Anda di halaman 1dari 40

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 19 Tahun 2008
tentang perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen, dan Peraturan No. 20 Tahun 2008 tentang
penetapanin passing pangkat dosen bukan pegawai negeri sipil yang telah menduduki jabatan akademik
pada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan pangkat pegawai negeri sipil, telah
membuat gairah para dosen khususnya di lingkungan perguruan tinggi swasta pada Kopertis Wilayah II
Palembang untuk memulai memperhatikan jenjang akademiknya. Karena jenjang akademik adalah
merupakan salah satu bentuk penilaian pemerintah atas kinerja seorang dosen.

Bagi suatu perguruan tinggi, salah satu pihak yang berperan strategis dalam meningkatkan kemajuan dan
kualitas lembaga tersebut adalah kinerja dosen (lecturer). Sejalan dengan pernyataan tersebut Khoe Yao
Tung dalam Achmad Sanusi dan Sanusi Uwes dalam Muhardi (2004), menyatakan bahwa “Dosen
merupakan faktor kunci sukses (key success factor) dari upaya untuk meningkatkan mutu jasa
pendidikan”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abdurrachman dan S. Marten Yogaswara dalam
Muhardi (2004:34) bahwa “Nilai keberhasilan pendidikan sangat tergantung dari mutu pengajarnya.
Dosen adalah orang yang sangat berperan dalam proses belajar mengajarnya”.

Dosen harus mempunyai beberapa kualifikasi yang diperlukan bagi pelaksanaan profesinya, mengingat
profesi dosen berbeda dengan profesi bidang yang lain. Selain memerlukan ilmu pengetahuan juga harus
menyampaikan ilmunya kepada mahasiswa. Dengan tenaga dosen yang mempunyai motivasi,
berkompeten dan berkualitas akan memudahkan penyampaian ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
apa yang disampaikan kepada mahasiswa dapat diterima dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan
mahasiswa dengan kajian bidang ilmu yang dipilihnya. Disamping itu dosen juga harus mempunyai
komitmen yang tinggi yang ditunjukkan dengan kehadiran pada waktu kerja, juga mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap ilmu yang diberikan kepada mahasiswa.

2.1.1. Kompetensi

2.1.1.1. Konsep Kompetensi

Kompetensi menurut gambaran Spencer dan Spencer (1993) merupakan karakteristik dasar seorang
pekerja yang menggunakan bagian kepribadiannya yang paling dalam, dan dapat mempengaruhi
perilakunya ketika ia menghadapi pekerjaan yang akhirnya mempengaruhi kemampuan untuk
meningkatkan prestasi kerjanya.
Pendefinisian secara jelas dan tegas kompetensi yang dibutuhkan untuk suatu jenis pekerjaan tertentu
pada industri dan waktu yang tertentu tersebut akan memberikan kemanfaatan yang tinggi pada tiga
pihak, yaitu : (1) bagi organisasi, khususnya untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia, (2)
individu-individu yang saat ini telah berada di dalam organisasi, untuk mengenali  competency gap yang
harus dikejar, serta (3) para pencari kerja atau calon pegawai, untuk menyesuaikan dengan kompetensi
yang dituntut darinya Berbagai definisi tentang kompetensi dari para ahli yang berhasil diperoleh peneliti
dapat dilihat sebagai berikut :

 Albanese dalam Hayes (2000 : 96) : Keterampilan dan/atau karakteristik dari pribadi seseorang yang
mampu mendukung penciptaan keunggulan bersaing perusahaan.

 Ashton dalam Umi Narimawati (2004) : Penjabaran dari pengetahuan, keterampilan, sikap dan
kemampuan dari seorang pegawai untuk mencapai kinerja yang paling efektif. Boulter dalam Umi
Narimawati (2004) : Sesuatu yang sangat erat berkaitan dan berpotensi pada pembentukan
performansi seseorang dibandingkan dengan kepandaian atau bakat yang dimiliki oleh orang
tersebut.

 Boyatzis dalam Horton dalam Umi Narimawati (2005) : Karakteristik utama dari seseorang atau individu
yang berhubungan dengan efektivitas atau keahlian di dalam melaksanakan pekerjaannya.

 Davis (1999:299) : Cerminan dari keterampilan dan pengetahuan seseorang, khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan dan keterampilan yang banyak dibutuhkan oleh dunia usaha melalui penurunan
biaya serta memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan dengan biaya yang
lebih rendah/ more for less.

 Dingle (1995:34) : Kemampuan seorang pegawai untuk mencapai kinerja tertentu dari suatu pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya, dimana harus pula terpenuhi unsur-unsur efektif dan efisien.

 Hannon (2000:238) : Kemampuan seseorang dalam memanfaatkan atau menggunakan keterampilan


serta ilmu pengetahuan yang ada padanya, untuk dipergunakan di dalam pelaksanaan pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.

2.1.1.2. Karakteristik Kompetensi

Spencer and Spencer (1993:9) mengemukakan bahwa kompetensi individu merupakan karakter sikap dan
perilaku, atau kemampuan individual yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi suatu situasi di
tempat kerja yang terbentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas
pengetahuan kontekstual. Ada lima karakteristik utama dari kompetensi yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kinerja individu karyawan, yaitu :

1. Motif (motives), yaitu sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan oleh seseorang secara konsisten dan
adanya dorongan untuk mewujudkannya dalam bentuk tindakan-tindakan. Marshall (2003:40) juga
mengatakan bahwa motif adalah pikiran-pikiran dan preferensi-preferensi tidak sadar yang
mendorong perilaku karena perilaku merupakan sumber kepuasan. Motif mendorong, mengarahkan,
dan memilih perilaku menuju tindakan atau tujuan tertentu.

2. Watak (traits), yaitu karakteristik mental dan konsistensi respon seseorang terhadap rangsangan,
tekanan, situasi, atau informasi.Hal ini dipertegas oleh Marshall (2003:40) yang mengatakan bahwa
watak adalah karakteristik yang mengakar pada diri seseorang dan mencerminkan kecenderungan
yang dimilikinya.

3. Konsep diri (self concept), yaitu tata nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seseorang, yang
mencerminkan tentang bayangan diri atau sikap diri terhadap masa depan yang dicita-citakan atau
terhadap suatu fenomena yang terjadi di lingkungannya. Marshall (2003:40) juga mengungkapkan
bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan hal
mencerminkan identitas dirinya. Disamping itu, Kreitner and Kinicki (2001:137) bahwa konsep diri
adalah persepsi diri seseorang sebagai makhluk fisik, sosial dan spiritual.

4. Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang memiliki makna yang dimiliki seseorang dalam bidang
kajian tertentu.

5. Keterampilan (skill), yaitu kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan fisik atau mental. Dale
(2003:29) mengatakan bahwa keterampilan adalah aspek perilaku yang bisa dipelajari melalui
latihan yang digunakan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.

2.1.1.3. Jenis Kompetensi

Pengklasifikasian jenis kompetensi biasanya dilihat dari dimensi manusia secara personal dan hubungan
antara personal karena manusia adalah mahluk sosial. Willy Susilo (2001:17) dan Zohar & Marshall
(2000:3) mengatakan manusia memiliki tiga dimensi, yaitu (1). fisik (body), (2). emosi (mind), dan (3).
spiritual (soul); dan atas dasar dimensi ini lalu mereka mengelompokkan kompetensi menjadi tiga, yakni
(a). kompetensi intelektual, (b). kompetensi emosional, dan (c). kompetensi spiritual.

Menurut Krasnor (1997), dilihat dari aspek hubungan antar-personal maka diperlukan kemampuan dan
kemauan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain, yang disebut dengan kompetensi
sosial (social competency). Spencer and Spencer (1993), mengklasifikasikan dimensi dan komponen
kompetensi individual menjadi tiga, yaitu : (a). kompetensi intelektual, (b). kompetensi emosional, dan
(c). kompetensi sosial. Nampaknya spencer and Spencer telah melihat komponen kompetensi dari aspek
dimensi manusia dan hubungan antar-personal, tetapi belum menghasilkan komponen kompetensi
spiritual.

Uraian dari masing-masing kompetensi secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

1. Kompetensi intelektual

Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan intelektual
individu (dapat berupa pengetahuan, keterampilan, pemahaman profesional, pemahaman kontekstual,
dan lain-lain) yang bersifat relatif stabil ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja, yang
dibentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan
kontekstual (Nahapiet & Ghoshal, 1998: 245). Zohar and Marshall (2000: 3) mengungkapkan bahwa
kompetensi intelektual adalah kemampuan dan kemauan yang berkaitan dengan pemecahan masalah-
masalah yang bersifat rasional atau strategik. Di samping itu, Robbins & Judge (2007: 42) juga
mengatakan bahwa kompetensi intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan
kegiatan mental.

Kompetensi intelektual ini terinternalisasi dalam bentuk sembilan kompetensi (Spencer & Spencer,
1993:35) sebagai berikut :

 Berprestasi, yaitu kemauan atau semangat seseorang untuk berusaha mencapai kinerja terbaik dengan
menetapkan tujuan yang menantang serta menggunakan cara yang lebih baik secara terus-menerus.

 Kepastian kerja, yaitu kemauan dan kemampuan seseorang untuk meningkatkan kejelasan kerja dengan
menetapkan rencana yang sistematik dan mampu memastikan pencapaian tujuan berdasarkan
data/informasi yang akurat.

  Inisiatif, yaitu kemauan seseorang untuk bertindak melebihi tuntutan seseorang, atau
sifat keinginan untuk mengetahui hal-hal yang baru dengan mengevaluasi, menyeleksi, dan
melaksanakan berbagai metode dan strategi untuk meningkatkan kinerja. Inisiatif juga sangat
berkaitan erat dengan konsep kreativitas, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk berpikir dan bertindak secara berbeda dari kebiasaan dan lebih efektif. Dimensi dari
kreatifitas ini memiliki empat sifat atau ciri, yaitu (a). peka terhadap masalah, (b). kaya akan
gagasan/alternatif pemecahan, (c). mampu menghasilkan ide asli, dan (d). memiliki sikap
fleksibilitas (bersedia mempertimbangkan berbagai gagasan).

 Penguasaan informasi, yaitu kepedulian seseorang untuk meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan
berdasarkan informasi yang handal dan akurat serta berdasarkan pengalaman dan pengetahuan atas
kondisi lingkungan kerja (konteks permasalahan).

 Berpikir analitik, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami situasi dengan cara menguraikan
permasalahan menjadi komponen-komponen yang lebih rinci serta menganalisis permasalahan secara
sistematik/bertahap berdasarkan pendekatan logis.

 Berpikir konseptual, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami dan memandang suatu
permasalahan sebagai satu kesatuan yang meliputi kemampuan yang memahami akar permasalahan
atau pola keterkaitan komponen masalah yang bersifat abstrak (kualitatif) secara sistematik.

 Keahlian praktikal, yaitu kemampuan menguasai pengetahuan eksplisit berupa keahlian untuk
menyelesaikan pekerjaan serta kemauan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.

 Kemampuan linguistik, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pemikiran atau gagasan secara lisan
atau tulis untuk kemudian didiskusikan atau didialogkan sehingga terbentuk kesamaan persepsi.
  Kemampuan naratif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dan gagasan
dalam suatu pertemuan formal atau informal dengan menggunakan media cerita, dongeng atau
perumpamaan.

Disamping itu, Robbins & Judge (2007:43), ada tujuh dimensi kemampuan intelektual, yaitu :

 Kercerdasan numerik adalah kemampuan untuk melakukan penghitungan dengan cepat dan tepat.

 Pemahaman verbal adalah kemampuan memahami apa yang dibaca atau didengar serta hubungan antar
kata.

 Kecepatan perseptual adalah kemampuan untuk mengidentifikasi beberapa kemiripan dan perbedaan
visual dengan cepat dan tepat.

 Penalaran induktif adalah kemampuan untuk mengidentifikasi akibat logis dalam suatu masalah dan
pemecahannya.

 Penalaran deduktif adalah kemampuan untuk menggunakan logika dan menilai beberapa implikasi dari
argumen.

 Visualisasi spasial adalah kemampuan untuk membayangkan bagaimana suatu objek akan nampak
seandainya posisi dalam ruang berubah.

 Ingatan adalah kemampuan untuk mempertahankan dan mengingat kembali pengalaman masa silam.

