SI
SERPIHAN-SERPIHAN
PEMIKIRAN
KONFLIK, KEKERASAN
DAN PERDAMAIAN
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
All rights reserved @ 2018, Indonesia: Pontianak
Penulis:
PROF. DR. YOHANES BAHARI, M.SI
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja ataau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
B
uku di dunia pendidikan terutama di Perguruan
Tinggi merupakan hal yang utama, penting dan
diperlukan dalam menunjang kegiatan akademik
khususnya untuk memperlancar dan meningkatkan kualitas
pembelajaran. Dengan tersedianya buku sebagai sumber
pengetahuan dan referensi akan sangat membantu dan
mempermudah para mahasiswa dan pembaca mempelajari,
menjelajahi dan memahami dunia ilmu pengetahuan yang
sangat luas.
Usaha penulis menghadirkan sebuah buku di tengah
kelangkaan penulisan buku oleh para akademisi dan di tengah
kelangkaan referensi ilmiah saat ini patutlah kita sambut dengan
gembira. Buku ini ibarat setitik air dipadang gurun pasir luas
telah memberikan kesejukkan, pengharapan dan optimisme baru
khususnya bagi mereka yang ingin mendalami dan mempelajari
konflik, kekerasan dan perdamaian. Jujur diakui bahwa meskipun
tulisan tentang konflik, kekerasan dan perdamaian sudah cukup
banyak tetapi yang ditulis seorang pengajar dalam perspektif
ilmiah dengan mengetengahkan data yang aktual dan obyektif
masih tergolong sangat langka.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat membuka wawasan
baru tentang konflik, kekerasan dan perdamaian bagi mereka
yang mempelajari sosiologi konflik, kekerasan dan perdamaian.
Masyarakat awam meskipun hidup dalam era serba modern
seperti saat ini, umumnya masih beranggapan bahwa segala
sesuatu yang berkaitan dan berbau konflik adalah sesuatu yang
| iii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| iv |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dan kehidupan yang lebih baik. Semoga buku ini bermanfaat
bagi banyak pihak.
|v|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
B
uku yang berjudul Serpihan-Serpihan Pemikiran:
Konflik, Kekerasan dan Perdamaian karya Prof. Dr.
Yohanes Bahari, M.Si ini patut diapresiasi karena
bermanfaat setidaknya dalam hal (1) membantu dan memudahkan
mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah sosiologi konflik
khususnya bagi mahasiswa pendidikan sosiologi, (2) menjadi
referensi/literatur bagi para mahasiswa dan pembaca lainnya
yang berminat mempelajari konflik, kekerasan dan perdamaian,
(3) berkonstribusi dalam meningkatkan akreditasi program studi
dan (4) berkonstribusi dalam meningkatkan akreditasi institusi.
Kehadiran buku ini diharapkan memberikan wawasan
baru bagi para mahasiswa pendidikan sosiologi dan siapa saja
yang mempelajari konflik, kekerasan dan perdamaian. Meskipun
judul tulisan ini hanya berupa serpihan-serpihan pemikiran
namun karena disajikan secara sistematis dan ketajaman analisis
oleh penulisnya menjadikan buku ini enak dibaca dan mudah
dipahami. Selain itu penyajiannya sederhana, lugas, apa adanya
menjadikan buku ini menarik dan mudah dicerna oleh siapapun
yang membacanya.
Semoga apa yang telah dilakukan penulis dengan
menerbitkan buku ini dapat diikuti oleh dosen-dosen yang lain.
| vi |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
PENGANTAR KATA
D
i tengah kelangkaan literatur ilmiah berbahasa
Indonesia yang bernuansa konflik, kekerasan dan
perdamaian, kehadiran buku yang membahas
masalah konflik, kekerasan dan perdamaian ke hadapan para
pembaca dan pemerhati masalah sosial yang budiman ini patut
disyukuri dan kita sambut dengan gembira.
Buku ini merupakan hasil kajian dan telaah teoritik dan
empirik tentang konflik, kekerasan dan perdamaian sejak penulis
menjadi dosen mata kuliah sosiologi konflik dan perdamaian.
Sesuai dengan topiknya, buku ini membahas tentang
konflik, kekerasan dan perdamaian serta konstribusi pendidikan
sosiologi dalam membangun perdamaian. Ketiga isu ini dirajut
dalam kesatuan untaian yang saling mengisi dan melengkapi.
Keseluruhan bahasan disajikan dalam 12 bab.
Bab 1 menjelaskan konflik. Dalam bab ini berisi tentang
pendahuluan, pengertian konflik, perbedaan konflik dengan
kekerasan, manfaat konflik, proses konflik berubah menjadi
kekerasan, teori-teori penyebab konflik, siklus konflik dan
penyelesaian konflik serta penutup.
Dalam bab 2 menjelaskan konflik dalam perspektif Karl
Marx. Dalam bab ini dibahas tentang pendahuluan, siapakah
karl marx, dasar pemikiran marx tentang sosialisme, pemikiran
marx tentang pertentangan kelas, kajian sosiologi etnik meliputi
pengertian sosiologi etnik, perlunya mempelajari sosiologi
etnik, dimensi dan pola hubungan antar etnik, kelompok
dominan dan minoritas, tahap-tahap hubungan antar etnik dan
| vii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| viii |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Bab 9 buku ini dijelaskan tentang manajemen konflik dalam
perspektif resolusi konflik masyarakat adat Dayak. Dalam bab
ini dibahas pendahuluan, gambaran umum konflik kekerasan
masa lalu di Kalimantan Barat, dan faktor penyebab konflik
kekerasan masa lalu di Kalimantan Barat, persepsi masyarakat
Dayak tentang keberagaman, dan gambaran resolusi konflik
dalam perspektif hukum adat Dayak dan penutup.
Bab 10 buku ini menjelaskan tentang kompetensi sosial dan
pendidikan mediasi resolusi konflik. Dalam bab ini dijelaskan
pendahuluan, kompetensi sosial, mengapa kompetensi sosial
diperlukan, bagaimana mengemas kompetensi sosial melalui
pendidikan di sekolah, dan mediasi resolusi konflik sebagai
bagian aspek kecerdasan sosial dan penutup.
Bab 11 buku ini menjelaskan tentang peran pendidikan
sosial dalam mengembangkan modal sosial. Dalam bab
ini dijelaskan pendahuluan, modal sosial sebagai modal
pembangunan bangsa, dan peran pendidikan sosiologi dalam
mengembangkan modal sosial dan penutup.
Yohanes Bahari
| ix |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
KATA PENGANTAR
B
uku yang berjudul Serpihan-Serpihan Pemikiran
(Konflik, Kekerasan dan Perdamaian) ini
merupakan hasil kajian dan telaah penulis selama
menjadi dosen sosiologi konflik sejak tahun 2008. Sebagian
besar topik dalam buku telah dipresentasikan dalam berbagai
forum seminar nasional. Garis besar isi buku ini berkaitan
dengan konflik, kekerasan dan perdamaian. Meskipun berupa
serpihan-serpihan pemikiran tetapi keseluruhan isi buku ini
terajut dalam satu untaian kesatuan sehingga dapat menjadi
rujukan bagi mahasiswa S1 dan S2 serta berbagai pihak yang
mempelajari sosiologi konflik.
Ada dua alasan mendasar dari ditulisnya buku ini.
Pertama, kebutuhan referensi kajian sosiologi konflik masih
belum banyak dijumpai di Indonesia. Padahal, ilmu sosiologi
memberi kontribusi besar terhadap perkembangan studi
konflik kontemporer yang saat ini berkembang menjadi
kajian konflik multidisipliner. Istilah sosiologi konflik sendiri
populer dalam ilmu sosial Indonesia, namun belum difasilitasi
dengan satu buku pegangan khusus sosiologi konflik yang
memberi wawasan kajian konflik melalui tradisi ilmu sosiologi.
Sehingga kehadiran buku ini berusaha memberi kontribusi
terhadap hadirnya buku referensi sosiologi konflik di Indonesia.
Kedua, berbagai fenomena konflik di dunia dalam berbagai
dimensinya seperti konflik etnis keagamaan, konflik buruh,
sampai konflik separatisme mengalami kuantitas dan kualitas
|x|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pascaperang, dingin termasuk berbagai konflik kekerasan
dalam negara di Indonesia seperti etnis keagamaan di Ambon
Maluku, konflik etnik di Kalimantan, konflik separatisme di
Aceh dan Papua, sampai konflik buruh. Konflik-konflik dalam
negeri ini memerlukan kajian dan pendekatan sosiologis untuk
kepentingan akademis dan praktis.
Pemilihan tema konflik, kekerasan dan perdamaian selain
karena kesesuaian jiwa dan semangat yang terkandung dalam
topik-topik itu, juga karena masih relevan dengan berbagai isu
dan kontek kekinian. Pertimbangan lainnya, tema itu sangat
dibutuhkan dalam melengkapi kajian akademik khususnya bagi
mahasiswa tingkat sarjana dan pascasarjana yang mempelajari
sosiologi, politik, teori konflik, resolusi konflik dan perdamaian.
Pengalaman penulis selama menjadi pengajar mata kuliah
sosiologi konflik, teori konflik, resolusi konflik dan perdamaian
menunjukkan bahwa sebagian besar referensi di bidang itu
masih langka dan kalaupun ada sebagiannya ditulis dalam
bahasa asing. Tema ini juga relevan bagi para aktivis pencinta
perdamaian yang bekerja dalam usaha-usaha perdamaian di
tengah masyarakat.
Karena itu penerbitan buku ini diharapkan dapat
melengkapi lietratur dan referensi dalam studi konflik, resolusi
konflik dan perdamaian khususnya bagi mahasiswa tingkat
Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi maupun para
aktivis pencinta dan pembangun perdamaian di tanah air dan
di mana pun.
Buku ini menyajikan sisi akademik teoritik dan praktis
tentang konflik, kekerasan dan perdamaian. Sisi akademik
teoritik disusun dari hasil kajian terhadap berbagai teori yang
sudah ada yang dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut
pandangnya masing-masing sedangkan sisi praktis diangkat dari
hasil kajian empiris dari lapangan penelitian. Kehadiran buku ini
memadukan sisi teoritis dan praktis secara seimbang sehingga
| xi |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Yohanes Bahari
| xii |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
DAFTAR ISI
BAB I KONFLIK
Pendahuluan 1
Pengertian Konflik 3
Konflik dan Kekerasan 11
Manfaat Konflik 14
Konflik Berubah Menjadi Kekerasan 14
Teori-Teori Penyebab Konflik 29
Daftar Pustaka 33
| xiii |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| xiv |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Daftar Pustaka 134
| xv |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
BAB X Kompetensi Sosial dan Pendidikan Mediasi Resolusi
Konflik
Pendahuluan 183
Kompetensi Sosial 185
Pentingnya Kompetensi Sosial 186
Mengemas Kompetensi Sosial Melalui Pendidikan di
Sekolah 188
Mediasi Resolusi Konflik Sebagai Bagian Kecerdasan
Sosial 190
Penutup 195
Daftar Pustaka 197
| xvi |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB I
APA ITU KONFLIK?
Pendahuluan
P
ada umumnya ketika mendengar istilah konflik
kebanyakan orang akan spontan membayangkan
hal yang menakutkan, buruk dan negatif. Bayangan
itu tidak sepenuhnya salah karena faktanya konflik umumnya
membawa kehancuran atau kerusakan dalam hubungan sosial.
Akibat memiliki konotasi buruk, menakutkan dan negatif maka
kebanyakan orang berusaha menghindari atau menjauhkan
konflik dalam kehidupan sosial. Tetapi betulkah konflik selalu
mengenai hal yang buruk dan negatif sehingga harus dihindari
bahkan dijauhkan dalam kehidupan masyarakat? Bagi sebagian
sosiolog misalnya Simmel dan Coser, konflik selalu berfungsi
ganda, di satu sisi fungsional tetapi di sisi lain disfungsional.
Bukan hanya itu, bahkan para sosiolog sepakat melihat
konflik sebagai sesuatu yang selalu ada (kenyataan dalam
hidup) dan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sosial.
Konflik selalu ada dan dapat muncul di semua lapisan
masyarakat dimanapun dan kapanpun. Seperti dikatakan Karl
Marx bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan
kelas atau konflik kelas. Selain itu para ahli sepakat bahwa dalam
|1|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
|2|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kelompok. Hal ini biasanya terjadi pada konflik antar
kelompok, dimana anggota masing-masing kelompok karena
merasa mempunyai identitas yang sama bersatu menghadapi
ancaman yang datang dari luar kelompoknya.
2. Memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau
belum tuntas untuk ditelaah. Contohnya dalam menetapkan
suatu rancangan undang-undang (RUU) menjadi sebuah
undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan persetujuan Presiden.
3. Memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma
dan nilai-nilai serta hubungan-hubungan social dalam
kelompok yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan
individu atau kelompok.
4. Merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antar
individu dan antar kelompok.
5. Dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma
lama dan menciptakan norma-norma yang baru.
6. Dapat berfungsi sebagai sara untuk mencapai keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.
7. Memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang
berkonflik dalam kekuatan yang seimbang.
Namun demikian konflik juga mengandung sisi negatif antara
lain:
1. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok. Hal ini
biasanya muncul apabila terjadi konflik di antara anggota
kelompok yang sama.
2. Adanya perubahan kepribadian pada diri individu.
3. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
4. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok
yang kalah.
Pengertian Konflik
Istilah konflik berasal dari kata Latin confligere yang
|3|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
|4|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Beberapa ide yang bertentangan mengenai televisi ini menjadi
gerakan persinggungan di antara anggota keluarga, sehingga
menyebabkan ketegangan sosial pada tingkat tertentu pada
sistem kehidupan keluarga tersebut.
Pengertian konflik di atas sesuai apa yang didefinisIkan
Pruitt dan Rubin dengan mengutip Webster, bahwa “konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan”
(Pruitt & Rubin, 2004). Jika memahami konflik pada dimensi
ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik yaitu persepsi,
aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya, dalam
dunia sosial yang ditemukan persepsi maka akan ditemukan
pula aspirasi dan aktor.
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik
antar orang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok
(intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara
(vertical conflict), konflik antarnegara (interstate conflict).
Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya.
Masyarakat manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah
konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara.
Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan
mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi
perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.
Namun dalam catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering
diikuti oleh bentuk-bentuk kekerasan, seperti perang dan
pembantaian.
Pendudukan Spanyol ke Benua Amerika pada abad ke-
14 telah menciptakan konflik kekerasan terhadap penduduk
pribumi sehingga terjadi pembantaian dan penghancuran
peradaban Bangsa Inca. Pada fase sejarah yang berbeda di
Amerika Serikat, Klux Klux Klan merepresentasikan konflik
antara orang kulit putih yang berasal dan Eropa dan berkulit
|5|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
|6|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika
mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi
maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah
menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan
interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain
berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan
oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi
hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon
terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan
adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu
dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain
karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace &
Faules, 1994).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama,
yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber
yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku
setiap pihak yang terlibat (Myers,1982; Kreps, 1986; Stewart,
1993).
|7|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
|8|
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota
di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan
kreatif.
Stoner dan Freeman (1989) membagi pandangan menjadi
dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan
pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional
menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan
konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian
tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya
disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal
ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi,
perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik
dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan.
Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan
Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang,
yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993):
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai
sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat
menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan
pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga
|9|
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 10 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau
organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk,
tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya
perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat
berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya
tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana
cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi
kembali.
Meskipun definisi konflik menurut para ahli itu berbeda
grammarnya tetapi maknanya sama. Berdasarkan pandangan
berbagai sumber itu konflik dapat dimaknai sebagai pertentangan
para pihak (individu atau kelompok) yang disebabkan karena
tujuan atau sasaran di antara mereka berbeda, yang dapat berakibat
pada saling menghalangi, memukul atau menghancurkan.
Berangkat dari pemahaman seperti itu konflik dapat
dipahami dalam dua aspek yaitu pertentangan dalam mencapai
tujuan atau sasaran yang tidak sampai pada saling menghalangi,
memukul dan menghancurkan dan pertentangan yang diikuti
dengan saling menghalangi, memukul dan menghancurkan.
Aspek yang pertama sering disebut dengan konflik tanpa
kekerasan atau conflict non violence atau konflik, sedangkan
aspek yang kedua adalah konflik dengan kekerasan atau conflict
of violence atau konflik kekerasan. Dari pemahaman itu jelas
bahwa konflik tidak selamanya kekerasan tetapi kekerasan sudah
pasti konflik.
| 11 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 12 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hukum melalui hukuman atau pidana mati.
Di Amerika Serikat tindakan pemerintah selaku
penyelenggaraan kekuasaan dilakukan dengan hati-hati untuk
menutupi upaya kekerasan mereka dalam mengatasi keadaan
tidak stabil ataupun mengancam kejatuhan penguasa (Ross,
1977). Wujud kekerasan dari pemegang kekuasaan tampak
dalam bentuk keterlibatan polisi secara struktural dalam
pelbagai tindak kekerasan terhadap ras tertentu, menciptakan
ketidakstabilan dalam masyarakat dan memancing kerusuhan di
masyarakat Novri Susan, 2014). Di negara berkembang, seperti
Guatemala dan Indonesia, kekerasan dilakukan lebih kasat mata.
Keterlibatan militer dalam kekerasan di Guatemala sejak 1961-
1966 (Novri Susan, 2014), sedangkan Indonesia dalam bentuk
terorisme negara di jaman orde baru (Heryanto, 1993).
Menurut Snider, tujuan akhir dari kekerasan yang
dilakukan negara adalah kekuasaan politik (Novri Susan, 2014).
Kekerasan negara yang dilakukan di negara-negara Amerika
Latin, Afrika dan Asia cenderung kasat mata, sedangkan di
Eropa dan Amerika lebih tersembunyi. Akibat kekerasan negara
ialah hancurnya properti, hilangnya kepercayaan serta nyawa
manusia, berubahnya struktur ekonomi, sosial dan politik dan
yang paling menyedihkan berubahnya opini masyarakat tentang
substansi suatu masalah yang berdampak sampai beberapa
generasi (Novri Susan, 2014). Kekerasan negara yang terjadi
di Afrika mengakibatkan turunnya produktivitas ekonomi dan
tumbuhnya rasa takut pada investor baru (Novri Susan, 2014).
Jika konflik adalah pertentangan para pihak dalam
mencapai tujuan atau sasarannya maka kekerasan adalah
segala tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem
yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau
lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih
potensinya secara penuh.
Berdasarkan pandangan itu dapat dipahami bahwa
| 13 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Manfaat Konflik
Konflik yang selalu ada dalam ruang kehidupan
sosial menandakan bahwa konflik tersebut dibutuhkan atau
bermanfaat. Fisher (2001) dalam bukunya Working with Conflict:
Skill and Strategies for Action, mencatat sejumlah manfaat
konflik, seperti: membuat orang-orang menyadari adanya
banyak masalah, mendorong orang melakukan perubahan yang
diperlukan, memperbaiki solusi, menumbuhkan semangat,
mempercepat perkembangan pribadi, menambah kepedulian
diri, mendorong kedewasaan psikologis dan menimbulkan
kesenangan.
Jika tidak ada konflik akan banyak orang menjadi kerdil
karena kekurangan stimulasi, berbagai kelompok dan organisasi
akan mati, dan masyarakat akan runtuh karena beban mereka
sendiri yang tidak mampu beradaptasi dengan berbagai keadaan
yang berubah dan juga perubahan hubungan kekuasaan yang
terjadi.
| 14 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Afrika di abad ke-14. Sesungguhnya dia selalu menjadi bagian
dari kekuasaan kesultanan, karena ia menjadi penjabat negara
di Tunisia, Alegria, Maroko, dan Spanyol. Dia melahirkan
banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi.
Terutama sekali kajian berkaitan dengan konflik sebagai hukum
sosial dalam sejarah manusia.
Masa Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perebutan
kekuasaan oleh kelompok yang hidup di zaman itu. Masa itu
ditandai oleh kemunculan kelompok yang memperebutkan
kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering
berada dalam keadaan ketidakstabilan politik. Kondisi inilah
yang memengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khaldun.
Sosiologi konflik Ibnu Khaldun memperlihatkan bagaimana
dinamikakonflikdalamsejarahmanusiasesungguhnyaditentukan
oleh keberadaan kelompok sosial („ashobiyah) berbasis pada
identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam
struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi
konstribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi
oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah
kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok
sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi (to win)
dan menguasai (to rule).
Suatu kelompok sosial akan mampu mendominasi
kekuasaan tatkala secara internal kelompok tersebut mampu
menjaga solidaritas kelompoknya. Loyalitas para anggota dalam
menjaga persatuan kelompok sosial. Namun begitu solidaritas
dalam kelompok mengalami kegoyahan, maka bisa dipastikan
suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama
dominasi kekuasaannya.
Pemikiran kelompok sosial, dominasi kekuasaan, dan
dinamika konflik dalam sejarah manusia sebagai hukum sosial
dari Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikiran Karl
Marx yang muncul lima abad kemudian. Tidak ada dokumen
| 15 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 16 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sebagaimana ia sebut sebagai struktur pondasi, berakar pada
kebutuhan materialistik. Agar memenuhi kebutuhan material,
dalam sejarahnya, masyarakat menciptakan alat dan sistem
produksi. Sebagai contoh pada masa masyarakat komunis
primitif, alat produksi yang dimanfaatkan sangat sederhana
dan subsistem. Alat tersebut tidak diorientasikan sebagai
pemproduksi barang secara masal namun hanya demi kebutuhan
hidup. Alat seperti tombak dan panah pada masyarakat
primitif digunakan untuk memburu binatang. Hasil perburuan
didistribusikan pada keluarga besar (extended farmily). Semua
anggota keluarga selalu tercukupi kebutuhannya dan masing-
masing menjalankan fungsi kerjanya secara bersama-sama.
Walaupun demikian, dalam proses perjuangan pemenuhan
kebutuhan dasar, kelompok sosial berhadapan dengan
perbedaan kekuasaan yang dipengaruhi oleh seberapa besar
modal yang dimiliki untuk memiliki dan menciptakan sistem
produksi. Modal ini adalah pondasi dari masyarakat kapitalis.
Modal dalam masyarakat kapitalis adalah yang material berupa
kepentingan alat produksi menentukan posisi seseorang dalam
suatu struktur sosial. Sehingga perbedaan sumber kekuasaan-
modal dalam masyarakat kapitalis menurut Marx secara
proletariat (Marx & Engels, 2000).
