Modul Pembelajaran
Etika dan Moral Politik
Penyelenggara Pemilu
Penyusun:
Bakaruddin Rosyidi
(FISIP Universitas Andalas)
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................................iii
Pengantar..................................................................................................................1
Kompetensi................................................................................................................3
Pokok Bahasan..........................................................................................................4
Metode Pembelajaran...............................................................................................4
Metode Evaluasi........................................................................................................5
Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran...........................................................6
Tinjauan Mata Kuliah...............................................................................................12
Deskripsi Mata Kuliah..............................................................................................12
Kegunaan Mata Kuliah Bagi Peserta Didik..............................................................13
Tujuan Pembelajaran..............................................................................................13
Susunan Bahan Ajar.................................................................................................13
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar...........................................................................14
Bahan Ajar...............................................................................................................15
BAB I MAKNA ETIKA DAN MORAL POLITIK PENYELENGGARA PEMILU...................15
BAB II KODE ETIK PENYELENGGARA PEMILU...........................................................23
BAB III INTEGRITAS PEMILU.....................................................................................31
BAB IV KORUPSI PEMILU.........................................................................................40
BAB V GENDER DALAM PEMILU..............................................................................53
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................71
BAB I Makna Etika dan Moral Politik.......................................................................71
BAB II Kode Etik Penyelenggara Pemilu...................................................................71
BAB III Integritas Pemilu..........................................................................................72
BAB IV Korupsi Pemilu.............................................................................................73
BAB V Gender dalam Pemilu...................................................................................73
PENGANTAR
Modul Mata Kuliah Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu (EMPPP) adalah
salah satu dari sebelas modul yang diperuntukkan bagi mahasiswa S2 Tata Kelola
Pemilu Indonesia. Mata kuliah ini mengasumsikan bahwa penyelenggara pemilu—
yaitu Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) beserta jajarannya dan
Badan Pengawas Pemilihan Umum (selanjutnya disebut BAWASLU) beserta
jajarannya—bekerja sesuai dengan nilai-nilai etika dan norma-norma moral. Baik
dalam konteks etika dan moral umum maupun dalam konteks khusus seperti yang
tercantum dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu, maka penyelengaraan pemilu
dalam semua tahapannya akan berjalan dengan baik dan benar. Dengan kata lain,
mata kuliah ini berasumsi bahwa penyelenggara pemilu dengan semua elemennya
dalam bekerja dituntut tidak hanya taat pada regulasi atau hukum yang mengatur
pemilu saja, tetapi juga taat pada nilai-nilai etika dan norma moral dalam arti yang
seluas-luasnya.
Ada berbagai pendapat dari banyak pakar mengenai etika dan moral politik.
Misalnya, ada yang menyebut etika politik (dikenal juga sebagai moralitas politik
atau etika publik) merupakan praktik membuat pertimbangan-pertimbangan moral
mengenai tindakan politik dan jabatan-jabatan politik. Pengertian ini mencakup dua
arena, yang pertama merupakan etika proses (atau etika jabatan) yang
berhubungan dengan jabatan-jabatan publik dan metode-metode yang mereka
gunakan. Arena kedua, berkaitan dengan etika kebijakan (atau etika dan kebijakan
publik) yang memperhatikan pertimbangan-pertimbangan mengenai kebijakan-
kebijakan dan hukum-hukum. Karena itu, etika dan moral berkaitan erat dengan
hukum, karena “hukum adalah kristalisasi dari nilai-nilai etika dan moral”. Dengan
kata lain, “dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi
dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian
mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan
kekuatan penegak hukum” (Mahfud MD, 2008:1).
Jadi, karena produk hukum pemilu, seperti semua regulasi tentang pemilu,
termasuk code of ethics dan code of conduct merupakan kristalisasi dari nilai-nilai
etika dan moral, maka berbicara tentang etika dan moral politik penyelengggara
pemilu pada intinya adalah berbicara tentang integritas pemilu atau pemilu yang
berintegritas. Global Commission on Election, Democracy & Security (2012)
mendefinisikan pemilu berintegritas sebagai pemilu yang didasarkan pada prinsip-
prinsip hak pilih universal demokratik dan kesetaraan politik sebagaimana telah
digambarkan dalam standar-standar dan perjanjian-perjanjian internasional, yang
profesional, imparsial, dan transparan dalam persiapan dan administrasinya
sepanjang siklus pemilu.
Singkatnya, integritas pemilu akan ditentukan oleh regulasi hukum dan Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disebut HAM) dan keadilan pemilu, lembaga penyelenggara
pemilu yang kompeten dan dipercaya publik secara layak, institusi dan norma
persaingan multi-partai dan pembagian kekuasaan yang demokratis sebagai sistem
keamanan bersama; hilangnya hambatan-hambatan—hukum, administratif, politik,
ekonomi dan sosial—terhadap partisipasi politik (perempuan, minoritas dan
kelompok lainnya)—yang setara dan universal; dan keuangan politik yang
terkendali, terbuka, dan jelas. Selain itu, integritas pemilu harus bebas dari
pelanggaran etika dan moral politik seperti electoral malpractice, electoral
misconduct, dan electoral corruption, dan berbagai bentuk kecurangan
terselubung, yang disebut dengan Manipulasi Kerangka Hukum Pemilu
(Manipulation of Election Legal Framework), Manipulasi Pilihan Pemilih
(Manipulation of Votes Choice), manipulasi Proses Pemungutan dan Penghitungan
Suara, Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara, serta Pelaporan Hasil Pemilu
(Manipulation of Electoral Administration).
Ide tentang etika dan norma pemilu ini dekat sekali dengan konsep yang diajukan
oleh Ramlan Surbakti, dkk. (2011: 5-6). Surbakti dkk menyebut etika dan moral
politik pemilu ini sebagai integritas pemilu (electoral integrity), yang mencakup
integritas proses penyelenggaraan pemilu dan integritas hasil pemilu.
Lebih jauh, Surbakti dkk (2011: 5-6) sendiri menyebutkan setidaknya ada
enam parameter proses penyelenggaraan pemilu yang demokratik (democratic
electoral processes), yaitu:
(1) pengaturan semua tahapan pemilu mengandung kepastian hukum (tidak ada
kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarpasal dalam suatu UU atau antar-
UU, tidak multitafsir, dan operasional sehingga dipahami dan dilaksanakan secara
sama oleh seluruh daerah);
(2) pengaturan semua tahapan pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas pemilu
yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan
dan akuntabel;
(3) pengaturan dan pelaksanaannya menjamin integritas proses dan hasil pemilu
(electoral integrity);
(4) semua sengketa pemilu (pelanggaran peraturan pidana pemilu, peraturan
administrasi pemilu, dan kode etik pemilu) diselesaikan oleh penegak hukum
secara adil dan cepat, sedangkan perselisihan hasil pemilu (electoral contest)
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, modul mata kuliah Etika dan Moral Politik
Penyelenggara Pemilu ini, berturut-turut akan membahas isu-isu yang telah
dipaparkan di atas melalui beberapa bab yang dimulai dari makna etika dan moral
politik penyelenggara pemilu, kode etik penyelenggara pemilu, integritas pemilu,
korupsi pemilu, dan perempuan (gender) dalam pemilu. Isu-isu ini atau pokok-
pokok bahasan ini akan mengambil pertemuan kelas (termasuk kuliah lapangan)
sebanyak empat belas kali pertemuan.
TUJUAN
Tujuan akhir mata kuliah ini adalah menjadikan mahasiswa menguasai dua bidang
kompetensi, yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus, yang mencakup
aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (ketrampilan). Dalam
konteks kompetensi umum, setiap mahasiswa setelah mengikuti mata kuliah ini
mempunyai kemampuan baik dalam segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap-
sikap kritis serta figur teladan dalam menyelenggarakan pemilu sesuai dengan nilai-
nilai etika dan moral politik penyelenggara pemilu. Kompetensi umum ini
berpedoman pada asas-asas yang disebutkan dalam pasal 2 UU No. 15 Tahun 2015
tentang Penyelenggara Pemilu, yaitu mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas
Kuliah Etik dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu ini bertujuan lebih menekankan
kepada mahasiswa bahwa “etika dan moral politik penyelenggara pemilu” sebagai
“kajian” daripada “ajaran” sehingga mahasiswa diharapkan dapat mengkaji etika
dan moral politik pemilu yang selama ini diatur dan dilaksanakan untuk menjadi
bahan analisis dan desain roadmap pengaturan etika dan moral politik
penyelenggara pemilu ke depannya.
KOMPETENSI
Pokok Bahasan
Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran yang akan diterapkan dalam mata kuliah EMPPP adalah
melalui tiga metode, yaitu:
1. Metode reading bahan yang telah ditentukan, tatap muka, presentasi dan
diskusi kelas. Melalui ini, partisipasi aktif mahasiswa dalam semua sesi
pertemuan merupakan sesuatu yang esensial.
2. Metode studi kasus. Semua mahasiswa diwajibkan membawa kasus-kasus
pelanggaran etika dan moral penyelenggara pemilu dan mencarikan
Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi ini mencakup dua aspek, yaitu dosen sebagai pengajar dan mahasiswa
sebagai peserta mata kuliah ini. Metode evaluasi terhadap dosen pengajar adalah
melalui Laporan Proses Belajar-Mengajar (PBM) selama pembelajaran berlangsung
dari awal sampai akhir, yang didasarkan pada Angket Kepuasan Mahasiswa peserta
mata kuliah tersebut. Daftar angket tersebut telah dirancang sedemikian rupa, yang
mencakup penguasaan materi kuliah, metode pengajaran, dan sikap perilaku dalam
mengajar. Kuesioner ini dibagikan kepada mahasiswa untuk diisi tanpa menuliskan
nama mahasiswa dan diserahkan kembali kepada dosen pengajar. Evaluasi ini
berguna sebagai umpan balik bagi dosen untuk memperbaharui, menyempurnakan,
dan mengubah sikap perilaku dosen yang tidak berkenan bagi mahasiswa.
IV Cakupan Etika dan Moral Etika dan moral politik - Pemaparan Membaca Mengarahkan - - Ketelitian 5%
penyelenggara pemilu pasca oleh Dosen bahan bacaan mahasiswa untuk - Keaktifan
Politik Pemilu: Proses dan melakukan
pemilu - Diskusi yang telah - Kejujuran
Hasil (2) Kelompok disepakati diskusi kelompok
- Kecermatan
bersama dan - Penguasaan
Memberikan
menyajikannya pandangan kritis materi
dalam diskusi sebagai
kelompok kesimpulan
Kasus-kasus
dilema etik
integritas
pemilu
Tugas
Mahasiswa
10 %
UJIAN TENGAH SEMESTER
IX Korupsi Pemilu: Bentuk dan Korupsi Pemilu - Tayang Membaca 1. Mengarahkan - Tes lisan - Ketelitian 5% ICW, 2010;
Film bahan bacaan mahasiswa - Portofolio - Keaktifan Ade, dkk.,
Dampak untuk - Penugasan
1. Arti dan penyebab - Diskusi yang telah - Kejujuran 2014;
melakukan
1. Mahasiswa mampu korupsi pemilu kelompok disepakati - Kecermatan Aspinall &
diskusi
memahami arti korupsi 2. Bentuk-bentuk korupsi - Ceramah bersama dan - Penguasaan Mada, 2015;
kelompok
korupsi pemilu dan pemilu - Tutorial menyajikannya 2. Memberikan materi Bambang,
penyebabnya 3. Dampak masif korupsi dalam diskusi pandangan 2014;
2. Mahasiswa mampu pemilu kelompok kritis sebagai ICW, 2014
memahami dan kesimpulan (a) dan (b);
mengenalisis bentuk-bentuk Tugas diskusi Najib, 2015;
korupsi pemilu membandingka Pope, 2008.
