Anda di halaman 1dari 232

PROF. DR. YOHANES BAHARI, M.

SI

SERPIHAN-SERPIHAN
PEMIKIRAN
KONFLIK, KEKERASAN
DAN PERDAMAIAN
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
All rights reserved @ 2018, Indonesia: Pontianak

Penulis:
PROF. DR. YOHANES BAHARI, M.SI

Layout & Cover:


FAHMI ICHWAN

Diterbitkan IAIN Pontianak Press


Jalan Letjend Soeprapto No 19 Pontianak Kalimantan Barat

Cetakan Pertama, Februari 2019


xvi + 214 page 17 x 25 cm

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa pengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-ungangan yang berlalu.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja ataau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

KATA SAMBUTAN REKTOR

B
uku di dunia pendidikan terutama di Perguruan
Tinggi merupakan hal yang utama, penting dan
diperlukan dalam menunjang kegiatan akademik
khususnya untuk memperlancar dan meningkatkan kualitas
pembelajaran. Dengan tersedianya buku sebagai sumber
pengetahuan dan referensi akan sangat membantu dan
mempermudah para mahasiswa dan pembaca mempelajari,
menjelajahi dan memahami dunia ilmu pengetahuan yang
sangat luas.
Usaha penulis menghadirkan sebuah buku di tengah
kelangkaan penulisan buku oleh para akademisi dan di tengah
kelangkaan referensi ilmiah saat ini patutlah kita sambut dengan
gembira. Buku ini ibarat setitik air dipadang gurun pasir luas
telah memberikan kesejukkan, pengharapan dan optimisme baru
khususnya bagi mereka yang ingin mendalami dan mempelajari
konflik, kekerasan dan perdamaian. Jujur diakui bahwa meskipun
tulisan tentang konflik, kekerasan dan perdamaian sudah cukup
banyak tetapi yang ditulis seorang pengajar dalam perspektif
ilmiah dengan mengetengahkan data yang aktual dan obyektif
masih tergolong sangat langka.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat membuka wawasan
baru tentang konflik, kekerasan dan perdamaian bagi mereka
yang mempelajari sosiologi konflik, kekerasan dan perdamaian.
Masyarakat awam meskipun hidup dalam era serba modern
seperti saat ini, umumnya masih beranggapan bahwa segala
sesuatu yang berkaitan dan berbau konflik adalah sesuatu yang
| iii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

negatif, tidak baik dan berbahaya, karena itu harus dihindari


dan dijauhkan dalam kehidupan. Mereka umumnya alergi
dan menolak konflik karena menganggapnya merusak dan
merugikan kehidupan masyaarakat itu sendiri. Padahal konflik
sebagaimana juga konsensus/harmoni adalah sesuatu yang
mesti selalu ada dalam kehidupan. Konflik tidak dapat dihindari
dalam kehidupan dimanapun dan kapanpun.
Penulis buku ini telah dengan tepat dan arif dapat
menunjukkan bahwa konflik, kekerasan dan perdamaian tidak
harus selalu dihindari, dijauhkan dan dibuang dari kehidupan
tetapi sebaliknya harus diterima dan diatasi agar memberikan
konstribusi dalam dinamika kehidupan. Konflik selalu bersisi
ganda dalam kehidupan yakni fungsional dan disfungsional.
Di alam modern sekalipun ternyata konflik, kekerasan dan
perdamaian selalu ada dalam ruang kehidupan dan selalu hidup
berdampingan dan saling melengkapi dengan harmoni.
Meskipun tulisan ini hanya berupa serpihan-serpihan
pemikiran tentang konflik, kekerasan dan perdamaian namun
karena diungkap dengan ketajaman analisis penulis menjadikan
buku ini enak dibaca dan mudah dipahami. Selain itu penyajian
dengan cara yang lugas, sederhana, apa adanya menjadikan
buku ini sangat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi
para akademisi, praktisi, mahasiswa dan para peneliti masalah
sosial dalam masyarakat.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan
terimakasih tak terhingga kepada penulis buku ini yaitu saudara
Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si dan kepada penerbit IAIN Press.
Semoga kerja keras penulis mendapatkan limpahan berkat dan
rahmat dari Allah SWT.
Semoga apa yang telah dilakukan penulis dengan
menerbitkan buku ini dapat menjadi contoh dan diikuti
oleh dosen-dosen yang lain. Marilah kita berlomba-lomba
menyumbangkan pikiran kita untuk membangun peradaban

| iv |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dan kehidupan yang lebih baik. Semoga buku ini bermanfaat
bagi banyak pihak.

Pontianak, Februari 2019


Rektor Untan

Prof. Dr. Thamrin Usman, DEA.

|v|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

KATA SAMBUTAN DEKAN

B
uku yang berjudul Serpihan-Serpihan Pemikiran:
Konflik, Kekerasan dan Perdamaian karya Prof. Dr.
Yohanes Bahari, M.Si ini patut diapresiasi karena
bermanfaat setidaknya dalam hal (1) membantu dan memudahkan
mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah sosiologi konflik
khususnya bagi mahasiswa pendidikan sosiologi, (2) menjadi
referensi/literatur bagi para mahasiswa dan pembaca lainnya
yang berminat mempelajari konflik, kekerasan dan perdamaian,
(3) berkonstribusi dalam meningkatkan akreditasi program studi
dan (4) berkonstribusi dalam meningkatkan akreditasi institusi.
Kehadiran buku ini diharapkan memberikan wawasan
baru bagi para mahasiswa pendidikan sosiologi dan siapa saja
yang mempelajari konflik, kekerasan dan perdamaian. Meskipun
judul tulisan ini hanya berupa serpihan-serpihan pemikiran
namun karena disajikan secara sistematis dan ketajaman analisis
oleh penulisnya menjadikan buku ini enak dibaca dan mudah
dipahami. Selain itu penyajiannya sederhana, lugas, apa adanya
menjadikan buku ini menarik dan mudah dicerna oleh siapapun
yang membacanya.
Semoga apa yang telah dilakukan penulis dengan
menerbitkan buku ini dapat diikuti oleh dosen-dosen yang lain.

Pontianak, Februari 2019


Dekan

Dr. Martono, M.Pd

| vi |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

PENGANTAR KATA

D
i tengah kelangkaan literatur ilmiah berbahasa
Indonesia yang bernuansa konflik, kekerasan dan
perdamaian, kehadiran buku yang membahas
masalah konflik, kekerasan dan perdamaian ke hadapan para
pembaca dan pemerhati masalah sosial yang budiman ini patut
disyukuri dan kita sambut dengan gembira.
Buku ini merupakan hasil kajian dan telaah teoritik dan
empirik tentang konflik, kekerasan dan perdamaian sejak penulis
menjadi dosen mata kuliah sosiologi konflik dan perdamaian.
Sesuai dengan topiknya, buku ini membahas tentang
konflik, kekerasan dan perdamaian serta konstribusi pendidikan
sosiologi dalam membangun perdamaian. Ketiga isu ini dirajut
dalam kesatuan untaian yang saling mengisi dan melengkapi.
Keseluruhan bahasan disajikan dalam 12 bab.
Bab 1 menjelaskan konflik. Dalam bab ini berisi tentang
pendahuluan, pengertian konflik, perbedaan konflik dengan
kekerasan, manfaat konflik, proses konflik berubah menjadi
kekerasan, teori-teori penyebab konflik, siklus konflik dan
penyelesaian konflik serta penutup.
Dalam bab 2 menjelaskan konflik dalam perspektif Karl
Marx. Dalam bab ini dibahas tentang pendahuluan, siapakah
karl marx, dasar pemikiran marx tentang sosialisme, pemikiran
marx tentang pertentangan kelas, kajian sosiologi etnik meliputi
pengertian sosiologi etnik, perlunya mempelajari sosiologi
etnik, dimensi dan pola hubungan antar etnik, kelompok
dominan dan minoritas, tahap-tahap hubungan antar etnik dan

| vii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

multikulturalisme dan penutup.


Dalam bab 3 dijelaskan tentang sejarah konflik etnik di
Kalimantan Barat. Dalam bab ini dibahas tentang pendahuluan,
kerangka pemikiran terjadinya konflik, sejarah konflik antar etnik
di Kalimantan Barat, penyesuaian budaya sebagai syarat dalam
hubungan antar etnik, dan konflik sosial sebagai fenomena
retaknya hubungan antar etnik.
Bab 4 buku ini menyajikan konflik dalam rumah tangga.
Dalam bab ini berisi pendahuluan, kekerasan dalam rumah
tangga, bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
penyebab terjadinya KDRT, Akibat KDRT, dan Cara mengatasi
KDRT dan penutup.
Bab 5 menjelaskan beberapa fenomena etnisitas dalam
masyarakat plural. Dalam bab ini dijelaskan pendahuluan,
masyarakat majemuk dan karakteristiknya, Etnisitas sebagai
Fenomena masyarakat majemuk, fenomena stereotif, fenomena
etnosentris dan etnosentrisme, dan fenomena konflik dan
integrasi sosial.
Bab 6 menjelaskan pendidikan perdamaian dan restorasi
peradaban bangsa. Dalam bab ini dijelaskan pendahuluan,
pendidikan perdamaian, dan restorasi peradaban bangsa dan
penutup.
Bab 7 perlunya manajemenmodern parpol dalam penetapan
anggota legislatif. Dalam bab ini dijelaskan pendahuluan,
perlunya manajemen partai politik, membentuk humas Parpol,
koalisi bidang humas dengan media massa, Information is
Power, manajemen suara terbanyak dan demokrasi, manajemen
menuju partai modern, dan perlunya pembenahan parpol dan
pendidikan politik dan penutup.
Bab 8 menjelaskan Nilai-nilai agama sebagai perekat
perdamaian. Dalam bab ini dibahas pendahuluan, hakekat
perdamaian, dimensi rekonsiliasi, proses terjadinya rekonsiliasi,
dan perdamaian dalam perspektif kristen dan penutup.

| viii |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Bab 9 buku ini dijelaskan tentang manajemen konflik dalam
perspektif resolusi konflik masyarakat adat Dayak. Dalam bab
ini dibahas pendahuluan, gambaran umum konflik kekerasan
masa lalu di Kalimantan Barat, dan faktor penyebab konflik
kekerasan masa lalu di Kalimantan Barat, persepsi masyarakat
Dayak tentang keberagaman, dan gambaran resolusi konflik
dalam perspektif hukum adat Dayak dan penutup.
Bab 10 buku ini menjelaskan tentang kompetensi sosial dan
pendidikan mediasi resolusi konflik. Dalam bab ini dijelaskan
pendahuluan, kompetensi sosial, mengapa kompetensi sosial
diperlukan, bagaimana mengemas kompetensi sosial melalui
pendidikan di sekolah, dan mediasi resolusi konflik sebagai
bagian aspek kecerdasan sosial dan penutup.
Bab 11 buku ini menjelaskan tentang peran pendidikan
sosial dalam mengembangkan modal sosial. Dalam bab
ini dijelaskan pendahuluan, modal sosial sebagai modal
pembangunan bangsa, dan peran pendidikan sosiologi dalam
mengembangkan modal sosial dan penutup.

Pontianak, Februari 2019


Penulis,

Yohanes Bahari

| ix |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

KATA PENGANTAR

B
uku yang berjudul Serpihan-Serpihan Pemikiran
(Konflik, Kekerasan dan Perdamaian) ini
merupakan hasil kajian dan telaah penulis selama
menjadi dosen sosiologi konflik sejak tahun 2008. Sebagian
besar topik dalam buku telah dipresentasikan dalam berbagai
forum seminar nasional. Garis besar isi buku ini berkaitan
dengan konflik, kekerasan dan perdamaian. Meskipun berupa
serpihan-serpihan pemikiran tetapi keseluruhan isi buku ini
terajut dalam satu untaian kesatuan sehingga dapat menjadi
rujukan bagi mahasiswa S1 dan S2 serta berbagai pihak yang
mempelajari sosiologi konflik.
Ada dua alasan mendasar dari ditulisnya buku ini.
Pertama, kebutuhan referensi kajian sosiologi konflik masih
belum banyak dijumpai di Indonesia. Padahal, ilmu sosiologi
memberi kontribusi besar terhadap perkembangan studi
konflik kontemporer yang saat ini berkembang menjadi
kajian konflik multidisipliner. Istilah sosiologi konflik sendiri
populer dalam ilmu sosial Indonesia, namun belum difasilitasi
dengan satu buku pegangan khusus sosiologi konflik yang
memberi wawasan kajian konflik melalui tradisi ilmu sosiologi.
Sehingga kehadiran buku ini berusaha memberi kontribusi
terhadap hadirnya buku referensi sosiologi konflik di Indonesia.
Kedua, berbagai fenomena konflik di dunia dalam berbagai
dimensinya seperti konflik etnis keagamaan, konflik buruh,
sampai konflik separatisme mengalami kuantitas dan kualitas

|x|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pascaperang, dingin termasuk berbagai konflik kekerasan
dalam negara di Indonesia seperti etnis keagamaan di Ambon
Maluku, konflik etnik di Kalimantan, konflik separatisme di
Aceh dan Papua, sampai konflik buruh. Konflik-konflik dalam
negeri ini memerlukan kajian dan pendekatan sosiologis untuk
kepentingan akademis dan praktis.
Pemilihan tema konflik, kekerasan dan perdamaian selain
karena kesesuaian jiwa dan semangat yang terkandung dalam
topik-topik itu, juga karena masih relevan dengan berbagai isu
dan kontek kekinian. Pertimbangan lainnya, tema itu sangat
dibutuhkan dalam melengkapi kajian akademik khususnya bagi
mahasiswa tingkat sarjana dan pascasarjana yang mempelajari
sosiologi, politik, teori konflik, resolusi konflik dan perdamaian.
Pengalaman penulis selama menjadi pengajar mata kuliah
sosiologi konflik, teori konflik, resolusi konflik dan perdamaian
menunjukkan bahwa sebagian besar referensi di bidang itu
masih langka dan kalaupun ada sebagiannya ditulis dalam
bahasa asing. Tema ini juga relevan bagi para aktivis pencinta
perdamaian yang bekerja dalam usaha-usaha perdamaian di
tengah masyarakat.
Karena itu penerbitan buku ini diharapkan dapat
melengkapi lietratur dan referensi dalam studi konflik, resolusi
konflik dan perdamaian khususnya bagi mahasiswa tingkat
Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi maupun para
aktivis pencinta dan pembangun perdamaian di tanah air dan
di mana pun.
Buku ini menyajikan sisi akademik teoritik dan praktis
tentang konflik, kekerasan dan perdamaian. Sisi akademik
teoritik disusun dari hasil kajian terhadap berbagai teori yang
sudah ada yang dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut
pandangnya masing-masing sedangkan sisi praktis diangkat dari
hasil kajian empiris dari lapangan penelitian. Kehadiran buku ini
memadukan sisi teoritis dan praktis secara seimbang sehingga

| xi |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

mudah dipahami khususnya bagi para mahasiswa pemula.


Penulis menyadari dan meyakini bahwa isu konflik,
kekerasan dan perdamaian tetap menarik dan relevan serta
bermanfaat untuk dikaji dan ditelaah karena selalu dijumpai
dalam setiap kehidupan masyarakat di mana pun dan kapan pun.
Penulis merasa berhutang budi kepada semua pihak yang
telah menyumbangkan pemikirannya dan ikut membantu
penyelesaian penulisan buku ini. Semoga semua amal baik yang
telah diberikan itu mendapatkan limpahan rahmat dan berkat
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari sedalam-dalamnya akan keterbatasan
dan kelemahan yang terkandung dalam buku ini, karena itu
segala kritik dan saran yang diberikan demi penyempurnaannya
akan diterima dengan lapang dada, diiringi dengan ucapan
terimakasih yang tak terhingga.

Pontianak, Februari 2019

Yohanes Bahari

| xii |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

DAFTAR ISI

Kata Sambutan Rektor iii


Kata Sambutan Dekan vi
Pengantar Kata vii
Kata Pengantar x
Daftar Isi xiii

BAB I KONFLIK
Pendahuluan 1
Pengertian Konflik 3
Konflik dan Kekerasan 11
Manfaat Konflik 14
Konflik Berubah Menjadi Kekerasan 14
Teori-Teori Penyebab Konflik 29
Daftar Pustaka 33

BAB II Konflik Dalam Perspektif Karl Marx


Pendahuluan 37
Siapakah Karl Marx 38
Dasar Pemikiran Marx Tentang Sosialisme 40
Pemikiran Marx Tentang Pertentangan Kelas 42
Pemikiran Marx Tentang Materialisme Historis 43
Pandangan Marx Tentang Kapitalisme 46
Kritik Atas Pemikiran Konflik Marx 47
Penutup 49
Daftar Pustaka 51

BAB III Sejarah Konflik Etnik di Kalimantan Barat


Pendahuluan 53

| xiii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Kerangka Pemikiran Terjadinya Konflik`` 60


Sejarah Konflik Antar Etnik di Kalimantan Barat 67
Penyesuaian Budaya Sebagai Syarat Dalam Hubungan 76
Antar Etnik 47
Konflik Sosial Sebagai Fenomena Retaknya Hubungan
Antar Etnik 79
Penutup 82
Daftar Pustaka 84

BAB IV Konflik Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pendahuluan 87
Kekerasan Dalam Rumah Tangga 88
Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga 90
Penyebab Terjadinya KDRT 91
Akibat KDRT 94
Cara Mengatasi KDRT 94
Penutup 95
Daftar Pustaka 96

BAGIAN V Beberapa Fenomena Etnisitas Dalam Masyarakat


Plural
Pendahuluan 99
Masyarakat Majemuk dan Karakteristiknya 102
Etnisitas Sebagai Fenomena Masyarakat Majemuk 104
Fenomena Stereotif 106
Fenomena Etnosentris dan Etnosentrisme 107
Fenomena Konflik dan Integrasi Sosial 109
Penutup 112
Daftar Pustaka 116

BAB VI Pendidikan Perdamaian dan Restorasi Peradaban


Bangsa
Pendahuluan 119
Pendidikan Perdamaian 124
Restorasi Peradaban Bangsa 128
Penutup 133

| xiv |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Daftar Pustaka 134

BAB VII Perlunya Manajemen Modern Parpol Dalam Penetapan


Calon Anggota Legislatif
Pendahuluan 139
Membentuk Humas Parpol 142
Koalisi Bidang Humas dengan Media Massa 143
Information is Power 144
Manajemen Suara Terbanyak dan Demokrasi 145
Manajemen Menuju Partai Modern 146
Perlunya Pembenahan Parpol dan Pendidikan Politik 147
Penutup 149
Daftar Pustaka 150

BAB VIII Nilai-Nilai Agama Sebagai Sumber Perekat Perdamaian


Pendahuluan 151
Hakekat Perdamaian 154
Dimensi Rekonsiliasi 154
Proses Terjadinya Rekonsiliasi 155
Perdamaian Dalam Perspektif Kristen 156
Penutup 160
Daftar Pustaka 161

BAB IX Resolusi Konflik Dalam Perspektif Resolusi Konflik


Masyarakat Dayak
Pendahuluan 163
Gambaran Umum Konflik Kekerasan Masa lalu di
Kalimantan Barat 165
Faktor Penyebab Konflik Kekerasan Masa Lalu di
Kalimantan Barat 168
Persepsi Masyarakat Dayak Tentang Keberagaman 171
Gambaran Resolusi Konflik Dalam Perspektif
Adat Dayak 173
Penutup 178
Daftar Pustaka 180

| xv |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
BAB X Kompetensi Sosial dan Pendidikan Mediasi Resolusi
Konflik
Pendahuluan 183
Kompetensi Sosial 185
Pentingnya Kompetensi Sosial 186
Mengemas Kompetensi Sosial Melalui Pendidikan di
Sekolah 188
Mediasi Resolusi Konflik Sebagai Bagian Kecerdasan
Sosial 190
Penutup 195
Daftar Pustaka 197

BAB XI Pendidikan Sosiologi Dan Pengembangan Modal


Sosial
Pendahuluan 199
Modal Sosial Sebagai Modal Pembangunan Bangsa 203
Peran Pendidikan Sosiologi Dalam Pengembangan Modal
Sosial 205
Penutup 207
Daftar Pustaka 209

Riwayat Hidup Penulis 213

| xvi |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB I
APA ITU KONFLIK?
Pendahuluan

P
ada umumnya ketika mendengar istilah konflik
kebanyakan orang akan spontan membayangkan
hal yang menakutkan, buruk dan negatif. Bayangan
itu tidak sepenuhnya salah karena faktanya konflik umumnya
membawa kehancuran atau kerusakan dalam hubungan sosial.
Akibat memiliki konotasi buruk, menakutkan dan negatif maka
kebanyakan orang berusaha menghindari atau menjauhkan
konflik dalam kehidupan sosial. Tetapi betulkah konflik selalu
mengenai hal yang buruk dan negatif sehingga harus dihindari
bahkan dijauhkan dalam kehidupan masyarakat? Bagi sebagian
sosiolog misalnya Simmel dan Coser, konflik selalu berfungsi
ganda, di satu sisi fungsional tetapi di sisi lain disfungsional.
Bukan hanya itu, bahkan para sosiolog sepakat melihat
konflik sebagai sesuatu yang selalu ada (kenyataan dalam
hidup) dan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sosial.
Konflik selalu ada dan dapat muncul di semua lapisan
masyarakat dimanapun dan kapanpun. Seperti dikatakan Karl
Marx bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan
kelas atau konflik kelas. Selain itu para ahli sepakat bahwa dalam

|1|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

setiap konflik selalu memiliki sisi positif dan negatif. Seperti


diungkapkan oleh Lewis Coser suatu konflik dapat fungsional
dan disfungsional. Bahkan sejak lama dalam ungkapan klasik
Cina bahwa krisis atau konflik digambarkan dalam dua kata
yaitu Wei (bahaya) dan Ji (kesempatan).
Konflik di satu sisi memang bermakna bahaya, karena
itu perlu dihindari atau dijauhkan dalam kehidupan. Fakta
menunjukkan bahwa setiap jam sejumlah jiwa tewas akibat
konflik di dunia ini. Konflik menjadi berbahaya karena selama
ini manusia hanya mengenal satu jenis cara dalam menanggapi
konflik, yaitu penggunaan kekerasan dan teknologinya. Untuk
pembenaran cara ini terdapat sejumlah pandangan yang
berkembang luas yang menyatakan jika ingin memenangkan
peperangan maka kembangkanlah persenjataan dan berlatihlah
menggunakannya (Kraybill, 2001).
Pada sisi lain konflik juga bermakna positif yaitu suatu
kesempatan. Setiap hari selalu ada orang yang menanggapi
berbagai ucapan dan perbuatan orang lain yang bersifat merusak
dengan cara-cara yang justeru mendorong terjadinya perubahan
yang positif. Selalu ada orang yang memilih mendiskusikan
dengan baik-baik aneka perbedaan di antara mereka dan
berusaha mencari cara-cara kreatif untuk mengatasi ekses
kebhinekaan semacam itu. Semua cara dan upaya itu bisa
jadi disertai dengan konflik, namun selalu diatasi dengan cara
yang justeru memperteguh persaudaraan yang menghasilkan
perdamaian.
Selama ini dalam pola pikir masyarakat kita telah tertanam
kuat bahwa konflik melahirkan dampak negatif yang berupa
kerusakan, keresahan, dan kesengsaraan. Padahal pemikiran
tersebut tidak selamanya benar. Ada beberapa konflik yang
justru melahirkan dampak positif. Adapun sisi positif terjadinya
konflik antara lain sebagai berikut:
1. Bertambah kuatnya rasa solidaritas sesama anggota

|2|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kelompok. Hal ini biasanya terjadi pada konflik antar
kelompok, dimana anggota masing-masing kelompok karena
merasa mempunyai identitas yang sama bersatu menghadapi
ancaman yang datang dari luar kelompoknya.
2. Memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau
belum tuntas untuk ditelaah. Contohnya dalam menetapkan
suatu rancangan undang-undang (RUU) menjadi sebuah
undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan persetujuan Presiden.
3. Memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma
dan nilai-nilai serta hubungan-hubungan social dalam
kelompok yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan
individu atau kelompok.
4. Merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antar
individu dan antar kelompok.
5. Dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma
lama dan menciptakan norma-norma yang baru.
6. Dapat berfungsi sebagai sara untuk mencapai keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.
7. Memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang
berkonflik dalam kekuatan yang seimbang.
Namun demikian konflik juga mengandung sisi negatif antara
lain:
1. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok. Hal ini
biasanya muncul apabila terjadi konflik di antara anggota
kelompok yang sama.
2. Adanya perubahan kepribadian pada diri individu.
3. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
4. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok
yang kalah.

Pengertian Konflik
Istilah konflik berasal dari kata Latin confligere yang

|3|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bermakna saling memukul atau berbenturan (Kraybill, 2001).


Dalam Kamus Sosiologi (1993), konflik sosial dimaknai
sebagai pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai
atau menghancurkan pihak lain atau kegiatan dari suatu
kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok
lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama. Kemudian
menurut Fisher (2001), konflik adalah hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau
yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Karna konflik memiliki fungsi positif (George Simmel,1971;
Lewis Coser,1977), konflik menjadi dinamika sejarah manusia
(Karl Marx, 2003), konflik menjadi entitas hubungan sosial (Max
Weber, 1947; Ralf Dahrendorf,1959), dan konflik adalah bagian
dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow,
1954; John Burton, 1990; Marshal Rosenberg, 2003).
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu
makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan,
dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam kamus
umum bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta (1976),
konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan
sendiri bisa muncul dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik
antara dua belah pihak berseberangan. Francis menambahkan
unsur persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan
sosialnya (Francis, 2006). Sehingga secara sederhana konflik
adalah pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa
pihak, sehingga terjadi persinggungan.
Sebagai contoh, dalam lingkungan keluarga yang terdiri
ayah, ibu, dan anak, banyak kasus pertentangan ide tercipta,
seperti jenis televisi baru apa yang harus dibeli untuk mengganti
televisi lama di ruang tamu. Ayah mempunyai ide televisi baru
itu merek LG, ibu mempunyai ide televisi baru merek sharp,
sedangkan anak mengidekan televisi baru merek polytron.

|4|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Beberapa ide yang bertentangan mengenai televisi ini menjadi
gerakan persinggungan di antara anggota keluarga, sehingga
menyebabkan ketegangan sosial pada tingkat tertentu pada
sistem kehidupan keluarga tersebut.
Pengertian konflik di atas sesuai apa yang didefinisIkan
Pruitt dan Rubin dengan mengutip Webster, bahwa “konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan”
(Pruitt & Rubin, 2004). Jika memahami konflik pada dimensi
ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik yaitu persepsi,
aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya, dalam
dunia sosial yang ditemukan persepsi maka akan ditemukan
pula aspirasi dan aktor.
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik
antar orang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok
(intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara
(vertical conflict), konflik antarnegara (interstate conflict).
Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya.
Masyarakat manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah
konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara.
Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan
mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi
perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.
Namun dalam catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering
diikuti oleh bentuk-bentuk kekerasan, seperti perang dan
pembantaian.
Pendudukan Spanyol ke Benua Amerika pada abad ke-
14 telah menciptakan konflik kekerasan terhadap penduduk
pribumi sehingga terjadi pembantaian dan penghancuran
peradaban Bangsa Inca. Pada fase sejarah yang berbeda di
Amerika Serikat, Klux Klux Klan merepresentasikan konflik
antara orang kulit putih yang berasal dan Eropa dan berkulit

|5|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

hitam dari Afrika. Perpecahan sosial (social cleavages) etnis dan


agama di bekas di negara pecahan Yugoslavia menyebabkan
benturan kekerasan dan separastisme. Sebagaimana
pembantaian etnis Serbia terhadap Bosnia. Kebencian etnis
di Rwanda menyebabkan pembantaian masal etnis di Rwanda
menyebabkan pembantaian masal etnis Hutu terhadap etnis
minoritas Tutsi pada 1994. Perbedaan identitas dan ideologi di
Somalia, Skotlandia, dan Irak menyebabkan konflik kekerasan
antarkelompok yang berkepanjangan. Penjajahan keji Israel yang
didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris terhadap Palestina
telah meningkatkan perlawanan kelompok-kelompok pejuang
Palestina.
Penanganan konflik dalam kajian konflik kontemporer
bertujuan untuk mereduksi tingkat kekerasan dan
mentransformasi konflik yang destruktif menjadi konflik yang
konstruktif. Menurut Carpenter dan Kennedy (1988), konflik
destruktif akan muncul dalam bentuk kehancuran pada semua
sisi, seperti kehancuran tata sosial dan fisik. Adapun konflik
konstruktif muncul dalam bentuk peningkatan kerja sama atau
kesepakatan yang menguntungkan seluruh pihak berkonflik.
Selanjutnya berikut ini dikemukakan beberapa pengertian
konflik oleh para ahli:
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang berlaku dalam
berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua
pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997), hubungan selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat
pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing
komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan
sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi

|6|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika
mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi
maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah
menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan
interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain
berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan
oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi
hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon
terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan
adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu
dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain
karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace &
Faules, 1994).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama,
yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber
yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku
setiap pihak yang terlibat (Myers,1982; Kreps, 1986; Stewart,
1993).

|7|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu


dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan
konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995).
Robbin (1996) mengatakan konflik dalam organisasi disebut
sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu
sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok,
tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha
untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi
tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional(The Traditional View). Pandangan
ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang
negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan
dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik
ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang
buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang,
dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation
View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap
sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok
atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak
dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti
terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi.
Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok
atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau
organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi
yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi
statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena

|8|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota
di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan
kreatif.
Stoner dan Freeman (1989) membagi pandangan menjadi
dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan
pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional
menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan
konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian
tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya
disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal
ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi,
perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik
dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan.
Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan
Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang,
yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993):
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai
sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat
menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan
pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga

|9|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,


menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan
pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak
dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana
meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat
sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak
tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang
wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal
yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif
untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana
cara peningkatan kinerja organisasi.
Konflik Menurut Peneliti Lainnya:
1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut
komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui
konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak
semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut
Myers (1982), jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-
sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya diungkapkan
secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti
dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan
pertentangan (Stewart & Logan, 1993). Konflik tidak selalu
diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara
dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai
„perang dingin‟ antara dua pihak karena tidak diekspresikan
langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa
menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993).
Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana

| 10 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau
organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk,
tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya
perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat
berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya
tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana
cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi
kembali.
Meskipun definisi konflik menurut para ahli itu berbeda
grammarnya tetapi maknanya sama. Berdasarkan pandangan
berbagai sumber itu konflik dapat dimaknai sebagai pertentangan
para pihak (individu atau kelompok) yang disebabkan karena
tujuan atau sasaran di antara mereka berbeda, yang dapat berakibat
pada saling menghalangi, memukul atau menghancurkan.
Berangkat dari pemahaman seperti itu konflik dapat
dipahami dalam dua aspek yaitu pertentangan dalam mencapai
tujuan atau sasaran yang tidak sampai pada saling menghalangi,
memukul dan menghancurkan dan pertentangan yang diikuti
dengan saling menghalangi, memukul dan menghancurkan.
Aspek yang pertama sering disebut dengan konflik tanpa
kekerasan atau conflict non violence atau konflik, sedangkan
aspek yang kedua adalah konflik dengan kekerasan atau conflict
of violence atau konflik kekerasan. Dari pemahaman itu jelas
bahwa konflik tidak selamanya kekerasan tetapi kekerasan sudah
pasti konflik.

Konflik dan Kekerasan


Thomas Hobbes dalam Novri Susan (2014) menjelaskan
bahwa manusia bertindak atas dasar kepentingan diri dan
menjadi fitrah manusia untuk berselisih dan bertengkar. Istilah
Leviathan diambil dari sejenis hewan laut yang besar, menakutkan
dan berkuasa atas mahluk lain dengan menggunakan kekerasan.
Manusia juga memiliki keinginan untuk hidup damai, oleh

| 11 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

karena itu perselisihan dan pertengkaran harus diselesaikan


lewat kekuasaan. Penguasa memiliki kekuasaan tak terbatas
termasuk menggunakan kekerasan untuk mempertahankan
kekuasaan tersebut. Manusia adalah mahluk homo homini
lupus yakni menjadi serigala bagi yang lain dan akibatya belum
omnium contra omnes, perang semua lawan semua.
Pemikiran Hobbes itu mendapatkan kritik dari John Locke,
Montesqiue, dan Rousseau. Menurut Locke dalam Novri Susan
(2014), kekuasaan bersifat terbatas, sehingga tidak seorang
pun dibenarkan melakukan kekerasan untuk merusak orang
lain dalam soal hidup-mati, kesehatan, kemerdekaan ataupun
miliknya. Sementara Montesqiue memperkenalkan trias politica
untuk menghindarkan despotisme (kekuasaan yang sewenang-
wenang), termasuk penggunaan kekerasan. Sedangkan Rousseau
menolak anggapan Hobbes yang menyatakan kekerasan ada sejak
semula dalam diri manusia. Menurut Rouseau, kemajuan dalam
bentuk peradabanlah yang membuat manusia melaksanakan
kekerasan (Novri Susan, 2014).
Menurut Weber, kekuasaan adalah kemampuan orang
(kelompok) memaksakan kehendaknya pada pihak lain
walaupun ada penolakkan melalui perlawanan, baik dalam
bentuk pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun
dalam bentuk penghukuman sejauh kedua hal itu ada, dengan
memperlakukan sanksinegatif (Windhu, 1992).
Kekerasan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
untuk mempertahankan kekuasaan acapkali dilakukan melalui
kegiatan intelijen militer. Biasanya pemegang kekuasaan sengaja
memancing terjadinya kekerasan di masyarakat agar pemegang
kekuasaan memiliki alasan kuat untuk memberlakukan keadaan
darurat (Heryanto 1993). Kekerasan seperti ini bisa juga dengan
menggunakan aparat penegak hukum terhadap para demonstran,
misalnya menggunakan pentungan kayu atau semprot air mata
dari mobil tangki. Kekerasan dapat juga berwujud kekerasan

| 12 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hukum melalui hukuman atau pidana mati.
Di Amerika Serikat tindakan pemerintah selaku
penyelenggaraan kekuasaan dilakukan dengan hati-hati untuk
menutupi upaya kekerasan mereka dalam mengatasi keadaan
tidak stabil ataupun mengancam kejatuhan penguasa (Ross,
1977). Wujud kekerasan dari pemegang kekuasaan tampak
dalam bentuk keterlibatan polisi secara struktural dalam
pelbagai tindak kekerasan terhadap ras tertentu, menciptakan
ketidakstabilan dalam masyarakat dan memancing kerusuhan di
masyarakat Novri Susan, 2014). Di negara berkembang, seperti
Guatemala dan Indonesia, kekerasan dilakukan lebih kasat mata.
Keterlibatan militer dalam kekerasan di Guatemala sejak 1961-
1966 (Novri Susan, 2014), sedangkan Indonesia dalam bentuk
terorisme negara di jaman orde baru (Heryanto, 1993).
Menurut Snider, tujuan akhir dari kekerasan yang
dilakukan negara adalah kekuasaan politik (Novri Susan, 2014).
Kekerasan negara yang dilakukan di negara-negara Amerika
Latin, Afrika dan Asia cenderung kasat mata, sedangkan di
Eropa dan Amerika lebih tersembunyi. Akibat kekerasan negara
ialah hancurnya properti, hilangnya kepercayaan serta nyawa
manusia, berubahnya struktur ekonomi, sosial dan politik dan
yang paling menyedihkan berubahnya opini masyarakat tentang
substansi suatu masalah yang berdampak sampai beberapa
generasi (Novri Susan, 2014). Kekerasan negara yang terjadi
di Afrika mengakibatkan turunnya produktivitas ekonomi dan
tumbuhnya rasa takut pada investor baru (Novri Susan, 2014).
Jika konflik adalah pertentangan para pihak dalam
mencapai tujuan atau sasarannya maka kekerasan adalah
segala tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem
yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau
lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih
potensinya secara penuh.
Berdasarkan pandangan itu dapat dipahami bahwa

| 13 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kekerasan merupakan konflik yang bersifat menghancurkan


atau merusak.

Manfaat Konflik
Konflik yang selalu ada dalam ruang kehidupan
sosial menandakan bahwa konflik tersebut dibutuhkan atau
bermanfaat. Fisher (2001) dalam bukunya Working with Conflict:
Skill and Strategies for Action, mencatat sejumlah manfaat
konflik, seperti: membuat orang-orang menyadari adanya
banyak masalah, mendorong orang melakukan perubahan yang
diperlukan, memperbaiki solusi, menumbuhkan semangat,
mempercepat perkembangan pribadi, menambah kepedulian
diri, mendorong kedewasaan psikologis dan menimbulkan
kesenangan.
Jika tidak ada konflik akan banyak orang menjadi kerdil
karena kekurangan stimulasi, berbagai kelompok dan organisasi
akan mati, dan masyarakat akan runtuh karena beban mereka
sendiri yang tidak mampu beradaptasi dengan berbagai keadaan
yang berubah dan juga perubahan hubungan kekuasaan yang
terjadi.

Konflik Berubah Menjadi Kekerasan


Konflik yang ditekan akan menimbulkan banyak masalah
baru di kemudian hari. Salah satunya bisa mengakibatkan
terjadinya kekerasan. Konflik akan menjadi kekerasan manakala:
saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan
pendapat tidak memadai, suara-suara ketidaksepakatan dan
keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi,
banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam
masyarakat yang lebih luas.

Konflik Kelompok dan Perjuangan Kelas


Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuwan sosial dari

| 14 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Afrika di abad ke-14. Sesungguhnya dia selalu menjadi bagian
dari kekuasaan kesultanan, karena ia menjadi penjabat negara
di Tunisia, Alegria, Maroko, dan Spanyol. Dia melahirkan
banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi.
Terutama sekali kajian berkaitan dengan konflik sebagai hukum
sosial dalam sejarah manusia.
Masa Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perebutan
kekuasaan oleh kelompok yang hidup di zaman itu. Masa itu
ditandai oleh kemunculan kelompok yang memperebutkan
kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering
berada dalam keadaan ketidakstabilan politik. Kondisi inilah
yang memengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khaldun.
Sosiologi konflik Ibnu Khaldun memperlihatkan bagaimana
dinamikakonflikdalamsejarahmanusiasesungguhnyaditentukan
oleh keberadaan kelompok sosial („ashobiyah) berbasis pada
identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam
struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi
konstribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi
oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah
kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok
sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi (to win)
dan menguasai (to rule).
Suatu kelompok sosial akan mampu mendominasi
kekuasaan tatkala secara internal kelompok tersebut mampu
menjaga solidaritas kelompoknya. Loyalitas para anggota dalam
menjaga persatuan kelompok sosial. Namun begitu solidaritas
dalam kelompok mengalami kegoyahan, maka bisa dipastikan
suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama
dominasi kekuasaannya.
Pemikiran kelompok sosial, dominasi kekuasaan, dan
dinamika konflik dalam sejarah manusia sebagai hukum sosial
dari Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikiran Karl
Marx yang muncul lima abad kemudian. Tidak ada dokumen

| 15 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

yang memperlihatkan bahwa sosiologi konflik Marx juga


dipengaruhi oleh sosiologi konflik Ibnu Khaldun. Namun
pembahasan mengenai konflik dan hukum sosial dari usaha
dominasi kekuasaan antarkelompok sosial memberi rangkaian
pemikiran sosiologi konflik yang serupa.
Karl Marx lahir dari keluarga Yahudi, ayahnya harus
mengubah keyakinannya menjadi Katolik karena situasi politik
di Jerman pada waktu itu. Marx menjadi murid Hegel yang cerdas
dan kritis. Marx adalah salah satu tokoh yang pemikirannya
mewarnai perkembangan ilmu sosial secara umum. Marx hidup
di masa revolusi industri pertama di Eropa dan liberalisme politik
akibat pengaruh Revolusi Perancis. Pertumbuhan Industrialisme
yang mengubah struktural sosial masyarakat secara dramatis
memberi pijakan orientasi pemikiran Marx, terutama sekali
perkembangan sistem kapitalisme yang membagi struktural
sosial dalam dua posisi berbeda yang ekstrem, yaitu antara
meraka yang memiliki modal dan mereka yang hanya memiliki
tenanga.
Sosiologi konflik Marx dipengaruhi oleh filsafat
dialektika Hegel. Melalui perkembangan pemikirannya, Marx
menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material,
yang diambil dari filsafat material Fuerbach, sehingga sejarah
merupakan proses perubahan terus-menerus secara material.
Menurut penafsiran Campbell (1994) melalui Tujuh Teori Sosial,
Marx adalah penganut materialisme historis yang menjelaskan
proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan
penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomis, dari
masyarakat komunis primitif menuju feodalisme, berlanjut ke
kapitalisme, dan berakhir pada masyarakat tanpa kelas (classless
society).
Filsafat Marx yang berakar pada Darwinisme, merujuk pada
sifat sosial manusia yang selalu memperjuangkan kebutuhan
dasar hidup. Walaupun Marx meyakini bahwa kebutuhan dasar,

| 16 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sebagaimana ia sebut sebagai struktur pondasi, berakar pada
kebutuhan materialistik. Agar memenuhi kebutuhan material,
dalam sejarahnya, masyarakat menciptakan alat dan sistem
produksi. Sebagai contoh pada masa masyarakat komunis
primitif, alat produksi yang dimanfaatkan sangat sederhana
dan subsistem. Alat tersebut tidak diorientasikan sebagai
pemproduksi barang secara masal namun hanya demi kebutuhan
hidup. Alat seperti tombak dan panah pada masyarakat
primitif digunakan untuk memburu binatang. Hasil perburuan
didistribusikan pada keluarga besar (extended farmily). Semua
anggota keluarga selalu tercukupi kebutuhannya dan masing-
masing menjalankan fungsi kerjanya secara bersama-sama.
Walaupun demikian, dalam proses perjuangan pemenuhan
kebutuhan dasar, kelompok sosial berhadapan dengan
perbedaan kekuasaan yang dipengaruhi oleh seberapa besar
modal yang dimiliki untuk memiliki dan menciptakan sistem
produksi. Modal ini adalah pondasi dari masyarakat kapitalis.
Modal dalam masyarakat kapitalis adalah yang material berupa
kepentingan alat produksi menentukan posisi seseorang dalam
suatu struktur sosial. Sehingga perbedaan sumber kekuasaan-
modal dalam masyarakat kapitalis menurut Marx secara
proletariat (Marx & Engels, 2000).
Menurut Lowith (1993), Marx melihat kelas bojuis
memiliki modal besar seperti uang dan nilai, untuk menciptakan
alat dan sistem produksi yang dengan itu sesungguhnya mereka
meraih lebih dari sekadar kebutuhan dasar manusia. Mereka
mengambil apa yang disebut oleh Marx sebagai “over value
of production” yang keuntungan dari seluruh proses produksi
diambil seluruhnya. Proses ini menciptakan akumulasi modal
di tangan kelas borjuis. Pada saat bersamaan kelas proletariat
dimiskinkan oleh sistem kapitalisme sejak mereka tidak
memperoleh bagi keuntungan yang adil, yaitu hak-hak terhadap
komoditas yang mereka ciptakan. Kelas proletariat menjadi tidak

| 17 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti pangan,


pendidikan, dan kesehatan. Kondisi ini akan diubah ketika kelas
proletariat mendapat kesadaran kritis terhadap kejahatan kelas
borjuis dalam sistem kapitalisme. Bagi Marx, kesadaran ini akan
menciptakan revolusi prolatariat melawan borjuisme dan sistem
kapitalisme. Revolusi ini menciptakan suatu masyarakat tanpa
kelas yang negara dijalankan oleh kelas proletariat pula.
Mengenai konflik, dalam pengertian teoretisnya, Marx
menyatakan” ....of all instrument of production the greatest
force is the revolutionary class itself ” (... dari semua instrumen
produksi yang paling besar kekuatan produksi itu adalah kelas
revolusioner itu sendiri) (dikutip oleh Dahrenforf, 1959).
Pernyataan Marx melalui artikelnya The Clasess tersebut
memberi penekanan bahwa perubahan sosial dalam sejarah
masyarakat manusia adalah akibat perjuangan revolusioner
kelas. Kelas revolusioner yang dimaksudkan oleh Marx yaitu
kelas proletariat. Kelas, menurut Marx. adalah entitas dari
perubahan sosial. Kelas dan perjuangan kelas kemudian, dalam
konteks masyarakat kapitalis Marx, berada dalam tradisi sistem
ekonomi kapitalis. Bryan Turner merangkum efek dari proses
kontradiksi sistem ekonomi kapitalis: (1) polaritas radikal dari
sistem kelas ke dalam dua kelas bermusuhan, yaitu borjuis dan
proletar. (2) Proses segregasi sistem kelas, yaitu kelas pemilik
modal (kaum borjuis) yang kikir dan pemiskinan kelas pekerja.
(3) Radikalisasi kelas pekerja yang ditransformasikan melalui
perjuangan politis (Turner, 1999).
Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar,
tetapi ia menunjukan bahwa dalam masyarakat pada waktu
itu terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja
miskin sebagai kelas proletar. Pendefinisian struktur kelas ini
tidak lepas dari konteks pada waktu itu, ketika perubahan
struktur masyarakat begitu dominan dipengaruhi oleh distribusi
kapital dalam perubahan mode of production (cara produksi).

| 18 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Kedua kelas ini berada dalam struktur sosial yang hierarkis, dan
borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem
produksi kapitalis. Eksploitasi ini terus berjalan karena masih
mengakarnya kesadaran semu, fase consciousnee, dalam diri
proletar, yaitu berupa rasa berserah diri, menerima keadaan, dan
berharap balasan akhirat. Melalui perspektif ini Marx menilai
agama adalah candu yang mengantar manusia pada halusinasi
kosong dan menipu. Agama sebagai lembaga sosial tidak lebih
dari instrumen pragtis kelas borjuis melanggengkan model
produksi ekonomi kapitalis.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi
kapitalis antara kelas borjuis dan proletar melahirkan gerakan
sosial besar dan radikal, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan
produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi
borjuis terhadap mereka. Namun tidak membahas bagaimana
keasadaraan ini terbentuk dan terorganisasi menjadi gerakan
sosial melawan kapitalisme. Ini nantinya menjadi kritik
Dahrendorf dan Habermas. Dahrendorf nantinya menjelaskan
bagaimana perjuangan kelas terbentuk melalui formasi
kepentingan dan gerakan kelompok kepentingan.
Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam
sosiologi konflik Marx. Pertama, manusia secara alamiah
memiliki angka kepentingan. Jika seseorang bertindak tidak di
atas kepentingan alamiah itu, berarti mereka telah dicurangi dari
kepentingan yang sebenarnya (true interest). Kedua, konflik
dalam sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akiba
benturan kepentingan kelompok-kelompok sosial. Ketiga,
Marx melihat keterkaitan ideologi dan kepentingan. Bagi Marx
gagasan dari suatu zaman adalah refleksi dari kepentingan
„rulling cass‟ (Wallace & Wolf, 1995).
Sebagai seorang „reformer‟,Marx adalah seorang yang
meyakini perubahan sosial radikal. Tetapi lepas dari komitmen
moralnya, Marx memberi esensi akademik mengenai realitas

| 19 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah dan konflik kelas
atas fakta eksploitasi. Ia melihat perubahan sosial melalui proses
dialektis sejarah material yang sarat konflik sebagai bagian dari
sejarah manusia, Marx menyatakan, “... without conflict, no
progress; that is the law which is civilization has followerd the
present day (tanpa konflik, tidak ada perkembangan peradaban,
penulis); itu adalah hukum pada peradaban sampai sekarang”
(Dahrendorf, 1959). Pernyataan ini juga telah disampaikan oleh
Ibnu Khaldun beberapa abad sebelumnya melalui Muqadimah
bahwa sejarah manusia selalu dicirikan oleh konflik kelompok,
dan hal ini adalah hukum sosial dalam peradaban manusia.
Pemikiran Marx nantinya sangat berpengaruh dan
berkembang sebagai tradisi sosiologi konflik neo-Marxis,
mazhab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik struktur
lainnya. Marx sesungguhnya telah meletakkan sebab-sebab
akar dari konflik dan dinamikanya. Kelas dan perjuangan kelas
adalah sumber berjalanya dinamika sejarah. Berbagai kritik
telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan sosial dalam menilai
pemikiran dan filsafat Marx pada kebutuhan dasar. Pemikiran
Marx menyebut kebutuhan dasar manusia adalah hal-hal
material. Pemikiran kritis terhadap Marx bisa ditangkap dari
beberapa ilmuwan sosial klasik seperti Max Weber.

