Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian
Diabetes Mellitus adalah salah satu bagian dari penyakit tidak menular. Diabetes
Mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar gula darah akibat
gangguan pada pankreas dan insulin. Empat jenis penyakit tidak menular utama menurut
WHO adalah penyakit kardiovaskulair (Penyakit Jantung Koroner dan Stroke), Kanker,
Penyakit Pernafasan Kronis (Asma Dan Penyakit Paru Obstruksi Kronis), dan Diabetes
Mellitus (Depkes, 2012).
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi
yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau
keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler, dan neuropati (Yuliana elin,
2009 dalam NANDA NIC-NOC, 2013)

B. Etiologi
Menurut Padila (2012), etiologi Diabetes Melitus adalah :
1. Diabetes Tipe 1
a. Factor gentik
Pasien diabetes sendiri tidak mewarisi diabetes tipe 1 dengan sendirinya, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kerentanan genetic dari diabetes tipe 1, dan
kerentanan genetic ini ada pada individu dengan antigen tipe human leucocyte
antigen (HLA).
b. Factor-factor imunologi
Terdapat reaksi autoimun yang merupakan reaksi abromal di mana antibody secara
langsung terarah pada jaringan manusia normal dengan reaksi terhadap jaringan
yang dianggap sebagai benda asing yaitu aoutoantobodi terhadap jaringan yang
dianggap sebagai benda asing yaitu autoantibodi terhadap sel pulau Langerhans dan
insulin endogen.
c. Factor lingkungan
Toksin atau virus tertentu yang dapat memincu proses autoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta.

1
2. Diabetes Tipe 2
Mekanisme pasti yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tipe 2 masih belum jelas. Factor genetic berperan dalam perkembangan
resistensi insulin. Factor-factor resiko :
a. Usia
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

C. Manifestasi Klinis
Menurut Febrianasri et al (2002), manifestasi klinis diabetes mellitus adalah :
1. Polyuria (sering kencing)
2. Polydipsia (sering merasa haus)
3. Polifagia (sering merasa lapar)
4. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
Selain hal-hal tersebut, gejala lain adalah :
1. Mengeluh lemah dan kurang energi
2. Kesemutan di tangan atau kaki
3. Mudah terkena infeksi bakteri atau jamur
4. Gatal
5. Mata kabur
6. Penyembuhan luka yang lama.
Manifestasi klinis diabetes mellitus menurut (Riyadi,2011) adalah :
1. Tipe IDDM seperti :
a. Polyuria, polipagia, polydipsia, BB menurun, lemah, dan somnolen berlangsung
beberapa hari atau minggu
b. Ketoasidosis dan dapat meninggal jika tidak segera ditangani.
c. Biasanya memerlukan terapi insulin untuk mengontrol karbohidrat.

2
2. Tipe NIIDM seperti :
a. Jarang menunjukkan gejala klinis
b. Diagnosis didasarkan pada tes darah laboratorium dan tes toleransi glukosa.
c. Hiperglikemia berat, polyuria, polyuria, kelemahan dan kelesuan.
d. Jarang menderita ketoasidosis.
D. Klasifikasi
a) Dm
1. Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi karena obstruksi sel beta dan menyebabkan defisiensi
insulin.
2. Diabetes Mellitus tipe 2 terjadi karena adanya kekebalan terhadap insulin.
3. Diabetes Mellitus tipe lain terjadi karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetic
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, pengaruh obat dan zat kimia,
infeksi, masalah imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan
dengan DM.
4. Gangguan toleransi glukosa
5. Diabetes kehamilan.
b) Resiko statistic
1. Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa.
2. Berpotensi menderita kelainan glukosa,
Gangren kaki diabetic dibagi menajdi enam tingkjatan, yaitu :
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kealinan bentuk kaki seperti “claw,callus”
Derajat 1 : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat 2 : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat 3 : Abses dalam atau tanpa osteomielitis.
Derajat 4 : Gangren seluruh jari kaki atau bagian distal kaki dengan tanpa
selulitis.
Derajat 5 : Gangrene seluruh kaki atau sebagian tungkai.