2. Kompetensi emosional

Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan
untuk menguasai diri dan memahami lingkungan secara objektif dan moralis sehingga pola emosinya
relatif stabil ketika menghadapi berbagai permasalahan di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi
antara watak, konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan mental/emosional (Spencer &
Spencer, 1993: 35). Goleman (1998:10) juga mempertegas bahwa kompetensi emosional sebagai sebuah
kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri denan baik, mampu mengenali emosi orang lain,
dan mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain agar menghasilkan kinerja pada suatu
pekerjaan tertentu. Hal senada dengan ini juga diungkapkan oleh Willy Susilo (2001:46), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, membangkitkan, dan mengelola
emosinya. Mayer et al. (2000:338) juga mengungkapkan bahwa kompetensi emosional merupakan bentuk
dari kombinasi antara kecerdasan emosi dan berpikir. Kecerdasan emosional menurut Zohar & Marshall
(2000:3) adalah kemampuan yang berkaitan dengan kesadaran diri sendiri dan perasaan dengan orang
lain yang menjadi dasar agar kecerdasan intelektual dapat digunakan secara efektif.

Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalam bentuk enam tingkat kemauan dan kemampuan
(Spencer & Spencer, 1993:37) sebagai berikut:
 Sensitifitas atau saling pengertian, yaitu kemampuan dan kemauan untuk memahami, mendengarkan,
dan menanggapi hal-hal yang tidak dikatakan orang lain, yang bisa berupa pemahaman atas
pemikiran dan perasaan serta kelebihan dan keterbatasan orang lain.

 Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal, yaitu keinginan untuk membantu dan
melayani pelanggan internal dan eksternal.

 Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk mengendalikan prestasi dan emosi pada saat menghadapi
tekanan sehingga tidak melakukan tindakan yang negatif dalam situasi apapun.

 Percaya diri, yaitu keyakinan seseorang untuk menunjukkan citra diri, keahlian, kemampuan serta
pertimbangan yang positif.

 Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dan bekerja secara efektif pada
berbagai situasi dan mampu melihat dari setiap perubahan situasi.

 Komitmen pada organisasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri terhadap visi dan misi
organisasi dengan memahami kaitan antara tanggung jawab pekerjaannya dengan tujuan organisasi
secara keseluruhan.

Menurut Willy Susilo (2001:46), seseorang yang cerdas secara emosional akan sanggup merubah rasa
malas menjadi rajin, memerangi rasa benci menjadi cinta, mengatasi rasa takut, mengubah sikap masa
bodoh menjadi peduli, menegakkan disiplin diri, mengendalikan amarah, menahan hawa nafsu atau
keinginan, mengatasi kesedihan dan melipatgandakan tenaga.

Goleman (1999:15) ada empat komponen dari kompetensi emosional, yaitu kemampuan :

 Manajemen diri

Kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan kembali dorongan hati dan suasana hati yang
merusak serta mengatur perilaku sendiri yang dihadapkan dengan kencenderungan untuk mencapai
tujuan dengan tenaga dan ketekunan. Empat kompetensi yang berasosiasi dengan komponen ini
adalah pengendalian diri, dapat dipercaya/integritas, inisiatif, dapat beradaptasi, terbuka dengan
perubahan, dan keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu.

 Pemahaman diri

Kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati, emosi dan dorongan diri sendiri dan
dampaknya pada orang lain.Komponen ini berhubungan dengan tiga kompetensi, yaitu kepercayaan
diri, penilaian diri yang realitas, dan pemahaman diri yang emosional.

 Pemahaman sosial

Kemampuan untuk memahami karakter emosi orang lain dan keterampilan dalam memperlakukan
orang lain sesuai dengan reaksi emosional mereka. Komponen ini berhubungan dengan enam
kompetensi, yaitu empati, keahlian dalam membangun dan mempertahankan kapabilitas,
pemahaman organisasional, sensitivitas lintas budaya, keragaman pemilikan nilai dan pelayanan
kepada pelanggan.
 Keterampilan sosial

Ahli dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan kerja untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan dari pihak lain dan mencapai tujuan pribadi, serta kemampuan untuk menemukan dasar
yang umum dan membangun hubungan. Ada lima kompetensi yang berhubungan dengan komponen
ini, yaitu kepemimpinan, keefektifan dalam memimpin perubahan, manajemen konflik,
pengaruh/komunikasi dan keahlian dalam membangun serta memimpin tim.

3. Kompetensi Sosial

Imam Sugeng, 2002; 200 mengatakan :

Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan untuk membangun
simpul-simpul kerja sama dengan orang lain yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi permasalah di
tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta kapsitas
pengetahuan sosial.

Topping et al. (2000:32) juga mempertegas bahwa kompetensi sosial merupakan kepemilikan dan
penggunaan kemampuan untuk mengintegrasikan pemikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai
tugas-tugas sosial dan hasil-hasil yang bernilai dalam konteks kelompok dan budaya yang besar. Krasnor
(1997:112) mengatakan bahwa kompetensi sosial dipandang sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan
pribadi dalam interaksi sosial, sekaligus senantiasa memelihara hubungan sosial dengan orang lain dalam
berbagai situasi.

Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk tujuh tingkat kemauan dan kemampuan
(Spencer & Spencer, 1993:39) sebagai berikut :

1) Pengaruh dan dampak, yaitu kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi orang lain untuk secara
efektif dan terbuka dalam berbagi pengetahuan , pemikiran dan ide-ide secara perorangan atau
dalam kelompok agar mau mendukung gagasan atau idenya.

2) Kesadaran berorganisasi, yaitu kemampuan untuk memahami posisi dan kekuasaan secara
komprehensif baik dalam organisasi maupun dengan pihak-pihak eksternal perusahaan.

3) Membangun hubungan kerja, yaitu kemampuan untuk membangun dan memelihara jaringan kerja
sama agar tetap hangat dan akrab.

4) Mengembangkan orang lain, yaitu kemampuan untuk meningkatkan keahlian bawahan atau orang lain
dengan memberikan umpan balik yang bersifat membangun berdasarkan fakta yang spesifik serta
memberikan pelatihan, dan memberi wewenang untuk memberdayakan dan meningkatkan
partisipasinya.

5) Mengarahkan bawahan, yaitu kemampuan memerintah, mempengaruhi, dan mengarahkan bawahan


dengan melaksanakan strategi dan hubungan interpersonal agar mereka mau mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
6) Kerja tim, yaitu keinginan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain secara koperatif
yang menjadi bagian yang bermakna dari suatu tim untuk mencapai solusi yang bermanfaat bagi
semua pihak.

7) Kepemimpinan kelompok, yaitu keinginan dan kemampuan untuk berperan sebagai pemimpin
kelompok dan mampu menjadi suri teladan bagi anggota kelompok yang dipimpinnya.

4. Kompetensi Spiritual

Zohar & Marshall, (2000 : 1 ) mengatakan ;

Kompetensi spiritual adalah karakter dan sikap yang merupakan bagian dari kesadaran yang paling dalam
pada seseorang yang berhubungan dengan sadar yang tidak hanya mengakui keberadaan nilai tetapi juga
kreatif untuk menemukan nilai-nilai baru

Willy Susilo (2003:134) mengungkapkan ;

bahwa kecerdasar spiritual adalah kemampuan untuk mencari dan menemukan makna tertinggi dengan
bantuan kecerdasar intelektual dan emosional seta kemampuan untuk memahami sistem nilai yang
berlaku pada orang atau sekelompok orang.

Menurut Zohar & Marshall (2000:15) ada sembilan ciri pengembangan kompetensi spiritual yang tinggi,
yaitu :

1) Kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif

2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi

3) Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan

4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

6) Keengganan untuk membuat kerugian yang tidak perlu

7) Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik

8) Kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa

9) Memiliki kemudahan untuk melawan konvensi

2.1.1.4. Strategi Meningkatkan Kompetensi

Menurut Ulrich (1998:23) secara garis besar ada lima alat untuk meningkatkan kompetensi dalam suatu
organisasi yang disebut dengan 5B (Buy, build, borrow, bounce and bind).

Secara rinci disajikan sebagai berikut :


(1) Buy (membeli), pada strategi ini SDM berkualitas yang diperlukan organisasi diperoleh dari sumber
eksternal. Strategi ini menimbulkan dua resiko atau masalah yaitu : (a) belum tentu bakat eksternal
lebih baik dibandingkan bakat internal, dan (b) menimbulkan masalah penolakan atau resisten bagi
karyawan internal yang berkualitas terhadap karyawan baru.

(2) Build (Membangun), pada strategi ini pimpinan melakukan investasi pada semua karyawan yang ada
saat ini untuk membuat mereka lebih kuat dan berkualitas. Strategi ini akan dapat berjalan sukses
apabila manajer senior dapat memastikan hal berikut : (a) pengembangan karyawan dinilai lebih
penting daripada latihan akademi, (b) pelatihan dikaitkan dengan hasil bisnis, (c) Prosestindakan
belajar berjalan dengan baik dan (d) terjadi proses pembelajaran sistematik lewat pengalaman
kerja.

(3) Borrow (Meminjam), melakukan kerjasama yang efektif dengan konsultan atau mitra dari luar dapat
menimbulkan transfer pengetahuan, menciptakan pengetahuan baru, dan merancang pekerjaan
secara lebih efektif.

(4) Bounce (Memecat), dalam strategi ini pimpinan organisasi dapat mengganti setiap individu yang gagal
berprestasi untuk memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan.

(5) Bind (mengikat), dalam strategi ini pimpinan mengidentifikasi dan mewawancarai karyawan kunci
yang berkualitas agar mereka dapat mempertahankan loyalitas pada organisasi dengan membuat
kontrak agar mereka tidak mudah berpindah ke organisasi lain. Hal yang penting dalam menerapkan
strategi ini adalah menciptakan keseimbangan kebutuhan yang diinginkan karyawan dan kontribusi
yang dapat diberikan karyawan pada organisasi.

Burrus (2003:104) mengungkapkan bahwa ada lima langkah untuk mengembangkan kompetensi karyawan
yaitu :

(1) Pengakuan kompetensi, yaitu menghargai kontribusinya pada kinerja dan memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk dididik dalam meningkatkan kompetensinya.

(2) Memahami kompetensi, yaitu membantu karyawan untuk memahami kompetensi yang diperlukan
untuk berbagai situasi pekerjaan.

(3) Bereksperimen dengan mendemonstrasikan kompetensi, yaitu kesempatan karyawan untuk mencoba


perilaku-perilaku baru dengan menggunakan cara-cara berpikir dan bertindak yang berbeda dari
yang pernah dilakukan.

(4) Berpraktik menggunakan kompetensi, yaitu praktik menggunakan kompetensi dalam berbagai situasi
pekerjaan.

(5) Menerapkan kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan konteks yang lainnya.

2.1.1.5. Kompetensi Dosen

Dihubungkan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, kompetensi dosen mempunyai peran
yang strategis. Hanafiah (1994) misalnya mengungkapkan bahwa tercapai tidaknya mutu pendidikan
tinggi yang diharapkan, ditentukan oleh mutu para dosen di setiap bidang ilmu yang dibinanya. Ungkapan
lain menyatakan, mutu pendidikan bergantung pada mutu personel pengajar atau the man behind the
sun (Sutisna, 1993).

Adapun komponen-komponen kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik, diperinci oleh Johnson dalam
Makmun, (1996) berikut ini. Pertama, performance component. Komponen ini terdiri atas beberapa
perilaku yang sedang ditampilkan dalam kegiatan kerja (proses pembelajaran), yang merupakan totalitas
dari pengetahuan, keterampilan, proses dan nilai untuk membuat keputusan bagi penampilan pribadi
dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Kedua, teaching subject component. Komponen ini
merupakan ilmu pengetahuan yang digabungkan dengan tujuan pembelajaran. Komponen ini terdiri atas
fakta-fakta, gagasan, nilai-nilai, proses dan/atau keterampilan dengan mana pengajar berupaya
membantu siswa memperolehnya. Ketiga, teaching process component. Berisi pemikiran pengolahan
(proses pembelajaran) yang memungkinkan komponen ini digunakan sebagai acuan bagi sejumlah teknik-
teknik manusiawi dengan mana diproduksi gagasan-gagasan, desain-desain, strategi-strategi, membuat
keputusan, dan mengevaluasi kemajuan hasil pembelajaran. Keempat, the personal adjustment
component, Berisi elemen-elemen dasar mengenai penyesuaian antara karakteristik individu pendidik
dengan penampilan kerja yang sesuai dengan tuntutan kompetensinya. Proses penyesuaian meliputi
praktik keahlian; sikap, kreativitas, dan upaya-upaya memperbaiki diri serta mengurangi kelemahan-
kelemahan yang tidak sesuai dengan tampilan kompetensi. Kelima, the teaching professional
component merupakan sumber dasar yang berbentuk himpunan informasi teori dan praktis dalam dunia
pendidikan sebagai acuan profesional. Termasuk ke dalam komponen ini antara lain filsafat pendidikan,
sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, kurikulum, tes dan pengukuran, manajemen pembelajaran,
media pendidikan dan sebagainya. Keenam, attitude component, berisi saripati elemen-elemen sikap,
nilai dan peranan yang penting bagi dasar semua kompetensi pendidik.

