Anda di halaman 1dari 18

“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di

Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN

A. Definisi

1. Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian pelaksanaan tugas
(performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu
perusahaan atau organisiasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang telah
ditetapkan lebih dahulu. (Simanjuntak J. Payaman, 2005; 107)
2. Kinerja individu atau kelompok dan/atau unit kerja adalah tingkat pencapaian atau
hasil kerja dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam
kurun waktu tertentu. (Simanjuntak J.Payaman, 2005;107)
3. Evalusi kinerja disebut juga “performance evaluation” atau “performance appraisal.
Appraisal berasal dari kata Latin yaitu “appratiare” yang berarti memberikan nilai
atau harga. Dengan demikian, evaluasi kinerja berarti memberi nilai atas pekerjaan
yang dilakukan oleh seseorang dan untuk itu diberikan imbalan, kompensasi atau
penghargaan. (Simanjuntak J.Payaman, 2005;107)
4. Pelayanan (layanan) adalah suatu perusahaan/orang harus menyerahkan hal-hal yang
mendasar dan melakukan apa yang mereka inginkan dalam rangka menjaga
perjanjian, dan juga mendengarkan pelanggan, menjaga agar pelanggan tetap
mendapatkan informasi dan menyerahkan nilai kepada pelanggan. (Philip Kotler,
2008: 59)
5. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan jenis dan mutu pelayanan wajib
Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga secara minimal.
(Simanjuntak J.Payaman, 2005;214)
6. Sistem jaringan adalah hal yang dapat dilakukan, misalnya meningkatkan kapasitas
pelayanan prasarana yang ada; melebarkan jalan, menambah jaringan jalan baru dan
lain-lain. (Ofyar Z.Tamin, 2000: 30)

B. Studi Kepustakaan

1. Konsep Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi,


pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui
bagaimana kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta
hasilnya. Istilah evaluasi sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, akan
tetapi kata ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu evaluation yang berarti
penilaian atau penaksiran (Echols dan Shadily, 2000:220). Sedangkan menurut
pengertian istilah “evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan
dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan ”(Yunanda:2009). Pemahaman
mengenai pengertian evaluasi dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian evaluasi
yang bervariatif oleh para pakar evaluasi. Menurut Stufflebeam dalam Lababa (2008),
evaluasi adalah “the process of delineating, obtaining and providing useful
information for judging decision alternatives" Artinya evaluasi merupakan proses
menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk
merumuskan suatu alternatif keputusan.

Laporan Akhir II - 1
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

Masih dalam Lababa (2008), Worthen dan Sanders mendefenisikan “evaluasi sebagai
usaha mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut dapat
berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu”.
Tague-Sutclife (1996: 1-3), mengartikan evaluasi sebagai "a systematic process of
determining the extent to which instructional objective are achieved by pupils".
Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental,
melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik
dan terarah berdasarkan tujuan yang jelas.

Dari definisi evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah
penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, selanjutnya
menyajikan informasi dalam rangka pengambilan keputusan terhadap implementasi
dan efektifitas suatu program. Evaluasi meliputi mengukur dan menilai yang
digunakan dalam rangka pengambilan keputusan. Hubungan antara pengukuran dan
penilaian saling berkaitan. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan
sesuatu dengan atau atas dasar ukuran atau kriteria tertentu (meter, kilogram, takaran
dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian berarti menilai sesuatu.
Sedangkan menilai itu mengandung arti, mengambil keputusan terhadap sesuatu yang
berdasarkan pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan
sebagainya. Dan penilaian bersifat kualitatif. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Arikunto (2009: 3) bahwa mengukur adalah membandingkan
sesuatu dengan satu ukuran (bersifat kuantitatif), menilai adalah mengambil suatu
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk (bersifat kualitatif) dan
evaluasi meliputi kedua langkah tersebut di atas.

Agar penilaian ini efektif maka standar penilaian hendaknya berhubungan dengan
hasil-hasil yang diinginkan setiap pekerjaan. Dengan demikian, standar pelaksanaan
kerja ini semacam alat ukur untuk prestasi kerja. Lebih lanjut ditegaskan alat ukur
yang baik harus mempunyau sekurang-kurangnya 2 (dua) kriteria yaitu; a. validitas
dan reliabilitas. Alat penilaian kerja yang validitas tingggi apabila alat ukur itu
mengukur apa yang harus diukur. Sedangkan alat ukur yang reliabilitasnya tinggi
apabila alat ukur itu mempunyai hasil yang ajeg (consistent). Pendapat lain mengenai
evaluasi disampaikan oleh Arikunto dan Cepi (2008: 2), bahwa: evaluasi adalah
kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat
dalam mengambil sebuah keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah
menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk
menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Sedangkan Uzer (2003: 120), mengatakan bahwa: evaluasi adalah suatu proses yang
ditempuh seseorang untuk memperoleh informasi yang berguna untuk menentukan
mana dari dua hal atau lebih yang merupakan alternatif yang diinginkan, karena
penentuan atau keputusan semacam ini tidak diambil secara acak, maka alternatif-
alternatif itu harus diberi nilai relatif, karenanya pemberian nilai itu harus
memerlukan pertimbangan yang rasional berdasarkan informasi untuk proses
pengambilan keputusan.