Menurut Lowith (1993), Marx melihat kelas bojuis
memiliki modal besar seperti uang dan nilai, untuk menciptakan
alat dan sistem produksi yang dengan itu sesungguhnya mereka
meraih lebih dari sekadar kebutuhan dasar manusia. Mereka
mengambil apa yang disebut oleh Marx sebagai “over value
of production” yang keuntungan dari seluruh proses produksi
diambil seluruhnya. Proses ini menciptakan akumulasi modal
di tangan kelas borjuis. Pada saat bersamaan kelas proletariat
dimiskinkan oleh sistem kapitalisme sejak mereka tidak
memperoleh bagi keuntungan yang adil, yaitu hak-hak terhadap
komoditas yang mereka ciptakan. Kelas proletariat menjadi tidak
| 17 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 18 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Kedua kelas ini berada dalam struktur sosial yang hierarkis, dan
borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem
produksi kapitalis. Eksploitasi ini terus berjalan karena masih
mengakarnya kesadaran semu, fase consciousnee, dalam diri
proletar, yaitu berupa rasa berserah diri, menerima keadaan, dan
berharap balasan akhirat. Melalui perspektif ini Marx menilai
agama adalah candu yang mengantar manusia pada halusinasi
kosong dan menipu. Agama sebagai lembaga sosial tidak lebih
dari instrumen pragtis kelas borjuis melanggengkan model
produksi ekonomi kapitalis.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi
kapitalis antara kelas borjuis dan proletar melahirkan gerakan
sosial besar dan radikal, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan
produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi
borjuis terhadap mereka. Namun tidak membahas bagaimana
keasadaraan ini terbentuk dan terorganisasi menjadi gerakan
sosial melawan kapitalisme. Ini nantinya menjadi kritik
Dahrendorf dan Habermas. Dahrendorf nantinya menjelaskan
bagaimana perjuangan kelas terbentuk melalui formasi
kepentingan dan gerakan kelompok kepentingan.
Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam
sosiologi konflik Marx. Pertama, manusia secara alamiah
memiliki angka kepentingan. Jika seseorang bertindak tidak di
atas kepentingan alamiah itu, berarti mereka telah dicurangi dari
kepentingan yang sebenarnya (true interest). Kedua, konflik
dalam sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akiba
benturan kepentingan kelompok-kelompok sosial. Ketiga,
Marx melihat keterkaitan ideologi dan kepentingan. Bagi Marx
gagasan dari suatu zaman adalah refleksi dari kepentingan
„rulling cass‟ (Wallace & Wolf, 1995).
Sebagai seorang „reformer‟,Marx adalah seorang yang
meyakini perubahan sosial radikal. Tetapi lepas dari komitmen
moralnya, Marx memberi esensi akademik mengenai realitas
| 19 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah dan konflik kelas
atas fakta eksploitasi. Ia melihat perubahan sosial melalui proses
dialektis sejarah material yang sarat konflik sebagai bagian dari
sejarah manusia, Marx menyatakan, “... without conflict, no
progress; that is the law which is civilization has followerd the
present day (tanpa konflik, tidak ada perkembangan peradaban,
penulis); itu adalah hukum pada peradaban sampai sekarang”
(Dahrendorf, 1959). Pernyataan ini juga telah disampaikan oleh
Ibnu Khaldun beberapa abad sebelumnya melalui Muqadimah
bahwa sejarah manusia selalu dicirikan oleh konflik kelompok,
dan hal ini adalah hukum sosial dalam peradaban manusia.
Pemikiran Marx nantinya sangat berpengaruh dan
berkembang sebagai tradisi sosiologi konflik neo-Marxis,
mazhab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik struktur
lainnya. Marx sesungguhnya telah meletakkan sebab-sebab
akar dari konflik dan dinamikanya. Kelas dan perjuangan kelas
adalah sumber berjalanya dinamika sejarah. Berbagai kritik
telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan sosial dalam menilai
pemikiran dan filsafat Marx pada kebutuhan dasar. Pemikiran
Marx menyebut kebutuhan dasar manusia adalah hal-hal
material. Pemikiran kritis terhadap Marx bisa ditangkap dari
beberapa ilmuwan sosial klasik seperti Max Weber.
| 20 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengaruh besar terhadap sosiologi konflik Weber.
Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada
kepentingan alamiah dalam setiap diri manusia. Kepentingan
alamiah inilah yang mendorong manusia untuk terus bergerak
mencapai kekayaan (wealth) serta menciptakan tujuan penting
dan nilai-nilai dalam masyarakat. Namun Weber tidak sepakat
dengan apa yang dipikirkan Marx tentang determinisme
ekonomi. Bahkan Weber menyebut Marx sebagai sosiologi
dogmatis, dan menyebut sosiologinya sebagai sosiologi empiris
(Lowith, 1993). Selanjutnya menurut Turner perbedaan
toeretis antara Weber dan Marx ini juga terlihat dari komitmen
metodologi Weber yang mengikuti individualisme, sosiologi
sebagai perspektif interpretatif pada tindakan sosial. Adapun
Marx mengacu pada epistemologi realisme, strukturalisme,
dan materialisme sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari cara
produksi (Turner, 1999).
Weber menciptakan tipe ideal tindakan sosial untuk
memahami pola dalam sejarah dan masyarakat kontemporer.
Ia menciptakan tipe ideal tindakan, tipe ideal hubungan
sosial, dan tipe ideal kekuasaan (power). Weber mengklafikasi
tindakan individu ke dalam empat tipe ideal, yaitu zwecrational,
wertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.
Zwectrational berkaitan dengan means and ends, yaitu tujuan
(ends) dicapai dengan menggunakan alat atau cara (means),
perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertractional
adalah tindakan nilai yang orientasi tindakan itu tidak berdasarkan
pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan
tindakan tradisonal adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang
dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai diwariskan dan dipelihara
bersama (Campbell, 1994).
Sebagian ilmuwan sosial menempatkan Weber sebagai
seorang teoretisi microanalysis, karena ia berangkat dari
| 21 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 22 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
legal formal (legal-formal authority) yang merupakan kekuasaan
berbasis pada aturan hukum resmi (Wallace & Wolf, 2000).
Kekuasan merupakan generator dinamika sosial yang mana
individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada saat
bersamaan kekuasaan menjadi sumber dari hubungan konflik.
Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap
unsur stratifikasi sosial, sehingga menciptakan dinamika konflik.
Seperti keinginan seseorang yang ingin meraih posisi ekonomi
yang lebih tinggi, pada saat bersamaan ia juga mengizinkan posisi
politik juga. Kombinasi ini menciptakan pola hubungan sosial
ketegangan kekuasaan yang rumit. Mereka yang terlibat dalam
gerakan ini akan memobiliasasi sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki. Tugas seorang ilmuwan sosial menurut Weber adalah
memberi penafsiran dan sekaligus menjelaskan kompleksitas
konflik tersebut.
| 23 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 24 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
konservatif, karena pemikiran sosiologinya lebih memperhatikan
tatanan sosial (social order) dari pada perubahan sosial (social
change) (Turner, 1999). Sehingga Durkheim sering disebut
sebagai ilmuwan sosial yang memengaruhi perkembangan teori
fungsionalisme struktural. Suatu perspektif ilmu sosiologi yang
berat menimbang aspek konsensus dan harmoni sosial.
Sebenarnya sosiologi Durkheim tidak lepas dari carutmarut
politik di Perancis pada abad ke-19 atau 1870-an ketika rovulusi
politik pada waktu itu ditandai oleh berkembangnya ketegangan
sosial antara konservatisme Katolik, nasionalisme, dan anti-
semitisme, melawan kelompok liberal, sekular, dan borjuis.
Ketegangan di Perancis ini menciptakan konflik berdarah dari the
Parris Commune (kelompok borjuis Paris) pada 1871. Struktur
sosial yang ditandai oleh konflik dari berbagai kelompok melalui
kesadaran kolektifnya dan pergesaran moral (kesadaran) itulah
yang memengaruhi Durkheim dalam menciptakan sosiologi
memperhatikan tatanan sosial. Durkheim merupakan seorang
yang konseravtif namun sesungguhnya juga memperhatikan
gerakan sosial masyarakat sipil (Turner,1999).
Pemikiran Durkheim sebenarnya dapat dimanfaatkan
dalam menganalisis gerakan sosial dan konflik. Durkheim
sendiri menunjuk istilah „social current‟ yang diterjemahkan
oleh Turner sebagai gerakan sosial (social movement) sebagai
salah satu pembahasan sosiologi melalui metode fakta
sosial (Turner, 1999). Salah satu kunci analisis gerakan sosial
Durkheimian yakni konsepnya mengenai kesadaran kolektif
yang mengikat individu melalui berbagai simbol dan norma
sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari
terjaganya eksistensi kelompok. Anggota dari kelompok bisa
menciptakan bunuh diri altruistik untuk membela eksistensi
kelompok. Fenomena kontemporer saat ini bisa dilihat dari
berbagai kasus bom bunuh diri kelompok-kelompok radikal di
India dan Timur Tengah. Artinya, melalui kesadaran kolektif
| 25 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 26 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Sosiasi melihat pada proses interaksi sosial sebagai cara
menciptakan kesatuan tersebut. Menurut Lallement “Simmel
mengajukan suatu konsep kunci, yaitu konsep tindakan
timbal balik. Melalui tindakan timbal balik, secara sederhana
ia memahami pengaruh yang diberikan seseorang kepada
sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi
yang beragam (insting erotis, kepentingan praktis, keyakinan
religius, keharusan untuk bertahan hidup atau untuk menyerang,
kesenangan bermain-main, pekerjaan, dan sebagainya) dan-
tanpa pernah berhenti bergerak-itulah totalitas seluruh
tindakannya yang memberi kontribusi untuk mempersatukan
totalitas individu menjadi satu masyarakat global” (Lallement,
2004).
Fenomena konflik pun dipandang sebagai proses sosiasi.
Sosiasi dapat menciptakan asoiasi, yaitu para individu yang
berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya
sosiasi juga bisa melahirkan disasosiasi, yaitu para individu
mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya
feeling of hostility secara alamiah. Simmel menyatakan: “The
actuallydissociating elements are the causes of the conflict-ha-
tred and envy, want and desire” (Unsur-unsur yang sesungguhnya
dari disasosiasi adalah sebab-sebab konflik kebencian dan
kecemburuan, keinginan dan nafsu).
Teori sosiasi Simmel mengenai konflik bisa dipahami
melalui konsep “geometry of social space”. Simmel memberi
perspektif hubungan konflik dan mediasi yang menarik.
Simmel menggambar hubungan dyad (dyadic relatioship) dan
triad (triadic relatioship). Dalam hubungan dyad yang terdiri
dari dua peserta, sifat hubungan itu konfrontatif. Pengertian
integratifnya, dua peserta saling bergantung satu sama lain.
Karena kepergian satu partisipan akan menghancurkan
hubungan itu. Perubahan populasi, dari dyad menjadi triad
memberi perubahan kualitatif yang mendasar. Dalam hubungan
| 27 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 28 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Jonathan Turner mencatat perbedaan antara Marx dan
Simmel terletak pada pandangan Simmel terhadap hubungan
sosial terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat
ditipekan sebagai pencampuradukan organis dari proses sosiasi
dan disosiasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial,
kenyataan konflik adalah satu prinsip operasional memelihara
keseluruhan sosial dan/atau beberapa bagiannya. Adapun Marx
cenderung pada kelas dan dominasi, bukan sesuatu yang alami
(Turner, 1978).
| 29 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
4. Teori Identitas
Teori ini berpandangan bahwa konflik disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya
sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Teori ini berpandangan bahwa para pihak yang berkonflik
dapat didamaikan melalui memberikan fasilitasi lokakarya dan
dialog. Melalui lokakarya dan dialog itu mereka diharapkan
mampu mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan
yang mereka rasakan masing-masing. Melalui lokakarya dan
dialog ini mereka pun diharapkan dapat membangun empati
dan rekonsiliasi di antara mereka.
| 30 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai
budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai adalah:
menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik
mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotipe negatif
yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan
komunikasi antar budaya.
| 31 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
9. Teori Dislokasi:
Dalam teori ini yang dimaksud dislokasi adalah penempatan
orang atau kelompok orang pada tempat atau lokasi yang salah.
Orang atau kelompok orang yang seharusnya menempati lokasi
atau posisi tidak mendapatkannya justeru digantikan oleh orang
atau kelompok orang yang lain. Dalam hal ini terjadi ketidakadilan
dalam distribusi sosial, politik, ekonomi, dan lainnya sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara yang seharusnya mendapatkan
dengan yang tidak seharusnya. Tindakan dislokasi ini dapat
mengakibatkan terjadinya marginalisasi suatu kelompok
oleh kelompok lain sehingga kelompok yang termarginalisasi
tercerabut dari tradisi, akar budaya dan lokasinya. Kondisi
seperti ini dapat menyebabkan kecemburuan dan memicu
terjadinya konflik.
| 32 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
tersebut cenderung akan melakukan perlawanan. Tekanan-
tekanan struktural tersebut dapat melalui undang-undang,
peraturan daerah, melakukan ketidakadilan distribusi posisi
kekuasaan, pemerintahan, politik, ekonomi, hukum, budaya dan
mempersulit dalam akses sumber daya, disertai kepemimpinan
yang represif dan tidak adil akan mengakibatkan terjadinya
konflik atau penentangan dari kelompok masyarakat yang
tertindas.
DAFTAR PUSTAKA
Burton. John, 1990, Conflict Resolution and Prevention,
London, MacMillan Press.
Campbell. Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial: Sketsa Penilaian
Perbandingan, Yogyakarta, Kanisius.
Carpenter Susan & Kennedy W, 1988, Managing Public
Disputes: A Practical Guide to Handling Conflict and
Reaching Agreements, London, San Fransisco.
Coser, Lewis A. 1977. The Functions of Social Conflict. New
York: The Free Press.
Dahrendorf. Ralf, 1959, Class and Class Conflict in Industrial
Society, California, Stanford University Press.
DeVito Joseph A, 1995, The Interpersonal Communication,
| 33 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 35 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 36 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB II
KONFLIK DALAM PERSPEKTIF
KARL MARX
Pendahuluan
T
erdapat perdebatan panjang hingga kini mengenai
teori konflik Karl Marx, terutama kritik terhadap
teori ekonomi politiknya. Jika dikaji secara kritis
memang terkesan bahwa teori Marx tentang masyarakat
merupakan teori masyarakat ideal karena dalam teori itu Marx
sangat menekankan perlunya pemerataan ekonomi, keadilan
sosial yang menjangkau semua lapisan masyarakat dan tidak
adanya kelas dalam masyarakat.
Siapapun yang mempelajari sosiologi maupun ilmu
sosial lainnya, pasti pernah mendengar nama Karl Marx.
Karl Marx tokoh fenomenal abad 19 merupakan salah satu
nabinya sosiologi, selain Emile Durkheim dan Max Weber.
Pemikirannya sangat mewarnai sejarah perubahan dunia,
terasa hingga ke seluruh bagian dunia bahkan hingga kini.
Sekedar contoh, beberapa revolusi besar langsung atau tidak
langsung sebenarnya diinspirasi oleh pemikrannya tersebut
seperti revolusi Rusia 1917, Cina 1940-an, Indonesia 1945 dan
| 37 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 38 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menghasilkan sintesis sehingga segala sesuatu yang ada selalu
akan mengalami dialektika. Namun setelah itu Marx berubah
karena menganggap apa yang dipikirkan Emanuel Kant dan
Hegel sangat idealis sehingga sulit diwujudkan. Menurut Marx
pemikiran Kant dan Hegel hanya bersifat ide bukan kenyataan
dan pengalaman.
Sampai tahun 1845 Marx menjalani kehidupan di Paris
bersama dengan isterinya. Di Parislah Marx terbentuk sebagai
seorang kritis terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Paris
pada waktu itu merupakan kota yang dipenuhi kegiatan-kegiatan
radikal, intelektual dan sebagai pusat liberalisme. Tokoh-tokoh
sosialis Prancis sangat mempengaruhi pemikiran Marx, seperti
St. Simon dan Proudhon demikian juga tokoh revolusioner
seperti Blanqui (Johnson, 1986).
Interaksinya dengan berbagai tokoh sentral intelektual,
radikal dan revolusioner di Paris itulah yang kemudian
membawanya peduli dengan kaum buruh dan rakyat kecil yang
tertindas. Kepeduliannya tersebut tampak ketika Marx menolak
sistem kapitalis yang meluas dan berusaha menggantikannya
dengan sistem sosialis. Meluasnya sistem kapitalis itu menurut
Marx mengancam kondisi-kondisi materiil dan sosial yang
sesungguhnya dan tingkat kesadaran sosial kelas-kelas buruh.
Kritik dan semangat yang mendasari Marx melakukan kritik
terhadap sistem kapitalisme ini berangkat dari filsafat moral
keadilan dan cita-cita untuk perubahan masyarakat menuju
keadilan sosial ekonomi.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran kritis Marx
terhadap sistem kapitalis itulah yang menjadi cikal bakal
lahirnya perlawanan Marx terhadap sistem kapitalis. Dalam
perjuangannya menentang sistem kapitalisme tersebut Marx
menulis beberapa karya ilmiahnya yang populer seperti:
Economic and Philosophical. Economic dan Philoshopical
itu berupa manuscript yang berisi analisisnya tentang ekonomi
| 39 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 40 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral melainkan
berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum –hukum
perkembangan masyarakat. Bagi Marx bahwa faktor yang
menentukan sejarah bukanlah politik dan ideology melainkan
ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama kelamaan
akan membuat struktur-struktur hak milik lama menjadi
hambatan kemajuan. Dalam situasi seperti ini akan timbul
revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih
tinggi. Kelima, cara yang harus dilakukan adalah melalui revolusi
kelas buruh dan dengan sendirinya akan menghapuskan hak
milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat
tanpa kelas atau classless society (Suseno, 2001).
Tema besar dalam pemikiran Marx sebenarnya berkisar
pada konsep kritik atas ekonomi politik. Kritik terhadap
ekonomi politik ini membawa Marx pada kritik filsafat
mengenai pembagian kerja. Arah yang dituju adalah kembali ke
belakang dan mempertentangkan antara perumusan pandangan
atas kemanusiaan sebagai satu keutuhan sebelum datangnya
industrialisasi, yakni sebagai suatu spesies yang tidak mengenal
alienasi, dengan kondisi yang terpecah-pecah dan kalah dengan
kapitalisme. Alienasi, terbagi-baginya kemanusiaan serta sub
divisi individualnya, hal ini hanya terjadi dalam peradaban
kapitalisme (Belharz, 2002).
Arah tersembunyi dalam argumen ini adalah perlunya
pembebasan kemanusiaan atau proletarian yang ditegaskan
Marx secara progresif di saat ia memasuki labirin ekonomi
sendiri. Dalam pembebasan itu tidak dapat dipungkiri akan
terjadinya benturan pada kepentingan politik, ideology, dan
agama, atau benturan antara struktur yang mapan terhadap
kebudayaan, sistem nilai, ideology dan agama yang berkembang.
Dan kemungkinan terjadinya konflik antara penguasa versus
rakyat, majika versus buruh dan patron versus klien (Pelly dan
Menanti, 1994).
| 41 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 42 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hubungan antara petani dengan pedagang, nelayan dengan
pembuat jala dan hubungan lainnya. Bagi Marx hubungan
masyarakat seperti inilah yang lebih alami, dimana mereka
dapat menikmati kehidupannya lebih alami tanpa ada benturan
kepentingan di antara mereka.
Namun masyarakat mengalami perubahan ketika mereka
sudah mengenal apa yang disebut privasi (hak milik pribadi).
Hubungan produksi di antara mereka mengalami perubahan
secara mencolok, si petani mengklaim tanah dan hasil pertanian
adalah miliknya, dan nelayan juga melakukan hal yang sama.
Maka yang terjadi adalah hubungan di antara manusia akan
terjadi apabila ada proses ekonomi di dalamnya, yakni saat
terjadinya tukar menukar barang, jual beli dan lainnya.
Dengan demikian maka model produksi yang dilakukan
oleh masyarakat menjadi berubah. Dimana ada beberapa
bagian dalam masyarakat yang tidak hanya mempunyai berbagai
produk pangan, tetapi juga menguasai tanah. Konsekuensinya
masyarakat yang tidak memiliki tanah akan menjadi pekerja atas
para tuan-tuan tanah tersebut dan hal ini akan menimbulkan
sikap ketergantungan yang sangat besar. Hak milik pribadi
dan pertanian adalah dua hal yang sekaligus juga membantu
terciptanya satu krisis hebat dalam kemanusiaan, yaitu
pembentukan kelas-kelas berdasarkan kekuatan dan kekayaaan,
dari sinilah muncul konflik kelas secara permanen (Pals, 1996).
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat memasuki
era modern, dimana kapitalisme memperkenalkan model
prosuksi baru dalam bentuk perdagangan dan pabrik. Hal ini
juga menimbulkan jurang baru bagi masyarakat yakni tetap
akan ada tuan dan pekerja. Dengan berkembangnya sistem
kapitalisme semakin memperburuk keadaan, dimana para
buruh terus menerus dipekerjakan (dieksploitasi) oleh majikan
mereka. Sementara kondisi ekonomi yang didapat sangat tidak
seimbang.
| 43 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 44 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
peranan yang paling menentukan adalah yang berasal dari
evolusi progresif ide-ide Marx menolak filsafat sejarah Hegel
karena menghubungkannya dengan evolusi ide-ide sebagai suatu
peranan utama yang berdiri sendiri dalam perubahan sejarah
lepas dari hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan
situasi materiil atau hubungan-hubungan sosial yang dibuat
orang dalam menyesuaikan diri dengan situasi materiil (Johnson,
1986).
Dalam The Communist Manifesto dan Das Capital
sebenarnya Marx telah menekankan pentingnya kebutuhan
materiil bagi perjuangan kelas. Konsep Marx ini kemudian sangat
dikenal sebagai Historical Materialism, yang mengungkapkan
bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materinya
bukan pada idenya karena ide juga merupakan bagian dari
materi pula. Bagi Marx implikasi dari Historical Materialism
adalah melihat economic structure sebagai awal dari semua
kegiatan manusia dan merupakan penggerak perubahan yang
akan memimpin perubahan termasuk proses perubahan sosial
(Salim, 2002).
Marx menilai bahwa struktur ekonomi masyarakat yang
ditopang oleh relasi-relasinya dengan produksi merupakan
fondasi ril masyarakat. Struktur ekonomi masyarakat ini
merupakan dasar munculnya supra struktur struktur hukum
dan politik dan berkaitan dengan bentuk tertentu dari kesadaran
sosial. Di sisi lain relasi-relasi produksi masyarakat itu sendiri
berkaitan dengan tahap perkembangan tenaga-tenaga produktif
material (masyarakat). Dalam kerangka model produksi dari
kehidupan material akan mempersiapkan proses kehidupan
sosial, politik, dan intelektual pada umumnya (Kuper dan
Kuper, 2000).
