Anda di halaman 1dari 41

PERSOALAN KENOTARIATAN

KONTEMPORER :
1. AKTA PENEGASAN UNTUK PERBUATAN/
TINDAKKAN HUKUM TERTENTU.

2. KEPUTUSAN SIRKULER RUPS PERSEROAN TERBATAS


APAKAH NOTARIS BERKEWAJIBAN UNTUK MEMERIKSA TATA
CARA RUPS YANG TERSEBUT DALAM
KEPUTUSAN SIRKULER RUPS ?

3. PENDIRIAN PT/CV OLEH SUAMI-ISTERI :


BOLEHKAH SUAMI-ISTERI MENDIRIKAN CV/PT ?

4. KEWENANGAN BERTINDAK DARI ORGAN-ORGAN DALAM


SUBJEK HUKUM/BADAN HUKUM PERDATA - SETIAP ORGAN
DALAM BADAN HUKUM PERDATA SELALU MEMPUNYAI BATAS
WAKTU MENJALANKAN KEWENANGAN DAN TINDAKKAN HUKUM
BERDASARKAN KEWENANGAN YANG DIMILIKINYA

5. PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT)


DENGAN MODAL DASAR DARI ASET/MODAL CV. PENDIRIAN PT
DENGAN MODAL DASAR BERASAL DARI CV,

6. JANGKA WAKTU JABATAN DIREKSI


DAN DEWAN KOMISARIS

7. PENDIRI ATAU PEMEGANG SAHAM PT (PERSEROAN TERBATAS)


ANAK DIBAWAH UMUR BELUM 18 TAHUN.

8. PERSETUJUAN KAWAN-KAWIN DALAM JUAL BELI/HIBAH SAHAM


PERSEROAN TERBATAS TENTANG PERSETUJUAN SUAMI/ISTERI
DALAM JUAL BELI/HIBAH SAHAM PERSEROAN TERBATAS.

9. PERJANJIAN (AKTA) PINJAM NAMA/TOPENGAN/NOMINEE -


PERJANJIAN PINJAM NAMA DALAM KEPEMILIKAN TANAH/

1
BANGUNAN DAN SAHAM PERSEROAN,

10. KETERANGAN WARIS


PEMBUKTIAN SIAPA SEBAGAI AHLI WARIS DARI SIAPA (SAAT INI
MASIH BERDASARKAN ETNIS/WARGA NEGARA INDONESIA).

11. HAK/BAGIAN AHLI WARIS YANG BERBEDA AGAMA


(DALAM HUKUM WARIS ISLAM)
BAGAIMANAKAH SIKAP NOTARIS/PPAT KETIKA DIMINTA
MEMBUAT AKTA PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG TERNYARA
DIANTARA PARA AHLI WARIS BERBEDA AGAMA (DALAM HUKUM
WARIS ISLAM)

12. KAPAN PERJANJIAN KAWIN (PRENUPTIAL AGREEMENT)


HARUS DIBUAT ?

HABIB ADJIE
Habib Adjie
(Notaris –PPAT – PL Kls II Kota Surabaya)
Jalan Tidar No. 244 Surabaya – 60251
Telp. 031 – 5483881, Fax. 031 – 5469853.
08121652894
WA : 08113531374
email : adjieku61@gmail.com
WebBlog : habibadjie.dosen.narotama.ac.id
Indonesia Notary Community (INC)
www. indonesianotarycommunity.com

1. AKTA PENEGASAN UNTUK PERBUATAN/


TINDAKKAN HUKUM TERTENTU

 Dalam implementasi beberapa ketentuan dalam undang-undang atau per-


aturan perundang-undangan ada tindakkan atau perbuatan hukum setelah
akta Notaris dibuat harus dilaporkan atau diberitahukan kepada instansi yang
bersangkutan ataupun untuk memperoleh pengesahan atau pendaftaran. Kar-
ena dengan alasan tertentu jika hal tersebut menjadi kewajiban Notaris,

2
ternyata lupa untuk melaporkan atau memberitahukan atau mendaftarkannya,
adakah cara untuk mengatasi hal tersebut ?
 Didalam beberapa undang-undang/peraturan perundang-undangan, ada be-
berapa perbuatan atau tindakkan hukum yang tersebut/tercantum dalam akta
tersebut setelah melewati jangka waktu tertentu, maka perbuatan atau
tindakkan hukum tersebut tidak dapat ditindak lanjuti, antara lain :
 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TEN-
TANG PERSEROAN TERBATAS
Pasal 10 :
(1) Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling
lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian dit-
andatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.
(2) Ketentuan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas per-
mohonan yang bersangkutan secara elektronik.
(4) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, Menteri langsung memberitahukan penolakan beserta
alasannya kepada pemohon secara elektronik.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik
surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung.
(6) Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) te-
lah dipenuhi secara lengkap, paling lambat 14 (empat belas) hari, Men-
teri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum
Perseroan yang ditandatangani secara elektronik.
(7) Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Men-
teri langsung memberitahukan hal tersebut kepada pemohon secara
elektronik, dan pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menjadi gugur.
(8) Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon seba-
gaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan kembali permo-
honan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1).
(9) DALAM HAL PERMOHONAN UNTUK MEMPEROLEH KEPU-
TUSAN MENTERI TIDAK DIAJUKAN DALAM JANGKA WAKTU SE-
BAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1), AKTA PENDIRIAN MEN-
JADI BATAL SEJAK LEWATNYA JANGKA WAKTU TERSEBUT
3
DAN PERSEROAN YANG BELUM MEMPEROLEH STATUS BADAN
HUKUM BUBAR KARENA HUKUM DAN PEMBERESANNYA DILAK-
UKAN OLEH PENDIRI.
(10) Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi permohonan pengajuan kembali.
Pasal 11 :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan permohonan untuk memperoleh
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) bagi
daerah tertentu yang belum mempunyai atau tidak dapat digunakan jaringan
elektronik diatur dengan Peraturan Menteri.
 Ketentuan Pasal 10 ayat (9) tersebut, maka akta pendirian PT terhitung dalam
jangka waktu 60 hari terhitung tanggak akta wajib diajukan kepada Menteri (se-
cara elektronik) untuk memperoleh pengesahan sebagai badan hukum, jika tidak
dilakukan dalam jangka waktu tersebut, maka akta pendirian jadi batal dan
perseroan tersebut bubar demi hukum dan dilakuan pemberesan oleh para
pendirinya.
 Ketentuan Pasal 10 ayat (9) ini bersifat memaksa, karena perintah undang-un-
dang sendiri yang membubarkan atau melikuidasinya.
 Didalam beberapa undang-undang/peraturan perundang-undangan, ada be-
berapa perbuatan atau tindakkan hukum yang tersebut/tercantum dalam akta
tersebut setelah melewati jangka waktu tertentu, maka perbuatan atau
tindakkan hukum tersebut tidak ditentukan akibat hukumnya (misalnya : ak-
tanya batal demi hukum), antara lain :
1. Pasal 21 ayat (4) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40
TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS :
 PERUBAHAN ANGGARAN DASAR (“AD”) dilakukan, perubahan terse-
but harus dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indone-
sia (Pasal 21 ayat [4] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas –
“UUPT”). Jika perubahan AD tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang
dibuat notaris, perubahan AD tersebut harus dinyatakan dalam akta notaris pal-
ing lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) (Pasal 21 ayat [5] UUPT).
 Perubahan Anggaran Dasar PT termasuk klasifikasi yang HARUS Menda-
pat PERSETUJUAN Menteri. Sedangkan diluar Perubahan Anggaran Dasar,
teremasuk klasifikasi yang harus DIBERITAHUKAN kepada Menteri.
 Bahwa baik Persetujuan ataupun Pemberitahuan mempunyai tenggang
waktu yang sama, yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal akta Notaris yang
bersangkutan.
 Perubahan Anggaran Dasar (Pasal 15 ayat (1) UUPT, AD memuat sekurang-
kurangnya:
a)    nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b)    maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c)    jangka waktu berdirinya Perseroan;
d)    besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e)    jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk
tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal
4
setiap saham;
f)     nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g)    penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h)    tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan
Dewan Komisaris;
i)     tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
 Pasal 21 ayat (9) UUPT menentukan, jika batas waktu 30 (tiga puluh) hari dile-
wati, maka permohonan persetujuan perubahan AD, juga pemberitahuan di luar
perubahan AD, tidak dapat disampaikan lagi kepada Menteri.
2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TEN-
TANG YAYASAN
Pasal 21 :
(1) Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan
harus mendapat persetujuan Menteri.
(2) Perubahan Anggaran Dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada
Menteri.
Pasal 22 :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 secara mutatis
mutandis berlaku juga bagi permohonan perubahan Anggaran Dasar, pemberian
persetujuan, dan penolakan atas perubahan Anggaran Dasar.
3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TEN-
TANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN.
Pasal 11 :
(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan
dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui No-
taris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut.
(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan
permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
Yayasan ditandatangani.
(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana di-
maksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi
terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tang-
gal permohonan diterima secara lengkap.
(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menyampaikan
jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima.

5
(6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang be-
sarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
4. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN
2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BI-
AYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA
Pasal 3
Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 memuat:
a. identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;
b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris
yang membuat akta Jaminan Fidusia;
c. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
d. uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
e. nilai penjaminan; dan
f. nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Pasal 4
Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pembuatan akta Jaminan Fidusia.
 Jika ada keterlambatan atau lupa untuk mengajukan permohonan pengesahan,
pendaftaran, pelaporan atau pemberitahuan (sepanjang tidak ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan seperti tersebut dalam Pasal 10
ayat (9) di atas), atau akibat hukumnya tidak dicantumkan dalam pasal-pasal yang
bersangkutan, maka hal tersebut dapat dibuat AKTA PENEGASAN.
 Bahwa yang dimaksud dengan Akta Penegasan tersebut, bukan (keberadaan) ak-
tanya yang ditegaskan, tapi perbuatan/tindakkan para penghadap yang tersebut/ter-
cantum dalam akta tersebut ditegaskan kembali oleh para penghadap. Dan yang
menegaskan bukan Notaris, tapi para penghadap sendiri di hadapan Notaris.
 Dalam membuat akta Penegasan tersebut harus diperhatikan :
 Bahwa antara sejak tanggal akta dibuat sampai dibuat akta penegasan,
jika terjadi tindakkan hukum yang merugikan atau menguntungkan para
penghadap (atau pihak lain) menjadi tanggungjawab penghadap sepen-
uhnya.
 Dalam Premisse tidak menyebutkan alasan dibuatnya akta Penegasan
tersebut, kecuali para penghadap sendiri yang meminta/ mengin-
ginkannya.
 Dalam Premisse tidak perlu diuraikan alasan keterlambatan tersebut, jika
keterlambatan tersebut karena kelalaian Notaris sendiri, dan jika bisa
dibuktikan maka Notaris dapat dituntut ganti rugi oleh para penghadap.
 Jika ingin masuk ke system (secara on line), maka nomor dan tanggal/bulan/tahun
akta penegasan tersebut yang didafftarkan.

2. KEPUTUSAN SIRKULER RUPS PERSEROAN TERBATAS


APAKAH NOTARIS BERKEWAJIBAN UNTUK MEMERIKSA TATA
CARA RUPS YANG TERSEBUT DALAM KEPUTUSAN SIRKULER
6
RUPS ?

