Anda di halaman 1dari 63

EMC-009

Modul Pembelajaran
Malpraktik Pemilu dan
Pelanggaran Pemilu

Kurikulum Program S2 Konsentrasi Tata Kelola Pemilu


Modul Pembelajaran

Malpraktik Pemilu
dan Pelanggaran
Pemilu
Penyusun:
Kris Nugroho
(FISIP Universitas Airlangga)
DAFTAR ISI

Daftar Isi...................................................................................................................iii
Pengantar....................................................................................................................
Kompetensi..................................................................................................................
Pokok Bahasan............................................................................................................
Metode Pembelajaran...............................................................................................2
Metode Evaluasi........................................................................................................2
Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran...........................................................3
Tinjauan Mata Kuliah.................................................................................................7
Deskripsi dan Status Mata Kuliah..............................................................................7
Kegunaan Mata Kuliah bagi Peserta Didik................................................................7
Tujuan Pembelajaran................................................................................................7
Susunan Bahan Ajar...................................................................................................8
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar.............................................................................8
Bahan Ajar.................................................................................................................9
BAB I Konsep Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu.......................................9
BAB II Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam Regulasi Pemilu di
Indonesia.................................................................................................................14
BAB III Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pidana Pemilu.................................21
BAB IV Iregularitas Pemilu.......................................................................................26
BAB V Mobilisasi Massa dan Kekerasan Pemilu......................................................32
BAB VI Vote Buying..................................................................................................37
BAB VII Pelanggaran Pemilu pada Sebelum Pemungutan Suara, pada Hari
Pemungutan Suara, dan pada Penghitungan dan Penetapan Hasil Suara.............43
BAB VIII Analisis Ekonomi Politik dan Sosiologis dalam Malpraktik dan
Pelanggaran Pemilu ................................................................................................47
BAB IX Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam Konteks Lokal.............56
PENGANTAR

Pemilihan umum (dalam modul ini disingkat pemilu) merupakan bentuk partisipasi
rakyat untuk memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga perwakilan rakyat yang
dilakukan secara demokratik. Pemilu demokratik merupakan fitrah sistem politik
demokratik yang ditandai oleh kehadiran kebebasan sipil, persamaan dan kompetisi
dalam pengisian jabatan-jabatan politik pemerintahan (Lane dan Ersson 2003:29).
Dikaitkan dengan konteks tersebut, pemilu haruslah memenuhi unsur keterjaminan
kebebasan rakyat dalam menyuarakan kedaulatan mereka secara berintegritas baik
dari aspek proses maupun hasilnya. Dari aspek proses, penyelenggaraan pemilu
harus berlangsung secara demokratik, berintegritas dan menjamin kesamaan bagi
pemilih agar hak-hak politiknya terlindungi. Dari aspek hasil, setiap suara pemilih
yang dikalkulasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan oleh
penyelenggara pemilu berdasarkan prinsip-prinsip independensi, imparsialitas,
integritas, transparansi, profesionalisme (Wall, dkk. 2006). Dengan demikian,
pemilu demokratik identik dengan proses penyelenggaraan pemilu yang sudah
seharusnya bersih dari praktik penyimpangan dan pelanggaran pemilu.
Terkait hal di atas, Bab ini akan menyajikan topik mengenai konsep
malpraktik pemilu (electoral malpratice) dan pelanggaran pemilu. Penyajian akan
diawali dengan Bab mengenai makna malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu.
Secara teoretis, pengertian malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu berbeda
walaupun keduanya mengarah pada konsep besar mengenai electoral misconduct.
Mengacu UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPRD, pelanggaran pemilu beserta sanksi-sanksi hukumnya telah diatur dengan
jelas. Dalam hal ini, pelanggaran pemilu dapat diartikan sebagai setiap tindakan
yang bertentangan dan melanggar norma-norma pemilu yang diatur undang-
undang. Dalam praktiknya, pelanggaran pemilu dapat bersifat administratif, pidana,
sengketa dalam proses pemilu, sengketa hasil dan kode etik penyelenggara pemilu.
Pelaku pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh petugas penyelenggara pemilu,
pengawas pemilu, peserta pemilu (calon atau pelaksana kampanye), individu dan
masyarakat.
Sistematika modul ini dibagi ke dalam 9 Bab yang mewakili dua isu utama
modul ini. Bagian pertama berisi 4 bab mengenai penjelasan teoretis mengenai
malpraktik pemilu, pelanggaran pemilu, penegakan hukum dalam pemilu dan
iregularitas (irregularities) dalam pemilu. Pada bab-bab ini, peserta kuliah diajak
mengenal dan membedakan konsep ‘payung’ malpraktik pemilu, pelanggaran
pemilu, penegakan hukum pemilu dan irregularities dalam pemilu. Dengan
menguasai dan memahami konsep ‘payung’ tersebut, peserta kuliah akan memiliki
konstruksi teoretis yang kuat dalam membedakan malpraktik pemilu dan
pelanggaran pemilu. Bab-bab selanjutnya berisi 5 isu bedah kasus berbagai macam
malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu seperti vote buying, mobilisasi dan
kekerasan pemilu, penggunaan birokrasi dalam pemilu dan konteks dinamika politik
lokal dalam pemilu dan 1 bab mengenai pendekatan ekonomi dan sosiologi dalam
malpraktik dan pelanggaran pemilu

Malpraktik Pemilu | 1
Kompetensi

a. Kompetensi Umum: peserta kuliah mampu menguasai, mengidentifikasi,


mendalami dan melakukan analisis secara kritis terhadap kasus-kasus malpraktik
pemilu dan pelanggaran pemilu baik yang terjadi pada tingkat lokal dan
nasional.

b. Kompetensi Khusus:
 Peserta mampu menganalisis secara kritis fenomena malpraktik pemilu
dan pelanggaran pemilu, membedakan malpraktik pemilu dengan
pelanggaran pemilu, mengidentifikasi berbagai faktor penyebab
malpraktik pemilu, pelanggaran pemilu dan aktor pelakunya.
 Peserta mampu menghasilkan kajian dan rekomendasi yang dapat
dijadikan masukan penyelenggara pemilu dalam menghadapi malpratik
pemilu dan pelanggaran pemilu menurut perundangan pemilu yang ada.

Susunan Bab Bahan Ajar

 Bab I: Konsep Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu


 Bab II: Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam Regulasi Pemilu di
Indonesia
 Bab III: Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pidana Pemilu
 Bab IV: Iregularitas Pemilu
 Bab V: Mobilisasi Massa dan Kekerasan Pemilu
 Bab VI: Vote Buying
 Bab VII: Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu Sebelum Pemungutan
Suara, pada Hari Pemungutan Suara, dan pada Penghitungan dan Penetapan
Hasil Suara
 Bab VIII: Analisis Ekonomi Politik dan Sosiologis dan Pelanggaran Pemilu
 Bab IX: Malpraktik dan Pelanggaran Pemilu dalam Konteks Lokalitas Daerah
(Kekerabatan, Komunalisme/ Primordialisme, Ketokohan, Noken)

Metode Pembelajaran

a. Kelas: ceramah dan diskusi dengan proporsionalitas 40% dan 60%


b. Diskusi/presentasi paper peserta kuliah
c. Simulasi/role play pemecahan kasus malpraktik pemilu
d. Kuliah lapangan

Metode Evaluasi

a. Makalah akhir berdasarkan kasus (50%)


b. Partisipasi kelas (15%)
c. Laporan kerja lapangan (35%)

Malpraktik Pemilu | 2
RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN

Mgg Tujuan Pokok bahasan Media ajar Metode Pembelajaran Penilaian


ke Pembelajaran Yg dilakukan Yg dilakukan Metode Kriteria bobot Bacaan
mhs dosen
1 Peserta mampu Deskripsi konsep Slide, Penelusuran Ceramah 60 Diskusi Kualitas 15 % Ramlan Surbakti,
memahami konsep malpraktik dan handout literatur menit, kelas analisis Pelanggaran dan
malpraktik pemilu pelanggaran diskusi individu Kekerasan Pemilu
dan pelanggaran pemilu untuk dan Penyalahgunaan
pemilu memancing Uang Dalam Proses
keaktifan Penyelenggaraan
kelas Pemilu, Makalah
(Jakarta, Kemitraan
2014);
Sarrah Birch.
Electoral system and
Electoral Misconduct.
Comparative Political
Studies. Vol. 40 No.
12 Dec. 2007.
2 Peserta mampu Kerangka hukum Slide, hand Penelusuran Ceramah 60 Diskusi Kualitas 20 %
memahami hukum penindakan out, literatur, menit, kelas solusi
penindakan malpraktik dan diskusi memberi
malpraktik pemilu pelanggaran umpan balik
pemilu (UU No. 8/
2012)
3 Peserta mampu Konsep Slide, hand Penelusuran Ceramah, Diskusi Kemamp Peraturan Bersama
memahami malpraktik dan out literatur, memberi kelas uan KPU, Bawaslu dan
pelanggaran pemilu pelanggaran diskusi kliping umpan balik identifika DKPP No. 1/2012;

Malpraktik Pemilu | 3
dari sisi pemilu sisi SK, si kasus No. 11/ 2012 dan No.
administrasi dan administrasi dan 13/ 2012 tentang
pidana pemilu pidana pemilu Kode Etik
Penyelenggara
Pemilu
4 Peserta mampu Konsep Slide, hand Menganalisis Ceramah Diskusi Kemamp Carreras, M;
memahami iregularitas, out kasus dan bahasan kelas uan Irepoglu, Y.; Trust in
malpraktik pemilu, contoh-conhnya malpratik, kasus identifika election, vote buying,
iregularitas pemilu pelanggaran si kasus and turnout in Latin
pemilu America, Electoral
Studies (2013)
5 Diskusi kelas/ Topik terpilih presentasi Memberi Pendalama
presentasi paper umpan balik n dan
malpraktik pemilu kelompok
dan pelanggaran diskusi
pemilu dalam
konteks bedah
kasus
6 Peserta mampu Konsep mobilisasi Slide, hand Mencari data Ceramah, Diskusi Kualitas
memahami massa dalam out kekerasan umpan balik kelompok solusi
Mobilisasi Massa pemilu pemilu pemecah
dan Kekerasan an kasus
pemilu
7 Peserta mampu Konsep vote Slide, Diskusi paper Ceramah, Diskusi Kemamp 15 % Jensen, Peter
memahami Vote buying, aktor handout, umpan balik dasar uan Sandholt dan Morgan
Buying pelakunya, faktor- kliping Koran hukum memberi K. Justesen. 2013.
faktor pidana solusi VB Poverty and Vote
penyebabnya pemilu Buying: Survey-based
evidence from Africa
(Accepted
Manuscript) dalam
Electoral Studies
(2013), doi:

Malpraktik Pemilu | 4
10.1016/j.electstud.2
013.07.020
8 Presentasi Paper/ presentasi Memberi Presentasi
Book Review umpan balik
9 Malpraktik Pemilu Malpraktik dan Film, slide Diskusi dan Ceramah 60 Diskusi dan Kemamu
dan Pelanggaran pelanggaran presentasi menit, identifikasi an
Pemilu sebelum pemilu sebelum diskusi kasus EM analisis
pemungutan suara pemungutan
suara
10 Peserta mampu Malpraktik dan Film, slide Diskusi dan Ceramah, Diskusi dan Kemamp
mengidentifikasi pelanggaran presentasi memberi identiffkasi uan
malpraktik pemilu pemilu pada umpan balik kasus EM memberi
dan pelanggaran pemungutan solusi
pemilu pada suara dan paska
pemungutan pemungutan
suaran dan paska suara
pemungutan suara
11 Analisis ekonomi Film, slide Diskusi dan Ceramah, Diskusi dan Kemamp Pippa Norris. The
politik dan presentasi memberi identifikasi uan new research agenda
sosiologis umpan balik kasus identifika studying electoral
Malpraktik dan malpratik si EM integrity. Electoral
Pelanggaran Pemilu dan pada Studies (2013) 10 July
pelanggara penetapa 2013.
n pemilu n hasil Birch, Sarah.
Electoral
Malpractice. Oxford:
Oxford University
Press, 2012; Barry R.
Weingast dan Donald
A. Wittman, 2006:3,
The Reach of Political
Economy, dalam The
Oxford Handbook of

Malpraktik Pemilu | 5
Political Economy,
Barry R. Weingast
dan Donald A.
Wittman (eds),
Oxford University
Press, New York,
Wittman (eds.) 2006,
The Oxford
Handbooks of
Political Science,
Oxford University
Press, New York;
Henry Bretton, 1980,
The Power of Money,
State University of
New York Press,
Albany, Roger B.
Myerson, Economic
Analysis Of Political
Institutions: An
Introduction,revised
version, March 29,
1996,
http://home.uchicag
o.edu/~rmyerson/res
earch/japan95.pdf;
Martin Harrop,
William L. Miller,
1987, Elections and
Voters: A
Comparative
Introduction,
Macmillan Education,

Malpraktik Pemilu | 6
Houndsmills,
Basingstoke,
Hampshire, London

Fabrice E. Lehoucg,
dan Iván Molina,
2002, Stuffing the
Ballet Box: Fraud,
Electoral Reform, and
Democractization in
Costa Rica,
Cambridge University
Press, Cambridge,
New York,
Melbourne;
Afan Gaffar, Javanese
Voters: A Case Study
of Election under a
Hegemonic Party
System, Dissertation,
The Ohio State
University
Edward Aspinal dan
Mada Sukmajati
(eds), 2014, Politik
Uang di Indonesia:
Patronase dan
Klientelisme pada
Pemilu Legislatif
2014, Polgov,
Yogyakarta
Dieter Roth, The
German Federal

Malpraktik Pemilu | 7
Elections 1987.
Voters, Attitudes
and Parties, in:
American Politics
and Society 11,
4/87
12 Peserta mampu Memahami Slide Diskusi dan Ceramah, Diskusi dan Kemamp Peter M. Siavelis.
menganalisis malpraktik dan presentasi memberi identifikai uan Party and Society
malpraktik pemilu pelanggaran umpan balik kasus pada analisis dalam Richard S. Katz
dan pelanggaran pemilu konteks konteks politik dan William Crotty
pemilu pada lokal, politik lokal (ed). Handbook of
konteks politik lokal komunalisme, lokal yang Party Politics,
ketokohan berkaitan London, Sage
dengan Publication
malprakti
k dan
pelangga
ran
pemilu
13 Final test Materi terpilih Mengerjakan Tes 30 %
final test individual

Malpraktik Pemilu | 8
TINJAUAN MATA KULIAH

Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah yang diberi judul Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu ini akan
mengulas makna konseptual Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran serta bagaimana
relevansinya dengan kerangka hukum pemilu di Indonesia. Terlebih dahulu, peserta
kuliah akan diajak untuk mempelajari konsep ‘payung’ Malpraktik Pemilu dan
Pelanggaran Pemilu serta perbedaan di balik kedua konsep ini baik secara teoretis
dan empiris. Dua konsep tersebut harus dikuasai dan dipahami peserta kuliah
peminatan tata kelola pemilu agar mampu menganalisis secara kritis kasus-kasus
malpraktik pemilu, pelanggaran pemilu, bagaimana Malpraktik Pemilu berubah
menjadi Pelanggaran Pemilu, modus-modusnya, landasan hukum penindakannya,
pemetaaan para aktor pelakunya dan kendala-kendala dalam pencegahan dan
penindakan malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu.

Kegunaan Mata Kuliah Bagi Peserta Didik

Ada dua kegunaan Mata kuliah Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu.
Pertama, untuk penguatan teori peserta didik dalam memetakan, mendalami dan
menganalisis modus-modus Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam
setiap tahapan pemilu di Indonesia. Kedua, untuk penguatan kemampuan peserta
dalam mengevaluasi realitas pemilu di Indonesia dalam rangka menghasilkan
strategi kelembagaan pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu yang efektif.
 
Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti perkuliahan ini, peserta diharapkan mampu:

- Melakukan analisis kritis Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu baik pada
tingkat lokal mau pun nasional
- Mengkaji keterbatasan atau kelemahan kelembagaan regulasi kepemiluan
dalam menyelesaikan pelanggaran pemilu
- Mampu menghasilkan evaluasi dan solusi penyelesaian pelanggaran pemilu yang
efektif di Indonesia.

Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar

- Peserta didik menyiapkan dan membaca referensi yang digunakan dalam bahasan
mengenai EM.
- Peserta didik dianjurkan mencari secara mandiri guna memperkaya referensi-
referensi EM yang lain relevan sebagai pembanding.

Malpraktik Pemilu | 9
BAHAN AJAR

BAB I

Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu

a. Deskripsi singkat

Konsep malpraktik pemilu (electoral malpractice) didefinisikan sebagai


penyimpangan penyelenggaraan pemilu dari norma-norma pemilu yang berlaku
umum. Dalam mata kuliah ini, konsep malpraktik pemilu dikaji mendalam untuk
memberikan gambaran bahwa penyelenggaraan pemilu bisa menyimpang dari
apa yang seharusnya digariskan oleh norma-norma pemilu yang berlaku umum.
Hal ini perlu dilakukan untuk membedakan malpraktik pemilu dengan
pelanggaran pemilu. Menurut Birch (2007:1536), malpraktik pemilu adalah
tindakan yang dilakukan kandidat (baik yang menjabat atau tidak) untuk
melakukan tekanan-tekanan pada tingkat penyelenggara. Walaupun dibatasi
dalam konteks aktor pelaku calon, tidak tertutup kemungkinan malpraktik
pemilu juga dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Pada prinsipnya, malpraktik pemilu mengandung 3 dimensi pelanggaran:


manipulasi peraturan tatakelola pemilu, manipulasi preferensi suara, dan
manipulasi proses pemilihan. Karena menyangkut manipulasi, maka pelaku
malpraktik pemilu adalah orang-orang yang memang memiliki akses bagi
terjadinya pelanggaran pemilu. Pada dasarnya, malpraktik pemilu merupakan
penyimpangan dan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu sehingga
pemilu berjalan di luar prosedur dan tidak normal.

b. Manfaat
Setelah mengikuti mata kuliah ini, peserta kuliah akan memiliki kemampuan
teoretis untuk menganalisis berbagai kasus seputar malpraktik pemilu dan
pelanggaran pemilu, sebab-sebabnya dan kerangka hukum pencegahannya
dalam konteks pemilu di Indonesia.

c. Relevansi
Seteelah mengikuti mata kuliah ini, peserta diharapkan mampu menguasai dan
memiliki kerangka konseptual kritis dalam menganalisis kasus-kasus malpraktik
pemilu dan pelanggaran pemilu di tingkat lokal dan nasional.

d. Learning outcome
Peserta kuliah mampu memetakan aktor-aktor EM, faktor-faktor penyebabnya,
dan rekomendasi untuk mencegah malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu.

