Anda di halaman 1dari 92

FIKIH MADZHAB SYAFI’I

(Terjemah Kitab Minhajut Thalibin)

Jilid 2

AL IMAM Al Hafidh Al Faqih Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin


Syaraf bin Murri
AN NAWAWI
(w. 676 H)

Disertai penjelasan singkat yang diambil dari berbagai kitab yang


tercantum di daftar pustaka.

Penerjemah:
M. A. Ulinuha
email: ulinuha@walisongo.ac.id
web: anfauhum.blogspot.com

Versi 2.1 – Mei 2023

Apabila pembaca sekalian mendapati kesalahan dalam terjemah ini,


mohon hubungi penerjemah pada alamat email di atas. Terimakasih.

–1–
DAFTAR ISI
KITAB JUAL-BELI.................................................................................4
Riba.............................................................................................10
Jual-beli yang Dilarang................................................................13
Larangan yang Tidak Mengharuskan Batalnya Jual Beli...............17
Memisahkan Transaksi................................................................18
Khiyar (Majelis)...........................................................................20
Khiyar Syarat...............................................................................22
Khiyar Cacat (Aib)........................................................................23
Tidak Ada Pemisahan Transaksi Disebabkan Cacat.....................27
Tashriyah.....................................................................................29
Hukum Barang Sebelum dan Sesudah Serah Terima...................29
Hukum-hukum Bab Ini................................................................33
Penutup Bab Ini...........................................................................34
Jual-beli Tauliyah, Isyrak, dan Murabahah..................................35
Tanah, Pohon, dan Buah-buahan................................................38
Barang yang Mengikuti Barang Yang Dijual.................................41
KITAB HIBAH.....................................................................................43
KITAB LAQITH (ANAK TERBUANG)....................................................47
Islamnya Anak Terbuang.............................................................49
Status Merdeka atau Budak........................................................50
KITAB FARAIDH (WARIS)...................................................................53
Furudh dan Ashabul Furudh.......................................................55
Hijab............................................................................................56
Bagian Anak dan Anaknya Anak Sendirian atau Berjama’ah.......58
Waris ke Atas...............................................................................60
KITAB WADI’AH (TITIPAN).................................................................62
KITAB NIKAH.....................................................................................69
Khitbah/Meminang.....................................................................72
KITAB PERBURUAN DAN SEMBELIHAN.............................................73

–2–
KITAB BUGHAT (PEMBERONTAK)......................................................74
Syarat Imam A’dham...................................................................74
KITAB RIDDAH (MURTAD).................................................................76
KITAB SIYAR (JIHAD).........................................................................80
Hukum-hukum Terkait Jihad.......................................................83
Tawanan dan Harta Musuh.........................................................85
Jaminan Keamanan.....................................................................90
Muslim yang Ada di Negeri Kafir.................................................91

–3–
KITAB JUAL-BELI1
Syarat jual beli: 1) Ijab – seperti “aku jual kepadamu” atau “aku
jadikan milikmu”, 2) Qabul – seperti “aku beli” atau “aku jadikan
milikku” atau “aku terima”2. Boleh juga mendahulukan perkataan
pembeli. Seandainya pembeli berkata “juallah kepadaku”, kemudian
penjual berkata “aku jual kepadamu”, maka telah terjadi akad
menurut pendapat yang adhhar. Terjadi akad juga dengan kiasan

1 Jual beli itu (hukumnya) jaiz/boleh. (Al Majmu’ BA: 2019). Dasar dalam
bab ini – sebelum ijma’ – adalah ayat-ayat, seperti firman Allah ta’ala:
“Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli...” (QS. Al Baqarah:
282); dan firman Allah ta’ala: “ Dan Allah menghalalkan jual-beli...” (QS.
Al Baqarah: 275); menurut yang adhhar dari qaul imam kami (Asy
Syafi’i) ra bahwasannya ayat ini berlaku umum untuk seluruh jual-beli,
kecuali jual-beli yang dikeluarkan (dari hukum ini) karena ada dalil.
Karena sesungguhnya Nabi SAW telah melarang beberapa bentuk jual-
beli dan tidak menjelaskan (bentuk jual-beli) yang boleh. (An Nihayah:
3/373). Umat telah bersepakat (berijma’) bahwa pengelolaan harta
dengan cara batil hukumnya haram. “Batil” adalah kata yang
menghimpun semua hal yang tidak halal menurut syariat, seperti riba,
ghashab, mencuri, khianat, dan semua hal yang diharamkan oleh
syariat. (Al Majmu’ BA: 2019)
2 Yang masyhur dalam madzhab kami adalah: tidak sah jual-beli tanpa
ijab dan qabul, dan tidak sah “mu’athah”. (Al Majmu’ BA: 2027). Maka
tidak terjadi akad pada “mu’athah”, yaitu keduanya ridho dengan suatu
harga meskipun keduanya diam. (At Tuhfah: 4/216). Sekelompok
ashhab kami memilih pendapat bolehnya jual-beli mu’athah pada
kejadian yang (oleh orang-orang) dianggap sebagai jual-beli (secara
kebiasaan). Inilah pendapat yang terpilih, karena Allah ta’ala telah
menghalalkan jual-beli dan syara’ tidak menetapkan lafal/perkataan
untuk jual-beli itu, maka wajib kembali kepada adat/kebiasaan. Karena
itu, semua cara yang orang-orang menganggapnya sebagai jual-beli,
maka hal itu adalah jual-beli. (Al Majmu’ BA: 2027)

–4–
seperti “aku jadikan barang ini milikmu dengan bla bla bla” menurut
pendapat yang ashah.
Dan disyaratkan: jarak antara perkataan ijab dan qabul tidak lama,
dan pembeli menerima sesuai dengan ijab. Seandainya penjual
berkata “aku jual kepadamu seharga seribu dengan dicicil”,
kemudian pembeli berkata “aku terima seharga seribu lengkap
(tidak dicicil)”, maka tidak sah.
Isyarat dari orang bisu dihukumi seperti perkataan.
Syarat orang yang membuat akad: rusyd 3. Pendapatku: dan
(disyaratkan) tidak ada paksaan tanpa hak 4;
tidak sah pembelian orang kafir terhadap mushaf Al Qur’an dan
(budak) muslim menurut pendapat yang adhhar, kecuali dengan
3 Yaitu baligh dan bersikap baik bagi agama dan hartanya; maka tidak
sah akadnya anak-anak, orang gila, dan orang yang sudah baligh tetapi
tidak bersikap baik terhadap agama dan hartanya. (Kanzur Raghibin:
1/562)
Madzhab para ulama tentang jual-beli oleh anak yang sudah mumayyiz.
Kami telah menyebutkan bahwa dalam madzhab kami (Syafi’i)
bahwasannya hal itu tidak sah, sama saja apakah walinya mengizinkan
atau tidak; seperti ini pula pendapat Abu Tsaur. Sedangkan Ats Tsauri,
Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq berkata: Sah jual-belinya dengan izin
walinya. Dan dari Abu Hanifah ada sebuah riwayat boleh jual-beli tanpa
izin wali tetapi bergantung pada pembolehan dari wali. Ibnul Mundzir
berkata: Ahmad dan Ishaq memperbolehkan jual-beli oleh anak untuk
sesuatu yang nilainya kecil, yaitu tanpa izin (wali). (Al Majmu’ BA: 2025)
4 Berbeda hukumnya jika dengan hak, seperti: dia memaksa budaknya,
atau dia memaksa orang lain – meskipun dengan cara yang bathil –
untuk menjualkan hartanya sendiri, maka sah dalam dua hal ini karena
sudah ada izin; atau keharusan dia menjual harta untuk melunasi
utangnya, atau membeli harta yang diserahkan orang yang berhutang
dan hakim memaksanya atas hal itu. (An Nihayah: 3/387)

–5–
tujuan memerdekakannya maka hal itu sah menurut pendapat yang
ashah; (tidak sah juga pembelian) orang kafir harbi terhadap
senjata; wallahu a’lam.
Barang yang dijual memiliki beberapa syarat:
1. Barangnya suci; maka tidak sah jual-beli anjing, minuman
keras/khamr, dan barang terkena najis yang tidak mungkin
disucikan seperti cuka dan susu (yang terkena najis), demikian
juga minyak (yang terkena najis) menurut pendapat yang ashah.
2. Bermanfaat; maka tidak sah jual-beli hasyarah5, semua binatang
buas yang tidak bermanfat; tidak juga dua biji gandum, dan alat
musik6. Dan dikatakan: sah pada alat yang remukannya terhitung
sebagai harta.
Sah jual-beli air di tepi sungai, dan tanah di gurun menurut
pendapat yang ashah.
3. Memungkinkan untuk diserah terimakan; maka tidak sah jual-
beli barang yang hilang, budak yang melarikan diri, dan barang
yang dighashab. Jika dia menjual barang yang dighashab kepada
orang yang mampu mengambilnya, maka sah menurut pendapat
yang shahih.

5 Yaitu: binatang darat yang kecil-kecil, seperti tikus, kumbang khanfasa’,


ular, kalajengking, semut; pada intinya tidak ada penjelasan tentang
manfaat dari binatang-binatang yang telah disebutkan tadi. Kecuali
yarbu’ dan biawak yang dimakan, lebah, ulat sutera, dan lintah karena
bermanfaat untuk menghisap darah. (An Nihayah: 3/395)
6 Alat musik yang diharamkan seperti thunbur/rebab (sejenis gitar),
seruling syabbabah, dan patung, gambar binatang, dan salib. (An
Nihayah: 3/396)

–6–
Tidak sah jual-beli setengah bagian tertentu dari bejana,
pedang7, dan semisalnya8; sah pada pakaian yang tidak
berkurang (nilainya) jika dipotong menurut pendapat yang
ashah. Dan tidak sah jual-beli barang gadaian tanpa izin dari
orang yang menggadaikan; juga jual-beli (budak) yang berbuat
kejahatan yang (mewajibkan denda dalam bentuk) harta terkait
dengan status budaknya9 menurut pendapat yang adhhar; tidak
mengapa jika terkait dengan jaminan/tanggungannya 10,
demikian juga jika terkait qishas menurut pendapat yang adhhar.
4. Milik orang yang berakad; maka jual-beli fudhul 11 (hukumnya)
batal, dalam qaul qadim: mauquf (tergantung), jika pemiliknya
memperbolehkan maka terlaksana (jual-beli), jika tidak
(memperbolehkan), maka tidak (terlaksana).

7 Karena dengan dibelah, bejana dan pedang itu jadi hilang manfaatnya.
(At Tuhfah: 4/243)
8 Barang yang jika dibelah menjadi berkurang harganya atau harga
setengah bagiannya yang tersisa. (At Tuhfah: 4/243)
9 Tanpa izin dari korbannya dan sebelum tuannya memilih untuk
menebusnya. Sama saja apakah diyat/dendanya menghabiskan
harganya sebagai budak atau tidak; dan sama saja kewajiban harta
(denda) itu disebabkan merusakkan harta (korban) atau tidak seperti
pembunuhan tanpa sengaja, atau menyerupai sengaja dan sengaja
yang tidak mewajibkan qishash atau mewajibkan qishash tetapi
keluarga korban memberikan maaf dengan (denda) harta. (Mughnil
Muhtaj: 2/20)
10 Misalnya: dia membeli sesuatu tanpa izin dari tuannya kemudian
merusakkannya. Karena jual-belinya hanya kembali pada statusnya
sebagai budak, dan tidak terkait dengan orang yang menghutangi.
(Ujalatul Muhtaj: 676)
11 Menjual barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya, dan dia bukan
wali pemiliknya. (Mughnil Muhtaj: 2/21)

–7–
Seandainya ahli waris menjual harta milik orang yang
meninggalkan warisan dengan persangkaan bahwa dia masih
hidup, tetapi ternyata dia sudah meninggal, maka sah menurut
pendapat yang adhhar.
5. Diketahui barangnya; maka jual-beli salah satu dari dua pakaian
(hukumnya) batal12. Sah jual-beli satu sha’ dari seonggok
makanan yang takarannya diketahui; demikian juga jika tidak
diketahui menurut pendapat yang ashah.
Seandainya dia menjual seharga biji gandum sepenuh rumah itu,
atau seharga emas seberat kerikil ini, atau sama dengan harga
penjualan kuda si Fulan, atau seharga seribu dinar dan dirham;
maka tidak sah.
Seandainya dia menjual seharga naqd (mata uang emas/perak),
sedangkan di negeri itu ada naqd yang berlaku umum, maka
jelas (seharga naqd umum itu). Atau (di negeri itu) ada dua naqd
yang salah satunya tidak ada yang berlaku secara umum, maka
disyaratkan untuk menentukan (salah satu naqd).
Sah jual-beli seonggok makanan yang tidak diketahui
takarannya, setiap sha’ seharga satu dirham. Seandainya dia
menjual makanan itu seharga seratus dirham dengan harga
setiap sha’ adalah satu dirham, maka sah jika ternyata makanan
itu tepat seratus sha’; jika tidak (tepat), maka tidak sah menurut
pendapat yang shahih.

12 Karena tidak diketahui yang mana barangnya. (Kanzur Raghibin: 1/566)

–8–
Dan ketika yang diperjual-belikan (harga dan barangnya) telah
ditentukan (disaksikan), maka cukuplah persaksian (dengan
melihat) itu13.
Menurut pendapat yang adhhar: tidak sah jual-beli barang yang
ghaib (tidak terlihat); menurut pendapat kedua: sah, dan
(pembeli) tetap punya hak khiyar14 ketika melihatnya.
Dan melihat itu cukup sebelum akad untuk barang yang secara
umum tidak berubah sampai dengan waktu akad 15; tidak
demikian untuk barang yang secara umum berubah 16.
Dan cukup melihat sebagian barang yang dijual jika yang
sebagian itu bersesuaian dengan bagian lainnya (yang tidak
dilihat) – seperti seonggok makanan yang tampak, contoh yang
sama –; atau barang itu punya bungkus di mana bungkus itu
bentuknya sesuai dengan bagian lainnya (yang tidak dilihat) –
seperti kulit delima dan telur, dan kulit bagian bawah buah jauz
dan lauz (buah badam)17.

13 Maka tidak disyaratkan mengetahui takarannya dengan alat penakar


atau timbangan. Seandainya dia berkata: “aku jual seonggok makanan
ini kepadamu” atau “aku jual kepadamu seharga dirham ini”, maka sah
dan persaksian telah mencukupi. Pendapatku: pendapat yang adhhar:
(hal ini) makruh. (Raudhatut Thalibin: 512)
14 Khiyar adalah: menuntut untuk memilih di antara dua perkara, antara
melanjutkan akad atau membatalkannya. (Mughnil Muhtaj: 2/58)
15 Seperti: bumi/tanah, bejana, besi, dan tembaga. (At Tuhfah: 4/264)
16 Seperti: makanan yang cepat rusak. (At Tuhfah: 4/265)
17 Maksudnya: cukup dengan melihat kulitnya tadi, karena isinya tetap
baik selama tetap di dalam kulitnya, meskipun kondisi kulit tidak selalu
menunjukkan baiknya isi. (Kanzur Raghibin: 1/568)

–9–
Ukuran melihat setiap sesuatu itu berdasarkan kepantasan 18.
Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya pensifatan dengan
sifat salam19 tidak mencukupi.
Salam orang buta adalah sah; dan dikatakan: jika dia buta
sebelum tamyiz, maka tidak sah.

Riba20
Apabila menjual makanan dengan makanan lain; jika keduanya
sejenis, maka disyaratkan: 1) tunai, 2) sama (takarannya), dan 3)
serah terima sebelum berpisah; atau jika jenisnya berbeda, – seperti
gandum hinthah dengan gandum sya’ir –, maka boleh berbeda
(timbangannya), dan tetap disyaratkan tunai dan serah terima
(sebelum berpisah).
Yang dimaksud “makanan” adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk
makan baik dijadikan sebagai makanan pokok, atau makanan ringan,
atau obat.
Tepung dari sesuatu yang berbeda-beda jenisnya, juga cukanya, dan
minyaknya; maka (itu semua) berlainan jenis. Bermacam-macam
daging dan susu hukumnya seperti itu juga menurut pendapat yang
adhhar.
Sama dalam takaran diukur dengan takaran untuk barang yang biasa
ditakar, dan dengan timbangan untuk barang yang biasa ditimbang.

18 (Misal) ukuran melihat kebun adalah melihat pohon-pohon, tembok


pembatas, dan tempat mengalirnya air. (Kanzur Raghibin: 1/569)
19 Salam adalah berpegang pada sifat tanpa melihat. (An Nihayah: 3/422)
20 Sesungguhnya riba hanya diharamkan pada makanan, emas, dan perak.
(Raudhatut Thalibin: 516)

– 10 –
Yang diambil sebagai patokan (apakah ditakar atau ditimbang)
adalah kebiasaan umum di Hijaz pada masa Rasulullah SAW. Barang
yang tidak diketahui kebiasaan pengukurannya, maka berpatokan
pada kebiasaan negeri tempat jual-belinya, dan dikatakan: ditakar,
dan dikatakan: ditimbang, dan dikatakan: boleh memilih (ditakar
atau ditimbang), dan dikatakan: jika ada dasarnya (diketahui
standardnya), maka dasar itulah yang dijadikan patokan.
Jual beli naqd (emas atau perak) dengan naqd dihukumi sama
dengan jual beli makanan dengan makanan.
Seandainya melakukan jual-beli (makanan atau naqd) dengan cara
ditaksir tanpa ditimbang, maka tidak sah meskipun ternyata
keduanya adalah sama (timbangannya).
Persamaan (takaran buah dan biji-bijian) diukur pada saat sudah
kering – dan kadang diukur saat sempurna di awalnya 21 –, maka
tidak boleh jual-beli ruthab (kurma segar) dengan ruthab atau
dengan tamar (kurma kering), tidak juga anggur dengan anggur atau
dengan kismis (anggur kering).
Untuk buah-buahan yang tidak bisa mengering seperti qutsa’
(sejenis mentimun) dan anggur yang tidak bisa menjadi kismis, maka
pada dasarnya tidak boleh saling diperjual-belikan; dan dalam
sebuah qaul: cukup dipersamakan dalam keadaan basah/segar.

21 Seperti sari buah kurma segar atau anggur, karena ukuran


sempurnanya adalah saat awal sari buah itu bisa keluar. (At Tuhfah:
4/280) Yang dimaksudkan adalah memasukkan sari buah dan cuka yang
berasal dari kurma segar dan anggur, karena sari buah dan cuka ini juga
diperjualbelikan,… maka beliau memperingatkan bahwa dalam hal ini
cukup dengan kesempurnaan awal. (Mughnil Muhtaj: 2/35)

– 11 –
Tidak cukup mempersamakan tumbukan (biji), tepung, dan roti;
akan tetapi persamaan dalam jenis biji-bijian ini diukur dalam
keadaan biji. Dan dalam biji-bijian penghasil minyak – seperti
simsim: dalam keadaan biji atau minyak. Dan pada anggur: dalam
keadaan kismis atau cuka anggur, demikian juga dalam hal sari buah
menurut pendapat yang ashah. Dan pada susu: dalam keadaan susu
atau mentega atau saripati murni 22; dan tidak cukup persamaan
pada seluruh keadaan selainnya seperti keju jubun dan keju aqith 23.
Dan tidak cukup persamaan makanan yang terpengaruh api dengan
direbus atau digoreng atau dipanggang.
Tidak mengapa yang terpengaruh api untuk memisahkan (dan
memurnikan) seperti pada madu dan mentega 24.
Jika terkumpul akad ribawi dari kedua sisi barang sedangkan
keduanya berlainan jenis – seperti satu mud susu dan satu dirham
dengan satu mud susu dan satu dirham, dan seperti satu mud dan
satu dirham dengan dua mud atau dengan dua dirham – atau
berlainan macamnya, seperti barang bagus dan barang rusak
dengan keduanya (barang bagus dan barang rusak) atau dengan
salah satunya (barang bagus saja atau barang rusak saja), maka (itu
semua) batal.

