Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PROSEDUR PRAKTEK KLINIK DI RUMAH SAKIT YANG BEBAS,

KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

Oleh : Monika Yolanda

Nim : 20334139

Dosen Pengampu : Erpita Yanti,AMd.Keb,SKM,M.Mkes

PRODI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGRI PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,segala puji saya panjatkan atas berkah rahmat tuhan yang maha
kuasa ,sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tampa ada
halangan.

Makalah ini di susun dengan maksut untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan anti
korupsi.terceptinya makalah ini tidak hanya hasil dari kerja saya ,melainkan banyak
pihak yang memeberikan dorongan dang motivasi untuk itu saya

Sekali lagi mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas terselesaikannya makalah


ini,sebagai penulis saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesan
sempur.untuk itu mohon kritik dan saran yang membangun untuk pemperbaiki makalah
ini di waktu mendatang

Pariaman, Desember 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………….

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….
C. Tujuan……………………………………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

A. Prosedur Praktek Klinik di Rumah Sakit yang Bebas Korupsi…………………..


B. Prosedur Praktek klinik di Rumah Sakit yang Bebas kolusi………………………
C. Prosedur Praktek Klinik di Rumah Sakit yang Bebas Nepotisme……………..

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………….
B. Saran………………………………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat berharga bagi kehidupan

manusia. Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia yang


diamanatkan dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang
Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD 1945, yaitu Pasal

28 H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Pasal 28 H menyatakan bahwa

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan, sementara Pasal 34 ayat (3)

menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas


pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Arti pentingnya kesehatan juga dituangkan di dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025. Dalam

rangka memenuhi hak dasar warga negara untuk memperoleh pelayanan

kesehatan sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan harus

dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber


daya

manusia dan mendukung pembangunan secara menyeluruh dengan


mengacu pada paradigma sehat. Pembangunan kesehatan diarahkan
untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan upaya

kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia, obat dan

perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen

kesehatan dengan memperhatikan dinamika kependudukan, epidemiologi

penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta globalisasi dengan semangat kemitraan, dan


kerjasama

lintas sektor. Perhatian khusus diberikan pada peningkatan perilaku dan

kemandirian masyarakat pada upaya promotif dan preventif serta pada

pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah

bencana.

Di dalam RPJP-N dinyatakan pula, pembangunan nasional di

bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan

kesehatan diselenggarakan dengan didasarkan kepada perikemanusiaan,

pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan

manfaat dengan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain


ibu,

bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin.


Selain itu, di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2014 tentang Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disingkat UU

Kesehatan, juga dijelaskan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia

harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan

kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan

kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan


merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh
karena itu, penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang
tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa
keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.

Namun di dalam prakteknya, seringkali semangat pemberian layanan


kesehatan oleh tenaga medis, tidak sejalan dengan apa yang tertuang di
dalam konsideran Undang-Undang Tenaga Kesehatan tersebut. Hal ini
dapat terlihat dari hasil tim investigasi majalah Tempo di penghujung tahun
2015 yaitu kasus dugaan gratifikasi atas 2.125 dokter dengan total
penerimaan mulai lima juta rupiah sampai 2.5 milyar rupiah yang dilakukan
oleh Perusahaan Farmasi Interbat.

Mereka tersebar di lima provinsi, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagian dokter penerima uang dari Interbat
itu berstatus pegawai negeri dan bekerja di rumah sakit milik pemerintah.

Berdasarkan data yang dimiliki Tempo, dokumen yang diduga dimiliki


PTInterbat, perusahaan farmasi di Sidoarjo, Jawa Timur, mengeluarkan
uang hingga 131 miliar rupiah dalam tiga tahun, yaitu sejak 2013 hingga
2015. Uang itu diberikan kepada para dokter, diduga tujuannya agar dokter
meresepkan obat-obatan produksi Interbat.

Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini dibungkus dalam
bentuk kerja sama. Dalam kerja sama itu, dokter akan menerima diskon
10-20 persen penjualan obat dari perusahaan farmasi. Diskon tersebut
diberikan dalam bentuk uang dan fasilitas lainnya.

Iwan Dwiprahasto, dokter dan guru besar farmakologi dari Universitas


Gadjah Mada, menuturkan, nilai bisnis obat yang fantastis membuat
perusahaan farmasi berlomba melimpahi dokter dengan hadiah dan komisi.
Dana yang dipakai perusahaan untuk melayani dokter bisa mencapai 45
persen dari harga obat.

Oleh karena itu, obat yang harus ditebus oleh pasien menjadi lebih mahal.
Bahkan lebih jauh, dokter harus memberikan resep obat dari perusahaan
farmasi yang telah menjalin kerjasama tersebut meskipun sebenarnya
pasien dapat memperoleh merk obat lain yang lebih murah dengan kualitas
obat yang sama. Praktek tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 49 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
atau disingkat UU Kedokteran, yang menyebutkan setiap dokter atau
doktergigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Penjelasan pasal
tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “kendali mutu”
adalah suatu sistem pemberian pelayanan yang efisien, efektif, dan
berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasien.Sedangkan yang dimaksud
dengan “kendali biaya” adalah pembiayaan pelayanan kesehatan yang
dibebankan kepada pasien benar-benar sesuai dengan kebutuhan medis
pasien didasarkan pola tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kolusi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan dokter dalam
meresepkan obat kepada pasien?

2. Bagaimana pandangan hukum pidana korupsi atas praktek kolusi perusahaan


farmasi dengan dokter dalam meresepkan obat?

3. Bagaimana menjerat perusahaan farmasi dan dokter yang berkolusi dalam


meresepkan obat terhadap pasien melalui perspektif korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kolusi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan dokter dalam
meresepkan obat kepada pasien.

2. Mengetahui pandangan hukum pidana korupsi atas praktek kolusi perusahaan


farmasi dengan dokter dalam meresepkan obat.

3. Mengetahui cara menjerat perusahaan farmasi dan dokter yang berkolusi dalam
meresepkan obat terhadap pasien melalui perspektif korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prosedur Praktek Klinik di Rumah Sakit yang Bebas


Korupsi

Pemberantasan korupsi marak dilakukan di berbagai institusi. Sejak


diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal 2014
lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai aktif melakukan kajian
untuk menilai potensi korupsi dibidang kesehatan. Korupsi merupakan
bagian dari Fraud.Dalam sektor kesehatan, istilah Fraud lebih umum
digunakan untuk menggambarkan bentuk kecurangan yang tidak hanya
berupa korupsi tetapi juga mencakup penyalahgunaan aset dan pemalsuan
pernyataan.Fraud dalam sektor kesehatan dapat dilakukan oleh semua
pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS
Kesehatan, penyedia layanan kesehatan, BPJS Kesehatan, dan penyedia
obat dan alat kesehatan. Uniknya masing-masing aktor ini dapat
bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling mencurangi satu sama lain.

Fraud menyebabkan kerugian finansial negara. Di seluruh Indonesia, data


yang dilansir KPK menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi
Fraud dari 175.774 klaim Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari
aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan
dan obat. Nilai ini mungkin saja belum total mengingat sistem pengawasan
dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana (KPK, 2015).

Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, mendorong pemerintah


menerbitkan Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan
Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum
pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Sejak
diluncurkan April 2015 lalu, peraturan ini belum optimal
dijalankan.Dampaknya, Fraud layanan kesehatan berpotensi semakin
banyak terjadi namun tidak diiringi dengan sistem pengendalian yang
mumpuni.Artikel yang disusun oleh tim penulis dari PKMK FK UGM ini
didasarkan pada hasil kajian terhadap pelaksanaan program JKN selama
tahun 2014 – 2015. Kajian dilakukan untuk menjawab pertanyaan: (1)
bagaimana gambaran potensi Fraud layanan kesehatan di Indonesia, dan
(2) upaya-upaya pemberantasan Fraud layanan kesehatan yang sudah
dilakukan di Indonesia serta tantangannya. Artikel ini diharapkan dapat
membangun kesadaran berbagai pihak yang beranggung jawab untuk lebih
aktif menjalankan program-program pemberantasan Fraud layanan
kesehatan.
B. Prosedur Praktek Klinik di Rumah Sakit yang bebas
Kolusi
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan
membuat kesepakatan serta tersembunyi dalam melakukan
kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau
fasilitas tertentu (gratifikasi) sebagai pelican agar segala urursannya
menjadi lancar. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan kolusi sebagai kerja sama rahasia untuk maksud
tidak terpuji (persekongkolan)
Contoh : seorang pasien adalah saudara dari perawat yang merawat,
seharusnya dapat obat A dari dokter, karena menurut perawat
tersebut obat B yang lebih bagu, perawat tersebut menyuntikan obat
B, dan salah satu dari teman dinas perawat tersebut melihat nya
tetapi dia hanya mengabaikannya karena perawat tersebut adalah
temannya.
seharusnya untuk membebaskan hal tersebut dari kolusi salah satu
teman perawat tesebut harus mengambil tindakan, dia harus
memperingati atau menasehati perawat tersebut.

C. Prosedur Praktek Klinik di Rumah Sakit yang bebas dari


Nepotisme
Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara
melawan hokum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/
atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, banfsa, dan Negara.
Kemudian nepotisme juga dapat diartikan dengan suatu tindakan
yang melawan hokum dengangan memilih kerabat sendiri.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya
Contoh : pasien 1. Dirawat,dari IGD. Cari kamar dulu, keluarga
miskin, ga paham,pos KLL 3 jam masih di igd.
Pasien 2. Keluarga teman si perawat, baru 1 jam masuk IGD minta
pndah cepat.
Jika perawat tersebut terlebih dahulu menolong pasien yg nomor 2
berarti itu termasuk dalam nepotisme.
Seharusnya untuk menghindari atau membebaskan diri dari
nepotisme seharusnya perawat tersebut memilih membantu pasien
yang nomor 1 , sesuai urutan.

itu contoh kecil KKN di praktek klinis.


Jadi keluarlah kata-kata Prosedur Praktek Klinis. Berupa SOP atau
Standar Operasional Pelayanan.
Berupa rangkaian tindakan yang tertulis ditandatangani direktur, dan
wajib dilaksanakan sesuai urutan.
Jika tidak dikerjakan bisa dituntut dan dianggap lalai, atau malpraktek
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

Seseorang dapat membebaskan dirinya dari KKN jika dia taat mengikuti
prosedur paraktek nya. Apabila sesorang tidak memenuhi atau mentaati
aturan tsb maka dia akan terkena atau masuk dalam hitungan KKN.

Kesehatan adalah hal yang paling berharga bagi manusia. Kesehatan juga
hak asasi manusia. Jadi jangan mempermainkan hak- hak manusia lain
hanya demi kepentingan sendiri.

B. SARAN
Sebagai perawat kita harus bisa menjaga keoercayaan
pasien,jangan sampai kita memiliki sikap korupsi ataupun kolusu
hanya demi memikirkan kepentingan diri sendiri
DAFTAR PUSTAKA

https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/korupsi-dalam-
pelayanan-kesehatan-di-era-jaminan-kesehatan-nasional-
kajian-besarnya-potensi-dan-sistem-pengendalian-fraud

http://jurnal.untag-sby.ac.id/

http://scholar.unand.ac.id/

https://id.wikipedia.org/wiki/kolusi

http://kbbi.web.id/kolusi

http://www.gurupendidikan.com/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/nepotisme

Anda mungkin juga menyukai