Malpraktik Pemilu | 10
Penyajian:

Seiring transisi menuju demokrasi, sejumlah sistem politik telah bergerak dari
autoritarian menuju sistem politik demokrasi. Fase transisi ini segera diikuti dengan
pemilu demokratik dengan melibatkan peran masyarakat warga (civil society) yang
antusias mendukung sistem demokrasi baru. Namun, transisi demokrasi melalui
pemilu demokratik ini dibayang-bayangi oleh kekhawatiran atas terjadinya
kecurangan dan manipulasi politik dalam pemilu serta berbagai praktik pelanggaran
pemilu.

Dalam Bab I ini, konsep malpratik pemilu diambil dari pendapat Birch (2007).
Menurut Birch, salah satu persoalan yang dihadapi negara-negara demokrasi baru
pasca otoritaarian adalah persoalan standar kualitas demokrasi yang rendah.
Standar kualitas demokrasi yang rendah ditandai dengan manipulasi politik dalam
pemilu, hukum pemilu tidak berjalan efektif, norma-norma demokrasi diterapkan
secara diskriminatif dan akses publik terhadap demokrasi yang terbilang rendah.
Kualitas demokrasi yang rendah akan bermuara pada kasus-kasus pelanggaran
pemilu, termasuk malpraktik pemilu. Birch menggunakan istilah electoral
misconduct, electoral malpractice dan electoral malfeasance secara bergantian
untuk menjelaskan kasus-kasus pelanggaran dan manipulasi politik dalam pemilu.
Menurut Birch, kasus-kasus electoral misconduct dan electoral malpractice
esensinya sama, yaitu adanya manipulasi terhadap tata kelola pemilu (prosedur dan
hukum pemilu) dan keduanya berimplikasi pada pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, bebas, dan jujur.

Dalam konsep yang diajukan Birch, malpraktik pemilu dianggap sebagai pelanggaran
terhadap norma-norma ideal penyelenggaraan pemilu yang lazim yang terkait
dengan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap manipulasi tata kelola pemilu.
Sedangkan pelanggaran pemilu lebih tepat dimaknai sebagai electoral misconduct
untuk menjelaskan praktik-praktik manipulasi pemilu seperti pemaksaan suara,
menghalangi pemberian suara, memilih berulang kali, mengancam atau menekan
penyelenggara pemilu dan manipulasi dalam tabulasi hasil suara. Pelanggaran
pemilu memiliki makna luas (general concept) yang mengacu pada semua aktivitas
yang melanggar prinsip-prinsip pemilu demokratik dan mengarah pada tindakan
kriminal dalam pemilu. Contoh malpraktik pemilu adalah petugas pendaftar pemilih
melakukan pendataan menggunakan data kependudukan yang tidak valid sehingga
berpeluang merugikan pemilih yang seharusnya didata. Kesalahan petugas dalam
mendaftar bisa terjadi karena faktor kelalaian, kelelahan, kecerobohan atau
ketidakmampuan (unintensional mistakes) petugas pendata sehingga berdampak
pada gugurnya hak pilih warga negara. Pada dasarnya, malpraktik pemilu
mengkondisikan adanya pihak yang memiliki akses untuk memanipulasi tata kelola
pemilu.

Bentuk lain dari malpraktik pemilu adalah pengelolaan administrasi pemilu yang
merugikan pemilih sehingga pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Misalnya, petugas pendaftar tidak memberi akses administratif pemilih dari luar

Malpraktik Pemilu | 11
(pemilih pindahan) yang akan memberikan suaranya pada TPS terdekat. Prinsip
dalam pemilu adalah petugas penyelenggara/pelaksanaan pemilu harus memberi
dan melayani siapa pun yang memilih hak suara (C6) untuk dapat menggunakan
haknya secara sama. Ketidaksiapan penyelenggara dapat dikategorikan malpraktik
pemilu karena prosedur administrasi pemilu yang menjamin pemilih terdaftar dari
luar TPS dapat dilayani namun dalam praktiknya mereka tidak dapat menggunakan
hak pilihnya.

Secara teoretis, konsep malpraktik pemilu berbeda dengan pelanggaran pemilu


yang dalam konteks Birch dimaknai sebagai electoral misconduct. Pembedaan ini
perlu dilakukan agar dapat ditarik batas tegas antara malpraktik pemilu dengan
pelanggaran pemilu. Pelanggaran pemilu merujuk pada aspek yang lebih luas dari
sekadar malpraktik pemilu. Pelanggaran pemilu adalah segala tindakan yang
mencederai pelaksanaan pemilu, melanggar norma-norma dan atau perundangan
pemilu demokratik, melanggar integritas pemilu yang terjadi pada tahapan-tahapan
pemilu baik yang dilakukan penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu/
kandidat. Pelanggaran pemilu yang dilakukan peserta pemilu, penyelenggara atau
kandidat, dapat mendegradasi integritas pemilu dan hak-hak politik kolektif pemilih.
Pelanggaran pemilu yang terjadi berulang dan dilakukan secara sistematis akan
mengarah pada pelanggaran pidana pemilu (criminal malpratice).

Berikut bermacam bentuk pelanggaran pemilu:

 Electoral Fraud: penyimpangan pemilu yang dilakukan secara dasar oleh


berbagai pihak yang terkait pemilu. EF dibagai menjadi 2, yaitu:
- Outcome determinative fraud: hasil kecurangan mempengaruhi hasil pemilu
- Non-outcome determinative: hasil kecurangan tidak mempengarahi hasil
pemilu
 Election Fraud: penyalahgunaan pemilu secara luas
 Voter fraud: pemilih yang tidak berhak memilih yang menggunakan hak pilih
orang lain
 Vote fraud: penyimpangan yang berkaitan dengan suara (mengurangi/
menambah suara partai/calon)
 Systematic manipulation: manipulasi hukum penyelenggaraan pemilu untuk
kepentingan partai/calon

Aktivitas Kelas:
1. Setelah mempelajari konsep-konsep malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu,
peserta kuliah membentuk kelompok diskusi (3-4 orang) untuk mendiskusikan
kasus-kasus malpraktik pemilu serta bagaimana malpraktik pemilu bisa berubah
menjadi pelanggaran pemilu.
2. Peserta mempresentasikan kajiannya di kelas (20 menit).

Malpraktik Pemilu | 12
Tugas Mandiri

Setelah mempelajari beberapa konsep tentang penyimpangan dan malpraktik


pemilu di atas, peserta kuliah mendapat tugas membuat kajian mengenai
malpraktik pemilu yang berdampak pada pengurangan/penambahan suara.
Termasuk dalam contoh ini adalah pemetaan menyangkut aktor-aktor yang terlibat
dalam malpraktik pemilu.

Rangkuman
Terdapat beragam fenomena pelanggaran pemilu baik yang dilakukan
penyelenggara pemilu, calon, pekerja partai (tim sukses calon), pemilih hingga
aparat penegak hukum. Dalam hal ini, fenomena pelanggaran pemilu dapat
dijelaskan dengan menggunakan beberapa konsep yang masing-masing mewakili
fenomena berbeda dengan aktor pelaku dan modus yang berbeda. Ada beberapa
konsep utama yang diajukan untuk menjelaskan pelanggaran pemilu seperti
Electoral Malpractice, Electoral Fraud, Electoral Misconduct, Electoral Corruption,
Election Fraud, Voter Fraud dan Vote Fraud. Dilihat dari sifatnya, pelanggaran
pemilu ini dapat dikategorikan menjadi dua (2), yaitu pelanggaran administratif
pemilu dan pelanggaran pidana pemilu. Sedangkan aktor pelanggaran pemilu
berlingkup luas dari penyelenggara pemilu, calon partai dan aparatnya, tim politik
calon/partai dan pemilih.

Test formatif:
- Apakah saudara sudah mengerti apa yang disebut dengan electoral
malpractice?
- Jelaskanlah perbedaan electoral fraud, election fraud dan criminal malpractice.

Malpraktik Pemilu | 13
BAB II

Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam Regulasi Pemilu


di Indonesia

Deskripsi Singkat

Pemilu merupakan sarana demokratik untuk memilih wakil-wakil rakyat yang


berintegritas. Untuk mewujudkan pemilu demokratis, maka penyelenggaraan
pemilu harus berjalan sesuai norma-norma demokrasi dan perundang-undangan
yang berlaku. Apabila terjadi malpraktik pemilu baik dari aspek administratif,
pidana, sengketa, kode etik dan aspek malpraktik lainnya, maka dibutuhkan
kerangka hukum untuk menyelesaikannya secara demokratis. Mengacu UU No.
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, kewenangan penindakan
malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu dilakukan oleh Bawaslu/Panwas
Kabupaten/Kota bersama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, diatur secara jelas
landasan penindakan hukum malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu.
Adanya kerangka hukum penindakan malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu
bisa menjadi titik tolak untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.

Solusi untuk penanganan malpraktik pemilu dapat dilakukan melalui desain


kelembagaan yang secara autoritatif mampu membawa kasus-kasus malpraktik
pemilu ke ranah penindakan hukum. Dalam konteks pemilu di Indonesia,
kewenangan penindakan malpraktik pemilu dilakukan oleh Bawaslu/Panwas
Kabupaten/Kota bersama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Adanya
kerangka hukum penindakan malpraktik pemilu bisa menjadi titik tolak untuk
mewujudkan pemilu yang berintegritas.

a. Manfaat
Setelah mengikuti mata kuliah ini, peserta kuliah diharapkan memiliki
kemampuan untuk memetakan jenis-jenis malpraktik pemilu dan pelanggaran
pemilu serta formula hukum yang digunakan sebagai acuan penindakan
berbagai modus malpraktik pemilu di Indonesia.

b. Relevansi
Peserta kuliah mampu menguasai konsep penindakan hukum malpraktik pemilu
dan pelanggaran pemilu yang makin kompleks baik yang dilakukan
penyelenggara pemilu, partai dan aparatnya, calon, pemilih dan tim politik
calon.

c. Learning outcome
Peserta kuliah mampu mendesain kerangka penindakan hukum yang efektif
guna terwujudnya pemilu yang bersih dan berintegritas.

Malpraktik Pemilu | 14
Penyajian:
Dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dinyatakan bahwa
penyelenggara pemilu di Indonesia adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP. Tugas dan
kewenangan KPU adalah menyelenggarakan semua tahapan pemilu legislatif,
presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota. Sedangkan tugas dan
kewenangan Bawaslu adalah melakukan pengawasan semua tahapan pemilu yang
dilakukan KPU. DKPP bertugas melakukan kajian dan memutus serta menjatuhkan
sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu baik KPU
dan Bawaslu.

Dasar hukum penegakan pelanggaran pemilu di Indonesia yang lain adalah UU No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Menurut pasal 253, pelanggaran
pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang
berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan pemilu di
luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Adapun bentuk pelanggaran pemilu meliputi pelanggaran terhadap norma pemilu
yang bersumber pada pemilu UUD, UU, dan peraturan KPU; pelanggaran terhadap
prinsip dan norma demokrasi yang menjadi standar pemilu demokratis, bebas, dan
adil berdasarkan kesepakatan internasional; dan pelanggaran terhadap norma good
governance yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pelayanan publik, dan
integritas.

Pelanggaran pemilu dapat diklasifikasi menjadi 5 (lima) macam pelanggaran pemilu,


yaitu pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran
dalam proses pemilu, pelanggaran hasil pemilu, pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu, dan pelanggaraan pemilu lainnya.

Pertama, pelanggaran administratif pemilu dengan implikasi pemilih tidak dapat


menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara yang punya hak suara. Misalnya,
petugas pendaftar pemilih tidak mendata (karena kelalaian atau kesengajaan)
warga yang seharusnya memenuhi syarat untuk dicantumkan ke dalam daftar
pemilih sementara dan tetap. Tindakan tersebut berimplikasi pada malpraktik
pemilu karena melanggar prinsip equality yaitu hak sama bagi warga yang punya
hak pilih untuk didaftar sebaga pemilih. Kesalahan tersebut menyebabkan warga
yang seharusnya memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Pelanggaran ini bertentangan dengan pasal 20 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD.

Kedua, pelanggaran pidana pemilu yang berimplikasi pada gangguan terhadap


proses penyelenggaraan pemilu, misalnya pemalsuan identitas untuk kepentingan
politik tertentu (pasal 273), penggunaan hak pilih orang lain (voter fraud),
penyelenggara pemilu sengaja menciptakan kondisi/menghalangi pemilih sehingga
tidak dapat menggunakan hak pilihnya (pasal 274), pengacauan atau perusakan
sehingga proses/tahapan pemilu terganggu (pasal 275, 279). Sanksi hukum dan
denda yang tinggi dikenakan terhadap pelaku malpraktik pemilu, khususnya praktik
pengubahan hasil suara. Untuk itu, diatur dalam pasal 287 mengenai sanksi

Malpraktik Pemilu | 15
pengubahan hasil penghitungan suara. Pengubahan hasil penghitungan suara
merupakan kejahatan pidana pemilu dengan ancaman hukuman 1 tahun penjara
dan denda Rp. 12.000.000,-.

Praktik kecurangan pemilu dengan mengubah perolehan suara hanya mungkin


dilakukan oleh pihak yang memiliki wewenang serta akses dalam penghitungan
suara, seperti petugas penyelenggara pemilu di tingkat PPK dan TPS. Namun, untuk
menaruh perhatian semata-mata pada petugas saja tidak cukup. Pengubahan hasil
suara harus dilihat dalam koridor yang lebih luas dengan adanya keterlibatan aktor
pelaku dari partai, calon, atau aparat partai. Tindakan yang mengarah pada
malpraktik pemilu di atas dapat dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja oleh
partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif, pengurus partai politik, orang
per orang dan organisasi yang ditunjuk peserta pemilu serta penyelenggara pemilu.
Penegakan pelanggaran pidana pemilu dilakukan kepolisian dan kejaksaan
berdasarkan laporan/kajian dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/
Kota.

Ketiga, pelanggaran dalam proses pemilu.

Keempat, pelanggaran kode etik pemilu oleh penyelenggara pemilu yang


penindakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kewenangan DPKK untuk melakukan penegakan kode pelanggaran kode etik
diperkuat melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Melalui UU
ini, kasus-kasus malpraktik pemilu yang berhubungan dengan kode etik dapat
terjadi pada semua tahapan pemilu: sebelum hari pemungutan suara, pada hari
pemungutan suara dan pada rekapitulasi penetapan hasil perolehan suara.

Mekanisme penindakan pelanggaran kode etik adalah DKPP melakukan kajian


berdasarkan laporan masuk dari pelapor, memanggil pelapor, terlapor dan saksi-
saksi untuk dalam persidangan DKPP. Jika terbukti, sanksi yang diputuskan DKPP
adalah teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. 1
Kode etik penyelenggara pemilu yang harus dijaga penyelenggara pemilu adalah: 2

a. bertindak netral dan tidak memihak terhadap partai politik tertentu, calon,
peserta pemilu, dan media massa tertentu;
b. memperlakukan secara sama setiap calon, peserta pemilu, calon pemilih,
dan pihak lain yang terlibat dalam proses pemilu;
c. menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap
pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain;
d. tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas
masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu;
e. tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan
dengan pemilih;

1
Pasal 14
2
Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP No. 1/2012; No. 11/ 2012 dan No. 13/ 2012 tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Malpraktik Pemilu | 16
f. tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut
yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau
peserta pemilu tertentu;
g. tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak
menanyakan pilihan politik kepada orang lain;
h. memberitahukan kepada seseorang atau peserta pemilu selengkap dan
secermat mungkin akan dugaan yang diajukan atau keputusan yang
dikenakannya;
i. menjamin kesempatan yang sama kepada setiap peserta pemilu yang
dituduh untuk menyampaikan pendapat tentang kasus yang dihadapinya
atau keputusan yang dikenakannya;
j. mendengarkan semua pihak yang berkepentingan dengan kasus yang terjadi
dan mempertimbangkan semua alasan yang diajukan secara adil;
k. tidak menerima hadiah dalam bentuk apa pun dari peserta pemilu, calon
peserta pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan
keuntungan dari keputusan lembaga penyelenggara pemilu.

Secara garis besar, malpraktik pemilu dapat terjadi pada tahapan: sebelum hari
pemungutan suara, pada hari pemungutan suara, dan pada penghitungan/
penetapan hasil perolehan suara.

p
a
d
a
p a d as epbe e
n lu
g hm
it u p
neg amn udna gn upteanne st aupaarna h a s i l
p
e
m
u
n
g
u
t
a
n

s
u
a
r
a
Berikut ini contoh macam-macam kasus pelanggaran pemilu pada hari H
pemungutan suara:

Pelanggaran Administrasi Tindak Pidana


 Logistik pemilu terlambat  Vote buying
 Logistik pemilu rusak/tidak  Jual beli C6
lengkap (surat suara, alat  Intimidasi dan menghalangi
coblos, tinta, bilik suara tidak orang lain dalam memberikan
memadai) suara
 Pemilih tidak terdaftar dalam  Kekerasan, perusakan sarana
DPT, pemilu
 Pemilih terdaftar dalam DPT tapi  Pemilih memilih lebih dari satu
ejaan nama keliru kali

Malpraktik Pemilu | 17
 Pemilih meninggal tetapi nama  Pemilih menggunakan hak orang
tercantum dalam DPT lain
 Pemilih punya Formulir C6 tapi  Petugas pemilu tidak netral
tidak tercantum dalam DPT  Petugas pemilu tidak melayani
 Pemilih punya Formulir C6 tapi hak suara pemilih.
tidak dilayani  Petugas pemilu mendampingi
 Pemilih tercantum dalam daftar dan mengarahkan penyandang
pemilih tambahan tapi tidak bisa disabilitas untuk memilih
menggunakan hak pililihnya calon/partai tertentu
 NIK pemilih bermasalah  Perusakan logistik pemilu
sehingga tidak dapat  Pengumpulan KTP untuk ditukar
menggunakan hak pilihnya uang
 Pemilih tidak memiliki NIK

UU No. 15 Tahun 2011 menyebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan


pengawasan dalam penegakan pelanggaran pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Dalam
Pasal 69 UU tersebut dinyatakan bahwa “Pengawasan penyelenggaraan Pemilu
dilakukan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri“.
Kewenangan Bawaslu untuk melakukan pengawasan penegakan pelanggaran
pemilu bersifat nasional yang melibatkan Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/
Kota. Menurut pasal 73 (3), objek pengawasan yang dilakukan Bawaslu adalah
seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU yang meliputi:

1. pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara


serta daftar pemilih tetap;
2. penetapan peserta pemilu;
3. proses pencalonan sampai dengan penetapan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan calon
gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
4. pelaksanaan kampanye;
2. pengadaan logistik pemilu dan pendistribusiannya;
3. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu di
TPS;
4. pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat
hasil penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
5. pergerakan surat tabulasi penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke
KPU Kabupaten/Kota;
6. proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPS, PPK, KPU
Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU;
7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilu
lanjutan, dan pemilu susulan;
8. pelaksanaan putusan pengadilan terkait dengan pemilu;
9. pelaksanaan putusan DKPP; dan

Malpraktik Pemilu | 18
10. proses penetapan hasil pemilu.

