Disusun oleh:
Desty R. Pabassing
201870008
Pembimbing:
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Papua
Bagian Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Judul Diskusi Kasus : “Hematemesis Melena ec Gastritis Erosif, Anemia
Sedang, dan Hipertensi Grade II
Mengetahui,
Pembimbing Diskusi Kasus
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, kasih karunia dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Diskusi
Kasus ini dengan judul “Hematemesis Melena ec Gastritis Erosif, Anemia Sedang, dan
Hipertensi Grade II”
Makalah diskusi kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
Kepanitraa Ilmu Penyakit Dalam dan untuk meningkatkan wawasan dalam bidang kesehatan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
sehingga diharapkan untuk pembaca dapat memberikan tanggapan dan saran yang bersifat
membangun sehingga kedepannya penulis dapat memberikan sebuah tulisan yang lebih baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
membantudalam penyusunan makalah ini, diantaranya: kepada dr. Syarifudin, Sp.PD sebagai
pembimbing atas kesabaran, bimbingannya, motivasi dan waktu bagi penulis dalam
mengarahkan penulis saat melakukan penyusunan makalah laporan kasus ini sehingga
makalah laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan selama pelaksanaan dan penulisan
makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat diterima dan menjadi informasi bagi tenaga
medis serta profesi lainnya yang terkait dengan kesehatan.
Penulis
ii
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Perolehan Data
Data pasien dalam makalah ini diperoleh dari anamnesis baik autoanamesis maupun
allonamnesis (anak pasien), pengamatan, analisis rekam medik pasien dan pengumpulan
data dilakukan dari awal pasien masuk RS yaitu 27 Juni 2023 hingga 04 Juli 2023 di
ruang bangsal Anggrek RSUD SELE Sorong.
Nama : Tn.Jaman
1.3 Anamesis
6
dan juga tidak mengomsumsi obat tekananan darah tinggi. Pasien mengaku tidak merokok dan tidak
minum-minuman beralkohol, keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga yang memiliki gejala sama
seperti pasien. Deman (-), batuk (-), sesak (-),nyeri ulu hati (-),Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengonsumsi obat anti nyeri bila mengeluhkan nyeri di bagaian tulang
belakang obat anti seperti asam efenamat, dan ibuprofen.
1.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami sakit yang sama dengan pasien.
1.3.5 Riwayat Pribadi
7
1.4 Pemeriksaan Fisik
Pernapasan : 20x/menit
SpO2 : 97%
1. Kulit
Inspeksi : kulit berwarna sawo matang, tidak adanya pigmentasi pada
dinding dada, ikterik (-), petekie (-), hematom (-), sianosis (-)
Palpasi : nodul (-), turgor kulit elastis
8
Palpasi : nyeri tekan tragus (-), bengkak (-)
Inspeksi : deformitas (-), deviasi septum nasi (-), sekret (-), epistaksis (-),
napas cuping hidung (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Inspeksi : sianosis (-), deviasi lidah (-), gigi berlubang (-), gusi bengkak
(-), ulkus (-), hiperemis faring (-), tonsil T1/T1, Candidiasis oral (-)
7. Paru
8. Jantung
9. Abdomen
Palpasi : nyeri tekan regio epigastric (-), hepar dan limpa tidak membesar.
Perkusi : timpani
10. Punggung
1
12. Ekstremitas
MCH 25,7 27 – 33 Pg
1
1
1.6 Resume Data Dasar
Pasien laki-laki usia 61 tahun dengan keluhan muntah, muntah dirasakan sejak
pagi, muntah 4 x, konsitensi cair berwarna hitam. Keluarga pasien mengatakan 1 hari
sebelum dibawah ke IGD pasien sempat muntah >5x, konsentesi cair bercampur
makanan, 3 hari sebelum masuk SMRS Pasien sempat BAB berwarna hitam sebanyak
2 x. Konsistensi lunak, kurang lebih sebanyak 1 gelas aqua, ,Diketahui dari anamnesis
pasien sering mengeluhkan nyeri di bagaian tulang belakang sehingga, pasien sering
mengonsumsi obat anti nyeri seperti asam efenamat, dan ibuprofen, selain itu pasien
juga mengeluhkan lemas (+), dan pusing (+).Pasien tahun 2020 sempat vaksin covid
19, sebelum di vaksin di lakukan pemeriksaan vital sign dan pada saat itu di dapatkan
tekanan darah pasien tinggi 200/ 120 mmhg, pasien mengatakan jarang control
tekanan darah dan juga tidak mengomsumsi obat tekananan darah tinggi.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan SpO2: 97%, RR; 20x/min TD:
180/100 MmHg, HR: 84x/menit, suhu 37 C.
1.7 Daftar Masalah
Tabel 2. Daftar Masalah
No Masalah Data Pendukung
1 Hematemesis S : Pasien pria usia 61 th dengan keluhan muntah, muntah
Melena ec dirasakan sejak pagi SMRS. Muntah 4x, konsitensi cair
Gastritis berwarna hitam. Keluarga pasien mengatakan 1 hari sebelum
Erosif dibawah ke IGD pasien sempat muntah >5x, konsentesi cair
bercampur makanan, 3 hari sebelum masuk SMRS Pasien
sempat BAB berwarna hitam sebanyak 2 x. Konsistensi lunak,
kurang lebih sebanyak 1 gelas aqua, Pasien sering
Mengeluhkan nyeri di bagaian tulang belakang sehingga, pasien
sering mengonsumsi obat anti nyeri seperti asam efenamat,
natrium dan ibuprofen.
