OLEH :
dr. Ida Bagus Gede Hendra Kusuma, S.Ked
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
ii
2.3.1 Definisi........................................................................................15
2.3.2 Epidemiologi...............................................................................15
2.3.3 Etiologi........................................................................................16
2.3.4 Klasifikasi...................................................................................16
2.3.5 Patofisiologi................................................................................17
2.3.6 Diagnosis.....................................................................................21
2.3.7 Tatalaksana..................................................................................24
2.3.8 Komplikasi..................................................................................29
HIPOTESIS PENELITIAN
iii
4.3.2 Sampel Penelitian........................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................45
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis alergi (RA) merupakan suatu peradangan yang terjadi pada mukosa hidung, akibat
adanya reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE, setelah terjadinya paparan oleh
Rhinitis alergi (RA) merupakan penyakit terbanyak dari semua penyakit alergi dan
mempengaruhi sekitar 400 - 600 juta penduduk di seluruh dunia. Saat ini rhinitis alergi telah
menjadi perhatian di seluruh dunia karena meningkatnya prevalensi dan morbiditasnya. Penyakit
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik, lingkungan, dan polusi udara. Diperkirakan
10 - 20 % populasi di dunia menderita rhinitis alergi dengan jumlah yang berbeda – beda pada
setiap negara. Prevalensi rhinitis alergi di negara maju cenderung lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang, seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di
Amerika berkisar 33,6%. Sementara prevalensi di negara berkembang seperti di Amerika Utara
hanya sebesar 10-20%, Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi rinitis alergi di
Indonesia sendiri mencapai 1,5- 12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya
(Subagiarta et al 2019).
WHO melalui International Rhinitis Management Working Group dan Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma tahun 2008 membagi kasus Rhinitis Alergi (RA) dalam dua kelompok
yaitu intermiten (sewaktu) dan persisten (menetap) sesuai dengan lamanya waktu serangan,
sedangkan berdasarkan beratnya gejala dibagi menjadi ringan dan sedang - berat. Rhinitis alergi
Intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu dan persisten berlangsung lebih
1
dari 4 hari perminggu. Gejala dikatakan ringan apabila tidak mempengaruhi aktifitas sehari-hari
dan aktifitas
2
3
tidur, sedangkan gejala sedang - berat apabila ada satu atau lebih gangguan aktifitas sehingga
Gejala klinis dari rhinitis alergi (RA) yaitu bersin-bersin, hidung berair (rhinorrhea), hidung
gatal, dan hidung tersumbat. Hidung tersumbat atau nasal congestion merupakan gejala utama
dan paling sering terjadi pada kasus rhinitis alergi yaitu sebesar (86%) kasus, sehingga tidak
Sumbatan hidung dapat dievaluasi baik secara subyektif dengan menilai persepsi aliran udara
melalui hidung oleh penderita dan secara objektif dengan mengukur resistensi aliran udara
hidung. Rinomanometri anterior dan posterior serta rinometri akustik merupakan baku emas
yang telah diakui secara internasional untuk menilai sumbatan hidung secara objektif, tetapi
metode ini sangat kompleks, mahal, tidak tersedia di setiap institusi kesehatan dan hanya bisa
Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) dapat digunakan untuk mengukur secara kuantitatif
besarnya aliran udara pernafasan melalui hidung dengan mengukur volume dan kecepatan aliran
udara pernafasan. PNIF digunakan sebagai pilihan oleh karena pemeriksaannya yang lebih
murah, memerlukan waktu yang singkat, dapat dilakukan di rumah, variabilitas yang rendah, dan
tidak sulit untuk dikerjakan. Beberapa penelitian menunjukkan alat ini sensitif dan berhubungan
dengan pengukuran objektif lain (gardenia et al, 2015). Pada kasus rhinitis alergi didapatkan
adanya penurunan PNIF oleh karena adanya sumbatan hidung (Utomo et al., 2019).
Tatalaksana rhinitis alergi (RA) dapat berupa terapi non farmakologis dan terapi
farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan cara menghindari paparan alergen
merupakan terapi farmakologis yang lebih efektif dalam menangani dan mengurangi gejala
rhinitis alergi khususnya sumbatan hidung atau nasal obstruction yang merupakan gejala utama
dan paling sering pada rhinitis alergi. Oleh karena itu, terapi intranasal kortikosteroid dapat
menjadi pilihan awal untuk menangani kasus rhinitis alergi sebelum dilanjutkan dengan
Terapi kortikosteroid intranasal pada kasus rhinitis alergi ada berbagai macam seperti
fluticasone propionate, mometasone, dan triamcinolone acetonide (Denise et al, 2010). Adanya
berbagai pilihan tersebut diatas, maka dalam pemilihannya digunakan kortikosteroid intranasal
dengan afinitas yang tinggi dan bioavailabilitas yang rendah untuk mengurangi terjadinya efek
Fluticasone furoate dan mometasone merupakan dua jenis kortikosteroid intranasal dengan
bioavailabilitas yang rendah yaitu < 0,5% untuk fluticasone dan < 0,1% untuk mometasone.
Namun oleh karena fluticasone furoate memiliki afinitas yang paling tinggi, maka fluticasone
furoate saat ini menjadi pilihan dalam penggunaan kortikosteroid intranasal (kumar et al, 2012).
Pada pedoman AAIR (Allergy, Asthma, & Immunology Research) tahun 2010 dalam
penatatalaksanaan rhinitis alergi, pemberian terapi kortikosteroid intranasal dapat menjadi salah
satu pilihan pada kasus rhinitis alergi intermitten sedang – berat dan persisten ringan sedangkan
pada kasus rhinitis alergi persisten sedang - berat terapi intranasal kortikosteroid wajib diberikan
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh
pemberian fluticasone furoate terhadap nilai PNIF pada pasien rhinitis alergi derajat sedang –
berat di poli THT-KL RSUP Sanglah. PNIF digunakan sebagai alat untuk mengetahui besarnya
aliran udara melalui hidung dan fluticasone furoate adalah salah satu jenis kortikosteroid
intranasal yang digunakan sebagai terapi dalam mengurangi gejala sumbatan hidung pada kasus
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh pemberian fluticasone furoate terhadap nilai PNIF
pada pasien rhinitis alergi derajat sedang - berat di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah
Denpasar?”
