Bab 2, Engki
Bab 2, Engki
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Menurut
Joint Child Malnutrition Eltimates (2018), pada tahun 2017 jumlah balita
stunting di asia mencapai 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting, namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.Pada
tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia yaitu
sekitar 55%, sedangkan lebih dari sepertiganya tinggal di Afrika sekitar 39%.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan sekitar 58,7% sedangkan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
sekitar 0,9%.
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk kedalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%. Menurut WHO Indonesia menempati stunting tertinggi di
Asia pada tahun 2017 dan prevalensi stunting di Indonesai mencapai 27,69%.
Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2013 dan 2018 dilaporkan oleh
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2018. Indikasi balita di Indonesia,
pendek pada tahun 2013 sebanyak 19,20%, dan pada tahun 2018 sebanyak
19,30% , jumlah penderita gizib uruk pada tahun 2013 sebesar 5,70%,dan
pada tahun 2018 sebanyak 3,90%. Penderita underweight pada tahun 2013
sebanyak 13,90%, di 2018 sebanyak 13,80% (Salesman, 2019).
Masalah nutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa di atasi sepenuhnya oleh pemerintah terbukti dari data-data suvere
dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyatakan bahwa
prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%, lebih
tinggi dibandingkan tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%). Bila dilihat
1
2
1.5 KeaslianPenelitian
NO Nama dan JudulPenelitian Hasil Persamaan Perbedan
tahun
1 Ayuningtyas Asupan zat gizi a) Kurangnya asupan a) Pada penelitian a) Adanya
et al(2018). makro dan mikro protein, lemak, Ayunigtyas et al dan perbedan di
terhadap Kejadian vitamin D dan Fe penelitian ini tujuan
Stunting pada Balita. menyebabkan menggunakan penelitian.
terjadinya stunting. penelitian yang b) Waktu dan
Didapatkan hasilnya bersifat deskriptif. tempat
29,3% balita yang b) variabel yang penelitian.
mengalami kejadian digunakan dalam
stunting. penelitian Ayuningtyas
b) Terdapat hubungan dengan penelitian saya
antara zat gizi makro, sama.
zinkdengan kejadian
stunting pada balita.
c) Tidak ada hubungan
antara asupan
vitamin D, Fe dengan
kejadian stunting
pada balita.
2.1 Stunting
2.1.1 Pengertian Stunting
Stunting merupakan suatu kondisi anak dengan panjang atau tinggi
badan kurang dari normal, yang biasanya disertai dengan komplikasi
penyakit (Khoerohdan Indriyanti 2017).Stuntin gmerupakan masalah kurang
gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi (Fitrah, 2013).
Kejadian Stunting muncul sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat,
dan sering menderita penyakit secara berulang karena hygiene maupun
sanitasi yang kurang baik. Pendek (stunting) merupakan tragedi yang
tersembunyi. Pendek terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama
1.000 hari pertama kehidupan anak. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan
perkembangan anak yang irreversibel (tidak bisa diubah), anak tersebut
tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa
(Trihono dkk, 2015).
2.1.2 Penyebab Stunting
Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan
(TNP2K), 2017 Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak
hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat
mengurangi prevelensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detail,
beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik,termasuk kurangnya pengetahuan
ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan.Beberapa fakta dan informasi yang ada
7
8
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan
Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan
tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).MP-ASI
diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain
berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI
juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang
dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di
tahun2007 menjadi 64% dan di tahun 2013, anak belum mendapat akses
yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil
belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan
Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/ keluarga ke makanan bergizi. Hal
ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal. Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS 2014), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal di
banding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di
Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke
makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari
3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh
dilapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih Buang Air Besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa penyebab
9
risiko anemia pada ibu hamil,dan anak yang lahir dari ibu hamil dengan
anemia lebih berisiko mengalami stunting.
2.1.7 Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan dari stunting dapat dibagi menjadi
dampak jangka panjang dan jangka pendek (Buletin stunting, 2018).
1. Dampak jangka pendek
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
c. Peningkatan biaya kesehatan
d. Terganggunya perkembangan otak
e. Kecerdasan berkurang
f. Gangguan pertumbuhan fisik
g. Gangguan metabolisime dalam tubuh
2. Dampak jangka panjang
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya)
b. Meningkatkan resiko obesitas dan penyakitl ainnya
c. Menurunnya Kesehatan reproduksi
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak normal
f. Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar
g. Menurunnyakekebalantubuhsehinggamudahsakit
h. Resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, obesitas, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua.
2.1.8 Faktor- FaktorYang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
1. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, bayi dengan berat
badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi
13
intelektualnya, selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Anisa, 2012).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi untuk
seorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein
dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat
yang tidak bisa dilakukan wanita. Selama masa bayi dan anak-anak, anak
perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting
dari pada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup
dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki, dikebanyakan negara
berkembang termasuk Indonesia (Ramli, et al. 2013).
3. Tinggi Ibu
Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada kehidupan
berikutnya yang sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan
genetik dan faktor lingkungan. Faktsor genetik meliputi tinggi badan
orang tua dan jenis kelamin. Tinggi badan ayah dan ibu yang pendek
merupakan risiko terjadinya stunting (Rahayu, 2012)
4. Faktor Ekonomi
Pendapatan keluarga adalah jumlah yang dihasilkan dan jumlah
uang yang akan dikeluarkan untuk membiayai keperluan rumah tangga
selama satu bulan. Pendapat keluarga yang memadai akan menunjang
perilaku anggota keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
keluarga yang lebih memadai (Manurung dan Ferdinand, 2011).
5. Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa seseorang
untuk memiliki atau pun meraih wawasan dan pengetahuan seluas-
luasnya. Orang-orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan
memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebuh luas jika dibandingkan
dengan orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih rendah
(Akombi et al, 2017).
14
terdiri dari Fe (zat besi), protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri
dari Fe) ( Fatimahet al, 2011).
