Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Menurut
Joint Child Malnutrition Eltimates (2018), pada tahun 2017 jumlah balita
stunting di asia mencapai 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting, namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.Pada
tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia yaitu
sekitar 55%, sedangkan lebih dari sepertiganya tinggal di Afrika sekitar 39%.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan sekitar 58,7% sedangkan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
sekitar 0,9%.
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk kedalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%. Menurut WHO Indonesia menempati stunting tertinggi di
Asia pada tahun 2017 dan prevalensi stunting di Indonesai mencapai 27,69%.
Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2013 dan 2018 dilaporkan oleh
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2018. Indikasi balita di Indonesia,
pendek pada tahun 2013 sebanyak 19,20%, dan pada tahun 2018 sebanyak
19,30% , jumlah penderita gizib uruk pada tahun 2013 sebesar 5,70%,dan
pada tahun 2018 sebanyak 3,90%. Penderita underweight pada tahun 2013
sebanyak 13,90%, di 2018 sebanyak 13,80% (Salesman, 2019).
Masalah nutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa di atasi sepenuhnya oleh pemerintah terbukti dari data-data suvere
dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyatakan bahwa
prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%, lebih
tinggi dibandingkan tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%). Bila dilihat

1
2

prevalensi stunting secara keseluruhan baik yang mild maupun severe


(pendek dan sangat pendek), maka prevalensinya sebesar 30,8%.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur
dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal
(Buletin stunting, 2018).
Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi kronis yang dimulai saat
bayi dalam kandungan. Kekurangan asupan makan yang tidak seimbang
seperti makro dan mikro bisa terjadi selama awal kehidupan bayi setelah
lahir, asupan makro yang tidak seimbang seperti karbohidrat, protein, lemak,
dan air sedang asupan mikro yang tidak seimbang seperti vitamin, mineral
penyebab terjadinya stunting. Asupan vitamin, mineral pada anak-anak harus
seimbang, jika berkurang seperti asam folat dan zat besi sangat berdampak
pada tumbuh kembang anak (WHO, 2016). Stunting juga di akibatkan dari
malnutrisi kronis yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan kondisi tinggi
badan seseorang yang kurang normal berdasarkan usia serta jenis kelamin
dan tinggi badan. Diagnosis stunting ditegakan dengan membandingkan nilai
Z skor tinggi badan per umur yang diperoleh dari grafik pertumbuhan yang
sudah digunakan secara global, oleh karena itu angka kejadian stunting tidak
pernah menurun meskipun angka kejadian malnutrisi lain seperti wasting
(kurus) sudah menurun cukup signifikan (Candra, 2020).
Pemberian zat besi pada masa kehamilan sangat penting karena dapat
mencegah kecacatan bayi dan juga dapat mengurangi terjadinya stunting.
Kebutuhan asam folat pada wanita hamil meningkat dari normalnya,
kebutuhan asam folat pada wanita usia subur dan pada ibu hamil sekitar 400-
600 mikrogram perhari(0,4-0,6 mcg/hari) asam folat berperan aktif dalam
fase awal terbentuknya janin,yaitu fase pembentukan sistem pusat. Ibu hamil
3

perlu melakukan edukasi prekonsepsi asam folat selama kehamilan.


Suplemen asam folat prekonsepsi dapat menurunkan angka kejadian stunting
dalam kondisi hamil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) prevalensi stunting di
Nusa Tenggara Timur pada tahun 2020 sebesar 27,67% dan Nusa Tenggara
Timur termasuk kedalam provinsi pertama dengan tingakat stunting tertinggi
dari 34 provinsi di Indonesia, sedangkan prevalensi stunting terbanyak ke
lima dari 22 kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Timur terdapat di Kota
Kupang. Di Kota Kupang sendiri, menurut data Dinkes Kota Kupang tahun
2020 Puskesmas Oesapa merupakan puskesmas penyumbang pasien stunting
tertinggi yaitu mencapai 655 orang. Puskesmas Oesapa terletak di kelurahan
Oesapa,Kecamatan Kelapa Lima. Puskesmas Oesapa merupakan salah satu
puskesmas terbesar di Kota Kupang dan melakukan pelayanan kepada
pasien setiap hari. Berdasarkan studi pra penelitian diperoleh data pasien
stunting periode Januari –Agustus 2021 berjumlah 346 orang.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang hubungan pengetahuan ibu dan penggunaan asupan zat besi dan
asam folat pada ibu hamil terhadap kejadian stuntingdi Puskesmas Oesapa
Kota Kupang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan masalah
Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dan penggunaan asupan zat besi dan
asam folat pada ibu hamil terhadap kejadiaan stunting anak di Puskesmas
Oesapa Kota Kupang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Menganalisis hubungan pengetahuan ibu dan
penggunaan asupan zat besi dan asamfolat pada ibu hamil terhadap
kejadian stunting anak di Puskesmas OesapaKota Kupang.
4

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Menambah wawasan bagi ilmu pengetahuan dan informasi bagi peneliti
terhadap pengetahuan penelitian mengenai hubungan pengetahuan ibu dan
penggunaan asupan zat besi dan asam folat pada ibu hamil terhadap
kejadian stunting.
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bahan
pertimbangan Puskesmas guna meningkat penyuluhan tentang hubungan
pengetahuan ibu dan penggunaan asupan zat besi dan asam folat pada ibu
hamil terhadap kejadian stunting ,sehingga efektif bisa menurunkan angka
kejadian stunting.
3. Bagi Insitusi
Hasil penelitian ini dapat digunakanan sebagai bahan referensi tambahan
dan informasi tentang pengaruh asupan zat besi dan asam folat pada ibu
hamil terhadap kejadian stunting, sehingga dapat dijadikan sumber
referensi bagi penelitian selanjutnya tentang pengaruh pengetahuan ibu
dan penggunaan asupan zat besi dan asam folat pada ibu hamil terhadap
kejadian stunting.
5

1.5 KeaslianPenelitian
NO Nama dan JudulPenelitian Hasil Persamaan Perbedan
tahun
1 Ayuningtyas Asupan zat gizi a) Kurangnya asupan a) Pada penelitian a) Adanya
et al(2018). makro dan mikro protein, lemak, Ayunigtyas et al dan perbedan di
terhadap Kejadian vitamin D dan Fe penelitian ini tujuan
Stunting pada Balita. menyebabkan menggunakan penelitian.
terjadinya stunting. penelitian yang b) Waktu dan
Didapatkan hasilnya bersifat deskriptif. tempat
29,3% balita yang b) variabel yang penelitian.
mengalami kejadian digunakan dalam
stunting. penelitian Ayuningtyas
b) Terdapat hubungan dengan penelitian saya
antara zat gizi makro, sama.
zinkdengan kejadian
stunting pada balita.
c) Tidak ada hubungan
antara asupan
vitamin D, Fe dengan
kejadian stunting
pada balita.

2 Farida Hanum Hubungan asupan a) Tidakterdapat a) Pada penelitian a) Metode


et al(2014). gizi dan tinggi badan hubungan yang Farida hanum et al, penelitian
ibu dengan status gizi signifikan antara sampling yang yangdigunakan
anak balita. tinggi badan ibu digunakan dalam farida harum
dan tingkat penelitian sama perbeda dengan
kecukupan energi dengan sampling yang metode yang
dengan status gizi. akan saya gunakan saya guna kan
b) Terdapat hubungan dalam penelitian. dalam penlitian
negatif antara tingkat b) Pada penelitian farida saya.
kecukupan protein hanum Pengumpulan b) Tempat dan
dengan status gizi data dilakukan melalui waktu
anak balita . wawancara penelitian.
menggunakan
kuesioner sama seperti
penelitian saya.
3. Gladys Hubungan Antara a) Asupanenergipadaana Teknikpengambilansampel Dalampenelitianini
Salliony Asupan Energi kusia 13-36 bulandi menggunakanpurposive penelitin
Jeanette dengan Kejadian wilayahkerjapuskema samplingsamasepertipeneli menggunakan
Tangkudung. StuntingPada anak sTumuntingkota tiansaya. metodeobservasion
Usia 13-36 Bulan Di Manado Sebagian al
Wilayah Kerja besar (69%) analitikdengandesa
Puskesmas tuminting tergolongdalamasupa n cross sectional
Kota Manado. nenergi yang study (studi potong
defisitsedangkan 31% lintang).Sedangkan
tergolongdalamasupa dalampenelitiansay
n normal. amenggunakanmeto
b) Terdapathubunganant dedeskriptifanalitik.
ara
asupanenergidenganst
untingpada anak usia
13-36 bulan di
wilayahkerja
PuskesmasTuminting
Kota Manado.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
2.1.1 Pengertian Stunting
Stunting merupakan suatu kondisi anak dengan panjang atau tinggi
badan kurang dari normal, yang biasanya disertai dengan komplikasi
penyakit (Khoerohdan Indriyanti 2017).Stuntin gmerupakan masalah kurang
gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi (Fitrah, 2013).
Kejadian Stunting muncul sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat,
dan sering menderita penyakit secara berulang karena hygiene maupun
sanitasi yang kurang baik. Pendek (stunting) merupakan tragedi yang
tersembunyi. Pendek terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama
1.000 hari pertama kehidupan anak. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan
perkembangan anak yang irreversibel (tidak bisa diubah), anak tersebut
tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa
(Trihono dkk, 2015).
2.1.2 Penyebab Stunting
Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan
(TNP2K), 2017 Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak
hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat
mengurangi prevelensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detail,
beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik,termasuk kurangnya pengetahuan
ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan.Beberapa fakta dan informasi yang ada

7
8

menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan
Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan
tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).MP-ASI
diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain
berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI
juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang
dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di
tahun2007 menjadi 64% dan di tahun 2013, anak belum mendapat akses
yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil
belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan
Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/ keluarga ke makanan bergizi. Hal
ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal. Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS 2014), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal di
banding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di
Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke
makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari
3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh
dilapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih Buang Air Besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa penyebab
9

seperti yang dijelaskan diatas, telah berkontribusi pada masih tingginya


prevalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana
intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi prevalensi
stunting di Indonesia.
2.1.3 Patofisiologi
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat
akumulasi ketidak cukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari
kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak
terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai (Mitra,
2015). Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi
pertumbuhan atau non patologis, karena penyebab secara langsung adalah
masalah pada asupan makanan dan tingginya penyakit infeksi kronis
terutama ISPA dan diare, sehingga memberi dampak terhadap proses
pertumbuhan balita (Sudiman, 2018).
Tidak terpenuhinya asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi
berulang menjadi faktor utama kejadian kurang gizi. Faktor sosial ekonomi,
pemberian ASI dan MP-ASI yang kurang tepat, pendidikan orang tua, serta
pelayanan kesehatan yang tidak memadaiakan mempengaruhi pada
kecukupan gizi. Kejadian kurang gizi yang terus berlanjut dan karena
kegagalan dalam perbaikan gizi akan menyebabkan pada kejadian stunting
atau kurang gizi kronis. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan
sehingga tidak mampu memenuhi kecukupan gizi yang sesuai (Maryunani,
2016).
Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan
berkurangnya lapisan lemak di bawah kulit hal ini terjadi karena kurangnya
asupan gizi sehingga tubuh memanfaatkan cadangan lemak yang ada, selain
itu imunitas dan produksi albumin juga ikut menurun sehingga balita akan
mudah terserang infeksi dan mengalami perlambatan pertumbuhan dan
perkembangan. Balita dengan gizi kurang akan mengalami peningkatan
kadar asam basa pada saluran cerna yang akan menimbulkan diare
(Maryunani, 2016).
10