Titik tekan pada konsep Historical Materialism ini adalah
manusia bila ingin sukses dalam kehidupannya harus memiliki
ekonomi dan menguasainya dengan baik atau dengan kata
| 45 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 46 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
memiliki kontrak yang menguntungkan dengan kapitalis. Kedua,
kapitalis menyatakan bahwa harga jual adalah biaya produksi
yang dikeluarkan oleh pengusaha (kapitalis). Dengan demikian
buruh tidak menikmati keuntungan apapun, karena keuntungan
itu langsung menjadi hak pengusaha (Salim, 2002).
Dalam perjuangan kompetisinya untuk memperoleh
keuntungan kaum kapitalis menggunakan mesin-mesin baru
yang hemat buruh yang memperbesar kapasitas produksinya.
Hal ini merusak keseimbangan antara kapasitas produksi dan
permintaan dan hasilnya berupa satu spiral menurun, dengan
permintaan pasar berkurang yang mengakibatkan berkurangnya
keuntungan, berkurangnya investasi, berkurangnya kesempatan
kerja yang mengakibatkan berkurangnya terus permintaan
di pasaran dan seterusnya. Parahnya keadaan kapitalisme di
masa krisis ekonomi, periode ini terletak dalam kecenderungan
untuk memperbesar kapasitas produksi secara berlebih-
lebihan. Karena spiral ini terus berkembang menurun akhirnya
terciptalah kondisi yang perlu untuk kehancuran sendiri. Antara
lain misalnya sesudah terjadi periode kemerdekaan berupa tidak
dimanfaatkannya alat produksi, maka kelebihan komoditi pelan-
pelan berkurang. Juga perpanjangan jam kerja dan berkurangnya
upah buruh, meningkatnya sejumlah nilai yang dihasilkan oleh
buruh yang dapat dirampas oleh kapitalis sebagai nilai surplus
dan dipergunakan untuk mempertahankan perusahaannya
selama krisis itu (Johnson, 1986).
| 47 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 48 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
bertentangan dengan fakta kehidupan di masyarakat. Tidak ada
satu negara pun di dunia termasuk negara sosialis sendiri yang
masyarakatnya tanpa kelas dan yang tidak diatur oleh negara
(pemerintah). Bagaimana jadinya suatu masyarakat jika tidak
ada pemerintah yang mengaturnya, siapa yang akan melakukan
perencanaan dan pembagian kerja warganya? Faktanya
penghapusan sistem pasar di banyak negara sosialis komunis
dan non komunis selalu diikuti dengan pembagian kerja dan
hasil kkerja dari atas (pemerintah). Jadi sosialisme cenderung
menjadi etatisme. Dan karena pembagian kerja serta pembagian
hasil kerja datang dari negara (pemerintah) maka di semua
negara sosialis terbentuk sebuah kelas baru yakni birokrasi
(Suseno, 2001).
4. Kritik lain terhadap Marx bahwa teorinya tidak cukup
melihatkedepanakanbesarnyakenaikandalamkapasitasproduksi
yang terus dihasilkan oleh perkembangan industri. Kenaikan ini
berarti jam kerja buruh bertambah dan menghasilkan jumlah
nilai dalam industri tersebut. Akibatnya akan ada kemungkinan
upah buruh akan semakin tinggi. Ramalan Marx bahwa kondisi
ekonomi kaum proletar yang semakin tertekan itu nampaknya
tidak terjadi bahkan kebalikannya ekonomi kaum buruh
bertambah baik.
5. Marx cenderung meremehkan fleksibilitas dan
kemampuan menyesuaikan diri dari masyarakat kapitalis
itu dalam menyelesaikan krisis serta kemampuannya untuk
bertumbuh dan berkembang seterusnya dalam jangka panjang.
Padahal kapitalisme tetap survive sampai dewasa ini bahkan
justeru sebaliknya teori Marx walaupun banyak dipakai tapi
mengalami kesulitan untuk survive.
Penutup
Teori bagaimanapun ilmiahnya bukanlah sesuatu yang
absolut dan mutlak kebenarannya. Itulah sebabnya dalam
| 49 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 50 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Johnson. Doyle. Paul. 1986. Sociological Theory Classical
Founder and Contemporary Perspectives, Gramedia.
Jakarta.
Kuper.Adam dan Kuper. Jessica. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Veeger.M.A 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas
Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi, Gramedia. Jakarta.
Shanin. Theodore. 1990. Tani dan Masyarakat Tani, Zizi Press,
Sdn. Bhd, Selangor. Malaysia.
Beilharz Peter. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Faqih Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ruslan, Ismail. 2005. Paradigma Teori Konflik: Telaah Kritis
Teori Konflik Marx, Jurnal Refleksi, Kajian Ilmiah Ilmu
Sosial dan Kemasyarakatan, Unpad, Bandung.
Martin. Roderick. 1993. The Sociology of Power, Raja Grafindo
| 51 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Persada, Jakarta.
Sali. Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa teori dan dan Refleksi
Metodologi Kasus Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suseno. F. Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialis
Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia, Jakarta.
Muhajir Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake
Sarasin, Yogyakarta.
Pelly Usman dan Menanti. Asih. 1994. Teori-Teori Sosial
Budaya, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu
Tenaga Kependidikan, Dikti, Jakarta.
Pals. Daniel. L. 1996. Seven Theories of Religion, IRCiSod,
Yogyakarta.
Hans. Dieters. Evers. 1988, Teori Masyarakat: Sistem Peradaban
Dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
| 52 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB III
SEJARAH KONFLIK ETNIK
DI KALIMANTAN BARAT
Pendahuluan
S
ejarah konflik antar etnik khususnya Dayak dengan
Madura di Kalimantan Barat merupakan suatu
sejarah panjang yang terus berulang dan cenderung
semakin membesar baik dilihat dari sisi kuantitas maupun
kualitasnya. Arafat (1998) misalnya menyatakan bahwa konflik
kekerasan antara etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan
Barat tersebut telah terjadi setidaknya 10 kali yakni tahun 1933,
1967, 1968, 1969, 1971, 1977, 1979, 1986, 1992, dan 1997.
Alqadrie (1999) menyatakan telah terjadi setidaknya 11 kali
konflik yakni tahun 1962, 1963, 1967, 1968, 1972, 1977, 1979,
1983, 1996, 1997 dan 1999. Sementara Petebang et all (2000)
menyatakan konflik sosial tersebut telah terjadi sebanyak 12 kali
yakni tahun 1952, 1967, 1968, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993,
1994, 1996, 1997, dan 1999.
Walaupun ketiga sumber mencatat frekuensi konflik
yang berbeda tetapi setidaknya mereka menggambarkan fakta
sekaligus fenomena yang sama yakni bahwa konflik tersebut
| 53 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 54 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berkepanjangan di antara mereka, terutama bagi keluarga
dan generasi muda yang orang tua, keluarga serta saudaranya
menjadi korban pada peristiwa konflik itu.
Konflik antar etnik yang cenderung berulang dan
pengulangannya semakin cepat dan diikuti dengan tindakan-
tindakan destruktif yang semakin besar baik terhadap harta
benda dan jiwa manusia mengindikasikan tidak tertanganinya
dengan baik peristiwa konflik pada masa-masa yang lalu. Tidak
tertanganinya secara baik konflik-konflik sebelumnya sangat
mungkin disebabkan oleh tidak diketahuinya secara tuntas akar
penyebabnya. Dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan
aparat dalam menyelesaikannya. Ketidakmampuan aparat
sendiri dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
ketrampilan mereka dalam menangani konflik, tetapi mungkin
pula memang disengaja oleh karena adanya berbagai kepentingan
lain yang tersembunyi di balik konflik tersebut. Karena tidak
terselesaikan secara baik maka potensi konfik masih tetap ada
bahkan bisa menjadi lebih besar. Dengan kata lain konflik yang
berulang menandakan kebijakan penanganan yang lalu belum
menyentuh segi hakiki dan substansial yang sesungguhnya atau
belum menyentuh akar penyebab konflik tersebut.
Konflik sosial dapat diibaratkan dengan suatu penyakit
yang menggerogoti tubuh jika tidak diobati maka dapat
mengakibatkan rusaknya seluruh jaringan tubuh sehingga
menimbulkan kematian bagi penderitanya. Agar dapat sembuh
maka mau tidak mau penyakit tersebut harus diobati dan
pengobatannya harus dengan tepat. Pengobatan yang tepat
dapat dilakukan bilamana diketahui akar atau sumber penyebab
penyakit tersebut. Selama akar atau sumber penyebabnya belum
diketahui dengan tepat mustahil penyembuhan total dapat
dilakukan. Dan selama belum tersembuhkan maka selama itu
pula penyakitnya akan tetap ada dan sewaktu-waktu dapat
menyebabkan penyakit baru atau penyakit yang lebih berat dan
| 55 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 56 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
lain ada juga yang menduga penyebabnya adalah kesenjangan
budaya dan stereotif negatif yang berkembang di antara etnis-
etnis tersebut.
Kalimantan Barat sebagai propinsi ke empat terbesar yakni
setelah Papua Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah,
memiliki kemajemukan penduduk di dalamnya. Kemajemukkan
tersebut merupakan fenomena yang menarik jika di dalamnya
tercipta integrasi. Secara horizontal kemajemukan tersebut
ditandai dengan kemajemukan etnik, agama, budaya, asal-usul
daerah dan lainnya. Hampir semua etnik di Nusantara dapat
dijumpai di Kalimantan Barat, mereka misalnya orang Aceh,
Batak, Minang, Palembang, Sunda, Jawa, Bali, Madura, Flores,
Banjar, Toraja, Bugis, Makasar, Buton, Manado, Ambon, Papua,
Melayu dan Dayak sendiri sebagai penduduk asli dan mayoritas.
Dari hasil sensus penduduk tahun 2000 diketahui etnik Dayak
(42%), Melayu (39%), Cina (12%), dan selebihnya (7%) etnik-
etnik lainnya, termasuk di dalamnya etnik Madura 1,8%).
Kemajemukan tersebut juga diikuti dengan berbagai
etnis lainnya seperti Tionghoa (Cina), Arab, India, dan asing
lainnya, yang walaupun jumlahnya sedikit tetapi relatif masih
memiliki tatanan sosial dan budaya yang masih kuat. Secara
vertikal kemajemukan di Kalimantan Barat ditandai dengan
perbedaan-perbedaan antara yang kaya dan miskin, yang
memiliki kekuasaan dan yang tidak, yang berpendidikan tinggi
dan yang rendah serta sejumlah kesenjangan dalam bidang
lainnya. Ironisnya mereka yang berada pada strata tinggi dalam
kekuasaan, kekayaan, pendidikan dan lainnya adalah kelompok
minoritas etnik pendatang.
Etnis Dayak sebagai penduduk asli dan mayoritas
umumnya termarginalisasi dalam segala bidang seperti politik,
pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Sementara
etnis-etnis pendatang yang minoritas justeru menguasai aset-
aset strategis tersebut. Marginalisasi tersebut dialami sejak lama
| 57 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 58 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
demikian kontak sosial tersebut dapat segera tertutup dan
komunikasi yang dibangun pada masa yang lalu tersebut tidak
dapat memberikan informasi yang cukup apabila masing-masing
mereka menginterpretasikan sebuah kasus tertentu dari sudut
identitas etniknya. Pada saat tertentu yang sangat kondisional,
interaksi sosial antar etnik dapat segera kembali berubah dari
kawan menjadi lawan.
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas tampaknya
konflik sosial antara etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan
Barat disebabkan oleh adanya sinergi dari banyak variabel.
Variabel-variabel tersebut misalnya variabel suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA), variabel sosial politik yang tampak
dalam bentuk kuatnya dominasi kelompok tertentu, diskriminasi
dan rekayasa dalam mempertahankan kekuasaan kelompok
dominan, variabel sosial-ekonomi dalam bentuk kesenjangan
dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan penghasilan, variabel
sosial budaya dalam bentuk perbedaan sistem nilai budaya
dan orientasi nilai budaya, variabel pemerintahan dalam
bentuk perlakuan ketidak adilan dalam penerapan hukum,
pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang
cenderung menguntungkan pendatang dan meminggirkan
penduduk asli, dan ketidakmampuan menyelesaikan konflik-
konflik sebelumnya, serta variabel perilaku sosial dalam
bentuk ketidakmampuan etnik pendatang tertentu beradaptasi
dengan adat istiadat budaya masyarakat setempat, kebiasaan
menggunakan senjata tajam dalam berkelahi, sikap dendam dan
gampang melakukan pembunuhan jika terjadi perselisihan.
Hasil penelitian Tim peneliti Untan (2000) menunjukkan
bahwa variabel perilaku sosial yang menyimpang dari etnis
pendatang tertentu sebagai pemicu konflik, sementara variabel
lain sebagaimana dikemukakan tersebut di atas lebih bersifat
sebagai pendorong dan mengakselerasi konflik. Sementara
penelitian Suparlan et all (1999) mengindikasikan variabel
| 59 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 60 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
memiliki status sosial tinggi dan yang tidak (sosial budaya).
Berpijak dari pemikiran Weber tersebut, Dahrendorf (1986)
mengembangkan teori konflik yang lebih luas. Menurutnya
konflik sosial dapat terjadi dalam segala aspek kehidupan
masyarakat yang dilihatnya sebagai assosiasi atau organisasi
sosial. Karena organisasi sosial menyajikan pendistribusian
kekuatan sosial (power) kepada warganya secara tidak merata
maka terjadi pemilikkan kekuatan sosial yang tidak seimbang,
ada yang memiliki lebih dan ada yang kurang. Karena organisasi
itu juga membatasi berbagai tindakan manusia yang dilakukan
oleh mereka yang memiliki kekuatan sosial maka kelompok yang
tidak memiliki yang selalu dibatasi tindakannya akan melakukan
konflik terhadap yang memiliki kekuatan sosial tersebut. Oleh
sebab itu Dahrendorf menggambarkan konflik sebagai sesuatu
yang endemik atau yang selalu hidup dalam kehidupan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Walaupun ketiga ahli tersebut melihat konflik sosial
dalam dimensi yang berbeda tetapi pada dasarnya mereka
menekankan substansi yang sama yakni konflik sosial di
dalam masyarakat dapat terjadi bilamana di dalamnya terdapat
ketimpangan penguasaan dan pendistribusian aset-aset strategis.
Jika Marx menyebutnya sebagai ketimpangan dalam pemilikan
alat produksi (dimensi ekonomi), Weber menamakannya
ketimpangan dalam penguasaan aset-aset ekonomi, kekuasaan
dan prestise (dimensi ekonomi, politik dan sosial budaya), maka
Dahrendorf merincinya dalam ketimpangan pendistribusian
kekuatan dalam setiap assosiasi atau organisasi baik di bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Sementara itu Kluckhohn dan Strodtbeck (1961),
Koentjaraningrat (1985) dan Suparlan (1999) mengemukakan
hal yang sama yakni faktor perbedaan-perbedaan budaya yang
tercermin dalam perbedaan-perbedaan sistem nilai budaya dan
sistem orientasi budaya suatu masyarakat potensial menimbulkan
| 61 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 62 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Ledakkan dari konflik dengan kekerasan didorong oleh
kondisi yang cukup parah, dengan adanya api penyulut (spark),
dan sesuatu yang dapat memperbesar dan memperluasnya, yang
biasa disebut bensin (fuel). Di samping itu munculnya konflik
dengan kekerasan didorong oleh adanya sejumlah perilaku
seperti (1) persepsi yang keliru tentang sesuatu, (2) stereotif,
(3) demonstrasi, (4) provokasi, (5) pernyataan-pernyataan
yang bersifat menghukum, (6) koersi, (7) mobilisasi massa, (8)
pencerminan citra diri, dan (9) pemenuhan kebutuhan di masa
depan.
Selanjutnya Suseno (1992) mengatakan bahwa keberadaan
konflik yang selalu menyatu dengan keberadaan masyarakat
disebabkan konflik bersumber pada interaksi sosial. Oleh
sebab itu adanya konflik bukan merupakan kenyataan empirik
melainkan kenyataan esensial. Interaksi sosial dapat dilihat
sebagai tindakan-tindakan yang ditujukan oleh dan di antara dua
orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi antar
etnik maka tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
interaksi antar identitas etnik.
Identitas etnik adalah sebuah nilai kemasyarakatan
yang dipaksakan begitu saja untuk diterimakan kepada para
pendukung kebudayaan pada masa-masa formatif dari usia
mereka. Oleh karena itu identitas etnik bersifat askriftif sebab
dengan identitas seseorang diklasifikasikan atas identitasnya
yang paling umum dan mendasar yaitu berdasarkan atas tempat
atau asalnya (Barth, 1969).
Dalam pada itu tiap-tiap kelompok etnik membentuk dan
mengembangkan budaya yang berbeda. Perbedaan ini terbentuk
akibat perbedaan faktor ekologi setempat yang menyebabkan
berkembangnya kondisi adaptasi terhadap lingkungan masing-
masing. Kondisi semacam ini telah mengantarkan lahirnya
berbagai bangsa yang berbeda-beda di dunia dan tiap bangsa
atau etnis dengan budaya sendiri dan membentuk masyarakatnya
| 63 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
sendiri.
Dalam satu wilayah yang masyarakatnya secara etnik
majemuk, hubungan antar etnis yang dinamis terlihat pada
proses penyatuan dan alkulturasi berbagai kelompok budaya
dan sosial pada pembentukkan identitas budaya baru. Sejarah
memperlihatkan bahwa penyesuaian satu kelompok dengan
kelompok lain yang memiliki cara hidup, struktur sosial dan
budaya yang berbeda-beda selalu merupakan masalah.
Hambatan penyatuan bersumber dari identitas etnik itu
sendiri karena sebagai kesatuan sosial ia telah memiliki sistim
nilai masing-masing, sehingga anggota kelompok sebuah
etnik cenderung kurang memiliki loyalitas terhadap tata nilai
budaya majemuk dalam suatu wilayah. Sebaliknya terdapat
kecenderungan untuk memurnikan nilai budaya standar
masing-masing (Belshaw, 1978) sehingga mudah menjurus pada
ikatan-ikatan primordial (Geertz, 1981). Titik pusat primordial
pada umumnya berkisar pada hubungan darah, kesukuan, ras,
bahasa, daerah (teritorial), agama dan kebiasaan.
Kelompok primordial akan menciptakan kesetiaan dan
solidaritas sesama anggota kelompok yang amat kuat sehingga
dapat disebut sebagai fanatisme. Solidaritas kelompok bersumber
pada solidaritas atau kesetiaan pada keluarganya yang tumbuh
dengan sendirinya tanpa harus direkayasa. Oleh sebab itu
kesetiaan kepada kelompok terbentuk dalam diri setiap orang
secara alami. Bersamaan dengan terbentuknya ikatan-ikatan
primordial muncullah fanatisme terhadap nilai-nilai dan norma-
norma budaya etnik sebagai acuan perilaku yang apabila tidak
terakomodasi oleh nilai-nilai dan norma-norma budaya etnis lain
dapat menimbulkan kekacauan sosial. Dengan kata lain dalam
proses sosial setiap tingkah laku seseorang dinilai berdasarkan
standar nilai yang berlaku untuk kelompok etniknya. Dengan
demikian batas-batas etnik di antara kelompok-kelompok
etnik semakin jelas dan cenderung untuk tetap dipertahankan
| 64 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
oleh adanya seperangkat ciri-ciri kebudayaan yang tampak.
Dalam rumusan bahasa yang agak berbeda E.M. Bruner (1974)
menyatakan bahwa pembauran akan sulit dilakukan apabila
dalam suatu wilayah tidak terdapat budaya dominan yang
mampu sebagai perekat budaya majemuk.
Dalam konteks konflik sosial dengan kekerasan antara
etnik Dayak dengan Madura di kalimantan Barat, hal ini
membuktikan bahwa upaya penggalangan Bhinneka Tunggal
Ika belum sampai pada bentuk senyatanya. Asumsi demikian
membuahkan pertanyaan bagaimanakah bentuk kategori dan
kesenjangan yang ada antara etnik Dayak dengan Madura di
Kalimantan Barat? Apakah bentuk kategori dan kesenjangan
antara kedua etnik tersebut terdapat juga dengan etnik lainnya?
Untuk memahaminya harus dilihat tanda atau sifat kriteria yang
tegas terhadap ciri-ciri etnik Dayak dengan Madura dalam lingkup
ethnohistory, agama, adat istiadat, kelembagaan dan organisasi
sosial lainnya yang hidup di dalam masyarakatnya. Bagaimana
dan dalam kondisi apa karakteristik yang berhubungan dengan
identitas etnik itu dipertahankan? Di samping mengidentifikasi
tanda-tanda atau sifat-sifat kriteria yang tegas terhadap ciri-ciri
etnik Dayak dan Madura, dimensi alternatif lain yang bertumpu
pada faktor-faktor politik, ekonomi dan lainnya juga perlu
dirumuskan.
Kenyataan pada masa prakolonial, nusantara ini tidak
pernah dipersatukan dalam arti politik maupun kultural,
walaupun terdapat jaringan perdagangan antar etnik. Kurangnya
komunikasi antar etnik mungkin merupakan akar tumbuhnya
regionalisme, atau sikap kedaerahan (etnisitas). Sebagai catatan
kalaupun ada unsur etnisitas sebagaimana terungkap dalam
kasus konflik antara etnik Dayak dengan Madura tidaklah
identik dengan rasialisme apalagi dengan separatisme. Masalah
konflik sosial antara kedua etnik ini lebih merupakan suatu
kenyataan sosiologis berupa akumulasi rasa tidak puas yang
| 65 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 66 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berada pada posisi yang tidak menyenangkan dan terdorong
untuk membentuk kelompok yang memperjuangkan berbagai
idealisme. Pada saat suatu kelompok ingin memperbaiki
statusnya dan ingin lebih mengutamakan cara hidupnya sendiri,
maka kelompok tersebut akan mulai menghadapi masalah
dengan kelompok lain di sekitarnya.
| 67 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 68 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Aditjondro dalam Edi Petebang et all (2000), melukiskan
konflik antara orang Dayak dengan Tionghoa tersebut bermula
dari tuduhan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang
Tionghoa di Kalimantan Barat sebagai pendukung PGRS-
Paraku yakni suatu organisasi Pasukan Gerilya Rakyat Serawak
dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara yang berhaluan komunis.
Fakta yang sebenarnya menurut George Junus Aditjondro
bahwa orang-orang Tionghoa yang sebagian adalah mahasiswa
dari Semenajung Malaya merupakan kelompok yang dimobilisir
Soekarno untuk melawan kekuatan Nekolim Inggris di Serawak
dan Brunai (Kalimantan Utara).