Stratifikasi Sosial dan Konflik


Max Weber terlahir di tahun 1864 dari keluarga kaya
(borjuis) di Jerman. Ia menikmati kemewahan posisi sosial
ayahnya yang menjadi anggota penting parlemen di Jerman
dari Partai Liberal Jerman. Walaupun demikian, ia mengalami
pengalaman pahit dari hubungan pernikahan ayah dan
ibunya. Weber sendiri menrupakan pendiri Partai Demokrat
Jerman (Deutsce Democratishe Partie). Hal ini menujukkan
ketetarikannya pada dunia politik di Jerman pada waktu itu.
Latar belakang aktivitas dan lingkungan ini akan memberi

| 20 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengaruh besar terhadap sosiologi konflik Weber.
Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada
kepentingan alamiah dalam setiap diri manusia. Kepentingan
alamiah inilah yang mendorong manusia untuk terus bergerak
mencapai kekayaan (wealth) serta menciptakan tujuan penting
dan nilai-nilai dalam masyarakat. Namun Weber tidak sepakat
dengan apa yang dipikirkan Marx tentang determinisme
ekonomi. Bahkan Weber menyebut Marx sebagai sosiologi
dogmatis, dan menyebut sosiologinya sebagai sosiologi empiris
(Lowith, 1993). Selanjutnya menurut Turner perbedaan
toeretis antara Weber dan Marx ini juga terlihat dari komitmen
metodologi Weber yang mengikuti individualisme, sosiologi
sebagai perspektif interpretatif pada tindakan sosial. Adapun
Marx mengacu pada epistemologi realisme, strukturalisme,
dan materialisme sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari cara
produksi (Turner, 1999).
Weber menciptakan tipe ideal tindakan sosial untuk
memahami pola dalam sejarah dan masyarakat kontemporer.
Ia menciptakan tipe ideal tindakan, tipe ideal hubungan
sosial, dan tipe ideal kekuasaan (power). Weber mengklafikasi
tindakan individu ke dalam empat tipe ideal, yaitu zwecrational,
wertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.
Zwectrational berkaitan dengan means and ends, yaitu tujuan
(ends) dicapai dengan menggunakan alat atau cara (means),
perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertractional
adalah tindakan nilai yang orientasi tindakan itu tidak berdasarkan
pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan
tindakan tradisonal adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang
dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai diwariskan dan dipelihara
bersama (Campbell, 1994).
Sebagian ilmuwan sosial menempatkan Weber sebagai
seorang teoretisi microanalysis, karena ia berangkat dari

| 21 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

tindakan sosial. Tetapi seperti pendapat George Ritzer (2000),


Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan
individu tetapi ia sendiri memberi analisis tentang masyarakat.
Bahkan menjangkau lebih luas dari definisi kelas Karl Marx.
Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme
ekonomi, Weber dalam The Theory of Social and Economic
Organization (1947) memberikan konsep sosiologis kelas yang
komprehensif. Stratifikasi tidak hanya ditentukan oleh ekonomi
semata melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/
politik).
Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial.
Setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh
manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh
posisi yang lebih tinggi. Ini berarti stratifikasi sosial Weberian
bisa disebut sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan dasar
menusia. Untuk itulah relasi-relasi sosial manusia diwarnai oleh
usaha untuk meraih posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha
itu bisa dibaca sebagai bentuk dan kombinasi berbagai tipe
ideal tindakan. Pada satu kasus tindakan meraih posisi dalam
stratifikasi sosial diwarnai oleh tindakan zwectrational saja, dan
pada kasus lain diwarnai oleh kombinasi tipe-tipe ideal tindakan.
Keadaan inilah yang membuat konflik muncul dalam banyak
relasi sosial. Weber sendiri sebenarnya membagi tipe ideal
hubungan sosial menjadi tiga, yaitu hubungan sosial tradisional-
komunal, hubungan sosial konflik, dan asosiasi.
Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber yaitu unsur
dasar dari setiap tipe ideal hubungan sosial, yakni power. Weber
memperlihatkan tiga model kekuasaan. Pertama, kekuasaan
berbasis pada karisma yang berpusat pada kualitas pribadi.
Seperti karisma seorang Soekarno di Indonesia, Mao Tze Tung
di Tiongkok dan Mahatma Gandi di India. Kedua, wewenang
tradisional (traditional authority) yang diwarisi melalui adat
kebiasaan dan nilai-nilai komunal. Ketiga adalah wewenang

| 22 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
legal formal (legal-formal authority) yang merupakan kekuasaan
berbasis pada aturan hukum resmi (Wallace & Wolf, 2000).
Kekuasan merupakan generator dinamika sosial yang mana
individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada saat
bersamaan kekuasaan menjadi sumber dari hubungan konflik.
Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap
unsur stratifikasi sosial, sehingga menciptakan dinamika konflik.
Seperti keinginan seseorang yang ingin meraih posisi ekonomi
yang lebih tinggi, pada saat bersamaan ia juga mengizinkan posisi
politik juga. Kombinasi ini menciptakan pola hubungan sosial
ketegangan kekuasaan yang rumit. Mereka yang terlibat dalam
gerakan ini akan memobiliasasi sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki. Tugas seorang ilmuwan sosial menurut Weber adalah
memberi penafsiran dan sekaligus menjelaskan kompleksitas
konflik tersebut.

Kesadaran Kolektif dan Gerakan Sosial


Pemikiran Marx cenderung determinis ekonomi dan
Weber masuk menimbang askpek tindakan subjektif, kemudian
di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim
memberikan perhatian di luar pemikiran Marx dan Weber, pada
apa yang disebutnya sebagai social fact (fakta sosial). Fakta sosial
bersifat exteriority, yang di luar atau eksternal, dan memaksa
terhadap tindakan individu. Individu bergerak atas dasar nilai
sosial yang eksternal, di luar dirinya, dan tepaksa. Hal ini adalah
suatu aturan yang tidak tertulis, unwritten, dan merupakan
pembahasan sosiologi ilmiah.
Giddens memerinci dua makna yang saling berkaitan dari
fakta sosial Durkheim. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam
masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai
suatu organisasi atau struktur yang pasti serta yang memengaruhi
kepribadiannya. Kedua fakta sosial merupakan „hal yang berada
di luar‟ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu mana

| 23 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

pun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas


pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986).
Baik Marx, Weber, Durkheim, sebenarnya menurut Giddens,
mempunyai kehendak terhadap kerangka teori yang mereka
bangun terhadap realitas kontemporer masing-masing.
Konsepsi sosiologis Durkheim dapat dipahami melalui
pembagian masyarakat ke dalam masyarakat mekanik dan
organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience collective,
kesadaran umum, yang mendasari tindakan yang bersifat
kolektif. Kesadaran umum dapat juga sebagai moral bersama
yang koersif pada setiap anggotanya. Bentuk masyarakat
berkesadaran kolektif ini seperti kelompok etnik tradisional
dan kelompok tribal. Adapun kesadaran organik bersifat lebih
kompleks di mana individu terhubung satu sama lain atas dasar
fungsi kebutuhan. Kesadaran organis ini menjadi dasar dari
berkembangnya masyarakat modern.
Selain membahas dua bentuk kesadaran, Durkheim
juga membahas bunuh diri (suicide) sebagai fakta sosial. Ia
mengklasifikasi bunuh diri menjadi bunuh diri egois (egoistic
suicide), bunuh diri pengorbanan (altruism suicide), bunuh
diri anomi (anomie suicide), dan bunuh diri fatalistik (fatalistic
suicide). Durkheim tidak secara khusus membicarakan konflik
dalam masyarakat. Namun secara tersirat melalui teori bunuh
diri, analisis konflik bisa dikembangkan. Bahkan konflik yang
dibayangkan oleh Durkheim yaitu antara manusia dan sistem.
Seperti penggambarannya mengenai bunuh diri anomi. Bunuh
diri anomi adalah hasil dari tercerabutnya individu dari tatanan
sosial. Individu berhadapan secara diametrikal dengan nilai
dan norma lingkungannya. Artinya, individu mengalami
persengketaan dengan nilai dan norma di lingkungannya. Hal
ini juga berarti individu bersangketa dengan lembaga penjaga
norma, yaitu masyarakat lingkungannya.
Bryan Turner memosisikan Durkheim dalam golongan

| 24 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
konservatif, karena pemikiran sosiologinya lebih memperhatikan
tatanan sosial (social order) dari pada perubahan sosial (social
change) (Turner, 1999). Sehingga Durkheim sering disebut
sebagai ilmuwan sosial yang memengaruhi perkembangan teori
fungsionalisme struktural. Suatu perspektif ilmu sosiologi yang
berat menimbang aspek konsensus dan harmoni sosial.
Sebenarnya sosiologi Durkheim tidak lepas dari carutmarut
politik di Perancis pada abad ke-19 atau 1870-an ketika rovulusi
politik pada waktu itu ditandai oleh berkembangnya ketegangan
sosial antara konservatisme Katolik, nasionalisme, dan anti-
semitisme, melawan kelompok liberal, sekular, dan borjuis.
Ketegangan di Perancis ini menciptakan konflik berdarah dari the
Parris Commune (kelompok borjuis Paris) pada 1871. Struktur
sosial yang ditandai oleh konflik dari berbagai kelompok melalui
kesadaran kolektifnya dan pergesaran moral (kesadaran) itulah
yang memengaruhi Durkheim dalam menciptakan sosiologi
memperhatikan tatanan sosial. Durkheim merupakan seorang
yang konseravtif namun sesungguhnya juga memperhatikan
gerakan sosial masyarakat sipil (Turner,1999).
Pemikiran Durkheim sebenarnya dapat dimanfaatkan
dalam menganalisis gerakan sosial dan konflik. Durkheim
sendiri menunjuk istilah „social current‟ yang diterjemahkan
oleh Turner sebagai gerakan sosial (social movement) sebagai
salah satu pembahasan sosiologi melalui metode fakta
sosial (Turner, 1999). Salah satu kunci analisis gerakan sosial
Durkheimian yakni konsepnya mengenai kesadaran kolektif
yang mengikat individu melalui berbagai simbol dan norma
sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari
terjaganya eksistensi kelompok. Anggota dari kelompok bisa
menciptakan bunuh diri altruistik untuk membela eksistensi
kelompok. Fenomena kontemporer saat ini bisa dilihat dari
berbagai kasus bom bunuh diri kelompok-kelompok radikal di
India dan Timur Tengah. Artinya, melalui kesadaran kolektif

| 25 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

gerakan sosial bisa memunculkan berbagai ketegangan dan


konflik berdarah. Seperti yang terjadi dalam masyarakat Perancis
pada masa revolusi politiknya.

Sosiasi dan Konflik Alamiah


Perkembangan ilmu sosial telah memperoleh pondasi
tradisi pemikiran yang berkembang di Eropa dari determinisme
ekonomi dan perjuangan kelas dari Marx, teori tindakan dan
stratifikasi sosial Weber, dan fakta sosial dari Durkheim. George
Simmel meramaikan dikursus intelektual (school of thought)
melalui pemikiran yang bercorak ralis dan interaksionis. Ia
tumbuh di pusat kebudayaan dagang orang-orang Yahudi di
Berlin. Pada saat dewasa ia mempelajari filsafat dan sejarah.
Hal ini menjadikan Simmel seorang ilmuwan murni, tidak
berpretensi membangun ideologi perubahan seperti Marx.
Simmel adalah bapak dari sosiologi konflik, selain istilah yang
ia berikan terhadap disiplin ini namun juga analisisnya yang
komprehensif mengenal sosiologi konflik.
Menurut Turner, kunci perspektif sosiologi Simmel
secara umum yakni relasionisme, sosiasi, dan bentuk-bentuk
sosial. Relasionisme menjelaskan bahwa tidak ada satu pun
unsur sosial dapat dipahami melalui isolasi, tetapi selalu dalam
kondisi saling keterkaitan dengan totalitas. Adapun bentuk-
bentuk sosial menunjuk pada keberadaan lembaga sosial seperti
keluarga, bentuk pertukaran sosial, dan jaringan (Turner, 1999).
Adapun bentuk sosiologi formal Simmel ditunjukkan melalui
sosiasi (sociation: Vergesellschatung). Sosiasi merupakan proses
yang menghubungkan bagian-bagian menjadi suatu keseluruhan
sistem, menghubungkan antar-individu menjadi masyarakat.
Sosiasi adalah bentuk (dinyatakan dalam berbagai cara yang
begitu banyak) para individu tumbuh bersama ke dalam kesatuan
dan di dalam kepentingan mereka yang terealisasikan (Simmel,
1971).

| 26 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Sosiasi melihat pada proses interaksi sosial sebagai cara
menciptakan kesatuan tersebut. Menurut Lallement “Simmel
mengajukan suatu konsep kunci, yaitu konsep tindakan
timbal balik. Melalui tindakan timbal balik, secara sederhana
ia memahami pengaruh yang diberikan seseorang kepada
sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi
yang beragam (insting erotis, kepentingan praktis, keyakinan
religius, keharusan untuk bertahan hidup atau untuk menyerang,
kesenangan bermain-main, pekerjaan, dan sebagainya) dan-
tanpa pernah berhenti bergerak-itulah totalitas seluruh
tindakannya yang memberi kontribusi untuk mempersatukan
totalitas individu menjadi satu masyarakat global” (Lallement,
2004).
Fenomena konflik pun dipandang sebagai proses sosiasi.
Sosiasi dapat menciptakan asoiasi, yaitu para individu yang
berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya
sosiasi juga bisa melahirkan disasosiasi, yaitu para individu
mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya
feeling of hostility secara alamiah. Simmel menyatakan: “The
actuallydissociating elements are the causes of the conflict-ha-
tred and envy, want and desire” (Unsur-unsur yang sesungguhnya
dari disasosiasi adalah sebab-sebab konflik kebencian dan
kecemburuan, keinginan dan nafsu).
Teori sosiasi Simmel mengenai konflik bisa dipahami
melalui konsep “geometry of social space”. Simmel memberi
perspektif hubungan konflik dan mediasi yang menarik.
Simmel menggambar hubungan dyad (dyadic relatioship) dan
triad (triadic relatioship). Dalam hubungan dyad yang terdiri
dari dua peserta, sifat hubungan itu konfrontatif. Pengertian
integratifnya, dua peserta saling bergantung satu sama lain.
Karena kepergian satu partisipan akan menghancurkan
hubungan itu. Perubahan populasi, dari dyad menjadi triad
memberi perubahan kualitatif yang mendasar. Dalam hubungan

| 27 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

triad, salah satu peserta lainnya. Strategi lainya yang mungkin


yaitu kemunculan satu peserta sebagai mediator yang menjaga
kelompok terus berinteraksi positif dengan menciptakan
kesepakatan. Sebaliknya, moderator bisa menciptakan konflik
terus-menerus untuk keuntungannya sendiri (Wallace & Wolf,
1995).
Selanjutnya menurut Simmel, ketika konflik menjadi
bagian dari interaksi sosial maka konflik menciptakan batas-
batasan antar kelompok dengan memperkuat kesadaran internal
yang membuat kelompok tersebut terbedakan dan terpisah dari
kelompok lain. Hal ini berlaku secara resiprokal antagonistik atau
permusuhan timbal balik. Akibat dari “reciprocal antagonisme”
antarkelompok itulah terbentuk divisi-divisi sosial dan sistem
stratifikasi. Permusuhan timbal balik ini mendirikan identitas
dari bergai jenis kelompok dalam sistem dan sekaligus juga
menolong untuk memelihara keseluruh sistem sosial.
Walaupun konflik menjadi perhatian Simmel, integrasi
sistem sosial adalah proses oraganis yang dituju oleh Simmel.
Menurut Jonathan Turner, Simmel concern pada hubungan-
hubungan sosial yang terjadi di dalam konteks sistematik yang
hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari
proses asosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi
dari impuls naluriah dari pelaku dan ketentuan yang memerintah
oleh berbagai macam tipe hubungan sosial. Oleh sebab itu
proses konflik adalah satu karakter di mana pun dari sistem
sosial, tetapi tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petunjuk
mengenai kerusakan sistem dan/atau perubahan sosial.
Kenyataan, konflik dalam satu proses prinsip pengoperan pada
pemeliharaan keseluruhan sosial dan/atau beberapa sebagiannya
(Turner, 1978), pemikiran ini nantinya banyak memengaruhi
Lewis Coser yang melahirkan teori fungsi konflik, yaitu konflik
secara alamiah membawa struktur sosial pada kondisi yang lebih
mapan dan baru.

| 28 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Jonathan Turner mencatat perbedaan antara Marx dan
Simmel terletak pada pandangan Simmel terhadap hubungan
sosial terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat
ditipekan sebagai pencampuradukan organis dari proses sosiasi
dan disosiasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial,
kenyataan konflik adalah satu prinsip operasional memelihara
keseluruhan sosial dan/atau beberapa bagiannya. Adapun Marx
cenderung pada kelas dan dominasi, bukan sesuatu yang alami
(Turner, 1978).

Teori-Teori Penyebab Konflik


Fisher (2001), menyatakan ada 5 teori konflik, sebagaimana
dikemukakannya sebagai berikut:
1. Teori Hubungan Masyarakat
Dalam setiap masyarakat terdapat berbagai kelompok
atau golongan yang berbeda. Apabila di antara kelompok atau
golongan dalam masyarakat itu terjadi polarisasi secara terus
menerus yang menimbulkan ketidakpercayaan dan permusuhan
satu sama lain maka akan terjadi konflik.
Teori ini hendak menyatakan agar konflik tidak terjadi
maka di antara kelompok atau golongan dalam masyarakat perlu
ditingkatkan komunikasi dan saling pengertian baik sebelum
atau setelah konflik. Selain itu perlu mengusahakan toleransi
dan agar masyarakat lebih dapat saling menerima keragaman
yang ada di dalamnya.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan
tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Dalam pandangan teori ini sepanjang para pihak yang
mengalami konflik dibantu dengan cara memisahkan perasaan
pribadi dari berbagai masalah dan isu dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-

| 29 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kepentingan mereka dari posisi tertentu yang sudah tetap


maka konflik dapat diatasi. Bukan hanya itu, para pihak yang
berkonflik juga perlu dibantu dengan melancarkan proses
pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah
pihak atau semua pihak.

3. Teori Pemenuhan Kebutuhan Manusia


Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan oleh
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan
fisik, mental dan sosial. Kebutuhan dasar itu bukan hanya
soal papan, sandang dan papan tetapi juga berkaitan dengan
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi.
Dalam pandangan teori ini para pihak yang berkonflik
perlu dibantu mengidentifikasi dan mengupayakan bersama
kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
Selain itu para pihak yang mengalami konflik juga dibantu untuk
mencapai kesepakatan memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4. Teori Identitas
Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya
sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Teori ini berpandangan bahwa para pihak yang berkonflik
dapat didamaikan melalui memberikan fasilitasi lokakarya dan
dialog. Melalui lokakarya dan dialog itu mereka diharapkan
mampu mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan
yang mereka rasakan masing-masing. Melalui lokakarya dan
dialog ini mereka pun diharapkan dapat membangun empati
dan rekonsiliasi di antara mereka.

5. Teori Kesalahpahaman antar Budaya


Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan oleh

| 30 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai
budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai adalah:
menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik
mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotipe negatif
yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan
komunikasi antar budaya.

6. Teori Transformasi Konflik


Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan karena
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul
sebagai masalah-masalah sosial,budaya, dan ekonomi.
Tujuan teori ini adalah untuk mengubah berbagai struktur
dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; meningkatkan
jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak
yang mengalami konflik; mengembangkan berbagai proses
dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan,
perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.
Para ahli ilmu sosial sepakat menyatakan bahwa konflik
disebabkan oleh berbagai faktor seperti:

7. Teori Perbedaan Nilai:


Perbedaan nilai-nilai yang dianut seseorang atau kelompok
jika dipertentangkan dapat menyebabkan konflik. Misalnya
perbedaan nilai dalam agama, kebudayan, tradisi, adat
istiadat, keyakinan, dan ideologi jika dipertentangkan dapat
menyebabkan konflik. Nilai adalah sesuatu yang dianggap
penting dan berharga serta menjadi dasar, pedoman, tempat
setiap orang menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan.
Konflik terjadi apabila dua pihak memberikan nilai yang berbeda
dan mempertentangkannya. Misalnya dua orang atau kelompok
memberikan nilai yang berbeda atas bulan puasa, makanan
haram atau halal, simbol-simbol dalam keagamaan tertentu,

| 31 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

tanah adat, dan ideologi kemudian mempertentangkannya maka


akan menimbulkan konflik. Namun meskipun dua orang atau
kelompok memberikan nilai berbeda terhadap sesuatu tetapi jika
mereka tidak mempertentangkannya maka tidak menimbulkan
konflik.
8. Teori Kurangnya Informasi/Komunikasi:
Kekurangan informasi atau kesalahan informasi
(misinformasi) tentang sesuatu dapat menyebabkan konflik.
Demikian juga dalam hal kurangnya komunikasi. Kekurangan
informasi atau kesalahan informasi menimbulkan prasangka
(prejudice) dan kecurigaan. Kesalahan informasi (missinformasi)
tentang kelompok/komuntas lain misalnya adanya stereotype
dan prasangka akan mendorong terjadinya konflik.

9. Teori Dislokasi:
Dalam teori ini yang dimaksud dislokasi adalah penempatan
orang atau kelompok orang pada tempat atau lokasi yang salah.
Orang atau kelompok orang yang seharusnya menempati lokasi
atau posisi tidak mendapatkannya justeru digantikan oleh orang
atau kelompok orang yang lain. Dalam hal ini terjadi ketidakadilan
dalam distribusi sosial, politik, ekonomi, dan lainnya sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara yang seharusnya mendapatkan
dengan yang tidak seharusnya. Tindakan dislokasi ini dapat
mengakibatkan terjadinya marginalisasi suatu kelompok
oleh kelompok lain sehingga kelompok yang termarginalisasi
tercerabut dari tradisi, akar budaya dan lokasinya. Kondisi
seperti ini dapat menyebabkan kecemburuan dan memicu
terjadinya konflik.

10. Teori Struktural:


Konflik dapat disebabkan oleh tekanan struktural
yang masif kepada orang atau sekelompok orang. Orang-
orang atau sekelompok orang yang ditekan secara berlebihan

| 32 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
tersebut cenderung akan melakukan perlawanan. Tekanan-
tekanan struktural tersebut dapat melalui undang-undang,
peraturan daerah, melakukan ketidakadilan distribusi posisi
kekuasaan, pemerintahan, politik, ekonomi, hukum, budaya dan
mempersulit dalam akses sumber daya, disertai kepemimpinan
yang represif dan tidak adil akan mengakibatkan terjadinya
konflik atau penentangan dari kelompok masyarakat yang
tertindas.

11. Teori Perbedaan Kepentingan:


Perbedaan kepentingan dalam masyarakat atau kelompok
dapat menyebabkan konflik. Misalnya perbedaan kepentingan
dalam pengelolaan SDA, ekonomi, kekuasaan, politik, hukum
dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Burton. John, 1990, Conflict Resolution and Prevention,
London, MacMillan Press.
Campbell. Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial: Sketsa Penilaian
Perbandingan, Yogyakarta, Kanisius.
Carpenter Susan & Kennedy W, 1988, Managing Public
Disputes: A Practical Guide to Handling Conflict and
Reaching Agreements, London, San Fransisco.
Coser, Lewis A. 1977. The Functions of Social Conflict. New
York: The Free Press.
Dahrendorf. Ralf, 1959, Class and Class Conflict in Industrial
Society, California, Stanford University Press.
DeVito Joseph A, 1995, The Interpersonal Communication,

| 33 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

7th Edition, New York, Harper and Collins Publisher.


Fisher. Simon, 2001, Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi
Untuk Bertindak, Jakarta, The British Council.
Folger. Joseph P and Poole. Marshal Scott, 1984, Working
Through Conflict: A Communication Perspective, USA,
Scott, Foresman and Company Glenview Illinois.
Gibson. James L, 1997, Organization and Management, Jakarta,
Erlangga.
Giddens. Anthony, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern,
Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max
Weber, Jakarta, UIP.
Heryanto. Ariel, 1993, Discourse and State Terrorism, A Case
Study of Political Trials in New Order in Indonesia 1989-
1990, Monash University.
Kornblurn. Willian. 2003, Sociology in the Changing World,
6th edition, USA Wardsmoth/Thompson Learning.
Kraybill. 2001, The Effects of Infrastructure Investment: A
Two Sector Dynamic Computable General Equilibrium
Analisys for Ohio, Journal of Regional Sciences, 24: 26-
28
Lallement. Michel, 2004, George Simmel : Bapak Interaksionis
Yang Tidak Dikenal, dalam Philipe Caben & Jean
Franois Dortier (ed), Sosiologi Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Lowith. Karl, 1993, Max Weber and Karl Marx, London and
New York, Routlegde
Marx. Karl & Engels. Frederick, 2003, Manifesto of the
Communist Party, http://www.marxists.org/archive/
marx/works/1848.
Maslow. Abraham.H, 1954, Motivation and Personality, New
| 34 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
York, Harper and Row Publisher.
Minnery. John R, 1985, Conflict Management in Urban Planning,
England, Gower Publishing Company Limited.
Muchlas, 1999, Perilaku Organisasi, Yogyakarta, Aditya Media.
Myers. D.G, 1982, Psychology, Japan, McGraw Hill, Inter Book,
Co.
Newstorm J and Davis K, 1988, Human Behavior at Work,
Organization Behavior 8th Edition, Singapore, Mc Graw
Hill International.
Pace Wayne R & Don F. Faules, 1994, Organizational
Communication, 3rd Edition, New Jersey, Prentice Hall
Inc.
Poerwadarminta.W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta, PN Balai Pustaka.
Pruitt. D.G & Rubin. J.Z, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Ritzer. George, 2000, Modern Sociological Theory, New York,
The McGrawHill Companies.
Robbin. Stephen P, 1996, Perilaku Organisasi, Edisi 7, Jakarta,
Preahalindo.
Rosenberg. Marshall, 2003, Non Violent Communication: A
Language of Life, Encinitas, Puddledancer Press.
Ross S.A, 1977, The Determination of Financial Structure:
The Incentive Signaling Approach, The Bell Journal of
Economic, 23-40
Soekanto. Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta, Rajawali
Press.
Simmel. George, 1971, On Individuality and Social Forms,
Chicago, University of Chicago Press.

| 35 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Steward and Logan, 1993, Konflik, http://id.wikipedia/wiki


Stoner. James A.F & Freeman F, 1989, Personal Management,
6th Edition, New Jersey, Prentice Hall, Inc.
Susan. Novry, 2014, Pengantar Sosiologi Konflik, Jakarta,
Prenadamedia Group.
Turner. S. Bryan, 1999, Classical Sociology, London, Sage
Publication.
Turner H. Jonathan, 1978, The Structure of Sociological
Theory, Homewood Illioonis, The Dorsey Press.
Wallace and Wolf, 1995, Reading in Contemporary Sociological
Theory From Modernity to Post Modernity, New Jersey,
Prentice Hall.
Weber. Max, 1947, The Theory of Social and Economic
Organization, New York USA, Oxford University Press.
Windhu I Marsana, 1992, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut
Johan Galtung, Yogyakarta, Kanisius.

| 36 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB II
KONFLIK DALAM PERSPEKTIF
KARL MARX
Pendahuluan

T
erdapat perdebatan panjang hingga kini mengenai
teori konflik Karl Marx, terutama kritik terhadap
teori ekonomi politiknya. Jika dikaji secara kritis
memang terkesan bahwa teori Marx tentang masyarakat
merupakan teori masyarakat ideal karena dalam teori itu Marx
sangat menekankan perlunya pemerataan ekonomi, keadilan
sosial yang menjangkau semua lapisan masyarakat dan tidak
adanya kelas dalam masyarakat.
Siapapun yang mempelajari sosiologi maupun ilmu
sosial lainnya, pasti pernah mendengar nama Karl Marx.
Karl Marx tokoh fenomenal abad 19 merupakan salah satu
nabinya sosiologi, selain Emile Durkheim dan Max Weber.
Pemikirannya sangat mewarnai sejarah perubahan dunia,
terasa hingga ke seluruh bagian dunia bahkan hingga kini.
Sekedar contoh, beberapa revolusi besar langsung atau tidak
langsung sebenarnya diinspirasi oleh pemikrannya tersebut
seperti revolusi Rusia 1917, Cina 1940-an, Indonesia 1945 dan
| 37 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

berbagai negara bekas jajahan lainnya di Asia, Amerika Latin


dan Afrika. Pada banyak negara, khususnya negara-negara yang
masih terbelakang, ideologi Marxis hingga kini masih sering
digunakan sebagai simbol perlawanan kaum tertindas, marginal
dan miskin terutama terhadap hegemoni kapitalis dan penguasa
tirani. Dalam dunia akademik, pemikirannya itu bahkan mampu
mengkritisi teori-teori besar lainnya termasuk agama sekalipun.

Siapakah Karl Marx


Karl Heinrich Marx lahir di kota Trier di distrik Moselle,
Prussian Rhineland, Jerman, pada tanggal 5 Mei 1818. Dilihat
dari silsilah keluarga, Marx termasuk keturunan rabbi Yahudi
dari garis keturunan ibunya yang bernama Henrietta. Ayahnya
bernama Heinrich seorang pengacara sukses dan terhormat
di Trier. Marx dan keluarganya penganut Kristen Protestan
(Kuper dan Kuper, 2000).
Kepribadian Marx sangat berbeda dengan ayahnya. Marx
memiliki bakat intelektual, tetapi keras kepala, kasar, agak liar dan
jarang mengedepankan perasaan. Pada usia delapan belas tahun,
sesudah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas
Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Di Universitas
Berlin Marx berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Hegel.
Meskipun pada waktu itu Hegel telah meninggal tetapi semangat
dan filsafat yang diwariskannya masih diminati dan menguasai
pemikiran filsafat dan sosial di Eropa (Johnson, 1986).
Sebelum mengenal pemikiran dan filsafat Hegel, Marx
telah mengenal pemikiran dan filsafat Emanuel Kant, yaitu
bahwa manusia berawal dari sebuah kesempurnaan (the holy
spirit of God) tetapi kemudian masuk ke dalam dunia yang
penuh keterbatasan, kotor dan tidak suci (Salim, 2002). Hingga
tahun 1844 Marx sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel
yang mengasumsikan segala sesuatu di dunia atau di masyarakat
memiliki kontradiksinya yang kemudian kontradiksi itu akan

| 38 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menghasilkan sintesis sehingga segala sesuatu yang ada selalu
akan mengalami dialektika. Namun setelah itu Marx berubah
karena menganggap apa yang dipikirkan Emanuel Kant dan
Hegel sangat idealis sehingga sulit diwujudkan. Menurut Marx
pemikiran Kant dan Hegel hanya bersifat ide bukan kenyataan
dan pengalaman.
Sampai tahun 1845 Marx menjalani kehidupan di Paris
bersama dengan isterinya. Di Parislah Marx terbentuk sebagai
seorang kritis terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Paris
pada waktu itu merupakan kota yang dipenuhi kegiatan-kegiatan
radikal, intelektual dan sebagai pusat liberalisme. Tokoh-tokoh
sosialis Prancis sangat mempengaruhi pemikiran Marx, seperti
St. Simon dan Proudhon demikian juga tokoh revolusioner
seperti Blanqui (Johnson, 1986).
Interaksinya dengan berbagai tokoh sentral intelektual,
radikal dan revolusioner di Paris itulah yang kemudian
membawanya peduli dengan kaum buruh dan rakyat kecil yang
tertindas. Kepeduliannya tersebut tampak ketika Marx menolak
sistem kapitalis yang meluas dan berusaha menggantikannya
dengan sistem sosialis. Meluasnya sistem kapitalis itu menurut
Marx mengancam kondisi-kondisi materiil dan sosial yang
sesungguhnya dan tingkat kesadaran sosial kelas-kelas buruh.
Kritik dan semangat yang mendasari Marx melakukan kritik
terhadap sistem kapitalisme ini berangkat dari filsafat moral
keadilan dan cita-cita untuk perubahan masyarakat menuju
keadilan sosial ekonomi.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran kritis Marx
terhadap sistem kapitalis itulah yang menjadi cikal bakal
lahirnya perlawanan Marx terhadap sistem kapitalis. Dalam
perjuangannya menentang sistem kapitalisme tersebut Marx
menulis beberapa karya ilmiahnya yang populer seperti:
Economic and Philosophical. Economic dan Philoshopical
itu berupa manuscript yang berisi analisisnya tentang ekonomi

| 39 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

dan filsafat. Karya lain yang menjadi prinsip dalam hidupnya


diterjemahkan dalam tulisan yang diberi judul The Germany
Ideology yang membahas masalah materialisme historis.
Kemudian pada tahun 1857 Marx menulis suatu pernyataan
yang menjadi program teoritis sebuah organisasi, yang diberinya
judul Manifesto Komunis. Dalam perjuangannya yang tak kenal
menyerah Marx terus menuangkan pemikirannya dalam karya
yang bertajuk The Class Struggles in France and The Eighteenth
Brumaire of Louis Bonaparte yang sesungguhnya sebuah essai.
Karya yang paling menonjol dari Marx adalah Das Kapital yang
menjelaskan kontradiksi internal dalam sistem kapitalis.

Dasar Pemikiran Marx Tentang Sosialisme


Pemikiran Marx tentang sosialisme lahir dari situasi
politik represif di Prusia atau Jerman masa itu yang telah
menghapus kebebasan manusia. Berangkat dari situasi politik
represif itu Marx membangun konsep pemikirannya tentang
sosialisme yang menurutnya merupakan jalan yang jitu untuk
melawan kapitalisme sekaligus mengembalikan kebebasan
manusia. Dasar pemikirannya itu dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, bagaimana membebaskan manusia dari penindasan
sistem politik reaksioner. Kedua, bagaimana menghilangkan
keterasingan manusia atas dirinya sendiri. Marx berkesimpulan
bahwa keterasingan paling dasar adalah proses pekerjaan
manusia. Tetapi sistem kapitalis menjungkirbalikkan makna
pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Ketiga, akibat penguasaan
atas diri manusia yang membentuk kelas penguasa (pemilik)
dan kelas yang tereksploitasi (pekerja), maka manusia hanya
dapat dibebaskan apabila milik pribadi atas alat-alat produksi
dihapus melalui revolusi kaum buruh. Keempat, pemusatan
pada hak-hak pribadi haruslah dihapuskan. Penghapusan itu
hanya dapat dilakukan dengan menerapkan sistem sosialisme.
Marx mengklaim bahwa sosialismenya merupakan sosialisme

| 40 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral melainkan
berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum –hukum
perkembangan masyarakat. Bagi Marx bahwa faktor yang
menentukan sejarah bukanlah politik dan ideology melainkan
ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama kelamaan
akan membuat struktur-struktur hak milik lama menjadi
hambatan kemajuan. Dalam situasi seperti ini akan timbul
revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih
tinggi. Kelima, cara yang harus dilakukan adalah melalui revolusi
kelas buruh dan dengan sendirinya akan menghapuskan hak
milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat
tanpa kelas atau classless society (Suseno, 2001).
Tema besar dalam pemikiran Marx sebenarnya berkisar
pada konsep kritik atas ekonomi politik. Kritik terhadap
ekonomi politik ini membawa Marx pada kritik filsafat
mengenai pembagian kerja. Arah yang dituju adalah kembali ke
belakang dan mempertentangkan antara perumusan pandangan
atas kemanusiaan sebagai satu keutuhan sebelum datangnya
industrialisasi, yakni sebagai suatu spesies yang tidak mengenal
alienasi, dengan kondisi yang terpecah-pecah dan kalah dengan
kapitalisme. Alienasi, terbagi-baginya kemanusiaan serta sub
divisi individualnya, hal ini hanya terjadi dalam peradaban
kapitalisme (Belharz, 2002).
Arah tersembunyi dalam argumen ini adalah perlunya
pembebasan kemanusiaan atau proletarian yang ditegaskan
Marx secara progresif di saat ia memasuki labirin ekonomi
sendiri. Dalam pembebasan itu tidak dapat dipungkiri akan
terjadinya benturan pada kepentingan politik, ideology, dan
agama, atau benturan antara struktur yang mapan terhadap
kebudayaan, sistem nilai, ideology dan agama yang berkembang.
Dan kemungkinan terjadinya konflik antara penguasa versus
rakyat, majika versus buruh dan patron versus klien (Pelly dan
Menanti, 1994).

| 41 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Asumsi dasar inilah yang paling mendominasi pemikiran


Marx dalam melakukan perubahan sosial pada masyarakat yang
tertindas oleh sistem kapitalisme otoriter.

Pemikiran Marx Tentang Pertentangan Kelas


Dalam Comunist Manifestonya, Marx menulis sebagai
berikut: sampai saat ini, sejarah masyarakat manapun di muka
bumi ini adalah sejarah pertentangan kelas. Si merdeka dengan
si budak, kaum bangsawan dengan rakyat jelata, tuan dan
pesuruhnya, singkat kata antara penindas dengan yang tertindas
atau ditindas. Posisi yang berhadap-hadapan ini akan selalu ada
dan tidak dapat dibantah. Sekarang perlahan namun pasti akan
ada perang terbuka, perang untuk merekontruksi masyarakat
pada umumnya dan khususnya, untuk menghancurkan kelas
penguasa (Pals, 1996).
Pesan yang ingin disampaikan Marx adalah bahwa eksistensi
manusia bukan ditentukan oleh sejarah kelahirannya dan bukan
pula ide-ide yang ia miliki tetapi lebih banyak dikendalikan oleh
faktor ekonomi yang dapat membuat manusia survive dalam
hidupnya. Jika kebutuhan akan ekonomi sudah terpenuhi
maka manusia akan mampu memenuhi kebutuhannya yang
lain, yakni kebutuhan akan seks, hiburan, keluarga dan lainnya.
Dalam keluarga apabila manusia telah memiliki isteri dan anak
maka kebutuhannya akan ekonomi menjadi bertambah. Hal ini
menuntut manusia pada pemenuhan kebutuhan secara lebih
komplek. Dalam pemenuhan kebutuhan itu menurut Marx
hanya bisa dengan membangun dan mengembangkan apa yang
disebut sebagai bentuk produksi (mode of production).
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia akan
menjalani kehidupan dengan mencari peluang kerja. Manusia
akan terlibat hubungan kerja dengan masyarakat lainnya dan
saling berhubungan dalam pekerjaan tersebut, hal inilah yang
oleh Marx dinamakan sebagai relation of production. Misalnya

| 42 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hubungan antara petani dengan pedagang, nelayan dengan
pembuat jala dan hubungan lainnya. Bagi Marx hubungan
masyarakat seperti inilah yang lebih alami, dimana mereka
dapat menikmati kehidupannya lebih alami tanpa ada benturan
kepentingan di antara mereka.
Namun masyarakat mengalami perubahan ketika mereka
sudah mengenal apa yang disebut privasi (hak milik pribadi).
Hubungan produksi di antara mereka mengalami perubahan
secara mencolok, si petani mengklaim tanah dan hasil pertanian
adalah miliknya, dan nelayan juga melakukan hal yang sama.
Maka yang terjadi adalah hubungan di antara manusia akan
terjadi apabila ada proses ekonomi di dalamnya, yakni saat
terjadinya tukar menukar barang, jual beli dan lainnya.
Dengan demikian maka model produksi yang dilakukan
oleh masyarakat menjadi berubah. Dimana ada beberapa
bagian dalam masyarakat yang tidak hanya mempunyai berbagai
produk pangan, tetapi juga menguasai tanah. Konsekuensinya
masyarakat yang tidak memiliki tanah akan menjadi pekerja atas
para tuan-tuan tanah tersebut dan hal ini akan menimbulkan
sikap ketergantungan yang sangat besar. Hak milik pribadi
dan pertanian adalah dua hal yang sekaligus juga membantu
terciptanya satu krisis hebat dalam kemanusiaan, yaitu
pembentukan kelas-kelas berdasarkan kekuatan dan kekayaaan,
dari sinilah muncul konflik kelas secara permanen (Pals, 1996).
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat memasuki
era modern, dimana kapitalisme memperkenalkan model
prosuksi baru dalam bentuk perdagangan dan pabrik. Hal ini
juga menimbulkan jurang baru bagi masyarakat yakni tetap
akan ada tuan dan pekerja. Dengan berkembangnya sistem
kapitalisme semakin memperburuk keadaan, dimana para
buruh terus menerus dipekerjakan (dieksploitasi) oleh majikan
mereka. Sementara kondisi ekonomi yang didapat sangat tidak
seimbang.

| 43 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Dalam kondisi inilah terjadi pertentangan kelas antara


buruh dan majikan. Para buruh nekat melakukan perlawanan
dengan melakukan penyerangan atas alat dan lahan milik
majikannya. Bagaimanapun situasi seperti ini akan memicu
perlawanan dari pihak pemilik tanah dan usaha, sehingga terjadi
benturan keras antara kedua pihak ini.
Dalam membumikan teorinya Marx bertujuan mencapai,
pertama misi edukasi yakni misi penyadaran kepada masyarakat
yang belum mengetahui keadaan mereka sebenarnya. Kedua,
aksi yaitu menyerukan kepada kaum proletar (rakyat miskin
tertindas) untuk mempersiapkan lahirnya revolusi (Pals, 1996).
Kenyataannya pemikiran Marx ini sangat cepat menjalar
ke pelosok dunia, dimana kaum proletar harus melakukan
perlawanan terhadap kapitalisme yang menguasai tanah-tanah
mereka.

Pemikiran Marx Tentang Materialisme Historis


Marx bukanlah satu-satunya orang yang mengetengahkan
konsep pembagian dan pertentangan kelas. Walaupun harus
diakui bahwa konsep pertentangan kelas pertama kali lahir
dari pikiran Marx, yakni ketika Marx menjelaskan hubungan
pembagian kelas sosial dengan beberapa tahapan perkembangan
ekonomi dan meramalkan masa depan pertentangan kelas ini
akan bermuara kepada satu revolusi dan hilangnya kelas-kelas
sosial tadi (Pals, 1996). Hegel dalam beberapa pemikirannya
juga telah menyinggung bahwa segala sesuatu yang bersifat
material adalah sekunder sedangkan realitas sebenarnya adalah
roh absolut atau ide absolut yang dalam ajaran agama disebut
Tuhan. Meskipun pemikiran Hegel ini ditinggalkan oleh Marx
karena dianggap tidak realistis dan sulit untuk direalisasikan.
Pada sisi yang lain konsep materialisme historis Marx
merupakan sebuah reaksi terhadap interpretasi idealistik Hegel
mengenai sejarah. Filsafat sejarah ini menganggap bahwa suatu

| 44 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
peranan yang paling menentukan adalah yang berasal dari
evolusi progresif ide-ide Marx menolak filsafat sejarah Hegel
karena menghubungkannya dengan evolusi ide-ide sebagai suatu
peranan utama yang berdiri sendiri dalam perubahan sejarah
lepas dari hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan
situasi materiil atau hubungan-hubungan sosial yang dibuat
orang dalam menyesuaikan diri dengan situasi materiil (Johnson,
1986).
Dalam The Communist Manifesto dan Das Capital
sebenarnya Marx telah menekankan pentingnya kebutuhan
materiil bagi perjuangan kelas. Konsep Marx ini kemudian sangat
dikenal sebagai Historical Materialism, yang mengungkapkan
bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materinya
bukan pada idenya karena ide juga merupakan bagian dari
materi pula. Bagi Marx implikasi dari Historical Materialism
adalah melihat economic structure sebagai awal dari semua
kegiatan manusia dan merupakan penggerak perubahan yang
akan memimpin perubahan termasuk proses perubahan sosial
(Salim, 2002).
Marx menilai bahwa struktur ekonomi masyarakat yang
ditopang oleh relasi-relasinya dengan produksi merupakan
fondasi ril masyarakat. Struktur ekonomi masyarakat ini
merupakan dasar munculnya supra struktur struktur hukum
dan politik dan berkaitan dengan bentuk tertentu dari kesadaran
sosial. Di sisi lain relasi-relasi produksi masyarakat itu sendiri
berkaitan dengan tahap perkembangan tenaga-tenaga produktif
material (masyarakat). Dalam kerangka model produksi dari
kehidupan material akan mempersiapkan proses kehidupan
sosial, politik, dan intelektual pada umumnya (Kuper dan
Kuper, 2000).
Titik tekan pada konsep Historical Materialism ini adalah
manusia bila ingin sukses dalam kehidupannya harus memiliki
ekonomi dan menguasainya dengan baik atau dengan kata

| 45 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

lain siapa yang menguasai ekonomi maka ia akan berhasil


menguasai yang lainnya. Prinsipnya ekonomi merupakan dasar
dalam pembentukan dan perubahan sosial dan masyarakat.
Oleh karena itu manusia harus memiliki ekonomi dan mampu
mengendalikannya secara baik.