22 Murni dari tercampur air. (Kanzur Raghibin: 1/574)


23 Karena tidak murni dari bahan campuran. (Kanzur Raghibin: 1/575)
24 Karena api pada madu digunakan untuk memisahkan lilin, dan pada
mentega digunakan untuk memisahkan susu. (Mughnil Muhtaj: 2/37)

– 12 –
Haram jual-beli daging dengan hewan dari jenis daging itu 25,
demikian juga dari jenis lain dari yang dimakan dan selainnya 26
menurut pedapat yang adhhar.

Jual-beli yang Dilarang


Rasulullah SAW melarang (jual beli):
1. Sperma hewan pejantan (‘asbul fahl), yaitu: perbuatan
(mengawini)nya27, dan dikatakan: (harga) air (mani)nya, dan
dikatakan upah perbuatannya. Maka haram harga air (mani)nya,
demikian juga upah (perbuatan)nya menurut pendapat yang
ashah.
2. Kehamilan dari kehamilan (habalul habalah), yaitu: keturunan
dari keturunan; dengan menjual (hewan) keturunannya
keturunan28; atau menjual (sesuatu) dengan harga (tertentu)
sampai (waktu) anak (hewan melahirkan) keturunan 29.
3. Janin (malaqih), yaitu hewan yang masih di dalam perut.

25 Seperti jual-beli daging sapi dengan sapi. (Kanzur Raghibin: 1/576)


26 Seperti jual-beli daging sapi dengan domba atau dengan keledai.
(Kanzur Raghibin: 1/576)
27 Mengambil upah sebagai pengganti perbuatan pejantan dalam
mengawini betina. (Footnote Mughnil Muhtaj DH: 2/461)
28 Ini adalah tafsir ahli bahasa. Alasan batalnya karena tidak adanya
kepemilikan dan juga syarat-syarat yang lain dalam jual beli. (Mughnil
Muhtaj: 2/41)
29 Sebagaimana ditafsirkan oleh hadits riwayat Ibnu Umar RA, yaitu
sampai binatang ini malahirkan anak, kemudian anaknya melahirkan
keturunan (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/131). Alasan batalnya adalah karena
batas waktu pelunasannya tidak diketahui. (Mughnil Muhtaj: 2/41)

– 13 –
4. Madhamin, yaitu (air) yang ada di dalam tulang sulbi hewan
pejantan.
5. Sentuhan (mulamasah), yaitu (pembeli) menyentuh pakaian yang
dilipat (atau dalam suasana gelap), kemudian dia membelinya
dan dia tidak mempunyai hak khiyar apabila telah melihatnya 30.
Atau penjual mengatakan: jika kamu menyentuhnya, berarti baju
itu terjual padamu31.
6. Lemparan (munabazah), yaitu penjual dan pembeli menjadikan
lemparan sebagai jual beli32.
7. (Lemparan) batu, yaitu dengan mengatakan: Aku jual padamu di
antara baju-baju ini, yaitu baju yang dijatuhi oleh batu ini 33. Atau
penjual dan pembeli menjadikan lemparan (batu) sebagai jual
beli34. Atau (penjual) mengatakan: Aku jual padamu, dan kamu
mempunyai hak khiyar sampai batu ini aku lempar 35.
8. Dua jual beli dalam satu jual beli, yaitu penjual mengatakan: Aku
jual padamu seharga seribu rupiah atau dua ribu rupiah dengan
tempo setahun36. Atau: Aku jual padamu budak itu dengan seribu

30 Batalnya jual beli karena tidak bisa melihat. (Mughnil Muhtaj: 2/42)
31 (Batalnya) karena tidak ada sighat (ijab qabul). (Mughnil Muhtaj: 2/42)
32 Tanpa adanya sighat (Nihayatul Muhtaj: 3/449)
33 (Batal) karena barang yang dijual tidak diketahui. (Mughnil Muhtaj:
2/42)
34 (Batal) karena tidak ada sighat. (Mughnil Muhtaj: 2/42)
35 (Batal) karena batas waktu khiyar tidak diketahui. (Mughnil Muhtaj:
2/42)
36 Maka ambillah akad mana yang engkau mau, atau (ambillah akad) yang
aku mau, atau (ambillah akad) yang fulan mau. Karena tidak diketahui
(harga mana yang dipilih) (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/131)

– 14 –
rupiah, dengan (syarat) engkau jual rumahmu padaku dengan
harga ini37.
9. Jual beli sekaligus syarat, misalnya menjual dengan syarat
(pembeli juga) menjual, atau dengan syarat (pembeli)
menghutangi. Seandainya seseorang membeli hasil tanaman
dengan syarat penjual harus memanennya, atau membeli baju
dengan syarat penjual harus menjahitnya; maka menurut
pendapat yang ashah adalah batal.
Dan dikecualikan beberapa bentuk syarat seperti:
Jual beli dengan syarat khiyar, atau bebas dari cacat, atau (jual
beli buah) dengan syarat memetik buahnya, atau dengan tempo
atau menggadaikan atau penjamin tertentu untuk pembayaran
dalam tanggungan, atau dengan persaksian. Dan tidak
disyaratkan menentukan saksinya (orangnya) menurut pendapat
yang ashah. Jika (pembeli) tidak menggadaikan atau tidak ada
orang tertentu yang menjamin, maka penjual punya hak khiyar.
Seandainya seseorang menjual budak dengan syarat budak itu
dibebaskan, maka menurut pendapat yang masyhur: sah jual beli
dan syaratnya. Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya
penjual berhak menuntut pembeli untuk membebaskannya, dan
bahwa seandainya penjual mempersyaratkan bersama
pembebasan budak itu al wala’38 menjadi miliknya (penjual), atau
penjual mempersyaratkan tadbir39 atau kitabah40 atau
membebaskannya setelah sebulan, maka jual beli tidak sah.

37 (Batal) karena syarat yang rusak. (Kanzur Raghibin: 1/580)


38 Hak waris ashabah… , hak ini diakhirkan setelah ashabah nasab
(keturunan). (Mughnil Muhtaj: 4/670)

– 15 –
Jika mensyaratkan sesuatu yang sesuai dengan akad, – seperti
serah terima dan (hak) mengembalikan karena cacat –, atau
(mensyaratkan) sesuatu yang tidak ada tujuannya, seperti syarat
agar tidak makan kecuali seperti itu, maka sah. Seandainya
mensyaratkan sifat (barang) yang dimaksudkan, – misalnya
keadaan seorang budak itu bisa menulis, atau keadaan ternak itu
dalam kondisi hamil atau menghasilkan susu –, maka sah, dan
(pembeli) punya hak khiyar jika (penjual) tidak memenuhinya.
Dan dalam sebuah qaul (pendapat) akadnya batal dalam kasus
hewan ternak.
Seandainya (penjual) berkata: Aku jual padamu hewan ternak
dan kehamilannya; maka batal menurut pendapat yang ashah 41.
Tidak sah menjual kehamilannya saja42, tidak sah juga menjual
ternak hamil tanpa kehamilannya. Tidak sah menjual budak yang
hamil janin merdeka.
Seandainya seseorang menjual ternak hamil secara mutlak, maka
kehamilannya termasuk dalam jual beli tersebut.

39 Menggantungkan bebasnya (budak) dengan kematian (tuan). (Mughnil


Muhtaj: 4/674). (Kalimat) jelasnya: Kamu bebas, setelah aku mati.
(Minhajut Thalibin: 591)
40 Akad pembebasan budak dengan lafal kitabah, dengan (memberikan)
harga pengganti (dari budak kepada tuan) secara cicilan sebanyak dua
kali atau lebih.(Mughnil Muhtaj: 4/683)
41 Karena sesuatu yang tidak sah dijual, maka tidak sah juga dijual dengan
maksud menjualnya bersama dengan barang lain. (Tuhfatul Muhtaj DH:
2/138)
42 Sebagaimana telah diketahui tentang batalnya jual beli janin. (Tuhfatul
Muhtaj DH: 2/138)

– 16 –
Larangan yang Tidak Mengharuskan Batalnya Jual Beli
Di antara larangan-larangan ada yang tidak membatalkan (jual beli),
karena (larangan itu) kembali kepada suatu makna yang
berhubungan dengan larangan itu. Misalnya:
1. Jual beli penduduk kota dengan baduwi. Yaitu seorang asing
datang membawa barang yang dibutuhkan oleh orang bayak
dengan harga pada hari itu, kemudian penduduk kota berkata:
Serahkan barang itu padaku, supaya aku menjualnya secara
bertahap dengan harga lebih mahal.
2. Menemui kafilah. Yaitu dengan menemui kafilah yang membawa
barang ke kota , kemudian membelinya sebelum mereka sampai
ke kota dan mengetahui harganya. Mereka punya hak khiyar saat
telah mengetahui kecurangan pembeli.
3. Penawaran di atas tawaran orang lain. Hal ini hanya diharamkan
ketika sudah ada ketetapan harga.
4. Penjualan di atas penjualan orang lain sebelum tetapnya akad 43.
Yaitu seseorang memerintahkan pembeli agar membatalkan akad
supaya orang itu bisa membelinya dengan harga yang sama.
5. Pembelian di atas pembelian. Yaitu seseorang memerintahkan
penjual agar membatalkan akad agar orang itu bisa membelinya.
6. Najasy. Yaitu (menawar) dengan meningkatkan harga bukan
karena ingin (membeli), tapi untuk menipu orang lain. Menurut
pendapat yang ashah: tidak ada khiyar (bagi pembeli).

43 Masih dalam masa khiyar majlis atau syarat, karena masih mungkin
untuk dibatalkan. (Mughnil Muhtaj: 2/50)

– 17 –
7. Menjual kurma dan anggur kepada pembuat khamr (minuman
keras).
8. Haram44 (menjual dengan) memisahkan antara ibu dan anaknya
sampai (anak itu) mumayyiz, dan dalam sebuah qaul (pendapat):
sampai baligh. Dan apabila (keduanya) dipisahkan karena dijual
atau dihibahkan, maka (jual beli dan hibah itu) keduanya batal
menurut pendapat yang adhhar.
9. Tidak sah menjual uang muka (‘arabun). Yaitu membeli barang
dan menyerahkan beberapa dirham (uang muka) kepada penjual,
uang itu menjadi bagian dari harga jika pembeli ridho dengan
barang tersebut, dan jika pembeli tidak ridho maka (uang itu)
menjadi hibah45.

Memisahkan Transaksi
Menjual cuka dan khamr, atau budaknya dan orang merdeka, atau
(budaknya) dan budak orang lain, atau budak yang dimiliki bersama
tanpa izin pemilik lain, maka sah dalam pada bagian yang menjadi
miliknya menurut pendapat yang adhhar. Maka pembeli punya hak
khiyar jika tidak mengetahui (keadaannya). Jika pembeli
melanjutkan (akad), maka sah pada sebagiannya dengan
mempertimbangkan harga kedua bagian itu 46. Dalam qaul

44 Haram bagi pemilik budak perempuan dan anaknya. (Tuhfatul Muhtaj:


2/143)
45 Tidak sah karena mencakup syarat mengembalikan (barang) dan
menghibahkan (uang muka) jika pembeli tidak ridho terhadap
barangnya. (Kanzur Raghibin: 1/586)
46 Maka yang wajib bagi pembeli adalah (membayar) sebagian harganya.
(al Muharror: 476)

– 18 –
(pendapat) yang lain: pada keseluruhannya. Tidak ada khiyar bagi
penjual.
Seandainya seseorang menjual dua budaknya kemudian salah
satunya rusak sebelum serah terima, maka tidak menjadi batal pada
satu yang lain menurut pendapat madzhab, akan tetapi pembeli
punya hak khiyar, jika memilih untuk melanjutkan, maka sah
sebagiannya secara pasti.
Seandainya menggabungkan dua hukum yang berlainan dalam satu
transaksi, – seperti sewa menyewa dengan jual beli, atau dengan
salam (pesanan) –, maka keduanya sah menurut pendapat yang
adhhar; setiap hal dipisahkan sesuai dengan harganya. Atau
(menggabungkan) jual beli dengan nikah, maka sah nikahnya. Dalam
(menggabungkan) jual beli dan mahar ada dua qaul (pendapat) 47.
Transaksi menjadi banyak karena ada perincian harga, – misalanya
aku jual barang ini dengan harga ini dan barang itu dengan harga itu
–, (demikian juga) karena jumlah penjualnya banyak; demikian juga
karena jumlah pembelinya banyak menurut pendapat yang adhhar.
Jika dua orang mewakilkan kepadanya, atau dia mewakilkan kepada
dua orang, maka menurut pendapat yang ashah:
48
mempertimbangkan wakil tersebut .

47 (Dua qaul) seperti sebelumnya, qaul yang adhhar adalah keduanya sah,
dan setiap hal dipisahkan sesuai harga jual beli dan harga mahar.
(Nihayatul Muhtaj: 3/486)
48 Karena hukum akad itu tergantung pada wakil tersebut. (Tuhfatul
Muhtaj DH: 2/149)

– 19 –
Khiyar49 (Majelis)
Khiyar majlis50 menjadi tetap dalam bermacam-macam jual beli,
seperti: sharf51, (jual beli) makanan dengan makanan lain, salam
(pemesanan), tauliyah52, isyrak53, dan shulh mu’awadhah54.
Seandainya seseorang membeli budak yang mengharuskan budak
itu jadi merdeka55; – jika kita berpendapat: Kepemilikan pada masa

49 Yaitu (hak) menuntut yang terbaik antara dua perkara, antara


melanjutkan atau membatalkan (jual beli). Hal ini terjadi karena pada
dasarnya jual beli sudah menjadi tetap. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/150)
Mencakup khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar aib (Kanzur Raghibin:
1/590)
50 Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama keduanya belum
berpisah. (Mukhtashar Abi Syuja’: 81)
51 Jual beli mata uang baik sejenis maupun tidak sejenis disebut dengan
sharf. (Mughnil Muhtaj: 2/34)
52 Jual beli sesuai dengan syarat dan hukum-hukum yang mengikutinya,
akan tetapi tidak perlu menyebut harganya. (Minhajut Thalibin: 617)
53 Isyrak adalah tauliyah pada sebagian barang yang dibeli. (Mughnil
Muhtaj: 2/101)
54 Shulh secara bahasa: mengakhiri perselisihan, secara syar’i: akad yang
hasilnya adalah mengakhiri perselisihan. (Mughnil Muhtaj: 2/230).
Shulh Mu’awadhah: Berpaling dari barang yang menjadi haknya kepada
barang lain (sebagai penggantinya). (Mukhtashar Abi Syuja’: 84)
55 Misalnya (membeli) ayahnya atau anaknya (yang berstatus budak)
(Raudhatut Thalibin BA: 541). Sabda Nabi SAW: Seorang anak tidak
akan bisa membalas (jasa) orang tuanya, kecuali dia mendapati orang
tuanya dimiliki (sebagai budak), kemudian anak itu membelinya,
kemudian memerdekakannya. (HR. Muslim). Mayoritas ulama
berpendapat: Menjadi bebas – ayahnya, ibunya, kakeknya, neneknya,
dan seterusnya ke atas; juga anak laki-lakinya, anak perempuannya,
dan anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan, dan
seterusnya ke bawah – dengan sebab (seseorang) memilikinya. (syarah
Shahih Muslim BA: 961)

– 20 –
khiyar adalah milik penjual, atau mauquf 56, – maka keduanya
(penjual dan pembeli) mempunyai hak khiyar. Jika kita berpendapat:
milik pembeli, maka penjual punya hak khiyar, sedangkan pembeli
tidak punya.
Tidak ada khiyar dalam shulh ibra’57, nikah, hibah tanpa (mengharap)
pahala, demikian juga hibah dengan (mengharap) pahala, syuf’ah 58,
ijarah (sewa menyewa), musaqah (perawatan tanaman), dan mahar,
menurut pendapat yang ashah.
(Khiyar majlis) terputus karena pilihan (keduanya); yaitu keduanya
(penjual dan pembeli) memilih untuk melanjutkan. Jika salah
satunya memilih (untuk melanjutkan), maka hak khiyarnya batal,
tetapi pihak lainnya masih tetap (punya hak khiyar).
(Khiyar majlis terputus) karena perpisahan badan keduanya.
Seandainya keduanya tinggal (di situ) dalam waktu lama, atau
keduanya berdiri lalu berjalan (bersama) ke banyak tempat, maka
hak khiyar keduanya terus berlanjut. Tentang (makna) berpisah ini
dipertimbangkan adat kebiasaan.
Seandainya seseorang meninggal atau jadi gila di majlis, maka
menurut pendapat yang ashah: hak khiyar berpindah ke ahli
warisnya dan ke walinya.

56 (Mauquf) ini adalah pendapat yang ashah. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/151)
57 Shulh ibra’: mencukupkan diri dari haknya dengan (ganti) sebagiannya
saja. (Mukhtashar Abi Syuja’: 84)
58 (Syuf’ah): hak untuk memiliki secara paksa bagi partner lama atas
barang yang dimiliki partner baru dengan mengganti (harganya).
(Mughnil Muhtaj: 2/382)

– 21 –
Jikalau keduanya berselisih tentang perpisahan atau pembatalan
sebelum berpisah, maka dibenarkan orang yang meniadakan 59.

Khiyar Syarat
Keduanya (penjual dan pembeli) atau salah satunya boleh
mempersyaratkan khiyar dalam bermacam-macam jual beli, kecuali
disyaratkan serah terima di tempat (majlis), misalnya (jual beli
barang) ribawi atau salam (pemesanan).
Khiyar syarat hanya boleh untuk suatu masa tertentu, (masa
tersebut) tidak boleh lebih dari tiga hari. Masanya dihitung
semenjak akad, dan dikatakan: semenjak berpisah.
Menurut pendapat yang adhhar: jika hak khiyar adalah milik
penjual, maka kepemilikan barang adalah milik penjual; jika hak
khiyar adalah milik pembeli, maka (kepemilikan barang) juga milik
pembeli. Jika penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, maka
kepemilikan barang mauquf (ditunda). Apabila jual beli telah
sempurna, maka menjadi jelas bahwa kepemilikan barang adalah
milik pembeli semenjak akad; jika tidak (sempurna) 60, maka milik
penjual.
Pembatalan atau pengesahan dihasilkan dengan lafal yang
menunjukkan pada kedua hal tersebut. Misalnya: aku batalkan jual
beli ini, atau aku hapuskan jual beli ini, atau aku tarik kembali barang
itu. Dan dalam pengesahan: aku sahkan jual beli ini, atau aku
tetapkan jual beli ini.