3
E. Patofisiologi
Pada diabetes tipe 2 tedapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin
yaitu: resistensi dan gangguan sekresi insulin. Kedua masalah inilah yang menyebabkan
GLUT dalam darah aktif (Brunner & Suddarth, 2015). Glukose Transporter (GLUT) yang
merupakan senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam
proses metabolisme glukosa. Insulin mempunyai tugas yang sangat penting pada berbagai
proses metabolisme dalam tubuh terutama pada metabolisme karbohidrat. Hormon ini
sangat berperan dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama pada otot, lemak dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak,
insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate) yang terdapat pada
membrane sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam
sinyal yang berguna bagi proses metabolisme glukosa di dalam sel otot dan lemak,
meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan,
transduksinya berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (Manaf A, 2010).
Proses sintesis dan transaksi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa
dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme. Untuk menghasilkan
suatu proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika
sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya
sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes melitus tipe 2 (Manaf A, 2010).
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi tidak
bekerja dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan glukosa dari
peredaran darah untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya sehingga glukosa
dalam darah tetap tinggi yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2010).
Hiperglikemia terjadi bukan hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin), tapi pada saat bersamaan juga terjadi rendahnya respons jaringan tubuh terhadap
insulin (resistensi insulin). Defisiensi dan resistensi insulin ini akan memicu sekresi
hormon glukagon dan epinefrin. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis yaitu pemecahan glikogen menjadi glukosa dan kemudian
meningkatkan glukoneogenesis yaitu pembentukan karbohidrat oleh protein dan beberapa
zat lainnya oleh hati. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di

4
hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di
otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku
glukoneogenesis hati.
Faktor atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan
mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan
berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh (Manaf A. 2010).

5
6
F. Pathway

Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2 Diabetes Melitus Gestasional

Genetic Obesitas, gaya hidup tidak sehat, kurang gerak Pengeluaran hormone
estrogen, progresteron dan
hormon kehamilan
Kerusakan sel beta
pankreas Resitensi insulin

Risiko ketidakstabilan kadar glukosa


Pemecahan glukosa hiperglikemia darah
menuju sel menurun

Menyerang kulit dan infeksi Meluas ke jaringan yang


jaringan subkutan lebih dalam

Menyebar secara sistemik

Mekanisme radang
Kerusakan Penurunan
integritas jaringan Eritema lokal pada
kekuatan oto
kulit
Kerusakan kulit
Rubor Gangguan
mobilitas fisik
Gangguan integritas
kulit Trauma jaringan
lunak Risiko infeksi

7
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang untuk DM dilakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu,
kadar glukosa darah puasa, kemudian dilanjutkan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM, seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi,
obesitas, riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu pemeriksaan
penyaring setiap tahun. Bagi pasienberusia tua tanpa faktor resiko pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan setiap 3 tahun (Yunita, 2015).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pertama
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl. Kedua
Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan HbA1c 5,7-6,4%.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes dibagi menjadi pada 4 pilar penatalaksanaan diabetes, yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan
partisipasi efektif dari klien dan keluarga klien. Tujuan utama dari pemberian edukasi
pada pasien DM dan juga pada keluarga adalah harapan diamana pasien dan keluarga
akan mengerti bagaimana cara penanganan yang tepat dilakukan pada pasien DM.
Edukasi pada pasien bisa dilakukan meliputi pemantauan kadar gula darah, perawatan
luka, kepatuhan dalam pengansumsian obat, peningkatan aktivitas fisik, pengurangan
asupan kalori dan juga pengertian serta komplikasi dari penyakit tersebut (Suzanna,
2014).

8
2. Terapi Gizi Medis
Pasien DM harus mampu memenuhi prinsip 3J pada dietnya, meliputi (jumlah makanan
yang dikonsumsi, jadwal diet yang ketat dan juga jenis makanan apa yang dianjurkan
dan pantangan makannya) (Rendy, 2012).
3. Olahraga
Olahragas ecara teratur 3-4x dalam seminggu kurang lebih 30 menit (Suzanna, 2014).
4. Intervensi Farmakologis
Berupa pemberian obat Hipoglikemik oral (sulfonilurea, biguanid/metformin, inhibitor
alfa glukosidase dan insulin) (Ernawati, 2013).
Dengan penanganan yang benar baik pencegahan dan perawatannya, diharapkan
gangren dapat dilakukan pengobatannya secara benar agar pasien DM bisa berkurang.
Penatalaksanaan gangren sebagai berikut :
a. Kontrol kadar gula darah
Pengendalian gula darah dan berbagai upaya sangat penting dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum penderita dengan nutrisi yang memadai.
b. Penanganan ulkus/gangren
Tindakan yang dilakukan untuk penanganan ulkus/gangren ini, antara lain : bedah
minor seperti insisi, pengaliran abses, debridemen, dan nekrotomi dengan tujuan
untuk mengeluarkan semua jaringan nekrosis untuk mengeliminasi infeksi,
sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan luka.
c. Memperbaiki sirkulasi darah
1) Memperbaiki status rheologi, merupakan tindakan memberikan obat
antiagregasi trombosit hipolipidemik yang bertujuan untuk memperbaiki
jaringan yang terserang.
2) Memperbaiki struktur vaskuler, merupakan tindakan yang dilakukan dengan
cara embolektomi, endarteriktomi atau biasa disebut dengan rekontruksi
pembuluh darah.
d. Penanganan infeksi
Perawatan luka dilakukan dengan cara manajemen jaringan, kontrol infeksi dan
serta perluasan tepi luka.

