Dalam pembuatan penelitian ilmiah ini, peneliti banyak merujuk pada penelitian-
penelitian terdahulu untuk memperkaya pengetahuan terkait dengan topik literasi media
online, skeptisisme, serta hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian terdahulu
menjelaskan mengenai penelitian ilmiah yang sudah pernah diteliti sebelumnya yang
erat kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan (Creswell, 2014, p. 28). Berikut
adalah penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dan berkontribusi dalam pembuatan
penelitian ini:
2.1.1 Digital Media Literacy Education and Online Civic and Political Participation
(Joseph Kahne, Nam Jin Lee, dan Jessica Timpany, 2012)
Fokus utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh edukasi literasi
media digital terhadap partisipasi politik secara online. Selain itu, penelitian ini ingin
melihat apakah edukasi literasi media memiliki hubungan dengan keberagaman sudut
pandang.
Banyak cara agar dapat memperluas peluang partisipasi melalui media digital
seperti menjembatani antara keterlibatan masyarakat dengan media. Hal itu juga
membantu meningkatkan literasi media digital (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 3).
Walaupun banyak hal positif mengenai dampak literasi media, ada juga beberapa hal
yang menjadi perhatian. Seperti dari beberapa akademisi mengatakan kekhawatiran
mengenai sifat media baru yang memungkinkan bagi penggunanya untuk memilih apa
yang ingin di baca. Khalayak media juga bisa saja memilih dengan siapa mereka akan
berinteraksi dalam media baru. Hal ini dikhawatirkan khalayak media hanya akan
terpapar dari informasi mereka yang memiliki dengan sudut pandang yang sama
(Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 4).
Arendt (1968), Habermas (1989), dan Mill (1956) dalam Kahne, Lee, & Feezell
(2012, p. 4) menjelaskan bahwa teori politik tradisional, paparan informasi yang merinci
hanya memiliki satu sudut pandang dan akan membahayakan kepada orang-orang yang
setuju. Sedangkan, paparan pandangan yang berbeda terhadap berbagai sudut pandang
akan membawa manfaat untuk mempromosikan refleksi, mencapai pemahaman yang
lebih baik tentang masalah kompleks. Hal ini dapat mengembangkan apresiasi yang
lebih dalam dari sudut pandang orang lain.
Penelitian ini mencari tahu tentang hubungan antara edukasi literasi media
dengan partisipasi politik secara online dan juga mencari tahu apakah edukasi literasi
media ini dapat mendukung individu untuk menerima berbagai informasi dari beragam
sudut pandang (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 5).
Penelitian ini menggunakan metode survei. Survei yang dilakukan sebanyak dua
kali di sekolah yang sama dalam waktu satu tahun. Survei keduanya menunjukkan
sebanyak 41,7% merupakan responden yang sama dengan survei yang pertama. Hal ini
lantaran ada siswa yang tidak hadir saat penelitian dilangsungkan dan juga adanya
keterbatasan waktu sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan survei pada siswa
tingkat atas (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 6).
Penelitian ini secara khusus dilakukan dalam upaya menilai peluang yang
dimiliki generasi muda untuk mengembangkan literasi media digital melalui
mengajukan empat pertanyaan di kelas selama tahun ajaran. Data yang didapat
memberikan gambaran tentang seberapa sering generasi muda menggunakan media
digital pada saat sedang di sekolah (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 8).
Dari penelitian ini, mendapatkan hasil bahwa tingkat sekolah menengah atas, ada
pembelajaran yang memeiliki hubungan dengan literasi media digital. Namun,
pembelajaran tersebut lebih banyak didapatkan di tingkat perguruan tinggi (Kahne, Lee,
& Feezell, 2012, p. 11).
Uji regresi dalam penelitian ini menyatakan bahwa edukasi literasi media digital
memberikan dukungan terhadap partisipasi politik secara online di tingkat sekolah
menengah maupun tingkat perguruan tinggi. Sementara itu, edukasi literasi media digital
memiliki hubungan secara positif terhadap informasi dengan sudut pandang yang
beragam (Kahne, Lee, & Feezell, 2012, p. 14).
2.1.2 News Literacy, Social Media Behaviors, and Skepticism Toward Information on
Social Media (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019)
Penelitian kedua juga merupakan artikel ilmiah berjudul News Literacy, Social
Media Behaviors, and Skepticism Toward Information on Social Media tahun 2019.
