Anda di halaman 1dari 26

EFEKTIVITAS LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TERHADAP SOCIAL

CLIMBER SISWA DI SMK NEGERI 1 KALEDUPA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

RIKI ANDRIADIN
011901025

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITS MUHAMMADIYAH BUTON
2022
KATA PENGANTAR

AsalamuAlaikumWr. Wb

Puji dan syukur kehadirat Allah swt, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dengan Judul “Efektivitas layanan Kelompok Terhadap Social
Climber Siswa Di SMK Negeri 1 Kaledupa”. Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat dalam menyelesaikan studi pada program studi Bimbingan Dan Konseling,
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Buton tahun 2022.
Penulis banyak menghadapi masalah dan hambatan dalam penelitian ini. Berkat
bantuan arahan serta bimbingan dari berbagai pihak maka penelitian ini dapat diselesaikan.

Baubau, 22 Desember 2022

Riki Andriadin
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................................4
D. Manfaat Penelitian........................................................................................................4
BAB II LANDASAN TEORIRIK...........................................................................................5
A. Social Climber...............................................................................................................5
1. Pengertian Social Climber........................................................................................5
2. Karakteristik Social Climber...................................................................................8
3. Konsep Simbol Status................................................................................................8
4. Indikator Social Climber..........................................................................................9
B. Konsep Dasar efektivitas..............................................................................................9
1. Pengertian Efektivitas...............................................................................................9
2. Unsur-Unsur Efektivitas.........................................................................................10
3. Aspek-Aspek Efektivitas.........................................................................................11
4. Teori-Teori Efektivitas............................................................................................12
5. Ciri-Ciri Efektivitas.................................................................................................13
C. Layanan Bimbingan Kelompok.................................................................................13
1. Pengertian Layanan Bimbingan Kelompok..........................................................13
2. Tujuan Layanan Bimbingan Kelompok................................................................15
3. Isi Layanan Bimbingan Kelompok........................................................................16
4. Tahap-Tahap Layanan Bimbingan Kelompok.....................................................16
5. Teknik Layanan Bimbingan Kelompok................................................................17
6. Kegiatan Pendukung Layanan Bimbingan Kelompok........................................18
D. Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok dalam Mengatasi Prilaku Social
Climber Siswa.............................................................................................................19
E. Penelitian Yang Relevan.............................................................................................20
F. Kerangka Berpikir......................................................................................................20
G. Hipotesis Penelitian.....................................................................................................22
B

