Anda di halaman 1dari 14

1.

Regimen dan Perhitungan Dosis pada Pasien Penyakit Ginjal


pendekatan umum untuk penyesuaian dosis pada penyakit ginjal
Pendekatan Klinis spesifik untuk perhitungan klirens obat yang didasarkan pada pemantauan
fungsi ginjal . 2 Pendekatan farmakokinetik umum untuk penyesuaian dosis adalah sebagi
berikut.
metode-metode penyesuaian dosis pada penderita gangguan fungsi ginjal:
a. Metode berdasarkan klirens obat
Metode ini berusaha mempertahankan Cav yang diinginkan setelah dosis oral
ganda atau injeksi IV bolus ganda seiring dengan perubahan klirens total yang
terjadi.

Pada pasien gangguan fungsi ginjal atau kondisi uremic, klirens total akan
mengalami perubahan nilai menjadi Cl uT sehingga untuk mempertahankan Cav dosis
harus diubah menjadi dosis uremic, D u0, atau mengubah interval dosis menjadi τ u
seperti pada persamaan berikut.

Jika interval dosis adalah konstan maka dosis uremic sama dengan fraksi
u N
(Cl ¿¿T ClT )¿ dari dosis normal.

Pada infus IV, untuk mempertahankan Css perlu dilakukan perubahan laju infusi.

a. Metode berdasarkan perubahan konstanta laju eliminasi


Konstanta laju eliminasi untuk berbagai obat akan berkurang pada pasien uremic.
Regimen dosis untuk pasien uremic dapat diatur dengan mengurangi dosis normal
obat dan mempertahankan frekuensi dosisnya atau dengan mengurangi frekuensi
dosis dan mempertahkan besar dosisnya. Dosis untuk obat dengan jendela terapi yang
sempit harus dikurangi – terutama jika obat telah terakumulasi di tubuh pasien
sebelum terjadi kerusakan ginjal. Bila tetapan laju eliminasi tidak dapat ditentukan
secara langsung, maka asumsi perhitungan dosis meliputi:
 Tetapan laju eliminasi ginjal (kR) menurun secara proporsional bila fungsi ginjal
menurun.

 Rute eliminasi nonrenal tidak berubah


 Keseluruhan klirens ginjal obat dicerminkan pada perubahan klirens kreatinin
1
Cl uR =k uR V uD k uR=CluR N
VD
Diasumsikan bahwa volume distribusi dan rute nonrenal tidak mengalami
perubahan, maka:
u N u N
V D=V D k nr=k nr
Disubstitusikan ke dalam persamaan menjadi:
1
k u=k nrN +Cl uR
V ND
Dari persamaan tersebut perubahan pada Cl uR akan terlihat pada perubahan
keseluruhan konstanta laju eliminasi, Ku. Perubahan klirens renal obat tidak dapat
diukur secara langsung pada pasien uremic dan hanya dapat diukur melalui nilai
GFR, yang diestimasikan dari perubahan kreatinin pasien.
Penentuan Laju Filtrasi Glomerulus
Beberapa obat dan zat endogen yang digunakan sebagai penanda untuk mengukur
GFR. Penanda ini dibawa ke ginjal oleh darah melalui arteri ginjal dan difiltrasi pada
glomerulus. Laju dimana obat penanda ini difiltrasi dari darah ke dalam urin per
satuan waktu mencerminkan laju filtrasi glomerular ginjal. Perubahan GFR
mencerminkan perubahan dalam fungsi ginjal yang mungkin berkurang dalam
kondisi
uremia.
Kriteria untuk menggunakan obat dalam mengukur GFR:
- Obat harus difiltrasi bebas pada glomerulus
- Obat tidak boleh diserap kembali atau disekresi aktif oleh tubulus ginjal
- Obat tidak boleh dimetabolisme
- Obat hendaknya tidak terikat secara bermakna terhadap protein plasma
- Obat hendaknya tidak berpengaruh pada laju filtrasi ataupun mengubah fungsi
ginjal
- Obat hendaknya tidak toksik
- Obat dapat diinfusikan dalam jumlah yang cukup sehingga mungkinkan
kuantisasi sederhana dan akurat dalam plasma dan urin
Metode (senyawa endogen):
- Inulin
Sebuah polisakarida fruktosa. Penggunaan inulin diberikan melalui infus
intravena sampai kadar plasma tunak yang konstan diperoleh. Klirens inulin
dihitung melalui laju infuse dibagi dengan konsentrasi inulin plasma tunak.
Klirens inulin jarang digunakan dalam praktik klinis.
- Blood Urea Nitrogen (BUN)
Suatu uji laboratorik diagnostik yang lazim digunakan untuk penyakit ginjal.
Kadar BUN normal 10-20 mg/dL. Kadar BUN yang lebih tinggi menunjukkan
adanya penyakit ginjal. Namun faktor lain juga dapat meningkatkan kadar
BUN. Klirens renal dari urea adalah melalui filtrasi glomerular dan reabsoprsi
parsial dalam tubulus ginjal. Klirens ginjal urea lebih kecil dari klirens
kreatinin atau inulin dan tidak memberikan suatu ukuran kuantitatif dari fungsi
ginjal. Metode ini dipengaruhi oleh umur dan berat badan pasien
- Klirens Kreatinin
Kreatinin adalah substansi endogen terbentuk dari kreatin fosfat selama
metabolisme otot. Kreatinin terutama difiltrasi di glomerulus tanpa reabsorpsi
tubular, namun tidak semua kreatinin dieksresikan. Nilai GFR
melalui klirens kreatinin cenderung lebih tinggi dibandingkan GFR
klirens inulin. Klirens kreatinin cenderung menurun pada pasien
lansia.
Konsentrasi Kreatinin Serum dan Kreatinin Klirens

