Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam pembuatan penelitian ilmiah ini, peneliti banyak merujuk pada penelitian-
penelitian terdahulu untuk memperkaya pengetahuan terkait dengan topik literasi media
online, skeptisisme, serta hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian terdahulu
menjelaskan mengenai penelitian ilmiah yang sudah pernah diteliti sebelumnya yang
erat kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan (Creswell, 2014, p. 28). Berikut
adalah penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dan berkontribusi dalam pembuatan
penelitian ini:
2.1.1 Digital Media Literacy Education and Online Civic and Political Participation
(Joseph Kahne, Nam Jin Lee, dan Jessica Timpany, 2012)

Penelitian pertama merupakan artikel ilmiah berjudul Digital Media Literacy


Education and Online Civic and Political Participation. Penelitian tahun 2012 yang
dibuat oleh Joseph Kahne dari Mills College, Nam Jin Lee dari College of Charleston
dan Jessica Timpany Feezell dari UC Santa Barbara ini diterbitkan dalam International
Journal of Communication 6 pada 2012.

Fokus utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh edukasi literasi
media digital terhadap partisipasi politik secara online. Selain itu, penelitian ini ingin
melihat apakah edukasi literasi media memiliki hubungan dengan keberagaman sudut
pandang.

Kahne, Lee, & Feezell (2012, p. 2) menyatakan bahwa keterlibatan dengan


media baru mempunyai potensi untuk dapat memperkuat partisipasi generasi muda
dalam kehidupan sipil dan politik. Penelitian ini menjadi salah satu upaya agar dapat
menilai tingkat literasi media digital dan hubungannya dalam mendukung generasi muda
dan partisipasi sipil dan politik.
Partisipasi politik dewasa muda berada di tingkat lebih rendah dan
penyebarannya pun tidak merata. Sedangkan generasi muda dengan adanya edukasi
cenderung tingkat partisipasi lebih tinggi. Menariknya, antara mereka yang pernah
bekuliah dengan yang tidak berkuliah tidak mempunyai perbedaan yang siginifikan
dalam berpatisipasi secara online seperti berdiskusi di blog atau platform lainnya
(CIRCLE, 2011) dalam (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 2).

Banyak cara agar dapat memperluas peluang partisipasi melalui media digital
seperti menjembatani antara keterlibatan masyarakat dengan media. Hal itu juga
membantu meningkatkan literasi media digital (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 3).
Walaupun banyak hal positif mengenai dampak literasi media, ada juga beberapa hal
yang menjadi perhatian. Seperti dari beberapa akademisi mengatakan kekhawatiran
mengenai sifat media baru yang memungkinkan bagi penggunanya untuk memilih apa
yang ingin di baca. Khalayak media juga bisa saja memilih dengan siapa mereka akan
berinteraksi dalam media baru. Hal ini dikhawatirkan khalayak media hanya akan
terpapar dari informasi mereka yang memiliki dengan sudut pandang yang sama
(Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 4).

Arendt (1968), Habermas (1989), dan Mill (1956) dalam Kahne, Lee, & Feezell
(2012, p. 4) menjelaskan bahwa teori politik tradisional, paparan informasi yang merinci
hanya memiliki satu sudut pandang dan akan membahayakan kepada orang-orang yang
setuju. Sedangkan, paparan pandangan yang berbeda terhadap berbagai sudut pandang
akan membawa manfaat untuk mempromosikan refleksi, mencapai pemahaman yang
lebih baik tentang masalah kompleks. Hal ini dapat mengembangkan apresiasi yang
lebih dalam dari sudut pandang orang lain.

Melek media mungkin dapat memajukan prioritas dengan meningkatkan


kemampuan dan keinginan generasi muda untuk mencari orang lain yang memiliki dan
tidak berbagi pandangan berbagai masalah kemasyarakatan. Serta pemahaman yang
lebih dalam dan seringkali lebih koheren secara konseptual dari perspektif seseorang
(Jamieson & Cappella, 2008) dan (Mutz, 2006) dalam (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p.
4).
Generasi muda memiliki kemampuan literasi yang rendah. Selain itu,
kemampuan literasi media digital tidak terdistribusi secara merata dengan orang-orang
yang memiliki latar belakang berbeda. Namun, edukasi literasi media digital dapat
mengatasi masalah kesenjangan tingkat literasi media digital di kalangan generasi muda
(Hargittai, 2010) dalam (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 4). (Jenkins, 2006) dalam
(Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 5) berpendapat bahwa peningkatan edukasi literasi
media digital berpotensi mengatasi masalah kesenjangan tingkat literasi media digital di
antara generasi muda. Menurut Buckingham (2003) dalam Kahne, Lee, & Feezell (2012,
p. 5) memberikan keterampilan dan peluang literasi media digital pada generasi muda
untuk membangun dan membandingkan berbagai informasi politik secara online.

Penelitian ini mencari tahu tentang hubungan antara edukasi literasi media
dengan partisipasi politik secara online dan juga mencari tahu apakah edukasi literasi
media ini dapat mendukung individu untuk menerima berbagai informasi dari beragam
sudut pandang (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 5).

Penelitian ini menggunakan metode survei. Survei yang dilakukan sebanyak dua
kali di sekolah yang sama dalam waktu satu tahun. Survei keduanya menunjukkan
sebanyak 41,7% merupakan responden yang sama dengan survei yang pertama. Hal ini
lantaran ada siswa yang tidak hadir saat penelitian dilangsungkan dan juga adanya
keterbatasan waktu sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan survei pada siswa
tingkat atas (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 6).

Penelitian ini secara khusus dilakukan dalam upaya menilai peluang yang
dimiliki generasi muda untuk mengembangkan literasi media digital melalui
mengajukan empat pertanyaan di kelas selama tahun ajaran. Data yang didapat
memberikan gambaran tentang seberapa sering generasi muda menggunakan media
digital pada saat sedang di sekolah (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 8).

Dari penelitian ini, mendapatkan hasil bahwa tingkat sekolah menengah atas, ada
pembelajaran yang memeiliki hubungan dengan literasi media digital. Namun,
pembelajaran tersebut lebih banyak didapatkan di tingkat perguruan tinggi (Kahne, Lee,
& Feezell, 2012, p. 11).
Uji regresi dalam penelitian ini menyatakan bahwa edukasi literasi media digital
memberikan dukungan terhadap partisipasi politik secara online di tingkat sekolah
menengah maupun tingkat perguruan tinggi. Sementara itu, edukasi literasi media digital
memiliki hubungan secara positif terhadap informasi dengan sudut pandang yang
beragam (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 14).

