Anda di halaman 1dari 229

Dasar-dasar Produksi Perkebunan, oleh Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S.

Hak Cipta © 2014 pada penulis


GRAHA ILMU
Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283
Telp: 0274-4462135; 0274-882262; Fax: 0274-4462136 E-mail: info@grahailmu.co.id
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memper­banyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau
dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN:
Cetakan ke I, tahun 2014
KATA PENGANTAR

P uji Syukur ke hadirat Allah SWT bahwa penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ajar ini yang merupakan
pengembangan dari bahan-bahan pada perkuliahan agronomi perkebunan. Mata kuliah Produksi Tanaman
Perkebunan diberikan sebagai matakuliah wajib di Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung
baik Program D3 Perkebunan maupun Program S1. Mata kuliah ini memberikan dasar-dasar bagi mahasiswa untuk
memahami teknis sekaligus perspektif dalam produksi perkebunan yang dapat bermanfaat di dunia pekerjaan yang
terkait dengan bidang perkebunan, sejak dari perencanaan sampai panen. Buku ini merangkup penerapan berbagai ilmu
terkait dengan produksi perkebunan namun berusaha memberikan penekanan pada agronomi yang khas dilakukan di
perkebunan serta issu pembangunan perkebunan berkelanjutan.
Buku yang khusus membahas agronomi produksi perkebunan hanya sedikit ditemukan. Buku yang mudah
ditemupan adalah buku yang membahas produksi satu komoditas perkebunan. Upaya untuk mengambil pola yang umum
berlaku untuk semua komoditas perkebunan merupakan kesulitan tersendiri, karena morfologi tanaman perkebunan
serta bentuk hasil panen beragam yang dulu dikenal dengan istilah perkebunan aneka tanaman. Bagaimanapun penulis
berusaha merangkum tindakan agronomi yang paling umum dilakukan dalam produksi perkebunan.
Pengembangan tulisan ini sudah dimulai sejak tahun 1992 sebagai bahan untuk mata kuliah yang disebut dengan
Teknik Perkebunan. Penambahan bab dan subab yang terkait dengan tahapan produksi perkebunan telah dilakukan.
Mengingat keterbatasan penulis, masih banyak kelemahan yang ditemukan dalam buku ini. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk perbaikan buku ini di edisi revisi berikutnya. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan dosen Ir. Indarto, M.S. (almarhum), Dr. Maria Viva Rini, Dr. F. Erry Prasmatiwi, dan
Ir. Sugiatno, M.S. atas masukan dan diskusi yang dilakukan selama ini.

Bandar Lampung, Oktober 2013


Rusdi Evizal
vi Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Dasar-dasar Produksi Perkebunan vii

KATA SAMBUTAN

P engembangan subsektor perkebunan perlu didukung berbagai pihak termasuk perguruan tinggi dalam kapasitasnya
menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dibidang pekebunan baik sebagai peneliti, praktisi, maupun
p[engambiul keputusan. Untuk itu staf dosen didorong untuk menulis berbagai buku ajar di bidang perkebunan.
Agroteknologi perkebunan berkembang dengan pesat terutrama di perkebunan besar, namun teknologi di perkebunan
rakyat juga berkembang misalnya terkait dengan kearifan lokal, keregaman hayati, dam isu global perkebunan
berkelanjutan.
Buku teks di bidang produksi perkebunan masih terbatas. Universitas Lampung menyambut baik penerbitan
buku “Dasar-dasar Produksi Perkebunan” ini yang sejak tahun 1992 telah digunakan sebagai bahan kuliah di jurusan
Budidaya Pertanian/Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Buku dirasa perlu disebarluaskan dan
dimanfaatkan oleh perguruan tinggi lainnya dan masyarakat pada umumnya.
Semoga buku ini membawa manfaat bagi semua pihak dan khususnya bagi penulis sebagai dedikasi yang bernilai
ibadah.

Bandar Lampung, Januari 2013


Pembantu Rektor I
Universitas Lampung

Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P.


viii Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Dasar-dasar Produksi Perkebunan ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
KATA SAMBUTAN vii
DAFTAR ISI ix
BAB I PENGERTIAN DAN AZAS PERKEBUNAN 1
1.1 Pengertian Perkebunan 1
1.2 Azas dan Misi Perkebunan 3
1.3 Visi, Misi, dan Tujuan Pembangunan Perkebunan 3
1.4 Pola Pengembangan Perkebunan 4
1.5 Perkebunan Sebagai Penghasil Bahan Baku 5
1.6 Pendorong Pembangunan Wilayah 6
1.7 Pendorong Agrowisata 6
1.8 Ekspoitasi Sumber Daya Alam 7
1.9 Sistem Produksi Perkebunan 8
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB II SEJARAH PERKEBUNAN 15
2.1 Perkebunan pada Zaman VOC 15
2.2 Perkebunan pada Zaman Hindia Belanda 16
2.3 Masyarakat Perkebunan Kolonial 17
2.4 Perkembangan Perkebunan pada Masa Awal Kemerdekaan 18
2.5 Perkebunan Negara Masa Orde Baru dan Reformasi 19
2.6 Perkebunan Negara pada Masa Depan 22
2.7 Sejarah Lembaga Penelitian Perkebunan 22
2.8 Asosiasi Penelitian Perkebunan 24
2.9 Lembaga Penelitian Perkebunan Lingkup Litbang Pertanian 25
DAFTAR PUSTAKA 27
x Dasar-dasar Produksi Perkebunan

BAB III KESESUAIAN LAHAN DAN PEWILAYAHAN KOMODITAS 29


3.1 Syarat Tumbuh 29
3.2 Karakteristik Lahan 31
3.3 Kesesuaian Lahan 34
3.4 Pewilayahan Komoditas 42
DAFTAR PUSTAKA 47
BAB IV PENYIAPAN LAHAN 49
4.1 Pengumpulan Data Dasar 49
4.2 Pembukaan Lahan 50
4.3 Pengolahan Tanah 54
4.4 Bangunan Konservasi 57
DAFTAR PUSTAKA 60
BAB V PEMBIBITAN 61
5.1 Pemilihan Bibit Unggul dan Bermutu 61
5.2 Kebun Induk 62
5.2 Pembibitan Awal (Prenursery) 64
5.3 Pembibitan Utama (Main-nursery) 65
5.4 Pengangkutan Bibit 66
5.5 Perencanaan Pembibitan 67
DAFTAR PUSTAKA 70
BAB VI PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN KEBUN 71
6.1 Mengatur Jarak Tanam 71
6.2 Mengajir 74
6.3 Membuat Lubang Tanam 75
6.4 Transplanting 76
6.5 Penyulaman 78
6.6 Pemeliharaan Kebun 78
6.7 Tahapan Pertumbuhan 79
DAFTAR PUSTAKA 82
BAB VII KACANGAN PENUTUP TANAH (LCC) 83
7.1 Manfaat LCC 83
7.2 Sifat LCC Penting 87
7.3 Kelemahan LCC 90
7.4 Produksi Benih LCC 90
7.5 Perbanyakan dengan Stek 91
7.6 Penanaman LCC 91
7.7 Pengaruh LCC terhadap Pertumbuhan dan Produksi 92
DAFTAR PUSTAKA 94
BAB VIII POHON PELINDUNG 95
8.1 Fungsi Pohon Pelindung 95
8.2 Kerontokan Daun Pelindung 99
8.3 Jenis Pohon Pelindung 101
8.4 Pisang Sebagai Penaung Sementara 105
8.5 Penanaman Pohon Pelindung 106
8.6 Pemangkasan Pohon Pelindung 106
8.7 Pengaruh Pohon Pelindung Terhadap Produksi 107
DAFTAR PUSTAKA 108
Dasar-dasar
Daftar Isi Produksi Perkebunan xi

BAB IX PERTANAMAN CAMPURAN DI PERKEBUNAN 111


9.1 Tanaman Awal 112
9.2 Tanaman Sela di Kebun TBM 113
9.3. Tanaman Sela di Kebun TM 117
DAFTAR PUSTAKA 120
BAB X PENGENDALIAN GULMA DI PERKEBUNAN 123
10.1 Status Gulma 124
10.2 Penilaian Gulma 124
10.3 Analisis Vegetasi Gulma 125
10.4 Gulma Penting di Perkebunan 128
10.5 Pengaruh Gulma pada Beberapa Tanaman Perkebunan 130
10.6 Pemilihan Metode Pengendalian Gulma di Perkebunan 131
10.7 Teknik Pengendalian Gulma di Perkebunan 132
DAFTAR PUSTAKA 134
BAB XI REPLANTING DAN KONVERSI 135
11.1 Alasan Peremajaan 136
11.2 Umur Peremajaan 137
12.3 Teknis Peremajaan 138
11.3 Konversi 139
11.4 Rehabilitasi 140
11.5 Penyisipan 141
DAFTAR PUSTAKA 142
BAB XII PEMUPUKAN DI PERKEBUNAN 143
12.1 Kebutuhan Hara Tanaman 143
12.2 Penelitian Dosis Pemupukan 144
12.3 Penetapan Dosis Pemupukan 147
13.3 Waktu dan Frekuensi Pemupukan 151
12.4 Tempat dan Cara Pemberian Pupuk 152
DAFTAR PUSTAKA 152
BAB XIII PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT 155
13.1 Pengendalian Hama Terpadu 156
13.2 Pengendalian secara Kultur Teknis 156
13.3 Sistem Peringatan Dini 158
13.4 Pemanfaatan Musuh Alami 159
13.5 Aplikasi Pestisida 163
DAFTAR PUSTAKA 164
BAB XIV PEMANGKASAN 165
14.1 Prinsip Pemangkasan 165
14.2 Dominansi dan Kontrol Apikal 166
14.3 Produktivitas Daun 166
14.4 Tujuan Pemangkasan 168
14.5 Jenis Pemangkasan 168
14.6 Waktu Pemangkasan 169
14.7 Alat dan Cara Pemangkasan 169
DAFTAR PUSTAKA 172
xii Dasar-dasar Produksi Perkebunan

BAB XV KEBUN WANATANI 173


15.1 Jenis Kebun Wanatani 174
15.2 Pola Kebun Hutan 175
15.3 Kebun Tradisional (Repong) 177
15.4 Kebun Berpohon Penaung atau Berpohon Pagar 181
15.5 Kebun Berpagar Pohon Jati (Agroforestri Jati) 182
15.6 Hutan Kemasyarakatan 184
DAFTAR PUSTAKA 185
BAB XVI PANEN DAN PASCAPANEN PERKEBUNAN 187
16.1 Jadwal Panen 188
16.2 Hanca dan Regu Panen 189
16.3 Survei Panen 191
16.4 Pengangkutan 192
16.5 Pengawasan Panen 192
16.6 Premi panen 193
16.7 Pasca Panen 193
16.8 Rendemen 194
16.9 Target Produksi 196
16.10 Analisis Kinerja Perkebunan 196
DAFTAR PUSTAKA 197
GLOSARI 199
INDEKS 203
TENTANG PENULIS 211
Dasar-dasar Produksi Perkebunan xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan 10


Tabel 2. Asal dan dasar hukum pembentukan PTP 20
Tabel 3. Asal peleburan dan dasar hukum pembentukan PTPN 21
Tabel 4. Sejarah Puslitbang Perkebunan 25
Tabel 5. Contoh perhitungan defisit air pada tanaman kelapa sawit 31
Tabel 6. Klasifikasi bentuk relief dan kelerengan 32
Tabel 7. Kelerengan lahan dan sistem pertanaman 32
Tabel 8. Kesesuaian lahan tanaman vanili 34
Tabel 9. Deskripsi klasifikasi lahan menurut FAO 35
Tabel 10. Skala kesesuaian lahan untuk kelapa sawit 38
Tabel 11. Hubungan kesesuaian lahan dan produktivitas kelapa sawit 38
Tabel 12. Kesesuaian lahan kakao menurut PPPKI 39
Tabel 13. Kesesuaian lahan kakao menurut BBSDLP 39
Tabel 14. Evaluasi kesesuaian lahan kakao 40
Tabel 15. Luas areal (pi) perkebunan rakyat di Propinsi Lampung tahun 2009 46
Tabel 16. Nilai LQ komoditas subsektor perkebunan di Propinsi Lampung 46
Tabel 17. Bahan siap kirim dan bahan siap tanam 62
Tabel 18. Intensitas naungan pada pembibitan kopi 66
Tabel 19. Intensitas sinar pada pembibitan teh 66
Tabel 20. Jadwal pembibitan karet 67
Tabel 21. Kebutuhan tenaga dan alat pada pembibitan karet untuk luas kebun 1 ha kebun bibit batang bawah 68
Tabel 22. Jarak tanam dan populasi tanaman perkebunan 73
Tabel 23. Umur bibit siap tanam 76
Tabel 24. Kalender penanaman kebun campuran lada - kopi 77
Tabel 25. Skala perkecambahan benih aren 80
Tabel 26. Tahap pertumbuhan utama tanaman menurut skala BBCH 80
Tabel 27. Pengaruh LCC terhadap sifat fisik tanah dan pertumbuhan karet 84
Tabel 28. Sumbangan hara beberapa LCC 86
Tabel 29. Pengaruh LCC terhadap hara tererosi 87
xiv Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 30. Pengaruh LCC terhadap lilit batang karet pada umur 4 tahun 93
Tabel 31. Pengaruh LCC terhadap matang sadap karet 93
Tabel 32 Pengaruh penutup tanah terhadap produksi tanaman karet 93
Tabel 33. Pengaruh naungan terhadap laju fotosintesis daun kopi 96
Tabel 34. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun lada 96
Tabel 35. Tingkat naungan optimum beberapa tanaman perkebunan 97
Tabel 36. Bobot tajuk dan sumbangan N beberapa pohon pelindung 98
Tabel 37. Pengaruh tingkat naungan pohon pelindung terhadap penekanan gulma 99
Tabel 38. Interaksi pemupukan dan pohon pelindung 108
Tabel 39. Pengaruh jenis pelindung terhadap produktivitas lada 108
Tabel 40. Pendapatan bersih tanam sela di kebun sawit TM 114
Tabel 41. Hasil panen tanaman sela di kebun karet TBM 115
Tabel 42. Produksi tanaman kentang di sela kebun TBM kopi 116
Tabel 43. Pengaruh berbagai tanaman sela terhadap pertumbuhan tanaman karet 116
Tabel 44. Produksi kakao dengan pelindung kelapa dan lamtoro 119
Tabel 45. Produksi kelapa pada berbagai tanaman sela/campuran 119
Tabel 46. Produksi kelapa pada berbagai pola campuran 120
Tabel 47. Perhitungan analisis vegetasi 125
Tabel 48. Matriks koefisien kesamaan komunitas 127
Tabel 49. Penghitungan indeks keragaman gulma 128
Tabel 50. Cabang primer teh yang pada 9 bulan setelah perlakuan gulma dan produksi pucuk teh 130
Tabel 51. Pengaruh gulma terhadap pertumbuhan bibit lada 131
Tabel 52. Pengaruh pengendalian gulma terhadap produksi kelapa sawit 131
Tabel 53. Norma pengendalian gulma perkebunan 133
Tabel 54. Komposisi areal kebun berdasarkan fase tanaman 137
Tabel 55. Umur produksi puncak komoditas perkebunan 137
Tabel 56. Produktivitas kakao dengan tanam ulang dan penyisipan 141
Tabel 57. Jumlah hara yang diserap tanaman kelapa sawit 144
Tabel 58. Dosis pemupukan tanaman kelapa sawit pada tanah aluvial dan hidromorfik di Sumatera Utara 145
Tabel 59. Batas kritis kandungan unsur hara daun teh 147
Tabel 60. Rekomendasi umum pemupukan tanaman kakao 147
Tabel 61. Dosis pemupukan kakao berdasarkan produktivitas 148
Tabel 62. Rekomendasi umum dosis pemupukan kelapa sawit TM 148
Tabel 63. Penentuan dosis pemupukan tanaman tebu 149
Tabel 64. Kriteria status hara daun tanaman karet 150
Tabel 65. Klasifikasi dan skor kadar hara tanah 150
Tabel 66. Rekomendasi pupuk kelapa hibrida 151
Tabel 67. Jenis-jenis kebun wanatani dan pola tanamannya 174
Tabel 68. Pola pemeliharaan kebun lada-kopi di Lampung 178
Tabel 69. Jenis vegetasi pada budidaya lada-kopi pola wanatani 179
Tabel 70. Fase pembentukan repong dari kebun lada agroforestri di Lampung Utara 180
Tabel 71. Tipe panen tanaman perkebunan 188
Tabel 72. Musim panen kakao di PNG 189
Tabel 73. Rendemen beberapa komoditas perkebunan 195
Dasar-dasar Produksi Perkebunan xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Respon pertumbuhan dan produksi tanaman terhadap karakteristik lahan: (A) kuadratik, (B)
logistik maksimum, dan (C) logistik minimum 33
Gambar 2. Hubungan antara jumlah parameter evaluasi lahan dengan ketepatan pendugaan produksi 36
Gambar 3. Pengaruh populasi terhadap produktivitas jangka panjang 72
Gambar 4. Pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas karet 72
Gambar 5. Pengaruh populasi terhadap produksi teh (A) umur 2 tahun, (B) umur 5 tahun (Sumber: Willson,
1999) 73
Gambar 6. Sistem jarak tanam: (1) bujur sangkar 2x2 (populasi 2500), (2) jajaran genjang 2x2,3 (populasi
2500), (3) empat persegi panjang 3 x 7 (populasi 476), (4) pagar ganda 2x2x4 (populasi 1667), (5)
segitiga sama sisi 9x9x9 (populasi 143) 74
Gambar 7. Tahap perkembangan tandan bunga, pembungaan, dan buah kopi 81
Gambar 8. Produksi biomassa beberapa LCC 85
Gambar 9. Profil kedalaman perakaran LCC 86
Gambar 10. Hubungan penutup tanah dengan erosi pada tanah tanpa penutup (A), berumput alami (B),
berkacangan konvernsional (C), berpenutup Cc (D). 87
Gambar 11. Kebun kopi berpohon pelindung 96
Gambar 12. Pohon pelindung sebagai rambatan vanili 97
Gambar 13. Bintil akar pohon pelindung gamal 98
Gambar 14. Dinamika kerontokan daun pohon pelindung dan curah hujan 100
Gambar 15. Dinamika penaungan oleh pohon pelindung 100
Gambar 16. Lamtoro sebagai pelindung di kebun kopi 102
Gambar 17. Pola penanaman pohon pelindung tetap dan sementara: (A) jarak tanam kakao (o) 3 x 3 m dan lamtoro
(x) 6 x 6 m, dan pisang (v) 6 x 3 m, (B) jarak tanam kopi (o) 2 x 2 m dan dadap (x) 4 x 4 m 106
Gambar 18. Pengaruh naungan terhadap produktivitas kopi 107
Gambar 19. Pola tanam pada kebun campuran 112
Gambar 20. Penaungan (A) dan transmisi sinar matahari (B) di kebun kelapa 118
Gambar 21. Trend produktivitas kebun karet 137
Gambar 22. Puncak produktivitas kopi muda dan kopi rehabilitasi 140
Gambar 23. Diagram defisiensi dan toksisitas sehubungan dengan kandungan hara daun dan pertumbuhan serta
hasil 146
xvi Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Gambar 24. Hubungan antara indeks luas daun dengan pertumbuhan 167
Gambar 25. Letak bidang pangkas untuk menghilangkan cabang 170
Gambar 26. Letak pemangkasan (1) dekat batang utama, (2) dekat mata tunas 170
Gambar 27. Urutan pemotongan cabang: 1= Pemotongan pertama, 2= pemotongan kedua, 3=pemotongan
akhir, 4= leher cabang 171
Gambar 28. Hasil pemangkasan spaktral: 1=pemangkasan tahun I, 2=pemangkasan tahun II, 3=pemangkasan
tahun III, 4=pemangkasan tahun IV 171
Pengertian Dan Azas Perkebunan 1

BAB I
PENGERTIAN DAN AZAS PERKEBUNAN

1.1 Pengertian Perkebunan

M enurut Undang-Undang tentang Perkebunan yaitu UU No 18 Tahun 2004, perkebunan adalah segala kegiatan
yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Pengertian ini menunjukkan bahwa perkebunan merupakan kegiatan usaha baik dilakukan oleh rakyat maupun oleh
perusahaan atau lembaga berbadan hukum. Dengan demikian, perusahaan perkebunan (plantation), yang sering
disingkat sebagai “perkebunan” merupakan usaha agroindustri yang dimulai dari mengusahakan tanaman tertentu dan
mengolahnya sehingga menjadi bahan baku industri, bahan setengah jadi, maupun bahan jadi yang siap dimanfaatkan
oleh konsumen. Dengan pengertian ini maka perkebunan tidak menunjuk atau membatasi pada komoditas tertentu,
melainkan semua komoditas tanaman, yang hasilnya diolah dan diperuntukkan terutama bukan bagi pasar lokal,
melainkan pasar nasional sampai pasar global. Maka dikenal adanya perkebunan tebu, perkebunan sawit, perkebunan
nanas, perkebunan singkong, perkebunan pisang dan sebagainya.
Khususnya di Indonesia, istilah komoditas perkebunan umumnya merujuk kepada sekelompok tanaman atau
komoditas tertentu. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No 511/Kpts/PD 310/9/2006 tentang jenis komoditas
tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dan Direktorat Jenderal
Hortikultura, lingkup komoditas perkebunan meliputi 124 jenis tanaman ditambah 2 kelompok tanaman penunjang
perkebunan yaitu kelompok tanaman penutup tanah serta kelompok tanaman pupuk hijau (Tabel 1). Sedangkan
komoditas yang di bawah binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan meliputi kelompok tanaman padi dan palawija,
kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Sementara komoditas di bawah binaan Direktorat Jenderal Hortikultura meliputi
kelompok komoditas buah-buahan, sayuran, fitofarmaka, dan tanaman hias.Secara singkat dapat dikatakan bahwa
komoditas perkebunan meliputi komoditas selain tanaman pangan dan hortikultura. Dengan demikian jenis komoditas
perkebunan demikian luas yang kemungkinan akan terus bertambah dengan ditemukannya manfaat tumbuhan tertentu
yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri tertentu. Dari 124 komoditas perkebunan tersebut, komoditas
perkebunan yang utama adalah sawit, kelapa, karet, tebu, tembakau, kina, teh, kopi, dan kakao. Ada juga komoditas
perkebunan yang menjadi unggulan suatu daerah seperti lada di Propinsi Lampung, kayu manis di Propinsi Sumatera
Barat, cengkeh di Propinsi Sulawesi Utara, dan pala di Propinsi Maluku dan Maluku Utara.
2 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Selain itu istilah perkebunan menunjuk kepada bidang-bidang lahan pertanaman untuk memproduksi komodi­tas
tanaman industri. Perkebunan terdiri dari banyak kebun-kebun yang berarti pertanaman dalam luasan yang besar. Pada
perkebunan rakyat, kebun-kebun tersebut dimiliki petani dengan luasan yang relatif sempit umumnya 1-2 ha. Pada
perkebunan besar, satu unit kebun, atau satu unit blok kebun (afdeling) dapat mencakup luasan puluhan atau ratusan
ha. Menurut pengertian ini maka kebun juga tidak terbatas pada komoditas perkebunan, yaitu dapat berupa kebun kopi
(komoditas perkebunan), kebun salak (komoditas hortikultura), maupun kebun singkong (komoditas pangan).
Istilah lain yang kadang disamakan dengan kebun adalah istilah ladang (menetap) yang juga sama-sa­ma
menunjuk kepada bidang lahan pertanaman. Akan tetapi istilah ladang lebih merujuk kepada sistem usahatani yang
subsisten khususnya untuk tanaman semusim, sedangkan istilah kebun merujuk kepada sistem usahatani komersial.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) masih diterapkan terutama pada wilayah tertentu yang aksesibilitasnya
terbatas. Umumnya sistem perladangan berpindah akan beralih kepada sistem tegal atau sistem kebun dengan semakin
terbatasnya lahan dan meningkatnya pemasaran. Tanaman aren merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak
ditemukan di sistem perladangan berpindah (Iskandar, 1992). Sesungguhnya aren di ladang tumbuh sendiri dan
dipelihara karena memberikan banyak manfaat bagi peladang. Pada saat ladang bertransformasi menjadi kebun, aren
yang tumbuh di kebun sebagian tetap dipelihara, misalnya di perkebunan kopi rakyat dan kebun buah.
Banyak tanaman perkebunan yang termasuk tanaman keras yaitu berupa tanaman tahunan dan berkayu. Istilah
tanaman keras merujuk kepada tanaman yang berciri-ciri jika diusahakan lama untuk memberikan hasil, siklus
hidupnya juga lama, bersifat mengawetkan tanah, tidak perlu dikelola secara intensif. Ciri-ciri tersebut juga terlihat
pada cara budidayanya sejak dari penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Budidaya
tanaman keras bersifat jangka panjang yang jika berhasil akan memberikan keuntungan dalam jangka panjang.
Istilah tanaman industri juga diberikan kepada tanaman perkebunan. Produk komoditas perkebunan umumnya
dikonsumsi atau digunakan konsumen setelah melalui pengolahan di pabrik, baik berupa pengolahan yang sederhana
sampai pengolahan rumit dan lintas pabrik berupa pohon industri yang panjang. Sebagai contoh, kelapa dan kelapa
sawit merupakan bahan baku minyak goring, margarin, sabun dan berbagai produk lainnya, tebu merupakan bahan
baku gula, spiritus, alkohol, dan penyedap rasa; lateks merupakan bahan baku berbagai macam produk karet seperti
ban dan karet busa; kapas merupakan bahan baku tekstil. Di perkebunan besar, unit pabrik dibangun untuk mengolah
hasil dari unit-unit kebun. Kadang-kadang perusahaan juga membeli bahan baku pabrik dari perkebunan rakyat,
terutama jika kapasitas pabrik masih belum terpenuhi atau karena perusahaan melakukan kemitraan dengan petani.
Sebagai usaha agroindustri, perkebunan besar lebih merupakan usaha industri daripada usaha tani yang dicirikan oleh
kompleksitas struktur organisasi, pengelolaan aset-aset, produksi, lingkungan, dan pemasaran. Sebaliknya perkebunan
rakyat dikelola sebagai usaha tani dengan modal dan produksi yang terbatas.
Perkebunan merupakan penghasil komoditas perdagangan, terutama berorientasi kepada pasar ekspor. Termasuk
juga perkebunan rakyat, juga berorientasi kepada pasar, bukan usaha tani yang bersifat subsisten. Petani bahkan tidak
dapat memanfaatkan secara langsung produknya sendiri, melainkan harus dijual untuk membeli kebutuhan, termasuk
bahan pangan. Maka perkebunan rakyat memerlukan pasokan bahan pangan dari daerah lain. Jika panen bersifat
musiman, misalnya kebun kopi dan cengkeh, maka saat menunggu datangnya musim panen merupakan masa paceklik
bagi petani. Sebaliknya saat musim panen, petani memiliki cukup uang untuk berbelanja sehingga perdagangan di
pasar sangat meningkat, baik perdagangan hasil kebun maupun perdagangan sandang, pangan, dan sarana produksi
pertanian.
Terkait dengan komoditas perkebunan sebagai komoditas perdagangan yang berorientasi ekspor maka komoditas
perkebunan merupakan komoditas ekspor. Sampai saat ini berbagai jenis komoditas perkebunan merupakan sumber
devisa yang penting bagi Indonesia hasil dari ekspor CPO kelapa sawit, karet remah, biji kopi, teh, kakao, lada,
tembakau dan lain-lain. Khusus untuk gula tebu, produksi masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri baik kebutuhan pangan keluarga maupun kebutuhan industri yang sebagian bahkan masih mengimpor gula
rafinasi. Sebagai komoditas ekspor maka harga komoditas perkebunan mengikuti pergerakan harga di luar negeri
yang umumnya berfluktuasi. Kenaikan harga global terjadi jika permintaan naik atau karena penurunan produksi di
Pengertian Dan Azas Perkebunan 3

negara produsen utama, misalnya harga kopi dunia naik karena perkebunan kopi di Brasil rusak akibat dilanda embun
beku (frost). Untuk sampai ke perusahaan eksportir, komoditas dari perkebunan rakyat melewati rantai pemasaran
yang panjang sehingga memperkecil harga yang diterima petani. Harga di terima petani juga banyak ditentukan oleh
kebijakan pabrik atau eksportir.
Tanaman perkebunan umumnya dibudidayakan di lahan kering sebab di lahan beririgasi lebih menguntungkan
ditanam tanaman pangan atau tanaman hortikultura semusim, kecuali tanaman tebu dan tembakau yang tetap banyak
ditanam di lahan sawah beririgasi. Sebagian tanaman perkebunan masih dapat ditanam di lahan marginal terutama
tanaman kelapa sawit, karet, dan tebu. Tanaman kelapa sawit dapat ditanam di lahan gambut dan di lahan kering
dengan produktivitas yang tinggi mencapai 24 ton tandan buah segar per hektar terutama apabila curah hujan merata
sepanjang tahun. Umumnya sebagai tanaman keras, tanaman perkebunan mempunyai perakaran yang dalam dan
luas dan mampu bertahan di kekeringan musim kemarau, sehingga pertumbuhan kembali pulih pada musim hujan.
Tanaman tebu merupakan tanaman dengan sistem fotosintesis C4 sehingga beradaptasi luas dan produktivitas tinggi
mencapai 100 ton tebu per hektar.

1.2 Azas dan Misi Perkebunan


Menurut Undang-undang No 18 Tahun 2004, perkebunan diselenggarakan berdasarkan azas: (1) manfaat, (2)
berkelanjutan, (3) keterpaduan, (4) keterbukaan, (5) berkeadilan. Sedangkan tujuan atau misi perkebunan adalah: (1)
meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) meningkatkan penerimaan negara, (3) meningkatkan penerimaan devisa
negara, (4) menyediakan lapangan kerja, (5) meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, (6) memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, (7) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
Asaz dan misi yang diamanatkan undang-undang tersebut perlu ditegakkan oleh semua pemangku kepentingan
terutama pemerintah dan perusahaan besar. Bahwa perkebunan dioperasikan agar semua fihak mendapatkan manfaat,
termasuk warga masyarakat di sekitar perkebunan yang terangkat penghidupannya dari kemiskinan. Izin HGU
diberikan kepada perusahaan bukan untuk mengekspoitasi sumberdaya alam dan keuntungannya dibawa ke luar negeri
oleh pemilik modal (asing) serta dinikmati para petinggi dan karyawan perusahaan serta para pejabat pemerintah. Azas
dan misi perkebunan berkelanjutan juga perlu terus dikampanyekan dan ditegakkan. Selain menjaga produksi agar
berkelanjutan dan menguntungkan, perusahaan harus menjaga kelestarian lingkungan, termasuk menjaga sumberdaya
lahan dan air, berusaha mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida, menjaga harmonisasi sosial agar tidak terjadi
konflik dengan masyarakat sekitar terutama terkait dengan pembebasan lahan, kesempatan kerja, sistem pengupahan,
infrastruktur dan pencemaran lingkungan. Semua itu adalah bagian dari asaz pertanian berkelanjutan yang meliputi
azas ekologi, ekonomi, dan sosial. Basyar (1999) memberi contoh kerugian lingkungan dan sosial yang dapat
ditimbulkan perusahaan perkebunan besar. Muttaqien et al. (2012) mengupas konflik sosial akibat pengembangan
perkebunan besar kelapa sawit. Asaz dan misi keberlanjutan inilah yang merupakan amanat undang-undang menjadi
sudut pandang pembahasan buku ini.

1.3 Visi, Misi, dan Tujuan Pembangunan Perkebunan


Arah pembangunan perkebunan disusun dan ditinjau kembali setiap kali penyusunan rencana pembangunan
perkebunan jangka menengah (5-10 tahun) yang merupakan penjabaran rencana pembangunan pertanian jangka
panjang (25 tahun). Visi pembangunan perkebunan jangka menengah 2010-2014 adalah “Terwujudnya peningkatan
produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perkebunan” (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Untuk mencapai visi tersebut disusun langkah-langkah atau
dijabarkan sebagai misi pembangunan perkebunan yang juga merupakan penjabaran misi pembangunan pertanian di
subsektor perkebunan.
4 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Misi pembangunan perkebunan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan untuk melaksanakan
pembangunan perkebunan jangka menengah 2010-2014 adalah:
(1) Memfasilitasi peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan;
(2) Memfasilitasi penyediaan benih unggul bermutu serta sarana produksi;
(3) Memfasilitasi penanganan perlindungan tanaman dan gangguan usaha perkebunan;
(4) Memfasilitasi pengembangan usaha perkebunan serta penumbuhan kemitraan yang sinergis antar pelaku usaha
perkebunan secara berkelanjutan;
(5) Mendorong penumbuhan dan pemberdayaan kelembagaan petani serta memfasilitasi peningkatan partisipasi
masyarakat dalam rangka meningkatkan harmonisasi antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi;
(6) Memberikan pelayanan di bidang perencanaan, peraturan perundang-undangan, manajemen pembangunan
perkebunan dan pelayanan teknis lainnya yang terkoordinasi, efisien dan efektif.
Selain menetapkan visi dan misi pembangunan perkebunan, dalam rencana strategis pembangunan perkebunan
jangka menengah, Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan tujuan pembangunan perkebunan untuk mendukung
pencapaian agenda pembangunan nasional dan tujuan pembangunan pertanian. Tujuan pembangunan perkebunan
jangka menengah 2010-2014 ditetapkan sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010):
(1) Meningkatkan produksi, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing perkebunan;
(2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan;
(3) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan;
(4) Mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan;
(5) Memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri dalam negeri;
(6) Mendukung pengembangan bio-energi melalui peningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia
bahan bakar nabati;
(7) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan serta mendorong pengembangan
wilayah;
(8) Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan;
(9) Meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja;
(10) Meningkatkan pelayanan organisasi yang berkualitas.

1.4 Pola Pengembangan Perkebunan


Berdasarkan pola pengusahaan, perkebunan dibedakan menjadi pola (1) perkebunan rakyat, (2) perkebunan besar
yang terdiri dari perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, dan (3) kemitraan seperti pola Perusahaan Inti
Rakyat (PIR) dan pola kemitraan KKPA. Pola PIR di subsektor perkebunan dimulai pada tahun 1977 dengan program
tebu rakyat intensifikasi (TRI) dan PIR-Perkebunan yang pada dasarnya merupakan upaya pemerintah agar terjadi
hubungan yang saling menguntungkan antara perkebunan besar (BUMN dan swasta) dengan perkebunan rakyat. Pola
PIR berkembang dimulai dari pola Nucleus Estate Smallholder (NES), PIR-Khusus, PIR-Bantuan, dan PIR-Trans
yaitu pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi (Ahmad, 1998). Pola PIR merupakan pola pengembangan
perkebunan rakyat dengan perkebunan swasta sebagai perusahaan inti dan pelaksana pengembangan kebun plasma.
Secara rinci pekerjaannya meliputi tiga tahap: (1) perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun; kedua,
pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi; ketiga, pengembalian atau pelunasan kredit.
Pola kemitraan perkebunan perlu terus diperbaiki terutama untuk memberdayakan petani mitra (Fajar, 2006). Pola
kemitraan perkebunan saat ini memiliki tiga pola, yaitu pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), pola Kredit Koperasi Primer
kepada Anggota (KKPA), dan pola Program Revitalisasi Perkebunan (PRP). Ketiga pola ini, sama-sama membangun
dasar kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, memperkuat, bertanggung jawab, dan saling
ketergantungan dengan masyarakat di sekitar perkebunan sebagai plasma (Sunarko, 1999). Pola kemitraan perkebunan
KKPA melibatkan instrument baru yaitu koperasi yang juga memberi pengaruh pada tahapan pembangunan kebun.
Masyarakat melalui lembaga Koperasi secara hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan kerjasama
Pengertian Dan Azas Perkebunan 5

kebun kemitraan. Masyarakat Desa melalui Koperasi merupakan pemilik lahan yang dimitrakan kemudian dikelola
oleh perusahaan. Pola kemitraan di perkebunan tebu ditopang oleh kelembagaan yang terdiri atas petani, kelompok
tani, KUD, dan PG. Fungsi/peran dari masing-masing lembaga diatur secara transparan, baik itu kesepakatan atau
mekanisme, prosedur, serta sistem reward-punishment dari setiap mekanisme tersebut (Susila, 2012).
Pola kemitraan KKPA timbul sebagai perbaikan atas pola PIR. KKPA adalah pola kemitraan berbasis koperasi
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para anggota melalui kredit jangka panjang dari bank. Perusahaan
inti harus melaksanakan pembangunan kebun untuk petani dengan biaya pembangunan dari kredit bank hingga tanaman
menghasilkan. Perusahaan inti juga membangun kelembagaan petani sebagai sarana pembinaan dan bimbingan
budi daya dan manajemen perkebunan. Pembinaan minimum dilakukan selama satu siklus tanam. Kemitraan pola
Program Revitalisasi Perkebunan (PRP) merupakan pola kemitraan perkebunan disiapkan oleh pemerintah pada tahun
2006 dengan konsep kemitraan bertolak dari prinsip saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan antara
perusahaan inti dan petani plasma. Perusahaan inti pada pola ini harus membangun kebun dengan penyediaan dana
sendiri, sehingga perannya menjadi lebih nyata sampai perwujudan kebun dan lunasnya kredit petani (Johannes dan
Suharto, 2011).
Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha agribisnis mampu memberikan manfaat, antara
lain: 1) meningkatkan produksi pertanian secara moderat, stabil, dan berkesinambungan, 2) meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani, 3) mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran di pedesaan, 4) meningkatkan
pemerataan dan keadilan sosial, 5) menciptakan kerja dan lapangan berusaha, 6) meningkatkan efisiensi penggunaan
sumber daya alam dan lingkungan, 7) meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis, serta
8) melestarikan kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembangunan berkelanjutan (Saptana dan Ashari,
2007).

1.5 Perkebunan Sebagai Penghasil Bahan Baku


Berdasarkan pendekatan produk yang dihasilkan sebagai bahan baku industri, lingkup tanaman perkebunan antara
lain dapat digolongkan sebagai berikut. Tanaman penghasil minyak dan biofuel seperti kelapa, kelapa sawit, dan jarak.
Tanaman penghasil pemanis seperti tebu, stevia, nipah dan aren. Tanaman penghasil serat antara lain kapas, kapuk,
jute, rosela, rami, sisal. Tanaman penghasil bahan minuman dan penyegar (baverages): kopi, teh, kakao, kola, dan
tembakau. Tanaman penghasil rempah antara lain lada, cengkeh, pala, ketumbar, kayu manis, jahe, kunyit. Tanaman
penghasil obat: kina, empon-empon, purwoceng, mengkudu, cabe jawa, sirih, tempuyung, kumis kucing, sambiloto.
Tanaman penghasil minyak atsiri: serai, akar wangi, nilam, minyak kayu putih.
Ke depan klasifikasi penghasil bahan baku semakin general dan produksinya berbasis biomassa. Misalnya
perkebunan sebagai penghasil bioenergi yang meliputi kelompok tanaman penghasil minyak nabati (kelapa, kelapa
sawit) dan biofuel (jarak) serta kelompok penghasil etanol seperti tebu, nipah, aren, dan singkong. Perkebunan penghasil
biomaterial meliputi penghasil serat, kayu, kayu bakar, pulp kertas, karet, pelumas, dan bioplastik. Perkebunan
penghasil fitofarmaka yang meliputi semua komoditas tanaman dan tumbuhan yang dapat menghasilkan materi obat,
vitamin dan suplemen, dan kosmetik. Perkebunan penghasil pangan seperti penghasil pemanis, karbohidrat, minyak
goreng, pewarna pangan, bumbu, minuman penyegar, dan ternak sapi. Disini tampak bahwa orientasi usaha berbasis
komoditas terlebih komoditas tunggal semakin kurang beorientasi ke depan dibandingkan dengan orientasi berbasis
produk. Satu komoditas dapat menghasilkan banyak bahan baku produk industri, biomassa dan limbahnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi atau sumber bioenergi (pakan ternak). Mengusahakan satu produk berbasis
biomassa akan dihasilkan rantai produk dan dapat disinergikan dengan komoditas lain sehingga rantai produk semakin
panjang dan siklus yang lebih tertutup. Perusahaan atau kelompok perusahaan akan menghasilkan banyak produk dari
berbagai tanaman dan ternak secara terpadu.
6 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

1.6 Pendorong Pembangunan Wilayah


Salah satu tujuan pembangunan perkebunan adalah mendorong pengembangan wilayah. Pembangunan perkebunan
selain berfokus pada pengembangan agribisnis komoditas juga berorientasi kepada pembangunan wilayah. Artinya
usaha perkebunan di suatu wilayah tidak saja ditujukan untuk meningkatkan produksi, nilai tambah dan ekspor
komoditas sehingga perusahaan perkebunan mengeruk laba dan berkembang pesat melainkan juga meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal, memanfaatkan sumberdaya lokal, mengembangkan program kemitraan
perkebunan, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia lokal, dan menyediakan lapangan kerja terutama bagi
masyarakat lokal. Dengan demikian adanya usaha perkebunan (besar) memberi multiplier effect yang mendorong
pengembangan wilayah. Apabila upaya luhur ini dilaksanakan maka wilayah di sekitar perusahaan perkebunan ikut
tumbuh berkembang, desa-desa miskin di sekitar perkebunan semakin berkurang, hubungan perusahaan dengan
masyarakat sekitar berjalan harmonis dan jauh dari konflik. Kondisi semacam ini juga kembali akan menguntungkan
perusahaan karena operasional perkebunan berjalan lancar. Tidak ada konflik perusahaan dengan masyarakat sekitar
merupakan salah satu syarat sertifikasi perkebunan berkelanjutan.
Pemerintah daerah sangat berkepentingan agar pemilik modal mau membangun perkebunan di wilayahnya.
Pemerintah memetakan dan menyediakan lahan untuk membangun perkebunan. Hal ini antara lain karena pembangunan
perkebunan khususnya perkebunan besar akan dapat berperan sebagai dinamisator pembangunan wilayah. Wilayah
pelosok yang terpencil, tertinggal, kurang produktif, didominasi oleh semak belukar diharapkan akan lebih cepat
berkembang dengan hadirnya investasi perkebunan besar. Di sekitar perkebunan akan tumbuh wilayah perkembangan
baru yang ditandai dengan pemekaran wilayah administratif yaitu tumbuh desa-desa baru, kecamatan pemekaran,
bahkan akan muncul kabupaten baru.
Lampung merupakan contoh aktual banyaknya pemekaran wilayah yang didorong oleh pembangunan perkebunan.
Dimulai dari berdirinya Kabupaten Lampung Barat yang merupakan sentra perkebunan kopi rakyat, memecah dari
Kabupaten Lampung Utara pada tahun 1991 berdasarkan UU No. 6 tahun 1991. Pada tahun 1997 Kabupaten Lampung
Utara melahirkan kabupaten baru yaitu Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan UU no 2 Tahun 1997. Sebelas tahun
kemudian yaitu tahun 2008, Kabupaten Tulang Bawang dimekarkan dan dibentuk dua kabupaten baru sekaligus, yaitu
Kabupaten Mesuji berdasarkan UU No 49 Tahun 2008 dan Kabupaten Tulang Bawang Barat berdasarkan UU No 50
Tahun 2008. Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Tulang Bawang banyak investor besar seperti perkebunan
tebu, kelapa sawit, dan tambak udang. Sedangkan karet merupakan unggulan untuk perkebunan rakyat.
Dari sudut pandang pembangunan wilayah, perkebunan antara lain berperan pada:
(1) Mendorong pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, sehingga meningkatkan aksesibilitas wilayah,
baik yang dibangun oleh pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat.
(2) Mendorong pembangunan kelembagaan seperti pasar, bank, KUD, sekolah, dan rumah sakit.
(3) Meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah, baik barang maupun jasa seperti usaha perdagangan, industri,
agribisnis, dan agrowisata.
(4) Meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam seperti lahan, hutan, sungai, flora dan fauna.
(5) Mendorong mobilisasi sumberdaya manusia, yang berdatangan dari dalam propinsi maupun luar propinsi bahkan
warga negara asing sebagai akibat dari meningkatnya aksesibilitas dan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Peranan pemerintah dan instansi yang terkait adalah agar kegiatan pembangunan tersebut sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan serta semua peraturan dan perundang-undangan agar dipatuhi
semua pihak. Dengan demikian wilayah berkembang secara terencana dengan arah yang benar sesuai dengan potensi
dan daya dukung wilayah dan prinsip pembangunan berkelanjutan.

1.7 Pendorong Agrowisata


Pembangunan agrowisata mendapat perhatian pemerintah dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertanian (No. 204/KPTS/HK.050/4/1989) dan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (KM.47/PW 004/MPPT
Pengertian Dan Azas Perkebunan 7

1989). Keputusan tersebut menjadi landasan pengembangan wisata agro yaitu menyebutkan bahwa sektor pertanian
dimanfaatkan untuk wisata agro dan sekaligus promosi pertanian. Aktivitas wisata agro tetap memperhatikan
lingkungan hidup dan kelestarian alam serta tetap terjaminnya kepentingan usaha tani.
Sektor pariswisata dapat diharapkan menjadi penggerak perekonomian wilayah dan penghasil devisa bagi negara,
karena mendorong pertumbuhan banyak usaha yang lain seperti perhotelan, homestay, transportasi, restoran, kerajinan,
kuliner, dan pertunjukan. Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama perkotaan maka minat
masyarakat untuk berkunjung ke lokasi agrowisata semakin meningkat. Aktivitas agrowisata selain akan mendorong
kegiatan usaha seperti yang disebut di atas sehingga menumbuhkan ekonomi pedesaan, bagi usahatani merupakan
sarana promosi dan pemasaran serta mendorong perkembangan potensi diversifikasi komoditas khas, pengolahan, dan
diferensiasi produk.
Berkembangnya agrowisata Indonesia dimulai dengan agrowisata perkebunan teh di kawasan Puncak, Jawa
Barat. Hal ini menunjukkan potensi sektor perkebunan untuk menyiapkan produk wisata yang menarik yang bersinergi
dengan sektor wisata lainnya seperti ekowisata, wisata edukasi, wisata sejarah, wisata konferensi, wisata pedesaan,
dan wisata minat khusus. Potensi perkebunan sebagai tujuan agrowisata sangat besar yang perlu dimanfaatkan semua
pihak terkait termasuk Dinas Pariwisata, Pemerintah Daerah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat. Perkebunan
mempunyai daya tarik sebagai tempat wisata karena:
(1) Memiliki panorama yang indah dan khas didukung suasana yang nyaman, sejuk, dan jauh dari rutinitas dan
kebisingan kota.
(2) Dekat dengan sumberdaya alam yang indah seperti hutan, gunung, sungai, danau, atau air terjun.
(3) Tersedia jalan serta rute wisata serta didukung sarana dan prasarana terutama di perusahaan perkebunan.
(4) Aktivitas produksi yang riil siap untuk dikunjungi wisatawa, meliputi kegiatan budidaya, pascapanen, dan
pengolahan di pabrik.
(5) Aktivitas keseharian komunitas perkebunan menarik bagi masyarakat di luar perkebunan.
(6) Proses produksi dan teknologi yang diterapkan perkebunan menarik untuk penyelenggaraan wisata edukasi baik
untuk tingkat pendidikan dasar, menengah, perguruan tinggi, dan umum. Fasilitas wisata edukasi ini seharusnya
merupakan layanan perkebunan untuk mencerdaskan anak bangsa.
(7) Produk yang dihasilkan perkebunan dapat disuguhkan di lapangan atau dijual sebagai oleh-oleh.
(8) Perusahaan perkebunan memiliki kaitan historis dengan perkembangan perkebunan zaman kolonial Belanda
dimana perlengkapan dan bangunannya masih dapat dilihat sampai saat ini.
Salah satu target pasar objek agrowisata sejarah adalah para wisatawan manca negara yang berasal dari negara
yang secara histori memiliki hubungan dengan sejarah perkembangan perkebunan masa lalu seperti Belanda, Eropa
secara umum, dan Jepang. Agrowisata perkebunan merupakan salah satu produk samping perusahaan dalam rangka
diversifikasi usaha dan meningkatkan pendapatan. Produk wisata tersebut dapat menjadi pilar penting dalam bisnis
perusahaan perkebunan jika dikelola secara profesional. Belum banyak perusahaan besar perkebunan yang mengelola
bisnis ini karena tetap fokus pada bisnis inti dan tidak ingin lokasi dan teknologi banyak diakses oleh khalayak
umum.

1.8 Ekspoitasi Sumber Daya Alam


Sumber daya alam meliputi tanah, air, dan udara serta apa yang terkandung di dalamnya baik mineral dan bahan
lain serta mahkluk hidup baik flora, fauna, dan mikroorganisme. Penyelenggaraan perkebunan dengan mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan merupakan amanat UU No. 18 Tahun 2004. Eksploitasi sumberdaya
alam dan kerusakan lingkungan sebagai akibat negatif dari perkembangan perkebunan sering menjadi fokus kritik oleh
aktivis lingkungan baik nasional maupun internasional. Issu lingkungan kemudian digunakan sebagai isu perdagangan
komoditas perkebunan. Hal ini dapat mengancam ekspor Indonesia jika produk perkebunan ditolak karena dianggap
tidak ramah lingkungan. Negara atau perusahaan pengimpor membuat regulasi dan lembaga sertifikasi eco-labelling
sebagai bagian dari strategi bisnis untuk menjaga pasokan bahan baku sesuai dengan persyaratan mereka sekaligus
membangun citra positif kepada konservasi lingkungan.
8 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Eksploitasi sumber daya alam yang sesuai dengan daya dukung lingkungan adalah hal yang positif sebagai upaya
pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kawasan pengembangan perkebunan
umumnya terletak berbatasan dengan kawasan hutan, baik hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi.
Perkebunan merupakan bisnis lahan yaitu bisnis yang membuka dan mengembangkan lahan yang luas. Yang menjadi
masalah adalah jika perluasan perkebunan tumpang tindih dengan kawasan hutan dan perkebunan diklaim sebagai
penggundul atau perambah hutan. Kendatipun pembukaan lahan perkebunan tidak masuk dalam kawasan hutan negara,
maka negara Barat tetap akan mengkritik karena perkebunan membabat (tegakan) hutan, yang merupakan habitat
hewan liar seperti orang hutan, harimau, gajah, badak, reptil, dan burung. Pembukaan hutan juga menghilangkan
keragaman hayati yang tidak dapat dinilai harganya secara ekonomi. Tegakan hutan yang tadinya ditempati berbagai
jenis flora dan fauna kemudian berubah menjadi monospesies seperti kelapa sawit, tebu, kopi, kakao atau karet.
Pembukaan lahan yang massif umumnya dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar. Hal inilah yang banyak dikritik
oleh aktivis lingkungan. Sementara pemerintah terus mengeluarkan izin HGU yang baru untuk investor perkebunan
terutama kelapa sawit.
Kalau tegakan hutan tidak boleh dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat, apakah ada alternatif untuk memberi
makan masyarakat? Masalahnya adalah hutan Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia dan hot spot keragaman
hayati yang harus dilestarikan. Negara industri menghasilkan emisi karbon yang besar, dan negara berkembang diminta
untuk mengkonservasi hutan sebagai menyerap karbon dan tidak boleh dialih fungsikan menjadi perkebunan, apakah
ini adil? Pemikiran alternatif yang ditawarkan para ahli antara lain misalnya: (1) mengembangkan perkebunan rakyat
yang lebih ramah lingkungan seperti perkebunan karet yang akan membentuk hutan karet, (2) mendorong perkebunan
campuran antara komoditas penghasil nonkayu dan kayu yang disebut agroforestri, (3) mengembangkan ekowisata,
(4) mengikuti skema perdagangan karbon.

1.9 Sistem Produksi Perkebunan


Perkebunan Eksploitasi
Sebagaimana usaha pertambangan, usaha perkebunan dan perhutanan juga mengeksploitasi sumber daya alam.
Terminologi eksploitasi dapat bermakna positif yang berarti mengusahakan atau mendayagunakan, dapat bermakna
negatif yaitu mengeruk dan memeras (kekayaan, sumber daya, tenaga). Pada kenyataannya praktek eksploitasi di
perkebunan masih dilakukan oleh sebagian perusahaan.
Perkebunan ekstraksi adalah sistem produksi perkebunan yang mengekspoitasi sumberdaya alam secara besar-
besaran baik lahan, air tanah, sungai, danau, hutan, pupuk, tenaga kerja untuk menghasilkan produk secara massal dan
keuntungan yang maksimum bagi perusahaan. Lahan yang diekploitasi bukan semakin subur, melainkan terdegradasi
ditandai dengan kandungan C organik yang semakin menurun, lapisan atas yang semakin tipis, dan terbentuknya
lapisan tanah yang keras akibat pengoperasian alat berat yang intensif selama puluhan tahun. Sumur penduduk di
sekitar perkebunan mengering di musim kemarau bersamaan dengan semakin intensifnya penyedotan air tanah untuk
irigisi curah perkebunan. Demikian juga sungai dan danau semakin cepat mengering di musim kemarau sementara di
musim hujan airnya keruh akibat erosi tanah dari perkebunan. Di musim hujan perusahaan membiarkan kolam-kolam
pengolahan limbah mengalirkan langsung ke pembuangan dan mencemari sungai.
Perkebunan Produksi Bersih
Produksi bersih didefinisikan sebagai strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan
diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi,
produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi risiko terhadap
kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Dalam penerapannya produksi bersih memberikan
keuntungan seperti meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya pengolahan limbah, konservasi bahan baku dan energi,
membantu akses kepada lembaga finansial, memenuhi permintaan pasar, memperbaiki kualitas lingkungan, memenuhi
peraturan lingkungan, memperbaiki lingkungan kerja, dan meningkatkan persepsi masyarakat.
Pengertian Dan Azas Perkebunan 9

Pola pendekatan produksi bersih dalam melakukan pencegahan dan minimisasi limbah yaitu:
(1) Elimination (pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulnya limbah langsung dari sumbernya, mulai dari
bahan baku, proses produksi sampai produk.
(2) Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi limbah yang dihasilkan dalam suatu
kegiatan.
(3) Reuse (pakai ulang/penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan suatu limbah dapat digunakan
kembali tanpa perlakuan fisika, kimia atau biologi.
(4) Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk memanfaatkan limbah dengan memprosesnya
kembali ke proses semula melalui perlakuan fisika, kimia dan biologi.
(5) Recovery/ Reclaim (pungut ulang, ambil ulang) adalah upaya mengambil bahan-bahan yang masih mempunyai
nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah, kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa
perlakuan fisika, kimia dan biologi.
Perkebunan Konservasi
Pertanian konservasi (conservation agriculture) lahan adalah sistem pertanian yang berprinsip pada: (1)
minimasi gangguan terhadap tanah, (2) penutupan tanah secara organik yang permenen, (3) diversifikasi tanaman,
yaitu rotasi tanaman untuk pertanaman semusim dan pertanaman campuran untuk pertanaman menahun. Sistem ini
menekankan pada upaya pelestarian pemanfaatan lahan semaksimal mungkin sepanjang tahun untuk meningkatan
produksi pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan) dengan memperhatikan kaidah
dan menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air seperti terasering, pembuatan guludan dan penanaman tanaman
penguat teras (Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, 2011). Secara lebih luas, perkebunan konservasi adalah
perkebunan yang melaksanakan semua tindakan konservasi lingkungan baik konservasi lahan maupun konservasi
keragaman hayati (biodiversity).
Perkebunan konservasi bersifat ramah lingkungan, tidak ekstraktif, dan mengelola sumberdaya alam secara
berkelanjutan berdasar prinsip umum yaitu reduce, reuse, dan recycle. Lahan yang dikelola perkebunan tetap
dipertahankan kesuburannya dengan menerapkan: (1) pengolahan tanah secara minimal dan mengurangi pengoperasian
alat berat, (2) pengelolaan tanaman secara terpadu dengan menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran
tanaman di antara beberapa komoditas yang diusahakan oleh perkebunan, mengembalikan sisa panen dan limbah
pengolahan hasil panen ke lahan, (3) usaha perkebunan terpadu (terintegrasi) yaitu menghasilkan beberapa komoditas
termasuk kayu dan ternak yang memanfaatkan sebagian hasil limbah biomassa dan rumput yang dihasilkan serta
pupuk kandang yang dihasilkan sebagai sumber pupuk.
Perkebunan menaruh perhatian terhadap upaya konservasi keragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan
dengan menyisakan sebagian lahan di dalam perkebunan tetap dibiarkan sebagaimana aslinya sebagai hutan hujan
tropis yang kaya keragaman hayati. Hal yang tersulit adalah membiarkan hidup satwa yang dianggap sebagai hama
perkebunan seperti monyet, siamang dan orang hutan. Jalur-jalur habitat flora dan fauna seperti jalur di perbatasan
mengitari perkebunan, sempadan sungai dan sekitar rawa dan danau dipelihara sebagai jalur hijau dan penanaman
pohon penghasil kayu.
Perkebunan Terintegrasi
Perkebunan terintegrasi merupakan implementasi konsep pertanian terpadu di subsektor perkebunan. Perkebunan
baik dari segi produksi biomassa, agroekosistem, maupun kawasan memiliki potensi sumberdaya yang besar. Produksi
biomassa berupa hijauan dan limbah hasil umumnya dapat dimanfaatkan untuk usaha ternak. Salah satu contoh adalah
usaha intergrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi atau kambing. Kasawan perkebunan yang luas dan sumber
pakan berupa hijaun maupun produk samping kelapa sawit yang tersedia merupakan potensi besar pengembangan
ternak sapi dan kambing. Menteri BUMN mewajibkan seluruh PTPN kelapa sawit untuk memelihara ternak sapi
dengan mematok 100.000 ekor sapi di 10 PTPN kelapa sawit. Ini sesuai dengan Surat Kementerian BUMN Nomor
S-50/D1.MBU/2012 tanggal 22 Februari 2012 tentang Pola Integrasi Peternakan Sapi di Perkebunan Kelapa Sawit
dan Surat Menteri BUMN Nomor S-240/MBU/2012 tanggal 09 Mei 2012 perihal Penugasan Pelaksanaan Program
Integrasi Sapi Sawit.
10 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Sebagai sumber energi dan protein adalah solid dan bungkil inti kelapa sawit. Sebagai sumber serat adalah,
hijauan rumput dan LCC, pelepah daun, tandan kosong dan tepung umbut kelapa sawit hasil tebangan pohon untuk
replanting. Di sistem perkebunan Besar, di kebun kelapa sawit muda tersedia hijauan berupa rumput dan kacangan
penutup tanah yang melimpah. Dengan pemupukan kelapa sawit yang intensif, LCC dan rumput alami tumbuh subur.
Biasanya masyarakat desa sekitar perkebunan mencari hijauan di perkebunan untuk ternak. Saat ini perkebunan kelapa
sawit telah memanfaatkan potensi itu untuk usaha ternak. Penggembalaan sapi di kebun kelapa sawit mengandung
risiko kompaksi tanah dan daun kelapa sawit rusak karena dimakan sapi.
Perkebunan terintegrasi juga menerapkan konsep reduce, reuse dan recycle (R3). Dengan harga BBM untuk
usaha komersial yang semakin mahal, maka pemanfaatan tenaga sapi untuk mengangkut saprodi dan hasil panen
menjadi alternatif pilihan. Tandan kosong, serat perasan, dan bungkil sawit diolah untuk pakan ternak, kotoran ternak
digunakan sebagai penghasil biogas, dan sisa bahan organiknya dikembalikan ke lahan kebun untuk mempertahankan
kesuburan tanah. Potensi besar pakan ternak juga terdapat pada usaha perkebunan tebu dengan memanfaatkan pucuk
tebu sebagai pakan, perkebunan nanas dengan memanfaatkan limbah kulit buah, dan perkebunan kakao dengan
memanfaatkan kulit buah kakao.
Tabel 1. Daftar komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan

No Komoditas Nama Latin


1. Adas Foeniculum Volgare Miller
2. Akar wangi Andropogon zizanioides
3. Aren Arenga piñata
4. Asem jawa Tamarindus indica
5. Babadotan Ageratum conyzoides L.
6. Barucina Artemicia vulgaris
7. Benalu Teh Loranthus sp
8. Bestru Luffa aegypyica
9. Biduri Colotropis gigantea
10. Bintan Cerbera manghas
11. Buah Makasar / Kwalot Brucea javanica
12. Bungur Kecil Lengerstroemmia indica L.
13. Cabe Jamu/ Cabe Jawa Piper retrofractum vahl
14. Cassiavera / Kayu Manis Cinnamomum burmanii BI
15. Cengkeh Eugenia aromatica O.K.
16. Coklat / Kakao Theobroma cacao
17. Daruju Acanthus ilicifolius
18. Daun Dewa Gynura Sagetum
19. Doro Putih Stryonos ligostrina
20. Galinggem Bixa orelana
21. Gambir Uncaria gambir Roxb
22. Gandapura Gaultheria fragratissima Wall
23. Gandarusa Justicia gendarusa
24. Gendola Bassella rubra L.
25. Getah Perca Ficus elastica
26. Ginje Thevetia peruviana L.
27. Ginseng Panax ginseng C.A.
28. Jambu Mete Annacardium occidentale
29. Jarak Ricinus communis L.
30. Jarak Merah Jatropha gossyfolia
31. Jarak Pagar Jatropha curcas
Pengertian Dan Azas Perkebunan 11

No Komoditas Nama Latin


32. Jarong Achyranthes aspera
33. Jenitri Elaccarpus angustifolia
34. Jinten Cuminum cyminum L.
35. Jojoba Zizyphus jujuba
36. Jombang Taraxacum mongolicum
37. Jute Corcharus canabinus
38. Kapas Gossypium hirsutum L.
39. Kapasan / Kasutri Abelmoschus moschatus Medik L.
40. Kapok Ceiba petandra
41. Karet Hevea brasilliensis Mull
42. Kasingsat Cassia occidentalis L.
43. Kayu Rapat Paramaria leavigata
44. Kayu Secang Caesalpinia sappan
45. Kayu Teja Cinnamomon culilawan
46. Kayu Ular Strychnos lucida
47. Keben Barringtonia asiatica Kurz
48. Kedawung Parkia biglobosa Benth
49. Kedoya Dysoxylum gandichandianum
50. Keji Beiling Reullia nafifera Zool & Mar
51. Kelapa Cocos nucifera L.
52. Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jacq
53. Kemanden Sewu Chrysanthenum cincrarifolium Vis
54. Kemenyan Styrax benzoin Orynd
55. Kemukus Piper cubeba L.
56. Kemuning Maruya paniculata L. Jack
57. Kenaf Hibiscus sinensis
58. Kenanga Cananga odorata
59. Kenari Canarium amboinense Hoch
60. Keningar Cinnamomon cassia
61. Ketepeng Cina Cassia alata L.
62. Ketumbar Coriandrum sativum L.
63. Kikio Platicondon grandiflorum
64. Kina Cinchona sp.
65. Koka Erythroxylon novagranatense
66. Kalesom Talinum racemosum R.
67. Kopi Coffea spp.
68. Kumis kucing Orthosiphon grandiflora
69. Lada Piper nigrum L.
70. Legundi Vitex trifoliate L.
71. Lontar/Siwalan Borassus sp. Linn
72. Makadamia Macadamia spp.
73. Masoyi Massonia aromatic
74. Mendong Cyperus sp
75. Menthol Mentha arvensis L.
76. Mindi Melia azedarach L.
77. Mojo Aegle marmelos L. Corr
78. Nila Indigofera Spp
12 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

No Komoditas Nama Latin


79. Nilam Pogostemon cablin Benth
80. Nimba Azadiracha indica Suss
81. Nipah Nipa fructicans Wurmb
82. Oyod Peron Anamirta cocolus W & A
83. Pala Myristica fragrans (L.) Houtt.
84. Pandan Pandanus sp
85. Panili Vanilla planifolia Andrews
86. Pasak Bumi Eurycoma logifolia Jack
87. Patmasari Rafflesia zallingeriana
88. Pinang Areca catechu
89. Pisang manila Musa sextilis
90. Pranajiwa Euchresta horfieldii
91. Pulasari Alxia reinwardii
92. Rami Boehmeria nivea Gaud
93. Rangga Dipa Clerodedron indicum
94. Rangas Gluta renghas L
95. Rincik Bumi Quamoclit pennata
96. Rosella Hibiscus sabdariffa
97. Sagu Mitroxylum sagu Rottb
98. Salah Nyowo Polygonum barbatum L.
99. Sambung Doro Excoecaria cochinnensis
100. Sawi Tanah Nasturtium mantanum
101. Senggani Melastoma candidum
102. Sengketan Heliotropium indicum
103. Sereh Wangi Andropogon nardus L.
104. Siantan Ixira stricta
105. Sidagori Sida rhombifolia
106. Sintok Cinnamomum sintoc BI.
107. Sisal/Agave Sisalana perrine
108. Stepanot Jingga Phyrosthegia venusta
109. Stevia Stevia rebaudiana
110. Tabat Barito Ficus deltoidea
111. Tanaman penutup tanah
112. Tanaman pupuk hijau
113. Tebu Saccharum officinarum L.
114. Teh Camellia sinensis
115. Teki Cyperus rotundus
116. Tembakau Nicotiana tabacum L.
117. Tingeh Antiaris taxicaria Leoch
118. Trengguli Cassia fistula L
119. Tuba Derris elliptica Benth
120. Tung Oil/Kemiri Aleurites mollucana Willd
121. Turi Sesbania grandiflora
122. Ubi Benggala Manihot esculenta Crantz.
123. Urang Aring Eclipta alba (L.) Hassk.
124. Waru Landak Hibiscus mutabilis
125. Wijen Sesamum indicum Linn
126. Ylang-ylang Cananga latifolia
Pengertian Dan Azas Perkebunan 13

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR. Puspa Swara. Jakarta.
Basyar, A.H. 1999. Perkebunan Besar Kelapa Sawit. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014. Jakarta.
Effendi D.S. 2010. Prospek pengembangan tanaman aren (Arenga pinnata Merr) mendukung kebutuhan bioetanol di
Indonesia. Perspektif 9(1): 36-46.
Evizal, R. and F.E. Prasmatiwi. 2011. Agrotourism potential and sustainable agriculture in Lampung. Proceedings
International Seminar on Agro-tourim Development (ISAD). p. 339-348.
Fajar, U. 2006. Kemitraan usaha perkebunan: Perubahan struktur yang belum lengkap. Forum Penelitian Agro
Ekonomi 24(1): 46-60.
Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia, Studi Kasus dari daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat.
Djambatan. Jakarta.
Johannes dan Suharto. 2011. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan. Ganda Link 1(3):18-
20.
Maddox, T., D. Priatna, E. Gemita, A. Salampessi. 2007. The conservation of tiger and others wildlife in oil palm
plantations. ZSL Conservation Report No. 7.
Muttaqien, A., N. Ahmad, dan W. Wagiman. 2012. Undang-Undang Perkebunan, Wajah Baru Agrarian Wet: Dasar
dan Alasan Pembatalan Pasal-pasal Kriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi. Elsam-Sawit Watch-Pilnet.
Jakarta.
Owenya, M., W. Mariki, A. Stewart, T. Friedrich, J. Kienzle, A. Kassam, R. Shetto, and S. Mkomwa. 2012. Conservation
agriculture and sustainable crop intensification in Karatu District, Tanzania. Integrated Crop Management. 15:
1-40.
Rappole, J.H., D.I. King, J.H.V. Rivera. 2003. Coffee and conservation. Conservation Biology 17: 334-336.
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha. Jurnal Litbang Pertanian
26(4): 123-130.
Sastrahidajat, I.R. dan Soemarno D.S. 1991. Budidaya Tanaman Tropika. Usaha Nasional. Surabaya. 524 hlm.
Susila, W.R. 2002. Dengan kemitraan, pabrik gula dan petani maju bersama. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Indonesia 24(5): 10-12.
Syahza, A. 2011. Percepatan ekonomi pedesaan melalui pembagunan perkebunan kelapa sawit. Jurnal Ekonomi
Pembangunan 12(2): 297-310.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sunarko. 2009. Budidaya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem Kemitraan. AgroMedia Pustaka,
Jakarta.
Su’ud, M.H. 2012. Pemanfaatan sumberdaya alam dan hari depan pertanian Indonesia. www.perhepi.org/images/
stories/publikasi/buku_perhepi/hassan.pdf.
14 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Sejarah Perkebunan 15

BAB II
SEJARAH PERKEBUNAN

P erkembangan subsektor perkebunan Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sejarah kolonialisme atau penjajahan
oleh Bangsa Belanda. Keberhasilan Belanda menjajah Indonesia selama 3,5 abad untuk membangun negerinya
menunjukkan pentingnya peran Hindia Belanda (Indonesia) dengan perekonomian berbasis perkebunan. Jejak
peninggalan perkebunan Belanda masih dapat dilihat sampai saat ini baik berupa fisik usaha perkebunan yang telah
dinasionalisasi, bangunan, teknologi, maupun sistem manajemen kolonial.
Sejarah akan dapat berulang sehingga untuk membangun perkebunan yang maju dan memberi manfaat maka
sejarah harus dipelajari. Perkebunan Indonesia pernah berjaya di masa kolonial, namun sampai saat ini belum dapat
diraih kembali. Sistem perkebunan kolonial banyak mengandung kenangan buruk, tetapi juga memiliki kebaikan
setidaknya sebagai refleksi agar kejadian itu tidak terulang kembali. Bab ini berusaha menyajikan bagian penting dari
sejarah perkebunan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991) serta perkembangan perkebunan dan litbang perkebunan sampai
saat ini.

2.1 Perkebunan pada Zaman VOC


Kedatangan bangsa Barat seperti Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia bermula dari usaha perdagangan
rempah-rempah yang dibutuhkan. Indonesia sebagai daerah tropis merupakan daerah asal tanaman rempah tersebut
atau dikenal merupakan penghasil rempah tertentu sejak Zaman Hindu. Para pedagang Indonesia, India, dan Cina
menjalankan kegiatan perdagangan internasional untuk memenuhi permintaan rempah-rempah di pasar Eropa yang
terus meningkat. Perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan tersebut mengundang kehadiran kekuatan asing
di Nusantara.
Pada masa prakolonial, rempah dihasilkan dari kebun yang merupakan bagian dari sistem pertanian tradisional.
Sistem kebun tradisional lebih sebagai budidaya tambahan dari kegiatan pertanian subsisten terutama tanaman
pangan dan hortikultura. Sistem kebun tradisional bercirikan pengelolaan sederhana oleh keluarga petani, pola tanam
campuran, struktur vegetasi tanaman seperti hutan. Sistem perkebunan seperti yang ada saat ini diperkenalkan dan
dikembangkan oleh korporasi asing dan oleh pemerintah kolonial. Sistem perkebunan ini merupakan sistem pertanian
komersial yang pada awal pengembangannya bercorak kolonial dan kapitalistik.
Sistem perkebunan memperkenalkan berbagai pembaruan dalam sistem perekonomian agraris yang membawa
dampak perubahan penting kehidupan masyarakat tanah jajahan. Sistem perkebunan bercirikan bentuk usaha pertanian
16 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

berskala besar dan kompleks yang padat modal, mengusahakan areal lahan yang luas, organisasi kerja yang besar,
pembagian kerja rinci, struktur hubungan kerja yang rapi, menggunakan tenaga kerja upahan, menggunakan teknologi
modern, adanya spesialisasi dan sistem administrasi-birokrasi, dan mengusahakan tanaman komersial yang ditujukan
sebagai komoditas ekspor.
Kehadiran Bangsa Belanda di Indonesia dimulai dengan pembentukan Gabungan Perseroan Dagang India Timur
atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. VOC melakukan monopoli dagang melalui
berbagai jalan seperti: (1) penaklukan dan kekerasan, (2) kontrak monopoli, dan (3) atas dasar persetujuan atau
perdagangan bebas. Sistem eksploitasi komoditas perdagangan dilakukan dengan sistem leveransi wajib dan sistem
kontingensi.
Pada sistem leveransi wajib, pemimpin daerah taklukan menyerahkan komoditas dan VOC membeli dengan
harga tertentu. Pada sistem kontingensi, pemimpin diwajibkan menyerahkan komoditas dalam jumlah yang ditetapkan,
dan VOC akan memberi sedikit pembayaran atau tidak sama sekali. Kedua sistem ini mirip dengan sistem upeti dari
daerah taklukan kepada raja pada sistem feodal.
Selain itu VOC membangun perkebunan untuk komoditas baru seperti kopi dan tebu yang dianggap memiliki
prospek cerah. Jauh sebelum ada sistem tanam paksa, VOC telah melakukan sistem penanaman wajib yang mirip
tanam paksa yaitu penanaman kopi di daerah Priyangan. Yang kemudian diperluas di daerah Ambon dan Pekalongan.
Organisasi pelaksanaan penanaman wajib ini diserahkan kepada para bupati. Dengan cara paksa penduduk diwajibkan
untuk melakukan pekerjaan rodi untuk pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengangkutan
kopi dari kebun ke tempat penampungan untuk kemudian diserahkan kepada VOC.

2.2 Perkebunan pada Zaman Hindia Belanda


Setelah sistem sewa tanah yang telah dilaksanakan hampir selama 20 tahun dianggap gagal meningkatkan
perekonomian pemerintah kolonial dan didorong oleh keadaan keuangan Negeri Belanda yang tengah kesulitan
dalam pengembalian hutang maka Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 mencetuskan sistem
tanam paksa atau cultuurstelsel. Dalam sistem ini petani dipaksa menanam komoditas yang diminta pemerintah di
tanah mereka sendiri. Komoditas yang termasuk program tanam paksa adalah kopi, tembakau, tebu, teh, lada, indigo
(pewarna), kayu manis, dan kina.
Selain membawa kesengsaraan bagi petani, sistem tanam paksa memiliki dampak positif terhadap perkembangan
perkebunan di Indonesia. Dampak tersebut antara lain:
(1) Perluasan perkebunan rakyat pada komoditas tanam paksa seperti kopi, teh, kayu manis, dan lada yang ditanam
di lahan hak eigendom (milik) rakyat.
(2) Peningkatan produksi dan ekspor perkebunan, bahkan Indonesia (Hindia Belanda) berhasil menjadi negara
produsen utama beberapa komoditas perkebunan seperti kopi, tembakau, tebu, dan lada yang diekspor ke pasar
Eropa.
(3) Petani menguasai teknologi budidaya tanaman baru.
(4) Rakyat mengenal sistem perkebunan komersial.
Atas desakan politik di dalam negeri Belanda, sistem tanam paksa secara berangsur-angsur dihapus. Antara
lain pada tahun 1865 dihapus tanam paksa indigo, teh, kina, dan kayu manis. Kemudian tanam paksa tembakau
dihapus pada tahun 1866, tebu dihapus pada tahun 1870, dan terakhir kopi dihapus pada tahun 1916. Sebagian kecil
perkebunan teh, kina, dan gutta percha yang ditanam pada zaman Hindia Belanda masih dipertahankan sampai saat
ini. Gutta percha (penghasil getah percha) bahkan menjadi identitas flora PTPN VIII.
Atas desakan politik, sebagai ganti sistem perekonomian tanaman paksa pemerintah beralih kepada sistem
perekonomian liberal dengan cara memberi keleluasaan kepada pihak swasta dan pemilik modal untuk berbisnis di
Indonesia. Pabrik dan perusahaan pengolahan di dalam negeri Belanda sendiri membutuhkan kontinuitas pasokan
Sejarah Perkebunan 17

bahan baku sehingga ingin berinvestasi membuka perkebunan di Indonesia. Sebagai jaminan hukum bagi investor
pada tahun 1870 ditetapkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet dan Agrarische Besluit). Undang-undang
menjamin investasi perkebunan dengan pegaturan antara lain sebagai berikut:
(1) Tanah milik rakyat tidak dapat dijualbelikan kepada non-pribumi.
(2) Tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau dapat dibeli oleh non-pribumi untuk keperluan bangunan
perusahaan.
(3) Untuk lahan domain pemerintah yang lebih luas, swasta non-pribumi boleh memiliki hak guna usaha yaitu:
(a) hak membangun yang disebut recht van opsal yang disingkat RVO
(b) hak sewa dan hak mewariskan untuk jangka waktu 75 tahun yang disebut hak erfpacht.
Pada masa perkebunan sistem liberal ini mulai berkembang 3 bentuk perkebunan yaitu: (1) perkebunan rakyat
(milik pribumi), antara lain dari perluasan kebun tanam paksa, (2) perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda,
misalnya perkebunan tanam paksa di lahan domein pemerintah, (3) perkebunan swasta non-pribumi, baik perorangan
maupun perusahaan berdasarkan HGU. Pada dekade terakhir menjelang Perang Dunia I, perkebunan Indonesia
mengalami kemajuan pesat dan produksi mengalami masa booming. Setelah PD I meletus dan dunia mengalami
depresi ekonomi sejak tahun 1929 maka saat itu perkebunan Indonesia secara umum mengalami kemunduran. Akan
tetapi perkebunan rakyat terus berkembang. Pada akhir abad ke-19 perkebunan rakyat hanya menyumbang sekitar
19% dari seluruh ekspor, pada tahun 1939 telah naik menjadi 37% dari total ekspor. Selama masa depresi antara 1929-
1940 produksi perkebunan komoditas utama seperti gula, karet, dan teh merosot tajam.
Pada PD II selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) perkebunan Indonesia semakin terlantar akibat situasi
perang dan keamanan yang memburuk. Kecuali karet, semua komoditas perkebunan mengalami kemerosotan.
Produksi lada turun 90%, produksi kapuk dan teh turun 30%, dan kopi turun 25%. Secara keseluruhan produksi
perkebunan tinggal 20% dari produksi sebelum Perang Dunia II. Perkebunan karet tampaknya relatif tahan terhadap
kondisi kurang terawat, dan penyadapan yang berkurang memberi kesempatan bagi pohon untuk tumbuh sehingga
mampu bertahan walaupun dalam situasi perang.

2.3 Masyarakat Perkebunan Kolonial


Perkembangan perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kolonialisme dan kapitalisme.
Kolonialisme melahirkan sistem kolonial (colonial system), situasi kolonial, dan hubungan kolonial yang diterapkan
di perkebunan. Kapitalisme mendorong perkembangan perkebunan besar di Indonesia yang berkolaborasi dengan
Pemerintah Kolonial dalam mengekspoitasi sumberdaya lahan dan rakyat untuk sebesar-besarnya keuntungan pemilik
kapital. Dalam sistem seperti inilah berkembang kultur masyarakat perkebunan bercorak kolonial yaitu didasarkan
pada prinsip kolonial. Ciri pokok hubungan kolonial berpangkal pada prinsip dominasi, ekspoitasi, diskriminasi, dan
dependensi.
Perkebunan dibangun dengan membuka hutan yang letaknya jauh dari penduduk. Bahkan tenaga kerja (buruh)
harus didatangkan dari luar daerah, umumnya dari Pulau Jawa membentuk komunitas yang berbeda baik bahasa
maupun adat istiadat dari masyarakat sekitar. Komunitas perkebunan berbeda sama sekali dengan masyarakat sekitar
secara sosial maupun ekonomi. Produk yang dihasilkan perkebunan mungkin juga berbeda dengan yang dihasilkan
penduduk, yaitu menghasilkan produk yang berorientasi untuk pasar ekspor. Pihak manajemen beserta birokrat
perkebunan memiliki gaji dan penghidupan yang sangat baik dan mengikuti kultur modern dunia. Pemukiman
perkebunan berada jauh dari pusat kota dan peradaban asli. Keadaan ini menjadikan masyarakat perkebunan seperti
terpisah dengan lingkungannya. Kehadiran usaha perkebunan modern di tengah masyarakat agraris tradisional
menciptakan tipe perekonomian kantung (enclave economic) yang bersifat dualistis yaitu masyarakat modern yang
seperti kota kecil dikelilingi masyarakat tradisional.
Masyarakat perkebunan kolonial adalah “kota kecil” yang multirasial dan multinasional. Penduduknya dihuni
bangsa Eropa, Cina, dan pribumi dengan berbagai etnis terutama Jawa. Mereka adalah pendatang, bahkan umumnya
18 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

tanpa membawa keluarga (bujangan) yang tercabut dari akar budaya asalnya. Struktur masyarakatnya berbeda jelas
antara golongan Eropa, Cina, dan pribumi. Antar golongan tersebut tidak terdapat ikatan solidaritas bahkan di dalam
golongan tersebut ikatan solidaritasnya lemah. Komunitas perkebunan kolonial benar-benar merupakan daerah
frontier (batas) yang terpisah dari komunitas sekitar. Kumunitas tersebut terisolasi dan teralienasi sehingga mudah
timbul krisis baik pada tingkat pribadi maupun kolektif. Pada tingkat tertentu krisis akan menimbulkan konflik dan
kekerasan.
Struktur sosial masyarakat perkebunan dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan atas yang terdiri dari Bangsa
Eropa dan lapisan bawah yang berisi masyarakat pribumi yang umumnya bekerja sebagai buruh. Pada lapisan puncak
terdapat seorang administrateur yaitu pemimpin manajemen perkebunan yang dibantu oleh para asisten kebun dan
pengawas (opzichter). Pada lapisan bawah, para buruh dikelompokkan dalam regu-regu yang masing-masing diawasi
oleh seorang mandor. Para pengawas dan mandor adalah orang pribumi. Dalam hirarki kekuasaan perkebunan, para
pengawas dan mandor merupakan perantara yang mewakili manajemen dan kelompok buruh. Pihak manajemen
berkepentingan agar para pengawas dan mandor patuh dan berpihak pada atasan sehingga pengawasan dan instruksi
pekerjaan berjalan efektif. Sebaliknya apabila pengawas dan mandor lebih condong membela para buruh maka
pengawasan tidak efektif, lebih dari itu gerakan buruh tidak dapat dikontrol manajemen.
Pola hubungan koloial bersifat diskriminatif dan rasial yang terjadi pada semua lini seperti struktur gaji,
layanan sosial, dan pemukiman. Golongan Eropa menempati pemukiman mewah, sangat kontras dengan pemukiman
pribumi terlebih kondisi barak-barak para buruh. Komunitas Eropa membentuk enclave di pemukiman perkebunan
dimana posisi, pergaulan, hubungan, dan komunikasi sosialnya terjaga ketat. Sebagai lapisan atas, kelompok Eropa
memandang rendah kaum pribumi yang jarang terjadi kontak sosial. Kontak hanya terbatas pada hubungan kerja
industrial. Perkebunan menegakkan prinsip industrialis kolonial. Tuntutan produktivitas dan pencapaian target
perusahaan dicapai dengan menegakkan kekuasaan otokratis dan otoriter agar para pekerja disiplin dan produktif.
Situasi kontradiksi, alienasi, dan adanya konflik kepentingan acap kali berujung pada bentrok fisik.
Pada zaman kemerdekaan, manajemen perkebunan sistem kolonial semestinya sudah tidak ada lagi. Hubungan
industrialis kolonial diganti dengan hubungan industrialis Pancasila. Tujuan perusahaan untuk meningkatkan
produksi dan keuntungan tidak dilakukan melalui eksploitasi tenaga kerja dengan imbalan murah dan tanpa masa
depan. Perkebunan era kemerdekaan mengemban amanat Undang-undang Perkebunan untuk menyediakan lapangan
kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat berazaskan keterbukaan dan berkeadilan. Kemakmuran tidak hanya
dinikmati oleh satu golongan kecil tertentu di perkebunan. Kesejahteraan pegawai dan buruh perlu mendapat perhatian.
Hubungan atasan-bawahan dengan prinsip kolonial tidak dijalankan lagi. Untuk menegakkan disiplin dan produktifitas
ditegakkan dengan manajemen profesional antara lain melalui sistem kontrol dan insentif.

2.4 Perkembangan Perkebunan pada Masa Awal Kemerdekaan


Ketika masa revolusi (1945-1955), kondisi perkebunan tidak dapat dipulihkan. Perubahan pemerintahan dari
kolonial menjadi pemerintah Indonesia berdampak pada pengalihan aset-aset dan kebijakan manajemen di sektor
perkebunan. Perkebunan besar milik pemerintah Belanda diambil alih berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar
tahun 1949. Perjanjian tersebut berisikan penyerahan kekuasaan kepada Pemerintah Indonesia Serikat termasuk
pengambil alihan hutang Pemeritah Hindia Belanda oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai pengelola perkebunan
dibentuk Pusat Perkebunan Negara (PPN) berdasarkan PP No 4 Tahun 1946 tentang pembentukan Pusat Perkebunan
Negara. Perusahaan perkebunan yang terdiri dari nasionalisasi perkebunan besar milik pemerintah Hindia Belanda ini
dikenal sebagai Pusat Perkebunan Negara Lama (PPN Lama).
Dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, perkebunan besar milik swasta Belanda dan Eropa diambil
alih sejak 10 Desember 1957 berdasarkan keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 9 Desember 1957 No. 1063/
P.M.T./57 dan peraturan pelaksanaan Menteri Pertanian tertanggal 10 Desember 1957 No. 229/Um/57, perkebunan-
perkebunan milik Belanda yang banyaknya 542 buah diambil alih dan dikuasai oleh Pemerintah. Penguasaan
Sejarah Perkebunan 19

ditugaskan kepada sebuah badan khusus Perusahaan Perkebunan Negara Baru atau disingkat P.P.N Baru. Pada
tahun 1960 diadakan penggabungan antara Perusahaan Perkebunan dalam lingkup P.P.N lama dengan P.P.N baru
menjadi suatu Lembaga Badan Pimpinan Umum urusan Perusahaan Perkebunan Negara disingkat BPU-PPN yang
berkedudukan di Jakarta.
Adanya SK Menteri Pertanian No 229/UM/57 tanggal 10 Desember 1957 dianggap sebagai awal pembangunan
perkebunan Indonesia di zaman kemerdekaan. Saat ini tanggal 10 Desember dikenal sebagai Hari Perkebunan.
Berdasarkan SK tersebut dibentuk Perusahaan Perkebunan Negara Baru (PPN Baru) yang terdiri dari perkebunan
besar milik swasta Belanda. Sebagai contoh dalam rangka nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan perkebunan eks
milik swasta Belanda/Asing antara lain Inggris, Perancis dan Belgia di Jawa Barat dibentuk PPN-Baru cabang Jawa
Barat. Di Cabang Jawa Barat, dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan dalam lingkup PPN-Lama
dan PPN-Baru menjadi PPN Kesatuan Jawa Barat I, PPN Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat III, PPN
Kesatuan Jawa Barat IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V. Dalam perkembangan selanjutnya, selama periode 1963
– 1968 diadakan reorganisasi dengan tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih tepat guna, dibentuk PPN Aneka
Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka Tanaman IX dan PPN Aneka Tanaman X, yang mengelola
tanaman teh dan kina, serta PPN Aneka Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman XII yang mengelola tanaman karet.
Secara deyure, seluruh nasionalisasi tersebut berdasarkan UU No 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang berada dalam wilayah RI yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 4
Tahun 1959 tentang perusahaan pertanian/perkebunan tembakau milik belanda yang dikenakan nasionalisasi dan
No 19 Tahun 1959 tentang perusahaan pertanian/perkebunan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi. Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak tanggal 3 Desember 1957.

