Eva Ardianah
Promosi kesehatan, yang sebelumnya disebut dengan istilah “pendidikan kesehatan” dikenal
oleh Masyarakat luas setelah diperkenalkan dalam Konferensi Internasional yang dikenal
sebagai “Ottawa Charter for Health Promotion First International Conference on Health
Promotion”. Menurut konferensi ini, promosi kesehatan adalah “the process of enabling
people to increase control over, and to improve, their health”. Dalam bahasa Indonesia,
“proses yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kontrol atas kesehatannya, dan
untuk meningkatkan kesehatannya.” Dalam hal ini, promosi kesehatan membuat masyarakat
mampu mengontrol perilaku dan gaya hidup agar sehat, dengan memberikan pengetahuan
yang tepat agar masyarakat mampu mengubah pola pikir dan perilaku yang diwujudkan
dalam tindakan yang mendukung peningkatan kesehatannya. Promosi kesehatan dianggap
penting karena advokasi kesehatan yang baik merupakan sumber untuk kemajuan sosial,
ekonomi dan personal, dan merupakan dimensi penting untuk kualitas hidup (quality of life
atau QoL [1, 2].
Tujuan dari promosi kesehatan sendiri adalah mencapai kesejahteraan, baik fisik, mental, dan
sosial yang utuh, dengan mengidentifikasi dan mewujudkan aspirasi, memenuhi kebutuhan,
dan mengubah atau mengatasi masalah-masalah di lingkungan, sehingga status kesehatan saat
ini dapat berkurang dan masing-masing individu dapat mencapai potensi kesehatannya secara
optimal. Dalam hal ini, “kesehatan” adalah titik berat dalam promosi kesehatan.
Pemeliharaan kesehatan tidak hanya melibatkan pekerja kesehatan saja, namun juga akses
informasi yang memadai, lingkungan sosial yang mendukung perilaku sehat, dan ketrampilan
hidup. Untuk dapat mencapai masyarakat yang bergaya hidup sehat, dan pencapaian
kesehatan yang optimal, promosi kesehatan memerlukan tindakan terkoordinasi pada semua
lini: pemerintahan, pekerja kesehatan, sosial dan ekonomi, organisasi kemanusiaan,
pemegang otoritas lokal, industry dan media, sehingga tercipta lingkungan yang saling
mendukung dan kondusif. Karenanya kondisi penting dalam promosi kesehatan meliputi
kedamaian, perlindungan, pendidikan, pendapatan, ekosistem yang stabil, sumber daya yang
berkelanjutan, keadialn sosial dan kesetaraan [2].
Mengubah perilaku individu merupakan tantangan yang sangat berat, tidak hanya diberikan
dalam bentuk penyuluhan kesehatan dan leaflet, namun juga dalam bentuk kebijakan.
Karenanya, target promosi kesehatan tidak hanya sebatas masyarakat (individu, target primer)
dan tokoh adat (target sekunder), namun di atas itu semua, yaitu pemangku kebijakan politik,
dalam hal ini pemerintah dan jajarannya (target tersier). Pemangku kebijakan politik menjadi
target dalam promosi kesehatan, karena banyak aspek lingkungan, yang meliputi kebijakan
politik, ekonomi, sosial, budaya, perilaku dan faktor biologi dapat membahayakan
masyarakat. Tindakan promosi kesehatan mengupayakan hal-hal yang merugikan kesehatan
ini menjadi menguntungkan kesehatan melalui advokasi kesehatan [2].
Dalam promosi kesehatan, diperlukan advokasi, mediasi dan pemberdayaan [3]. Dalam hal
ini, diambil contoh kasus kesehatan yang memang sedang menjadi pandemi saat ini: stunting.
Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14%. Habibie Center, sebagai
Lembaga non-profit bekerja sama dengan Unit Koordinasi Kerja (UKK) Nutrisi dan Penyakit
Metabolik, serta sepengetahuan pemangku kebijakan, yakni kementerian kesehatan,
melakukan upaya pencegahan stunting dengan deteksi dini bagi anak-anak usia dibawah 5
tahun yang belum stunting tapi berpotensi, manajemen nutrisi bagi penderitanya yang masih
dapat diperbaiki (usia kurang dari 2 tahun) dan mengupayakan pencapaian tumbuh kejar
optimum bagi penderita yang sudah berusia diatas 2 tahun agar dapat mencapai tinggi
normalnya dalam program Bernama Aksi Cegah Stunting (ACS), yang melibatkan beberapa
desa yang menjadi lokasi focus (lokus) dengan suka rela atau sepengetahuan
Desa/Kecamatan/Kabupaten setempat. Adapun program yang diwujudkan:
Program tersebut berlangsung dalam 6 bulan, dan berhasil menurunkan angka stunting, dalam
arti, penderita yang stunting dapat mencapai pertumbuhan normalnya, meski ada stunting-
stunting baru yang terdeteksi setelah program ACS, penyebabnya, kembali kepada kepatuhan
masyarakat dan ketegasan pemerintah daerah. Bahkan selama program ini, ada salah satu
desa yang memberikan “penghargaan” bagi penderita yang dinyatakan “lulus stunting”.
Memang parameter yang digunakan adalah PB/U atau TB/U dari kurva WHO 2006.
Ambil contoh Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), yang hingga saat ini masih pro dan
kontra di masyarakat. Anak Indonesia stunting tidak hanya karena orang tuanya secara
ekonomi tidak mampu, tapi karena kurangnya pengetahuan dalam bidang PMBA yang
memadai. Kapan bayi harus diberi makan, seberapa, teksturnya bagaimana, makanannya apa
saja, dan sebagainya. Ada beberapa selebgram yang latar belakangnya dokter melakukan
edukasi, namun tidak jarang juga yang kontra. Di sini, promosi kesehatan sangat berpengaruh
untuk mengubah pola pikir masyarakat dengan merangkul pemegang kebijakan, yakni
Kementerian Kesehatan, dan Selebgram dalam bidang yang mumpuni.