Dari penelitian ini, menunjukkan bahwa perbandingan antara perbedaan tingkat


literasi media digital sekolah menengah atas dengan perguruan tinggi memiliki
hubungan ketertarikan terhadap politik. Sekolah menengah atas memiliki pengetahuan
literasi media yang rendah dan ketertarikan terhadap politik juga rendah. Sedangkan,
perguruan tinggi memiliki edukasi literasi media yang tinggi dengan ketertarikan
terhadap politik juga tinggi. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
pentingnya suatu edukasi terhadap literasi media.

2.1.2 News Literacy, Social Media Behaviors, and Skepticism Toward Information on
Social Media (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019)

Penelitian kedua juga merupakan artikel ilmiah berjudul News Literacy, Social
Media Behaviors, and Skepticism Toward Information on Social Media tahun 2019.
Jurnal ilmiah ini merupakan karya Emily K. Vraga dan Melissa Tully dari University
Minnesota yang diterbitkan dalam Taylor & Francis Group pada 19 Juni 2019.
Penelitian ini hendak mengkaji tentang meningkatkan literasi berita dan skepstisisme
terhadap berita dan informasi yang dibagikan di media sosial (Emily K. Vraga &
Melissa Tully, 2019, p. 1).

Meningkatkan sikap skeptisisme terhadap berita dan informasi sambil


menghindari sinisme adalah tujuan dan tantangan lama dari edukasi literasi media (Craft
et al, 2017), (Maksl dkk, 2015), dan (Mihailidis, 2008) dalam (Emily K. Vraga &
Melissa Tully, 2019, p. 2). Melek berita penting bagi pengguna media sosial, di mana
berita yang kredibel akan berdampingan dengan hiburan, kisah pribadi, dan informasi
yang salah (Garrett, 2017) dan (Sydell, 2016) dalam dalam (Emily K. Vraga & Melissa
Tully, 2019, p. 2).

Untuk menjadi pengguna yang melek berita membutuhkan pemahaman tentang


konten dan konteks konsumsi berita, termasuk peran platform media sosial dalam
ekosistem berita dan cara konsumen menginterpretasikan berita mereka (Klurfeld &
Schneider, 2014) dan (Maksl dkk, 2015) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019,
p. 2).

Edukasi literasi media berita merupakan prediktor paling konsisten dari


beberapa hasil yang relevan, termasuk skeptisisme terhadap teori konspirasi politik,
mengonsumsi berita dari berbagai sumber, pengetahuan peristiwa terkini, dan aktivitas
politik (Ashley & Craft, 2017) dan (Maksl, 2015) dalam (Emily K. Vraga & Melissa
Tully, 2019, p. 2). Menghubungkan literasi media dengan pendidikan dan politik sebuah
langkah yang diperlukan untuk menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan
keterlibatan demokratis (Ashley et al, 2017) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully,
2019, p. 3). Mengingat kekuatan norma sosial untuk memprediksi perilaku, nilai untuk
literasi media dapat berfungsi sebagai motivasi eksternal dan keterlibatannya dalam
konsumsi berita kritis (Ajzen, 1985) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p.
3).

Saat memeriksa keterlibatan berita dan konten politik di media sosial, sebagai
pengguna media sosial harus dapat mempertimbangkan kualitas konten tersebut.
Terdapat beberapa ketidakpastian yang berfokus pada misinformasi sebagai masalah
yang menantang landasan demokrasi. Penyebaran dan konsumsi informasi yang salah
dapat menimbulkan skeptisisme terhadap media (Bode & Vraga, 2015, p. 621) dalam
(Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 4).

Emily K. Vraga & Melissa Tully (2019, p. 4) telah menunjukkan bahwa


masyarakat cenderung menerima informasi baru daripada skeptisisme, yang dapat
merugikan jika informasi baru itu salah atau menyesatkan, seperti halnya mengklaim
bahwa skeptisisme bukanlah norma. Skeptisisme yang melibatkan keraguan dan
mempertanyakan kepastian, terhadap politik dan media dianggap baik untuk demokrasi
karena mendorong partisipasi. Sedangkan sinisme, melibatkan ketidakpercayaan dan
penolakan media dan sistem politik, menciptakan pelepasan dan kekecewaan (Pinkleton,
Austin, Zhou, Willoughby & Reiser, 2012 ; Yamamoto & Kushin, 2014 ) dalam (Emily
K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 4).
Skeptisisme yang sehat dapat berubah menjadi sinisme jika pengguna media
memiliki rasa ketidakpercayaan terhadap berita dan informasi yang disajikan
(Mihailidis, 2008 ; Tully & Vraga 2018) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019,
p. 5). Edukasi literasi media telah terbukti dapat membantu generasi muda dalam
mengidentifikasi misinformasi partisan dan bersikap skeptis terhadap berita yang mereka
temui (Kahne & Bowyer, 2017) dan (Maksl et al, 2015) dalam (Emily K. Vraga &
Melissa Tully, 2019, p. 5).

Mengembangkan sikap skeptisisme terhadap berita dan informasi sangat


penting untuk membedakan konten berkualitas tinggi dari informasi berkualitas rendah
atau palsu. Tantangan untuk mengembangkan skeptisisme dan menghindari sikap
sinisme tetap menjadi inti dalam literasi berita, sangat penting juga ketika ingin
mempertimbangkan penyebaran informasi yang salah secara online dan tingkat
ketidakpercayaan yang tinggi terhadap organisasi berita (Anderson & Rainie, 2017 ;
Barthel & Mitchell, 2017) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 5).

Pengguna media sosial yang memposting berita dan informasi di media sosial
mungkin lebih mempercayai sumber informasi online lainnya. Oleh karena itu, edukasi
literasi berita terhadap media sosial sebagai faktor ptensial yang menjelaskan sikap
skeptisisme terhadap informasi di media sosial (Johnson & Kaye, 2015) dalam (Emily
K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 5).

Perdebatan substansial tentang hubungan antara perilaku media sosial dan


persepsi konten yang dibagikan di media sosial cenderung memepercayai sumber
informasi yang sering pengguna media sosial gunakan, termasuk situs media sosial.
Akibatnya, mereka yang melaporkan lebih sering melihat berita dan informasi politik di
media sosial mungkin kurang skeptis terhadap informasi yang didapat. Visibilitas berita
palsu adalah fenomena baru dan mungkin menyebabkan penurunan persepsi tentang
kredibilitas situs media sosial, yang sudah cukup rendah dibandingkan dengan berita
nasional atau lokal (Barthel & Mitchell, 2017) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully,
2019, p. 6).