Mengetahui pengaruh pemberian fluticasone furoate terhadap nilai PNIF pada pasien
pasien rhinitis alergi derajat sedang – berat di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah.
6
Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman dan masukan dalam
alergi. Jika terbukti bahwa pemberian fluticasone furoate pada kasus rhinitis alergi sedang
– berat dalam mengurangi gejala sumbatan hidung dan meningkatkan nasal flow pada
pasien, maka diharapkan tatalaksana yang tepat sehingga dapat memberikan prognosis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data bagi peneliti lain yang ingin
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar.
Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh otot dan kulit Sepertiga
atas hidung luar merupakan tulang dan duapertiga bawah merupakan tulang rawan. Bagian
tulang terdiri dari dua tulang hidung yang bertemu di garis tengah dan pada bagian atas dari
prosesus nasalis os frontal dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os maksila (Dhingra
Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), kartilago alar minor dan kartilago
Dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap kavum nasi
berhubungan dengan bagian luar melalui lubang hidung (nares anterior) dan dengan nasofaring
melalui koana. Setiap kavum nasi terdiri dari bagian yang ditutupi kulit, disebut vestibulum dan
bagian yang ditutupi mukosa disebut kavum nasi yang sebenarnya (Dhingra PL, Dhingra Shruti,
2014).
Vestibulum merupakan bagian anterior dan inferior dari kavum nasi. Vestibulum dilapisi
oleh kulit dan berisi kelenjar sebasea, folikel rambut dan rambut-rambut yang disebut vibrise.
Bagian atas vestibulum terbatas pada dinding lateral yang ditandai oleh ala nasi (katup hidung)
6
7
yang dibentuk oleh batas belakang dari kartilago nasalis lateralis superior. Dinding medial
vestibulum dibentuk oleh kolumela dan bagian bawah dari septum nasi (Dhingra PL, Dhingra
Shruti, 2014).
Setiap kavum nasi memiliki dinding lateral, medial, superior dan inferior. Pada dinding
lateral terdapat 4 buah konka. Konka menggulung seperti proyeksi tulang yang dilapisi oleh
membran mukosa. Daerah di bawah konka disebut dengan meatus (Dhingra PL, Dhingra Shruti,
2014).
Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang paling menyolok pada
rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang yang dilapisi oleh mukoperiostium, jaringan
lunak yang meliputi pleksus kavernosus, dan di atasnya terdapat mukosa respiratori. Tulang
konka inferior berartikulasi dengan tulang lakrimal di bagian anterior, dan melekat ke prosesus
medial dari maksila dan tulang palatina di bagian lateral. Pleksus kavernosus dapat membesar
karena aliran darah sebagai respon terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam pemicu
Konka media membentuk batas media dari meatus media dan menjadi tanda utama yang
penting dalam operasi sinus. Orientasi dari konka media berjalan sepanjang 3 bidang yang
berbeda dalam perjalanannya dari anterior ke posterior dan dapat dipahami secara skematik
dalam ketiga bagian. Sepertiga anterior dari konka media berjalan sepanjang bidang sagital.
Bagian dari konka media ini adalah yang paling mudah diamati dengan rinoskopi anterior, dan
bagian ini melekat pada dinding lateral hidung dan lempeng kribriformis di bagian superior. Pada
sepertiga tengah, konka direfleksikan dari orientasi sagital ke koronal, membentuk lamela basalis
dari konka media yang melintang untuk masuk ke dinding lateral hidung. Bagian melintang dari
konka media ini yang memisahkan sel etmoid anterior dari sel etmoid posterior. Pada bagian
8
anterior dari lamela basalis dari konka media, drainase sel melalui meatus media. Pada bagian
posterior dari lamela basalis, drainase sel melalui meatus superior. Bagian sepertiga posterior
dari konka berjalan pada bidang axial dengan perlekatannya yang berlanjut sepanjang dinding
lateral hidung. Bagian akhir posterior dari konka media memasuki perbatasan foramen
sfenopalatina dan ke tempat munculnya arteri sfenopalatina ke dalam hidung (Hwang PH,
Abdalkhani A, 2009).
Konka superior merupakan yang paling belakang dari konka-konka yang lain. Merupakan
jalan masuk superior yang paling umum ke dasar tengkorak bersama dengan konka media dan
membantu menentukan batas dari sel etmoid posterior. Bagian medial dari konka superior dan
bagian lateral dari septum nasi adalah daerah dari resesus sfenoetmoidalis, dimana ostium sinus
Konka suprema terkadang terlihat di atas konka superior dan memiliki meatus yang
sempit di bawahnya. Ostium sinus sfenoid terletak di resesus sfenoetmoidalis, bagian medial dari
konka superior atau suprema. Ostium sinus sfenoid secara endoskopik dapat berada kira-kira 1
cm di atas pinggir atas dari koana posterior dekat dengan pinggir posterior dari septum nasi
Dinding medial kavum nasi dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi memisahkan kedua
kavum nasi, menyediakan penopang struktural untuk hidung, dan mempengaruhi aliran udara di
dalam kavum nasi. Septum nasi terdiri dari tulang rawan dan tulang yang dilapisi oleh mukosa
respiratori (Leung, Walsh dan Kern, 2014). Septum bagian anterior dibentuk oleh lamina
kuadrangularis dan premaksila; bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid
dan sinus sfenoid; dan bagian inferior dibentuk oleh vomer, krista nasalis os maksila, dan krista
Dinding superior kavum nasi bagian anterior yang miring dibentuk oleh tulang hidung;
bagian posterior yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid; dan bagian media yang horizontal
dibentuk oleh lamina kribriformis etmoid tempat masuknya nervus olfaktorius ke kavum nasi.