59 Berdasarkan sumpahnya. Karena hukum asalnya adalah tetap


berkumpul dan tidak adanya pembatalan. (Mughnil Muhtaj: 2/62).
60 Karena dibatalkan. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/156)

– 22 –
(Jika pada masa khiyar) penjual menyetubuhi atau memerdekakan
(budak yang dijual)61, (maka) berarti pembatalan (jual beli).
Demikian juga (jika) penjual menjualnya (lagi), atau
menyewakannya, atau menikahinya, menurut pendapat yang ashah.
Menurut pendapat yang ashah: bahwa semua tindakan-tindakan
tersebut (jika dilakukan) pembeli, (maka) berarti pengesahan.
Dan (menurut pendapat ashah) bahwasannya menawarkan untuk
dijual, dan mewakilkan dalam menjual, bukanlah pembatalan dari
penjual (jika dilakukan penjual), juga bukan pengesahan dari
pembeli (jika dilakukan pembeli).

Khiyar Cacat (Aib)


Pembeli punya hak khiyar dengan tampaknya cacat yang sudah
lama62. Misalnya budak yang dikebiri, berzina, mencuri, melarikan
diri, mengompol di kasur, berbau abab (mulut)nya, berbau busuk;
ternak yang bedal (lari) dan menggigit; dan semua yang mengurangi
bendanya atau harganya – dengan kekurangan yang mengakibatkan
tujuan aslinya menjadi luput/hilang –, apabila pada jenis barang
yang dibeli itu umumnya tidak ada (cacat seperti itu).
Sama saja apakah (aib itu) sudah ada saat akad, atau baru ada
sebelum serah terima. Seandainya (cacat itu) baru ada sesudah
serah terima, maka tidak ada khiyar; kecuali (cacat itu) didasari oleh

61 Pada masa khiyar syarat yang jadi milik penjual atau milik penjual dan
pembeli. (Mughnil Muhtaj: 2/65)
62 Yang dimaksud cacat yang sudah lama adalah cacat itu sudah ada saat
akad, atau sudah ada sebelum serah terima. (Mughnil Muhtaj: 2/67)

– 23 –
sebab yang lebih dulu63, – misalnya: badan yang terpotong akibat
hukuman jinayah yang dulu –, maka ditetapkan pengembaliannya
menurut pendapat yang ashah; berbeda dengan kematian yang
disebabkan oleh sakit yang dulu menurut pendapat yang ashah.
Seandainya budak dibunuh karena murtad yang dulu, maka penjual
harus menjamin (seluruh harganya) menurut pendapat yang ashah.
Seandainya penjual menjual (barang) dengan syarat bebasnya
penjual dari aib (barang itu), maka menurut pendapat yang adhhar
bahwa penjual bebas dari aib bagian dalam – dalam hal (barangnya
adalah) binatang – yang tidak dia ketahui; tidak bebas dari selain aib
tersebut64. Boleh bagi pembeli – bersamaan dengan (adanya) syarat
ini – untuk mengembalikan karena aib yang baru ada sebelum serah
terima. Seandainya penjual mempersyaratkan bebas dari aib yang
akan terjadi, maka tidak sah menurut pendapat yang ashah.
Seandainya barang yang dibeli rusak di tangan pembeli, atau
pembeli membebaskan dia (budak), kemudian dia mengetahui
cacatnya (barang), maka dia kembali dengan (mendapatkan uang)
denda (arsy). Arsy adalah sebagian harga barang itu, persentasenya
terhadap harga barang sebesar persentase pengurangan harga oleh
cacat tersebut (dibandingkan) jika barang itu selamat dari aib 65. Dan
menurut pendapat yang ashah: yang dipertimbangkan adalah harga
terrendah sejak hari jual-beli sampai (hari) serah terima.

63 Lebih dulu dari serah terima atau akad. (Mughnil Muhtaj: 2/70)
64 Tidak bebas dari aib pada selain binatang (Al Muharror: 483). Tidak
bebas dari aib yang dia ketahui. (Al Muharror: 483)
65 Seandainya harga barang tanpa cacat adalah 100 dan dengan adanya
cacat adalah 80, maka nisbah pengurangannya terhadap harga adalah
seperlima. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/163)

– 24 –
Seandainya harganya(uangnya) rusak sedangkan barangnya tidak 66,
maka dia (boleh) mengembalikan barang itu, dan dia ambil uang
yang setara atau nilai harganya67.
Seandainya dia mengetahui cacat tersebut setelah hilang
kepemilikannya (berpindah) kepada orang lain, maka tidak ada arsy
menurut pendapat yang ashah. Kemudian jika kepemilikannya
kembali, maka boleh baginya mengembalikan; dan dikatakan: jika
kembali bukan karena pengembalian disebabkan cacat, maka tidak
boleh mengembalikan.
Pengembalian itu sifatnya segera68, maka hendaknya dia bersegera
sesuai adat kebiasaan.
Seandainya dia mengetahui cacat itu sementara dia itu sedang
shalat atau makan, maka boleh baginya menundanya sampai selesai
(shalat atau makan); atau (mengetahuinya) saat malam, maka
sampai pagi.
Jika penjual berada di balad (kota) tersebut, maka maka dia
kembalikan sendiri – atau oleh wakilnya – kepada penjual, atau
kepada wakil penjual. Seandainya pembeli meninggalkan
pengembalian dan mengadukan perkara ini kepada hakim, maka hal

66 Dan dia mengetahui cacat pada barang. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/164)
67 Dengan nilai harga terrendah sejak hari jual-beli sampai hari serah
terima. (Raudhatut Thalibin BA: 558)
68 Maka jadi batal disebabkan menunda tanpa udzur (Raudhatut Tahalibin
BA: 559)

– 25 –
itu adalah penguat69. Jika penjual tidak ada (di kota tersebut), maka
dia adukan kepada hakim.
Menurut pendapat yang ashah: wajib bagi pembeli untuk
mempersaksikan atas fasakh (pembatalan) jika memungkinkan
baginya sampai dia sampai kepada penjual atau hakim. Jika dia tidak
mampu melakukan persaksian, maka tidak wajib baginya untuk
mengucapkan fasakh menurut pendapat yang ashah.
Dan disyaratkan tidak menggunakan (barang tersebut). Seandainya
pembeli meminta pelayanan dari budak (yang dibeli), atau
meninggalkan pelana atau kain alas pelana di atas hewan (yang
dibeli), maka batallah haknya (untuk mengembalikan). Dan diberi
permaafan untuk menaiki binatang yang susah digiring dan
diarahkan.
Jika gugur (hak) pengembaliannya disebabkan kelalaian, maka tidak
ada arsy.
Seandainya ada cacat baru di tangan pembeli, maka gugurlah (hak)
pengembalian secara paksa. Kemudian jika penjual rela terhadap
barang tersebut, maka pembeli mengembalikannya atau bersedia
menerima barang tersebut. Jika (penjual) tidak rela, maka
hendaknya pembeli menggabungkan arsy aib baru dengan barang
tersebut dan mengembalikannya; atau penjual membayar denda
arsy atas cacat yang terdahulu dan pembeli tidak mengembalikan.
Jika penjual dan pembeli sepakat atas salah satu dari dua hal
tersebut, maka itulah (yang diambil); jika tidak sepakat, maka

69 Kesimpulan dalam hal ini, dia boleh memilih antara dua hal ini
(mengembalikan atau mengadukan pada hakim) (Raudhatut Thalibin
BA: 560)

– 26 –
menurut pendapat yang ashah: dikabulkan orang yang menuntut
untuk tetap menahan (barang tersebut) 70.
Wajib bagi pembeli untuk memberitahu penjual dengan segera atas
cacat baru tersebut supaya dia memilih. Jika pembeli menunda
pemberitahuan tersebut tanpa udzur, maka tidak ada pengembalian
dan tidak ada arsy.
Seandainya ada cacat baru di mana cacat lama tidak dapat diketahui
melainkan dengan (adanya) cacat baru tersebut, – misalnya
pecahnya telur atau kelapa, dan berlubangnya semangka yang
berulat –, maka dia kembalikan dan tidak ada denda arsy dari
pembeli menurut pendapat yang adhhar.
Kemudian jika memungkinkan untuk mengetahui cacat lama dengan
(cacat baru) yang lebih sedikit dibandingkan cacat baru yang dia
buat, maka (hukumnya) sama dengan seluruh cacat baru lainnya.

Tidak Ada Pemisahan Transaksi Disebabkan Cacat


(Seandainya) dia membeli dua budak yang keduanya cacat dengan
transaksi terpisah, maka dia kembalikan keduanya; seandainya
tampak cacat pada salah satunya, maka dia kembalikan keduanya
tidak hanya yang cacat saja menurut pendapat yang adhhar.
Seandainya dia membeli seorang budak dari dua orang lelaki
(pemiliknya) di mana budak itu cacat, maka boleh baginya untuk
mengembalikan bagian salah satu lelaki itu. Seandainya dua orang

70 Dan kembali kepada denda arsy atas cacat yang terdahulu. (Raudhatut
Thalibin BA: 561).

– 27 –
lelaki membeli budak tersebut, maka boleh bagi salah satunya untuk
mengembalikan menurut pendapat yang adhhar.
Seandainya penjual dan pembeli berselisih tentang lamanya (atau
barunya) cacat, maka yang dibenarkan adalah penjual dengan
sumpahnya sesuai kadar jawabannya.
Tambahan yang tersambung (pada barang) – misalnya (tambah)
gemuk –, maka mengikuti pokok/aslinya (dalam pengembalian) 71.
(Tambahan) yang terpisah – misalnya anak dan upah –, maka tidak
menghalangi pengembalian; dan (tambahan) ini adalah milik
pembeli jika dia kembalikan sesudah serah terima, demikian juga
jika sebelum serah terima menurut pendapat yang ashah.
Seandainya dia membeli (budak atau binatang) dalam keadaan
hamil, kemudian dia melahirkan, maka dia kembalikan anaknya
bersama (budak atau binatang) itu menurut pendapat yang
adhhar72.
Tidak menghalangi pengembalian: meminta pelayanan dan
menyetubuhi (budak) yang bukan perawan.
Memecah keperawanan budak perawan setelah serah terima
termasuk cacat baru; sebelum serah terima termasuk kejahatan
jinayat/pidana terhadap barang yang dibeli sebelum serah terima.

71 Karena tidak mungkin memisahkannya. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/173)


72 Karena kehamilan itu sudah diketahui dan ditambahkan dalam porsi
harganya. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/173)

– 28 –
Tashriyah73
Tashriyah itu haram. (Tashriyah) menetapkan hak khiyar dengan sifat
segera; dan dikatakan: menerus selama tiga hari.
Jika pembeli mengembalikan setelah susunya rusak, maka dia
mengembalikan bersamanya (tambahan) satu sha’ kurma kering
(tamr); dan dikatakan: cukup satu sha’ makanan pokok.
Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya jumlah sha’ tidak
berbeda-beda (dengan) disesuaikan dengan banyaknya susu; dan
bahwasannya khiyarnya tidak khusus pada binatang ternak, akan
tetapi umum pada semua makanan dan budak perempuan dan
keledai negeri, dan tidak dikembalikan bersama keduanya (budak
perempuan dan keledai negeri) tambahan apapun 74. Tentang budak
perempuan ini ada satu wajah (pendapat) lain.
Membendung air parit dan penggilingan, (kemudian air itu) dialirkan
saat jual beli, memerahkan wajah, menghitamkan rambut dan
mengeritingnya, maka (itu semua) menetapkan (adanya) khiyar.
Tidak termasuk mengotori bajunya supaya dikira dia bisa menulis
menurut pendapat yang ashah.

Hukum Barang Sebelum dan Sesudah Serah Terima


Barang sebelum serah terima termasuk jaminan dari penjual.

73 Tashriyah yaitu: penjual tidak memerah susu binatang dengan sengaja


selama beberapa masa sebelum menjualnya, hingga susunya
terkumpul, sehingga pembeli menyangka susunya berlimpah hingga
menaikkan harganya. (Nihayatul Muhtaj: 4/70)
74 Karena susu budak perempuan secara umum tidak diganti; sedangkan
susu keledai negeri itu najis. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/176)

– 29 –
Jika barang itu rusak, maka jual beli menjadi batal dan gugurlah
harganya. Seandainya pembeli membebaskan penjual dari jaminan
tersebut, maka penjual (tetap) tidak bebas menurut pendapat yang
adhhar, dan hukumnya tetap tidak berubah.
Perusakan yang dilakukan oleh pembeli adalah serah terima jika dia
mengetahui75. Jika (dia) tidak (mengetahui), maka ada dua pendapat
(qaul); misalnya seorang pemilik memakan makanannya yang
dighashab karena (dia menjadi) tamu (orang yang mengghashab).
Menurut pendapat madzhab: perusakan yang dilakukan oleh
penjual (hukumnya) seperti barang itu rusak (sendiri) 76.
Menurut pendapat yang addhar: perusakan yang dilakukan oleh
orang asing tidak membatalkan (jual beli), akan tetapi pembeli
memilih antara melanjutkan dan mendenda orang asing itu, atau
membatalkan dan penjual mendenda orang asing itu.
Seandainya barang menjadi cacat sebelum serah terima, kemudian
(pembeli) rela dengan hal itu, maka dia ambil barang itu dengan
(menyerahkan) seluruh harganya77.
Seandainya pembeli membuat cacat barang itu, maka tidak ada
khiyar; atau dibuat cacat oleh orang asing, maka ada khiyar (untuk

75 (Mengetahui) bahwa itu adalah barang yang dibeli. (Tuhfatul Muhtaj


DH: 2/179)
76 Maka jual-beli menjadi batal dalam hal ini, dan harganya gugur dari
pembeli. (Kanzur Raghibin: 1/608)
77 (Barang) yang menjadi cacat sebelum serah terima, menetapkan
adanya khiyar sebagaimana telah berlalu (penjelasannya). Jika pembeli
melanjutkan, maka dia lanjutkan dengan seluruh harganya. (Al
Muharror: 493)

– 30 –
pembeli), kemudian jika pembeli melanjutkan maka orang asing itu
membayar denda arsy.
Seandainya penjual membuat cacat barang itu, maka menurut
pendapat madzhab: tetaplah adanya khiyar, tidak (menetapkan
adanya) denda.
Tidak sah menjual barang yang dibeli sebelum serah terima; dan
menurut pendapat yang ashah: bahwasannya menjualnya kepada
penjual, (hukumnya sama) seperti (menjual) kepada orang lain; dan
bahwasannya menyewakannya, menggadaikannya, dan
menghibahkannya (hukumnya tidak sah) sebagaimana menjualnya;
dan bahwasannya membebaskan budak (hukumnya) adalah
kebalikannya.
Harga yang sudah ditetapkan78, (hukumnya) seperti barang yang
dibeli; maka penjual tidak boleh menjualnya sebelum
diserahterimakan.
Boleh bagi seseorang untuk menjual hartanya yang berada di tangan
orang lain dalam bentuk amanah – misalnya wadi’ah (titipan), harta
yang dimiliki bersama, dan qiradh (bagi hasil), barang yang
digadaikan setelah dilepaskan, barang yang diwarisi, barang sisa
yang ada di tangan wali setelah dia menjadi rusyd 79, demikian juga
barang yang dipinjamkan dan barang yang diambil (calon pembeli)
dengan penawaran80.
78 (Baik berupa) mata uang atau (alat tukar) lainnya. (Nihayatul Muhtaj:
4/87).
79 Yaitu baligh dan bersikap baik bagi agama dan hartanya. (Kanzur
Raghibin: 1/562)
80 Yaitu barang yang diambil oleh orang yang ingin membeli, untuk
dipikir-pikir apakah dia suka atau tidak. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/182)

– 31 –
Tidak sah menjual barang pesanan (salam) dan (tidak sah) meminta
ganti barang tersebut81.
Menurut qaul jadid: Boleh miminta ganti harga, kemudian jika
meminta ganti dengan (sesuatu) yang bersesuaian dalam penyebab
(illat) riba – misalnya (minta ganti) dirham dari (yang semula) dinar
–, maka disyaratkan serah terima pengganti tersebut di majelis.
Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya tidak disyaratkan
ta’yin/menentukan dalam akadnya82, demikian juga (bahwasannya
tidak disyaratkan) serah terima di majelis jika minta ganti dengan
sesuatu yang tidak bersesuaian dalam illat; misalnya: (minta ganti)
baju untuk dirham.
Seandainya seseorang minta ganti pada pinjaman (utang) dan nilai
harga barang yang dirusak, maka boleh. Dalam hal syarat serah
terima di majelis, (sebagaimana) penjelasan yang telah lalu.
Menjual utang kepada selain orang yag wajib (melunasinya) adalah
batal menurut pendapat yang adhhar; misalnya: dia membeli budak
milik Zaid dengan harga seratus miliknya yang (masih) diutang oleh
Amr.
Seandainya Zaid dan Amr punya utang kepada seseorang, kemudian
Zaid menjual utangnya kepada Amr dengan (seharga) utangnya
(Amr), maka batal secara pasti.

81 Sebelum serah terima; (dengan ganti) barang jenis lain atau (dengan)
sifat/ciri-ciri lain; karena keumuman larangan menjual barang yang
belum diserahterimakan. (Nihayatul Muhtaj: 4/89)
82 Maksudnya: akad minta ganti. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/183)

– 32 –
Serah terima aset tetap: pelepasannya kepada pembeli dan
memungkinkan pembeli untuk melakukan tindakan padanya,
dengan syarat aset itu (telah) kosong dari barang-barang milik
penjual. Kemudian jika penjual dan pembeli tidak hadir (di tempat)
barang yang dibeli, maka dipertimbangkan berlalunya waktu yang
lamanya memungkinkan untuk pergi ke (tempat) barang itu menurut
pendapat yang ashah.
Serah terima benda bergerak: memindahkannya. Kemudian jika jual
beli terjadi di suatu tempat yang tidak khusus bagi penjual, maka
cukup memindahkannya ke sisi lain; jika terjadi di rumah penjual,
maka hal itu tidak cukup kecuali dengan izin dari penjual, maka
penjual jadi meminjamkan sebidang tempat tadi.

Hukum-hukum Bab Ini


Pembeli boleh menerima barang 83 (dengan bebas) jika (pembayaran)
harganya dengan tempo atau dia menyerahkan pembayaran (saat
itu juga); jika tidak demikian84, maka pembeli tidak bebas
menerimanya85.
Seandainya sesuatu dijual berdasarkan ukuran, – misalnya baju dan
tanah dengan ukuran, biji gandum dengan takaran atau timbangan
–, maka disyaratkan – bersamaan dengan memindahkannya –
ukurannya atau takarannya atau timbangannya. Contohnya: “Aku

83 Tanpa izin penjual. (tuhfatul Muhtaj DH: 2/187)


84 Jika jual beli itu adalah cash sejak awal, tetapi pembeli tidak
menyerahkan pembayaran kepada yang berhak. (Tuhfatul Muhtaj DH:
2/187)
85 Akan tetapi harus dengan izin dari penjual, karena penjual masih punya
hak menahannya. (Nihayatul Muhtaj: 4/99)

– 33 –
beli barang itu, setiap sha’nya satu dirham”, atau “(Aku beli barang
itu) sebanyak sepuluh sha’”.
Seandainya dia punya (piutang) atas Zaid (berupa) makanan yang
telah ditakar, sedangkan dia punya utang kepada Amr (makanan)
seperti itu juga, maka hendaknya dia menakar untuk dirinya sendiri
(dari Zaid)86 kemudian dia menakar untuk Amr.
Seandainya dia berkata: “Ambillah dari Zaid – makanan milikku yang
menjadi utangnya – untuk dirimu sendiri”, kemudian dia lakukan (hal
itu), maka serah terima itu batal.