Patogenesis yang mendasari kegagalan pertumbuhan secara linier


kurang dipahami, akan tetapi studi secara epidemiolgi menunjukkan bahwa
kurang optimalnya praktik menyusui dan pemberian makanan pelengkap,
infeksi berulang, dan defisiensi mikronutrien adalah penentu utama dari
stunting. Selain itu stunting juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling mempengaruhi seperti faktor dalam komunitas yang meliputi
kepadatan penduduk,akses layanan kesehatan, dan lainnya (Prendergast,
2014).
Gangguan pertumbuhan pada anak dimulai sejak dalam rahim dan
berlanjut untuk setidaknya dua tahun pertama kehidupan setelah lahir,
sehingga usia ini merupakan peluang untuk mengintervensi anak
(Prendergast dan Humphrey, 2014). Stunting berfungsi sebagai penanda
beberapa gangguan patologis terkait dengan peningkatan mortalitas dan
morbiditas,berkurangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan
perkembangan saraf dan fungsi kognitif, serta meningkatnya risiko penyakit
kronis pada usia dewasa (De Onis dan Branca, 2016).
Peningkatan mortalitas dan morbiditas stunting biasanya disebabkan
oleh infeksi. Interaksi antara nutrisi yang buruk dengan infeksi
menimbulkan hubungan yang saling timbal balik. Infeksi akan menurunkan
status gizi melalui nafsu makan yang berkurang, gangguan absorbsi di usus,
peningkatan katabolisme dan nutrisi untuk pertumbuhan akan berkurang
karena digunakan untuk meningkatkan sistem imun. Sebaliknya, kurang gizi
akan meningkatkan risiko infeksi oleh karena dampak negatif pada epitel
pelindung tubuh (De Onis dan Branca, 2016).
Kegagalan pertumbuhan dalam dua tahun pertama kehidupan anak
berpengaruh terhadap perawakan yang kurang di masa dewasa. Studi
menunjukkan perbedaan tinggi badan anak stunting dengan tidak stunting
disesuaikan dengan usia adalah 6,6 cm untuk perempuan dan 9 cm untuk
laki-laki (De Onis dan Branca, 2016).
11

2.1.4 Tanda dan Gejala


Berdasarkan (Kementerian Desa,2017) tanda dan gejala stunting
sebagai berikut :
1. Tanda purertas terlambat
2. Pertumbuhan terlambat
3. Pertumbuhan gigi terlambat
4. Usia 8-10 tahun anak menjadi pendiam, tidak banyak melakukan kontak
mata
2.1.5 Faktor Resiko Stunting
1. Berat badan lahir rendah
Balita yang yang mempunyai BBLR, memiliki resiko menjadi
stunting sebesar 1,7 kali dibanding dengan balita mempunyai berat lahir
normal (Bentian, 2015).
2. Pemberian Asi Eksklusif
Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 1,74 kali
mengalami stunting dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif
(Bentian, 2015).
2.1.6 Pencegahan Stunting
Pencegahan stunting menurut Kemenkes RI, (2018) meliputi :
1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus
mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat
besi atau Fe) dan terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil
untuk meminum tablet tambah darah hanya 33%, pada hal mereka harus
minimal konsumsi 90 tablet selama kehamilan.
2. Eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dankualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta
menjaga kebersihan lingkungan.
5. Asam folat merupakan nutrisi penting yang wajib dipenuhi ibu hamil
untuk mencegah stunting. Kekurangan asam folat dapat meningkatkan
12

risiko anemia pada ibu hamil,dan anak yang lahir dari ibu hamil dengan
anemia lebih berisiko mengalami stunting.
2.1.7 Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan dari stunting dapat dibagi menjadi
dampak jangka panjang dan jangka pendek (Buletin stunting, 2018).
1. Dampak jangka pendek
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
c. Peningkatan biaya kesehatan
d. Terganggunya perkembangan otak
e. Kecerdasan berkurang
f. Gangguan pertumbuhan fisik
g. Gangguan metabolisime dalam tubuh
2. Dampak jangka panjang
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya)
b. Meningkatkan resiko obesitas dan penyakitl ainnya
c. Menurunnya Kesehatan reproduksi
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak normal
f. Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar
g. Menurunnyakekebalantubuhsehinggamudahsakit
h. Resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, obesitas, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua.
2.1.8 Faktor- FaktorYang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
1. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, bayi dengan berat
badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi
13

intelektualnya, selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Anisa, 2012).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi untuk
seorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein
dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat
yang tidak bisa dilakukan wanita. Selama masa bayi dan anak-anak, anak
perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting
dari pada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup
dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki, dikebanyakan negara
berkembang termasuk Indonesia (Ramli, et al. 2013).
3. Tinggi Ibu
Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada kehidupan
berikutnya yang sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan
genetik dan faktor lingkungan. Faktsor genetik meliputi tinggi badan
orang tua dan jenis kelamin. Tinggi badan ayah dan ibu yang pendek
merupakan risiko terjadinya stunting (Rahayu, 2012)
4. Faktor Ekonomi
Pendapatan keluarga adalah jumlah yang dihasilkan dan jumlah
uang yang akan dikeluarkan untuk membiayai keperluan rumah tangga
selama satu bulan. Pendapat keluarga yang memadai akan menunjang
perilaku anggota keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
keluarga yang lebih memadai (Manurung dan Ferdinand, 2011).
5. Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa seseorang
untuk memiliki atau pun meraih wawasan dan pengetahuan seluas-
luasnya. Orang-orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan
memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebuh luas jika dibandingkan
dengan orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih rendah
(Akombi et al, 2017).
14

Gambar 2.1Asupan makanan yang dapat mencegah stunting


2.2 Asupan Gizi
2.2.1 Pengertian Asupan Gizi
Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi
secara normal suatu organisme melalui proses digesti, abrobsi
transportasi,penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat –zat yang
digunakan untuk mempertahankan, pertumbuhan kehidupan dan fungsi
normal dari organ-organ, seta menghasilkan energi.Gizi adalah ikatan kimia
yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan
energi, membangun dan memelihara jaringanserta mengatur proses-proses
kehidupan (sunita, 2006).
2.2.2 Asupan Makro
Gizi makro adalah gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar dengan
satu gram. Zat gizi makro terdiri dari zat gizi yang dapat menghasilkan
kalori atau energi. Zat –zat gizi yang termasuk kedalam golongan zat gizi
makro adalah karbohidrat, lemak dan protein
2.2.3 Asupan Mikro
Gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam tubuh dalam
jumlah kecilatau sedikit tapi ada dalam makanan. Zat gizi yang termasuk
kelompok zat mikro adalah mineral, vitamin, asam folat dan zat besi.
1. Asupan Zat Besi
a. Pengertian Zat Besi
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat
ini terutama diperlukan dalam hemopoboesis (pembentukan darah)
yaitu sintesis Hemoglobin (Hb) Hb yaitu suatu oksigen yang
mengantarkan eritrosit berfungsi penting bagi tubuh. Hemoglobin
15

terdiri dari Fe (zat besi), protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri
dari Fe) ( Fatimahet al, 2011).
Besi bebas terdapat dalam dua bentuk yaitu ferro (Fe2+) dan
ferri (Fe3+). Konversi kedua bentuk tersebut relatif mudah. Pada
konsentrasi oksigen tinggi,umumnya besi dan alam bentuk ferri
karena terikat Hb sedangkan pada proses transport trans membran,
deposisi dalam bentuk feritin dan sintesis heme, besi dalam bentuk
ferro. Dalam tubuh, besi diperlukan untuk pembentukkan kompleks
besi sulfur dan heme. Kompleks besi sulfur diperlukan dalam
kompleks enzim yang berperan dalam metabolisme energi. Heme
tersusun atas cincin porfirin dengan atom besi di sentral cincin yang
berperan mengangkut oksigen pada Hb dalam eritrosit dan mioglobin
dalam otot(Fatimahet al, 2011).
b. Fungsi Zat Besi
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh
sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai
alat angkut elektsron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Rata-rata kadar besi
dalam tubuh sebesar 3-4 gram. Sebagian besar (± 2 gram) terdapat
dalam bentuk hemoglobin dan sebagian kecil (± 130 mg) dalam
bentuk mioglobin. Simpanan besi dalam tubuh terutama terdapat
dalam hati dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Dalam plasma,
transferin mengangkut 3 mg besi untuk dibawa ke sumsum tulang
untuk eritropoesis dan mencapai 24 mg per hari. Sistem
retikuloendoplasma akan mendegradasi besi dari eritrosit untuk
dibawa kembali ke sumsum tulang untuk eritropoesis zat besi adalah
mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah
(hemoglobin). Selain itu, mineral ini juga berperan sebagai komponen
untuk membentuk mioglobin (protein yang membawa oksigen ke
otot), kolagen (protein yang terdapat di tulang, tulang rawan, dan
jaringan penyambung), serta enzim. Zat besi juga berfungsi dalam
sistem pertahanan tubuh.
16

c. Sumber Zat Besi


Sumber zat besi adalah makan hewani, seperti daging ayam
dan ikan. Sumber baik lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-
kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Disamping jumlah
besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan, dinamakan
juga ketersediaan biologik (bioavability). Pada umumnya besi di
dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik
tinggi, besi di dalam serealia dan kacanngan-kacangan mempunyai
mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi dalam sebagian
besar sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi, seperti
bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah. Sebaiknya
diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas
campuran sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta
sumber gizi lain yang dapat membantu sumber absorbsi. Menu
makanan di Indonesia sebaiknya terdiri atas nasi, daging ayam, ikan,
kacang-kacangan, serta sayuran dan buah buahan.
Tabel 2.1Bahan Makanan Sumber Besi
Bahan makan Kandungan besi (mg)
Daging 23,8
Sereal 18,0
Kedelai 8,8
Kacang 8,3
Beras 8,0
Bayam 6,4
Hamburger 5,9
Hati sapi 5,2
Susu formula 1,2
Bahan makanan sumber besi didapatkan dari produk hewani
dan nabati. Besi yang bersumber dari bahan makanan terdiri atas besi
heme dan besi non heme. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
walaupun kandungan besi dalam sereal dan kacang-kacangan relatif
tinggi, namum oleh karena bahan makanan tersebut mengandung
bahan yang dapat menghambat absorpsi dalam usus, maka sebagian
besar besi tidak akan diabsorpsi dan dibuang bersama feses.
17

d. Kebutuhan Fe/Zat Besi dan Suplementasi Zat Besi Pada Masa


Kehamilan
Kebutuhan zat besi selama hamil yaitu rata-rata 800 mg –1040
mg. Kebutuhan ini diperlukan untuk:
± 300 mg diperlukan untuk pertumbuhan janin.
± 50-75 mg untuk pembentukan plasenta.
± 500 mg digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin
maternal/ sel darah merah.
± 200 mg lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit.
± 200 mg lenyap ketika melahirkan
Perhitungan makan 3 x sehari atau 1000-2500 kalori akan
menghasilkan sekitar 10–15 mg zat besi perhari, namun hanya 1-2 mg
yang di absorpsi. jika ibu mengkonsumsi 60 mg zat besi, maka
diharapkan 6-8 mg zat besi dapat diabsropsi, jika dikonsumsi selama
90 hari maka total zat besi yang diabsropsi adalah sebesar 720 mg dan
180 mg dari konsumsi harian ibu besarnya angka kejadian anemia ibu
hamil pada trimester I kehamilan adalah 20%, trimester II sebesar
70%, dan trimester III sebesar 70%. Hal ini disebabkan karena pada
trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena
tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat.
Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh
wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat
besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus
mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat
melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg akibat kehilangan
darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40
mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.
Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang
hilang melalui tinja, air kencing dan kulit. Kehilangan basal ini kira-
kira14 ug per Kg berat badan per hari atau hampir sarna dengan 0,9
mg zat besipada laki-laki dewasa dan 0,8 mg bagi wanita dewasa.
Kebutuhan zat besi pada ibu hamil berbeda pada setiap umur
18

kehamilannya, pada trimester I naik dari 0,8 mg/hari, menjadi 6,3


mg/hari pada trimester III. Kebutuhan akan zatbesi sangat menyolok
kenaikannya. Dengan demikian kebutuhan zat besi pada trimester II
dan III tidak dapat dipenuhi dari makanan saja, walaupun makanan
yang dimakan cukup baik kualitasnya dan bioavailabilitas zat besi
tinggi, namun zat besi juga harus disuplai dari sumber lain agar
supaya cukup. Penambahan zat besi selama kehamilan kira-kira 1000
mg, karena mutlak dibutuhkan untuk janin, plasenta dan penambahan
volume darah ibu. Sebagian dari peningkatan ini dapat dipenuhi oleh
simpanan zat besi dan peningkatan adaptif persentase zat besi yang
diserap. Tetapi bila simpanan zat besi rendah atau tidak ada sama
sekali dan zat besi yang diserap dari makanan sangat sedikit maka,
diperlukan suplemen preparat besi (Ahmed dkk, 2001).
Untuk itu pemberian suplemen Fe disesuaikan dengan usia
kehamilan atau kebutuhan zat besi tiap semester, yaitu sebagai
berikut:
1. Trimester I : kebutuhan zat besi ±1 mg/hari, (kehilangan basal 0,8
mg/hari) ditambah 30- 40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah
merah.
2. Trimester II : kebutuhan zat besi ±5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8
mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan
conceptus 115 mg.
3. Trimester III : kebutuhan zat besi 5 mg/hari,) ditambah kebutuhan
sel darah merah 150 mg dan conceptus 223 mg.

