision (2011) estimated
that employement rate, export intensity, import intensity, trade openess, exchange rate, and
average tarif also effecting Foreign Direct Investment to the ASEAN five countries. Iskandar
(2014) tried to find corelation between technologi and education to the Foreign Direct
Investment. Ruth (2014) has already capture the impact of interest rate and depreciation rate to
the Foreign Direct Investment.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


200

More spesific, according Alia (2003) that some determinants of Foreign Direct Investment in
Textile and Product Textile are the price of raw materials, the price of electricity, interest rate,
the price of fuel, and productivity of labour.

Method

Most of the research related to the Foreign Direct Investment used Panel Data. The advantage of
using this method are gave data which are informative, more variation, added degree of
freedoom, more efficient, reduced colinearity between variables, estimated bigger heteroganity
degree which can be as characterictics of individuals bertween time, enabled analysis of crucial
economic problems that are can not be answered by analysis of time series and cross section,
relative high in flexibility while modeling different behaviour of individus compared with cross
section data, and could explained the dynamic adjustment on better ways (Alia Asmara,2013).

More spesific, model data which is used is balanced panel ,whereas each cross section unit has
same number of time series observation (Ruth, 2014).While, another research applied Panel
Data is conducted used Fixed Effect Method (FEM) to examine The Determinant of Foreign
Direct Investment in the Source Industry of Oil and Gas in Indonesia.The analysis of Wage Rate,
Regional Trade Bloc, and Location of Foreign Investment Decision between five ASEAN
Countries during 1976 to 2000 applied Panel Data.The other is Rashid (2016).

Vector Autoregression Model (VAR) is applied because of fact that such a model is commonly
used for forecasting systems of interrelated time series and for analyzing the dynamic impact of
random disturbances on the system of variables. As additional information, in Vector
Autoregression Model (VAR) some variables are treated as endogeneous and some as
exogeneoous or predetermined (exogeneous plus lagged endogeneous). (Mutasen).

The other method which is used by Cushmand (1987) to study the effect of Real Wages and
Labour Productivity on Foreign Direct Investment is Time Series Analysis. The possibility of
simultaneous interaction among direct investment and several of the independent variables is
allowed by using a three – stage-least-squares approach.

Result

FDI responds negatively and significant to the wage. (Owuka, 2011). This finding has similar
result with Alia (2013) which already conducted research about Factors Affecting Investment of
Textile and Product Textile Industry with the result negative but unsignificant. The same FDI
respons also be showed by the estimation result of Cushman (1987) and Amaro (2006). Also

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


201

according to Mihai, the increasing of wage contibuted to the decreasing of Foreign Direct
Investment.

Infrastructure has positive effect to the Foreign Direct Investment of Primary Source of Oil and
Gas Industry, which reserach is conducted by Iskandar in 2014 and Huyen (2015), William
(2015) Singh (2008). This finding suitable with the result of Amaro (2006) that infrastructure
yiels unsignificant effect to Foreign Direct Investment.

From the research of Ruth in 2003 related to Factors Effecting Foreign Direct Investment in
ASEAN, Gross Domestic Product has positive corelation with Foreign Direct Investment. The
same result also was published by Owuka (2011) that Gross Domestic Product has positive
impact with Foreign Direct Investment. Mihai, Kahouli (2015) Sharma (2012) also showed the
same finding, that the increasing of Gross Domestic Product is followed by the increase of
Foreign Direct Investment.

While Inflation has negative but not significant effect to the Foreign Direct Investment as be
stated by Amaro (2006). The same condition is declared by Iskandar (2016) and William (2015)
that inflation has negative effect to Foreign Direct Investment. Nearly the same result, Ruth
(2003) and Huyen (2015) had proven that Inflation has negative but unsignificant to the Foreign
Direct Investment.

CHAPTER 3

METHOD

• In this research, I will use a panel data of Foreign Direct Investment of Textile and
Product Textile Industry in 6 provinces in Java Island during period 2006 to 2015. The
number of observation is 10 x 6= 60.

• The data that will be used come from different sources.The information about Foreign
Direct Investment is from Coordination Investment Board. Information about regional
minimum wage is from Ministry of Man Power. The information about infllation is
from Centre Stathystical Agency. The quality of infrastructure’s data come from
Ministry of Public Works and Housing. Another data related to Market size is from
Foreign Direct Investment. And the last data, trade opennes is from Ministry of Trade.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


202

• The Dependent variable is Foreign Direct Investment, with the proxy the amount of
FDI flows in textile and textile product industry in each province in Java Island.

• The independent variables are :regional minimum wage is minimum regional wage
in each province of Java Island, infllation is inflation data of each selected city in each
province of Java Island, the quality of infrastructure’s means the length of national
roads in each province of Java Island, Market size is the amount of gross regional
domestic product in each province of Java Island, and trade opennes is the ratio
between export and import in each province of Java Island.

logFDIit = β 0 + β 1 logwageit + β 2 loginflationit + β 3 log infrastructureit + β 4 market


sizeit + β 5 log trade opennesit + εit

FDIit : Foreign Direct Investment of Textile Industry in province i on year t

wageit : regionaol minimum wage in province i on year t .

inflationit: inflation in capital of province i on year t.

infrastructureit : infrastructure condition in province i on year t

market sizeit : Gross Regional Domestic Product in province i on year t

trade opennesit : ratio between export and import in province i on year t

β 0: constanta

β 1, β 2, β 3, β 4, β 5 : coefficient regression

εit : error term

After estimated the research model, we will get the value and sign of the each parameter of
those model. Either it is positive or negative next will be use untuk examine reearch hypothesis.
(Raharjo, et.al, 2005).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


203

LIST OF LITERATURES

1. The determinants of FDI and the impact of the economic crisis on the implementation of
RTAs: A static and dynamic gravity model (International Business Review ,2015)
2. Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment (FDI) flow to Thanh Hoa
province in Vietnam (Procedia, 2015)
3. Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In Agriculture Sector Based on Selected
Highincome Developing Economies in OIC Countries: an Empirical Study on The
Provincial Panel Data By Using Stata, 2003-2012 (Procedia, 2016)
4. Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A Panel Data Analysis (Global
Journal of Management and Business Research, 2012)
5. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada Industri Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT) Indonesia (J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013)
6. Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New Evidence From
Cointegration and Error Correction Model (The Journal of developing Areas, 2012)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


204

7. Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective ( Indian Journal of


Industrial Relations, 2012)
8. The Determinants of FDI in Small Developing Nation States: an Exploratory Study (Social
and Economic Studies, 2008)
9. Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an Empirical Analysis
(Latin American Journal of Economics, 2015)
10. Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An Empirical Analysis (Global
Journal of Human Social Science, 2010)
11. Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012.
12. Iskandar, Yudi.et.al. Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta Dampaknya
periode Tahun 2003 – 2013. Journal IPB.
13. Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and Infrastructure. The
Journal of Developing Areas.
14. The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows to Individual Developing
Countries. Puget Sound e Journal of Economics
15. A VAR Analysis of FDI and Wages : The Romania’s Case.
16. The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign Direct Investment. Southern
Economic Journal, Vol. 54, No.1
17. Onwuka, Kevin Odulukwe. 2011. Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of
Foreign Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review.
18. Raharjo, et.al. 2005. The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
( study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
19. www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.
20. www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


205

KAJIAN PENINJAUAN KEMBALI INDIKASI LOKASI KAWASAN ANDALAN DI


INDONESIA

A REVIEW STUDY ON SPATIAL PLANNING OF PRIORITY ZONES IN INDONESIA

Paket Pekerjaan

Work Package

DETERMINAN FLUKTUASI NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI

(INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI)

DETERMINANTS OF VALUE ADDED FLUCTUATION IN INDUSTRIES (TEXTILE AND CLOTHES


INDUSTRIES)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019

TAHUN ANGGARAN 2020

BUDGET YEAR 2021


206

Laju Pertumbuhan PDB Industri


Wilayah Manufaktur
2015 2016 2017 2018
Indonesia 4.33 4.26 4.29 4.27

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


207

Laju Pertumbuhan PDB Industri


Wilayah Manufaktur
2015 2016 2017 2018
Indonesia 4.33 4.26 4.29 4.27

Tabel 1.1. Fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto Indonesia pada periode


2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019

Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu


2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015 adalah sebesar 4,33 % dan titik
terendah pada 2016 yaitu 4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan
pada 2017 – 2018 mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh …. pada…. ( ), menunjukkan bahwa modal
tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan PDB. Yang
dimaksud sini PDB yang diukur berdasarkan nilai tambah.
Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja di
sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri Makanan, Kayu,
diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % –
3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana dilihat
dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 - 2018,
terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor
industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari
pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut : 122,54; 129,36;132,21 untuk bahan baku
pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri sebesar 136,57; 141,66; dan
142,74. Teringgi 138,82; 143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


208

170,78; 170,25;173,91 untuk barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah


barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan 154,91. Teringgi 523,47; 524,13;
526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk
barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang modal industri sebesar 118,93;
123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal
sektor pertanian.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


209

Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri


Jenis Industri Manufaktur (Persen)
2015 2016 2017 2018
Industri Makanan 2.89 3.23 3.63 3.68
Industri Minuman 0.19 0.22 0.28 0.27
Industri Pengolahan Tembakau 0.41 0.29 0.36 0.36
Industri Tekstil 1.09 1.01 1.13 1.11
Industri Pakaian Jadi 1.89 1.89 1.98 2.04
Industri Kulit, barang dari kulit dan alas kaki 0.58 0.66 0.64 0.61

Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan
barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya 1.22 1.42 1.34 1.37
Industri kertas dan barang dari kertas 0.21 0.20 0.21 0.23
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 0.29 0.24 0.29 0.29
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi 0.04 0.01 0.05 0.05
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 0.28 0.26 0.35 0.34
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 0.12 0.08 0.11 0.11
Industri karet, barang dari karet dan plastik 0.49 0.39 0.44 0.45
Industri barang galian bukan logam 1.02 1.04 0.99 0.99
Industri logam dasar 0.20 0.16 0.20 0.18
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya 0.42 0.43 0.44 0.51
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
210

Industri komputer, barang elektronik dan optik 0.17 0.10 0.14 0.14
Industri peralatan listrik 0.15 0.12 0.14 0.14
Industri mesin dan perlengkapan YTDL 0.10 0.09 0.13 0.14
Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 0.18 0.17 0.15 0.17
Industri alat angkutan lainnya 0.27 0.16 0.23 0.22
Industri furniture 0.73 0.62 0.57 0.60
Industri pengolahan lainnya 0.47 0.49 0.54 0.55
Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 0.16 0.11 0.17 0.17
INDONESIA 13.53 13.41 14.51 14.72

Tabel 1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


211

[Metode
Baru] Indeks
Provinsi / Kabupaten / Kota Pembangunan
Manusia

2018
ACEH 71.19
SUMATERA UTARA 71.18
SUMATERA BARAT 71.73
RIAU 72.44
JAMBI 70.65
SUMATERA SELATAN 69.39
BENGKULU 70.64
LAMPUNG 69.02
KEP. BANGKA BELITUNG 70.67
KEP. RIAU 74.84
DKI JAKARTA 80.47
JAWA BARAT 71.30
JAWA TENGAH 71.12
DI YOGYAKARTA 79.53
JAWA TIMUR 70.77

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


212

BANTEN 71.95
BALI 74.77
NUSA TENGGARA BARAT 67.30
NUSA TENGGARA TIMUR 64.39
KALIMANTAN BARAT 66.98
KALIMANTAN TENGAH 70.42
KALIMANTAN SELATAN 70.17
KALIMANTAN TIMUR 75.83
KALIMANTAN UTARA 70.56
SULAWESI UTARA 72.20
SULAWESI TENGAH 68.88
SULAWESI SELATAN 70.90
SULAWESI TENGGARA 70.61
GORONTALO 67.71
SULAWESI BARAT 65.10
MALUKU 68.87
MALUKU UTARA 67.76
PAPUA BARAT 63.74
PAPUA 60.06
INDONESIA 71.39

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


213

Tabel 1.6. Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia pada tahun 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


214

Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak
untuk pengembangan nilai tambah.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


215

Sektor/Kelompok
2017 2018 2019
Barang IHPB

Desember Desember Oktober

Persentase
dan Andil
Persentase dan Andil Persentase dan Andil
Perubahan
Perubahan Indeks Harga Perubahan Indeks Harga
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) Perdagangan Besar (IHPB)
Perdagangan
Besar (IHPB)

Perubahan Perubahan Perubahan


IHPB IHPB IHPB
Andil Andil Andil
terhadap terhadap terhadap
IHPB IHPB IHPB IHPB IHPB IHPB
IHPB bulan IHPB bulan IHPB bulan
(%) (%) (%)
sebelumnya sebelumnya sebelumnya
(%) (%) (%)
I. Bahan Baku 138.82 0.50 0.50 143.58 0.15 0.15 144.78 0.09 0.09

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


216

1.1 Pertanian 284.01 1.28 0.23 285.14 0.48 0.09 288.34 -0.34 -0.06
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 122.54 -0.01 0.00 129.36 -0.35 -0.02 132.21 0.06 0.00
1.3 Industri 136.57 0.41 0.22 141.66 0.16 0.08 142.74 0.21 0.11
Impor 104.58 0.25 0.05 109.30 0.02 0.00 109.79 0.16 0.04
II. Barang Konsumsi 195.00 0.75 0.75 199.22 0.37 0.37 201.29 0.02 0.02
1.1 Pertanian 523.47 1.28 0.42 524.13 0.56 0.18 526.19 -0.71 -0.23
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 170.78 0.20 0.00 170.25 0.32 0.00 173.91 0.12 0.00
1.3 Industri 148.36 0.51 0.32 152.81 0.29 0.19 154.91 0.38 0.25
Impor 155.96 0.11 0.01 166.52 0.00 0.00 168.04 0.10 0.00
III. Barang Modal 122.75 0.10 0.10 126.98 0.40 0.40 128.24 0.29 0.29
1.1 Pertanian 205.91 1.08 0.02 179.33 -2.05 -0.03 194.57 0.18 0.01
1.2 Pertambangan dan
Penggalian 93.07 -0.24 0.00 104.36 -1.02 -0.01 106.73 0.00 0.00
1.3 Industri 118.93 0.06 0.05 123.76 0.61 0.48 125.14 0.33 0.26
Impor 135.93 0.18 0.03 139.11 -0.22 -0.04 138.92 0.12 0.02
Tabel 1.3. Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia pada periode 2016 – 2019
sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


217

Volume (Migas-NonMigas) (Ribu Ton)


Komponen
Ekspor Impor
Impor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
34739. 35476. 40499.s
Migas 36737.4 33348.9 3 5 36006.5 5 43727.8 44255.0 49053.7 48869.4 48309.1 48325.6 50370.1 49216.1
55196. 63187. 103699. 110379.
Non Migas 46927.2 50460.0 3 9 55348.0 70201.5 84493.8 92028.7 92055.9 98865.0 98784.2 7 2 122503.3
89935. 98664. 110701. 128221. 136283. 141109. 147734. 147093. 152025. 160749.
Jumlah 83664.5 83808.9 6 3 91354.4 0 6 6 6 4 3 4 3 171719.4

Tabel 1.4. Volume Impor di Indonesia pada periode 2005– 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Komponen Volume (Migas-NonMigas) (Ribu Ton)


Ekspor
Impor

Ekspor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Migas 51927.4 48291.5 45710.9 44800.9 46072.8 55925.1 59053.9 48446.0 44041.9 41743.1 44964.7 43328.8 42505.0 37055.5

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


218

Non Migas 206804.1 278880.8 297062.6 310253.1 332926.3 422921.7 523165.9 551690.6 655963.2 507722.4 463862.5 468399.3 503341.6 571852.0
Jumlah 258731.5 327172.3 342773.5 355054.0 378999.1 478846.8 582219.8 600136.6 700005.0 549465.5 508827.2 511728.1 545846.6 608907.5

Tabel 1.5. Volume Ekspor di Indonesia pada periode 2005– 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan
impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun
besarannya masih berfkultuasi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


219

Tabel 1.7. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


220

Tabel 1.8. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
221

Tabel 1.9. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan wilayah di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


222

Tabel 1.10. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan klasifikasi sektor di Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
223

Tabel 1.11. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor penerimadi Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
224

NO PROVINSI NAMA KAWASAN ANDALAN


1. Nanggroe Aceh Darussalam  Kawasan Banda Aceh dsk
 Kawasan Lhokseumawe dsk
2. Sumatera Utara  Kawasan Perkotaan Metropolitan Medan – Binjai – Deli Serdang – Karo
 Kawasan Pematang Siantar dsk
 Kawasan Rantau Prapat – Kisaran
 Kawasan Tapanuli dsk
 Kawasan Nias dsk
3. Sumatera Barat  Kawasan Padang Pariaman dsk
 Kawasan Agam – Bukittinggi
 Kawasan Mentawai dsk
4. Riau  Kawasan Pekanbaru dsk
 Kawasan Duri – Dumai dsk
 Kawasan Rengat – Kuala Enok – Taluk Kuantan – Pangkalan Kerinci
 Kawasan Ujung Batu – Bagan Batu
5. Kepulauan Riau  Kawasan Zona Batam – Tanjung Pinang dsk
6. Jambi  Kawasan Muara Bulian Timur Jambi dsk
7. Sumatera Selatan  Kawasan Muara Enim dsk

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


225

 Kawasan Lubuk Lingau dsk


 Kawasan Palembang dsk
8. Bengkulu  Kawasan Bengkulu dsk
 Kawasan Manna dsk
9. Bangka Belitung  Kawasan Bangka
 Kawasan Belitung
10. Lampung  Kawasan Bandar Lampung – Metro
 Kawasan Mesuji dsk
11. Daerah Khusus Ibukota Jakarta  Kawasan Perkotaan Jakarta
– Jawa Barat - Banten
12. Banten  Kawasan Bojonegaram- Merak - Cilegon
13. Jawa Barat  Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur
 Kawasan Purwakarta – Subang – Karawang
 Kawasan Cekungan Bandung
 Kawasan Cirebon – Indramayu – Majalengka – Kuningan
 Kawasan Priangan Timur - Pangandaran
14. Jawa Tengah  Kawasan Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten
 Kawasan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


226

 Kawasan Bregas
 Kawasan Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora
 Kawasan Purwokerto, Kebumen, Cilacap dsk
15. Daerah Istimewa Yogyakarta  Kawasan Yogyakarta dsk
16. Jawa Timur  Kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
 Kawasan Malang dsk
 Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang
 Kawasan Tuban – Bojonegoro
 Kawasan Kediri – Tulung Agung – Blitar
 Kawasan Situbondo – Bondowoso – Jember
 Kawasan madiun dsk
 Kawasan Madura dan kepulauan
17. Bali  Kawasan Denpasar – Ubud – Kintamani
18. Nusa Tenggara Barat  Kawasan Lombok dsk
 Kawasan Bima
 Kawasan Sumbawa dsk
19. Nusa Tenggara Timur  Kawasan Kupang dsk
 Kawasan Meumere – Ende

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


227

 Kawasan Komodo dsk


20. Kalimantan Barat  Kawasan Pontianak dsk
 Kawasan Singkawang dsk
 Kawasan Ketapang dsk
21. Kalimantan Tengah  Kawasan Sampit – Pangkalan Bun
22. Kalimantan Selatan  Kawasan Banjarmasin Raya dsk
 Kawasan Batulicin
23. Kalimantan Timur  Kawasan Tanjung Redeb dsk
 Kawasan Sangkuriang, Sangata, dan Muara Wahau
 Kawasaan Tarakan, Tanjung Salas, Nunukan, Pulau Bunyu, dan Malinau dsk
 Kawasan Bontang – Samarinda – Tenggarong, Balikpapan Penajam dsk
24. Sulawesi Utara  Kawasan Manado dsk
25. Sulawesi Tengah  Kawasan Poso dsk
 Kawasan Kolonedale dsk
 Kawasan Palu dsks
26. Sulawesi Selatan  Kawasan Mamminasata dsk
 Kawasan Bulukumba – watampone
 Kawasan Pare pare dsk

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


228

27. Sulawesi Barat  Kawasan Mamuju dsk


28. Sulawesi Tenggara  Kawasan Asesolo / Kendari
 Kawasan Mawedong / Kolaka
29. Maluku  Kawasan Kei – Aru – Pulau Wetar – Pulau Tanimbar
30. Maluku Utara  Kawasan Ternate, Tidore, Sidangoli, Sofifi, Weda dsk
 Kawasan Kepulauan Sula
31. Papua Barat  Kawasan Fak – Fak dsk
 Kawasan Sorong dsk
32. Papua  Kawasan Timika dsk
 Kawasan Biak
 Kawasan Merauke dsk

Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
sumber : Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional, 2008

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


229

NO PROVINSI 2010 2011 2012 2013 2014


1. Nanggroe Aceh Darussalam

2. Sumatera Utara

3. Sumatera Barat

4. Riau

5. Kepulauan Riau

6. Jambi

7. Sumatera Selatan

8. Bengkulu

9. Bangka Belitung

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


230

10. Lampung

11. Daerah Khusus Ibukota Jakarta – Jawa Barat - Banten

12. Banten

13. Jawa Barat

14. Jawa Tengah

15. Daerah Istimewa Yogyakarta

16. Jawa Timur

17. Bali

18. Nusa Tenggara Barat

19. Nusa Tenggara Timur


Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
231

20. Kalimantan Barat

21. Kalimantan Tengah

22. Kalimantan Selatan

23. Kalimantan Timur

24. Sulawesi Utara

25. Sulawesi Tengah

26. Sulawesi Selatan

27. Sulawesi Barat

28. Sulawesi Tenggara

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


232

29. Maluku

30. Maluku Utara

31. Papua Barat

32. Papua

33. Gorontalo

34. Kalimantan Utara

Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014
sumber : Kementerian Perindustrian, 2016

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


233

Berdasarkan Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional dan Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan
Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidak sesuaian antara indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi nilai tambah per
provinsi dalam kurun waktu tersebut. Sebanyak 27 dari 32 provinsi sesuai (Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Lampung, Daerah Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Ibukota
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), dan 5 provinsi lainnya tidak sesuai (Bengkulu,
Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). Sedangkan terdapat tambahan 1 provinsi
(Gorontalo) yang telah berkontribusi dalam pengumpulan nilai tambah yang belum
diakomodir pada dokumen RTRWN.
Dilihat lebih detil lagi, kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya dengan
tingkat survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi. Sebagaimana dapat
dicermati dari kedua tabel tersebut, walaupun izin lokasi yang ada di RTRWN berlaku untuk
selama periode 2010 – 2014, masih ada provinsi yang menunjukkan ketidak adaaan
kontribusi di tahun- tahun tertentu dan ada juga yang menambahkan perluasan industri tekstil
saja menjadi industri pakaian jadi. Ketidakstabilan nilai tambah terdapat di 5 provinsi berikut,
yaitu Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sedangkan provinsi – provinsi lainnya menunjukkan kondisi yang stabil.

Lebih lanjut, terkait hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih
belum terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan andalannya.
Sebanyak provinsi memiliki keduanya dan sebagian provinsi masih bersifat linear ( hanya
memiliki industri tekstil / pakaian jadi saja. Sebanyak 20 provinsi (Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Khusus Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo) menunjukkan hilirasi industri tekstil
dan pakaian jadi dan 7 provinsi lainnya (Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barart,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


234

Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat) menunjukkan
lineraritas kedua industri tersebut.

1.2 Definisi Permasalahan


Definisi permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu
2015 sampai dengan 2018.
• Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja di
sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri Makanan,
Kayu, diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing :
2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
• Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana dilihat
dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 -
2018, terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk
sektor industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi
dari pertambangan.
• Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing
provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 – 85 %.
• output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume
ekspor dan impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan
bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun besarannya
masih berfkultuasi.
• Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada
periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa masih terdapat ketidak sesuaian antara
indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi nilai tambah per provinsi dalam
kurun waktu tersebut.
• kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya dengan tingkat
survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi.
• hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih belum terealisasi
di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan andalannya.

1.3 Peran Penting Penelitian

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


235

Peran penting penelitian ini adalah sebagai berikut:


Kesesuaian, survivabilitas, dan hilirasi industri ternyata mempengaruhi fluktuasi nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi sehinggan industri tekstil dan pakaian jadi,
nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan nilai investasi yang masuk ke provinsi
bersangkutan belum menjadi yang tertinggi selama kurun waktu 2005 – 2018.

1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
5. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali
Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
6. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi kegiatan
industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah (industri tekstil
dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.

1.5 Kesenjangan Penelitian


Terdapat beberapa kesenjangan penelitian, meliputi:
5. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali
Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
6. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi kegiatan
industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah (industri tekstil
dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.

7. Kesesuaian, survivabilitas, dan hilirasi industri ternyata mempengaruhi fluktuasi


nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi

1.6 Kontribusi Penelitian


Kontribusi penelitian adalah sebagai berikut:
3. Menyediakan informasi terkait dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan
pasar dari fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia,
kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


236

8. Berkontribusi memberikan rekomendasi faktor-faktor lain (infrastruktur dan


kebijakan lokasi kegiatan industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi
nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan
Maluku dan Pulau Papua.
4. Memberikan rekomendasi lokasi (provinsi) yang sesuai untuk industri tekstil dan
pakaian jadi.
5. Memberikan usulan rekomendasi kebijakan apa saja yang diperlukan untuk
menstimulus laju nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi untuk provinsi –
provinsi yang sesuai tersebut.

1.7 Batasan Studi


Berikut adalah beberapa batasan studi:
3. Cakupan wilayah di penelitian ini meliputi Pulau dan Kepulauan selain Maluku
dan Papua, terkait dengan kontribusi nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi.
4. Penelitian ini berfokus pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi sebagai sektor
terbesar kedua yang berkontribusi pada flutuasi nilai tambah.
5. Periode penelitian ini meliputi tahun 2010 hingga tahun 2014 dengan
mempertimbangkan ketersediaan data terakhir dari semua variabel.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


237

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


Menurut Sichei, et al. (2012) hubungan antara biaya tenaga kerja dan foreign direct
investment (FDI) adalah jika biaya tenaga kerja tinggi maka menyiratkan biaya produksi yang
lebih tinggi pula, sehingga dapat membatasi arus masuk FDI. Biaya tenaga kerja dapat
diproksikan berdasarkan tingkat upah.

Biaya Arus masuk


Biaya tenaga kerja
produksi FDI terbatas
tinggi
Bagan 2.1 Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Sichei (2012)
Sumber: Global Journal of Management and Business Research, 2012

Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah dapat
mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah sehingga
permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).

Biaya tenaga kerja Biaya Laba perusahaan


rendah produksi meningkat

permintaan meningkat

Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama (2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011

Peningkatan upah minimum regional di Indonesia memiliki korelasi dengan biaya


produksi suatu perusahaan. Jika peningkatan upah tidak diikuti oleh peningkatan
produktivitas tenaga kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya,
tingkat investasi akan berkurang juga (Frederica dan Juwita, 2013).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


238

Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang

produktivitas pekerja

Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013

Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat biaya
tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment (FDI)
karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi juga lebih
rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba perusahaan. Biaya
tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan persaingan yang buruk.
Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah menyebabkan rendahnya harga output
dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan meningkat. Oleh karena itu, investor
didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang memiliki biaya tenaga kerja rendah
(Marcelia, et al.).

Harga output Tidak ada


Biaya tenaga kerja
tinggi rekomendasi
tinggi
Persaingan investasi

Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis

Harga output
Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah
rendah
Daya saing tinggi

Rekomendasi
investasi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


239

2.2 Kerangka Empiris


Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel- variabel,
dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
2.2.1 Variabel Dependen
Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan nilai tambah industri manufaktur
sebagai variabel dependen. Mengingat tingkat nilai tambah industri merupakan salah satu
indikator kinerja industri, dimana digunakan juga untuk menguji seberapa banyak tingkat
nilai tambah yang bisa diproduksi apabila industri tumbuh lebih tinggi di Indonesia.
(Ita,et.al,2003).
2.2.2 Variabel Independen
Faktor Produksi total adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai tambah.
(Ilyas,et.al, 2010). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah Tingkat Harga Investasi
dan Keterbukaan pasar.
2.2.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait nilai tambah menggunakan data panel. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif, lebih bervariasi,
menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi kolinearitas antar variabel,
memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang dapat menjadi ciri khas individu
dari waktu ke waktu, memungkinkan analisis masalah ekonomi yang krusial yang tidak dapat
dijawab dengan analisis deret waktu dan penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat
memodelkan perilaku yang berbeda dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian,
serta dapat menjelaskan penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan setiap
unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth, 2014). Penelitian
lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan fixed effect method (FEM)
untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model seperti itu
umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait dan untuk
menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai informasi
tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel diperlakukan sebagai
endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous atau yang telah ditentukan
(exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


240

2.2.4 Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi Total
(Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap nilai
tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


241

BAB 3
METODOLOGI

3.1 Deskripsi Penelitian


Sebagai awalan dari deskripsi penelitian ini, saya mengkaitkan dengan studi pustaka,
yaitu sebagaimana disebutkan di BAB 2, bahwasannya pemilihan variabel dan metode sesuai
dengan hasil studi pustaka. Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan data panel nilai
tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 (dua puluh empat) provinsi selama
periode 2010 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 5 x 24 = 120. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan regresi data panel cross section 24 provinsi dan time
series selama 5 tahun terakhir (2010-2014). Dalam hal ini, regresi data panel akan diterapkan
pada data sekunder karena terikat oleh realisasi niloai tambah sektor industri tekstil dan
pakaian jadi dari 24 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau,
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Metode yang saya gunakan adalah
panel sehubungan dengan peraturan minimal obsevasi yang berjumlah 30. Ketersediaan data,
deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data tersedia dari 2010-2014.
Periode observasi adalah 5 tahun.

3.2 Variabel Dependen


Variabel dependen adalah Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi. Hal ini
sesuai dengan isu-isu strategis yang relevan dengan penelitian untuk membuktikan variabel
dependen memiliki korelasi dengan latar belakang observasi.

3.3 Variabel Independen


Variabel independen yang berfungsi sebagai variabel kontrol adalah biaya investasi
(modal tetap), keterbukaan pasar (selisih nilai ekspor dan impor) dan biaya ( modal variabel).
Dari ketiga kelompok tersebut dapat dirinci ke -24 variabal turunan sebagai berikut: Pajak
Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang, Upah Minimum Regional, Biaya Bangunan,
Biaya Mesin, Biaya Angkutan, Panjang Jalan, Distribusi Listrik untuk Industri, Jumlah

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


242

Kawasan Industri, Jumlah Sentra Industri, Jumlah Lingkungan Industri Kecil, Jumlah
perkampunganindustrikecil, Indeks Harga Konsumen, Produk Domestik Regional Bruto,
Keterbukaan Pasar, Ekspor Barang, Impor Barang, Impor Bahan Bakar, Impor Makanan
Minuman Industri, Impor Bahan Baku Industri, Impor Bahan Bakar dan Pelumas, Impor
Suku Cadang dan Peralatan, Penyerapan Tenaga Kerja, RTR Pulau / Kepulauan. Ada
kerangka empiris dan teoretis yang mendukung menjembatani variabel dependen dan
independen. Beberapa orang mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.