Selanjutnya Spencer & Spencer sebagaimana mengelompokkan kompetensi dalam enam kelompok, dan
masing-masing kelompok tersebut memuat sejumlah kompetensi sehingga seluruh kelompok mencapai 36
kompetensi.

Beberapa kompetensi berikut ini dikutip oleh Dyah Kusumastuti (2001).

Pertama, semangat untuk berprestasi dan bertindak (achievement and action) yang meliputi
kompetensi : (1) orientasi untuk berprestasi; (2) perhatian terhadap kerapian, mutu, dan ketelitian; (3)
inisiatif; (4) pencarian dan pengumpulan informasi.

Orientasi untuk berprestasi merupakan derajt kepedulian atau upaya seseorang untuk berprestasi dalam
pekerjaannya sehingga ia berusaha bekerja dengan baik atau di atas standar. Kompetensi ini
direfleksikan dalam orientasi kepada hasil, efisiensi, standar, perbaikan, kewirausahaan, dan optimasi
penggunaan sumber daya. Perhatian terhadap kerapian, mutu dan ketelitian yaitu dorongan dalam diri
seseorang untuk mengurangi ketidakpastian di lingkungan kerjanya, khususnya berkenaan dengan
ketersediaan dan akurasi data serta informasi. Kompetensi ini meliputi pemantauan, kejelasan, dan
mengurangi ketidakpastian.
Inisiatif yaitu keinginan atau derajat usaha untuk bertindak melebihi yang diharapkan oleh pekerjaan,
melakukan sesuatu tanpa menunggu perintah lebih dulu. Tindakan itu dilakukan untuk memperbaiki atau
meningkatkan hasil pekerjaan dan menciptakan peluang-peluang baru secara proaktif. Pencarian dan
pengumpulan informasi diartikan pula sebagai kemampuan memahami sesuatu secara lebih mendalam
merujuk kepada besarnya usaha seseorang untuk mencari dan mengumpulkan informasi bagi peningkatan
kualitas keputusan, dan tindakan berdasarkan informasi yang akurat serta pengalaman atas kondisi
lingkungan.

Kedua, kemampuan pelayanan yang meliputi kompetensi-kompetensi empati dan orientasi pada


kepuasan pelanggan. Empati bermakna kemauan untuk mendengarkan, memahami, dan mendengarkan
hal-hal yang tidak terkatakan, atau pemahaman atas pemikiran dan perasaan orang lain. Orientasi pada
kepuasan pelanggan merupakan kemauan untuk membantu dan melayani kebutuhan atau harapan
pelanggan/orang lain.

Ketiga, kemampuan mempengaruhi orang lain yang meliputi kompetensi-kompetensi : (1) mendukung


dan mempengaruhi; (2) kesadaran berorganisasi; (3) membangun hubungan kerja. Kompetensi (1)
merupakan kemampuan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau menimbulkan kesan baik
pada orang lain sehingga orang lain mau mendukung gagasannya. Kompetensi (2) yaitu kemampuan untuk
memahami hubungan kekuasaan atau posisi dalam organisasi, mengidentifikasi orang-orang yang
berperan atau berpengaruh dalam pengambilan keputusan, dan kemampuan memprediksi pengaruh suatu
situasi-kondisi terhadap nasib individu atau kelompok dalam organisasi.

Keempat, kemampuan manajerial dengan cakupan kompetensi sebagai berikut : (1) kemampuan


memberi dukungan; (2) keberanian memberi perintah dan memanfaatkan kekuasaan jabatan; (3) kerja
kelompok dan kerjasama; dan (4) kepemimpinan kelompok. Kompetensi (1) merupakan kemampuan
mendorong pengembangan atau proses belajar orang lain. Kompetensi (2) yaitu kemampuan memerintah
dan mengarahkan orang lain baik karena kemampuan diri maupun karena kekuasaan jabatannya untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan sasaran organisasi. Kompetensi (3) adalah kemampuan dan kemauan
bekerja sama dengan orang lain dalam suatu kelompok kerja atau menjadi bagian suatu kelompok kerja.
Kompetensi (4) merupakan kemampuan dan kemauan untuk berperan sebagai pemimpin kelompok,
biasanya ditunjukkan dalam posisi otoritas formal.

Kelima, daya pikir yang mencakup kompetensi-kompetensi; (1) berpikir analitik; (2) bersikap konseptual;
(3) keahlian teknis. Kompetensi (1) yaitu kemampuan untuk memahami situasi atau permasalahan
dengan cara menguraikan menjadi bagian-bagian yang lebih rinci, atau kemampuan untuk mengamati
implikasi suatu keadaan tahap demi tahap berdasarkan pemahaman dan pengetahuan masa lalu.
Kompetensi (2) ialah kemampuan memahami situasi atau permasalahan dengan cara memandangnya
sebagai satu kesatuan, mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi pola keterkaitan antara masalah
yang bersifat tidak tampak, atau kemampuan mengidentifikasi masalah mendasar dalam situasi
kompleks. Kompetensi (3) yaitu penguasaan pengetahuan eksplisit berupa keahlian atau keterampilan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan serta motivasi untuk mengembangkan, menggunakan, dan
mendistribusikan pengetahuan dan keterampilan pada orang lain.

Keenam, efektivitas individu yang mencakup kompetensi-kompetensi : (1) pengendalian diri; (2)


kepercayaan diri; (3) fleksibilitas; dan (4) komitmen pada organisasi. Kompetensi (1) merupakan
kemampuan mengendalikan emosi diri sehingga mampu mencegah perilaku negatif, khususnya ketika
menghadapi tantangan atau penolakan dari orang lain atau pada saat bekerja di bawah
tekanan. Kompetensi (2) yaitu keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk menyelesaikan suatu
tugas atau pekerjaan. Kompetensi (3) merupakan kemampuan menyesuaikan diri secara efektif pada
berbagai situasi, kemampuan untuk emmahami dan menghargai perbedaan perspektif dengan sesuatu
hal; kemampuan untuk berubah atau kemudahan untuk menerima suatu perubahan dalam organisasi
maupun pekerjaan. Kompetensi (4) berupa kemauan seseorang untuk menyesuaikan sikap atau
perilakunya, atau melakukan tindakan yang menunjang kebutuhan, prioritas, dan tujuan organisasi.

Sehubungan dengan kompetensi, Hornby sebagaimana dikutip Makmun (1996) mengelaborasi bahwa pada
dasarnya kompetensi : (1) menunjukkan kecakapan atau kemauan untuk mengerjakan suatu pekerjaan;
(2) merupakan suatu sifat orang-orang kompeten, yaitu yang memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas,
kemahiran, pengetahuan dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukan; (3) menunjukkan
tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuan secara memuaskan berdasarkan kondisi.

Dengan memperhatikan pengertian kompetensi tersebut, menurut Makmun, dapat dimaklumi jika
kompetensi dipandang sebagai pilar atau teras kinerja dari sesuatu profesi. Implikasinya, seseorang
profesional yang kompeten harus dapat menunjukkan karakteristik utama berikut ini :

(1) Mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional yang berarti ia harus memiliki visi dan
misi yang jelas mengapa ia melakukan apa yang dilakukan dan mengambil keputusan tentang apa
yang dikerjakan;

(2) Menguasai perangkat pengetahuan (teori, konsep, prinsip, kaidah, hipotesis, dan generalisasi, data
dan informasi) tentang seluk beluk apa yang menjadi tugasnya;

(3) Menguasai keterampilan (strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana
dan instrumen, dan sebagainya) tentang cara bagaimana dan dengan apa harus melaksanakan tugas
pekerjaannya;
(4) Memiliki daya (motivasi) dan citra (aspirasi) unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya dan
berusaha mencapai yang sebaik mungkin;

(5) Memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas penguasaan perangkat kompetensinya yang
dalam batas tertentu dapat didemonstrasikan dan teruji sehingga memungkinkan memperoleh
pengakuan pihak berwenang;

(6) Memahami perangkat persyaratan ambang tentang ketentuan kelayakan normatif, minimal kondisi
dan proses yang dapat ditoleransi dari kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang
dilakukannya.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melalui program sertifikasi dosen juga menetapkan indikator
mengenai kompetensi dosen. Sesuai dengan Buku 2 Pedoman Sertifikasi Dosen, kompetensi dosen dibagi
menjadi empat, yaitu ; kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan
kompetensi sosial. Keempat kompetensi tersebut harus dimiliki oleh dosen yang dalam rangka untuk
memperoleh sertifikat sebagai pengakuan atas profesi dosen yang profesional.

Masing – masing kompetensi tersebut juga dibagi menjadi beberapa dimensi yang berbeda – beda.
Dimensi untuk masing – masing kompetensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kompetensi Pedagogik

- Kesiapan memebrikan kuliah dan / atau praktek/ praktikum

- Keteraturan da ketertiban penyelenggaraan perkuliahan

- Kemampuan menghidupkan suasana kelas

- Kejelasan penyampaian materi dan jawaban terhadap pertanyaan dikelas

- Pemanfaatan media dan teknologi pembelajaran

- Keanekaragaman cara pengukuran hasil belajar

- Pemberian umpan balik terhadap tugas

- Kesesuaian materi dan / atau tugas dengan tujuan mata kuliah

- Kesesuaian nilai yang diberikan dengan hasil belajar


2. Kompetensi Profesional

- Kemampuan menjelaskan pokok bahasan / topik secara tepat

- Kemampuan memberikan contoh relevan dari konsep yang diajarkan

- Kemampuan menjelaskan keterkaitan bidang / topik yang diajarkan dengan bidang / topik lain

- Kemampuan menjelaskan keterkaitan bidang / topik diajarkan dengan konteks kehidupan

- Penguasaan akan isu – isu mutakhir dalam bidang yang diajarkan

- Penggunaan hasil – hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas perkuliahan

- Pelibatan mahasiswa dalam penelitian / kajian dan atau pengembangan / rekayasa / desain yang
dilakukan dosen

- Kemampuan menggunakan beragam teknologi komunikasi

3. Kompetensi Pribadi

- Kewibawaan sebagai pribadi dosen

- Kearifan dalam pengambilan keputusan

- Menjadi contoh dalam bersikap dan bertingkah laku

- Satu kata dalam tindakan

- Kemapuan mengendalikan diri dalam berbagai siatuasi dan kondisi

- Adil dalam memperlakukan mahasiswa

4. Kompetensi Sosial

- Kemampuan menympaikan pendapat

- Kemampuan menerima kritik, saran, dan pendapat dari orang lain

- Mengenal dengan baik mahasiwa yang mengikuti kuliahnya

- Mudah bergaul dengan kalangan sejawat, karyawan, dan mahasiswa


- Toleransi terhadap keberagaman mahasiswa

2.1.2 Motivasi

Motivasi merupakan rangsangan atau dorongan terhadap karyawan untuk bekerja sebaik-

baiknya. Rangsangan atau dorongan tersebut bersifat intern dan ekstern serta harus dapat dirasakan

manfaatnya yaitu dapat mengubah sikap karyawan dalam pelaksanaan tugasnya sehingga dapat dicapai

hasil yang maksimal. Dorongan yangbersifat intern merupakan dorongan yang timbul dari dalam hati

nurani masing-masing individu tanpa dipengaruhi faktor-faktor dari pihak luar. Oleh karena itu dasar

pertama menumbuhkan motivasi agar dapat berhasil dan terus berkembang, tidak hanya memuaskan

kebutuhan dalam hal materi saja, namun tidak kalah pentingnya adalah memenuhi kebutuhan  non materi

yaitu kebutuhan rohani. Dorongan yang bersifat ekstern timbul dari rangsangan luar individu, misalnya

dari kondisi lingkungan kerja atau dari pemberian fasilitas yang diberikan kepada karyawannya. Dengan

demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa motivasi merupakan variabel yang sangat penting dalam

upaya membantu pemimpin untuk mencapai tujuan.

2.1.2.1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Menurut Anwar Prabu Mangkunegara dalam Umi Narimawati (2005:103) motivasi berprestasi dapat
diartikan sebagai suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu
kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji.

Hal ini sesuai dengan pendapat Jhonson dalam Muhardi (2004) yang mengemukakan bahwa “Achievement
motive is impetus to do well relative to some standard of excellence”. Sebagai contoh, manajer yang
mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung akan bekerja sebaik-baiknya agar dapat mencapai
prestasi kerja dengan predikat terpuji.