Pandangan Marx Tentang Kapitalisme


Dalam menilai konsep kapitalisme, Marx tidaklah
menekankan pada aspek politik semata tetapi juga pada aspek
ilmu ekonomi yang pernah ditempuhnya beberapa tahun.
Artinya sebelum menilai lebih jauh tentang kapitalisme Marx
terlebih dahulu mendalami konsep yang dipakai oleh sistem
kapitalisme itu. Sehingga apa yang diutarakan oleh Marx dalam
berbagai konsep, kritiknya merupakan sesuatu yang terjadi
dalam diri mereka.
Marx dengan kemampuan ilmu ekonominya menilai
bahwa konsep kapitalisme adalah sistem sosio-ekonomi yang
dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses
produksi, bukan dagang, riba, memeras ataupun mencuri
secara langsung. Tetapi dengan cara mengorganisir mekanisme
produksi secara terukur sehingga mengurangi biaya produksi
seminim mungkin atau melalui mode of production. Dengan
keuntungan yang diperoleh mendorong terciptanya suatu
kekuatan untuk menyeragamkan buruh dan menguasainya.
Mode of production kapitalis menciptakan pasar untuk tenaga
kerja, ketimbang hubungan manusia-tuan secara tradisional
(Faqih, 2002).
Selanjutnya Marx menganalisis dari konsep ilmu ekonomi
bahwa sistem kapitalisme memiliki dua keuntungan dari sistem
produksinya. Pertama, melalui jam kerja yang berlebihan yang
sebenarnya dalah hak buruh. Namun dalam prosesnya buruh
tidak pernah menerimanya sehingga tidak merasa dirugikan.
Sebaliknya keuntungan itu menjadi hak penguasa yang telah

| 46 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
memiliki kontrak yang menguntungkan dengan kapitalis. Kedua,
kapitalis menyatakan bahwa harga jual adalah biaya produksi
yang dikeluarkan oleh pengusaha (kapitalis). Dengan demikian
buruh tidak menikmati keuntungan apapun, karena keuntungan
itu langsung menjadi hak pengusaha (Salim, 2002).
Dalam perjuangan kompetisinya untuk memperoleh
keuntungan kaum kapitalis menggunakan mesin-mesin baru
yang hemat buruh yang memperbesar kapasitas produksinya.
Hal ini merusak keseimbangan antara kapasitas produksi dan
permintaan dan hasilnya berupa satu spiral menurun, dengan
permintaan pasar berkurang yang mengakibatkan berkurangnya
keuntungan, berkurangnya investasi, berkurangnya kesempatan
kerja yang mengakibatkan berkurangnya terus permintaan
di pasaran dan seterusnya. Parahnya keadaan kapitalisme di
masa krisis ekonomi, periode ini terletak dalam kecenderungan
untuk memperbesar kapasitas produksi secara berlebih-
lebihan. Karena spiral ini terus berkembang menurun akhirnya
terciptalah kondisi yang perlu untuk kehancuran sendiri. Antara
lain misalnya sesudah terjadi periode kemerdekaan berupa tidak
dimanfaatkannya alat produksi, maka kelebihan komoditi pelan-
pelan berkurang. Juga perpanjangan jam kerja dan berkurangnya
upah buruh, meningkatnya sejumlah nilai yang dihasilkan oleh
buruh yang dapat dirampas oleh kapitalis sebagai nilai surplus
dan dipergunakan untuk mempertahankan perusahaannya
selama krisis itu (Johnson, 1986).

Kritik Atas Pemikiran Konflik Marx


Terjadi perdebatan panjang hingga kini mengenai teori
konflik Karl Marx, terutama kritik terhadap teori ekonomi
politiknya. Jika dikaji secara kritis memang terkesan bahwa
teori Marx tentang masyarakat merupakan teori masyarakat
ideal karena dalam teori itu Marx sangat menekankan perlunya
pemerataan ekonomi, keadilan sosial yang menjangkau semua

| 47 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

lapisan masyarakat dan tidak adanya kelas dalam masyarakat.


Terhadap teori Marx tersebut terdapat sejumlah keberatan yang
diajukan para pengritiknya seperti:
1. Teori Karl Marx tidak hanya bersifat sosiologis dan
ekonomi tetapi juga memiliki tujuan ideologis politik. Dalam
teorinya Marx mengajak rakyat dan kaum buruh miskin
melakukan perlawanan baik terhadap para pemilik modal
(kapitalis) dan juga kepada negara sebagai institusi yang turut
memberikan peluang bisnis kepada para pemilik modal (Johnson,
1986). Marx juga menggunakan strategi perjuangan kelas yang
antagonis, karena konflik dijadikan sebagai strategi perjuangan.
Kegagalan teori politik Marx lebih disebabkan secara substansi
teorinya tidak valid dengan hakekat kehidupan manusia, karena
sesungguhnya manusia merupakan mahluk sosial yang penuh
motivasi dan saling bersimpati. Kegagalan teori politik itu
disebabkan juga karena sifatnya yang doktriner dan Marx sendiri
menolak koreksi dari pihak luar (Muhajir, 2000).
2. Marx gagal melihat adanya pertumbuhan kelas menengah
yang besar yang secara politik dominan. Perkembangan kelas
menengah yang pesat mematahkan argumennya bahwa karena
kapitalisme berkembang maka struktur sosial semakin lama
semakin akan terbagi atas dua kelas yang saling bermusuhan,
pemilik modal (kapitalis) dan buruh proletar (Johnson, 1986).
Teori ini terbantahkan oleh fakta munculnya kelas menengah
di antara dua kelas yaitu kelas menengah yang semakin besar
jumlahnya dan semakin besar peranannya. Teori ini juga kurang
bersesuaian dengan realitas dalam kehidupan masyarakat yang
faktanya terdapat keinginan kuat penuh simpati dan lebih
mensejahterakan dari pada hidup saling konflik (Muhajir, 2000).
3. Marx mengharapkan suatu masyarakat tanpa kelas
(classless society), suatu konsep yang sangat sulit diaplikasikan
dan diwujudkan terutama dalam masyarakat modern. Konsep
Marx akan masyarakat tanpa kelas ini sangat utopis, karena

| 48 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
bertentangan dengan fakta kehidupan di masyarakat. Tidak ada
satu negara pun di dunia termasuk negara sosialis sendiri yang
masyarakatnya tanpa kelas dan yang tidak diatur oleh negara
(pemerintah). Bagaimana jadinya suatu masyarakat jika tidak
ada pemerintah yang mengaturnya, siapa yang akan melakukan
perencanaan dan pembagian kerja warganya? Faktanya
penghapusan sistem pasar di banyak negara sosialis komunis
dan non komunis selalu diikuti dengan pembagian kerja dan
hasil kkerja dari atas (pemerintah). Jadi sosialisme cenderung
menjadi etatisme. Dan karena pembagian kerja serta pembagian
hasil kerja datang dari negara (pemerintah) maka di semua
negara sosialis terbentuk sebuah kelas baru yakni birokrasi
(Suseno, 2001).
4. Kritik lain terhadap Marx bahwa teorinya tidak cukup
melihatkedepanakanbesarnyakenaikandalamkapasitasproduksi
yang terus dihasilkan oleh perkembangan industri. Kenaikan ini
berarti jam kerja buruh bertambah dan menghasilkan jumlah
nilai dalam industri tersebut. Akibatnya akan ada kemungkinan
upah buruh akan semakin tinggi. Ramalan Marx bahwa kondisi
ekonomi kaum proletar yang semakin tertekan itu nampaknya
tidak terjadi bahkan kebalikannya ekonomi kaum buruh
bertambah baik.
5. Marx cenderung meremehkan fleksibilitas dan
kemampuan menyesuaikan diri dari masyarakat kapitalis
itu dalam menyelesaikan krisis serta kemampuannya untuk
bertumbuh dan berkembang seterusnya dalam jangka panjang.
Padahal kapitalisme tetap survive sampai dewasa ini bahkan
justeru sebaliknya teori Marx walaupun banyak dipakai tapi
mengalami kesulitan untuk survive.

Penutup
Teori bagaimanapun ilmiahnya bukanlah sesuatu yang
absolut dan mutlak kebenarannya. Itulah sebabnya dalam

| 49 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sepanjang sejarah teori-teori selalu silih berganti, karena setiap


teori adalah anti tesa dari teori sebelumnya. Seperti dikatakan
Hegel bahwa segala sesuatu di dunia ini mengalami dialektikanya,
demikian pun juga halnya dengan teori. Kebenaran suatu teori
juga sangat relatif, masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahannya sendiri. Persoalannya seperti halnya dengan
berbagai teori Karl Marx, meskipun mengandung sejumlah
kelemahan dan banyak ditolak, tetapi dalam beberapa hal justeru
masih cukup relevan untuk menganalisis kehidupan masyarakat
hingga kini.

| 50 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

DAFTAR PUSTAKA
Johnson. Doyle. Paul. 1986. Sociological Theory Classical
Founder and Contemporary Perspectives, Gramedia.
Jakarta.
Kuper.Adam dan Kuper. Jessica. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Veeger.M.A 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas
Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi, Gramedia. Jakarta.
Shanin. Theodore. 1990. Tani dan Masyarakat Tani, Zizi Press,
Sdn. Bhd, Selangor. Malaysia.
Beilharz Peter. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Faqih Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ruslan, Ismail. 2005. Paradigma Teori Konflik: Telaah Kritis
Teori Konflik Marx, Jurnal Refleksi, Kajian Ilmiah Ilmu
Sosial dan Kemasyarakatan, Unpad, Bandung.
Martin. Roderick. 1993. The Sociology of Power, Raja Grafindo

| 51 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Persada, Jakarta.
Sali. Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa teori dan dan Refleksi
Metodologi Kasus Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suseno. F. Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialis
Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia, Jakarta.
Muhajir Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake
Sarasin, Yogyakarta.
Pelly Usman dan Menanti. Asih. 1994. Teori-Teori Sosial
Budaya, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu
Tenaga Kependidikan, Dikti, Jakarta.
Pals. Daniel. L. 1996. Seven Theories of Religion, IRCiSod,
Yogyakarta.
Hans. Dieters. Evers. 1988, Teori Masyarakat: Sistem Peradaban
Dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.

| 52 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB III
SEJARAH KONFLIK ETNIK
DI KALIMANTAN BARAT
Pendahuluan

S
ejarah konflik antar etnik khususnya Dayak dengan
Madura di Kalimantan Barat merupakan suatu
sejarah panjang yang terus berulang dan cenderung
semakin membesar baik dilihat dari sisi kuantitas maupun
kualitasnya. Arafat (1998) misalnya menyatakan bahwa konflik
kekerasan antara etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan
Barat tersebut telah terjadi setidaknya 10 kali yakni tahun 1933,
1967, 1968, 1969, 1971, 1977, 1979, 1986, 1992, dan 1997.
Alqadrie (1999) menyatakan telah terjadi setidaknya 11 kali
konflik yakni tahun 1962, 1963, 1967, 1968, 1972, 1977, 1979,
1983, 1996, 1997 dan 1999. Sementara Petebang et all (2000)
menyatakan konflik sosial tersebut telah terjadi sebanyak 12 kali
yakni tahun 1952, 1967, 1968, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993,
1994, 1996, 1997, dan 1999.
Walaupun ketiga sumber mencatat frekuensi konflik
yang berbeda tetapi setidaknya mereka menggambarkan fakta
sekaligus fenomena yang sama yakni bahwa konflik tersebut
| 53 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

terjadi relatif sering dan selalu berulang. Dalam kurun waktu 50


tahun sampai dengan 60 tahun terakhir misalnya telah terjadi
10 sampai dengan 12 kali konflik. Konflik-konflik tersebut
semakin keras dan semakin cepat pengulangannya.
Dari sekian banyak konflik antar etnik yang terjadi di
Kalimantan Barat, konflik antara etnik Dayak dengan Maduralah
yang paling mencekam dan menakutkan, serta meninggalkan
kesan amat traumatis bagi semua pihak. Konflik-konflik yang
lain seperti antara etnik Melayu dengan Madura tidak sekeras
konflik di atas. Sementara konflik antara etnik Dayak dengan
Cina, Melayu dengan Cina dan Melayu dengan Dayak cenderung
berbau politik dan tidak sedahsyat konflik antara etnik Dayak
dengan Madura (Aditjondro, 2000).
Konflik sosial dengan kekerasan antara etnik Dayak
dengan Madura bukan saja telah menimbulkan korban harta
benda dan jiwa raga yang tak terhingga jumlahnya, tetapi juga
telah menimbulkan kesan traumatis mendalam terutama bagi
keduanya karena setiap kali terjadi kerusuhan selalu diikuti
dengan perlakuan terhadap korban yang bersifat amat sadistis,
mengerikan dan tidak manusiawi. Bahkan yang amat tragis etnik
Madura yang telah sejak lama mendiami beberapa daerah di
Kalimantan Barat, menjadi terusir dan tercerabut dari wilayah
tempat tinggalnya untuk waktu yang tidak diketahui sampai
kapan lamanya.
Peristiwa konflik yang sering terjadi dan cenderung
berulang telah menimbulkan stigma bahwa antara keduanya
memang tidak mungkin untuk disatukan. Rasa luka dan
dendam yang terpatri amat mendalam sewaktu-waktu dapat
menjadi pemicu pecahnya konflik kembali. Jika stigma seperti
ini yang dihidupkan dalam memori kehidupan bersama maka
dapat diperkirakan akan semakin sulit menyelesaikan konflik
dan membangun rekonsiliasi di antara keduanya. Karena
bukan tidak mungkin akan mengakibatkan rasa permusuhan

| 54 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berkepanjangan di antara mereka, terutama bagi keluarga
dan generasi muda yang orang tua, keluarga serta saudaranya
menjadi korban pada peristiwa konflik itu.
Konflik antar etnik yang cenderung berulang dan
pengulangannya semakin cepat dan diikuti dengan tindakan-
tindakan destruktif yang semakin besar baik terhadap harta
benda dan jiwa manusia mengindikasikan tidak tertanganinya
dengan baik peristiwa konflik pada masa-masa yang lalu. Tidak
tertanganinya secara baik konflik-konflik sebelumnya sangat
mungkin disebabkan oleh tidak diketahuinya secara tuntas akar
penyebabnya. Dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan
aparat dalam menyelesaikannya. Ketidakmampuan aparat
sendiri dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
ketrampilan mereka dalam menangani konflik, tetapi mungkin
pula memang disengaja oleh karena adanya berbagai kepentingan
lain yang tersembunyi di balik konflik tersebut. Karena tidak
terselesaikan secara baik maka potensi konfik masih tetap ada
bahkan bisa menjadi lebih besar. Dengan kata lain konflik yang
berulang menandakan kebijakan penanganan yang lalu belum
menyentuh segi hakiki dan substansial yang sesungguhnya atau
belum menyentuh akar penyebab konflik tersebut.
Konflik sosial dapat diibaratkan dengan suatu penyakit
yang menggerogoti tubuh jika tidak diobati maka dapat
mengakibatkan rusaknya seluruh jaringan tubuh sehingga
menimbulkan kematian bagi penderitanya. Agar dapat sembuh
maka mau tidak mau penyakit tersebut harus diobati dan
pengobatannya harus dengan tepat. Pengobatan yang tepat
dapat dilakukan bilamana diketahui akar atau sumber penyebab
penyakit tersebut. Selama akar atau sumber penyebabnya belum
diketahui dengan tepat mustahil penyembuhan total dapat
dilakukan. Dan selama belum tersembuhkan maka selama itu
pula penyakitnya akan tetap ada dan sewaktu-waktu dapat
menyebabkan penyakit baru atau penyakit yang lebih berat dan

| 55 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

parah, bahkan membunuh atau melumpuhkan penderitanya.


Penanganan konflik yang cenderung bersifat retorika atau
artifisial apalagi hanya untuk kebutuhan dan pemuasan sesaat
tidak mungkin dapat mengatasi konflik tersebut secara tuntas,
mendasar dan memuaskan. Selama akar-akar penyebab konflik
belum diselesaikan maka konflik setiap saat dapat terjadi bahkan
bisa lebih parah dari konflik-konflik yang sebelumnya. Setiap
penyelesaian suatu konflik yang tidak tuntas akan memberikan
implikasi lanjutan seperti semakin sulitnya menyelesaikan
konflik kalau konflik timbul kembali di kemudian hari. Hal ini
dapat dimengerti karena permasalahannya menjadi berlapis-
lapis dan bertumpuk sehingga tidak mudah mengurainya. Pada
sisi lain para pelaku semakin mendendam dan berpengalaman
sehingga persoalan konflik menimbulkan dendam kesumat
berkepanjangan dan tak berkesudahan pada kedua belah pihak.
Karena itu selama penyebab atau akar-akar konflik belum
diselesaikan secara tuntas maka konflik dapat muncul lagi
sewaktu-waktu. Penyelesaian yang tidak tuntas dapat menjadi
bom waktu di kemudian hari yang dapat meledak lebih dahsyat
lagi.
Pihak pemerintah termasuk aparat keamanan menduga
terjadinya konflik sosial dengan kekerasan antar etnik tersebut
disebabkan oleh adanya dalang yang menggunakan isu SARA
sebagai pemicunya. Tujuannya adalah untuk mengacaukan
stabilitas politik nasional dan mengganggu dinamika
pembangunan. Para pengamat politik dan ekonomi menilai
bahwa kesenjangan ekonomi dan sosial yang telah lama
terpendam, khususnya di lapisan masyarakat bawah yang menjadi
akar masalahnya. Sebagian pengamat lain memperkirakan
kerusuhan sosial tersebut sebagai reaksi emosional masyarakat
terhadap berbagai penyimpangan birokrasi pemerintahan
seperti ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan, korupsi,
nepotisme, kolusi dan ketidakadilan hukum. Pada bagian yang

| 56 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
lain ada juga yang menduga penyebabnya adalah kesenjangan
budaya dan stereotif negatif yang berkembang di antara etnis-
etnis tersebut.
Kalimantan Barat sebagai propinsi ke empat terbesar yakni
setelah Papua Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah,
memiliki kemajemukan penduduk di dalamnya. Kemajemukkan
tersebut merupakan fenomena yang menarik jika di dalamnya
tercipta integrasi. Secara horizontal kemajemukan tersebut
ditandai dengan kemajemukan etnik, agama, budaya, asal-usul
daerah dan lainnya. Hampir semua etnik di Nusantara dapat
dijumpai di Kalimantan Barat, mereka misalnya orang Aceh,
Batak, Minang, Palembang, Sunda, Jawa, Bali, Madura, Flores,
Banjar, Toraja, Bugis, Makasar, Buton, Manado, Ambon, Papua,
Melayu dan Dayak sendiri sebagai penduduk asli dan mayoritas.
Dari hasil sensus penduduk tahun 2000 diketahui etnik Dayak
(42%), Melayu (39%), Cina (12%), dan selebihnya (7%) etnik-
etnik lainnya, termasuk di dalamnya etnik Madura 1,8%).
Kemajemukan tersebut juga diikuti dengan berbagai
etnis lainnya seperti Tionghoa (Cina), Arab, India, dan asing
lainnya, yang walaupun jumlahnya sedikit tetapi relatif masih
memiliki tatanan sosial dan budaya yang masih kuat. Secara
vertikal kemajemukan di Kalimantan Barat ditandai dengan
perbedaan-perbedaan antara yang kaya dan miskin, yang
memiliki kekuasaan dan yang tidak, yang berpendidikan tinggi
dan yang rendah serta sejumlah kesenjangan dalam bidang
lainnya. Ironisnya mereka yang berada pada strata tinggi dalam
kekuasaan, kekayaan, pendidikan dan lainnya adalah kelompok
minoritas etnik pendatang.
Etnis Dayak sebagai penduduk asli dan mayoritas
umumnya termarginalisasi dalam segala bidang seperti politik,
pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Sementara
etnis-etnis pendatang yang minoritas justeru menguasai aset-
aset strategis tersebut. Marginalisasi tersebut dialami sejak lama

| 57 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

dari sejak jaman penjajahan hingga saat merdeka bahkan sampai


saat ini. Jiwa dan semangat reformasi yang berhembus di
tanah air tampaknya telah mendorong kebangkitan etnis Dayak
dalam bidang politik dua tiga tahun terakhir ini. Kebangkitan
itu sendiri merupakan hasil perjuangan panjang yang berliku-
liku dan melelahkan. Namun demikian kebangkitan tersebut
ternyata telah menimbulkan kekuatiran dan ketakutan sendiri
dari berbagai pihak yang hak-hak privelegenya terancam. Mereka
yang berkuasa selama ini tidak ingin hak-hak privelege dan aset-
aset strategis yang telah dinikmatinya sejak lama terganggu.
Dalam kurun waktu yang panjang interaksi sosial antar
etnik di Kalimantan Barat memperlihatkan keserasian karena
adanya prinsip saling persesuaian antara satu dengan lainnya.
Hubungan antar kelompok etnik tersebut cenderung bersifat
segmental. Orang Dayak dan Melayu mempunyai pertalian
hubungan yang baik dan saling menganggap saudara. Effendy
(2000), melukiskan pertalian hubungan tersebut dengan
ungkapan “orang Melayu menganggap orang Dayak sebagai
saudara tua. Bagi orang Melayu walaupun usianya lebih tua
akan memanggil orang Dayak yang walaupun usianya muda
dengan sebutan abang.” Kekecualian tampak dengan orang
Madura yang berhubungan dengan orang Dayak dan Melayu.
Berbagai sumber sebagaimana dikemukakan di atas menjelaskan
bahwa hubungan sosial orang Madura dengan orang Dayak dan
Melayu selama enam puluh tahun terakhir diwarnai dengan
konflik sosial sebanyak 12 kali, tidak termasuk dengan konflik
sosial sejenis yang terjadi di Kalimantan Tengah dan lainnya.
Kontak-kontak antara orang Dayak dengan Madura
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari di tempat-tempat
pertemuan umum. Interaksi yang tampaknya berlangsung tanpa
masalah memberikan kesan seakan kualitas kontak umum ini baik
dan orang luar menilai etnik-etnik tersebut saling memelihara
pertalian sosial dan saling mengembangkan toleransi. Namun

| 58 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
demikian kontak sosial tersebut dapat segera tertutup dan
komunikasi yang dibangun pada masa yang lalu tersebut tidak
dapat memberikan informasi yang cukup apabila masing-masing
mereka menginterpretasikan sebuah kasus tertentu dari sudut
identitas etniknya. Pada saat tertentu yang sangat kondisional,
interaksi sosial antar etnik dapat segera kembali berubah dari
kawan menjadi lawan.
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas tampaknya
konflik sosial antara etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan
Barat disebabkan oleh adanya sinergi dari banyak variabel.
Variabel-variabel tersebut misalnya variabel suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA), variabel sosial politik yang tampak
dalam bentuk kuatnya dominasi kelompok tertentu, diskriminasi
dan rekayasa dalam mempertahankan kekuasaan kelompok
dominan, variabel sosial-ekonomi dalam bentuk kesenjangan
dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan penghasilan, variabel
sosial budaya dalam bentuk perbedaan sistem nilai budaya
dan orientasi nilai budaya, variabel pemerintahan dalam
bentuk perlakuan ketidak adilan dalam penerapan hukum,
pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang
cenderung menguntungkan pendatang dan meminggirkan
penduduk asli, dan ketidakmampuan menyelesaikan konflik-
konflik sebelumnya, serta variabel perilaku sosial dalam
bentuk ketidakmampuan etnik pendatang tertentu beradaptasi
dengan adat istiadat budaya masyarakat setempat, kebiasaan
menggunakan senjata tajam dalam berkelahi, sikap dendam dan
gampang melakukan pembunuhan jika terjadi perselisihan.
Hasil penelitian Tim peneliti Untan (2000) menunjukkan
bahwa variabel perilaku sosial yang menyimpang dari etnis
pendatang tertentu sebagai pemicu konflik, sementara variabel
lain sebagaimana dikemukakan tersebut di atas lebih bersifat
sebagai pendorong dan mengakselerasi konflik. Sementara
penelitian Suparlan et all (1999) mengindikasikan variabel

| 59 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

ketidakadilan dalam penegakkan hukum dan kesenjangan


ekonomi sebagai pemicu konflik. Kedua penelitian ini dilakukan
atas dasar permintaan PEMDA KALBAR dan dilakukan
dengan pendekatan metode kualitatif dan sampel lokasinya
hanya terbatas di daerah-daerah yang mengalami konflik di
Kalimantan Barat.

Kerangka Pemikiran Terjadinya Konflik


Konflik sosial merupakan suatu gejala universal dan
selalu ada di dalam masyarakat dimana saja dan kapan saja.
Marx dalam Dahrendorf (1986) misalnya mengatakan bahwa
sejarah umat manusia adalah sejarah konflik. Marx menekankan
bahwa konflik akan terjadi bilamana di dalam suatu masyarakat
ada sekelompok orang memiliki alat produksi dan sekelompok
lainnya tidak memiliki.
Dari pernyataannya itu sebenarnya Marx ingin
menegaskan bahwa konflik merupakan suatu gejala universal
di dalam masyarakat dan tidak ada satu pun masyarakat yang
dapat terbebas dari fakta tersebut. Karena dalam kenyataannya
di dalam masyarakat di manapun dan kapan pun selalu ada
kelompok yang memiliki alat produksi dan ada yang tidak
memiliki. Selama kondisi demikian ada dalam masyarakat
maka selama itu pula konflik dapat terjadi di dalamnya.
Namun demikian walaupun konflik tidak dapat dihilangkan ia
seharusnya dapat dicegah atau dikurangi dan diatasi agar tidak
semakin meluas dan mendalam serta menimbulkan kerugian
dalam bentuk harta benda dan nyawa yang tidak diinginkan.
Dengan melakukan koreksi terhadap teori konflik Marx,
Weber berusaha menyempurnakan dengan mengemukakan
bahwa konflik dapat terjadi tidak hanya dalam bidang
kepemilikan antara yang memiliki dengan yang tidak memiliki
(ekonomi) tetapi dapat lebih jauh dari itu yakni antara yang
memiliki kekuasaan dengan yang tidak (politik), dan antara yang

| 60 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
memiliki status sosial tinggi dan yang tidak (sosial budaya).
Berpijak dari pemikiran Weber tersebut, Dahrendorf (1986)
mengembangkan teori konflik yang lebih luas. Menurutnya
konflik sosial dapat terjadi dalam segala aspek kehidupan
masyarakat yang dilihatnya sebagai assosiasi atau organisasi
sosial. Karena organisasi sosial menyajikan pendistribusian
kekuatan sosial (power) kepada warganya secara tidak merata
maka terjadi pemilikkan kekuatan sosial yang tidak seimbang,
ada yang memiliki lebih dan ada yang kurang. Karena organisasi
itu juga membatasi berbagai tindakan manusia yang dilakukan
oleh mereka yang memiliki kekuatan sosial maka kelompok yang
tidak memiliki yang selalu dibatasi tindakannya akan melakukan
konflik terhadap yang memiliki kekuatan sosial tersebut. Oleh
sebab itu Dahrendorf menggambarkan konflik sebagai sesuatu
yang endemik atau yang selalu hidup dalam kehidupan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Walaupun ketiga ahli tersebut melihat konflik sosial
dalam dimensi yang berbeda tetapi pada dasarnya mereka
menekankan substansi yang sama yakni konflik sosial di
dalam masyarakat dapat terjadi bilamana di dalamnya terdapat
ketimpangan penguasaan dan pendistribusian aset-aset strategis.
Jika Marx menyebutnya sebagai ketimpangan dalam pemilikan
alat produksi (dimensi ekonomi), Weber menamakannya
ketimpangan dalam penguasaan aset-aset ekonomi, kekuasaan
dan prestise (dimensi ekonomi, politik dan sosial budaya), maka
Dahrendorf merincinya dalam ketimpangan pendistribusian
kekuatan dalam setiap assosiasi atau organisasi baik di bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Sementara itu Kluckhohn dan Strodtbeck (1961),
Koentjaraningrat (1985) dan Suparlan (1999) mengemukakan
hal yang sama yakni faktor perbedaan-perbedaan budaya yang
tercermin dalam perbedaan-perbedaan sistem nilai budaya dan
sistem orientasi budaya suatu masyarakat potensial menimbulkan

| 61 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

konflik sosial. Perbedaan-perbedaan etnik tidak akan menjadi


masalah selama perbedaan tersebut tidak diikuti oleh perbedaan
yang tajam dalam sistem nilai dan orientasi budaya. Perbedaan
sistem nilai dan orientasi budaya inilah yang selanjutnya muncul
dalam setiap sikap, mental, perilaku dan perbuatan anggota atau
masyarakat etnik tertentu yang bertentangan dengan kelompok
etnik lainnya.
Menurut Doecet (tt) suatu konflik dapat muncul oleh
satu sebab atau berbagai sebab yang tidak saling berhubungan.
Namun kerapkali konflik ditimbulkan oleh sebab-sebab yang
saling bertumpang tindih. Sebab-sebab konflik tersebut oleh
Doecet diidentifikasikan bersumber pada (1) sumber daya dan
keinginan (seperti konflik atas simpanan minyak, perbatasan, hak
atas tanah dan lain-lain), (2) kepemerintahan (seperti legitimasi
politik, hak memilih, strategi pembangunan dsb), (3) idiologi
dan agama (seperti antara kapitalisme dengan komunisme,
Islam dengan Kristen dsb), dan (4) identitas (seperti konflik
antar etnik).
Lebih jauh dikemukakan bahwa sebab-sebab konflik
mengakibatkan berbagai macam bentuk konflik dengan
kekerasan seperti (1) perlawanan bersenjata terhadap negara
(armed resistance to the state), (2) tekanan oleh nagara (repression
by the state), (3) kekerasan etnik (communal or ethnic violence),
(4) target kekerasan (rasial, seksual, politik dsb), (5) hubungan
kekuasaan (power relation).
Sebelum terekspresikan dalam bentuk kekerasan, konflik
berkembang melalui beberapa tahap yakni (1) dormansi
(hidden sleep), (2) emergence (muncul konfrontasi), (3) meluas
(widening), (4) reaksi (escalation reaction), dan (5) keluaran dan
dampaknya (outcomes). Tahap tersembuny biasa juga disebut
tahap stabilitas, ketidakseimbangan, reaksi kekecewaan yang
sangat keras dan penyiksaan terhadap hak-hak dasar (abuse of
basic rights).

| 62 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Ledakkan dari konflik dengan kekerasan didorong oleh
kondisi yang cukup parah, dengan adanya api penyulut (spark),
dan sesuatu yang dapat memperbesar dan memperluasnya, yang
biasa disebut bensin (fuel). Di samping itu munculnya konflik
dengan kekerasan didorong oleh adanya sejumlah perilaku
seperti (1) persepsi yang keliru tentang sesuatu, (2) stereotif,
(3) demonstrasi, (4) provokasi, (5) pernyataan-pernyataan
yang bersifat menghukum, (6) koersi, (7) mobilisasi massa, (8)
pencerminan citra diri, dan (9) pemenuhan kebutuhan di masa
depan.
Selanjutnya Suseno (1992) mengatakan bahwa keberadaan
konflik yang selalu menyatu dengan keberadaan masyarakat
disebabkan konflik bersumber pada interaksi sosial. Oleh
sebab itu adanya konflik bukan merupakan kenyataan empirik
melainkan kenyataan esensial. Interaksi sosial dapat dilihat
sebagai tindakan-tindakan yang ditujukan oleh dan di antara dua
orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi antar
etnik maka tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
interaksi antar identitas etnik.
Identitas etnik adalah sebuah nilai kemasyarakatan
yang dipaksakan begitu saja untuk diterimakan kepada para
pendukung kebudayaan pada masa-masa formatif dari usia
mereka. Oleh karena itu identitas etnik bersifat askriftif sebab
dengan identitas seseorang diklasifikasikan atas identitasnya
yang paling umum dan mendasar yaitu berdasarkan atas tempat
atau asalnya (Barth, 1969).
Dalam pada itu tiap-tiap kelompok etnik membentuk dan
mengembangkan budaya yang berbeda. Perbedaan ini terbentuk
akibat perbedaan faktor ekologi setempat yang menyebabkan
berkembangnya kondisi adaptasi terhadap lingkungan masing-
masing. Kondisi semacam ini telah mengantarkan lahirnya
berbagai bangsa yang berbeda-beda di dunia dan tiap bangsa
atau etnis dengan budaya sendiri dan membentuk masyarakatnya

| 63 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sendiri.
Dalam satu wilayah yang masyarakatnya secara etnik
majemuk, hubungan antar etnis yang dinamis terlihat pada
proses penyatuan dan alkulturasi berbagai kelompok budaya
dan sosial pada pembentukkan identitas budaya baru. Sejarah
memperlihatkan bahwa penyesuaian satu kelompok dengan
kelompok lain yang memiliki cara hidup, struktur sosial dan
budaya yang berbeda-beda selalu merupakan masalah.
Hambatan penyatuan bersumber dari identitas etnik itu
sendiri karena sebagai kesatuan sosial ia telah memiliki sistim
nilai masing-masing, sehingga anggota kelompok sebuah
etnik cenderung kurang memiliki loyalitas terhadap tata nilai
budaya majemuk dalam suatu wilayah. Sebaliknya terdapat
kecenderungan untuk memurnikan nilai budaya standar
masing-masing (Belshaw, 1978) sehingga mudah menjurus pada
ikatan-ikatan primordial (Geertz, 1981). Titik pusat primordial
pada umumnya berkisar pada hubungan darah, kesukuan, ras,
bahasa, daerah (teritorial), agama dan kebiasaan.
Kelompok primordial akan menciptakan kesetiaan dan
solidaritas sesama anggota kelompok yang amat kuat sehingga
dapat disebut sebagai fanatisme. Solidaritas kelompok bersumber
pada solidaritas atau kesetiaan pada keluarganya yang tumbuh
dengan sendirinya tanpa harus direkayasa. Oleh sebab itu
kesetiaan kepada kelompok terbentuk dalam diri setiap orang
secara alami. Bersamaan dengan terbentuknya ikatan-ikatan
primordial muncullah fanatisme terhadap nilai-nilai dan norma-
norma budaya etnik sebagai acuan perilaku yang apabila tidak
terakomodasi oleh nilai-nilai dan norma-norma budaya etnis lain
dapat menimbulkan kekacauan sosial. Dengan kata lain dalam
proses sosial setiap tingkah laku seseorang dinilai berdasarkan
standar nilai yang berlaku untuk kelompok etniknya. Dengan
demikian batas-batas etnik di antara kelompok-kelompok
etnik semakin jelas dan cenderung untuk tetap dipertahankan

| 64 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
oleh adanya seperangkat ciri-ciri kebudayaan yang tampak.
Dalam rumusan bahasa yang agak berbeda E.M. Bruner (1974)
menyatakan bahwa pembauran akan sulit dilakukan apabila
dalam suatu wilayah tidak terdapat budaya dominan yang
mampu sebagai perekat budaya majemuk.
Dalam konteks konflik sosial dengan kekerasan antara
etnik Dayak dengan Madura di kalimantan Barat, hal ini
membuktikan bahwa upaya penggalangan Bhinneka Tunggal
Ika belum sampai pada bentuk senyatanya. Asumsi demikian
membuahkan pertanyaan bagaimanakah bentuk kategori dan
kesenjangan yang ada antara etnik Dayak dengan Madura di
Kalimantan Barat? Apakah bentuk kategori dan kesenjangan
antara kedua etnik tersebut terdapat juga dengan etnik lainnya?
Untuk memahaminya harus dilihat tanda atau sifat kriteria yang
tegas terhadap ciri-ciri etnik Dayak dengan Madura dalam lingkup
ethnohistory, agama, adat istiadat, kelembagaan dan organisasi
sosial lainnya yang hidup di dalam masyarakatnya. Bagaimana
dan dalam kondisi apa karakteristik yang berhubungan dengan
identitas etnik itu dipertahankan? Di samping mengidentifikasi
tanda-tanda atau sifat-sifat kriteria yang tegas terhadap ciri-ciri
etnik Dayak dan Madura, dimensi alternatif lain yang bertumpu
pada faktor-faktor politik, ekonomi dan lainnya juga perlu
dirumuskan.
Kenyataan pada masa prakolonial, nusantara ini tidak
pernah dipersatukan dalam arti politik maupun kultural,
walaupun terdapat jaringan perdagangan antar etnik. Kurangnya
komunikasi antar etnik mungkin merupakan akar tumbuhnya
regionalisme, atau sikap kedaerahan (etnisitas). Sebagai catatan
kalaupun ada unsur etnisitas sebagaimana terungkap dalam
kasus konflik antara etnik Dayak dengan Madura tidaklah
identik dengan rasialisme apalagi dengan separatisme. Masalah
konflik sosial antara kedua etnik ini lebih merupakan suatu
kenyataan sosiologis berupa akumulasi rasa tidak puas yang

| 65 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

telah lama dirasakan terutama terhadap berbagai kebijakan


pembangunan yang dirasakan tidak menguntungkan khususnya
bagi masyarakat lapisan bawah (grass root). Kebijakan-
kebijakan pembangunan tersebut dipandang dan dirasakan lebih
menguntungkan penduduk pendatang dari luar Kalimantan
Barat. Dengan kata lain dapat diformulasikan bahwa perebutan
sumber daya, khususnya sumber-sumber ekonomi dan politik
yang langka akan menimbulkan prasangka yang seringkali
diaktifkan untuk memberikan gambaran atau stereotif negatif
terhadap seseorang atau kelompok yang dianggapnya sebagai
lawan.
Bentuk-bentuk prasangka atau stereotif dari seseorang
atau golongan terhadap orang atau golongan lain pada umumnya
merupakan warisan pengalaman dalam proses sosial. Pengalaman
itu kemudian menjadi satu sistem pengetahuan sebagai pedoman
berperilaku dengan kelompok lain. Internalisasi prasangka atau
stereotif tersebut akan semakin kuat apabila kemudian muncul
prasangka terhadap golongan lain yang dianggap membantu
golongan yang memang sudah tidak disukainya. Pertanyaan
yang harus dicari jawabannya adalah apakah prasangka atau
stereotif di kalangan para pelaku konflik tersebut merupakan
pengalaman hidup mereka ataukah hanya sekedar merupakan
pengetahuan yang ditransformasikan oleh siapa saja yang
dianggap berpengaruh atau sebagai tokoh panutan?
Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan di segala
bidang kehidupan yang kurang mengakomodasikan kepentingan
masyarakat lokal cenderung akan menawarkan berbagai variasi
prasangka negatif terutama dari kelompok yang tidak mampu
berperan. Hadirnya kegiatan ekonomi besar yang padat modal
dengan karakteristik eksploitatif di daerah-daerah cenderung
selalu menekan perekonomian rakyat yang tradisional dan
mengabaikan kepentingan penduduk setempat (Robinson,
1988, Smith 1987, dan Hansen 1991). Kelompok yang tertinggal

| 66 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berada pada posisi yang tidak menyenangkan dan terdorong
untuk membentuk kelompok yang memperjuangkan berbagai
idealisme. Pada saat suatu kelompok ingin memperbaiki
statusnya dan ingin lebih mengutamakan cara hidupnya sendiri,
maka kelompok tersebut akan mulai menghadapi masalah
dengan kelompok lain di sekitarnya.

Sejarah Konflik Antar Etnik di Kalimantan Barat


1. Konflik Melayu dengan Tionghoa
Petebang et all (2000), mencatat konflik Melayu dengan
Tionghoa bermula pada waktu Sultan Kerajaan Melayu Sambas
dan Mempawah mendatangkan orang-orang Tionghoa dari
daratan Cina pada tahun 1745. Mereka didatangkan untuk
dipekerjakan pada sentra-sentra pertambangan emas, yakni
Monterado dan Budok di Kabupaten Sambas serta Mandor
di Kabupaten Pontianak. Pada saat populasi orang Tionghoa
mencapai jumlah ribuan orang mereka kemudian membentuk
kongsi-kongsi (semacam group perusahaan) pertambangan
emas. Lama kelamaan kongsi ini semakin berkuasa. Pada
tahun 1770 kongsi Monterado dan Budok melepaskan diri dari
Kesultanan Sambas, diikuti pemisahan kongsi Mandor dari
Kesultanan Mempawah Kongsi-kongsi tersebut setelah besar
dan kuat tidak mau lagi membayar upeti pada Raja sambas
dan Mempawah. Peperangan antara kongsi dengan Kerajaan
Sambas dan Mempawah pun terjadi.
Pada tahun 1850 terjadi lagi kerusuhan dan pemberontakan
kongsi terhadap Kerajaan Sambas. Pada pemerontakan ini
banyak korban berjatuhan. Orang-orang Dayak yang diminta
bantuan oleh Kesultanan Sambas tidak mau membantu.
Kerajaan Sambas hampir jatuh dan direbut pemberontak jika
tidak dibantu oleh Belanda.
Oleh banyak sosiolog dan antropolog serta pengamat,
konflik antara etnik Melayu dengan Tionghoa ini dinilai

| 67 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bernuansa politik yakni antara kerajaan Sambas dan Mempawah


dengan kongsi Tionghoa. Karena itu bukan merupakan konflik
murni antara etnik Melayu dengan Tionghoa.

2. Konflik Etnik Dayak dengan Tionghoa


Konflik antara etnik Dayak dengan Tionghoa pertama kali
terjadi pada tahun 1770 – 1790. Konflik ini sendiri sebenarnya
antara Kongsi orang Tionghoa dengan Kerajaan Sambas
dan Mempawah. Karena kerajaan Sambas dan Mempawah
menggunakan orang Dayak sebagai pengaman kongsi maka
pada saat itu banyak orang Dayak yang terbunuh. Pada tahun
1830 pecah perang Sungkung yakni antara orang Dayak
Sungkung yang diorganisir Kerajaan Sambas dengan kongsi-
kongsi Tionghoa. Dalam perang ini kongsi-kongsi Tionghoa
yang telah terorganisir dengan baik kembali memenangkan
peperangan. Kongsi-kongsi Tionghoa tersebut tidak hanya
memberontak terhadap kerajaan Sambas dan Mempawah tetapi
juga terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1819
kongsi-kongsi yang ada di Monterado dan Mandor melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pada tahun 1967 sejarah kelam konflik antara orang Dayak
dengan Tionghoa kembali terulang. Pada tahun tersebut terjadi
pengusiran besar-besaran orang Cina di daerah Kabupaten
Sambas, Pontianak, Sanggau dan Sintang. Berdasarkan catatan
sekitar 55.521 orang Tionghoa yang dipaksa meninggalkan
daerah pedalaman.
Menurut beberapa ahli konflik antara orang Dayak
dengan Tionghoa ini tidak murni sebagai konflik antar etnis,
tetapi konflik berbau politis. Jika konflik pada abad ke 19 terjadi
karena orang Dayak dipakai oleh kerajaan Melayu Sambas dan
Mempawah untuk melawan pemberontak kongsi, maka pada
abad 20 konflik lebih dikarenakan pemerintah orde baru dan
militer melakukan pembenturan di antara keduanya.

| 68 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Aditjondro dalam Edi Petebang et all (2000), melukiskan
konflik antara orang Dayak dengan Tionghoa tersebut bermula
dari tuduhan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang
Tionghoa di Kalimantan Barat sebagai pendukung PGRS-
Paraku yakni suatu organisasi Pasukan Gerilya Rakyat Serawak
dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara yang berhaluan komunis.
Fakta yang sebenarnya menurut George Junus Aditjondro
bahwa orang-orang Tionghoa yang sebagian adalah mahasiswa
dari Semenajung Malaya merupakan kelompok yang dimobilisir
Soekarno untuk melawan kekuatan Nekolim Inggris di Serawak
dan Brunai (Kalimantan Utara).
Pada saat itu pemerintah orde baru melalui militer ingin
melibatkan orang Dayak untuk mengusir warga Tionghoa
yang mendukung politik Soekarno. Upaya militer Indonesia
bekerjasama dengan militer Malaysia untuk menjepit
perlawanan rakyat Kalimantan Utara dengan menuduhnya
sebagai kekuatan komunis gagal total. Mereka lantas mencoba
membenturkan warga Tionghoa dan Dayak tapi juga gagal.
Menurut Aditjiondro, militer kemudian membunuh dua orang
Dayak dan menyatakan kepada warga Dayak bahwa kedua orang
itu adalah korban pembunuhan oleh orang Tionghoa. Melalui
cara ini militer berhasil mengundang orang Dayak melakukan
upacara mangkuk merah (suatu simbol magis untuk solidaritas
orang Dayak dalam berperang melawan musuh).