Menurut Djaali dan Pudji (2008:1), evaluasi dapat juga diartikan sebagai “proses
menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan yang
selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas obyek yang dievaluasi”.
Sedangkan Ahmad (2007:133), mengatakan bahwa “evaluasi diartikan sebagai proses
sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (ketentuan, kegiatan, keputusan, untuk
kerja, proses, orang, obyek) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian”. Untuk
menentukan nilai sesuatu dengan cara membandingkan dengan kriteria, evaluator
dapat langsung membandingkan dengan kriteria namun dapat pula melakukan

Laporan Akhir II - 2
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

pengukuran terhadap sesuatu yang dievaluasi kemudian baru membandingkannya


dengan kriteria. Dengan demikian evaluasi tidak selalu melalui proses mengukur baru
melakukan proses menilai tetapi dapat pula evaluasi langsung melalui penilaian saja.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Crawford (2000:13), mengartikan
penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan,
proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang
telah ditentukan. Dari pengertian-pengertian tentang evaluasi yang telah dikemukakan
beberapa ahli di atas, dapat ditarik benang merah tentang evaluasi yakni evaluasi
merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana
keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari
dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut. Karenanya dalam keberhasilan
ada dua konsep yang terdapat didalamnya yaitu efektifitas dan efisiensi. “Efektifitas
merupakan perbandingan antara output dan inputnya sedangkan efisiensi adalah taraf
pendayagunaan input untuk menghasilkan output lewat suatu proses” (Sudharsono
dalam Lababa, 2008). Jadi evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan
manusia sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang. Seorang
manusia yang telah mengerjakan suatu hal, pasti akan menilai apakah yang
dilakukannya tersebut telah sesuai dengan keinginannya semula.
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Setiap kegiatan yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, demikian juga dengan
evaluasi. Menurut Arikunto (2002:13), ada dua (2) tujuan evaluasi yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan kepada program secara keseluruhan,
sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan pada masing-masing komponen.
Menurut Crawford (2000:30), tujuan dan atau fungsi evaluasi adalah:
1. Untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai
dalam kegiatan.
2. Untuk memberikan objektivitas pengamatan terhadap perilaku hasil.
3. Untuk mengetahui kemampuan dan menentukan kelayakan.
4. Untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan yang dilakukan.

Pada dasarnya tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan bahan-bahan


pertimbangan untuk menentukan/membuat kebijakan tertentu, yang diawali dengan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis.
3. Model-model Evaluasi

Ada beberapa model yang dapat dicapai dalam melakukan evaluasi (Umar, 2002:41-
42), yaitu:
a. Sistem assessment
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi suatu
sistem. Evaluasi dengan menggunakan model ini dapat menghasilkan informasi
mengenai posisi terakhir dari suatu elemen program yang tengah diselesaikan.
b. Program planning
Yaitu evalusi yang membantu pemilihan aktivitas-aktivitas dalam program
tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhannya.
c. Program implementation
Yaitu evaluasi yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan
kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang telah direncanakan.

Laporan Akhir II - 3
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

d. Program Improvement
Yaitu evaluasi orang memberikan informasi tentang bagaimana program
berfungsi, bagaimana program bekerja, bagaimana mengantisispasi masalah-
masalah yang mungkin dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan.
e. Program Certification
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi mengenai nilai atau manfaat program.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa


perbedaan antara model-model evaluasi, tetapi secara umum model-model tersebut
memiliki persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang dievaluasi
sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan.

4. Pendekatan Terhadap Evaluasi

Evaluasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan tujuan-tujuan tersebut mempengaruhi


evaluasi suatu program atau kegiatan. Mengenal pandangan-pandangan yang
beraneka ragam dan mengetahui bahwa tidak semua evaluator setuju pada pendekatan
tersebut dalam melakukan evaluasi suatu program/kegiatan adalah penting. Ada
beberapa pendekatan umum dalam melakukan evaluasi yaitu:
a. Pendekatan pertama adalah objective-oriented approach.
Fokus pada pendekatan ini hanya tertuju kepada tujuan program/proyek dan
seberapa jauh tujuan itu tercapai. Pendekatan ini membutuhkan kontak intensif
dengan pelaksana program/proyek yang bersangkutan.
b. Pendekatan kedua adalah pendekatan three-dimensional cube atau Hammond’s
evaluation approach.
Pendekatan Hammond melihat dari tiga dimensi yaitu instruction (karateristik
pelaksanaan, isi, topik, metode, fasilitas, dan organisasi program/proyek),
institution (karakteristik individual peserta, instruktur, administrasi
sekolah/kampus/organisasi), dan behavioral objective (tujuan program itu sendiri,
sesuai dengan taksonomi Bloom, meliputi tujuan kognitif, afektif dan
psikomotor)
c. Pendekatan ketiga adalah management-oriented approach.
Fokus dari pendekatan ini adalah sistem (dengan model CIPP: context-input-
proses-product). Karena pendekatan ini melihat program/proyek sebagai suatu
sistem sehingga jika tujuan program tidak tercapai, bisa dilihat di proses bagian
mana yang perlu ditingkatkan.
d. Pendekatan keempat adalah goal-free evaluation.
Berbeda dengan tiga pendekatan di atas, pendekatan ini tidak berfokus kepada
tujuan atau pelaksanaan program/proyek, melainkan berfokus pada efek
sampingnya bukan kepada apakah tujuan yang diinginkan dari pelaksana
program/proyek terlaksana atau tidak. Evaluasi ini biasanya dilaksanakan oleh
evaluator eksternal.
e. Pendekatan kelima adalah consumer-oriented approach.
Dalam pendekatan ini yang dinilai adalah kegunaan materi seperti software,
buku, silabus. Mirip dengan pendekatan kepuasan konsumen di ilmu pemasaran,
pendekatan ini menilai apakah materi yang digunakan sesuai dengan
penggunanya, atau apakah diperlukan dan penting untuk program/proyek yang
dituju. Selain itu juga dievaluasi apakah materi yang dievaluasi di-follow-up dan
cost effective.
f. Pendekatan keenam adalah expertise-oriented approach.
Dalam pendekatan ini, evaluasi dilaksanakan secara formal atau informal, dalam
artian jadwal dispesifikasikan atau tidak dispesifikasikan, standar penilaian