Pada saat itu pemerintah orde baru melalui militer ingin
melibatkan orang Dayak untuk mengusir warga Tionghoa
yang mendukung politik Soekarno. Upaya militer Indonesia
bekerjasama dengan militer Malaysia untuk menjepit
perlawanan rakyat Kalimantan Utara dengan menuduhnya
sebagai kekuatan komunis gagal total. Mereka lantas mencoba
membenturkan warga Tionghoa dan Dayak tapi juga gagal.
Menurut Aditjiondro, militer kemudian membunuh dua orang
Dayak dan menyatakan kepada warga Dayak bahwa kedua orang
itu adalah korban pembunuhan oleh orang Tionghoa. Melalui
cara ini militer berhasil mengundang orang Dayak melakukan
upacara mangkuk merah (suatu simbol magis untuk solidaritas
orang Dayak dalam berperang melawan musuh).
| 69 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 70 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pembunuhan seorang warga Dayak bernama Djaelani oleh
warga Madura bernama Dul Arif di Sungai Enau Kecamatan
Sungai Ambawang karena masalah tanah.
h. Pada tahun 1993, kerusuhan dipicu oleh terjadinya perkelahian
pemuda di Kotamadia Pontianak yang mengakibatkan
terjadinya perusakan dan pembakaran gereja Paroki Maria
Ratu Pencinta Damai dan persekolahan Kristen Abdi Agape
di Pontianak.
i. Pada tahun 1994, kerusuhan dipicu oleh kasus penusukan
terhadap seorang warga Dayak Pesaguan oleh pekerja jalan
warga Madura di Tumbang Titi Kabupaten Ketapang.
j. Pada tahun 1996, kerusuhan dipicu oleh terjadinya perkelahian
antar pemuda di Sanggau Ledo Kabupaten Sambas. Saat itu
dua orang pemuda Dayak bernama Yakundus bin Pagau
dan Akim ditusuk oleh oknum Madura bernama Bakri dan
empat orang kawannya. Akibat peristiwa tersebut kerusuhan
pecah dengan korban jiwa dan harta yang sangat dahsyat.
k. Pada tahun 1997, kerusuhan Sanggau Ledo yang sudah
mulai mereda meledak lagi setelah terjadi penyerangan massa
Madura terhadap komplek persekolahan SLTP-SMU Asisi di
Siantan Pontianak. Komplek ini milik warga Dayak. Diduga
penyerangan ini dilakukan sebagai balas dendan Madura
terhadap Dayak akibat terusirnya Madura di pedalaman
pada waktu peristiwa kerusuhan Sanggau Ledo 1996. Pada
waktu penyerangan tersebut sempat melukai dua gadi Dayak
Jangkang asal Kabupaten Sanggau. Penyerangan ini disusul
dengan pembunuhan Nyangkot (Dayak Kabupaten Sambas)
oleh Madura di Peniraman Kabupaten Pontianak. Akibatnya
konflik yang lebih besar tidak terbendung dan dimana-mana
terjadi pemburuan terhadap etnis Madura tanpa terkecuali.
l. Pada tahun 1999, berbarengan dengan konflik Melayu
dengan Madura terjadi pula pembunuhan oknum Dayak
oleh Madura di Pemangkat Kabupaten Sambas. Akibatnya
| 71 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
orang Dayak marah kembali dan saat itu orang Madura yang
sedang konflik dengan Melayu diserang dari berbagai arah
oleh Dayak dan Melayu.
| 72 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menegur seorang Madura yang mengambil jambunya.
Pelaku pulang kemudian membawa sekelompok orang
Madura menyerang Saeran. Tawuran massal dapat dicegah
oleh oknum polisi perintis waktu itu, namun orang Madura
mengeluarkan ancaman terhadap orang Melayu: “Awas
kalian suku Melayu”.
e. Pada tahun 1962-1963, terjadi perampokan di rumah Simas
H. Husin dan Saleh H. Husin oleh oknum Madura bernama
Simin.
f. Pada tahun 1964 di Desa Sui Nyirih Ha. Sahad dan Rabuddin
orang Melayu dirampok oleh orang Madura.
g. Pada tahun 1966, di Desa Sarang Burung Nilam, Mahwi
seorang Melayu guru mengaji dibunuh oleh orang-orang
Madura yang dikepalai Askan.
h. Pada tahun 1966, di Desa Sarilaba, H. Saleh seorang Melayu
dirampok oleh kelompok Simin oknum Madura.
i. Pada tahun 1974 di Desa Jawai Laut, seorang anggota Kamra,
Melayu dibunuh oleh Kasran seorang Madura.
j. Pada tahun 1974, di Desa Matang Tarap, Munziri seorang
Sekde Melayu dibunuh oleh dua orang Madura dengan
mengendarai sepeda motor.
k. Pada tahun 1974, di Desa Matang Tarap, kakak kandung
Munziri, seorang wanita melayu dibunuh oleh seorang wanita
Madura.
l. Pada tahun 1978, di Desa Sarang Burung Kuala, Nasir seorang
tokoh Melayu berusaha mendamaikan persengketaan para
pemain sepak bola. Namun seorang Madura menyabetkan
senjata tajamnya sehingga daun telinga Nasir putus.
m. Pada tahun 1980, di Desa Lambau, Pelimpaan, Sutih Melayu
sepulang dari menjumpai isterinya di Lambau, ditikam oleh
Atton Sadul oknum Madura. Korban meninggal dunia.
n. Pada tahun 1980, Salim Abdullah seorang Melayu dirampok
oleh orang-orang Madura.
| 73 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 74 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
| 75 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 76 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
inilah yang cenderung mempengaruhi berhasil tidaknya proses
pembangunan dari suatu kelompok atau bangsa.
Perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik masih
bersifat potensial, belum nyata dan masih abstrak. Mereka
baru menjadi nyata bila sistem nilai budaya dan orientasi nilai
budayanya menjelma ke dalam sikap, mentalitas, perilaku
dan perbuatan manusia atau masyarakat sebagai warga dari
kelompok etnik tempat mereka menjadi anggotanya. Sikap,
mentalitas, perilaku dan perbuatan dari atau yang dilakukan
oleh anggota atau masyarakat kelompok etnik tertentu yang
bertentangan dengan kelompok etnik lainnya cenderung
menimbulkan keresahan, ketidakpuasan, kekecewaan dan luka
serta kepedihan bagi kelompok etnik lainnya. Hal seperti inilah
yang potensial menciptakan pertikaian atau konflik sosial yang
menjelma dalam bentuk kekerasan atau kerusuhan dan dapat
menelan korban harta benda dan nyawa. Penyesuaian budaya
dengan budaya setempat merupakan substansi pokok dalam
membina hubungan antar etnik yang harmonis dengan prinsip
dimana bumi di pijak di situ langit di junjung.
Dalam hal kasus hubungan antar etnik di Kalimantan
Barat yang diwarnai dengan ketegangan dan konflik sosial
berulang, Suparlan (1999) mencatat ketidakmampuan etnik
pendatang Madura menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Melayu dan Dayak di sana. Etnik Madura berbeda dengan
kebanyakan etnik lainnya yang ada di sana misalnya Cina, Bugis,
dan Jawa yang mampu beradaptasi dengan budaya setempat.
Orang Cina walaupun memiliki jati diri sendiri tetapi mereka
mampu menghormati patokan-patokan aturan main yang
berlaku di tempat-tempat umum sesuai kebudayaan dominan
Melayu dan Dayak. Demikian juga orang Bugis, Jawa dan lainnya
yang relatif mampu beradaptasi menyesuaikan diri dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Orang-orang Madura yang datang ke Kalimanatan Barat
| 77 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 78 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
benda maupun nyawa sangat sulit dikendalikan.
| 79 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 80 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
etnis lainnya dan berbagai golongan sosial lainnya yang ada
dalam kehidupan mereka. Melalui stereotif dan prasangka ini,
batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas etnisnya dengan
etnis lainnya dan golongan lainnya menjadi jelas.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan
sistem nasional Indonesia yang mempersatukan berbagai etnis
yang semula adalah masyarakat jajahan Hindia Belanda menjadi
sebuah masyarakat negara Indonesia, kedudukan etnis berada
di bawah sistem kekuasaan nasional atau pemerintah Indonesia.
Dalam posisi yang berada di bawah kekuasaan pemerintah
Indonesia, etnis yang terwujud dalam masyarakat etnis, sadar
atau tidak sadar merasakan dominasi kekuasaan pemerintah
dalam berbagai bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang
semula adalah hak mereka menurut adat, sekarang menjadi milik
negara yang dikuasai oleh pemerintah. Demikian juga halnya
dengan wilayah hutan dan air beserta segala isinya. Berbagai
ketentuan yang semula diatur oleh adat, sekarang diatur oleh
hukum positif yang berlaku secara nasional berikut saksi-
saksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi adat yang semula
berlaku. Wilayah yang menurut adat milik mereka, sekarang
beralih menjadi wilayah bersama yang boleh dihuni oleh semua
etnis (Suparlan,1999).
Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat
manapun di dunia ini, termasuk yang terjadi di berbagai daerah
di Indonesia, biasanya dimulai oleh perebutan sumber daya
atau sumber rezeki. Bila perebutan yang terjadi berjalan sesuai
aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan terjadi
konflik sosial di antara mereka. Dalam keadaan diberlakukannya
aturan main yang tidak adil oleh satu dari dua kelompok yang
bersaing memperebutkan sumber daya atau rezeki tersebut,
konflik sosial tidak akan terwujud bilamana penegak hukum
dapat bertindak adil dan sebagai pengayom. Tetapi bila penegak
hukum tidak berlaku adil maka aturan main yang adil dan
| 81 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Penutup
Konflik sosial dengan kekerasan antar etnik di
Kalimantan Barat yang terjadi berulangkali dan menelan
korban harta benda dan jiwa yang sangat besar menggambarkan
belum berhasilnya kita membangun masyarakat majemuk yang
sesungguhnya. Masyarakat majemuk masih merupakan idaman
atau impian dan belum menjadi kenyataan. Kegagalan tersebut
tidak terlepas dari bersinerginya berbagai faktor atau variabel.
Variabel-variabel yang diperkirakan bersinergi tersebut antara
lain variabel sejarah hubungan antar etnik pada masa lalu yang
kelam , upaya penanganan konflik sebelumnya yang tidak tuntas,
adanya kepentingan kelompok tertentu yang ingin menciptakan
instabilitas dengan memanfaatkan situasi kondisi yang tidak
kondusif, adanya kelompok tertentu yang merasa hak-hak
privelegenya mulai terganggu, ketidakadilan dalam bidang
ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan hukum yang meminggirkan masyarakat asli,
adanya kesenjangan yang tajam di berbagai aspek kehidupan
masyarakat, dan ketidakmampuan masyarakat etnik tertentu
beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat.
Konflik sosial antar etnis di Kalimantan Barat juga
menggambarkan retaknya hubungan antar etnis yang ada
di sana. Lebih-lebih konflik yang terjadi berulang kali telah
menorehkan luka yang teramat dalam dan menjadi trauma
sejarah bagi setiap etnik yang pernah terlibat dalam konflik
itu. Hubungan yang tercermin sebagai saling menerima dan
berlangsung harmonis dengan tiba-tiba dapat berubah menjadi
| 82 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
hubungan yang diwarnai ketegangan dan kekerasan. Hubungan
kawan dapat dengan mudah dapat berubah menjadi lawan.
Mengingat potensi konflik yang tinggi dan sejarah konflik
yang kelam di Kalimantan Barat tersebut maka penanganan
konflik yang mendasar dan menyeluruh serta upaya rekonsiliasi
antar berbagai etnik khususnya antara etnik Dayak – Melayu
dengan Madura tidak dapat ditawar-tawar dan ditunda lagi.
Ke depan perlu dibangun suatu masyarakat multi etnik yang
berkeadilan dan bisa saling menerima di sana. Masyarakat multi
etnik yang berkeadilan dan bisa saling menerima tersebut dapat
terbentuk jika syarat-syarat seperti akar-akar penyebab konflik
dapat diatasi atau paling tidak dapat diminimalisir sekecil-kecilnya.
Hal ini berarti menuntut perlunya penanganan yang serius
terhadap konflik-konflik yang telah pernah terjadi dengan sebaik-
baiknya dan harus mengikis secara tuntas akar-akar penyebabnya.
Selanjutnya diperlukan iklim kondusif untuk dapat membangun
hidup berdampingan satu sama lain dan itu berarti bagi setiap
etnis diperlukan kemauan kuat untuk dapat menyesuaikan
diri dengan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat asli di sana, dengan prinsip dimana langit dijunjung
di situ bumi dipijak. Itu juga berarti perlu mengedepankan dan
memprioritaskan pembangunan masyarakat asli setempat dengan
tanpa meninggalkan mereka yang sebagai pendatang. Masalahnya
selama ini masyarakat asli lebih banyak menjadi penonton dan
dimarginalkan oleh sistem dan kebijakan yang berlaku. Pada
aspek yang lain pelaksanaan penegakkan hukum harus dilakukan
secara adil tanpa pandang bulu bagi siapapun yang melakukan
pelanggaran. Membangun konsensus antar etnik khususnya
antara etnik Dayak dengan Melayu juga sesuatu yang mendesak
terutama agar konflik kepentingan antara keduanya tidak meluas
menjadi konflik kekerasan. Selama prinsip-prinsip tersebut dapat
terpenuhi maka kehidupan sosial yang harmonis antar etnik pasti
dapat tercipta.
| 83 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro. George.Junus. dalam Edi Petebang et all (2000),
Konflik Etnik di Sambas, Institut Studi Arus Informasi,
Jakarta.
Alqadrie. Syarif.Ibrahim. 1996, Kelompok-Kelompok Etnik di
Kalimantan Barat, Karakteristik Budaya dan Interaksi
Sosial, Laporan Penelitian, Untan, Pontianak.
------------------------------, 1999, Konflik Etnis di Ambon
dan Sambas, Suatu Tinjauan Sosiologis, Indonesian
Journal of Social and Cultural Anthropology, TH XXXIII
No.58, FISIP UI, Jakarta.
Arafat, 1998, Konflik Dayak – Madura di Kalimantan
Barat, Thesis (Tidak dipublikasikan), UGM, Yogyakarta.
Belshaw Ceryl J, 1978, Traditional Exchange and Modern
Markets, Modernization of Traditional Society Series,
New York, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliff.
Berghe Pierre van den, 1969, Pluralism and the Policy,
A Theoritical Exploration, Berkeley and Los Angeles
University of California Press.
| 84 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Coomans Mikhail, 1987, Manusia Daya, Jakarta, Penerbit
PT. Gramedia.
Dahrendorf, 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat
Industri, Terjemahan Ali Mandan, Jakarta, CV. Rajawali.
Doecet Ian (Ed), tt, Working with Conflict, Buku
Panduan Pada Lokakarya Pengembangan Kapasitas
Oxfam Indonesia dan British Council.
Edi Petebang dan Eri Soetrisno (2000), Konflik Etnik di
Sambas, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.
Geertz Clifford, 1983, Involusi Pertanian, Jakarta, CV. Bharata.
Harlem Siahaan, 1994, Konflik dan Perlawanan Kongsi
Cina di Kalimantan Barat Tahun 1770-1854, dalam
Prisma No. 12 Th XXIII, Jakarta.
Hendro Suroyo Sudagung, 1984, Migrasi Swakarsa Orang
Madura ke Kalimantan, Disertasi pada UGM Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan dan Mentalitas
dalam Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
Kluckhohn dan Strodtbeck, 1961, Variant in Value
Orientation, Patterson & Co, New York.
Kuntowijoyo, 1998, Dayak, Madura, Stereotif, dalam
Tabloid ADIL, No. XXI Th 65 Jakarta.
LP3ES dan IDRD, 1997, Benang Kusut Konflik Dayak-
Madura, Kalimantan Review, Pontianak.
Marx. Karl, dalam Dahrendorf, 1986, Konflik dan Konflik
Dalam Masyarakat Industri, Terjemahan Ali Mandan, CV.
Radjawali, Jakarta.
Suparlan. Parsudi, 1999, Konflik Sosial Dan Alternatif
Pemecahannya, Indonesian Journal of Social and Cultural
Anthropology, TH XXXIII No.59, FISIP UI, Jakarta.
| 85 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 86 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB IV
KONFLIK KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
Pendahuluan
K
ekerasan bukanlah sesuatu hal yang baru melainkan
dapat dikatakan setua sejarah umat manusia itu
sendiri. Dalam banyak literatur digambarkan
bahwa umat manusia tidak pernah sepi dari kekerasan, bahkan
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ihwal kesenangan
manusia melakukan kekerasan itu, di antaranya tergambar dalam
pernyataan Washburn (1958:117) yang mengatakan: dalam
banyak budaya, penyiksaan dan penganiayaan menjadi tontonan
dan kegembiraan bersama. Fromm (2001: xiv) dengan mengutip
mitos Yunani, dalam bahasa yang berbeda tetapi dengan maksud
yang sama, mengatakan: seiring dengan pergantian generasi,
mereka berkembang ke arah yang lebih buruk. Suatu saat
ketika mereka berkembang sedemikian jahatnya hingga mereka
memuja kekuatan, kebenaran bagi mereka dan penghormatan
terhadap kebaikan tak akan ada lagi. Pada akhirnya manakala
manusia tak lagi marah terhadap pelanggaran atau tidak lagi
malu terhadap hal yang memalukan, Zeus akan membinasakan
| 87 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 88 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
tersebut. Pertanyaannya mengapa tindak kekerasan tersebut
terjadi dan cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu
dan bagaimana upaya mengatasinya. Tulisan ini membatasi diri
pada pembahasan kekerasan yang terjadi dalam sektor domestik
tersebut yang populer disebut kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang korbanya umumnya adalah perempuan.
| 89 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 90 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
| 91 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 92 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
menunjukkan bahwa gen berpengaruh pada pembentukan sistem
neural otak yang mengatur perilaku kekerasan, dan ternyata gen
jantan (laki-laki) lebih berperilaku keras dibandingkan gen betina
(perempuan). Demikian juga dalam sistem otak, apabila sitem
limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia)
dirangsang maka akan timbul rasa kenikmatan atau kesenangan
sehingga orang itu cenderung tidak melakukan tindak kekerasan,
sebaliknya mereka yang tidak pernah mengalami kesenangan,
kegembiraan atau santai (mungkin karena sistem otak limbik
rusak), akan cenderung melakukan kekerasan, penghancuran
dan kekejaman. Hasil penelitian terhadap kimia darah (hormon
seks) juga menemukan suatu bukti bahwa hormon testoteron
yang meningkat mempengaruhi perilaku kekerasan. Apabila
hormon testoteron (hormon androgen utama yang memberikan
ciri kelamin jantan) ditambah perilaku kekerasan cenderung
meningkat, sebaliknya bila dikurangi perilaku kekerasan
menurun.
Dalam teori-teori kekerasan, Santoso (2002)
mengelompokkan penyebab kekerasan dalam tiga kelompok.
Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor.
Teori ini berpandangan manusia melakukan kekerasan karena
kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi
dari kelainan genetik atau fisiologis. Kedua, kekerasan yang
disebabkan oleh struktur. Kelompok ini berpandangan
bahwa orang melakukan kekerasan sebagai akibat tekanan
struktur yang sangat masif. Tekanan struktur itu sendiri tidak
tampak namun terasa sangat luas bisa berupa ketidakadilan,
kemiskinan, keterpinggiran dan lainnya. Ketiga, kekerasan yang
disebabkan oleh jaringan antara aktor dan struktur. Kelompok
ini berpandangan kekerasan aktor dan struktur dapat saling
berhubungan dan berdialektika sehingga bersinergi dan saling
mengisi.
| 93 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Akibat KDRT
KDRT menimbulkan berbagai akibat yang berpengaruh
pada perkembangan kesehatan fisik dan mental korban. Pada
efek fisik, perempuan dapat mengalami bekas-bekas luka pada
fisik dan bisa menjadi cacat seumur hidup (ingat korban KDRT
yang menjalani face off/operasi wajah). Pada psikis dan mental
mereka akan mengalami stres dan depresi yang dapat berkorelasi
dengan penyakit fisik seperti sakit kepala, asma, sakit perut dan
lain-lain. Stres dan depresi bisa menyebabkan kemungkinan
bunuh diri atau membunuh suami yang melakukan kekerasan.
| 94 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pergeseran tersebut menjadikan masalah KDRT sebagai masalah
bersama. Dengan demikian masyarakat disadarkan, didesak,
dituntut dan diawasi untuk turut bertanggungjawab dalam
memerangi kekerasan berdasarkan jenis kelamin ini. Kedua,
negara melalui aparatnya harus proaktif melakukan intervensi
terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah tangga dan
memberikan perlindungan lebih optimal kepada warga negara
yang memerlukan perlindungan khusus (perempuan dan anak)
dari tindak kekerasan. Perlu penegakkan hukum yang tegas dan
berat bagi para pelaku KDRT. Ketiga, melakukan pemberdayaan
secara luas dalam segala aspek kehidupan (ekonomi, sosial,
budaya, agama dan hukum) pada kaum perempuan agar
mereka tidak selalu memiliki ketergantungan kepada kaum
laki-laki, sehingga mereka lebih mandiri dan dapat melakukan
perlawanan ketika hak-hak mereka dirampas. Keempat, perlu
one stop service (pelayanan satu atap) bagi korban KDRT yang
mencakup pelayanan kesehatan, hukum, asuransi dan lainnya.
Penutup
Kekerasan dalam rumah tangga sangat kompleks sehingga
tidak mudah diselesaikan, salah satu sebabnya karena secara
faktual persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di dalam
masyarakat masih mengalami ketimpangan di sana-sini. Isu
marginalisasi, eksploitasi dan stereotif sosial masih mewarnai
ketimpangan relasi gender tersebut. KDRT merupakan salah
satu bagian dari permasalahan relasi ketimpangan gender, tetapi
menjadi esensi dalam menciptakan hubungan yang harmonis
dan saling membutuhkan dalam rumah tangga.
Usaha mengatasi atau meredam tindak KDRT harus intinya
merupakan kekuatan masyarakat, termasuk kaum perempuan itu
sendiri. Dan untuk dapat menghimpun dan membina kekuatan
masyarakat demikian itu, perlu ada pemimpin yang benar-benar
berjiwa pemimpin. Pemimpin sejati adalah pelopor dan model
| 95 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Arist. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan, Mengapa? Artikel
dalam Glorianet. 2006.
Azis.Rumiyati.Aina. 2006. Perempuan Korban di Ranah
Domestik. Majalah Forum Keadilan. Jakarta. No. V
Cicik. Farha. 1999. KDRT, Faktor dan Efeknya. Artikel dalam
Waspada Online 2006.