Penutup Bab Ini


(Seandainya) penjual berkata: “Tidak akan aku serahkan barang ini
sampai aku menerima (pembayaran) harganya”, dan pembeli
berkata seperti itu juga tentang (pembayaran) harganya, maka
penjual dipaksa (memulai penyerahan); dalam sebuah qaul
(pendapat): pembeli (dipaksa); dalam sebuah qaul: tidak ada
paksaan; kemudian (jika ada) orang yang sudah menyerahkan
(duluan), partner transaksinya dipaksa; dalam sebuah qaul: dua-
duanya dipaksa.
Pendapatku: jika harganya sudah ditetapkan, gugurlah dua qaul
pertama, dan dua-duanya dipaksa menurut qaul yang adhhar,
wallahu a’lam.
Apabila penjual sudah menyerahkan (barang), maka pembeli
dipaksa (membayar) jika alat pembayarannya ada; jika tidak (ada),

86 Maksudnya: dia meminta Zaid untuk menakar untuknya, hingga barang


itu menjadi miliknya. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/188)

– 34 –
jika pembeli gagal bayar, maka penjual boleh membatalkannya
disebabkan kebangkrutan itu. Atau (jika pembeli) itu kaya dan
hartanya ada di kota itu atau ada (di suatu tempat) dengan jarak
yang dekat, maka dia dicekal dari (membelanjakan) hartanya sampai
dia menyerahkan (pembayarannya). Kemudian jika harta itu ada (di
suatu tempat) dengan jarak qashar, maka penjual tidak diminta
untuk bersabar sampai harta itu ada, dan menurut pendapat yang
ashah: dia boleh membatalkan; kemudian jika dia bersabar, maka
(pembeli) dicekal sebagaimana telah kami sebutkan tadi.
Penjual boleh menahan barangnya sampai pembayaran diserah
terimakan jika dia khawatir luputnya (pembayaran), tanda ada khilaf
(perbedaan pendapat). Sesungguhnya qaul-qaul di atas tadi
(berlaku) apabila tidak khawatir luputnya (pembayaran) dan
(semata-mata) keduanya berselisih pada kasus siapa yang memulai
(menyerahkan) saja.

Jual-beli Tauliyah87, Isyrak, dan Murabahah88


(Seandainya) dia membeli sesuatu kemudian berkata kepada orang
(lain) yang mengetahui harganya: “Aku tauliyahkan/tirukan akad ini
kepadamu”, kemudian orang itu menerimanya, maka wajib bagi
orang itu (membayar) dengan harga yang sama 89. (Tauliyah) ini
adalah jual-beli (termasuk) dalam syaratnya dan akibat hukumya;
akan tetapi tidak butuh menyebutkan harganya.

87 Asalnya adalah menirukan perbuatan. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/191)


88 Bab lafal-lafal yang (maknanya) dimutlakkan dalam jual-beli dan
memberikan pengaruh dengan indikasi-indikasi yang digabungkan
dengan lafal tersebut. (Raudhatut Thalibin BA: 580)
89 (Sama) jenisnya, kadarnya, dan sifatnya. (Nihayatul Muhtaj: 4/107)

– 35 –
Seandainya (penjual pertama) mendiskon sebagian harga kepada
orang yang mentauliyahkan, maka harga barang itu juga terdiskon
bagi orang yang diajak tauliyah.

Isyrak90 (memberi bagian) pada sebagiannya sama (hukumnya)


dengan tauliyah pada keseluruhannya jika dia jelaskan bagiannya.
Seandainya dia memutlakkan, maka sah, dan pembagian itu menjadi
separuh-separuh; dan dikatakan tidak sah.

Sah jual-beli murabahah (ambil untung), yaitu dia membeli barang


seharga seratus, kemudian berkata (kepada orang lain): “Aku jual
kepadamu seharga aku membelinya ditambah keuntungan satu
dirham setiap sepuluhnya”; atau “dengan keuntungan dah yaz
dah91.”

(Sah) muhaththoh, misalnya: “Aku jual kepadamu seharga aku


membelinya ditambah diskon dah yaz dah.” Dan didiskon satu dari
setiap sebelas; dan dikatakan dari tiap sepuluh.

Apabila dia berkata: “Aku jual seharga aku membelinya”, maka tidak
masuk dalam akad itu selain harga barang. Seandainya dia berkata:
“dengan harga di mana barang itu menetap padaku”, maka –
bersama dengan harganya – masuk tambahan upah tukang takar,
makelar, penjaga, pencuci, penambal, tukang celup (warna), harga

90 Isyrak adalah: dia membeli sesuatu, kemudian memberi bagian kepada


orang lain, supaya sebagian barang menjadi milik orang itu sesuai
dengan porsi harga (yang diberikan). (Raudhatut Thalibin BA: 581)
91 Dah dengan dal difathah adalah bahasa Persi untuk sepuluh, yaz adalah
satu; maknanya sama dengan (kata-kata) sebelumnya, seolah-olah dia
berkata: “dengan harga seratus sepuluh”. (Nihayatul Muhtaj: 4/112)

– 36 –
pencelupan, dan semua bahan yang dimaksudkan untuk mencari
keuntungan.

Seandainya dia cuci, timbang, atau bawa sendiri; atau ada seseorang
yang suka rela melakukan itu; maka upahnya tidak masuk (dalam
harganya).

Hendaknya keduanya tahu harganya atau harga pelaksanaannya.


Seandainya salah satunya tidak tahu harganya, maka batal menurut
pendapat yang shahih.

Hendaknya penjual (wajib) dapat dipercaya dalam kadar harganya


dan temponya, (dalam) pembelian dengan ukuran, (dalam)
penjelasan cacat baru di tangannya. Seandainya dia berkata:
“dengan harga seratus”, kemudian nyatalah bahwa harganya
sembilan puluh, maka menurut pendapat yang adhhar:
bahwasannya didiskon tambahan harganya dan keuntungannya, dan
bahwasannya tidak ada hak khiyar bagi pembeli.

Sendainya dia mengaku bahwa harganya seratus sepuluh 92,


kemudian pembeli mempercayainya, maka jual-belinya tidak sah
menurut pendapat yang ashah. Pendapatku: menurut pendapat
yang ashah: sah jual-belinya, wallahu a’lam93.

92 dan dia telah keliru dalam perkataan yang awal tadi bahwa harganya
adalah seratus. (tuhfatul Muhtaj DH: 2/196)
93 Dan menurut pendapat yang ashah: bahwasannya tambahan (harga)
tadi tidak jadi ditetapkan, akan tetapi penjual mempunyai hak khiyar.
Pendapat kedua: tambahan tadi jadi ditetapkan bersama dengan
keuntungannya, dan pembeli mempunyai hak khiyar. (Raudhatut
Thalibin BA: 584).

– 37 –
Seandainya pembeli mendustakannya, dan untuk kesalahan itu
penjual tidak menjelaskan alasan yang memungkinkan, maka tidak
diterima perkataannya, tidak juga buktinya; dan dia boleh meminta
sumpah dari pembeli bahwasannya dia tidak mengetahui hal itu
menurut pendapat yang ashah.

Jika dia menjelaskan, maka dia boleh meminta sumpah (dari


pembeli); dan menurut pendapat yang ashah: didengarkan buktinya.

Tanah, Pohon, dan Buah-buahan


(Seandainya) dia berkata: “Aku jual tanah ini atau pekarangan ini
atau sebidang tanah ini”, sementara di tanah itu ada bangunan dan
pohon, maka menurut pendapat madzhab: bahwasannya (bangunan
dan tanah) itu termasuk dalam jual-beli tersebut; (bangunan dan
tanah itu) tidak masuk (apabila) di dalam (akad) gadai 94.

Tanaman sayur mayur yang bertahan selama dua tahun – misalnya


rumput (pakan ternak) dan selada – (hukumnya) seperti pohon.
Tidak masuk (dalam jual-beli) tanaman yang dipanen satu kali –
misalnya gandum, jewawut, dan semua tanaman pertanian.

Sah menjual tanah yang ditanami (dengan tanaman tadi) 95 menurut


pendapat madzhab. Pembeli mempunyai hak khiyar jika tidak
mengetahui (tanaman tersebut).

94 Maksudnya apabila dia berkata: “Aku gadaikan tanah ini…” (Kanzur


Raghibin: 1/621)
95 dengan tanaman-tanaman tadi. (tuhfatul Muhtaj DH: 2/199)

– 38 –
Tanaman tersebut tidak mencegah masuknya tanah ke dalam tangan
pembeli dan jaminannya apabila telah selesai pengosongan menurut
pendapat yang ashah96.

Tanaman bibit (hukumnya) seperti tanaman pertanian.

Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya tidak ada upah bagi


pembeli selama waktu hidupnya tanaman pertanian.

Seandainya dia menjual tanah bersama dengan tanaman benih atau


tanaman pertanian, tidak dipisahkan dalam (akad) jual-beli, maka
batal seluruhnya; dan dikatakan dalam hal tanah ada dua qaul
(pendapat).

Masuk ke dalam (akad) jual-beli tanah: batu yang ada di tanah itu 97.

Tidak termasuk (batu) yang terpendam, dan tidak ada hak khiyar
bagi pembeli jika dia mengetahui (hal itu). Wajib bagi penjual untuk
memindahkannya. Demikian juga (tidak ada khiyar) jika dia tidak
mengetahui dan pemindahannya tidak merugikan; jika merugikan,
maka dia punya hak khiyar. Kemudian jika pembeli melanjutkan
(akad), maka wajib bagi penjual untuk memindahkannya dan
meratakan (kembali) tanahnya. Dalam wajibnya upah standar (dari
penjual kepada pembeli) selama pemindahan tersebut ada
beberapa wajah (pendapat), menurut pendapat yang ashah: wajib

96 Pendapat kedua: mencegah dari serah terima, sebagaimana perkakas


(milik penjual) yang ada di dalam rumah mencegah dari serah terima
rumah tersebut. (Nihayatul Muhtaj: 4/125)
97 Kemudian jika tanah itu dimaksudkan untuk perkebunan atau
pertanian, maka (keberadaan) batu itu menjadi cacat yang
menyebabkan tetapnya hak khiyar. (Nihayatul Muhtaj: 4/126)

– 39 –
jika dia memindahkannya setelah serah terima 98, tidak (jika)
sebelumnya.

Masuk ke dalam (akad) jual-beli kebun: tanah, pohon, dan


temboknya, demikian juga bangunannya menurut pendapat
madzhab.

Dan (termasuk) dalam jual-beli dusun: bangunan-bangunan,


halaman-halaman yang dikelilingi pagar, tidak termasuk ladang-
ladang menurut pendapat yang shahih.

Dan (termasuk) dalam jual-beli rumah: tanah dan seluruh bangunan


termasuk kamar mandinya, tidak termasuk aset bergerak – misalnya
timba, kerekan/katrol, kasur; dan termasuk pintu-pintu yang
terpasang, kusennya, bak cuci pakaian (yang permanen), rak dan
tangga yang keduanya dipaku, demikian juga bagian bawah batu
penggilingan (yang permanen) menurut pendapat yang shahih, dan
bagian atasnya, kunci penutup (pintu) permanen menurut pendapat
yang ashah.

Dan (termasuk) dalam jual-beli hewan: sepatunya. Demikian juga


bajunya budak dalam (akad) jual-beli budak tersebut menurut
pendapat yang ashah. Pendapatku: menurut pendapat yang ashah:
tidak termasuk bajunya budak, wallahu a’lam.

98 Karena luputnya manfaat (tanah) bagi pembeli selama masa


(pemindahan) itu. (tuhfatul Muhtaj DH: 2/201)

– 40 –
Barang yang Mengikuti Barang Yang Dijual
(Seandainya) menjual pohon, maka termasuk akarnya, daunnya –
untuk daun pohon besaran/murbei ada satu wajah (pendapat) lain 99
– , ranting-rantingnya kecuali yang kering 100. Sah menjual pohon
dengan syarat mencabutnya atau memotongnya, dan dengan syarat
melestarikannya. Pemutlakan (akad) mengehendaki pelestariannya.
Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya tidak termasuk
tempat menanamnya, akan tetapi pembeli berhak atas manfaatnya
(tempat tersebut) selama pohon itu masih (hidup).

Seandainya pohon itu kering, maka pembeli wajib mencabutnya.

Buah dari pohon kurma yang dijual (pohonnya) jika disyaratkan jadi
milik penjual atau (milik) pembeli, maka dilaksanakan sesuai syarat
itu. Jika tidak (disyaratkan) demikian; jika pohon itu belum ber-ta’bir
(pecah mayangnya) sama sekali, maka buahnya adalah milik
pembeli; jika tidak demikian, maka milik penjual.

Pohon yang keluar buahnya tanpa adanya bunga – misalnya tin dan
anggur – jika sudah muncul buahnya, maka milik penjual; jika tidak
demikian, maka milik pembeli.

Pohon yang buahnya keluar di dalam bunga kemudian gugur


(bunganya) – misalnya mismis/aprikot dan apel – maka milik
pembeli jika belum t... (hlm 230)

99 Karena daun itu dimaksudkan untuk memelihara ulat sutera. (Tuhfatul


Muhtaj DH: 2/203)
100 Karena biasanya dipotong oleh orang-orang, sehingga (dianggap)
seperti buah. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/203)

– 41 –
.............……………………………..
***************

– 42 –
KITAB HIBAH
Memberikan hak milik (atas sesuatu) tanpa kompensasi (pengganti)
disebut hibah. Jika seseorang memberikan hak milik karena butuh
pahala akhirat, maka disebut sedekah (shadaqah). Jika barangnya
dia bawa ke tempat orang yang diberi hibah – sebagai
penghormatan, maka disebut hadiah.
Syarat hibah: ijab dan qabul dengan lafal (kata-kata). Keduanya (ijab
dan qabul) tidak disyaratkan dalam hadiah menurut pendapat yang
shahih, akan tetapi cukup dengan pemberi mengirimkan dan
penerima menerimanya.
Seandainya seseorang mengatakan: “Aku jadikan rumah ini sebagai
tempat tinggalmu, apabila engkau mati maka rumah ini untuk ahli
warismu”, maka itu adalah hibah. Seandainya dia ringkas menjadi:
“Aku jadikan rumah ini sebagai tempat tinggalmu”, maka seperti itu
pula (yaitu hibah) menurut qaul jadid. Sendainya dia mengatakan:
“(Aku jadikan rumah ini sebagai tempat tinggalmu), apabila engkau
mati maka rumah ini kembali padaku (jadi milikku)”, maka seperti itu
pula (yaitu hibah) menurut pendapat yang ashah 101.
Seandainya seseorang berkata: “Aku ruqbakan kepadamu” atau “Aku
jadikan rumah ini ruqba untukmu”; maksudnya: “Jika engkau mati
sebelum aku, maka (rumah itu) kembali jadi milikku; jika aku mati
sebelum engkau, maka (rumah ini) terus menjadi milikmu”; maka
menurut pendapat madzhab: kembali pada dua qaul jadid dan
qadim102.

101 Membatalkan syarat yang fasid (rusak). (tuhfatul Muhtaj DH: 2/612)

– 43 –
Sesuatu yang boleh dijual, maka boleh dihibahkan. Sedangkan
sesuatu yang tidak boleh dijual – misalnya: barang yang tidak
diketahui, yang dighashab, yang hilang –, maka tidak boleh
(dihibahkan); kecuali dua biji gandum dan yang semisalnya 103.
Hibah utang kepada yang diutangi adalah pembebasan; sedangkan
kepada selain yang diutangi adalah batal menurut pendapat yang
ashah.
Barang yang dihibahkan tidaklah dimiliki kecuali dengan serah
terima dengan seizin orang yang menghibahkan. Seandainya salah
satunya mati di antara waktu hibah dan serah terima, maka ahli
warisnya menggantikan posisinya; dan dikatakan: menjadi batal
akadnya.
Sunnah bagi orang tua untuk adil dalam pemberian kepada anak-
anaknya, dengan menyamakan antara anak laki-laki dan perempuan;
dan dikatakan seperti pembagian waris.
Boleh bagi seorang ayah untuk ruju’ (menarik kembali) dalam hibah
kepada anaknya. Demikian juga semua leluhur 104 menurut pendapat
yang masyhur. Syarat ruju’nya: Masih tetapnya barang yang
dihibahkan dalam kekuasaan orang yang diberi hibah 105. Maka (ruju’)
102 Maka menurut qaul jadid yang ashah: sah (sebagai hibah) dan syarat
yang fasid tadi tidak ada gunanya; maka disyaratkan qabul
(penerimaan)nya dan serah terima. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/612).
Menurut qaul qadim: Akadnya batal. (Kanzur Raghibin: 2/108)
103 (Yang semisalnya) dari barang yang remeh (tak berharga); maka barang
seperti ini disepakati tidak boleh dijual tetapi boleh dihibahkan.
(Tuhfatul Muhtaj DH: 2/613)
104 Termasuk ibu, kakek dan nenek dari arah ayah dan ibu. (Kanzur
Raghibin: 2/109). Dan sterusnya ke atas. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/617)
105 Yaitu anaknya. (Mughnil Muhtaj: 2/519)

– 44 –
menjadi tertolak sebab (barangnya) telah dijual atau diwakafkan.
Tidak tertolak sebab digadaikan atau dihibahkan sebelum serah
terima atau penggantungan pembebasannya (budak) atau
menikahinya106 atau zira’ah (akad menanami tanah), demikian juga
ijarah (penyewaan) menurut pendapat madzhab.
Seandainya kepemilikan anak tadi telah hilang, kemudian kembali
lagi, maka ayah tidak boleh ruju’ menurut pendapat yang ashah.
Seandainya barang yang dihibahkan bertambah, maka ayah menarik
kembali sekaligus tambahannya yang tersambung 107, tidak untuk
(tambahan) yang terpisah108.
Ruju’ menjadi sah dengan (berkata): “Aku tarik kembali apa yang
telah aku hibahkan”, atau “Aku tarik kembali barang itu”, atau “Aku
kembalikan barang itu menjadi milikku”, atau “Aku batalkan hibah
itu”. Tidak sah dengan cara: (ayah) menjual barangnya,
mewakafkannya, menghibahkannya (kepada orang lain),
memerdekakannya (budak), atau menyetubuhinya (budak), menurut
pendapat yang ashah.
Tidak ada ruju’ bagi selain leluhur pada hibah yang dibatasi dengan
tidak adanya imbalan (pengganti)109. Ketika berhibah secara mutlak,

106 Budak perempuan. (Mughnil Muhtaj: 2/519)


107 Misalnya (tambah) gemuknya (hewan), tanah yang sudah diolah karena
zira’ah. (Mughnil Muhtaj: 2/520)
108 Misalnya anak hewan yang baru ada (setelah hibah), keuntungan.
(Mughnil Muhtaj: 2/520). Dan upah. (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/619)
109 Karena khabar hadits yang telah lalu. (Tuhfatul Muhtaj: 2/619). Tidak
halal bagi seseorang yang memberikan sesuatu atau menghibahkan
sesuatu kemudian menariknya kembali, kecuali orang tua dalam
sesuatu yang diberikan kepada anaknya. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’i). (Tuhfatul Muhtaj DH: 2/617)