Menurut Stanford dalam Mangkunegara dalam Umi Narimawati (2004) dinyatakan bahwa motivasi
didefinisikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu. Motivasi
sangat penting bagi suatu perusahaan karena dengan adanya motivasi diharapkan setiap orang mau
bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi guna mempertahankan usaha.

(Flippo, 1984; 59) mendefinisikan bahwa motivasi adalah suatu keterampilan dalam memadukan
kepentingan karyawan dan organisasi sehingga keinginan-keinginan karyawan dipuaskan bersamaan
dengan tercapainya sasaran organisasi (Flippo, 1984:59).
Sedangkan menurut Stoner Umi Narimawati (2004) motivasi merupakan karakteristik psikologi manusia

yang memberikan kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Dengan kata lain, motivasi adalah proses

manajemen untuk mempengaruhi tingkah laku manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari keempat pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya motivasi merupakan

suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan seseorang baik materi maupun non materi oleh upaya mencapai

tujuan. Memotivasi merupakan suatu kegiatan yang penting bagi pengusaha/dosen, karena pengusaha

selalu bekerja dengan orang lain baik mereka itu karyawannya maupun rekan/relasi bisnisnya. Motivasi

adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau

impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang sangat

besarlah yang akan menentukan perilaku seseorang. Motif yang kuat ini seringkali berkurang apabila

telah mencapai kepuasan ataupun karena menemui kegagalan. Jadi kekuatan motif ini dapat berubah

karena :

a. Terpuasnya kebutuhan, bila kebutuhan telah terpuaskan maka akan berkurang dan beralih kepada

kebutuhan lain dan seterusnya.

b. Karena adanya hambatan, maka orang mencoba mengalihkan motifnya kearah lain.

2.1.2.2. Beberapa Teori Motivasi

Menurut Gibson dalam Umi Narimawti (2005) teori motivasi terbagi ke dalam dua kategori yaitu :

1. Teori Kepuasan (Satisfield Theori), memusatkan perhatian pada faktor-faktor di dalam individu yang
mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku. Teori ini mencoba untuk
menentukan kebutuhan-kebutuhan spesifik yang memotivasi seseorang.

2. Teori Proses (Process Theory), menerangkan dan menganalisa bagaimana perilaku didorong,


diarahkan, diperhatikan dan dihentikan.

Torrington dalam Umi Narimawati (2004) : “The rangking of these five sets of needs in a
hierarchy is based on two important assumptions. First that a satisfied need is not motivator and second
that as one set of needs becomes satisfied, then the next set of needs becomes dominant. The
implication of this for manarersare obvious. It is not worth trying to provide means for employee satisfy
self-actualization needs if lower level needs have not yet been met. Also it is pointless trying to
motivate employes by considering their lower order needs if these are already satisfied, A for then
dimension is that level of needs satisfaction can vary”.

Artinya bahwa urutan dari lima kebutuhan ini dalam suatu hierarki didasarkan kepada 2 (dua)

asumsi penting yaitu :

1) Pertama bahwa suatu kebutuhan terpenuhi adalah bukan suatu motivator.

2) Kedua, bahwa satu set kebutuhan menjadi terpenuhi, kemudian set kebutuhan berikutnya menjadi

dominant. Implikasi ini bagi para pemimpin adalah jelas dan tidak berguna mencoba untuk

menyediakan alat-alat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, jika kebutuhan tingkat yang lebih

rendah belum terpenuhi. Karena itu tidak berarti bahwa mencoba untuk memotivasi pegawai dengan

mempertimbangkan tingkat kebutuhan yang lebih rendah, jika kebutuhan dasar telah dipenuhi.

Dimensi lebih jauh adalah bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan dapat bervariasi.

1. Teori ERG (ERG Theory)

Menurut Clayton Aderfel, terdapat tiga kebutuhan yang melandasi motivasi seseorang yakni :
kebutuhan Existence, kebutuhanRelatedness dan kebutuhan Growth. Sedangkan W. Atkonson
mengusulkan ada 3 macam dorongan yang mendasari dalam diri orang untuk termotivasi, kebutuhan
untuk berprestasi (needs for achievement) kebutuhan kekuatan (need for power) dan kebutuhan untuk
berafiliasi (needs for affiliation).

Perbedaan teori ERG dengan Maslow’s Hierarchy Theory adalah :

a. Teori ERG menyatakan bahwa lebih dari satu kebutuhan dapat bekerja pada saat yang bersamaan
artinya tidak selalu harus bertingkat-tingkat atau berjenjang seperti yang dikemukakan Maslow.

b. Teori ERG menyatakan jika untuk mencapai pemuas kebutuhan yang lebih tinggi sulit dicapai, maka
keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih rendah menjadi meningkat.

2. Teori Motivasi Dua Faktor (Two Factory Theory) atau Teori Hygiene

Herzberg dalam Uni Narimawati (2004) “developed the Maslow of the hierarchy by making a stronger
between lower and higher order need. He described the lower order needs as potential dissatisfiers or
hygienes factors, and only the higher order needs were potential satisfiers or motivators”.

Frederick Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan dan kepuasan kerja muncul dari 2 faktor yang
terpisah. Faktor ketidakpuasan kerja (yang disebut dengan faktor Hygiene) termasuk : pengawasan,
gaji/upah, kondisi kerja, hubungan dengan kawan sekerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan
bawahan, status, keamanan serta kebijakan perusahaan dan administrasi. Sebagian besar dari faktor
tersebut kenyataannya adalah ‘ekstrinsik’ datang dari luar seseorang. Penilaian positif untuk faktor-
faktor ini tidak menyebabkan kepuasan kerja meningkat tetapi hanya sampai hilangnya ketidakpuasan,
sedangkan faktor kepuasan kerja termasuk prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, pengalaman,
tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan semuanya berkaitan dengan isi pekerjaan dan imbalan
prestasi kerja. Sedangkan ‘intrinsik’ datang dari dalam seseorang, tidak mudah dipuaskan. Seseorang
yang mencapai suatu kemudian ingin lebih berprestasi, seseorang yang pekerjaannya menantang menarik
ia lebih ingin mengerjakannya. Ini membuktikan suatu teori yang paling terkenal bagi pemimpin, seperti
menyediakan praktek dasar untuk aksi manajemen memberikan kesempatan untuk prestasi, pengakuan,
memperkaya pekerjaan serta mereka akan lebih keras bekerja menjadi lebih berpendapat dan
menghargai kebaikan pimpinan yang membuat semuanya terjadi.

3. Teori Kebutuhan Mc. Clelland

David Mc Clelland dalam Gibson (1996:200) mengajukan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari yang
erat hubungannya dengan konsep belajar. Teori ini menyatakan bahwa seseorang dengan suatu
kebutuhan yang kuat akan termotivasi untuk menggunakan tingkah laku yang sesuai guna memuaskan
kebutuhan seseorang dipelajari dari kebudayaan suatu masyarakat.

Teori motivasi John W. Atkinson dan David MC Clelland (Stoner, et. al., 142-143) menjelaskan ada 3
macam dorongan mendasar dalam diri orang yang termotivasi :

a) Kebutuhan berprestasi (need for achievement)

b) Kebutuhan kekuatan (need for power)

c) Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation) atau berhubungan dekat dengan orang lain.

Menurut David MC Celland menunjukkan bahwa kebutuhan yang kuat untuk berprestasi
merupakan dorongan untuk berhasil atau unggul berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut
termotivasi untuk melaksanakan tugasnya.

Lebih lanjut menjelaskan bahwa ada tiga kebutuhan/keinginan manusia yang menonjol, yaitu :
kebutuhan akan berprestasi (dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat
standar, bergulat untuk sukses); kebutuhan akan afiliasi (hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah
dan karib); dan kebutuhan akan kekuasaan (membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang orang
itu – tanpa dipaksa – tidak akan berperilaku demikian) Robbins, (1996: 205). Di antara tiga jenis motivasi
yang dikemukakan oleh Mc Clelland, motivasi berprestasi merupakan jenis motivasi yang paling
menonjol, karena jenis motivasi ini sangat penting dalam meningkatkan kinerja. dalam Martoyo, (1992 :
142), orang yang mempunyai kebutuhan untuk dapat mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya atau
berhasil mencapai sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Mereka menentukan tujuan secara wajar (tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah). Namun
tujuan tersebut cukup merupakan “challenge” atau tantangan untuk dicapai dengan baik dan tepat.

2) Mereka menentukan tujuan yang sekiranya mereka yakin sekali akan dapat dicapai dengan baik dan
tepat.
3) Mereka senang dengan pekerjaan tersebut dan merasa sangat“concerned” atau berkepentingan dengan
keberhasilannya sendiri.

4) Mereka lebih suka bekerja di dalam pekerjaan yang dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan
pekerjaannya.

Menurut McClelland dalam Morgan dkk, (1986 : 284), ada enam aspek yang terkandung dalam
motivasi berprestasi. Keenam aspek dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Tanggung jawab

Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan merasa dirinya bertanggung jawab terhadap tugas
yang dikerjakan, dan ia akan berusaha sampai berhasil menyelesaikannya, sedangkan individu yang
mempunyai motivasi rendah mempunyai tanggung jawab yangkurang terhadap tugas yang diberikan

kepadanya, dan bila ia mengalami kesukaran dalam menjalankan tugasnya ia cenderung akan
menyalahkan hal-hal lain di luar dirinya sendiri.

b. Mempertimbangkan risiko

Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan mempertimbangkan terlebih dahulu akan resiko yang
dihadapinya sebelum memulai suatu kesukaran yang sedang menantang namun memungkinkan bagi
dia untuk menyelesaikannya, sedangkan individu yang mempunyai motivasi rendah justru menyukai
pekerjaan atau tugas yang sangat mudah sehingga akan mendatangkan keberhasilan bagi dirinya.

c. Umpan balik

Individu yang mempunyai motivasi tinggi sangat menyukai umpan balik karena menurut mereka
umpan balik sangat berguna sebagai perbaikan bagi hasil kerja mereka nanti dimasa yang akan
datang, sebaliknya individu yang mempunyai motivasi yang rendah tidak menyukai umpan balik
karena dengan adanya umpan balik mereka merasa telah memperlihatkan kesalahan-kesalahan
mereka dan kesalahan tersebut akan terulang lagi.

d. Kreatif dan Inovatif

Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan kreatif mencari cara baru untuk menyelesaikan tugas
seefektif dan seefisien mungkin dan juga mereka tidak menyukai pekerjaan rutin yang sama dari
waktu ke waktu, sebaliknya individu yang mempunyai motivasi rendah justru sangat menyukai
pekerjaan yang sifatnya rutinitas karena dengan begitu mereka tidak usah memikirkan cara lain
dalam menyelesaikan tugasnya.

e. Waktu penyelesaian tugas

Individu dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi akan berusaha menyelesaikan setiap tugas dalam
waktu yang cepat, sedangkan individu dengan kebutuhan berprestasi yang rendah kurang tertantang
untuk menyelesaikan tugas secepat mungkin, sehingga cenderung memakan waktu yang lama,
menunda-nunda dan tidak efisien.

f. Keinginan menjadi yang terbaik


Individu dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi senantiasa menunjukkan hasil kerja yang sebaik-
baiknya dengan tujuan agar meraih predikat yang terbaik, sedangkan individu dengan kebutuhan
berprestasi yang rendah menganggap bahwa peringkat terbaik bukan merupakan tujuan utama dan
hal ini membuat individu tidak berusaha seoptimal mungkin dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Berbicara mengenai motivasi berprestasi menurut Schermerhorn, (1994:83) membagi menjadi 3


kelompok motivasi, yaitu :

(a) Content Theories, yaitu teori motivasi yang menganalisis individu untuk mengidentifikasikan
kebutuhan-kebutuhannya (Maslow)

(b) Process Theories, yaitu teori motivasi yang menjelaskan tentang bagaimana individu
menafsirkan reward dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilakunya (Wexley and Yuki).

(c) Reinforcement Theories yaitu teori yang menjelaskan bagaimana orang-orang belajar dari kebiasaan
perilakunya sebagai dasar dalam reinforcement lingkungannya (B.F. Skinner).

Bagi Sutermeister dalam Umi Narimawati (2004) motivasi dipengaruhi oleh variabel kondisi fisik,
lingkungan kerja, kondisi sosial, dan individual needs dimana hal ini dapat diartikan bahwa apa yang
dikemukakan meliputi tiga kelompok teori tersebut diatas.

Motivasi atau motif merupakan driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku,
dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Pendapat Wexley dan Yuke sebagaimana
dikutip oleh As’ad dalam Umi Narimawati (2004) mendefinisikan motivasi sebagai  the process by which
behavior is energized and directed. Berikut ini adalah ciri-ciri yang menandai motif individu :

(a) Motif adalah majemuk. Dalam suatu perubahan tidak hanya mempunyai satu tujuan tetapi beberapa
tujuan yang berlangsung bersama-sama.