Penelitian ini mempertimbangkan masyarakat dalam upaya memilah


penggunaan media sosial dan untuk mengeksplorasi bagaimana perilaku ini terkait
dengan skeptisisme tentang informasi di media sosial (Emily K. Vraga & Melissa Tully,
2019, p. 6). Orang-orang yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial
mungkin mengenali prevalensi informasi palsu, yang mengarah ke skeptisisme yang
lebih besar terhadap konten online secara keseluruhan, terutama mengingat iklim saat ini
di mana berita palsu telah menjadi bahasa umum (Emily K. Vraga & Melissa Tully,
2019, p. 6).

Uji korelasi dalam penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara perilaku
pengguna media sosial dan persepsi kualitas informasi bersifat timbal balik. Paparan
edukasi literasi berita sangat penting untuk membangun wawasan, sikap, dan keyakinan
(Kahne & Bowyer, 2017) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 13).

Dari penelitian ini, menunjukkan bahwa hubungan antara literasi berita,


informasi, konten politik, dan skeptisisme terhadap informasi yang dibagikan di media
sosial perlu ditingkatkan lagi untuk menghindari tumbuhnya sinisme. Generasi muda
memiliki pengetahuan literasi berita dan skeptisisme yang rendah terhadap konten berita
berita poltik di media sosial maupun informasi lainnya. Penelitian ini juga menjelaskan
bahwa penelitian berita perlu lebih banyak perhatian ketika mempertimbangkan
bagaimana menangani penyebaran informasi yang secara online. Penelitian ini dapat
memberikan gambaran mengenai pentingnya bersikap skeptis terhadap informasi dan
berita yang ada di media sosial.

2.1.3 Hubungan Literasi Media dan Informasi dengan Kompetensi sebagai Warga
Negara Aktif pada Guru SMA di Tangerang (Tascia Sanistia, 2019)

Penelitian ketiga merupakan karya Tascia Sanistia yang berjudul Hubungan


Literasi Media dan Informasi dengan Kompetensi sebagai Warga Negara Aktif pada
Guru SMA di Tangerang. Penelitian ini dipublikasikan oleh Universitas Multimedia
Nusantara pada tahun 2019. Topik yang dibahas di dalamnya terkait hubungan antara
literasi media dan informasi dengan kompetensi kewarganegaraan. Tujuan dari
penelitian ini ingin mengetahui tingkat literasi media dan informasi guru SMA di
Tangerang, mengetahui tingkat kompetensi sebagai warga negara aktif guru SMA di
Tangerang, mengetahui apakah terdapat hubungan literasi media dan informasi dengan
tingkat kompetensi sebagai warga negara aktif guru SMA di Tangerang.

Konsep literasi media seiring perkembangan jaman mulai berubah. Konsep


gabungan dari literasi dan aspek-aspek ini berkembang sebagai respons dari perubahan
ekonomi, sosio-politik , dan teknologi, beserta tuntutan dan tantangan dari waktu,
dalam lingkungan kerja dan juga masyarakat (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 25) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 15).

Literasi media dan informasi (LMI) dapat diartikan sebagai seperangkat


kompetensi yang dapat memperkuat masyarakat untuk mendapatkan, mengakses,
mengevaluasi, dan menggunakan , serta membagikan dan membuat informasi dan
konten media dalam menggunakan berbagai alat, dan dalam yang etis, kritis, dan efektif,
dalam rangka berpatisipasi dan ikut serta dalam aktivitas personal, profesional, dan
masyarakat (Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p.
29) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 16).

Edukasi media yang efektif membutuhkan seorang guru untuk dapat memiliki
keterampilan literasi media yang memadai dan dapat memiliki kompetensi untuk
membagi keterampilan tersebut kepada siswanya (Simons, Meeus, & T’Sas, 2017, p.
99) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 16). Sebelum dapat menerapkan literasi media
dalam pendidikan di sekolah, perlu adanya pengukuran terhadap tingkat literasi media
pada guru. Tujuan dalam pengukuran ini adalah untuk dapat mengetahui apakah guru
memiliki kompetensi yang memadai dalam literasi media dan juga pengembangan
kebijakan atau kurikulum (Simons, Meeus, & T’Sas, 2017, p. 103) dalam (Tascia
Sanistia, 2019, p. 17).

Global Media and Information Literacy Assesment Framework (2013, p. 29)


dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 32) menyatakan bahwa literasi digital berasal dari ilmu
komputer dan informatika, melalui kemampuan agar dapat menggunakan perangkat
digital tertentu. Literasi digital sering dikaitkan dengan literasi informasi, dalam bidang
kemampuan untuk mencari dan mengakses informasi secara akurat dan efektif.

Literasi media dan informasi (LMI) menjadi seperangkat alat kompetensi yang
dapat memungkinkan masyarakat untuk bisa mendapatkan, mengakses, menggunakan,
dan mengevaluasi, serta membuat dan membagikan informasi konten media dalam
seluruh format, menggunakan berbagai alat, dan dalam cara yang kritis, etis, dan
efektif, dalam rangka untuk berpatisipasi dan ikut serta dalam aktivitas personal,
profesional, dan masyarakat. Kompetensi ini mencakup membuat, membagikan
informasi, dan konten media dalam berbagai format menggunakan berbagai alat
(Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p. 29) dalam
(Tascia Sanistia, 2019, p. 32).

Untuk dapat mengukur LMI diperlukan sebuah kerangka kerja pengukuran


LMI. Kerangka kerja pengukuran literasi media dan informasi merupakan instrumen
pengukuran yang bersifat menarik, yang dapat digunakan sebagai mengukur kesiapan
suatu negara untuk mengambil inisiatif dan kompetensi yang tersedia dalam LMI
(2013, p. 37) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 35). Kompetensi LMI dirumuskan dalam
tiga dimensi. Dimensi tersebut meliputi akse, evaluasi, dan kreasi (Global Media and
Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 55-57) dalam (Tascia Sanistia,
2019, p. 35).

Dimensi didefinsikan sebagai kemampuan untuk memahami, mengevaluasi,


dan menganalisi informasi secara kritis. Pemahaman informasi ini dapat mendukung
terciptanya demokrasi dan juga pemerintahan yang baik. Dimensi juga dapat menyorot
terhadap media dan informasi. Dalam derasnya arus informasi, individu harus
menguasai kemampuan untuk memilih, mengelola, dan menyusun informasi. Dimensi
dirumuskan dalam empat indikator, yakni menilai informasi dan konten media,
mengevaluasi dan konten media; memahami informasi dan konten media; serta
mengelola informasi dan konten media (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 57-58) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 40).

Jenis penelitian ini menggunakan kuantitatif. Penelitian kuantitatif berhubungan


dengan proses menganalisis, mengumpulkan , menginterpretasikan, dan menuliskan
hasil penelitian (Creswell, 2014,p. xxiv) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 50). Metode
dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Metode ini dapat memberikan
deskripsi numerik mengenai kecenderungan, opini, dan sikap dari populasi dengan
sekelompok sampel dari sebuah populasi. Dari sampel yang diteliti, penelitian ini dapat
melakukan generalisasi terhadap populasi (Creswell, 2014, p. 155) dalam (Tascia
Sanistia, 2019, p. 51).