Laporan Akhir II - 4
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Proses evaluasi bisa dilakukan oleh


individu atau kelompok. Pendekatan ini merupakan pendekatan tertua di mana
evaluator secara subyektif menilai kegunaan suatu program/proyek, karena itu
disebut subjective professional judgement.
g. Pendekatan ketujuh adalah adversary-oriented approach.
Dalam pendekatan ini, ada dua pihak evaluator yang masing-masing
menunjukkan sisi baik dan buruk, disamping ada juri yang menentukan argumen
evaluator mana yang diterima. Untuk melakukan pendekatan ini, evaluator harus
tidak memihak, meminimalkan bias individu dan mempertahankan pandangan
yang seimbang.
h. Pendekatan terakhir adalah naturalistic & participatory approach.
Pelaksana evaluasi dengan pendekatan ini bisa para stakeholder. Hasil dari
evaluasi ini beragam, sangat deskriptif dan induktif. Evaluasi ini menggunakan
data beragam dari berbagai sumber dan tidak ada standar rencana evaluasi.
Kekurangan dari pendekatan evaluasi ini adalah hasilnya tergantung siapa yang
menilai (Salehudin, 2009:5-7). Berbagai pendekatan untuk mengevaluasi suatu
program atau proyek diterapkan untuk mendapatkan keefektifan dan keefisienan
program atau proyek tersebut baik secara internal yaitu pihak pengembang atau
pengelola, maupun secara eksternal yaitu pengguna. Bentuk-bentuk pendekatan
evaluasi yang telah ada harus terus dikembangkan untuk meningkatkan kepuasan
pengguna sebagai tujuan utama suatu program dijalankan.
5. Konsep Standar Pelayanan Minimal

Pelayanan (layanan) adalah suatu perusahaan/orang harus menyerahkan hal-hal yang


mendasar dan melakukan apa yang mereka inginkan dalam rangka menjaga
perjanjian, dan juga mendengarkan pelanggan, menjaga agar pelanggan tetap
mendapatkan informasi dan menyerahkan nilai kepada pelanggan (Philip Kotler,
2008: 59). Lebih lanjut ditegaskan, secara umum pelayanan dapat berbentuk barang
yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible) dan juga dapat berupa jasa.
Sementara menurut Ashari Topo Edy & Fernanda Desi (2001: 71), pelayanan adalah
upaya pemberdayaan untuk melayani masyarakat (a sprint of public service), atau
memerlukan kerjasama dengan masyarakat (co-production), dan menjadi mitra
masyarakat (partner of society) dan agar hal ini dapat terwujud diperlukan perubahan
perilaku melalui pembudayaan kode etik (code of conduct) yang didasarkan pada
dukungan atau standar perilaku yang dapat diterima umum.

Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah menyebabkan


terjadinya sejumlah perubahan penting dan mendasar dalam tata kelola pemerintahan
yang pada akhirnya berimplikasi pada penyelenggaraan pelayanan publik di Daerah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 11 dan pasal 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM). Peraturan Pemerintah tersebut merupakan acuan bagi
Kementerian/Lembaga dalam penyusunan SPM dan menjadi pokok-pokok acuan bagi
pemerintah daerah dalam penerapan SPM.

Sehubungan dengan ketentuan PP tersebut, maka semua peraturan dan perundang-


undangan yang berkaitan dengan SPM wajib untuk disesuaikan. Kementerian Dalam
Negeri selaku koordinator tim konsultasi mempunyai peran yang penting di dalam
memfasilitasi proses penyusunan SPM bersama Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait.

Laporan Akhir II - 5
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

6. Standar Pelayanan Minimal Bidang Transportasi

Transportasi adalah kegiatan pemindahan barang dan muatan dan penumpang dari
suatu tempat ke tempat lain (Abbas Salim, 1993: 6). Lebih lanjut ditegaskan, dalam
transportasi terlihat dua unsur yang terpenting yaitu; a. pemindahan/pergerakan
(movement). b. secara fisik mengubah tempat dari barang (komoditi) dan penumpang
ke tempat lain. Sementara menurut Edward K.Marlok (1988:1) transportasi adalah
suatu tindakan, proses, atau hal mentransformasikan atau memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain. Intinya dalam hal ini adalah adanya pergerakan atau
perpindahan. Dengan demikian, bilamana terminolgi transportasi angkutan darat dan
perkeretaapian dikorelasikan dengan organisasi yang berlaku di Kementerian
Perhubungan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 60 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, maka transportasi darat
dapat diartikan memiliki 2 (dua) aspek yaitu Angkutan Jalan Raya dan Angkutan
Sungai, danau dan Penyeberangan. Dengan demikian, transportansi angkutan darat
perkeretaapian memiliki 3 (tiga) angkutan yaitu;
a. Transportasi Angkutan Jalan Raya,
b. Transportasi Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan,
c. Transportasi Angkutan Perkeretaapian.

