Anda di halaman 1dari 4

John Jones dan Tempat Tersirat

Berlari dari ruang ke ruang, koridor ke koridor. Dikelilingi jebakan yang membahayakan nyawa.
Satu pikiran di benak;

"Saya harus keluar dari sini hidup-hidup!"

"Tak mungkin tempat ini menjadi kuburan saya."

Semua ini bermula ketika sedang mengoprek-oprek lonteng kakek. Beliau sudah meninggal dan
mewariskan rumahnya kepada saya. Melihat isi rumahnya saya jadi teringat masa lalu. Kakek
dulu sering bicara bahwa ada lebih yang dapat disaksikan mata di Candi Sewu. Dipikir-pikir,
dulunya saya tidak mengerti dan menangkap apa yang dibicarakan kakek.

"Apa maksud kakek?" Tanyaku dulu.

"Nanti kau akan lihat nak, sesuatu yang tidak seperti di dunia ini." Jawab Kakek.

"Jika saya sudah meninggal, di lonteng kau akan menemukan jawaban." Lanjut Kakek.

Sampai sekarang aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang dibicarakan kakek, tapi kata-
katanya melekat di pikiranku selama bertahun-tahun. Saya melanjutkan pencarian di lonteng ini. 

"Apa yang Kakek ingin aku temukan?" Pikirku heran

Saat menyingkirkan berbagai hal yang sudah tua dan lapuk, ada sebuah laci penuh kenangan
masa lalu dan juga barang-barang yang kelihatannya misterius. Terutama sebuah piringan yang
terbuat dari batu. Piringan ini telah ditutupi oleh lumut. Saat kubersihkan terlihat apa yang dapat
kuanggap sebagai sebuah kompas.

"Tetapi kompas ini tidak memiliki arah mata angin dan terbuat sepenuhnya dari batu." Kataku

Setelah selesai berbicara piringan batu mulai bergerak. Saking kagetnya, aku menjatuhkan
batunya. 

"Bagaimana batu itu bisa bergerak? Kemana batu itu menunjuk? Kenapa Kakek menyimpan
barang seperti ini?" Pikiran seperti ini mengisi kepala. Kucari lagi laci yang berisi barang antik
tadi. Aku kemudian melihat sebuah catatan di lantai.

"Mungkin jatuh saat aku mengambil batu tadi."

Isinya mengatakan bahwa batu ini bukanlah pahatan atau kerajinan biasa. Batu ini adalah pintu
masuk, sebuah penunjuk jalan, kunci kebahagiaan, dan seterusnya. Bingung karena apa yang
ditulis dalam catatan tersebut, teringatlah perkataan Kakek tentang Candi Sewu. 

"Apakah ini yang Kakek ingin saya temukan? Inikah pintu ke dunia lain yang Kakek bicarakan?"
Tanpa pikir panjang aku langsung pergi ke Candi Sewu membawa batu mistik itu bersamaku.
Aku memulai ekspedisi saat malam di mana tidak ada orang yang dapat mempertanyakan
apapun. Batu tersebut mulai menyala saat mendekati Candi Sewu. Saat di depan sebuah tembok,
terlihat sebuah celah yang bentuknya kebetulan sama dengan bentuk dan ukuran batu yang saya
pegang. Tak ada yang terjadi saat kumasukan batu itu, tetapi kemudian tanah di bawah kakiku.
Hilang. Untungnya lubang ini adalah sebuah perosotan dan tidak jatuh ke bawah. Sayangnya saat
merosot ke bawah dapat terdengar suara menutupnya pintu masuk.

"Sepertinya keluar melewati tempat asalku bukanlah pilihan." Pikirku tenang

Mendarat di akhir lubang itu, aku tak bisa melihat apa-apa. Untungnya persiapanku datang
menyelamatkan, karena korek api yang aku bawa tidak jatuh saat melalui lubang tadi.

"Semoga saja korek ini tidak cepat habis."

Keberuntungan sekali lagi menyelamatkanku, karena kutemukan sebuah kayu obor yang
kelihatannya masih dapat dipakai. Dengan masalah cahaya teratasi, aku meneruskan ekspedisi di
katakombe Candi Sewu. Ruang demi ruang, lorong demi lorong saya lewati.

"Dimana hal yang Kakek katakan itu berada ya." Pikirku penasaran dan penuh ketidaksabaran.

Waktu terus berjalan dan aku tidak menemukan apa-apa kecuali banyak ruang kosong.
Sayangnya lagi aku tidak menemukan jalan keluar atau apa yang dibicarakan kakek bertahun-
tahun yang lalu. Tetapi, aku tetap gigih dalam melanjutkan ekspidisi ini.

