Anda di halaman 1dari 6

CSIS Commentaries is a platform where policy researchers and analysts can present their timely analysis on various

strategic issues of interest, from economics, domestic political to regional affairs. Analyses presented in CSIS
Commentaries represent the views of the author(s) and not the institutions they are affiliated with or CSIS Indonesia.

CSIS Commentaries DMRU-076-ID


22 Mei 2020

Operasi Militer Selain Perang (OMSP)


di Masa Pandemi COVID-19
Iis Gindarsah
Peneliti, Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia
iis.gindarsah@csis.or.id

Pada rapat kabinet awal Mei 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menginstruksikan seluruh
pimpinan kementerian/lembaga negara untuk segera mengendalikan pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) “dengan cara apa pun”. Perintah sapu jagat ini meniscayakan pengerahan segenap
kemampuan dan sumber daya, termasuk intelijen dan militer untuk memutus mata rantai penularan
penyakit itu. Dalam dua bulan terakhir, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah terlibat di antaranya
dalam rangka pemulangan warga negara Indonesia dan pengiriman bantuan kemanusiaan dari/ke
negara sahabat seperti Tiongkok dan Fiji. Naskah ini memuat proyeksi skenario dan rekomendasi
kebijakan terkait pelaksanaan “operasi militer selain perang” (OMSP) dalam rangka penanggulangan
pagebluk terkini di Indonesia.
Skenario Pelibatan Militer
Secara teoritis, operasi selain perang merupakan pemanfaatan “kapasitas tak terpakai” (idle capacity)
organisasi militer di masa damai. Pelibatan TNI dalam penanganan pandemi COVID-19 cenderung

1
dipengaruhi oleh tiga faktor risiko, yaitu tingkat penularan wabah penyakit itu, kemampuan institusi
sipil untuk mengatasinya dan dampak pandemi terhadap stabilitas sosial-politik. Kombinasi ketiganya
akan menghasilkan sembilan situasi hipotetis atau skenario keamanan dalam negeri (lihat Bagan 1).
Kondisi ideal dapat tercipta apabila institusi sipil memiliki kemampuan yang memadai, baik untuk
menanggulangi pagebluk maupun memelihara keamanan dan ketertiban umum. Sebaliknya,
perkembangan negatif diproyeksikan terjadi di tengah keterbatasan kapasitas atau bahkan
ketidakmampuan birokrasi sipil dan melemahnya pranata sosial akibat pandemi.
Mengacu pada kesembilan skenario tersebut, ada tiga karakter OMSP oleh TNI dalam rangka
penanggulangan wabah COVID-19 dan dampaknya. Pertama, operasi bakti (civic action) yang digelar
dalam situasi relatif stabil sebagai wujud kepedulian sosial oleh militer seperti penyediaan layanan
medis dan pendistribusian logistik kesehatan di daerah-daerah yang terdampak. Kedua, tugas-tugas
“perbantuan” TNI untuk mendukung atau menopang kapasitas institusi-institusi sipil dalam
menangani dampak dan mengantisipasi risiko-risiko sosial. Penugasan ini antara lain membantu
otoritas di bidang kesehatan, transportasi, keimigrasian dan kepolisian dalam menegakkan aturan atau
protokol pencegahan penularan wabah. Ketiga, pengerahan kekuatan militer dalam rangka pemulihan
keamanan dalam negeri. Karakter OMSP ini cenderung ditempatkan sebagai upaya terakhir untuk
meredam skenario terburuk berupa krisis politik dan gejolak sosial akibat memuncaknya angka
penularan penyakit.
Bagan 1. Skenario Stabilitas Keamanan dan OMSP di Masa Pandemi

Kemampuan sipil Kemampuan sipil Kemampuan sipil


memadai memadai memadai
Puncak pandemi Pandemi meluas Pandemi menurun
Krisis sosial Friksi sosial Kohesi sosial
II
Tugas Operasi
Perbantuan Bakti I

Kemampuan Kemampuan
Kemampuan
terbatas terbatas
terbatas
Puncak pandemi Pandemi meluas
Pandemi menurun
Krisis sosial Friksi sosial

Operasi
Kamdagri
III
Ketidakmampuan Ketidakmampuan
institusi sipil insitusi sipil Pandemi menurun
Puncak pandemi Pandemi meluas Friksi sosial
Darurat politik Krisis sosial