Daulay.Harmona. 2005. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Renungan Hari Kartini, 21 April 2005. Artikel dalam
Waspada online 2006.
Davidoff. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta.
Fromm. Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio Psikologis
atas Watak Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mu‟tadin.Zainun. 2006. Faktor Penyebab Perilaku Kekerasan.
Artikel dalam Psikologinet.
Prescott. 1990. Pengaruh Faktor Biologis Terhadap Kekerasan.
Artikel dalam Psikologinet 2006.
| 96 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Santoso. Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Smuts. Dalam Fromm.Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis
Sosio Psikologis atas Watak Manusia. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Stein. Aletha. 1990. Peran Belajar Model Kekerasan. Artikel
dalam Psikologinet 2006.
Sumarni. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan, Mengapa?
Artikel dalam Glorianet. 2006.
UU No. 23 Tahun 2004. Tentang Perlindungan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Jakarta.
Washburn. 1958. dalam Fromm.Erich. 2001. Akar Kekerasan,
Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
| 97 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 98 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB V
BEBERAPA FENOMENA ETNISITAS
DALAM MASYARAKAT PLURAL
Pendahuluan
P
ara founding fathers kita sangat menyadari adanya
kemajemukan (pluralitas) dalam masyarakat bangsa
yang ingin dibangun pada masa lalu. Itulah sebabnya
dengan sangat berhati-hati mereka meletakkan bangunan
masyarakat bangsa tersebut di atas simbol Bhinneka Tunggal
Ika yang bermakna bermacam-macam tetapi tetap satu. Dalam
mengelola kemajemukkan (pluralitas) tersebut mereka memilih
beberapa alrternatif bentuk negara yang akan dibangun yakni
negara kesatuan, negara federasi dan negara konfederasi, yang
pilihan akhirnya adalah negara kesatuan.
Sampai saat ini kita masih memilih bentuk negara
kesatuan tersebut sebagai suatu pilihan yang tidak lepas dari
konteks sejarah kearifan para founding fathers dahulu dalam
membangun Republik, terutama ketika etnik-etnik di negeri ini
bersefakat berjuang membangun satu bangsa dan negara. Pilihan
itu pulalah yang akhirnya mengakibatkan negara kita menjadi
sangat sentralistik. Suatu harapan besar yang diinginkan oleh
| 99 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 100 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
oleh kemampuan mereka terutama pemerintahnya mengelola
cita-cita bersama (common will) yang hidup dalam masyarakat
bangsa tersebut. Dengan demikian persoalan-persoalan
etnisitas dapat ditekan seminimal mungkin dan rasa kebangsaan
(nasionalisme) dapat terus terpelihara bahkan menjadi semakin
kuat.
Berbagai fenomena etnisitas seperti sikap stereotif,
etnosentrisme, konflik dan solidaritas lokal dan yang lainnya
sebenarnya merupakan bagian integral dari masyarakat
plural dimanapun. Masalahnya sikap-sikap seperti itu tidak
selamanya menjadi negatif atau destruktif terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada tingkatan-
tingkatan tertentu jika kita mampu memanagenya maka ia juga
memberikan konstribusi yang positif.
Tulisan ini bermaksud mengetengahkan berbagai fenomena
etnisitas yang memang tersimpan dalam masyarakat plural yang
mungkin dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Seiring dengan itu dipandang perlu memberikan koreksi untuk
mengingatkan akan pentingnya menjaga dan melaksanakan
komitmen yang telah ditetapkan bersama agar negara bangsa
yang dibangun bersama tidak menjadi berantakan di kemudian
hari. Koreksi terhadap penyimpangan pelaksanaan amanat
masyarakat atau cita-cita bersama tersebut penulis tuangkan
melalui kajian dan telaah terhadap beberapa fenomena sosial
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat plural yang
dapat menjadi sumber destruktif terhadap bangunan bangsa
dan negara tersebut. Faham-faham sektarian dan primordial
sempit yang tercermin dalam isu stereotif, etnosentrisme,
konflik dan solidaritas lokal merupakan bagian yang inheren
di dalam kehidupan setiap masyarakat plural di manapun dan
kapanpun. Pemahaman secara baik akan adanya isu-isu ini
setidaknya dapat menyadarkan setiap pengambil kebijakan dan
pelaksana pembangunan untuk berhati-hati dan berlaku arif dan
| 101 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 102 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
beberapa karakteristik yang menjadi sifat dasarnya yakni: (1)
terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok
yang seringkali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu
sama lain, (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke
dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, (3)
kurang mengembangkan konsesnsus di antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif sering
mengalami konflik antara kelompok yang satu dengan yang
lain, (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan/
coercion dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi,
(6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-
kelompok yang lain.
Tampaknya apa yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
di atas menjadi bukti apa yang terjadi hari-hari ini di masyarakat
kita. Kerap terjadinya konflik antar golongan dan kelompok
primordial, meningkatnya semangat etnisitas dan primordial
kedaerahan, lemahnya integrasi bangsa, kurang berkembangnya
konsesnsus adalah sebagian dari ciri masyarakat majemuk
yang mengemuka dan menjadi problem kebangsaan kita.
Satu-satunya barangkali yang masih terjaga adalah adanya
saling ketergantungan dalam bidang ekonomi antar daerah dan
dominasi politik oleh kelompok tertentu terhadap kelompok
lain.
Masyarakat Indonesia yang plural kini ditandai oleh dua
cirinya yang bersifat unik dan kompleks yakni yang bersifat
horizontal dan vertikal. Secara horizontal ditandai dengan
adanya perbedaan suku bangsa (etnis), adat istiadat, agama,
dan ciri-ciri kedaerahan masing-masingnya. Sedangkan secara
vertikal ditandai dengan adanya polarisasi yang semakin tajam
dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
Perbedaan secara horizontal tampaknya disebabkan oleh
faktor bervariasinya kondisi fisik geografis dan klimatologis
yang tersebar dalam ribuan pulau di samping unsur sejarah
| 103 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 104 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
etnis selalu bersifat sementara. Menurut Marx sentimen etnik
hanya muncul untuk menampung keinginan kelompok orang-
orang yang ingin mengusir imperialisme. Sentimen etnik akan
mengancam gerakan sosialisme internasional dan membatasi
kemampuan mengubah realitas.
Sebagaimana Marx, kaum fungsionalisme Talcott Parsons
(1975) juga memandang etnisitas dengan sebelah mata dan
menganggap etnisitas tidak lebih dari suatu rangkaian nilai-nilai
dan warisan nilai budaya yang hanya diperlukan selama sosialisasi.
Karena itu menurut paham fungsionalisme ini, etnisitas bukan
unsur yang aktif dan dinamis tetapi sebagai elemen yang pasif
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Kekeliruan Marx dan Kaum Fungsionalisme meramalkan
masalah etnisitas ini ternyata dibayar dengan harga yang teramat
mahal. Rontoknya Uni Soviet, Yugoslavia dan beberapa negara
lainnya tiada lain adalah akibat kekeliruan memandang persoalan
etnisitas di dalam negerinya masing-masing. Indonesia pun pada
jaman orde baru telah melakukan kekeliruan terhadap persoalan
etnisitas di dalam negerinya. Kekeliruan tersebut tampak dalam
perlakuan represif terhadap setiap aspirasi yang mengandung
unsur keadilan dan kemanusiaan dari kelompok etnis yang
terpinggirkan. Itulah sebabnya hari ini kita masih menyaksikan
betapa setiap etnik di negara ini berusaha melakukan perlawanan
terhadap tindakan represif pemerintah masa lalu tersebut.
Keinginan untuk merdeka melepaskan diri dari bingkai negara
kesatuan RI merupakan salah satu simbol dari perlawanan
tersebut.
Haryo S. Martodirdjo (2000) secara lebih rinci
menggambarkan istilah etnisitas dengan segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia yang berhubungan
langsung dengan fenomena pengelompokkan etnik atau
suku bangsa. Inti pengertian etnisitas terpusat pada perilaku
hubungan antar orang, tetapi jangkauan analisisnya meliputi
| 105 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Fenomena Stereotif
Stereotif adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan
berdasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat (KKBI, 1998),
atau suatu penilaian tidak seimbang terhadap satu kelompok
masyarakat yang terjadi karena kecenderungan menggeneralisasi
tanpa diferrensiasi (De Jonge dalam Sindunatha, 1996).
Sumber stereotif disebabkan oleh berbagai faktor pengetahuan
yang dilandasi sejarah, data etnologi yang bertahan dengan
etnosentrisme, dan proses belajar yang berhubungan dengan
proses sosialisasi mulai dari anak-anak hingga dewasa (Hurbert
Bonner dalam Abdul Rahman dan Syanto, 1990). Stereotif
ini berpengaruh terhadap pembentukan jarak sosial (social
distance) yakni suatu posisi yang diberikan satu kelompok etnik
kepada kelompok etnik lain dalam persoalan simpati. Semakin
bertentangan atau bermusuhan kelompok-kelompok etnik
tersebut akan semakin jauh pula jarak sosial yang dibangun di
antara mereka (Ahmadi, 1991).
Mozaik kebudayaan masyarakat majemuk (plural)
biasanya terbentuk melalui interaksi sosial dan dialog budaya
yang cukup panjang. Dalam dinamika proses tersebut, masing-
masing kelompok etnik akan mengamati karakteristik atau sifat
umum dan khusus yang aneh dari kelompok etnik lainnya. Sifat
umum yang aneh tersebut akan membentuk prasangka kelompok
etnik yang satu kepada kelompok etnik yang lainnya. Suatu
| 106 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengalaman yang kurang baik di dalam kontak kebudayaan dapat
menimbulkan anggapan yang keliru, pada batas-batas tertentu
adakalanya benar, karena dapat menimbulkan generalisasi yang
salah sehingga melahirkan stereotif.
Haryo S. Martodirdjo (2000) melukiskan stereotif etnik
sebagai suatu fenomena kultural. Menurutnya stereotif etnik
merupakan suatu generalisasi penilaian akan karakteristik kultural
kelompok lain, cenderung bersifat negatif dan emosional.
Penilaian tersebut mengandung bias yang tinggi karena didasari
oleh adanya benturan kepentingan antar kelompok yang diikuti
oleh subyektivitas nilai dan pemihakan. Oleh sebab itu dalam
hubungan antara etnik biasanya berkaitan dengan prasangka
dan etnosentrisme.
Persoalannya dalam banyak kasus interaksi sosial yang
nyata di masyarakat orang tidak dapat lagi membedakan mana
yang sebenarnya dan mana yang bias. Stereotif suatu etnik
cenderung dianggap sebagai sesuatu yang riil dan mewakili
perilaku sebenarnya dari etnik tersebut. Manakala kondisi
seperti ini yang terjadi maka hubungan sosial antar etnik tersebut
diwarnai dengan adanya gap atau jarak sosial (social distance)
yang akhirnya dapat melahirkan konflik sosial.
| 107 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 108 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
| 109 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 110 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kaitannya dengan interaksi antar etnik, maka tindakan-tindakan
tersebut dapat dilihat sebagai interaksi antar identitas etnik.
Identitasetniktiadalainadalahsebuahnilaikemasyarakatan
yang dipaksakan begitu saja untuk diterimakan kepada para
pendukung kebudayaan pada masa-masa formatif dari usia
mereka. Oleh karena itu, identitas etnik bersifat askriftif sebab
dengan identitas seseorang diklasifikasikan atas identitasnya
yang paling umum dan mendasar, yaitu berdasarkan atas tempat
atau asalnya (Barth, 1969). Setiap etnik akan membentuk dan
mengembangkan budaya mereka yang berbeda dengan budaya
etnik lainnya. Perbedaan tersebut terbentuk akibat perbedaan
faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya
kondisi adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kondisi
semacam ini telah mengantarkan lahirnya berbagai bangsa yang
berbeda di dunia dan tiap bangsa atau etnik dengan budayanya
sendiri dan membentuk masyarakatnya sendiri.
Dalam suatu wilayah yang masyarakatnya secara etnik
majemuk, hubungan antar etnik yang dinamis terlihat pada
proses penyatuan dan alkulturasi berbagai kelompok budaya
dan sosial pada pembentukan identitas budaya baru. Sejarah
memperlihatkan betapa penyesuaian satu kelompok dengan
kelompok lain yang memiliki cara hidup, struktur sosial dan
budaya yang berbeda-beda selalu menimbulkan masalah.
Hambatan penyatuan biasanya bersumber pada identitas etnik
itu sendiri sebagai kesatuan sosial dengan sistem nilai masing-
masing, sehingga anggota kelompok sebuah etnik kurang
memiliki loyalitas terhadap tata nilai budaya majemuk dalam
suatu wilayah. Sebaliknya, terdapat kecenderungan untuk terus
memurnikan nilai budaya standar masing-masing (Belshaw,
1978), sehingga mudah menjurus pada ikatan-ikatan primordial
(Geertz, 1981). Titik pusat primordial biasanya berkisar pada
hubungan darah atau kesukuan, ras, bahasa, daerah (teritorial).,
agama dan kebiasaan.
| 111 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Penutup
Mencermati fenomena etnisitas dan berbagai persoalan
bangsa yang terjadi akhir-akhir ini, kita dihadapkan kepada
pilihan yang teramat sulit dan berat. Pertanyaan besar yang
muncul di antaranya masih mampukah kita mempertahankan
kesatuan bangsa (integrasi) sebagai mana yang disimbolkan
lambang negara Bhinneka Tunggal Ika dan dicita-citakan
bersama sejak semula? Integrasi atau disintegrasi yang akan
terjadi sangat tergantung kepada kemampuan kita memanage
negara dan bangsa ini di atas landasan dan syarat-syarat yang
memberikan keuntungan bagi semua secara bersama.
Kalau Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah
| 112 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme
menjadi masyarakat yang multikulturalisme dan Afrika Selatan
yang semula merupakan masyarakat majemuk yang otoriter
ditandai dengan ideologi rasismenya menjadi masyarakat yang
majemuk demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya?
Perubahan-perubahan seperti tersebut dapat terjadi bilamana
kita mampu mereformasi atau merubah masyarakat majemuk
kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat
sipil yang demokratis berkeadilan dengan bercorak pada
bhinneka tunggal ika. Perubahan tersebut memerlukan syarat-
syarat tertentu yang harus diikuti.
Pertama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut paham
masyarakat sipil demokratis, di dalamnya tidak ada dominasi
militer di dalam peran sosial politik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Militer dimanapun adalah pasukan perang ,
dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan
untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari
luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam
kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota militer
harus menjadi orang sipil yang tunduk pada hukum yang berlaku
di masyarakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghindari
kekhilafan sehingga mereka berperan dalam dalam bidang
sosial politik, maka seperti di berbagai negara (Amerika Serikat),
militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik. Pada saat mereka
dibebastugaskan dari dinas militer, mereka akan mempunyai
pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat.
Bila syarat ini dapat dipenuhi maka berikutnya adalah
syarat pelaksanaan demokrasi dalam berbagai pranata sosial
kemasyarakatan nasional. Pemerinatahan oleh rakyat, dari
rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh.
Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik di antara
unsur-unsur yang tercakup di dalamnyabukan untuk saling
| 113 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 114 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
(lihat Suparlan, 1991). Karena itu masyarakat Amerika tetap
tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan
komunisme, dan dalam menghadapi berbagai gejolak sosial
politik sukubangsa serta rasial.
Syarat berikutnya adalah reformasi dalam tatanan hukum
dan penegakkan hukum. Tatanan hukum yang mendukung
cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis dan
berkeadilan, yang menghargai hak-hak individual dan hak-hak
budaya komuniti dalam kaitannya dengan hak-hak berkuasa
dari pemerintah atau negara sudah waktunya diperbaiki.
Permasalahan hak budaya komuniti menjadi kritikal karena
dalam peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah hak
budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat etnik yang
hidup di daerah-daerah tidak diperhatikan. Perubahan dalam
tatanan hukum harus diiringi pula dengan penegakkan hukum
yang adil tanpa pandang bulu bagi siapapun yang melanggar
hukum. Penegakkan hukum ini sudah waktunya dilakukan
dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.
| 115 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Smith, 1987, The Ethnic Origin and Nations,
Blackwell, New York.
Belshaw Ceryl J, 1978, Traditional Exchange and Modern
Markets, Modernization of Traditional Society, Prentice
Hall, Inc. Englewood Cliff, New York.
Doecet Ian , tt, Working With Conflict, Buku Panduan Pada
Lokakarya Pengembangan Kapasitas Oxfam Indonesia
dan British Council.
Enloe C, 1980, Ethnicity Diversity : The Potential For Conflict,
Dalam : Diversity and Development in Southeast Asia,
The Coming Decade, Mc Graw Hill Book Co, New York.
Frederick Barth, 1969, Ethnic Groups and Boundaries, Little
Brown, Boston.
Gordon Milton M, 1964, Assimilation in American Life, Oxford
University Press, New York.
Haryo S. Martodirdjo, 2000, Hubungan Antar Etnik, Naskah
Ceramah, Tanggal 23 Pebruari 2000, Sekolah Staf dan
Pimpinan POLRI, Bandung.
| 116 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
-----------------------------, 2001, Analisis Perkembangan Sosial
Budaya, Bahan Kuliah, Sekolah Staf dan Pimpinan
POLRI, Bandung.
J.J. Kusni, 2000, Dayak Membangun, Palangkaraya.
J.S. Furnival, 1948, Colonial Policy and Practice : A Comparative
Study of Burma and the Netherlands India , New York
University Press, New York.
Kedit Peter M, 1989, Ethnicity in Multiethnic Society, Sarawak
Museum Journal, Vol. XL.
Koentjaraningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, UI Press, Jakarta.
Narrol R, 1964, Ethnic Unit Classification, Current
Anthropology.
Nasikun, 1994, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Parsudi Suparlan, 2000, Masyarakat Majemuk dan Perawatannya,
Antropologi Indonesia, TH XXIV Nomor 63, FISIP UI,
Jakarta.
---------------------------, 1999, Kemajemukan Amerika : Dari
Monokulturalisme ke Multikulturalisme, Jurnal Studi
Amerika, FISIP UI, Jakarta.
----------------------------, 2000, Ethnic and Religious
Conflict in Indonesia, FISIP UI, Jakarta.
Pierre Van den Berghe, 1990, State Violence and Ethnicity,
Sage, London.
Thomas H. Ericksen, 1993, Ethnicity and Nationalism, East
Haven, Pluto Press, London.
Yohanes Bahari et all, 2000, Konflik Sosial di Kalimantan Barat,
Perilaku Kekerasan Antara Etnik Madura-Dayak dan
Madura-Melayu, Laporan Penelitian, Untan, Pontianak.
| 117 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 118 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB VI
PENDIDIKAN PERDAMAIAN DAN
RESTORASI PERADABAN BANGSA
Pendahuluan
P
eradaban bangsa saat ini sedang mengalami ujian
berat karena memudarnya nilai-nilai kemanusiaan,
kearifan sosial, kecerdasan sosial dan kompetensi
sosial. Pemudaran itu mengakibatkan terjadinya berbagai krisis
dan ketidakmampuan mengatasinya sehingga setiap krisis
selalu berkepanjangan dan berkesinambungan. Memudarnya
peradaban bangsa itu perlu segera direstorasi agar tidak
menyebabkan kondisi bangsa semakin terpuruk. Pendidikan
perdamaian diyakini mampu meningkatkan nilai-nilai
kemanusiaan dan menciptakan kearifan sosial, kecerdasan sosial
dan kompetensi sosial sehingga diharapkan mampu merestorasi
peradaban bangsa.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, sebenarnya kita sedang mengalami dan menghadapi
ujian berat. Berbagai krisis silih berganti seolah tiada henti
melanda dan menerpa negeri ini. Belum selesai krisis yang
| 119 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
satu sudah muncul krisis yang lain. Mulai dari krisis bencana
alam (banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, tsunami),
krisis sosial (tawuran dan konflik kekerasan), krisis ekonomi
(krisis moneter dan perbankan), krisis hukum (mafia kasus
hukum dan peradilan), krisis politik (ketidakpercayaan terhadap
elit politik dan pemerintah, politik tak beretika, carut marut
berdemokrasi), dan krisis ideologi (separatisme ideologi dan
terorisme), yang kesemua krisis itu berpangkal dari krisis
peradaban (memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kecerdasan sosial dan kompetensi sosial). Pranowo (2006)
dalam tulisannya tentang Revitalisasi Pancasila menggambarkan
kondisi demikian itu sebagai suatu keadaan seperti orang yang
sedang mengalami sakit parah, terbaring di ICCU, sekarat
dan sedang menunggu ajal. Apa yang ditengarai Pranowo itu
sesungguhnya menunjukan keprihatinannya atas kondisi yang
dihadapi bangsa sekaligus kerinduan dan kecintaannya yang
amat mendalam akan perlunya melakukan langkah-langkah
penyelamatan cepat dan tepat terhadap negeri ini agar negeri ini
tetap dapat berdiri tegak, kokoh, gagah dan lestari.
Belum hilang dalam ingatan kita, bagaimana krisis multi
dimensi tahun 1998 yang memorakmorandakan berbagai
sendi kehidupan negeri ini beberapa tahun silam, krisis itu
belum sepenuhnya pulih, kini kita dihadapkan lagi kepada
krisis baru yaitu krisis tahun 2008 yang tidak kalah masifnya.
Meskipun menurut beberapa pengamat krisis tahun 2008 itu
tidak sedahsyat dan tidak secara langsung menghantam negeri
ini, tetapi fakta dampaknya tak kalah heboh dibandingkan krisis
tahun 1998 sebelumnya. Salah satu buktinya adalah kasus Bank
Century yang cukup hingar bingar diperdebatkan Pansus DPR
beberapa waktu lalu dan kini kasusnya tengah disidik oleh
para aparat penegak hukum negeri (kepolisian, kejaksaan dan
KPK) dengan berbagai persoalan ikutannya sedikit banyak
telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan bermasyarakat,
| 120 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berbangsa dan bernegara.
Demikian pula akan berbagai konflik kekerasan yang
bernuansa horizontal (etnik dan agama) maupun yang bernuansa
vertikal (antara masyarakat dengan negara) yang terjadi silih
berganti di berbagai pelosok negeri beberapa waktu silam seperti
di Poso, Ambon, Sambas, Sanggau Ledo, Sampit, Papua, Aceh
dan sebagainya. Meskipun konflik kekerasan itu sudah cukup
lama berlalu, tetapi dampaknya hingga kini masih membekas
dan terasa. Sebagian para korban konflik kekerasan itu masih
hidup dalam pengasingan dan pengungsian. Hubungan sosial
antar sesama masih diwarnai prasangka dan stereotipe negatip
sehingga sangat mudah menyulut dan memunculkan konflik
kekerasan baru.