O:
1
2 Anemia S: Pasien tampak lemas (+), pusing (+)
Sedang
O: Pemeriksaan DL:
HB: 7,9 mg/dl
3. Hipertensi
S: Pasien tahun 2020 sempat vaksin covid 19, sebelum di
Grade II
vaksin di lakukan pemeriksaan vital sign dan pada saat itu di
dapatkan tekanan darah pasien tinggi 200/ 120 mmhg, pasien
mengatakan jarang control tekanan darah dan juga tidak
mengomsumsi obat tekananan darah tinggi.
1
1.8 Catatan Follow Up
Tabel 3. Catatan Follow up
Monitoring
27-6-2023 S: Pasien mengeluhkan muntah. o IVFD NS 20 tpm
IGD muntah 4x, konsitensi cair o Inj. Ranitidine 2x1 amp/iv
berwarna hitam.3 hari yang lalu o As. Tranexamat 1 Amp/IV
BAB kehitaman 2x, Lemas,
o Inj. Ondancetron
Pusing.
1amp/iv/Ekstra
o Sucralfate syr 3x1 cth
O: Ku: Tampak Sakit Sedang
TTV: TD: 180/100 mmhg,
Planning Diagnostik:
N:84x/menit, SB: 360C,
DL,
,RR: 20x/menit, Spo2:
97%
Pemeriksaan Fisik:
Mata: Kunjungtiva pucat (+/+)
A:- Hematemesis Melena ec
Gastritis Erosif
Anemia
Hipertensi Grade II
1
28-6-2023 S: badan lemas, pusing
Planning Terapi:
Ruangan O: KU tampak sakit sedang
o Transfusi PRC 2 kolf
Anggrek
TTV: TD 150/90, N 63x/menit,
o IVFD NS 20 tpm
SB 360C, RR 20x/menit, S pO2
o Inj. Ranitidine 1 amp/iv
96%.
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV
Pemeriksaan Fisik:
o As. Tranexamat 1 Amp/IV
Mata: Kunjungtiva pucat (+/+),
o Dulcolax syr
Pemeriksaan Penunjang DL:
o Amlodipine 10mg 1x1
HB: 7,9, Leokosit 11,3
A: “Hematemesis Melena ec
Gastritis Erosif
Anemia Sedang
Hipertensi Grade II”
Planning diagnostik: FL
1
3/7/2023
S: Keluhan- IVFD ns 0,9% 20
tpm
O:Ku tampak sakit sedang
Transfusi kolf ke
TD: 150/90 mmhg, N: 68x/menit II
SB: 36 C, RR: 20x/menit Spo2:
Tablet penambah
96%
darah 2x1
Post Transfusi Kolf Ke I
Bisoprolol
A: “Hematemesis Melena ec
2,5mg 0-1-0
Gastritis Erosif
Candasartan 1x1
Anemia Sedang
Hipertensi Grade II” Amlodipine 1x1
Lanso 2x1
Ceftriaxone
1x2gr/iv
Planning Diagnostik:
1
4/7/2023 S: Pusing Berkurang o HCT 1x1
O: KU Tampak sakit sedang o Tablet penambah darah 2x1
Ruangan
TD: 160//110 mmhg, N: 68x/menit o Bisoprolol 2,5 mg 1x1
Anggrek
SB: 36 C, RR: 20x/menit, Spo2: 100%
o Candasartan 8mg 1x1
(Pulang)
HB: 10,1 g/dl
o Amlodipine 10mg 1x1
A: “Hematemesis Melena ec
o Lanzo 2x1
Gastritis Erosif
o Amoxicilin 2x1
Anemia Sedang
Hipertensi Grade II”
1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Hematemesis atau muntah darah dan melena atau berak darah merupakan keadaan yang
diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA). Hematemesis melena adalah salah
satu penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Ada empat penyebab
perdarahan SCBA yang paling sering ditemukan, yaitu ulkus peptikum, gastritis erosif, varises
esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika
2.1 Hematemesis
Hematemesis adalah muntah darah berwarna merah terang atau coffee-ground. Hematemesis
merupakan manifestasi klinis tersering pendarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) dimulai dari
esofagus hingga ligamentum Treitz.
2.3 Melena
Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti ter yang berasal dari saluran cerna
bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus.
2.4 Epidemiologi
Perdarahan SCBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus sampai ligamentum of
Treitz. Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000 populasi, insidens
tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia. Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh
perdarahan ulkus peptikum, perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah
malformasi arteriovenosa, MalloryWeiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di Indonesia, sekitar 70%
penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit
hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus peptikum diperkirakan
bertambah. Data studi retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien
yang menjalani endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA.
Penyebab perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus, 225 pasien
(26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif.
