Anda di halaman 1dari 5

Kemantapan Agregat Tanah

Nama : Ema Riski Fawziah


NIM : 1610513220005

Agregat tanah terbentuk jika partikel-partikel tanah menyatu membentuk unit-

unit yang lebih besar. Kemper dan Rosenau (1986), mendefinisikan agregat tanah

sebagai kesatuan partikel tanah yang melekat satu dengan lainnya lebih kuat

dibandingkan dengan partikel sekitarnya. Dua proses dipertimbangkan sebagai proses

awal dari pembentukan agregat tanah, yaitu flokulasi dan fragmentasi. lokulasi terjadi

jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian

bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi terjadi jika tanah dalam

keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil

(Martin et al., 1955).

Tanah yang teragregasi dengan baik biasanya dicirikan oleh tingkat

infiltrasi, permeabilitas, dan ketersediaan air yang tinggi. Sifat lain adalah tanah

tersebut mudah diolah, aerasi baik, menyediakan media respirasi akar dan aktivitas

mikrobia tanah yang baik (Russel, 1971).

Kemantapan agregat merupakan sifat fisik tanah yang memanifestasikan

ketahanan agregat tanah terhadap pengaruh disintegrasi oleh air dan manipulasi

mekanik (Jury et al., 1991). Kemantapan agregat tanah dapat diartikan sebagai

ketahanan yang dimiliki suatu tanah dalam mempertahankan bentuk terhadap sesuatu

yang dapat merusaknya baik itu dari aktivitas manusia seperti pengolahan lahan

maupun alamiah sekalipun seperti air hujan, angin, dan lain sebagainya.
Kemantapan agregat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya pengolahan

tanah , bahan organik, jenis dan kadar liat, serta jenis dan jumlah kation terjerap .

Bahan organik, sebagai pemantap agregat tanah dapat mempertahankan dan

memperbaiki kondisi fisik tanah dengan bantuan organisme tanah yang

memanfaatkannya sebagai sumber energi. Perbaikan agregat tanah terjadi karena

bahan organik dapat berperan sebagai pengikat dalam pembentukan mikroagregat,

mesoagregat maupun makroagregat. Posisi dan komposisi bahan organik sangat

menentukan pembentukan, distribusi dan stabilitas agregat (Emmerson and

Greenland, 1990; Beare et al., 1994). Perbedaan pengolahan tanah sangat

menentukan kualitas dan kuantitas agregat tanah. Perbedaan pengolahan tanah akan

mempunyai pengaruh yang spesifik terhadap kadar dan turn over bahan organik tanah

karena adanya perbedaan produksi bahan kering yang dihasilkan dan penempatan

residu tanaman pada masing-masing pengolahan tanah (Angers et al., 1995).

Ada dua metode penetapan kemantapan agregat tanah. Metode pertama adalah

metode pengayakan ganda (multiple-sieve) yang dikemukakan oleh De Leeheer dan

De Boodt (1959) dengan prinsip menggunakan satu set ayakan, yang terdiri atas enam

ayakan, dipasang pada suatu dudukan, kemudian dimasukkan ke dalam kontainer berisi

air. Alat dilengkapi dengan motor penggerak yang dihubungkan kedudukan ayakan.

Motor ini berfungsi untuk menaik-turunkan ayakan di dalam air. Tanah yang tertahan

pada masing-masing ayakan setelah pengayakan dilakukan, kemudian dikeringkan dan

ditimbang. Kemantapan agregat dihitung menggunakan berat diameter rata-rata.

sedangkan yang kedua adalah metode pengayakan tunggal yang dikemukakan oleh

Kemper dan Rosenau (1986), berbeda dengan metode pengayakan ganda metode ini
lebih mudah karena tidak memerlukan perhitungan yang rumit, juga relatif murah

dalam hal investasi alatnya. Dalam menyimpulkan kemantapan agregat tanah metode

ini hanya menggunakan satu ukuran ayakan, hasilnyapun lebih erat korelasinya

dengan fenomena-fenomena penting di lapangan.


DAFTAR PUSTAKA

Angers, D.A., R.P. Voroney, and D. Cote. 1995. Dynamics of soil organic
matter and corn residue affected by tillage practices. Soil. Sci. Soc. Am. J. 59:1311-
1315

Baskoro Dwi Putro Tejo, Manurung Henry D. 2005. Pengaruh Metoda


Pengukuran Dan Waktu Pengayakan Basah Terhadap Nilai Indeks Stabilitas Agregat
Tanah. Jurnal Tanah dan Lingkungan. Volume 7. No 2.
http://www.acedemia.edu/23595440/Pengaruh_Metode_Pengukuran_Dan_Waktu_Pe
ngayakan_Basah_Terhadap_Nilai_Indeks_Stabilitas_Agregat_Tanah.html. 18
Oktober 2017.

De Leenheer, L., and M. De Boodt. 1959. Determination of aggregate


satability by the change in mean weight diameter. Overdruk Uit Medelingen Van de
Staat te Gent. International Symposium on Soil Structure, Ghent, 1958.

Emmerson, W.W. and D.J. Greenland. 1990. Soil aggregates formation and
stability. Pp 485512. In M.F. De Boodt, M.H.D. Hayes, A. Herbillon (Eds.). Soil
Colloids and Their Assosiation in Aggregates. New York: Plenum Press

Jury, W.A., W. R. Gardner, and W. H. Gardner. 1991. Soil 51hPhysics . ed.


John Wiley and Sons, Inc. New YorkChichester-Brisbane. 329 pp.
Kemper, E. W., and R. C. Rosenau. 1986. Aggregate stability and size
distrution. p. 425-461. In A. Klute (Ed.) Method of Soil Analyisis Part 1. 2 nd ed.
ASA. Madison. Wisconsin.
Kemper, W. D. and E. J. Koch. 1966. Aggregate Stability of soils from
western United states and Canada, USDA Tech. Bull. 1355. Washington, DC:
Martin, J. P., W. P. Martin, J. B. Page, W. A. Raney, and J. D. De Ment. 1955.
Soil Aggregation. Adv. Agron. 7: 1-38.

Nurida, N.L, K. Undang. 2012. Perubahan Agregat Tanah pada Ultisols


Jasinga Terdegradasi Akibat Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik.
https://media.neliti.com. 18 Oktober 2017.

Rachman Achmad , A. Abdurachman. 2006. Penetapan Kemantapan Agregat


Tanah. Badan Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian.
Russel, E. W. 1971. Soil Conditions and Plant Growth. 10 th Ed. Longmans,
London. p. 479-513.

Anda mungkin juga menyukai