Kini setiap hari kita semakin akrab menyaksikan berita
kekerasan dari berbagai sudut negeri melalui media massa cetak
dan elektronik. Mungkin hampir tidak ada hari dilalui tanpa
suguhan berita kekerasan. Berbagai macam kekerasan itu silih
berganti, seperti kekerasan dalam keluarga, kekerasan rumah
tangga, kekerasan di kelas, kekerasan di sekolah, kekerasan di
kampus, tawuran antar pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran antar
kampung, tawuran para suporter, tawuran penonton konser,
tawuran antar gang, hingga anarkisme mahasiswa di berbagai
kampus dan anarkisme masyarakat dalam menyampaikan
pendapat ketika melakukan demo dan sebagainya. Kekerasan-
kekerasan itu bahkan sering dipicu hanya oleh persoalan sepele
dan kadang sulit dimengerti oleh akal sehat. Semakin hari
semakin tumbuh budaya kekerasan di tengah kita. Sepertinya
kekerasan sudah menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah, karena
hampir tidak ada lagi ruang di sekeliling kita yang tanpa nuansa
kekerasan. Tumbuhnya budaya kekerasan seperti itu seperti
dikatakan Johan Galtung (2002), tiada lain sebagai akibat setiap
persoalan selalu diselesaikan dengan cara kekerasan. Ironinya
negara yang semestinya berfungsi mengayomi warganya ternyata
| 121 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 122 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
(LP) di tanah air. Hampir semua rutan dan LP di tanah air telah
kelebihan daya tampung bahkan ada yang sampai 600% dari daya
tampung yang tersedia (Menkumham, 2010). Pertanyaannya
haruskah semua perkara diselesaikan secara hukum nasional
(hukum positif) melalui badan peradilan (litigasi), padahal
di tiap komunitas masyarakat sudah tersedia mekanisme
penyelesaian tersendiri, yang justeru mungkin lebih adil dan
manusiawi. Tidak bisakah mekanisme penyelesaian masyarakat
itu digunakan sebagai media alternatif dalam menyelesaikan
perkara, khususnya untuk perkara-perkara yang berskala kecil
dan komunitas?
Berbagai krisis yang diungkapkan itu mengindikasikan
dan menunjukkan kepada kita telah terjadinya krisis peradaban
berupa penurunan nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kecerdasan sosial dan kompetensi sosial dalam masyarakat
selama ini sehingga kita semakin tidak mampu menyelesaikan
krisis dan konflik di sekitar kita kendatipun krisis atau konflik
itu sangat sederhana. Masyarakat telah kehilangan kearifan-
kearifan sosial yang unggul, seperti kemampuan menghargai
dan menghormati, kemampuan toleransi, kemampuan
berempati, semangat dan kemampuan menolong, kemampuan
menyelesaikan konflik, kemampuan musyawarah dan mufakat
serta kemampuan bekerja sama. Sebaliknya masyarakat
cenderung mudah menyalahkan orang lain ketimbang introspeksi
diri, pengendalian emosi menurun, mudah tersinggung, cepat
marah, gampang terpengaruh isu yang menyesatkan, dan
gampang curiga terhadap kelompok lain, sehingga kadang
hanya karena persoalan sepele dapat berakibat pada konflik
sosial yang berlarut-larut atau protracted social conflict (Azhar,
2000) dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta yang
tidak sedikit. Terhadap kenyataan seperti ini, pertanyaannya
bagaimana kita dapat memperbaikinya agar peradaban bangsa
yang telah memudar itu dapat pulih kembali, apa yang harus
| 123 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
kita lakukan?
Banyak pakar meyakini penyembuhan atas memudarnya
nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kompetensi sosial,
kecerdasan sosial atau peradaban bangsa tersebut hanya efektif
melalui jalur pendidikan, kendatipun hasil penyembuhannya
akan berjalan lama. Jika memang harus melalui jalur pendidikan,
pertanyaannya pendidikan seperti apa dan pendidikan yang
bagaimana. Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, pendidikan
telah membuktikan dirinya menjadi alat yang paling ampuh
dalam membebaskan suatu masyarakat atau bangsa dari
kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan berbagai
keterpurukan lainnya, terutama pendidikan yang dijalankan
dalam nuansa damai atau yang membangun terciptanya
perdamaian. Pendidikan merupakan jalan terbaik meningkatkan
peradaban bangsa karena melalui pendidikan suatu masyarakat
dapat menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
sebagai pilarnya peradaban dan pilarnya perdamaian.
Pendidikan Perdamaian
Memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial,
kompetensi sosial dan kecerdasan sosial yang mengakibatkan
terjadinya krisis peradaban berkesinambungan di masyarakat
dewasa ini diduga sedikit banyak berkaitan dengan pelaksanaan
pendidikan dan proses pembelajaran yang cenderung lebih
mengedepankan learning to know dan learning to do yang
dilaksanakan dalam suasana yang tidak damai. Banyak fakta
menunjukkan proses pembelajaran yang berlangsung cenderung
tidak damai dan belum menyentuh pada aspek learning to
live together dan learning to be sebagaimana yang dianjurkan
oleh UNESCO. Pelaksanaan pendidikan yang demikian itu
menghasilkan manusia-manusia yang memiliki jiwa kekerasan
dan hanya menguasai hard-skill atau hard-competency dan
kurang pada penguasaan soft-skill atau soft competency.
| 124 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Padahal dalam realitas kehidupan yang senyatanya, dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari, kedua skill atau kompetensi
itu diperlukan secara seimbang.
Pendidikan yang lebih mengedepankan learning to
know dan learning to do itu dalam perspektif taksonomi
Bloom dikategorikan baru menyentuh pendidikan kognitif
dan psikomotorik, itu pun kalau mau jujur baru menyentuh
pada tingkat permukaan saja, belum sampai pada isi substansi
sesungguhnya, apalagi untuk pendidikan afektif. Padahal
pendidikan yang sejatinya, semestinya menyentuh seluruh aspek
atau pilar tersebut secara utuh, menyeluruh, dan mendalam,
lebih-lebih pada masyarakat plural seperti Indonesia ini.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, belajar untuk
mampu hidup bersama orang lain (learning to live together)
dan belajar menjadi manusia sesungguhnya seutuhnya (learning
to be) agar bermanfaat bagi diri dan orang lain sesungguhnya
perlu mendapatkan perhatian serius selain belajar mampu
mengetahui (learning to know) dan belajar mampu melakukan
atau mampu mengerjakan sesuatu (learning to do). Bangsa ini
sangat memerlukan manusia yang memiliki pengetahuan dan
ketrampilan tinggi tetapi lebih dari itu kita pun memerlukan
orang-orang yang mampu menjalin hidup bersama orang
lain dan orang-orang yang benar-benar menjadi manusia
utuh atau manusia yang berkepribadian sejati. Manusia yang
memiliki pengetahuan, ketrampilan dan memiliki sikap mampu
menghormati dan menghargai sesama seperti itu dapat dibangun
melalui pendidikan perdamaian.
Pendidikan perdamaian sering juga disebut pendidikan
mediasi resolusi konflik, pendidikan manajemen konflik,
pendidikan transformasi konflik, pendidikan HAM dan
pendidikan multikultural. Pendidikan-pendidikan ini bertujuan
untuk mewujudkan nilai, perilaku dan cara hidup yang
mendukung terciptanya budaya damai. Damai atau perdamaian
| 125 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 126 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban
manusia, berbagai bencana sosial modern masuk dalam
kajian pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction).
Berbagai bencana sosial itu seperti terorisme, ancaman perang
nuklir, konflik kekerasan etnik, perang antar negara dalam
memperebutkan sumber daya dapat dikategorikan sebagai
bencana yang berpotensi mengganggu keberlangsungan hidup
suatu masyarakat.
Perdamaian juga dipahami sebagai suatu keadaan tidak
adanya perang atau tidak adanya konflik kekerasan. Dikaji
dari faktor penyebab, pemahaman tradisional menyatakan
perdamaian akan tercipta ketika individu memiliki rasa
kedamaian dalam dirinya sendiri, memiliki kemampuan untuk
mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan
yang merugikan orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik
kekerasan secara terbuka. Perdamaian adalah konsep dan cara
pandang seseorang yang positif baik terhadap dirinya sendiri
maupun kepada orang lain atau lingkungannya.
Bagi sebagian orang pemahaman yang dikemukakan di
atas tidak cukup untuk menjelaskan berbagai macam konflik
kekerasan yang masih saja terjadi di berbagai belahan negeri ini
saat ini. Dalam teori yang lebih modern, damai tidak semata
dipahami dari perspektif psikologis individu atau masyarakat.
Johan Galtung (2002), misalnya, mendefinisikan perdamaian
dalam dua sisi. Pertama, damai yang negatif, yaitu tidak adanya
perang atau konflik kekerasan. Situasi ini dapat dicapai dengan
pendekatan struktural, yaitu pencegahan setiap potensi konflik
dengan cara mengontrol pihak-pihak yang bisa menyulut potensi
konflik menjadi konflik terbuka dan menggunakan kekerasan.
Kedua, damai yang positif, yaitu suasana yang sejahtera, adanya
kebebasan dan keadilan yang menjadi dasar terciptanya suasana
damai yang sesungguhnya dalam suatu komunitas.
Senada dengan Galtung, Franklin (dalam Koten, 2003),
| 127 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 128 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dalam dibandingkan keterpurukan yang dialami saat ini. Krisis
peradaban dalam bentuk memudarnya nilai-nilai kemanusiaan,
kearifan sosial, kecerdasan sosial, dan kompetensi sosial itu
sebagaimana ditengarai di awal tulisan ini telah mengakibatkan
berbagai krisis yang berkepanjangan dan berkesinambungan.
Menurut Hobbes (dalam Koten, 2003), krisis peradaban
yang berpuncak pada berbagai tindakan biadab sangat
bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan seperti kekerasan,
ketidakadilan, pembunuhan dan sebagainya yang bukan saja telah
memutuskan hubungan keharmonisan antara manusia dengan
manusia tetapi juga dengan alam dan Tuhan Sang Pencipta,
termasuk telah membalikkan peradaban bangsa ini kembali ke
zaman primitif di mana naluri kebinatangan terekspresi secara
telanjang, karena manusia telah menjadi serigala bagi manusia
yang lain (homo homini lupus).
Koten (2003), mengistilahkan hubungan manusia dalam
peradaban itu hingga kini masih tetap dibangun atas prinsip
persaingan dan penguasaan, dengan berbagai predatornya yang
menyeramkan. Dalam pandangannya bahwa sejarah manusia
hingga kini sesungguhnya adalah sejarah yang penuh luka dan
air mata, akibat adanya campur tangan “manusia-binatang”
dalam kehidupan masyarakat.
Supriyoko (2007) dalam artikelnya tentang pendidikan
dan peradaban bangsa menjelaskan pengertian peradaban
(civilization) sebagai suatu proses penjabaran nilai-
nilai kebudayaan yang diwujudkan dalam norma yang
kemudian dijadikan satu tolok ukur kepantasan perilaku
bagi warga masyarakat pendukungnya. Sementara menurut
Koentjaraningrat (1982), peradaban (civilization) adalah bagian-
bagian dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian,
ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang
kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur kompleks.
Sedangkan Yusuf al-Qardlawi (2001) merumuskan peradaban
| 129 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 130 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
penguasaan kebudayaan materi yang tinggi tetapi apabila aspek
kemanusiaan diabaikan bahkan dilecehkan oleh kebudayaan
tersebut sehingga kemanusiaan tidak mendapatkan tempat yang
terhormat maka sesungguhnya peradaban bangsa itu sedang
mengalami masalah. Peradaban suatu bangsa memang tidak
hanya ditakar pada capaian puncak-puncak kebudayaan material
akan tetapi dan bahkan yang terutama adalah pada sejauhmana
nilai-nilai kemanusiaan telah mendapatkan perhatian terbaik
pada tataran individu, komunitas dan sosietas. Karena itu,
perjuangan untuk merestorasi peradaban yang berkemanusiaan
itu, pertama-tama yang harus dikalahkan adalah “kebiadaban
naluri kebinatangan dalam diri manusia itu sendiri.”
Bagaimana sebaiknya proses restorasi peradaban yang
berkemanusiaan itu berlangsung? Sutrisno (1993), menyatakan
bahwa sesungguhnya proses peradaban itu harus dibangun ke
peradaban yang berkemanusiaan, yakni suatu proses manusia,
yang dengan kendaraan peradaban mau semakin menaruh
hormatnya pada sesama manusia dalam ruang lingkungan
bersama.
Untuk itulah sesungguhnya restorasi peradaban bangsa
yang berkemanusiaan selalu mengingatkan kita untuk menyadari
bahwa semua pertanyaan mendasar tentang peradaban adalah
sumbangan apa yang bisa diberikan untuk kesejahteraan dan
menciptakan rasa aman dan damai bagi manusia seluruhnya?
Sejauh mana masyarakat sebuah bangsa dapat saling menghargai
satu sama lain untuk tetap menjaga harga diri atau martabatnya
lewat pengikisan ketidakdilan sosial, ketidakadilan ekonomi,
ketidakadilan politik, ketidakadilan hukum, ketidakadilan gender
dan sebagainya.
Ketika dikatakan bahwa kekerasan, ketidakadilan,
pembunuhan dan sebagainya sebagai pemutusan hubungan
keharmonisan antara manusia, alam semesta dan Tuhan Sang
Pencipta, maka proses restorasi peradaban yang berkemanusiaan
| 131 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 132 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
bangsa yang unggul dan mulia, peradaban yang memiliki nilai
kemanusiaan, jati diri dan karakter bangsa yang luhur dan
terhormat. Melalui pendidikan juga kita dapat meningkatkan
semangat dan etos kerja sebagai bangsa yang kuat dan gigih.
Lebih dari itu melalui pendidikan perdamaian kita dapat
membangun peradaban yang menghadirkan persaudaraan
dan kerukunan bangsa, serta memelihara kelestarian alam.
Melalui pendidikan perdamaian kita diajarkan menghadapi
dan menyelesaikan berbagai masalah dengan mengedepankan
cara-cara yang damai, beradab dan demokratis, bukan dengan
cara-cara kekerasan dan mengabaikan pranata sosial dan
pranata hukum. Apabila kita mampu melakukan itu semua
maka Indonesia akan mampu menghadapi berbagai tantangan
dan cobaan, betapapun beratnya, apapun bentuknya, dan dari
manapun datangnya.
Penutup
Restorasi peradaban bangsa akan efektif apabila dilakukan
melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan yang mampu
meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kecerdasan
sosial dan kompetensi sosial. Pendidikan demikian itu adalah
pendidikan yang menanamkan budaya damai dan menciptakan
perdamaian, sehingga disebut pendidikan perdamaian atau
peace education.
Pendidikan perdamaian diyakini mampu meningkatkan
nilai-nilai kemanusiaan, kearifan sosial, kecerdasan sosial
dan kompetensi sosial karena bertujuan mewujudkan nilai,
perilaku dan cara hidup yang mendukung terciptanya budaya
damai. Budaya damai adalah sejumlah nilai, keyakinan, tradisi,
perilaku dan gaya hidup yang berbasis pada prinsip-prinsip
non-kekerasan, toleransi, solidaritas, menghargai hak asasi dan
kebebasan. Budaya seperti itu menjunjung tinggi harmoni,
toleransi, saling menghargai dan relasi yang setara antar individu
| 133 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. A.M. 2007. Restorasi Peradaban Bangsa, Jakarta, Akbar
Tandjung Institute dan Universitas Nasional.
| 135 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 137 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 138 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB VII
PERLUNYA MANAJEMEN MODERN
PARPOL DALAM PENETAPAN ANGGOTA
LEGISLATIF
Pendahuluan
P
emilu legislatif tidak lama lagi akan dilaksanakan,
jika tidak ada halangan rencananya pada tanggal 9
April 2009. Pemilu dimanapun merupakan ajang
demokratis partai politik menempatkan kadernya di legislatif,
juga merupakan jalan merebut dan mencapai kekuasaan.
Partai politik yang mampu menempatkan wakilnya sebanyak-
banyaknya melalui pilihan rakyat di legislatif akan mudah
mewarnai pengambilan segala bentuk keputusan pemerintahan
atau negara. Mereka nantinya akan mengendalikan berbagai
kebijakan negara (pemerintahan).
Pemilu legislatif 2009 diperkirakan akan diwarnai
persaingan ketat baik antar parpol maupun antar calon legislatif
dalam internal parpol. Pasalnya parpol yang bertarung sangat
banyak dan sebagian parpol menghendaki penetapan anggota
legislatif terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut tetapi suara
| 139 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 140 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kemungkinan untuk melakukan kerjasama (koalisi). Partai politik
(parpol) yang tidak mampu berkompetisi dan tidak mampu
membangun koalisi pasti akan collapse bahkan bisa tersingkir.
Parpol harus mampu menyiasati perkembangan zaman
ini. Menghadapi kompetisi atau melakukan koalisi adalah
langkah membangun prestasi dan melahirkan reputasi sebagai
wujud citra parpol. Untuk berprestasi, meraih reputasi, apalagi
membangun citra parpol perlu mendapat dukungan publik
atau masyarakat. Sebab masyarakat itulah sesungguhnya pasar
yang selalu menguji, menilai, dan memberi penghargaan dalam
proses liberalisasi. Itulah sebabnya parpol harus membangun
human relation yang menjadi bagian dari proses peradaban yang
berlangsung sangat dinamis.
Hasil pengamatan sementara, tampaknya sampai saat ini
hampir semua parpol tidak memiliki humas, apalagi humas
yang mumpuni, kalaupun ada hanya berfungsi komplementer
dari bidang informasi dan komunikasi (infokom). Dalam hal ini,
fungsi humas hanya secara teknis mempublikasikan apa yang
menjadi keputusan strategis bidang lain. Fungsi humas bukan
fungsi strategis karena tidak dapat menggerakkan dan mengelola
sumber-sumber komunikasi dengan publik. Sebaliknya
humas merupakan fungsi manajemen yang hanya berperan
mengkomunikasikan pesan-pesan parpol kepada publiknya.
Dengan demikian parpol yang benar dan baik akan
memandang penting makna humas dengan mengintegrasikan
semua fungsi humas menjadi satu fungsi (terintegrasi) dan tidak
terpecah serta tidak menjadi bagian dari bidang lain. Hanya
dalam suatu sistem integrasi, humas memungkinkan untuk
mengembangkan komunikasi dalam rangka mengelola strategi
dan mempengaruhi opini publik baik internal maupun eksternal.
Dengan posisi manajemen strategis, humas akan lebih
leluasa memberikan kontribusi guna pencapaian tujuan parpol.
Dengan demikian humas mampu mengembangkan program
| 141 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 142 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berkomunikasi dengan media tulisan, elektronik, bahkan melalui
multi media. Kader praktisi humas parpol diharapkan juga dapat
melakukan pembinaan sumber daya manusia internal partai itu,
di samping diperlukan kondisi yang kondusif yang mengarah
kepada keterbukaan dan demokratisasi.
Hal ini akan dapat mendorong setiap pimpinan parpol
untuk berpikir kritis dan kreatif. Setiap pimpinan parpol akan
mengembangkan pola berpikir alternatif dengan pemahaman
mendalam. Dengan ini diharapkan tumbuh pimpinan parpol
yang kritis dan bersikap arif dalam menghadapi berbagai
masalah, tidak hanya asal cepat saja.
| 143 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
tiras media cetak dan tayangan jam siaran media elektronik yang
spektakuler. Inilah yang menempatkan media massa menjadi
institusi yang luar biasa kekuatannya di seluruh dunia, dan
pengaruhnya sangat kuat, luas, dan tidak ternilai.
Karena itu jika operasionalisasi media massa dilakukan
oleh mereka yang tidak profesional, maka publik dan peradaban
akan sangat dirugikan. Sebaliknya jika pers dikendalikan secara
profesional, idealis, dan independen, niscaya akan memberi
kontribusi besar dan bermakna bagi publik dan peradaban.
Itu pula sebabnya humas pada institusi/organisasi pada
umumnya, dan humas parpol khususnya yang tidak mampu
memanfaatkan potensi media massa pasti akan tertinggal oleh
perubahan zaman, dan sangat mungkin akan mati lantaran tidak
mampu membangun akses kerjasama dan tidak kuat bersaing.
Humas parpol yang mampu memanfaatkan potensi pers,
yakinlah akan mampu bertahan, bahkan kian maju dan kuat.
Information is Power.
Humas parpol dan media massa sebenarnya dua fenomena
dalam dunia informasi yang sangat sinergi dalam membangun
kehidupan bangsa dan negara. Tanpa media massa, humas
parpol akan sulit menyebarluaskan informasi penting, termasuk
mengalami kesulitan untuk melakukan pendekatan dengan
publiknya.
Adalah realitas, betapa banyak parpol yang kedodoran
oleh hantaman media massa yang menyuguhkan informasi tidak
akurat, tidak bertanggung jawab, dan salah. Hal itu terutama
akibat ketidakmampuan parpol tersebut memanfaatkan peluang
yang tersedia pada media massa, utamanya karena parpol tidak
memiliki humas.
Tentu saja landasan pekerjaan humas parpol yang baik
haruslah dari lingkup parpol yang baik pula, sebab humas parpol
sama dengan media massa sama-sama melayani hak publik
| 144 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
untuk tahu (right to know), yang otomatis juga mengemban
kebenaran informasi. Parpol mana pun jika tidak memiliki
humas yang baik akan terlayani secara buruk pula oleh pers,
yang berimbas kepada buruknya perlindungan publik.
| 145 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
politik tidak akan berarti banyak bagi demokrasi dan akan sia-
sia. Jadi, untuk dapat berguna bagi demokrasi, penggunaan
sistem suara terbanyak tidak dapat diimplementasikan sendiri
tanpa merevitalisasi peranan dan kinerja parpol serta pendidikan
politik publik yang memadai.
| 146 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
caleg akan lebih bergantung pada pilihan rakyat dan bukan
penempatannya oleh partai di dalam nomor urut daftar caleg.
Sementara itu,dalam kampanye, caleg akan dituntut untuk
lebih banyak menggunakan sumber dayanya sendiri. Ketika
seorang caleg terpilih, legitimasi akan datang dari suara rakyat
dan ia tidak lagi berutang sepenuhnya kepada partai. Hal ini
akan menimbulkan dorongan bagi para caleg terpilih untuk
lebih ber-tindak independen dari arahan dan putusan partai.
Konflik internal yang berkepanjangan dan berkurangnya disiplin
anggota legislatif partai akan melemahkan institusi parpol secara
keseluruhan jika tidak dikelola secara baik dan bijaksana.
| 147 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 148 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Penutup
Penerapan sistem suara terbanyak diyakini tidak serta-
merta membawa perubahan positif bagi demokrasi Indonesia.