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Besi


Umur (tahun) AKG Besi (mg)
10-12 20
13-49 26
50-65 12
Hamil (+an) -
Trimester 1 +0
Trimester 2 + 9
Trimester 3 + 13
19

Besi dalam bentuk fero lebih mudah diabsorbsi maka preparat


besi untuk pemberian oral tersedia dalam berbagai bentuk berbagai
garam fero seperti fero sulfat, fero glukonat, dan ferofumarat. Ketiga
preparat ini umumnya efektif dan tidak mahal. Di Indonesia, pil besi
yang umum digunakan dalam suplementasi zat besi adalah ferrosulfat,
senyawa ini tergolong murah dan dapat diabsorbsi sampai 20%.
Dosis zat besi yang paling tepat untuk mencegah stunting pada
ibu hamil masih belum jelas, tetapi untuk menentukan dosis terendah
dari zat besi untuk pencegahan defisiensi besi dan anemia defisiensi
besi pada kehamilan, suplemen 40 mg zat besi ferrous/hari dari 18
minggu kehamilan tampaknya cukup untuk mencegah defisiensi zat
besi pada 90% perempuan dan anemia kekurangan zat besi pada
setidaknya 95% dari perempuan selama kehamilan dan postpartum.
Prevalensi stunting defisiensi besi pada 39 minggu kehamilan secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok 20 mg (10%) dibanding
kelompok 40 mg (4,5%), kelompok 60 mg (0%), dan kelompok 80 mg
(1,5%) (p = 0,02). Pada 32 minggu kehamilan, berarti Hb pada
kelompok 20 mg lebih rendah dibanding kelompok 80 mg (p = 0,06).
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam status besi (feritin, TfR,
dan Hb) antara kelompok 40, 60, dan 80 mg. Postpartum, kelompok
20 mg memiliki feritin serum rata-rata secara signifikan lebih rendah
dibanding kelompok 40, 60 dan 80 mg (p <0,01).
Memberikan preparat besi yaitu fero sulfat, fero glukonat atau
Nafero bisirat. Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikan kadar
Hb sebanyak 1 gr%/ bulan. Saat ini program nasional menganjurkan
kombinasi 60 mg besi dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis
stunting.
e. Efek Samping Pemberian Suplementasi Zat Besi
Pemberian zat besi secara oral dapat menimbulkan efek
samping pada saluran gastrointestinal pada sebagian orang, seperti
rasa tidakenak di uluhati, mual, muntah dan diare. Frekuensi efek
samping ini berkaitan langsung dengan dosis zat besi. Tidak
20

tergantung senyawa zat besi yang digunakan, tak satu pun senyawa
yang ditolelir lebih baik dari pada senyawa yang lain. Zat besi yang
dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik meskipun
jumlah zat besi yang diserap berkurang. Pemberian suplementasi
Preparat Fe, pada sebagian wanita, menyebabkan sembelit. Penyulit
ini dapat diredakan dengan cara memperbanyak minum, menambah
konsumsi makanan yang kaya akan serat seperti roti, sereaslia, dan
agar-agar.
Mual pada masa kehamilan adalah proses fisiologi sebagai
dampak dari terjadinya adaptasi hormonal. Selain itu mual dapat
terjadi pada ibu hamil sebagai efek samping dari minum tablet besi.
Ibu hamil yang mengalami mual sebagai dampak kehamilannya dapat
merasakan mual yang lebih parah dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak mengalami keluhan mual sebelumnya. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi mulai lakibat minum tablet
besi. Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengurangi mual sebagai
efek samping dari mengkonsumsi tablet besi adalah dengan
mengurangi dosis tablet besi dari 1 x 1 tablet sehari menjadi 2 x ½
tablet sehari. Konsumsi tablet besi pada malam hari juga dilakukan
para partisipan dalam upaya mencegah mual setelah minum tablet
besi. Tablet besi diminum pada malam hari agar tidak mengalami
mual. Hal itu dilakukan atas anjuran petugas kesehatan.
f. Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Zat Besi
Diperkirakanhanya 5-15 % besi makanan diabsorbsi oleh
orang dewasa yang berada dalam status besi baik. Dalam keadaan
defisiensi besi absorbsi dapat mencapai 50%. Banyak faktor
berpengaruh terhadap absorbs ibesi, bentuk besi di dalam makanan
berpengaruh terhadap penyerapannya. Besi-hem, yang merupakan
bagian dari hemoglobin dan mioglobin yang terdapat didalam daging
hewan dapat diserap dua kali lipat dari pada besi nonhem. Kurang
lebih 40% daribesididalamdagingayam dan ikan terdapatbesi-hem dan
selebihnya sebagai non-hem. Besi-non hem juga terdapat di dalam
21

telur, serealia, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis


buah-buahan. Makan besi-hem dan non-hem secara bersama dapat
meningkatkan penyerapan besi-no hem. Daging ayam dan ikan
mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini
terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu
penyerapannya. Susu sapi, keju, telur tidak mengandung faktor ini
hingga tida kmembantu penyerapan besi. Asam organik, seperti
vitamin C sangat membantu penyerapan besi non hem dengan
merubah bentuk feri menjadi bentuk fero.
Seperti telah dijelaskan, bentuk fero lebih mudah diserap.
Vitamin C disamping itu membentuk gugus besi-askorbat yang tetap
larut pada pH tinggi dalam duo denum. Oleh karena itu sangat
dianjurkan memakan makanan sumber vitamin C tiap kali makan.
Asam organik lain adalah asam sitrat. Asam fitat dan faktor lain di
dalam serat serelia dan asam oksalat didalam sayuran menghambat
penyerapan besi. Faktor-faktor ini mengikat besi, sehingga
mempersulit penyerapannya. Protein kedelai menurunkan absorbsi
besi yang mungkin disebabkan oleh nilai fitatnya yang tinggi. Karena
kedelai dan hasil olahnya mempunyai kandungan besi yang tinggi,
pengaruh akhir terhadap absorbsi besi biasanya positif. Vitamin C
dalam jumlah cukup dapat melawan sebagian pengaruh faktor-faktor
yang menghambat penyerapan besi ini. Tanin yang merupakan
polifenol dan terdapat di dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran
dan buah juga menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya.
Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau
kopi waktu makan. Kalsium dosis tinggi berupa suplemen
menghambat absorbsi besi, namun mekanismenya belum diketahui
dengan pasti.Tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut
besi.Kekurangan asam klorida didalam lambung atau penggunaan
obat-obatan yang bersifat basa seperti antasi dan menghalangi
absorbsi besi. Faktori ntrinsik didalam lambung membantu
penyerapan besi, diduga karena mempunyai struktur yang sama
22

dengan vitamin B12. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh


terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhan
meningkat pada kondisi tertentu, absobsi besi-non hem dapat
meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi-hem dua kali.
g. Absorpsi dan Transport
Absorpsi besi dari bahan makanan terjadi di duo denum dan
jejenum proksimal. Bioavailabilitas besi heme lebih besar
dibandingkan besi non heme. Besi heme berasal dari proteolisis
hemoglobin dan mioglobin dalam saluran cerna. Besi heme akan
berikatan dengan reseptor heme (heme bindingprotein/HasAh) pada
membranapikal enterosit melalui mekanis meendosi tosis kedalam
endosom atau lisosom. Oleh enzim heme oksidase, besi heme dipecah
menjadi ferro dan porfirin, namun mekanisme bagimana ferro dibawa
kesitosol masih belum jelas dan diduga divalen metal ion transporter
(DMT1) ikut berperan. Selanjutnya ferro disimpan dalam sitosol
dalam bentuk feritin atau dibawa keluar enterosit melalui ferroportin
(IRG1) kedarah dan diangkut oleh transferin plasma. Absorpsi ferri
dalam usus diawali dengan reduksi ferri menjadi ferro oleh asam
askorbat dan duodenal cytochrome B (DcytB/ferri reduktase pada
permukaan eritrosit). Proses ini terjadi setelah ferri menempel pada
enterosit. Ferro yang terbentukakan di absorpsi melalui DMT1 dengan
proton sebagai sumber energi. Selanjutnya ferro akan disimpan dalam
sitosol dalam bentuk feritin. Ferri memiliki kelarutan lebih rendah
pada pH normal sampai basi dibandingkan ferro sehingga ferri lebih
sukar diabsorpsi. Absorpsi ferri terjadi melalui beta 3 integrin dengan
dibantu oleh faktor yang meningkatkan kelarutan ferri yaitu musin,
sitrat dan fumarat sehingga bioavailabilitasnya meningkat.
Beberapa besi dalam sitosol disimpan beberapa waktu dalam
bentuk paraferitin yang terdiri dari 4 polipeptida antara lain integrin,
mobilferin(calretikulin/rho), dan flavin monooksigenase. Kompleks
ini terdiri atas 24 subunit feritin dan ribuan atom ferri. Ferri yang
terdapat dalam kompleks ini dapat direduksi kembali menjadi ferro
23

untuk selanjutnya digunakan. Bentuk simpanan besi dalam enterosit


ini berperan dalam mengatur jumlah besi yang akan diabsorpsi
mengingat umur enterosit hanya 2-3 hari. Absorpsi besi dari bahan
makanan dipengaruhi oleh kondisi saluran cerna dan kandungan bahan
dalam makanan tersebut. Keasaman lambung dapat meningkatkan
kelarutan besi sehingga akan meningkatkan bioavailabilitasnya.
Dalam usus, absorpsi besiakan optimal pada pH 6,75. Bahan makanan
yang mengandung polifenol atau pitat (inhibitor) dapat menghamba
tpenyerapan besi, karena bahan tersebut akan mengikat besi dalam
usus sehingga bersifat tidak larut dan menurunkan bioavailabilitasnya.
Hal ini hanya terjadi pada besi non heme karena dalam bentuk besi
bebas sehingga mudah diikat, sedangkan besi heme tidak dipengaruhi
oleh inhibitor tersebut. Beberapa senyawa yang mempengaruhi
absorpsi besi seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 2.3 Senyawa Yang Mempengaruhi Absorpsi Besi
Aktivasi Inhibitor
Asam Askorbat Polifenol (grupgalsoil)
Daging Pitat
Alkohol Kalsium
Mirisetin
Asamklorogenik (kopi)
Transport besi dari dalam sitosol enterosit kedalam darah
melalui membran basolateral yang diperantarai oleh ferroportin
(disebut juga IRG1,iron regulated transporter 1, metal transport
protein 1 atau SLC40A1). Ferroportin terdapat pada semua jenis sel
sehingga merupakan satu-satunya transport besi dari sel. Ferroportin
bersinergi dengan hep haestin (enzim ferroksidase yang mengandung
kuprum) kemudian mengkonversi ferri menjadi ferro selanjutnya
berikatan dengan plasma tranferin.12 Ferroportin merupakan pengatur
transport besi dari enterosit. Umur enterosit yang relatif pendek (2-3
hari) menyebabkan feritin dalam enterosi,umu renterosit yang relatif
pendek (2-3 hari) menyebabkan feritin dalam enterosit akan terbuang
bersama dengan lepasnya enterosit dalam feses. Keadaan ini
menunjukkan bahwa jumlah ferroportin dalam enterosit Sebanding
dengan jumlah besi yang ditransport. Sintesis ferroportin pada
24