2
Regulasi dan Praktik
Secara umum, ada setidaknya empat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar legal bagi
pelibatan TNI dalam rangka penanggulangan dampak wabah COVID-19. Regulasi pertama adalah
Undang-Undang (UU) No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 4 mengatur bahwa salah
satu tujuan penanggulangan bencana adalah “menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang
sudah ada”. Artinya, undang-undang ini merupakan rujukan utama untuk “menjamin terselenggaranya
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh”.
Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 50, undang-undang ini menetapkan bahwa dalam hal status
keadaan darurat bencana, “Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (…) mempunyai
kemudahan akses yang meliputi (…) komando untuk memerintahkan sektor/lembaga” termasuk TNI.
Saat ini, pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Keputusan
Presiden (Keppres) No. 7 dan 9/2020 pun menetapkan Kepala BNPB Letjen Doni Monardo sebagai
Ketua Pelaksana dan pejabat Asisten Operasi Panglima TNI selaku salah satu Wakil Ketua Pelaksana.
Yang kedua adalah UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-undang ini cenderung
mengategorikan wabah COVID-19 sebagai ancaman “non-militer”. Karena itu, mengacu pada Pasal
7 dan 19, penanggulangannya menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai
unsur utama atau dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman
yang dihadapi. Namun demikian, ketentuan dan penjelasan Pasal 10 ayat (3) UU Pertahanan Negara
tetap memberi peluang bagi TNI untuk melaksanakan operasi militer selain perang dalam rangka
penanggulangan bencana “berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan”.
Tabel 1. Kerangka Regulasi Terkait OMSP untuk Penanganan Bencana

Undang-
No. Ketentuan Substansi Pengaturan
Undang
Menegaskan bahwa salah satu tujuan penanggulangan
Pasal 4 bencana adalah menyelaraskan peraturan perundang-
UU No. undangan yang ada.
1
24/2007 Memberikan kemudahan akses bagi BNPB untuk
Pasal 50 memerintahkan sektor/lembaga dalam keadaan darurat
bencana.
Pasal 10 ayat Menetapkan bahwa TNI bertugas di antaranya
(3) huruf c melaksanakan OMSP.
UU No.
2 Penjelasan
3/2002 Menjelaskan bahwa OMSP dilaksanakan berdasarkan
Pasal 10 ayat
permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan.
(3) huruf c
Mengatur bahwa TNI dapat menggelar OMSP termasuk
untuk membantu menanggulangi akibat bencana alam,
UU No. Pasal 7 ayat pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan,
3
34/2004 (2) huruf b membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Polri,
dan mengamankan obyek vital nasional yang bersifat
strategis.

3
Menjelaskan bahwa bahwa bantuan kemanusiaan adalah
Pasal 1
bantuan yang diberikan untuk menjamin hakikat dan
Permenhan
martabat manusia yang terganggu atau berkurang karena
No. 9/2011
bencana alam dan lain-lain.
Perppu Mengatur tentang penetapan keadaan bahaya dan pemangku
4 No. otoritas dalam keadaan darurat sipil, darurat militer dan
23/1957 darurat perang.