3. Mahasiswa mampu n bentuk-
memahami dan bentuk korupsi Tugas
menganalisis dampak masif pemilu dengan Mahasiswa
korupsi dan korupsi pemilu merujuk buku
Aspinall dan
Mada
6. Mahasiswa mampu
mengidentifikasi hasil yang
diperoleh Gender dari pemilu
ke pemilu
XII Etika dan Gender dalam 1. Profil Perempuan Terpilih - Diskusi Membaca 1. Mengarahkan - Tes lisan - Ketelitian 5% Ari P., 2010
DPR-RI pada Pemilu 2014 kelompok bahan bacaan mahasiswa - Portofolio - Keaktifan PUSKAPOL-
Pemilu II: untuk - Penugasan
2. Jumlah dan kualitas - Ceramah yang telah - Kejujuran UI, 2014;
melakukan
1. Mahasiswa mampu Gender dalam EMB’s - Tutorial disepakati - Kecermatan
diskusi
mengidentifikasi 3. Kesimpulan Keterwakilan bersama dan - Penguasaan Kartikasari,
kelompok
keterwakilan perwakilan Perempuan menyajikannya 2. Memberikan materi 2014;
perempuan dalam Pemilu 4. Kasus-kasus dilema etik dalam diskusi pandangan PUSKAPOL-
2014 dan moral yang berkaitan kelompok kritis sebagai UI, 2014;
2. Mahasiswa mampu dengan Gender dalam kesimpulan Susiana,
mengeksplorasi dan Pemilu diskusi 2014;
menganalisis jumlah dan 5. Agenda ke depan
kualitas Gender dalam Tugas
EMB’s Mahasiswa
Etika Moral Politik Penyelenggara Pemilu (EMPP) merupakan mata kuliah wajib
yang harus diikuti oleh semua mahasiswa yang terdaftar di Program Studi S2 Tata
Kelola Pemilu di Indonesia. Mata kuliah ini juga merupakan mata kuliah dasar
bersama-sama dengan mata kuliah dasar lainnya. Oleh karena itu, mata kuliah ini
wajib diikuti pada semester pertama karena merupakan prasyarat untuk mengikuti
mata kuliah lain pada semester berikutnya. Dalam konteks cluster (pengelompokan)
mata kuliah, EMPP berada dalam kluster Electoral Management Board yang
bersanding dengan mata kuliah Organisasi dan Birokrasi Pemilu.
Mata kuliah ini akan membahas persoalan etika dan moral politik penyelenggara
pemilu, yang pada intinya akan berkaitan dengan integritas pemilu (electoral
integrity). Melihat bagaimana penyelenggara pemilu bekerja menegakkan kode etik,
bagaimana penyelenggara pemilu taat pada asas-asas mandiri, jujur, adil, kepastian
hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas (Pasal 5 Kode Etik) sebagaimana juga diatur
pada Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu.
Bagaimana mereka menghindar jika di satu pihak mereka wajib taat asas,
sementara di lain pihak ada jebakan pelanggaran pemilu seperti vote trading, vote
buying atau bribery, electoral fraud, electoral corruption, kelalaian, kecerobohan,
kekurangan sumber daya, kelelahan, atau ketidakmampuan. Pada titik ini, hal ini
dapat dipahami sebagai dilema etik di mana penyelenggara tidak hanya wajib taat
asas atau berperilaku “hitam-putih” (wajib, dilarang, patut atau tidak patut seperti
tercermin dalam Pasal 1 Angka 6 Kode Etik), tetapi juga mengalami pilihan-pilihan
dilematis untuk menentukan mana yang harus dipilih.
Oleh karena itu, pada tahap awal proses belajar-mengajar mata kuliah ini, paara
mahasiswa akan diajak untuk mengembara pada konsep-konsep etika dan moral
politik, integritas pemilu, kode etik, korupsi, dan gender dalam pemilu, yang
dilanjutkan dengan pembahasan dilema-dilema etika dan moral sebagaimana telah
digambarkan dalam RPKPS di atas.
Oleh karena itu, kegunaan mata kuliah ini bagi mahasiswa diharapkan akan
menambah pengetahuan mereka dari segi kognitif, psikomotorik, dan sikap, untuk
bekerja berdasarkan nilai-nilai etika dan moral yang baik dan benar. Selain itu,
materi-materi kuliah ini akan menjadi inspirasi bagi mereka untuk memecahkan
dilema-dilema etik dan moral yang akan mereka hadapi kelak. Dengan demikian,
dalam arti yang lebih luas, kegunaan mata kuliah ini diharapkan akan mendorong
penyelenggara-penyelenggara pemilu untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas
dan berintegritas.
Tujuan Pembelajaran
Mata kuliah Etika Moral Politik Penyelenggara Pemilu tidak berlandaskan pada satu
perspektif keilmuan secara khusus, yaitu etika dan moral politik keilmuan
kepemiluan. Namun, bukan berarti materi Etika dan Moral Politik Pemilu tidak bisa
menjadi bahan kajian. Pembahasan mengenai etika dan moral politik pemilu dapat
ditempatkan sebagai kontekstualisasi kajian etik dan moral dalam kajian ilmu
filsafat dan hukum. Oleh karena itu, mata kuliah ini tidak berasumsi melahirkan
teori atau konsep-konsep baru mengenai etika dan moral politik penyelenggara
pemilu. Landasannya adalah pada fenomena-fenomena etika dan moral politik,
termasuk persoalan-persoalan dilematiknya, yang telah dialami oleh penyelenggara
pemilu selama siklus pemilu yang sudah berlangsung.
Dengan demikian, tujuan dari mata kuliah EMPPP adalah membentuk sikap
kepribadian penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas pada diri
pribadi mahasiswa, membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of
change bagi penyelenggaraan pemilu Indonesia yang lebih baik dan lebih layak,
serta memberikan kemampuan praktis kepada penyelenggara pemilu untuk
mencegah, menangani, dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran etika politik
pemilu oleh peserta ataupun pemilih dalam pemilu. Dengan kata lain, mata kuliah
ini lebih menekankan pada pembangunan karakter penyelenggara pemilu (EMB’s
character-building) dengan berlandaskan pada nilai-nilai etika dan moral yang
berlaku di tengah masyarakat. Jadi, mata kuliah ini juga akan mengandaikan
pendekatan budaya dalam membangun karakter tersebut.
Materi dalam mata kuliah ini dikelompokkan menjadi lima bab. Bab 1, Makna Etika
dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu, mencakup kaitan etika dan moral dengan
Tata Kelola Pemilu; Bab 2, Perspektif HAM dan Demokrasi sebagai Etik Politik
Pemilu; Bab 3, Problematika Etik Politik Pemilu; Bab 4, Kode Etik Penyelenggara
Pemilu, yang mencakup kebijakan code of ethics (kode etik) dan code of conduct,
DKPP sebagai penegak kode etik dan peradilan etika; serta kasus-kasus dilema etik
dan moralnya; Bab 5, Integritas Pemilu, yang mencakup arti integritas pemilu dan
Modul ini terdiri dari lima bab yang disusun sedemikian rupa, termasuk pengantar
modul yang tidak terpisahkan dari keseluruhan bab. Oleh karena itu, mahasiswa
diwajibkan untuk membaca dan mencermati semua bagian yang termaktub dalam
modul ini, mulai dari pengantar hingga bab terakhir. Lebih khusus, mahasiswa
diwajibkan untuk mencermati semua uraian dalam setiap bab yang berisi deskripsi
pokok bahasan, manfaat, relevansi, outcomes, dan penyajian pokok bahasan
sehingga pemahaman yang utuh tentang pokok bahasan dapat dicapai. Selain itu,
mahasiswa juga diwajibkan untuk mencermati perintah-perintah seperti diuraikan
pada bagian aktivitas, tugas, latihan, tes formatif, penilaian umpan balik, dan tindak
lanjut. Semua perintah tersebut wajib dikerjakan karena akan dinilai oleh dosen
pengampu mata kuliah ini. Pada beberapa bab, terdapat perintah khusus yang wajib
dikerjakan oleh mahasiswa untuk memahami dengan jalan yang menyenangkan,
misalnya pada Bab 5 Integritas Pemilu, dosen mengadakan icebreaking mengenai
dua hasil Laporan Penelitian Survei Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu
dan Laporan Penelitian Integritas Pemilu 2014. Pada Bab 4, misalnya, terdapat
perintah untuk melakukan analisis film yang ditayangkan dalam proses
pembelajaran di awal perkuliahan bab ini, dan perintah untuk membuat tugas
individual untuk membandingkan mengenai politik uang yang diuraikan dalam bab
ini dengan politik uang yang diuraikan oleh Aspinall dan Mada Sukmajati dalam
buku mereka Politik Uang di Indonesia (2015), serta membandingkan empat pola
korupsi dalam pemilu yang ada selama ini dengan istilah vote trading dan vote
buying yang diulas dalam buku yang sama.
Pendahuluan
Deskripsi
Pertemuan pertama ini membahas tentang makna etika dan moral politik
penyelenggara pemilu. Ada tiga hal yang akan dijelaskan, yaitu etika, moral, dan
penyelenggara pemilu. Selanjutnya akan dijelaskan pula kasus-kasus dilema etik dan
moral yang mungkin akan dihadapi oleh penyelenggara pemilu itu. Tetapi sebagai
pengantar mahasiswa perlu mengetahui lebih dahulu mengenai makna etika dan
moral politik dalam arti umumnya.
Manfaat
Pokok bahasan ini memberikan gambaran mengenai makna etika dan moral politik
dan kaitannya dengan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu baik secara
pribadi maupun secara kelompok dilihat sebagai pihak yang wajib menegakkan
asas-asas penyelenggara pemilu dengan berdasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan etika dan moral, serta dilemanya. Asas mandiri, jujur, adil, kepastian
hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas tidak dapat diterapkan jika etika dan moral
penyelenggaranya tidak mempunyai komitmen untuk menegakkannya. Jadi,
pemahaman mengenai makna etika dan moral ini adalah sesuatu yang sangat
mendasar dan akan menjadi pintu masuk untuk memahami pokok bahasan
berikutnya, yaitu apa yang dimaksud dengan kode etik penyelenggara pemilu.
Relevansi
Pokok bahasan ini perlu dibahas mengingat maraknya pelanggaran yang dilakukan
oleh penyelenggara pemilu, yang diasumsikan karena mereka tidak memahami
betapa pentingnya etika dan moral ini sebagai landasan mereka bekerja. Dengan
demikian, relevansi pokok bahasan ini dengan perilaku pelanggaran pemilu sangat
penting karena akan menjadi pedoman bagi terlaksananya pemilu yang
berintegritas.
Outcome
Jika dilihat dari akar katanya, meminjam pendapat Karl Barth (dalam Nurcholis
Madjid, l992:467) etika (dari bahasa Yunani, ethos) adalah sebanding dengan moral
(dari mos). Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Dalam
bahasa Perancis, etika disebut etiquette atau yang dalam bahasa Indonesia disebut
etiket yang berarti juga kebiasaan atau cara bergaul, berperilaku yang baik.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen P dan K, 1988),
arti kata etika dapat dibedakan dalam tiga arti, yaitu: (1) ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan/masyarakat.
Moralitas atau moral adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin: mos (jamak:
mores) yang juga berarti cara hidup atau kebiasaan. Secara harfiah, istilah moral
berarti sama dengan istilah etika, tetapi dalam praktiknya istilah moral atau moril
sebenarnya telah jauh berbeda dari arti harfiahnya. Moral atau morale dalam
bahasa Inggris dapat diartikan sebagai semangat atau dorongan batin dalam diri
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Moral atau moralitas ini
dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh seseorang atau organisasi
tertentu sebagai sesuatu yang baik atau buruk sehingga orang atau organisasi
tersebut bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak
sepatutnya dilakukan (Fernanda, 2006: 3).
Dengan demikian, dapat dijelaskan perbedaan antara etika dan moralitas sebagai
suatu sistem nilai dalam diri seseorang atau organisasi. Moralitas cenderung lebih
merujuk pada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang
atau sesuatu organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
etika lebih merupakan nilai-nilai perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau
sesuatu organisasi tertentu dalam interaksinya dengan lingkungan. Moralitas,
dengan demikian, dapat melatarbelakangi etika seseorang atau organisasi tertentu.
Namun, nilai-nilai moralitas dengan nilai-nilai etika dapat saja tidak sejalan atau
bertentangan (Fernanda, Ibid).
Menurut Solomon, terdapat dua perbedaan antara etika, moral dan moralitas.