2.5 Etiologi
Ada empat penyebab perdarahan SCBA yang paling sering ditemukan, yaitu ulkus peptikum,
gastritis erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika
Tabel 4. Etiologi SCBA
Mekanisme Etiologi
Erosi/inflamasi Ulkus peptikum
2
Esofagitis
Gastritis erosif dan/atau duodenitis
Vaskular Variser esofagus atau variser gaster
Gastric antral vascular ectasia
Dieulafoy lesion
Angiodysplasia
Tumor Kanker esofagus dan/atau karsinoma gaster
Trauma/iatrogenik Hernia hiatal
Mallory-Weiss syndrome
Boerhaave syndrome
Pendarahan pasca endoskopi
Penyebab lain Portal hypertensive gastropathy
Coagulopathies
Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia > 60
tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo terhadap 837 pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA menunjukkan
rata-rata usia pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien wanita
adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena terjadi
peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang
menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi.
Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami perdarahan SCBA berjenis
kelamin laki- laki.
Studi cross sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis
maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah normal, 50% menunjukkan
adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30% menunjukkan 14 adanya ulkus. Jenis OAINS yang
sering dikonsumsi adalah ibuprofen, asam mefenamat,diklofenak,meloksikam, naproxen,
2
2
indometasin, ketoprofen, piroksikam dan ketorolac dll.
Merokok
Alkohol
Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada kelompok
ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh adanya gangguan dalam
mekanisme pertahanan mukosa dan proses penyembuhan..
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang hidup
dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H.pylori
Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas. Selain itu
2
hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah melekat sehingga pada penderita
hipertensi dianjurkan untuk mengkonsumsi obat-obat antiplatelet
2.6 Patofisologi Perdarahan SCBA
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses pencernaan
tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah terlibat untuk
melindungi mukosa gaster.
Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah
partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga
mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa
dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion
bikarbonat sel-sel epitel permukaan.
Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga
berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik
dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga rentan terkena
gastritis dan perdarahan saluran cerna.
OAINS dan obat antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya
dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan
meningkatnya perlukaan mukosa gaster.
Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam
lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi
lambung.
Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih.
Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga merangsang
sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan
kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel.33 Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid
pada perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA.
2
prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi
perdarahan.
Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum.
Merokok memicu kekambuhan menghambat proses penyembuhan dan respon terapi sehingga
memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi.
2.7 Diagnosis
2
standard diagnosis
2
perdarahan SCBA, bukan hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan, tetapi
juga untuk tindakan hemostasis. Stigmata penting diketahui karena dapat menentukan risiko
perdarahan ulang. Klasifikasi stigmata Forrest sering dipakai di Asia dan Eropa (Tabel 1). Pasien
berisiko tinggi perdarahan ulang bila didapatkan perdarahan arterial aktif (90%), pembuluh darah
visibel tanpa perdarahan (50%), dan bekuan darah (33%).
Stratifikasi pasien berdasarkan kategori risiko perdarahan ulang dan kematian dapat
menggunakan sistem penilaian Blatchford dan Rockall (Gambar 1 dan 2). Pasien risiko tinggi
perlu dirawat inap di unit intensif. Stratifikasi risiko juga perlu dilakukan untuk menentukan
pasien risiko sangat rendah yang tidak memerlukan intervensi dan rawat inap.6 Skor Blatchford
(Tabel 2) menggunakan tanda klinis dan hasil laboratorium awal untuk memprediksi perlunya
rawat inap dan intervensi seperti transfusi, terapi endoskopi atau pembedahan pada pasien
perdarahan SCBA. Skor Blatchford 0 memiliki sensitivitas sebesar >99% untuk
mengidentifikasi pasien yang tidak memerlukan intervensi. Skor 1 atau lebih termasuk risiko
tinggi.8 Penelitian di Singapura dan Malaysia menunjukkan endoskopi dalam 12 jam
memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien dengan skor Blatchford ≥12.6 Skor Rockall
(Tabel 3) digunakan untuk menilai risiko kematian berdasarkan usia, hemodinamik, komorbid,
dan temuan endoskopi. Pasien dengan skor
≤2 digolongkan risiko rendah, 3-7 termasuk risiko sedang, dan ≥8 risiko tinggi.
2
Riwayat atau klinis/temuan laboratorium yang menandakan penyakit hepar; 2 Riwayat atau klinis/
temuan ekokardiografi yang menandakan gagal jantung. Skor 0 dikategorikan risiko rendah, pasien
dapat dipulangkan.