2.5 Perkebunan Negara Masa Orde Baru dan Reformasi


Pada awal masa Orde Baru dengan dalih kekuasaan manajemen tidak boleh berada di BPU-BPU Pusat, dan
manajemen harus di daerah-daerah produksi (desentralisasi), maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No14 tahun
1968 tentang pendirian Perusahaan Negara Perkebunan (Aneka Tanaman Negara), maka 4 BPU PPN yang semula
88 unit produksi/PPN tersebut dibubarkan, kemudian 88 unit PPN direorganisasi, menjadi 28 Perusahaan Negara
Perkebunan (PNP), masing-masing berdiri sendiri, menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) I sampai dengan
PNP XXVIII.
Setahun PNP berdiri, sudah disahkan Undang-undang No 9 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk usaha negara yang
mengamanatkan bahwa bentuk perusahaan negara hanya ada tiga yaitu Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan
Umum (PERUM), dan Perusahaan Perseroan (PERSERO). Dengan demikian tersirat bahwa PNP akan berubah
menjadi PERSERO. Sebagai penjabaran undang-undang tersebut, disahkan Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 1969
tentang perusahaan perseroan yang menyatakan bahwa negara hanya dapat melakukan penyertaan modal dalam suatu
perseroan terbatas. Menteri Keuangan ditunjuk untuk mewakili negara selaku pemegang saham dari setiap penyertaan
modal negara, namun Menteri Keuangan dapat menyerahkan kekuasaan untuk mewakili negara kepada menteri yang
bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut.
Pengalihan bentuk PNP menjadi PERSERO dilakukan secara bertahap dan melalui proses kelayakan. Pada tahun
1971 ada 12 PNP yang setelah melalui penelitian dan penilaian, telah memenuhi ketentuan-ketentuan untuk dialihkan
bentuknya menjadi perusahaan perseroan yaitu antara lain PNP III – PNP VII. Apabila pemerintah menilai kurang
layak untuk berdiri sendiri atau untuk lebih meningkatkan efisiensi maka dilakukan penggabungan PNP, misalnya
dibentuk PTP XV-XVI. PTP XXI-XXII, dan PTP XXIV-XXV. PNP yang paling terakhir beralih menjadi PTP adalah
PNP XIX yang berubah menjadi PTP XIX berdasarkan PP No 13 Tahun 1990. Sementara itu PTP XXXI merupakan
PTP baru yang berasal dari PG Cinta Manis di Sumatera Selatan dan PG Bunga Mayang yang dibangun dan dikelola
oleh PTP XXI-XXII Jawa Timur, berdiri sendiri berdasarkan PP No 15 Tahun 1989. Perseroan Terbatas Perkebunan
merupakan BUMN dan berada di bawah pengawasan Kementerian BUMN.
20 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pengawasan terhadap kinerja PTP terus dilakukan oleh Kementerian BUMN. Dengan memperhatikan aspek
kewilayahan dan efisiensi manajemen, maka sejak tahun 1996 terjadi lagi perombakan besar struktur PTP seluruh
Indonesia dan berganti nama menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Dari 31 PTP digabung dan disertai penyertaan
modal berasal dari proyek perkebunan baru yang dikelola oleh PTP tertentu sehingga menjadi struktur manajemen
yang lebih ramping yaitu hanya 14 PTPN. PTPN I sampai PTPN VII berada di Sumatera, PTPN VIII sampai PTPN
XII berada di Jawa, sedangkan Kalimantan baru ada satu PTPN, dan di Sulawesi Selatan baru ada satu PTPN.
Tabel 2. Asal dan dasar hukum pembentukan PTP

Nama PTP Asal Dasar hukum


PTP I PNP I PP No 7 Tahun 1981
PTP II PNP II PP No 28 Tahun 1975
PTP III PNP III PP No 9 Tahun 1971
PTP IV PNP IV PP No 26 Tahun 1971
PTP V PNP V PP No 27 Tahun 1971
PTP VI PNP VI PP No 28 Tahun 1971
PTP VII PNP VII PP No 29 Tahun 1971
PTP VIII PNP VIII PP No 5 Tahun 1972
PTP IX PNP IX PP No 44 Tahun 1973
PTP X PNP X PP No 1 Tahun 1979
PTP XI PNP XI PP No 34 Tahun 1971
PTP XII PNP XII PP No 25 Tahun 1971
PTP XIII PNP XIII PP No 24 Tahun 1971
PTP XIV PNP XIV PP No 45 Tahun 1973
PTP XV PNP XV PP No 32 Tahun 1973
PTP XV-XVI PTP V dan PNP XVI PP No 11 Tahun 1981
PTP XVII PNP XVII PP No 23 Tahun 1974
PTP XVIII PNP XVIII PP No 23 Tahun 1972
PTP XIX PNP XIX PP No 13 Tahun 1990
PTP XX PNP XX PP No 6 Tahun 1971
PTP XXI-XXII PNP XXI dan PNP XXII PP No 23 Tahun 1973
PTP XXIII PNP XXIII PP No 8 Tahun 1971
PTP XXIV PNP XXIV PP No 44 Tahun 1974
PTP XXIV-XXV PTP XXIV dan PNP XXV PP No 15 Tahun 1975
PTP XXVI PNP XXVI PP No 64 Tahun 1971
PTP XXVII PNP XXVII PP No 7 Tahun 1972
Sejarah Perkebunan 21

Nama PTP Asal Dasar hukum


PTP XXVIII PNP XXVIII PP No 41 Tahun 1985
PTP XXIX PNP XXIX PP No 74 Tahun 1971
PTP XXX PNP XXX PP No 25 Tahun 1973
PTP XXXI Penyertaan modal PTP XXI-XXII PP No 15 Tahun 1989

Tabel 3. Asal peleburan dan dasar hukum pembentukan PTPN

PTP
No Lokasi Asal Peleburan Dasar Hukum
Nusantara
1. PTPN I Aceh PTP I, dan penyertaan modal proyek PTP PP No 6 Tahun 1996
II, III, VII, IX
2. PTPN II Sumatera Utara PTP II dan PTP IX PP No 7 Tahun 1996

3. PTPN III Sumatera Utara PTP III, IV, V PP No 8 Tahun 1996


4. PTPN IV Sumatera Utara PTP VI, VII, VIII PP No 9 Tahun 1996
5. PTPN V Riau Penyertaan modal proyek PTP II, IV, V PP No 10 Tahun 1996
6. PTPN VI Sumatera Barat-Jambi Penyertaan modal proyek PTP III, IV, VI, PP No 11 Tahun 1996
VIII
7. PTPN VII Sumatera Selatan-Lampung PTP X dan PTP XXXI PP No 12 Tahun 1996
8. PTPN VIII Jawa Barat PTP XI, XII, XIII PP No 13 Tahun 1996
9. PTPN IX Jawa Tengah PTP XV-XVI, PTP XVIII PP No 14 Tahun 1996
10. PTPN X Jawa Timur PTP XIX, PTP XXI-XXII, dan PTP PP No 15 Tahun 1996
XXVII
11. PTPN XI Jawa Timur PTP XX dan PTP XXIV-XXV PP No 16 Tahun 1996
12. PTPN XII Jawa Timur PTP XXIII, XXVI, XXIX PP No 17 Tahun 1996
13. PTPN XIII Kalimantan Penyertaan modal proyek PTP VI, VII, PP No 18 Tahun 1996
XII, XIII, XVIII, PTP XXIV-XXV, XXVI,
XXIX
14. PTPN XIV Sulawesi Selatan PTP XXVIII, XXXII, PT Bina Mulya PP No 19 Tahun 1996
Ternak

Selain PT Perkebunan Nusantara, terdapat BUMN perkebunan yang lain yaitu PT Rajawali Nusantara Indonesia
(PT RNI). BUMN ini berasal dari perusahaan perdagangan hasil bumi Oei Tiong Ham Concern di Semarang. Pada
tahun 1961 diambilalih oleh pemerintah. Tahun 1964, perusahaan itu berubah nama menjadi PT Pusat Perkembangan
Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). RNI bergerak di tiga bidang usaha, yaitu agroindustri, farmasi
dan alat kesehatan, serta perdagangan dan distribusi. Dalam bidang agro-industri, RNI memiliki 10 pabrik gula di
Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur, perkebunan sawit dan perkebunan teh serta beberapa pabrik pengolahan
produk hulu dan samping berbasis tebu.
22 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

2.6 Perkebunan Negara pada Masa Depan


Kinerja BUMN perkebunan dirasakan masih perlu terus diperbaiki. Sejak tahun 2006, pemerintah berencana
membentuk holding BUMN Perkebunan. Jika holding BUMN Perkebunan terbentuk dan seluruh BUMN perkebunan,
mulai dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga PTPN XIV, serta PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)
bersatu, maka secara lahan, BUMN perkebunan RI akan menjadi BUMN perkebunan terbesar di dunia, mengalahkan
perusahaan perkebunan raksasa dunia milik Malaysia, Sime Darby. Hingga semester pertama 2011, total lahan 15
BUMN perkebunan mencapai 1,47 juta hektare dengan total aset mencapai Rp 48,2 triliun. Areal tersebut merupakan
lahan kelapa sawit, karet, kakao, teh, kopi, dan tebu. BUMN Perkebunan mencatatkan laba bersih sebesar Rp 1,714
triliun pada semester pertama 2011 atau setara Rp 1,2 Juta per hektar. Jika dibandingkan dengan swasta, Laba 15
BUMN perkebunan ini masih jauh tertinggal.
Yang melatarbelakangi program holding BUMN Perkabunan adalah adanya persaingan baik nasional maupun
global dalam komoditi perkebunan berimplikasi pada perlunya peningkatan daya saing BUMN Perkebunan. Kondisi
lingkungan usaha BUMN Perkebunan saat ini belum mendukung untuk menghadapi persaingan tersebut yaitu: (1)
BUMN Perkebunan terikat dengan aturan-aturan birokrasi korporasi dan birokrasi pemerintah lokal serta belum
independen terhadap kelompok interes, (2) struktur organisasi BUMN Perkebunan saat ini belum efektif untuk
meningkatkan profitabilitas dan akselerasi pertumbuhan usaha, (3) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan kinerja
belum optimal, (4) komposisi tanaman dan produktivitas masih perlu diperbaiki, (5) profitabilitas masih rendah,
(6) adanya hambatan pendanaan operasional dan investasi, (7) jaringan dan pengendalian pasar masih terbatas, (8)
pemanfaatan silang sumberdaya antar BUMN perkebunan sulit dilakukan. Adanya total luas lahan yang dikelola sangat
luas, sumberdaya manusia serta pengalaman kerja yang sangat baik, pasar potensial yang terus berkembang, serta
besarnya potensi pengembangan industri hilir, maka diperlukan optimalisasi pemberdayaan atau sinergi antara BUMN
perkebunan di bidang produksi, operasional, pemasaran, keuangan, penelitian, sumberdaya, dan organisasi dengan
membentuk holding BUMN Perkebunan. Dengan 14 PTPN saat ini, rentang kendali oleh Kementerian BUMN masih
luas. Terbentuknya perusahaan hoding Perkebunan BUMN akan menyederhanakan pengawasan dan pengendalian
oleh Kementerian BUMN.

2.7 Sejarah Lembaga Penelitian Perkebunan


Sejak zaman kolonial, berdirinya lembaga penelitian bidang perkebunan umumnya dimotori oleh perusahaan
perkebunan besar swasta dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan perusahaan. Namun ada juga lembaga
penelitian perkebunan yang diinisiasi bersama antara perusahaan besar dan pemerintah. Perubahan struktur,
pembina atau pengawas lembaga penelitian ini terjadi berkaitan dengan sumber dan efisiensi pendanaan. Perubahan
pemerintahan, perubahan struktur perusahaan, serta perubahan kebijakan akan menyebabkan perubahan struktur
kelembagaan lembaga penelitian.
Komoditas perkebunan yang diusahakan oleh perkebunan besar mempunyai lembaga penelitian sendiri yang
bertugas meneliti pengembangan usaha komoditas tersebut seperti penelitian komoditas karet, kelapa sawit, kopi,
kakao, teh, kina, dan tebu. Diawali dengan tebu, mengingat pentingnya nilai ekonomi gula di masa Hindia Belanda,
maka pabrik-pabrik gula di Jawa secara berurutan pada tahun 1885 mendirikan Het Preofstation Midden Java di
Semarang, diikuti berdirinya Proefstation voor Suikerrient in West Java di Kagok pada tahun 1886, dan Proefstation
Oost Java di Pasuruan pada tahun 1887 yang dikenal dengan sebutan POJ. Tahun 1893 Proefstation di Semarang
ditutup, dan pada tahun 1905 Proefstation di Semarang dan POJ Pasuruan secara organisatoris bergabung dan pada
tahun 1925 secara fisik menjadi satu di Pasuruan. Lembaga POJ ini yang bertahan hingga sekarang dan menghasilkan
varietas tebu POJ yang terkenal. Pada periode 1942-1945 POJ dikuasai oleh Pemerintah Jepang dan tahun 1945
Komite Nasional Indonesia mengambil alih POJ dari Pemerintah Jepang.
Setelah terjadi nasionalisasi perkebunan gula milik bangsa Belanda, institusi ini sejak 10 Desember 1957 dikelola
oleh Badan Koordinasi Perkumpulan dan Organisasi Perkebunan dan diberi nama Balai Penyelidikan Perusahaan
Sejarah Perkebunan 23

Perkebunan Gula (BP3G) berdasarkan SK Mentan No. 229/Um/57 tanggal 10 Desember 1957 yang diperbaharui
dengan SK Mentan No. 49/Um/57 tanggal 17 April 1958. Tanggal 11 Mei 1987 rapat Dewan Pembina mengubah
nama BP3G menjadi P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia).
Pada tahun 1901 pengusaha perkebunan kakao di Jawa Tengah mendirikan Proefstation voor Cocoa di Salatiga
yang diperluas cakupan komoditasnya menjadi Algemeen Proefstation voor de Bergcultures, serta pengusaha
perkebunan Sukabumi mendirikan Proefstation voor Thee melalui Gouverment Besluit No 16 tanggal 13 April
1902. Karena alasan jarak antara lokasi kebun dengan lembaga penelitiannnya, maka Algement Proefstation voor de
Bergcultures dan Proefstation voor Thee dibubarkan, tetapi dibentuk empat institusi penelitian yang menggantikannya,
yaitu Proefstation voor Rubber di Bogor, Algemeen Proefstation voor Thee di Bogor, dan Malang Proefstation di
Malang dan Besoekisch Proefstation di Jember. Pada tanggal 31 mei 1911, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan
Proefstation voor Kina di Pengalengan, melalui Gouverment Besluit No. 35.
Pada tahun 1933 dilakukan penciutan dari enam menjadi tiga lembaga penelitian yaitu Profestation West Java,
Profestation Midden-en Oost Java dan Besoekisch Profestation. Ketiganya semula dikelola oleh Algemeen Landbouw
Syndicat (ALS) namun kemudian diserahkan kepada Centrale Vereniging tot Beheer van Profestation voor de
Overjarige Cultuur in Indonesie yang lebih dikenal dengan sebutan Centrale Profestation Vereniging (CPV).
Dalam perjalanannya, Profestation West Java diubah menjadi Profestation der CPV Bogor, Profestation Midden-
en Oost Java menjadi Profestaion der CPV Malang, dan Besoekisch Profestation menjadi Profestation der CPV Jember
yang sekarang bernama Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI). Setelah diambil alih oleh pemerintah
Indonesia, pada tahun 1957 Profestation der CPV diubah namanya menjadi Balai Penyelidikan Perkebunan Besar
berkedudukan di Bogor dengan cabangnya di Jember. Bersamaan dengan itu Indonesisch Instituut voor Rubber
Onderzoek/INIRO yang berdekatan dengan gedung CPV diubah namanya menjadi Balai Penyelidikan dan Pemakaian
Karet.
Pada tahun 1968 kedua lembaga penelitian tersebut digabung dan namanya diganti menjadi Balai Penelitian
Perkebunan Bogor. Pada tahun 1989 nama Balai Penelitian Perkebunan Bogor diubah menjadi Pusat Penelitian
Perkebunan Bogor. Pada akhir 1992 Pusat Penelitian Perkebunan Bogor diubah menjadi Pusat Penelitian Bioteknologi
Perkebunan.
Di Sumatera, pada tahun 1916 didirikan pula Algemeen Proefstation der AVROS (APA) oleh perusahaan
perkebunan yang tergabung dalam Algemeen Vereniging Rubber Planters Ooskust van Sumatera (AVROS). Pada
tahun 1941, AVROS bersama Bond van Eigenaren van Netherland-Indische Rubber Ondernemingen membentuk pula
badan otonomi yang bertugas mengembangkan penelitian dan pemakaian karet alam, yang dinamakan Netherlands
Indische Instituut voor Rubber Onderzoek Stichting (NIRO Stichting) yang membawahi satu balai, yaitu INIRO
(Indonesisch Instituut voor Rubber Onderzoek). Dalam perkembangan strategisnya, AVROS tidak saja menghimpun
pengusaha karet tetapi juga pengusaha kelapa sawit. sehingga AVROS kemudian mengembangkan pusat penelitian
untuk komoditi perkebunan, misalnya di Sei Putih untuk karet dan di Marihat untuk kelapa sawit. Setelah nasionalisasi
pada tahun 1957, APA dikelola oleh Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumatera (GAPPERSU) dan APA diubah
namanya menjadi RISPA (Research Institute of Sumatera Planters Association). Berdasarkan surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 247/UM/57 tanggal 11 Desember 1957 ditetapkan bahwa RISPA ditempatkan di bawah Kementerian
Pertanian RI yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Perkumpulan dan Organisasi Perkebunan.
Pada tahun 1968 RISPA berubah menjadi Balai Penelitian Perkebunan Medan (BPPM) dengan pembinaan dan
pembiayaannya diserahkan kepada Direksi PN Perkebunan I s/d IX sesuai dengan keputusan Menteri Pertanian RI
No. 353/Kpts/OP/12/1968 tanggal 20 Desember 1968.
Sejarah Pusat Penelitian Marihat (PPM) terkait erat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan lainnya seperti
Bandar Oliepalmen Cultuur Maatsschappij (BOCM), Rubber Cultuur Maatsschappij (NHM), Vereninging Deli
Maatsschappij (VDM) yang didirikan berdasarkan IBW 1927 yang juga memiliki satu bagian yang bergerak dalam
riset di Marihat. Pada tahun 1957 perusahaan-perusahaan tersebut dinasionalisasi dan tahun 1960, terbentuklah PPN
Aneka Tanaman. PPN Aneka Tanaman ini meneruskan riset di Marihat dengan mengubahnya menjadi Pusat Penelitian
24 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Aneka Tanaman Sumatera (Pupenas) dengan ruang lingkup kelapa sawit, teh, kina, kopi, pinus dan kapuk. Pupenas
mengembangkan kebun percobaan kelapa sawit yang ditinggalkan Belanda di berbagai tempat seperti Tinjowan,
Dolok Sinumbah, Gunung Bayu, Pulau Raja, Pabatu, dan Sawit Sebrang. Tahun 1968, Pupenas berubah nama menjadi
Marihat Research Station (MRS) di bawah pembinaan PTP I, II, VI, VII dan VIII dengan komoditi kelapa sawit, teh
dan kakao.
Berbeda dengan lembaga penelitian kelapa sawit yang berawal dan berkembang di Sumatera Utara, lembaga
penelitian karet berkembang di Sumatera dan Jawa. AVROS mengawali pengembangan Pusat Penelitian Sei Putih.
Setelah nasionalisasi perkebunan, pada bulan September 1963, Badan Pimpinan Umum (BPU) PPN Karet membentuk
Rubber Research Centre (RRC) di Tanjung Morawa untuk wilayah Sumetera dan RRC di Cinyiruan untuk wilayah
Jawa. Research Center Cinyiruan meneruskan penelitian teh dan kina, dan Research Center Getas melakukan penelitian
karet.

2.8 Asosiasi Penelitian Perkebunan


Sistem pembiayaan penelitian seperti yang tersebut terakhir di atas menimbulkan beberapa hambatan akibat : (i)
kesulitan pemerintah mendanai balai-balai penelitian eks-Belanda yang statusnya bukan pengawai negeri, (ii) beban
PNP-PNP dalam pembiayaan ganda balai penelitian dan research center yang melakukan kegiatan komoditi yang
sama, dan (iii) rendahnya efisiensi biaya dan pengelolaan. Untuk mengatasi kendala ini maka pada tahun 1987 dibentuk
Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I) yang beranggotakan BUMN Perkebunan dan
Perusahaan Perkebunan Swasta serta menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah.
Melalui SK Menteri Pertanian No. 823/Kpts/KB/8110/II/89, pengelolaan dan pendanaan kegiatan penelitian
dan pengembangan untuk komoditi perkebunan diserahkan kepada AP3I. Institusi penelitian yang diserahkan
kepada AP3I meliputi 10 balai penelitian, yaitu Pusat Penelitian Perkebunan (Puslitbun) Bogor menangani penelitian
rintisan, Puslitbun Sungei Putih untuk Penelitian Karet, Puslitbun Tanjung Morawa untuk penelitian karet, Puslitbun
Getas untuk penelitian karet, Puslitbun Medan untuk penelitian Kelapa Sawit, Puslitbun Marihat untuk penelitian
kelapa sawit, Puslitbun Bandar Kuala untuk penelitian kelapa, Puslitbun Gambung unuk penelitian teh dan kina,
serta Puslitbun Jember untuk penelitian kopi dan kakao. Untuk menguasai aspek ekonomi dan pemasaran, maka
AP3I membentuk Pusat Penelitian dan Pengkajian Agribisnis (P2PA) melalui TAP RA AP3I Nomor 12/ra/1989 dan
Memorandum Menteri Muda Pertanian No. 05.210/145/MM/IX/89.
Agar dapat melakukan koordinasi dengan lebih baik, pada tahun 1992 dilakukan reorganisasi institusi penelitian
dengan cara mengelompokkannya berdasarkan komoditas yang ditanganinya. Sesuai dengan surat keputusan Ketua
Dewan Pimpinan Harian AP3I No. 084/Kpts/DPH/XII/92 tanggal 24 Desember 1992 tentang penataan pengelolaan
unit pelaksana penelitian di lingkungan AP3I, maka pada 4 Februari 1993 dibentuk Pusat Penelitian Kelapa Sawit
berkedudukan di Medan, yang merupakan gabungan dari Puslitbun Medan, Puslitbun Marihat, dan Puslitbun Bandar
Kuala.
Puslitbun Bandar Kuala adalah lembaga penelitian yang relatif baru dan tidak berkaitan dengan kelapa sawit
dan masa kolonial. Puslitbun Bandar Kuala dibentuk pada tahun 1982 dengan nama Pusat Penelitian Kelapa
(PPK) berdasarkan Surat Keputusan Bersama Direksi PTP II, VI dan VII untuk mengiplementasi SK Mentan yang
memberikan tugas pengembangan kelapa kepada BUMN perkebunan. Penggabungan ketiga Puslitbun tersebut
(Puslitbun Medan, Puslitbun Marihat, dan Puslitbun Bandar Kuala) dilakukan dalam upaya peningkatan efisiensi
pengelolaan organisasi.
Dalam program reorganisasi, Puslitbun Jember diubah menjadi Pusat Penelitian (Puslit) Kopi dan Kakao,
Puslitbun Gambung diubah menjadi Puslit Teh dan Kina, Puslitbun Medan digabung dengan Puslitbun Marihat
dan Puslitbun Bandar Kuala menjadi Puslit Kelapa Sawit (PPKS), sedangkan Puslitbun Getas, Puslitbun Sembawa,
Puslitbun Sungei Putih, dan Bagian Teknologi karet Bogor Puslitbun Bogor digabungkan menjadi Puslit Karet (PPK).
Untuk puslit yang merupakan gabungan beberapa puslitbun, puslibun ditetapkan sebagai balai penelitian yang secara
Sejarah Perkebunan 25

organisasi berasal di bawah puslit. Sementara itu Puslitbun Bogor diubah menjadi Puslit Bioteknologi Perkebunan
melalui SK DPH AP3I No. 084/Kpts/DPH/XII/1992 pada akhir tahun 1992.
Asosiasi Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (AP2GI) beranggotakan BUMN dan perusahaan gula milik swasta
yang memiliki satu balai penelitian, yaitu Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) di Pasuruan, yang
pada tahun 1987 diberi nama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). AP2GI baru bergabung dengan
AP3I pada tanggal 1 Februari 1996 dan dilebur menjadi satu asosiasi dengan nama Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia (APPI).
Dengan penggabungan ini, APPI mengelola lima pusat penelitian, yaitu : Puslit Kelapa Sawit, Puslit Karet, Puslit
Teh dan Kina, Puslit Kopi dan Kakao, serta P3GI. Puslit bioteknologi Perkebunan diserahkan di bawah koordinasi
Balai Penelitian Biotkenologi Perkebunan (Balit Bio), sedangkan P2PA diserahkan di bawah koordinasi Puslit Sosial
Ekonomi (PSE). Balit Bio dan PSE ini adalah instansi resmi milik Badan Litbang Pertanian. Meskipun di bawah
koordinasi Badan Litbang Pertanian, sampai saat ini pembiayan operasional ex-Puslit Bioteknologi dan ex-P2PA
masih ditanggung oleh APPI karena status kepegawaiannya tidak dapat dijadikan pegawai negeri sipil.
Dalam perjalanan selanjutnya, APPI membentuk Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) untuk melaksanakan
tugas koordinasi lintas puslit yang berada pada naungan APPI, yaitu PPKS, Puslit Karet, Puslit Kopi dan Kakao,
Puslit Gula, Puslit Teh dan Kina, dan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Ketetapan Rapat Anggota Asosiasi
Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI) Nomor: 03/ RA-APPI/LB/2010 pada tanggal 5 Februari 2010 mensahkan
pembentukan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) yang merupakan transformasi dari LRPI. Transformasi ini ke
depan akan diteruskan dengan menjadikan semua puslit sebagai anak perusahaan yang berwujud perseroan terbatas.
Menteri Pertanian RI melalui surat No 199/TU.210/M/9/2009 mendukung perubahan status LRPI menjadi PT
RPN dengan tetap menjalankan tugas dan fungsi sesuai mandat yang diemban LRPI yaitu melaksanakan riset dan
pengembangan komoditas kelapa sawit, karet, kopi, kakao, teh, kina dan tebu. Menteri Negara BUMN dengan surat
No. S-713/MBU/2009 tanggal 30 September 2009, menyetujui pendirian PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN).
Selanjutnya PT RPN didirikan berdasarkan akta No. 01 tanggal 20 Nopember 2009 dari notaris Hasbullah Abdul
Rasyid, SH., di Jakarta.

2.9 Lembaga Penelitian Perkebunan Lingkup Litbang Pertanian


Selain itu, terdapat lembaga penelitian perkebunan yang dibiayai dari anggaran negara, yaitu Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan (Puslitbang Perkebunan) yang berada di lungkup Badan Litbang Pertanian. Puslitbang
Perkebunan merupakan transformasi dari Lembaga Penelitian Tanaman Industri (LPTI). Sedangkan LPTI bermula
dari Cultuurtuin didirikan pada tahun 1876 merupakan bagian dari Kebun Raya Bogor sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Sejarah Puslitbang Perkebunan

Periode Nama Instansi Organisasi Induk


1876 – 1918 Cultuurtuin Kebun Raya Bogor
1918 – 1945 Cultuurtuin Algemeen Proefstation voor de
Landbouw
1945 – 1961 Bagian Tanaman Dagang Balai Besar Penyelidikan
Pertanian
1962 – 1967 - Lembaga Penelitian Tanaman Serat dan Jenis-jenis Tanaman Departemen Pertanian
Industri Lain
26 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Periode Nama Instansi Organisasi Induk


- Lembaga Penelitian Kelapa dan Jenis-jenis Tanaman Lemak
Lainnya
1967 – 1975 Lembaga Penelitian Tanaman Industri Direktorat Jenderal Perkebunan
1975 – 1980 Lembaga Penelitian Tanaman Industri Badan Litbang Pertanian
1980 – 1998 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Badan Litbang Pertanian
1998 – 2000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Badan Litbang Pertanian
2000 – sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Badan Litbang Pertanian

Sumber: Puslitbang Perkebunan (2012)


Badan Litbang Pertanian dibentuk berdasarkan Keppres No. 44 dan 45 tahun 1974 yang antara lain membawahi
Puslitbang Perkebunan. Lembaga-lembaga di bawah Badan Litbang Pertanian dapat secara dinamis berubah terkait
dengan pembentukan kabinet dan kebijakan pemerintah. Dengan pemisahan Departemen Pertanian dan Departemen
Kehutanan, maka berdasarkan Keppres No. 24 tahun 1983 dibentuk Puslitbang Tanaman Industri sebagai transformasi
Puslitbang Perkebunan dan Kehutanan. Berdasarkan Keppres No. 61 tahun 1998 Badan Litbang Pertanian mengalami
perubahan karena Puslitbang Tanaman Industri masuk ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dengan Kepmentan
No. 01/ Kpts/OT.210/1/2001 susunan organisasi Badan Litbang Pertanian mengalami perubahan kembali yaitu
perubahan nomenklatur Puslit menjadi Puslitbang dan kembalinya Puslitbang Perkebunan ke lingkungan Departemen
Pertanian.
Balai penelitian di lingkup Balitbang Perkebunan adalah sebagai berikut:
1. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), di Bogor, merupakan transformasi dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 64/Permentan/OT/10/2011
tanggal 12 Oktober 2011, mempunyai tugas melaksanakan penelitian tanaman rempah, obat, aromatik dan jambu
mete.
2. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), di Malang, merupakan transformasi dari Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas), berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 63/Permentan/OT/10/2011
tanggal 12 Oktober 2011, mempunyai tugas melaksanakan penelitian tanaman pemanis, serat, tembakau dan
minyak industri.
3. Balai Penelitian Tanaman Palma (Balitka), di Menado, merupakan tranformasi dari Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lainnya (Balitka), berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 62/Permentan/OT/10/2011
tanggal 12 Oktober 2011, mempunyai tugas melaksanakan penelitian tanaman palma.
4. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (BALITTRI) di Pakuwon, Sukabumi, Jawa Barat, merupakan
transformasi dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri). Berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT/10/2011 tanggal 12 Oktober 2011, BALITTRI mempunyai
tugas melaksanakan penelitian tanaman industri dan penyegar.
Sejarah Perkebunan 27

DAFTAR PUSTAKA
Ghani, M.A. 2003. Sumber Daya Manusia Perkebunan dalam Perspektif. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Kano, H., F. Husken, D. Suryo. 1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad
Ke-20. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kartodirdjo, S. dan D. Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Mubyarto. 1993. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi. Adtya Media. Yogyakarta.
Puslitbang Perkebunan. 2012. Sejarah. www. perkebunan.litbang.deptan.go.id.
Simarmata, R. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Insist. Yogyakarta.
28 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 29

BAB III
KESESUAIAN LAHAN DAN PEWILAYAHAN
KOMODITAS

D alam survai kawasan lahan untuk penyusunan rencana pembangunan suatu perkebunan diperoleh data-data
lingkungan yang diperlukan untuk menentukan tingkat kesesuaian untuk suatu komoditas atau merekomendasikan
penanaman suatu komoditas tertentu. Jadi penentuan kesesuaian lahan serta rekomendasi pemilihan suatu komoditas
merupakan sebagian dari hasil survai. Penentuan kesesuaian lahan sangat penting dalam pembangunan perkebunan
maupun untuk rencana konversi lahan. Kesalahan dalam penyimpulan kesesuaian lahan atau penentuan komoditas
akan berakibat fatal bagi keberhasilan pembangunan suatu perkebunan atau keberhasilan konversi dari suatu komoditas
ke komoditas yang lain.

3.1 Syarat Tumbuh


Syarat tumbuh tanaman merupakan keadaan lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan suatu tanaman. Apabila syarat tumbuh optimum terpenuhi maka produktivitas tanaman mencapai
maksimum sesuai dengan potensinya. Setiap jenis tanaman mempunyai syarat tumbuh tertentu untuk mampu tumbuh
dan memberikan hasil sesuai dengan potensinya. Syarat tumbuh setiap jenis komoditas adalah spesifik karena
merupakan persyaratan fisiologis yang dibutuhkan tanaman tersebut yang biasanya ditentukan berdasarkan kriteria
beberapa parameter lingkungan yaitu iklim dan lahan yang berpengaruh langsung atau menunjukkan fungsi respons
positif terhadap produksi.
Sehubungan dengan respon keadaan lingkungan terhadap hasil produk yang bernilai ekonomi, maka syarat
tumbuh paling tidak dapat diklasifikasi menjadi syarat tumbuh optimum dan syarat tumbuh minimum. Syarat
tumbuh optimum adalah keadaan tanah dan iklim yang diperlukan untuk mencapai produktivitas >75% optimum.
Syarat tumbuh minimum adalah keadaan tanah dan iklim yang diperlukan untuk mencapai produktivitas kritis, yaitu
produktivitas untuk mencapai titik impas (BEP).
Syarat Elevasi dan Iklim
Iklim merupakan faktor yang relatif tidak dapat diubah  oleh manusia. Dalam bercocok tanam, manusia perlu
menyesuaikan  dengan keadaan  iklim suatu wilayah agar risiko  kegagalan  diperkecil. Hasilnya  dapat ditemukan
pusat-pusat produksi  suatu komoditas yang  telah berkembang dan teruji dalam waktu yang lama  terhadap guncangan
iklim. Dengan cara ini juga manusia  dapat  menetapkan daerah pengembangan bagi suatu komoditas.
30 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Syarat tumbuh pertama yang penting adalah ketinggian suatu tempat (elevasi). Elevasi adalah istilah lain dari ukuran
ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Di daerah tropis keadaan iklim sangat erat berkaitan  dengan ketinggian
tempat (elevasi) sehingga dikenal tanaman yang  cocok untuk dataran rendah dan tanaman yang cocok untuk daerah
dataran tinggi  (pegunungan). Dalam kaitannya dengan syarat tumbuh tanaman, secara umum sering dibedakan antara
tanaman dataran rendah (<700 m dpl.) dan dataran tinggi (> 700 m dpl. Secara agak lebih rinci, dapat juga dibagi
menjadi tanaman dataran rendah (<350 m dpl), dataran sedang atau medium (350-700 m dpl), dataran tinggi (700-
1200 m dpl), dan dataran sangat tinggi (>1200 m dpl). Tanaman perkebunan utama di dataran rendah antara lain karet,
tebu, kelapa, dan kelapa sawit, di dataran sedang antara lain lada, kakao dan kopi robusta, di dataran tinggi antara lain
kopi arabika, teh, dan kina.
Elevasi penting bagi penentuan kesesuaian lahan, tidak saja karena  semakin  tinggi elevasi  semakin  turun suhu
udara tetapi juga karena  di  daerah pegunungan,  hujan  turun lebih banyak.  Hubungan  antara  tinggi tempat dengan
suhu udara dinyatakan dengan rumus Braak:
T = t - 0,61 h
dimana:
T = suhu rata-rata harian (oC)
t = suhu permukaan laut (oC)
0,61 = angka gradien suhu tiap kenaikan tinggi 100 m
h = tinggi tempat dari permukaan laut (dalam hektometer).
Parameter iklim yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain meliputi curah hujan,
penyebaran hujan (bulan basah dan bulan kering), suhu udara,  dan kelembaban udara. Sebagai tanaman yang terutama
dikembangkan  di lahan kering  maka tanaman perkebunan  sangat  bergantung dari pasokan  air hujan tidak saja
jumlah total air yang jatuh  tetapi juga  penyebarannya  yang diukur dari jumlah  hari  hujan, bulan basah dan bulan
kering. Tanaman tahunan terutama tanaman berupa pohon memiliki perakaran yang lebih dalam daripada tanaman
semusim. Penentuan bulan basah dan bulan kering yang lebih sesuai untuk tanaman perkebunan berupa pohon adalah
klasifikasi menurut Schmidt dan Ferguson yaitu bulan kering jika curah hujan sebulan < 60 mm, bulan lembab jika
curah hujan 60-100 mm, dan bulan basah jika curah hujan >100 mm per bulan.
Berbagai  tanaman  perkebunan juga  memiliki  sifat  musiman dalam pertumbuhan dan pembungaan. Misalnya
tanaman kopi, cengkeh, lada,  kakao, vanili memerlukan musim  kering  untuk  merangsang pembungaan. Tanaman
tebu memerlukan musim kering agar diperoleh rendemen yang tinggi. Kualitas daun tembakau voor-oogst rusak
apabila ada hujan di musim panen, sebaliknya kualitas tembakau jenis na-oogst baik apabila dipanen setelah dikenai
hujan. Berbagai tanaman perkebunan menghendaki hujan yang merata sepanjang tahun seperti teh, kelapa, kelapa
sawit, karet, dan kayu manis.
Kebutuhan Air
Terkait dengan kebutuhan air oleh tanaman perkebunan dalam pendugaan kebutuhan air untuk irigasi dan
pendugaan hasil, parameter yang penting adalah defisit air. Defisit air terjadi pada bulan-bulan kering dan pada
bulan lembab atau bulan basah pertama. Sehingga bulan defisit air dapat ditentukan dengan metode Oldeman (untuk
tanaman semusim) dan metode Schmidt dan Ferguson (untuk tanaman pohon). Menghitung defisit air bulanan dapat
dilakukan dengan banyak metode seperti metode OLR (outgoing longwave radiation)(Khomarudin et al., 2001),
metode Thorthwaite dan Mather (Rusmayadi, 2011), dan berdasarkan penghitungan cadangan atau ketersediaan air
dengan rumus empiris Surre (1968).
Defisit air terjadi apabila nilai evapotranspirasi tanaman (ETc) lebih besar daripada cadangan lengas dalam tanah
dan jumlah curah hujan. Cadangan air adalah jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yaitu kandungan air
tanah dikurangi titik layu permanen. Cadangan air maksimum terjadi pada saat kandungan air mencapai kapasitas
lapang. Untuk menghitung defisit air diperlukan peubah sebagai berikut.
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 31

(1) Curah hujan bulanan


(2) Evapotranspirasi tanaman (Etc)
ETc = Kc. ETo dimana
ETo = evapotranspirasi tanaman referensi
Kc = konstanta yang tergantung pada jenis tanaman
(3) Neraca air (mm/bulan ) = Curah hujan (mm/bulan) + Cadangan air (mm) – ETc (mm)
(4) Cadangan air, adalah neraca air yang positif pada bulan sebelumnya, mencapai maksimum pada saat kapasitas
lapang. Defisit air adalah neraca air yang bernilai negatif.
Tabel 5 merupakan contoh perhitungan defisit air untuk tanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), menggunakan beberapa asumsi: (1) Cadangan air tanah maksimum adalah 200 mm,
yang merupakan kemampuan maksimal tanah untuk mengikat air, selebihnya akan terjadi run off; (2) Evapotranspirasi
tanaman kelapa sawit (ETc) didasarkan pada jumlah hari hujan setiap bulan dengan menggunakan asumsi jika hari
hujan 0-10 hari, evapotranspirasi = 150 mm, (3) jika hari hujan > 10 hari, evapotranspirasi = 120 mm.
Tabel 5. Contoh perhitungan defisit air pada tanaman kelapa sawit

Curah Cadangan ETc Neraca air Cadangan Defisit air


Bulan Hari hujan
hujan (mm) air (mm) (mm) (mm) akhir (mm) (mm)
Januari 24 437 200 120 517 200 0
Februari 20 350 200 120 430 200 0
Maret 15 214 200 120 294 200 0
April 9 89 200 150 139 139 0
Mei 11 156 139 120 175 175 0
Juni 4 77 175 150 102 102 0
Juli 2 21 102 150 -27 0 27
Agustus 0 0 0 150 -150 0 150
September 10 95 0 150 -55 0 55
Oktober 17 226 0 120 106 106 0
November 13 189 106 120 175 175 0
Desember 21 370 175 120 425 200 0
Jumlah 146 2224 232

3.2 Karakteristik Lahan


Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang secara luas mencakup pengertian lingkungan
fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang
semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Topografi secara luas juga menunjuk kepada
bentuk permukaan bumi termasuk relief dan keadaan vegetasi. Dalam menentukan kesesuaian lahan, topografi adalah
keadaan relief atau kelerengan permukaan lahan yang dapat mendukung usaha pertanian.
32 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 6. Klasifikasi bentuk relief dan kelerengan

Bentuk relief Kelerengan (%)


Datar <3
Landai/berombak 3-8
Agak miring 8-15
Miring 15-30
Agak curam 30-40
Curam 40-60
Sangat curam >60

Kelerengan lahan berkaitan dengan teknis konservasi lahan yang harus diterapkan, kebutuhan tanaman terhadap
drainase, tingkat kesulitan pengelolaan kebun yang kemudian menentukan komoditas yang dapat diusahakan sesuai
dengan daya dukung kelerengan lahan tersebut. Perkebunan yang memerlukan operasional peralatan mekanis serta
peralatan transportasi terutama panen yang intensif, memerlukan lahan yang datar sampai landai, misalnya tanaman
tebu. Sementara kebun kelapa sawit dan karet masih dapat diusahakan di lahan datar sampai miring (15-30%). Kebun
teh, kopi, dan kakao dengan habitus berupa pohon serta adanya pohon pelindung maka masih dapat diusahakan di
lahan curam (40-60%).
Dalam suatu bentang lahan, kombinasi beberapa jenis tanaman, baik tanaman semusim maupun tanaman pohon,
baik berupa kebun campuran, kebun bertanaman sela, kebun berpohon pelindung maupun kebun campuran secara
spasial antar blok sangat direkomendasikan untuk mencapai perkebunan berkelanjutan. Tanaman berupa pepohonan
tidak dibatasi dengan kemiringan lahan, namun tetap kaidah konservasi menjadi perhatian utama. Tanaman semusim
sebaiknya diusahakan pada lahan yang datar sampai agak miring. Terkait dengan kemiringan lahan, rekomendasi
sistem pertanaman dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Kelerengan lahan dan sistem pertanaman

Kelerengan (%) Sistem pertanaman


<15 Semusim 100%
15-25 Semusim (maks 50%) + pohon (min 50%)
25-40 Semusim (maks 25%) + pohon (min 75%)
>40 Pohon 100%

Departemen Pertanian (2006)


Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land
qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics).
Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan
dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis
lahan (peternakan, perikanan, kehutanan). Karakteristik yang digunakan untuk evaluasi lahan dapat disesuaikan
menurut kepentingan dan ketersediaan data. Karakteristik yang digunakan Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian
(2009) adalah temperatur, ketersediaan air (curah hujan, bulan kering), ketersediaan oksigen (drainase), media
perakaran (tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah), gambut (ketebalan, kematangan), retensi hara (KTK, kejenuhan
basa, pH, C organik), toksisitas (salinitas), sodisitas (alkalinitas), bahaya sulfidik (kedalaman sulfidik), bahaya erosi
(kelerengan, tingkat bahaya erosi), bahaya banjir (genangan), dan penyiapan lahan (batuan di permukaan, singkapan
batuan).
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 33

Beberapa contoh pegelompokan parameter karakteristik lahan adalah sebagai berikut (Ritung et al., 2007).
Pengelompokan kelas tekstur: halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat
berpasir, lempung liat berdebu), sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), agak
kasar (lempung berpasir), kasar (pasir, pasir berlempung), sangat halus (liat). Bahan kasar adalah persentasi kerikil,
kerakal atau batuan pada setiap lapisan tanah, dibedakan menjadi: sedikit (< 15%), sedang (15 - 35 %), banyak (35 -
60%), sangat banyak (> 60 %). Kedalaman tanah, dibedakan menjadi: sangat dangkal (< 20 cm), dangkal (20 - 50 cm),
sedang (50 - 75 cm), dalam (> 75 cm). Ketebalan gambut, dibedakan menjadi: tipis (< 60 cm), sedang (60 - 100 cm),
agak tebal (100 - 200 cm), tebal (200 - 400 cm), sangat tebal (> 400 cm). Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan
jumlah tanah permukaan yang hilang akibat erosi (cm/tahun) diklasifikasikan menjadi: sangat ringan (<0,15), ringan
(0,15-0,9), sedang (0,9-1,8), berat (1,8-4,8), dan sangat berat (>4,8). Klasifikasi kemasaman (pH) tanah dibedakan
menjadi; sangat masam (<4,5), masam (4,5-5,5), agak masam (5,6-6,5), netral (6,6-7,5), agak alkalis (7,6-8,5), dan
alkalis (>8,5). Klasifikasi kandungan unsur hara menurut Balai Penelitian Tanah (2005) antara lain, kandungan N
total (%) kategori sangat tinggi (>0,75), tinggi (0,51-0,75), sedang (0,25-0,5), rendah (0,1-0,2), sangat rendah (<0,1),
kandungan C organik (%) kategori sangat rendah (<1), rendah (1-2), sedang (2-3), tinggi (3-5), dan sangat tinggi
(>5).
Untuk meningkatkan produksi, manusia dapat memanipulasi iklim mikro seperti pemberian pohon pelindung,
pemangkasan pelindung, irigasi curah, dan pemulsaan. Lahan merupakan faktor lingkungan yang dapat dimanipulasi,
namun usaha itu meningkatkan biaya produksi sehingga kelanjutan usahatani ini peka terhadap guncangan harga.
Usahatani pada lahan yang sesuai saja baik kesesuaian iklim maupun tanah yang dapat bertahan jika harga komoditas
menurun. Sifat fisika, kimia, dan biologi tanah berpengaruh terhadap perkembangan akar, penyediaan unsur hara
dan air, dan toksisitas. Manipulasi keadaan tanah dapat diterima apabila biaya produksi tetap rasional dengan
keuntungan yang diperoleh. Beberapa usaha tersebut misalnya terasering, pembuatan jaringan drainse, pemupukan,
dan pengapuran.
Respon pertumbuhan dan produksi tanaman terhadap parameter dari karakteristik lahan secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk respons yaitu (1) kuadratik, (2) logistik maksimum, dan (3) logistik minimum seperti
pada Gambar 1. Pada kurva respon kuadratik, peningkatan nilai parameter diikuti oleh kenaikan produksi sampai
mencapai titik optimum. Apabila nilai parameter terus bertambah, produksi mungkin tetap pada titik optimum (pada
range parameter optimum) sebelum akhirnya turun. Parameter yang menyebabkan respon kuadratik misalnya elevasi,
curah hujan, dan pH tanah.

Gambar 1. Respon pertumbuhan dan produksi tanaman terhadap karakteristik lahan: (A) kuadratik, (B) logistik
maksimum, dan (C) logistik minimum
34 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pada tipe respons logistik maksimum, kenaikan nilai parameter akan diikuti kenaikan produksi sampai mencapai
optimum. Setelah itu kenaikan nilai parameter tidak lagi meningkatkan produksi, yaitu produksi konstan pada titik
optimum. Pada tipe respons ini, nilai parameter yang tinggi tidak menjadi pembatas bagi produksi tanaman, misalnya
parameter kedalaman solum perakaran, ketersediaan hara, dan KTK. Pada tipe respon logistik minimum, kenaikan
nilai parameter pada kisaran nilai tertentu tidak diikuti oleh kenaikan maupun penurunan produksi (asyimtut), namun
peningkatan lebih lanjut akan menyebabkan penurunan produksi. Kisaran (range) nilai minimum parameter tersebut
merupakan kisaran yang masih mampu ditoleransi oleh tanaman untuk berproduksi optimum, misalya pada parameter
salinitas dan kejenuhan Al.

3.3 Kesesuaian Lahan


Yang dimaksud kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk membudidayakan suatu komoditas
tertentu. Secara umum klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan sebagai kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian
lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman tertentu tanpa perbaikan
mayor dari karakteristik lahan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan untuk tanaman tertentu
setelah perbaikan mayor dari karakteristik lahan, seperti pembuatan parit drainase, pembuatan teras dan lain-lain
perbaikan yang sangat berpengaruh terhadap perubahan permanen dari karakteristik lahan. Perbaikan mayor lahan
biasanya  memerlukan biaya yang besar.
Evaluasi lahan merupakan kegiatan untuk menentukan tingkat kesesuaian suatu lahan untuk membudidayakan
tanaman tertentu. Dalam membangun perkebunan, evaluasi lahan sangat penting; usaha perkebunan tidak dapat bersifat
coba-coba karena biaya investasi besar dan masa produktif lama sehingga perencanaan harus matang. Evaluasi lahan
merupakan kegiatan interpretasi data sumber daya lahan untuk suatu tujuan tertentu melalui kegiatan membandingkan
syarat tumbuh tanaman tertentu terhadap karakteristik lahan. Hasilnya dinyatakan dalam kelas kesesuaian lahan untuk
jenis komoditas tertentu.
Tabel 8. Kesesuaian lahan tanaman vanili

Tingkat kesesuaian lahan


Faktor lingkungan
Sangat sesuai Sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai

1. Elevasi (m dpl) 200-400 0-200 600-1200 >1200

400-600

2. Kelerengan (%) 3-8 0-3, 8-15 15-45 >45

3. Iklim
a. Curah hujan (mm/thn) 1500-2000 1250-1500 2000-3000 >3000

850-1250

b. Hari hujan (hari) 150-180 100-150 80-100 <80

c. Bulan kering (bln/thn) 3-4 2-3 1-2 <1

d. Bulan basah (bln/thn) 6-7 4-5 8-9 <3, >9

e. Kelembaban udara 65-75 50-65 75-80 >59, >80

f. Suhu udara (oC) 24,5-26 26-27 22,5-24 >27

24-24,5 <22,5
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 35

Tingkat kesesuaian lahan


Faktor lingkungan
Sangat sesuai Sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai

g. Suhu udara (mak/min) 30,1/20,2 31,3/21,7 27,6/18,6 >31,3

22,8/20,2 <18,6

4. Retensi hara
a. KTK (me/100g) >17 5-16 <5 -

b. pH 6,5-7,1 5,5-6,5 7,1-8,5 >8,5

4,5-5,5

c. C organik (%) 3,0-5,0 2,0-3,0 1,0-2,0 <1,0

5. Toksisitas
a. Salinitas (mm hos/cm) <2 2-4 4-6 >6

b. Kedalaman sulfidik (cm) >100 75-100 50-75 <50

6. Hara tersedia
a. N total (%) 0,51-0,75 0,21-0,50 0,1-0,2 <0,1

b. P2O5 (ppm) >25 16-25 10-15 <10

c. K2O (me/100g) >1,0 0,6-1,0 0,1-0,5 <0,1

d. CaO (me/100g) 11-20 6-10 2-5 <2

e. MgO (me/100g) 2,1-8,0 1,1-2,0 0,4-1,0 <0,4

Sumber: Wahid dan Zaubin (1995)


Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dibedakan menurut tingkat Ordo, Kelas, Subkelas
dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara
lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat
kesesuaian dalam tingkat ordo. Lahan yang tergolong ordo sesuai (S) diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan
sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N)
tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas
dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N). Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi
subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi
faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc=rooting
condition).
Tabel 9. Deskripsi klasifikasi lahan menurut FAO

Klasifikasi Deskripsi kesesuaian


S1 Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara
(Sangat Sesuai) berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap
produktivitas lahan secara nyata.
36 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Klasifikasi Deskripsi kesesuaian


S2 Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap
(Cukup Sesuai) produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat
diatasi oleh petani sendiri.
S3 Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat
(Sesuai Marginal) berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak
daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan
modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah
atau pihak swasta.
N (Tidak Sesuai) Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.
Sumber: (Ritung et al., 2007)
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan cara menghitung Indeks Lahan berdasarkan karakteristik lahan
yang terpilih. Karakteristik  lahan adalah sifat fisik maupun kimia  suatu lingkungan  yang  dapat dilihat atau diukur
dan  secara  langsung berhubungan dengan penggunaan lahan. Karakteristik  lahan dapat diperoleh dari survai tanah
dan pencatatan data iklim dari stasiun meteorologi terdekat. Jumlah karakteristik lahan yang digunakan,  diupayakan
secara minimal untuk menghindari adanya  tumpang tindih antarkarakteristik. Poeloengan  (1988) menggunakan
6 karakteristik lahan  terdiri dari 15 parameter untuk penentuan kesesuaian lahan bagi tanaman kelapa sawit yaitu
kualitas iklim, topografi, lengas, karakteristik fisik, karakteristik kesuburan, serta salinitas dan alkalinitas (Tabel
10).  Semakin banyak parameter yang digunakan semakin tinggi ketepatan pendugaan kesesuaian yang ditunjukkan
oleh tingkat produksi (Gambar 2).

Gambar 2. Hubungan antara jumlah parameter evaluasi lahan dengan ketepatan pendugaan produksi
Dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan, karakteristik  lahan  diberi skala penilaian berdasarkan  syarat  tumbuh
suatu tanaman. Karakteristik lahan yang sangat berpengaruh terhadap  tanaman diberi selang lebar (100-20), sedangkan
yang  kurang berpengaruh diberi selang nilai yang sempit (100-60). Nilai  100 diberikan kepada karakteristik lahan
yang memberikan  pertumbuhan yang  optimum bagi tanaman. Poeloengan (1988)  menghitung nilai indeks lahan
dengan mengalikan semua indeks, secara matematik dirumuskan sebagai berikut.
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 37

r
IL = π Wp. 1001-r
1
dimana:
IL = indeks kesesuaian lahan
r = banyaknya karakteristik lahan
Wp = penilaian ke-p karakteristik lahan, dari ke-1 sampai ke-r
Untuk kualitas iklim (KI) digunakan persamaan:
KI = 13,999 + 0,897 CI
m
dengan CI = π Rn. 1001-m
1
dimana Rn adalah penilaian ke-n karakteristik iklim, dari ke-1 sampai ke-m. Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 10.
Selain dengan cara tersebut di atas, perhitungan indeks lahan atau indeks kesesuaian lahan dapat didasarkan
indeks minimum (indeks 0-1) sebagai faktor pembatas (penentu) dikalikan dengan akar perkalian indeks yang lain
(0-1). Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut (Firmansyah et al., 2008).
r
IL = Imin . (π Ip)1/2 dimana Ip adalah indeks selain indeks minimum
1
Dari indeks kesesuaian lahan dapat ditentukan kelas kesesuaian lahan, misalnya untuk 4 kelas kesesuaian lahan
maka selang antara indeks kesesuaian lahan adalah 25. Dari kelas kesesuaian lahan yang diperoleh dapat diprediksi
potensi hasil yang akan diperoleh, misalnya untuk kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 11.
Cara yang umum yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan adalah dengan analisis kesesuaian lahan yaitu
mencocokkan kesesuaian semua karakteristik lahan dengan syarat tumbuh. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh
klasifikasi terkecil dari suatu karakteristik lahan sebagai faktor pembatas atau penentu kesesuaian lahan. Jadi kelas
kesesuian lahan ditentukan berdasarkan hukum nilai minimum. Hukum nilai minimum (The Law of the Minimum)
merupakan prinsip dasar dalam ilmu pertanian yang dikembangkan Carl Sprengel dan belakangan dipopulerkan oleh
Justus von Liebig dan lebih dikenal dengan Hukum Minimum Liebig (Liebig’s Law of the Minimum).
Contoh hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman kakao lindak PPKKI (2004) disajikan pada Tabel 12 sedangkan
berdasarkan kriteria Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Kesesuaian lahan menurut BBSDLP (2009) disajikan
pada Tabel 13. Kriteria kesesuaian lahan berbagai jenis tanaman menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dapat dilihat
pada Hardjowigeno dan Widiatmoko (2007). Proses evaluasi lahan dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Pengumpulan data karakteristik lahan yang terpilih
(2) Tabulasi karakteristik lahan dan kesesuaian lahan
(3) Klasifikasi karakteristik lahan
(4) Klasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan hukum minimum.
Hasil evaluasi lahan kakao berdasarkan dua kriteria karakteristik lahan tersebut menghasilkan kesimpulan akhir
yang sama seperti dapat dilihar pada Tabel 14.
38 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 10. Skala kesesuaian lahan untuk kelapa sawit

Skala nilai
Karakteristik Lahan
100 95 85 60 40 25
1. Iklim
Curah hujan (mm/thn) >2000 1700-2000 1450-1700 1250-1450 - <1250
Bulan kering (bln/thn) <1 1-2 2-3 3-4 - >4
Rerata suhu (oC) >25 22-25 20-22 18-20 - <18
2. Topografi
Kelerengan (%) 0-5 5-10 10-24 24-30 - >30
3. Drainase
Banjir F0 F0 F1 F2 - F3
Drainase Baik Sedang Agak buruk Agak cepat Buruk Sangat buruk
4. Sifat fisik tanah
Tekstur/struktur L, LeL, Le Lo, LeP, LeLP PhLe, PLe Ph,P,Pk - -
Batuan (%) 0-3 3-15 15-35 35-55 - <35
Kedalaman tanah (cm) 125 100-125 50-100 25-50 - <25
CaCO3 (%) 0 0-1 1-5 5-10 - >10
Gipsum (%) 0 0-0,5 0,5-2,0 2-3 - >3
5. Kesuburan tanah
KTK (me/100 g) ≤16 <16(-) <16(+) - - -
Kejenuhan basa (%) >30 15-30 <15 - - -
C organik (%) 1,2 1,2-0,8 <0,8 - - -
6. Salinitas
EC (mm hos/cm) <1 1-2 2-3 3-4 4-8 >8

Sumber: Poeloengan (1988)


Tabel 11. Hubungan kesesuaian lahan dan produktivitas kelapa sawit

Potensi Produksi Sawit


Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan
(ton TBS/ha/thn)
75-100 S1 >24
50-74 S2 17-24
25-49 S3 12-16
<25 N <12

Sumber: Poeloengan (1988)


Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 39

Tabel 12. Kesesuaian lahan kakao menurut PPPKI

Karakteristik lahan Kelas Kesesuaian Lahan


S1 S2 S3 S4
1. Iklim
(1) Curah hujan (mm/tahun) 1500-2500 1250-1500 1100-1250 <1100
(2) Bulan kering (<60 mm/bln) 2500-3000 3000-4000 >4000
0-1 1-3 3-5 >5
2. Elevasi (m dpl) 0-600 600-700 700-800 >800
(1) Kakao mulia 0-300 300-450 450-600 >600
(2) Kakao lindak
3. Kemiringan lahan (%) 0-8 8-15 15-45 >45
4. Sifat fisik tanah
(1) Kedalaman efektif (cm) >150 100-150 60-100 <60
(2) Tekstur) Sandy loam, clay Loam sand, sandy Structured clay Gravel, sand,
loam, silt loam, silty clay, silty clay massive clay
clay, loam
(3) Batu di permukaan tnh (%) 0 0-3 3-15 >15
5. Ketersediaan hara (0-30 cm)
(1) pH tanah 6,0-7,0 5,0-6,0 4,0-5,0 <4,0
7,0-7,5 7,5-8,0 >8,0
(2) C organik (%) 2-5 1-2 0,5-1 <0,5
5-10 10-15 >15
(3) KTK (me/100 g) >15 10-15 5-10 <5
(4) Kejenuhan basa (%) >35 20-35 <20 -
(5) N, P, K Sedang-sangat tinggi Rendah Sangat rendah -
6. Kelas drainase Baik sedang Agak buruk Sangat buruk
7. Toksisitas
(1) Salinitas (mm hos/cm) <1 1-3 3-6 >6
(2) Kejeuhan Al (%) <5 5-20 20-60 >60

Sumber: PPPKI (2004)


Tabel 13. Kesesuaian lahan kakao menurut BBSDLP

Persyaratan/Karakteristik Kelas Kesesuaian Lahan


lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc)
Temperatur rerata (oC) 25-28 20-25 32-35 <20
28-32 >35
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) 1500-2500 2500-3000 1250-1500 <1250
3000-4000 >4000
Bulan kering (bulan) 1-2 2-3 3-4 >4
Kelembaban (%) 40-65 65-75 75-85 >85
35-40 30-35 <30
40 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Persyaratan/Karakteristik Kelas Kesesuaian Lahan


lahan S1 S2 S3 S4
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase Baik, sedang Agak terhambat Terhambat, agak Sangat terhambat,
cepat cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur Halus, agak - Agak kasar, Kasar
halus, sedang sangat halus
Bahan kasar (%) <15 15-35 35-55 >55
Kedalaman tanah (cm) >100 75-100 50-75 <50
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) >16 ≤ 16 - -
Kejenuhan basa (%) >35 20-35 <20 -
pH H2O 6,0-7,0 5,5-6,0 <5,5 -
7,0-7,6 >7,6
C organik (%) >1,5 0,8-1,5 <0,8 -
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <1,1 1,1-1,8 1,8-2,2 >2,2
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) >125 100-125 60-100 <60
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8-16 16-30 >30
Kelas erosi Sangat rendah Rendah- sedang Berat Sangat berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan FO - F1 >F1
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40
Singkapan batuan (%) <5 5-15 15-25 >25

Tabel 14. Evaluasi kesesuaian lahan kakao

Karakteristik lahan Data pengukuran Kesesuaian Lahan


PPPKI (BBSDLP)

1. Iklim
(1) Curah hujan (mm/tahun) 2950 S2(S2)
(2) Bulan kering (<60 mm/bln) 3 S2(S2)

2. Elevasi (m dpl) 275 S1(S1)

3. Kemiringan lahan (%) 8 S1(S1)

4. Sifat fisik tanah


(1) Kedalaman efektif (cm) 85 S3(S2)
(2) Tekstur) Lempung berliat (CL) S1(S1)
(3) Persentase batu di permukaan 2 S2(S1)
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 41

Karakteristik lahan Data pengukuran Kesesuaian Lahan


PPPKI (BBSDLP)

5. Ketersediaan hara (0-30 cm)


(1) pH tanah 5,2 S2(S3)
(2) C organik (%) 0,81 S3(S2)
(3) KTK (me/100 g) 12 S2(S2)
0,15 (rendah) S2(S2)
(4) N total (%)
6. Drainase (lama genangan) <1 bln S1(S1)

7. Toksisitas
(1) Salinitas (mm hos/cm) 2 S2(S3)
(2) Kejeuhan Al (%) 15 S2(S2)

Klasifikasi kesesuaian lahan S3(S3)

Evaluasi Agronomi
Evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan secara agronomis, yaitu dengan melakukan pengukuran atau analisis
data sekunder terhadap kriteria agronomi. Penampilan agronomi atau sifat fenotipe, baik vegetatif maupun generatif
merupakan resultante aktual dari sifat genetik dan lingkungan. Evaluasi agronomi diperlukan untuk mengkonfirmasi
hasil evaluasi lahan atau membuat perbaikan untuk kesimpulan akhir tentang kesesuaian lahan. Hasil evaluasi
agronomis lebih praktis dan murah apabila sudah tersedia perkebunan sejenis di sekitar lokasi sehingga diperoleh data
primer hasil pengamatan langsung atau hasil ekperimen.
Untuk tanaman semusim, dapat dibuat plot eksperimen. Untuk tanaman tahunan, plot eksperimen masih mungkin
dilakukan, misalnya oleh litbang perusahaan, yang sudah mengantisipasi alternatif komoditas untuk program konversi
komoditas. Di perkebunan rakyat, budaya mencoba komoditas baru sering dilakukan petani begitu mendengar
informasi adanya komoditas yang lebih menguntungkan. Akses media informasi baik cetak maupun elektronik yang
semakin luas penggunaannya serta transportasi yang lancar dapat mendorong petani untuk mencoba sendiri.
Parameter yang paling penting adalah produktivitas tanaman, yang membandingkan produktivitas suatu klon atau
varietas di bawah pemeliharaan yang sesuai rekomendasi dengan potensi produktivitas sesuai deskripsi pelepasan.
Klasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan produktivitas, jika tingkat produksi 80% dari potensi dapat dikategorikan
kesesuaian S1, produktivitas 50-80% masuk dalam kesesuaian S2, produktivitas 20-50% termasuk kesesuaian S3,
dan produktivitas <20% termasuk lahan yang tidak sesuai. Klasifikasi kesesuaian lahan menurut metode LECS (Land
Evaluation Computer System) dibagi menjadi 5 kelas  yaitu (1) S1 = 80-100% potensi produksi, (2) S2 = 60-80%
potensi produksi, (3) S3 = 40-60% potensi produksi, (4) S4 = 20-40% potensi produksi, dan (5) N = kurang dari
20% potensi produksi (Subardja, 1990). Sedangkan FAO mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan
produktivitas adalah sangat sesuai (VS, very suitable) jika tingkat produksi ≥ 80% maksimum hasil yang dapat dicapai,
sesuai (S, suitable) jika <80% - 60% dari maksimum hasil yang dapat dicapai, agak sesuai (MS, moderately suitable)
jika <60% - 40% dari maksimum hasil yang dapat dicapai, sesuai marginal (mS, marginally suitable) jika <40% - 20%
dari maksimum hasil yang dapat dicapai, dan tidak sesuai (NS, not suitable) jika <20% dari maksimum hasil yang
dapat dicapai (Kassam et al., 2012).
Terkait dengan biaya usahatani serta harga komoditas, produktivitas kritis perlu dihitung untuk menentukan
produktivitas yang paling rendah yang masih dapat ditoleransi atau masih menguntungkan. Untuk komoditas kelapa
sawit Poeloengan (1988) menggunakan 4 kelas yaitu (1) produksi > 75% dari potensi produksi tertinggi (untuk
jenis DP dan DyP adalah 32 ton TBS/ha/tahun) sebagai kesesuaian S1 (sangat sesuai), (2)  produksi dengan batas
bawah adalah 40% dari produksi kritis (13 1/3 TBS/ha/tahun) sebagai kesesuaian S2 (sesuai), (3) produksi dengan
batas bawah 10% di bawah produksi kritis sebagai kesesuaian S3 (hampir  sesuai), dan tingkat produksi di bawah itu
sebagai kesesuaian N (tidak sesuai).
42 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

3.4 Pewilayahan Komoditas


Sehubungan dengan adanya syarat tumbuh yang spesifik untuk setiap komoditas dan kesesuaian suatu wilayah
maka terdapat sentra-sentra produksi suatu komoditas. Pewilayahan komoditas merupakan dasar bagi penyusunan
strategi tata ruang pembangunan pertanian yang kompatibel dengan industri. Faktor-faktor yang menjadi dasar
penyusunan suatu wilayah komoditas diantaranya:
(1) kemampuan/kesesuaian alamiah dari sumber daya wilayah;
(2) kemampuan wilayah mengadopsi teknologi;
(3) kemampuan wilayah mengembangkan kelembagaan;
(4) lokasi ekonomi dari wilayah, dalam arti jarak ekonomi  wilayah tersebut dari pusat-pusat pelayanan/pemasaran;
(5) ketersediaan prasarana dan sarana penunjang.
Pengembangan wilayah komoditas perkebunan dapat terjadi karena: (1) inisiatif petani, (2) inisiatif perusahaan
swasta, (3) program pemerintah, (4) kombinasi inisiatif. Tata guna lahan di wilayah pertanian bersifat dinamis. Petani
atau pekebun akan bercocok tanam komoditas tertentu atau beralih menanam komoditas lain berdasarkan kebiasaan,
nilai-nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, dan modal yang dimiliki. Kebiasaan dalam mengusahakan komoditas
perkebunan tertentu sudah berlangsung secara turun-temurun, umumnya sejak zaman kolonial. Surutnya pegusahaan
komoditas dapat terjadi karena kegagalan hasil dan keuntungan petani akibat turunnya harga, serangan hama dan
penyakit, serta perubahan iklim. Pada saat itu sebagian petani mulai beralih bertanam komoditas lain atau mencampur
kebunnya dengan komoditas lain. Pengembangan wilayah baru komoditas ataupun peralihan wilayah komoditas
perkebunan secara swadaya petani ini berlangsung relatif lambat mungkin melintasi generasi.
Pengembangan wilayah petanian baru dan wilayah komoditas baru pada umumnya karena adanya program
pemerintah seperti program PIR Trans atau pendirian perkebunan swasta yang berpola kemitraan dengan petani.
Pengembangan wilayah komoditas baru bukan hanya terkait dengan penanaman dan produksi komoditas, tetapi juga
terkait dengan aspek sarana dan prasarana, pemasaran, pabrikasi, kelembagaan dan sebagainya.
Peta Wilayah Komoditas
Pada September 1988, Menteri Pertanian menginstruksikan kepada semua Direktorat Jenderal untuk membuat
peta pewilayahan komoditas Pertanian bagi keperluan perumusan kebijaksanaan, perencanaan, dan operasional yang
berisikan berbagai informasi antara lain (1) komoditas apa yang akan dikembangkan, (2) di mana lokasinya, (3)
berapa luasnya sekarang dan berapa luas kemungkinan dapat dikembangkan, (4) bagaimana status pemilikan lahan,
(5) bagaimana keadaan prasarana dan sarana perhubungan serta berapa jauh dari pusat pemasaran.
Penempatan kegiatan produksi di seluruh wilayah tanah air didasarkan atas azas keunggulan komparatif yang
pada gilirannya menghendaki penataan komoditas dan penataan wilayah pengembangan. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin terjadinya spesialisasi (regionalisasi) komoditas dan kerjasama antardaerah/wilayah yang selanjutnya
mendorong pertumbuhan industri. Pewilayahan komoditas lebih menjamin efisiensi produksi, pengolahan, dan
pemasaran. Yang dimaksud dengan sentra pengembangan adalah suatu hamparan komoditas berskala ekonomi di satu
wilayah agroekosistem, dimana wilayah tersebut dilengkapi dengan sarana-prasarana yang dibutuhkan, kelembagaan,
pengolahan, pemasaran, dan sektor lain yang menunjang perkembangan sentra komoditas tersebut.
Pengertian Komoditas Unggulan
Beberapa pengertian yang berkaitan dengan pengembangan sentra komoditas di suatu wilayah adalah: (1)
komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang dapat dibudidayakan di suatu wilayah berdasarkan analisis
kesesuaian agroekologi (tanah dan iklim); (2) komoditas unggulan adalah satu komoditas yang paling menguntungkan
untuk diusahakan di suatu wilayah (kabupaten) yang mempunyai prospek pasar dan peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan keluarga petani serta mempunyai potensi sumber daya lahan cukup besar; (3) komoditas penunjang
adalah komoditas lain yang dapat dipadukan pengusahaannya dengan komoditas unggulan yang dikembangkan di
suatu sentra komoditas unggulan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, sarana)
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 43

dan peningkatan pendapatan petani melalui  peningkatan  produksi maupun keterpaduan pengusahaannya akan
meningkatkan efisiensi.
Selain klasifikasi berdasarkan keunggulan, komoditas perkebunan dapat dibedakan menjadi komoditas tradisional
dan non-tradisional. Komoditas tradisional adalah komoditas yang sudah diusahakan petani secara turun-temurun
bahkan sudah sejak zaman pemerintah Belanda. Sedangkan komoditas non-tradisional merupakan komoditas yang
baru dikembangkan di suatu kawasan. Komoditas tradisional sudah mapan perkembangannya dan teruji keandalannya
secara historis dan empiris, sehingga biasanya merupakan komoditas unggulan. Adakalanya perkembangan komoditas
tradisonal semakin meredup misalnya harga di pasar dunia yang terus menurun atau karena serangan hama penyakit
yang sulit dikendalikan sehingga banyak perkebunan yang hancur.
Kriteria Komoditas Unggulan
Untuk perencanaan pengembangan wilayah dengan basis komoditas unggulan, maka perlu diperhatikan kriteria
komoditas unggulan antara lain sebagai berikut (Daryanto, 2004): (1) mampu menjadi penggerak utama (prime mover)
pembangunan perekonomian, yaitu komoditas tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan
produksi, pendapatan, maupun pengeluaran masyarakat, (2) mempunyai keterkaitan yang kuat baik sesama komoditas
unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya, (3) mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain di
pasar nasional maupun internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi, kualitas pelayanan, maupun aspek-
aspek lainnya, (4) memiliki keterkaitan dengan daerah lain, baik dalam hal pasar maupun pasokan bahan baku, (5)
mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya, (6) mampu bertahan
dalam jangka waktu tertentu, mulai dari fase awal, pertumbuhan, puncak hingga penurunan, (7) tidak rentan terhadap
gejolak eksternal dan internal, (8) berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan.
Banyak variabel atau kriteria yang dipilih untuk penentuan komoditas unggulan. Mawardi (2007) menggunakan
17 kriteria yaitu (1) ketersediaan input, (2) teknik produksi, (3) skala usaha/produksi, (4) kemampuan pekerja, (5)
Kemampuan menyerap tenaga kerja di masa yang akan datang, (6) jumlah turunan produk olahan, (7) jangkauan
pasar, (8) daya saing komoditas sejenis, (9) dukungan keamanan, (10) dukungan budaya, (11) dukungan informasi
peluang pasar, (12) dukungan kelembagaan, (13) fasilitas insentif, (14) fasilitas/insentif dari pemerintah, (15) perkiraan
kontribusi terhadap pendapatan, (16) prospek pengembangan ke depan, dan (17) dampak terhadap Iingkungan. Daryanto
(2004) menyarankan penggunaan 10 kriteria yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya alam, (2) ketersediaan sumberdaya
buatan, (3) ketersediaan sumberdaya manusia, (4) kontribusi terhadap perekonomian wilayah, (5) kemungkinan
dikembangkan dalam skala ekonomi atau industri, (6) penyerapan tenaga kerja, (7) dampak pengembangan spasial,
(8) potensi pasar lokal, (9) potensi pasar ekspor, (10) hambatan biaya, teknologi, dan kelembagaan.
Dalam  program pengembangan suatu komoditas  unggulan  perlu direncanakan sarana dan prasarana, skala
ekonomi sentra produksi, sumber  bibit,  saprodi, kelembagaan, teknologi pengolahan,  dan pemasaran  hasil.
Pengolahan dan pemasaran hasil  sangat  penting untuk direncanakan  agar sentra yang  sedang  ditumbuhkan  tidak
hancur kembali. Program pemerintah atau instansi terkait untuk mengembangkan suatu komoditas perkebunan
baru tidak akan berhasil terutama karena dirasakan tidak menguntungkan bagi petani atau program pembinaan dan
pendanaan yang tidak berkelanjutan. Tidak meguntungkan dapat berarti karena produktivitas yang rendah, atau harga
yang rendah, atau kesulitan pengolahan dan pemasaran.
Program pengembangan jarak pagar sebagai sumber bahan bakar terbarukan yang gencar mulai tahun 2007
sampai sekarang belum menunjukkan hasil, yaitu belum terbentuknya sentra produksi jarak pagar. Program
Pemerintah mengembangkan komoditas teh dan kopi Arabika di Kabupaten Lampung Barat juga tidak membawa
hasil yang positif dan petani tetap bertanam kopi robusta. Pemerintah memprogramkan Kabupaten Lampung Timur
sebagai sentra produksi kakao rakyat di tahun 1996, akan tetapi justru saat ini (2012) Kapubaten Pesawaran yang
berkembang menjadi sentra utama produksi kakao Lampung. Contoh lain, beberapa perusahan besar perkebunan tebu
yang mendapat HGU di lintas kabupetan Lampung Tengah, Lampung Timur, Tulang Bawang, serta PTPN VII dengan
pola kemitraan di Lampung Utara dan Kabupaten Way Kanan dengan program percepatan swasembada tebu telah
menjadikan Propinsi Lampung sebagai sentra produksi utama tebu lahan kering di Indonesia.
44 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Analisis Komoditas Unggulan


Analisis komoditas unggulan merupakan evaluasi terhadap komoditas yang sudah diusahakan di suatu kawasan.
Analisis ini penting untuk perencanaan pengembangan kawasan agropolitan. Analisis komoditas unggulan dimulai
dari analisis kesesuaian lahan, yaitu untuk menentukan komoditas yang dapat dibudidayakan di suatu wilayah
berdasarkan analisis kesesuaian agroekologi sehingga dapat diperoleh sejumlah komoditas andalan. Selanjutnya
komoditas andalan dikelompokkan dalam subsektor, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, ternak,
perikanan dan sebagainya. Untuk menguji apakah perkebunan merupakan subsektor unggulan di sektor pertanian
maka dapat dilakukan analisis Shift Share menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di kawasan
yang diuji. Untuk menentukan komoditas yang paling menguntungkan (yang disebut dengan komoditas unggulan)
maka dilakukan evaluasi ekonomi. Selain itu untuk menentukan komoditas unggulan dapat dilakukan pula berbagai
analisis seperti analisis Location Quotient (LQ), Localization Index (LI), dan Specialization Index (SI).
1. Evaluasi Sosial Ekonomi
Evaluasi komoditas unggulan secara sosial ekonomi dapat dilakukan pada kawasan yang sudah ditanami
komoditas yang akan dievaluasi. Keunggulan komoditas secara sosial diuji dengan analisis persepsi dan partisipasi
menggunakan uji chi-square. Keunggulan komoditas secara ekonomi dapat diuji dengan menghitung benefit/cost
(B/C) ratio, Net Present Value (NPV) disertai uji sensitifitas, dan Internal Rate of Return (IRR). Nilai B/C >1,
IRR > suku bunga, dan NPV yang tinggi menunjukkan komoditas yang diuji secara ekonomi menguntungkan.
Benefit Cost Ratio (B/C) dihitung dengan perbandingan antara nilai tunai penerimaan dengan nilai tunai
pengeluaran atau biaya.

BCR = BCR =
∑  Bt / (1 + i ) 

t


∑ Ct / (1 + i ) t


Net Present Value (NPV) dihitung berdasarkan selisih antara benefit dengan cost ditambah dengan investasi,
yang dihitung sebagai berikut:

NPV =

Keterangan:
Bt = benefit (penerimaan) bersih tahun t
Ct = cost (biaya) pada tahun t
I = tingkat bunga
N = umur ekonomis proyek
Internal Rate of Return (IRR) dihitung untuk mencari tingkat bunga yang menjadikan NPV sama dengan nol.
IRR = i - +
Keterangan:
IRR = internal rate of return
NPV+ = NPV positif
NPV- = NPV negatif
i+ = tingkat bunga pada NPV positif
i- = tingkat bunga pada NPV negatif
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 45

2. Analisis Location Quotient


Pewilayah komoditas merupakan penerapan pembangunan ekonomi basis. Kegiatan ekonomi basis adalah
kegiatan ekonomi masyarakat yang menghasilkan barang atau jasa yang berorientasi pasar keluar wilayah tersebut
baik regional, nasional, maupun internasional (ekspor). Kegiatan ekonomi perkebunan umumnya merupakan sektor
basis, karena produksi ditujukan kepada pasar industri atau ekspor di luar wilayah produksi. Dengan demikian,
pengembangan perkebunan akan mendorong pertumbuhan ekonomi basis. Model ekonomi basis meyakini bahwa
arah dan pertumbuhan suatu wilayah atau kawasan ditentukan oleh ekspor wilayah atau kawasan tersebut.
Analisis LQ (Location Quotient) sering digunakan untuk mengindentifikasi komoditas unggulan di suatu wilayah
atau kawasan dari sisi penawaran (produksi). Dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas
dan efisiensi dalam sistem produksi baik biofisik (agroekosistem), teknologi, dan kondisi sosial ekonomi seperti
penguasaan teknologi, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kelembagaan, dan budaya masyarakat. Sedangkan
dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh tinggi permintaan baik domestik maupun internasional.
Metode LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah
untuk mengidentifikasi, merencanakan, dan mengembangkan sektor kegiatan ekonomi yang memacu pertumbuhan
kawasan. Analisis LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan
perbandingan. Analisis ini digunakan tidak terbatas untuk analisis ekonomi tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan
sebaran komoditas atau sentra produksi komoditas atau untuk melakukan identifikasi potensi wilayah.
Untuk melakukan analisis LQ dibutuhkan data sekunder beberapa tahun mengenai luas areal perkebunan,
produksi, atau produktivitas setiap komoditas perkebunan di suatu wilayah studi dan data total di wilayah referensi,
yaitu wilayah yang lebih luas seperti propinsi atau nasional. Perhitungan nilai LQ per tahun dimulai dengan entri
data (pi) dalam spread sheet misalnya kolom merupakan wilayah dan baris merupakan komoditas dalam sektor
(perkebunan). Selanjutnya lakukan penjumlah horizontal (total komoditas) untuk setiap wilayah (pt) dan penjumlah
vertikal yaitu total masing-masing komoditas di tingkat wilayah yang lebih tinggi (Pi), dan jumlah total jenderal untuk
semua komodits (Pt). Formula untuk menghitung LQ adalah:
pi / pt
LQ =
Pi / Pt

Data yang disajikan pada Tabel 15 merupakan data luas areal semua komoditas perkebunan rakyat di Lampung
pada Tahun 2009 (BPS Lampung, 2010). Berdasarkan data tersebut disajikan contoh perhitungan LQ disajikan pada
Tabel 16. Nilai LQ yang diperoleh menunjukkan besaran derajat spesialisasi atau konsentrasi dari suatu komoditas
di wilayah yang bersangkutan, relatif terhadap wilayah referensi. Semakin besar nilai LQ yang diperoleh, semakin
besar derajat konsentrasinya di wilayah tersebut. Komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 memenuhi standar normatif
sebagai komoditas unggulan. Apabila hanya dibutuhkan 3 alternatif komoditas unggulan maka diambil 3 komoditas
yang memiliki nilai LQ >1 yang termasuk 3 tertinggi.
Nilai LQ hasil perhitungan pada Tabel 16. menunjukkan bahwa komoditas kopi menjadi komoditas unggulan
di perkebunan rakyat di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus. Lada menjadi komoditas unggulan
di Kabupaten Lampung Timur, Lampung Utara, dan Way Kanan. Karet menjadi komoditas unggulan di Kabupaten
Lampung Utara, Way Kanan, dan Tulang Bawang. Komoditas kakao menjadi unggulan di banyak kabupaten yaitu
Tanggamus, Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Pesawaran. Untuk komoditas yang minor,
yaitu komoditas dengan luas areal dan produksi yang relatif kecil, bahkan tidak semua wilayah menghasilkan
komoditas tersebut maka dapat diperoleh nilai LQ yang besar. Jadi nilai LQ yang besar pada komoditas minor tidak
mencerminkan luas areal dan tingkat produksi dibandingkan dengan komoditas utama.
46 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 15. Luas areal (pi) perkebunan rakyat di Propinsi Lampung tahun 2009

Komoditas LB Tang LS LTim LTeng LU WK TB PW Jml (Pi)


Kopi robusta 59.357 54.256 1.649 1.445 1.705 15.865 22.456 663 5.470 162.866
Lada 8.903 7.956 300 8.926 871 24.148 12.083 118 658 63.963
Cengkeh 1.425 1.588 1.412 138 10 1.114 1.162 0 375 7.224
Karet 227 214 844 777 963 11.807 23.827 30.422 511 69.592
Kelapa dalam 4.677 19.450 29.041 26.786 16.748 3.772 7.414 5.933 13.558 127.379
Tebu 0 0 0 0 3.520 15.995 0 24 0 19.539
Tembakau 0 0 0 77 117 35 0 0 0 229
Vanili 24 66 301 152 0 28 3 0 182 756
Kayu manis 938 733 0 0 0 43 0 0 48 1.762
Kapuk 6 265 67 560 183 321 971 67 18 2.458
Kelapa hibrida 28 347 1.497 288 325 409 902 180 604 4.580
Kakao 856 14.314 3.413 6.817 3.014 1.540 1.007 822 4.387 36.170
Jml (pt) 76.441 99.189 38.524 45.966 27.456 75.077 69.825 38.229 25.811 Pt=496.518

Tabel 16. Nilai LQ komoditas subsektor perkebunan di Propinsi Lampung

Komoditas LB Tang LS LTim LTeng LU WK TB PW


Kopi robusta 2,3672 1,6675 0,1304 0,0958 0,1893 0,6442 0,9804 0,0528 0,6461
Lada 0,9041 0,6226 0,0604 1,5074 0,2462 2,4968 1,3433 0,0239 0,1979
Cengkeh 1,2813 1,1004 2,5192 0,2063 0,0250 1,0198 1,1438 0 0,9986
Karet 0,0212 0,0154 0,1563 0,1206 0,2502 1,1220 2,4346 5,6777 0,1412
Kelapa dalam 0,2385 0,7643 2,9384 2,2715 2,3777 0,1958 0,4139 0,6049 2,0475
Tebu 0 0 0 0 3,2579 5,4138 0 0,0159 0
Tembakau 0 0 0 3,6321 9,2395 1,0108 0 0 0
Vanili 0,2062 0,4370 5,1315 2,1718 0 0,2449 0,0282 0 4,6310
Kayu manis 3,4578 2,0824 0 0 0 0,1614 0 0 0,5240
Kapuk 0,0158 0,5397 0,3513 2,4609 1,3464 0,8637 2,8091 0,3540 0,1409
Kelapa hibrida 0,0397 0,3792 4,2127 0,6792 1,2833 0,5906 1,4004 0,5104 2,5368
Kakao 0,1537 1,9809 1,2162 2,0358 1,5069 0,2816 0,1979 0,2951 2,3332

Keterangan: LB=Lampung Barat, Tang=Tanggamus, LS=Lampung Selatan, L Tim=Lampung Timur, L Teng=Lampung


Tengah, LU=Lampung Utara, WK=Way Kanan, TB=Tulang Bawang, PW=Pesawaran
Kesesuaian Lahan Dan Pewilayahan Komoditas 47

DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
BBSDLP (Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian). 2009. Kriteria kesesuaian lahan. Http: bbsdlp.litbang.deptan.
go.id
Daryanto, A. 2004. Keunggulan daya saing dan teknik identifikasi komoditas unggulan dalam mengembangkan
potensi ekonomi regional. Agrimedia 9(2): 51-62.
Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Lampiran Peraturan
Menteri Pertanian No 47/Permentan/OT.140/10/2006.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation Service Land and
Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome.
Firmansyah, M.A., Sudarsono, H. Pawitan, S. Djuniwati, dan G. Djajakirana. 2008. Karakterisasi dan resiliensi tanah
terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah. Jurnal Tanah dan Iklim 27: 21-32.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 352 hlm.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
Hendayana, R. 2003. Aplikasi metode Location Quotient (LQ) dalam penentuan komoditas unggulan nasional.
Informatika Pertanian 12: 1-21.
Kassam, A., N. Lutaladio, T. Friedrich, E. Kueneman, M. Salvatore, M. Bloise, and J. Tschirley. 2012. Natural
resources assessment for crop and land suitability: An application for selected bioenergy crops in Southern
Africa region. Integrated Crop Management 14: 1-124.
Khomarudin, M.R., Parwati, W. Dalimunthe. 2001. Analisis pola hujan bulanan denga data outgoing longwave
radiation (OLR) untuk menentukan kandungan air lahan pertanian. Berita Lapan 3(2): 56-63.
Lembaga Penelitian Unila. 1996. “Rancang Bangun Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Kakao di Kab.
Lampung Tengah.” Laporan Penelitian. Bandar Lampung. 92 hlm.
Mawardi, I. 2007. Perencanaan pembangunan wilayah berdasarkan konsep produktivitas unggulan. J. Tek. Ling.
8(2): 181-187.
Murtilaksono, K., H.H. Siregar, dan W. Darmosarkoro. 2007. Model neraca air di perkebunan kelapa sawit. Jurnal
Penelitian Kelapa Sawit 15(1): 21-35.
PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.
Depok.
Ritung, S., Wahyunto, F. Agus dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan. Balai Penelitian Tanah
dan Word Agroforestry Centre. Bagor. 39 hlm.
Poeloengan, Z. 1988. Karakteristik Lahan sebagai Alat Penilai Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit. Bul.
Perkebunan 19(2):59-64.
Rusmayadi, G. 2011. Dinamika kandungan air tanah di areal perkebunan kelapa sawit dan karet dengan pendekatan
neraca air tanaman. Agroscientiae 18(2): 86-93.
Satjana, S. Dan N. Sinulingga. 1988. “Gagasan tentang Upaya Kompatibilitas Pewilayahan Pembangunan Pertanian
dan Pembangunan Industri Menjelang Tahap Tinggal Landas Pelita VI.” Pros. Pewilayahan Pembangunan
Pertanian. Peragi Yogyakarta.
48 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Subardja, D. 1990. Peranan Syarat Tumbuh Tanaman dan Evaluasi Lahan. Makalah pada Expose LREP, di Tanjung
Karang, tanggal 7-8 Juni.
Wahid, P. dan R. Zaubin 1995. “Kesesuaian Lingkungan Vanili.” Makalah pada Temu Tugas Pemantapan Budidaya
dan Pengolahan Panili, di Bandar Lampung, tanggal 15 Maret.
Penyiapan Lahan 49

BAB IV
PENYIAPAN LAHAN

P embangunan perkebunan baru memerlukan lahan yang luas sehingga bisnis ini termasuk bisnis pengembangan
lahan yang biasanya belum berkembang, letaknya jauh di pelosok, dengan prasarana jalan dan prasarana lainnya
yang masih harus ikut dibangun. Lahan yang dibuka berupa lahan marginal, berupa tegakan hutan, semak belukar,
pasang surut, atau lahan gambut. Penyiapan lahan bertujuan untuk mengubah lahan asli menjadi lahan siap tanam berikut
penyiapan lahan untuk bangunan, jalan, irigasi, dan drainase. Penyiapan lahan terdiri dari pekerjaan pembukaan lahan
dan pengolahan tanah. Pada pekerjaan penyiapan lahan untuk replanting dan konversi juga terdiri dari pembukaan
lahan dan pengolahan tanah, namun vegetasi yang dibersihkan berupa tanaman tua atau tanaman yang rusak.
Kegiatan penyiapan lahan berkaitan pengetahuan dan keahlian berbagai bidang ilmu seperti Ilmu Tanah,
Agronomi, Mekanisasi Pertanian, Geodesi, Klimatologi, Teknik, Koservasi, dan Ilmu Lingkungan. Terkait dengan
mekanisasi pertanian, teknisi harus memiliki keahlian mengenai peralatan mesin berat dan keteknikan pertanian.
Dalam kegiatan pembukaan lahan harus dihindari terjadinya kerusakan lahan seperti hilangnya top soil, terbaliknya
top soil-subsoil, erosi, kebakaran lahan, dan tanah longsor.

4.1 Pengumpulan Data Dasar


Sebelum pekerjaan proyek dimulai, penelitian yang seksama mengenai daerah lokasi yang akan dibuka
merupakan keharusan agar perencanaan kegiatan, kebutuhan, dan faslitas kerja dapat ditentukan dengan tepat. Untuk
itu dilakukan studi mengenai topografi, tanah, vegetasi, sifat iklim, air tanah, jaringan saluran air dan sungai, jaringan
jalan, perkampungan dan penduduk, keadaan status dan tataguna lahan, adat istiadat, aspek hukum, dan data lain yang
mendukung.
Pada pembukaan lahan, diperlukan peta topografi untuk mengetahui keadaan medan kerja. Tempat-tempat yang
keadaan lerengnya berbahaya harus diamankan dan diberi tanda khusus; tempat lereng diberi patok-patok agar operator
alat-alat berat bisa berhati-hati. Analisis vegetasi diperlukan untuk menentukan jenis dan jumlah alat-alat berat yang
dibutuhkan dan perkiraan volume dan lama pekerjaan. Demikan juga kondisi tanah dan iklim sangat menentukan
metode dan peralatan mekanis yang akan dipakai agar faktor-faktor kesuburan tanah terjaga untuk kelangsungan
tanaman perkebunan yang akan diusahakan. Karena tujuan akhir penyiapan lahan adalah untuk usaha perkebunan
maka sifat iklim menentukan perencanaan waktu (skedul) kegiatan seperti kapan pembukaan lahan, pengolahan tanah,
dan penanaman akan dilakukan.
50 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Akurasi peta lahan dan status lahan sering menimbulkan kasus yang memerlukan penanganan yang serius dan
melibatkan beberapa pihak yang terutama timbul akibat adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Kasus tanah
banyak mewarnai pembukaan lahan perkebunan. Di satu pihak, pemilik lahan atau petani pengguna lahan merasa
dirugikan berhadapan dengan pihak lain yaitu perusahaan perkebunan sebagai pemilik HGU merasa berhak dan
memerlukan sumberdaya lahan yang luas dan murah yang dibantu aparat pengamanan dan pemerintah daerah yang
berkepentingan dengan terjaganya investasi dan pembangunan di wilayahnya.
Jenis asal lahan yang dibuka dapat berupa (1) hutan primer, (2) hutan sekunder, (3) semak belukar, (4) padang
alang-alang, (5) lahan rawa, (6) lahan gambut. Jenis lahan asal dapat juga berupa kebun tua atau kebun yang sudah
rusak yang akan dilakukan replanting atau konversi. Hutan primer adalah hutan yang belum pernah dibuka atau
dimanfaatkan untuk pertanian maupun kehutanan. Pada hutan ini kerapatan pohon masih tinggi, umumnya kerapatan
pohon berdiameter >60 cm sebanyak 25-100 pohon/ha, dan kerapatan pohon yang berdiameter <30 cm berjumlah
lebih kurang 2500 pohon/ha. Hutan sekunder adalah hutan yang pernah dibuka untuk pertanian dan sudah kembali
menjadi hutan atau hutan yang telah dimanfaatkan kayunya. Pada hutan ini hanya terdapat sedikit pohon-pohon besar,
lebih didominasi pohon kecil dan semak belukar. Lahan semak belukar merupakan lahan yang sudah dibuka untuk
lahan pertanian dan belum lama ditinggalkan sehingga belum ada tegakan pohon. Umumnya hanya ditumbuhi semak
yaitu pepohonan kayu yang berhabitus kecil bercampur dengan belukar yaitu vegatasi menahun bukan kayu seperti
krinyu, harendong, alang-alang, dan putri malu berkayu maupun yang merambat, serta vegetasi calon pohon yang
masih pada fase tiang, sapihan, dan semai.
Padang alang-alang juga merupakan bekas lahan pertanian yang sudah ditinggalkan yang belum atau gagal
membentuk semak belukar melainkan hanya didominasi oleh alang-alang. Umumnya kegagalan lahan membentuk
semak karena di sekitar lahan sudah didominasi alang-alang atau karena lahan semak sering terbakar pada saat
kemarau. Vegetasi semak akan mati karena terbakar sementara rimpang alang-alang tidak mati karena api, bahkan
mampu segera tumbuh kembali. Lahan rawa umumnya ditumbuhi pohon dan semak yang tahan genangan misalnya
pohon gelam. Lahan gambut dapat ditumbuhi vegetasi berupa hutan atau semak belukar dengan ketebalan gambut
yang bervariasi dan memerlukan penanganan yang khusus.

