Disusun Oleh:
dr. Afni Basyariah Harahap
Pembimbing:
dr. Astuty Minaria PakPahan
Judul
Oleh:
dr. Afni Basyariah Harahap
Telah diterima sebagai salah satu tugas mengikuti kegiatan intersip di Puskesmas
Kesatria Kota Pematang Siantar , Periode Mei 2020 – Februari 2021
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat, karunia,
dan rahmat yang diberikan kepada penulis dalam menempuh Internsip di
Puskesmas Jangkar, Situbondo, Jawa Timur. Atas ridho-Nya pula, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan Mini Project dengan judul “Angka
kepatuhan minum obat penderita Diabetes Melitus tipe 2 terkontrol yang
berkunjung ke Puskesmas Kesatria tahun 2021” untuk memenuhi salah satu syarat
program Internsip di Puskesmas Kesatria kota Pematang Siantar
Penulisan mini project ini juga tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
pengarahan banyak pihak, karena itu penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada :
1. dr. Astuty Minaria PakPahan selaku pendamping dokter Internship.
2. Rekan-rekan Teman Sejawat dan Paramedis yang telah membantu pengerjaan
mini project.
3. Rekan – rekan dokter Internsip.
4. Dan semua pihak yang membantu secara langsung dan tidak langsung dalam
pengerjaan mini project ini.
Penyusunan mini project ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan mini
project ini. Semoga mini project ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
2.1 Definisi Diabetes Melitus...............................................................................4
2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus..........................................................................4
2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe-2............................................................4
2.4 Gejala Klinis Diabetes Melitus Tipe-2...........................................................7
2.5 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2................................................................9
2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus...............................................................10
2.7 Pemantauan..................................................................................................12
2.8 Kriteria Pengendalian DM............................................................................14
2.9 Penyulit Diabetes Melitus............................................................................16
2.10 Kerangka Teori...........................................................................................20
2.11 Hipotesis Kerja...........................................................................................20
BAB 3 METODE PENELITIAN........................................................................21
3.1 Kerangka Konsep Penelitian...................................................................21
3.2 Defenisi Operasional Variabel................................................................21
3.3 Desain / Rancangan Penelitian................................................................21
3.4 Populasi dan Sampel...............................................................................22
3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................23
iii
3.6 Metode Pengumpulan Data.....................................................................23
3.7 Analisis Data...........................................................................................24
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................................27
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian...................................................................27
4.2 Hasil Analisi Univariat............................................................................29
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................29
5.1 Kesimpulan...................................................................................................29
5.2 Saran.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus.......................................................8
Tabel 2. 2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes9
Tabel 2. 3 Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia..........20
Tabel 2. 4 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Lama Kerja (Time
Course of Action).................................................................................22
Tabel 2. 5 Prosedur Pemantauan............................................................................14
Tabel 2. 6 Sasaran Pengendalian Diabetes Melitus...............................................15
Tabel 2. 7 Konversi Glukosa Darah Rerata ke perkiraan HbA1c..........................16
Tabel 3. 1 Definisi Oprasional...............................................................................22
Tabel 4. 1 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien Prolanis DM Tipe-2 dalam
Menjalankan Pengobatan Diabetes Melitus...........................................................26
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien DM Tipe-2 dalam Menjalankan
Pengobatan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin.............................................27
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien DM Tipe-2 dalam Menjalankan
Pengobatan Pengobatan Berdasarkan Usia............................................................28
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Patofisiologi Diabetes Tipe 2.............................................................5
Gambar 2. 2 Gejala Klinis Diabetes Melitus Tipe 2...............................................7
Gambar 2. 3 Algoritma intensifikasi terapi injeksi GLP-1RA pada DMT2.........23
Gambar 3. 1 Kerangka Konsep..............................................................................21
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) atau disebut diabetes yang merupakan penyakit
gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi insulin
yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar
gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan kosentrasi glukosa di dalam darah
(hiperglikemia). (Infodatin: Waspada Diabetes, 2014)
Terdapat dua kategori utama diabetes mellitus yaitu tipe 1 dan tipe 2.
Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin-dependent atau juvenile/childhood-onset
diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi insulin yang kurang efektif
oleh tubuh. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari seluruh diabetes. Sedangkan
diabetes gestational adalah hiperglikemia yang didapatkan saat kehamilan.