9
e. Tissue managemen (Managemen jaringan)
Manajemen jaringan dilakukan melalui debridemen, yaitu menghilangkan
jaringan mati pada luka. Jaringan yang perlu dihilangkan adalah jaringan
nekrotik dan slaf. Manfaat debridemen adalah menghilangkan jaringan yang
sudah tidak tervaskularisasi, bakteri, dan eksudat sehingga akan menciptakan
kondisi luka yang dapat menstimulasi munculnya jaringan yang sehat. Ada
beberapa cara debridemen yang dapat dilakukan, berupa :
1) Debridemen mekanis
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara menempelkan kasa lembab
kemudian tutup atau letakkan kasa kering diatasnya. Biarkan hingga kasa
kering setelah kering angkat.
2) Debridemen bedah
Pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan tindakan medis berupa
tindakan pembedahan atau operasi.
3) Debridemen autolitik
Tindakan pembalutan luka setelah dicuci atau dibersihkan.
4) Debridemen enzim
Debridemen enzim merupakan cara debridemen dengan menggunakan
enzim yang dibuat secara kimiawi untuk dapat mencerna jaringan mati atau
melonggarkan ikatan antara ikatan antara jaringan mati dan jaringan hidup.
Enzim ini bersifat selektif, yaitu hanya akan memakan jaringan mati. Hal
yang harus diperhatikan dalam menggunakan jenis debridemen ini adalah
menghindari penggunaan balutan luka yang mengandung logam berat
seperti silver, mineral, seng, cairan basa atau asam, karena dapat
menginaktivasi enzim. Pada luka dengan skar (luka jaringan nekrotik yang
kering), maka kita perlu melakukan sayatan pada skar dengan menggunakan
pisau agar enzim dapat meresap pada skar dan permukaan luka tetap
lembab.

10
5) Debridemen biologis
Debridemen biologi dapat dilakukan dengan menggunakan belatung yang
sudah disteril. Jenis belatung yang digunakan adalah spesies Lucia Cerrata
atau Phaenica Sericata. Belatung ini diletakkan didasar luka selama 1-4 hari.
Belatung ini mensekresikan enzim preteolitik yang dapat memecah jaringan
nekrotik dan mencerna jaringan yang sudah dipecah. Sekresi dari belatung
ini memiliki efek anti mikrobial yang membantu dalam mencegah
pertumbuhan dan proliferasi bakteri, termasuk Metchilin-resistant
Staphylococcus aureus.
f. Kontrol infeksi dan inflamasi
Infeksi bisa bersifat lokal (termasuk didalamnya selulitis), atau sistemik (sepsis).
Tanda infeksi yaitu meningkatnya eksudat, nyeri, adanya kemerahan (eritema)
yang baru atau meningkatnya kemerahan pada luka, peningkatan temperatur pada
daerah luka, dan bau luka atau eksudat. Cara yang dilakukan adalah meningkatkan
daya tahan tubuh, debridemen, pembersihan luka dan mencuci luka untuk
menghilangkan bakteri, eksudat, dan jaringan mati, serta memberikan balutan luka
anti mikroba.
g. Mempertahankan kelembaban
h. Perluasan tepi luka
Salah satu tanda dari penyembuhan luka pasien bisa dilihat dengan luasnya sel
epitel menuju tengah luka (Yunita, 2015).

I. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia, yaitu kadar gula dalam darah berada dibawah nilai normal < 50
mg/dl.
b. Hiperglikemia, yaitu suatu keadan kadar gula dalam darah meningkat secara tiba-
tiba dan dapat berkembang menjadi metabolisme yang berbahaya.
2. Komplikasi Kronis
a. Komplikasi makro vaskuler, yang biasanya terjadi pada pasien DM pembekuan
darah di sebagian otak, jaringan koroner, stroke dan gagal jantung kongestif.

11
b. Komplikasi mikro vaskuler, yang biasanya terjadi pada pasien DM adalah
nefropati, diabetic retinopati (kebutaan), neuropati dan amputasi (Perkeni,2015).

J. Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien dalam
mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%), tanpa
disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan mikrovaskuler
serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥ 15 tahun)
akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan kontrol glikemik
ketak sekalipun (Khardori, 2017).
DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena dapat berkomplikasi
pada penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan pembuluh darah perifer,
gangguan saraf (neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara
efektif untuk pencegahan DM (Khardori, 2017).

K. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakanpengumpulan informasi subjektif dan objektif (mis: tanda-tanda
vital, wawancara pasien/keluarga, pemeriksaan fisik dan peninjauan informasi riwayat
pasien pada rekam medic (NANDA, 2018).
a. Identitas pasien
Di identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, status perkawinan,
tanggal MRS, dan diagnosa medis.
b. Penanggung jawab
penanggung jawab berisi nama, umur, alamat, pekerjaan, hubungan dengan pasien.
c. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pada pasien dengan diabetes melitus biasanya akan merasakan badannya lemas
dan mudah mengantuk terkadang juga muncul keluhan berat badan turun dan

12
mudah merasakan haus. Pada pasien diabetes dengan ulkus diabetic biasanya
muncul luka yang tidak kunjung sembuh.
2. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya hipertensi dan penyakit jantung. Gejala yang muncul pada pasien DM
tidak terdeteksi, pengobatan yang di jalani berupa kontrol rutin ke dokter
maupun instansi kesehatan terdekat.
3. Riwayat penyakit keluarga
Muncul akibat adanya keturunan dari keluarga yang menderita penyakit DM.
4. Genogram
Struktur keturunan dan hubungan antar keluarga.
d. Pengkajian kebutuhan dasar manusia
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Persepsi pasien ini biasanya akan mengarah pada pemikiran negative terhadap
dirinya yang cenderung tidak patuh berobat dan perawatan.
2. Pola nutrisi
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya kurang insulin maka kadar
gula darah tidak bisa dipertahankan sehingga menyebabkan keluhan sering
BAK, banyak makan, banyak minum, BB menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat menyebabkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
mempengaruhi status kesehatan.
3. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada
urine (glukosuria). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
4. Aktivitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai terjadi
koma. Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.

13
5. Tidur dan istirahat
Istirahat kurang efektif adanya poliuri, nyeri pada kaki diabetic, sehingga klien
mengalami kesulitan tidur.
6. Sensori, persepsi, dan kognitif
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati/mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunan,
gangguan penglihatan .
7. Konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
8. Seksual dan reproduksi
Menyebabkan gangguan kualitas ereksi, gangguan potensi seks, adanya
peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten
pada pria risiko lebih tinggi terkena kanker prostat berhubungan dengan
nefropati.
9. Pola peran hubungan
Luka gangren yang susah sembuh dan berbau menjadikan penderita kurang
percaya diri dan menghindar dari keramaian.
10. Manajemen koping stress
Waktu peran yang lama, perjalanan penyakit kronik, tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif seperti marah,
cemas,mudah tersinggung, dapat mengakibatkan penderita kurang mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
11. Sistemn nilai dan keyakinan
Perubahan status kesehatan, turunnya fungsi tubuh dan luka pada kaki tidak
menghambat penderita dalam melakukan ibadah tetapi mempengaruhi pola
ibadahnya.

14
e. Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran umum
normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar gula yang dimiliki dan kondisi
fisiologis untuk melakukan kompensasi kelebihan kadar gula dalam darah).
2. Tanda-tanda vital
1) Tekanan darah (TD) : biasanya mengalamai hipertensi dan juga ada yang
mengalami hipotensi.
2) Nadi (N) : biasanya pasien DM mengalami takikardi saat beristirahat
maupun beraktivitas.
3) Pernapasan (RR) : biasanya pasien mengalami takipnea.
4) Suhu (S) : biasanya suhu tubuh pasien mengalami peeningkatan jika
terindikasi adanya infeksi.
5) Berat badan (BB) : pasien DM biasanya akan mengalami penuruan BB
secara signifikan pada pasien yang tidak mendapatkan terapi dan terjadi
peningkatan BB jika pengobatan pasien rutin serta pola makan yang
terkontrol.
f. Kepala
1) Wajah : kaji simetris dan ekspresi wajah, antara lain paralisis wajah (pada klien
dengan komplikasi stroke).
2) Mata : kaji lapang pandang klien, biasanya pasien mengalami retinopati atau
katarak, penglihatan kabur, dan penglihatan ganda (diplopia).
3) Telinga : pengkajian adakah gangguan pendengaran, apakah telinga kadang-
kadang berdenging, dan tes ketajaman pendengaran dengan garputala atau
bisikan.
4) Hidung : tidak ada pembesaran polip dan tidak ada sumbatan, serta peningkatan
pernapasan cuping hidung (PCH).
5) Mulut
a) Bibir : sianosis (apabila mengalami asidosis atau penurunanperfusi jaringan
pada stadium lanjut)
b) Mukosa bibir : kering, jika dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis osmosis.

