Anda di halaman 1dari 67

PENANGANAN TINDAK PIDANA

PERIKANAN DAN TINDAK PIDANA TERKAIT


LAINNYA
___________
MAS ACHMAD SANTOSA
KOORDINATOR STAF KHUSUS SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN
PENANGKAPAN IKAN SECARA ILEGAL (SATGAS 115)
PERIKANAN INDONESIA DALAM
KONTEKS EKONOMI GLOBAL
GLOBAL OCEAN ECONOMY
Berdasarkan WWF (2015), nilai total aset laut diestimasikan minimal senilai USD 24 Triliun

Marine Fisheries, Mangroves, Coral


Reefs, Seagrass
US$ 6.9tn

Shipping Lanes
The ocean’s asset value would dwarf the
US$ 5.2tn world’s largest sovereign wealth funds:

Productive Coastline
US$ 7.8tn

Carbon Absorption
US$ 4.3tn

3
Indonesia dan Dunia
Luas lautan dunia 361,132,000 km 2
2/3
(71% luas permukaan bumi) wilayah Indonesia
adalah lautan

Nilai ekonomi maritim


Indonesia menurut
Dewan Kelautan
Indonesia pada tahun
2013 berpotensi
Luas lautan Indonesia 6,400,000 km2 mencapai sebesar 171
Perbandingan Laut Indonesia dengan dunia adalah miliar dolar AS/ tahun
1,7%. (1,7% x 24 T USD= 408 M USD) atau
senilai Rp.5.600T

Dengan panjang 108.000 km


Indonesia memiliki garis pantai terpanjang nomor 2 di dunia
Apabila harga ikan 1 USD (14.165 rupiah)/kg,
maka kalau dirupiahkan

13,100,000 x 1000 X 14.165= Rp


185.561.500.000.000 (185 T)
Pentingnya Sektor Perikanan
bagi Indonesia
Populasi Indonesia
diproyeksikan akan mencapai
305 juta di tahun 2035

Hampir 9 juta anak Indonesia di bawah 5 tahun tingginya


terlalu pendek dari pertumbuhan yang seharusnya

Sebagian besar nelayan Indonesia


adalah nelayan kecil
Tahun 2003-2013, Jumlah Rumah Tangga Nelayan menurun
Sensus Pertanian BPS

Jumlah Rumah Tangga Usaha Penangkapan Ikan 2003-2013

Turun
44,9 %
Laut Indonesia terancam oleh praktek IUU Fishing

Eksploitasi Transshipment Terumbu Praktik 2000 - 2014


tanpa memfasilitasi karang rusak Pengeboman laut Indonesia
memperhatikan praktek karena alat Ikan didominasi
daya dukung unreported tangkap yang oleh kapal
fishing tidak ramah asing dan eks
lingkungan asing
Kapal-Kapal Asing
MEMASUKI ZEE INDONESIA
• Pada tahun 2012-2014
kapal-kapal asing memasuki
Indonesia, mayoritas di WPP
718
• 90% kapal-kapal penangkap
ikannya berasal dari Tiongkok
dan Taiwan
• 80% kapal-kapal pengangkut
ikannya berasal dari Thailand
dan Korea Selatan
• Ukuran kapal tangkapnya
sekitar 250-2000 GT
sementara untuk kapal
angkutnya 900-6000 GT.
• 55% merupakan kapal
tangkap, sisanya kapal angkut.
Indonesia - Vietnam

Potensi creeping
jurisdiction

2003 Agreement

• Indonesia has used straight baseline according to UNCLOS 1982


• Indonesia’s claim is not excessive according to Indonesia’s ZEE Law No. 5 of 1983
• Vietnam claims that Indonesia’s continental shelf is the same as Indonesia’s ZEE
• Vietnam’s claim is super excessive which reaches 280 NM and has breached Indonesia’s EEZ in Laut
Natuna Utara 10
AKTIVITAS KAPAL IKAN ASING TIONGKOK DI SEKITAR LAUT
NATUNA UTARA (2019)

Red June 2017


Black Dec-Jan 2017
Gray entire 2017
Yellow Feb-Mar 2016
AKTIVITAS KAPAL IKAN ASING TIONGKOK DI SEKITAR LAUT NATUNA
UTARA (2019)