3.4 Sinkronikasi Variabel Operasional


Sinkronikasi variabel operasional sebagai berikut (Variabel-variabel operasional,
sumber, detil, dan penyesuaian data):
11. Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi: Kementerian Perindustrian, Nilai
Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di 24 provinsi;
12. Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang, Badan Pusat Statistik (BPS),
Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk masing – masing provinsi di 24
provinsi;
13. Upah Minimum Regional: Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Regional
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
14. Biaya Bangunan: Badan Pusat Statistik (BPS), Biaya Bangunan untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
15. Biaya Mesin: Badan Pusat Statistik (BPS) Biaya Mesin untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
16. Biaya Angkutan: Badan Pusat Statistik (BPS), Biaya Angkutan untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
17. Panjang Jalan: Badan Pusat Statistik (BPS), Panjang Jalan untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
18. Distribusi Listrik untuk Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Distribusi Listrik untuk
Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
19. Jumlah Kawasan Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Kawasan Industri
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
20. Jumlah Sentra Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Sentra Industri untuk
masing – masing provinsi di 24 provinsi;

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


243

21. Jumlah Lingkungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Lingkungan
Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
22. Jumlah Perkampungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah
Perkampungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
23. Indeks Harga Konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
24. Produk Domestik Regional Bruto: Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik
Regional Bruto untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
25. Keterbukaan Pasar : Badan Pusat Statistik (BPS), Keterbukaan Pasar untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
26. Ekspor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Ekspor Barang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
27. Impor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Barang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
28. Impor Bahan Bakar: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
29. Impor Makanan Minuman Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Makanan
Minuman Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
30. Impor Bahan Baku Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Baku Industri
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
31. Impor Bahan Bakar dan Pelumas: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar dan
Pelumas untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
32. Impor Suku Cadang dan Peralatan: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Suku Cadang dan
Peralatan untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
33. Penyerapan Tenaga Kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), Penyerapan Tenaga Kerja untuk
masing – masing provinsi di 24 provinsi;
34. RTR Pulau / Kepulauan: Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dummy kebijakan, sudah atau
belumnya ditetapkan RTR Pulau / Kepulauan.

3.5 Area Obeservasi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


244

Area obeservasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di Pulau Sumatera, Pulau
Jawa dan Pulau Sulawesi. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang terkait dengan
variabel independen dan dependen tersedia.
Menurut Pyndick dan Rubinfield (2008) pada model panel data ini dikenal tiga jenis
pendekatan estimasi yang dikumpulkan, yaitu least square, fixed effect, dan random effect.
Pendekatan least square dengan cara sederhana menggabungkan/ mengumpulkan semua data
time series dan cross-section, dan model yang diestimasi digunakan model ordinary least
squares. Di sini konstanta (intersep) akan diasumsikan untuk time-series atau cross-section.
Efek tetap mengimplikasikan perbedaan time-series atau cross-section. Sedangkan
pendekatan efek acak memperbaiki proses efisiensi least square dengan estimasi eror time-
series dan cross-section dan perbedaan intersep.
Menurut Nachrowi (2005) untuk model efek tetap dari model efek acak sebagai model
yang cocok dalam beberapa hal, yaitu: Jika T (nomor data time-series)> N (jumlah data
cross–section) disarankan menggunakan fixed effect model (FEM), Jika N (data jumlah
cross–section) > T (nomor data time-series) disarankan menggunakan random effect model
(REM), Jika efek cross-section memiliki korelasi dengan salah satu buah lebih banyak
variabel X, maka diprediksi FEM adalah tidak bias dan bugar. Uji hipotesis tidak digunakan
untuk keputusan yang lebih meyakinkan dalam hal memilih model terbaik, yaitu
menggunakan Hausman test. Hal ini untuk mengetahui hubungan fungsional antara realisasi
total investasi asing langsung dan dengan upah minimum regional, indeks harga konsumen,
panjang jalan, kapasitas pelabuhan, kapasitas bandara, ukuran pasar, rasio antara ekspor dan
impor. Meskipun tidak menentukan model terbaik dapat dilihat dari uji antara model pooled
least square dan model fixed effect melalui Chow test. Jika nilai probabilitas Chi square
kurang dari alpha 5% maka model fixed effect dapat ditentukan sebagai model terbaik.

3.6 Persamaan Ekonometri


Persamaan dari variabel dependen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


245

VA1314it = β 0 + β 1 pjktdklangsungIBSit + β 2 UMRit + β 3 BiBangit + β 4 PjJlit + β 5


DisLisIndit + β 6 JmlhKwsIndit + β 7 JmlhSntrIndit + β 8 JmlhLingIndKclit+ β 9
JmlhLingIndKclit + β 10 JmlhPrkmpngnIndKcilit + β 11 IndksHrgKnsmnit + β 12
PDRBit + β 13 KtrbknPsrit + β 14 EksprBrngit + β 15 ImprBrngit + β 16
ImprBhnBkrit + β 17 ImprMknnMnmnIndit + β 18 ImprBhnBkIndit + β 19
ImprBhnBkrPlmsit + β 20 ImprSkCdngPrltnit + β 21 PnyrpnTngKrjit + β 22
RTRPlKepit + εit

VA1314it : Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di provinsi i pada
tahun t
pjktdklangsungIBSit : Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk di
provinsi i pada tahun t.
UMRit : Upah Minimum Regional di provinsi i tahun t.
BiBangit : Biaya Bangunan di provinsi i tahun t.
BiMesit : Biaya Mesin di provinsi i tahun t.
BiAngit : Biaya Angkutan di provinsi i tahun t.
PjJlit : Panjang Jalan di provinsi i tahun t.
DisLisIndit : Distribusi Listrik di provinsi i tahun t.
JmlhKwsIndit : Jumlah Kawasan Industri di provinsi i tahun t.
JmlhSntrIndit : Jumlah Sentra Industri di provinsi i tahun t.
JmlhLingIndKclit : Jumlah Lingkungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
JmlhPrkmpngnIndKcilit : Jumlah Perkampungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
IndksHrgKnsmnit : Indeks Harga Konsumen di provinsi i tahun t.
PDRBit : Produk Domestik Regional Bruto di provinsi i tahun t.
KtrbknPsrit : Keterbukaan Pasar di provinsi i tahun t.
EksprBrngit : Ekspor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBrngit : Impor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrit : Impor Bahan Bakar di provinsi i tahun t.
ImprMknnMnmnIndit : Impor Makanan Minuman Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkIndit : Impor Bahan Baku Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrPlmsit : Impor Bahan Bakar dan Pelumas di provinsi i tahun t.
ImprSkCdngPrltnit : Impor Suku Cadang dan Peralatan di provinsi i tahun t.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


246

PnyrpnTngKrjit : Penyerapan Tenaga Kerja di provinsi i tahun t.


RTRPlKepit : dummy kebijakan, sudah atau belumnya ditetapkan RTR Pulau /
Kepulauan
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan

3.6.1 Latar Belakang Pemilihan Model


Pemilihan model persamaan tersebut untuk membagi dampak trend biaya investasi
(modal tetap), keterbukaan pasar (selisih nilai ekspor dan impor) dan biaya ( modal variabel)
sebagai variabel utama dan variabel lain sebagai variabel kontrol terhadap fluktuasi total nilai

tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi – provinsi i Pulau Sumatera, sPulau

Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi; Pilihan variabel non biaya dan keterbukaan
pasar mengenai arah tesis adalah ekonomi daerah sehingga variabel-variabel tersebut telah
terbukti menunjukkan dampak yang signifikan dari beberapa jurnal penelitian, baik di dalam
maupun di luar negeri; Pilihan variabel utama mengenai kutipan satu jurnal yang
menunjukkan hubungan antara nilai tambah dan variabel-variabel tersebut; Pilihan kebijakan
dummy RTR Pulau / Kepulauan, mengenai ada kebijakan nasional sebagai panduan izin
untuk perencanaan, jadi kita harus tahu dampak dari kebijakan ini terhadap nilai tambah,
sebelum dan sesudah kebijakan ini ditetapkan. Sehingga apakah kebijakan tersebut terkai
juga dengan pilihan menjadi Pulau dengan nilai tambah industri vertikal atau horizontal atau
sebaliknya.
Setelah memperkirakan model penelitian, kita akan mendapatkan nilai dan tanda
masing-masing parameter dari model tersebut. Entah itu positif atau negatif, selanjutnya akan
digunakan untuk menguji hipotesis penelitian (Raharjo, et al., 2005).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


247

3.6.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi
nilai tambah di atas adalah:
1) β 1 <0; Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang. Peningkatan pajak tidak
langsung akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan pajak tidak
langsung akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
2) β 2 <0; Upah Minimum Regional. Peningkatan upah minimum regional akan
mengurangi nilai tambah karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah biaya
tenaga kerja (biaya variabel) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
3) β 2 <0; Biaya Bangunan. Peningkatan biaya bangunan akan mengurangi nilai
tambah, karena jika terjadi peningkatan pajak tidak langsung akan menambah biaya tetap
yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana
anggaran di masa depan, ceteris paribus.
4) β 2 <0; Biaya Mesin. Peningkatan biaya bangunan akan mengurangi nilai tambah,
karena jika terjadi peningkatan pajak tidak langsung akan menambah biaya tetap yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana
anggaran di masa depan, ceteris paribus.
5) β 2 <0; Biaya Angkutan. Peningkatan biaya angkutan akan mengurangi nilai tambah
karena jika terjadi peningkatan biaya angkutan akan menambah biaya variabel yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana
anggaran di masa depan, ceteris paribus.
6) Β6> 0; Panjang Jalan. Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif terhadap total
nilai tambah, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total aspal jalan akan
mempercepat mobilitas distribusi produk sehingga menurunkan biaya variabel secara
keseluruhan. Kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim investasi yang kondusif dan
peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris paribus .
7) Β7> 0; Distribusi Listrik untuk Industri. Jika kapasitas listrik meningkat maka nilai
tambah juga meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena
meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


248

8) β 8> 0; Jumlah Kawasan Industri. Jika jumlah kawasan industri meningkat maka nilai
tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
9) β 8> 0; Jumlah Sentra Industri. Jika jumlah sentra industri meningkat maka nilai
tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan
laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan
sebaliknya, ceteris paribus.
10) β 8> 0; Jumlah Lingkungan Industri Kecil. Jika jumlah lingkungan industri kecil
meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan
wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
11) β 8> 0; Jumlah Perkampungan Industri Kecil. Jika jumlah perkampungan industri
kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah
nyata karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan
perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
12) β 2 <0; Indeks Harga Konsumen. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi total nilai
realisasi nilai tambah. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga termasuk harga
barang sebagai input produksi. Kondisi ini akan memaksa kenaikan biaya produksi
secara keseluruhan sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang mungkin bisa didapat
oleh investor dan pengusaha. Kondisi ini akan mengurangi faktor dorongan investasi dan
pada akhirnya akan menurunkan nilai total nilai tambah, ceteris paribus.
13) β 8> 0; Produk Domestik Regional Bruto. Jika produk domestik regional bruto
meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata
karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
14) β 8> 0; Keterbukaan Pasar . Jika rasio beban dan bongkar meningkat maka nilai
tambah akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris
paribus.
15) β 8> 0; Ekspor Barang. Jika ekspor barang meningkat maka nilai tambah juga
meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan,
dan sebaliknya, ceteris paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


249

16) β 2 <0; Impor Barang. Peningkatan impor barang akan mengurangi nilai tambah,
karena jika terjadi peningkatan impor barang akan menambah biaya variabel yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di
masa depan, ceteris paribus.
17) β 2 <0; Impor Bahan Bakar. Peningkatan impor bahan bakar akan mengurangi nilai
tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
18) β 2 <0; Impor Makanan Minuman Industri. Peningkatan impor makanan dan
minuman industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
makanan dan minuman industri akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
19) β 2 <0; Impor Bahan Baku Industri. Peningkatan impor bahan baku industri akan
mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan baku industri
akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
20) β 2 <0; Impor Bahan Bakar dan Pelumas. Peningkatan impor bahan bakar dan
pelumas akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan
bakar dan pelumas akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
21) β 2 <0; Impor Suku Cadang dan Peralatan. Peningkatan impor suku cadang dan
peralatan akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor suku
cadang dan peralatan akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan,
ceteris paribus
22) β 8> 0; Penyerapan Tenaga Kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari tenaga
kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


250

23) β 8> 0; RTR Pulau / Kepulauan. Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan lokasi
telah ditata dalam national spatial planning maka nilai tambah akan meningkat melalui
peningkatan laba pserusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

3.7 Analisis Regresi


Analisis regresi data panel: Membuat model penentu penelitian investasi asing
langsung; Melakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Melakukan estimasi
dengan model fixed effect model (FEM); Melakukan Chow test untuk menentukan memilih
model PLS dan FEM. Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan
dipilih; Melakukan estimasi model random effect model (REM); Melakukan tes Hausman
untuk menentukan model Choosong FEM atau REM. Jika probabilitas Chi square kurang
dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.

3.7.1 Uji Asumsi Regresi


Agar uji asumsi regresi menghasilkan model yang robust maka memerlukan
pengujian multikolinier, uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear akan
dilakukan dengan Breusch Pagan LM test of independence.Jika p-value tes estimasi Chi
square kurang dari alpha 5%, maka artinya terjadi fenomena otokorelasi. Jika
heteroskedastisitas p-value uji estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka terjadi
fenomena heteroskedastisitas.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


251

BAB 4
ANALISIS DAN HASIL

4.1 Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa


4.1.1 Deskripsi Singkat Model Ekonometrik
Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi nilai tambah di sektor
industri dilakukan dengan pendekatan regresi data panel yang melibatkan data cross section
yang meliputi 24 (dua puluh empat) provinsi dan time series dengan kurun waktu 5 tahun,
yaitu (2010 - 2014). Penelitian ini lebih mengedepankan variabel utama pajak tidak langsung
dan biaya mesin dengan faktor variabel kontrol yaitu, upah minimum, biaya bangunan, listrik,
kawasan industri, sentra industri, lingkungan industri, perkampungan industri, indeks harga
konsumen pendapatan regional bruto, keterbukaan pasar, penyerapan tenaga kerja, dan rtr
pulau / kepulauan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


252

4.1.2. Pemeriksaan Awal


HASIL ESTIMASI SEMENTARA

. estimates table fe re ols, star stats(N r2 r2_a)

1. Chow test:

> ---------
sigma_u | 8.661e+09
sigma_e | 2.459e+09
rho | .92540492 (fraction of variance due to u_i)
---------------------------------------------------------------------

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


253

> ---------
F test that all u_i=0: F(23, 80) = 18.63 Prob > F
> = 0.0000
Karena P Value < α maka pilihan terbaik adalah menggunakan fixed effect

7. Hausman test:

Tabel 4.2 Hasil Estimasi Model

Dilihat nilai P Value dari hauman test adalah 0.0042 artinya < α, maka H1 diterima
dan pilihan terbaik berarti fixed effect.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan
membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model (FEM)
dengan uji Chow. Jika hasil pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang dari alpha 5%
maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara model pooled least
square (PLS) dengan random effect model (REM) dengan uji Breusch Pagan Lagrange
multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Breusch Pagan Lagrange
multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Selanjutnya
dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random effect model (REM) dengan uji
Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-value uji Hausman kurang dari alpha 5%

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


254

maka REM adalah model yang terbaik. Dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
regresi pada model hanya bisa dilakukan dengan fixed effect model (FEM), sedangkan regresi
dengan ke-2 model lainnya tidak bisa dilakukan.

3. Uji asumsi klasik


3.1 Multikolinearitas
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier,
uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinier dilakukan dengan analisis
korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM test dan uji
heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald test yang dilakukan dengan perangkat
lunak Stata 13.

Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolinier

Antar variabel pajak dengan impor industri, impor bahan baku, impor bahan bakar,
dan impor suku cadang peralatan; biaya bangunan dengan impor bahan bakar; biaya mesin
dengan impor barang; biaya; biaya angkutan dengan impor angkutan, impor bahan baku, dan
impor bahan bakar; dan ihk dengan impor bahan bakar memiliki nilai multikolinearitas >
0.75 yang artinya menerima H1 atau dengan kata lain hubungan antar variabel-variabel
tersebut memiliki nilai multikolinearitas yang tinggi.
Saat diuji nilai variance inflating factor setelah fe juga menghasilkan nilai mean
VIFnya 182.25 atau > 10, hal ini berarti ada indikasi multikolinearitas yang tinggi, sesuai
dengan tes yang sebelumnya dilakukan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


255

Note:

Dari hasil diatas beberapa variabel dihapus oleh stata karena masalah kolinearitas pada
pengujian fixed effect, PLS dan random effect. Setelah terpilih yang terbaik yaitu fixed effect
ternyata masih bermasalah pada uji asumsi klasik terindikasi terdapat multikolinearitas yang
tinggi antar variabel dengan alasan tersebut maka disarankan untuk mencari model yang lebih
stabil.

Dalam model dummy upah minimum, penyerapan tenaga kerja, kawasan industri, pajak tidak
langsung, pendapatan regional bruto, RTR Pulau / Kepulauan, sentra indutsri, perkampungan
industri, listrik, lingkungan industri, dan keterbukaan pasar memiliki nilai VIF kurang dari 10,
sehingga tidak ditemukan multikol di variabel - variabel tersebut. Sementara itu, untuk
variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari 10, sehingga ditemukan multikol di
variabel-variabel tersebut.

4.1.3 Hasil Pengujian Ekonometrik


Berdasarkan hasil di atas, variabel pajak tidak langsung dan perkampungan industri
berpengaruh positif dan negatif signifikan pada alfa 1% terhadap nilai tambah industri tekstil
dan pakaian jadi. Sementara variabel biaya mesin dan sentra industri kecil berpengaruh
positif signifikan pada alfa 5 % terhadap nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi.
Sedangkan secara positif dan signifikan pada alfa 10 %, nilai tambah industri tekstil dan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


256

pakaian jadi tersebut dipengaruhi oleh listrik. Sementara itu, variabel-variabel lainnya tidak
mempengaruhi nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi.

4.2. Analisis Terkait Teori


Pembahasan Hasil Analisis terkait teori memuat statistik deskriptif untuk masing – masing
provinsi sesuai dengan variabel yang ada di teori (teori) sebelumnya yang sesuai dan tidak
sesuai dengan penelitian ini
Pembahasan Hasil Analisis terkait teori memuat statistik deskriptif untuk masing – masing
provinsi sesuai dengan variabel yang ada di teori (teori) sebelumnya yang sesuai dan tidak
sesuai dengan penelitian ini

Biaya Arus masuk


Biaya tenaga kerja
produksi FDI terbatas
tinggi

Bagan 4.1. Analisis 1 : teori Sinchei (2012)


NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
1. Aceh 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.300.000 7.399.040
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.350.000 6.407.616
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.400.000 3.410.552
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.550.000 5.316.186
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.750.000 4.752.411

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
2. Sumatera Utara 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
965.000
82.262.551
Kesesuaian = 100 %s 2011 1.035.500 TINGGI RENDAH, SESUAI
163.869.526
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.200.000 110.398.452
2013 TINGGI 177.184.752 RENDAH, SESUAI
1.375.000
2014 1.505.850 TINGGI 241.224.219 RENDAH, SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


257

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
3. Sumatera Barat 2010 TINGGI 15.097.499 RENDAH, SESUAI
940.000
Kesesuaian = 100% 2011 1.055.000 TINGGI 15.909.720 RENDAH, SESUAI
2012 1.150.000 TINGGI 18.687.223 RENDAH, SESUAI
2013 TINGGI 35.469.997 RENDAH, SESUAI
1.350.000
2014 TINGGI 43.211.747 RENDAH, SESUAI
1.490.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
4. Jambi 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
900.000 5.190.874

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.028.000 2.862.856
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.142.500 1.449.870
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.300.000 1.048.034
2014 TINGGI 2.994.076 RENDAH, SESUAI
1.502.300

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
5. Sumatera Selatan 2010 927.825 TINGGI 9.792.294 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 11.072.391 RENDAH, SESUAI


1.048.440
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.195.220 43.065.324
2013 TINGGI 7.737.890 RENDAH, SESUAI
1.630.000
2014 1.825.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
46.924.165

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
6. Lampung 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
767.500 8.060.702

Kesesuaian = 100 % 2011 855.000 TINGGI 11.824.682 RENDAH, SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


258

2012 TINGGI 27.547.607 RENDAH, SESUAI


975.000
2013 1.150.000 TINGGI 11.256.544 RENDAH, SESUAI
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.399.03 10.792.021 S

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
7. Kepulauan Bangka Belitung 2010 910.000 TINGGI 970.426 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian= 100 % 2011 TINGGI 852.425 RENDAH, SESUAI


1.024.000
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.110.000 949.290
2013 TINGGI 1.178.425 RENDAH, SESUAI
1.265.000
2014 TINGGI 1.753.267 RENDAH, SESUAI
1.640.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
8. Kepulauan Riau 2010 925.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
991.268.773
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
975.000 944.061.495
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.015.000 832.271.020
2013 TINGGI .284.176.397 RENDAH, SESUAI
1.365.087
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.665.000 1.464.616.430
NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 TINGGI 5.018.454.098 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 5.265.528.713 RENDAH, SESUAI
1.290.000
2012 1.529.150 TINGGI 4.859.789.937 RENDAH, SESUAI
2013 2.200.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.159.975.582
2014 TINGGI 7.942.606.038 RENDAH, SESUAI
2.441.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
10. Jawa Barat 2010 TINGGI TINGGI, TIDAK

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


259

671.500 36.576.471.833 SESUAI

Kesesuaian = 60 % 2011 TINGGI TINGGI, TIDAK


732.000 45.295.340.271 SESUAI
2012 RENDAH TINGGI, SESUAI
780.000
45.703.426.022
2013 RENDAH TINGGI, SESUAI
850.000
63.299.178.601
2014 RENDAH TINGGI, SESUAI
1.000.000 77.362.628.315

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
11. Jawa Tengah 2010 660.000 RENDAH RENDAH, TIDAK
4.745.229.129 SESUAI
Kesesuaian = 20 % 2011 675.000 RENDAH RENDAH, TIDAK
15.731.300.230 SESUAI
2012 RENDAH RENDAH, TIDAK
765.000 20.475.791.820 SESUAI
2013 RENDAH TINGGI, SESUAI
830.000 36.960.701.423
2014 RENDAH RENDAH, TIDAK
910.000 28.628.820.774 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 745.694 TINGGI RENDAH, SESUAI
749.351.764
Kesesuaian = 60 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
808.000 872.097.537
2012 892.660 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.026.397.874
2013 RENDAH RENDAH, TIDAK
947.114 1.365.693.054 SESUAI
2014 RENDAH RENDAH, TIDAK
988.500 2.325.994.997 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
13. Jawa Timur 2010 RENDAH RENDAH, TIDAK
630.000 SESUAI
3.444.671.166
Kesesuaian = 20 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
705.000 3.814.104.719

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


260

2012 745.000 RENDAH RENDAH, TIDAK


8.222.591.823 SESUAI
2013 RENDAH 9.817.319.142 RENDAH, TIDAK
866.250 SESUAI
2014 1.000.000 RENDAH RENDAH, TIDAK
6.434.342.522 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
14. Banten 2010 955.300 TINGGI RENDAH, SESUAI
8.782.646.866
Kesesuaian = 100 % 2011 1.000.000 TINGGI 7.066.832.746 RENDAH, SESUAI

2012 1.042.000 TINGGI RENDAH, SESUAI


7.839.156.369

2013 1.170.000 TINGGI RENDAH, SESUAI


10.522.012.966
2014 1.325.000 TINGGI 12.725.152.087 RENDAH, SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
15. Bali 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
254.802.954
829.316
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
890.000 246.004.686
2012 967.500 TINGGI 2.576.610.152 RENDAH, SESUAI
2013 1.181.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
196.961.887
2014 1.542.600 TINGGI RENDAH, SESUAI
685.167.839

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
16. Nusa Tenggara Barat 2010 TINGGI 4.611.582 RENDAH SESUAI
890.775
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
950.000 3.292.034
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.000.000 3.148.543
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.100.000 10.674.835

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


261

2014 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.210.000 8.651.984

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
17. Nusa Tenggara Timur 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
800.000 380.916
Kesesuaian = 80 % 2011 850.000 TINGGI 1.982.356 RENDAH, SESUAI
2012 TINGGI 9.481.880 RENDAH, SESUAI
925.000

2013 1.010.000 TINGGI 726.513 RENDAH, SESUAI


2014 RENDAH 2.257.886 RENDAH, TIDAK
1.150.000 SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
18. Kalimantan Selatan 2010 1.024.500 TINGGI 2.547.095 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 1.126.000 TINGGI 4.780.097 RENDAH, SESUAI


2012 1.225.000 TINGGI 2.987.965 RENDAH, SESUAI
2013 1.337.500 TINGGI 2.785.882 RENDAH, SESUAI
2014 TINGGI 32.412.961 RENDAH, SESUAI
1.620.000
N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL
O N RI TAMBAH
19. Kalimantan Timur 2010 1.002.000 TINGGI 15.958.389 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 12.335.614 RENDAH, SESUAI


1.084.000
2012 TINGGI 22.853.737 RENDAH, SESUAI
1.177.000
2013 TINGGI 40.367.687 RENDAH, SESUAI
1.752.073
2014 1.886.315 TINGGI 72.630.908 RENDAH, SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
20. Sulawesi Tengah 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
777.500 1.104.560

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI


58.800
827.500

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


262

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.232.658
885.000
2013 RENDAH RENDAH, SESUAI
995.000 1.104.560
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.250.000 1.487.360

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
21. Sulawesi Selatan 2010 TINGGI 16.612.435 RENDAH,
1.000.000 SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 24.352.875 RENDAH,
1.100.000 SESUAI
2012 1.200.000 TINGGI 16.612.435 RENDAH,
SESUAI
2013 1.440.000 TINGGI 16.612.435 RENDAH,
SESUAI
2014 TINGGI 115.512.942 RENDAH,
1.800.000 SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
22. Sulawesi Tenggara 2010 860.000 TINGGI 1.011.614 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 3.967.651 RENDAH, SESUAI
930.000
2012 1.032.300 TINGGI 3.903.388 RENDAH, SESUAI

2013 TINGGI 3.952.443 RENDAH, SESUAI


1.125.207
2014 TINGGI 3.924.951 S RENDAH, SESUAI
1.400.000

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
23. Gorontalo 2010 710.000 TINGGI 1.237.993 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 805.289 RENDAH, SESUAI


762.500
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
837.500 2.344.478
2013 1.175.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.764.417
2014 1.325.000 TINGGI 6.904.065 RENDAH, SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


263

N PROVINSI TAHU UMR KATEGO NILAI HASIL


O N RI TAMBAH
24. Sulawesi Barat 2010 944.200 TINGGI 977.400 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 2.885.600 RENDAH, SESUAI


1.006.000
2012 TINGGI 379.212 RENDAH, SESUAI
1.127.000
2013 TINGGI 2.931.474 RENDAH, SESUAI
1.165.000
2014 TINGGIS 1.980.593 RENDAH, SESUAI
1.400.000

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila biaya tenaga kerja tinggi, seharusnya nilai
tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga rendah.
Bagan 4.2. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)

Biaya tenaga kerja Biaya Laba perusahaan


rendah produksi meningkat

permintaan meningkat

4.2.5. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)


Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 2 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga
kerja rendah, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut
juga tinggi. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari ke-2 teori itu dapat dirinci sebagai
berikut: 19 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %, yaitu meliputi
provinsi – provinsi sebagai berikut : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera
Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan ke-5 provinsi lainnya
menunjukkan tingkat kesesuaian masing – masing 80 % (Nusa Tenggara Timur); 60 % (Jawa
Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta) dan 20 % (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


264

4.2.10. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita , 2013)

Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang

produktivitas pekerja

Bagan 4.3. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita (2013)


NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
1. Aceh 2010
1.300.000 7.399.040
Kesesuaian = 75 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,
1.350.000 6.407.616 SESUAI
2012 MENINGKAT BERKURANG,
1.400.000 3.410.552 SESUAI
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.550.000 5.316.186 TIDAK SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG,
1.750.000 4.752.411 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
2. Sumatera Utara 2010
965.000
82.262.551
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT 163.869.526 BERTAMBAH, TIDAK
1.035.500 SESUAI
2012 MENINGKAT BERKURANG,
1.200.000 110.398.452 SESUAI

2013 1.375.000 MENINGKAT 177.184.752 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2014 1.505.850 MEBNINGKAT 241.224.219 BERTAMBAH ,TIDAK
SESUAIS

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
3. Sumatera Barat 2010 940.000 15.097.499

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


265

Kesesuaian = 0 % 2011 1.055.000 MENINGKAT 15.909.720 BERTAMBAH,


TIDAK SESUAI
2012 1.150.000 MENINGKAT 18.687.223 BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
2013 1.350.000 MENINGKAT 35.469.997 BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
2014 MENINGKAT 43.211.747 BERTAMBAH,
1.490.000 TIDAK SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
4. Jambi 2010
900.000 5.190.874
Kesesuaian = 100 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,SESUAI
1.028.000
2.862.856
2012 MENINGKAT BERKURANG
1.142.500 1.449.870 SESUAI
NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL
TAMBAH
5. Sumatera Selatan 2010 927.825 9.792.294

Kesesuaian = 50 % 2011 1.048.440 MENINGKAT 11.072.391 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2012 MENINGKAT BERKURANG,
1.195.220 43.065.324 SESUAI
2013 MENINGKAT 7.737.890 BERKURANG,
1.630.000 SESUAI
2014 1.825.000 MENINGKAT 46.924.165 BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
6. Lampung 2010
767.500 8.060.702

Kesesuaian = 50 % 2011 855.000 MENINGKAT BERTAMBAH,


11.824.682 TIDAK SESUAI
2012 MENINGKAT 27.547.607 BERTAMBAH,
975.000 TIDAK SESUAI
2013 MENINGKAT BERKURANG,
11.256.544 SESUAI
1.150.000
2014 MENINGKAT BERKURANG,
1.399.03 10.792.021 S SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


266

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
7. Kepulauan Bangka Belitung 2010 910.000
970.426

Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERKURANG


1.024.000 SESUAI
852.425
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
949.290 TIDAK SESUAI
1.110.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.265.000 TIDAK SESUAI
1.178.425
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.640.000 TIDAK SESUAI
1.753.267

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
8. Kepulauan Riau 2010
991.268.773
925.000
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,
944.061.495 SESUAI

975.000
2012 MENINGKAT BERKURANG,
832.271.020 SESUAI
1.015.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.284.176.397 TIDAK SESUAI

1.365.087
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.464.616.430 TIDAK SESUAI

1.665.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 5.018.454.098

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 5.265.528.713 BERTAMBAH,


TIDAK SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


267

1.290.000

2012 1.529.150 MENINGKAT BERKURANG,


SESUAI
4.859.789.937
2013 2.200.000 MENINGKAT BERKURANG,
1.159.975.582 SESUAI
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
2.441.000 7.942.606.038 TIDAK SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
10. Jawa Barat 2010
671.500 36.576.471.833
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH,
732.000 45.295.340.271 TIDAK SESUAI
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
780.000 TIDAK SESUAI
45.703.426.022
2013 MENINGKAT BERKURANG,
850.000 SESUAI
63.299.178.601
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.000.000 77.362.628.315 TIDAK SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
11. Jawa Tengah 2010
14.745.229.129
660.000
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
675.000 15.731.300.230
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
765.000 20.475.791.820 TIDAK SESUAI
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
830.000 36.960.701.423 TIDAK SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG,
910.000 28.628.820.774 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 745.694
749.351.764

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


268

Kesesuaian = 0 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH,


808.000 872.097.537 TIDAK SESUAI
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
1.026.397.874 TIDAK SESUAI
892.660
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
947.114 1.365.693.054 TIDAK SESUAI
2014 MENINGKAT BERTAMBAH,
988.500 2.325.994.997 TIDAK SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
13. Jawa Timur 2010
630.000
3.444.671.166
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
705.000 3.814.104.719
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
8.222.591.823 TIDAK SESUAI

