ISOLASI SOSIAL
A. KASUS
Isolasi Sosial
5. Rentang Respons
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien menjadi sulit dalam mengembangkan
hubungan dengan orang lain. akibatnya klien menjadi agresi, mengalami
penurunan aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan
diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkat laku masa lalu serta
tingkah laku primitif antara lain pembicaraan yang austistif dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi
(Ernawati, 2009)
Menurut Stuart Sundeen, respons klien ditinjau dari interaksinya dengan
lingkungan sesuai merupakan suatu kontinumu yang terbentang antara respons
adaptif dengan maladaptif
C. POHON MASALAH
D. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering
digunakan adalah proteksi, splitting (memisah), dan isolasi. Proyeksi merupakan
keinginan yang tidak mampu ditoleransi oleh klien mencurahkan emosi kepada orang
lain karena dirinya salah. Splitting merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk sementara itu, isolasi adalah
perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Suteja, 2017).
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Isolasi Sosial
A. Pengertian
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan
gangguan jiwa, Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh klien
Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiibua lain yang juga disertai
dengan gejala halusinasi adalah gangguan manik depresif dan delerium.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus
eksteren :Persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah
terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesutu yang nyata ada oleh klien.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiology. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien
sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus panca indra ibualaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon
tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien
mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak
akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rentang Respon:
JENIS KARAKTERISTIK
HALUSINASI
Pendengaran Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.
70 % Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata
yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi.
Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa
klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
Penglihatan 20% Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar
geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.
Penghidu Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi
penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
Cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine
Kinisthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
D. Fase Halusinasi.
Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan keparahannya.
Fase halusinasi terbagi empat:
1. Fase Pertama
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien
mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk
menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih
mampu mengotrol kesadarannya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi
meningkat.
2. Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal,
klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol,
gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut
apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat
jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang
dari orang lain.
3. Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak
berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman sementara.
4. Fase Keempat.
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan
memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam ibuaktu singkat, beberapa
jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang ditampakkan oleh klien yang mengalami
psikotik, khususnya schizofrenia. Pengkajian klien dengan halusinasi demikian merupakan
proses identifikasi data yang melekat erat dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya
seperti yang terdapat juga pada schizofrenia.
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiologi
seperti halusinasi antara lain:
a. Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu.
Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor penentu gangguan ini sampai
sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson
nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan No.4,8,5 dan 22 (Buchanan dan
Carpenter,2002). Istri kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar
50% jika salah satunya mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar
15 %, seorang istri yang salah satu orang tuanya mengalami schizofrenia berpeluang 15%
mengalami schizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya
menjadi 35 %.
b. Faktor Neurobiologi.
Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien schizofrenia
tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizofrenia terjadi penurunan
volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotin.
c. Studi neurotransmitter.
Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan neurotransmitter
dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.
d. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi factor
predisposisi schizofrenia.
e. Psikologis.
Beberapa kondisi pikologis yang menjadi factor predisposisi schizofrenia antara lain
istri yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak
berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan istrinya.
2. Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme gateing abnormal)
c. Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku seperti
yang tercantum pada tabel dibawah ini ;
3. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:
a. Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
b. Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
c. Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien
4. Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya, seperti mimpi
saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan persepsi tersebut nyata. Sama
halnya seperti seseorang mendengarkan suara- suara dan tidak lagi meragukan orang yang
berbicara tentang suara tersebut. Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil
dapat menyulitkan kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk
segera diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan perihal
haluinasinya.
Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan respon negatif
ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang lain.Karenanya banyak klien
enggan untuk menceritakan pengalaman –pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman
halusinasi menjadi masalah untuk dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk
memperbincangkan tentang halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk
memastikan dan memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki
ketulusan dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya.
Apabila Perawat mengidentifikasi adanya tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka
pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja.
Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi :
a. Isi Halusinasi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan
suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika
halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika
halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.
b. Waktu dan Frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi
muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul.
Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan
bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.
c. Situasi Pencetus Halusinasi.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Selain itu Perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya
halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
d. Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji
dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien
masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap
halusinasinya
F. Diagnosa Keperawatan
Klien yang mengalmi halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bias
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Hal ini terjadi jika halusinasi sudah
sampai pada fase IV, dimana klien mengalami panik dan perilakunya di kendalikan oleh isi
halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap
lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri ( suicide), membunuh orang
lain (homocide) dan merusak lingkungan.
Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga mengalami
masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi.Masalah itu
antara lain harga diri rendah dan isolasi social (Stuart dan Laria,2001).
Akibat harga diri rendah dan kurangnya keterampilan berhubungan social , klien
menjadi menarik diri dari lingkungan. Dampak selanjutnya lebih dominan di bandingkan
stimulus eksternal. Klien selanjutnya kehilangan kemampuan membedakan stimulus internal
dengan stimulus eksternal. Ini memicu timbulnya halusinasi.
Dari masalah tersebut diatas dapat disusun pohon maslah sebagai berikut :
EFEK Resiko mencederai diri sendiri, Orang lain, dan lingkungan
Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi audiotorik.
2. Perubahan persepsi sensorik : Audiotorik berhubungan dengan menarik diri
3. Kerusakan interaksi sosial : Menarik diri berhubungan dengan Harga diri rendah
4. Defisit Perawatan diri: mandi/kebersihan, berpakaian/berhias berhubungan dengan
intoleransi aktifitas.
G. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keP\perawatan untuk membantu klien mengatasi masalahnya di mulai
dengan membina hubungan saling percaya dengan klien.
2. Setelah hubungan saling percaya terbina , intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membntu klien mengenali halusinasinya.
3. Setelah klien mengenal halusinasinya selanjutnya klien dilatih bagaimana cara
yang biasa terbukti efektif mengatasi atau mengontrol halusinasi.
H. Evaluasi Keperawatan
1. Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan
cara menolak halusinasi yang muncul.Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan,
pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul.
2. Stressor presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan repson marah apabila merasa
dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis atau lebih
dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika
seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa
yang menjadi sumber kemarahannya.
Ancaman dapat berupa internal maupun eksternal. Contoh stressor
eksternal: serang secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap
bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor
internal: merasa gagal dalam merasa kehilangan orang yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita. (Keliat, 1996 dalam Abdul Muhith,
2015)
Rentang Respon Marah
Menurut Yosep (2010), rentang respon dari marah, seperti pada gambar dibawah
ini berikut:
1. Asertif, adalah perilaku yang bisa menyatakan perasaan dengan jelas dan
langsung, jarak bicara tepat, kontak mata tapi tidak mengancam, sikap serius
tapi tidak mengancam, tubuh lurus dan santai, pembicaraan penuh percaya
diri, bebas untuk menolak permintaan, bebas mengungkapkan alasan pribadi
kepada orang lain, bisa menerima penolakan orang lain, mampu menyatakan
perasaan pada orang lain, mampu menyatakan cinta orang terdekat, mampu
menerima masukan/kritik dari orang lain. Jadi bila orang asertif marah, dia
akan menyatakan rasa marah dengan cara dan situasi yang tepat, menyatakan
ketidakpuasannya dengan memberi alasan yang tepat.
2. Frustasi, merupakan respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
3. Perilaku Pasif, orang yang pasif merasa haknya di bawah hak orang lain. Bila
marah, orang ini akan menyembunyikan marahnya sehingga menimbulkan
ketegangan bagi dirinya. Bila ada orang mulai memperhatikan non verbal
marahnya, orang ini akan menolak dikonfrontasi sehingga semakin
menimbulkan ketegangan bagi dirinya. Sering berperilaku seperti
memperhatikan, tertarik, dan simpati walau dalam dirinya sangat berbeda.
Kadang-kadang bersuara pelan, lemah, seperti anak kecil, menghindar kontak
mata, jarak bicara jauh dan mengingkari kenyataan. Ucapan sering menyindir
atau bercanda yang keterlaluan.
4. Agresif, merupakan perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku yang tampak
berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar.
5. Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai kehilangan kontrol diri, sehingga individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
C. Pohon Masalah
Risiko Menciderai Diri Sendiri, Orang Lain, dan Lingkungan (akibat)
E. Diagnosis Keperawatan
1. Risiko perilaku mencederai diri berhubungan dengan perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah kronis
KEPUTUSASAAN
A. DEFINISI
a. Faktor Genetic: Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam
menghadapi suatu permasalahan
b. Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan Mental: Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi masalah
dan mengalami keputusasaan.
d. Struktur Kepribadian: Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang
dihadapi.
2. FAKTOR PRESIPITASI
a. Faktor kehilangan
b. Kegagalan yang terus menerus
c. Faktor Lingkungan
d. Orang terdekat (keluarga)
e. Status kesehatan (penyakit yang diderita dan dapat mengancam jiwa)
f. Adanya tekanan hidup
g. Kurangnya iman
C. RENTANG RESPON
(Menurut Riyadi, 2009)
a. Ungkapan klien tentang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa hampa (“saya
tidak dapat melakukan”)
b. Sering mengeluh dan Nampak murung.
c. Nampak kurang bicara atau tidak mau berbicara sama sekali d. Menunjukkan
kesedihan, afek datar atau tumpul.
d. Menarik diri dari lingkungan.
e. Kontak mata kurang.
f. Mengangkat bahu adalah tanda masa bodoh.
g. Selalu tampak murung atau dalam suasana hati yang biru.
h. Menunjukkan gejala fisik kecemasan (takikardia, takipneu)
i. Menurun atau tidak adanya selera makan
j. Peningkatan waktu tidur.
k. Penurunan keterlibatan dalam perawatan.
l. Bersikap pasif dalam menerima perawatan.
m. Berkurangnya keterlibatan atau perhatian pada orang lain yang berarti
F. PENALATAKSANAAN
a. Psikofarmaka
Terapi dengan obat-obatan sehingga dapat meminimalkan gangguan
keputusasaan.
b. Psikoterapi
adalah terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan
terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai
realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini
bermacam macam bentuknya antara lain psikoterapi suportif dimaksudkan untuk
memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus
asa dan semangat juangnya.
c. Terapi Psikososial
Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat din, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita
selama menjalani terapi psikososial in hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat
psikofarmaka.
d. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan ternyata masih bermanfaat bagi penderita gangguan jiwa. Dari
penelitian didapatkan kenyataan secara umum komitmen agama berhubungan
dengan manfaatnya di bidang klinik. Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan, kajian kitab suci dsb.
e. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali
kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi)
rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan
berbagai kegiatan antara lain, terapi kelompok, menjalankan ibadah keagamaan
bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan, berbagai
macam kursus, bercocok tanam, rekreasi, dsbnya. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling
sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi dan
evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat.
G. POHON MASALAH
Ketidakberdayaan
Keputusasaan
(Keliat, 2005)
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko bunuh diri
b. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Harga diri rendah
I. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Resiko bunuh diri
Tujuan umum: Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Tujuan khusus :
Tindakan:
a. Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet, gunting,
tali, kaca, dan lain lain).
b. Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat
c. Awasi klien secara ketat setiap saat.
Tindakan:
Tindakan:
Tujuan khusus
Tujuan umum: Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan khusus:
Tindakan:
1. Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
2. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
a. Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
b. Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
c. Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
d. Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e. Merencanakan yang dapat pasien lakukan
3. Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara:
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Pengertian Waham
Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh kesimpulan yang salah tentang
realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat. Waham merupakan gangguan dimana
penderitanya memiliki rasa realita yang berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat
membedakan yang nyata dan yang tidak nyata (Victoryna, 2020). Gangguan proses pikir
waham merupakan suatu keyakinan yang sangat mustahil dan dipegang teguh walaupun
tidak memiliki bukti-bukti yang jelas, dan walaupun semua orang tidak percaya dengan
keyakinannya (Bell, 2019)
B. Etiologi
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak kemungkinan
penyebab waham, termasuk gangguan neurodegeneratif, gangguan sistem saraf pusat,
penyakit pembuluh darah, penyakit menular, penyakit metabolisme, gangguan endokrin,
defisiensi vitamin, pengaruh obat-obatan, racun, dan zat psikoaktif.