Red 4-8 Jan 2019


White 20 Dec 2018 – 3 Jan 2019
Yellow Jul-Aug 2018
Gray 2016-Jan 2018

Pemantauan terakhir dilakukan pada


tanggal 11 Januari 2019.
Membangun Global Fishing Network untuk
Memberantas IUU Fishing
Perhatian dunia internasional terhadap isu IUU Fishing terus meningkat
IUU FISHING TERUS DIBAHAS PADA FORUM-FORUM INTERNASIONAL STRATEGIS
1. Sebagai ancaman terbesar terhadap stok ikan dunia, IUU Fishing menjadi salah satu perhatian utama pada UN Ocean
Conference, Our Ocean Conference, dan World Ocean Summit.
2. The Commission on Crime Prevention and Criminal Justice mengakui pentingnya perhatian dunia terhadap pemberantasan
tindak pidana lainnya yang terkait perikanan yang marak terjadi.
3. IUU Fishing akan menjadi bagian dari pembahasan di forum G20 2019 dan APEC 2019.
4. High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy yang terdiri dari 14 (empat belas) negara menjadikan IUU Fishing
menjadi salah satu isu prioritas.
BEBERAPA GLOBAL NETWORK TERBENTUK UNTUK MENDORONG GLOBAL ACTION
Contoh: Friends of Ocean Action, Friends of Fisheries, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Fisheries Transparency
Initiative (FiTI).
IUU FISHING JUGA DIBAHAS PADA FORUM-FORUM GLOBAL DAN REGIONAL
Contoh: Indonesia-Africa Maritime Dialogue, G-20, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), United Nations Congress on Crime
Prevention and Criminal Justice (UN CCPCJ), High Level Panel on Sustainable Ocean Economy (HLP).
A N
AK
E G
P E N F
N EK T I
RA F
E
P NG E
N
A YA
K
H M
T U U
U K
DIB HU
Joint Declaration on Transnational Organized Crime in the
Global Fishing Industry (International FishCRIME Symposium)
14 negara telah menyepakati deklarasi tentang kejahatan perikanan lintas negara terorganisir. Dengan
menyepakati hal tersebut, negara-negara tersebut mengakui adanya elemen transnational organized
crime pada seluruh rantai bisnis perikanan, sehingga membutuhkan upaya pemberantasan yang serius.
Keempatbelas negara tersebut adalah Kepulauan Faroe, Ghana, Indonesia Kiribati, Namibia, Norwegia,
Palau, Kepulauan Solomon, Sri Lanka, Denmark, Finlandia, Greenland, Swedia, dan Kepulauan Aland.

IMPLIKASI PENGAKUAN TERSEBUT KEPADA INDONESIA


1. Aparat penegak hukum Indonesia dituntut memiliki mindset untuk mengaplikasikan pendekatan
multi rezim hukum.
2. Kerjasama internasional diperlukan untuk memberantas tindak pidana yang sifatnya
transnational.
3. Untuk memutus jaringan pelaku tindak pidana, pertanggungjawaban harus dibebankan tidak
hanya pada pelaku lapangan, melainkan juga korporasi, mastermind, dan beneficial owner.
Joint Declaration on Transnational Organized Crime in the
Global Fishing Industry (International FishCRIME Symposium)
Are committed to work towards the fulfilment of the UN Sustainable Development Goals
particularly in relation to Goal 14 on “Life Below Water” and Goal 16 on “Peace, Justice and
Strong Institutions.”

Are convinced that there is a need for the world community to recognize the existence of
transnational organized crime in the global fishing industry and that this activity has a
serious effect on the economy, distorts markets, harms the environment and undermines
human rights.

Recognize that this transnational activity includes crimes committed through the whole
fisheries supply and value chain which includes illegal fishing, corruption, tax and customs
fraud, money laundering, embezzlement, document fraud and human trafficking.
BEBERAPA KAPAL IKAN ASING PELAKU IUU FISHING YANG
DITANGKAP DI INDONESIA

SILVER SEA 2 VIKING (stateless) HUA LI 8

NIKA (PANAMA)

STS 50 (stateless) FU YUAN YU 831 HAI FA


18
FV VIKING
Bagian dari kelompok penangkap ikan ilegal “Bandit 6”

Rantai tindak kriminal FV Viking

● FV Viking dimiliki oleh pemilik Spanyol melalui shell company di Seychelles, Panama, Hong Kong, dan Nigeria, dan
dioperasikan oleh agen di Asia Tenggara yang berdomisili di beberapa negara. FV Viking juga dioperasikan dari
Singapura untuk kru, logistik dan pembiayaan.
● FV Viking memalsukan beberapa dokumen, mengganti bendera lebih dari 10 kali, dan mengganti namanya lebih
dari 10 kali untuk menutupi operasinya. Setidaknya terdapat 25 bendera yang ditemukan dalam kapal FV Viking.
● FV Viking menargetkan Patagonian Toothfish, spesies bernilai tinggi yang dapat dijual sekitar US$30 per kilogram
RANTAI TINDAK KRIMINAL FV VIKING
PELANGGARAN HAM DALAM KASUS BENJINA
Ratusan anak buah kapal diperdagangkan untuk bekerja di kapal perikanan di Benjina

● 682 anak buah kapal teridentifikasi sebagai korban dari perdagangan manusia yang berasal dari Thailand,
Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Mereka mengalami kekerasan fisik dan mental, bekerja dalam kondisi
kerja yang buruk, dan dibayar dengan upah yang rendah.
● Salah satu pemilik kapal adalah perusahaan yang terdaftar di British Virgin Islands yang terafiliasi dengan
perusahaan Hong Kong yang dimiliki oleh 2 warga negara Thailand.
● Sebagian besar kapal perikanan di Benjina dibangun di Thailand dan setidaknya menggunakan bendera
Indonesia, Thailand, dan Papua New Guinea
● Menangkap ikan dari Indonesia yang kemudian dialihkan (transhipped) ke kapal Thailand dalam wilayah laut
Papua New Guinea.
SILVER SEA 2
Membantu penangkapan ikan secara ilegal melalui transhipment di laut