Etika pada dasarnya merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan
disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia
beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang
filsafat. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu
Sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari
etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan
bebas. Orang yang mengingkari janji yang telah diucapkannya dapat dianggap
sebagai orang yang tidak bisa dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak
bermoral. Namun, menyiksa anak atau meracuni mertua bisa disebut tindakan
tidak bermoral. Jadi, tekanannya di sini pada unsur keseriusan pelanggaran. Di lain
pihak, moralitas lebih abstrak jika dibandingkan dengan moral. Oleh sebab itu,
semata-mata berbuat sesuai dengan moralitas tidak sepenuhnya bermoral, dan
melakukan hal yang benar dengan alasan-alasan yang salah bisa berarti tidak
bermoral sama sekali.
Untuk memahami makna etika ini lebih jauh, ada baiknya kita mengikuti juga apa
yang dikatakan oleh Magnis Suseno. Menurut Magnis-Suseno (2001), etika
merupakan ilmu atau refleksi sistematik yang berkaitan dengan pendapat-pendapat
tentang norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang lebih luas, etika
diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya (Magnis-Suseno, 2001:6). Berikutnya, dijelaskan bahwa terdapat
pembedaan antara etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan
kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu, melainkan
pada tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada
akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis, tindakan itu sendiri bersifat netral.
Tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik, salah apabila
akibatnya salah (Magnis Suseno, 1998:40). Dalam konteks ini, muncul pertanyaan,
misalnya: apa yang kita maksud apabila kita menambah kata sifat “moral” pada
salah satu kata benda seperti “kewajiban”, “norma”, “pertimbangan”, dan
sebagainya? Apa yang membedakan kewajiban dan norma moral dari kewajiban
dan norma yang bukan moral?
Untuk memahami apa yang disebut dengan “moral”, dapat kita ambil contoh
misalnya dengan mengatakan bahwa si A adalah dosen yang buruk (jalan pikirannya
kacau, omongannya tidak jelas, dan sebagainya), tetapi sebagai manusia ia baik
sekali dan dicintai oleh para mahasiswa. Atau, kita dapat mengatakan bahwa dia
sebagai dokter sangat baik, tetapi sebagai manusia ia buruk (misalnya karena
bantuannya tergantung tinggi pembayaran yang diterimanya). Apabila kita bicara
tentang pemain bola yang baik, kita belum mengatakan apa pun tentang kualitas
moralnya.
Lebih lanjut, Magnis (1991) membagi etika menjadi dua, yakni etika umum dan
etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi
segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu
terkait kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Selain itu,
Magnis (1991) juga membedakan antara etika individual dan etika sosial. Etika
individual mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama
terhadap dirinya sendiri dan, melalui suara hati, terhadap Yang Ilahi. Etika sosial
jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia
bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Bertolak
dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-
norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan etika dan moral politik? Etika politik
(kadang-kadang disebut moralitas politik atau etika publik) adalah praktik membuat
pertimbangan moral tentang tindakan politik dan studi tentang praktik tersebut.
Sebagai bidang studi, ia dibagi menjadi dua cabang, masing-masing dengan masalah
khas dengan berbagai literatur meskipun tumpang tindih. Salah satu cabang adalah
etika proses (atau the ethics of office atau etika jabatan), berfokus pada pejabat
publik dan metode yang mereka gunakan. Cabang yang lain adalah etika kebijakan
(atau etika/ethics dan kebijakan publik/public policy) berkonsentrasi pada penilaian
tentang kebijakan dan undang-undang. Keduanya menggambarkan tentang filsafat
moral dan filsafat politik, teori demokratik, dan ilmu politik. Meski demikian, etika
politik merupakan subjek yang berdiri bebas di dalam dirinya sendiri.
Pandangan yang lebih mudah dipahami melihat etika politik sebagai filsafat moral
yang berkaitan dengan dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang
membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik merupakan prinsip-prinsip
moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 16
politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun
(kesopanan) dalam pergaulan politik (Lihat Magnis-Suseno, 1991).
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kaitan antara etika dan moral politik
dengan Pemilu dan Penyelenggara Pemilu? Menurut banyak literatur, pemilu
merupakan salah satu ukuran dari demokrasi, yang biasanya disebut dengan istilah
demokrasi prosedural. Mengikuti Deliar Noer (1997:5), demokrasi prosedural
merupakan demokrasi sebagai suatu proses, terutama dalam melaksanakan sistem
pemilu dari permulaan sampai kepada hasilnya. Misalnya bagaimana persiapan
pemilu (electoral processes) Presiden dan Wakil Presiden menurut Pasal 3 ayat (6)
UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimulai dari
tahapan: (a) penyusunan daftar pemilih, (b) pendaftaran bakal Pasangan Calon, (c)
penetapan Pasangan Calon, (d) masa kampanye, (e) masa tenang, (f) pemungutan
dan penghitungan suara, (g) penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
dan (h) pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden.
Aktivitas
Kegiatan pembelajaran untuk pokok bahasan ini dilakukan dalam bentuk diskusi
kelas (in-class discussion) dan pembahasan kasus (studi kasus) dan tugas mandiri.
Diskusi kelas ini dilakukan melalui penerapan metode SCL (Student Centre Learning)
di mana mahasiswa membaca bahan dan mendiskusikannya, sementara dosen
bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan arahan dan kemudian
memberikan pandangan kritis sebagai kesimpulan diskusi.
Tugas
Membuat esai sebagai tugas mandiri mengenai pengertian etika dan moral politik
dan kaitannya dengan etika dan moral penyelenggara pemilu. Esai ini ditulis dengan
merujuk pada daftar bacaan terpilih.
Latihan
1. Jelaskan pengertian etika dan moral dalam arti umum!
2. Jelaskan pengertian etika dan moral politik penyelenggara pemilu!
Rangkuman
Etika dan moral politik penyelenggara pemilu secara sempit atau praktis berkaitan
dengan ketaatan terhadap kode etik, sedangkan secara luas berkaitan dengan
integritas pemilu atau prinsip-prinsip pemilu berintegritas.
Penutup
Test Formatif
1. Sebutkan dan jelaskan dilema-dilema etik dan moral apa saja yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilu yang pernah Saudara alami sebagai
penyelengara pemilu!
2. Apa kaitan pokok bahasan ini dengan kode etik penyelenggara pemilu?
Pendahuluan
Deskripsi
Pokok bahasan ini menguraikan mengenai HAM dan Demokrasi yang berjalan di
Indonesia, serta bagaimana kaitan HAM dan Demokrasi dalam etika politik pemilu.
Manfaat
Pokok bahasan ini bermanfaat bagi mahasiswa untuk mengetahui dan memahami
bagaimana HAM dan demokrasi berdampak pada etika politik, dalam pemilu yang
terselenggara di Indonesia.
Relevansi
Outcome
Penyajian
HAM dan Demokrasi
1.1 Hak Asasi Manusia
Ketika seorang manusia lahir ke dunia, dia sudah memiliki hak-hak asasi manusia
yang melekat pada dirinya. Hak asasi manusia tidak diberikan oleh kelompok
tertentu atau bahkan oleh negara, karena sejatinya manusia sedari lahir sudah
memiliki hak-hak asasi sebagai manusia. Seperti hak untuk hidup, hak memeluk
agama, hak menjadi warga negara. Bahkan, ketika manusia menjadi rakyat dari
suatu negara, ia berhak menyatakan pendapatnya, berhak untuk membentuk
perkumpulan politik, serta berhak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah.
Hak Asasi Manusia dapat menjadi tolak ukur pencapaian bagi rakyat dan negara,
jika negara tidak mengakui hak-hak yang dimiliki rakyat, hal ini mengindikasikan
bahwa negara mengesampingkan urusan hak-hak asasi manusia.
Lahirnya gagasan HAM merupakan pencerahan Abad Modern yang muncul seiring
dengan menguatnya ide tentang antroposentrisme dalam peradaban manusia.
Gagasan ini bermula dari ide tentang hak kodrati (natural rights) yang merupakan
turunan dari gagasan hukum kodrati (natural law). John Loke dalam Franz Magnis
Menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak kodrati
yang dikarunia secara alamiah (natural rights) berupa hak untuk hidup, hak untuk
Menurut Zippelius dalam Franz Magnis, konsep Hak dibagi menjadi empat, yakni:
1. Hak Negatif adalah hak yang berdasarkan kebebasan dan hak individu untuk
mengurus diri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup,
keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, kebebasan untuk memilih jodoh,
perlindungan terhadap hak milik, hak untuk mengurus kerumahtanggaan
sendiri, hak untuk memilih pekerjaan dan tempat tinggal, hak atas
kebebasan beragama, hak kebebasan berpikir, hak kebebasan berkumpul
dan berserikat, dst. Hak ini disebut sebagai hak negatif karena hak ini
menjamin suatu ruang kebebasan di mana manusia itu sendirilah yang
berhak untuk menentukan diri manusia itu sendiri.
2. Hak Aktif adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat memerintah diri sendiri
dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Disebut sebagai
hak aktif karena hak ini merupakan hak atas suatu aktivitas manusia, yaitu
hak untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.
3. Hak Asasi Positif adalah hak yang menuntut pelayanan negara kepada
masyarakat. Hak yang menjadi hak utama adalah hak perlindungan atas
hukum karena sejatinya setiap manusia memiliki kedudukan sama di dalam
hukum dan pemerintahan.
4. Hak Asasi Sosial adalah hak yang mencerminkan kesadaran bahwa setiap
anggota masyarakat berhak atas memperoleh jaminan sosial, berhak
memperoleh pekerjaan, berhak memperoleh pendidikan, dan berhak
membentuk serikat pekerja. Hak-hak asasi sosial ini seperlunya harus
dijamin oleh tindakan negara.
Dalam Konteks Hak Asasi Manusia sebagai warga negara, hak-hak yang melekat
dalam diri manusia sebagai rakyat adalah hak sipil dan hak politik yang saling terkait
dan tidak dapat dipisahkan. Pertama, hak sipil, merupakan hak untuk mendapatkan
kesempatan sosial yang setara dan kesetaraan di depan hukum tanpa membedakan
ras, agama, dan karakteristik lainnya. Hak sipil merupakan hak paling fundamental
yang menjadi prasayarat kebebasan bagi individu yang meliputi hak untuk memiliki,
hak untuk kebebasan berpikir, hak untuk berbicara, hak untuk memeluk keyakinan,
hak untuk berserikat dan berasosiasi, dan hak persamaan di depan hukum. Kedua,
hak politik, merupakan hak seseorang untuk bisa terlibat dalam urusan publik dan
aktivitas politik yang meliputi hak untuk memilih dan hak untuk menduduki jabatan
publik.
1.2 Demokrasi
Istilah Demokrasi menjadi akrab dalam keseharian penduduk Indonesia, segala
lapisan rakyat rasanya memaknai arti dari paham demokrasi, tentunya dengan
berbagai versi berbeda. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan
yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi berkaitan erat
dengan hak-hak asasi manusia, bahkan bisa jadi dikatakan bahwa demokrasi hadir
sebagai perwujudan agar hak-hak manusia dapat terealisasikan dengan baik karena
Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dibagi empat periode, yaitu:
1. Periode 1945-1959: Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer.
Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekan
diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam UUD 1949 (Konstitusi
RIS) dan UUDS 1950. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari
presiden sebagai kepala Negara konstitusional dan perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan. Meski sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di
beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa.
2. Periode 1959-1965: (Orde Lama) Demokrasi Terpimpin
Dalam Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, Demokrasi Terpimpin berusaha
menempatkan Soekarno sebagai “ayah” dalam keluarga besar yang bernama
Indonesia di mana kekuasaan terpusat di tangannya. Dengan demikian,
kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin di era Soekarno adalah
adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yaitu diberlakukannya
unsur absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin.
Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif
terhadap eksekutif.
3. Periode 1965-1968: (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat
merekomendasikan pemerintahan, terbatasnya peran partai politik,
berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur sosial politik.
4. Periode 1998-saat ini: (Reformasi)
Orde Reformasi ditandai dengan turunnya Prsiden Suharto pada 21 Mei
1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil Presiden Prof. DR. Ir. Ing.
B.J. Habibie. Turunnya Suharto disebabkan tidak adanya lagi kepercayaan
dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Bergulirnya era reformasi
yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahapan awal bagi
transisi demokrasi di Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial
yang kritis karena dalam fase ini arah demokrasi ditentukan.