 Bahwa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas (PT) diseleng-
garkan secara fisik (konvensional), yaitu dihadiri melalui tatap muka langsung
(rapat) oleh para pemegang saham di suatu tempat tertentu pada waktu tertentu dan
waktu yang telah ditentukan. Menurut Pasal 76 UU PT bahwa RUPS itu diadakan di
tempat kedudukan Perseroan (atau di tempat kegiatan utama Perseroan). Khusus
Perseroan Terbuka (Tbk), RUPS dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di
mana saham Perseroan dicatatkan dan Tempat dilaksanakannya RUPS harus terle-
tak di wilayah (hukum) negara Republik Indonesia.
Pasal 76 UU PT :
(1) RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan
melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar.
(2) RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di
mana saham Perseroan dicatatkan.
(3) Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ter-
letak di wilayah negara Republik Indonesia.
(4) Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan
semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda
tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan keten-
tuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan
jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
Pasal 77 UU PT :
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi,
atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta
RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi
dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah per-
syaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau seba-
gaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan
keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua
peserta RUPS.
Pasal 78 UU PT :
(1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
(2) RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku berakhir.
(3) Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan
tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).
(4) RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk
kepentingan Perseroan.
7
Pasal 91 UU PT :
Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar
RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui
secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
 UU PT hanya mengenal 2 (dua) RUPS, yaitu :
o Risalah Rapat (Berita Acara Rapat) – (Pasal 77 ayat (4) UU PT).
o Keputusan di luar RUPUS (Sirkuler) – (Pasal 91 UU PT).
 Dalam praktek Notaris mengenai RUPS selama ini ada 3 (tiga) cara yang dilakukan :
o Dengan Berita Acara Rapat yang dibuat oleh Notaris.
o Berita Acara Dibuat dibawah tangan (Notulen Rapat) yang kemu-
dian dibuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat (APKR)
o Dibuat dibawah tangan secara sirkuler.
 Berita Acara Rapat (BAR) dengan akta Notaris atau dibuat di bawah tangan (Notu-
len Rapat) memerlukan kehadiran fisik para pemegang saham dan harus tatap
muka dalam suatu tempat/ruangan dan waktu yang telah ditentukan. Sehingga
dalam RUPS tersebu ada interaksi dalam rapat dengan sesame peserta rapat.
Rapat Umum Pemegang Saham dimungkinkan adanya komunikasi langsung/saling
tukar ide antara peserta rapat (pemegang saham), dari pembicaraan hasil rapat itu-
lah nanti dituliskan ke dalam suatu Berita Acara Rapat atau Notulen Rapat atau
Notulen Rapat Umum Pemegang Saham.
 Mengumpulkan para pemegang saham (untuk melakukan RUPS yang diseleng-
garakan perseroan) dalam suatu tempat dan waktu tertentu sering mengalami ham-
batan, misalnya kesibukan para pemegang sahamnya atau kendala geografis dan
jarak. Untuk mengatasii hal tersebut UUPT telah menentukan bahwa RUPS dapat
dilaksanakan tanpa perlu adanya rapat secara fisik melalui keputusan sirkuler (circu-
lair resolution). Mengeni keputusan sirkuler (circulair resolution) ditentukan dalam
Pasal 91 undang-undang Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan tersebut, pe-
megang saham dapat mengambil keputusan yang Perusahaan Perseroan Terbatas
RUPS Sirkuler (Circular Resolution) yang mengikat di luar RUPS (diluar rapat fisik)
namun masih memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pelaksanaan RUPS bi-
asa secara fisik.
 Dalam Pasal 91 UU PT bahwa RUPS dapat dilakukan mengambil Keputusan yang
mengikat diluar RUPS. Keputusan RUPS seperti ini disebut pula KEPUTUSAN SIR-
CULER atau biasa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR
RUPS. Dalam Keputusan Sirkuler tidak ada forum rapat, yang ada adalah suatu
keputusan yang dituangkan secara tertulis. Di dalam keputusan sirkuler, para pe-
megang saham dianggap telah saling berkomunikasi dan atas apa yang dituangkan
dalam keputusan. Hanya karena alasan teknis saja, kemudian mereka (pemegang
saham) memilih untuk tidak mengadakan Rapat. Keputusannya sendiri tidak diambil
dalam satu forum rapat, tapi agendanya sudah diketahui / direncanakan serta  dis-
etujui sebelumnya oleh seluruh pemegang saham.  keputusannya sendiri diedarkan
kepada seluruh pemegang saham untuk ditandatangani (memberi persetujuan se-
cara formal), dan tanggal terakhir penanda tangannya dinyatakan sebagai tanggal
efektif keputusan sirkuler tersebut. 

8
 Keputusan tersebut hanya dapat diambil dengan syarat semua pemegang saham
yang mempunyai hak suara menyetujuinya secara tertulis. Dalam prakteknya, se-
belum dilaksanakannya pembuatan keputusan sirkuler, para pemegang saham bias-
anya telah melakukan komunikasi intensif perihal apa saja yang perlu diputuskan.
Hasil komunikasi dan keputusan yang telah dibuat kemudian dituangkan dalam “Ke-
putusan Para Pemegang Saham”. Keputusan Para Pemegang Saham tersebut
kemudian wajib ditandatangani oleh seluruh pemegang saham. Jadi untuk dapat
diberlakukannya Keputusan Sirkuler tersebut, syarat yang harus dipenuhi adalah
persetujuan dari 100% para pemegang saham Perseroan. Dengan demikian, maka
quorum kehadiran tidak diperlukan.
 Apakah Keputusan Sirkuler dapat langsung berlaku sebagaimana layaknya Akta
Notaris (Risalah Rapat/APKR) ? Bahwa Keputusan Sirkuler tetap berkedudukan se-
bagai Akta Dibawah Tangan. Keputusan Sirkuler ini dapat langsung berlaku tanpa
harus ditindak lanjuti dengan akta yang lain, seperti Akta Pernyataan Keputusan
Rapat (APKR). Tapi dalam beberapa ketentuan dalam UUPT ada beberapa
tindakkan perseroan yang wajib dibuat dalam bentuk Akta (Notaris), misalnya :
 Pasal 21 UUPT :
o Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat per-
setujuan Menteri.
o Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan
Perseroan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
Perseroan;
c. jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. besarnya modal dasar;
e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor;
dan/atau
f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau
sebaliknya.
o Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) cukup diberitahukan kepada Menteri.
o Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam ba-
hasa Indonesia.
o PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YANG TIDAK
DIMUAT DALAM AKTA BERITA ACARA RAPAT YANG DIBUAT NOT-
ARIS HARUS DINYATAKAN DALAM AKTA NOTARIS PALING LAMBAT
30 (TIGA PULUH) HARI TERHITUNG SEJAK TANGGAL KEPUTUSAN
RUPS.
o Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam
akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana di-
maksud pada ayat (5).

9
o Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar seba-
gaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat peru-
bahan anggaran dasar.
o Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis
mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada
Menteri.
o Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) permohonan persetujuan atau pemberitahuan peru-
bahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Men-
teri.
 Pasal 26 UU PT :
Perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau
Pengambilalihan berlaku sejak tanggal:
b. persetujuan Menteri;
c. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri; atau
d. PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DITERIMA MEN-
TERI, ATAU TANGGAL KEMUDIAN YANG DITETAPKAN DALAM AKTA
PENGGABUNGAN ATAU AKTA PENGAMBILALIHAN.
 Pasal 29 ayat (2) huruf h UU PT :
NOMOR DAN TANGGAL AKTA PEMBUBARAN ATAU NOMOR DAN
TANGGAL PENETAPAN PENGADILAN TENTANG PEMBUBARAN
PERSEROAN YANG TELAH DIBERITAHUKAN KEPADA MENTERI;
 Pasal 128 UU PT :
(1) RANCANGAN PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN,
ATAU PEMISAHAN YANG TELAH DISETUJUI RUPS DITUANGKAN KE
DALAM AKTA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN,
ATAU PEMISAHAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS DALAM BA-
HASA INDONESIA.
(2) AKTA PENGAMBILALIHAN SAHAM YANG DILAKUKAN LANGSUNG
DARI PEMEGANG SAHAM WAJIB DINYATAKAN DENGAN AKTA NOT-
ARIS DALAM BAHASA INDONESIA
(3) AKTA PELEBURAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) MEN-
JADI DASAR PEMBUATAN AKTA PENDIRIAN PERSEROAN HASIL
PELEBURAN.
 Perintah dalam beberapa pasal tersebut harus dibuat dalam bentuk AKTA NOT-
ARIS. Jika perintah-perintah tersebut tidak langsung dan tegas menyebutkan dalam
bentuk akta Notaris Berita Acara/Risalah Rapat, tapi Akta Notaris. Bagaimana kalau
perintah-perintah tersebut dibuat dalam bentuk KEPUTUSAN SIRCULER atau bi-
asa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS, dan BERITA
ACARA DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT) kemudian dinotarilkan
dalam bentuk Akta Pernyataan Keputusan Rapat. Apakah akan tetap sesuai dengan
perintah-perintah yang tersebut dalam beberapa pasal di atas ?
 Jika RUPS dilakukan dalam bentuk KEPUTUSAN SIRCULER atau biasa juga dise-
but KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS, dan BERITA ACARA
DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT), jika pasal-lasal tertentu dalam
10
UUPT memerintahkan dalam bentuk Akta Notaris,maka hal tersebut jika dalam ben-
tuk KEPUTUSAN SIRCULER atau biasa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG
SAHAM DILUAR RUPS, dan BERITA ACARA DIBUAT DIBAWAH TANGAN
(NOTULEN RAPAT), harus dinotarilkan oleh penerima kuasa dalam yang namanya
disebutkan dalam Keputusan/Berita Acara tersebut. Dan akta notarisnya dalam
bentuk Akta Pihak yang biasa disebut dengan PERNYATAAN KEPUTUSAN PE-
MEGANG SAHAM.
 Dengan demikian jika hasil RUPS yang dibuat dalam bentuk KEPUTUSAN SIR-
CULER atau biasa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR
RUPS, dan BERITA ACARA DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT),
diperintahkan dalam bentuk akta Notaris, maka yang diperintahkan saja dalam
dibuat dalam bentuk Akta Notaris. Meskipun demikian tidak dilarang untuk menotar-
ilkan semua isi yang tercantum dalam KEPUTUSAN SIRCULER atau biasa juga
disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS, dan BERITA ACARA
DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT),
 Ketika Notaris diminta oleh para penghadap untuk menotarilkan KEPUTUSAN SIR-
CULER atau BERITA ACARA DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT)
perlukah Notaris untuk memeriksa keabsahan yang tercantum dalam Keputusan
tersebut, misalnya keabsahan tanda tangan yang tercantum di dalamnya atau tata
cara pemanggilan rapat (untuk BERITA ACARA DIBUAT DIBAWAH TANGAN
(NOTULEN RAPAT)..?
 Sebaiknya Notaris untuk menanyakan hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian,
dan jika perlu buat Pernyataan dari yang menghadap tentang keabsahannya yang
akan jadi pegangan untuk Notaris. Hal ini perlu dilakukan, misalnya jika ternyata ada
tanda tangan yang palsu atau dipalsukan oleh mereka sendiri atau ada yang meng-
gugat tentang tata cara pemanggilan rapat, maka telah ada “back up” untuk Notaris.
 Jika Notaris membuat akta PERNYATAAN KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM
yang didasarkan pada bentuk KEPUTUSAN SIRCULER atau biasa juga disebut
KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS, dan BERITA ACARA
DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT), apakah dalam akta akan :
 Menyalin apa adanya saja (sebagai isi akta), Notaris hanya member awal dan
akhir akta saja dari KEPUTUSAN SIRCULER atau BERITA ACARA DIBUAT
DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT), atau
 Menyimpulkannya dari KEPUTUSAN SIRCULER atau BERITA ACARA DIBUAT
DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT) tersebut, atau
 Mengutip bagian tertentu dari KEPUTUSAN SIRCULER atau BERITA ACARA
DIBUAT DIBAWAH TANGAN (NOTULEN RAPAT).
 Ketiga hal tersebut (atau salah satu) boleh dilakukan oleh Notaris, sepanjang masih
sesuai dengan KEPUTUSAN SIRCULER atau BERITA ACARA DIBUAT DIBAWAH
TANGAN (NOTULEN RAPAT) yang disampaikan kepada Notaris.
 CATATAN :
IKHTISAR
PUTUSAN PERKARA NOMOR 84/PUU-XI/2013
TENTANG JANGKA WAKTU PENDAFTARAN RAPAT UMUM PEMEGANG
SAHAM PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN

11
Pemohon : Nofrialdi, Amd EK
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU 40/2007) terhadap UUD 1945.
Pokok Perkara : Pasal 86 ayat (9) UU 40/2007 yang menyatakan bahwa RUPS
Kedua dan Ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling
cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu)
hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.
bertentangan dengan:
-Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa persamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.
-Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
-Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: (1) setiap
orang berhak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga; (2) setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan mendapat
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
Tanggal Putusan : Kamis, 9 Oktober 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Ikhtisar Putusan : Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
dipilih sebagai Direktur Utama PT. Metro Mini berdasarkan hasil
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 23 Februari
2013 sebagaimana tercantum dalam Akta Pernyataan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Metro Mini Nomor 09
tanggal 22 Mei 2013.
-Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 86 ayat (9) UU 40/2007
terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945.
-Mengenai Kewenangan Mahkamah, oleh karena permohonan Pemohon adalah
mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yakni UU
40/2007, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan Pemohon sesuai dengan kewenangan Mahkamah berdasarkan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 (UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
-Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, bahwa Pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan diatur
UUD 1945, dalam hal ini telah dirugikan dengan berlakunya UU 40/2007,
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor
11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 mengenai syarat kerugian
konstitusional bagi Pemohon.
12
-Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 86 ayat (9) UU 40/2007 telah menghilangkan
kesempatan Pemohon untuk menjalankan aktivitas manajemen PT Metro Mini,
karena hasil RUPS ketiga tanggal 23 Februari 2013 yang menetapkan Pemohon
sebagai Direktur Utama PT Metro Mini tidak diterima pendaftarannya oleh Direktorat
Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan
HAM dengan alasan RUPS tersebut dilakukan melewati jangka waktu yang
ditentukan oleh Pasal 86 ayat (9) UU 40/2007, yakni paling cepat 10 (sepuluh) hari
dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan.
-Mahkamah telah mendengar keterangan lisan dan keterangan tertulis Presiden dan
DPR yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:
(i) penentuan jangka waktu sebagaimana ditentukan Pasal 86 ayat (9) UU 40/2007
telah memberikan keleluasaan dan kepastian terhadap para pemegang saham
yang terkait dengan pelaksanaan RUPS itu sendiri. Jangka waktu tersebut
dipandang cukup untuk melakukan RUPS agar pelaksanaan RUPS tidak
tertunda-tunda tanpa batasan waktu yang pasti dan jelas;
(ii) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum berkaitan dengan hal-hal yang terkait dengan pendaftaran
perubahan anggaran dasar AD/ART yang dilakukan di notaris maupun hasil dari
putusan pengadilan negeri Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
tersebut dilakukan secara online. Oleh karena itu, apabila ada hal yang tidak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka secara otomatis sistem di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan menolaknya.
-Terkait dengan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah menilai bahwa politik
hukum pembentukan UU 40/2007 adalah untuk menciptakan pembangunan
perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Guna
menunjang adanya peningkatan pembangunan perekonomian nasional maka
dibentuklah UU 40/2007 yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif.
Salah satu hal yang diatur dalam UU 40/2007 adalah mengenai penyelenggaraan
RUPS.
-Bahwa RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang dan/atau anggaran dasar (vide Pasal 1 angka 4 UU 40/2007). Oleh
karena itu, RUPS adalah alat perlengkapan perseroan yang merupakan kekuasaan
tertinggi dalam perseroan, sehingga hasil keputusan RUPS semestinya diakui
keberadaannya.
-Bahwa Pasal 7 ayat (4) UU 40/2007 menentukan, “Perseroan memperoleh status
badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai
pengesahan badan hukum perseroan”. Maksud pengesahan Perseroan Terbatas
(PT) oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah untuk mengadakan pengawasan
“preventif” oleh Pemerintah terhadap semua PT yang dibentuk dalam wilayah
negara Republik Indonesia. Dalam istilah pengesahan ini terkandung maksud
adanya usaha untuk mengadakan pemeriksaan yang seksama terhadap badan
13
hukum tersebut. Dalam hal ini, Pemerintah bertindak aktif dengan maksud untuk
mengadakan pengawasan preventif secara intensif. Pengesahan ini tidak hanya
disyaratkan bagi pendiri PT baru saja, tetapi juga disyaratkan bila ada perubahan-
perubahan dalam akta pendirian atau anggaran dasar atau bila ingin
memperpanjang masa hidup PT. PT yang telah mendapat pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM secara yuridis telah ada, sehingga PT tersebut dapat
mengadakan perbuatan hukum sebagai badan hukum. Meskipun PT tersebut telah
ada secara yuridis, tetapi jika belum didaftarkan maka dalam kedudukannya sebagai
badan hukum belum berlaku bagi pihak ketiga, sehingga belum berfungsi penuh.
-Bahwa dalam kasus yang dialami oleh Pemohon, RUPS PT Metro Mini yang kedua
dilaksanakan pada tanggal 15 November 2012, namun RUPS kedua tersebut tidak
mencapai kuorum. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menetapkan kuorum RUPS ketiga.
-Permohonan Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 penetapan
kuorum kehadiran RUPS ketiga tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Timur pada tanggal 22 November 2012. Selanjutnya, Pengadilan Negeri Jakarta
Timur menetapkan kuorum tentang RUPS ketiga PT Metro Mini (Pemohon) pada
tanggal 11 Desember 2012 dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Nomor 03/Pdt.P/RUPS/2012 PN.Jkt.Tim. Oleh karena jangka waktu RUPS kedua PT
Metro Mini (Pemohon) dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor
03/Pdt.P/RUPS/2012 PN.Jkt.Tim adalah terhitung mulai tanggal 15 November 2012
sampai dengan tanggal 11 Desember 2012, yakni 27 (dua puluh tujuh) hari. Ketika
Pemohon mendaftarkan RUPS tersebut kepada Kementerian Hukum dan HAM,
ditolak dengan alasan sudah lewat waktu sebagaimana yang ditentukan Pasal 86
ayat (9) UU 40/2007. Menurut Mahkamah, hal demikian akan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
-Menurut Mahkamah, pemecahan permasalahan hukum mutlak diperlukan karena
UU 40/2007 membatasi jangka waktu pelaksanaan RUPS kedua dan RUPS ketiga
dalam hal yang biasa, namun tidak menentukan dalam hal RUPS dilakukan
berdasarkan penetapan pengadilan.
-Menurut Mahkamah, jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat
21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan adalah
tidak mungkin dilakukan dalam hal penentuan kuorum RUPS dilakukan berdasarkan
penetapan pengadilan karena proses sidang pengadilan yang pasti membutuhkan
waktu. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil, Mahkamah
perlu menentukan jangka waktu yang wajar dan patut dalam hal pelaksanaan RUPS
dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.
-Menurut Mahkamah, Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 03/Pdt.P/
RUPS/2012 PN.Jkt.Tim, bertanggal 11 Desember 2012, untuk menetapkan kuorum
RUPS ketiga telah melewati jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari, sehingga tidak
mungkin bagi Pemohon untuk mendaftarkan hasil RUPS tersebut ke Kementerian
Hukum dan HAM karena jangka waktu yang ditentukan oleh Pasal 86 ayat (9) UU
40/2007 telah terlampaui. Untuk mengatasi permasalahan hukum atas permohonan
yang diajukan Pemohon, menurut Mahkamah, demi kepastian hukum yang adil
maka hasil RUPS ketiga yang dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan negeri
sebelum putusan Mahkamah ini dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM
14
paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak putusan Mahkamah ini diucapkan.
-Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah mengabulkan permohonan
Pemohon untuk seluruhnya.
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
1.1. Pasal 86 ayat (9) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) yang
menyatakan, “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 paling cepat 10 (sepuluh)
hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang
mendahuluinya dilangsungkan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “RUPS
kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh)
hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang
mendahuluinya dilangsungkan atau dalam hal RUPS dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan jangka waktu tersebut adalah paling lambat
21 (dua puluh satu) hari setelah diperolehnya penetapan pengadilan negeri”;
1.2. Pasal 86 ayat (9) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) yang
menyatakan, “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu
paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “RUPS kedua dan ketiga
dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan atau dalam hal RUPS dilaksanakan berdasarkan penetapan
pengadilan jangka waktu tersebut adalah paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
setelah diperolehnya penetapan pengadilan negeri”;
1.3. Terhadap hasil RUPS yang dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan
negeri dan telah melewati jangka waktu yang ditentukan Pasal 86 ayat (9)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) sebelum adanya putusan
Mahkamah ini dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah putusan Mahkamah ini;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

Panitera Pengganti, ttd. Dewi Nurul Savitri.

3. PENDIRIAN PT/CV OLEH SUAMI-ISTERI :


BOLEHKAH SUAMI-ISTERI MENDIRIKAN CV/PT ?

15
 Ketika datang seorang lelaki dan seorang wanita ke kantor Notaris, setelah
kita ajak bicara atau mengutarakan maksudnya ternyata akan mendirikan
perseroan komanditer (C.V.) atau perseroan terbatas (P.T.), dan juga ternyata
mereka mengaku sebagai suami-isteri, bagaimanakah keputusan yang akan
diambil Notaris berkaitan dengan hal tersebut ?
 Dalam praktek Notaris mengenai suami dan isteri yang mendirikan C.V.
ataupun yang mendirikan dan selaku pemegang saham dalam P.T, ada 3
(tiga) pendapat atau sikap, yaitu :
1. Ada Notaris yang tidak pernah sama sekali melayani atau menolak pendi-
rian C.V. atau P.T, yang pendirinya suami-isteri jika tanpa ada perjanjian
perkawinan diantara suami-isteri.
2. Ada Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri
dengan syarat memasukkan pihak ketiga atau lebih sebagai pendiri atau
sebagai pemegang saham dalam perseroan tersebut.
3. Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri
meskipun tidak ada perjanjian perkawinan diantara suami-isteri tersebut
atau tidak perlu memasukkan pihak ketiga atau lebih.
 Atas ketiga sikap tersebut yang menyebutkan secara tegas yang melarang
atau membolehkan tidak ada pengaturannya secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang ada, tapi hanya merupakan penafsiran saja atau
kebiasaan para Notaris saja terdahulu yang kemudian dan terus-menerus di-
ikuti para Notaris sampai sekarang, mungkin bahkan yang akan datang, se-
hingga bisa saja kita mengatakan ketiga sikap tersebut menjadi sesuatu yang
benar, sepanjang konsisten dengan sikap tersebut, dengan catatan tidak
menyalahkan sikap yang lainnya yang berbeda satu dengan yang lainnya.
 Substansi tulisan ini mencoba mengkaji secara singkat, dengan cara mere-
lasikan hubungan hukum dengan menafsirkan peraturan perundang-undan-
gan yang ada, misalnya mengenai perjanjian perkawinan, harta bersama
(gono-gini) dalam perkawinan.
 Terhadap sikap yang pertama, ada Notaris dalam menjalankan tugas jabatan-
nya, menolak melayani masyarakat untuk membuat akta Perseroan Koman-
diter (C.V.), dan Perseroan Terbatas (P.T.). jika para pendirinya suami-isteri
dan mereka tidak pernah atau tidak membuat perjanjian perkawinan. Sikap
seperti didasari oleh suatu pengertian atau pemahaman bahwa jika suami-is-
teri (sebagai subjek hukum) tidak membuat perjanjian pisah harta, maka
dalam perkawinan mereka terjadi persatuan harta sepenuhnya yang terikat
dan dianggap satu subjek hukum, artinya segala tindakkan hukum yang
akan dilakukan oleh suami atau isteri wajib saling memberikan persetujuan.
Sedangkan dalam hal ini, bahwa C.V. atau P.T. didirikan berdasarkan perjan-
jian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan masing-masing pendiri
harus menyisihkan harta kekayaannya sebagai kekayaan awal C.V. atau P.T.
tersebut. Dengan tidak adanya perjanjian perkawinan maka tidak ada pemisa-
han yang tegas, mana harta suami dan mana harta isteri.
 Notaris yang mengambil sikap yang pertama ini harus konsisten, bukan
hanya tidak melayani pendirian pertama kali saja, tapi juga jangan melayani

16
perubahan-perubahan apapun yang dilakukan C.V. atau P.T. termasuk misal-
nya ada C.V. atau P.T, yang mendapat kucuran kredit dari sebuah bank,
ketika diteliti ternyata pendiri atau pemegang sahamnya suami isteri, atau
ketika P.T. akan menjual atau membeli sebidang tanah, maka Notaris yang
bersangkutan harus konsisten untuk tidak melayaninya. Tapi juga dalam
praktek, tidak hanya menerima pembuatan pertama kali, tapi akan melayani
perubahan apapun, dengan alasan pendirian pertama kali dibuat oleh Notaris
lain. Sikap tidak menerima pendirian pertama kali, tapi menerima perubahan
apapun, jika pendirian pertama kalinya dibuat Notaris lain, hal ini menun-
jukkan ketidak konsistenan Notaris yang bersangkutan, yang secara diam-
diam dapat dikualifikasikan setuju dengan pendapat yang ketiga.
 Terhadap sikap yang nomor 2 (dua) pun perlu dikaji lebih jauh, artinya
meskipun memasukkan pihak ketiga atau lebih, apakah kemudian secara
serta merta terjadi pemisahan harta suami dan isteri yang bersangkutan ?
Bahkan tidak ada pengaruh apa-apa terhadap harta suami-isteri tersebut,
tetap saja terjadi persatuan harta benda perkawinan.
 Demikian pula dengan sikap yang ketiga, ada atau tidak perjanjian perkaw-
inan, ada atau pihak ketiga masuk sebagai pendiri, sepanjang pendiri dua
orang meskipun itu suami-isteri tetap dilayani dalam membuat C,V. atau P.T.
dengan alasan bahwa C.V. atau P.T. adalah perjanjian dua orang atau lebih
dan suami-isteri tersebut sebagai subjek hukum yang hak dan kewajiban
menurut hukum. Bahkan dalam pendirian P.T. Kementerian Hukum dan HAM
RI – SABH tidak pernah mempersoalkan pendirinya suami-isteri atau bukan,
kebadanhukuman P.T. yang bersangkutan tetap disahkan.
 Adanya sikap atau keputusan yang berbeda tersebut, secara langsung dapat
membingungkan masyarakat yang akan mendirikan C.V. atau P.T. yang
pendirinya suami isteri. Masyarakat akan menilai, ternyata, misalnya Notaris
dalam satu wilayah jabatan yang sama, akan mempunyai sikap yang berbeda
terhadap pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami isteri.
 Jika kita ingin mengatakan dan menyatakan bahwa sikap pertama atau kedua
yang benar menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus
menegakkan kedua sikap tersebut, sementara pada sisi yang lain ada Notaris
yang mengambil sikap yang ketiga, jika sikap ketiga yang diambil dan salah
menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus menilai
bahwa sikap yang ketiga tersebut salah ? Sudah Notaris yang satu dengan
Notaris yang lain tidak punya kewenangan untuk mengklaim bahwa sikap
dirinya yang benar menurut hukum, karena ketiga sikap tersebut berada
pada area abu-abu, yaitu pada area penafsiran hukum yang dilakukan oleh
Notaris yang bersangkutan dan tidak berdasarkan pada legal normatif yang
jelas dan tegas.
 Atas ketiga sikap yang berbeda tersebut harus ada kejelasan, apakah sikap
pertama dan kedua yang dibenarkan dan sikap yang ketiga tidak benar
menurut hukum. Sudah tentu penegasan atas sikap-sikap atau pendapat
tersebut harus disertai dengan sanksi yang jelas dan tegas jika ada yang
melanggarnya dari lembaga yang diberi kewenangan untuk hal tersebut.