(b) Motif dapat berubah-ubah. Motif bagi seseorang seringkali mengalami perubahan. Ini disebabkan
karena keinginan manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan atau kepentingannya.

(c) Motif berbeda-beda bagi individu. Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama, ternyata
terdapat perbedaan motif.

(d) Beberapa motif tidak disadari oleh individu. Beberapa dorongan yang muncul, karena berhadapan
dengan situasi yang kurang menguntungkan, seringkali ditekan di bawah sadar sehingga kalau ada
dorongan yang kuat sekali, menjadikan individu yang bersangkutan tidak dapat memahami motifnya
sendiri (As’ad, 1995).

2.1.2.3. Pengukuran Motivasi Berprestasi

Motivasi tidak dapat dilihat dan diukur langsung secara kuantitatif, karena sifatnya  intangible.
Namun demikian ada indikasi-indikasi yang menjelaskan bahwa seseorang itu memiliki motivasi tinggi.
Untuk mengukur tingkat motivasi, indikator-indikator tersebut dikuantitatifkan menurut skala Likert,
yang bahwa suatu alat ukur harus valid dan reliable agar hasil pengukuran tidak keliru dan bias.
Encyclopedia Britania (1970:921-922) menyuguhkan 3 macam metoda pengukuran motif yang biasanya
digunakan oleh para ahli psikologi yaitu :

2) Bertanya kepada invidiu dengan seksama melalui pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya umum sampai
yang sedetil-detilnya tentang motif, minat dan nilai-nilai tertentu yang dimiliki.

3) Pengukuran dengan jelas mengobservasi aspek-aspek tingkah laku individu seperti mimpi, asosiasi
bebas dan kegiatan-kegiatan yang tampak.

4) Pengukuran melalui fantasi yang biasanya diwujudkan dalam suatu cerita imajinatif yang dibuat
individu.

Pengukuran motivasi yang dilakukan dalam penelitian ini berpedoman kepada teori motivasi David Mc
Clelland yang terdiri atas 3 dimensi yakni :

1) Need for Achievement

a. Berorientasi pada tujuan

b. Berorientasi ke masa depan

c. Bertanggung jawab

d. Berani mengambil resiko

e. Aspiratif

f. Memanfaatkan waktu

g. Keorisinilan

2) Need for Affiliation

a. Suka bekerjasama

b. Demokratif

c. Suka bersahabat

3) Need for Power

a. Suka menolong

b. Mampu meyakinkan orang

c. Mobilitas vertikal

d. Suka memerintah
2.1.2.4. Keterkaitan Faktor Motivasi Dengan Kompetensi

Mello dalam Umi Narimawati (2004) yang menyatakan bahwa penting bagi perusahaan untuk melakukan
penyesuaian motivasi individu dengan pekerjaan sehingga memperoleh kinerja individu yang optimal,
dengan memperhatikan faktor-faktor :

1. Pengetahuan teknis, keterampilan khusus, dan kemampuan personal

Pengetahuan seorang karyawan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan, keterampilan khusus yang diperlukan untuk menjalankan suatu pekerjaan, serta
kemampuan karyawan untuk bekerja merupakan faktor yang sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang karyawan, sehingga akan melahirkan suatu unjuk kerja sesuai standar minimal yang
ditetapkan perusahaan. Dengan demikian perusahaan akan memperoleh karyawan yang bekerja
sesuai dengan keahliannya.

2. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berinteraksi dan menjalin
hubungan yang baik dengan lingkungannya, agar ia dapat beradaptasi terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi pada lingkungan pekerjaannya. Keterampilan ini merupakan keterampilan
untuk bekerjasama dalam suatu tim kerja, bersedia mempelajari dan menerima berbagai hal yang
baru, dan turut berpartisipasi secara aktif dalam upaya pengambilan keputusan, dan sebagainya.

3. Kebutuhan-Kebutuhan Personal, Nilai-nilai dan minat atau keinginan

Kebutuhan-kebutuhan personal menjadi faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan


untuk melamar pekerjaan. Kebutuhan-kebutuhan fisik, rasa aman, kebutuhan pengembangan diri,
penghargaan dari orang lain, serta kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan manusia lainnya.
Identifikasi atas nilai-nilai yang dibawa seseorang dalam lingkungan pekerjaan juga diperlukan. Nilai-
nilai tersebut, berupa nilai-nilai yang positif atau nilai yang negatif, yang akan me mpengaruhi
perilaku seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya. Minat seseorang juga turut diperhitungkan
apakah ia benar-benar berminat terhadap pekerjaan yang ia miliki, serta keinginan-keinginan
seseorang dalam suatu pekerjaan. Seperti pencapaian jenjang karir yang memuaskan,
keamanan financial, adanya pengakuan sosial atas berbagai pencapaian yang telah ia dapatkan,
serta keinginan-keinginan yang lain.

Sifat-sifat atau karakter dari seorang karyawan dalam lingkungan kerja, seperti: kejujuran,
keterbukaan, kemampuan untuk bekerja sama dan beradaptasi dengan orang lain, komitmen
terhadap pekerjaan, serta stabilitas emosi, juga turut diperhitungkan oleh perusahaan, sehingga
calon karyawan dapat menjadi seorang karyawan yang berkinerja tinggi.

Kemampuan terdiri dari dua unsur, yaitu yang bisa dipelajari dan yang alamiah. Pengetahuan
dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang bisa dipelajari, sedangkan yang alamiah orang
menyebutnya dengan bakat (M. Nurdin, 2004:24). Jika orang hanya mengandalkan bakat saja tanpa
mempelajari dan membiasakan kemampuannya, maka dia tidak akan berkembang. Karena bakat hanya
sekian persen saja menuju keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam pengembangan
profesionalisme itu ditunjang oleh ketekunan dalam mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh
karena itu, potensi yang ada pada kita harus terus diasah.
Kemampuan paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi setiap
perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, seorang dosen yang profesional tentunya tidak ingin
ketinggalan dalam percaturan global ini. Dengan demikian, dosen harus mengantisipasi perubahan itu
dengan banyak membaca supaya bertambah ilmu pengetahuannya. Menurut Vos, Jeannette seperti
dikutip oleh M. Nurdin (2004:143) jika seorang guru/dosen ingin bertambah luas pengetahuannya, maka
ia harus menggunakan dunia ini sebagai ruang kelasnya.

Keterampilan (skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada unsur
penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang bermanfaat untuk jangka
panjang.Keterampilan merupakan the requisite knowledge and ability.Keterampilan yang dibutuhkan
dalam pengembangan profesionalisme, tergantung pada jenis pekerjaan masing-masing. Keterampilan
mengajar merupakan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas-tugas dosen dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat. Selanjutnya attitude (sikap diri) seseorang terbentuk oleh suasana lingkungan yang
mengitarinya, oleh karena ini lingkungan lembaga harus diciptakan kondusif agar tercipta profesional
dosen.Dengan demikian, dosen yang profesional adalah dosen yang mampu mewujudkan prestasi tinggi.

2.1.3 Kinerja Dosen

2.1.3.1 Konsep Kinerja dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya

Kinerja menjadi hal yang penting dan mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan terutama untuk
perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Tidak terkecuali dengan dunia pendidikan. Pengukuran kinerja
dalam dunia pendidikan sebenarnya bukan hanya ditujukan untuk profesi dosen saja tetapi elemen
pendukung lainnya seperti bagian staff akademik, bagian administrasi, bagian kebersihan, dan bagian
lainnya. Karena semua saling mendukung tercapainya mutu pendidikan.

Beberapa ahli mendefinisikan kinerja sebagai suatu pencapaian maksimal dari seorang karyawan dalam
melakuan pekerjaanya. Diantara para ahli tersebut antara lain :

1) Grounloud dalam Umi Narimawati (2005) mengatakan bahwa kinerja sebagai penampilan perilaku
kerja yang ditandai oleh keluwesan gerak, ritme dan urutan kerja yang sesuai dengan prosedur
sehingga diperoleh hasil yang memenuhi syarat kualitas, kecepatan, dan jumlah.

2) Stoner dalam Umi Narimawati (2005) mendefinisikan kinerja adalah prestasi yang dapat ditunjukkan
oleh karyawan. Ia merupakan hasil yang dapat dicapai dalam melaksanakan tugas – tugas yang
dibebabnkan kepadanya berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu yang
tersedia.

3) Bernardin & Russel dalam Umi Narimawati (2005) memberikan batasan kinerja sebagai ”..... the
record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”
selama satu periode tertentu.

4) Sutermeister dalam Anggiat Parlindungan Simbolon (2005) mendefinisikan faktor – faktor yang
mempengaruhi kinerja meliputi motivasi, keahlian, pengetahuan, keahlian, pendidikan,
pengalaman, pelatihan, minat, sikap, kepribadian, kondisi-kondisi fisik, dan kebutuhan fisiologis,
kebutuhan social, dan kebutuhan egoistic.

5) Porter and Lawyer dalam Anggiat Parlindungan Simbolon (2005) menyatakan bahwa kinerja
(performance) adalah succesful role achievment yang didapat seseorang dari perbuatannya dalam
bekerja.

Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan kinerja adalah prestasi seseorang yang dipengaruhi
oleh faktor motivasi, kemampuan, pengetahuan, keahlian, pendidikan, pengalaman, pelatihan, minat,
sikap, kepribadian, kondisi-kondisi fisik dan kebutuhan fisiologis, kebutuhan social, dan kebutuhan
egoistik, dalam melakukan pekerjaannya pada periode tertentu yang dilakukan sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan. Jika kita persempit kembali, inti dari kesimpulan diatas, faktor kinerja terdiri
dari kemampuan dan motivasi.

Berkaitan dengan kinerja dosen, dapat dikategorikan dalam kinerja individu. Hal ini disebabkan
karena setiap dosen mempunyi kualifikasi dan motivasi yang berbeda – beda dalam menjalankan
profesinya. Untuk kinerja individu, Mathis, Robert, dan L Jackson dalam Umi Narimawati ( 2005 )
menyatakan ” In most organization the performance of individual employees is a major determinant of
organization success”. Sedangkan Albanes dan Soelaiman Sukmana dalam Umi Narimawati (2005) merinci
factor kinerja individu dalam tiga factor; (a) abilities and skill, (b) role perception, dan (c) effort or
motivation. Senada dengan Albanes dan Soelaiman Sukmana, teori Mathis, Robert L, dan Jackson dalam
Umi Narimawati (2005) juga mengemukakan faktor yang mempengaruhi kinerja individu dalam tiga
faktor, yaitu; (a) individual ability to do the work, (b) effort level expended, and (c) orgazational
support.

Motivation

Ability

Human Performance

Sedangkan Rivai dan Basri dalam Anggiat Parlindungan Simbolon (2005) mennggambarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja karyawan sebagai berikut :

= +

Skill

Knowledge
Ability

Situation

Attitude

Motivation

= +

= +

Gb. 2. 1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

 Sumber : Performance Appraisal, Basri & Rivai (2005:21)

2.1.3.2 Pengukuran Kinerja Dosen

Untuk mengetahui tinggi rendahnya kinerja dosen dalam melakukan pekerjaannya maka diperlukan
adanya system penilaian terhadap kinerja dosen. Penilaian kinerja adalah suatu cara yang digunakan
untuk mengukur pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Sebagai tenaga professional, dosen yang bekerja dan menjalankan tugasnya, profesi juga perlakukan
dilakukan penilaian dalam menjalankan pekerjaannya sebagai pendidik. Pentingnya penilaian kinerja
dosen juga dikemukakan oleh Aiken Lewis R dalam Umi Narimawati (2005)

“ Bahwa penilaian terhadap kinerja dosen penting/ perlu dilakukan, mengingat dosen dalam posisi
penting dalam mempengaruhi pelaksanaan pendidikan mahasiswanya maka tidak mengherankan apabila
pemerintah, orang tua mahasiswa, serta yang lain memeprhatikan mutu pendidikan melalui kemampuan
seorang dosen”.