3. Konflik Madura dengan Dayak


Konflik etnik yang paling sering terjadi adalah konflik
antara etnik Dayak dengan madura. Tercatat kurang lebih 12
kali konflik sejak tahun 1950 sampai dengan 1999, yakni:
a. Pada tahun 1952, terjadi kasus pencurian bubu milik Pung
Jin, warga Dayak yang dilakukan oleh Congken warga
Madura, yang mengakibatkan perkelahian antar suku.
b. Pada tahun 1967, kerusuhan dipicu oleh kejadian

| 69 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

pembunuhan terhadap orang tua Camat Toho, Kabupaten


Pontianak (Dayak) yang dilakukan oleh oknum Madura saat
bertani ikut serta di dalamnya.
c. Pada tahun 1968, kerusuhan dipicu oleh kejadian
pembunuhan terhadap Camat Sungai Pinyuh Kabupaten
Pontianak bernama Sani (Dayak) yang dilakukan oleh seorang
oknum Madura di Anjungan lantara menolak melayani
pengurusan surat keterangan tanah pada hari Minggu. Camat
Sani menolak secara halus karena ingin ke gereja.
d. Pada tahun 1976, kerusuhan dipicu oleh pembunuhan
seorang penduduk bernama Cangkeh alias Caokeh (Dayak)
di Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak yang dilakukan
seorang oknum Madura. Oknum Madura ini mengambil
rumput di tanah milik Caokeh tanpa ijin. Karena ditegur
oknum Madura tersebut tersinggung lalu membunuh.
e. Pada tahun 1977, kerusuhan dipicu oleh kejadian
pembunuhan terhadap seorang anggota POLRI bernama
Robert Lanceng (Dayak) di Singkawang Kabupaten Sambas
yang dilakukan oleh oknum Madura saat bertani di sawah.
Korban sebelumnya menegur adik perempuannya yang
keluar rumah pada malam hari bersama seorang pemuda
Madura yang bernama Maskat.
f. Pada tahun 1979, kerusuhan dipicu oleh pembunuhan
terhadap Sidik (Dayak) di Pak Kucing Nyarumkop yang
dilakukan seorang warga Madura saat bertani di sawah. Pada
saat itu korban menegur petani Madura bernama Aswadin
yang saat itu mengambil rumput makanan ternak di tanah
miliknya tanpa ijin. Pada peristiwa ini terjadi bentrokan antar
etnis Dayak dengan Madura yang menelan korban jiwa dalam
jumlah yang besar. Pada saat itu dilaksanakan perdamaian
yang ditandai dengan dibangunnya Monumen Perdamaian di
Samalantan Kabupaten Sambas.
g. Pada tahun 1983, kerusuhan dipicu oleh kejadian

| 70 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pembunuhan seorang warga Dayak bernama Djaelani oleh
warga Madura bernama Dul Arif di Sungai Enau Kecamatan
Sungai Ambawang karena masalah tanah.
h. Pada tahun 1993, kerusuhan dipicu oleh terjadinya perkelahian
pemuda di Kotamadia Pontianak yang mengakibatkan
terjadinya perusakan dan pembakaran gereja Paroki Maria
Ratu Pencinta Damai dan persekolahan Kristen Abdi Agape
di Pontianak.
i. Pada tahun 1994, kerusuhan dipicu oleh kasus penusukan
terhadap seorang warga Dayak Pesaguan oleh pekerja jalan
warga Madura di Tumbang Titi Kabupaten Ketapang.
j. Pada tahun 1996, kerusuhan dipicu oleh terjadinya perkelahian
antar pemuda di Sanggau Ledo Kabupaten Sambas. Saat itu
dua orang pemuda Dayak bernama Yakundus bin Pagau
dan Akim ditusuk oleh oknum Madura bernama Bakri dan
empat orang kawannya. Akibat peristiwa tersebut kerusuhan
pecah dengan korban jiwa dan harta yang sangat dahsyat.
k. Pada tahun 1997, kerusuhan Sanggau Ledo yang sudah
mulai mereda meledak lagi setelah terjadi penyerangan massa
Madura terhadap komplek persekolahan SLTP-SMU Asisi di
Siantan Pontianak. Komplek ini milik warga Dayak. Diduga
penyerangan ini dilakukan sebagai balas dendan Madura
terhadap Dayak akibat terusirnya Madura di pedalaman
pada waktu peristiwa kerusuhan Sanggau Ledo 1996. Pada
waktu penyerangan tersebut sempat melukai dua gadi Dayak
Jangkang asal Kabupaten Sanggau. Penyerangan ini disusul
dengan pembunuhan Nyangkot (Dayak Kabupaten Sambas)
oleh Madura di Peniraman Kabupaten Pontianak. Akibatnya
konflik yang lebih besar tidak terbendung dan dimana-mana
terjadi pemburuan terhadap etnis Madura tanpa terkecuali.
l. Pada tahun 1999, berbarengan dengan konflik Melayu
dengan Madura terjadi pula pembunuhan oknum Dayak
oleh Madura di Pemangkat Kabupaten Sambas. Akibatnya

| 71 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

orang Dayak marah kembali dan saat itu orang Madura yang
sedang konflik dengan Melayu diserang dari berbagai arah
oleh Dayak dan Melayu.

4. Konflik Melayu dengan Madura


Konflik Melayu dengan Madura sebenarnya terjadi
jauh sebelum konflik Dayak dengan Madura. Pada tahun 1933
konflik Melayu dengan Madura terjadi di Sukadana Kabupaten
Ketapang. Saat itu orang-orang Madura yang dipekerjakan
melakukan perlawanan terhadap orang Melayu. Pemicu konflik
ini dikarenakan orang-orang Madura yang bekerja sebagai kuli
pada orang Melayu mendapat upah yang sangat murah dan
sering tidak dibayarkan.
Konflik terulang kembali pada tahun 1999 yang bermula
dari konflik pribadi yang kemudian menyeret kelompok.
Walaupun konflik yang bernuansa etnik Melayu dan Madura
tampaknya hanya terjadi sebanyak dua kali yakni pada tahun
1933 dan 1999, sesungguhnya tindak kekerasan yang terjadi di
antara keduanya sudah berulang kali. Hasil penelitian Bahari et
all (2000) menunjukkan konflik terpendam antara kedua etnis
ini ditunjukkan seringnya tindak kekerasan antara keduanya
seperti :
a. Pada tahun 1955 di Desa Sui Dungun Kecamatan Tebas
Kabupaten Sambas orang Melayu bernama Apsah binti
Amjah dirampok oleh orang Madura dan mengakibatkan
tewasnya suami Apsah.
b. Pada tahun 1960 di Desa Parit Setia Kecamatan Jawai
Kabupaten sambas H. Sahbudin orang Melayu dirampok
oleh Marju orang Madura.
c. Pada tahun 1960 di desa Semperiuk Kecamatan Tebas
Kabupaten Sambas seorang Melayu bernama Manaf Ikram
diserang oleh oknum Madura.
d. Pada tahun 1961 di tebas kabupaten Sambas, Saeran Saie

| 72 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menegur seorang Madura yang mengambil jambunya.
Pelaku pulang kemudian membawa sekelompok orang
Madura menyerang Saeran. Tawuran massal dapat dicegah
oleh oknum polisi perintis waktu itu, namun orang Madura
mengeluarkan ancaman terhadap orang Melayu: “Awas
kalian suku Melayu”.
e. Pada tahun 1962-1963, terjadi perampokan di rumah Simas
H. Husin dan Saleh H. Husin oleh oknum Madura bernama
Simin.
f. Pada tahun 1964 di Desa Sui Nyirih Ha. Sahad dan Rabuddin
orang Melayu dirampok oleh orang Madura.
g. Pada tahun 1966, di Desa Sarang Burung Nilam, Mahwi
seorang Melayu guru mengaji dibunuh oleh orang-orang
Madura yang dikepalai Askan.
h. Pada tahun 1966, di Desa Sarilaba, H. Saleh seorang Melayu
dirampok oleh kelompok Simin oknum Madura.
i. Pada tahun 1974 di Desa Jawai Laut, seorang anggota Kamra,
Melayu dibunuh oleh Kasran seorang Madura.
j. Pada tahun 1974, di Desa Matang Tarap, Munziri seorang
Sekde Melayu dibunuh oleh dua orang Madura dengan
mengendarai sepeda motor.
k. Pada tahun 1974, di Desa Matang Tarap, kakak kandung
Munziri, seorang wanita melayu dibunuh oleh seorang wanita
Madura.
l. Pada tahun 1978, di Desa Sarang Burung Kuala, Nasir seorang
tokoh Melayu berusaha mendamaikan persengketaan para
pemain sepak bola. Namun seorang Madura menyabetkan
senjata tajamnya sehingga daun telinga Nasir putus.
m. Pada tahun 1980, di Desa Lambau, Pelimpaan, Sutih Melayu
sepulang dari menjumpai isterinya di Lambau, ditikam oleh
Atton Sadul oknum Madura. Korban meninggal dunia.
n. Pada tahun 1980, Salim Abdullah seorang Melayu dirampok
oleh orang-orang Madura.

| 73 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

o. Pada tahun 1985, di Desa Matang Tarap, Andi seorang


pelajar Melayu dibunuh oleh orang Madura.
p. Pada tahun 1996, di Desa Semperiuk B, Sartono Manaf,
anggota TNI Melayu dibunuh oleh sekelompok orang
Madura.
q. Pada tahun 1997, di Desa Lambau Pelimpaan, seorang
Melayu yang kambingnya dilanggar oleh seorang Madura
dipaksa harus membayar Rp 300.000,- oleh yang melanggar.
r. Pada tahun 1998 di Desa Sarang Burung Usrat, dalam
pertandingan Sepak Bola HUT RI antara penduduk Sarang
Burung Nilam dengan Sarang Burung Usrat. Sarang Burung
Nilam yang mayoritas Madura mengancam Sarang Burung
Usrat yang mayoritas Melayu.
s. Pada tahun 1999, di Desa Parit Setia, Molyadi Safari, orang
Melayu dilanggar oleh sepeda motor milik orang Madura.
Setelah melanggar pelaku menikam korban dengan celurit.
t. Pada tahun 1999, di Desa Parit Setia, malam minggu terjadi
pencurian di rumah Ayub Tahir Melayu oleh orang Madura.
Pelaku ditangkap dan dipukuli kemudian diserahkan ke
aparat kepolisian.
u. Pada tahun 1999, di Desa Parit Setia, anak Topa seorang
Melayu mengendarai sepeda motor, dicegat oleh seorang
pemuda Madura. Surat-surat motor dan KTP diambil, dan
meminta uang tebusan Rp 500.000,- bila yang bersangkutan
menginginkan surat-suratnya kembali.
v. Pada tahun 1999, di Desa Parit Setia, bertepatan 1 Syawal
1420, pukul 15.30, kurang lebih 200 orang Madura dengan 3
pick up dan puluihan sepeda motor melakukan penyerangan
ke Parit Setia, 3 orang Melayu tewas di tengah pasar dan 2
luka-luka.
w. Pada tahun 1999, di Desa Sui Nyirih, terjadi pembacokan
atas diri Rusdi seorang Melayu oleh orang-orang Madura.

| 74 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

5. Konflik Dayak dengan Melayu


Petebang et all (2000), mengatakan bahwa kedatangan
orang Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaka ke
Kalimantan Barat telah mendesak orang Dayak masuk ke
pedalaman dan daerah-daerah hulu sungai. Orang Melayu yang
beragama Islam mengislamkan orang-orang Dayak. Dalam
banyak hal Belanda bergandengan tangan dengan Melayu
menjajah Dayak. Meski dijajah Melayu, belum pernah terjadi
pertikaian besar-besaran antara Dayak dengan Melayu di
Kalimantan Barat. Pertikaian kecil yang bersifat lokal dan hanya
melibatkan beberapa kecamatan memang pernah terjadi.
Bouman dalam Adatrechtbundels (1952) mencatat bahwa
orang Melayu Silat di Bawah Panembahan Mintjoek bergabung
dengan Melayu Selimbau dengan sekitar 2500 orang pernah
berperang dengan orang Dayak Taman. Kemudian mereka juga
menyerang orang Dayak Pekaki, Dayak Pajak dan Dayak Suhaid
yang kesemuanya ada di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan
Barat.
Beberapa konflik kecil antara Melayu dengan Dayak yang
tidak sempat terekam dalam sejarah juga pernah terjadi. Konflik
tersebut kembali meninggi setelah sejumlah warga Dayak
menggugat komposisi utusan daerah MPR RI dari Kalimantan
Barat yang didominasi orang Melayu pada era reformasi ini.
Perebutan kursi jabatan bupati di beberapa Kabupaten setelah
era reformasi ini telah diwarnai dan meningkatkan tensi
ketegangan di antara keduanya. Riak dan ketegangan pada
waktu perebutan jabatan bupati Kabupaten Pontianak, Sintang,
Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang (pecahan dari Sambas),
Ketapang dan Landak beberapa waktu lalu dapat merupakan
bukti letupan yang tersimpan selama ini di antara keduanya.
Melayu yang lebih mendominasi pada era orde baru
di berbagai sektor termasuk di pemerintahan mulai terusik,

| 75 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

terdesak dan tersaingi oleh Dayak yang termarginalisasi dan


mulai bangkit pada masa era reformasi ini. Secara perlahan
tetapi pasti sebagian besar jabatan eksekutif dan legislatif di
tingkat kabupaten mulai dikuasai oleh orang Dayak suatu hal
yang amat mustahil bisa dicapai sebelumnya. Keberhasilan
warga Dayak menduduki jabatan-jabatan bupati tersebut tidak
terlepas dengan tarik ulur urat dan otot. Beberapa ketegangan
tersebut dimanifestasikan dalam bentuk pembakaran gedung
DPRD, kantor-kantor pemerintah, perusakan kendaraan dan
sweeping oleh massa Dayak di beberapa ruas jalan dan tempat
tertentu.

Penyesuaian Budaya Sebagai Syarat Dalam Hubungan


Antar Etnik
Alqadrie (1999) mengemukakan ada tiga hal yang selalu
muncul dalam dimensi hubungan antar etnik yakni kerjasama,
konflik dan akomodasi. Bagaimana bentuk hubungan antar
etnik yang terbentuk apakah terjadi kerjasama, konflik maupun
penyesuaian kembali sangat tergantung pada dua faktor dasar
yaitu faktor budaya yang cenderung bergandengan dengan
faktor psikologis dan faktor struktural yang menyangkut faktor
ekonomi dan politik.
Faktor budaya sebagai penyebab konflik antara lain
berkaitan dengan perbedaan budaya yang terdapat pada
kelompok-kelompok etnik yang sedang mengadakan hubungan.
Perbedaan ini sulit dijembatani atau diatasi. Menurut Kluckhohn
dan Strodtbeck (1961) perbedaan-perbedaan budaya antara
satu kelompok dengan kelompok etnis lainnya dapat dilihat
antara lain dalam bentuk sistem nilai budaya (cultural value
system) dan orientasi nilai budaya (cultural value orientation).
Dalam pada itu Koentjaraningrat (1985) menjelaskan bahwa
kedua unsur budaya tersebut akan menjelma secara konkrit
dalam bentuk mentalitas dan perilaku. Mentalitas dan perilaku

| 76 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
inilah yang cenderung mempengaruhi berhasil tidaknya proses
pembangunan dari suatu kelompok atau bangsa.
Perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik masih
bersifat potensial, belum nyata dan masih abstrak. Mereka
baru menjadi nyata bila sistem nilai budaya dan orientasi nilai
budayanya menjelma ke dalam sikap, mentalitas, perilaku
dan perbuatan manusia atau masyarakat sebagai warga dari
kelompok etnik tempat mereka menjadi anggotanya. Sikap,
mentalitas, perilaku dan perbuatan dari atau yang dilakukan
oleh anggota atau masyarakat kelompok etnik tertentu yang
bertentangan dengan kelompok etnik lainnya cenderung
menimbulkan keresahan, ketidakpuasan, kekecewaan dan luka
serta kepedihan bagi kelompok etnik lainnya. Hal seperti inilah
yang potensial menciptakan pertikaian atau konflik sosial yang
menjelma dalam bentuk kekerasan atau kerusuhan dan dapat
menelan korban harta benda dan nyawa. Penyesuaian budaya
dengan budaya setempat merupakan substansi pokok dalam
membina hubungan antar etnik yang harmonis dengan prinsip
dimana bumi di pijak di situ langit di junjung.
Dalam hal kasus hubungan antar etnik di Kalimantan
Barat yang diwarnai dengan ketegangan dan konflik sosial
berulang, Suparlan (1999) mencatat ketidakmampuan etnik
pendatang Madura menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Melayu dan Dayak di sana. Etnik Madura berbeda dengan
kebanyakan etnik lainnya yang ada di sana misalnya Cina, Bugis,
dan Jawa yang mampu beradaptasi dengan budaya setempat.
Orang Cina walaupun memiliki jati diri sendiri tetapi mereka
mampu menghormati patokan-patokan aturan main yang
berlaku di tempat-tempat umum sesuai kebudayaan dominan
Melayu dan Dayak. Demikian juga orang Bugis, Jawa dan lainnya
yang relatif mampu beradaptasi menyesuaikan diri dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Orang-orang Madura yang datang ke Kalimanatan Barat

| 77 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sejak tahun 1920-an adalah buruh atau kuli pembuat jalan,


buruh tani, tukang becak, dan sopir kendaraan umum. Mereka
yang menetap di daerah pedesaan menjadi buruh tani, petani
dan pekerja serabutan. Mereka hidup mengelompok dengan
sesama yang satu kerabat atau yang berasal dari satu desa.
Pengelompokkan rumah mereka biasanya ada di sekitar rumah
seorang kiyai atau guru mengaji yang menjadi tokoh mereka.
Pemukiman ini biasanya di sekitar surau, mesjid dan madrasah.
Orang-orang Madura ini cenderung menganggap enteng atau
memandang sebelah mata dengan orang Melayu dan Dayak
di sana. Mereka cenderung hidup dalam komunitasnya sendiri
yang terpisah dari komunitas Melayu, Dayak dan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa
Madura dan berpedoman pada kebudayaan Madura. Mereka
juga mempunyai keyakinan agama Islam yang berbeda dengan
orang Melayu yang menurut keterangan adalah pengikut Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah. Orang-orang Madura memandang
orang Melayu sebagai penakut dan orang Dayak sebagai kafir.
Mereka cenderung tidak menghormati berbagai ketentuan adat
setempat dan hukum yang berlaku.
Karena orang-orang Madura cenderung hidup dalam
dunianya sendiri maka orang-orang Melayu dan Dayak tidak
mengenal orang-orang Madura sebagai orang perorang. Mereka
mengenal orang-orang Madura sebagai golongan dengan ciri-
ciri stereotifnya, yang umumnya jelek dalam pandangan orang
Melayu maupun Dayak. Karena itu ketika terjadi kerusuhan
antara orang Melayu dan dayak dengan Madura, mereka hanya
melihat orang-orang Madura berdasarkan ciri-ciri stereotifnya
tersebut. Dampak hubungan antar etnik yang didasari oleh
ciri-ciri stereotif demikian menimbulkan kurangnya hubungan
manusiawi atau kemanusiaan di antara mereka. Itulah sebabnya
tatkala konflik sosial dengan kekerasan atau kerusuhan sosial
terjadi di kalangan mereka maka jatuhnya korban baik harta

| 78 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
benda maupun nyawa sangat sulit dikendalikan.

Konflik Sosial Sebagai Fenomena Retaknya Hubungan


Antar Etnik
Suparlan (1999) menyatakan, konflik sosial dengan
kekerasan biasanya terjadi antara dua kelompok atau lebih
yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang
tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok-kelompok
yang berlawanan. Dalam konflik sosial tersebut jati diri orang
perorang yang terlibat tidak lagi diakui keberadaannya. Jati diri
orang perorang tersebut diganti oleh jati diri golongan atau
kelompok. Dengan kata lain, dalam kelompok sosial, yang
terjadi bukanlah konflik antara orang perorang dengan jati diri
masing-masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili
jati diri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang
menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal
dari stereotif yang berlaku dalam kehidupan antar golongan
yang terwakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik
sosial, tidak ada lagi tindakan memilah-milah dan menyeleksi
siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya
adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan
yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas
diri dan harta milik orang perorang dari pihak lawan merupakan
penghancuran kelompok pihak lawan.
Dalam konflik sosial dengan kekerasan disertai dengan
konflik fisik, orang dari golongan sosial atau suku bangsa lain,
yang semula dapat merupakan teman baik, akan menghapus
hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan
permusuhan, atau setidak-tidaknya menjadi hubungan
penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan,
yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan
konflik yang terjadi. Orang-orang luar yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang

| 79 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

dalam konflik fisik tersebut, bila mempunyai atribut-atribut yang


memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari pihak lawan
akan digolongkan sebagai lawan. Tanpa permisi atau meminta
penjelasan mengenai jati diri golongannya orang-orang tersebut
juga akan dihancurkan.
Dari berbagai konflik sosial yang terwujud sebagai
konflik fisik, tampaknya konflik antar etnis adalah konflik
yang tidak mudah didamaikan. Konflik yang terjadi oleh rasa
ketidakadilan, kesewenang-wenangan ataupun kekalahan,
dipahami sebagai penghancuran harga diri dan kehormatan.
Kehancuran harga diri ini selanjutnya dipahami sebagai
kehancuran eksistensi atau keberadaan etnisnya. Keberadaan
etnis adalah merupakan segalanya karena setiap orang dilahirkan
dan dibesarkan dalam lingkungan etnisnya. Dalam lingkungan
kehidupan etnisnya dia dibesarkan dan dijadikan manusia, dan
memperoleh perlindungan dari segala gangguan yang berasal
dari luar kehidupan etnisnya. Pada waktu mati dia juga akan
dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan sebagai hamba
Allah oleh para kerabat dan handai taulan yang juga sesama
warga etnisnya. Etnis merupakan acuan primordial yang utama
dan pertama dalam kehidupannya. Dalam banyak hal etnis
sama dengan dirinya sendiri. Penghinaan terhadap dirinya sama
dengan penghinaan terhadap etnisnya demikian pula sebaliknya.
Etnis mewujudkan dirinya dalam suatu masyarakat,
sebagai kumpulan individu-individu, yang pemenuhan kebutuhan
dan keteraturan hidupnya dipedomani oleh kebudayaannya.
Dengan menggunakan kebudayaannya, warga suatu etnis itu
dijadikan orang atau dimanusiakan oleh keluarga dan masyarakat
etnisnya. Dengan menggunakan kebudayaan yang berisikan
pengetahuan yang diyakini kebenarannya, warga etnis melihat
diri mereka berbeda dengan orang lain yang bukan golongan
etnisnya. Dengan mengacu pada kebudayaannya, warga suatu
etnis mengembangkan stereotif dan prasangka mengenai etnis-

| 80 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
etnis lainnya dan berbagai golongan sosial lainnya yang ada
dalam kehidupan mereka. Melalui stereotif dan prasangka ini,
batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas etnisnya dengan
etnis lainnya dan golongan lainnya menjadi jelas.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan
sistem nasional Indonesia yang mempersatukan berbagai etnis
yang semula adalah masyarakat jajahan Hindia Belanda menjadi
sebuah masyarakat negara Indonesia, kedudukan etnis berada
di bawah sistem kekuasaan nasional atau pemerintah Indonesia.
Dalam posisi yang berada di bawah kekuasaan pemerintah
Indonesia, etnis yang terwujud dalam masyarakat etnis, sadar
atau tidak sadar merasakan dominasi kekuasaan pemerintah
dalam berbagai bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang
semula adalah hak mereka menurut adat, sekarang menjadi milik
negara yang dikuasai oleh pemerintah. Demikian juga halnya
dengan wilayah hutan dan air beserta segala isinya. Berbagai
ketentuan yang semula diatur oleh adat, sekarang diatur oleh
hukum positif yang berlaku secara nasional berikut saksi-
saksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi adat yang semula
berlaku. Wilayah yang menurut adat milik mereka, sekarang
beralih menjadi wilayah bersama yang boleh dihuni oleh semua
etnis (Suparlan,1999).
Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat
manapun di dunia ini, termasuk yang terjadi di berbagai daerah
di Indonesia, biasanya dimulai oleh perebutan sumber daya
atau sumber rezeki. Bila perebutan yang terjadi berjalan sesuai
aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan terjadi
konflik sosial di antara mereka. Dalam keadaan diberlakukannya
aturan main yang tidak adil oleh satu dari dua kelompok yang
bersaing memperebutkan sumber daya atau rezeki tersebut,
konflik sosial tidak akan terwujud bilamana penegak hukum
dapat bertindak adil dan sebagai pengayom. Tetapi bila penegak
hukum tidak berlaku adil maka aturan main yang adil dan

| 81 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

beradab tidak akan dapat diberlakukan. Tidak ada yang memaksa


untuk memberlakukan aturan-aturan main tersebut. Sebaliknya
masing-masing pihak yang bermusuhan akan menggunakan
aturan-aturan mainnya sendiri yang menguntungkan mereka
dalam memenangkan konflik yang terjadi.

Penutup
Konflik sosial dengan kekerasan antar etnik di
Kalimantan Barat yang terjadi berulangkali dan menelan
korban harta benda dan jiwa yang sangat besar menggambarkan
belum berhasilnya kita membangun masyarakat majemuk yang
sesungguhnya. Masyarakat majemuk masih merupakan idaman
atau impian dan belum menjadi kenyataan. Kegagalan tersebut
tidak terlepas dari bersinerginya berbagai faktor atau variabel.
Variabel-variabel yang diperkirakan bersinergi tersebut antara
lain variabel sejarah hubungan antar etnik pada masa lalu yang
kelam , upaya penanganan konflik sebelumnya yang tidak tuntas,
adanya kepentingan kelompok tertentu yang ingin menciptakan
instabilitas dengan memanfaatkan situasi kondisi yang tidak
kondusif, adanya kelompok tertentu yang merasa hak-hak
privelegenya mulai terganggu, ketidakadilan dalam bidang
ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan hukum yang meminggirkan masyarakat asli,
adanya kesenjangan yang tajam di berbagai aspek kehidupan
masyarakat, dan ketidakmampuan masyarakat etnik tertentu
beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat.
Konflik sosial antar etnis di Kalimantan Barat juga
menggambarkan retaknya hubungan antar etnis yang ada
di sana. Lebih-lebih konflik yang terjadi berulang kali telah
menorehkan luka yang teramat dalam dan menjadi trauma
sejarah bagi setiap etnik yang pernah terlibat dalam konflik
itu. Hubungan yang tercermin sebagai saling menerima dan
berlangsung harmonis dengan tiba-tiba dapat berubah menjadi

| 82 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hubungan yang diwarnai ketegangan dan kekerasan. Hubungan
kawan dapat dengan mudah dapat berubah menjadi lawan.
Mengingat potensi konflik yang tinggi dan sejarah konflik
yang kelam di Kalimantan Barat tersebut maka penanganan
konflik yang mendasar dan menyeluruh serta upaya rekonsiliasi
antar berbagai etnik khususnya antara etnik Dayak – Melayu
dengan Madura tidak dapat ditawar-tawar dan ditunda lagi.
Ke depan perlu dibangun suatu masyarakat multi etnik yang
berkeadilan dan bisa saling menerima di sana. Masyarakat multi
etnik yang berkeadilan dan bisa saling menerima tersebut dapat
terbentuk jika syarat-syarat seperti akar-akar penyebab konflik
dapat diatasi atau paling tidak dapat diminimalisir sekecil-kecilnya.
Hal ini berarti menuntut perlunya penanganan yang serius
terhadap konflik-konflik yang telah pernah terjadi dengan sebaik-
baiknya dan harus mengikis secara tuntas akar-akar penyebabnya.
Selanjutnya diperlukan iklim kondusif untuk dapat membangun
hidup berdampingan satu sama lain dan itu berarti bagi setiap
etnis diperlukan kemauan kuat untuk dapat menyesuaikan
diri dengan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat asli di sana, dengan prinsip dimana langit dijunjung
di situ bumi dipijak. Itu juga berarti perlu mengedepankan dan
memprioritaskan pembangunan masyarakat asli setempat dengan
tanpa meninggalkan mereka yang sebagai pendatang. Masalahnya
selama ini masyarakat asli lebih banyak menjadi penonton dan
dimarginalkan oleh sistem dan kebijakan yang berlaku. Pada
aspek yang lain pelaksanaan penegakkan hukum harus dilakukan
secara adil tanpa pandang bulu bagi siapapun yang melakukan
pelanggaran. Membangun konsensus antar etnik khususnya
antara etnik Dayak dengan Melayu juga sesuatu yang mendesak
terutama agar konflik kepentingan antara keduanya tidak meluas
menjadi konflik kekerasan. Selama prinsip-prinsip tersebut dapat
terpenuhi maka kehidupan sosial yang harmonis antar etnik pasti
dapat tercipta.

| 83 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro. George.Junus. dalam Edi Petebang et all (2000),
Konflik Etnik di Sambas, Institut Studi Arus Informasi,
Jakarta.
Alqadrie. Syarif.Ibrahim. 1996, Kelompok-Kelompok Etnik di
Kalimantan Barat, Karakteristik Budaya dan Interaksi
Sosial, Laporan Penelitian, Untan, Pontianak.
------------------------------, 1999, Konflik Etnis di Ambon
dan Sambas, Suatu Tinjauan Sosiologis, Indonesian
Journal of Social and Cultural Anthropology, TH XXXIII
No.58, FISIP UI, Jakarta.
Arafat, 1998, Konflik Dayak – Madura di Kalimantan
Barat, Thesis (Tidak dipublikasikan), UGM, Yogyakarta.
Belshaw Ceryl J, 1978, Traditional Exchange and Modern
Markets, Modernization of Traditional Society Series,
New York, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliff.
Berghe Pierre van den, 1969, Pluralism and the Policy,
A Theoritical Exploration, Berkeley and Los Angeles
University of California Press.

| 84 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Coomans Mikhail, 1987, Manusia Daya, Jakarta, Penerbit
PT. Gramedia.
Dahrendorf, 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat
Industri, Terjemahan Ali Mandan, Jakarta, CV. Rajawali.
Doecet Ian (Ed), tt, Working with Conflict, Buku
Panduan Pada Lokakarya Pengembangan Kapasitas
Oxfam Indonesia dan British Council.
Edi Petebang dan Eri Soetrisno (2000), Konflik Etnik di
Sambas, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.
Geertz Clifford, 1983, Involusi Pertanian, Jakarta, CV. Bharata.
Harlem Siahaan, 1994, Konflik dan Perlawanan Kongsi
Cina di Kalimantan Barat Tahun 1770-1854, dalam
Prisma No. 12 Th XXIII, Jakarta.
Hendro Suroyo Sudagung, 1984, Migrasi Swakarsa Orang
Madura ke Kalimantan, Disertasi pada UGM Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan dan Mentalitas
dalam Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
Kluckhohn dan Strodtbeck, 1961, Variant in Value
Orientation, Patterson & Co, New York.
Kuntowijoyo, 1998, Dayak, Madura, Stereotif, dalam
Tabloid ADIL, No. XXI Th 65 Jakarta.
LP3ES dan IDRD, 1997, Benang Kusut Konflik Dayak-
Madura, Kalimantan Review, Pontianak.
Marx. Karl, dalam Dahrendorf, 1986, Konflik dan Konflik
Dalam Masyarakat Industri, Terjemahan Ali Mandan, CV.
Radjawali, Jakarta.
Suparlan. Parsudi, 1999, Konflik Sosial Dan Alternatif
Pemecahannya, Indonesian Journal of Social and Cultural
Anthropology, TH XXXIII No.59, FISIP UI, Jakarta.

| 85 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Smith Antony, 1987, The Ethnic Origin and Nations, New


York, Blackwell.
Sindunatha, 1996, Malangnya Orang Madura, Teganya Orang
Jawa, Resensi Buku, Dalam Basis No.09-10 Tahun 45.
Tim Peneliti Untan, et all, 2000, Konflik Sosial di Kalimantan
Barat, Perilaku Kekerasan antara Etnik Madura-Dayak dan
Madura-Melayu, Laporan Penelitian, Untan, Pontianak.
Weber Max, dalam Dahrendorf, 1986, Konflik dan Konflik
dalam Masyarakat Industri, Terjemahan Ali Mandan, CV.
Radjawali, Jakarta.

| 86 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB IV
KONFLIK KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
Pendahuluan

K
ekerasan bukanlah sesuatu hal yang baru melainkan
dapat dikatakan setua sejarah umat manusia itu
sendiri. Dalam banyak literatur digambarkan
bahwa umat manusia tidak pernah sepi dari kekerasan, bahkan
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ihwal kesenangan
manusia melakukan kekerasan itu, di antaranya tergambar dalam
pernyataan Washburn (1958:117) yang mengatakan: dalam
banyak budaya, penyiksaan dan penganiayaan menjadi tontonan
dan kegembiraan bersama. Fromm (2001: xiv) dengan mengutip
mitos Yunani, dalam bahasa yang berbeda tetapi dengan maksud
yang sama, mengatakan: seiring dengan pergantian generasi,
mereka berkembang ke arah yang lebih buruk. Suatu saat
ketika mereka berkembang sedemikian jahatnya hingga mereka
memuja kekuatan, kebenaran bagi mereka dan penghormatan
terhadap kebaikan tak akan ada lagi. Pada akhirnya manakala
manusia tak lagi marah terhadap pelanggaran atau tidak lagi
malu terhadap hal yang memalukan, Zeus akan membinasakan
| 87 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

mereka. Demikian pula Smuts dalam Fromm (2001: xiv)


mengatakan manakala aku memandang sejarah, aku seorang
pesimis,....namun manakala aku memandang prasejarah, aku
seorang optimis.
Kekerasan adalah sesuatu yang bersifat universal
karena tidak mengenal batas ras, etnik, golongan, agama, dan
status sosial, dapat terjadi terhadap siapapun, kapanpun dan
dimanapun. Kekerasan juga tidak mengenal usia, jenis kelamin
dan budaya, bahkan dapat juga dilakukan oleh suatu kelompok
terhadap kelompok lain. Terdapat tesis klasik yang mengatakan
bahwa semakin primitif (terbelakang) manusia (masyarakat)
semakin cenderung melakukan kekerasan, tetapi sejumlah fakta
penelitian membantahnya, yang terjadi justeru sebaliknya. Dari
hasil penelitian membuktikan bahwa semakin berperadaban
manusia (masyarakat) semakin banyak melakukan tindak
kekerasan (From, 2001). Meskipun kekerasan dapat dilakukan
oleh siapapun, tetapi secara average, kekerasan banyak
dilakukan oleh laki-laki. Dalam ranah domestik (rumah tangga)
kebanyakan korbannya adalah perempuan (isteri), anak-anak
dan pembantu (Daulay, 2005).
Menurut kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan (2000), tingkat kekerasan yang dialami perempuan
Indonesia sangat tinggi. Tidak kurang 24 juta perempuan atau
11,4 persen dari total penduduk Indonesia pernah mengalami
tindak kekerasan. Azis (2005) dalam penelitiannya menemukan
bahwa tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan
Indonesia adalah kekerasan di ranah domestik atau kekerasan
dalam rumah tangga seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan
atau suami berselingkuh. Demikian juga Gloria Cybernets
(2005) mensinyalir adanya peningkatan signifikan tindak
kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun, bahkan
pasca pemberlakuan UU KDRT (UU No. 23 tahun 2004) tidak
mampu menghambat dan menghentikan tindak kekerasan

| 88 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
tersebut. Pertanyaannya mengapa tindak kekerasan tersebut
terjadi dan cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu
dan bagaimana upaya mengatasinya. Tulisan ini membatasi diri
pada pembahasan kekerasan yang terjadi dalam sektor domestik
tersebut yang populer disebut kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang korbanya umumnya adalah perempuan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga (Ps 1 ayat 1 undang-undang nomor
23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga/
UU KDRT). Sementara menurut Daulay (2005) secara umum
dipahami sebagai tindakan kontrol, kekerasan dan pemaksaan
yang meliputi tindakan seksual, psikologis dan ekonomi, yang
dilakukan individu terhadap individu lainnya di dalam hubungan
rumah tangga atau hubungan yang intim/karib. Tindakan ini
dapat terjadi pada setiap individu tanpa memperdulikan latar
belakang ras, etnik, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu.
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan merasakan akibat
dalam berbagai bentuk yaitu akibat medis, emosional, personal
maupun profesional.
Yang dimaksud rumah tangga adalah suami, isteri, dan
anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya
mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

| 89 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam


rumah tangga yang bersangkutan (Ps 2 ayat 2 UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang KDRT).

Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut UU Nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT,
kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam beberapa
bentuk seperti: 1) kekerasan fisik; 2) kekerasan psikis; 3)
kekerasan seksual dan 4) penelantaran.
Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis yakni
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan
seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu yang meliputi: 1) pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; 2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan
penelantaran rumah tangga adalah perbuatan menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum
yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut (Ps 5 ayat 5,6,7,8 dan 9).

| 90 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

Penyebab Terjadinya KDRT


Menurut Aziz (2006) dan Zohra (2006), penyebab KDRT
sangat kompleks dan berkaitan dengan keyakinan bahwa
laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan (dan anak), dan
bisa memperlakukannya dengan kasar kalau ia menghendaki.
Hoesain (2006) menyebut kekuasaan laki-laki atas perempuan
itu sebagai wujud dari kuatnya pengaruh budaya patriakhi di
tengah masyarakat. Mahar yang tinggi, tanggungjawab laki-laki
dalam menafkahi keluarganya dan adanya anggapan bahwa
perempuan itu lemah, membuat kaum “adam” merasa memiliki
kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan
memperlakukan apa saja terhadap perempuan.
Cicik (1999) mengidentifikasi beberapa faktor sebagai
penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga, seperti: 1) fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak
diposisikan setara dalam masyarakat; 2) masyarakat masih
membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka
yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun;
3) kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya
bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi; 4)
masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial
tetapi persoalan pribadi (private); dan 5) pemahaman yang
keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-
laki boleh menguasai perempuan. Senada dengan Cicik, Azis
(2006) selanjutnya mengidentifikasi beberapa faktor sebagai
penyebab terjadinya KDRT seperti: 1) budaya patriakhi yang
mendudukkan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan
sebagai mahluk inferior; 2) pemahaman yang keliru terhadap
ajaran agama sehingga menganggap bahwa laki-laki boleh
menguasai perempuan, 3) peniruan anak laki-laki yang hidup
bersama ayah yang suka memukul. Sedangkan faktor pemicunya
seperti: 1) status sosial-ekonomi; 2) ketidaksetaraan kekuasaan

| 91 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

antara laki-laki dan perempuan; 3) mitos; dan 4) alkohol.


Kemudian, Arist (2005) dan Sumarni (2006),
mengidentifikasi faktor ekonomi, disfungsi keluarga dan disorder
obsession sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Pada
rumah tangga miskin pemicunya adalah kondisi ekonomi dan
disfungsi keluarga, sedangkan pada keluarga menengah atas
disfungsi keluarga dan disorder obsession. Bermula dari tidak
terpenuhinya kebutuhan hidup (kemiskinan), biasanya kalau
diteruskan akan menyebabkan disharmoni keluarga, tidak ada
income, panik, lalu kepanikan itu dilampiaskan kepada isteri
atau anak dalam bentuk kekerasan.
Sementara dalam perspektif psikologi, sebagaimana
diungkapkan Davidoff (1991), kekerasan dapat disebabkan
oleh faktor amarah, meniru model kekerasan dan frustrasi.
Secara psikologis orang yang marah cenderung akan
menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu
dan biasanya timbul pikiran yang kejam, jika tidak terkendali
terjadilah kekerasan. Amarah sendiri mudah dipicu oleh adanya
kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, ancaman dan frustrasi
(frustrasi terjadi manakala keinginan, tujuan, kebutuhan dan
pengharapan terhalang atau tidah tercapai). Pada sisi lain hasil
penelitian Stein (1990) menunjukkan bahwa manusia yang
memiliki kadar kekerasan di atas normal akan lebih cenderung
berlaku keras dan mereka akan bertindak keras terhadap sesama
setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan
kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi terdapat pengaruh
peniruan model kekerasan terhadap perbuatan kekerasan itu
sendiri. Peniruan model kekerasan itu bisa berlangsung di rumah
dari orangtua terutama ayah, aktor di film, sinetron, videogame
dsb.
Sedangkan hasil penelitian biologis dan fisiologis
menemukan ada kaitan antara gen, sistem otak dan kimia darah
dengan perilaku kekerasan (Prescott, 1990). Hasil penelitian itu

| 92 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menunjukkan bahwa gen berpengaruh pada pembentukan sistem
neural otak yang mengatur perilaku kekerasan, dan ternyata gen
jantan (laki-laki) lebih berperilaku keras dibandingkan gen betina
(perempuan). Demikian juga dalam sistem otak, apabila sitem
limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia)
dirangsang maka akan timbul rasa kenikmatan atau kesenangan
sehingga orang itu cenderung tidak melakukan tindak kekerasan,
sebaliknya mereka yang tidak pernah mengalami kesenangan,
kegembiraan atau santai (mungkin karena sistem otak limbik
rusak), akan cenderung melakukan kekerasan, penghancuran
dan kekejaman. Hasil penelitian terhadap kimia darah (hormon
seks) juga menemukan suatu bukti bahwa hormon testoteron
yang meningkat mempengaruhi perilaku kekerasan. Apabila
hormon testoteron (hormon androgen utama yang memberikan
ciri kelamin jantan) ditambah perilaku kekerasan cenderung
meningkat, sebaliknya bila dikurangi perilaku kekerasan
menurun.
Dalam teori-teori kekerasan, Santoso (2002)
mengelompokkan penyebab kekerasan dalam tiga kelompok.
Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor.
Teori ini berpandangan manusia melakukan kekerasan karena
kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi
dari kelainan genetik atau fisiologis. Kedua, kekerasan yang
disebabkan oleh struktur. Kelompok ini berpandangan
bahwa orang melakukan kekerasan sebagai akibat tekanan
struktur yang sangat masif. Tekanan struktur itu sendiri tidak
tampak namun terasa sangat luas bisa berupa ketidakadilan,
kemiskinan, keterpinggiran dan lainnya. Ketiga, kekerasan yang
disebabkan oleh jaringan antara aktor dan struktur. Kelompok
ini berpandangan kekerasan aktor dan struktur dapat saling
berhubungan dan berdialektika sehingga bersinergi dan saling
mengisi.

| 93 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Akibat KDRT
KDRT menimbulkan berbagai akibat yang berpengaruh
pada perkembangan kesehatan fisik dan mental korban. Pada
efek fisik, perempuan dapat mengalami bekas-bekas luka pada
fisik dan bisa menjadi cacat seumur hidup (ingat korban KDRT
yang menjalani face off/operasi wajah). Pada psikis dan mental
mereka akan mengalami stres dan depresi yang dapat berkorelasi
dengan penyakit fisik seperti sakit kepala, asma, sakit perut dan
lain-lain. Stres dan depresi bisa menyebabkan kemungkinan
bunuh diri atau membunuh suami yang melakukan kekerasan.

Cara Mengatasi KDRT


Menurut Sendjaya (2006), kasus KDRT atau kekerasan
terhadap perempuan sulit diungkap apalagi diselesaikan karena:
1) masih banyak yang menganggapnya sebagai wilayah privasi
atau mengandung aib untuk dikonsumsi publik; 2) keterbukaan
korban kurang direspon secara positif oleh lingkungan sekitar
bahkan cenderung semakin terpojok jika mereka melapor
(mereka itu ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga atau sudah
korban menjadi terdakwa); 3) adanya ketergantungan perempuan
(emosi, ekonomi dan lainnya) terhadap laki-laki sehingga
dominasi suami dan perlakuan kasar yang dilakukannya dianggap
dan diyakini sebagai sebuah hukuman yang harus diterima; dan
4) isteri takut dicerai karena umumnya tidak memiliki pekerjaan.
Walaupun tidak mudah diungkap dan diselesaikan
tetapi setidaknya ada beberapa rekomendasi yang dapat
dipertimbangkan sebagai upaya meminimalisir atau mengatasi
KDRT tersebut. Pertama, menggeser isu KDRT dari isu privat
menjadi isu publik. Ketika isu ini telah menjadi isu publik hal
itu diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psikologis korban
untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa
dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib. Selain itu

| 94 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pergeseran tersebut menjadikan masalah KDRT sebagai masalah
bersama. Dengan demikian masyarakat disadarkan, didesak,
dituntut dan diawasi untuk turut bertanggungjawab dalam
memerangi kekerasan berdasarkan jenis kelamin ini. Kedua,
negara melalui aparatnya harus proaktif melakukan intervensi
terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah tangga dan
memberikan perlindungan lebih optimal kepada warga negara
yang memerlukan perlindungan khusus (perempuan dan anak)
dari tindak kekerasan. Perlu penegakkan hukum yang tegas dan
berat bagi para pelaku KDRT. Ketiga, melakukan pemberdayaan
secara luas dalam segala aspek kehidupan (ekonomi, sosial,
budaya, agama dan hukum) pada kaum perempuan agar
mereka tidak selalu memiliki ketergantungan kepada kaum
laki-laki, sehingga mereka lebih mandiri dan dapat melakukan
perlawanan ketika hak-hak mereka dirampas. Keempat, perlu
one stop service (pelayanan satu atap) bagi korban KDRT yang
mencakup pelayanan kesehatan, hukum, asuransi dan lainnya.

Penutup
Kekerasan dalam rumah tangga sangat kompleks sehingga
tidak mudah diselesaikan, salah satu sebabnya karena secara
faktual persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di dalam
masyarakat masih mengalami ketimpangan di sana-sini. Isu
marginalisasi, eksploitasi dan stereotif sosial masih mewarnai
ketimpangan relasi gender tersebut. KDRT merupakan salah
satu bagian dari permasalahan relasi ketimpangan gender, tetapi
menjadi esensi dalam menciptakan hubungan yang harmonis
dan saling membutuhkan dalam rumah tangga.
Usaha mengatasi atau meredam tindak KDRT harus intinya
merupakan kekuatan masyarakat, termasuk kaum perempuan itu
sendiri. Dan untuk dapat menghimpun dan membina kekuatan
masyarakat demikian itu, perlu ada pemimpin yang benar-benar
berjiwa pemimpin. Pemimpin sejati adalah pelopor dan model

| 95 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sosok yang memelopori usaha-usaha untuk hidup rukun, damai


dan sentosa.
Sebenarnya hubungan yang ingin dibangun bukanlah
dominasi, kekuasaan dan siapa yang saling kuat secara fisik,
ekonomi dan lain-lain, tetapi hubungan kesetaraan yang mana
laki-laki dan perempuan, suami isteri adalah dua mahluk yang
saling membutuhkan. Seperti diungkapkan dalam kata-kata bijak
bahwa: Men cannot live without women, so do women cannot
live without men. Therefore, we should love and take care of
each other. Without one of another live would be imbalance.