17
 Bahwa ketiga sikap tersebut sudah mendarah daging dalam praktek Notaris,
bahkan Notaris yang datang kemudian mengikuti apa adanya atau copy
paste saja, tanpa mengkaji terlebih dahulu ada atau tidak ada aturan hukum
yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penafsiran. Dan tidak ada
larangan untuk mengambil salah satu sikap tersebut, yang penting Notaris
yang bersangkutan konsekuen dan konsisten dengan sikap yang diambilnya
tersebut.
 Dalam kaitan ini perlu dipahami mengenai sikap yang pertama bahwa sejak
awal memang sudah dibuat perjanjian perkawinan dan ada pemisahan harta
benda perkawinan, sehingga tidak dipermasalah lebih jauh, tapi mengenai
sikap yang kedua, apakah dengan memasukkan pihak ketiga atau lebih se-
cara serta merta bagi suami isteri tersebut telah terjadi atau timbul secara
tegas pemisahan harta bersama dalam perkawinan ? Bahwa pemisahan harta
bersama perkawinan harus dinyatakan secara tegas dalam akta tersendiri
dan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan didaftarkan pada
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk yang beragama Islam atau Kan-
tor Catatan Sipil setempat. Berdasarkan alasan tersebut tidak bisa dengan
memasukkan pihak ketiga atau lebih telah terjadi pemisahan harta bersama
perkawinan, karena tindakkan hukum tersebut harus dinyatakan secara tegas
dalam akta tersendiri.
 Terhadap sikap yang kedua ini perlu diberikan catatan tersendiri, jika terny-
ata pihak ketiga atau lebih yang dimasukkan sebagai pendiri tadi, ternyata
kemudian keluar atau mengundurkan diri (dalam C.V.) tanpa ada peng-
gantinya atau saham (dalam P.T.) yang dia miliki jual kepada suami atau is-
teri tersebut, bukankah kedudukan hukumnya menjadi sama dengan
mendirikan C.V. dan P.T. tadi tanpa adanya perjanjian perkawinan atau pada
akhirnya sama saja kedudukan hukumnya dengan sikap yang ketiga ?
 Beragamnya sikap Notaris tersebut sudah tentu harus ada ketegasan dari ko-
munitas Notaris sendiri, apakah sepakat akan menentukan sikap yang per-
tama dan kedua saja yang benar menurut, yang ketiga tidak benar menurut
hukum, dan sudah tentu harus ada ketegasan jika ternyata ada Notaris
mengambil sikap yang ketiga. Sudah tentu pula sangat tidak mungkin untuk
melakukan tindakkan hukum seperti itu, karena ketiga sikap tersebut sudah
merupakan Living Law (hukum yang hidup) dalam praktek Notaris dan secara
hukum jarang yang mempermasalahkannya, misalnya dengan membawanya
ke ranah pengadilan.
 Menyikapi ketiga sikap tersebut, seharusnya kita para Notaris memperke-
nalkan teori baru, bahwa suami-isteri boleh saja mendirikan C.V. atau P.T.
tanpa perlu mempersoalkan ada atau tidak ada perjanjian kawin atau tanpa
memasukkan pihak lainnya. Teori ini perlu dibuat agar sikap yang ketiga ini
setara dengan sikap yang pertama atau kedua, artinya dibenarkan menurut
hukum, dalam hal ini dengan melakukan penafsiran hukum.
 Ketika suami isteri mendirikan C.V. atau P.T. dan modal para pendiri tercan-
tum dalam pembukuan C.V. yang bersangkutan dan untuk P.T. tercantum
dalam anggaran dasarnya dengan jumlah yang sudah ditentukan besarnya,

18
maka pada saat itu dapat saja ”dianggap” suami isteri tersebut telah
memisahkan sebagian harta bersama menjadi milik masing-masing sebagai
modal dari C.V. atau P.T. yang mereka dirikan.
 Bahwa suami isteri tersebut dianggap telah memisahkan sebagian harta
bersamanya tersebut akan berlangsung sampai dengan mereka bercerai atau
salah satu atau keduanya meninggal dunia sehingga terjadi pewarisan. Ke-
napa harus ada batasan sampai mereka bercerai ? Hal ini dikaitkan dengan
suami atau isteri atas harta bersama perkawinan jika mereka bercerai, yaitu
suami atau isteri masing-masing berhak setengah dari harta bersama terse-
but. Sehingga sejumlah modal yang telah mereka sisihkan sebagai modal
C.V. atau P.T. sebagai bagian dari harta bersama tersebut yang telah mereka
ambil diawal. Jika ternyata setelah mereka bercerai terjadi pembagian yang
tidak sama, maka antar suami isteri harus memotong bagiannya, agar pada
akhirnya menjadi bagian yang sama besar dari harta bersama perkawinan
setelah perceraian tersebut. Demikian pula jika suami atau isteri meninggal
dunia, suami atau isteri berhak atas setengah dari harta bersama ditambah
haknya dari harta warisan suami atau isteri.
 Teori tersebut, saya namakan Teori Anggapan (atau Teori Habib Adjie saja),
bagi Notaris yang mengambil sikap yang pertama dan atau yang kedua su-
dah pasti tidak akan setuju atau berpikir berkali-kali untuk menyatakan tidak
setuju, dan teori ini tidak bermaksud untuk merubah sikap dan pikiran No-
taris yang telah mengambil keputusan terhadap sikap yang pertama dan atau
yang kedua, tapi teori ini akan memberikan pengertian dan pemahaman
bahwa suami dan isteri tanpa perlu ada perjanjian perkawinan dan tanpa
perlu memasukkan pihak ketiga atau lebih ke dalam pendirian tersebut, bisa
mendirikan C.V. atau P.T. dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.
 Pembentukan teori dalam bidang kenotariatan atau Hukum Kenotariatan
bagaikan Snowball yang makin lama makin membesar untuk kemudian men-
jadi sebuah teori yang ajeg. Makin lama makin besar banyak yang sependa-
pat atau yang tidak sependapat akan berjalan sesuai dengan praktek Notaris.
Praktek dari dunia Notaris dan pengalaman para Notaris dapat melahirkan
teori baru seperti tersebut di atas.
 Dalam praktek Notaris, sering dilakukan pendirian perseroan terbatas den-
gan pemegang saham suami-isteri saja, dan diantara suami-isteri tersebut
tanpa ada Perjanjian Perkawinan berupa pisah harta, sehingga diantara
mereka tidak jelas, apakah yang disetorkan tersebut berasal dari harta gono-
gini atau bukan, padahal prinsip perseroan terbatas harus ada. pemisahan
yang tegas antara harta perseroan dan harta pribadi para pemegang saham.
Dalam kaitan ini perlu dikembangkan suatu Teori Anggapan, yaitu suami-is-
teri boleh saja mendirikan peseroan terbatas, dan hanya mereka berdua se-
bagai pemegang sahamnya, dan diantara mereka tidak ada perjanjian
perkawinan berupa pisah harta, pada saat pendirian perseroan terbatas di-
antara suami-isteri tersebut harus dianggap telah terjadi pisah harta sebesar
saham yang disetorkan ke dalam perseroan. Hal ini terbukti ketika ada pem-
bagian Dividen untuk para pemegang saham, atau ketika dialihkan (dijual, di-
hibahkan, diwariskan), atau dijaminkan atau ketika diantara mereka terjadi
19
perceraian, maka para pemegang saham (atau suami-isteri tersebut) akan
mendapat haknya sebagaimana mestinya tanpa perlu saling memberikan per-
setujuan.

4. KEWENANGAN BERTINDAK DARI ORGAN-ORGAN DALAM


SUBJEK HUKUM/BADAN HUKUM PERDATA - SETIAP ORGAN
DALAM BADAN HUKUM PERDATA SELALU MEMPUNYAI BATAS
WAKTU MENJALANKAN KEWENANGAN DAN TINDAKKAN
HUKUM BERDASARKAN KEWENANGAN YANG DIMILIKINYA

 Setiap organ dalam badan hukum perdata (Perseroan Terbatas, Yayasan,


Perkumpulan, Koperasi) selalu mempunyai batas waktu dalam
menjalankan jabatannya (kecuali Pembina yang berasal Pendiri tanpa batas
waktu) yang disebutkan dalam akta terkahir yang mengaturnya.
 Jika masa jabatan organ-organ tersebut habis masa jabatannya, lebih baik
untuk diperpanjang terlebih dahulu sesuai dengan anggaran dasar badan
hukum yang bersangkutan.
 Jika yang akan bertindak tersebut berdasarkan kuasa dari organ-organ dari
badan hukum tersebut, tetap harus dilihat apakah organ-organ badan hukum
tersebut pada saat tindakkan hukum akan dilakukan apakah masih
menjabat ?
 Bahwa setiap organ-organ dalam badan hukum tersebut selalu mempunyai
kewenangan yang disebutkan dalam anggaran dasar badan
hukum yang bersangkutan. Tindakkan hukum tersebut harus dalam koridor
kewenangan jabatan organ-organ yang bersangkutan.
 Jika tindakkan hukum organ-organ tersebut wajib meminta persetujuan dari
organ yang lainnya (berdasarkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga) or-
gan yang bersangkutan, misalnya Direktur wajib meminta persetujuan dari
Komisaris atau Pengurus Yayasan dari Pembina Yayasan, maka hal tersebut
harus dilakukan terlebih dahulu.
 Jika organ-organ tersebut melakukan tindakkan hukum diluar batas waktu
masa jabatannya atau diluar kewenangannnya, maka tindakkan hukum terse-
but batal demi hukum. Dan organ yang bersangkutan wajib mempertanggun-
gjawabkannya secara pribadi, kecuali organ yang lebih tinggi dalam rapat
yang dilakukan untuk itu menyatakan menerima semua tindakkan organ-or-
gan tersebut meskipun lewat batas waktu dan tidak ada kewenangannya.
 Akta Notaris yang menyebutkan tindakkan hukum seperti itu batal demi
hukum, dan kepada Notarisnya dapat dituntut ganti rugi oleh yang merasa
dirugikan karena Notaris telah bertindak tanpa melihat batas waktu dan atau
kewenangan organ-organ tersebut.
 Jika Notaris/PPAT menerima kuasa (misalnya dari kantor pusat perseroan ke
kantor cabang atau dari direksi kepada pihak lainnya untuk urusan tertentu),
bahwa kuasa tersebut sudah tentu diberikan ketika Direksi/Direktur masih
punya masih menjabat, dan dapat Notaris/PPAT gunakan ketika jabatan terse-
but masih ada/melekat pada yang bersangkutan, tapi ketika yang ber-
20
sangkutan sudah tidak menjabat lagi sebagai Direksi/Direktur dan akan di-
gunakan pada saat sudah tidak menjabat lagi, lebih baik Notaris/PPAT tolak
atau tidak mempergunakan kuasa tersebut, dengan alasan (1) masa
jabatannya sudah habis (expired), (2) sudah tidak punya kewenangan lagi.
Untuk mengatasi hal tersebut Notaris harus melihat akta terakhir yang
mengangkat yang bersangkutan sebagai Direksi/Direktur.

5. PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT)


DENGAN MODAL DASAR DARI ASET/MODAL CV. PENDIRIAN PT
DENGAN MODAL DASAR BERASAL DARI CV,

 Dalam praktek Notaris - masyarakat ada yang meminta mendirikan Perseroan Ter-
batas (PT) dengan modal dasar berupa aset atau harta kekayaan dari Perseroan
Komanditer/Commanditaire Vennotschap (CV) yang sudah didirikan/dimiliki se-
belumnya.
 Belum ada istilah (nomenklature) hukum yang tepat PT yang didirikan yang modal
dasarnya berasal dari CV. Hal seperti ini sering diistilahkah sebagai “perubahan
bentuk dari CV ke PT” atau “peningkatan status dari CV ke PT” atau “metamorfosis
dari CV ke PT” atau “pengalihan status dari CV ke PT” atau “upgrade dari CV ke
PT”. Apapun istilah yang dipergunakan secara normatif tidak ada pengaturannya.
Tapi hanya merupakan “kebiasaan yang dibenarkan” dan ini sudah merupakan
“living law” di kalangan Notaris dan masyarakat.
 Dalam Pasal 13 ayat (4) PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIAREPUBLIK INDONESIANOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANGTATA CARA
PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUMDAN PER-
SETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASARSERTA PENYAMPAIAN PEM-
BERITAHUAN PERUBAHANANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN DATA
PERSEROAN TERBATAS disebutkan bahwa dalam pendirian perseroan diwajib-
kan melampirkan fotokopi neraca dari Perseroan yang meleburkan diri atau-
neraca dari perusahaan bukan badan hukum yang dimasukkan sebagai set-
oran modal. Dengan demikian jika CV bukan badan hukum, maka neraca (mod-
alnya) dapat dijadikan setoran untuk modal mendirian PT.
 Apakah boleh harta kekayaan/aset CV dijadikan sebagai modal dasar pendirian
PT ? Dalam kaitan ini kita perlu mengetahui terlebih dahulu pengaturan modal
dalam Pasal 31 - 34 UUPT.
 Berdasarkan Pasal 31 sampai dengan Pasal 34 UU PT ditegaskan bahwa :
Pasal 31 :
(1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal
Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
Pasal 32 :
(1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

21
(2) Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan
jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal
dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dite-
tapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33 :
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah
modal yang ditempatkan harus disetor penuh.
Pasal 34 :
(1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau
dalam bentuk lainnya.
(2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan
berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh
ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan.
(3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan
dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan
penyetoran saham tersebut.
Penjelasan Pasal 34 :
Ayat (1) :
Pada umumnya penyetoran saham adalah dalam bentuk uang. Namun, tidak
ditutup kemungkinan penyetoran saham dalam bentuk lain, baik berupa benda
berwujud maupun benda tidak berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang
secara nyata telah diterima oleh Perseroan.
Penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang
menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan
lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut.
 Dalam ketentuan tentang modal PT tersebut, modal yang disetorkan ke dalam
perseroan selain uang, dapat pula bentuk lainnya yang dapat dinilai dengan uang,
dengan demikian boleh saja modal yang disetor dalam pendirian perseroan PT se-
bagai modal dari para pendirinya yang berasal dari harta kekayaan/aset CV yang
dimilikinya.
 Jika CV menjadi PT, bagaimanakah dengan kedudukan atau status CV tersebut ?
Ada 2 (dua) pendapat tentang hal ini, yaitu :
1. Bubar secara formal - bahwa para pesero dalam komanditer membubarkan
dan melikuidasi secara resmi CV tersebut, dan harta kekayaan/asetnya diba-
gikan kepada para pesero, dan kewajiban kepada pihak lainnya telah disele-
saikan. Hasil dari pembagian tersebut dijadikan modal yang disetor ke dalam
perseroan, sehingga dalam kaitan ini tidak kaitan sama sekali, antara CV dan
PT yang didirikannya.

22
2. Bubar secara materil - bahwa para pesero dalam komanditer tidak mem-
bubarkan CV tersebut tapi langsung mendirikan PT, yang modal dasarnya be-
rasal dari CV yang sudah dihitung sebelumnya secara akuntansi, dan dalam
premisse pendirian PT disebutkan “perseroan ini didirikan untuk melanjutkan
usaha perseroan komanditer....”, sehingga dengan demikian segala aktiva dan
pasivanya menjadi tanggungjawab PT yang didirikannya. Jika ditempuh seperti
ini, maka CV bubar dengan sendirinya atau eksistensinya sudah tidak ada lagi.
 Dalam praktek Notaris, khususnya untuk cara yang ke 2 juga selalu dibuatkan akta
pembubarannya, akta seperti ini biasanya diperlukan dalam kaitannya untuk
menghapuskan NPWP CV yang bersangkutan.
 Jika Notaris diminta untuk mendirikan PT yang modal dasarnya berasal dari CV,
maka dapat memilih dari dua cara tersebut.
 CATATAN :
-Putusan Majelis Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Putusan Pailit
nomor : 35/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt. Pst.) yang menolak permohonan pailit yang dia-
jukan oleh P.T. Dainipon Ink & Chemical Indonesia terhadap C.V Mantrade sebagai
Termohon pailit dengan pertimbangan hukum bahwa C.V. bukanlah merupakan badan
hukum sehingga tidak dapat diletakkan sebagai pihak dalam permohonan pernyataan
pailit tersebut. Dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :
-Menimbang, bahwa menurut azas hukum dagang bahwa C.V, atau Comanditaire
Vennootschapatau partnership with sleeping partnersadalah merupakan perusa-
haan atau perseroan untuk menjalankan suatu usaha yang didirikan oleh satu atau
beberapa orang persero yang secara tanggung renteng (hoofdelijk)bertanggung
jawab kepada pihak ketiga dan satu atau beberapa orang lagi sebagai penyerta
modal (geldschieter),oleh karena itu dalam C.V. terdapat pemegang saham aktif
yang sekaligus menjadi pengurus (komplementaris) dan ada pula partner yang tidak
aktif yang hanya menyetorkan modalnya kepada C.V.
-Menimbang, bahwa pendirian C.V tidak mengharuskan adanya pengesahan dari
Menteri Kehakiman RI, oleh karena itu suatu C.V. bukanlah suatu perusahaan/
perseroan yang bersifat badan hukum (onrechtpersonlijkheid).
-Menimbang,bahwa oleh karena C.V. tidak merupakan suatu perusahaan/perseroan
yang berbadan hukum, maka C.V. tidak dapat bertindak atau dijadikan sebagai subjek
hukum (recht person),oleh karena itu pula C.V. tidak dapat dijadikan pihak di dalam
perkara ini.
Putusan tersebut oleh Majelis Hakim Niaga tingkat Kasasi Mahkamah Agung di-
batalkan (Putusan nomor : 22 K/N/2000) dengan pertimbangan hukum sebagai berikut
:
-Bahwa,...,karena meskipun C.V bukan merupakan badan hukum, namun tidak berarti
suatu C.V. tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam berperkara;
-Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 19 KUHD, suatu C.V terdiri dari pesero-pe-
sero yang bertanggungjawab atas perseroan, yang biasanya disebut sebagai pesero
pengurus dan pesero yang hanya meminjamkan/menyetor yang biasanya disebut pe-
sero komanditer, serta yang berhak mewakili C.V adalah pesero pengurus;
-BahwaTermohon dalam perkara ini pada persidangan telah diwakili oleh kuasanya
berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 7 Juni 2000 oleh Manan Abdurrrachman Kar-

23
tamiharja selaku direktur CV. Mantrade, dengan demikian kehadiran CV Mantrade
dalam persidangan adalah sah menurut hukum.
-Putusan Pailit nomor 2S/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst antara P.T. Mustika Ratu
Buana International (Pcmohon Pailit) melawan Deky Tarabayong, Direktur C.V.
Daitia, yang pada dasarnya memutuskan bahwa pegurus atau persero CV-lah yang da-
pat dipailitkan bukan CV-nya atau yang dapat mempailitkan dan dipailitkan hanyalah
orang yang dapat berbentuk orang pribadi (personal entity)ataupun badan hukum
(rechtperson/legal entity).Karena CV bukanlah badan hukum, CV jelas tidak dapat
dipailitkan.

6. JANGKA WAKTU JABATAN DIREKSI


DAN DEWAN KOMISARIS

Dalam berbagai akta Notaris mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT)


banyak beragam ditemukan mengenai jangka waktu masa menjabat untuk
Direksi dan Dewan Komisaris PT. Hal ini wajar saja, karena UUPT tidak
menentukan secara tegas batasan masa menjabat tersebut.
 Pasal 94 UUPT menentukan bahwa :
Pasal 94 :
(1) Anggota Direksi diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh
pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) huruf b.
(3)ANGGOTA DIREKSI DIANGKAT UNTUK JANGKA WAKTU TER-
TENTU DAN DAPAT DIANGKAT KEMBALI.
(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian,
dan pemberhentian anggota Direksi dan dapat juga mengatur ten-
tang tata cara pencalonan anggota Direksi.
(5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pem-
berhentian anggota Direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya
pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.
(6) Dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pen-
gangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, pen-
gangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi terse-
but mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.
(7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
anggota Direksi, Direksi wajib memberitahukan perubahan anggota
Direksi kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tang-
gal keputusan RUPS tersebut.
(8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
belum dilakukan, Menteri menolak setiap permohonan yang diajukan
atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi
yang belum tercatat dalam daftar Perseroan.
24
(9) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk
pemberitahuan yang disampaikan oleh Direksi baru atas pen-
gangkatan dirinya sendiri.
 Pasal 94 ayat (3) hanya menentukan ANGGOTA DIREKSI DIANGKAT
UNTUK JANGKA WAKTU TERTENTU DAN DAPAT DIANGKAT KEM-
BALI tapi tidak menentukan batasnya harus berapa lama menjabat.
Dalam Penjelasannya ditegaskan bahwa :
Persyaratan pengangaktan anggota Direksi untuk “jangka waktu
tertentu”, dimaksudkan anggota Direksi yang telah bberakhir
masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan
jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali
berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3
(tiga) atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatannya, maka
sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota
Direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak untuk dan
atas nama perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh
RUPS.
 Pasal 111 UUPT :
(1) Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris di-
lakukan oleh pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b.
(3)ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DIANGKAT UNTUK JANGKA
WAKTU TERTENTU DAN DAPAT DIANGKAT KEMBALI.
(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian,
dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris serta dapat juga men-
gatur tentang pencalonan anggota Dewan Komisaris.
(5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pem-
berhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai
berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian terse-
but.
(6) Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pen-
gangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komis-
aris, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian mulai berlaku
sejak ditutupnya RUPS.
(7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
anggota Dewan Komisaris, Direksi wajib memberitahukan perubahan
tersebut kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tang-
gal keputusan RUPS tersebut.
(8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
belum dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang pe-

25
rubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan
kepada Menteri oleh Direksi.
 Meskipun UUPT tidak menyatakan batasan secara tegas mengenai batas
masa menjadi Direksi dan Dewan Komisaris, hanya tersebut dalam Pen-
jelasan Pasal 94 ayat (3) UUPT yaitu 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun Direksi
saja, tapi bias juga berlaku untuk Dewan Komisaris, yang dapat diangkat
lagi secara periodik masa jabatanya berikutnya.
 Bagaimana kalau masa jabatan satu periode 10 (sepuluh) tahun atau le-
bih ? Memang tidak dilarang berapapun (yang penting jangan seumur
hidup), tapi ada jumlah tertentu yang bias dilakukan secara periodic,
dan kalau masa jabatannya satu periode terlalu lama, perlu diingat
dalam rangka Good Corporate Governance (Tata Kelola Perserusahaan
Yang Baik), sangat disarankan batasan masa menjabat tersebut secara
tertentu seperti dalam Penjelasan.

7. PENDIRI ATAU PEMEGANG SAHAM PT (PERSEROAN


TERBATAS) ANAK DIBAWAH UMUR BELUM 18 TAHUN.

 Pasal 1 angka 1 UUPT bahwa : Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut


Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didi-
rikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
 Dalam praktek pendirian PT para pendiri/pemegang saham subjek hukum pendiri/
pemegang sahamnya adalah subjek hukum (orang) yang belum cukup umur atau
belum 18 tahun atau telah/pernah menikah.
 Bahwa pemegang saham untuk mereka yang belum cukup umur tersebut dapat
saja karena dapat warisan/hibah/hibah wasiat.
 Tapi bisa juga subjek hukum (orang) dibawah umur menjadi pendiri dan pemegang
saham karena dilakukan oleh orang tua kandungnya yang menjalankan kekuasaan
orang tua untuk anaknya yang masih dibawah umur.
 Bahwa jika yang cukup umur sebagai pemegang saham, maka segala tindakkan
hukumnya (yang berkaitan dengan saham yang dimilikinya dan tindakkan hukum
lainnya dalam PT, maka terlebihdahulu : (1) harus berdasarkan penetapan
pengadilan untuk mereka yang sudah tidak mempunyai orang tua kandung
(dengan perwalian dan penetapan pengadilan agar dapat bertindak untuk dan
dalam PT),, atau (2) untuk mereka yang masih mempunyai orang tua kandung
dilakukan dengan tindakkan orang tua menjalankan kekuasaan orang tua untuk
anak kandungya yang masih dibawah umur.
 Subjek hukum yang masih dibawah umur dapat saja menjadi pendiri atau pe-
megang saham dengan terjadinya tindakkan atau peristiwa hukum tertentu, tapi
mereka tidak bisa memegang jabatan dalam perseroan terbatas yang ber-
sangkutan, karena belum cukup umur untuk melakukan tindakkan hukum untuk
kepentingan perseroan terbatas.