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis: diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif
b. Neurobiologis: adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic.
c. Neurotransmitter: abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis: ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal
c. Adanya gejala pemicu
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan episode
baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon neurobiologik yang
maladaptif berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan, sikap dan perilaku
individu (Direja, 2011)
C. Rentang respon
Adaptif maladaptif
D. Fase Waham
Menurut Eriawan (2019) Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin
dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya
untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan
ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selfideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai
seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis
di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh
kembang (life span history).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi
lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan
klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apaapa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan
orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar
interaksi sosial (Isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya
keyakinan relegiusnya bahwa apaapa yang dilakukan menimbulkan dosa besar
serta ada konsekuensi sosial.
E. Jenis Waham
Menurut Stuart (2005, dalam Prakasa, 2020) jenis waham yaitu :
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
5. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”
6. Waham sisip pikir : keyakinan pasien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan pasien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan pasien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
F. Penatalaksaan Medis
1. Psikofarmalogi
a. Litium Karbonat Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi
gangguan bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium masih efektif
dalam menstabilkan suasana hati pasien dengan gangguan bipolar. Gejala
hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat juga digunakan
untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar
dengan riwayat mania.
b. Haloperidol Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari turunan
butirofenon. Mekanisme kerja yang tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk
pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anak-anak yang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan
jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas motorik
berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti: Impulsif, sulit memusatkan
perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan frustasi.
c. Karbamazepin Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang
psikomotor, dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain atau obat lain yang digunakan
untuk mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal
1) Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik potensi rendah Penatalaksanaan
ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi untuk pengamanan
pasien. Hal ini menggunakan penggunaan obat anti psikotik untuk pasien
waham.
2) Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). Pilihan awal Risperidone
tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg, 100mg. Keuntungan
3) Tipikal (klorpromazin, haloperidol), klorpromazin 25- 100mg. Efektif
untuk menghilangkan gejala positif.
4) Penarikan diri selama potensi tinggi seseorang mengalami waham. Dia
cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan cenderung
asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya sendiri). Oleh
karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham adalah penarikan diri
yang potensial, Hal ini berarti penatalaksanaannya penekanankan pada
gejala dari waham itu sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan
dengan kecanduan morfin biasanya sewaktu- waktu sebelum waktu yang
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial.
G. Pengkajian
1. Identifikasi klien Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak
dengan klien tentang: Nama klien, panggilan klien, Nama perawat, tujuan, waktu
pertemuan, topik pembicaraan.
2. Keluhan utama/alasan masuk Tanyakan pada keluarga/klien hal yang
menyebabkan klien dan keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah dilakukan
keluarga untuk mengatasi masalah dan perkembangan yang dicapai.
3. Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami, penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
Dapat dilakukan pengkajian pada keluarga faktor yang mungkin mengakibatkan
terjadinya gangguan:
a. Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis dari klien.
b. Biologis Gangguan perkembangan dan fungsi otak atau SSP, pertumbuhan dan
perkembangan individu pada prenatal, neonatus dan anak-anak.
c. Sosial Budaya Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan,
kerusuhan, kerawanan), kehidupan yang terisolasi serta stress yang menumpuk.
4. Aspek fisik/biologis Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi,
suhu, pernafasan. Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji fungsi organ
kalau ada keluhan
5. Aspek psikososial
a. Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan dan polaasuh.
b. Konsep diri 1) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian
yang disukai dan tidak disukai. 2) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap status dan posisinya dan kepuasanklien sebagai
laki- laki/perempuan. 3) Peran: tugas yang diemban dalam keluarga /kelompok
dan masyarakat dan kemampuan klien dalam melaksanakan tugas tersebut. 4)
Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas, lingkungan dan
penyakitnya. 5) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian dan
penghargaan orang lain terhadap dirinya, biasanya terjadi pengungkapan
kekecewaan terhadap dirinya sebagai wujud harga diri rendah.
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok
yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah,.
6. Status mental Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktvitas motori klien, alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir), afek klien,
interaksi selama wawancara, persepsi klien, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan
daya tilik diri.