Jurnal ilmiah ini merupakan karya Emily K. Vraga dan Melissa Tully dari University
Minnesota yang diterbitkan dalam Taylor & Francis Group pada 19 Juni 2019.
Penelitian ini hendak mengkaji tentang meningkatkan literasi berita dan skepstisisme
terhadap berita dan informasi yang dibagikan di media sosial (Emily K. Vraga &
Melissa Tully, 2019, p. 1).
Saat memeriksa keterlibatan berita dan konten politik di media sosial, sebagai
pengguna media sosial harus dapat mempertimbangkan kualitas konten tersebut.
Terdapat beberapa ketidakpastian yang berfokus pada misinformasi sebagai masalah
yang menantang landasan demokrasi. Penyebaran dan konsumsi informasi yang salah
dapat menimbulkan skeptisisme terhadap media (Bode & Vraga, 2015, p. 621) dalam
(Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 4).
Pengguna media sosial yang memposting berita dan informasi di media sosial
mungkin lebih mempercayai sumber informasi online lainnya. Oleh karena itu, edukasi
literasi berita terhadap media sosial sebagai faktor ptensial yang menjelaskan sikap
skeptisisme terhadap informasi di media sosial (Johnson & Kaye, 2015) dalam (Emily
K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 5).
Uji korelasi dalam penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara perilaku
pengguna media sosial dan persepsi kualitas informasi bersifat timbal balik. Paparan
edukasi literasi berita sangat penting untuk membangun wawasan, sikap, dan keyakinan
(Kahne & Bowyer, 2017) dalam (Emily K. Vraga & Melissa Tully, 2019, p. 13).
2.1.3 Hubungan Literasi Media dan Informasi dengan Kompetensi sebagai Warga
Negara Aktif pada Guru SMA di Tangerang (Tascia Sanistia, 2019)
Edukasi media yang efektif membutuhkan seorang guru untuk dapat memiliki
keterampilan literasi media yang memadai dan dapat memiliki kompetensi untuk
membagi keterampilan tersebut kepada siswanya (Simons, Meeus, & T’Sas, 2017, p.
99) dalam (Tascia Sanistia, 2019, p. 16). Sebelum dapat menerapkan literasi media
dalam pendidikan di sekolah, perlu adanya pengukuran terhadap tingkat literasi media
pada guru. Tujuan dalam pengukuran ini adalah untuk dapat mengetahui apakah guru
memiliki kompetensi yang memadai dalam literasi media dan juga pengembangan
kebijakan atau kurikulum (Simons, Meeus, & T’Sas, 2017, p. 103) dalam (Tascia
Sanistia, 2019, p. 17).
Literasi media dan informasi (LMI) menjadi seperangkat alat kompetensi yang
dapat memungkinkan masyarakat untuk bisa mendapatkan, mengakses, menggunakan,
dan mengevaluasi, serta membuat dan membagikan informasi konten media dalam
seluruh format, menggunakan berbagai alat, dan dalam cara yang kritis, etis, dan
efektif, dalam rangka untuk berpatisipasi dan ikut serta dalam aktivitas personal,
profesional, dan masyarakat. Kompetensi ini mencakup membuat, membagikan
informasi, dan konten media dalam berbagai format menggunakan berbagai alat
(Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p. 29) dalam
(Tascia Sanistia, 2019, p. 32).
Dari penelitian ini, menunjukkan bahwa tingkat literasi media dan informasi
(LMI) guru SMA di Tangerang berada pada kategori tinggi dengan nilai rata-rata 7,42.
Sedangkan, tingkat kompetensi kewarganegaraan guru SMA di Tangerang berada pada
kategori tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 6,98 (Tascia Sanistia, 2019, p. 103). Uji
korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
LMI dengan kompetensi kewarganegaraan pada guru SMA di Tangerang. Hal ini juga
menyatakan bahwa hubungan antara variabel LMI dengan kompetensi
kewarganegaraan bersifat positif namun kekuatannya berada pada kategori sedang
(Tascia Sanistia, 2019, p. 103).