membran basolateral sel diatur oleh hepsidin (25 asam amino peptida
dengan ikatan dipeptida) yang dihasilkan oleh sel hepatosit. Hepsidi
nakan mengatu rabsorpsi besi pada enterosit dengan cara berikatan
dengan ferroportin sehingga menyebabkan ferroporti nmengalami
endositosis kedalam sitosol, selanjutnya ferroportin akan di degradasi.
2. Asam Folat
a. Pengertian asam folat
Asam folat adalah bantuan yang sangat diperlukan selama
kehamilan.Milik kelompok vitamin B (vitamin terlibat dalam
metabolisme manusia) dan fungsinya adalah untuk mencegah cacat
tabung saraf, yaitu masalah yang mungkin timbul di otak atau sumsum
tulang belakang. Namun, asam folat ini berguna jika diambil sebelum
konsepsi dan pada minggu-minggu awal kehamilan. Hal ini karena
cacat tabung saraf biasanya asli dalam empat minggu pertama
kehamilan, yang berarti bahwa perubahan saraf terjadi sebelum
banyak wanita tahu bahwa mereka hamil (Arisman, 2004).
Asam folat adalah vitamin B yang membantu melindungi bayi
dari saat mereka dipahami dengan cacat lahir yang serius yang
mempengaruhi tulang belakang dan otak disebut cacat tabung saraf.
Sekarang percaya bahwa asam folat dapat membantu mencegah
masalah kesehatan tertentu (Almatsier, 2004).
Hal ini sangat penting untuk mengambil asam folat setiap hari,
terutama selama minggu-minggu sebelum konsepsi dan selama
minggu-minggu pertama kehamilan, tunggu sampai Anda tahu bahwa
jika Anda sedang hamil atau tidak mungkin tidak bermanfaat bagi
bayi (Soekirman, 2000).
Dianjurkan untuk mengambil sekitar 600 mikrogram asam
folat setiap hari dan mengikuti diet seimbang yang sehat.Asam folat
dapat diambil sendiri atau dalam multivitamin, selain berbagai
makanan, seperti sereal, jus jeruk dan sayuran berdaun hijau.Tapi
perlu tahu bahwa tidak peduli seberapa sehat dan diet seimbang sulit
untuk mendapatkan makanan jumlah yang diperlukan asam folat. Jadi,
25

seperti yang Anda lihat, asam folat adalah bantuan yang sangat
diperlukan selama kehamilan (Soekirman, 2000).
Serum folat <7 nanomol/L(3 nanogram /mL) menunjukkan
defisiensi folat dan sering menyebabkan ciri morfologi (perubahan
megaloblastik dalam darah dan sumsum tulang). Tingkat folat antara 7
nanomol /L dan 11 nanomol/L (3 nanogram/mL dan 5 nanogram/mL)
dapat menyebabkan perubahan metabolik (peningkatan homosistein
plasma), dan karena itu mencurigakan untuk kekurangan folat. Ketika
kadar folat serum normal atau batas, dengan adanya kecurigaan klinis
yang kuat, RBC folat (<317 nanomol/L [<140 nanogram/mL]) dan
plasma kadar homosistein dapat diperoleh untuk membantu diagnosis
(Mayes, 1974).
Wanita hamil membutuhkan tambahan asam folat selama
kehamilan karena harus menghasilkan sel darah tambahan yang
dibutuhkan tubuh selama periode ini. Asam folat juga memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan yang cepat dari plasenta dan janin
dan diperlukan untuk menghasilkan DNA baru (bahan genetik)
sebagai selberkembang biak. Meskipun tidak diketahui persis
bagaimana asam folat mencegah cacat tabung saraf, kebanyakan studi
menunjukkan editing yang bisa karena kekurangan gizi. Hal ini juga
menyarankan bahwa karena suplemen asam folat membantu orang
untuk membuat sifat genetik yang mencegah mereka dari karakteristik
menyita folat termasuk dalam diet Anda (Almatsier, 2004).
b. Fungsi Asam Folat
Fungsi utama koenzim folat (THFA) adalah memindahkan
atom karbon tunggal dalam bentuk gugus formil, hidroksi metil atau
metal dalam reaksi penting metabolisme beberapa asam amino dan
sintesis asam nukleat. THFA berperan dalam sintesis purin-purin
guanin dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawa-senyawa yang
digunakan dalam pembentukan asam-asam deoksiribonukleat (DNA)
dan asam ribonukleat acid (RNA). Folat juga dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum
26

tulang dan untuk pendewasaannya. Folat berperan sebagai pembawa


karbon tunggal dalam pembentukan hem. Suplementasi folat dapat
banyak mencegah stunting (Muwakhidah, 2009).
c. Metabolisme Asam Folat
Sebagian besar asam folat dari makanan masuk dalam bentuk
poliglutamat.Absorpsi terjadi sepanjang usus halus, terutama di
duodenum dan jejunum proksimal dan 50-80% di antaranya dibawa ke
hati dan sumsum tulang. Folat diekskresi melalui empedu dan urin. Di
mukosa usus halus, poliglutamat dari makanan akan dihidrolisis oleh
enzim pteroil poliglutamathidrolase menjadi monoglutamat yang
kemudian mengalami reduksi/metilasi sempurna menjadi 5 metil
tetrahidrofolat (5-metil THF). Metil THF masuk ke dalamsel dan
mengalami demetilasi dan konjugasi. Dengan bantuan enzim metil
transferase, 5-metil THF akan melepaskan gugus metilnya menjadi
tetrahidrofolat (THF). Metilkobalamin akan memberikan gugus metil
tersebut kepada homosistein untuk membentuk asam amino metionin
(Purwani, 2008).
Kekurangan asam folat juga sangat berpengaruh pada
perkembangan sistem saraf utama otak dan tulang belakang janin
seperti pada cacat tabung saraf janin. Cacat tabung saraf janin sendiri
dibagi menjadi 3 bentuk yaitu spina bifida, anensefali, dan
encephalocele dan yang paling utama adalah mengakibatkan anemia
pada ibu hamil (Purwani, 2008).
d. Dampak Kekurangan Asam Folat
Pada ibu hamil, kekurangan asam folat menyebabkan
meningkatnya resiko anemia, sehingga ibu mudah lelah, letih, lesu dan
pucat serta bisa menyebabkan keguguran. Kebutuhan asam folat untuk
ibu hamil dan usia subur sebanyak 400 mikrogram/ hari atau sama
dengan 2 (dua) gelas susu. Mengkonsumsi asam folat tidak hanya
ketika hamil, tetapi sebelum hamil juga sangat dianjurkan
mengkonsumsi asam folat.Asam folat juga penting dalam membantu
pembelahan sel. Asam folat bisa mencegah anemia dan menurunkan
27

resiko terjadinya NTD (Neural Tube Deffects) dan sebagai


antidepresan (Purwani, 2008).
Bagi janin, kekurangan asam folat pada ibu hamil, bisa
menyebabkan terjadinya kecacatan pada bayi yang dilahirkan.Bayi
mengalami kecacatan pada otak dan sumsum tulang belakang,
menyebabkan bayi lahir dengan bibir sumbing, bayi lahir dengan berat
badan rendah, Down’s Syndrome, bayi mengalami kelainanpembuluh
darah, rusaknya endotel pipa yang melapisi pembuluh darah,
menyebabkan lepasnya plasenta sebelum waktunya. Kelainan lainnya
adalah bayi mengalami gangguan buang air besar dan kecil, anak tidak
bisa berjalan tegak dan emosi tinggi. Pada anak perempuan, saat
dewasa tidak mengalami menstruasi(Purwani, 2008).
e. Pemeriksaan Asam Folat
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan asam folat adalah
tensi meter, stetoskop, vacutainer 2,5cc, vacutainer 10cc, venoject.
Setelah pengambilan darah vena dan didapatkan serum yang diperiksa
kemudian sampel dikirim, dilakukan pemeriksaan kadar asam folat
serum darah di laboratorium. Pemeriksaan kadar asam folat dilakukan
dengan metode Ion Capture Reactions Cell atau
Chemiluminenescence immunioassaydengan reagen Folic Acid
Diagnostic menggunakan alat Brand Kit atau IMX Immunology
Diagnostic (Helena, 2002).
f. Sumber Asam Folat
Asam folat relatif mudah didapat lantaran tersedia dalam
sayuran hijau dan buah-buah. Seperti (Almatsier, 2001):
1. Sayuran Hijau
Sayuran hijau memiliki kandungan asam folat yang sangat
tinggi. Adapun sayuran hijau seperti kangkung, bayam dalam dua
ikat bayamterdapat asam folat kurang dari 200 μg, brokoli
100μg/100gr, daunsingkong,dll.
28

2. Kacang-Kacangan
Kacang-kacangan sudah sejak lama diketahui sumber
protein juga serat yang kaya akan gizi seperti halnya mineral.
Vitamin B, karbohidrat komplek.Umumnya, kacang-kacangan
mengandung 8-17% protein, 100 g zat besi, 100 g kalsium, dan
kaya akan asam folat sebanyak 100μg untuk kacang kedelai dan
kacang kering dan kacang tanah mengandung 70μg asm folat.
3. Telur
Asam folat yang terdapat pada telur terletak di putih telur. Pada
telur bebek kandungan asam folat sebesar 14,85 mcg/l00g tidak
berbeda jauh dengan putih telur ayam yang mencapai 14,67
mcg/l00g.
4. Alpukat
Hingga kini, alpukat dipercaya dapat dikonsumsi sebagai
penangkal gejala flu.Kandungan vitamin E-nya mampu
menetralkan radikal bebas dan menekan risiko infeksi, sedangkan
vitamin B-nya membantu produksi antibodi secara
alami.Kandungan omega-6, asam lemak esensial dalam alpukat,
juga bermanfaat untuk meredakan radang. Beberapa penelitian
membuktikan buah ini mampu meningkatkan sistem imun.
5. Gandum dan Susu
Dua jenis panganan ini juga memiliki asam folat yang
cukuptinggi. Sejak tahun 1996 Food and Drug Administration
(FDA) telahmengeluarkan peraturan yang mengharuskan
penambahan asam folatpada roti, sereal, tepung, makanan yang
terbuat dari jagung, pasta, berasdan produk biji-bijian lain.
6. Jeruk
Selain dikenal sebagai sumber vitamin C, buah bundar satu
ini juga merupakan sumber asam folat yang potensial.Bahkan dari
satu buah jeruk 20% kebutuhan folat sehari-hari dapat terpenuhi.
Tak cukup sampai disitu jeruk mampu meningkatkan kadar folat
29

dan kadar racun dalam pembuluh darah pun menurun. Jeruk yang
memiliki ukuran sedang mengandung 70μg asam folat.
7. Stroberi
Meski mahal, buah yang dijadikan lambang cinta pada
zaman Yunani kuno ini cukup diminati masyarakat.Delapan buah
stroberi atau 1 gelas potongan stroberi hanya mengandung 50
kalori dan tidak mengandung kolesterol atau asam lemak jenuh. Ini
setara dengan 7,5 μg kebutuhan asam folat harian untuk ibu hamil.
Tak heran jika stroberi menjadi alternative camilan ataupun
pelengkap makanan yang sehat.
8. Hati Sapi
Selain mengandung asam folat hati sapi juga mengandung
vitamin A yang cukup tinggi. Sayangnya, mereka yang sedang
mengandung tidak diajurkan mengkonsumsi hati sapi karena dapat
menyebabkan gangguan pada kehamilan. Namun tak perlu
khawatir, mereka yang mengkonsumsi hati sapi dapat
menggantinya dengan dengan minum susu. Kandungan asam folat
pada hati berjumlah 250μg/100 gr.
9. Pisang
Dengan mengkonsumsi 1,2-5 pisang setiap hari, maka
kebutuhan asam folat dapat terpenuhi. dua buah pisang setara
dengan 58μg folat yang dengan kata lain hanya memenuhi
sepertiga kebutuhan folat tubuh.
g. Kebutuhan Asam Folat Pada Masa Kehamilan
Kebutuhan asam folat ibu usia subur adalah 50-100 mikrogram
(Hanafiah,2006) dan ibu hamil sekitar 400-600 mikrogram atau 0,4-
0,6mg perhari. Kebutuhan asam folat harus dicukupi minimal 4 bulan
sebelum kehamilan (Almatsier,2003), serta 3 bulan awal kehamilan
(Kusmarjadi, 2009)
30