Desain penegakan hukum pelanggaran pemilu oleh Bawaslu dilakukan dengan


memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menindaklanjuti rekomendasi/temuan
Bawaslu pada semua tahapan pemilu. Dalam hal ini, KPU berfokus pada penindakan
yang menyangkut pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu berfokus pada
sengketa pemilu, dan fokus atas pelanggaran pidana pemilu dilakukan oleh
kepolisian dan kejaksaan atas rekomendasi Bawaslu.

Aktivitas Kelas:
1. Peserta mengidentifikasikan berbagai potensi malpraktik pemilu dan
pelanggaran pemilu yang terjadi pada tahapan pemilu
2. Peserta memilih dan mendiskusikan suatu kasus malpraktik atau pelanggaran
pemilu pada tahapan pemilu di atas berdasarkan polanya (aktor pelaku, sarana
yang digunakan, dan modusnya)

Tugas:
1. Buatlah paper pendek (3 halaman) mengenai masalah integritas penyelenggara
pemilu di Indonesia (ambil suatu kasus yang saudara ketahui)
2. Paper ini hendaknya mengungkap faktor-faktor apa sajakah yang memperlemah
integritas penyelenggara pemilu di Indonesia.

Rangkuman
Pelanggaran administrasi dan pidana pemilu merupakan masalah serius yang dapat
mengancam pencapaian pemilu yang bersih dan berintegritas. Dalam hal ini, aktor
pelaku pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh penyelenggara atau pelaksana
pemilu dan aparatnya serta oleh peserta pemilu seperti parpol, calon, tim sukses
partai/calon, pemilih dan jajaran aparat penyelenggara pemilu. Dasar hukum
penindakan yang menyangkut sanksi atas pelanggaran pemilu telah diatur dalam
pasal-pasal pada UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta UU
No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Penjabaran lebih lanjut UU ini
memberi kewenangan kepada KPU dan Bawaslu melakukan penindakan
pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan sengketa pemilu. Sedangkan
kewenangan penindakan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dilakukan oleh
DKPP yang diperkuat melalui Keputuan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP No.
1/2012; No. 11/2012 dan No. 13/2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Penegakan pelanggaran pemilu merupakan aspek penting dalam rangka


menghasilkan pemilu yang berintegritas. Pemilu berintegritas hanya mungkin
dicapai jika penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pelaksana kampanye dan
peserta kampanye (masyarakat) mendukung aturan main berupa norma-norma
pemilu secara konsisten dan tidak menoleransi adanya pelanggaran pemilu. Adanya
penegakan pelanggaran pemilu juga dimaksudkan untuk mewujudkan aspek
keadilan dan kepastian hukum bagi yang dirugikan akibat pelanggaran pemilu.

Malpraktik Pemilu | 19
Tes formatif:
- Apakah yang dimaksud dengan pelanggaran pemilu?
- Apa kriteria suatu tindakan merupakan tindakan pelanggaran pemilu?
- Faktor-faktor apa saja yang masih menjadi kendala untuk menghasilkan pemilu
yang berintegritas?

Malpraktik Pemilu | 20
BAB III

Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pidana Pemilu

a. Deskripsi singkat
Pemilu bukan sekadar proses partisipatoris rakyat untuk memilih wakil-wakil
rakyat, pemimpin pemerintahan, atau kepala daerah. Pemilu juga harus dilihat
sebagai proses bagaimana partisipasi rakyat dalam pemilu diselenggarakan
berdasarkan norma-norma pemilu demokratis yang menjunjung tinggi aspek
kesamaan, keadilan, kejujuran, dan transparansi. Bertolak dari pandangan
tersebut, mata kuliah ini mengajak peserta kuliah untuk mengkaji konsep EM
dari aspek pelanggaran administrasi pemilu dan pelanggaran pidana pemilu dan
bagaimana tantangan-tantangan pelembagaaan penegakan hukum malpraktik
pemilu dapat dilakukan efektif untuk menghasilkan pemilu yang berintegritas,
akuntabilitas, dan berkeadilan bagi semua pihak.

b. Manfaat
Peserta kuliah diharapkan mampu memahami, mendalami, dan menganalisis
EM dari aspek pelanggaran administrasi pemilu dan pidana pemilu berdasarkan
norma-norma pemilu demokratis di Indonesia.

c. Relevansi
Peserta kuliah memiliki kemampuan menghubungkan konsep dan teori
mengenai malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu dengan realitas
pelanggaran-pelanggaran pemilu di tingkat nasional dan lokal.

d. Learning outcome
Peserta kuliah mampu menganalisis secara kritis praktik-praktik pelanggaran
pemilu dan membuat kajian kelembagaan yang tepat dalam pencegahan dan
penindakan pelanggaran pemilu.

Penyajian:
Mengutip data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), selama pemilu
legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2014, terdapat 1.379 kasus atau
perkara pelanggaran pemilu melibatkan penyelenggara pemilu dan pengawas
pemilu, disidangkan dan telah diputuskan DKPP (Kompas, 22 Agustus 2014). Kasus
pelanggaran pemilu yang ditangani DKPP ini menunjukkan bahwa integritas
penyelenggara pemilu masih rendah. Apalagi jika penyelenggara pemilu atau
pengawas pemilu berkolaborsi secara lansung atau tidak langsung dengan pihak lain
sehingga melahirkan praktik pelanggaran pemilu, hal ini akan mengarah pada
bentuk pidana kejahatan pemilu yang berpotensi merusak keseluruhan proses
pemilu.

Secara umum, peluang praktik pelanggaran pemilu dapat terjadi pada tiga (3)
proses tahapan penyelenggaraan pemilu:
 pelanggaran pemilu sebelum hari pencoblosan,

Malpraktik Pemilu | 21
 pelanggaran pada hari pencoblosan; dan
 pelanggaran pada saat penghitungan dan rekapitulasi suara.

Cakupan pelanggaran pemilu mengacu pasal 253 UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara,
prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu
dalam setiap tahapan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu. Dengan demikian, mengacu pasal tersebut, ada 3 (tiga)
jenis pelanggaran pemilu:
 pelanggaran pemilu yang bersifat administratif atau disebabkan karena masalah
administratif,
 pelanggaran pidana pemilu; dan
 pelanggaran kode etik pemilu oleh penyelenggara pemilu yang kewenangan
penjatuhan sanksinya diputuskan oleh DKPP sebagaimana dinyatakan pada
pasal 111 (ayat 4) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Di luar pelanggaran di atas, terdapat pelanggaran tentang sengketa dalam proses


dan sengketa hasil pemilu yang kewenangan penyelesaiannya dilakukan Bawaslu
sebagaimana dinyatakan pada pasal 73 (ayat 4 huruf c) UU No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam hal penjatuhan sanksi penyelenggara yang
terbukti melakukan pelanggaran kode etik, DKPP berwenang untuk memberikan
teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap sebagaimana
dinyatakan pada pasal 112 (ayat 11).

Dalam modul ini, pengertian pelanggaran administratif pemilu adalah pelanggaran


pemilu karena faktor-faktor administratif dari penyelenggara pemilu yang
berdampak terhadap tahapan pemilu dan hak-hak pemilih dalam memberikan
suara. Pelanggaran administratif pemilu karena faktor administrasi baik dari pihak
penyelenggara ataupun peserta pemilu yang terjadi dapat merupakan pelanggaran
yang disengaja ataupun karena kealpaan. Implikasinya, pemilih tidak dapat
menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara yang memiliki hak suara yang sah.
Misalnya, petugas pendaftar pemilih tidak mendata (karena kelalaian atau
kesengajaan) warga yang seharusnya memenuhi syarat untuk dicantumkan ke
dalam daftar pemilih sementara dan tetap. Tindakan tersebut berimplikasi pada
pelanggaran pemilu karena melanggar prinsip equality, yaitu hak yang sama bagi
warga yang punya hak pilih untuk didaftar sebaga pemilih. Kesalahan tersebut
menyebabkan warga yang seharusnya memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan
hak pilihnya. Pelanggaran ini bertentangan dengan pasal 20 UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran pemilu yang dilakukan


oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, atau masyarakat (individu atau
kelompok) dalam konteks untuk mempengaruhi, mengganggu, dan mengubah
tahapan, hasil, dan proses pemilu. Pelanggaran pidana pemilu berimplikasi pada
gangguan terhadap proses penyelenggaraan pemilu, misalnya pemalsuan identitas
untuk kepentingan politik tertentu (Pasal 273 UU No. 8 Tahun 2012), penyelenggara
pemilu sengaja menciptakan kondisi/menghalangi pemilih sehingga tidak dapat

Malpraktik Pemilu | 22
menggunakan hak pilihnya (Pasal 274), pengacauan atau perusakan sehingga
proses/tahapan pemilu terganggu (Pasal 275, 279). Tindakan yang mengarah pada
pelanggaran pemilu di atas dapat dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja oleh
partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif, pengurus partai politik, orang
per orang, organisasi yang ditunjuk peserta pemilu, serta penyelenggara pemilu.

Dalam konteks tata cara dan prosedur pemilu di Indonesia, pelanggaran pemilu
sebelum pencoblosan dapat terjadi pada setiap tahapan pemilu baik yang
administratif dan pidana. Misalnya, pelanggaran administratif jika petugas pendata
pemilih tidak mendata pemilih potensial sehingga hak suara mereka tidak
terakomodasi dalam Data Agregat Penduduk (DAK) dan Data Penduduk Potensial
Pemilih Pemilu (DP4). Misalnya, pelanggaran pidana karena adanya pihak lain yang
mengajak pemilih untuk memilih partai atau calon tertentu dengan imbalan
uang/materi, adanya ancaman, kampanye dini, atau mobilisasi kepada pemilih
sehingga pemilih tidak dapat bersikap autonom.

Pelanggaran pemilu pada hari pencoblosan bisa berupa penggunaan hak pilih
berulang kali (lebih dari satu kali), melakukan ancaman kepada pemilih, diskriminasi
terhadap pemilih berkebutuhan khusus (cacat) sehingga tidak bisa menggunakan
hak pilihnya secara normal (tidak nyaman). Sedangkan pelanggaran pemilu pada
penghitungan/rekapitulasi suara sangat beragam, seperti pengubahan atau
manipulasi (mengurangi atau menambah) hasil penghitungan suara, perusakan
kelengkapan surat suara, pengalihan suara untuk partai atau calon lain,
penyelenggara pemilu netral, jual beli suara (politik uang), mengancam dengan
kekerasan petugas pada saat penghitungan/rekapitulasi suara.

Pemetaan pelanggaran administrasi atau pidana pemilu perlu dikaitkan dengan


variabel tahapan pemilu yang panjang di Indonesia. Semakin panjang tahapan,
semakin luas hal-hal teknis dan operasional yang harus dikontrol oleh
penyelenggara pemilu. Faktor keterbatasan SDM juga perlu dikaji sebagai faktor
yang turut memfasilitasi pelanggaran pemilu. Misalnya, masa sebelum pencoblosan
(pre-election) yang panjang akan rawan mengundang pelanggaran pemilu, baik yang
sifatnya irregularity, pelanggaran administratif, dan pelanggaran pidana pemilu.

Contoh konkretnya adalah pengalaman yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2014.
Sesuai penetapan KPU, rentang masa kampanye Pemilu Legislatif 2014 dibagi
menjadi dua aktivitas kampanye. KPU menetapkan tanggal 11 Januari–5 April 2014
merupakan pelaksanaan kampanye melalui pertemuan terbatas, tatap muka,
penyebaran bahan kampanye kepada masyarakat, dan pemasangan alat peraga
kampanye. Berikutnya, 16 Maret–5 April 2014 adalah pelaksanaan kampanye
melalui rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik. Rentang masa
kampanye yang relatif panjang tersebut memungkinkan partai politik peserta
pemilu dan calon anggota legislatif untuk melakukan pengenalan diri atau sosialisasi
agar lebih dikenal di tengah masyarakat. Pada umumnya, sosialisasi ini bisa berupa
pemasangan gambar partai, gambar diri calon anggota legislatif di jalan-jalan,
penyebaran pamflet, dan berbagai aksi sosial yang mengatasnamakan diri calon.

Malpraktik Pemilu | 23
Dalam kenyataannya, pemasangan alat peraga kampanye lebih banyak didominasi
gambar-gambar calon anggota legislatif daripada gambar partai politik sebagai
institusi pengusung calon. Gejala ini justru menunjukkan bahwa proses pencalonan
telah mengarah pada penguatan personalisasi politik individu calon daripada
penguatan institusi partai yang mengusung calon. Implikasi personalisasi politik
pencalonan langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan kasus-kasus
pelanggaran pemilu dari yang sifatnya administratif maupun pidana baik yang
dilakukan oleh calon, tim kampenye calon, atau yang melibatkan kerjasama antara
calon atau yang terkait dengan calon penyelenggara pemilu.

Pemetaan dua jenis pelanggaran pemilu di atas dapat diuraikan sebagai berikut.

Pelanggaran pemilu yang bersifat administratif yang umum terjadi dari laporan
lapangan kajian ini adalah adanya warga negara yang punya hak pilih tetapi
namanya tidak terdaftar dalam DPS/DPT. Dikatakan pelanggaran administratif
karena pendataan pemilih oleh PPL atau PPK tidak menjangkau pemilih yang
seharusnya didata ke dalam DPS/DPT. Alasan yang umum dikemukakan adalah
petugas yang alpa/lalai mendata sehingga kelalaian ini berdampak pada aspek
administratif, yaitu tidak tercantumnya warga negara yang punya hak pilik dalam
DPS/DPT.

Implikasi pelanggaran administratif dapat merugikan warga negara yang memiliki


hak pilik, tetapi karena faktor administratif yang tidak memihak, maka warga negara
yang punya hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam hal ini, ada
beberapa pelanggaran sebagai akibat dari pelanggaran administratif. Misalnya, DPT
sudah ditetapkan, tetapi karena kelalaian pendataan, maka warga negara yang
punya hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya, pemilih yang terdaftar di
lebih dari satu TPS, pemilih tercantum dalam DPT tetapi tidak menerima C6, warga
punya hak pilih dan tercantum dalam DPT tetapi NIK bermasalah, warga punya hak
pilih dan tercantum dalam DPT tetapi nama dan jenis kelamin bermasalah, warga
meninggal tetapi namanya terdaftar dalam DPT hingga warga yang belum punya
hak pilih (di bawah umur) terdaftar dalam DPT. Pelanggaran-pelanggaran tersebut
mendegradasi hak-hak politik pemilih sebagai dampak kesalahan administratif yang
dilakukan petugas pendata/penyelenggara pemilu. Terhadap kasus pelanggaran
administratif ini, Panwas Kabupaten/Kota telah mengeluarkan rekomendasi agar
pihak KPU Daerah melakukan koreksi/pembetulan.

Dalam kajian ini, ditemukan bahwa pelanggaran administratif berpotensi


menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemilih. Misalnya, keputusan panitia
pemilihan yang tidak tepat dalam memilih lokasi TPS dapat menimbulkan praktik
ketidaksamaan perlakuan (inequality) dalam pemilu sehingga warga enggan
menggunakan hak pilihnya. Masalah ini ditemukan di Kabupaten Nias Selatan di
mana pemilihan lokasi TPS yang jauh berpotensi menyulitkan pemilih yang lain.
Ketidaknyamanan lain terjadi, misalnya, di TPS yang tidak dilengkapi kursi yang
cukup, TPS yang dibuat sekadarnya dan tidak ada pelindung panas matahari, jumlah
TPS hanya satu sehingga pemilih harus antri lama untuk mencoblos, bilik suara

Malpraktik Pemilu | 24
dalam TPS yang dibuat ala kadarnya dan tidak ada penyekat/tidak tertutup dan
panitia pemilihan lambat memanggil pemilih yang sudah mengantri.

Pelanggaran pemilu berikutnya adalah pelanggaran pidana pemilu yang dapat


merusak prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas dan
rahasia, jujur dan adil. Pelanggaran pidana pemilu dapat dikonstruksikan sebagai
pelanggaran pemilu di mana aktor pelaku (calon, tim pelaksana kampanye
calon/tim sukses calon) sengaja melakukan kecurangan/kejahatan pemilu (electoral
fraud) pada semua tahapan pemilu. Contoh pelanggaran pidana pemilu yang umum
terjadi adalah penggunan uang (politik uang) untuk mempengaruhi pemilih. Sasaran
politik uang adalah pemilih. Praktik politik uang ini marak menjelang hari
pencoblosan, tetapi sulit untuk dibuktikan/ditindaklanjuti sebagai kasus pidana
pemilu.

Aktivitas kelas:
o Peserta mendiskusikan dan mempresentasikan desain penegakan hukum
malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu dari sisi administrasi dan pidana
pemilu.

Tugas:
- Menggali data malpratik pemilu dan pelanggaran pemilu ke Panwas mengenai
permasalahan DPT dan memetakan sebab-sebabnya (kasus pemilih yang tidak
dapat menggunakan hak pilihnya).

Tes formatif:
1. Dalam konteks seperti apakah tahapan pemilu, dalam hal ini penyusunan DPT,
bisa ditarik ke jenis pelanggaran pidana pemilu?
2. Penyempurnaan seperti apakah yang harus dilakukan penyelenggara pemilu
untuk mengurangi peluang terjadinya malpraktik pemilu dan pelanggaran
pemilu?