2
stabilitas bekuan.i
2
Lingkungan asam dapat menghambat agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan
lisis bekuan. ACG (American College of Gastroenterology) merekomendasikan pemberian PPI bolus
80 mg diikuti dengan infus 8 mg/jam untuk mengurangi tingkat stigmata dan mengurangi terapi
endoskopi. Meskipun begitu PPI tidak menurunkan angka perdarahan ulang, pembedahan, dan
kematian. Jika endoskopi ditunda dan tidak dapat dilakukan, terapi PPI intravena direkomendasikan
untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut. Penilaian risiko untuk stratifikasi pasien, juga dilakukan
untuk membantu membuat keputusan awal seperti saat endoskopi, saat pemulangan, dan tingkat
perawatan.Error! Bookmark not defined.- Error! Bookmark not defined.,Error! Bookmark not defined.-
2.7.6 Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi seperti instabilitas
hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah resusitasi atau muntah darah segar, aspirat
darah segar pada selang nasogastrik, endoskopi dilakukan very early dalam ≤12 jam. Error! Bookmark not
defined.,ii
Di lain pihak, endoskopi early meningkatkan risiko desaturasi terutama bila dilakukan
sebelum resusitasi dan stabilisasi. Pada pasien dengan status hemodinamik stabil dan tanpa komorbid
serius, endoskopi dapat dilakukan sebelum pasien pulang. Tujuan endoskopi adalah untuk
menghentikan perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang. ACG merekomendasikan terapi
endoskopi untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah visibel tanpa
perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren), terapi endoskopi dapat
dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak
direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau bintik pigmentasi. Penentuan stigmata
melalui endoskopi dapat menjadi dasar pertimbangan terapi (Gambar 1). Perdarahan ulkus aktif
memerlukan kombinasi terapi hemostasis, salah satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan
dengan pemasangan hemoklip, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi. Epinefrin tidak
direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Pasien dengan stigmata risiko tinggi (perdarahan aktif,
pembuluh darah visibel, bekuan darah) memerlukan rawat inap setidaknya 3 hari. Pasien dipulangkan
jika tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi rawat inap lagi. Pasien dapat memulai diet cair
jernih segera setelah endoskopi dan ditingkatkan bertahap. Bila terjadi perdarahan ulang, endoskopi
dapat diulang. Jika tidak dapat dihentikan dengan endoskopi, dapat dilakukan pembedahan atau
embolisasi arterial. Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi bila status hemodinamik stabil, hemoglobin adekuat, dan tidak ada
3
dapat diberi terapi PPI dosis standar (oral satu kali per hari). Pasien perdarahan ulkus peptikum yang
dipulangkan direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan dosis PPI tergantung
etiologi dan penggunaan obat lain. Tes H. pylori direkomendasikan pada semua pasien perdarahan
ulkus peptikum. Jika hasil positif maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Setelah pemberian
terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau
H. pylori stool antigen test. Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir terapi.10 iii
Jika terapi gagal mengeradikasi H. pylori, maka perlu diberikan terapi lini kedua. Diagnosis H. pylori
memiliki nilai prediksi negatif rendah pada pasien perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes negatif
dalam kondisi akut perlu diulang. Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H. pylori
dinyatakan berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS.3 Bila AINS tetap diperlukan, sebaiknya dari
golongan COX-2-selective dengan dosis efektif terendah ditambah PPI. Pasien ulkus idiopatik (non-
H. pylori, non-AINS) perlu diberi PPI jangka panjang. ACG merekomendasikan untuk menghentikan
dan menilai ulang kebutuhan aspirin untuk pencegahan kejadian kardiovaskular primer. Aspirin perlu
dilanjutkan jika digunakan untuk pencegahan sekunder, idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam 7
hari. ESGE (European Society for Gynaecological Endoscopy) merekomendasikan pemberian ulang
terapi antikoagulan pada pasien yang memiliki indikasi pemakaian antikoagulan jangka panjang. Saat
aman untuk memulai kembali terapi adalah antara hari ke-7 sampai hari ke-15. Pemberian kurang dari
7 hari hanya pada pasien dengan risiko trombosis besar.
2.8 Definisi Anemia
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah
dari normal (WHO, 2011). Hemoglobin adalah salah satu komponen dalam sel darah merah/eritrosit
yang berfungsi untuk mengikat oksigen dan menghantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh.
Oksigen diperlukan oleh jaringan tubuh untuk melakukan fungsinya. Kekurangan oksigen dalam
jaringan otak dan otot akan menyebabkan gejala antara lain kurangnya konsentrasi dan kurang bugar
dalam melakukan aktivitas. Hemoglobin dibentuk dari gabungan protein dan zat besi dan membentuk
sel darah merah/eritrosit.
Anemia defisiensi besi. Ini merupakan tipe anemia yang tersering di seluruh dunia. Anemia
defisiensi besi disebabkan oleh rendahnya kadar zat besi di dalam tubuh. Sumsum tulang
membutuhkan zat besi untuk memproduksi hemoglobin. Tanpa zat besi dalam jumlah yang
cukup, tubuh tidak dapat memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang cukup untuk
membentuk sel darah merah. Tanpa suplementasi zat besi, anemia jenis ini dapat terjadi pada
wanita hamil. Selain itu, anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh kehilangan darah.
Misalnya akibat perdarahan menstruasi yang 31 berat, ulkus, kanker, atau penggunaan rutin
dari obat-obatan tertentu seperti aspirin.
Anemia defisiensi vitamin tertentu. Selain zat besi, tubuh juga membutuhkan asam folat dan
vitamin B12 untuk memproduksi sel darah merah yang sehat dalam jumlah cukup. Pola
makan yang rendah akan zat tersebut dan beberapa nutrisi penting lainnya dapat
menyebabkan produksi sel darah merah menjadi berkurang. Sebagai tambahan, sebagian
orang dapat mengonsumsi vitamin B12 dalam jumlah cukup, namun tubuh tidak dapat
memproses vitamin tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi vitamin,
yang disebut anemia pernisiosa.