745.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH,
TIDAK SESUAI
866.250 9.817.319.142
2014 MENINGKAT BERKURANG,
6.434.342.522 SESUAI
1.000.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
14. Banten 2010

955.300
8.782.646.866

Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,


1.000.000 SESUAI
7.066.832.746
2012 MENINGKAT BERTAMBAH,
7.839.156.369 TIDAK SESUAI
1.042.000
2013 1.170.000 MENINGKAT BERTAMBAH,
10.522.012.966 TIDAK SESUAI
2014 1.325.000 MENINGKAT BERTAMBAH,
12.725.152.087 TIDAK SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


269

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
15. Bali 2010
829.316 254.802.954
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK BERKURANG,
890.000 AT 246.004.686 SESUAI
2012 967.500 MENINGK BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
2.576.610.152
2013 1.181.000 MENINGK BERKURANG,
AT 196.961.887 SESUAI
2014 1.542.600 MENINGK BERTAMBAH,
AT 685.167.839 TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
16. Nusa Tenggara Barat 2010
890.775 4.611.582
Kesesuaian = 75 % 2011 MENINGK BERKURANG,
AT SESUAI
950.000 3.292.034
2012 MENINGK BERKURANG,
1.000.000 AT SESUAI

3.148.543
2013 MENINGK BERTAMBAH,
1.100.000 AT 10.674.83 TIDAK SESUAI
5
2014 MENINGK BERKURANG,
1.210.000 AT SESUAI
8.651.984

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
17. Nusa Tenggara Timur 2010
800.000 380.916
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGK BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
850.000
1.982.356
2012 MENINGK BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
925.000 9.481.880

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


270

2013 MENINGK 726.513 BERKURANG,


1.010.000 AT SESUAI
2014 MENINGK BERTAMBAH,
1.150.000 AT 2.257.886 TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
18. Kalimantan Selatan 2010 1.024.500 MENINGK
AT 2.547.095
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK 4.780.097 BERTAMBAH,
1.126.000 AT TIDAK SESUAI
2012 MENINGK 2.987.965 BERKURANG,
1.225.000 AT SESUAI
2013 1.337.500 MENINGK 2.785.882 BERKURANG,
AT SESUAI
2014 MENINGK BERTAMBAH,
1.620.000 AT 32.412.961 TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
19. Kalimantan Timur 2010 1.002.000 MENINGK 15.958.389
AT
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGK 12.335.614 BERKURANG,
1.084.000 AT SESUAI
2012 MENINGK 22.853.737 BERTAMBAH,
1.177.000 AT TIDAK SESUAI
2013 MENINGK 40.367.687 BERTAMBAH,
1.752.073 AT TIDAK SESUAI
2014 1.886.315 MENINGK 72.630.908 BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
20. Sulawesi Tengah 2010 MENINGK
777.500 AT 1.104.560
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK BERKURANG,
AT 58.800 SESUAI
827.500
2012 MENINGK BERTAMBAH,
AT 1.232.658 TIDAK SESUAI
885.000
2013 MENINGK BERKURANG,
995.000 AT 1.104.560 SESUAI
2014 MENINGK BERTAMBAH,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


271

1.250.000 AT 1.487.360 TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
21. Sulawesi Selatan 2010 1.000.000 MENINGK 16.612.435
AT

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK BERTAMBAH,


1.100.000 AT 24.352.875 TIDAK SESUAI
2012 MENINGK 16.612.435 BERKURANG,
1.200.000 AT SESUAI
2013 MENINGK TETAP, SITUASI
AT NORMAL
1.440.000 16.612.435
2014 MENINGK 115.512.94 BERTAMBAH,
1.800.000 AT 2 TIDAK SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
22. Sulawesi Tenggara 2010 860.000 MENINGK 1.011.614
AT

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK 3.967.651 BERTAMBAH,


930.000 AT TIDAK SESUAI
2012 MENINGK BERKURANG,
1.032.300 AT 3.903.388 SESUAI
2013 MENINGK 3.952.443 BERTAMBAH,
1.125.207 AT TIDAK SESUAI
2014 MENINGK 3.924.951 S BERKURANG,
1.400.000 AT SESUAI

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
23. Gorontalo 2010 710.000 MENINGK 1.237.993
AT
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK 805.289 BERKURANG,
762.500 AT SESUAI
2012 837.500 MENINGK 2.344.478 BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
2013 1.175.000 MENINGK BERKURANG,
AT 1.764.417 SESUAI
2014 MENINGK BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
1.325.000 6.904.065

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


272

N PROVINSI TAHU UMR KATEGORI NILAI HASIL


O N TAMBAH
24. Sulawesi Barat 2010 944.200 MENINGK 977.400
AT
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGK 2.885.600 BERTAMBAH,
1.006.000 AT TIDAK SESUAI
2012 1.127.000 MENINGK 379.212 BERKURANG,
AT SESUAI
2013 1.165.000 MENINGK 2.931.474 BERTAMBAH,
AT TIDAK SESUAI
2014 MENINGK 1.980.593 BERKURANG,
1.400.000 AT SESUAI

Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga
kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut
juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci
sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %, yaitu Jambi.
Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 75 %, 11 provinsi
menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan
Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 25 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya
menunjukkan tingkat kesesuaian 0 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

4.2.15. Analisis Channeling 4 (Marcelia)

Harga output Tidak ada


Biaya tenaga kerja
tinggi Rekomendasi
tinggi

Bagan 4.4. Analisis Teori 4 (Marcelia)

Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya tenaga
kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut
juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3 itu dapat dirinci
sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 0 %, yaitu Jambi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


273

Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat kesesuaian 25 %, 11 provinsi
menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sumatera Utara, Bangka Belitung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan
Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 75 %, Sedangkan ke-2 provinsi lainnya
menunjukkan tingkat kesesuaian 100 % yaitu Sumatera Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


274

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional Bruto
dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau di bawah
rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi mempengaruhi rendah atau
tingginya nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi (sesuai dengan
teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional di
masing – masing Provinsi tersebut mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di
sektor industri tekstil dan pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai tambah industri
tekstil dan pakaian jadi. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga
dipengaruhi oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa
ditunjukkan juga dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan
infrastruktur memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri
tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan UMR
tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai 100 %, diperbolehkan adanya kenaikan UMR,
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka
Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur disarankan mengurangi UMR sampai
berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.

5.1.1. Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris


Ada beberapa variabel, yaitu: variabel pajak tidak langsung dan biaya mesin, sebagai
variabel kontrol dipengaruhi oleh nilai tambah.
Berbeda halnya dengan variabel listrik, perkampungan industri, perkampungan
industri dan sentra industri kecil yang signifikan mempengaruhi aliran nilai tambah industri

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


275

tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan IHK, dan RTR
Pulau/kepulauan tidak signifikan mempengaruhi nilai tambah di 24 provinsi.

5.2. Rekomendasi Kebijakan


Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel yang
mempengaruhi nilaitambah dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah
distribusi listrik ke industri, pengurangan harga mesin dan pengurangan pajak tidak langsung
untuk mendorong aliran nilai tambah, peningkatan upah minimum dan pembatasan luas
ruang kawasan industri untuk mengendalikan aliran nilai tambah sektor industri tekstil dan
pakaian jadi di ke-24 provinsi tersebut.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


276

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Muhammad. 2010. Determinant of Manufacturing Value Added in Pakistan : an


Application of Bounds Testing Approach to Cointegration.

Minimum Wages and Labour Productivity.

Raising the Standard : Minimum Wages and Firm Productivity.

Ita,et.al.2003. Effect of Credit Financing to the Value Added of Manufacture Industry in


Indonesia.

Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural Sector in
Indonesia.

Mochammad Aravano Siregar. 2013. Determinant of Value Added in Cacao Industry.

de la Croix, D. (2015). Economic Growth. In International Encyclopedia of the Social &


Behavioral Sciences: Second Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-
8.71057-9

Pujiati, A. (2009). Analisis Kawasan Andalan in Central Java. 11(2), 117–128.

Robiani, B. (2005). Analisis Pengaruh Industrialisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di


Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, Vol. 6, p. 93.
https://doi.org/10.21002/jepi.v6i1.153

Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs and
Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.

Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi pada
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi.
Vol. 1 (2).

Atmaja(2017). Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan


Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tesis.Universitas Gadjah Mada.

Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in Morocco.
Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.

Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment Flows
to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of Economics.

Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


277

Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.

Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap Perkembangan
Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi di pulau Jawa). Tesis.
Universitas Indonesia.

Erdal, et.al (2008). Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing


Countries : A cross sectional Analysis.Prague Economic Papers.356-369.

Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages. NBER
Working Papers Series. 5121.

Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third Country
Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.

Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct Investment
(FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social and Behavioral
Sciences,.

Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen.
Vol.2.

Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the Economic
Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.
International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.

Lakesha, B.K (2012). Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective.


Indian Journal of Industrial Relations. Vol. 47.459 – 469.

Liu, et. al (2012). Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing


Industry. International Journal of Economics and Finance. Vol. 4 (12).

Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth Publishers.

Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s Case.
International Journal of Economic Sciences and Applied Research. Vol.3(2). 41-56.

Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business. Vol. 2
(9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of Foreign
Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review. 134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


278

Randelovic,et.al (2017). Market Size as a Determinant of The Foreign Direct Investment


Inflows in the Western Balkans Countries. Economics and Organization. Vol. 14 (2).
93 – 104.
Rashid, Intan Maizura Abdul (2016). Determinants of Foreign Direct Investment (FDI) In
Agriculture Sector Based on Selected Highincome Developing Economies in OIC
Countries: an Empirical Study on The Provincial Panel Data By Using Stata, 2003-
2012. Procedia Economics and Finance . 26-33.

Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean – 7;
Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).

Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and Economic
Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model. Journal of
Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.

Sharma, Kishor (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New


Evidence From Cointegration and Error Correction Model. The Journal of
developing Areas.Vol. 46. 71-89.

Sichei, Moses Muse,et.al (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Africa: A


Panel Data Analysis. Global Journal of Management and Business Research. Vol.12.

Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation States:
an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.

Wafure, Obida Gobna (2010). Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria: An


Empirical Analysis. Global Journal of Human Social Science. Vol. 10. 26 – 34.

Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The Caribbean: an
Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol. 52 (1). 57 – 77.

www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.


www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


279

Indonesia's development aims to realize national goals, namely: accelerate economic


growth, increase equitable welfare, and continue the sustainable environment. As
stated by the Deputy Minister of Public Works at konreg PU, 2013. Where each is
projected PDRB value, poverty rate, and amount of carbon emissions. In our research,
we focused only on contributing to the purchase value, sales value, and trade balance,
while the poverty rate and fluctuations in carbon emissions were not the scope of the
study. Taking into account the availability of data, the accuracy of the research, and
the coverage of the regions we grouped based on the Islands cluster in Indonesia.

In general, the value of purchases in Indonesia increased, despite the change in order
in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place, followed by
Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively Bali Island - Nusa
Tenggara-Maluku- Papua and Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order
changed as follows: the first and second order respectively Kalimantan Island -
Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third and the island of Bali -
Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth. (BPS, 2021). In general, the value of sales
in Indonesia increased, despite changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the
largest in Java Island in the first place, followed by Sumatra Island in second place.
Third and fourth respectively Bali Island - Nusa Tenggara-Maluku- Papua and
Kalimantan Island - Sulawesi. While in 2018 the order changed as follows: the first
and second order respectively Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the
island of Sumatra in third and the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in
fourth. (BPS, 2021). In general, the trade balance in Indonesia increased, despite
changes in order in 2017 and 2018. In 2017 the largest in Java Island in the first place,
followed by Sumatra Island in second place. Third and fourth respectively –

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


280

Kalimantan Island – Sulawesi and Bali Island – Nusa Tenggara-Maluku - Papua. While
in 2018 the order changed as follows: the first and second order respectively
Kalimantan Island - Sulawesi and Java Island. While the island of Sumatra in third and
the island of Bali - Nusa Tenggara - Maluku - Papua in fourth.

From the purchase value data, sales value data, and trade balance this shows that development in
Indonesia has not been fully successful, it is said to be successful where the economy in Indonesia is
no longer dependent on the island of Java with the improving economy on the island of Kalimantan -
Sulawesi, but has not succeeded in strengthening the role of Sumatra Island and Bali-Nusa Tenggara-
Maluku-Papua Island. So we need to know what factors affect the condition.

Infrastructure development as one of the main policies that became the focus of President Jokowi.
In line with that, in the research I have done, as a hypothesis we try to test whether macroeconomic
variables such as: rice field area, area of forest and non-forest, power generation capacity,
electricity distribution, number of loading and unloading at the port, number of loading and
unloading at the airport, length of road, clean water capacity, drinking water capacity, amount of
housing, poverty rate, and human development index it significantly affects the value of purchases,
the value of sales, and the trade balance. Furthermore, from the significance of these variables,
we can recommend policies to strengthen the role of Kalimantan - Sulawesi Island, increase the role
of Sumatra island and Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua and reduce the dominance of Java Island in
its contribution to the Indonesian economy.
I would like to study about planning and public policy, because now I am working at
planning and monitoring – evaluation division which has job description on
preparing budgeting document and do monitoring and evaluation of annual
budgeting process. In my work, I never applied the economic theory. In only focus on
collecting data of the exercise of budgeting and implementing it.

I want to study further about Economic and Public Policy. Now, I am working in a
institution which has routine task on formulationg annual budgeting related to
spatial planning and arranging policy based on the policy result which can be
categorized as a spatial planning. The arranging is suitable with the documents of
strategic planning which is prepared by my own institution, while the policy is
prepared from the strategis issues which is actual for recent time.

For sure, my background in under graduate program is Architecture. There is no


correlation with my current job. Ideally, according to my job description, I shoukd to
continue my study in City and Regional Planning, also Economic. Luckily, for several
times I study further about spatial planning not economic. As the result, I find myself

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


281

having limited knowledge on Economic. Only depend on the instruction of my boss


and advice from my senior.

Learning more about Economic become important to me because Economic Theory


is necessary to be applied on preparing budget so we can achieve budgeting suitable
with the needs and the implication can be maximizes. For some years ago, we only
know inflation as economic factor that must be considered on formulating annual
budget. For That reason, it meet a need to find out factors affecting and needed to
be considered in order to preparing the next years of annual budget.

Besides that, learning Economic Sciences and Public Policy may make me science
easier on implementing for socialization Spatial Planning and Publc Policy. The result
of policy research and planning document will be better because in Economic alsi be
taught regional economic, so we expect that we can analyze and give some
alternative recommendations of public policy related to Spatial Planning either in city
or regional scale.

The same importantness, I also eiger to find out the factors affecting the succesfull of
development. In which how development acan achieve 3 ( three) national goals,
which are equaIity in economic growth, increasing of society welfare, and
sustainability of environment. Through monitoring and evaluation, regularly
commonly be monitored the growth of Regional Domestic Product in each provinces,
the poor rate in every region, and the decreasing of carbon emission in all place. As
the result, the rate of development can be measured, so in the certain period can be
gathered policy recommendations in order to maximize development achievement. If
this method can be done effectively, planning cycle become closed cycle whereas
planning and monitoring – evaluation walks synergic.

Keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari 3 cara penghitungan pertumbuhan


ekonomi, yaitu PDB konsumsi, produksi, dan nilai tambah. Kali ini kami akan melihat
dari sisi yang sedikit berbeda yaitu dari Nilai Pembelian, Nilai Penjualan, dan Neraca
Perdagangan. Berdasarkan data BPS pada 2021, ketiga indicator tersebut dapat

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


282

dibandingkan menurut kelompok wilayah berdasarkan aglomerasi 4 cluster Pulau /


Kepulauan di Indonesia sebagai berikut :

Nilai Pembelian
sumatera Jawa Kalimantan-Sulawesi Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua Indonesi
124.548.474 1.427.999.463 44.288.889 120.835.070 1.717.67
209.056.372 671.033.719 4.758.051.753 69.710.927 5.707.85

Secara umum, nilai pembelian di Indonesia meningkat, walaupun terjadi perubahan


urutan di tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2017 terbesaar di Pulau Jawa di urutan
pertama, diikuti Pulau Sumatera diurutan kedua. Urutan ketiga dan keempat masing
– masing Pulau Bali – Nusa Tenggara-Maluku- Papua dan Pulau Kalimantan –
Sulawesi. Sedangkan pada tahun 2018 urutannya berubah sebagai berikut: urutan
pertama dan kedua masing – masing Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Jawa.
Sedangkan Pulau Sumatera di urutan ketiga dan pulau Bali – Nusa Tenggara –
Maluku – Papua di urutan keempat.

Nilai pembelian di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat drastis.
Dari 1.717.671.896 pada tahun 2017 menjadi 5.707.852.771 pada tahun 2018. Femonena ini terjadi
di Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Sumatera. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau
Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian masing –
masing sebagai berikut : Pulau Kalimantan – Sulawesi mengalami peningkatan dari

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


283

44.288.889 pada tahun 2017 menjadi 4.758.051.753 pada tahun 2018 dan Pulau Sumatera juga
mengalami kenaikan dari 124.548.474 pada tahun 2017 menjadi 209.056.372 pada tahun 2018.
Sedangkan di Pulau Jawa terjadi penurunan dari tahun 2017 sebesar 1.427.999.463 pada tahun 2018
menjadi 671.033.719. Dan pengurangan terjadi juga di Pulau Bali-Nusa Tenggara – Maluku – Papua
sebesar 120.835.070 pada tahun 2017, tahun 2018 menjadi 69.710.927.

Nilai Penjualan
hun sumatera Jawa Kalimantan-Sulawesi Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua Indonesia
17 139.380.292 1.870.125.934 50.680.976 91.752.165 2.151.939.3
18 182.174.480 1.143.882.629 6.870.604.152 12.412.225 8.209.073.4

Secara umum, nilai penjualan di Indonesia meningkat, walaupun terjadi perubahan


urutan di tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2017 terbesar di Pulau Jawa di urutan
pertama, diikuti Pulau Sumatera diurutan kedua. Urutan ketiga dan keempat masing
– masing Pulau Bali – Nusa Tenggara-Maluku- Papua dan Pulau Kalimantan –
Sulawesi. Sedangkan pada tahun 2018 urutannya berubah sebagai berikut: urutan
pertama dan kedua masing – masing Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Jawa.
Sedangkan Pulau Sumatera di urutan ketiga dan pulau Bali – Nusa Tenggara –
Maluku – Papua di urutan keempat.

Nilai penjualan di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat drastis. Dari
2.151.939.367 pada tahun 2017 menjadi 8.209.073.486 pada tahun 2018. Femonena ini terjadi di
Pulau Kalimantan – Sulawesi dan Pulau Sumatera. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau Bali-
Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian masing –

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


284

masing sebagai berikut : Pulau Kalimantan – Sulawesi mengalami peningkatan dari


50.680.976 pada tahun 2017 menjadi 6.870.604.152 pada tahun 2018 dan Pulau Sumatera juga
mengalami kenaikan dari 139.380.292 pada tahun 2017 menjadi 182.174.480 pada tahun 2018.
Sedangkan di Pulau Jawa terjadi penurunan dari tahun 2017 sebesar 1.870.125.934 pada tahun 2018
menjadi 1.143.882.629 Dan pengurangan terjadi juga di Pulau Bali-Nusa Tenggara – Maluku – Papua
sebesar 91.752.165 pada tahun 2017, tahun 2018 menjadi 12.412.225.

Neraca Perdagangan
Kalimantan- Bali-Nusa Tenggara-Maluku-
Tahun sumatera Jawa Sulawesi Papua Indonesia
2017 14.831.818 442.126.470 273.379 -43.413.906 413.817.761
2018 -26.881.889 372.848.912 2.103.646.397 -57.398.701 2.392.214.719

Secara umum, neraca perdagangan di Indonesia meningkat, walaupun terjadi


perubahan urutan di tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2017 terbesar di Pulau Jawa
di urutan pertama, diikuti Pulau Sumatera diurutan kedua. Urutan ketiga dan
keempat masing – masing Pulau Kalimantan –Sulawesi dan Pulau Bali – Nusa
Tenggara-Maluku- Papua. Sedangkan pada tahun 2018 urutannya berubah sebagai
berikut: urutan pertama dan kedua masing – masing Pulau Kalimantan – Sulawesi
dan Pulau Jawa. Sedangkan Pulau Sumatera di urutan ketiga dan pulau Bali – Nusa
Tenggara – Maluku – Papua di urutan keempat.

neraca perdagangan di Indonesia pada kurun waktu 2017 dan 2018 meningkat
drastis. Dari 413.817.761 pada tahun 2017 menjadi 2.392.214.719 pada tahun 2018. Femonena ini
terjadi di Pulau Kalimantan – Sulawesi. Tetapi tidak terjadi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dan
Pulau Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang malah mengalami penurunan. Dengan rincian

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


285

masing – masing sebagai berikut : Pulau Kalimantan – Sulawesi mengalami


peningkatan dari 273.379 pada tahun 2017 menjadi 2.103.646.397 pada tahun 2018. .
Sedangkan di Pulau Jawa terjadi penurunan dari tahun 2017 sebesar 442.126.470 pada tahun 2018
menjadi 372.848.912. dan Pulau Sumatera juga mengalami penurunan dari 14.831.818 pada tahun
2017 menjadi -26.881.889 pada tahun 2018 Dan pengurangan terjadi juga di Pulau Bali-Nusa
Tenggara – Maluku – Papua sebesar -43.413.906 pada tahun 2017, tahun 2018 menjadi -57.398.701.

Dari data nilai pembelian,nilai penjualan, dan neraca perdagangan ini menunjukkan bahwa
pembangunan di Indonesia berhasil, dimana perekonomian di Indonesia tidak lagi bergantung pada
pulau Jawa dengan membaiknya perekonomian di Pulau Kalimantan – Sulawesi, tapi belum berhasil
memperkuat peran Pulau Sumatera dan Pulau Bali-Nusa Tenggara- Maluku-Papua. Sehingga kita
perlu mengetahui factor- factor apa saja yang mempengaruhi kondisi tersebut.

Sebagai hipotesis kami mencoba menguji apakah variabel – variable makro ekonomi seperti : luas
lahan sawah, luas Kawasan hutan dan non hutan, kapasitas pembangkit listrik, distribusi listrik,
jumlah bongkar muat di Pelabuhan, jumlah bongkar muat di bandara, Panjang jalan, kapasitas air
bersih, kapasitas air minum, jumlah perumahan, angka kemiskinan, dan indeks pembangunan
manusia secara signifikan mempengaruhi nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan.
Untuk selanjutnya dari signifikansi variable – variable tersebut, kami dapat merekomendasikan
kebijakan untuk memperkuat peran Pulau Kalimantan – Sulawesi, meningkatkan peran pulau
Sumatera dan pullau Bali-Nusa Tenggara-Maluku-Papua dan mengurangi dominansi Pulau Jawa
dalam kontribusinya ke perekonomian Indonesia.

Adapun hipotesis nya adalah sebagai berikut :

1. luas lahan sawah,dengan koefisien >1, maka apabila luas sawah bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
2. luas Kawasan hutan dan non hutan, dengan koefisien<1, maka apabila luas Kawasan hutan
bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan berkurang;
3. kapasitas pembangkit listrik, dengan koefisien >1, maka apabila kapasitas pembangkit listrik
bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
4. distribusi listrik, dengan koefisien >1, maka apabila distribusi listrik bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
5. jumlah bongkar muat di Pelabuhan, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah bongkar
muat di Pelabuhan bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca
perdagangan akan meningkat;
6. jumlah bongkar muat di bandara, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah bongkar muat
di bandara bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan
meningkat;
7. Panjang jalan, dengan koefisien >1, maka apabila Panjang jalan bertambah maka nilai
pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
8. kapasitas air bersih, dengan koefisien >1, maka apabila kapasitas air bersih bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
9. kapasitas air minum, dengan koefisien >1 , maka apabila kapasitas air minum bertambah
maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;
10. jumlah perumahan, dengan koefisien >1, maka apabila jumlah perumahan bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat;

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


286

11. angka kemiskinan, dengan koefisien <1, maka apabila angka kemiskinan bertambah maka
nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan meningkat; dan
12. indeks pembangunan manusia, dengan koefisien >1, maka apabila indeks pembangunan
manusia bertambah maka nilai pembelian, nilai penjualan, dan neraca perdagangan akan
meningkat;

Luas
Provinsi
2003 2004 2005 2006 2007 2008
ACEH 348232.00 346305.00 356649.00 315277.00 312803.00 323010.00
SUMATERA UTARA 538180.00 502839.00 462767.00 460486.00 453372.00 478521.00
SUMATERA BARAT 225369.00 231939.00 228176.00 229469.00 227355.00 225623.00
RIAU 128225.00 125966.00 118955.00 124985.00 128242.00 122255.00
JAMBI 120552.00 122126.00 117482.00 119242.00 117543.00 116212.00
SUMATERA SELATAN 512510.00 474429.00 484207.00 523922.00 530204.00 577821.00
BENGKULU 88432.00 85641.00 84164.00 83885.00 93779.00 89244.00
LAMPUNG 303380.00 316017.00 313621.00 317413.00 342507.00 348732.00
KEP. BANGKA
BELITUNG 3186.00 3773.00 4111.00 4048.00 4176.00 3506.00
KEP. RIAU - - 76.00 82.00 124.00 133.00
DKI JAKARTA 2738.00 2563.00 1866.00 1466.00 1200.00 1200.00
JAWA BARAT 934140.00 932337.00 925900.00 926782.00 934845.00 945544.00
JAWA TENGAH 995469.00 996197.00 964102.00 963401.00 962942.00 963984.00
DI YOGYAKARTA 57612.00 56982.00 57188.00 56218.00 55540.00 55332.00
JAWA TIMUR 1115239.00 1108361.00 1100574.00 1096479.00 1096605.00 1108578.00
BANTEN 207530.00 196589.00 194504.00 196538.00 196370.00 195583.00
BALI 81870.00 81557.00 80211.00 79252.00 80251.00 80873.00
NUSA TENGGARA
BARAT 226627.00 222968.00 225708.00 232851.00 231129.00 230986.00
NUSA TENGGARA
TIMUR 103341.00 109070.00 100194.00 112715.00 122649.00 124416.00
KALIMANTAN BARAT 253316.00 283021.00 292220.00 321838.00 290392.00 292687.00
KALIMANTAN TENGAH 156645.00 167776.00 159516.00 166703.00 159059.00 157406.00
KALIMANTAN SELATAN 420086.00 423884.00 435940.00 440720.00 471042.00 477336.00
KALIMANTAN TIMUR 92982.00 89769.00 88846.00 90786.00 92934.00 84235.00
KALIMANTAN UTARA - - - - - -
SULAWESI UTARA 64605.00 59393.00 57969.00 60262.00 61098.00 61133.00
SULAWESI TENGAH 121670.00 120049.00 113715.00 119463.00 128250.00 129016.00
SULAWESI SELATAN 619084.00 626634.00 558935.00 552940.00 560989.00 567520.00
SULAWESI TENGGARA 66939.00 69432.00 73646.00 62286.00 65338.00 82806.00
GORONTALO 27598.00 25955.00 25561.00 25668.00 27794.00 31327.00
SULAWESI BARAT - - 60531.00 48884.00 50800.00 53220.00

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


287

MALUKU 8401.00 8542.00 8542.00 8657.00 10035.00 11461.00


MALUKU UTARA 11867.00 11867.00 11867.00 11867.00 11782.00 13630.00
PAPUA BARAT 4719.00 6290.00 7051.00 7735.00 8395.00 9116.00
PAPUA 36021.00 36021.00 28970.00 28970.00 26397.00 29018.00
INDONESIA 7876565.00 7844292.00 7743764.00 7791290.00 7855941.00 7991464.00

Neraca Perdagangan Antar Wilayah Provinsi di Indonesia (Juta Rupiah)


Provinsi Nilai Pembelian Nilai Penjualan Neraca Per
2017 2018 2017 2018 2017
ACEH 12758593 6178667 8899271 9685601 -3859322
SUMATERA UTARA 12696250 29456930 13505118 63309856 808868
SUMATERA BARAT 41474605 19051041 23361871 24181084 -18112734
RIAU 5482347 60520066 5019705 3519118 -462642
JAMBI 5179724 9469562 16475591 12632034 11295867
SUMATERA SELATAN 24191622 33027778 32428576 21614744 8236954
BENGKULU 2632180 3373160 5120622 6323050 2488442
LAMPUNG 8073431 19583609 27538250 24565483 19464819
KEP. BANGKA BELITUNG 6809530 9890664 5168283 6820256 -1641247
KEP. RIAU 5250192 18504895 1863005 9523254 -3387187
sumatera 0 0 0 0 0
DKI JAKARTA 23315400 107588405 68719835 141633594 45404435
JAWA BARAT 716040214 119075059 669244640 296978125 -46795574
JAWA TENGAH 428679349 161778589 412903056 275441544 -15776293
DI YOGYAKARTA 17977202 18504575 20790103 7350720 2812901
JAWA TIMUR 226229001 212768634 659646215 283643962 433417213
BANTEN 15758297 51318457 38822085 138834684 23063788
Jawa 0 0 0 0 0
KALIMANTAN BARAT 5308625 22241727 10212979 4063870 4904355
KALIMANTAN TENGAH 7924223 9895512 17403535 12270213 9479312
KALIMANTAN SELATAN 2488868 18242094 1178337 19584621 -1310531
KALIMANTAN TIMUR 3058662 100101750 142224 84393879 -2916437
KALIMANTAN UTARA 1085772 2382743 3300427 977890 2214655
SULAWESI UTARA 9166789 13897891 1050921 7515367 -8115868
SULAWESI TENGAH 44983 13576661 8176 3330877 -36807
SULAWESI SELATAN 6844894 19798684 8803399 8616588 1958505
SULAWESI TENGGARA 6798564 4546555754 4554397 6727780256 -2244167
GORONTALO 4907724 17322853 3833225 1059680 -1074499
SULAWESI BARAT 2778495 2942084 193356 1010911 -2585139
Kalimantan - Sulawesi 0 0 0 0 0
BALI 112154851 35070996 67562629 8323412 -44592223
NUSA TENGGARA BARAT 917805 14582598 4357655 1954459 3439850
NUSA TENGGARA TIMUR 3544163 9135255 1180178 249903 -2363986

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


288

MALUKU 1367395 2880154 318620 481285 -1048774


MALUKU UTARA 854341 3275971 232887 82338 -621454
PAPUA BARAT 651737 2628519 3356800 1099862 2705063
PAPUA 1344778 2237434 412396 220966 -932382
Bali - Nusa Tenggara-Maluku-
Papua 0 0 0 0 0
INDONESIA 1723790605 5716858769 2137608369 8209073486 413817763

Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik Menurut Provinsi (Mega Watt)


Provinsi
2011 2012 2013 2014 2015 2017 2018 2019
ACEH 159.26 156.93 128.54 201.25 232.10 224.27 221.13 239.
SUMATERA UTARA 2450.67 3501.67 3625.32 4116.45 4241.54 4832.95 5017.05 5679
SUMATERA BARAT 33.45 32.93 32.91 72.67 305.15 283.03 59.84 821.
RIAU 111.23 157.67 175.48 172.62 173.80 353.76 317.09 373.
JAMBI 12.82 51.38 50.06 51.54 60.37 50.57 43.13 52.7
SUMATERA SELATAN 2380.92 2540.13 2663.26 3018.06 3146.21 4494.22 4458.37 4348
BENGKULU 23.24 24.04 24.04 43.54 25.89 47.20 51.06 66.6
LAMPUNG 4.30 124.79 124.79 121.21 121.12 124.38 237.38 237.
KEP. BANGKA BELITUNG 91.78 111.46 106.46 234.71 314.56 265.40 285.92 285.
KEP. RIAU 301.47 371.43 381.21 736.48 736.80 882.54 969.62 1005
DKI JAKARTA 1093.00 1448.49 1448.00 1348.00 1359.54 6095.82 4183.74 3504
JAWA BARAT 3217.80 4013.05 3998.74 4076.66 4077.90 7272.16 9697.06 1027
JAWA TENGAH 6509.12 5168.49 5153.86 5154.85 5155.26 7096.65 7150.68 7162
DI YOGYAKARTA 0.32 0.32 0.32 0.32 0.18 - - -
JAWA TIMUR 9620.62 11595.42 11547.76 14668.05 13504.40 8199.50 9396.50 1107
BANTEN 6773.53 11323.54 11703.54 12873.34 12873.34 7443.90 8052.30 7653
BALI 3.84 453.87 454.02 441.89 1017.19 911.39 786.84 1041
NUSA TENGGARA
BARAT 146.00 172.70 170.04 445.39 393.80 418.49 624.93 795.
NUSA TENGGARA
TIMUR 145.75 158.69 160.54 272.80 297.25 302.69 331.21 333.
KALIMANTAN BARAT 230.51 239.55 243.03 508.09 653.49 603.49 778.82 804.
KALIMANTAN TENGAH 89.05 79.01 76.00 76.00 242.15 356.76 485.48 256.
KALIMANTAN SELATAN 306.82 468.92 478.32 645.41 1671.13 1831.94 2790.84 3050
KALIMANTAN TIMUR 381.28 424.88 518.50 977.56 1053.03 1437.95 1192.23 785.
KALIMANTAN UTARA 31.22 31.22 31.22 84.82 99.82 73.60 238.20 238.
SULAWESI UTARA 202.06 458.32 345.19 350.45 358.03 580.77 557.22 295.
SULAWESI TENGAH 175.73 189.18 198.09 422.41 421.12 490.62 1718.47 1746
SULAWESI SELATAN 625.96 1045.81 1084.85 968.92 1232.35 1450.85 2953.94 2995
SULAWESI TENGGARA 91.30 125.24 129.24 233.07 127.47 296.59 293.38 148.
GORONTALO 33.20 31.44 31.44 64.73 31.49 56.83 57.91 57.4
SULAWESI BARAT 6.49 6.39 12.39 11.68 3.22 3.22 63.22 67.7

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


289

MALUKU 134.65 135.06 147.61 211.79 236.76 263.37 297.06 363.