4.2 Pembukaan Lahan


Pembukaan lahan mengikuti rencana tata ruang dan tata letak lahan unit kebun. Perencanaan tata ruang dan tata
letak lahan kebun menetapkan hal-hal sebagai berikut:
(1) Menetapkan jenis tanaman yang diusahakan dan tata letak areal menjadi unit-unit kebun.
(2) Menentukan kelompok pekerja yang akan ditempatkan.
(3) Menetapkan jenis bangunan berikut tata letaknya.
(4) Menetapkan sumber air baik untuk keperluan pertanaman maupun kantor dan masyarakat pekerja.
(5) Menetapkan jaringan drainase dan jaringan jalan.
Perencanaan awal desain perkebunan yang terpadu perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini: (1) ukuran luas
lahan perkebunan, (2) ukuran setiap devisi, blok atau kebun, (3) keadaan bentang lahan dan sifat tanah, (4) sistem jalan
dan transportasi, (5) langkah-langkah konservasi tanah dan air, (6) rencana operasional ke depan seperti mekanisasi
dan pekerjaan lapangan. Setelah dilakukan survei maka ditentukan berapa dan dimana blok atau devisi yang akan
dibuat. Misalnya perkebunan akan dibagi 10 blok dengan luas masing-masing blok 100 ha, yang setiap blok dibagi
menjadi 4 sub-blok seluas 25 ha. Setiap sub-blok dikelilingi jalan utama dan dilengkapi dengan jalan pengangkutan
saprodi dan panen. Pada pembukaan lahan hutan, rintisan jalan-jalan ini sudah mulai dikerjakan setelah pekerjaan
pembabatan semak belukar dan penebangan pohon kecil untuk memudahkan operasi pembukaan lahan berikutnya
seperti penebangan dan penumpukan pohon.
Pada perkebunan rakyat, pembukaan lahan menggunakan tangan manusia dengan bantuan peralatan sederhana
(secara manual) sedangkan perusahaan perkebunan menggunakan peralatan mesin (cara mekanis). Pembukaan lahan
Penyiapan Lahan 51

secara manual berlangsung lambat, sedikit demi sedikit, namun mampu membuka lahan yang sulit menggunakan
peralatan berat, misalnya lahan yang sangat miring. Pembukaan lahan secara mekanis berlangsung dengan cepat dan
secara massal.
Bergantung dari komoditas yang akan ditanam dan ketersediaan modal, batasan pekerjaan pembukaan lahan
dapat berarti:
(1) Merobohkan semua pohon dan semak yang ada, dipotong-potong untuk dimanfaatkan atau dikumpulkan pada
tempat tertentu.
(2) Membersihkan keseluruhan tegakan pohon dan semak yang ada termasuk tunggul-tunggul berikut akarnya,
kemudian biomassa ditumpuk sebagai suatu onggokan di suatu tempat untuk dibiarkan atau dimusnahkan dengan
cara yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Membersihkan semua pohon dan semak yang ada dengan cara memotong batang di atas permukaan tanah,
kemudian menumpuknya sebagai jalur pembatas. Tunggul-tunggul pohon kemudian akan dicabut, atau
dihancurkan pada saat pembajakan dan penggaruan, atau dibiarkan lapuk secara alami.
(4) Membersihkan semua pohon dan semak yang ada, diikuti oleh operasi pembajakan yang meremukkan sisa-sisa
bagian tumbuhan dan menimbunnya di dalam lapisan tanah atas (setebal 15-20 cm) sehingga mengalami proses
pelapukan alami.
Peralatan Pembukaan Lahan
Peralatan pembukaan lahan secara manual meliputi alat-alat pertanian umumnya seperti parang, golok, kampak,
dan cangkul serta peralatan bermesin yang langsung dioperasikan dengan tangan seperti gergaji ratai (chain saw).
Peralatan pembukaan lahan secara mekanis secara umum adalah menggunakan traktor, yaitu kendaraan yang didesain
untuk keperluan traksi (gaya gesek maksimum tanpa mengalami slip) yang tinggi pada kecepatan yang rendah. Secara
spesifik peralatan pembukaan lahan meliputi peralatan berat pembersih lahan seperti bulldozer, scrapper, dan grader,
peralatan penggali yaitu excavator, peralatan berat pengangkut seperti wheel loaders, dozer shovel (track loader,
pemuat beroda rantai) dan peralatan berat pemadat untuk pekerjaan pembuatan jalan seperti drum roller, vibro, dan
stump wales.
Bulldozer pada dasarnya merupakan traktor sebagai penggerak utamanya yang dipasang peralatan dengan fungsi
khusus (attachment) seperti bermacam-macam blade, towing, winch, ripper, tree pusher, harrow, disc plough, dan
towed scraper. Berdasarkan alat geraknya (mounted) bulldozer dapat dibedakan sebagai crawler tractor dozer (roda
rantai), wheel tractor dozer (roda karet), dan swamp bulldozer (untuk bekerja di rawa). Bulldozer dapat digunakan
untuk berbagai pekerjaan terkait pembukaan lahan yaitu penumbangan pohon, pembersihan tunggul dan batu,
pembuatan terasering, pembukaan jalan kebun, memindahkan tanah, menghampar tanah, dan menarik scraper.
Excavator merupakan peralatan berat penggali yang sangat umum dipakai dalam pembukaan lahan, disebut juga
diggers, mechanical shovels, 360 degree excavator, dan trackhoes untuk menyebut tracked excavators. Excavator
terdiri dari bucket, arm yang terdiri dari stick dan boom (upper arm), dan cab atau house yang dapat berputar 360
derajat. Bucket terdapat beberapa jenis yaitu chipping bucket, enviromulcher, dan puncher bucket. Berbagai jenis
attachment yang dapat digabung pada excavator antara lain back hoe, power shovel, dragline, clamshell, loader.
Penggunaan excavator di perkebunan secara umum adalah untuk penggalian parit jalan, drainase, dan lubang,
penanganan material, pembongkaran, pencacah, pengangkat barang berat, dan landscaping.
Pemotongan Semak Belukar
Pada perkebunan rakyat, pekerjaan pertama dalam pembukaan lahan yang dilakukan petani adalah membabat
semak dan pohon-pohon kecil yang bertujuan untuk merintis jalan dan memudahkan operasi penumbangan pohon,
baik secara manual maupun secara mekanis. Pada pembukaan lahan menggunakan perlatan berat, maka tahap ini
dapat dilakukan bersamaan dengan penumbangan pohon.
52 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Penumbangan Pohon
Penumbangan pohon dapat dilakukan secara manual misalnya menggunakan kampak dan gergaji tangan, atau
secara semi-mekanis menggunakan gergaji rantai bermesin (chain saw). Penumbangan pohon dapat dilakukan dengan
lebih cepat secara mekanis menggunakan peralatan berat traktor yang dipasangi dengan peralatan seperti shearing
blade sebagai pisau pemotong, beam untuk mendorong pohon atau menjebol akar (up-rooting), atau rantai jangkar
(anchor chains) yang dipasang pada dua buah traktor yang berjalan berdampingan untuk menarik dan menumbangkan
pohon. Alat shearing blade selain untuk memotong pohon, juga untuk membelah-mengoyak batang pohon yang besar
sebelum dirobohkan ke tanah.
Tunggul-tunggul (pokok) pohon dapat diremuk menggunakan stinger atau dijebol menggunakan rake atau
stumper. Operasi penumbangan pohon akan efisien dengan menggunakan kombinasi peralatan, sebab setiap jenis
peralatan mempunyai keunggulan atau kemampuan tertentu yang kurang dimiliki alat lain. Penumbangan pohon-
pohon besar yang berdiameter lebih dari 75 cm dapat merusak top soil sehingga perlu menggunakan kombinasi chain
saw dan dozer blade.
Teknik Pembukaan Lahan
Beberapa teknik pembukaan lahan (land clearing, LC) adalah sebagai berikut:
(1) Perubuhan dan pembakaran (felling-burning), yaitu tegakan pohon dan semak dirubuhkan, kemudian biomassa
dibakar, baik di bakar di tempat ataupun dikumpulkan di tempat tertentu untuk dibakar.
(2) Perubuhan dan penumpukan (felling-stacking), yaitu tegakan pohon dan semak dirubuhkan dan dikumpulkan dan
ditumpuk pada tempat tertentu untuk dibiarkan membusuk secara alami.
(3) Pembukaan lahan secara bersih (clean clearing), yaitu lahan dibuka sampai semua biomassa tidak ada di lahan
termasuk tunggul dan akar pohon, biasanya pekerjaan sampai pengolahan tanah sehingga lahan benar-benar
bersih dan siap untuk ditanami.
(4) Pembersihan lahan secara selektif (selective clearing), yaitu lahan dibuka sampai bersih pada jalur tanah saja
sehingga akan menghemat biaya, namun sisa biomassa pada jalur akan mengganggu operasional pemeliharaan
kebun.
(5) Perubuhan dan penimbunan (Felling-burying), yaitu biomassa hasil pembersihan lahan dipotong-potong,
dimasukkan dalam lubang atau lahan yang cekung dan ditimbun.
(6) Potong, cincang, dan dilapukkan (cut-chipping- decomposing), yang merupakan teknik yang ideal bagi lingkungan
yaitu pohon dan semak dirubuhkan, dan dipotong-potong, dihancurkan, dan dibiarkan melapuk atau dikomposkan
menghasilkan bahan organik.
Membakar merupakan cara yang paling cepat dan murah dalam membuka lahan perkebunan. Dalam sejarah
pembukaan lahan, orang dahulu bahkan membakar lahan sebelum melakukan penebangan pohon, sehingga lahan
sudah bersih dari semak belukar yang kering di musim kemarau dan tinggal menebang pohon yang tersisa.
Cara ini sangat berbahaya bagi lingkungan hidup dan merupakan tindakan kriminal dan diancam pidana menurut
UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Agar pembakaran lebih terkendali, orang menggunakan
teknik mengatur tumpukan biomassa yang akan dibakar dengan membuat tumpukan berupa jalur, membuat sekat
bakar, dan menggunakan teknik back burn. Cara-cara ini saat sudah dilarang dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
No 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Peraturan Pemerintah ini melarang setiap orang melakukan kegiatan membakar hutan dan atau lahan, bahkan setiap
orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan. Setiap orang yang melanggar peraturan ini diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41 sampai dengan pasal 47 UU No 4 Tahun 2001.
Cara pembukaan lahan dengan pembakaran memiliki keunggulan yaitu: (1) merupakan cara yang cepat dan murah
untuk membersihkan biomassa, (2) abu hasil pembakaran bersifat menyuburkan tanaman karena mengandung unsur
Penyiapan Lahan 53

hara antara lain K, Ca, dan Mg. (3) abu bersifat alkalis sehingga menaikkan pH tanah, (4) panas pembakaran dapat
mematikan gulma, hama, dan penyakit. Namun demikian, cara pembakaran lebih banyak merugikan terutama secara
ekologis karena (1) api sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan lain termasuk ladang
atau kebun orang lain, (2) di lahan gambut, pembakaran menyebabkan kebakaran gambut yang sulit dipadamkan, (3)
pembakaran berarti melepas karbon yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan dan gambut yang berarti melepaskan
CO2 ke udara yang dapat menyebabkan kenaikkan suhu udara dan pemanasan global, (4) asap pembakaran menyebabkan
polusi udara yang dapat mengganggu pernafasan manusia dan mengganggu transportasi baik darat maupun udara, (5)
jika pH tanah sudah tinggi maka abu semakin meningkatkan pH tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman,
(6) pada daerah yang kurang curah hujan, pembakaran dapat mengakibatkan penumpukan garam, (7) tanah yang
terbakar terlalu lama akan rusak, (8) lahan yang bersih dari seresah setelah pembakaran sangat rentan terhadap erosi
selama lahan belum kembali tertutup rumputan atau penutup tanah.
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar
Peraturan perundang-undangan melarang pembukaan lahan perkebunan dengan membakar, yaitu menurut
Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan atau Lahan, dan Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pada UU Perkebunan Pasal 26 disebutkan
bahwa “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang
berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup”. Orang yang membuka lahan dengan cara
membakar diancam dengan Pasal 48 yang menyebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau
mengolah tanah dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Namun kenyataan pada saat kemarau masih banyak dideteksi titik api (hot spot) yang umumnya timbul karena
adanya pekerjaan pembukaan lahan. Bagi petani dengan peralatan sederhana, pekerjaan pembukaan lahan tanpa
dibantu api, sulit dilakukan terlebih untuk membuka lahan hutan karena harus memindahkan dan membersihkan
biomassa yang sedemikian besar. Bagi perusahaan, pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan peralatan berat. Waktu
yang tersedia sekitar 6 bulan, adalah waktu yang singkat untuk pekerjaan membersihkan lahan sampai siap tanam
dan waktu yang belum cukup untuk dekomposisi alami ranting dan kayu. Apabila lahan masih belum siap ditanami,
sementara musim hujan sudah tiba, maka lahan dalam 3 bulan akan ditumbuhi rumput dan pekerjaan membuka lahan
harus diteruskan dengan kombinasi pengolahan tanah dan penggunakan herbisida sampai lahan tanam siap pada musim
hujan berikutnya. Pembukaan lahan tanpa bakar kurang bergantung pada musim kemarau, karena tidak memerlukan
api untuk membersihkan biomassa. Pembukaan lahan tanpa bakar akan lebih tepat dikerjakan secara progresif, artinya
dikerjakan dengan luasan tertentu sesuai kemampuan peralatan dan tenaga yang tersedia, namun berlangsung terus
menerus, tidak dapat bersifat massal seperti pada pembukaan lahan dengan pembakaran. Untuk program replanting
atau konversi yang sudah terencana cocok dengan pembukaan lahan tanpa bakar secara progresif.
Sehubungan dengan keterbatasan peralatan dan tenaga, petani membuka lahan sedikit demi sedikit. Sedikit lahan
yang sudah siap segera ditanami baik dengan tanaman semusim dan disisipi tanaman perkebunan tahunan. Sambil
memelihara tanaman yang sudah ada, petani meneruskan pembukaan lahan untuk memperluas kebun. Kekayuan
dimanfaatkan untuk kayu bangunan dan kayu bakar. Seresah ditumpuk atau dimasukkan dalam lubang rorak
sehingga menjadi kompos. Pembakaran sama sekali dapat dihindari. Petani biasa membuat api hanya untuk berdiang
(menghangatkan tubuh), mengusir nyamuk, atau keperluan memasak makanan di kebun.
Alasan utama dilakukan pembukaan lahan tanpa bakar adalah karena issu lingkungan yaitu mencegah kerusakan
lingkungan berupa kebakaran hutan, penurunan keanekaragaman hayati, pelepasan CO2 ke udara, dan pelepasan asap.
Alasan (jastifikasi) yang lain adalah untuk (1) mendaur ulang biomassa tumbuhan sehingga meningkatkan bahan
organik tanah, retensi kelembaban tanah dan kesuburan tanah, (2) mempertahankan struktur tanah, (3) mengembalikan
unsur hara ke dalam tanah, (4) mengurangi erosi permukaan.
54 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Teknik pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning techniques) didefinisikan sebagai metode pembukaan lahan
dengan jalan mana tegakan pohon, baik lahan hutan maupun kebun tua, ditebang, dicabik-cabik, ditumpuk dan
dibiarkan in situ agar terdekomposisi secara alami. Teknik ini sulit dilaksanakan oleh petani untuk membuka lahan
hutan karena tidak menggunakan peralatan berat. Teknik ini sudah diterapkan pada pembukaan lahan untuk program
replanting atau konversi di perkebunan besar. Teknik ini mempunyai kelemahan karena tumpukan biomassa atau
timbunan biomassa dapat merupakan sumber hama (seperti rayap, tikus dan kumbang) dan penyakit (busuk akar
pada replanting kelapa sawit dan jamur akar putih pada tunggul replanting karet). Untuk mengurangi kelemahan ini,
dilakukan pulverisasi (menghancurkan) tumpukan biomassa pada 2-6 bulan setelah penumpukan. Lahan dan tumpukan
cabikan material pohon dapat dilakukan segera ditanami LCC yang cepat tumbuh dan menutup tanah seperti Mucuna
bracteata. Pulverisasi dapat dilakukan menggunakan alat berat seperti rotary slasher atau mulcher yang dipasang
pada traktor berkekuatan 80-100 HP.
Berikut ini contoh cara pembukaan lahan perkebunan sawit asal lahan hutan dengan teknik pembukaan lahan
tanpa bakar:
(1) Pembersihan tumbuhan bawah (underbrushing), yaitu membabat belukar dan menebang semak dan pohon kecil.
Pekerjaan ini dapat dilakukan secara manual menggunakan golok dan kampak. Pada bagian lahan yang terdapat
banyak alang-alang atau berupa sheet alang-alang maka perlu dibabat dan setelah tumbuhan kembali alang-alang
tersebut disemprot dengan herbisida sistemik.
(2) Penentuan jalur dan pembuatan jalan dan saluran drainase. Pembuatan jalan dilakukan sesegera mungkin guna
memfasilitasi pekerjaan pembukaan lahan selanjutnya. Jalan utama diatur lurus dengan arah Utara-Selatan. Jalan
kebun dibuat mengelilingi devisi atau blok dan dibagi oleh jalan panen secara grid. Sistem drainase terdiri dari
saluran drainase yang besar dengan buangan kearah sungai dan tersambung dengan saluran drainase kecil di
kebun yang juga mengikuti sistem grid jalur jalan. Pekerjaan menggali saluran drainase dilakukan secara mekanis
dengan excavator.
(3) Penebangan pohon (felling), yaitu menebang pohon-pohon yang berukuran besar yang tersisa, menggunakan
chain saw dan peralatan mekanis seperti bulldozer dan excavator. Dengan peralatan berat, pekerjaan menumbang
pohon berjalan lebih cepat dan mampu membongkar tunggul sampai bersih. Chain saw sangat penting untuk
pekerjaan memotong-motong kayu agar mudah pengelolaan selanjutnya. Cadangan riparian atau jalur tumbuhan
penyangga jangan dibersihkan, yaitu sepanjang jalur sungai guna mencegah erosi tanah tepian sungai, mengurangi
erosi tanah masuk ke dalam sungai, dan menjaga habitat keragaman hayati. Lebar jalur riparian disesuaikan
dengan aturan yang berlaku.
(4) Penumpukan sisa kayu (stacking), yaitu memindahkan dan menumpuk potongan kayu ke suatu tempat, baik di
sela jalur tanam, atau di lahan yang tidak akan ditanami seperti pinggir jurang, atau pinggir rawa.
(5) Pengolahan tanah yaitu membajak dan menggaru (plowing-harrowing) yang dilanjutkan dengan penanaman
kacangan penutup tanah (LCC) dan penanaman tanaman pokok. Kacangan yang telah menutup akan mengurangi
erosi permukaan dan mempercepat dekomposisi sisa kayu pembersihan lahan.

4.3 Pengolahan Tanah


Pengolahan tanah merupakan kelanjutan pekerjaan pembukaan lahan. Pengolahan tanah dilakukan pada program
newplanting atau replanting. Pada sistem tanpa olah tanah, lahan yang sudah dibersihkan dari pepohonan siap
dilakukan penanaman, dimulai memancang ajir dan membuat lubang tanam. Tanpa pengolahan tanah, perakaran
pohon, semak, dan gulma menahun yang dipotong atau yang ditumbangkan akan dapat tumbuh kembali sehingga
membutuhkan penanganan yang lebih berat pada saat memelihara tanaman belum menghasilkan. Penanaman tanpa
mengolah tanah akan menghemat biaya atau tenaga, namun biaya pemeliharaan TBM untuk mengendalikan gulma
dan pertumbuhan kembali semak akan meningkat. Penanaman dengan sistem tanpa olah tanah dapat dilakukan untuk
tanaman keras seperti kelapa, kelapa sawit, dan karet. Pada pembukaan perkebunan rakyat, petani menanami lahan
yang sudah bersih dengan tanaman pangan seperti padi gogo dan jagung. Tanaman pokok kemudian disisipkan pada
pertanaman semusim. Sambil memelihara tanaman semusim dan tanaman pokok, pepohonan dan semak yang tumbuh
kembali dikendalikan dan dibersihkan.
Penyiapan Lahan 55

Pengolahan tanah bertujuan tidak hanya menggemburkan tanah, juga mengangkat dan menghancurkan perakaran
dalam tanah dan menghancurkan seresah dan gulma serta membalikkannya ke dalam tanah. Secara garis besar alat dan
mesin pengolahan tanah dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) alat dan mesin pengolahan tanah primer dan (2) alat
dan mesin pengolahan tanah sekunder.
Alat dan Mesin Pengolahan Tanah Primer (primary tillage equipment)
Alat ini digunakan untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah pertama. Peralatan pengolahan tanah ini adalah
berupa bajak (plow), dengan segala jenisnya. Alat pengolahan tanah pertama adalah alat-alat yang pertama sekali
digunakan yaitu untuk memotong, memecah dan membalik tanah. Alat-alat tersebut dikenal ada beberapa macam,
yaitu:
(1) bajak singkal (moldboard plow),
(2) bajak piring (disk plow),
(3) bajak pisau berputar (rotary plow),
(4) bajak chisel (chisel plow),
(5) bajak subsoil (subsoil plow),
(6) bajak raksasa (giant plow).
Bajak singkal memiliki bagian yang disebut pisau bajak dan singkal. Pisau bajak (share) berfungsi untuk memotong
tanah secara horizontal. Oleh karenanya biasanya bajak ini terbuat dari logam yang berbentuk tajam. Dengan bentuknya
yang melengkung singkal (moldboard) berfungsi untuk mengangkat, menghancurkan dan membalik tanah yang telah
dipotong oleh pisau bajak. Bajak piringan dapat menutupi kelemahan bajak singkal. Bajak piringan cocok untuk
bekerja pada tanah yang lengket, tidak mengikis dan kering dimana bajak singkal tidak dapat masuk; tanah berbatu,
atau banyak sisa-sisa akar; tanah gambut; serta untuk pembajakan tanah yang berat. Penggunaan bajak piringan ini ada
juga kelemahannya antara lain tidak dapat menutup seresah dengan baik, bekas pembajakan tidak dapat betul-betul
rata, hasil pengolahan tanahnya masih berbongkah-bongkah. Pada bajak pisau berputar, pisau-pisau dipasang pada
rotor secara melingkar hingga beban terhadap mesin merata dan dapat memotong tanah secara bertahap. Pada waktu
rotor berputar dan alat bergerak maju pisau akan memotong tanah, hasilnya berupa bongkahan tanah yang halus.
Bajak pahat dipergunakan untuk merobek dan menembus tanah dengan menggunakan alat yang menyerupai
pahat atau ujung skop sempit yang disebut mata pahat atau chisel point. Fungsi bajak pahat adalah:
(1) untuk memecah tanah yang keras dan kering, ini biasa dilakukan sebelum pembajakan untuk tanah tertentu,
(2) dipergunakan untuk pengerjaan praktis pada tanah bawah,
(3) dipergunakan pada tanah yang berjerami, dan dipergunakan untuk memotong sisa-sisa perakaran yang berada
dalam tanah,
(4) dipergunakan untuk memecah lapisan keras (hardpan) atau plow sole,
(5) untuk memperbaiki infiltrasi air pada tanah, sehingga dapat mengurangi erosi.
Bajak tanah bawah (sub-soiler) termasuk di dalam jenis bajak pahat tetapi dengan konstruksi yang lebih berat.
Fungsi bajak ini tidak banyak berbeda dengan bajak pahat, namun dipergunakan untuk pengerjaan tanah dengan
kedalaman yang lebih dalam, yaitu mencapai kedalaman sekitar 50 – 90 cm. Untuk jenis standar tunggal biasanya
dipergunakan untuk mengerjakan tanah dengan kedalaman sampai 90 cm, sedang penarikannya menggunakan traktor
dengan daya 60 – 85 HP.
Alat dan Mesin Pengolahan Tanah Sekunder (secondary tillage equipment)
Pengolahan tanah kedua dilakukan setelah pembajakan. Dengan pengolahan tanah kedua, tanah menjadi gembur
dan rata, tata air diperbaiki, sisa-sisa tanaman dan tumbuhan pengganggu dihancurkan dan dicampur dengan lapisan
tanah atas, kadang-kadang diberikan kepadatan tertentu pada permukaan tanah, dan mungkin juga dibuat guludan atau
alur untuk pertanaman. Alat pengolah tanah kedua yang menggunakan daya traktor antara lain: 1) garu (harrow), 2)
perata dan penggembur (land roller dan pulverizer), dan 3) alat-alat lainnya.
56 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Penggunaan garu sebagai pengolah tanah kedua, selain bertujuan untuk lebih meghancurkan dan meratakan
permukaan tanah hingga lebih baik untuk pertumbuhan benih maupun tanaman, juga bertujuan untuk mengawetkan
lengas tanah dan meningkatkan kandungan unsur hara pada tanah dengan jalan lebih menghancurkan sisa-sisa tanaman
dan mencampurnya dengan tanah. Macam-macam garu yang digunakan untuk pengolahan tanah kedua adalah : garu
piringan (disk harrow); garu bergigi paku (spikes tooth harrow); garu bergigi per (springs tooth harrow); garu rotari,
dan garu-garu untuk pekerjaan khusus (special harrow).
Pada prinsipnya garu piringan hampir menyerupai bajak piringan, khususnya bajak piringan vertikal. Perbedaannya
hanya terletak pada ukuran, kecekungan dan jumlah piringannya. Garu piringan mempunyai ukuran dan kecekungan
piringan yang lebih kecil dibandingkan dengan bajak, hal ini disebabkan pengolahan tanah kedua dilakukan lebih
dangkal dan tidak diperlukan pembalikan tanah yang efektif seperti pengolahan tanah pertama. Selanjutnya karena
draft penggaruan lebih kecil dari draft pembajakan, maka dengan besar daya penarikan yang sama, lebar kerja garu
akan lebih besar dibandingkan dengan lebar kerja bajak, dengan demikian jumlah piringan garu piringan dengan
sendirinya akan lebih banyak dibandingkan dengan bajak piringan.
Garu bergigi paku mempunyai gigi yang bentuknya seperti paku terdiri dari beberapa baris gigi yang diikatkan
pada rangka. Garu ini digunakan untuk menghaluskan dan meratakan tanah setelah pembajakan. Juga dapat digunakan
untuk penyiangan pada tanaman yang baru tumbuh. Garu pegas sangat cocok untuk digunakan pada lahan yang
mempunyai banyak batu atau akar-akar, karena gigi-giginya yang dapat indenting (memegas) apabila mengenai
gangguan. Kegunaan garu ini sama dengan garu paku, bahkan untuk penyiangan garu ini lebih baik, karena dapat
masuk ke dalam tanah lebih dalam. Garu rotari ada dua macam, yaitu : garu rotari cangkul (rotary hoe harrow) dan
garu rotari silang (rotary cross harrow).
Garu rotari cangkul merupakan susunan roda yang dikelilingi oleh gigi-gigi berbentuk pisau yang dipasangkan
pada as dengan jarak tertentu dan berputar vertikal. Putaran roda garu ini disebabkan oleh tarikan traktor. Yang termasuk
kedalam garu khusus adalah weeder-mulcher dan soil surgeon. Weeder-mulcher adalah alat yang digunakan untuk
penyiangan, pembuatan mulsa dan pemecahan tanah di bagian permukaan. Soil surgeon adalah alat yang merupakan
susunan pisau berbentuk U dipasang pada suatu rangka dari pelat. Alat ini digunakan untuk memecah bongkah-
bongkah tanah di permukaan dan untuk meratakan tanah.
Alat perataan dan penggembur memiliki piring-piring atau roda-roda yang disusun rapat pada satu as dengan piring
dapat tajam atau bergerigi. Alat ini digunakan untuk penyelesaian dari proses pengolahan tanah untuk persemaian.
Alat ini dapat digolongkan atas dua jenis yaitu:
a. Surface packer terdiri dari macam-macam bentuk, antara lain:
1) V Shaped roller pulverizers,
2) kombinasi T shaped dan Sprocket Wheel pulverizers,
3) Flexible sprocket wheelpulverizes.
b. Subsurface packer, terdiri dari 2 macam, yaitu
1) V Shaped packer
2) Crowfoot roller.
Pengolahan tanah dengan alat berat dimulai dengan pemberian tanda, yaitu patok-patok berikut tanda pengenal
untuk membantu operator dalam mengerjakan pengolahan tanah, terutama untuk lahan miring yang akan sekaligus
membuat alur teras dan barisan tanam. Operasional traktor menghendaki lahan dengan kemiringan ringan atau datar
sehingga kadang harus ada lahan yang dipotong dan ada yang diurug. Untuk itu harus diperhatikan jangan sampai
terjadi pembalikan tanah, yaitu lapisan top soil yang subur tergusur sehingga tinggal lapisan subsoil berada di bagian
atas, atau ada bagian tanah dimana top soil terurug dengan subsoil. Terbaliknya lapisan tanah ini dapat dihindari dengan
cara menumpuk dan menyimpan untuk sementara lapisan top soil di tempat tertentu. Setelah pekerjaan memotong
(cut) dan mengurug (fill) selesai yaitu tanah pada jalur tertentu sudah datar maka tanah atas (top soil) dikembalikan
pada tempat semula, atau pada tempat untuk menutupi subsoil. Tentu saja akibat perlakuan khusus untuk lapisan tanah
ini maka ongkos pengolahan lahan mengalami kenaikan.
Penyiapan Lahan 57

Kunci penting untuk pengolahan tanah adalah bagaimana menjaga agar lapisan top soil yang tebal umumnya
tidak lebih dari 35 cm tidak hilang atau rusak. Cara pengolahan tanah bergantung dari standar operasional penanaman
suatu komoditas perkebunan. Pengolahan tanah untuk penanaman semusim seperti tebu atau nanas akan lebih
rumit daripada penanaman kelapa sawit atau karet. Pada umumnya cara pegolahan tanah standar adalah dua kali
bajak dan dua kali garu dengan interval waktu 2-3 minggu antarpengolahan. Untuk lahan berasal dari sheet alang-
alang pengolahan dilakukan 2 kali bajak dan 3 kali garu atau dilakukan dengan kombinasi penyemprotan herbisida.
Kedalaman pembajakan umumnya 25-40 cm. Setelah pembajakan diikuti dengan penggaruan. Arah pembajakan
pertama dengan kedua harus tegak lurus atau paling tidak saling menyilang. Demikian pula dengan arah penggaruan.
Kegiatan pengolahan tanah untuk lahan kelapa sawit dilakukan dua kali bajak dan dua kali garu. Dalam
pengolahan tanah dengan membajak, tanah dipotong, kemudian dibalik agar sisa tanaman dan gulma yang ada di
permukaan tanah terpotong dan terbenam. Kedalaman pemotongan dan pembalikan tanah umumnya antara 20 sampai
40 cm. Pengolahan tanah dengan menggaru, bertujuan menghancurkan bongkah tanah hasil pengolahan tanah pertama
yang besar menjadi lebih kecil dan sisa tanaman dan gulma yang terbenam dipotong lagi menjadi lebih halus sehingga
akan mempercepat proses pembusukan. Bajak pertama dengan arah Utara-Selatan, 2-3 minggu kemudian diikuti garu
pertama dengan arah yang sama. Bajak kedua 2-3 minggu berikutnya dengan arah tegak lurus yaitu Timur-Barat, 2-3
minggu kemudian diikuti garu kedua dengan arah yang sama.
Penyiapan lahan kebun karet secara mekanis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Penebangan pohon
dilaksanakan dengan gergaji (chain saw) dan penumbangan dilakukan secara teratur agar tidak terganggu kegiatan
selanjutnya. Tunggul yang tersisa dibongkar dengan buldozer dan dikumpul pada tempat yang banyak sinar matahari
dengan jarak yang teratur agar tidak mengganggu kegiatan pegolahan tanah.
Selanjutnya dilakukan pengolahan tanah, pertama menggunakan Ripper. Ripper dimaksudkan untuk mengangkat
tunggul dan sisa-sisa tanaman yang tetinggal menggunakan traktor rantai dengan kedalaman garpu sekitar 45 cm.
Selanjutnya dilakukan pembajakan dua kali dengan arah menyilang saling tegak lurus sedalam 40 cm menggunakan
traktor luku. Interval waktu bajak I dan bajak II adalah 21 hari. Semua sisa akar dan potongan karet yang masih
tertinggal diayap secara manual dan dikumpulkan ditempat tertentu untuk memudahkan pemusnahannya. Pekerjaan
berikutnya adalah dilakukan meratakan bongkahan-bongkahan tanah sebagai akibat membajak. Pekerjaan ini secara
mekanis dikerjakan dengan menggaru.
Penyiapan lahan kebun karet secara khemis dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut. Setelah pekerjaan
penumbangan dan pengumpulan pohon dilakukan peracunan tunggul. Peracunan dilakukan dengan menggunakan
2,4,5 T yang dilarutkan dalam minyak solar dengan dosis 5 % atau dengan garlon. Larutan 2,4,5 T dalam minyak solar
dioleskan pada pangkal tunggul dengan ketinggian 20 cm dengan lebar 20 cm. Bila menggunakan garlon, terlebih
dahulu kulit dikupas pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah lalu diracuni dengan garlon yang telah dilarutkan
dalam solar dengan dosis 10 %. Pekerjaan berikutnya adalah pengimasan dan penyemprotan gulma. Pengimasan dan
penyemprotan menggunakan herbisida sistemik atau kontak diperlukan pada areal yang gulmanya cukup tinggi atau
pada areal vegetasi alang-alang. Untuk mencapai efektivitas terbaik, pada areal yang gulma atau alang-alang sudah
berdaun tua sebaiknya diadakan pembabatan terlebih dahulu.

4.4 Bangunan Konservasi


Perkebunan banyak memanfaatkan lahan marginal dengan topografi bergelombang sampai miring. Lahan seperti
ini ketika dibuka peka terhadap erosi sehingga top soil dan kandungan bahan organik menurun dengan cepat pada
awal pembukaan perkebunan. Tingkat erosi ditentukan oleh kecepatan aliran permukaan yang antara lain dipengaruhi
oleh kemiringan lereng, panjang lereng, dan keadaan vegetasi. Besarnya erosi dapat dihitung dengan rumus USLE
(Universal Soil Loss Equation) yaitu A = R x K x LS x C x P dimana :
A = jumlah kehilangan tanah akibat erosi (t/ha/tahun),
R = indeks erosivitas hujan,
58 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

K = faktor erodibilitas tanah,


LS = faktor panjang dan kemiringan lahan,
C = faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman, dan
P = faktor pengelolaan lahan/tindakan konservasi tanah
Konservasi lahan dengan mengendalikan erosi merupakan salah satu kunci perkebunan berkelanjutan. Erosi yang
tidak dikendalikan akan menyebabkan degradasi lahan sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman menurun, biaya
pemupukan meningkat. Tanah yang sudah terdegradasi memerlukan reklamasi dengan biaya yang besar dan waktu
yang lama. Oleh karena itu tindakan mencegah degradasi lahan merupakan tindakan strategis yang harus dimulai sejak
awal pembukaan perkebunan.
Konservasi lahan di perkebunan dilakukan baik secara fisik dengan bangunan kanservasi (teras) maupun secara
biologis dengan tutupan vegetasi. Konservasi lahan dengan vegetasi dilakukan baik untuk lahan datar maupun lahan
miring misalnya dengan menanam legume cover crops (LCC), pohon pelindung, streep weeding, pohon pematah
angin yang akan didiskusikan pada bab berikutnya. Bentuk bangunan pengendali erosi atau teras bergantung dari
kemiringan lahan.
Kemiringan lahan dapat dinyatakan dalam derajat, namun umumnya dinyatakan dalam persen (tg α x 100%).
Kemiringan lahan didefinisikan sebagai tg sudut antara permukaan tanah dengan garis horizontal (α). Sisi di depan
sudut α merupakan perbedaan ketinggian antara dua kontur. Karena sudut kemiringan lahan relatif kecil, maka sisi
horizontal yang tidak dapat diukur karena berada dalam tanah dianggap mendekati jarak antara dua titik di permukaan
tanah. Misalnya pada peta berskala 1:50.000, dengan kontur interval 25 meter berarti beda ketinggian antara dua
kontur berurutan adalah 25 meter. Jarak antara dua kontur yang akan diukur kemiringannya misalnya 1 cm berarti
jarak sebenarnya di lapangan adalah 500 m. Maka kemiringan lereng tg α = 25/500 = 0,05, sehingga α = 2o5’ atau
dalam persen kemiringan = 0,05 x 100 = 5%.
Sistem Drainase dan Parit Buta
Pada lahan datar, masalah yang sering muncul adalah bagaimana mengatur air agar tidak menggenang di kebun.
Genangan air berakibat buruk bagi perakaran tanaman dan dapat mendorong perkembangan penyakit. Untuk itu ketika
penyiapan lahan telah dibangun parit drainase sehingga air disalurkan secara lancar ke sungai atau danau. Manfaat
sistem drainase antara lain adalah:
(1) menghindarkan areal kebun tergenang air dalam waktu yang lama,
(2) menurunkan muka air tanah agar fungsi akar tanaman tidak terganggu,
(3) meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk.
Selain instalasi parit drainase, dapat pula ditambah parit penampung air yang tidak bersaluran pembuangan yang
disebut dengan parit buta (blind drainage). Parit-parit ini bersifat tambahan, untuk menampung air pada musim hujan,
menghindarkan lahan dan jalan panen tergenang apabila hujan lebat.
Rorak dan Benteng Kontur
Biasanya bangunan ini dibuat secara bersamaan untuk lahan dengan kemiringan 8-14%. Rorak (catch ditch/
sediment trap) adalah parit buta yang berukuran pendek, arah menurut garis kontur, atau barisan tanam, panjangnya
2-5 m menurut kebutuhan, lebar 60 cm dan dalam 60 cm. Ukuran rorak disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen
dan bahan-bahan lainnya yang akan ditampung. Rorak dapat berupa lubang atau parit pendek penampung air yang
juga befungsi sebagai penampung tanah yang terbawa air permukaan (erosi) sehingga tanah tidak hanyut ke saluran
drainase atau ke sungai. Apabila rorak sudah dangkal akibat terisi tanah dan tertutup rumput maka rorak perlu digali
kembali, atau digali rorak baru di samping rorak lama.
Di musim kemarau, rorak dapat juga difungsikan untuk menumpuk seresah sisa babatan dan koretan gulma.
Hasil dekomposisi berupa bahan organik digali dan dimanfaatkan untuk memupuk tanaman. Rorak jenis ini disebut
dengan rorak organik sebagai tempat menampung seresah. Pada kebun kelapa sawit, setiap pohon dapat dibuat satu
Penyiapan Lahan 59

rorak organik berukuran panjang 1,5 m, lebar 50 cm, dan dalam 60 cm, berfungsi tempat menumpuk tandan kosong,
pelepah daun, babatan gulma, dan pupuk kandang. Jika pupuk kandang belum matang, dapat didekomposisikan dalam
rorak ini sebelum diaplikasikan pada tanaman.
Pada lahan yang miring, rorak terus dibangun di samping rorak lama mengikuti kontur dengan tanah diletakkan
pada sisi bawah rorak. Dengan demikian rorak panjang ini membentuk benteng searah kontur dengan parit panjang di
sisi sebelah atas. Benteng kontur ini mengurangi limpasan air, dan menyalurkannya ke dalam parit benteng.
Teras Individu
Untuk lahan dengan kemiringan 15-27% perlu dibuat teras individu atau tapak kuda. Teras individu adalah teras
yang dibuat pada masing-masing individu pohon sehingga jumlah per hektar bergantung dari jumlah populasi pohon.
Sistem teras ini umum digunakan pada komoditas perkebunan berupa pohon. Teras ini dibuat di sekeliling pohon,
dengan memotong kemiringan lahan sampai datar atau agak miring ke arah dalam atau berlawanan arah dengan
kemiringan. Tanah diratakan selebar radius 1,5-2 m untuk pohon besar (seperti kelapa sawit) atau 50-100 cm untuk
pohon kecil dan kedalaman 10-30 cm. Jika perlu dapat dibuat benteng di arah luar teras.
Teras individu berguna untuk mengurangi erosi, meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman, memfasilitasi
pemeliharaan seperti penyiangan gulma dan pemupukan. Dengan demikian bagian lahan yang lain relatif tidak
terganggu oleh aktivitas pengelolaan kebun kecuali pengangkutan panen. Areal lahan di luar teras dapat dipelihara
LCC atau rumput alami yang tidak berbahaya seperti Paspalum conjugatum yang terbukti efektif menekan erosi
(Afandi et al., 2002). Teras individu dipelihara setiap pelaksanaan pengoretan gulma dan pemupukan. Teras individu
yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah tergolong efektif dalam mengendalikan erosi.
Teras Kontur
Apabila teras individu dibuat lebih panjang sesuai arah barisan (arah kontur) maka terbentuk teras kontur. Teras
kontur adalah teras yang dibuat mengikuti garis kontur sebagai jalur barisan tanaman, dan semua aktivitas pengelolaan
kebun seperti pemanenan, jalan panen, dan jalan pemeliharaan. Teras kontur dibangun pada saat penyiapan lahan
perkebunan yang mempunyai kemiringan 26-36%. Pada keadaan kemiringan yang normal, untuk mempertahankan
jarak tanam standar maka jarak horizontal teras merupakan jarak tegak lurus antar barisan tanaman (bukan jarak muka
tanah) yaitu 7,79 m untuk kelapa sawit berjarak tanam 9 x 9 x 9 m segitiga sama sisi, atau 7 m untuk karet dengan
jarak tanam 7 x 3 m.
Teras kontur dibangun mulai dari sisi lahan sebelah atas terus sampai ke aras bawah. Teras kontur dibuat dengan
permukaan yang miring ke dinding teras dengan sudut miring 10 - 15 derajat. Lebar teras berkisar antara 2-4 meter.
Pembuatan teras kontur dilakukan secara manual atau dengan menggunakan bulldozer. Tanah galian disusun untuk
tanah bagian luar teras yang ditimbun. Teras ini dipelihara setiap kali pengoretan gulma dan pemupukan. Prestasi
tenaga kerja untuk rehabilitasi teras ini untuk lebar teras 3 m berkisar 20—30 m/HK. Lahan di luar teras relatif
tidak terganggu oleh aktivitas pengelolaan kebun sehingga dapat ditanami vegetasi penguat seperti rumput alami,
rumput gajah, serai wangi (Cymbopogon nardus) atau akar wangi (Vetiveria zizanoides). Untuk akar wangi hendaknya
ditanam khusus untuk penguat teras, tidak untuk dipanen akarnya karena akan merusak teras.
Taras Bangku
Di perkebunan di daerah pegunungan sering dijumpai pengusahaan lahan dengan kemiringan lebih dari 36%
sehingga perlu dibuat teras bangku. Lahan dengan kemiringan yang tinggi ini dapat diusahakan secara terbatas untuk
komoditas dataran tinggi berhabitus berupa pohon seperti teh, kopi, kakao, kayu manis, dan kina. Teras bangku atau
teras tangga (bench terrace) adalah teras yang dibuat dengan cara memotong kelerengan dan menimbunkan serta
menguatkan tanah ke bagian bawahnya sehingga membentuk deretan bangunan tanah seperti tangga.
Teras bangku tergolong teknik konservasi tertua yang dilakukan oleh petani berbagai negara. Teknologi ini
dikerjakan manusia untuk mengusahakan lahan miring baik lahan beririgasi maupun lahan kering, untuk tanaman
pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Mata air yang banyak ditemukan di daerah pegunungan dapat dimanfaatkan
60 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

secara efisien dengan dialirkan di teras bangku dari sisi sebelah atas sampai ke teras bawah dekat anak sungai. Pada
lahan kering fungsi utama teras bangku antara lain: (1) memperlambat aliran permukaan, sehingga menekan erosi, (2)
menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak tanah, (3) meningkatkan laju
infiltrasi air, (4) mempermudah pengolahan tanah dan pengelolaan tanaman.
Karena keadaan lahan yang sangat miring maka sistem teras bangku tidak cocok untuk penyiapan lahan dan
pengelolaan kebun secara mekanis. Karena dikerjakan secara manual dan membutuhkan waktu untuk membentuk
benteng teras yang kuat maka pembuatan teras membutuhkan tenaga yang besar yaitu berkisar 360-500 HOK per
hektar. Pemeliharaan teras perlu dilakukan setiap tahun dengan tenaga yang tidak sedikit agar kerusakan bangunan
dapat segera diperbaiki sehingga tidak bertambah parah. Penambahan struktur penguat dinding teras seperti batu dan
vegetasi juga sangat penting. Erosi dan longsor dinding teras dapat ditekan dengan menanam rumput yang berakar
kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. Utomo, M. Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil erosion under coffee trees
with different weed managements in humid tropical hilly area of Lampung Sumatra, Indonesia. J. Jpn. Soc, Soil
Phys. 91: 3-14, 2002.
Clarke, R.J. and R. Macrae. 1988. Coffee: Agronomy. Elsevier Appl. Sci. London.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. 2011. Pedoman Teknis Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. 2011. Pedoman Teknis Konservasi Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Evizal, R. 1994. Awas kebakaran lahan perkebunan. Lampung Post. Selasa, 11 Oktober.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
Kurnia, U., A. Rachman, A. Dariah. 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Puslitbang
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Onrizal. 2005. Pembukaan lahan dengan dan tanpa bakar. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian USU. e-USU
Repository.
Noor, M.M. 2003. Zero burning techniques in oil palm cultivation: An economic perspective. Oil Palm Industry
Economic Journal 3(1): 16-24.
PTP X. 1992. Pedoman Teknis Budidaya Kelapa Sawit. L2P. Bandar Lampung.
Sosroatmodjo, P. 1980. Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah. Leppenas. Jakarta.
The ASEAN Secretariat. 2003. Guidelines for the implementation of the ASEAN policy on zero burning. Jakarta.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Pembibitan 61

BAB V
PEMBIBITAN

P embibitan merupakan tahap penting berikutnya menyusul penyiapan lahan. Mutu bibit sangat penting mengingat
investasi di sektor perkebunan berjangka panjang dan membutuhkan modal yang besar. Penggunaan bahan tanam
unggul bermutu merupakan modal dasar dalam menentukan keberhasilan usaha perkebunan. Bibit yang ditanam saat
ini baru akan terlihat hasilnya setelah 4-5 tahun kemudian. Oleh karena itu akan sangat merugikan apabila ternyata
tanaman berproduksi rendah karena bibit yang ditanam tidak baik. Untuk pemenuhan benih, pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Perkebunan telah menetapkan target pemenuhan benih unggul bermutu secara 6 tepat, yaitu tepat
mutu, jumlah, jenis, waktu, lokasi dan harga.
Pada perkebunan besar, pekerjaan pembibitan berada pada divisi khusus yang memasok benih dan bibit baik
untuk kepentingan internal maupun untuk memasok kebutuhan pasar komersial. Hasil penelitian dan pemuliaan akan
diperbanyak secara massal oleh divisi pembibitan. Penjualan benih atau bibit perkebunan merupakan bisnis yang
besar, mengingat besarnya kebutuhan bibit unggul bermutu di perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Bibit
atau benih senantiasa dibutuhkan untuk program perluasan areal (penanaman baru), untuk peremajaan dan konversi,
serta untuk tujuan program rehabilitasi kebun. Untuk menjamin mutu benih perkebunan, produsen benih atau bibit dari
varietas atau klon yang sudah dilepas pemerintah, harus berdasarkan izin berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian.

5.1 Pemilihan Bibit Unggul dan Bermutu


Dalam penyiapan bibit unggul dan bermutu perlu diperhatikan syarat-syarat  berikut ini:
(1) Pastikan bibit dari varietas/klon unggul;
(2) Pilih cara perbanyakan yang dianjurkan;
(3) Seleksi bibit secara ketat;
(4) Pembibitan dilaksanakan secara baik, tepat jumlah, dan tepat waktu.
Varietas atau klon unggul adalah varietas atau klon yang sudah dilepas oleh pemerintah baik berupa varietas
atau klon baru maupun varietas atau klon lokal yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan atau sifat lainnya.
Untuk  meyakinkan bahwa bahan tanam yang digunakan  merupakan jenis unggul maka bahan tanam dapat diperoleh
dari lembaga  yang bereputasi baik dalam penyediaan bibit perkebunan seperti lembaga penelitian,  perusahaan, dan
dinas perkebunan. Usaha penangkaran bibit  perkebunan merupakan peluang usaha agroindustri yang  berprospek baik.
Bagi petani pekebun, penyediaan bibit sering  merupakan  persoalan.  Harga bibit siap tanam  yang  bermutu semakin
62 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

mahal.  Di samping bermodal kecil, petani pekebun hidup jauh  di pelosok dan jauh dari sumber informasi. Kesulitan
ini mengakibatkan  banyak  petani yang tetap menggunakan  bibit  ilegetim  atau bibit cabutan yang diperoleh dari
kebun produksi rakyat.
Cara perbanyakan bergantung dari jenis komoditas, ada komoditas yang diperbanyak secara generatif, ada yang
secara  vegetatif yaitu  terutama  untuk tanaman yang  memiliki klon-klon  unggul. Untuk memudahkan pengiriman
jarak jauh, perlu dicari bahan  tanam yang tepat sehingga efisien dan viabilitas tetap tinggi. Jenis bibit yang siap tanam
adalah berupa bibit asal benih (zaailing atau seedling), bibit asal sambungan, bibit asal stump, bibit asal stek.
Tabel 17. Bahan siap kirim dan bahan siap tanam

Komoditas Bahan siap kirim Bahan siap tanam


Kopi Benih, entres, semaian Bibit semaian, sambungan
Kakao Benih, entres Bibit
Karet Benih, kecambah benih, entres, stump Bibit
Kelapa Benih, kitri Bibit
Kelapa sawit Kecambah benih (germinated seed) Bibit
Teh Benih, stekres Bibit
Tebu Benih, stek Bibit, stek bagal, stek pucuk
Cengkeh Benih Bibit
Kapas Benih Benih
Tembakau Benih Bibit
Lada Stek Stek, bibit
Vanili Stek Stek, bibit
Jahe Rimpang Kecambah rimpang
Serai wangi Anakan Anakan

Benih kiriman yang bersifat rekalsitran atau bahan tanam yang dikirim berupa  kecambah, harus segera disemai.
Keterlambatan penyemaian akan mengakibatkan kerusakan atau kelainan pada kecambah,misalnya (1) bakal akar
dan daun telah panjang sehingga menyulitkan penyemaian, (2) bakal akar dan daun rusak, bengkok atau patah, (3)
kecambah membusuk karena terserang cendawan  atau mati kering karena kekurangan air.
Kebanyakan tanaman perkebunan memerlukan tahap pembibitan baik untuk menyemaikan benih atau
stek. Sehubungan dengan penyediaan bahan tanam ini, perkebunan besar dilengkapi  pula dengan kebun induk
sebagai sumber benih, stek, atau entres. Bersamaan dengan penyiapan lahan, dilakukan kegiatan pembibitan
sehingga pada saatnya  nanti lahan sudah siap dan bibit juga siap tanam tepat pada awal musim hujan. Selama
pembibitan terus dilakukan pemantauan dan seleksi bibit sehingga bibit yang ditanam hanyalah bibit yang tumbuh
dengan baik.

5.2 Kebun Induk


Membangun kebun induk untuk menghasilkan benih atau bahan tanam merupakan langkah strategis untuk
menghasilkan benih unggul bermutu dalam jumlah yang besar. Membeli benih atau klon dari perusahaan atau
penangkar dalam jumlah besar menimbulkan kendala strategis: (1) ketergantungan kepada pihak penangkar, baik
Pembibitan 63

harga, mutu benih, maupun waktu pengadaan, (2) harga yang relatif tinggi, (3) jarak antara sumber bahan klonal
dengan lokasi pembibitan dapat menurunkan kualitas bahan klon, (4) meskipun membeli benih bersertifikat resmi,
perusahaan perlu mengembangkan standar mutu internal.
Pohon Induk
Membangun kebun induk berarti membangun kebun dengan bahan tanam yang secara genetik yang jelas untuk
dapat digunakan sebagai tetua. Material tanaman harus diperoleh dari lembaga pemuliaan sebagai hasil dari seleksi
dan persilangan agar kemurnian pohon induk dapat dijamin. Berbeda dengan kebun plasma nutfah yang menginginkan
keragaman genetik yang luas, kebun induk mungkin hanya menanam beberapa varietas atau klon sebagai tetua induk
dan bapak.
Pohon induk dapat berasal dari materi klonal atau dari materi hasil persilangan. Keduanya memerlukan prosedur
pemurnian yang ketat. Kebun induk dari materi klonal misalnya pada kebun induk kakao, kopi, tebu, karet, kina, dan
teh, yang akan menghasilkan bahan tanam baik berupa klon, varietas, maupun hibrida. Kebun induk yang bermateri
genetik hasil persilangan pohon tetua misalnya pada kelapa dan kelapa sawit.
Kebun Entres
Untuk tanaman yang diperbanyak secara okulasi dan menyambung misalnya karet dan kopi perlu kebun entres
dengan klon yang jelas yaitu dari balai-balai penelitian. Kebun ini dibangun dekat dengan pembibitan dengan jarak
tanam yang rapat. Keuntungan adanya kebun entres antara lain dapat menjamin kegiatan pembibitan secara klonal,
dapat dilakukan seleksi klon yang sesuai untuk lokasi kebun tertentu, dan sebagai sumber pendapatan.
Pemurnian Kebun Induk Klonal
Permurnian kebun adalah kegiatan memurnikan kebun benih berdasarkan kemurnian klon yang digunakan
sewaktu membangun kebun benih. Pemurnian kebun induk klonal diperlukan untuk tanaman yang sering diperbanyak
secara vegetatif (terutama penyambungan dan okulasi) seperti tanaman kakao, kopi, dan karet. Misalnya pada
tanaman kakao, penyelenggaraan pemurnian kebun induk dijelaskan Anatasia (2011) berikut ini. Pengenalan klon
dapat dilakukan berdasarkan sifat morfologi sifat vegetatif maupun generatif tanaman kakao pada beberapa fase
pertumbuhan. Pemurnian dapat dilakukan pada tanaman muda sebelum berbunga, tanaman muda yang sudah berbunga
atau tanaman dewasa.
Pemurnian klon kakao pada tanaman muda sebelum berbunga dilakukan pada tanaman berumur 4-10 bulan
ketika tanaman masih di pembibitan atau beberapa bulan setelah dipindah ke lapangan. Objek diagnosisnya adalah
batang, ranting, pucuk daun (flush), dan daun dewasa. Pemurnian klon kakao pada tanaman muda dilakukan pada
tanaman kakao muda yang sudah berbunga tapi belum berbuah. Objek diagnosis yang diamati adalah batang, ranting,
pucuk daun (flush), daun dewasa, dan bunga. Sedangkan pemurnian klon kakao pada tanaman dewasa objek diagnosis
yang sudah lengkap berupa karakter vegetatif (batang dan daun), pertumbuhan bunga dan buah.
Pelaksanaan pemurnian kebun entres kakao menggunakan metode pengamatan pada setiap pohon kakao secara
individu pada contoh baris tanaman di setiap blok tanaman. Pemurnian dilakukan dengan mengamati karakter
yang dimiliki oleh setiap individu tanaman kakao sesuai fase pertumbuhannya, kemudian ditetapkan statusnya
yaitu dikatakan murni apabila tanaman yang diamati menunjukkan keragaan yang baik dan karakter morfologinya
sesuai dengan karakter morfologi klon yang digunakan sebagai pohon induk pada kebun benih tersebut. Data yang
diperoleh terdiri atas jumlah populasi tanaman kakao pada kebun entres, dan jumlah pohon murni yang mengacu
pada karakter klon yang digunakan. Pohon-pohon yang tidak murni diberi tanda berupa cat untuk disambung ulang
dengan menggunakan klon yang dianjurkan atau yang digunakan pada kebun tersebut. Untuk dapat melaksanakan
kegiatan pemurnian, setiap petugas harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali dengan baik dan
benar klon–klon anjuran yang digunakan sebagai pohon induk kakao. Kesalahan dalam mengidentifikasi klon dapat
berdampak buruk dan berakibat fatal.
64 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Prosedur pemurnian diawali dengan pengajuan permohonan oleh pemilik kebun kakao calon sumber benih atau
sumber entres kepada instansi yang berwenang yaitu UPTD Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih pada setiap
Provinsi, atau jika Provinsi tertentu belum memiliki UPTD tersebut dapat mengajukan permohonan pada Instalasi
Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (IP2MB) setempat, atau kepada Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan (BBP2TP) sesuai wilayah kerjanya yang dikelompokkan menjadi BBP2TP Medan untuk wilayah kerja
Sumatera dan Kalimantan, BBP2TP Surabaya untuk wilayah kerja Jawa, Sulawesi, Papua dan Papua Barat, serta
BBP2TP Ambon untuk wilayah kerja Maluku dan Maluku Utara. Pemohon harus melampirkan sketsa pola lokasi,
desain pertanaman, blok serta batas-batas areal, surat keterangan hak atas tanah/lahan, Tanda Registrasi Usaha
Perbenihan (TRUP) dari Dinas Perkebunan setempat, dan Surat Keterangan/Sertifikasi Mutu Benih yang digunakan
sebagai pohon induk/entres pada kebunnya. Instansi yang berwenang akan menentukan dan menginformasikan jadwal
pemurnian kepada pemohon.
Pada jadwal yang telah ditentukan, petugas Pengawas Benih Tanaman (PBT) pada UPTD/IP2MB/ BBP2TP
dan bila diperlukan bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) akan
melaksanakan pemurnian pada kebun yang diajukan dalam permohonan. Hasil pemurnian tersebut akan dibuatkan
laporan dan rekomendasi penetapan sebagai kebun sumber benih jika kebun tersebut telah dinyatakan layak murni
sebagai kebun induk atau kebun entres oleh petugas. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi tersebut akan ditetapkan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan sebagai Kebun Induk Kakao, dan oleh kepala Dinas yang menangani
bidang Perkebunan Provinsi setempat ditetapkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi sebagai Kebun
Entres Kakao.

5.2 Pembibitan Awal (Prenursery)


Pembibitan awal merupakan tahap penyemaian benih atau pengakaran stek dalam waktu tertentu yang cukup
singkat sampai semaian cukup kuat untuk dipindah pada tempat pembibitan utama. Ada beberapa keuntungan
pembibitan awal:
1. Penyemaian sehingga semaian lebih terkontrol;
2. Efisien lahan karena penyemaian dilakukan dengan jarak rapat sehingga dapat lebih menghemat tenaga;
3. Seleksi dilakukan sejak awal sehingga lebih efisien.
4. Ketika pembibitan awal, lahan untuk pembibitan utama dapat disiapkan tanpa terburu-buru.
Lokasi pembibitan awal dekat dengan pembibitan utama yaitu dengan syarat sebagai berikut:
1. Tidak terlalu jauh dari lokasi penanaman;
2. Memiliki sumber air yang cukup, mantap, dan tidak kebanjiran;
3. Lahan rata dengan drainase yang baik atau bergelombang ringan;
4. Dekat dengan kantor sehingga dapat lebih terawasi;
5. Terhindar dari sumber hama dan penyakit atau gangguan ternak;
6. Memiliki jalan pengangkutan.
Tempat pembibitan awal dapat berupa bedengan, bak pengakaran, atau kantung pembibitan. Medium yang
digunakan adalah tanah, pasir, atau campuran keduanya. Alasan penggunaan pasir adalah: (1)pasir mudah disterilkan,
(2) drainase baik, (3) semaian masih mengambil makanan dari cadangan, (4) semaian mudah dipindah tanpa banyak
merusak akar.
Bibit muda di pembibitan awal umumnya membutuhkan naungan untuk mencegah kerusakan akibat terbakar
matahari langsung dan hujan terlalu deras. Naungan dapat dibuat dengan dua cara yaitu naungan tunggal yang menutupi
seluruh areal pembibitan awal atau naungan individu untuk setiap bedengan. Naungan individu dibangun ke arah
utara-selatan dan miring menghadap ke timur untuk mendapatkan sinar matahari pagi. Sebagai atap dapat digunakan
bahan yang mudah tersedia seperti daun kelapa, daun nipah, rumbia, daun kelapa atau kelapa sawit. Bahan-bahan ini
semakin meningkatkan pelolosan sinar secara berangsur seiring dengan semakin keringnya daun dan bertambah umur
bibit.
Pembibitan 65

Bedengan berukuran lebar 1,2 m dan berukuran panjang sesuai kebutuhan misalnya 8 m dan di antara bedengan diberi
jarak 0,8 m sebagai jalan pemeliharaan sekaligus jalur drainase air siraman atau hujan. Tanah bedengan ditinggikan
25--30 cm.
Pemeliharaan pembibitan awal meliputi antara lain:
1. enyiraman, dilakukan 1-2 kali sehari secara hati-hati agar benih atau bibit yang disemai tidak terbongkar;
2. Pengendalian gulma; gulma yang tumbuh di kantung dicabut setiap 2 minggu sekali, dan gulma di antara bedengan
dikored.
3. Penggemburan tanah di dalam kantung;
4. Pemberian pupuk sesuai dengan dosis rekomendasi untuk suatu komoditas;
5. Pengendalian hama dan penyakit;
6. Seleksi bibit, terhadap bibit yang tumbuh abnormal atau terserang hama dan penyakit; bibit yang tersingkir
sekitar 5-10%;
7. Pengurangan naungan.
Pertumbuhan abnormal bibit karena kesalahan penyemaian misalnya adalah bibit terputar karena radikula
tersemai menghadap ke atas (terbalik), akar bibit terbongkar karena dibenam terlalu dangkal, bibit lemah karena
ditanam terlalu dalam, bibit menguning karena medium terlalu banyak pasir atau kebanyakan penyiraman, dan bibit
membusuk karena air siraman/hujan tergenang.

5.3 Pembibitan Utama (Main-nursery)


Pembibitan utama merupakan tahap lanjutan setelah pembibitan awal dari sistem pembibitan dua tahap (double
stage system). Di pembibitan utama, bibit dipelihara lebih lama sampai bibit siap ditanam ke lapangan. Keberhasilan
rencana penanaman di lapangan dan produktivitas di kemudian hari banyak dipengaruhi oleh kaberhasilan pertumbuhan
bibit di pembibitan utama ini.
Pada persiapan lahan pembibitan, meratakan areal dengan buldozer merupakan cara yang cepat yaitu apabila
diperlukan areal yang luas. Sorongan pertama terhadap tanah atas (top soil) dikumpulkan ke arah pinggir sebagai
sumber tanah pengisi kantung plastik. Dengan sistem ini, pertumbuhan rumput dapat dikurangi, lahan sudah bersih
dari akar dan kayu sehingga memudahkan pengaturan kantung bibit. Untuk pembibitan utama yang di tanah, lahan
disiapkan dengan cara pencangkulan dan pembuatan bedengan-bedengan.
Luas areal pembibitan bergantung dari jumlah bibit yang dibutuhkan, umur bibit yang hendak ditanam, dan jarak
tanam pembibitan. Di samping itu harus diperhitungkan juga jalan-jalan di pembibitan serta kantor pengawasan.
Semakin lama umur pembibitan, diperlukan jarak tanam yang lebih besar. Perlu juga diusahakan agar areal pembibitan
yang disiapkan lebih luas guna mencegah kekurangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan bibit yang lebih banyak.
Pemasangan instalasi air merupakan pekerjaan yang penting karena sangat diperlukan dan membutuhkan biaya
yang besar. Hal yang perlu disiapkan adalah rumah pompa, mesin pompa, dan jaringan pipa mulai  dari pipa ukuran
5” untuk saluran induk, 4” dan 3” untuk saluran primer dan sekunder, dan 1” untuk pipa tersier. Sistem penyiraman
dapat dipilih dari 2 sistem yaitu sprinkler atau pipa gembor. Sistem sprinkler membutuhkan air yang lebih banyak
daripada sistem pipa gembor, namun lebih hemat biaya penyiraman. Jarak pemasangan sprinkler harus diatur sehingga
penyiraman merata. Jika menggunakan pipa gembor, jarak pipa tersier sekitar 14 m dan kemudian disambung dengan
selang karet (plastik) yang ujungnya dipasang gembor.
Kebutuhan air bergantung dari umur bibit, yaitu akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur bibit,
selain bergantung dari curah hujan. Pemasangan alat pengukur curah hujan sangat dianjurkan. Alat ini dipasang jangan
terlalu dekat dengan springkler. jika curah hujan cukup besar maka penyiraman tidak perlu dilakukan.
Pada banyak komoditas, pembibitan utama masih memerlukan naungan misalnya pembibitan cengkeh, kopi,
lada, dan kina. Namun demikian tingkat naungan harus semakin mengecil dengan bertambahnya umur bibit. Hal ini
66 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

supaya bibit berangsur dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di lapangan (hardening). Tingkat naungan dapat
berkurang secara alami misalnya atap berupa daun kelapa secara berangsur akan merenggang dan rontok atau dengan
cara mengurangi atap. Seberapa besar naungan yang harus dikurangi bergantung kepada jenis tanaman. Untuk tanaman
kopi dan teh dapat dilihat pedoman pada Tabel 18 dan 19.
Tabel 18. Intensitas naungan pada pembibitan kopi

Umur sebelum dipindah ke kebun Intensitas naungan


(minggu) (%)
30-11 75
10-5 50
4-0 40

Sumber: Priatno (1976)


Tabel 19. Intensitas sinar pada pembibitan teh

Umur bibit (bulan) Intensitas sinar (%)


0-3 25-30
4-5 30-40
6-7 50-75
8-12 90-100
>12 100

Di pembibitan utama, seleksi bibit dilakukan secara bertahap karena kemunculan gejala abnormal sejalan dengan
umur bibit. Apabila umur bibit sampai 1 tahun maka inspeksi seleksi dapat dilaksanakan pada waktu bibit berumur 4
bulan, 8 bulan, dan saat penanaman di lapangan. Gejala abnormalitas bibit adalah khas untuk setiap komoditas yaitu
terhadap tinggi bibit, jumlah dan keadaan daun, ketegaran, serta gejala serangan hama dan penyakit.
Beberapa faktor yang penyebabkan pertumbuhan abnormal bibit misalnya:
1. Kesalahan kedalaman tanam ketika memindahkan dari pembibitan awal, yaitu terlalu dalam atau dangkal;
2. Penyiraman kurang merata, sehingga pertumbuhan tidak seragam;
3. Terbakar karena herbisida atau pupuk ketika aplikasi;
4. Jarak tanam yang terlalu rapat;
5. Umur pemindahan dari pembibitan awal yang tidak tepat, pemindahan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan
scorching, pemindahan yang terlambat mengakibatkan pertumbuhan yang meninggi (etioleren);
6. Gangguan hama dan penyakit.

5.4 Pengangkutan Bibit


Pemindahan bibit ke kebun melewati tahap pembongkaran bibit dan pengangkutan bibit. Pembongkaran bibit
yang ditanam di bedengan berisiko menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada bibit di polibag. Bibit di
bedengan dapat dibongkar menjadi bibit cabutan atau bibit putaran.
Bibit cabutan diperoleh dengan mencabut bibit atau membongkar secara hati-hati kemudian bibit-bibit diikat
pada wadah yang dapat menahan kelembaban seperti gedebok pisang dan siap diangkut. Pengangkutan bibit cabutan
lebih efisien terutama apabila letak kebun jauh atau bibit akan dikirim, namun persiapan areal pertanaman dan waktu
penanaman harus tepat.
Pembibitan 67

Bibit putaran diperoleh dengan cara mendongkel tanah di zona perakaran sehingga tanah dan perakaran tetap
menyatu. Setelah itu tanah perakaran dibungkus misalnya dengan keranjang bambu atau gedebok pisang. Penanaman
bibit putaran memberi pertumbuhan yang lebih baik karena perakaran relatif tidak rusak sehingga tidak terjadi stagnasi
pertumbuhan. Oleh karena itu untuk penyulaman atau penanaman pada areal yang dekat dan tidak luas dianjurkan
memakai bibit putaran.
Lokasi pembibitan diusahakan dekat dengan lahan penanaman, namun demikian bibit tetap memerlukan
pengangkutan, bahkan kadang harus menempuh jarak yang cukup jauh. Sebelum bibit diangkut untuk ditanam, perlu
dilakukan beberapa perkerjaan sebagai berikut.
1. Bibit yang akan dipindah hendaknya pada fase pertumbuhan daun tua.
2. Dilakukan seleksi bibit, yaitu dengan menandai bibit-bibit yang layak dipindah dan mana bibit-bibit yang harus
ditunda penanamannya.
3. Dua minggu sebelum pemindahan, bibit diputar agar akar  yang menembus tanah terputus, dan dapat dipangkas,
dan sudah beregenerasi;
4. Bibit yang satu varietas atau klon dikumpulkan per kelompok sesuai dengan kapasitas truk pengangkut;
5. Peta penanaman atau data jumlah bibit per baris harus diketahui untuk mengatur penurunan bibit;
6. Sebelum bibit diangkut ke truk, bibit perlu disiram dengan air sampai cukup dan rata untuk kekeringan dalam
pengangkutan atau di lapangan nanti beberapa hari tidak hujan;
7. Bibit yang wadahnya pecah atau rusak perlu diikat.

5.5 Perencanaan Pembibitan


Rencana pembibitan merupakan bagian dari perencanaan pembangunan perkebunan secara keseluruhan.
Ketidaktepatan pelaksanaan produksi bibit akan berakibat beruntun pada tidak tercapainya realisasi luas tanam.
Kerugian ini tidak saja karena lahan yang sudah disiapkan kembali ditumbuhi gulma, tetapi juga kerugian umur
tanaman yaitu tertundanya rencana panen. Realisasi tanam memang terkait erat dengan penyiapan lahan. Penundaan
tanam karena lahan yang belum siap berarti bibit harus dipelihara lebih lama di pembibitan. Hal ini meningkatkan
biaya pemeliharaan bibit dan meningkatkan risiko kerusakan dan penurunan mutu bibit.
Perencanaan pembibitan meliputi rencana jadwal pembibitan, jumlah bibit yang perlu disemai, kebutuhan alat,
bahan, dan tenaga. Jadwal pembibitan harus disesuaikan dengan jadwal tanam, demikian juga dengan jumlah bibit
yang disemai disesuaikan dengan kebutuhan bibit untuk luasan yang akan ditanam sesuai jadwal. Kebutuhan bibit per
hektar dihitung dari kerapatan tanam dikali faktor penyulaman. Pelaksanaan pembibitan perlu dilakukan oleh divisi
khusus yang bertugas melakukan pembibitan. Hal ini mengingat tugas pembibitan amat penting sehingga memerlukan
pengawasan yang khusus dan memerlukan tenaga yang terlatih.
Jadwal pembibitan harus disesuaikan dengan jadwal penanaman sehingga ketika pelaksanaan penanaman bibit
sudah siap tanam dalam jumlah yang cukup. Sebagai contoh jadwal pembibitan dan kebutuhan tenaga dan alat dapat
dilihat Tabel 20-21. Penyusunan jadwal pembibitan didasarkan pada musim panen benih, ketersediaan entres, umur
bibit siap salur, dan jadwal penanaman (transplanting) bibit di kebun. Jadwal pembibitan yang tidak dapat ditepati
misalnya karena benih varietas unggul yang pesanan terlambat dikirim maka akan mengganggu jadwal penanaman.
Tabel 20. Jadwal pembibitan karet

Pekerjaan Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
1. Mengolah tanah xxx xx
2. Membuat persemaian xx xx
3. Menyemai biji xxxx
68 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pekerjaan Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
4. Penyiapan lahan bibitan utama xxx
5. Memancang xxx
6. Menanam xxx
7. Merumput x x x x x x x x
8. Memupuk xx xx xx xx
9. Okulasi I dan II xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
10. Membongkar bibit xxxxxxxxxxxxx

Dalam perencanaan pembibitan perlu dihitung secara cermat rincian biaya yang diperlukan. Selain untuk
mempersiapkan anggaran, penghitungan biaya pembibitan diperlukan untuk menghitung berapa biaya per satuan
bibit. Ini dapat juga digunakan sebagai dasar penentuan harga jual bibit. Norma bahan dan tenaga dalam perencanaan
pembibitan khas untuk setiap komoditas. Demikian juga norma keberhasilan pembibitan, termasuk viabilitas benih,
seleksi prenursery, seleksi main nursery, dan persentase bibit sulaman.
Tabel 21. Kebutuhan tenaga dan alat pada pembibitan karet untuk luas kebun 1 ha kebun bibit batang bawah

Pekerjaan Norma
I. GAJI (UPAH)
1. Penyemaian biji (luas bedengan 2 x 50 m2)
a. Membuat bedengan 15 HK
b. Menyemai biji dan menyiram 21 HK
c. Pemeliharaan dan seleksi 25 HK
2. Pembibitan Utama
a. Pengolahan tanah 20 HK
b. Membuat plot/memancang 20 HK
c. Menanam/menyulam 70 HK
d. Menyiang (manual) 150 HK
e. Menyiang (dengan herbisida) 10 HK
f. Memupuk 25 HK
g. Menunas 4 HK
h. Menyiram 30 HK
i. Pengendalian hama & penyakit 24 HK
j. Mengokulasi 352 HK
k. Membongkar bibit 125 HK
l. Menyerong dan seleksi bibit 120 HK
Pembibitan 69

Pekerjaan Norma
3. Pekerjaan lain-lain
a. Membuat parit 50 HK
b. Membuat pagar 2O HK
c. Membuat rumah hujan 10 HK
d. Membuat sumur 40 HK
e. Inspeksi (mandor) 75 HK
f. Transportasi 50 HK
II. BAHAN DAN ALAT
a. Serbuk gergaji 3 m3
b. Benih karet 100.000 benih
c. Paracol 9 ltr
d. Dithane M-45 2 kg
e. Belerang 40 kg
f. Thiodan 0,5 ltr
g. Kolter (TB 192) 10 kg
h. Pupuk 3200 kg
i. Pita plastik 20.000 m
j. Kayu okulasi 2.750 m
k. Pompa air 1 unit
l. Pisau okulasi 5 buah
m. Cangkul 4 buah
n. Kored 4 buah
o. Sprayer 1 buah

Sumber: Daslin (1993)


70 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

DAFTAR PUSTAKA
Anatasia, F.G. 2011. Pemurnian kebun benih kakao untuk mendapatkan benih kakao unggul bermutu. Direktorat
Jenderal Perkebunan. http://ditjenbun.deptan.go.id.
Arifin, M. Sultoni. 1995. Kultur Teknis Tanaman Kina. PPTK Gambung.
Daslin, A. 1993. “Manajemen Pembibitan Tanaman Karet.” Makalah pada Pelatihan Staf/PPS Disbun Se-Sumatera
dan Jawa Barat, di Medan, tanggal 18-25 Februari.
Ditjen Perkebunan. 1994. Teknik Budidaya Kakao Rakyat. Jakarta.
Evizal, R. 1995. Pemanfaatan kompos limbah medium jamur untuk pembibitan vanili. Jurnal Tanah Tropika (1):61-
63.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
Priatno, N. 1976. Budidaya Kopi. Sub-Balai Penelitian Jember. Jember.
PTP  X. 1992. Pedoman Teknis Budidaya Kelapa Sawit. L2P Bandar Lampung.
Suparman, U. dan R. Evizal. 1987. Perbanyakan panili dengan setek satu ruas berdaun tunggal. Pemberitaan Littri
13(1-2):100-102.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 71

BAB VI
PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN KEBUN

T ransplanting atau pindah tanam merupakan pekerjaan membongkar bibit dari lokasi pembibitan dan menanamnya
di lokasi kebun. Bahan tanam atau bibit yang sudah diperbanyak di lokasi pembibitan siap untuk ditanam di
kebun. Setelah dibersihkan dan diolah maka memasuki musim hujan, lahan kebun harus segera ditanami. Kalau tidak
segera ditanami maka lahan kembali ditumbuhi gulma, dan untuk lahan yang sudah dibuka yang berslope miring akan
mengalami erosi. Ada beberapa kemungkinan penanaman, yaitu (1) menanam tanaman pokok, (2) menanam tanaman
awal, (3) menanam tanaman kacangan penutup tanah, (4) kombinasi dari penanaman tersebut.
Tanaman awal (pre-cropping) merupakan tanaman semusim yang ditanam di kebun sebelum tanaman pokok
(tanaman tahunan) ditanam. Pada perkebunan besar, lahan yang sudah siap segera ditanami kacangan penutup tanah
(LCC) sebelum atau berbarengan dengan penanaman tanaman pokok. Sementara pekebun rakyat akan memanfaatkan
lahan yang sudah siap tanam untuk bertanam tanaman semusim sebagai tanaman awal, 1-2 musim, selanjutnya diikuti
dengan penyisipan tanaman pokok. Pertimbangan petani adalah: (1) lahan bukaan baru umumnya cukup subur, baik
dari hutan sekunder maupun dari semak belukar, (2) petani segera membutuhkan stok pangan dan pendapatan untuk
penghidupan, (3) tanaman semusim baik pangan maupun sayur akan cepat memberikan hasil, sementara tanaman
perkebunan butuh waktu yang lebih lama, (4) bibit tanaman perkebunan belum tersedia atau sedang disemaikan.
Apabila hasil panen tanaman semusim dirasakan petani tidak memuaskan lagi, petani akan mempercepat menanam
bibit tanaman perkebunan yang sudah disiapkan. Selanjutnya sambil merawat tanaman perkebunan yang masih kecil,
dengan jarak tanam yang tersedia cukup lebar, petani melanjutkan bertanaman tanaman semusim di sela tanaman
pokok sampai tanaman pokok saling menutupi. Dengan tanaman pokok yang semakin besar, lahan semakin tertutup
tajuk sehingga hasil tanaman sela akan semakin menurun mungkin penaungan sampai tahap tidak memungkinkan lagi
untuk bertanam sela. Masalah tanaman sela ini akan dijelaskan lebih rinci pada bab selanjutnya.

6.1 Mengatur Jarak Tanam


Pengaturan jarak tanam sangat penting mengingat akan menentukan populasi, penutupan lahan, kompetisi
tanaman, yang pada akhirnya akan menentukan produktivitas kebun. Pengaturan tanam perlu dirancang, sebab sekali
jarak tanam diterapkan maka sulit untuk diubah, karena tanaman sudah tumbuh. Pengaturan jarak tanam berpengaruh
terhadap produksi per pohon dan produksi per hektar. Jarak tanam menentukan produksi per pohon dan populasi
tanaman per hektar. Karena produktivitas (ton/ha) merupakan hasil kali produksi per pohon dengan populasi maka
jarak tanam berpengaruh terhadap produktivitas. Pada jarak tanam yang renggang, produktivitas dibatasi oleh populasi
tanaman. Pada jarak tanam yang rapat, produktivitas per pohon akan menjadi pembatas.
72 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Hasil penelitian berbagai komoditas menunjukkan bahwa produktivitas yang tinggi akan cepat dicapai apabila jarak
tanam rapat, karena populasi tanaman tinggi. Sebaliknya produksi per pohon tidak mampu meningkat seiring dengan
bertambahnya umur pohon, bahkan akan cepat menurun. Produksi per pohon akan menurun dengan bertambahnya populasi
pohon per hektar serta umur ekonomi (economic life) pohon lebih singkat, artinya kebun harus diremajakan atau direhabilitasi.
Menurunnya produktivitas ini antara lain karena tingginya kompetisi baik unsur hara, kompetisi sinar dan ruang akibat tajuk
saling menutupi, dan meningkatnya risiko serangan hama dan penyakit akibat keadaan kebun yang rimbun dan lembab.
Populasi pohon atau kerapatan pohon yang tinggi hanya akan memberikan produksi awal yang tinggi, namun
tidak menguntungkan untuk produksi yang jangka panjang. Gambar 3 menunjukkan pengaruh populasi terhadap
produktivitas jangka panjang. Pada umur pohon X1, populasi padat memberikan produktivitas YR1 yang lebih tinggi
daripada produktivitas kebun populasi sedang (YS1). Tingkat produktivitas tersebut dicapai oleh kebun populasi
sedang (YS2=YS1) pada umur X2.
Pada kebun karet, produksi per pohon pada awal produksi relatif sama, selanjutnya dengan keadaan tajuk yang
saling menutup, lingkar batang karet yang ditanam rapat akan lambat membesar, sehingga peningkatan produksi
lateks per pohon akan lebih lambat daripada karet berjarak tanam renggang (Gambar 4).

Gambar 3. Pengaruh populasi terhadap produktivitas jangka panjang

Gambar 4. Pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas karet


Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 73

Pada kebun kelapa sawit, jarak tanam yang rapat menyebabkan pohon cepat meninggi sehingga meningkatkan
kesulitan panen, mempengaruhi seks rasio bunga, bobot tandan, lingkar batang, panjang daun bertambah, dan produksi
berkurang. Pada kebun teh, populasi yang padat di awal tanam akan meningkatkan produksi awal per hektar, namun
begitu tajuk saling menutup maka produksi per pohon menurun. Pada umur teh 5 tahun, populasi yang sedang yaitu
sekitar 17.000 tanaman per hektar merupakan populasi optimum yang memberikan hasil yang tertinggi (Gambar 5).

Gambar 5. Pengaruh populasi terhadap produksi teh (A) umur 2 tahun, (B) umur 5 tahun (Sumber: Willson, 1999)
Terdapat berbagai sistem jarak tanam antara lain: (1) bujur sangkar, (2) jajaran genjang, (3) empat persegi panjang
(sistem pagar), (4) segitiga sama sisi, (5) sistem pagar ganda. Populasi tanaman secara praktis dapat dihitung dengan
cara membagi antara luas lahan dengan hasil kali jarak (tegak lurus) dalam barisan dengan jarak antar barisan. Pada
sistem segitiga sama sisi, jarak antar barisan adalah nilai tinggi segitiga sama sisi. Pada sistem pagar ganda, jarak
antar barisan adalah nilai rata-rata jarak tanam antar barisan. Contoh jarak tanam untuk beberapa komoditas disajikan
pada Tabel 22. Untuk lahan yang datar, dan batas pinggir kebun lurus, populasi hasil pengajiran dengan populasi hasil
perhitungan akan relatif sama, namun untuk lahan yang tidak datar, dan batas pinggir yang tidak lurus, maka populasi
hasil pengajiran akan sedikit berkurang.
Tabel 22. Jarak tanam dan populasi tanaman perkebunan

Komoditas Jarak tanam (m) Populasi (phn/ha)


Kelapa sawit 9,81 x 9,81 x 9,81 120
Kelapa dalam 9x9 123
Kelapa dalam (tanaman sela) 6 x 16 104
Kelapa hibrida 8,5 x 8,5 x 8,5 160
Karet 7x3 476
Lada 2,5 x 2,5 1.600
Kopi 2x2x4 1.667
Kakao 3x3 1.111
Kelapa hibrida 7x7 204
Teh 1,2 x 1,5 5.556
Vanili 2 x 1,5 3.333
Kayu Manis 3x3x4 952
74 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Gambar 6. Sistem jarak tanam: (1) bujur sangkar 2x2 (populasi 2500), (2) jajaran genjang 2x2,3 (populasi 2500),
(3) empat persegi panjang 3 x 7 (populasi 476), (4) pagar ganda 2x2x4 (populasi 1667), (5) segitiga sama sisi
9x9x9 (populasi 143)

6.2 Mengajir
Pengajiran atau pemancangan ajir di areal sebelum pembuatan lubang tanam dimaksudkan untuk mengatur dan
meluruskan barisan tanaman sesuai dengan sistem jarak tanam yang dikehendaki. Tujuan mengajir dan meluruskan
barisan tanam adalah:
(1) Mengikuti arah barisan yang dikehendaki, atau mengikuti garis kontur;
(2) Efisiensi penggunaan lahan untuk pertanaman sehingga produktivitas meningkat;
(3) Memudahkan pengelolaan tanaman seperti pekerjaan pengangkutan, penyiangan, penyemprotan, dan panen;
(4) Menyediakan jalan bagi angkutan saprodi dan panen.
Di daerah tropis, arah barisan untuk topografi datar adalah Barat-Timur, dengan pertimbangan untuk
memaksimalkan sinar matahari agar dapat masuk lebih banyak melalui barisan tanaman tanpa terhadang barisan
tanaman. Untuk sistem jarak tanam segi tiga sama sisi, arah barisan (sisi segitiga, diagonal terpendek) mengarah
Utara-Selatan, arah diagonal terpanjang adalah Barat-Timur. Untuk topografi berbukit maka arah barisan dan arah
teras mengikuti garis kontur. Pelaksanaan mengajir dilakukan setelah pembuatan teras, jalan dan parit yang sudah
direncanakan sesuai arah barisan tanam sehingga memudahkan pengaturan tanam dan pengajiran. Jalan panen
menggunakan ruang antarbarisan tanam sehingga tidak mengurangi populasi tanaman.
Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 75

Faktor yang menjadi pertimbangan dasar pengajiran adalah (1) bentuk lahan atau areal, agar lahan dapat
dimanfaatkan secara optimal sesuai potensi, (2) topografi lahan (bentuk permukaan lahan) apakah rata, cembung,
cekung, bergelombang, miring, dan sebagainya. Pada areal yang bertopografi bergelombang pengajiran dimulai dari
titik tertinggi / terendah bergatung pada kondisi air. Di daerah berisiko banjir, pengajiran dimulai dari titik tertinggi,
kelebihan jarak tanam ajir terakhir yang dikorbankan diusahakan terdapat pada lembah yang berisiko terkena banjir
paling besar. Di daerah berisiko kekeringan pengajiran dimulai pada tempat terendah, kelebihan jarak tanam terakhir
yang dikorbankan adalah tanaman di punggung bukit. Bila areal tak beraturan, baik topografi datar, landai ataupun
bergelombang, sebaiknya pengajiran dilakukan mulai dari tengah blok lahan. jika lahan berbentuk bujur sangkar maka
atau segi panjang maka pengajiran dimulai dari tepi kebun atau tepi jalan produksi atau kontrol.
Pengajiran dimulai dengan luasan 1 ha, setelah pengawas menyatakan benar sesuai rencana maka dilanjutkan
untuk luasan selanjutnya. Peralatan yang diperlukan untuk pengajiran antara lain: (1) kompas, penunjuk arah, (2)
teropong, (3) BTM/theodolit, (3) ajir atau pancang bambu untuk ajir kepala (panjang 2,5 m) dan ajir biasa (panjang
1-1,5 m, (4) kawat atau tali sepanjang 50 m yang diberi simpul berjarak antar-barisan dan tali bersimpul jarak dalam-
barisan sebanyak 2 buah, (4) cat merah, untuk mengecat ajir kepala.
Pengajiran dilakukan satu regu yang ditugasi mengajir blok tertentu. Satu regu pengajir terdiri atas empat orang,
dua orang melayani peralatan, dan memasang tali ajir, satu orang memasang ajir, dan satu orang meluruskan pengajiran.
Cara pengajiran sistem segi empat secara ringkas adalah sebagai berikut:
(1) Tentukan arah Barat-Timur dan Utara-Selatan;
(2) Pasang tali-1 bersimpul antarbarisan pada arah Utara-Selatan; pasang tali-2 bersimpul dalam-barisan pada arah
Barat-Timur, yang berpotongan tegak lurus di titik awal yang dipasang ajir kepala.
(3) Pasang ajir pada simpul-simpul, diselingi dengan ajir kepala setiap kelipatan 5 simpul pada sisi secara konsisten
kanan atau kiri simpul.
(4) Pasang tali-3 bersimpul dalam-barisan sejajar tali-2 (arah Barat-Timur) di titik simpul antarbarisan pada tali-1
dan pasang ajir di setiap simpul dalam-barisan.
(5) Geser dan pasang tali-3 sejajar tali-2 untuk melanjutkan pekerjaan mengajir dalam-barisan yang ketiga, demikian
seterusnya untuk barisan yang berikutnya sehingga 0,25 ha areal selesai diajiri.
(6) Geser ajir-1 arah Utara-Selatan dan ajir-2 arah Timur-Barat berpotongan tegak lurus di titik B sebagai titik awal
pengajiran 0,25 ha yang kedua.
(7) Setelah selesai pengajiran luasan 1 ha pertama, maka pimpinan regu melakukan evaluasi apakah pengajiran
sudah benar dan mungkin ada yang perlu direvisi. Apabila pengajiran dapat diterima maka dilanjutkan untuk
luasan 1 ha kedua dan seterusnya.
Norma tenaga mengajir adalah 4 HKO per hektar, yaitu satu regu yang terdiri dari empat orang dapat menyelesaikan
1 ha per hari. Setelah satu blok selesai terajiri, maka dapat segera dilakukan penggalian lubang tanam. Jika penggalian
lubang ditunda maka dapat saja ada ajir yang rubuh karena hujan dan angin kencang atau sebab lain.

6.3 Membuat Lubang Tanam


Selain untuk tempat menanam bibit di lapangan, pembuatan lubang tanam juga bertujuan untuk menggemburkan
struktur tanah sehingga penyerapan unsur hara yang diberikan (pupuk) menjadi lebih cepat dan mudah tersedia bagi
tanaman dan perakaran berkembang dengan baik. Lubang tanam sebaiknya digali 1-2 bulan sebelum transplanting
sehingga lubang tanam cukup lama dibiarkan terpanasi matahari untuk mematikan hama dan penyakit serta memperbaiki
keadaan tanah dengan berkurangnya keasaman tanah dan mengubah suasana tanah yang reduktif menjadi oksidatif
sehingga senyawa yang tadinya bersifat toksik menjadi tidak toksik.
Jika tidak tersedia cukup waktu, misalnya bibit sudah siap serta musim hujan mulai stabil, maka lubang tanam dapat
dibuat 2-3 hari sebelum transplanting. Dalam waktu yang singkat tersebut pemeriksaan kualitas lubang tetap harus dilakukan
secara cermat sebelum penanaman. Penggalian lubang yang langsung diikuti penanaman dengan sistem borongan tidak
76 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

disarankan karena berarti tanah lubang tanam kurang matang. Selain itu berarti kurang kontrol terhadap kedalaman lubang
tanam, dan terhadap teknis penanaman yang akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik.
Tanah digali 10 cm di sebelah kiri atau kanan ajir sehingga ajir tidak usah dicabut, bahkan tetap dapat
dipertahankan sampai pekerjaan transplanting selesai. Apabila lubang dibuat di sebelah Utara ajir maka semua lubang
dibuat di sebelah Utara ajir. Dengan demikian arah barisan dan antar barisan tetap lurus. Mencabut ajir sebagai patokan
pada saat menggali dapat menyebabkan letak lubang bergeser dari yang direncanakan. Sebelum membuat lubang
tanam, seluruh sampah, akar-akar, atau tunggul yang ada di permukaan tanah dimana lubang tanam akan dibuat harus
dibersihkan terlebih dahulu. Jika pada lokasi lubang tanam terdapat tunggul kayu yang tidak dapat dibongkar maka
Iubang tanam dapat digeser sedikit, tetapi arah barisan tetapkan harus diikuti secara maksimal.
Kedalaman lubang tanam harus cukup agar perakaran tanaman tahunan dapat berkembang dengan baik.
Ukuran panjang, lebar, dan dalam lubang umumnya sekitar 50-60 cm dengan bentuk dinding lubang yang tegak lurus.
Karena tanah atas lebih banyak mengandung bahan organik, maka tanah galian bagian atas dipisahkan dengan tanah
galian bagian bawah. Semua perakaran dan batu yang tergali harus disingkirkan. Setelah selesai digali, kedalaman
lubang diperiksa menggunakan ukuran tongkat (maal) bertanda sesuai kedalaman yang diinginkan. Kalau ternyata
kurang dalam maka lubang perlu diperdalam. Alat untuk melubang umumnya adalah cangkul. Norma tenaga melubang
per HOK adalah 40 lubang berukuran 50 x 50 x 50 cm, dan 25 lubang untuk ukuran 60 x 60 x 60 cm. Peralatan
mekanis melubang dapat mempercepat pekerjaan misalnya dengan alat post hole digger/auger yang dioperasikan
secara manual, dengan mesin, atau dipasangkan pada traktor atau excavator.