DAFTAR PUSTAKA
Arist. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan, Mengapa? Artikel
dalam Glorianet. 2006.
Azis.Rumiyati.Aina. 2006. Perempuan Korban di Ranah
Domestik. Majalah Forum Keadilan. Jakarta. No. V
Cicik. Farha. 1999. KDRT, Faktor dan Efeknya. Artikel dalam
Waspada Online 2006.
Daulay.Harmona. 2005. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Renungan Hari Kartini, 21 April 2005. Artikel dalam
Waspada online 2006.
Davidoff. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta.
Fromm. Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio Psikologis
atas Watak Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mu‟tadin.Zainun. 2006. Faktor Penyebab Perilaku Kekerasan.
Artikel dalam Psikologinet.
Prescott. 1990. Pengaruh Faktor Biologis Terhadap Kekerasan.
Artikel dalam Psikologinet 2006.
| 96 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Santoso. Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Smuts. Dalam Fromm.Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis
Sosio Psikologis atas Watak Manusia. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Stein. Aletha. 1990. Peran Belajar Model Kekerasan. Artikel
dalam Psikologinet 2006.
Sumarni. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan, Mengapa?
Artikel dalam Glorianet. 2006.
UU No. 23 Tahun 2004. Tentang Perlindungan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Jakarta.
Washburn. 1958. dalam Fromm.Erich. 2001. Akar Kekerasan,
Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.

| 97 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

| 98 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB V
BEBERAPA FENOMENA ETNISITAS
DALAM MASYARAKAT PLURAL
Pendahuluan

P
ara founding fathers kita sangat menyadari adanya
kemajemukan (pluralitas) dalam masyarakat bangsa
yang ingin dibangun pada masa lalu. Itulah sebabnya
dengan sangat berhati-hati mereka meletakkan bangunan
masyarakat bangsa tersebut di atas simbol Bhinneka Tunggal
Ika yang bermakna bermacam-macam tetapi tetap satu. Dalam
mengelola kemajemukkan (pluralitas) tersebut mereka memilih
beberapa alrternatif bentuk negara yang akan dibangun yakni
negara kesatuan, negara federasi dan negara konfederasi, yang
pilihan akhirnya adalah negara kesatuan.
Sampai saat ini kita masih memilih bentuk negara
kesatuan tersebut sebagai suatu pilihan yang tidak lepas dari
konteks sejarah kearifan para founding fathers dahulu dalam
membangun Republik, terutama ketika etnik-etnik di negeri ini
bersefakat berjuang membangun satu bangsa dan negara. Pilihan
itu pulalah yang akhirnya mengakibatkan negara kita menjadi
sangat sentralistik. Suatu harapan besar yang diinginkan oleh
| 99 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

semua etnik dari bangunan negara dan bangsa yang dibangun


tersebut tiada lain adalah adanya kemajuan dan perbaikan
terus menerus dalam kehidupan sebagai anak manusia yang
sekaligus juga merupakan anak bangsa. Mereka mendambakan
kemakmuran, kesejahteraan, keadilan sosial, ketertiban dan
persamaan hak dan kewajiban di dalam hukum, pemerintahan
dan persamaan dalam memanfaatkan dan menikmati akses-
akses negara. Harapan itu ternyata sampai hari ini masih jauh
dari yang dicita-citakan semula atau masih jauh antara impian
dengan kenyataan. Bahkan ada kecenderungan semakin menjauh
dari keinginan semula setiap etnik pada waktu bersama-sama
membangun dan meletakkan fondasi bangunan negara bangsa
ini.
Munculnya berbagai pergolakkan di berbagai daerah
akhir-akhir ini baik dalam bentuk perlawanan terhadap negara
(konflik struktural) maupun konflik yang bersifat horizontal
primordial setidaknya dapat dipahami sebagai wujud protes
atau kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan dari tujuan
yang dibangun dan dicita-citakan bersama semula tersebut.
Makin langka dan mahalnya kesejahteraan, keadilan, ketertiban,
ketentraman, persamaan hak-kewajiban di dalam hukum dan
pemerintahan serta semakin senjangnya kehidupan dalam
masyarakat menandakan bahwa kita semakin jauh dari cita-cita
semula dalam membangun bangsa dan negara ini.
Di samping wujud ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan
pusat yang semakin bergeser dari cita-cita semula, bentuk
perlawanan daerah terhadap pusat maupun pergolakan yang
bersifat primordial horizontal di berbagai daerah itupun harus
dipahami dari sisi fenomena etnisitas yang memang hidup dan
berkembang dalam setiap masyarakat bangsa plural dimanapun.
Fenomena etnisitas dalam masyarakat plural bangsa lain tidak
terlalu mengemuka dan menimbulkan masalah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tiada lain disebabkan

| 100 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
oleh kemampuan mereka terutama pemerintahnya mengelola
cita-cita bersama (common will) yang hidup dalam masyarakat
bangsa tersebut. Dengan demikian persoalan-persoalan
etnisitas dapat ditekan seminimal mungkin dan rasa kebangsaan
(nasionalisme) dapat terus terpelihara bahkan menjadi semakin
kuat.
Berbagai fenomena etnisitas seperti sikap stereotif,
etnosentrisme, konflik dan solidaritas lokal dan yang lainnya
sebenarnya merupakan bagian integral dari masyarakat
plural dimanapun. Masalahnya sikap-sikap seperti itu tidak
selamanya menjadi negatif atau destruktif terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada tingkatan-
tingkatan tertentu jika kita mampu memanagenya maka ia juga
memberikan konstribusi yang positif.
Tulisan ini bermaksud mengetengahkan berbagai fenomena
etnisitas yang memang tersimpan dalam masyarakat plural yang
mungkin dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Seiring dengan itu dipandang perlu memberikan koreksi untuk
mengingatkan akan pentingnya menjaga dan melaksanakan
komitmen yang telah ditetapkan bersama agar negara bangsa
yang dibangun bersama tidak menjadi berantakan di kemudian
hari. Koreksi terhadap penyimpangan pelaksanaan amanat
masyarakat atau cita-cita bersama tersebut penulis tuangkan
melalui kajian dan telaah terhadap beberapa fenomena sosial
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat plural yang
dapat menjadi sumber destruktif terhadap bangunan bangsa
dan negara tersebut. Faham-faham sektarian dan primordial
sempit yang tercermin dalam isu stereotif, etnosentrisme,
konflik dan solidaritas lokal merupakan bagian yang inheren
di dalam kehidupan setiap masyarakat plural di manapun dan
kapanpun. Pemahaman secara baik akan adanya isu-isu ini
setidaknya dapat menyadarkan setiap pengambil kebijakan dan
pelaksana pembangunan untuk berhati-hati dan berlaku arif dan

| 101 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bijak di dalam memperlakukan setiap etnik yang ada di dalam


negara bangsa ini. Pada sisi lain berbagai isu tersebut dapat
dimanipulir menjadi sesuatu yang konstruktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Masyarakat Majemuk Dan Karakteristiknya


J.S. Furnival dalam Nasikun (2000) melukiskan masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat
yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri
tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
Konsep ini selanjutnya dikembangkan oleh para ahli seperti
Cyril S. Belshaw yang merumuskan masyarakat majemuk sebagai
masyarakat yang memiliki sistem nilai sendiri-sendiri dalam
berbagai kesatuan sosial sehingga menyebabkan menurunnya
loyalitas terhadap masyarakat besar. Masyarakat majemuk pada
dasarnya tidak memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan
kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama
lain. Karena itu kata Belshaw sistem nilai dan konsensus yang
disepakati bersama oleh seluruh anggota masyarakat besar
akan sulit berkembang akibat berkembangnya sistem nilai dari
kesatuan sosial masyarakat yang lebih kecil yang menjadi bagian
masyarakat besar tersebut. Bahkan penganutan sistem nilai atau
konsensus kesatuan sosial masyarakat yang lebih kecil ini jauh
lebih murni dan karenanya dipegang secara tegar oleh para
pengikutnya. Konflik sosial akan sering muncul dan integrasi
menjadi lemah serta ketergantungan satu sama lain menjadi
kurang.
Sementara Clifford Geertz dalam Haryo S. Martodirdjo
(2000), menggambarkan masyarakat plural sebagai masyarakat
yang terbagi-bagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih
berdiri sendiri, masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh
ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Lebih jauh Piere L.
van den Berghe (1969) memerinci masyarakat majemuk dalam

| 102 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
beberapa karakteristik yang menjadi sifat dasarnya yakni: (1)
terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok
yang seringkali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu
sama lain, (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke
dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, (3)
kurang mengembangkan konsesnsus di antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif sering
mengalami konflik antara kelompok yang satu dengan yang
lain, (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan/
coercion dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi,
(6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-
kelompok yang lain.
Tampaknya apa yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
di atas menjadi bukti apa yang terjadi hari-hari ini di masyarakat
kita. Kerap terjadinya konflik antar golongan dan kelompok
primordial, meningkatnya semangat etnisitas dan primordial
kedaerahan, lemahnya integrasi bangsa, kurang berkembangnya
konsesnsus adalah sebagian dari ciri masyarakat majemuk
yang mengemuka dan menjadi problem kebangsaan kita.
Satu-satunya barangkali yang masih terjaga adalah adanya
saling ketergantungan dalam bidang ekonomi antar daerah dan
dominasi politik oleh kelompok tertentu terhadap kelompok
lain.
Masyarakat Indonesia yang plural kini ditandai oleh dua
cirinya yang bersifat unik dan kompleks yakni yang bersifat
horizontal dan vertikal. Secara horizontal ditandai dengan
adanya perbedaan suku bangsa (etnis), adat istiadat, agama,
dan ciri-ciri kedaerahan masing-masingnya. Sedangkan secara
vertikal ditandai dengan adanya polarisasi yang semakin tajam
dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
Perbedaan secara horizontal tampaknya disebabkan oleh
faktor bervariasinya kondisi fisik geografis dan klimatologis
yang tersebar dalam ribuan pulau di samping unsur sejarah

| 103 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

masuknya nenek moyang bangsa Indonesia sebagai migran dari


luar dalam waktu yang tidak sama satu sama lainnya. Hal lain
yang mempengaruhi perbedaan horizontal tersebut adalah daya
serap terhadap pengaruh kebudayaan luar satu dengan lainnya
berbeda.

Etnisitas Sebagai Fenomena Masyarakat Majemuk


Istilah etnisitas berasal dari kata ethno (Yunani) yang
bermakna rakyat (people) atau bangsa (nation). Gordon
(1964) mengidentikkan etnisitas dengan istilah peoplehood
yang menunjukkan suatu kelompok dengan suatu perasaan
etnisitas bersama sebagai kelompok etnik (ethnic group).
Menurut Gordon istilah etnisitas berkaitan dengan pernyataan
bersama tentang perasaan senasib sepenanggungan dalam suatu
kelompok etnik. Sementara pengertian kelompok etnik menurut
Narrol (1964), dipahami sebagai sejumlah orang atau penduduk
yang mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4. Menentukan ciri kelompoknya yang diterima oleh dan dapat
dibedakan dari kelompok lain.
Walaupun Fredrick Barth (1988) tidak menyetujui definisi
yang dikembangkan Narrol tersebut namun ia tetap merumuskan
kelompok etnis dalam pengertian yang masih sangat umum.
Oleh Barth kelompok etnik atau suku bangsa digambarkan
sebagai kelompok budaya dan bahasa sementara masyarakat
merupakan suatu unit yang hidup terpisah dari unit yang lain.
Zeitlin (1970) dan Enloe (1973), menggambarkan
walaupun istilah kelompok etnis dan etnisitas sudah digunakan
pada beberapa karya Karl Marx pada jamannya tetapi ia
cenderung mengabaikannya karena menganggap sentimen

| 104 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
etnis selalu bersifat sementara. Menurut Marx sentimen etnik
hanya muncul untuk menampung keinginan kelompok orang-
orang yang ingin mengusir imperialisme. Sentimen etnik akan
mengancam gerakan sosialisme internasional dan membatasi
kemampuan mengubah realitas.
Sebagaimana Marx, kaum fungsionalisme Talcott Parsons
(1975) juga memandang etnisitas dengan sebelah mata dan
menganggap etnisitas tidak lebih dari suatu rangkaian nilai-nilai
dan warisan nilai budaya yang hanya diperlukan selama sosialisasi.
Karena itu menurut paham fungsionalisme ini, etnisitas bukan
unsur yang aktif dan dinamis tetapi sebagai elemen yang pasif
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Kekeliruan Marx dan Kaum Fungsionalisme meramalkan
masalah etnisitas ini ternyata dibayar dengan harga yang teramat
mahal. Rontoknya Uni Soviet, Yugoslavia dan beberapa negara
lainnya tiada lain adalah akibat kekeliruan memandang persoalan
etnisitas di dalam negerinya masing-masing. Indonesia pun pada
jaman orde baru telah melakukan kekeliruan terhadap persoalan
etnisitas di dalam negerinya. Kekeliruan tersebut tampak dalam
perlakuan represif terhadap setiap aspirasi yang mengandung
unsur keadilan dan kemanusiaan dari kelompok etnis yang
terpinggirkan. Itulah sebabnya hari ini kita masih menyaksikan
betapa setiap etnik di negara ini berusaha melakukan perlawanan
terhadap tindakan represif pemerintah masa lalu tersebut.
Keinginan untuk merdeka melepaskan diri dari bingkai negara
kesatuan RI merupakan salah satu simbol dari perlawanan
tersebut.
Haryo S. Martodirdjo (2000) secara lebih rinci
menggambarkan istilah etnisitas dengan segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia yang berhubungan
langsung dengan fenomena pengelompokkan etnik atau
suku bangsa. Inti pengertian etnisitas terpusat pada perilaku
hubungan antar orang, tetapi jangkauan analisisnya meliputi

| 105 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

rangkaian panjang dari proses pembentukan kelompok dengan


segala permasalahannya hingga perkembangan selanjutnya yang
tidak terbatas. Menurutnya masalah etnisitas merupakan salah
satu fenomena sosial yang kompleks yang bersifat sentral dalam
totalitas kehidupan masyarakat. Karena itu masalah etnisitas
bersentuhan langsung dengan keseluruhan aspek kehidupan
manusia baik aspek ekonomi, politik, sosial, moral, spritual,
maupun aspek fisikal lainnya.

Fenomena Stereotif
Stereotif adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan
berdasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat (KKBI, 1998),
atau suatu penilaian tidak seimbang terhadap satu kelompok
masyarakat yang terjadi karena kecenderungan menggeneralisasi
tanpa diferrensiasi (De Jonge dalam Sindunatha, 1996).
Sumber stereotif disebabkan oleh berbagai faktor pengetahuan
yang dilandasi sejarah, data etnologi yang bertahan dengan
etnosentrisme, dan proses belajar yang berhubungan dengan
proses sosialisasi mulai dari anak-anak hingga dewasa (Hurbert
Bonner dalam Abdul Rahman dan Syanto, 1990). Stereotif
ini berpengaruh terhadap pembentukan jarak sosial (social
distance) yakni suatu posisi yang diberikan satu kelompok etnik
kepada kelompok etnik lain dalam persoalan simpati. Semakin
bertentangan atau bermusuhan kelompok-kelompok etnik
tersebut akan semakin jauh pula jarak sosial yang dibangun di
antara mereka (Ahmadi, 1991).
Mozaik kebudayaan masyarakat majemuk (plural)
biasanya terbentuk melalui interaksi sosial dan dialog budaya
yang cukup panjang. Dalam dinamika proses tersebut, masing-
masing kelompok etnik akan mengamati karakteristik atau sifat
umum dan khusus yang aneh dari kelompok etnik lainnya. Sifat
umum yang aneh tersebut akan membentuk prasangka kelompok
etnik yang satu kepada kelompok etnik yang lainnya. Suatu

| 106 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengalaman yang kurang baik di dalam kontak kebudayaan dapat
menimbulkan anggapan yang keliru, pada batas-batas tertentu
adakalanya benar, karena dapat menimbulkan generalisasi yang
salah sehingga melahirkan stereotif.
Haryo S. Martodirdjo (2000) melukiskan stereotif etnik
sebagai suatu fenomena kultural. Menurutnya stereotif etnik
merupakan suatu generalisasi penilaian akan karakteristik kultural
kelompok lain, cenderung bersifat negatif dan emosional.
Penilaian tersebut mengandung bias yang tinggi karena didasari
oleh adanya benturan kepentingan antar kelompok yang diikuti
oleh subyektivitas nilai dan pemihakan. Oleh sebab itu dalam
hubungan antara etnik biasanya berkaitan dengan prasangka
dan etnosentrisme.
Persoalannya dalam banyak kasus interaksi sosial yang
nyata di masyarakat orang tidak dapat lagi membedakan mana
yang sebenarnya dan mana yang bias. Stereotif suatu etnik
cenderung dianggap sebagai sesuatu yang riil dan mewakili
perilaku sebenarnya dari etnik tersebut. Manakala kondisi
seperti ini yang terjadi maka hubungan sosial antar etnik tersebut
diwarnai dengan adanya gap atau jarak sosial (social distance)
yang akhirnya dapat melahirkan konflik sosial.

Fenomena Etnosentris dan Etnosentrisme


J.J. Kusni (1994) membedakan pengertian etnosentris
dengan etnosentrisme. Etnosentris menurutnya adalah suatu
reaksi sadar atau tidak sadar atau tanggapan reaktif suatu etnik
terhadap lingkungan yang dirasakan menekan eksistensi dan
kepentingan fundamental dari kelompok etnik itu. Ia merupakan
reaksi bela diri dan merupakan hal yang secara naluri ada pada
semua mahluk hidup. Karena itu kata etnosentris lebih bersifat
defensif berbeda dengan etnosentrisme yang agrresif dan
sektaris. Situasi lingkungan yang terus menerus menggencet
suatu kelompok etnik atau individu bisa merupakan faktor

| 107 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

pendorong berkembangnya etnosentris ke arah etnosentrisme.


Karena itu etnosentris sebenarnya ssesuatu yang sangat wajar
dalam konteks masyarakat majemuk atau pluralis di manapun.
Berbeda dengan etnosentris, etnosentrisme menurut
Paul Robert (1981), merupakan suatu kecenderungan yang
menempatkan suatu grup sosial tertentu di mana seseorang
tergabung sebagai satu-satunya model acuan. Pandangan
ini menganggap etnisnya merupakan etnis yang terbaik dari
etnis yang lain. Bentuk paling ekstrim dari isme semacam ini
terjadi pada peristiwa berdarah dari Deutschland uber alles di
jaman Hittler yang menganggap ras Aria sebagai satu-satunya
ras unggul di muka bumi. Dalam tampilan yang demikian
etnosentrisme berwatak sangat agresif dan sektaris.
Dalam ungkapan lain Haryo S.Martodirdjo (2000),
menyatakan bahwa etnosentrisme adalah suatu pandangan
atau sikap dasar yang cenderung menilai kebudayaan orang
lain berdasarkan ukuran sendiri. Kebudayaan kelompok etnik
atau suku bangsa sendiri dianggap paling benar dan paling
baik, bahkan lebih jauh lagi dianggap yang seharusnya menjadi
pusat orientasi bagi kebudayaan kelompok-kelompok yang
lain. Dengan kata lain etnosentrime merupakan ungkapan
sikap kecintaan terhadap kebudayaan kelompok sendiri secara
berlebihan.
Dalam pengertian umum etnosentrime menunjuk kepada
sikap individual orang yang mengandung aspek emosional
dan biasanya berkaitan dengan unsur-unsur mendasar tentang
simbol budaya dan ideologi sebagai pencerminan identitas etnik
(ethnic identity). Sikap individual itu kemudian berkembang
menjadi sikap emosional kelompok di bawah tekanan psikologi
massa yang mengandung unsur prasangka (prejudice). Prejudice
yang didukung dengan pertentangan-pertentangan kepentingan
dalam bidang ekonomi, politik, religi dan lainnya dapat
menimbulkan ledakan yang destruktif.

| 108 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

Fenomena Konflik dan Integrasi Sosial


Dalam masyarakat dimanapun dan kapanpun selalu
terdapat dua sisi yang saling melengkapi dan berkaitan sehingga
sulit dipisahkan satu sama lainnya yakni konflik di satu sisi
dan integrasi atau konsensus di sisi lainnya. Para sosiolog dan
antropolog sepakat bahwa dua fenomena sosial ini ibarat dua
sisi mata uang yang hanya bisa dibedakan tetapi sulit dipisahkan
dalam kehidupan sosial. Tumbuhnya tata tertib sosial atau
konsensus bersama (integrasi) dalam sistem sosial tidaklah
berarti lenyapnya konflik di dalam setiap masyarakat. Oleh
karena itu manakala kita berbicara integrasi (stabilitas) ataupun
disintegrasi (instabilitas) dari suatu sistim sosial maka yang
kita maksudkan sesungguhnya tidaklah lebih dari menyatakan
derajad keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normatif
di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan.
Menurut Karl Marx dalam Dahrendorf (1978) Konflik
sosial adalah sebuah gejala universal dan selalu ada di dalam
masyarakat. Tidak ada satu masyarakat pun yang dapat terbebas
dari konflik. Selagi masyarakat itu masih ada, selama itu pula
konflik dapat muncul. Konflik tidak dapat dihilangkan kecuali
hanya dicegah atau dikurangi agar tidak semakin meluas atau
mendalam.
Doecet dalam Yohanes Bahari et all (2000), menyatakan
bahwa suatu konflik disebabkan oleh berbagai macam sebab.
Mungkin oleh satu sebab atau berbagai sebab yang tidak saling
berhubungan. Namun kerap kali konflik muncul dikarenakan
oleh sebab-sebab yang saling bertumpang tindih. Sebab-sebab
konflik tersebut antara lain dapat berupa (1) sumber daya dan
keinginan (seperti konflik atas simpanan minyak, batasan, hak
atas tanah, dan lain-lain), (2) kepemerintahan (seperti legitimasi
politik, hak memilih, strategi pembangunan), (3) idiologi dan

| 109 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

agama (seperti konflik antara kapitalisme dengan komunisme


atau Islam dengan Kristen), (4) identitas (seperti konflik antar
etnis).
Sebab-sebab konflik menimbulkan bentuk konflik dengan
kekerasan yang bermacam-macam pula seperti (1) perlawanan
bersenjata terhadap negara (armed resistance to the state), (2)
tekanan oleh negara (repression by the state), (3) kekerasan
etnis (communal or ethnic violence), (4) target kekerasan : rasial,
seksual, politik, (5) hubungan kekuasaan (power relation).
Sebelum terekspresikan dalam bentuk kekerasan, konflik
berkembang melalui beberapa tahap seperti (1) dormansi
(hidden sleep), (2) emergence (muncul konfrontasi), (3) meluas
(widening), (4) reaksi (escalation reaction), dan (5) keluaran
dan dampaknya (outcomes). Tahap tersembunyi biasa disebut
sebagai tahap stabilitas, ketidakseimbangan, reaksi kekecewaan
yang sangat keras dan penyiksaan terhadap hak-hak dasar (abuse
of basic rights).
Ledakan dari konflik dengan kekerasan didorong oleh
kondisi yang cukup parah, dengan adanya api penyulut (spark),
dan sesuatu yang dapat memperbesar dan memperluasnya, yang
biasa disebut “bensin” (fuel). Di samping itu, munculnya konflik
dengan kekerasan didorong oleh adanya sejumlah perilaku
seperti (1) persepsi yang keliru tentang sesuatu, (2) stereotif,
(3) demonstrasi, (4) provokasi, (5) pernyataan-pernyataan
yang bersifat menghukum, (6) koersi, (7) mobilisasi massa, (8)
pencerminan citra diri, dan (9) pemenuhan kebutuhan di masa
depan.
Keberadaan konflik yang selalu menyatu dengan
keberadaan masyarakat disebabkan konflik bersumber pada
interaksi sosial. Oleh karena itu, adanya konflik bukan kenyataan
empirik melainkan kenyataan esensial (Magnis Suseno, 1992).
Interaksi sosial dapat dilihat sebagai tindakan-tindakan yang
ditujukan oleh dan di antara dua orang pelaku atau lebih. Dalam

| 110 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kaitannya dengan interaksi antar etnik, maka tindakan-tindakan
tersebut dapat dilihat sebagai interaksi antar identitas etnik.
Identitasetniktiadalainadalahsebuahnilaikemasyarakatan
yang dipaksakan begitu saja untuk diterimakan kepada para
pendukung kebudayaan pada masa-masa formatif dari usia
mereka. Oleh karena itu, identitas etnik bersifat askriftif sebab
dengan identitas seseorang diklasifikasikan atas identitasnya
yang paling umum dan mendasar, yaitu berdasarkan atas tempat
atau asalnya (Barth, 1969). Setiap etnik akan membentuk dan
mengembangkan budaya mereka yang berbeda dengan budaya
etnik lainnya. Perbedaan tersebut terbentuk akibat perbedaan
faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya
kondisi adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kondisi
semacam ini telah mengantarkan lahirnya berbagai bangsa yang
berbeda di dunia dan tiap bangsa atau etnik dengan budayanya
sendiri dan membentuk masyarakatnya sendiri.
Dalam suatu wilayah yang masyarakatnya secara etnik
majemuk, hubungan antar etnik yang dinamis terlihat pada
proses penyatuan dan alkulturasi berbagai kelompok budaya
dan sosial pada pembentukan identitas budaya baru. Sejarah
memperlihatkan betapa penyesuaian satu kelompok dengan
kelompok lain yang memiliki cara hidup, struktur sosial dan
budaya yang berbeda-beda selalu menimbulkan masalah.
Hambatan penyatuan biasanya bersumber pada identitas etnik
itu sendiri sebagai kesatuan sosial dengan sistem nilai masing-
masing, sehingga anggota kelompok sebuah etnik kurang
memiliki loyalitas terhadap tata nilai budaya majemuk dalam
suatu wilayah. Sebaliknya, terdapat kecenderungan untuk terus
memurnikan nilai budaya standar masing-masing (Belshaw,
1978), sehingga mudah menjurus pada ikatan-ikatan primordial
(Geertz, 1981). Titik pusat primordial biasanya berkisar pada
hubungan darah atau kesukuan, ras, bahasa, daerah (teritorial).,
agama dan kebiasaan.

| 111 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Kelompok primordial akan menciptakan kesetiaan dan


solidaritas sesama anggota kelompok yang amat kuat sehingga
dapat disebut fanatisme. Solidaritas kelompok bersumber pada
solidaritas atau kesetiaan kepada keluarganya yang tumbuh
dengan sendirinya tanpa harus direkayasa. Oleh sebab itu,
kesetiaan kepada kelompok terbentuk dalam diri setiap orang
secara alami. Bersamaan dengan terbentuknya ikatan-ikatan
primordial muncul fanatisme terhadap nilai-nilai dan norma-
norma budaya etnik sebagai acuan perilaku yang apabila tidak
terakomodasi oleh nilai-nilai dan norma-norma budaya etnik lain
dapat menimbulkan kekacauan sosial. Dengan kata lain dalam
proses sosialsetiap tingkah laku seseorang dinilai berdasarkan
standar nilai yang berlaku untuk kelompok etniknya. Dengan
demikian, batas-batas etnik di antara kelompok-kelompok etnik
semakin jelas dan cenderung untuk tetap dipertahankan oleh
adanya seperangkat ciri-ciri kebudayaan yang nampak. Dalam
rumusan lain Edward M.Bruner (1974) menyatakan pembauran
akan sulit dilaksanakan apabila dalam suatu wilayah tidak
terdapat budaya dominan yang mampu sebagai perekat budaya
majemuk.

Penutup
Mencermati fenomena etnisitas dan berbagai persoalan
bangsa yang terjadi akhir-akhir ini, kita dihadapkan kepada
pilihan yang teramat sulit dan berat. Pertanyaan besar yang
muncul di antaranya masih mampukah kita mempertahankan
kesatuan bangsa (integrasi) sebagai mana yang disimbolkan
lambang negara Bhinneka Tunggal Ika dan dicita-citakan
bersama sejak semula? Integrasi atau disintegrasi yang akan
terjadi sangat tergantung kepada kemampuan kita memanage
negara dan bangsa ini di atas landasan dan syarat-syarat yang
memberikan keuntungan bagi semua secara bersama.
Kalau Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah

| 112 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme
menjadi masyarakat yang multikulturalisme dan Afrika Selatan
yang semula merupakan masyarakat majemuk yang otoriter
ditandai dengan ideologi rasismenya menjadi masyarakat yang
majemuk demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya?
Perubahan-perubahan seperti tersebut dapat terjadi bilamana
kita mampu mereformasi atau merubah masyarakat majemuk
kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat
sipil yang demokratis berkeadilan dengan bercorak pada
bhinneka tunggal ika. Perubahan tersebut memerlukan syarat-
syarat tertentu yang harus diikuti.
Pertama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut paham
masyarakat sipil demokratis, di dalamnya tidak ada dominasi
militer di dalam peran sosial politik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Militer dimanapun adalah pasukan perang ,
dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan
untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari
luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam
kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota militer
harus menjadi orang sipil yang tunduk pada hukum yang berlaku
di masyarakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghindari
kekhilafan sehingga mereka berperan dalam dalam bidang
sosial politik, maka seperti di berbagai negara (Amerika Serikat),
militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik. Pada saat mereka
dibebastugaskan dari dinas militer, mereka akan mempunyai
pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat.
Bila syarat ini dapat dipenuhi maka berikutnya adalah
syarat pelaksanaan demokrasi dalam berbagai pranata sosial
kemasyarakatan nasional. Pemerinatahan oleh rakyat, dari
rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh.
Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik di antara
unsur-unsur yang tercakup di dalamnyabukan untuk saling

| 113 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

menghancurkan melainkan untuk saling memeriksa guna


terwujudnya keseimbangan (check and balances) terutama
dalam kaitan hubungan antara eksekutif, legislatif dan judikatif
dalam setiap strata kenegaraan.
Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis, landasan
demokrasi pada hakekatnya terletak pada hubungan
keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur individu
dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM,
dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup
dalam sebuah satuan politik. Ketiga unsur ini sama-sama
sakralnya, dan harus berada dalam hubungan keseimbangan di
antara konflik-konflik yang terjadi dalam ketiga unsur tersebut.
Pada suatu saat demi sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah
dan negaralah yang dimenangkan, sementara pada saat
lainnya individulah yang harus diutamakan. Pada saat lainnya
lagi, kepentingan komun iti atau masyarakatlah yang harus
dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan
negara dan kepentingan individu.
Dalam masyarakat yang majemuk, posisi dari masyarakat-
masyarakat suku bangsa atau masyarakat etnik tidaklah dalam
posisi yang seimbang satu dengan lainnya. Ada masyarakat yang
kebudayaannya dominan dan ada pula yang minoritas. Dalam
masyarakat sipil yang demokratis berkeadilan, masyarakat
yang minoritas diberikan hak untuk hidup lebih dibandingkan
dengan mereka yang dominan, bukan sebaliknya. Tujuannya
agar mereka yang minoritas tidak hancur dan atau semakin
tersisih.
Ideologi pentingnya tentang hak budaya komuniti atau
masyarakat harus disebarluaskan sejak sekarang dengan alasan
bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang penyangga
tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat
sebagai negara demokratis mempunyai kebudayaan, yang nilai-
nilai kebudayaannya sakral, mencakup tiga unsur tersebut

| 114 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
(lihat Suparlan, 1991). Karena itu masyarakat Amerika tetap
tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan
komunisme, dan dalam menghadapi berbagai gejolak sosial
politik sukubangsa serta rasial.
Syarat berikutnya adalah reformasi dalam tatanan hukum
dan penegakkan hukum. Tatanan hukum yang mendukung
cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis dan
berkeadilan, yang menghargai hak-hak individual dan hak-hak
budaya komuniti dalam kaitannya dengan hak-hak berkuasa
dari pemerintah atau negara sudah waktunya diperbaiki.
Permasalahan hak budaya komuniti menjadi kritikal karena
dalam peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah hak
budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat etnik yang
hidup di daerah-daerah tidak diperhatikan. Perubahan dalam
tatanan hukum harus diiringi pula dengan penegakkan hukum
yang adil tanpa pandang bulu bagi siapapun yang melanggar
hukum. Penegakkan hukum ini sudah waktunya dilakukan
dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.

| 115 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

DAFTAR PUSTAKA
Anthony Smith, 1987, The Ethnic Origin and Nations,
Blackwell, New York.
Belshaw Ceryl J, 1978, Traditional Exchange and Modern
Markets, Modernization of Traditional Society, Prentice
Hall, Inc. Englewood Cliff, New York.
Doecet Ian , tt, Working With Conflict, Buku Panduan Pada
Lokakarya Pengembangan Kapasitas Oxfam Indonesia
dan British Council.
Enloe C, 1980, Ethnicity Diversity : The Potential For Conflict,
Dalam : Diversity and Development in Southeast Asia,
The Coming Decade, Mc Graw Hill Book Co, New York.
Frederick Barth, 1969, Ethnic Groups and Boundaries, Little
Brown, Boston.
Gordon Milton M, 1964, Assimilation in American Life, Oxford
University Press, New York.
Haryo S. Martodirdjo, 2000, Hubungan Antar Etnik, Naskah
Ceramah, Tanggal 23 Pebruari 2000, Sekolah Staf dan
Pimpinan POLRI, Bandung.

| 116 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
-----------------------------, 2001, Analisis Perkembangan Sosial
Budaya, Bahan Kuliah, Sekolah Staf dan Pimpinan
POLRI, Bandung.
J.J. Kusni, 2000, Dayak Membangun, Palangkaraya.
J.S. Furnival, 1948, Colonial Policy and Practice : A Comparative
Study of Burma and the Netherlands India , New York
University Press, New York.
Kedit Peter M, 1989, Ethnicity in Multiethnic Society, Sarawak
Museum Journal, Vol. XL.
Koentjaraningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, UI Press, Jakarta.
Narrol R, 1964, Ethnic Unit Classification, Current
Anthropology.
Nasikun, 1994, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Parsudi Suparlan, 2000, Masyarakat Majemuk dan Perawatannya,
Antropologi Indonesia, TH XXIV Nomor 63, FISIP UI,
Jakarta.
---------------------------, 1999, Kemajemukan Amerika : Dari
Monokulturalisme ke Multikulturalisme, Jurnal Studi
Amerika, FISIP UI, Jakarta.
----------------------------, 2000, Ethnic and Religious
Conflict in Indonesia, FISIP UI, Jakarta.
Pierre Van den Berghe, 1990, State Violence and Ethnicity,
Sage, London.
Thomas H. Ericksen, 1993, Ethnicity and Nationalism, East
Haven, Pluto Press, London.
Yohanes Bahari et all, 2000, Konflik Sosial di Kalimantan Barat,
Perilaku Kekerasan Antara Etnik Madura-Dayak dan
Madura-Melayu, Laporan Penelitian, Untan, Pontianak.

| 117 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Zeitlin M, 1970, Revolutionary Politics and The Cuban Working


Class, Academic Press, New York.

| 118 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB VI
PENDIDIKAN PERDAMAIAN DAN
RESTORASI PERADABAN BANGSA

Pendahuluan

P
eradaban bangsa saat ini sedang mengalami ujian
berat karena memudarnya nilai-nilai kemanusiaan,
kearifan sosial, kecerdasan sosial dan kompetensi
sosial. Pemudaran itu mengakibatkan terjadinya berbagai krisis
dan ketidakmampuan mengatasinya sehingga setiap krisis
selalu berkepanjangan dan berkesinambungan. Memudarnya
peradaban bangsa itu perlu segera direstorasi agar tidak
menyebabkan kondisi bangsa semakin terpuruk. Pendidikan
perdamaian diyakini mampu meningkatkan nilai-nilai
kemanusiaan dan menciptakan kearifan sosial, kecerdasan sosial
dan kompetensi sosial sehingga diharapkan mampu merestorasi
peradaban bangsa.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, sebenarnya kita sedang mengalami dan menghadapi
ujian berat. Berbagai krisis silih berganti seolah tiada henti
melanda dan menerpa negeri ini. Belum selesai krisis yang

| 119 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

satu sudah muncul krisis yang lain. Mulai dari krisis bencana
alam (banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, tsunami),
krisis sosial (tawuran dan konflik kekerasan), krisis ekonomi
(krisis moneter dan perbankan), krisis hukum (mafia kasus
hukum dan peradilan), krisis politik (ketidakpercayaan terhadap
elit politik dan pemerintah, politik tak beretika, carut marut
berdemokrasi), dan krisis ideologi (separatisme ideologi dan
terorisme), yang kesemua krisis itu berpangkal dari krisis
peradaban (memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kecerdasan sosial dan kompetensi sosial). Pranowo (2006)
dalam tulisannya tentang Revitalisasi Pancasila menggambarkan
kondisi demikian itu sebagai suatu keadaan seperti orang yang
sedang mengalami sakit parah, terbaring di ICCU, sekarat
dan sedang menunggu ajal. Apa yang ditengarai Pranowo itu
sesungguhnya menunjukan keprihatinannya atas kondisi yang
dihadapi bangsa sekaligus kerinduan dan kecintaannya yang
amat mendalam akan perlunya melakukan langkah-langkah
penyelamatan cepat dan tepat terhadap negeri ini agar negeri ini
tetap dapat berdiri tegak, kokoh, gagah dan lestari.
Belum hilang dalam ingatan kita, bagaimana krisis multi
dimensi tahun 1998 yang memorakmorandakan berbagai
sendi kehidupan negeri ini beberapa tahun silam, krisis itu
belum sepenuhnya pulih, kini kita dihadapkan lagi kepada
krisis baru yaitu krisis tahun 2008 yang tidak kalah masifnya.
Meskipun menurut beberapa pengamat krisis tahun 2008 itu
tidak sedahsyat dan tidak secara langsung menghantam negeri
ini, tetapi fakta dampaknya tak kalah heboh dibandingkan krisis
tahun 1998 sebelumnya. Salah satu buktinya adalah kasus Bank
Century yang cukup hingar bingar diperdebatkan Pansus DPR
beberapa waktu lalu dan kini kasusnya tengah disidik oleh
para aparat penegak hukum negeri (kepolisian, kejaksaan dan
KPK) dengan berbagai persoalan ikutannya sedikit banyak
telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan bermasyarakat,

| 120 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berbangsa dan bernegara.
Demikian pula akan berbagai konflik kekerasan yang
bernuansa horizontal (etnik dan agama) maupun yang bernuansa
vertikal (antara masyarakat dengan negara) yang terjadi silih
berganti di berbagai pelosok negeri beberapa waktu silam seperti
di Poso, Ambon, Sambas, Sanggau Ledo, Sampit, Papua, Aceh
dan sebagainya. Meskipun konflik kekerasan itu sudah cukup
lama berlalu, tetapi dampaknya hingga kini masih membekas
dan terasa. Sebagian para korban konflik kekerasan itu masih
hidup dalam pengasingan dan pengungsian. Hubungan sosial
antar sesama masih diwarnai prasangka dan stereotipe negatip
sehingga sangat mudah menyulut dan memunculkan konflik
kekerasan baru.
Kini setiap hari kita semakin akrab menyaksikan berita
kekerasan dari berbagai sudut negeri melalui media massa cetak
dan elektronik. Mungkin hampir tidak ada hari dilalui tanpa
suguhan berita kekerasan. Berbagai macam kekerasan itu silih
berganti, seperti kekerasan dalam keluarga, kekerasan rumah
tangga, kekerasan di kelas, kekerasan di sekolah, kekerasan di
kampus, tawuran antar pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran antar
kampung, tawuran para suporter, tawuran penonton konser,
tawuran antar gang, hingga anarkisme mahasiswa di berbagai
kampus dan anarkisme masyarakat dalam menyampaikan
pendapat ketika melakukan demo dan sebagainya. Kekerasan-
kekerasan itu bahkan sering dipicu hanya oleh persoalan sepele
dan kadang sulit dimengerti oleh akal sehat. Semakin hari
semakin tumbuh budaya kekerasan di tengah kita. Sepertinya
kekerasan sudah menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah, karena
hampir tidak ada lagi ruang di sekeliling kita yang tanpa nuansa
kekerasan. Tumbuhnya budaya kekerasan seperti itu seperti
dikatakan Johan Galtung (2002), tiada lain sebagai akibat setiap
persoalan selalu diselesaikan dengan cara kekerasan. Ironinya
negara yang semestinya berfungsi mengayomi warganya ternyata

| 121 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

melalui aparatnyapun sering melakukan kekerasan seperti


melakukan ketidakadilan, penindasan, pemaksaan, penggusuran
dan perampasan hak-hak rakyat.
Kita pun menyaksikan kekerasan dalam bidang hukum
seperti semakin memudarnya kearifan pelaksanaan hukum di
tengah masyarakat. Hukum semakin mudah diputarbalikkan
dan diperjualbelikan oleh para aparat pelaksananya. Akibatnya
terjadi ketidakpastian hukum dan runtuhnya keadilan hukum,
sehingga yang benar bisa menjadi salah, sebaliknya yang salah
menjadi benar. Penyelesaian perkara atau masalah yang selalu
harus ditakar dan diselesaikan menggunakan hukum nasional
(hukum positif) dan melalui jalur peradilan (litigasi), padahal
hukum nasional (hukum positif) dan peradilan (litigasi) tidak
selamanya mampu menyelesaikan perkara secara adil, bahkan
justeru sebaliknya. Seperti dikatakan Harron (2002) dari hasil
penelitiannya justeru memperlihatkan bahwa masyarakat
sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi
(badan peradilan). Masyarakat tidak puas atas sistem peradilan
(dissatisfied with the judicial system), karena cara penyelesaian
konflik yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-
tele (the delay inherent in a system), cenderung membuang-
buang waktu (a waste of time), biayanya sangat mahal (very
expensive), mempermasalahkan masa lalu bukan menyelesaikan
masa depan, membuat orang bermusuhan dan melumpuhkan
para pihak yang bertikai. Proses pengadilan cenderung bersifat
“adversarial” atau berlangsung atas dasar saling permusuhan
antara para pihak dan selalu menghasilkan bentuk penyelesaian
yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a
winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (a loser).
Dampak penyelesaian perkara yang selalu menggunakan
hukum nasional (hukum positif) melalui badan peradilan (litigasi)
mengakibatkan semakin membludaknya jumlah penghuni
rumah tahanan negara (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan

| 122 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
(LP) di tanah air. Hampir semua rutan dan LP di tanah air telah
kelebihan daya tampung bahkan ada yang sampai 600% dari daya
tampung yang tersedia (Menkumham, 2010). Pertanyaannya
haruskah semua perkara diselesaikan secara hukum nasional
(hukum positif) melalui badan peradilan (litigasi), padahal
di tiap komunitas masyarakat sudah tersedia mekanisme
penyelesaian tersendiri, yang justeru mungkin lebih adil dan
manusiawi. Tidak bisakah mekanisme penyelesaian masyarakat
itu digunakan sebagai media alternatif dalam menyelesaikan
perkara, khususnya untuk perkara-perkara yang berskala kecil
dan komunitas?
Berbagai krisis yang diungkapkan itu mengindikasikan
dan menunjukkan kepada kita telah terjadinya krisis peradaban
berupa penurunan nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kecerdasan sosial dan kompetensi sosial dalam masyarakat
selama ini sehingga kita semakin tidak mampu menyelesaikan
krisis dan konflik di sekitar kita kendatipun krisis atau konflik
itu sangat sederhana. Masyarakat telah kehilangan kearifan-
kearifan sosial yang unggul, seperti kemampuan menghargai
dan menghormati, kemampuan toleransi, kemampuan
berempati, semangat dan kemampuan menolong, kemampuan
menyelesaikan konflik, kemampuan musyawarah dan mufakat
serta kemampuan bekerja sama. Sebaliknya masyarakat
cenderung mudah menyalahkan orang lain ketimbang introspeksi
diri, pengendalian emosi menurun, mudah tersinggung, cepat
marah, gampang terpengaruh isu yang menyesatkan, dan
gampang curiga terhadap kelompok lain, sehingga kadang
hanya karena persoalan sepele dapat berakibat pada konflik
sosial yang berlarut-larut atau protracted social conflict (Azhar,
2000) dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta yang
tidak sedikit. Terhadap kenyataan seperti ini, pertanyaannya
bagaimana kita dapat memperbaikinya agar peradaban bangsa
yang telah memudar itu dapat pulih kembali, apa yang harus

| 123 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kita lakukan?
Banyak pakar meyakini penyembuhan atas memudarnya
nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kompetensi sosial,
kecerdasan sosial atau peradaban bangsa tersebut hanya efektif
melalui jalur pendidikan, kendatipun hasil penyembuhannya
akan berjalan lama. Jika memang harus melalui jalur pendidikan,
pertanyaannya pendidikan seperti apa dan pendidikan yang
bagaimana. Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, pendidikan
telah membuktikan dirinya menjadi alat yang paling ampuh
dalam membebaskan suatu masyarakat atau bangsa dari
kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan berbagai
keterpurukan lainnya, terutama pendidikan yang dijalankan
dalam nuansa damai atau yang membangun terciptanya
perdamaian. Pendidikan merupakan jalan terbaik meningkatkan
peradaban bangsa karena melalui pendidikan suatu masyarakat
dapat menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
sebagai pilarnya peradaban dan pilarnya perdamaian.

