Hilda Maulina
Hilda Maulina
Oleh :
Hilda maulina
2018.01.00.02.01
Sejak Januari 2014, pemerintah Indonesia telah
menerapkan kebijakan jaminan kesehatan nasional
(NHI) yang bertujuan untuk mencapai jaminan
kesehatan universal pada tahun 2019. Melalui skema
asuransi baru tersebut, rumah sakit diwajibkan untuk
mereformasi praktik manajemen kefarmasiannya
dengan mengikuti formularium nasional dan
menerapkan e-katalog. . Namun, penelitian tentang
pengelolaan apotek di bawah NHI menunjukkan
bahwa rumah sakit sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan memiliki sumber daya yang terbatas untuk
mengelola persaingan kepentingan yang menghambat
reformasi.
Administrasi farmasi merupakan bidang perawatan
kesehatan yang penting. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang
berkunjung ke rumah sakit membutuhkan
pengobatan dan, dengan demikian, manajemen
apotek mempengaruhi efektivitas penyampaian
kesehatan. Namun demikian, pengelolaan farmasi
merupakan bidang yang sensitif terhadap korupsi.
Laporan dari WHO dan Transparansi Internasional sebagai
contoh menunjukkan bahwa obat-obatan merupakan
sumber utama ketidakefisienan dalam perawatan
kesehatan (Kohler et al., 2016). Di Indonesia, korupsi
pengadaan obat dan pengelolaan farmasi secara umum
juga mengkhawatirkan. Laporan terbitan Indonesian
Corruption Watch pada tahun 2018 yang menunjukkan
bahwa korupsi di bidang kesehatan merupakan korupsi
terbesar kelima di sektor publik.
Sejak 2014, Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan
jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan nama Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk mencapai
cakupan kesehatan universal pada 2019.
dengan spesifikasi (dosis dan jenis misal tablet, cairan,
kapsul) ke Badan Pengadaan Umum Nasional. Badan
Pengadaan kemudian menyusun tender untuk pemasok
berskala nasional. dan memilih pemasok yang disukai.
Hasilnya, e-Katalog menyediakan daftar obat dengan
spesifikasi, harga, serta pemasok. Semua fasilitas kesehatan
diharapkan membeli obat melalui e-katalog. Namun
demikian, fasilitas kesehatan diperbolehkan untuk
melakukan penyediaan obat-obatan sendiri selain dari obat-
obatan yang ditentukan dalam e-Catalogue.
Kedua, Formularium Nasional (KPA) adalah kebijakan
penggantian obat yang memuat daftar obat-obatan yang
ditanggung oleh badan pengelola JKN yang dikenal sebagai
BPJS Kesehatan. Kementerian Kesehatan membentuk panitia
yang bertugas mengatur dan menyusun daftar obat-obatan
di NF. Obat-obatan ini dipilih oleh panitia NF dengan
menggunakan beberapa kriteria yaitu khasiat, keamanan, izin
edar, dan rasio manfaat-risiko.
Ketiga, pemanfaatan Health Technology Assesment (HTA)
untuk memeriksa obat baru yang berpotensi untuk
dimasukkan dalam e-Katalog dan Formularium Nasional.
Pemeriksaan dilakukan oleh panitia HTA yang dibentuk oleh
Depkes pada bulan April 2014, kemudian diperbarui pada
tahun 2016. Komite HTA saat ini terdiri dari delapan
ilmuwan kesehatan senior dan satu karyawan Depkes.
Mereka didukung oleh staf teknis (tiga belas dokter, dua
karyawan Depkes, satu insinyur, dan empat sekretaris). Saat
ini, tugas utama dari komite HTA adalah untuk
mengembangkan Review programnya.Pedoman panitia JKN-
KIS bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi
kepada Kemenkes tentang NF.
Sistem formularium nasional pertama kali diperkenalkan pada tahun
2013 mengacu pada formularium sebelumnya di Indonesia dan daftar
obat esensial Indonesia edisi terakhir. Daftar obat NF direvisi
setidaknya setiap dua tahun. Revisi terakhir adalah tahun 2017.
Semua obat yang tercantum dalam NF harus tersedia di fasilitas
kesehatan. Namun agak kontradiktif, formularium nasional dan E-
catalogue juga masih membuka peluang bagi rumah sakit untuk
membuat daftar persediaan obat sendiri di luar daftar formularium
nasional.
perusahaan obat telah menjadi sumber korupsi dan gratifikasi antara
manajemen rumah sakit dan pemasok obat. Kesimpulannya, sistem
katalog elektronik baru sebagian menyelesaikan masalah harga obat
(Yuniarti et al., 2019). Berdasarkan masalah tersebut, mengatur
strategi dan adaptasi untuk melaksanakan reformasi.