rendah ke lapisan sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat, karena adanya peningkatan
prestasi atas diri seseorang maupun peningkatan prestasi kerja yang dilakukan oleh seseorang
tersebut dan karena adanya peningkatan prestasi yang mereka miliki, pada akhirnya mereka
bisa merubah status sosial mereka dari status sosial mereka yang rendah menjadi ke status
sosial yang lebih tinggi. Selain itu perubahan cara hidup pun akan mengikuti status sosial
yang dimiliki karena kesuksesaAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia dikenal sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu berinteraksi
atau berhubungan dengan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun,
saat ini sering terjadi fenomena dimana suatu pertemanan itu sering dikotak kotakkan, seperti
contoh kecilnya adalah orang yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi menengah
keatas seringkali memilih-milih pertemanan. Tetapi, disatu sisi orang yang berasal dari
keluarga yang memiliki ekonomi menengah kebawah pun juga membutuhkan orang lain
untuk dijadikan teman atau relasi, serta mereka juga ingin diakui keberadaan dan status
sosialnya.
Maka dari itu, biasanya mereka yang berasal dari golongan menengah kebawah rela
untuk melakukan apapun untuk mencapai keinginan dan kebutuhannya, terutama untuk
kepentingan status sosialnya.Gaya sosialita yang dilihat dari sisi kemewahannya inilah yang
menyebabkan munculnya berbagai macam gaya kehidupan yang sangat mempengaruhi diri
dan pola perilaku manusia. Perilaku manusia yang khususnya tinggal di kota seperti Kendari
ini memiliki ketertarikan gaya hidup yang lebih mewah layaknya kehidupan seorang sosialita
karena sering terpengaruh oleh faktor lingkungannya, misal seperti melihat kehidupan teman-
teman sekelilingnya yang dibalut dengan kemewahan. Mereka akan mengubah gaya hidup
mereka menjadi lebih baik dari keadaan kehidupannya semula mulai dari cara berpakaian,
cara berbicara, cara berperilaku, cara mereka menempatkan diri, atau bahkan cara mereka
berkomunikasi dalam suatu kelompok agar bisa diterima dimasyarakat luas demi
menyandang status sosialnya.
Andriani 2018: 84) Menjelaskan kebanyakan orang-orang yang salahmempersepsikan
arti kata sosialita ini ke dalamarti yang sebenarnya, dimana mereka masihberpatokan dengan
kehidupan yang mewahtersebut. Banyak orangorang zaman sekarangyang berusaha mencapai
tingkat kemewahantersebut dengan cara mengubah gaya hidupnyaagar status sosial mereka
diakui dan di pandangtinggi oleh orang lain yang berada dilingkungansekitarnya. Mereka
ingin menampilkan ataumenunjukkan kepada teman-temannya tentangsisi kehidupannya
yang mewah dengan semuapenampilan dan gaya kehidupan mereka yangserba berkecukupan
atau bahkan lebih daricukup, namun disisi lain belum tentu apa yangberusaha mereka
tampilkan didepan itu samaseperti yang ada dibelakang kehidupan aslinya,misalnya dari segi
ekonomi.
Fenomena inilahyang disebut dengan social climber. Kehidupan ini bagaikan dua sisi
uang logamyang berbeda, dimana masing-masing kehidupanmempunyai panggung depan dan
panggungbelakang. Panggung depan yang sering digambarkan oleh social climber
adalahkehidupan yang serba mewah dengan berbagaimacam tujuan yang ingin ia capai, salah
satunyaadalah status sosial yang tinggi. Namun, untukpanggung belakang dari social climber
ini belumtentu dalam kehidupan sehari-harinya ia adalahorang yang memang benar-benar
memilikiekonomi yang cukup atau bahkan berlebih, bisasaja ia adalah seseorang yang hidup
dalamkesederhanaan (Atmaja , ariani 2018: 31-32).
Dalam ilmu komunikasi, social climber merupakan hal yang dapat diusahakan untuk
medapatkan posisi yang lebih kuat dalam sebuah partisipasi baik secara individual maupun
kelompok. Hal tersebut diungkapkan (Wood, 2001: 223). Secara lebih singkatnya Social
Climber kepada perilaku mencari status suatu pengakuan akan statusnya.
(Kadek 2018: 4). Menjelaskan para social climber lebih mencari pengakuan dari
simbol-simbol yang mereka pakai seperti merek hendphone, jenis makanan, tempat
nongkrong, pakaian dan aksesoris yang kemudian di upload kesosial media.
Hal seperti ini juga terjadi pada peserta didik di SMK NEGERI 1 KALEDUPA.
Berdasarkan hasil observasi di peroleh data bahwa ada beberapa peserta didik yang memiliki
gaya hidup yang glamor, muncul dengan simbol-simbol kelas atas yang berperilaku sosial
climber. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dari yang didapatkan dari guru bimbingan
dan konseling (BK), bahwa ada sekitar 8 siswa yang bergaya dengan menunjukkan benda-
benda yang hanya bisa dimiliki oleh anak-anak kelas menengah atas, ada beberapa siswa
yang lebih senang bergaul dengan teman-teman yang dianggap memiliki kehidupan ekonomi
kelas menengah atas, ada beberapa siswa yang tidak mengikuti proses belajar mengajar hanya
karena ingin nonton, berbelanja dan makan-makan dengan teman-temannya di tempat-tempat
bergengsi seperti lippo plaza. Bahkan ada siswa yang rela berbohong kepada orang tuannya,
meminta 4 uang dengan alasan ingin membeli buku tetapi digunakan dalam hal lain. Hal ini
serupa dengan kasus yang terjadi pada juli 2017 yang lalu sekelompok remaja hingga orang
tua dalam memenuhi keinginannya untuk tampil dengan gaya yang glamor sehingga terkesan
memiliki ekonomi yang tinggi mereka rela membeli barang-barang mahal dengan
menggunakan kartu credit dan bahkan mereka rela berpacaran atau berselingkuh dengan pria
yang dianggap kaya.
Sehingga adanya ciri-ciri mengikuti gaya hidup sosial climber pada anak-ank remaja
saat ini tidak bisa di abaikan begitu saja karena ini akan berdampak buruk pada kehidupan
sosial peserta didik. Horton dan Hunt (2012: ) menjelaskan bahwa yang menjadi tolak ukur
yang menentukan seseorang berada kelas tertentu dapat dilihat dari status pendidikan,
kekayaan, pekerjaan dan penghasilan. Indikator dari para pelaku social climber ini salah satu
diantaranya tidak peduli dengan tahapan proses untuk naik kelas kestatus sosial yang lebih
tinggi.
Oleh karena itu upaya pencegahan pola pikir yang salah pada anak-anak remaja harus
segerah di atasi. Untuk membantu peserta didik dalam mengubah pola pikir tentang
lingkungannya yang bergaya hidup yang tidak sesuai dengan status ekonomi yang
sesungguhnya.
Dalam masalah mengubah pola pikir tetang gaya hidup yang salah itu merujuk pada
proses bimbingan dari beberapa layanan yang terdapat dalam BK yang di anggap tepat dalam
mengatasi masalah pola pikir khususnya mengenai masalah social climber ialah layanan
bimbingan kelompok.
Layanan bimbingan kelompok dapat di asumsikan tepat dalam mengubah gaya hidup
peserta didik yang social climber. Karena layana bimbingan kelompok adalah layanan yang
diberikan kepada siswa secara bersama- sama atau kelompok agar kelompok tersebut menjadi
besar, kuat, dan mandiri. Layanan bimbingan kelompok dimaksud untuk mencengah
berkembanganya masalah atau kesulitan yang dihadapi oleh konseli (siswa), bimbingan
kelompok dapat berubah informasi dan aktivitas kelompok membahas masalah-masalah
pendidikan, pekerjaan , pribadi dan masalah sosial. Sehingga peserta didik yang memiliki
gaya hidup social climber dapat berkomunikasi, berinteraksi dalam memecahkan suatu
permasalahan di antar anggota kelompok dapat menyatuhkan jawaban berbagai pemikiran
dan pendapat yang muncul dari rasa empati masing – masing anggota kelompok. Dari
layanan bimbingan kelompok ini mereka dapat berlatih saling menghargai dalam
mengemukakan pendapat dan pemikiran masing-masing.
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai perilaku social climber pada siswa SMK Negeri 1 Kaledupa karena jika
permasalahan ini tidak ditangani secara cepat maka akan membuat generasi muda penerus
bangsa menjadi generasi yang tidak percaya diri, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang
mementingkan diri sendiri serta cepat di terpengaruh oleh hal-hal disekitarnya. Maka dari itu
peneliti mengambil judul Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok TerhadapPerilaku Social
Climber di SMK Negeri 1 Kaledupa.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka masalah
penelitian ini adalah:
Apakah Layanan Bimbingan Kelompok efektif terhadap social climberSiswadi SMKN
1 Kaledupa ?

Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan pelaksanaan penelitian ini
adalah mengetahui apakah Layanan Bimbingan Kelompok efektif Terhadap Perilaku Social
Climber di SMKN 1 Kaledupa.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktisi, sebagai berikut:

Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengembangan ilmu khususnya dalam
bidang bimbingan dan konseling yaitu membantu siswa dalam mengurangi perilaku
social climber.

Secara praktis
Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan konstribusi untuk sekolah khususnya
dalam meningkatkan keterampilan sosial siswa dan dapat diajukan umpan balik
(feed back) atas pelaksanaan dan pemanfaatan layanan bimbingan kelompok
secara optimal.
Bagi guru pembimbing (konselor), menjadi masukan dalam menghadapi
permasalahan siswa, terutama dalam mengurangi perilaku social climber.
Bagi siswa, penelitian ini dapat mengurangi perilaku social climber melalui
bimbingan kelompok sehingga dapat berinteraksi dan menyelesaikan masalah
dengan bai

BAB II

LANDASAN TEORIRIK

Social Climber
Pengertian Social Climber

Pada awalnya social climber itu berasal dari kata social climbing (mobilitas sosial
vertikal naik) yang memiliki pengertian yaitu perpindahan kedudukan sosial seseorang
atau kelompok anggota masyarakat dari lapisan sosial n yang diraihnya. Mereka akan
bisa diterima oleh kalangan atas serta mereka akan mudah bergaul dalam kelompok
manapun maupun dalam status sosial yang lainnya.