Dinding inferior kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatina maksila pada ¾ bagian anteriornya
dan bagian horizontal dari os palatina pada ¼ bagian posteriornya (Dhingra PL, Dhingra Shruti,
2014)
Lapisan epitel dari kavum nasi berubah dari anterior ke posterior. Kulit di dalam
vestibulum nasi berkeratin, epitel sel skuamosa yang mengandung vibrise dan kelenjar sebasea.
Pada bagian tepi dari konka inferior, epitel berubah menjadi sel kuboidal dan kemudian berubah
menjadi epitel kolumnar bersilia berlapis semu. Pada bagian paling posterior dari nasofaring,
mukosa berubah menjadi tidak berkeratin, epitel sel skuamosa (Hwang PH, Abdalkhani A,
2009).
Vaskularisasi dari kavum nasi terutama berasal dari arteri etmoid anterior dan posterior
(cabang dari arteri oftalmika) dan arteri sfenopalatina (cabang terminal dari arteri maksilaris
interna). Arteri etmoid anterior melewati rektus media dan memasuki lamina papirasea. Arteri ini
kemudian berjalan melewati atap sinus etmoid di dalam tulang pembungkus yang tipis,
kemudian memperdarahi lamina kribriformis dan bagian anterior septum. Arteri ini merupakan
tanda yang paling posterior untuk pembedahan resesus frontalis. Arteri etmoid posterior keluar
dari rongga orbita, kira-kira 12 mm pada bagian posterior dari arteri etmoid anterior. Arteri ini
memperdarahi bagian posterior yang lebih kecil, termasuk celah olfaktorius (Hwang PH,
Abdalkhani A, 2009).
10
Arteri maksilaris interna memasuki fosa pterigomaksilaris dan keluar ke kavum nasi
melalui foramen sfenopalatina seperti arteri sfenopalatina. Foramen sfenopalatina terletak pada
bagian lateral dari ujung posterior konka media. Pada saat memasuki hidung, arteri sfenopalatina
terbagi menjadi cabang hidung posterolateral dan cabang septum posterior (Brennan, Mahadevan
Vena berjalan sejajar dengan arteri sfenopalatina dan dan cabangnya, bermuara ke
pleksus oftalmika dan sebagian ke sinus kavernosus. Vena-vena ini tidak memiliki katup
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk penyebaran infeksi dari hidung ke sinus
Terdapat dua daerah anastomosis arteri yang sering terlibat dalam epistaksis yaitu pleksus
Kiesselbach, yang sering terlibat pada epistaksis anterior, dan pleksus Woodruff, yang sering
terlibat pada epistaksis posterior. Pleksus Kiesselbach terletak pada septum nasi anterior dan
dibentuk oleh anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialis superior,
dan arteri etmoid anterior. Pleksus Woodruff terletak pada bagian posterior dari konka media dan
meatus inferior yang dibentuk oleh anastomosis dari cabang arteri maksilaris interna, yaitu arteri
sfenopalatina dan arteri faringeus asenden (Brennan, Mahadevan and Evans, 2015)
Nervus olfaktorius memberikan indra penghidu. Terdapat filamen utama dari sel
olfaktorius dan tersusun 12-20 nervus yang melewati lamina kribrosa dan berakhir pada bulbus
olfaktorius. Nervus ini dapat membawa pembungkus duramater, arachnoid dan piamater ke
dalam hidung. Trauma pada nervus ini dapat menyebabkan terbukanya daerah cairan
serebrospinal berada sehingga dapat menyebabkan terjadinya rinore cairan serebrospinal atau
Sebagian besar dari 2/3 bagian posterior kavum nasi (septum dan dinding lateral)
dipersarafi oleh ganglion sfenopalatina yang dapat diblok dengan meletakkan tampon kapas yang
telah dibasahi cairan anestesi di dekat foramen sfenopalatina yang terletak pada bagian posterior
konka media. Nervus etmoidalis anterior mempersarafi bagian anterior dan superior kavum nasi
(dinding lateral dan septum) dapat diblok dengan meletakkan tampon pada tulang hidung bagian
atas dimana nervus tersebut masuk. Cabang nervus infra orbital mempersarafi vestibulum pada
Saraf otonom terdiri dari saraf parasimpatis dan saraf simpatis. Saraf parasimpatis
mengontrol sekresi hidung dan kelenjar hidung. Saraf parasimpatis berasal dari nervus petrosa
superfisial yang besar, berjalan pada nervus dari kanalis pterigoideus (nervus vidianus) dan
mencapai ganglion sfenopalatina dimana saraf ini bercabang sebelum mencapai kavum nasi.
Saraf ini juga mensuplai pembuluh darah hidung dan menyebabkan vasodilatasi.(Dhingra PL,
Saraf simpatis berasal dari dua segmen toraks bagian atas dari tulang belakang, melewati
ganglion servikalis superior, berjalan di dalam nervus petrosa dan bergabung dengan saraf
parasimpatis dari nervus petrosa yang besar untuk membentuk nervus dari kanalis pterigoideus
(nervus vidianus). Saraf simpatis mencapai kavum nasi tanpa bercabang pada ganglion
sfenopalatina. Rangsangan pada saraf simpatis dapat menyebabkan vasokonstriksi. Rinore yang
berlebihan pada kasus rinitis alergi dan vasomotor dapat dikontrol dengan memotong nervus
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
12
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal (Beule, 2010).
