1
Dr. J. Verkuyl--seorang tokoh pendidikan--mengatakan bahwa
belajar dan prosesnya sebenarnya tidaklah semata-mata hanya semakin
menambah pengetahuan dan informasi. Tidak cukup dari tidak tahu menjadi
tahu, dan dari tahu menjadi lebih tahu. Bahkan dunia hewan pun mengenal
proses demikian. Manusia, berbeda jauh. Ia mengatakan bahwa ketika proses
belajar terjadi, manusia--sebagai pembelajar--harus mengalami perubahan
yang lebih menunjukkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang unik :
pembentukan karakter.
Belajar, berarti masuk ke dalam "dunia" yang khas, dimana
seharusnya seseorang menjadikan apa yang dibaca, apa yang dialami,
dimengerti, dianalisis, dikonfirmasikan, dan dipahami, menjadi nilai-nilai
baru yang digunakan untuk perubahan perilaku. Bacaan, bahkan tumpukan
buku--dan terlebih pengalaman-pengalaman dalam kehidupan--adalah
"belajar" yang sesungguhnya, disediakan untuk menjadikan manusia itu lebih
bernilai. Bernilai dan dihargai sebagai manusia yang berkarakter sebagai
manusia. Ke sanalah seharusnya belajar itu diarahkan. Belajar, baik dengan
apa yang tertulis dan yang tidak tertulis-berarti menjadikannya hidup-
dilakukan, dan tidak terbatas dalam informasi. Pengetahuan seharusnya
berjalan sejajar dengan perubahan hidup. Pengetahuan mengenai kehidupan
harus berbenturan dengan nilai-nilai yang ada dan menguatkan pemahaman
mengenai apa yang lebih benar. Dan untuk itu perlu latihan belajar yang terus
menerus (on going process) dan sungguh-sungguh, sebab semuanya ini
permasalahan mengenai kehidupan.
Ketika semua-masing-masing pembelajar--mengetahui bahwa
sedemikian dalamlah pengertian belajar ini harus dicapai, maka mereka akan
masuk dalam suatu komunitas peradaban yang baru. Komunitas yang sepakat
bahwa penghargaan atas harkat dan martabat manusia dijamin akan dijaga
dan dikembangkan sedemikian rupa. Komunitas yang menghargai nilai-nilai
luhur manusia dan membangun karakter manusia sesuai dengan apa yang
seharusnya.
Oleh karenanya, diperlukan suatu paradigma baru dalam memandang
semuanya ini (baca: belajar). Dan diperlukan suatu ambisi baru untuk
mewujudkan semuanya ini. Kita membutuhkan para relawan-relawan yang
hadir dan membangun counter culture (meminjam istilah John Stott) terhadap
peradaban yang semakin jauh dari penghargaan terhadap diri, masyarakat
dan bangsa. Kita juga membutuhkan suatu tekanan dan sistem sosial yang
kondusif bagi proses pembelajaran ini. Kita butuh suatu komitmen serta
political will dari lebih banyak elemen di masyarakat untuk mendukung
perubahan progresiv ini. Dan terlebih lagi, kita membutuhkan lebih banyak
orang lagi untuk membangun suatu aliansi bersama dan bergandengan tangan
membangun peradaban.
*) Fotarisman Zaluchu, alumni FKM USU dan alumni Program Pascasaraja
USU. Bekerja sebagai peneliti dan trainer komunikasi interpersonal di
Medan.
2
3