7. Proses pikir. Proses pikir dalam berbicara jawaban klien kadang meloncat-loncat
dari satu topik ketopik lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak
sampai pada tujuan (flight ofideas) kadang-kadang klien mengulang pembicaraan
yang sama (persevere) Masalah keperawatan: Gangguan Proses Pikir.
8. Isi Pikir Contoh isi pikir klien saat diwawancara : a. Klien mengatakan bahwa
dirinya banyak mempunyai pacar, dan pacarnya orang kaya dan bos batu bara
Masalah keperawatan : waham kebesaran. b. Klien mengatakan alasan masuk RSJ
karena sakit liver. Masalah keperawatan : waham somatik.
9. Kebutuhan Persiapan Pulang
a. Kemampuan makan klien, klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat
makan
b. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta
membersihkan dan merapikan pakaian
c. Mandi klien dengan cara berpakaian, observasi kebersihan tubuh klien.
d. Istirahat dan tidur klien, aktivitas didalam dan diluar rumah
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksi yang dirasakan setelah minum
obat.
10. Masalah psikososial dan lingkungan Dari data keluarga atau klien mengenai
masalah yang dimiliki klien.
11. Pengetahuan Data didapatkan melalui wawancara dengan klien kemudian tiap
bagian yang dimiliki klien disimpulkan dalam masalah.
12. Aspek medic Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara lain seperti
terapi psikomotor, terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi spiritual, terapi
okupasi, terapi lingkungan. Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi dan
perkembangan klien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat.
H. Diagnosa
Menurut Damaiyanti (2012) Masalah keperawatan yang sering muncul pada klien
waham adalah: Gangguan proses pikir: waham, Kerusakan komunikasi verbal dan
Harga diri rendah kronik
I. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana Keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada masalah
waham sebagai diagnosa penyerta lain. Hal ini dikarenakan tindakan yang dilakukan
saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan dicapai. Rencana tindakan
keperawatan pada klien dengan diagnosa gangguan proses pikir : waham yaitu
(Keliat, 2009) :
1. Bina hubungan saling percaya Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham,
saudara harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar pasien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus
saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Berjabat tangan
c. Menjelaskan tujuan interaksi
d. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
2. Bantu orientasi realita
a. Tidak mendukung atau membantah waham pasien
b. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
c. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
d. Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya
e. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
J. Pohon masalah
Kerusakan
Komunikasi Verbal
Perubahan Proses
Pikir: Waham
E. Mekanisme Koping
a. Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah : Klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme Koping Mal Adaptif
Mekanisme koping yang menghambat, fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategori nya
adalah : Tidak mau merawat diri.
F. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri Kadang perawatan diri tidak melakukan perawatan diri
Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor
kadang kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
G. Pohon Masalah
H. Analisa Data
1. Defisit Perawatan Diri
DS : Klien mengatakan malas mandi dan gosok gigi, kuku kotor, Klien
mengatakan sudah 15 hari tidak ganti baju dan celana, terlihat baju dan celana
klien belum pernah diganti
DO : Kondisi klien ketika dibawa ke RS, penampilannya tidak rapih, gigi
kotor, tercium bau badan, kulit kepala berketombe, kumis dan jenggot tampak
panjang dan kotor
2. Harga Diri Rendah Situasional b.d perubahan pada citra tubuh d.d menarik diri
dari orang lain
melaksanakan mempraktikkan
SP 1 K :
- Mendiskusikan
masalah yang
dirasakan keluarga
dalam merawat
pasien
- Menjelaskan
pengertian, tanda
dan gejala defisit
perawatan diri dan
jenis defisit
perawatan diri yang
dialami pasien
berserta proses
terjadinya
- Menjelaskan cara-
cara merawat
pasien defisit
nutirisi
SP 2 K :
- Melatih keluarga
mempraktikkan
cara merawat
pasien dengan
defisit perawatan
diri
- Melatih keluarga
melakukan cara
merawat langsung
kepada pasien
defisit perawatan
diri
SP 3 K :
- Membantu keluarga
membuat jadwal
aktivitas di rumah
termasuk minum
obat (discharge
planning)
- Menjelaskan follow
up pasien setelah
pulang