MALUKU UTARA 62.04 44.60 49.60 65.70 73.81 124.38 88.36 120.
PAPUA BARAT 55.67 58.67 66.64 102.80 112.76 403.59 121.09 147.
PAPUA 91.64 96.25 106.30 242.44 271.14 128.19 550.02 580.
INDONESIA 35596.74 44841.54 45476.31 53015.70 54624.17 58647.49 63946.60 6660

Listrik yang Didistribusikan Menurut Provinsi (GWh) (GWh)


Provinsi
2011 2012 2013 2014 2015 2017 2018
ACEH 1579.77 1755.06 1815.04 1965.55 2119.00 2409.11 2587
SUMATERA UTARA 7194.03 7809.32 7917.24 8271.01 8703.67 9671.48 1044
SUMATERA BARAT 2403.10 2649.08 2712.85 3005.26 3063.28 3415.29 3496
RIAU 2361.15 2723.81 3597.44 3338.33 3586.45 4069.93 4377
JAMBI 1054.17 860.39 955.66 1037.45 1083.79 1176.09 1219
SUMATERA SELATAN 2978.86 3863.12 4162.09 4477.49 4783.02 5239.35 5501
BENGKULU 493.95 566.95 641.52 729.64 785.43 852.84 907.
LAMPUNG 2425.94 2793.36 3182.21 3392.44 3571.00 3998.30 4257
KEP. BANGKA
BELITUNG 535.61 664.72 721.24 805.43 861.52 979.19 1066
KEP. RIAU 2010.30 2190.04 2421.92 2618.48 2694.79 2823.17 2990
DKI JAKARTA 35061.38 38168.75 39937.28 41269.03 41328.60 31643.13 3277
JAWA BARAT 34053.60 36655.28 39092.56 43096.46 44071.43 50791.20 5287
JAWA TENGAH 15315.89 16600.42 18205.08 19631.46 20408.19 21057.04 2355
DI YOGYAKARTA 1869.77 2043.75 2205.79 2369.60 2484.16 2724.49 2856
JAWA TIMUR 24018.69 26910.18 28708.11 30523.98 30824.81 34114.16 3581
BANTEN 7955.54 8457.80 9750.37 8562.97 8575.10 22557.53 2373
BALI 3223.94 3546.60 3914.32 4335.03 4594.18 5069.64 5247
NUSA TENGGARA
BARAT 837.17 976.39 1133.33 1291.47 1402.30 1677.54 1776
NUSA TENGGARA
TIMUR 486.91 567.32 639.57 702.26 749.76 855.25 927.
KALIMANTAN BARAT 1434.72 1603.72 1889.39 1862.44 1989.63 2252.06 2373
KALIMANTAN TENGAH 649.95 752.34 854.78 970.16 1048.64 1134.95 1223
KALIMANTAN SELATAN 1467.13 1688.44 1880.66 2092.23 2187.64 2391.87 2602
KALIMANTAN TIMUR 2277.22 2502.32 2731.58 2815.55 3007.30 3418.33 3637
KALIMANTAN UTARA - - 180.73 199.37 206.50 180.59 183.
SULAWESI UTARA 986.62 1087.08 1192.52 1240.32 1302.58 1544.87 1676
SULAWESI TENGAH 574.71 686.19 758.70 865.77 948.78 1068.79 1171
SULAWESI SELATAN 3246.42 3639.63 4156.49 4339.22 4479.46 5172.50 5472
SULAWESI TENGGARA 441.08 528.42 621.64 670.71 703.59 850.70 911.
GORONTALO 236.52 293.13 328.40 366.08 398.82 460.13 503.
SULAWESI BARAT 151.52 177.63 207.59 238.03 258.70 312.89 345.
MALUKU 336.69 397.49 469.96 480.08 509.51 463.05 597.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


290

MALUKU UTARA 204.67 235.88 259.10 309.37 329.44 237.12 401.


PAPUA BARAT 305.08 346.65 383.99 430.63 455.58 533.47 569.
PAPUA 522.80 600.67 713.26 724.78 763.32 868.01 916.
INDONESIA 158694.89 174341.92 188342.41 199028.08 204279.97 226014.06 2390

Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi (Persen)


Provinsi
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 201
ACEH 26.65 23.53 21.80 20.98 19.57 18.58 17.72 16.98 17.11 16.4
SUMATERA UTARA 13.90 12.55 11.51 11.31 11.33 10.41 10.39 9.85 10.79 10.2
SUMATERA BARAT 11.90 10.67 9.54 9.50 9.04 8.00 7.56 6.89 6.71 7.14
RIAU 11.20 10.63 9.48 8.65 8.47 8.05 8.42 7.99 8.82 7.67
JAMBI 10.27 9.32 8.77 8.34 8.65 8.28 8.42 8.39 9.12 8.37
SUMATERA SELATAN 19.15 17.73 16.28 15.47 14.24 13.48 14.06 13.62 13.77 13.3
BENGKULU 22.13 20.64 18.59 18.30 17.50 17.51 17.75 17.09 17.16 17.0
LAMPUNG 22.19 20.98 20.22 18.94 16.93 15.65 14.39 14.21 13.53 13.8
KEP. BANGKA BELITUNG 9.54 8.58 7.46 6.51 5.75 5.37 5.25 4.97 4.83 5.04
KEP. RIAU 10.30 9.18 8.27 8.05 7.40 6.83 6.35 6.40 5.78 5.84
DKI JAKARTA 4.61 4.29 3.62 3.48 3.75 3.70 3.72 4.09 3.61 3.75
JAWA BARAT 13.55 13.01 11.96 11.27 10.65 9.89 9.61 9.18 9.57 8.77
JAWA TENGAH 20.43 19.23 17.72 16.56 15.76 14.98 14.44 13.58 13.32 13.1
DI YOGYAKARTA 18.99 18.32 17.23 16.83 16.08 15.88 15.03 14.55 13.16 13.1
JAWA TIMUR 19.98 18.51 16.68 15.26 14.23 13.08 12.73 12.28 12.28 11.8
BANTEN 9.07 8.15 7.64 7.16 6.32 5.71 5.89 5.51 5.75 5.36
BALI 6.63 6.17 5.13 4.88 4.20 3.95 4.49 4.76 5.25 4.15
NUSA TENGGARA BARAT 24.99 23.81 22.78 21.55 19.73 18.02 17.25 17.05 16.54 16.0
NUSA TENGGARA TIMUR 27.51 25.65 23.31 23.03 21.23 20.41 20.24 19.60 22.58 22.0
KALIMANTAN BARAT 12.91 11.07 9.30 9.02 8.60 7.96 8.74 8.07 8.44 8.00
KALIMANTAN TENGAH 9.38 8.71 7.02 6.77 6.56 6.19 6.23 6.07 5.91 5.36
KALIMANTAN SELATAN 7.01 6.48 5.12 5.21 5.29 5.01 4.76 4.81 4.72 4.52
KALIMANTAN TIMUR 11.04 9.51 7.73 7.66 6.77 6.38 6.38 6.31 6.10 6.00
KALIMANTAN UTARA - - - - - - - - 6.32 6.99
SULAWESI UTARA 11.42 10.10 9.79 9.10 8.51 7.64 8.50 8.26 8.98 8.20
SULAWESI TENGAH 22.42 20.75 18.98 18.07 15.83 14.94 14.32 13.61 14.07 14.0
SULAWESI SELATAN 14.11 13.34 12.31 11.60 10.29 9.82 10.32 9.54 10.12 9.24
SULAWESI TENGGARA 21.33 19.53 18.93 17.05 14.56 13.06 13.73 12.77 13.74 12.7
GORONTALO 27.35 24.88 25.01 23.19 18.75 17.22 18.01 17.41 18.16 17.6
SULAWESI BARAT 19.03 16.73 15.29 13.58 13.89 13.01 12.23 12.05 11.90 11.1
MALUKU 31.14 29.66 28.23 27.74 23.00 20.76 19.27 18.44 19.36 19.2
MALUKU UTARA 11.97 11.28 10.36 9.42 9.18 8.06 7.64 7.41 6.22 6.41
PAPUA BARAT 39.31 35.12 35.71 34.88 31.92 27.04 27.14 26.26 25.73 24.8
PAPUA 40.78 37.08 37.53 36.80 31.98 30.66 31.53 27.80 28.40 28.4
INDONESIA 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 11.66 11.47 10.96 11.13 10.7

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


291

Data Provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2013 dan 2014 masih bergabung dengan Provinsi Kalimantan
Timur
Source Url: https://www.bps.go.id/indicator/23/192/2/persentase-penduduk-miskin-menurut-provinsi.htm
Access Time: August 27, 2021, 1:53 pm

[Metode Baru] Indeks Pembangunan Manusia menurut


Provinsi
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
ACEH 69.05 69.41 70.35 70.76 71.31 67.09 67.45 67.81 68.30 68.81 69.45
SUMATERA UTARA 72.03 72.46 72.78 73.29 73.80 67.09 67.34 67.74 68.36 68.87 69.51
SUMATERA BARAT 71.19 71.65 72.23 72.96 73.44 67.25 67.81 68.36 68.91 69.36 69.98
RIAU 73.63 73.81 74.63 75.09 75.60 68.65 68.90 69.15 69.91 70.33 70.84
JAMBI 70.95 71.29 71.46 71.99 72.45 65.39 66.14 66.94 67.76 68.24 68.89
SUMATERA SELATAN 70.23 71.09 71.40 72.05 72.61 64.44 65.12 65.79 66.16 66.75 67.46
BENGKULU 71.09 71.28 71.57 72.14 72.55 65.35 65.96 66.61 67.50 68.06 68.59
LAMPUNG 68.85 69.38 69.78 70.30 70.93 63.71 64.20 64.87 65.73 66.42 66.95
KEP. BANGKA BELITUNG 70.68 71.18 71.62 72.19 72.55 66.02 66.59 67.21 67.92 68.27 69.05
KEP. RIAU 72.23 72.79 73.68 74.18 74.54 71.13 71.61 72.36 73.02 73.40 73.75
DKI JAKARTA 76.07 76.33 76.59 77.03 77.36 76.31 76.98 77.53 78.08 78.39 78.99
JAWA BARAT 69.93 70.32 70.71 71.12 71.64 66.15 66.67 67.32 68.25 68.80 69.50
JAWA TENGAH 69.78 70.25 70.92 71.60 72.10 66.08 66.64 67.21 68.02 68.78 69.49
DI YOGYAKARTA 73.50 73.70 74.15 74.88 75.23 75.37 75.93 76.15 76.44 76.81 77.59
JAWA TIMUR 68.42 69.18 69.78 70.38 71.06 65.36 66.06 66.74 67.55 68.14 68.95
BANTEN 68.80 69.11 69.29 69.70 70.06 67.54 68.22 68.92 69.47 69.89 70.27
BALI 69.78 70.07 70.53 70.98 71.52 70.10 70.87 71.62 72.09 72.48 73.27
NUSA TENGGARA
BARAT 62.42 63.04 63.71 64.12 64.66 61.16 62.14 62.98 63.76 64.31 65.19
NUSA TENGGARA
TIMUR 63.59 64.83 65.36 66.15 66.60 59.21 60.24 60.81 61.68 62.26 62.67
KALIMANTAN BARAT 66.20 67.08 67.53 68.17 68.79 61.97 62.35 63.41 64.30 64.89 65.59
KALIMANTAN TENGAH 73.22 73.40 73.49 73.88 74.36 65.96 66.38 66.66 67.41 67.77 68.53
KALIMANTAN SELATAN 67.44 67.75 68.01 68.72 69.30 65.20 65.89 66.68 67.17 67.63 68.38
KALIMANTAN TIMUR 72.94 73.26 73.77 74.52 75.11 71.31 72.02 72.62 73.21 73.82 74.17
KALIMANTAN UTARA - - - - - - - - 67.99 68.64 68.76
SULAWESI UTARA 74.21 74.37 74.68 75.16 75.68 67.83 68.31 69.04 69.49 69.96 70.39
SULAWESI TENGAH 68.47 68.85 69.34 70.09 70.70 63.29 64.27 65.00 65.79 66.43 66.76
SULAWESI SELATAN 68.06 68.81 69.62 70.22 70.94 66.00 66.65 67.26 67.92 68.49 69.15
SULAWESI TENGGARA 67.52 67.80 68.32 69.00 69.52 65.99 66.52 67.07 67.55 68.07 68.75
GORONTALO 67.46 68.01 68.83 69.29 69.79 62.65 63.48 64.16 64.70 65.17 65.86
SULAWESI BARAT 65.72 67.06 67.72 68.55 69.18 59.74 60.63 61.01 61.53 62.24 62.96
MALUKU 69.24 69.69 69.96 70.38 70.96 64.27 64.75 65.43 66.09 66.74 67.05
MALUKU UTARA 66.95 67.51 67.82 68.18 68.63 62.79 63.19 63.93 64.78 65.18 65.91

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


292

No. Tipologi KSN Jml Sudah Belum Belum Penyusunan Tahap Keterangan
KSN Perpres Perpres Disusun Matek Legilasi
1 Ekonomi 27 7 20 1 14 5 … harus dilakukan penyusunan
matek ulang krn disusun tahun
2015
2 Sosial Budaya 7 1 6 3 0 3
3 SDA dan 8 0 8 1 3 4 … harus dilakukan penyusunan
Teknologi Tinggi matek ulang krn disusun tahun
2015
4 Lingkungan 25 2 23 3 14 6 .. KSN harus dilakukan
Hidup penyusunan matek ulang krn
disusun tahun 2015
5 Pertahanan 9 8 1 0 - 1
Keamanan
76 18 58 8 31 19
PAPUA BARAT 64.83 66.08 67.28 67.95 68.58 59.60 59.90 60.30 60.91 61.28 61.73
PAPUA 62.08 62.75 63.41 64.00 64.53 54.45 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25
INDONESIA 69.57 70.10 70.59 71.17 71.76 66.53 67.09 67.70 68.31 68.90 69.55

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


293

EKONOMI

1. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang updating


2. Kawasan Banda Aceh Darusalam BLM
3. Kawasan Perkotaan Mebidangro Perpres
4. Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) Perpres (PK) fasleg Penyusunan
matek 2015.
5. Kawasan Perkotaan Palembang-Betung-Indralaya-Kayuagungfasleg.
Penyusunan matek 2019.
6. Kawasan Selat Sunda matek ulang
7. Kawasan Perkotaan Jabodetabek - Punjur termasuk kepulauan Seribu Perpres
8. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Cekban) Perpres
9. Kawasan Perkotaan Kendal - Demak - Ungaran - Salatiga - Semarang -
Purwodadi (Kedungsepur) Perpres(PK). Penyusunan matek 2018.
10.Kawasan Perkotaan Gresik - Bangkalan - Mojokerto -Surabaya - Sidoarjo -
Lamongan (Gerbangkertosusila) fasleg
11.Kawasan Perkotaan Denpasar - Badung - Gianyar - Tabanan (Sarbagita)
Perpres. Penyusunan matek 2016.
12.Kawasan Bima matek ulang
13.Kawasan Mbay matek ulang
14.Kawasan Khatulistiwa matek ulang
15.Kawasan Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuas dan Barito matek ulang
16.Kawasan Samarinda, Sanga-Sanga, Muara Jawa, dan Balikpapan (Sasamba)
matek ulang
17.Kawasan Batulicin matek ulang
18.Kawasan Perkotaan Metropolitan Banjarmasin-Banjarbaru-Banjar-Barito
Kuala-Tanah Laut (Banjarbakula) fasleg. Penyusunan matek 2019.
19.Kawasan Manado - Bitung (Mabit) matek ulang
20.Kawasan Perkotaan Bitung – Minahasa - Manado (Bimindo) fasleg
Penyusunan matek 2019.
21.Kawasan Gorontalo - Paguyuman - Kwandang (Gopandang) BLM
22.Kawasan Palapas matek ulang

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


294

23.Kawasan Perkotaan Makasar - Maros - Sungguminasa - Takalar


(Mamminasata) Perpres
24.Kawasan Parepare matek ulang
25.Kawasan Bang Sejahtera matek ulang
26.Kawasan Seram matek ulang
27.Kawasan Biak matek ulang
LINGKUNGAN HIDUP
1. Kawasan Ekosistem Leuser updating
2. Kawasan Danau Toba dan sekitarnya Perpres. Penyusunan matek tahun 2015
-2016.
3. Kawasan Hutan Lindung Batabuh matek ulang
4. Kawasan Danau Maninjau BLM
5. Kawasan Hutan Lindung Mahato matek ulang Penyusunan matek 2015.
6. Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci Seblat updating.
Penyusunan matek 2020.
7. Taman Nasional Sembilang BLM
8. Kawasan Taman Nasional Berbak - Bukit Tigapuluh matek ulang Penyusunan
matek 2015.
9. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas matek ulang Penyusunan matek
2015.
10.Taman Nasional Bukit Barisan Selatan BLM
11.Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon matek ulang
12.Kawasan Pangandaran - Kalipuncang - Segara Anakan - Nusakambangan
(Pacangsanak) fasleg. Penyusunan matek 2018.
13.Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Perpres
14.Kawasan Taman Nasional Komodofasleg
15.Kawasan Rinjani dan Sekitarnya updating. Penyusunan matek 2020.
16.Kawasan Jantung Kalimantan (Heart of Borneo - HoB) fasleg
17.Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting matek ulang
18.Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran Sungai Tondano matek ulang
19.Kawasan Kritis Lingkungan Balingara matek ulang Penyusunan matek 2015.
20.Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu fasleg Penyusunan matek 2015.
21.Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai dan Rawa Tinondo matek
ulang
22.Kawasan Danau Limbotofasleg Penyusunan matek 2019.
23.Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampatfasleg Penyusunan
matek 2016
24.Kawasan Taman Nasional Lorentz matek ulang Penyusunan matek 2016.
25.Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk Bintuni matek ulang
Penyusunan matek 2016

PERTAHANAN KEAMANAN
1. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut (Kawasan
Perbatasan Laut RI dengan negara India/Thailand/Malaysia (termasuk 2 pulau
kecil terluar -Pulau Rondo dan Berhala) ACEH-SUMUT Perpres

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


295

2. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau


(Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar) RIAU-KEPRI
Perpres.Penyusunan matek 2017.
3. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Perpres
4. Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan Perpres
5. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo,
Provinsi Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (Kawasan
Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau terluar dengan Negara Malaysia dan
Philipina) Perpres
6. Kawasan Perbatasan Negara di Maluku (Kawasan Perbatasan Laut RI
termasuk 20 pulau kecil terluar dengan Negara Timor Leste/Australia) Perpres
7. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua
Barat (Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil terluar dengan
Negara Palau) Perpres
8. Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua Perpres
9. Kawasan Perbatasan Negara di Laut Lepas (termasuk 19 pulau kecil terluar
yang berhadapan dengan laut lepas) LAUT LEPAS updating Penyusunan
matek 2015.

SOSIAL BUDAYA
1. Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi BLM
2. Kawasan Borobudur dan Sekitarnya Perpres
3. Kawasan Candi Prambananfasleg
4. Kawasan Sangiran BLM
5. Kawasan Kerajaan Majapahit Trowulan BLM
6. Kawasan Subak - Bali Landscapefasleg. Penyusunan matek 2015
7. Kawasan Toraja dan Sekitarnyafasleg

SDA TEKNOLOGI TINGGI


1. Kawasan Produksi dan Pengujian Roket Pamengpeukfasleg
2. Kawasan Stasiun Telecommand Rancabungurfasleg
3. Kawasan Pusat Teknologi Satelit dan Pusat Teknologi Penerbangan
Rumpinfasleg
4. Kawasan Teropong Bintang Bosscha BLM
5. Kawasan Penginderaan Jauh Parepare matek ulang
6. Kawasan Soroako dan Sekitarnya fasleg
7. Kawasan Laut Banda matek ulang
8. Kawasan Timika matek ulang

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


296

PROSES PENYUSUNAN
STANDAR PENYIAPAN
SCEMATIC DESAIN
PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN RTH DI KSN
PERKOTAAN

STUDI KASUS REVIEW


PENYUSUNAN RTR KSN
KEDUNGSEPUR

ISU STRATEGIS

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


297

• Di Tengah Ancaman PHK, Korsel


Bangun Pabrik Sepatu di Salatiga
PT Karet Murni Kencana (KMK),
melalui anak usahanya PT Selalu
Cinta Indonesia (SCI),
membangun pabrik sepatu
dengan total investasi senilai
US$50 juta atau setara Rp740
miliar di Salatiga Jawa Tengah.
Muhammad Khamdi - Bisnis.com
02 Oktober 2015 | 19:09 WIB

• Pekerja pabrik menyelesaikan


proses produksi sepatu. -

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


298

Ilustrasi/Bisnis.com/WD
Bisnis.com, SEMARANG - PT
Karet Murni Kencana (KMK),
melalui anak usahanya PT Selalu
Cinta Indonesia (SCI),
membangun pabrik sepatu
dengan total investasi senilai
US$50 juta atau setara Rp740
miliar di Salatiga Jawa Tengah.

• Kepala Badan Pelayanan


Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Kota Salatiga
Priyono Soedharto mengatakan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


299

pabrik tersebut bakal


memproduksi 1,2 juta pasang
sepatu yang mulai beroperasi
pada 2016. Pabrik sepatu yang
merupakan industri padat karya,
kata dia, dapat mengurangi
angka pengangguran di Kota
Salatiga. Pasalnya,
pengoperasian pabrik
membutuhkan tenaga kerja
sebanyaak 10.000
orang. “Kemarin (Kamis, 1

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


300

Oktober 2015)
baru groundbreaking.

• Tahun depan mulai beroperasi,”


katanya kepada Bisnis, Jumat
(2/10/2015). Dia memaparkan
pabrik sepatu dengan
kepemilikan investor dari Korea
Selatan ini akan memproduksi
sepatu merek terkenal seperti
Eagle yang merupakan brand SCI,
Nike serta Converse yang
dipasarkan di Jepang dan
sejumlah negara di Asia lainnya.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


301

• Priyono menyakini investor


tertarik Salatiga karena secara
geografis tidak jauh dari Ibu
Kota Jawa Tengah yakni
Semarang dan berdekatan pula
dengan Kota Solo.

• Selain itu, ujarnya, kebutuhan


tenaga kerja di daerah cukup
memadai dengan upah buruh
tidak terlalu mahal dibandingkan
dengan DKI Jakarta dan
sekitarnya.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


302

• “Pihak investor juga berjanji


akan mengajak temannya untuk
berinvestasi di Salatiga, apabila
usahanya berkembang pesat,”
terangnya.

• Wakil Wali Kota Salatiga Muh


Haris menyambut baik
dimulainya pembangunan pabrik
sepatu berorientasi ekspor
tersebut. Dia mengarahkan para
investor bisa masuk ke wilayah
Argomulya yang dirancang
menjadi kawasan industri

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


303

dengan harapan dapat


menyerap tenaga kerja lebih
banyak.

• “Dalam pembangunan ke
depan, kami berdoa tidak ada
halangan,” terangnya. Kepala
Badan Penanaman Modal
Daerah Provinsi Jateng
Sujarwanto Dwiatmoko
mengakui kepeminatan investor
asing membangun perusahaan
di wilayah berpenduduk 33,5 juta
jiwa cukup banyak. Hal ini

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


304

dipengaruhi beberapa faktor


antara lain, ketersedian lahan,
keuletan tenaga kerja dan upah
yang terbilang lebih murah.

• Data BPMD Jateng


menyebutkan nilai investasi
penanaman modal asing (PMA)
hingga triwulan II/2015
mencapai US$403 juta atau
meningkat 57% daripada
triwulan sama tahun lalu diangka
US$170 juta. Adapun, realisasi
investasi penanaman modal

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


305

dalam negeri (PMDN) pada


triwulan II/2015 tercatat Rp2,8
triliun atau lebih rendah
ketimbang triwulan sama tahun
sebelumnya diangka Rp4,3 triliun.

• “Kalau dilihat tahunan, investor


asing yang masuk ke Jateng
semakin bertumbuh. Tahun ini
kita diurutan keenam, sedangkan
tahun sebelumnya urutan ke-
sepuluh,” terangnya.
Sujarwanto mengakui mayoritas
industri baru yang

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


306

membenamkan modal di Jateng


yakni industri padat karya,
termasuk industri tekstil dan
industri sepatu. Mereka tertarik
berinvestasi di Jateng karena
membutuhkan tenaga kerja yang
cukup banyak.

• Data Bank Indonesia juga merilis


terdapat pertumbuhan kegiatan
usaha di Jateng pada triwulan
II/2015 dibandingkan triwulan
sebelumnya, yang ditunjukkan
dengan angka Saldo Bersih

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


307

Tertimbang (SBT) tercatat


sebesar 36,80%, lebih tinggi
dibandingkan dengan SBT
triwulan I/2015 sebesar 7,55%
yang relatif setara dengan
periode yang sama tahun
sebelumnya 35,9.

• Meskipun kegiatan usaha


tumbuh meningkat, kapasitas
produksi pada triwulan II/2015
relatif stabil dibandingkan
triwulan sebelumnya. Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


308

(Apindo) Jateng Frans Kongi


merespon investor baru yang
melirik Jateng sebagai lahan
produksi. Dengan demikian,
katanya, serapan tenaga kerja
makin banyak.

• Dia mengakui dalam periode


satu tahun ini sudah terdapat
1.300-an buruh yang di-PHK. Hal
ini karena imbas perlambatan
ekonomi dalam negeri dan
kenaikan biaya produksi sebagai
dampak naiknya harga bahan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


309

bakar minyak tahun lalu. Artikel


ini telah tayang
di Bisnis.com dengan judul "Di
Tengah Ancaman PHK, Korsel
Bangun Pabrik Sepatu di
Salatiga", Klik selengkapnya di
sini: https://ekonomi.bisnis.com/
read/20151002/257/478458/di-
tengah-ancaman-phk-korsel-
bangun-pabrik-sepatu-di-
salatiga.
Author: Muhammad Khamdi
Editor : Yusuf Waluyo Jati

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


310

• Salatiga yang dulunya


merupakan peringkat 2 dan 3
untuk kategori Kota dengan
Penataan Ruang terbaik se-
Indonesia mengalami penurunan
kualitas Penataan Ruangnya hal
ini dapat terlihat dari
menurunnya peringkat kota
tidak lagi masuk kategori 5 besar
kota dengan Penataan Ruang
terbaik (Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, 2014).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


311

• Hal ini dipicu oleh timbulnya


permasalahan baru yaitu
kemacetan dan pemanasan
global, meskipun, sudah ada
pembangunan jalan tol dengan
trase Ungaran – Salatiga –
Boyolali dan Jalur Lingkar Luar
Salatiga dan munculnya industri
besar di Kota Salatig. Patut
disayangkan mengingat masih
tingginya potensi Salatiga untuk
dikembangkan lebih lanjut
dikarenakan masih luasnya

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


312

potensi di sektor industri dan


perdagangan.

• Walaupun penurunan kualitas


Penataan Ruang ini dirasa belum
mengkhawatirkan, tetapi sebagai
institusi Penataan Ruang, kita
perlu merespon adanya
penurunan kualitas Penataan
Ruang di berbagai kota di
Indonesia. Salah satu upaya
adalah mengusulkan dilakukan
penyusunan manual Urban

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


313

Desain Kawasan Industri dengan


Pilot Project di Kota Salatiga.
LOKASI LOKASI ONGKOS
NAMA JENIS PRODUK MERK PRODUK DP
KONSUMEN DISTRIBUTOR KIRIM
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi BL White Musk The Body Shop 3500 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Cleanser Aloe The Body Shop 3500 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Kaos Lacoste Lacoste 3500 40000
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi BM White Musk The Body Shop 3500 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Kaos BTS Mc D 7000 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Kaos lacoste Lacoste 1000 40000
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Jepit Rambut Lacoste 1000 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi Kaos BTS Mc D 1000 128000
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi piyama 1000 297500
Riskha Tangerang Selatan Bandar Lampung daster Luna 10000 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung bed cover Fine Forest 11000 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung sprei Fine Forest 11000 0
bed cover dan
Yusi Tangerang Selatan Bandung sprei Tilda 11000 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung tas batik Garutan 11000 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung sajadah Mauve 11000 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung kosmetik MS Glow 12000 0
Yetty Tangerang Selatan Jakarta Selatan penjahit Yetty Busana 0 200000
Ratih Tangerang Selatan Rembang kain batik Batik Lasem 0 0
Ratih Tangerang Selatan Rembang jilbab 0 0
Ratih Tangerang Selatan Rembang kain batik Batik Lasem 0 0
Atiqoh Tangerang Selatan Tangerang Selatan pakaian dalam 0 0
Atiqoh Tangerang Selatan Tangerang Selatan jilbab 0 0
Yusi Tangerang Selatan Bandung mukena Cocola Uniq 0 0
Sprei dan Bed
Yusi Tangerang Selatan Bandung Cover Cocola Uniq 0 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi tas anak 0 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi tumbler 0 0
Ika Apriyanie Tangerang Selatan Bekasi sepatu Air walk 0 0
Halida Tangerang Selatan Batam Tas Wanita Coach 0 0
Halida Tangerang Selatan Batam Tas Wanita Coach 0 0
Halida Tangerang Selatan Batam Tas Wanita Coach 0 0
Halida Tangerang Selatan Batam Tas Wanita Coach 0 0
Halida Tangerang Selatan Batam Dompet Pria Coach 0 0
Sari Tangerang Selatan Tangerang Tas Wanita 0 0
Daniyah Tangerang Selatan Yogyakarta Pakaian wanita 7000 0
Daniyah Tangerang Selatan Yogyakarta kain motif 0 0

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


314

Daniyah Tangerang Selatan Yogyakarta kaos kaki 35000 0


Batik Jumbo Tangerang Selatan Surakarta pakaian wanita 15000 0
Batik Jumbo Tangerang Selatan Surakarta pakaian wanita Cici 0 0
Batik Jumbo Tangerang Selatan Surakarta pakaian wanita Hutani 0 0
Persada Indah Tangerang Selatan 0 pakaian wanita Homedress 63000 0
Resi Tangerang Selatan Tangerang Selatan kosmetik Sun Screen 0 0
Griya Busana Tangerang Selatan Surakarta pakaian wanita Gamis 10000 0
Keyla Closet Tangerang Selatan 0 Tas Wanita 9000 0
Gamis
Instagram Tangerang Selatan 0 pakaian wanita Gamis 45000 0
Gamis
Instagram Tangerang Selatan pakaian wanita Gamis 9000 0
Gamis
Instagram Tangerang Selatan pakaian wanita Gamis 9000 0
tunik dan kain
Mulamu Tangerang Selatan pakaian wanita batik 0 0
KLB Tangerang Selatan pakaian wanita kemeja 25000 0

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


315

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


316

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


317

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


318

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


319

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


320

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


321

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


322

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


323

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


324

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


325

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


326

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


327

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


328

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


329

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


330

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


331

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


332

OUTPUT KELUARAN PAKET


PEKERJAAN :

• Manual Penyusunan Urban


Desain mengusulkan Pilot
Project yaitu Ecological Rest Area
in Industrial Estate in Salatiga
City. Lokasi ini dipilih
dikarenakan dengan adanya
perubahan kondisi
makroekonomi kota Salatiga

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


333

yang memperbolehkan adanya


pengembangan pabrik sepatu
Nike terbesar di dunia pada Jalur
Lingkar Luar Kota Salatiga yang
menjadi driving factors
perubahan peruntukan ruang di
Salatiga.