 Klirens kreatinin dapat dihitung langsung dengan menentukan


konsentrasi kreatinin serum pasien dan laju ekskresi urin dari kreatinin.
Konsentrasi kreatinin serum ditentukan pada titik tengah periode
pengumpulan urin dan laju ekskresi lewat urin dari kreatinin diukur
selama 24 jam.
 Metode lainnya, hanya didasarkan pada kreatinin serum umumnya
dibandingkan dengan klirens kreatinin yang diperoleh dari ekskresi
kreatinin lewat urin 24 jam.
 Klirens kreatinin yang rendah menandakan banyak kreatinin dalam
tubuh tidak terfiltrasi oleh ginjal akibat turunnya laju filtrasi.
 Klirens kreatinin dinyatakan dalam mL/menit dan konsentrasi
kreatinin serum dalam mg/dL atau mg%. Klirens kreatinin normal
berkisar antara 80-100.
laju ekskresi kreatinin lewat urin
Cl cr =
konsentrasikreatinin dalam serum
C u V x 100
Cl cr =
C cr x 1440
D V DVcr k V t 1 /2V τ V
= = = =
D N Cl cr k N t 1 /2N τ N
N

2. Regimen dan Perhitungan Dosis pada Pasien Penyakit Hati


Dalam mempertimbangkan pendosisan suatu obat pada pasien dengan
penyakit hati, faktor fisiologis dan farmakokinetika harus diperhatikan. Penyakit
kronis atau cedera jaringan dapat mengubah kemampuan akses dari beberapa
enzim. Penyakit hati mempengaruhi sintesis secara kuantitatif dan kualitatif dari
albumin, globulin, dan protein plasma lain yang bersirkulasi yang selanjutnya
mempengaruhi ikatan obat protein plasma dan distribusi. Seperti disebutkan,
sebagian besar tes fungsi hati hanya menunjukkan bahwa hati telah rusak; tidak
menilai fungsi enzim sitokrom-450 atau klirens intrinsik hati (Shargel, et al.,
2005).
Obat harus diberikan dengan hati-hati untuk pasien dengan insufisiensi
hati berat seperti halnya pada sirosis. Sebelum memberikan obat-obatan yang
sebagian besar dieliminasi melalui mekanisme hati, manfaat terapeutik obat
tersebut harus dipertimbangkan hati-hati dengan risiko reaksi toksik yang serius.
Hal ini terutama berlaku untuk obat dengan indeks terapeutik sempit dan untuk
obat penenang, analgesik pusat, dan ansiolitik, yang dapat memicu terjadinya
ensefalopati hati. Jika obat ini dibutuhkan oleh pasien sirosis, obat harus dimulai
dari dosis rendah yang selanjutnya dapat dinaikkan untuk mendapatkan efek
terapeutik yang diinginkan (Verbeeck, 2008).
Karena tidak tersedia ukuran dari fungsi hati yang dapat diterapkan untuk
menghitung dosis yang tepat, obat-obat yang bergantung-enzim biasanya
diberikan kepada pasien dengan gagal hati dalam setengah dosis, atau kurang.
Respon atau kadar plasma selanjutnya harus dipantau. Pada pasien dengan gagal
hati, jika memungkinkan obat dengan klirens bergantung aliran (flow-dependent)
dihindari. Bila perlu dosis obat-obat ini dikurangi menjadi sepersepuluh dari dosis
konvensional, untuk obat yang diberikan secara oral. Mulai terapi dengan dosis
rendah dan pemantauan respon atau kadar plasma memberikab kesempatan
terbaik untuk keamanan, kemanjuran pengobatan (Shargel, et al., 2005).