2.1.4 Online News Exposure and Trust in The Mainstream Media: Exploring
Possible Associations (Yariv Tsfati, 2010)
Penelitian ini berawal dari adanya premis yang menyatakan bahwa jurnalisme
online memberikan beberapa fitur bagi para pembaca sebagai alternatif dari media
konvesional. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode
telephone survey dan online survey. Dalam mengukur ketidakpercayaan khalayak pada
media mainstream, penelitian ini menggunakan lima indikator kredibilitas berita yang
berasal dari Gaziano dan McGrath (1986).
Sejauh ini, peran kepercayaan media arus utama dalam keputusan pemaparan
audiens hanya mendapat perhatian terbatas. Penelitian awal tentang konstruk
kredibilitas terkait secara umum menunjukkan bahwa orang cenderung mengonsumsi
berita dari media yang mereka anggap paling kredibel (Rimmer & Weaver, 1987 ;
Westley & Servin, 1964) dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 7). Rimmer dan Weaver (1987)
dalam (Yariv Tsfati, 2010, p. 8) menyatakan bahwa frekuensi pemaparan media tidak
berhubungan dengan persepsi khalayak tentang kredibilitas media.
Hubungan antara skeptisisme dan paparan berita online secara umum adalah
negatif. Semakin banyak orang mempercayai media, semakin mereka menggunakan
berita online (Yariv Tsfati, 2010, p. 19). Khalayak menjadi lebih skeptis bagi mereka
yang mengonsumsi lebih sedikit berita Internet. Kepercayaan Internet berperilaku
serupa dengan skala skeptisisme media secara umum, dapat ditafsirkan bahwa
khalayak tidak memperlakukan sebagai berita alternatif (Yariv Tsfati, 2010, p. 19).
Hubungan negatif antara skeptisisme media dan eksposur berita online mirip
dengan hubungan negatif antara skeptisisme media dan eksposur berita tradisional ini
mengisyaratkan bahwa daripada alternatif, khalayak memperlakukan berita online
sebagai perpanjangan dari media berita tradisional (Tsfati & Cappella, 2003) dalam
(Yariv Tsfati, 2010, p. 19).
Dengan menggunakan alat ukur yang lengkap, baik dalam menghitung tingkat
literasi media dan informasi maupun skeptisisme , penelitian ini diharapkan dapat
menunjukkan hasil yang konkrit dan lebih menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini.
Pembahasan yang dilakukan dalam tiap-tiap dimensi pada variabel literasi media dan
informasi maupun skeptisisme mejadikan penelitian yang penulis lakukan ini lebih
terperinci sehingga jelas dalam dimensi mana yang harus ditingkatkan.
Dalam Centre for Media Literacy (2003, p. 22) menjelaskan bahwa literasi
media sebagai bentuk “kemampuan berkomunikasi dengan cara kompeten melalui
semua media baik elektronik ataupun cetak”. Centre for Media Literacy juga
menyebutkan bahwa literasi media memeiliki beberapa kemampuan (CML, 2003, p.
22) yang meliputi:
Sedangkan, menurut Potter (2014, p. 39) literasi media dapat dibagi dalam tiga
kategori, yakni the umbrella definition, the purpose definition, and the process
definition. Definisi payung dalam literasi media yaitu sebagai perlindungan terhadap
individu ketika terkena derasnya informasi ketika sedang berhadapan dengan media.
Definisi tujuan dalam literasi media adalah sebagai hasil akhir dalam sebuah konstruksi
yang dibangun dalam pikiran individu, yang menjadikan individu tersebut memiliki
kontrol lebih besar atas pesan dari media. sedangkan, definisi proses menjelaskan
bahwa literasi media menjadi kecakapan yang berfungsi ketika audiens mengakses
media massa.
“Media literacy is the ability to analyze, augment and influence active reading
of media in order to be a more effective citizen”.
Consumer skills (analyze): individu yang melek media secara aktif dapat
mendiskusikan definisi “pesan” media. Selain itu, terdapat faktor yang
memengaruhi, termasuk faktor personal seperti keterampilan, ras, dan
jenis kelamin. Faktor-faktor yang berhubungan pada pesan, ideologinya
mendasari para pihak yang memproduksi pesan.
Literasi media dan informasi atau yang biasa disingkat LMI merupakan suatu
gabungan dari tiga literasi, yakni literasi media, literasi digital/ICT, dan literasi
informasi (Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p.