• Perancangan buku manual ini


sebagai ujicoba Ecological Rest
Area pertama di Indonesia
dimana dalam rangka
optimalisasi kondisi
makroekonomi yang diinginkan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


334

(peningkatan investasi dan


penurunan kejadian bencana)
dengan meminimalisir
penurunan kualitas lingkungan
hidup dan kenyamanan termal.
Sebagaimana dalam prinsip
Urban Desain kita ketahui bahwa
arsitektur kota bertujuan untuk
mencapai kondisi termal yang
optimal pada satu kawasan.

• Banyak faktor penyebab


turunnya kualitas Penataan
Ruang, salah satunya adalah

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


335

adanya perubahan peruntukan


kawasan. Perubahan ini perlu
dilihat apakah ada peran pelaku
pembangunan di dalamnya,
seperti adanya perubahan
kewenangan institusi daerah
atau kebutuhan pemerintah
daerah dalam pencapaian
peningkatan Pendapatan Asli
Daerah serta adanya Kebijakan
Nasional (Program Strategis
Nasional), hal ini bisa menjadi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


336

salah satu pemicu perubahan


peruntukan fungsi kawasan.

• Buku manual ini idealnya


dilengkapi dengan software /
aplikasi pendorong investasi dan
pengendali bencana yang
memuat 4 indikator tata ruang
yaitu kenyamanan bermukim,
keamanan bencana, keleluasaan
beraktifitas dan kelancaran
bermobilitas (Febi, 2019) yang
diharapkan dapat
mempermudah pelaku

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


337

pembangunan dalam melakukan


edukasi dan pelibatan
masyarakat dalam proses
penataan ruang maupun pada
fase pengendalian dampak
pembangunan (penurunan emisi
karbon dan peningkatan
kenyamanan termal).

• Manual Perancangan Urban


Desain ini dapat memuat
ringkasan tahapan penyusunan
Urban Desain lengkap dengan
penentuan kriteria lokasi,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


338

alternatif konsep pengembangan


dan model rekomendasi
peningkatan kualitas Penataan
Ruang sampai dengan SOP
pelaksanaan pembangunannya
yang juga melibatkan peran
masyarakat. Buku ini akan perlu
dilengkapi atribut – atribut
pengukuran 4 indikator tata
ruang (sumber data? ) antara lain
alat pendeteksi emisi karbon dan
kenyamanan termal serta
simulasi nilai indikator tata ruang

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


339

untuk masing – masing


kelurahan. Peran masyarakat
dalam melakukan investasi
(industri, perdagangan kayu Jati
dan Sengon, dan permukiman)
dapat disimulasikan dalam
aplikasi tersebut untuk
mengukur apakah kenyamanan
termal meningkat atau tidak.
Alternatif pembiayaan
pembangunan Ecological Rest
Area in Industrial Estate,
Pemerintah Daerah dapat

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


340

melibatkan dunia usaha seperti


dengan menggandeng
Perusahaan Multi Nasional.

• Kota Salatiga diusulkan menjadi


Pilot Project Manual Urban
Desain yang menggunakan
aplikasi / Software ini untuk
dapat menggambarkan kualitas
Penataan Ruang kotanya.
Implementasi dari manual ini
akan menggunakan salah satu
model rekomendasi antara lain
atribut pengurangan emisi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


341

karbon, yaitu adanya monitoring


kendaraan yang keluar – masuk
kota Salatiga, dapat memicu
Supply Chain perdagangan
otomotif dan adanya
peningkatan perdagangan kayu
Jati dan Sengon yang
merupakan 2 vegetasi yang layak
tanam sebagi buffering dari
polusi di kota tersebut. Pilot
Project ini diharapkan dapat
menggandeng swasta seperti
perusahaan Nike dalam hal

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


342

pembiayaan Manual Urban


Desain ini dan untuk langkah
kebijakan pengendaliannya
adalah dapat melalui
pemberlakuan insentif dan
disinsentif pada pajak kendaraan
yang melintas di jalan tertentu
dengan menggunakan database
yang terintegrasi di dalam dan di
perbatasan kota Salatiga.
Dengan adanya database ini
diharapkan dapat mengurangi
emisi karbon dan meningkatkan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


343

kenyamanan termal Kota


Salatiga. Sedangkan
pemberlakuan pajak lingkungan
berupa pembelian atau
pemberian bibit pohon jati dan
sengon yang merupakan 2
vegetasi yang layak tanam
sebagi buffering dari polusi di
kota tersebut dapat diberlakukan
pada kendaraan yang
menambah atau mengurangi
nilai emisi karbon sehingga
terwujud kenyamanan termal.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


344

CAKUPAN WILAYAH
PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN

• Pilot Project di Kota Salatiga ini


diharapkan dapat menjadi
percontohan bagi perancangan
28 Urban Desain Kabupaten /
Kota di Indonesia, berdasarkan
nilai strategis nasional meliputi
kemampuan kawasan untuk
memacu pertumbuhan ekonomi
kawasan dan wilayah di

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


345

sekitarnya serta mendorong


pemerataan perkembangan
wilayah Kabupaten / Kota yang
(PP No. 13 Tahun 2017 tentang
Revisi Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


346

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


347

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


348

Gambar kondisi perubahan


peruntukan kawasan pertanian
lahan basah (sawah) dikarenakan
pembangunan jalan tol

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


349

Sumber : tribunnews.com

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


350

Gambar peta persebaran kawasan


industri di Kota Salatiga

Sumber : www.google.com

Standar Penentuan Lokasi RTH di


sepanjang jalan Tol Trans Jawa

Studi Kasus Review Aksesibilitas Tol


Trans Jawa

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


351

gambar : situasi tol Trans Jawa

sumber : dokumentasi pribadi

Contra flow adalah rekayasa lalu


lintas yang mengubah arah normal
arus kendaraan pada suatu jalan
raya menjadi melawan arus. Sistem

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


352

contra flow harus dipastikan pada


bagian ujung penerapannya untuk
dibuat sumbatan sehingga pada
bagian lajur yang terdampak sistem
dapat mengurangi kecepatan laju
kendaraanya secara bertahap dan
tidak membahayakan pengendara
lainnya. Sistem ini dapat diterapkan
untuk berbagai keperluan seperti
evakuasi darurat, pemeliharaan
jalan, atau pengatasan kemacetan
(Dekalita, 2019).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


353

Meurut keterangan dari Menteri


perhubungan dengan wartawan
dengan jurnalis okezone.com
menjelaskan bahwa contraflow ini
diberlakukan pada tanggal 7-9 Juni
2019 dari gerbang tol Cikampek
sampai dengan gerbang tol Kali
Kangkung. Kombinasi itu ialah
contraflow di Jalan Tol Jakarta –
Cikampek arah Cikampek di titik
awal kilometer 29 sampai kilometer
70 yang terintegrasi dengan one
way di kilometer 70 gerbang Tol

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


354

Cikamppek Utara sampai kilometer


414cgerbang tol Kali Kangkung
(antara, 2019).

Penerapan sistem one way dan


contra flow pada arus mudik
Lebaran 2019 di Tol Trans Jawa,
cukup efektif, sebagaimana
disampaikan oleh kakorlantas Polri
Irjen Pol Refdi Andri pada
wawancara dengan jurnalis
kompas.com pada 3 Juni 2019
bahwa kebijakan tersebut telah
berhasil mengurai kemacetan dan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


355

paling penting mengurangi tingkat


kecelakaan lalu lintas.

Sehingga untuk memaksimalkan


proses pencapaian tujuan
penerapan kebijakan ini,
dibutuhkan adanya penambahan
luas dan jumlah RTH berupa rest
area di masing – masing ruas jalan
tol di sepanjang Tol Trans Jawa dari
Jakarta – Cikampek sampai dengan
gerbang tol Kali Kangkung (analisis
penulis, 2021).

KEBIJAKAN PELESTARIAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI DANAU TOBA

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


356

14_DESTARITA INDAH PERMATASARI_TOBA

A. SEJARAH DANAU TOBA ( Wikipedia.com)


Danau Toba adalah danau yang terletak di kaldera Gunung Supervulkan. Danau
Toba adalah lokasi letusan gunung berapi super masif berkekuatan VEI 8 sekitar
69.000 sampai 77.000 tahun yang lalu[2][3][4] yang memicu perubahan iklim global.
Metode penanggalan terkini menetapkan bahwa 74.000 tahun yang lalu lebih
akurat.[5] Letusan ini merupakan letusan eksplosif terbesar di Bumi dalam kurun 25
juta tahun terakhir. Menurut teori bencana Toba, letusan ini berdampak besar bagi
populasi manusia di seluruh dunia; dampak letusan menewaskan sebagian besar
manusia yang hidup waktu itu dan diyakini menyebabkan penyusutan populasi di
Afrika timur tengah dan India sehingga memengaruhi genetika populasi manusia di
seluruh dunia sampai sekarang.[6]

B. KONDISI LINGKUNGAN DANAU TOBA (LIPI)


Kegiatan masyarakat di DTA Danau Toba Sebagian besar merupakan pertanian yang
memanfaatkan lereng – lereng bukit. Komoditas yang dibudidayakan adalah
tanaman tahunan seperti kemiri, kopi, kelapa, mangga, serta tanaman palawija
seperti bawang, jagung, dan cabe.Kegiatan lain adalah pemanfaatan daratan yang
berada di lembah – lembah sungai dengan komoditas padi di lahan persawahan.

C. KONDISI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI DANAU TOBA ( Wikipedia.com)


Flora di danau ini meliputi berbagai jenis fitoplankton, makrofita kecil,
makrofita mengambang, dan makrofita terbenam, sedangkan daratan
sekitarnya ditutupi hutan hujan, termasuk jenis hutan pinus tropis Sumatra di
daerah pegunungan yang lebih tinggi.[22]
Fauna di danau ini meliputi beberapa spesies zooplankton dan hewan bentos.
Karena danau ini oligotrof (tidak kaya nutrien), ikan aslinya tergolong langka.
Hanya ada dua ikan endemik di danau ini, yaitu Rasbora tobana (bisa disebut
hampir endemik karena juga ditemukan di sungai-sungai yang bermuara di
danau ini)[23] dan Neolissochilus thienemanni, biasa disebut ikan
Batak.[24] Spesies yang disebutkan terakhir itu terancam oleh deforestasi
(penyebab siltasi), polusi, perubahan ketinggian air, dan spesies ikan baru
yang didatangkan ke danau ini.[24] Spesies ikan asli lainnya adalah Aplocheilus
panchax, Nemacheilus pfeifferae, Homaloptera gymnogaster, Channa
gachua, Channa striata, Clarias batrachus, Barbonymus
gonionotus, Barbonymus schwanenfeldii, Danio albolineatus, Osteochilus
vittatus, Puntius binotatus, Rasbora jacobsoni, Tor tambra, Betta
imbellis, Betta taeniata, dan Monopterus albus.[25] Spesies ikan pendatang
meliputi Anabas testudineus, Oreochromis mossambicus, Oreochromis
niloticus, Ctenopharyngodon idella, Cyprinus carpio, Osphronemus
goramy, Trichogaster pectoralis, Trichopodus trichopterus, Poecilia reticulata,
dan Xiphophorus hellerii.[25]

D. POTENSI PARIWISATA DANAU TOBA (LIPI)


Lokasi pariwisata di wilayah Danau Toba hamper tersebar di sepanjang danau, baik
yang bersentuhan dengan perairan mauppun tidak. Tercatat 15 dusun / desa yang

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


357

menunjang pariwisata. Bahkan, selain lokasi pariwisata, Parapat, Balige, dab


Pangaruan juga merupakan pusat – pusat bisnis. Terdapat 12 lokasi berpotensi
wisata yang belum dikembangkan. Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat
27 lokasi yang harus dilindungi dan tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai
KJA. Di wilayah bisnis dann Pelabuhan, kondisi lingkungan perairan pada umumnya
tidak mendukung KJA karena tingginya pencemaran domestic dan buangan dari
kapal penyeberangan. Sementara KJA di wilayah wisata akan menganggu akan
mengnganggi aktivitas wisatawan karena menurunkan nilai estetika perairannya.

E. KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI DANAU TOBA (LIPI)


Menurut KOnferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan mengharuskan untuk
melindugni lingkungan perairan darata, diantaranya dengan perhatian pada Program
Perlindungan SUmber Daya Air, Kualitas Air, dan Ekosistem Perairan. Tiga Aktivitas
yang dapat diimplementasikan meliputi :
1. Konservasi dan perlindungan sumber daya air;
2. Perlindungan ekosistem perairan; dan
3. Perlindungan sumber daya hayati perairan darat yang meliputi :
 Pemantauan dan pengendalian kualitas air yang memungkinkan
pengembangan perikanan yang berkelanjutan;
 Perlindungan ekosistem dari pencemaran dan kerusakan dari pembangunan
proyek budi daya perikanan.

F. KEBIJAKAN PARIWISATA DI DANAU TOBA (LIPI)


Menurut Undang – Undang NOmor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. Pada UU ini
dikemukakan bahwa daya Tarik wisata adalah segala sessuatu yang memiliki
keunikan, keindahan, budaya, serta hasil buatan manusia. Sedangkan tujuan
kepariwisataan adalah melestarikan alam, lingkungan, dan sumberdaya. Kawasan
strategis pariwisata dilakukan diantaranya dengan memperhatikan aspek
perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam
menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

G. ARAHAN PENATAAN RUANG DI LOKASI DANAU TOBA dan Sekitarnya (BPIW)


1. Ultimate Goal Kawasan Danau Toba
 Terwujudnya kelestarian lingkungan Kawasan danau.
 Terwujudnya peningkatan infrastruktur dalam mendukung pengembangan
Kawasan.
 Terwujudknya Kawasan Danau Toba sebagai Kawasan pariwisata berkelas
dunia yang terkoneksi dengan pasar pariwisata dalam negeri dan global.
 Terwujudnya perekonomian Kawasan berbasis komoditas unggulan yang
bernilail tambah tinggi dan mampu bersaing di pasar global.
 Terwujudnya masyarakat local dalam kegiatan ekonomi Kawasan.
2. Skenario Pengembangan Kawasan Danau Toba
 Tahap 1 ( tahun 2016 – 2018) Reinforcement : Danau Toba mulai
dipulihkanm dan ifrastruktur Kawasan mulai ditingkatkan baik kualitas dan
kuantitas.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


358

 Tahap 2 ( 2019 – 2021) Development : kualitas Danau Toba membaiak dan


sentra produksi local berkembang di setiap Kawasan.
 Tahap 3 ( Tahun 2022 -2024) Integration : Kawasan Danau Toba menjadi
destinasi wisata nasional yterintegrasi dengan setra produksi local yang
didukung dengan infrastruktur yang handal.
 Tahap 4 ( Tahun 2023 – 3027) Expansion : Kawasan Danau Toba menjadi
destinasi wisata skala dunia terintegrasi dengan produk local yang didukung
dengan infrastruktur yang handal.

H. DAFTAR PUSTAKA
 https://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba diakses pada 4 Januari 2021.
 Lukman.2013. Danau Toba. Karakteristik Limnologis dan Mitigasi Ancaman
Lingkungan dari Pengembangan Karamba Jaring Apung. Jakarta : LIPI Press.
 Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah – Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Integrated Tourism Masterplan for
Lake Toba.

DAFTAR PUSTAKA
Ministry of Environment anda
Forestry. Pemali Jratun Watershed
and Protected Forest Technical
Management Unit. Recent

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


359

Condition of Rawa Pening Lake.


Head of Watershed and protected
Forest Evaluation Division. Mr.
Bambang Hendro Joewono, S.Hut.,
M.Sc.

Harga Barang di Indonesia dengan


asumsi markert share terbesar.
Destarita Indah, 2021.

APPLIED ECONOMETRICS
THE IMPACT OF ENERGY FACTORS (BASIC ELECTRICITY RATE AND FUEL PRICE)
TO THE GROWTH OF MICRO AND SMALL INDUSTRY

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


360

BY:

 BARKAH ILHAM PURNAWAN : 1606936594


 DESTARITA INDAH PERMATASARI: 1606936631

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


361

ABSTRACT

Industry sector has already known as one of main prime over economic growth. It can be seen from its
contribution to Gross Domestic Product (GDP), labor absorbance, and the quantity of industry itself.
(Tuti, 2010)

According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the value of GDP
based on current price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013,
reached 5.440.007,9 (thousands rupiah) or equals to 60, 34 %. While, the value of GDP on constant
price which was contributed by the Small, Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached value
1,536,918. 8 (thousands rupiah) or equals 57.56 %.

The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or equals to 99, 99 %.
In terms of absorbing labors, on 2013, micro, small, and medium Enterprises had absorbed
114.144.082 people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises sectors. Labors
absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %.

In this research, the authors had tried to analyze the impact of energy factors (basic electricity rate and
fuel price towards the growth of micro and small industry, also as a consideration for decision makers
to be considered on establishing fuel price and basic electricity rate. The data and information is
mainly collected from BPS, such as quantity of micro and small industries from 33 provinces during
2014 – 2015 as dependent variable. While, to conduct research about elasticity of energy price
fluctuation towards the growth of micro and small industry, data of basic electricity rate and fuel price
are derived from www.google.com. Then, as control variable, we used other data from BPS, for
example the number of population and expenditure per capita.

From the result of this research, finally we can conclude that the increasing number of micro and
small industry is significantly influenced by fuel price in a negative relationship. It means that the
increasing fuel price will decrease the number of micro and small industry. On the other hand, basic
electricity rate has not significantly affected on the number of micro and small industry. Surprisingly,
the number of population and expenditure per capita as control variables has significant impact to the
quantity of micro and small industry.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


362

A. INTRODUCTION
1. Background
Small and micro enterprises are already known as the sector that plays important role
on saving and recovering national economics. Those role can endorse economic growth rate
and absorbs labors in order to it would be beginning steps of Government to activate
production sector on various work field (Asty, 2010). Industry sector has already known as
one of main prime over economic. It can be seen from the contribution to Gross Domestic
Product, labor absorbance, and the number of industry itself. (Tuti, 2010)
According to data of Ministry of Cooperation and Small and Medium Enterprises, the
value of Gross Domestic Product based on current price which was contributed by the Small,
Micro, and Medium Enterprises on 2013, reached value 5.440.007,9 (thousands rupiah) or
equals to 60.34 %, can be detailed as follows micro had contributed 3.326.564,8
(thousands rupiah) or equaled to 36.90 %, small Enterprises had contributed 876.385,3
(thousands rupiah) or equals 9.72 %, and medium Enterprises had contributed 1.237.057,8
(thousands rupiah) or equals 13.72 %. Another 3,574,943.3 (thousands rupiah) or equals
39.66 % for sure was contributed by Big Enterprises. The growth of Gross Domestic
Product based on current price during 2012 – 2013 was by 9.38 %, higher than Big
Enterprises by 6.01 %.
The number of micro, small, and medium Enterprises on 2013 was 57.895.721 or
equals to 99,99 %, can be detailed as follows : micro Enterprises 57.189.393 or equals to
98, 77 %, small Enterprises 654.222 or equals to 1, 13 %, and medium Enterprises 52.106 or
equals to 0,09 %. Growth number of micro, small, and medium Enterprises on 2012 – 2013
was 2, 41 % nearly doubled than big Enterprises on the same period which was 1, 97 %.
In terms of absorbing labors, micro, small, and medium Enterprises also had absorbed more
labors than big Enterprises did. On 2013, micro, small, and medium Enterprises had
absorbed 114.144.082 people or equals to 96,99 % from total workers in Enterprises
sectors, this number had increased if we compared with the labors absorbance in 2012 which
was 107.657.509 people or equals to 97,16 %. The aggregate labor absorbance by micro,
small, and medium Enterprises can be detailed as follows, micro Enterprises had absorbed
104.624.466 people or equals to 88.90 %, small Enterprises had contributed 5.570.231 or
equals to 4.73 %, and medium Enterprises 3.949.385 people or equals to 3.36 %. Big
Enterprises

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


363

Labors absorbance on 2013 was 3.537.162 people or equals to 3.01 %, this number
was increased than on 2012 which was 3.150.645 or equals to 2.84 %.
There are some factors that influence the growth number of micro, small, and
medium enterprises. According to the research result conducted by Purwaningsih (2015),
factors influencing performance of micro, small, and medium enterprises were external
factors consist of government policy aspect, social - culture and economic aspect,
organization role aspect, while the internal factors were human resources aspect, spatial
aspect, operation and technical production aspect, market and marketing aspect, and labor.
Another research conducted by Adrianto Trimarjono (2015) resulting different factors
influencing the growth of micro, small, and medium enterprises were hard workers,
confidence, want to learn, ambition to move on, communication skill, the nearest of location
and industry, easiness to get new market, information about competitors, information if
chance, information of product development, easiness toi capital access, government policy
support, and finance management.
The rate of industry sector contribution toward economy, make this sector needs to be
encouraged the role in the future. But, until now, industry sector still face some problems,
mainly on the limited of energy source and electricity. Tuti (2010), in her research also
stated that textile and product textile industry are depend on the two main energy source,
which are fuel and electricity.

2. Objectives
The objective of this research is to analyze the impact of energy factors (electricity
basic rate and fuel price) to the growth of micro and small Industry as consideration for
policy makers on establishing fuel price and basic electricity rate.

3. Previous Studies
This study considers previous studies regarding micro and small medium enterprises.
Here are some of them:
1. Tuti Ernawati (2010): “The affect of policy on fuel price and electricity basic rate to
textile industry and textile product sector in West Java province (2010).”
This research had examined the affect of energy policy (fuel price and basic electricity
rate) towards big and medium industry which is included compact energy. The result of
this examination gives some recommendation policy such as some adjustment ways in
order to give minimum impact towards economic activity in industry field.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


364

2. Ratna Purwatiningsih (2015) : “Analysis factors affecting performance of small and


medium enterprises with Structural Equation Modeling Method.”
This study focus on examination the correlation between external and internal factors in
terms of theirs affect to performance of small and medium enterprises on creative
industry sector with Partial Least Squares Equation Modeling (PLS – SEM) method.
3. Kristiningsih and Adrianto Trimarjono (2015): “Analysis factors affecting the growth of
small and medium enterprises (study case of small and medium enterprises in Surabaya).
This research aimed to find factors affect the growth of small and medium enterprises in
Surabaya.

4. Hypothesis :
Hypothesis that will be examined in this research are:
a. Fuel price influences the number of micro and small industry;
b. Basic electricity rate influences the number of micro and small industry; and
c. Population and expenditure per capita influences the quantity of micro and small industry.

B. Literature Review
There are some criterias of micro, small, and medium industry which were established by
government as follows:
1. As is established by Ministry of Cooperation, Small, and Medium Industry ( Law no 9,
1995);
Table 1.1

Determinant Micro and Small Enterprises Medium Enterprises


Nett Wealth Not more than Rp 200.000.000, more than Rp 200.000.000, but less than
(land and building are not included) Rp10.000.000.000, (land and building
are not included)
Annual Not more than Rp 1.000.000.000,.
omzet
Source: Ministry of Cooperation, Small, and Medium Industry, 1995

2. As is established by Central Board of Statistic (BPS);


Table 1.2
Determinant Small Enterprises Medium Enterprises
Number of 5 – 19 people 20 - 99 people
Labors

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


365

Source: Central Board of Statistic

3. As is established by Bank of Indonesia;


Micro, small, and medium enterprises are company or industry with some characteristics as
follows:
a. Capital less than Rp. 20.000.000,-
b. 1 round business only needs Rp. 5.000.000,-
c. Maximum assets is Rp. 600.000.000,- (land and building are not included)
d. Annual omzet is not more than Rp.1.000.000.000,-
4. As is established by Presidential Decision no 16, 1994;
Small and Medium Enterprises are having net wealth maximum Rp.400.000.000,-
5. As is established by Ministry of Industry and Trade;
Micro, small, and medium enterprises have these following criteria:
a. Maximum assets is Rp. 600.000.000,- (land and building are not included);
b. Capital less than Rp.25.000.000,-
6. As is established by Ministry of Finance;
Micro, small, and medium enterprises are having maximum omzet Rp. 600.000.000, - per
year an or having maximum Rp.600.000.000- (land and building are not included).
7. As is established by Law no 20 , 2008 about micro, small, and minimum enterprises
Micro, Small, and Medium enterprises are:
a. Micro enterprise is productive business owned by individual or individual business with
these criteria micro business as was established by law;
b. Small enterprise as productive economy business which can be stand out, which was
done by individual or part of business organization which can be owned or become an
part directly or indirectly from medium enterprise or big enterprise which was fulfilled
criteria of small enterprises which was established in this laws.
c. Medium enterprises are economic productive business which can stands out, can be done
by individual or business board which was not a part of company or part of company
which was owned directly or indirectly of small enterprises or big enterprises with
amount of wealth or annual omzet as was established by this law.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


366

Table 1.3
Determinant Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises
Assets Maximum Between Rp.50.000.000,- Between Rp.500.000.000,- and
Rp.500.000.000,- and Rp.500.000.000,- Rp.10.000.000.000,-
Omzets Maximum Between Rp. Between Rp.2.500.000.000,- and
Rp.300.000.000,- 300.000.000,- and Rp. Rp.50.000.000.000,-
2.500.000.000,-
Source: Law no 20, 2008 about micro, small, and minimum enterprises

8. As is established by World Bank.


Table 1.4
Determinant Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises
Number or Less than 10 people Less than 30 people Maximum 300 people
labors
Assets not more than $100.000,- Not more than Less than $15.000.000,-
$ 3.000.000.000,-
Omzets Not more than $100.000 Not more than Less than $15.000.000,-
$ 3.000.000.000,-
Source: Law no 20, 2008 about micro, small, and minimum enterprises

C. METHOD
1. Sample
Sample of this research uses data of micro and small industry in 33 provinces during
2014 and 2015 by quarterly as the dependent variable, which is issued by BPS. To examine
elasticity fluctuation on energy price to the growth of micro and small industries, we chose
data of fuel price and basic electricity rate on the same period. As control variables we also
consider data of population, expenditure per capita.
The details of data as follows:
a. Number of small and micro industry in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


367

b. Number of population in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);


c. Expenditure per capita in 33 province, 2014 – 2015 (source : BPS);
d. Fuel price, 2014 – 2015 ; and
e. Basic electricity rate, 2014 – 2015

2. Model
The function of micro and small industry can be written as follows:
log (��� ) = �� + �1 log (���1 ) + �2 log (���2 ) + �3 log (���3 ) + �4 log (���4) + �
��� = increasing number of small and micro industry (%)
���1 = increasing of basic electricity rate (%)
���2 = increasing of fuel price (%)
���3 = increasing of population number (%)
���4 = increasing of expenditure per capita (%)

3. Model Examination
After got the model, we continued with model examination, which is consist of:
a. Economy examination
With, the initial hypothesis (Ho): fuel price and basic electricity rate do not gve impact to
the growth of micro and small industry;
And the alternative hypothesis (Ha): fuel price or basic electricity rate give the impact to
the growth of micro and small industry
b. Statistic examination
Model examination that already done is F-test, to examine the influence of independent
variable simultaneously to the growth of micro and small industry and t test to examines
the impact of basic electricity rate and fuel price independently to the growth of micro
and small industry.
c. Econometric examination
We need to examine whether in this model contains heteroscedasticity, multicollinearity,
and autocorrelation or not.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


368

D. RESULT AND ANALYSIS


Table. 2.1. Regression by STATA

Source SS df MS Number of obs = 264


F( 4, 259) = 286.04
Model 375.381515 4 93.8453789 Prob > F = 0.0000
Residual 84.9745723 259 .328087152 R-squared = 0.8154
Adj R-squared = 0.8126
Total 460.356088 263 1.75040338 Root MSE = .57279

lnumk Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

lntdl -.5331693 .3698808 -1.44 0.151 -1.261526 .1951871


lnpbensin -.9820875 .3959178 -2.48 0.014 -1.761715 -.2024599
lnpop 1.107452 .0361243 30.66 0.000 1.036317 1.178586
lnexp -1.746333 .1616134 -10.81 0.000 -2.064576 -1.428089
_cons 30.38594 5.695118 5.34 0.000 19.17131 41.60057

Based on table 2.1 above, the equation can be written as


��� = 30.386 − 0.533 ���1 − 0.98 ���2 + 1.107 ���3 − 1.746 ���4
(0,000) (0.151) (0.014) (0,000) (0,000)

��� = Quantity of Micro and Small Enterprise (in percent)


���1 = Electricity Price (in percent)
���2 = Fuel Price (inpercent)
���3 = Population (in percent)
���4 = Expenditure per capita (in percent)

The probability of F equals to 0,000. This result implies that by comparing α 0.05, all
independence variables affect the quantity of micro-small enterprise simultaneously. The
value of Constanta is 30.86. It means that if all independent variables (electricity price, fuel

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


369

price, population, expenditure per capita) equal to zero (0), the increasing of small micro
enterprise is 30.86 %.
From the table 1, we also obtain that the value of electricity price equals to - 0,533.
This implies that between electricity price elasticity and the quantity of small micro enterprise
have a negative correlation. If electricity price increases by 1 %, then the quantity of micro
small enterprise will decrease by 0.533 %. However, from the T test, we know that the
probability of t more than α 0.05 (0,151). This means that electricity price has no significant
correlation with the quantity of micro small enterprise.
On the other hand, the increasing of fuel price will significantly affect the quantity of
small micro enterprise in a negative correlation (P <|t| < α). We also can obtain the coefficient
of fuel price is - 0.98. It means that if fuel price increases by 1 %, the quantity of micro small
enterprise will decrease by 0.98 %. This value is nearly close to the value of unitary elasticity
(E=1).
From both energy variables which are electricity price and fuel price, they give
different impact to the quantity of micro and small enterprise. Adjustment on electricity has
no significance impact to micro and small enterprise, while the adjustment on fuel price has a
significant impact to the quantity of micro and small industry.
Furthermore, the increasing of population also has a strong relationship with the
quantity of micro and small enterprise. The coefficient equals to 1.107, it implies that the
increasing of population by 1 % will lead to the rising of small micro enterprise quantity by
1.107 %. Meanwhile, the coefficient of expenditure per capita is - 1,746. It implies that if the
expenditure per capita increases by 1 %, the quantity of small micro enterprise will decrease
by 1,746 %.
The Tests
As an initial hypothesis (H0) is electricity price and fuel price have no significant
impact to the quantity of micro-small enterprise, while, as an alternative hypothesis is one of
both variables have significant impact to the quantity of micro-small enterprise. Based on
table 1, although electricity price has no impact to the quantity of micro small enterprise, we
also can obtain that the increasing of fuel price will lead to the increasing of micro-small
enterprise quantity. As a consequence, we cannot accept the initial hypothesis (H0).
From the table 1, we also can derive the determinant coefficient (R-squared). This R-
squared has a quite significance value by 0.8154. It indicates that the model can be explained
by all variables as much as 81.54 %, while a 18.66 % cannot be explained by all variables. As
previous explanation, F test give a significance value with the probability less than α 0.05.
Therefore, all variables simultaneously affect the quantity of micro small enterprise by using

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


370

α 0.05. Meanwhile, from the partial test (t-test), we can derive that all variables except
electricity price have a significance impact to micro small enterprise by using α 0.05.
From the OLS violation tests which are heteroscedasticity, multicollinierity and auto
correlation, we can obtain the results as follows:

1. Heteroscedasticity
Table 2.2. White Test
. estat imtest, white

White's test for Ho: homoskedasticity


against Ha: unrestricted heteroskedasticity

chi2(14) = 24.32
Prob > chi2 = 0.0419

Cameron & Trivedi's decomposition of IM-test

Source chi2 df p

Heteroskedasticity 24.32 14 0.0419


Skewness 5.16 4 0.2710
Kurtosis 0.69 1 0.4052

Total 30.17 19 0.0496

From table 2.2, the white test results give evidence that there is a heteroscedasticity. We
can derive from the probability of chi squared. The value of probability of chi squared is
0.049. It means that by using α 0.05, the probability of chi squared less than α, so that
there is a heteroscedasticity. Therefore, to overcome this problem, we do white robust
estimator treatment. The result is as explained in table 2.3 below
Table 2.3. White Robust Estimator

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


371

. reg lnumk lntdl lnpbensin lnpop lnexp, vce(robust)

Linear regression Number of obs = 264


F( 4, 259) = 382.25
Prob > F = 0.0000
R-squared = 0.8154
Root MSE = .57279

Robust
lnumk Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

lntdl -.5331693 .3669467 -1.45 0.147 -1.255748 .1894096


lnpbensin -.9820875 .3977224 -2.47 0.014 -1.765269 -.1989064
lnpop 1.107452 .0292572 37.85 0.000 1.049839 1.165064
lnexp -1.746333 .1374586 -12.70 0.000 -2.017012 -1.475654
_cons 30.38594 5.431647 5.59 0.000 19.69013 41.08175

. estimates store White

. estimates table Usual White, b(%7.4f) se(%7.3f) stats(F)

Variable Usual White

lntdl -0.5332 -0.5332


0.370 0.367
lnpbensin -0.9821 -0.9821
0.396 0.398
lnpop 1.1075 1.1075
0.036 0.029
lnexp -1.7463 -1.7463
0.162 0.137
_cons 30.3859 30.3859
5.695 5.432

F 286.0380 382.2506

After this treatment, almost all standard error decrease from its initial value except
standard error of fuel price that experiences a slight increasing. Then, we continue to
second white test to the model, but the result still experiences the heteroscedasticity.