6.4 Transplanting
Cara penanaman yang benar sangat diperlukan agar diperoleh pertumbuhan tanaman dan produksi yang optimal.
Waktu tanam harus diperhatikan agar air hujan cukup tersedia sehingga kematian tanaman dapat ditekan, dan keadaan
“shock” akibat transplanting cepat pulih sehingga perakaran dan tunas cepat tumbuh. Waktu transplanting yang
tepat adalah pada awal musim hujan, yaitu ketika frekuensi hari hujan mulai stabil namun curah hujan belum tinggi.
Pertengahan musim hujan bukan saat yang tepat untuk penanaman karena air hujan dapat menggenangi lubang sehingga
tanaman akan mati. Dengan penanaman di awal musim hujan diharapkan musim hujan masih cukup panjang sehingga
cukup waktu bagi tanaman kecil untuk tumbuh kuat untuk menghadapi datangnya musim kemarau. Penanaman di
musim hujan masih sangat awal berisiko kekeringan karena hujan yang belum stabil.
Umur bibit yang ditanam berpengaruh terhadap kemudahan atau kepraktisan penanaman, ketahanan tanaman
terhadap keadaan lapangan, dan menentukan awal berbuah tanaman. Transplanting bibit yang terlalu tua dapat
menambah tingkat kesulitan, namun tanaman dapat cepat menghasilkan. Tranplanting bibit yang terlalu muda (kecil)
dapat meningkatkan kematian. Kedalaman tanam juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kecil. Kedalaman
tanam bukan berarti sama dengan kedalaman lubang tanam yang sudah digali. Lubang tanam digali lebih dalam
daripada kedalaman tanam. Kedalaman tanam atau cara penanaman yang tidak tepat dapat menyebabkan tanaman
tumbuh miring atau mudah tumbang.
Tabel 23. Umur bibit siap tanam

Jenis tanaman Umur bibit (bulan)


Kelapa sawit 12
Kelapa 6-8
Karet 6-12
Kopi 18
Cengkeh 12-24
Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 77

Jenis tanaman Umur bibit (bulan)


Lada 3-5
Kayu manis 8-12
Kakao 4-5
Vanili 3-4
Tembakau 1-1,5

Dua minggu sebelum transplanting, bibit diputar dan digeser, untuk memastikan akar yang keluar dari wadah
atau polibag sudah terpotong. Fase pertumbuhan bibit yang tepat untuk translanting adalah pada fase daun dewasa.
Bibit yang bertunas daun muda akan mudah layu dan mati pucuk. Untuk itu perlu dilakukan seleksi akhir untuk
memilih bibit yang sehat dan mendahulukan bibit yang siap tanam. Secara garis besar cara penanaman adalah sebagai
berikut:
(1) Pagi hari sebelum penanaman, bibit disiram, dan disusun dan diangkut dengan truk.
(2) Sampai di lokasi kebun, bibit diturunkan di beberapa titik ecer.
(3) Regu pengecer membawa bibit ke lubang tanam. Bibit diangkut secara hati-hati diecer di setiap lubang tanam
dilengkapi dengan untingan pupuk dasar.
(4) Periksa kembali lubang tanam apakah sudah sedalam polibag bibit. Kalau belum cukup dalam karena hujan maka
perlu digali.
(5) Lubang diberi pupuk dasar seperti pupuk kandang atau pupuk fosfat alam. Separuh pupuk diletakkan di dasar
tanam, separuh dicampur dengan tanah olah yang akan mengisi lubang tanam.
(6) Lubang tanam diisi dengan tanah atas yang sudah dipisahkan dari tanah bawah (subsoil) sampai kedalaman yang
diinginkan atau ukuran polibag bibit.
(7) Wadah bibit diiris atau digunting di bagian bawah dan samping, dan bibit dilepas dari wadah secara hati-hati
jangan sampai tanah medium bibit pecah sehingga merusak akar.
(8) Bibit ditanam pada kedalaman yang tepat pada leher akar, bibit ditanam dengan posisi tegak, tanah subsoil
dimasukkan dan dipadatkan secukupnya. Apabila tanah masih belum cukup untuk menimun lubang, diambilkan
tanah atas di sekitar lubang sambil membuat piringan di sekitar tanaman.
Tabel 24 menyajikan kalender penanaman kebun campuran lada dan kopi yang umum dilakukan petani Lampung
ketika membuka lahan berupa semak belukar, atau mengkonversi ladang menjadi kebun, atau menanam ulang kebun
lada yang sudah rusak. Pada tanam ulang (replanting) kebun lada, tahun keempat sudah mulai memberikan hasil lada,
karena pada tahun pertanama sudah langsung dilakukan penanaman lada.
Tabel 24. Kalender penanaman kebun campuran lada - kopi

Tahun Penanaman baru Penanaman baru Replanting


Ke Semak-belukar Tegal Kebun lada
• Tebang/tebas • Babat • Tebang/tebas
I • Pengumpulan/bakar • Pengolahan tanah • Pangkas panjatan
• Tanam padi • Tanam panjatan • Pengumpulan
• Tanam panjatan • Tanam jagung • Tanam padi
• Tanam lada I
• Sulam panjatan
II • Tanam lada • Tanam lada • Tanam lada II
• Tanam jagung • Tanam jagung • Ngrendog
• Pangkas panjatan
• Tanam jagung
78 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tahun Penanaman baru Penanaman baru Replanting


Ke Semak-belukar Tegal Kebun lada
III • Tanam kopi • Tanam kopi • Tanam kopi
• Ngrendog • Ngrendog • Ngrendog
• Penyiangan • Penyiangan • Penyiangan
• Pangkas panjatan • Pangkas panjatan • Pangkas panjatan
IV • Penyiangan • Penyiangan • Penyiangan
• Pangkas panjatan • Pangkas panjatan • Pangkas panjatan
• Panen lada

6.5 Penyulaman
Bibit yang ditransplanting tidak semuanya berhasil tumbuh dengan baik. Ada yang tumbuh tidak normal atau
mengalami kematian misalnya akibat kekeringan atau terserang hama atau penyakit. Penyulaman dilakukan untuk
mengganti tanaman yang mati atau tumbuh kurang baik. Penyulaman merupakan pekerjaan membongkar tanam muda
yang mati dan mengganti dengan bibit tanaman yang baru. Jumlah penyulaman berkisar 5-7 % sehingga bibit yang
disediakan dalam kegiatan penanaman baru (new planting) maupun tanam ulang (replating) harus ditambah 5-7 %.
Penyulaman dapat dilakukan pada tanaman yang masih belum menghasilkan (TBM). Penyulaman tanaman yang
sudah besar, yang sering disebut sebagai penyisipan pada tanaman menghasilkan (TM) hasilnya akan kurang baik,
karena tanaman sulit dapat mengejar pertumbuhan tanaman di sekitarnya. Terlebih lagi keadaan tajuk yang sudah
menutup akan menekan pertumbuhan tanaman muda. Kendatipun demikian, penyisipan untuk mengganti pohon yang
mati tetap perlu dilakukan.
Penyulaman dan penyisipan perlu dilakukan agar: (1) populasi tanaman sesuai dengan yang diharapkan, (2)
produktivitas kebun diharapkan sesuai target, (3) lahan pada pohon-pohon yang kosong mendapat banyak sinar
matahari sehingga mendorong pertumbuhan gulma dan tetap memerlukan perawatan meskipun tidak ada tanaman.
Penyulaman dapat dilakukan pada musim tanam yang sama apabila masih tersedia hujan yang cukup atau saat yang
baik adalah pada awal musim hujan pada musim tanam berikutnya. Sebelum penyulaman perlu dilakukan kegiatan
inventarisasi untuk menentukan jumlah dan posisi tanaman yang perlu diganti. Inventarisasi harus dilakukan pada
areal yang baru ditanam setidaknya sebulan setelah penanaman. Tanaman yang masuk kriteria inventarisasi adalah
tanaman yang mati, tanaman yang rusak, dan tanaman tumbang. Tanaman yang rusak dan tumbang mungkin masih
dapat direhabilitasi dengan menegakkan tanaman dan memadatkan tanah di sekitar tanaman sehingga tanaman dapat
tumbuh normal. Tongkat penyangga dan tali dapat digunakan jika diperlukan. Jika tidak dapat direhabilitasi maka
harus dimasukkan pada daftar tanaman yang harus diganti bersama tanaman yang mati. Pada titik dimana tanaman
harus diganti dibuat pancang setinggi 2 – 2,5 m dan diberi tanda diujungnya (dicat merah atau kuning) agar mudah
terlihat oleh tim penyulam. Kegiatan inventarisasi dapat dilakukan secara berkala setiap enam bulan atau setahun
sekali sehingga populasi tetap optimal.
Setelah jumlah dan posisi tanaman yang harus disulam sudah diketahui, maka penyulaman dapat segera dilakukan.
Tanaman yang mati atau rusak berat harus dicabut dan lubang bekas tanaman digali kembali misalnya dengan ukuran
60 x 60 x 60 cm. Sebaiknya setiap lubang kembali diberi pupuk dasar. Bibit yang digunakan harus seumur dengan
tanaman yang disulam misalnya bibit kelapa sawit berumur 10-14 bulan. Cara melaksanakan penyulaman sama
dengan cara menanam bibit.

6.6 Pemeliharaan Kebun


Pada tanaman tahunan, kebun dibedakan menjadi kebun tanaman belum menghasilkan (TBM) dan kebun dengan
tanaman menghasilkan (TM). Secara umum pemeliharaan kebun meliputi pemeliharaan tanaman belum menghasilkan
Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 79

dan pemeliharaan tanaman menghasilkan. Pembedaan tersebut karena perbedaan dalam teknis pengelolaan kebun
antara lain: (1) pengelolaan TBM masih berfokus pada pemeliharaan baik pemeliharaan tanaman maupun pemeliharaan
prasarana (jalan, drainase), (2) pemeliharaan TBM bertujuan agar tanaman tumbuh optimal, masa nonproduktif tanaman
singkat dan segera memasuki masa produktif, (3) TBM memerlukan biaya pemeliharaan LCC dan gulma yang lebih
besar, (4) pengelolaan TM meliputi kegiatan pemeliharaan dan panen, namun panen membutuhkan perhatian dan
tenaga yang lebih utama, (5) pemeliharaan TM bertujuan agar dicapai produktivitas yang tinggi dan umur produktif
tanaman yang lama, (6) TM memerlukan biaya pemupukan yang lebih besar.
Pemeliharaan kebun tanaman semusim umumnya bersifat intensif baik berupa pupuk, irigasi, serta peralatan
mekanis. Misalnya pada perkebunan besar tebu, hampir semua teknis kultivasi menggunakan peralatan mekanis
seperti pengairan, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama-peyakit, dan panen-angkut. Pada perkebunan
tebu rakyat, hampir semua kegiatan kultivasi dilakukan secara manual. Pada perkebunan berupa tanaman pohon,
pemeliharaan yang intensif dilaksanakan terutama pada kebun TBM, sebab kebun TBM yang kurang pemeliharaan
dapat menyebabkan kematian pohon sehingga populasi tanaman berkurang atau penyulaman meningkat. Pada
kebun TM pemeliharaan tidak perlu dilakukan secara intensif, karena pengurangan intensitas pemeliharaan terutama
pengendalian gulma dan pemupukan tidak akan mempengaruhi populasi tanaman, namun produksi per pohon akan
terpengaruh.
Pengurangan biaya pemeliharaan TM dapat dilakukan apabila harga komoditas sedang rendah dan dirasa perlu
melakukan penghematan biaya. Pada saat harga komoditas rendah, pemeliharaan dapat dilakukan secara minimum.
Pemeliharaan kembali ke tingkat intensif apabila harga kembali membaik dan untuk menggenjot produksi. Hal in
terutama umum dilakukan di perkebunan rakyat. Dengan modal yang terbatas, pemeliharaan TM hanya dilakukan
pada tingkat yang minimal terutama kegiatan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan yang utama
dikerjakan pekebun adalah pegendalian gulma dan pemangkasan dengan mengandalkan tenaga keluarga. Tajuk pohon
yang semakin menutup serta seresah pohon yang sudah banyak menutupi membuat pertumbuhan gulma tertekan.
Adanya seresah hasil pangkasan pohon, pembersihan gulma, dan limbah panen yang dikumpulkan dalam rorak juga
cukup membantu petani untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan dan siklus unsur hara di kebun menjadi relatif
tertutup.
Teknis pemeliharaan tanaman bergantung komoditas yang ditanam apakah berupa tanaman semusim atau berupa
tanaman pohon. Secara umum teknis pemeliharaan meliputi pengendalian gulma, pemupukan, pemangkasan, dan
pengendalian hama dan penyakit akan disajikan pada bab tersendiri. Teknis pemeliharaan kebun yang lain adalah
berupa pemeliharaan prasarana kebun antara lain pemeliharaan (1) jalan kebun, (2) jalan panen, (3) jembatan, (4)
bangunan teras, (5) titi panen, (6) tempat pengumpulan hasil, (7) jaringan irigasi, (8) jaringan drainase, (9) lembung
sumber air, (10) tebing anak sungai. Pada perkebunan rakyat, prasarana yang digunakan secara bersama oleh kelompok
tertentu dibangun dan dipelihara secara gotong royong oleh kelompok pekebun tersebut.
Pemeliharaan prasarana kebun diprogramkan setiap tahun agar tidak sampai prasarana rusak parah sehingga
menghambat operasional kebun. Target pemeliharaan adalah sebanyak 25% per tahun sehingga dalam empat tahun
semua instalasi telah diperbaiki atau setiap empat tahun setiap jalur akan diperbaiki. Tindakan pemeliharaan rutin ini
dapat menekan biaya, sebab kerusakan yang parah justru membutuhkan biaya yang lebih besar. Kejadian yang darurat
misalnya akibat hujan deras dan banjir tentu membutuhkan penanganan yang prioritas daripada pemeliharaan rutin.

6.7 Tahapan Pertumbuhan


Secara praktis tahapan pertumbuhan dapat dibedakan menjadi tahapan perkecambahan (G= germination) baik
perkecambahan dari biji maupun berkecambahan mata tunas pada perbanyakan vegetatif, tahapan pembibitan (N=
nursery) yang meliputi presursery dan main-nursery, tahapan tanaman belum menghasilkan (TBM) yang dapat dirinci
menurut umur menjadi TBM1-4, dan tahapan tanaman menghasilkan (TM) yang dirinci menurut umur sejak berbuah
menjadi TM1 sampai TMn untuk tahun menghasilkan ke-n. Pentahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman
80 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

saat ini telah dikenalkan berdasarkan fenologi dan dikodifikasi dengan memberi skala 0-9 sehingga terdapat 10 skala
untuk setiap tahap fenologi. Contoh kodifikasi untuk perkecambahan benih aren yang unik disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Skala perkecambahan benih aren

Skala Deskripsi
G0 Biji aren utuh
G1 Embrio mulai tampak seperti cincin pada mata benih
G2 Cincin mata semakin tebal
G3 Radikel mulai tumbuh
G4 Radikel memanjang, benih terangkat (epigeal)
G5 Pangkal radikel membengkak akibat pertumbuhan plumule
G6 Plumule mulai muncul menyobek radikel
G7 Plumule memanjang
G8 Plumule memanjang, tumbuh akar adventif tumbuh
G9 Tunas menembus tanah

Sumber: Adaptasi dari Evizal (2006)


Kodifikasi pertumbuhan tanaman yang banyak dikembangkan sebagai landasan komunikasi antar peneliti adalah
sistem skala BBCH (Biologische Bundesantalt, Bundessortenamt and CHemische Industrie) dengan 2 digit atau 3
digit. Angka pada digit pertama menunjukkan tahap pertumbuhan utama (principal growth stage) yang disajikan pada
Tabel 26. Tahap pertumbuhan utama dirinci pada digit kedua 0-9 (mesostage) yang mungkin perlu lebih dirinci pada
digit ketiga 0-9 (secondary growth stage).
Tabel 26. Tahap pertumbuhan utama tanaman menurut skala BBCH

Tahap
Deskripsi
pertumbuhan
0 Perkecambahan/pemecahan mata tunas/perkembangan mata tunas
1 Perkembangan daun (tunas utama)
2 Formasi tunas samping/anakan
3 Perpanjangan batang/pertumbuhan roset/perkembangan tunas
4 Perkembangan vegetatif tanaman yang dapat dipanen atau organ perbanyakan vegetatif
5 Pemunculan bunga (pada batang utama
6 Pembungaan
7 Perkembangan buah
8 Pematangan buah dan biji
9 Senesens atau memulai dormansi

Sumber: Meier (2001)


Penanaman Dan Pemeliharaan Kebun 81

Untuk pertumbuhan tanaman kakao tahap ketujuh, yaitu tahap perkembangan buah, Niemenak et al. (2009)
mendiskripsikan sebagai berikut: (70) buah pada batang utama atau cabang mulai terlihat, (71) awal pertumbuhan
buah, selularisasi endosperm, ovule dan perikarp berkembang, awal fase busuk pentil, buah mencapai 10% ukuran
final, (72) divisi zigot dan perkembangan awal zigot, buah membesar, mencapai 20% ukuran final, (73) buah mencapai
30% final, (74) buah mencapai 40% final, (75) akhir fase busuk pentil, buah mencapai 50% ukuran final, (76) awal fase
tidak terkena busuk buah, ovul terisi endosperm seperti jel, buah mencapai ukuran 60% final, (77) pengisian lemak,
protein, dan antosianin pada kotiledon, buah mencapai ukuran 70% final, (78) pengisian buah terus berlangsung, buah
mencapai ukuran 80% final, (79) embrio berukuran penuh, peningkatan dimensi eksternal buah selesai, buah encapai
ukuran 90% final.
Pada pertumbuhan tanaman kopi tahap kelima yaitu munculnya tandan bunga, Meier (2001) merinci sebagai
berikut: (50) awal tunas bunga, (51) mata tunas bunga membengkak di ketiak daun, (53) mata tunas bunga
bermunculan, tertutup mucilage coklat, belum ada bunga terlihat, (57) bunga terlihat, masih tertutup dan berdempetan
dalam dompolan bunga dengan multi tandan (inflorensens) yang belum mekar, ada 3-4 bunga per tandan (58) bunga
terlihat, bunga belum mekar, panjang petal 4-6 mm, bunga berwarna hijau dalam fase dorman, (59) bunga dengan
petal yang panjang (6-10 mm), belum mekar, berwarna putih. Gambar 7 menyajikan tahap perkembangan tandan
bunga, pembungaan (mekarnya bunga) dan perkembangan buah kopi. Tahap pembungaan dan perkembangan buah
merupakan tahap yang sangat penting untuk dipelajari perilakunya dalam upaya memperoleh panen yang tinggi. Lebih
dari itu tahap-tahap tersebut penting dalam survei panen untuk menduga tingkat produksi yang umum dilakukan oleh
perusahaan, asosiasi dan lembaga terkait dengan pendugaan panen di sentra produksi komoditas.

(Sumber: Meier, 2001).


Gambar 7. Tahap perkembangan tandan bunga, pembungaan, dan buah kopi
82 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

DAFTAR PUSTAKA
Akehurst, B.C. 1981. Tobacco. Longman, London.
Arifin, M. Sultoni. 1995. Kultur Teknis Tanaman Kina. PPTK Gambung.
Bintaro, M.H. Pedoman Budidaya Kelapa Sawit. IPB, Bogor.
Evizal, R. 2000. Pola budidaya lada sistem panjatan hidup di Propinsi Lampung. Jurnal Agrotropika V(2): 14-19.
Evizal, R. 2006. Morfologi dan percepatan perkecambahan aren. Jurnal Hutan Tropika 2(1): 5-9.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
Iskandar, S.H. 1983. Pengantar Budidaya Karet. IPB, Bogor.
Mangoensoekarjo, S. (Ed). 2007. Manajemen Tanaman dan Pemupukan Budidaya Perkebunan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Meier, U. 2001. Growth stage of mono- and dicotyledonous plants. BBCH Monograph. Federal Biological Research
Centre for Agriculture and Forestry. Berlin.
Mithchell, H.W. 1988. Cultication and harvesting on the Arabica coffee tree. In Coffee Growing. Edited By R.J.
Clarke and R. Macrae. Elsevier. London. Pp. 43-89.
Niemenak, N., C. Cilas, C. Rohsius, H. Bleiholder, U. Meier, and R. Leiberei. 2009. Phenological growth stages of
cacao plants (Theobroma sp.): codification and description according to the BBCH scale. Annals of Applied
Biology. 155: 1-12.
PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
PTP X. 1992. Pedoman Teknis Budidaya Kelapa Sawit. L2P. Bandar Lampung.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Willson, K. 1999. Coffee, Cacao, and Tea. CABI Publ. Oxon.
Kacangan Penutup Tanah (LCC) 83

BAB VII
KACANGAN PENUTUP TANAH (LCC)

P enutup tanah dapat berupa gulma atau herba alami, dapat juga berupa herba yang sengaja ditanam. Tanaman
kacangan penutup tanah atau legume cover crops (LCC) adalah legum yang ditanam di perkebunan dengan tujuan
utama sebagai penutup tanah dalam rangka konservasi lahan dan mempertahankan kesuburan tanah. Karena tujuannya
menutup tanah dalam jangka panjang maka tanaman ini dipilih tanaman menahun, yang cepat tumbuh, merambat, dan
menghasilkan biomassa yang banyak. Pendekatan ekologis merupakan alasan mengapa LCC ditanam. Lahan yang
terbuka akan segera ditumbuhi herba sebagai cara alam memproteksi lahan, sebagai tanda bahwa lahan masih dapat
mendukung kehidupan. Oleh karena itu ditanam herba yang banyak memberi manfaat bagi lahan dan tanaman pokok
daripada lahan ditumbuhi gulma yang merugikan tanaman pokok.
Kajian tentang pemanfaatan LCC tidak saja dari segi agronomi baik mengenai karakteristik LCC dalam kaitannya
dengan pertumbuhan dan produksi tanaman pokok, tetapi banyak juga kajian dalam bidang lain. Di bidang konservasi
tanah misalnya kaitannya dengan erosi tanah, produksi biomassa, dan siklus hara terutama N; di bidang pakan ternak
dalam kaitannya dengan sumber pakan, di bidang rehabilitasi lahan misalnya revegetasi lahan bekas tambang, LCC
sebagai fitoremidiasi, dan penggunaan mikoriza.

7.1 Manfaat LCC


Penanaman kacangan penutup tanah (LCC) di perkebunan di Indonesia berawal dari perubahan kebijakan
pengendalian gulma, yaitu dari penyiangan secara bersih (clean weeding) menjadi penyiangan secara selektif (selected
weeding) dengan tujuan untuk mengurangi erosi. Pada periode tahun 1920-1935 di perkebunan karet banyak dipelihara
penutup tanah alami berupa gulma yang dinilai tidak berbahaya bagi tanaman. Sementara itu gulma berbahaya seperti
alang-alang, sembung rambat, dan gulma berkayu dan semak dibersihkan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian maka
sejak sekitar tahun 1947 diperkenalkan pemanfaatan penutup tanah jenis kacangan (leguminosa) yang lebih dikenal
sebagai legume cover crops (LCC).
Penutup tanah kacangan telah disimpulkan lebih baik daripada penutup tanah alamiah selektif karena terbukti di
samping mampu mencegah erosi juga mampu memperbaiki kondisi fisik kimia tanah. Jenis LCC yang direkomendasikan
adalah jenis legum yang menjalar, berbintil akar, menghasilkan banyak biomassa, dan tidak berduri. Legum yang
menjalar dan berbintil akar tetapi berduri seperti putri malu (Mimosa spp) meskipun mampu memperbaiki kondisi
tanah tetapi durinya mengganggu pengelolaan kebun, tumbuh lebat, menebal, mengayu, serta di musim kemarau akan
mengering sehingga mudah terbakar.
84 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Legum berhabitus tegak baik yang semusim seperti orok-orok atau yang menahun seperti Flemingia lebih
berfungsi sebagai tanaman pelindung sementara dan penghasil pupuk hijau daripada berfungsi sebagai tanaman
penutup tanah. Di perkebunan karet, legum ini dinilai merugikan karena meningkatkan kelembaban kebun, sehingga
mendorong timbulnya penyakit terutama penyakit bidang sadap, menghalangi dan menghambat kelancaran bekerja di
kebun, harus sering dipangkas, sulit dibongkar karena berakar dalam dan berkayu. Flemingia juga merupakan inang
penyakit akar putih (JAP) pada karet.
Setelah lahan selesai diolah dan dilubang (meskipun tanaman pokok belum ditanam) maka sebaiknya segera
dilaksanakan penanaman LCC. Lahan yang terbuka mudah tererosi, dan tersedianya matahari yang sampai ke tanah
hampir 100% itu akan menyebabkan gulma tumbuh dengan cepat dan subur. Sambil menunggu hujan turun dengan
stabil dan menunggu penyiapan bibit maka penanaman LCC sudah dapat dimulai. Lahan yang terbuka agar segera
tertutup oleh LCC yang mempunyai banyak manfaat dalam mempertahankan produktivitas lahan.
Manfaat LCC dapat dirinci antara lain sebagai berikut:
(1) Menekan pertumbuhan gulma. Dengan keadaan tanah yang tertutup maka perkecambahan gulma dan pertumbuhan
gulma akan tertekan. Namun sebagian gulma akan tetap mampu berkecambah dan tumbuh bersamaan dengan
LCC sehingga diperlukan pengendalian gulma secara bersih sebelum LCC ditanam.
(2) Mengurangi erosi. Penutupan tanah oleh LCC akan menghambat aliran permukaan sehingga akan mengurangi
erosi dan meningkatkan penetrasi air ke dalam tanah.
(3) Melindungi tanah dari terpaan hujan dan sinar matahari langsung sehingga struktur tanah tidak cepat memadat
dan bahan organik tidak cepat terurai.
(4) Menambah kesuburan tanah karena: (a) bakteri dalam bintil akar legum mampu menambat N dari udara dan
mengubahnya menjadi senyawa organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman pokok, (b) LCC mampu
menghasilkan seresah sebagai sumber bahan organik bagi tanah, (c) memperbaiki siklus hara, baik terkait dengan
peran bintil akar dan peranan LCC yang memanfaatkan limpasan pupuk yang terbawa air hujan, (d) memperbaiki
sifat fisik tanah antara lain karena sifat LCC yang menutupi tanah dan menghasilkan bahan organik.
(5) Memperbaiki iklim mikro permukaan tanah, karena kelembaban tanah mampu dipertahankan dan suhu permukaan
tanah tetap rendah.
(6) Mempercepat pelapukan sisa pohon dan akar.
(7) Menekan serangan penyakit dan hama tertentu.
(8) Sumber pakan ternak yang potensial bagi pengembangan usaha integrasi perkebunan dan peternakan.
Perbaikan Sifat Fisik Tanah
Erwiyono dan Soekodarmodjo (1989) melaporkan bahwa penanaman LCC jenis Calopogonium caeruleum (Cc)
di kebun karet akan memperbaiki surkulasi udara di dalam tanah sehingga meningkatkan kerapatan akar. Dilaporkan
pula, LCC (Pueraria javanica) memperbaiki struktur, aerasi, dan kelembaban tanah lebih baik daripada penutupan
tanah oleh alang-alang sehingga pertumbuhan lilit batang karet lebih cepat (Tabel 27). Gulma Mikania juga memberikan
hasil yang baik namun bukan merupakan legum bahkan merupakan gulma berbahaya karena sulit dikendalikan.
Tabel 27. Pengaruh LCC terhadap sifat fisik tanah dan pertumbuhan karet

Sifat fisik tanah Lalang Mikania P. javanica


Kapasitas lapang (%) 35 56 40
Kadar air tanah (%) 36 42 35
Struktur tanah Gumpal, halus Kersai, sangat halus Remah, halus
Lilit batang karet (cm) 29 31 40

Sumber: Siregar (1984)


Kacangan Penutup Tanah (LCC) 85

Menambah Bahan Organik


LCC menghasilkan banyak biomassa baik berupa guguran seresah, perakaran yang mati, maupun berupa
pangkasan. Sebagai tanaman legum, LCC merupakan penghasil biomassa yang baik dari segi kandungan N yang
tinggi dan nisbah C/N yang rendah (13%) daripada gulma alamiah dengan C/N sekitar 16-37%. Biomassa hijauan
LCC bahkan disebut sebagai pupuk hijau yang dapat langsung dibenamkan ke dalam tanah sebagai pupuk.
Seresah LCC akan menambah kandungan bahan organik tanah yang merupakan parameter penting kesuburan
tanah.
Biomassa yang dihasilkan LCC yang cepat tumbuh seperti C. caeruleum, C. muconoides, dan C. pubescens
dapat lebih tinggi daripada biomassa yang dihasilkan gulma alami. Bahkan Mucuna bracteata mampu
menghasilkan bahan organik yang lebih tinggi. Potensi bahan organik yang berasal dari shoot selama 1 tahun
yang disumbangkan oleh Mucuna bracteata lebih besar jumlahnya (2,5-7 kali lebih banyak) dibandingkan dengan
penutup tanah lainnya yakni mencapai 3786 kg/ha sedangkan C. caeruleum 1544 kg/ha, kacangan konvensional
(campuran Pj, Cm dan Cp) mencapai 1048 kg/ha, dan rumput Paspalum conjugatum menghasilkan 552 Kg/ha
(Nugroho et al., 2006).

Gambar 8. Produksi biomassa beberapa LCC


Menyumbang Unsur Hara
Biomassa LCC menyumbang unsur hara yang setelah mengalami dekomposisi dapat dimanfaatkan oleh tanaman
pokok. Biomassa LCC merupakan pupuk hijau yang mengandung unsur nitrogen yang tinggi. Unsur N tersebut sebagian
besar merupakan hasil fiksasi N udara oleh bakteri bintil akar yang bersimbiosis dengan akar tanaman LCC. Unsur
yang lain diserap oleh akar LCC dari tanah yang cukup dalam, misalnya perakaran Pj dan Cp mencapai kedalaman
80 cm. Hasil analisis menunjukkan tajuk LCC campuran Pp-Cm-Cp mengandung N sebanyak 3-3,5%, P2O5 0,25%,
dan K2O 2,0%, sedangkan LCC tunggal Cc mengandung N 3,5-4,0% , P2O5 0,3% dan K2O 2,5%. Sumbangan LCC
terhadap hara NPKMg dan ekivalen pupuk disajikan pada Tabel 28.
86 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Gambar 9. Profil kedalaman perakaran LCC


Tabel 28. Sumbangan hara beberapa LCC

Jenis LCC (periode tahun)


Sumbangan hara
Pp-Cm-Cp (1-5 thn) Pp atau Cc (3-5 thn) Pp atau Cc (3-8 thn)
Unsur hara (kg/ha)
N 226-353 553 694
P 18-27 28 36
K 85-131 227 252
Mg 15-27 41 50
Ekivalen pupuk (kg/ha)
Urea 640 1200 1500
RP 145 181 233
MoP 214 450 500
Kieserit 134 262 319

Sumber: Siregar (1984)


Menekan Erosi Tanah
Manfaat untuk menekan erosi tanah merupakan tujuan utama penanaman LCC di tanah yang miring. Adanya
vegetasi LCC menyebabkan penutupan tanah yang rapat sehingga akan memperkecil aliran permukaan. LCC mampu
menekan erosi meskipun kemiringan tanah yang relatif besar misalnya kemiringan 30%. Sifat penutupan tanah yang
rapat oleh Cc serta relatif tahan terhadap naungan maka Cc relatif lebih baik dalam menekan erosi dibandingkan
campuran Pp-Cm-Cp. Rumput alami seperti Paspalum conjugatum juga efektif untuk menekan erosi tanah, namun
LCC jauh lebih baik karena menutup lebih rapat sekaligus mampu menyumbang N hasil fiksasi.
Kacangan Penutup Tanah (LCC) 87

Tabel 29. Pengaruh LCC terhadap hara tererosi

Jenis penutup Total hara tererosi (kg/ha/tahun)


tanah C org N P2O5 K2O CaO MgO
Gundul 2.009 269 16,8 10,0 84,0 16,3
Rumput alami 392 31 7,4 2,8 10,4 4,4
Pp-Cm-Cp 61 5 3,1 1,3 2,8 1,3
Cc 12 1 0,4 0,3 0,5 0,1

Sumber: Siregar (1984)

Sumber: Siregar (1994)


Gambar 10. Hubungan penutup tanah dengan erosi pada tanah tanpa penutup (A), berumput alami (B),
berkacangan konvernsional (C), berpenutup Cc (D).
Mengatur Iklim Mikro
Sebagai penutup tanah, LCC juga berperan dalam mengendalikan iklim mikro, misalnya menurunkan suhu
permukaan tanah di siang hari, meningkatkan kelembaban tanah, dan menutupi permukaan tanah dari sinar matahari.
Siregar (1984) melaporkan bahwa suhu permukaan tanah yang tertutup LCC lebih rendah 0,5-1oC dan kelembaban
lebih tinggi 5-10% dibandingkan dengan permukaan tanah yang ditumbuhi gulma alamiah. LCC juga menutup
rapat sinar matahari yang sampai ke permukaan tanah sehingga biji gulma terhambat berkecambah atau biji yang
berkecambah akan tumbuh lemah.

7.2 Sifat LCC Penting


Secara umum karakteristik LCC dapat dibagi menjadi jenis LCC yang tumbuh menjalar dan LCC yang tumbuh
tegak (tidak menjalar). Dari segi kapasitas penutupan tanah, maka LCC yang tumbuh menjalar mampu menutup tanah
lebih baik daripada LCC yang tidak menjalar. Jenis menjalar antara lain adalah Calopogonium mucunoides (Cm),
Calopogonium caeruleum (Cc), Centrosema pubescens (Cp), Centrosema plumier (Cpl), Pueraria phaseoloides (Pp)
syn Pueraria javanica (Pj), Mucuna bracteata (Mb), Mucuna pruriens (Mp), Arachis pintoi (Ap). Jenis LCC yang
tumbuh tegak atau perdu antara lain adalah: orok-orok (Crotalaria juncea), Crotalaria usaramuensis, turi (Sesbania
punctata), Moghania macrophylla (syn = Flemingia congesta), Desmodium gyroides, Tephrosia vogelii, dan Cajanus
cajan. Jenis LCC dapat dikenali terutama dengan memperhatikan ciri-ciri daun, bunga, dan polong.
88 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Centrosema pubenscens
Sentro atau Cp berasal dari Amerika Selatan; mampu tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai elevai 300
m dari permukaan laut. Pertumbuhan awal LCC ini agak lambat namun cukup tahan lama karena tahan naungan dan
agak tahan kering. Legum ini berbiji keras, dengan jumlah biji 40.000 butir per kg. Produksi daun segar sampai umur
10 bulan mencapai 40 ton per hektar. Apabila ditanam untuk menghasilkan biji, sentro harus dirambatkan di tajar.
Produksi biji mencapai 1000 kg per hektar. LCC ini disukai ternak sehingga ternak suka digembalakan atau merusak
kebun dengan LCC ini. Agar benih berkecambah dengan baik, biji direndam dalam air panas selama 30 menit.
Centrosema plumieri
Legum ini tumbuh pada ketinggian tempat 0-450 m dari permukaan laut. Sifat penting yang dimiliki adalah cepat
tumbuh, memiliki perakaran dalam, tahan kering, namun kurang tahan naungan. Perbanyakan dilakukan terutama
menggunakan biji, namun tanaman ini sukar menghasilkan biji kecuali jika tumbuh dirambatkan ke atas atau tumbuh
pada tajar, dapat menghasilkan banyak biji. Bijinya berukuran sedikit lebih besar daripada Cp dengan jumlah 5.000
biji per kg. LCC ini juga dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Calopogonium mucunoides
Calopo juga berasal dari Amerika Selatan. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 0-300 m dari permukaan
laut terutama pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi. Penanaman dilakukan dengan biji atau stek. Bijinya
berukuran kecil, dalam 1 kg terdapat 65.000 biji. Produksi daun basah dalam 5 bulan pertumbuhan mencapai 20
ton per ha. Pertumbuhan LCC ini cepat namun tidak tahan lama dalam menutupi lahan kebun karena tidak tahan
kering dan tidak tahan naungan. Artinya di kebun yang sering mengalami kekeringan atau kebun yang sudah menutup
tajuk maka LCC ini akan mati. Pada musim kemarau setelah berumur 7-8 bulan, sebelum mengering tanaman ini
menghasilkan banyak biji. Mengingat bijinya keras, maka sebelum ditanam, biji Cm dapat direndam air hangat (50oC)
dan dibiarkan terendam selama semalam.
Calopogonium caeruleum
Legum ini berasal dari Amerika Tengah, dengan sifat pertumbuhan tahan terhadap naungan dan kekeringan
sehingga mampu bertahan hidup di kebun dewasa. Tanaman ini juga kurang mendapat serangan hama dan penyakit
dan tidak disukai ternak. Kelemahan Cc adalah kemampuan menghasilkan biji sangat rendah, sehingga harga benihnya
relatif mahal. Untuk mengatasi kesulitan benih, LCC ini biasa diperbanyak menggunakan stek.
Pueraria phaseoloides
Legum ini berasal dari India Timur. Di Jawa dikenal sebagai kacang ruji, ditanam di tempat dengan ketinggian
sampai 1000 m dari permukaan laut. Pertumbuhan awal LCC ini agak lambat yaitu pada 3-4 bulan pertama, namun
pertumbuhan selanjutnya lebih cepat daripada kalopo maupun sentro. Sifat pertumbuhan Pp adalah kurang tahan
kekeringan, dan agak tahan terhadap naungan. Di samping itu tanaman ini tahan pada tanah masam, tanah kekurangan
unsur kapur dan fosfor, tahan terhadap permukaan air yang tinggi, dan dapat tumbuh pada tanah bertekstur berat
sampai tanah berpasir. Tanaman ini banyak menghasilkan biji, ketika masak polong pecah sehingga perlu panen
sebelum polong pecah. Biji berwarna hitam kecoklatan dengan jumlah biji 80.000-90.000 per kg. Sebelum ditanam,
biji perlu direndam air panas atau asam sulfat pekat selama 30 menit.
Mucuna bracteata
Tanaman ini berasal dari India Utara, mulanya ditanam sebagai pakan ternak, selanjutnya banyak dimanfaatkan
sebagai LCC di perkebunan. Mucuna bracteata mirip dengan tanaman koro benguk (M. pruriens), mampu tumbuh
cepat menutupi lahan dan menghasilkan banyak biomassa. Tanaman yang telah tumbuh baik akan membentuk bintil
akar yang bentuknya bulat irregular berukuran sampai 2 cm. Batangnya menjalar di tanah dengan membentuk akar
pada setiap bukunya, juga merambat dengan cara membelit tanaman pokok, herba atau sesamanya sehingga ketebalan
mencapai 1 m. Sebagai LCC, tanaman perlu pengendalian intensif agar tidak merambat naik dan mengganggu tanaman
Kacangan Penutup Tanah (LCC) 89

pokok. Pada musim kemarau, tanaman yang berhasil naik akan berbunga dan menghasilkan biji. Mampu hidup optimal
pada tanah yang kurang subur dengan pH 4-7 elevasi 0-1000 m dpl, daerah iklim kering sampai basah.
Ketika kondisi panas dan kering, daun tanaman ini akan menutup. LCC ini bersifat tahan kering dan naungan,
sehingga tetap tumbuh menghijau sepanjang tahun baik pada kebun TBM maupun kebun TM. Penutupan lahan
yang tebal akan menjaga kelembaban tanah dan menghasilkan banyak bahan organik sehingga kesuburan tanah
dan produktivitas tanaman pokok meningkat. Legum ini cocok sebagai penutup tanah permanen, sebagai LCC di
perkebunan dan di lahan rehabilitasi, namun kurang cocok sebagai penutup tanah bero antar musim. Pembersihan
lahan M. bracteata relatif sulit karena bonggolnya dalam dan berkayu.
LCC ini ditanam menggunakan biji dengan kebutuhan benih 20-30 kg/ha atau stek potongan batang. Pertumbuhan
awal (6 bulan) relatif lambat, namun pertumbuhan selanjutnya cepat. Pada umur 3 tahun setelah penanaman, bobot
kering biomassa mencapai 8-10 ton per ha. Herba ini kurang disukai ternak, namun tetap dapat diberikan sebagai
pakan ternak kambing.
Arachis pintoi
Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini mirip kacang tanah, namun tumbuh merambat pada stolonnya
yang membentuk akar dan merupakan herba menahun yang tumbuh rapat menutupi tanah. Tanaman ini hampir setiap
hari banyak bunganya yang mekar, dan menghasilkan biji di dalam tanah. Bijinya akan berkecambah dan tumbuh
sehingga batangnya semakin memadati tutupan tanah. Pada tanah yang subur dan musim hujan, tumbuh meninggi
dan menebal, namun tidak membelit dan memanjat tanaman pokok. Legum ini berbitil akar, sehingga berpotensi
meningkatkan kesuburan tanah dari hasil penambatan udara dan dari pangkasan biomassanya.
Arachis pintoi tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah sub tropika dan tropika, curah hujan tahunan
>1.000 mm. Pada tanah-tanah yang kurang air atau sering banjir, pertumbuhannya terhambat dan daun menjadi kuning.
Tanaman ini beradaptasi dengan baik pada tekstur mulai dari berpasir sampai tanah liat, pH berkisar dari 4,5 sampai
7,2, meskipun pertumbuhannya akan berkurang pada pH 5,4 dan tumbuh baik pada suhu sekitar 22-280C, bersifat
tahan terhadap naungan dan tahan kekeringan.
LCC ini ditanam menggunakan bibit dari potongan setek batang yang dibibitkan selama 2-3 bulan.
Perbanyakan Arachis pintoi ini dapat dilakukan dengan mengunakan biji namun biji kurang tersedia karena
harus dipanen dengan membongkar tanaman. Biji akan mulai tumbuh berkecambah pada 10-14 hari setelah
tanam. Kebutuhan biji 30-50 kg/ha. Penanaman secara langsung dapat juga dilakukan dengan menggunakan stek
batang yang dipotong sepanjang 10-20 cm dan ditanamkan ke dalam tanah sepanjang 7,5-12,5 cm. Akar mulai
tumbuh pada 2-4 minggu setelah tanam. Sebelum ditanam, lahan perlu diolah dan disemprot herbisida agar
diperoleh tutupan A. pintoi yang murni.
Crotalaria juncea
Legum ini lebih dikenal sebagai pupuk hijau dan penaung sementara, walaupun sebenarnya dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, penghasil bahan serat dan pulp kertas. Tanaman ini ditanam dengan biji secara rapat agar
tumbuh tinggi, tidak bercabang dan cepat menutup tanah. Sifat yang menguntungkan dari LCC perdu ini adalah: (1)
berumur pendek, dipanen muda pada umur 2-2,5 bulan, (2) penghasil N yang tinggi yaitu 300 kg per ha, berupa pupuk
hijau sebanyak 18-27 ton per hektar, (3) pertumbuhan awal cepat sehingga mampu berkompetisi dengan gulma, (4)
dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah walaupun tanah yang miskin hara, asalkan tanah tidak tergenang,
(5) tahan dipangkas; pemangkasan pada 30 cm dari tanah, (6) agak tahan terhadap nematoda, hama dan penyakit,
sehingga baik sebagai tanaman untuk lahan yang akan diberokan, atau tanaman perotasi.
Crotalaria usaramuensis
Tanaman yang berasal dari Afrika ini hidup pada tempat dengan ketinggian 25-1500 m dari permukaan laut.
Selain sebagai pupuk hijau dan pakan ternak, tanaman ini digunakan untuk perbaikan kesuburan tanah dan penaung
sementara pada kebun teh, kopi, dan karet. LCC ini mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun pertumbuhannya
90 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

lambat. Legum ini ditanam dengan biji, dalam 1 kg biji terdapat 350.000 biji. Apabila ditanam secara disebar dengan
jarak antarbarisan 150 cm, dibutuhkan biji 5 kg per hektar.
Moghania macrophylla
Tanaman menahun ini tumbuh tegak, umum dipakai sebagai LCC, pakan ternak, dan penaung sementara di
kebun kopi, karet, dan kakao. Tanaman ini tumbuh relatif cepat, agar tidak menghambat pertumbuhan TBM dan untuk
memanen biomassa maka LCC ini perlu sering dipangkas. Brangkasan pupuk hijau dapat diberikan dalam tanah
atau dibiarkan sebagai mulsa. Tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan dapat tumbuh dengan
baik pada tanah yang tidak subur. Penanaman dilakukan menggunakan biji, dengan kebutuhan biji 15 kg per hektar.
Pertumbuhan awal relatif lambat, namun selanjutnya pertumbuhan cepat.
Cajanus cajan
Di Jawa tanaman ini dikenal sebagai kacang gude atau kacang Bali, yang diusahakan pada lahan dengan ketinggian
tempat 0-2000 m dari permukaan laut. Tanaman ini dibudidayakan sebagai penghasil kacang, sebagai pupuk hijau, dan
naungan sementara. Perakaran legum perdu ini sangat dalam, mencapai 1,8-4,5 m. Tanaman ini bersifat tahan kering;
di daerah kering dengan curah hujan 635 mm per tahun masih dapat menghasilkan hijauan dengan baik, sedangkan
tanaman lain sulit tumbuh. Penanaman dilakukan dengan biji, dalam 1 kg biji terdapat 17.000 biji, setiap hektar
dibutuhkan 10 kg benih.

7.3 Kelemahan LCC


Meskipun mempunyai lebih bayak manfaat, penanaman LCC mempunyai beberapa kelemahan atau risiko antara
lain yaitu:
(1) Biaya pembangunan LCC cukup besar;
(2) Banyak jenis LCC yang tidak tahan kering, sehingga LCC akan mati di musim kemarau sehingga mengering dan
berisiko terjadi kebakaran kebun;
(3) Di antara LCC terdapat jenis yang tidak tahan naungan, sehingga setelah tajuk tanaman pokok saling menutup,
LCC berangsur mati dan penutupan permukaan tanah menjadi berkurang, dan gulma yang lebih tahan naungan
akan mendominasi seperti Paspalum conjugatum, Asystasia intrusa, dan pakis.
(4) Perlu pemeliharaan LCC di TBM yaitu pemupukan, pengendalian LCC di sekitar bokoran, dan pemurnian LCC
dari gulma;
(5) Perlu pengawasan karena LCC mengundang ternak untuk masuk atau orang mengembalakan ternak di kebun
sehingga merusak tanaman pokok, serta pengawasan bahaya api pada musim kemarau;
(6) Lahan yang sudah ditanami LCC tidak dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela semusim seperti palawija dan
sayur.
Terkait dengan pilihan apakah menanam LCC atau tanaman sela maka petani lebih umum memilih tanaman
sela, sebagai sumber penghasilan selama tanaman pokok belum memberikan hasil. Perusahaan perkebunan umumnya
tidak mengusahakan tanaman sela selain tanaman pokok. Perusahaan perkebunan memiliki sumberdana yang cukup.
Dengan demikian, tanaman LCC umumnya banyak ditemukan pada perusahaan perkebunan, dan jarang ditemukan di
perkebunan rakyat.

7.4 Produksi Benih LCC


Pengusaha benih LCC masih jarang menanam LCC khusus untuk menghasilkan benih. Benih yang dijual berasal
dari kebun TBM perkebunan besar yang menanam LCC. Pada musim biji, di musim kemarau, karyawan memanen
dan mengumpulkan benih LCC untuk diserahkan ke perusahaan dan dijual kepada pedagang LCC atau langsung
dijual kepada perusahaan perkebunan yang membutuhkan. Untuk memenuhi kebutuhan LCC yang besar, pengusaha
memperoleh benih dari impor.
Kacangan Penutup Tanah (LCC) 91

Produksi benih LCC selain terkait dengan jenis LCC apakah bersifat banyak membentuk biji dan keadaan iklim
setempat. Tanaman LCC di perkebunan di Jawa Barat dan Sumatera Utara banyak menghasilkan bunga namun
hanya menghasilkan sedikit biji. Penyebabnya belum diketahui persis, tetapi diduga karena keadaan iklim yang
basah sehingga mengganggu persarian atau berhubungan dengan hari panjang atau pendek. Umumnya tanaman LCC
membutuhkan musim kemarau yang panjang untuk dapat menghasilkan banyak biji. Iklim di daerah Indonesia bagian
Timur diperkirakan sesuai untuk produksi benih LCC.
Karena ada daerah perkebunan yang tidak dapat memproduksi cukup benih LCC maka benih perlu didatangkan
dari daerah lain misalnya dari Jawa Timur atau impor sehingga harganya cukup mahal sedangkan mutu benih kadang
kurang memenuhi standar. Benih yang diperjualbelikan mungkin berasal dari benih produksi tahun berjalan atau
dicampur dengan benih tahun sebelumnya.
Benih LCC dipanen dari gawangan kebun TBM ber-LCC di musim kemarau. Luas kebun TBM untuk perusahaan
yang sudah berjalan lama umumnya berjumlah 20% dari seluruh areal pertanaman, dengan asumsi setiap tahun
melakukan replanting atau konversi sebanyak 5% dari areal lahan dan kebun TBM1-3 dan TM1 dapat menghasilkan
benih LCC. Dari kebun penghasil LCC tersebut diperkirakan luas efektif ber-LCC hanya 70-80%. Dengan cara
budidaya LCC standar untuk penutupan tanah yaitu tanpa pemeliharaan khusus untuk produksi benih, maka LCC
jenis Cm dan Cp menghasilkan 300 kg benih per ha per tahun. Jumlah tersebut cukup untuk membangun LCC seluas
15 ha artinya luas areal TBM mampu mencukupi kebutuhan LCC yang diproduksi untuk luasan 15 kali lipatnya.
Artinya komposisi TBM sebanyak 20% luas areal perkebunan akan menghasilkan LCC jauh lebih besar dari program
peremajaan kebun yang hanya sebanyak 4-5% per tahun.

7.5 Perbanyakan dengan Stek


LCC terutama ditanam langsung menggunakan benih, namun jika jenis LCC hanya sedikit menghasilkan biji
akibat keadaan iklim ataupun cuaca yang kurang mendukung pembentukan biji maka dapat dilakukan pembibitan
LCC menggunakan stek batang. Stek disemai langsung di dalam polibag kecil atau kantung plastik bening kecil.
Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan maka polibag disusun di bawah sungkup.
Bahan stek dipilih dari batang yang sudah cukup tua dan memiliki akar pada buku-bukunya. Bahan stek dipotong-
potong menjadi stek dua buku dengan ruas bawah sepanjang 5 cm dan ruas memiliki 2 daun majemuk. Kantung
plastik diberi lubang secukupnya dan diisi dengan tanah-atas dan diberi pupuk fosfat alam sebanyak 3 gram per
kantung. Setelah stek disemai, polibag disusun pada bedengan di bawah naungan, baik di bawah pohon naungan
ataupun naungan berupa atap daun kelapa. Meskipun di bawah naungan, semaian stek perlu diberi sungkup plastik
yang menutupi susunan polibag tersebut.
Setelah semaian berumur 2 bulan, bibit LCC sudah bertunas dan siap untuk ditanam di lapangan. Agar penanaman
LCC dapat dilakukan di musim hujan maka pembibitan harus dilakukan di akhir musim kemarau atau di awal musim
hujan. Pada musim kemarau umumnya tanaman LCC kurang aktif pertumbuhannya bahkan sebagian agak mengering.
Untuk itu perlu ada blok khusus sebagai sumber stek LCC yang di musim kemarau masih cukup lembab dan LCC
masih tumbuh baik. Blok tersebut umumnya dekat sumber air sehingga LCC tetap subur di musim kemarau dan
mampu memasok bahan stek yang sedang aktif tumbuh.

7.6 Penanaman LCC


Penanaman LCC dilaksanakan di kebun yang telah diolah tanahnya serta sudah diajir atau sudah ditanami
tanaman pokok. LCC ditanam di daerah gawangan tanaman pokok secara ditugal berjarak rapat dengan 3 benih per
lubang atau benih ditabur dalam larikan. Penanaman dengan tabur benih di larikan cenderung memboroskan benih,
namun lahan akan cepat tertutup LCC. Jika ditanam menggunakan bibit stek maka jarak tanam dalam barisan sekitar
0,5-1 meter. Setiap gawangan dibuat beberapa baris LCC dengan jarak antar barisan 1-1,5 meter untuk tanah yang
subur dan 60-80 cm untuk tanah yang kurang subur.
92 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Dalam setiap blok kebun sebaiknya ditanam beberapa jenis LCC karena masing-masing jenis memiliki kelemahan
dan keunggulan. Dengan penanaman beberapa jenis LCC maka diharapkan lahan tetap cepat tertutup meskipun ada
jenis LCC yang lambat tumbuh dan di musim kemarau tidak semua LCC mengering karena ada jenis LCC yang
toleran kekeringan. Dengan pola penanaman campuran maka terdapat saling sinergi antara beberapa jenis LCC
tersebut. Penanaman dengan pola campuran bukan berarti benih dicampur sebelum penanaman. Sebaiknya jenis LCC
ditanam tetap terpisah dalam 1-2 larikan. Hal ini bertujuan agar benih sejenis memiliki kesempatan sama di awal
pertumbuhannya.
Komposisi jenis LCC untuk kebun karet misalnya menggunakan 10 kg benih adalah Pj:Cp:Cp = 5:3:2
kg atau Cp:Cm:Pj = 4:4:2 kg. Untuk perkebunan kelapa sawit komposisi adalah Cp:Cm:Pj = 8:8:2, Cp:Pp:
Pj = 5:5:10 atau Cp:Cm = 10:10. Untuk LCC unggul toleran kering dan naungan adakalanya ditanam tunggal
misalnya untuk C. caeruleum, P. thunbergiana, M. bracteata. Maskudin (1988) melaporkan campuran Cp-Pp-Pj
(5-5-10) menutupi lahan setelah 5 bulan, Cc tunggal menutupi lahan setelah 7 bulan, dan Pt tunggal menutupi
lahan setelah 8 bulan.
Benih LCC memiliki kulit yang keras; tanpa perlakuan skarifikasi benih yang ditanam akan tumbuh tetapi tidak
serempak dan berkecambah lebih lama. Untuk mempercepat perkecambahan benih LCC dapat dilakukan antara lain
dengan 3 cara yaitu perendaman dalam air panas, perendaman dalam asam sulfat, dan cara mekanis. Masing-masing
cara tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Dua bagian air mendidih dicampur dengan satu bagian air dingin biasa. Campuran ini menghasilkan air dengan
temperatur 65oC. Sebelum ditanam, benih LCC direndam dalam air tersebut selama 1-2 jam.
(2) Asam sulfat pekat 95% digunakan untuk merendam benih selama 10-40 menit bergantung dari jenis LCC.
(3) Skarifikasi secara fisik misalnya dengan cara mengamplas benih yang ditabur di atas tampah. Kertas amplas
dilebarkan, ditekan dipermukaan benih, dan digosok dengan gerakan memutar. Agar efektif, dapat digunakan
drum kayu berbentuk heksagonal yang bagian dalamnya dilapisi kertas amplas. Setelah diisi benih LCC, drum
diputar dengan kecepatan 75 putaran per menit dan diputar selama 48 jam. Sebagai tenaga penggerak digunakan
motor berkekuatan 0,5 tenaga kuda.

7.7 Pengaruh LCC terhadap Pertumbuhan dan Produksi


Pertumbuhan batang merupakan kriteria penting pada pemeliharaan kebun karet TBM. Penanaman LCC di kebun
karet TBM mempercepat pertumbuhan lilit batang akibat tertekannya pertumbuhan gulma dan meningkatnya kesuburan
tanah. Dengan pertambahan lilit batang yang cepat berarti LCC menyebabkan matang sadap yang lebih cepat. Secara
populasi, jumlah pohon karet yang mencapai matang sadap juga lebih banyak sehingga LCC memperpendek masa
tidak produktif kebun karet menjadi kebun karet siap disadap.
Hasil penelitian menunjukkan penutupan tanah oleh gulma akan menekan pertumbuhan lilit batang karet akibat
kompetisi. Sementara kompetisi antara LCC dengan karet relatif tidak mengganggu tanaman pokok, bahkan tanaman
karet menjadi lebih cepat tumbuh. Jenis LCC yang tumbuh menjalar atau perdu sama-sama berpengaruh baik terhadap
pertumbuhan lilit batang dan kecepatan tanaman mencapai matang sadap.
Kacangan Penutup Tanah (LCC) 93

Tabel 30. Pengaruh LCC terhadap lilit batang karet pada umur 4 tahun

Lilit batang (cm)


Jenis penutup tanah
1 thn sesudah perlakuan Penambahan lilit
Cc tunggal 32,5 15,8
Pp-Cm-Cp 28,5 13,4
Guma P. conjugatum 21,5 5,5

Sumber: Siregar (1984)


Tabel 31. Pengaruh LCC terhadap matang sadap karet

Jenis penutup tanah Pohon matang sadap Pohon belum matang sadap Persentase matang sadap
LCC menjalar 189 158 54,4
LCC perdu 211 136 60,8
Flemingia 204 156 56,7
Stylosenthes 170 132 56,3
Gulma alami 89 211 29,7

Sumber: Siregar (1984)


Penanaman LCC memberikan efek positif terhadap meningkatkan produksi karet selama 10 tahun panen karet
yaitu dengan peningkatan produksi sebesar 20% selama periode 10 tahun penyadapan. Walaupun tanaman karet
yang ber-LCC tidak dipupuk tetapi produktivitas lebih tinggi daripada tanaman dengan penutup tanah rumputan
atau gulma. Produktivitas lebih meningkat apabila tanaman karet yang ber-LCC dipupuk sesuai rekomendasi. Hal
ini mengindikasikan bahwa walaupun LCC dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi pemupukan tetap perlu
dilakukan.
Tabel 32 Pengaruh penutup tanah terhadap produksi tanaman karet

Produktivitas karet dalam 4,5 tahun (kg/ha)


Jenis penutup tanah
Tidak dipupuk Dipupuk
LCC menjalar 12.662 13.627
Rumput 9.813 12.261
Mikania 10.140 11.841
Gulma alami 10.509 11.983

Sumber: Siregar (1984)


94 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Z. 1999. Produksi biomassa tanaman legum penutup tanah pada beberapa jarak alur tanam dan bobot benih
campuran. Agroscientiae 3(16): 173-176.
Angkapradipta, P. 1984. Tanaman penutup tanah di perkebunan. Prosiding Seminar Sehari tentang Tanaman Penutup
Tanah. Di Bogor.
Ditjen Perkebunan. 1983. Pembangunan Penutup Tanah Kacangan. Departemen Pertanian. Jakarta. 80 hlm.
Evizal, R. 2003. Pembibitan dan penanaman Arachis pintoi sebagai penutup tanah di perkebunan. Jurnal Agrotropika
5(2): 14-19.
Effendi, S. 1984. Penanaman tanaman pangan sebagai tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap konservasi
tanah. Prosiding Seminar Sehari tentang Tanaman Penutup Tanah. Di Bogor.
Erwiyono dan Soekodarmodjo. 1989. Sifat fisik Latosol di bawah Calopogonium caeruleum yang mempengaruhi
perkembangan akar karet. Menara Perkebunan 57(3): 79-82.
Mangoensoekarjo, S. 1984. Membangun penutup tanah leguminosa pada budidaya kelapa sawit. Prosiding Seminar
Sehari tentang Tanaman Penutup Tanah. Di Bogor.
Mathews, C. 1998. The Introduction and Establishment of a New Leguminous Cover Plant, Mucuna bracteata under
Oil Palm in Malaysia. The Planters 74 (860): 359-368.
Nugroho, P.A., Istianto, N. Siagian dan Karyudi. 2006. Potensi Mucuna bracteata dalam pengembalian hara pada areal
tanaman karet belum menghasilkan. Prosiding Lokakarya Nasional Budidaya Tanaman Karet 2006.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
Shelton, H.M. and Stilr, W.W. (ed) 1991. Forages for Plantation Crops. Proceedings on workshop. Sanur Beach. Bali,
Indonesia. 27-29 June 1990. ACIAR Proceedings No. 32.
Siregar, M. 1984. Peranan tanaman penutup tanah terhadap konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap tanaman
karet. Prosiding Seminar Sehari tentang Tanaman Penutup Tanah. Di Bogor.
Sitompul, S.M. 1990. Pengelolaan nitrogen tanah masam Ultisol tropika Lampung. Fakultas Pertanian Unibraw,
Malang.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Pohon Pelindung 95

BAB VIII
POHON PELINDUNG

D ikenal dua macam tanaman pelindung yaitu tanaman pelindung (naungan) sementara dan pelindung tetap. Tanaman
pelindung sementara dimaksudkan untuk melindungi tanaman perkebunan yang masih kecil dan sekaligus
berfungsi sebagai LCC, misalnya orokorok dan flemingia atau pelindung produktif seperti pisang dan singkong.
Pohon pelindung tetap hanya diperlukan bagi komoditas perkebunan tertentu yang menghendaki naungan atau tempat
tumbuh merambat. Tanaman yang boleh menggunakan pohon pelindung adalah kopi, kakao, teh, jahe, kapolaga serta
kerabat Zingiberaceae lainnya. Tanaman vanili, lada, sirih, cabe jawa, kemukus serta kerabat Piperaceae memerlukan
pohon naungan yang sekaligus sebagai tempat tumbuh merambat. Sedangkan kebanyakan komoditas perkebunan
tidak memerlukan pohon pelindung tetap seperti kelapa, kelapa sawit, aren, pinang, jarak, karet, cengkeh, kayu manis,
pala, kina, tebu, stevia, kapas, kapuk, jute, rosela, tembakau, serai, nilam, minyak kayu putih dan sebagainya.

8.1 Fungsi Pohon Pelindung


Melindungi tanaman pokok dari terik sinar matahari
Fungsi utama ini berkaitan dengan toleransi suatu jenis tanaman dalam berfotosintesis pada suatu tingkat intensitas
cahaya dan suhu daun tertentu. Pada tanaman yang perlu naungan, intensitas cahaya dan suhu daun yang tinggi
umumnya menyebabkan hasil fotosintesis bersih menurun. Pada tanaman kopi, fotosintesis aktif berlangsung pada
intensitas cahaya 20006000 fc dan suhu daun 2030oC. Di atas 6000 fc metabolisme terganggu. Selain itu penyinaran
matahari terkait dengan suhu daun. Peningkatan suhu daun kopi 1oC di atas kisaran tersebut menurunkan fotosintesis
bersih sebesar 7%. Pada kondisi matahari terik dan pohon kopi tanpa pohon pelindung, suhu daun dapat mencapai
40oC. Pohon kopi di dataran rendah dan tanpa pohon pelindung akan menunjukkan gejala daun yang berkerut dan
kuning. Jika ditanam pada naungan berat, daun kopi akan berwarna hijau, namun sedikit cabang plagiotrop yang
membentuk buah yang lebat. Pada tanaman kakao lindak, suhu optimum untuk berlangsungnya fotosintesis 22,4-
30,4oC sedangkan untuk kakao mulia pada 18,8-27,9oC.
96 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 33. Pengaruh naungan terhadap laju fotosintesis daun kopi

Laju fotosintesis (mg


Tingkat naungan
CO2/dm/jam)
Tanpa naungan 0,7
Naungan sedang 2,1
Naungan berat 1,4

Sumber: Nur (1982)

Gambar 11. Kebun kopi berpohon pelindung


Pada tanaman vanili, tingkat naungan yang dibutuhkan adalah 5066% dari sinar penuh atau sinar yang diloloskan
3350%. Tanaman vanili tanpa pohon pelindung menunjukkan gejala daun kecil, kuning, dan pertumbuhan kerdil.
Intensitas sinar matahari yang tinggi dapat menyebabkan degradasi klorofil. Pada tanaman kopi dan lada yang diberi
pohon pelindung, daun tampak lebih hijau. Kapolaga adalah tanaman yang tahan terhadap naungan, yaitu lebih baik
jika ditanam di bawah naungan sedang – berat (Tabel 35). Tanaman ini umum ditanam sebagai tanaman sela di
berbagai tegakan pohon perkebunan dan kehutanan.
Tabel 34. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun lada

Tingkat naungan Kandungan klorofil


(%) daun (mg/g)
0 0,55
25 0,56
50 0,55
75 0,81

Sumber: Wahid (1984)


Pohon Pelindung 97

Tabel 35. Tingkat naungan optimum beberapa tanaman perkebunan

Tingkat naungan
Tanaman Klasifikasi naungan*
optimum (%)
Teh 0 Tanpa naungan
Kopi 15-55 Sangat ringan - sedang
Kakao TM 25-50 Ringan - sedang
Kakao TBM 40-70 Sedang - berat
Lada 0-50 Tanpa naungan - sedang
Vanili 50-66 Sedang - berat
Kapolaga 50-70 Sedang - berat

* Klasifikasi tingkat naungan: tidak butuh naungan (0%), naungan sangat ringan (1-20), naungan ringan (21-40%),
naungan sedang (41-60), naungan berat (61-80), naungan sangat berat (>80)
Tempat tumbuh tanaman merambat
Banyak tanaman rempah dan obat misalnya vanili dan terutama dari famili Piperaceae seperti lada, cabe jawa,
dan kemukus membutuhkan tempat merambat agar dapat tumbuh baik dan berbuah. Tanaman akan merambat pohon
panjatan setinggi pohon tersebut. Agar tanaman pokok dapat dikelola maka ketinggian pohon panjat perlu dijaga,
misalnya pohon panjatan lada dan cabe jawa dipangkas pada ketinggian 3-4 m. Sebagai rambatan tanaman vanili,
pohon panjat dipangkas pada ketinggian 2 meter sehingga banyak bercabang, sebagai tempat membelitkan batang dan
cabang-cabang vanili.

Gambar 12. Pohon pelindung sebagai rambatan vanili


Menyuburkan tanah
Tanaman pelindung terutama dari jenis leguminosa berfungsi menyuburkan tanah karena mempunyai bintil
akar yang dapat menangkap N udara dan menggugurkan banyak biomassa ke tanah sebagai sumber bahan organik.
Umumnya pohon legum memiliki bintil akar (Gambar 13), kecuali beberapa pohon seperti petaian (Peltophorum)
yang tidak memiliki bintil akar. Sebaliknya pohon gamal dikenal berbintil akar dengan beberapa bentuk karena mampu
bersimbiosis dengan berbagai jenis bakteri pembentuk bintil akar. Pada pohon gamal sebanyak 51% kandungan N
biomassa berasal dari penangkapan N udara. Pada pohon dadap sebanyak 21% kandungan N biomassa berasal dari
penangkapan N udara.
98 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Guguran daun dan pangkasan tajuk pohon pelindung merupakan sumber bahan organik bagi tanah. Daun pohon
pelindung legum merupakan bahan organik bermutu tinggi sebagai pupuk hijau. Rasio C/N 11,2 untuk pangkasan
dadap, dan 11,5 untuk pangkasan gamal. Kandungan nitrogen tajuk beberapa pohon pelindung legum disajikan pada
Tabel 36. Dalam kaitan dengan produksi tanaman pokok yang menjadi lebih rendah karena penaungan, maka pohon
pelindung berperan menjaga keseimbangan antara kebutuhan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi dengan
tingkat kesuburan alamiah tanah.
Tabel 36. Bobot tajuk dan sumbangan N beberapa pohon pelindung

Jenis pohon Bobot kering tajuk Kandungan N (%) Sumbangan N (kg/ha)


Dadap (Erythrina) 4,5 2,4 108
Lamtoro (Leucaena) 6,0 3,0 180
Gamal (Gliricidia) 8,0 2,9 232
Petaian (Peltophorum) 8,0 1,7 136
Kaliandra (Calliandra) 10,0 2,7 270

Sumber: Hairiah et al., (2000)

Gambar 13. Bintil akar pohon pelindung gamal


Akar sebagai jaring penyelamat hara
Pohon pelindung mempunyai akar yang dalam, terutama apabila ditanam dari bibitbiji, sehingga mampu menyerap
unsur hara dari tanah yang dalam dan menyerap kembali unsur hara dan pupuk yang terlindi. Pada gilirannya unsur
hara itu akan dikembalikan ke tanah atas dalam bentuk bahan organik. Terkait dengan perakaran pohon pelindung yang
dalam, maka pohon pelindung mampu memanfaatkan atau menimba unsur hara dari dalam tanah untuk mendukung
pertumbuhannya. Serasah yang dihasilkan akan dikembalikan di permukaan tanah yang setelah terdekomposisi dapat
dimanfaatkan oleh tanaman pokok yang berperakaran relatif dangkal. Dengan demikian pohon pelindung memiliki
peran lain yaitu sebagai penimba unsur hara.
Mengatur iklim mikro
Pohon pelindung mengatur keadaan lingkungan di bawahnya yaitu suhu udara siang hari lebih rendah,
kelembaban udara lebih tinggi, suhu permukaan tanah di siang hari lebih rendah, gerakan angin lebih lambat, dan
intensitas sinar lebih rendah dibandingkan di luar naungan. Dengan tersedianya pasokan seresah dari pohon dan
Pohon Pelindung 99

keadaan iklim mikro yang sesuai maka keragaman biota tanah meningkat. Adanya dinamika guguran daun pohon
pelindung juga mempengaruhi dinamika iklim mikro sehingga pada saat musim gugur daun maka sinar matahari yang
penuh mendorong tanaman pokok berbunga lebat.
Menekan pertumbuhan gulma
Pohon pelindung yang ditanam cukup rapat dapat menekan gulma yang tidak tahan naungan. Penaungan secara
umum akan menekan perkecambahan dan pertumbuhan gulma. Naungan pohon dikenal mampu menekan pertumbuhan
alang-alang, teki dan gulma semusim berdaun lebar. Naungan sangat berat sebesar 80% dapat mengurangi gulma
sebesar 50%, naungan 98% akan mampu mematikan gulma. Terdapat pula golongan rumput yang tahan naungan
seperti rumput Paspalum conjugatum dan Stenotaphrum secundatum. Paspalum conjugatum justru tumbuh dengan
baik pada naungan sedang (50%). Stenotaphrum secundatum dikenal dengan nama umum “Buffalo grass” (Australia)
atau St. Agustine grass (Amerika Serikat) tumbuh optimum pada kondisi naungan sedang sampai berat yaitu pada
naungan 55%-75%. Hal ini menunjukan tingginya adaptasi beberapa jenis rumput pada kondisi naungan.
Di kebun kopi dewasa, adanya pohon pelindung menekan pertumbuhan gulma yang diukur berdasarkan bobot
kering gulma yang disiangi setiap 3 bulan. Pohon gamal dengan tingkat penaungan yang ringan cukup mampu
menekan pertumbuhan gulma. Pohon cempaka yang menghasilkan penaugan berat akan menekan pertumbuhan gulma
hampir 50%. Kombinasi penaungan, seresah di permukaan tanah, serta penyiangan gulma akan dapat mengendalikan
pertumbuhan gulma di kebun kopi dewasa secara optimal.
Tabel 37. Pengaruh tingkat naungan pohon pelindung terhadap penekanan gulma

Tingkat naungan Berat kering gulma


Penaungan Penekanan gulma (%)
rerata (%) (ton/ha/tahun)
Tanpa penaung 0 6,93 0
Pohon gamal 26 4,44 36
Pohon dadap 42 4,33 38
Pohon cempaka 74 3,79 45

8.2 Kerontokan Daun Pelindung


Kerontokan daun dan ranting pohon pelindung selain merupakan sumber seresah bagi tanah juga menyebabkan
dinamika tingkat penaungan oleh pohon pelindung. Pohon pelindung tidak menaungi tanaman di bawahnya secara
tetap sepanjang tahun melainkan bersifat dinamis bergantung dari musim kerontokan daun. Musim kerontokan daun
pepohonan berkait dengan curah hujan.
Umumnya daun lebih banyak gugur pada musim kemarau bahkan banyak jenis pohon yang bersifat merontokkan
semua daun. Merontokkan daun merupakan salah satu adaptasi pohon untuk mengurangi evapotranspirasi pada saat
musim kemarau. Merontokkan daun juga merupakan pertanda bahwa pertumbuhan vegetatif pohon sedang tertekan
dan pertumbuhan generatif mulai terdorong, yang ditandai akan munculnya kuncup bunga. Sebagai contoh, pohon
dadap dan kapuk akan merontokkan seluruh daunnya pada musim kemarau. Selanjutnya diikuti musim berbunga
dan pembentukan buah. Lain halnya dengan pohon yang selalu hijau, yaitu tanpa adanya musim gugur daun. Pohon
semacam ini dapat saja justru banyak merntokkan daun pada musim hujan. Sebagai contoh pohon cempaka banyak
merontokkan daun pada musim hujan.
100 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pada pohon yang memiliki musim gugur daun, maka terdapat dinamika penaungan bagi tanaman di bawahnya.
Umumnya tingkat penaungan tinggi terjadi selama musim hujan, dan tingkat penaungan yang rendah justru terjadi
pada musim kemarau, disaat tanaman di bawahnya memerlukan penaungan. Dengan demikian, jenis pohon penaung
semacam ini kurang cocok untuk menaungi tanaman muda. Namun pemangkasan dapat memaksa pohon dalam kondisi
bercabang muda sehingga di musim kemarau belum memasuki fase daun tua dan rontok.

Gambar 14. Dinamika kerontokan daun pohon pelindung dan curah hujan

Gambar 15. Dinamika penaungan oleh pohon pelindung


Pohon Pelindung 101

8.3 Jenis Pohon Pelindung


Utamanya pohon pelindung dipilih dari jenis leguminosa seperti gamal (Gliricidae sepium), dadap duri (Erythrina
indica), dadap tak berduri (E. sububrams), petai cina (Leucaena glauca), lamtoro gung (Leucaena leucocephala),
dan sengon (Albizia falcataria). Dari jenis nonleguminosa dipilih yang memberikan hasil misalnya kapuk (Ceiba
pentandra) dan cempaka (Michelia champaca) sebagai penghasil kayu bangunan.
Gamal
Pohon ini di daerah dikenal dengan nama kelor wono, johar cina, pohon hujan, pohon pupuk dan sebagainya
dan dikenal sebagai pohon pelindung di kebun lada, kopi, teh, dan kakao. Pohon ini berasal dari Amerika Tengah dan
Brazil; pohon ini mampu tumbuh pada tempat dengan ketinggian 01400 m dari permukaan laut. Pertumbuhannya
cepat sekalipun pada tanah yang kritis, apabila dipangkas akan segera rimbun kembali. Pohon ini tidak dapat tumbuh
dengan baik pada tanah yang tergenang dan tidak tahan naungan sedang sampai berat.
Pada musim kemarau pohon gamal merontokkan daunnya dan berbunga. Daun baru muncul kembali menjelang
biji masak. Setiap pohon dapat menghasilkan sampai 30.000 bunga yang menarik berbagai macam serangga. Pemasakan
buah polong sekitar 45-60 hari. Pada lingkungan beriklim basah, tanaman akan berbunga tetapi menghasilkan sedikit
buah. Biji yang disemai akan berkecambah dalam 47 hari. Bibit dari biji mempunyai kelebihan karena perakarannya
dalam sehingga tidak mudah tumbang dan mengurangi kompetisi dengan tanaman pokok.
Sebagai pohon pelindung atau pohon panjat, gamal ditanam dengan setek batang sepanjang 1 m dari cabang yang
berumur paling sedikit 10 bulan, berwarna kecoklatan, berdiameter 5 cm. Setek lebih dahulu mengeluarkan tunas
daripada akar. Setek yang panjangnya 1 m lebih baik daripada setek yang lebih pendek; setek yang bercabang lebih
baik daripada setek yang polos (Martoatmodjo et al., 1983).
Sebagai pohon pelindung atau panjatan, gamal mempunyai keunggulan yaitu cepat tumbuh, beradaptasi pada
lahan kritis, tahan dipangkas, dan sejauh ini tidak terserang hama maupun penyakit. Kelemahannya adalah bentuk
mahkota kurang baik terutama apabila tidak dipangkas, merontokkan daun di musim kemarau dan pertumbuhan
terlalu rimbun setelah dipangkas. Untuk mengatasi kelemahan ini pohon gamal harus sering dipangkas yaitu sebanyak
3 kali setahun agar tidak sempat memasuki fase berbunga sehingga tidak merontokkan daunnya dan kerimbunannya
dapat diatur. Daun hasil pangkasan dapat digunakan sebagai pakan ternak atau pupuk hijau.
Dadap
Di Indonesia terdapat dua jenis dadap yaitu dadap duri dan dadap licin dan keduanya dikenal sebagai salah satu
pohon pelindung yang baik; ditanam di kebun lada dan kopi. Kelebihan pohon ini adalah kerimbunannya sedang
dan bentuk mahkota baik, tumbuh cepat serta tahan pangkas. Kelemahan jenis pohon ini adalah kayunya berkualitas
paling rendah, suka diserang berbagai hama, diserang berbagai cendawan, dan di musim kemarau juga merontokkan
daunnya.
Hama yang terpenting adalah penggerek batang dari Batocera spp. seperti B. hector (kumbang dadap), Stenias
franciscanus (kumbang penggeleng cabang), Terastia egialealis (penggerek pucuk dadap), serta nematoda Heterodera
marioni, Pratylenchus pratensis, dan Haplolaimus sp. Penyakit yang mengganggu adalah cendawan dadap kelabu
(Septobasidium bogoreiensis), jamur upas (Corticium salmonicolor), serta jamur akar.
Pohon dadap biasanya ditanam dengan setek batang sepanjang 1,5 m dan diameter sekitar 5 cm. Pohon ini
sebaiknya dipangkas secara intensif untuk mengatur percabangan dan mencegah berbunga.
Petai Cina
Pohon yang berasal dari Amerika tropis ini dikenal juga sebagai lamtoro, kemlandingan, dan peuteuy selong.
Tanaman ini termasuk salah satu pupuk hijau yang tertua yang mempunyai sifatsifat yang baik: (1) Kurang peka
terhadap penyakit, kecuali cendawan akar hitam, (2) tahan terhadap segala bentuk pemangkasan, (3) mudah ditanam
secara stump, (4) mempunyai susunan akar yang sangat dalam dan mampu menembus lapisan tanah yang keras, (5)
102 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

tahan terhadap angin, (6) penaungan yang ringan, (7) berkayu kuat dan awet, sangat baik untuk kayu bakar dan arang,
(8) daunnya sebagai pakan ternak.
Selain sebagai pohon pelindung di kebun vanili, kopi, dan teh, petani cina ditanam untuk menguatkan teras dan
untuk pembuatan pagar batas kebun. Sifatsifatnya yang kurang baik adalah: (1) selain diserang jamur akar hitam,
lamtoro diserang hama ulat saku (Acanthopsyche subteralbata), kutu lamtoro (Pseudococcus virgatus), dan pernah
mendapat endemi hama kutu loncat (Heteropsylla cubana), (2) menghasilkan banyak biji, (3) pertumbuhannya lambat,
terutama di tanah masam dan kurang kapur.
Pohon lamtoro terutama diperbanyak dengan biji baik bibit maupun stump. Untuk menghindari banyak biji
yang tumbuh mengganggu, dan mengurangi risiko hama kutu loncat dapat dilakukan penyambungan dengan varietas
yang tidak berbiji dan varietas yang tahan terhadap hama kutu loncat. Varietas yang tidak berbiji dapat dikenal dari
bunganya; karangan bunganya berbentuk “kepala” mempunyai tangkai putik yang sedikit lebih panjang daripada
perhiasan bunga sangkutan.
Lamtoro Gung
Lamtoro gung berasal dari Filipina dan merupakan satu genus dengan petai cina. Pohon ini ditanam terutama
daunnya untuk pakan ternak, selain itu sebagai pupuk hijau, pohon pelindung tanaman kopi dan kakao, tanaman
reboisasi, penyubur tanah, penguat teras, penghasil kayu bakar, bahan pulp, pembuatan tempe lamtoro, dan pagar
hidup. Daunnya merupakan pupuk hijau berkualitas tinggi; mengandung protein 3040%, lemak 6,13%, BETN 24,53%,
serat kasar 8,79%, mineral 9,32%, dan mimosin 2,08%.

Gambar 16. Lamtoro sebagai pelindung di kebun kopi


Tanaman ini tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian sampai 700 m dari permukaan laut. Akar
tunggangnya dalam, perakaran lateral tidak keluar ke permukaan tanah, perakaran berbintil dan kuat mencengkeram
tanah, pertumbuhannya sangat cepat. Penanaman tidak dapat menggunakan setek, melainkan dengan biji. Untuk
mempercepat perkecambahan benih sebelum disemai di polibag maka: (1) benih direndam air selama 24 jam, kemudian
diperam dalam kain flanel basah selama 24 jam; (2) dicelup air mendidih selama 3 detik, kemudian diperam dalam
kain flanel basah selama 24 jam; (3) Direndam dalam air cuka 5% selama 15 menit, dicuci bersih, kemudian disemai
dalam kain flanel basah selama 24 jam.
Albizzia falcataria
Tanaman ini dikenal sebagai sengon atau jeujing yang dibudidayakan terutama sebagai penghasil kayu di
samping sebagai pupuk hijau dan pohon pelindung. Sengon tumbuh pada tempat dengan ketinggian dari 01500
m dari permukaan laut; merupakan pohon yang paling cepat pertumbuhannya, namun pada daerah dataran tinggi
pertumbuhannya agak lambat.
Pohon Pelindung 103

Akar pohon ini membentuk banyak bintil akar sehingga diduga merupakan pengumpul N yang baik. Pohon ini
memberi naungan yang rapat dan dengan pertumbuhan yang cepat maka pohon harus diremajakan sebelum menjadi
terlalu besar dan sulit dikuasai. Dengan demikian pekebun harus mempunyai rencana peremajaan pohon pelindung
yang akan dilakukan setiap tahun sehingga selalu ada pohon tua yang dibongkar dan ada penanaman baru sekitar
setiap umur 6 tahun.
Keberatan sengon sebagai pohon pelindung adalah: (1) pohon tidak tahan terhadap angin; cabangcabang besar
mudah patah bahkan pada angin kencang sering kehilangan seluruh mahkotanya; (2) Peka terhadap berbagai cendawan
akar, mala pohon ini merupakan sumber infeksi yang berbahaya terutama untuk cendawan akar merah (Ganoderma
pseudoferrum) dan cendawan leher akar (Ustulina maxima); (3) merupakan tanaman inang hama Helopeltis; (4) kayu
berkelas inferior, sekalipun dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan mebeler; (5) Peka terhadap serangan berbagai
penyakit dan hama yaitu cendawan akar merah, cendawan leher akar, diplodia (Botryodiplodia theobromae), cendawan
akar merah bata (Poria hypolateritia), Ceratophorum albizziae, uteruter (Phassus damar). penggerek kulit (Arbela
tetraonis), kumbang cantik (chrysochroa fulminans), kumbang serendang (Pelargoderus bipunctata), penggulung
daun (Homona coffearia), ulat saku (Psyche snelleni, Clania variegata, Clania crameni, Eumeta heckmeyeri), tungau
(Tetranychus telarius, T. coffeae), dan kutu perisai (Sesakiaspis pentagona).
Acacia decurrens
Ini adalah pohon pelindung untuk perkebunan dataran tinggi, dengan pertumbuhan cepat, membentuk banyak
guguran daun, dan tahan terhadap pemangkasan, kulit batang mengandung zat penyamak, dan kayunya sangat baik
untuk kayu bakar. Tetapi jenis ini mempunyai kelemahan yaitu peka terhadap penyakit blendok dan perakarannya
dangkal sehingga mudah tumbang, mahkota kurang baik. Pohon ini kurang peka terhadap cendawan akar dan belum
ada laporan yang menyebutkan serangan hama tertentu. Pohon ini ditanam dengan biji. Bijinya keras sehingga perlu
direndam air panas atau asam sulfat pekat sebelum disemai. Benih disemai sampai berumur 6 bulan untuk siap
ditanam.
Calliandra calothyrsus
Legum pohon tahunan ini mencapai tinggi 2-12 m, ditanam sebagai tanaman multiguna yaitu sebagai ditanam
sebagai tanaman pelindung bagi kopi dan teh, untuk memperbaiki tanah dan menahan erosi, untuk hijauan pakan
suplemen bagi pakan kualitas rendah yang diberikan pada ruminansia, sebagai sumber pupuk hijau dan sumber serbuk
sari bagi lebah untuk produksi madu. Tumbuh baik pada berbagai jenis tanah mulai dari tanah lempung vulkanik dalam
sampai tanah liat metamorfik yang lebih asam. Secara alami tumbuh baik pada tanah vulkanik sedikit asam dengan
tekstur ringan. Beradaptasi dengan baik pada tanah asam dan tidak subur, tidak tahan terhadap naungan berat.
Kaliandra tumbuh baik pada ketinggian 250-1300 m dengan curah hujan tahunan sekitar 2000-4000 mm dengan
3-6 bulan musim kering. Pohon ini sangat tidak tahan genangan dan sangat tidak tahan kering. Pohon kaliandra selalu
menghijau pada iklim lembab tetapi bersifat semi menggugurkan daun di daerah dengan musim kering yang panjang.
Berbunga sepanjang tahun bila di tanah mengandung kadar air yang cukup, tetapi terutama pada akhir musim hujan.
Pembungaan akan terhenti selama musim kering yang panjang (>4 bulan). Secara dominan terjadi perkawinan silang.
Penyerbukan diperoleh dengan bantuan kupu-kupu besar dan kelelawar.
Sebelum disemai biji memerlukan skarifikasi seperti merendam biji dalam air dingin selama 48 jam. Penggunaan
air panas berisiko membunuh biji akibat suhu tinggi yang berlebihan. Penanaman dapat dilakukan dengan cara semai
langsung biji yang telah diskarifikasi pada kedalaman 1-3 cm atau dengan pindah tanam bibit yang telah setinggi 20-
50 cm yang telah ditumbuhkan pada tempat pembibitan. Penggunaan inokulasi mungkin bermanfaat pada daerah baru
ditanam. Pertumbuhan awal lambat tetapi pertumbuhan selanjutnya sangat cepat dan pohon dapat mencapai tinggi 3,5
m dalam 6 bulan.
104 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Kapuk
Kapuk (Ceiba pentandra) bukan tanaman legum melainkan termasuk famili Bombacaceae. Di perkebunan
rakyat biasa ditanam sebagai pohon campuran atau sebagai pohon pelindung pada kebun lada, kopi, dan kakao.
Batang pohon yang lunak, baik untuk pertumbuhan akar lekat lada sehingga melekat kuat. Pohon yang mampu
menjulang tinggi dengan daun yang cukup renggang mendukung fungsinya sebagai pohon penaung. Pada musim
kemarau, pohon dewasa menggugurkan seluruh daun lalu berbunga. Daun-daun yang gugur merupakan sumber
bahan organik bagi tanah. Pada 4-5 bulan setelah penyerbukan, buah akan masak sebagai sumber pendapatan bagi
pekebun.
Tanaman ini dapat tumbuh pada kondisi iklim yang luas, di dataran rendah sampai pegunungan sampai 800 m
dari permukaan air laut. Untuk berbuah lebat, dibutuhkan adanya musim kemarau yang kuat beberapa bulan untuk
mendorong pembungaan, namun masih ada hujan kiriman pada musim kemarau tersebut. Sedangkan hujan yang
cukup di musim basah diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif setelah gugur daun dan panen buah. Kondisi iklim
seperti itu juga sama dibutuhkan oleh tanaman pokok yang dinaungi seperti lada, kopi, dan kakao.
Varietas yang umum ditanam di Indonesia adalah var. Indica atau kapok jawa yang memiliki habitus pohon relatif
lebih kecil daripada var. Caribea. Di samping itu terdapat tipe pohon yang disebut dengan pohon tipe lanang yaitu
tipe pohon dengan percabangan lateral bawah yang kuat, dan tipe perempuan dengan percabangan bawah yang lemah
sehingga percabangan bawah terdapat pada ketinggian 4 m dari tanah dan tidak tumbuh sekuat percabangan lateral
atas. Tipe yang kedua ini lebih cocok sebagai pohon pelindung di perkebunan. Atau dilakukan pemangkasan pada
percabangan bawah sehingga percabangan tidak mengganggu tanaman.
Agar perakaran dalam, sebaiknya digunakan bibit zailing bukan ditanam setek batang. Bunga kapok bersifat
menyerbuk sendiri sehingga sifatnya relatif sama dengan pohon induk. Namun demikian jika terdapat pohon tetua
yang unggul, maka bibit zailing dapat diokulasi menggunakan entres dari pohon unggul. Benih dapat disemai terlebih
dahulu di bak pasir selama 2-3 minggu untuk kemudian dipindah ke pembibitan tetap atau benih langsung ditanam
di pembibitan tetap dengan jarak 30 x 30 cm dengan 2-3 biji per lubang. Setelah tumbuh sebulan dipilih satu semai
terbaik per lubang untuk dipelihara. Bibit siap ditanam di kebun atau diokulasi terlebih dahulu ketika berumur 6-8
bulan dengan diameter 2 cm. Setelah 3-4 bulan bibit okulasi siap ditanam di kebun. Pemindahan dapat dilakukan
menggunakan bibit putaran atau bibit stump.
Pohon pelindung sebaiknya campuran antara pohon kapuk dan pohon legum sehingga diharapkan kesuburan tanah
dapat dijaga semantara pohon kapuk dapat memberi hasil serat. Di kebun kakao, kapuk ditanam sebagai pelindung
dengan jarak 9 x 9 m (populasi 123 pohon per hektar) dan lamtoro 6 x 9 m. Di kebun kopi, kapuk ditanam dengan
jarak 8 x 8 (populasi 156 pohon) sampai 12 x 12 m (69 pohon) sementara populasi dadap yang semula 4 x 4 dikurangi
sejumlah populasi kapuk tersebut.
Pada awal musim hujan, buah kapuk masak ditandai dengan warna buah yang menjadi coklat. Buah yang lewat
masak akan pecah dan serat kapuk akan bertaburan sehingga akan terbuang. Panen dilakukan dengan tangga untuk
menghindari duri-duri batang dan buah dikait dengan pisau tajam bergagang bambu panjang. Pada kebun kapuk
monokultur, produksi mencapai 4000 gelondong per pohon per tahun atau setara 15 – 20 kg serat. Di kebun kakao,
ketika kapuk sudah produktif berumur 7 tahun atau lebih hasil tidak akan kurang dari 500-600 kg serat per hektar.
Demikian juga kiranya produksi kapuk di kebun kopi akan memberikan hasil yang cukup besar bahkan dapat melebihi
perolehan pendapatan dari hasil kopi ketika harga kurang menguntungkan. Misalnya produksi kopi mencapai 1 ton
per hektar, harga Rp 7000 per kg maka pendapatan Rp 7 juta sementara dari kapuk diperoleh 0,5 ton dengan harga Rp
15.000 per kg memberikan pendapatan Rp 7,5 juta.
Pemasaran serat kapuk cukup baik, mengingat komoditas ini dibutuhkan dalam skala rumah tangga, industri
kecil, dan industri besar, dan pasar ekspor. Para pengrajin kapuk banyak terdapat, baik di pedesaan maupun perkotaan.
Dengan demikian serat kapuk merupakan komoditas perdagangan dan komoditas pengrajin kecil yang mendorong
peningkatan penghidupan perkebunan rakyat. Pada industri peralatan rumah tangga, serat kapuk digunakan untuk
Pohon Pelindung 105

membuat kasur, bantal, dan baju hangat. Di bidang industri umumnya, serat kapuk digunakan sebagai bahan isolator,
pengedap suara, dan pengapung.
Disamping itu buah kapuk menghasilkan biji kapuk yang di petani umumnya belum dimanfaatkan. Komposisi
buah kapuk adalah 44% kulit, 32% biji, 17% serat, dan 7% plasenta (hati). Jika dihasilkan 500 kg serat kapuk, maka
diperoleh hasil biji 941 kg yang biasanya hanya dibuang percuma. Dalam pemisahan serat kapuk, harus bersih dari biji
dan hati yang menentukan kualitas produk. Biji kapuk disukai oleh tikus sehingga produk sering dirusak tikus.
Biji kapuk mengandung minyak nabati dapat diolah menjadi minyak goreng, margarin, dan minyak untuk bahan
baku industri sabun, deterjen, pernis, cat, atau bahan bakar. Kandungan minyak biji kapuk tidak setinggi kelapa
namun memiliki kualitas gizi dan rasa yang lebih baik daripada minyak kelapa. Jika industri pengolahan biji kapuk
sudah berkembang maka petani akan terdorong untuk mengumpulkan biji kapuk karena ada harganya dan dapat dijual
kepada pedagang pengumpul.
Cempaka
Pohon cempaka (Michelia champaca) termasuk famili Magnoliaceae merupakan salah satu jenis pohon penghasil
kayu cempaka dari 50 spesies genus Michelia. Selain itu Elmerrillia ovalis yang juga famili Magnoliaceae merupakan
penghasil kayu dengan nama komersial kayu cempaka. Pohon cempaka sebagai penghasil kayu komersial dengan
keawetan kelas II banyak ditanam di perkebunan rakyat terutama sejak adanya program Hutan Kemasyarakatan
(HKm) dan Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan).
Pohon cempaka merupakan pohon yang selalu menghijau sepanjang tahun, tidak ada musim gugur daun, tinggi
mencapai 15-25 m, tumbuh di pinggir hutan pada tanah yang subur pada ketinggian 25-1500 m dpl dengan curah
hujan 1000-2000 mm per tahun. Perbanyakan dapat dilakukan dengan mudah melalui biji yang akan tumbuh kurang
lebih 3 bulan sesudah biji disebar dan dalam waktu 4 - 5 tahun pohon telah menghasilkan bunga.
Ditanam di kebun sebagai pohon multifungsi, sebagai penaung, penghasil bunga, dan terutama sebagai penghasil
kayu komersial. Pada umur 30 tahun, pada saat kebun dibongkar untuk diremajakan, pohon sencapai diameter 60 cm
dengan produksi kayu total mencapai 5 m3 per pohon. Petani menyukai menanam pohon ini karena cepat tumbuh,
mudah dirawat, dan harga kayu tinggi.