Dari penelitian ini, menunjukkan bahwa tingkat literasi media dan informasi
(LMI) guru SMA di Tangerang berada pada kategori tinggi dengan nilai rata-rata 7,42.
Sedangkan, tingkat kompetensi kewarganegaraan guru SMA di Tangerang berada pada
kategori tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 6,98 (Tascia Sanistia, 2019, p. 103). Uji
korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
LMI dengan kompetensi kewarganegaraan pada guru SMA di Tangerang. Hal ini juga
menyatakan bahwa hubungan antara variabel LMI dengan kompetensi
kewarganegaraan bersifat positif namun kekuatannya berada pada kategori sedang
(Tascia Sanistia, 2019, p. 103).

2.1.4 Online News Exposure and Trust in The Mainstream Media: Exploring
Possible Associations (Yariv Tsfati, 2010)

Penelitian keempat merupakan artikel ilmiah berjudul Online News Exposure


and Trust in The Mainstream Media: Exploring Possible Associations tahun 2010.
Jurnal ilmiah ini merupakan karya Yariv Tsfati dari University of Haifa yang
diterbitkan dalam Sage Publications pada 2010. Fokus utama dalam penelitian ini yaitu
hendak mengkaji tentang hubungan antara ketidakpercayaan pada media arus utama
dan konsumsi berita online.

Penelitian ini berawal dari adanya premis yang menyatakan bahwa jurnalisme
online memberikan beberapa fitur bagi para pembaca sebagai alternatif dari media
konvesional. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode
telephone survey dan online survey. Dalam mengukur ketidakpercayaan khalayak pada
media mainstream, penelitian ini menggunakan lima indikator kredibilitas berita yang
berasal dari Gaziano dan McGrath (1986).

Seligman (1997, p. 21) dalam Yariv Tsfati (2010, p. 4) mengatakan bahwa


ketika kepercayaan terjadi, tidak ada cara empiris bagi wali amanat untuk
memverifikasi niat. Kepercayaan merupakan harapan bahwa interaksi dengan wali
amanat akan menghasilkan keuntungan, bukan keuntungan bagi wali amanat
(Coleman, 1990) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 4).

Mengingat ketidakpastian yang tertanam dalam situasi tersebut, kredibilitas


merupakan elemen utama dalam kepercayaan. Dengan demikian, kepercayaan sebagai
harapan yang dianut oleh individu bahwa perkataan individu lain dapat diandalkan
(Rotter, 1967) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 4). Konsep kepercayaan adalah kunci
pemahaman kita tentang berbagai perilaku manusia dan bahwa kepercayaan campur
tangan di hampir setiap aspek kehidupan sosial (Tsfati & Cappella, 2003) dalam (Yariv
Tsfati, 2010, p. 4).

Konsep ketidakpercayaan dalam media menerapkan pengertian kepercayaan


umum, pada konteks khusus hubungan khalayak dengan media berita. Perasaan bahwa
media arus utama tidak kredibel atau dapat diandalkan, bahwa media berita lebih
menghalangi masyarakat daripada membantu masyarakat. Skeptisisme media adalah
persepsi bahwa jurnalis tidak hidup dengan standar profesional mereka (Kohring &
Matthes, 2007) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 4). Kepercayaan media dikaitkan dengan
eksposur media berita yang dapat dijelaskan sebagai proses kognitif dan rasional dan
lebih sebagai hasil dari proses eksposur selektif (Sears & Freedman, 1967, p.194)
dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 4).

Stabilitas temporal dari konstruksi kepercayaan media telah dibuktikan secara


empiris (Tsfati, 2002, 2003) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 4). Khalayak menilai
Internet sebagai penyedia informasi berita yang lebih kredibel daripada media yang
lebih tradisional (TJ Johnson & Kaye, 1998) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 7).
Kebanyakan informasi yang diposting online tidak melalui proses verifikasi faktual
yang ketat yang menjadi ciri media tradisional. Masyarakat mungkin menyadari
berkurangnya standar editorial komunikasi online, tetapi banyak yang masih menilai
informasi online lebih dapat dipercaya daripada informasi yang ditemukan di televisi,
radio, dan surat kabar (Yariv Tsfati, 2010, p. 7).

Sejauh ini, peran kepercayaan media arus utama dalam keputusan pemaparan
audiens hanya mendapat perhatian terbatas. Penelitian awal tentang konstruk
kredibilitas terkait secara umum menunjukkan bahwa orang cenderung mengonsumsi
berita dari media yang mereka anggap paling kredibel (Rimmer & Weaver, 1987 ;
Westley & Servin, 1964) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 7). Rimmer dan Weaver (1987)
dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 8) menyatakan bahwa frekuensi pemaparan media tidak
berhubungan dengan persepsi khalayak tentang kredibilitas media.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara ketidapercayaan


terhadap media arus utama dan terpaan berita online adalah negatif. Skeptisisme media
arus utama secara positif terkait dengan konsumsi situs web non-mainstream. Semakin
banyak orang yang tidak mempercayai media, semakin mereka beralih ke sumber non-
utama (Yariv Tsfati, 2010, p. 18). Semakin banyak orang mempercayai media arus
utama, semakin mereka mengonsumsi berita dari outlet berita arus utama online (Yariv
Tsfati, 2010, p. 18).

Hubungan antara skeptisisme dan paparan berita online secara umum adalah
negatif. Semakin banyak orang mempercayai media, semakin mereka menggunakan
berita online (Yariv Tsfati, 2010, p. 19). Khalayak menjadi lebih skeptis bagi mereka
yang mengonsumsi lebih sedikit berita Internet. Kepercayaan Internet berperilaku
serupa dengan skala skeptisisme media secara umum, dapat ditafsirkan bahwa
khalayak tidak memperlakukan sebagai berita alternatif (Yariv Tsfati, 2010, p. 19).

Hubungan negatif antara skeptisisme media dan eksposur berita online mirip
dengan hubungan negatif antara skeptisisme media dan eksposur berita tradisional ini
mengisyaratkan bahwa daripada alternatif, khalayak memperlakukan berita online
sebagai perpanjangan dari media berita tradisional (Tsfati & Cappella, 2003) dalam
(Yariv Tsfati, 2010, p. 19).