2. Multicollinierity
Tabel 2.4. VIF Test

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


372

. vif

Variable VIF 1/VIF

lnpbensin 1.10 0.907169


lntdl 1.10 0.910723
lnexp 1.02 0.981915
lnpop 1.01 0.988256

Mean VIF 1.06

In order to test the multicollinierity, we calculate Variance Inflation Factor (VIF). As the
result, the value of VIF is 1.06, so that we can conclude that there is no multicollinierity
(value of VIF < 10). For further evidence, we do partial correlation test among variables.
The result can be seen on table. 2.5

Tabel 2.5. Partial Correlation Test

. corr lnumk lntdl lnpbensin lnpop lnexp


(obs=264)

lnumk lntdl lnpben~n lnpop lnexp

lnumk 1.0000
lntdl -0.0118 1.0000
lnpbensin -0.0348 -0.2957 1.0000
lnpop 0.8544 0.0014 0.0041 1.0000
lnexp -0.3747 -0.0232 -0.0665 -0.1083 1.0000

From table. 5 above, we obtain that all partial correlation value less than 0,75, so that
there is no multicollinierity.

3. Autocorrelation
The data is a panel data, so we do not need to test the autocorrelation.

E. Conclusion

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


373

The increasing of small and micro industry is significantly affected by fuel price. Moreover,
between them have a negative correlation. It means that the increasing of fuel price will lead to
the rising of small and micro enterprise. However, for the other energy variable which is
electricity price has no significant impact to the small micro enterprise. Furthermore, population
and expenditure per capita as control variables also have significant impact to the amount of small
micro industry.

F. Study Limitation
1. The data has only two years interval (2014-2015), so that, further study may consider long
time series data.
2. This study only observes the impact of energy factors to the increasing of small micro
enterprise with population and expenditure per capita as control variables. The further
research can consider other macro indicators, such as inflation rate, interest rate and Gross
Domestic Product.

G. LIST OF REFERENCES

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 – 2013.
http://www.depkop.go.id/. Downloaded 4th October 2016 at 7:31 p.m

Setia Utami, Asty. 2008. Dampak Pembiayaan UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia (2001 –
2007).

http://docplayer.info. Tinjauan Pustaka accessed 16th Oktober at 7:.14 am.

Tuti Ernawati : Pengaruh Kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Tarif Dasar Listrik (TDL) terhadap
Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) di Jawa Barat (2010)
Ratna Purwaningsih (2015): Analisis Faktor – faktor yang mempengaruhi Kinerja Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dengan Metode Structural Equation Modelling

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


374

Kristiningsih dan Adrianto Trimarjono (2015) : Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Usaha Kecil Menengah (Studi Kasus pada UKM di Wilayah Surabaya)

Appendix 1. Raw Data

TDL Jumlah expenditure


Provinsi Year umk Pbensin
Quartile (/kwh) penduduk per capita

tdl Pbensin pop exp


ACEH Q1 2014 71031 1496 6500 4906800 975927
ACEH Q2 2014 71031 1496 6500 4906800 975927
ACEH Q3 2014 71031 1214 6500 4906800 975927
ACEH Q4 2014 71031 1214 8500 4906800 975927
ACEH Q1 2015 65492 1214 7600 5002000 811452

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


375

ACEH Q2 2015 65492 1352 7600 5002000 811452


ACEH Q3 2015 65492 1523 7600 5002000 811452
ACEH Q4 2015 65492 1507 7600 5002000 811452
SUMATERA UTARA Q1 2014 86063 1496 6500 13766900 797346
SUMATERA UTARA Q2 2014 86063 1496 6500 13766900 797346
SUMATERA UTARA Q3 2014 86063 1214 6500 13766900 797346
SUMATERA UTARA Q4 2014 86063 1214 8500 13766900 797346
SUMATERA UTARA Q1 2015 99022 1214 7600 13973800 844396
SUMATERA UTARA Q2 2015 100022 1352 7600 13973800 844396
SUMATERA UTARA Q3 2015 101022 1523 7600 13973800 844396
SUMATERA UTARA Q4 2015 102022 1507 7600 13973800 844396
SUMATERA BARAT Q1 2014 76520 1496 6500 5131900 1027715
SUMATERA BARAT Q2 2014 76520 1496 6500 5131900 1027715
SUMATERA BARAT Q3 2014 76520 1214 6500 5131900 1027715
SUMATERA BARAT Q4 2014 76520 1214 8500 5131900 1027715
SUMATERA BARAT Q1 2015 67697 1214 7600 5196300 946588
SUMATERA BARAT Q2 2015 67697 1352 7600 5196300 946588
SUMATERA BARAT Q3 2015 67697 1523 7600 5196300 946588
SUMATERA BARAT Q4 2015 67697 1507 7600 5196300 946588
RIAU Q1 2014 15715 1496 6500 6188400 1190450
RIAU Q2 2014 15715 1496 6500 6188400 1190450
RIAU Q3 2014 15715 1214 6500 6188400 1190450
RIAU Q4 2014 15715 1214 8500 6188400 1190450
RIAU Q1 2015 17435 1214 7600 6344400 1079104
RIAU Q2 2015 17435 1352 7600 6344400 1079104
RIAU Q3 2015 17435 1523 7600 6344400 1079104
RIAU Q4 2015 17435 1507 7600 6344400 1079104
JAMBI Q1 2014 27447 1496 6500 3344400 902382
JAMBI Q2 2014 27447 1496 6500 3344400 902382
JAMBI Q3 2014 27447 1214 6500 3344400 902382
JAMBI Q4 2014 27447 1214 8500 3344400 902382
JAMBI Q1 2015 24169 1214 7600 3402100 887006
JAMBI Q2 2015 24169 1352 7600 3402100 887006
JAMBI Q3 2015 24169 1523 7600 3402100 887006
JAMBI Q4 2015 24169 1507 7600 3402100 887006
SUMATERA SELATAN Q1 2014 64492 1496 6500 7941500 1019143
SUMATERA SELATAN Q2 2014 64492 1496 6500 7941500 1019143
SUMATERA SELATAN Q3 2014 64492 1214 6500 7941500 1019143
SUMATERA SELATAN Q4 2014 64492 1214 8500 7941500 1019143
SUMATERA SELATAN Q1 2015 49346 1214 7600 8052300 820995
SUMATERA SELATAN Q2 2015 49346 1352 7600 8052300 820995
SUMATERA SELATAN Q3 2015 49346 1523 7600 8052300 820995

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


376

SUMATERA SELATAN Q4 2015 49346 1507 7600 8052300 820995


BENGKULU Q1 2014 12048 1496 6500 1844800 920134
BENGKULU Q2 2014 12048 1496 6500 1844800 920134
BENGKULU Q3 2014 12048 1214 6500 1844800 920134
BENGKULU Q4 2014 12048 1214 8500 1844800 920134
BENGKULU Q1 2015 12281 1214 7600 1874900 908899
BENGKULU Q2 2015 12281 1352 7600 1874900 908899
BENGKULU Q3 2015 12281 1523 7600 1874900 908899
BENGKULU Q4 2015 12281 1507 7600 1874900 908899
LAMPUNG Q1 2014 103710 1496 6500 8026200 895613
LAMPUNG Q2 2014 103710 1496 6500 8026200 895613
LAMPUNG Q3 2014 103710 1214 6500 8026200 895613
LAMPUNG Q4 2014 103710 1214 8500 8026200 895613
LAMPUNG Q1 2015 80505 1214 7600 8117300 781809
LAMPUNG Q2 2015 80505 1352 7600 8117300 781809
LAMPUNG Q3 2015 80505 1523 7600 8117300 781809
LAMPUNG Q4 2015 80505 1507 7600 8117300 781809
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q1 2014
8267 1496 6500 1343900 1171142
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q2 2014
8267 1496 6500 1343900 1171142
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q3 2014
8267 1214 6500 1343900 1171142
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q4 2014
8267 1214 8500 1343900 1171142
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q1 2015
6151 1214 7600 1372800 1200723
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q2 2015
6151 1352 7600 1372800 1200723
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q3 2015
6151 1523 7600 1372800 1200723
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG Q4 2015
6151 1507 7600 1372800 1200723
KEPULAUAN RIAU Q1 2014 15399 1496 6500 1917400 1357528
KEPULAUAN RIAU Q2 2014 15399 1496 6500 1917400 1357528
KEPULAUAN RIAU Q3 2014 15399 1214 6500 1917400 1357528
KEPULAUAN RIAU Q4 2014 15399 1214 8500 1917400 1357528
KEPULAUAN RIAU Q1 2015 7468 1214 7600 1973000 1447805
KEPULAUAN RIAU Q2 2015 7468 1352 7600 1973000 1447805
KEPULAUAN RIAU Q3 2015 7468 1523 7600 1973000 1447805
KEPULAUAN RIAU Q4 2015 7468 1507 7600 1973000 1447805
DKI JAKARTA Q1 2014 37858 1496 6500 10075300 1708275
DKI JAKARTA Q2 2014 37858 1496 6500 10075300 1708275
DKI JAKARTA Q3 2014 37858 1214 6500 10075300 1708275
DKI JAKARTA Q4 2014 37858 1214 8500 10075300 1708275
DKI JAKARTA Q1 2015 34994 1214 7600 10177900 1886300
DKI JAKARTA Q2 2015 34994 1352 7600 10177900 1886300

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


377

DKI JAKARTA Q3 2015 34994 1523 7600 10177900 1886300


DKI JAKARTA Q4 2015 34994 1507 7600 10177900 1886300
JAWA BARAT Q1 2014 498063 1496 6500 46029600 911736
JAWA BARAT Q2 2014 498063 1496 6500 46029600 911736
JAWA BARAT Q3 2014 498063 1214 6500 46029600 911736
JAWA BARAT Q4 2014 498063 1214 8500 46029600 911736
JAWA BARAT Q1 2015 480240 1214 7600 46709600 981968
JAWA BARAT Q2 2015 480240 1352 7600 46709600 981968
JAWA BARAT Q3 2015 480240 1523 7600 46709600 981968
JAWA BARAT Q4 2015 480240 1507 7600 46709600 981968
JAWA TENGAH Q1 2014 832472 1496 6500 33522700 726917
JAWA TENGAH Q2 2014 832472 1496 6500 33522700 726917
JAWA TENGAH Q3 2014 832472 1214 6500 33522700 726917
JAWA TENGAH Q4 2014 832472 1214 8500 33522700 726917
JAWA TENGAH Q1 2015 1030374 1214 7600 33774100 770595
JAWA TENGAH Q2 2015 1030374 1352 7600 33774100 770595
JAWA TENGAH Q3 2015 1030374 1523 7600 33774100 770595
JAWA TENGAH Q4 2015 1030374 1507 7600 33774100 770595
DI YOGYAKARTA Q1 2014 80579 1496 6500 3637100 896898
DI YOGYAKARTA Q2 2014 80579 1496 6500 3637100 896898
DI YOGYAKARTA Q3 2014 80579 1214 6500 3637100 896898
DI YOGYAKARTA Q4 2014 80579 1214 8500 3637100 896898
DI YOGYAKARTA Q1 2015 57665 1214 7600 3679200 1094525
DI YOGYAKARTA Q2 2015 58666 1352 7600 3679200 1094525
DI YOGYAKARTA Q3 2015 59667 1523 7600 3679200 1094525
DI YOGYAKARTA Q4 2015 60668 1507 7600 3679200 1094525
JAWA TIMUR Q1 2014 648706 1496 6500 38610200 802004
JAWA TIMUR Q2 2014 648706 1496 6500 38610200 802004
JAWA TIMUR Q3 2014 648706 1214 6500 38610200 802004
JAWA TIMUR Q4 2014 648706 1214 8500 38610200 802004
JAWA TIMUR Q1 2015 820844 1214 7600 38847600 903874
JAWA TIMUR Q2 2015 820844 1352 7600 38847600 903874
JAWA TIMUR Q3 2015 820844 1523 7600 38847600 903874
JAWA TIMUR Q4 2015 820844 1507 7600 38847600 903874
BANTEN Q1 2014 81412 1496 6500 11704900 1042624
BANTEN Q2 2014 81412 1496 6500 11704900 1042624
BANTEN Q3 2014 81412 1214 6500 11704900 1042624
BANTEN Q4 2014 81412 1214 8500 11704900 1042624
BANTEN Q1 2015 117548 1214 7600 11955200 1121506
BANTEN Q2 2015 117548 1352 7600 11955200 1121506
BANTEN Q3 2015 117548 1523 7600 11955200 1121506
BANTEN Q4 2015 117548 1507 7600 11955200 1121506

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


378

BALI Q1 2014 116093 1496 6500 4104900 1279915


BALI Q2 2014 116093 1496 6500 4104900 1279915
BALI Q3 2014 116093 1214 6500 4104900 1279915
BALI Q4 2014 116093 1214 8500 4104900 1279915
BALI Q1 2015 103360 1214 7600 4152800 1125482
BALI Q2 2015 103360 1352 7600 4152800 1125482
BALI Q3 2015 103360 1523 7600 4152800 1125482
BALI Q4 2015 103360 1507 7600 4152800 1125482
NUSA TENGGARA
BARAT Q1 2014 107231 1496 6500 4773800 771113
NUSA TENGGARA
BARAT Q2 2014 107231 1496 6500 4773800 771113
NUSA TENGGARA
BARAT Q3 2014 107231 1214 6500 4773800 771113
NUSA TENGGARA
BARAT Q4 2014 107231 1214 8500 4773800 771113
NUSA TENGGARA
BARAT Q1 2015 94291 1214 7600 4835600 752870
NUSA TENGGARA
BARAT Q2 2015 94291 1352 7600 4835600 752870
NUSA TENGGARA
BARAT Q3 2015 94291 1523 7600 4835600 752870
NUSA TENGGARA
BARAT Q4 2015 94291 1507 7600 4835600 752870
NUSA TENGGARA
TIMUR Q1 2014 112042 1496 6500 5036900 895192
NUSA TENGGARA
TIMUR Q2 2014 112042 1496 6500 5036900 895192
NUSA TENGGARA
TIMUR Q3 2014 112042 1214 6500 5036900 895192
NUSA TENGGARA
TIMUR Q4 2014 112042 1214 8500 5036900 895192
NUSA TENGGARA
TIMUR Q1 2015 73169 1214 7600 5120100 569441
NUSA TENGGARA
TIMUR Q2 2015 73169 1352 7600 5120100 569441
NUSA TENGGARA
TIMUR Q3 2015 73169 1523 7600 5120100 569441
NUSA TENGGARA
TIMUR Q4 2015 73169 1507 7600 5120100 569441
KALIMANTAN BARAT Q1 2014 37412 1496 6500 4716100 1158751
KALIMANTAN BARAT Q2 2014 37412 1496 6500 4716100 1158751
KALIMANTAN BARAT Q3 2014 37412 1214 6500 4716100 1158751
KALIMANTAN BARAT Q4 2014 37412 1214 8500 4716100 1158751
KALIMANTAN BARAT Q1 2015 55113 1214 7600 4789600 848388
KALIMANTAN BARAT Q2 2015 55113 1352 7600 4789600 848388
KALIMANTAN BARAT Q3 2015 55113 1523 7600 4789600 848388
KALIMANTAN BARAT Q4 2015 55113 1507 7600 4789600 848388
KALIMANTAN
TENGAH Q1 2014
19932 1496 6500 2439900 1095963
KALIMANTAN
TENGAH Q2 2014
19932 1496 6500 2439900 1095963
KALIMANTAN
TENGAH Q3 2014
19932 1214 6500 2439900 1095963

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


379

KALIMANTAN
TENGAH Q4 2014
19932 1214 8500 2439900 1095963
KALIMANTAN
TENGAH Q1 2015
12599 1214 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q2 2015
12599 1352 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q3 2015
12599 1523 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
TENGAH Q4 2015
12599 1507 7600 2495000 1048890
KALIMANTAN
SELATAN Q1 2014
70866 1496 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q2 2014
70866 1496 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q3 2014
70866 1214 6500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q4 2014
70866 1214 8500 3922800 1099131
KALIMANTAN
SELATAN Q1 2015
57477 1214 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q2 2015
57477 1352 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q3 2015
57477 1523 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN
SELATAN Q4 2015
57477 1507 7600 3989800 1120886
KALIMANTAN TIMUR Q1 2014 17721 1496 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q2 2014 17721 1496 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q3 2014 17721 1214 6500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q4 2014 17721 1214 8500 3969600 1331815
KALIMANTAN TIMUR Q1 2015 12028 1214 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q2 2015 12028 1352 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q3 2015 12028 1523 7600 4068600 1274888
KALIMANTAN TIMUR Q4 2015 12028 1507 7600 4068600 1274888
SULAWESI UTARA Q1 2014 35587 1496 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q2 2014 35587 1496 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q3 2014 35587 1214 6500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q4 2014 35587 1214 8500 2386600 975162
SULAWESI UTARA Q1 2015 39470 1214 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q2 2015 39470 1352 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q3 2015 39470 1523 7600 2412400 909622
SULAWESI UTARA Q4 2015 39470 1507 7600 2412400 909622
SULAWESI TENGAH Q1 2014 40295 1496 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q2 2014 40295 1496 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q3 2014 40295 1214 6500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q4 2014 40295 1214 8500 2831300 1083449
SULAWESI TENGAH Q1 2015 22396 1214 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q2 2015 22396 1352 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q3 2015 22396 1523 7600 2876700 840951
SULAWESI TENGAH Q4 2015 22396 1507 7600 2876700 840951

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


380

SULAWESI SELATAN Q1 2014 106419 1496 6500 8432200 881848


SULAWESI SELATAN Q2 2014 106419 1496 6500 8432200 881848
SULAWESI SELATAN Q3 2014 106419 1214 6500 8432200 881848
SULAWESI SELATAN Q4 2014 106419 1214 8500 8432200 881848
SULAWESI SELATAN Q1 2015 118473 1214 7600 8520300 859027
SULAWESI SELATAN Q2 2015 118473 1352 7600 8520300 859027
SULAWESI SELATAN Q3 2015 118473 1523 7600 8520300 859027
SULAWESI SELATAN Q4 2015 118473 1507 7600 8520300 859027
SULAWESI TENGGARA Q1 2014 71556 1496 6500 2448100 899893
SULAWESI TENGGARA Q2 2014 71556 1496 6500 2448100 899893
SULAWESI TENGGARA Q3 2014 71556 1214 6500 2448100 899893
SULAWESI TENGGARA Q4 2014 71556 1214 8500 2448100 899893
SULAWESI TENGGARA Q1 2015 47270 1214 7600 2499500 828680
SULAWESI TENGGARA Q2 2015 47270 1352 7600 2499500 828680
SULAWESI TENGGARA Q3 2015 47270 1523 7600 2499500 828680
SULAWESI TENGGARA Q4 2015 47270 1507 7600 2499500 828680
GORONTALO Q1 2014 23851 1496 6500 1115600 831346
GORONTALO Q2 2014 23851 1496 6500 1115600 831346
GORONTALO Q3 2014 23851 1214 6500 1115600 831346
GORONTALO Q4 2014 23851 1214 8500 1115600 831346
GORONTALO Q1 2015 13216 1214 7600 1150800 736244
GORONTALO Q2 2015 13216 1352 7600 1150800 736244
GORONTALO Q3 2015 13216 1523 7600 1150800 736244
GORONTALO Q4 2015 13216 1507 7600 1150800 736244
SULAWESI BARAT Q1 2014 29098 1496 6500 1258100 629829
SULAWESI BARAT Q2 2014 29098 1496 6500 1258100 629829
SULAWESI BARAT Q3 2014 29098 1214 6500 1258100 629829
SULAWESI BARAT Q4 2014 29098 1214 8500 1258100 629829
SULAWESI BARAT Q1 2015 11874 1214 7600 1282200 700343
SULAWESI BARAT Q2 2015 11874 1352 7600 1282200 700343
SULAWESI BARAT Q3 2015 11874 1523 7600 1282200 700343
SULAWESI BARAT Q4 2015 11874 1507 7600 1282200 700343
MALUKU Q1 2014 36640 1496 6500 1657400 993701
MALUKU Q2 2014 36640 1496 6500 1657400 993701
MALUKU Q3 2014 36640 1214 6500 1657400 993701
MALUKU Q4 2014 36640 1214 8500 1657400 993701
MALUKU Q1 2015 19575 1214 7600 1686500 808794
MALUKU Q2 2015 19575 1352 7600 1686500 808794
MALUKU Q3 2015 19575 1523 7600 1686500 808794
MALUKU Q4 2015 19575 1507 7600 1686500 808794
MALUKU UTARA Q1 2014 7958 1496 6500 1138700 1035753
MALUKU UTARA Q2 2014 7958 1496 6500 1138700 1035753

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


381

MALUKU UTARA Q3 2014 7958 1214 6500 1138700 1035753


MALUKU UTARA Q4 2014 7958 1214 8500 1138700 1035753
MALUKU UTARA Q1 2015 7051 1214 7600 1162300 832284
MALUKU UTARA Q2 2015 7051 1352 7600 1162300 832284
MALUKU UTARA Q3 2015 7051 1523 7600 1162300 832284
MALUKU UTARA Q4 2015 7051 1507 7600 1162300 832284
PAPUA BARAT Q1 2014 2479 1496 6500 849800 1371269
PAPUA BARAT Q2 2014 2479 1496 6500 849800 1371269
PAPUA BARAT Q3 2014 2479 1214 6500 849800 1371269
PAPUA BARAT Q4 2014 2479 1214 8500 849800 1371269
PAPUA BARAT Q1 2015 1523 1214 7600 871500 1172090
PAPUA BARAT Q2 2015 1523 1352 7600 871500 1172090
PAPUA BARAT Q3 2015 1523 1523 7600 871500 1172090
PAPUA BARAT Q4 2015 1523 1507 7600 871500 1172090
PAPUA Q1 2014 10102 1496 6500 3091000 1255900
PAPUA Q2 2014 10102 1496 6500 3091000 1255900
PAPUA Q3 2014 10102 1214 6500 3091000 1255900
PAPUA Q4 2014 10102 1214 8500 3091000 1255900
PAPUA Q1 2015 7457 1214 7600 3149400 1212686
PAPUA Q2 2015 7457 1352 7600 3149400 1212686
PAPUA Q3 2015 7457 1523 7600 3149400 1212686
PAPUA Q4 2015 7457 1507 7600 3149400 1212686

MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM KEBIJAKAN EKONOMI

PERAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN


DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


382

DISUSUN OLEH:

DESTARITA INDAH PERMATASARI (1606936631)


HANNI WIRAWAN (1706130430)
KHOLID ZUFAR GUNCORO (1706130506)

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2018

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


383

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... 383

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................................384

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................... 384

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 388

1.3 Tujuan ............................................................................................................................................388

BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................................................................389

2.1 Teori Inflasi dan Administrated Price ............................................................................................ 389

2.2 Konsep Ketahanan Energi ............................................................................................................. 389

BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................................................392

3.1 Regulasi Sektor Energi di Indonesia .............................................................................................. 392

A. Undang-undang No. 30/2007 tentang Energi .............................................................................392

B. Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ....................................................393

C. Undang-undang No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan ........................................................... 393

D. Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara .............................394

E. Undang-undang No. 21/2014 tentang Panas Bumi .................................................................... 394

3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi & Pencapaian Ketahanan Energi395

BAB IV REKOMENDASI .........................................................................................................................406

Daftar Pustaka ..................................................................................................................................... 408

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


384

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor Energi dan Mineral merupakan salah satu sektor strategis yang diatur oleh

UUD 1945 melalui Pasal 33 ayat (2) dan (3) :

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar konstitusional “hak menguasai“ negara atas

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. “Hak Menguasai”

negara yang berdasarkan konstitusi tersebut “dipergunakan untuk sebesar besarnya

kemakmuran rakyat”. Kedua aspek kaidah itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain,

keduanya merupakan satu kesatuan sistematik. “Hak menguasai“ negara

merupakan instrument, sedangkan “dipergunakan untuk sebesar besarnya

kemakmuran

rakyat “ merupakan tujuan (objektif). Dalam kerangka “penguasaan negara atas

pertambangan“ mengandung pengertian : Negara memegang kekuasaan untuk

menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam yang terdapat dalam

wilayah hukum pertambangan Indonesia.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


385

Secara historis salah satu perumus UUD 45 adalah Mohammad Hatta. Menurut Hatta:

Pengertiaan “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara, akan

tetapi dapat menyerahkan kepada pihak swasta yang disertai dengan pengawasan

pemerintah. Selain itu, Hatta membagi bidang ekonomi ke dalam 3 sektor usaha,

yakni koperasi, usaha negara dan usaha asing.

Dapat disimpulkan bahwa menurut Mohammad Hatta pengertian frasa “dikuasai

oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 45 adalah negara tidak harus secara

langsung ikut mengelola atau menyelanggarakan cabang produksi, akan tetapi hal

itu dapat diserahkan kepada koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat

peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi

menjamin kesejahteraan rakyat.

Penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 mengenai “hak menguasai negara” dalam

pengertian bahwa negara melakukan 5 hal yaitu:

1. Fungsi kebijakan (beleid) oleh negara melalui Pemerintah dalam merumuskan perencanaan
penguasaan negara atas sumber daya alam yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di
bidang sumber daya alam.
2. Fungsi pengurusan (bestuursdaad), dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya
untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (consessie).
3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
4. Fungsi pengelolaan (beheersdaad), Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan,
yang melaluinya negara, dalam hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh organ negara

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


386

dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.

Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

harus dapat menjamin kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh rakyat serta dapat

mendukung pembangunan nasional, hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor

30 Tahun 2007 tentang Energi pasal 2 yang menyatakan :

“bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi

berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat,

pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan

mengutamakan kemampuan nasional”.

Sementara pasal 3 menyatakan :

“bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan

dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi antara

lain kemandirian, penyediaan, pengelolaan, pemanfaatan energi, akses masyarakat,

industri energi dan lingkungan hidup”.

Lalu sebagaimana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, terdapat 4

(empat) tahap pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 5 tahunan. Masing-masing periode RPJMN tersebut memiliki tema atau

skala prioritas yang berbeda-beda. Tema RPJMN tahun 2015-2019 atau RPJMN ke-3,

adalah: “Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan

pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis Sumber Daya

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


387

Alam (SDA) yang

tersedia, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, serta kemampuan Iptek”.

RPJMN tahun 2015-2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun

2015 pada tanggal 8 Januari 2015.

Adapun tantangan dan isu strategis di sektor energi terkait dengan pemenuhan

sasaran pokok pembangunan nasional yang ada di RPJMN antara lain :

 Pengendalian laju produksi minyak, seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Indonesia
merupakan net importir minyak, di dalam RPJMN produksi minyak dikendalikan laju
produksinya, hal ini mengingat cadangan minyak bumi Indonesia yang terbatas jumlahnya serta
mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi primer.
 Pemanfaatan energi domestik masih rendah, hal ini dapat kita lihat dari pemanfaatan batubara
domestik yang masih rendah.
 Akses energi terbatas, pemerintah berupaya agar setiap daerah di Indonesia dapat menikmati
energi (listrik, BBM).
 Ketergantungan Impor BBM, pemerintah harus memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber
energi lain sehingga tidak lagi ketergantungan terhadap impor BBM.
 Harga energi belum kompetitif. Harga energi yang tidak kompetitif dapat menyebabkan
rendahnya minat investor untuk berinvestasi di pengembangan sektor energi terutama di
sektor Energi Baru Terbarukan.
 Bauran energi masih didominasi BBM, sedangkan EBT (Energi Baru Terbarukan) masih rendah.
Sumber-sumber EBT harus dimanfaatkan lebih maksimal, sehingga tidak tergantung tehadap
energi yang sifatnya tidak terbarukan.
 Pemanfaatan energi belum efisien, angka pertumbuhan konsumsi energi lebih besar daripada
pertumbuhan ekonomi. Akan lebih baik bila pemerintah bisa membalik keadaan ketika
pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dari pertumbuhan konsumsi energi. Dengan demikian,
perekonomian bisa tumbuh dengan konsumsi energi yang lebih efisien.
 Peningkatan nilai tambah mineral dan pengawasan pertambangan perlu ditingkatkan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


388

Dalam menyelesaikan tantangan dan isu strategis terkait dengan sektor energi,

pemerintah tentu memerlukan peraturan atau ketentuan yang dapat mendukung

untuk menyelesaikan tantangan dan isu strategis tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor energi dalam

mendukung pemenuhan kebutuhan energi domestik untuk mencapai ketahanan

energi di Indonesia?