Tabel 2.4 Sumber Asam Folat


Jumlah kalori Trimester I Trimester II Trimester III
Total kalori per hari 1,800 2,200 2,400
Sayuran(bayam,asparagus,rumpu 21/2 cup 3cup 3 cup
t laut,selada)
Buah (jeruk , 11/2 cup 2cup 2 cup
tomat ,pisang,mangga, pepaya)
Susu 3 cup 3 cup 3 cup
Daging ,hati ayam,dan kacang- 5 ons 6 ons 61/2 ons
kacangan
Ekstra (gandum) 290 kalori 360 kalori 410 kalori
Lemak dan minyak 6 sendok teh 7 sendok teh 8 sendok the

Gambar 2.2. Asupan makanan zat besi dan asam folat

2.3 Pengertian Kehamilan


Kehamilan adalah kondisi dimana seorang wanita memiliki janin yang
sedang tumbuh di dalam tubuhnya (yang pada umumnya di dalam rahim).
Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung dari awal
periode menstruasi terakhir sampai melahirkan. Kehamilan merupakan suatu
proses reproduksi yang perlu perawatann khusus, agar dapat berlangsung
dengan baik kehamilan mengandung kehidupan ibu maupun janin. Resiko
31

kehamilan ini bersifat dinamis, karena ibu hamil yang pada mulanya normal,
secara tiba-tiba dapat menjadi berisiko tinggi(BG, 2010).
Semakin muda dan semakin tua umur seorangibu yang sedang hamil
akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang diperlukan. Kehamilan di
usia kurang dari 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung
labil, mental belum matang sehingga mudah mengalami gonjangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat
gizi selama hamil.
Sedangkan umur lebih dari 35 tahun terkait dengan kemunduran dan
daya tahan tubuh sehingga memerlukan energi yang besar karena fungsi
organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal maka
memerlukan tambahan energi yang cukup untuk mendukung kehamilan yang
sedang berlangsung, usia kurang dari 20tahun dan lebih dari 35 tahun akan
meningkatkan resiko terjadinyadan rentan terhadap masalah gizi lainnya
(Wiknjosastro, 2005).
2.3.1 Suplemen Yang Dianjurkan Selama Kehamilan
1. Asam Folat.
Asam folat yang dikonsumsi sebelum hamil dan selama
kehamilan melindungi dari gangguan saraf pada janin (anensefali,spina
bifida).Wanita hamil disarankan mengkonsumsi asam folat400 μg/hari
selama 12 minggu kehamilan karena kebutuhan asamfolat tidak dapat
dipenuhi hanya dari makanan (Almatsier, 2011).
2. Zat Besi.
Zat besi adalah komponen utama dari hemoglobin yang bekerja
mengangkut oksigen di dalam darah.Selama kehamilan, suplai darah
meningkat untuk memberikan nutrisi ke janin.Suplemen besi yang
dibutuhkan adalah 30 – 50 mg/hari dan disarankan pada wanita hamil
dengan hemoglobin < 10 atau 10,5g/dl pada akhir kehamilan. Selain
suplemen, zat besi juga terkandung pada daging, telur, kacang, sayuran
hijau, gandum, dan buah-buahan kering.Suplemen besi sebaiknya
dikonsumsi diantara waktu makan dengan perut yang kosong atau diikuti
jus jeruk untuk meningkatkan penyerapan (Almatsier, 2011).
32

3. Kalsium.
Kalsium penting di dalam mengatur kekuatan tulang wanita hamil
dan pertumbuhan tulang bagi janin. Kalsium yang disarankan sebanyak
1.200 mg untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin. Kalsium sebaiknya
dikonsumsi ketika sedang makan,diikuti dengan jus buah yang kaya
vitamin C untuk meningkatkan penyerapan (Almatsier, 2011).
Ibu hamil membutuhkan konsumsi energi dan zat-zat yang
adekuat guna menopang pertumbuhan dan kesehatan janin dan dirinya
sendiri. Kehamilan yang berjarak kurang dari setahun dari kehamilan
sebelumnya akan menguras cadangan zat-zat gizi, pertumbuhan janin
mungkin dapat dilindungi namun kesehatan ibu dapat menurun.
Selama kehamilan kebutuhan gizi ibu meningkat karena terjadi
peningkatan beberapa komponen dari jaringan ibu seperti cadangan
lemak, darah, uterus dan kelenjar susu, serta komponen janin seperti
janin, ketuban dan plasenta. Kebutuhan gizi yang meningkat tersebut
digunakan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin
bersama-sama dengan perubahan-perubahan yang berhubungan pada
struktur dan metabolisme yang terjadi pada ibu. Malnutrisi bukan hanya
melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam
keselamatan janin.
33

Tabel 2.5 Angka kecukupan Gizi (AKG) ibu tidak hamil dan
hamil berusia 19-29 tahun
Zat gizi Tidak hamil Hamil ( tambah ) trimester
Timester I Trimestre II Trimester III
Energi 1900 180 300 300
Protien 50 17 17 17
Vitamin A 500 300 300 300
Vitamin D 5 0 0 0
Vitamin E 15 0 0 0
Vitamin K 55 0 0 0
Tiamin 1 0,3 0,3 0,3
Riboflavin 1 0,3 0,3 0,3
Niasin 14 4 4 4
Asam folat 400 200 200 200
Piridoksin 1,3 0,4 0,4 0,4
Vitamin B12 2,4 0,2 0,2 0,2
Vitamin C 75 10 10 10
Kalsium 800 150 150 150
Fosfor 600 0 0 0
Magnesium 250 40 40 40
Besi 26 0 9 13
Seng 9,3 1,2 1,2 1,2
Yodium 150 50 50 50
Selenium 30 5 5 5
Mangan 1,5 0,2 0,2 0,2
Flour 2,6 0 0 0
34

2.4 Kerangka Teori


Stunting

Asupan gizi Pemberian Asi Kurangnya akses Kurangnya


rumah tangga akses sanitasi

Gizi makro Gizi mikro

Asam folat dan


Karbohidrat Lemak Protein Vitamin
zat besi

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian


35

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Asupan gizi ibu


hamil

Gizi makro Gizi mikro

Protein Lemak Karbohidrat


Asam folat dan Multivitamin
zat besi lainnya

Asam folat dan zat


besi = variabel yang diteliti

Gambar 2.4Kerangka Konsep Penelitian


36

2.6 Hipotesisi
H1 =Ada hubungan pengetahuan ibu dan penggunaan asupan zat besi dan asam
folat terhadap kejadianstunting pada ibu hamil.
H0 = Tidak Ada hubungan pengetahuan ibu dan penggunan asupan zat besi dan
asam folat terhadap kejadianstunting pada ibu hamil.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 DesainPenelitiandanRancanganPenelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk menciptakan tujuan
penelitian yang diharapkan dan berperan sebagai pedoman atau panutan
penelitian pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016). Penelitian ini
menggunakan meote deskripsif analiik dengn desain penelitian cross
sectional.
3.2 Tabel Variabel Penelitian
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
NO Variabel Definisioperasi Parameter Instrumen Skala Skor
onal /alattulis
111 a.Asupan a.Asam folat a. Penggunaan Kuesioner Ordinal YA
zat besi dan adalah bentuk asam folat dan TIDAK
asam folat sintesis dari zat besi Ket : jika jawab YA
folat b. dosis asam maka nlai 1, jika
atau B9, yang folat dan zat jawab Tidak maka
dikomsumsi ibu besi nilai 0
selama masa c.Lama
kehamilan. penggunaaan
b. Zat besi asam folat dan
adalah asupan zat besi
nutrisi mikro
yang
dikomsumsi ibu
selama masa
kehamilan
2 Dependen a.Stunting a. anak stunting Kuesioner Ordinal YA
Stunting anak adalah kondisi TIDAK Ket: jika
anak pendek jawab YA maka nilai
yang terdata 1, Jika jawab Tidak
sebagai pasien maka nilai 0
stunting di
Puskesmas
Oesapa Kota
Kupang
b.Ibu adalah ibu
(orang tua )
yang memiliki
anak stunting di
Puskemas
Oesapa
KotaKupang

37
38

3.2 Populasi, Sampel, Sampling


3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri dari obyek /subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (sugiyoo,2007). Dalam
penelitian ini populasi yang digunakan adalah ibu yang memiliki anak
stunting di Puskesmas Oesapa Kota Kupang, periode Januari-Agustus 2021
yang berjumlah 346 orang.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah keseluruhan dan karateristik
yang di miliki oleh populasi. sampel pada penelitian ini sebanyak 346 orang.
Dengan keterangan dari 346 orang , terdiri dari 150 orang anak yang sudah
tidak mengalami stunting dan masih 196 orang anak yang masih stunting.

3.2.3 Sampling
Sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang
sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendakipeneliti (tujuan/ masalah
dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapatmewakili karakteristik
populasi yang telah dikenali sebelumnya (Nursalam, 2016).
3.3 RencanadanWaktuPenelitian
Penelitianakandilaksanaanpadabulanjuni sampaidenganagustus 2022
di Puskesmas Oesapa Kota Kupang .
Urainmengenaijadwalpenelitian di lihatpadatabelberikut :
Tabel 3.2Jadwal Penelitian
No Waktu penelitian Agenda
1 Juni pertama minggu dan minggu ketiga Ujian proposal dan perbaikan
2 Juni keempat dan minggu pertama bulan Pengumpulan data
juli
3 minggu kedua juli dan minggu keempat Analisis data
bulan juli
4 Agustus minggu pertama dan minggu Mengerjakan pembahasan dan
ketiga kesimpulan
5 Agustus minggu keempat Ujian skripsi
39

3.4 Pengumpulan Data


3.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan
kueisinor yang berisi pertanyaan seputar penggunan zat besi dan asam folat
pada pada ibu yang anaknya megalami stunting.
3.5 Proses Pengumpulan data
Setelah mendapat ijin dari Rektor Universitas Citra Bangsa Kupang,
Dinas Kesehatan Kota Kupang, Puskesmas Oesapa, kemudian peneliti akan
melaksanakan pengumpulan data.Namun terlebih dahulu peneliti akan
memintai izin kepada responden yang menjadi subjek penilitian di puskesmas
Oesapa. Meminta izin kepada responden yang memiliki anak stunting untuk
melakukan pengambilan data dan melakukan kuesioner dikarenakan
responden yang sebagian besar bekerja di kebun dan berdagang
mengakibatkan responden tidak bisa menunggu terlalu lama dan responden
yang datang jarak waktunya cukup lama, peneliti melakukan metode
pembagian lembar kuesioner menyesuaikan dengan jumlah responden yang
datang bersamaan.
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian di gunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan kuesioner dan alat tulis.
Instrumen pengumpulan data merupakan dua karakteristik alat ukur
sebagai pengamatan dan pengukuran observasi yang secara prinsip sangat
penting yaitu validasi, rehabilitasi, (data) yang dikumpulkan dari alat dan cara
pengumpulan data maupun kesalahan- kesalahan yang sering terjadi pada
pengamatan/ pengukuran oleh pengumpulan data (Nursalam, 2013).
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner tentang hubungan pengetahuan ibu dan penggunaan tentang
asupan zat besi dan asam folat pada ibu hamil terhadap stunting. Kuesioner
pengetahuan dimodifikasi sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh
peneliti. Kuesionerpengetahuaniniterdiri dari 17 pertanyaan.
40

3.7 Uji Validitas


Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut
dapat digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur (sugiyono,2016).
Dikatakan valid apabila dalam pengujian Content Validation Ratio memiliki
nilai 0,99. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
yang sudah divalidasi oleh 5 responden dengan perhitunganmenggunakan
CVR dan mendapat nilai 1yang berarti sudah melewati nilai 0,99 maka
kuesioner dinyatakan valid.
3.8 Analisis Data
Analisis yang dilakukan menggunakan analisis univariat serta bivariat
dengan uji Chi –Square dengan pengolahan data menggunakan SPSS 21 for
windom.
41

3.9 Kerangka Kerja

Indetifikasi masalah

penyusunan propsal

Desain penalitian cross sectional dengan pengambilan data


secara observasional

Populasi ibu yang mempunyai anak stunting ada di wilayah


kerjapuskesmas Oesapa

Sampling menggunakan teknik purposive sampling

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 119 sampel

Pengambilan data menggunakan kuesioner

Analisis data menggunakan IMB SPSS

Hasil dan kesimpulan

Gambar 3.11 kerangka kerja


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dlaksanakan di puskesmas Oesapa Kota Kupang, dan dimulai dari
Tanggal 24 juli samapi dengan 08 Agustus 2022. wilayah kerja UPT Oesapa
mencakup 5 ke Lurahan sebagai berikut, kelurahan Oesapa, Oesapa barat, Oesapa
selatan, Lasiana dan Kelapa lima.