8.4 Pisang Sebagai Penaung Sementara


Pisang merupakan tanaman yang umum ditanam pada awal pembukaan perkebunan rakyat dataran rendah sampai
sedang seperti kebun karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, dan lada. Tanaman ini mampu memberikan naungan
secara stabil kepada tanaman muda dan memberikan kelembaban tanah yang baik karena batang pisang banyak
mengandung air. Tanaman ini berfungsi ganda yaitu sebagai tanaman penaung sementara dan sebagai tanaman yang
memberikan hasil, sementara tanaman pokok belum menghasilkan. Pohon pisang relatif mudah tumbuh sehingga
cepat menutupi lahan yang memberi naungan terhadap tanaman pokok serta menekan pertumbuhan gulma.
Ketika tanaman pokok sudah tumbuh kuat dan mulai berbunga, populasi pisang sebaiknya dikurangi secara
bertahap dengan memilih rumpun atau pohon yang kurang baik pertumbuhannya. Sebuah rumpun pisang cukup sulit
dimatikan dengan cara ditebang melainkan harus dibongkar bonggolnya atau dapat dengan cara ditugal inti batang
yang sudah ditebang dan dituangi minyak tanah 2,5 ml per batang, atau anakan diberi tetesan herbisida 2,4 D amine
0,5% dari sela pucuk daun. Apabila hasil pisang tetap menguntungkan dan gangguan terhadap tanaman pokok dapat
diminimalkan maka tanaman pisang dipertahankan sehingga membentuk kebun campuran, kopi – pisang, kakao –
pisang, atau cengkeh – pisang. Dari anakan sampai panen membutuhkan waktu setahun, namun sudah anakan muncul
ketika pohon induk masih remaja atau sebelum berbunga. Umumnya kebun pisang dapat dipanen sekali setiap bulan
dengan memilih buah-buah yang sudah tua.
106 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

8.5 Penanaman Pohon Pelindung


Pohon pelindung umumnya ditanam dari biji atau setek. Pada jenis pohon pelindung yang sulit menghasilkan
biji maka perbanyakan dapat menggunakan stek, misalnya gamal dapat ditanam menggunakan stek. Pohon dadap
banyak menghasilkan biji, namun stek juga sering digunakan sebagai bahan tanam agar pohon cepat besar dan cepat
melindungi tanaman pokok. Penanaman dadap menggunakan bibit asal biji (zailing) akan menghasilkan pohon dadap
yang berperakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang dan tidak berkompetisi dengan tanaman pokok dalam
menyerap air dan unsur hara. Pembibitan dadap dilakukan dengan menyemai langsung benih di dalam polibag dan
dalam waktu 5 bulan siap untuk di tanam.
Jenis lamtoro yang banyak menghasilkan biji, misalnya petai cina, kurang disukai sebagai pohon penaung
karena banyaknya biji yang dihasilkan akan tumbuh menjadi anakan yang yang sulit dikendalikan. Anakan petani
cina berperakaran dalam sehingga perlu didongkel, dan jika hanya dibabat akan tumbuh kembali dan perakarannya
semakin kuat. Oleh karena itu dikembangkan jenis lamtoro yang sedikit atau tidak menghasilkan biji misalnya lamtoro
klon L 19 dan L 21 (hasil persilangan (L. glauca x L. pulverulenta), dan klon L2 (bersilangan L. Glauca x L. gabrata)
yang tidak menghasilkan biji sehingga perbanyakannya menggunakan stek atau okulasi menggunakan petani cina
sebagai batang bawah.
Penanaman pohon pelindung tidak boleh satu barisan dengan tanaman pokok. Pengaturan diperlukan agar
populasi tanaman pokok dan pohon pelindung dapat optimum. Pada tanaman pokok TBM, perbandingan populasi
tanaman pokok dengan tanaman pelindung bervariasi sekitar 1:2 sampai 1:4. Setelah tanaman pokok semakin besar
maka populasi pohon pelindung perlu dikurangi.
o o o o o o o o
X v x x x
o o o o o o o o
v
o o o o o o o o
X v x x x
o o o o o o o o
v
o o o o o o o o
X v x x x
o o o o o o o o
(A) (B)
Gambar 17. Pola penanaman pohon pelindung tetap dan sementara: (A) jarak tanam kakao (o) 3 x 3 m dan
lamtoro (x) 6 x 6 m, dan pisang (v) 6 x 3 m, (B) jarak tanam kopi (o) 2 x 2 m dan dadap (x) 4 x 4 m

8.6 Pemangkasan Pohon Pelindung


Pohon pelindung tetap ataupun tanaman pelindung sementara perlu sering dipangkas untuk mengatur mahkota,
percabangan, serta tingkat penaungan. Dengan pemangkasan juga mengendalikan kelembaban kebun agar tidak
mendorong berkembangnya hama dan penyakit, mengendalikan percabangan agar tidak terlalu besar dan rimbun,
mengendalikan pertumbuhan agar pohon tetap tidak merontokkan seluruh daun dan berbunga. Memangkas pohon
pelindung merupakan panen biomassa pohon pelindung sebagai sumber bahan organik atau pakan ternak.
Memangkas pohon pelindung merupakan upaya meningkatkan intensitas sinar matahari yang masuk ke tajuk
tanaman pokok sehingga terdorong untuk berbunga lebat. Penaungan oleh pohon pelindung dapat menurunkan
Pohon Pelindung 107

produksi tanaman pokok dalam jangka pendek. Pembongkaran pohon naungan, produksi akan terdorong meningkat
yang jika tanpa diikuti dengan pemupukan yang cukup, berarti akan menguras unsur hara sehingga tanah akan cepat
menurun kesuburannya. Dalam jangka panjang, dengan menurunnya kesuburan tanah maka produktivitas tanaman
pokok akan semakin menurun atau untuk mempertahankan tingkat produksi tertentu membutuhkan dosis pupuk
yang lebih banyak. Pada perkebunan yang intensif monokultur, maka dosis pupuk cenderung perlu terus meningkat
yang merupakan indikasi pengurasan unsur hara pada sistem produksi tersebut sehingga daya dukung lahan semakin
menurun.
Penaungan pohon pelindung pada tingkat berat menyebabkan tanaman pokok tidak responsif terhadap
pemupukan. Terkait dengan hal tersebut, kurangnya pemangkasan pohon pelindung akan menyebabkan tanaman
pokok tidak responsif terhadap pemupukan. Tidak responsif terhadap pupuk artinya pemberian pupuk tidak diikuti
oleh peningkatan produksi. Dengan dosis pupuk yang cukup, namun keadaan sinar matahari tidak cukup mendukung
maka pertumbuhan dan produksi tanaman tidak meningkat. Oleh karena itu mengurangi tingkat naungan dengan cara
mengurangi cabang dan tajuk pohon pelindung perlu dilakukan dengan pemangkasan rutin sehingga tanaman pokok
mendapat cukup sinar. Pada keadaan sinar yang cukup maka pemupukan akan meningkatkan produksi.
Pemangkasan pohon pelindung secara berat di musim hujan diduga dapat mengurangi kompetisi antara tanaman
pokok dengan pohon pelindung. Dengan pemangkasan berat, perakaran pohon pelindung akan kurang mendapat
pasokan makanan dari daun sehingga pertumbuhan akar dan aktivitas penyerapan air dan unsur hara akan menurun.
Pada periode 2-3 minggu setelah pemangkasan berat, merupakan saat yang tepat untuk pemupukan tanaman pokok
yang efisien.

8.7 Pengaruh Pohon Pelindung Terhadap Produksi


Respon tanaman suka naungan terhadap pohon pelindung bergantung pada jenis tanaman pokok, jenis pohon
pelindung, serta keadaan tanah dan iklim. Tanaman kopi, kakao, lada, dan teh dapat berproduksi lebih tinggi apabila
ditanam tanpa pohon pelindung atau tanpa naungan. Untuk mendorong produktivitas yang tinggi, perkebunan teh
semakin mengurangi penanaman pohon pelindung. Tanaman kopi di dataran rendah yang tanpa pohon pelindung
terlihat daunnya menguning dan produktivitas kurang baik. Menguningnya daun ini terjadi mengkin karena fotooksidasi
klorofil, kekurangan air, atau kekurangan unsur hara seperti nitrogen dan magnesium. Kandungan klorofil daun kopi
tanpa pohon naungan lebih rendah daripada daun kopi bernaungan. Respon tanaman kopi terhadap pohon pelindung
terkait dengan tingkat penaungan yang diberikan oleh pohon pelindung. Semakin berat tingkat penaungan semakin
rendah produksi kopi sehingga perlu dipilih pohon pelindung yang memberikan tingkat naungan ringan sampai sedang
atau pelindung dipangkas dengan rutin.

Gambar 18. Pengaruh naungan terhadap produktivitas kopi


108 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tanaman kopi Arabika var. Typica menjadi tidak respon terhadap pemupukan apabila tanaman pohon pelindung.
Di tanah pasiran di Bangka, tanaman lada varietas LDL-N2 berproduksi lebih tinggi apabila ditanam dengan pohon
pelindung. Sementara itu varietas LDL-N4 berproduksi lebih tinggi apabila menggunakan pohon dadap sebagai tajar
karena akar dadap menghasilkan senyawa yang bersifat nematisida yang akan menekan serangan nematoda.
Tabel 38. Interaksi pemupukan dan pohon pelindung

Produktivitas
Perlakuan kopi
Tanpa pemupukan Dipupuk
Kopi var Bourbon
Dengan pohon pelindung 176 223
Tanpa pohon pelindung 449 666
Kopi var Typica
Dengan pohon pelindung 163 162
Tanpa pohon pelindung 250 464

Sumber: Nur (1982)


Tabel 39. Pengaruh jenis pelindung terhadap produktivitas lada

Panjatan lada Lada var LDL-N2 Lada var LDL-N4


Beton 2,70 9,77
Kayu 4,87 9.77
Pohon kapuk 6,12 8,42
Pohon gamal 13,10 7,27
Pohon dadap 6,17 12,67

Sumber: Zaubin et al. (1990)

DAFTAR PUSTAKA
Atmawinata, O., A. Prawoto, dan S. Mawardi. 1996. Pemanfaatan pisang untuk penaung kakao muda di lahan kering.
Prosid. Simposium Nasional dan Kongres VI Peragi. Hlm. 453-458.
Evizal, R and F.E. Prasmatiwi. 2005. Economic potentials of legume crops in plantation management. In B. Arifin, H.
Ismono, and M. Utomo (Eds.). The Future Use of Legume Nodulating Bacteria (LNB) in Indonesia Technical and
Economic Perspectives. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Pp. 62-72.
Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, D. Widianto. 2009a. Layanan lingkungan pohon pelindung pada
sumbangan N dan produktivitas agroekosistem kopi. Pelita Perkebunan 25: 23-37.
Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, D. Widianto. 2009b. Biomass production of shade-grown coffee
agroecosystems. Proc. International Seminar on Biomass Production and Utilization: Challenges and Opportunities.
The University of Lampung, August 3-4.
Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, D. Widianto. 2010. Penilaian pohon legum pelindung kopi berdasarkan
keragaman genetik, produktivitas, dan aktivitas bintil akar. Prosiding Seminar Nasional Keragaman Hayati Tanah
I. Hlm. 228-234.
Pohon Pelindung 109

Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, F. E. Prasmatiwi, Afandi. 2010. Pengaruh tipe agroekosistem terhadap
produktivitas dan keberlanjutan usahatani kopi. Jurnal Agrotropika 15(1): 17-22.
Garrity, D.P., M. Soekardi, M.van Noordwijk, R. de la Cruz,, P.S. Pathak, H.P.M. Gunasena, N. van So, G. Huijun,
and N.M. Majid. 1977. The imperata grasslands of tropical Asia: area, distribution, and typology. In Agroforestry
Innovations for Imperata Grassland Rehabilitation. Kluwer Acad. Publ. London. Pp. 3-29.
Hairiah, K., Widianto, S.R. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, S.M. Sitompul, B. Lusiana, R. Mulia, dan M. van
Noordwijk. 2000. Pengelolaan tanah masam secara biologi, refleksi pengalaman di Lampung Utara. ICRAF.
Bogor.
Macdicken, K.G., K. Hairiah, A. Otsamo, B. Duguma, and N.M. Majid. 1997. Shade-based control of Imperata
cylindrica: tree fallows and cover crops. In Agroforestry Innovations for Imperata Grassland Rehabilitation.
Kluwer Acad. Publ. London. Pp. 131-149.
Martoatmodjo, R.S., I. Lamid, Soemartono. 1983. Gamal Pohon Serbaguna. Balai Pustaka. Jakarta.
Nur, A.M. 1982. Pembongkaran pohon naungan kebun kopi: Beberapa masalah yang mungkin timbul. Menara
Perkebunan 50(5): 115-119.
PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Prawoto, A.A. 2008. Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu
industri. Pelita Perkebunan 24: 1-21.
Rowe, E.C., M. van Noordwijk, D. Suprayogo, K. Hairiah, K.E. Giller, G. Cadisch. 2001. Root distributions partially
explain 15N uptake patters in Gliricidia and Peltophorum hedgerow intercropping systems. Plant Soil 235: 167-
179.
Snoeck, D., F. Zapata, and A. Domenach. 2000. Isotopic evidence of the transfer of nitrogen fixed by legumes to coffee
trees. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 4: 95-100.
Supriyatno. 1981. Lamtoro Gung dan Manfaatnya. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Wahid, P. 1984. Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi lada (Piper nigrum L.).
Disertasi IPB. Bogor.
Werner, D. and W.E. Newton. 2005. Nitrogen Fixation in Agriculture, Forestry, Ecology, and Environment. Springer.
Dordrecht.
Young, A. 1990. Agroforestry for Soil Conservation. CAB International. Wallingford.
Zaubin, R. 1993. Pemanfaatan pohon penegak pada usahatani lada. Media Komunikasi Littri (11): 27-32.
110 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 111

BAB IX
PERTANAMAN CAMPURAN
DI PERKEBUNAN

S istem kebun campuran adalah sistem pertanian (farming system) dimana sebidang kebun ditanami lebih dari satu
komoditas pokok, baik berupa tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Sistem kebun campuran merupakan
ciri khas perkebunan rakyat dimana petani mengusahakan lahannya untuk memenuhi kebutuhan baik sumber uang tunai
maupun sumber pangan, sayur, buah, bumbu, dan obat bagi keluarga. Kebun campuran merupakan ciri perkebunan
tradisional atau gabungan antara perkebunan yang berciri usaha tanaman industri dengan usahatani subsisten. Kebun
campuran juga merupakan ciri kebun alami di daerah tropis dimana sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun
dan curah hujan yang besar mampu mendukung pertumbuhan berbagai jenis pepohonan dalam satu lahan secara
bersamaan.
Kebun campuran merupakan basis sistem perkebunan berkelanjutan dan ketahanan pangan dengan penerapan
pola tanam (cropping system) berbasis pertanaman pohon (tree crops). Sistem ini memanfaatkan lahan secara optimal
baik secara horizontal maupun vertikal dengan mempertimbangkan habitus komoditas dan pengaturan tanam sehingga
terbentuk sistem multistrata. Secara umum strata vegetasi dapat dibagi menjadi strata atas, strata tengah, dan strata
bawah. Tanaman strata atas adalah tanaman berupa pohon dengan tajuk yang tinggi seperti kelapa, karet, durian,
kapuk, dan berbagai pohon pelindung. Pada strata tengah terdapat pohon atau tanaman bertajuk sedang dari berbagai
komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, cengkeh, pisang, pala, lada, vanili, kayu manis, jeruk, dan jambu biji. Strata
bawah diisi oleh tanaman berbagai tanaman perdu dan herba terutama yang toleran terhadap naungan dari kelompok
rempah (laos, kapulaga, jahe, kencur), pangan (ubi rambat, ganyong), sayur (cabe rawit) dan buah (nanas).
Kebun campuran merupakan upaya optimasi pemanfaatan lahan baik pada saat tanaman pokok masih kecil
maupun setelah pohon tumbuh besar. Misalnya pada pertanaman kelapa dalam, dengan jarak tanam 9 x 9 m, maka di
sela tanaman kelapa terdapat ruang yang lebar untuk bertanam komoditas lain. Secara horizontal, perakaran efektif
tanaman kelapa adalah pada radius 2 m dan secara vertikal pada kedalaman 30-150 cm. Artinya pengolahan tanah di
luas zona perakaran efektif tersebut tidak akan mengganggu tanaman kelapa. Dengan demikian pemanfaatan lahan
oleh pertanaman kelapa adalah 15,5% dengan perhitungan berikut ini.
3,14× 2× 2
Pemanfaatan = = 0,155
9×9

Tipe pertanaman campuran di perkebunan dapat dibedakan menjadi (1) pertanaman awal (precropping), (2)
pertanaman sela (intercropping), (3) pohon campuran, (4) agroforestri. Secara skematis, pola tanam tipe pertanaman
kebun campuran disajikan pada Gambar 19. Pola tanaman tipe pertanaman tersebut misalnya (1) jagung – karet,
112 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

(2) karet + (jagung-jagung), (3) karet + kakao, (4) karet + jati. Pemilihan pohon pada pertanaman campuran perlu
mendasarkan diri pada prinsip strata pohon, juga perlu mempertimbangkan sinergi antarpohon. Misalnya satu jenis
pohon memerlukan naungan, sementara pohon yang lain dapat berfungsi memberi naungan. Contoh lain, satu jenis
tanaman perlu panjatan untuk tumbuh memanjat, sementara pohon yang lain dapat berfungsi sebagai pohon panjat.

Gambar 19. Pola tanam pada kebun campuran

9.1 Tanaman Awal


Setelah lahan dibersihkan dan diolah, lahan harus segera ditanami, jika tidak ingin lahan segara tertutup gulma
kembali. Pada perkebunan besar lahan kemudian ditanami LCC atau pohon pelindungsementara dan pelindung tetap.
Di perkebunan rakyat, terutama lahan bukaan baru yang subur, sebelum penanaman tanaman perkebunan dilakukan
penanaman tanaman semusim baik padi gogo, palawija, maupun sayur. Setelah beberapa musim panen, dan hasil
panen semakin kurang memuaskan, petani mulai menanam tanaman perkebunan atau pohon pelindung apabila
diperlukan. Penanaman LCC bagi petani kurang memberikan keuntungan karena petani tidak memperoleh penghasilan
dari LCC tersebut, lahan tidak bisa lagi dimanfaatkan, sementara LCC dan tanaman perkebunan terus memerlukan
pemeliharaan.
Seringkali penanaman komoditas perkebunan dilakukan ketika tanaman awal (precropping) belum panen. Sistem
ini mirip seperti sistem tanaman sela di perkebunan, namun pada precropping, tanaman perkebunan disisipkan pada
pertanaman semusim tersebut. Selanjutnya pola ini merupakan awal dari sistem tanam sela di perkebunan atau dapat
dikatakan terjadi overlapping antara tanaman awal atau tanaman sela.
Pembangunan kebun untuk komoditas yang memerlukan pohon pelindung seperti lada, vanili, dan kakao
membutuhkan waktu sekitar 1 tahun menunggu pohon pelindung cukup besar. Waktu tunggu ini dimanfaatkan untuk
menanam tanaman semusim sampai 23 masa panen. Produksi tanaman precropping di sela pohon pelindung ini tentu
akan lebih rendah daripada precropping di lahan terbuka. Lubis dan Panjaitan (1988) melaporkan produksi precropping
(pola tanam kacang kedelaikacang tanahjagung) di sela pohon pelindung lamtoro dan flemingia lebih rendah daripada
jika hanya disela lamtoro.
Pengaruh langsung precropping terhadap tanaman pokok tidak ada namun dapat dilihat pengaruh tidak langsung
yaitu terhadap perubahan keadaan tanah. Penanaman tanaman padi gogo dan sayuran di lahan bukaan sistem tebasbakar
menyebabkan kandungan bahan organik cepat menurun, namun sisa pohon dan perakaran di dalam tanah mulai lapuk
yang mempermudah pengelolaan lahan dan penanaman tanaman perkebunan. Pengolahan tanah untuk penanaman
tanaman awal sayuran sekaligus berarti menyiapkan lahan untuk penanaman tanaman pokok karena tanah menjadi
lebih gembur dan menekan gulma tahunan dan gulma berbahaya menjadi lebih banyak gulma lunak. Tujuan paling
utama adalah mengamankan ketersediaan pangan dan pendapatan bagi petani.
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 113

Pola penyisipan tanaman karet di lahan tanaman pangan dilakukan oleh pekebun karet rakyat. Di daerah yang
terpencil dan petani masih melakukan sistem perladangan maka pembangunan kebun karet masih terkait dengan
sistem ladang berpindah. Setelah dilakukan pembukaan lahan dengan tebas dan bakar, lahan ditanami tanaman pangan
dan karet ditanam secara bersamaan. Tanpa adanya pemberian pupuk, produksi tanaman pangan dalam 23 musim
sudah tidak menguntungkan lagi maka kebun karetnya ditinggalkan bera. Penyisipan tanaman karet semacam ini
kurang memperhatikan pengaturan jarak tanam yang baik. Kebun karet selanjutnya tidak dipelihara, sehingga kebun
dipenuhi alangalang dan semak. Pekebun baru kembali lagi setelah tanaman karet mencapai matang sadap yaitu pada
umur sekitar 10 tahun dengan produksi sangat rendah karena banyak pohon karet yang mati.

9.2 Tanaman Sela di Kebun TBM


Manfaat Tanaman Sela
Tanam sela (intercropping) memanfaatkan lahan kosong di sela tanaman perkebunan yang masih muda untuk
bertanam tanaman semusim dan berarti meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Efisiensi penggunaan lahan yang
rendah ini terjadi karena jarak tanam bibit tanaman perkebunan umumnya sama dengan jarak tanam ketika tanaman
dewasa dan tajuk belum saling menutupi. Areal lahan TBM yang terbuka tersebut mempercepat perkembangan gulma
dan menimbulkan bahaya erosi.
Biaya pemeliharaan kebun 34 tahun sampai tanaman mulai menghasilkan merupakan masalah yang berat bagi
petani yang bermodal terbatas. Sistem tanam sela merupakan cara pembangunan perkebunan biaya rendah dan
mungkin merupakan perkembangan dari sistem pembangunan kebunladang berpindah. Hal ini karena tanam sela
memberi sumber penghasilan bagi petani sebelum tanaman pokok berproduksi, membuat kebun lebih terawat, menekan
biaya pemeliharaan tanaman pokok, dan mendorong pertumbuhan tanaman pokok atau minimal tidak menghambat
pertumbuhan tanaman pokok, dan limbah panen tanaman sela merupakan sumber mulsa atau bahan organik.
Biaya pemeliharaan kebun menjadi lebih rendah karena gulma menjadi tertekan, dan semua tindakan pemeliharaan
tanaman sela berimbas positif terhadap tanaman pokok seperti pengolahan tanah, pemupukan, pemulsaan, pengendalian
hama dan penyakit, atau dapat dikatakan bahwa sebagian biaya perawatan tanaman pokok dibebankan kepada biaya
tanam sela. Dengan demikian petani berlahan sempit dapat memiliki kebun sementara kebutuhan hidup harian dapat
dipenuhi. Apabila berlahan cukup luas, petani dapat menetapkan bagian lahan untuk tanaman semusim dan bagian
untuk kebun tahunan, sampai saatnya nanti menggilir bagian lahan kebunpangan tersebut, sebagai pengembangan
lanjut sistem ladang berpindah.
Perkebunan rakyat banyak yang berupa tanaman tua yang kurang produktif, dan tidak terawat. Sebagai contoh
adalah kebun kopi, kelapa, dan karet rakyat di Sumatera Selatan dan Jambi. Untuk menekan biaya, maka pemeliharaan
hampir tidak dilakukan kecuali pengendalian gulma. Pekebun datang ke kebun terutama hanya untuk mengambil
hasil. Karena tekanan ekonomi keluarga dan kekurangan biaya, pekebun tidak dapat melakukan peremajaan. Bahkan
sering terjadi pohon karet dan kelapa yang tua ditebang untuk dijual sebagai kayu mebeler, pengemas, maupun kayu
bangunan.
Agar pekebun dapat melakukan peremajaan atau penanaman baru, dalam kondisi keuangan yang terbatas, petani
disarankan mengusahaan tanaman sela di kebun muda. Penjualan kayu karet dan keuntungan dari penanaman sela
dapat menutupi seluruh biaya peremajaan karet. Tanaman yang diusahakan perlu dipilih yang mempunyai prospek
pasar yang baik misalnya semangka dan cabe.
Perluasan areal perkebunan besar semakin sulit karena ketersediaan lahan kosong semakin sedikit. Pembangunan
perkebunan pola PIR di lahan sekitar perkebunan besar merupakan salah satu alternatif. Petani mendapatkan kredit bibit
perkebunan, saprodi, dan bimbingan teknis dari perkebunan inti sekaligus dapat meneruskan usahatani semusimnya
di lahan yang sama.
114 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tanaman Sela di Kebun TBM Kelapa Sawit


Di PTPN VII, Harahap (1997) melaporkan keberhasilan penanaman padi gogo dan jagung sebagai tanaman sela
di kebun kelapa sawit muda. Kemudian setelah kelapa sawit berumur 5 tahun dimana tajuk kelapa sawit sudah saling
menutupi maka penanaman padi dan jagung sudah tidak memungkinkan lagi. Kehilangan penghasilan dari tanaman
sela ini mulai digantikan oleh penghasilan dari tanaman kelapa sawit sebagai tanaman pokok. Optimasi penggunaan
lahan kelapa sawit TM selanjutnya, pada umur 6 tahun dan seterusnya, di sela kelapa sawit dianjurkan penanaman
rumput pakan ternak. Lahan di sela kebun kelapa sawit seluas 1 ha mampu memberi makan 3 ekor sapi atau 10 ekor
kambing.
Tabel 40. Pendapatan bersih tanam sela di kebun sawit TM

Pendapatan (Rp/ha/tahun)
Tahun ke
Padi gogo Jagung Kelapa Sawit Jumlah
0 445.000 735.000 - 1.180.000
1 445.000 533.000 - 978.000
2 445.000 533.000 - 978.000
3 321.000 279.000 205.500 805.500
4 247.000 208.000 285.600 740.600
5 187.000 151.000 318.840 656.840
6 - - 886.600 886.600
7 - - 1.263.500 1.263.500
8 - - 1.648.240 1.648.240
9 - - 1.985.818 1.985.818

Sumber: Harahap (1997)


Tanaman sela di Kebun TBM Karet
Keadaan yang hampir serupa terjadi pada pembangunan perkebunan karet rakyat. Pada umumnya petani karet
rakyat mengusahakan kebunnya untuk mendukung penghasilannya dalam jangka panjang, di samping mereka juga
mengusahakan tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya baik sebelum tanaman karet menghasilkan
maupun sudah menghasilkan. Untuk itu pada 3 tahun pertama sebaiknya petani bertanam sela tanaman pangan di
kebun karet muda. Hal ini penting karena petani mendapatkan hasil dari tanaman pangan tersebut di samping sebagai
pendorong petani untuk tetap memelihara kebun karetnya. Setelah karet berumur 3 tahun maka padi dan jagung tidak
memungknkan lagi untuk diusahakan maka lahan ditanam dengan tanaman lain yang tahan naungan seperti kacang
tunggak dan pakan ternak.
Effendi (1984) menyarankan pola tanam sela di kebun karet muda di mulai dari awal musim hujan adalah
penanaman jagung ditumpangsarikan dengan padi gogo, disusul dengan kedelai atau kacang tanah, selanjutnya
disusul dengan kacang hijau, kacang uci, atau kacang tunggak. Pola ini dapat diulang selama 3 tahun, untuk tahun
keempat yang masih memungkinkan adalah kacang tunggak karena selain memberikan hasil juga merupakan LCC.
Di samping pola tanam tersebut di atas, Rosyid et al. (1996) menyarankan alternatif pola tanam (jagung
I + kedelai)(jagung II + kacang hijau)kacang tunggak. Musim tanam I diharapkan dimulai pada bulan September
mendahului tanaman karet yang baru dilakukan pada bulan November. Apabila ada kendala tenaga kerja dalam
keluarga maka pengelolaan lahan dilakukan secara bertahap yaitu pengusahaan lahan kebun karet seluas 0,5 ha.
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 115

Pemilihan tanaman sela perlu memperhatikan keadaan pasar. Tanaman sela alternatif yang memberikan keuntungan
yang baik di sela kebun karet muda adalah semangka dan cabe (Rosyid et al., 1993).
Produksi tanaman sela di TBM karet tentu bergantung kepada kesuburan tanah dan keadaan cuaca. Basuki (1988)
menyebutkan bahwa pada kebun karet tahun pertama dapat dicapai produktivitas jagung sebesar 0,9 ton/ha, padi gogo
1,82 ton/ha, kedelai 0,94 ton/ha, dan kacang tunggak 1,24 ton/ha. Produktivitas akan terus menurun dengan semakin
bertambahnya penaungan oleh tanaman karet. Rosyid et al. (1996) melaporkan produksi tanaman sela di kebun karet
umur 13 tahun sebagaimana di Tabel 41.
Tabel 41. Hasil panen tanaman sela di kebun karet TBM

Hasil panen (kg/ha)


Jenis Tanaman
Tahun I Tahun II Tahun III
Pola Tanam A
Jagung 1500 1200 900
Padi gogo 1900 1750 1200
Kedelai 1100 950 750
Kacang Tunggak 1250 1200 615
Pola Tanam B
Jagung I 900 750 650
Kedelai 1200 990 750
Jagung II 850 650 550
Kacang Hijau 950 850 700
Kacang Tunggak 900 850 650

Sumber: Rosyid et al. (1996)


Tanaman Sela di kebun TBM Kopi
Tanaman kopi banyak berada di daerah pegunungan karena komoditas ini menghendaki elevasi 400700 m untuk
kopi Robusta, dan kopi Arabika menghendaki elevasi 10001700 m dari permukaan laut. Dengan demikian komoditas
yang dipilih sebagai tanaman sela merupakan tanaman yang tumbuh baik di dataran tinggi yaitu tanaman pangan
seperti padi gogo, ketela rambat, dan jagung serta yang paling utama adalah aneka sayuran seperti kubis, kentang,
wortel, cabe, bawang daun, kacang buncis, kacang panjang, kacang kapri, dan seledri. Di Kabupaten Lampung Barat,
penanaman sela kubis banyak dilakukan petani dan memberikan hasil yang baik.
Sayuran merupakan komoditas andalan di daerah dataran tinggi. Selain memiliki kebun kopi, petani juga
umumnya mempunyai lahan untuk bertanam sayur. Apabila dirasakan sudah kurang subur, atau ingin meremajakan
kebun maka, petani pertanam sela di kebun kopi TBM dan setelah tidak memungkinkan lagi maka dibuka kebun
yang sudah kurang produktif lagi dan mulai bertanam sayur lagi. Model semacam ini merupakan perkembangan dari
“teknologi ladang berpindah” yang berintikan perotasian lahan hutan/kebun dengan lahan tanaman semusim untuk
memperoleh lahan yang subur.
Pada kebun kopi muda atau pada peremajaan kebun kopi terdapat kesempatan minimal 12 tahun untuk bertanam
sayur sebelum tanaman kopi cukup besar dan saling menutupi. Sementara itu padi gogo ditanam sebelum kopi ditanam
atau sebagai tanaman awal. Tanaman sela dimungkinkan karena jarak tanam kopi cukup jauh yaitu sekitar 22,5 m.
Evizal et al. (1993) melaporkan pemanfaatan lahan di sela kebun TBM kopi untuk menanam kentang. Tanaman
116 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

kentang hendaknya diberi pupuk kandang 1020 ton per hektar agar produksi kentang baik dan pertumbuhan tanaman
kopi tidak terganggu. Produksi tanaman kentang semakin rendah dengan bertambahnya umur kopi, pada umur kopi 2
tahun produksi turun 50% dibandingkan tanpa naungan.
Tabel 42. Produksi tanaman kentang di sela kebun TBM kopi

Sistem kopi Bobot umbi per rumpun (g) Produksi per 24 m2 (kg)
Tanpa kopi 614,1 48,8
Kopi 1 tahun 380,6 30,8
Kopi 2 tahun 302,1 23,5

Sumber: Evizal et al. (1993)


Tanaman Sela di Kebun Tebu
Tumpangsari atau “tanam sela” tanaman semusim dengan tebu hanya dimungkinkan sampai umur tebu 2 bulan
ketika tanaman tebu masih kecil. Setek tebu memerlukan waktu untuk berkecambah selama 23 minggu setelah tanam.
Pertumbuhan awal tebu pada bulan pertama berlangsung lambat, selanjutnya akan cepat dan saling menutupi. Oleh
karena itu pemanfaatan lahan di sela tanaman tebu perlu memperhatikan: (1) penanaman tanaman sela harus dilakukan
segera setelah penanaman tebu; (2) benih tanaman sela harus dipastikan berdaya tumbuh tinggi dan cepat tumbuh ;
(3) berumur pendek sekitar 2 bulan. Produksi tebu di lahan kering hanya 5070% daripada tebu lahan sawah dan umur
tanaman tebu yang mencapai hampir 1 tahun membuat usahatani tebu baik da lahan kering maupun di lahan sawah
menjadi kurang menarik bagi petani. Penanaman tanaman sela diharapkan dapat menambah pendapatan petani tebu.
Jadwal tanam yang ketat sejak penanaman tebu sampai tanam sela merupakan kendala. Keterlambatan penanaman
akan sangat menurunkan hasil tanaman sela karena tanaman tebu sudah saling menutupi. Indarto et al. (1993)
melaporkan produksi kedelai di sela tebu muda di lahan kering tidak sampai 1 kuintal per hektar karena keterlambatan
tanam serta lahan tersebut belum pernah ditanami kedelai dan inokulasi yang kurang berhasil. Selain kedelai, telah
dicobakan pula menanam kacang kapri di sela tanaman tebu muda (Indarto dan Evizal, 1995). Hasil kapri tertinggi
yaitu 260 kg/ha dicapai apabila tanaman kapri diberi pupuk kandang 10 ton/ha dan pupuk N 28 kg, P2O5 96 kg, dan
K2O 66 kg per hektar.
Pengaruh Tanaman Sela terhadap Pertumbuhan TBM
Apabila dilihat dari aspek tanah, dilaporkan bahwa tanah kebun karet yang ditanami tanaman sela tidak berkurang
kesuburannya. Kandungan N relatif stabil, kandungan P cenderung meningkat terutama apabila tanaman sela diberi
pupuk kandang (Rosyid et al., 1993). Indarto et al. (1993) melaporkan bahwa keuntungan adanya tanaman sela kedelai
di kebun tebu adalah pupuk yang diberikan pada tanaman kedelai akan meningggalkan residu terutama unsur P dan
K. Adanya residu serta limbah biomassa setelah panen diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pokok
atau minimal tidak menghambat pertumbuhan tanaman pokok.
Tabel 43. Pengaruh berbagai tanaman sela terhadap pertumbuhan tanaman karet

Diameter batang Tinggi tanaman


Pola Tanam Sela
(umur 15 bulan) (umur 6 bulan)
Semangka-jagung 33,6 151,5
Jagung-semangka 37,5 186,8
Semangka 38,5 159,8
Jagung 39,6 190,7
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 117

Diameter batang Tinggi tanaman


Pola Tanam Sela
(umur 15 bulan) (umur 6 bulan)
Jagung-kedelai 37,5 117,5
LCC 22,6 98,7
Kontrol 21,6 130,6

Sumber: Rosyid et al. (1993)


Tanaman sela kentang, cabe, tomat, atau buncis di kebun kopi muda tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
tanaman kopi bahkan berpengaruh baik bagi pertumbuhan kopi. Hal ini terutama karena pengaruh pemberian pupuk
kandang dan pupuk buatan yang juga dimanfaatkan oleh tanaman kopi. Tanaman kopi yang bertanaman sela sayur akan
berdaun hijau, tumbuh cepat, banyak cabang, dan cepat berbuah. Oleh karena itu petani kopi umumnya membangun
kebun kopi dengan pola tanaman sela.
Tanaman kopi mempunyai perakaran yang intensif terutama di daerah dekat batang dan dekat permukaan tanah.
Hasil pengamatan perakaran kopi umur 1 tahun menunjukkan akar lateral mencapai 42 cm dari pohon, akar lateral kopi
umur 2 tahun mencapai 130 cm dari pohon. Perakaran dengan akarakar rambut yang berwarna putih sangat intensif
dari dekat permukaan tanah sampai kedalaman 15 cm. Pengolahan tanah di sela tanaman kopi untuk penanaman
kentang merusak sejumlah akar kopi. Akan tetapi kerusakan itu tidak sampai mengganggu pertumbuhan tanaman
kopi sampai umur 2 tahun. Lebih dari umur tersebut petani menghawatirkan terganggunya tanaman kopi sehingga
memperlambat awal masa berbuah.

9.3. Tanaman Sela di Kebun TM


Setelah tanaman perkebunan tumbuh besar dan berbuah, tajuk pohon saling menutupi dan sinar yang lolos ke
bawah tajuk semakin kecil. Pada kondisi yang ternaungi tersebut tidak banyak jenis tumbuhan yang mampu bertahan
hidup. Gulma semakin berkurang, tinggal gulma yang tahan naungan; LCC semakin berkurang dan tinggal LCC tahan
naungan seperti Cc. Di perkebunan rakyat lahan kebun produktif ini sangat jarang diusahakan tanaman sela.
Tanaman perkebunan yang mencapai tahap reproduktif, tajuknya mencapai ukuran yang penuh dan penaungan
di sela tanaman mencapai maksimum. Tanaman sela yang dipilih harus toleran terhadap naungan atau yang lebih
baik adalah tanaman yang menghendaki naungan. Walaupun bidang pemuliaan terus mengupayakan varietas yang
tahan naungan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa sangat sulit untuk mengembangkan varietas unggul
tanaman semusim berdaya hasil tinggi yang toleran terhadap tingkat penyinaran matahari yang rendah. Oleh karena
itu penanaman tanaman sela semusim sangat jarang dilakukan. Tanaman sela yang umum ditanam di kebun produktif
adalah tanaman tahunan sehingga terbentuk kebun tanaman campuran. Tanaman tahunan yang dapat digunakan
sebagai tanaman campuran adalah kopi, lada, kakao, kayu manis, pisang, dan nenas. Sedangkan tanaman perkebunan
yang di selanya masih cocok untuk tanaman sela adalah pohon yang tajuknya tinggi, jarak tanam besar, dan tingkat
naungannya renggang. Saat ini tanaman pokok yang sering diusahakan tanaman sela di bawahnya terutama adalah
kelapa, selain tanaman pinang, lada, dan cengkeh.
Tanaman Sela di Kebun Kelapa TM
Kendatipun jarak tanam kelapa berkisar antara 7x7 m sampai 10x10 m namun zona perakaran efektif untuk pohon
kelapa dewasa hanya pada radius 2 m di sekitar pohon. Di tanah atas setebal 10 cm hampir tidak ada akar fungsional;
lebih dari 80% perakaran terdapat pada kedalaman 30130 cm. Berdasarkan luas perakaran efektif pada radius 2 m, jika
kelapa ditanam pada jarak 8 m maka hanya 20% lahan yang digunakan secara efektif di kebun kelapa. Intersepsi sinar
matahari oleh pohon kelapa bergantung pada varietas dan umur kelapa. Penaungan masih kecil ketika pohon kelapa
masih kecil, kemudian mencapai maksimum sekitar umur kelapa 1015 tahun, kemudian berangsurangsur menurun
kembali seiring dengan semakin meningginya pohon kelapa.
118 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Kelapa yang merupakan tanaman industri asli Indonesia diusahakan secara luas di seluruh propinsi terutama
sebagai perkebunan rakyat. Pada tahun 1992 luas perkebunan kelapa rakyat mencapai 3,41 juta hektar yang merupakan
komoditas perkebunan rakyat yang terluas, dengan demikian terdapat lahan seluas 2,5 juta ha lahan kebun kelapa yang
belum diusahakan secara efisien sehingga potensial untuk dimanfaatkan untuk tanaman sela.
Perkebunan kelapa rakyat umumnya kurang terawat, merupakan kebun tua yang sering merupakan kebun warisan
orang tua. Akibatnya produktivitas kebun rendah dan pendapatan utama pekebun kelapa seringkali berasal dari
usahatani di luar kelapa. Untuk itu penanaman di sela kebun kelapa diharapkan dapat: (1) meningkatkan produktivitas
lahan dan pendapatan petani, (2) meningkatkan produksi kelapa akibat praktik budidaya tanaman sela berimbas positif
kepada tanaman kelapa, (3) tanaman sela berfungsi sebagai penutup tanah, (4) tanaman sela dapat menekan serangan
hama kumbang kelapa, dan (5) kebun kelapa menjadi lebih terawat.

Sumber: Wood and Lass (2001)


Gambar 20. Penaungan (A) dan transmisi sinar matahari (B) di kebun kelapa
Berbagai jenis tanaman semusim dapat diusahakan di sela kebun kelapa misalnya padi gogo, jahe, singkong,
jagung, kacang tanah, ubi rambat, kacang hijau, dan kedelai (Akuba dan Mahmud, 1991). Produksi padi gogo semakin
menurun dengan meningkatnya penaungan. Produksi pada tingkat naungan 0% (tanpa naungan), 20%, 40%, dan 60%
berturutturut adalah 3,8 ton, 3,32 ton, 2,86 ton, dan 2,58 ton per hektar (Las, 1983). Rosyid et al. (1996) melaporkan
bahwa padi gogo yang ditanam di bawah naungan kebun karet muda mampu menghasilkan 4,1 ton/ha untuk varietas
Way Rarem dan 3,0 ton/ha untuk varietas Jatiluhur. Beberapa varietas padi gogo seperti Danau Atas, Way Rarem, dan
Jatiluhur relatif toleran untuk ditanam di sela kebun kelapa. Lahan di sela kelapa yang sudah lama tidak diusahakan
sebaiknya diolah terlebih dahulu untuk memudahkan penugalan benih dan mengurangi kompetisi dengan perakaran
kelapa. Varietas Way Rarem dapat berproduksi 3-4 ton gabah kering per hektar kebun kelapa. Budidaya tanaman
sela di kebun kelapa juga perlu dilakukan rotasi antara lain dengan tanaman legum dimana mulsa yang dihasilkan
dikembalikan ke dalam tanah untuk mempertahankan kesuburan tanah sebelum ditanam kembali dengan padi gogo.
Produksi kedelai di bawah naungan dengan pengurangan radiasi sebesar 45% seperti di bawah naungan kebun
kelapa akan menurunkan hasil sebesar 22% dibanding tanpa naungan yaitu menjadi 1,89 ton/ha. Produksi kacang
hijau dan jagung di bawah naungan juga relatif rendah. Produksi jahe yang merupakan tanaman suka naungan, di sela
kebun kelapa mencapai 6,5 ton/ha.
Tanaman Campuran di Kebun Kelapa
Tanaman tahunan yang dapat ditanam di sela kebun kelapa adalah kakao, kopi, pisang, salak, dan nanas. Pada
kebun campuran semacam ini kadang jarak tanam kelapa kurang teratur, yang menunjukkan bahwa tanaman kelapa
yang justru ditanam belakangan sebagai tanaman batas kebun dan tanaman yang diselipkan.
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 119

Pola tanaman kelapakakao merupakan pola campuran yang dianjurkan. Penanaman kedua komoditas ini secara
campuran tidak menurunkan produksi kedua tanaman bahkan produksi menjadi lebih baik. Keunggulan pohon kelapa
sebagai pelindung tanaman kakao adalah: (1) pada musim kemarau tanaman kelapa tidak meluruhkan daunnya; (2)
daun kelapa gugur secara teratur dan tidak perlu ada pemangkasan; (3) bentuk tajuk, dan keadaan batang dan akar
yang kuat mengakibatkan kelapa tumbuh baik pada daerah berangin kencang, sehingga berfungsi sebagai pematah
angin; (4) semut hitam (Dolichoderus thoracicus) suka hidup di tajuk kelapa dan berperan besar untuk mengendalikan
hama Helopeltis; (5) daundaun kelapa yang tua dapat dikurangi.
Tabel 44. Produksi kakao dengan pelindung kelapa dan lamtoro

1984 1985 1986 1987 1988 Rerata


Pelindung
(kg/ha)
Lamtoro 1.515 1.470 1.729 1.189 718 1.324
Kelapa 1.291 1.210 1.722 1.693 931 1.396

Sumber: Anwar et al. (1990)


Jika kelapa berjarak 9x9x9 m secara segi tiga, maka kakao ditanam 2 baris dalam lajur kelapa dengan jarak tanam
3x3 m secara segi empat. Dengan jarak antara kelapa dan kakao 3 m maka populasi kakao 1.100 pohon per ha. Pada
lahan kelapa dengan jarak tanam 10x10 m (segi empat), kakao ditanam 2 baris dalam lajur kelapa dengan jarak tanam
2x4 m (segi empat) dan jarak dengan kelapa 3 m sehingga populasi kakao juga 1.100 pohon/ha.
Dwiwarni et al. (1987) melaporkan berbagai alternatif tanaman sela di kebun kelapa seperti pola kelapa + kapuk
+ kakao, kelapa+ cengkeh + kecur, kelapa + kapuk + lada + jahe, kelapa + kakao + kayu manis+lada+ nanas, dan
kelapa+pisang+jagung. Penghasilan pada pola campuran selalu lebih tinggi daripada kelapa monokultur.
Produksi Kelapa Bertanaman Sela
Produksi tanaman kelapa tidak menurun jika dilakukan tanam sela baik tanaman semusim maupun tanaman
tahunan. Pada tanaman sela, pengolahan tanah tidak mengganggu pertumbuhan kelapa. Bahkan seringkali ditemukan
penanaman sela meningkatkan produksi kelapa. Hal ini diduga karena pada umumnya kelapa rakyat tidak dilakukan
pemupukan. Dengan adanya pemupukan tanaman sela maka tanaman kelapa juga akan ikut memanfaatkan pemupukan
dan pemeliharaan yang dilakukan terhadap tanaman sela.
Tabel 45. Produksi kelapa pada berbagai tanaman sela/campuran

Produksi kelapa Produksi dibandingkan


Tanaman sela
(butir/pohon) monokultur (%)
Kakao 90 150
Tapilan 51 113
Elephan Yams 59 151
Ketela pohon 49 126
Jahe 104 102

Sumber: Gomez dan Gomez (1983), Darmosarkoro (1990)


120 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 46. Produksi kelapa pada berbagai pola campuran

Produksi kelapa Bobot kopra


Pola campuran
(butir/pohon) (g/butir)
Kelapa + kakao + kapuk 22,4 274,7
Kelapa + cengkeh + kencur 23,4 275,1
Kelapa + kapuk + lada + jahe 21,7 267,5
Kelapa + kakao + kayu manis + Lada + nanas 25,9 272,5
Kelapa + pisang + jagung 23,0 269,3
Kelapa monokultur 19,8 270,5

Sumber: Dwiwarni et al. (1987)

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A. dan A. Mulyani. 2003. Pemanfaatan lahan berpotensi untuk pengembangan produksi kelapa. Jurnal
Litbang Pertanian 22(1): 24-32.
Adiningsih, J.S. and A.S. Karama. 2008. A sustainable upland farming system for Indonesia. FFTC. www.agnet.
org/index.php.
Akuba, R.H. dan Z. Mahmud. 1991. Coconut based farming system at pekarangan. Indust. Crops Res. 4(1): 33-42.
Anwar, S., S. Lubis, dan L.A. Napitupulu. 1990. Tumpangsari kakao-kelapa. Bul. Perkebunan 21(3): 159-174.
Darmijati, S. 1992. Pengaruh TSP terhadap kedelai pada beberapa intensitas radiasi surya. Penelitian Pertanian 12(3):
158-162.
Darmosarkoro. 1990. Pengaruh pengelolaan lahan di bawah kelapa terhadap produksi kelapa: Studi kasus tumpangsari
kelapa-jahe. Bul. Manggar 3(3): 5-8.
Djukri. 2006. Karakter tanaman dan produksi umbi talas sebagai tanaman sela di bawah tegakan karet. Biodiversitas
7(3): 256-259.
Dwiwarni, I. dan Y. Pujiharti. 1994. Pemanfaatan lahan di antara tanaman lada dengan tanaman pangan. Pemberitaan
Litri XX(1-2): 40-47.
Dwiwarni, I., J.T. Yuwono, dan S. Kemala. 1987. Pola tumpang-tangga di antara tanaman kelapa. Pemberitaan Littri
XII(3-4): 67-73.
Evizal, R., Indarto, dan W. Hanolo. 1995. Tanaman sela di kebun kopi muda: Pengaruh dosis pupuk kandang dan umur
tanaman kopi terhadap produksi kentang dan pertumbuhan kopi. Pros. Sem. Nas. Pengb. Wil. Lahan Kering.
Hlm. 344-354.
Evizal, R. S. Ramli, W. Hanolo. 1997. Sistem olah tanah di sela perkebunan kelapa untuk pertanaman padi gogo. J.
Tanah Trop. (4):
Evizal, R. 2000a. Rotasi tanaman padi gogo dengan leguminosa sebagai tanaman sela di kebun kelapa. J. Pen. Pengb.
Wil. Lahan Kering 22(1): 1-4.
Evizal, R. 2000b. Pola budidaya lada sistem panjatan hidup di Propinsi Lampung. Jurnal Agrotropika V(2): 14-19.
Gomez, A.A. and K.A. Gomez. 1983. Multiple Cropping in Humid Tropics of Asia. IDRC. Ottawa.
Pertanaman Campuran Di Perkebunan 121

Harahap, S. 1997. Optimasi pemanfaatan lahan kering bagi peningkatan kesejahteraan petani melalui kemitraan usaha
di lingkungan PTPN VII. Makalah pada seminar Peragi, di Bandar Lampung, 25-26 Februari. 12 hlm.
Indarto, R. Evizal, T.D. Andalasari, M.A. Pulung. 1995. Pemupukan urea-TSP-KCl pada kedelai yang ditumpangsarikan
dengan tebu. Pros. Sem. Nas. Pengb. Wil. Lahan Kering. Hlm. 433-438.
Indarto dan R. Evizal. 1995. Pemberian pupuk kandang dan pupuk NPK pada tanaman sela kapri di kebun tebu lahan
kering. J. Pen. Pengb. Wil. Lahan Kering (15): 51-58.
Karyanto, A., R. Evizal, Sugiatno. 2009. Effects of goat manure on growth, yield, and economic impacts of vegetable
intercrops in young coffee plantation. Proc. International Seminar on Horticulture to Support Food Security.
Lamid, Z. dan Adlis G. 1996. Eksistensi dan strategi peningkatan produktivitas padi gogo pada lahan kering masam.
Makalah pada Seminar Nasional II Pemberdayaan Wilayah Lahan Kering untuk Penyediaan Pangan Nasional
Abad XXI, di Bandar Lampung, tanggal 16-17 September.
Las, I. 1983. Efisiensi radiasi surya dan pengaruh naungan terhadap padi gogo. Pemberitaan pertanian 3(1): 30-35.
Lubis, S. dan A. Panjaitan. 1988. Produksi pre-cropping pada areal pertanaman kakao lindak. Bul. Perkebunan 19(2):
65-74.
Palnaja, C.M., N.M. Mokondongan, dan Y. Hutapea. 1992. Pola usahatani dengan dasar kelapa, palawija, buah-buahan,
dan tanaman ndustri lainnya. Laporan Tahunan No. 297/VIII. Balitka. Menado.
Rosyid, M.J., G. Wibawa, dan A. Gunawan. 1996. Peningkatan produktivitas lahan karet rakyat melalui penanaman
tanaman pangan sebagai tanaman sela. Makalah pada Seminar Nasional II Pemberdayaan Wilayah Lahan Kering
untuk Penyediaan Pangan Nasional Abad XXI, di Bandar Lampung, tanggal 16-17 September.
Ruskandini. 2003. Prospek usahatani jagung sebagai tanaman sela di antara tegakan kelapa. Buletin Teknik Pertanian
8(2): 55-59.
Samijan. 1996. Pengaruh tingkat intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan produksi beberapa varietas/galur padi
gogo. Prosid. Seminar Nasional dan Kongres VI Peragi. Hlm. 421-430.
Thampan, P.K. 1982. Handbook on Coconut Palm. Oxford. New Delhi.
Utomo, M. 1994. Potensi sinergi olah tanah konservasi dan tanaman sela pada tanaman perkebunan. Makalah pada
Seminar Manajemen Agribisnis, di Jakarta, tanggal 24 Juni.
Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 2001. Cocoa. Fourth Edition. Balckwell Science. London.

122 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 123

BAB X
PENGENDALIAN GULMA
DI PERKEBUNAN

G ulma merupakan masalah yang penting dalam usaha perkebunan sejak dari pembibitan, penyiapan lahan sampai
produksi. Apabila tidak dikendalikan, tanaman muda tidak akan tumbuh dengan baik bahkan dapat mengalami
kematian, dan tanaman dewasa menurun produksinya. Tanaman muda baik di pembibitan maupun di kebun tanaman
belum menghasilkan (TBM) merupakan fase pertumbuhan kritis terhadap gulma. Pada tanaman muda (TBM), gulma
berkembang cepat karena lahan masih terbuka dan cahaya matahari tersedia penuh sehingga mampu berkompetisi dan
mengalahkan tanaman budidaya. Pada kebun tanaman tahunan yang sudah menghasilkan (TM), pertumbuhan gulma
agak tertekan karena tajuk sudah saling menutupi.
Pengendalian gulma menelan biaya produksi yang besar terutama pada kebun muda, baik untuk biaya tenaga
maupun biaya herbisida dan selalu dilakukan sepanjang tahun. Pengendalian gulma yang baik merupakan ciri utama
usaha perkebunan yang intensif yang mudah dilihat. Kelancaran pekerjaan pemeliharaan dan pengelolaan yang lain
seperti pemupukan, pengendalian hamapenyakit, pemangkasan, panen, dan transportasi, sangat bergantung dari
keadaan gulma.
Nasution (1986) merinci kerugian yang ditimbulkan oleh gulma sebagai berikut:
(1) Berkompetisi dengan tanaman pokok dalam memperoleh unsur hara, air, cahaya, oksigen, karbon dioksida, dan
ruang yang akan menekan pertumbuhan dan produksi. Gulma sembung rambat membelit dan menutupi tanaman
sehingga mempersempit ruang dan menghalangi pertumbuhan;
(2) Mengurangi efisiensi pemupukan dan ketersediaan unsur hara. Pupuk yang diberikan sebagian dihabiskan untuk
pertumbuhan gulma. Ketersediaan unsur hara rendah terutama apabila kualitas seresah gulma rendah (C/N
tinggi);
(3) Mendorong perkembangan penyakit. Di samping ada gulma yang menjadi inang penyakit, juga gulma dapat
menimbulkan iklim mikro yang cocok bagi perkembangan patogen penyebab penyakit.
(4) Menghasilkan zat alelopati. Banyak gulma yang diketahui mengeluarkan zat ekskresi yang dapat mengakibatkan
pertumbuhan tanaman pokok tertekan seperti sembung rambat, lalang, teki, dan bebadotan.
(5) Menyulitkan pengelolaan kebun seperti pemeliharaan, pengawasan, panen, dan transportasi.
(6) Mengganggu jalan dan saluran drainase. Gulma di jalan perkebunan perlu secara rutin dikendalikan. Gulma,
terutama gulma air, menghalangi kelancaran tata drainase sehingga menurunkan mutu lahan dan meningkatkan
kelembaban di kebun.
(7) Meningkatkan risiko kebakaran. Selama musim kemarau yang panjang, gulma (misalnya lalang) dan seresahnya
merupakan media untuk terjadinya dan meluasnya kebakaran.
124 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

10.1 Status Gulma


Status gulma perlu diketahui untuk menentukan kebijakan pengelolaan gulma. Status gulma yang dimaksudkan
sebagai istilah yang menunjukkan potensi suatu jenis gulma dalam menimbulkan kerugian, gangguan, atau manfaat.
Jadi status gulma memberikan petunjuk tentang kadar disukai atau tidaknya suatu jenis gulma tumbuh di perkebunan.
Status gulma dapat ditentukan oleh efek yang ditimbulkan dalam persaingan unsur hara, air, cahaya, ruang, dalam
mendorong timbulnya gangguan hamapenyakit, dalam kesulitan pengendalian, dan dalam mengganggu kegiatan
eksploitasi dan pengelolaan tanaman.
Status tumbuhan penutup tanah di perkebunan misalnya dapat digolongkan menjadi 5 yaitu: (A) golongan
bermanfaat, (B) golongan kurang merugikan, tetapi perlu pengendalian, (C) golongan merugikan, bergantung pada
keadaan perlu pengendalian, (D) golongan merugikan, perlu pengendalian atau pemberantasan, (E) golongan sangat
merugikan, perlu pemberantasan. Nasution (1986) menggolongkan berbagai penutup tanah di perkebunan karet
sebagai berikut:
(1) Golongan A (LCC): Berbagai LCC seperti Cc, Cm, Cp, Pp, Pj. Golongan ini justru ditanam untuk mengendalikan
gulma dan menyuburkan tanah; perlu pengendalian apabila membelit dan naik tanaman.
(2) Golongan B (gulma lunak): Badotan (Ageratum conyzoides), rumput kretekan (Cyrtococcum spp.), sintrong
(Erechtites valerianifolia), dan meniran (Phyllanthus niruri). Apabila tidak dominan umumnya dapat ditenggang
berada di perkebunan, kecuali di daerah piringan TBM.
(3) Golongan C (gulma kurang berbahaya): Axonopus compressus, Borreria latifolia, Cyclosorus aridus, Cynodon
dactylon, Cyperus spp., Echinocloa colonum, Eleusin indica, Nephrolepis biserrata, Ottocloa nodosa, Paspalum
conjugatum, P. commersonii, Soporobolus spp. Pada lereng yang curam, golongan ini bermanfaat untuk
melindungi tanah dan erosi.
(4) Golongan D (gulma berbahaya): Rumput Kalanjana (Brachiaria mutica), krinyu (Chromolaena odorata), pakis
kawat (Gleichenia linearis), tembelekan (Lantana camara), senduduk (Melastoma affine), krisan (Scleria
sumatrensis), Jarong Lalaki (Stachytarpheta indica), anggrong (Trema sp), keladi (Colocasia spp), Deluak
(Grewia eriocarpa). Golongan ini umumnya tidak ditenggang tumbuh baik di pembibitan, kebun TBM, dan
kebun TM.
(5) Golongan E (gulma sangat berbahaya): Imperata cylindrica, Mikania spp., Mimosa spp. Gulma ini merupaka n
gulma perlu dikendalikan secara tuntas (diberantas, dieradikasi). Menunda pengendalian jenis gulma ini akan
menyebabkan pengendalian yang lebih sulit.

10.2 Penilaian Gulma


Untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan gulma di lapangan, situasi nyata gulma perlu diketahui sebagai
dasar penentuan kebijakan. Kegiatan pencatatan jenis gulma yang tumbuh dan penilaian parameterparameternya serta
kondisi lingkungan tumbuhnya disebut penilaian gulma (weed assessment). Satuan pengamatan survei adalah blok
kebun, dengan demikian penilaian gulma dilakukan pada setiap 1625 ha. Prosedur penilaian gulma adalah sebagai
berikut: (1) survei pendahuluan (reconnaissance), (2) penetapan petak contoh yang mewakili dan distribusinya, (3)
pencatatan jenis gulma dan parameternya, (4) pembuatan rekapitulasi dan kesimpulan hasil pencatatan, (5) penetapan
kebijakan cara pegendalian gulma.
Pencatatan jenis gulma jenis gulma dimulai dari gulma yang paling dominan, kemudian dominan kedua dan
seterusnya. Parameter gulma yang paling tidak harus dicatat adalah penutupan, kerapatan, dan tinggi. Penutupan
(coverage) adalah persentase luas permukaan tanah yang ditutupi oleh gulma tertentu; ini menunjukkan tingkat
penguasaan suatu jenis gulma di lingkungan tersebut. Secara praktis, penutupan ditetapkan dengan menaksir berapa
persen (%) luas permukaan tanah (misalnya petak contoh seluas 40 m2) ditutupi jenis gulma yang dinilai.
Kerapatan (density) memberi petunjuk tentang berapa jumlah suatu jenis gulma terdapat di dalam suatu luasan
tertentu. Secara praktis, kerapatan gulma dapat ditaksir menggunakan skala kerapatan: sangat rapat, rapat, jarang,
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 125

dan sangat jarang. Tinggi gulma memberi petunjuk tentang pola stratifikasi, kejaguran, fase pertumbuhan, dan
tingkat penguasaan di lingkungan tumbuhnya. Penetapan kebijakan pengendalian meliputi cara pengendalian seperti
kimia (penyemprotan blanket, setempat, wiping), atau manual (membabat tandas atau ringan setinggi beberapa cm,
mengored, mendongkel). Apabila digunakan herbisida perlu ditentukan jenis herbisida, dosis atau konsentrasi, pompa,
dan nozel yang dipakai.

10.3 Analisis Vegetasi Gulma


Analisis vegetasi biasa dilakukan oleh ilmuwan ekologi untuk mempelajari kemelimpahan jenis serta kerapatan
tumbuh tumbuhan pada suatu tempat. Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan
bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi gulma diperlukan dalam mempelajari
perilaku gulma di perkebunan akibat dari tindakan kultivasi misalnya mempelajari suksesi atau mengevaluasi hasil
suatu pengendalian gulma atau aplikasi herbisida tertentu. Dalam melakukan analisis vegetasi gulma diperlukan
identifikasi gulma sehingga adanya buku kunci determinasi gulma akan sangat membantu.
Terdapat beberapa pilihan metode sampling vegetasi, disesuaikan dengan struktur dan komposisi vegetasi
(gulma). Untuk areal yang luas dengan vegetasi gulma semak rendah digunakan metode garis (line intercept). Untuk
pengematan petak sampel dengan vegetasi gulma menjalar digunakan metode titik (point intercept). Untuk survei suatu
wilayah yang luas dan tidak tersedia cukup waktu maka dapat dilakukan metode estimasi visual (visual estimation).
Metode sampling gulma yang umum dilakukan untuk mempelajari gulma perkebunan adalah metode kuadrat yaitu
mengambil sampel untuk satuan luas tertentu. Luas dan jumlah minimal petak dapat ditentukan dengan membuat
kurva spesies yaitu kurva jumlah spesies (komulatif) dan luas petak yang terus ditambahkan. Contoh permbuatan
kurva spesies dapat dilihat pada Tjitrosoedirdjo et al. (1984).
Misalnya menggunakan kuadran berukuran 1 x 1 m maka semua gulma yang tersampel dalam kuadran
diamati baik secara nondestruktif yaitu dengan mengamati dan menghitung gulma yang ditemukan. Dengan metode
destruktif, gulma dalam kuadran dicabut atau dibabat dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut. Data
atau parameter kuantitatif yang dapat diperoleh dari survei gulma antara lain dominasi, kerapatan (abundance), dan
frekuensi. Dominansi dapat dinyatakan dengan kelindungan (coverage), luas basal, volume, atau biomassa. Perhitungan
dominansi berdasarkan biomassa berarti setiap gulma yang ditemukan harus dioven dan ditimbang berat keringnya.
Sedangkan kelindungan dapat ditentukan dengan penaksiran visual yaitu proyeksi vertikal tajuk suatu spesies gulma
pada area petak sampel. Kerapatan ditentukan dengan menghitung setiap spesies gulma yang ditemukan dalam petak
sampel. Sedangkan frekuensi spesies adalah berapa petak sampel yang memuat spesies tersebut.
Tabel 47. Perhitungan analisis vegetasi

A.cony- A.valeria- C.odo- I.cylin- P.conju- S.pli-


Petak/spesies B.repens M.affine Jml
zoides nifolia rata drica gatum cata
Jumlah individu
Petak 1 12 5 23 2 3 2 4 3 54
Petak 2 0 1 5 4 2 5 11 6 34
Petak 3 27 4 12 2 4 0 8 4 61
Petak 4 0 0 9 3 7 1 6 12 38
Jumlah 39 10 49 11 16 8 29 25
Kerapatan Mutlak/plot1
9,75 2,5 12,25 2,75 4 2 7,25 6,25 46,75
Kerapatan Nisbi2 0,2085 0,0534 0,2620 0,0588 0,0855 0,0427 0,1550 0,1336 1
126 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

A.cony- A.valeria- C.odo- I.cylin- P.conju- S.pli-


Petak/spesies B.repens M.affine Jml
zoides nifolia rata drica gatum cata
Kerapatan Nisbi (%) 20,85 5,34 26,20 5,88 8,55 4,27 15,50 13,36 100%
Frekuensi 2 3 4 4 4 3 4 4
Frekuensi Mutlak 3
50 75 100 100 100 75 100 100
Frekuensi Nisbi4 0,0714 0,1071 0,1428 0,1428 0,1428 0,1071 0,1428 0,1428 1
Frekuensi Nisbi (%) 7,14 10,71 14,28 14,28 14,28 10,71 14,28 14,28 100%
Kelindungan
Petak 1 25 5 40 5 7 5 5 8 100%
Petak 2 0 2 10 20 5 10 35 18 100%
Petak 3 25 5 20 5 10 0 15 10 90%
Petak 4 0 0 15 5 20 5 10 20 75%
Jumlah 50 12 85 35 42 20 65 56 365
Dominansi Mutlak5 12,5 3 21,25 8,75 10,5 5 16,25 14 91,25
Dominansi Nisbi 6
0,1369 0,0328 0,2328 0,0958 0,1150 0,0547 0,1780 0,1534 1
Dominansi Nisbi (%) 13,69 3,28 23,28 9,58 11,50 5,47 17,80 15,34 100%
Nilai Penting 7
0,4169 0,1934 0,6377 0,2975 0,3434 0,2047 0,4760 0,4299 3
Nilai Penting (%) 41,69 19,34 63,77 29,75 34,34 20,47 47,60 42,99 300%
SDR8 0,1389 0,0644 0,2125 0,0991 0,1144 0,0682 0,1586 0,1433 1
SDR (%) 13,89 6,44 21,25 9,91 11,44 6,82 15,86 14,33 100%

Keterangan:
1. Kerapatan Mutlak = jumlah individu suatu spesies/petak
2. Kerapatan Nisbi = kerapatan mutlak suatu spesies/jumlah kerapatan mutlak semua spesies
3. Frekensi Mutlak (%) = jumlah petak yang ditemukan spesies tertentu/jumlah petak
4. Frekuensi Nisbi = nilai frekuensi mutlak suatu spesies/jumlah nilai frekuensi semua spesies
5. Dominansi Mutlak = kelindungan atau bobot suatu spesies/jumlah petak
6. Dominansi Nisbi = dominansi mutlak suatu spesies/jumlah dominasi mutlak semua spesies
7. Nilai Penting = kerapatan nisbi + frekuensi nisbi + dominansi nisbi
8. Summed dominance ratio (SDR) = Nilai penting rata-rata
Kesamaan komunitas dapat diukur dengan menghitung koefisien komunitas (C) atau indeks kesamaan komunitas
(Similarity Index) yang bernilai 0-100%. Pada tingkat petak sampel, koefisien komunitas menunjukkan kesamaan
atau keragaman spesies petak sampel berdasarkan kerapatan spesies, frekuensi, atau dominansi. Rumus koefisien
kesamaan komunitas adalah sebagai berikut:
2N
C=
a +b

dimana
N = jumlah nilai (misalnya kerapatan) terendah setiap spesies
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 127

a = jumlah nilai pada komunitas A


b = jumlah nilai pada komunitas B
Contoh perhitungan nilai C petak 1 dan petak 2 berdasarkan nilai kerapatan dari contoh di atas adalah sebagai
berikut.
2 (0 + 1 + 5 + 2 + 2 + 2 + 4 + 3)
C= = 0, 4318
54 + 34

Matriks koefisien kesamaan komunitas petak sampel disajikan pada Tabel 48. Dari nilai C dapat dilihat komunitas
petak sampel memiliki kesamaan spesies yang rendah yaitu antara petak 1 dan 4.
Tabel 48. Matriks koefisien kesamaan komunitas

Nilai C (%) Petak 1 Petak 2 Petak 3 Petak 4


Petak 1 100 43,18 62,48 38,81
Petak 2 100 46,31 63,88
Petak 3 100 50,50
Petak 4 100

Pada tingkat komunitas, koefisien ini dihitung dari nilai kerapatan mutlak atau nilai penting setiap spesies pada
tingkat komunitas dengan beberapa petak sampel. Koefisien yang diperoleh menunjukkan kemiripan dua komunitas.
Jika terdapat beberapa komunitas, maka dibuat matriks seperti contoh di atas. Untuk membandingkan keragaman
spesies, umumnya dihitung indeks keragaman Shannon (Shannon’s index)(H’) atau indeks keragaman Simpson
(Simpson’s index)(λ), dan evenness (J) dengan rumus sebagai berikut.
s
H '=− ∑ pixlnpi
i =1
s
λ= ∑ ( pi)
i =1
2

H'
J=
lns

Dimana:
H’ = Indeks Shannon
λ = Indeks Simpson
J = Evenness
s = total jumlah spesies
pi = proporsi spesies “I” dalam sampel
Pada contoh perhitungan pada Tabel 49 maka nilai H’ = 1,67617, nilai λ = 0,253772, nilai evenness = H’/H max
dimana H max = ln s = ln 8 maka nilai evenness = 0,806067.
128 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tabel 49. Penghitungan indeks keragaman gulma

Spesies Jml individu pi pi2 lnpi pi x ln pi


Ageratum conyzoides 12 0,222222 0,049383 -1,50408 -0,33424
Erechtites valerianifolia 5 0,092593 0,008573 -2,37955 -0,22033
Boreria repens 23 0,425926 0,181413 -0,85349 -0,36352
Melastoma affine 2 0,037037 0,001372 -3,29584 -0,12207
Chromolaena odorata 3 0,055556 0,003086 -2,89037 -0,16058
Imperata cylindrica 2 0,037037 0,001372 -3,29584 -0,12207
Paspalum conjugatum 4 0,074074 0,005487 -2,60269 -0,19279
Setaria plicata 3 0,055556 0,003086 -2,89037 -0,16058
Jumlah 54 1 0,253772 -19,7122 -1,67617

10.4 Gulma Penting di Perkebunan


Jenis gulma yang penting di suatu perkebunan bergantung dari jenis tanah, keadaan iklim, keadaan naungan, jenis
tanaman budidaya, kultur teknis, serta riwayat penggunaan tanah sebelum ditanami. Sifatsifat beberapa gulma penting
diuraikan di bawah ini.
Alang-alang (Imperata cylindrica)
Lalang merupakan gulma penting di berbagai kebun seperti karet, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, lada, vanili,
kakao, dan teh. Rumput tahunan ini berumpun rapat sehingga membentuk “sheet”, dan daunnya tumpang tindih
sehingga menyulitkan penetrasi butiran semprotan. Lalang merupakan tumbuhan pioner, tumbuh pada lahan terbuka
atau sedikit ternaung, mampu tumbuh pada tanah kurus, masam, toleran terhadap kekeringan dan panas. Sangat
mudah berkembang biak dan tersebar dengan rimpang dan bjinya yang sangat ringan. Perkembangannya yang cepat
selain karena mampu mengefisienkan kapasitas reproduksi, juga tangguh berkompetisi dengan tumbuhan lain, dan
menghasilkan alelopati.
Sembung rambat (Micania micrantha)
Gulma tahunan berdaun lebar ini sering tumbuh dominan dan membentuk “sheet” di berbagai perkebunan seperti
karet, kelapa sawit, kopi, dan kakao. Gangguan yang ditimbulkan berupa kompetisi, membelit tanaman, menutupi
tanaman, mengeluarkan zat alelopati, dan mudah berkembang biak baik dengan biji maupun potongan batangnya hasil
pembabatan. Pengendalian secara manual yang efektif adalah dengan mengored yang diikuti dengan mengayap yaitu
menyingkirkan siangan dari permukaan tanah.
Kucingan (Mimosa pudica)
Gulma kucingan ini adalah tumbuhan berkayu tahunan, tumbuh pada tanah yang tidak terlalu kering, dan agak
toleran naungan di berbagai perkebunan, seperti karet, kelapa sawit, kelapa, tebu, dan kakao. Gulma ini bermanfaat
menyuburkan tanah yang diberokan, namun di perkebunan menimbulkan gangguan dalam pengelolaan kebun akibat
durinya. Gulma ini saling membelit dengan gulma lain dan membentuk “sheet” yang berisiko menimbulkan kebakaran.
Perkembangbiakannya sangat efektif dengan biji dan dihasilkan sangat banyak. Pada musim hujan akan berkecambah
dengan serentak sehingga pengendalian dengan dikored menjadi kurang efektif.
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 129

Krinyu (Chromolaena odorata)


Gulma yang dikenal juga sebagai Eupathorium odoratum dan E. conyzoides ini merupakan tumbuhan berkayu,
perdu tahunan yang tangguh karena batangnya keras berkayu dan perakarannya kuat dan dalam, dan menghasilkan
alelopati. Selain itu gulma berdaun lebar ini menghasilkan banyak biji yang mudah tersebar dengan bantuan angin
karena adanya rambut pupus. Apabila membentuk semak, di musim kemarau mudah menimbulkan kebakaran kebun.
Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan mendongkel sampai ke akarnya; pembabatan tidak efektif karena dari
pangkal batang akan tumbuh tunas baru. Krinyu tumbuh pada daerah lembab sampai kering, di daerah terbuka atau
ternaungi yang sering di kebun karet, teh, kelapa, dan kelapa sawit.
Tembelekan (Lantana camara)
Tumbuhan ini merupakan gulma perdu tahunan yang tangguh, tumbuh pada tanah lembab sampai agak kering, di
areal terbuka sampai agak ternaungi. Gulma ini penting karena kemampuannya bersaing, pengendaliannya memerlukan
perhatian khusus, durinya mengganggu pekebun, dan mudah menimbulkan bahaya kebakaran. Berkembang biak
dengan bijinya yang disukai binatang sehingga dapat tersebar luas. Gulma ini terdapat di kebun karet, kelapa, kelapa
sawit, kakao, dan teh. Pengendalian mekanis dengan dibabat tidak efektif karena tunggulnya akan tumbuh kembali.
Pengendalian secara eradikasi dengan cara mendongkel sampai ke akarnya atau herbisida untuk gulma berkayu.
Sendudukan (Melastoma affine)
Gulma ini dapat tumbuh pada ketinggian tempat sampai 1650 m dari permukaan laut, sehingga dapat ditemukan
pada perkebunan karet, teh, dan kopi terutama kebun yang di sekelilingnya masih berupa semak belukar. Sendudukan
merupakan gulma menahun, berkayu, barhabitus semak tinggi mencapai 2 m, berperakaran dalam dan menyebar,
berkembang biak dengan biji. Pengendalian secara manual dilakukan dengan mendongkel sebab jika hanya dibabat,
bonggolnya akan tumbuh kembali. Pengendalian efektif dapat menggunakan herbisida pengendali gulma perdu
berkayu seperti arborisida.
Teki (Cyperus rotundus)
Gulma ini merupakan teki tahunan yang sering tumbuh dominan di berbagai lahan budidaya dan dikenal di
seluruh dunia yang termasuk “the world’s worst weed”. Kemampuan teki ini untuk beradaptasi di segala jenis tanah
sangat tinggi, dari tanah agak lembab sampai agak kering, suasana lerbuka sampai sedikit ternaungi. Berkembang biak
secara efektif dengan potongan umbi sehingga sangat berkembang pada lahan yang sering diolah dan dikored. Teki
sulit dikendalikan baik secara manual maupun kimia. Terbentuknya umbi dorman menyebabkan sulit dikendalikan
secara kimia karena umbi yang dorman biasanya tahan terhadap herbisida. Di samping produksi umbi yang cepat, teki
menekan pertumbuhan TBM karena menghasilkan alelopati yaitu asam salisil (ohydroxybenzoic acid) yang bekerja
menghambat penyerapan unsur hara terutama N dan penyerapan air.
Rumput Pait (Axonopus compressus)
Rumput menahun ini berbiak dengan bijinya yang kecil dan ringan sehingga mudah tersebar dan dengan stolon.
Stolon beruasruas dan setiap potongan berpotensi untuk tumbuh. Pembabatan tidak dapat mengendalikan gulma ini
bahkan dapat memperluas penyebarannya dengan potongan stolon. Gulma ini menyukai tanah berkelembaban tinggi,
dan agak tahan terhadap naungan sehingga masih sering berkembang pada kebun TM di kebun karet, kelapa, kelapa
sawit, kakao, dan teh. Tumbuhan ini disukai sebagai rumput lapangan sepak bola, pekarangan, dan taman.
Rumput Paitan (Paspalum conjugatum)
Rumput tahunan ini tumbuh berumpun, membentuk geragih yang panjang dan beruas, serta membentuk “sheet”.
Sangat mudah berkembang dengan potongan geragih, di samping berkembang dengan bijinya yang ringan. Merupakan
gulma penting karena tumbuh dominan dan mampu berkompetisi kuat di pembibitan dan kebun TBM karet, kelapa,
kelapa sawit, kakao, teh, dan kelapa. Tumbuh di lokasi yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu becek, dengan sinar
matahari yang penuh atau sedikit ternaungi pada ketinggian 01700 m dari permukaan laut. Pada lahan yang miring
bermanfaat untuk mengurangi erosi.
130 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Rumput Grinting (Cynodon dactylon)


Gulma rumput menahun ini tumbuh pada tanah lembab atau kering, dengan cahaya yang penuh atau sedikit
ternaungi, meskipun pada tanah keras, penyebarannya meliputi 01200 m dari permukaan laut. Gulma ini menimbulkan
kerugian akibat efek kompetisi terutama di pembibitan dan kebun TBM di kebun karet, teh, kelapa, kelapa sawit,
kakao, dan tebu. Gulma ini berkembang biak dengan biji dan dengan geragih. Pengendalian secara manual dan
herbisida kontak kurang efektif karena geragihnya akan tumbuh kembali.
Pakis (Cyclosorus aridus)
Gulma menahun ini yang merupakan jenis pakis yang paling lazim di perkebunan yang tanahnya agak lembab atau
tidak begitu kering, suasana terbuka atau sedikit ternaungi. Pakis ini sering mendominasi membentuk “sheet” di kebun
TBM maupun TM di kebun karet, kelapa, kelapa sawit, kakao, dan kopi. Gulma ini merugikan karena mempunyai
daya serap unsur hara yang besar yang hampir sama seperti alangalang. Berkembang biak terutama dengan rimpang
di samping menggunakan spora. Pengendalian dengan membabat kurang efektif karena rimpangnya yang tertinggal di
dalam tanah akan mudah tumbuh kembali. Jenis pakis lain yang siering dijumpai antara lain pakis kinca (Nephrolepis
bisserata), pakis kawat (Gleichenia linearis), dan pakis kadal (Dryopteris arida).

10.5 Pengaruh Gulma pada Beberapa Tanaman Perkebunan


Pada tanaman teh, gulma menekan pertumbuhan cabang primer dan produksi pucuk. Gulma lalang dan krinyu
merupakan gulma yang lebih kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhan teh sedangkan rumput pait sangat menurunkan
produksi pucuk. Pada tanaman tembakau, kebun yang dijaga bersih dari gulma memberikan hasil daun 4770% lebih
banyak daripada kebun yang tidak dilakukan pengendalian gulma. Penundaan penyiangan bersih 2, 4, dan 6 minggu
setelah tanam menurunkan produksi daun 7,5%, 13%, dan 50% dibandingkan lahan yang tetap dijaga bersih gulma.
Tabel 50. Cabang primer teh yang pada 9 bulan setelah perlakuan gulma dan produksi pucuk teh

Jumlah cabang Produksi pucuk


Jenis gulma
primer (kg/50 m2)
Imperata cylindrica 21,83 12,685
Artemisia vulgaris 20,11 12,740
Paspalum conjugatum 20,78 8,110
Borreria alata 24,25 -
Eupatorium riparium 19,28 -
Panicum repens 23,03 12,565
Ageratum haustonianum 22,19 11,150
Bersih dari gulma 26,28 15,118

Sumber: Soedarsan et al. (1975); Sanusi dan Suhargyanto (1978)


Hasil penelitian Djafri (1991) dengan metode “stairstep pot” menunjukkan bahwa gangguan alelopati yang
dihasilkan lalang dengan populasi awal 100 anakan/m2 mengakibatkan hambatan bobot kering bibit lada sebesar 69%.
Dengan populasi awal yang sama, rumput pait (A. compressus) mengakibatkan hambatan bobot kering sebesar 45%,
dan krinyu (E. odoratum) dengan populasi awal 60 anakan/m2 menimbulkan hambatan sebesar 47%.
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 131

Tabel 51. Pengaruh gulma terhadap pertumbuhan bibit lada

Jenis gulma Tinggi tanaman (cm) Jumlah buku Luas daun (cm2) Bobot kering (g)
Lalang 92,7 ab 16,0 a 512,4 a 8,52 a
Rumput pait 47,3 b 11,3 b 261,4 b 4,48 b
krinyu 50,7 b 11,3 b 237,3 b 4,36 b
Tanpa gulma 132,0 a 19,3 a 647,1 a 11,16 a

Sumber: Djafri (1991)


Gulma di kebun vanili tidak dianjurkan disiang bersih agar tidak merusak perakaran yang banyak menjalar
di permukaan tanah, namun gulma dilaporkan menghambat pertumbuhan setek vanili seperti bambuan (Setaria
palmifolia), alang-alang, krinyu dan teki. Tanaman yang dibiarkan berkompetisi dengan gulma berbahaya akan tumbuh
kurus daun daun kekuningan. Gulma keras atau gulma berbahaya menyebabkan tanaman kopi kurang bercabang, daun
kekuningan, produksi menurun, bahkan pada kebun yang diberokan dapat menyebabkan kematian tanaman kopi.
Pada perkebunan kelapa sawit, pengendalian gulma berpengaruh terhadap produksi. Kompetisi gulma menurunkan
terutama produksi awal; pada lahan yang kurang subur pengaruh negatif lebih besar. Pada lahan bekas hutan, dimana
lahan masih relatif subur, setelah kanopi tajuk menutup maka gulma menjadi tertekan sehingga pengendalian gulma
dengan pembabatan tidak menurunkan produksi. Pada lahan replanting, pengendalian gulma hanya dengan pembabatan
akan menurunkan produksi.
Tabel 52. Pengaruh pengendalian gulma terhadap produksi kelapa sawit

Cara pengendalian Lahan bukaan hutan Lahan replanting


Panen 8 tahun pertama (%)
Pengendalian normal 100 100
Hanya pembabatan tahunan 79,4 69,1
Panen tahun berikutnya (%)
Pengendalian normal 100 100
Hanya pembabatan tahunan 100 85,4

Sumber: Hartley (1977)

10.6 Pemilihan Metode Pengendalian Gulma di Perkebunan


Pengendalian gulma yang sering dilakukan di perkebunan adalah secara mekanis, kultur teknis, dan kimiawi.
Pengendalian secara mekanis misalnya menggunakan alat manual seperti kored, arit, cangkul, dan garpu lebih
umum dilakukan di perkebunan rakyat daripada menggunakan traktor yang menarik alat penyiang seperti weed rake,
multi weeder, dan spinner weeder di perkebunan tebu. Pengendalian secara mekanis umumnya berhasil baik untuk
pengendalian gulma setahun juga gulma berkayu menahun. Pengolahan tanah yang baik dapat merupakan cara yang
paling tepat dalam pengendalian gulma di negara berkembang. Pengendalian gulma mengored bersih atau mengolah
tanah mempunyai kelemahan yaitu:
(1) Merusak perakaran sehingga dapat meningkatkan serangan penyakit akar sampai dapat mematikan tanaman.
(2) Meningkatkan erosi, karena tanah menjadi terbuka.
(3) Membuat tanah menjadi cekung ke arah tanaman yang dapat membuat air hujan terkumpul.
(4) Memerlukan banyak tenaga kerja.
132 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pengendalian gulma secara kultur teknis dapat dilakukan dengan menanam LCC atau menanam tanaman sela.
Penanaman LCC sangat dianjurkan di perkebunan besar karena dapat menekan penggunaan tenaga kerja pengendalian
gulma, walaupun biaya awal pembangunannya sangat besar. Penanaman tanaman sela terutama di kebun TBM perlu
mendapat perhatian serius di perkebunan rakyat sebagai cara pengendalian gulma dan sumber pendapatan sebelum
tanaman pokok memberi hasil.
Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma di perkebunan semakin meningkat. Hal ini karena perkebunan
merupakan usaha komersial, dana dapat tersedia, petugas dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang cara
penggunaan herbisida, dan herbisida memberikan hasil yang baik disertai dengan penggunaan tenaga yang lebih
hemat daripada pengendalian manual. Tjitrosoedirdjo et al. (1984) lebih merinci keuntungan penggunaan herbisida
sebagai berikut:
(1) Herbisida dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersama tanaman budidaya yang sulit disiangi;
(2) Herbisida pratumbuh (preemergence) mampu mengendalikan gulma sejak awal. Kompetisi pada pertumbuhan
awal inilah yang banyak menyebabkan kerugian;
(3) Pemakaian herbisida dapat mengurangi kerusakan akar pada pengendalian mekanis;
(4) Erosi di perkebunan dapat dikurangi dengan tidak melakukan siang bersih dan membiarkan gulma tumbuh secara
terkendali;
(5) Banyak gulma berkayu lebih mudah dimatikan dengan herbisida.
Aplikasi herbisida terutama dilakukan dengan penyemprotan (spraying) baik menggunakan peralatan manual
(hand sprayer) maupun peralatan mekanis (boom sprayer). Terdapat pula pengendalian secara manual untuk
mengendalikan alang-alang yang disebut dengan diusap herbisida (wiping). Wiping merupakan kelanjutan dari
spot spraying, pada lalang yang belum mati secara tuntas, atau tumbuh baru beberapa helai daun. Pekerjaan wiping
dilakukan secara beregu dengan sistem giring sehingga tidak ada lalang yang tertinggal. Rotasi wiping 2 bulan sekali
makin lama makin jarang.
Teknik wiping lalang dilakukan dengan menggunakan kain katun yang berukuran 3 x 12 cm dibalutkan pada tiga
jari tangan (tidak dibenarkan menggunakan kaos kaki atau sarung tangan). Contoh herbisida sistemik yang dipakai
misalnya Round Up (1,0–1,3 %) atau Assault 250 AS (0,5–0,7%) ditambah Surfaktan (0,5%). Sebelum aplikasi
rumpun lalang dibersihkan dari sampah-sampah di sekitar pangkalnya dengan menggunakan arit kecil. Kemudian kain
dicelupkan ke dalam larutan herbisida dan diperas sedikit agar tidak menetes. Pengelapan (wiping) dimulai dari batang
bawah sampai ke ujung daun secara merata dan basah, dan dilakukan per helai daun lalang. Agar herbisida efektif
terserap tanaman, hindarkan batang atau daun lalang pecah, putus atau tercabut sewaktu wiping atau pembersihan
sampah. Untuk menghindari terjadinya lalang yang ketinggalan tidak di-wiping atau terjadi pengulangan wiping,
maka rumpun alang-alang yang sudah di-wiping ditandai dengan ujung diputus atau dibuat simpul ikatan.