27). Batasan antara literasi media, literasi digital, dan literasi informasi menjadi hilang
seiring terciptanya dunia maya dan perkembangan teknologi melalui segala risiko,
peluang, dan ancaman di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat butuh adanya literasi
media, digital, dan informasi agar dapat meminimalisir risiko terkait privasi, reliabilitas
sumber informasi, keamanan, dan isu etik. Selain itu, masyarakat perlu memahami
bagaimana konten media dan informasi dibuat, bagaimana konten tersebut dievaluasi
dan dibagikan hinggan dapat diakses oleh khalayak, serta siapa yang membiayainya
(Global Media and Information Literacy Assesment Framework, 2013, p. 26).
Literasi media dan literasi informasi mempunyai akar dalam bidang akademik
yang berbeda. literasi media muncul sebuah studi tentang pustaka dan informasi
(Global Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29). Literasi
media dan informasi adalah sekelompok kompetensi yang menegaskan masyarakat
untuk dapat mengakses, memahami, mengevaluasi, mengambil, dan menggunakan,
serta membagikan dan membuat informasi dan konten media dalam beragam format.
Semua tindakan yang dilakukan ini dalam cara etis dan efektif agar masyarakat dapat
terlibat dan berpatisipasi dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesional (Global
Media and Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29).
Untuk dapat memahami konsep literasi media dan informasi, perlu adanya
kajian dalam proses terbentuknya literasi. Proses pembentukan LMI tak lepas dari
kemajuan literasi media. Istilah literasi media sendiri pertama kali dibentuk dalam The
National Leadership Conference on Media Literacy yakni sebagai kemmapuan
masyarakat untuk dapat mengakses, memproduksi, dan menganalisis informasi untuk
hasil tertentu (Aufderheide, 1993, p. 6). Informasi yang dimaksud dapat dimaknai
sebagai simbol-simbol biasa maupun konten media, dari video, cetak, maupun konten
media digital (Aufderheide, 1993, p. 7).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, LMI terbentuk dari gabungan tiga
literasi, gabungan tersebut didasari oleh kemajuan kompetensi yang dibutuhkan
masyarakat di abad 21 dalam mengevaluasi dan mengakses informasi dari berbagai
platform media dengan teknologi digital yang kian berkembang (Global Media and
Information Literacy Assessment Framework, 2013, p. 29). Terdapat beberapa
persamaan gabungan tiga literasi tersebut (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 30):
Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital memiliki tujuan yang sama
yakni bagaimana mengelola informasi di tengah banyaknya arus informasi yang
berasal dari media dan teknologi.
Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital mendukung hak asasi manusia,
yakni terutama dalam kebebsasan berekspresi maupun mendapatkan suatu
informasi.
Ketiga literasi ini menegaskan evaluasi yang kritis terhadap suatu informasi dan
juga konten media.
Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital menyediakan kompetensi yang
dibutuhkan kehidupan abad 21 untuk menanggapi risiko, tantangan , dan
kesempatan baru yang muncul dari perkembangan informasi, media, dan teknologi
informasi dalam ruang lingkup personal, profesional, dan sosial.
Ketiga literasi ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman atas fungsi
media serta penyedia informasi dalam kehidupan masyarakat demokrasi.
Literasi-literasi ini dapat membantu masyarakat untuk memperoleh kompetensi
yang diperlukan agar dapat mengakses dan konten media, membuat dan
membagikan informasi lewat cara etis dan efektif, serta mengevaluasi performa
media dan penyedia informasi.
Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital dapat membantu meningkatkan
kompetensi LMI di institusi ataupun individu dengan membantu lingkungan yang
mendukung LMI di tingkat nasional.