“Aku tidak akan mati disini dan jika aku mati aku ingin setidaknya melihat apa yang kakek
bicarakan itu.” Pikirku penuh keyakinan

Waktu terus berjalan dan kelelahan mulai muncul. Aku memutuskan untuk istirahat sementara di
salah satu ruangan yang kosong tersebut. Dengan mudahnya aku tertidur, dikarenakan kelelahan
berjalan selama berjam-jam mencari sesuatu. Tapi sebelum lama aku terbangunkan oleh suara
gemuruh dan didepanku, sebuah lorong terbuka. Cahaya dan kehangatan matahari dapat aku
rasakan. Tanpa berpikir panjang aku langsung lari keluar. Hanya untuk kembali ke dunia nyata

“Sebuah mimpi? Tidak sopan sekali otakku ini ya, bermain dengan situasi buruknya sendiri.”
Kataku kecewa dan kesal.

Aku melanjutkan ekspidisi ini. Melewati mungkin sekarang sudah beratusan ruang kosong,
meskipun begitu saya masih gigih dalam menemukan hal yang ditinggi-tinggikan Kakek. Tanpa
lama setelah kelelahan muncul, diikuti oleh kelaparan, persediaan minum saya juga terbatas. Aku
harus keluar dari sini sebelum keduanya habis.

Akhirnya, setelah berjam-jam aku menemukan sesuatu yang sepertinya lebih dari ruangan
kosong. Hanya terdapat sebuah gambar. Dua orang, satu berlari dan satu tidak. Tentunya gambar
yang kulihat ini menyerupai gambar-gambar di prasasti. Aku mencoba membersihkan muka
orang kedua karena tertutup debu dan tanpa sengaja, menekan sebuah jebakan. Suara gemuruh
memenuhi ruangan dan di belakangku adalah sebuah batu besar yang bundar dengan bulatan di
tengah yang menyala.

Batu itu mulai menggelinding ke arahku, mengikutiku.

“Bagaimana mungkin ada batu dengan fitur melacak seperti ini.”

Langsung aku lari mendahului batu itu. Sekarang kita kembali ke awal cerita. Berlari dari ruang
ke ruang, koridor ke koridor. Dikelilingi jebakan yang membahayakan nyawa. Satu pikiran di
benak;

"Saya harus keluar dari sini hidup-hidup!"

"Tak mungkin tempat ini menjadi kuburan saya."

Sesaat dengan batu itu muncul, lantai di koridor tadi yang biasa-biasa saja terbuka. Aku tidak
dapat melihat kedalaman lubang itu, jadi akan baik jika aku tidak jatuh kedalamnya. Ditambah
lagi ada kapak-kapak besar yang sering kulihat di film-film.

Ada yang pernah berkata bahwa kepanikan dapat menghalangi kapasitas berpikir seseorang.
Memang benar hal itu, karena aku sendiri mengetahuinya dengan cara yang buruk. Di salah satu
kapak yang besar itu, aku telat berlari dan pisau tajamnya mengenai kaki dan memotong jari
manis tangan kananku. Tapi tidak ada waktu untuk berhenti karena batu yang tadi masih
mengejarku.

Tiba-tiba muncul sebuah kesempatan. Di depan, ada lubang yang kelihatannya lebih besar dari
batu itu. Aku mulai berlari ke arahnya dan melompat, memegang bebatuan di tembok yang
menjorok keluar. Dengan hati-hati dan menahan sakit, aku berhasil melewati lubang itu dan
jatuhlah batu itu ke dalam. Tidak terdengar suara apapun. Tidak ada “brak” atau “bum”, hanya
kesunyian. 

Memasuki ruangan kosong lagi untuk beristirahat setelah merawati luka-luka, aku merasakan
sensasi kesakitan yang tajam dari sebelahku. Saat kulihat, ada sebuah anak panah yang tertusuk
di bagian sampingku. Ingin aku tarik tetapi teringat jika ditarik, aku akan kehilangan banyak
darah. Dan dengan aku yang sudah kehilangan banyak darah karena insiden kapak tadi, aku tidak
akan menantangnya.

Berjalan sambil kesakitan aku mulai menyadari bahwa setiap langkah terasa semakin berat.

“Sepertinya panah ini beracun, aku tidak memiliki banyak waktu.”

Aku melwati sebuah lubang lagi, tapi yang ini sepertinya berbeda, aku dapat melihat cahaya
yang remang di bawah. Dan pada saat itu juga, semuanya gelap. Saat aku membuka mata aku
dapat melihat apa yang kakek bicarakan. Sangatlah indah, hampir membuat segala siksaan ini
setimpal.
“Benar-benar indah”

Anda mungkin juga menyukai