1.3 Tujuan
Untuk dapat mengetahui kesesuaian antar peraturan perundang-undangan di sektor

energi dalam mendukung pemenuhan kebutuhan energi domestik untuk mencapai

ketahanan energi di Indonesia.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


389

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Teori Inflasi dan Administrated Price


Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi timbul karena
adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan
dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi
nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-
harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply
shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil
yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada
kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan
kegiatan ekonominya.

Sektor energi adalah salah satu sektor yang harganya diatur oleh pemerintah (administered price).
Harga sektor energi yang diatur pemerintah saat ini adalah harga Bahan Bakar Minyak dan tarif
tenaga listrik. Peningkatan harga di sektor energi yang bersifat administered price akan
menyebabkan terjadinya inflasi. Pentingnya kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi yang disebabkan oleh
komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

2.2 Konsep Ketahanan Energi


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan

Energi Nasional,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


390

Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses

masyarakat

terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan

perlindungan terhadap lingkungan hidup. Ketahanan energi digambarkan dengan 4

(empat) indikator pembentuk ketahanan energi yaitu :

1. Availability, merupakan ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun
luar negeri. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan ketersediaan sumber energi antara
lain :
 Pemanfaatan energi baru dan terbarukan pada pembangkitan listrik. Hal ini menjadi
penting karena penggunaan energi fosil relatif mahal, sementara EBT merupakan
sumberdaya energi lokal.
 Pengaruh ekspor energi terhadap ketahanan energi. Ekspor energi pada dasarnya
adalah untuk mendapatkan devisa, sementara ekspor energi akan mengurangi
potensi energi dan melemahkan ketahanan energi nasional.
 Pengaruh impor terhadap ketahanan energi. Impor energi pada dasarnya untuk
memenuhi kebutuhan energi, tetapi peningkatan impor atau dominasi energi impor
pada konsumsi energi akan melemahkan ketahanan energi.
 Peranan diversifikasi pada konsumsi energi. Diversifikasi dapat meningkatkan
fleksibilitas penyediaan energi yang akan meningkatkan ketahanan energi.
2. Affordability, merupakan keterjangkauan atau kemampuan dalam mendapatkan dan
memanfaatkan sumber energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan keterjangkauan
antara lain :
 Konsumsi listrik per kapita, konsumsi listrik yang meningkat memberikan gambaran
bahwa masyarakat makin mampu dalam menyediakan energinya.
 Konsumsi energi per kapita. Indikator ini menunjukkan bahwa menunjukkan
pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat dalam penyediaan energi.
3. Accessability, menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber energi, dan
infrastruktur jaringan energi. Contoh elemen-elemen yang terkait dengan kemampuan
masyarakat untuk mengakses seumber energi antara lain :

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


391

 Kapasitas kilang, penambahan kapasitas kilang memberi gambaran adanya jaminan


untuk pemenuhan kebutuhan minyak masyarakat.
 Penambahan jaringan transmisi dan distribusi listrik menunjukkan masayarakat
dapat mengakses listrik secara lebih baik.
 Kesuksesan konservasi memberi gambaran adanya peningkatan kapasitas
penyediaan energi melalui pengurangan kebutuhan.
 Rasio kelistrikan yang menunjukkan kemampuan dalam menyediakan listrik
 Cadangan strategis, peningkatan cadangan strategis dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas pasokan energi dan menjamin kelangsungan penyediaan
energi.
4. Acceptability, atau penerimaan masyarakat merupakan suatu faktor yang mendorong atau
menghambat penerapan program maupun jenis energi tertentu yang berpengaruh pada
kualitas hidup, kesehatan, pencemaran lingkungan serta adaptasi perubahan iklim.

Penilaian tingkat ketahanan energi nasional dilakukan oleh Dewan Energi Nasional

(DEN) dengan menggunakan metode Analytical Hierarcy Process (AHP). Nilai

ketahanan energi Indonesia di tahun 2014 sebesar 5,82 termasuk kedalam skala

rendah, yang berarti tingkat ketahanan energi nasional Indonesia tergolong rendah

(untuk angka resmi tingkat ketahanan energi nasional tahun 2015-2017 belum ada

angka resmi yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


392

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Regulasi Sektor Energi di Indonesia

A. Undang-undang No. 30/2007 tentang Energi


Secara umum sektor energi di Indonesia diatur oleh Undang-undang No. 30/2007

tentang Energi. adapun materi pokok yang diatur oleh undang-undang tersebut

antara lain :

1. Pengaturan energi yang terdiri dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi;
2. Cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energi nasional;
3. Keadaan krisis dan darurat energi serta harga energi;
4. Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan di bidang energi;
5. Kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, dan pembentukan dewan energi
nasional;
6. Hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;
7. Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan di bidang energi; dan
8. Penelitian dan pengembangan

Dalam pelaksanaan UU No.30/2007 pemerintah menetapkan PP No. 79/2014 tentang

Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang merupakan pedoman untuk memberi arah

pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan

energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Selain itu

pemerintah juga menetapkan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi

Nasional (RUEN) yang merupakan kebijakan pemerintah pusat mengenai rencana

pengelolaan energi tingkat nasional yang merupakan penjabaran dan rencana

pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang bersifat lintas sektor untuk

mencapai sasaran kebijakan energi nasional.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


393

B. Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi


Undang-undang ini mengatur tentang pokok-pokok pengusahaan industri Migas di

Indonesia antara lain :

1. Pemegang dan pelaksana kuasa pertambangan


2. Penetapan batas dan syarat wilayah kerja pertambangan
3. Penawaran wilayah kerja pertambangan kepada kontraktor
4. Sistem pengusahaan atau kontrak
5. Penandatanganan kontrak
6. Pelaksana dan pengawasan usaha hulu (eksplorasi dan ekspoitasi)
7. Jangka waktu kontrak
8. Domestic Market Obligation
9. Regulator dan Pengawasan Usaha Hilir

Dalam pelaksanaan UU Migas ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana

dalam rangka mendukung penerapan UU Migas.

C. Undang-undang No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan


Undang-undang ini mengatur tentang pokok-pokok pengusahaan ketenagalistrikan

di Indonesia, antara lain :

1. Penguasaan dan pengusahaan tenaga listrik


2. Kewenangan pengelolaan di bidang ketenagalsitrikan
3. Rencana umum ketenagalsitrikan
4. Perizinan
5. Harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik
6. Lingkungan hidup dan keteknikan
7. Pembinaan dan pengawasan
8. Sanksi administraif dan ketentuan pidana

Dalam pelaksanaan UU Ketenagalistrikan ini pemerintah menetapkan peraturan

pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU Ketenagalistrikan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


394

D. Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


Undang-undang ini mengatur tentang pokok-pokok pengusahaan pertambangan

mineral dan batubara di Indonesia, antara lain :

1. Penguasaan mineral dan batubara


2. Kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
3. Wilayah pertambangan
4. Usaha dan izin usaha pertambangan
5. Izin pertambangan rakyat
6. Izin usaha pertambangan khusus
7. Usaha jasa pertambangan
8. Pendapatan negara dan daerah

Dalam pelaksanaan UU Pertambangan Mineral dan Batubara ini pemerintah

menetapkan peraturan pelaksana dalam rangka mendukung penerapan UU

Pertambangan Mineral dan Batubara.

E. Undang-undang No. 21/2014 tentang Panas Bumi


Dalam undang-undang panas bumi hal paling pokok yang diatur oleh undang-

undang ini yaitu pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan lagi kedalam

pengertian kegiatan pertambangan. Sehingga hal ini dapat memungkinkan untuk

melakukan pengusahaan panas bumi pada kawasan hutan lindung dan hutan

konservasi. Materi pokok lain yang diatur oleh undang-undang panas bumi ini antara

lain :

1. Kewenangan penyelenggaraan panas bumi


2. Pengusahaan panas bumi
3. Perizinan
4. Penggunaan lahan
5. Peran serta masyarakat
6. Sanksi administratif dan ketentuan pidana

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


395

Dalam pelaksanaan UU Panas Bumi ini pemerintah menetapkan peraturan pelaksana

dalam rangka mendukung penerapan UU Panas Bumi.

3.2 Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Sektor Energi dan Pencapaian Ketahanan Energi
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor energi dapat kita lihat apakah

sudah sesuai dengan fungsi penguasaan oleh negara :

1. Fungsi kebijakan (beleid), sesuai yang tercantum di RPJMN (Perpres No. 2 Tahun 2015) bahwa
fungsi kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah sebagai berikut :
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
 Menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan
cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan
produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan
teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional,
dan kebijakan pembangunan.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan pasal 5 ayat (1) fungsi kebijakan
yang dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
 Menetapkan kebijakan ketenagalistrikan nasional, sedangkan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan kebijakan.
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara fungsi kebijakan yang dilakukan
oleh Pemerintah adalah sebagai berikut :
Pasal 4
 Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
 Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan /
atau pemerintah daerah.
Pasal 5
 Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutaam mineral
dan / atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


396

 Kepentingan nasional yang dimaksud dapat dilakukan dengan pengendalian produksi


dan ekspor.
 Dalam pelaksanaan pengendalian, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan jumlah produksi tiap - tiap komoditas per tahun per provinsi.
Lebih lanjut, menurut pasal 6, kebijakan yang ditetapkan meliputi:
 Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
 Penetapan kebijakan, kerjasama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat.
d. Menurut UU No 24 tahun 2014, fungsi kebijakan dilakukan oleh Pemerintah dengan
pembuatan kebijakan nasional (Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi
Nasional).

2. Fungsi pengurusan (bestuursdaad), dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk


mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (consessie).
Fungsi pengurusan yang menjadi kewenangan negara adalah sebagai berikut:
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengurusan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
 Pemerintah melakukan pengurusan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang terdiri
atas Kegiatan Usaha Hulu (Eksplorasi dan eksploitasi), dan Kegiatan Usaha Hilir
(pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga).
b. Menurut UU 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) ,
Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten /Kota di bidang
kelistrikan adalah :
 penetapan izin jual beli tenaga listrik (lintas negara/lintas kabupaten/kota/ dalam
kabupaten/kota);
 Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah
usahanya lintas provinsi, dilakukan oleh badan usaha milik negara, dan menjual tenaga
listrik dan / atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh (Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota);
 Penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup (lintas provinsi/ lintas
kabupaten / kota, dalam kabupaten / kota);

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


397

 Penetapan izin usaha penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik
negara atau penanaman modal asing / mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam
modal (asing/ dalam negeri) ;
 Penetapan izin pemanfaatan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi,
multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh (Pemerintah/ pemerintah provinsi/
pemerintah kabupaten/kota);
c. Menurut UU No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, fungsi perizinan yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
 Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional.
 Pemberian IUP, pemberian IUPK Eksplorasi, pemberian IUPK Operasi industry.
d. Menurut UU No. 21 tahun 2014 tentang panas bumi, fungsi perizinan yang dilakukan adalah
pemberian izin pemanfaatan langsung dan tidak langsung pada wilayah yang menjadi
kewenangannya.

3. Fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengaturan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
 Menetapkan pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama,
penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja
Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja.
 Menetapkan pedoman pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu
penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data.
 Menetapkan pedoman ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian
cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan.
 Menetapkan pedoman dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
 Menetapkan pedoman ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga.
 Menetapkan pedoman ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara,
pungutan negara, dan bonus.
 Menetapkan pedoman pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak
daerah dan retribusi daerah.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


398

 Menetapkan pedoman tentang menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah


negara di dalam Wilayah Kerjanya.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, fungsi pengaturan yang dilakukan
oleh Pemerintah/ pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota adalah sebagai
berikut:
 Penetapan (peraturan perundang - undangan / peraturan daerah provinsi / peraturan
daerah kabupaten / kota) di bidang ketenagalistrikan;
 Penetapan pedoman, standar, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan;
 Penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrk untuk konsumen;
 Penetapan rencana umum ketenagalistrikan (nasional / daerah provinsi / daerah
kabupaten / kota).
c. Menurut UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, fungsi pengaturan dilakukan
dengan :
 Pembuatan perundang-undangan (nasional/ daerah) dan penetapan standar nasional,
pedoman, dan kriteria.
d. Menurut UU No.21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, fungsi pengaturan tidak dijelaskan secara
spesifik hanya pengaturan di bidang Panas Bumi.
4. Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang
melaluinya negara, dalam hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengelolaan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
 Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang
terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara.
 Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama.
 Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan.
 Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha. Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


399

 Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
d. badan usaha swasta.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan penguasaan dan pengusahaan sebagai berikut:
Pasal 3
 Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
 Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kebijakannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pasal 4
 Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
 Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipas dalam
usaha penyediaan tenaga listrik.
 Untuk penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan
dana untuk :
- Kelompok masyarakat kurang mampu;
- Pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah belum berkembang;
- Pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
- Pembangunan listrik perdesaan.
c. Menurut UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
Pasal 4
 Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
 Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan /
atau pemerintah daerah.
d. Menurut UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
Pasal 4

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


400

 Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat.
 Penguasaan panas bumi oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten / kota sesuai dengan kewenangannya dan
berdasarkan prinsip pemanfaatan.
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh organ negara dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat.
a. Menurut UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
 Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait.
 Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
 Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan
oleh Badan Pengatur.
b. Menurut UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah adalah sebagai berikut : pasal 5 ayat (1) pembinaan dan pengawasan kepada
badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Menurut UU No.4 tahun 2009 tentang MIneral dan Batubara, fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagai berikut : pasal (5)
 Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
 Pembinaan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
 Pembinaan dan pengawasan reklamasi lahan pasca tambang
d. Menurut UU No 24 tahun 2014 tentang Panas Bumi pasal 6, fungsi pengawasan hanya
disebutkan pembinaan dan pengawasan.

Hasil Evaluasi pencapaian sasaran RPJMN sektor energi adalah sebagai berikut:

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


401

SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI


SAMPAI DENGAN 2017

Sasaran pokok Pembangunan nasional:  Capaian produksi minyak bumi sampai dengan tahun
2017 adalah sebesar 804 ribu SBM. Produksi minyak
 Pengendalian produksi minyak bumi dari
bumi dilakukan pengendalian laju penurunannya
818 ribu SBM per hari pada tahun 2014
hingga mencapai 700 ribu SBM per hari di tahun
menjadi 700 ribu SBM per hari;
2019.
 Meningkatkan Produksi Gas Bumi dari
 Capaian produksi Gas Bumi sampai dengan tahun
1.224 ribu SBM per hari menjadi 1.295
2017 adalah sebesar 1.140. Masih belum mencapai
ribu SBM per hari;
target 2019 yaitu sebesar 1.295 SBM. Adapun
 Meningkatkan Produksi Batubara dari permasalahannya lebih disebabkan oleh kendala
397 juta ton menjadi 442 juta ton; operasional dilapangan.

 Meningkatkan Penggunaan Gas Bumi  Capaian produksi batubara sampai dengan tahun
dalam Negeri dari 53% menjadi 64 %; 2017 adalah sebesar 461 juta ton. Sudah melebihi

 Meningkatkan Penggunaan Batubara target 2019 yaitu sebesar 442 juta ton.

dalam Negeri dari 24% menjadi 32 %  Capaian alokasi gas domestik sampai dengan tahun
2017 adalah sebesari 61%. Masih belum mencapai
target 2019 yaitu sebesar 64%. Adapun
permasalahannya adalah realisasi penggunaan gas
oleh industri masih rendah, hal ini terkait dengan
perlambatan pertumbuhan ekonomi, sehingga sektor
industri tidak melakukan produksi dengan maksimal.

 Capaian penggunaan batubara domestik sampai


dengan tahun 2017 adalah sebesar 21,04 %, belum
mencapai target 2019 yaitu sebesar 24-32%. Adapun
permasalahannya: produsen batubara tidak
memenuhi penjualan untuk dalam negeri, penurunan
konsumsi batubara domestik terkait dengan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


402

SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI


SAMPAI DENGAN 2017

penurunan pertumbuhan ekonomi.

Di RTRWN dan RPJMN, tidak disebutkan upaya untuk


mencapai produksi migas dan mineral batubara

Dua sasaran pokok peningkatan daya  Capaian pembangunan smelter pada tahun 2017
saing komoditas mineral dan tambang adalah sebesar 25 unit masih belum mencapai target
yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015 2019 yaitu sebanyak 30 unit.
- 2019 adalah :
 Di RPJMN tidak disebutkan upaya untuk mencapai
Meningkatnya nilai tambah komoditas
pembangunan smelter
mineral dan pertambangan di dalam
negeri :

 Fasilitasi pembangunan smelter di


sebanyak 30 perusahaan, dan

 Peningkatan kapasitas pengolahan


mineral sebesar : BiJih nikel 18,7 juta ton,
Bijih besi 16,6 juta ton,Bijih bauksit 20
juta ton, Bijih mangan 0,6 juta ton, dan
Konsentrasi tembaga 2,9 juta ton.

Sasaran utama penguatan ketahanan  Capaian elektrifikasi pada tahun 2017 adalah sebesar
energi yang akan dicapai dalam kurun 95,35%, masih belum mencapai target 2019 yaitu
waktu 2015-2019adalah: sebanyak 100%.

 Memperkuat ketersediaan energi primer


 Di RTRWN Dan RPJMN elektrifikasi terkait dengan
dari produksi minyak bumi yang
pembangunan transmisi dan pembangkit listrik
didukung oleh produksi gas bumi dan
batubara;

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


403

SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI


SAMPAI DENGAN 2017

 Meningkatkan pemanfaatan sumber


energi primer untuk penggunaan di
dalam negeri;

 Pemenuhan rasio elektrifikasi mencapai


100%.

Sasaran penyediaan sarana dan prasarana


energi terdiri atas:
 Target pembangunan kilang minyak, berbeda dengan
 Pembangunan kilang minyak sebanyak 1 yang tercantum di RTRWN (PP no. 13 tahun 2017),
unit dengan total kapasitas 300 ribu yaitu pengembangan kilang minyak di Kalimantan
barel per hari; Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan RIau.
SUmatera SElatan, dan Jawa Barat sampai dengan
 Penambahan kapasitas penyimpanan
tahun 2019 yang didanai oleh APBN, APBD, dan
BBM sebesar 2,7 juta KL dan LPG sebesar
swasta
42 ribu ton;

 Capaian kapasitas penyimpanan minyak bumi sampai


 Pembangunan Floating Storage
dengan tahun 2017 adalah sebesar 1.1 juta KL . Masih
Regasification Unit (FSRU) sebanyak 3
belum mencapai target 2019 sebesar 2,7 juta KL.
unit;

 Capaian pembangunan pipa gas sampai dengan


 Pembangunan regasifikasi onshore
tahun 2017 adalah sebesar 10.671 km. Sudah
sebanyak 6 unit;
melebihi target capaian 2019 sebesar 6.378 km.
 Pembangunan pipa gas dengan total
Walaupun perwujudan jaringan transmisi dan
panjang 6.378 km;
distrinbusi gas bumi nasional menurut RTRWN (PP No.
 Pembangunan SPBG sebanyak 118 unit; 13 tahun 2017) dilaksanakan pada tahun 2015-2027,
dan namun optinalisasi dan pengembangan jaringan pipa
transmisi dan distribusi gas nasional di provinsi Jawa
 Kapasitas terpasang pembangkit listrik
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Kalimantan
sebesar 75,56 GW
Timur, Sumatera Tengah, SUmatera Utara, dan Batam)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


404

SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI


SAMPAI DENGAN 2017

hanya dialokasikan sampai dengan tahun 2019 yang


didanai oleh APBN, APBD, dan swasta.

Di RPJMN tidak disebutkan upaya pencapauan target


pembangunan pipa minyak dan gas bumi

 Capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik pada


tahun 2017 adalah sebesar 60 GW. Masih belum
mencapai target 2019 yaitu sebesar 75,56 GW.
Pencapaian target tersebut bisa saja dikarenakan
adanya target di RTRWN (PP No. 13 Tahun 2017)
bahwa Rehabilitasi Jaringan Transmisi Listrik di
Pantai Utara Jawa hanya sampai dengan tahun 2019,
sedangkan untuk Sumatera Timur, Sumatera Tengah,
Pantai Selatan Jawa, Bali, Pantai Timur Kalimantan,
Pantai Barat Kalimantan, Sulawesi Bagian SElatan, dan
Sulawesi Bagian Utara sampai dengan tahun 2024),
sedangkan pengembangan Jaringan Transmisi
Tenaga Listrik di Pulau - Pulau Pantai Barat Sumatera
ditargetkan sampai dengan tahun 2019, sedangkan di
Pulau - Pulau Pantai Timur SUmatera, Pedesaan
Kalimantan, Pedesaan dan Pulau - Pulau Sulawesi,
Papua, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku
ditargetkan sampai dengan tahun 2024 yang didanai
oleh APBN, APBD, dan swasta.

Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati  Capaian produksi biodiesel pada tahun 2017 adalah
adalah : sebesar 3,42 juta KL, masih belum mencapai target

 Produksi biodiesel sebesar 4,3 juta KL; 2019 yaitu sebesar 4,3 juta KL.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


405

SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI PENCAPAIAN SASARAN RPJMN SEKTOR ENERGI


SAMPAI DENGAN 2017

 DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya


pengembangan energi baru terbarukan

Sasaran peningkatan bauran energi baru  Capaian bauran EBT sampai dengan tahun 2017
dan terbarukan (EBT) terdiri atas: adalah sebesar 8,43%, masih belum mencapai target

 Bauran EBT sebesar 10-16 % 2019 yaitu sebesar 10-16%.

 Kapasitas terpasang pembangkit listrik  Capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik


EBT (PLTP, PLTA, PLTMH, PLTS, dan PLT energi EBT sampai dengan tahun 2017 adalah

Biomassa) sebesar 7,5 GW; sebesar 9,017 GW. Sudah melebihi target 2019 yaitu
sebesar 7,5 GW
 Pelaksanaan pilot project pembangkit
listrik tenaga arus laut minimal 1 MW.  DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya
pengembangan energi baru terbarukan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


406

BAB IV
REKOMENDASI

Rekomendasi yang diusulkan dalam rangka pencapaian dan keberlanjutan program

Ketahanan Energi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, sebagai berikut:

1. Penambahan muatan rencana pembangunan dan rencana tata ruang,

dikarenakan belum sinkron dengan sasaran RPJMN, meliputi:

 Di RTRWN dan RPJMN, tidak disebutkan upaya untuk mencapai produksi

migas dan mineral batubara;

 Di RPJMN tidak disebutkan upaya untuk mencapai pembangunan smelter;

 Di RPJMN tidak disebutkan upaya pencapaian target pembangunan pipa

minyak dan gas bumi; dan

 DI RPJMN dan RTRWN tidak disebutkan upaya pengembangan energi baru

terbarukan.

2. Penambahan muatan di peraturan perundang-undangan terkait sektor energi,

dikarenakan belum sinkron dengan peraturan perundang-undangan sektor

energi lainnya, meliputi:

 Sebagaimana sudah diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara, bahwa dalam penguasaan mineral dan batubara sudah disebutkan

kebijakan apa saja yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah, hal yang sama

perlu juga diatur dalam UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU

No.24 tahun 2014 tentang Panas Bumi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


407

 Sebagaimana sudah dirinci di No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara, UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengenai

pengawasan yang dilakukan, perlu diperjelas di UU No.24 tahun 2014

tentang Panas Bumi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


408

Daftar Pustaka
Putuhena, M. Ilham. 2014. Ratio Legal Prinsip Penguasaan Negara Atas Sumber Daya
Energi. dalam http://pushep.or.id/view_publikasi.php?id=40#.WtreNdRua01
diakses pada tanggal 21 April 2018.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2018. Laporan Kinerja Kementerian
ESDM 2017. Jakarta.

Boedoyo, M. Sidik. 2012. Analisis Ketahanan Energi di Indonesia. Prosiding Seminar


dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012, ISBN 978-979-95202-7-2,
At BPPT, Jakarta, Indonesia, Volume: 1.

Bank Indonesia. dalam


https://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/Default.aspx
diakses pada tanggal 21 April 2018.

Nugroho, Hanan. 2014. Ketahanan Energi Indonesia : Gambaran Permasalahan dan


Strategi Memperbaikinya. Bappenas.

Dewan Energi Nasional. 2014. Ketahanan Energi Indonesia 2014. Jakarta

TUGAS MAKALAH PENGGANTI UAS

Mata Kuliah
Ekonomi Perencanaan Daerah

ANALISIS KEBIJAKAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT DI INDONESIA

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


409

Destarita Indah (1606936631)


Irma Damayanti (1606936934)

Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
2017

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


410

“Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni
hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan
sumbernya”.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata
ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya.

Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan
untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.

Nama / NPM : Destarita Indah (1606936631)


Irma Damayanti (1606936934)
Mata Ajar : Ekonomi Perencanaan Daerah

Tanggal : 31 Mei 2017

Dosen : Dr. Ardi Adji

Jakarta, 31 Mei 2017,

(Destarita Indah) (Irma Damayanti)

ANALISIS KEBIJAKAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT DI INDONESIA

ABSTRAK

Sebagai konsekuensi dari adanya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic
Cooperation sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade
Agreement hingga ASEAN Economic Community di tahun 2015, menyebabkan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


411

kondisi pasar internasional berubah dimana produk asing akan lebih mudah beredar
di pasar dalam negeri dan begitu sebaliknya. Selain itu sebagai akibat dari urbanisasi,
pedesaan mengalami penurunan daya tarik dalam rangka menggerakkan
perekonomiannya. Di lain pihak masih tinggi ketergantungan desa terhadap
pemerintah pusat dan daerah. Untuk menyikapinya, Pemerintah meluncurkan
program One Village One Product (OVOP). Program ini merupakan program yang
juga dilaksanakan di beberapa negara lain di Asia. Setiap desa difasilitasi oleh
Pemerintah untuk mengembangkan komoditas lokal dan memasarkannya ke daerah
/ negara lain. Gerakan One Village One product diharapkan dapat menginspirasi keinginan
daerah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan pendapatan daerah dengan
memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta dapat menunjang kebijakan
percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UKM. Tujuan pembuatan makalah
ini adalah untuk memberikan informasi mengenai penerapan OVOP di negara lain yang
dianggap berhasil, mengetahui perkembangan implementasi program OVOP, dan
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini. Kunci kesuksesan program sejenis OVOP di
Jepang dan Thailand adalah peran masyarakat dalam menciptakan jejaring dan peran
Pemerintah sebagai fasilitator. Sampai sekarang, program One Village One Product ini masih
terus berjalan. Mulai tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM
menargetkan ada 500 OVOP sampai tahun 2020. Sejak diluncurkan, telah ada 100 OVOP
yang dikelola oleh Koperasi dan telah difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Dari 100
OVOP, 50 diantaranya sudah berhasil menembus pasar internasional, dan yang dinilai paling
berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya di
Pontianak. Kunci kesuksesan adanya kerjasama yang baik antara pemeritah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, koperasi, dan masyarakat. Dampak dari kegiatan ini berhasil mengurangi
disparit as pendapatan

ABSTRACT

As the consequences of the emerging some trade policies such as ASEAN Free Trade
Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation which is implemented in 2010,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


412

followed by ChinaASEAN Free Trade Agreement as well as ASEAN Economic


Community in 2015,caused market condition has been changed in term of foreign
product become easier distributed and traded to another countries, vice versa. On
the other hand, as the result of urbanization, village area met with the decreasing of
the attraction to run their economy. On the other side, the dependency of village to
central and local government is relative high. To del with this situation, Government
had launched program named One Village One Product (OVOP). This program is also
already implemented in some Asia countries. The concept of this program, every
village is being facilitated by the Government to develop local commodities dan
market to other areas / countries. One Village One Product movement is hoped can
insipire the region to increase their income by maximazing the use of their local
potention also could support the acceleration improvement of real sector dan the
empowerent of small and medium enterprises. The aim of this paper is to give
information about the success story of OVOP in other countries, to monitor the
implementation of OVOP in Indonesia, and evaluate OVOP in Indonesia. As the
result the success of OVOP in the Japan and Thailand is the role of society on
creating network and the role of Government as facilitator. Until now, program
OVOP is still exist. From 2015, Government via Ministry of cooperation and small –
medium enterprises had target 500 OVOP by 2020. After had launched, there are
100 OVOP which is managed by cooperation. From that number, 50 has succes to
enter international market, and the three most successful implementation of OVOP
in Indonesia are cultivation asparagus in Bali, fried onion in Palu, and Sanseivera in
Pontianak. The key of their succes is the partnership among Central Government,
Local Government, cooperation, and society. Impact of this program is reducing
income disparity.

A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara anggota World Trade Organization (WTO)
menghadapi suatu kondisi pasar dalam negeri yang terbuka seiring dengan
diterapkannya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


413

sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade Agreement hingga
ASEAN Economic Community di tahun 2015. Dengan adanya pasar bebas ini,
maka mau tidak mau produk-produk luar negeri dapat beredar luas di pasaran
nasional bahkan hingga ke pasar-pasar tradisional. Dalam rangka menghadapi
persaingan tersebut, maka diperlukan produk-produk dalam negeri yang mampu
bertahan dan bersaing dengan produk-produk mancanegara yang berkualtas
global di pasar dunia.

Dari dalam negeri sendiri, adanya konsentrasi dan kepadatan populasi di


perkotaan sebagai akibat pola urbanisasi dan menimbulkan menurunnya populasi
penduduk di pedesaan. Akibatnya, pedesaan menjadi kehilangan penggerak dan gairah
untuk bisa menumbuhkan roda kegiatan ekonomi. Untuk dapat menghidupkan kembali
gerakan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan, maka perlu dibangkitkan suatu roda
kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan dengan cara
memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada didesa tersebut serta melibatkan para
tokoh masyarakat setempat. Mengurangi ketergantungan masyarakat desa yang terlalu
tinggi terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, maka perlu diciptakan
inisiatif dan semangat membangun dalam masyarakat desa, sehingga timbul rasa
memiliki dan ingin membangun desa menjadi lebih baik.

Untuk memajukan potensi industri kecil dan menengah di daerah dan


menghadapi persaingan global, pemerintah meluncurkan program One Village
One Product (OVOP). Program ini dimaksudkan dapat menghidupkan kembali
gerakan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan, karenanya perlu dibangkitkan suatu
roda kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan dengan cara
memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada didesa tersebut serta melibatkan para
tokoh masyarakat setempat. Melalui program ini diharapkan dapat mewujudkan
kemandirian, kreativitas dan kesejahteraan masyarakat setempat dengan sasaran pada
peningkatan peluang pasa produk UMKM melalui peningkatan evektifitas dengan
pengembangan sentra industri kecil dan menengah.

Gerakan ini didasari dengan ide ingin mengembangkan potensi daerah supaya
menjadi lebih baik dengan melibatkan tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri
sehingga termotivasi bangkit dan membangun daerahnya menjadi daerah yang makmur

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


414

serta mensejahterakan masyarakat. Gerakan One Village One peroduct diharapkan dapat
menginspirasi keinginan daerah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan
pendapatan daerah dengan memanfaatkan potensi lokal semaksimal mungkin serta
dapat menunjang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan
UKM

B. HASIL ANALISA
1. Teori Perdagangan Antar Wilayah dan Hubungannya dengan Konsep
Program One Village One Product
Menurut Triakoso (2017), terjadinya perdagangan antar negara
dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, negara yang melakukan perdagangan karena
memiliki perbedaan kepemilikan sumberdaya. Dari perbedaan tersebut masing –
masing pihak mendapatkan keuntungan. Kedua negara tersebut ingin mencapai
skala ekonomi produksi. Apabila negara memproduksi barang tertentu dalam
kuantitas yang lebih banyak akan lebih baik dibandingkan bila mereka memproduksi
semua jenis barang dengan kuantitas lebih sedikit.