Fakry Gaffar dalam Umi Narimawati (2005) membagi kinerja guru menjadi tiga bidang besar, yaitu;
(a) content knowledge, (b) behavior skill, dan (c) human relation skill. Sedangkan Achmad Sanusi dan
Rachman Natawidjaja dalam Umi Narimawati (2005) membagi kinerja dosen secara konseptual mencakup
aspek kemampuan professional, kemampuan sosial, dan kemampuan pribadi. (1) Kemampuan
professional meliputi ; penguasaan materi pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus
diajarkan dan konsep – konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkan, penguasaan dan penghayatan
atas landasan/ wawasan kependidikan dan keguruan, penguasaan proses – proses pendidikan, keguruan,
dan pembelajaran siswa. (2) Kemampuan sosial mencakup; kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada
tujuan dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. (3) Kemampuan pribadi
mencakup : penampilan dan sikap yag positif terhadap keseluruhan situasi sebagai guru dan terhadap
keseluruhan situasi pendidikan beserta unsure – unsurnya, pemahaman, penghayatan, dan penampilan
norma – norma yang seyogyanya dianut oleh seorang guru serta penampilan uapaya untuk menjadikan
cirinya sebagai panutan dan teladan siswanya.
Sehubungan dengan penilaian kinerja, Craigh dalam umi Narimawati (2005) mengidentifikasi sumber –
sumber masalah dalam penilaian kinerja, yaitu; (a) competency problem, (b) motivational problem, dan
(c) leadership and organizational problem. Dengan demikian kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh
kompetensi yang dimiliki oleh setiap individu yang dilakukan evaluasi. Motivasi seseorang dalam
melakukan tugas serta gaya kepemimpinan yang berlaku, aturan, dan lingkungann dari suatu organiasi
tempat seseorang bekerja.

2.1.3.3 Indikator Kinerja

Indikator kinerja dosen menurut Kenneth dalam Umi Narimawati (2005) merinci tiga faktor kinerja dosen
dalam tiga faktor yaitu; (a) mahasiswa, (b) profesi, dan (c) mahasiswa. Sedangkan Fortuna dalam Umi
Narimawati (2005) mendefinisikan kinerja dosen sebagai pelaksanaan tugas tri dharma perguruan tinggi
yang terdiri dari bidang pendidikan dan pengajaran, bidang penelitian, dan bidang pengabdian pada
masyarakat.

2.1.4. Mutu Layanan Kepada Mahasiswa

Dalam hal lembaga pendidikan atau universitas sebagai lembaga/ organisasi jasa, maka aspek
mutu layanan merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka memuaskan pelanggan (terutama
mahasiswa sebagai pelanggan primer). ”Layanan adalah segala sesuatu yang diinginkan pelanggan”
(Levinson, 2002:32). Berkaitan dengan mutu, Tjiptono dalam Agenda Erliana Ginting, (2009)
mengatakan :

Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pelayanan yang bermutu
adalah pelayanan yang simpatik, disiplin, bertanggungjawab, dan penuh perhatian kepada
setiap pelayanan yang diberikan sehingga memberikan kepuasan atas pelayanan yang
diberikan.

Sedangkan Gronross dalam Agenda Erlangga Ginting (2009) mendefinisikan bahwa :

Mutu layanan ( Service Quality ) sebagai penilaian dari perbandingan antara harapan
pelanggan dengan kinerja aktual pelayanan. Dengan kata lain ada dua faktor uatama yang
mempengaruhi mutu jasa yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang
diterima atau yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka mutu jasa dinilai baik
dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka mutu jasa
dinilai sebagai mutu yang ideal. Dan jika mutu jasa yang diterima lebih rendah daripada
yang diharapkan maka mutu jasa dinilai buruk atau tidaka memuaskan.

Lembaga pendidikan atau fakultas menawarkan layanan program pendidikan kepada para
mahasiswanya, tentu saja berdasarkan pada kaidah-kaidah layanan yang sesuai dengan konsep
pemasaran, yaitu bagaimana memberikan yang terbaik kepada konsumennya. Lembaga pendidikan
sebagai lembaga yang menawarkan jasa harus mampu memberikan kepuasan kepada konsumennya
melalui mutu layanan (service quality) yang diberikan. Sejalan dengan pernyataan ini, menurut Noel
(1998:1) : ”Educational institutions offer programs that possess many of the marketing characteristics
and fundamentals”. Lembaga pendidikan menawarkan program-program yang mempunyai banyak
karakteristik dan asas-asas pemasaran. Ini artinya, kepuasan konsumen atau orientasi pelanggan melalui
mutu layanan sebagai salah satu tujuan pemasaran menjadi sangat penting bagi suatu lembaga
pendidikan tinggi. Beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya pelanggan bagi pemasar antara lain :
(1) pelanggan bukan pengganggu, justru untuk merekalah kita bekerja dan merekalah yang membiayai
lembaga kita, (2) pelanggan membantu lembaga untuk mendapatkan pelanggan lainnya, karenanya
pelanggan harus dilayani dengan baik sehingga kepuasan mereka merupakan kebahagiaan dan
keberhasilan kita, dan (3) pelanggan dapat menentukan citra lembaga dan juga merupakan aset terbesar
bagi suatu lembaga. Dalam industri jasa seperti pendidikan tinggi, kepuasan pelanggan sangatlah
ditentukan oleh personel/dosen yang berhubungan langsung dengan pelanggan (mahasiswa).

Menurut Handi Irawan (2002:147) :

Kepuasan saat berinteraksi, yaitu waktu dimana pelanggan mendapatkan pelayanan, adalah 70% akan
bergantung pada kemampuan front-line staff atau personel kontak.

Sama halnya dengan lembaga-lembaga lainnya, pendidikan tinggi juga dituntut untuk mampu memuaskan
klien/konsumennya melalui upaya peningkatan mutu layanan pendidikan dalam rangka keberhasilan
lembaga itu sendiri.

Dengan memandang perguruan tinggi/universitas sebagai lembaga pendidikan dimana berlangsung proses
pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan-lulusan. Di sini, prestasi perguruan tinggi diukur dari
kemutakhiran ilmu yang diajarkan dan tingkat penguasaan lulusan terhadap apa-apa yang diajarkan.
Keberadaan dosen sebagai pemberi jasa pendidikan dan mahasiswa sebagai konsumen utama jasa
pendidikan mencerminkan kuatnya hubungan antara dosen dan mahasiswa.

Konsep yang memandang faculty members (dosen) dan students(mahasiswa) sebagai konsumen utama


bagi suatu perguruan tinggi akan menjadi suatu sisi keunggulan bersaing yang berdampak pada
bagaimana perguruan tinggi/ universitas menarik (attract), mempertahankan (retain), dan melayani
(serve) seluruh konsumennya” (Grant dan Anderson, 2002:32).

Ini artinya, para dosen tersebut berkemauan dan berkemampuan dalam memberikan layanan terbaiknya
kepada mahasiswa sebagai peserta didik sekaligus pengguna utama jasa pendidikan.

Ahmed dan Rafiq (2002:285) menyatakan :


Providing service is an art, Providing service profitably is a science”.Memberikan layanan adalah suatu
seni. Memberikan layanan secaraprofitable adalah suatu ilmu. Ini artinya untuk memberikan layanan
terbaik dibutuhkan keterpaduan seni dan ilmu yang memadai, tidak terkecuali bagi seorang dosen.

Dosen yang baik adalah dosen yang dapat membantu mahasiswa untuk belajar, sebagaimana
dikemukakan Harden dan Crosby (2000:334); ”A good lecturer can be defined as a lecturer who helps the
student to learn”. Dengan demikian, dapat dipahami jika Noorsalam R. Nganro dan Sonny Yuliar (2003:3)
menyatakan bahwa : ”(1) teachingmerupakan kegiatan utama dalam perguruan tinggi; (2) mahasiswa
merupakan objek utama (atau pelanggan primer) dan padanya kualitas jasa (atau mutu layanan)
proses teaching diukur, dan (3) interaksi dengan pasar atau dunia sosio-ekonomik cenderung
bersifat supply push”. Mutu dosen dalam memberikan layanan kepada mahasiswa tidak hanya dapat
diukur dari tingkat disiplin dosen, tetapi juga mutu atau kualitas teaching dari dosen.

Menurut Cornesky dalam Daulat P. Tampubolon (2001:318), dosen adalah ”super-leader”, sebab dia


harus mampu memberdayakan para mahasiswa sedemikian rupa dan bukan hanya yang berbakat saja.
Karenanya tanpa dosen bermutu, jasa pendidikan bermutu tidak mungkin dicapai.

Secara umum, Russell-Jones dan Fletcher (2002:113) menyatakan : ”Bagi kebanyakan pelanggan,  service
provider adalah ”wajah manusiawi” suatu organisasi. Dengan kata lain pada lembaga pendidikan tinggi
atau universitas, dosen sesungguhnya merupakanservice provider. Dalam hubungannya dengan
pemasaran jasa, maka dosen yang berfungsi sebagai service provider tersebut sangat mempengaruhi
mutu jasa pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa sebagai konsumen atau pelanggannya.
Mahasiswa akan mempunyai persepsi yang positif terhadap lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai
dosen dengan mengutamakan mutu layanan (service quality) pendidikan. Lebih dari itu, pelanggan
(dalam hal ini mahasiswa) dapat menentukan citra dan juga merupakan assetsterbesar dalam neraca
keuangan suatu lembaga pendidikan tinggi. Menurut Elnan dan Andersen dalam Daing Nasir
Ibrahim (1999:387) bahwa : ”Service quality is believed to have a positive and direct effect on overall
customer satisfaction”. Jadi mutu layanan diyakini mempunyai pengaruh positif dan langsung terhadap
kepuasan konsumen secara keseluruhan. Semakin tinggi mutu layanan pendidikan yang diberikan akan
semakin tinggi tingkat kepuasan mahasiswa. ”Mutu layanan memiliki dua komponen penting : (1) mutu
teknis, yaitu dimensi hasil proses operasi jasa; dan (2) mutu fungsional, yaitu dimensi proses dalam hal
interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa (Payne, 2000:275).

Mutu layanan tidak hanya terbatas hubungan antara konsumen dan perusahaan jasa atau lembaga. Tetapi
lebih dari itu, mutu layanan merupakan hubungan personel (personal relationship) antara seorang
konsumen yang dilayani dengan orang yang memberikan layanan pada waktu terjadinya kontak layanan
(Peter dan Donnelly, 1995:210).

Pernyataan ini menunjukkan pentingnya para personel/orang yang berada pada garis depan ( front-line
people) dalam fungsinya sebagaiservice provider untuk berorientasi pada konsumen (customer-oriented).
Jika para personal yang memberikan layanan tidak ramah (unfriendly), tidak membantu (unhelpful)
dengan sungguh-sungguh, tidak kooperatif (uncooperative) atau tidak menarik konsumennya, maka para
konsumen akan mempunyai kesan negatif dan tidak mustahil untuk berpaling. Jadi untuk memberikan
mutu layanan terbaik kepada konsumen, dibutuhkan orang-orang/ para personel yang memahami
pentingnya mutu layanan sebagai kunci keberhasilan organisasi jasa, termasuk untuk lembaga pendidikan
tinggi.

Lembaga pendidikan tinggi atau kampus dapat digambarkan sebagai tempat dimana mahasiswa
mendapatkan kepercayaan (melalui layanan yang bermutu), dan fakultas atau dosen mendapatkan
penilaian kedudukan yang baik dari pengguna jasa pendidikan (McCarthy dan Tucker, 2002:629). Dalam
melayani mahasiswa dosen tidak hanya memberikan jasa pendidikan dalam bentuk kajian ilmu
pengetahuan, tetapi sesungguhnya tujuan umum dari lembaga pendidikan adalah mengajarkan kepada
mahasiswa bagaimana berfikir (Teaching students how to think is a universal goal of educational
institutions) (Smith, 2003:24). Pernyataan ini menunjukkan pentingnya peran dosen sebagai pihak
penghasil jasa pendidikan dan mahasiswa sebagai pihak penilai jasa pendidikan yang akan menentukan
kontinuitas dan keberhasilan suatu lembaga pendidikan tinggi/universitas.

Sebagai service provider pada perguruan tinggi, dosen sangat mempengaruhi mutu layanan yang
diberikan kepada mahasiswa sebagai pihak penerima jasa pendidikan.

Salah satu pendekatan mutu layanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model
SERVQUAL (service quality), dengan menggunakan lima dimensi mutu layanan, meliputi : bukti fisik
(tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati
(empathy), Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam Philip Kottler (2006).

Kotler dan Fox (2006:397) menyatakan bahwa : ”Colleges, universities, and other educational
institutions can be classified as service organizations”.. Lebih lanjut, Parasuraman dalam Muhardi (2005)
memberikan pengertian terhadap lima dimensi utama SERVQUAL tersebut sebagai berikut :

1. Tangibles : Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication


materials (Penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan berbagai materi komunikasi).

2. Reliability: Ability to perform the promised service, dependably and accurately (Kemampuan untuk
memberikan layanan sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat).

3. Responsiveness; Willingness to help customers and provide prompt service (Kemampuan untuk


membantu konsumen dan memberikan layanan dengan segera).