Dimensi ketiga dari LMI merupakan dimensi kreasi yakni kemampuan dalam
memahami teknik produksi informasi, pengetahuan, dan konten media, serta diikuti
dengan kemampuan yang dapat mengkomunikasikan secara efektif. Dimensi ini
tentang pemanfaatan media, teknologi informasi dengan cara yang etis, dan
informasi dalam kaitannya dengan hak cipta. Hal ini menjadi bagian penting dari
dimensi kreasi mengingat kemajuan teknologi di era sekarang yang memungkinkan
banyak orang menjadi kreatif dalam pembuatan dan penyebaran konten media.
kemampuan dalam pemantauan kekuatan terhadap pengaruh informasi juga
merupakan bagian penting dari dimensi ini (Global Media and Information Literacy
Assessment Framework, 2013, p. 57). Dimensi kreeasi juga memiliki beberapa
indikator sama seperti dua dimensi lainnya, yakni produksi informasi, ekspresi
kreatif, dan konten media; penyampaian informasi, dan konten media dengan cara
yang etis serta efektif; pemantauan terhadap pengaruh produksi informasi,
pengetahuan, konten media, dan penyedia informasi; serta partisipasi dalam
aktivitas publik (Global Media and Information Literacy Assessment Framework,
2013, p. 58).
Unlimited space
Multimedia capability
Menurut Rotter dalam (Tsfati & Capella, 2003, p. 505) kepercayaan memiliki
definisi sebagai harapan yang diinginkan oleh masyarakat bahwa kata-kata, pernyataan
lisan atau tertulis, dan janji dari seseorang harus dapat diandalkan. Kepercayaan
memiliki peran sangat penting dalam interaksi sosial. Di samping itu, kepercayaan juga
mempunyai aspek yang seringkali digunakan pada penelitian ilmu sosial, tetapi riset
tentang ketidakpercayaan pada media ini belum banyak yang meneliti.
Menurut Coleman dalam (Tsfati & Capella, 2003, p. 505) kepercayaan dapat
diartikan berasal dari adanya sebuah ekspektasi yang diarahkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungandari individu yang dipercaya, daripada mendapatkan kerugian
terhadap orang yang mempunyai kepercayaan. Ketidakpastian dalam keadaan tersebut,
kredibilitas menjadi tujuan utama dalam sebuah kepercayaan. Konsep kepercayaan
dapat dibilang sebagai kunci untuk mengerti berbagai perilaku manusia.
Skeptisisme media dapat dikatakan dari sejauh mana masyarakat memiliki rasa
ketidakpercayaan atau ragu pada kenyataan yang dipublikasikan dalam media
pemberitaan. Setiap individu dapat mengabaikan, menerima, atau tidak mempercayai
fakta, gambaran realitas media, dan gambaran (Cozzens & Contractor, 1987, p. 438).
Sebagian individu menganggap pemberitaan tidak bisa diandalkan, tidak kredibel,
persepsi bahwa jurnalis tak menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesional,
media memberi batasan kepada khalayak, tidak memberitakan seluruh fakta yang
terjadi di lapangan, media tidak objektif dan tak adil dalam memberitakan (Tsfati,
2010, p. 23).
Kiousis dalam (Tsfati, 2010, p. 26) persepsi kredibilitas dapat dikaitkan dengan
pemakaian media melalui tiga sumber yang berbeda, seperti televisi, berita online, dan
media cetak. Menurut Li & Suh (2015, p. 316) menjelaskan bahwa kredibilitas dapat
dilihat mellaui tiga dimensi, yakni medium, kredibilitas sumber, dan pesan.
Kredibilitas medium merujuk pada persepsi kredibilitas pada media yang dipakai oleh
setiap individu. Kredibilitas sumber mengacu pada kepercayaan sumber dan keahlian
yang memberikan informasi sumber. Kredibilitas pesan merujuk pada pesan yang
disampaikan, seperti akurasi, kualitas informasi, currency.
Hal yang selalu menjadi pertimbangan bagi audiens selain isi dan sumber
informasi adalah bagaimana cara informasi dapat disampaikan. Selain itu, krebilitas
dapat digunakan sebagai sebuah penilaian dari kepercayaan. Kepercayaan dapat
terbentuk dari beberapa faktor, seperti konten, sumber informasi, dan media yang
menyampaikan (Carr, Barnidge, Lee, & Tsang, p. 454).
Hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme pada mahasiswa
ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.
H0 : Tidak terdapat hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme
pada mahasiswa ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.
Ha : Terdapat hubungan antara tingkat literasi media online dengan skeptisisme pada
mahasiswa ilmu komunikasi dan non ilmu komunikasi di Tangerang.
Skala Skeptisisme
media:
Tingkat Literasi
- Accuracy
Media online:
- Fairness
- Akses
-Trustworthiness
- Evaluasi
- Unbiasness
- Kreasi
- Telling the whole
story