Anda di halaman 1dari 46

MENGENAL KONSEP MUDHARABAH (BAGI HASIL) YANG 

SYAR’I

Posted on November 2, 2012 | & Komentar

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

1.    PENGERTIAN MUDHARABAH

Mudharabahberasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan
berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha,
berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-
Muzzammil, ayat ke-20.

Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u
(sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan
dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. (Lihat AFiqhus Sunnah, karya
Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz,karya ‘Abdul ‘Azhim
bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha)
antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain
supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan
ketentuan yang disepakati. (Lihat Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220)  
2. HUKUM MUDHARABAH DALAM ISLAM

Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:

a. Al-Qur’an:

1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-
orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah:
1)

 2. Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)

 b. Al-Hadits:

1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib
(paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))

2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung
berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan

mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
(HR. Ibnu Majah)

c. Ijma:

Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu
Rusyd (2/136))
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim
sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily,  4/838)

9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.

10. Kaidah fiqih:  “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”

 3. HIKMAH DISYARIATKANNYA MUDHARABAH

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga
orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling
mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib
(pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama
harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq
(hlm.221)).

4. JENIS-JENIS MUDHARABAH

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:

1. Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah


bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat
luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al
ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang
memberi kekuasaan sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan
kehendak pemilik modal.

5. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:

1. Modal.
2. Jenis usaha.
3. Keuntungan.
4. Shighot (pelafalan transaksi)
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhah karya imam
Nawawi (5/117))

Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-
cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk
aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola
modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai
kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan
oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu. (sumber http://www.mui.or.id)

6. ORANG YANG MENGELOLA MODAL HARUS AMANAH

Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan
pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang
melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa
jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia
melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125,
dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, karya ‘Abdul ‘Azhim bin
Badawi al-Khalafi, hal.359)
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas
orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata),
“Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau
bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan
banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus
mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no:
242, Al-Baihaqi VI: 111)

7. BILA TERJADI KERUGIAN, SIAPAKAH YANG MENANGGUNGNYA?

Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan
catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam
menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah
dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah
perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

8. PEMBATASAN WAKTU DAN PEMBATALAN USAHA MUDHARABAH

Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari
pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus
menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan
transaksi kapan saja dia mau.

Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama
satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i’u Ash-Shana-
i’ VIII/3633)

Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku
memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah
berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).

Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan
sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.

(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi … Tahun 2010)


Mengenal Konsep Mudharabah

Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu
sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian
dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan
namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat
saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk
itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.

Pengertian Al Mudharabah

Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai
dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al
Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah
karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang
umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

ِ ْ‫ضى َوآ َخرُونَ يَضْ ِربُونَ فِي اَأْلر‬


‫ا‬AA‫ض يَ ْبتَ ُغونَ ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ َوآخَ رُونَ يُقَاتِلُونَ فِي َسبِي ِل هَّللا ِ فَا ْق َر ُءوا َم‬ َ ْ‫َعلِ َم َأ ْن َسيَ ُكونُ ِم ْن ُك ْم َمر‬
ُ‫تَيَس ََّر ِم ْنه‬

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain
lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-
Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham
yang dimiliki.

Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata
muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

‫ان‬ ِ ‫ض ال َش‬
ِ ‫اع َر‬ َ َ‫تَق‬
َ ‫ار‬

“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair


mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak
pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil
dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya
hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan
kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]

Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak
pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk
diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan kata lain
Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak
menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan
diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk
kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100%
modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

Hukum Al Mudharabah Dalam Islam

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem
jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir[5],
Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.

Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan
Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen). Kami
tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya
adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman
shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka
tidak boleh.”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan
menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:

1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya


dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan
dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.
2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal
ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui
sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari
sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al
Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap
permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al
Qur’an dan Sunnah
6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya
7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai
pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu
Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]

Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan
menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal
dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada
asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al
Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al
Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang
beliau akui sendiri.”[10]
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa
permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al
Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab
dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka.
Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi
wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian
sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang
dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan
selainnya. Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan
para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau
shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan
dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.
[11]

Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ [12] dari
Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin
Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka kembali,
mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut
mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau
aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian
beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan
kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian
belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan
modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata:
“Kami suka itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk
disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka
uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan
mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas
bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang
diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah
karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman?”
Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja.
Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian
wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan
bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam,
sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar
berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?”
Umar menjawab: “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil
modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil
setengah keuntungan sisanya.[13]

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari
ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan
konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun
temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian
beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.

Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah
satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan dengan
dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu
berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing
kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh
Allah demi kepentingan kedua belah pihak.

Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga
orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling
mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian
Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian
terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali
untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[14]

Jenis Al Mudharabah

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:


1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem
mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal
kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa
pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola
modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal
(investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau
tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis
kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa
pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya
sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak
sehingga wajib ditunaikan.[16]

Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan
investor.

Rukun Al Mudharabah

Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:

1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian.

Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun


Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua
pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada
tiga rukun di atas.

Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.

Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada
rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam
pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada
hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola
harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara
haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan
bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya
pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari
praktek riba dan haram.[20]

Rukun kedua: objek Transaksi.

Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

a. Modal

Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:

1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’[21]
atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. [22]
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya
langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan
jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas,
perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila
ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai
barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah
mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad
kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang,
misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan.
Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi
barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki
konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:

1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan


2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya,
seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]

Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait
dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi
perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.[26]

Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat


madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem
sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang
lainnya.[28]

c. Keuntungan

Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun
dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:

1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal
(investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk
pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka
tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ‘separuh keuntungan
untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka
ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.
Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor)
dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan nilainya,
contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan
untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila
tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.

Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:

1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya


ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan:
“Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan:
“Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam
Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa
pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau
sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk
persentase.” [34]
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila
keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang
umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah
menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)
pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga
tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara
mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari
keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian
ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya.
Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i
(Hanafiyah).” [36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali
modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian
keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian
dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian
dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan
keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga
dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan
dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak
tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak
saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak
dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa
izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para
ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:

1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian
yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak
menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak
membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya
untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka


diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]

Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan
perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing
pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap
permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama
yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan
modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan
perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua
macam:

Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset
dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik
modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus
dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.[40]

Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).

Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang
menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi
Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan
maksudnya.[41]

Syarat Dalam Mudharabah [42]

Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu
pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al
Mudharabah ini ada dua:

1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan
tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik
modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau
membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis
tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan
para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan
dan maksud akad perjanjian mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:

 Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak


membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga
modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena
menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
 Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada
pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
 Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada
pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari
dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya
untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak
jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga
akadnya batal.

Berakhirnya Usaha Mudharabah

Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan
pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus
dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan
saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya
salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.

Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad
yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -
siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas
pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara
sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan:
Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi
syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila
meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.” [44]

Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum
diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar
darinya.” [45]

Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka
harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi
keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk
barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak
milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal
menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa
menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan
dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]

Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua belah
pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita
untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.

Demikianlah sebagian pembahasn tentang Mudharabah semoga yang sedikit ini bermanfaat
bagi kita semua…

Footnotes:

1. Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki,
cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al Mumti”Ala Zaad Al
Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal Jamaal Abdul ‘Aal, cetakan pertama
tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al
Muyassar -bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al
Thoyaar, Prop. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin
Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al Islamiyah
Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al
Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA hal 122
2. Al Mughni op.cit 7/133
3. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122
4. Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat Komunikasi
Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku perbankan Syari’at hal 37.
5. Al Mugnhi op.cit 7/133
6. Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit Dar Al Kutub
Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
7. Majmu’ Fatawa 29/101
8. Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.
9. Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot note kitab
Maratib Al Ijma hal 91-92.
10. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Baerut. 5/294
11. Majmu’ Fatawa 19/195-196
12. Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 19/196
13. Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291
14. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
15. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
16. Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal 187.
17. Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad
Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab 15/148
18. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
19. Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
20. Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih
dan prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh
Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq,
Jakarta hal. 173.
21. Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/143
22. Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’.
Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit
15/144
23. Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145
24. ibid 15/146-147
25. lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
26. Al Mughni op.cit 7/177
27. fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177
28. lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
29. Takmilah Al Majmu’ op.cit 15/160
30. ibid 15/159
31. lihat Maratib Al Ijma’ op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti’ op.cit 4/259 dan takmilah
Al Majmu’ op.cit 15/159-160
32. untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu Ihsan
dalam mabhas ini.
33. Al Mughni op.cit 7/138
34. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
35. Al Mughni op.cit 7/140.
36. Ibid 7/165.
37. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.
38. Al Mughni op.cit 7/172
39. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.
40. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
41. Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al
Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah tahun
1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
42. Al Mughni op.cit 7/172
43. Majmu’ Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.
44. Ibid 15/191.
45. Al Mughni op.cit 7/172

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.