Regulasi ketiga adalah UU No. 34/2004 tentang TNI. Secara spesifik, Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa
pemerintah dapat menggelar 14 bentuk OMSP termasuk untuk “membantu penanggulangan akibat
bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusian”. Sejak disahkan tahun 2004, TNI
telah dilibatkan setidaknya 8 (delapan) kali dalam OMSP untuk penanggulangan bencana, yaitu pada
saat tsunami di Aceh (2004), gempa di Nias (2005), Yogyakarta (2006), Sumatera Barat (2009), banjir
bandang di Wasior (2010), gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai (2010), gempa di Lombok,
gempa dan tsunami di Palu (2018).
Meskipun telah ditetapkan sebagai peristiwa “bencana non-alam”, pemerintah tetap dapat menggelar
OMSP untuk penanggulangan pagebluk COVID-19. Peraturan Menteri Pertahanan No. 9/2011
tentang pokok-pokok penyelenggaraan bantuan TNI dalam menanggulangi bencana alam,
pengungsian dan bantuan kemanusiaan menjelaskan bahwa “bantuan kemanusiaan adalah bantuan
yang diberikan untuk menjamin hakikat dan martabat manusia yang terganggu atau berkurang karena
bencana alam dan lain-lain”. Merujuk pada ketentuan tersebut, pelibatan TNI untuk menanggulangi
wabah penyakit terkini dapat dikategorikan sebagai OMSP dalam rangka pemberian bantuan
kemanusian.
OMSP juga dapat digelar untuk tugas-tugas perbantuan lainnya. Berdasarkan UU No. 6/2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah telah menerbitkan Keppres No. 11/2020 tentang penetapan
kedaruratan masyarakat akibat pandemi COVID-19 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020
tentang “pembatasan sosial berskala besar” (PSBB) guna mengatasi penyebaran wabah. Dalam
konteks itu, TNI dapat dilibatkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan-kebijakan teknis melalui
gelar OMSP untuk “membantu tugas pemerintahan di daerah” dan “membantu Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat”.
Bahkan, pemerintah dapat menggelar OMSP untuk “mengamankan obyek vital nasional yang bersifat
strategis”. Keppres No. 63/2004 telah mengatur kriteria obyek-obyek yang dimaksud tersebut, yaitu:
(i) menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari; (ii) ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan
bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan; (iii) ancaman dan gangguan terhadapnya
mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau (iv) ancaman dan
gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara.
Mengingat urgensi dan dampaknya terhadap keselamatan bangsa, pemerintah dapat melibatkan
personil TNI untuk menjaga fasilitas-fasilitas strategis seperti rumah sakit darurat dan pusat-pusat
logistik.
Rezim peraturan yang keempat adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.
23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Pada prinsipnya, regulasi ini dapat diberlakukan apabila dalam
penanggulangan wabah COVID-19, terjadi konflik bersenjata, ancaman kekerasan dan gejala-gejala
yang dapat membahayakan hidup negara. Pasal 1 regulasi ini mengatur bahwa pemerintah dapat
mendeklarasikan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam 3 tingkatan keadaan, yaitu darurat

4
sipil, darurat militer, dan perang. Berbeda dari undang-undang kedaruratan lainnya, risiko utama dari
pemberlakuan Perppu No. 23/1959 adalah penganuliran kebebasan sipil yang cenderung akan
memantik polemik politik dan penentangan dari masyarakat sipil.
Guna mengantisipasi skenario terburuk, pemerintah dapat mempertimbangkan penerbitan Perppu
baru dengan 2 alternatif substansi, yaitu (1) memuat pengaturan yang ditujukan untuk mengantisipasi
berbagai spektrum keadaan bahaya; atau (2) memuat ketentuan-ketentuan yang khusus untuk
menanggulangi risiko keamanan selama penanganan pandemi COVID-19. Substansi lain yang perlu
diatur dalam Perppu baru tersebut adalah pengaturan tentang mobilisasi sumber daya nasional dalam
penanggulangan kedaruratan. Aspek ini penting mengingat ketentuan Pasal 63 dalam UU No. 23/2019
tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara mensyaratkan bahwa
pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan keadaan darurat militer atau keadaan perang untuk
memobilisasi warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana.
Komando Tugas Gabungan Terpadu TNI
Secara umum, Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) TNI adalah komando tugas yang
bersifat sementara (ad-hoc) dan dibentuk sesuai dengan karakter bencana. Komando tugas ini pertama
kali diadopsi oleh TNI dalam penanggulangan bencana alam pada tahun 2018 (lihat Bagan 2). Dalam
struktur Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan Pasca Gempa Lombok, misalnya, pimpinan
Kogasgabpad TNI bertindak selaku Komandan dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat bertindak
selaku Penanggung Jawab dan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat
selaku wakil komandan.
Bagan 2. Organisasi Kogasgabpad TNI (2018)

PANGKOGASGAB
WAPANGKOGASGAB

STAF KHUSUS STAF KOGASGAB DENMA

KU SIBER REN LOG KIMA HUB

PEN KES INTEL TER DENZIBANG DENBEKANG

ALAT BERAT PSI OPS PERS

TIM RELAWAN KOMLEK

DANSATGAS PB DANSATGAS WIL DANSATGAS LAUT DANSATGAS UDARA TIM HELI

SEKTOR 1 SEKTOR 2 SEKTOR 3 SEKTOR 4

Sebagai bagian dari Gugus Tugas COVID-19, Markas Besar (Mabes) TNI telah membentuk 4
Kogasgabpad di bawah pengawasan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan
(Kogabwilhan) I, yaitu di Wisma Atlet Kemayoran, Pulau Natuna, Pulau Sebaru dan Pulau Galang.