Pertimbangan dalam pendosisan pasien pada gangguan hati


Hal Komentar
Sifat dan beratnya penyakit hati Tidak semua penyakit hati mempengaruhi
farmakokinetika obat pada tingkat yang
sama
Eliminasi obat Obat-obat yang dieliminasi melalui hati
>20% kurang dipengaruhi oleh penyakit
hati. Obat-obat yang terutama dieliminasi
melalui rute ginjal akan sedikit dipengaruhi
oleh penyakit hati.
Rute pemberian obat Bioavailabilitas obat oral dapat
ditingkatkan oleh penyakit hati sehubungan
dengan penurunan first-pass effect
Ikatan protein Ikatan obat protein dapat berubah
sehubungan dengan perubahan sintesis
hepatik dari albumin
Aliran darah hepatik Obat-obat dengan klirens hepatik
bergantung aliran akan lebih dipengaruhi
oleh perubahan aliran darah hepatik
Klirens intrinsik Metabolisme obat dengan klirens intrinsik
tinggi dapat terganggu
Obstruktif bilier Ekskresi billier dari beberapa obat dan
metabolit, terutama metabolik glukuronida,
dapat terganggu
Perubahan farmakodinamik Sensitivitas jaringan terhadap obat dapat
berubah
Rentang terapeutik Obat-obat dengan rentang terapeutik lebar
akan kurang dipengaruhi oleh gangguan
hepatik sedang

Beberapa asumsi apabila obat sebagian besar dieliminasi melalui


mekanisme hepatik (metabolism, eksresi bilier).
1. Obat dengan ratio ekstraksi hepatik yang relatif tinggi, bioavailabilitas obat
ini secara drastis meningkat pada pasien dengan penyakit hati kronik, dan
dosis harus di turunkan. Pada penggunaan sistemik (iv, im, sc), clearance
plasma dapat berkurang jika aliran darah hepatik menurun.
2. Obat dengan ekstraksi rendah dan protein binding plasma tinggi (>90%) :
Clearance oral dan intravena obat ini ditentukan melalui kapasitas intrinsik
dari mekanisme eliminasi hepatik dan fraksi obat bebas dalam darah atau
plasma. Clearance intrinsik akan berkurang beberapa tingkat yang ditentukan
melalui stasus fungsional hati dan jalur metabolik spesifik yang terlibat dalam
eliminasi obat. Karena fraksi obat bebas dalam darah atau plasma dapat
secara signifikan meningkat pada pasien dengan penyakit hati kronik,
evaluasi farmakokinetika harus berdasarkan konsentrasi darah/plasma bebas,
dan penyesuaian dosis diperlukan meskipn konsentrasi total darah/plasma
dalam rentang normal.
3. Obat dengan rasio ekstraksi hepatik rendah dan protein binding plasma
rendah (<90%) : Clearance obat dan intravena obat ini di tentukan melalui
kapasitas intinsik mekanisme eliminasi hepatik dan fraksi obat bebas dalam
darah atau plasma. Clearance intrinsik dapat berkurang beberapa tingkat yang
ditentukan melalui status fungsional hati dan jalur metabolik spesifik yang
terlibat dalam eliminasi obat. Fluktuasi dalam fraksi obat bebas dalam darah
atau plasma agak kecil dan tidak secara signifikan mempengaruhi clearance
darah/plasma obat. Penyesuaian dosis diperlukan dan harus dimaksudkan
untuk menjaga total konsentrasi plasma normal (terikat dan bebas).
4. Eliminasi obat yang sebagian diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah
melalui ginjal akan mengalami kegagalan pada pasien dengan sindrom
hepato-renal.
5. Volume distribusi obat hidrofilik dapat meningkat pada pasien dengan
penyakit hati kronik yang memiliki edema atau ascites. Akibatnya, loading
dose harus dinaikkan pada pasien ini jika efek cepat dan lengkap obat ini
diperlukan.
6. Sangat hati-hati disarankan jika menggunakan obat dengan indeks terapi
sempit pada pasien dengan penyakit hati dan disfungsi hati berat.
(Verbeeck, 2008).