4.1.2 Karakteristik Pasien

a. Data karakteristik jenis kelamin pasien

Pengelompokan pasien berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk


mengetahuai jenis kelamin mana yang banyak mengalami stunting di Puskesmas
Oesapa Kota Kupang tahun 2020.

Tabel 4.1 Data Karakteristik Pasien Berdasrkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persen


Laki –laki 180 52%

Perempuan 166 48%


Total 346 100%
b. Data Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia

Tabel 4.2 Data Karakteristik umur anak

Umur Anak Jumlah Pesen


Umur 1-2 tahun 130 37,5%
Umur 3-4 tahun 117 33,8%
Umur 5 99 28,6%
Total 346 100%
c. Data Karakteristik Pendidikan Ibu

Tabel 4.3 Karakteristik Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu Jumlah Persen


Sarjana 17 4,9%
SD 107 30,8%
SMA 109 31,3%
Tidak Sekolah 14 4%

42
43

Total 346 100%

d. Data Karakteristik Umur Ibu

Tabel 4.4 Karakteristik Umur Ibu

Umur Ibu Jumlah Persen

Umur < 20 118 30,34%

Umur 20 -25 84 24%

Umur 36-40 73 21%

Umur 41-45 71 20,5%

Total 346 100%

4.1.3 Data khusus

a.Uji normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 345
Normal Parameters a
Mean .0000000
Std. Deviation .10678840
Most Extreme Differences Absolute .474
Positive .474
Negative -.407
Kolmogorov-Smirnov Z 8.812
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Test distribution is Normal

b.Uji Bivariat

Tabel 4.5 Correlations


44

Stunting Tidak stunting

Stunting pearson correlation 1 975

Sig.(2- tailed) 000

N 346 346

Tidak stunting pearson 1 975

correlation 000

Sig.(2- tailed)

N 346 346

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

c. Uji Chi- Square Test

FrequenciesTabel 4.6 Stunting

Observed N Expected N Residual


Tidak 122 173.0 -51.0

Ya 224 173.0 51.0

Total 346

Tabel 4.7 Tidak Stunting

Observed N Expected N Residual


Tidak 124 173.0 -49.0

Ya 222 173.0 49.0

Total 346

Tabel 4.8 Test Statistics

Stunting Tidak stunting


Chi-Square 30.069 a
27.757a

Df 1 1

Asymp. Sig. .000 .000

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell
frequency is 173,0.
45

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Pasien

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.1 jumlah pasien yang mengalami stunting


dengan jenis kelamin laki- laki lebih banyak yaitu 180(52%) sedangkan
perempuan 166(48%).

Menurut Almatsier (2009) perbedaan jenis kelamin mempengaruhi besarnya


kebutuhan gizi pada anak karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki-
laki dan perempuan. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan
jaringan otot lebih sedikit dari pada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif
jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan
memerlukan energi lebih tinggi dari pada lemak. Menurut Larasati (2017)
mengatakan jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi
seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan
dengan wanita. Selama masa bayi dan anak – anak, perempuan cenderung lebih
rendah kemungkinan mengalami stunting dan serve stunting dari pada anak laki-
laki. Anak perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal dari pada laki-
laki.

Menurut studi kohort di Ethiophia didapatkan hasil berupa anak laki- laki
mempunyai resiko dua lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan anak
perempuan pada usai 6 hingga 12 bulan (Medhin, 2012). Hasil Riskesdas 2013
menunjukan prevalensi balita yang stunting lebih tinggi berjenis kelamin laki-laki
sebesar 18,8%, dibandingkan pada perempuan 17,1%. penelitian yang dilakukan
oleh Wamani (2007) di Sub Saharan Afrika bahwa kejadian stunting lebih banyak
dialami olek anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Hasanah (2018) di wilayah puskesmas Kotagede I
menjelaskan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kejadian stunting
dengan p-value sebesar 0,649, namun dalam penelitian tersebut menyebutkan
bahwa secara prosentase kejadian stunting lebih banyak dialami oleh anak laki-
laki yaitu sebanyak 23 orang dan yang tidak stunting sebanyak 25 orang
Sedangkan anak perempuan yang mengalami stunting sebanyak 23 orang dan
46

tidak stunting 30 orang. Penelitian yang dilakukan oleh Amelia, F (2020) yang
menggunakan desain case control terhadap 160 balita yang dibagi menjadi 80
balita kelompok treatment dan 80 kelompok kontrol dengan juga memaparkan
bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tsani, et.al (2018) tentang pengaruh jenis
kelamin dan status gizi terhadap satiety pada diet tinggi lemak menyebutkan
bahwa ada perbedaan tingkat kekenyangan antara anak laki-laki dan perempuan
dimana anak perempuan lebih cepat kenyang dibandingkan dengan anak laki-laki.
Hal ini mempengaruhi asupan gizi anak yang bisa menyebabkan anak laki-laki
lebih beresiko obesitas (gizi berlebih) dibandingkan dengan anak perempuan.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan
umur yang sama memiliki komposisi tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan
energi dan gizinya juga akan berbeda. Meskipun jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap kejadian stunting, namun kebutuhan gizi antara anak laki-laki dan
perempuan relatif berbeda. Banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kejadian stunting.

Dalam penelitian di puskesmas Oesapa Kota Kupang, anak laki-laki dengan


stunting mempunyai presentase yang lebih besar dibandingkan dengan anak
perempuan meskipun tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
stunting. ian stunting pada balita.

b.Umur Anak

Berdasarkan tabel 4.2 jumlah usai anak balita 1-2 tahun banyak
mengalami stunting yaitu 130 (37,5%) dan balita yang mengalami stunting
sedikit berumur 5 tahun sebanyak 99 (28,6%).
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan
perkembnagan terjadi saat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat
gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada
umumnya akitvitas fisik yang cukup tinggi dalam proses belajar. Apabila intake
zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan
mengalami gangguan yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi
yang hilang (lost generation) dan dampak yang luas negara akan kehilangan
47

sumber daya manusia yang berkualitas (Welasasih, 2012). Kejadian stunting pada
balita kemungkinan disebabkan pada usia 24-59 bulan ini, anak sudah konsumen
aktif mereka sudah dapat memilih makanan disukai seperti jajan sembarang dan
memperhatikan jenis makanan yang dipilih dan kebersihan makanan tersebut.
Balita dengan usia >24 bulan juga belum mengerti tentang kebersihan diri dalam
lingukuan yang tidak menerapkan perilaku hidup sehat. Proses menjadi pendek
atau stunting pada di suatu wilayah miskin dimulai sejak 6 bulan dan muncul
utama pada usia 2 sampai 3 tahun awal kehidupan. Stunting yang terjadi dalam
usia 36 bulan pertama biasanya disertai dengan efek panjang (wahdah et al.,2016).
Studi yang dilakukan oleh Mzumara,et.al., 2018 juga menjelaskan bahwa usia
anak berhubungan dengan terjadinya stunting, usia dibawah lima tahun
mengalami resiko lebih tinggi stunting dibandingkan dengan anak-anak usia
diatas lima tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Schoenbuchner (2016) juga
memperlihatkan hasil yang sama bahwa puncak kejadian wasting terjadi pada usia
10-12 bulan sebanyak 12-18%, sedangkan 37-39% pada usia 24 bulan mengalami
stunting. Hal ini bermakna bahwa kejadian stunting lebih banyak terjadi pada usia
muda. Semakin bertambah usia, maka kejadian stunting semakin menurun. Hasil
ini sesuai dengan Narendra, et.al (2002), kondisi ini disebabkan karena pada usia
dibawah tiga tahun (batita) lebih rentan terkena infeksi dan infeksi berulang
sehingga membuat mereka lebih berpeluang mengalami kekurangan gizi.
Meskipun anak usia pra sekolah lebih sedikit mengalami stunting, namun pada
usia ini mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih stabil
dibandingkan dengan anak dibawah tiga tahun. hasil penelitian (Rukmana,
Briawan, & Ekayanti, 2016) menunjukkan sebesar 16,8% anak usia 6- 24 bulan
mengalami stunting. Sedangkan hasil penelitian (Rahayuh, Yulidasari, Putri,
Rahman, & Rosadi, 2016) menemukan anak pendek sebanyak 54 responden
baduta (46,2%), dimana kejadian pendek ialah terjadinya gangguan pertumbuhan
linier yang disebabkan malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit kronis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Wellina, Kartasurya, & Rahfilludin, 2016)
umur anak stunting <18 bulan sebanyak 51 anak (66,2%) dan umur ≥18 bulan
sebanyak 26 anak (33,8%). Menurut penelitian (Ratnawati & Rahfiludin, 2020)
usia anak 12 24 bulan menjadi salah satu faktor resiko yang dominan konsisten
48

terjadinya stunting. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia anak dengan
stunting.

Dalam penelitian puskesmas Oesapa Kota Kupang umur anak berhubungan


dengan kejadian stunting. Semakin muda usia, angka kejadian stunting semakin
tinggi dan semakin bertambah usia maka kejadian stuntingnya semakin rendah.

c. Pendidikan ibu

Berdasarkan tabel 4.3 diatas pendidikan terbanyak adalah SMA yaitu 109
(31,3%) sedangkan pendidkan paling sedikit adalah Tidak Sekolah sebanyak 14
(14%).
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membahwa seseorang untuk
memiliki ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya. Orang –
orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas jika dibandingkan dengan orang –orang yang
memiliki pendidikan yang lebih rendah (Akombi etal., 2017). Pendidikan ibu
mempunyai peran penting terhadap status gizi balita. Pendidikan ibu yang
meningkatkan akan membahwa dampak pada intervensi sumber daya manusia
yang berkualitas.Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi konsumsi pangan
seorang dalam memilih bahan pangan yang lebih baik dan berkualitas
dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.

Pendidikan yang rendah khususnya pendidikan ibu sangat berhubungan


dengan kejadian stunting pada anak. Pendidikan ibu mempengaruhi status gizi
anak, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan semakin baik pula status
gizi anak. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara
memilih bahan makan. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pengetahuan
gizi yang di miliki, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik
pula pemahaman dalam milih bahan makanan (Kiik & Nuwa, 2020).

Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh (Larasati,2017) mengatakan


bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Berpeluang
2,7 kali pada balita yang lahir dari ibu tingakat pendidikan tinggi. Ada pula hasil
penelitian yang di lakukan oleh (Mugianti, dkk 2018) mengatakan pendidikan ibu
yang rendah (48,4%) dapat mempengaruhi kejadian stunting di Sukorejo Kota
49

Blitar. Namun penelitian(Dewi afiska, ddk 2019) menunjukan pendidikan ibu


tinggi juga mempunyai hubungan dengan kejadian stunting pada balita di UPT
Puskesmas Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
Menurut hasil penelitian (Mustamin,2018) mengatakan adanya hubungan
Pendidikan ibu terhadap kasus stunting pada balita, p < 0,05 nilai signifikansi
0,001 berarti ibu dengan pendidikan yang rendah mempunyai pengruh pada
pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi balita (Mustamin et al., 2018). Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramli, et al. (2009) di Maluku
di mana pendidikan ayah tidak berhubungan dengan kejadian stunting sedangkan
pendidikan ibu berhubungan secara signifi kan dengan kejadian stunting pada
balita. Hal ini bisa disebabkan karena peran pengasuhan lebih besar dilakukan
oleh ibu sedangkan ayah lebih banyak bekerja sehingga waktu dengan anaknya
akan lebih berkurang. Penelitian di Kamboja oleh Ikeda, et al. (2013), dan Tiwari,
et al. (2014) di Nepal juga menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor
risiko kejadian stunting pada anak di bawah lima tahun.
Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dapat
melakukan perawatan anak dengan lebih baik daripada orang tua dengan
pendidikan rendah. Orang tua dengan pendidikan yang lebih rendah lebih banyak
berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah sehingga diharapkan
pemerintah meningkatkan akses pendidikan untuk keluarga dengan sosial
ekonomi yang kurang (Ikeda, et al., 2013). Status pendidikan ibu bisa
menentukan mudah tidaknya seorang ibu dalam menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang diperoleh (Ni'mah & Nadhiroh, 2015).