10.7 Teknik Pengendalian Gulma di Perkebunan


Pengendalian Gulma di Pembibitan
Bibit termasuk masa kritis, sehingga pembibitan harus sedapat mungkin bersih dari gulma sehingga gulma harus
dikendalikan secara siang bersih atau menggunakan herbisida. Pengendalian gulma secara manual dilakukan dengan
mengored atau dengan mencabut terutama untuk bibit di polibag sedangkan di antara polibag dengan mencangkul atau
menyemprot herbisida. Sebelum benih disemai di bedengan dapat dilakukan penyemprotan herbisida pratumbuh.
Pengendalian Gulma pada Pembangunan LCC
Agar tumbuh dengan cepat menutupi tanah, LCC yang sudah ditanam harus dipelihara dari gulma. Lahan yang
akan ditanami LCC sebaiknya sudah diolah agar gulma beserta rimpang dan umbinya sudah dikendalikan. Aplikasi
herbisida pratumbuh dilakukan sehari setelah benih LCC ditanam. Herbisida pratumbuh mematikan biji atau biji yang
sedang berkecambah, sehingga benih LCC (yang ditanam sedalam 23 cm) perlu ditutup dengan tanah. Pengendalian
Pengendalian Gulma Di Perkebunan 133

gulma antarjalur LCC dapat dilakukan secara manual atau menggunakan herbisida pascatumbuh, sedangkan dalam
jalur sebaiknya dilakukan dengan mencabut atau mengored. Setelah LCC menutup seluruh lahan, gulma tetap perlu
dikendalikan untuk memurnikan LCC atau paling tidak untuk membasmi gulmagulma berbahaya.
Pengendalian Gulma di Kebun TBM
Tanaman muda masih sangat peka terhadap gangguan gulma. Oleh karena itu gulma atau LCC harus dibebaskan
dari jalur barisan atau minimal dari piringan pohon. Apabila tidak dilakukan penanaman LCC atau tanaman sela
maka gawangan kebun TBM harus selalu diupayakan bersih dari gulma berbahaya. Pengendalian dapat dilakukan
dengan mengored, mencangkul, atau menyemprotkan herbisida. Penyiangan gulma di piringan atau dalam jalur perlu
dilakukan secara hatihati agar tidak merusak perakaran dan arah penyiangan dilakukan silih berganti, sekali ke arah
luar menjauhi pohon, sekali ke arah dalam mendekati pohon. Pemurnian gulma di LCC terutama dilakukan dengan
mencabut dan mengored, namun dapat dilakukan juga penyemprotan herbisida sistemik dan selektif. LCC yang
terkena herbisida akan mengalami kematian namun akan dapat menutup kembali.
Pengendalian Gulma di Kebun TM
Produksi kebun dapat turun apabila gulma tidak dikendalikan. Di samping itu gulma perlu dikendalikan untuk
meningkatkan efisiensi pemupukan, memudahkan pengawasan, dan memudahkan pemanenan. Tanaman tahunan yang
sudah produktif relatif lebih tahan terhadap gangguan gulma sehingga gulma lunak dapat ditenggang namun gulma
berbahaya perlu tetap dimatikan. Pada kebun TM, gulma dan LCC tertekan pertumbuhannya, tinggal tumbuhan yang
tahan terhadap naungan seperti rumputan dan pakisan.
Gulma perlu dibebaskan pada jalur (rapat) TM atau minimal di piringan pohon. Pengendalian terutama dilakukan
dengan mengored, namun dapat juga dengan herbisida. Gulma yang tumbuh intensif di daerah gawangan atau jalur
barisan (penanaman segi empat) tanpa LCC perlu secara periodik dikendalikan baik dengan manual atau herbisida.
Gulma berkayu dimanapun tumbuh perlu didongkel agar tidak tumbuh kembali. Gulma tidak berbahaya dapat
ditenggang membentuk jalur bergulma di gawangan untuk mengurangi erosi. Jadi areal yang gulma dikendalikan
terutama di piringan. Misalnya pada kebun kelapa sawit dengan populasi 143 pohon per hektar dan pembokoran
piringan pada radius 1,5 meter sehingga areal yang disemprot herbisida adalah

3,14×1, 5×1, 5×142m 2


×100 = 10,1
10000m 2
Norma pengendalian gulma di perkebunan dapat dibedakan mulai dari pengendalian sampai tanpa ada gulma
sama sekali (P0) misalnya di lingkar bokoran sampai gulma dibolehkan dan hanya dikendalikan dengan dibabat (P5)
misalnya di gawangan tanaman tua menjelang dibongkar.
Tabel 53. Norma pengendalian gulma perkebunan

Norma
Gulma yang boleh atau tidak boleh Keterangan
pengendalian
P0 Semua gulma tidak boleh; kored bokoran Di bokoran pohon, tempat penempatan pupuk
P1 Hanya LCC atau tanaman sela yang boleh; Di gawangan dan antar barisan tanaman muda
kored, spot spraying, wiping (TBM)
P2 Gulma golongan A, B, C boleh, spot spraying, Di gawangan dan antar barisan TM remaja
wiping, babat
P3 Gulma golongan A, B, C, D boleh, spot Di gawangan dan antar barisan TM dewasa
spraying, babat.
134 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Norma
Gulma yang boleh atau tidak boleh Keterangan
pengendalian
P4 Gulma golongan A, B, C, D boleh, pengendalian Di gawangan dan antar barisan TM tua
hanya dibabat
P5 Semua gulma boleh, pengendalian hanya Di gawangan dan antar barisan tanaman tua
dibabat yang akan dibongkar

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. Utomo, M. Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil erosion under coffee trees
with different weed managements in humid tropical hilly area of Lampung Sumatra, Indonesia. J. Jpn. Soc, Soil
Phys. 91: 3-14, 2002.
Djafri. 1991. Kajian kompetisi dan alelopati beberapa jenis gulma terhadap pertumbuhan lada (Piper nigrum L.). Tesis
FPS UGM. Yogyakarta.
Evizal, R. 1996. Pengaruh alang-alang dan teki terhadap pertumbuhan setek vanili (Vanilla planifolia Andr.). Prosid.
Konferensi XIII HIGI. Hlm. 145-149.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Palm. Longman. London.
IPB-OCW. 2011. Pengendalian Gulma. ocw.ipb.ac.id/mod/resource/view.php?id=47.
Mangoensoekardjo, S. 1983. Gulma dan Cara Pengendalian pada Budidaya Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Nasution, U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Gramedia. Jakarta.
Sanusi, M. dan K. Suhargyanto. 1978. Pengaruh beberapa jenis gulma pada tanaman teh produktif. SImposium Teh
II.
Sarno, J. Lumbanraja, Afandi, T. Adachi, Y. Oki, M. Senge, A. Watanabe. 2004. Effect of weed management in coffee
plantation on soil chemical properties. Nutr. Cycl. Agroecosyst. 69: 1-4.
Syahputra, E., Sarbino, S. Dian. 2011. Weed assessment di perkebunan kelapa sawit lahan gambut. Jurnal Perkebunan
dan Lahan Tropika 1: 37-42.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia. Jakarta.
Replanting Dan Konversi 135

BAB XI
REPLANTING DAN KONVERSI

D alam program pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan (Peraturan Menteri Pertanian
No 33/Permentan/OT.140/7/2006) disebutkan bahwa komponen utama revitalisasi perkebunan adalah perluasan
perkebunan, peremajaan perkebunan, dan rehabilitasi perkebunan. Perluasan perkebunan adalah upaya pengembangan
areal tanaman perkebunan pada wilayah bukaan baru atau pengutuhan areal disekitar perkebunan yang sudah ada dengan
menggunakan teknologi. Selain itu didefinisikan juga (1) peremajaan adalah upaya pengembangan perkebunan dengan
melakukan penggantian tanaman tua/tidak produktif dengan tanaman baru baik secara keseluruhan maupun secara
bertahap dengan menggunakan teknologi, (2) pengembangan perkebunan untuk mengembalikan potensi produksinya
dengan cara perbaikan mutu tanaman melalui perbaikan bahan tanaman dan pemeliharaan yang dilaksanakan baik
secara keseluruhan maupun secara bertahap dengan menggunakan teknologi.
Peremajaan kebun (replanting) adalah penanaman tanaman muda yang sejenis untuk menggantikan tanaman tua
pada kebun yang sama. Pada pembangunan kebun baru, lahan yang dibuka adalah lahan hutan atau nonkebun sedangkan
pada peremajaan dilakukan penanaman baru pada lahan bukaan kebun tua. Sementara itu yang dimaksudkan dengan
konversi adalah penanaman tanaman muda yang berlainan jenis untuk menggantikan tanaman yang ada di kebun
yang sama karena alasan tidak produktif atau tidak menguntungkan. Rehabi­litasi kebun adalah perbaikan tanaman
yang tidak produktif dalam upaya meningkatkan produktivitas misalnya dengan cara pemangka­san, penyambungan
(grafting), dan pemupukan. Kebun perlu direha­bilitasi mungkin karena keadaan rusak akibat salah pengelolaan atau
karena sudah tua. Pada tanaman tertentu seperti kopi, teh, dan kakao, rehabilitasi meru­pakan alternatif selain dari
program full replanting yaitu dengan partial replanting (penyisipan), pemangakasan, dan penyambungan.
Peremajaan kebun harus diprogramkan dalam pengembangan kebun karena membutuhkan biaya yang besar dan
menyangkut perencanaan produksi dan pendapatan jangka panjang. Kalau perkebunan besar melengkapi diri dengan
program peremajaan maka peremajaan perkeb­unan rakyat perlu diprogramkan dan didorong oleh pemerintah, sebab
kalau tidak maka produksi perkebunan di suatu sentra ter­tentu suatu ketika menurun drastis. Sebagai contoh adalah
kedudu­kan Indonesia sebagai negara produsen utama karet alam sejak tahun 1957 terus merosot dan diambil alih oleh
Malaysia sebagai negara produsen utama. Salah satu sebab perubahan ini adalah karena perkebunan karet Indonesia
terlambat diremajakan sehingga kebanyakan berupa kebun tua yang kurang produktif.
Program peremajaan baik replanting, konversi, atau rehabilitasi perlu direncanakan setiap tahun. Pada perkebunan
besar, luas peremajaan dapat ditentukan sebagai berikut ini. Misalnya umur peremajaan tanaman kelapa sawit adalah
25 tahun maka luas peremajaan kebun per tahun adalah 4% dari luas kebun.
136 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

(100%)
Luas peremajaan (%) =
(Umur peremajaan)
Perencanaan luas peremajaan berguna untuk merencanakan anggaran serta memastikan bahwa program
peremajaan tidak serentak pada tahun tertentu melainkan dilaksanakan setiap tahun. Peremajaan yang menumpuk
pada beberapa tahun menyebabkan biaya yang besar sementara pemasukan menurun karena luasnya TBM.

11.1 Alasan Peremajaan


Sesuai dengan pola pertumbuhannya, tanaman tahunan mengalami masa praproduksi, produksi, dan senesens.
Masa praproduksi atau masa belum menghasilkan bergantung dari jenis tanaman, varie­tas/klon, keadaan iklim dan
tanah, serta kultur teknik. Selama masa produksi, produksi tanaman akan naik sesuai dengan pertamba­han umur,
mengalami masa produksi puncak, kemudian menurun kemba­li. Dengan semakin tuanya tanaman yang akhirnya
mencapai tingkat produksi yang tidak menguntungkan secara ekonomis sehingga perlu diremajakan walaupun umur
kematian tanaman dapat lebih lama. Sebagai contoh, tanaman cengkeh dari zaman Belanda dan berumur lebih dari 350
tahun masih terdapat di Maluku atau tanaman kelapa rakyat dapat diwariskan turun‑temurun walaupun hasilnya tidak
memuaskan. Sampai berapa lama tanaman perkebunan dapat hidup tidak menjadi penting bagi pakar dan pekebun
karena yang penting adalah masa produksi ekonomis. Pada perkebunan teh, masih terdapat perkebunan teh yang
ditanam pada zaman Hindia Belanda yang masih dipertahankan karena masih produktif dan sebagai sumber plasma
nutfah.
Umur produksi puncak dan umur peremajaan beberapa komoditas disajikan pada Tabel 55. Sebagai contoh,
tanaman karet berumur 5‑6 tahun mulai dipungut/disadap apabila dilakukan pemeliharaan yang baik. Masa puncak
produksi terjadi pada umur 14‑18 tahun, sedang­kan umur untuk peremajaan umumnya sekitar 25-30 tahun. Untuk
mempe­roleh keuntungan yang lebih besar dilakukan upaya memperpendek umur nonproduktif dan memperpanjang
umur produktif ekonomis dengan cara melaksanakan kultur teknis secara optimal.
Di perkebunan rakyat, peremajaan dilakukan dengan lambat karena peremajaan membutuhkan dana yang besar
sedangkan ketika peremajaan, kebun tidak memberikan hasil lagi. Keterlambatan peremajaan umum ditemukan di
perkebunan rakyat. Sebenarnya perema­jaan memberi beberapa keuntungan yaitu: (1) dapat dilakukan penanaman
varietas/klon baru yang lebih unggul; (2) teknologi baru di bidang kultur teknis dapat diterapkan seperti penggunaan
pupuk, stimulan, dan pengendalian hama dan penyakit; (3) hasil penelitian dalam manajemen perkebunan dapat
diterapkan seperti pembagian afdeling dan blok, pembuatan jalan, penampungan hasil, dan perumahan pegawai.
Pada prinsipnya peremajaan dilaksanakan berdasarkan pertim­bangan teknis dan ekonomi. Faktor‑faktor yang
dipertimbangkan antara lain sebagai berikut.
(1) Produksi Tanaman. Tingkat produksi tanaman merupakan alasan utama perlunya dilakukan peremajaan. Pada
tingkat produksi tertentu dapat dihitung berapa keuntungan yang diperoleh, atau pada tingkat produksi berapa
Break Even Point dicapai.
(2) Umur Tanaman. Umur tanaman produktif ekonomis untuk jenis tanaman tertentu sulit digeneralisasi karena
bergantung kepada banyak faktor seperti keadaan tanah dan iklim serta pemeliharaan. Di samping berdasarkan
pengalaman dan anggapan umum yang digunakan sebagai patokan dapat pula dilihat dari kecenderungan produksi
riil.
(3) Keadaan Tanaman. Dalam faktor ini tercakup kerapatan tanaman produktif, kesehatan, dan pertumbuhan tanaman.
Walaupun umur masih muda dapat saja banyak tanaman yang rusak terkena penyakit atau gangguan lainnya
sehingga tidak mungkin berpro­duksi normal, atau umur masih muda dan produksi masih tinggi tetapi kerapatan
tanaman kecil karena banyak tanaman yang mati. Keadaan tanaman ini pada akhirnya menentukan produkti­vitas
kebun. Jika menurut pertimbangan tidak mungkin dilaku­kan rehabilitasi maka dilakukan peremajaan.
(4) Klon/varietas Unggul Baru. Tersedianya klon baru yang lebih produktif sehingga lebih menguntungkan
merupakan salah satu pertimbangan.
Replanting Dan Konversi 137

(5) Harga Komoditas. Harga komoditas perkebunan berfluktuasi sesuai dengan keadaan produksi dan permintaan
dunia. Hal ini menentukan besarnya keuntungan setiap areal kebun. Peremajaan akan lebih tepat dilaksanakan
pada saat harga turun daripada pada saat harga yang tinggi.
(6) Ketersediaan Modal. Untuk pembongkaran dan pembangunan tana­man baru diperlukan investasi yang besar,
oleh karena itu bergantung kepada ketersediaan modal.

11.2 Umur Peremajaan


Secara sederhana umur peremajaan (replanting atau konversi) terutama ditetapkan berdasarkan produktivitas
tanaman tersebut. Dalam siklus tanaman perkebunan tahunan maka dapat dibagi menjadi fase tanaman muda belum
menghasilkan (TBM), fase tanaman muda menghasilkan, fase tanaman remaja yaitu tanaman menghasilkan pada
puncak produksi, fase tanaman dewasa dimana dapat produktivitas tanaman masih tinggi, dan fase tanaman tua
dimana produktivitas tanaman sudah rendah. Pada perusahaan perkebunan hendaknya komposisi areal kebun dari
fase tersebut terdistribusi secara merata misalnya rata-rata sekitar 20%. Dengan demikian komposisi kebun TBM dan
kebun tua masing-masing hanya 20%, sedangkan 60% kebun dalam keadaan produktif optimal.

Gambar 21. Trend produktivitas kebun karet


Tabel 54. Komposisi areal kebun berdasarkan fase tanaman

Kelompok umur (tahun) Kelompok fase tanaman Luas areal (%) Keadaan produksi
1-5 TBM 20 Belum menghasilkan
6-10 TM - muda 20 Produksi awal
11-15 TM - remaja 20 Produksi puncak
16-20 TM - dewasa 20 Produksi stabil
20-25 TM - tua 20 Produksi turun

Tabel 55. Umur produksi puncak komoditas perkebunan

Tanaman perkebunan Umur produksi puncak (tahun) Umur peremajaan (tahun)


Karet 14-18 25-30
Kelapa sawit 10-13 25
Kakao 9-14 20
138 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Tanaman perkebunan Umur produksi puncak (tahun) Umur peremajaan (tahun)


Kopi 4-5 8-10
Kelapa dalam 15-20 30
Teh 20-40 100
Pala 25-35 70

Umur peremajaan tidak cukup ditetapkan berdasarkan produktivitas semata, melainkan harus memperhitungkan
laba-rugi dalam satu siklus tanaman dalam tahun berjalan. Berdasarkan konsep tersebut tanaman tua dapat saja masih
dipertahankan apabila masih memberikan keuntungan. Konsep ini masih belum mempertimbangkan biaya eksploitasi
kebun tua termasuk biaya pemeliharaan untuk mempertahankan produktivitas serta biaya panen yang mungkin makin
lebih tinggi karena teknis panen yang lebih sulit pada tanaman tua serta pertimbangan opportunity cost keterlambatan
peremajaan. Pada kebun kelapa sawit, pada umumnya laba dari kebun tua yang berumur 24-25 tahun sudah berada di
bawah laba rata-rata tahunan. Opportunity cost untuk keterlambatan dalam peremajaan berupa keuntungan awal dari
tanaman pengganti perlu juga dipertimbangkan.
Untuk itu penetapan umur optimum untuk peremajaan sebaiknya didasarkan pada rata-rata keuntungan per hektar
per tahun dalam satu siklus tanaman (PPKS, 1995). Dalam perhitungan laba, dipertimbangkan nilai investasi, biaya
umum, biaya pemeliharaan, biaya panen, dan nilai produksi. Pada tanaman kelapa sawit dengan umur ekonomis 25
tahun, keuntungan tertinggi diperoleh pada umur 9-13 tahun, setelah itu tingkat keuntungan menurun secara linier.
Keuntungan yang diperoleh dari tanaman sawit berumur 21 tahun telah berada di bawah rata-rata keuntungan tahunan,
baik untuk klas lahan S1 dan S2 serta umur 22 tahun untuk lahan kelas S3. Dengan memasukkan memasukkan
perhitungan biaya pemeliharaan, termasuk penyusutan, biaya umum, penerimaan, dan laba maka umur ekonomis
kelapa sawit sebenarnya terjadi lebih singkat yaitu pada umur 22 tahun untuk klas lahan S1 dan umur 23 tahun untuk
lahan klas S2 dan S3.

12.3 Teknis Peremajaan


Sebelum dilakukan peremajaan, panen dilaksanakan secara maksimal tanpa harus mengikuti aturan panen
yang baku. Pada tana­man karet maka untuk memperoleh hasil yang lebih banyak dan mendorong kematian pohon
maka dapat dilakukan sadap tinggi (super high tapping) dan penggunaan stimulan. Pada tanaman kelapa maka dapat
dilakukan penderesan air gula (legen).
Pelaksanaan peremajaan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan penanaman baru di areal hutan tetapi dengan
membongkar dahulu kebun tua. Pembongkaran kebun tua perlu dilakukan dengan baik sehingga semua sisa batang,
tunggul, dan akar sedapat mungkin ti­dak ada lagi dilahan karena dapat merupakan agen penyebaran hama dan penyakit
terutama penyakit akar. Beberapa hal mengenai pem­bongkaran kebun tua diterangkan berikut ini.
(1) Peracunan Pokok. Pekerjaan yang mula‑mula dilakukan adalah meracuni tanaman dengan arborisida seperti
paraquat agar perakaran cepat membusuk dan mudah ditumbangkan. Pada tanaman kelapa sawit umumnya
digunakan sodium arsenit sebagai racun sebanyak 200 cc per pohon dan diberikan pada lubang di batang pada
ketinggian 1 m. Setelah itu lubang ditutup kembali dengan bekas potongan batang. Pada umumnya daun sudah
keliha­tan mengering setelah 2 minggu. Peracunan dilakukan ulang pada tanaman yang masih kelihatan segar.
(2) Pengolahan Tanah. Pengolahan tanah dapat dilakukan sebelum penumbangan pohon terutama bagi komoditas
berjarak tanam jauh dan berperakaran horizontal seperti kelapa dan kelapa sawit dan keadaan tanah keras dan
kompak karena lama tidak dilaku­kan pengolahan tanah dan sering digembalakan ternak. Tujuan­nya adalah untuk
membongkar perakaran horizontal, menggembur­kan tanah, membenamkan LCC, dan menekan pertumbuhan
gulma. Apabila pengolahan tanah tidak memungkinkan dilakukan sebelum penumbangan pohon maka dilakukan
setelah pembersihan lahan.
Replanting Dan Konversi 139

(3) Pembersihan Lahan. Penumbangan pohon sangat perlu dilakukan agar lahan bersih dari tunggul sebagai sumber
penyakit. Pekerjaan menumbang pohon dilakukan dengan alat berat seperti buldozer. Untuk memudahkan
penumbangan apabila perlu dilaku­kan penggalian di sekitar pokok. Pada tanaman kelapa sawit penggalian
dilakukan sedalam 15 cm di sekitar pokok agar pangkal batang tidak tertinggal waktu penumbangan. Untuk
memudahkan pekerjaan, maka cara penumbangan mengikuti sistem tertentu misalnya mengenai urutan
dan arah penumbangan. Pohon karet tua ditebang dengan chain saw, selanjutnya dipotong‑potong dan perlu
disesuaikan dengan ukuran standar kelas I, II, dan III. Kayu karet dapat dipasarkan sebagai bahan industri kayu
olahan, furniture, serta dahan dan ranting untuk kayu bakar. Sisa kayu dan tunggul yang tidak laku dijual harus
dimusnahkan dengan cara dikum­pulkan dan dihancurkan.
(4) Pembuatan Jalan Kebun. Jalan‑jalan kebun yang lama tetap dipergunakan apabila tidak ada perubahan tataguna
lahan dan pembagian blok/afdeling.

11.3 Konversi
Konversi merupakan penanaman baru tetapi dengan komoditas yang berbeda dengan komoditas kebun tua.
Alasan dilakukan konver­si terutama adalah karena trend harga yang tidak menguntungkan dalam jangka pendek
maupun panjang sehingga perlu diganti dengan komoditas yang lebih prospektif. Selain itu alasan teknis dapat
menjadi pertimbangan misalnya adanya endemi hama dan penyakit yang sulit dikendalikan sehingga perkebunan
menanggung risiko kehancuran kebun, meningkatkan efisiensi usaha sehingga perlu penyeragaman komoditas, dan
mencari kemudahan pemasaran misalnya untuk perkebunan rakyat. Apabila perusahaan mengusahakan beberapa
komoditas tanaman yang sudah menghasilkan maka pemilihan program konversi atau replanting dapat ditentukan
dengan menghitung Incremental Benefit Cost Ratio dengan rumus berikut ini dimana B1 dan C1 adalah benefit dan
cost untuk komoditas 1 dan B2 dan C2 adalah benefit dan cost untuk komoditas 2. Apabila diperoleh nilai incremental
B/C>1 maka program konversi layak untuk dilakukan.
B1-B2
Incremental B/C=
C1-C2
Pelaksanaan penanaman untuk konversi dapat dilakukan dengan cara membongkar kebun yang ada seperti pada
pembukaan lahan hutan atau pembukaan lahan untuk peremajaan seperti yang telah diter­angkan sebelumnya. Namun
demikian, konversi dapat dilakukan secara berangsur yaitu menanam komoditas pengganti di sela bari­san tanaman
yang ada. Cara ini lebih menarik bagi perkebunan rakyat karena (1) tanaman yang ada masih memberikan hasil, (2)
masa nonproduktif kebun menjadi lebih singkat, (3) tajuk tanaman yang akan dikonversi dimanfaatkan untuk naungan
sementara bagi tanaman muda, (4) pertumbuhan gulma lebih tertekan, (5) pembong­karan tanaman dapat dilakukan
secara bertahap sesuai dengan ke­tersediaan modal dan tenaga.
Konversi secara tanam campuran ini mengandung sejumlah kelemahan yaitu (1) pembongkaran lebih sulit karena
harus menghi­dari kerusakan tanaman konversi dan tanaman konversi tetap be­risiko mengalami kerusakan mekanis
akibat pembongkaran pohon, (2) tanaman konversi berisiko lebih besar mengalami serangan penyakit terutama
penyakit akar, (3) pertumbuhan tanaman konversi akan lebih lambat karena kompetisi sinar, unsur hara, dan air.
Pemilihan tanaman konversi selain dari pertimbangan harga dan kemudahan pemasaran juga mempertimbangkan
kompatibilitas antartanaman. Tanaman konversi harus dipilih yang menyukai naun­gan‑sementara dan tidak diserang
hama atau penyakit yang sama dengan tanaman yang ada. Tanaman campuran tua‑muda ini dapat dilakukan pada
kebun berjarak tanam renggang dan pengaturan jarak tanamnya cocok misalnya pola karet‑cengkeh, cengkeh‑kakao,
kela­pa‑kakao, kelapa‑cengkeh. Sebagai contoh, di sela tanaman karet tua dapat ditanam tanaman cengkeh. Pengajiran
tanaman cengkeh dilakukan di antar­barisan karet dengan jarak tanam 8 x 7 m. Pada umur 2 tahun tanaman cengkeh
sudah besar namun percabangan agak jarang dan tajuk kurang rimbun. Untuk mendorong pertumbuhannya, dilakukan
penjarangan tanaman karet agar sinar matahari lebih banyak yang masuk. Penebangan pohon karet perlu hati‑hati
140 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

yaitu diikat dengan tambang sebelum ditumbangkan ke arah yang aman dari tana­man cengkeh. Penebangan pohon
karet dilakukan pada musim hujan agak tanaman cengkeh tidak mengalami shock karena kemarau dan sinar matahari
yang terik.

11.4 Rehabilitasi
Perkebunan kopi dan kakao rakyat sering terlihat dalam kondisi kurang terawat dalam waktu yang lama, diliputi
semak, terserang hama, rusak, berumur tua, dan asal bibit tidak diketa­hui sehingga produksinya rendah. Kebun seperti
itu dapat dilaku­kan rehabilitasi yang meliputi penanaman kembali pohon pelindung, penyulaman pohon yang mati,
pengolahan lahan, pemangkasan, dan penyambungan (grafting). Untuk tanah yang padat dan banyak alang‑alang
maka perlu dilakukan pengolahan tanah. Dengan rehabi­litasi, produktivitas kebun dapat ditingkatkan tanpa harus
melak­ukan replanting yang mendatangkan masa tunggu produktif yang lebih lama.
Pada kebun kopi tua, pemangkasan rejuvinasi merupakan cara merehabilitasi kebun apabila umumnya keadaan
pohon cukup sehat. Pohon‑pohon yang bagian batangnya sudah lapuk atau pohon sudah tumbuh miring karena sebagian
akarnya lapuk tidak layak untuk direjuvinasi. Rejuvinasi batang dapat dilakukan secara bertahap setiap selang satu
baris atau secara pangkas total seluruh baris. Pemangkasan dilakukan pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah
dan bekas potongan diolesi obat penutup luka seperti TB 192, aspal, teer, atau cat agar tidak diserang penyakit.
Diantara wiwilan yang tumbuh dipilih dua cabang yang tumbuh kuat dan arah yang berlawanan. Untuk mempercepat
produksi dan memperbaiki klon (klonalisasi) dapat dilakukan penyambungan dengan klon unggul lokal yang dipilih
dari pohon yang selalu berbuah lebat.
Penyambungan kopi dapat dilakukan secara bertahap yang dimulai setelah pohon kopi muda berbuah lebat selama
2-3 tahun TM-muda dimana produksi selanjutnya akan menurun apabila tanpa adanya masukan agroteknologi seperti
pemangkasan, penyambungan, dan pemupukan. Setelah satu blok semua pohon sudah diklonisasi maka produktivitas
kebun kopi TM akan kembali mencapai puncak produksi. Hal ini umum dapat ditemukan di perkebunan kopi rakyat
seperti di Lampung Barat dimana kebun kopi mencapai umur yang 30 tahun dengan produktivitas yang tetap tinggi.
Pola produktivitas kebun kopi rehabilitasi disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22. Puncak produktivitas kopi muda dan kopi rehabilitasi


Program klonalisasi baik dengan menempel (budding) maupun menyambung tidak hanya dilakukan pada kebun
tua, tetapi dapat pula ditujukan untuk kebun dewasa tetapi tidak produktif karena ketidakjelasan klon. Klonalisasi ini
bertujuan untuk menggantikan bagian atas tanaman dengan klon yang lebih menguntungkan dan mempertahankan
tanaman awal sebagai batang bawah tanpa mengurangi produksi selama klonalisasi berjalan.
Rehabilitasi pohon kakao tua tidak harus dilakukan setelah pemangkasan. Teknik yang dapat dilakukan adalah
sambung samping (side‑cleft grafting). Keuntungan penyambungan tanpa pemangkasan rejuvinasi adalah: (1) batang
Replanting Dan Konversi 141

bawah dapat menyediakan naungan sementara bagi pertumbuhan entres, (2) batang atas masih terus menghasilkan, (3)
sebagian cabang batang bawah yang baik dapat tetap dipertahankan, (4) Areal rehabilitasi dapat diselesaikan dalam
waktu yang lebih singkat, (5) berproduksi lebih cepat dibandingkan dengan produksi tanaman replanting.

11.5 Penyisipan
Penyisipan adalah menanam di sela pertanaman yang sudah ada. Pada pertanaman berupa pohon maka penyisipan
berarti menanam di bawah tegakan pohon yang sudah ada yang disebut dengan underplanting. Di perkebunan,
underplanting dilakukan baik untuk program replanting, konversi, rehabilitasi, baik di perkebunan rakyat maupun
perkebunan besar. Sebagai contoh adalah penyisipan pada perkebunan kelapa sawit, kelapa dalam, kopi, dan kakao.
Apabila populasi pohon kakao dan kondisi pohon sudah kurang mendukung untuk program rehabilitasi, maka
sebaiknya dilakukan penanaman ulang secara penuh. Program rehabilitasi kebun dengan partial replanting yaitu
dengan menggantikan tanaman tua dengan tanaman muda secara bertahap dengan cara penyisipan tetap memberikan
tingkat produksi yang kurang memuaskan. Hal ini karena pertumbuhan pohon sisipan di sela-sela pohon dengan tajuk
yang rimbun akan menghambat pertumbuhan pohon sisipan. Pada perkebunan kopi, rehabilitasi kebun memberikan
hasil yang memuaskan dengan cara pemangkasan total (rejuvenasi) pohon yang tua yang masih baik, sedangkan
pohon yang jelek dibongkar untuk disisipi bibit tanaman baru. Dengan cara rehabilitasi secara total ini, pohon tua
maupun pohon muda tumbuh secara bersamaan tanpa ada saling menaungi. Hasilnya berupa kebun rehabilitasi yang
mirip dengan kebun kopi muda dengan produksi yang sama dengan kebun muda. Metode rejuvenasi-penyisipan
memberikan hasil kurang memuaskan untuk rehabilitasi kebun teh.
Tabel 56. Produktivitas kakao dengan tanam ulang dan penyisipan

Umur (tahun) Produktivitas (kg/ha)


Tanam ulang (complate replanting) Penyisipan bertahap (partial replanting)
1 0 235
2 0 235
3 135 270
4 480 300
5 1.050 235
6 840 235
7 1.080 370
Jumlah 3.585 1.880

Sumber: Murray (1966) dalam Wood (2001)


Penanaman ulang (replanting) pada tanaman kelapa sawit dapat juga dilaksanakan dengan penyisipan yang
dikenal dengan metode underplanting. Replanting kebun kelapa sawit memerlukan biaya yang besar, sementara kebun
tidak memberikan hasil selama tanaman masih TBM. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
metode underplanting. Dengan metode ini, bibit ditanam di sela tegakan kelapa sawit tua yang akan diremajakan.
Tanaman tua ditebang secara bertahap, misalnya 25% dilakukan pada tahun I, 25% lagi ditebang pada tahun II (total
50%), dan sisanya 50% ditebang pada tahun III (total 100%). Dengan demikian sampai tahun ketiga peremajaan,
kebun tetap memberikan hasil, dan diharapkan pada tahun IV tanaman muda sudah mulai memberikan hasil.
Penumbangan pohon kelapa sawit tua dalam program underplanting cukup sulit agar tidak menimpa tanaman
sisipan. Penumbangan tahun I sebaiknya dilakukan sebelum penyisipan tanaman muda. Apabila ditumbang 25%
142 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

maka setiap 4 pohon ditumbang 1 pohon atau penumbangan berseling 3 pohon. Pada tahun II ditumbang 25% lagi
yaitu menumbang pohon yang berada ditengah di antara 3 pohon tua yang masih berdiri. Pada tahun III ditumbang
semua pohon tua yang masih tersisa. Dengan cara penumbangan ini, pohon sisipan mendapat sinar matahari yang
semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, dan sinar terdistribusi secara merata di seluruh kebun untuk
mengurangi terhambatnya pertumbuhan tanaman kelapa sawit akibat penaungan tanaman tua.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, E.S. 2010. Underplanting: Teknis peremajaan tanaman kelapa sawit tanpa kehilangan hasil. Jurnal Penelitian
STIPAP (1): 53-56.
Bernhard, M.R. 2007. Teknik budidaya dan rehabilitasi tanaman aren. Buletin Palma (33): 67-77.
Boerhendhy, I. dan K. Amypalupy. 2011. Optimalisasi produktivitas karet melalui penggunaan bahan tanam,
pemeliharaan, sistem eksploitasi, dan peremajaan tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 30(1): 23-30
Department of Agriculture Sabah. 1993. Rehabilitation of mature cacao, Side-cleft Grafting Method. Leaflet (613):
1-12.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet, dan
Kakao). Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Pedoman Umum Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao
Tahun 2011. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Pedoman Teknis Rehabilitasi Teh Rakyat Tahun 2012. Kementrian Pertanian.
Jakarta.
Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, F.E. Prasmatiwi, dan Afandi. 2010. Pengaruh tipe agroekosistem
terhadap produktivitas dan keberlanjutan usahatani kopi. Jurnal Agrotropika 15(1): 17-22.
Hartley, C.W.S. 1983. The Oil Palm. Longman. London.
Iskandar, S.H. 1983. Pengantar Budidaya Karet. IPB. Bogor.
Willson, K. 1999. Coffee, Cocoa and Tea. CABI Publ. Liverpool.
Wintgens, J.N. (ed). 2004. Coffee Growing, Processing, Sustainable Production. Wiley-VCH, Weinheim.
Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 2001. Cocoa. Fourth Edition. Balckwell Science. London.
Pemupukan Di Perkebunan 143

BAB XII
PEMUPUKAN DI PERKEBUNAN

P emupukan yang ingin dibahas dalam bab ini ialah pemberian bahan kepada tanah dan tanaman untuk menambah
hara tanaman. Pemupukan sangat diperlukan untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas tanaman.
Banyak perkebunan dibangun di lahan kering marginal dengan karakteristik kesuburan rendah, lapisan tanah atas
tipis, kadar bahan organik rendah, pH rendah, dan peka terhadap erosi. Meskipun kebun dibangun di lahan bukaan
hutan, kesuburan yang ada mungkin hanya cukup untuk mendukung pertumbu­han tanaman muda praproduksi. Tanpa
pemupukan tanaman akan menca­pai umur produksi awal yang lebih lama dan masa produktif lebih singkat. Untuk
mempersingkat masa praproduksi dan memperpanjang masa produktif maka pemupukan perlu dilakukan.
Biaya pemupukan di perkebunan mengambil sejumlah besar biaya untuk pemeliharaan. Bergantung dari banyak
faktor, biaya pemupu­kan kebun kelapa sawit bervariasi antara 20‑60% biaya pemeliha­raan. Biaya pemupukan di
kebun kakao produktif juga mengambil porsi sekitar 60% dari biaya pemeliharaan. Oleh karena itu pemu­pukan perlu
efisien agar diperoleh keuntungan yang optimal.
Efisiensi pemupukan bergantung dari keadaan fisiologi tana­man yang dipengaruhi oleh umur tanaman, keadaan
lingkungan atmos­fir seperti cuaca dan musim, dan pengelolaan kesuburan tanah. Secara praktisnya kebijakan
pemupukan di setiap kebun disusun berdasarkan pertimbangan dosis pupuk, waktu pemberian yang dite­tapkan
berdasarkan pola curah hujan, frekuensi pemberian pupuk yang ditetapkan berdasarkan tekstur tanah, penempatan
pupuk yang ditetapkan berdasarkan penyebaran akar, dan cara pemberian yang mempertimbangkan efisiensi tenaga .
Jenis pupuk yang umum digunakan di perkebunan antara lain sebagai berikut:
(1) Pupuk N seperti pupuk urea (46% N) dan pupuk ZA (21% N),
(2) Pupuk P seperti pupuk SP36 (36% P2O5), TSP (45% P2O5), dan Rock Phosphate (30% P2O5),
(3) Pupuk K seperti pupuk KCl atau MOP (60% K2O) dan ZK (50% K2O),
(4) Pupuk Mg seperti pupuk Kieserit (26% MgO) dan Dolomite (18% MgO)
(5) Pupuk B seperti HGF Borate (46% B2O5).

12.1 Kebutuhan Hara Tanaman


Kebutuhan hara tanaman merupakan salah satu pertimbangan dalam penentuan dosis pupuk termasuk untuk
perkebunan tanaman tahunan. Pada pembibitan, pemupukan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan agar diperoleh
bibit yang bermutu. Pada kebun TBM, tujuan pemupukan agar mendorong pertumbuhan vegetatif agar mampu
144 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

mendukung produtivitas yang tinggi. Pada kebun TM, pemupukan bertujuan untuk mengembalikan kesehatan
pertumbuhan tanaman akibat pertumbuhan reproduksi sehingga produktivitas tanaman dapat dipertahankan atau
ditingkatkan. Pengembalian unsur hara sejumlah yang terangkut ketika panen kurang tepat karena tanaman tahunan
terus membutuhkan hara untuk pertumbuhannya. Ketika kebun dibongkar pada siklus 25‑30 tahun sejumlah besar
akumulasi hara terangkut dari batang, rant­ing, dan akar yang dibersihkan dari lahan yang mungkin tidak terdaur ulang
di lahan kebun. Menurut Watson (1989) pada klon karet Tjir 1 dengan kerapatan 267 pohon per hektar pada umur 33
tahun mencapai 1233 kg K, 2119 kg Ca, 417 kg Mg, 1779 kg N dan 277 kg P per hektar.
Jumlah hara yang dibutuhkan tanaman semakin meningkat dengan bertambahnya umur, pertumbuhan tanaman,
dan produksi tanaman yang dipanen. Dengan demikian dosis pupuk akan semakin meningkat dengan bertambahnya
umur kemudian relatif tetap pada masa produk­si stabil dan perlu ditingkatkan apabila panen besar. Misalnya
rekomendasi pupuk N (urea) untuk tanaman kakao pada umur 1‑5 tahun berturut-turut adalah 25, 45, 90, 180, dan 220
kg/ha dan dianggap mantap untuk tahun‑tahun berikutnya.
Kebutuhan hara tanaman dihitung berdasarkan hasil analisis seluruh bagian tanaman. Jaringan tanaman
mengandung unsur‑unsur yang telah diambil oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Jumlah hara yang diserap tanaman
kelapa sawit per tahun dari kebun dengan kerapatan 148 pohon/ha dan tingkat produksi 25 ton tandan buah segar
disajikan pada Tabel 57.
Tabel 57. Jumlah hara yang diserap tanaman kelapa sawit

Hara yang diserap (kg/ha/tahun)


Komponen tanaman
N P K Mg Ca
Bagian vegetatif 40,9 3,1 55,7 11,5 13,8
Pelepah yang dipangkas 67,2 8,9 86,2 22,4 61,6
Tandan buah segar 73,2 11,6 93,4 20,8 19,5
Bunga jantan 11,2 2,4 16,1 6,6 4,4
Jumlah 192,5 26,0 251,4 61,3 89,3

Sumber: Ng et al. dalam Siahaan et al. (1993).


Pada tabel tersebut tampak bahwa tanaman kelapa sawit membu­tuhkan unsur hara K lebih tinggi daripada N,
kemudian disusul oleh hara Ca, Mg, dan P. Hara yang terangkut dalam TBS dan yang terakumulasi dalam bagian
vegetatif tidak kembali ke dalam tanah. Jumlah hara dari kedua komponen tersebut pada tingkat produksi 25 ton TBS/
ha/tahun mencapai 114,1 kg N, 14,7 kg P, 149,1 kg K, 32,3 kg Mg, dan 33,3 kg Ca. Jumlah ini setara dengan 253,5 kg
urea, 73,2 kg TSP, 299,5 kg KCl, 207 kg kieserit (298 dolomit), dan 155,4 kg dolomit.

12.2 Penelitian Dosis Pemupukan


Kebutuhan unsur hara yang akan diberikan ketika pemupukan dapat ditentukan melalui beberapa metode
yaitu secara kualitatif dengan melihat gejala defisiensi, dan secara kuantitatif terutama percobaan lapang yang
dikombinasikan dengan hasil analisis daun dan analisis tanah. Semua metode tersebut bersifat empiris; tidak satupun
metode tersebut dapat menjawab secara tuntas masalah praktis dalam pemupukan. Gejala defisiensi merupakan respons
khas pertumbuhan setiap jenis tanaman terhadap kondisi defisiensi unsur hara. Terdapat gejala defisiensi yang umum
seperti gejala klorosis (menguning) daun tua dan muda akibat kekurangan N, klorosis pada bagian antartulang daun
yang mengalami kekurangan Mg, dan gejala nekro­tik (kematian jaringan dengan cepat) pada daun yang mengalami
kekurangan K. Terdapat respon khas tanaman kekurangan hara seper­ti gejala kebakaran ujung daun (tip burn) pada
tanaman lada yang kekurangan K, gejala spot oranye (bronzing) pada daun kelapa sawit yang kekurangan K dan
Pemupukan Di Perkebunan 145

gejala daun kecil dan bengkok (hook leaf) akibat kekurangan B. Namun demikian, gejala defisiensi sering tidak mudah
dibedakan dengan gejala serangan penyakit dan mungkin merupakan gejala multidefisiensi.
Percobaan pot dan percobaan lapang merupakan metode yang paling mendekati realitas kebutuhan tanaman hasil
interaksinya dengan lingkungan yang khas. Dengan demikian dosis pemupukan dtentukan secara diskriminatif yaitu
kebun yang berbeda keadaan­nya diberikan jumlah pupuk yang berbeda. Metode ini lebih mahal dan membutuhkan
waktu yang lebih lama terutama bagi tanaman tahu­nan yang respon tanaman terhadap pupuk tidak cepat terlihat dan
siklus tanaman yang lama. Untuk itu hasil penelitian di berbagai tempat atau negara yang berbeda untuk tanaman sejenis
dapat digunakan sebagai pedoman baik untuk kebutuhan praktis maupun penelitian. Sebagai contoh rekomendasi
pemupukan kelapa sawit disajikan pada Tabel 58.
Tabel 58. Dosis pemupukan tanaman kelapa sawit pada tanah aluvial dan hidromorfik di Sumatera Utara

Umur Dosis pupuk (kg/pohon/tahun)


(tahun) Urea TSP KCl Kieserit Borate
1 0,5-0,6 0,5-0,6 0,75-1,0 0,5-0,6 0,03
2 0,7-0,8 0,6-0,75 1,0-1,2 0,7-0,8 0,06
3 0,9-1,0 0,8-1,0 1,2-1,5 0,9-1,0 0,10
TM* 2,0-3,0 1,0-1,5 2,0-3,0 1,5-2,0 0

* Tingkat produksi TBS 25-30 ton/ha/tahun


Sumber: Siahaan et al. (1993)
Jika hasil analisis daun ditentukan dari daun tanaman yang telah ada maka metode analisis dapat menjawab
masalah awal sebe­lum tanaman ada atau sebelum terjadinya defisiensi. Analisis tanah yang telah teruji dengan korelasi
percobaan lapangan yang cukup lama memberikan kemudahan dalam menentukan dosis pemupukan. Pada tanaman
perkebunan semusim seperti tembakau dan kapas atau tahunan‑singkat seperti tebu metode ini lebih sederhana namun
cukup teliti. Hasil‑hasil percobaan yang menunjukkan hubungan antara kandungan hara dalam tanah, produksi
tanaman, dan dosis rekomendasi dapat dipakai sebagai pedoman misalnya berupa monografi pemupukan. Dengan
mengetahui kandungan hara dalam tanah maka dapat ditentukan dosis pupuk yang harus diberikan.
Metode analisis tanah semata untuk menetapkan kebijakan pemupukan diakui tidak sepenuhnya tepat. Hasil
analisis tanah dapat saja menyimpulkan bahwa suatu areal lahan tidak subur tetapi petani berkebun kelapa sawit
dan kakao tanpa melakukan pemupukan memberikan hasil selama 30 tahun tanpa menemui gejala penurunan hasil.
Kesulitan dalam mengorelasikan hasil analisis tanah dengan “kesuburan” terjadi kerena: (1) perakaran mengek­strak
hara dari berbagai sumber yaitu larutan tanah, ion‑ion tertukarkan, dan mineral tanah yang terdekomposisi; (2)
tanaman amat berbeda kebutuhannya dan kemampuannya dalam menyerap hara, (3) cara pengukuran mungkin tidak
menunjukkan kemampuan riil tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman tertentu; (4) volume perakaran yang
tersedia bagi tanaman amat bervariasi, (5) kondisi fisik tanah mempengaruhi kemampuan akar untuk menyerap hara.
Analsis daun untuk tujuan diagnostik sangat berguna khusus­nya bagi tanaman perkebunan tahunan dimana respon
pemupukan relatif lama dan daun contoh dapat diambil dengan mudah. Bahaya menggunakan analisis tanah sebagai
satu‑satunya metode penentuan rekomendasi pemupukan adalah bahwa metode ini mungkin gagal dalam menentukan
saat yang tepat deplesi tanah akibat pemupukan dan pengelolaan tanah yang jelek.
Analisis daun sebagai suatu metode untuk menetapkan kebutu­han pupuk mempunyai keuntungan yang melengkapi
metode diagnosis yang lain. Keuntungan tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Dapat lebih menguatkan hasil diagnosis secara visual;
(2) Dapat mendiagnose tanaman dalam keadaan kelaparan tersembunyi yang belum memperlihatkan gejala
defisiensi.
146 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

(3) Dapat memberikan keterangan mengenai neraca hara dalam tana­man apabila respon pemupukan tidak terlihat
pada produksi.
(4) Dapat membantu menafsirkan hasil percobaan pot dan percobaan lapang.
(5) Dapat memberikan petunjuk untuk membedakan masalah defisiensi hara atau masalah lain misalnya maslah
penyakit.
(6) Penilaian keadaan hara tanaman dapat diikuti sepanjang hidup tanaman, memungkinkan perbaikan
ketidakseimbangan unsur hara, sehingga dapat dicegah perkembangan kekurangan hara pada waktu yang lebih
awal.
(7) Dengan membandingkan batas‑batas jenjangnya dapat ditetapkan kebijakan pemupukan.
(8) Pelaksanaan analisis daun lebih mudah dibandingkan analisis tanah dan pengambilan sampel yang relatif lebih
ringan.
Cara sampling daun mempengaruhi akurasi penafsiran analisis daun. Daun harus diambil pada umur, letak daun
pada pohon, musim pertumbuhan, dan waktu (pukul) yang tepat. Daun sampel yang diambil untuk tanaman tebu
adalah daun nomor 1 menurut kriteria Kuyper yaitu daun tebu yang sudah berkembang penuh dengan ciri tampaknya
siku daun pertama kali dari atas. Atas dasar kemudahan, daun kelapa sawit disampling daun nomor 3 untuk tana­man
berumur 1‑2 tahun, nomor 9 untuk tanaman berumur 3‑4 tahun, dan nomor 17 tanaman berumur lebih dari 4 tahun. Hal
karena mudah ditentukan berdasarkan urutan filotaksis daun dan daun berada di tengah. Pengambilan dilakukan antara
pukul 07.00‑12.00. Pengambi­lan daun tidak diperkenankan apabila curah hujan melebihi 20 mm dan baru diizinkan
36 jam setelah hujan reda.
Penafsiran yang tepat mengenai data hasil analisis daun adalah suatu tahap yang terpenting dan terpelik dalam
metode diagnosis ini. Para peneliti berpendapat bahwa sulitnya penafsi­ran ini karena banyaknya faktor‑faktor yang
berinteraksi. Sampai sekarang dipakai dua metode utama penafsiran diagnosis daun untuk saran pemupukan yaitu
metode pendekatan nilai kritis (critical value approach method) dan sistem diagnosis dan rekomendasi terpadu
(diagnosis and recomendation integrated system). Metode pendekatan nilai kritis berdasarkan kepada penemuan
bahwa tingkat kandungan hara daun dapat dizonakan ke dalam rentang suksesi sesuai dengan pengaruhnya. Ini dapat
dilihat pada Gambar 23 yang menunjukkan kurve pertumbuhan atau hasil akibat pengaruh perubahan yang bertahap
konsentrasi mineral elemen. Contoh hasil analisis daun dan batas kritis defisiensi unsur hara pada tanaman teh disajikan
pada Tabel 59.
Respon pertumbuhan atau produksi


Gambar 23. Diagram defisiensi dan toksisitas sehubungan dengan kandungan hara daun dan pertumbuhan serta
hasil
Pemupukan Di Perkebunan 147

Tabel 59. Batas kritis kandungan unsur hara daun teh

Unsur hara Defisien Subnormal Normal Tinggi


N (%) < 3,0 3,0 - 4,0 4,0-5,0 > 5,0
P (%) <0,35 0,35 - 0,40 0,40-0,50 > 0,50
K (%) < 1,6 1,6 -2,0 2,0-3,0 > 3,0
Ca (%) < 0,05 0,05-0,10 0,10-0,35 > 0,35
Mg (%) < 0,05 0,05-0,10 0,10-0,30 > 0,30
Fe (ppm) < 60 60-100 100 -500 > 500
Mn (ppm) < 50 50-100 100-500 > 500
Zn (ppm) < 20 20-25 25-50 > 50
Cu (ppm) < 10 10-15 15-30 > 30
B (ppm) <8 8-12 12-100 > 100

Sumber: Willson (1999)

12.3 Penetapan Dosis Pemupukan


Dosis pemupukan pada pembibitan dan TBM tanaman keras didasarkan hasil-hasil percobaan yang dilakukan
pada jenis tanah tertentu. Dosis rekomendasi di suatu tempat dapat digunakan sebagai acuan dalam percobaan
penentuan dosis pemupukan pembibitan dan TBM di tempat dan jenis tanah yang lain. Hasil analisis kandungan hara
tanah, umur tanaman, dan kebutuhan hara penyusun bagian vegetatif tanaman menjadi dasar penetapan dosis TBM.
Meskipun suatu lahan termasuk kesesuaian kelas S1, TBM tetap perlu dipupuk agar dicapai pertumbuhan vegetatif
yang optimum.
Tabel 60. Rekomendasi umum pemupukan tanaman kakao

Dosis pupuk (g/tanaman)


Fase/umur
Urea TSP KCl Kieserit
Bibit 5 5 4 4
0-1 tahun 25 25 20 20
1-2 tahun 45 45 35 40
2-3 tahun 90 90 70 60
3-4 tahun 180 180 135 70
> 4 tahun 220 180 170 115
Sumber: PPKKI (2004)
Penetapan dosis TM tanaman keras berdasarkan hasil-hasil percobaan yang dilaksanakan dalam jangka panjang
sehingga muncul rekomendasi umum untuk komoditas tertentu. Untuk rekomendasi spesifik lokasi maka rekomendasi
berdasarkan unsur hara yang terangkut panen, tingkat produtivitas, tingkat dosis sebelumnya, hasil analisis tanah dan
daun tanaman. Metode penggantian unsur hara yang terangkut panen didasarkan pada asumsi bahwa unsur hara yang
148 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

terangkut pada saat panen perlu diganti agar produktivitas tanaman dapat dipertahankan. Misalnya pada tanaman
kakao, kadar unsur hara dalam biji adalah 12,8% N, 12% P2O5 dan 16% K2O. Jika produksi kakao1000 kg/ha maka
hara yang diangkut adalah 128 kg N, 120 kg P2O5 dan 180 kg K2O yang setara dengan 284 Urea (46% N), 260 kg
TSP (46% P2O5) , dan 346 KCl (52% K2O). Mengingat efisiensi pemupukan, pupuk urea perlu ditambah 10%, KCl
ditambah 30%, sedangkan TSP tidak perlu penambahan maka rekomendasi pemupukan untuk kakao sebagai berikut.
Tabel 61. Dosis pemupukan kakao berdasarkan produktivitas

Produktivitas Dosis pupuk (kg/ha/tahun)


(kg/ha/tahun) Urea TSP KCl
1.000 310 260 350
1.200 370 310 420
1.400 440 360 490
1.600 500 420 560
1.800 560 470 630
2.000 620 520 700

Sumber: PPKKI (2004)


Metode penggantian unsur hara yang terangkut panen perlu mempertimbangkan jumlah unsur hara yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif. Pohon bertambah besar dengan bertambahnya umur, sedangkan hara bagian-
bagian yang gugur atau dipangkas akan kembali ke dalam tanah, seperti yang disajikan pada Tabel 62.
Pertumbuhan vegetatif tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara nitrogen 40,9 kg, fosfor 3,1 kg, kalium
55,7 kg, magnesium 11,5 kg dan kalsium 13,8 kg per hektar per tahun. Untuk tingkat produksi TBS 25 ton per hektar
pertahun maka terangkut unsur hara nitrogen 73,2 kg, fosfor 11,6 kg, kalium 16,1 kg, magnesium 6,6 kg dan kalsium
4,4 kg per hektar per tahun. Untuk pertumbuhan vegetatif dan penggantian hara nitrogen yang terangkut panen tandan
buah segar berjumlah 114,1 kg yang setara dengan dosis pupuk urea (45%) sebanyak 253,5 kg per hektar. Efisiensi
pemanfaatan pupuk yang diberikan bergantung pada jenis tanah dan cara pemberian. Efisiensi pupuk urea berkisar
60-80%, TSP 30-40%, KCl 70-80%. Jika populasi standar 148 pohon per hektar maka dosis pupuk adalah 1,7 kg per
pohon, Dengan pertimbangan sebagian jumlah pupuk akan hilang maka rekomendasi pemupukan kelapa sawit TBM
untuk standar produksi TBS 25 ton per hektar adalah sekitar 2,0 kg per pohon per tahun.
Tabel 62. Rekomendasi umum dosis pemupukan kelapa sawit TM

Jenis pupuk Dosis pupuk (kg/pohon)


Semester I Semester II Jumlah per tahun
Urea 1,0 1,0 2,0
Atau ZA 1,5 1,5 3,0
RP 0,75 1,0 1,75
Atau TSP 0,5 0,75 1,25
MOP 0,75 0,75 1,50
Kieserit 0,50 0,75 1,25
BGF Borate 0 0,05 0,05
Sumber: LPP (2000)
Pemupukan Di Perkebunan 149

Demikian juga untuk penetapan pupuk P, dimana untuk pertumbuhan vegetatif dan penggantian hara P yang
terangkut panen tandan buah segar berjumlah 14,7 kg P (berat atom 30,97) yang setara dengan 33,7 kg P2O5 (BM =
141,84) yang setara dengan dosis pupuk TSP 73,2 kg per hektar. Jika diambil efisiensi pemupukan P sebesar 40%
maka rekomendasi dosis 183 kg per hektar atau 1,24 kg per pohon per tahun.
Penentuan jumlah pupuk yang diberikan berdasarkan hasil analisis daun lebih praktis apabila tersedia hasil studi
dan rekomendasi yang menunjukkan hubungan antara pertumbuhan tanaman dengan kandungan unsur hara daun dan
jumlah pupuk yang diberikan. Pada tanaman tebu hubungan tersebut disajikan pada Tabel 63 dengan kisaran dosis
tertentu. Dari hasil analisis daun dapat diketahui status kandungan hara daun, berdasarkan status tersebut ditentukan
dosis pupuk yang direkomendasikan. Dari kisaran dosis tersebut dapat dipilih batas bawah jika diinginkan penghematan
pupuk atau batas atas apabila diinginkan produksi yang optimal.
Tabel 63. Penentuan dosis pemupukan tanaman tebu

Rentang kandungan hara


Status hara daun Jumlah pupuk (kg/ha)
(% bobot kering daun)
Status N
Tinggi >2,25 0-60
Normal 2,00-2,25 60-90
Sedang 1,75-1,99 90-130
Rendah 1,50-1,74 130-180
Sangat rendah <1,50 >180
Status P2O5
Tinggi >0,49 0-36
Normal 0,43-0,49 36-90
Sedang 0,36-0,42 90-125
Rendah 0,30-0,35 125-180
Sangat rendah <0,30 >180
Status K2O
Tinggi >2,50 0
Normal 2,25-2,50 0-60
Sedang 2,00-2,24 60-120
Rendah 1,75-1,99 120-180
Sangat Rendah <1,75 >180
Sumber: Pawirosemadi (1996)
Berdasarkan status kandungan hara baik di tanah maupun di daun maka pupuk harus diberikan apabila: (1)
kandungan hara dalam daun dan tanah lebih rendah atau berada pada batas ambang kahat; (2) kadar hara dalam daun
lebih rendah daripada batas ambang kahat, meskipun kandungan unsur hara tersebut dalam tanah lebih tinggi daripada
ambang batas kahat. Dasar pertimbangannya adalah walaupun kandungan hara dalam tanah tinggi tetapi mungkin
tidak tersedia bagi tanaman sehingga kadar hara dalam daun rendah; (3) kadar unsur hara dalam daun lebih tinggi
daripada batas ambang kahat, tetapi unsur hara tersebut dalam tanah rendah, sehingga pupuk tetap harus diberikan; (4)
pertimbangan praktis seperti penghematan pupuk, tingkat produktivitas, dan harga produk.
Apabila kadar unsur hara tertentu baik dalam daun maupun dalam tanah berada di atas batas ambang kahat maka
sesungguhnya tanpa diberi pupuk, pertumbuhan dan produksi pohon akan tetap optimal. Namun dengan pertimbangan
konservasi hara tanah dan penggantian sejumlah unsur hara yang terangkut panen, maka pupuk tetap perlu diberikan
dengan dosis yang dikurangi dari rekomendasi umum atau rekomendasi tahun sebelumnya. Balai Penelitian Sembawa
(2011) menyusun rekomendasi pemupukan karet berdasarkan fungsi sebagai berikut:
150 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

DR = DU – (a x IHT + b x IHD + c x ISPT + d x IGA) x e x DU + HT dimana


DR = dosis rekomendasi (g/pohon/tahun)
DU = dosis umum hasil percobaan (g/pohon/tahun)
IHT = indeks hara tanah
IHD = indeks hara daun
ISPT = indeks serangan penyakit
IGA = indeks gangguan angin
HT = hara yang terkuras karena peningkatan produksi
a-e = konstanta-konstanta
Pada dasarnya rekomendasi pupuk ditentukan berdasarkan dosis rekomendasi umum atau dosis tahun sebelumnya.
Besar konstanta pengurangan atau penambahan dosis pupuk ditentukan dari hasil servei sehingga diperoleh indeks
hara tanah, hara daun, gangguan hama penyakit, dan gangguan angin. Pada Tabel 64 disajikan contoh kriteria dan skor
status hara daun tanaman karet dan pada Tabel 65 disajikan contoh kriteria dan skor status hara tanah.
Tabel 64. Kriteria status hara daun tanaman karet

Skor N (%) P (%) K (%) Mg (%)


+5 > 4,31 > 0,291 > 1,80 > 0,260
+4 4,11 – 4,30 0,278 – 0,291 1,71 – 1,80 0,251 – 0,260
+3 3,91 – 4,10 0,264 – 0,277 1,61 – 1,70 0,241 – 0,250
+2 3,71 – 3,90 0,251 – 0,263 1,51 – 1,60 0,231 – 0,240
+1 3,51 – 3,70 0,237 – 0,250 1,41 – 1,50 0,221 – 0,230
0 3,30 – 3,50 0,233 – 0,236 1,31 – 1,40 0,211 – 0,220
-1 3,10 – 3,29 0,208 – 0,232 1,21 – 1,30 0,201 – 0,210
-2 2,90 – 3,09 0,196 – 0,207 1,11 – 1,20 0,191 – 0,200
-3 2,70 – 2,89 0,182 – 0,195 1,01 – 1,10 0,181 – 0,190
-4 2,50 – 2,69 0,169 – 0,181 0,90 – 1,00 0,170 – 0,180
-5 < 2,49 < 0,168 < 0,90 < 0,170

Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2011)


Tabel 65. Klasifikasi dan skor kadar hara tanah

Unsur hara/kriteria Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi


(skor) (- 2) (- 1) (0) (+ 1) (+ 2)
C (%) < 1,00 1,00 – 2,00 2,01 – 2,00 3,01 – 4,00 > 4,00
N (%) < 0,10 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,80 > 0,80
P (ppm) <5 5 – 15 16 – 25 26 – 35 > 35
K (me/100 g) < 0,10 0,10 – 0,30 0,31 – 0,50 0,51 – 0,70 > 0,70
Ca (me/ 100 g) < 0,25 0,25 – 1,00 1,01 – 1,75 1,76 – 2,50 > 2,50
Mg (me/100 g) < 0,20 0,20 – 0,50 0,51 – 0,80 0,81 – 1,10 > 1,10
KTK (me/100 g) <5 5 – 16 17 – 28 29 – 40 > 40

Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2011)


Pemupukan Di Perkebunan 151

Murni et al. (1997) menghitung jumlah unsur hara yang direkomendasikan 20-50% lebih tinggi dari dosis
sebelumnya apabila kadar unsur hara daun sama atau lebih rendah daripada batas ambang kahat; namun apabila
kadar unsur hara dalam daun lebih tinggi dari batas ambang kahat maka dosis pupuk diturunkan 20-50% dari dosis
sebelumnya. Contoh rekomendasi pemupukan berdasarkan pertimbangan tersebut disajikan pada Tabel 66.
Tabel 66. Rekomendasi pupuk kelapa hibrida

Hasil analisis N P K Mg
Hara tanah (mg/kg) 0,05 0,73 269,1 87,6
Batas kahat 0,20 20,0 150,0 200,0
Hara daun (%) 1,58 0,10 1,15 0,06
Batas kahat 2,20 0,12 1,40 0,20
Dosis pupuk (g/phn/tahun) N P2O5 K2O MgO
Sebelumnya 900 345 144 203
Rekomendasi 1350 518 216 304

Sumber: Murni et al. (1997)

13.3 Waktu dan Frekuensi Pemupukan


Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah. Akan tetapi usaha itu tidak akan
memberikan hasil seperti yang diharapkan apabila keadaan lengas tanah tidak mendukung. Pemupukan yang
dikerjakan pada tanah yang kekurangan lengas justru akan menimbulkan cekaman fisiologi (physiological stress)
pada tanaman karena meningkatnya kekentalan larutan tanah. Aki­batnya penyerapan air dan hara oleh akar terhambat,
atau kalau terlalu kental terjadi aliran balik dari tanaman ke tanah. Kalau proses ini tidak terkendali, akhirnya sel‑sel
akar mengalami plasmolisis yang mematikan. Sebaliknya apabila air hujan berlebi­han maka efisiensi pemupukan
rendah karena banyak pupuk yang hanyut. Jumlah air yang cukup untuk melarutkan pupuk ialah kira‑kira 70‑75% dari
kapasitas lapang. Umumnya pada kebun kelapa sawit yang terpelihara baik keadaan lengas yang demikian dipero­leh
apabila curah hujan sehari sebelumnya mencapai ± 20 mm dan bulan sebelumnya tidak terjadi defisit air.
Tanaman tahunan melewati musim hujan dan kemarau, dan paso­kan air umumnya bergantung dari hujan. Saat
(waktu) pemupukan yang baik harus mempertimbangkan keadaan musim. Pada daerah beriklim musim tegas, aplikasi
pemupukan harus dilakukan di awal musim hujan dan tidak dilakukan sebelum atau selama musim kering dan pada
pertengahan musim hujan. Pada daerah berdistribusi hujan merata, harus dihindarkan pemupukan pada periode
terkering dan pada periode hujan terlebat; apabila mungkin dipilih bulan‑bulan yang memiliki jumlah penyinaran
yang cukup dan terjadi hujan yang sedang; lebih disukai sebelum musim berhujan daripada musim kering.
Berikut ini rincian waktu yang perlu dihindari untuk aplikasi pupuk:
(1) periode curah hujan tinggi yaitu > 250 mm/bulan,
(2) periode curah hujan rendah yaitu < 25 mm/bulan,
(3) bulan dengan jumlah hari hujan tinggi yaitu > 15 hari/bulan,
(4) bulan dengan intensitas curah hujan harian tinggi yaitu > 25 mm/hari,
(5) periode ketika tanah jenuh air hujan.
Frekuensi pemberian pupuk harus mempertimbangkan efisiensi pemupukan dan efisiensi penggunaan tenaga.
Pemberian pupuk satu kali setahun dianggap tidak baik mengingat banyak pupuk yang bersifat cepat terlarut
sementara tanaman membutuhkan sepanjang tahun. Pemberian pupuk dalam beberapa kali aplikasi akan mening­
katkan pemanfaatan pupuk oleh tanaman namun akan meningkatkan biaya tenaga pemupukan.
152 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan, pemberian pupuk N, P, dan K dilakukan tiga kali setahun yakni
menjelang, di awal, dan di akhir musim hujan, sedangkan pupuk Mg diberikan pada awal dan akhir musim hujan.
Agihan pupuk N adalah 25%, 50%, dan 25%; pupuk P dan K adalah 25%, 25%, dan 50% sedangkan pupuk Mg 2/3
dan 1/3 dosis. Agihan pupuk tersebut juga dapat disesuaikan untuk daerah berpola musim hujan kecil dan musim hujan
besar yaitu aplikasi pada musim hujan kecil, awal musim hujan besar, dan akhir musim hujan besar.
Pemberian pupuk pada tanaman kelapa sawit sudah menghasilkan dilakukan dua kali setahun yaitu pada awal
dan akhir musim hujan atau untuk pola musim hujan kecil‑besar adalah pada musim hujan kecil dan pada awal musim
hujan besar. Agihan pupuk N dan Mg adalah 2/3 dab 1/3 dosis; pupuk P dan K adalah 1/3 dan 2/3 dosis.

12.4 Tempat dan Cara Pemberian Pupuk


Tempat peletakan pupuk yang tepat berdasarkan letak penyeba­ran perakaran yang aktif menyerap. Bagian akar
yang aktif menyer­ap umumnya terletak pada ujung perakaran berupa akar‑akar rambut atau akar kuarterner dan
ujung‑ujung akar pada perakaran tanaman famili palma. Dengan demikian umumnya pupuk diletakkan semakin jauh
dari pohon sesuai dengan bertambahnya umur tanaman. Namun demikian banyak juga tanaman yang mempunyai
struktur perakaran yang intensif tersebar di dekat permukaan tanah. Sebagai pedoman umum, letak perakaran yang
aktif menyerap terdapat pada proyeksi ke tanah tajuk pohon yang terluar.
Cara pemberian pupuk yang baik adalah sesuai dengan tempat pemberian yang tepat dan dibenamkan dalam
tanah untuk mengurangi kehilangan pupuk karena menguap maupun hanyut. Cara pembenaman dapat secara setempat
berupa lubang atau berupa jalur parit. Yang dianggap tepat adalah dengan memberikan dalam parit sedalam 5 cm
melingkari proyeksi terluar tajuk pohon. Namun cara pemberian dengan dibenamkan dengan membuat parit dapat
melukai perakaran serta dianggap kurang efisien tenaga. Biaya yang meningkat karena penambahan tenaga lebih besar
daripada kehilangan pupuk. Cara yang lebih hemat tenaga adalah dengan cara tabur baik tabur berjalur atau tabur
merata di sekitar pohon. Kehilangan pupuk akibat cara tabur ini sudah harus dipertimbangkan dalam penentuan dosis.
Pupuk diberikan apabila telah dilakukan penyian­gan gulma.
Pada tanaman karet berumur 3‑27 bulan pupuk diberikan di sekeliling pohon yang terlebih dahulu telah dibuat
parit. Jarak dari pohon bergantung pada umur dan semakin jauh dengan semakin bertambahnya umur. Bagi tanaman
berumur 1 tahun, jarak pupuk ke pohon sekitar 30 cm. Pada tanaman yang tajuknya telah saling menutup, pupuk
diletakkan 1‑1,5 m di sebelah kiri‑kanan barisan tanaman atau pada gawangan karet. Pada tanaman karet sudah meng­
hasilkan, penyiangan atau penyemprotan gulma dilakukan sebelum pemupukan. Sekitar satu minggu sebelum gugur
daun, pupuk ditabur dalam gawangan yang sudah bersih selanjutnya ditutup tanah atau seresah guguran daun.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Sembawa. 2011. Rekomendasi pemupukan tanaman karet PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha
Kedaton untuk Tahun 2011. Sembawa.
Barus, J. 2007. Penghitungan dosis optimum pemupukan pada berbagai status P tanah dengan fungsi Mitcherlich-
Bray. J. Tanah Trop. 12(2): 99-104.
Mangoensoekarjo, S. (Ed). 2007. Manajemen Tanah dan Pemupukan Budidaya Perkebunan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Murni, A.M., R. Kasim, R. Erna, dan R. Asnawi. 1997. Status hara kelapa hibrida dan rekomendasi pemupukan di dua
desa Kecamatan Palas, Lampung Selatan. J. Tanah Trop. (5): 47-51.
Pawirosemadi, M. 1996. Petunjuk teknis cara menggunakan nomografi analisis tanah untuk menetapkan dosis pupuk.
Seri Pedoman P3GI (4): 1-12.
Pemupukan Di Perkebunan 153

PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Setyorini, D., J.S. Adiningsih, dan S. Rochayati. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan.
Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Siahaan, M., M. Suwandi, dan A. Panjaitan. 1993. Pemupukan tanaman kelapa sawit. Makalah pada Pelatihan Staf/
PPS Disbun Se-Sumatera dan Jawa Barat, di Medan, tanggal 18-25 Februari.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Wahid, P. 1984. Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi lada (Piper nigrum L.).
Disertasi, IPB, Bogor.
Willson, K. 1999. Coffee, Cocoa, and Tea. CABI Publ. Wallingford.
154 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Pengendalian Hama Dan Penyakit 155

BAB XIII
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT

P erkebunan merupakan usahatani yang umumnya sangat luas dan bersifat monokultur sehingga dapat memudahkan
perkembangan hama dan penyakit secara cepat. Pengendalian hama dan penyakit merupa­kan bagian dari
pengelolaan perkebunan yang sangat menentukan. Hama dan penyakit merupakan faktor kritis yang bukan hanya
dapat menurunkan produksi dan keuntungan melainkan juga dapat menghan­curkan usaha perkebunan. Investasi
pembangunan kebun seringkali sangat besar sehingga upaya pengendalian hama dan penyakit menja­di sangat
diperhatikan. Pengendalian hama dan penyakit membutuh­kan banyak dana. Pengendalian hama dan penyakit di kebun
kopi menghabiskan 10‑20% dana pemeliharaan.
Besarnya risiko serangan hama dan penyakit menjadi salah satu dasar pertimbangan kelayakan usaha perkebunan.
Hindia Belan­da menghentikan pengembangan kopi Arabika karena jenis kopi ini rentan terhadap penyakit karat
daun dan kemudian dikembangkan kopi Robusta dan tanaman karet. Perusahaan akan menghindarkan diri menanam
tanaman tahunan yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang sulit dikendalikan. Walaupun dengan
pestisida umumnya hama dan penyakit dapat dikendalikan namun tingkat kesu­litan dan mahalnya biaya menjadi
pertimbangan. Di Lampung misal­nya penyakit busuk pangkal batang lada sulit diatasi dan di Temanggung penyakit
busuk batang vanili juga sulit dikendalikan. Di samping masalah pasar yang menguntungkan, perusahaan perkebu­nan
terutama menanam komoditas yang hama dan penyakitnya relatif mudah diatasi misalnya kelapa sawit, karet, teh,
kakao, dan tebu.
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit adalah:
(1) Mematikan tanaman; hama dan penyakit seperti ini akan menjadi sangat penting apabila serangannya cepat
meluas, misalnya hama kumbang kelapa (Oryctes), penyakit busuk pangkal batang lada, penyakit karat daun
kopi, dan cendawan akar putih pada karet.
(2) Menurunkan luas panen dan produksi yang merupakan akibat umum serangan hama dan penyakit
(3) Menurunkan kualitas hasil apabila hama dan penyakit yang menyerang bagian tanaman yang diambil hasilnya
seperti daun tembakau, buah lada, kopi, dan kakao.
(4) Meningkatkan biaya pemeliharaan; biaya pengendalian berfluk­tuasi sesuai keadaan serangan;
156 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

13.1 Pengendalian Hama Terpadu


Penggunaan pestisida di perkebunan terus meningkat. Diband­ingkan dengan cara pengendalian yang lain,
pestisida memang mempunyai banyak keunggulan antara lain daya racun tinggi dan cepat yang berspektrum luas
sehingga dapat mematikan banyak jenis hama sekaligus, penggunaannya praktis dan lentur sehingga dapat disesuaikan
dengan keadaan, serta seringkali mampu memberikan keuntungan yang tinggi. Namun teknologi ini ternyata tidak
mampu menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya pestisida menimbulkan masalah‑masalah baru yang tidak pernah
diperhitungkan sebelumnya seperti meningkatnya ketahanan hama, terbunuhnya musuh alami, peledakan hama,
adanya residu, dan pencemaran lingkungan. Mengingat harga atau nilai pestisida mahal, baik dilihat dari segi ekologi
maupun ekonomi, maka penggunaannya perlu diper­timbangkan dengan bijaksana. Di dalam sistem pengendalian
hama terpadu, pestisida merupakan pilihan terakhir apabila cara pen­gendalian yang lain belum mampu menanggulangi
serangan. Pengertian pengendalian hama terpadu (PHT) menurut UU No. 12 tahun 1991 tentang Budidaya Tanaman
dan PP No. 5 tahun 1996 tentang Perlindungan Tanaman adalah usaha untuk mengoptimumkan hasil pengendalian
hama secara ekonomis dan ekologis, yang dapat dicapai dengan menggunakan berbagai taktik secara kompatibel agar
tetap mempertahankan kerusakan hama di bawah aras kerusakan ekonomi, dan melindungi terhadap ancaman atau
bahaya bagi manusia, binatang dan lingkungan.
Pada ekosistem perkebunan terdapat keseimbangan alami se­hingga banyak hama penyakit yang tingkat kepadatan
populasinya dapat ditekan oleh musuh alaminya. Keadaan ekosistem yang demiki­an idealnya itu dapat menyebabkan
umumnya tingkat serangan hanya sporadis dan tidak eksplosif. Namun karena suatu hal misalnya keadaan iklim
dan penggunaan pestisida, serangan dapat menjadi serius. Oleh karena itu pengendalian hama dan penyakit (PHT)
di perkeb­unan harus memadukan semua cara pengendalian yang tersedia. Prinsip PHT adalah memadukan berbagai
langkah yang mencakup: (1) pencegahan kemungkinan timbulnya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT),
(2) menekan perkembangan populasi organisme pengganggu apabila timbul serangan, (3) mengambil langkah-langkah
pemberantasan apabila populasi hama dan penyakit berkembang kearah terjadinya eksplosi.
Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama dan penyakit.
Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang
dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok
tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan hama dan penyakit
serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk
mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik
menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama dan penyakit, dan 4) Penggunaan pestisida secara
selektif untuk mengembalikan populasi hama dan penyakit pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida
didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis
ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan
direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman
sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambiian keputusan pengendalian oleh petani.

13.2 Pengendalian secara Kultur Teknis


Hama dan penyakit dapat lebih murah dikendalikan secara kultur teknis. Pengendalian secara kultur teknis meliputi
semua kegiatan budidaya tanaman sehat dan merupakan bagian dari pengelolaan tanaman secara terpadu (integrated
crop management). Pengendalian secara kultur teknis lebih bersifat ke arah mencegah daripada membunuh. Lebih
lagi usaha perkebunan banyak yang berjangka panjang. Dalam pembangunan kebun, kultur teknis harus direncanakan
dengan mempertimbangkan banyak aspek termasuk masalah pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama
dan penyakit secara kultur teknis meliputi upaya sebagai berikut.
Pengendalian Hama Dan Penyakit 157

(1) Penanaman varietas/klon unggul.


Cara pemecahan jangka panjang yang paling memuaskan adalah selek­si dan pemuliaan kultivar yang resisten
terhadap hama dan penya­kit. Tidak menanam varietas/klon yang rentan dan menanam varie­tas/klon yang resisten
menghindarkan perkebunan dari kerusakan dan kehancuran akibat hama dan penyakit yang berbahaya. Sebagai
contoh kakao klon DRC 16 tahan terhadap penyakit busuk buah, kakao klon Sca 6 dan DRC 15 tahan terhadap
terhadap penyakit pembuluh kayu, kakao klon KW 14 tahan terhadap hama penggerek buah kakao, kopi Arabika
lini S seperti S‑795, S‑333, dan S‑288 tahan terhadap penyakit karat daun, karet klon GT1 dan LCB 1320 cukup
tahan terhadap penyakit embun tepung, tebu klon POJ 2878 tahan terhadap penyakit serai, tembakau var. TI 1068
tahan terhadap aphid dan kutu.
(2) Penanaman benih/bibit sehat
Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria bersertifikat dan/atau sehat, unggul, dan tahan hama.
Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk
itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama atau penyakit. Banyak
penyakit yang ditularkan melalui bahan tanam seperti biji dan setek. Penggunaan bahan tanam yang sehat
merupakan awal budidaya tanaman yang sehat.
(3) Pembersihan lahan dari sisa tanaman sebelumnya.
Pada penanaman ulang (replanting), lahan dibuka kembali dan sisa tanaman sebelumnya baik berupa tunggul
maupun akar sebaiknya dibongkar untuk dikumpulkan dan dibakar. Kebersihan lahan merupa­kan metode yang
tepat dan berharga dalam mengendalikan hama dan penyakit. Sisa tanaman ini merupakan sumber hama dan
penyakit bagi tanaman berikutnya terutama penyakit tular tanah. Misalnya penyakit jamur akar putih karet
banyak menyerang tanaman replant­ing yang tunggul tanaman karet tidak dibongkar; larva hama kum­bang kelapa
berkembang pada batang kelapa dan tunggul karet yang sudah busuk. Peracunan tanaman tua yang diremajakan
akan mem­percepat lapuk sempurna. Batang kelapa sawit yang diracun akan lapuk dalam 2‑2,5 tahun dibandingkan
jika tidak diracun akan lapuk setelah 3‑4 tahun. Terdapat tanaman dan gulma yang merupakan inang bagi hama
dan penyakit sehingga perlu disiangi. Pada penanaman ulang tembakau pembersihan lahan dan pengolahan tanah
segera setelah panen menekan serangan hama dan penyakit. Pembersihan lahan dilakukan sebagai berikut: (1)
Tebas dan singkirkan batang tembakau pada hari yang sama atau sehari setelah panen selesai; (2) pada hari yang
sama tunggul dibajak; (3) Dua minggu kemudian dilakukan bajak dalam untuk membunuh akar yang tersisa dan
mengubur sisa tumbuhan; (4) Lakukan kembali bajak singkal untuk membunuh akar dan membersihkan semua
sampah; (5) sebar benih LCC untuk mengendalikan erosi.
(4) Mengatur kelembaban kebun
Kelembaban yang tinggi disukai bagi perkembangan hama dan penyakit tertentu. Kebun akan lebih lembab
apabila pohon pelin­dung rapat dan jarang dipangkas serta populasi tanaman rapat. Oleh karena itu populasi
tanaman dan pohon pelindung harus sesuai dengan rekomendasi. Pohon pelindung perlu sering dipangkas; beb­
erapa tanaman pokok juga memerlukan pemangkasan agar tidak terla­lu rimbun. Drainase kebun yang tidak baik
juga akan merupakan sumber penyakit.
(5) Memelihara kebersihan kebun
Kebun perlu dijaga bersih dari sisa batang dan ranting hasil pangkasan dan sisa panen. Sisa‑sisa panen baik
berupa buah maupun kulit dapat merupakan sumber infeksi hama dan penyakit. Untuk mengendalikan hama
bubuk buah kopi, dilakukan panen lelesan yaitu memanen semua buah pada akhir musim panen dan memunguti
buah‑buah yang jatuh. Melakukan sanitasi kebun sangat penting dilakukan sebagai upaya murah pencegahan
penyakit yang belum ditemukan cara atau pestisida yang efektif.
158 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

(6) Membuat pagar kebun


Lalu lintas orang maupun hewan sering merupakan sumber infeksi penyakit tertentu. Oleh karena itu kebun
perlu dipagar agar orang dan hewan tidak sembarangan masuk kebun. Pemagaran kebun menunjukkan privasi
pengelolaan usaha, meningkatkan keamanan, serta mencegah kebun menjadi jalan melintas. Pagar kebun dapat
berupa pohon yang ditanam rapat mengelilingi areal kebun. Pohon kayu komersial, pohon bambu, dan pohon
yang berduri seperti pohon salak cukup efektif untuk memagari kebun.
(7) Menggunakan peralatan yang bersih
Peralatan dapat merupakan agen penyebaran penyakit. Semua peralatan yang digunakan termasuk perlengkapan
pakaian petugas operasional kebun hendaknya dipakai yang bersih. Peralatan manual seperti cangkul, parang,
golok, gergaji, alat panen, dan alat semprot perlu dicuci setelah digunakan.
(8) Membangun LCC.
Membangun kacangan penutup tanah disamping untuk menyuburkan tanah juga dapat menekan jenis hama dan
penya­kit tertentu seperti hama kumbang kelapa, penyakit jamur akar putih tanaman karet, dan memutuskan siklus
penyakit pada penana­man ulang tembakau. Tanaman LCC yang banyak menghasilkan bunga merupakan sumber
nektar yang berguna untuk perkembangan musuh alami.

13.3 Sistem Peringatan Dini


Sistem peringatan dini (early warning system) merupakan bagian dari pengendalian hama terpadu untuk
memperingatkan bahaya serangan sebelum terlambat. Pada sistem ini dilakukan monitoring gejala serangan hama
dan penyakit untuk mengambil keputusan cara pengendalian dan saat yang tepat terutama aplikasi pestisida. Tahapan
pengendalian secara EWS adalah: (1) monitoring yang meliputi pemeriksaan global (detecting), pemeriksaan efektif
(enumerating), (2) aplikasi pestisida, dan (3) pemeriksaan ulan­gan.
Dasar pemikiran sistem ini adalah bahwa hama dan penyakit tidak pernah sekonyong‑konyong eksplosif dan
selalu bermula pada suatu sumber dan sejalan dengan bertambahnya waktu dan perubahan musim lambat laun
meluas. Pada praktek pengamatan populasi ulat digunakan nilai‑nilai batas untuk menentukan apakah suatu areal
perlu pengendalian atau tidak. Pada sistem peringatan dini terda­pat dua tingkat pemeriksaan yaitu pemeriksaan secara
global dan pemeriksaan efektif.
Di berbagai perkebunan terdapat modifikasi terhadap sistem peringatan dini untuk menyesuaikan dengan keadaan
lapangan setem­pat. Pemeriksaan global misalnya dilakukan seminggu sekali dengan mengambil 10 contoh pohon di
dalam setiap blok. Pada tanaman kelapa sawit apabila kerapatan ulat siput lebih besar dari 8 dan ulat kantong lebih
besar dari 4 maka dilaksanakan pemeriksaan efektif. Pardede (1993) berpendapat bahwa pengambilan sampel untuk
pemeriksaan efektif untuk setiap areal 10 ha. Dari areal tersebut diambil 50 pohon sampel dengan cara sampling setiap
3 baris diambil satu baris dan diambil 5 pohon contoh dengan selang 5‑10 pohon.
Dalam instruksi pengendalian dicantumkan jenis pestisida yang digunakan dan cara aplikasinya. Beberapa hari
setelah aplik­asi dilaksanakan kembali pemeriksaan efektif untuk mengetahui apakah perlu aplikasi ulang. Apabila
sistem peringatan dini dilaksanakan sebagaimana mestinya maka kehadiran hama dan penya­kit dapat diketahui sedini
mungkin dan masih dalam areal yang sempit dan tidak sampai instruksi penyemprotan secara blanket.
Pada pengendalian hama Helopeltis tanaman kakao, pengamatan dilakukan terhadap seluruh areal pertanaman.
Apabila terdapat individu pohon yang terserang dilakukan penyemprotan terhadap pohon tersebut ditambah 4 pohon
di sekelilingnya. Apabila jumlah pohon yang terserang melebihi 15% dilakukan penyemprotan secara menyeluruh
(blanket spray).
Pengendalian Hama Dan Penyakit 159

Dengan pembangunan perkebunan besar, kebutuhan monitoring insiden hama dan penyakit dirasakan semakin
penting. Bermacam‑macam sistem sensus telah disarankan khususnya untuk sistem peringatan dini terhadap hama.
Monitoring insiden hama dan penya­kit kelapa sawit yang dilakukan di Sabah melalui dua tahap yaitu deteksi dan
enumerasi. Deteksi bulanan atau dua‑bulanan dilakukan oleh petugas yang berpengalaman untuk setiap blok panen.
Adanya gejala insiden hama dan penyakit dicatat dan dibuat ringkasan harian. Infestasi diperingkat secara kasar ke
dalam tinggi, sedang, dan rendah. Hasil deteksi jika perlu diuji lebih lanjut oleh ahli hama dan penyakit. Enumerasi
dilakukan pada lokasi yang ditentukan berdasarkan kepadatan serangan sehari atau dua hari kemudian. Enumerasi
hama diambil sekitar 12 pohon per hektar areal terdeteksi dan 6 daun per pohon digunakan untuk menghitung larva,
pupa, dan sebagainya.