Perhitungan Dosis
Perhitungan dosis pada pasien penyakit hepatik dapat dilakukan dengan beberapa
cara berikut:
1. Bioavailability Approach
Jika diasumsikan bioavailabilitas obat yang diperoleh pada orang dengan
hati normal adalah 100%, maka dapat dirumuskan perhitungan dosis untuk
orang dengan gangguan hati adalah sebagai berikut:
DH F
=
DN 100
Keterangan:
DH : Dosis gangguan hati
DN : Dosis normal
F : Bioavailabilitas obat yang diketahui
(Dipiro et al., 2005)
2. Child Pugh
Digunakan untuk menetapkan tingkat keparahan penyakit sirosis dan
memprediksi kemampuan pasien untuk bertahan, keadaan setelah operasi
dan resiko terjadinya perdarahan variceal. Penilaiannya berdasarkan lima
pengukuran klinis dari gangguan fungsi hati. Setiap pengukuran diberi
nilai 1-3, yang mana nilai 3mengindikasikan kerusakan yang sangat parah.
Gejala 1 poin 2 poin 3 poin Satuan

Bilirubin (total) <2.0 2.0-3.0 >3.0 mg/dl

Serum albumin >3.5 2.8-3.5 <2.8 g/l

Prothrombin Time <4 4-6 >6 detik

Ascites Tidak ada Ringan Berat

Ensefalopati Tingkat III-IV


Tidak ada Tingkat I-II (sedang)
hepatik (Berat)

Nilai Child-Pugh dengan poin 8 – 9 menggambarkan penurunan yang


sedang pada dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang dimetabolisme
pada hati (≥ 60%), dan pada poin 10 atau lebih mengindikasikan
penurunan yang signifikan pada pemberian dosis awal (~50%) dibutuhkan
untuk obat yang metabolisme utamanya pada hati.
Point Kelas Kemampuan bertahan satu tahun Kemampuan bertahan dua tahun

<7 A 100% 85%

7-9 B 81% 57%

10-15 C 45% 35%

3. Skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD)


Skor ini digunakan untuk memprediksi pasien yang akan menjalani terapi
Transjugular Intrahepatic Portosystem (TIPS) dan sebagai alat untuk
menentukan prioritas pasien sirosis hepatis yang menunggu transplantasi
hepar.

3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x log(e)


(kreatinin, mg/dl)

Rumus:
- Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD ≤ 11 lebih
baik daripada pasien sirosis hati dengan skor MELD > 11.
4. Hepatic Clearance
Faktor penentuan hepatic cleareance
- Aliran darah hepatik ke hati.
- Fraksi obat menyebrangi membran dan masuk ke hati (tidak terikat
pada protein plasma)
- Instrinsik clearance – seberapa baik enzim hati memetabolisme obat
setelah memasuki hepatosit, kontribusin obat entuk empedun juga
disertikan disini.

Rowland’s Equation :
fu x Cli
ClH = Q x
Q+(fu x Cli )
ClH : Hepatic Clearance
Q : Hepatic Blood Flow
Fu : Fraction of Free Drug
Cll : Intrinsic Clearance (ability of hepatocytes to clear drug)

Obat dengan rasio ekstraksi tinggi : CLH = Q, disebut non restriktif atau
tergantung aliran darah.
Obat dengan rasio ekstraksi rendah : CLH = free fraksi x intrinsic
clearance (dipengaruhi oleh sirosis dan sindrom nefrotik), disebut restrictive atau
kapasitas terbatas.