Artikel www.ekonomisyariat.com

Jenis-Jenis Mudharabah

Jenis Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Mudharabah Mutlaqah (URIA)
perjanjian pembiayaan mudharabah
Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahib al-mal (penyedia dana) dengan
mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-
besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya. Jadi bank memiliki kebebasan penuh
untuk menyalurkan dana URIA ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan.
Penerapan umum dalam produk ini adalah:
a. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus
dicantumkan dalam akad.
b. Untuk tabungan Mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan. Sebagai bukti
penyimpanan serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung.
c. Tabungan Mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjajian
yang disepakati namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
d. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
Mudharabah muqayyadah on balance sheet adalah akad Mudharabah yang disertai
pembatasan penggunaan dana dari shahib al-mal untuk investasi-investasi tertentu. Contoh
pengelolaan dana dapat diperintahkan untuk:
a. Tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya.
b. Tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa pinjaman, tanpa
jaminan; atau
c. Mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak
ketiga.
Jenis Mudharabah ini merupakan simpanan khusus di mana pemilik dana dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Karakteristik jenis simpanan ini adalah:
a. Pemilik dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank, wajib
membuat akad yang mengatur persyaratn penyaluran dana simpanan khusus.
b. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus
dicantumkan dalam akad.
c. Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening lainnya.
3. Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet
Jenis Mudharabah ini merupakan penyaluran dana Mudharabah langsung kepada pelaksanaan
usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara
pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu
yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari bisnis (pelaksana usaha).
Karakteristik jenis simpanan ini adalah:
a. Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
b. Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan
oleh pemilik dana.
c. Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik
dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
Dalam lembaga keuangan akad tersebut diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh
dana nasabah, sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang
mengadministrasikan proyek itu.
Hikmah Mudharabah
Sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan untuk memproduktifitaskannya.
Terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan
memproduktifitaskannya, oleh karena itu syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua
belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi
modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal)
dengan demikian tercipta kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak
menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan
terbendungnya kesulitan.
Adapun hikmah dari Mudharabah yang dikehendaki adalah mengangkat kehinaan, kefakiran
dan kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa cinta kasih dan saling menyayangi antar
sesama manusia. Seorang yang berharta mau bergabung dengan orang yang pandai
memperdagangkan harta dari harta yang dipinjami oleh orang kaya tersebut.

Jenis-Jenis Mudharabah

kesempurnaan, namun makalah ini hasil usaha kerangka pemikiran salah satu mahasiswa syari'ah
semester IV INISNU JEPARA.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akad
Secara lughawi, makna al-aqd adalah perikatan, perjanjian, pertalian, permufakatan (al-ittifaq).
Sedangkan secara istillahi, akad di definisikan dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya akad
adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak yang menyatakan kehendak, sesuai dengan
peraturan syari’at. Definisi lain adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang
dibenarkan oleh syarak dengan menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.

Definisi- definisi tersebut mengisaratkan bahwa, pertama, akad merupakan keterikatan atau
pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua, akad
merupakan tindakan hukum dari kedua belah pihak, ketiga, dilihat dari tujuan dilangsungkannya
akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru.
Namun sebelum kita membahas lebih jauh perlu kiranya kita ketahui lebih lanjut tentang pengertian
ijab dan kabul terlebih dahulu. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas
Hukum Muamalat, mengatakan ijab adalah peryataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya.
Misalnya, dalam akad jual beli, pihak pertama menyatakan, “ aku jual sepeda ini kepadamu dengan
harga sekian, tunai,” dan pihak kedua menyatakan menerima, “ aku beli sepeda ini dengan harga
tunai”. Dapat pula pihak pertama adalah pembelinya yang mengatakan. “ aku beli sepedamu dengan
harga sekian, tunai”, dan pihak kedua menyatakan menerima, “ aku jual sepedaku kepadamu
dengan harga sekian tunai”. Peryataan pihak pertama itu disebut ijab dan peryataan pihak kedua
disebut kabul.
Adapun maksud diadakanya ijab dan kabul, untuk menunjukkan adanya suka rela timbal-balik
terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Dan dapat kita simpulkan
bersama bahwa akad terjadi diantara dua pihak dengan sukarela. Dan menimbulkan kewajiban atas
masing-masing secara  timbal balik. Maka dari itu sudah jelas pihak yang menjalin ikatan perlu
memperhatikan terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang
terlangar haknya. Disinilah pentingnya batasan-batasan yang menjamin tidak terlangarnya hak antar
pihak yang sedang melaksanakan akad.
Dasar hukum dilakukannya akad dalam al-Qur’an adalah :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu " (QS. Al Maidah : 1).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya
wajib.
B.    Asas-asas Akad
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan
akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut :
a.    asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak didasarkan firman Allah dalam Al Quran, yakni :
        
          
    •   
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu*. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS. Al Maidah : 1)
*Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya.
Kebebasan berkontrak pada ayat inidisebutkan dengankata “akad-akad” atau dalam teks aslinya
adalahal-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang bolehmembuat
bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan
berkontrak dalam hukum Islam ada batas- batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama
dengan jalan batil. Sesuai firman Allah:
        
          
    •  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”(QS. An Nisa : 29 )
b.     asas perjanjian itu mengikat
Asas perjanjain itumengikat dalam Al Qur’an memerintahkanmemenuhi perjanjian seperti berikut ini
:

         
  •       

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra : 34)
c.    asas konsensualisme
Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas
dasar kesepakatan bersama.
d.    asas ibadah
Asas ibadah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil
khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah Fiqh yakni hukum asal dalam semua bentuk
muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
e.    asas keadilan dan keseimbangan prestasi.
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak
saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu
pihak dengan apa yang diterima
f.    asas kejujuran (amanah).
 Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana
orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah.
C.    Rukun dan Syarat akad
 Agar suatu akad dipandang terjadi atau sah harus diperhatikan rukun dan syarat-syaratnya.
Sedangkan rukun adalah unsur yang mutlak dan harus ada dalam sesuatu hal (akad), peristiwa atau
tindakan. Jumhur Ulam’ mempunyai beberapa pendapat mengenai hal tersebut, yaitu:
1.     Al-Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.     Obyek akad
3.     Sighat al-Aqd (peryataan untuk mengikatkan diri)
4.     Tujuan akad
Pendapat tersebut berbeda dengan jumhur Ulama’ Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa rukun
akad hanya ada satu sighatu al-Aqd. Menurut-nya yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-
unsur yang pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut hanyalah peryataan kehendak
masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun pihak dan obyek akad adalah unsur luar, tidak
merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan obyek akad bukan rukun. Meskipun
demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan obyek akad merupakan unsur-
unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya diliar esensi akad, para pihak dan obyek
akad merupakan syarat, bukan rukun.
Beberapa unsur dalam akad yang kemudian dikenal sebagai rukun tersebut masing-masing
membutuhkan syarat agar akad dapat terbentuk dan dapat mengikat antar pihak. Adapun syarat-
syarat nya meliputi:
1.    Syarat terbentuknya akad: dalam hukum Islam syarat ini dikenal dengan nama al-syuruth al-
in’iqad. Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad ialah:
a)    Pihak yang berakad (aqidain), disyaratkan tamyiz dan berbilang atau terucap.
b)    Shighat akad (pernyataan kehendak): adanya kesesuaian antara ijab dan kabul (munculnya
kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
c)    Obyek akad: dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat di transaksikan (meliputi benda yang
bernilai dan dimiliki).
d)    Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’
2.    Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat
in-iqad tersebut dipenuhi. Setelah rukun akad terpenuhi beserta beberapa persyaratanya yang
menjadikan akad terbentuk, maka akad sudah terwujud. Akan tetapi ia belum dipandang syah jika
tidak memenuhi syarat-syarat tambahan yang terkait dengan rukun-rukun akad, yaitu:
a)    Peryataan kehendak harus dilakasanakan secara bebas. Maka jika peryataan kehendak tersebut
dilakukan dengan terpaksa, maka akad diangap fasid.
b)    Penyerahan obyek tidak menimbulkan madlarat.
c)    Bebas dari gharar, adalah tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang berakad.
d)    Bebas dari riba.
Empat syarat keabsahan tersebut akan menentukan syah tidaknya sebuah akad. Apabila sebuah
akad tidak memenuhi empat syarat tersebut meskipun rukun dan syarat iniqad  sudah terpenuhi,
akad tidak syah dan disebut akad fasid. Maksudnya adalah akad yang telah memenuhi rukun dan
syarat terbentuknya, tetapi belum memenuhi syarat keabsahanya.
3.    Syarat-syarat berlakunya akibat hukum; adalah syarat yang diperlukan bagi akad agar akad
tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah:
a.    Adanya kewenangan sempurna atas obyek akad, kewenangan ini terpenuhi jika para pihak
memiliki kewenangan sempurna atas obyek akad.
b.    Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan ini terpenuhi dengan
para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang dipandang mencapai tingkat kecakapan
bertindak hukum yang dibutuhkan. Artinya sudah baliqh atau berakal.
4.    Syarat mengikat yaitu sebuah akad yang sudah memenuhi rukun-rukunya dan bebrapa macam
syarat sebagaimana yang telah dijelaskan.
Sebelum membahas jauh saya akan memberikan sedikit penjelasan tentang shighat. Dari segi
pengertian sighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun-rukun
akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan atau isyarat yang
memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul, dan dapat juga berupa perbuatan
yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul.
D.    Syarat Objek dan Subjek Akad
Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah
barang yang diperjualbelikan dan harganya. Agar sesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya
memerlukan syarat sebagai berikut:
1.    Telah ada pada waktu akad diadakan, jadi barang yang belum berwujud tidak dapat menjadi
objek akad menurut jumhur Ulama’ sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada
sesuatu yang belum wujud.
2.    Dapat ditentukan dan diketahui, artinya barang yang akan dijadikan akad jelas, karna jika tidak
jelas maka banyak kemungkinan akan menimbulkan sengketa dikemudian hari.
3.    Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan
dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada dibawah kekuasaan yang
sah pihak yang bersangkutan.
E.    Hal Yang Merusak Akad
1.    Akad yang Batal
Berdasarkan pemenuhan antara syarat dan rukunnya, akad yang batal dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
1.    Akad Batil
Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhisyarat-syarat kecakapan atau
obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya
dilarang syarak.
Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad tidak terpenuhi (baik satu rukun
atau lebih), maka akad menjadi batal. Menurut Gemala Dewi, akad batal yaitu akad yang tidak
memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak. misalnya obyek jual beli
tidak jelas. Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang secara syarak tidak
syah pokok dan sifatnya yang dimaksud adalah akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat
pembentukannya akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya akad tidak
terpenuhi, maka akad itu disebut batal. Hukum akad batil, bahwa dipandang tidak pernah terjadi
menuruthukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.
2.    Akad Fasid
Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka rukun menjadi
tidak lengkap sehingga transaksitersebut menjadi fasid.
Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas. Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah,”akad yang menurut
syarak sah pokoknya, tetapi tidak sahsifatnya”.
Yang dimaksud pokok, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat keabsahan akad, jadi akad fasid adalah
akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi syarat
keabsahan akad. Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil
dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah
karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak. Sedangkan menurut
Mazhab Hanafi, membedakan akad batil dan akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada
wujudnya, tidak  pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud
syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya.
Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak
maupun oleh Hakim. Bila sudah dilaksanakan akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat
memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna.
3.    Akad Maukuf
 Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi syarat kecakapan, tetapi tidak
mempunyai kekuasaan melakukan akad. Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila
mendapat izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan akad.
Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni :
a.    Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain
kekurangan kecakapan.Orang-orang tersebut yakni :Remaja yang mumayyiz, orang yang sakit
ingatan tetapi tidak mencapai gila, orang pandir yang memboroskan harta, orang yang mempunyai
cacat kehendak karena paksaan.
b.    Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena adanya hak orang lain pada
obyek tersebut. Yang meliputi :
-Akad fuduli (pelaku tanpa kewenangan).
-Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari sepertiga hartanya.
-Akad orang di bawah pengapuan.
-Akad penggadai yang menjual barang yang sedang digadaikannya.
-Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yangsedang disewakan.
Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya digantungkan artinya hukumnya masih
ditangguhkan hingga akad itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk memberikan
pembenaran atau pembatalan tersebut.
4.    Akad Nafiz Gair Lazim
Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh oleh masing-masing pihak, atau hanya
oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain.
Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang karena
sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak. Seperti akad pemberian kuasa, hibah, penitipan,
pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar.
2.    Cacat Dalam Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun
ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan
adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak.
Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut :
a.    Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga
menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. Suatu
kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
-Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
-Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akandilaksanakan terhadapnya.
-Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
-Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuanuntuk melindungi dirinya
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga
tidak berpengaruh sama sekali terhadapkontrak yang dilakukan.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur  paksaan, mengakibatkan akad yang
dilakukan menjadi tidak sah danmenurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara
paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalankepada pengadilan.
b.    Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak.Kekeliruan bisa terjadi
pada dua hal :
-Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari
tembaga.
-Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu,tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila
kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak
memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
c. Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga sesungguhnya. Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
-Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
-Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi
bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
 -Penipuan (al-Khilabah). Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampiltidak
seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
-Penyesatan (al-Taqrir). Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan
akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak
mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.