26
8. PERSETUJUAN KAWAN-KAWIN DALAM JUAL BELI/HIBAH SAHAM
PERSEROAN TERBATAS TENTANG PERSETUJUAN SUAMI/ISTERI
DALAM JUAL BELI/HIBAH SAHAM PERSEROAN TERBATAS.

 Untuk dapat menentukan, apakah dalam jual - beli/hibah saham perseroan perlu
persetujuan suami-isteri, maka perlu dilihat terlebih dahulu mengenai jenis
perseroan yang terdapat dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONE-
SIANOMOR 40 TAHUN 2007TENTANGPERSEROAN TERBATAS (UUPT).
 Dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 UUPT, disebutkan ada :
7. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan
penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan di bidang pasar modal.
8. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang
saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan di bidang pasar modal.
 Disamping Perseroan Terbuka dan Perseroan Publik, ada juga Perseroan Tertutup,
yaitu perseroan yang sahamnya dimiliki oleh para subjek hukum secara tertutup
atau sahamnya tidak dijual di pasar modal atau jumlah sahamnya tidak memenuhi
jumlah tertentu yang dimiliki publik.
 Untuk saham Perseroan Terbuka dan Perseroan Publik (terutama Perseroan Ter-
buka) akselerasi jual beli saham di pasar modal dalam hitungan yang tidak terlalu
lama karena transaksinya secara elektronik di pasar modal, sehingga jika ada
suami/isteri beli saham perseroan terbatas di pasar modal harus minta persetujuan
dari suami/isteri, jika ini dilakukan sangat menghambat perkembangan pasar modal
sendiri, dan membeli saham di pasar modal tidak dimiliki untuk jangka waktu yang
lama, oleh karena itu tidak perlu persetujuan seperti tersebut di atas.
 Untuk Perseroan Tertutup jika akan dilakukan jual-beli atau hibah saham atau di-
jaminkan atau dialihkan bentuk lainnya, jika kepemilikannya dalam jangka waktu
yang lama, jika termasuk dalam harta bersama, maka diperlukan persetujuan
suami/isteri jika dilakukan jual-beli atau hibah saham atau dijaminkan atau dialihkan
bentuk lainnya. Meskipun dalam praktek Notaris hal seperti ini tidak selalu di-
lakukan oleh Notaris, dengan alasan bahwa saham bukan benda tetap (tidak
seperti tanah/bangunan). Tapi sebagai bentuk kehati-hatian dari Notaris dalam
melakukan jual-beli atau hibah saham atau dijaminkan atau dialihkan bentuk lain -
nya, persetujuan suami/isteri tersebut (hadir langsung ke hadapan Notaris atau
dibawah tangan yang dilegalisasi Notaris) diperlukan agar tidak menimbulkan sen-
gketa disuatu hari yang melibatkan Notaris.

9. PERJANJIAN (AKTA) PINJAM NAMA/TOPENGAN/NOMINEE -


PERJANJIAN PINJAM NAMA DALAM KEPEMILIKAN TANAH/
BANGUNAN DAN SAHAM PERSEROAN,

 Perjanjian Nominee bisa dikatakan perjanjian simulasi (perjanjian pura-pura)


yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam hal ini WNA dengan WNI ataupun
WNI dengan WNI yaitu seolah-olah terjadi perjanjian, namun sebenarnya se-
27
cara rahasia setuju perjanjian itu tidak berlaku, ini dapat terjadi dalam hal
hubungan hukum antara mereka tidak ada perbuatan apa-apa atau dengan
perjanjian pura-pura itu akan berlaku hal lain. Jadi ada pertentangan antara
kehendak dari para pihak dengan kenyataan, sehingga perjanjian itu dapat
batal demi hukum berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang
terlarang, dan pihak ketiga yang dirugikan dapat membatalkan hal ini.
 Perjanjian Pinjam nama ini sering dilakukan dalam bidang kepemilikan
tanah/bangunan atau saham perseroan terbatas.
 A. bidang kepemilikan tanah/bangunan.
 Pasal 9 UUPA :
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-
batas ketentuan pasal 1 dan pasal 2.
(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.
 Pasal 21 UUPA :
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat
(3) pasal ini.
 Pasal 26 UUPA :
1. Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung
atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing,
kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan

28
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada
suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut
kembali.
 Secara garis besar ketentuan dari ketiga pasal tersebut menyatakan bahwa
hanyalah WNI yang memiliki hubungan sepenuhnya dengan tanah sebagai
bagian dari bumi, dan hubungan yang dimaksud adalah wujud HM yang hanya
dapat dipunyai oleh WNI, sedangkan bagi WNA dapat diberikan Hak Pakai.
 Ketentuan tentang persyaratan subyek hak, khususnya terhadap WNA disertai
dengan sanksi terhadap pelanggarannya yang secara khusus dimuat dalam
Pasal 26 Ayat 2 UUPA. Pelanggaran terhadap ketentuan itu berakibat bahwa
peralihan HM kepada WNA itu batal demi hukum dan hak atas tanahnya jatuh
pada Negara.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 42 dan 45 UUPA, pemberian hak atas tanah bagi
orang asing dan badan hukum asing di Indonesia adalah hak pakai dan hak
sewa.
 Pasal 42 UUPA :
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
 Pasal 45 UUPA :
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indone-
sia. Pasal 2 angka 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996
menyebutkan bahwa WNA dapat memiliki rumah yang berdiri sendiri di atas
bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara atau di atas bidang tanah yang
dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah, Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 jo Peraturan Menteri
Agraria/ Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.
 B. Bidang saham perseroan terbatas.
 Pasal 48 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
secara tegas mengatur bahwa saham dikeluarkan atas nama pemi-

29
liknya. Jadi, saham itu wajib atas nama pemegang sahamnya, tidak
bisa nama pemegang saham berbeda dengan pemilik sebenarnya.
 Undang-undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
melarang pembuatan akta secara Nominee, yaitu pemegang saham
semuanya orang asing (WNA) kemudian dibuat akta notaril yang
menyatakan bahwa saham tersebut milik WNI.
 Dalam “saham pinjam nama” lazim juga dikenal sebagai nominee
agreement. Pembutan nominee agreement dilarang oleh UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Pasal 33 ayat (1)
UUPM melarang penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang mene-
gaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk
dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) UUPM selanjutnya men-
gatur bahwa perjanjian semacam itu dinyatakan batal demi hukum.
 Ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUPM, penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing dilarang membuat perjanjian dan/
atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam
perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Jika ada perjan-
jian semacam itu, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi
hukum. Jadi, tidak ada cara yang sah untuk bisa menjamin si pe-
megang saham yang namanya dipinjam akan menjual kembali saham-
nya kepada pemegang saham (penanam modal) yang sebenarnya. Hal
ini karena struktur nominee dilarang dalam peraturan perundang-un-
dangan Indonesia.
 Akta Notaris yang memuat nominee agreement. /pinjam nama/topengan, se-
cara struktur formalitas akta Notaris telah memenuhi syarat akta berdasarkan
Pasal 38 UUJN-P, tapi secara materil (isi akta) batal demi hukum. Sudah se-
harusnya dan Notaris wajib tahu hukumnya bahwa nominee agreement /pin-
jam nama/topengan dilarang oleh hukum dan ada akibatnya jika dilanggar.
 Undang-undang nomor 25 tahun 2007 - Pasal 33 yang menerangkan :
(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat
perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan sa-
ham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing mem-
buat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
 Bahwa nominee agreement /pinjam nama/topengan tidak hanya antara WNI
dan WNA, tapi juga dilakukan antara WNI dengan WNI, baik dalam kepemi-
likan saham atau tanah/bangunan.
 Ciri dari telah dilakukan pembuatan nominee agreement /pinjam nama/topen-
gan (antara WNA dan WNI) dalam bidang pertanahan/bangunan selalu diikuti
dengan perjanjian/akta seperti :
1. Perjanjian Pemilikan Tanah (Land Agreement) dan Pemberian Kuasa.
Dalam Perjanjian Pemilikan Tanah, pihak Warga Negara Indonesia (WNI)

30
mengakui bahwa tanah HM yang terdaftar atas namanya bukanlah mi-
liknya, tetapi milik WNA yang telah menyediakan dana untuk pembelian ta-
nah HM beserta bangunan. Selanjutnya pihak WNI memberi kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala
tindakan hukum terhadap tanah HM dan bangunan.
2. Perjanjian Opsi, yaitu pihak WNI memberikan opsi atau pilihan untuk mem-
beli tanah HM dan bangunan kepada pihak WNA karena dana untuk pem-
belian tanah HM dan bangunan itu disediakan pihak WNA.
3. Perjanjian Sewa Menyewa (Lease Agreement), yaitu pada prinsipnya dalam
perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpan-
jangannya beserta hak dan kewajiban pihak yang menyewakan (WNI) dan
penyewa (WNA).
4. Kuasa untuk menjual (Power of Attorney to Sell) yaitu kuasa untuk men-
jual, ini berisi pemberian kuasa dengan hak substitusi dari pihak WNI
(pemberi kuasa) kepada pihak WNA (penerima kuasa) untuk melakukan
perbuatan hukum menjual atau memindahkan tanah HM dan bangunan.
5. Hibah Wasiat, yaitu dalam hibah wasiat ini, pihak WNI menghibahkan ta-
nah HM dan bangunan atas namanya kepada pihak WNA.
6. Surat Pernyataan Ahli Waris, yaitu dalam hal ini istri pihak WNI dan ana-
knya menyatakan bahwa walaupun tanah HM dan bangunan terdaftar atas
nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah
HM dan bangunan tersebut.
7. Akta Pengakuan Utang.
8. Pernyataan bahwa pihak Warga Negara Indonesia memperoleh fasilitas
pinjaman uang dari Warga Negara Asing untuk digunakan membangun
usaha.
9. Pernyataan pihak Warga Negara Indonesia bahwa tanah Hak Milik adalah
milik pihak Warga Negara Asing.
10. Kuasa menjual. Dalam hal ini Pihak Warga Negara Indonesia memberi
kuasa dengan hak substitusi kepada pihak Warga Negara Asing untuk
menjual, melepaskan atau memindahkan tanah Hak Milik yang terdaftar
atas nama Warga Negara Indonesia.
11. Kuasa roya. Dalam kuasa roya ini, Pihak Warga Negara Indonesia memberi
kuasa dengan hak substitusi kepada pihak Warga Negara Asing untuk se-
cara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak Warga Negara In-
donesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang-piutang
pihak Warga Negara Indonesia.
12. Sewa menyewa tanah. Dalam sewa menyewa tanah ini, Warga Negara In-
donesia sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa ke-
pada Warga Negara Asing sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu,
misalnya 25 (dua puluh lima) tahun dapat diperpanjang dan tidak dapat
dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa.
13. Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yang bersamaan dengan pem-
buatan perjanjian sewa menyewa tanah, dibuat sekaligus perpanjangan
sewa menyewa selama 25 (dua puluh lima) tahun.

31
14. Kuasa. Pihak Warga Negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substit-
usi kepada pihak Warga Negara Asing (penerima kuasa) untuk mewakili
dan bertindak untuk atas nama pihak Warga Negara Indonesia mengurus
segala urusan, memperhatikan kepentingannya, dan mewakili hak-hak
pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus izin mendi-
rikan bangunan (IMB), menandatangani surat pemberitahuan pajak dan
surat-surat lain yang diperlukan, menghadap pejabat yang berwenang
serta menandatangani semua dokumen yang diperlukan.
 Ciri dari telah dilakukan pembuatan nominee agreement /pinjam nama/topen-
gan (antara WNA dan WNI)dalam bidang perseroan terbatas selaludiikuti den-
gan perjanjian/akta seperti :
(1) Pemegang saham membuat akta Pernyataan, bahwa modal yang
tersebut dalam akta pendirian bukan miiknya (bukan uang sendiri),
tapi dari pihak lain.
(2) Dibuat akta Pengikatan Jual Beli Saham dan Kuasa Jual Saham.
(3) Dibuat Akta Pernyataan bahwa saham yang tersebut dalam akta
bukan bagian dari harta bersama.
(4) Dibuat Akta Kuasa untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Sa-
ham setiap saat jika diperlukan.
(5) Dibuat kuasa dari Direksi /Komisaris (jika pemegang saham sebagai
Direksi/Komisaris) kepada pemilik modal tersebut untuk men-
jalankan operasional perseroan terbatas dan pengambilan keputu-
san strategis perseroan.
(6) Akta Pernyataan bahwa modal yang disebutkan dalam anggaran
dasar perseroan terbatas berasal dari pinjaman pihak tertentu
(pemilik modal).
 Bahwa nominee agreement /pinjam nama/topengan dilakukan juga antara
WNI dengan WNI, baik dalam kepemilikan saham atau tanah/bangunan. Misal-
nya ada Yayasan yang membeli sebidang tanah (yang seharusnya bisa dina-
makan Yayasan sendiri) tapi diatasnamakan nama pribadi (Pembina/Pengu-
rus/Pengawas Yayasan) yang kemudian diback up dengan akta Pernyataan
yang namanya dipinjam tadi, misalnya dengan akta Kuasa Jual, dengan akta
Wasiat, dengan akta Hibah Wasiat atau akta-akta lainnya untuk bukti yang
bersangkutan hanya dipinjam namanya. Dalam bidang perseroan terbatas
yang namanya dipinjam sebagai pemegang saham, dengan membuat akta
Pernyataan bahwa modal/saham tersebut bukan miliknya tapi milik orang lain
yang namanya disebutkandalam akta atau akta-akta lainnya untuk bukti yang
bersangkutan hanya dipinjam namanya dalam perseroan terbatas tersebut.
 Bahwa dalam perspektif Hukum Pajak, akta-akta Pernyataan tersebut atau
yang sejenisnya tidak dapat mengeliminasi dengan menyatakan semua terse-
but bukan miliknya. Dan tetap akan dinilai sebagai miliknya sendiri yang
sebenarnya yang dapat dikenakan pajak.