Pendidikan Perdamaian
Memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kompetensi sosial dan kecerdasan sosial yang mengakibatkan
terjadinya krisis peradaban berkesinambungan di masyarakat
dewasa ini diduga sedikit banyak berkaitan dengan pelaksanaan
pendidikan dan proses pembelajaran yang cenderung lebih
mengedepankan learning to know dan learning to do yang
dilaksanakan dalam suasana yang tidak damai. Banyak fakta
menunjukkan proses pembelajaran yang berlangsung cenderung
tidak damai dan belum menyentuh pada aspek learning to
live together dan learning to be sebagaimana yang dianjurkan
oleh UNESCO. Pelaksanaan pendidikan yang demikian itu
menghasilkan manusia-manusia yang memiliki jiwa kekerasan
dan hanya menguasai hard-skill atau hard-competency dan
kurang pada penguasaan soft-skill atau soft competency.

| 124 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Padahal dalam realitas kehidupan yang senyatanya, dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari, kedua skill atau kompetensi
itu diperlukan secara seimbang.
Pendidikan yang lebih mengedepankan learning to
know dan learning to do itu dalam perspektif taksonomi
Bloom dikategorikan baru menyentuh pendidikan kognitif
dan psikomotorik, itu pun kalau mau jujur baru menyentuh
pada tingkat permukaan saja, belum sampai pada isi substansi
sesungguhnya, apalagi untuk pendidikan afektif. Padahal
pendidikan yang sejatinya, semestinya menyentuh seluruh aspek
atau pilar tersebut secara utuh, menyeluruh, dan mendalam,
lebih-lebih pada masyarakat plural seperti Indonesia ini.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, belajar untuk
mampu hidup bersama orang lain (learning to live together)
dan belajar menjadi manusia sesungguhnya seutuhnya (learning
to be) agar bermanfaat bagi diri dan orang lain sesungguhnya
perlu mendapatkan perhatian serius selain belajar mampu
mengetahui (learning to know) dan belajar mampu melakukan
atau mampu mengerjakan sesuatu (learning to do). Bangsa ini
sangat memerlukan manusia yang memiliki pengetahuan dan
ketrampilan tinggi tetapi lebih dari itu kita pun memerlukan
orang-orang yang mampu menjalin hidup bersama orang
lain dan orang-orang yang benar-benar menjadi manusia
utuh atau manusia yang berkepribadian sejati. Manusia yang
memiliki pengetahuan, ketrampilan dan memiliki sikap mampu
menghormati dan menghargai sesama seperti itu dapat dibangun
melalui pendidikan perdamaian.
Pendidikan perdamaian sering juga disebut pendidikan
mediasi resolusi konflik, pendidikan manajemen konflik,
pendidikan transformasi konflik, pendidikan HAM dan
pendidikan multikultural. Pendidikan-pendidikan ini bertujuan
untuk mewujudkan nilai, perilaku dan cara hidup yang
mendukung terciptanya budaya damai. Damai atau perdamaian

| 125 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

identik dengan suasana tanpa kekerasan, adanya harmoni,


toleransi, saling menghargai dan relasi yang setara antar individu
maupun komunitas yang hidup bersama untuk mencapai tujuan
tertentu dalam suatu wilayah tertentu pula.
Damai atau perdamaian berbeda bahkan berlawanan
dengan konflik kekerasan, dan konflik kekerasan sendiri juga
berbeda dengan konflik. Konflik adalah suatu keniscayaan yang
melekat pada suatu masyarakat yang terdiri dari banyak individu
yang memiliki keinginan, kehendak dan kepentingan tertentu.
Konflik seperti ini dalam batas tertentu sebenarnya diperlukan
bagi tumbuh berkembangnya suatu komunitas menuju arah
yang lebih baik. Sementara konflik kekerasan terjadi manakala
berbagai keinginan, kehendak dan kepentingan tersebut
berusaha dicapai atau dipertahankan dengan cara-cara yang
merusak, baik merusak secara fisik, psikis maupun lingkungan.
Usaha menciptakan suasana damai dan budaya perdamaian
dalam suatu komunitas adalah juga merupakan salah satu
bagian dari pendidikan pengurangan resiko bencana. Walaupun
keduanya berbeda dalam ranah kajiannya, bencana alam dan
konflik kekerasan mempunyai titik singgung yang sama yaitu
pada sejauh mana suatu komunitas memiliki mekanisme dan
ketahanan dalam menanggulangi kedua ancaman tersebut
dan mampu mengurangi dampak yang ditimbulkan masing-
masingnya.
Oleh karena itu pendidikan perdamaian juga menjadi
bagian dalam kajian bencana karena timbulnya konflik
kekerasan bisa mengganggu harmoni, keberlangsungan hidup
suatu masyarakat, menimbulkan rasa takut, memakan korban
jiwa dan menyebabkan rusaknya aset-aset penghidupan, serta
menyebabkan hilangnya akses ekonomi, sosial dan politik
seseorang atau suatu komunitas. Suatu bencana bukan hanya
ancaman yang bersumber dari alam, tetapi juga ancaman yang
berasal dari situasi sosial yang tidak sehat.

| 126 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban
manusia, berbagai bencana sosial modern masuk dalam
kajian pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction).
Berbagai bencana sosial itu seperti terorisme, ancaman perang
nuklir, konflik kekerasan etnik, perang antar negara dalam
memperebutkan sumber daya dapat dikategorikan sebagai
bencana yang berpotensi mengganggu keberlangsungan hidup
suatu masyarakat.
Perdamaian juga dipahami sebagai suatu keadaan tidak
adanya perang atau tidak adanya konflik kekerasan. Dikaji
dari faktor penyebab, pemahaman tradisional menyatakan
perdamaian akan tercipta ketika individu memiliki rasa
kedamaian dalam dirinya sendiri, memiliki kemampuan untuk
mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan
yang merugikan orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik
kekerasan secara terbuka. Perdamaian adalah konsep dan cara
pandang seseorang yang positif baik terhadap dirinya sendiri
maupun kepada orang lain atau lingkungannya.
Bagi sebagian orang pemahaman yang dikemukakan di
atas tidak cukup untuk menjelaskan berbagai macam konflik
kekerasan yang masih saja terjadi di berbagai belahan negeri ini
saat ini. Dalam teori yang lebih modern, damai tidak semata
dipahami dari perspektif psikologis individu atau masyarakat.
Johan Galtung (2002), misalnya, mendefinisikan perdamaian
dalam dua sisi. Pertama, damai yang negatif, yaitu tidak adanya
perang atau konflik kekerasan. Situasi ini dapat dicapai dengan
pendekatan struktural, yaitu pencegahan setiap potensi konflik
dengan cara mengontrol pihak-pihak yang bisa menyulut potensi
konflik menjadi konflik terbuka dan menggunakan kekerasan.
Kedua, damai yang positif, yaitu suasana yang sejahtera, adanya
kebebasan dan keadilan yang menjadi dasar terciptanya suasana
damai yang sesungguhnya dalam suatu komunitas.
Senada dengan Galtung, Franklin (dalam Koten, 2003),

| 127 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

berpendapat bahwa damai bukan hanya sekedar tidak adanya


perang, tetapi terciptanya keadilan dan hilangnya ketakutan
dalam diri individu dan masyarakat. Ketakutan itu timbul
karena rasa tidak aman dalam faktor ekonomi, misalnya takut
tidak punya pekerjaan atau tempat tinggal yang layak. Franklin
lebih jauh menyoroti pada apa yang disebutnya “sistem yang
mengancam”, yaitu sistem yang diciptakan oleh suatu kelompok
untuk mengontrol dan mengatur individu atau kelompok lain
dengan memberi mereka rasa takut dan ketidakpastian demi
mencapai tujuan tertentu. Karena itu agar suasana damai atau
perdamaian dapat tercipta di tengah-tengah komunitas maka
harus dilakukan upaya untuk memenuhi rasa keadilan dan rasa
aman individu atau komunitas, baik aman dari ancaman fisik
maupun ekonomi, politik, hukum dan lainnya.
Pendidikan perdamaian dapat mewujudkan nilai, perilaku
dan cara hidup yang mendukung terciptanya budaya damai
tersebut, yaitu suatu budaya yang mengandung sejumlah nilai,
keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup, yang berbasis
pada prinsip-prinsip non-kekerasan, toleransi, solidaritas,
menghargai hak asasi dan kebebasan, dan lebih khusus budaya
yang menyediakan ruang untuk partisipasi dan pemberdayaan
perempuan.
Dalam aspek lain pendidikan perdamaian bertujuan
untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang akar
konflik, kekerasan dan ketidakdamaian dalam lingkup personal,
interpersonal, komunitas, nasional, regional dan internasional.
Tujuannya pemahaman secara menyeluruh terhadap konflik
bisa digunakan sebagai dasar untuk mewujudkan perdamaian
dalam suatu komunitas.

Restorasi Peradaban Bangsa


Krisis peradaban bangsa yang dialami bangsa ini jika tidak
segera diperbaiki akan mengakibatkan keterpurukan yang lebih

| 128 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dalam dibandingkan keterpurukan yang dialami saat ini. Krisis
peradaban dalam bentuk memudarnya nilai-nilai kemanusiaan,
kearifan sosial, kecerdasan sosial, dan kompetensi sosial itu
sebagaimana ditengarai di awal tulisan ini telah mengakibatkan
berbagai krisis yang berkepanjangan dan berkesinambungan.
Menurut Hobbes (dalam Koten, 2003), krisis peradaban
yang berpuncak pada berbagai tindakan biadab sangat
bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan seperti kekerasan,
ketidakadilan, pembunuhan dan sebagainya yang bukan saja telah
memutuskan hubungan keharmonisan antara manusia dengan
manusia tetapi juga dengan alam dan Tuhan Sang Pencipta,
termasuk telah membalikkan peradaban bangsa ini kembali ke
zaman primitif di mana naluri kebinatangan terekspresi secara
telanjang, karena manusia telah menjadi serigala bagi manusia
yang lain (homo homini lupus).
Koten (2003), mengistilahkan hubungan manusia dalam
peradaban itu hingga kini masih tetap dibangun atas prinsip
persaingan dan penguasaan, dengan berbagai predatornya yang
menyeramkan. Dalam pandangannya bahwa sejarah manusia
hingga kini sesungguhnya adalah sejarah yang penuh luka dan
air mata, akibat adanya campur tangan “manusia-binatang”
dalam kehidupan masyarakat.
Supriyoko (2007) dalam artikelnya tentang pendidikan
dan peradaban bangsa menjelaskan pengertian peradaban
(civilization) sebagai suatu proses penjabaran nilai-
nilai kebudayaan yang diwujudkan dalam norma yang
kemudian dijadikan satu tolok ukur kepantasan perilaku
bagi warga masyarakat pendukungnya. Sementara menurut
Koentjaraningrat (1982), peradaban (civilization) adalah bagian-
bagian dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian,
ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang
kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur kompleks.
Sedangkan Yusuf al-Qardlawi (2001) merumuskan peradaban

| 129 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sebagai akumulasi fenomena kemajuan materi, keilmuan, seni,


sastra, dan sosial, pada suatu kelompok masyarakat, atau pada
beberapa masyarakat yang mempunyai kesamaan. Meskipun
ketiganya merumuskan pengertian peradaban dari sudut
pandang yang berbeda tetapi pada hakekatnya menunjukan hal
yang sama yakni adanya hubungan yang erat antara kebudayaan
dengan peradaban. Peradaban merupakan bagian kebudayaan
yang halus dan indah dari suatu masyarakat yang terjabar
ke dalam nilai-nilai dan norma peradaban masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian suatu bangsa yang memiliki
peradaban adalah bangsa yang berkebudayaan, sedangkan
bangsa yang berkebudayaan belum tentu berperadaban.
Peradaban sebagai proses penjabaran nilai-nilai kebudayaan
diwujudkan dalam bentuk norma yang kemudian dijadikan
satu tolok ukur kepantasan perilaku bagi warga masyarakat
pendukungnya. Dalam proses penjabaran itu pendidikan
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
manusia-manusia pendukung peradaban itu. Dalam kegiatan
pendidikan selalu terjadi proses pembudayaan nilai-nilai kepada
peserta didik. Nilai-nilai yang baik akan menghasilkan peserta
didik yang berbudaya dan berperadaban baik.
Poper (dalam Koten, 2003) menyatakan bahwa sejarah
peradaban manusia kini sesungguhnya tidak bisa lagi berjalan
secara alamiah. Itulah sebabnya, manakala peradaban suatu
masyarakat atau bangsa memudar atau mulai jatuh maka
sepantasnyalah perlu segera direkonstruksi atau direstorasi agar
peradaban itu dapat pulih dan menempatkan kembali nilai-nilai
kemanusiaan pada tempat tertinggi. Proses rekonstruksi yang
menempatkan penghargaan tertinggi pada aspek kemanusiaan
itulah yang disebut sebagai proses restorasi peradaban.
Dalam pemahaman seperti itu kendatipun suatu bangsa
mampu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
atau kebudayaan (rasa, karsa, cipta manusia) yang tampak dalam

| 130 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
penguasaan kebudayaan materi yang tinggi tetapi apabila aspek
kemanusiaan diabaikan bahkan dilecehkan oleh kebudayaan
tersebut sehingga kemanusiaan tidak mendapatkan tempat yang
terhormat maka sesungguhnya peradaban bangsa itu sedang
mengalami masalah. Peradaban suatu bangsa memang tidak
hanya ditakar pada capaian puncak-puncak kebudayaan material
akan tetapi dan bahkan yang terutama adalah pada sejauhmana
nilai-nilai kemanusiaan telah mendapatkan perhatian terbaik
pada tataran individu, komunitas dan sosietas. Karena itu,
perjuangan untuk merestorasi peradaban yang berkemanusiaan
itu, pertama-tama yang harus dikalahkan adalah “kebiadaban
naluri kebinatangan dalam diri manusia itu sendiri.”
Bagaimana sebaiknya proses restorasi peradaban yang
berkemanusiaan itu berlangsung? Sutrisno (1993), menyatakan
bahwa sesungguhnya proses peradaban itu harus dibangun ke
peradaban yang berkemanusiaan, yakni suatu proses manusia,
yang dengan kendaraan peradaban mau semakin menaruh
hormatnya pada sesama manusia dalam ruang lingkungan
bersama.
Untuk itulah sesungguhnya restorasi peradaban bangsa
yang berkemanusiaan selalu mengingatkan kita untuk menyadari
bahwa semua pertanyaan mendasar tentang peradaban adalah
sumbangan apa yang bisa diberikan untuk kesejahteraan dan
menciptakan rasa aman dan damai bagi manusia seluruhnya?
Sejauh mana masyarakat sebuah bangsa dapat saling menghargai
satu sama lain untuk tetap menjaga harga diri atau martabatnya
lewat pengikisan ketidakdilan sosial, ketidakadilan ekonomi,
ketidakadilan politik, ketidakadilan hukum, ketidakadilan gender
dan sebagainya.
Ketika dikatakan bahwa kekerasan, ketidakadilan,
pembunuhan dan sebagainya sebagai pemutusan hubungan
keharmonisan antara manusia, alam semesta dan Tuhan Sang
Pencipta, maka proses restorasi peradaban yang berkemanusiaan

| 131 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

mengundang kita untuk menyadari kembali siapakah manusia


dalam hubungan dengan sesama, alam semesta dan Sang
Pencipta. Dalam konteks itu sesungguhnyalah bahwa manusia
adalah makhluk yang terluhur bila dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain di dunia.
Keluhuran martabat manusia itu terletak dalam
kesadarannya mengusahakan cinta atau kesanggupannya untuk
mencintai sesama. Seperti yang diungkapkan Mencius (dalam
Koten, 2003) bahwa yang membedakan manusia dari makhluk
hidup lain sebenarnya tampaknya kecil, yakni adanya cinta ilahi
yang memberi kesadaran kepada manusia. Namun cinta ilahi
itulah yang merembes ke hati manusia, dan yang membawa
kebijaksanaan dan kesadaran ilahi sehingga manusia tidak hanya
sanggup untuk ada seperti makhluk hidup lain, tetapi juga bisa
meniru sifat-sifat ilahi dan sifat-sifat dunia dalam mencintai,
memberi dan menghimpun makhluk-makhluk ciptaan lain
menuju kesatuan besar dalam kosmos ini. Oleh karena itu
restorasi peradaban yang berkemanusiaan haruslah berpangkal
pada upaya saling menghargai dan saling menghormati dan
bertindak jujur terhadap sesama, alam semesta dan Tuhan Sang
Pencipta.
Peradabanyangberkemanusiaanituakandapatdiraihapabila
kemampuan berpikir suatu bangsa sudah mencapai taraf yang
tinggi. Seperti yang dikatakan para ahli bahwa kesempurnaan
manusia sangat ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Dengan kata lain, peradaban yang berkemanusiaan hanya akan
tumbuh jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi
sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Namun
demikian, suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa
sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur
yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana
penting bagi tumbuhnya pemikiran tersebut.
Melalui pendidikan kita dapat membangun peradaban

| 132 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
bangsa yang unggul dan mulia, peradaban yang memiliki nilai
kemanusiaan, jati diri dan karakter bangsa yang luhur dan
terhormat. Melalui pendidikan juga kita dapat meningkatkan
semangat dan etos kerja sebagai bangsa yang kuat dan gigih.
Lebih dari itu melalui pendidikan perdamaian kita dapat
membangun peradaban yang menghadirkan persaudaraan
dan kerukunan bangsa, serta memelihara kelestarian alam.
Melalui pendidikan perdamaian kita diajarkan menghadapi
dan menyelesaikan berbagai masalah dengan mengedepankan
cara-cara yang damai, beradab dan demokratis, bukan dengan
cara-cara kekerasan dan mengabaikan pranata sosial dan
pranata hukum. Apabila kita mampu melakukan itu semua
maka Indonesia akan mampu menghadapi berbagai tantangan
dan cobaan, betapapun beratnya, apapun bentuknya, dan dari
manapun datangnya.

Penutup
Restorasi peradaban bangsa akan efektif apabila dilakukan
melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan yang mampu
meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kecerdasan
sosial dan kompetensi sosial. Pendidikan demikian itu adalah
pendidikan yang menanamkan budaya damai dan menciptakan
perdamaian, sehingga disebut pendidikan perdamaian atau
peace education.
Pendidikan perdamaian diyakini mampu meningkatkan
nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kecerdasan sosial
dan kompetensi sosial karena bertujuan mewujudkan nilai,
perilaku dan cara hidup yang mendukung terciptanya budaya
damai. Budaya damai adalah sejumlah nilai, keyakinan, tradisi,
perilaku dan gaya hidup yang berbasis pada prinsip-prinsip
non-kekerasan, toleransi, solidaritas, menghargai hak asasi dan
kebebasan. Budaya seperti itu menjunjung tinggi harmoni,
toleransi, saling menghargai dan relasi yang setara antar individu

| 133 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

yang hidup bersama dalam suatu komunitas atau masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Alfian. A.M. 2007. Restorasi Peradaban Bangsa, Jakarta, Akbar
Tandjung Institute dan Universitas Nasional.

Al-Qardlawi, Yusuf, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,


Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001.

Azar. E. 2000. Protracted Social Conflict. dalam Miall, Hugh;


Woodhouse. Tom and Oliver Ramsbotham. 2000.
Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Bahari. Yohanes. 2009. Urgensi dan Signifikansi Kompetensi
Sosial dan Pendidikan Multikultural, Sintang, Makalah
diseminarkan, Prodi Pendidikan Sosiologi dan Pusat
Penelitian Resolusi Konflik dan Perdamaian Untan.
---------------------. 2006. Revitalisasi Pancasila Sebagai Way of
Life, Jati Diri Bangsa dan Ideologi Negara di Tengah
Dekadensi dan Separatisme Ideologi Dalam Era Reformasi
dan Globalisasi, Pontianak, Makalah diseminarkan, DPD
PIKI Kalbar.
| 134 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
---------------------. 2008. Benarkah Nilai-Nilai Agama Sebagai
Sumber dan Perekat Perdamaian, Pontianak, Makalah
diseminarkan dalam Seminar FORDIALAM Kalbar.
Carnegie. 2005. dalam Suyono. Hadi. 2007. Social Intelligence:
Cerdas Meraih Sukses Bersama Orang Lain dan
Lingkungan. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Danesh. HB. 2002. Education for Peace: Breaking The Cycle
of Violence. Paper presented at: African Civil Society
Organization and Development: Re-evaluation for the
21st century, New York, Office of Social and Economic
Development, United Nations.
Danesh. HB & Danesh RP. 2004. Conflict-Free Conflict
Resolution (CFCR): Process and Methodology, Peace and
Conflict Studies, International Journal of Peace Studies,
New York.
---------------------.2002a. Has Conflict Resolution Grown Up?:
Toward a New Model of Decision Making and Conflict
Resolution, International Journal of Peace Studies, New
York.
---------------------.2002b. A Consultative Conflict Resolution
Model: Beyond Alternative Dispute-Resolution,
International Journal of Peace Studies, New York.
Franklin. Ursula. Dalam Koten. Thomas. 2003. Humanisasi
Peradaban, The Justice Advocates Indonesia, Jakarta,
Sinar Harapan.
Galtung. Johan. 2002. Kekerasan Kultural. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. Yogyakarta: Insist Press.
-------------------.2001. Kekerasan Budaya. Dalam Thomas
Santoso. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta. Ghalia Indonesia.
-------------------. 1996. Peace By Peaceful Means: Peace and

| 135 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Conflict Development and Civilization. IPRIO: Institute


Peace Research Oslo-OSLO. London. Sage Publications.
Goleman. D. 1996. Emotional Inteligence. Kecerdasan
Emosi, Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Gardner. H. 2003. Multiple Intelligence. Kecerdasan Majemuk
Teori dalam Praktek. Batam, Interaksara.
Harron. 1998. Alternative Disute Resolution. dalam Merthaman.
2002. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Penyelesaian
Konflik Sosial Antara Masyarakat Pendatang Dengan
Masyarakat Lokal. Bandung. PPS Unpad.
Hodgson. Marshall G. S. 1974. The Venture of Islam, Chicago
& London: The University of Chicago Press.
Idi. Abdullah, dan Suharto. Toto. 2006. Revitalisasi Pendidikan
Islam. Kata Pengantar: Prof. Dr.H.J. Suyuthi Pulungan,
M.A, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kiyosaki. T. Robert. 1998. Rich Dad‟s The Bussiness School,
For People Who Like Helping People, Tech Press. Inc. In
Association with CASHFLOW Technologies. Inc.
Khilstrom F.J. and Cantor. N. 2000. Social Intelligence. Socrates
Barkeley.Edu. July 2000.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitas, Pembangunan,
Jakarta: Gramedia.

Koten. Thomas. 2003. Humanisasi Peradaban, The Justice


Advocates Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan.
Kraybill.S.Ronald, Evans F.Alice, Evans A.Robert. 2002.
Peace Skills: Panduan Mediator, Terampil Membangun
Perdamaian, Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2006. Injil Lukas dan Kitab Roma,
| 136 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Jakarta.
Martani W. Dan Adiyanti M.G. 1991. Kompetensi Sosial dan
Kepercayaan Diri Remaja, Jurnal Psikologi I, 17-20.
Mendiknas RI. 2002. Surat Keputusan Mendiknas Nomor:
042/U/2002, Jakarta.
Menkumham RI. 2010. LAPAS, Kelebihan Daya Tampung,
Kompas, 14 Februari 2010, Jakarta.
Moss K dan Hunt C. dalam Suyono. Hadi 2007. Social
Intelligence: Cerdas Meraih Sukses Bersama Orang Lain
dan Lingkungan. Yogyakarta. Ar Ruzz Media.
Poper. Karl. dalam Koten. Thomas. 2003. Humanisasi
Peradaban, The Justice Advocates Indonesia, Jakarta,
Sinar Harapan.
Pranowo. 2006. Reaktualisasi Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa
dan Ideologi Negara, Makalah Seminar Dewan Pimpinan
Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia, Jakarta.
Schwarz. Adam. 2004. A Nation in Waiting Indonesia‟s Search
for Stability. Talisman Publishing, Singapore.
Sinamo H.J. 2005. Sukses dan Kecerdasan, Pembelajar. Com, 8
Agustus 2006.
Supriyoko. Ki. 2007. Bahan Kuliah Politik Pendidikan Nasional,
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sessi ke-
11.
Suyono. Hadi. 2007. Social Intelligence: Cerdas meraih Sukses
Bersama Orang Lain dan Lingkungan. Yogyakarta. Ar-
Ruzz Media.
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan.(Jakarta:
Grasindo, 2002)
Thorndike. 1920. dalam Suyono. Hadi. 2007. Social Intelligence:

| 137 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Cerdas meraih Sukses Bersama Orang Lain dan


Lingkungan. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Yani D. 2002. Kecerdasan Sosial Anak Butuh Dukungan
Keluarga, Suara Merdeka, 8 Agustus 2006.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan
Dosen. Jakarta.
Vernon P.E. 1971. The Structure of Human Abilities. London.
Methuen.
Zohar D dan Marshal I. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan
Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk
Memaknai Kehidupan, Bandung. Mizan.

| 138 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB VII
PERLUNYA MANAJEMEN MODERN
PARPOL DALAM PENETAPAN ANGGOTA
LEGISLATIF
Pendahuluan

P
emilu legislatif tidak lama lagi akan dilaksanakan,
jika tidak ada halangan rencananya pada tanggal 9
April 2009. Pemilu dimanapun merupakan ajang
demokratis partai politik menempatkan kadernya di legislatif,
juga merupakan jalan merebut dan mencapai kekuasaan.
Partai politik yang mampu menempatkan wakilnya sebanyak-
banyaknya melalui pilihan rakyat di legislatif akan mudah
mewarnai pengambilan segala bentuk keputusan pemerintahan
atau negara. Mereka nantinya akan mengendalikan berbagai
kebijakan negara (pemerintahan).
Pemilu legislatif 2009 diperkirakan akan diwarnai
persaingan ketat baik antar parpol maupun antar calon legislatif
dalam internal parpol. Pasalnya parpol yang bertarung sangat
banyak dan sebagian parpol menghendaki penetapan anggota
legislatif terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut tetapi suara

| 139 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

terbanyak. Itulah sebabnya, menghadapi pemilu itu semua parpol


harus berusaha mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, agar
dapat menang dari parpol lainnya dan juga mengatasi konflik
internal partai yang bakal terjadi. Pertanyaannya, apa yang harus
dilakukan agar parpol dapat memenangkan Pemilu tersebut dan
mengatasi konflik internal yang bakal terjadi nantinya?

Perlunya Manajemen Partai Politik


Usaha memenangkan pemilu tentu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, tetapi yang efektif adalah melakukan manajemen
terhadap partai politik itu sendiri. Manajemen parpol memang
tidak mudah namun harus dan sangat diperlukan terutama bagi
parpol yang baru berkembang. Manajemen merupakan hal yang
esensial bagi tumbuh dan berkembangnya suatu parpol. Di era
modern ini keberhasilan suatu parpol tidak diukur semata dari
jumlah dukungan masa, pengurus maupun finacialnya melainkan
dari manajemennya. Manajemenlah yang menjadi barometer
dan kunci utama keberhasilan serta masa depan parpol.
Salah satu aspek manajemen strategis yang perlu
dikedepankan adalah memfungsikan kehumasan atau public
relation parpol. Kehumasan sangat menentukan keberhasilan
sosialisasi visi-misi-dan program parpol kepada public atau
masa. Melalui humas, parpol perlu menerapkan strategi efektif
mengkomunikasikan ide dan gagasannya kepada publik.
Konsep komunikasi yang efektif dapat dijadikan pijakan. Itulah
sebabnya peran dan fungsi humas sebagai bagian dari ‟strategic
management‟ perlu dioptimalkan untuk memberikan efek
signifikan dalam pencapaian tujuan parpol.
Kita hidup dalam era global yang diwarnai liberalisasi
dalam segala aspek kehidupan. Inti liberalisasi adalah
persaingan (competition) dan sekaligus pentingnya wujud
kerjasama (cooperation). Melalui kompetisi tersebut semua
parpol dihadapkan pada pertarungan tetapi tidak menutup

| 140 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kemungkinan untuk melakukan kerjasama (koalisi). Partai politik
(parpol) yang tidak mampu berkompetisi dan tidak mampu
membangun koalisi pasti akan collapse bahkan bisa tersingkir.
Parpol harus mampu menyiasati perkembangan zaman
ini. Menghadapi kompetisi atau melakukan koalisi adalah
langkah membangun prestasi dan melahirkan reputasi sebagai
wujud citra parpol. Untuk berprestasi, meraih reputasi, apalagi
membangun citra parpol perlu mendapat dukungan publik
atau masyarakat. Sebab masyarakat itulah sesungguhnya pasar
yang selalu menguji, menilai, dan memberi penghargaan dalam
proses liberalisasi. Itulah sebabnya parpol harus membangun
human relation yang menjadi bagian dari proses peradaban yang
berlangsung sangat dinamis.
Hasil pengamatan sementara, tampaknya sampai saat ini
hampir semua parpol tidak memiliki humas, apalagi humas
yang mumpuni, kalaupun ada hanya berfungsi komplementer
dari bidang informasi dan komunikasi (infokom). Dalam hal ini,
fungsi humas hanya secara teknis mempublikasikan apa yang
menjadi keputusan strategis bidang lain. Fungsi humas bukan
fungsi strategis karena tidak dapat menggerakkan dan mengelola
sumber-sumber komunikasi dengan publik. Sebaliknya
humas merupakan fungsi manajemen yang hanya berperan
mengkomunikasikan pesan-pesan parpol kepada publiknya.
Dengan demikian parpol yang benar dan baik akan
memandang penting makna humas dengan mengintegrasikan
semua fungsi humas menjadi satu fungsi (terintegrasi) dan tidak
terpecah serta tidak menjadi bagian dari bidang lain. Hanya
dalam suatu sistem integrasi, humas memungkinkan untuk
mengembangkan komunikasi dalam rangka mengelola strategi
dan mempengaruhi opini publik baik internal maupun eksternal.
Dengan posisi manajemen strategis, humas akan lebih
leluasa memberikan kontribusi guna pencapaian tujuan parpol.
Dengan demikian humas mampu mengembangkan program

| 141 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

untuk mengkomunikasikan pesan parpol kepada publik, baik


internal maupun eksternal.
Implikasinya humas mampu mewarnai terbentuknya
budaya parpol, mengelola iklim komunikasi yang kondusif,
serta menumbuhkan peran aktif semua stakeholder parpol.
Dalam kaitan ini, secara garis besar fungsi humas parpol antara
lain: partisipasi dalam manajemen, yaitu terlibat dalam proses
pembuatan keputusan strategis seperti: (1) menyegmentasikan
publik dan stakeholder utama, (2) komunikasi untuk mengelola
hubungan dan interaksi dengan target publik, (3) mempengaruhi
perilaku manajemen, dan (4) mengukur kualitas hubungan
dengan stakeholder parpol. Lebih jauh humas berkontribusi
dalam terbentuknya efektivitas parpol guna memenuhi
kebutuhan stakeholder-nya. Kontribusi ini memberikan nilai
lebih khususnya untuk mengelola kegiatan secara strategis dan
efektif melalui peningkatan hubungan dengan target publiknya.

Membentuk Humas Parpol


Manajemen parpol sekarang perlu direnovasi dan dilakukan
pembaruan dengan membentuk bidang humas yang terlepas
dari bidang infokom yang sudah ada. Fungsi dan peran humas
yang dibentuk selain menerapkan manajemen strategis juga
sebagai mediator antara pimpinan dengan anggota (internal)
dan antara pimpinan dengan publik/masyarakat (eksternal)
sehingga tercipta komunikasi yang harmonis.
Lebih dari itu humas parpol juga memiliki fungsi
sebagai komunikator, fasilitator, dan corporate image building
(pembangun citra parpol). Jadi dia menjalankan fungsi pimpinan
parpol (role of the leader) tempat seorang pimpinan parpol
mempunyai peran sebagai figur, sebagai komunikator, dan
sebagai pembuat keputusan (interpersonal, informational, and
decisional).
Seorang kader praktisi humas parpol yang piawai dalam

| 142 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berkomunikasi dengan media tulisan, elektronik, bahkan melalui
multi media. Kader praktisi humas parpol diharapkan juga dapat
melakukan pembinaan sumber daya manusia internal partai itu,
di samping diperlukan kondisi yang kondusif yang mengarah
kepada keterbukaan dan demokratisasi.
Hal ini akan dapat mendorong setiap pimpinan parpol
untuk berpikir kritis dan kreatif. Setiap pimpinan parpol akan
mengembangkan pola berpikir alternatif dengan pemahaman
mendalam. Dengan ini diharapkan tumbuh pimpinan parpol
yang kritis dan bersikap arif dalam menghadapi berbagai
masalah, tidak hanya asal cepat saja.

Koalisi Bidang Humas Dengan Media Massa


Bentuk nyata komunikasi parpol dapat dilakukan dengan
berbagai media cetak secara lisan atau tertulis, juga media
elektronik. Komunikasi tersebut diramu sedemikian rupa
sehingga mampu memengaruhi publik pada umumnya. Ini
untuk membangun reputasi parpol, penciptaan sense of
belonging dan pembinaan corporate culture.
Dalam dinamika liberalisasi, suka atau tidak suka, media
massa atau pers (cetak atau elektronik) sangat penting. Apalagi
pada era globalisasi informasi sekarang. Pers ada di mana-
mana, dengan para wartawan pada titik sentralnya. Pers juga
perlu dimanfaatkan parpol, yang tentu saja dapat merugikan jika
salah memanfaatkannya. Penulis Amerika Herbert NCasson
menyatakan, media massa menjadi kebutuhan pokok dalam
perikehidupan masyarakat modern, yang membimbing mereka
dengan berbagai informasi dari pagi sampai petang bahkan
sampai jauh malam selama 24 jam non-stop.
Dalam zaman modern, media massa menjadi indikator
penting dari kemajuan suatu negara dan bangsa. Media massa
itu padat modal dan ditangani secara profesional dengan
menggunakan teknologi canggih, terbukti telah melahirkan

| 143 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

tiras media cetak dan tayangan jam siaran media elektronik yang
spektakuler. Inilah yang menempatkan media massa menjadi
institusi yang luar biasa kekuatannya di seluruh dunia, dan
pengaruhnya sangat kuat, luas, dan tidak ternilai.
Karena itu jika operasionalisasi media massa dilakukan
oleh mereka yang tidak profesional, maka publik dan peradaban
akan sangat dirugikan. Sebaliknya jika pers dikendalikan secara
profesional, idealis, dan independen, niscaya akan memberi
kontribusi besar dan bermakna bagi publik dan peradaban.
Itu pula sebabnya humas pada institusi/organisasi pada
umumnya, dan humas parpol khususnya yang tidak mampu
memanfaatkan potensi media massa pasti akan tertinggal oleh
perubahan zaman, dan sangat mungkin akan mati lantaran tidak
mampu membangun akses kerjasama dan tidak kuat bersaing.
Humas parpol yang mampu memanfaatkan potensi pers,
yakinlah akan mampu bertahan, bahkan kian maju dan kuat.

Information is Power.
Humas parpol dan media massa sebenarnya dua fenomena
dalam dunia informasi yang sangat sinergi dalam membangun
kehidupan bangsa dan negara. Tanpa media massa, humas
parpol akan sulit menyebarluaskan informasi penting, termasuk
mengalami kesulitan untuk melakukan pendekatan dengan
publiknya.
Adalah realitas, betapa banyak parpol yang kedodoran
oleh hantaman media massa yang menyuguhkan informasi tidak
akurat, tidak bertanggung jawab, dan salah. Hal itu terutama
akibat ketidakmampuan parpol tersebut memanfaatkan peluang
yang tersedia pada media massa, utamanya karena parpol tidak
memiliki humas.
Tentu saja landasan pekerjaan humas parpol yang baik
haruslah dari lingkup parpol yang baik pula, sebab humas parpol
sama dengan media massa sama-sama melayani hak publik

| 144 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
untuk tahu (right to know), yang otomatis juga mengemban
kebenaran informasi. Parpol mana pun jika tidak memiliki
humas yang baik akan terlayani secara buruk pula oleh pers,
yang berimbas kepada buruknya perlindungan publik.

Manajemen Suara Terbanyak dan Demokrasi


Jika Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya menghapuskan
sistem nomor urut dan menetapkan anggota legilslatif terpilih
berdasarkan suara terbanyak maka akan mempunyai implikasi
positif bagi rakyat dan bagi partai politik (parpol). Penetapan
berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai kemenangan bagi
demokrasi karena dalam Pemilu 2009 itu suara rakyat akan
menjadi lebih berpengaruh dibandingkan putusan dan negosiasi
elite parpol.
Selain itu akan dinilai penting bagi kemajuan demokrasi
karena akan membuka kesempatan lebih luas bagi caleg-caleg
baru yang tidak melulu identik dengan kekuatan dan elite politik
lama. Sistem suara terbanyak juga akan mendorong modernisasi
parpol, di mana kader-kader parpol yang maju menjadi caleg
tidak lagi akan bergantung sepenuhnya pada partai.
Parpol juga akan semakin didorong untukmengajukan caleg-
caleg yang berkualitas karena dalam pemilu-pemilu mendatang,
figur caleg akan menjadi semakin penting dibandingkan dengan
parpol itu sendiri. Meski demikian, digunakannya sistem suara
terbanyak dalam pemilu legislatif 2009 juga dapat berimplikasi
negatif jika tidak disikapi dan ditanggapi secara kritis, hati-hati,
dan bijaksana.
Pertama, melemahkan institusi parpol secara keseluruhan
karena sistem ini berpotensi memangkas peranan parpol
sehingga memunculkan kemungkinan terpilihnya caleg-caleg
yang belum teruji secara politik, berpotensi menimbulkan friksi
internal, dan berpotensi mengurangi disiplin internal parpol.
Kedua, sistem suara terbanyak jika tidak diikuti pendidikan

| 145 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

politik tidak akan berarti banyak bagi demokrasi dan akan sia-
sia. Jadi, untuk dapat berguna bagi demokrasi, penggunaan
sistem suara terbanyak tidak dapat diimplementasikan sendiri
tanpa merevitalisasi peranan dan kinerja parpol serta pendidikan
politik publik yang memadai.

Manajemen Menuju Partai Modern


Jika penerapan sistem suara terbanyak dilakukan maka
akan berpotensi mendorong modernisasi parpol di mana kader-
kader parpol yang maju menjadi caleg, tidak lagi akan bergantung
sepenuhnya pada partai. Namun, modernisasi parpol ini akan
tercapai jika parpol-parpol yang ada sekarang mampu meredam
potensi konflik internal dan menjaga kedisiplinan para kader dan
calegnya. Sudah bukan rahasia lagi manakala penerapan sistem
suara terbanyak dilakukan pasti akan menimbulkan persaingan
antar caleg dalam parpol sendiri. Bahkan, beberapa caleg sudah
secara terbuka mengatakan bahwa pesaing utama mereka adalah
caleg-caleg dari parpol mereka sendiri. Di beberapa tempat
sudah terjadi sikut-menyikut antar caleg dari parpol yang sama
lewat kampanye-kampanye negatif.
Hal ini terjadi karena caleg-caleg dari parpol yang sama
semakin gencar memperebutkan basis masa parpol tersebut.
Friksi dalam kampanye ini sangat mungkin berlanjut dalam
periode setelah pemilu. Friksi berkepanjangan ini akan
mengurangi soliditas internal parpol dan kemampuan parpol
untuk menggalang kader-kadernya secara efektif. Sementara
itu, penerapan sistem suara terbanyak di satu sisi mengurangi
kebergantungan caleg terhadap partai. Hal ini sangat baik karena
akan mendorong meningkatnya rasa kepemilikan dan tingkat
partisipasi kader parpol. Namun, berkurangnya kebergantungan
caleg terhadap partai juga berpotensi untuk menimbulkan
ketidakdisiplinan caleg terhadap keputusan dan arahan partai.
Dengan penerapan sistem suara terbanyak, terpilihanya seorang

| 146 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
caleg akan lebih bergantung pada pilihan rakyat dan bukan
penempatannya oleh partai di dalam nomor urut daftar caleg.
Sementara itu,dalam kampanye, caleg akan dituntut untuk
lebih banyak menggunakan sumber dayanya sendiri. Ketika
seorang caleg terpilih, legitimasi akan datang dari suara rakyat
dan ia tidak lagi berutang sepenuhnya kepada partai. Hal ini
akan menimbulkan dorongan bagi para caleg terpilih untuk
lebih ber-tindak independen dari arahan dan putusan partai.
Konflik internal yang berkepanjangan dan berkurangnya disiplin
anggota legislatif partai akan melemahkan institusi parpol secara
keseluruhan jika tidak dikelola secara baik dan bijaksana.

Perlunya Pembenahan Parpol dan Pendidikan Politik


Parpol merupakan salah satu institusi terpenting dalam
demokrasi. Salah satu peranan parpol dalam kaitannya dengan
pemilihan umum adalah merekrut dan menghasilkan kader-
kader untuk berpartisipasi dalam pemilu, dan menominasikan
kandidat untuk menduduki posisi dalam pemerintahan (untuk di
Indonesia, posisi ini adalah kursi legislatif). Jadi, parpol berperan
sangat penting dalam memberikan alternatif pilihan bagi pemilih
dalam pemilu. Di Indonesia, caleg-caleg yang ikut dalam pemilu
harus melalui jalur parpol. Jadi idealnya, parpol menjadi institusi
yang ikut menyaring, memilih, dan menominasikan caleg-caleg
yang layak. Di Indonesia, sebelum diterapkannya sistem suara
terbanyak, parpol diberikan peranan yang lebih besar lagi. Bukan
hanya ia berperan untuk menominasikan kandidat dalam pemilu,
parpol juga berperan dalam memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi individu-individu tertentu untuk terpilih,yaitu
dengan menentukan nomor urut kandidat-kandidat yang maju
dalam pemilu. Peranan ini diberikan kepada parpol bukan tanpa
alasan. Salah satu realitas demokrasi Indonesia adalah pemilih
yang belum terdidik.
Dalam kondisi ini, idealnya parpol berperan lebih dalam

| 147 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

menentukan siapa terpilih dalam pemilu dengan menempatkan


caleg-caleg yang lebih berkualitas di nomor kecil dalam daftar.
Jika sistem suara terbanyak diberlakukan, peranan parpol hanya
sebatas menominasikan kandidat-kandidat dalam pemilu. Siapa
yang akan terpilih akan sangat bergantung pada pemilih, yang
saat ini di Indonesia notabene belum terdidik secara memadai.
Memang kenyataannya sampai hari ini peranan ideal parpol
dalam merekrut, menominasikan, dan mendorong terpilihnya
kandidat-kandidat yang berkualitas masih sangat minim. Oleh
karena itu, dalam Pemilu 2009, yang daftar caleg tetapnya
sudah dikeluarkan, bukan tidak mungkin dalam kondisi di
mana pemilih belum terdidik dan parpol belum mampu secara
efektif mengajukan caleg-caleg berkualitas; akan terpilih caleg-
caleg dengan kualitas yang seadanya dan belum berpengalaman
secara politik.Ini disebabkan adanya kecenderungan pemilih
yang sudah bosan dengan muka-muka lama dan menginginkan
adanya perubahan.
Dengan semakin minimnya peranan parpol dalam pemilu
apabila penerapan sistem suara terbanyak diberlakukan, yaitu
sebatas mengajukan kandidat-kandidat caleg, maka pembenahan
kemampuan parpol untuk merekrut dan mengkader kandidat-
kandidat yang berkualitas serta menominasikan individu-
individu ini menjadi makin urgen dalam kondisi masyarakat
yang belum terdidik secara memadai. Selain itu, penerapan
sistem suara terbanyak juga menuntut pendidikan politik publik
yang lebih agresif dan penyediaan informasi yang lebih baik.
Kedua hal ini penting untuk menghindari terpilihnya caleg-caleg
dengan kualitas seadanya. Dengan publik yang lebih terdidik
dan memiliki informasi yang lebih banyak mengenai alternatif-
alternatif yang tersedia dalam pemilu, pemilih akan membuat
keputusan yang lebih baik dan bijak dalam menentukan
pilihannya dalam pemilu mendatang.

| 148 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

Penutup
Penerapan sistem suara terbanyak diyakini tidak serta-
merta membawa perubahan positif bagi demokrasi Indonesia.
Potensi-potensi positif yang ada dalam penerapan sistem ini
baru akan terealisasi jika penerapan sistem suara terbanyak ini
diikuti kebijakan-kebijakan lain.
Pertama, manajemen parpol yang profesional dalam
meredam potensi konflik internal. Kedua, pengelolaan yang tepat
untuk menjaga disiplin parpol. Ketiga,peningkatan kapasitas
parpol untuk menominasikan caleg-caleg yang berkualitas.
Terakhir, pendidikan politik publik yang lebih agresif untuk
mendorong pilihan-pilihan yang bijaksana dalam pemilu.
Partai politik kini cenderung terjebak pada paradigma
lama seperti primordialisme, esklusivisme, fanatisme, dan
ketergantungan pada karisma tokohnya. Jika mau menata
format politik Indonesia di masa depan, harus dikembangkan
rasionalisme politik yang diwarnai dengan intelektualitas dan
manajemen partai secara modern.

| 149 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

DAFTAR PUSTAKA
Sujito. Ari. 2008. Kegagalam Manajemen Partai Politik, Makalah
Seminar. UGM Yogyakarta.