Adanya idiom yang mengatakan bahwa demokratis atau tidaknya suatu negara
dapat dilihat dari terselenggaranya pemilu. Dalam pemilu, nilai-nilai demokrasi
menjadi landasan kuat, di mana rakyat merupakan kunci dari keberhasilan pemilu.
Dari rakyat nantinya akan terpilih suatu perwakilan rakyat yang menduduki jabatan
publik. Dari tertunaikan atau tidaknya hak-hak rakyat dalam pemilu juga
mengindikasikan berjalan baik atau tidaknya penyelenggaraan pemilu. Sekali lagi,
rakyat memegang peranan penting dalam roda pemerintahan, dan kedaulatan
berada di tangan rakyat.
Jika ditelisik lebih lanjut, demokrasi, penyelenggaraan pemilu, termasuk etika dan
moral politik memiliki kaitan erat. Pemilu merupakan perwujudan dari demokrasi,
sementara etika dan moral politik merupakan nilai-nilai yang harus dijunjung dalam
pelaksanaan pemilu.
Aktor-aktor politik yang menghalalkan segala cara untuk menduduki jabatan publik
bukan hanya mencoreng nilai-nilai moral dan etika politik. Mereka juga mencoreng
hak-hak asasi para pemilihnya, karena hak memilih merupakan hak asasi manusia
yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain. Hal ini terlihat jelas pada pemilu yang
dilaksanakan di era pemerintahan Suharto, di mana rakyat diarahkan dan beberapa
lapisan masyarakat “dipaksa” untuk memilih partai berlambang beringin tersebut.
Bahkan, kini pesta demokrasi semakin tercoreng dengan tindakan yang dilakukan
oleh mayoritas kandidat politik. Strategi “umum” yang dilakukan oleh para kandidat
politik untuk menggaet suara rakyat adalah dengan pemberlakuan politik uang
sehingga kelompok masyarakat yang hidup masih dibawah garis kehidupan layak
dan kelompok masyarakat yang kurang memperoleh pendidikan pemilu masih saja
tetap menjadikan momentum pesta demokrasi sebagai sarana untuk memperoleh
sedikit tambahan ‘penghasilan’ tanpa menghiraukan hak suara mereka. Bagi
masyarakat pada umumnya, pemenuhan urusan perut menjadi tujuan utama.
Pelanggaran hak suara yang dimiliki oleh rakyat juga dapat dilihat dari sulitnya
seseorang atau sekolompok orang mendaftarkan diri dalam Daftar Pemilih Tetap
saat pemilu. Misalnya, masyarakat yang termarginalkan dalam kehidupan sosial
Pemaparan di atas menyimpulkan bahwa hak asasi manusia, demokrasi, pemilu dan
etika moral politik sangat berkaitan erat satu sama lain. Jika keseluruhan sistem
berjalan dengan baik, harmonisasi dalam kehidupan politik suatu Negara tentu akan
terjalin baik pula. Demikian pula sebaliknya, jika salah satu perspektif pincang, maka
sulit untuk menjalankan sistem politik yang harmonis dalam suatu negara.
Penutup
Test Formatif
Petunjuk Penilaian dan Umpan Balik
Aspek-aspek yang dinilai sebagai umpan balik pembelajaran ini adalah meliputi:
Pendahuluan
Deskripsi
Pokok bahasan ini menguraikan mengenai permasalahan-permasalahan yang sering
terjadi dalam penyelenggaraan pemilu baik dari sisi KPU, kandidat politik (partai)
ataupun rakyat.
Manfaat
Pokok bahasan ini bermanfaat bagi mahasiswa untuk memahami dan kemudian
menganalisis secara lebih lanjut mengenai problematika etika dan moral politik
yang terjadi dalam pemilu di Indonesia.
Relevansi
Pokok bahasan ini perlu diuraikan mengingat maraknya pelanggaran etika dan
moral politik yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Nilai-nilai etika dan moral
politik kini cenderung dikesampingkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Outcome
Penyajian
Dewasa ini, nilai-nilai etika dan moral politik bisa dikatakan seolah memudar atau
bahkan hilang dari landasan kehidupan berpolitik suatu negara sehingga
harmonisasi politik seolah lenyap, justru memunculkan beragam permasalahan
yang mencederai demokrasi dan merugikan masyarakat. Pelanggaran nilai-nilai
etika dan moral politik seringkali dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam hal
ini KPU dan peserta (kandidat) pemilu. Sementara itu, rakyat menanggung dampak
dari pudarnya nilai-nilai etika dan moral politik di suatu bangsa.
Pertama, dari sisi Penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum dari tingkat pusat
hingga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara harus taat pada asas-asas
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas yang
termaktub dalam Pasal 5 Landasan dan Prinsip Dasar Etika dan Prilaku (kode etik)
yang harus dijalankan oleh KPU. Secara Individual atau kelembagaan, para
penyelenggara pemilu juga harus menghindari pelanggaran pemilu seperti vote
trading, vote buying atau bribery, electoral fraud, electoral corruption,kelalaian,
ceroboh, kekurangan sumber daya, kelelahan, atau ketidakmampuan. Pada titik ini,
akan muncul apa yang disebut dengan dilema etik di mana penyelenggara tidak
Dilihat dari sisi peserta (kandidat) pemilu, merekalah yang paling sering melakukan
pelanggaran etika dan moral politik baik sebelum pemilu, saat proses pemilu,
bahkan saat menjabat sebagai perwakilan rakyat atau pejabat publik. Pelanggaran
nilai-nilai etika dan moral politik yang seringkali dianggap wajar demi keuntungan
satu pihak tentunya akan berimbas pada kerugikan pihak lain.
Bombardir media massa mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
politik uang, bualan janji kepada rakyat saat kampanye demi upaya memenangkan
kontestasi politik seolah dianggap wajar. Sedikit dari beragam kasus pelanggaran
nilai-nilai etika dan moral politik ini tentu saja perlahan berdampak pada
ketidakpercayaan rakyat kepada para wakil di pemerintahan. Tindak-tanduk
kebobrokan etika politik para wakil rakyat saat kampanye seringkali ‘dilupakan’ oleh
rakyat ketika kampanye pemilu berlangsung. Rakyat seolah terhipnotis oleh strategi
kampanye para kandidat yang memanjakan rakyat dengan huru-hara, bualan janji
pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan dengan beberapa
lembar rupiah sehingga rakyat akan memilih kembali kandidat politik yang memiliki
track record buruk tersebut.
Dewasa ini, etika politik menjadi problematika yang berlangsung tanpa ada
ujungnya. Berdasarkan permasalahan yang disebutkan di atas, membangun upaya
perbaikan etika politik yang baik terbilang sulit jika tidak dibarengi sinergi dari
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan rakyat sendiri. Etika politik tidak bisa
dipandang sebelah mata karena baik atau tidaknya suatu negara juga bisa dinilai
dari baik atau tidaknya etika politik suatu bangsa.
Penutup
Tes Formatif
Petunjuk Penilaian dan Umpan Balik
Aspek-aspek yang dinilai sebagai umpan balik pembelajaran ini meliputi:
Pendahuluan
Deskripsi
Pokok bahasan ini menguraikan tentang kode etik penyelenggara pemilu. Ia
mencakup kebijakan kode etik serta DKPP sebagai penegak kode etik dan peradilan
etika. Selain itu, diuraikan juga kasus-kasus dilema etik dan moral dari penegakan
kode etik penyelenggara pemilu tersebut. Bagaimanapun, dalam penegakan kode
etik tersebut, penyelenggara mengalami dilema etik dan moral dalam
penegakannya.
Manfaat
Pokok bahasan ini bermanfaat bagi mahasiswa untuk memahami dan kemudian
menerapkannya sebagai perilaku bagi penyelenggara pemilu mengenai peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, makna dan
tujuan kode etik tersebut, dan asas-asas kode etik yang harus ditaati. Secara
demikian, mahasiswa akan semakin memahami muatan etika dan moral apa yang
dikandung dalam kode etik tersebut: Apa itu kebijakan kode etik dan mengapa ia
diperlukan? Selain itu, ia juga akan bermanfaat bagi mahasiswa untuk memahami
mengapa DKPP diperlukan dan apa hubungan DKPP dengan peradilan etika dalam
khazanah terobosan hukum di Indonesia?
Relevansi
Pokok bahasan ini perlu diuraikan mengingat maraknya pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu, baik dari segi administratif maupun pidana.
Dengan demikian, relevansi dari pokok bahasan ini adalah sangat penting demi
memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Selain itu, ia relevan dengan upaya membangun komitmen penyelenggara
pemilu untuk menegakkan prinsip-prinsip pemilu berintegritas.
Outcome
Penyajian
Arti dan Tujuan Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Kode etik penyelenggara pemilu merupakan pengertian praktis dari etika dan
moral politik penyelenggara pemilu.Sebagai pembuka topik ini, dosen memberikan
beberapa pertanyaan kepada mahasiswa mengenai apa yang mereka pahami
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 27
tentang kode etik penyelenggara pemilu? Apa kasus-kasus yang sering terjadi
dalam pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini? Siapa yang berwenang
mengadilinya?
Menurut Surbakti, dkk. (2011), kode etik penyelenggara pemilu diperlukan karena
maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu
(KPU dan jajarannya dan Bawaslu dan jajarannya). Pelanggaran kode etik ini,
menurut Surbakti, dkk. (2011:9) termasuk sengketa hukum dan pelangggaran
pemilu jenis keempat. “Sengketa hukum dan pelanggaran pemilu”, kata Surbakti,
dkk.,“dapat dibagi menjadi enam jenis, yakni: (1) pelanggaran pidana pemilu
(tindak pidana pemilu); (2) sengketa dalam proses pemilu; (3) pelanggaran
administrasi pemilu; (4) pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu; (5)
perselisihan (sengketa) hasil pemilu; dan (6) sengketa hukum lainnya.”
“Definisi pelanggaran kode etik”, kata Ramlan Surbakti, dkk. (2011:19): “adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral dan etika penyelenggara pemilu yang
berpedoman kepada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu yang diberlakukan dan
ditetapkan oleh KPU.” Maksud penerapan kode etik adalah untuk menjaga
kemandirian, integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu.
Hal ini kemudian berubah, di dalam Pasal 109, ayat (1), UU No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu, DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibukota
negara. Keanggotaannya pun lebih beragam, yaitu ada unsur KPU, Bawaslu, partai
politik, masyarakat, dan unsur pemerintah. Dalam Pasal 109 Ayat 2 dinyatakan
bahwa: “DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau
laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU,
anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS,
anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu
Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan,
anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri”.
DKPP dibentuk paling lama dua bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu
mengucapkan sumpah/janji (Pasal 109, ayat [3]).
(4) Peraturan DKPP, KPU, dan Bawaslu Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu (a) Peraturan DKPP No. Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, (b) Peraturan KPU No. Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, (c) Peraturan Bawaslu No. Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
(5) Peraturan DKPP No. Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.
Sementara itu, dalam Pasal 110 UU No. 15/2011 Ayat 1, DKPP menyusun dan
menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas
anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS,
PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri. Kode etik sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat serta
wajib dipatuhi oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri (Pasal 110, Ayat 3). Masa tenggang
waktu penetapan kode etik oleh DKPP adalah paling lambat tiga bulan terhitung
sejak anggota DKPP mengucapkan sumpah/janji, dan ditetapkan dengan Peraturan
DKPP.
Lalu, apa sesungguhnya tugas dan kewenangan DKPP? Masih menurut Asshiddique
(2013:Ibid.,), tugas dan kewenangan DKPP berkaitan dengan orang per orang
pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti
sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di
tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri
atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi.
Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan
KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap
atau tidak tetap atau adhoc.
“Yang bekerja secara tidak tetap”, kata Asshiddique, “adalah pegawai negeri sipil
yang bekerja di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara
tidak tetap atau ad hoc, misalnya, adalah Ketua dan Anggota Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota ataupun petugas pengawas di tingkat
operasional di lapangan dan panitia pemungutan suara dan para petugas pelaksana
operasional KPU di lapangan sampai ke tingkat Panitia Pemungutan Suara (TPS).