(Andriani, 2018: 2-3). Menjelaskan seiring perubahan zaman dan perkembangan


zaman pada saat ini, kata social climbing memiliki pergeseran dan perubahan makna
dari arti yang sebenarnya. Dan karena adanya perubahan makna tersebut, sekarang
social climbing pun berubah kata menjadi “social climber” dan social climber itupun
memiliki pengertian yang sangat menyimpang dari arti yang sebenarnya social
climbing sama-sama ingin memiliki pengakuan atau perubahan status sosial dari status
sosial yang rendah menjadi ke status sosial yang lebih tinggi, hanya saja social climber
memiliki cara yang tidak baik dalam mendapatkan kedudukan atau pengakuan dari
masyarakat, kelompok, maupun kalangan atas dalam kehidupan sosial. Dengan adanya
penjelasan itulah maka social climbing pun berubah kata menjadi social climber.
Kontruksi pemikiran mereka terbentuk karena setiap orang memiliki motif sosiogenis,
misalnya kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk pemenuhan diri serta
kebutuhan untuk mencari identitas yang berarti bahwa adanya lingkungan sosial,
muncul kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hubungan dengan
orang lain dan lingkungan sosialnya. Berada dibudaya yang baru bisa menjadi salah
satu faktor yang mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan perubahan
sosial. Kontak dengan kebudayaan luar di era globalisasi seperti saat ini menjadi salah
satu alasan mengapa social climber membutuhkan gaya hidup yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu atau kelompok lain.

Dalam ilmu komunikasi, social climber merupakan hal yang dapat diusahakan untuk
medapatkan posisi yang lebih kuat dalam sebuah partisipasi baik secara individual
maupun kelompok. Hal tersebut diungkapkan (Wood, 200: 223) dalam bukunya
Communication Mosaics “social climber is the process of trying to increase personal
status in a group by winning the approval of high status member”. Social climber erat
kaitannya dengan gaya hidup, fenomena ini dapat dilihat dalam kalangan remaja yang
disibukkan dengan kegiatan hura-hura nongkrong ditempat makan mewah sembari
mengupdate kegiatannya di media sosial, mereka ingin mendapatkan gengsi sebagai
bagian dari harga dirinya untuk dihargai orang lain. Penilaian mengenai social climbers
yang ingin dianggap sebagai sosialita berdasarkan gaya hidup mewah, misalnya pergi
ke cafe-cafe yang menarik dan bagus juga memiliki harga yang lebih mahal dari tempat
lainnya. Hal lain yang mencolok dari gaya hidup pelaku social climber adalah merek
handphone, baju, aksesoris dan tempat tempat ngongkrong lainnya.

Dari pengertian Sosial Climber menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
Social Climber adalah perilaku yang timbul pada diri karena rasa ingin diakui oleh
lingkungannya, ingin dianggap memiliki status sosial yang tinggi. Tampa peduli cara
apa yang digunakan untuk mendapatkan apa yang diiginkannya.

Kehidupan “social climber” memiliki budaya yang mereka ciptakan sendiri yang
meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku mereka yang unik. Mereka dapat
menunjukkan atribut mereka melalui bahasa verbal dan nonverbal atau simbol-simbol
tertentu. Dari sisi seorang “social climber” motivasi atau upaya yang dilakukan dalam
memerankan diri mereka sebagai seorang yang memiliki kontruksi identitas dan pelaku
yang baru. Selain karena standart sosial yang mereka miliki, upaya “social climber”
juga dimakna bisa membantu mereka untuk mendapatkan posisi dan penerimaan yang
lebih baik dalam bersosialisasi. Adanya keyakinan bahwa status sosial adalah suatu
pandangan natural yang membuat mereka lebih diyakini dan dipertimbangkan dalam
segala hal yang memperkuat motivasi seseorang untuk mengusahakan pendapat status
sosial yang lebih tinggi. Koesoemahatmadja (Andriani 2018 : 84). Strata atau lapisan
sosial yang menjadi pembedaan kedudukan dalam beberapa lapisan yaitu suatu lapisan
tertentu kedudukannya lebih tinggi dari pada lapisan lainnya dinamakan dengan kelas
sosial. Untuk mengukur termasuk dalam golongan lapisan masyarakat dapat diketahui
melalui ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan atau
pendidikan.

Adanya perbedaan lapisan dalam status sosial dimasyarakat menjadikan seseorang


melakukan perubahan atau peningkatan status sosial yang dimiliki disebut juga dengan
mobilitas sosial. Seseorang dapat melakukan mobilitas sosial ke atas dengan beberapa
cara, misalnya dengan merubah standar hidup. Contohnya jika seseorang mendapatkan
kenaikan jabatan dan penghasilan. Status sosialnya dimasyarakat belum bisa dikatakan
naik jika tidak merubah standar hidupnya misalnya tetap hidup sederhana. Selanjutnya
untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, seseorang akan berusaha merubah tingkah
lakunya tidak hanya tingkah laku tetapi juga pakaian, ucapan, minat, dan sebagainya.
Seseorang tersebut merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas sosial yang
diinginkannya, misalnya apa yang dikenakan dapat meyakinkan dan dianggap sebagai
golongan lapisan kelas atas, pelaku mobilitas sosial mengenakan pakaian bermerek dan
berbicara dengan menyelipkan istilah-istilah asing.

Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan mengenai apakah seseorang itu
adalah pelaku social climber. Para pendaki sosial sering kali langsung menanyakan hal-
hal yang berhubungan dengan materi pada saat berkenalan dengan orang lain.
Misalnya, bertanya dimana alamat rumah, kendaraan apa yang dikenakan, tempat
nongkrong. Pelaku social climber ini dapat menanyakan hal tersebut terlebih dahulu
kemudian baru bertanya nama. Mereka dapat menilai seseorang dari penampilan,
beranggapan bahwa apa yang dikenakan menunjukkan kelas sosial seseorang,
selanjutnya memerhatikan apa merek baju yang dipakai atau mengecek, siapa hair
stylist kita. Karena menilai orang lain dari penampilan, pelaku social climber akan
menjaga penampilan mereka agar terlihat sempurna bahkan berdandan diluar
kemampuan jika perlu sampai berhutang. Menjadi pusat perhatian adalah yang
diinginkan pelaku social climber ini. pergaulan adalah hal yang utama. Social climber
akan bergabung dengan kelompok sosial yang berisikan orang-orang dari golongan
atas. Mereka sangat mengutamakan sosialisasi dan tidak mementingkan prestasi.
Kemudian memilih teman yang dirasa adalah memiliki status sosial sama atau bahkan
lebih tinggi. Terkadang mereka tidak menganggap penting, merasa tidak perlu beramah
tamah dengan orang dari kelas sosial yang lebih rendah.

1. Karakteristik Social Climber

Karakteristik Social Climber diantaranya Memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi,


Berada di budaya yang baru; Membutuhkan gaya hidup yang lebih tinggi dari
sebelumnya; Memiliki hasrat, harapan, dan kehidupan yang lebih tinggi; Menciptakan
dunia, struktur sosial, termasuk simbol dan proses komunikasinya sendiri; Memiliki
target ideal; dan memiliki motivasi untuk meningkatkan status social (Jayanti, 2015: 7).

Selain beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih tinggi, individu sendiri mulai
membandingkan dan menginginkan hal yang tidak didapatkan dari situasi mereka
sebelumnya (Artika, 2013: 5). Hal mengingatkan bahwa budaya sebagai perwujudan
perilaku komunikasi manusia dalam suatu jaringan tertentu dan komunikasi ditentukan
serta dikembangkan menurut karakteristik budayanya. Oleh karena itu, menurutnya
sekumpulan orang yang berinteraksi harus dipandang 13 dalam 2 sisi, yaitu sebagai
budaya dan aktivitas manusia berkomunikasi. Dalam kaitannya dengan “social
climber”, yang terikat dan berinteraksi dengan sesamanya dapat mewujudkan
karakteristik yang unik. Mereka dapat menciptakan dunianya sendiri, struktur sosialnya
sendiri, termasuk simbol dan proses komunikasinya.

2. Konsep Simbol Status

Menurut Evin Goofman, simbol adalah tanda yang dapat dilihat untuk menandakan
perbedaan atau prioritas individu atau kelompok. Goofman menamakan simbol status
ini sebagai cara khusus untuk memamerkan posisi seseorang (dalam jurnal, The Britis
Jurnal Of Sosiology, Vol 2 No, 1951: 294). Nilai simbol dapat dipinjamkan untuk
hampir semua objek atau situasi, bahasa, etika, objek, material khususnya jika materi-
materi ini sulit didapatkan, dapat membedakan sebuah kelompok dan memisahkannya.

Simbol status yang paling utama yang marak terjadi dikalangan pelajar saat ini
adalah yang bersifat benda seperti kendaraan, merek hp, asesoris, pakaian dan tempat-
tempat nongkrong lainnya. Simbol-simbol seperti ini ditunjukan untuk mendapat
pengakuan dari orang lain bahwa mereka menduduki status ekonomi kelas menegah
keatas.

3. Indikator Social Climber

Horton dan Hunt (2012: 7), menjelaskan yang menjadi tolak ukur yang menentukan
seseorang berada kelas tertentu dapat dilihat dari status pendidikan, kekayaan,
pekerjaan dan penghasilan. Dalam kaitannyan dengan perilaku sosial dikalangan
masyarakat, aktifitas social climber sebenarnya tidak ada salahnya, semua orang berhak
untuk hidup layak, bahagia sebagaimana harapannya. Akan tetapi pada posisi ini yang
menjadi salah adalah aktifitas social climber dengan melakukan segala cara yang
dianggap kaya, kata kuncinya adalah “dianggap” kaya. Dalam ilmu tatabahasa
Indonesia, kata “dianggap” ini menjadi sebuah hal yang tidak mencerminkan
kenyataanya. Jayanti (2015:7) Indikator dari para pelaku social climber ini diantaranya:

a. Memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi


b. Gaya hidup yang tinggi (lifestyle)
c. Berada pada budaya baru
d. Menciptakan dunia sendiri
e. Menggunakan simbol dalam proses komunikasi
f. Khawatir tidak diterima dilingkungannya.

B. Konsep Dasar efektivitas


1. Pengertian Efektivitas

Abdurahmat(Asnawi, 2013: 92), menjelaskan Efektivitas adalah pemanfaatan


sumber daya,sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan
sebelumnya untuk menghasikan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Sejalan
dengan Bastian (Asnawi, 2013: 19) efektivitas dapat diartikan sebagai keberhasilan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu efektifitas adalah
hubungan antara output dan tujuan dimana efektivitas diukur berdasarkan seberapa jauh
tingkat output atau keluaran kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya istilah efektivitas adalah pencapaian tujuan atau hasil yang dikehendaki
tanpa menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, pikiran, alat-alat dan lain-lain
yang telah ditentukan.

Martoyo (Asniati, 2019: 4) memberikan definisi efektivitas suatu kondisi atau


kadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan,
serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat
dicapai dengan hasil yang memuaskan.Definisi lain mengenai efektivitas menunjukkan
keberhasilah dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan, jika hasil
kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya (Sudirman,
2002:31).

Berdasarkan pengertian efektivitas menurut para ahli diatas maka dapat


disimpulakan bahwa efektivitas adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan
dengan menggunakan media yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan dan sasaran.