13.4 Pemanfaatan Musuh Alami


Aplikasi pestisida berdampak negatif baik dari segi ekologis maupun kesehatan manusia. Dampak ekologis
pestisida kimia antara lainnya memusnahkan organisme nontarget termasuk musuh alami sehingga merusak
keseimbangan populasi, meningkatnya persisitensi hama atau penyakit, serta mencemari lingkungan, perairan, dan
produk pertanian. Dalam kehidupan di alam, setiap Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) mempunyai musuh
alami. Pelestarian musuh alami merupakan salah satu prinsip dalam penerapan PHT. Musuh alami berperan dalam
mengendalikan populasi hama dan penyakit. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama dan penyakit akan memperbanyak
diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman.
Musuh alami terdiri dari golongan predator/ pemangsa, parasitoid, dan patogen. Predator merupakan kelompok
musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator hidup bebas, memiliki bentuk tubuh yang
relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator misalnya burung hantu yang dikembangkan di perkebunan
kelapa sawit sebagai predator hama tikus. Semua laba-laba dan capung merupakan contoh predator serangga hama.
Parasitoid adalah serangga yang hidup di dalam atau pada tubuh serangga lain, dan membunuhnya secara
perlahan-lahan. Parasitoid berguna karena membunuh serangga hama, sedangkan parasit tidak membunuh inangnya,
hanya melemahkan. Parasitoid memiliki inang yang spesifik berukuran relatif kecil, sehingga sulit dilihat. Umumnya,
parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau
individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi
dewasa, maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang.
Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memparasit kumbang penggerek buah
kopi (Hypothenemus hampei).
Patogen adalah penyakit yang menginfeksi hewan atau makhluk lain. Patogen berguna karena mematikan banyak
jenis serangga hama atau penyakit tanaman. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri.
Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah
kopi. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung
yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida.
Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1) Langkah pertama melestarikan musuh alami adalah penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan
secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan
apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali.
2) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman
varietas tahan, sanitasi, penanaman LCC, dan penanaman dengan sistem tumpangsari,
3) Pemanfaatan musuh alami meliputi kegiatan pengumpulan, perbanyakan dan pemeliharaan musuh alami. Sebagai
contoh pemanfaatan semut hitam di kebun kakao untuk mengendalikan Helopeltis.
160 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Beberapa contoh musuh alami hama dan penyakit yang menyerang tanaman perkebunan diantaranya sebagai
berikut.
(1) Amblyseius deleoni merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga. Tungau jingga,
Brevipalpus phoenicis, berukuran 0,2 mm, berwarna jingga-kemerahan, merusak daun teh tua, khususnya pada
permukaan bawah daun dan ptiolus.
(2) Musuh alamai kumbang penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei) antara lain empat jenis parasitoid, yaitu
Heterospilus coffeicola, Cephalonomia stephanoderis, Prorops nasuta, Crematogaster difformis, satu jenis
predator, yaitu Dindymus rubiginosus, dan tiga jenis cendawan Botrytis stephanoderes, Beauveria bassiana, dan
Spicaria javanica. Cephalonomia stephanoderis merupakan parasitoid yang diintroduksi dari Afrika.
(3) Musuh alami kutu putih atau kutu dompolan kopi (Planococcus citri) adalah predator antara lain Scymus roepkei,
S. apiciflavus, Curinus coeruleus, Coccidiplosis smithi dan beberapa jenis parasitoid, antara lain Anagyrus greeni
dan Leptomastix trilongifasciatus.
(4) Musuh alami kutu loncat (Heteropsylla cubana) yang menyerang daun lamtoro sebagai naungan pada perkebunan
adalah predator Curinus coeruleus yang diintroduksi dari Hawaii, dan parasitoid Psyllaephagus jaseeni yang
diintroduksi dari Thailand.
(5) Musuh alami kumbang kelapa dan sawit (Oryctes rhinoceros) antara lain parasitoid larva, Scolia arcytophaga, jamur
patogen, Metarrhizium anisoliae, dan virus patogen, Baculovirus oryctes. Selain dengan musuh alami, kumbang
kelapa dikendalikan dengan trapping menggunakan feromon dengan bahan aktif ethyl-4-methyloctanoate.
(6) Musuh alami ulat Artona (Artona catoxantha) antara lain tiga jenis tabuhan parasioid larva, yaitu Apanteles
artonae, Goryphus inferus, dan Neoplectus bicarinatus, tiga jenis lalat parasitoid larva, yaitu Ptychomyia remota,
Euplectomorpha viridiceps, dan Cadursia leefmansi, satu jenis predator, yaitu Eucanthecona sp., dan satu jenis
patogen, yaitu Beauveria sp.
(7) Musuh alami kepik pengisap buah kakao (Helopeltis spp.) antara lain berupa pengusir hama yaitu semut
hitam (Dolichoderus bituberculatus), parasitoid yaitu tawon (Euphorus helopeltidis), tawon Trichogramma
(Trichogrammatid waps), jamur Beauveria bassiana dan jamur Spicaria javanica.
(8) Musuh alami kepik pengisap buah lada (Dasynus piperis) antara lain berupa tawon parasitoid yaitu Anastatus
dasyni dan Ooencyrtus malayensis, dan patogen berupa jamur Beauveria bassiana.
(9) Musuh alami jamur akar seperti busuk pangkal batang sawit (Ganoderma spp), busuk pangkal batang lada
(Phytophthora capsici) adalah jamur antagonis seperti Trichoderma sp.yang diaplikasikan bersamaan dengan
kompos.
Setelah diisolasi, diidentifikasi, dan uji coba efektivitasnya musuh alami diperbanyak dan diaplikasikan sebagai
pestisida hayati. Berikut ini contoh teknik produksi beberapa musuh alami yang disitir dari Arifin (1999).
1. Parasitoid Cephalonomia stephanoderis
Cephalonomia stephanoderis merupakan lebah parasitoid yang menyerang kumbang penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei. Larva hidup sebagai ektoparasit pada larva instar terakhir dan prapupa inang. Untuk
mendapatkan kumbang penggerek buah kopi, buah kopi yang terserang penggerek dimasukkan ke dalam stoples.
Imago yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 1:2 dalam tempat sejenis dan
diberi pakan buah kopi segar. Larva dan pupa yang dihasilkan digunakan untuk pembiakan parasitoid. Larva atau
pupa penggerek sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas, sebagai inang parasitoid. Imago parasitoid
dipasangkan dalam tabung dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 2:1. Pemindahan parasitoid ke tabung
lain yang berisi inang segar dilakukan 2 hari sekali sampai hari ke 10.
2. Parasitoid Tetrastichoides brontispae
Tetrastichoides brontispae merupakan parasitoid untuk kumbang janur, Brontispa longissima. Ada tiga metode
pembiakan parasitoid T. brontispae, yaitu metode tabung gelas, metode stoples, dan metode kotak. Metode
tabung gelas dilakukan sebagai berikut. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke dalam tabung gelas berukuran
diameter 1,5 cm dan panjang 15 cm. Setelah parasitoid keluar dari pupa, ke dalam tabung dimasukkan pupa
Pengendalian Hama Dan Penyakit 161

segar berumur 1-2 hari secara bertahap 1-3 ekor per hari. Pupa yang telah terserang parasitoid dipelihara hingga
muncul parasitoid baru. Agar suhu stabil tabung disisipkan ke dalam potongan pelepah daun pisang yang masih
segar. Untuk pakan parasitoid, ke dalam tabung dimasukkan larutan madu 10% pada kapas.
Metode stoples dilakukan sebagai berikut. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke dalam tabung yang
dibungkus dengan pelepah daun pisang. Tabung dimasukkan ke dalam stoples berukuran diameter 8 cm dan
tinggi 10 cm. bersama-sama dengan larva tua Brontispa pada lipatan janur dan larutan madu 10%. Metode kotak
dilakukan sebagai berikut. Disiapkan kotak kayu berukuran 20 X 15 X 7,5 cm. Pada sisi kotak bagian depan dan
belakang dibuat tiga buah lobang yang berjajar harizontal dan bergaris tengah sama dengan tabung gelas. Tabung
berguna untuk mengetahui apakah sudah terjadi parasitasi pada pupa. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke
dalam tabung yang dibungkus dengan pelepah daun pisang. Parasitoid yang muncul dimasukkan ke dalam kotak
melalui lobang. Secara bertahap, pupa segar dimasukkan ke dalam tabung kemudian disisipkan pada lobang
untuk berlangsungnya parasitasi. Untuk mendapatkan pupa Brontispa, 50-100 pasang imago hasil koleksi dari
lapang atau hasil pembiakan secara terus-menerus dipelihara dalam wadah berukuran 2000 ml dan diberi pakan
junur. Telur-telur yang dihasilkan akan menetas dalam 3-7 hari. Larva diberi pakan yang sama hingga menjadi
pupa.
Pelepasan parasitoid di lapang dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pupa terparasit sebanyak 4 ekor dibungkus
dengan kain kasa. Kain kasa dijepitkan pada koker atau potongan bambu berukuran diameter 3-5 cm dan panjang
5-7 cm. Koker diikat dengan tali dan digantungkan pada daun kelapa pada bagian pucuk. Untuk setiap ha tanaman
terserang diperlukan 4 buah koker, masing-masing berisi 4 ekor pupa Brontispa terparasit. Pelepasan dilakukan
3-6 bulan sekali.
3. Parasitoid Leefmansia bicolor
Leefmnsia merupakan salah satu parasitoid untuk hama Sexava. Selama hidupnya, Leefmansia berada dalam
telur Sexava. Perkembangan parasitoid mulai telur diletakkan hingga menjadi imago berlangsung selama 35 hari.
Pembiakan parasitoid ini diawali dengan pembiakan Sexava. Sexava dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara
dalam kurungan kasa berukuran 75 X 50 X 50 cm sebanyak 50 ekor dengan perbandingan betina dan jantan
4:1. Pakan yang digunakan berupa campuran daun pisang dan daun kelapa. Kurungan berisi pasir untuk tempat
meletakkan telur. Telur Sexava dimasukkan ke dalam tabung, 10 butir/tabung kemudian dimasukkan 15 ekor
parasitoid dengan perbandingan betina dan jatan 4:1. Sebagai pakan, diberikan larutan madu 10% pada kapas.
Telur Sexava terparasit (2-3 hari kemudian), disimpan dalam potongan bambu yang berisi pasir dengan cara
dibenamkan dengan posisi tegak pada permukaan pasir.
Pelepasan parasitoid berpedomankan sebagai berikut. Apabila populasi Sexava 1-2 ekor/pelepah dan persentase
parasitasi <20%, 20-40%, atau >40%, telur terparasit yang dilepas, berturut-turut sebanyak 75, 50 dan 25 butir/
ha. Cara pelepasannya dengan memasukkan 5-10 butir telur Sexava terparasit ke dalam kotak gabus. Kotak
digantungkan setinggi 50-75 cm pada tongkat kayu dan diletakkan pada tempat teduh. Evaluasi dilakukan dengan
mengambil 1 pohon contoh yang mewakili 1000 pohon. Pengamatan populasi nimfa dan imago dilakukan dengan
cara menurunkan satu pelepah daun kelapa yang masih utuh secara acak dari pohon contoh. Pengamatan telur
dilakukan pada permukaan tanah sampai kedalaman 10-20 cm di sekitar batang kelapa dengan radius 50 cm dari
batang pohon contoh. Berdasarkan hasil pengamatan tingkat populasi Sexava dan parasitasi Leefmansia, maka
dapat ditentukan perlu-tidaknya pelepasan parasitoid.
4. Predator Amblyseius deleoni
Amblyseius deleoni merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga, B. phoenicis pada daun
teh. Pembiakan A. deleoni diawali dengan penyiapan media biakan. Spon dimasukkan ke dalam kotak plastik
berisi air. Di atas spon diletakkan plastik hitam kemudian ditekan agar air meresap ke dalam spon. Lipatan tisu
dicelupkan ke dalam air kemudian diletakkan di atas plastik hitam hingga sisa tisu berkeliling dengan tidak putus-
putus. Di atas plastik hitam diberi sedikit kapas selanjutnya ditutup dengan cover glass. Predator dikoleksi dari
162 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

perdu teh yang terserang tungau jingga. Predator sebanyak 5-10 ekor diambil dengan kuas kemudian dipindahkan
ke kultur biakan. Predator diberi pakan telur tungau jingga, telur tungau Tetranichus urticae, atau polen tanaman
teh. Telur tungau inang diperoleh dengan cara membiakkan T. urticae ke tanaman kacang merah berumur 2-
3 minggu. Predator dilepas di lapang sebanyak 20-30 ekor/perdu teh/aplikasi sebelum populasi tungau jingga
mencapai ambang kendali.
5. Predator Curinus coeruleus
Curinus coeruleus merupakan salah satu jenis kumbang predator penting untuk kutu putih atau kutu dompolan,
Planococcus citri pada tanaman kopi dan kutu loncat pada lamtoro. Kumbang ini mudah dibiakkan dengan mangsa
kutu loncat Heteropsylla cubana. Caranya, pertama-tama, tanaman lamtoro (Leucaena glauca) ditumbuhkan
dalam pot plastik. Setelah lamtoro berumur lebih dari sebulan, imago kutu loncat diinfestasikan ke tanaman
kemudian tanaman disungkup dengan kurungan. Setelah telur diproduksi, kumbang predator dipasangkan ke
dalam kurungan. Imago C. coeruleus menyukai telur, nimfa, dan imago kutu loncat, tetapi larvanya hanya
menyukai telur dan nimfa dan tidak menyukai imago kutu loncat.
6. Jamur Beauveria bassiana
Jamur ini bersifat patogen pada berbagai jenis serangga, antara lain ulat penggerek batang merah (Zeuzera coffeae),
kumbang penggerek batang lada (Lophoboris piperis), dan kumbang penggerek buah kopi (Hypothenemus
hampei). Beauveria bassiana dapat diperbanyak pada media buatan, baik yang berupa media padat maupun cair.
Perbanyakan pada media padat dilakukan sebagai berikut. Jagung giling dimasak dengan perbandingan berat
jagung dan air 1:1 sampai setengah matang dan air tepat habis. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam
kantong plastik kemudian disterilisasikan ke dalam autoklaf pada suhu 120oC dan tekanan 1 atm selama 30
menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Kantong diberi lobang aerasi berupa
pipa dengan diameter 2 cm yang berisi kapas. Media diinkubasikan pada suhu kamar dengan sinar difus selama
10 hari atau sampai terjadi sporulasi penuh. Untuk persiapan aplikasi, 1 kg biakan B. bassiana diremas-remas
kemudian dicampurkan ke dalam 1 l air. Suspensi spora disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan menjadi
200-400 l air. Suspensi siap digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.
Perbanyakan pada media cair dilakukan sebagai berikut. Media cair dibuat menurut metode Samsinakova yang
dimodifikasi dengan komposisi: kentang 200 g, NaCl 0,5%, CaCO3 0,2% dan Yeast 0,2% dalam 1 l air. Potongan
kentang direbus dalam 700 ml air sampai cairan agak kental kemudian disaring. Bahan-bahan lain dilarutkan dalam
250 ml air kemudian dimasukkan ke dalam larutan kentang. Larutan media dimasukkan ke dalam fermentor dan
disterilkan dalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Untuk persiapan
aplikasi, biakan B. Bassiana berumur 5 hari disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan 5000 kali. Biakan
murni sebanyak 1 l dapat digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.
7. Jamur patogen Metarrhizium anisopliae
Metarrhizium anisopliae merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kumbang kelapa, Oryctes
rhinoceros. Pembiakan Oryctes dilakukan sebagai berikut. Larva instar III sehat dikoleksi dari lapang kemudian
dipelihara dengan media campuran serbuk gergaji dan kotoran hewan yang sudah melapuk dengan perbandingan
1:1. Media disterilisasi dengan cara dikukus selama 2 X 90 menit dengan interval 24 jam kemudian didinginkan.
Media dibasahi dengan air hingga lembab. Kumbang yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan betina
dan jantan 4:1 dalam baskom yang berisi media dan diberi pakan potongan tebu. Panen telur dilakukan setiap
minggu. Telur ditetaskan dalam baskom kecil berisi media. Telur disusun dalam kelompok kecil kemudian ditutup
dengan petridis. Setiap baskom berisi 50 butir telur. Setelah menetas, larva dibiarkan selama 40 hari kemudian
dipindahkan ke wadah yang lebih besar.
Perbanyakan Metarrhizium diawali dengan mengkoleksi larva Oryctes yang mati terinfeksi Metarrhizium. Jamur
pada larva mati terinfeksi dimurnikan dengan media PDA. Media PDA dibuat dengan cara sebagai berikut.
Kentang yang telah dikupas (200 g) diiris-iris kemudian direbus dengan aquades sampai lunak, saring dan ambil
Pengendalian Hama Dan Penyakit 163

kaldunya. Agar (20 g) dan dextrose (20 g) dimasukkan ke dalam kaldu kentang (tambahkan aquades bila kurang
dari 1000 ml), masak dalam penangas sampai hemogen. Larutan dimasukkan ke dalam petridis atau tabung gelas.
Petridis dibungkus dengan kertas payung, sedangkan tabung gelas ditutup dengan kapas kemudian disterilkan
dalam autoclave pada suhu 120o C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Biarkan agak dingin (tetapi belum
membeku) kemudian diangkat. Tabung gelas dimiringkan untuk memperoleh agar miring.
Perbanyakan masal pada media jagung. Jagung pecah giling dimasak sampai setengah matang kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer (1/3 nya), selanjutnya ditutup dengan kapas dan dilapisi dengan kertas timah.
Sterilkan dalam autoclave pada suhu 120o C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Media jagung yang telah
dingin digunakan untuk perbanyakan Metarrhizium. Spora jamur dari biakan murni (dalam petridis/tabung gelas)
diencerkan dengan aquades kemudian dituangkan beberapa tetes dengan pipet ke dalam media jagung kemudian
ditutup lagi dengan kapas dan dilapisi dengan kertas timah. Media digojok secara hati-hati agar spora jamur
merata. Jamur mulai tumbuh pada hari ke 3 atau 4 dan akan penuh setelah 10 hari. Inkubasi dilakukan pada
suhu kamar. Bila jamur telah merata menutupi permukaan media, maka dapat digunakan langsung atau sebagai
sumber inokulum baru. Jagung berjamur ditaburkan ke dalam media sterii dengan perbandingan 1:20 dalam
kotak isolasi. Seminggu kemudian, media ditumbuhi jamur. Hasil ini dapat dikeringkan dan disimpan sebagai
bioinsektisida. Biakan jamur yang telah tumbuh sempurna dikering-anginkan selama 4 hari. Jamur kering dapat
disimpan dalam kantong plastik atau botol tertutup. Jamur ini dapat disimpan 1-2 tahun dalam suhu kamar atau
2-3 tahun dalam refrigerator pada suhu 5-10o C.
Metode perbanyakan secara sederhana. Larva instar III sehat dimasukkan ke dalam ember 20-30 l yang berisi
media kira-kira setengahnya dan ditutup. Setiap 1 media dapat menampung 3 ekor larva. Dicari sebanyak 2-3
ekor larva mati terinfeksi jamur dipotong-potong kemudian dicampurkan ke dalam ember. Larva yang mati
dikoleksi 2 kali seminggu. Larva mati dimasukkan ke dalam kantong plastik dan siap disebar di lapang. Sasaran
jamur ini adalah larva dan pupa dalam sarang. Biakan jamur pada media jagung dapat disebarkan dalam keadaan
basah atau kering. Inokulum dicampur dengan media serbuk gergaji sampai rata kemudian taburkan di bawah
permukaan (5 cm) sarang. Penaburan dilakukan 6 bulan sekali. Jumlah inokulum yang ditaburkan 20 g jamur
kering per m2 sarang. Apabila cuaca kering, perlu dilakukan penyiraman pada sore hari setiap 3 hari sekali.
Evaluasi dilakukan 1-2 bulan setelah penyebaran pada daerah sasaran.

13.5 Aplikasi Pestisida


Aplikasi perstisida merupakan cara terakhir yang dilakukan apabila cara lain tidak berhasil mengendalikan
hama dan penyakit. Pengendalian dengan cara memangkas dan mengumpulkan tanaman, cabang, atau buah yang
terserang untuk dibakar merupakan cara pencegahan meluasnya serangan. Pada tanaman yang sudah tidak dapat lagi
diselamatkan maka dilakukan eradikasi yaitu mengisola­si dan membongkar tanaman yang sakit untuk dimusnahkan.
Aplikasi pestisida disesuaikan dengan sasaran bagian pohon yang diinginkan apakah pengolesan batang, injeksi,
penyiraman di akar, atau penyemprotan pada daun dan buah. Jamur upas yang meny­erang cabang tanaman karet
ditanggulangi dengan pelumasan fungi­sida Difolatan 4F 2%. Jamur akar putih yang menyerang akar tana­man karet
dikendalikan dengan membuka dan melumasi akar yang terserang atau dengan menyiramkan larutan fungisida di
sekitar leher akar.
Berbagai jenis alat penyemprot pestisida dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan baik yang berpompa tangan
(hand sprayer, knapsak sprayer), bertenaga motor (motor sprayer), dengan traktor yang dilengkapi sprayer (boom
sprayer), maupun penyemprotan dengan pesawat terbang. Pilihan juga bergantung dari bentuk droplet apakah
berupa semprotan (sprayer), debu (blower), atau kabut (fogger). Ketinggian pohon dan daya jangkau alat merupakan
salah satu pertimbangan pemilihan alat. Untuk mengendalikan ulat tanaman kelapa sawit berumur 1‑2 tahun dapat
digunakan hand sprayer; untuk tanaman berumur 3‑6 tahun digunakan motor sprayer; untuk tanaman yang lebih
dewasa digunakan blower.
164 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Pertimbangan lain yang mempengaruhi pilihan adalah bentuk peliputan (cover) yang diinginkan (buah, daun,
batang, akar), volume aplikasi (tinggi, rendah, ultra rendah), dan risiko kerac­unan bagi operator. Di perkebunan besar
kopi, dimana jarak tanam sudah diatur agar membentuk jalan antarbarisan, penyemprotan biasa dilakukan dengan
traktor bersprayer jika dikehendaki aplik­asi bervolume tinggi, atau dengan sprayer air‑blast untuk aplika­si bervolume
sedang dan rendah. Sprayer ULV juga digunakan untuk mengendalikan penyakit karat daun dan jenis hama yang
mobil. Untuk pengendalian penyakit buah diperlukan aplikasi volume tinggi agar diperoleh liputan yang baik terhadap
cabang dan buah. Pada lahan yang sangat miring atau jarak tanam yang rapat, atau umumnya di perkebunan rakyat,
penyemprotan dilakukan dengan tangan menggunakan mist blower knapsack bertenaga motor atau sprayer berpompa
tangan. Keuntungan sprayer semacam ini adalah bahwa penyemprotan dapat diarahkan tepat pada sasaran yang diin­
ginkan sehingga hasil lebih efektif dan hemat pestisida. Cara aplikasi ini lebih efektif dibandingkan dengan pengabutan
atau lebih‑lebih lagi dengan penggunaan pesawat terbang. Efek residu, pemusnahan musuh alami, dan pencemaran
lingkungan merupakan pengaruh yang perlu dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1999. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama utama tanaman teh, kopi, dan kelapa. Seminar
Pemasyarakatan PHT Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan Kabupaten Bogor, 4-5 Agustus 1999. 19 p.
Darus, A. and M.B. Wahid. 2000. Intensive IPM for management of oil palm pests. Oil Palm Bulletin 41: 1-14.
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kakao. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. Deartemen Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2002. Musuh Alami, Hama, dan Penyakit Tanaman Lada. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Konam, J., Y. Namaliu, R. Daniel, D. Guest. 2009. Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu untuk Produksi Kakao
Berkelanjutan. ACIAR.
James, G. (Ed). 2004. Sugarcane. Second Edition. Blackwell Science. Oxford.
Mangoensoekarjo, S. dan H. Semangun. 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Pardede, D. 1993. Manajemen pengendalian hama dan penyakit tanaman kelapa sawit. Makalah pada Pelatihan Staf/
PPS Disbun Se-Sumatera dan Jawa Barat, di Medan, tanggal 18-25 Februari.
Pusat Penelitian Sei Putih. 1991. Pengendalian beberapa penyakit tanaman karet terpenting. AP3I. Medan.
Sudarmadji, D. 1991. Pemanfaatan musuh alami dalam rangka pengendalian hama tanaman perkebunan. Makalah
pada Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk Industri. PAU Bioteknologi IPB,
Bogor, 10-11 Desember.
Susilo, A.W., W. Mangoendidjojo, Witjaksono, dan S. Mawardi. 2009. Pengaruh perkembangan umur buah beberapa
klon kakao terhadap keragaan sifat ketahanan hama penggerek buah kakao. Pelita Perkebunan 25(1): 1-11.
Susilo, A.W., S. Mawardi, dan Sudarsianto. 2009. Keragaan daya hasil klon kakao (Theobroma cacao L.) Sca 6 dan
DRC 15 tahan penyakit pembuluh kayu. Pelita Perkebunan 25(2): 76-85.
Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 2001. Cocoa. Fourth Edition. Balckwell Science. London.
Wintgens, J.N. (ed). 2004. Coffee Growing, Processing, Sustainable Production. Wiley-VCH, Weinheim.
Pemangkasan 165

BAB XIV
PEMANGKASAN

14.1 Prinsip Pemangkasan

P emangkasan merupakan pekerjaan memotong batang, cabang, ranting, atau daun tanaman dengan tujuan mengontrol
pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta membersihkan tajuk tanaman dari cabang atau daun yang sakit atau
tidak berguna. Pada dasarnya semua jenis tanaman perlu pemangkasan dalam arti luas, yaitu memotong cabang atau
pucuk, membuang daun tua, dan membuang tandan. Mengontrol pertumbuhan cabang dapat berarti (1) membuang
cabang yang kurang baik agar tumbuh tunas baru yang lebih baik, atau memberikan kesempatan kepada cabang lain
untuk tumbuh dan berkembang (2) menekan pertumbuhan vegatatif guna mendorong pertumbuhan generatif, (3)
mempertahankan ketinggian tajuk (4) mengatur kerapatan tajuk.
Umumnya pada pemeliharaan tanaman perkebunan dilakukan pemangkasan, jika dipertimbangkan pemangkasan
akan memberi manfaat dan dapat dilakukan secara praktis. Manfaat itu dapat berupa manfaat bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman tersebut atau manfaat bagi komunitas tanaman yang ada di sekitarnya, baik di samping maupun
di bawahnya. Ada juga manfaat bagi manusia yaitu meningkatkan produksi, kualitas hasil, dan kemudahan operasional
kebun seperti panen, pengangkutan, dan pengolahan hasil. Pemangkasan menjadi unik apabila pemangkasan dilakukan
sekaligus sebagai pekerjaan panen sehingga memerlukan keahlian khusus. Misalnya memotong tebu saat panen
sekaligus menyiapkan pertumbuhan ratoon, atau pemetikan pucuk teh sekaligus mengatur pertunasan berikutnya.
Prinsip utama dari pemangkasan adalah potong dan pelihara. Memilih cabang mana yang perlu dipotong, dan
cabang mana yang akan dipelihara perlu mempertimbangkan prinsip dan tujuan pemangkasan yang disebut dengan
seni memangkas. Prinsip lain yang harus dipertimbangkan dalam pemangkasan adalah bahwa pemangkasan harus
dilakukan pada saat yang tepat. Cabang yang akan dibuang sebaiknya segera dipotong sebelum cabang tersebut
tumbuh besar sehingga menghabiskan energi bagi tanaman dan meningkatkan kesulitan dalam teknis pemangkasan.
Saat yang tepat dapat juga berhubungan dengan musim hujan dan kemarau atau umur tanaman.
Pemangkasan bahkan dilakukan sejak penanaman sampai tanaman mencapai usia produktif baik secara ada
intensif maupun pemangkasan ringan. Pemangkasan intensif misalnya dilakukan pada tanaman kopi, kakao, vanili,
dan teh. Pemangkasan yang ringan atau pada periode tertentu saja dilakukan misalnya pada tanaman kelapa sawit
untuk membuang daun tua dan tanaman karet untuk membuang cabang pada bidang sadap ketika tanaman masih
muda, dan tanaman kayu manis untuk membuang cabang yang rendah. Pemangkasan tidak biasa dipraktekkan pada
tanaman perkebunan tertentu misalnya kelapa, cengkeh, dan tebu.
166 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

14.2 Dominansi dan Kontrol Apikal


Secara fisiologis, semua proses dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman saling berpengaruh. Pemangkasan
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembungaan. Pemangkasan dapat dilihat sebagai suatu cara praktis
untuk mematahkan fenomena yang disebut dengan dominansi apikal dan kontrol apikal. Secara luas dominansi apikal
dapat berarti (1) pengontrolan secara penuh mata tunas oleh pucuk, (2) Dominansi satu tunas atau cabang terhadap
yang lain, (3) Pengaruh pucuk terhadap orientasi cabang dan daun (Martin, 1987).
Pada tumbuhan perenial, apikal dominansi terjadi sebagai kontrol apikal yaitu pengaruh titik tumbuh (cabang)
utama terhadap pertumbuhan semua cabang yang lain. Hal ini misalnya tampak pada suatu pohon yang mempunyai
satu cabang sentral (central leader) yang kuat sementara pohon yang lain mempunyai cabang sentral yang lemah
sehingga banyak cabang yang cenderung tumbuh seimbang. Pada pohon bercabang sentral lemah, setiap cabang
secara individual mempunyai dominansi apikal yang kuat, namun kontrol apikal dari cabang sentral lemah terhadap
keseluruhan cabang.
Martin (1987) menguraikan banyak teori tentang terjadinya dominansi apikal antara lain:
(1) Kompetisi unsur hara, karena pucuk suatu cabang (utama) menerima lebih banyak unsur hara sehingga
pertumbuhannya lebih cepat dan dominan.
(2) Kontrol hormonal, yaitu adanya hormon-hormon yang berperan secara bersamaan dalam menghambat atau
mendorong pertumbuhan tunas. Semua hormon berperan dalam dominansi apikal yaitu IAA, sitokinin, giberelin,
asam absisik, dan etilen.
(a) Indole Acetic Acid (IAA). Hormon ini banyak dihasilkan oleh pucuk dan ditranslokasikan secara basipetal.
Dalam konsentrasi yang besar IAA akan menghambat pertumbuhan mata tunas lateral.
(b) Sitokinin. Hormon ini berperan pada pertumbuhan tunas. Adanya IAA dan sitokinin dalam konsentrasi
tertentu dalam mata tunas akan menyebabkan mata tunas mulai tumbuh.
(c) Asam giberelin. Hormon ini tidak mematahkan mata tunas dari dominansi apikal sebagaimana IAA dan
sitokinin, tetapi berperan dalam perpanjangan tunas, setelah tunas tersebut mulai tumbuh.
(d) Asam absisik (ABA). Sebagai inhibitor, hormon ini diduga berperan lebih besar dalam menghambat
pertumbuhan mata tunas lateral daripada IAA.
(e) Etilen. Hormon ini berperan dalam menghambat pertumbuhan mata tunas lateral. Pemberian IAA terbukti
menghambat pertumbuhan mata tunas, namun didahului dengan meningkatnya produksi etilen.
Pemangkasan mampu mengubah dari pohon bercabang sentral yang kuat menjadi cabang yang seimbang ataupun
sebaliknya dari pohon berkontrol apikal yang lemah menjadi pohon bercabang sentral yang kuat. Jika suatu pohon
dipangkas total, maka mata-mata tunas akan terbebas dari dominansi apikal dan kemudian akan tumbuh sebagai banyak
tunas air dengan pertumbuhan yang kuat. Pada saat itulah pekebun menentukan pilihan cabang mana dan berapa yang
akan dipelihara untuk mencapai tujuan pemangkasan yang diinginkan. Sistem percabangan ini berpengaruh terhadap
bentuk pohon dan penaungan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi.

14.3 Produktivitas Daun


Selain mengontrol pertumbuhan cabang dan tunas, pemangkasan juga mengontrol pertumbuhan daun. Dengan
tumbuhnya tunas-tunas baru akibat pemangkasan maka daun-daun muda tumbuh mengantikan daun-daun yang hilang
terpangkas. Jadi pemangkasan juga selain berarti membuang sejumlah daun terutama daun-daun tua tetapi juga akan
memunculkan daun-daun baru yang lebih produktif.
Daun produktif adalah daun yang mempunyai hasil fotosintesis bersih yang positif. Hasil fotosintesis pada daun
muda lebih besar daripada respirasi yang dibutuhkannya. Hal yang sebaliknya terjadi pada daun-daun tua. Daun
baru yang sedang berkembang umumnya menunjukkan kurva pertumbuhan yang sigmoid, dan aktivitas fotosintesis
maksimum dicapai ketika daun mencapai ukuran yang penuh. Aktivitas fotosintesis sangat turun manakala daun
terlihat mulai memasuki senesens.
Pemangkasan 167

Penurunan laju fotosintesis daun mulai ketika daun mencapai ukuran penuh. Pada pohon tertentu seperti kelapa
dan kelapa sawit, pola penurunan fotosintesis ini terlihat pada profil daun, dari daun yang termuda sampai daun
yang tertua. Kandungan klorofil dan protein daun turun dengan cepat ketika terjadinya senesens. Dalam budidaya
perkebunan, produktivitas daun mendapat perhatian yang besar misalnya di perkebunan kelapa sawit dan perkebunan
tebu. Daun-daun tua dibuang dengan cara pemangkasan (daun kelapa sawit) atau pengeletekan (daun tebu).
Hal lain yang menjadi perhatian dalam pemangkasan adalah penaungan yang diakibatkan oleh padatnya daun.
Pohon yang berdaun padat mengakibatkan daun saling menaungi sehingga daun tidak mendapat cukup sinar matahari
sehingga mampu menghasilkan fotosintesis bersih. Pada pohon pelindung, penaungan yang padat tidak dikehendaki
karena akan mengganggu produksi tanaman pokok sehingga perlu dilakukan pemangkasan dengan teratur.
Sehubungan dengan pelolosan sinar dan fotosintesis, tidak semua daun pada tajuk tanaman mampu melakukan
fotosintesis optimum. Daun-daun yang ternaungi atau daun tua justru dapat menjadi pemakai (sink) asimilat. Parameter
yang erat kaitannya dengan fotosintesis adalah indeks luas daun (Leaf Area Index, LAI), yaitu angka yang menunjukkan
nisbah antara total luas seluruh daun yang ada di tajuk dengan luas bidang tanah yang dinaungi oleh tajuk tanaman
tersebut. Pada tanaman yang baru tumbuh, nilai indeks luas daun (ILD) terus meningkat seiring dengan bertambahnya
daun, dan hasil asimilasi bersih (NAR) juga meningkat. Akan tetapi suatu saat peningkatan jumlah daun serta ILD
justru diikuti dengan penurunan NAR sebab daun-daun mulai ternaungi oleh daun-daun baru.

Gambar 24. Hubungan antara indeks luas daun dengan pertumbuhan


Indeks Luas Daun optimum tergantung jenis dan kultivar tanaman. Pada tanaman kakao dewasa ILD 3-5,
yang setara dengan hasil fotosintesis 3,5-5,0 mg bahan kering/dm2/hari atau 12,8-18,2 ton/ha/tahun (Prawoto dan
Soedarsono, 1999). Pada kelapa sawit, ILD optimum berkisar antara 4-5. Besar ILD tersebut terutama bergantung
pula kepada jarak tanam kelapa sawit yang pada gilirannya sangat menentukan produksi. Pemangkasan daun tua juga
dilakukan karena didorong untuk memudahkan panen. Pemangkasan yang berlebihan akan semakin memudahkan
panen namun mengganggu tanaman, sehingga umumnya daun satu spiral di bawah tandan yang masak dengan jumlah
daun total sekitar 35-37 daun (Hartley, 1977).
Pemangkasan umumnya akan memacu pertumbuhan tunas dan daun-daun baru. Daun-daun yang baru diperlukan
sebagai produsen asimilat yang kuat serta produsen hormon pembungaan. Dengan pemangkasan terjadi perubahan
keseimbangan hormon ABA/sitokinin. Hormon sitokinin dibentuk oleh ujung-ujung akar dan berperan memacu
pertunasan ranting dan tumbuhnya daun baru.
168 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

14.4 Tujuan Pemangkasan


Berdasarkan pertimbangan pertumbuhan, produktivitas, dan kepraktisan pengelolaan maka pemangkasan
mempunyai berbagai tujuan. Tujuan pemangkasan dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mengontrol sinar matahari yang masuk. Hal ini berkaitan dengan fungsi daun sebagai tempat fotosintesis
yang membutuhkan sinar matahari yang cukup. Parameter yang berkaitan dengan ini antara lain adalah tingkat
penaungan, laju asimilasi bersih, dan indeks luas daun.
(2) Mengontrol bentuk pertumbuhan cabang. Berkaitan dengan fungsi pemangkasan sebagai pematah dominansi
apikal dan menghasilkan percabanan baru, maka dikenal berbagai pemangkasan bentuk yang sesuai dengan
karakteristik tanaman tertentu.
(3) Membuang percabangan yang tidak berguna, tidak produktif, atau sakit. Pemangkasan ini bertujuan agar
produktivitas kebun tetap terjaga serta merupakan salah satu cara pengendalian hama dan penyakit.
(4) Mengontrol pertumbuhan vegetatif agar tanaman terdorong kepada pertumbuhan generatif. Kegiatan ini terutama
dilakukan pada jenis tanaman yang menghendaki pemangkasan untuk mendorong munculnya bunga.
(5) Mengganti dengan percabangan atau daun yang muda. Tunas-tunas air yang bersifat juvenil memiliki pertumbuhan
yang lebih kuat sehingga dapat dipelihara untuk menggantikan cabang yang tua.
(6) Memudahkan pemanenan. Pemangkasan dengan tujuan agar percabangan tetap dalam ketinggian tertentu dapat
memudahkan aktivitas panen.
Pada tanaman kakao pemangkasan mempunyai tujuan sebagai berikut:
(1) Mengatur sinar yang lolos;
(2) Mengatur kerangka dasar (frame) tanaman yang baik;
(3) Mengatur penyebaran cabang, ranting, dan daun
(4) Membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki misalnya cabang yang lemah, tidak produktif, salah arah,
atau sakit;
(5) Memacu tanaman membentuk daun baru yang potensial penghasil asimilat;
(6) Meningkatkan kemampuan tanaman menghasilkan buah;
(7) Menekan risiko serangan hama dan penyakit.

14.5 Jenis Pemangkasan


Jenis pemangkasan umumnya dapat dirangkum sebagai berikut:
(1) Pemangkasan bentuk
Tujuannya adalah untuk membentuk kerangka dasar tanaman yang baik. Pekerjaan ini dilakukan pada tanaman
yang masih muda agar sejak dini pohon memiliki percabangan yang baik. Setelah cabang utama dipangkas pada
ketinggian tertentu maka akan tumbuh beberapa cabang baru kemudian dipilih dan dibiarkan tumbuh. Pada
tanaman karet apabila sampai ketinggian 3 m belum membentuk cabang maka perlu dilakukan upaya induksi
percabangan antara lain dengan memangkas pucuk (topping). Pohon karet dengan percabangan yang baik akan
mempercepat perkembangan diameter batang sehingga cepat dapat disadap. Sebaliknya cabang-cabang yang
tumbuh pada ketinggian di bawah 2,5 m perlu dibuang karena akan mengganggu bidang sadap (Daslin, 1993).
Pada tanaman kakao diinginkan terdapat percabangan pertama (jorket) pada ketinggian 1,5 m dari permukaan
tanah dengan jumlah cabang primer 3-4 buah dengan arah yang menyebar (siregar et al., 1996). Pemangkasan
bentuk juga sangat penting pada pohon teh untuk membentuk bidang petik yang produktif.
(2) Pemangkasan pemeliharaan
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kerangka tanaman agar tetap baik, membuang bagian tanaman yang
tidak dikehendaki baik karena tidak produktif, tua, dan sakit. Pohon kopi dikenal mempunyai banyak tunas air
sehingga perlu secara periodik dipangkas. Termasuk jenis pemangkasan ini adalah pemangkasan setelah panen
Pemangkasan 169

misalnya dilakukan pada pohon kopi dan vanili. Cabang-cabang yang setelah dipanen buahnya pertumbuhannya
lemah maka perlu dipangkas untuk mendorong pertumbuhan cabang produktif yang baru.
(3) Pemangkasan produksi
Tujuan pemangkasan ini adalah untuk mendorong pemunculan bunga atau terbentuknya buah yang lebih banyak.
Pada tanaman vanili, pemangkasan pucuk di musim kemarau dilakukan untuk mendorong pemunculan bunga.
Pada pohon teh yang dimaksud dengan pemangkasan produksi adalah untuk mempertahankan bidang petik agar
tetap menghasilkan banyak pucuk dan tetap mudah untuk dipanen.
(4) Pemangkasan rejuvenasi
Tujuannya adalah melakukan rehabilitasi tanaman dengan cara memangkas total tanaman dan memelihara tunas
air sebagai pengganti batang utama. Pemangkasan rejuvenasi yang paling intensif adalah pada pertanaman teh
yaitu setiap empat tahun sekali untuk merendahkan bidang petik dan mempertahankan produktivitas pucuk.
Pekerjaan ini dapat dikombinasikan dengan penyambungan (grafting) sehingga diperoleh klon baru yang lebih
produktif misalnya pada tanaman kopi dan kakao.

14.6 Waktu Pemangkasan


Pemangkasan harus dilakukan pada saat yang tepat dengan mempertimbangkan keadaan musim dan pertumbuhan
tanaman sejak dari bibit sampai tanaman tua. Untuk memacu pertumbuhan cabang dan daun pemangkasan dilakukan
pada musim hujan. Namun pertumbuhan tunas dan daun baru membutuhkan banyak asimilat sehingga dapat
mendorong keguguran bunga dan putik. Untuk menghentikan pertumbuhan vegetatif dan mendorong pembungaan
perlu pemangkasan ringan pada musim kemarau. Frekuensi pemangkasan perlu mempertimbangkan tujuan dan biaya
pemangkasan. Umumnya pemangkasan pemeliharaan sebaiknya dilakukan cukup sering dan teratur dengan sistem
pangkas ringan. Pemangkasan berat hanya dilakukan untuk tujuan peremajaan.
Berdasarkan pertimbangan pemangkasan tersebut di atas, maka waktu pemangkasan dapat dibedakan menjadi:
(1) Pemangkasan bibit. Pemangkasan yang dilakukan terhadap bibit biasanya berhubungan dengan upaya mencegah
kematian bibit saat ditanam dan mendorong tumbuhnya percabangan dan perakaran.
(2) Pemangkasan Tanaman Muda. Untuk membentuk percabangan yang baik maka tanaman harus dipangkas mulai
dari muda.
(3) Pemangkasan Tanaman Dewasa. Pekerjaan pemangkasan ini dapat dilakukan setiap hari ketika petani bekerja di
kebun, terutama untuk mengurangi naungan, membuang tunas air, dan membuang cabang atau daun yang sakit.
(4) Pemangkasan Selesai Panen. Pada tanaman tertentu, setiap selesai panen dilakukan pemangkasan dengan tujuan
membuang cabang-cabang yang lemah karena selesai berbuah dan mendorong percabangan yang baru. Tanaman
tebu setelah dipotong ketika panen dipelihara untuk pertunasan baru yang disebut tebu ratoon.
(5) Pemangkasan Tanaman Tua. Pada tanaman yang tahan dipangkas seperti kopi, kakao, dan teh, maka kebun dapat
direhabilitasi dengan cara pemangkasan.

14.7 Alat dan Cara Pemangkasan


Ketika memangkas harus dihindari terjadinya kerusakan pada kulit pohon sehingga diperlukan alat yang tajam
dengan jenis yang tepat. Alat pangkas dapat menggunakan gergaji, golok, gunting pangkas, arit, dan ontel (arit tangkai
panjang bermata atas-bawah) bergantung dari ukuran dan letak cabang yang dipangkas. Untuk cabang dan ranting
yang kecil yang letaknya rendah dapat digunakan gunting pangkas dengan berbagai jenis ukuran atau arit. Gergaji
mampu memotong cabang yang besar dengan luka potong yang cukup mulus. Tangga diperlukan untuk memangkas
cabang yang tinggi.
170 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Untuk mencegah serangan penyakit akibat pemangkasan, tempat pemotongan diolesi ter atau bahan kimia seperti
TB 152, Kooltir, Kalixin. Luka bekas pemangkasan yang tidak tertutup kalus akan melapuk dan dapat menjalar pada
bagian cabang yang sebelumnya sehat. Apabila sudah mencapai batang utama maka akan terbentuk lubang yang
mungkin akan dapat ditutupi kalus kembali. Suatu cabang yang dipangkas dapat diusahakan untuk tidak melapuk
dengan cara memelihara tunas kecil di ujung tempat pemangkasan.
Pada pemilihan cabang untuk dipangkas, selain mempertimbangkan keadaan pertumbuhan cabang yaitu dipilih
cabang yang kurang baik juga dipertimbangkan arah cabang-cabang yang akan dipelihara sehingga seimbang mengarah
ke penjuru yang berbeda. Dengan demikian dipangkas cabang-cabang yang salah arah atau kurang baik arahnya. Luka
pemotongan yang mulus akan mempermudah proses penyembuhan oleh kambium. Oleh karena itu harus dihindari
pemangkasan yang ceroboh yang merusak percabangan. Pemangkasan untuk mengilangkan suatu cabang atau ranting
sebaiknya dilakukan pada pangkal cabang atau ranting tersebut (Gambar 25). Pemotongan yang jauh dari leher cabang
tidak menghilangkan cabang tersebut karena akan kembali bercabang atau cabang akan busuk sehingg batang akan
berlubang. Dengan pemotongan dekat leher cabang maka luka akan tertutup kalus dan sembuh terutama apabila
cabang tersebut dipangkas ketika masih kecil.

Gambar 25. Letak bidang pangkas untuk menghilangkan cabang


Jika pemangkasan cabang dilakukan dekat batang utama, maka pemangkasan pucuk untuk merangsang
percabangan dilakukan pada dekat mata tunas. Hal ini agar setelah pucuk dipangkas, segera muncul tunas-tunas baru
dari mata tunas yang berada di bawah pucuk cabang tersebut. Pemangkasan pucuk yang disebut dengan topping biasa
dilakukan pada tanaman teh, kopi, dan vanili (Gambar 26).

Pangkas

Pangkas

Gambar 26. Letak pemangkasan (1) dekat batang utama, (2) dekat mata tunas
Semakin besar cabang yang akan dipotong, semakin besar kesulitan yang dihadapi. Pemotongan batang atau
cabang yang besar tidak dapat dilakukan dengan satu arah potongan. Sekali potong dengan satu arah potongan akan
Pemangkasan 171

menyebabkan patahnya cabang pada saat pemotongan mendekati akhir karena beban tajuk akan menyebabkan cabang
patah. Oleh karena itu paling tidak setelah pemotongan mencapai separuh, harus dibalas dengan pemotongan dari
arah sebelahnya sehingga potongan yang diperoleh cukup halus. Untuk memperoleh potongan yang lebih halus dapat
dilakukan pemotongan final setelah cabang sudah jatuh.

Gambar 27. Urutan pemotongan cabang: 1= Pemotongan pertama, 2= pemotongan kedua, 3=pemotongan akhir,
4= leher cabang
Tujuan pemangkasan antara lain agar diperoleh arah percabangan yang menyebar ke segala arah ke arah luar,
artinya tidak ada cabang yang berbalik arah yaitu ke arah dalam. Misalnya pada tahun pertama pemangkasan dipilih
tiga cabang utama yang arahnya menyebar ke tiga penjuru. Pada pemangkasan tahun berikutnya dapat dipilih 2 cabang
terbaik dengan arah yang benar. Demikian seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya selalu dipilih dua cabang yang
membentuk tipe percabangan fraktal (Gambar 28).

Gambar 28. Hasil pemangkasan spaktral: 1=pemangkasan tahun I, 2=pemangkasan tahun II, 3=pemangkasan
tahun III, 4=pemangkasan tahun IV
172 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

DAFTAR PUSTAKA
Daslin, A. 1993. Pemeliharaan TBM dan TM Karet. Pelatihan Staf Dinas Perkebunan di BLPP Medan.
Ditjen Perkebunan RI. 1994. Teknik Budidaya Kakao Rakyat. Direktorat Bina produksi. Jakarta. 64 hlm.
Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1975. Plant Growth and Development. Tata McGraw-Hill. New Delhi. 545 pp.
Martin, G.C. 1987. Apical Dominance. HortSci. 22(5):824-832.
PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Prawoto, A.A. dan Soedarsono. 1999. “Manajemen Pohon Penaung dan Pemangkasan Tanaman Kakao”. Makalah
pada “Pelatihan Budidaya Kakao dan Pengolahannya”, Jember, 8-13 Februari.
Suregar, T.H.S., S. Riyadi, L. Nuraeni. 1996. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Soenaryo. 1975. Pemangkasan Lewat Panen pada Kopi. SubBalai Penelitian Jember.
Willson, K. 1999. Coffee, Cocoa and Tea. CABI Publ. Liverpool.
Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 2001. Cocoa. Fourth Edition. Balckwell Science. London.
Wintgens, J.N. (ed). 2004. Coffee Growing, Processing, Sustainable Production. Wiley-VCH, Weinheim.
Kebun Wanatani 173

BAB XV
KEBUN WANATANI

S istem wanatani (agroforestry system) merupakan istilah umum untuk sistem penggunaan lahan (landuse) dan
teknologi yang mengusahakan pohon berkayu yang ditanam bersama-sama tanaman pertanian dan peternakan
pada satu unit pengelolaan lahan yang sama dalam bentuk pengaturan ruang atau urutan temporal. Somarriba (1992)
mendefinisikan agroforestri sebagai bentuk pertanaman campuran yang memenuhi 3 kondisi yaitu terdapat paling
sedikit 2 spesies tanaman yang berinteraksi secara biologis, paling tidak satu dari spesies tersebut berupa tanaman
menahun berkayu (pohon), paling tidak satu dari tanaman tersebut dikelola untuk memproduksi pakan ternak, tanaman
semusim maupun tanaman tahunan.
Pada agroforestri kompleks, sistem ini diharapkan dapat memberikan fungsi layanan lingkungan yang mirip
seperti hutan. Model sistem agroforestri yang diungkap umumnya merupakan hasil budaya atau kearifan lokal (local
wishdom) yang dipraktekkan petani. Sistem ini menarik perhatian tidak saja ahli bidang kehutanan tetapi juga bidang
ekologi, konservasi, biodiversitas, dan pertanian secara umum. Jika pada awalnya konsep ini murni dilihat dari sudut
pandang kehutanan, namun karena menyangkut bidang lain maka berkambang pandangan dari bidang yang lain.
Adapun ciri-ciri sistem wanatani antara lain adalah:
(1) Sistem ini melibatkan dua atau lebih jenis tanaman (terutama yang berkayu).
(2) Sistem ini dapat melibatkan pula usaha ternak dan ikan.
(3) Dihasilkan berbagai output, seperti kayu, buah, pangan, sayur, bumbu, rempah, ternak, dan ikan.
(4) Memiliki kompleksitas dan keberlanjutan yang lebih besar karena adanya interaksi ekologis di dalam sistem
ini.
(5) Pengelolaan sederhana tanpa pengelolaan intensif.
(6) Teknologi dapat bersifat lokal (endogenous technology) dan mampu memenuhi kebutuhan sosioekonomi
penduduk setempat.
Sektor perkebunan rakyat yang bersifat ekstensif dan berstruktur hutan sudah diterapkan petani secara turun-
temurun yang sering dianggap sebagai model penerapan sistem wanatani. Dengan adanya program intensifikasi
pertanian termasuk sektor perkebunan, maka sistem kebun semacam ini mulai ditinggalkan, karena petani memiliki
kebun yang semakin sempit dan mengusahakan secara intensif dengan orientasi penuh kepada produktivitas dan
permintaan pasar. Oleh karena itu sistem kebun wanatani mungkin hanya dapat disaksikan pada daerah perkebunan
yang berpenduduk masih sedikit, pemilikan lahan yang relatif luas sehingga pengelolaan kebun tidak intensif
174 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Dalam bab ini akan diuraikan konsepsi wanatani yang berbasis pada usahatani perkebunan. Untuk memberikan
pemahaman yang lebih konkrit sehingga memungkinkan pengembangan pada pola yang lain yang bersifat spesifik
lokal maka akan diberikan contoh pola kebun wanatani yang banyak diterapkan oleh petani. Khususnya di Lampung,
pelaksanaan tanam paksa untuk bertanam kopi dan lada diadaptasi dengan kearifan lokal untuk memenuhi kebutuhan
berupa berupa kebun campuran aneka tanaman yang dikelola ekstensif. Seiring dengan berjalannya waktu, maka kebun
kopi yang disisipi pohon damar bertransformasi menjadi repong damar; kebun lada dan kopi yang disisipi pohon buah
bertransformasi menjadi kebun buah; kebun kopi yang di dalamnya dipelihara pohon aren berubah menjadi repong
aren. Pada saat itu hasil biji kopi harus diserahkan kepada Belanda sehingga petani menyiasati dengan memanfaatkan
biji kopi yang sudah dimakan luwak. Kebiasaan ini justru menarik perhatian orang Belanda sendiri sehingga ikut
mempublikasikan dan saat ini kopi luwak sebagai kearifan lokal berkembang menjadi produk unggulan Lampung
Barat.

15.1 Jenis Kebun Wanatani


Dalam bab terdahulu telah diuraikan jenis kebun yang umum dikenal yaitu kebun monokultur dan kebun
campuran. Kedua jenis kebun itu memiliki ciri-ciri adanya pengelolaan sebagai usahatani komersial seperti:
(1) Komoditas yang ditanam hanya satu jenis (monokultur) atau dua jenis (campuran).
(2) Usahatani berorientasi untuk menghasilkan produk komersial sebagai sumber pendapatan dan bukan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten).
(3) Dilakukan pengelolaan kebun secara rutin seperti penyiangan, pemangkasan, penyulaman, rehabilitasi,
peremajaan, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit.
(4) Struktur pohon relatif seragam, baik jenis, umur, maupun ketinggian tajuk.
Jenis kebun dapat dikategorikan ke dalam sistem wanatani apabila menunjukkan ciri-ciri khas sistem wanatani
yaitu dari segi banyaknya jenis tanaman, struktur didominasi pohon berkayu, dan pengelolaan yang tidak rutin dan
cenderung dibiarkan berupa hutan. Kendatipun dilakukan pengelolaan yang rutin, kebun berpagar pohon kayu atau
pohon buah barangkali lebih dekat untuk dikategorikan sebagai sistem kebun wanatani. Demikian juga apabila
kebun campuran yang jenis tanamannya sangat banyak baik dari komoditas komersial, buah, dan bumbu lebih tepat
dimasukkan dalam sistem wanatani. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan Tabel 67.
Selain sistem perkebunan monokultur, sistem perkebunan umumnya mendekati penggunaan lahan sistem
wanatani (agroforestry), terutama pada perkebunan rakyat yang dikelola secara ekstensif dan mencampur berbagai
jenis tanaman dalam satu lahan. Semakin ekstensif tingkat pengelolaan dan semakin kompleks jenis tanaman maka
semakin mendekati sistem wanatani. Sebaliknya semakin intensif pemeliharaan kebun dan semakin spesifik dan
komersial jenis tanaman yang diusahakan maka semakin ke arah sistem perkebunan.
Tabel 67. Jenis-jenis kebun wanatani dan pola tanamannya

Sistem tataguna
Sistem Kebun Pola Tanaman Jenis pohon
Lahan
Perkebunan Kebun Monokultur Sawit monokultur Sawit
Karet Monokultur Karet
Tebu monokultur Tebu
Kebun Campuran Kelapa-kakao Kelapa, kakao
Lada-kopi Lada, kopi, gamal
Kebun Wanatani 175

Sistem tataguna
Sistem Kebun Pola Tanaman Jenis pohon
Lahan
Kebun Wanatani Kebun Hutan Hutan karet Karet, jengkol, petai,
Cempedak, nangka
Hutan kopi Kopi, kayumanis, apokat, dadap, kayu
Hutan kayu manis Kayu manis, berbagai kayu
Repong Repong damar Damar, cempedak, nangka, lada,
durian, petai, bayur, medang
Repong lada-kopi Lada, kopi, duku, durian, bayur, pisang
Duku, durian, pisang, nangka,
Repong durian-duku rambutan
Kebun berpohon naungan/ Kebun kakao Kakao, gamal, kayu
pagar kayu Kebun kopi Kopi, dadap, sengon, kayu manis,
apokat, pisang
Hutan sengon Sengon, cabe jawa, vanili
Kebun karet-jati Karet, jati

Berlainan dengan konsep kebun pekarangan (home garden) yang juga umumnya bersistem wanatani, kebun
wanatani tidak memperhatikan letak kebun yang berbatasan dengan tempat tinggal atau tidak. Di pedalaman, perkebunan
rakyat boleh jadi berbatasan langsung dengan desa atau terletak jauh dari desa namun masih dalam jangkauan berjalan
kaki. Jika letak kebun terasa sangat jauh dari desa, petani membangun pondok dari kayu di kebunnya guna memenuhi
kebutuhan akomodasi sementara dalam bekerja di kebun. Pondok atau rumah belum permanen yang terletak di tengah
kebun di Lampung dikenal sebagai umbul. Jika pondok di kebun-kebun semakin banyak dan mulai dibangun secara
permanen maka terbentuk dusun kecil yang mungkin akan terus tumbuh berkembang.

15.2 Pola Kebun Hutan


Salah satu contoh pola kebun hutan yang banyak dilaporkan adalah wanatani karet (rubber agroforest, jungle
rubber). Van Noordwijk et al. (1995) menyebut wanatani karet sebagai sistem agroforestry yang tersebar paling luas
di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan. Sistem ini meliputi 75% dari perkebunan karet rakyat terutama di
daerah pedalaman dimana akses teknologi dan kredit sangat sulit menjangkau. Selain lateks, sistem ini memberikan
beraneka hasil seperti buah, kayu, bumbu, dan rempah. Di Lampung, dalam hutan karet terdapat tanaman lada, jengkol,
nangka, cempedak, dan pohon kayu seperti petean, sungkai, mentru, dan pulai (Team Unila, 1999).
Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan memiliki kebun wanatani karet yang luas. Transformasi kebun wanatani
karet di wilayah ini berlangsung secara bertahap dan dapat dibedakan menjadi 3 tahap berupa kebun karet-belukar
(agroforest tahap 1), kebun karet-hutan (agroforest tahap 2, dan karet agroforestri kompleks (agroforest tahap 3). Ciri
utama penggolongan tersebut adalah keadaan tegakan pohon karet dan pohon campurannya serta keadaan vegetasi
permukaan tanah (ground cover). Populasi pohon karet sistem wanatani di awal penanamannya sangat padat, antara
lain untuk menekan pertumbuhan gulma dan mengkompensasi rendahnya produksi getah karet per pohon.
Tegakan kebun karet belukar berupa pohon karet dengan populasi padat, sekitar 825 pohon/ha, dengan campuran
aneka pohon buah. Kover vegetasi permukaan tanah berupa semak, dimana penebasan gulma hanya dilakukan
pada jalan sadap saja. Tegakan kebun karet-hutan terdiri dari pohon karet dengan populasi sekitar 375 pohon/ha,
dengan campuran berupa pohon buah-buahan dan kekayuan, dan kover vegetasi permukaan tanah berupa semak
belukar setinggi mencapai 2 m. Dengan perawatan yang minimal, terutama semak belukar yang tidak dikendalikan,
maka banyak pohon karet yang mati maka populasi pohon karet semakin rendah. Pada tahap mencapai agroforestri
kompleks, berupa pohon karet tua, maka populasi pohon karet hanya tinggal di bawah 100 pohon/ha, sedangkan
populasi kekayuan semakin banyak, dan kover vegetasi permukaan tanah berupa anakan pohon kayu, sedangkan
gulma kurang dapat bertahan di bawah naungan tajuk yang berat.
176 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Perkebunan karet rakyat bersistem wanatani ini umumnya berupa kebun tua yaitu penanaman sekitar tahun 1950
dan dalam keadaan tidak terawat. Produktivitas kebun rendah yaitu berkisar 600 kg karet karing/ha/tahun. Sebagai
perbandingan, di perkebunan besar produktivitas mencapai 1200 kg/ha/tahun. Menurut Rosyid et al. (1993) selain
merupakan kebun tua, rendahnya produktivitas adalah karena (1) bahan tanam yang digunakan adalah benih asalan,
(2) petani sering melakukan penyadapan berat sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah tanaman yang terserang
penyakit kering alur sadap, dan (3) petani tidak melakukan pemeliharaan kebun baik pada masa tanaman belum
menghasilkan maupun sudah menghasilkan.
Perkembangan wanatani karet sudah dimulai sejak awal abad ke-19 yang didorong pula oleh meningkatnya
harga karet pada periode 1909-1912. Penanaman karet rakyat terus berlangsung ketika periode awal kemerdekaaan
Indonesia. Pekebun besar Bangsa Eropa di zaman Hindia Belanda pada mulanya berpendapat bahwa tanaman karet
hanya dapat dibudidayakan dibawah pengelolaan intensif dan penyiangan gulma secara bersih serta penyadapan yang
bijaksana agar tidak mematikan pohon karet. Namun rakyat mengembangkan sistem budidaya karet menurut cara
lokal petani yang jauh dari teknologi intensifikasi.
Tanaman karet ternyata dapat menerima perawatan sangat minimal dengan sistem perladangan berpindah.
Penanaman karet atau pohon produktif lainnya yang disisipkan di ladang mungkin juga dimaksudkan sebagai tanda
bahwa seseorang pernah membuka hutan tersebut dan tanah tersebut adalah miliknya. Perawatan terutama hanya
dilakukan secara bersamaan ketika merawat tanaman padi atau jagung selama 1 atau 2 tahun setelah lahan dibuka.
Setelah itu kesuburan tanah sangat menurun dan petani membiarkan ladangnya dalam keadaan bero dan pindah lagi
membuka ladang baru yang lebih subur. Kedatangan petani ke ladang-bero terutama hanya untuk memanen bumbu,
sayur dan buah-buahan yang mungkin masih menghasilkan. Tanaman karet muda mungkin hanya dipelihara dengan
cara membabat gulma di sekitar pohon atau sama sekali dibiarkan tumbuh liar bersama dengan semak belukar dan
pepohonan yang lain. Jadilah ia kebun karet yang berbentuk hutan dengan populasi yang rendah, barisan yang tidak
teratur dan pertumbuhan yang tidak seragam bercampur dengan berbagai jenis tanaman dan vegetasi hutan lainnya.
Bentuk lain dari wanatani karet adalah ditandai dengan penggunaan bibit klonal yang unggul serta pemeliharaan
awal kebun yang cukup baik. Pembangunan kebun ini dirancang mendekati teknis perkebunan yang sesungguhnya.
Setelah panen tanaman pangan 1-2 tahun, ladang dilanjutkan dengan menanam karet dengan penyusunan barisan yang
teratur. Penyisipan pohon buah masih dilakukan terutama di batas lahan atau membentuk barisan tertentu maupun
secara acak terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani sendiri. Pemeliharaan dengan cara membabat
dilakukan 1-2 kali setahun yang semakin dikurangi intensitasnya setelah tanaman karet bertambah besar, bahkan
mungkin hanya pada barisan atau sekitar pohon saja. Tidak mengherankan apabila di dalam kebun ini selain pohon
buah juga tumbuh berbagai jenis kayu asli setempat. Pembentukan kebun karet wanatani ini lebih maju daripada pola
ladang berpindah, namun tetap pada umumnya dilakukan oleh penduduk lokal atau petani pendatang yang mempunyai
lahan yang luas sehingga tidak terdapat cukup tenaga dan biaya untuk mengelola kebun karet secara intensif (Gintings
et al., 1997).
Pola kebun hutan kopi dan kayu manis dapat ditemukan di sentra produksi kopi dan kayu manis di Sumatera
seperti di Lampung dan Sumatera Barat. Kedua tanaman merupakan komoditas tradisional setempat dengan harga dan
permintaan pasar yang kuat (Cairns et al., 1997). Tanaman kopi dan kayu manis termasuk jenis tanaman yang tahan
terhadap kondisi tanpa perawatan atau “menghutan”. Di Lampung Barat, kebun hutan kopi masih dapat dijumpai
berupa kebun kopi tua yang ditanam di akhir zaman Hindia Belanda. Umumnya kebun tua semacam ini sudah
“dibuka” karena masyarakat membutuhkan lahan untuk budidaya sayur seperti kubis dan kentang yang dianggap
lebih menguntungkan namun kembali akan menanam kopi dengan cara menyisipkan di pertanaman sayuran (Evizal
et al., 1995).
Kondisi tanah kebun-hutan kopi seperti ini subur sehingga sangat mengundang minat berbagai pihak baik pemilik
maupun penyewa untuk membuka dan mengusahakannya. Produktivitas kebun-hutan kopi sangat rendah yaitu sekitar
3-4 ku biji kering/ha. Pola wanatani kopi juga dapat dijumpai pada kebun kopi muda hasil peremajaan dengan benih
lokal karena petani memagari kebun dengan pohon terutama kayu manis dan mencampur dengan buah-buahan seperti
alpokat dan pisang.
Kebun Wanatani 177

15.3 Kebun Tradisional (Repong)


Repong Damar
Di Lampung kebun tradisional dikenal dengan istilah repong untuk menunjuk kepada sebuah kebun komoditas
tertentu yang ditanam bersama aneka pohon buah-buahan dan rempah yang dipelihara secara ekstensif untuk memenuhi
kebutuhan keluarga maupun sebagai sumber pendapatan. Contoh repong yang sangat menarik minat para ahli bidang
wanatani adalah sistem repong damar yang terdapat di kawasan Kecamatan Pesisir Selatan, Utara, dan Tengah Krui,
Lampung Barat. Budidaya damar di Krui sudah dilakukan secara turun-temurun yang diduga dimulai sejak tahun 1885
dan sampai sekarang masih tetap merupakan sentra produksi damar di Lampung dengan luas sekitar 7.500 ha. Damar
yang dihasilkan di daerah ini berkualitas tinggi yang dikenal dengan damar matakucing.
Pengusahaan tanaman damar (Shorea javanica) berbentuk hutan damar di daerah Krui ini dianggap para
ahli sebagai salah satu sistem agroforestri yang unik. Sesuai dengan bentuk pohonnya yang besar dan tinggi akan
mendominasi tegakan hutan. Di dalam repong damar dijumpai berbagai tanaman seperti kopi (Coffea canephora
var. Robusta), jengkol (Pithecellobium jiringa), petani (Parkia speciosa), dan pohon buah endogenous seperti durian
(Durio zibenthinus), duku (Lansium domesticum), manggis (Garcinia mangostana), tupak (Lansium sp.), dan cempedak
(Artocarpus champeden), serta berbagai pohon kayu seperti bayur (Pterospermum javanicum), kelawi (Alstonia spp.),
dan medang (Lauraceae spp.) (Mahi, 1997; Setiawan, 1995). Dengan demikian dari repong damar selain resin damar
dihasilkan berbagai buah, dan kayu sebagai sumber pendapatan dan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Terbentuknya hutan damar membutuhkan waktu puluhan tahun dalam suatu proses transformasi yang bertahap.
Proses itu dimulai dengan tahap sistem perladangan dengan membuka hutan untuk menanam padi dan sayuran selama
1-2 tahun. Pada tahun kedua dimulai penyisipan tanaman komersial seperti kopi dan lada. Diduga pada tahun ketiga
dimulai penyisipan tanaman damar dan buah-buahan (Mahi, 1997). Tanaman kopi dan lada mulai memberikan hasil,
namun hasil semakin menurun dengan bertambah besarnya pohon damar dan buah-buahan. Selanjutnya kebun untuk
sementara ditinggalkan dan hanya dikunjungi untuk memetik hasil baik rempah dan buah-buahan apabila sedang
musim berbuah. Penyadapan damar dimulai pada tahun ke 15-20 ketika sistem sudah berbentuk hutan.
Repong Lada
Lada dan kopi merupakan komoditas yang secara tradisional ditanam turun-temurun oleh masyarakat Lampung.
Repong lada-kopi dapat ditemukan di sentra produksi lada dan kopi di Lampung Utara dan Lampung Timur. Kebun
wanatani ini merupakan bentuk kebun campuran lada-kopi dan pohon buah yang kompleks dan mungkin merupakan
bentuk peralihan menuju repong durian-duku yang lebih berwujud hutan.
Produktivitas perkebunan lada Lampung rata-rata 5-6 ku/ha/tahun. Dibandingkan dengan di Bangka, Malaysia, dan
Brazil yang mencapai 3 ton/ha/tahun maka produktivitas tersebut sangat rendah yang antara lain karena produktivitas
wanatani lada yang berkisar 2-3 ku/ha. De Waard (1980) secara umum menggolongkan sistem budidaya lada di
lampung sebagai sistem ekstensif. Dengan sistem ekstensif ini diduga budidaya lada justru dapat bertahan walaupun
terjadi keadaan lingkungan dan ekonomi yang tidak menguntungkan (Pillay and Sasikumaran, 1984).
Setelah lahan siap tanam, pada akhir musim kemarau dimulai penanaman pohon panjat yaitu jenis gamal, kapuk,
dan dadap. Panjatan pohon dadap semakin tidak disukai petani karena banyak terserang penggerek batang. Umumnya
petani memanfaatkan lahan di sela pohon panjat yang baru ditanam untuk menanam tanaman pangan terutama padi
gogo dan jagung. Penanaman lada dilakukan setelah pohon panjatan paling tidak sudah berumur satu tahun, dengan
demikian sudah baik pertumbuhannya dan mampu menopang tanaman lada. Kendatipun sudah terdapat tanaman
lada, sebagian petani masih memanfaatkan lahan di sela lada untuk menanam tanaman pangan terutama jagung.
Tanaman sela mempunyai banyak manfaat, baik sebagai sumber pendapatan, juga pemeliharaannya sekaligus berarti
bagi tanaman lada sehingga gulma lebih terawat dan mendapatkan pupuk ketika pemupukan tanaman sela. Tanpa
penanaman sela, perawatan gulma menjadi lebih berat, sementara lahan tidak memberi hasil.
178 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Laporan para peneliti seperti Waard (1980) menggolongkan secara umum budidaya lada di Lampung sebagai
pola ekstensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budidaya lada di Propinsi Lampung dapat dibedakan menjadi
pola intensif, ekstensif, dan agroforestri. Namun demikian, pemeliharaan lada yang dominan baik di Lampung Utara
maupun Lampung Timur adalah dengan pola ekstensif. Pola ini mempunyai ciri khas yaitu penanaman lada secara
campuran dengan tanaman perkebunan yang lain. Di Lampung Utara tanaman pencampur lada adalah kopi, sementara
di Lampung Timur adalah cabe jawa yang ditanam pada panjatan yang tanaman lada sudah mati. Tanaman cabe jawa
meskipun harganya lebih rendah dibandingkan kopi, tetapi disukai karena tetap tumbuh baik pada kondisi tanah yang
sudah tidak subur dan kondisi perawatan yang minimal. Ciri-ciri pola pemeliharaan lada Lampung disajikan pada
Tabel 68.
Pada kebun ekstensif, kebun kurang terawat, infestasi hama, penyakit, dan gulma tinggi sehingga banyak tanaman
yang mati. Akan tetapi tanaman lada yang mati tersebut akan disulam, biasanya dengan 2-4 setek lada sekaligus untuk
satu panjatan, dengan harapan ada salah satu setek yang berhasil tumbuh sampai dewasa. Menyulam merupakan
pekerjaan rutin setiap tahun, dengan jumlah penyulaman sekitar 15%.
Budidaya lada dengan pola agroforestri dapat ditemukan terutama di Lampung Timur. Pada kebun semacam ini,
tanaman lada dicampur dengan kopi dan berbagai tanaman lain, buah-buahan, kayu, dan bumbu empon-empon (Tabel
69). Pada strata atas (>5 m) didominasi pohon naungan, tanaman keras lain terutama buah-buahan dan beberapa
pohon kayu terutama pada bagian pinggir kebun, strata tengah terdapat lada, cabe jawa, pisang, dan salak, sedangkan
pada strata bawah ditanam terutama bumbu. Jenis vegetasi bervariasi antarkebun, namun kebun campuran ini relatif
kompleks sehingga dapat digolongkan sebagai sistem agroforestri.
Tumbuhnya kebun lada campuran pola agroforestri ini mungkin berkaitan dengan keinginan petani untuk
diversifikasi tanaman sumber pendapatan, juga untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) terhadap buah dan
bumbu. Pohon buah-buahan tahunan termasuk petai dan jengkol diharapkan petani dapat memberikan hasil pada
musim berbuah tahunan. Pohon kayu seperti jati dianggap sebagai “tabungan” yang dapat diambil dalam jangka
panjang. Berbeda dengan lada yang memberikan hasil 1-2 kali setahun, tanaman cabe jawa relatif memberikan hasil
tanpa musim yang jelas.
Tabel 68. Pola pemeliharaan kebun lada-kopi di Lampung

Peubah Intensif Ekstensif Wanatani


Pola Tanaman Monokultur lada/kopi Kebun lada campur- an (kopi, Kebun lada-kopi –pohon-buah
Panjatan gamal/ kapuk cabe jawa)
Penanaman
• Saat tanam Serentak Tanam-sulam Tanam-sulam
• Barisan tanam Teratur 2-2,5 m Tidak teratur Tidak teratur
Tanaman lada
• Umur lada Seragam Tidak seragam Tidak seragam
• Populasi 1600-2000 pohon 1200-1600 pohon < 800 pohon
• Produktif 90-100% 60-70% 60-70%
Gulma:
• Keadaan gulma Umumnya bersih Dominan bergulma Dominan bergulma
• Jenis Gulma semusim Gulma menahun Gulma menahun
(Badotan) (alang-alang, krinyu, sembung (alang-alang, krinyu, sembung
rambat) rambat)
• Pengendalian Siang bersih Kored/herbisida Kored/herbisida
6 x setahun 1-2 x setahun 1-2 x setahun
Kebun Wanatani 179

Peubah Intensif Ekstensif Wanatani


Pohon panjat
• Frekuensi pangkas 3 x per tahun/ sering menunas 1 x per tahun 1 x setahun
• Hasil pangkas Disusun ditepi kebun Dibiarkan/ disusun antar Dibiarkan/ disusun
barisan Antar barisan
• Tinggi Seragam 4-5 m Tidak seragam Tidak seragam
Hama & Penyakit
• Intensitas Rendah Sedang-tinggi Sedang-tinggi
• Pengendalian Pestisida/ kultur Minimum dengan pestisida Pengendalian minimum
Teknis
Pemupukan
• Jenis Pupuk NPK/ pupuk kandang Pupuk NPK Tanpa dipupuk
• Frekuensi 2 kali setahun Tidak tentu -
Produksi 1-1,5 ton/ha/thn 6-8 ku/ha/tahun 3-4 ku/ha/tahun

Kebun lada agroforestri dapat dilihat sebagai salah satu fase menuju agroforestri kebun buah “repong” (Tabel
70). Fase pembangunan kebun lada yang dicirikan oleh budidaya tanaman sela, penyisipan pohon panjat, tanaman
lada, kopi, dan pisang. Kebun lada yang dibangun adalah kebun lada campuran dengan pemeliharaan ekstensif.
Setelah mencapai puncak produksi pada sekitar umur 7 tahun, populasi dan produksi lada menurun. Pertumbuhan lada
semakin tertekan dengan bertambah besarnya pertumbuhan tanaman buah yang disisipkan, sampai akhirnya tinggal
beberapa pohon lada yang tersisa atau mungkin habis sama sekali.
Pohon-pohon buah dan kayu semakin mendominasi dan menaungi vegetasi bawah. Repong umumnya hanya
dipelihara secara minimal terutama menebas gulma. Pohon kayu yang tumbuh alami dibiarkan besar terutama apabila
akan memberikan kayu yang berkualitas atau memberikan hasil buah yang dapat dimakan. Setelah berumur lebih dari
sepuluh tahun, pohon buah seperti duku, durian, nangka, cempedak, petai, dan jengkol mulai memberikan hasil.
Tabel 69. Jenis vegetasi pada budidaya lada-kopi pola wanatani

Jenis tegakan Jenis tanaman Nama Latin

• Tanaman • Lada • Piper nigrum


• Cabe jawa • Piper retrofractum
• Kopi • Coffea canephora
• Pisang • Musa paradisiaca
• Kelapa • Cocos nucifera
• Petai • Parkia speciosa
• Jengkol • Pithecellobium lobatum
• Pohon naungan • Gamal • Gliricidae sepium
• Kapuk • Ceiba petandra
• Dadap • Erythrina indica
• Pohon buah • Durian • Durio zibenthinus
• Duku • Lansium domesticum
• Salak • Salacca edulis
• Nangka • Artocarpus heterophyllus
• Cempedak • Artocarpus champeden
• Pohon kayu • Jati • Tectona grandis
• Sengon • Paraserianthes falcataria
• Bayur • Pterospermum javanicum
180 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Jenis tegakan Jenis tanaman Nama Latin

• Bumbu • Laos • Alpinia galanga


• Kunyit • Curcuma domestica
• Serai • Cymbopogon citratus

Tabel 70. Fase pembentukan repong dari kebun lada agroforestri di Lampung Utara

Fase Tahun Kegiatan Hasil


Pembangunan kebun lada I-IV • Penyiapan lahan 1. Padi
• Budidaya padi (1-2 x) atau palawija 2. Palawija
• Penyisipan pohon panjat 3. Pisang
• Penanaman dan pemeliharaan lada 4. Bumbu
• Penyisipan kopi dan pisang
• Penyisipan empon-empon
Kebun lada V-X • Pemeliharaan lada produktif 1. Lada
• Pemeliharaan kopi dan pisang 2. Kopi
campuran
• Penyisipan pohon buah 3. Pisang
• Penyisipan pohon kayu 4. Bumbu
Repong (kebun buah) XI-XXX • Pemeliharaan repong 1. Duku
• Pemeliharaan pohon kayu alami 2. Durian
• Panen buah dan bumbu 3. Petai
4. Jengkol
5. Nangka
6. Cempedak
7. Kopi
8. Lada
9. Kayu

Repong Buah
Kebun wanatani jenis ini dapat ditemukan baik di Propinsi Lampung maupun Sumatera Selatan, Bengkulu dan
Jambi dimana buah endogenous durian dan duku banyak dihasilkan. Di sepanjang jalan Trans-Sumatera buah-buahan
ini dijual, dan kualitas duku yang paling manis adalah Duku Komering, yang berasal dari kawasan Sungai Komering
di Kabupaten ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Di Lampung juga terdapat sentra buah duku dan durian seperti
di Tanggamus, Lampung Utara, Timur, dan Selatan.
Kebun buah ini umumnya dipelihara seadanya dan cenderung berbentuk hutan. Tegakan yang paling dominan
adalah pohon durian kemudian diikuti dengan pohon duku dan berbagai pohon buah serta pohon kayu yang tumbuh
alami. Selain itu dalam repong ini juga dapat dijumpai pohon manggis, mangga, kemang, kweni, rambai, tupak yang
umumnya merupakan tumbuhan asli setempat. Jenis buah-buahan tersebut sebagian sudah semakin langka akibat
repong buah yang dibuka untuk perladangan dan perkebunan.
Pembentukan repong durian-duku diduga juga berawal dari sistem perladangan dimana setelah 1-2 tahun ladang
ditanami padi dan sayuran, kemudian disisipi tanaman kopi dan lada serta buah-buahan lokal terutama durian dan
duku. Ketika ladang ditinggalkan maka pohon buah-buahan akan tumbuh secara alami atau dengan pemeliharaan
seadanya membentuk repong buah.
Repong Aren
Pohon aren banyak ditemukan pada sistem pertanaman tradisional seperti pada sistem ladang berpindah, ladang
menetap, dan kebun campuran. Secara alami aren tumbuh dengan bijinya yang dimakan dan disebarkan oleh luwak.
Kebun Wanatani 181

Oleh karena itu pepohonan aren tumbuh bergerombol pada habitat yang disukai luwak dan cocok untuk pertumbuhan
aren yaitu pada ladang yang ditinggalkan oleh penggarapnya atau diberokan, di kebun yang kurang terawat bersih dari
semak dan gulma, serta di pinggir jurang, telaga, atau anak sungai yang menjadi tempat luwak minum. Pohon aren
yang tumbuh alami tersebut ikut dipelihara petani karena dapat memberikan manfaat atau hasil seperti nira, ijuk, sagu
aren, kolang-kaling, dan sapu lidi.
Pada saat ini yang disebut kebun aren adalah berupa kebun campuran berbagai aneka tanaman dan pohon termasuk
pohon aren yang dapat dikategorikan sebagai wanatani aren. Populasi pohon aren per petak kebun juga umumnya
tidak padat, yaitu 20-30 pohon yang dapat disadap petani setiap hari. Di kebun kopi rakyat di Lampung Barat banyak
ditemukan pohon aren bahkan terdapat repong aren yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari petani kopi di luar
musim panen kopi. Populasi pohon aren diperkaya dengan memindahkan tukulan aren di bawah pohon aren diketahui
menghasilkan banyak nira. Sebagian petani membibitkan benih aren yang dipanen dari pohon induk yang terbaik di
kebunnya dan di kebun sekitarnya.

15.4 Kebun Berpohon Penaung atau Berpohon Pagar


Kebun sistem ini kadang merupakan kebun monokultur, seperti kebun karet, kakao, atau kopi, namun dapat
dikategorikan sebagai kebun wanatani karena pengelolaannya secara sederhana dengan masukan yang rendah dan
melibatkan penanaman pohon kayu baik sebagai pohon penaung maupun sebagai pohon pagar atau pematah angin
(wind breaker). Komoditas yang tahan terhadap perlakuan “menghutankan” adalah karet, kakao, kopi, kayu manis
sebagaimana telah banyak diuraikan di muka.
Tanaman kopi dan kakao yang diusahakan secara ekstensif umumnya menggunakan penaungan yang berat
seperti sengon, gamal, atau dadap sehingga strata teratas didominasi oleh pohon penaung. Dominasi pohon penaung
terutama dari jenis legum diduga berperan sangat penting dalam mempertahankan bahkan meningkatkan kesuburan
tanah sehingga sesuai dengan konsep perkebunan konservasi. Hutan sengon juga terbukti dapat dimanfaatkan sebagai
tempat merambat beberapa jenis rempah seperti cabe jawa dan vanili yang dapat memberikan hasil yang baik. Tanaman
cabe jawa dan vanili juga dikenal toleran terhadap kondisi tanpa pengendalian gulma.
Pemagaran kebun dengan pohon kayu didasari pemikiran: (1) barisan pohon merupakan cara efektif mengurangi
hempasan angin kencang, (2) penanaman pohon di batas lahan juga merupakan tanda batas pemilikan lahan, (3) Pohon
yang ditanam rapat dapat berfungsi sebagai pagar hidup, (4) pohon pagar merubah iklim mikro di dalam kebun, (5)
jika dipilih pohon tertentu dapat memberikan hasil kayu yang berkualitas tinggi dan mahal harganya.
Penanaman pohon pagar di sekeliling kebun sangat penting bagi daerah tertentu yang mempunyai problem
hembusan angin kencang. Angin yang kencang dapat merugikan tidak saja karena akan menumbangkan tanaman
tetapi juga meningkatkan evapotranspirasi, dan erosi terutama di daerah pantai berpasir. Angin kencang sering menjadi
masalah di perkebunan karet karena banyak pohon karet yang roboh atau patah. Problem angin yang kencang menjadi
masalah di perkebunan lada dan cengkeh karena diduga akan menurunkan produksi. Bunga-bunga lada akan mudah
rontok akibat angin kencang atau mengalami kegagalan pembentukan buah. Di musim kemarau, hembusan angin
kering yang kencang akan mendorong kematian tanaman cengkeh, dan tepi daun-daun kakao kering.
Barisan pohon pematah angin akan mengubah iklim mikro dalam kebun yaitu (1) mengurangi radiasi sinar
matahari, (2) Menurunkan temperatur udara dalam kebun, (3) meningkatkan kelembaban udara, (4) meningkatkan
konsentrasi CO2 udara yang berpengaruh pada laju fotosintesis tanaman. Pohon pagar diduga akan meningkatkan laju
fotosinteis tanaman karena (1) konsentrasi udara di sekitar tanaman lebih tinggi, (2) periode fotosintesis yang lebih
panjang, (3) respirasi malam hari yang lebih rendah. Dengan menekan laju evapotranspirasi akibat angin yang diblok
oleh barisan pohon, maka berarti peningkatan efisiensi pengunaan lengas.
Efektifitas pohon pagar sebagai pematah angin bervariasi bergantung kepada tinggi pohon, kerapatan penanaman,
dan panjang barisan pohon. Makin tinggi pohon pematah angin makin jauh pengaruh perlindungannya terhadap angin.
182 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Apabila ditanam rapat, maka jarak perlindungannya mencapai 10-15 kali tinggi pohon. Meningkatnya porositas pohon
(lapisan dan jarak tanam) sebanyak 50% maka pengaruh angin akan turun sebanyak 20-25%. Namun barier pohon
yang terlalu rapat juga menyebabkan turbulen angin-turun yang malah menaikkan kecepatan angin dan merusak
tanaman. Yang terbaik adalah pohon ditanam cukup rapat tetapi angin tetap dapat lewat terutama dari bagian bawah
pohon.
Jati merupakan pohon yang banyak diminati sebagai pagar atau pembatas kebun karena dalam jangka panjang
dapat diharapkan panen kayu yang memberi keuntungan yang besar. Pohon jati sudah dapat dipanen pada umur 20
tahun, tetapi akhir-akhir ini dikembangkan jati super (Eucalliptus urograndis) sebagai hasil persilangan Eucallyptus
urophylla dengan Eucallyptus grandis.

15.5 Kebun Berpagar Pohon Jati (Agroforestri Jati)


Kayu jati terkenal sebagai bahan bangunan dan meubel yang awet, kuat, dan penampilan serat yang menarik
sehingga memiliki harga jual yang tinggi. Kebutuhan dalam negeri maupun ekspor terus meningkat. Jati digolongkan
sebagai kayu mewah dengan kelas awet I-II dan kelas kuat II. Hutan jati alami di Indonesia sudah hancur diekspolitasi
sejak zaman VOC. Sejak Gubernur Jenderal Daendels, mulai dicanangkan program silvakultur hutan jati di Jawa,
namun baru terwujud pada kurun 1890-1942. Setelah kedaulatan Indonesia diakui Belanda pada Koferensi Meja
Bundar tahun 1949, hutan jati di bawah pengelolaan Jawatan Kehutanan. Selanjutnya pada tahun 1963 jawatan ini
berganti status menjadi perusahaan negara bernama PN Perhutani. Selain itu saat ini masyarakat juga menanam jati,
baik di pekarangan maupun di kebun sebagai tegakan monokultur maupun campuran.
Pohon jati (Tectona grandis L.) tumbuh optimal dan menghasilkan kualitas kayu yang baik pada daerah yang
beriklim tegas antara musim hujan dan kemarau serta tanah banyak mengandung kalsium (8-9%). Tinggi tempat
adalah 50-800 m dari permukaan laut, curah hujan optimal 1000-1500 mm per tahun, dan maksimum 2500 mm per
tahun, suhu udara minimum 13-17 oC dan maksimum 39-43 oC. Ia menghendaki tanah yang tidak tergenang dengan
pH 4,5-8,0 namun pH optimum 6,0. Syarat tumbuh tersebut di atas, dapat cocok untuk budiaya kopi dan kakao untuk
dicampur dengan jati walaupun tidak dapat sepenuhnya berupa lahan berkapur dan bermusim kemarau tegas, serta
dapat dipertimbangkan pula kebun campuran kelapa - jati, sawit – jati, atau karet – jati. Kondisi yang kurang optimal
bagi tanaman jati ini tentu akan mempengaruhi kualitas kayu jati yang dihasilkan.
Jika ditanam mengikuti jalan di pinggir kebun dengan jarak tanam 3x3 m maka akan diperoleh populasi 333
pohon/km jalan. Jika pohon jati ditanam dengan jarak tanam 3x3 m di batas keliling kebun maka untuk satu hektar
lahan akan diperoleh 132 pohon per hektar kebun (100 x 100 m), namun untuk 4 ha kebun ukuran 200 x 200 m dicapai
populasi jati dikeliling kebun sebanyak 264 pohon, bukan 4 x 132 pohon karena panjang sisi kebun hanya naik dua
kali lipat. Produksi kayu jati super per pohon adalah 0,65 m3 sehingga untuk 4 ha kebun berbentuk segi empat setelah
berumur 15 tahun akan diperoleh kayu jati sebanyak 264 x 90% (populasi yang berhasil) x 0,63 m3 yaitu sejumlah 150
m3.
Fungsi Pohon Jati di Perkebunan
Sebagaimana pohon lain yang dapat ditanam di perkebunan, maka pohon jati dapat berfungsi sebagai berikut:
(1) Pohon pematah angin (wind breaker), ditanam dengan barisan agak rapat yang tegak lurus arah datangnya
angin.
(2) Pohon pembatas tanah, ditanam di sekeliling kebun, barisan berjarak 0,5 m dari batas kebun.
(3) Pohon pinggir jalan, ditanam sepanjang pinggir jalan, baik untuk mengurangi gangguan melintas tengah kebun,
juga sebagai peneduh (shelter) bagi orang yang melintas.
(4) Pohon pelindung (shade tree), ditanam antara barisan tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao, namun fungsi
ini kurang baik dibandingkan tanaman leguminosa, karena daun jati yang rontok akan tersangkut di tajuk kakao
dan kopi dan mengganggu pertumbuhan tanaman.
Kebun Wanatani 183

(5) Pohon pencampur, ditanam antara barisan tanaman perkebunan seperti karet dan sawit, sebagai sumber pendapatan
akhir jangka panjang.
Fungsi tersebut dapat berlaku secara bersamaan, namun yang paling penting adalah fungsinya yang dapat
memberikan penghasilan yang tinggi pada jangka panjang, misalnya pada akhir masa produktif perkebunan tersebut.
Dengan demikian tanaman jati di perkebunan merupakan tabungan yang potensial atau deposito berjangka waktu
15-20 tahun, yang besarnya dapat melebihi akumulasi hasil kebun selama kurun waktu tersebut. Sebelum jati dapat
dipanen, kehidupan pekebun dapat dipenuhi dari hasil panen tanaman pokok seperti kopi (panen tahunan), kakao
(panen bulanan), kelapa dan sawit (panen mingguan), atau karet (panen harian). Di samping itu, dengan pola ini biaya
pemeliharaan tanaman jati relatif kecil, karena dapat dimasukkan dalam pembiayaan usahatani kebun.
Penanaman Jati di Kebun
Bibit jati umumnya dihasilkan dari penyemaian benih jati. Pohon jati berbunga pada bulan Juni – Oktober dan
menghasilkan buah pada periode Mei – Desember terutama Juni – September. Bobot buah antara 1,1 – 2,8 g, terdapat
1200 buah per kg atau 290 buah per liter. Buah dipanen dari pohon induk yang berumur lebih dari 15 tahun. Benih
tahan disimpan, jika dimasukkan dalam kaleng dan diselimuti sekam padi masa simpan mencapai 2 tahun.
Benih jati memiliki kulit yang keras, sehingga untuk mempercepat perkecambahan perlu perlakuan skarifikasi
seperti:
(1) Perendaman dengan air biasa selama 24 jam, diikuti penjemuran selama 4 hari, direndam lagi sehari dan dijemur
3 minggu atau langsung direndam selama 72 jam.
(2) Kulit buah dibakar dengan rumput kering.
(3) Kulit buah digosok atau diampelas.
(4) Buah direndam dalam air panas selama 42 jam.
(5) Buah direndam dalam asam sulfat selama 20 menit.
Benih yang sudah diperlakukan dapat langsung ditanam di polibag, atau disemai dahulu di bedengan yang diberi
atap, setelah itu semai dipindah dipolibag atau dibiarkan tetap tumbuh besar di bedengan. Setelah berumur 4-6 bulan,
dengan tinggi bibit 15-30 cm, bibit siap ditanam di kebun. Jika sudah mempunyai pohon induk jati unggul, maka dapat
dilakukan perbanyakan secara vegetatif menggunakan setek pucuk. Setek disemai pada bak pasir yang diberi sungkup
plastik dan atap naungan. Untuk meningkatkan keberhasilan pengakaran, pangkal setek diberi auksin. Setelah bertunas
dan berakar, setek semaian dipindah ke polibag.
Setelah kebun sudah ditanam tanaman pokok, sebaiknya dimulai penyisipan tanaman jati sebagai tanaman
campuran atau tanaman pelindung dengan jarak dalam barisan 3 x 3 m antar barisan disesuaikan agar tidak mengganggu
tanaman pokok. Misalnya di kebun kakao, setiap 3 barisan kakao diselingi satu baris jati, sehingga jarak tanam kakao
menjadi 3 x 3 x 6 m sehingga populasi kakao berkurang 25% menjadi 834 pohon, sedangkan jati berjarak 3 x 12 m
dengan populasi 277 pohon per hektar. Jika sebagai tanaman pagar pembatas tanah atau sebagai tanaman peneduh
jalan, maka jarak tanam dapat 2 x 2 m. Jika lahan seluas 16 ha (400 x 400 m) maka popolasi jati sebagai tanaman pagar
800 pohon. Untuk lahan yang segi empat populasi tanaman pagar adalah:
Populasi = (4 √ luas lahan )/jarak tanam
Pemeliharaan tanaman jati ditujukan agar tidak banyak mengganggu tanaman pokok sebaliknya dapat berfungsi
sebagai penaung, dan tanaman jati dapat tumbuh sebagai penghasil kayu yang optimal. Untuk itu tindakan pemangkasan
percabangan adalah sangat penting. Cabang tanaman jati sampai ketinggian 4 m selalu dipangkas sehingga akan
terbentuk batang yang lurus dan terbentuk kanopi yang melindungi tanaman pokok. Pemangkasan harus dilakukan
pada saat cabang masih kecil sehingga mempermudah pekerjaan dan harus dipangkas mepet batang pokok, yang
keduanya ini akan mengakibatkan pemulihan bekas potongan cabang berlangsung dengan baik dan batang jati tumbuh
lurus. Pemeliharaan lain seperti pemupukan dan pengendalian gulma dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan
pemeliharaan tanaman pokok. Dengan demikian biaya tanpa terasa terbebankan pada pemeliharaan tanaman pokok.
184 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Panen Jati
Panen jati dapat dimulai pada umur 15 tahun dan panen terakhir pada umur 20 tahun sekaligus untuk penanaman
kembali (replanting atau konversi) tanaman pokok. Pada umur 15 tahun produksi kayu jati berkisar 0,5 – 0,65 m3 per
pohon tergantung jenis jati dan keadaan pertumbuhannya di lapangan, sedangkan pada umur 20 tahun produksi dapat
diasumsikan mencapai 0,75 – 1,0 m3 per batang. Mengambil contoh penyisipan jati di kebun kakao dengan populasi
jati 277 pohon per hektar maka separuh dipanen pada umur 15 tahun (139 pohon x 0,5 m3) dan sisanya pada umur 20
tahun (138 x 0,75 m3), sehingga diperoleh total kayu 173 m3 per hektar kebun kakao.
Penanaman pohon jati tidak diragukan lagi memberikan keuntungan yang besar namun dalam jangka waktu
yang sangat penjang (15-20 tahun). Untuk itu usahatani pohon jati harus dapat dikombinasikan dengan tanaman
lain yang disebut dengan sistem agroforestri yaitu (1) tanaman semusim (anual), dengan panen setiap 3-4 bulan, (2)
tanaman dua tahunan (binual) seperti pisang, nilam dan serai wangi (panen setahun 2-4 kali), dan (3) tanaman tahunan
(perenial) seperti kakao, kopi, sawit yang panen bulanan atau musiman. Pendapatan per tahun dari kayu jati tidak
kalah dengan tanaman pokok, seperti kakao, kopi, atau sawit bahkan lebih tinggi yaitu mencapai 2-3 kali lipat dari
tanaman pokok.