Rantai tindak kriminal Silver Sea 2

● Silver Sea 2 ditemukan melakukan transhipment ilegal dengan kapal penangkap ikan Indonesia di wilayah laut
Papua New Guinea untuk kemudian ikan tersebut diekspor secara ilegal ke Thailand.
● Diduga memiliki afiliasi dengan perusahaan perikanan yang melakukan perdagangan manusia dan perbudakan
modern di Benjina.
● Silver Sea 2 memalsukan dokumen perizinan yang dikeluarkan Papua New Guinea dan menonaktifkan AIS selama
transhipment dan selama perjalanannya dari Papua New Guinea ke Thailand untuk menghindari pemantauan dan
pengawasan.
RANTAI TINDAK KRIMINAL SILVER SEA 2
STS-50
Juga dikenal sebagai ANDREY DOLGOV, SEA BREEZE, dan AIDA

Rantai tindak kriminal STS-50

● STS-50 melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah konvensi CCAMLR, menargetkan Antarctic Toothfish.
● STS-50 ditemukan memalsukan spesies tangkapannya ketika diperiksa oleh otoritas Cina.
● STS-50 secara ilegal menggunakan bendera Togo ketika memasuki wilayah Indonesia.
● STS-50 dimiliki oleh pemilik Rusia yang bertempat tinggal di Korea Selatan. Pemilik kapal terdaftar sebagai
perusahaan di Belize.
● STS-50 berafiliasi dengan agen tenaga kerja yang di Indonesia yang menyediakan anak buah kapal Indonesia untuk
bekerja di atas kapal.
RANTAI TINDAK KRIMINAL STS-50
SUNRISE GLORY

● Sunrise Glory membawa 1,6 ton methamphetamine dan menggunakan izin perikanan Indonesia yang
dipalsukan.
● Sunrise Glory berbendera Singapura dan memiliki 4 warga negara Taiwan sebagai anak buah kapal.
MV NIKA
Kapal penangkap ikan diklaim sebagai kapal kargo umum, berasosiasi dengan STS-50

● MV NIKA melakukan pemalsuan identitas kapal dengan mendaftarkan diri di Panama sebagai kapal kargo umum.
Berdasarkan inspeksi lapangan, MV NIKA merupakan kapal penangkap ikan yang membawa alat tangkap (crab pot)
dan memiliki unit pengolahan ikan dalam kapal.
● MV NIKA menggunakan AIS dari kapal lain untuk menutupi identitasnya ketika memasuki South Georgia dan
Kepulauan Sandwich (dibawah yurisdiksi Inggris) dan berulang kali melakukan pemalsuan identitas ketika
memasuki wilayah ZEE Indonesia.
● MV NIKA dimiliki oleh perusahaan yang sama dengan STS-50.
RANTAI TINDAK KRIMINAL MV NIKA

● MV NIKA beroperasi melalui perusahaan di Marshall Islands, dimiliki oleh Rusia, dan dibantu oleh agen di Korea
Selatan.
● MV NIKA diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di South Georgia, Sandwich Islands, dan Falkland Island
(wilayah CCAMLR).
● MV NIKA mengklaim sebagai kapal kargo umum berdasarkan data pendaftarannya di Panama.
TIM INVESTIGASI MULTINASIONAL UNTUK MENANGANI KASUS MV NIKA

● Pada Juni 2019, INTERPOL mengirimkan laporan inspeksi yang ditulis oleh inspektur dari CCAMLR dan Inggris ke Indonesia,
memberitahukan mengenai kapal penangkap ikan bernama MV NIKA yang mengaku sebagai kapal kargo umum dibawah
bendera Panama.
● Berdasarkan permintaan dari Indonesia, MV NIKA diperiksa dan diselidiki oleh Multinational Investigation Support Team (MIST)
yang terdiri dari personel dari Indonesia, Australia, AS, INTERPOL, dan CCAMLR.
● Sebelum MV NIKA dihentikan, Panama mengirim permintaan resmi ke Indonesia pada 12 Juli 2019 untuk melakukan menaiki dan
memeriksa kapal untuk mencari kemungkinan pelanggaran, termasuk untuk mengkonfirmasi penipuan identitas yang dilakukan
TIM INVESTIGASI MULTINASIONAL UNTUK MENANGANI KASUS MV NIKA
Beberapa Kebijakan Indonesia
DALAM UPAYA PEMBERANTASAN IUU FISHING
Menetapkan
moratorium dan Kebijakan
Melakukan penenggelaman Meningkatkan Meningkatkan
melakukan analisis
ratifikasi Port kapal untuk kerjasama dan transparansi di
dan evaluasi terhadap
State Measures menimbulkan diplomasi bidang
kapal yang dibangun
Agreement efek jera internasional perikanan
di luar negeri

Menutup investasi Pembentukan Menerbitkan Mendirikan pusat Pembenahan


luar negeri untuk SATGAS 115 Peraturan Menteri pelatihan International governance
perikanan tangkap untuk melindungi FishFORCE Academy of
HAM pekerja perikanan
Indonesia
perikanan
PERATURAN MENTERI KKP NO. 30 TAHUN 2012
tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Ikan Negara Republik Indonesia

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DALAM PERMEN 30


• Transparansi dalam rangka perizinan (licensing).
• Perbaikan sistem pelaporan produksi perikanan tangkap.
• pelaksanaan due diligence untuk perizinan penangkapan ikan baru.