2.3.1 Definisi
(ARIA-WHO) 2010, RA didefinisikan sebagai suatu inflamasi mukosa hidung berupa kelainan
pada hidung yang dipicu oleh paparan alergen dan diperantarai oleh IgE . Contoh alergen
tersebut antara lain serbuk bunga, bulu hewan maupun debu rumah.Gejala khas rinitis alergi
ditandai dengan hidung tersumbat, bersin-bersin dan ingus yang encer (Fauzi, Sudiro and Lestari,
2015). Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang
dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda)
(Nurjannah, 2011).
2.3.2 Epidemiologi
Jumlah pasien rinitis alergi semakin lama semakin bertambah, hal ini dipengaruhi oleh
faktor genetik, lingkungan, dan polusi udara. Prevalensi rhinitis alergi di dunia saat ini mencapai
10- 25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia. Pada negara maju
prevalensi rhinitis alergi lebih tinggi, seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar
31,5%, dan di Amerika berkisar 33,6%. Prevalensi rhinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-
13
20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi rinitis alergi
2.3.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor Non spesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah,
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
2.3.4 Klasifikasi
Menurut Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) 2010 rhinitis alergi dibagi
dalam dua kelompok yaitu Intermiten (sewaktu) dan Persisten (menetap) sesuai dengan lamanya
waktu serangan, sedangkan berdasar beratnya gejala dibagi menjadi ringan dan sedang berat.
Rhinitis alergi Intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu dan berlangsung
Gejala dikatakan
2.3.5 Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang bersifat khas dan timbul
pada penderita atopi. Gejala klinis akan timbul bila ada kontak dengan allergen yang biasanya
tidak menyebabkan reaksi apapun pada orang normal. Rhinitis alergi menurut pembagian Gell &
Comb termasuk reaksi alergi tipe I yang diperentarai Ig E melalui reaksi alergi fase cepat
(RAFC) terdiri dari fase sensitisasi, fase aktivasi- sekresi dan reaksi alergi fase lambat (RAFL)
phase) dimulai ketika alergen yang bersifat antigenik masuk dan terdeposit pada epitel mukosa
hidung, selanjutnya fragmen antigenik alergen diproses dalam endosom makrofag atau sel
dendritik yang berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Antigen kemudian berikatan
16
dengan Major Histocompability Complex (MHC) klas II dan dipresentasikan pada permukaan sel
makrofag. APC akan melepaskan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan suatu lymphocyte
activating factor yang merangsang sel Th0 (T helper 0) berdiferensiasi menjadi sel Th2 yang
melepaskan sitokin tertentu: IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor (GM-CSF). IL-4 dan IL-13 selanjutnya menstimulasi lebih banyak
Th2 untuk merespon antigen serta menginduksi sel limfosit B menjadi sel plasma memproduksi
IgE yang segera diikat oleh sel mast dan basofil, juga menghambat secara kompetitif produksi
sitokin sel Th1. Proses sensitisasi terlengkapi setelah IgE spesifik alergen berikatan pada rantai α
(alfa) reseptor FcεRI (reseptor tipe 1 fragmen c efsilon berafinitas tinggi) pada permukaan sel
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) serta menghambat
produksi sitokin dari sel Th1. Paparan alergen dosis rendah yang terus – menerus dan presentasi
alergen oleh sel penyaji kepada sel limfosit B akan memicu bertambahnya produksi IgE oleh sel
limfosit B. IgE yang bertambah banyak akan beredar bebas di sirkulasi darah kemudian IgE akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mast atau basofil (sel mediator)
termasuk di mukosa hidung, sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Artinya, individu tersebut sudah menjadi
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka dua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
17
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi alergi fase cepat terjadi dalam waktu beberapa menit (30-60 menit) pada penderita
atopik yang sudah tersensitisasi setelah terjadi paparan ulang oleh alergen yang sama. Alergen
terikat pada permukaan komplek IgE-sel mast atau basofil, membentuk ikatan (cross-linking)
IgE: FcεRI, yang selanjutnya mengaktivasi sel mast dan basofil. Aktivasi ini menghasilkan: (1)
degranulasi sel mast mengeluarkan preformed mediator kimia antara lain histamin, berbagai
protease (misalnya triptase) dan sitokin, (2) sintesis serta pelepasan newly generated lipid-
factor/PAF).Pada respon fase cepat ini histamin memegang peranan penting dan merupakan
lebih dari 50% penyebab gejala RA. Gejala pada fase cepat yaitu bersin, gatal pada hidung, pilek
encer, buntu hidung dan gejala pada mata (ramirez-jimenez et al, 2012).
Reaksi alergi fase lambat terjadi 4–6 jam setelah paparan alergen ditandai dengan gejala
buntu hidung, anosmia, sekresi mukus dan hiperesponsif nasal.Reaksi ini diakibatkan oleh
pelepasan sitokin serta aktivasi sel endotel dan menetap selama 24 – 48 jam, yang disebabkan
oleh berbagai faktor inflamasi yang dilepaskan sel mast dan basofil berupa faktor kemotaktik,
PAF, eikosanoid dan sitokin. Faktor kemotaktik menyebabkan infiltrasi sel eosinofil, sel mast,
limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa. PAF mengakibatkan resistensi
saluran nafas, buntu hidung, gatal dan pilek; selain itu juga dapat menarik eosinofil, neutrofil
18
serta meningkatkan adhesinya pada endotel pembuluh darah sehingga gejala bertambah berat
Mekanisme tertariknya eosinofil ke lokasi reaksi alergi dipengaruhi oleh sitokin yang
disekresi oleh sel mast, eosinofil dan sel Th2. Sitokin IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF (granulocyte
RANTES / regulated upon activation normal T-cell expressed and secreted chemokine) dapat
meningkatkan ekspresi molekul adhesi endotel.Sitokin IL- 3, IL-5 dan GM-CSF dapat
ekspresi molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) dan
Gejala rinitis alergi yang khas yaitu serangan bersin berulang. Pada dasarnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologis bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain seperti keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang-kadang dapat disertai
dengan banyak keluar air mata atau hiperlakrimasi (Bosquet et all, 2012).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda pada
hidung terdapat garis melintang pada dorsum nasi akibat sering menggosok-gosok hidung ke atas
(allergic salute), pucat dan udem pada mukosa hidung sampai tampak kebiruan. Lubang hidung
bengkak disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda pada mata termasuk edema kelopak
19
mata, kongesti konjungtiva dan garis hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga
termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai tanda dari adanya sumbatan
pada tuba Eustachius. Tanda pada faring tampak faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda pada laring terdapat suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa batuk, sakit kepala, gangguan penciuman, mengi, nyeri wajah dan post
nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah, lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan
b. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar sekret (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Anamnesis harus mencakup beberapa hal
seperti durasi bekerja sampai timbulnya gejala, jenis agen penyebab, tugas atau proses yang
terkait dengan timbulnya hingga memperparah gejala, waktu libur bekerja apakah masih terdapat
gejala,tingkat keparahan gejala dan dampaknya terhadap kehidupan penderita (Bosquet et all,
2012).