Tholkah. Imam. 2001. Anatomi Konflik Politik di Indonesia,


Belajar dari Ketegangan Politik Varian di Madukoro, PT.
Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Wahid. Abdurachman, 1992. The 1992 Election: A Devastating


Political Eartquake?, dalam Crouch and Hill (ed).

http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla! - @copyright


Copyright (C) 2005 Open Source MattersG. Kemungkinan
Suara Terbanyak.

| 150 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB VIII
NILAI-NILAI AGAMA SEBAGAI SUMBER
DAN PEREKAT PERDAMAIAN

Pendahuluan

P
ada dasarnya komitmen anti-kekerasan merupakan
tujuan luhur manusia. Tidak satupun yang ingin
ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan
menindas anak-anak yang tak berdosa. Tujuan luhur manusia
itu sejajar dengan ajaran semua agama yang menghendaki
adanya kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang
ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian
hidup manusia, seperti Buddha mengajarkan kesederhanaan,
Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan
kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh
alam (Yoyo Hambali, 2007) .
Jika tujuan luhur manusia dan semua agama menghendaki
kedamaian dan komitmen terhadap anti-kekerasan, lalu mengapa
kekerasan agama itu kerap terjadi dengan korban yang tidak
terhitung jumlahnya? Kekerasan agama selama berabad-abad
merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban
| 151 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan


nilai-nilai luhur, tetapi agama juga bertanggung jawab terhadap
terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Mengapa agama yang
mengajarkan kesejukan, kedamaian, kesentosaan, kasih sayang
dan nilai-nilai ideal lainnya, kemudian tampil dengan wajah yang
keras, garang dan menakutkan? Agama kerap dihubungkan
dengan radikalisme, ekstrimisme, bahkan terorisme. Agama
dikaitkan dengan bom bunuh diri, pembantaian, penghancuran
gedung, dan lain-lain yang menunjukkan penampilan agama
yang menakutkan dan menyeramkan.
Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda
konflik sudah lama dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen
terdiri dari berbagai suku, etnik, ras, penganut agama, kultur,
peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington (2000)
menyatakan bahwa perbedaan tidak mesti mengakibatkan
konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Dalam dunia
baru, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat
penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas
sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara
kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik
antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang
berbeda-beda. Fakta, selama berabad-abad, perbedaan entitas
agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling
lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam
citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi
terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan.
Agama telah menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan orang
melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan
pembunuhan.
Dalam konteks kekinian, bentuk-bentuk konflik,
kekerasan dan perang agama itu biasanya dihubungkan dengan
bangkitnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme

| 152 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam
bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap
kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal.
Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir
abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup
mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang
sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam
klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu
menggulingkan pemerintahan yang kuat. Peristiwa paling
mutakhir yang menghebohkan dunia, yaitu hancurnya gedung
World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat,
September 2001 lalu dan bom Bali, juga dihubungkan dengan
gerakan fundamentalisme.
Fundamentalisme dan kekerasan agama merupakan isu
paling hangat belakangan ini dalam wacana percaturan global
yang mendorong kita untuk melakukan kajian terhadap dua
persoalan ini. “Fundamentalisme identik dengan kekerasan”.
Inilah stereotip yang dilestarikan Barat selama berabad-abad.
Islam fundamentalis adalah penyebab terjadinya berbagai
tindakan kekerasan, bom bunuh diri, pembunuhan, pembantaian,
peperangan dan penghancuran. Doktrin perang suci atau
jihad yang menjadi keyakinan yang diusung fundamentalisme
memperkuat stereotip itu. Benarkan fundamentalisme identik
dengan kekerasan? Adakah kaitan antara fundamentalisme
dengan kekerasan agama?
Pertanyaan di atas merupakan permasalahan yang akan
diangkat ke permukaan menjadi tema penelitian ini. Penelitian ini
mencoba untuk membuktikan hipotesis bahwa fundamentalisme
muncul ketika agama tercampur dengan ekspresi-ekspresi
kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan personal, dan
gerakkan-gerakkan untuk perubahan politik. Ketika ekspresi
keagamaan ditujukan untuk memperbaiki tatanan dunia (world

| 153 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

order) yang bobrok, dan ekspresi kekerasan ditempuh sebagai


jalan terakhir dan terpaksa dilakukan dengan motivasi semata-
mata murni keagamaan, maka dalam hal ini agama atau gerakkan
agama tersebut tidak selalu dapat dipersalahkan.

Hakekat Perdamaian
Kataperdamaiansamaartinyadenganrekonsiliasi.Sementara
secara “etimologis”, rekonsiliasi berasal dari kata bahasa latin
„reconciliatio‟ dan kata kerjanya „reconciliare‟, artinya: membawa
kembali, membangun kembali, memperbaharui, merukunkan.
Dalam bahasa Yunani berasal dari istilah „katalassein‟, artinya:
berubah sikap. Sedangkan dalam bahasa Inggris berasal dari
kata reconciliation yang bermakna perdamaian dan perukunan
kembali. PERDAMAIAN: bermakna penghentian permusuhan
atau permufakatan menghentikan permusuhan. Dalam istilah
keagamaan rekonsiliasi memiliki makna relasional untuk
merefleksikan dosa, sesal, tobat, ampun dan penyembuhan
luka-luka batin. Dengan demikian rekonsiliasi sosial bermakna
upaya perdamaian atau penghentian permusuhan antar individu
atau kelompok masyarakat. Rekonsiliasi nasional adalah buah
dari rekonsiliasi individual dan kolektif. Bila di masing-masing
keluarga, komunitas, dan masyarakat terjadi rekonsiliasi, maka
rekonsiliasi nasional dapat dialami bersama.

Dimensi Rekonsiliasi
Mulanya rekonsiliasi digunakan dalam pengertian yang
lebih bersifat individual: menjadi manusia baru dalam hubungan
dengan diri sendiri, sesama dan Tuhan. Kemudian berkembang
sehingga rekonsiliasi memiliki makna yang lebih kolektif
menyangkut kehidupan bermasyarakat sebagaimana banyak
dibicarakan sekarang ini.
Karena itu rekonsiliasi memiliki matra (dimensi) sosial
dan spiritual. Pemerintah bertugas untuk menyelenggarakan

| 154 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dimensi sosial, sedangkan lembaga agama mengembangkan
dimensi spiritual. Keduanya mempunyai jati diri masing-masing
yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Lembaga / pemuka agama / tokoh masyarakat dapat
memberikan kontribusi dalam mewujudkan rekonsiliasi, antara
lain berupa:
– Bekerja sama dengan pemuka dari berbagai agama dalam
mencari dasar-dasar pengampunan dan hidup baru.
– Pengampunan tidak terjadi tanpa kebenaran. Maka agama-
agama dapat membantu umat dalam mengungkapkan
kebenaran, supaya ampun dari Allah tidak disalahgunakan
sebagai kesempatan untuk mencuci diri dan kemudian
dengan tenang tetap melakukan dosa, melawan kerukunan.
– Mencari model-model rekonsiliasi dan melaksanakan di dalam
komunitas agama sambil mencari bagaimana pengalaman
rekonsiliasi dapat dikembangkan sebagai kegiatan antar
agama.

Proses Terjadinya Rekonsiliasi


Menurut Paul Ricoure: Rekonsiliasi (pengampunan/
perdamaian) terjadi dalam proses antara mengingat dan
melupakan. No reconciliation without reparation. Tanpa
kedua proses itu rekonsiliasi tidak ada maknanya. Untuk dapat
mengampuni, orang perlu mengingat kejadian/peristiwa pahit
sebelumnya. Ada dua jenis ingatan menurut ricoure: kuat dan
lemah. Orang yang ingatannya kuat: peristiwa masa lalu selalu
menghantui dirinya, cenderung dendam. Orang yang ingatannya
lemah mengambil sikap tak acuh terhadap peristiwa-peristiwa
masa lalu. Orang yang memiliki ingatan lemah merugikan
dirinya sendiri, ia menutup dirinya dari dimensi yang potensial
dan memperkayanya.

| 155 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Perdamaian Dalam Perspektif Kristen


Agama Kristen adalah agama kasih atau agama damai.
Agama Kristen sangat menekankan hidup dalam perdamaian
dengan semua orang. Beberapa ayat yang secara eksplisit
menekankan perdamaian yang terdapat dalam Alkitab antara
lain:
1. Matius 6: 12, dan ampunilah kami akan kesalahan
kami seperti kami juga mengampuni kesalahan orang lain yang
bersalah kepada kami.
2. Matius 18: 22, Kemudian datanglah Petrus dan
berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus
mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku?
Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku
berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai
tujuh puluh kali tujuh kali.
3. Matius 22: 36-40, “Guru, hukum manakah yang terutama
dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang
terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi.
4. Lukas 6:27-34, “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan
Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada
orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang
mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.
Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga
kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil
jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. Berilah kepada
setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta
kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. Dan

| 156 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu
mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena
orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang
mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada
orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-
orang berdosa pun berbuat demikian.
5. Roma 12: 10-21, Hendaklah kamu saling mengasihi
sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu
menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam
pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah
dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus
dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!
Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan
mengutuk! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita,
dan menangislah dengan orang yang menangis! Hendaklah
kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu
memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah
dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah
menganggap dirimu pandai! Janganlah membalas kejahatan
dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah
dalam perdamaian dengan semua orang! Saudara-saudaraku
yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan,
tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis:
Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut
pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah
dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat
demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.
Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah
kejahatan dengan kebaikan!
6. Roma 13: 6-10, Janganlah kamu berhutang apa-apa

| 157 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi.


Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah
memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah,
jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan
firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini,
yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Kasih
tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih
adalah kegenapan hukum Taurat.
7. Galatia 6: 9-10, Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik,
karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita
tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan
bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman.
8. 1 Yohanes 4: 20-21, Jikalau seorang berkata: “Aku
mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah
pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang
dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.
Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi
Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.
9. Matius 5:23-25, Sebab itu, jika engkau mempersembahkan
persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan
sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau,
tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan
pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk
mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai
dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di
tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau
kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada
pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara.
10. Matius 5: 39, Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah
kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya
pipi kirimu.

| 158 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
11. Matius 5: 44-47, Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu
yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat
dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang
benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi
orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah
pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu
hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah
lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang
tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?
12. Lukas 6: 27-26, “Tetapi kepada kamu, yang
mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu,
berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah
berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang
yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu,
berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa
yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.
Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan
janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil
kepunyaanmu. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu,
apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi
juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu
berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu,
apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian.
Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena
kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-
orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan,

| 159 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak


Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang
yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah
murah hati.”

Penutup
Sebagai masyarakat beragama (religious society), kita
sering diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil,
rasial, collective violence dengan upaya-upaya mengail di “air
keruh” sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa
yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi
peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan
sehingga tidak jarang membuyarkan angan bahwa agama
adalah pembawa kedamaian dan keselamatan bersama. Agama
menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang
memberangus kehidupan bersama di muka bumi ini. Inilah yang
oleh Sukidi, seorang stap Paramadina disebut sebagai fenomena
paradoksal keberagamaan ummat, baik pada level elite politik
maupun massa bawah (grass root). Suasana paradoks ini sering
terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang
luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah
lain agama sering mengiringi kehidupan manusia dengan wajah
tidak bersahabat. Wajah agama (umat beragama) yang tidak
bersahabat ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan
yang dicap fundamentalisme.

| 160 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab. Jakarta.
Hambali. Yoyo. 2007. Fundamentalisme dan Kekerasan Agama.
Makalah Seminar, UGM. Yogyakarta.
Hanafi. Hassan. 2001. Agama, Kekerasan, dan Islam
Kontemporer, Yogyakarta: Jendela.
Houtart, Francois. 2002. “Kultus Kekerasan Atas Nama Agama:
Suatu Panorama” dalam Santoso Thomas, Kekerasan
Agama tanpa Agama, Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Huntington. Samuel P. 2000. Benturan Antar Peradaban dan
Masa Depan Politik Dunia,
Yogyakarta: Qalam.
Ricoure Paul. 2003. Agama dan Rekonsiliasi, PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sukidi. 2002. Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas.

| 161 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

| 162 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB IX
MANAJEMEN KONFLIK DALAM
PERSPEKTIF RESOLUSI KONFLIK
MASYARAKAT ADAT DAYAK

Pendahuluan

S
etelah lebih satu dasawarsa pasca konflik etnik,
Kalimantan Barat kembali digoyang isu konflik,
kali ini sedikit bernuansa agama. Pemicunya konon
pemasangan spanduk penolakkan kehadiran Front Pembela
Islam (FPI) ke Kalimantan Barat oleh oknum Pemuda Dayak
(AP Post, 2012). Peristiwa pemasangan spanduk penolakkan
FPI itu memancing reaksi keras oknum FPI dengan melakukan
pengepungan terhadap asrama mahasiswa Dayak di Jalan KHW
Hasyim Pontianak pada tanggal 13 Maret 2012 sore.
Pengepungan asrama mahasiswa Dayak di Pontianak
oleh FPI itu spontan mendapatkan reaksi balasan dari oknum
komunitas Dayak di Pontianak pada tanggal 14 Maret 2012
keesokan harinya. Pada hari itu terjadi unjukrasa besar-besaran
dari kedua komunitas di tempat berbeda.

| 163 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Meskipun massa kedua belah pihak tidak berhadap-


hadapan tetapi sempat membuat keadaan sangat mencekam.
Berbagai kegiatan di Pontianak menjadi lumpuh seketika. Perang
isu pun merebak dan menjalar dengan cepat dan berlangsung
beberapa hari di berbagai daerah Kalimantan Barat.
Peristiwa itu telah menimbulkan ketakutan dan trauma
mendalam bagi sebagian masyarakat. Mereka teringat akan
pengalaman pahit yang pernah dialami pada konflik kekerasan
masa lalu. Untungnya peristiwa itu dapat diatasi dengan cepat
sehingga tidak membesar menjadi konflik kekerasan antar etnik
dan agama. Penanganan cepat ini tidak terlepas dari peran
kepemimpinan kepala daerah bersama seluruh jajaran keamanan
di daerah ini.
Berdasarkan hasil pemantauan dan laporan dari lapangan
pada waktu kejadian ternyata yang terlibat dalam peristiwa itu
kebanyakan orang-orang muda yang masih berumur di antara
20 sd 40 tahun, sebagiannya diperkirakan adalah mahasiswa dan
aktivis pemuda.
Peristiwa itu menggambarkan hubungan sosial antar
kelompok atau golongan di Kalimantan Barat masih sangat
rentan. Hubungan sosial antar golongan yang selama ini terlihat
tenang dan damai ternyata tidaklah mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya. Ternyata hubungan antar golongan itu masih
mengandung berbagai masalah serius. Buktinya hanya karena
persoalan sepele hubungan sosial itu segera dapat berubah
menjurus ke konflik kekerasan.
Hubungan antar golongan yang masih kurang harmonis
itu dapat saja mempengaruhi dan mengancam kelancaran
pelaksanaan pilkada Kalimantan Barat yang akan digelar pada
tanggal 20 September yang akan datang. Sebabnya karena dalam
pilkada itu akan bertarung sejumlah kandidat yang berasal dari
berbagai golongan berbeda.

| 164 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Gambaran Umum Konflik Kekerasan Masa Lalu di
Kalimantan Barat
Sampai dengan tahun 2000, setidaknya telah terjadi 13 sd
15 konflik kekerasan antaretnik di Kalimantan Barat (Alqadrie,
1999; Petebang et al, 2000; Tim Peneliti Untan, 2000; Purwana,
2003; Giring, 2004; Bahari, 2005). Beberapa di antaranya
merupakan konflik yang intensitas kekerasannya tinggi seperti
konflik Samalantan (1977), Sanggau Ledo (1996 dan 1997),
konflik Sambas (1999, 2000), dan Pontianak (2000).
Berikut ini disajikan daftar konflik kekerasan Dayak-
Madura sejak 1950 sampai dengan tahun 2000:
No. Waktu Tempat Pemicu
1. 1950 Samalantan Konflik dipicu oleh perkelahian indivi-
Kab. Sam- du (warga Dayak Kanayatn) dan warga
bas seorang Madura.
2. 1952 Lokasi ti- Konflik dipicu oleh pencurian bubu
dak jelas milik Pungjin seorang warga Dayak
Kanayatn yang dilakukan oleh Congken
seorang warga Madura, yang mengaki-
batkan konflik massal.
3. 1967 Toho Kab. Konflik dipicu oleh pembunuhan yang
Pontianak dilakukan oleh seorang warga Madura
terhadap orang tua (ayah dari) Camat
Toho, saat bekerja di sawah.
4. 1968 Anjungan Konflik dipicu oleh pembunuhan ter-
Kab. Pon- hadap Sani (Camat Sui Pinyuh, war-
tianak ga Dayak Kanayatn) oleh Sukri warga
Madura. Pembunuhan itu dilatarbe-
lakangi oleh penolakan Camat tersebut
untuk melayani pengurusan surat ket-
erangan tanah pada hari Minggu karena
camat itu ingin ke Gereja.
5. 1976 Sui Pinyuh Konflik dipicu oleh terbunuhnya seo-
Kab. Pon- rang Dayak Kanayatn, yaitu Cangkeh
tianak asal Liongkong/Sukaramai/Salatiga
yang dilakukan oleh seorang warga
Madura yang mengambil rumput di
tanah milik korban.

| 165 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

6. 1977 Sing- Dipicu oleh terbunuhnya seorang Day-


kawang ak Kanayatn anggota POLRI bernama
Kab. Sam- Robert Lanceng oleh Maskat seorang
bas warga Madura. Sebelum kejadian, kor-
ban menegur adik perempuannya agar
jangan pergi keluar rumah malam hari
bersama pemuda Madura tersebut.
7. 1979 Kab. Sam- Konflik dipicu oleh pertengkaran mas-
bas alah hutang yang menyebabkan Sakep
(seorang Dayak Kanayatn) diserang
oleh tiga orang Madura. Dua Dayak
Kanayatn lainnya hampir terbunuh.
8. 1982 Pak Kuc- Konflik dipicu oleh pembunuhan ter-
ing Kab. hadap Sidik seorang warga Dayak
Sambas Kanayatn oleh Aswadin seorang warga
Madura karena korban menegur Aswa-
din yang sebelum mengambil rumput
di sawah miliknya tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu.
9. 1983 Sungai Konflik dipicu oleh Dul Arif seorang
Enau Ke- warga Madura yang melakukan pem-
camatan bunuhan atas seorang warga Dayak
Sungai Kanayatn yang bernama Djaelani kare-
Ambawang na masalah tanah.
Kabupaten
Pontianak
10. 1992 Pak Kuc- Konflik dipicu oleh pemerkosaan ter-
ing Kab. hadap adik Sidik (yang terbunuh ta-
Sambas hun 1982) yang dilakukan oleh seorang
Madura.
11. 1993 Kotamadya Konflik massal dipicu oleh perkelahian
Pontianak antar pemuda Dayak dengan pemuda
Madura yang mengakibatkan perusakan
dan pembakaran terhadap Gereja Paro-
ki Maria Ratu Pecinta Damai dan Perse-
kolahan Kristen Abdi Agape.
12. 1994 Tumbang Konflik dipicu oleh penusukan seorang
Titi Ka- Dayak oleh seorang Madura yang se-
bupaten dang bekerja di proyek pembangunan
Ketapang jalan.

| 166 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
13. 28/12 Sanggau Konflik dipicu oleh tertusuknya Yakun-
1996 Ledo Ka- dus dan Akim, dua pemuda Dayak
bupaten Kanayatn di Sanggau Ledo oleh pemuda
Sambas Madura yaitu Bakri dan empat temann-
ya.
14. 15/1 Kabupaten Konflik Dayak Madura 1996 di Ka-
- 28/2 Sambas, bupaten sambas mulai mereda, tetapi
1997 Kabupaten kemudian meledak lagi setelah terjadi
Pontianak, penyerangan terhadap kompleks perse-
Kabupaten kolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan
Sanggau oleh warga Madura. Dalam peristiwa ini
dan Kota- dua perempuan Dayak Jangkang (Sang-
madia Pon- gau Kapuas) dan Dayak Menyuke (Lan-
tianak dak) luka-luka. Kemudian terbunuhnya
seorang warga Dayak Kanayatn asal
Tebas-Sambas yakni Nyangkot oleh se-
kelompok warga Madura di Peniraman.
15. Maret K abupat- Berbarengan dengan konflik Me-
1999- en Sambas layu-Madura, terjadi pembunuhan
2000 dan Kota- terhadap Martinus Amat warga Day-
madia Pon- ak Kanayatn Samalantan sehingga
tianak mengundang simpati warga (Dayak
Kanayatn) di Samalantan dan Sanggau
Ledo membalas.

Sumber: Giring, 2004, Madura di Mata Dayak, hal 167-


169.
Berdasarkan data yang ada ternyata konflik kekerasan di
Kalimantan Barat itu cenderung berulang dan pengulangannya
semakin cepat dari waktu ke waktu. Ironinya pemicu konflik
selalu hal-hal sepele seperti perkelahian individu, penusukan,
pembunuhan, pencurian rumput atau ternak dan penyerangan/
sweeping.
Anehnya setiap konflik kekerasan, penyelesaiannya selalu
melalui perdamaian antar elit yang dimediasi pemerintah, hanya
berwujud kesepakatan tertulis dan tanpa menyertakan grass-
root masing-masing. Akibatnya kesepakatan damai itu hanya

| 167 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bisa bertahan sementara karena persoalan sesungguhnya di


grass root tak pernah diselesaikan tuntas.
Konflik kekerasan berulang itu mengindikasikan resolusi
yang dilakukan terhadapnya tidak berhasil karena akar penyebab
konflik tidak diatasi secara tuntas. Meminjam istilah Collins
(2003), konflik sosial berkepanjangan itu disebabkan oleh tidak
adanya atau kurangnya informasi ilmiah yang mendalam tentang
konflik sosial dan tentang masyarakat dimana konflik itu terjadi.

Faktor Penyebab Konflik Kekerasan Masa Lalu di


Kalimantan Barat
Dalam pandangan para ahli ilmu sosial setidaknya ada
empat teori yang dapat menjelaskan mengapa konflik dapat
terjadi dalam masyarakat. Pertama, akar dari semua konflik
bersumber dari kesenjangan akses individu dan kelompok
masyarakat dalam mendapatkan sarana pemenuhan kebutuhan
dasar hidup mereka (teori kebutuhan dasar manusia).
Kedua, konflik merupakan akibat dari interaksi antar
individu atau antar kelompok yang masing-masing memiliki
orientasi, nilai dan kepentingan yang berbeda. Konflik
merupakan sesuatu yang melekat (bersifat inherent maupun
contingent) pada setiap hubungan antar manusia (teori relasional).
Ketiga, konflik bersumber dari naluri untuk memperoleh
kekuasaan, dan untuk memperoleh kekuasaan itu mereka yang
dipersepsi sebagai pesaing atau penghambat menuju kekuasaan
perlu disingkirkan (teori politik).
Keempat, konflik disebabkan oleh ketidakadilan dan
ketidaksetaraan yang bersifat struktural dan sistemik. Dalam
hal ini ada tuntutan untuk membongkar struktur yang tidak adil
dan sistem sosial yang melanggengkan ketidaksetaraan itu (teori
transformatif). Keempat tipe konflik itu dapat menyebabkan
konflik terbuka (manifest conflicts) atau konflik terpendam (latent
conflicts).

| 168 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Sementara dari sudut pandang masyarakat Dayak,
konflik kekerasan masa lalu itu penyebabnya tidak jauh berbeda
dengan apa yang dikatakan para ahli ilmu sosial tersebut.
Faktanya bahwa pada masa lalu orang Dayak umumnya hidup
di alam bebas yang kaya makanan. Hutan ibarat supermarket
yang menyediakan segalanya. Mereka hidup tanpa beban, tanpa
tekanan ekonomi, tanpa tekanan politik bahkan dalam alam
budaya yang saling menghormati, menghargai dan toleran.
Namun keadaan itu tiba-tiba berubah secara drastis sejak tahun
1960-an, ketika pemerintah melalui program transmigrasi, HTI,
HPH, perkebunan, dan pertambangan mendatangkan orang
luar secara masif.
Kehidupan yang semula damai secara berangsur berubah
menjadi kecemasan terutama akan masa depan anak cucunya.
Kehidupan dirasakan tidak aman lagi karena hukum adat yang
biasa diterapkan seringkali tidak diakui dan dihormati bahkan
cenderung dilecehkan oleh orang luar.
Bersamaan itu karena tidak pandai berpolitik kehidupan
pun mulai terasa penuh dengan tekanan politik. Karena tidak
pandai berdagang mulai terasa sulit memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Meskipun postur tubuh baik dan tangkas tidak
bisa menjadi polisi atau tentara. Meskipun sekolah tinggi dan
menyandang gelar sarjana serta memiliki ketrampilan tidak bisa
bekerja di berbagai instansi pemerintah dan perusahaan.
Umumnya perusahaan yang masuk di kampung membawa
tenaga terampil dari luar, biasanya dari daerah asal para pejabat
perusahaan. Keadaan itu membuat masyarakat frustasi, stress,
kecewa, dan merasa hidup tidak berarti lagi, dan itu berlangsung
dalam waktu yang panjang atau lama.
Hingga kini pun masih banyak perusahaan dan instansi
pemerintah yang karyawan atau pegawainya berasal dari luar
tanpa menyertakan masyarakat setempat. Masyarakat setempat
menjadi penonton di kampungnya sendiri. Padahal mereka yang

| 169 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

punya lahan, yang kemudian dibeli perusahaan dengan harga


murah, dengan alasan disewa selama 30 tahun. Ketika lahan
dibuka untuk kebun, masyarakat sudah tidak lagi punya lahan
pertanian, tidak bisa lagi menoreh karet untuk belanja sehari-
hari, tidak bisa lagi berburu binatang hutan untuk pemenuhan
protein, tidak bisa lagi sembarangan masuk hutan untuk ambil
kayu bakar, tidak ada lagi uang tabungan untuk menyekolahkan
anak. Ironinya terhadap masalah itu tidak ada yang peduli.
Kebijakan program transmigrasi di masa lalu yang
membabi buta juga sangat berpengaruh pada tingginya tingkat
stress di kalangan orang Dayak. Terjadinya perbedaan budaya
di satu sisi karena orang luar tetap mempertahankan budaya
aslinya dengan dukungan pemerintah, tetapi di sisi lain, mereka
sendiri tidak berdaya dalam melestarikan budayanya. Kebijakan
diskriminatif ini menyebabkan tidak ada lagi pengakuan adat
istiadat karena orang luar lebih banyak dari penduduk asli dan
tidak ada lagi pengakuan hukum adat karena orang luar lebih
mengutamakan hukum negara.
Bahkan dalam pembangunan aspek fisik, di komplek
pemukiman transmigrasi, sarana dan prasarana sangat lengkap
(air besih, rumah ibadah, sarana pendidikan, kesehatan, jalan
raya beraspal, listrik PLN, tanah 2 hektar disertifikasi, diberi
kredit modal dan ada jaminan hidup) tetapi untuk penduduk
asli di sekitar komplek transmgrasi tidak pernah ada.
Ketika Pilkada maupun pemilu legislatif dilakukan,
penduduk asli yang umumnya tidak pandai berpolitik selalu
kalah, bukan karena tidak berkualitas, tetapi kalah jumlah karena
orang luar umumnya bersatu dalam suara. Tak heran, banyak
orang luar yang menjadi “wakil rakyat” dan mendominasi di
gedung parlemen di Kabupaten bahkan di Provinsi padahal
mereka minoritas di kampung, tetapi mayoritas di gedung
DPRD bahkan di birokrasi.
Tragisnya meskipun sekarang beberapa kepala daerah

| 170 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sudah di tangan orang Dayak tetapi mereka tidak dapat berbuat
banyak untuk kepentingan orang Dayak karena sistem birokrasi
masih dikuasai orang lain. Karena itu tak heran, walaupun
kepalanya Dayak, badan, tangan, dan ekor tetap orang luar.
Lembaga-lembaga keuangan (baik negara maupun swasta)
pun dikuasai penuh oleh orang luar. Karena itu, orang Dayak sulit
untuk mengajukan kredit ke bank. Mereka sulit mendapatkan
uang dalam jumlah banyak untuk modal usaha. Bahkan Kredit
Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan pemerintahpun, orang
Dayak tak sampai 2 % yang mampu mengaksesnya.
Ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi berlapis-
berganda yang dialami masyarakat Dayak itu kiranya tidakmenjadi
alasan untuk ajang pembalasan oleh oknum pejabat Dayak yang
berkesempatan menjabat pada masa kini. Karena apabila itu
terjadi sama halnya kita menciptakan ketidakadilan, diskriminasi
dan marginalisasi baru dan itu berarti melanggengkan konflik.

Persepsi Masyarakat Dayak Tentang Keberagaman


Sejak lama masyarakat Dayak dapat hidup berdampingan
dengan berbagai masyarakat lainnya. Buktinya berbagai
etnik, agama dan budaya dapat dengan mudah dijumpai dan
hidup di perkampungan Dayak. Dalam satu keluarga Dayak
dapat dijumpai berbagai agama. Mereka juga tidak melarang
perkawinan campuran dengan etnik lain bahkan pendirian
rumah ibadah bagi agama lain pun tidak dipersoalkan meskipun
penganut agama lain itu hanya beberapa orang. Kenyataan itu
menandakan bahwa masyarakat Dayak sangat toleran dengan
keberagaman.
Toleransi atas keberagaman itu bersumber dalam budaya
Dayak yang memandang alam ini sebagai rumah bersama
bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak
kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam
untuk kepentingan diri semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur

| 171 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia pun


tetap harus diberi tempat agar tetap eksis.
Bahkan makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu
kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan
bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal itu. Perlu
diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama
dengan „menyembah‟ setan atau hantu; karena sama seperti jika
kita memberi makan hewan, tidak berarti menyembah hewan
itu. Tujuannya bahwa hubungan harmonis dengan semua unsur
alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya
secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif.
Orang Dayak sangat menjunjung tinggi prinsip
kebersamaan. Dalam pepatah Dayak diungkapkan, „Jangankan
manusia, anjing pun diberi makan‟ atau „Sesama saudara
diajak makan, tamu diberi beras‟. Kedua pepatah itu memberi
makna penghormatan kepada sesama manusia seperti apa
adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar
belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda
sehingga memberikan „bahan makanan‟ dianggap sebagai
keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah
makanan dengan tatacaranya.
Semangat kebersamaan orang Dayak itu juga terlihat
dalam berbagai konflik kekerasan yang terjadi di Kalimantan.
Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman
serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak
memadai, orang Dayak dapat berkumpul dalam waktu singkat
dalam jumlah yang banyak hanya dengan media komunikasi
mangkok merah.
Jika semangat kebersamaan terhadap semua makhluk
dalam budaya Dayak begitu kuat, mengapa orang Dayak bisa
menjadi sangat intoleran ketika terjadi konflik dengan pihak
lain? Intoleransi itu tiada lain sebagai wujud resistensi terhadap
perlakuan marginalisasi berganda yang secara masif dialami

| 172 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dalam waktu sangat panjang dan sudah tidak tertahankan lagi.

Gambaran Resolusi Konflik Dalam Perspektif Adat Dayak


Dalam setiap masyarakat di manapun sebenarnya sudah
tersedia kearifan-kearifan budaya tersendiri dalam cara
penyelesaian konflik. Kearifan cara penyelesaian itu bersumber
dari keyakinan (believe) adat istiadatnya yang mengakar. Demikian
juga halnya pada masyarakat Dayak di Kalimantan dilakukan
melalui hukum adatnya.
Resolusi konflik melalui hukum adat di setiap masyarakat
itu sebenarnya bukanlah hal yang baru, melainkan sudah ada
sejak lama bahkan sejak masyarakat itu ada. Seperti dikatakan
Cicero, seorang filosof Perancis, ubi societas ubi ius yang bermakna
dimana ada masyarakat di situ ada hukum.
Sebelumnya orang Dayak mengenal hukum kumas (hutang
nyawa dibayar nyawa, hutang darah dibayar darah). Setiap nyawa
yang mati terbunuh atau darah yang tertumpah baik disengaja
atau tidak, harus dibayar dengan nyawa atau darah.
Orang yang membunuh atau melukai orang lain dianggap
berhutang nyawa atau darah kepada korban dan ahli warisnya.
Karena itu korban atau ahli warisnya selalu melakukan
pembalasan. Itulah sebabnya pada masa lalu itu sering terjadi
siklus pembunuhan dan menyebabkan konflik terus berulang.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu, budaya dan
peradaban, kini hukum kumas sudah diganti, balas membalas
pembunuhan pun hilang. Perubahan itu bermula dari pertemuan
semua puak suku Dayak se Kalimantan di Tumbang Anoi
Kalimantan Tengah tahun 1894, yang diprakarsai oleh pemerintah
Belanda dan para missionaris. Mereka yang berkumpul waktu itu
sepakat menghentikan hukum kumas itu dan menggantikannya
dengan hukum baru yang lebih beradab dan manusiawi. Dengan
demikian penggunaan hukum adat sebagai media resolusi konflik
di kalangan etnik Dayak bukanlah hal baru tetapi sudah berjalan

| 173 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sangat lama. Karena penggunaannya telah berjalan dari generasi


ke generasi dan terkait dengan sistem keyakinan (believe) yang
dianut maka tidak mudah menghilangkannya. Bagi orang Dayak
setiap penyelesaian konflik yang tidak menggunakan hukum
adat diyakini dapat menyebabkan ketidakseimbangan kosmos
dan menyisakan perasaan cemas atau was-was.
Kini hukum baru itu dikenal sebagai hukum adat badarah
calah yang salah satu bentuknya berwujud hukum adat pamabakng
dan pati nyawa. Hukum adat pamabakng dan pati nyawa inilah yang
kemudian menjadi pranata adat di masyarakat Dayak dalam
menyelesaikan setiap konflik kekerasan, baik di kalangan intra
maupun interetnik atau golongan.
Secara umum hukum adat Dayak sendiri terdiri dari tiga
macam, yakni 1) adat badarah calah (Red-Blooded Adat) ; 2) adat
badarah putih (White Blooded Adat); dan 3) adat na‟ manjahana
(adat ka’ sukatn ka’ bubu, ka’ paso’ lawakng karimigi).
Adat badarah calah adalah hukum adat yang mengatur kasus
perkelahian dan pembunuhan. Adat badarah putih merupakan
hukum adat yang mengatur sanksi sosio kultural ketika terjadi
pelanggaran moral, seperti terjadinya pelanggaran dalam illegal
sexual intercourse, berhubungan seksual dengan orang yang sudah
menikah; atau melakukan kekerasan seksual. Adat na‟ manjahana
adalah hukum adat yang berkaitan dengan kesejahteraan dan
etiket pergaulan seperti mengancam hak-hak seseorang, gosip
(capa molot) dan etiket (basa). Adat na‟ manjahana sering juga
disebut sebagai adat ka’ sukatn ka’ bubu, ka’ paso’ lawakng karimigi.
Di kalangan masyarakat Dayak ada ungkapan adat yang
berbunyi: hidup di kandung adat mati di kandung tanah. Ungkapan
itu menunjukkan bahwa selama hidup di dunia orang Dayak
harus mematuhi adat. Orang yang mematuhi adat adalah orang
yang beradat, ia dianggap manusia sesungguhnya, sehingga patut
dihargai dan dihormati. Sebaliknya orang yang tidak mematuhi
adat dianggap tidak beradat. Orang yang tidak beradat

| 174 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dikategorikan sebagai bukan manusia, tetapi hewan atau binatang
dan sejenisnya. Karena semua binatang tidak mengenal aturan
atau hukum, maka jika mengganggu atau membahayakan
kepadanya dapat diperlakukan suatu tindakan keras.
Dalam menyelesaikan konflik kekerasan yang menimbulkan
korban nyawa atau darah digunakan adat pamabakng dan pati
nyawa. Makna adat pamabakng, pertama pelaku minta ampun
yang sedalam-dalamnya (dalam ungkapan bahasa Dayak
Kanayatn, istilahnya: nyorok mang dada mang balikakng) dan
mengakui kesalahannya dan bersedia membayar adat yang
dikenakan kepadanya berapapun menurut perhitungan hukum
adat. Kedua, persoalan pembunuhan itu pengurusannya telah
diserahkan kepada pengurus adat, artinya segala persoalan
yang timbul selanjutnya setelah adat pamabakng ini dipenuhi
bukan lagi semata-mata tanggungjawab pribadi pelaku dan ahli
warisnya tetapi sudah menjadi tanggungjawab kolektif warga
masyarakat dimana pelaku tinggal. Ketiga, bila adat pamabakng
tidak dilakukan oleh pelaku atau ahli warisnya maka dapat
ditafsirkan bahwa mereka menantang ahli waris korban, artinya
mereka siap untuk berkonflik. Keempat, bila tidak dilakukan adat
pamabakng, dapat diartikan juga bahwa para pengurus adat di
daerah itu dianggap mengadu domba kedua belah pihak, artinya
mereka mempersilahkan kedua belah pihak yang berkonflik
untuk terus berkonflik.
Pemasangan adat pamabakng itu tiada lain untuk
menghindari terjadinya aksi pembalasan dari pihak ahli waris
korban. Dalam hal yang demikian maka adat pamabakng dapat
berfungsi sebagai pranata pencegah terjadinya konflik kekerasan
berkelanjutan.
Pemasangan adat pamabakng itu harus segera diikuti
dengan pelaksanaan adat pati nyawa. Selambat-lambatnya satu
kali dua puluh empat jam tuntutan adat sudah harus terpenuhi,
tetapi apabila belum dapat dipenuhi karena satu dan lain hal

| 175 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

yang force-majeure maka ahli waris pelaku dapat mengajukan


permintaan penundaan pemenuhan tuntutan adat itu.
Dalam adat, kelonggaran dapat diberikan, pertama hanya
untuk tiga kali dua puluh empat jam, kemudian tujuh kali dua
puluh empat jam. Setelah penundaan tujuh kali dua puluh empat
jam itu pun, kalau ternayata juga masih belum dapat memenuhi
tetapi menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh maka masih
dapat diperpanjang menjadi sepuluh kali dua puluh empat
jam. Setelah itu maka tidak ada perpanjangan atau toleransi
penundaan lagi, kecuali hanya akan mendapat pembalasan dari
pihak ahli waris korban.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan ternyata selama ini,
seberat apapun tuntutan yang dituntutkan kepada pihak pelaku,
para ahli waris pelaku selalu dapat memenuhinya, meskipun
mereka dari kalangan orang miskin atau papa. Biasanya para
ahli waris pelaku akan melakukan gotong royong memenuhi
tuntutan adat itu. Dalam istilah ungkapan adat, semiskin-
miskinnya pelaku, dia masih memiliki ahli waris. Apapun yang
ada padanya atau ada pada ahli warisnya harus dijual untuk
memenuhi tuntutan adat itu. Dalam kondisi yang demikian itu
maka peran ahli waris atau kekerabatan sangat berfungsi dalam
meringankan beban yang ditanggung pelaku.
Bila ada ahli waris yang tidak mau menolong maka ia
dianggap waris na’ ba bamalu atau sebagai waris yang tidak tahu
malu. Ahli waris yang demikian biasanya dikucilkan dari sistem
kekerabatan. Dalam masyarakat Dayak, hal seperti ini sangat
tabu dan tidak boleh terjadi karena berkaitan dengan harga diri
kerabat.
Beratnya tekanan psikologis dalam sistem kekerabatan
semacam ini menyebabkan tidak ada satupun ahli waris/kerabat
yang berani menolak tanggungjawab bersama. Karena itu,
dalam sistem kekerabatan orang Dayak, baik untuk urusan suka
terlebih duka, keterlibatan ahli waris/kerabat sangat besar dan

| 176 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
utama.
Makna hukum adat pati nyawa, pertama dengan dipenuhinya
adat berarti pelaku telah mengganti nyawa atau darah korban
kepada ahli warisnya. Penggantian nyawa atau darah itu dengan
sejumlah peraga adat. Peraga adat itu merupakan wujud pengganti
dari kehidupan korban. Apabila peraga adatnya, barangnya
sudah sulit dicari atau sudah tidak ada lagi di pasaran maka
peraga adat itu dapat digantikan dengan petahilan, yakni suatu
barang atau harga yang dikenakan pada peraga adat itu sesuai
dengan harga barang peraga adat itu yang berlaku di pasaran
pada waktu itu.
Kedua, setelah dipenuhinya adat itu maka semua masalah atau
konflik dianggap selesai. Pelaku dan ahli warisnya tidak berhutang
nyawa atau darah lagi kepada ahli waris korban. Karena itu ahli
waris korban tidak boleh lagi menuntut apapun kepada pelaku
dan ahli warisnya. Dengan cara ini persoalan dinyatakan selesai.
Ketiga, jika pelaku atau ahli warisnya tidak memenuhi
adat pati nyawa itu, maka mereka dianggap tidak beradat
dan menantang ahli waris korban. Walaupun mereka telah
memasang adat pamabakng (sebagai simbol permintaan ampun
dan kesediaan memenuhi hukuman adat) tetapi kalau tidak
memenuhi hukum adat pati nyawa yang dituntutkan kepadanya
maka mereka tergolong ke dalam orang yang tidak beradat.
Dalam kondisi seperti ini pembalasan dari ahli waris korban
tidak dapat dihindarkan.
Pelanggaran terhadap ketentuan adat dalam masyarakat
Dayak Kanayatn akan berdampak tragis bagi pelanggarnya.
Sebagai contoh, apabila adat pamabakng sudah dipasang lalu
ahli waris korban tetap melakukan penyerangan atau pembalasan
maka akan dikenakan adat ririkng, artinya hukuman adat yang
semestinya ditanggung pelaku menjadi batal, selanjutnya
hukuman adat itu harus dibayar oleh ahli waris korban yang
melakukan penyerangan atau pembalasan itu. Kemudian, pihak

| 177 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

ahli waris korban yang melakukan pembalasan itu dianggap


melanggar adat sehingga dikategorikan tidak beradat. Apabila
mereka terbunuh maka nyawanya tidak dapat dituntut dengan
adat karena sudah dianggap sama dengan binatang.
Model penyelesaian konflik dengan adat ini lebih
menghasilkan rasa damai dan tanpa kekerasan (non-violence).
Selain itu pelaku dan ahli waris korban dapat terlepas dari
perasaan takut, cemas dan was-was akan kicas atau karma bagi
diri, keluarga, keturunan dan komunitasnya. Dan juga akan
menjadi tenang karena merasa segala dosa kesalahannya telah
diampuni Jubata (Tuhan). Karena itu model ini lebih dapat
diterima terutama di kalangan masyarakat Dayak .