2. Unsur-Unsur Efektivitas

Unsur-unsur efektivitas ruang lingkup yang menjadi pembangun efektivitas itu


sendiri.Cahyono (Asniati, 2019: 54) Menjelaskan unsur-unsur efektivitas terbagi atas
tiga bagian yaitu unsur sumber daya manusia (SDM), sumber daya bukan manusia, dan
unsur hasil yang dicapai sesui dengan tujuan. Berdasarkan klasifikasi unsur efektivitas
tersebut, peneliti menjelaskan bahwa:

a. Unsur sumber daya manusia (SDM)

Sumber daya manusia sangat berperan penting dalam hal ini sumber daya
manusiamerupakan faktor utama dalam berbagai aktivitas guna untuk mencapai
suatu tujuan yang telah ditentukan.Dalam berbagai aktivitas guna untuk mencapai
suatu tujuan yang telah ditentukan.dalam sebuah organisasi faktor sumber daya
manusia sebagai sumber pnentu sukses tidaknya sebua organisasi mempunyai
wewenang dan tanggung jawab terhadap sumber daya manusia tidak dapat bekerja
efektif.Maka efektivitas harus dapat terapai, maka efektivitas kerja tidak dapat
tercapai.
b. Unsur sumber daya bukan manusia

Sumber daya bukan bukan manusia merupakan unsur kedua dari sumber daya
manusia yang memiliki peran dalam suatu kegiatan atau aktivitas misalnya antara
lain modal, tenaga kerja,mesin, peralatan dan sebagainya yang semuanya tentu
menujang keberhasilan organisasi.

c. Unsur hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan

Hasil merupakan tujuan akhir dari suatu kegiatan. Untuk mencapai hasil yyang
maksimal,maka seluruh bagian kegiatan yang dilaksanakan harus menggunakan
kedua sumber diatas. Prosedur untuk mencapai hasil yang diinginkan membutuhkan
mekanisme kerja yag efektif.

3. Aspek-Aspek Efektivitas

Aspek-aspek ini diukur melalui pelaksanaan evaluasi oleh peneliti yang berupa
(laiseg) penilaian jangka pendek. Dalam layanan bimbingan kelompok yang harus
terus-menerus meningkatkan, mengembangkan keterampilan, teknik, strategi, prosedur,
metode, baik dalam memelancarkan proses bimbingan atau pun dalam menilai
perkembangan siswa yang menjadi subjek penelitian hal ini mampu dalam
mendiagnosis masalah siswa. Adapun aspek-aspek efektivitas yang ingin dicapai dalam
suatu kegiatan, mengacu pada pengertian efektivitas diatas berikut ialah beberapa aspek
tersebut: (1) Aspek Peraturan/Ketentuan,Peraturan dibuat untuk menjaga kelangsungan
suatu; (2) Aspek Fungsi/Tugas,Individu atau organisasi dapat dianggap efektif jika
dapat; (3) Aspek Rencana/Program,Suatu kegiatan dapat dinilai efektif jika memiliki
suatu rencana yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Tanpa adanya rencana atau program maka tujuan tidak mungkin dapat tercapai; dan(4)
Aspek Tujuan/Kondisi Ideal, yang dimaksud dengan kondisi ideal atau tujuan ialah
target yang ingin dicapai dari sutu kegiatan dengan berorientasi pada hasil dan proses
yang direncanakan.

Ravianto (Asniati, 2019:32)Menjelaskanpengertian efektivitas ialah seberapa baik


pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan
yang diharapkan.Artinya apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan sesuai dengan
perencanaan, baik dalam waktu, biaya, maupun mutunya maka dapat dikatakan
efektif.melakukantugas dan fungsinya dengan baik sesuai dengan ketentuan. Oleh
karena itu setiap individu dalam organisasi harus mengetahui tugas dan fungsinya
sehingga dapat melaksanaannya.Kegiatan berjalan sesuai dengan rencana. Peraturan
atau ketentuan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan agar suatu kegiatan
dianggap sudah berjalan secara efektif.

4. Teori-Teori Efektivitas

Efektivitas merupakan salahsatu pencapaian yang ingin diraih oleh sebuah


organisasi. Untuk memperoleh teori efektiftas peneliti dapat menggunakan konsep-
konsep dalam teori manajemen dan organisasi khususnya yang berkaitan dengan teori
efektivitas. Efektivitas tidak dapat digunakan dengan efisiensi karena keduanya
memiliki arti yang berbeda, walaupu dalam berbagai penggunaan kata efisien lekat
dengan kata efektivitas. Efisien mengandung pengertian perbandingan antara biaya dan
hasil, sedangkan efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian tujuan.
Efektivitas memiliki tiga tingkat sebagaimana yang didasarkan oleh Donnely (David
1997: 26) antara lain :

a. Efektivitas Individu

Efektivitas individu didasarkan pada pandangan dari segi individu yang


menekankan pada hasil karya karyawan atau anggota dari organisasi.

b. Efektivitas Kelompok
Adanya pandangan bahwa pada kenyataanya individu saling bekerja sama
dengan kelompok. Jadi efektivitas kelompok merupakan jumlah konstribusi dari
semua anggota kelompoknya.

c. Efektivitas Organisasi

Efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok melalui


pengaruh sinergitas, organisasi mampu mendapatkan hasil karya yang lebih tinggi
tingkatannya dari pada jumlah hasil karya tiap-tiap bagiannya.

5. Ciri-Ciri Efektivitas

Mulyasa(2003: 16) Menjelaskan keefektivan program pembelajaran ditandai dengan


ciri-ciri sebagai berikut :

a. Berhasil menghantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksioanl yang telah


ditetapkan.
b. Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif
sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional.
c. Memiliki saran-saran yang menunjang pencapaian tujuan insrtuksional.

Berdasarkan ciri prigram pembelajaran efetivitas seperti yang digambarkan di


atas, keefektivan pembelajaran tidak hanya ditinjau terhadap hasil belajar siswa
setela mengikuti program pembelajaran yang mencakup kemampuan kognitif,
efektif, dan psikomotorik. Aspek-aspek proses meliputi pengamatan terhadap
keterampilan siswa, motivasi, respon, kerjasama, partisipasi aktif, tingkat kesulitan
pada penggunaan media, waktu secara teknik pemecahan masalah yang ditempuh
siswa dengan mengahadapi kesulitan pada saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung.

C. Layanan Bimbingan Kelompok


1. Pengertian Layanan Bimbingan Kelompok

Nurihsan (2010: 164), mengatakan bahwa layanan bimbingan kelompok merupakan


suatu cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui kegiatan
kelompok. Dalam layanan bimbingan kelompok, aktivitas, dan dinamika kelompok
harus diwujudkan untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan atau
pemecahan masalah individu yang menjadi peserta layanan.
Prayitno(2015:33), menyatakan bahwa bimbingan kelompok yaitu layanan
bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-
sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber.
Bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu
dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya
masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa.