15
6) Leher : pada inspeksi jarak tampak distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar
limfe dapat muncul apabila ada infeksi sistemik.
7) Dada/thorax
a) Inspeksi
bentuk dada simetris atau asimetris, irama pernapasan, nyeri dada, kaji
kedalaman dan juga suara nafas atau adanya kelainan suara nafas, tambahan
atau adanya penggunaan otot bantu pernapasan.
b) Palpasi
lihat adnya nyeri tekan atau adanya massa.
c) Perkusi
rasakan suara paru sonor atau hipersonor.
d) Auskultasi
dengarkan suara paru vesikuler atau bronkovesikuler.
8) Abdomen
a) Inspeksi
Amati bentuk abdomen simetris atau asimetris.
b) Auskultasi
Dengarkan apakah bising usus meningkat.
c) Palpasi
Rasakan adanya massa atau adanya nyeri tekan.
9) Genitalia
Adanya perubahan pada proses berkemih, atau poliuria, nokturia, rasanyeri
seperti terbakarpada bagian organ genetalia, kesulitan berkemih (infeksi).
10) Ektremitas
Adanya perubahan pada ektremitas bawah
11) Kulit
Kulit kering atau bersisik, warna tampak kehitaman disekitar luka karena
adanya gangren, daerah yang sering terpapar ektremitas bagian bawah.

16
L. Diagnose Keperawata
Ditegakkan dan di urutkan sesuai dengan prioritas masalah
1. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan kekuatan otot
2. Ketidak Stabilan Kadar Glukosa darah berhubungan dengan Resistensi Insulin
3. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan neuropati perifer

M. Perencanaan
Intervensi keperawatan merupakan segala tindakan perawatan yang dikerjakan oleh

perawat berdasarkan pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran yang

diharapkan. Intervensi dan kriteria hasil menurut Tim Pokja SIKI PPNI dan Tim Pokja

SLKI (2018), diantaranya yaitu:

1. Gangguan Mobilitas Fisik

Tujuan dan kriteria hasil :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah teratasi dengan kriteria


hasil:
1) Kekuatan otot meningkat.

2) Pergerakan ekstremitas bawah meningkat.


3) Rentang Gerak Sendi meningkat

Intervensi
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
2) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan.
3) Ajarkan mobilisasi sederhana seperti duduk di tempat tidur.

2. Ketidak Stabilan Kadar Glukosa darah


Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah teratasi dengan kriteria
hasil:
1) Pusing dan lemes menurun
2) Mulut kering menurun
3) Rasa haus menurun
4) Kadar glukosa dalam darah membaik.

Intervensi
1) Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia.

17
2) Monitor glukosa darah.
3) Berikan asupan oral.
4) Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri.
5) Kolaborasi pemberian insulin.

3. Gangguan Integritas Kulit


Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah teratasi dengan kriteria
hasil:
1) Perfusi jaringan meningkat.
2) Kemerahan menurun
3) Nekrosis menurun
4) Tekstur membaik

N. Implementasi
Dokumentasi implementasi merupakan catatan tentang tindakan yang diberikan perawat.

Dokumentasi implementasi mencatat pelaksanaan, rencana perawatan, pemenuhan kriteria

hasildan tindakan keperawatan mandiri dan tindakan kolaboratif. Pelaksanaan tindakan

keperawatan disesuaikan dengan intervensi dari masing-masing diagnosa tersebut di atas

(Bararah, Jauhar, 2013 : 153 )

O. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan keperawatan yang

telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu masalah. (Meirisa, 2013).Evaluasi

dilakukan sesuai dengan pencapaian dari pelasanaan implementasi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Jendela Data Dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak
Menular. Jakarta: DEPKES RI; 2012.
Masriadi. 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Trans Info Media
NANDA.2012.Buku Saku Diagnosis Keperaawatan.Jakarta: EGC
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke-
6. Jakarta: EGC.
Rendy, M. C. & Margareth, T. H (2012), Asuhan keperawatan medikal bedah penayakit
dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

19

Anda mungkin juga menyukai