TUJUAN UTAMA DARI PERMEN 30

Responsible and sustainable fisheries management


Strategi Penegakan Hukum
menggunakan perangkat Penegakan Hukum
Administrasi
Pendekatan (means) untuk memastikan merupakan strategi
penaatan TANPA harus yang lebih sesuai
Pentaatan menjatuhkan hukuman dengan stategi
(Compliance) pidana (penalizing) compliance jenis
2 Strategi terhadap pelanggar threat-based.
Penegakan
Hukum Pendekatan Multi
(Reiss, 1984) melalui cara-cara Rezim Hukum (multi
pendeteksian terhadap door)
Pendekatan pelanggaran, menentukan
Penjeraan pihak-pihak yang
(Deterrence) bertanggung jawab (liable Pendekatan
person), dan penjeratan corporate criminal
hukuman liability
PRASYARAT EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM

Ability to Detect
Kemampuan untuk Mendeteksi
Ability to Respond

4A+1 Kemampuan untuk Merespon


Ability to Collaborate
with International Stakeholders
Kemampuan untuk berkolaborasi dengan stakeholder
internasional
Ability to Punish
MENGGUNAKAN MULTI REZIM
Kemampuan untuk Menghukum
PENEGAKAN HUKUM Ability to Build Preception
kemampuan untuk Membangun Presepsi bahwa 3AS ada
KELEMAHAN PENEGAKAN HUKUM
● Kurangnya kemampuan dan kapabilitas untuk melakukan upaya
penegakan yang kreatif dibidang perikanan (termasuk penggunaan
ketentuan korupsi dan pencucian uang untuk menjerat para pelaku
intelektual);
● Upaya untuk mempromosikan kepatuhan dalam lingkup penegakan
administrasi belum dioptimalkan;
● Berbagai kasus state capture berpengaruh terhadap ketidakefektifan
penegakan hukum;
● Meskipun pelaku fungsional (pemimpin perusahaan) dapat dituntut
berdasarkan undang-undang, ketentuan pertanggungjawaban pidana
korporasi masih jarang diterapkan oleh aparat penegak hukum.
KELEMAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(mempengaruhi efektivitas penegak hukum)
kelemahan Undang-Undang Perikanan
1. Ancaman sanksi hukum yang rendah.
2. Formulasi corporate criminal liability (CCL) dalam Undang-Undang
Perikanan tidak sejalan dengan konsep utuh dari CCL.
3. Penegakan hukum administrasi belum diatur secara
komprehensif.
4. Tidak dikenalnya prinsip ekstrateritorialitas (extra-territoriality
reach)
5. Tidak diatur mengenai penegakan hukum perdata.
PERMASALAHAN POKOK DALAM PENEGAKAN HUKUM
PIDANA PERIKANAN
1. Pendekatan yang dilakukan oleh penegak hukum belum berorientasi pada multi door (multi legal
regime).
2. Sistem peradilan pidana masih kesulitan dalam menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
➔ Perma dan Perja membantu tetapi tidak signifikan.
3. Perumusan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak terlalu mudah dipahami
dibandingkan dengan Pasal 51 dari Dutch Penal Code dan masih dibutuhkan pro-activisme hakim
indonesia untuk menafsirkan konsep CCL dalam putusannya.
4. Putusan pengadilan perikanan belum memuat pertimbangan hukum yang didasarkan pada
prinsip-prinsip sustainable development/ecosystem approach dalam pengelolaan perikanan.
➔ Bandingkan dengan putusan kasus lingkungan hidup yang telah mengacu pada prinsip-prinsip
internasional, keadilan hukum, pembangunan, dan berkelanjutan.
➔ BEYOND NORMS, BUT JUSTICE
5. Penanganan tindak pidana yang terorganisir lintas batas dibidang sumber daya alam masih sulit
dilakukan
Penegakan Hukum:
Mengapa diperlukan Multidoor Approach di Bidang SDA?
“Kejahatanan di bidang perikanan dan sumber daya alam bersifat
lintass ektor (cross-sector crimes) dan melibatkan berbagai rezim
hukum”
“Keterbatasan satu undang-undang dapat dilengkapi dengan
undang-undang lainnya”