Malpraktik Pemilu | 25
BAB IV

Iregularitas Pemilu

a. Deskripsi singkat
Bab ini menyajikan kerangka konseptual iregularitas (irregurality) yang terjadi
pada penyelenggaraan pemilu. Konsep tersebut digunakan untuk
menggambarkan bahwa pelaksanaan pemilu tidak selalu berjalan normal
(regularity), sebaliknya pemilu bisa berjalan tidak normal (irregurality) oleh
karena keterbatasan sarana/prasarana dan sumber daya pelaksana pemilu.
Perdebatan yang berkembang di kemudian waktu melihat irregularity sebagai
pelanggaran pemilu atau suatu kenormalan yang sudah diterima pemilih secara
umum.

b. Manfaat
Pada akhir perkuliahan, peserta kuliah diharapkan memiliki kemampuan dalam
mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah regularitas dan iregularitas
dalam proses penyelenggaraan pemilu.

c. Relevansi
Memperkuat dan up date konsep dan teori mengenai permasalahan-
permasalahan aktual malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu

d. Learning outcome
Memperkuat penguasaan konsep dan teori dalam menjelaskan fenomena
iregularitas dan regularitas dalam proses penyelenggaraan pemilu

Penyajian:
Selain pelanggaran administrasi pemilu dan pelanggaran pidana pemilu, terdapat
bentuk pelanggaran pemilu lain yang berpotensi menyebabkan penyelenggaraan
pemilu berlangsung menyimpang, tidak normal, atau tidak nyaman. Konsep yang
dipakai untuk menjelaskan proses penyelenggaraan pemilu yang berlangsung
menyimpang, tidak normal, atau keluar dari prosedur normal suatu pemilu yang
baik adalah konsep irregularity. Konsep irregularity adalah bentuk penyimpangan
penyelenggaraan pemilu yang diukur dari pelanggaran terhadap prosedur-prosedur
(hukum) atau norma-norma pemilu demokratis. Dalam konteks pemilu di Indonesia,
prosedur-prosedur ini tertuang dalam undang-undang pemilu, peraturan
pemerintah atau keputusan-keputuan yang dibuat oleh penyelenggara pemilu (KPU)
untuk mengatur tahapan-tahapan dan proses pemilu. Dengan demikian, irregularity
merupakan bentuk out of procedures yang dapat terjadi pada setiap tahapan suatu
penyelenggaraan pemilu.

Mengacu pada pemilu di Indonesia, tahapan-tahapan pemilu dimulai dari pemetaan


penduduk potensial pemilih yang disebut Daftar Agregat Kependudukan (DAK) yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota. DAK yang
berbasis pada data penduduk per kecamatan tersebut menjadi acuan KPUD daerah

Malpraktik Pemilu | 26
pemilihan untuk selanjutnya dievaluasi oleh pihak KPUD sebagai dasar penyusunan
DPS sebelum ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT) di tiap kabupaten/kota.

Peluang pelanggaran pemilu yang mengarah pada irregularity dapat terjadi pada
tahapan-tahapan sebelum pelaksanaan pemilu tersebut. Misalnya, petugas pendata
calon pemilih melakukan kesalahan dengan tidak mendata warga negara yang
punya hak pilih sehingga mengakibatkan warga negara tersebut kehilangan hak
pilih. Dalam kasus ini, prinsip equality dilanggar karena setiap warga negara yang
secara hukum memiliki hak pilih berhak didata dan dilayani sebagai calon pemilih.
Pelanggaran hak pilih ini membuat warga negara terancam kehilangan kesempatan
untuk menggunakan hak suaranya. Jika pelanggaran yang bersifat administratif
tersebut dilakukan secara sengaja, maka dimensi pelanggaran pemilu dengan
konsep irregularity menjadi kasus pidana pemilu walaupun terjadi sebelum pemilu
berlangsung (pre election). Demikian pula, pelanggaran pemilu yang bersifat
irreggularity dapat terjadi pada tahapan pemberian/pencoblosan, hingga
penghitungan dan rekapitulasi suara.

Menurut Carreras dan Irepoglu (2013), praktik irregularity hanya bisa dilakukan oleh
pihak yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, adalah
jelas bahwa objek dalam konsep irregularity adalah atas penyelenggara pemilu yang
melakukan kesalahan dalam membuat keputusan atau kebijakan menyangkut
proses pemilu. Lebih lanjut dikatakan “...irregularity may reflect deliberate wrong-
doing by election officials or negligence in the part of state institutions, and can take
place at any stage of the electoral processes.” 3 Dampak irregularity terhadap posisi
pemilih dalam konteks pemilu demokratis adalah terhadap hak-hak politik pemilih
yang menjadi terabaikan, diperlakukan tidak sama (unequal), atau menjadi tidak
nyaman jika kondisi tempat pemungutan suara menyalahi standar/norma
penyelenggaraan pemilu secara secara normal.

Sebagaimana disebutkan di atas, objek irregularity adalah penyelenggara pemilu


yang salah dalam membuat kebijakan/keputusan atau melakukan pengabaian pada
proses tertentu sehingga merugikan pemilih. Konsep merugikan bisa dimaknai
dalam konteks politik jika kesalahan pendataan menyebabkan pemilih kehilangan
hak suaranya. Irregularity juga bisa dimaknai terkait kegiatan mengganggu kondisi
sosial psikologis pemilih jika kondisi TPS tidak nyaman, panas dan pemilih harus
mengantri lama untuk mendapat giliran untuk dipanggil ke bilik suara,
penyelenggara pemilu tidak menyediakan kursi di TPS, penyelenggara mengabaikan
pemilih untuk dilabel hingga TPS tidak dilengkapi alat untuk mencoblos kertas suara
dan penyelenggara yang mengutamakan orang-orang tertentu dalam pemberian
suara.

Pelanggaran pemilu yang bersifat irregularity tidak diatur rumusannya dalam UU


No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD sehingga perlu dibuat
ketentuan khusus dan sanksi hukum untuk mencegah praktik penyimpangan
penyelenggaraan pemilu. Ketiadaan norma hukum soal irregularity ini tentu

3
Carreras, M; Irepoglu, Y.; Trust in election, vote buying, and turnout in Latin America, Electoral
Studies (2013)
Malpraktik Pemilu | 27
menyulitkan pengawas (Bawaslu/Panwaskab/Kota) untuk memberikan rekomendasi
jika terjadi kasus-kasus pelanggaran pemilu yang bersifat irregularity. Tidak adanya
ketentuan formal yang mengatur pelanggaran pemilu yang bersifat irregularity
justru merugikan bahkan melemahkan posisi pemilih. Pembiaran adanya irregularity
membuat aspek psikologis pemilih terganggu, diabaikan serta berpotensi
menimbulkan keengganan untuk datang ke TPS. Secara psikologis, pemilih juga akan
merasa pihak penyelenggara pemilu berada pada posisi dominatif sehingga pemilih
enggan menyampaikan kritik atas ketidaknyamanan yang mereka rasakan di
lingkungan TPS.

Walaupun masih belum ada pegangan normatif yang tegas untuk mengantisipasi
irregularity, penyelenggara pemilu atau pengawas pemilu dapat mengevaluasi
apakah suatu proses pemungutan suara mengarah pada irregularity atau tidak
dengan mengacu pada Bab IX pasal 142 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Alat
Perlengkapan Pemungutan Suara. Pasal 142 menyatakan bahwa alat perlengkapan
suara meliputi: kotak suara, surat suara, tinta, alat coblos, bilik suara, segel dan
tempat pemungutan suara (TPS).

Secara implisit, konten pasal di atas bisa dijadikan acuan mengevaluasi apakah
situasi TPS memberikan kenyamanan bagi pemilih atau tidak. Bisa saja suatu TPS
memiliki alat perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dituntut undang-
undang namun penyelenggara abai sehingga penggunaannya tidak optimal. Atau,
semua alat kelengkapan suara tersedia tetapi jika jumlah pemilih yang akan
memberikan suara melebihi kapasitas tempat atau mereka memenuhi lokasi TPS
dan panitia, pemilihan tidak cukup menyediakan kursi. Hal ini tentu akan
mengurangi kenyamanan pemilih.

Kasus-kasus yang berpotensi mengarah pada irregularity dapat dikaji dari pasal 142
mengenai persyaratan yang harus ada agar suatu proses pemungutan suara
berjalan sesuai yang diterima secara universal. Ketentuan pasal 142 menunjukkan
bahwa perlengkapan pemungutan suara merupakan sarana yang harus ada untuk
berjalannya pemungutan suara secara normal. Dengan patokan tersebut, maka
ketidaktersediaan beberapa perlengkapan pemungutan suara bisa menimbulkan
pemilu yang menyimpang dan berjalan tidak normal (irregularity). Misalnya,
penyelenggaraan pemungutan suara yang berjalan tidak normal jika bilik suara
dalam suatu TPS yang tersedia hanya satu buah, dan tanpa dilengkapi pembatas
untuk melindungi kerahasiaan pemberian suara. Hal tersebut dikatakan tidak
normal karena situasi TPS membuat pemilih merasa tidak nyaman dan kerahasian
pilihannya rentan diketahui orang lain.

Pelaksanaan pemungutan suara yang tidak didukung perlengkapan pemilu yang


memadai menggambarkan tata kelola TPS yang buruk. Hal ini dijumpai di beberapa
TPS di Nias Selatan yang dibuat ala kadarnya, bahkan tidak memenuhi standar
sehingga menyalahi prinsip kerahasiaan dalam pemberian suara. Walaupun alat
perlengkapan pemungutan suara lebih bersifat normatif yang harus dipenuhi agar
TPS disebut layak, tidak berarti petugas penyelenggara dapat berlaku permisif atau

Malpraktik Pemilu | 28
membolehkan pelanggaran norma-norma pemilu yang seharusnya diikuti. Artinya,
jika penyelenggara abai maka dapat merusak kenormalan proses pemberian suara.

Penentuan apakah iregularitas merupakan kasus malpraktik pemilu atau tidak


memerlukan kajian mendalam yang dilakukan oleh pengawas pemilu dan
aparatnya. Patokannya berpegang pada norma-norma hukum (UU No. 8 Tahun
2012) dan prinsip universalitas pemilu. Dengan keunikan konteks sosiobudaya
masyarakat Indonesia, tidak tertutup kemungkinan, ketidakmerataan sumber daya
penyelenggara pemilu serta sarana pendukungnya, turut berperan dalam kasus-
kasus iregularitas. Contohnya adalah budaya pemberian suara secara kolektif, yaitu
noken di beberapa distrik di Papua. Inilah salah satu bentuk komunalisme yang
ditransformasi dalam sistem pemilu modern. Sekali lagi, pemilihan model noken
sudah sering dilakukan dan dianggap sebagai kewajaran oleh pemilih. Mereka pun
tidak merasa hak pilihnya dihilangkan atau dimanipulasi oleh ketua suku yang
mewakilinya. Jika dilihat dari praktik demokrasi modern yang mengedepankan suara
individu, model pemilihan noken, tidak hanya menyimpang, tetapi juga melanggar
prinsip langsung, umum, bebas dan rahasia.

Karena terjadinya iregularitas adalah penyimpangan terhadap prinsip pemilu yang


bebas, jujur dan adil, dan tidak diatur oleh undang-undang pemilu, maka hal ini
menyulitkan bagi upaya untuk meluruskannya. Pengawas pemilu sebagai lembaga
penegak hukum tidak punya dasar hukum untuk menindak, bahkan mencegah.
Protes pemilih juga gampang diabaikan oleh petugas karena petugas merasa tidak
ada yang dilanggar. UU No. 8/2012 memang menyebut sejumlah alat perlengkapan
pemungutan suara, seperti kotak suara, surat suara, tinta, alat coblos, bilik suara,
segel dan dll.4 Jika petugas melihat seluruh peralatan tidak lengkap atau tidak
sempurna, tetapi tetap memilih agar pemungutan dilanjutkan, hal ini bisa tetap
dianggap sebagai jalan terbaik alih-alih menunda pemungutan suara. Di sinilah
kenyamanan pemilih terabaikan, meski petugas tetap menganggap itu langkah lebih
baik daripada tidak melangsungkan pemungutan suara.

Kasus iregularitas dalam pelaksanaan pemilu legislatif pada Pemilu 2014 sudah
dianggap biasa sehingga pemilih menganggapnya bukan suatu persoalan penting.
Yang paling menonjol adalah tidak tersedianya alat bantu bagi pemilih penyandang
disabilitas. KPU hanya menyediakan surat suara dengan huruf braille untuk memilih
calon anggota DPD. Sedangkan untuk memilih calon anggota DPR, DPR provinsi dan
DPRD kabupaten/kota tidak tersedia. Peraturan KPU mempersilakan para
penyandang disabilitas untuk menunjuk sendiri orang yang dipercayainya dalam
membantu memberikan suara di bilik suara. Namun, dalam praktiknya, mereka
kebanyakan dibentuk oleh KPPS tanpa kerelaan penyandang disabilitas. Hal yang
sama sebetulnya juga menimpa banyak pemilih yang sedang menjadi pasien di
rumah sakit.

Kasus-kasus iregularitas mungkin sudah dianggap biasa, seperti kotak suara tidak
disegel/digembok, tinta buruk tetapi pemilih tidak mempermasalahkan, TPS yang
tidak ramah bagi orang cacat/buta atau antrian pemilih yang panjang tetapi petugas
4
Pasal 141 UU No 8/2012.
Malpraktik Pemilu | 29
tidak berinisiatif apa pun untuk mengatasinya, bilik suara dibuat hanya satu. Kasus-
kasus iregularitas ini selalu terjadi berulang dari pemilu ke pemilu sehingga
dianggap wajar oleh pemilih. Tidak ada pihak yang berusaha mencegahnya agar
tidak terulang lagi. Pemilih pun merasa semuanya berlangsung normal. Inilah
pembiaran kasus iregularitas. Contoh pembangunan TPS tidak memenuhi standar
sehingga mendegradasi prinsip kerahasiaan, TPS didirikan di tepi jalan, warung atau
teras rumah warga, bilik suara di beberapa TPS tersebut dibuat dari meja kecil
dengan penutup dari kardus bekas, tirai kain seadanya, bilik suara yang tidak
memadai yang terjadi berulang namun masyarakat menganggap kejadian tersebut
sebagai kondisi biasa.

Bentuk lain dari iregularitas yang terjadi adalah penyelenggara tidak konsisten atau
abai dalam beberrapa hal yang vital dalam proses penyelenggaraan sehingga
menimbulkan penyimpangan pemilu yang normal, di antaranya adalah: 5

a. Kotak suara tidak tergembok dan tersegel saat diterima oleh PPS dari
KPPS
b. Pemilih akan mewakili pemilih lain dalam menggunakan hak pilihnya
c. KPPS tidak memberi tanda silang pada semua surat suara yang tidak
terpakai
d. KPPS Tidak konsisten dalam menetapkan suara sah dan tidak sah
e. KPPS tidak memberi kesempatan kepada saksi untuk menyampaikan
keberatan
f. KPPS tidak segera melakukan pembetulan atas keberatan saksi yang
sudah sesuai aturan
g. KPPS tidak memberi kesempatan kepada Pengawas Pemilu Lapangan
untuk menyampaikan keberatan
h. KPPS tidak segera melakukan pembetulan atas keberatan Pengawas
Pemilu Lapangan yang yang sudah sesuai aturan
i. Saksi tidak menerima salinan formulir C-1 pada hari yang sama
j. Pengawas Pemilu Lapangan tidak menerima salinan formulir C-1 pada
hari yang sama

Di bawah ini beberapa foto TPS di Nias Selatan yang dibuat seadanya dan tidak
memenuhi syarat sesuai kewajaran yang diharuskan dalam undang-undang pemilu.

5
Sumber dari hasil pemantauan Kemitraan tahun 2014
Malpraktik Pemilu | 30
Aktivitas Kelas:
1. Peserta kuliah mengambil contoh kasus-kasus iregularitas dalam
penyelenggaraan pemilu dan mendiskusikannya dengan kelompok (3 orang)
mengapa hal tersebut terjadi
2. Membuat role model dalam rangka mencari solusi iregularitas dalam
penyelenggaraan pemilu

Tugas:
 Peserta kuliah mengulas literatur atau jurnal mengenai iregularitas dalam
penyelenggaraan pemilu (4 halaman)

Rangkuman:
Iregularitas dalam penyelenggaraan pemilu merupakan bentuk pelanggaran pemilu
yang terabaikan dari proses penindakan pelanggaran pemilu. Sikap aparat dan
masyarakat turut membentuk pemahaman bahwa iregulartitas dianggap hal yang
biasa terjadi sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Pembiaran iregularitas tidak
saja dapat membuat pemilih menjadi tidak nyaman, tetapi juga dapat mendegradasi
kualitas penyelenggaraan pemilu

Tes formatif:
- Mengapa iregularitas dalam penyelenggaraan pemilu tetap terjadi?
- Hal-hal apakah yang membuat iregulartitas tidak dianggap sebagai pelanggaran
pemilu?
- Langkah-langkah seperti apakah yang perlu dibuat oleh penyelenggara pemilu
untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas?

Malpraktik Pemilu | 31
BAB V

Mobilisasi Massa dan Kekerasan pemilu

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini menyajikan persoalan-persoalan klasik dalam pemilu Indonesia,
yaitu kuatnya fenomena mobilisasi massa sehingga menghasilkan pemilih yang
tidak independen. Dalam konteks tertentu, mobilisasi massa juga berisiko
menimbulkan agresivitas massa yang secara potensial membuka ruang bagi
kekerasan serta pelanggaran pemilu. Adanya mobilisasi massa dan kekerasan
pemilu dapat merusak relasi sosial antarkelompok, etnis, budaya dan gender
dalam masyarkat.

b. Manfaat
Memperlengkapi peserta kuliah dengan konsep-konsep mobilisasi serta
mengkaitkannya dengan potensi pelanggaran dan gangguan pemilu

c. Relevansi
Peserta mampu menganalisis relasi mobilisasi massa dengan kekerasan pemilu,
serta dampaknya pada penegakan hukum pemilu

d. Learning outcome
Peserta kuliah mampu menghasilkan pemetaan kekerasan pemilu dan desain
untuk penyelesaian konflik pemilu

Penyajian
Di Indonesia, pemilu selalu identik dengan pengerahan massa, yaitu model
partisipasi politik yang digerakkan atau dimobilisasi oleh kekuatan luar. Dalam kasus
ini, individu tidak bersikap independen. Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, gradasi partisipasi yang dimobilisasi dapat diamati pada era Orba.
Birokrasi memainkan peran kunci dalam menggerakkan massa pemilih, baik secara
persuasif maupun menerapkan paksaan, bahkan ancaman (Liddle, 1992). Hal-hal itu
dilakukan untuk memenangkan Golkar sebagai partai instrumen kekuasaan Orba.