Besi bebas terdapat dalam dua bentuk yaitu ferro (Fe2+) dan
ferri (Fe3+). Konversi kedua bentuk tersebut relatif mudah. Pada
konsentrasi oksigen tinggi,umumnya besi dan alam bentuk ferri
karena terikat Hb sedangkan pada proses transport trans membran,
deposisi dalam bentuk feritin dan sintesis heme, besi dalam bentuk
ferro. Dalam tubuh, besi diperlukan untuk pembentukkan kompleks
besi sulfur dan heme. Kompleks besi sulfur diperlukan dalam
kompleks enzim yang berperan dalam metabolisme energi. Heme
tersusun atas cincin porfirin dengan atom besi di sentral cincin yang
berperan mengangkut oksigen pada Hb dalam eritrosit dan mioglobin
dalam otot(Fatimahet al, 2011).
b. Fungsi Zat Besi
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh
sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai
alat angkut elektsron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Rata-rata kadar besi
dalam tubuh sebesar 3-4 gram. Sebagian besar (± 2 gram) terdapat
dalam bentuk hemoglobin dan sebagian kecil (± 130 mg) dalam
bentuk mioglobin. Simpanan besi dalam tubuh terutama terdapat
dalam hati dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Dalam plasma,
transferin mengangkut 3 mg besi untuk dibawa ke sumsum tulang
untuk eritropoesis dan mencapai 24 mg per hari. Sistem
retikuloendoplasma akan mendegradasi besi dari eritrosit untuk
dibawa kembali ke sumsum tulang untuk eritropoesis zat besi adalah
mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah
(hemoglobin). Selain itu, mineral ini juga berperan sebagai komponen
untuk membentuk mioglobin (protein yang membawa oksigen ke
otot), kolagen (protein yang terdapat di tulang, tulang rawan, dan
jaringan penyambung), serta enzim. Zat besi juga berfungsi dalam
sistem pertahanan tubuh.
16
tergantung senyawa zat besi yang digunakan, tak satu pun senyawa
yang ditolelir lebih baik dari pada senyawa yang lain. Zat besi yang
dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik meskipun
jumlah zat besi yang diserap berkurang. Pemberian suplementasi
Preparat Fe, pada sebagian wanita, menyebabkan sembelit. Penyulit
ini dapat diredakan dengan cara memperbanyak minum, menambah
konsumsi makanan yang kaya akan serat seperti roti, sereaslia, dan
agar-agar.
Mual pada masa kehamilan adalah proses fisiologi sebagai
dampak dari terjadinya adaptasi hormonal. Selain itu mual dapat
terjadi pada ibu hamil sebagai efek samping dari minum tablet besi.
Ibu hamil yang mengalami mual sebagai dampak kehamilannya dapat
merasakan mual yang lebih parah dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak mengalami keluhan mual sebelumnya. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi mulai lakibat minum tablet
besi. Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengurangi mual sebagai
efek samping dari mengkonsumsi tablet besi adalah dengan
mengurangi dosis tablet besi dari 1 x 1 tablet sehari menjadi 2 x ½
tablet sehari. Konsumsi tablet besi pada malam hari juga dilakukan
para partisipan dalam upaya mencegah mual setelah minum tablet
besi. Tablet besi diminum pada malam hari agar tidak mengalami
mual. Hal itu dilakukan atas anjuran petugas kesehatan.
f. Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Zat Besi
Diperkirakanhanya 5-15 % besi makanan diabsorbsi oleh
orang dewasa yang berada dalam status besi baik. Dalam keadaan
defisiensi besi absorbsi dapat mencapai 50%. Banyak faktor
berpengaruh terhadap absorbs ibesi, bentuk besi di dalam makanan
berpengaruh terhadap penyerapannya. Besi-hem, yang merupakan
bagian dari hemoglobin dan mioglobin yang terdapat didalam daging
hewan dapat diserap dua kali lipat dari pada besi nonhem. Kurang
lebih 40% daribesididalamdagingayam dan ikan terdapatbesi-hem dan
selebihnya sebagai non-hem. Besi-non hem juga terdapat di dalam
21
membran basolateral sel diatur oleh hepsidin (25 asam amino peptida
dengan ikatan dipeptida) yang dihasilkan oleh sel hepatosit. Hepsidi
nakan mengatu rabsorpsi besi pada enterosit dengan cara berikatan
dengan ferroportin sehingga menyebabkan ferroporti nmengalami
endositosis kedalam sitosol, selanjutnya ferroportin akan di degradasi.
2. Asam Folat
a. Pengertian asam folat
Asam folat adalah bantuan yang sangat diperlukan selama
kehamilan.Milik kelompok vitamin B (vitamin terlibat dalam
metabolisme manusia) dan fungsinya adalah untuk mencegah cacat
tabung saraf, yaitu masalah yang mungkin timbul di otak atau sumsum
tulang belakang. Namun, asam folat ini berguna jika diambil sebelum
konsepsi dan pada minggu-minggu awal kehamilan. Hal ini karena
cacat tabung saraf biasanya asli dalam empat minggu pertama
kehamilan, yang berarti bahwa perubahan saraf terjadi sebelum
banyak wanita tahu bahwa mereka hamil (Arisman, 2004).
Asam folat adalah vitamin B yang membantu melindungi bayi
dari saat mereka dipahami dengan cacat lahir yang serius yang
mempengaruhi tulang belakang dan otak disebut cacat tabung saraf.
Sekarang percaya bahwa asam folat dapat membantu mencegah
masalah kesehatan tertentu (Almatsier, 2004).
Hal ini sangat penting untuk mengambil asam folat setiap hari,
terutama selama minggu-minggu sebelum konsepsi dan selama
minggu-minggu pertama kehamilan, tunggu sampai Anda tahu bahwa
jika Anda sedang hamil atau tidak mungkin tidak bermanfaat bagi
bayi (Soekirman, 2000).
Dianjurkan untuk mengambil sekitar 600 mikrogram asam
folat setiap hari dan mengikuti diet seimbang yang sehat.Asam folat
dapat diambil sendiri atau dalam multivitamin, selain berbagai
makanan, seperti sereal, jus jeruk dan sayuran berdaun hijau.Tapi
perlu tahu bahwa tidak peduli seberapa sehat dan diet seimbang sulit
untuk mendapatkan makanan jumlah yang diperlukan asam folat. Jadi,
25
seperti yang Anda lihat, asam folat adalah bantuan yang sangat
diperlukan selama kehamilan (Soekirman, 2000).
Serum folat <7 nanomol/L(3 nanogram /mL) menunjukkan
defisiensi folat dan sering menyebabkan ciri morfologi (perubahan
megaloblastik dalam darah dan sumsum tulang). Tingkat folat antara 7
nanomol /L dan 11 nanomol/L (3 nanogram/mL dan 5 nanogram/mL)
dapat menyebabkan perubahan metabolik (peningkatan homosistein
plasma), dan karena itu mencurigakan untuk kekurangan folat. Ketika
kadar folat serum normal atau batas, dengan adanya kecurigaan klinis
yang kuat, RBC folat (<317 nanomol/L [<140 nanogram/mL]) dan
plasma kadar homosistein dapat diperoleh untuk membantu diagnosis
(Mayes, 1974).
Wanita hamil membutuhkan tambahan asam folat selama
kehamilan karena harus menghasilkan sel darah tambahan yang
dibutuhkan tubuh selama periode ini. Asam folat juga memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan yang cepat dari plasenta dan janin
dan diperlukan untuk menghasilkan DNA baru (bahan genetik)
sebagai selberkembang biak. Meskipun tidak diketahui persis
bagaimana asam folat mencegah cacat tabung saraf, kebanyakan studi
menunjukkan editing yang bisa karena kekurangan gizi. Hal ini juga
menyarankan bahwa karena suplemen asam folat membantu orang
untuk membuat sifat genetik yang mencegah mereka dari karakteristik
menyita folat termasuk dalam diet Anda (Almatsier, 2004).
b. Fungsi Asam Folat
Fungsi utama koenzim folat (THFA) adalah memindahkan
atom karbon tunggal dalam bentuk gugus formil, hidroksi metil atau
metal dalam reaksi penting metabolisme beberapa asam amino dan
sintesis asam nukleat. THFA berperan dalam sintesis purin-purin
guanin dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawa-senyawa yang
digunakan dalam pembentukan asam-asam deoksiribonukleat (DNA)
dan asam ribonukleat acid (RNA). Folat juga dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum
26
2. Kacang-Kacangan
Kacang-kacangan sudah sejak lama diketahui sumber
protein juga serat yang kaya akan gizi seperti halnya mineral.
Vitamin B, karbohidrat komplek.Umumnya, kacang-kacangan
mengandung 8-17% protein, 100 g zat besi, 100 g kalsium, dan
kaya akan asam folat sebanyak 100μg untuk kacang kedelai dan
kacang kering dan kacang tanah mengandung 70μg asm folat.
3. Telur
Asam folat yang terdapat pada telur terletak di putih telur. Pada
telur bebek kandungan asam folat sebesar 14,85 mcg/l00g tidak
berbeda jauh dengan putih telur ayam yang mencapai 14,67
mcg/l00g.
4. Alpukat
Hingga kini, alpukat dipercaya dapat dikonsumsi sebagai
penangkal gejala flu.Kandungan vitamin E-nya mampu
menetralkan radikal bebas dan menekan risiko infeksi, sedangkan
vitamin B-nya membantu produksi antibodi secara
alami.Kandungan omega-6, asam lemak esensial dalam alpukat,
juga bermanfaat untuk meredakan radang. Beberapa penelitian
membuktikan buah ini mampu meningkatkan sistem imun.
5. Gandum dan Susu
Dua jenis panganan ini juga memiliki asam folat yang
cukuptinggi. Sejak tahun 1996 Food and Drug Administration
(FDA) telahmengeluarkan peraturan yang mengharuskan
penambahan asam folatpada roti, sereal, tepung, makanan yang
terbuat dari jagung, pasta, berasdan produk biji-bijian lain.
6. Jeruk
Selain dikenal sebagai sumber vitamin C, buah bundar satu
ini juga merupakan sumber asam folat yang potensial.Bahkan dari
satu buah jeruk 20% kebutuhan folat sehari-hari dapat terpenuhi.
Tak cukup sampai disitu jeruk mampu meningkatkan kadar folat
29
dan kadar racun dalam pembuluh darah pun menurun. Jeruk yang
memiliki ukuran sedang mengandung 70μg asam folat.
7. Stroberi
Meski mahal, buah yang dijadikan lambang cinta pada
zaman Yunani kuno ini cukup diminati masyarakat.Delapan buah
stroberi atau 1 gelas potongan stroberi hanya mengandung 50
kalori dan tidak mengandung kolesterol atau asam lemak jenuh. Ini
setara dengan 7,5 μg kebutuhan asam folat harian untuk ibu hamil.
Tak heran jika stroberi menjadi alternative camilan ataupun
pelengkap makanan yang sehat.
8. Hati Sapi
Selain mengandung asam folat hati sapi juga mengandung
vitamin A yang cukup tinggi. Sayangnya, mereka yang sedang
mengandung tidak diajurkan mengkonsumsi hati sapi karena dapat
menyebabkan gangguan pada kehamilan. Namun tak perlu
khawatir, mereka yang mengkonsumsi hati sapi dapat
menggantinya dengan dengan minum susu. Kandungan asam folat
pada hati berjumlah 250μg/100 gr.
9. Pisang
Dengan mengkonsumsi 1,2-5 pisang setiap hari, maka
kebutuhan asam folat dapat terpenuhi. dua buah pisang setara
dengan 58μg folat yang dengan kata lain hanya memenuhi
sepertiga kebutuhan folat tubuh.
g. Kebutuhan Asam Folat Pada Masa Kehamilan
Kebutuhan asam folat ibu usia subur adalah 50-100 mikrogram
(Hanafiah,2006) dan ibu hamil sekitar 400-600 mikrogram atau 0,4-
0,6mg perhari. Kebutuhan asam folat harus dicukupi minimal 4 bulan
sebelum kehamilan (Almatsier,2003), serta 3 bulan awal kehamilan
(Kusmarjadi, 2009)
30
kehamilan ini bersifat dinamis, karena ibu hamil yang pada mulanya normal,
secara tiba-tiba dapat menjadi berisiko tinggi(BG, 2010).
Semakin muda dan semakin tua umur seorangibu yang sedang hamil
akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang diperlukan. Kehamilan di
usia kurang dari 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung
labil, mental belum matang sehingga mudah mengalami gonjangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat
gizi selama hamil.
Sedangkan umur lebih dari 35 tahun terkait dengan kemunduran dan
daya tahan tubuh sehingga memerlukan energi yang besar karena fungsi
organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal maka
memerlukan tambahan energi yang cukup untuk mendukung kehamilan yang
sedang berlangsung, usia kurang dari 20tahun dan lebih dari 35 tahun akan
meningkatkan resiko terjadinyadan rentan terhadap masalah gizi lainnya
(Wiknjosastro, 2005).
2.3.1 Suplemen Yang Dianjurkan Selama Kehamilan
1. Asam Folat.
Asam folat yang dikonsumsi sebelum hamil dan selama
kehamilan melindungi dari gangguan saraf pada janin (anensefali,spina
bifida).Wanita hamil disarankan mengkonsumsi asam folat400 μg/hari
selama 12 minggu kehamilan karena kebutuhan asamfolat tidak dapat
dipenuhi hanya dari makanan (Almatsier, 2011).
2. Zat Besi.
Zat besi adalah komponen utama dari hemoglobin yang bekerja
mengangkut oksigen di dalam darah.Selama kehamilan, suplai darah
meningkat untuk memberikan nutrisi ke janin.Suplemen besi yang
dibutuhkan adalah 30 – 50 mg/hari dan disarankan pada wanita hamil
dengan hemoglobin < 10 atau 10,5g/dl pada akhir kehamilan. Selain
suplemen, zat besi juga terkandung pada daging, telur, kacang, sayuran
hijau, gandum, dan buah-buahan kering.Suplemen besi sebaiknya
dikonsumsi diantara waktu makan dengan perut yang kosong atau diikuti
jus jeruk untuk meningkatkan penyerapan (Almatsier, 2011).
32
3. Kalsium.
Kalsium penting di dalam mengatur kekuatan tulang wanita hamil
dan pertumbuhan tulang bagi janin. Kalsium yang disarankan sebanyak
1.200 mg untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin. Kalsium sebaiknya
dikonsumsi ketika sedang makan,diikuti dengan jus buah yang kaya
vitamin C untuk meningkatkan penyerapan (Almatsier, 2011).
Ibu hamil membutuhkan konsumsi energi dan zat-zat yang
adekuat guna menopang pertumbuhan dan kesehatan janin dan dirinya
sendiri. Kehamilan yang berjarak kurang dari setahun dari kehamilan
sebelumnya akan menguras cadangan zat-zat gizi, pertumbuhan janin
mungkin dapat dilindungi namun kesehatan ibu dapat menurun.
Selama kehamilan kebutuhan gizi ibu meningkat karena terjadi
peningkatan beberapa komponen dari jaringan ibu seperti cadangan
lemak, darah, uterus dan kelenjar susu, serta komponen janin seperti
janin, ketuban dan plasenta. Kebutuhan gizi yang meningkat tersebut
digunakan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin
bersama-sama dengan perubahan-perubahan yang berhubungan pada
struktur dan metabolisme yang terjadi pada ibu. Malnutrisi bukan hanya
melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam
keselamatan janin.
33
Tabel 2.5 Angka kecukupan Gizi (AKG) ibu tidak hamil dan
hamil berusia 19-29 tahun
Zat gizi Tidak hamil Hamil ( tambah ) trimester
Timester I Trimestre II Trimester III
Energi 1900 180 300 300
Protien 50 17 17 17
Vitamin A 500 300 300 300
Vitamin D 5 0 0 0
Vitamin E 15 0 0 0
Vitamin K 55 0 0 0
Tiamin 1 0,3 0,3 0,3
Riboflavin 1 0,3 0,3 0,3
Niasin 14 4 4 4
Asam folat 400 200 200 200
Piridoksin 1,3 0,4 0,4 0,4
Vitamin B12 2,4 0,2 0,2 0,2
Vitamin C 75 10 10 10
Kalsium 800 150 150 150
Fosfor 600 0 0 0
Magnesium 250 40 40 40
Besi 26 0 9 13
Seng 9,3 1,2 1,2 1,2
Yodium 150 50 50 50
Selenium 30 5 5 5
Mangan 1,5 0,2 0,2 0,2
Flour 2,6 0 0 0
34
2.6 Hipotesisi
H1 =Ada hubungan pengetahuan ibu dan penggunaan asupan zat besi dan asam
folat terhadap kejadianstunting pada ibu hamil.
H0 = Tidak Ada hubungan pengetahuan ibu dan penggunan asupan zat besi dan
asam folat terhadap kejadianstunting pada ibu hamil.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 DesainPenelitiandanRancanganPenelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk menciptakan tujuan
penelitian yang diharapkan dan berperan sebagai pedoman atau panutan
penelitian pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016). Penelitian ini
menggunakan meote deskripsif analiik dengn desain penelitian cross
sectional.
3.2 Tabel Variabel Penelitian
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
NO Variabel Definisioperasi Parameter Instrumen Skala Skor
onal /alattulis
111 a.Asupan a.Asam folat a. Penggunaan Kuesioner Ordinal YA
zat besi dan adalah bentuk asam folat dan TIDAK
asam folat sintesis dari zat besi Ket : jika jawab YA
folat b. dosis asam maka nlai 1, jika
atau B9, yang folat dan zat jawab Tidak maka
dikomsumsi ibu besi nilai 0
selama masa c.Lama
kehamilan. penggunaaan
b. Zat besi asam folat dan
adalah asupan zat besi
nutrisi mikro
yang
dikomsumsi ibu
selama masa
kehamilan
2 Dependen a.Stunting a. anak stunting Kuesioner Ordinal YA
Stunting anak adalah kondisi TIDAK Ket: jika
anak pendek jawab YA maka nilai
yang terdata 1, Jika jawab Tidak
sebagai pasien maka nilai 0
stunting di
Puskesmas
Oesapa Kota
Kupang
b.Ibu adalah ibu
(orang tua )
yang memiliki
anak stunting di
Puskemas
Oesapa
KotaKupang
37
38
3.2.3 Sampling
Sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang
sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendakipeneliti (tujuan/ masalah
dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapatmewakili karakteristik
populasi yang telah dikenali sebelumnya (Nursalam, 2016).
3.3 RencanadanWaktuPenelitian
Penelitianakandilaksanaanpadabulanjuni sampaidenganagustus 2022
di Puskesmas Oesapa Kota Kupang .
Urainmengenaijadwalpenelitian di lihatpadatabelberikut :
Tabel 3.2Jadwal Penelitian
No Waktu penelitian Agenda
1 Juni pertama minggu dan minggu ketiga Ujian proposal dan perbaikan
2 Juni keempat dan minggu pertama bulan Pengumpulan data
juli
3 minggu kedua juli dan minggu keempat Analisis data
bulan juli
4 Agustus minggu pertama dan minggu Mengerjakan pembahasan dan
ketiga kesimpulan
5 Agustus minggu keempat Ujian skripsi
39
Indetifikasi masalah
penyusunan propsal
4.1 Hasil
Penelitian ini dlaksanakan di puskesmas Oesapa Kota Kupang, dan dimulai dari
Tanggal 24 juli samapi dengan 08 Agustus 2022. wilayah kerja UPT Oesapa
mencakup 5 ke Lurahan sebagai berikut, kelurahan Oesapa, Oesapa barat, Oesapa
selatan, Lasiana dan Kelapa lima.
42
43
a.Uji normalitas
b.Uji Bivariat
N 346 346
correlation 000
Sig.(2- tailed)
N 346 346
Total 346
Total 346
Df 1 1
a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell
frequency is 173,0.
45
4.2 Pembahasan
a. Jenis Kelamin
Menurut studi kohort di Ethiophia didapatkan hasil berupa anak laki- laki
mempunyai resiko dua lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan anak
perempuan pada usai 6 hingga 12 bulan (Medhin, 2012). Hasil Riskesdas 2013
menunjukan prevalensi balita yang stunting lebih tinggi berjenis kelamin laki-laki
sebesar 18,8%, dibandingkan pada perempuan 17,1%. penelitian yang dilakukan
oleh Wamani (2007) di Sub Saharan Afrika bahwa kejadian stunting lebih banyak
dialami olek anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Hasanah (2018) di wilayah puskesmas Kotagede I
menjelaskan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kejadian stunting
dengan p-value sebesar 0,649, namun dalam penelitian tersebut menyebutkan
bahwa secara prosentase kejadian stunting lebih banyak dialami oleh anak laki-
laki yaitu sebanyak 23 orang dan yang tidak stunting sebanyak 25 orang
Sedangkan anak perempuan yang mengalami stunting sebanyak 23 orang dan
46
tidak stunting 30 orang. Penelitian yang dilakukan oleh Amelia, F (2020) yang
menggunakan desain case control terhadap 160 balita yang dibagi menjadi 80
balita kelompok treatment dan 80 kelompok kontrol dengan juga memaparkan
bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tsani, et.al (2018) tentang pengaruh jenis
kelamin dan status gizi terhadap satiety pada diet tinggi lemak menyebutkan
bahwa ada perbedaan tingkat kekenyangan antara anak laki-laki dan perempuan
dimana anak perempuan lebih cepat kenyang dibandingkan dengan anak laki-laki.
Hal ini mempengaruhi asupan gizi anak yang bisa menyebabkan anak laki-laki
lebih beresiko obesitas (gizi berlebih) dibandingkan dengan anak perempuan.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan
umur yang sama memiliki komposisi tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan
energi dan gizinya juga akan berbeda. Meskipun jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap kejadian stunting, namun kebutuhan gizi antara anak laki-laki dan
perempuan relatif berbeda. Banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kejadian stunting.
b.Umur Anak
Berdasarkan tabel 4.2 jumlah usai anak balita 1-2 tahun banyak
mengalami stunting yaitu 130 (37,5%) dan balita yang mengalami stunting
sedikit berumur 5 tahun sebanyak 99 (28,6%).
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan
perkembnagan terjadi saat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat
gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada
umumnya akitvitas fisik yang cukup tinggi dalam proses belajar. Apabila intake
zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan
mengalami gangguan yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi
yang hilang (lost generation) dan dampak yang luas negara akan kehilangan
47
sumber daya manusia yang berkualitas (Welasasih, 2012). Kejadian stunting pada
balita kemungkinan disebabkan pada usia 24-59 bulan ini, anak sudah konsumen
aktif mereka sudah dapat memilih makanan disukai seperti jajan sembarang dan
memperhatikan jenis makanan yang dipilih dan kebersihan makanan tersebut.
Balita dengan usia >24 bulan juga belum mengerti tentang kebersihan diri dalam
lingukuan yang tidak menerapkan perilaku hidup sehat. Proses menjadi pendek
atau stunting pada di suatu wilayah miskin dimulai sejak 6 bulan dan muncul
utama pada usia 2 sampai 3 tahun awal kehidupan. Stunting yang terjadi dalam
usia 36 bulan pertama biasanya disertai dengan efek panjang (wahdah et al.,2016).
Studi yang dilakukan oleh Mzumara,et.al., 2018 juga menjelaskan bahwa usia
anak berhubungan dengan terjadinya stunting, usia dibawah lima tahun
mengalami resiko lebih tinggi stunting dibandingkan dengan anak-anak usia
diatas lima tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Schoenbuchner (2016) juga
memperlihatkan hasil yang sama bahwa puncak kejadian wasting terjadi pada usia
10-12 bulan sebanyak 12-18%, sedangkan 37-39% pada usia 24 bulan mengalami
stunting. Hal ini bermakna bahwa kejadian stunting lebih banyak terjadi pada usia
muda. Semakin bertambah usia, maka kejadian stunting semakin menurun. Hasil
ini sesuai dengan Narendra, et.al (2002), kondisi ini disebabkan karena pada usia
dibawah tiga tahun (batita) lebih rentan terkena infeksi dan infeksi berulang
sehingga membuat mereka lebih berpeluang mengalami kekurangan gizi.
Meskipun anak usia pra sekolah lebih sedikit mengalami stunting, namun pada
usia ini mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih stabil
dibandingkan dengan anak dibawah tiga tahun. hasil penelitian (Rukmana,
Briawan, & Ekayanti, 2016) menunjukkan sebesar 16,8% anak usia 6- 24 bulan
mengalami stunting. Sedangkan hasil penelitian (Rahayuh, Yulidasari, Putri,
Rahman, & Rosadi, 2016) menemukan anak pendek sebanyak 54 responden
baduta (46,2%), dimana kejadian pendek ialah terjadinya gangguan pertumbuhan
linier yang disebabkan malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit kronis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Wellina, Kartasurya, & Rahfilludin, 2016)
umur anak stunting <18 bulan sebanyak 51 anak (66,2%) dan umur ≥18 bulan
sebanyak 26 anak (33,8%). Menurut penelitian (Ratnawati & Rahfiludin, 2020)
usia anak 12 24 bulan menjadi salah satu faktor resiko yang dominan konsisten
48
terjadinya stunting. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia anak dengan
stunting.
c. Pendidikan ibu
Berdasarkan tabel 4.3 diatas pendidikan terbanyak adalah SMA yaitu 109
(31,3%) sedangkan pendidkan paling sedikit adalah Tidak Sekolah sebanyak 14
(14%).
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membahwa seseorang untuk
memiliki ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya. Orang –
orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas jika dibandingkan dengan orang –orang yang
memiliki pendidikan yang lebih rendah (Akombi etal., 2017). Pendidikan ibu
mempunyai peran penting terhadap status gizi balita. Pendidikan ibu yang
meningkatkan akan membahwa dampak pada intervensi sumber daya manusia
yang berkualitas.Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi konsumsi pangan
seorang dalam memilih bahan pangan yang lebih baik dan berkualitas
dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.
berdasarkan tabel 4.4 hasil penelitian dapat diketahuai bahwa umur ibu saat
melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang sebagai besar
berumur 20-35 tahun (24,2%) sedangkan umur ibu dengan < 20 tahun ( 30,34%),
umur ibu 36- 40 tahun sekitar ( 21%) dan umur ibu 41- 45 tahun ( 20,5%).
dalam proses pertumbuhan ,baik tinggi badan maupun berat badan. Keadaan ini
tidak mendukung bagi seorang ibu untuk memasuki masa pertumbuhan badan
sendiri sekaligus menunjang pertumbuhan janinnya. Proses ini akan menyebabkan
timbul kompetisi antara ibu dan janin. Adapun ibu dengan usai di atas 35 tahun
dianggap sudah tidak mampu lagi menerima kehamilan dikarena fisik yang
tergolong tua untuk kehamilan dan lemah menerima beban kehamilan.
Umur ibu adalah salah satu faktor terjadinya stunting karena pada saat
seorang wanita menikah, maka wanita tersebut harus berada dalam rentang usia
yang sudah siap, karena jika wanita yang tidak siap menikah dipaksakan untuk
menikah maka ia tidak akan memperhatikan kehamilannya yang bisa berakibat
pada berat badan bayi lahir rendah yang juga akan berpengaruh pada stunting.
Pada usia ibu saat hamil kurang dari dua puluh tahun dan lebih dari sama
dengan tiga puluh lima tahun beresiko dengan kejadian stunting. Hal ini
disebabkan para ibu tidak mengalami masalah psikologis seperti yang telah
diuraikan oleh Supon L dkk bahwa usia ibu terlalu muda atau terlalu tua pada
waktu hamil dapat menyebabkan stunting pada anak terutama karena pengaruh
faktor psikologis. Ibu yang terlalu muda biasanya belum siap dengan
kehamilannya dan tidak tahu bagaimana menjaga dan merawat kehamilan.
Sedangkan ibu yang usianya terlalu tua biasanya staminanya sudah menurun dan
semangat dalam merawat kehamilannya sudah berkurang. Usia ibu saat hamil
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada balita, hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kemenkes RI (2018) bahwa kondisi
ibu sebelum masa kehamilan baik dilihat dari segi postur tubuh (tinggi badan
maupun berat badan) dan gizi harus diperhatikan dengan baik karena merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stunting pada balita. Ibu yang
mengalami kehamilan pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai risiko
untuk melahirkan secara prematur dan melahirkan bayi BBLR. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Fajrina, 2016) bahwa
terdapat hubungan signifikan antara usia ibu berisiko dengan kejadian stunting
pada balita dengan nilai p-value 0,03 (0,03<0,05) dan OR sebesar 4,5. Proses
kehamilan saat dipengaruhi oleh usia ketika didiagnosa hamil. Apabila usia ibu
saat hamil lebih muda atau lebih tua maka akan berisiko mengalami kompilakasi
51
kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada usia remaja diprediksi menyebabkan
bayi lahir dengan berat rendah ( BBLR) serta kematian bayi. Sebagian besar
remaja putri yang hamil dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) kurang normal
(underweight ) memiliki risiko untuk melahirkan bayi dengan BBLR kurangnya
asuapan gizi karena kekhawatiran pada bentuk selama masa remaja dan
kurangnya pendidikan tentang gizi yang kurang sebagai faktor kurangnya IMT
pada masa kehamilan remaja. Kedua hal tersebut mengakibat pada kenaikan
jumlah bayi prematur yang menjadi salah satu penyebab faktor stunting pada
balita (Vivatkusol Y, 2017).
Penelitian Larasati, ddk (2018) menunjukan usia hamil pada usia remaja
berisko 3,85 lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang
lahir dari ibu yang hamil diusai normal. Sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak
terlalu tua. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih 35 tahun
berisiko tinggi untuk melahirkan. Kehamilan di usai bahwa 20 tahun akan berisiko
terjadinya kekurangan sel darah merah / anemia , gangguan pertumbuhan dan
berkembangan janin , keguguran dan gangguan pertumbuhan pada saat proses
persalinan , preeklamsi /keracunan kehamilan dan perdarahan antepartum.
penelitian yang dilakukan Indrasari yang menyatakan bahwa ibu dengan usia
beresiko (kurang dari 20 tahun) mempunyai resiko 4,2 kali lebih besar untuk
terjadi berat badan lahir rendah (BBLR) dibanding ibu yang tidak mempunyai
usia beresiko. Kejadian berat bayi lahir rendah dan kelahiran premature pada
kehamilan remaja sering dikaitkan sebagai manifestasi Intra Uterine Growth
Retrcition (IUGR) yang disebabkan oleh belum matangnya organ reproduksi dan
status gizi ibu sebelum masa kehamilan. Kehamilan pada usia muda merupakan
Menurut Dwi Agista Larasati (2018),Usia ibu hamil (maternal age) sebaiknya
tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Usia yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, beresiko tinggi untuk melahirkan. Manuaba mencatat bahwa
kehamilan di bawah usia 20 tahun akan beresiko mengalami anemia, gangguan
tumbuh kembang janin, keguguran, prematuritas, atau BBLR, gangguan
persalinan, preeklampsi, perdarahan antepartum. Usia ibu saat melahirkan
merupakan salah satu faktor penyebab kematian perinatal. Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikatehui bahwa usia aman untuk persalinan adalah 20 – 35
52
tahun. Jika dilihat dari tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu saat pertama kali
hamil merupakan usia rawan atau tidak dianjurkan karena sebagian besar usia
hamil pertama ibu berada di bawah 20 tahun.faktor resiko yang disebabkan belum
matangnya organ reproduksi untuk hamil (endometrium belum sempurna).
Menurut Dwi Agista Larasati (2018),Usia ibu hamil (maternal age) sebaiknya
tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Usia yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, beresiko tinggi untuk melahirkan. Manuaba mencatat bahwa
kehamilan di bawah usia 20 tahun akan beresiko mengalami anemia, gangguan
tumbuh kembang janin, keguguran, prematuritas, atau BBLR, gangguan
persalinan, preeklampsi, perdarahan antepartum. Usia ibu saat melahirkan
merupakan salah satu faktor penyebab kematian perinatal. Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikatehui bahwa usia aman untuk persalinan adalah 20 – 35
tahun. Jika dilihat dari tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu saat pertama kali
hamil merupakan usia rawan atau tidak dianjurkan karena sebagian besar usia
hamil pertama ibu berada di bawah 20 tahun. Sejalan dengan penelitian Indrasari
(2012) yang menyatakan bahwa ibu dengan usia resiko kurang dari 20 tahun
mempunyai resiko 4,2 kali lebih besar mengalami terjadinya BBLR. Kejadian
BBLR dan lahir prematur pada remaja sering berkaitan sebagai manifestasi Intra
Uterine Growth Restriction ( IUGR) yang disebabkan belum matang organ
reproduksi dan statsu gizi sebelum masa kehamilan. Kehamilan di usia awal
remaja , ketika ibu juga masih bertumbuh akan meningkatkan resiko bayi lahir
akan menjadi stunting
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ervince
Manimbo (2020) dengan nilai p value = 0,003 yang artinya usia ibu memliki
hubungan dengan kejadian stunting. Pada penelitian lain yang serupa dengan
penelitian ini memiliki hasil yang sejalan yaitu usia ibu memiliki hubungan
dengan kejadian stunting. Dimana pada ibu yang terlalu muda < 20 tahun dan usia
ibu yang terlalu tua > 35 tahun memiliki resiko 4 kali lebesar melahirkan bayi
stunting dibandingkan ibu hamil pada usia ideal 20 -35 tahun. Pada ibu usia < 20
tahun pertumbuhan fisik masih berlangsung sehingga terjadi perebutan nutrisi
oleh ibu dan janin, akibatnya ibu beresiko mengandung janin Intrauterine Growh
Restiction( IUGR) Yang membuat janin tumbuh lebih lambat dan melahirkan bayi
53
dengan BBLR rendah seta pendek. Jika tidak ada peningkatan tinggi badan dalam
dua tahun pertama pada baduta maka baduta tersebut akan tumbuh menjadi anak
yang pendek. Apabila secara psikologis ibu muda belum cukup dewasa secara
mental dan gizi sehingga pola asuh anak dari ibu remaja tidak sebaik ibu yang
lebih tua dimana ibu sudah siap secara psikologis.