4. Assurance: Knowledge and courtesy of employees and their ability to inspire trust and
confidence (Pengetahuan, kesopansantunan dan kemampuan para pegawai untuk menumbuhkan rasa
percaya dan keyakinan bagi konsumennya).
5. Empathy: Caring, individualized attention the firm provides its customers (Kepedulian, memberikan
perhatian individual pada konsumen).

Kelima dimensi mutu layanan (tangibles, reliability, responsiveness,


assurance, dan empathy) dapat dipengaruhi secara langsung oleh personel jasa, Yazid dalam Muhardi
(2005). Dalam penelitian ini personel jasa yang dimaksudkan adalah dosen sebagai service provider pada
suatu lembaga pendidikan tinggi swasta, di satu sisi yang langsung memberikan layanan kepada
mahasiswa, dan mahasiswa pada di sisi lain sebagai penerima jasa yang harus dilayani dengan baik.
Suatu service tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium dan tidak bisa diraba, karenanya tangible menjadi
penting sebagai salah satu ukuran mutu layanan menurut konsep SERVQUAL. Mahasiswa sebagai
konsumen akan mempunyai persepsi bahwa seorang dosen memberikan layanan yang baik, apabila alat
bantu yang digunakan dosennya dalam mendukung proses belajar mengajar kondusif, misalnya tidak
hanya menggunakan textbook, OHP dan transparansi, tetapi didukung alat bantu utama seperti
diktat/modul atau buku yang disusun dosen bersangkutan, serta in focus atau teknologi komputer.
Kekinian referensi buku/textbook/diktat/modul sebagai pegangan atau acuan utama dosen dalam
mengajar menjadi indikator mutu layanan dosen pada mahasiswa. Selain itu, mahasiswa juga akan
menilai penampilan fisik dosen. Dosen yang berpenampilan rapi akan menimbulkan kesan yang baik bagi
mahasiswanya.

Mutu layanan juga ditentukan oleh dimensi reliability. Handi Irawan (2002:61) dari hasil
penelitiannya menyatakan bahwa : ”.... sekitar 60% dari keluhan konsumen berasal dari ketidakpuasan
konsumen yang berhubungan dengan dimensi reliability”. Reliabilityadalah kemampuan untuk
memberikan layanan sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat. Pada lembaga pendidikan
tinggi penilaian mahasiswa terhadap dosen untuk dimensi reliability ini dapat ditunjukkan oleh
ketepatan dosennya dalam memenuhi jadwal mengajar; konsistensi dosennya dalam memberikan mateir
kuliah dan layanan pengajaran, misalnya konsistensi isi materi kualiah yang disampaikannya dengan
satuan acara perkuliahan yang sudah ditentukan dosennya pada pertemuan awal kuliah, konsistensi tata
aturan perkuliahan yang dijanjikan dengan pelaksanaannya; juga dapat dinilai dari kemampuan dosennya
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa dalam kaitannya dengan materi yang
disampaikan/ didiskusikan dalam kelas, atau dimensi ini dapat pula diukur dari ketepatan waktu dosen
dalam menyampaikan nilai atau hasil ujian kepada mahasiswanya.

Dimensi mutu layanan ketiga adalah responsiveness. Dimensi ini ditunjukkan oleh kemampuan


personel untuk membantu konsumen dalam memberikan layanan dengan
tanggap. ”Responsiveness adalah dimensi mutu layanan yang paling dinamis” (Handi Irawan, 2002:65).
Seorang dosen yang baik adalah dosen yang dapat membantu dan memotivasi mahasiswanya untuk
belajar dengan baik, sebagaimana dinyatakan Harden dan Crosby (2000:334): ”A good lecturer can be
defined as a lecturer who helps the student to learn”. Bagi mahasiswa, dimensi ini dapat diukur dari
kesediaan dosennya dalam memberikan waktu layanan yaitu konsultasi atau bimbingan akademis kepada
mahasiswa, dukungan yang diberikan dosen dalam memotivasi mahasiswanya, atau juga berupa
kesempatan waktu yang diberikan dosennya untuk bertanya kepada mahasiswa guna memahami materi
kuliah yang disampaikan.

Dimensi mutu layanan berikutnya adalah assurance. Assuranceberhubungan dengan


pengetahuan, kesopansantunan dan kemampuan personel untuk menumbuhkan rasa percaya dan
keyakinan bagi konsumennya. Assurance atau jaminan salah satunya dapat ditunjukkan oleh personal
atau dalam hal ini dosen dari profesionalismenya dalam mengajar. Dosen harus profesional, mempunyai
pengetahuan yang memadai ditambah keahlian tertentu yang dibutuhkan sebagai seorang ilmuan.
Profesionalisme yang dimaksud dapat berupa kesiapan mengajar, cara mengajar yang terbuka dan
interaktif, ketidakkakuan dalam mengajar, contoh dan penerapan isi materi kuliah yang diberikan, dan
kemudahan dalam memahami materi yang disampaikannya. Assurance dapat juga ditunjukkan oleh
kualifikasi akademik dosen, apakah dilihat dari tingkat pendidikan atau pengalaman mengajarnya. Rasa
percaya dan keyakinan mahasiswa sebagai konsumen pada dosennya dapat pula diukur dari kemampuan
dosen dalam mengendalikan emosinya pada waktu dosen tersebut mengajar.

Dimensi empathy merupakan dimensi terakhir dari lima dimensi mutu layanan. ”Empati


merupakan gerbang emosi (turut merasakan apa yang orang lain rasakan) yang bersifat positif ...”
Juliansyah Noor dalam Muhardi (2005). Empati mengimplikasikan adanya perhatian dosen secara
individual kepada mahasiswa sebagai konsumennya. Bagi dosen sebagai service provider yang melayani
mahasiswa secara langsung, empathy dapat berupa perhatian dosen terhadap prestasi belajar individu
mahasiswa, objektivitas dosen dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa, serta kepedulian dosen
dalam menangani permasalahan akademis yang dihadapi individu mahasiswanya.

Selain kajian pustaka yang didasarkan pada teori tentang kompetensi, motivasi, kinerja dosen
dan mutu layananan, penulis dalam penyusunan tesis inin juga mengacu kepada beberapa penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan oleh beberapa peniliti untuk mendukung penelitian ini. Hasil – hasil
penelitian tersebut antara lain :

Tabel 2. 1

Penelitian – Penelitian Terdahulu yang Sejenis

No Peneliti Judul Penelitian Kesimpulan Hasil Penelitian


1 Muhardi, (2004) Pengaruh Pemasaran Internal  Pemasaran internal berpengaruh
Terhadap Kepuasan Dosen nyata terhadap kepuasan
Tetap dan Komitmennya Pada dosen tetap
Mutu Jasa Pendidikan, Serta
Implikasinya Terhadap Mutu  Pemasaran internal dan
Layanan Kepada Mahasiswa
kepuasaan dosen tetap secara
keseluruhan berpengaruh
terhadap komitmen dosen
pada mutu jasa pendidikan

 Kepuasan dosen tetap dan


komitmen pada mutu jasa
pendidikan secara
keseluruhan berpengaruh
terhadap mutu layanan
kepada mahasiswa
2 Umi Narimawati, Pengaruh Kecocokan Kerja,  Kecocokan pekerjaan dengan
Kepuasan Kerja, dan Komitmen kepuasan kerja dan kepuasan
(2005) Organisasional Terhadap Intensi kerja dengan komitmen
Keluar Dosen dan Kinerja organisasional dosen
Dosen mempunyai hubungan yang
positif
( Suatu Survey Pada Dosen
Tetap Yayasan Universitas  Kepuasan kerja dan komitmen
Swasta di Propinsi Jawa Barat organisasional dosen
dan Banten mempunyai pengaruh yang
negatif terhadap intensi
keluar dosen dari profesinya.

 Kepuasan kerja dan komitmen


organisasional berpengaruh
positif terhadap kinerja
dosen.

 Intensi keluar dosen mempunyai


pengaruh yang negatif
terhadap kinerja dosen.
3 Decy Erni Nasution, Pengaruh Motivasi Perawat  Tanggung jawab perawat
Terhadap Tindakan Perawatan berpengaruh terhadap
(2008) Pada Pasien Pasca Bedah di tindakan perawatan
ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Dr. Pirngadi Kota Meda  Pengaruh pretasi,
pengembangan, kondisi
kerja, status perawat, dan
gaji terhadap tindakan
perawat tidak signifikan
4 I Gusti Ayu Made Faktor – faktor Penentu  Faktor penentu pelayanan
Kepuasan Mahasiswa Terhadap fakultas terhadap mahasiswa
Srindi dan Desak Putu Pelayanan Fakultas Sebagai berdasarkan skala prioritas
Eka Nilakusmawati, Lembaga Pendidikan (Studi adalah reliability. Indikator
(2008) Kasus di FMIPA, Universitas yang membentuk
Udayana) faktorreliability adalah (1)
profesionalisme, (2)
keramahan staf/ karyawan,
(3) kenyamanan dalam
pelayanan, (4) kesopanan
staf, (5) kejelasan pemberian
informasi oleh staf, dan (6)
akurasi perhitungan nilai
pada KHS
5 Sholeh Hidayat, Hubungan Minat Terhadap  Minat Terhadap profesi dan
Profesi Guru dan Motivasi Motivasi Berprestasi dengan
(2006) Berprestasi dengan Ketrampilan Ketrampilan Mengajar
Mengajar mempunyai hubungan yang
positif baik secara simultan
maupun parsial
6 Heri Martono, (2007) Pengaruh Kompetensi dan  Kompetensi dan Motivasi
Motivasi Pembimbing Klinik pembimbing klinik
Terhadap Kinerja Pembimbing mempunyai pengaruh yang
Praktek Kilinik di RSUD positif terhadap kinerja
Kabupaten Sragen pembimbing klinik baik
secara parsial maupun
simultan.
7 Kusnan, (2007) Peningkatan Mutu  Dengan perencanaan yang
Pembelajaran. ( Analisis Kasus matang dan performa dosen
Pada Program Studi PAI yang meyakinkan akan dapat
STAIN Manado) diwujudkan suatu proses
pembelajaran yang kondusif,
produktif, dan
menyenangkan sehingga
dapat menghasilkan output
dan outcome yang
berkualitas dan mampu
bersaing di era global.
8 Agenda Erliana Pengaruh Motivasi Kerja  Motivasi intrinsik maupun
Petugas KIA Terhadao Mutu ekstrinsik mempunyai
Ginting, (2009) Pelayanan KIA Di Puskesmas pengaruh yang positif
Kabupaten Aceh Tenggara terhadap mutu pelayanan
Tahun 2008. KIA.
9 Tuti Alawiyah, (2005) Pengaruh Persepsi Tentang  Kompetensi dan Minat
Kompetensi Dosen dan Minat Mahasiswa mempunyai
Mahasiswa Terhadap pengaruh yang positif
Pemahaman Mata Ajar terhadap pemahaman belajar
Orthodontia Pada Mahasiswa mahasiswa.
Fakultas Kedokteran Gigi
UPDM (b) Jakarta
10 Fithriani Sarworini, Hubungan Kemampuan dan  Terdapat pengaruh yang positif
Motivasi Terhadap Kinerja antara kemampuan dan
(2007) Pegawai Dinas Kependudukan, motivasi terhadap kinerja
Tenaga Kerja dan Transmigrasi baik secara parsial maupun
Kabupaten Karanganyar simultan.
11 Edy Suparno, (2005) Pengaruh Kompetensi, Motivasi  Ada pengaruh yang signifikan
Kerja, dan Kecerdasan antara kompetensi, motivasi,
Emosional Guru Terhadap dan kecerdasan emosional
Kinerja di SMP Negeri Se- terhadap kinerja.
Rayon Barat Kabupaten Sragen
12 Hasib Ardani, (2003) Hubungan Peran Koordinasi  Adanya hubungan kinerja
Kepala Ruangan dengan perawat dalam program
Kinerja Perawat Pelaksana pengendalian mutu layanan.
Dalam Program Pengendalian
Mutu Pelayanan Keperawatan
Di RSUD Pandan Arang
Boyolali Tahun 2003

Terdapat beberapa persamaan variabel dalam penelitian diatas dengan penelitian yang peneliti lakukan
antara lain dengan penelitian yang dilakukan oleh Heri Martono yang berjudul ” Pengaruh Kompetensi
dan Motivasi Pembimbing Klinik Terhadap Kinerja Pembimbing Praktek Kilinik di RSUD Kabupaten Sragen
”. Perbedaan antara penelitian dalam tesis ini dengan penelitian tentang kompetensi dan Motivasi yang
dilakukan oleh Herri Martono adalah selain tempat penelitian dan obyek penelitian adalah dalam tesis
ini, peneliti memasukan variabel mutu layanan setelah variabel kinerja sebagai variabel  independent.
Tujuan akhir penelitian Herri Martono adalah Kinerja dari perawat sedangkan tujuan akhir yang ingin
penelitian dalam tesis ini adalah tingkat mutu layanan yang dilakukan dosen pada universitas swasta di
kota Bandung, Jawa Barat.