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dijumpai adanya allergic shinners,allergic salute, nasal crease, facial
grimacing, dennie’s line. Pemeriksaan rinoskopi anterior atau endoskopi hidung untuk menilai
apakah konka udem, warnanya pucat (livide), ada secret yang encer, kondisi meatus medius,
20
nasofaring dan adakah kelainan anatomi (septum deviasi dan polip) (Woodbury and Ferguson,
2011)
Pemeriksaan tenggorokan dilihat adakah post nasal drip, granula di faring atau
cobblestoning yang menunjukkan adanya faringitis kronis. Perlu dilakukan auskultasi untuk
A C
B D
Gambar 2.3 Pemeriksaan fisik Allergic Salute(A); Allergic Shiner(B);Nasal Crease (C) ;
Dennie’s Line (D) (Woodbury and Ferguson, 2011)
d. Pemeriksaan Penunjang
21
Secara in vivo, alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Tes ini merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan karena
sederhana, murah, cepat, amat dan cukup sensitif dan spesifik. Keuntungan SET yaitu alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Nina lrawati,
2019).
Namun, pemeriksaan ini kurang dapat diandalkan untuk uji alergi makanan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, suatu jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai saat
suatu reaksi gejala menghilang dengan meniadakan jenis makanan tersebut (Nina lrawati, 2019).
2.3.7 TATALAKSANA
a. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit, dan tujuan
mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas atau keduanya. Selain
itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang
mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan pasien
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari ontak dengan alergen penyebab
Terapi Farmakologi
avoidance atau eliminasi alergen juga dengan farmakoterapi. Farmakoterapi diperlukan karena
penderita RA tidak bisa secara total menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan
harus memenuhi kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbs cepat, cara
kerja cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktifitas anti alergenik tinggi. Farmakoterapi
yang diberikan harus bijaksan dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh
penderita. Obat yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan penderita baik berupa obat tunggal
23
maupun kombinasi.
a. Antihistamin
Gejala RA timbul akibat dilepaskannya bermacam mediator kimia akibat degranulasi sel
mast dengan histamin merupakan mediator utama. Antihistamin merupakan kompetitif inhibitor
histamin dan merupakan pilihan pertama untuk pengobatan RA sampai sekarang. Cara kerja obat
ini yaitu menghambat efek mediator histamin pada tingkat reseptor histamin dan prostaglandin
24
dari sel mast dan basofil. Obat in sangat efektif untuk mengurangi gejala RA seperti hidung
gatal, bersin dan pilek meskipun kurang efektif untuk buntu hidung (Van Cauwenberge et al.,
2003).
terapi penderita RA. Antihistamin generasi pertama bersifat lipofilik dan bisa melewati sawar
darah otak sehingga pemakaiannya terbatas karena efek sedatifnya,antara lain: difenhidramin,
prometazin, tripolidin, hidroklorid, klorfermiramin maleat dan lain-lain (Wheatley et all, 2015).
Antihistamin gerasi kedua merupakan long acting antihistamin karena aksi kerjanya lama
(24 jam), tidak menembus sawar darah otak dan selektif terhadap reseptor H1 perifer sehingga
bersifat non sedative. Sedasi menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada keselamatan
kerja pekerja, pengemudi kendaraan dan prestasi anak sekolah. Obat-obatan yang termasuk
cetirizin. Saat ini terdapat dua sediaan antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu azelastin dan
levocabastin. Obat ini cukup diberikan sekali sehari sehingga akan meningkatkan kepatuhan
b. Dekongestan
hidung sehingga mengurangi gejala buntu hidung sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi
untuk menghilangkan keluhan hidung tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif tetapi ada
resiko tachyphilaxis dan rebound phenomen jika pemberiannya dihentikan. Sedangkan sediaan
oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan kenaikan tekanan darah Berbagai alfa adrenergik
agonis dapat diberikan secara per oral seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin.
Pseudoefedrin adalah obat yang paling banyak digunakan, obat ini juga mempunyai efek
25
stimulasi susunan saraf pusat sehingga menimbulkan anxietas, iritabilitas, insomnia, dan
palpitasi. Obat ini juga bisa memicu retensi urin pada penderita dengan obstruksi bladder neck.