Dalam penelitian ini tingkat pendidikan ibu di Puskesmas Oesapa Kota


Kupang, terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan stunting, karena tingkat
pendidikan ibu cukup tinggi sehingga ibu mampu memahami tentang status gizi
terhadap anak.

d. Umur Ibu Hamil

berdasarkan tabel 4.4 hasil penelitian dapat diketahuai bahwa umur ibu saat
melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang sebagai besar
berumur 20-35 tahun (24,2%) sedangkan umur ibu dengan < 20 tahun ( 30,34%),
umur ibu 36- 40 tahun sekitar ( 21%) dan umur ibu 41- 45 tahun ( 20,5%).

Depkes RI tahun 2020 menggolongkan umur ibu menjadi 2 kategori, yaitu


umur berisiko dan umur tidak berisiko dalam masa kehamilan. Ibu hamil termasuk
kategori tidak berisko jika ibu berada pada kelompok umur 20 -35 tahun.
Sedangkan kelompok berisiko yiatu ibu hamil yang berumur < 20 tahun dan > 35
tahun. Secara fisiologis kelompok ibu dengan umur di bahwa 20 tahun masih
50

dalam proses pertumbuhan ,baik tinggi badan maupun berat badan. Keadaan ini
tidak mendukung bagi seorang ibu untuk memasuki masa pertumbuhan badan
sendiri sekaligus menunjang pertumbuhan janinnya. Proses ini akan menyebabkan
timbul kompetisi antara ibu dan janin. Adapun ibu dengan usai di atas 35 tahun
dianggap sudah tidak mampu lagi menerima kehamilan dikarena fisik yang
tergolong tua untuk kehamilan dan lemah menerima beban kehamilan.

Umur ibu adalah salah satu faktor terjadinya stunting karena pada saat
seorang wanita menikah, maka wanita tersebut harus berada dalam rentang usia
yang sudah siap, karena jika wanita yang tidak siap menikah dipaksakan untuk
menikah maka ia tidak akan memperhatikan kehamilannya yang bisa berakibat
pada berat badan bayi lahir rendah yang juga akan berpengaruh pada stunting.

Pada usia ibu saat hamil kurang dari dua puluh tahun dan lebih dari sama
dengan tiga puluh lima tahun beresiko dengan kejadian stunting. Hal ini
disebabkan para ibu tidak mengalami masalah psikologis seperti yang telah
diuraikan oleh Supon L dkk bahwa usia ibu terlalu muda atau terlalu tua pada
waktu hamil dapat menyebabkan stunting pada anak terutama karena pengaruh
faktor psikologis. Ibu yang terlalu muda biasanya belum siap dengan
kehamilannya dan tidak tahu bagaimana menjaga dan merawat kehamilan.
Sedangkan ibu yang usianya terlalu tua biasanya staminanya sudah menurun dan
semangat dalam merawat kehamilannya sudah berkurang. Usia ibu saat hamil
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada balita, hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kemenkes RI (2018) bahwa kondisi
ibu sebelum masa kehamilan baik dilihat dari segi postur tubuh (tinggi badan
maupun berat badan) dan gizi harus diperhatikan dengan baik karena merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stunting pada balita. Ibu yang
mengalami kehamilan pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai risiko
untuk melahirkan secara prematur dan melahirkan bayi BBLR. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Fajrina, 2016) bahwa
terdapat hubungan signifikan antara usia ibu berisiko dengan kejadian stunting
pada balita dengan nilai p-value 0,03 (0,03<0,05) dan OR sebesar 4,5. Proses
kehamilan saat dipengaruhi oleh usia ketika didiagnosa hamil. Apabila usia ibu
saat hamil lebih muda atau lebih tua maka akan berisiko mengalami kompilakasi
51

kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada usia remaja diprediksi menyebabkan
bayi lahir dengan berat rendah ( BBLR) serta kematian bayi. Sebagian besar
remaja putri yang hamil dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) kurang normal
(underweight ) memiliki risiko untuk melahirkan bayi dengan BBLR kurangnya
asuapan gizi karena kekhawatiran pada bentuk selama masa remaja dan
kurangnya pendidikan tentang gizi yang kurang sebagai faktor kurangnya IMT
pada masa kehamilan remaja. Kedua hal tersebut mengakibat pada kenaikan
jumlah bayi prematur yang menjadi salah satu penyebab faktor stunting pada
balita (Vivatkusol Y, 2017).

Penelitian Larasati, ddk (2018) menunjukan usia hamil pada usia remaja
berisko 3,85 lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang
lahir dari ibu yang hamil diusai normal. Sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak
terlalu tua. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih 35 tahun
berisiko tinggi untuk melahirkan. Kehamilan di usai bahwa 20 tahun akan berisiko
terjadinya kekurangan sel darah merah / anemia , gangguan pertumbuhan dan
berkembangan janin , keguguran dan gangguan pertumbuhan pada saat proses
persalinan , preeklamsi /keracunan kehamilan dan perdarahan antepartum.

penelitian yang dilakukan Indrasari yang menyatakan bahwa ibu dengan usia
beresiko (kurang dari 20 tahun) mempunyai resiko 4,2 kali lebih besar untuk
terjadi berat badan lahir rendah (BBLR) dibanding ibu yang tidak mempunyai
usia beresiko. Kejadian berat bayi lahir rendah dan kelahiran premature pada
kehamilan remaja sering dikaitkan sebagai manifestasi Intra Uterine Growth
Retrcition (IUGR) yang disebabkan oleh belum matangnya organ reproduksi dan
status gizi ibu sebelum masa kehamilan. Kehamilan pada usia muda merupakan
Menurut Dwi Agista Larasati (2018),Usia ibu hamil (maternal age) sebaiknya
tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Usia yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, beresiko tinggi untuk melahirkan. Manuaba mencatat bahwa
kehamilan di bawah usia 20 tahun akan beresiko mengalami anemia, gangguan
tumbuh kembang janin, keguguran, prematuritas, atau BBLR, gangguan
persalinan, preeklampsi, perdarahan antepartum. Usia ibu saat melahirkan
merupakan salah satu faktor penyebab kematian perinatal. Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikatehui bahwa usia aman untuk persalinan adalah 20 – 35
52

tahun. Jika dilihat dari tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu saat pertama kali
hamil merupakan usia rawan atau tidak dianjurkan karena sebagian besar usia
hamil pertama ibu berada di bawah 20 tahun.faktor resiko yang disebabkan belum
matangnya organ reproduksi untuk hamil (endometrium belum sempurna).

Menurut Dwi Agista Larasati (2018),Usia ibu hamil (maternal age) sebaiknya
tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Usia yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, beresiko tinggi untuk melahirkan. Manuaba mencatat bahwa
kehamilan di bawah usia 20 tahun akan beresiko mengalami anemia, gangguan
tumbuh kembang janin, keguguran, prematuritas, atau BBLR, gangguan
persalinan, preeklampsi, perdarahan antepartum. Usia ibu saat melahirkan
merupakan salah satu faktor penyebab kematian perinatal. Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikatehui bahwa usia aman untuk persalinan adalah 20 – 35
tahun. Jika dilihat dari tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu saat pertama kali
hamil merupakan usia rawan atau tidak dianjurkan karena sebagian besar usia
hamil pertama ibu berada di bawah 20 tahun. Sejalan dengan penelitian Indrasari
(2012) yang menyatakan bahwa ibu dengan usia resiko kurang dari 20 tahun
mempunyai resiko 4,2 kali lebih besar mengalami terjadinya BBLR. Kejadian
BBLR dan lahir prematur pada remaja sering berkaitan sebagai manifestasi Intra
Uterine Growth Restriction ( IUGR) yang disebabkan belum matang organ
reproduksi dan statsu gizi sebelum masa kehamilan. Kehamilan di usia awal
remaja , ketika ibu juga masih bertumbuh akan meningkatkan resiko bayi lahir
akan menjadi stunting

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ervince
Manimbo (2020) dengan nilai p value = 0,003 yang artinya usia ibu memliki
hubungan dengan kejadian stunting. Pada penelitian lain yang serupa dengan
penelitian ini memiliki hasil yang sejalan yaitu usia ibu memiliki hubungan
dengan kejadian stunting. Dimana pada ibu yang terlalu muda < 20 tahun dan usia
ibu yang terlalu tua > 35 tahun memiliki resiko 4 kali lebesar melahirkan bayi
stunting dibandingkan ibu hamil pada usia ideal 20 -35 tahun. Pada ibu usia < 20
tahun pertumbuhan fisik masih berlangsung sehingga terjadi perebutan nutrisi
oleh ibu dan janin, akibatnya ibu beresiko mengandung janin Intrauterine Growh
Restiction( IUGR) Yang membuat janin tumbuh lebih lambat dan melahirkan bayi
53

dengan BBLR rendah seta pendek. Jika tidak ada peningkatan tinggi badan dalam
dua tahun pertama pada baduta maka baduta tersebut akan tumbuh menjadi anak
yang pendek. Apabila secara psikologis ibu muda belum cukup dewasa secara
mental dan gizi sehingga pola asuh anak dari ibu remaja tidak sebaik ibu yang
lebih tua dimana ibu sudah siap secara psikologis.

Dalam penelitian dipuskesmas Oesapa Kota Kupang ibu yang melahirkan anak
stunting ibu yang berusai 20 < tahun dan ada hubungan umur ibu pada saat
melahirkan dengan kejadian stunting di Puskesmas Oesapa Kota Kupang.

e. Hubnungan Asam Folat Dan Zat Besi Pada Ibu Hamil Dengan Kejadian
Stunting Di Puskesmas Oesapa Kota Kupang

Berdasarkan tabel 4.8 hasil yang diperoleh adalah 1 atau 0,00 yang
berarti ada hubungan signifikan antara pengaruh pengetahuan ibu dan asupan zat
besi dan asam folat terhadap kejadian stunting di Puskesmas Oesapa Kota
Kupang.

Gizi adalah suatu proses digesti, abrobsi, transportasi, penyimpanan,


metabolisme, dan pengeluaran zat –zat yang digunakan untuk mempertahankan,
pertumbuhan kehidupan dan fungsi normal dari organ - organ, serta menghasilkan
energi. Gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu menghasilkan energi , membangun dan memelihara jaringan serta
mengatur proses –proses kehidupan (sunita, 2006). Gizi mikro adalah zat gizi
yang dibutuhkan dalam tubuh dan jumlah kecil atau sedikit tapi ada dalam
makanan. Zat gizi yang termasuk kelompok zat mikro adalah
mineral ,vitamin ,asam folat dan zat besi.

Asam folat merupakan salah satu vitamin yang kebutuhannya meningkat dua
kali lipat untuk ibu dan janin. Banyak wanita di negara berkembang maupaun
maju mengalami kekurungan asam folat karena kandungan asam folat asam folat
pada makanan sehari –hari tidak tercukupi. Pemenuhan kebutuhan asam folat
berbeda –beda pada setiap orang. Pada masa kehamilan, kebutuhan asam folat
akan meningkat. Tidak hanya penting untuk ibu yang sedang mengandung, tetapi
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pada masa ibu hamil asam
folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah merah. Itu
54

sebabnya, ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat pada umumnya juga
mengalami anemia. Oleh karena itu asam folat dikonsumsi dari awal kehamilan
hingga selama masa kehamilan sebanyak 400ug/hari. Anemia pada kehamilan
disebabkan karena salah satunya kekurangan asam folat, dengan segala
konsekuensinya. Terlihat pucat dan mudah letih ,lesu , selain itu anemia pada ibu
hamil akan beresiko untuk melahirkan bayi BBLR dan risiko pendarahan pada
saat persalinan, bahkan dapat menyebababkan kematian pada ibu dan bayi.