Anemia penyakit kronis. Beberapa penyakit, seperti kanker, HIV/AIDS, artritis reumatoid,
penyakit ginjal, dan sebagainya, dapat memengaruhi produksi sel darah merah.
Anemia aplastik. Anemia yang langka dan mengancam jiwa ini dapat terjadi apabila tubuh
tidak memproduksi sel darah merah dalam jumlah yang cukup. Penyebab dari anemia aplastik
mencakup infeksi, konsumsi pengobatan tertentu, penyakit autoimun, dan paparan terhadap
bahan kimia yang beracun.
Anemia hemolitik. Anemia pada kelompok ini dapat terjadi saat sel darah merah dihancurkan
lebih cepat dibandingkan penggantiannya oleh sumsum tulang. Beberapa penyakit darah
tertentu dapat mempercepat penghancuran sel darah merah. Anemia hemolitik dapat
diturunkan atau terjadi pada usia dewasa.
Anemia sel sabit. Anemia yang diturunkan ini adalah salah satu jenis anemia hemolitik
bawaan. Kondisi ini disebabkan oleh hemoglobin defektif yang membuat sel darah merah
menjadi berbentuk bulan sabit. Sel-sel yang berbentuk ireguler tersebut mengalami kematian
prematur, yang kemudian menyebabkan kekurangan sel darah merah yang kronis.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami anemia, di
3
antaranya adalah:
Diet yang rendah vitamin tertentu. Mengonsumsi diet yang secara konsisten mengandung zat
besi, vitamin B12, atau asam folat yang rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia.
Penyakit saluran cerna. Memiliki penyakit saluran cerna tertentu yang memengaruhi
penyerapan dari zat gizi di usus dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia.
Secara umum, wanita yang belum menopause memiliki risiko anemia defisiensi besi yang
lebih tinggi dibandingkan pria dan wanita pascamenopause. Hal ini dikarenakan menstruasi
dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah.
2.9 Gejala Anemia
Tanda dan gejala dari anemia dapat bervariasi, bergantung dari penyebab anemia tersebut. Namun,
beberapa tanda dan gejala yang dapat diamati pada anemia mencakup:
Rasa lelah
Kelemahan
Sesak napas
Rasa pusing
Nyeri dada
Nyeri kepala
Untuk menentukan diagnosis anemia, dokter dapat melakukan wawancara medis terkait riwayat
kesehatan dan riwayat keluarga. Selain itu juga melakukan pemeriksaan fisik dan
merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang tertentu, seperti
Pemeriksaan untuk menentukan ukuran dan bentuk dari sel darah merah. Sampel darah
3
yang diambil dapat dievaluasi lebih lanjut untuk mengamati adanya ukuran, bentuk, atau
pewarnaan yang abnormal.
2.11Penanganan Anemia
Penanganan anemia bergantung dari penyebab yang mendasarinya. Terdapat beberapa jenis
penanganan pada anemia, di antaranya:
Anemia defisiensi besi. Penanganan pada anemia jenis ini umumnya mencakup
konsumsi suplementasi zat besi dan perubahan diet. Apabila penyebab dari anemia
defisiensi besi yang terjadi adalah kehilangan darah, selain akibat menstruasi, sumber
perdarahan harus diinvestigasi lebih lanjut dan dihentikan.
Anemia defisiensi vitamin tertentu. Penanganan untuk defisiensi asam folat dan vitamin
B12 mencakup suplementasi gizi dan menambah asupan nutrisi tersebut di dalam diet
sehari-hari.
Anemia penyakit kronis. Pada anemia jenis ini, penanganan difokuskan terhadap kondisi
yang mendasarinya. Apabila terjadi perburukan gejala, transfusi darah
Anemia aplastik. Penanganan anemia jenis ini dapat mencakup transfusi darah untuk
meningkatkan kadar sel darah merah. Apabila sumsum tulang mengalami gangguan dan
tidak dapat memproduksi sel darah yang sehat, dapat dibutuhkan transplantasi sumsum
tulang.
Anemia terkait penyakit sumsum tulang. Penanganan untuk sekelompok kondisi tersebut
dapat mencakup pengobatan, kemoterapi, atau transplantasi sumsum tulang.
Anemia hemolitik. Menangani anemia hemolitik dapat dilakukan dengan beberapa cara,
termasuk menghindari konsumsi dari pengobatan yang dicurigai menyebabkan kondisi
tersebut, menangani infeksi yang terkait, dan mengonsumsi pengobatan yang
dibutuhkan.
Anemia sel sabit. Penanganan untuk anemia jenis ini dapat mencakup pemberian
oksigen, pengobatan anti-nyeri, serta cairan oral dan intravena, untuk mengurangi nyeri
dan mencegah komplikasi.