“Kejahatanan di bidang sumber daya alam dapat meliputi kejahatan


cuci uang, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak (kejahatan
lainnya)”
APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENERAPKAN
MULTIDOOR
● Koordinasi dan kerjasama antar Aparat Penegak
Hukum
● Diperlukannya convenor dan fasilitator agar aparat
Penegak Hukum melihat satu kasus dengan
pendekatan multi rezim hukum.
CONTOH PENDEKATAN MULTI REZIM HUKUM DALAM
PEMBERANTASAN KEJAHATAN PERIKANAN
UU IMIGRASI UU KETENAGAKERJAAN
UU PERIKANAN
UU PERPAJAKAN
UU KEPABEANAN
UU PASAR MODAL UU PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN
UU KONSERVASI PULAU-PULAU KECIL
UU KARANTINA
UU MINYAK DAN GAS
UU PELAYARAN
UU PERSEROAN
UU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
UU ANTI-KORUPSI
UU HAK ASASI MANUSIA
UNCLOS
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA
UU LINGKUNGAN UU ZEE
UU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG

40
PENERAPAN PENDEKATAN MULTI REZIM HUKUM
S I
N A
• Penerapan multidoor approach di bidang Iperikanan
R D dengan
dilakukan melalui penyidikan dan penuntutan
O O
menggunakan K
beberapa
M
peraturan
perundang-undangan;R U A I ?
• Memaksimalkan O
F Multidoor D
A approach melalui
A H E M
A K
pendayagunaan M
forum koordinasi;
AP

41
PENERAPAN PENDEKATAN MULTI REZIM HUKUM

U M I ?
O R D A
H F M A
K A M E
P A AS I
A I N
R D
O O
K
42
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Article 51 of Dutch Penal Code

(1) Offences may be committed by natural persons and legal persons


(2) If an offence is committed by a legal person, criminal proceedings may be instituted and
the punishments and other measures provided for by law may be implemented where
appropriate:
a. Legal person; or
b. against those who ordered the commission of the offence,
and those who are in control of such unlawful behaviour; or
c. against the person mentioned under (1) and (2) together

Dutch Supreme Court


• The criteria ‘disposal and acceptance’ – were applied in relation to the
establishment of corporate criminal liability in several cases under the Dutch Supreme
Court. 43
43
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Belanda (Article 51 (2) Dutch Penal Code)
‘Natural Persons’:
Siapa sajakah yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana?
Penuntutan terhadap ‘natural person who actually controls the commission of
the offence’ tidak terbatas pada:
- ‘formal officers’ (misalnya, direksi yang namanya tercantum dalam akta
korporasi); ataupun
- orang/pribadi kodrati yang memegang jabatan/memiliki kewenangan resmi
tertentu dalam legal person/korporasi ybs.

Dengan demikian, setiap karyawan yang tidak memegang jabatan/kewenangan resmi


tertentu dalam korporasi ybs tetap dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
(Wolswijk, H.D., ‘Feitelijk Leiding Geven en Opdracht Geven’, dalam Van der Leij, J.B.J. (ed.), Plegen en deelnemen,
Deventer: Kluwer, 2007, hal. 81-112) 44
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Belanda
Dikenal dua kriteria yang sering digunakan dalam menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi:

Disposal Acceptance
Korporasi memiliki kewenangan Korporasi menerima
untuk mengintervensi atau perbuatan pelaku
mengendalikan perbuatan (termasuk kegagalan korporasi untuk
pelaku namun tidak namun mengambil tindakan yang wajar
kewenangan tersebut tidak untuk mencegah terjadinya
perbuatan pidana dan dilakukan
didayagunakan untuk mencegah
lebih dari 1 kali
terjadinya tindak pidana
(Arrest Hoge Raad (HR) 1 Juli 1981, NJ 1982, 80; HR 14 Januari 1992, NJ 1992, 413; HR 13
November 2001, NJ 2002, 219)
45
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Belanda (Arrest Hoge Raad terkait penerapan Article 51 (2) Dutch Penal Code)

‘Actus Reus’

Hoge Raad (Dutch Supreme Court) pada tahun 2003 menetapkan bahwa:
sebuah korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila terdapat
perbuatan pidana yang dapat secara wajar dikaitkan kepada korporasi (‘reasonable
attribution’).

Unsur ‘reasonable attribution’ tsb terpenuhi apabila perbuatan pidana dilakukan di


dalam ruang lingkup korporasi ybs
(‘within the scope of the corporation’).

(Arrest Hoge Raad (HR) 21 Oktober 2003, NJ 2006, 328 (Drijfmest))


46
PERMA NO. 13 TAHUN 2016
Pasal 4 (2)
Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat
menilai kesalahan Korporasi antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat
dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut Menganut teori
dilakukan untuk kepentingan Korporasi; Pertanggungjawaban
Korporasi Belanda
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang Terdapat elemen
diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah “DISPOSAL” dan
dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan “ACCEPTANCE”
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana.