Menurut UU, semua itu termasuk ke dalam pengertian penyelenggara pemilihan
umum. Hanya saja, khusus bagi pegawai negeri sipil—sebagai bagian dari
penyelenggara pemilu–selain tunduk kepada ketentuan UU Pemilu, dalam kaitan
dengan penegakan kode etik diatur dan harus tunduk pula pada ketentuan UU
kepegawaian” (Asshiddique, 2013:1-2).
Sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak
memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota
dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula
tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan
putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus
menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem
peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang
antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat
pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, atau pun di antara sesama
penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu
(Asshiddique, 2013: Ibid.,).
Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik itu, sebagian besar masih
bersifat proforma. Bahkan, sebagian di antaranya belum pernah menjalankan
tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah
satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas
tidak memiliki kedudukan independen sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu,
sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus
direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan
prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern.
“Hal itulah,” kata Assshiddique (2013), “yang hendak dirintis dan dipelopori oleh
DKPP, yaitu agar sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan
sistematik yang bersifat fungsional.” Ini artinya, sistem demokrasi Indonesia akan
ditopang tegak dan hukum dan etika secara bersamaan akan dihormati. Dengan
demikian, demokrasi Indonesia yang sehat mesti dibangun berdasarkan “the rule of
law and therule of ethics“. The Rule of Law” bekerja berdasarkan “CodeofLaw”,
sedangkan “the Rule of Ethics” bekerja berdasarkan “Code of Ethics”, yang
penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan
terbuka, yaitu peradilan hukum (Courtof Law) untuk masalah hukum, dan peradilan
etika (Courtof Ethics) untuk masalah etika.
Aktivitas
Kegiatan pembelajaran untuk pokok bahasan ini dilakukan dalam bentuk diskusi
kelas dan pembahasan kasus (studi kasus) dan tugas mandiri. Diskusi kelas ini
dilakukan melalui penerapan metode SCL di mana mahasiswa membaca bahan dan
mendiskusikannya, dan dosen bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan
arahan dan kemudian memberikan pandangan kritis sebagai kesimpulan diskusi.
Tugas
Latihan
1. Jelaskan bagaimana Saudara memahami dan kemudian menegakkan kode etik
dengan berpedoman pada asas-asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum,
tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas!
2. Jelaskan apakah tujuan dari kode etik penyelenggara pemilu menurut
peraturan yang Saudara ketahui!
3. Buatlah definisi mengenai pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu
menurut pengalaman Saudara!
Kode etik bertujuan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU,
anggota KPU Provinsi atau KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN, serta anggota Bawaslu,
anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu
Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan anggota Pengawas Pemilu
Luar Negeri.
Untuk penegakan kode etik itu, dibentuklah DKPP dan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden, yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan orang per
orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dengan
demikian, DKPP bukan lembaga penyelenggara pemilu, meski demikian tugas dan
kewenangannya tetap terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu tersebut.
DKPP dapat dikatakan sebagai pelopor dalam sistem peradilan etika di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh
mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang
menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu
dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan
penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri,
khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu.
Penutup
Tes Formatif
1. Jelaskan bagaimana Saudara menegakkan asas-asas kode etik itu ketika
Saudara mengalami kasus-kasus yang memuat dilema etik di dalamnya!
2. Apakah Saudara yakin dapat menegakkan asas-asas kode etik tersebut
padahal asas-asas tersebut bersifat normatif?
3. Kalau Saudara yakin dengan pertanyaan kedua di atas, apakah alat ukur yang
Saudara gunakan untuk menegakkan asas-asas tersebut?
Tindak Lanjut
1. Cari dan bacalah bahan rujukan dari berbagai sumber mengenai apakah
memang ada yang disebut dengan Peradilan Pemilu dan Peradilan Kode Etik
atau Peradilan Etika dalam khazanah hukum di Indonesia atau di negara lain.
Kalau jawaban Saudara Ya atau Tidak, bagaimana argumentasi Saudara dalam
menjelaskannya?
2. Buatlah suatu analisis apakah hubungan etika dan moral politik penyelenggara
pemilu atau dalam arti praktis Kode Etik Penyelenggara Pemilu dengan pemilu
berintegritas (elections with integrity)!
Pendahuluan
Deskripsi
Pokok bahasan ini menguraikan tentang integritas pemilu yang sangat erat
kaitannya dengan kode etik penyelenggara pemilu. Ia meliputi pengertian integritas
dan integritas pemilu, prinsip-prinsip pemilu berintegritas, dan tantangan-
tantangan utama dalam penyelenggaraan pemilu berintegritas.
Manfaat
Pokok bahasan ini bermanfaat bagi mahasiswa untuk memahami apa makna
integritas pemilu dan kemudian menerapkannya sebagai perilaku dalam
penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Selain itu, ia juga bermanfaat bagi
mahasiswa untuk membantu mereka dalam menegakkan asas-asas kode etik
penyelenggara pemilu.
Relevansi
Pokok bahasan ini perlu diuraikan karena ia mempunyai relevansi dengan asas-asas
kode etik penyelenggara pemilu seperti mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,
efisiensi, dan aktifitas. Relevansi tersebut dapat dilihat misalnya bahwa nilai-nilai
integritas dan prinsip-prinsip pemilu berintegritas seperti: kejujuran, ketulusan, rasa
hormat, kewajaran, konsisten, tanggung jawab, independence, impartiality,
integrity, transparency, efficiency, professionalism, and service-mindedness seperti
halnya yang direkomendasikan oleh The International IDEA sangat relevan dengan
asas-asas yang termuat dalam kode etik.
Outcome
Penyajian
Pengertian Integritas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas berarti mutu, sifat, atau
keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; (nomina). Sedangkan
menurut Poerwadarminta, integritas berarti kebulatan, keutuhan, atau kejujuran.
Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. Pertama, integritas
sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi kesatuan, keseluruhan,
Dengan kata lain, mengikuti The International IDEA (dalam Alan Wall, dkk., 2010:11)
integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan, yang berpedoman pada
nilai-nilai kejujuran, ketulusan, kemurnian, kelurusan, dan konsistensi. Kualitas
jujur merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Jujur tidak hanya kepada
orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri.
Pada bagian ini, dosen meminta kepada mahasiswa untuk melakukan diskusi
kelompok untuk membahas mengenai prinsip-prinsip pemilu berintegritas. Mereka
diminta untuk melakukan identifikasi prinsip-prinsip pemilu berintegritas dan
kemudian merumuskannya secara bersama. Setelah itu, dosen menguraikan
prinsip-prinsip tersebut dari Pasal 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, yang menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pemilu
adalah mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas.
Aktivitas
Kegiatan pembelajaran untuk pokok bahasan ini dilakukan dalam bentuk diskusi
kelas (in-class discussion) dan pembahasan kasus (studi kasus), dan tugas mandiri.
Diskusi kelas ini dilakukan melalui penerapan metode SCL di mana mahasiswa
membaca bahan dan mendiskusikannya, dan dosen bertindak sebagai fasilitator
dengan memberikan arahan dan kemudian memberikan pandangan kritis sebagai
kesimpulan diskusi.
Tugas
Membuat esai sebagai tugas mandiri mengenai Integritas Pemilu atau Pemilu
Berintegritas yang dikaitkan dengan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Bahan-bahan
rujukan dapat dicari sendiri oleh mahasiswa, tetapi esai harus berbeda dengan
Latihan
1. Jelaskan bagaimana Saudara memahami dan kemudian mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan integritas dan integritas pemilu
2. Pada penghujung tahun 2014, Kemitraan telah meluncurkan sebuah buku
dengan judul: “Integritas Pemilu 2014: Kajian Pelanggaran, Kekerasan dan
Penyalahgunaan Uang Pada Pemilu 2014”. Jelaskan bagaimana pandangan
Saudara mengenai integritas pemilu 2014 berdasarkan buku tersebut.
3. Kofi A. Annan, (Ketua Komisi Global untuk Pemiihan Umum, Demokrasi dan
Keamanan), dalam buku Pendalaman Demokrasi; Strategi untuk
Meningkatkan Integritas Pemilihan Umum di Seluruh Dunia (2012),
menyebutkan bahwa pemilu berintegritas dapat memperdalam demokrasi
dan meningkatkan pertimbangan publik serta penalaran tentang isu-isu yang
menonjol dan cara untuk menyikapinya. Jelaskan apa yang dimaksud dengan
pernyataan Annan tersebut.
Rangkuman
Secara singkat, integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Nilai-nilai
yang diacunya antara lain adalah kejujuran, ketulusan, kemurnian, kelurusan, dan
konsistensi. Jadi, dapat dikatakan bahwa orang yang berintegritas adalah orang
yang perilakunya sesuai antara ucapan dan tindakannya.
Ada lima tantangan utama dalam penyelenggaraan pemilu berintegritas, yaitu: (1)
Membangun peraturan hukum untuk membenarkan klaim terhadap hak asasi
manusia dan keadilan pemilu; (2) Membangun badan penyelenggaraan pemilu
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 41
(EMB) yang kompeten dengan kebebasan penuh dalam bertindak untuk
menyelenggarakan pemilu yang transparan dan mendapatkan kepercayaan publik
yang layak; (3) Menciptakan institusi dan norma persaingan multi-partai serta
pembagian kekuasaan yang menunjang demokrasi sebagai sistem keamanan
bersama di antara para pesaing politik; (4) Menghilangkan hambatan—hukum,
administratif, politik, ekonomi dan sosial—terhadap partisipasi politik yang setara
dan universal; dan (5) Mengatur keuangan politik yang tak dapat dikendalikan,
tertutup dan samar.
Penutup
Tes Formatif
1. Menurut Komisi Global untuk Pemilihan Umum, Demokrasi dan Keamanan,
ada Lima Tantangan Utama dalam Penyelenggaraan Pemilu Berintegritas,
yaitu salah satunya ialah membangun Badan Penyelenggaraan Pemilu (EMB)
yang kompeten, bebas, transparan, dipercaya publik secara layak. Jelaskan
apa dan bagaimana membangun EMB tersebut menurut pengalaman Saudara
sebagai penyelenggara pemilu.
2. The International IDEA menetapkan 7 prinsip yang berlaku umum untuk
menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Prinsip-prinsip
tersebut yaitu: independence, impartiality, integrity, transparency, efficiency,
professionalism, and service-mindedness. Prinsip-prinsip ini mirip dengan
Pasal 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu,
yang menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan Pemilu adalah mandiri, jujur,
adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Jelaskan pandangan Saudara mengapa hal ini sepertinya mirip!
Tindak Lanjut
Pendahuluan
Deskripsi
Pembahasan mengenai korupsi pemilu ini dirancang untuk dua atau tiga kali
pertemuan karena pelanggaran etika dan moral penyelenggara pemilu–baca
pelanggaran integritas pemilu–rentan terhadap pelangggaran prosedur pemilu,
kekerasan, dan penyalahgunaan uang. Yang disebut terakhir berkaitan dengan
perilaku korupsi yang fenomenanya marak terjadi, dan karena itu metode
pembelajaran pada topik ini akan menggabungkan beberapa metode pembejalaran
seperti kuliah umum, diskusi kelas, analisis film/analisis kasus, eksplorasi tematik,
evaluasi kebijakan pemerintah, dan membuat prototype strategi pemberantasan
korupsi.
Manfaat
Relevansi
Pokok bahasan ini perlu dibahas mengingat maraknya perilaku korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Perilaku korupsi tersebut tidak saja
mengambil lokus pada lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga terjadi dalam
transaksi antara penyelenggara pemilu dengan kandidat baik peorangan maupun
partai politik, dengan modus penggelembungan suara untuk kandidat yang
bertransaksi. Jadi, dengan membahas sebab-sebab, bentuk-bentuk, akibat-akibat
dari korupsi pemilu itu, yang tidak saja akan mencederai proses pemilu tetapi juga
akan mencederai moralitas dan ancaman pidana bagi penyelenggara, maka pokok
bahasan ini sangat relevan diberikan kepada mahasiswa.