2.12Definiai Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah berada di atas normal. Hipertensi dikenal
juga dengan penyakit tekanan darah tinggi. Tekanan darah seseorang normalnya setara atau kurang
dari 120/80 mmHg
3
2.13Klasifikasi Hipertensi
3
Klasifikasi yang direkomendasikan tidak berubah dari pedoman ESH / ESC 2003 dan 2007
(Tabel 3). Hipertensi didefinisikan sebagai nilai ≥140 mmHg tekanan darah sistolik dan atau ≥ 90
mmHg tekanan darah diastolik. Klasifikasi yang sama digunakan pada anak muda, subjek setengah
baya dan tua, sedangkan kriteria berbeda, berdasarkan pada persentil, diadopsi pada anak-anak dan
remaja untuk siapa data dari uji intervensi tidak tersedia.
Kementerian kesehatan RI, saat ini masih menggunakan batasan hipertensi >140/90 mmHg.
3
Batasan hipertensi pada kebijakan nasional menjadi sangat penting terutama untuk data
epidemiologi dan penyediaan obat.
2.14 Etiologi Hipertensi
Berbagai hal dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami hipertensi. Oleh sebab itu,
untuk mencegah hipertensi penting sekali untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan
kemungkinan seseorang terkena hipertensi.
Faktor Risiko Hipertensi yang Tidak Dapat Diubah
1. Riwayat keluarga Faktor genetik cukup berperan terhadap timbulnya hipertensi. Jika kita
memiliki riwayat keluarga sedarah dekat (orang tua, kakak atau adik, kakek atau nenek)
yang menderita hipertensi, maka kita memiliki risiko untuk mengalami hipertensi menjadi
lebih tinggi.
2. Usia Tekanan darah cenderung lebih tinggi seiring bertambahnya usia. Hal ini disebabkan
karena semakin bertambahnya usia, terutama usia lanjut, pembuluh darah akan secara
alami menebal dan lebih kaku. Perubahan ini dapat meningkatkan risiko hipertensi.
Meskipun demikian, anak- anak juga dapat mengalami hipertensi.
3. Jenis kelamin Laki-laki lebih banyak mengalami hipertensi di bawah usia 55 tahun,
sedangkan pada wanita lebih sering terjadi saat usia di atas 55 tahun. Setelah menopause,
wanita yang tadinya memiliki tekanan darah normal bisa saja terkena hipertensi karena
adanya perubahan hormonal tubuh.
Faktor Risiko Hipertensi yang Dapat Diubah
1. Pola makan tidak sehat Kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi garam atau makanan asin
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Begitu pula dengan kebiasaan memakan makanan
yang rendah serat dan tinggi lemak jenuh.
2. Kurangnya aktivitas fisik Aktivitas fisik baik untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah.
Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan bertambahnya berat badan yang meningkatkan
risiko terjadinya tekanan darah tinggi.
3
4. Konsumsi alkohol berlebih Konsumsi alkohol yang rutin dan berlebih dapat menyebabkan
berbagai gangguan kesehatan, termasuk di antaranya adalah hipertensi. Selain itu, kebiasaan
buruk ini juga berkaitan dengan risiko kanker, obesitas, gagal jantung, stroke, dan kejadian
kecelakaan.
5. Merokok. Merokok dapat merusak jantung dan pembuluh darah. Nikotin dapat
meningkatkan tekanan darah, sedangkan karbon monoksida bisa mengurangi jumlah oksigen
yang dibawa di dalam darah. Tak hanya perokok saja yang berisiko, perokok pasif atau orang
yang menghirup asap rokok di sekitarnya juga berisiko mengalami gangguan jantung dan
pembuluh darah.
6. Stres. Stres berlebih akan meningkatkan risiko hipertensi. Saat stres, kita mengalami
perubahan pola makan, malas beraktivitas, mengalihkan stres dengan merokok atau
mengonsumsi alkohol di luar kebiasaan. Hal-hal tersebut secara tidak langsung dapat
menyebabkan hipertensi.
7. Kolesterol tinggi Kolesterol yang tinggi di dalam darah dapat menyebabkan penimbunan plak
aterosklerosis, yang nantinya dapat membuat pembuluh darah menyempit sehingga
meningkatkan tekanan darah. Selain itu, plak aterosklerotik yang terbentuk juga bisa
menyebabkan penyakit jantung koroner, yang bila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan serangan jantung. Apabila plak aterosklerotik berada di pembuluh darah otak,
bisa menyebabkan stroke.
8. Diabetes Diabetes dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. The American Diabetes
Association melaporkan dari tahun 2002-2012 sebanyak 71 persen pasien diabetes juga
mengalami hipertensi Diabetes dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah akibat
menurunnya eslastisitas pembuluh darah, meningkatnya jumlah cairan di dalam tubuh, dan
mengubah kemampuan tubuh mengantur insulin.
1. Sering Sakit Kepala Sakit kepala merupakan gejala hipertensi yang paling sering terjadi.
Keluhan ini khususnya dirasakan oleh pasien dalam tahap krisis, di mana tekanan darah
berada di angka 180/120 mmHg atau bahkan lebih tinggi lagi. Apabila kita pernah atau
sering mengalami nyeri kepala yang terjadi secara tiba-tiba, sebaiknya segera periksakan
diri ke dokter, agar hipertensi dapat dideteksi segera.