Penelitian tentang pengaruh kinerja terhadap mutu layanan juga dilakukan oleh lakukan oleh Hasib
Ardani dengan judul ” Hubungan Peran Koordinasi Kepala Ruangan dengan Kinerja Perawat Pelaksana
Dalam Program Pengendalian Mutu Pelayanan Keperawatan Di RSUD Pandan Arang Boyolali Tahun 2003 ”.
Perbedaan dengan penelitian dalam tesis ini adalah pada variabel X. Variabel X dalam penelitian Hasib
Ardani Peran Koordinasi sedangkan dalam tesis ini variabel X ada dua, yaitu kompetensi dan motivasi dari
dosen. Selain perbedaan variabel X, lokasi dan obyek penelitian Hasib Ardani dengan penelitian tesis ini
juga berbeda, yaitu Hasib Ardani mengambil obeyk perawat sebagai obyek penelitian sedangkan tesis ini
mengambil obyek penelitian dosen.

Penelitian tentang kinerja dosen juga dilakukan oleh Umi Narimawati, (2005). Perbedaan dengan
penelitian tesis ini adalah dalam variabel X tentang kecocokan kerja, kepuasan kerja, dan komitmen
organisasional terhadap intensi keluar dosen dan kinerja dosen.

2.2 Kerangka Pemikiran

Mutu pendidikan universitas swasta sangat ditentukan oleh mutu layanan yang diberikan oleh univers itas
tersebut. Ibarat suatu proses produksi, layanan pendidikan adalah proses. Sedangkan mutu pendidikan
merupakan hasil dari proses layanan yang diberikan oleh pihak universitas swasta. Umi Narimawati,
(2005), mengatakan bahwa dunia pendidikan sekarang dituntut untuk menyajikan pelayanan pendidikan
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mengarah ke globalisasi. Oleh sebab itu setiap
lembaga pendidikan mempunyai misi untuk menghasilkan tenaga lulusan yang siap pakai. Maksud siap
pakai dalam hal ini mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) persaingan lulusan yang semakin ketat, 2)
Dapat dikatakan tidak ada lulusan yang 100% langsung memenuhi tuntutan kebutuhan para pemakainya,
dan 3) perlu adanya internasionalisasi akreditasi perguruan tinggi yang belum tergambar p ada Badan
Akreditsi Nasional, sedangkan ACFTA terlah berjalan dan dampaknya sudah dapat kita rasakan saat ini.

Sebagai suatu proses, suatu layanan memerlukan input dan tenaga pengolah yang handal dan
berkompeten. Dalam dunia pendidikan, input dalam layanan pendidikan di sebuah perguran tinggi adalah
mahasiswa – mahasiswa baru yang masuk dan akan melakukan proses belajar dan mengajar. Mahasiswa
adalah konsumen ( Kotler dan Fox, Chung dan MacLarney, dalam Bilimoria Rambat Lupiyoadi dalam
Muhardi (2004;53) Dosen yang handal dan dan memenuhi kualifikasi tertentu akan menghasilkan suatu
out put yang baik pula.

Selain input, faktor yang kalah pentingnya adalah pelaku proses tersebut. Dalam dunia
pendidikan, faktor yang paling menentukan dalam proses layanan di perguruan tinggi adalah dosen. Umi
Narimawati (2005) dalam desertasinya mengemukakan argumentasinya berkaitan dengan pentingnya
faktor dosen dalam penyelenggaraan layanan pendidikan di perguruan tinggi. Pertama, dosen adalah
seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara pendidikan tinggi
dengan tugas utama mengajar, meniliti, dan melakukan pengabdian pada masyarakat, pada perguruan
tinggi yang bersangkutan. Kedua, kompetensi profesional dosen yang dicerminkan dalam bentuk kinerja
yang efektif merupakan elemen utama pendukung kelancaran misi perguruan tinggi. Artinya,
ketersediaan proses pendidikan di perguruan tinggi belum merupakan jaminan yang memadai apabila
tidak diimbangi dengan dosen yang bermutu.

Selain faktor kompetensi, keberhasilan suatu bentuk layanan juga ditentukan oleh faktor motivasi.
Terutama untuk instituasi yang bergerak dalam bidang jasa. Target kerja dari suatu perusahaan yang
bergerak dalam bidang jasa adalah terciptanya sauatu bentuk layanan yang dapat memuaskan
pelanngannya. 

Variabel motivasi yang paling dominan bagi dosen dalam mengikuti sertifikasi dosen adalah
masalah perbaikan kesejahteraan. Pemberian tunjangan khusus sebagai tenaga profesional bagi dosen
yang telah bersertifikasi menjadi alasan utama bagi para dosen untuk mengikuti sertifikasi tersebut.
Pernyataan peniliti dapatkan dari beberapa pernyataan secara verbal dari beberapa dosen; Dr. Atty
Juniarty disela - sela perkuliahan di Pasacasarjana MM Unpas mengatakan bahwa faktor yang paling
dominan bagi dosen dalam mengikuti sertifikasi dosen adalah adanya tunjangan yang diberikan. Begitu
juga yang pernyataan yang diberikan oleh Dosen Institut Sepuluh Nopember, Bapak Bachtiar, mengatakan
bahwa motivasi dalam paling dominan mengikuti sertifikasi dosen adalah adanya tambahan tunjangan
bagi dosen yang telah bersertifikasi.

Prof. Rully Indrawan, 2008, dalam makalahnya yang berjudul ” Aplikasi UU Guru dan Dosen
Dalam Kondisi PTS Jawa Barat ” juga mengatakan bahwa ” Perbaikan kesejahteraan diasumsikan sebagai
prasayarat perbaikan kinerja. Walaupun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah. Bahkan
Prof Rully (2008) juga mengatakan bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan guru dosen menjadi miniatur
bagi buramnya dunia pendidikan di Indonesia.

Layanan atau orang bisa menyebut dengan service. Dalam beberapa teori, mutu layanan sering
diartikan dengan service quality atau mutu jasa. Kedua istilah ini mempunyai arti yang sama karena pada
dasarnya, layanan adalah sebuah bentuk jasa.

Beberapa pendapat pakar mengenai layanan adalah sebagai berikut :

1) Nabsiah Abdul Wahid et al., dalam Daing Nasir Ibrahim dalam Muhari, ( 2004: 53) mengatakan ” As
provider of a profesional service, every single higher educational institution should, in their
business orientation, be ”curtomer focussed ”. This means, putting their clients ( student ) first
a nd to deliver programs that match their perception of quality and satisfaction”.

2) Parasuraman, Zeitham, Bitner dalam Muhardi (2004:54) menyatakan ”.....a critical element of
customer perception ....., service quality will be the dominant element in customers
evaluations

3) Conduit adn Quigg dalam Muhardi (2004: 55) ”...one way to increase service quality is to improve
employee job satisfaction, as the attitude of employees impact heavily on the curtomers
perception of service quality.”

Dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, mutu menjadi pembicaraan yang signifikan
( quality has became a significant thene of discussion among higher education institutions) ( Joseph
dalam Muhardi, 2004 56). Salah satu yang hal yang diperlukan dalam meningkatkan mutu layanan
dalam pendidikan adalah komitmen dari penyelenggara proses pendidikan itu sendiri.

Untuk dapat menyelenggarakan suatu proses layanan yang baik dan mampu menjawab
tuntutan dari kosumennya, suatu suatu perguruan tinggi harus mempunyai dosen – dosen yang
berkompeten dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap mutu layanan yang diharapkan. Seorang
dosen tidak akan bisa dapat memberikan layanan pendidikan yang baik dan bermutu jika tidak
mempunyai kompetensi. ”...the lecturer as a quality assurer and as the primer mover should be an
expert in his her field” Lilik Hendrajaya dalam Muhardi 2004: 51. Dengan demikian faktor dosen
dalam menetukan mutu layanan perguruan tinggi sangat menentukan. Pernyataan ini dapat dipahami
karena dosen merupakan ”key success factor” (Khoe Yao Tung, 2002:82) dan ”marketing agent”
( Buchari Alma, 2000:313) yang menimbulkan alasan bagi mahasiswa maupun calon mahasiswa dan
mempunyai dampak langsung terhadap mutu layanan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi,
Muhardi (2004: 56).

Berdasarkan uraian diatas dapat kita dapat melihat hubungan antar variabel. Baik hubungan
antara kompetensi dengan motivasi sebagai variabel independent. Pengaruh variabel kompetensi
sebagai variabel independent terhadap kinerja sebagai variabel dependent. Variabel motivasi
sebagai variabelindependent terhadap variabel kinerja sebagai variabeldependent. Maupun pengaruh
secara simultan antara kompetensi dan motivasi sebagai variabel independent terhadap kinerja
sebagai variabel independent. Teori – teori pendukung penelitian dan hasil penelitian terdahulu yang
menjadi acuan dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut :

a. . ”...the lecturer as a quality assurer and as the primer mover should be an expert in his her
field” Lilik Hendrajaya dalam Muhardi, (2004: 51)

b. Seorang dosen profesional mempunyai peran ganda, yaitu senantiasa memelihara dan
mengembangkan profesionalisme dan keahliannya sekaligus berusaha memahami dan
meningkatkan kepuasan pelangganya. Pelanggan utama dosen adalah mahasiswa. Pedoman
Penjaminan Mutu Akademik Universitas Indonesia, (2010).

c. Santoso dan Muchlasin dalam Agus Harjono (2005) dalam penelitian di RS Teleogorejo, Semarang,
menyatakan bahwa persepsi kepuasan dan keluhan pasien terhadap pelayanan rawat inap dan
pelayanan perawat rawat jalan mata dipengaruhi oleh persepsi pasien tentang kompetensi
interpersonal perawat yang terdiri dari keramahan, kesabaran, perhatian, kesopanan dan
ketanggapan perawat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kepuasan seseorang pasien sangat
dipengaruhi oleh persepsinya terhadap kompetensi interpersonal perawat

d. Sholeh Hidayat, (2004), menyatakan bahwa motivasi berprestasi mempunyai hubungan yang positif
dengan ketrampilan mengajar. Salah satu kompetensi pedagogik bagi seorang guru adalah
ketrampilan dalam memberikan pelajaran kepada peserta didik. Dengan demikian, antara
kompetensi dengan motivasi mempunyai hubungan yang positif. Seseorang yang mempunyai
kompetensi tinggi cenderung akan mempunyai motivasi lebih untuk berprestasi.
e. Motivasi kerja intrinsik ( kemajuan, pekerjaan itu sendiri, pengakuan ) dan motivasi kerja
ekstrinsik ( Gaji ) berpengaruh terhadap mutu layanan KIA di Puskesmas Kabupaten Aceh
Tenggara. Agenda Erliana Ginting,(2008 ).

Dari beberapa teori diatas dan beberapa hasil penelitian yang menjadi acuan peneliti bahwa
dosen yang memiliki kompetensi dan mempunyai motivasi yang tinggi akan mampu menunjukkan
kinerja yang unggul. Dosen akan dengan sukarela dan mampu memberikan layanan pendidikan
kepada mahasiswa dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lebih jelasnya, konsep
pemikiran dalam penilitan ini dapat dilihat dalam gambar 2.1 dibawah ini :

( X1 )

KOMPETENSI

 Kompetensi intelektual

 Kompetensi emosional

 Kompetensi Sosial

( Spencer & Spencer dalam Umi


Narimawati, 2005)

( Hasib Ardani, 2003)


MUTU
LAYANAN
KEPADA
MAHASISWA

(Z)

 Tangible

 Responsiveness

 Realible

 Empathy

 Assurance

(Philip
Kotler,
2006:383)

( Rully Indrawan, 2008)

(Y)

Kinerja
(Lilik Hendrajaya, dalam Muhardi, 2004

( X2 )

MOTIVASI

 Existence

 Related

 Growth

( Aldefer dalam Umi


Narimawati 2009)
(Sholeh Hidayat, 2004)
( Rully Indrawan, 2008) (Erlangga Ginting, 2008)

Gambar 2.2. Paradigma Penelitian

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dan rumusan masalah diatas maka dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut :

1. Kompetensi dan motivasi berdampak terhadap kinerja baik secara simultan maupun parsial

2. Kompetensi dan motivasi berdampak terhadap mutu layanan baik secara simultan maupun parsial

3. Kinerja berdampak terhadap mutu layanan

Anda mungkin juga menyukai