15.6 Hutan Kemasyarakatan


Usaha perkebunan rakyat seringkali berbatasan bahkan ada yang termasuk dalam kawasan hutan negara
(register) berupa hutan lindung maupun hutan produksi. Pengusahaan ini merupakan kegiatan ilegal yang dikenal
sebagai merambah hutan. Upaya penegakan hukum dengan memindahkan atau melarang petani mengusahakan kebun
yang telah mereka buka, tidak mudah bahkan cenderung tidak efektif. Ketika pengawasan longgar, petani kembali
mengusakan kebun di kawasan hutan.
Sebagian kawasan hutan yang telah dirambah tersebut tidak lagi berupa tegakan hutan melainkan berupa kebun
maupun semak belukar dengan kondisi lahan terdegradasi. Hal ini menjadi sorotan dan sasaran kritik internasional
dengan issu sertifikasi ecolabelling untuk produk perkebunan. Untuk mencapai hutan lestari dan memberdayakan
masyarakat, pemerintah mengambil kebijakan dengan mengembangkan program hutan kemasyarakatan dengan
pendekatan spesifik lokal seperti program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan pemberian izin usaha
pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm). Pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal
dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat
Dasar hukum pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut-II/2007
tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan kemasyarakatan
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal,
adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Dalam usaha HKm di kawasan hutan lindung, pemanfaatan dan pemungutan hasil hanya boleh untuk hasil non
kayu. Pekebun diharuskan menanami lahan HKm dengan pohon kayu minimal 400 pohon per hektar serta menanam
tanaman MPTS (Multi Purpose Trees Species) termasuk tanaman industri. Pohon serbaguna (MPTS) adalah tumbuhan
berkayu dimana buah, bunga, getah, daun dan/atau kulit dapat dimanfaatkan bagi penghidupan masyarakat, disamping
berfungsi sebagai tanaman lindung, pencegah erosi, banjir, longsor. Budidaya tanaman tersebut tidak memerlukan
pemeliharaan intensif. Tanaman industri yang ditanam petani antara lain kopi, kakao, dan karet. Berbagai tanaman
MPTS yang banyak ditanam di HKm antara lain kayu manis, kemiri, pala, kapuk, apokat, petai, dan durian.
Perkebunan rakyat di lahan HKm yang sudah mendapat izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan merupakan
usaha legal. Beberapa kelompok tani kopi HKm di Lampung antara lain mendapat sertifikasi dari Rainforest Alliance
Kebun Wanatani 185

(RA) dan 4C (Common Code for the Coffee Community). Pemanfaatan HKm dengan bertanam kopi dan kakao cocok
dengan konsep hutan lestari masyarakat makmur, karena tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di bawah pohon
naungan. Demikian juga dengan bertanam pala, kayu manis, kemiri dan karet, karena keduanya dapat tumbuh dengan
baik tanpa memerlukan perawatan intensif sehingga membentuk struktur kebun hutan.
Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan mempunyai kewajiban yaitu (a) membayar Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH), (b) menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu selama berlakunya izin, (c)
melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu, (d) melakukan pengamanan areal tebangan antara
lain pencegahan kebakaran, melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan
hasil tanaman), (e) melaksanakan penatausahaan hasil hutan sesuai tata usaha kayu hutan tanaman, (f) menyampaikan
laporan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemberi izin. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
hapus, apabila: (a) jangka waktu izin telah berakhir, (b) izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan
kepada pemegang izin, (c) izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi
izin sebelum jangka waktu izin berakhir, (d) dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi
kewajiban sesuai ketentuan, (e) secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak.

DAFTAR PUSTAKA
Cairns, M., Murniati, M. Otsuka, and D. Garrity. 1997. Characterization of Air Dingin-Muara Labuh area of the
Kerinci-Sebelat National Park: Farm and National Park interactions. Proc. of Workshop on Alternatives to Slash-
and-burn. Pp. 135-172.
De Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon, dan W.A. Djatmiko (eds). 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest
Khas IndonesiaSebuah Sumbangan Msyarakat. ICRAF. Bogor. 249 p.
De Waard, P.W.F. 1980. “Problem Areas and Prospects of Production of Pepper (Piper nigrum L.)”. Bul. Dep. of
Agriculture Res. Koninklijk Institute voor the Tropen. (308):1-28.
Evizal, R. 2000. Pola budidaya lada sistem panjatan hidup di Propinsi Lampung. Jurnal Agrotropika V(2): 14-19.
Evizal, R. 2006. Morfologi dan percepatan perkecambahan aren. Jurnal Hutan Tropika 2(1): 5-9. 2006.
Evizal, R. 2008. Intensitas lahan dan formasi agroforestry karet di Jambi: Dari ladang kembali ke hutan. Visi, Jurnal
Irigasi, Sumberdaya Air, Lahan dan Pembangunan 27(1): 36-45.
Gintings, A.N., Sumarhani, M. Kaomini, G. Wibawa, H. Sihombing, Djoko S., Soegito. 1997. Agroforestry
characterization in Pelepat, Bungo Tebo, Jambi. Proc. of Workshop on Alternatives to Slash-and-burn. Pp. 69-
80.
Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. 145 hlm.
Mahi, A.K. 1997. Kesesuaian repong damar di wilayah Pesisir Lampung Barat. J. Tanah Trop. (4): 151-159.
Pillay, V.S. and S. Sasikumaran. 1984. “New Concepts of Crop Management in Pepper Cultivation”. Indian Cocoa,
Arecanut & Spices VII (3): 70-76.
Rosyid, M.J., M.supriadi, G.Wibawa, A. Gunawan. 1993. Peningkatan produktivitas lahan kering beriklim basah
melalui penanaman tanaman sela pada karet muda di Kab. Batanghari, Prop. Jambi. Prosid. Sem. Nas. Pengb.
Wil. Lahan Kering. Hlm. 82-90.
Setiawan, A. 1995. Silvikultur tradisional hutan damar (Shorea javanica) rakyat di daerah Krui, Lampung Barat. J.
Pen. Pengb. Wil. Lahan Kering (16): 51-63.
Simon, H. 2004. Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 289 hlm.
186 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Somarriba, E. 1992. Revisiting the past: An assay on agroforestry definition. Agroforestry Systems 19: 233-240.
Sumarna, Y. 2005. Budi Daya Jati. Penebar Swadaya. Jakarta. 80 hlm.
Team Of Unila Research. 1999. Identifying tree and crops options for the transition of Imperata grassland into
agroforestry systems in North Lampung. 44 p.
Van Noordwijk, M., T.P. Tomich, R. Winahyu, D. Murdiyanto, Suyanto, S. Partoharjono, A.M. Fagi. (Eds). 1995.
Alterbatives to slash-and-burn in Indonesia: Summary Report of Phase 1. ASB Indonesia. Bogor. 154 pp.
Young, A. 1990. Agroforestry for Soil Conservation. CAB International. Wallingford.
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 187

BAB XVI
PANEN DAN PASCAPANEN PERKEBUNAN

T anaman muda (TBM) berupa tanaman keras memulai fase produktif pada umur 3-4 tahun apabila digunakan bibit
unggul bermutu dengan perawatan TBM yang optimal. Investasi yang besar sudah dihabiskan untuk penanaman
dan pemeliharaan TBM. Pekebun ingin segera mengakhiri masa nonproduktif kebun menjadi kebun yang sudah
menghasilkan sehingga akan memperbaiki neraca keuangan. Kebun TBM mulai dipanen dan berubah status menjadi
kebun TM1 berdasarkan kriteria pertumbuhan atau produksi dari populasi tanaman. Pembukaan panen yang terlalu
cepat dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu dan hasil panen yang belum efisien bagi perusahaan
artinya biaya panen lebih besar daripada hasil yang diperoleh. Pada tanaman karet, penundaan pembukaan panen
berguna bagi mempersiapkan pertumbuhan batang untuk mendukung eksploitasi jangka panjang (Damanik et al.,
2010; Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).
Bagi petani, kebun sudah mulai dapat dipanen dengan cara memilih pohon-pohon yang sudah masuk kriteria
dapat dipanen. Status kebun semacam ini mereka sebut sebagai kebun “belajar panen”. Pada kebun karet eksploitasi
penyadapan masih terbatas pada pohon yang sudah besar. Pada perkebunan kopi dan cengkeh, produksi yang
diperoleh pada panen pembukaan ini masih relatif kecil, tetapi petani tradisional tetap merayakan sebagai tanda
syukur keberhasilan dalam membangun sebuah kebun dan berharap panen yang besar akan diperoleh pada musim-
musim berikutnya.
Kriteria bukaan panen untuk kebun karet asal bibit okulasi adalah lilit batang mencapai 45 cm pada ketinggian
100 cm dari pertautan okluasi. Kebun karet mulai disadap apabila 55% pohon memenuhi kriteria matang sadap.
Kebun karet asal okulasi klon unggul yang terpelihara baik memiliki 60-70% pohon yang matang sadap pada umur
5-6 tahun. Pada tanaman kelapa sawit, buah-buah pertama yang terbentuk masih berukuran kecil sehingga bunga yang
terbentuk pada umur sawit 14-20 bulan dipotong atau dikastrasi. Bunga-bunga yang berikutnya dibiarkan menjadi
buah yang dapat dipanen ketika sawit berumur 3 tahun. Kebun kelapa sawit mulai panen pembukaan apabila 60%
pohon telah mempunyai buah yang masuk kriteria dapat dipanen yaitu memiliki bobot tandan buah segar minimal 3
kg (Tim Penulis PS, 2008; Tim Pengembangan Materi LPP, 2000).
Panen dan angkut merupakan kegiatan utama kebun yang sudah menghasilkan (TM) disamping kegiatan
pemeliharaan yang membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Pekerjaan panen sebagian besar menggunakan tenaga
manusia. Pada panen tebu yang sudah mekanisasi, tenaga manusia masih diperlukan untuk pekerjaan tebang. Terlebih
lagi pada kebun karet dan teh dimana panen dilakukan hampir setiap hari dengan tenaga manusia untuk pekerjaan
menyadap karet dan memetik daun teh. Karena melibatkan banyak manusia dan peralatan serta berkaitan sangat erat
188 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

dengan produktivitas kebun, kegiatan pabrikasi, dan kualitas produk yang dihasilkan maka manajemen panen harus
berjalan dengan baik.
Sifat-sifat hasil perkebunan yang harus diperhatikan dalam pengelolaan panen dan angkut antara lain (Sunarko,
1997):
(1) Bervolume panen besar, rowa (bulky), sehingga volume pekerjaan angkut dan olah juga tinggi.
(2) Bersifat musiman, baik terkait dengan musim hujan-kemarau, maupun terkait dengan musim tanam-panen yang
memerlukan peramalan dan perencanaan yang tepat.
(3) Bersifat mudah rusak, sehingga memerlukan proses panen, angkut, dan olah yang terukur dan cepat.
(4) Bentuk hasil panen yang khas yang memerlukan keahlian dan peralatan yang khusus untuk mengurangi kehilangan
hasil baik karena kerusakan tanaman maupun kerusakan hasil panen.
(5) Hamparan lahan perkebunan yang luas, lintas kabupaten bahkan lintas propinsi, yang dapat menyulitkan dalam
peramalan, perencanaan, dan pengoperasian sistem panen, angkut, dan olah.

16.1 Jadwal Panen


Jadwal panen menyesuaikan diri dengan keadaan produksi tanaman yang siap dipanen serta jadwal kerja pabrik
pengolahan. Prinsipnya adalah hasil dapat dipanen seluruhnya pada saat buah atau produk yang tepat panen yang
menyesuaikan diri dengan kapasitas pengolahan dan sumberdaya tenaga dan peralatan yang dimiliki. Penundaan
panen karena keterbatasan tenaga kerja, alat, angkutan, serta kapasitas pengolahan dapat menyebabkan kerugian baik
kuantitas maupun kualitas produk. Contoh kerugian tersebut adalah: (1) buah kopi banyak yang rontok dan mudah
rontok ketika panen apabila buah terlewat masak, (2) bunga cengkeh mekar dan menjadi calon buah apabila lambat
dipanen, (3) tanaman tebu membentuk bunga dan biji sehingga menurunkan rendemen gula, (4) tandan sawit yang
lewat masak banyak buah yang brondol dan kadar asam lemak bebas meningkat yang berakibat menurunnya kualitas,
(5) produksi pucuk teh menurun apabila jadwal petik tidak ditepati serta bidang petik menjadi lebih cepat tinggi, (6)
produksi lateks karet turun apabila jadwal sadap tidak ditepati.
Jadwal panen dapat dibedakan menjadi panen rutin dan panen musiman. Tanaman kelapa, kelapa sawit, karet,
dan teh termasuk tanaman yang dipanen secara rutin (Tabel 71). Tanaman kopi, kakao, lada, cengkeh, pala termasuk
sebagian tanaman perkebunan yang bersifat panen musiman. Buah kakao dipanen musiman, namun dalam setahun
terdapat dua periode panen yang masing-masing dapat berlangsung selama 4 bulan sehingga hampir selama 8 bulan
terdapat buah kakao yang dipanen (Tabel 72). Pada perkebunan tebu, jadwal panen terkait dengan jadwal tanam dan
varietas tebu yang ditanam apakah varietas genjah (masak awal), varietas sedang (masak tengahan), atau varietas
dalam (masak akhir). Varietas tebu berbunga umumnya merupakan tebu masak awal.
Tabel 71. Tipe panen tanaman perkebunan

Tipe Uraian panen Contoh tanaman


1 Panen tanpa musim, panen hampir sepanjang tahun dengan pegaturan jadwal Karet, sawit, kelapa, teh, aren
panen
2 Panen 2 musim, terdapat musim besar, dan musim tengah Kakao, pala
3 Panen musiman, selama 3-4 bulan per tahun Kopi, cengkeh, lada
4 Panen hanya sekali, sekali tanam sekali tebang walau masih ada ratoon Tebu, kayu manis, kina
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 189

Tabel 72. Musim panen kakao di PNG

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Musim panen utama
Musim panen kecil
Legenda Musim panen utama
Musim panen tengah

Sumber: Konam et al. (2009)


Pada tanaman kelapa dan kelapa sawit jadwal panen yang tidak tepat akan menyebabkan banyak tandan yang
lewat masak atau sedikit tandan yang dapat dipanen sehingga tenaga panen tidak efisien. Panen kelapa dan kelapa sawit
dilakukan dengan rotasi atau frekuensi panen setiap minggu. Artinya panen pada areal (hanca) panen tertentu akan
kembali dipanen seminggu kemudian. Pada musim tandan panen kurang maka rotasi dapat diperlama menjadi dua
mingguan. Jika hari panen dilaksanakan 6 hari dengan rotasi mingguan dan Minggu libur maka sistem rotasi panen
adalah 6/7. Dengan frekuensi panen 1 kali seminggu, berarti seharusnya ada 52 kali panen per tahun. Realisasinya
tidak sampai frekuensi maksimum karena adanya musim jumlah tandan panen yang sedikit.
Satu regu panen setiap hari bekerja 7 jam kecuali hari Jumat, jam kerja 5 jam sehingga dalam 6 hari atau 40 jam
kerja menyelesaikan areal panen yang menjadi tugasnya. Pada suatu afdeling dengan luas total 500 ha maka setiap
hari luas areal yang dipanen dengan sistem panen 6/7 adalah sebagai berikut. Persentase luas panen setiap hari kerja
(kecuali Jumat) adalah 7 jam/40 jam x 100% = 17,5% sedangkan pada hari Jumat sebanyak 5/40 x 100% = 12,5%.
Sehingga luas panen setiap hari Senin-Kamis dan hari Sabtu adalah 17,5% x 500 ha = 87,5 ha yang dibagi dalam hanca
dan regu panen.
Rotasi atau daur petik pucuk teh adalah setiap 6-12 hari, misalnya ditentukan sistem daur petik 5/7 artinya buruh
panen bekerja selama 5 hari dalam seminggu dengan hari Sabtu dan Minggu libur. Setelah seminggu setiap regu
petik akan kembali pada hanca petik semula. Rotasi sadap karet adalah setiap 1-3 hari, misalnya sistem sadap d/2
artinya pohon disadap setiap dua hari. Untuk memudahkan rotasi panen, blok panen karet dibagi blok A dan blok B.
Setiap penyadap atau setiap regu bekerja menyadap setiap hari pada blok A atau blok B. Jika libur hari Minggu maka
frekuensi sadap karet adalah 3 kali seminggu, atau 12 kali per bulan untuk suatu hanca yang sama. Dengan sistem
panen rutin berarti secara keseluruhan luas areal perkebunan atau per afdeling maka setiap hari adalah hari panen.
Jadwal panen ditentuan berdasarkan hanca panen, luas areal kebun yang dipanen, regu panen, dan jam kerja, rotasi
atau daur panen.

16.2 Hanca dan Regu Panen


Hanca atau kavleid atau seksi panen adalah luas areal, atau petak, atau jumlah pohon, atau jumlah baris tanaman
yang dipanen oleh satu orang atau satu regu pemanen. Pembagian kebun dalam hanca panen merupakan bagian dari
manajemen panen seperti pengaturan rotasi panen, tenaga panen, regu, mandor, peralatan, pengangkutan, efektivitas
pengawasan panen semuanya berdasar hanca panen. Pembagian hanca berbasis mandor adalah luasan dikerjakan
oleh satu regu pekerja di bawah pengawasan dan tanggung jawab seorang mandor panen. Pembagian hanca berbasis
HKO berdasarkan kapasitas seorang pekerja memanen per hari, juga dikelompokkan dalam satu hanca regu di bawah
tanggung jawab dan pengawasan seorang mandor panen.
Luas hanca bergantung dari kapasitas panen, jumlah produksi, dan keadaan topografi lahan kebun. Sedangkan
jumlah produksi berkaitan dengan populasi pohon dan produktivitas per pohon atau umur pohon. Pada keadaan
topografi yang datar areal hanca lebih luas. Pada perkebunan karet topografi datar, dengan kapasitas menyadap 450
pohon dewasa per hari maka hanca penyadap adalah 0,94 ha per orang, dengan rotasi panen d/2 maka satu tenaga kerja
190 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

setiap hari menyadap seluas 0,94 ha secara bergantian di blok A dan blok B bergantian. Satu regu sadap terdiri dari
10-15 orang penyadap dengan satu orang mandor yang mengawasi luasan panen 10-15 ha di blok A dan 10-15 ha di
blok B.
Kapasitas panen kelapa sawit berkisar 800-1000 kg TBS per HKO. Kebun dibagi penjadi blok panen yang
merupakan tanggung jawab 1 regu panen yang terdiri 3-5 orang. Misalnya satu afdeling meliputi areal 800 ha, dipanen
berdasarkan sistem rotasi 5/7 dan jam kerja Senin-Kamis 7 jam dan Jumat 5 jam (total 33 jam/minggu). Jika kapasitas
panen 750 kg per HKO, kerapatan panen 0,33, bobot panen TBS 19 kg maka kebutuhan tenaga kerja panen dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut.
L⋅ K ⋅ B⋅ P
T=
C

Dimana
T = jumlah tenaga panen
L = luas yang akan dipanen (ha)
K = kerapatan panen yaitu fraksi pohon yang dipanen pada luasan tersebut
B = bobot TBS rata-rata (kg)
P = jumlah pohon per ha
C = kapasitas panen (kg/HKO)
800× 0, 33×19×143
T= = 956, 38 HKO
750

Setiap hari kerja Senin-Kamis, bagian jam kerja = 7/33 = 0,21 bagian sehingga kebutuhan tenaga kerja adalah
956,38 x 0,21 = 200,84 orang = 201 orang, karena kerapatan panen 33% dipanen dalam satu bulan (4 minggu),
sedangkan basis rotasi adalah mingguan maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan adalah 201/4 = 50,25 orang.
Setiap minggu (1 putaran) pemanen memanen 800/50,25 = 15,92 ha kebun atau setiap hari Senin-Kamis memanen
15,92 x 0,21 = 3,34 ha per hari atau 15,92 ha/33 jam kerja = 0,48 ha per jam kerja. Hanca per orang per hari kerja
Senin-Kamis dapat diperiksa sebagai berikut:
C⋅R
H=
B⋅ K ⋅ P
Dimana
R = rotasi per bulan, atau rotasi mingguan adalah 4 kali per bulan
H = hanca panen (ha/hari)
Dalam contoh di atas
750× 4
H= = 3, 346
19× 0, 33×143

Hanca per orang per hari kerja adalah 3,34 ha, sehingga hanca per orang per minggu = 3,346 x 0,21 = 15,93 ha
dengan sistem rotasi sadap 5/7.
Para pemanen dibagi dalam regu yang terdiri dari 3-4 orang, sehingga terdapat 16 regu. Setiap regu atau tim
panen mengatur pekerjaan memotong tandan, memungut brondol dan mengangkut TBS ke tempat pengumpulan hasil
(TPH) yang merupakan rute kendaraan pengangkutan. Satu regu (3 orang) memanen sekitar 10 ha lahan per hari, 50
ha per minggu. Afdeling tersebut dapat dibagi 4 blok yang masing-masing seluas 200 ha yang di bawah pengawasan
4 orang mandor. Masing-masing mandor panen membawahi 4 regu atau 12-13 orang.
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 191

Pada sistem kavleid, pembagian blok panen kelapa sawit berdasarkan kavleid untuk masing-masing hari kerja.
Misalnya dibuat kavleid untuk panen hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Untuk setiap kavleid berdasarkan
luas areal, jam kerja, kerapatan panen, dan kapasitas panen dapat ditentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.

16.3 Survei Panen


Survei, sensus, atau taksasi panen adalah kegiatan pengamatan terhadap produksi tanaman sebelum panen
dilakukan. Sensus panen dilaksanakan untuk memulai panen pembukaan misalnya untuk perkebunan karet dan
kelapa sawit dengan mengamati dan menghitung semua pohon apakah sudah dapat dimulai panen. Pada panen-
panen selanjutnya juga tetap diperlukan pengamatan prakiraan panen dengan sistem sampling pohon secara random
sistematik yaitu merandom awal baris pengamatan, kemudian baris selanjutnya ditentukan secara sistematik menurut
selang tertentu demikian juga penentuan pohon sampel.
Pada dasarnya sebelum pelaksanaan panen, tanaman perlu pengamatan untuk memprediksi tingkat produksi
yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan berapa luas areal yang harus dipanen, tenaga kerja, peralatan, alat
pengangkutan, kapasitas pengolahan hasil atau pabrik. Secara ringkas, manajemen panen dimulai dengan survei
panen, kesalahan dalam survei panen akan mempengaruhi ketepatan dalam perencanaan panen.
Pengamatan survei panen tebu berdasarkan kadar atau rendemen gula untuk menentukan saat panen yang tepat.
Pengamatan sensus pembukaan sadap karet berdasarkan lilit batang karet. Survei panen kelapa sawit berdasarkan
kemasakan tandan dan jumlah berondolan buah sawit. Pengamatan panen kelapa dilakukan dengan melihat perubaha
warna kulit luar buah kelapa. Pengamatan panen kebanyakan komoditas adalah melihat visual buah seperti pada
buah kopi, kakao, lada dengan melihat ciri-ciri buah masak. Untuk tanaman tebu, penentuan tingkat kemasakan
dapat dilakukan dengan menghitung faktor kemasakan berdasarkan rendemen batang atas dan batang bawah. Survei
dilakukan beberapa kali menjelang umur panen, setiap 2 minggu. Batang tebu bagian atas lebih lambat matang
daripada batang bagian bawah. Tebu dinyatakan masak apabila rendemen batang tebu bagian atas sudah sama dengan
bagian bawah.
RB − RA
FK = ×100%
RB
FK = Faktor kematangan
RB = Rendemen batang bagian bawah
RA = Rendemen batang bagian atas
Dengan menggunakan rumus seperti di atas, jika nilai FK = 100% berarti tebu masih muda, jika nilai FK = 50%
berarti tebu setengah masak, jika nilai FK mendekati 0% berarti tebu sudah masak atau matang panen.
Survei panen kelapa sawit dilakukan secara teliti paling tidak pada setiap semester yang menduga kerapatan
panen pada 6 bulan ke depan. Ciri buah bulan ke-1 (panen bulan depan) yaitu buah telah memberondol sebagian dan
kulit buah berwarna merah tua. Ciri buah bulan ke-2 yaitu buah berwarna merah kehitaman dan kusam. Ciri buah
bulan ke-3 yaitu buah berwarna kehitaman dan duri mulai kisut. Ciri buah bulan ke-4 yaitu buah berwarna hitam kilat
dan duri buah masih tegak, tajam dan berwarna hijau. Ciri buah bulan ke-5 yaitu bunga betina sudah mekar berwarna
jingga. Ciri buah bulan ke-6 yaitu bunga betina baru mulai pecah dari seludangnya. Setiap bulan juga perlu dilakukan
pengamatan panen untuk memastikan kerapatan panen pada bulan depan. Bahkan sehari sebelum panen, sambil
melakukan panen hari ini, dilakukan pengamatan untuk memastikan kerapatan panen kelapa sawit besok hari.
192 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

16.4 Pengangkutan
Pengangkutan merupakan subsistem penting dalam sistem panen angkut serta terkait erat dengan sistem
penanaman (bagian kebun) dan sistem pengolahan hasil (bagian pabrik). Pada panen tanaman tahunan yang bersifat
musiman, maka keadaan kritis terjadi pada musim panen puncak karena aktivitas pengangkutan mencapai puncak
dan hasil panen dapat melebihi kapasitas pabrik. Pada komoditas tanaman setahun, seperti tebu, nanas, dan singkong,
dilakukan pengaturan jadwal penanaman sehingga dapat dibuat jadwal panen.
Perencanaan tenaga dan regu panen serta prakiraan produksi per panen berkaitan dengan perencanaan
pengangkutan antara lain jumlah alat atau kendaraan angkutan panen. Selain bergantung prakiraan produksi yang
harus diangkut per hari, jumlah armada angkut bergantung dari kapasitas angkut, rute pengangkutan, dan jumlah trip
per hari. Perencanaan angkutan panen yang akurat akan meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan panen. Armada
angkutan paling banyak dibutuhkan pada panen tebu karena produktivitas tebu mencapai 120 ton per hektar diikuti
oleh panen kelapa sawit dengan produktivitas mencapai 25 ton per hektar per tahun. Perkebunan tebu dan kelapa sawit
rakyat perlu memiliki truk panen sendiri, atau menyewa truk, atau panen secara berkelompok dalam bentuk kelompok
tani atau koperasi yang memiliki truk angkut, regu panen, dan kontrak pembelian dengan pabrik. Perkebunan karet,
tebu dan kelapa sawit sebagian memanen dengan cara kontrak dengan rekanan atau perusahaan panen mengingat
begitu besarnya kebutuhan tenaga dan pengangkutan panen.
Lama periode musim panen juga menentukan kebutuhan armada angkutan panen. Musim tebang tebu sekitar 6
bulan per tahun, periode panen kelapa sawit sepanjang tahun, periode petik teh sepanjang tahun, periode sadap karet
selama 9-10 bulan, musim panen kopi sekitar 3 bulan dalam setahun. Periode panen yang terjadi pada musim hujan
akan mempersulit pengangkutan panen, karena keadaan jalan panen berupa tanah yang licin atau berlumpur akibat
turun hujan.
Manajemen pengangkutan hasil semakin kritis apabila kualitas hasil panen sangat ditentukan oleh lama
pengangkutan dan cara pengangkutan. Kualitas tebu, teh, lateks dan TBS ditentukan oleh lama waktu dalam
pengangkutan dan antrian masuk pabrik pengolahan serta cara dan alat pengangkutan. Semakin jauh jarak yang harus
ditempuh dari kebun ke pabrik pengolahan, semakin meningkat risiko kerusakan hasil atau penurunan kualitas.

16.5 Pengawasan Panen


Sistem operasional panen angkut yang baik antara lain adalah:
(1) Pemungutan hasil (pemanenan) dilakukan tepat pada waktunya yaitu pada umur fisiologis yang tepat.
(2) Kualitas hasil panen yang memenuhi standar mutu yang direncanakan.
(3) Hasil panen dapat terkirim ke pabrik tepat pada waktunya.
(4) Memanen hasil seoptimal mungkin sesuai potensi tanaman dengan hasil yang tertinggal di pohon atau di kebun
seminimal mungkin.
(5) Operasional panen dan angkut berjalan secara efisien.
Agar pelaksanaan panen dan angkut berjalan secara efisien diperlukan pengawasan yang efektif. Pengawasan
panen dilakukan oleh mandor panen dengan melakukan inspeksi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh regu panen
yang berada di bawah pengawasannya. Pengawasan perlu terus dilakukan agar teknis panen dilakukan secara benar,
kehilangan hasil dapat diminimalkan, kualitas dan produktivitas dapat optimal, produktivitas jangka panjang dapat
terjaga. Selain itu pengawasan panen bertujuan untuk membina para pemanen dan meningkatkan keterampilan mereka.
Kehilangan hasil panen dapat terjadi di kebun atau dalam pengangkutan. Untuk itu perlu dilakukan registrasi panen
berupa penimbangan hasil, penomoran TBS, wadah atau karung, dan pengisian formulir yang disampaikan pada
penerima hasil di pabrik atau di tempat penampungan dan pengolahan hasil.
Penderesan (eksploitasi) karet perlu diawasi agar dilakukan dengan kedalaman sadap dan konsumsi kulit sesuai
dengan teknis yang ditetapkan. Pemotongan tebu diawasi agar kedalaman potong sesuai standar untuk pertumbuhan
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 193

tanaman tebu ratoon musim berikutnya. Pemetikan teh diawasi agar pucuk terpetik bersih dan bidang petik tidak
cepat tinggi. Panen kelapa sawit diawasi agar tidak ada tandan masak yang tertinggal, pemotongan pelepah dan tandan
kosong, dan pemungutan brondolan dan penanganan TBS secara benar. Panen kopi diawasi agar pemangkasan ketika
panen dilakukan benar yaitu disiapkan cabang-cabang untuk berbuah tahun berikutnya dan buah-buah yang rontok
ikut diambil.

16.6 Premi panen


Sistem pengupahan pada pekerjaan panen baik karyawan tetap, rekanan kontrak panen, maupun buruh harian
panen memiliki sistem khusus, mengingat strategisnya pekerjaan ini bagi pendapatan perusahaan. Dasar sistem
pengupahan panen adalah bobot hasil yang dipanen dikalikan angka upah. Untuk mendorong pemanen mencapai
prestasi panen tertentu baik kuantitas maupun kualitas maka dilakukan sistem premi dan penalti. Artinya seorang
pemanen diberi basis tertentu baik kuantitas maupun kualitas panen. Apabila basis tersebut dicapai maka pemanen
mendapat uang premi basis. Apabila prestasi melebihi basis maka pemanen juga mendapat premi misalnya berapa
bobot kelebihan tersebut dikalikan nilai premi tertentu.
Berbagai sistem basis dan sistem premi dapat diberlakukan sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan.
Pada perusahaan yang tumbuh dengan baik, diciptakan berbagai sistem premi panen. Insentif ini ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja, memupuk rasa tanggung jawab pemanen sekaligus meningkatkan produksi dan
kualitas produk perusahaan. Pekerja yang berprestasi baik, diberi insentif sebaliknya pekerja yang berprestasi buruk
diberi disinsentif atau penalti. Pelaksanaan sistem ini membutuhkan sistem dan organisasi yang rapi seperti sistem
penetapan basis, pengawasan, penimbangan, dan administrasi. Sistem pengawasan dilakukan secara berlapis agar
tidak terjadi kecurangan dan manipulasi. Sistem penalti juga harus ditegakkan agar memberikan efek jera kepada
pekerja yang malas atau lalai.
Prestasi panen kelapa sawit terhadap jumlah yang dipanen berdasarkan basis borong yaitu jumlah kg TBS yang
dipanen. Basis borong bergantung pada umur pohon (yang mempengaruhi bobot TBS dan tinggi pohon atau kesulitan
panen), kerapatan panen, dan topografi areal. Selain itu terdapat pula basis borong brondolan yaitu bobot brondolan
tertentu yang diperoleh pemanen. Misalnya basis borong untuk panen kebun sawit dewasa bertopografi datar adalah
700 kg TBS.
Premi atas prestasi kualitas panen dapat dilakukan setelah setiap pemanen diklasifikasikan misalnya menjadi
pemanen klas A, B, C, atau D dengan grade nilai tertentu. Penilaian untuk klasifikasi kualitas panen dievaluasi setiap
bulan. Pemanen klas A adalah pemanen yang mampu melaksanakan seluruh standar mutu pemanenan misalnya
dengan nilai >85 dari rata-rata nilai variabel panen. Misalnya variabel kualitas panen kelapa sawit meliputi (1)
tingkat kemasakan buah, (2) kualitas tandan (kesegaran tandan, panjang gagang, buah busuk, kontaminasi kotoran),
(3) kualitas hanca (tandan dipanen tidak dikumpul, brondolan tertinggal, tandan masak tidak dipanen, pelepah tidak
dipangkas, pangkasan pelepah tidak disusun).
Sistem penalti terhadap temuan variabel kualitas panen digunakan untuk pemberian nilai negatif untuk
variabel penentuan klas kualitas pemanen. Bentuk lain sistem penalti adalah jika temuan tersebut digunakan untuk
menghilangkan premi seperti premi brondolan, premi kelebihan bobot, dan presmi basis. Bentuk penalti yang paling
berat adalah pemecatan dari pekerjaan apabila dalam masa pembinaan karena sering melakukan kesalahan, pemanen
tetap melakukan kesalahan yang berat.

16.7 Pasca Panen


Menurut UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pasca panen antara lain meliputi kegiatan
transportasi hasil, pembersihan, pengupasan dan pengawetan. Pengangkutan hasil sudah dibahas dalam kegiatan panen.
Kegiatan pasca panen yang akan dibahas adalah penanganan hasil panen setelah sampai di tempat pegolahan hasil
194 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

sebelum hasil dilakukan pengolahan seperti pengupasan, fermentasi, penggumpalan, pengeringan, dan pengolahan
hasil.
Untuk pasca panen tebu, teh, dan kelapa sawit setelah sampai di pabrik adalah masuk kedalam tahapan pengolahan
hasil. Beberapa komoditas, kegiatan pasca panen dimulai dengan pemisahan bagian-bagian buah yang dipanen. Buah
kelapa dikupas sabutnya, dipecah untuk memisahkan bijinya dengan air kelapa. Buah kakao dipecah dan bijinya
diambil untuk diproses lebih lanjut. Buah kopi digiling basah untuk memecah biji dari daging buah. Biji pala dibelah
untuk memisahkan daging buah, fuli, dan biji. Buah lada diirik untuk memisahkan buah dari tangkai atau malai.
Bunga cengkeh dipipil untuk memisahkan bunga cengkeh dari gagangnya. Lateks karet dapat dibekukan dengan
memberi asam semut atau asam cuka sehingga diperoleh slab.
Fermentasi
Beberapa komoditas dari kelompok minuman atau penyegar memerlukan tahap fermentasi yang memungkinkan
produk mengalami peningkatan kualitas melalui kerja enzimatis. Komoditas tersebut antara lain teh, kopi, dan kakao.
Kegiatan fermentasi adalah membiarkan produk dalam lingkungan suhu dan kelembaban tertentu selama waktu
tertentu. Dalam bahasa sederhana fermentasi berarti pemeraman yang dapat dilakukan dengan teknologi sederhana.
Walaupun teknologi sederhana, masih sedikit petani kakao dan kopi yang melakukan fermentasi. Tanpa ferementasi,
biji langsung dijemur sampai kadar air 14% dan siap dijual.
Setelah dipisah dari kulit buah, biji kakao langsung dimasukkan dalam kotak fermentasi dan ditutup karung goni
untuk mempertahankan suhu dan kelembaban. Pada hari ketiga biji kakao dibalik, dan pada hari keenam fermentasi
selesai dan biji siap dijemur. Biji kopi hasil pulping dapat difermentasi secara kering yaitu diperam dalam bak
atau kotak pemeraman selama 24 jam. Untuk fermentasi basah, biji dan pulp dimasukkan dalam bak berisi air dan
difermentasi selama 6 hari dimana air diganti setiap hari. Selesai fermentasi, biji dicuci dan dikeringkan.
Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengurangan kadar air agar biji tidak rusak dalam simpanan atau dalam perdagangan
sebelum biji diolah lebih lanjutan. Hasil pengeringan adalah berupa bahan mentah untuk diperdagangkan dan
digunakan sebagai bahan baku industri. Bahan mentah yang kurang kering masih laku di pasar pengumpul lokal,
namun penjualan ke perusahaan eksportir terlebih di pasar internasional, pemenuhan standar kadar air adalah mutlak
harus dipenuhi. Bahan yang kurang kering akan mudah ditumbuhi mikroba sehingga menurunkan kualitas dan citarasa
bahkan merusah bahan sama sekali dan membahayakan konsumen karena adanya mikroba yang beracun.
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara menjemur di bawah terik matahari. Cara ini membutuhkan waktu yang
relatif lama, bergantung keadaan cuaca, bentuk bahan, dan ketebalan penjemuran. Bentuk bahan berupa biji dapat
kering selama 1-2 minggu penjemuran. Agar pengeringan tidak bergantung pada cuaca dan berlangsung lebih cepat
maka pengeringan dapat menggunakan alat pengering yang dilengkapi sumber udara panas, blower, dan alat pembalik
bahan.

16.8 Rendemen
Rendemen merupakan persentase produk yang didapatkan dari bahan baku yang merupakan perbandingan
berat produk dengan berat awal bahan baku. Nilai rendemen menunjukkan kehilangan berat ketika bahan mengalami
proses pengolahan, sehingga merupakan parameter kualitas bahan baku. Dalam perdagangan hasil perkebunan yang
merupakan bahan baku pabrik, rendemen menjadi ukuran penting dalam pembelian bahan baku. Pihak pekebun
berkepentingan dengan berat produksi segar misalnya berat tandan buah segar (TBS) sawit atau berat tebu, atau berat
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 195

bekuan karet. Sebaliknya pihak perusahaan pembeli atau pengolah berkepentingan dengan nilai rendemen karena
akan menentukan hasil pengolahan. Rendemen dihitung dengan rumus berikut ini.
Hasil olahan
Rendemen= ×100%
bahan baku

Ketentuan harga berbasis bahan segar cenderung menguntungkan pekebun yang kurang memperhatikan kualitas
hasil panen dan dapat mendorong manipulasi bahan segar seperti peningkatan bahan asing, bahan afkir, dan kadar
air. Pihak pabrik menghendaki harga pembelian bahan baku berbasis rendemen, karena rendahnya mutu bahan baku
dapat mempersulit kerja prosesing dan menurunkan grade kualitas produk. Masalahnya, dalam praktek pembelian
bahan baku, angka rendemen tidak dapat diperoleh secara cepat ketika pembelian berlangsung, bahkan secara riil baru
diketahui setelah prosesing selesai.
Rendemen menunjukkan mutu hasil panen dan efisiensi pabrik. Rendemen dipengaruhi oleh faktor tanaman (umur,
varietas/klon), faktor panen (tingkat kemasakan, cara panen, kememaran panen), faktor pascapanen (pengangkutan,
waktu tunggu sebelum pengolahan, fermentasi, pengeringan), dan faktor efisiensi pengolahan atau pabrik. Dengan
demikian upaya peningkatan rendemen dimulai dari kebun sampai pabrik. Pada pasca panen kelapa sawit waktu
tunggu (restan) TBS setelah diangkut ke pabrik untuk diproses sering merupakan masalah yang akan menurunkan
rendemen minyak sawit, terutama pada musim panen puncak. Efek negatif dari penundaan pemrosesan TBS adalah
kualitas minyak yang diperoleh akan menurun terutama karena peningkatan asam lemak bebas (ALB). Effisiensi
pengolahan yang tinggi menunjukkan bahwa pabrik beroperasi dengan baik dengan biaya operasi yang rendah.
Menghitung efisiensi pengolahan adalah sebagai berikut (P3GI, 2008).
Rendemen
Efisiensi= ×100%
Rendemen+loss

Hubungan antara rendemen dengan umur tanaman sawit dapat dilihat pada lampiran Peraturan Menteri Pertanian
No 17/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa
Sawit Produksi Pekebun. Nilai rendemen beberapa komoditas perkebunan utama yang diolah dari Ditjen Perkebunan
(2010) dapat dilihat pada Tabel 73.
Tabel 73. Rendemen beberapa komoditas perkebunan

Komoditas Bentuk bahan Bentuk hasil Rendemen (%)


Kelapa sawit Tandan buah segar Minyak sawit (CPO) 15-23
Minyak inti 3,5-5,1
Kelapa Daging buah segar Kopra 50-55
Kopra Minyak kelapa 65-68
Tabu Tebu Gula 5-10
Karet Lump segar Karet kering 40-50
Cengkeh Bunga segar Bunga kering 30-35
Kopi Robusta Buah segar Biji kering 20-23
Kakao Biji segar Biji kering 33-36
Teh Daun segar Teh 22-24
Lada Buah segar Lada hitam 25-35
Lada putih 15-20
Nilam Daun segar Minyak nilam 0,40-0,75
Serai wangi Batang segar Minyak serai wangi 0,24-0,45
Akar wangi Akar segar Minyak akar wangi 0,36-0,54
196 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

16.9 Target Produksi


Prakiraan produksi dapat didasarkan pada trend produksi tahun-tahun sebelumnya dan hasil survei atau pengamatan
panen untuk tahun depan. Prakiraan tingkat produksi digunakan untuk menyusun target produksi. Produksi tahun
depan ditargetkan berdasarkan prediksi produksi masing-masing kebun dengan masing-masing kondisi yang mungkin
berbeda. Produktivitas kebun merupakan fungsi berbagai faktor seperti klon atau varietas, luas areal panen, umur,
kesehatan tanaman, dan faktor gangguan produksi. Klon atau varietas merupakan faktor tetap. Luas areal panen, umur
dan kesehatan tanaman dapat merupakan faktor positif untuk peningkatan produksi tahun depan. Luas areal panen
adalah selisih dari areal kebun yang dibongkar untuk program replanting atau konversi dan areal kebun yang memasuki
TM1. Pengaruh umur terhadap produktivitas merupakan regresi kuadratik. Kesehatan tanaman merupakan resultan
dari tindakan agronomis seperti pemupukan, pemangkasan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit,
dan pemanenan. Tanpa adanya ekspansi areal kebun, indeks faktor positif produksi bernilai 0,2 dari produksi tahun
sebelumnya sudah merupakan prestasi agronomis yang baik.
Kendala produksi merupakan faktor yang dapat menyebabkan gangguan produksi tanaman yang sulit diprediksi
seperti serangan hama dan penyakit dan keadaan musim (kemarau panjang atau tanpa kemarau). Indeks gangguan
produksi berkisar 0-1. Dalam keadaan normal, indeks gangguan produksi bernilai 0 sehingga tidak ada penurunan
produksi tahun depan. Gangguan yang berat menyebabkan kondisi gagal panen dengan indeks gangguan 0,5-1.
Faktor-faktor yang berkorelasi negatif terhadap pencapaian target produksi dapat dibagi menjadi faktor teknis dan
faktor nonteknis. Faktor teknis antara lain adalah kendala realisasi aplikasi pupuk, pengendaian hama dan penyakit,
pengendalian gulma, pelaksanaan panen, perawatan dan pembaruan peralatan, dan pemogokan kerja. Faktor nonteknis
antara lain karena kemarau panjang atau curah hujan yang terlalu tinggi, meledaknya serangan hama dan penyakit,
serta bencana alam seperti banjir dan gempa. Besarnya nilai faktor koreksi ditentukan berdasarkan berapa faktor
negatif dan berapa besar pengaruhnya dalam menurunkan produksi.
Prakiraan produksi dilakukan mulai dari level yang paling rendah (afdeling atau devisi), level menegah (unit
usaha, rayon), sampai level manejemen (direksi). Laporan prakiraan Level bawah diolah lebih lanjut di level di
atasnya. Prakiraan produksi akan dijabarkan secara operasional menjadi target produksi bulanan, semesteran atau
tahunan. Pada tingkat manajer unit dan direksi, prakiraan produksi digunakan untuk penghitungan rencana pendapatan
dan belanja perusahaan. Target produksi jangka menengah dan panjang berkaitan dengan rencana pemenuhan target
tersebut seperti perluasan areal dan peremajaan kebun serta penambahan fasilitas dan kapasitas pabrik serta kapasitas
sumberdaya manusia.
Target produksi jangka pendek bagi setiap afdeling dan unit usaha merupakan pedoman umum bagi seluruh
karyawan dalam bekerja agar target tersebut tercapai. Target produksi perlu disosialisasikan kepada karyawan
misalnya dipasang di papan atau panel di kantor afdeling atau kantor unit. Capaian produksi sebelumnya, target
produksi, dan capaian saat ini dirinci untuk setiap blok, misalnya berdasarkan saat tanam atau umur dan varietas atau
klon. Perkembangan capaian produksi terus diperbarui agar dapat dievaluasi dan segera ditindaklanjuti apabila ada
perkembangan yang negatif.

16.10 Analisis Kinerja Perkebunan


Kinerja suatu perkebunan atau kebun umumnya dilihat dari pencapaian target, misalnya target produksi, target
perluasan areal, target penanaman, target keuntungan dan sebagainya. Secara kultur teknis, kinerja perkebunan atau
suatu kebun merupakan resultan dari berbagai keragaan dalam ekosistem kebun antara lain (1) keragaan pertanaman,
(2) keragaan produksi, (3) keragaan tanah, dan (4) keragaan lahan kebun. Jika keragaan tersebut dikuantifikasi sebagai
indek bernilai 0-1 dan masing-masing diberi bobot yang sama maka indeks kinerja kebun bernilai 0-4. Klasifikasi
kinerja fisik kebun dapat diberikan sebagai berikut: buruk (indeks <1), kurang baik (indeks 1-2), cukup baik (indeks
2,1-2,9), baik (indeks 3-3,5), sangat baik (indeks > 3,5).
Panen Dan Pascapanen Perkebunan 197

Keragaan pertanaman merupakan hasil penilaian terhadap berbagai variabel seperti keadaan kanopi, percabangan
efektif (pemangkasan, LAI), kandungan hara daun (N, P, dan K), populasi tanaman (jumlah tanaman mati), jumlah
tanaman yang meranggas atau mati pucuk, keterjadian serangan hama dan penyakit, jumlah tanaman yang tumbang,
dan keseragaman tanaman yang dilihat dari nilai CV (coefficient of variance) lilit batang, tinggi tanaman, dan lebar
kanopi. Keragaan produksi kebun dapat dinilai dari variabel tingkat produktivitas (ton/ha/tahun), fluktuasi produksi
(nilai CV), dan pencapaian target produksi yang sudah ditetapkan (%).
Keragaan tanah menunjukkan kesehatan tanah yang dapat dinilai dari berbagai variabel seperti kepadatan
tanah, struktur tanah, kandungan C organik, N, P, K, dan keanekaragaman hayati tanah seperti cacing, mikoriza,
rizobium, dan total bakteri tanah. Keragaan lahan kebun sangat penting untuk dinilai misalnya bagaimana keadaan
aksesibilitas, drainase, teras, tingkat erosi, penutupan LCC (%), dan pengendaian gulma. Secara kuantitatif penutupan
LCC atau penutupan gulma dapat dinilai dengan memfoto lahan kemudian berbasis luas atau gravimetri dapat
dihitung persentase penutupan. Indeks pengendalian berlawanan arah dengan penutupan gulma (1-penutupan gulma).
Penentuan nilai dilakukan berbasis standar pengelolaan kebun yang baik, misalnya tingkat erosi yang rendah harus
diberi nilai tinggi.
Jumlah variabel untuk menentukan indeks masing-masing keragaan masih dapat dikembangkan menurut keadaan
lokasi, kemampuan dan efisiensi. Indeks masing-masing keragaan dihitung dari rata-rata semua variabel yang dipilih.
Penghitungan indeks misalnya dapat menggunakan rumus sebagai berikut
( xi − x min )
Indeks =
x max− x min

dimana Xi adalah hasil pengukuran yang akan diberi indeks, X minimum dan X maksimum berdasarkan kaidah
umum ataupun kaidah khusus di wilayah perkebunan tersebut. Kaidah umum misalnya untuk kandungan hara daun
kopi, karet atau kelapa sawit mempunyai nilai optimum tertentu dan dianggap nilai maksimum. Populasi tanaman
bergantung dari jarak tanam sehingga nilai maksimum bengantung rekomendasi jarak tanam optimum untuk kebun
di wilayah tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Damanik, S., M. Syakir, M. Tasma, Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Ditjen Perkebunan. 2010. Pembakuan Statistik Perkebunan Berbasis E-form. http://www.deptan.go.id/pengumuman/
PSP_revisi-dwima.pdf
Hartley, C.W.S. 1983. The Oil Palm. Longman. London.
James, G. (Ed). 2004. Sugarcane. Second Edition. Blackwell Science. Oxford.
Konam, J., Y. Namaliu, R. Daniel, D. Guest. 2009. Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu untuk Produksi Kakao
Berkelanjutan. ACIAR. 36 hlm.
Mangoensoekarjo, S. dan H. Semangun. 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 605 hlm.
P3GI. 2008. Konsep peningkatan rendemen untuk mendukung program akselerasi industri gula nasional. http://
sugarresearch.org/wp-content/uploads/2008/12/konsep-peningkatan-rendemen.pdf
Siregar, T.H.S., S. Riyadi, L. Nuraeni. 1996. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya.
Jakarta. 170 hlm.
Sunarko. 1997. Manajemen panen angkut olah. LPP Kampus Yogyakarta.
198 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
318 hlm.
Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu Liku-liku Permasalahannya. Kanisius. Yogyakarta. 72 hlm.
Tim Pengembangan Materi LPP. 2000. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan
Perkebunan. Yogyakarta.
Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 235 hlm.
Willson, K. 1999. Coffee, Cocoa and Tea. CABI Publ. Liverpool.
Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 2001. Cocoa. Fourth Edition. Balckwell Science. London.
Wintgens, J.N. (ed). 2004. Coffee Growing, Processing, Sustainable Production. Wiley-VCH, Weinheim.
Dasar-dasar Produksi Perkebunan 199

GLOSARI

Administratur: Orang yang mengepalai sebuah unit usaha kebun dari suatu struktur organisasi perkebunan besar.
Afdeling: Blok kebun yang merupakan bagian dari suatu unit usaha kebun.
Agroindustri:  Industri berbasis pertanian, mulai dari industri untuk budidaya sampai dengan industri hasil pertanian.
Agrowisata:  Parawisata  dengan objek  wisata  pertanian  seperti keindahan alam di ladang dan kebun, proses
budidaya dan  pengola­han hasil.
Bagal: Bibit tebu yang berasal dari lonjoran setek tebu.
Benih: Biji yang dimaksudkan sebagai bahan tanam.
Benteng  Kontur:  Bangunan  tanah searah  kontur  yang  berfungsi menahan aliran permukaan
Bero: Membiarkan lahan untuk tidak ditanami beberapa waktu.
Bibit: Tanaman kecil yang siap ditanam sebagai hasil dari perban­yakan generatif maupun vegetatif.
Blanket  spray:  Penyemprotan secara menyeluruh  meliputi  seluruh wilayah  kebun; sebagai kebalikan dari spot spay
yang  menyemprot hama-penyakit sebagian kelompok pohon dari suatu kebun.
Ekonomi  kantung  (Enclave economic):  Perekonomian  yang  tumbuh cepat  terpusat di perkebunan besar yang
berbeda  sangat  kontras dengan sekeliling perkebunan.
Elevasi  (ketinggian tempat): Letak ketinggian suatu tempat  dari permukaan laut yang digunakan sebagai salah satu
penentuan syarat tumbuh.
Empon-empon:  Komoditas penghasil rimpang yang digunakan  sebagai bumbu dan obat tradisional, umumnya dari
famili Zingiberaceae.
Entres: potongan cabang atau ranting yang digunakan untuk penyabungan atau okulasi.
Evaluasi  lahan:  Evaluasi untuk  menentukan  tingkat  kesesuaian lahan untuk membudidayakan tanaman tertentu.
Gawangan: Daerah yang agak terbuka antarbarisan tanaman  perkebu­nan tahunan.
200 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Gulma  berbahaya: Jenis gulma yang sangat merugikan  baik  karena menghambat  pertumbuhan dan menurunkan
hasil maupun karena  meng­ganggu pengelolaan kebun
Hardening: Penyingkapan naungan bibit untuk mengadaptasikan bibit pada lingkungan lapangan.
Iklim mikro: Struktur iklim dari ruang udara yang tipis yang berada dari permukaan tanah sampai ketinggian tertentu
dimana efek karakter terdekat yang mendasari permukaantersebut tidak lagi dapat dibedakan dengan iklim lokal
umumnya.
Indeks lahan: Indeks yang menunjukkan klasifikasi kesesuaian lahan yang dihitung dari perkalian  nilai-nilai
karakteristik lahan.
Jalur  pengendali  api: Jalur lahan yang bersih dari  bahan  yang dapat termakan api.
Jaring  penyelamat  (savety net): Sistem perakaran  (pohon)  yang dalam  yang  berfungsi menyerap (menyelamatkan)
unsur  hara  yang terlindi.
Kacangan penutup tanah (Legume Cover Crops): Tanaman dari  famili leguminasa  baik  yang merambat atau
perdu  yang  ditanam  untuk menutupi dan menyuburkan tanah.
Kemiringan tanah: Ukuran yang dinyatakan dalam persen yang menun­jukkan kemiringan tanah.
Kitri: Bibit kelapa yang masih kecil.
Klas  kesesuaian lahan: Klasifikasi kecocokan suatu  lahan  untuk membudidayakan suatu komoditasa tertentu.
Klon: Kelompok tanaman hasil dari perbanyakan vegetatif dari satu pohon induk.
Klonisasi:  Program  penyambungan pohon dewasa pada  suatu  kebun dengan entres dari klon unggul.
Klorosis: Gejala menguningnya daun.
Kontur:  Jalur pada lahan miring yang  menghubungkan  titik-titik dengan ketinggian tempat yang sama.
Konversi:  Penanaman  kembali suatu kebun dengan  komoditas  yang berbeda dengan komoditas sebelumnya.
Matang  sadap: Keadaan pohon karet yang berukuran  tertentu  yang sudah dapat disadap.
Membokor: Kegiatan membersihkan gulma di sekitar piringan pohon.
Mengajir: Pekerjaan memasang ajir sebagai tempat penanaman sesuai dengan jarak tanam yang diinginkan.
Mengored: Kegiatan membersihkan gulma menggunakan kored.
Naungan individu: Naungan pada pembibitan yang dibangun  untuk masing-masing bedengan. Sebagai bandingannya
adalah naungan tunggal yaitu satu naungan yang dibangun untuk seluruh areal pembibitan yang luas.
Nekrotik: Gejala kematian jaringan daun secara cepat.
New planting: menanami kebun dari lahan bukaan baru.
Norma: Standar biaya atau tenaga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Okulasi:  Teknik perbanyakan vegetatif dengan cara menempel mata tunas entres pada mata tunas batang bawah.
Panen lelesan: Panen buah kopi untuk putaran terakhir yang meng­habiskan seluruh buah yang ada tanpa tersisa.
Parit buta: Parit yang tidak memiliki tempat pembuangan air yang berfungsi untuk menampung air untuk menekan
erosi.
Pelindung  sementara: Pelindung baik berupa bahan maupun  tanaman yang  berfungsi  untuk melindungi tanaman
yang masih  kecil  dari terik sinar matahari untuk sementara waktu sampai tanaman  diang­gap kuat.
Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Glosari 201

Pelindung tetap: Pohon yang ditanam di kebun untuk melindungi tanaman pokok.


Pematah  angin (Wind breaker): Pohon yang kuat perakarannya  yang ditanam  di (sekeliling) kebun untuk menahan
kerasnya angin  agar tidak merusak tanaman pokok.
Pembibitan awal (Prenursery): Tahapan pembibitan yang dimulai dari menyemaikan bahan tanam (benih atau
setek) sampai  semaian tersebut tumbuh kecil dan siap dipindah di pembibitan utama.
Pembibitan utama (Main-nursery): Tahapan pembibitan dengan memin­dahkan  semaian hasil pembibitan awal sampai
bibit tersebut  siap dipindah ke lapangan.
Pembukaan lahan (Land clearing): Pekerjaan menyiapkan lahan sampai siap ditanami, mulai dari menebas
dan menebang serta menyingkirkan hasil tebangan, sampai mengolah lahan.
Pemurnian klon: kegiatan menyeleksi dan membuang individu yang menunjukkan sifat menyimpang dari karakteristik
klon.
Pemurnian LCC: Kegiatan mengendalikan gulma yang masih tumbuh di sela-sela LCC sehingga LCC tumbuh
menutupi seluruh lahan.
Penanaman (Transplanting): Kegiatan menanam bibit di lubang  yang sudah  disiapkan, dimulai dari membongkar
bibit, menggali  lobang tanam, dari menanam.
Penilaian gulma (Weed assesment): Kegiatan pencatatan jenis gulma yang tumbuh di suatu perkebunan dan penilaian
parameter-parameter gulma,  serta  kondisi  lingkungan tumbuh gulma  tersebut  untuk menentukan cara
pengendalian yang tepat.
Penyiangan berjalur (streep weeding): Penyiangan gulma menurut jalur (antara barisan) tertentu dan membiarkan jalur
tertentu (dalam barisan) yang tidak disiang gulmanya.
Penyiangan bersih (clean weeding): Penyiangan gulma secara menyeluruh dalam suatu areal kebun.
Penyiangan selektif (selective weeding): Pengendalian gulma yang hanya terhadap gulma tertentu dan menenggang
gulma yang lain.
Penutupan (coverage): Keadaan tajuk (daun) tanaman yang melingkupi permukaan tanah, dinyatakan dalam persen.
Peracunan pokok: Aplikasi arborisida untuk mematikan pohon yang akan dibongkar.
Perkebunan rakyat: kelompok kebun-kebun dari suatu komoditas tertentu milik rakyat.
Piringan: lahan di sekeliling pohon yanh selalu dibersihkan dari gulma, umumnya dengan cara dibokor.
Pupuk hijau: biomassa segar legum yang dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk.
Rendemen: Nilai yang menunjukkan perbandingan bobot bahan baku dengan bahan jadi.
Rehabilitasi kebun: Perbaikan produktivitas kebun melalui berbagai tindakan seperti pemangkasan, penyiangan
gulma, pemupukan, dan penyulaman.
Rejuvenasi: Kegiatan memudakan batang dengan cara dipangkas dan diganti tunas baru.
Rempah-rempah: Kelompok tanaman penghasil bahan bumbu untuk masakan, makanan, dan minuman.
Replanting: Menanam ulang suatu kebun dengan komoditas yang sama.
Repong: Kebun buah tradisional di Lampung
Rorak: Lubang yang digali di kebun sebagai upaya konservasi tanah.
Sambungan:  Bahan  tanam  hasil dari  penyambungan  batang  bawah dengan entres
202 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Saprodi (sarana produksi): sarana yang dibutuhkan untuk  budidaya pertanian seperti bibit, pupuk, dan pestisida.
Seks Rasio: Perbandingan antara jumlah (tandan) bunga betina  dan bunga jantan
Sistem ladang berpindah: Sistem budidaya  pertanian  tradisional yang pembukaan lahan secara tebas-bakar,
penanaman selama bebera­pa musim, kemudian pindah membuka hutan baru setelah tanah  tidak subur.
Stek:  Bahan tanam vegetatif berupa potongan batang, akar,  atau daun.
Stump: Bahan tanam berupa bibit yang sudah dipotong sebagian besar akar dan cabangnya.
Sub-soil: lapisan tanah di bawah top soil.
Tanam Paksa (Cultuur stelsel): Program Pemerintah Hindia  Belanda yang  mengharuskan petani menanam komoditas
yang  ditentukan  di tanah petani sendiri dan hasilnya dibeli dengan harga pemerintah. Program  ini dicetuskan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Tanaman  awal (Precropping): Tanaman semusim  yang  dibudidayakan sebelum tanaman perkebunan ditanam.
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM): Tanaman muda yang belum berpro­duksi.
Tanaman Menghasilkan (TM): Tanaman yang sudah berproduksi.
Tanaman sela (Intercropping): Tanaman semusim yang  dibudidayakan di sela tanaman tahunan.
Teras kontur: teras yang dibangun mengikuti arah kontur.
Top soil: lapisan tanah subur di bagian teratas tanah, berwarna gelap, mengandung bahan organik tinggi,.
Transplanting: Pindah tanam bibit ke lapangan
Tunggul: Bagian pokok (pangkal) pohon yang sudah ditumbangkan.
Umur  Ekonomis: Umur suatu komoditas yang masih memberikan  keun­tungan ekonomis.
Underplanting: Menyisipkan bibit di kebun di bawah tegakan yang sudah ada.
Varietas: Kompok tanaman yang memiliki satu atau beberapa sifat yang sama yang dapat dibedakan dengan varietas
lain.
Wiping:  Aplikasi herbisida dengan cara mengelap gulma  lap  yang sudah dicelup herbisida sistemik.
Zaailing: Bibit yang berasal dari perbanyakan menggunakan biji.
Dasar-dasar Produksi Perkebunan 203

INDEKS

A B
abnormalitas 66 bajak 55, 56, 57, 157
administrateur 18 bakar 4, 5, 43, 52, 53, 54, 60, 77, 102, 103, 105, 113,
afdeling 2, 136, 139, 189, 190, 196 139, 202
Agrarische 17 bangku 59, 60
agroekosistem 9, 42, 45, 108, 109, 142 bangunan 15, 17, 49, 50, 53, 58, 59, 60, 79, 101, 103,
agroforestry 173, 174, 175, 185, 186 113, 182
agroindustri 1, 2, 21, 61 baverages 5
agrowisata 6, 7 benih 4, 56, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 80, 88,
air 3, 7, 8, 9, 30, 31, 32, 33, 39, 42, 47, 49, 50, 55, 58, 89, 90, 91, 92, 94, 102, 104, 106, 116, 118, 132,
59, 60, 62, 64, 65, 67, 69, 75, 76, 79, 84, 88, 89, 157, 176, 181, 183, 201
91, 92, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 123, 124, bentuk v, 15, 17, 19, 31, 32, 33, 56, 75, 76, 97, 98, 101,
129, 131, 138, 139, 151, 161, 162, 164, 166, 168, 119, 125, 159, 163, 164, 166, 168, 173, 177, 192,
169, 183, 194, 195, 200 194
alelopati 123, 128, 129, 130, 134 bentuk usaha negara 19
analisis 37, 41, 42, 44, 45, 85, 125, 144, 145, 146, 147, berkayu 2, 50, 83, 84, 89, 102, 128, 129, 131, 132, 133,
149, 151, 152, 156 173, 174, 184
andalan 42, 44, 115 bero 89, 176
angkut 79, 187, 188, 192, 197 berpindah 2, 113, 115, 176, 180, 202
aplikasi pestisida 158 bersih 8, 9, 22, 44, 52, 53, 54, 65, 83, 84, 95, 102, 105,
AVROS 23, 24 114, 130, 131, 132, 133, 139, 152, 157, 158, 166,
awal 15, 19, 43, 50, 57, 58, 62, 64, 65, 66, 71, 72, 73, 167, 168, 176, 178, 181, 193, 200, 201
75, 76, 78, 81, 88, 89, 90, 91, 92, 103, 104, 105, bibit 43, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 71, 75, 76, 77, 78,
111, 112, 114, 115, 116, 117, 130, 131, 132, 137, 84, 89, 91, 102, 103, 104, 106, 113, 130, 131,
138, 140, 143, 145, 146, 151, 152, 157, 175, 176, 132, 140, 141, 143, 157, 169, 176, 183, 187, 200,
188, 191, 194, 201, 202 201, 202
azas 3, 42 bidang v, vii, 2, 4, 21, 22, 49, 64, 83, 84, 105, 117, 136,
165, 167, 168, 169, 170, 173, 177, 188, 193
Bintil akar 98
204 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

biofuel 5 F
blanket spray 158
bronzing 144 faktor 29, 33, 35, 36, 37, 42, 49, 58, 66, 67, 136, 143,
buah 1, 2, 3, 10, 18, 52, 63, 69, 75, 80, 81, 95, 99, 101, 146, 155, 191, 195, 196
104, 105, 111, 121, 144, 148, 149, 155, 157, 159, Ferguson 30
160, 161, 162, 163, 164, 168, 169, 173, 174, 175, frekuensi 76, 125, 126, 143, 189
176, 177, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 187, 188, frost 3
191, 193, 194, 195, 200, 201
G
budidaya pertanian 202
buldozer 57, 65, 139 gangguan produksi 196
garu 55, 56, 57
C gejala 66, 95, 96, 144, 145, 158, 159
cabutan 62, 66 gulma 53, 54, 55, 57, 58, 59, 65, 67, 71, 78, 79, 83, 84,
cadangan 30, 64 85, 87, 89, 90, 92, 93, 99, 105, 112, 113, 117,
cultuurstelsel 16 123, 124, 125, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134,
Cultuurtuin 25 138, 139, 152, 157, 175, 176, 178, 179, 181, 183,
196, 197, 200, 201, 202
D
H
daun 10, 30, 59, 62, 63, 64, 66, 67, 73, 77, 80, 81, 87,
88, 89, 91, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 103, 104, hama-penyakit 199
105, 106, 107, 115, 119, 130, 131, 132, 138, 144, hanca 189, 190, 193
145, 146, 147, 149, 150, 151, 152, 155, 157, 159, hara 32, 33, 34, 35, 39, 40, 53, 56, 72, 75, 79, 83, 84,
160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 181, 85, 86, 87, 89, 94, 98, 106, 107, 109, 123, 124,
182, 184, 187, 197, 200, 201, 202 129, 130, 139, 143, 144, 145, 41, 145, 144, 145,
daur 9, 189 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 166, 197, 200
defisiensi 144, 145, 146 hardening 66
defisit 30, 31, 151 hari 13, 30, 31, 34, 57, 65, 67, 75, 76, 77, 87, 89, 91,
devisa 2, 3, 4, 7 98, 101, 151, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163,
dominansi apikal 166, 168 167, 169, 181, 183, 187, 189, 190, 191, 192, 194
drainase 32, 34, 39, 49, 50, 51, 54, 58, 64, 65, 79, 123, holding 22
197 hormon 166, 167
hujan 3, 8, 9, 30, 31, 32, 33, 34, 38, 39, 40, 47, 53, 57,
E 58, 62, 64, 65, 67, 69, 71, 75, 76, 77, 78, 79, 84,
89, 90, 91, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 107, 111,
eksplosi 156 114, 128, 131, 140, 143, 146, 151, 152, 165, 169,
ekspoitasi 17 182, 188, 192, 196
elevasi 30, 33, 89, 115
enclave 17, 18 I
entres 62, 63, 64, 67, 104, 141, 200, 201
enumerating 158 iklim 29, 30, 31, 33, 36, 37, 42, 49, 84, 87, 89, 91, 98,
erfpacht 17 99, 103, 104, 107, 123, 128, 136, 156, 181, 200
erosi 8, 32, 33, 40, 49, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 71, indeks 36, 37, 57, 126, 127, 128, 150, 167, 168, 196,
83, 84, 86, 87, 103, 113, 124, 129, 131, 133, 143, 197
157, 181, 184, 197, 200 individu 59, 63, 64, 125, 126, 128, 158, 200, 201
etioleren 66 induk 62, 63, 64, 65, 104, 105, 181, 183, 200
evaluasi 32, 34, 36, 37, 41, 44, 75 insentif 18, 43, 193
excavator 51, 54, 76 intensif 2, 8, 10, 32, 79, 89, 101, 107, 117, 123, 133,
152, 165, 169, 173, 174, 176, 178, 184, 185
Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Indeks 205

istilah v, 1, 2, 30, 124, 173, 177 Klon 136, 196, 200


klorosis 144
J Komoditas 10, 16, 22, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 62, 73,
jadwal 64, 67, 188, 189, 192 137, 174, 181, 194, 195, 199
jarak tanam 59, 63, 65, 71, 72, 73, 74, 75, 91, 106, 111, komoditas v, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 16, 17, 22, 24, 25,
113, 115, 117, 118, 119, 139, 164, 167, 182, 183, 29, 32, 33, 34, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 51, 57,
197, 200 59, 62, 65, 66, 68, 72, 73, 79, 81, 95, 104, 111,
jenis 1, 2, 8, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 34, 37, 41, 49, 50, 112, 115, 118, 119, 136, 137, 138, 139, 147, 155,
51, 52, 55, 56, 58, 61, 62, 66, 83, 84, 87, 89, 90, 174, 176, 177, 191, 192, 194, 195, 200, 201, 202
91, 92, 95, 97, 99, 100, 101, 103, 105, 106, 107, komposisi 22, 91, 92, 125, 137, 162
108, 111, 112, 117, 118, 124, 125, 128, 129, 130, komunitas 7, 17, 18, 126, 127, 165
134, 135, 136, 144, 147, 148, 155, 156, 158, 159, Konservasi 9, 57, 58, 60
160, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 169, 173, 174, konservasi 7, 8, 9, 32, 50, 58, 59, 83, 94, 121, 149, 173,
176, 177, 180, 181, 184, 201 181, 201
Kontur 58, 59, 199, 200
K kontur 58, 59, 74, 199, 202
konversi 4, 29, 41, 49, 50, 53, 54, 61, 91, 135, 137, 139,
kapasitas 2, 30, 31, 58, 67, 87, 128, 151, 184, 188, 189, 141, 184, 196
190, 191, 192, 196 kualitas 5, 8, 30, 32, 35, 36, 37, 43, 45, 63, 75, 103,
karakteristik 32, 33, 34, 35, 36, 37, 83, 87, 143, 168, 105, 123, 155, 165, 180, 182, 188, 192, 193, 194,
200, 201 195
Karet 11, 23, 24, 25, 45, 46, 62, 70, 73, 76, 82, 94, 114,
134, 137, 142, 172, 174, 175, 188, 195, 197, 198 L
kavleid 189, 191
kebun 2, 4, 5, 10, 15, 16, 17, 18, 23, 24, 32, 50, 51, 52, ladang 2, 53, 77, 113, 115, 176, 180, 181, 185, 199, 202
53, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, lahan 2, 3, 5, 6, 8, 9, 10, 16, 17, 22, 29, 30, 31, 32, 33,
70, 71, 72, 73, 75, 77, 78, 79, 83, 84, 88, 89, 90, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 47, 49,
91, 92, 99, 101, 102, 104, 105, 106, 109, 111, 50, 51, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 65, 67, 68, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 83, 84, 88, 89,
123, 124, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 90, 91, 92, 101, 105, 107, 108, 111, 112, 113,
137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 151, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 128,
155, 156, 157, 158, 159, 165, 168, 169, 173, 174, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 138, 139, 140, 143,
175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 144, 145, 147, 157, 159, 164, 173, 174, 176, 177,
185, 187, 188, 189, 190, 192, 193, 195, 196, 197, 178, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 188, 189, 190,
199, 200, 201, 202 196, 197, 199, 200, 201, 202
kebutuhan 2, 3, 4, 8, 13, 30, 32, 49, 58, 61, 65, 67, 89, land clearing 52
90, 91, 98, 111, 113, 114, 145, 147, 159, 163, LCC 10, 54, 58, 59, 71, 79, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
173, 174, 175, 176, 177, 178, 190, 192 90, 91, 92, 93, 95, 112, 114, 117, 124, 132, 133,
kemiringan 32, 56, 57, 58, 59, 86, 200 138, 157, 158, 159, 197, 201
kerapatan 50, 67, 72, 84, 124, 125, 126, 127, 136, 144, lembab 30, 72, 91, 103, 129, 130, 157, 162
158, 165, 181, 190, 191, 193 limbah 8, 9, 10, 70, 79, 113, 116
kerugian 3, 67, 123, 124, 130, 132, 188 lingkungan 2, 3, 5, 7, 8, 9, 22, 24, 26, 29, 31, 32, 33,
kerusakan 7, 8, 49, 52, 53, 60, 62, 64, 66, 67, 79, 117, 34, 35, 36, 41, 43, 52, 53, 98, 101, 108, 121, 124,
132, 139, 156, 157, 169, 188, 192 125, 143, 145, 156, 159, 164, 173, 177, 184, 194,
kesesuaian lahan 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 200, 201
44, 47, 199, 200 lingkungan hidup 7, 52, 53, 184
kinerja 20, 22, 196 lokal vii, 1, 6, 22, 43, 61, 140, 173, 174, 176, 177, 180,
KKPA 4, 5 184, 194, 200
klasifikasi 5, 30, 34, 35, 37, 43, 193, 200 LQ 44, 45, 46, 47
206 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

luas daun 167, 168 102, 103, 104, 106, 107, 108, 111, 112, 119, 140,
lubang 51, 52, 53, 54, 58, 74, 75, 76, 77, 78, 91, 104, 157, 167, 182, 183
138, 152, 170, 201 pemanis 5, 26
pembakaran 52, 53
M pembangunan v, 3, 4, 5, 6, 19, 29, 42, 43, 45, 47, 50,
main-nursery 79 67, 90, 113, 114, 135, 137, 155, 156, 159, 179
mandor 18, 69, 189, 190, 192 pembatas 34, 35, 36, 37, 51, 71, 182, 183
manfaat vii, 1, 2, 3, 5, 15, 83, 84, 90, 124, 165, 177, pembibitan 2, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 70, 71, 79,
181, 184 91, 103, 104, 123, 124, 129, 130, 132, 143, 147,
matang 34, 59, 76, 92, 93, 113, 162, 163, 187, 191 200, 201
mengajir 74, 75 pembukaan 8, 16, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 58, 105,
mikro 33, 84, 87, 98, 99, 123, 181, 200 113, 139, 187, 191, 202
misi 3, 4 pemeliharaan 2, 16, 41, 52, 54, 59, 65, 67, 78, 79, 90,
multistrata 111 91, 92, 112, 113, 119, 123, 135, 136, 138, 142,
musim 2, 3, 8, 30, 52, 53, 58, 62, 67, 71, 75, 76, 78, 83, 143, 155, 159, 165, 168, 169, 174, 176, 178, 179,
88, 89, 90, 91, 92, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 180, 183, 184, 187
107, 112, 113, 114, 119, 123, 128, 129, 140, 143, pemurnian 63, 64, 90
146, 151, 152, 157, 158, 165, 169, 177, 178, 181, pengendalian mekanis 132
182, 187, 188, 189, 192, 193, 195, 196, 202 pengolahan 2, 7, 8, 9, 16, 21, 42, 43, 49, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 60, 105, 111, 113, 119, 138, 140, 157,
N 165, 188, 191, 192, 194, 195, 199
penilaian 19, 36, 37, 124, 197, 201
nasionalisasi 18, 19, 22, 23, 24 penting 2, 7, 15, 29, 30, 34, 41, 43, 44, 54, 57, 60, 61,
naungan 25, 64, 65, 66, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 95, 96, 65, 67, 71, 81, 85, 88, 92, 114, 123, 126, 127,
97, 98, 99, 101, 103, 105, 107, 109, 111, 112, 128, 129, 136, 155, 157, 159, 160, 161, 162, 168,
114, 116, 117, 118, 121, 128, 129, 133, 139, 141, 181, 183, 192, 194, 197
153, 160, 169, 175, 176, 178, 179, 183, 185, 200 penumbangan 51, 52, 57, 138, 139, 142
neraca 31, 47, 146, 187 penyemprotan herbisida 57, 132, 133
new planting 78 penyiangan 56, 59, 74, 83, 99, 130, 133, 152, 174, 176,
norma 68 201
perkebunan v, vii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16,
O 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 32,
Oldeman 30 34, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 53,
optimum 29, 33, 34, 36, 73, 95, 97, 99, 106, 138, 147, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 67, 71, 73, 79, 83, 84,
152, 167, 182, 197 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 103, 104, 105,
opzichter 18 107, 111, 112, 113, 114, 117, 118, 120, 121, 123,
124, 125, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,
P 136, 137, 139, 140, 141, 143, 145, 155, 156, 157,
158, 159, 160, 164, 165, 167, 173, 174, 175, 176,
pagar 43, 69, 73, 74, 102, 158, 175, 181, 182, 183 177, 178, 180, 181, 182, 183, 184, 187, 188, 189,
panen v, 2, 9, 10, 30, 32, 50, 54, 58, 59, 67, 71, 73, 74, 191, 194, 195, 196, 197, 199, 201, 202, 209
79, 81, 88, 93, 104, 105, 106, 112, 113, 115, 116, pertumbuhan 3, 7, 22, 29, 30, 32, 33, 36, 42, 43, 45, 53,
123, 138, 144, 147, 148, 149, 155, 157, 158, 159, 54, 56, 58, 63, 65, 66, 67, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
165, 167, 168, 169, 176, 181, 182, 183, 184, 187, 83, 84, 88, 89, 90, 92, 96, 98, 99, 101, 103, 104,
188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197 105, 106, 107, 109, 111, 113, 116, 117, 119, 120,
pangkas 101, 140, 169, 170, 179 121, 123, 125, 129, 130, 131, 132, 134, 136, 138,
parit buta 58 139, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
pascapanen 7, 195 153, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 175, 176, 179,
pelindung 32, 33, 58, 84, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,
Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Indeks 207

181, 182, 187, 192, 200 169, 174


peta 42, 49, 50, 58 rejuvenasi 141, 169
petik 168, 169, 188, 189, 192, 193 rempah 5, 15, 26, 97, 111, 173, 175, 177, 181, 201
pewilayahan 42 rendemen 30, 188, 191, 194, 195, 197
PHT 156, 159, 164 renggang 71, 72, 104, 117, 139
PIR 4, 5, 13, 42, 113 replanting 10, 49, 50, 53, 54, 77, 91, 131, 135, 137,
pohon 2, 9, 10, 17, 30, 32, 33, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 139, 140, 141, 157, 184, 196
59, 63, 64, 71, 72, 73, 78, 79, 84, 91, 92, 95, 96, repong 174, 177, 179, 180, 181, 185
97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, Respon pertumbuhan 33, 146
107, 108, 109, 111, 112, 113, 117, 119, 120, 133, ringan 33, 56, 64, 97, 99, 102, 103, 107, 125, 128, 129,
138, 139, 140, 141, 142, 144, 145, 146, 148, 149, 146, 165, 169
150, 152, 157, 158, 159, 161, 163, 166, 167, 168, RISPA 23
169, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, rorak 53, 58, 59, 79
182, 183, 184, 185, 187, 189, 190, 191, 192, 193, rotasi 9, 118, 189, 190
199, 200, 201, 202
POJ 22, 157 S
pola v, 4, 5, 13, 15, 43, 47, 64, 92, 109, 111, 112, 113, sadap 84, 92, 93, 113, 138, 165, 168, 175, 176, 187,
114, 117, 119, 120, 125, 136, 139, 143, 152, 167, 188, 189, 190, 191, 192, 200
174, 175, 176, 178, 179, 183 Schmidt 30
pola tanam 15, 109, 111, 112, 114 scorching 66
populasi 59, 63, 71, 72, 73, 74, 78, 79, 92, 104, 105, sekat 52
106, 119, 130, 133, 141, 148, 156, 157, 158, 159, sela 32, 54, 71, 73, 90, 96, 105, 111, 112, 113, 114, 115,
161, 162, 175, 176, 179, 182, 183, 184, 187, 189, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 132, 133, 139, 141,
197 177, 178, 179, 185, 201, 202
positif produksi 196 semak 6, 49, 50, 51, 52, 54, 71, 77, 83, 113, 125, 129,
premi 193 140, 175, 176, 181, 184
prenursery 68 sementara 8, 50, 53, 56, 71, 84, 89, 90, 95, 104, 105,
produksi v, vii, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 16, 17, 18, 19, 22, 106, 112, 113, 136, 139, 141, 151, 166, 175, 177,
29, 33, 34, 36, 41, 42, 43, 45, 58, 62, 67, 71, 72, 178, 200
73, 75, 76, 79, 81, 83, 91, 93, 98, 103, 104, 105, semusim 2, 3, 9, 30, 32, 41, 53, 54, 57, 71, 79, 84, 90,
107, 109, 112, 113, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 99, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 145,
123, 129, 130, 131, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 173, 178, 184, 202
143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 153, 155, 160, sensus 159, 191
165, 166, 167, 169, 172, 175, 176, 177, 179, 181, Serasah 98
184, 187, 188, 189, 191, 192, 193, 194, 196, 197, serbaguna 184
202 Shannon 127
pulverisasi 54 silvakultur 182
pupuk hijau 1, 12, 84, 85, 89, 90, 98, 101, 102, 103 Simpson 127
pupuk kandang 9, 59, 77, 116, 117, 120, 121, 179 sistem 2, 3, 5, 8, 9, 10, 15, 16, 17, 18, 32, 45, 50, 54,
puslitbun 24 58, 60, 65, 73, 74, 75, 80, 82, 107, 111, 112, 113,
putaran 66, 67, 92, 104, 190, 200 120, 132, 139, 142, 146, 156, 158, 159, 169, 173,
R 174, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 184, 185, 188,
189, 190, 191, 192, 193
rapat 23, 56, 63, 64, 66, 71, 72, 73, 86, 87, 89, 91, 99, status 25, 42, 49, 50, 124, 149, 150, 152, 182, 187
103, 124, 128, 133, 157, 158, 164, 181, 182 stump 51, 62, 101, 102, 104
ratoon 165, 169, 188, 193 subsisten 2, 15, 111, 174, 178
regu 18, 75, 189, 190, 192 subsoil 49, 55, 56, 77
rehabilitasi 59, 61, 83, 89, 135, 136, 140, 141, 142, syarat 6, 29, 30, 34, 36, 37, 42, 61, 64, 199
208 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

T terpadu 5, 8, 9, 50, 146, 156, 158


tetap 2, 3, 7, 8, 9, 25, 32, 33, 43, 62, 67, 75, 76, 78, 84,
tahap 4, 51, 61, 62, 64, 65, 66, 71, 80, 81, 117, 146, 89, 91, 92, 93, 95, 99, 104, 105, 106, 112, 114,
159, 175, 177, 194 130, 133, 139, 140, 141, 144, 147, 149, 156, 168,
taksasi panen 191 169, 176, 177, 178, 182, 183, 184, 187, 191, 193,
tanah 1, 2, 7, 8, 9, 10, 12, 15, 16, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 196, 201
36, 38, 39, 40, 41, 42, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, tingkat 7, 18, 29, 32, 34, 35, 36, 41, 44, 45, 65, 76, 79,
56, 57, 58, 59, 60, 64, 65, 67, 68, 71, 75, 76, 77, 81, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 106, 107, 117, 118,
78, 80, 83, 84, 85, 86, 47, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 121, 124, 125, 126, 127, 136, 138, 141, 144, 146,
91, 92, 93, 94, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 104, 147, 148, 149, 155, 156, 158, 161, 168, 174, 191,
105, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 193, 195, 196, 197, 199
117, 118, 119, 120, 121, 124, 128, 129, 130, 131, tip burn 144
132, 136, 138, 140, 143, 144, 145, 146, 147, 148, TM 78, 79, 89, 97, 114, 117, 123, 124, 129, 130, 133,
149, 150, 151, 152, 157, 158, 161, 167, 168, 175, 134, 137, 140, 144, 145, 147, 148, 172, 187, 202
176, 178, 181, 182, 183, 192, 196, 197, 199, 200, topping 168, 170
201, 202 top soil 49, 52, 56, 57, 65, 202
tanam 5, 15, 16, 17, 29, 42, 49, 53, 54, 56, 58, 59, 61, total 17, 22, 30, 33, 35, 41, 45, 105, 127, 140, 141, 166,
62, 63, 65, 66, 67, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 167, 169, 184, 189, 190, 197
89, 91, 94, 103, 106, 109, 111, 112, 113, 114, TPH 190
115, 116, 117, 118, 119, 130, 138, 139, 141, 142, tradisional 15, 17, 43, 111, 176, 177, 180, 185, 187,
156, 157, 164, 167, 174, 176, 177, 178, 182, 183, 199, 201, 202
188, 196, 197, 199, 200, 201, 202 transplanting 67, 75, 76, 77
tanaman v, 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 13, 15, 16, 19, 22, 26, 29, tujuan 3, 4, 6, 7, 19, 34, 49, 61, 83, 86, 143, 145, 165,
30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 41, 44, 47, 49, 50, 52, 166, 168, 169
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 66, 67, tumbuh 1, 2, 6, 10, 17, 29, 30, 34, 36, 37, 42, 50, 54,
71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 56, 62, 65, 71, 76, 78, 79, 80, 83, 84, 85, 87, 88,
85, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 89, 90, 91, 92, 95, 97, 99, 101, 102, 103, 104,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 105, 106, 111, 112, 115, 116, 117, 119, 123, 124,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 125, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 140, 141, 157,
121, 123, 124, 128, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 163, 165, 166, 167, 168, 175, 176, 178, 179, 180,
136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 181, 182, 183, 185, 193, 199, 201
146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, U
167, 168, 169, 170, 173, 174, 175, 176, 177, 178,
179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 187, 188, 189, umur 44, 64, 65, 66, 67, 72, 73, 79, 88, 89, 93, 103,
191, 192, 193, 195, 196, 197, 199, 200, 201, 202, 105, 113, 114, 115, 116, 117, 120, 135, 136, 137,
209 138, 139, 140, 142, 143, 144, 146, 147, 148, 152,
tanpa 9, 18, 34, 51, 53, 54, 60, 64, 74, 87, 91, 92, 95, 164, 165, 174, 179, 182, 184, 187, 189, 191, 192,
96, 99, 107, 116, 118, 133, 138, 140, 141, 142, 193, 195, 196
145, 149, 173, 176, 178, 181, 183, 185, 188, 196, Undang-undang 3, 17, 18, 19
200 underplanting 141
TBM 54, 78, 79, 89, 90, 91, 92, 97, 106, 113, 114, 115, unggul 4, 61, 62, 67, 70, 92, 104, 117, 136, 140, 157,
116, 123, 124, 129, 130, 132, 133, 136, 137, 141, 176, 183, 187, 200
143, 147, 148, 172, 187, 202
tebang 187, 188, 192
V
tenaga 8, 10, 16, 17, 18, 42, 43, 53, 54, 59, 60, 64, 67, vegetasi 15, 31, 49, 50, 57, 58, 59, 60, 86, 111, 125,
68, 75, 76, 79, 92, 114, 123, 131, 132, 139, 143, 175, 176, 178, 179
151, 152, 176, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 200 visi 3, 4
teras 9, 34, 56, 58, 59, 60, 74, 79, 102, 197, 202 VOC 15, 16, 182
Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Indeks 209

W
wanatani 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181
wilayah 2, 4, 6, 7, 19, 24, 29, 32, 42, 43, 44, 45, 47, 64,
125, 135, 175, 185, 197, 199
wind breaker 181, 182

Z
zaailing 62
210 Dasar-dasar Produksi Perkebunan
Dasar-dasar Produksi Perkebunan 211

TENTANG PENULIS

Rusdi Evizal, lahir di Baturaja, Sumatera Selatan, menyelesaikan program Sarjana di Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UGM tahun 1985, menyelesaikan program Magister Sains
dari Fakultas Pascasarjana UGM tahun 1991, dan program Doktor dari Sekolah Pascasarjana
UGM tahun 2011. Penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung antara lain mengajar mata kuliah Ekologi Pertanian, Produksi Pertanian
Tropika, Pengantar Produksi Perkebunan, Produksi Tanaman Perkebunan, Aneka Tanaman
Perkebunan, dan Tanaman Rempah dan Fitofarmaka. Aktif menulis hasil-hasil penelitiannya
terkait pengelolaan tanaman perkebunan. Sekitar 50 artikel ilmiah telah ditulis di jurnal maupun
prosiding antara lain Jurnal Pemberitaan Littri, Jurnal Penelitian Pengembangan Wilayah Lahan
Kering, Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Jurnal Agrotropika, Jurnal
Agrotrop, Jurnal Pelita Perkebunan, Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, Jurnal Natur Indonesia, International Res. J.
Agric Sci. Soil Sci. dan Journal of Tropical Soils.
212 Dasar-dasar Produksi Perkebunan

Anda mungkin juga menyukai