Partai politik cenderung menganggap keberhasilan mereka dalam memobilisasi


massa akan berdampak terhadap kekuatan elektoral mereka. Bagi partai, massa
adalah simbol kekuatan politik mereka. Semakin besar massa dihadirkan dalam
kampanye atau pawai-pawai, semakin besar daya mobilisasi suatu partai. Karena
itu, partai akan menggunakan berbagai cara untuk menghadirkan massa secara
besar-besaran. Di lain sisi, pengerahan massa dapat memicu ketegangan psikologis
politik antar pendukung partai dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi
embrio bagi aksi kekerasan politik dalam pemilu.

Secara teoretis, terdapat tiga aktivitas yang berkaitan dengan konsep mobilisasi
politik massa dalam pemilu. Pertama, massa tidak selalu datang secara sukarela.
Mereka perlu digerakkan dan diarahkan untuk tujuan-tujuan politik partisan. Kedua,
massa bersifat fragmentatif, karena itu mereka perlu kekuatan eksternal untuk
Malpraktik Pemilu | 32
menyatukan mereka agar dapat bergerak efekttif sebagai massa politik. Ketiga,
partai punya kepentingan untuk menggerakkan dan mengarahkan massa agar dapat
dijadikan sumber dukungan elektoral.

Dalam sejarah politik Indonesia, praktik mobilisasi massa sarat akan muatan
ideologis dan politik karena menjadi instrumen utama bagi pemerintah Orde Baru
untuk memenangkan Golkar. Salah satu faktor kemenangan Golkar dalam pemilu-
pemilu Orde Baru diperoleh dari kemampuannya untuk melakukan mobilisasi masif
jajaran birokrasi dari tingkat pusat hingga daerah. Dari jajaran birokrasi inilah
bersemai jaringan politik yang bergerak efektif dalam menggali dukungan dari
massa politik yang umumnya bersikap apatis.

Dalam konteks reformasi politik saat ini, penggunaan birokrasi untuk kepentingan
politik dianggap bertentangan dengan semangat kesetaraan dalam pemilu. Apalagi
jika yang dijadikan sasaran mobilisasi adalah pegawai negeri sipil atau jika peserta
pemilu atau calon memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. UU
No. 8 Tahun 2012 pasal 86 ayat (2) mengatur larangan bagi peserta pemilu untuk
melakukan kampanye yang melibatkan pejabat negara, pegawai negeri sipil (PNS),
TNI-Polri, kepala desa dan aparat desa. Pelarangan penggunaan birokrasi atau
fasilitas negara ini perlu dilakukan untuk menjaga keadilan, kesetaraan dan
integritas dalam penyelenggaaraan pemilu.

Pesan pasal 86 di atas adalah bahwa partai politik dan calon dilarang melakukan
politisasi politik terhadap jajaran birokrasi untuk kepentingan pencalonan.
Penggunaan birokrasi untuk kepentingan memperoleh dukungan politik dapat
dianggap sebagai pelanggaran pidana pemilu. Dalam realitas politik yang ada, selalu
terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan
birokrasi (kabupaten/kota/kecamatan/desa) untuk mendukung calon tertentu.
Modusnya adalah aktor calon atau kepala daerah yang berafiliasi pada partai politik
memanfaatkan birokrasi pemerintah daerah agar warga memilih calon dan partai
tertentu. Mobilisasi ini dilakukan melalui cara-cara halus dengan memanfaatkan
rapat/pertemuan dalam jajaran pemerintah desa. Mobilisasi birokrasi untuk
kepentingan politik itu merupakan pelanggaran pemilu dengan memanfaatkan
birokrasi (power misuse) untuk kepentingan kampanye partai dan calon.

Contoh mobilisasi birokrasi ditemukan di kabupaten Nias Selatan. Di kabupaten ini,


power misuse transparan dilakukan karena didukung kolaborasi dinasti politik
keluarga antara pihak partai dominan dengan tokoh lokal. Kasus ini dapat
ditemukan di Nias Selatan yang ‘dikuasai’ oligarki keluarga tokoh politik lokal yang
menguasai Nias Selatan sebagai penguasa tertinggi kabupaten, ketua KPUD, elite
partai tingkat kabupaten dan elie partai tingkat provinsi. Dominasi dinasti politik
keluarga ini juga menjadi anomali perekrutan KPU dan jajaran PPK setempat
sehingga tidak netral. Misalnya proses perekrutmen anggota KPU dan PPK telah
didesain untuk meloloskan calon-calon yang akan loyal terhadap kepentingan
bupati setempat. Ketidaknetralan anggota KPU Nias Selatan ini terbukti secara
hukum di mana lima orang anggota KPU Nias Selatan diberhentikan oleh DKPP
(Putusan No. 65 dan 66 DKPP-PKE III/2014) karena tidak berintegritas dan

Malpraktik Pemilu | 33
melanggar kode etik dengan melakukan penggelembungan rekapittulasi suara
sehingga menguntungkan calon tertentu. Kolaborasi dinasti politik ini juga terlihat
dari klaim-klaim kampanye yang mengatasnamakan keberhasilan partai tertentu
dalam melakukan pembangunan (jalan, gedung dan pengadaan bantuan perahu
untuk nelayan) di Nias Selatan.

Secara normatif, pemanfaatkan jajaran birokrasi (pusat dan aparat daerah/desa)


serta klaim-klaim pembangunan untuk kepentingan pencalonan dapat
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran pidana kampanye pemilu sebagaimana
dituangkan dalam pasal 86 (1 huruf h dan ayat 2 huruf g h dan h) mengenai
larangan menggunakan fasilitas pemerintah dan aparat desa. Sesuai ketentuannya,
Panwas kabupaten/kota dapat melakukan peneguran terhadap pelaksana
kampanye (parpol dan calon) dengan memberi teguran/peringatan keras terhadap
pelanggaran tersebut.

Pemanfaatan mobilisasi birokrasi untuk sarana penggalangan massa jelas


merupakan pelanggaran pidana pemilu. Hal ini terjadi di beberapa daerah, salah
satunya di Lombok Timur. Modusnya adalah mobilisasi oleh aparat desa agar warga
memilih calon dan partai tertentu. Mobilisasi ini dilakukan melalui cara-cara halus
dengan memanfaatkan rapat/pertemuan dalam jajaran pemerintah desa.

Praktik mobilisasi massa menyebabkan kualitas partisipasi politik warga menjadi


rendah. Mobilisasi massa cenderung menghasilkan pemilih pasif karena pemilih
sengaja diarahkan untuk berlaku partisan kepada partai/calon tertentu dan
kehilangan kebebasannya dalam membuat keputusan yang independen dalam
pemilu. Dalam perspektif demikian, mobilisasi politik massa rawan dimanfaatkan
partai atau calon untuk membangun elektabilitas politik secara instan. Dari aspek
psikologi massa, praktik mobilisasi massa dapat menimbulkan perilaku kampanye
massa yang agresif. Dalam kompetisi pencalonan yang ketat di Indonesia, praktik
mobilisasi massa akan menghasilkan pola komunikasi politik antarmassa yang sudah
partisan menjadi tegang sehingga dapat memicu resistensi kekerasan antarmassa
dalam kampanye.

Dalam praktik pemilu di Indonesia, pemetaan modus-modus mobilisasi massa


dalam pemilu yang umum dilakukan partai atau calon adalah:

1. Mobilisasi pasif seperti pertunjukkan atau hiburan musik, pawai/konvoi


kendaraan dengan alasan menuju tempat kampanye, aksi bakti sosial, jalan
sehat, pengobatan gratis yang asosiatif mengarah pada partai tertentu.
2. Mobilisasi aktif seperti partai atau calon sengaja menggalang massa untuk hadir
dalam kampanye, pemberian uang/materi sehingga manarik massa untuk hadir
dalam kampanye.
3. Mobilisasi karena faktor relasi klientelistik. Di sini, faktor ketokohan menjadi
penting, baik ketokohan agama atau ketokohan ekonomi yang menciptakan
ketergantungan ‘para pengikut’ karena faktor sosioreligius dan kepentingan
ekonomi.

Malpraktik Pemilu | 34
4. Mobilisasi karena kepentingan pemilih untuk mendapatkan imbalan materi
(uang). Misalnya, pemilih datang ke arena kampanya partai atau calon karena
pertimbangan ingin mendapatkan uang daripada ingin mendengarkan materi
program atau kebijakan yang ditawarkan partai politik.

Dengan berpatokan pada Pasal 82 UU No. 8 Tahun 2012, praktik mobilisasi massa
yang berpotensi menimbulkan electoral malpratce dapat dieliminasi. Pasal tersebut
memberi alternatif bentuk kampanye yang mencerdaskan seperti pertemuan
terbatas, tatap muka, penyebaran pamflet, kampanye melalui media cetak dan
elektronik serta pemasangan alat perada kampanye lain. Model kampanye
demikian jika dilakukan secara konsisten oleh peserta pemilu akan meminimalkan
penggunaan hal-hak yang bersifat mobilisasi. Karena itu, perlu dicarikan alternatif
baru agar peserta pemilu tergerak untuk mengembangkan kampanye kreatif tanpa
harus mengandalkan pertemuan-pertemuan massa yang rentan atas provokasi
politik.

Selanjutnya, pada pasal 86 ditekankan bahwa peserta pemilu dilarang menyinggung


hal-hal yang secara emosional dapat menimbulkan provokasi politik yang
membahayakan masyarakat seperti dilarang:
 mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
 melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
 menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta
Pemilu yang lain;
 menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
 mengganggu ketertiban umum;
 mengancam untuk melakukan kekerasan atau
 menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
 merusak dan/atau menghilangkan alat peraga
kampanye Peserta Pemilu;
 menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan
tempat pendidikan;
 membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau
atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut
Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
 menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.

Aktivitas Kelas:
1. Peserta kuliah membentuk kelompok diskusi (3-4 orang) untuk menganalisis
kaitan antara mobilisasi massa dengan kekerasan politik kampanye
2. Peserta kuliah memetakan hal-hal yang masih menjadi sumber kerawanan
kampanye yang melibatkan rapat-rapat umum (massa).

Malpraktik Pemilu | 35
Tugas:
1. Peserta kuliah menggali informasi kepada komisioner KPUD mengenai potensi
kekerasan kampanye
2. Membuat kesimpulan mengenai bentuk kampanye yang efektif mampu
mengurangi aksi-aksi kekerasan kampanye

Rangkuman:
Salah satu bentuk kerawanan kampanye pemilu di Indonesia adalah adanya aksi
mobilisasi politik massa yang rentan berubah menjadi aksi provokasi dan kekerasan
kampanye yang melibatkan massa. Upaya untuk mengurangi efek kekerasan
kampanye dapat dilakukan melalui pengaturan jadwal kampanye yang tidak
bersamaan antara peserta pemilu satu dengan peserta pemilu lain di suatu daerah
dan mengembangkan bentuk kampanye pemilu yang variatif. Keragaman variasi
kampanye ini dapat mendorong peserta pemilu mengembangkan bentuk kampanye
cerdas yang lebih berorientasi pada sosialisasi program.

Tes formatif:
1. Secara singkat, jelaskanlah apa yang dimaksud dengan mobilisasi massa untuk
kepentingan pencalonan.
2. Apakah kekerasan kampanye berkaitan dengan model kampanye peserta
pemilu yang masih cenderung mengandalkan mobilisasi massa?

Malpraktik Pemilu | 36
A. Vote Buying

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengkaji masaalah jual beli suara (vote buying) dalam
penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Vote buying marak dilakukan calon
langsung atau tak langsung untuk mendapatkan perolehan suara melalui
transaksi uang atau dengan imbalan uang. Praktik vote buying dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran pidana pemilu (electoral fraud) yang
berpotensi mendegradasi hasil pemilu.

b. Manfaat:
Memperkuat pengenalan dan pemahaman konsep mengenai vote buying,
modus-modusnya, pemetaan aktor yang terlbat dalam vote buying serta
kendala-kendala penindakannya.

c. Relevansi:
Peserta kuliah memiliki kecakapan dalam mengidentifikasikan praktik-praktik
vote buying dalam pemilu dan mampu membuat desain kelembagaan yang
efektif untuk pencegahan dan penindakan vote buying.

d. Learning outcome:
Mampu menganalisis praktik-praktik vote buying dan mengembangkan desain
kelembagaan guna menghasilkan penyelenggaraan pemilu yang bersih dan
berintegritas.

Penyajian
Konsep vote buying merujuk pada praktik penggunaan uang oleh peserta pemilu
untuk kepentingan penambahan suara peserta pemilu (Jensen dan Justesen, 2013).
Sasaran vote buying adalah pemilih atau transaksi oleh peserta pemilu dengan
penyelenggara pemilu untuk menaikkan suara pasca pencoblosan. Praktik vote
buying juga difasilitasi oleh karakterisik sosiologi suatu masyarakat. Pola relasi yang
dominan patron-client relation cenderung menghasilkan praktik vote buying, yaitu
pola pembelian suara yang dilakukan oleh jaringan klientelisme politik (political
clientelism). Jaringan klientelistik ini berpusat pada tokoh dominan yang ditopang
struktur sosial yang sangat bergantung dan patuh pada sang tokoh (Hopkin, 2006).

Praktik vote buying merupakan bentuk pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan
peserta pemilu untuk mempengaruhi hasil suara. Modus yang digunakan adalah
aksi pembagian uang/materi kepada pemilih dengan memanfaatkan berbagai forum
sosial, seperti pengajian, pengobatan atau bentuk pertemuan lain yang
bertentangan dengan UU. Dalam realitas pemilu di Indonesia, praktik pemberian
atau pembagian uang merupakan tindakan yang dianggap biasa. Masyarakat pun
cenderung mentoleransi adanya praktik demikian. Pembagian uang kepada pemilih
di sekitar terkadang dilakukan dilakukan tim sukses calon. Nampaknya, aksi
pembagian uang menjadi modus umum calon untuk menarik simpati pemilih dan
cara mudah calon dalam membangun elektabilitas secara cepat di mata pemilih.

Malpraktik Pemilu | 37
Aksi marak praktik penggunaan/pemberian materi atau uang untuk mempengaruhi
suara pemilih menjadi pilihan pragmatis calon anggota legislatif atau tim kampanye
mereka guna mendapat dukungan pemilih secara instan. Nampaknya pencalonan
proporsional terbuka (open list) di mana penetapan calon terpilih ditentukan
berdasarkan perolehan suara terbanyak di masing-masing daerah pemilihan (DP)
telah mendorong calon untuk aktif memanfaatkan berbagai strategi politik guna
meningkatkan elektabilitas mereka di mata pemilih. 6 Karena itu, calon dan tim
politik calon leluasa memanfaatkan waktu kampanye yang relatif lama untuk
membangun elektabilitas pencalonan melalui cara-cara yang berpotensi melanggar
aturan pemilu, seperti politik uang, intimidasi ataupun kolaborasi calon dengan
petugas/penyelenggara pemilu.7

Transksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung, tetapi
melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon.
Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW
di tingkat desa atau acara-acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih
yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah
pengganti uang transportasi.

Praktik pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada
politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan
makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transportasi
dan pada saat kejadian pembagian sang calon tidak menyinggung visi, misi dan tidak
mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian uang
transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasi demikian menyebabkan
langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara
Panwas, Kepolisian, dan Kejaksaan terbilang sulit dilakukan karena kendala
pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya panwas
menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang
tidak bersedia bersaksi karena mereka merasa khawatir menyinggung pelaku yang
dikenalnya.

Kegagalan Panwas dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik
uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik
uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak
didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/materi, pelaku dan
terpenuhinya aspek politik uang), maka Panwas tidak dapat melanjutkan ke aspek
penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan. Ketiadaan alat bukti
menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan.

6
Sebagaimana kasus pemilu legislatif Hongkong sebagaimana diteliti Ngok Ma dan Chi-keung Choy
dalam The Impact of Electoral Rule Change on Party Campaign Strategy: Hongkong as a Case Study
dalam Party Politics Vol.9 No. 3. Hal. 347-367.
7
Praktik politik uang juga dikeluhkan elite parpol sebagaimana dikatakan ketua DPC PD Solo Joko
Saptono dan elite parpol lainnya. Para elite partai lokal umumnya menyadari bahwa merugikan parpol
tetapi sistem pencalonan yang sengit antarparpol dan adanya ekspektasi calon untuk menang justru
mendorong mereka untuk melancarkan strategi instan menggapai elektabilitas. (lihat Jawa Pos Radar
Solo, 15 April 2014; Solo Pos, 15 Aprl 2014; Joglo Semar, 14 Aprl 2014; Jateng Pos, 9 April 2014).
Malpraktik Pemilu | 38
Faktor pembuktian politik uang yang sulit membuat aktor pelaku politik uang
semakin leluasa bergerak. Aktor pelaku yang bukan tim pelaksana kampanye calon
acapkali membuat acara-acara sosial yang dikemas dengan pemberian hadiah
berupa TV, sepeda motor, lemari es, kipas angin dan HP sebagai door price kepada
pemilih, sebagai modus yang jamak dilakukan di beberapa daerah. Untuk
membuktikan apakah pemberian door price mengarah praktik politik uang
bertentangan dengan pasal 89 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu mengharuskan
Bawaslu/Panwas menemukan alat bukti yang cukup untuk membuat kajian dan
rekomendasi kepada pihak kepolisian mengenai politik uang. Menurut pasal
tersebut, pengawas pemilu harus membuktikan praktik pembagian door price
paralel dengan politik uang. Namun, tanpa ada transaksi yang bersifat imbalan
untuk memilih partai/calon tertentu dari pelaku, kemungkinan besar kasus tersebut
gugur demi hukum. Kendala lain untuk membuktikan pemberian/pembagian
uang/materi sebagai politik uang adalah dakwaan politik uang harus sinkron dengan
bunyi pasal 81 UU No. 8 Tahun 2012 mengenai materi kampanye.