– 45 –
maka tidak ada imbalan (pengganti) jika dihibahkan kepada orang
yang di bawahnya110, demikian juga kepada orang yang lebih tinggi
darinya menurut pendapat yang adhhar, dan (demikian juga) kepada
orang yang selevel menurut pendapat madzhab.
Jika mewajibkan imbalan (pengganti) 111, maka pengganti itu adalah
harga barang yang dihibahkan menurut pendapat yang ashah. Jika
orang (yang menghibahkan) tidak mendapatkan penggantinya, maka
dia boleh ruju’.
Sendainya seseorang menghibahkan sesuatu dengan syarat
pengganti (tertentu) yang jelas, maka menurut pendapat yang
adhhar: sah akadnya; dan akad itu menjadi akad jual beli menurut
pendapat yang shahih. Atau (penggantinya) tidak jelas, maka
menurut pendapat madzhab: batal akadnya.
Seandainya seseorang mengirim hadiah di dalam wadah. Jika tidak
ada adat (kebiasaan) untuk mengembalikannya, – misalnya wadah
kurma –, maka wadah itu termasuk hadiah juga; jika tidak demikian,
maka tidak termasuk, dan haram menggunakan wadah itu kecuali
untuk memakan hadiah dari wadah itu jika adat mengehendaki
demikian.
***************

110 Dalam martabat dunia. (Tuhfatul Muhtaj: 2/619).


111 Menurut pendapat yang dha’if (lemah). (Tuhfatul Muhtaj: 2/620).

– 46 –
KITAB LAQITH112 (ANAK TERBUANG)
Memungut anak terbuang adalah fardhu kifayah. Wajib melakukan
persaksian atas hal itu menurut pendapat yang ashah.
Sesungguhnya perwalian (pemeliharaan) anak pungut hanya tetap
untuk orang mukallaf, merdeka, muslim, adil, rasyid.
Seandainya seseorang budak memungut (anak) tanpa izin tuannya,
maka anak itu diambil darinya. Jika tuannya mengetahui
(pemungutan anak) itu kemudian menempatkan anak itu di sisinya;
atau budak tadi memungut dengan seizin tuan; maka tuannya itulah
yang jadi pemungut.
Seandainya seorang kanak-kanak atau seorang fasik atau seorang
yang dicekal (hajr) atau seorang kafir memungut anak muslim, maka
(anak itu) diambil (dari mereka).
Sendainya dua orang berkerumun untuk mengambil anak itu, maka
hakim memberikan anak itu kepada salah satu orang sesuai dengan
pendapatnya, atau kepada orang selain keduanya. Seandainya salah
satu orang telah mendahului kemudian memungutnya, maka orang
lain yang berkerumun menjadi tertolak. Jika dua orang
memungutnya bersama-sama, sedangkan keduanya termasuk layak,
maka menurut pendapat yang ashah: didahulukan orang yang kaya
daripada yang fakir, dan yang adil daripada yang belum jelas; jika
keduanya sama, maka ditahan.
Apabila penduduk kota mendapatkan anak terbuang di kota (atau
desa), maka dia tidak boleh memindahkannya ke pedalaman; dan

112 Yaitu anak kecil yang terbuang, tidak ada yang memeliharanya. (Kanzur
Raghibin: 2/122)

– 47 –
menurut pendapat yang ashah: bahwa boleh baginya memindahkan
anak itu ke kota lain, dan bahwa bagi orang asing yang
memungutnya boleh memindahkan anak itu ke kotanya.
Jika penduduk kota mendapatkan anak itu di pedalaman, maka
boleh baginya untuk memindahkannya ke kota. Jika orang baduwi
(pedalaman) mendapatkan anak itu di kota, maka (hukumnya) sama
seperti penduduk kota; atau menemukannya di pedalaman, maka
ditempatkan dalam kekuasaannya; dan dikatakan: jika mereka
berpindah untuk mencari rumput, maka tidak ditempatkan (dalam
kekuasaannya).
Nafkah untuk anak terbuang ada di dalam hartanya yang umum,
misalnya wakaf untuk anak-anak terbuang; atau (harta) yang khusus,
yaitu harta khusus miliknya, – misalnya baju yang dibungkus
untuknya, kasur di bawahnya, apa yang ada di sakunya dari dirham
(uang) dan selainnya, ayunanya, dinar yang bertebaran di atasnya
dan di bawahnya. Jika anak itu ditemukan di dalam rumah, maka
rumah itu adalah miliknya.
Bukanlah milik anak itu: harta yang dipendam di bawahnya;
demikian juga pakaian dan barang yang diletakkan di dekatnya
menurut pendapat yang ashah.
Jika tidak diketahui bahwa anak itu punya harta, maka menurut
pendapat yang adhhar: maka dia dinafkahi dari baitul mal; jika tidak
ada (harta di baitul mal), maka orang-orang muslim (wajib) kifayah
menanggungnya dalam bentuk menghutangi; dalam qaul
(pendapat) yang lain: (dalam bentuk) nafkah.

– 48 –
Orang yang memungut punya kebebasan dalam memelihara
hartanya menurut pendapat yang ashah. Dan dia tidak boleh
memberi nafkah kepada anak itu dari harta tadi kecuali atas izin
hakim secara pasti.

Islamnya Anak Terbuang


Apabila anak terbuang ditemukan di negeri Islam, – sedangkan di
dalamnya ada kafir dzimmi –, atau di negeri yang ditaklukkan
kemudian ditetapkan di bawah kekuasaan orang kafir sebagai
bentuk shulh (perdamaian), atau setelah (kaum muslim) memilikinya
dengan (mengambil) jizyah, – sedangkan di dalamnya ada seorang
muslim, maka anak terbuang dihukumi (beragama) Islam.
Jika ditemukan di negeri kafir, maka dia kafir jika tidak ada seorang
muslimpun yang tinggal di sana. Jika ada seorang muslim di sana, –
misalnya tawanan atau pedagang –, maka anak itu muslim menurut
pendapat yang ashah.
Barangsiapa yang dihukumi beragama Islam berdasarkan negerinya,
kemudian seorang kafir dzimmi memberikan bukti tentang nasab
(keturunan)nya, maka anak itu diikutkan padanya (dalam nasab) dan
mengikutinya dalam (status) kafirnya. Apabila dzimmi tersebut
hanya memberi pengakuan saja, maka menurut pendapat madzhab:
bahwa anak itu tidak mengikutinya dalam (status) kafirnya.
Dan dihukumi (juga) atas Islamnya seorang anak berdasarkan dua
cara lain, (hal ini) tidak harus dalam hal anak terbuang:
Pertama, kelahiran. Apabila salah satu orang tuanya adalah muslim
saat kehamilannya, maka anak itu adalah muslim. Kemudian jika

– 49 –
anak itu sudah baligh dan menyatakan kekafiran, maka dia adalah
murtad. Jika anak itu dikandung di antara dua orang tua kafir,
kemudian masuk Islam salah satunya, maka anak itu dihukumi
beragama Islam. Kemudian jika saat sudah baligh anak itu
menyatakan kekafiran, maka dia murtad; dan dalam sebuah qaul
(pendapat): kafir asli.
Kedua. Bila seorang muslim menangkap seorang anak, maka anak
itu mengikuti si penangkap dalam (status) keislamannya jika tidak
ada salah satu orang tuanya yang bersama dia. Jika seorang kafir
dzimmi menangkap seorang anak, maka anak itu tidak dihukumi
dengan status Islam menurut pendapat yang ashah.
Tidak sah masuk Islamnya seorang anak mumayyiz dalam keadaan
bebas menurut pendapat yang ashah.

Status Merdeka atau Budak


Apabila anak terbuang tidak mengaku sebagai budak, maka dia
merdeka, kecuali seseorang memberikan bukti atas status budaknya.
Jika anak itu mengaku sebagai budak kepada satu orang, kemudian
orang itu membenarkannya, maka (pengakuan itu) diterima jika
belum didahului oleh pengakuannya tentang status merdekanya.
Menurut pendapat madzhab: bahwasannya tidak disyaratkan
(pengakuan itu) tidak didahului oleh pembelanjaan harta yang
pelaksanaannya mengharuskan status merdeka, seperti jual beli dan
nikah; akan tetapi diterima pengakuannya tentang asli budak
beserta hukum-hukumnya di masa depan, bukan di masa lalu yang

– 50 –
merugikan orang lain menurut pendapat yang adhhar 113. Seandainya
dia punya kewajiban utang, kemudian dia mengaku sebagai budak,
sedangkan di tangannya ada harta, maka dibayarkan dari harta itu.
Seandainya seseorang – yang anak itu tidak di bawah kekuasaannya
– menuduh bahwa anak itu adalah budak tanpa bukti, maka tidak
diterima (tuduhannya). Demikian juga jika yang menuduhnya adalah
orang yang memungutnya menurut pendapat yang adhhar.
Sendainya kita melihat anak kecil yang mumayyiz atau selainnya di
dalam kekuasaan orang yang memperbudaknya dan tidak diketahui
sandarannya pada pemungutan anak, maka anak itu dihukumi
sebagai budak. Kemudian jika anak itu sudah baligh dan berkata:
“Aku ini merdeka”, maka perkataannya tidak diterima menurut
pendapat yang ashah; kecuali disertai bukti.
Barangsiapa memberikan bukti atas status budaknya (anak
terbuang), maka diamalkan sesuai bukti itu. Dan disyaratkan bukti
itu memperlihatkan sebab kepemilikan; dan dalam sebuah qaul
(pendapat): cukup kemutlakan milik.
Seandainya seorang merdeka muslim mengakui seorang anak yang
terbuang (sebagai anaknya), maka dia mendapatkannya, dan dia
menjadi lebih diutamakan dalam memelihara anak itu. Dan jika
seorang budak yang mengakui anak itu, maka budak itu
mendapatkannya114; dalam sebuah qaul (pendapat): disyaratkan
adanya pembenaran dari tuannya. Dan jika seorang perempuan
113 Tidak diterima pengakuannya (sebagai budak) dalam pembelajaan
harta yang telah lalu yang merugikan orang lain. (Al Muharror: 829)
114 Mendapatkan dalam hal nasab (keturunan), bukan dalam hal status
budak, kecuali dengan adanya bukti atas hal itu. (Tuhfatul Muhtaj DH:
3/30)

– 51 –
yang mengakui anak itu, maka perempuan itu tidak
mendapatkannya menurut pendapat yang ashah.
Atau ada dua orang (yang mengakui), maka tidak didahulukan orang
muslim merdeka daripada kafir dzimmi dan budak. Kemudian jika
tidak ada bukti, maka anak itu diperlihatkan kepada orang yang ahli
mengenali jejak, maka yang mendapatkan adalah orang yang dipilih
oleh ahli itu. Kemudian jika tidak ada orang ahli, atau ahli itu
bingung , atau ahli itu menafikan dari kedua orang tadi, atau ahli itu
memilih keduanya, maka anak itu diperintahkan untuk menyebutkan
nasab (keturunan)nya setelah dia baligh kepada orang yang
pembawaannya lebih cenderung padanya di antara dua orang tadi.
Jika kedua orang itu sama-sama memberikan bukti yang saling
berlawanan, maka dua-duanya gugur menurut pendapat yang
adhhar.
***************

– 52 –
KITAB FARAIDH (WARIS)
(Wajib) didahulukan dari harta peninggalan mayit: untuk biaya
perlengkapan mayit, kemudian dibayarkan utang-utangnya,
kemudian wasiat-wasiatnya (sebanyak) sepertiga dari sisanya;
kemudian sisanya dibagi kepada para ahli waris.
Pendapatku: jika ada suatu hak yang terkait dengan harta
peninggalan tersebut – misalanya zakat, (budak) pelaku kejahatan 115,
barang yang digadaikan116, dan barang yang dibeli apabila pembeli
mati dalam keadaan bangkrut –, maka didahulukan dari biaya
perlengkapan mayit. Wallahu a’lam.
Sebab-sebab waris ada empat: kekerabatan, pernikahan, wala’
(pembebasan budak) – maka orang yang membebaskan mewarisi
budak yang dibebaskan, tidak sebaliknya –, dan yang keempat:
Islam. Maka harta peninggalan itu diinfakkan ke baitul mal sebagai
warisan apabila tidak ada ahli waris atas tiga sebab (awal) tadi.
Yang disepakati atas kewarisannya dari golongan laki-laki ada
sepuluh: Anak laki-laki, anak laki-lakinya anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah, bapak, bapaknya bapak dan seterusnya ke
atas, saudara laki-laki, anak laki-lakinya saudara laki-laki kecuali dari
(saudara) seibu, saudara laki-lakinya ayah kecuali yang seibu,
demikian juga anak laki-lakinya, suami, laki-laki yang membebaskan.

115 Karena denda kejahatan (jinayah) terkait dengan budak miliknya.


(Kanzur Raghibin: 2/133)
116 Karena terkait dengan piutang orang yang

– 53 –
Dan dari golongan perempuan ada tujuh: anak perempuan, anak
perempuannya anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ibu, nenek,
saudara perempuan117, istri, perempuan yang membebaskan.
Kemudian seandainya berkumpul semua golongan laki-laki, maka
yang mewarisi hanya bapak, anak laki-laki, dan suami saja. Atau
(berkumpul semua golongan) perempuan, maka (yang mewarisi
adalah) anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, ibu,
saudara perempuan sekandung, dan istri.
Atau (berkumpul semua orang) yang mungkin berkumpul dari kedua
golongan118, maka (yang mewarisi adalah) bapak, ibu, anak laki-laki,
anak perempuan, dan salah satu pasangan (istri/suami).
Seandainya mereka semua tidak ada, maka menurut asal madzhab:
bahwasannya tidak diwariskan kepada dzawil arham, dan juga
(lebihannya) tidak dikembalikan kepada ahli furudh 119, akan tetapi
harta tersebut (diberikan) untuk baitul mal. Sedangkan (ulama-
ulama) muta’akhirin berfatwa: apabila urusan baitul mal tidak
tersistem120, maka harta lebihan dari bagian furudh dikembalikan
kepada ahli furudh – selain suami istri 121 -- sesuai dengan
nisbah/rasionya.

117 Sekandung atau seayah atau seibu. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/43)
118 Apabila berkumpul semua orang dari dua golongan selain salah satu
pasangan (suami/istri) (Raudhatut Thalibin BA: 998)
119 Lebihan dari bagian furudh tidak dikembalikan kepada ahli furudh. (Al
Muharror: 840)
120 Karena tidak ada imam atau (tidak ada) sebagian syarat imamah –
misalnya imamnya sewenang-wenang. (tuhfatul Muhtaj DH: 2/44)
121 Karena alasan pengembaliannya adalah (hubungan) kekerabatan,
sedangkan kekerabatan itu tidak ada di antara keduanya. (Nihayatul
Muhtaj: 6/12)

– 54 –
Jika tidak ada ahli furudh, maka diberikan kepada dzawil arham;
yaitu: kerabat-kerabat selain yang telah disebutkan; mereka ada
sepuluh golongan: bapaknya ibu, semua kakek dan nenek yang
gugur, anak-anaknya122 anak-anak perempuan, anak-anak
perempuannya saudara-saudara laki-laki, anak-anaknya saudara-
saudara perempuan, anak-anak laki-lakinya saudara-saudara laki-laki
seibu, saudara laki-laki ayah yang seibu, anak-anak perempuannya
saudara-saudara laki-lakinya ayah, saudara-saudara perempuannya
ayah, saudara-saudara laki-lakinya ibu, saudara-saudara
perempuannya ibu, dan yang tersambung (keturunannya) dengan
mereka (semua).

Furudh dan Ashabul Furudh


Bagian furudh yang ditetapkan dalam kitab Allah ta’ala ada enam:
Setengah. Bagiannya lima golongan: suami yang istrinya tidak
meninggalkan anak123 dan tidak juga (meninggalkan) anaknya anak
laki-laki, dan anak perempuan, atau anak perempuannya anak laki-
laki, atau saudara perempuan sekandung, atau seayah yang
semuanya (tadi) menyendiri/tunggal.
Seperempat. Bagiannya: suami yang istrinya punya anak atau
anaknya anak laki-laki, dan istri yang suaminya tidak punya salah
satu dari keduanya.
Seperdelapan. Bagian istri bila ada salah satu dari keduanya 124.

122 Laki-laki dan perempuan. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/45)


123 Baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi pewaris. (Tuhfatul
Muhtaj DH: 3/46)

– 55 –
Dua pertiga. Bagian dua atau lebih anak perempuan, dua atau lebih
anak perempuannya anak laki-laki, dua atau lebih saudara
perempuan sekandung atau seayah.
Sepertiga. Bagiannya ibu – di mana mayitnya tidak punya anak, juga
tidak ada anaknya anak laki-laki, tidak juga dua orang dari saudara-
saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan. Dan bagiannya
dua orang atau lebih dari anaknya ibu. Kadang-kadang diberikan
kepada kakek bersama saudara-saudara laki-laki125.
Seperenam. Bagiannya tujuh golongan: bapak dan kakek – di mana
mayitnya punya seorang anak atau seorang anaknya anak laki-laki,
ibu – di mana mayitnya punya seorang anak atau seorang anaknya
anak laki-laki atau dua orang dari saudara-saudara laki-laki dan
saudara-saudara perempuan, nenek, dan untuk anak perempuannya
anak laki-laki bersama (adanya) anak perempuan keturunan
langsung, dan untuk seorang saudara perempuan atau saudara-
saudara perempuan seayah bersama seorang saudara perempuan
sekandung, dan untuk satu orang dari anaknya ibu.

Hijab
Bapak, anak laki-laki, dan suami tidak terhijab/terhalang oleh
seorangpun.
Anak laki-lakinya anak laki-laki tidak terhijab kecuali oleh anak laki-
laki atau anak laki-lakinya anak laki-laki yang lebih dekat darinya.

124 Maksudnya: (suami punya) anak atau (ada) anaknya anak laki-laki.
(Kanzur Raghibin: 2/137)
125 Dalam kasus yang akan datang, dan dengan kasus itu sepertiga tadi
menjadi milik tiga orang. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/47)

– 56 –
Kakek tidak terhijab kecuali oleh orang laki-laki yang ada di tengah di
antara dia dan mayit.
Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh bapak, anak laki-laki, anak
laki-lakinya anak laki-laki. (Saudara laki-laki) seayah terhijab oleh
mereka (yang didepan) tadi, dan (ditambah) saudara laki-laki
sekandung. Saudara laki-laki seibu terhijab oleh bapak, kakek, anak,
dan anaknya anak laki-laki.
Anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung terhijab oleh enam
golongan: bapak, kakek, anak laki-laki dan anak laki-lakinya anak
laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan (saudara laki-laki) seayah.
Dan (anak laki-lakinya saudara laki-laki) seayah terhijab oleh mereka
tadi dan (ditambah) anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung.
Anak laki-lakinya saudara laki-lakinya ayah yang sekandung terhijab
oleh mereka tadi, dan saudara laki-lakinya ayah yang seayah. Dan
(anak laki-lakinya saudara laki-lakinya ayah) yang seayah terhijab
oleh mereka tadi dan (ditambah) anak laki-lakinya saudara laki-
lakinya ayah yang sekandung.
Laki-laki yang membebaskan terhijab oleh ashabah nasab.
Anak perempuan, ibu, dan istri tidak terhijab.
Anak perempuannya anak laki-laki terhijab oleh anak laki-laki atau
dua anak perempuan apabila tidak ada bersamanya orang yang
menjadi ashabahnya.
Nenek dari pihak ibu, tidak terhijab kecuali oleh ibu. (Nenek) dari
pihak bapak terhijab oleh bapak atau ibu.