Efek dekongestan mulai terjadi setelah 30 menit berlangsung sampai 6 jam atau bahkan 8-24 jam
dapat mengatasi gejala sumbatan hidung lebih cepat dibanding preparat oral karena efek
vasokonstriksi cepat dalam 10 menit dapat menurukan aliran darah ke sinusoid dan dapat
mengurangi edema mukosa hidung tetapi tidak efektif mengurangi bersin dan pilek (Van
ini dalam satu sedian seperti loratadin, feksofenadin, dan cetrizin dengan pseudoefedrin 120 mg
dapat mengatasi semua gejala rinitis alergi termasuk sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi
d. Ipratropium Bromida
Ipratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan dalam mengatasi
rintis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat mengurangi sekresi dengan
cara menghambat reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor, tetapi tidak ada efek untuk
mengatasi gejala lainnya. Preparat ini berguna pada penderita rinitis alergi dengan rinore yang
tidak dapat diatasi dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin (Effy Huriyati,
2016)
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pilihan pertama untuk penderita
rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan gejala yang persisten (menetap), karena
mempunyai efek anti inflamasi jangka panjang. Studi metaanalisis membuktikan, kortikosteroid
topikal efektif untuk mengatasi gejala rinitis alergi terutama sumbatan hidung. Preparat yang
mometason furoat dan triamcinolon acetonide. Kortikosteroid sistemik hanyak digunakan untuk
terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan
1. Polip Hidung
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa, alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
2. Otitis Media
Kondisi ini terjadi karena terdapat sumbatan pada tuba eustachius yang berulang yang
3. Rinosinusitis
Gejala klinis saat rinitis alergi dapat menyebabkan sumbatan pada sinus paranasal yang
Katub hidung merupakan bagian tersempit dari hidung yang normal. Banyak kondisi
fisiologis dan patologi yang dapat mempengaruhi jumlah aliran udara atau hambatan saluran
nafas hidung. Beberapa kondisi ini adalah normal atau fisiologis seperti siklus hidung. Aliran
udara melalui hidung biasanya asimetris karena adanya kongesti dan dekongesti secara spontan
dari sinus vena hidung di ujung anterior konka inferior dan septum hidung di daerah katub
hidung. Aliran udara asimetris tersebut terjadi secara bergantian setiap 2 – 4 jam yang disebut
dengan “siklus hidung”. Sedangkan kondisi patologis yang dapat menyebabkan hambatan aliran
udara hidung adalah seperti rhinitis alergi dan non alergi, polip hidung, dan deviasi septum
Kongesti nasal merupakan keluhan tersering (99%) yang dialami oleh penderita rhinitis
alergi, sehingga adanya sumbatan pada hidung dapat mengakibatkan penurunan aliran udara
Pengukuran aliran udara hidung secara objektif dapat digunakan untuk membantu dokter
dalam mendiagnosis, mengukur, dan mengobati obstruksi hidung. Pengukuran dapat dilakukan
dengan cara mengukur aliran udara inspirasi puncak hidung (PNIF), rinometri akustik, dan
resistensi aliran udara hidung, rinometri akustik mengukur area pada titik rongga hidung yang
telah ditentukan, dan PNIF mengukur maksimal aliran udara inspirasi dalam liter per menit
Rinomanometri serta rinometri akustik merupakan baku emas yang telah diakui secara
internasional untuk menilai sumbatan hidung secara objektif, tetapi metode ini sangat kompleks,
mahal, tidak tersedia di setiap institusi kesehatan dan hanya bisa digunakan oleh operator terlatih
28
(ottaviano et al, 2016). Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) dapat digunakan untuk
mengukur secara kuantitatif besarnya aliran udara pernafasan melalui hidung dengan mengukur
volume dan kecepatan aliran udara pernafasan. PNIF digunakan sebagai pilihan oleh karena
pemeriksaannya yang lebih murah, memerlukan waktu yang singkat, dapat dilakukan di rumah,
variabilitas yang rendah, dan tidak sulit untuk dikerjakan. PNIF memiliki sensitivitas sebesar
77% dan spesifisitas 80% dimana mendekati pengukuran seperti rinomanometri dan rinometri
Pada orang dewasa nilai PNIF pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Nilai
normal PNIF pada laki-laki dewasa adalah 80 – 200 L/menit dengan rata – rata 123 L/menit,
sedangkan pada perempuan adalah 80 – 140 L/menit dengan rata – rata adalah 96 L/menit. Suatu
penelitian didapatkan adanya perbedaan antara PNIF pada pasien rhinitis alergi dengan non
rhinitis, dimana hasilnya adalah pada laki-laki dewasa dengan rhinitis alergi didapatkan PNIF
sebesar 70 L/menit dan wanita sebesar 65 L/menit sedangkan untuk kasus non rhinitis pada laki -
laki sebesar 145 L/menit dan perempuan sebesar 120 L/menit. Hal tersebut membuktikan bahwa
adanya penurunan PNIF pada kasus rhinitis alergi (Martins et al., 2015).
Pada anak-anak nilai PNIF adalah berdasarkan rentang usia. Pada usia 6-13 tahun nilai
normal PNIF adalah sebesar 40 – 180 L/menit, sedangkan pada usia 14 – 17 tahun nilai normal
Kortikosteroid intranasal merupakan terapi lini pertama yang dapat digunakan pada kasus
rhinitis alergi persisten sedang berat, sedangkan pada kasus rhinitis alergi intermitten sedang –
berat dan persisten ringan kortikosteroid intranasal merupakan salah satu pilihan yang dapat
29
digunakan (Min, 2010). Mekanisme kerja dari kortikosteroid intranasal adalah dengan cara
mengurangi masuknya sel inflamasi dan menghambat pelepasan sitokin proinflamasi, oleh
karena INCS dapat mengurangi reaksi fase cepat dan reaksi fase lambat termasuk nasal kongesti
mengurangi gejala nasal pada kasus rhinitis alergi terutama kongesti hidung jika dibandingkan
(Bridgeman, 2017).
Terdapat 2 jenis generasi dari INCS yaitu generasi pertama seperti (beclomethasone
intranasal lebih sering diberikan dalam bentuk semprot dan dapat digunakan dengan atau tanpa
oral antihistamin (Donaldson et al., 2020). Efek samping samping local yang dapat timbul pada
penggunaan INCS adalah seperti iritasi hidung, hidung terasa kering, epistaksis, perforasi septum
dimana efek tersebut dapat diminimalisasi dengan cara penggunaan INCS yang benar. Efek
samping sistemik yang dapat timbul adalah seperti nyeri kepala, katarak, dan atau glaucoma.