Outcome
Sebelum kita membahas lebih jauh ke dalam topik korupsi pemilu, ada baiknya kita
mendedah dahulu apa yang dimaksud dengan korupsi pada umumnya. Menurut
akar katanya, yang berasal dari bahasa Latin corruptio, corruptus yang kemudian
berubah menjadi corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), dan corrruptic,
korruptie (Belanda). Indonesia kemudian mengambil kata ini menjadi korupsi. Kata
corruptio dalam bahasa Latin tersebut berasal dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, korupsi didefinisikan lebih
spesifik lagi yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi,
korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Oleh karena itu, sebagai batasan umum yang dapat kita gunakan adalah bahwa
korupsi politik setidaknya memiliki beberapa unsur:
Menurut ICW (2010), korupsi pemilu terjadi antara partai politik dan kandidat
dengan penyumbang pada satu sisi dan partai politik dengan penyelenggara pemilu
dan pemilih pada sisi yang lain. Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada bentuk
manipulasi dana politik yang terjadi antara penyumbang dengan partai politik dan
kandidat; dan politik uang (money politics) yang terjadi antara partai politik dan
kandidat dengan penyelenggara pemilu dan juga dengan pemilih (voters). Pada
kasus-kasus tertentu, kedua hal ini sulit dibedakan, misalnya ketika penyumbang
memberikan sejumlah uang atau ’kebaikan’ kepada pemilih secara langsung. Hal ini
bisa dikatakan bahwa manipulasi pendanaan politik dan politik uang terjadi secara
bersamaan, karena di satu sisi, sumbangan kepada kandidat harus dilakukan lewat
mekanisme tertentu yang diatur oleh undang-undang (misalkan lewat rekening
dana kampanye) sehingga telah terjadi pelanggaran; dan pada sisi yang lain telah
terjadi praktik beli suara (vote buying). Hal yang sama juga terjadi ketika
penyumbang adalah kandidat atau elite partai itu sendiri.
Meskipun kedua hal ini sangat erat kaitannya akan tetapi keduanya memiliki modus
dan akibat yang berbeda di dalam praktiknya. Secara umum, kaitan antara
keduanya adalah: praktik manipulasi dalam pendanaan politik terjadi pada sisi
pemasukan (revenue), dan praktik politik uang terjadi pada sisi pengeluaran
(expenditure). Modus dari manipulasi dana politik misalnya menerima dana
kampanye dari sumber yang dilarang seperti dana negara yang tidak diatur di dalam
undang-undang, menerima dana dari sumber tertentu dengan kontrak kebijakan di
masa depan, sumbangan kandidat yang melangggar batasan dalam peraturan serta
sumbangan yang tidak dipertangggungjawabkan identitas penyumbangnya.
Sedangkan modus politik uang dilakukan dalam bentuk pembagian uang secara
langsung kepada massa kampanye, lewat forum keagamaan, pemberian beasiswa,
pembagiaan sembako, bantuan rumah ibadah, sumbangan pembangunan
infrastruktur dan lain sebagainya (ICW, 2010:15, 19).
Dampak dari kedua modus korupsi pemilu ini berbeda. Dampak dari manipulasi
pendanaan politik menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan politik di mana peserta
pemilu (Partai Politik dan Kandidat) yang memiliki patronase bisnis yang kuat atau
memiliki kedekatan dan kekuasaan atas birokrasi pemerintahan (mis: incumbent
party/rulling party) atau sektor bisnis tertentu memiliki akses yang lebih luas dan
sokongan sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan peserta pemilu yang
tidak memilikinya. Sedangkan dampak dari praktik politik uang atau beli suara pada
saat Pemilu adalah mengancam integritas pemilu, di mana pemilih tidak memilih
karena sebuah kesadaran politik semu yang bersumber dari apatisme atau karena
tekanan ekonomi (ICW, 2010:15).
Meminjam Ade Irawan, dkk., (2014:5-6), korupsi pemilu mencakup beberapa istilah
yaitu malpraktik pemilu, kecurangan pemilu, dan manipulasi pemilu. Ciri korupsi
pemilu adalah penyalahgunaan lembaga penyelenggara pemilu untuk keuntungan
pribadi atau politik. Karakter pola korupsi pada level penyalahgunaan kelembagaan
penyelenggara terbagi menjadi tiga jenis, yaitu manipulasi aturan, manipulasi
pemilih, dan manipulasi suara.
Manipulasi pemilih terjadi dalam dua bentuk utama: upaya untuk mendistorsi
pilihan pemilih dan upaya untuk mempengaruhi ekspresi pilihan pemilih. Cara
mendistorsi pilihan pemilih bisa dengan taktik kampanye menipu, melanggar aturan
dana kampanye (biasanya melalui over-spending), penggunaan sumber daya negara
untuk mendukung calon tertentu, atau dalam liputan media pemilu. Teknik-teknik
ini dirancang untuk mengubah pilihan pemilih yang benar. Bentuk lain manipulasi
pilihan adalah pembelian suara atau intimidasi dengan tujuan meningkatkan suara
kandidat tertentu.
Open Society Justice Initiative, sebagaimana dikutip oleh Ade Irawan, dkk., (2014:6)
memberi gambaran jelas mengenai korupsi pemilu. Menurutnya korupsi pemilu
terutama berkaitan dengan kepentingan dana kampanye baik dari penyumbang
pihak ketiga maupun penggunaan sumber daya negara oleh calon petahana.
Korupsi Pemilu merupakan praktik penyalahgunaan pendanaan kampanye—baik
penerimaan maupun pengeluaran—yang menciptakan hubungan koruptif antara
penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola
Pada Orde Baru, kemenangan mutlak Golkar dalam setiap pemilu dilakukan dengan
mengintervensi lembaga penyelenggara pemilu agar tidak independen. Caranya
adalah dengan menempatkan pegawai birokrasi dari tingkat pusat hingga TPS
menjadi pelaksana. Selain itu, Golkar yang menguasai birokrasi pun dapat
mengontrol penghitungan suara dan melakukan berbagai manipulasi
(administrative corruption). Massa pemilih pada saat pemilihan juga ditekan pada
saat atau sebelum berada di TPS. Pada korupsi pemilu di tahun 1992, misalnya,
temuan paling banyak berkaitan dengan korupsi administrasi dengan melakukan
manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh pelaksana pemilu dimulai dari
pertugas KPPS hingga petugas di Lembaga Pemilihan Umum. Modus lain dalam
bentuk intimidasi untuk memaksa pemilih mencoblos Golkar. Intimidasi dilakukan
oleh birokrasi dan aparat keamanan dengan cara menekan secara fisik ataupun
terror (Lihat ICW, 2010, terutama hlm. 30-32).
Fase ketiga, dalam proses kampanye dan pemilihan. Untuk memperoleh banyak
dukungan dan kemenangan, berbagai cara digunakan oleh partai politik dan
kandidat, termasuk dengan melakukan politik uang kepada pemilih maupun
penyelenggara pemilihan seperti KPU dan panitia pengawas di semua tingkatan.
Pemilu pada masa transisi sangat menentukan konfigurasi serta konstelasi politik.
Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu kutub pada masa rezim otoritarian mulai
‘mencair’ pada masa transisi. Kelompok-kelompok politik baru memencar dalam
kutub-kutub politik. Proses pada masa ini berlangsung dengan kelompok-kelompok
politik yang berupaya mengkonsolidasikan kekuasaan ke dalam kontrol mereka.
Jadi, Korupsi Pemilu merupakan setiap kegiatan yang dilakukan peserta pemilu dan
pihak lain yang memberikan, menjanjikan imbalan berupa uang, barang, jasa,
jabatan dan keuntungan lainnya secara langsung maupun tidak langsung, kepada
pemilih, penyelenggara, pengawas, dan instansi lain yang terkait dengan pemilu
yang bertujuan mempengaruhi pilihan dan/atau proses pemilu sehingga
menguntungkan peserta pemilu atau kelompok tertentu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola korupsi dalam pemilu sangat
bergantung pada sistem pemilu. Menurut ICW, 2010:22), terdapat empat pola
korupsi dalam pemilu:
1. Beli suara (vote buying), di mana partai politik atau kandidat membeli suara
pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan ataupun
keuntungan finansial lainnya;
2. Beli kursi (candidacy buying), di mana orang ataupun kelompok
kepentingan mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan dalam
pemilu;
3. Manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative
corruption);
4. Dana kampanye yang ‘mengikat’ (abusive donation) menjadikan
sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 49
Keempat pola ini dapat diatur oleh petugas. Siapa yang paling berpeluang
melakukan korupsi ini (KPPS, PPS, PPK, KPU) atau bersama-sama.
(Catatan tugas individual: Silahkan susun modus ini secara tepat dan benar.
Misalnya, keempat modus tersebut pangkal balanya adalah pada pola yang
ketiga (electoral administrative corruption). Juga bandingkan dengan tulisan
Mohammad Najib (2014). “Keterlibatan Penyelenggara Pemilu dalam Vote
Trading”, dalam Aspinall dan Mada. Ibid., Najib mengulas perbedaan antara
vote trading dan vote buying secara baik dalam buku yang terbaru tentang
politik uang ini).
Pola korupsi pemilu yang kedua, yaitu candidacy buying, yang bekerja melalui
transaksi antara kandidat dan elite pengurus partai politik dengan petugas
penyelenggara pemilu. Modus yang digunakan biasanya dengan jalan menyogok
pengurus partai politik dan petugas untuk mengatur agar kandidat mendapat
urutan resmi dalam administrasi pemilu, baik sebagai kandidat anggota DPR atau
DPRD maupun sebagai kandidat Kepala Daerah. Ada berbagai istilah yang muncul
dalam pola korupsi pemilu yang kedua ini seperti: “uang mahar”, “uang perahu”,
“uang nomor urut”, atau “uang dapil” (daerah pemilihan).
Pola korupsi pemilu yang ketiga, yaitu electoral administrative corruption melalui
berbagai modus atau cara-cara seperti mendaftarkan pemilih yang sudah meninggal
atau belum memiliki hak pilih, manipulasi angka hasil perhitungan suara dan
rekapitulasi penghitungan suara. Praktik korupsi pemilu dalam bentuk pelanggaran
administratif ini bukan hanya sekedar merusak hasil pemilu tetapi juga
menyelewengkan aspirasi politik pemilih dalam pemilu.
Sedangkan pola korupsi pemilu yang keempat, yaitu pendanaan kampanye yang
mengikat (abusive donation) dilakukan melalui penciptaan jaringan transaksional
antara petugas penyelenggara pemilu dengan kandidat (perorangan dan partai
Menurut ICW (2010 dan 2014), dampak yang disebabkan oleh korupsi pemilu
sangatlah besar. Pemenangan yang diperoleh dengan melakukan kecurangan
mengakibatkan pemilih akhirnya menyadari bahwa siapa pun yang dipilih, kebijakan
publik yang akan dibuat, proses penyelenggaraan negara dan penegakan hukum
tidak akan bisa disentuh. Penyebabnya, ada tangan tak terlihat (invisible hand), yang
mengatur negara, di luar jangkauan dan kontrol pemilih. Akibatnya, partisipasi
pemilih rendah bukan akibat dari tingkat pemahaman politik yang rendah; justru
sebaliknya, pemilih sangat paham dan sadar bahwa pemilu tak pernah efektif untuk
mempengaruhi kebijakan. Korupsi pemilu mendorong apatisme publik terhadap
upaya demokratisasi melalui pemilu (procedural).
Oleh karena itu, mengikuti Sarah Brich (dalam Ade Irawan, dkk., 2014)
pemerintahan yang dihasilkan melalui cara-cara korupsi ini akan menjadi
pemerintah yang kurang representatif dan akuntabel. Mengapa? Karena politisi
yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Akibatnya, partisipasi
pemilih untuk pemilu berikutnya akan rendah bukan diakibatkan oleh tingkat
pemahaman politik yang rendah; tetapi sebaliknya, karena pemilih sangat sadar
bahwa pemilu tak pernah efektif untuk mempengaruhi kebijakan. Dengan kata lain,
korupsi pemilu mendorong apatisme publik terhadap upaya demokratisasi melalui
pemilu (procedural democracy).