10. KETERANGAN WARIS


PEMBUKTIAN SIAPA SEBAGAI AHLI WARIS DARI SIAPA (SAAT

32
INI MASIH BERDASARKAN ETNIS/WARGA NEGARA INDONESIA).

 DASAR HUKUM (SAAT INI/ HUKUM POSITIF) PEMBUATAN KETERANGAN


WARIS UNTUK WARGA NEGARA INDONESIA SAAT INI :
 Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewargane -
garaan menegaskan, bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang dis-
ahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dalam Penjelasan
Pasal 2 tersebut, ditegaskan pula bahwa yang dimaksud dengan orang-
orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI) sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima ke-
warganegaraan lain atas kehendak sendiri. Dengan demikian bahwa
bangsa Indonesia asli tidak didasarkan kepada suku atau etnis tertentu
saja, tapi adalah mereka telah menjadi Warga Negara Indonesia sejak ke-
lahirannya di bumi Indonesia dan tidak pernah menerima kewargane-
garaan lain atas keinginan atau kehendak sendiri.
 Pada sisi yang lain kelahiran Undang-undang Kewarganegaraan tersebut
memberikan dampak hukum yang lain, yaitu terhadap kedudukan aturan
hukum yang diberlakukan berdasarkan etnis tertentu, dalam arti
bagaimana kedudukan aturan hukum yang diberlakukan berdasarkan etnis
paska berlakunya Undang-undang Kewarganegaraan tersebut..? Apakah
aturan hukum tersebut masih berlaku secara imperatif, fakultatif atau alter-
natif…? Sebagai contoh bahwa B.W. pada awal berlakunya hanya un-
tuk golongan atau etnis tertentu, yaitu berdasarkan S. 1847 – 23 yang
menegaskan bahwa B.W. hanya berlaku bagi : (1) orang-orang Eropa; (2)
orang-orang Indonesia turunan Eropa; dan (3) orang-orang yang
disamakan dengan orang-orang Eropa, yaitu mereka yang pada saat itu
beragama Kristen. Kemudian ketentuan tersebut berlaku pula kepada
atau berdasarkan golongan penduduk yang dibuat oleh Pemerintah Hindia
Belanda (Pasal 163 IS), bahwa penduduk di Hindia Belanda dibagi dalam 3
(tiga) golongan, yaitu (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing, dan
(3) Golongan Bumiputera/Indonesia Asli.
 Berdasarkan etnis/golongan penduduk tersebut sejak tahun 1919 terhadap
Golongan Timur Asing, antara lain Cina dikenakan hampir seluruh keten-
tuan dalam B.W. dan Wv.K. dan terhadap Golongan Timur Asing bukan
Cina diberlakukan B.W. mengenai Hukum Harta Kekayaan, disamping
berlaku pula hukum dari asal negara mereka, dan untuk golongan Indone-
sia Asli berlaku Hukum Adat. Meskipun kemudian Mahkamah Agung Re-
publik Indonesia dengan Surat Edaran nomor 3/1963, tanggal 5 September
1963, menganggap B.W. tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai
suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang
tidak tertulis. Dengan berlakunya Undang-undangKewarganegaraan terse-
but, maka semua aturan hukum yang berlaku untuk etnis tertentu secara
imperatif sudah tidak berlaku lagi untuk golongan penduduk atau etnis ter-

33
tentu, tapi aturan hukum tersebut bersifat alternatif atau fakultatif saja un-
tuk Warga Negara Indonesia.
 Dalam praktek Notaris di Indonesia telah biasa membuat Surat Keteran-
gan Waris (SKW) untuk mereka yang termasuk ke dalam etnis Cina. Prak-
tek Notaris seperti ini tidak pernah ada pengaturannya dalam PJN, tapi
hanya merupakan kebiasaan Notaris yang sebelumnya, kemudian diikuti
secara langsung oleh Notaris yang datang kemudian, tanpa mencari mak-
sud dan tujuannya, tanpa bertanya, kenapa pembuatan bukti ahli waris di
Indonesia harus dibedakan berdasarkan etnis ?
 KETERANGAN HAK WARIS keterangan yang menerangkan/membuktikan
siapa yang meninggal dunia, bagaimana status perkawinannya semasa hay-
atnya, siapa keluarga yang ditinggalkan atau ahli-waris yang ditunjuknya,
siapa sebagai ahli waris dari siapa, dan tidak perlu mencantumkan hak/
bagian para ahli waris.
 Diskriminasi dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris yang masih
berdasarkan etnis (suku/golongan penduduk Indonesia) juga masih terdapat
dalam :
(a) Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agaria Direktorat
Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, nomor
Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian
Kewarganegaraan, dan
(b) Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
 Dalam 49 ayat (1) huruf (b) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama juncto Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006, bahwa kewenangan Pengadilan Agama, antara lain menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang Kewarisan. Bahwa bidang Kewarisan yang dimaksud antara lain
“penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian mas-
ing-masing ahli waris”.
 Substansi pasal tersebut menentukan bahwa untuk Warga Negara Indonesia
yang beragama Islam (tidak melihat dari etnis/ras/suku bangsa), untuk
menentukan keahliwarisannya (siapa sebagai ahli waris dari siapa dan hak/
bagiannya) dapat mengajukan Permohonan Penetapan (Fatwa Waris) ke pen-
gadilan agama setempat.
 Wewenang membuat KHW :
1. Bagi Golongan Eropah dibuat oleh Notaris.
2. Bagi Golongan Penduduk Asli (Bumiputra) dibuat dan ditanda-tan-
gani oleh para ahli-waris sendiri, disaksikan oleh Lurah dan dike-
tahui oleh Camat.
3. Bagi Golongan Timur Asing China dibuat oleh Notaris.
4. Bagi Golongan Timur Asing Lain diterbitkan oleh BHP.

34
 Notaris Indonesia hanya berwenang menerbitkan Keterangan Hak Waris bagi
WNI yang sudah meninggadunia, baik meninggal di Indonesia maupun di luar
negeri. WNA yang meninggal dunia meskipun meninggal di Indonesia tidak
merupakan kewenangan Notaris Indonesia menerbitkan KHW atas namanya -
hal ini harus diperhatikan dengan sistem hukum dan kewarganegaraan yang
bersangkutan.
 Dalam pembuatan Keterangan Hak Waris oleh Notaris - Notaris wajib melihat
golongan ahli waris dari pewaris.
 Dalam kenyataan ada Keterangan Waris yang dibuat oleh Pemerinah Daerah.
Penerbitan Keterangan Waris oleh pemerintah daerah secara hukum tidak
tepat, karena pemerintah daerah merupakan Pejabat Tata Usaha Negara, dan
Keterangan Waris bukan kualifikasi Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.
Tapi Keterangan Waris merupakan bukti perdata untuk membuktikan siapa
sebagai ahli waris dari siapa.
 Syarat-syarat pembuatan KHW, antara lain :
a. Akta kematian pewaris.
b. Akta Perkawinan pewaris.
c. Akta kelahiran anak-anak pewaris.
d. Surat Ganti Nama.
e. Bukti Kewarganegaraan (SBKRI dll)
f. Kartu Keluarga.
g. Surat Wasiat (kalau ada)
h. KTP dari pemberi informasi.
i. Data lain yang relevan (mis. paspor dll)
 KESIMPULAN 1:
A. Secara Normatif – Imperatif – Istimewa (untuk WNI beretnis Tionghoa/
Cina) Notaris berwenang membuat Akta Keterangan Hak Waris dalm ben-
tuk Akta Pihak (Partij Akta) à Karena UUJN hanya mengenal Akta Pihak
dan Akta Berita Acara - Pasal 15 ayat (1) UUJN sebagai perbuatan / tin -
dakkan hukum yang diperintahkan peraturan perundang-undangan.
B. Secara Fakultatif (untuk WNI yang lainnya – tidak berdasarkan etnis
apapun) Notaris berwenang membuat Akta Keterangan Hak Waris dalam
bentuk Akta Pihak (Partij Akta) - Karena UUJN hanya mengenal Akta Pi-
hak dan Akta Berita Acara - Pasal 15 ayat (1) UUJN sebagai perbuatan /tin-
dakkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak/penghadap.
C. Untuk WNI – pribumi dibuat dibawah tangan oleh para ahli warisnya yang
kemudian disaksikan/dikuatkan oleh Kepada Desa/Lurah dan Camat di
tempat tinggal terakhir pewaris.
D. Untuk WNI – beragama Islam dari Pengadilan Agama (Dalam 49 ayat (1)
huruf (b) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama juncto Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun2006,
bahwa kewenangan Pengadilan Agama, antara lain menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Is-
lam di bidang Kewarisan. Bahwa bidang Kewarisan yang dimaksud antara

35
lain “penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan
bagian masing-masing ahli waris”.
E. Untuk WNI (selain Cina / Tionghoa dan pribumi) dibuat oleh Balai Harta
Peninggalan (BHP).
 KESIMPULAN 2 :
1. Bahwa besarnya hak/bagian para ahli waris tidak perlu dicantunkan dalam
Akta Keterangan Waris karena hal tersebut menjadi perbuatan bebas para
pihak untuk menentukannya atau hukum waris yang berlaku untuk para
ahli waris.
2. Jika para ahli waris telah sepakat menentukan hak/bagiannya berdasarkan
hukum waris yang berlaku baginya, sangat dianjurkan para ahli waris
tersebut terlebih dahulu membuat Pernyataan Kesepakatan Untuk Mem-
bagi Harta Warisan berdasarkan hukum/ketentuan yang berlaku bagi yang
bersangkutan.
 Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN – P ada 2 (dua) Jenis akta Notaris,
yaitu :
b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut Akta Pihak.
c. Akta yang dibuat oleh Notaris disebut Akta Relaas (Berita Acara atau
Risalah).
sehingga tidak ada jenis akta ketiga. Tapi ternyata dalam praktek setelah
berlakunya UUJN dan UUJN – P yang sebenarnya UUJN dan UUJN – P tidak
mengenalnya, yaitu Notaris membuat Surat Keterangan Ahli Waris atau Surat
Keterangan Mewaris dalam bentukPernyaataan dari Notaris sendiri
berdasarkan Keterangan dan bukti-bukti dari penghadap. Bahwa
Kewenangan Notaris yaitu membuat Akta dengan syarat dan ketentuan yang
ada dalam Pasal 38 UUJN – P, sedangkan Surat Keterangan seperti itu tidak
memenuhi syarat akta dan bukan kewenangan Notaris. Agar sesuai dengan
kewenangan Notaris, maka Keterangan Hak Waris tersebut dibuat dalam
Akta Pihak saja yang membuktikan siapa sebagai ahli waris dari siapa
berdasarkan alat bukti/data/dokumen dan keterangan dari penghadap
sendiri. Dalam akta Kererangan Hak Waris tersebut tidak perlu menyebutkan
hak atau bagian para ahli waris, karena hal tersebut menjadi tangungjawab
penghadap sendiri mengenai hukum yang mengatur bagian dan hak waris
para ahli waris. Keterangan Hak Waris ini dibuat untuk seluruh Warga
Negara Indonesia dan penduduk Indonesia dan tidak diskriminatif.
 Dengan masih diskriminatifnya (baik untuk subjeknya yang masih ber-
dasarkan etnis penduduk Indonesia dan institusinya yang membuat atau
mengesahkannya) yang bisa membuat permasalahan tersendiri untuk Not-
aris/PPAT, misalnya berkaitan dengan adanya Wasiat atau Hibah Wasiat. Un-
tuk Keterangan Waris yang dibuat di hadapan Notaris atau BHP selalu ada
kewajiban menanyakan terlebih dahulu ada atau tidak ada wasiat ke Daftar
Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta, tapi Keterangan
Waris yang tidak dibuat di hadapan Notaris atau BHP, tidak ada kewajiban
untuk menanyakan ada atau tidak ada wasiat ke Daftar Pusat Wasiat di Ke-
menterian Hukum dan HAM RI tidak pernah dilakukan dan juga bukan ke-
wajiban. Memang pada dasarnya Notaris/PPAT harus percaya dengan sub-
36
stansi yang tersebut dalam Keterangan Waris tersebut, agar tidak menimbu-
lkan permasalahan di kemudian hari untuk Notaris/PPAT jika menerima Ket-
erangan Waris yang tidak dibuat dihadapan Notaris atau BHP, maka untuk
kehati-hatian Notaris/PPAT meminta Pernyataan bahwa Pewaris tidak men-
inggalkan wasiat dengan cara dan bentuk apapun.