Tohirin (dalam Indraswari,2013: 214), mengatakan bahwa layanan bimbingan


kelompok yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan sejumlah individu secara
bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari narasumber terutama dari konselor hal
ini berguna untuk menunjang kehidupannya sehari-hari sebagai individu itu sendiri,
pelajar, anggota keluarga dan anggota masyarakat serta untuk dasar pertimbangan
dalam pengambilan keputusan.

Layanan bimbingan kelompok membahas topik-topik umum yang menjadi


kepedulian bersama anggota kelompok. Masalah yang menjadi topik pembicaraan
dalam layanan bimbingan kelompok dibahas melalui suasana dinamika kelompok
secara intens dan konstruktif, diikuti oleh semua anggota kelompok dibawah bimbingan
pemimpin kelompok (pembimbing atau konselor). Layanan bimbingan kelompok harus
dipimpin oleh pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok adalah konselor yang terlatih
dan berwenang menyelenggarakan praktik pelayanan bimbingan dan konseling. Tugas
utama pemimpin kelompok adalah : pertama, membentuk kelompok sehingga terpenuhi
syarat-syarat kelompok yang mampu secara aktif mengembangakan dinamika
kelompok, yaitu (a) terjadinya hubungan anggota kelompok menuju keakraban diantara
mereka, (b) tumbuhnya tujuan bersama diantara anggota kelompok dalam suasana
kebersamaan, (c) berkembangnya iktikad dan tujuan bersama pada diri setiap anggota
kelompok sehingga mereka masing-masing mampu berbicara, (d) terbinanya
kemandirian kelompok, sehingga kelompok berusaha dan mampu tampil beda dari
kelompok lain. Kedua, memimpin kelompok yang bernuansa layanan konseling melalui
bahasa konseling untuk mencapai tujuan-tujuan konseling. Ketiga, melakukan
penstrukturan yaitu membahas bersama anngota kelompok tentang apa, mengapa dan
bagaimna layanan bimbingan kelompok dilaksanakan. Keempat, melakukan
pentahapan kegiatan konseling kelompok. Kelima, memberikan penilaian segera hasil
layanan bimbingan kelompok keenam, melakukan tindak lanjut.
Untuk menunjang kemampuannya menjalankan tugas seperti tersebut diatas,
pembimbing atau konselor dituntut untuk pertama, mampu membentuk kelompok dan
mengarahkannya sehingga terwujud dinamika kelomok dalam suasana interaksi antara
anngota kelompok yang bebas, terbuka, demokratis, kontruktif, saling mendukung, dan
meringankan beban, menjelaskan, memberikan pencerahan, memberikan rasa nyaman,
menggembirakan dan membahagiakan serta mencapai tujuan bersama kelompok.
Kedua, memiliki wawasan yang luas dan tajam sehingga mampu mengisi,
menjembatani, meningkatkan, memperluas dan mensinergikan konten bahasa yang
tumbuh dalam aktivitas kelompok. Ketiga, memiliki kemampuan interaksi (hubungan)
antar personal yang hangat dan nyaman, sabar dan memberiakan kesempatan,
demokratis dan kompromistik (tidak antagonistik) dalam mengambil keputusan tidak
memaksa dalam ketegasan dan kelembutan, jujur dan tidak berpra-pura, disiplin dan
kerja keras.

2. Tujuan Layanan Bimbingan Kelompok

Prayitno (2015: 45), mengatakan bahwa secara umum layanan bimbingan kelompok
bertujuan untuk pengembangan kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan
berkomunikasi peserta layanan (siswa). Secara lebih khusus, layanan bimbingan
kelompok bertujuan untuk mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi,
wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku yang lebih efektif yakni
peningkatan kemampuan berkominikasi baik yang verbal maupun non verbal para
siswa.

Winkle dan hastuti (dalam Nurihsan, 2010: 167) mengatakan tujuan dari layanan
bimbingan kelompok adalah menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan
sosial masing-masing anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerjasama dalam
kelompok guna mencapai aneka tujuan bermakna bagi partisipan.

Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa bimbingan kelompok bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
bersosialisasi, mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan
sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku serta meningkatkan mutu kerjasama
dalam kelompok guna mencapai aneka tujuan bermakna bagi partisipan.

3. Isi Layanan Bimbingan Kelompok

Layanan bimbingan kelompok membahas materi atau topik, topik umum baik topik
tugas maupun bebas. Yang dimaksud topik umum adalah topik atau pokok bahasan
yanmg diberikan oleh pembimbing (pemimpin kelompok) kepada kelompok untuk
dibahas. Sedangkan topik bebas adalah topik atau pokok bahasan yang dikemukakan
secara bebas oleh anggota kelompok secara bergiliran anggota kelomok
mengemukakan topik secara bebas selanjutnya dipilih mana yang akan dibahas terlebih
dahulu dan seterusnya.

Topik-topik yang dibahas dalam layanan bimbingan kelompok baik topk bebas
maupun topik tugas dapat mencakup bidang-bidang pengembangan kepribadian,
hubungan sosial pendidikan, karir, kehidupan berkeluarga, kehidupan beragama dan
lain sebagainya. Topik pembahasan bidang yang relavan. Misalnya pengembangan
bidang pendidikan dapat mencakup masalah cara belajar, gagal ujian, dan lain
sebagainya. (Nurihsan, 2010: 166).

4. Tahap-Tahap Layanan Bimbingan Kelompok


Nurihsan (2010: 132), mengatakan bahwa ada empat tahapan layanan bimbingan
kelompok yaitu tahap pembentukan, peralihan, pelaksanaan kegiatan, dan pengakhiran.
Selain keempat tahap tersebut, masih terdapat tahapan yang disebut tahapan awal.
Tahap awal berlangsung sampai berkumpulnya para (calon) anggota kelompok dan
dimulainya tahap pembentukan. Pada tahap awal dilakukan upaya untuk menumbuhkan
minat bagi terbentuknya kelompok, yang meliputi pemberian penjelasan tentang
kelompok yang dimaksud, tujuan dan manfaat adanya kelompok tersebut, ajakan untuk
memasuki dan mengikuti kegiatannya, dan kemungkinan adanya kesempatan dan
kemudahan bagi penyelenggaraan kelompok yang dimaksud. Kegiatan awal seperti itu
akan membuahkan suasana yang sangat menyenangkan bagi para anggota kelompok.