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Impaired Glucose Tolerance (IGT)
dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDP Terganggu) atau Impaired
Fasting Glycemia (IFG) merupakan kondisi transisi antara normal dan
diabetes. Orang dengan IGT atau IFT berisiko tinggi berkembang menjadi
diabetes tipe 2. Dengan penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup,
perkembangan menjadi diabetes dapat dicegah atau ditunda. (Infodatin:
Waspada Diabetes, 2014)
Penyakit diabetes melitus tidak dapat disembuhkan,tetapi, kadar gula
darah dapat dikendalikan dengan cara pengaturan diet, olahraga, dan obat-
obatan. Tatalaksana diabetes melitus tipe 2 meliputi terapi non farmakologi
yang mencakup perubahan gaya hidup dengan mengatur pola makan yang
dikenal dengan istilah terapi diet, meningkatkan aktivitas fisik, dan edukasi
berbagai permasalahan yang terkait dengan penyakit diabetes melitus yang
dilakukan secara kontinu; serta terapi farmakologi, yang mencakup
pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
Pada prinsipnya, terapi farmakologi diberikan jika penerapan terapi non
farmakologi tidak bisa mengendalikan kadar glukosa darah seperti yang
1
diharapkan. Pemberian terapi farmakologi tetap tidak meninggalkan terapi
non farmakologi yang telah diterapkan sebelumnya. Tujuan utama terapi diet
pada diabetes melitus tipe 2 adalah menurunkan dan mengendalikan berat
badan, selain tentunya mengendalikan kadar gula darah dan kolestrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Yulia S tahun 2015 yang menunjukkan
bahwa angka ketidakpatuhan penderita DM tipe-2 terhadap terapi diet
diabetes melitus yang melebihi 50% di wilayah puskesmas Kedungmundu
Kota Semarang. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Angka kepatuhan minum obat penderita Diabetes
Melitus tipe 2 terkontrol yang berkunjung ke Puskesmas jangkar tahun 2020”.
2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas Kesatria
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dan program
kerja selanjutnya tentang pentingnya kepatuhan minum obat diabetes
melitus tipe-2.
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai acuan dalam memberikan edukasi dengan memberikan
penyuluhan kepada pasien diabetes melitus tipe-2 tentang pentingnya
rutin mengkonsumsi obat DM.
1.4.3 Bagi Peneliti dan Peneliti Selanjutnya
Menambah wawasan terkait kepatuhan minum obat diabetes melitus
pada pasien diabetes melitus tipe-2 yang terkontrol dan sebagai bahan
pertimbangan serta dapat dikembangkan di penelitian lebih lanjut
dengan mengambil aspek lain yang berpengaruh.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
merasakan tingkat glukosa darah, sintesis insulin, dan sekresi insulin),
proinsulin dan struktur molekul insulin, reseptor insulin, sintesis hepatic
glukosa, sintesis glucagon dan respon selular untuk stimulasi insulin. Gen
yang abnormal dikombinasikan dengan pengaruh lingkungan, seperti obesitas.
(Robert E. Jones, 2010)
Mekanisme patofisiologi diabetes tipe 2 meliputi resistensi insulin dan
menurunnya sekresi insulin sel beta. Kedua mekanisme penting untuk
perkembangan diabetes tipe 2. Meskipun banyak individual dengan faktor
resiko untuk diabetes tipe 2 (termasuk: Obesitas, sindrom metabolik, dan
hipertensi) insulin resisten, hanya pada individual yang memiliki predisposisi
gen pada disfungsi sel beta (dan gangguan relatif pada insulin) (Robert E.
Jones, 2010).
Resistensi insulin didefinisikan sebagai respon jaringan insulin yang
sensitive (khususnya liver, otot, dan jaringan adipose) untuk insulin. DMT2
sering menjadi konstributor utama pada resistensi insulin melalui beberapa
mekanisme yang penting: (Robert E. Jones, 2010)
1. Adipokine, hormone yang memproduksi jaringan adipose. Reseptor
nucleus disebut peroxisome proliferator activated receptor gamma
(PPARγ), peningkatan sel adipose yang tinggi dan perggantian adipokine,
termasuk peningkatan serum leptin (resistensi leptin) dan resistin dan
penurunan kadar adiponektin.
2. Peningkatan serum free fatty acid (FFA) dan deposit intraselular pada
trigliserida dan kolesterol juga ditemukan individual yang obesitas yang
memiliki “metabolik yang berlebihan” (kalori tinggi dan peningkatan
lipid).