11. HAK/BAGIAN AHLI WARIS YANG BERBEDA AGAMA


(DALAM HUKUM WARIS ISLAM)
BAGAIMANAKAH SIKAP NOTARIS/PPAT KETIKA DIMINTA
MEMBUAT AKTA PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG
TERNYARA DIANTARA PARA AHLI WARIS BERBEDA AGAMA
(DALAM HUKUM WARIS ISLAM)

 Pewarisan merupakan salah satu hal yang cukup penting eksistensinya dalam ke-
hidupan setiap orang karena perihal pewarisan tidak jarang menimbulkan sengketa
atau bahkan pertengkaran saudara/keluarga yang menjadi ahli waris atas harta war-
isan yang ditinggalkan pewaris. Sengketa atau pertengkaran tersebut kerap terjadi
apabila para ahli waris merasakan ketidakadilan dalam pembagian harta warisan.
Salah satu faktor yang bisa menimbulkan ketidakadilan pembagian harta warisan
adalah apabila di dalam sebuah keluarga terdapat satu atau lebih anggota keluarga
yang berbeda agama/keyakinan dengan anggota keluarga yang lainnya, seperti
yang terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368 K/
AG/1995. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa ahli waris yang berbeda agama
dengan pewaris tidak patut menjadi ahli waris namun tetap tidak menghilangkan
haknya untuk mendapatkan bagian atas harta warisan si pewaris. Pewaris di sini
adalah kedua orang tua ahli waris yang beragama Islam, sedangkan ahli warisnya
adalah anak kandung pewaris yang salah satu dari keenam orang anaknya keluar
dari Agama Islam (murtad) dan berpindah ke Agama Kristen. Ahli waris yang ber-
pindah agama ini mendapatkan bagiannya atas harta warisan pewaris sebagai pen-
erima wasiat wajibah yang besarnya tidak lebih dari 1/3 bagian dari harta warisan
pewaris, yang didasarkan pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Bunyi Pasal 209
KHI memang tidak sesuai dengan kasus putusan MA tersebut, namun majelis hakim
tetap berupaya memberikan keadilan bagi ahli waris yang berpindah agama tersebut
dengan cara mengandaikan si ahli waris sebagai anak angkat. Walaupun tidak bisa
menjadi ahli waris yang sah, namun tetap bisa mendapatkan haknya sebagai anak
sah dari si pewaris dengan menerima wasiat atau hibah. Wasiat atau hibah tersebut
sebaiknya dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.
 Terdapat dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris non muslim yaitu
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan
Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
 Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim
mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat
wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan iniahli waris non musim
tidak dinyatakan sebagai ahli waris.

37
 Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non
muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian
yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini
dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.
 Dari dua putusan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa melalui yurispru-
densinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari
tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menjadi memberikan harta bagi
ahli waris non muslim, dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli
waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga di-
anggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim.Dengan kata lain Mahkamah Agung
telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan ba-
gian harta yang setara dengan ahli waris muslim.
 Putusan tentang hak waris isteri yang berbeda agama dengan suaminya (putusan
MA No. 16K/AG/2010) menjadi salah satu yang agak berbeda dibanding yang lain.
Putusan ini juga memperlihatkan perkembangan putusan hakim mengenai waris Is-
lam.
 Pemberian bagian berupa wasiat wajibah kepada anggota keluarga yang berbeda
agama juga disinggung dalam putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan No. 51K/
AG/1999. Putusan-putusan perkara waris dan hukum keluarga pun dipandang su-
dah mengalami kemajuan.
 Pada hari Rabu tanggal 30 April 2010, majelis hakim yang diketuai oleh Drs.
H. Andi Syamsu Alam, S.H , M.H., dengan anggota Prof. Dr. Rifyal Ka’bah,
M.A. dan Drs. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H. mengeluarkan keputusan
yang bernomor 16K/AG/2010 dimana keputusannya adalah memberikan ba-
gian warisan kepada Evie Lany Mosinta yang beragama Kristen (Kafir) dari
peninggalan suaminya Ir. Muhammad Armaya bin Renreng yang beragama
Islam.
 Dalam keputusan tersebut diceritakan bahwa Ir. M. Armaya bin Renreng
(MAR) menikahi Evie Lany Mosinta (ELM) pada tanggal 1 November 1990
dan tercatat secara resmi di catatan sipil. Selama pernikahan mereka tidak
dikaruniai anak. Pada tanggal 22 Mei 2008 MAR meninggal dunia dalam
keadaan masih memeluk agama Islam, beliau meninggalkan harta warisan
dan 5 ahli waris yaitu : Halimah Daeng Baji (Ibu Kandung), Dra. Hj. Murnihati
binti Renreng (saudara kandung perempuan), Dra. Hj. Muliyahati binti Ren-
reng (saudara kandung perempuan), Djelitahati binti Renreng (saudara
kandung perempuan) dan Ir. Arsal bin Renreng (saudara kandung laki-laki).
Namun sampai MAR meninggal dunia, ELM masih tetap beragama Kristen.
 Sebelumnya dalam pengadilan agama Makassar telah ditetapkan keputusan
yang bernomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks tanggal 12 maret 2008/5 Rabiul
Awal 1430 H yang intinya berbunyi :
o Harta milik MAR dibagi 2 dengan ELM karena merupakan harta gono-
gini.
o Bagian ½ MAR diserahkan kepada 5 ahli waris diatas dengan pembagian
(pokoknya adalah 30) :
 Untuk   Ibu kandung mendapat 1/6 x 30 = 5 bagian,

38
 Untuk Saudara kandung perempuan yang berjumlah 3 masing-
masing mendapat 1/5 x 25 = 5 bagian,
 Saudara laki-laki 2/5 x 25 = 10 bagian.
 Keputusan ini ditolak oleh penggugat dan diajukan banding, namun
Pengadilan Tinggi Agama Makassar menguatkan keputusan tersebut
dengan nomor 59/Pdt.G/2009/PTA.Mks tanggal 15 Juli 2009/22 Rajab 1430
H. Kemudian tidak puas penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung dan keluarlah keputusan Mahkamah Agung dengan nomor diatas.
 Inti dari isi keputusan MA adalah :
o Menetapkan harta gono-gini antara MAR dengan ELM sebesar 1/2 bagian dan
1/2 bagian.
o ELM berhak mendapatkan harta warisan dari ½ harta MAR bersama 5 ahli waris
diatas, sehingga pembagiannya adalah (pokoknya adalah 60) :
 Untuk Ibu kandung menerima 10/60 bagian.
 Untuk ELM menerima 15/60 atau ¼ bagian.
 Untuk Saudara kandung perempuan yang berjumlah 3 masing-masing 7/60
bagian.
 Untuk Saudara kandung laki-laki sebanyak 14/60 bagian.
 Alasan yang mendasari keputusan MA memberikan harta warisan kepada ELM
yang notabene tidak seagama dengan MAR yaitu :
o Alasan undang-undang bahwa perkawinan mereka sah dan tercatat di catatan
sipil sehingga mengacu kepada undang-undang perdata.
o ELM sebagai istri MAR telah mengabdi kepada suaminya selama kurang lebih
18 tahun.
o Para ulama seperti Yusuf al-Qordhawi telah memberikan fatwa bolehnya non
Muslim mewarisi seorang muslim.
o MA menganggap hal tersebut sebagai wasiat wajibah.
 Pengadilan Tinggi Agama sebenarnya mengakui adanya hak Sri berdasarkan wasiat
wajibah, tetapi jumlahnya hanya tiga perempat dari bagian seorang anak perempuan
ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang bisa diperoleh Sri, dari
tiga perempat menjadi sama dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris per-
empuan. Pertimbangan dan putusan MA yang mengakui hak anak yang berbeda
agama atas waris terdapat dalam register perkara No. 368K/AG/1995. Putusan atas
perkara ini baru dijatuhkan tiga tahun kemudian.
 Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kera-
bat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara’
 Menurut pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, anak angkat ataupun or-
ang tua angkatnya berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga), apabila anak angkat atau orang tua angkatnya tidak menerima wasiat,
maka dengan demikian wasiat wajibah adalah merupakan jalan keluar dari pada
anak angkat atau orang tua angkat untuk mendapatkan bagian dari harta pening-
galan tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak an-
gkatdan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat
(1) dan ayat (2) berbunyi :
39
(6) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak mener-
ima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkatnya.
(7) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah seban-
yak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
 Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak
kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua
angkat secara serta marta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu
diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan un-
tuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, di-
mana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan
pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus di-
tunaikan terlebih dahulu.
 Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut dapat menjadi dasar bagi Notaris/PPAT
jika diminta membuat akta pembagian harta warisan, jika diantara para penghadap
ada yang berbeda agama (Islam).

12. KAPAN PERJANJIAN KAWIN (PRENUPTIAL AGREEMENT)


HARUS DIBUAT ?

 Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjad
harta bersama. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
disebutkan dalam Pasal 119 bahwa kekayaan masing-masing yang
dibawanya kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Lebih lanjut lagi
dalam ayat 2 nya bahwa persatuan (percampuran) harta itu sepanjang
perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami
istri.
 Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama Apabila terjadi perceraian,
maka harta kekayaan bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing
mendapat separuh.
 Perjanjian Perkawinan : perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami-
isteri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-
akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.
 Pasal 29 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan :
2) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai Pencatan Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
3) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
4) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
5) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

40
 Isi Perjanjian Perkawinan :
1. Perjanjian Perkawinan dengan kebersamaan untung rugi.
2. Perjanjian Perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan.
3. Perjanjian Perkawinan – peniadaan terhadap setiap kebersamaan harta
kekayaan (pisah harta sama sekali) .
 Untuk memenuhi unsur publisitas Perjanjian Perkawinan wajib didaftarkan
pada instansi yang telah ditentukan, pentingnya pendaftaran ini agar pihak
ketiga menetahui dan tunduk pada Perjanjian Perkawinan tersebut, misalnya
jika terjadi jual beli oleh suami atu isteri, jika ada Perjanjian Perkawinan,
maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakkan hukum yang
akan dilakukannya.
 Jika Perjanjian Perkawinan tidak didaftarkan, maka hanya akan mengikat dan
berlaku para pihak (suami/isteri) yang membuatnya. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 1313 – 1314 dan 1340 KUHPerdata.
 Pencatatan/pendaftaran Perjanjian Perkawinan untuk suami – isteri yang be-
ragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat atau di
KUA perkawinan dicatatkan. Dan untuk suami-isteri yang tidak beragama Is-
lam dilakukan di Kantor Catatn Sipil.
 Perubahan Perjanjian Kawin. - Pada dasarnya Perjanjian Kawin tidak dapat
dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah pihak
ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga, demikian bunyi Pasal 29 ayat (4) Undang0undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tidak memberikan penjelasan
bagaimana mekanisme pencabutan atau perubahan Perjanjian Kawin yang
telah dibuat oleh suami isteri tersebut.
 Dalam praktek ada juga Perjanjian Perkawinan dibuat setelah perkawinan
berlangsung. Hal ini bisa saja dilakukan dengan ketentuan suami dan isteri
tersebut terlebih dahulu mengajukan Permohonan Penetapan ke pengadilan
negeri agar diizinkan membuat Perjanjian Perkawinan setelah mereka
menikah. Berdasarkan Penetapan tersebut datang kepada Notaris untuk
membuat Perjanjian Perkawinan yang akan berlaku sejak tanggal akta dibuat.
Jika ini dibuat terlebih wajib diumumkan pada surat kabar/koran untuk
menghindari sanggahan atau keberatan dari pihak ketiga.
 Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya pembuatan Perjanjian Kawin di-
lakukan setelah perkawinan dilangsungkan dengan dasar Penetapan Pen-
gadilan Negeri. Contoh :
a. Penetapan Nomor 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel.
b. Penetapan Nomor 326/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Bar.
c. Penetapan Nomor 207/Pdt/P/2005/ PN.Jkt.Tim.
d. Penetapan Nomor 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tim.

41

Anda mungkin juga menyukai