Dengan demikian, dampak dari korupsi pemilu yang modus utamanya melalui
praktik politik uang (money politics) atau vote trading dan vote buying pada saat
pemilu telah mengancam integritas pemilu. Ini terjadi karena pemilih telah memilih
bukan atas kesadaran politik, melainkan atas dasar kesadaran palsu yang
bersumber dari apatisme atau karena tekanan ekonomi. Di Amerika Latin, basis-
basis pembagian uang terjadi di kalangan masyarakat yang memiliki pendapatan
rendah, demikian juga yang terjadi di Indonesia pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Pada uraian di atas telah dijelaskan mengenai pengertian korupsi pemilu dan faktor-
faktor penyebab korupsi pemilu, dan dampak korupsi pemilu. Pada bagian ini akan
diuraikan mengenai strategi pemberantasan korupsi pemilu itu. Berdasarkan
khazanah strategi pembersantasan korupsi pada umumnya, ada yang mengatakan
bahwa salah satu upaya yang untuk memberantas korupsi adalah membentuk
Lembaga Anti-Korupsi yang secara khusus bekerja untuk memberantas korupsi.
Ada yang mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi, sistem dan lembaga
pemerintahan serta lembaga-lembaga negara harus direformasi. Reformasi ini
meliputi reformasi terhadap sistem, kelembagaan maupun pejabat publiknya atau
yang sekarang populer dengan nama Reformasi Birokrasi. Ruang untuk korupsi
harus diperkecil. Transparansi dan akuntabilitas serta akses untuk mempertanyakan
apa yang dilakukan pejabat publik harus ditingkatkan. Penting pula untuk
membentuk lembaga independen yang bertugas mencegah dan memberantas
korupsi. Lembaga ini harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya
kepada rakyat. Ruang gerak serta kebebasan menyatakan pendapat untuk
masyarakat sipil (civil society) harus ditingkatkan, termasuk di dalamnya
mengembangkan pers yang bebas dan independen. Tetapi hasilnya korupsi malah
semakin marak dilakukan oleh pejabat publik dari hulu sampai ke hilir.
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 52
Upaya-upaya pemberantasan korupsi tersebut di atas nampaknya gagal, karena itu
perlu diterapkan strategi lain untuk memberantas korupsi yang terjadi dalam proses
pemilu. Ada dua strategi yang nampaknya dapat dikembangkan, yaitu: (1) Strategi
pendidikan integritas dan antikorupsi melalui penghayatan nilai-nilai integritas dan
antikorupsi; dan (2) Pelaksanaan Manajemen Good KPU Governance.
Dalam konteks Pendidikan Integritas dan Anti-Korupsi – ini tentu berlaku juga untuk
Integritas dan Anti-Korupsi Pemilu, kompetensi yang hendak dicapai bukan hanya
mengarahkan mahasiswa untuk sekadar memahami dan menghafalkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip antikorupsi, tetapi juga berujung pada bagaimana mahasiswa
mampu membentuk sikap antikorupsi dan ikut berjuang memberantas korupsi.
Untuk membantu ketajaman analisis mahasiswa, dosen pada sesi ini menguraikan
di mana dan dari mana nilai-nilai dan prinsip-prinsip antikorupsi itu dapat
ditanamkan. Di atas sudah kita uraikan faktor penyebab korupsi. Korupsi
disebabkan oleh adanya dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan penyebab korupsi dari faktor individu, sedangkan faktor
eksternal berasal dari lingkungan atau sistem. Upaya pencegahan korupsi pada
dasarnya dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab
korupsi. Nilai-nilai antikorupsi yang meliputi kejujuran, kemandirian, kedisiplinan,
tanggung jawab, kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan, harus dimiliki
oleh tiap-tiap individu untuk menghindari munculnya faktor internal sehingga
korupsi tidak terjadi.
Sementara itu, untuk mencegah faktor eksternal penyebab korupsi, selain harus
memiliki nilai-nilai antikorupsi, setiap individu juga harus memahami dengan
mendalam prinsip-prinsip antikorupsi yang meliputi akuntabilitas, transparansi,
kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam organisasi/individu/masyarakat.
Dengan demikian, nilai-nilai dan prinsip-prinsip antikorupsi harus tertanam dalam
diri setiap individu agar terhindar dari perbuatan korupsi.
Aktivitas
Kegiatan pembelajaran untuk pokok bahasan ini dilakukan dalam bentuk Tayang
Film, diskusi kelas (in-class discussion) dan pembahasan kasus (studi kasus), dan
tugas mandiri. Diskusi kelas ini dilakukan untuk melihat daya serap mahasiswa
terhadap pesan-pesan yang disampaikan di dalam film dimaksud. Dosen bertindak
sebagai fasilitator dengan memberikan arahan dan kemudian memberikan
pandangan kritis sebagai kesimpulan diskusi.
Tugas
Membuat makalah kelompok atau paper kelompok mengenai “bedah kasus korupsi
pemilu” yang pernah terjadi di Indonesia atau di lembaga penyelenggara pemilu di
mana mereka bekerja. Makalah harus dapat mengungkap kasus-kasus korupsi
pemilu, termasuk muatan dilema-dilema etik dalam kasus-kasus korupsi pemilu
tersebut. Mahasiswa diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mendefinisikan dan
menyusun sendiri faktor-faktor penyebab, dampak, dan strategi pemberantasan
korupsi pemilu berdasarkan kasus-kasus tersebut.
Latihan
Rangkuman
Korupsi Pemilu adalah bagian dari Korupsi Politik yang dilakukan oleh politisi
sebelum mendapatkan kekuasaan. Politisi melakukan praktik-praktik haram pada
saat pemilu untuk mempengaruhi pemilih. Manifestasi yang paling mencolok dari
korupsi politik pada saat pemilu adalah menyuap pemilih secara langsung.
Dampak dari korupsi pemilu yang modus utamanya melalui praktik politik uang
(money politics) atau vote buying pada saat pemilu telah mengancam integritas
pemilu. Ini terjadi karena pemilih telah memilih bukan atas kesadaran politik tetapi
karena kesadaran palsu yang bersumber dari apatisme atau karena tekanan
ekonomi.
Oleh karena itu, korupsi sangat penting untuk diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ada banyak strategi pemberantasan korupsi yang ditawarkan dan dipraktikkan oleh
berbagai lembaga anti-korupsi. Misalnya strategi dengan membentuk lembaga yang
independen yang khusus menangani korupsi Justitie ombudsmannen di
Swedia;Independent Commission against Corruption (ICAC) di Hongkong; the Anti-
Corruption Agency (ACA) di Malaysia; di Indonesia telah dibentuk pula Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Strategi lain yang perlu dikembangkan untuk memberantas korupsi pemilu adalah:
(1) Strategi pendidikan integritas dan antikorupsi melalui penghayatan nilai-nilai
integritas dan antikorupsi; dan (2) Pelaksanaan Manajemen Good KPU Governance.
Tindak Lanjut
1. Salah satu dampak korupsi pemilu adalah bahwa mereka yang terpilih
menjadi penguasa akan mengutamakan kepentingan “kembalikan modal”
untuk dirinya sendiri atau kepentingan para donatur yang telah
menyokongnya, ketimbang kepentingan rakyat yang telah memilihnya.
Jelaskan kenyataan ini secara argumentatif dan didukung dengan data-data
akurat!
2. Korupsi pemilu tidak hanya akan mencederai etika dan moral politik
penyelenggara pemilu, tetapi juga akan memerosotkan integritas pemilu
Pendahuluan
Deskripsi
Manfaat
Relevansi
Relevansi pokok bahasan ini terutama dapat dilihat dalam isu-isu yang
dikembangkan dalam modul ini seperti makna etika dan moral politik
penyelenggara pemilu, dilema-dilema etis penegakan kode etik penyelenggara
pemilu, integritas pemilu, dan korupsi pemilu. Isu-isu ini rentan terhadap persoalan
pembiaran kedudukan perempuan dalam pemilu sehingga suatu pembahasan yang
baik, tepat, dan akurat sangat diperlukan sebagai satu kesatuan isu pembahasan
dalam keseluruhan modul ini.
Outcome
Pokok bahasan ini diharapkan memberikan dampak positif kepada mahasiswa
berupa kemampuan untuk memahami, menjelaskan, menganalisis dimensi-dimensi
gender dalam pemilu, hambatan-hambatan, dan kekurangan-kekurangan
Penyajian
Sesi ini adalah sesi terakhir dari rangkaian Modul EMPPP yang telah kita bahas sejak
pertemuan pertama kita. Secara berturut-turut ke depan, kita akan membahas
mengapa isu-isu gender penting didiskusikan dalam EMPPP? Atau apa kaitan Etika
dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu dengan Gender? Apa alasan sistem politik
dan sistem pemilu perlu memberikan perlakuan atau tindakan khusus terhadap
gender dalam pemilu ini? Apakah ketika seorang petugas penyelenggara pemilu
tidak memperhatikan kepentingan perempuan, ia bisa dianggap tidak mempunyai
etika dan moral pemilu? Atau bahkan, bisakah ia dianggap melanggar HAM?
Dengan demikian, apakah pemilu memiliki dimensi gender? Apa saja konsep-konsep
kunci yang perlu kita bahas?
Untuk mendiskusikan persoalan gender dalam pemilu ini, ada baiknya kita
memahami secara singkat apa yang dimaksud dengan istilah gender agar
pengaitannya dengan kegiatan pemilu dapat secara mudah kita pahami. Gender
merujuk pada peran dan hubungan, ciri kepribadian, sikap, perilaku dan nilai-nilai
tertentu yang dihubungkan masyarakat dengan pria dan wanita. Karena itu,
‘gender’ merujuk pada perbedaan yang dipelajari antara pria dan wanita,
sedangkan ‘jenis kelamin’ merujuk pada perbedaan biologis antara lelaki dan
perempuan. Peran gender sangat bervariasi di dalam dan antar-kebudayaan dan
dapat berubah sepanjang waktu. Gender tidak hanya merujuk pada wanita atau
pria, tetapi juga pada hubungan antara mereka (Toolkit Gender dan RSK, 2008:3).
Jadi, ada hubungan peran dan bahkan perbedaan peran di antara laki-laki dan
perempuan, yang selama ini dipahami lebih banyak merugikan perempuan.
Apa yang dimaksud dengan peran gender? Menurut Dede Wiliamde Vries (2006:3-
4), peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan
perempuan. Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-
nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil
bentukan sosial, peran gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan
tempat berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan di antara laki-laki dan
perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah
tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat.
Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran
gender.
Jika peran gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan
dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 59
mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain
waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya
memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, hal tersebut bukan pula hal
yang bisa dipandang aneh.
Sejak kecil, anak laki-laki dipaksa untuk ‘tidak manusiawi’ di mana mereka dilarang
untuk menangis, bersikap lemah lembut, dan pemalu. Ciri dan nilai-nilai seperti itu
lama-kelamaan berkembang di masyarakat menjadi norma yang dikuatkan,
disosialisasikan, dan dipertahankan, bahkan terkadang dipaksakan sehingga
dianggap sebagai tradisi. Konsep subyektif tersebut lama-kelamaan berkembang
dalam berbagai alur kehidupan sosial masyarakat yang mengakibatkan adanya
ketimpangan antara peran dan kedudukan perempuan dengan laki-laki.
Ketimpangan peran gender seperti ini membatasi kreativitas, kesempatan, dan
ruang gerak kedua belah pihak, baik itu laki-laki maupun perempuan. Contohnya,
perempuan yang mempunyai kemampuan dalam bidang otomotif tidak bisa bebas
menggunakan keahliannya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai supir truk atau
montir, karena dianggap bukan pekerjaan perempuan. Demikian pula halnya
dengan laki-laki yang terampil menghias diri, mereka tidak mau menjadi perias
pengantin karena hal tersebut dianggap bukan jenis pekerjaan laki-laki.
Seorang suami malu untuk bekerja di sektor domestik karena takut dianggap bukan
laki-laki sejati. Padahal, suami yang memasak dan mengasuh anak tidak akan
berubah fungsi biologisnya menjadi perempuan, demikian pula sebaliknya,
perempuan yang mencari nafkah menjadi supir tidak akan berubah menjadi
seorang laki-laki di keesokan harinya. Jadi jelas bahwa, bertukar peran sosial antar
laki-laki dan perempuan sama sekali tidak menyalahi atau melawan kodrat. Berbagi
dan bertukar peran gender dalam kehidupan sehari-hari secara harmonis dapat
membangun masyarakat yang lebih terbuka dan maju, karena semua orang
mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka
memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi
ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya semaksimal mungkin di
bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan demikian,
peran gender yang seimbang memicu semakin banyak sumber daya manusia
produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk
kemajuan bersama (de Vries, 2006:6).