Contoh Soal
1. Pasien perempuan (AL) berumur 61 tahun dirawat di Klass Interne
Penyakit Dalam RSAM Bukittinggi dari tanggal 21 Oktober s.d 5
November 2011, dengan gejala: perut membesar, muntah, letih, lesu, nafsu
makan menurun, mata kuning, kesadaran menurun dan merasa
kebingungan. Pasien didiagnosa mengalami sirosis hepatik.
Selama terapi diberikan obat-obatan berupa:
 Ciprofloxacin 2x500 mg
 Spironolakton 1x100 mg
 Sistenol (PCT 500 mg dan asetilsistein 200 mg) 3x1 tab
 Propanolol 3x40 mg
 Curcuma 3x1 tab
 Medopar (a-metildopa 250 mg) 3x1 tab
 Lactulac 3x 30 cc

Hasil Pemeriksaan Laboratorim yang penting:


 Bilirubin total : 11,6 mg/dL
 Albumin darah : 2,2 g/dL
 Prothrombin time : 22, 6 det

Hasil pemeriksaan penunjang lainnya:


 Asites : Parah
 Enselopati hepatica : parah

Penjelasan Kasus
Gejala 1 Poin 2 Poin 3 Poin Lab Hasil
Pasien Poin
Bilirubin <2.0 2.0-3.0 >3.0 11.6 3
Serum Albumin >3.5 2.8-3.5 <2.8 2.2 3
Prothtrombin Time <4 4-6 >6 22.6 3
Ascites Tidak ada Ringan Berat Parah 3
Ensefalopati Hepatik Tidak ada Tingkat I-II Tingkat III- Parah 3
(Sedang) IV (Berat)
Total 15
Nilai Child-Pugh dengan poin 8 – 9 menggambarkan penurunan yang
sedang pada dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang dimetabolisme
pada hati (≥60%), dan pada poin 10 atau lebih mengindikasikan
penurunan yang signifikan pada pemberian dosis awal (~50%)
dibutuhkan untuk obat yang metabolisme utamanya pada hati.
Dalam hal ini obat yang dimetabolisme di hati terutama propanolol
dan paracetamol. Oleh sebab itu dosisnya diturunkan hingga 50% dari
dosis normal. Paracetamol (sistenol) menjadi 3x1/2tab (250 mg bila
demam), dan propanolol menjadi 3x20 mg.

2. Bp.Doni berusia 65 tahun, berat badan 70 kg. Memiliki riwayat CHF dan
mendapatkan terapi pengobatan dengan digoksin tablet 0,25mg/hari. Hasil
laboratorium : - total bilirubin 3,4 mg/dl - serum albumin 2,5 g/dl -
protrombine time 6,7 detik - ascites sedang - hepatic encephalopathy
sedang.

Penjelasan Kasus :
Gejala 1 Poin 2 Poin 3 Poin Lab Hasil
Pasien Poin
Bilirubin <2.0 2.0-3.0 >3.0 3.4 3
Serum Albumin >3.5 2.8-3.5 <2.8 2.5 3
Prothtrombin Time <4 4-6 >6 6.7 3
Ascites Tidak ada Ringan Berat Sedang 2
Ensefalopati Hepatik Tidak ada Tingkat I-II Tingkat III- sedang 2
(Sedang) IV (Berat)
Total 13

Dari data ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami


penurunan fungsi hati yg signifikan, sehingga dosis awal perlu diturunkan
50% dari dosis awal pd pasien normal. Pemberian obat pada pasien
gangguan hati dpt dengan cara dosis diturunkan dan interval pemberian
tetap. Dosis digoksin 0,25mg/hr menjadi 0,125mg/hr (1xsehari).

3. Nilai klirens hepatik (hepatic clearance) suatu obat pada seorang pasien
menurun hingga 50% dikarenakan pasien tersebut mengalami hepatitis
kronis. Bagaimanakah pengaturan dosis obat yang digunakan untuk pasien
tersebut? diasumsikan nilai fraksi obat yang diekskresikan (fe=0,4).
Penyelesaian :

Diketahui:

Fe : 0,4

RL : 0,5 (50%)

Jadi, dosis yang diberikan untuk pasien tersebut adalah 70% dari dosis
normal.
Daftar Pustaka

Shargel, Leon, B.C.Y.U, Andrew. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika


Terapan. Airlangga University Press. Surabaya

Verbeeck, R.K. 2008. Pharmacokinetics and dosage adjustment in patients with


hepatic dysfunction. Eur J Clin Pharmacol. 64:1147–1161

Anda mungkin juga menyukai