5
Keempat komando tugas tersebut dipimpin secara berturut-turut oleh Panglima Kodam Jaya,
Panglima Koopsau I, Panglima Koarmada I dan Panglima Kodam I/Bukit Barisan. Secara operasional,
masing-masing Kogasgabpad terdiri dari “satuan pendamping” yang bertugas menangani pasien
COVID-19, “satuan pendukung” yang menangani dukungan komando dan kendali, kemarkasan,
administrasi, logistik dan peralatan, serta “satuan pengamanan” yang ditempatkan di ring-1, 2 dan 3
fasilitas kesehatan darurat tersebut.
Dalam rangka mempercepat penanganan pandemi tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan 2
alternatif penguatan peran Kogasgabpad TNI. Pertama, merancang struktur Kogasgabpad yang lebih
sesuai untuk mendukung pelaksanaan kebijakan “pembatasan sosial berskala besar” (PSBB) di daerah;
hingga bulan ini, tercatat sebanyak 19 kabupaten/kota di 12 provinsi telah memberlakukan PSBB (lihat
Bagan 2). Kogasgabpad tersebut dapat dikepalai oleh Panglima Komando Utama Operasi
(Kotamaops) TNI di wilayah-wilayah yang dianggap menjadi episentrum pandemi.
Bagan 3. Daftar Daerah dan Linimasa Pemberlakuan PSBB

DKI Jakarta 10 Apr - 22 Mei

Bodebek 15 Apr - 26 Mei


3 Apr
Permenkes No.9/2020 18 Apr - 31 Mei
Banten
Pedoman PSBB

Apr Mei Jun

19 Mei
Riau 17 Apr - 28 Mei
(Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, Siak, Bengkalis, Dumai)
Sumatera Barat 22 Apr - 29 Mei

Bandung Raya, Jawa Barat 22 Apr - 29 Mei

Tegal Kota, Jawa Tengah 23 Apr - 23 Mei

Makassar, Sulawesi Selatan 24 Apr - 22 Mei

Banjarmasin, Kalimantan Selatan 24 Apr - 21 Mei

Tarakan, Kalimantan Utara 26 Apr - 30 Mei

Surabaya Raya, Jawa Timur 28 Apr - 25 Mei

Gorontalo 3 Mei - 1 Jun

Gowa, Sulawesi Selatan 6 Mei - 19 Mei

Jawa Barat 6 Mei - 20 Mei KETERANGAN:


Buol, Sulawesi Tengah 12 Mei - 25 Mei Jabodetabek
Kalimantan Selatan (Kab Banjar, Banjarbaru, Barito Kuala) 16 Mei - 29 Mei Jawa
Palembang, Sumatera Selatan 21 Mei - 3 Jun
Luar Jawa
Prabumulih, Sumatera Selatan 21 Mei - 3 Jun

Kedua, membentuk susunan organisasi Komando Tugas Gabungan Terpadu Nasional


(Kogasgabpadnas). Idealnya, komando tugas ini dijabat oleh perwira senior dengan otoritas untuk
menggunakan kekuatan TNI bagi kepentingan OMSP di masa pandemi. Mengacu pada Pasal 14 dan
15 dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 66/2019 tentang Susunan Organisasi TNI, peran komando
tersebut hanya dapat dipegang langsung oleh Panglima TNI atau didisposisikan kepada Wakil
Panglima. Alternatif ini cenderung dapat ditempatkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan Keppres
No. 12/2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional.

CSIS Indonesia, Pakarti Centre Building, Indonesia 10160


Tel: (62-21) 386 5532| Fax: (62-21) 384 7517 | csis.or.id
COVID-19 Commentaries Editors
Philips J. Vermonte, Shafiah Muhibat, Vidhyandika Perkasa, Yose Rizal Damuri, Beltsazar Krisetya

Anda mungkin juga menyukai