47
PERJA NO. 28 TAHUN 2014
Ketentuan A.2
a. Didasarkan pada keputusan Pengurus Korporasi yang melakukan maupun turut
serta melakukan;
b. Untuk kepentingan korporasi baik karena pekerjaannya dan/atau hubungan lain;
c. Menggunakan SDM, dana, dan/atau segala bentuk dukungan atau fasilitas
lainnya dari korporasi;
d. Dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan atau perintah korporasi dan/atau Menganut teori
pengurus korporasi; Pertanggungjawaban
e. Dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi; Korporasi Belanda
f. Menguntungkan korporasi;
g. Diterima/biasanya diterima oleh korporasi tersebut;
h. Korporasi menampung hasil tindak pidana dengan subjek hukum korporasi, Terdapat elemen
dan/atau “DISPOSAL” dan
i. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban “ACCEPTANCE”
kepada korporasi menurut undang-undang.

Ketentuan B.2
Memiliki kendali dan wewenang untuk mengambil langkah pencegahan tindak
pidana tersebut namun tidak mengambil langkah yang seharusnya.
48
Perbedaan antara
PERMA No 13/2016 dan PERJA No 28/2014

PERMA No 13/2016 PERJA No 28/2014


❑ Definisi: mencakup Korporasi, Korporasi ❑ Definisi: hanya meliputi Korporasi, Pengurus
Induk, Perusahaan Subsidiari, Pengurus, Korporasi dan Aset
Hubungan Kerja dan Hubungan Lain, serta ❑ Tidak mengatur mengenai
perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pertanggungjawaban Grup Korporasi dan
pemisahan, dan pembubaran Korporasi dalam penggabungan, peleburan,
❑ Mengatur pertanggungjawaban Grup pemisahan dan pembubaran
Korporasi dan Korporasi dalam penggabungan, ❑ Mengatur mengenai penyellidikan dan
peleburan, pemisahan dan pembubaran penyidikan, serta penuntutan terhadap tindak
❑ Tidak mengatur mengenai penyellidikan dan pidana korporasi
penyidikan, serta penuntutan terhadap tindak
pidana korporasi

Kesimpulan: PERMA No 13/2016 mengatur secara lebih komprehensif mengenai tindak pidana
korporasi; sementara PERJA No 28/2014 mengatur lebih spesifik pada aspek lidik-sidik dan
penuntutannya. 49
Elemen
Transnational
Organized Crimes di
Sektor Perikanan
Pertemuan FishCrime Symposium 2018

• Terjadinya tindak pidana yang serius


• Dilakukan secara terstruktur dan berlangsung dalam waktu yang lama
• Dilakukan dalam lingkup bisnis
• Melibatkan lebih dari satu negara

14 negara menyepakati Joint Declaration on


Transnational Organized Crime in the Global Fishing
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (TOC) BERDASARKAN
PALERMO CONVENTION
Pasal 2 Palermo Convention mendefinisikan Pasal 3 Palermo Convention mendefinisikan
2 elemen dalam organized crime. elemen dari TOC

Organized criminal group Tindak kriminal dapat dikatakan


sebagai TOC jika:
structured group of three or more persons, existing
for a period of time and acting in concert with the ● it is committed in more than one State;
aim of committing one or more serious crimes or ● it is committed in one State but a substantial
offences established in accordance with [Palermo] part of its preparation, planning, direction, or
Convention, in order to obtain, directly or indirectly,
control takes place in another State;
a financial or other material benefit
● it is committed in one State but involves an
Serious crime organized criminal group that engages in
criminal activities in more than one State; or
conduct constituting an offence punishable by a ● it is committed in one State but has substantial
maximum deprivation of liberty of at least four years
effects in another State.
or a more serious penalty
KEJAHATAN PERIKANAN SEBAGAI TOC
The Annual European Union Organised Crime Situation Report (2003) memperluas definisi dari TOC, dengan
catatan bahwa agar sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak kriminal terorganisir harus memenuhi setidaknya
enam dari karakteristik yang dipersyaratkan, dan harus memiliki karakteristik No. 1, 3, 5, dan 11:
1. Kolaborasi antara 2 orang atau lebih (sesuai dengan Pasal 2(a) Palermo Convention)
2. Masing-masing dengan tugas yang ditujukan kepadanya (sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 Palermo Convention)
3. Untuk periode waktu yang lama atau tidak terbatas (sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 Palermo Convention)
4. Menggunakan beberapa bentuk disiplin dan kontrol (sesuai dengan Pasal 23 Palermo Convention)
5. Diduga melakukan kejahatan serius (sesuai dengan Pasal 2(b), 5, 6, 8 dan 23 Palermo Convention)
6. Beroperasi pada tingkat internasional (sesuai dengan Pasal 3 ayat 2 Palermo Convention)
7. Menggunakan kekerasan atau cara lain untuk mengintimidasi (sesuai dengan Pasal 23 Palermo Convention)
8. Menggunakan struktur komersial atau businesslike (sesuai dengan Pasal 2(c) Palermo Convention)
9. Terlibat dalam pencucian uang (sesuai dengan Pasal 6 dan 7 Palermo Convention)
10. Mempengaruhi politik, media, administrasi publik, pejabat pengadilan atau ekonomi
11. Dengan tujuan untuk mengejar keuntungan atau kekuasaan (sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 Palermo
Convention)
IUU FISHING DAN TOC DALAM INDUSTRI PERIKANAN
Baik IUU fishing dan TOC dalam industri perikanan terjadi dalam industri perikanan, tetapi pendekatan
penegakan hukum terhadap dua tindakan tersebut berbeda