F.    Khiyar Akad Dan Berakhirnya Akad


1.    Khiyar
Di dalam pembahasan ini meliputi tentang, khiyar dan pembagiannya yang penjelasannya adalah
sebagai berikut :
Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang berakad untuk memilih antara
meneruskan akad atau membatalkannya. Hak khiyar dimaksudkan guna menjamin agar akad yang
diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak bersangkutan karena sukarela itu
merupakan asas bagi sahnya suatu akad.Ada bermacam-macam khiyar diantaranya :
a.    Khiyar majlis, yaitu hak kedua belah pihak untuk memilih antara meneruskan atau
membatalkannya sepanjang keduanya belum berpisah seperti, akad jual beli dan ijarah.
b.    Khiyar Ta’yin, yaitu hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah
benda sejenis dan setara sifat dan harganya,seperti jual beli. Pendapat tersebut yang dikemukakan
Fuqaha Hanafiyah dan harus memenuhi tiga syarat yakni :
-Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek.
-Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harussetara dan harganya harus jelas. Jika
masing-masing benda berbeda jauh, maka tidak ada khiyar ta’ yin.
Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih tiga hari khiyar ta’ yin dipandang telah batal apabila pembeli
telah menentukan pilihan secara jelas barang tertentu yang dibeli.
c.    Khiyar Syarat, yakni hak kedua belah pihak yang berakad, untuk melangsungkan akad atau
membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung.
Khiyar ini hanya berlaku pada akad lazim yang dapat menerimafasakh seperti jual beli, ijarah,
muzaro’ah, musyaqah, mudarabah,kafalah, hawalah dan lain-lain.Khiyar syarat berakhir bila telah
terjadi sebab :
-Terjadi penegasan pembatalan akad.
-Berakhirnya batas waktu khiyar.
-Terjadi kerusakan pada obyek akad.
d.    Khiyar ‘Aib (karena adanya cacat), yakni hak yang dimiliki oleh salah seorang dari kedua belah
pihak yang berakad untuk membatalkan atau meneruskannya ia menemukan cacat pada obyek akad
yang mana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat berlangsungnya akad.Khiyar ‘aib harus
memenuhi persyaratan yakni 1). Terjadinya ‘aib (cacat) sebelum akad atau sebelum terjadi
penyerahan, 2). Pihak  pembeli tidak mengetahui cacat tersebut ketika berlangsung akad,3). Tidak
ada kesepakatan bersyarat, bahwa penjual tidak bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada
  Hak Khiyar ‘aib gugur apabila : pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat
tersebut, pihak yang dirugikan tidak menuntut pembatalan akad, terjadi cacat baru dalam
penguasaan pembeli, dan terjadi penambahan saat dalam penguasaan pembeli.
e.    Khiyar Rukyat (melihat), adalah hak pembeli untuk membatalkan akadatau tetap untuk
melangsungkannya ketika ia melihat obyek dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung
akad.
f.    Kemungkinan khiyar rukyat bisa terjadi karena sebelumnya hanya disebutkan sifat-sifatnya.
Namun kemudian setelah melihat barangnya tidak sesuai dengan sifat-sifat yang disebutkan.
2.    Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin pihak
lain dalam akad yang mauquf ;
a.    Berakhirnya akad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :
1)    Fasakh karena fasadnya akad
Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak yang berakad
maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang
tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
2)    Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak
memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan
keputusan pengadilan.