Uraian berikut akan mengemukakan gambaran dari keempat tahap setelah tahap
awal tersebut secara ringkas.

a. Tahap pembentukan, yaitu pada tahap ini dimulailah pengumpulan anggota


kelompok yang telah dibentuk sebelumnya dalam rangka kegiatan kelompok
yang direncanakan.
b. Tahap peralihan, yaitu setelah suasana kelompok terbentuk dan dinamis,
kelompok sudah mulai tumbuh dan kegiatan kelompok hendaknya dibawa lebih
jauh oleh pemimpin kelompok menuju kepada kegiatan kelompok sebenarnya.
Oleh karena itu, perlu diselenggarakan tahap peralihan.
c. ahap kegiatan, yaitu tahapan ini kegiatan kelompok untuk membahas topiktopik
tertentu atau mengentaskan masalah pribadi anggota kelompok. Anggota
kelompok perlu didorong dan dirangsang untuk ikut serta dalam pembahasan
secara penuh.
d. Tahap pengakhiran, kegiatan suatu kelompok tidak berlangsung secara terus-
menerus tanpa berhenti. Setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap
ketiga, kegiatan kelompok kemudian menurun dan selanjutnya kelompok akan
mengakhiri kegiatannya pada saat yang dianggap tepat. Dalam tahap
pengakhiran yang dibahas terkait dengan frekuensi pertemuan selanjutnya dan
pembahasan keberhasilan kelompok (Nurihsan, 2010: 132).
5. Teknik Layanan Bimbingan Kelompok

Prayitno(2015: 166), mengatakan ada beberapa teknik yang bisa diterapkan dalam
layanan bimbingan kelompok yaitu:

Pertama, teknik umum. Dalam teknik ini dilakukan pegembangan dinamika


kelomok. Secara garis besar teknik-teknik ini meliputi : (a) komunikasi multi arah
secara efektif dinamis dan terbuka, (b) pemberian rangsangan untuk menimbulkan
insiatif dalam pembahasan, diskusi, analisis, dan pengembangan argumentasi, (c)
dorongan minimal untuk menetapkan respon dan aktivitas anggota kelompok (d)
penjelasan pedalaman dan pemberian contoh untuk lebih memantapkan analisis,
argumentasi dan pembahasan, (e) pelatihan untuk membentuk pola tingkah laku.

Teknik-teknik diatas diawali dengan teknik penstrukturan guna memberikan


penjelasan dan pengarahan pendahuluan tentang layanan bimbingan kelompok.
Selanjutnya bisa juga dilakukan kegiatan selingan berupa permainan dan lain
sebagainya untuk memperkuat jiwa kelompok, memantapkanpembhasan, dan atau
relaksasi. Sebagai penutup diterapkan teknik pengakhiran atau melaksanakan kegiatan
pengakhiran.

Kedua, permainan kelompok permainan dapat dijadikan sebagai salah satu teknik
dalam layanan bimbingan kelompok baik sebagai selingan maupun sebagai wahana
yang memuat materi pembinaan atau materi layanan tertentu. Permainan kelompok
yamg efektif dan dapat dijadikan sebagai teknik dalam layanan bimbingan kelompok
harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut : (a) sederhana, (b) menggembirakan, (c)
menimbulkan suasana rileks dan tidak melelahkan, (d) meningkatkan keakraban, dan
(e) diikuti oleh semua anggota kelompok. Konseloratau anggota kelompok dapat secara
kreatif mengembangkan bentukbentuk dan jenis-jenis permainan tertentu yang relavan
dengan materi bahasan layanan bimbingan kelompok.

6. Kegiatan Pendukung Layanan Bimbingan Kelompok


Sebagaimana layanan-layanan yang lain layanan bimbingan kelompok juga
memerlukan kegiatan pendukung seperti :

Pertama, aplikasi intrumentasi. Data yang dihimpun atau diperoleh melalui aplikasi
instrumentasi dapat digunakan sebagai: (a) pertimbangan dalam membentuk kelompok,
(b) pertimbingan dalam menetapkan seseorang atau dalam kelompok layanan, (c)
materi atau pokok bahasan dalam kegiatan layanan bimbingan kelompok. Selain itu,
hasil ulangan atau ujian data AUM, hasil tes, sosiometri dan lain sebagainya merupakan
bahan yang sangat berguna dalam merencanakan dan mengisi kegiatan layanan
bimbingan kelompok serta untuk tindak lanjut (follow up) layanan.

Kedua, data yang dihimpun atau diperoleh melalui aplikasi instrumentasi diatas
dihimpun dalam himpunan data selanjutnya data tersebut dapat digunakan dalam
merencanakan dan mengisi kegiatan layanan bimbingan kelompok dengan
melandaskan asas-asas tertentu yang relavan.

Ketiga, konferensi kasus. Konferensi kasus dapat dilaksanakan sebelum atau setelah
layanan bimbingan kelompok dilakukan terhadap siswa yang bermasaalah dokonferensi
kasuskan dapat dilakukan dengan tindak lanjut layanan dengan menempatkan siswa
tersebut kedalam bimbingan kelompok tertentu sesuai dengan masalahnya.

Keempat, kunjungan rumah. Kunjungan rumah dapat dilakukan sebagai pendalaman


dan penaganan lebih lanjut tentang masalah siswa yang dibahas atau dibicarakan dalam
layanan. Untuk melakukan kunjungan rumah, konselor harus melakukan persiapan
yang matang dan mengikutsertakan anggota kelompok ynag masalahnya dibahas.

Kelima, alih tangan kasus. Seperti layanan-layanan yang lain masalah yang belum
tuntas atau diluar kewenangan konselor dalam layanan bimbingan kelompok juga harus
dialih tangan kasus atau dilimpahkan kepda konselor atau 27 petugas lain yang lebih
mengetahui alih tangan kasus kepada pihak lain atau pihak yang lebih berwenang harus
dilakukan sesuai dengan masalah siswa dan mengikuti prosedur yang dapat diterima
klien dan pihak-pihak lain yang terkait. (Prayitno, 2015: 167).
D. Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok dalam Mengatasi Prilaku Social
Climber Siswa.