Dalam artikel ini akan mengkaji bagaimana rumah sakit daerah
melaksanakan reformasi manajemen apotek dengan memanfaatkan
kerangka tata kelola kolaboratif. Tata kelola kolaboratif didefinisikan
sebagai struktur pemerintahan yang mencakup berbagai aktor publik,
swasta dan nirlaba dalam proses pengambilan keputusan kolaboratif
dan didorong bersama berdasarkan kepentingan bersama dan saling
percaya (Ansell & Gash, 2008; Emerson et al., 2012; Emerson &
Nabatchi, 2015).
Tata kelola kolaboratif diperkenalkan sebagai cara untuk mengatasi
masalah tata kelola yang kompleks yang sebagian besar tidak memiliki
definisi masalah yang jelas, karena kompleksitas yang melekat.
Memperluas dari definisi Ansell dan Gash tentang tata kelola
kolaboratif, Emerson mencoba mencakup rangkaian agen, struktur,
proses, dan tindakan yang lebih luas yang memungkinkan kolaborasi
lintas organisasi, yurisdiksi, dan sektor.
Yang pertama dari keran ini ke dalam kesenjangan publik-swasta dan
pada dasarnya mempertanyakan apakah kolaborasi terutama dilihat
sebagai menyatukan aktor pemerintah dan non-pemerintah atau,
sebagai alternatif, fungsi penghubung ini tidak dipandang penting atau
dibiarkan tidak ditentukan.
Sebelum reformasi Ada berbagai pelaku dalam pengadaan obat di
tingkat rumah sakit. Pelaku tersebut mulai dari dokter, perawat,
apoteker, hingga pengelola rumah sakit. Sebelum penerapan e-
katalog, terdapat berbagai perselisihan terutama antara dokter
dengan apoteker. Masing-masing pelaku memiliki persepsi yang
berbeda-beda tentang pengadaan farmasi. Kondisi ini menyebabkan
inefisiensi yang parah di bagian farmasi dimana terdapat obat-obatan
yang over stock dan kurangnya persediaan untuk obat-obatan
tertentu. Inefisiensi farmasi terlalu membebani anggaran rumah sakit
Dalam hal pengadaan obat, terdapat namanya aktor yang terlibat di
departemen: Dokter, Perawat, Apoteker, Unit Apotek, dan Badan
Pengelola / Administrasi Rumah Sakit. Perselisihan antar aktor
sebagian besar didasarkan pada perbedaan persepsi tentang cara
pengadaan obat. Akibat dari perselisihan tersebut adalah
ketidakefisienan dalam pengadaan obat, over stock, obat yang tidak
terpakai, yang akhirnya mengakibatkan pemborosan anggaran
Kondisi ini diperparah dengan manajemen rumah sakit yang tidak
memiliki data valid mengenai anggaran yang digunakan untuk
pengadaan obat, sebelum inovasi dan regulasi dibentuk. , semua
kegiatan pengadaan dilakukan oleh unit Apotek, dan kurangnya
transparansi anggaran pengadaan obat yang mengakibatkan konflik
berkepanjangan.
Di saat yang sama, dokter juga terlibat dalam pengadaan obat yang
tidak efisien dengan melakukan sedikit provokasi berupa sugesti
kepada pasien. Para dokter juga mengeluh ketika obat-obatan yang
mereka anjurkan tidak tersedia. Dalam aturan sebelumnya, dokter
juga diwajibkan memberikan bukti jika ingin mengusulkan obat jenis
tertentu yang tersedia di rumah sakit melalui formularium rumah
sakit. Namun persyaratan ini dinilai merepotkan para dokter sehingga
kerap malas menyerahkan obat untuk formularium rumah sakit.
Sebelum reformasi, pengadaan obat menjadi sarang korupsi dan
kolusi dari sejumlah pihak yang berkepentingan. Fenomena kerja
sama pidana dalam bahasa Indonesia disebut kongkalikong
(gratifikasi) dalam pengadaan obat. Praktik tersebut melibatkan
dokter, perawat, apoteker, analis apoteker, petugas pengadaan dan
petugas gudang farmasi dan melibatkan keuntungan pribadi. Kondisi
ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara usulan perencanaan dan
pengadaan obat dengan standar rumah sakit. Hasil utama misalnya
adalah fakta bahwa stock opname 3 kali lebih banyak dari
pengeluaran obat bulanan dan ketersediaan obat-obatan tertentu
kurang. Masalah lainnya adalah biaya operasional pengadaan obat
yang tidak efisien. Anggaran untuk obat dan perlengkapan / bahan
habis pakai memiliki proporsi 35% dari total anggaran pendapatan
dan belanja rumah sakit.