2. Gangguan Penglihatan Gangguan penglihatan adalah salah satu komplikasi dari tekanan
darah tinggi. Tanda hipertensi yang satu ini dapat terjadi secara mendadak atau perlahan.
3
3. Mual dan Muntah Mual dan muntah adalah gejala darah tinggi yang dapat terjadi karena
peningkatan tekanan di dalam kepala. Hal ini dapat terjadi akibat beberapa hal, termasuk
4
perdarahan di dalam kepala Salah satu faktor risiko perdarahan di dalam kepala adalah
hipertensi. Seseorang dengan perdarahan otak dapat mengeluhkan adanya muntah
menyembur yang terjadi tiba-tiba.
4. Nyeri Dada. Penderita hipertensi dapat mengalami keluhan nyeri dada. Kondisi ini terjadi
akibat penyumbatan pembuluh darah pada organ jantung. Tidak jarang, nyeri dada
menjadi penanda dari serangan jantung yang juga bermula dari tekanan darah tinggi.
Segera periksakan ke dokter apabila mengalami salah satu gejala ini.
5. Sesak Napas. Penderita hipertensi juga dapat merasakan keluhan sesak napas. Keadaan
ini terjadi ketika jantung mengalami pembesaran dan gagal memompa.
6. Rasa Pusing. Obat pengontrol tekanan darah dapat menimbulkan rasa pusing sebagai
salah satu efek sampingnya.
Definisi Hipertensi Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD
≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Berdasarkan pengukuran
TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan menjadi sesuai dengan tabel 1 berikut
4
Pasien harus tenang, tidak dalam keadaan cemas atau gelisah, maupun kesakitan. Dianjurkan
4
istirahat 5 menit sebelum pemeriksaan
Pasien tidak mengkonsumsi kafein maupun merokok, ataupun melakukan aktivitas olah raga
minimal 30 menit sebelum pemeriksaan.
Pasien tidak sedang menahan buang air kecil maupun buang air besar. - Pasien tidak
mengenakan pakaian ketat terutama di bagian lengan.
Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan nyaman. - Pasien dalam keadaan diam,
tidak berbicara saat pemeriksan
Spigmomanometer:
Gunakan ukuran manset yang sesuai dengan lingkar lengan atas (LLA). Ukuran manset
standar: panjang 35 cm dan lebar 12-13 cm. Gunakan ukuran yang lebih besar untuk LLA >32
cm, dan ukuran lebih kecil untuk anak. Ukuran ideal: panjang balon manset 80-100% LLA,
dan lebar 40% LLA.
Posisi
-Gunakan meja untuk menopang lengan dan kursi bersandar untuk meminimalisasi kontraksi
otot isometrik.
Letakkan spigmomanometer sedemikian rupa sehingga skala sejajar dengan mata pemeriksa,
dan tidak dapat dilihat oleh pasien.
4
Hindari pemasangan manset di atas pakaian.
Letakan bagian bell stetoskop di atas arteri brakialis yang terletak tepat di batas bawah
manset.
Bagian diafragma stetoskop juga dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah sebagai
alternatif bell stetoskop. Pompa manset sampai 180 mmHg atau 30 mmmHg setelah suara
nadi menghilang. Lepaskan udara dari manset dengan kecepatan sedang (3mmHg/detik).
Ukur tekanan darah 3 kali dengan selang waktu 1-2 menit. Lakukan pengukuran tambahan
bila hasil pengukuran pertama dan kedua berbeda >10 mmHg. Catat rerata tekanan darah,
minimal dua dari hasil pengukuran terakhir.
2.16Tatalaksana Hipertensi
Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin direkomendasikan yaitu: ACEi, ARB, beta
bloker, CCB dan diuretik.
4
Gambar. Terapi Antihipertensi oral Lini Kedua
4
BAB III
PENGELOLAAN KASUS
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan muntah, muntah di rasakan sejak pagi,
muntah 4x, konsitensi cair berwarna hitam. Keluarga pasien mengatakan 1 hari sebelumnya
dibawah ke IGD pasien sempat muntah >5x, konsentesi cair bercampur makanan. Keluarga
pasien juga mengatakan 3 hari sebelum masuk RS, Pasien sempat BAB berwarna hitam
sebanyak 2 x. Konsistensi lunak, kurang lebih sebanyak 1 gelas aqua, diketahui dari
anamnesis pasien sering mengeluhkan nyeri di bagaian tulang belakang sehingga, pasien
sering mengonsumsi obat anti nyeri seperti asam efenamat, dan ibuprofen, selain itu pasien
juga mengeluhkan lemas (+), dan pusing (+).Pasien tahun 2020 sempat vaksin covid 19,
sebelum di vaksin di lakukan pemeriksaan vital sign dan pada saat itu di dapatkan tekanan
darah pasien tinggi 200/ 120 mmhg, pasien mengatakan jarang control tekanan darah dan juga
tidak mengomsumsi obat tekananan darah tinggi. Pada pemeriksaan vital sign di IGD RSUD
SELE BE SOLU didapatkan tekanan darah pasien TD: 180/100 MmHg. Pada Pemeriksaan
laboratorium hematologi rutin, ditemukan HB: 7,9 mg/dl. Berdasarkan temuan-temuan tersebut
mengarahkan diagnosis pasien karah Hematemesis Melena ec Gastritis Erosif, Anemia Sedang,
dan Hipertensi Grade II. Tatalaksana awal yang di berikan di IGD yaitu IVFD NS 20 tpm, inj.