Kehidupan “social climber” memiliki budaya yang mereka ciptakan sendiri yang
meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku mereka yang unik. Mereka dapat
menunjukkan atribut mereka melalui bahasa verbal dan nonverbal atau simbol-simbol
tertentu. Dari sisi seorang “social climber” motivasi atau upaya yang dilakukan dalam
memerankan diri mereka sebagai seorang yang memiliki kontruksi identitas dan pelaku yang
baru. Selain karena standart sosial yang mereka miliki, upaya “social climber” juga dimakna
bisa membantu mereka untuk mendapatkan posisi dan penerimaan yang lebih baik dalam
bersosialisasi. Adanya keyakinan bahwa status sosial adalah suatu pandangan natural yang
membuat mereka lebih diyakini dan dipertimbangkan dalam segala hal yang memperkuat
motivasi seseorang untuk mengusahakan pendapat status sosial yang lebih tinggi.
Koesoemahatmadja (Andriani 2018 : 84). Strata atau lapisan sosial yang menjadi pembedaan
kedudukan dalam beberapa lapisan yaitu suatu lapisan tertentu kedudukannya lebih tinggi
dari pada lapisan lainnya dinamakan dengan kelas sosial.

engatasi keadaan tersebut pada siswa dapat dilakukan dengan laynan-layanan dalam
bimbingan dan konseling, salah satunya adalah pemberian layan bimbingan kelompok,
melalui layanan bimbingan kelompok siswa mendapatkan pemahaman baru tentang
bagaimana gaya hidup yang sebenarnya, apa itu makna sosialita dan dampak yang akan
ditimbulkan akibat prilaku social climber. Pemahaman yang baru ini diharapkan dapat
mengubah pandangan siswa tentang maksn hidup sosialita dan prilaku social climber.

E. Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian Fakhriyatul Ainiyah (2016) yang berjudul “ fetimisme komoditas”


yang menemukan bahwa persoalan gaya hidup bukan hanya problematika kelas atas yang
berlimpah harta, namun saat ini dari kelas manapun bisa meniru gaya hidup tertentu, meski
hanya berpura-pura, mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek
yakni sebagai bentuk ekspresi dan mendapatkan jaminan kualitas bagus.
Hasil penelitian Wahyu Ria Lestari (2018) yang berjudul “ Perilaku Social Climber
dikalangan Mahasiswi “ menemukan bahwa banyak hal yang dilakukan para social climber”
demi mendapatkan uang memenuhi kebutuhan kehidupan mereka dengan menampilkan
berbagai simbol-simbol yang mereka anggap aka menaikkan status sosial mereka seperti
bekerja, menjadi simpanan pria kaya dan menipu.

F. Kerangka Berpikir

Social climber erat kaitannya dengan gaya hidup, fenomena ini dapat dilihat dalam
kalangan remaja yang disibukkan dengan kegiatan hura-hura nongkrong ditempat makan
mewah sembari mengupdate kegiatannya di media sosial, mereka ingin mendapatkan gengsi
sebagai bagian dari harga dirinya untuk dihargai orang lain. Penilaian mengenai social
climbers yang ingin dianggap sebagai sosialita berdasarkan gaya hidup mewah dan tampa
peduli bagaimana cara mendapatkannya, misalnya para siswa yang kemudian pergi ke cafe-
café, menggunakan assesoris yang bard dan untuk memenuhi hal tersebut mereka tega
membohongi orang tua. Hal lain yang mencolok dari gaya hidup pelaku social climber.

Adanya keyakinan bahwa status sosial adalah suatu pandangan natural yang membuat
mereka lebih diyakini dan dipertimbangkan dalam segala hal yang memperkuat motivasi
seseorang untuk mengusahakan pendapat status sosial yang lebih tinggi (Koesoemahatmadja,
2008: 84). Oleh karena itu, untuk membantu peserta didik dalam hal mengubah pola pikir
mereka tentang gaya hidup yang glamor atau menampilkan simbol-simbol kelas menengah
atas untuk menutupi kondisi ekonomi yang dimilikinya agar dapat diterimah dan dianggap
lebih dilingkungan sosialnya, diperlukan penanggulangannya, yang salah satunya dengan
memanfaatkan bimbingan kelompok.

Layanan bimbingan kelompok salah satu cara dalam upaya membimbing peserta didik
yang memerlukan dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan
bersama, melatih individu (peserta didik) agar mampu berkomunikasi dengan baik,
menghargai pendapat orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan anggota lain, mampu
member dan menerima umpan balik, menerima kritik, dan mampu bertindak sesuai dengan
norma.
Adapun didalam layanan bimbingan kelompok peserta akan diberikan materi mengenai
cara bergaul, meembangun empati, mengendalikan emosi, pemahaman tentang konsep diri,
dampak dari social climber, untuk meningkatkan pemahaman siswa serta memberikan
pertanyaan- pertanyaan menegenai permasalahan yang ada disekitar lingkungan untuk
memberikan tanggapan mengenai permasalahan yang muncul guna membangun sikap
empati, mengendalikan emosi, meningkatkan komunikasi verbal dan non verbal.

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Kerangka Berpikir

Perilaku social Layanan Bimbingan Perilaku Social


climber tinggi Kelompok climber berkurang

Memaksakan diri untuk membeli barang


yang braded meski tidak memiliki uang Tidak lagi memaksakan diri
yang cukup. life style bukan segalanya
Lifestyle mengurangi mempostin hal-hal
Mengikuti budaya baru (tren) yang glamor
Sering mempostin hal-hal yang glamor bersikap apa adanya
seperti barang-barang branded, merek hp, tidak khawatir dengan ingkungan
tempat nongkron, dll.
Hanya menggunakan barang-barang
Khawatir tidak diterima lingkungan

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir yang telah di uraikan tersebut maka
peneliti merumuskan hipotesis yaitu “Layanan bimbingan kelompok Efektif dalam
mengurangi prilaku Social Climber Siswa SMKN 1 Kaldepuda”.

Anda mungkin juga menyukai