3)    Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa
menyesal.

4)    Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak
dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran)
yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam
batas waktu tertentu.

5)    Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang
ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya
menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b.    Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut ;
1)    Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.

2)    Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak  penggadai meninggal maka barang
gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, makakematian
orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya.

3)    Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena itu,
kematian seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian
juga berlaku pada wakalah.

c.    Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain


Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau
meninggal.

BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Bahwa pada dasarnya akad dilakukan dengan keadaan terbuka dalam artian kedua belah pihak
sama-sama suka dan sama-sama rela. Hal ini yang kemudian masuk dalam rukun serta syarat sah nya
sebuah akad dalam jual beli. Berbicara tentang akad banyak sekali syarat-syaratnya mulai dari
adanya obyek dan subyek akad. Selain itu barang yang dijadikan obyek juga harus jelas, dalam artian
tidak samar seperti hutan, burung terbang, artinya barang tersebut sudah sah jadi pemiliknya karna
dikhawatirkan dikemudian hari akan ada perselisihan.

B.    Saran dan Kritik


Dengan segala keterbatasan kami sehingga terselesaikan-nya tugas makalah ini dengan kekurangan
refrensi yang kami punya. Maka dari itu kami selaku penyusun makalah mengharapkan sebuah saran
dan kritikan yang membangun agar kami nantinya memperbaiki dalam tugas dikemudian hari.

Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bapi para pembaca yang budiman khusunya bagi penulis.
Kiranya bagi pembaca untuk menyebarluaskan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Makalah fiqih Muamalah, UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 2011.
Afandi M. Yazid, Fiqh Muamalah,Logung Pustaka; Yogyakarta, 2009.
Azhar Basyir Ahmad, Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press; Yogyakarta, 2000

Pengertian, Rukun, dan Syarat Akad dalam


Ekonomi Islam
    Label: Ekonomi

Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara yang menimbulkan
akibat hukum pada hukumnya. Ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan
kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya pihak pertama. Sedangkan
qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan ungkapan kehendak pihak lain,
biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab.
Rukun akad terdiri dari (1) al-Aqidain yaitu para pihak yang terlibat langsung dalam akad (2)
Maballul aqad yaitu obyek akad (3) Maudhu'ul aqad yaitu tujuan akad (4) Shighat aqad yaitu
ijab dan qabul.
Masing-masing unsur akad tersebut haruslah memenuhi sejumlah persyaratan yang dapat
dikelompokkan menjadi empat macam yaitu (1) Syarat Intiqad adalah syarat persyaratan
yang berkenaan dengan berlangsung atau tidak berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini
mutlak dipenuhi bagi eksistensi akad (2) Syarat Shihhah adalah syarat yang ditetapkan oleh
syara yang berkenaan untuk menerbitkan atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh
akad, jika tidak terpenuhi, akadnya menjadi fasid (rusak) (3) Syarat Nafadz adalah
persyaratan yang ditetapkan oleh syara berkenaan dengan berlaku atau tidak berlakunya
sebuah akad (4) Syarat Luzum adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara yang berkenaan
dengan kepastian sebuah akad.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002). P3EI
UII, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).

JENIS-JENIS AKAD DALAM PERBANKAN SYARI’AH (TABARRU DAN TIJARI

JENIS-JENIS AKAD DALAM PERBANKAN SYARI’AH

(TABARRU DAN TIJARI)


PENDAHULUAN

Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqoda artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa
pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-robath) maksudnya adalah
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang
lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.

Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta
untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat
Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam
KUH Perdata.[1]

Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam
kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qobul (pernyataan menerima
ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan
ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.

Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh
dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak
tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing
harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.[2]

Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak
yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat
diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada
manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan
diakui syara’.

Karena itulah ulama fiqh menetapkan apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan
dengan Firman Allah SWT.  Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “ Hai orang-orang
beriman, penuhilah akad-akad itu.

Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan
tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan
Akad Tijari.
I.    AKAD TABARRU

Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata
mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return,
ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra,
Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad..[3]

Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru
seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan
baik dalam membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu
transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada
prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada
semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri wattaqwa).

Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan
keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi
untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part)tetapi tidak boleh mengambil
laba dari akad ini.

HIBAH. (Pemberian)

Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti.
Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya
hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan
pernyataan qabul dari si penerima hadiah.

Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar berhutang unta kepada say Umar ra, Rosululloh
berkata kepada sayUmar ra dengan mata beliau.say  Umar ra berkata; Unta itu untukmu
wahai Rosululloh saw. Rosululloh saw berkata: “Unta itu untukmu wahai Abdulloh bin
Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada pernyataan qabul dari nabi ketika
menerima pemberian unta, juga tidak ada pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika
menerimanya dari Rosululloh saw.

Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-syarat antara lain

-         Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.


-         Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas

-         Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila pemberian (hibah) tersebut
sudah berada ditangan si penerima.(muhab). 

1. 1. IBRA

Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari
sesuatu.
Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang
berhutang.

Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling
menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam, seperti dikemukakan
dalam firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya :

“Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai
ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui”.

Sehubungan dengan mendefinisikan Ibra terutama dari segi makna “ penggugaran” dan “
pemilikan” para ulama fiqh berbeda pendapat, antara lain sbb :

Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa Ibra lebih dapat diartikan pengguguran,
meskipun makna pemilikan tetap ada.

Menurut Madzhab Maliki disamping bertujuan menggugurkan piutang, ibra juga dapat
menggugurkan hak milik seseorang jika ingin digugurkannya. Ketika hak milik terhadap
suatu benda digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.

Menurut Madzhab Syafi’i, sebagian ulama mengatakan bahwa Ibra mengandung pengertian
pemilikan utang untuk orang yang berhutang. Sebagian ulama lainnya mengartikan
pengguguran, seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi.

Dari semua pendapat-pendapat ulama tersebut di atas pendapat yang terakhir ini yang paling
shahih.
1. 2. WAKALAH

Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan
adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada
orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang
merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada
orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena
tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya
sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan
pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan
wakalah didapati dalam firman Alloh pada surat Al-Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: .

...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu  pergi ke kota dengan membawa uang 
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah
sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-
kali menceritakan halmu kepada siapapun”.

Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk
dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.

Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata
“Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai
menjaga dan berpengetahuan”.

Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga.
Federal Rserve “ negeri Mesir.

Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik
terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang artinya :

“Bahwasanya Rosululloh SAW mewakilkan kepada Abu Rafii dan seorang Anshar untuk
mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.
Dalam kehidupan sehari-hari Rosululloh saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk
berbagai urusan, seperti membayar utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan
unta, membagi kandang hewan dan lain-lain.

Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan
dengan ijma ulama dan bahkan ada ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan
karena hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.

Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa
pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah
sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan
mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat
menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan
listrik atau perusahaan telpon.

1. 3. KAFALAH ( Guaranty)

Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban)


dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang
diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil)
bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima
jaminan (makful).
Dalam pengertian lain, kafalah juga berti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang
dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Dasar disyari’atkan kafalah Firman Alloh dalam surat Yusuf ayat 72: yang terjemahannya
adalah :

“ Kami kehilangan alat takar  dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu “

Dalam tersebut kata Za’im yang berarti penjamin, dalam kaitan cerita nabi Yusuf AS ini
gharim atau orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
1. 4. HAWALAH

Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti
intiqal (perpindahan), pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas
pundak.
Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang dari tanggungan penerima
utang (ashil) kepada tannggugan yang bertanggujawab (mushal alih) dengan

cara adanya penguat. Atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang
dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya
kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut
pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.

1. 5. RAHN (Gadai)

Pengertian Gadai (Rahn)


Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) sama pengertiannya
dengan ????- ????- ??? yang berartitetap, kekal, tahanan.

Gadai (rahn) menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat,


diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menyandera sejumlah harta yang
diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.

Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik
sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut
memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

1. 6. QARD al-Qardul Hasan

Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu
akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang
yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor
memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan
mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad
dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.
Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas
dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang
tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan
apapun kecuali modal pinjaman.

9. WADI’AH (Trustee Depository)

Pengertian dari segi bahasa adalah meninggalkan sesuatu atau berpisah. Dalam bahasa
Indonesia diartuikan sebagai titipan.

Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara
sharih (jelas) maupun secara dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan  ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh; “saya titipkan tas
ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.

Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad yang bersifat tolong menolong
antara sesama manusia. Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang
mengikat bagi kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus
bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah
untuk menjaganya.

II. AKAD TIJARI

Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit
oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari
keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya;
Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik,
Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.

 1. MUROBAHAH (Defered Payment Sale)


Menurut definisi Ulama Fiqh Murobahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam
transasksi penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli
termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.

Dalam perbankan Islam, Murobahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia
barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank
mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murobahah juga
merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan
cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah
dengan membeli  barang tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan
menambahkan biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan
terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.

Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan
yang sudah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai
seluruh biaya dilunasi.

2.MUDHOROBAH

Secara teknis Mudhorobah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak.

Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10
dan surat al-Baqoroh ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma
para sahabat.

Secara umum  Mudhorobah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.

Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan
mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis.

Sedangkan mudhorobah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhorobah muthlaqoh. Si


mudhorib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan
ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis
dunia usaha.

3.  IJAROH

Pengertian secara etimologi ijaroh disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah
disebut juga sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijaroh adalah salah satu
bentuk kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa
menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq; Ijaroh ini adalah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan
imbalan.  Sedangkan menurut Ulama Syafi’i Ijaroh adalah transaksi terhadap suatu manfaat
yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijaroh adalah pemilikan manfaat sesuatu
yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.

Berdasarkan definisi dari para Ulama Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan
bahwa adanya unsur penting dalam pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang
yang disewakan  baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas nilai yang disepakati dalam
transaksi tersebut.

4. IJAROH MUNTAHIYA BITTAMLIK

Transaksi ini adalah sejenis perpaduan antara akad (kontrak) jual beli dengan

akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan
kepemilikan inilah yang membedakan denga ijarah biasa.

Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa yang disepakati kedua belah pihak yang
berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-
ijarah; harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.

Aplikasinya dalam perbankan syari’ah dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease


maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan
ijarah muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank
pun  tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset, baik saat leasing maupun sesudahnya.

 5. SALAM, BAI’ (Infron of Payment Sale).


Salam secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau
penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati dengan kriteria tertentu dalam tempo
(tanggungan), sedang pembayarannya disegerakan.

Bai’i salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang
pembayarannya dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan
(margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid purchase of goods.

Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak).
Praktik jual beli ini dilakukan dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak
melakukan jual beli, secara mendesak.

Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-
Qur’an, seperti Firman Alloh dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya”

1. 6. ISTISHNA (Purchase by order or Manufacture)

Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i
(produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan 
kriteria yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur
ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat
terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada sistem
pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedang
istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.

1. 7. MUSYAROKAH
Musyarokah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Musyarokah ada dua jenis; pertama musyarokah pemilikan dan kedua musyarokah akad
(kontrak). Musyarokah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

8. SHARF(Valas/Money Changer)

Sarf menurut arti kata adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau
transaksi jual beli. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta)
dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis atau mata uang lainnya.

Menurut definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis
maupun tidak sejenis, seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham
dengan dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak dijumpai pada
bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar
Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.

Dasar hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda
Rosululloh SAW yang diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali
Bukhari  menyatakan : Yang maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu
jenis (harus) kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya
berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-syarat secara tunai.

8. MUZARO’AH (Harvest Yield Profit Sharing)

Al-Muzaro’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Muzaro’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit
perbedaan antara lain, apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi
bila benih dari si penggarap maka dinamakan mukhobaroh.

Landasan hukum syari’ahnya antara lain Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh
SAW pernah memberikan tanah di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih
Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu
juga Ijma sebagaimana  dikatakan Abu Ja’far “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah
kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan
¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali kwh,say Sa’ad bin Abi Waqash ra, Ibnu
Mas’ud,say Umar bin Abdul Aziz ra, Qasim, Urwah keluarga Abu bakar ra dan keluarga Ali
kwh. 

9. MUKHOBAROH

Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhobaroh sering diidentikkan dengan muzaro‘ah, oleh
karena itu pembahasan akad ini mirip dengan pembahasan muzaro’ah hanya saja dari segi
benih yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.

10. BARTER

Yang dimaksud akad barter ini pemberian secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai
imbalan atas perolehan suatu barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan
bersama. Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B,
dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran
mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi pergantian
kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.

Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1 kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga
milik sahabatnya. Melalui proses ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang
sebelumnya adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu merupakan
(hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini disebut sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab,
kepemilikan atas 1 kilogram mangga sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas
satu kilogram apel, apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.

Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai
yang terwujud dalam satu barang mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun
demikian, prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas
barang didapatkan melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).

Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain.
Contoh seorang dokter dan seorang tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti
biaya pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter. Sehingga
dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada
semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter atas kerja
tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua, dan setiap pembatalan
sepihak atas persetujuan itu akan menjurus kepada pelanggaran.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan sbb:

1. Akad adalah perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq) yang disepakai oleh dua
atau beberapa pihak dan diimplimentasiikan dalam Ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan Qobul (pernyataan menerima ikatan) yang dibenarkan oleh syara’ dan
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
2. Jenis-jenis Akad yang yang berlaku di perbankkan syari’ah terdiri dari akad  Tabarru
dan Tijari.Yang termasuk jenis Tabarru adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah,
Hawalah, Rohn, Qirod, Wadi’ah, Hadiah. Sedangkan yang tergolong akad Tijari,
Murobahah, Mudhorobah, Ijaroh, Ijaroh Muntahiya Bittamlik, Salam, Istisna,
Musyarokah, Sharf, Muzaroah, Mukhobaroh dan Barter.

Anda mungkin juga menyukai