– 57 –
Dan (nenek) kerabat dari semua pihak menghijabi/menghalangi
(nenek) yang lebih jauh darinya 126. Dan (nenek) kerabat dari pihak
ibu – misalnya ibunya ibu – menghijabi nenek yang lebih jauh dari
pihak bapak – misalnya ibunya ibunya bapak.
(Nenek) kerabat dari pihak bapak tidak menghijabi (nenek) yang
lebih jauh dari pihak ibu menurut pendapat yang adhhar.
Saudara perempuan dari semua pihak (hukum hijabnya) seperti
saudara laki-laki.
Saudara-saudara perempuan seayah yang murni 127 terhijab oleh dua
saudara perempuan sekandung.
Perempuan yang membebaskan, sama dengan laki-laki yang
membebaskan (dalam hal terhijab).
Semua ashabah terhijab oleh ashhabul furudh yang menghabiskan
(harta warisan).

Bagian Anak dan Anaknya Anak Sendirian atau Berjama’ah


Seorang anak laki-laki (sendirian) menghabiskan harta warisan;
demikian juga banyak anak laki-laki.
Untuk seorang anak perempuan (sendirian) adalah setengah. Untuk
dua anak perempuan atau lebih adalah dua pertiga.

126 Sama saja, apakah menurunkan dia – misalnya: ibunya bapak, ibunya
ibunya bapak, ibunya ibu, ibunya ibunya ibu; ataupun tidak – misalnya:
ibunya bapak, ibunya bapaknya bapak. (Tuhfatul Muhtaj: 3/50)
127 Tidak termasuk murni adalah: seandainya bersama mereka ada
saudara laki-laki seayah, maka mereka menjadi ashabah. (Tuhfatul
Muhtaj DH: 3/50)

– 58 –
Seandainya berkumpul anak-anak laki-laki dan anak-anak
perempuan, maka harta warisan adalah milik mereka semua, untuk
seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Anak-anaknya anak laki-laki apabila mereka menyendiri, (bagiannya)
seperti anak-anak keturunan langsung.
Kemudian seandainya berkumpul dua golongan 128; jika dari anak
langsung ada seorang laki-laki, maka anak-anaknya anak menjadi
terhijab. Jika tidak ada (yang laki-laki); jika anak langsung hanya
seorang anak perempuan, maka dia mendapatkan setengah;
sedangkan sisanya untuk anak-anaknya anak yang laki-laki, atau
yang laki-laki dan perempuan. Jika tidak ada anak-anaknya anak,
kecuali hanya seorang perempuan atau banyak perempuan, maka
untuk seorang anak perempuan itu atau untuk banyak anak
perempuan itu adalah seperenam.
Kemudian jika anak langsung adalah dua perempuan atau lebih,
maka mereka mendapat dua pertiga; sedangkan sisanya untuk anak-
anaknya anak yang laki-laki, atau laki-laki dan perempuan. Tidak ada
bagian bagi anak-anak perempuan murni, kecuali di bawah mereka
ada seorang laki-laki, maka mereka menjadi ashabah.
Anak-anaknya anak laki-lakinya anak laki-laki bersama anak-anaknya
anak laki-laki, bagiannya sama dengan anak-anaknya anak laki-laki
bersama anak-anak langsung. Dan seperti itu juga pada seluruh
tingkatan.

128 Maksudnya anak-anak langsung dan anak-anaknya anak laki-laki.


(Tuhfatul Muhtaj DH: 3/51)

– 59 –
Dan sesungguhnya seorang laki-laki di bawahnya129 hanya menjadi
ashabah dari perempuan yang setingkat dengannya; dan dia
menjadi ashabah perempuan yang di atasnya apabila, perempuan
itu tidak mendapat bagian dari yang dua pertiga tadi.

Waris ke Atas
Bapak mewarisi dengan furudh apabila bersamanya ada anak laki-
laki atau anak laki-lakinya anak laki-laki; dan (mewarisi) dengan
ashabah apabila bersamanya tidak ada anak dan tidak juga anaknya
anak laki-laki; dan (mewarisi) dengan kedua bagian apabila
bersamanya ada anak perempuan atau anak perempuannya anak
laki-laki. Bapak mendapatkan seperenam sebagai furudh dan sisanya
setelah bagian furudh keduanya 130 sebagai ashabah.
Untuk ibu adalah sepertiga atau seperenam dalam dua keadaan
tersebut di atas dalam hal furudh. Dan dalam dua masalah – suami
dan ibu bapak atau istri dan ibu bapak – (bagian) untuk ibu adalah
sepertiga dari harta yang tersisa setelah furudh suami atau istri.
Kakek seperti bapak kecuali bahwasannya bapak menggugurkan
saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan.

129 (Di bawahnya) anak-anaknya anak laki-laki yang perempuan-


perempuan. (Mughnil Muhtaj: 3/22)
130 Maksudnya furudh bapak dan furudh anak perempuan atau (furudh
bapak) dan furudh anak perempuannya anak laki-laki. (Tuhfatul Muhtaj
DH: 3/52)

– 60 –
– 61 –
KITAB WADI’AH131 (TITIPAN)
Barangsiapa lemah untuk menjaga titipan, maka haram baginya
untuk menerima titipan. Barangsiapa yang mampu tetapi tidak yakin
bisa amanah, maka makruh; jika dia yakin, maka sunnah.
Syarat keduanya: syarat muwakkil (yang mewakilkan) dan wakil.
Disyaratkan sighat orang yang menitipkan, misalnya aku titipkan
barang ini kepadamu, atau aku memintamu untuk menjaganya, atau
aku wakilkan kepadamu untuk menjaganya.
Menurut pendapat yang ashah: bahwasannya tidak disyaratkan
qabul (menerima) dengan lafal (ucapan), dan cukup dengan serah
terima.
Seandainya anak kecil atau orang gila menitipkan harta kepadanya,
maka tidak boleh dia terima; kemudian jika dia menerimanya, maka
dia jamin.
Seandainya dia menitipkan harta kepada anak kecil kemudian rusak
di sisi anak itu, maka anak itu tidak menjaminnya. Jika anak itu
merusakkannya, maka anak itu menjaminnya menurut pendapat
yang ashah.
Orang yang dicekal (hajr) karena idiot, maka (hukumnya) seperti
anak kecil.

131 (Wadi’ah) secara bahasa adalah: sesuatu yang dititipkan kepada selain
pemiliknya supaya dijaga. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/139). Hakikat wadi’ah
secara syar’i: mewakilkan dalam penyimpanan barang yang dimiliki
atau sesuatu yang mulia dengan ketentuan khusus. (Mughnil Muhtaj:
3/104)

– 62 –
Wadi’ah berakhir karena matinya orang yang menitipkan atau
(matinya) orang yang dititipi dan gilanya dan pingsannya 132.
Boleh bagi keduanya untuk meminta kembali dan mengembalikan
setiap saat.
Aslinya wadi’ah adalah amanah. Dan terkadang menjadi dijamin
karena beberapa kejadian:
Di antaranya: (Penerima titipan) menitipkannya lagi kepada orang
lain tanpa izin (penitip pertama) dan tanpa adanya udzur, maka dia
jamin; dan dikatakan: jika dia titipkan lagi kepada hakim, maka dia
tidak menjaminnya.
Apabila tidak hilang kuasanya atas wadi’ah itu, maka boleh baginya
untuk minta tolong orang lain untuk membawa wadi’ah ke tempat
penyimpanan, atau meletakkan wadi’ah di peti (milik) bersama.
Apabila dia ingin bepergian, hendaklah dia kembalikan (wadi’ah itu)
kepada pemilik atau wakil pemilik; jika keduanya tidak ada, maka
kepada hakim; jika hakim tidak ada, maka kepada orang yang
terpercaya.
Jika dia memendam wadi’ah di suatu tempat kemudian bepergian,
maka dia jamin; kemudian jika dia memberitahukan hal itu pada
kepada seorang terpercaya yang tinggal di tempat itu, maka tidak
dia jamin menurut pendapat yang ashah.
Seandainya dia bepergian dengan (membawa) wadi’ah itu, maka dia
jamin; kecuali jika (bepergian dengan udzur, misalnya) terjadi

132 Pingsan ringan, – yang tidak menghabiskan waktu wajib satu sholat –,
tidak berefek (pada berakhirnya). (Tuhfatul Muhtaj: 2/373)

– 63 –
kebakaran atau perampokan, sedangkan dia tidak mampu
menyerahkan wadi’ah itu kepada orang seperti di atas tadi 133.
Kebakaran, perampokan di sebidang tanah, dan hampir runtuhnya
tempat penyimpanan merupakan udzur seperti bepergian (dalam
hukumnya)134.
Apabila dia sakit yang dikhawatirkan (akan mati), hendaknya dia
kembalikan wadi’ah kepada pemiliknya atau wakilnya; jika tidak
mungkin, maka kepada hakim atau orang terpecaya atau
mewasiatkan wadi’ah itu135. Jika dia tidak melakukan itu semua,
maka dia jamin; kecuali apabila tidak memungkinkan, karena mati
mendadak.
Dan di antaranya: Bila dia memindahkan wadi’ah dari suatu daerah
atau negeri ke tempat lain yang lebih rendah (levelnya) dalam hal
tempat penyimpanan, maka dia jamin. Jika tidak lebih rendah, maka
tidak.
Dan di antaranya: Dia tidak menolak sesuatu yang merusak wadi’ah.
Seandainya seseorang menitipkan hewan padanya, kemudian dia
tidak memberi makan hewan itu, maka dia jamin. Jika pemilik
melarangnya memberi makan, maka tidak dia jamin menurut
pendapat yang shahih. Kemudian jika pemilik memberikan makanan
hewan padanya, maka dia beri makan hewan itu dari makanan

133 Maka tidak ada jaminan, dengan syarat dia tidak mampu
mengembalikannya kepada pemilik atau wakilnya atau hakim atau
dititipkan kepada orang terpercaya. (Raudhatut Thalibin: 1139)
134 Dalam hal bolehnya menitipkan lagi (wadi’ah) kepada orang lain tadi
sesuai urutannya. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/145)
135 Kepada hakim; jika tidak ada, maka kepada orang terpercaya. (Tuhfatul
Muhtaj: 3/145)

– 64 –
tersebut; jika tidak diberi, maka dia kembalikan (hewan itu) kepada
pemilik atau wakilnya; jika keduanya tidak ada, maka kepada hakim.
Seandainya pemilik mengirim hewan itu bersama orang yang
memberinya minum, maka dia tidak menjamin menurut pendapat
yang ashah.
Wajib bagi orang yang dititipi (baju wol) untuk membentangkan baju
wol itu agar mendapatkan angin, supaya ulat tidak merusak baju itu.
Demikian juga dia wajib memakainya, jika baju itu membutuhkan hal
tersebut136.
Dan di antaranya: Mengubah (cara) penyimpanan dari cara yang
diperintahkan (oleh penitip), kemudian wadi’ah rusak disebabkan
pengubahan itu, maka dia jamin.
Seandainya penitip berkata: Jangan ditaruh dalam kotak; kemudian
orang yang dititipi menaruhnya (dalam kotak), lalu kotak itu pecah
karena bebannya, dan rusak apa yang ada di dalamnya, maka dia
jamin. Jika rusak disebabkan sesuatu yang lain 137, maka tidak dijamin
menurut pendapat yang shahih. Demikian juga seandainya penitip
berkata: jangan engkau kunci dengan dua kunci, kemudian orang
yang dititipi menguncinya (dengan) dua kunci.
Seandainya penitip berkata: Ikatlah dirham ini di lengan bajumu;
kemudian orang yang dititipi memegangnya di tangan lalu dirham
itu rusak, maka menurut pendapat madzhab: bahwasannya jika

136 Supaya baju itu terisi dengan bau manusia, sehingga bau itu menolak
ulat. (Kanzur Raghibin: 2/183)
137 Selain pengubahan atau selain beban itu. (Tuhfatul Muhtaj: 3/150).
Dengan sebab selain pecahnya kotak, misalnya pencurian. (Mughnil
Muhtaj: 3/113)

– 65 –
dirham itu hilang karena tidur atau lupa, maka dia jamin; atau
karena diambil orang yang menghashab, maka tidak dijamin.
Seandainya orang yang dititipi memasukkan dirham itu ke dalam
sakunya sebagai ganti diikat di lengan baju, maka dia tidak
menjamin. Dalam kasus sebaliknya138, dia jamin.
Seandainya penitip memberikan beberapa dirham di pasar, dan
tidak menjelaskan cara menyimpannya, kemudian orang yang dititipi
mengikatnya di lengan bajunya dan memegangnya di tanganya atau
memasukkannya di sakunya, maka dia tidak menjamin; jika dia
memegangnya di tangannya, maka dia tidak menjamin jika dirham
itu diambil oleh orang yang mengghasahab, dan dia menjamin jika
rusak karena kelalaian atau tidur. Jika penitip berkata: Simpanlah
dirham itu di dalam rumah, maka hendaklah dia jamin kepada
penitip, kemudian dia simpan dirham itu di dalam rumah, jika dia
mengakhirkan hal itu tanpa udzur, maka dia jamin.
Dan di antaranya: Menghilangkan wadi’ah. Dengan meletakkannya
bukan di tempat penyimpanan yang semestinya. Atau menunjukkan
(tempat) wadi’ah itu kepada pencuri, atau kepada orang yang
menuntut pemilik.
Seandainya orang dholim memaksa orang yang dititipi, hingga dia
serahkan ke orang dholim itu, maka pemilik berhak (menuntut) atas
penjaminan dari orang yang dititipi, kemudian orang yang dititipi
menuntut kepada orang dholim tadi.

138 Penitip memerintahkan dimasukkan ke saku, kemudian orang yang


dititipi mengikatnya di lengan baju. (Tuhfatul Muhtaj DH: 3/151)

– 66 –
Dan di antaranya: Memanfaatkan wadi’ah. Dengan memakai atau
menunggangi (hewan) secara khianat139. Atau dia mengambil baju
titipan dengan niat memakainya, atau mengambil dirham dengan
niat dibelanjakan140, maka dia jamin. Seandainya dia berniat
mengambil, tetapi tidak jadi diambil, maka dia tidak menjamin
menurut pendapat yang shahih.
Seandainya dia mencampur wadi’ah dengan hartanya sendiri dan
tidak bisa dibedakan, maka dia jamin. Seandainya dia mencampur
dirham dua kantong milik penitip, maka dia jamin menurut
pendapat yang ashah.
Ketika wadi’ah menjadi dijamin karena dimanfaatkan atau selainnya,
kemudian orang yang dititipi mengakhiri pengkhianatannya, maka
dia tidak lepas (dari jaminan). Jika pemilik berbicara padanya untuk
meminta keamanan141, maka dia lepas menurut pendapat yang
ashah.
Ketika pemilik meminta wadi’ah itu, maka wajib bagi orang yang
dititipi untuk mengembalikannya; dengan menyerahkan wadi’ah itu
kepada pemiliknya. Jika orang yang dititipi menunda
(mengakhirkan), maka dia jamin.

139 Untuk hal-hal selain yang dizinkan untuknya. (Tuhfatul Muhtaj: 3/154).
Bukan karena udzur. (Mughnil Muhtaj: 3/115).
140 Seandainya dia mengambil dirham titipan dengan niat dibelanjakan
untuk kebutuhannya, atau mengambil baju dengan niat dipakai, atau
mengeluarkan hewan dengan niat ditunggangi, kemudian tidak jadi
dilakukan, maka dia jamin; karena mengeluarkan (hewan) dengan
maksud ini termasuk khianat. (Raudhatut Thalibin BA: 1141).
141 Misalnya berkata: “Tolong amankan wadi’ah itu”, atau “Aku lepaskan
engkau dari jaminanmu”, atau memintanya agar mengembalikan
wadi’ah itu ke tempat penyimpanannya. (Mughnil Muhtaj: 3/117)

– 67 –
Jika orang yang dititipi mengaku wadi’ah rusak dan tidak
menyebutkan sebabnya, atau menyebutkan sebab yang samar,
misalnya pencurian, maka dia dibenarkan berdasarkan sumpahnya;
jika dia menyebutkan sebab yang jelas, misalnya kebakaran; jika
kebakaran itu diketahui dan (diketahui kebakaran itu) menyeluruh,
maka dia dibenarkan tanpa sumpah; jika diketahui tidak
menyeluruh, maka dia dibenarkan berdasarkan sumpahnya. Jika
kebakaran itu tidak diketahui, dia dituntut memberikan bukti,
kemudian bersumpah atas rusaknya wadi’ah karena kebakaran.
Jika orang yang dititipi mengaku telah mengembalikan wadi’ah
kepada orang yang terpercaya142, maka dia dibenarkan berdasarkan
sumpahnya. Atau (mengaku mengembalikan) kepada selainnya
seperti ahli waris pemilik, atau ahli waris orang yang dititipi
mengaku telah mengembalikan kepada pemilik, atau orang yang
dititipi (mengaku) – saat bepergian – telah menitipkan (wadi’ah)
kepada orang terpercaya kemudian orang yang terpercaya itu
mengaku telah mengembalikan kepada pemilik, maka dituntut
(memberikan) bukti.
Pengingkaran143 terhadap wadi’ah setelah adanya tuntutan dari
pemilik, menyebabkan dia jadi menjamin.
***************

142 Dan dia layak melakukan serah terima saat pengembalian itu. Apakah
dia itu pemilik atau walinya atau wakilnya atau pengawal atau hakim.
(Tuhfatul Muhtaj DH: 3/156)
143 (Misalnya) perkataan orang yang dititipi: “Tidak ada titipan milik
seorangpun padaku.” (Raudhatut Thalibin: 1145)

– 68 –
KITAB NIKAH
Nikah itu sunnah bagi orang yang membutuhkannya dan punya
perbekalan menikah. Jika tidak punya perbekalan, sunnah tidak
menikah, dan memutuskan nafsu syahwatnya dengan cara
berpuasa.
Jika tidak membutuhkannya, maka menikah hukumnya makruh jika
tidak mempunyai perbekalan; jika tidak demikian, maka tidak
makruh, akan tetapi sibuk ibadah lebih utama (afdhol).
Pendapatku: (orang yang tidak membutuhkan) jika tidak sibuk
ibadah, maka menikah lebih utama menurut pendapat yang ashah.
Jika dia mempunyai perbekalan tetapi dia mempunyai alasan –
seperti tua renta, penyakit yang terus menerus, dan lemah syahwat
(terus menerus) – maka makruh. Wallahu a’lam.
Sunnah menikahi wanita yang taat beragama 144, perawan, dari
keturunan yang baik, bukan keluarga dekat 145.
Jika bermaksud menikahi seorang wanita, maka sunnah melihat
wanita itu sebelum khitbah (lamaran) meskipun wanita itu tidak
mengizinkan. Boleh mengulang-ulang melihatnya. Tidak boleh
melihat selain wajah dan telapak tangan.
Laki-laki yang sudah baligh haram melihat aurat wanita merdeka
ajnabiyah (bukan mahram) yang sudah besar. Demikian juga (haram)

144 Yang mempunyai sifat adil, tidak hanya sekedar menjaga diri dari zina.
(At Tuhfah DH: 3/203)
145 Sunnah (menikahi) tidak lebih dari satu perempuan tanpa adanya
kebutuhan yang nyata. (Raudhatut Thalibin BA: 1169). Sunnah menikah
di bulan Syawal. (Raudhatut Thalibin BA: 1169)

– 69 –
melihat wajah dan telapak tangannya ketika takut fitnah; demikian
juga (haram) ketika aman dari fitnah menurut pendapat yang
shahih. Juga tidak boleh melihat badan mahramnya antara pusar
dan lutut, dan halal yang selainnya; dan dikatakan: (yang halal)
hanya bagian tubuh yang tampak saat melayani 146.
Menurut pendapat yang ashah: bahwa laki-laki halal melihat – tanpa
syahwat – kepada budak perempuan kecuali antara pusar dan lutut,
dan kepada perempuan yang masih kecil kecuali kemaluannya; dan
bahwa pandangan budak laki-laki kepada tuan perempuannya dan
(pandangan) lelaki mamsuh147 (kepada ajnabiyah) seperti
pandangannya kepada mahram; dan bahwa lelaki menjelang baligh
(dihukumi) seperti baligh.
Laki-laki halal melihat kepada laki-laki kecuali bagian antara pusar
dan lutut.
Laki-laki haram melihat pemuda148 laki-laki dengan syahwat.
Pendapatku: demikian juga (haram) meskipun tanpa syahwat
menurut pendapat yang ashah yang dinashkan; dan menurut
pendapat yang ashah di kalangan muhaqqiq: bahwasannya budak
perempuan seperti wanita merdeka149. Wallahu a’lam.