Keempat penelitian terdahulu ini memberi gambaran penting terhadap


hubungan antara literasi media dan skeptisisme terhadap media. Penelitian-penelitian
ini juga menjelaskan bagaimana skeptisisme berperan penting dalam meningkatkan
literasi media. Dalam penelitian terdahulu ini, ada satu peneliti yang sudah
menggunakan konsep dan alat ukur literasi media dan informasi yang meliputi akses,
evaluasi dan kreasi pada media. Selain itu, salah satu dari penelitian terdahulu ini telah
menggunakan skala kredibilitas berita media arus utama dari Gaziano dan McGrath
(1986). Perbedaannya, keempat penelitian terdahulu ini menggunakan populasi warga
dan berfokus pada konten politik, sedangkan penelitian yang penulis lakukan
menggunakan populasi mahasiswa dan fokus pada pemberitaan media online.

Dengan menggunakan alat ukur yang lengkap, baik dalam menghitung tingkat
literasi media dan informasi maupun skeptisisme , penelitian ini diharapkan dapat
menunjukkan hasil yang konkrit dan lebih menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini.
Pembahasan yang dilakukan dalam tiap-tiap dimensi pada variabel literasi media dan
informasi maupun skeptisisme mejadikan penelitian yang penulis lakukan ini lebih
terperinci sehingga jelas dalam dimensi mana yang harus ditingkatkan.

2.2 Teori dan Konsep

2.2.1 Literasi Media

Literasi media merupakan sebuah perspektif yang digunakan dan berperan


secara aktif ketika individu memperoleh atau mengakses media dengan tujuan dapat
memaknai informasi yang disampaikan oleh media. dalam pasal 52 Undang-undang
No.32/2003 yakni tentang penyiaran literasi media diartikan sebagai kegiatan edukasi
untuk meningkatkan sikap kritis pada masyarakat (Iriantara, 2017, p. 25).

Dalam Centre for Media Literacy (2003, p. 22) menjelaskan bahwa literasi
media sebagai bentuk “kemampuan berkomunikasi dengan cara kompeten melalui
semua media baik elektronik ataupun cetak”. Centre for Media Literacy juga
menyebutkan bahwa literasi media memeiliki beberapa kemampuan (CML, 2003, p.
22) yang meliputi:

 Kemampuan dalam memproduksi media

 Kemampuan dalam mengkritik media

 Kemampauan dalam mengeksplorasi sistem pembuatan media

 Kemampuan dalam mengajarkan tentang media


 Kemampauan dalam mengeksplorasi berbagai posisi

 Kemampuan dalam berpikir kritis atas isi dari konten media

Sedangkan, menurut Potter (2014, p. 39) literasi media dapat dibagi dalam tiga
kategori, yakni the umbrella definition, the purpose definition, and the process
definition. Definisi payung dalam literasi media yaitu sebagai perlindungan terhadap
individu ketika terkena derasnya informasi ketika sedang berhadapan dengan media.
Definisi tujuan dalam literasi media adalah sebagai hasil akhir dalam sebuah konstruksi
yang dibangun dalam pikiran individu, yang menjadikan individu tersebut memiliki
kontrol lebih besar atas pesan dari media. sedangkan, definisi proses menjelaskan
bahwa literasi media menjadi kecakapan yang berfungsi ketika audiens mengakses
media massa.

Definisi literasi media menurut The National Leadership Conference of Media


Literacy (Aufderheide, 1993, p. 33) yaitu:

“Media literacy is the ability to analyze, augment and influence active reading
of media in order to be a more effective citizen”.

Menurut Aufderheide (1993, p. 33-34) definisi tersebut memiliki tiga hal


penting, yakni user skills, consumer skills, dan producer skills seperti:

 User skills (augment): individu yang melek media dapat mendapatkan


sumber daya tambahan yang sesuai agar bisa mempelajari lebih lanjut
terkait topik yang diminati.

 Consumer skills (analyze): individu yang melek media secara aktif dapat
mendiskusikan definisi “pesan” media. Selain itu, terdapat faktor yang
memengaruhi, termasuk faktor personal seperti keterampilan, ras, dan
jenis kelamin. Faktor-faktor yang berhubungan pada pesan, ideologinya
mendasari para pihak yang memproduksi pesan.

 Producer skills (influence) : individu yang melek media dapat dengan


sengaja mengubah makna atau dampak pesan.
Literasi media berkaitan dengan berbagai komunikasi spesifik yang berkaitan
ketika individu mengakses pesan media. Kecakapan dalam literasi media yaitu
mengevaluasi, menganalisis, mengelompokkan, induksi, deduksi, abstraksi, dan
sintesis (Ptter, 2014, p. 20). Pada dasarnya literasi media merupakan sebuah upaya
pembelajaran bagi audiens agar dapat menjadi audiens yang kuat hidup di tengah dunia
atau dapat dikatakan sesak media (media saturated) (Iriantara, 2017, p. 13). Tujuan
utama dikembangkannya literasi media sebagai upaya mempersiapkan generasi
berikutnya agar dapat hidup di dunia sesak media (Iriantara, 2017, p. 15).

2.2.2 Literasi Media dan Informasi

Literasi media dan informasi atau yang biasa disingkat LMI merupakan suatu
gabungan dari tiga literasi, yakni literasi media, literasi digital/ICT, dan literasi
informasi (Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p.
27). Batasan antara literasi media, literasi digital, dan literasi informasi menjadi hilang
seiring terciptanya dunia maya dan perkembangan teknologi melalui segala risiko,
peluang, dan ancaman di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat butuh adanya literasi
media, digital, dan informasi agar dapat meminimalisir risiko terkait privasi, reliabilitas
sumber informasi, keamanan, dan isu etik. Selain itu, masyarakat perlu memahami
bagaimana konten media dan informasi dibuat, bagaimana konten tersebut dievaluasi
dan dibagikan hinggan dapat diakses oleh khalayak, serta siapa yang membiayainya
(Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p. 26).

Istilah literasi media dan informasi digunakan untuk memfokuskan pentingnya


akses terhadap informasi, pembuatan, evaluasi, dan pembagian informasi dan
pengetahuan. Selain itu, istilah literasi media juga berguna untuk menekankan
kemampuan dari memilih, memahami, mengevaluasi, dan menggunakan media sebagai
penyedia dari informasi (Global Media and Information Literacy Assessment
Framework, 2013, p. 29).

Literasi media dan literasi informasi mempunyai akar dalam bidang akademik
yang berbeda. literasi media muncul sebuah studi tentang pustaka dan informasi
(Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29). Literasi
media dan informasi adalah sekelompok kompetensi yang menegaskan masyarakat
untuk dapat mengakses, memahami, mengevaluasi, mengambil, dan menggunakan,
serta membagikan dan membuat informasi dan konten media dalam beragam format.
Semua tindakan yang dilakukan ini dalam cara etis dan efektif agar masyarakat dapat
terlibat dan berpatisipasi dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesional (Global
Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29).