IUU FISHING
Penegakan hukum atas pelanggaran/ketidakpatuhan terkait dengan kegiatan perikanan, meliputi:
● Penangkapan ikan tanpa izin
● Menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang
● Tangkapan yang tidak dilaporkan
● Menangkap diluar area yang ditentukan

TOC dalam industri perikanan


Penegakan hukum terhadap segala jenis tindak kriminal terkait dengan operasi penangkapan ikan.

Perencanaan Operasi Perikanan Tindak kriminal lainnya untuk


(pre-operation) memaksimalkan keuntungan

● Penipuan ● Menggunakan Flags of Convenience ● Kejahatan pajak


● Rekrutmen melalui ● Transshipment di laut ● Pencucian uang
perdagangan manusia ● Perdagangan barang illegal
● Penyuapan ● Penyelundupan bahan bakar
● Modern slavery
JENIS TINDAK PIDANA DALAM PERIKANAN
PENIPUAN DALAM PERIKANAN
Kegiatan perikanan terorganisir umumnya menutupi ilegalitas dan identitas melalui dokumen dan identitas palsu agar
dapat menghindari pemantauan dan pengawasan. Jenis penipuan dalam perikanan mencakup:
● Pemalsuan sertifikat registrasi dan dokumen perizinan – e.g. Sunrise Glory memalsukan izin penangkapan ikan
Indonesia untuk menutupi operasi penyelundupan narkoba
● Pemalsuan identitas (mengubah nama, bendera, dan identitas di AIS) – e.g. MV NIKA terlihat menggunakan
identifikasi AIS kapal lain untuk menutupi identitasnya
● Catatan penangkapan yang tidak akurat dan pemalsuan spesies tangkapan – STS-50 memalsukan spesies ikan
untuk menutupi f Antarctic Toothfish yang mereka tangkap secara ilegal

TINDAK PIDANA EKONOMI DALAM PERIKANAN


Tindak pidana ekonomi digunakan untuk memfasilitasi operasi, menutupi tindak pidana yang dilakukannya dengan
bisnis yang sah, dan memaksimalkan keuntungan dengan menghindari pajak. Jenis tindak pidana ekonomi meliputi:
● Korupsi – e.g. pelaku dalam kasus Bengis (Afrika Selatan) menyuap petugas perikanan untuk memfasilitasi panen
ilegal lobster Pantai Selatan
● Kejahatan pajak (unreported tax, misreported tax, dan tax evasion)
● Pencucian uang
JENIS TINDAK PIDANA DALAM PERIKANAN
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Buruh dengan biaya rendah umumnya digunakan untuk memaksimalkan keuntungan dari kegiatan perikanan yang
dilakukan. Buruh tersebut seringkali direkrut melalui perdagangan manusia dan dipaksa bekerja dalam lingkungan kerja
yang buruk, gaji yang buruk, tanpa jaminan sosial dan asuransi kesehatan. Jenis pelanggaran HAM dalam kapal
perikanan meliputi:
● Kerja paksa Semua jenis pelanggaran HAM ditemukan
● Perdagangan manusia dalam kasus Benjina
● Perbudakan modern

PERDAGANGAN BARANG ILEGAL DAN PENYELUNDUPAN BARANG


● Kapal ikan seringkali digunakan untuk memfasilitasi perdagangan barang ilegal, seperti narkotika, senjata,
bahan bakar, dan bahkan hewan yang dilindungi – e.g. Sunrise Glory menggunakan kapal ikan untuk
menyelundupkan narkotika ke Indonesia
● Kapal ikan juga digunakan untuk menyelundupkan barang, seperti bahan bakar dan migran.
Kondisi hidup yang tidak Buruh dibawah umur Rekrutmen dengan
layak dan tidak manusiawi penipuan

Bekerja tanpa jaminan PELANGGARAN Penahanan dokumen


sosial HAK ASASI pribadi
MANUSIA
Kekerasan mental dan DALAM KAPAL
Tidak diberikan upah
fisik PERIKANAN

Kerja 18-20 jam Pelanggaran kesehatan Pembunuhan dan


perhari dan keamanan pelecehan seksual
PERSYARATAN DASAR BAGI NEGARA UNTUK MELAWAN TOC DALAM
INDUSTRI PERIKANAN
1. Membangun kesepahaman terkait dengan TOC dalam industri perikanan
2. Determined political will (kepemimpinan nasional)
2. Peraturan perundang-undangan yang efektif
Peraturan perundang-undangan yang dilengkapi dengan jangkauan ekstrateritorialitas, pertanggungjawaban pidana
perusahaan (corporate criminal liability), pendekatan multi-door, hukuman berat yang disertai sanksi minimum

3. Lembaga penegak hukum nasional yang efektif


Diwakili oleh semua lembaga penegakan hukum dalam satu atap yang kuat dan sistem integritas yang efektif.