Pembuktian praktik politik uang pada pasal 89 tidak bisa berdiri sendiri dari konteks
pasal 81. Artinya, untuk membuktikan praktik politik uang, kasus tersebut harus
memenuhi ketentuan pasal 81 yaitu adanya penyampaian visi, misi dan program
partai politik. Jika dalam pertemuan-pertemuan sosial dan keagamaan tersebut
calon atau tim kampanye calon hanya sekedar hadir dan tidak terbukti sedang
menyampaikan materi kampanye maka Panwas tidak bisa melakukan penindakan
hukum. Kendala untuk mendapatkan bukti hukum adanya penyampaian visi, misi
atau program politik dalam pertemuan-pertemuan tersebut acapkali melemahkan
fungsi penindakan Panwas terhadap setiap indikasi praktik politik uang.

Keleluasaan calon anggota legislatif atau tim sukses calon atau pihak-pihak yang
berkepentingan dengan kemenangan calon tertentu untuk melakukan pelanggaran
pemilu pada masa sebelum pencoblosan didorong oleh banyak faktor.

Pertama, pencalonan sistem terbuka menempatkan calon pada ketidakpastian atas


keterpilihannya sehingga mendorong calon untuk melakukan penguatan
elektabilitas secara instan melalui politik uang.

Kedua, karakter pemilih yang kian pragmatis dan tidak tegas dalam menolak
pemberian uang/materi membuat calon atau tim pemenangan calon makin leluasa
mempengaruhi independensi pemilih melalui strategi yang berbau politik uang.

Ketiga, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi pemilu yang menjadi


kewenangan panitia pengawas pemilu (Panwaslu) di kabupaten/kota untuk
melakukan penindakan terhadap pelanggaran pemilu khususnya politik uang. Hal ini
terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan
panwaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang
dan alat bukti pendukung lainnya.

Aspek lain yang menjadi kendala pengungkapan kasus politik uang adalah soal
keterbatasan regulasi mengeni arti politik uang selama masa kampanye yang

Malpraktik Pemilu | 39
dibatasi pada pelaksana kampanye pemilu. Menurut pasal 79 (1) pelaksana
kampanye pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru
kampanye pemilu (mewakili partai/calon), orang seorang dan organisasi yang
ditunjuk partai. Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan
kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye
dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik
uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan
pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (pasal 84).
Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi
pada masa sebelum pencoblosan di mana praktik politik uang dilakukan oleh orang-
orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.

Limitasi hukum tersebut mendegradasi penindakan politik uang. Limitasi hukum ini
juga membuat posisi pengawas pemilu tidak maksimal dalam melakukan
antisipasi/pencegahan praktik politik uang baik yang melibatkan pelaksana
kampanye ataupun jajaran penyelenggara pemilu. Misalnya, maraknya kejadian
serangan fajar, mobilisasi massa dan pembagian sembako di berbagai pertemuan
umum yang dihadiri calon dan tim kampanye calon, tidak bisa ditindak walaupun
nyata-nyata ada pembagian uang sebagai ganti transporatasi peserta kampanye.

Menurut bunyi pasal 89 UU No. 8 Tahun 2012, suatu tindakan memenuhi unsur
praktik politik uang jika pelaksana kampanye (calon anggota legislatif/tim kampanye
pada pemilu legislatif dan calon presiden/wakil presiden/tim kampanye/tim sukses
calon pada pemilu pilpres/wapres) melakukan pemberian uang/materi sebagai
imbalan kepada peserta kampanye (pemilih) untuk memilih atau tidak memilih
parpol tertentu. Untuk membuktikan adanya pelanggaran pemilu pada masa
sebelum pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan
Panwas kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah pada praktik
politik uang. Padahal, upaya untuk mendapatkan alat bukti praktik politik uang tidak
mudah jika saksi tidak bersedia bersaksi dan bukti hasil transaksi politik uang tidak
terpenuhi.

Kelemahan pasal 89 justru menyulitkan Bawaslu/Panwaslu untuk menindak pelaku


politik uang jika yang melakukan adalah orang biasa yang bukan calon atau tim
pelaksana kampanye calon. Kondisi ini menyebabkan penindakan pelanggaran
politik uang yang terjadi sebelum pencoblosan tidak dapat dilakukan maksimal.
Kalaupun ada bukti empirik mengenai praktik pemberian uang atau materi kepada
pemilih, maka pihak Panwas kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta
keterangan. Berikut ini contoh kegiatan Sosial yang rawan dimanfaatkan untuk
kepentingan politik uang:

Pola pelanggaran
Bagi-bagi uang oleh tim calon
Bagi-bagi materi alat perlengkpan rumah tangga
Paket sembako
Mobilisasi olah raga untuk kepentingan calon, ada
uang transportasi, hadiah

Malpraktik Pemilu | 40
Mobilisasi acara keagamaan, ada uang transportasi,
pemberian kelengkap/atribut keagamaan
Penyuluhan kesehatan, sunatan, imunisasi dsb yang
dilakukan calon
Pertunjukkan kesenian, hiburan yang dilakukan oleh
tim calon, dihadiri calon
Bagi-bagi buku sekolah dengan atribut calon
Mobilisasi pemilih dengan menjanjikan uang/materi

Pelanggaran pemilu yang marak terjadi sebelum masa pencoblosan menunjukkan


semakin variatifnya modus pelaku dalam mempengaruhi pemilih. Modus yang
umum adalah pembagian uang atau sembako pada acara sosial keagamaan yang
dilakukan calon atau tim sukses calon. Sedangkan pemilih yang menjadi sasaran
money politics makin pragmatis sehingga pelaku pelanggaran pemilu semakin
leluasa bergerak untuk kepentingan elektabilitas calon. Di lain pihak, pencegahan
dan penindakan pelanggaran pemilu melalui pemberian uang atau sembako
cenderung lemah mengingat proses pembuktian praktik politik uang tidak mudah
dilakukan pengawas pemilu. Hal ini terutama faktor kendala pemberkasan yang
sangat bergantung pada kesediaan saksi, bukti materiil (uang/sembako) dan pelaku
politik uang.

Kendala untuk mendapatkan alat bukti adanya praktik politik uang disadari betul
oleh pelaku politik uang. Kalaupun ada ‘bau’ politik uang pelakunya pun sulit dijerat
hukum karena aktivitasnya dikemas dengan pendekatan nonkampanye (aktivitas
sosial) dan pelaku politik uang dilakukan oleh pihak lain yang bukan peserta
kampanye. Hal ini dialami Panwas Nias Barat yang mendapat laporan adanya ‘bau’
politik uang namun lagi-lagi pembuktian hukum sulit dilakukan karena pihak yang
mengetahui adanya pembagian uang tidak bersedia menjadi saksi.

Aktivitas kelas:
1. Peserta kuliah mendiskusikan faktor-faktor yang menyebabkan vote buying
2. Peserta kuliah membuat desain kelembagaan mengenai peran lembaga
pengawas pemilu yang secara efektif mampu mengatasi praktik vote buying.

Tugas:
1. Peserta kuliah mencari data vote buying di Panwaslu dan memetakannya
berdasarkan pola vote buying (aktor pelaku, modus dan lokasi).
2. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dalam penindakan vote buying.

Rangkuman:
Praktik vote buying masih menjadi persoalan besar dalam penyelenggaraan pemilu
di Indonesia. Dari sisi hukum, vote buying merupakan bentuk pelanggaran pidana
pemilu tetapi penindakan atas praktik vote buying masih belum maksimal.
Kewenangan untuk penindakan vote buying yang dilakukan lembaga pengawas
pemilu masih terkendala soal alat bukti dan saksi. Masyarakat pun menganggap
Malpraktik Pemilu | 41
vote buying sebagai hal biasa sehingga penindakan hukum atas praktik vote buying
terbentur sikap permisif masyarakat.

Tes formatif:

1. Peserta kuliah menganalisis kelemahan-kelemahan hukum dalam penindakan


vote buying
2. Peserta kuliah menganalisis apakah faktor pragmatisme pemilih menjadi
pendorong vote buying?

Malpraktik Pemilu | 42
BAB VI

A. Pelanggaran Pemilu pada Sebelum Pemungutan Suara

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini menyajikan modus-modus EM yang terjadi pada pra
pemungutan suara dan bagaimana konstruksi pelanggaran tersebut turut
mendegradasi prinsip pemilu yang berintegritas terutama soal pemanfaatan isu
uang, pelanggaran administrasi yang berdampak pada hak suara pemilih

b. Manfaat
Memperkuat konsep EM dan modus-modus pelanggaran pemilu pada sebelum
pemungutan suara

c. Relevansi
Memperkuat pemahaman peserta kuliah terhadap kasus-kasus EM pada
sebelum pemungutan suara

d. Learning outcome
Peserta kuliah mampu mengembangkan analisis yang komprehensif terhadap
kasus-kasus EM pada hari sebelum pemungutan suara

Penyajian
Pelanggaran pemilu dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis pelanggaran. Pertama,
pelanggaran administratif dengan implikasi pemilih tidak dapat menggunakan hak
pilihnya sebagai warga negara yang punya hak suara. Misalnya, petugas pendaftar
pemilih tidak mendata (karena kelalaian atau kesengajaan) warga yang seharusnya
memenuhi syarat untuk dicantumkan ke dalam daftar pemilih sementara dan tetap.
Tindakan tersebut berimplikasi pada pelanggaran pemilu karena melanggar prinsip
equality yaitu hak yang sama bagi warga yang punya hak pilih untuk didaftar sebagai
pemilih. Kesalahan tersebut menyebabkan warga yang seharusnya memiliki hak
pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Pelanggaran ini bertentangan dengan
pasal 20 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.

Kedua, pelanggaran pemilu yang bersifat pidana yang berimplikasi pada gangguan
terhadap proses penyelenggaraan pemilu, misalnya pemalsuan identitas untuk
kepentingan politik tertentu (pasal 273), penyelenggara pemilu sengaja
menciptakan kondisi/menghalangi pemilih sehingga tidak dapat menggunakan hak
pilihnya (pasal 274), pengacauan atau perusakan sehingga proses/tahapan pemilu
terganggu (pasal 275, 279). Tindakan yang mengarah pada pelanggaran pemilu di
atas dapat dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja oleh partai politik peserta
pemilu, calon anggota legislatif, pengurus partai politik, orang per orang dan
organisasi yang ditunjuk peserta pemilu serta penyelenggara pemilu.

Dalam bahasan ini, pemetaan pelanggaran pemilu difokuskan pada masa sebelum
pencoblosan (pre election). Masa sebelum pencoblosan ini diukur dari masa

Malpraktik Pemilu | 43
kampanye pemilu hingga hari pemungutan suara pada tahun pemilu. Dalam tradisi
pemilu di Indonesia, masa kampanye yang relatif lama (hampir 12 bulan pada
Pemilu Legislatif 2014) berpotensi menimbulkan kerawanan pelanggaran pemilu,
baik yang sifatnya irregularity, pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana
pemilu.

Sesuai penetapan kalender pemilu KPU, rentang masa kampanye yang panjang
dibagi menjadi dua aktivitas kampanye: kampanye melalui pertemuan terbatas,
tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada masyarakat, pemasangan alat
peraga kampanye; dan kampanye melalui rapat umum dan iklan media massa cetak
dan elektronik. Rentang masa kampanye yang relatif panjang tersebut
memungkinkan partai politik peserta pemilu dan calon anggota legislatif melakukan
pengenalan diri atau sosialisasi agar lebih dikenal masyarakat. Pada umumnya,
sosialisasi ini bisa berupa pemasangan gambar partai, gambar diri calon anggota
legislatif di jalan-jalan, penyebaran pamflet dan berbagai aksi sosial yang
mengatasnamakan diri calon.

Dalam kenyataannya, pemasangan alat peraga kampanye lebih banyak didominasi


gambar-gambar calon anggota legislatif daripada gambar partai politik sebagai
institusi pengusung calon. Gejala ini justru menunjukkan bahwa proses pencalonan
telah mengarah pada penguatan personalisasi politik individu calon daripada
penguatan institusi partai yang mengusung calon. Implikasi personalisasi politik
pencalonan langsung atau tidak langsung, berpotensi menimbulkan kasus-kasus
pelanggaran pemilu dari yang sifatnya administratif maupun pidana baik yang
dilakukan oleh calon, tim kampenye calon atau yang melibatkan kerja sama antara
calon atau yang terkait dengan calon penyelenggara pemilu.

Pemetaan dua jenis pelanggaran pemilu di atas dapat diuraikan sebagai berikut.
Pelanggaran pemilu yang bersifat administratif yang umum terjadi dari laporan
lapangan kajian ini adalah adanya warga negara yang punya hak pilih tetapi
namanya tidak terdaftar dalam DPS/DPT. Dikatakan pelanggaran administratif
karena pendataan pemilih oleh PPL atau PPK tidak menjangkau pemilih yang
seharusnya didata ke dalam DPS/ DPT. Alasan yang umum dikemukakan adalah
petugas alpa/lalai mendata sehingga kelalaian ini berdampak pada aspek
administratif, yaitu tidak tercantumnya warga negara yang punya hak pilik dalam
DPS/DPT.

Implikasi pelanggaran administratif dapat merugikan warga negara yang memiliki


hak pilik tetapi karena faktor administratif yang tidak memihak, maka warga negara
yang punya hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam hal ini, ada
beberapa pelanggaran sebagai akibat dari pelanggaran administratif. Misalnya, DPT
sudah ditetapkan tetapi karena kelalaian pendataan maka warga negara yang punya
hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya, pemilih yang terdaftar di lebih dari
satu TPS, pemilih tercantum dalam DPT tetapi tidak menerima C6, warga punya hak
pilih dan tercantum dalam DPT tetapi NIK bermasalah, warga punya hak pilih dan
tercantum dalam DPT tetapi nama dan jenis kelamin bermasalah, warga meninggal
tetapi namanya terdaftar dalam DPT hingga warga yang belum punya hak pilih (di

Malpraktik Pemilu | 44
bawah umur) terdaftar dalam DPT. Pelanggaran-pelanggaran tersebut
mendegradasi hak-hak politik pemilih sebagai dampak kesalahan administratif yang
dilakukan petugas pendata/penyelenggara pemilu. Terhadap kasus-kasus
pelanggaran administratif ini, Panwas kabupaten/kota yang dipantau telah
mengeluarkan rekomendasi agar pihak KPU daerah melakukan koreksi/
pembetulan.

Dalam kajian ini ditemukan bahwa pelanggaran administratif berpotensi


menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemilih. Misalnya, keputusan panitia
pemilihan yang tidak tepat dalam memilih lokasi TPS dapat menimbulkan praktik
ketidaksamaan perlakuan (inequality) dalam pemilu sehingga warga enggan
menggunakan hak pilihnya. Masalah ini ditemukan di kabupaten Nias Selatan di
mana pemilihan lokasi TPS yang jauh berpotensi menyulitkan pemilih yang lain.
Ketidaknyamanan lain misalnya TPS yang tidak dilengkapi kursi yang cukup, TPS
yang dibuat sekadarnya dan tidak ada pelindung panas matahari, jumlah TPS hanya
satu sehingga pemilih harus antri lama untuk mencoblos (terjadi di beberapa TPS di
kabupaten Nias Selatan dan Nias Induk), bilik suara dalam TPS yang dibuat ala
kadarnya dan tidak ada penyekatnya/tidak tertutup dan panitia pemilihan lambat
memanggil pemilih yang sudah antri.

Pelanggaran pemilu yang serius dan dapat merusak prinsip pemilu yang langsung,
umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil adalah pelanggaran pemilu yang
dikonstruksi dari awal sebagai tindak pidana pemilu, terutama yang marak
dilakukan yaitu politik uang. Kasus-kasus pelanggaran pemilu di mana pelaku (calon,
tim pelaksana kampanye calon/tim sukses calon) sengaja melakukan
kecurangan/kejahatan pemilu (electoral fraud) yang marak terjadi selama masa
kampanye hingga H-1 adalah praktik politik uang. Sasaran politik uang adalah
pemilih. Sedangkan motif pelaku politik uang adalah dalam upaya mempengaruhi
pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi/uang. Praktik politik
uang ini marak menjelang hari pencoblosan tetapi sulit untuk
dibuktikan/ditindaklanjuti sebagai kasus pidana pemilu.

Beberapa kasus menunjukkan praktik politik uang marak terjadi, baik yang dikemas
secara halus dan kasar. Misalnya penyalahgunaan C6 milik orang lain dengan iming-
iming imbalan uang. Modus pelanggaran pemilu ini adalah pemegang C6 yang
bukan pemilih sebenarnya (voter fraud) secara berulang melakukan pencoblosan
berkali-kali. Praktik jual beli C6 ini merupakan strategi calon anggota legislatif
melalui tim sukses mereka dalam mengamankan perolehan suara di TPS di mana
pengawasan longgar. Praktik jual beli atau transaksi C6 merupakan salah satu
modus pelanggaran pemilu yang umum terjadi. Misalnya, di Nias Selatan, di mana
kondisi sosiopolitik pemilih relatif belum melek politik, mudah terprovokasi untuk
menukar C6 dengan imbalan uang. Kondisi pemilih rentan ini merupakan variabel
tersendiri yang turut memfasilitasi terjadinya pelangaran pemilu.

Bentuk pelanggaran lain yang masuk ke dalam pelanggaran pemilu selama


kampanye adalah pemanfaatan rumah ibadah untuk kepentingan kampanye
padahal dilarang sesuai pasal 86 huruf h UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.

Malpraktik Pemilu | 45
Walaupun sporadis, pelanggaran ini acapkali berjalan tertutup hanya kalangan
terbatas yang mengetahuinya. Kalaupun muncul pernyataan-pernyataan dukungan
terhadap partai atau calon tertentu sifatnya lebih dikemukakan dalam kalimat yang
tersamar. Misalnya, pemanfaatan kuliah subuh untuk mobilisasi pemilih ditemukan
di Lombok Timur dimana guru-guru mengaji menggunakan pengeras suara
masjid/langgar-langgar seraya mengatakan “coblos nomor satu” (untuk pilpres).
Dalam konteks sosio budaya masyarakat Lombok, pengaruh ketokohan agama (tuan
guru) amatlah disegani dan menjadi panutan masyarakat termasuk dalam
mempengaruhi suara pemilih. Partai dan calon (pada pemilu legislatif dan pemilu
presiden/wakil presiden), khususnya di Lombok Timur juga melakukan pendekatan
ke sejumlah tuan guru yang berpengaruh untuk mendapatkan restu sekaligus
dukungan dari para santri/masyarakat sekitar rumah tinggal tuan guru.