Untuk dapat memahami konsep literasi media dan informasi, perlu adanya
kajian dalam proses terbentuknya literasi. Proses pembentukan LMI tak lepas dari
kemajuan literasi media. Istilah literasi media sendiri pertama kali dibentuk dalam The
National Leadership Conference on Media Literacy yakni sebagai kemmapuan
masyarakat untuk dapat mengakses, memproduksi, dan menganalisis informasi untuk
hasil tertentu (Aufderheide, 1993, p. 6). Informasi yang dimaksud dapat dimaknai
sebagai simbol-simbol biasa maupun konten media, dari video, cetak, maupun konten
media digital (Aufderheide, 1993, p. 7).

Literasi media sangat dibutuhkan masyarakat dengan banyaknya informasi


dalam media yang kian bertambah dalam waktu yang cepat. Selain banyaknya
informasi, intesitas paparan pesan-pesan juga semakin pesat (Potter, 2014, p. 4). Oleh
karena itu, banyak masyarakat yang membutuhkan adanya literasi media untuk dapat
membantu menyeleksi informasi yang ada (Potter, 2014, p. 7). Masyarakat juga akan
memiliki keinginan lebih besar untuk mendapatkan pesan-pesan media yang lebih
beragam dan bermanfaat bagi dirinya (Potter, 2014, p. 29).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, LMI terbentuk dari gabungan tiga
literasi, gabungan tersebut didasari oleh kemajuan kompetensi yang dibutuhkan
masyarakat di abad 21 dalam mengevaluasi dan mengakses informasi dari berbagai
platform media dengan teknologi digital yang kian berkembang (Global Media and
Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29). Terdapat beberapa
persamaan gabungan tiga literasi tersebut (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 30):

 Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital memiliki tujuan yang sama
yakni bagaimana mengelola informasi di tengah banyaknya arus informasi yang
berasal dari media dan teknologi.

 Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital mendukung hak asasi manusia,
yakni terutama dalam kebebsasan berekspresi maupun mendapatkan suatu
informasi.

 Ketiga literasi ini menegaskan evaluasi yang kritis terhadap suatu informasi dan
juga konten media.

 Literasi-literasi tersebut fokus dalam mengembangkan kemmapuan masyarakat


dalam mengakses, membuat, mengevaluasi, dan juga membagikan suatu informasi.

 Seluruh literasi memungkinkan individu untuk mendaptakan informasi sehingga


dapat terlibat dalam kemajuan sosial sebagai kontributor yang setara.

 Ketiga literasi ini membekali individu dengan kemampuan yang dibutuhkan di


abad 21, seperti kemampuan mengolah data, informasi dari berbagai platform
komunikasi.

Dalam bermasyarakat, LMI memiliki lima manfaat utama yang dirangkum


menjadi berikut (Global Media and Information Literacy Assessment
Framework, 2013, p. 36):

 Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital dapat meningkatkan


penghargaan pada hak asasi manusia dan mendorong masyarakat agar bisa
mengambil keputusan dari informasi yang tepat

 Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital menyediakan kompetensi yang
dibutuhkan kehidupan abad 21 untuk menanggapi risiko, tantangan , dan
kesempatan baru yang muncul dari perkembangan informasi, media, dan teknologi
informasi dalam ruang lingkup personal, profesional, dan sosial.

 Ketiga literasi ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman atas fungsi
media serta penyedia informasi dalam kehidupan masyarakat demokrasi.
 Literasi-literasi ini dapat membantu masyarakat untuk memperoleh kompetensi
yang diperlukan agar dapat mengakses dan konten media, membuat dan
membagikan informasi lewat cara etis dan efektif, serta mengevaluasi performa
media dan penyedia informasi.

 Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital dapat membantu meningkatkan
kompetensi LMI di institusi ataupun individu dengan membantu lingkungan yang
mendukung LMI di tingkat nasional.

UNESCO memfokuskan bahwa LMI dapat membantu masyarakat agar bisa


mendapatkan kompetensi yang bisa meningkatkan permintaan publikatas
lingkungan yang lebih mendukung untuk perkembangan LMI dalam hubungannya
dengan jasa, konten, dan produk baru, maupun ketersediaan lapangan pekerjaan
dan terlaksananya suatu musyawaraha yang memungkinkan adanya pembangunan
negara yang berkelanjutan (Global Media and Information Literacy Assessment
Framework, 2013, p. 36).

Kerangka pengukuran pada LMI yang dikembangkan oleh UNESCO terdiri


atas dua, yakni pengukuran kompetensi LMI dan pengukuran kesiapan negara
(Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 47).
Untuk dapat menghitung kompetensi LMI, UNESCO membuat tiga buah dimensi
yakni yang terdiri dari dimensi akses, pemahaman dan evaluasi, serta kreasi
(Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 47).
Dimensi akses bertujuan untuk mengetahui kemampuan mengakses, menyimpan
informasi, mendapatkan, dan konten media menggunakan teknologi yang sesuai.
Kemampuan ini untuk memahami pentingnya informasi, pengetahuan, dan konten
media, serta diikuti dengan kemampuan mengenali informasi dan konten media
dari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan akan informasi tersebut (Global
Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 57).
Kemampuan yang ada dalam dimensi akses dapat dirumuskan dalam beberapa
indikator, yakni indikator pemahaman atas informasi yang dibutuhkan; akses pada
informasi dan penyedia informasi; pencarian dan penemuan informasi dan konten
media; serta pengambilan dan penyimpanan informasi dan juga konten media
(Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 58).

Dimensi pemahaman dan evaluasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan


untuk menganalisis secara kritis, memahami, dan mengevaluasi konten media, serta
tugas dan fungsi media dalam kaitannya dengan asas kbebasan dan hak asasi
manusia. Kemampuan dalam dimensi ini bertujuan untuk membandingkan fakta,
memahami adanya nilai dan ideologi di balik informasi, membedakan fakta dan
opini, serta memhami faktor ekonomi, sosial, politik, profesionalitas, dan teknologi
pada konten media dan informasi. Tak hanya itu, pemahaman yang dimaksud yaitu
pemahaman atas peran media dan informasi dalam mengedepankan terciptanya
kebebasan informasi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan akses. Di tengah
banyaknya informasi, pemahaman teknik pengorganisasian informasi dan konten
media penting untuk dimiliki (Global Media and Information Literacy Assessment
Framework, 2013, p. 57). Dimensi pemahaman dan evaluasi dapat tersusun dalam
beberapa indikator, yakni penilaian atas informasi, konten media, dan penyedia
informasi; pemahaman atas informasi dan media; evaluasi terhadap informasi,
penyedia informasi, dan konten media (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 58).