4. Kerjasama internasional yang efektif


Memanfaatkan kerjasama global, regional, dan bilateral dalam memerangi TOC di industri perikanan (e.g. MIST)

5. Peran kuat dari INTERPOL dan lembaga terkait lainnya (UNODC & IOM)
Memperkuat peran organisasi ini penting untuk memfasilitasi kerjasama penegakan hukum antara negara dalam
memerangi TOC di industri perikanan (kerjasama dalam bentuk penyediaan alat oleh INTERPOL, UNODC, dan IOM,
pemberitahuan, pertukaran informasi, bantuan investigasi, fasilitasi MIST, dan capacity building)
CONTOH PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS
U.S. Lacey Act § 3372. Prohibited Acts
“Offences other than marking offences it is unlawful for any person –
2) to import, export, transport, sell, receive, acquire, or purchase in interstate or foreign commerce - (A) any
fish or wildlife taken, possessed, transported, or sold in violation of any law or regulation of any State
or in violation of any foreign law …;
3) within the special maritime and territorial jurisdiction of the United States (as defined in section 7 of title
18) - (A) to possess any fish or wildlife taken, possessed, transported, or sold in violation of any law or
regulation of any State or in violation of any foreign law or Indian tribal law …”

Law No. 18/2013 on Prevention and Eradication of Forestry Crimes


Article 19
Everyone who is either inside or outside the territory of Indonesia is prohibited to:
a. enjoin, organize, or direct illegal logging and/or illegal use of forest areas;
b. enjoin or assist illegal logging and/or illegal use of forest areas;
c. conduct illegal agreements to do illegal logging and/or illegal use of forest areas;
[…]
i. hiding or disguising the origin of the property that is known or is justified to be suspected of originating
from illegal logging and/or illegally using the forest area as if it were a legitimate property.
CONTOH PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS
Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014
Article 5 para (1):
An entity shall be guilty of an offence if —
(a) the entity — (i) engages in conduct (whether in or outside Singapore) which causes or contributes to
any haze pollution in Singapore; or (ii) engages in conduct (whether in or outside Singapore) that condones
any conduct (whether in or outside Singapore) by another entity or individual which causes or contributes to
any haze pollution in Singapore; and
(b) there is haze pollution in Singapore at or about the time of that conduct by that entity.

US Foreign Corrupt Practices Act § 78dd-2(i)


(1) It shall also be unlawful for any United States person to corruptly do any act outside the United States in
furtherance of an offer, payment, promise to pay, or authorization of the payment of any money, or offer, gift,
promise to give, or authorization of the giving of anything of value to any of the persons or entities set forth in
paragraphs (1), (2), and (3) of subsection (a), for the purposes set forth therein, irrespective of whether such
United States person makes use of the mails or any means or instrumentality of interstate commerce in
furtherance of such offer, gift, payment, promise, or authorization.
EVALUASI EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM
Kriteria Mengukur Efektivitas Penegakan Hukum
• Is the offence terminated? (Apakah pelanggaran tersebut sudah dihentikan?)
• Are harmful effects of the offence restored? (Apakah akibat yang membahayakan
dari pelanggaran tersebut dapat dikembalikan seperti keadaan semula?)
• Did offenders reiterate e.g. did the prosecutors offices or administrative authorities
repeat enforcement efforts? (Apakah pelaku pelanggaran mengulangi
perbuatannya, misal, apakah aparat penegak hukum administrasi mengulangi
upaya penegakan hukum?)
• Can transformation of the behavior of the offender be determined (compliance)?
(Apakah terdapat perubahan perilaku perusahaan pasca penjatuhan sanksi
administratif dan pidana (tingkat kepatuhan ketaatan) ?
(Winter & de Ridder 2006)
60
Apa manfaat yang Indonesia dapatkan?

MSY naik Pajak dari sektor perikanan


Ukuran hasil tangkapan
naik
semakin besar

PNBP dari sektor perikanan naik dan mencapai


Nilai tukar nelayan naik angka tertinggi dalam sejarah pada 2017
Kapal asing yang masuk semakin berkurang

2014
Kapal asing yang masuk semakin berkurang

2017
Kapal asing yang masuk semakin berkurang

2019
Jadi, apa yang dibutuhkan untuk memberantas IUU
fishing sebagai ancaman terhadap maritime
security?

Membutuhkan Kebijakan yang kuat didukung Penegakan hukum


komitmen global dan dengan sarana dan prasarana yang dapat
kerjasama Kompleksitas permasalahan IUU fishing menimbulkan efek jera
internasional menuntut kebijakan yang kuat dan Efek jera dapat mencegah
IUU fishing adalah ancaman pengawasan untuk memastikan terjadinya tindak pidana di
global dan sifatnya implementasi kebijakan tersebut kemudian hari
transnasional
Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai