Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang telah
memudahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah
yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Makalah berjudul “Jual Beli (Bai’) ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada agar makalah ini
dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang
tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang Penulis susun ini belum mencapai
tahap kesempurnaan.

Terakhir, Penulis mengucapkan Jazakumullah akhsanal jaza, kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Asep Sopyan yang telah memberikan
tugas dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan
manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kritik dan saran sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tanjungsari, September 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................ 2

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

2.1. Pengertian Jual Beli............................................................................. 3

2.2. Landasan Hukum Jual Beli.................................................................. 4

2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli.................................................................. 4

2.3.1. Syarat Jual Beli............................................................................. 5

2.3.2. Rukun Jual Beli............................................................................ 7

2.3.3. Hukum (Ketetapan) Bai’ Beserta Pembahasan

Barang dan Harga......................................................................... 7

2.4. Macam-macam Jual Beli..................................................................... 10

2.5. Jual Beli yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama..................... 13

BAB III PENUTUP........................................................................................ 15

3.1. Kesimpulan......................................................................................... 15

3.2. Saran................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan
sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang
melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya
adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat
yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang
biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan
menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman
dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada
zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan
maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan lain-lain sehingga kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar.

Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan
yang lainpun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka
mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga
kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama
memberi peraturan yang sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan
manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan dendam-mendendam
tidak akan terjadi.

Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan
kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu
tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit: (1)
tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang kesopanannya,”

Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya? Lalu apakah
jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu ini akan menjadi
pambahasan yang menarik untuk dibahas.

1.2.RumusanMasalah
Dari beberapa uraian diatas tentang Ba’i atau jual beli yang sebagian telah dipaparkan, maka beberapa
pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.

1. Apa yang Dimaksud dengan Jual Beli ?

2. Bagaimana Hukum Jual beli ?

3. Apa Saja Rukun-rukun dan Syarat-syarat Jual Beli ?

4. Sebutkan Macam-macam Jual Beli ?

5. Apa Saja Jual Beli yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama ?

1.3.TujuanPenulisan

Dari beberapa uraian rumusan masalah diatas, maka dapat di spesifikan beberapa tujuan penulis
menyusun makalah ini, diantaranya :

1. Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam Fiqih Muamalah.

2. Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.

3. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Jual Beli

Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah
akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum
islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang,
misalnya buku, rumah, mobil dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone,
pulsa listrik, dan lain-lain.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud jual beli adalah :

a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan;

b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi : Pengertian jual beli yang tepat ialah, memiliki
suatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya
saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran
yang berupa uang;

c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual beli adalah, saling
tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan apa yang sesuai
dengan syara;

d. Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian jual beli adalah,
Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan);

e. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah : Pengertian jual beli adalah, penukaran benda
dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui
jalan (cara) yang diperbolehkan;

f. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang julan beli (ba’i) diantaranya; Ulama
Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang
diperbolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan.

2.2. Landasan Hukum Jual Beli

Dasar hukum (landasan syara’) jual beli adalah sebagai berikut :

a. Dasar Al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ......... (Q.S. AN-
Nisa : 29)

b. Al-Hadits :

“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik,
beliau menjawab, ‘Seseorang yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur’.” (HR.
Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)

Maksud Mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu, dan
merugikan orang lain.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.

c. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

d. Hukum-hukum yang bersangkutan paut dengan jual beli :

1. Mubah (boleh), ialah asal hukum jual beli;

2. Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga qadhi menjua harta
muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya) sebagaimana akan datang keterangannya
tentang muflis;

3. Haram, sebagaimana yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang;

4. Sunat, seperti jual beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat
berhajat kepada barang itu.

2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli


2.3.1. Syarat Jual Beli

Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli

1) Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang bertransaksi (Aqid) adalah :

a. Berakal, agar dia tidak terkecoh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas tentang suka sama
suka.

c. Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang mubazir itu di tangan walinya, sedangkan dalam jual
beli itu harus barang milik sendiri.

d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya, adapun anak yang
sudah mengerti tetapi belum sampai pada umur dewasa, menurut pendapat sebagian para ulama
mereka diperbolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan sudah
tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan
peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

2) Syarat Barang yang diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma’qud Alaih)

a. Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit
binatang atau bangkai yang belum disamak (dikuliti).

b. Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula
mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang
terlarang.

c. Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada
yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang
merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).

d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang
mengusahakan.

e. Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kada (ukuran) dan sifat-
sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.

3) Syarat ucapan serah terima (Ijab dan Kabul)

Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga berbentuk
tulisan seperti faktur, kuitansi, atau nota dan lain sebagainya.
Ijab adalah perkataan penjual, umpanya, “saya jual barang ini sekian”.

Kabul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima (saya beli) dengan harga sekian.” Keterangannya yaitu
ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka.

Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena
perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan para ulama. Tetapi
Imam Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi
rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut telah berlaku bahwa hal yang seperti itu
sudah dipandang sebagai jual beli, maka itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas
untuk mewajibkan lafaz.

Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat :

a) Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban
dari yang lain dan belum berselang lama.

b) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz keduanya berlainan.

c) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “Kalau saya jadi pergi, saya
jual barang ini sekian.”

d) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun, tidak sah.

2.3.2. Rukun Jual Beli

Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli, Rukun jual
beli ada 3 :

1. Aqid (Pihak yang bertransaksi)

2. Ma’qud Alaih mencakup barang yang jual dan harganya

3. Sighat Ijab Kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)

2.3.3. Hukum (Ketetapan) Ba’i Beserta Pembahasan Barang dan Harga

1. Hukum (Ketetapan) Akad

Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual beli, ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai
milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual.

Secara mutlak hukum akad dibagi tiga bagian :


a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah.

b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu : sah, luzum, dan tidak luzum,
seperti pernyataan, “akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”

c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang memenuhi ketentuan syara’
berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi orang yang diberi wasiat, maupun bagi orang atau
benda yang diwasiatkan.

Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan akad jual-beli ini, yakni menetapkan barang
milik pembeli dan menetapkan uang milik penjual.

Hak-hak akad (huquq al-aqd) adalah aktifitas yang harus dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad,
seperti menyerahkan barang yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang cacat,
khiyar, dan lain-lain.

Adapun hak jual-beli yang mengikuti hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan barang yang
dibeli, yang meliputi berbagai hak yang harus ada dari benda tersebut yang disebut pengiring (murafiq).
Kaidah umum dari masalah ini misalnya : segala sesutau yang berkaitan dengan rumah adalah termasuk
pintu, jendela, WC, dapur dan lain-lain, walaupun tidak disebutkan ketika akad, kecuali jika ada
pengecualian.

2. Tsaman (harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)

a. Pengertian harga dan mabi’

Secara umum, mabi’ adalah “ma yata’ayyanu bitt ta’yiinn” (perkara yang menjadi tentu dengan
ditentukan”. Sedangkan pengertian harga secara umum adalah “ma laa yata’ayyanu bitt ta’yiinn”
(perkkara yang tidak tentu dengan ditentukan).

Definisi diatas sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang
diperjualbelikan. Adakalanya mabi’tidak memerlukan penentuan, sebaliknya harga memerlukan
penentuan, seperti penetapan uang muka.

Imam syafi’i dan jafar berpendapat bahwa harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda
bentuknya, tetapi maksudnya satu perbedaan diantara keduanya dalam hukum adalah penggunaan
huruf Ba (dengan).

b. Penentuan mabi’ (barang jualan)

Penentuan Mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari barang-barang lainnya yang tidak akan
dijual. Jika penentuan tersebut menolong atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya
ada di tempat akad atau tidak apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya adalah dengan
cara penyerahan mabi’ tersebut.
c. Perbedaan Harga, Nilai, dan Utang

1. Harga

Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar,
atau sama dengan nilai barang. Biasanya harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua pihak
yang berakad.

2. Nilai Sesuatu

Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.

3. Utang

Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang keberadaannya
disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan
sesuatu untuk orang lain, seperti merusak harta ghasab, berutang, dan lain lain.

d. Perbedaan Mabi’ dan Harga

Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah segala sesuatu yang dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan
harga, tetapi tidak semua harga dapat dijadikan mabi’

Diantara perbedaan antara mabi’ dan Tsaman adalah :

1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’;

2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarnya adalah
harga.

e. Ketetapan Mabi’ dan Harga

Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain :

1. Mabi disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.

2. Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan
demikian.

3. Tidak boleh mendahulukan harga pada jual-beli pesanan, sebaliknya mabi’ harus di dahulukan.

4. Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli sedangkan yang bertanggung jawab atas
mabi’ adalah penjual.
5. Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa
menyebutkan mabi’ adalah batal.

6. Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum penyerahan,
tidak batal.

7. Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk
tasharruf sebelum menerima.

2.4. Macam-Macam Jual Beli

1. Bai’ Sohihah

Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.

2. Bai Fasidah

Yaitu akad jual yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya .

a. Macam-macam Bai’ Sohihah

1. Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi.

2. Jual beli barang yang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam.

3. Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf).

4. Jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai murabahah).

5. Jual beli barang secara kerja sama atau serikat (bai isyrak).

6. Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai muhatah).

7. Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah).

8. Jual beli hewan dengan hewan (bai muqabadah).

9. Jual beli barang dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan
pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada kecocokan didalam masa
yang telah disepakati oleh keduanya.

10. Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai bisyarti al baro)

b. Macam-macam bai’ fasidah (terlarang)

Jual beli terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, yaitu :
1. Jual Beli Sistem Ijon

Maksud dari jual beli sistem Ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih belum nyata buahnya, belum
ada isinya, belum ada buahnya, seperti jual beli padi masih muda, jual beli mangga masih berwujud
bunga, semua itu kemungkinan besar masih bisa rusak yang akan dapat merugikan kedua belah pihak.
Rasulullah saw bersabda : “Dari Ibnu Umar, Nabi Muhammad SAW, telah melarang jual beli buah-
buahan sehingga nyata baiknya buah itu (pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)” HR. Bukhori dan
Muslim.

2. Jual beli barang haram

Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah atau dilarang serta karena haram hukumnya.
Seperti jual beli minuman keras (khamr), bangkai, darah, daging babi, patung berhala dan sebagainya.

3. Jual beli sperma hewan

Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak dapat
diterima wujudnya, rasulullah saw, bersabda : “rasulullah saw, telah melarang jual beli kelebihan air
(sperma)” (H.R Muslim)

4. Jual beli anak binatang yang masih ada dalam kandungan induknya

Hal ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah saw,
bersabda : “sesungguhnya rasulullah saw, melarang jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan induknya” (H.R Bukhori dan Muslim)

5. Jual beli barang yang belum dimiliki

Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum diterima dan masih berada di tangan penjual
pertama. Rasulullah saw, bersabda : “nabi Muhammad saw, telah bersabda janganlah engkau menjual
sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerima (memegang) barang itu” (HR. Ahmad
dan Baihaqi)

6. Jual beli barang yang belum jelas

Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, sabda nabi Muhammad saw, dari Ibnu Umar Ra :
“Nabi Muhammad saw, telah melarang menjual buah-buahan yang tidak tampak manfaatnya” (HR.
Muttafaq Alaih)

3. Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam :

a. Jual beli saham (pesanan)

Jual beli saham adalah jual-beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih
dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual-beli muqayadhah (barter)

Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar
baju dengan sepatu.

c. Jual beli muthlaq

Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran,
seperti uang.

d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat
penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

4. Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian :

1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah),

2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah),

3. Jual beli rugi (al-khasarah)

4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad
saling meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.

2.5. Jual Beli Yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama

Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat dari
perbuatan tersebut, yaitu :

a. Jual beli pada saat Khutbah dan shalat jum’at

Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat khutbah dan shalat jum’at ini tentu bagi laki-laki
muslim, karena pada waktu itu setiap muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum’at, Allah swt,
berfirman :
“hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan shalat, maka bersegeralah kamu
untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (Q.S Al-Jum’ah : 9)

b. Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai ke pasar

Jual beli seperti ini, penjual tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, dengan tujuan barang akan
dibeli dengan harga yang serendah-rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga setinggi-
tingginya. Rasulullah saw, bersabda : “janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan pasar” (H.R
Bukhori dan Muslim).

c. Jual beli dengan niat menimbun barang

Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu dilarang, karena pada saat orang banyak membutuhkan justru
ia menimbun dan akan dijual dengan harga setinggi-tingginya pada saat barang-barang yang ia timbun
langka.

d. Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan

Contoh jual beli mengurangi ukuran dan timbangan adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual
minyak tanah dengan mengatakan satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg, ternyata
setelah ditimbang hanya 8 ons dan sebagainya.

e. Jual beli dengan cara mengecoh

Jual beli ini termasuk menipu sehingga dilarang, misalnya penjual mangga meletakkan mangga yang
bagus-bagus diatas onggokan, sedangkan yang jelek-jelek ditempatkan dibawah onggokan.

f. Jual beli barang yang masih di tawar orang lain

Apabila masih terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli hendaknya penjual tidak menjual
tidak menjual barang tersebut kepada orang lain sebaliknya apabila seseorang akan membeli suatu
barang maka hendaknya tidak ikut membeli suatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, kecuali
sudah tidak ada kepastian dari orang tersebut atau sudah membatalkan jual belinya.

BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini
dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin
silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang
dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli
adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat
yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari
kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan,
yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum islam,
akan mendapat berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam islam dapat bernilai
sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagai pahala, (b) bisnis dalam
islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya harta yang dimakan untuk
dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan,
pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (d) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan
pelayanan yang memuaskan sebagaimana yang diajarkan dalam islam akan selalu menjalin
persahabatan kepada sesama manusia.

3.2. Saran

Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada zaman sekarang
manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi penipuan dimana-mana.
Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah
baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.

Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan mengharamkan riba.Maka
dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba. Karena sesungguhnya riba dapat
merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe'i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung : Cv. Pustaka setia.


Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

Syafe’i, Nurdin. 2016. Buku Siswa Fiqih Madrasah Tsanawiyah Kelas IX.

Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.

S Shobirin. (2016). “Jual Beli dalam Pandangan Islam”. [online]. Tersedia :

journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1494/1372.

Comments

Anda mungkin juga menyukai