Dari berbagai pengertian seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik suatu
kesimpulan, bahwa “Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Perhubungan di Beberapa Daerah Provinsi Di Indonesia”, adalah evaluasi penentuan
derajat kualitas berdasarkan indikator yang telah ditetapkan terhadap
penyelenggaraan pelayanan yang diselenggarakan operator transportasi angkutan
jalan raya, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, serta angkutan perkeretaapian
terhadap pengguna jasa. Artinya, apakah para operator transportasi angkutan jalan
raya, ASDP, dan Perkeretaapian sudah melakukan pelayanan kepada pengguna jasa
angkutan tersebut sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau belum, untuk
dapat mengetahui hal tersebut maka perlu dirumuskan suatu Metode Evaluasi
Penilaian SPM Transportasi Angkutan Darat dan Perkeretaapian. Tentunya, kriteria
evaluasi penilaian akan mencerminkan baik, sedang dan buruk. Untuk dapat
menentukan baik, sedang atau buruk akan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.
Karena itu, setiap aspek pelayanan yang telah ditetapkan akan dilakukan pembobotan
atau nilai yang konkrit.

Dalam hal ini sebagai kajian transportasi angkutan jalan raya akan difokuskan pada
pelayanan angkutan AKAP (Angkutan Kota Antar Propinsi) mulai dari pool hingga
ke tempat tujuan. Sementara ASDP pedoman penilaian pelayanan yang akan dikaji
adalah mulai dari pelabuhan hingga ke pelabuhan tujuan. Begitu juga halnya,
angkutan perkeretaapian, pelayanan yang dinilai adalah mulai dari stasiun
keberangkatan hingga ke stasiun tujuan. Dari pengertian evaluasi, kualitas pelayanan
seperti telah dijelaskan sebelumnya dan dikaitkan dengan kegiatan “Studi Evaluasi
Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di Beberapa Daerah
Provinsi di Indonesia”, maka timbul pertanyaan: Apa yang dievaluasi dan bagaimana
cara mengevaluasi. Bilamana dikaitkan dengan kegiatan, maka tentunya yang dinilai
adalah kualitas pelayanan yang dilakukan oleh transportasi angkutan jalan raya,
ASDP dan angkutan perkeretaapian. Namun untuk dapat menilai apakah baik, sedang
dan buruk diperlukan adanya standar sebagai acuan penilaian. Hal ini adalah sesuai
dengan pengertian penilaian seperti dijelaskan sebelumnya bahwa evaluasi penilaian
adalah penentuan derajat penerapan SPM berdasarkan indikator yang telah
ditetapkan terhadap penyelenggaraan pekerjaan (Husani Usman, 2010: 487).
Ditambahkan, agar evaluasi mencapai tujuan maka ada 2 (dua) hal yang perlu
diperhatikan (Soekidjo Notoatmodjo, 2009:135) yaitu;

Laporan Akhir II - 6
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

a. Evaluasi (penilaian) harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job related).


Artinya, sistem penilaian itu benar-benar menilai perilaku atau kerja yang
mendukung kegiatan organisasi di mana karyawan itu bekerja,
b. Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standars). Standar pelaksanaan
adalah ukuran yang dipakai untuk menilai prestasi kerja tersebut.
Berkenaan dengan itu, untuk dapat melakukan studi evaluasi penilaian penerapan
SPM transportasi angkutan darat dan perkeretaapian di daerah, akan digunakan
sebagai kriteria adalah jenis pelayanan yang telah ditetapkan pada setiap transportasi
angkutan jalan raya, transportasi ASDP dan transportasi angkutan perkeretaapian/
standar pelayanan yang telah ditetapkan sebagai peraturan.

7. Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelayanan Transportasi Angkutan Jalan Raya

Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung
kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau masyarakat. Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh
Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-
masing meliputi: a. urusan Pemerintahan di bidang Jalan, oleh Kementerian negara
yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan Pemerintahan di bidang Sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan Pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, oleh Kementerian Negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan
Pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
oleh Kementerian Negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan
teknologi; dan e. urusan Pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan,


pembangunan dan pengawasan prasarana Jalan, yaitu: a. inventarisasi tingkat
pelayanan Jalan dan permasalahannya; b. penyusunan rencana dan program
melaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; c.
perencanaan, pembangunan dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan; d. perbaikan
geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan; e. penetapan kelas Jalan pada
setiap ruas Jalan; f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan
keselamatan berlalu lintas; dan g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di
bidang prasarana Jalan. Penyelenggaraan di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; c. persyaratan teknis dan laik jalan
Kendaraan Bermotor; d. perizinan angkutan umum; e. pengembangan sistem
informasi dan komunikasi di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara Sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan
angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang
memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.

Penyelenggaraan di bidang industri meliputi: a. penyusunan rencana dan program


pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor; b. pengembangan industri
perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang
menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Laporan Akhir II - 7
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi meliputi: a. penyusunan rencana


dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor; b.
pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan
teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas meliputi: a. pengujian dan
penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor; b. pelaksanaan registrasi dan
identifikasi Kendaraan Bermotor; c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan
penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. pengelolaan pusat pengendalian
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengaturan,
penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas, f.penegakan hukum yang meliputi
penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas; g. pendidikan
berlalu lintas; h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i.
pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terkoordinasi.


Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas
melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan
dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas unsur pembina,
penyelenggara, akademisi dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan


intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan
Terminal. Terminal berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
Terminal penumpang menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B,
dan tipe C, setiap tipe dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan
yang dilayani. Untuk kepentingan sendiri, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah
di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan
Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Penetapan lokasi terminal dilakukan dengan memperhatikan: a.
tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional. Setiap penyelenggara terminal wajib menyediakan
fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. Fasilitas
Terminal meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Untuk menjaga kondisi
fasilitas Terminal, penyelenggara terminal wajib melakukan pemeliharaan.

Penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang
Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. Penyelenggaraan fasilitas parkir di
luar Ruang Milik Jalan dapat dilakukan oleh perseorangan warga Negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang
usaha pokok. Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat
diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan Kabupaten, jalan desa, atau jalan kota
yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. Fasilitas
pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar; b.
lajur sepeda; c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki; d. Halte; dan/atau e. fasilitas
khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Penyediaan fasilitas

Laporan Akhir II - 8
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

pendukung diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah


provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah Kabupaten untuk jalan Kabupaten dan
jalan desa; d. Pemerintah kota untuk jalan kota; dan e. badan usaha jalan tol untuk
jalan tol.

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a.


angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan
orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek. Standar Pelayanan
Angkutan Orang. Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan
minimal yang meliputi: a. keamanan; b. keselamatan; c. kenyamanan; d.
keterjangkauan; e. kesetaraan; dan f. keteraturan. Standar pelayanan minimal
ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. Jenis pelayanan angkutan
orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, terdiri atas: a. angkutan Lintas Batas Negara; b. angkutan Antar
Kota Antar Provinsi (AKAP); c. angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP); d.
angkutan perkotaan; atau e. angkutan perdesaan. Kriteria pelayanan angkutan orang
dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek adalah: a. memiliki rute tetap dan
teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang
di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan c. menaikkan dan
menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan
perdesaan.

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek
terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan
tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang
di kawasan tertentu. Angkutan orang dengan menggunakan taksi digunakan untuk
pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi alam kawasan
perkotaan. Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan dapat: a. berada dalam wilayah
kota; b. berada dalam wilayah Kabupaten; c. melampaui wilayah kota atau wilayah
Kabupaten dalam 1 (satu) daerah Provinsi; atau d. melampaui wilayah provinsi.
Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan masal berbasis jalan untuk memenuhi
kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan
perkotaan. Angkutan masal harus didukung dengan: a. mobil bus yang berkapasitas
angkut masal; b. lajur khusus; c. trayek angkutan umum lain yang tidak berhimpitan
dengan trayek angkutan masal; dan d. angkutan pengumpan.

Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan


barang umum; dan b. angkutan barang khusus. Pengangkutan barang umum harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. prasarana jalan yang dilalui memenuhi
ketentuan kelas jalan; b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk
memuat dan membongkar barang; dan c. menggunakan mobil barang. Kendaraan
Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib: a. memenuhi persyaratan
keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; b. diberi tanda
tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir kendaraan di tempat yang
ditetapkan d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan
menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; e. beroperasi
pada waktu yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, kelancaran dan
ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan f. mendapat rekomendasi dari
instansi terkait. Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan
dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan harus mendapat pengawalan dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengemudi dan pembantu pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki
kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.
Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan

Laporan Akhir II - 9
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau


penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan
Bermotor Umum. Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan
pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta
bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang
khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan
Bermotor Umum.

Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau


barang wajib memiliki: a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; b. izin
penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau c. izin
penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. Kewajiban memiliki izin
tidak berlaku untuk: a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulan;
atau b. pengangkutan jenazah. Izin berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik
yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan. Pemberian
izin dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan. Izin dapat berupa izin trayek atau pada beberapa trayek
dalam satu kawasan. Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka
waktu tertentu.

Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diberikan oleh: a. Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek lintas batas negara
sesuai dengan perjanjian antar Negara; 2. trayek antar Kabupaten/kota yang
melampaui wilayah 1 (satu) Provinsi; 3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui
wilayah 1 (satu) provinsi; dan 4.trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu)
provinsi. b. Gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1.
trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi; 2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu)
kabupaten/kota dalam satu Provinsi; dan 3. trayek perdesaan yang melampaui
wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu Provinsi. c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang
seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. d. Bupati
untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek perdesaan yang
berada dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten; dan 2. trayek perkotaan yang berada dalam
1 (satu) wilayah Kabupaten. Walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang
melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota. Pemegang izin
penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib: a. melaksanakan ketentuan
yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan b. pengoperasikan Kendaraan
Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal. Ketentuan lebih lanjut
mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.

Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek izin penyelenggaraan


angkutan orang tidak dalam trayek diberikan oleh: a. Menteri yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
angkutan orang yang melayani: 1. angkutan taksi yang wilayah operasinya
melampaui 1 (satu) daerah provinsi; 2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau 3.
angkutan pariwisata. b. Gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya
melampaui lebih dari 1(satu) daerah kabupaten/kota dalam 1(satu) provinsi; c.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan
kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta; dan Bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan

Laporan Akhir II - 10
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Kabupaten/kota. Izin


penyelenggaraan angkutan barang khusus diberikan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan
rekomendasi dari instansi terkait. Izin penyelenggaraan angkutan alat berat diberikan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita
hamil, dan orang sakit. Perlakuan khusus meliputi: a. aksesibilitas; b. prioritas
pelayanan; dan c. fasilitas pelayanan.

8. Peraturan Perundang-undangan dalam Pelayanan Transportasi Angkutan ASDP

Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dilakukan oleh orang
perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki
oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. Kegiatan angkutan sungai dan
danau antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan
perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara tetangga
yang bersangkutan. Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara dua negara
hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera
negara yang bersangkutan. Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra dan antarmoda yang
merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional. Kegiatan angkutan sungai dan
danau dapat dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek
tidak tetap dan tidak teratur. Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan
di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal. Untuk menunjang usaha pokok dapat dilakukan kegiatan angkutan
sungai dan danau untuk kepentingan sendiri. Kegiatan angkutan sungai dan danau
dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha
dengan izin Pemerintah.

Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilakukan oleh badan usaha


dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara
tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Negara yang bersangkutan. Angkutan penyeberangan yang dilakukan
antara dua negara hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau
kapal berbendera negara yang bersangkutan. Angkutan penyeberangan merupakan
angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau
jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang
dan kendaraan beserta muatannya. Penetapan lintas angkutan penyeberangan
dilakukan dengan mempertimbangkan: a. pengembangan jaringan jalan dan/atau
jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan; b. fungsi sebagai jembatan; c.
hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua
terminal penyeberangan dengan jarak tertentu; d. tidak mengangkut barang yang
diturunkan dari kendaraan pengangkutnya; e. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan f.
jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan
angkutan antar dan intramoda. Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan
menggunakan trayek tetap dan teratur.
Terminal khusus harus memenuhi persyaratan; a. ditetapkan menjadi bagian dari
pelabuhan terdekat; b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
Lingkungan Kepentingan tertentu; dan c. ditempatkan instansi Pemerintah yang

Laporan Akhir II - 11
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang


melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan. Terminal khusus hanya
dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal: a. pelabuhan terdekat tidak dapat
menampung kegiatan pokok tersebut; dan b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan
teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan
dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.
Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus wajib dipenuhi persyaratan
teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian
lingkungan dengan izin dari Menteri. Izin pengoperasian terminal khusus diberikan
untuk jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang ini. Terminal khusus dilarang
digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan darurat dengan izin
Menteri. Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang
telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah atau dikembalikan seperti
keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus
untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan. Terminal khusus
yang diserahkan kepada Pemerintah dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan
setelah memenuhi persyaratan: a. sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
b. layak secara ekonomis dan teknis operasional; c. membentuk atau mendirikan
Badan Usaha Pelabuhan; d. mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan; e. keamanan,
ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan f. kelestarian lingkungan. Dalam hal
terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan, tanah daratan dan/atau perairan,
fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur pelayaran, dan Sarana Bantu
Navigasi Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola terminal khusus.

Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan


di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim. Penyelenggaraan
keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah. Keselamatan
dan keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya persyaratan: a.
kelaiklautan kapal; dan b. kenavigasian. Kelaiklautan kapal wajib dipenuhi setiap
kapal sesuai dengan daerah pelayarannya yang meliputi:
a. Keselamatan kapal;
b. Pencegahan pencemaran dari kapal;
c. Pengawakan kapal;
d. Garis muat kapal dan pemuatan;
e. Kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang;
f. Status hukum kapal;
g. Manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h. Manajemen keamanan kapal.

Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dibuktikan dengan


sertifikat dan surat kapal. Kenavigasian terdiri atas: a. Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran; b.Telekomunikasi-Pelayaran; c. hidrografi dan meteorologi; d. alur dan
perlintasan; e. pengerukan dan reklamasi; f. pemanduan; g. penanganan kerangka
kapal; dan h. salvage dan pekerjaan bawah air. Untuk menjamin keselamatan dan
keamanan angkutan perairan Pemerintah melakukan perencanaan, pengadaan,
pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan
Telekomunikasi-Pelayaran sesuai dengan ketentuan internasional, serta menetapkan
alur-pelayaran dan perairan pandu. Untuk menjamin keamanan dan keselamatan
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran, Pemerintah
menetapkan zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi bangunan tersebut 1

1
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Pasal 116 - 119
Laporan Akhir II - 12
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan tetap memperhatikan


keselamatan dan keamanan kapal yang beroperasi di pelabuhan, bongkar muat
barang, dan naik turun penumpang serta keselamatan dan keamanan pelabuhan.
Keselamatan dan keamanan pelabuhan yaitu kondisi terpenuhinya manajemen
keselamatan dan sistem pengamanan fasilitas pelabuhan meliputi: a. prosedur
pengamanan fasilitas pelabuhan; b. sarana dan prasarana pengamanan pelabuhan; c.
sistem komunikasi; dan d. personel pengaman. Setiap pengoperasian kapal dan
pelabuhan wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan serta
perlindungan lingkungan maritim 2

Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya


serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan
keselamatan kapal. Persyaratan keselamatan kapal meliputi:
a. Material;
b. Konstruksi;
c. Bangunan;
d. Permesinan dan perlistrikan;
e. Stabilitas;
f. Tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio;
g. Elektronika kapal.

Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik


atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta
data kelengkapannya. Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan
perombakan harus sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah
mendapat pengesahan dari Menteri. Pengawasan terhadap pembangunan dan
pengerjaan perombakan kapal dilakukan oleh Menteri. Kapal yang dinyatakan
memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Menteri.
Sertifikat keselamatan terdiri atas: a. sertifikat keselamatan kapal penumpang; b.
sertifikat keselamatan kapal barang; dan c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal
penangkap ikan. Keselamatan kapal ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian.
Terhadap kapal yang telah memperoleh sertifikat dilakukan penilikan secara terus-
menerus sampai kapal tidak digunakan lagi. Pemeriksaan dan pengujian serta
penilikan wajib dilakukan oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang dan
memiliki kompetensi.

Sertifikat kapal tidak berlaku apabila: a. masa berlaku sudah berakhir; b. tidak
melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement); c. kapal rusak dan dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; d. kapal berubah nama; e. kapal
berganti bendera; f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat
keselamatan kapal; g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan
konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;
h. kapal tenggelam atau hilang; atau i. kapal ditutuh (scrapping). Sertifikat kapal
dibatalkan apabila: a. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan untuk
penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya; b. kapal sudah
tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; atau c. sertifikat diperoleh secara
tidak sah. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan sertifikat 3

9. Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Perhubungan di Beberapa Propinsi

2
Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Pasal 120 - 122
3
Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Pasal 124 - 127
Laporan Akhir II - 13
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

Peraturan Menteri Perhubungan No.81 PM Tahun 2011 Tentang SPM Bidang


Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan ini dilatarbelakangi sesuai adanya Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal ( SPM ),
dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJM) 2010-2014 dan
rencana Aksi Percepatan Pembangunan Nasional serta menindaklanjuti Surat Menteri
Dalam Negeri No. 100/676/SJ Tanggal 7 Maret 2011 perihal Percepatan Penerapan
SPM di Daerah. Berdasarkan peraturan tersebut, dibuatkanlah Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No.100/1023/SJ tentang Percepatan Pelaksanaan Penerapan dan
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daera, dimana dalam surat tersebut telah
ditegaskan adanya Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang SPM
Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagai acuan
pelaksanaan SPM bidang Perhubungan di daerah. Pada dasarnya, berdasarkan
Permenhub No. 81 Tahun 2011 tentang SPM Bidang Perhubungan Daerah dan
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada Pasal 10 menjelaskan sebagai berikut:

a. Menteri melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan dan pencapaian


SPM Perhubungan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin akses dan
mutu pelayanan dasar kepada masyarakat
b. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
c. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling sedikit 1 (satu) tahun sekali
d. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.

Pada Pasal 11, Peraturan Menteri Perhubungan No.81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota menjelaskan sebagai bahwa hasil monitoring dan evaluasi penerapan
dan pencapaian SPM Perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipergunakan:

a. Bahan masukan bagi pengembangan kapasiotas pemerintah daerah dalam


pencapaian SPM Perhubungan
b. Bahan pertimbangan dalam pembinaaan dan pengawasan penerapan SPM
Perhubungan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintah daerah yang
berprestasi sangat baik
c. Bahan pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang
tidak berhasil mencapai SPM Perhubungan dengan baik dalam batas waktu yang
ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan
sesuai peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.81 Tahun 2011 tentang Standar


Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi Khususnya bidang
transportasi darat adalah dapat dilihat dalam tabel berikut.

Laporan Akhir II - 14
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERHUBUNGAN DAERAH PROPINSI KHUSUSNYA BIDANG TRANSPORTASI DARAT
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NO.81 TAHUN 2011
Batas
Standar Pelayanan Minimal
No Jenis Pelayanan Dasar Waktu Keterangan
Indikator Nilai Pencapaian
1 Angkutan Jalan a.Jaringan Pelayanan Tersedianya angkutan umum yang 100% 2014 Dilaksanakan
Angkutan Jalan melayani wilayah yang telah ter- oleh Dinas
sedia jaringan jalan untuk jaringan Perhubungan
jalan propinsi Propinsi
b.Jaringan Prasarana Tersedianya Terminal Angkutan 100% 2014 Dilkasanakan
Angkutan Jalan Penumpang Tipe A pada setiap oleh Dinas
propinsi untuk melayani angkutan Perhubungan
umum dalam trayek propinsi
c.Fasilitas Perlengka- Tersedianya fasilitas perlengkapan 60% 2014 Dilaksanakan
pan Jalan jalan ( rambu, marka dan guardril) oleh Dinas
dan penerangan jalan umum(PJU) Perhubungan
jalan Propinsi Propinsi
d.Keselamatan Terpenuhinya standar keselamatan 100% 2014 Dilkasanakan
bagi angkutan umum yang melayani oleh Dinas
trayek Antar Kota Dalam Propinsi Perhubungan
( AKDP ) Propinsi
e.Sumber Daya Tersedianya SDM yang memiliki 100% 2014 Dilkasanakan
Manusia (SDM) komptensi sebagai pengawas ke- oleh Dinas
laikan kandaraan pada perusahaan Perhubungan
angkutan umum, pengelola termi- Propinsi
nal dan pengelola perlengkapan
jalan
2 Angkutan a.Jaringan Pelayanan Tersedianya angkutan sungai dan 75% 2014 Dilaksanakan
Sungai dan Angkutan Sungai danau untuk melayani jaringan oleh Dinas Per-
Danau dan Danau trayek antar Kabupaten/Kota dalam hubungan Pro-
Propinsi pada wilayah yang tersedia vinsi
alur pelayaran sungai dan danau
yang dapat dilayari