Dalam penelitian dipuskesmas Oesapa Kota Kupang ibu yang melahirkan anak
stunting ibu yang berusai 20 < tahun dan ada hubungan umur ibu pada saat
melahirkan dengan kejadian stunting di Puskesmas Oesapa Kota Kupang.
e. Hubnungan Asam Folat Dan Zat Besi Pada Ibu Hamil Dengan Kejadian
Stunting Di Puskesmas Oesapa Kota Kupang
Berdasarkan tabel 4.8 hasil yang diperoleh adalah 1 atau 0,00 yang
berarti ada hubungan signifikan antara pengaruh pengetahuan ibu dan asupan zat
besi dan asam folat terhadap kejadian stunting di Puskesmas Oesapa Kota
Kupang.
Asam folat merupakan salah satu vitamin yang kebutuhannya meningkat dua
kali lipat untuk ibu dan janin. Banyak wanita di negara berkembang maupaun
maju mengalami kekurungan asam folat karena kandungan asam folat asam folat
pada makanan sehari –hari tidak tercukupi. Pemenuhan kebutuhan asam folat
berbeda –beda pada setiap orang. Pada masa kehamilan, kebutuhan asam folat
akan meningkat. Tidak hanya penting untuk ibu yang sedang mengandung, tetapi
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pada masa ibu hamil asam
folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah merah. Itu
54
sebabnya, ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat pada umumnya juga
mengalami anemia. Oleh karena itu asam folat dikonsumsi dari awal kehamilan
hingga selama masa kehamilan sebanyak 400ug/hari. Anemia pada kehamilan
disebabkan karena salah satunya kekurangan asam folat, dengan segala
konsekuensinya. Terlihat pucat dan mudah letih ,lesu , selain itu anemia pada ibu
hamil akan beresiko untuk melahirkan bayi BBLR dan risiko pendarahan pada
saat persalinan, bahkan dapat menyebababkan kematian pada ibu dan bayi.
Dalam penelitian di puskesmas Oesapa Kota Kupang dapat dilihat bahwa ada
hubungan pemberian asam folat dan zat besi pada ibu hamil selama masa
kehamilan, di lihat dari tabel penelitian yang menunjukan nilai yang diperoleh
adalah p value 0,00 atau 1 yang berarti dalam penelitian ini ada hubungan yang
bermakna pada ibu hamil yang konsumsi zat besi dan asam folat pada masa
kehamilan. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan zat besi dan asam folat
dengan kejadian stunting balita dengan nilai p = 0,00. Peneliti berpendapat bahwa
ibu –ibu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang sudah
memahami penting asupan zat besi dan asam folat untuk mencegah terjadinya ibu
melahirkan anak stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa Kota Kupang.
BAB V
56
PENUTUP
5.1Kesimpulan
1. Jumlah anak stunting pada penelitian ini adalah 150 dari 346 responden
2. Jenis kelamin yang banyak mengalami stunting adalah jenis kelamin laki-
laki
3. Umur yang banyak mengalami stunting berusia 1- 2 tahun, sedangkan
umur yang paling sedikit mengalami stunting berumur 5 tahun
4. Terdapat hubungan bermakna antara pemberian asam folat dan zat besi
terhadap kejadian stunting di Puskemas Oesapa Kota Kupang.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
.
58
Almatsier, Sunita, dkk., 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Arisman, MB. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar IlmuGizi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Broek van den NR, Letsky EA. Etiology of anemia in pregnancy in sout Malawi.
Am.J. Clin. Nutr. 2000; 72(1): 247S- 256S
Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil
Fitrah, Ernawati. (2013). Pengaruh Asupan Protein Ibu Hamil Dan Panjang
BadanBayi Lahir Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12
BulanDi Kabupaten Bogor.Jurnal Penelitian Gizi Dan Makanan.
Helena, Dkk. 2002. Defisiensi Asam Folat. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 1, Juni 2002:
21 – 25
Mayes PA. Vitamin yang larut dalam air. Dalam: Harper 25 Sari Pediatri, Vol.4,
No. 1,sJuni 2002 HA, Rodwell VW, Mayes PA. penyunting. Biokimia;
edisi 17. Jakarta: EGC, 1974. h. 180-7.
Muwakhidah. 2009. Efek Suplementasi Fe, Asam Folat dan Vitamin B12
terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Pada Pekerja Wanita(di
Kabupaten Sukoharjo). Universitas Dipenogoro. Tesis
Purwani, Eni & Zulaekah, Siti., 2008. Resiko Lahirnya Bayi Cacat Pembuluh
Syaraf Pada Ibu Hamil Yang Kekurangan Asam Folat. Jurnal
Kesehatan,1(1), hal. 20-21.
Ramli, et al. (2013). Prevalence and Risk Factor for Stunting and SevereStunting
Among Under Fives in North Maluku Province of Indonesia.BMC
Pediatrics.Press, Inc. Florida. Rahayu, leni. 2011. Hubungan Pendidikan
60
Orang Tua Dengan Perubahan Status Stunting Dari Usia 6-12 Bulan Ke
Usia 3-4Tahun.http://lemlit.uhamka.ac.id/files/makalah7leni.pdf.
L
61
INFORMED CONSENT
62
Setelah membaca maksud dan tujuan peneliti dengan ini saya menyatakan
bersedia berpartisipasi secara sukarela menjadi responden .
Kupang ,……………….2022
Responden
( )
A . Indentitas Responden ( Ibu )
63
Nama
Umur
Pendidikan
B. Indentitas anak
Nama
Umur
Jenis kelamin
Petunjuk : berikut ini merupakan pertanyaan – pertanyaan asupan zat besi dan
asam folat pada ibu hamil terhadap kejadian stunting . silahkan
menyatakan perssepsi anda tentang hubungan pengetahuan ibu dan
penggunaan asam folat dan azat besi pada ibu hamil terhadap kejadian
stunting dengan centang . sejauh mana perstujuan anda dengan
pernyataan ini .jika piliah YA nilai 1 dan jika pilih TIDAK maka nilai 0.
Apakah selama masa kehamilan ibu mengetahui bahwa pemberian asam folat dan
zat besi dapat mencegah stunting
a. Tidak pernah
b. Pernah
c. Sangat pernah
64
65
66
67
68
69