Kebutuhan zat besi mengalami peningkatan untuk pembetukan plasenta


dan sel darah merah. Penenuhan kebutuhan diperoleh baik dari makanan maupun
pemberian suplementasi. kebutuhan zat besi lebih tinggi dari pada rata- rata
asupan yang diserap tubuh. Penyerapan zat besi tergantung pada sumber makanan
yang dikonsumsi. Penelitia Rolfes, mengatakan bahwa 10,5% ibu hamil memiliki
asupan zat besi kurang maka terjadinya ibu melahirkan dengan bayi BBLR dari
ibu hamil yang kurang asupan zat besi asupan zat besi. Masih ditemukan ibu
hamil yang tidak rutin mengkonsumsi tablet zat besi serta sering dikonsumsi
bersamaan dengan minuman teh dan susu. Telah mengandung tanin dan susu
mengandung kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi.

Menurut penelitian ( yasser et al, 2016) menunjukan pemberian suplemen


asam folat dan zat besi pada ibu hamil secara signifikan menurunkan risiko
stunting sebesar 14% pada baduta. Penunan lebih baik pada kelompok yang
meminum suplemen asam folat dan zat besi sebelum usia kehamilan 6 bulan dan
minum > 90 tablet selama masa kehamilan. Dengan cakupan ibu hamil yang
minumsuplemen asam folat dan zat besi yang masih rendah baik pada penelitian
ini maupun secara nasional, diperlukan upaya lebih agresif untuk meningkatkan
cakupan sehingga dapat menurunkan risiko stunting pada baduta.

Menurut penelitian (Islami,2018) menyatakan bahwa terdapat hubungan


yang signifikan konsumsi zat besi dan asam folat dengan kejadian stunting dengan
nilai p- value 0.007. Sebagian besar asam folat dan zat besi di dalam tubuh dapat
terkongjugasi dengan protein dalam bentuk ferro atau ferri. Apabila jumlah zat
besi dan asam folat dalam tubuh cukup maka kebutuhan untuk membentukan sel
darah merah dan susmsum tulang akan selalu terpenuhi, akan tetapi jika
simpanan asam folat dan zat besi dalam tubuh. Zat besi dan asam folat berfungsi
55

sebagai komponen enzim dan komponen sitokrom yang berpengaruh terhadap


tubuh.

Dalam penelitian di puskesmas Oesapa Kota Kupang dapat dilihat bahwa ada
hubungan pemberian asam folat dan zat besi pada ibu hamil selama masa
kehamilan, di lihat dari tabel penelitian yang menunjukan nilai yang diperoleh
adalah p value 0,00 atau 1 yang berarti dalam penelitian ini ada hubungan yang
bermakna pada ibu hamil yang konsumsi zat besi dan asam folat pada masa
kehamilan. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan zat besi dan asam folat
dengan kejadian stunting balita dengan nilai p = 0,00. Peneliti berpendapat bahwa
ibu –ibu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang sudah
memahami penting asupan zat besi dan asam folat untuk mencegah terjadinya ibu
melahirkan anak stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang.

BAB V
56

PENUTUP

5.1Kesimpulan

1. Jumlah anak stunting pada penelitian ini adalah 150 dari 346 responden
2. Jenis kelamin yang banyak mengalami stunting adalah jenis kelamin laki-
laki
3. Umur yang banyak mengalami stunting berusia 1- 2 tahun, sedangkan
umur yang paling sedikit mengalami stunting berumur 5 tahun
4. Terdapat hubungan bermakna antara pemberian asam folat dan zat besi
terhadap kejadian stunting di Puskemas Oesapa Kota Kupang.

5.2 Saran

1. Untuk ibu hamil yang anak mengalami stunting


sebaiknya dalam masa kehamilan ibu sering
mengkonsumsi asupan zat besi dan asam folat untuk
mencegah terjadinya stunting .
2. Untuk puskesmas melakukan rencana intervensi setiap
bulan tentang program penurunan angka stutning
difokuskan untuk peningkatan cakupan zat besi dan asam
folat yang diminum ibu selama hamil agar mengurangi
angka kejadian stunting di Puskesmas Oesapa Kota
Kupang.
57

DAFTAR PUSTAKA

.
58

Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. Concomitant Supplemental Vitamin A


Enhances the Response to Weekly Supplemental Iron and Folic Acid in
AnemicTeenagers In Urban Bangladesh. Am. J. Clin. Nutr. 2001;
74(1):108-115

Akombi, Blessing Jaka. Agho Kingsley E, Hall John J, MeromDafna,Astel-Burt


Thomas, and Renzaho Andre M.N. 2017. Stunting and
severestuntingamong children under-5 years in Nigeria: A multilevel
analysis. Nigeria: BMC Pediatrics

Almatsier, S 2004..Ilmu Gizi Dasar. PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Almatsier, Sunita, dkk., 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Stunting Pada Balita Usia 25-60 Bulan Di Kelurahan Kalibiru Depok
Tahun 2012. Jakarta: Universitas Indonesia.

Arinkunto,S.(2006). Metode Penelitian kualitatif; Jakarta: Bumi Aksara

Arisman, MB. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar IlmuGizi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Aryu candra, 2020. Epidemiologi Stunting

Bentian I. Mayulu N. RattuAjm. (2015). Faktor Resiko Terjadinya Stunting Pada


Anak Tk Di Wilayah Kerja Puskesmas Siloam Tamako Kabupaten
Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat

Broek van den NR, Letsky EA. Etiology of anemia in pregnancy in sout Malawi.
Am.J. Clin. Nutr. 2000; 72(1): 247S- 256S

Buletin Stunting.(2018). Jakarta ; Pusat Data dan Informasi

De Onis M, Branca F. (2016). Childhood Stunting: A Global Perspective. Matern


Child Nutr.

Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil

Fitrah, Ernawati. (2013). Pengaruh Asupan Protein Ibu Hamil Dan Panjang
BadanBayi Lahir Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12
BulanDi Kabupaten Bogor.Jurnal Penelitian Gizi Dan Makanan.

Hanafiah TM, 2001. Kekurangan Aam Folat Pada Kehamilan, (Folic


AcidDeficiency Anemia Of Pregnancy). Medan.
59

Helena, Dkk. 2002. Defisiensi Asam Folat. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 1, Juni 2002:
21 – 25

Kemenkes RI (2018). Buletin Stunting. Jakarta; Pusat Data Dan Informasi

Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.Buku Saku


Stunting Desa dalam Penangan Stunting . Jakarta : Kementiran
Desa,Pembangunan Daerah tertinggal ,dan Transmigrasi ; 2017.

Khoeroh, Himatul. Indriyanti, Dyah (2017). Evaluasi Penatalaksanaan Gizi


Balita Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Sirampong Bentian Mayulu
N. Ratu Ajm.(2015). Faktor Resiko Terjadi Stunting Pada Anak TK Di
Wilayah Kerja Puskesmas Siloam Tamako Kabupaten Kepulauan
SangiheSulawesi Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat

Mayes PA. Vitamin yang larut dalam air. Dalam: Harper 25 Sari Pediatri, Vol.4,
No. 1,sJuni 2002 HA, Rodwell VW, Mayes PA. penyunting. Biokimia;
edisi 17. Jakarta: EGC, 1974. h. 180-7.

Manuaba, I.BG. 2010: Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan keluarga


Berencana untuk Pendidikan Bidan. Penerbit Buku Kedokteran
EGC,Jakarta.
Maryunani, Ani. (2016). ManagemenKebidananTerlengkap. Jakarta; Cv. Trans
Info Media Manurung, Joni J, Adler dan Ferdinand. (2011) Ekonomi
Keuangan dan Kebijakan Moneter.

Muwakhidah. 2009. Efek Suplementasi Fe, Asam Folat dan Vitamin B12
terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Pada Pekerja Wanita(di
Kabupaten Sukoharjo). Universitas Dipenogoro. Tesis

Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: PendekatanPraktis.


Jakarta: Salemba Madika

Nursalam, S. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan


Praktis. Jakarta: Salemba Madika

Prendergast AJ, Humphrey JH. (2014). The Stunting Syndrome In Developing


Countries.Paediatric And International Child Health.

Purwani, Eni & Zulaekah, Siti., 2008. Resiko Lahirnya Bayi Cacat Pembuluh
Syaraf Pada Ibu Hamil Yang Kekurangan Asam Folat. Jurnal
Kesehatan,1(1), hal. 20-21.

Ramli, et al. (2013). Prevalence and Risk Factor for Stunting and SevereStunting
Among Under Fives in North Maluku Province of Indonesia.BMC
Pediatrics.Press, Inc. Florida. Rahayu, leni. 2011. Hubungan Pendidikan
60

Orang Tua Dengan Perubahan Status Stunting Dari Usia 6-12 Bulan Ke
Usia 3-4Tahun.http://lemlit.uhamka.ac.id/files/makalah7leni.pdf.

Salesman,F.(2019). Stunting and Human catastrophe in the future (analysis of


case stunting in indonesia) journal of Quality in Health and Economics
Kupang : Institute of Health Sciences Citra Husada Mandiri Kupang,
Indonesia

Sudiman, H. (2018). Stunting Atau Pendek Awal Perubahan Patologis Atau


Adaptasi Karena Perubahan Social Ekonomi Yang
Berkepanjangan.Media Litbang Kesehatan.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitati Kualitatif

Sugiyono.(2016). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D .Bandung,


Alfabeta

Tnp2k. (2017) 100 Kabupaten/Kota PrioritasUntuk Intervensi


AnakKerdi(Stunting) Ringkasan. Jakarta; Secretariat Wakil Presiden Ri.

Trihono, Dkk. (2015). Pendek (Stunting) Di Indonesia, Masalah Dan Solusinya.


Jakarta; Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan.

United Nations Children’s Fund, World Health Organization, World BankGroup.


2018. Levels and Trends in Child Malnutritiosn: Key Findings of The
2018 Edition of The Joint Child Malnutrition Estimates

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. 2004. Jakarta: LIPI

Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo.

L
61

INFORMED CONSENT
62

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Perkenalkan nama saya Yosefina Aga Mahasiswa Prodi Farmasi Universitas


Citra Bangsa Kupang ,akan melakukan penelitian mengenai
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DAN PENGGUNAAN ASUPAN
ZAT BESI DAN ASAM PADA IBU HAMILTERHADAP KEJADIAN
STUNTING DI PUSKESMAS OESAPA KOTA KUPANG ; penelitian
ini dilakukan sebagai bentuk penyelesain tugas akhir. Peneliti berharap
dilakukan pegisian kuesioner yang berkaitan dengan penelitian . semua
informasi yang responden berikan terjamin kerahasianny. Kuesioner ini
dapat dibaca dan langsung dikumpulkan setelah mengisinya.

Setelah membaca maksud dan tujuan peneliti dengan ini saya menyatakan
bersedia berpartisipasi secara sukarela menjadi responden .

Kupang ,……………….2022
Responden

( )
A . Indentitas Responden ( Ibu )
63

Nama
Umur
Pendidikan

B. Indentitas anak
Nama
Umur
Jenis kelamin

Petunjuk : berikut ini merupakan pertanyaan – pertanyaan asupan zat besi dan
asam folat pada ibu hamil terhadap kejadian stunting . silahkan
menyatakan perssepsi anda tentang hubungan pengetahuan ibu dan
penggunaan asam folat dan azat besi pada ibu hamil terhadap kejadian
stunting dengan centang . sejauh mana perstujuan anda dengan
pernyataan ini .jika piliah YA nilai 1 dan jika pilih TIDAK maka nilai 0.

Apakah selama masa kehamilan ibu mengetahui bahwa pemberian asam folat dan
zat besi dapat mencegah stunting

a. Tidak pernah
b. Pernah
c. Sangat pernah
64
65
66
67
68
69

Anda mungkin juga menyukai