146 Yaitu kepala, leher, tangan sampai lengan atas, dan kaki sampai lutut.
(At Tuhfah DH: 3/207)
147 Yaitu laki-laki yang tidak punya penis dan buah zakar. (Mughnil Muhtaj:
3/175)
148 Amrad: lelaki yang belum baligh atau belum tumbuh jenggot secara
umum. (An Nihayah: 6/192)
149 Dalam hal haramnya melihat mereka. (Maughnil Muhtaj: 3/177)

– 70 –
(Pandangan) perempuan kepada perempuan lain, seperti
(pandangan) laki-laki kepada laki-laki lain. Menurut pendapat yang
ashah: perempuan kafir dzimmi haram melihat perempuan
muslimah; dan perempuan boleh melihat laki-laki ajnabi kecuali
bagian antara pusar dan lutut jika tidak takut fitnah.
Pendapatku: menurut pendapat yang ashah: hukumnya haram,
seperti lelaki ajnabi haram melihat kepada perempuan itu, wallahu
a’lam.
Pandangan perempuan kepada lelaki mahramnya seperti sebaliknya
(pandangan lelaki kepada perempuan mahramnya).
Ketika haram untuk melihat, maka haram juga menyentuh. Melihat
dan menyentuh itu boleh untuk (keperluan) mengeluarkan darah,
berbekam, dan pengobatan150.
Pendapatku: Boleh melihat untuk mu’amalah, persaksian,
pembelajaran, dan sejenisnya, sekedar kebutuhan. Wallahu a’lam.
Boleh bagi suami untuk melihat seluruh badan istrinya 151.

150 Karena ada kebutuhan. Akan tetapi harus dengan kehadiran orang yang
mencegah terjadinya khalwat, seperti mahram, suami, atau
perempuan lain yang terpercaya. (At Tuhfah DH: 3/213). Dan dengan
syarat tidak ada perempuan yang pandai dalam hal itu, – seperti juga
sebaliknya (untuk laki-laki, tidak ada lelaki yang pandai dalam hal itu), –
dan tidak kepada orang yang tidak terpercaya pada saat ada orang
yang terpercaya, dan tidak kepada lelaki kafir dzimmi pada saat ada
lelaki muslim, dan tidak kepada perempuan kafir dzimmi pada saat ada
perempuan muslim. (At Tuhfah DH: 3/213)
151 Kecuali kemaluan… Menurut pendapat yang ashah: tidak haram
(melihat kemaluan), tetapi makruh. Melihat bagian dalam kemaluan
lebih makruh lagi. Makruh juga bagi seseorang untuk melihat
kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan. (Raudhatut Thalibin: 1172).

– 71 –
Khitbah/Meminang
Halal meminang perempuan yang belum menikah dan bebas dari
masa iddah. Tidak halal meminang dengan jelas (terang-terangan)
kepada perempuan dalam masa iddah. Dan tidak halal meminang
dengan sindiran kepada perempuan yang dalam masa iddah raj’i
(yang bisa ruju’). Halal meminang dengan sindiran kepada
perempuan dalam masa iddah kematian, demikian juga perempuan
dalam masa iddah bain menurut pendapat yang adhhar.
Haram meminang di atas pinangan orang lain yang sudah jelas
diterima, kecuali atas seizin peminang pertama. Jika pinangan
pertama belum diterima atau ditolak, maka tidak haram menurut
pendapat yang adhhar.

– 72 –
KITAB PERBURUAN DAN SEMBELIHAN
Sembelihan binatang yang dimakan dengan cara menyembelihnya di
kerongkongan (leher atas) atau leher bawah jika mampu untuk itu.
Jika tidak mampu, maka dengan cara melukai – yang mematikan – di
manapun tempatnya.
Syarat penyembelih dan pemburu adalah (seperti syarat) orang yang
halal dinikahi152. Sembelihan budak ahli kitab adalah halal 153.
Seandainya seorang majusi dan seorang muslim berserikat dalam
menyembelih atau berburu, maka haram; jika dua orang tersebut
melepaskan dua anjing (untuk berburu) atau dua panah, jika alat si
muslim lebih dahulu dan membunuh (binatangnya), atau (tidak
membunuhnya tetapi) dia menyelesaikannya dengan gerakan
disembelih, maka halal.
si muslim melanjutkan alatnya sampai memotong yang disembelih,
maka halal.
Menyelesaikan/menyempurnakan kepada gerakannya yang
disembelih.???
152 Disyaratkan dia itu muslim atau ahli kitab. (Raudhatut Thalibin: 454).
Ahli kitab adalah Yahudi atau Nasrani. Jika ahli kitab tersebut bukan
termasuk bani Israil (keturunan Ya’qub), maka menurut pendapat yang
adzhar: halal dinikahi jika diketahui bahwa kaumnya (nenek
moyangnya) telah masuk agama itu (Yahudi atau Nasrani) sebelum
ajaran agamanya dihapus dan diubah; dan dikatakan: cukup sebelum
dihapus. (Minhajut Thalibin: 386). Atau (halal juga) sebelum ajaran
agamanya dihapus sesudah diubah, tetapi dia menjauhi perubahan itu
secara yakin. (An Nihayah: 6/291).
153 Meskipun termasuk orang yang haram dinikahi. Ini merupakan
pengecualian dari perkataan: “Syarat penyembelih adalah orang yang
halal dinikahi.” (Mughnil Muhtaj: 4/353).

– 73 –
KITAB BUGHAT (PEMBERONTAK)
Bughat adalah [enentang imam.

Syarat Imam A’dham


Syarat imam154: muslim, mukallaf155, merdeka, laki-laki, quraisy,
mujtahid (ahli ijtihad), pemberani, cerdas, mampu mendengar,
melihat, dan berbicara.
Pemimpin diangkat dengan:
1. Bai’ah. Menurut pendapat yang ashah: bai’ah dari ahlul halli wal
‘aqdi yang terdiri dari para ulama, pemimpin, tokoh masyarakat,
yang mudah dikumpulkan. Syarat ahlul halli wal ‘aqdi adalah
memiliki sifat-sifat dalam persaksian156.
2. Penunjukan imam (sebelumnya). Seandainya imam menjadikan
urusan (kepemimpinan) dimusyawarahkan antara beberapa

154 Imamah itu fardhu kifayah, (hukumnya) seperti qadha/kehakiman.


Maka akan datang penjelasan tentang imamah itu macam-macam
hukumnya yang terdiri dari menuntutnya dan menerimanya. (Tuhfatul
Muhtaj DH: 4/125). Qadha dan imamah itu fardhu kifayah berdasarkan
ijma’. Jika orang yang layak telah melaksanakannya, maka
kewajibannya gugur atas orang-orang layak yang lain. Jika semua
orang yang layak menolak, maka orang-orang yang layak itu berdosa
semua. (Raudhatut Thalibin BA: 1904)
155 Supaya bisa menjadi wali dalam urusan rakyat. Karena itu tidak sah
kepemimpinan anak-anak dan orang gila berdasarkan ijma’. (Mughnil
Muhtaj: 4/168)
156 Syarat saksi: muslim, merdeka, mukallaf, adil, punya kehormatan,
bukan tertuduh. Syarat adil: menjauhi dosa-dosa besar dan menjauhi
terus menerus (melakukan) dosa kecil. (Minhajut Thalibin: 568)

– 74 –
orang, maka hal ini seperti penunjukan. Selanjutnya mereka
menunjuk salah satu dari mereka.
3. Penaklukan dari orang yang memiliki semua syarat imamah.
Demikian juga penaklukan dari orang yang fasiq dan bodoh 157
menurut pendapat yang ashah158.
Pendapatku: seandainya seseorang mengaku menyerahkan zakat
kepada bughat, maka dia dibenarkan berdasarkan sumpahnya. Atau
(mengaku menyerahkan) jizyah, maka tidak dibenarkan menurut
pendapat yang shahih; demikian juga kharaj (pajak tanah) menurut
pendapat yang ashah. Dan dia dibenarkan dalam (pengakuan telah
ditegakkan) hukum had, kecuali ada bukti yang pasti dan tidak ada
bekas had di badannya. Wallahu a’lam.
***************

157 Dengan tetap adanya syarat-syarat yang lain. (mughnil Muhtaj: 4/171)
158 Seandainya seseorang adalah satu-satunya yang mempunyai syarat-
syarat imamah di masanya, maka dia tidak bisa menjadi imam hanya
dengan sebab itu, melainkan harus dengan salah satu dari tiga cara ini.
(Raudhatut Thalibin BA: 1717). Imam Haramain berkata: Seandainya
pada suatu zaman tidak ada imam, maka hukum-hukum
kepemimpinan dikembalikan kepada orang yang paling ‘alim di zaman
itu. (Mughnil Muhtaj: 4/172)

– 75 –
KITAB RIDDAH (MURTAD)
Riddah adalah memutus keislaman dengan niat, perkataan kafir,
atau perbuatan. Sama saja apakah perkataannya itu karena
mengejek, menentang, atau keyakinan.
Barangsiapa yang tidak mengakui adanya Tuhan atau rasul-rasul,
mendustakan rasul, menghalalkan sesuatu yang haram yang sudah
disepakati (ijma’) – seperti zina – atau sebaliknya (mengharamkan
sesuatu yang halal), tidak mengakui wajibnya sesuatu yang sudah
disepakati (wajibnya) atau sebaliknya (mewajibkan sesuatu yang
tidak wajib), berniat untuk kafir besok atau bimbang tentangnya;
maka dia telah kafir.
Perbuatan yang menyebabkan kafir adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja karena mengejek agama secara jelas atau
karena ingkar; seperti melemparkan mushaf (Al Qur’an) ke tempat
kotor, dan sujud kepada patung atau matahari.
Tidak sah riddah dari anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa.
Seandainya ada orang murtad kemudian gila, maka tidak dibunuh
pada saat masih gila.
Menurut pendapat madzhab: sah riddah dari orang mabuk, dan sah
masuk Islamnya.
Kesaksian tentang perbuatan riddah diterima secara mutlak; dan
dikatakan: wajib dirinci. Menurut pendapat pertama, seandainya
orang-orang bersaksi bahwa dia murtad, kemudian dia
mengingkarinya, maka dia dihukumi sesuai persaksian orang-orang;
seandainya dia berkata “aku dipaksa”, dan ada petunjuk yang terkait

– 76 –
– misalnya dia adalah tawanan orang kafir – maka dia dibenarkan
berdasarkan sumpahnya; jika tidak ada petunjuk terkait, maka tidak
dibenarkan. Seandainya dua orang saksi berkata “dia mengucapkan
perkataan kufur”, kemudian dia mengaku dipaksa, maka dia
dibenarkan (berdasarkan sumpahnya) secara mutlak.
Seandainya seseorang yang dikenal sebagai muslim meninggal dan
mempunyai dua anak muslim, kemudian salah satu anak berkata
“Dia telah murtad, dan meninggal dalam keadaan kafir”, jika anak
tersebut menjelaskan sebab kekafiran bapaknya, maka anak
tersebut tidak mendapatkan waris, dan bagian warisnya menjadi
harta rampasan (fai’ untuk baitul mal); demikian juga jika anak
tersebut memutlakkan159 menurut pendapat yang adhhar 160.
Orang murtad laki-laki dan perempuan wajib diminta bertaubat, dan
di dalam sebuah qaul: sunnah sebagaimana terhadap orang kafir.
Permintaan taubat tesrebut pada saat itu juga, dan dalam sebuah
qaul: selama tiga hari; jika dia tetap murtad, maka dibunuh; jika dia
kembali Islam, maka sah Islamnya dan tidak dibunuh. Dan dikatakan:

159 Tidak menjelaskan sebab kekafirannya. (Mughnil Muhtaj: 4/180)


160 Pendapat yang adhar di kitab Raudhatut Thalibin sebagaimana dalam
kitab Al Wajiz, dan dikuatkan dalam Syarhus Shaghir, adalah dirinci. Jika
anak tersebut menyebutkan penyebab kufurnya, maka harta itu
menjadi fai’. Jika dia sebutkan sesuatu yang tidak menyebabkan kufur
seperti minum khamer atau makan daging babi, maka waris itu
diberikan kepadanya, inilah pendapat yang mu’tamad. Jika anak
tersebut tetap tidak menjelaskan hal itu, maka menurut pendapat
aujah tidak haram baginya memiliki harta waris itu. (Nihayatul Muhtaj:
7/418). Maksudnya harta waris diberikan kepada anak tersebut
(Hasyiyah Syabramalisi: 7/418)

– 77 –
tidak diterima Islamnya jika dia kembali kepada kekafiran yang
disembunyikan seperti zindiq dan bathiniyyah 161.
Anak dari orang murtad – jika akad nikahnya sebelum murtad, atau
sesudah murtad tetapi salah satu orang tuanya muslim – maka dia
adalah muslim. Atau kedua orang tuanya murtad, maka dia adalah
muslim, dan dalam sebuah qaul: dia adalah murtad, dan dalam
sebuah qaul: dia adalah kafir asli.
Pendapatku: menurut pendapat yang adhhar: dia adalah murtad;
para ulama iraqiyyun menukil kesepakatan atas kekafirannya;
wallahu a’lam.
Dalam hal hilangnya kepemilikan orang murtad terhadap hartanya
disebabkan riddah, (dalam hal ini) ada beberapa qaul: pendapat
yang adhhar: jika dia mati dalam keadaan murtad, maka jelas hilang
kepemilikannya disebabkan riddah; dan jika dia masuk Islam (lagi),
maka jelas tidak hilang (kepemilikannya). Pada seluruh qaul
tersebut: utang yang menjadi kewajibannya sebelum riddah dilunasi
dengan harta tersebut; dan orang yang murtad dinafkahi dari harta
tersebut162.
Menurut pendapat yang ashah: wajib baginya mengganti (harta
orang lain) yang dirusakkannya selama masa riddah, dan wajib
memberi nafkah istri-istri yang terputus nikahnya dan para kerabat.

161 Zindiq adalah orang yang menampakkan keislaman tetapi


menyembunyikan kekafirannya. Bathiniy adalah orang yang meyakini
bahwa Al Qur’an mempunyai makna bathin selain makna dhahirnya,
dan bahwasannya maksud dari Al Qur’an itu adalah makna bathinnya
saja, atau makna bathinnya bersama dengan makna dhahirnya. (At
Tuhfah DH: 4/140)
162 Pada masa dia diminta bertaubat. (At Tuhfah DH: 4/141)

– 78 –
Apabila kita berpendapat hilangnya kepemilikannya, maka
pembelanjaannya terhadap harta tersebut (pada masa riddah) jika
(terjadi) sebelum penangguhan – seperti pembebasan budak, tadbir
(pembebasan budak setelah matinya tuan), dan wasiat – semuanya
terhenti (mauquf); jika dia masuk Islam (lagi), maka dilaksanakan;
jika tidak masuk Islam, maka tidak dilaksanakan.
Jual belinya, hibahnya, gadainya, kitabahnya (perjanjian
pembebasan budak), semuanya batal; sedangkan menurut qaul
qadim: mauquf.
Pada keseluruhan qaul di atas: hartanya diserahkan kepada orang
yang adil, budak perempuannya diserahkan kepada perempuan yang
tsiqah (bisa dipercaya), hartanya disewakan, dan budak mukatabnya
melunasi angsuran kepada hakim.
***************

– 79 –
KITAB SIYAR (JIHAD)
Jihad pada zaman Rasulullah SAW adalah fardhu kifayah, dan
dikatakan: fardhu ‘ain. Adapun sesudah itu, maka keadaan kaum
kafir dibagi menjadi dua:
Pertama, mereka ada di negara mereka sendiri. Maka (jihad adalah)
fardhu kifayah163. Jika satu orang di antara mereka melakukannya,
maka cukup, maka gugurlah dosa dari semua orang lain 164.
Di antara hal-hal yang fardhu kifayah:
Berdiri menegakkan hujjah dan menguraikan permasalahan-
permasalahan agama; menegakkan ilmu-ilmu syar’i seperti tafsir,
hadits, furu’(fiqih) hingga layak menjadi hakim; memerintahkan
yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran 165; menghidupkan ka’bah
dengan ziyarah tiap tahun; menolak kerusakan kaum muslim –
misalnya memberi baju orang yang telanjang, memberi makan

163 Jihad paling sedikit adalah satu kali tiap tahun, apabila ditambah maka
itu lebih utama. (Tuhfatul Muhtaj DH: 4/218)
164 Fardhu kifayah (jihad) berhasil terlaksana dengan dua hal:
a) Imam mengirimkan sekelompok orang ke perbatasan (tsughur)
untuk mengawasi orang kafir yang ada di hadapannya. Dan
seharusnya imam berhati-hati dengan memperkuat benteng,
menggali parit, dan lain sebagainya; dan menetapkan amir
(pemimpin) di tiap daerah yang dipercaya dalam jihad dan urusan
kaum muslim.
b) Imam masuk ke negeri kafir untuk berperang dengan dirinya
sendiri, atau dengan (mengirim) pasukan serta mengangkat orang
yang layak untuk memimpin mereka. (Raudhatut Thalibin BA:
1788)
165 Yaitu memerintahkan kewajiban-kewajiban syariat dan mencegah
keharaman-keharamannya. (Kanzur Raghibin: 2/556)