30
Efek sistemik tersebut dapat timbul jika INCS memiliki bioavailabilitas yang tinggi, namun pada
INCS generasi kedua seperti mometasone, ciclesonide, fluticasone furoate, dan fluticasone
propionate memiliki bioavailabilitas yang rendah yaitu < 1% sehingga efek sistemik yang
Dalam pemilihan penggunaan INCS maka diperlukan INCS dengan afinitas yang tinggi
namun bioavailabilitas yang rendah untuk mengurangi terjadinya efek sistemik. Berdasarkan
grafik tersebut didapatkan hasil bahwa fluticasone furoate memiliki afinitas yang paling tinggi
31
namun bioavailabilitas yang rendah yaitu < 0,5%, sehingga penggunaan fluticasone furoate
memiliki efek yang baik dalam mengurangi gejala nasal dan memiliki risiko efek sistemik yang
rendah (ole, 2009). Dosis fluticasone furoate yang dapat diberikan untuk dewasa dan anak > 12
tahun adalah 2 spray (55µg) setiap hari, sedangkan untuk anak usia 2 – 11 tahun dapat diberikan
PENELITIAN
Rhinitis alergi (RA) merupakan suatu peradangan yang terjadi pada mukosa hidung,
akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE, setelah terjadinya
paparan oleh suatu alergen pada mukosa hidung (ARIA, 2010). Gejala klinis dari rhinitis alergi
(RA) yaitu bersin-bersin, hidung berair (rhinorrhea), hidung gatal, dan hidung tersumbat. Hidung
tersumbat atau nasal congestion merupakan gejala utama dan paling sering terjadi pada kasus
Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) dapat digunakan untuk mengukur secara
kuantitatif besarnya aliran udara pernafasan melalui hidung dengan mengukur volume dan
kecepatan aliran udara pernafasan. PNIF digunakan sebagai pilihan oleh karena pemeriksaannya
yang lebih murah, memerlukan waktu yang singkat, dapat dilakukan di rumah, variabilitas yang
rendah, dan tidak sulit untuk dikerjakan. Beberapa penelitian menunjukkan alat ini sensitif dan
berhubungan dengan pengukuran objektif lain (gardenia et al, 2015). Pada kasus rhinitis alergi
didapatkan adanya penurunan PNIF oleh karena adanya sumbatan hidung (Bambang et al 2019).
Tatalaksana rhinitis alergi (RA) dapat berupa terapi non farmakologis dan terapi
farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan cara menghindari paparan alergen
32
33
merupakan terapi farmakologis yang lebih efektif dalam menangani dan mengurangi gejala
rhinitis alergi khususnya sumbatan hidung atau nasal obstruction yang merupakan gejala utama
dan paling sering pada rhinitis alergi. Oleh karena itu, terapi intranasal kortikosteroid dapat
menjadi pilihan awal untuk menangani kasus rhinitis alergi sebelum dilanjutkan dengan
Terapi kortikosteroid intranasal pada kasus rhinitis alergi ada berbagai macam seperti
fluticasone propionate, mometasone, dan triamcinolone acetonide (Denise et al, 2010). Adanya
berbagai pilihan tersebut diatas, maka dalam pemilihannya digunakan kortikosteroid intranasal
dengan afinitas yang tinggi dan bioavailabilitas yang rendah untuk mengurangi terjadinya efek
dengan bioavailabilitas yang rendah yaitu < 0,5% untuk fluticasone dan < 0,1% untuk
mometasone. Namun oleh karena fluticasone furoate memiliki afinitas yang paling tinggi, maka
fluticasone furoate saat ini menjadi pilihan dalam penggunaan kortikosteroid intranasal (kumar et
al, 2012).
Pada pedoman AAIR (Allergy, Asthma, & Immunology Research) tahun 2010 dalam
penatatalaksanaan rhinitis alergi, pemberian terapi kortikosteroid intranasal dapat menjadi salah
satu pilihan pada kasus rhinitis alergi intermitten sedang – berat dan persisten ringan sedangkan
pada kasus rhinitis alergi persisten sedang - berat terapi intranasal kortikosteroid wajib diberikan
Fluticasone Furoate
maksiofacial
1. Terdapat pengaruh pemberian fluticasone furoate terhadap nilai PNIF pada pasien rhinitis
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan design study potong
lintang (cross sectional), yaitu cara pendekatan observasi atau pengukuran variabel pada satu
saat tertentu.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada Bulan
Februari 2021 sampai Mei 2021. Pengumpulan data akan dilaksanakan selama 1 bulan,
kemudian analisis dan pembuatan laporan selam 2 bulan, dan revisi laporan selama 1 bulan.
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis rhinitis alergi derajat sedang
- berat di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada bulan Januari 2021 sampai April 2021 serta
Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
35
36
1. Pasien dengan rhinitis alergi derajat ringan, polip nasal, deviasi septum, tumor
nasofaring atau tumor sinonasal, dan sudah pernah mendapat terapi fluticasone
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling, yaitu mengambil seluruh
pasien anak yang terdiagnosis asma yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteri eksklusi.
n== Zα2PQ
d2
Keterangan :
n = besar sampel
P = proporsi penelitian
Q = 100% - P
α = tingkat kemanaan
Tingkat kemanaan yang diperlukan pada penelitian ini adalah 0,05 dengan interval
Zα = 1,96
Untuk menghindari drop out dari sampel, dilakukan penambahan sampel sebesar 10%,
dengan demikian total sampel minimal dalam penelitian ini adalah 107 subjek. Teknik
pengambilan sampel sampel pada penelitian ini dengan cara total sampling.
Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel dependen, variabel independen, dan variabel
kendali.