Dimensi ketiga dari LMI merupakan dimensi kreasi yakni kemampuan dalam
memahami teknik produksi informasi, pengetahuan, dan konten media, serta diikuti
dengan kemampuan yang dapat mengkomunikasikan secara efektif. Dimensi ini
tentang pemanfaatan media, teknologi informasi dengan cara yang etis, dan
informasi dalam kaitannya dengan hak cipta. Hal ini menjadi bagian penting dari
dimensi kreasi mengingat kemajuan teknologi di era sekarang yang memungkinkan
banyak orang menjadi kreatif dalam pembuatan dan penyebaran konten media.
kemampuan dalam pemantauan kekuatan terhadap pengaruh informasi juga
merupakan bagian penting dari dimensi ini (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 57). Dimensi kreeasi juga memiliki beberapa
indikator sama seperti dua dimensi lainnya, yakni produksi informasi, ekspresi
kreatif, dan konten media; penyampaian informasi, dan konten media dengan cara
yang etis serta efektif; pemantauan terhadap pengaruh produksi informasi,
pengetahuan, konten media, dan penyedia informasi; serta partisipasi dalam
aktivitas publik (Global Media and Information Literacy Assessment Framework,
2013, p. 58).

Global Media and Information Literacy Assessment Framework (2013, p. 57)


menjelaskan bahwa UNESCO menyususn kerangka pengukuran LMI ini bertujuan
untuk menghitung tingkat literasi media dan informasi dalam membangun
masyarakat yang berpengetahuan dengan cara bimbingan, ajaran, dan latihan untuk
perubahan masa depan. UNESCO juga menegaskan bahwa penggunaan kerangka
dalam pengukuran LMI ini tidak terbatas pada satu kelompok saja, melainkan dapat
digunakan pada kelompok-kelompok sosial lainnya.

2.2.3 Media Online

Menurut Creeber dan Martin (2009, p. 2) menjelaskan bahwa media online


merupakan produk komunikasi yang termediasi dari sebuah teknologi yang terdapat
pada komputer. Di samping itu, Romli (2012, p. 30) mengartikan media online
sebagai media massa setelah media cetak (koran, majalah, tabloid) serta media
elektronik (radio, televisi). Sedangkan, menurut Mondry (2008, p. 13) media online
adalah media berbasis teknologi yang menggunakan internet, berkarakter fleksibel,
dan dapat berfungsi secara privat maupun publik.

Menurut Mcquail (2012, p. 157) memaparkan bahwa media online memiliki


beberapa karakteristik yakni seperti:

 Interactivity atau dapat dikatakan adanya sebuah interaktivitas antara


pengguna dengan pihak lain.

 Sociability yang mengartikan bahwa terdapat kehadiran sosial dengan


orang lain atau penggunanya.

 Media richness didefinsikan sebagai jembatan dalam berbagai hal,


memberikan petunjuk, mengurangi adanya ambiguitas, dan personal.

 Autonomy mengartikan pengguna dapat memiliki kendali atas konten.


 Playfulness yakni digunakan sebagai sebuah sarana hiburan.

 Privacy yang artinya pengguna dapat mengatur privasi.

 Personalization diartikan sebagai konten dan penggunaan personal yang


unik.

Media online memiliki beberapa karakteristik yakni Multimedia (informasi


teks, video, audio, dan grafis), update, cepat, aktual, kapasitas luas (website yang
dapat menampilkan naskah yang panjang), fleksibel, interaktif, jangkauannya luas,
terdokumentasi, dan terdapat hyperlinked (Romli, 2012, p. 33). Karakteristik media
online yakni memiliki jenis konten yang tak terbatas, sifatnya global, jangkauannya
luas (Livingstone, 1999, p. 65).

Menurut Foust (2017, p. 8) media online mempunyai beberapa kelebihan yakni


diantaranya seperti:

 Audience control (audiens atau pengguna media online memiliki kontrol


untuk dapat memilih konten)

 Nonlinearity (berita dapat berdiri sendiri)

 Unlimited space

 Storage and retrieval (setiap berita bisa diakses kembali)

 Immediacy (langsung dan cepat)

 Multimedia capability

 Interactivity (memiliki partisipas dari para pengguna)

Di balik kelebihannya, media online mempunyai beberapa kekurangan (Romli,


2012, p. 34) yakni seperti:

 Ketergantungan pada perangkat kompute, koneksi internet, dan listrik

 Akurasi yang tak sesuai karena lebih mementingkan kecepatan


 Dapat digunakan pada sembarang orang yang tidak memiliki
keterampilan dalam membagikan konten atau informasi

 Memiliki kecenderungan mata yang mudah lelah dalam membaca


sebuah informasi di media online.

2.2.4 Skeptisisme Media

Sebelum membahas tentang konsep skeptisisme media, baiknya terlebih dahulu


membahas mengenai kepercayaan. Konsep kepercayaan dapat digunakan dalam sebuah
penelitian ilmu sosial yang menggambarkan tentang hubungan antara trutee sebagai
pihak yang dipercaya dan pihak yang menempatkan kepercayaan. Kepercayaan sendiri
dipakai untuk dapat menggambarkan hubungan pengaruh dari waktu ke waktu (Tsfati,
2003, p. 67).

Menurut Rotter dalam (Tsfati & Capella, 2003, p. 505) kepercayaan memiliki
definisi sebagai harapan yang diinginkan oleh masyarakat bahwa kata-kata, pernyataan
lisan atau tertulis, dan janji dari seseorang harus dapat diandalkan. Kepercayaan
memiliki peran sangat penting dalam interaksi sosial. Di samping itu, kepercayaan juga
mempunyai aspek yang seringkali digunakan pada penelitian ilmu sosial, tetapi riset
tentang ketidakpercayaan pada media ini belum banyak yang meneliti.

Menurut Coleman dalam (Tsfati & Capella, 2003, p. 505) kepercayaan dapat
diartikan berasal dari adanya sebuah ekspektasi yang diarahkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungandari individu yang dipercaya, daripada mendapatkan kerugian
terhadap orang yang mempunyai kepercayaan. Ketidakpastian dalam keadaan tersebut,
kredibilitas menjadi tujuan utama dalam sebuah kepercayaan. Konsep kepercayaan
dapat dibilang sebagai kunci untuk mengerti berbagai perilaku manusia.

Kepercayaan media memiliki kaitan dengan harapan khalayak agar bisa


mendapatkan manfaat dari usaha para jurnalis. Beberapa orang mengartikan
kepercayaan sebagai ekspektasi dari tindakan kooperatif dan kejujuran yang
berlandaskan pada ketentuan yang mencakup standar profesionalisme (Tsfati &
Capella, 2003, p. 506). Liebes dalam (Tsfati & Capella, 2003, p. 506) menjelaskan
bahwa masyarakat memegang kepercayaan bahwa jurnalis melakukan tugas jurnalistik
berdasarkan profesionalitas.