Penutup
Untuk menciptakan Kalimantan Barat yang damai maka
semua akar penyebab konflik harus diatasi secara tuntas. Hal itu
berarti semua bentuk ketidakadilan, penindasan, diskriminasi,
marginalisasi, kemiskinan, kebodohan, kemelaratan, dan semua
bentuk kesewenangan harus dihapuskan.
Keadilan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi,
lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar, pembagian
kekuasaan atau politik, tidak juga dengan memberikan otonomi
yang hanya ditafsirkan sebagai pelimpahan penguasaan atas
sumber daya ekonomi. Keadilan yang sesungguhnya menyangkut
masalah ekstensial dan eksistensi harkat dan martabat manusia.
Kemudian peranan hukum adat yang menjadi media
penyelesaian setiap konflik atau permasalahan secara damai dan
tanpa kekerasan dalam masyarakat adat, perlu diapresiasi dan
diberdayakan untuk melengkapi, mendukung dan memperkuat
hukum negara. Meskipun hukum adat tidak berlaku secara
nasional sebab hakekat hukum adat adalah aturan yang berlaku
secara lokal tetapi fungsi dan perannya sebagai pelindung dan
pengayom rasa keadilan komunitas harus didukung oleh negara.

| 178 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Demikian pula perlu ditumbuhkan sikap saling percaya
(mutual trust), rasa kebersamaan dan kemampuan bekerjasama
seluruh anggota masyarakat. Kemampuan saling percaya,
kebersamaan dan bekerjasama itu akan menjadi modal sosial
yang penting dalam membangun kedamaian Kalimantan Barat
ke depan. Modal sosial sebagai perekat, pemersatu dan pencipta
kedamaian hanya akan tercipta jika ada kepemimpinan yang
legitimate, kuat, tegas dan efektif di semua lini, aras dan jenjang
kepemimpinan. Untuk itu Pilkada Kalimantan Barat sebagai
ajang demokrasi di daerah ini kiranya dapat menjadi ruang dan
pintu masuk merealisasikan harapan-harapan tersebut.

| 179 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, Ibrahim Syarif. 1996. Kelompok-Kelompok Etnis di
Kalimantan Barat: Karakteristik Budaya dan Interaksi Sosial.
Laporan Penelitian. Pontianak: Untan.
------------------------------. 1999. Konflik Etnis di Ambon dan
Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis. Indonesian Journal of
Social and Cultural Anthropology. TH XXXIII No.58.
Jakarta: FISIP UI.
Azar, E. 2000. Protracted Social Conflict. dalam Miall, Hugh;
Woodhouse. Tom and Oliver Ramsbotham. 2000. Resolusi
Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa.
Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat
Pamabakng dan Pati Nyawa: Studi Etnografik Resolusi Konflik
Dayak-Madura di Kalimantan Barat, Bandung, Universitas
Padjadjaran.
---------------------. 2009. Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial
Lokal: Studi Kasus Pada Masyarakat Multikultural di
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, Pontianak, Laporan
Penelitian.

| 180 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Camara, Dom Helder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta. Insist
dan Pustaka Pelajar.
Collins, James.T. 2003. Komentar Luar Tentang Kerusuhan Tidak
Memuaskan : Karena Kekurangan Sumber Informasi Ilmiah.
Harian Equator. Pontianak: Terbitan Sabtu. 15 Maret
2003.
Galtung, Johan. 2002. Kekerasan Kultural. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. Yogyakarta: Insist Press.
Giring. 2004. Madura di Mata Dayak. Dari Konflik Ke Rekonsiliasi.
Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, Jakarta, UI Press.
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat. Jakarta. Percetakan Bumiseru.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta. LkiS.
Merthaman, I.P. Eka. 2002. Peranan Pemerintah Daerah Dalam
Penyelesaian Konflik Sosial Antara Masyarakat Pendatang
Dengan Masyarakat Lokal. Bandung. PPS Unpad.
Petebang, Edi dan Eri. Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
------------------------. Multikulturalisme Dayak, http//www.
gauldong.org.
Purwana, Bambang Hendarta Suta. 2003. Konflik Antarkomunitas
Etnis di Sambas 1999. Suatu Tinjauan Sosial Budaya.
Pontianak. Romeo Grafika.
Robert B. Baowollo. 2009. Model-Model Resolusi Konflik Berbasis
Karakter Lokalitas, Syarikat Indonesia di Pendopo Syarikat
Indonesia, Yogyakarta.

| 181 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Suparlan, Parsudi. 2002. Konflik Antarsukubangsa dan Upaya


Mengatasinya. Antropolgy Indonesia Tahun XXIII.
Jakarta. FISIP UI.
Supriyadi, Yohanes. 2011. Refleksi dari Kalbar Untuk Tarakan,
Pontianak, Akademi Dayak.
Tim Peneliti Untan. 2000. Konflik Sosial di Kalimantan Barat.
Perilaku Kekerasan antara Etnis Madura-Dayak dan Madura-
Melayu. Pontianak: Laporan Penelitian. Untan.
Ukur, Fridolin. 1971. Tantang-Jawab Suku Dajak. Jakarta. PT.
BPK GUNUNG MULIA.
Wignyodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. Jakarta. Gunung Agung.
AP Post, 14 Maret 2012

| 182 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB X
KOMPETENSI SOSIAL DAN PENDIDIKAN
MEDIASI RESOLUSI-KONFLIK
Pendahuluan

S
eiring perjalanan waktu, realitas menunjukkan bahwa
pengaruh IQ untuk menentukan keberhasilan
seseorang mulai luntur. IQ menjadi kehilangan
taringnya. Ada banyak bukti di lapangan yang memperlihatkan
anak yang dites IQ dengan hasil nilai tinggi sehingga dianggap
sebagai anak yang jenius, ternyata gagal dalam studi. Bukan
hanya itu, anak yang memiliki IQ tinggi ternyata dalam menapaki
kehidupan sama sekali tidak berhasil. Kenyataan berbeda
terjadi, anak yang memiliki IQ rata-rata, lancar dalam studi dan
pada tahapan kehidupan selanjutnya dapat meraih sukses (Hadi,
2007: 95).
Krisis multidimensi dan berbagai konflik yang terjadi silih
berganti seakan tiada henti di negeri ini memberikan kesadaran
dan menunjukkan kepada kita bahwa sebagian masyarakat
telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang unggul, seperti
toleransi, kemampuan berempati, semangat dan kemampuan
menolong, musyawarah dan mufakat serta kemampuan bekerja
| 183 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sama. Masyarakat cenderung mudah menyalahkan orang lain


ketimbang introspeksi diri, pengendalian emosi menurun
(mudah tersinggung dan marah), gampang terpengaruh isu
yang menyesatkan, dan gampang curiga terhadap kelompok lain
sehingga kadang hanya karena persoalan sepele bisa berujung
kepada konflik sosial yang berlarut-larut (Protracted Social
Conflict).
Walaupun konflik dalam batas dan kadar tertentu diperlukan
dan kadang diciptakan tetapi apabila berlebihan dan berlarut-
larut dapat membahayakan keutuhan dan mengakibatkan
kehancuran masyarakat. Konflik destruktif penyembuhannya
ternyata tidak mudah. Banyak pakar meyakini penyembuhan
penyakit sosial dan sekaligus pengembangan kompetensi
kearifan-kearifan sosial yang paling strategis tersebut hanya
efektif melalui jalur pendidikan. Namun, sebagaimana halnya
usaha pendidikan pada umumnya yang selalu memerlukan
waktu lama, maka hasil penyembuhan penyakit sosial itu pun
akan memakan waktu lama, bahkan bisa puluhan tahun baru
dapat dirasakan.
Berangkat dari kenyataan seperti itu, Undang-undang
Guru dan Dosen (UU No. 14 tahun 2005) yang mengamanatkan
perlunya para guru dan dosen menguasai kompetensi sosial (di
samping kompetensi pedagogik, kepribadian, dan keilmuan/
profesional) harus kita beri apresiasi. Dalam UU itu dinyatakan
wajib hukumnya bagi guru dan dosen untuk memiliki
kompetensi sosial (kecerdasan sosial), selain tiga kompetensi
lainnya. Tentu saja, jika guru dan dosen memiliki kompetensi
ini maka diharapkan mereka dapat menularkannya kepada
para mahasiswa atau siswanya dan juga kepada masyarakat
luas. Pertanyaannya, apakah kompetensi sosial itu, mengapa
diperlukan, bagaimana menginternalisasikannya kepada para
mahasiswa, siswa dan masyarakat, dan apa kaitannya dengan
mediasi resolusi konflik?

| 184 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

Kompetensi Sosial
Istilah kompetensi sosial sama artinya dengan social
intelligence atau kecerdasan sosial (Gardner, 2003). Sebenarnya
istilah itu sudah diperkenalkan oleh Thorndike (1920), yang
menyatakan bahwa kecerdasan sosial adalah kemampuan
seseorang untuk memahami, mengelola dan beradaptasi saat
berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan pengertian yang
dikemukakan Thorndike itu, Khilstrom dan Cantor (2000),
mendefinisikankembalikecerdasansosialsebagai suatusimpanan
pengetahuan mengenai dunia sosial, menjalin hubungan dengan
orang lain, dan kemampuan dalam menghadapi orang-orang
yang berbeda latar belakang dengan cara bijaksana. Kemudian
Moss dan Hunt (dalam Hadi, 2007), mendefinisikan kecerdasan
sosial itu sebagai kemampuan dalam menjalin hubungan dengan
orang lain secara terus menerus. Sementara Vernon (1971)
menyatakan bahwa kecerdasan sosial sebagai kemampuan
pribadi yang relatif menetap pada diri seseorang untuk menjalin
hubungan dengan orang lain.
Pakar psikologi pendidikan Gardner (2003) menyebut
kompetensi sosial atau social intellegence atau kecerdasan sosial
itu sebagai salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa,
musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil
diidentifikasinya. Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang.
Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol,
sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi,
beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika
seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu.
Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Gardner itu ialah
bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan
kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan
kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah

| 185 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sosial kemasyarakatanyang hanya dapat dipahami dan dipecahkan


melalui pendekatan holistik, pendekatan komprehensif, atau
pendekatan multidisiplin.
Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan sosial
adalah kecerdasan pribadi (personal intellegence), lebih khusus
lagi kecerdasan emosi atau emotional intellegence (Goleman,
1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan
keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan
kecerdasan sosialnya karena impitan kesulitan ekonomi.
Menurut Khilstrom dan Cantor (2000), orang yang
memiliki kecerdasan sosial tinggi akan berperilaku: (1)
menerima orang lain, (2) mengakui kesalahan yang diperbuat,
(3) menunjukkan perhatian pada dunia yang lebih luas, (4) tepat
waktu dalam membuat perjanjian, (5) mempunyai hati nurani
sosial, (6) berpikir, berbicara dan bertindak secara sistemik,
(7) menunjukkan rasa ingin tahu, (8) tidak membuat penilaian
tergesa-gesa, (9) membuat penilaian secara obyektif, (10)
meneliti informasi terlebih dahulu sebagai bahan pertimbangan
memecahkan masalah, (11) peka terhadap kebutuhan dan hasrat
orang lain, dan (12) menunjukkan perhatian segera terhadap
lingkungan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan
bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang
bekomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada
orang lain. Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh
setiap pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen,
yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak
didiknya.

Pentingnya Kompetensi Sosial


Dewasa ini mulai disadari betapa pentingnya peran
kecerdasan sosial bagi seseorang dalam usahanya meniti karier
di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak orang sukses

| 186 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan
bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.
Mengapa orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi dapat
meraih sukses dalam kehidupannya?
Pertama, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi
akan luwes menempatkan diri dalam situasi apa pun dan
dimana pun dia berada. Menurut Yany (2002), orang yang
memiliki kecerdasan sosial tinggi paham bagaimana harus
bersikap dan berperilaku pada posisinya. Orang yang demikian
itu mampu memahami siapakah dirinya, di mana tempatnya,
harmonis dalam berinterakasi dengan orang lain, dan selaras
dengan lingkungannya. Pendapat ini diperkuat oleh Warehan
dan Carnegie (2005) yang menyatakan bahwa kecerdasan
sosial memberikan sumbangan yang besar untuk mendukung
kesuksesan seseorang, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek
yang menentukan seseorang mencapai keberhasilan.
Kedua, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi peka
dan kritis terhadap realitas sosial di sekitarnya. Mereka akan
memberikan konstribusi terbaik dari kemampuan dirinya untuk
disumbangkan, dan menghindari situasi yang dapat menyeret
ke arah yang merugikan masyarakat. Dengan kata lain, mereka
memiliki kemampuan untuk menyuburkan orang yang gersang
moralitas dan tandus spritualitasnya. Mereka dengan sepenuh
hati membangun suatu kondisi agar orang-orang di sekitarnya
tidak terjebak ke dalam ruang yang menipiskan kualitas hidup
mereka sendri. Mereka peduli terhadap nasib orang lain,
dengan memberikan penyadaran kepada mereka yang terlanjur
menjalani hidup dengan cara yang salah.
Ketiga, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi selalu
mendengarkan dan menggunakan suara hati (hati nurani) untuk
bertindak sehingga terhindar dari perbuatan buruk. Keempat,
orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi bertindak sportif,
adl dan bijaksana, sehingga tidak mudah terprovokasi dan

| 187 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

memprovokasi massa. Kelima, orang yang memiliki kecerdasan


sosial tinggi dapat mencegah terjadinya bencana sosial dan alam,
karena mereka selalu bertindak dengan penuh perhitungan yang
matang dan terukur.

Mengemas Kompetensi Sosial Melalui Pendidikan di


Sekolah
Untuk mengembangkan kompetensi sosial seorang
pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi
ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita saring dari konsep
life skills. Dari 35 life skills atau kecerdasan hidup itu, ada 15
yang dapat dimasukkan ke dalam dimensi kompetensi sosial,
yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan
kelompok, (4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan,
(6) relawan sosial, (7) kedewasaan dalam berelasi, (8) berbagi,
(9) berempati, (10) kepedulian kepada sesama, (11) toleransi,
(12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14) kerja sama,
dan (15) komunikasi.
Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik
silabus dalam pembelajaran dan pengembangan kompetensi
sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini
dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan
kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan
kehidupan masyarakat kita.
Materi ajar atau pelatihan itu disampaikan untuk mencapai
pemahaman dan internalisasi nilai-nilai para peserta didik.
Metode penyampaiannya dapat mengadopsi metode Tillman/
UNESCO dalam pembelajaran living values (Grasindo, 2004).
Metode yang bersifat edutaiment ini mengandung unsur
permainan, inkuiri, dan eksplorasi, baik eksplorasi potensi diri
maupun potensi lingkungan.
Metode ini sangat menantang sekaligus menyenangkan
karena jauh dari gaya indoktrinasi ala penataran P4 yang lalu.

| 188 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Metode ini juga bisa mengimbangi daya pikat yang ditawarkan
oleh hiburan-hiburan yang artifisial yang sering muncul di layar
kaca di rumah kita.
Kemasan pengembangan kompetensi sosial untuk guru,
calon guru (mahasiswa keguruan), dan siswa tentu berbeda.
Kemasan itu harus memerhatikan karakteristik masing-masing,
baik yang berkaitan dengan aspek psikologis ketiga kelompok
itu maupun sistem yang mendukungnya.
Model pelatihan yang bersifat edutaiment cocok untuk
para guru dan dosen. Karena jumlah guru dan dosen itu sangat
banyak, dapat digunakan pelatihan berjenjang deret ukur
TOT (training of trainer). Pelatihan TOT untuk guru dapat
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelatihan guru seperti PPG.
Pelatihan untuk dosen dapat dilaksanakan oleh LPTK, yaitu
universitas jelmaan atau koversi IKIP. Semua perlu persiapan
yang matang karena kerja ini menuntut persyaratan keunggulan
kualitas, ketepatan, dan kecepatan. Hal yang disebut terakhir ini
perlu mendapat perhatian khusus karena UU Guru dan Dosen
mengamanatkan proses sertifikasi kompetensi ini harus selesai
dalam sepuluh tahun sejak UU itu disahkan.
Untuk para mahasiswa, khususnya calon guru, dapat
dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar, seperti ”ilmu sosial
budaya dasar” yang sejajar dengan mata kuliah dan ”ilmu
sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya
ilmu sosial budaya dasar berorientasi kepada penyampaian
pengetahuan, dalam paradigma baru ini perlu ditambah dan
ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan
sosial.
Untuk para siswa, baik dari tingkat dasar sampai tingkat
menengah, karena alasan beban mata pelajaran mereka sudah
sangat berat, pengembangan kompetensi sosial dapat dipadukan
dengan pelajaran-pelajaran lain, khususnya mata pelajaran
Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPKn.

| 189 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Barangkali ada yang ragu dengan cara memadukan atau


menyelipkan ke dalam mata pelajaran lain ini. Alasannya, beban
materi pelajaran itu sendiri sudah sangat berat. Asal kita bisa
bertindak kreatif dan cerdas kesulitan ini tidak sulit diatasi.
Misalnya, penanaman nilai toleransi dengan mudah dan tidak
menambah beban mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan
cara menyisipkan ke materi bacaan atau wacana, misalnya lewat
cerpen atau dongeng. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata
pelajaran lain.
Hal yang sangat mendesak berkaitan dengan pelatihan,
pembelajaran, dan sertifikasi guru dan dosen (khususnya yang
berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena ini
hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini
yang komprehensif, yang dapat diterima oleh banyak pihak.
Sampai saat ini sudah banyak seminar tentang UU Guru
dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki
pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi
ini. Hal kedua yang sangat mendesak adalah penyediaan silabus
dan materi latihan atau ajar untuk mengembangkan kompetensi
ini. Ini tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) dan lembaga terkait lainnya, seperti P3G, untuk
berlomba menawarkan konsep dan draf materi pelatihan/
pembelajaran kompetensi itu. Dari beberapa draf ini dapat kita
sarikan dan padukan untuk memperoleh konsep dan materi
pembelajaran yang terbaik.

Mediasi Resolusi Konflik Sebagai Bagian Aspek


Kecerdasan Sosial
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, salah satu life skill
atau ketrampilan hidup yang perlu dikembangkan menjadi
kecerdasan sosial adalah ketrampilan menangani konflik
(resolusi konflik). Mengapa? Pertama, kita menyadari bahwa
konflik selalu hadir dalam tiap masyarakat di mana pun dan

| 190 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kapan pun dan cenderung berfungsi ganda yakni konstruktif
dan destruktif. Agar tidak destruktif maka konflik perlu dikelola
dengan sebaik-baiknya. Untuk itu setiap orang perlu memiliki
ketrampilan atau keahlian dalam menanganinya.
Kedua, penanganan konflik akan efektif apabila kita
memiliki ketrampilan dan memahami faktor-faktor atau sumber
yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut. Biasanya konflik
timbul dari salah satu atau kumulatif beberapa persoalan berikut
ini: 1) informasi, 2) sumber daya, 3) relasi, 4) kepentingan atau
kebutuhan, 5) struktur kemasyarakatan atau keorganisasian, dan
6) nilai-nilai hidup (Kraybill et al, 2002).
Ketiga, pendekatan atau cara menanggapi konflik bisa
berbeda bagi tiap orang atau tiap masyarakat namun setidaknya
ada tiga pola yang biasa dilakukan yakni diam (menghindar),
melawan (menanggapi konflik dengan kekerasan) dan
menghadapi konflik melalui perundingan (bernegosiasi).
Biasanya pilihan cara yang diambil sangat dipengaruhi oleh 1)
pengalaman relasi pada masa kecil dengan adik-kakak kandung
dan teman-teman sejawat, 2) contoh menanggapi konflik dari
orang tua, guru dan berbagai tokoh, 3) aneka citra dan sikap dari
media publik, 4) aneka faktor sosial seperti kelangkaan sumber
daya yang serius dan kemiskinan dsb.
Negosiasi merupakan pilihan dari dua kutub ekstrim
menghindar dan melawan. Negosiasi merupakan pilihan
menanggapi dengan cara yang lebih rasional. Pilihan ini bisa
dimulai dengan mendiskusikan persoalan-persoalan yang
terkait. Kemudian melanjutkan dengan menegosiasikan tentang
salah satu atau lebih persoalan yang lebih spesifik. Bila mereka
merasa tidak mampu mencapai kata sepakat mereka bisa
meminta pertolongan kepada pihak ketiga. Mula-mula pihak
ketiga ini bisa berperan sebagai konsiliator yang tugasnya
sekadar meredakan sikap saling memusuhi. Bila pihak-pihak
yang bertikai merasa membutuhkan bantuan lebih lanjut mereka

| 191 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bisa mencari seorang mediator atau penengah yang tugasnya


adalah menolong secara aktif menjajaki berbagai opsi dan
merundingkan suatu cara penyelesaian. Seorang mediator tidak
boleh memaksakan keputusan apa pun, melainkan menolong
pihak-pihak yang bertikai menemukan aneka solusi yang bisa
diterima oleh semua pihak. Jika mediasi gagal, pihak-pihak
yang bertikai bisa meminta bantuan seorang arbitrator yang
bertanggungjawab untuk mengambil suatu keputusan. Arbitrasi
merupakan sejenis penghakiman, menentukan benar atau salah
dan memaksakan suatu keputusan.
Berikut ini gambaran aneka pendekatan dalam mengatasi
konflik:
Aneka Pendekatan Dalam Mengatasi Konflik
Batas Berlakunya Proses Hukum

Pengambilan Keputusan Menghindar


Yang Sah Secara Hukum
(Tekanan untuk mematuhi
Negosiasi ketentuan Hukum).
Perdamaian
Mediasi

Arbitrasi
Kekerasan
Pengambilan Keputusan oleh Pengajuan Perkara ke
Pribadi atau Masyarakat Pengadilan
(Kesempatan untuk
meningkatkan Relasi Legislasi

Kewenangan Masyarakat Kekuatan Hukum Mulai


Berakhir
Mediasi merupakan sarana yang dapat memberdayakan semua orang untuk

memecahkan berbagai konflik mereka sendiri serta


bertanggungjawab atas kehidupan mereka. Untuk itu beberapa
hal harus diperhatikan oleh seorang mediator, agar mediasi
yang dilakukannya dapat efektif yaitu: 1) mediator tidak boleh
membuat keputusan bagi orang-orang yang didampinginya
atau mendikte apa yang harus mereka kerjakan, 2) tidak boleh
berusaha menghimpun kekuasaan atas kehidupan orang-orang
yang didampinginya, 3) tidak memiliki jawaban bagi aneka

| 192 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang didampinginya,
4) tidak bertanggungjawab bila proses mediasi gagal (dengan
asumsi bahwa mereka telah melaksanakan tugas mediasi tersebut
dengan baik dan benar), 5) tidak boleh merasa berjasa bila
proses mediasi berhasil (sekalipun mereka telah melaksanakan
tugas mediasi tersebut dengan sangat baik).
Langkah-langkah mediasi melalui empat tahapan yaitu:

Tahap 1 Pendahuluan (Menciptakan Rasa Aman)


□ Memberi salam, mempersilahkan duduk, dan
memperkenalkan para peserta.
□ Menjelaskan tujuan dengan menekankan bahwa ini
merupakan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk secara
sukarela dan tulus ikhlas mencari kesepakatan bersama.
□ Menjelaskan peran mediator (yaitu menolong kedua belah
pihak untuk saling berbicara, bukan menghakimi atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan).
□ Mejelaskan prosesnya (masing-masing pihak akan berbicara
secara bergantian, lalu mennyepakati persoalan-persoalan
pokok dan akan membahasnya satu demi satu termasuk
usul-usul pemecahannya).
□ Meminta kesepakatan untuk mematuhi aturan main (tidak
menyela, kerahasiaan, saling menghargai).

Tahap 2 Pemaparan Kisah (Ajakan untuk saling


memahami)
□ Meminta pihak X memaparkan pandangannya tentang
pertikaian yang terjadi: mediator membuat ringkasan,
mengidentifikasikan aneka harapan dan keprihatinan.
□ Meminta pihak Y memaparkan pandangannya tentang
pertikaian yang terjadi: mediator membuat ringkasan,
mengidentifikasikan aneka harapan dan keprihatinan.
□ Mengidentifikasikan persoalan-persoalan dan pijakan

| 193 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

bersama.

Tahap 3 Pemecahan Masalah (Menciptakan rasa


memiliki)
□ Menjernihkan persoalan-persoalan.
□ Mengidentifikasikan keprihatinan bersama dan menetapkan
pijakan bersama.
□ Membahas persoalan satu demi satu (biasanya dimulai dari
yang paling mudah dipecahkan).
□ Melakukan kontrol dengan menggunakan sebuah daftar
persoalan dan mewawancarai masing-masing pihak secara
bergantian.
□ Menghindar dari aneka tuntutan kedua belah pihak dan
berfokus pada aneka kepentingan yang tersembunyi dari
masing-masing pihak.
□ Merumuskan aneka opsi, mempersilakan kedua belah pihak
menyampaikan usul-saran tentang cara pemecahan.
□ Mengevaluasi aneka opsi bersama-sama.
□ Memilih opsi dan merencanakan implementasi.
□ Sepanjang proses berlangsung senantiasa berusaha
menemukan peluang untuk:
□ Menunjukkan bidang-bidang kesamaan niat-niat yang positif.
□ Menerima rasa sakit hati, marah dan frustrasi.
□ Mengarahkan agar kedua belah pihak saling berbicara secara
langsung (membimbing ke arah dialog langsung).
□ Menggarisbawahi langkah-langkah konstruktif dan
menunjukkan kemajuan yang berhasil dicapai.

Tahap 4 Kesepakatan (Merumuskan Pemecahan yang


Lestari).
□ Menyampaikan ringkasan tentang aneka kesepakatan yang
berhasil dicapai.
□ Memberi perhatian pada hal-hal yang bersifat spesifik-siapa,

| 194 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
apa, kapan, dimana, bagaimana.
□ Berusaha realistis, jelas dan sederhana.
□ Mengusahakan agar kedua belah pihak memikul
tanggungjawab yang seimbang.
□ Memastikan bahwa kesepakatan yang dicapai bersifat adil
serta melindungi martabat masing-masing pihak.
□ Membuat kesepakatan tentang cara-cara menangani aneka
persoalan lebih lanjut yang mungkin muncul.
□ Meminta kedua belah pihak menyatakan kesediaan mereka
untuk mematuhi kesepakatan.
□ Merumuskan kesepakatan secara tertulis dan meminta kedua
belah pihak membubuhkan tanda tangan di bawahnya.

Catatan: Bila perseteruannya sudah sedemikian mendalam,


berikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling
mengungkapkan uneg-uneg sampai tuntas dan sesudah itu
mulai memulihkan hubungan. Bila belum berhasil dicapai
penyelesaian, kedua belah pihak diingatkan agar mematuhi
kesepakatan untuk menjaga kerahasiaan, menggarisbawahi
taraf pemahaman yang berhasil dicapai dan menawarkan untuk
bertemu kembali.

Penutup
Kecerdasan sosial diperlukan bukan sekadar mendorong
kesuksesan seseorang tetapi juga untuk mengatasi masalah-
masalah sosial yang banyak terjadi di masyarakat dewasa ini.
Pengembangan kecerdasan sosial hanya efektif melalui jalur
pendidikan, karena itu dosen dan guru wajib memilikinya
supaya dapat menularkannya kepada para mahasiswa, siswa dan
masyarakat luas.
UU Guru dan Dosen yang mewajibkan para dosen dan guru
memiliki kompetensi sosial perlu disikapi dan ditindaklanjuti
dengan membekali para dosen dan guru dengan ketrampilan-

| 195 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

ketrampilan dalam mengatasi berbagai masalah sosial. Apabila


dunia pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan
kompetensi sosial ini secara cepat dan tepat, mudah- mudahan
ke depan kita lebih banyak memiliki insan yang lebih demokratis,
lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih
besar.

| 196 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

DAFTAR PUSTAKA
Chang.W. 2006. Mengembangkan Kecerdasan Sosial. Kompas
8 Agustus, 2006.
Goleman. D. 1996. Emotional Inteligence. Kecerdasan Emosi,
Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Gardner.H. 2003. Multiple Intelligence. Kecerdasan Majemuk
Teori dalam Praktek. Batam, Interaksara.
Khilstrom F.J. and Cantor. N. 2000. Social Intelligence. Socrates
Barkeley.Edu. July 2000.
Kraybill.S.Ronald, Evans F.Alice, Evans A.Robert. 2002.
Peace Skills: Panduan Mediator, Terampil Membangun
Perdamaian, Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Martani W. Dan Adiyanti M.G. 1991. Kompetensi Sosial dan
Kepercayaan Diri Remaja, Jurnal Psikologi I, 17-20.
Moss K dan Hunt C. Dalam Suyono.Hadi 2007. Social
Intelligence: Cerdas Meraih Sukses Bersama Orang Lain
dan Lingkungan. Yogyakarta. Ar Ruzz Media.
Sinamo H.J. 2005. Sukses dan Kecerdasan, Pembelajar. Com, 8
Agustus 2006.

| 197 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Suyono. Hadi. 2007. Social Intelligence: Cerdas meraih Sukses


Bersama Orang Lain dan Lingkungan. Yogyakarta. Ar-
Ruzz Media.
Yani D. 2002. Kecerdasan Sosial Anak Butuh Dukungan
Keluarga, Suara Merdeka, 8 Agustus 2006.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan
Dosen. Jakarta.
Vernon P.E. 1971. The Structure of Human Abilities. London.
Methuen.
Zohar D dan Marshal I. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan
Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk
Memaknai Kehidupan, Bandung. Mizan.

| 198 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BAB XI
PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN
PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL
Pendahuluan

S
etelah satu dasawarsa lebih menjalani reformasi,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
kita masih mengalami dan menghadapi tantangan
berat. Berbagai masalah silih berganti tiada henti melanda dan
menerpa negeri ini. Belum selesai masalah yang satu sudah
muncul masalah yang lain. Mulai dari masalah bencana alam,
masalah sosial, masalah ekonomi, masalah hukum, masalah
politik, bahkan masalah ideologi.
Saking beratnya masalah yang kita hadapi itu, Pranowo
(2006) dalam tulisannya tentang Revitalisasi Pancasila
menggambarkannya seperti orang yang sedang mengalami sakit
parah, terbaring di ICCU, sekarat dan sedang menunggu ajal.
Belum hilang sepenuhnya dalam ingatan kita, bagaimana
krisis multi dimensi tahun 1998 telah memorakmorandakan
berbagai sendi kehidupan negeri ini. Belakangan ini kita
dihadapkan pula dengan berbagai krisis baru yang tidak kalah
masifnya. Mulai dari kasus Bank Century 2008, Gayus Tambunan,

| 199 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Cek Pelawat, Wisma Atlet, Hambalang, separatisme, terorisme,


narkoba, mafia hukum, mafia peradilan, dan politisasi BBM.
Demikian pula akan berbagai konflik kekerasan horizontal
(etnik dan agama) maupun vertikal (antara masyarakat dengan
negara) yang terjadi silih berganti di berbagai pelosok negeri.
Beberapa waktu silam pernah terjadi di Palu, Poso, Ambon,
Ternate, Sambas, Sanggau Ledo, Sampit, Papua, Aceh, Mataram,
Lampung dan Solo. Meskipun konflik kekerasan itu sudah
berlalu, tetapi dampaknya hingga kini masih membekas dan
terasa. Sebagian para korban masih hidup dalam pengasingan
dan pengungsian. Hubungan sosial antar sesama masih diwarnai
prasangka dan stereotipe negatip sehingga sangat mudah
menyulut dan memunculkan konflik kekerasan baru.
Dewasa ini kita semakin sering menyaksikan berita
kekerasan melalui media massa cetak dan elektronik. Mulai
kekerasan dalam keluarga, kekerasan rumah tangga, kekerasan
di kelas, kekerasan di sekolah, kekerasan di kampus, tawuran
antar pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran antar kampung/
desa, tawuran para suporter, tawuran penonton konser,
tawuran antar gang motor, kekerasan dalam hubungan umat
beragama, hingga anarkisme masyarakat dalam menyampaikan
pendapat ketika melakukan demo dan sebagainya. Yang paling
baru anarkisme pembakaran dan perusakan kantor bupati di
Mesuji Lampung dan Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah.
Anehnya kekerasan-kekerasan itu bahkan sering dipicu hanya
oleh persoalan sepele dan kadang sulit dimengerti oleh akal
sehat.
Tampaknya semakin hari, semakin tumbuh budaya
kekerasan di tengah kita. Kekerasan seolah sudah menjadi biasa,
lumrah, santapan dan budaya. Mungkin hampir tidak ada lagi
ruang di sekeliling kita yang steril dengan kekerasan.
Tumbuhnya budaya kekerasan seperti itu, menurut Johan
Galtung (2002), karena setiap persoalan selalu diselesaikan

| 200 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dengan cara kekerasan. Akibatnya kekerasan menjadi kebiasaan
dan membudaya. Ironinya negara yang semestinya berfungsi
mengayomi dan melindungi warganya ternyata melalui
aparatnya pun sering melakukan kekerasan. Banyak aparat
melakukan ketidakadilan, penindasan, pemaksaan, penggusuran
dan perampasan hak-hak rakyat.
Dalam bidang hukum kita menyaksikan semakin
memudarnya kearifan pelaksanaan hukum di tengah masyarakat.
Hukum semakin mudah diputarbalikkan dan diperjualbelikan
oleh para aparat pelaksananya. Akibatnya terjadi ketidakpastian
hukum dan runtuhnya keadilan hukum, sehingga orang yang
benar bisa menjadi salah, sebaliknya yang salah menjadi benar.
Penyelesaian perkara yang selalu harus menggunakan
hukum nasional (hukum positif) dan melalui jalur peradilan
(litigasi), padahal hukum nasional (hukum positif) dan peradilan
(litigasi) tidak selamanya mampu menyelesaikan perkara secara
adil dan damai, bahkan justeru sebaliknya.
Seperti dikatakan Harron (2002) masyarakat sudah jemu
mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan).
Mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissatisfied with the
judicial system), karena cara penyelesaian konflik yang melekat
pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a
system), cenderung membuang-buang waktu (a waste of time),
biayanya sangat mahal (very expensive), mempermasalahkan
masa lalu bukan menyelesaikan masa depan, membuat orang
bermusuhan dan melumpuhkan para pihak yang bertikai.
Proses pengadilan cenderung bersifat “adversarial” atau
berlangsung atas dasar saling permusuhan antara para pihak dan
selalu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan
salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan pihak lain
sebagai pihak yang kalah (a loser).
Dampak penyelesaian perkara yang selalu menggunakan
hukum nasional (hukum positif) melalui badan peradilan (litigasi)

| 201 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

mengakibatkan semakin membludaknya jumlah penghuni


rumah tahanan negara (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan
(LP) di tanah air. Hampir semua rutan dan LP di tanah air telah
kelebihan daya tampung bahkan ada yang sampai 600% dari
daya tampung yang tersedia (Menkumham, 2010).
Pertanyaannya mengapa semua perkara selalu harus
diselesaikan dengan hukum nasional (hukum positif) melalui
badan peradilan (litigasi) yang mengandung banyak kelemahan,
padahal di tiap komunitas masyarakat sudah tersedia mekanisme
penyelesaian tersendiri, yang justeru mungkin lebih adil dan
manusiawi. Mengapa mekanisme penyelesaian masyarakat itu
tidak digunakan sebagai media alternatif dalam menyelesaikan
perkara, terutama untuk perkara-perkara yang berskala kecil
dalam komunitas?
Berbagai krisis yang diungkapkan itu mengindikasikan
dan menunjukkan kepada kita telah terjadinya krisis peradaban
berupa penurunan nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kecerdasan sosial, kompetensi sosial dan modal sosial dalam
masyarakat selama ini sehingga kita semakin tidak mampu
menyelesaikan krisis dan konflik di sekitar kita kendatipun krisis
atau konflik itu sangat sederhana.
Masyarakat telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang
unggul, seperti kemampuan menghargai dan menghormati,
kemampuan bertoleransi, kemampuan berempati, semangat dan
kemampuan menolong, kemampuan menyelesaikan konflik,
kemampuan musyawarah dan mufakat serta kemampuan
bekerja sama.
Sebaliknya masyarakat cenderung mudah menyalahkan
orang lain ketimbang introspeksi diri, pengendalian emosi
menurun akibatnya mudah tersinggung dan cepat marah,
gampang terpengaruh isu yang menyesatkan, dan gampang
curiga terhadap kelompok lain, sehingga kadang hanya karena
persoalan sepele dapat berakibat pada konflik sosial yang

| 202 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berlarut-larut atau protracted social conflict (Azhar, 2000).
Terhadap berbagai kenyataan itu, pertanyaannya bagaimana
kita dapat memperbaikinya. Apa yang harus dilakukan agar
peradaban bangsa yang telah memudar itu dapat pulih kembali?

Modal Sosial Sebagai Modal Pembangunan Bangsa


Pembangunan suatu masyarakat atau bangsa memerlukan
dukungan modal yang cukup dan tangguh. Tanpa dukungan
modal akan sulit melaksanakan dan meraih keberhasilan
pembangunan apalagi mempertahankannya.
Dalam pandangan para ahli, modal adalah segala sesuatu
yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu
sendiri dapat dibedakan atas (1) modal yang berbetuk material
seperti uang, tanah, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam
bentuk kualitas pendidikan; ketrampilan, skill dan kearifan
budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan,
kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk
kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem
penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan
tindakan kolektif.
Rasa kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat
bekerjasama dan kemampuan berempati merupakan modal
sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Apabila modal sosial tersebut hilang
maka dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara
akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan
sulit diselesaikan dengan baik.
Rasa kebersamaan sebagai modal sosial juga dapat menjadi
sarana dalam berbagi pemikiran dan meringankan beban,
sehingga dapat dipastikan jika modal sosial semakin kuat maka
semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan
suatu masyarakat. Sebaliknya tanpa adanya modal sosial,
masyarakat sangat mudah diintervensi bahkan dihancurkan

| 203 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

oleh pihak luar.


Modal sosial juga dapat berfungsi membangun civil
community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif,
dengan demikian basis modal sosial adalah trust, idiologi dan
religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan
individu untuk mengutamakan keputusan komunitas. Dampak
dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang
menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.
Pada bagian lain Douglass North dalam James Coleman
(1998) menyebutkan dalam sistem demokrasi, relasi modal sosial
diformulasikan dalam berbagai struktur, misalnya pemerintah,
rejim politik, aturan hukum dan sistem peradilan. Berangkat
dari jalannya pemerintahan, rejim politik, aturan hukum, dan
sistem peradilan akan berdampak pada munculnya sikap-sikap
demokratis dari bawah/masyarakat lokal.
Senada dengan itu, James Coleman (1998) menyatakan
modal sosial merupakan inheren dalam struktur relasi
antarindividu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang
menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling
percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai
jenis sangsi bagi anggotanya.
Kemudian Putnam (1995) mengartikan modal sosial
sebagai “features of social organization such as networks, norms,
and social trust that facilitate coordination and cooperation
for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap
individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja,
sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan,
untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami
sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama
oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan
sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif.
Dalam pandangan Bank Dunia (1999) modal sosial lebih
diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta,

| 204 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial
dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya
sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya,
tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
kelompok sebagai suatu kesatuan.
Lebih lanjut Lesser (2000), menyatakan modal sosial
ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan
kemudahan dalam mengakses informasi bagi angota
komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian
kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas;
(4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5)
memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk
perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap
individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan
kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan
sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa
kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab
akan kemajuan bersama.

Peran Pendidikan Sosiologi Dalam Pengembangan


Modal Sosial
Pendidikan secara umum dan pendidikan sosiologi
secara khusus diyakini dapat berfungsi membentuk dan
mengembangkan modal sosial. Hal ini karena salah satu
tujuan dalam pendidikan dan utamanya dalam pendidikan
sosiologi adalah mengembangkan kompetensi sosial di samping
kompetensi lainnya (pedagogik, personal dan profesional).
Kompetensi sosial itu berwujud kemampuan bekerjasama
dan berkomunikasi secara intrapersonal dan interpersonal (soft
skill) baik secara oral maupun tertulis. Orang yang memiliki
kompetensi sosial akan mudah bergaul/ bermasyarakat,
mereka menjunjung tinggi kesetiakawanan dan mengutamakan

| 205 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

kebersamaan. Kompetensi seperti inilah yang menjadi modal


sosial dan sekaligus modal dalam pembangunan.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, pendidikan
memang telah membuktikan dirinya menjadi alat yang paling
ampuh dalam membebaskan suatu masyarakat atau bangsa
dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan berbagai
keterpurukan lainnya. Pendidikan merupakan jalan terbaik
meningkatkan peradaban bangsa karena melalui pendidikanlah
suatu masyarakat dapat menguasai ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pilarnya
peradaban.
Memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kompetensi sosial, kecerdasan sosial atau modal sosial yang
mengakibatkan terjadinya krisis berkesinambungan di
masyarakat selama ini diduga sedikit banyak berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan atau proses pembelajaran yang
cenderung mengedepankan atau mendewakan learning to know
dan learning to do, ketimbang learning to live together dan
learning to be.
Pelaksanaan pendidikan yang demikian itu hanya
menghasilkan manusia-manusia yang menguasai hard-skill,
padahal dalam realitasnya keberhasilan hidup dan karir seseorang
dalam masyarakat justeru lebih ditentukan oleh soft skillnya dari
pada hard skillnya.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, belajar
untuk dapat dan mampu hidup bersama orang lain (learning
to live together) dan belajar menjadi manusia berkepribadian
seutuhnya (learning to be) sangat diperlukan selain learning to
know dan learning to do. Bangsa ini membutuhkan manusia
yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi tetapi
sekaligus orang-orang yang berkepribadian utuh yang mampu
menjalin hidup dan bekerjasama bersama orang lain.
Dalam pemahaman seperti itu penguasaan ilmu

| 206 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengetahuan, teknologi dan informasi atau kebudayaan (rasa,
karsa, cipta manusia) yang tampak dalam penguasaan kebudayaan
materi yang tinggi memang diperlukan tetapi apabila aspek
kemanusiaan diabaikan bahkan dilecehkan oleh kebudayaan
tersebut sehingga kemanusiaan tidak mendapatkan tempat yang
terhormat maka sesungguhnya pembangunan bangsa itu dan
masa depannya sedang mengalami masalah.
Masa depan suatu bangsa memang tidak hanya ditakar
pada capaian puncak-puncak kebudayaan material akan tetapi
dan bahkan yang terutama adalah pada sejauhmana nilai-nilai
kemanusiaan telah mendapatkan perhatian terbaik pada tataran
individu, komunitas dan sosietas.
Melalui pendidikan kita dapat membangun masa depan
bangsa yang unggul, yang menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi, informasi, menghargai dan menghormati nilai
kemanusiaan, beretos kerja, bersolidaritas, berjati diri dan
karakter bangsa yang tinggi.
Dalam konteks seperti itulah pendidikan sosiologi sebagai
bagian dari pendidikan dan sosiologi dapat memainkan perannya
dalam mengembangkan modal sosial sebagai salah satu modal
yang sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa.

Penutup
Krisis berkepanjangan yang terjadi dalam masyarakat,
bangsa dan negara ini salah satu indikasinya dikarenakan oleh
memudarnya kearifan sosial, kecerdasan sosial, kompetensi
sosial dan modal sosial dalam masyarakat. Krisis tersebut akan
dapat dihentikan apabila dalam masyarakat tumbuh kearifan,
kecerdasan, kompetensi dan modal sosial yang tangguh.
Modal sosial sebagai salah satu modal pembangunan
dapat dikembangkan melalui jalur pendidikan secara umum
dan pendidikan sosiologi khususnya. Hal ini karena salah satu
tujuan dalam pendidikan dan utamanya dalam pendidikan

| 207 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

sosiologi adalah mengembangkan kompetensi sosial di samping


kompetensi lainnya (pedagogik, personal dan profesional).
Sayangnya sistem pendidikan dan pembelajaran dalam
dunia pendidikan umumnya dan pendidikan sosiologi selama
ini terlalu mendewakan aspek kognitif dan psikomotor atau
learning to know dan learning to do, dan mengabaikan aspek
afektif atau learning to live together dan learning to be.
Sistem pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya
menghasilkan manusia yang memiliki hard skill sedangkan
soft skillnya lemah. Sistem pendidikan dan pembelajaran yang
demikian itu perlu dikoreksi dan ditinjau ulang.
Agar pendidikan dan pendidikan sosiologi dapat
menumbuhkan dan mengembangkan modal sosial yang tangguh
maka sudah saatnya dilakukan rekonstruksi menyeluruh terhadap
sistem pendidikan, pembelajaran, evaluasi dan kurikulum yang
berlaku selama ini.

| 208 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

DAFTAR PUSTAKA
Azar. E. 2000. Protracted Social Conflict. dalam Miall, Hugh;
Woodhouse. Tom and Oliver Ramsbotham. 2000.
Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Bahari. Yohanes. 2010. Pengendalian Sosial Berbasis Modal
Sosial Lokal Pada Masyarakat Multikultural di Kalimantan
Barat, Pontianak, Laporan Penelitian.
Bahari. Yohanes. 2009. Urgensi dan Signifikansi Kompetensi
Sosial dan Pendidikan Multikultural, Sintang, Makalah
diseminarkan, Prodi Pendidikan Sosiologi dan Pusat
Penelitian Resolusi Konflik dan Perdamaian Untan.
Bowles, Samuel. 1999. Social Capital and Community
Governance. Focus: Newsletter of the Institue for
Research on Poverty 20(3):6-10.
Coleman, James. 2009. Social Capital in the Creation of
Human Capital. American Journal of Sociology 94
(supplement):S95-S120.
Dasgupta, Partha. and Ismail Serageldin, eds., 2000. Social

| 209 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Capital: A Multifaceted Perspective. Washington DC:


World Bank.
de Tocqueville, Alexis. 1969. Democracy in America, ed. J.P.
Mayer, Garden City, NY: Anchor Books.
Edwards, Bob, and Michael Foley. 2008. Civil Society and Social
Capital Beyond Putnam. American Behavioral Scientist
42(1):124-39.
Fine, Ben. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political
Economy and Social Science at the Turn of Millenium.
London: Routledge.
Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the
Creation of Prosperity. New York: Free Press.
Galtung. Johan. 2002. Kekerasan Kultural. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. Yogyakarta: Insist Press.
Gittel, Ross, and Avis Vidal. 1998. Community Organizing:
Building Social Capital as a Development Strategy.
Thousand Oaks, CA: Sage.
Grootaert, Christiaan. 2008. Social Capital: The Missing Link.
Working Paper No. 3. Washington DC: The World Bank.
Harron. 1998. Alternative Disute Resolution. dalam Merthaman.
2002. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Penyelesaian
Konflik Sosial Antara Masyarakat Pendatang Dengan
Masyarakat Lokal. Bandung. PPS Unpad.
Lang, Robert, and Steven Hornburg. 2008. What Is Social Capital
and Why Is It Important to Pubic Policy? Housing Policy
Debate 9(1):1-16.
Lesser, E., 2006, Knowledge and Social Capital: Foundation
and Application, Boston : Butterworth-Heinemann,
Menkumham RI. 2010. LAPAS, Kelebihan Daya Tampung,
Kompas, 14 Februari 2010, Jakarta.
| 210 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Portes, Alejandro. 1998. Social Capital: Its Origins and
Applications in Modern Sociology. Annual Review of
Sociology 24:1-24.
Pranowo. 2006. Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila, Pontianak,
Pontianak, Makalah Seminar DPD PIKI Kalbar.
Putnam, Robert. 1993b. The Prosperous Community: Social
Capital and Public Life. American Prospect. Spring.
Putnam, Robert, 1995. Bowling Alone: America‟s Declining
Social Capital. Journal of Democracy 6:65-78.

| 211 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

| 212 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN

BIO DATA PENULIS

P
rof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si, lahir di Jahingan
Pahauman Kabupaten Landak Kalimantan Barat
pada tanggal 3 November 1958. Menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar tahun 1971 dan Sekolah Menengah
Pertama tahun 1974 masing-masing di Sekolah Katolik
Pahauman, kemudian melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) Katolik di Nyarumkop tamat tahun 1977. Mengikuti
pendidikan jenjang sarjana (S1) di FKIP Untan Pontianak
tamat tahun 1984, jenjang magister (S2) bidang ilmu sosiologi
pada Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia Jakarta tamat
tahun 1994 dan jenjang doktor (S3) bidang ilmu sosiologi pada
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tamat tahun
2005.
Sejak tahun 1986 menjadi dosen tetap pada Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura
Pontianak. Kemudian sejak tahun 2009 diangkat menjadi guru
besar bidang ilmu sosiologi pada FKIP Untan. Selain sebagai
tenaga dosen pada jenjang S1 di berbagai perguruan tinggi, juga
pernah aktif sebagai tenaga pengajar di jenjang S2 pada magister
ilmu sosial FISIP Untan, magister ilmu Teknologi Pendidikan
FKIP Untan, magister ilmu Pendidikan Ekonomi Untan,

| 213 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

magister ilmu Theologia dan magister ilmu Pendidikan Agama


Kristen STT Eklesia Pontianak serta pada program doktoral
STAKN Palangkaraya. Pernah menjadi dosen tidak tetap pada
STPDN Pontianak, Kepala Sekolah SD dan SMP Kristen
Immanuel Pontianak, Pembantu Direktur I Institut Agama
Kristen Eka Shinta (sekarang STT Abdi Wacana Pontianak).
Aktif sebagai pengurus berbagai yayasan pendidikan dan
organisasi sosial keagamaan, antara lain pernah sebagai Ketua
Majelis Pendidikan Kristen Wilayah Kalimantan Barat, Ketua
Penasehat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kalimantan
Barat, Ketua Forum Dialog Agamawan Muda Kalimantan
Barat, Ketua Pusat Penelitian Resolusi Konflik dan Perdamaian
Untan, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi S1 dan S2.
Saat ini aktif sebagai wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan
FKIP Untan, Ketua Pengawas Majelis Pendidikan Kristen,
Ketua Badan Pembina DPD GAMKI, Ketua Badan Pembina
DPD MUKI, dan Ketua Litbang PGIW.
Selain itu penulis aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah
seperti menulis artikel di jurnal nasional dan internasional
terakreditasi, menulis buku, mengikuti seminar dalam dan luar
negeri, melakukan penelitian DIPA, HIBAH kompetitif dan
penelitian kerjasama kelembagaan. Pernah menjadi promotor
mahasiswa S3 pada Universitas Pendidikan Indonesia dan
Universitas Negeri Jakarta, sebagai tenaga reviewer penelitian
tingkat Universitas dan reviewer karya ilmiah tingkat Fakultas,
pembimbing tesis S2 dan pembimbing skripsi S1.

| 214 |

Anda mungkin juga menyukai