Potensi-potensi positif yang ada dalam penerapan sistem ini
baru akan terealisasi jika penerapan sistem suara terbanyak ini
diikuti kebijakan-kebijakan lain.
Pertama, manajemen parpol yang profesional dalam
meredam potensi konflik internal. Kedua, pengelolaan yang tepat
untuk menjaga disiplin parpol. Ketiga,peningkatan kapasitas
parpol untuk menominasikan caleg-caleg yang berkualitas.
Terakhir, pendidikan politik publik yang lebih agresif untuk
mendorong pilihan-pilihan yang bijaksana dalam pemilu.
Partai politik kini cenderung terjebak pada paradigma
lama seperti primordialisme, esklusivisme, fanatisme, dan
ketergantungan pada karisma tokohnya. Jika mau menata
format politik Indonesia di masa depan, harus dikembangkan
rasionalisme politik yang diwarnai dengan intelektualitas dan
manajemen partai secara modern.
| 149 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Sujito. Ari. 2008. Kegagalam Manajemen Partai Politik, Makalah
Seminar. UGM Yogyakarta.
| 150 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB VIII
NILAI-NILAI AGAMA SEBAGAI SUMBER
DAN PEREKAT PERDAMAIAN
Pendahuluan
P
ada dasarnya komitmen anti-kekerasan merupakan
tujuan luhur manusia. Tidak satupun yang ingin
ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan
menindas anak-anak yang tak berdosa. Tujuan luhur manusia
itu sejajar dengan ajaran semua agama yang menghendaki
adanya kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang
ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian
hidup manusia, seperti Buddha mengajarkan kesederhanaan,
Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan
kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh
alam (Yoyo Hambali, 2007) .
Jika tujuan luhur manusia dan semua agama menghendaki
kedamaian dan komitmen terhadap anti-kekerasan, lalu mengapa
kekerasan agama itu kerap terjadi dengan korban yang tidak
terhitung jumlahnya? Kekerasan agama selama berabad-abad
merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban
| 151 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 152 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam
bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap
kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal.
Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir
abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup
mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang
sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam
klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu
menggulingkan pemerintahan yang kuat. Peristiwa paling
mutakhir yang menghebohkan dunia, yaitu hancurnya gedung
World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat,
September 2001 lalu dan bom Bali, juga dihubungkan dengan
gerakan fundamentalisme.
Fundamentalisme dan kekerasan agama merupakan isu
paling hangat belakangan ini dalam wacana percaturan global
yang mendorong kita untuk melakukan kajian terhadap dua
persoalan ini. “Fundamentalisme identik dengan kekerasan”.
Inilah stereotip yang dilestarikan Barat selama berabad-abad.
Islam fundamentalis adalah penyebab terjadinya berbagai
tindakan kekerasan, bom bunuh diri, pembunuhan, pembantaian,
peperangan dan penghancuran. Doktrin perang suci atau
jihad yang menjadi keyakinan yang diusung fundamentalisme
memperkuat stereotip itu. Benarkan fundamentalisme identik
dengan kekerasan? Adakah kaitan antara fundamentalisme
dengan kekerasan agama?
Pertanyaan di atas merupakan permasalahan yang akan
diangkat ke permukaan menjadi tema penelitian ini. Penelitian ini
mencoba untuk membuktikan hipotesis bahwa fundamentalisme
muncul ketika agama tercampur dengan ekspresi-ekspresi
kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan personal, dan
gerakkan-gerakkan untuk perubahan politik. Ketika ekspresi
keagamaan ditujukan untuk memperbaiki tatanan dunia (world
| 153 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Hakekat Perdamaian
Kataperdamaiansamaartinyadenganrekonsiliasi.Sementara
secara “etimologis”, rekonsiliasi berasal dari kata bahasa latin
„reconciliatio‟ dan kata kerjanya „reconciliare‟, artinya: membawa
kembali, membangun kembali, memperbaharui, merukunkan.
Dalam bahasa Yunani berasal dari istilah „katalassein‟, artinya:
berubah sikap. Sedangkan dalam bahasa Inggris berasal dari
kata reconciliation yang bermakna perdamaian dan perukunan
kembali. PERDAMAIAN: bermakna penghentian permusuhan
atau permufakatan menghentikan permusuhan. Dalam istilah
keagamaan rekonsiliasi memiliki makna relasional untuk
merefleksikan dosa, sesal, tobat, ampun dan penyembuhan
luka-luka batin. Dengan demikian rekonsiliasi sosial bermakna
upaya perdamaian atau penghentian permusuhan antar individu
atau kelompok masyarakat. Rekonsiliasi nasional adalah buah
dari rekonsiliasi individual dan kolektif. Bila di masing-masing
keluarga, komunitas, dan masyarakat terjadi rekonsiliasi, maka
rekonsiliasi nasional dapat dialami bersama.
Dimensi Rekonsiliasi
Mulanya rekonsiliasi digunakan dalam pengertian yang
lebih bersifat individual: menjadi manusia baru dalam hubungan
dengan diri sendiri, sesama dan Tuhan. Kemudian berkembang
sehingga rekonsiliasi memiliki makna yang lebih kolektif
menyangkut kehidupan bermasyarakat sebagaimana banyak
dibicarakan sekarang ini.
Karena itu rekonsiliasi memiliki matra (dimensi) sosial
dan spiritual. Pemerintah bertugas untuk menyelenggarakan
| 154 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dimensi sosial, sedangkan lembaga agama mengembangkan
dimensi spiritual. Keduanya mempunyai jati diri masing-masing
yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Lembaga / pemuka agama / tokoh masyarakat dapat
memberikan kontribusi dalam mewujudkan rekonsiliasi, antara
lain berupa:
– Bekerja sama dengan pemuka dari berbagai agama dalam
mencari dasar-dasar pengampunan dan hidup baru.
– Pengampunan tidak terjadi tanpa kebenaran. Maka agama-
agama dapat membantu umat dalam mengungkapkan
kebenaran, supaya ampun dari Allah tidak disalahgunakan
sebagai kesempatan untuk mencuci diri dan kemudian
dengan tenang tetap melakukan dosa, melawan kerukunan.
– Mencari model-model rekonsiliasi dan melaksanakan di dalam
komunitas agama sambil mencari bagaimana pengalaman
rekonsiliasi dapat dikembangkan sebagai kegiatan antar
agama.
| 155 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 156 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu
mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena
orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang
mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada
orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-
orang berdosa pun berbuat demikian.
5. Roma 12: 10-21, Hendaklah kamu saling mengasihi
sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu
menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam
pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah
dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus
dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!
Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan
mengutuk! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita,
dan menangislah dengan orang yang menangis! Hendaklah
kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu
memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah
dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah
menganggap dirimu pandai! Janganlah membalas kejahatan
dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah
dalam perdamaian dengan semua orang! Saudara-saudaraku
yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan,
tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis:
Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut
pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah
dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat
demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.
Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah
kejahatan dengan kebaikan!
6. Roma 13: 6-10, Janganlah kamu berhutang apa-apa
| 157 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 158 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
11. Matius 5: 44-47, Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu
yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat
dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang
benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi
orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah
pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu
hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah
lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang
tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?
12. Lukas 6: 27-26, “Tetapi kepada kamu, yang
mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu,
berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah
berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang
yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu,
berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa
yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.
Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan
janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil
kepunyaanmu. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu,
apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi
juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu
berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu,
apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian.
Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena
kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-
orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan,
| 159 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Penutup
Sebagai masyarakat beragama (religious society), kita
sering diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil,
rasial, collective violence dengan upaya-upaya mengail di “air
keruh” sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa
yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi
peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan
sehingga tidak jarang membuyarkan angan bahwa agama
adalah pembawa kedamaian dan keselamatan bersama. Agama
menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang
memberangus kehidupan bersama di muka bumi ini. Inilah yang
oleh Sukidi, seorang stap Paramadina disebut sebagai fenomena
paradoksal keberagamaan ummat, baik pada level elite politik
maupun massa bawah (grass root). Suasana paradoks ini sering
terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang
luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah
lain agama sering mengiringi kehidupan manusia dengan wajah
tidak bersahabat. Wajah agama (umat beragama) yang tidak
bersahabat ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan
yang dicap fundamentalisme.
| 160 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab. Jakarta.
Hambali. Yoyo. 2007. Fundamentalisme dan Kekerasan Agama.
Makalah Seminar, UGM. Yogyakarta.
Hanafi. Hassan. 2001. Agama, Kekerasan, dan Islam
Kontemporer, Yogyakarta: Jendela.
Houtart, Francois. 2002. “Kultus Kekerasan Atas Nama Agama:
Suatu Panorama” dalam Santoso Thomas, Kekerasan
Agama tanpa Agama, Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Huntington. Samuel P. 2000. Benturan Antar Peradaban dan
Masa Depan Politik Dunia,
Yogyakarta: Qalam.
Ricoure Paul. 2003. Agama dan Rekonsiliasi, PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sukidi. 2002. Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas.
| 161 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 162 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB IX
MANAJEMEN KONFLIK DALAM
PERSPEKTIF RESOLUSI KONFLIK
MASYARAKAT ADAT DAYAK
Pendahuluan
S
etelah lebih satu dasawarsa pasca konflik etnik,
Kalimantan Barat kembali digoyang isu konflik,
kali ini sedikit bernuansa agama. Pemicunya konon
pemasangan spanduk penolakkan kehadiran Front Pembela
Islam (FPI) ke Kalimantan Barat oleh oknum Pemuda Dayak
(AP Post, 2012). Peristiwa pemasangan spanduk penolakkan
FPI itu memancing reaksi keras oknum FPI dengan melakukan
pengepungan terhadap asrama mahasiswa Dayak di Jalan KHW
Hasyim Pontianak pada tanggal 13 Maret 2012 sore.
Pengepungan asrama mahasiswa Dayak di Pontianak
oleh FPI itu spontan mendapatkan reaksi balasan dari oknum
komunitas Dayak di Pontianak pada tanggal 14 Maret 2012
keesokan harinya. Pada hari itu terjadi unjukrasa besar-besaran
dari kedua komunitas di tempat berbeda.
| 163 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 164 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Gambaran Umum Konflik Kekerasan Masa Lalu di
Kalimantan Barat
Sampai dengan tahun 2000, setidaknya telah terjadi 13 sd
15 konflik kekerasan antaretnik di Kalimantan Barat (Alqadrie,
1999; Petebang et al, 2000; Tim Peneliti Untan, 2000; Purwana,
2003; Giring, 2004; Bahari, 2005). Beberapa di antaranya
merupakan konflik yang intensitas kekerasannya tinggi seperti
konflik Samalantan (1977), Sanggau Ledo (1996 dan 1997),
konflik Sambas (1999, 2000), dan Pontianak (2000).
Berikut ini disajikan daftar konflik kekerasan Dayak-
Madura sejak 1950 sampai dengan tahun 2000:
No. Waktu Tempat Pemicu
1. 1950 Samalantan Konflik dipicu oleh perkelahian indivi-
Kab. Sam- du (warga Dayak Kanayatn) dan warga
bas seorang Madura.
2. 1952 Lokasi ti- Konflik dipicu oleh pencurian bubu
dak jelas milik Pungjin seorang warga Dayak
Kanayatn yang dilakukan oleh Congken
seorang warga Madura, yang mengaki-
batkan konflik massal.
3. 1967 Toho Kab. Konflik dipicu oleh pembunuhan yang
Pontianak dilakukan oleh seorang warga Madura
terhadap orang tua (ayah dari) Camat
Toho, saat bekerja di sawah.
4. 1968 Anjungan Konflik dipicu oleh pembunuhan ter-
Kab. Pon- hadap Sani (Camat Sui Pinyuh, war-
tianak ga Dayak Kanayatn) oleh Sukri warga
Madura. Pembunuhan itu dilatarbe-
lakangi oleh penolakan Camat tersebut
untuk melayani pengurusan surat ket-
erangan tanah pada hari Minggu karena
camat itu ingin ke Gereja.
5. 1976 Sui Pinyuh Konflik dipicu oleh terbunuhnya seo-
Kab. Pon- rang Dayak Kanayatn, yaitu Cangkeh
tianak asal Liongkong/Sukaramai/Salatiga
yang dilakukan oleh seorang warga
Madura yang mengambil rumput di
tanah milik korban.
| 165 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 166 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
13. 28/12 Sanggau Konflik dipicu oleh tertusuknya Yakun-
1996 Ledo Ka- dus dan Akim, dua pemuda Dayak
bupaten Kanayatn di Sanggau Ledo oleh pemuda
Sambas Madura yaitu Bakri dan empat temann-
ya.
14. 15/1 Kabupaten Konflik Dayak Madura 1996 di Ka-
- 28/2 Sambas, bupaten sambas mulai mereda, tetapi
1997 Kabupaten kemudian meledak lagi setelah terjadi
Pontianak, penyerangan terhadap kompleks perse-
Kabupaten kolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan
Sanggau oleh warga Madura. Dalam peristiwa ini
dan Kota- dua perempuan Dayak Jangkang (Sang-
madia Pon- gau Kapuas) dan Dayak Menyuke (Lan-
tianak dak) luka-luka. Kemudian terbunuhnya
seorang warga Dayak Kanayatn asal
Tebas-Sambas yakni Nyangkot oleh se-
kelompok warga Madura di Peniraman.
15. Maret K abupat- Berbarengan dengan konflik Me-
1999- en Sambas layu-Madura, terjadi pembunuhan
2000 dan Kota- terhadap Martinus Amat warga Day-
madia Pon- ak Kanayatn Samalantan sehingga
tianak mengundang simpati warga (Dayak
Kanayatn) di Samalantan dan Sanggau
Ledo membalas.
| 167 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 168 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Sementara dari sudut pandang masyarakat Dayak,
konflik kekerasan masa lalu itu penyebabnya tidak jauh berbeda
dengan apa yang dikatakan para ahli ilmu sosial tersebut.
Faktanya bahwa pada masa lalu orang Dayak umumnya hidup
di alam bebas yang kaya makanan. Hutan ibarat supermarket
yang menyediakan segalanya. Mereka hidup tanpa beban, tanpa
tekanan ekonomi, tanpa tekanan politik bahkan dalam alam
budaya yang saling menghormati, menghargai dan toleran.
Namun keadaan itu tiba-tiba berubah secara drastis sejak tahun
1960-an, ketika pemerintah melalui program transmigrasi, HTI,
HPH, perkebunan, dan pertambangan mendatangkan orang
luar secara masif.
Kehidupan yang semula damai secara berangsur berubah
menjadi kecemasan terutama akan masa depan anak cucunya.
Kehidupan dirasakan tidak aman lagi karena hukum adat yang
biasa diterapkan seringkali tidak diakui dan dihormati bahkan
cenderung dilecehkan oleh orang luar.
Bersamaan itu karena tidak pandai berpolitik kehidupan
pun mulai terasa penuh dengan tekanan politik. Karena tidak
pandai berdagang mulai terasa sulit memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Meskipun postur tubuh baik dan tangkas tidak
bisa menjadi polisi atau tentara. Meskipun sekolah tinggi dan
menyandang gelar sarjana serta memiliki ketrampilan tidak bisa
bekerja di berbagai instansi pemerintah dan perusahaan.
Umumnya perusahaan yang masuk di kampung membawa
tenaga terampil dari luar, biasanya dari daerah asal para pejabat
perusahaan. Keadaan itu membuat masyarakat frustasi, stress,
kecewa, dan merasa hidup tidak berarti lagi, dan itu berlangsung
dalam waktu yang panjang atau lama.
Hingga kini pun masih banyak perusahaan dan instansi
pemerintah yang karyawan atau pegawainya berasal dari luar
tanpa menyertakan masyarakat setempat. Masyarakat setempat
menjadi penonton di kampungnya sendiri. Padahal mereka yang
| 169 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 170 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
sudah di tangan orang Dayak tetapi mereka tidak dapat berbuat
banyak untuk kepentingan orang Dayak karena sistem birokrasi
masih dikuasai orang lain. Karena itu tak heran, walaupun
kepalanya Dayak, badan, tangan, dan ekor tetap orang luar.
Lembaga-lembaga keuangan (baik negara maupun swasta)
pun dikuasai penuh oleh orang luar. Karena itu, orang Dayak sulit
untuk mengajukan kredit ke bank. Mereka sulit mendapatkan
uang dalam jumlah banyak untuk modal usaha. Bahkan Kredit
Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan pemerintahpun, orang
Dayak tak sampai 2 % yang mampu mengaksesnya.
Ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi berlapis-
berganda yang dialami masyarakat Dayak itu kiranya tidakmenjadi
alasan untuk ajang pembalasan oleh oknum pejabat Dayak yang
berkesempatan menjabat pada masa kini. Karena apabila itu
terjadi sama halnya kita menciptakan ketidakadilan, diskriminasi
dan marginalisasi baru dan itu berarti melanggengkan konflik.
| 171 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 172 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dalam waktu sangat panjang dan sudah tidak tertahankan lagi.
| 173 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 174 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dikategorikan sebagai bukan manusia, tetapi hewan atau binatang
dan sejenisnya. Karena semua binatang tidak mengenal aturan
atau hukum, maka jika mengganggu atau membahayakan
kepadanya dapat diperlakukan suatu tindakan keras.
Dalam menyelesaikan konflik kekerasan yang menimbulkan
korban nyawa atau darah digunakan adat pamabakng dan pati
nyawa. Makna adat pamabakng, pertama pelaku minta ampun
yang sedalam-dalamnya (dalam ungkapan bahasa Dayak
Kanayatn, istilahnya: nyorok mang dada mang balikakng) dan
mengakui kesalahannya dan bersedia membayar adat yang
dikenakan kepadanya berapapun menurut perhitungan hukum
adat. Kedua, persoalan pembunuhan itu pengurusannya telah
diserahkan kepada pengurus adat, artinya segala persoalan
yang timbul selanjutnya setelah adat pamabakng ini dipenuhi
bukan lagi semata-mata tanggungjawab pribadi pelaku dan ahli
warisnya tetapi sudah menjadi tanggungjawab kolektif warga
masyarakat dimana pelaku tinggal. Ketiga, bila adat pamabakng
tidak dilakukan oleh pelaku atau ahli warisnya maka dapat
ditafsirkan bahwa mereka menantang ahli waris korban, artinya
mereka siap untuk berkonflik. Keempat, bila tidak dilakukan adat
pamabakng, dapat diartikan juga bahwa para pengurus adat di
daerah itu dianggap mengadu domba kedua belah pihak, artinya
mereka mempersilahkan kedua belah pihak yang berkonflik
untuk terus berkonflik.
Pemasangan adat pamabakng itu tiada lain untuk
menghindari terjadinya aksi pembalasan dari pihak ahli waris
korban. Dalam hal yang demikian maka adat pamabakng dapat
berfungsi sebagai pranata pencegah terjadinya konflik kekerasan
berkelanjutan.
Pemasangan adat pamabakng itu harus segera diikuti
dengan pelaksanaan adat pati nyawa. Selambat-lambatnya satu
kali dua puluh empat jam tuntutan adat sudah harus terpenuhi,
tetapi apabila belum dapat dipenuhi karena satu dan lain hal
| 175 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 176 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
utama.
Makna hukum adat pati nyawa, pertama dengan dipenuhinya
adat berarti pelaku telah mengganti nyawa atau darah korban
kepada ahli warisnya. Penggantian nyawa atau darah itu dengan
sejumlah peraga adat. Peraga adat itu merupakan wujud pengganti
dari kehidupan korban. Apabila peraga adatnya, barangnya
sudah sulit dicari atau sudah tidak ada lagi di pasaran maka
peraga adat itu dapat digantikan dengan petahilan, yakni suatu
barang atau harga yang dikenakan pada peraga adat itu sesuai
dengan harga barang peraga adat itu yang berlaku di pasaran
pada waktu itu.
Kedua, setelah dipenuhinya adat itu maka semua masalah atau
konflik dianggap selesai. Pelaku dan ahli warisnya tidak berhutang
nyawa atau darah lagi kepada ahli waris korban. Karena itu ahli
waris korban tidak boleh lagi menuntut apapun kepada pelaku
dan ahli warisnya. Dengan cara ini persoalan dinyatakan selesai.
Ketiga, jika pelaku atau ahli warisnya tidak memenuhi
adat pati nyawa itu, maka mereka dianggap tidak beradat
dan menantang ahli waris korban. Walaupun mereka telah
memasang adat pamabakng (sebagai simbol permintaan ampun
dan kesediaan memenuhi hukuman adat) tetapi kalau tidak
memenuhi hukum adat pati nyawa yang dituntutkan kepadanya
maka mereka tergolong ke dalam orang yang tidak beradat.
Dalam kondisi seperti ini pembalasan dari ahli waris korban
tidak dapat dihindarkan.
Pelanggaran terhadap ketentuan adat dalam masyarakat
Dayak Kanayatn akan berdampak tragis bagi pelanggarnya.
Sebagai contoh, apabila adat pamabakng sudah dipasang lalu
ahli waris korban tetap melakukan penyerangan atau pembalasan
maka akan dikenakan adat ririkng, artinya hukuman adat yang
semestinya ditanggung pelaku menjadi batal, selanjutnya
hukuman adat itu harus dibayar oleh ahli waris korban yang
melakukan penyerangan atau pembalasan itu. Kemudian, pihak
| 177 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Penutup
Untuk menciptakan Kalimantan Barat yang damai maka
semua akar penyebab konflik harus diatasi secara tuntas. Hal itu
berarti semua bentuk ketidakadilan, penindasan, diskriminasi,
marginalisasi, kemiskinan, kebodohan, kemelaratan, dan semua
bentuk kesewenangan harus dihapuskan.
Keadilan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi,
lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar, pembagian
kekuasaan atau politik, tidak juga dengan memberikan otonomi
yang hanya ditafsirkan sebagai pelimpahan penguasaan atas
sumber daya ekonomi. Keadilan yang sesungguhnya menyangkut
masalah ekstensial dan eksistensi harkat dan martabat manusia.
Kemudian peranan hukum adat yang menjadi media
penyelesaian setiap konflik atau permasalahan secara damai dan
tanpa kekerasan dalam masyarakat adat, perlu diapresiasi dan
diberdayakan untuk melengkapi, mendukung dan memperkuat
hukum negara. Meskipun hukum adat tidak berlaku secara
nasional sebab hakekat hukum adat adalah aturan yang berlaku
secara lokal tetapi fungsi dan perannya sebagai pelindung dan
pengayom rasa keadilan komunitas harus didukung oleh negara.
| 178 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Demikian pula perlu ditumbuhkan sikap saling percaya
(mutual trust), rasa kebersamaan dan kemampuan bekerjasama
seluruh anggota masyarakat. Kemampuan saling percaya,
kebersamaan dan bekerjasama itu akan menjadi modal sosial
yang penting dalam membangun kedamaian Kalimantan Barat
ke depan. Modal sosial sebagai perekat, pemersatu dan pencipta
kedamaian hanya akan tercipta jika ada kepemimpinan yang
legitimate, kuat, tegas dan efektif di semua lini, aras dan jenjang
kepemimpinan. Untuk itu Pilkada Kalimantan Barat sebagai
ajang demokrasi di daerah ini kiranya dapat menjadi ruang dan
pintu masuk merealisasikan harapan-harapan tersebut.
| 179 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, Ibrahim Syarif. 1996. Kelompok-Kelompok Etnis di
Kalimantan Barat: Karakteristik Budaya dan Interaksi Sosial.