Ranitidine 2x1 amp/iv, as. Tranexamat 1 Amp/IV, inj. Ondancetron 1amp/iv/Ekstra, dan
Sucralfate syr 3x1 cth. m. Ketika di pindahkan ke ruangan tatalaksana yang diberikan yaitu
transfusi PRC 2 kolf, IVFD NS 20 tpm, inj. Ranitidine 1 amp/iv, inj. Ceftriaxone 1 gr/IV,as.
Tranexamat 1 Amp/IV, dulcolax syr, amlodipine 10mg 1x. Pasien di rawat selama 8 hari,
Tatalakasan yang diberikan pada saat pasien pulang di hari ke delapanyaotu HCT 1x1, Tablet
penambah darah 2x1, Bisoprolol 2,5 mg 1x, Candasartan 8mg 1x1, Amlodipine 10mg 1x1,
Lanzo 2x1, dan Amoxicilin 2x1.
4
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pengelolaan kasus dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Hematemesis Melena ec Gastritis Erosif, Anemia Sedang, dan Hipertensi Grade II.
Pasien pulang dengan kondisi tidak keluhan ada (-), Pasien juga sudah bisa makan dan minum
dengan baik serta mulai dapat beraktivitas.
4
DAFTAR PUSTAKA
1. Djumhana A. Perdarahan akut saluran cerna bagian atas [Internet]. [cited 2016 November 1].
Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/
uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_ bagian_atas.pdf
2. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on management of non-
variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta Medica Indonesiana.
2014;46(2):163-71
3. Hayashi Y, Yamamoto H, Yano T, Sugano K Diagnosis and management of mid-
gastrointestinal bleeding by double-balloon endoscopy. Therap Adv Gastroenterol. 2009;
2 (2): p.109-117.doi: 10.1177/1756283X09102315 . | Open in Read by QxMD
4. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol.
2012;107:345- 60
5. Stanley AJ. Update on risk scoring systems for patients with upper gastrointestinal
haemorrhage. World J Gastroenterol. 2012;18(22):2739-44
6. Sachar H, Vaidya K, Laaine L. Intermittenr vs continous proton pump inhibitor therapy for
high-risk bleeding ulcers-A systematic review and meta-analysis. JAMA [Internet]. 2014
[cited 2016 November 2]. Available form:
http://jamanetwork.com/journals/jamainternalmedicine/fullarticle/1901116
7. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et al. Diagnosis
and management of nonvariceal upper gastrointestinal hemorrhage: European Society of
Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-
0034-1393172
8. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia dan Kelompok Studi Helicobacter pylori Indonesia.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori [Internet].
2014 [cited 2017 January 6]. Available from: http://pbgi.esy.es/wp-
content/uploads/2015/09/Konsensus-Dispepsia-dan-Helibacter-Pylori-2014.pdf
9. Rugge M, Sugano K, Sacchi D, Sbaraglia M, Malfertheiner P. Gastritis: An Update in 2020.
Curr Treat Options Gastroenterol. 2020;18(3):488–503.
10. Kolasińska K, Kwiatkowski S, Knap B, Czerwiński G, Poniewierka E, Waszczuk E.
Helicobacter pylori infection: from biology to clinical features. World Sci News.
2018;107(August):171–84.
4
11. Feyisa ZT, Woldeamanuel BT. Prevalence and associated risk factors of gastritis among
patients visiting Saint Paul Hospital Millennium Medical College, Addis Ababa, Ethiopia.
PLoS One. 2021;16(2 February):1–16. http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0246619
12. Ibrahim A, Morais S, Ferro A, Lunet N, Peleteiro B. Sex-differences in the prevalence of
Helicobacter pylori infection in pediatric and adult populations: Systematic review and meta-
analysis of 244 studies. Dig Liver Dis. 2017;49(7):742–9.
http://dx.doi.org/10.1016/j.dld.2017.03.019
13. Buku pedoman pencegahan dan penanggulangan anemia pada remaja putri dan Wanita subur.
Kementrian Kesehatan republic Indonesia tahun 2018.
14. Jake Turner; Meghana Parsi; Madhu Badireddy. Anemia. StatPearls [Internet]. August 8,
2023. Available form: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499994/
15. Andrew M. Freeman; Maitreyee Rai; Donald W. Morando. Anemia Screening. StatPearls
[Internet]. July 25, 2023. Available form: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499905/
16. Frits Reinier Wantian Suling. Buku referensi hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia. Januari 2018
17. Antonia Anna Lukito Eka Harmeiwaty Ni Made Hustrini. Konsensus penatalaksanaan
hipertensi 2019. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI). Jakarta 2019
18. Gary Tackling; Mahesh B. Borhade. Hypertensive Heart Disease. StatPearls [Internet]. June
26, 2023. Available form: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539800/