Aktivitas kelas:
1. Mengindentifikasi kasus-kasus EM pada hari sebelum pemungutan suara dan
membuat pola praktik pelanggarannya
2. Mempresentasikan hasil diskusi secara singkat di depan kelas

Tugas
1. Melakukan evaluasi atas pasal-pasal yang lemah dalam sisi penindakan hukum
pelanggaran pemilu pada hari sebelum pemungutan suara
2. Membuat desain kelembagaan untuk penguatan regulasi pemilu khususnya
mengenai kampanye pemilu.

Rangkuman
Pelanggaran pemilu pada sebelum pemungutan suara cenderung terjadi berulang
seakan sudah membiasa sehingga masyarakat pun kurang mempersoalkannya.
Kesalahan pendataan pemilih, pemilih tidak didata petugas pendaftar, kampanye
dini dan berbagai modus politik uang lainnya yang tak jarang menggunakan acara-
acara sosial untuk kepentingan pencalonan. Penegakan hukum oleh pengawas
pemilu dan pemberian sanksi yang signifilan menjadi penting dalam mencegah
praktik pelanggaran pemilu sebelum hari pemberian suara. Solusi untuk mencegah
praktik pelanggaran pemilu pada hari sebelum pemberian suara, dapat dilakukan
melalui peran lembaga pengawasan pemilu yang kredibel dengan dibantu peran
para pemantau pemilu dan masyarakat.

Tes Formatif

1. Identifikasikanlah faktor-faktor apa saja yang turut memfasilitasi pelanggaran


pemilu sebelum pada hari pemberian suara.
2. Siapa saja yang dapat berperan dalam mencegah pelanggaran pemilu sebelum
hari pemberian suara?

Malpraktik Pemilu | 46
B. Pelanggaran Pemilu Pada Hari Pemungutan Suara

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini menyajikan berbagai massalah pelanggaran pemilu pada hari H
penghitungan suara dan bagaimana modus-modusnya. Dalam hal ini, peserta
kuliah akan diajak untuk mendalami berbagai potensi sekitar modus dan siapa
saja aktor yang potensial menjadi sumber pelanggaran pemilu pada hasi
penghitungan suara.

b. Manfaat
Peserta kuliah mampu mendalami konsep EM dan modus-modus EM pada hari
H pemungutan suara

c. Relevansi
Peserta kuliah mampu mendalami konsep EM dan modus-modus EM pada hari
H pemungutan suara

d. Learning outcome
Peserta kuliah memiliki keahlian pemetaan masalah-masalah EM dan mampu
membuat desain kelembagaan penegakan pelanggaran pemilu yang efektif

Penyajian
Aktivitas puncak penyelenggaraan pemilu adalah hari pemberian suara (voting)
yang dilakukan oleh pemilih sah (eligible voters). Prinsip pemberian suara adalah
setiap individu pemilih punya akses untuk menggunakan suara mereka secara
setara. Tidak ada kekuatan atau pihak mana pun yang boleh mengintervensi dan
menghalangsi implementasi hak politik yang bersifat mendasar ini. Setiap individu
pemilih harus dijamin hak suaranya baik dalam perpektif gender, kelas sosial, etnis
atau agama.

Prinsip kesetaraan individu dalam pemberian suara ini berlandas pada nilai
universal sufrage, yaitu hak suara berlaku umum untuk semua orang tanpa
membeda-bedakan latar-belakangnya. Semangat kesetaraan dalam pemberian
suara ini merupakan implementasi dari prinsip OPOVOV: one person one vote one
value. Pinsip ini mengandung makna bahwa prinsip pemberian suara dilakukan satu
orang satu suara satu nilai. Tidak ada pihak lain yang boleh mengambil alih atau
mengatasnamakan hak suara orang lain untuk kepentingan yang berlawanan
dengan prinsip OPOVOV (Kemitraan, 2011).

Dalam praktiknya, prinsip OPOVOV dapat kehilangan makna ketika praktik


pelanggaran pemilu marak terjadi sehingga menciderai prinsip OPOVOV. Misalnya,
seseorang memilih lebih dari satu kali, menukar hak suara pemilih dengan imbalan
materi atau uang, persuasi, intimidasi hingga ancaman untuk menghalangi pihak
lain dalam menggunakan hak suaranya. Berbagai modus seputar pelanggaran
pemilu pada hari pemberian suara pada tahapan pemberian suara/pencoblosan dan
penghitungan suara dapat dibagi menjadi dua yaitu pelanggaran administratif

Malpraktik Pemilu | 47
pemilu dan pidana pemilu. Pelanggaran administratif pemilu masih dibagi dua, yaitu
pada administratif pendataan pemilih potensial pemilu dan pelanggaran
administratif pada proses produksi dan distribusi terkait surat suara.

Beberapa kasus EM pada hari pemungutan suara ditemukan dengan modus dimana
pemilih yang punya hak pilih tetapi namanya tidak tercantum dalam DPT, pemilih
terdaftar dalam DPT tapi NIK salah/tidak valid sehingga tidak dapat menggunakan
hak suaranya. Penyimpangan ini bersifat administratif, terjadi karena dua
kemungkinan: petugas abai mendata penduduk potensi pemilih atau sengaja tidak
mendata. Jika penyelenggara pemilu tidak seegera melakukan pemutakhiran data
pemilih, maka pemilih tidak akan dapat menggunakan hak pilihnya.

Adapun subjek pelanggaran administratif pemilu melekat pada penyelenggara


pemilu dan penyelenggara pemilu lah yang harus melakukan koreksi atas kesalahan
tersebut. Sedangkan subjek pelanggaran pidana pemilu adalah setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada situasi
penyimpangan atau pelanggaran yang menyebabkan pemilih tidak dapat/terganggu
dalam menggunakan hak pilihnya. Pelaku pelanggaran pidana pemilu bisa dilakukan
oleh partai, calon, tim sukses calon, penyelenggara atau siapa pun yang
berkepentingan dengan gangguan pemilu.

Dalam UU No. 8/2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, ketentuan
mengenai larangan-larangan dan sanksi atas pelanggaran pidana pemilu lebih
banyak ditujukan pada pencegahan pidana pemilu pada saat kampanye pemilu
sedangkan pelanggaran pidana pemilu pada saat pemungutan suara tidak diatur.
Hal ini dapat melemahkan penegakan hukum yang dilakukan Bawaslu/Panwaslu
kabupaten/kota dalam menindak pelanggaran pemilu yang terjadi pada saat
pemungkutan suara. Misalnya, Bab X mengenai pemungutan suara lebih dominan
mengatur aspek-aspek administratif pemungutan suara daripada pasal-pasal yang
mengatur pencegahan/sanksi praktik pelanggaran pidana pemilu. Padahal praktik
pelanggaran pidana pemilu bisa terjadi pada semua lini proses penyelenggaraan
pemilu dari pra-pemungutan suara (kampanye), masa pemungutan atau
pencoblosan suara, hingga pada masa penghitungan suara. Pasal mengenai
pelanggaran pidana yang terkait dengan politik uang, misalnya, hanya diatur secara
minor pada pasal 301 ayat 3.

Praktik pelanggaran pidana pemilu pada hari pemungkutan suara dapat merusak
keseluruhan proses, hasil dan menghancurkan kepercayaan (distrust) masyarakat
terhadap penyelenggaraan pemilu. Praktik pelanggaran pidana pemilu yang terjadi
pada pemungutan beragam modusnya, misalnya vote buying, intimidasi, kekerasan,
pengrusakan sarana pemilu atau setiap tindakan yang menghalangi hak pemilih
untuk menggunakan hak suaranya secara bebas. Sekali praktik pelanggaran pemilu
baik yang bersifat administratif atau pidana terjadi, maka akan mempengaruhi
kualitas pemilu. Misalnya, pembiaran pelanggaran pidana pemilu seperti pemberian
uang atau intimidasi yang bertentangan dengan prinsip OPOVOV, tidak saja
merusak nilai kebebasan dan kesetaraan tetapi juga akan berdampak simultan
terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap legitimasi hasil pemilu itu sendiri.

Malpraktik Pemilu | 48
Secara umum, pemetaan pelangaran administrasi pemilu pada hari pemungutan
suara meliputi: logistik pemilu datang terlambat, logistik pemilu ada tetapi surat
suara, alat coblos, tinta, bilik suara atau gembok tidak tersedia/tidak lengkap,
pemilih tidak terdaftar dalam DPT, pemilih terdaftar dalam DPT tapi ejaan nama
keliru, pemilih meninggal tetapi nama tercantum dalam DPT, pemilih punya C6 tapi
nama tidak tercantum dalam DPT atau pemilih (punya C6) tapi tidak dilayani. Di
bawah ini beberapa contoh pelanggaran pemilu pada saat pemungutan suara.

Contoh pelanggaran pemilu pada pemungutan suara


Administratif Pidana
- logistik pemilu terlambat, - vote buying
- logistik pemilu rusak/tidak - jual beli C6
lengkap (surat suara, alat - intimidasi dan menghalangi
coblos, tinta, bilik suara tdk orang lain dalam
memadai) memberikan suara
- pemilih tdk terdaftar dalam - kekerasan, perusakan
DPT, sarana pemilu atau setiap
- pemilih terdaftar dalam DPT tindakan yang menghalangi
tapi ejaan nama keliru, hak pemilih untuk
- pemilih meninggal tetapi menggunakan hak suaranya
nama tercantum dalam DPT, secara bebas,
- pemilih punya C6 tapi nama - memilih lebih dari satu kali
tidak tercantum dalam DPT - menggunakan hak suara
atau pemilih (punya C6) tapi orang lain
tidak dilayani - penyelenggara pemilu tidak
- pemilih tercantum dalam bersikap netral/memihak
daftar pemilih tambahan - penyelenggara pemilu tidak
tapi tidak bisa menggunakan memfasilitas hak suara
hak pililihnya pemilih
- NIK pemilih bermasalah - Mendampingi dan
sehingga tidak dapat mengarahkan disability dan
menggunakan hak pilihnya buta huruf untuk memilih
- Pemilih tidak memiliki NIK calon/partai tertentu
- pengrusakan logistik pemilu
- pengumpulan KTP untuk
ditukar uang

EM administratif jelas merugikan pemilih karena pemilih tidak dapat menggunakan


hak pilihnya secara normal. Karena berdampak pada hilangnya hak pilih warga
negara, permasalahan yang mengarah pada kesalahaan pendataan pendudukan
tersebut bisa dianggap sebagai electoral malpratice (EM).

Aktivitas kelas:
1. Peserta kuliah mendiskusikan (3-4) permasalahan seputar EM pada hari
pemungutan suara

Malpraktik Pemilu | 49
2. Peserta kuliah melakukan role play untuk simulasi EM pada hari pemungutan
suara dan bagaimana desain penyelesaiannya

Tugas:
1. Mengumpulkan data pelanggaran pemilu pada fase pemungutan suara
2. Membuat presentasi singkat individual pola/tipologi pelanggaran tersebut

Tes formatif:
1. Memetakan kasus pelanggaran pemilu di aras lokal berdasarkan polanya (aktor
dan kepentingannya)
2. Menjelaskan mengapa pelanggaran tersebut terjadi dan dalam lingkup apa
penyelesaiannya dilakukan?

Malpraktik Pemilu | 50
C. Pelanggaran Pemilu Pada Penghitungan dan Penetapan
Hasil Suara

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini menyajikan bahasan mengenai potensi malpraktik pemilu dan
pelanggaran pemilu pada penghitungan dan penetapan hasil perolehan suara
dan modus yang dilakukan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Kerawanan
pada penghitungan dan penetapan hasil juga dipengaruhi oleh motivasi dan
transaksi jual beli suara (vote buying) yang melibatkan penyelenggara dan
peserta pemilu.

b. Manfaat
Diharapkan setelah mengikuti kuliah ini, peserta kuliah memahami modus-
modus EM pada penghitungan dan penetapan hasil suara

c. Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti kuliah ini, peserta kuliah memahami modus-
modus EM pada penghitungan dan penetapan hasil suara

d. Learning outcome
Peserta kuliah memiliki keahlian pemetaan masalah-masalah EM dan mampu
membuat desain kelembagaan penegakan pelanggaran pemilu yang efektif

Penyajian
Pelanggaran pemilu (EM) pada penghitungan dan penetapan hasil merupakan
bentuk pelanggaran pemilu yang dapat mencederai hasil pemilu. Aktor-aktor yang
terlibat dalam EM pada tahapan ini adalah aktor-aktor yang memiliki akses
terhadap proses penghitungan, rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu. Dalam hal
ini, aktor-aktor yang memiliki akses terhadap proses dan penetapan hasil pemilu
adalah penyelenggara pemilu di tingkat TPS (KPPS, PPS), saksi partai atau pihak-
pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan calon. EM pada penetapan hasil ini
mengararah pada electoral fraud (EF) yang hanya mungkin jika melibatkan petugas
penyelenggara pemilu.

Adapun bentuk pelanggaran pemilu yang umum terjadi adalah jual beli suara yang
melibatkan penyelenggara pemilu dengan calon, penyelenggara dengan tim sukses
calon atau calon dengan calon (antar calon) dengan tujuan mengubah hasil
penghitungan suara (menambah atau mengurangi). Dengan demikian, pelanggaran
pemilu yang bertujuan mengubah hasil penghitungan suara merupakan kejahatan
pidana pemilu dengan ancaman hukuman yang berat sesuai pasal 287 UU No. 8/
2012 dengan ancaman hukuman 1 dan denda Rp12.000.000,-. Misalnya, temuan
pelanggaran pemilu dari suatu kabupaten di Sumut menunjukkan bahwa
penyelenggara pemilu setempat (KPPS, PPS, PPK dan KPUD) yang bersikap partisan
menjadi pelaku utama praktik transaksi uang dalam pemilu sehingga terjadi
penambahan perolehan calon tertentu. Dalam konteks undang-undang pemilu,

Malpraktik Pemilu | 51
praktik jual beli suara masuk kategori electoral fraud 8 yaitu pelanggaran pidana
pemilu yang mencederai prinsip-prinsip integritas penyelenggaraan pemilu. Tindak
lanjut penindakan pelanggaran pidana pemilu dengan modus jual beli suara
dilakukan melalui rekomendasi Bawaslu kepada pihak kepolisian untuk melakukan
penuntutan secara hukum. Electoral fraud merupakan bentuk pelanggaran pidana
pemilu serius yang dilakukan aktor secara sengaja dengan tujuan untuk mengubah
hasil penetapan suara.

Potensi pelanggaran pidana pemilu pada saat penghitungan dan rekapitulasi suara
menjadi terbuka jika integritas penyelenggara pemilu rendah. Integitas yang rendah
membuat penyelenggara pemilu rentan diintervensi oleh arus kepentingan peserta
pemilu. Masalah integritas penyelenggara pemilu berkorelasi dengan kepercayaan
publik terhadap hasil pemilu. Beberapa temuan menunjukkan bahwa karut-marut
hasil penghitungan dan rekapitulasi suara kabupaten tidak murni disebabkan oleh
data yang tidak valid di tingkat kabupaen tetapi justru disebabkan oleh karut-marut
proses penghitungan dan rekapitulasi yang terjadi di tingkat TPS, kelurahan dan
PPK.

Ada dua modus pelanggaran pemilu yang umum terjadi. Pertama, pelanggaran
pemilu yang berjenjang di tingkat TPS yang berlanjut di tingkat rekapitulasi
kelurahan dan di tingkat rekalitulasi PPK. Solusi untuk mencegah atau mengurangai
potensi praktik pelanggaran pidana pemilu yang berkategori electoral fraud yang
berjenjang adalah penyederhanaan jalur penghitungan dan rekapitulasi suara dari
TPS langsung ke penghitungan dan rekapitulasi di tingkat kabupaten.

Kedua, pelanggaran pemilu yang dilakukan calon yang kalah dengan memanfaatkan
Penghitungan Suara Ulang (PSU). Dalam hal ini, calon yang kalah berdalih ada
kecurangan dan menuntut penghitungan ulang. Fase hitung ulang digunakan calon
untuk melakukan transaksi jual beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu
atau calon yang perolehan suaranya tidak mencukupi untuk dibeli guna menambah
hasil perolehan calon tertentu pada fase PSU. PSU berpotensial dijadikan modus
transaksi vote buying yang hanya mungkin dilakukan dengan melibatkan
penyelenggara pemilu.

Oleh karena itu, analisis atas kasus-kasus PSU harus diletakkan dalam konteks
pertarungan ‘mati hidup’ antar calon dalam sistem pencalonan terbuka. Tentu saja
setiap calon akan berusaha untuk melakukan survival electoral dengan berbagai
strategi politik termasuk modus jual beli suara melalui PSU. Dengan demikian, ada
dua konteks PSU, yaitu PSU yang murni dilatari oleh kekeliruan
penghitungan/rekapitulasi (administratif) dan PSU yang didasari kepentingan calon
untuk mencari peluang menaikkan suara melalui transaksi jual beli suara. Di lain
pihak, PSU juga menjadi ajang calon yang kalah untuk melakukan balas dendam
ketika tidak ada alternatif lain untuk menaikkan suara secara legal.

8
Contoh kasus penggelembungan suara ditemukan di 25 TPS di kota Sragen. Nampaknya akses
kekotaan tidak lantas berarti pelanggaran pemilu politik uang menjadi berkurang karena pelaku takut
diketahui. Kenyataannya, praktik politik uang sudah marak terjadi dan bahkan masyarakat pun
maklum bahwa kampanye identik dengan bagi-bagi ‘gizi’ (Joglo Pos, 19 April 2014).
Malpraktik Pemilu | 52
Kasus PSU menggambarkan bagaimana tata kelola dalam penghitungan dan
rekapitulasi suara sering bermasalah ketika seorang calon kehilangan suara dan ada
calon lain yang suaranya naik secara tidak wajar. Titik rentan pengubahan suara
umumnya terjadi pada saat penghitungan dan rekapitulasi dari TPS ke PPS, hingga
ke tingkat PPK. Bagi calon yang punya dana besar, ia bisa membayar saksi-saksi
untuk mengawal suara hingga tingkat PPK. Sebaliknya, bagi calon dengan modal
kecil, peluang membayar saksi-saksi untuk mengawal suara dari TPS-TPS hingga
jenjang lebih tinggi menjadi tidak mungkin sehingga potensi kehilangan suara
semakin besar. Maka, tidaklah mengherankan apabila peta pelanggaran pidana
pemilu melalui jual beli suara dengan memanfaatkan PSU tidak berdiri sendiri
mengingat aspek pelanggarannya sudah berjenjang dari tingkat bawah hingga atas.