Laporan Akhir II - 15
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

b.Jaringan Prasarana Tersedianya pelabuhan sungai dan 60% 2014 Dilaksanakan


Angkutan Sungai danau untuk melayani kapal sungai oleh Dinas
dan Danau dan danau yang beroperasi pada ja- Perhubungan
ringan trayek antar Kabupaten/Kota Propinsi
dalam Propinsi pada wilayah yang
tersedia alur pelayaran sungai dan
danau yang dilayari
c.Keselamatan Tersedianya pelabuhan sungai dan 100% 2014 Dilaksanakan
danau untuk melayani kapal sungai oleh Dinas Per-
dan danau yang beroperasi pada ja- hubungan
ringan trayek antar Kabupaten/Kota Propinsi
dalam Propinsi pada wilayah yang
tersedia alur pelayaran sungai dan
danau yang dapat dilayari
d.Sumber Daya Tersedianya SDM yang memiliki 100% 2014 Dilaksanakan
Manusia ( SDM ) kompotensi sebagai awak kapal oleh Dinas
angkutan sungai dan danau Perhubungan
Propinsi
3 Angkutan Penye- a.Jaringan Pelayanan Tersedianya kapal penyeberangan 75% 2014 Dilkasanakan
berangan Angkutan Penyebe- yang beroperasi pada lintas antar oleh Dinas
rangan Kab/Kota dalam Propinsi yang Perhubungan
menghubungkan jalan Propinsi Propinsi
yang terputus oleh perairan
b.Jaringan Prasarana Tersedianya pelabuhan pada setiap 75% 2014 Dilaksanakan
Angkutan Penyebe- Ibukota Propinsi dan Ibukota Kab/ oleh Dinas
rangan Kota yang memiliki pelayanan ang- Perhubungan
kutan penyeberangan yang berope- Propinsi
rasi pada lintas antar Kab/Kota dalam
Propinsi dan tidak ada alternatif
jalan

Laporan Akhir II - 16
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

c.Keselamatan Terpenuhinya standar keselamatan 100% 2014 Dilkasanakan


kapal ukuran di bawah 7 GT dan kapal oleh Dinas
yg beroperasi pada lintas penyebera- Perhubungan
ngan Kab/Kota dalam Propinsi Propinsi
d.Sumber Daya Tersedianya SDM yang memiliki 100% 2014 Dilkasanakan
Manusia (SDM) kompotensi sebagai awak kapal oleh Dinas
penyeberangan dengan ukuran di Perhubungan
bawah 7 GT Propinsi

Laporan Akhir II - 17
“Studi Evaluasi Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”

10. Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.


Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas, Indonesia hanya
memiliki satu undang-undang yang mengatur tentang penggunaan laut. Undang-
undang dimaksud adalah UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang
disempurnakan dengan UU No. 17 Tahun 2008. Undang-Undang tersebut digunakan
untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia. Dalam
ketentuan umum UU Pelayaran disebutkan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan
sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan
keamanan, serta perlindungan lingkungan Maritim. Kegiatan pelayaran pada
umumnya adalah mengangkut barang atau penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain
atau dari pelabuhan ke pelabuhan lain, keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan maritim dari pencemaran bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal.
Kegiatan itulah yang diatur dalam UU Pelayaran.

a. Keputusan Menteri Perhubungan No.73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan


Angkutan Sungai.

Dasar penyusunan Keputusan Menteri Perhubungan ini adalah untuk


menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan
di Perairan, telah diatur ketentuan mengenai penyelenggaraan angkutan sungai
dan danau. Sebagaimanan ketentuan umum dalam keputusan menteri ini, bahwa
angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal
yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk
mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan yang diselenggarakan oleh
pengusaha angkutan sungai dan danau. Melihat defenisi tersebut, maka jelaslah
angkutan sungai dan danau merupakan salah satu infrastrukur nasional yang dapat
menunjang peningkatan ekonomi nasional khususnya masyarakat yang hidup di
daerah aliran sungai, danau dan perairan lainnya selain laut. Keputusan Menteri
Perhubungan ini terdiri dari 10 Bab dan 68 Pasal yang mengatur mulai dari
ketentuan umum, angkutan, penyelenggaraan angkutan barang dan/atau hewan
sampai dengan sistem informasi.

b. International Maritime Organization (IMO)

IMO – SOLAS, 2004 telah menjelaskan bahwa setiap angkutan/kapal yang berada
di atas air diwajibkan adanya kelaiklautan. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi adanya peralatan keselamatan bagi para penumpang, stabilitas kapal
harus terjamin, dan pengawakan kapal yang memenuhi standar kompetensi.

Laporan Akhir II - 18

Anda mungkin juga menyukai