3. Anak usia 6 – 13
tahun : 40 – 180
L/menit
4. Anak usia 14 –
17 tahun : 60 –
240 L/menit
Variabel Independen
1 Pemberian 1. Diberikan Nominal
fluticasone fluticason
38
furoate e furoate
2. Tidak
diberikan
fluticason
e furoate
Bahan dan instrumen yang dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Alat tulis
3. Rekam medis
4. Kuisioner penelitian
1. Memohon ijin kepada pihak terkait di RSUP Sanglah dan FK Udayana untuk melakukan
2. Memohon ethical clearance kepada pihak yang berwenang terkait penelitian yang akan
dilaksanakan.
2. Meminta persetujuan kepada orang tua atau wali pasien atau pasien untuk dijadikan
3. Jika orang tua atau wali pasien atau pasien setuju maka pasien dijadikan responden
4. Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder dengan cara mengambil data rekam
medis
6. Menelusuri variabel diteliti, yaitu jenis kelamin, usia, riwayat atopi keluarga, makanan,
asap rokok / debu, perubahan cuaca, perabot rumah tangga, hewan peliharaan, pemberian
fluticasone furoate, nilai PNIF, polip nasal, deviasi septum, tumor nasifaring, dan tumor
sinonasal.
7. Waktu pengambilan data dialokasikan selama 4 bulan sejak Bulan Januari 2021 hingga
April 2021. Setelah itu, data tersebut diolah dan dianalisis untuk mendapatkan hasil
penelitian
Setelah terkumpul, data akan dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram, dan,
narasi dengan bantuan software SPSS. Data akan dianalisis secara deskriptif dengan
karakteristik dasar pasien seperti data demografis pasien. Analisis bivariate antara variable
tergantung dan variable bebas. Kemudian dilakukan uji chi-square untuk melihat signifikansi
hubungan antara variabel yang diuji. Nilai P yang dianggap signifikan bila P < 0.05.
Populasi target
Kriteria Eksklusi
Consecutive sampling
Nilai PNIF
Analisis Data
Hasil
Penelitian ini akan diajukan ke Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana untuk mendapat izin dan kelayakan etik (ethical
cleareance).
JADWAL PENELITIAN
41
1 2 3 4 5 6 7
A. Persiapan
1. Pengurusan ijin
3. Sampling
5. Penyempurnaan instrumen
B. Pengumpulan data
1. Pengolahan data
2. Analisis data
D. Penulisan laporan
E. Seminar hasil
DAFTAR PUSTAKA
ARIA. 2010. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2010 Revision. Journal of
Beule AG. 2010. Physiology and pathophysiology of respiratory mucosa of the nose and the
paranasal sinuses. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head & Neck Surgery 9(7) : 1-24.
2012. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA): Achievements in 10 years
and future needs. The Journal of Allergy and Clinical Immunology. 130(5):1049-1062.
Brennan, P.A., Mahadevan, V., Evans B. T., 2016, Clinical Head and Neck Anatomy for
with uncontrolled allergic rhinitis. Integrated Pharmacy Research and Practice, Volume
6, 109–119.
Dhingra, P.L., Dhingra, S., 2014 Anatomy of Nose. In: P.L. Dhingra, Shruti Dhingra (Eds).
Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery 6th ed. New Delhi :
Elsevier, pp.134-9.
Donaldson, A. M., Choby, G., Kim, D. H., Marks, L. A., & Lal, D. (2020). Intranasal
Adverse Effects in Adults. Otolaryngology - Head and Neck Surgery (United States).
Fauzi, Sudiro, M. and Lestari, B. W. (2015) ‘Prevalence of Allergic Rhinitis based on World
42
43
Medicine Universitas Padjajaran’, Athea Medical Journal, 4(December 2015), pp. 620–625.
Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and Phisiology of The Nose and
Martins de Oliveira GM, Rizzo JA, Camargos PA, Sarinho ES. 2015. Are Measurements of Peak
Nasal Flow Useful for Evaluating Nasal Obstruction in Patients With Allergic Rhinitis?
May, J. R., & Dolen, W. K. (2017). Management of Allergic Rhinitis: A Review for the
Min, Y. G. (2010). The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy,
Nina I., Ardianti N.A., Poerbonegoro N.L, Bardosono S., 2012. “Gambaran fungsi penghidu
dengan Sniffin’ sticks pada pasien rinitis alergi”. ORLI Vol. 42 No. 1 Tahun 2012; 104-
110.
Nurjannah. 2011. Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011. Jurnal
Okubo, K., Kurono, Y., Ichimura, K., Enomoto, T., Okamoto, Y., Kawauchi, H., Suzaki, H.,
Fujieda, S., & Masuyama, K. (2017). Japanese guidelines for allergic rhinitis 2017.
44
Ottaviano, G., & Fokkens, W. J. (2016). Measurements of nasal airflow and patency: A critical
review with emphasis on the use of peak nasal inspiratory flow in daily practice. Allergy:
Schlosser RJ, Harvey RJ (eds). 2012. Endoscopic sinus surgery: Optimizing outcomes and
Sikorska-Szaflik, H., & Sozańska, B. (2020). Peak nasal inspiratory flow in children with
48(2), 187–193.
Small, P., Keith, P. K., & Kim, H. (2018). Allergic rhinitis. Allergy, Asthma and Clinical
Utomo BSR, Marlina L, Foluan F, Falorin J, Luhulima D, Sitompul YRMB. 2019. Profile of
Allergic Rhinitis Based on Nasal Eosinophil Count, Total Nasal Symptoms Score and Peak
Nasal Inspiratory Flow. Medical Journal of The Christian University of Indonesia. Vol. 35
No.1
Wheatley, L.M., Togias, A., 2015, Allergic Rhinitis, The New England Journal of Medicine,
456-462.
Widuri A. 2009. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara Medika. 9(1)