3. Inflamasi sitokin (TNF-α, IL-6) terlepas dari adiposit intra-abdominal atau
adiposit yang berhubungan dengan sel mononuclear dan termasuk resisten
insulin melalui mekanisme post reseptor.
4. Obesitas berhubungan dengan hiperinsulinemia dan penurunan densitas
insulin
5
Gambar 2. 1 Patofisiologi Diabetes Tipe 2 (Robert E. Jones, 2017)
Glucagon, hormon yang memproduksi sel alpha pada pankreas dan memiliki
peran utama di liver untuk meningkatkan glukosa darah dengan menstimulasi
glikogenolisis dan glukoneogenesis. (Robert E. Jones, 2017)
Pada pasien yang menderita DMT2, sel alpha pankreas kurang responsif
terhadap penghambatan glukosa sehingga menghasilkan peningkatan
produksi sekresi glukagon. Pada tingkat tinggi glukagon yang abnormal
memiliki peran dalam peningkatan produksi hepatik pada glukosa dan
resultan hiperglikemia yang dapat terlihat pada diabetes tipe 2. (Robert E.
Jones, 2017)
Amylin, hormon co-sekresi dengan insulin sel beta. Defisiensi A pada amylin
di tipe 1 dan diabetes tipe 2 dapat mengurangi sekresi insulin. (Robert E.
Jones, 2010)
Amylin menghambat sekresi glukagon, dan masalah dengan glikemik
berhubungan kontrol glukagon dan nutrien yang berhubungan dengan defisit
amylin. (Robert E. Jones, 2017)
Incretin, kelas peptida yang terlepas dari traktus gastrointestinal yang
direspon saat asupan makanan dan sensitivitas sel beta meningkat untuk
sirkulasi tingkat glukosa. (Robert E. Jones, 2017)
6
Ghrelin, peptida diproduksi di lambung dan pankreas yang menstimulasi
reseptor GH (growth hormone). Penurunan level sirkulasi ghrelin memiliki
kaitan dengan resistensi insulin dan peningkatan insulin tingkat puasa (Robert
E. Jones, 2017)
7
Gambar 2. 2 Gejala Klinis Diabetes Melitus Tipe 2 (E R Pearson, 2018)
8
2.5 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2
Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar darah glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyadang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
9
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2 jam <140mg/dl.
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl.
GDPT dan TGT sama-sama didapatkan
Diagnosis prediabetes bisa didapatkan melalui hasil pemeriksaan HbA1c
5.7-6.4%
Tabel 2. 2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam setelah
HbA1C (%)
(mg/dL) TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabete
5,7 – 6,4 100-125 140-199
s
Normal < 5,7 70-99 70-139
10
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengolaan pasien secara
komprehensif.
Penatalaksanaan pada DM tipe 2 menurut PERKENI 2019 memiliki 4 pilar,
yaitu:
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan fisik
4. Terapi farmakologis
2.6.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai upaya pencegahan dan merupakan bagian penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi
edukasi tingkat awal dan materi edukasi lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer yang meliputi:
Materi tentang perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target
pengobatan
Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
hiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (jika pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia)
Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
11
Pentingnya perawatan kaki
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan/ atau Tersier, yang meliputi:
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi)
Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit)
Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi
mutakhir tentang DM
Pemeliharaan/ perawatan kaki
12
2.6.2 Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM
secara komprehesif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya). Terapi TNM sevaiknya diberikan
sesuai dengan kepatuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampur sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.
A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:
Lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori
13
Lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %
Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA)
sebanyak 12-15 %.
Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak
jenuh tunggal: lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2 : 1.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
c. Protein
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik
tinggi.
Penyandang DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1 – 1,2 g/kgBB perhari.
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Sumber bahan makanan
protein dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA) yang
tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan
produk hewani olahan sebaiknya dikurangi konsumsi.
d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu < 1500 mg per hari.
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual.
Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga
memperhatikan bahan makanan yang mengandung tinggi
natrium antara lain adalah garam dapur, monosodium
14
glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat
dan natrium nitrit.
e. Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.
Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 14 gram/
1000 kal atau 20-35 gram per hari, karena efektif.
f. Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake/ ADI). Pemanis alternatif
dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol
dan fruktosa.
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM
karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada
alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin,
acesulfame potasium, sukrose, dan neotame.
B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalo/kgBB ideal ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin,
15
umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara
perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita
di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
o Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg
o BB Normal : BB ideal ± 10 %
o Kurus : < BBI - 10 %
o Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh
(IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB (kg)/ TB (m2)
Klasifikasi IMT:
o BB Kurang < 18,5
o BB Normal 18,5-22,9
o BB Lebih ≥ 23,0 :
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II ≥ 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
a. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25
kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi
5% untuk setiap dekade antara 40 dan 59 tahun, pasien usia di
antara 60 dan 69 tahun dikurangi 10%, pasien usia di atas 70
tahun dikurangi 20%.
16
c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan
pada kedaaan istirahat.
Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan: pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai
industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani,
buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan.
Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat:
tukang becak, tukang gali.
d. Stress Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma).
e. Berat Badan
Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi
sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.
Penyandang DM yang kurus, kebutuhan kalori ditambah
sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB.
Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal
perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
17
Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 –
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes dengan usia muda
dan bugar dapat melakukan 90 menit/ minggu dengan latihan aerobik
berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.
Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik.
Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus mengonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk
menunda latihan fisik.
Glinid
18
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
19
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.
20
a.5 Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2
inhibitor)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di
tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin.
Obat golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat
badan dan tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat
pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada
penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan
penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila LFG kurang dari
45 ml/menit. Hati-hati karena dapat mencetuskan ketoasidosis. Obat
yang termasuk dalam golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei
2015.
Tabel 2. 3 Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia
21
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
b.1 Insulin
Insulin digunakan pada keadaan:
HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan satu
atau dua obat antidiabetes
HbA1c saat diperiksa > 9%
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis Hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
22
Tabel 2. 4 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Lama Kerja (Time
Course of Action)
23
b.2 Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Agonis GLP-1 mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan, dan
memperlambat pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar
glukosa darah postprandial. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang
termasuk golongan ini adalah Liraglutide, Exenatide, Albiglutide,
dan Lixisenatide.
24
Gambar 2. 3 Algoritma intensifikasi terapi injeksi GLP-1RA pada DMT2
c. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi dapat dilakukan jika pengaturan diet dan kegiatan
jasmani berhasil, serta dilakukan bersamaan dengan pemberian obat
antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian
obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, kemudian dinaikan secara bertahap sesuai dengan
respon kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. (Soeltisjio, 2019)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah, insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan
sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan
mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. (Soeltisjio,
2019)
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada
keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan
Sulfonilurea dihentikan dengan hati-hati. (Soeltisjio, 2019)
25
Konsensus Perkeni 2019: Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia
10
Penjelasan untuk algoritma Pengelolaan DM Tipe 2. (Soeltisjio, 2019)
1. Untuk pasien DM Tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka
pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.
2. Untuk pasien DM Tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5%, atau pasien
yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa
mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat
yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memiliki
mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka
diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain
yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3
bulan tidak mencapai target HbA1c < 7%.
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai dengan
gejala dekompensasui metabolik atau penurunan berat badan yang cepat, maka
boleh diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin
(atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi terhadap metformin)
ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala
dekompensasi metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat
hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin,
namun tidak mencapai target HbA1c < 7% selama minimal 3 bulan
pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian
terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
8. HbA1c 7% setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 154 mg/dL. HbA1c 7
– 7,49% setara dengan rerata glukosa darah puasa atau sebelum makan 152
mg/dL, atau rerata glukosa darah post prandial 176 mg/dL. HbA1c > 9%
setara dengan rerata glukosa darah sewaktu ≥ 212 mg/dL.
11
2.7 Pemantauan
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
Glukosa 2 jam setelah makan, atau
Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
Frekuensi pemeriksaan dilakukan setidaknya satu bulan sekali.
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai
HbA1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana
perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan. Pada pasien yang telah
mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1c tidak dapat
dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir,
keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal.
HbA1c mempunyai keterbatasan pada berbagai keadaan yang
mempengaruhi umur sel darah merah. Saat ini terdapat cara lain seperti
12
pemeriksaan glycated albumin (GA) yang dapat dipergunakan dalam
pemantauan.
Pemeriksaan GA dapat digunakan untuk menilai indeks kontrol
glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme
hemoglobin dan masa hidup eritrosit seperti HbA1c. Pemeriksaan HbA1c
merupakan indeks kontrol glikemik jangka panjang (2-3 bulan),
sedangkan proses metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada
hemoglobin dengan perkiraan 15-20 hari sehingga GA merupakan indeks
kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan seperti sindrom
nefrotik, pengobatan steroid, obesitas berat dan gangguan fungsi tiroid
dapat mempengaruhi nilai pengukuran GA.
13
Tabel 2. 5 Prosedur Pemantauan
1. Tergantung dari tujuan pemeriksaan tes dilakukan pada waktu:
Sebelum makan
2 jam sesudah makan
Sebelum tidur malam
2. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari
3. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan
secara rutin. Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai
bulan) apabila pasien terkontrol baik secara konsisten
4. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi
insulin, ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin dan
memantau timbulnya hipoglikemia
5. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas
tinggi, pada keadaan krisis, atau pada pasien yang sulit mencapai
target terapi (selalu tinggi, atau sering mengalami hipoglikemia),
juga pada saat perubahan dosis terapi
*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari
(bed-time) dilakukan pada jam 22.00
14
Tabel 2. 6 Sasaran Pengendalian Diabetes Melitus
15
Tabel 2.7 Konversi Glukosa Darah Rerata ke perkiraan HbA1c
b. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70
mg/dL. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem autonom, seperti adanya
whipple’s triad:
16
1. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah yang rendah
3. Gejala berkurang dengan pengobatan
17
(claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala.
Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat
ditemukan pada penyandang.
a.3 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik.
b. Mikroangiopati
b.1 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskular yang
paling umum dan paling berpotensi sebagai penyebab
kebutaan. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko atau memperlambat progresi retinopati.
Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati. Gejala
retinopati diabetes antara lain floaters, pandangan kabur,
distorsi, dan kehilangan ketajaman visual progresif
(progressive visual acuity loss). Tanda-tanda retinopati
diabetes antara lain pembentukan mikroaneurisma, perdarahan
berbentuk api (flame shaped hemorrhages), edema retina dan
eksudat, cotton-wool spot, venous loops dan venous beading,
kelainan mikrovaskular intraretina dan makular edema. Metode
pemeriksaan pada retinopati diabetes menggunakan imaging
study, antara lain angiografi fluoresen, optical coherence
tomography scanning dan ultrasonografi B-scan. Pemeriksaan
mata rutin dilakukan setiap 2 tahun pada pasien tanpa temuan
retinopati pada skrining awal, dan setiap 1 tahun pada pasien
dengan temuan retinopati diabetik. Pemeriksaan dapat lebih
sering pada retinopati stadium lanjut.
Retinopati diabetes dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu:
b.1.1 Retinopati diabetes nonproliferatif
1. Ringan: diindikasikan dengan setidaknya terdapat 1
mikroaneurisma
18
2. Sedang: adanya perdarahan, mikroaneurisma, dan
eksudat
3. Berat: dikarakterkan dengan perdarahan dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran, dengan venous
beading setidaknya pada 2 kuadran serta kelainan
mikrovaskular intraretinal setidaknya pada 1 kuadran
(4-2-1).
b.1.2 Retinopati diabetes proliferatif
Terdapat gambaran neovaskularisasi, perdarahan
preretina, perdarahan dalam vitreous, proliferasi jaringan
fibrovaskular, traction retinal detachments, dan makular
edema.
b.2 Nefropati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi nefropati. Untuk
penyandang penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak
direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko
kardiovaskular dan menurunkan GFR ginjal.
b.3 Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala yang sering
dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
terasa lebih sakit di malam hari. Setelah diagnosis DMT2
ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris dengan
melakukan pemeriksaan neurologi sederhana (menggunakan
monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian diulang
paling sedikit setiap tahun. Pada keadaan polineuropati distal
perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk
19
menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi. Pemberian
terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin dapat
mengurangi rasa sakit. Semua penyandang DM yang disertai
neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki.
b.4 Kardiomiopati
Pasien diabetes memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk
terjadinya gagal jantung dibandingkan pada non-diabetes.
Diagnosis kardiomiopati diabetik harus dipastikan terlebih
dahulu bahwa etiologinya tidak ada berkaitan dengan adanya
hipertensi, kelainan katup jantung dan penyakit jantung
koroner. Pada pasien diabetes disertai dengan gagal jantung,
pilihan terapi yang disarankan adalah golongan penghambat
SGLT-2 atau agonis reseptor GLP-1.