Bila dikaitkan dengan kebijakan One Village One Product setiap desa dipacu
untuk dapat mengembangkan 1 produk unggulan sehingga dapat memproduksi 1
jenis barang yang input sumber dayanya ada di daerah tersebut yang diharapkan
menimbulkan efisiensi dalam proses produksinya yang pada akhirnya memicu
perdagangan antar wilayah dan antar negara.

Teori yang digunakan dalam implementasi kebijakan One Village One Product
adalah sebagai berikut :

Teori Keunggulan Mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith

Menurut Triakoso (2017) berdasarkan Teori Keunggulan Mutlak yang


dikemukakan oleh Adam Smith, suatu negara melakukan spesialisasi
pada produk yang
mempunyai efisiensi produksi lebih baik dari negara lain, dan melakukan perdaganga
n internasional dengan negara lain yang mempunyai kemampuan spesialisasi pada
produk yang
tidak dapat diproduksi di negara tersebut secara efisien. Hal ini memungkinkan suatu

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


415

individu, perusahaan, bahkan negara untuk menghasilkan lebih banyak barang dan j
asa dengan lebih efisien serta memungkinkan untukmendapatkan keuntungan lebih

Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang
dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah produk tertentu yang dapat
diproduksi secara efisien di negara / wilayah tersebut. Sehingga terjadi perdagangan
antar wilayah yang memiliki produk dengan efisiensi produk lebih tinggi dengan
produk lain yang lebih efisien diproduksi di wilayah lain.

Teori keunggulan komparatif

Menurut Triakoso (2017) berdasarkan Teori Keunggulan Komparatif,


setiap negara atau bangsa seperti halnya orang, akan memperoleh
hasil dari perdagangannya dengan mengekspor barang- barang atau jasa yang
merupakan keunggulan komparitifbya terbesarnya dan mengimpor barang atau jasa
yang bukan merupakan keunggulan komparifnya.

Bila dikaitkan dengan One Village One Product, jenis produk yang
dikembangkan oleh suatu wilayah / negara adalah barang yang walaupun terdapat di
wilayah / negara lain tetapi memiliki keunggulan komparatif (harga barang yang
dijual relatif lebih murah dibandingkan barang yang sama diproduksi wilayah /
negara lain, dan sebaliknya membeli barang dari negara / wilayah lain yang
harganya lebih murah bila dibandingkan dengan barang lain yang diproduksi wilayah
/ negara sendiri, tetapi harganya lebih mahal.

2. Konsep One Village One product


Gerakan OVOP (One Village One Product) atau satu desa satu produk (SDSP)
merupakan suatu gerakan sosial yang tumbuh dari bawah ke atas (bottom up) dan
mulai dikembangkan oleh Prof.Morihiko Hiramatsu, seorang mantan pejabat di
Ministry of Economy, Trade and Industry (MITI) Jepang yang pulang ke kampung
halamannya di Oita dan kemudian terpilih menjadi Gubernur Oita di Jepang pada
tahun 1979. Karena keberhasilannya mengembangkan OVOP, Prof. Morihiko terpilih
menjadi gubernur selama 6 (enam) periode, dan baru saja meninggal di usinya yang
ke-92 tahun pada tahun 2016 yang lalu.
OVOP atau SAKA SAKTI (Satu Kabupaten/Kota Satu Kompetensi Inti) adalah
konsep yang dikembangkan dalam rangka membangun daya saing suatu daerah

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


416

untuk menciptakan kompetensi inti bagi daerah tersebut untuk dapat bersaing di
tingkat global. Program ini difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi
kompetensi yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan
mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah. Pengertian
sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi mencakup sumber-
sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi manusia. Konsep ini sangat
diperlukan agar sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah diarahkan
untuk menciptakan kompetensi inti.
Konsep inti dari gerakan One Village One Product ini adalah (1) Membangun
produk unggulan, yaitu mengembangkan produk lokal yang memiliki keunggulan
dari sisi keunikan, kekhasan, kemanfaatan yang lebih besar bagi pengguna produk
serta memberikan keuntungan yang besar bagi penghasil produk tersebut, (2)
Membangun kompetensi inti daerah, dalam hal ini daerah harus memilih kompetensi
inti daerah yang bersangkutan dilihat dari keunikan, kekhasan daerah, kekayaan
sumberdaya alam, peluang untuk menembus pasar nasional dan internasional.

Jadi, Konsep OVOP mengutamakan produk unik yang terdapat pada daerah,
bahkan produk tersebut menjadi ikon atau lambang daerah tersebut. Keunikan
tersebut menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan
proses produksinya. Sementara produk OVOP adalah produk suatu daerah dengan
keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Karena keunikannya dan proses produksinya
yang langka, sehingga akan memberikan nilai tambah produk tersebut.

Prinsip gerakan One Village One Product adalah:


 Lokal tapi global, maksudnya Pengembangan Gerakan OVOP bertujuan untuk
menghasilkan,meningkatkan,mengembangkan dan memasarkan produk lokal
yang bisa menjadi sumber kebanggan masyarakat setempat Terutama yang bisa
dipasarkan baik di dalam maupun di luar negeri.
 Mandiri, kreatif, dan inovatif, maksudnya gerakan ini memanfaatkan potensi
yang dimiliki secara kreatif dengan usaha-usaha mandiri.
 Pengembangan sumber daya manusia, maksudnya gerakan ini
mengembangkan potensi masyarakat agar memiliki semangat untuk kreatif dan
mampu menghadapi tantangan.
Adapun produk yang termasuk dalam kriiteria produk One Village One Product
adalah Produk unggulan daerah dan atau produk kompetensi inti daerah, Unik khas

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


417

budaya dan keaslian lokal, Berpotensi pasar domestik dan ekspor, Bermutu dan
berpenampilan baik, Diproduksi secara kontiniu dan konsisten. Produk ini bisa berupa
(1) Produk makanan dan minuman olahan berbasis hasil pertanian dan perkebunan,
(2) Produk hasil tenun atau konveksi khas masyarakat lokal, (3) Produk kebutuhan
rumah tangga termasuk produk dekoratif atau interior, (4) Produk barang seni dan
kerajinan termasuk produk cinderamata.

3. Program One Village One Produk di Dunia


Pendekatan One Village One Product (OVOP) sejak tahun 2006 mulai dipelajari
dan diadopsi oleh berbagai negara, khususnya di Asia. OVOP diterapkan pada
umumnya untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan sosial dan ekonomi yang
terjadi antara desa dan kota di negara-negara Asia. Dalam sepuluh tahun terakhir,
gerakan One Village One Product terus dikembangkan hampir seluruh negara di
dunia, dan produk produknya mendapat respon cukup besar dari pembeli di
setiap negara.

Pada tahun 2007 saja, program ini sudah di adopsi di 51 negara di dunia,
diantaranya negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa
Timur. Walaupun setiap negara memiliki nama yang berbeda-beda, tapi pada
konsepnya sama dengan program OVOP ini, misalnya One city one product (China),
One Barangay one product (Phipihina), Isson Ippin Undo (Jepang), One tambon One
Product (Thailand), One Town One Product (Taiwan), Satu distrik satu industri
(Malaysia).

Adapun negara yang dianggap paling berhasil dalam penerapan program ini
adalah negara Jepang dan Thailand. Untuk belajar dari kesuksesan dua negara ini,
berikut akan diuraikan bagaimana penerapan program ini di negara Jepang dan
Thailand.

JEPANG

Sebagai negara awal munculnya gerakan ini, Jepang telah terbukti berhasil
dengan program One Village One Product nya. Gerakan ini dimulai di Oita
Perfecture pada tahun 1997. Dalam konsep OVOP, masyarakat Jepang harus dapat
menghasilkan barang-barang terpilih dengan nilai tambah tinggi. Satu Desa
menghasilkan satu produk utama yang kompetitif sebagai suatu usaha

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


418

meningkatkan pendapatan dan standard kehidupan penduduk di desa


tersebut. Diantara produk yang berhasil dikembangkan dengan pendekatan OVOP
di Oita Prefecuture adalah Jamur Shitake, jeruk kabasu, green house mikan, beef,
aji, dan barley (shochu). Jamur Shitake merupakan salah satu contoh produk
unggulan yang berhasil dikembangkan di Oita Prefecture.

Kunci keberhasilan OVOP di Jepang dirangkum sebagai berikut:


 Inisiatif inovasi praktis dari masyarakat dengan metode jejaring produk serta
implementasi gerakan secara paralel hingga membentuk ekonomi wilayah yang
kuat.
 Adanya kantor-kantor publik baik pemerintah pusat maupun daerah yang
berfungsi sebagai fasilitator kegiatan OVOP berupa inovasi teknis, produksi, dan
pemasaran.
 Gagasan tersebut dijabarkan dalam kegiatan lokal atau kegiatan yang
menggunakan sepenuhnya atau sebagian sumber daya lokal, baik bahan baku
ataupun sumberdaya manusianya.
 Oita sebagai provinsi awal gerakan OVOP mampu berubah jadi daerah termiskin
menjadi daerah terkaya nomor 3 di Jepang dan menjadi daerah tujuan para
pencari pekerjan.
Gambar 1. Kunci kesuksesan OVOP di Jepang

Optimalisasi Dukungan penuh


Identifikasi Penerimaan Kemandiri
pemanfaatan stakeholder
sumber daya global an
(masyarakat, swasta,

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kunci kesuksesan Jepang dalam
pengelolaan program ini adalah adanya identifikasi sumber daya lokal yang baik di
tambah dengan optimalisai pemanfaatan keterampilan lokal. Kedua hal ini didukung
penuh oleh semua stakeholder yang terdiri dari masyarakat, pemerintah, dan swasta
sehingga menghasilkan produk-produk yang bisa bersaing di tingkat internasional.
Hasil akhirnya, kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan yang signifikan.

THAILAND

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


419

Gerakan sejenis OVOP juga dikembangkan di Thailand dengan nama One


Tambon One Product (OTOP). One Tambon One Product (OTOP) adalah program
stimulus kewirausahaan lokal yang didisain oleh Perdana Menteri Thailand, Taksin
Sinawat tahun 2001-2006. Program ini ditujukan untuk mendukung produk-
produk lokal yang unik dan dipasarkan oleh Thambon (subdistrict). Program
ini dijalankan setelah melihat Jepang berhasil menjalankan program One Vilage
One Product (OVOP). OTOP di Thailand membantu masyaakat pedesaan untuk
memperbaiki kualitas produk lokal dan pemasarannya melalui penyediaan promosi
di tingkat lokal dan internasional. Dalam menjalankan program ini, pendekatan OTOP
Thailand dimulai dengan memilih satu produk yang paling superior diantara
produk-produk yang ada di desa itu, dan setiap produk diberikan branding "bintang
produk OTOP". Produk-produk OTOP Thailand mencakup kerajinan, baju cotton
dan sutra, barang-barang tembikar, asesori fashion,barang-barang rumah
tangga, dan makanan.

Adapun kunci keberhasilan OTOP di Thailand adalah:


 Thailand mengadopsi pendekatan OVOP Jepang dengan menitikberatkan pada
pembangunan sistem ekonomi dari akar rumput.
 Pemerintah Thailand melakukan intervensI dari awal tanpa menunggu inisiatif
dari masyarakat, walaupun secara bertahap memupuk semangat kemandirian di
kalangan penduduk setempat dengan meregulasikan kebijakan One Tambon One
Product (OTOP) .
 Namun Thailand mengimplementasikannya dalam perspektif nasional yang
bersifat top down yaitu gagasan muncul dari pemerintah berupa regulasi.
Dengan kata lain, OTOP adalah kebijakan pembangunan nasional dari
pemerintah Thailand.
 Peran pemerintah termasuk Perdana Menteri sangat signifikan (patron client) .
 Program ini telah memberikan prioritas utama untuk masyarakat, kelompok dan
kearifan lokal yang dimanfaatkan secara optimal sehingga masyarakat dan
pemerintah bersinergi mempromosikan produk untuk bersaing pada tataran
domestik maupun mancanegara.
4. Program One Village One Produk di Indonesia
Tidak jauh berbeda dengan konsep di Jepang dan Thailand, konsep OVOP di
Indonesia mengikuti suatu konsep satu regional satu produk utama (bisa di tingkat

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


420

desa, kecamatan atau kota). Pendekatan OVOP juga menggunakan sumberdaya


lokal, memiliki kearifan lokal dan bernilai tambah tinggi. Gerakan OVOP di Indonesia
telah menjadi prioritas pembangunan nasional. pengambangan Hal ini didukung
dengan ditetapkannya Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi
Tahun 2008-2009 sebagai kelanjutan dari Ipres No. 6 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Inpres tersebut ditujukan untuk mendorong efektifitas
pengembangan One Village One Product (OVOP). Sasaran Gerakan OVOP di
Indonesia adalah berkembangnya sinerji produksi dan pasar. Melalui Inpres ini
semua Kementerian, Gubernur dan Bupati/Walikota berkorodinasi dan secara
bersama mensukseskan gerakan OVOP.
Secara lengkap, landasan hukum OVOP diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 25 tahun 1992, Tentang Perkoperasian. Dan Undang-
undang Nomor 20 tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.
2. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan
Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang
mengamanatkan pengembangan sentra melalui pendekatan One Village One
Product (OVOP).
3. Keputusan Rapat Kerja Kementerian Koperasi dan UKM dengan Komisi VI DPR-RI
tahun 2008 agar program OVOP dapat dikembangkan di Provinsi lain.
4. Telah diamanatkan dalam Program Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II.
5. Telah ditetapkan tonggak pencapaian key development milestone untuk periode
pertama Tahun 2010 – 2014 : 100 OVOP berhasil.
6. Arahan Menteri Negara Koperasi dan UKM dalam Rapat Pimpinan (Rapim) dan
Rapat Koordinasi Nasional Tahun 2010.

Penerapan OVOP di Indonesia dilaksanakan melalui program Kementerian


Perindustrian sejak tahun 2008, tapi baru secara massiv di jalankan melalui program
lintas kementerian di tahun 2010. Berikut tahapan pelaksanaan program OVOP di
indonesia:

Tabel 1. Tahapan Perluasan Pengembangan OVOP di Indonesia

Tahap Pertama (Koordinasi)/Tahun 2010

Identifikasi potensi yang diusulkan daerah untuk dikembangkan dengan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


421

pendekatan OVOP

Rapat koordinasi dan evaluasi penetapan lokasi pengembangan


2010 Penyusunan rencana tindak pengembangan OVOP di masing – masing lokasi /
daerah potensi yang ditetapkan
Identifikasi peran koperasi dan UKM utama (Champion) di daerah potensi yang
di tetapkan.
Sosialisasi konsep pengembangan OVOP di lokasi terpilih
Tindak Lanjut rencana aksi yang sudah ditetapkan yang mungkin dilakukan pada
tahun pertama
Tahap kedua (Kerjasama) Tahun 2011

Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry


pengolahan/prosesing (value Chain)

2011 Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha/business
matching serta promosi produk: local, nasional dan internasional
Peningkatan Supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan
study banding.
Tahap Ketiga (Lanjutan) Tahun 2013

Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan (Value

2012 Chain)
Peningkatan akses pasar produk yang dihasilkan melalui temu usaha serta
promosi produk; lokal, nasional dan Internasional
Peningkatan supply chain produk unggulan OVOP
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, penyuluhan, pelatihan, dan
studi banding.
Tahun Ke empat (Peningkatan berkelanjutan) Tahun 2013

Peningkatan dan perluasan pendampingan komunitas masyarakat local sesuai


dengan potensi ekonomi daerah

2013 Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industry pengolahan dan
packaging
Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh(budaya, produk
dan potensi alam) di tingkat Provinsi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


422

Peningkatan promosi produk unggulan OVOP secara nasional dan


internasional(fairs, events, festival)
Tahun ke 5 (lanjutan) tahun 2014

Peningkatan dan perluasan pendampingan komunitas masyarakat lokal sesuai


dengan potensi ekonomi daerah

2014 Peningkatan nilai tambah produk unggulan melalui industri pengolahan dan
packaging
Peningkatan promosi ekonomi masyarakat secara menyeluruh (budaya, produk
dan potensi alam) di tingkat Provinsi
Peningkatan promosi produk unggulan OVOP secara nasional dan internasional
(fairs, events, festival)
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia
OVOP di Indonesia umumnya adalah UKM yang konsisten menjalin kerjasama
dengan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan terus mendapat
bimbingan serta aneka bantuan dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan produk yang
dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara. Dimana produk-produknya
mencerminkan keunikan suatu daerah atau desa. Dengan keunggulan yang dimiliki,
maka produk tersebut dapat meningkatkan pendapatan bagi daerahnya melalui
kunjungan turis, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan Sumber
Daya Manusia.
Sampai tahun 2013, Program One Village One Product sudah menjangkau 30
(tiga puluh) provinsi di Indonesia. Pada tabel di bawah ini, diuraikan pencapaian
program OVOP mulai tahun 2009:
Tabel 2. Sebaran Daerah program One Village One Village
NO Tahun Jumlah Nama Provinsi/Kabupaten
Provinsi/Kabupaten
1. 2009-2010 2 provinsi / 4 kabupaten Jawa Barat (Cianjur, Garut)
Bali (Bangli, Badung)
2. 2011 9 provinsi / 9 kabupaten Kep. Babel (Kota Pangkal Pinang)
Bengkulu (Bengkulu)
Sumatera Selatan (Prabu Milih)
Lampung (Kab. Tenggamus)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


423

Jawa Barat (Kab. Tasikmalaya)


Jawa Timur (Kab. Pacitan)
Sulawesi Selatan (Palopo)
Sulawesi Tengah (Kota Palu)
Sulawesi Tenggara (Kab. Buton)
3. 2012 13 provinsi/22 kabupaten Aceh (Aceh besar, Aceh tengah)
Kepulauan Riau (Bintan, Natuna)
Kepulauan Babel (Bangka tengah)
Jawa Tengah (Wonosobo, Kudus)
Jawa Timur (Malang)
DI.Jogjakarta (Kulon Progo, Bantul)
Kalimantan Barat (Sintang, Pontianak)
Kalimantan Tengah (Waringin Tengah,
Palangkaraya)
Sulawesi Utara (Minahasa, Bitung)
Sulawesi Tengah (Prigi)
Sulawesi Selatan (Bantaeng, Wojo)
Sulawesi Tenggara (Wakatobi)
Maluku Utara (Halmahera, Halmahera
Tengah)
4. 2013 13 provinsi / 28 kabupaten Sumatera Barat (Tanah Datar, Bukit
Tinggi)
Bengkulu (Kab. Kaur)
Jambi (Kerinci)
Jawa Barat (Garut)
Jawa Tengah (Sragen, Klaten, Jepara,
Surakarta, Pemalang, Boyolali,
Cilacap)
Jawa Timur (Tulungagung,
Bojonegoro, Bangkalan, Sampang)
Bali (Klungkung, Tabanan)
Kalimantan Selatan (Kab. Tanah
Bambu, Martapura)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


424

Gorontalo (Kab. Gorontalo)


NTT (Kab. Timor Tengah Selatan)
NTB (Lombok Tengah, Lombok Barat)
Maluku (Kab. Buru, Maluku Tengah)
Papua (Jayawijaya. Jayapura)
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2013

5. Peranan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pengembangan program


One Village One Product di Indonesia

Badan Usaha Milik Desa adalah Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh
Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomi desa dan di
bentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Pendirian BUMDes dilandasi oleh
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005
tentang Desa.Tujuan Pendirian BUMDes adalah (1) Meningkatkan perekonomian
desa, (2) Meningkatkan pendapatan asli desa, (3) Meningkatkan pengelolaan potensi
desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat (4) Menjadi tulang punggung
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.

Bila melihat tujuan didirikannya di atas, keberadaan BUMDes dan program


OVOP dapat berjalan beriringan. Melihat kewenangan yang diberikan presiden pada
desa untuk mengelola ekonominya ditambah dengan alokasi dana desa yang sangat
besar, diharapkan melalui BUMDes dapat menggenjot kedaulatan pangan,
memfokuskan kemadirian dan peningkatan kompetensi desa ke program One Village
One Product.

Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh


Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dapat
menjadi media pengembangan OVOP. Meskipun BUMDES dapat menampung
seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh
desa dan atau kerjasama antar desa, namun BUMDES juga dapat bersifat spesifik
untuk mengembangkan satu produk unggulan desa. BUMDES dapat bertindak
sebagai lembaga penyedia permodalan, lembaga pemasar hingga penyedia bahan
baku. Dengan pengelolaan BUMdes yang baik mulai dari dari transparansi
pengelolaan keuangan hingga pertanggung jawaban di hadapan penduduk desa

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


425

akselerasi OVOP melalui BUMDes akan menjadi keuntungan tersendiri bagi


masyarakat desa.

6. Evaluasi Kebijakan One Village One Product di Indonesia


Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan
publik untuk dipertanggung jawabkan kepada masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dan kenyataan dan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu
kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan
meraih dampak yang diinginkan.
Evaluasi penerapan kebijakan OVOP Indonesia adalah sebagai berikut :
• OVOP Indonesia masih berada pada tahap pencarian government structure
yang tepat untuk membuat program berjalan sesuai tujuan.
• Begitu banyak kementerian yang memiliki program pengentasan kemiskinan
serupa OVOP dengan konsep dan darah rintisan masing-masing, sehingga
tanggung jawab lembaga hanya sebatas pada proyek percontohan.

Tabel instansi dan lokus program sejenis OVOP

Kementerian/Lembaga Fokus

Kementerian koperasi dan 8 Propinsi (Pengutan lembaga


UKM koperasi)

Kementerian 17 Propinsi (Fokus pada


perindustrian industri kecil menengah pada
sentra kerajinan)

Kementerian dalam negeri 5 Kabuapaten dan 50 kota


(pengembangan ekonomi
daerah)

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


426

Kementerian 183 kabupaten tertinggal


pembangunan daerah dengan nama program
tertinggal unggulan kabupaten

• OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada
masalah pemetaan produk yang layak disebut OVOP
• Produk OVOP kebanyakan belum mampu menembus pasar dunia

Target gerakan OVOP ini adalah untuk mereduksi jurang pemisah


pembangunan di kota dan pedesaan dengan mengembangkan ekonomi rakyat
berbasis potensi lokal. Diharapkan program ini dapat menghidupkan kembali vitalitas
kehidupan di pedesaan lewat kegiatan ekonomi yang sesuai skala dan ukuran
perdesaan tanpa ketergantungan tinggi terhadap pemerintah.
Sampai sekarang, program One Village One Product ini masih terus berjalan.
Mulai tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan
ada 500 OVOP sampai tahun 2020. Sejak diluncurkan, telah ada 100 OVOP yang
dikelola oleh Koperasi dan telah difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Dari
100 OVOP, 50 diantaranya sudah berhasil menembus pasar internasional, dan yang
dinilai paling berhasil diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di
Palu, dan lidah buaya di Pontianak.
Dibawah ini akan diuraikan success story ke 3 (tiga) daerah tersebut:
1. Kabupaten Badung, Bali
• Produk unggulan asparagus, dengan kualitas terbaik di Indonesia
• Kabupaten Badung mendapatkan penghargaan Penggiat Pengembangan Produk
Unggulan daerah melalui pendekatan OVOP (One Village One Product) Terbaik
Tingkat Nasional.
• Keberhasilan Badung ini tidak lepas dari support dari Pemkab Badung,
kementerian Koperasi UKM bersama International Coorporation and Development
Fund (ICDF) Taiwan dalam pengembangan tanaman sayuran asparagus sebagai
komoditi unggulan di Badung
• Telah terbukti berhasil mengurangi disparitas pendapatan penduduk di
Kabupaten Badung.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


427

2. Bawang Goreng, Palu


• Bawang goreng merupakan produk unggulan OVOP Kota Palu
• Memiliki kualitas terbaik di Indonesia dan memiliki SNI dan diminati dunia
internasional.
• Rasanya lebih renyah dan kering, musim tanamnya tidak putus sepanjang tahun.
• Dikelola oleh koperasi Magau Bulava dalam proses produksi dan dalam
pemasaran dengan KONTRA Korea.
• Produk ini sudah menjadi produk ekspor ke sampai Korea Selatan.
• Kunci kesuksesan adanya kerjasama yang baik antara pemeritah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, koperasi, dan masyarakat.
3. Lidah buaya, Pontianak
• Lidah buaya menjadi icon kota Pontianak sekaligus Kalimantan Barat
• Merupakan komoditas ekspor ke Jepang, Hongkong, taiwan, Singapura, Malaysia,
dan Brunei Drussalam.
• Pendapatan petani lidah buaya mengalami peningkatan.
• Industri lidah buaya di Kota Pontianak juga berhasil menambah lapangan kerja
masyarakat.
• Produk OVOP dengan merek dagang sun vera memproduksi aneka makanan dan
minuman berbahan utama lidah buaya. Seperti agar-agar, kerupuk, dodol, sabun,
bakso , nasi kering dan kue basah hingga aneka kerajinan dari kulit lidah buaya
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa kunci kesuksesan ketiga daerah
tersebut diatas adalah kualitas produk yang baik dan unik, Kelembagaan koperasi
yang mantap, kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah,
kerjasama inovasi dengan perguruan tinggi, dan kemasan produk yang menjual,
serta pemenuhan prasyarat untuk pasar internasional.
Program OVOP di Indonesia sendiri masih menghadapi banyak masalah
diantaranya:
a) OVOP Indonesia masih berada pada tahap pencarian government structure yang
tepat untuk membuat program berjalan sesuai tujuan.
b) Belum adanya sinergi antar sektor sehingga masing-masing kementerian memiliki
program OVOP dengan konsep dan daerah rintisan masing-masing. Akibatnya,
terjadi ego sektoral dan tanggung jawab lembaga hanya sebatas pada proyek
percontohan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


428

c) OVOP masih sebatas pada proyek percontohan dan masih berkutat pada masalah
pemetaan produk yang layak disebut OVOP.
d) Indonesia baru memasuki ranah kebijakan, itupun baru sebagian
kabupaten/kota yang menerapkannya sehingga untuk bersaing dalam tataran
global seringkali mengalami kendala akibat diversifikasi produk yang belum
optimal.
e) Jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Indonesia yang mencapai 70
ribu desa maka jumlah desa yang menerapkan OVOP masih relatif kecil. Tidak
mudah mengembangkan usaha dan/atau kemampuan lain diluar apa yang telah
menjadi kebiasaan masyarakat selama ini, khususnya dalam bidang
industri mikro dan kecil.
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
1) Gerakan OVOP (One Village One Product) atau satu desa satu produk (SDSP)
merupakan suatu gerakan sosial yang tumbuh dari bawah ke atas (bottom up)
dan mulai dikembangkan oleh Morihiko Hiramatsu, seorang mantan pejabat MITI
yang terpilih menjadi Gubernur Oita di Jepang pada tahun 1979.
2) Model OVOP difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi
yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan
mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah.
Pengertian sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi
mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi
manusia.
3) Sejak tahun 2007, sudah ada 51 negara yang mengadopsi OVOP diantaranya
negara-negara ASEAN dan Amerika Latin, Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur.
Negara yang dianggap paling berhasil dengan penerapan program ini adalah
Jepang dan Thailand.
4) Sampai tahun 2013, Program One Village One Product di Indonesia sudah
tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan berbagai macam produk
unggulan masing-masing. Daerah di Indonesia yang dianggap paling berhasil
diantaranya budi daya asparagus di Bali, bawang goreng di Palu, dan lidah buaya
di Pontianak.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


429

5) Kunci kesuksesan ketiga daerah tersebut diatas adalah kualitas produk yang baik
dan unik, Kelembagaan koperasi yang mantap, kerjasama yang baik antara
pemerintah pusat dan daerah, kerjasama inovasi dengan perguruan tinggi, dan
kemasan produk yang menjual, serta pemenuhan prasyarat untuk pasar
internasional.
6) Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dapat
menjadi media pengembangan OVOP.
7) Program OVOP di Indonesia sendiri masih menghadapi banyak masalah
diantaranya belum adanya sinergi antar sektor sehingga masing-masing
kementerian memiliki program OVOP dengan konsep dan daerah rintisan masing-
masing. Akibatnya, terjadi ego sektoral dan tanggung jawab lembaga hanya
sebatas pada proyek percontohan
2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang ditawarkan untuk lebih menyukseskan
program OVOP ini adalah:

1) Agar dapat mengikuti kesuksesan Jepang, Indonesia perlu mengadopsi


kemudian memodifikasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh
negara tersebut. Misalnya yang telah dilakukan oleh Jepang yang
memiliki kantor-kantor publik baik pemerintah pusat maupun daerah yang
berfungsi sebagai fasilitator kegiatan OVOP berupa inovasi teknis, produksi, dan
pemasaran.
2) Perlunya dukungan penuh seluruh stakeholder seperti pemerintah,
swasta dan masyarakat dalam rangka pengomptimalan program OVOP
ini. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Thailand dimana semua
stakeholder bersinergi untuk mempromosikan produk lokal untuk
bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
3) Diharapkan adanya sinergi lintas sektor untuk membuat program ini
berhasil, tidak kemudian mengedepankan ego sektoral yang justru
membuat masing-masing kementerian memiliki program OVOP dengan
daerah rintisan masing-masing yang berjalan sendiri-sendiri.
4) Program OVOP perlu dikembangkan untuk menambah kapasitas modal pelaku
usaha mikro di daerah dengan menggenjot peningkatan kualitas produk

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


430

unggulan yang bisa diproduksi oleh suatu desa. Badan Usaha Milik Desa bisa
dimanfaatkan untuk mengatasi kendala modal yang selama ini menjadi kendala
utama usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia.
5) Diharapkan adanya sosialisasi regional yang akan membuat adanya sinergi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta teridentifikasinya problem,
potensi dan kelayakan pengembangan produk andalan setempat.
6) Penyusunan program yang tidak hanya dititikberatkan pada pengembangan
teknis produksi, desain dan pemasaran, tetapi juga harus dapat lebih
membangun motivasi
dan kesadaran masyarakat untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan potensi yang
dimiliki dalam menghasilkan produk yang baik dan dapat bersaing di pasar global.
7) Perlunya perbaikan menyeluruh pada kualitas produk, mulai dari perijinan,
kemasan, produk hingga citarasa. Agar bisa bersaing dengan pasar asing, produk
OVOP perlu menerapkan standar internasional untuk meningkatkan produk
unggulan tanah air OVOP adalah suatu gerakan bukan proyek.

Referensi

• Triharini et al Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembankan


Potensi Kerajinan daerah studi Kasus : Kerajinan gerabah di Kecamatan Plered
Kabupaten Purwakarta.

• Cahyani, Rusnandari Retno. Pendekatan One Village One Product Untuk Meninkatkan
Kreativitas UMKM dan Kesejahteraan Masyarakat.

• paparan Deputi Menteri Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM.Pengembangan


Produk Unggulan Daerah melalui Pendekatan One Village One Product (OVOP).

• http ://www.academia.edu.Triakoso, Adityo. Makalah Teori Komparatif.

• http://www.asiaseed.org/apec2006sme/presentation_pdf/session1_natiya_1.pdf

• http://asparagusovopbali.blogspot.com/

• http://www.kompasiana.com/purwandi_wawan/akselerasi-ovop-melalui-badan-
usaha-milik-desa-bumdes_58e4c4a8759373e86bfdbf91

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


431

• Hanitokreasindoo.blogspot.co.id

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


432

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019

Anda mungkin juga menyukai