– 80 –
orang yang kelaparan, apabila tidak diberi (bagian) dari zakat atau
baitul mal; menopang persaksian dan melaksanakannya; kerajinan
tangan, pertukangan, dan semua hal yang membuat kehidupan
menjadi sempurna; menjawab salam bagi sekelompok orang, –
memulai salam adalah sunnah, (tetapi) tidak sunnah bagi orang yang
sedang buang air, sedang makan, atau sedang di kamar mandi, dan
tidak wajib menjawab salam mereka (yang tidak sunnah memulai
salam).
Tidak wajib jihad bagi anak kecil, orang gila, orang sakit, orang
pincang yang jelas, orang buntung, orang lumpuh, budak, dan orang
yang tidak punya perbekalan perang.
Semua udzur yang menyebabkan tidak wajib haji, juga
(menyebabkan) tidak wajib jihad, – kecuali udzur takut orang kafir di
perjalanan, demikian juga takut dari perampok muslim menurut
pendapat yang shahih.
Utang yang jatuh tempo menyebabkan haramnya melakukan
perjalanan untuk jihad atau untuk keperluan lain kecuali dengan izin
yang memberi utang. (Sedangkan) utang yang ditangguhkan tidak
(seperti itu), dan dikatakan: menyebabkan haramnya perjalanan
karena ada kekhawatiran.
Haram (seseorang) berjihad kecuali dengan izin kedua orang tua jika
keduanya muslim. Tidak haram perjalanan utuk menuntut ilmu
fardhu ‘ain (tanpa izin orang tua), demikian juga ilmu fardhu kifayah
menurut pendapat yang ashah. Jika kedua orang tuanya dan orang
yang memberi utang telah mengizinkan, kemudian mereka menarik
kembali (izinnya), maka dia wajib kembali jika dia belum sampai ke

– 81 –
barisan. Jika dia sudah mulai berperang, maka haram pergi berbalik
menurut pendapat yang adhhar.
Kedua, (kaum kafir) memasuki negeri kita. Maka wajib (‘ain) bagi
penduduknya untuk menolak dengan segala hal yang
memungkinkan.
Jika mungkin mempersiapkan diri untuk perang, maka wajib bagi
semua yang mungkin, hingga wajib bagi orang fakir, anak-anak,
orang yang punya utang, budak tanpa meminta izin; dan dikatakan:
jika sudah bisa melawan dengan orang-orang merdeka, maka
disyaratkan (budak) mendapat izin tuannya. Jika tidak mungkin
(mempersiapkan diri), maka orang yang diserang (wajib) membela
diri dengan segala yang mungkin jika dia tahu bahwa bila tertangkap
pasti dibunuh. Jika dia berkenan dijadikan tawanan, maka dia boleh
menyerah.
Orang-orang yang berada dalam jarak kurang dari jarak qashar
(sholat) dari negeri tersebut, (dihukumi) seperti penduduk negeri
tersebut (wajib ‘ain). Orang yang lebih dari jarak qashar, wajib
mendukung dengan kadar hukum fardhu kifayah, jika penduduk
negeri tersebut dan penduduk sekitarnya tidak cukup; dikatakan:
walaupun cukup.
Jika orang-orang kafir menawan seorang muslim, maka menurut
pendapat yang ashah wajib menyerang mereka untuk
membebaskan tawanan itu jika ada peluang.

– 82 –
Hukum-hukum Terkait Jihad
Makruh berperang tanpa izin imam atau wakilnya. Sunnah (bagi
imam) apabila mengirim pasukan, agar dia mengangkat amir
(pemimpin) pasukan dan mengambil bai’at166 mereka untuk setia167.
Boleh bagi imam untuk meminta tolong kepada kaum kafir yang
aman dari sikap khianat.
Dan mereka (kaum kafir) – dari segi seandainya dua kelompok kafir
bergabung –, maka kita lawan mereka semua.
Dan (boleh imam meminta tolong) kepada budak dengan izin
tuannya, dan (boleh) kepada remaja menjelang baligh yang kuat-
kuat. Boleh bagi imam untuk mengerahkan perbekalan dan senjata
(yang berasal) dari baitul mal dan dari hartanya sendiri. Tidak sah
menyewa orang muslim untuk berjihad. Dan sah bagi imam untuk
menyewa kafir dizimmi; dan dikatakan: juga untuk selain imam.
Makruh bagi orang yang berperang untuk membunuh kerabatnya
(yang kafir), dan mahram lebih makruh lagi. Pendapatku: kecuali dia
mendengar (kerabat itu) menghina Allah SWT atau Rasul-Nya SAW,
wallahu a’lam.
Haram membunuh anak kecil, orang gila, perempuan, banci
(khuntsa) musykil. Halal membunuh rahib(pendeta), orang sewaan,
orang tua, orang buta, orang cacat, yang tidak memerangi dan tidak
punya ide (memerangi) menurut pendapat yang adhhar. Mereka
dijadikan budak, wanita-wanita ditawan, harta mereka dirampas.

166 Sumpah karena Allah. (Tuhfatul Muhtaj: 4/233)


167 Setia berjihad dan tidak melarikan diri. (Tuhfatul Muhtaj: 4/233)

– 83 –
Boleh mengepung kaum kafir di negerinya dan di bentengnya,
membanjiri mereka dengan air, melempar mereka dengan api,
melempari batu, dan menyerang malam hari saat mereka lalai.
Apabila di antara mereka ada tawanan atau pedagang muslim, maka
itu semua boleh menurut pendapat madzhab.
Seandainya perang telah berkecamuk, kemudian mereka bertameng
dengan perempuan dan anak-anak, maka boleh melempari mereka.
Jika mereka mempertahankan diri sendiri menggunakan wanita dan
anak-anak, dan tidak ada kondisi darurat untuk melempari mereka,
maka menurut pendapat yang adhhar: mereka dibiarkan.
Jika mereka bertameng dengan orang-orang muslim; jika tidak ada
kondisi darurat untuk melempari mereka, maka kita biarkan mereka;
jika tidak demikian, maka boleh melempari mereka menurut
pendapat yang ashah.
Haram pergi berbalik dari barisan apabila jumlah kaum kafir tidak
lebih dari dua kali jumlah kita, kecuali berpindah tempat untuk
keperluan perang atau bergabung dengan kelompok lain untuk
minta bantuan pada kelompok itu; (hal ini) boleh (dilakukan) untuk
menuju kelompok yang jaraknya jauh menurut pendapat yang
ashah. Orang yang bergabung dengan pasukan yang jauh, tidak
bersekutu dengan pasukan itu dalam harta rampasan setelah
berpisah; sedangkan orang yang bergabung dengan pasukan yang
dekat bersekutu (dalam harta rampasan) menurut pendapat yang
ashah.

– 84 –
Jika (jumlah kaum kafir) lebih dari dua kali lipat, boleh pergi
berbalik; kecuali bahwasannya haram seratus orang jawara berbalik
dari dua ratus satu orang lemah menurut pendapat yang ashah.
Boleh berduel, jika seorang kafir minta berduel, sunnah keluar
meladeninya; hanya saja berduel itu baik (sunnah) bagi orang yang
sudah teruji dan dengan izin imam.
Boleh merusak (harta berupa) bangunan-bangunan dan pohon-
pohon mereka untuk keperluan perang dan demi kemenangan atas
mereka; demikian juga (boleh) jika (harta itu) tidak bisa diharapkan
untuk kita peroleh. Jika bisa diharapkan (untuk diperoleh), sunnah
membiarkannya.
Haram merusak binatang. Kecuali binatang yang mereka gunakan
untuk perang, – untuk menolak mereka atau demi kemenangan atas
mereka –, atau binatang itu sudah kita rampas kemudian kita
khawatir binatang itu kembali kepada mereka dan (kita khawatir)
bahaya binatang itu.

Tawanan dan Harta Musuh


Wanita-wanita kafir dan anak-anak mereka jika tertawan, maka
menjadi budak. Demikian juga budak-budak mereka. Imam
berijtihad dalam (nasib) laki-laki merdeka yang sempurna (mukallaf),
dan melakukan hal yang lebih menguntungkan bagi kaum muslim, –
di antara membunuhnya168, memberi anugerah (kebebasan),
meminta tebusan dengan tawanan (muslim) atau dengan harta,
menjadikannya budak. Jika tidak jelas hal apa yang lebih

168 Dengan memenggal lehernya, tidak dengan cara lain. (Tuhfatul Muhtaj
DH: 4/240)

– 85 –
menguntungkan, mereka dipenjara sampai hal itu jelas; dan
dikatakan: penyembah berhala tidak dijadikan budak, demikian juga
orang arab dalam sebuah qaul (pendapat).
Seandainya seorang tawanan masuk Islam, maka darahnya
terlindungi; dan bagi (tawanan) lainnya tetap pada pilihan imam
tadi’ dan dalam sebuah qaul (pendapat): jelas dijadikan budak.
Orang kafir yang masuk Islam sebelum kemenangan atasnya,
(menjadikannya) terlindungi darahnya, hartanya, anak-anaknya yang
masih kecil; istrinya tidak terlindungi menurut pendapat madzhab.
Jika istrinya dijadikan budak, maka terputuslah pernikahannya saat
itu juga; dan dikatakan: jika penahanan istri itu sesudah dia
disetubuhi, maka ditunggu masa iddahnya, bisa jadi dia merdeka
dalam masa iddah itu.
Boleh menjadikan istri kafir dzimmi sebagai budak, demikian juga
memerdekakannya menurut pendapat yang ashah. Tidak boleh
menjadikan muslim yang sudah dimerdekakan dan istrinya (sebagai
budak) menurut pendapat madzhab.
Jika suami istri ditawan atau salah satunya (ditawan), maka
pernikahannya menjadi batal jika keduanya orang merdeka;
dikatakan: atau keduanya budak.
Apabila seseorang menjadi budak, sedangkan dia punya kewajiban
utang, utang itu tidak gugur, maka utang itu dilunasi dari hartanya
jika hartanya dirampas setelah dijadikan budak. Seandainya orang
kafir harbi berutang kepada harbi lainnya, atau membeli barang
darinya, kemudian keduanya masuk Islam atau menerima jizyah,
maka haknya terus berlangsung; seandainya barangnya rusak

– 86 –
padanya, kemudian keduanya masuk Islam, maka tidak ditanggung
menurut pendapat yang ashah. Harta yang diambil paksa dari kafir
harbi menjadi ghanimah (rampasan perang); demikian juga harta
yang diambil oleh seseorang atau sekelompok orang dari negeri
perang dengan cara mencurinya169, atau harta itu ditemukan dalam
bentuk seperti luqathah (barang temuan) menurut pendapat yang
ashah. Jika ada kemungkinan harta temuan itu milik seorang
muslim, maka wajib mengumumkannya (selama setahun) 170.
Boleh bagi orang yang merampas untuk memperbanyak hasil
rampasannya, dengan mengambil makanan pokok dan barang yang
menambah baik makanan pokok itu, daging, lemak, dan semua
makanan yang biasanya dimakan secara umum, makanan binatang
baik jerami atau jewawut atau sejenisnya, dan menyembelih
binatang yang dimakan untuk mendapatkan dagingnya.
Menurut pendapat yang shahih: boleh juga (mengambil) buah-
buahan, dan bahwasannya tidak wajib mengganti harga binatang
yang disembelih, dan bahwasannya kebolehan itu tidak hanya
khusus bagi orang yang butuh makanan dan makanan binatang, dan
bahwasannya hal itu tidak boleh bagi orang yang bertemu pasukan
(muslim) sesudah perang dan (sesudah) penguasaan (harta itu), dan
bahwasannya orang yang telah kembali ke negeri Islam – sedangkan
masih ada sisa (dari harta tadi) –, maka wajib mengembalikannya
menjadi ghanimah.

169 Pendapat kedua: harta itu khusus untuk orang yang mengambilnya.
(Kanzur Raghibin: 2/565)
170 (Diumumkan) selama setahun ketika harta itu bukan harta yang remeh,
(jika remeh) maka kurang dari setahun, sebagaimana barang temuan di
negeri Islam. (Tuhfatul Muhtaj DH: 4/244)

– 87 –
Tempat (yang diperbolehkan) untuk memperbanyak adalah negeri
mereka (kaum harbi); demikian juga tempat sebelum sampai ke
bangunan (negeri) Islam menurut pendapat yang ashah.
Boleh bagi orang yang merampas, yang rasyid 171, meskipun dia
sedang dicekal (hajr) karena bangkrut, untuk menolak bagian
ghanimah sebelum pembagian. Dan menurut pendapat yang ashah:
boleh juga sesudah pemisahan bagian khumus (seperlima) dan
boleh (dilakukan) oleh semua orang, dan batal penolakan dari
kerabat dan dari salib172.
Orang yang menolak, (dalam hal tidak mendapat bagian) seperti
orang yang tidak mengahadiri (perang). Orang yang mati (sebelum
pembagian), maka haknya diberikan kepada ahli warisnya.
Harta ghanimah tidaklah dimiliki, melainkan dengan cara
pembagian173. (Juga) boleh bagi mereka untuk memilikinya (sebelum

171 Yaitu baligh dan bersikap baik bagi agama dan hartanya; maka tidak
sah akadnya anak-anak, orang gila, dan orang yang sudah baligh tetapi
tidak bersikap baik terhadap agama dan hartanya. (Kanzur Raghibin:
1/562)
172 Salib adalah orang yang berhak atas salab (rampasan dari orang kafir)
karena dia membunuh orang kafir itu atau menawannya. (Mughnil
Muhtaj: 4/309)
173 Perkataan kami: dimiliki dengan pembagian, maksudnya pada
umumnya perkara ini, yaitu apabila orang yang merampas ridho
dengan pembagan tersebut, atau menerima apa yang ditentukan imam
untuknya. (Raudhatut Thalibin: 1813)

– 88 –
pembagian)174. Dan dikatakan: mereka memilikinya175. Dan
dikatakan: jika harta itu selamat sampai waktu pembagian, maka
jelas menjadi miliknya; jika tidak selamat, maka tidak.
Tanah dan bangunan dimiliki dengan penguasaan sebagaimana
harta bergerak. Sendainya di dalam ghanimah ada anjing atau
banyak anjing yang bermanfaat, sedangkan sebagian orang
menginginkannya dan (yang lain) tidak berselisih (tentang itu), maka
anjing itu diberikan. Jika tidak demikian, maka dibagi bila
memungkinkan; jika tidak mungkin, maka ditahan.
Menurut pedapat yang shahih: mayoritas irak ditaklukkan paksa dan
dibagi, kemudian mereka memberikannya (kepada Umar) dan
diwakafkan kepada kaum muslimin. Pajak tanahnya merupakan
biaya yang dibayarkan tiap tahun untuk kemaslahatan kaum
muslimin. (Mayoritas irak) itu adalah: panjangnya dari Abbadan
sampai Maushil sekarang, lebarnya dari Qadisiyah sampai Hulwan.
Pendapatku: menurut pendapat yang shahih: bahwasannya Bashrah
– meskipun terletak di dalam batas mayoritas tadi, bukan termasuk
mayoritas dalam (status) hukumnya, kecuali lokasi di sebelah barat
sungai Tigris dan lokasi sebelah timurnya; dan bahwasannya apa
yang ada di dalam mayoritas irak tadi, – teridir dari rumah dan
tempat tinggal –, boleh dijual. Wallahu a’lam.

174 Boleh bagi mereka untuk memiliki pada waktu antara penguasaan dan
pembagian. (Raudhatut Thalibin: 1813). Dengan setiap orang
mengatakan – saat setelah penguasaan dan sebelum pembagian: aku
memilih milik bagianku. (Tuhfatul Muhtaj DH: 4/248)
175 Dengan menguasainya sebelum pembagian. (Kanzur Raghibin: 2/566)

– 89 –
Makkah ditaklukkan dengan damai. Maka rumah-rumahnya dan
tanahnya yang dihidupkan adalah milik yang (bisa) dijual.

Jaminan Keamanan
Sah dari setiap muslim – yang mukallaf dan tidak terpaksa –, untuk
menjamin keamanan satu orang kafir harbi atau dalam jumlah
terbatas saja. Tidak sah jaminan keamanan kepada tawanan bagi
orang yang tawanan itu bersama mereka menurut pendapat yang
ashah. Akad jaminan keamanan sah dengan semua lafal yang
bermakna tujuan jaminan itu, juga (sah) dengan tulisan dan surat.
Disyaratkan orang kafir tadi mengetahui jaminan kemanan tersebut.
Jika orang kafir itu menolak, maka batal; demikian juga jika dia tidak
menerima menurut pendapat yang ashah. (Untuk menerima), cukup
dengan isyarat yang menunjukkan penerimaan. Wajib batas
waktunya tidak lebih dari empat bulan; dan dalam sebuah qaul
(pendapat): boleh selama tidak sampai satu tahun. Tidak boleh akad
jaminan keamanan yang membahayakan kaum muslim, misalnya:
mata-mata.
Tidak boleh bagi imam untuk mengehentikan jaminan keamanan
jika tidak takut ada pengkhianatan. Tidak termasuk dalam jaminan
keamanan: hartanya dan keluarganya yang ada di negeri yang
diperangi; demikian juga yang bersama dia dari keduanya (harta dan
keluarga) menurut pendapat yang ashah, kecuali dengan syarat.

– 90 –
Muslim yang Ada di Negeri Kafir
Seorang muslim yang ada di negeri kafir, jika memungkinkan baginya
untuk menampakkan agamanya, maka sunnah baginya untuk hijrah;
jika tidak demikian, waka wajib jika dia mampu.
Seandainya tawanan (muslim) mampu melarikan diri, maka (hal itu)
wajib. Seandainya mereka melepaskannya tanpa syarat, maka dia
boleh membinasakan mereka; atau (melepaskan) dengan (syarat)
bahwa mereka berada dalam jaminan keamanan dari dia, maka
haram (membinasakan mereka). Jika sekelompok kaum mengikuti
dia (setelah dia keluar), maka (wajib) menolak mereka meskipun
dengan membunuh mereka. Sendainya mereka mempersyaratkan
supaya tidak keluar dari negeri mereka, maka tidak boleh
menepatinya.
Seandainya imam membuat akad dengan seorang kafir yang keras
untuk menunjukkan pada suatu benteng, dengan (upah) untuknya
berupa budak perempuan dari (dalam) benteng itu, maka akad ini
boleh. Jika benteng itu (bisa) ditaklukkan dengan petunjuk darinya,
maka dia diberi budak perempuan tersebut. Atau (ditaklukkan)
tanpa petunjuknya, maka tidak (diberi) menurut pendapat yang
ashah. Jika (beneteng itu) tidak (bisa) ditaklukkan, maka dia tidak
mendapat apa-apa; dan dikatakan: jika pembayarannya tidak
digantungkan pada penaklukan, maka dia mendapat upah standar.
Jika di dalam benteng itu tidak ada budak perempuan; atau (ada)
tetapi mati sebelum akad, maka dia tidak mendapat apa-apa; atau
(mati) setelah kemenangan sebelum serah terima (budak itu
padanya), maka (imam) wajib (memberi) pengganti; atau mati
sebelum kemenangan, maka tidak ada (ganti) menurut pendapat

– 91 –
yang adhhar. Jika budak perempuan itu masuk Islam, maka (imam)
wajib (memberi) pengganti, yaitu upah standar, dan dikatakan: harga
budak tersebut.
***************

………………………..

– 92 –

Anda mungkin juga menyukai