Skeptisisme media dapat didefinisikan sebagai pandangan subjektif yang


mengarah terhadap ketidakpercayaan pada media arus utama dan juga profesionalisme
praktik jurnalistik (Tsfati & Capella, 2003, p. 506). Selain itu, beberapa individu
memiliki alasan pribadi yang meragukan terhadap suatu media. ketika sedang
menonton, membaca, bahkan mendengarkan berita terkadang sebagian orang timbul
pertanyaan yang ditujukan pada kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh media.
Skeptisisme media memiliki persepsi yang mengatakan bahwa jurnalis tidak adil dan
objektif dalam membagikan hasil liputannya, jurnalis tidak mengutamakan keakuratan,
mereka tidak memberitakan informasi secara keseluruhan, bahkan jurnalis dianggap
lebih mementingkan kepentingan komersial atau pribadi (Tsfati, 2003, p. 67).

Skeptisisme media dapat dikatakan dari sejauh mana masyarakat memiliki rasa
ketidakpercayaan atau ragu pada kenyataan yang dipublikasikan dalam media
pemberitaan. Setiap individu dapat mengabaikan, menerima, atau tidak mempercayai
fakta, gambaran realitas media, dan gambaran (Cozzens & Contractor, 1987, p. 438).
Sebagian individu menganggap pemberitaan tidak bisa diandalkan, tidak kredibel,
persepsi bahwa jurnalis tak menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesional,
media memberi batasan kepada khalayak, tidak memberitakan seluruh fakta yang
terjadi di lapangan, media tidak objektif dan tak adil dalam memberitakan (Tsfati,
2010, p. 23).

Skeptisisme media dapat dilihat dari penilaian khalayak terhadap objektivitas


dan keadilan terutama pada tugas jurnalisme dalam media arus utama (Tsfati &
Capella, 2003, p. 506). Penelitian Tsfati (2010), bertujuan untuk mengetahui
skeptisisme, yakni melalui responden yang diberikan berbagai pertanyaan terkait News
Credibility Scale Gaziano dan McGrath (1986). Skala kredibilitas berita tersebut
memiliki 12 indikator yang disederhanakan menjadi lima indikator yakni meliputi fair,
accurate, unbiased, tell, the whole story, dan can be trusted. Skala kredibilitas berita
itu digunakan dalam mengukur surat kabar dan televisi.
2.2.5 Media Credibility

Kiousis dalam (Tsfati, 2010, p. 26) persepsi kredibilitas dapat dikaitkan dengan
pemakaian media melalui tiga sumber yang berbeda, seperti televisi, berita online, dan
media cetak. Menurut Li & Suh (2015, p. 316) menjelaskan bahwa kredibilitas dapat
dilihat mellaui tiga dimensi, yakni medium, kredibilitas sumber, dan pesan.
Kredibilitas medium merujuk pada persepsi kredibilitas pada media yang dipakai oleh
setiap individu. Kredibilitas sumber mengacu pada kepercayaan sumber dan keahlian
yang memberikan informasi sumber. Kredibilitas pesan merujuk pada pesan yang
disampaikan, seperti akurasi, kualitas informasi, currency.

Hal yang selalu menjadi pertimbangan bagi audiens selain isi dan sumber
informasi adalah bagaimana cara informasi dapat disampaikan. Selain itu, krebilitas
dapat digunakan sebagai sebuah penilaian dari kepercayaan. Kepercayaan dapat
terbentuk dari beberapa faktor, seperti konten, sumber informasi, dan media yang
menyampaikan (Carr, Barnidge, Lee, & Tsang, p. 454).

Dalam mengukur kredibilitas media, Flanagin & Metzger (2000, p. 521-522)


memakai konsep multidimensional yang mencakup dalam accuracy, believability,
trustworthiness, bias, dan completeness. Kelima dimensi tersebut juga digunakan
untuk mengukur kredibilitas informasi pada empat media, yakni surat kabar, majalah,
radio, dan televisi.

Kredibilitas merupakan salah satu faktor untuk dapat mengukur skeptisisme


masyarakat terhadap media yang di dasari dengan tidak adanya sebuah kepercayaan
terhadap media itu sendiri. Skeptisisme pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan skala kredibilitas media yang berasal dari penelitian Tsfati (2010)
dengan memakai skala dari Gaziano dan McGrath (1986). Skala kredibilitas tersebut
terdapat lima indikator yaitu accuracy, fairness, trustworthiness, unbiasness, dan
telling the whole story.

2.3 Hipotesis Penelitian

Hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme pada mahasiswa
ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.

H0 : Tidak terdapat hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme
pada mahasiswa ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.

Ha : Terdapat hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme pada
mahasiswa ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.

2.4 Alur Penelitian

Umumnya mahasiswa dituntut untuk dapat menggunakan dan mengakses


informasi dari berbagai media massa, sedangkan untuk dapat lebih kritis terhadap
informasi dan juga konten-konten yang ada di media, mahasiswa membutuhkan
kemampuan untuk mengolah, mengakses, mengevaluasi dan mengkomunikasikan
informasi. Serangkaian kemampuan tersebut dikenal dengan literasi media dan
informasi. Dengan adanya literasi media dan informasi, mahasiswa memiliki lebih
banyak pengetahuan sehingga kemungkinan dapat turut ambil bagian dalam
mengambil sebuah keputusan sekaligus membuat kebijakan yang menguntungkan.
Maka dari itu, edukasi atau pendidikan literasi media sangat dibutuhkan.

Di samping edukasi literasi media khususnya media online yang diberikan


kepada mahasiswa, perlu adanya sikap skeptisisme terhadap media. Pasalnya, tidak
semua informasi dapat dipercaya begitu saja, baik dari segi konten maupun
sumbernya. Dalam dunia digital, khalayak khususnya mahasiswa berperan aktif
dalam menilai informasi yang mereka dapatkan. Mahasiswa berhak memiliki
kepercayaan atau meragukan informasi yang didapatkannya. Salah satu faktor yang
menentukan skeptisisme atau keraguan adalah kredibilitas. Penelitian ini ingin
mengetahui tingkat literasi media online pada mahasiswa berdasarkan alat ukur LMI
milik (Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013) dari
UNESCO dan untuk mengetahui sikap skeptis pada mahasiswa menggunakan skala
pengukuran (Yariv Tsfati, 2010) dari (Gaziano dan McGrath, 1986).
Tabel 2.1 Alur Penelitian

Skala Skeptisisme
media:
Tingkat Literasi
- Accuracy
Media online:
- Fairness
- Akses
-Trustworthiness
- Evaluasi
- Unbiasness
- Kreasi
- Telling the whole
story

Sumber: Olahan Peneliti

Anda mungkin juga menyukai