Mencermati deskripsi di atas, tampak bahwa pelanggaran pidana pemilu berupa


pengubahan hasil perolehan suara umumnya terjadi pada tahapan pemilu yang
paling rawan, yaitu saat penghitungan dan rekapitulasi suara baik di TPS hingga PPK.
Dalam kasus demikian, terdapat beberapa faktor yang turut memudahkan electoral
malpractice dengaan tujuan untuk pengubahan hasil, yaitu:

 faktor kepentingan penyelenggara tingkat TPS (KPPS dan anggotanya) yang


berbalut dengan kepentingan calon yang ingin menang;
 ketiadaan saksi partai atau saksi calon yang mengawal suara calon;
 kepentingan sosiobudaya lokal masyarakat setempat

Pelanggaran atas hasil penghitungan dan rekapitulasi suara merupakan pelanggaran


pidana pemilu yang disengaja atau didesain untuk memenangkan calon atau partai
tertentu yang dalam beberapa kasus melibatkan penguasa daerah yang memegang
jabatan dalam pengurus partai. Misalnya, kasus pengubahan hasil penghitungan
dan rekapitulasi suara di suatu distrik di Papua yang diarahkan oleh kepada daerah
setempat untuk memenangkan perolehan suara suatu partai tertentu. Pelanggaran
pidana pemilu yang didesain untuk memenangkan partai tertentu ini adalah
kejahatan pemilu serius. Kejadian ini melibatkan petugas dengan penguasa daerah
yang menjabat sebagai pengurus partai. Berikut ini beberapa modus pelanggaran
pidana pemilu yang potensial terjadi pada tahapan penghitungan dan rekapitulasi
suara.

Modus-modus pelanggaran pada rekapitulasi suara


Bentuk dugaan pelanggaran Pelaku Potensial
pemilu
Transaksi yang diikuti PPS, PPK dan KPU
penggelembungan suara
Pengubahan hasil penghitungan Anggota KPPS dan kepala
suara desa

Keributan dalam penghitungan Tim sukses calon


ulang suara
Modus PSU untuk transaksi jual Penyelenggara pemilu
beli suara

Malpraktik Pemilu | 53
Jual beli suara/pelanggaran pada Jajaran penyelenggara
penghitngan dan rekapitulasi
Dugaan penggelembungan suara PKK dan calon
calon
Dugaan pengubahan hasil Melibatkan Bupati, Wakil
penghitungan suara untuk bupati, partai, KPPS secara
memenangkan parpol tertentu merata
Pengubahan hasil rekap dari D 1 Melibatkan calon dari
plano ke D 1 KPUD beberapa partai (sesuai
keterang Panwas
kecamatan dan saksi parpol
yang dirugikan)
Merubah perolehan suara PPK
beberapa calon dan ada
penambahan suara calon lain
sesuai keterangan Panwas Kab.
Pengubahan hasil penghitungan Salah seorang anggota
suara TPS pada saat pembacaan KPPS
perolehan suara
Pergeseran suara pada calon Ketua PPS dan calon
Gerindra
Dugaan penggelembungan suara PPS dan PPK
di 208 TPS. Hasil rekap PPS dan
PPK tidak sama

Peluang pelanggaran pemilu baik administratif mau pun pidana menjadi besar
manakala terjadi pertautan kepentingan antara penguasa lokal yang menjabat
dalam kepengurusan partai dengan calon serta didukung penyelenggara pemilu
yang tidak netral. Kasus ini dijumpai di Teluk Dalam, Nias Selatan dan Jayawijaya,
Papua. Sedangkan praktik politik uang (vote buying) marak terjadi karena karakter
pemilih makin pragmatis. Kondisi pemilih pragmatis justru mendorong calon untuk
membangun ikatan-ikatan politik instan transaksional berbasis materi dan uang.

Dari modus-modus pelanggaran pemilu yang telah dipaparkan, dapat dibuat skema
pelanggaran pemilu:

-Intervensi penguasa
lokal dalam proses
seleksi penyelenggara
-Praktik politik uang Pelanggaran
-Kolaborasi calon dan penyeleggara Pemilu
dlm mendesain penggelembungan
suara
-Faktor posisi dlm struktur partai
-Faktor dominasi sosio kultur
-Dorongan untuk mengamankan
Kepentingan keluarga/ kerabat

Malpraktik Pemilu | 54
Aktivitas kelas

1. Membuat kelompok diskusi (3-4 orang) untuk memetakan modus-modus


pelanggaran administrasi dan pidana pemilu pada fase penghitungan dan
penetapan hasil
2. Membuat desain penegakan yang efektif dalam rangka mengevaluasi
penyelenggara pemilu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran pemilu di aras
lokal

Tugas

1. Melakukan wawancara dengan penyelenggara pemilu untuk mendapatkan data


kasus-kasus malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu dari sisi administrasi dan
pidana pemilu pada fase penghitungan dan penetapan hasil
2. Menyusun pola praktik malpraktik pemilu dan pelanggaran pemilu dari hasil
wawancara tersebut

Tes formatif:
1. Identifikasikan faktor-faktor yang menjadi sumber pelanggaran pada fase
penghitungan dan penetapan hasil suara!
2. Kelemahan/keterbatasan regulasi pemilu apa yang saat ini ada sehingga
penegakan pelanggaran pemilu oleh Panwas tidak efektif?

Malpraktik Pemilu | 55
Bab VII

Analisis Ekonomi Politik dan Sosiologi Malpraktik dan


Pelanggaran PemiluBab X
Malpraktik Pemilu dan Pelanggaran Pemilu dalam Konteks
Lokal

a. Deskripsi singkat
Mata kuliah ini memberi penguatan konsep mengenai kaitan antara lokalitas
politik daerah dengan peluang munculnya malpraktik pemilu. Acapkali kekuatan
sosial budaya seperti ketokohan atau tautan-tautan yang bercorak komunalistik
(etnis, agama dan kedaerahan) digunakan sebagai instrumen mobilisasi politik
peserta pemilu guna mendapatkan dukungan pemilih. Pada aras politik lokal,
konteks sosiobudaya dapat digunakan peserta pemilu untuk menggerakkan
pemilih agar menjadi lebih partisan kepada partai atau kandidat tertentu.
Penghargaan yang tinggi dari masyarakat lokal terhadap tautaan-tautan
sosiobudaya lokal bisa mendegrasi penghargaan terhadap institusi dan
prosedur-prosedur elektoral yang pada akhirnya berpeluang menimbulkan
pelanggaran pemilu. Misalnya, batasan antara iregularitas dan regularitas dalam
tradisi noken atau pengerahan birokrasi daerah untuk penggalang dukungan
pemilih oleh kandidat incumbent, pada dasarnya merupakan electoral
malpractice. Namun, dalam dinamika politik lokal di Indonesia, penggunaan
tautan-tautan sosiobudaya tersebut dianggap normal walaupun sesungguhnya
bertentangan dengan regulasi pemilu.

b. Manfaat
Peserta kuliah memperoleh penguatan konsep dan teori mengenai politik lokal
dan faktor-faktor lokalitas yang berpotensi menimbulkan malpraktik pemilu.

c. Relevansi
Peserta kuliah mampu menghubungkan konsep dan teori malpraktik pemilu dan
pelanggaran pemilu dengan permasalahan-permasalahan pelanggaran pemilu di
aras lokal yang makin kompleks.

d. Learning outcome
Peserta kuliah diharapkan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis faktor-faktor lokalitas yang menyebabkan berbagai modus
malpraktik dan pelanggaran pemilu.

Penyajian
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kondisi
politik daerah. Politik lokal ini menjadi setting tersendiri yang langsung atau tidak
langsung turut membentuk konfigurasi kekuatan-kekuatan politik lokal dan
kepartaian lokal. Dalam konteks politik lokal ini, peran ketokohan serta kekerabatan
hadir mewarnai kompetisi dalam kontestasi pencalonan. Tak jarang dijumpai, calon-

Malpraktik Pemilu | 56
calon anggota legislatif memiliki ikatan kekerabatan satu sama lain bahkan mereka
membentuk jaring yang tersambung dengan ketokohan yang berpengaruh di
daerahnya. Hasil perolehan suara pun terkadang didominasi oleh konfigurasi
kekuatan jaringan ketokohan dan kekerabatan yang dominan di daerah itu.

Dalam bahasan ini, dominasi politik lokal yang dikuasai jaringan ketokohan serta
kekerabatan bisa berpotensi membuka ruang bagi kasus-kasus electoral malpractice
(EM). Pegangan konseptual argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa partai
politik adalah cermin struktur sosial suatu masyarakat. 9 Dengan kata lain, elite-elite
yang duduk dalam kepengurusan partai adalah pihak-pihak yang secara sukses
mampu mengaktualisasikan sumber-sumber kekuasaan potensial seperti
ekonomi/kapital, jaringan pengaruh, ketokohan, dan simbol-simbol hegemoni untuk
mendaki struktur kekuasaan politik dalam masyarakat. Salah satu struktur
kekuasaan ini adalah partai politik. Begitu pula pengisian formasi untuk pencalonan
anggota legislatif tidak lepas dari elite-elite berpengauh di tingkat lokal.

Ada beberapa kondisi yang turut membentuk bagaimana konfigurasi kekuatan


partai politik lokal dikuasai kekuatan ketokohan serta kekerabatan. Menurut
Siavelis,10 konfigurasi politik masyarakat dipengaruhi oleh pembelahan-pembelahan
sosial (social cleavages) yang secara pelan menjadi dasar pembentukan afiliasi
politik berbasis partai. Hal ini terjadi dalam sejarah pertumbuhan partai-partai di
Eropa. Begitu pula konstelasi pembelahan-pembelahan sosial seperti etnik, bahasa,
agama, ras, dan kelas ini turut membentuk konfigurasi politik masyarakat. Dalam
perspektif Myron Weiner, 11 kehadiran partai politik di negara sedang berkembang
pasca kolonialisme justru didominasi kekuatan-kekuatan komunalisme seperti etnis
dan ketokohan karismatik. Tak mengherankan, partai politik adalah refleksi dan
representasi kekuatan tokoh nasional (lokal) yang dominan.

Dalam kajian Pierce (2010), fungsi tautan-tautan sosial budaya dilihat sebagai
instrumen mobilisasi yang efektif mampu mempengaruhi sentimen partisan
pemilih. Dengan menggunakan kasus ketokohan agama di Spanyol, Pirce
menemukan bahwa aspek elektabilitas calon bisa ditingkatkan melalui
instrumentalisasi jaringan ketokohan agama dan gender. Dalam kasus pemilu di
Indonesia, instrumentalisasi tautan-tautan sosiobudaya ini juga menjadi elemen
penting yang mendongkrak elektabilitas calon. Tak jarang seorang tokoh berfungsi
sekadar sebagai pengumpul suara (vote getter) guna memenangkan perolehan
kandidat tertentu. Bahkan sebelum fase kampanye dimulai, vote getter sudah
bergerak untuk menggalang dukungan bagi kandidat tertentu.

Dalam perkembangan dinamika politik lokal di Indonesia, pembelahan-pembelahan


sosial memiliki relevansi dengan kondisi politik daerah yang tak kedap dari
pengaruh ketokohan dominan dan basis sosial budaya yang berhasil dikuasainya.
Dalam hal ini, pencalonan dan formasi politik lokal saling berkaitan. Siapa yang
tampil dalam pencalonan bisa berkait dengan kekuatan lokal bahkan memanfaatkan
9
Peter M. Siavelis. (2007). “Party and Society” dalam Richard S. Katz dan William Crotty (ed).
Handbook of Party Politics, London: Sage Publication, hlm. 359-360.
10
Ibid. hlm. 360.
11
J.W. Shoorl. (1982). Modernisasi, Sosiologi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Gramedia.
Malpraktik Pemilu | 57
kekuatan lokal sebagai sumber patronase untuk membangun elektabiltas politik
dalam pencalonan.

Pertautan yang kuat dalam konteks kultur patronase jusru mendorong partai
(terutama calon) berlomba mencari legitimasi sosiokulural berbasis ketokohan.
Dalam konteks relasi patronase, tak jarang calon memanfaatkan simbol-simbol
sosioreligius (kiai, pendeta, tempat ibadah) demi meraup dukungan pemilih.
Contoh, dimana tradisi ketokohan kuat, maka calon-calon (di Lombok Timur,
Madura) berupaya menjalin relasi dengan kiai atau tuan guru sebagai sumber
legitimasi pencalonan. Di Nias Selatan, calon memanfaatkan acara doa bersama
untuk kepentingan kampanye partai atau calon tertentu. Pemanfaatan sumber-
sumber jaring sosiokultural dalam pencalonan menunjukkan bahwa mobilisasi
politik berbasis komunalisme memegang peran kunci dalam menggerakkan pemilih
dalam pemilu.

Kekuatan ketokohan juga dimanfaatkan calon untuk membangun modus kampanye


berbasis komunalisme. Misalnya, calon yang merupakan pejabat negara hadir
dalam kampanye di daerah-daerah dan bertemu dengan tokoh-tokoh lokal seraya
memanfaatkan fasilitas negara. Pemanfaatan fasilitas negara dan atau anggaran
pemerintah untuk kepentingan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil
presiden lebih mudah dilakukan jika yang berkampanye adalah pejabat negara.
Fakta ini ditemukan di Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur pada saat
Menteri PDT terjun dalam kampanye legislatif dan kampanye pemilihan presiden.

Bentuk pelanggaran lain yang masuk ke dalam pelanggaran pemilu selama


kampanye adalah pemanfaatan rumah ibadah untuk kepentingan kampanye (pasal
86 huruf h). Walaupun sporadis, pelanggaran ini acapkali berjalan tertutup hanya
pada kalangan terbatas yang mengetahuinya. Kalaupun muncul pernyataan-
pernyataan dukungan terhadap partai atau calon tertentu, sifatnya lebih
dikemukakan dalam kalimat yang tersamar. Misalnya, pemanfaatan kuliah subuh
untuk mobilisasi pemilih ditemukan di Lombok Timur di mana guru-guru mengaji
menggunakan pengeras suara masjid/langgar-langgar seraya mengatakan “coblos
nomor satu” (untuk pilpres). Dalam konteks sosiobudaya masyarakat Lombok,
pengaruh ketokohan agama (tuan guru) amatlah disegani dan menjadi panutan
masyarakat termasuk dalam mempengaruhi suara pemilih. Partai dan calon (pada
pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden), khususnya di Lombok Timur
juga melakukan pendekatan ke sejumlah tuan guru yang berpengaruh untuk
mendapatkan restu sekaligus dukungan dari para santri/masyarakat sekitar rumah
tinggal tuan guru.

Bentuk lain dari power misuse yang berbalut dengan pemanfaatan isu komunalisme
lokal adalah dukungan kepala daerah terhadap kerabatnya yang sedang
mencalonkan diri. Kampanye calon yang masih kerabat. Pemanfaatan kerabat untuk
kepentingan kampanye ini berpotensi menimbulkan EM jika dukungan politik
tersebut disertai dengan pengerahan birokrasi dan penggunaan fasilitas negara.
Potensi EM akan sistematis jika dukungan politik yang diberikan kepada daerah

Malpraktik Pemilu | 58
tersebut menjadi embrio bagi EF (electoral fraud) jika disertai dengan praktik bagi-
bagi suara yang melibatkan penyelenggara pemilu.

Dalam konteks sosiobudaya di Papua, peran ketokohan kepala suku juga berpotensi
menimbulkan EM. Misalnya, penyelenggaraan pemilu harus memperhatikan
kesepakatan kolektif dalam tradisi noken. Noken adalah kesepakatan sosio kultural
yang dibuat tokoh lokal (kepala suku) yang mengikat warga suku untuk memberikan
suara kepada satu calon tertentu. Noken menjadi cultural constraint terhadap
formalitas Pemilu Legisltif 2014 walaupun dari aspek legalitas kepemiluan hal ini
bertentangan dengan prinsip satu orang satu suara (one man one vote). Kearifan
lokal yang dijadikan dasar untuk melembagakan noken dalam pemilu tidak harus
bersifat ideologis-partai tetapi bisa bersifat semangat untuk mendukung calon
sesuku atau calon yang dianggap memenuhi harapan-harapan lokal. Dengan
demikian dari kasus-kasus di atas dapatlah dipetakan bahwa penyimpangan pemilu
(irregularity) semakin menguat ketika bertaut dengan kondisi lokalitas baik yang
bersifat sosiobudaya hingga munculnya intervensi dari kepentingan elite politik
daerah yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan struktural dan sistemik pada
tahap penghitungan dan rekapitulasi suara untuk mengubah hasil perolehaan suara.

Aktivitas Kelas:
1. Peserta kuliah mencari contoh-contoh malpraktik pemilu dan pelanggaran
pemilu yang berdimensi sosiobudaya.
2. Mendiskusikan (3-4 orang) kasus di atas dan membuat desain penindakan yang
efektif untuk kasus tersebut

Tugas:
1. Mengerjakan book review mengenai peran patronase dalam pemilu di Indonesia
2. Membuat paper (4 halaman) mengenai peran ketokohan dalam pemilu di aras
lokal

Rangkuman
Konteks politik lokal masih merupakan faktor yang mendinamisasi penyelenggaraan
pemilu di Indonesia. Dalam hal ini peran ketokohan politik dan kekerabatan dapat
digunakan calon sebagai instrumen mobilisasi politik yang efektif untuk menjaring
simpati dan dukungan dari pemilih. Dominasi ketokohan politik lokal bisa menjadi
faktor yang turut menggerakkan relasi hegemonik sehingga kesadaran kritis dan
independensi pemilih dalam menentukan keputusan politiknya rawan dikendalikan
atau dimobilisasi orang lain. Pada dasarnya, pemilu adalah aktualisasi hak suara
individu sehingga setiap upaya untuk hegemoni politik apapun dapat dicermati
sebagai proses yang dapat mengancam independensi politik pemilih. Potensi
pelanggaran pemilu pada masyarakat patronase justru terjadi pada wilayah
hegemonik ketokohan terhadap individu pemilih sehingga individu terdistorsi
independensi kritisnya.

Malpraktik Pemilu | 59
Tes formatif:
1. Menjelaskan mengapa peran komunalisme dalam politik lokal masih kuat?
2. Bagaimana desain kelembagaan yang efektif untuk mengurangi dampak
komunalisme dan kekerabatan dalam kasus-kasus penyimpangan
penyelenggaraan pemilu di Indonesia?

Malpraktik Pemilu | 60

Anda mungkin juga menyukai