Laporan Penelitian. Pontianak: Untan.
------------------------------. 1999. Konflik Etnis di Ambon dan
Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis. Indonesian Journal of
Social and Cultural Anthropology. TH XXXIII No.58.
Jakarta: FISIP UI.
Azar, E. 2000. Protracted Social Conflict. dalam Miall, Hugh;
Woodhouse. Tom and Oliver Ramsbotham. 2000. Resolusi
Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa.
Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat
Pamabakng dan Pati Nyawa: Studi Etnografik Resolusi Konflik
Dayak-Madura di Kalimantan Barat, Bandung, Universitas
Padjadjaran.
---------------------. 2009. Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial
Lokal: Studi Kasus Pada Masyarakat Multikultural di
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, Pontianak, Laporan
Penelitian.
| 180 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Camara, Dom Helder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta. Insist
dan Pustaka Pelajar.
Collins, James.T. 2003. Komentar Luar Tentang Kerusuhan Tidak
Memuaskan : Karena Kekurangan Sumber Informasi Ilmiah.
Harian Equator. Pontianak: Terbitan Sabtu. 15 Maret
2003.
Galtung, Johan. 2002. Kekerasan Kultural. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. Yogyakarta: Insist Press.
Giring. 2004. Madura di Mata Dayak. Dari Konflik Ke Rekonsiliasi.
Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, Jakarta, UI Press.
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat. Jakarta. Percetakan Bumiseru.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta. LkiS.
Merthaman, I.P. Eka. 2002. Peranan Pemerintah Daerah Dalam
Penyelesaian Konflik Sosial Antara Masyarakat Pendatang
Dengan Masyarakat Lokal. Bandung. PPS Unpad.
Petebang, Edi dan Eri. Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
------------------------. Multikulturalisme Dayak, http//www.
gauldong.org.
Purwana, Bambang Hendarta Suta. 2003. Konflik Antarkomunitas
Etnis di Sambas 1999. Suatu Tinjauan Sosial Budaya.
Pontianak. Romeo Grafika.
Robert B. Baowollo. 2009. Model-Model Resolusi Konflik Berbasis
Karakter Lokalitas, Syarikat Indonesia di Pendopo Syarikat
Indonesia, Yogyakarta.
| 181 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 182 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB X
KOMPETENSI SOSIAL DAN PENDIDIKAN
MEDIASI RESOLUSI-KONFLIK
Pendahuluan
S
eiring perjalanan waktu, realitas menunjukkan bahwa
pengaruh IQ untuk menentukan keberhasilan
seseorang mulai luntur. IQ menjadi kehilangan
taringnya. Ada banyak bukti di lapangan yang memperlihatkan
anak yang dites IQ dengan hasil nilai tinggi sehingga dianggap
sebagai anak yang jenius, ternyata gagal dalam studi. Bukan
hanya itu, anak yang memiliki IQ tinggi ternyata dalam menapaki
kehidupan sama sekali tidak berhasil. Kenyataan berbeda
terjadi, anak yang memiliki IQ rata-rata, lancar dalam studi dan
pada tahapan kehidupan selanjutnya dapat meraih sukses (Hadi,
2007: 95).
Krisis multidimensi dan berbagai konflik yang terjadi silih
berganti seakan tiada henti di negeri ini memberikan kesadaran
dan menunjukkan kepada kita bahwa sebagian masyarakat
telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang unggul, seperti
toleransi, kemampuan berempati, semangat dan kemampuan
menolong, musyawarah dan mufakat serta kemampuan bekerja
| 183 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 184 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Kompetensi Sosial
Istilah kompetensi sosial sama artinya dengan social
intelligence atau kecerdasan sosial (Gardner, 2003). Sebenarnya
istilah itu sudah diperkenalkan oleh Thorndike (1920), yang
menyatakan bahwa kecerdasan sosial adalah kemampuan
seseorang untuk memahami, mengelola dan beradaptasi saat
berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan pengertian yang
dikemukakan Thorndike itu, Khilstrom dan Cantor (2000),
mendefinisikankembalikecerdasansosialsebagai suatusimpanan
pengetahuan mengenai dunia sosial, menjalin hubungan dengan
orang lain, dan kemampuan dalam menghadapi orang-orang
yang berbeda latar belakang dengan cara bijaksana. Kemudian
Moss dan Hunt (dalam Hadi, 2007), mendefinisikan kecerdasan
sosial itu sebagai kemampuan dalam menjalin hubungan dengan
orang lain secara terus menerus. Sementara Vernon (1971)
menyatakan bahwa kecerdasan sosial sebagai kemampuan
pribadi yang relatif menetap pada diri seseorang untuk menjalin
hubungan dengan orang lain.
Pakar psikologi pendidikan Gardner (2003) menyebut
kompetensi sosial atau social intellegence atau kecerdasan sosial
itu sebagai salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa,
musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil
diidentifikasinya. Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang.
Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol,
sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi,
beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika
seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu.
Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Gardner itu ialah
bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan
kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan
kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah
| 185 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 186 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan
bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.
Mengapa orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi dapat
meraih sukses dalam kehidupannya?
Pertama, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi
akan luwes menempatkan diri dalam situasi apa pun dan
dimana pun dia berada. Menurut Yany (2002), orang yang
memiliki kecerdasan sosial tinggi paham bagaimana harus
bersikap dan berperilaku pada posisinya. Orang yang demikian
itu mampu memahami siapakah dirinya, di mana tempatnya,
harmonis dalam berinterakasi dengan orang lain, dan selaras
dengan lingkungannya. Pendapat ini diperkuat oleh Warehan
dan Carnegie (2005) yang menyatakan bahwa kecerdasan
sosial memberikan sumbangan yang besar untuk mendukung
kesuksesan seseorang, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek
yang menentukan seseorang mencapai keberhasilan.
Kedua, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi peka
dan kritis terhadap realitas sosial di sekitarnya. Mereka akan
memberikan konstribusi terbaik dari kemampuan dirinya untuk
disumbangkan, dan menghindari situasi yang dapat menyeret
ke arah yang merugikan masyarakat. Dengan kata lain, mereka
memiliki kemampuan untuk menyuburkan orang yang gersang
moralitas dan tandus spritualitasnya. Mereka dengan sepenuh
hati membangun suatu kondisi agar orang-orang di sekitarnya
tidak terjebak ke dalam ruang yang menipiskan kualitas hidup
mereka sendri. Mereka peduli terhadap nasib orang lain,
dengan memberikan penyadaran kepada mereka yang terlanjur
menjalani hidup dengan cara yang salah.
Ketiga, orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi selalu
mendengarkan dan menggunakan suara hati (hati nurani) untuk
bertindak sehingga terhindar dari perbuatan buruk. Keempat,
orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi bertindak sportif,
adl dan bijaksana, sehingga tidak mudah terprovokasi dan
| 187 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 188 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
Metode ini juga bisa mengimbangi daya pikat yang ditawarkan
oleh hiburan-hiburan yang artifisial yang sering muncul di layar
kaca di rumah kita.
Kemasan pengembangan kompetensi sosial untuk guru,
calon guru (mahasiswa keguruan), dan siswa tentu berbeda.
Kemasan itu harus memerhatikan karakteristik masing-masing,
baik yang berkaitan dengan aspek psikologis ketiga kelompok
itu maupun sistem yang mendukungnya.
Model pelatihan yang bersifat edutaiment cocok untuk
para guru dan dosen. Karena jumlah guru dan dosen itu sangat
banyak, dapat digunakan pelatihan berjenjang deret ukur
TOT (training of trainer). Pelatihan TOT untuk guru dapat
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelatihan guru seperti PPG.
Pelatihan untuk dosen dapat dilaksanakan oleh LPTK, yaitu
universitas jelmaan atau koversi IKIP. Semua perlu persiapan
yang matang karena kerja ini menuntut persyaratan keunggulan
kualitas, ketepatan, dan kecepatan. Hal yang disebut terakhir ini
perlu mendapat perhatian khusus karena UU Guru dan Dosen
mengamanatkan proses sertifikasi kompetensi ini harus selesai
dalam sepuluh tahun sejak UU itu disahkan.
Untuk para mahasiswa, khususnya calon guru, dapat
dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar, seperti ”ilmu sosial
budaya dasar” yang sejajar dengan mata kuliah dan ”ilmu
sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya
ilmu sosial budaya dasar berorientasi kepada penyampaian
pengetahuan, dalam paradigma baru ini perlu ditambah dan
ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan
sosial.
Untuk para siswa, baik dari tingkat dasar sampai tingkat
menengah, karena alasan beban mata pelajaran mereka sudah
sangat berat, pengembangan kompetensi sosial dapat dipadukan
dengan pelajaran-pelajaran lain, khususnya mata pelajaran
Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPKn.
| 189 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 190 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
kapan pun dan cenderung berfungsi ganda yakni konstruktif
dan destruktif. Agar tidak destruktif maka konflik perlu dikelola
dengan sebaik-baiknya. Untuk itu setiap orang perlu memiliki
ketrampilan atau keahlian dalam menanganinya.
Kedua, penanganan konflik akan efektif apabila kita
memiliki ketrampilan dan memahami faktor-faktor atau sumber
yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut. Biasanya konflik
timbul dari salah satu atau kumulatif beberapa persoalan berikut
ini: 1) informasi, 2) sumber daya, 3) relasi, 4) kepentingan atau
kebutuhan, 5) struktur kemasyarakatan atau keorganisasian, dan
6) nilai-nilai hidup (Kraybill et al, 2002).
Ketiga, pendekatan atau cara menanggapi konflik bisa
berbeda bagi tiap orang atau tiap masyarakat namun setidaknya
ada tiga pola yang biasa dilakukan yakni diam (menghindar),
melawan (menanggapi konflik dengan kekerasan) dan
menghadapi konflik melalui perundingan (bernegosiasi).
Biasanya pilihan cara yang diambil sangat dipengaruhi oleh 1)
pengalaman relasi pada masa kecil dengan adik-kakak kandung
dan teman-teman sejawat, 2) contoh menanggapi konflik dari
orang tua, guru dan berbagai tokoh, 3) aneka citra dan sikap dari
media publik, 4) aneka faktor sosial seperti kelangkaan sumber
daya yang serius dan kemiskinan dsb.
Negosiasi merupakan pilihan dari dua kutub ekstrim
menghindar dan melawan. Negosiasi merupakan pilihan
menanggapi dengan cara yang lebih rasional. Pilihan ini bisa
dimulai dengan mendiskusikan persoalan-persoalan yang
terkait. Kemudian melanjutkan dengan menegosiasikan tentang
salah satu atau lebih persoalan yang lebih spesifik. Bila mereka
merasa tidak mampu mencapai kata sepakat mereka bisa
meminta pertolongan kepada pihak ketiga. Mula-mula pihak
ketiga ini bisa berperan sebagai konsiliator yang tugasnya
sekadar meredakan sikap saling memusuhi. Bila pihak-pihak
yang bertikai merasa membutuhkan bantuan lebih lanjut mereka
| 191 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
Arbitrasi
Kekerasan
Pengambilan Keputusan oleh Pengajuan Perkara ke
Pribadi atau Masyarakat Pengadilan
(Kesempatan untuk
meningkatkan Relasi Legislasi
| 192 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang didampinginya,
4) tidak bertanggungjawab bila proses mediasi gagal (dengan
asumsi bahwa mereka telah melaksanakan tugas mediasi tersebut
dengan baik dan benar), 5) tidak boleh merasa berjasa bila
proses mediasi berhasil (sekalipun mereka telah melaksanakan
tugas mediasi tersebut dengan sangat baik).
Langkah-langkah mediasi melalui empat tahapan yaitu:
| 193 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
bersama.
| 194 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
apa, kapan, dimana, bagaimana.
□ Berusaha realistis, jelas dan sederhana.
□ Mengusahakan agar kedua belah pihak memikul
tanggungjawab yang seimbang.
□ Memastikan bahwa kesepakatan yang dicapai bersifat adil
serta melindungi martabat masing-masing pihak.
□ Membuat kesepakatan tentang cara-cara menangani aneka
persoalan lebih lanjut yang mungkin muncul.
□ Meminta kedua belah pihak menyatakan kesediaan mereka
untuk mematuhi kesepakatan.
□ Merumuskan kesepakatan secara tertulis dan meminta kedua
belah pihak membubuhkan tanda tangan di bawahnya.
Penutup
Kecerdasan sosial diperlukan bukan sekadar mendorong
kesuksesan seseorang tetapi juga untuk mengatasi masalah-
masalah sosial yang banyak terjadi di masyarakat dewasa ini.
Pengembangan kecerdasan sosial hanya efektif melalui jalur
pendidikan, karena itu dosen dan guru wajib memilikinya
supaya dapat menularkannya kepada para mahasiswa, siswa dan
masyarakat luas.
UU Guru dan Dosen yang mewajibkan para dosen dan guru
memiliki kompetensi sosial perlu disikapi dan ditindaklanjuti
dengan membekali para dosen dan guru dengan ketrampilan-
| 195 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 196 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Chang.W. 2006. Mengembangkan Kecerdasan Sosial. Kompas
8 Agustus, 2006.
Goleman. D. 1996. Emotional Inteligence. Kecerdasan Emosi,
Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Gardner.H. 2003. Multiple Intelligence. Kecerdasan Majemuk
Teori dalam Praktek. Batam, Interaksara.
Khilstrom F.J. and Cantor. N. 2000. Social Intelligence. Socrates
Barkeley.Edu. July 2000.
Kraybill.S.Ronald, Evans F.Alice, Evans A.Robert. 2002.
Peace Skills: Panduan Mediator, Terampil Membangun
Perdamaian, Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Martani W. Dan Adiyanti M.G. 1991. Kompetensi Sosial dan
Kepercayaan Diri Remaja, Jurnal Psikologi I, 17-20.
Moss K dan Hunt C. Dalam Suyono.Hadi 2007. Social
Intelligence: Cerdas Meraih Sukses Bersama Orang Lain
dan Lingkungan. Yogyakarta. Ar Ruzz Media.
Sinamo H.J. 2005. Sukses dan Kecerdasan, Pembelajar. Com, 8
Agustus 2006.
| 197 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 198 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
BAB XI
PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN
PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL
Pendahuluan
S
etelah satu dasawarsa lebih menjalani reformasi,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
kita masih mengalami dan menghadapi tantangan
berat. Berbagai masalah silih berganti tiada henti melanda dan
menerpa negeri ini. Belum selesai masalah yang satu sudah
muncul masalah yang lain. Mulai dari masalah bencana alam,
masalah sosial, masalah ekonomi, masalah hukum, masalah
politik, bahkan masalah ideologi.
Saking beratnya masalah yang kita hadapi itu, Pranowo
(2006) dalam tulisannya tentang Revitalisasi Pancasila
menggambarkannya seperti orang yang sedang mengalami sakit
parah, terbaring di ICCU, sekarat dan sedang menunggu ajal.
Belum hilang sepenuhnya dalam ingatan kita, bagaimana
krisis multi dimensi tahun 1998 telah memorakmorandakan
berbagai sendi kehidupan negeri ini. Belakangan ini kita
dihadapkan pula dengan berbagai krisis baru yang tidak kalah
masifnya. Mulai dari kasus Bank Century 2008, Gayus Tambunan,
| 199 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 200 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
dengan cara kekerasan. Akibatnya kekerasan menjadi kebiasaan
dan membudaya. Ironinya negara yang semestinya berfungsi
mengayomi dan melindungi warganya ternyata melalui
aparatnya pun sering melakukan kekerasan. Banyak aparat
melakukan ketidakadilan, penindasan, pemaksaan, penggusuran
dan perampasan hak-hak rakyat.
Dalam bidang hukum kita menyaksikan semakin
memudarnya kearifan pelaksanaan hukum di tengah masyarakat.
Hukum semakin mudah diputarbalikkan dan diperjualbelikan
oleh para aparat pelaksananya. Akibatnya terjadi ketidakpastian
hukum dan runtuhnya keadilan hukum, sehingga orang yang
benar bisa menjadi salah, sebaliknya yang salah menjadi benar.
Penyelesaian perkara yang selalu harus menggunakan
hukum nasional (hukum positif) dan melalui jalur peradilan
(litigasi), padahal hukum nasional (hukum positif) dan peradilan
(litigasi) tidak selamanya mampu menyelesaikan perkara secara
adil dan damai, bahkan justeru sebaliknya.
Seperti dikatakan Harron (2002) masyarakat sudah jemu
mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan).
Mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissatisfied with the
judicial system), karena cara penyelesaian konflik yang melekat
pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a
system), cenderung membuang-buang waktu (a waste of time),
biayanya sangat mahal (very expensive), mempermasalahkan
masa lalu bukan menyelesaikan masa depan, membuat orang
bermusuhan dan melumpuhkan para pihak yang bertikai.
Proses pengadilan cenderung bersifat “adversarial” atau
berlangsung atas dasar saling permusuhan antara para pihak dan
selalu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan
salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan pihak lain
sebagai pihak yang kalah (a loser).
Dampak penyelesaian perkara yang selalu menggunakan
hukum nasional (hukum positif) melalui badan peradilan (litigasi)
| 201 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 202 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
berlarut-larut atau protracted social conflict (Azhar, 2000).
Terhadap berbagai kenyataan itu, pertanyaannya bagaimana
kita dapat memperbaikinya. Apa yang harus dilakukan agar
peradaban bangsa yang telah memudar itu dapat pulih kembali?
| 203 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 204 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial
dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya
sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya,
tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
kelompok sebagai suatu kesatuan.
Lebih lanjut Lesser (2000), menyatakan modal sosial
ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan
kemudahan dalam mengakses informasi bagi angota
komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian
kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas;
(4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5)
memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk
perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap
individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan
kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan
sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa
kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab
akan kemajuan bersama.
| 205 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 206 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
pengetahuan, teknologi dan informasi atau kebudayaan (rasa,
karsa, cipta manusia) yang tampak dalam penguasaan kebudayaan
materi yang tinggi memang diperlukan tetapi apabila aspek
kemanusiaan diabaikan bahkan dilecehkan oleh kebudayaan
tersebut sehingga kemanusiaan tidak mendapatkan tempat yang
terhormat maka sesungguhnya pembangunan bangsa itu dan
masa depannya sedang mengalami masalah.
Masa depan suatu bangsa memang tidak hanya ditakar
pada capaian puncak-puncak kebudayaan material akan tetapi
dan bahkan yang terutama adalah pada sejauhmana nilai-nilai
kemanusiaan telah mendapatkan perhatian terbaik pada tataran
individu, komunitas dan sosietas.
Melalui pendidikan kita dapat membangun masa depan
bangsa yang unggul, yang menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi, informasi, menghargai dan menghormati nilai
kemanusiaan, beretos kerja, bersolidaritas, berjati diri dan
karakter bangsa yang tinggi.
Dalam konteks seperti itulah pendidikan sosiologi sebagai
bagian dari pendidikan dan sosiologi dapat memainkan perannya
dalam mengembangkan modal sosial sebagai salah satu modal
yang sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa.
Penutup
Krisis berkepanjangan yang terjadi dalam masyarakat,
bangsa dan negara ini salah satu indikasinya dikarenakan oleh
memudarnya kearifan sosial, kecerdasan sosial, kompetensi
sosial dan modal sosial dalam masyarakat. Krisis tersebut akan
dapat dihentikan apabila dalam masyarakat tumbuh kearifan,
kecerdasan, kompetensi dan modal sosial yang tangguh.
Modal sosial sebagai salah satu modal pembangunan
dapat dikembangkan melalui jalur pendidikan secara umum
dan pendidikan sosiologi khususnya. Hal ini karena salah satu
tujuan dalam pendidikan dan utamanya dalam pendidikan
| 207 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 208 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Azar. E. 2000. Protracted Social Conflict. dalam Miall, Hugh;
Woodhouse. Tom and Oliver Ramsbotham. 2000.
Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Bahari. Yohanes. 2010. Pengendalian Sosial Berbasis Modal
Sosial Lokal Pada Masyarakat Multikultural di Kalimantan
Barat, Pontianak, Laporan Penelitian.
Bahari. Yohanes. 2009. Urgensi dan Signifikansi Kompetensi
Sosial dan Pendidikan Multikultural, Sintang, Makalah
diseminarkan, Prodi Pendidikan Sosiologi dan Pusat
Penelitian Resolusi Konflik dan Perdamaian Untan.
Bowles, Samuel. 1999. Social Capital and Community
Governance. Focus: Newsletter of the Institue for
Research on Poverty 20(3):6-10.
Coleman, James. 2009. Social Capital in the Creation of
Human Capital. American Journal of Sociology 94
(supplement):S95-S120.
Dasgupta, Partha. and Ismail Serageldin, eds., 2000. Social
| 209 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 211 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 212 |
SERPIHAN-SERPIHAN PEMIKIRAN
P
rof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si, lahir di Jahingan
Pahauman Kabupaten Landak Kalimantan Barat
pada tanggal 3 November 1958. Menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar tahun 1971 dan Sekolah Menengah
Pertama tahun 1974 masing-masing di Sekolah Katolik
Pahauman, kemudian melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) Katolik di Nyarumkop tamat tahun 1977. Mengikuti
pendidikan jenjang sarjana (S1) di FKIP Untan Pontianak
tamat tahun 1984, jenjang magister (S2) bidang ilmu sosiologi
pada Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia Jakarta tamat
tahun 1994 dan jenjang doktor (S3) bidang ilmu sosiologi pada
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tamat tahun
2005.
Sejak tahun 1986 menjadi dosen tetap pada Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura
Pontianak. Kemudian sejak tahun 2009 diangkat menjadi guru
besar bidang ilmu sosiologi pada FKIP Untan. Selain sebagai
tenaga dosen pada jenjang S1 di berbagai perguruan tinggi, juga
pernah aktif sebagai tenaga pengajar di jenjang S2 pada magister
ilmu sosial FISIP Untan, magister ilmu Teknologi Pendidikan
FKIP Untan, magister ilmu Pendidikan Ekonomi Untan,
| 213 |
KONFLIK, KEKERASAN DAN PERDAMAIAN
| 214 |