20
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pasien DM
Terapi Antidiabetes oral
Mengontrol glukosa
Edukasi
darah Perlu kepatuhan terhadap
pengobatan untuk mencegah Terapi nutrisi medis
atau mengurangi terjadinya Latihan fisik
komplikasi diabetik
Terapi farmakologis
Evaluasi
21
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
1. Kepatuhan Ketaatan Data Rekam 1=Patuh Nominal
minum obat pasien DM pasien Medis 2=Tidak
diabetes dalam yang patuh
melitus pengobatan datang
berobat
2. Jenis Atribut Data Rekam Nominal
Laki-laki
Kelamin fisiologis dan pasien medis (L)
anatomis yang -
yang datang Perempua
membedakan berobat n (P)
antara laki-
laki dan
perempuan
saat
dilahirkan
3. Usia Usia dewasa Data Rekam Nominal
20 - 44
muda hingga pasien medis tahun
lansia yang
45 - 54
datang tahun
berobat
55 - 59
tahun
60 - 69
tahun
22
Jenis desain penelitian yang dipakai pada penelitian ini Metode
penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
menggambarkan masalah yang terjadi pada masa lalu atau masalah yang
sedang berlangsung.
1. Kriteria Inklusi
23
Pasien diabetes melitus tipe 2 Puskesmas Kesatria Kota
Pematang Siantar yang melakukan pengobatan
desember- januari 2021
Pria dan wanita berusia 20 – 69 tahun
24
3. Entry data yaitu memindahkan data ke dalam komputer untuk
diolah lebih lanjut.
4. Tabulasi data yaitu membuat tabel untuk hasil pengumpulan dan
pengolahan data.
5. Penyajian data yaitu gambaran hasil yang bisa berupa tabel, tulisan
atau grafik.
6. Data dianalisa dengan metode analisis deskriptif dengan
menggunakan tabel distribusi frekuensi tentang karakteristik
sampel dan kejadian TB Paru.
7. Penyusunan laporan hasil penelitian.
25
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
26
b. Distribusi Kepatuhan Pasien DM Tipe-2 dalam Menjalankan
Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
Distribusi frekuensi kepatuhan pasien DM Tipe-2 dalam
menjalankan terapi diabetes melitus berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel 4.2
27
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien DM Tipe-2
dalam Menjalankan pengobatan Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Persentase
(tahun) (%)
20 – 44 13 21,67
45 – 54 23 38,33
55 – 59 17 28,33
60 - 69 7 11,67
Total 60 100,00
28
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan maka peneliti dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1 Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe-2 16,67% tidak patuh dalam
menjalani pengobatan diabetes melitus.
5.1.2 Angka prevalensi kunjungan pasien DM tipe 2 berdasarkan data
Puskesmas Jangkar Juni-Juli 2020 yaitu 60 pasien.
5.1.3 Distribusi usia pasien DM tipe 2 paling banyak ditemukan pada usia 45
- 54 tahun sebanyak 38,33% dan jenis kelamin lebih banyak adlah
perempuan dibanding laki-laki yaitu 81,67%.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Puskesmas Kesatria
Meningkatkan upaya pengelolaan penyakit diabetes melitus dengan
cara mengoptimalkan kegiatan penyuluhan mengenai pengelolaan
diabetes melitus, pentingnya kepatuhan minum obat DM terhadap kadar
glukosa darah dan pemberian konseling gizi kepada penderita DM tipe-
2 ketika melakukan pengobatan.
5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Disarankan untuk dapat memberikan sosialisasi kepada keluarga
penderita DM tipe-2 mengenai pengobatan untuk penderita agar dapat
memberi perhatian dan dukungan positif kepada penderita DM tipe-2.
29
menjadi penyebab patuh atau tidaknya penderita DM tipe 2 dalam
menjalankan pengobatan diabetes melitus.
30
DAFTAR PUSTAKA
Annisa. (2018). Hubungan Asupan Serat, Asupan Lemak, dan Riwayat Diabetes
Melitus Keluarga dengan Kadar HbA1c Anggota Klub Prolanis DM Tipe
2 di Kota Padang. Padang: Universitas Andalas.
31
Universitas Negeri Semarang.
32