Kondisi kisruh ini secara tidak langsung berakibat pada rendahnya
kepuasan konsumen. Keluhan pasien tentang ketersediaan obat
meningkat. Dalam laporan kepuasan konsumen tahun 2013,
terdapat 53 keluhan rumah sakit, 7 keluhan (13%) tentang
kefarmasian dan 5 keluhan (9%) diantaranya tentang ketersediaan
obat. Indeks kepuasan pasien yang rendah hanya mencapai skor 61
pada tahun 2013 yang dinilai sebagai kepuasan yang sangat rendah.
Dalam hal pengelolaan narkoba, akibat langsung dari korupsi dan
kolusi adalah tingginya angka obat kadaluarsa. Hingga tahun 2013
obat yang mencapai masa kadaluwarsa masih tinggi yaitu mencapai
Rp 96.090.255,14 (0,15% dari anggaran obat). Hasil lainnya adalah
kelebihan stok dan kerugian. Karena sistem pencatatan obat masih
manual, tidak bisa menangkap perbedaan besar antara pencatatan
dan pengobatan fisik. Ini menciptakan kelebihan stok (kelebihan
persediaan untuk obat-obatan tertentu) dan kerugian (kerugian
fisik).
Proses Reformasi
Karena ketidakjelasan data dalam pengadaan obat, maka dipikirkan
bagaimana membuat sistem inventori dengan menggunakan sistem
aplikasi stok obat digital. Sistem aplikasi bertujuan untuk mencatat
semua perbekalan obat di rumah sakit dengan benar. Ide intervensi
TI adalah untuk menciptakan transparansi penggunaan anggaran
terkait pengadaan obat dan menciptakan efisiensi. Dengan sistem
aplikasi ini pengawasan dapat dilakukan secara mendalam, karena
semua data pengadaan diharuskan masuk ke dalam sistem dan
dapat dipertanggungjawabkan. Pada sistem baru, perencanaan dan
pengadaan dilakukan secara terpisah sehingga lebih mudah dalam
pengendalian pengadaan obat.
Dengan semakin intensifnya pengawasan oleh LPTK, memberikan
kesempatan kepada manajemen rumah sakit untuk mengubah sistem
harga dari harga pricelist yang diberikan oleh perusahaan obat menjadi
harga dasar yang diatur dalam e-katalog dan sistem Formularium
Nasional.
berkepentingan dapat membuka e-katalog sehingga lebih
transparan. Jika bonus belum dicatat dalam register, para pihak akan
diberitahu nanti. Bonus dan potongan harga yang diberikan oleh
industri farmasi yang sebelumnya tidak transparan kini dapat
dimonitor oleh semua pihak. Bonus dan potongan harga ini muncul
sebagai akibat dari persaingan pasar yang lebih ketat antara
pemasok apotek. Dalam hal efisiensi antara pendapatan dan jumlah
pasien serta persediaan obat, sistem baru ini mengakibatkan
penurunan persentase overstock dari 35% sampai sekarang menjadi
28-27%. Setelah menggunakan sistem aplikasi obat, pihak rumah
sakit juga melarang pembelian obat resep.
Strategi rumah sakit
Melalui wawancara mendalam yang ekstensif dengan pembuat
kebijakan dan pelaksana kebijakan, kami berpendapat bahwa intervensi
teknologi melalui katalog elektronik tidak cukup. Dalam praktiknya,
intervensi teknologi hanya efektif jika lembaga memberikan insentif
baru untuk perilaku baik (non-koruptif) dan pada saat yang sama
melakukan reformasi melalui pembentukan jaringan kepercayaan di
dalam lembaga.Melalui kasus ini kami juga menunjukkan pentingnya
tata kelola kolaboratif dalam reformasi perawatan kesehatan termasuk
manajemen apotek. Dari kasus-kasus tersebut, kami berpendapat
bahwa reformasi kebijakan nasional hanya efektif bila pimpinan rumah
sakit mampu menciptakan kolaborasi antar pemangku kepentingan.
Kepercayaan kepada kepemimpinan memainkan peran penting dalam
membangun perubahan organisasi termasuk memitigasi tanggapan
negatif dari para pelaku yang kehilangan keuntungan finansial akibat
reformasi.
REFERENCE
Hardi Warsono, Retna Hanani , Halim Dwi Putra. 2020.
Collaborative Governance Framework in Health
Care: A Qualitative Exploration of Hospital
Pharmacy Management Reform at Hospital
Setting in Indonesia . Sys Rev Pharm A
multifaceted review journal in the field of
pharmacy. 11(4): 337 341