Keadilan gender adalah suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui
proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan
bagi perempuan dan laki-laki. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa:
Keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada
perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia
suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara historis maupun sosial
yang mencegah perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan
permainan. Strategi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk
meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan cara, kesetaraan
adalah hasilnya (dikutip dalam Puspitawati, 2013:6).
Dalam konteks politik, kesetaraan gender dan keadilan gender mengacu kepada
keterwakilan perempuan dalam politik, yang memiliki dua makna. Pertama, untuk
mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan
Demokrasi, yaitu Hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik. Kedua, ditujukan untuk
mewujudkan keadilan gender secara substantif (substantive equality), yaitu keadilan
bagi laki-laki dan perempuan dalam politik atau pemilu. Artinya, keadilan dalam
menjangkau (akses), ikut serta (partisipasi), dan pengambilan keputusan (kontrol)
dalam politik dan atau pemilu, serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan
hasil-hasil pemilu itu. Dengan demikian, keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan
Kebijakan Afirmasi.
Perjuangan aktivis gender Indonesia, yang mengejawantah dalam program-program
dan agenda-agenda Koalisi Perempuan Indonesia telah memperlihatkan banyak
hasilnya. Meskipun keberhasilan itu masih dianggap jauh dari yang diharapkan atau
keberhasilan yang masih selalu dipertanyakan, baik oleh aktivis perempuan maupun
laki-laki. Tidak dapat disangkal bahwa menyadari akan perbedaan yang besar antara
laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, seperti yang tercermin dari hasil
pemilu ke pemilu, laki-laki selalu jauh lebih mendominasi perempuan. Dengan kata
lain, keterwakilan perempuan di parlemen selalu rendah sehingga tidak hanya
merugikan perempuan tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Mengutip Lia
Wulandari, dkk. (2013), mayoritas laki-laki di DPR tidak dapat diharapkan untuk
memperjuangkan kepentingan perempuan sebab mereka tidak mengalami dan
memahami apa yang dirasakan dan diinginkan perempuan.
Untuk keluar dari belenggu masyarakat patriarki ini, aktivis perempuan Indonesia
yang menghimpun diri ke dalam Koalisi Perempuan Indonesia, menuntut perlunya
kebijakan afirmasi diterapkan dalam sistem pemilu Indonesia. Dalam konteks ini,
para aktivis perempuan biasanya merujuk pendapat-pendapat Iris Marion Young
(1990) dan Anne Phillips (1998 dan 1999). Young menawarkan konsep the politics of
difference berdasarkan pada kelompok terbedakan (group-differentiated), yakni
mereka yang tertindas dan terpinggirkan agar terjamin keperbedaannya di ranah
publik. Dalam hal ini, Young menempatkan perempuan sebagai kelompok tertindas,
yang memerlukan jaminan otonomi dan pemberdayaan daripada mengubah
identitas kelompok tersebut. Di sinilah perlunya mereka dimasukkan dalam politik
perwakilan, termasuk pengumpulan kekuatan suara dalam pengambilan kebijakan
yang langsung mempengaruhi kelompok tersebut (Young dalam Lian Wulandari, dkk.,
2013).
Young mengkritik demokrasi liberal karena gagal mewujudkan politik pengakuan (the
politics of recognition), yang mampu menjamin perbedaan suatu kelompok dan
memberikan mekanisme khusus bagi perbedaan tersebut. Itu artinya, hak individu
dan kesetaraan hak di antara kelompok berbeda harus terjamin agar mereka bisa
hidup berdampingan secara damai dan produktif. Mereka harus memiliki wakil-wakil
di lembaga perwakilan. Hak perwakilan kelompok merupakan tanggapan atas
kerugian sistematik dalam proses politik yang tidak memungkinkan pandangan dan
kepentingan kelompok terwakili secara efektif. Hak khusus perwakilan harus
diperluas kepada kelompok tertindas, karena mereka dirugikan dalam proses politik,
sehingga mereka perlu disediakan sarana institusional untuk pengakuan eksplisit dan
perwakilan kelompok tertindas.
Untuk menjawab pertanyaan berapa jumlah minimal perempuan yang harus masuk
parlemen, biasanya aktivis perempuan akan mengacu pada perlunya sistem pemilu
proporsional.
Dalam khazanah intelektual sistem pemilu, secara garis besar dikatakan bahwa sistem
pemilu dibagi menjadi tiga: pertama, sistem pemilu mayoritarian atau di Indonesia
dikenal dengan sistem distrik; kedua, sistem pemilu proporsional; dan ketiga, sistem
campuran atau semi-proporsional. Dari ketiga sistem tersebut, menurut Richard
Matland, sistem proporsional paling besar membuka peluang perempuan untuk
terpilih menjadi anggota parlemen. Kesimpulan ini tidak hanya berdasarkan
perhitungan teori kemungkinan, tetapi juga berdasarkan data hasil pemilu di banyak
negara(Lihat Matland dalam Lia Wulandari, dkk., 2013). Data di tahun 1998
menunjukkan bahwa dalam sistem pemilu mayoritarian jumlah anggota parlemen
perempuan hanya mencapai 11,64%, sementara dalam sistem proporsional mencapai
23,03%.
Etika dan Moral Politik Penyelenggara Pemilu | 63
Mengapa sistem proporsional membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk
terpilih lewat pemilu dan menjadi anggota parlemen? Untuk menjawab pertanyaan
ini, Lia Wulandari, dkk., (2013) telah menjelaskannya secara rinci seperti berikut ini.
Sistem proporsional menetapkan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan atau
besaran daerah pemilihan atau districk magnitude, selalu majemuk, atau lebih dari
satu (kalau hanya ada satu kursi dalam setiap daerah pemilihan, berarti sistem
pemilu mayoritarian). Semakin besar districk magnitude, berarti semakin besar
peluang perempuan untuk meraih kursi tersebut, karena perolehan kursi dibagi
secara proporsional sesuai dengan perolehan suara. Sistem pemilu proporsional juga
mendorong partai-partai politik untuk mempromosikan calon-calon perempuan:
pertama, partai mempunyai kesempatan untuk mempromosikan lebih dari satu
calon; kedua, partai ingin menunjukkan keragaman calon kepada pemilih guna
meraih suara lebih banyak.
Selanjutnya, dengan mengikuti pendapat Douglas W. Rey (1967), Lia Wulandari, dkk.,
(2013) menguraikan bahwa selain besaran daerah pemilihan, dalam sistem pemilu
proporsional, beberapa variabel teknis lain harus diperhatikan, seperti metode
pencalonan, metode pemberian suara, dan formula perolehan kursi dan penetapan
calon terpilih. Masing-masing punya implikasi langsung terhadap calon sehingga
harus dicari metode dan formula yang paling membuka peluang demi terpilihnya
calon perempuan. Di sinilah, kalkulasi dan strategi harus matang.
Masih menurut Lia Wulandari, dkk., (2013), dalam konteks politik Indonesia,
pertimbangan-pertimbangan untuk memilih metode dan formula dalam sistem
pemilu proporsional yang menguntungkan perempuan juga tidak gampang. Sebab,
selain harus memikirkan bagaimana agar perempuan bisa terpilih menjadi anggota
parlemen, para aktivis perempuan juga dibebani untuk memecahkan masalah agar
parlemen tidak didominasi kekuatan-kekuatan lama yang dinilai tidak reformis.
Artinya, para aktivis perempuan harus memperjuangkan sistem pemilu yang punya
fungsi ganda: memasukkan banyak perempuan, sekaligus mencegah dominasi partai-
partai tak reformis.
Berdasarkan studi United Nations Division for the Advancement of Women (UN-
DAW), suara perempuan, khususnya dalam menunjukkan dan memperjuangkan nilai-
nilai, prioritas dan karakter khas keperempuanan, baru diperhatikan dalam
kehidupan publik, apabila suaranya mencapai minimal 30-35%. Hasil kajian badan
PBB inilah yang menjadi dasar gerakan perempuan untuk memperjuangkan kuota
minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik. PBB sendiri
sangat peduli dengan isu perempuan sehingga mengeluarkan Konvensi Hak-hak
Politik Perempuan atau Convention on the Political Right of Women (CPRW), disusul
kemudian oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW).
Namun, dua dokumen ini selama puluhan tahun tidak mengalami kemajuan dalam
praktik sehingga Konferensi Dunia IV tentang Perempuan 1995 di Beijing China,
mengeluarkan Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing. Dalam deklarasi ini ditegaskan
kembali bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia. Demi meningkatkan
kesadaran akan hak perempuan, maka perlu dilakukan pendidikan tentang hak-hak
perempuan dan dibentuk badan-badan yang bertugas melindungi perempuan dari
pelanggaran hak-haknya. Selanjutnya, demi menjamin keberadaan perempuan di
lembaga-lembaga publik maka perlu kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan.
Apa yang dapat kita simpulkan dari diskusi-diskusi di atas ialah bahwa Koalisi
Perempuan Indonesia telah bekerja keras untuk mewujudkan keterwakilan gender
dalam parlemen ini. Berbagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan
di parlemen telah coba diperjuangkan dengan berbagai argumen pula. Dian Kartika
Sari (2014) misalnya menyebutkan bahwa argumen yang sering dimunculkan oleh
aktivis gender dalam konteks keterwakilan gender dalam politik (parlemen) ini
adalah sebagai berikut:
“Memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan
merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Kesetaraan kesempatan
dalam pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan
posisi antara laki-laki dan perempuan dalam kuasa pengambilan keputusan.
Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung perempuan dan laki-laki
seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan publik memberikan
manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki. Perjuangan
mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu
strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam
hal pengambilan keputusan. Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan
kesetaraan gender dalam politik melalui peningkatan keterwakilan
perempuan di parlemen adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-
laki (keadilan gender) di segala aspek kehidupan”.
Pasal 8
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi
persyaratan: (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
per seratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai
politik tingkat pusat.
Pasal 15
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
meliputi: (d) surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang
penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh per seratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 55
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat
paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 56
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu) orang perempuan bakal calon.
Pasal 58
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan.
(2) KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
(3) KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah
bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan.
Pasal 59
(3) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU
Provinsi, dan KPUKabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada
partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
Walaupun keenam pasal dalam UU No. 8 tahun 2012 tersebut telah menyebutkan
mengenai syarat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam pemilu,
namun dapat terlihat bahwa keterwakilan perempuan 30% yang dijamin hanya
pada tahap penyusunan daftar bakal calon dan tidak ada jaminan dalam daftar
calon sementara maupun daftar calon tetap. Oleh karena itu, undang-undang
pemilu ini menyalahi prinsip persamaan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan
No Produk Legislasi DPRRI Periode 2004-2009 Produk Legislasi DPR RI Periode 2009-2014
1 UU No. Tahun 2004 tentang Penghapusan UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga Penyelenggara Pemilu
2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pemilu
Kewarganegaan Republik Indonesia
3. UU No. 21 Tahun 2007 tentang UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Pemberantasan Tindak Pidana Konflik Sosial
Perdagangan Orang
4 UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah
5 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6 UU No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga
7 Paket UU Politik (terutama UU Pemilu, UU
Penyelenggara Pemilu)
Jadi, tampak di sini bahwa antara kuantitas dan kualitas tidak berjalan seiring. Pada
periode 2004-2009, jumlah keterwakilan perempuan hanya 11% dibandingkan
dengan periode 2009-2014, yaitu 18%, tetapi produk legislasi yang berkaitan
dengan kebutuhan perempuan yang dihasilkan dalam periode 2004-2009 lebih
banyak dari periode 2009-2014.
Berkaitan dengan hasil pemilu, Puskapol FISIP UI melakukan pengumpulan data dan
analisis tentang perolehan suara dalam Pemilu 2014. Dibandingkan analisis hasil
perolehan suara dalam Pemilu 2009, ada temuan penting yang berubah dan layak
dicermati. Analisis perolehan suara pada Pemilu 2009 menunjukkan beberapa
fenomena: (1) Sebagian besar pemilih memberikan suara di surat suara kepada
caleg, bukan partai politik, yaitu 69% pemilih mencontreng nama caleg dan 31%
mencontreng nama partai politik; (2) Dari total suara yang diberikan pada caleg,
rata-rata perolehan suara caleg perempuan sebesar 22.45% dan rata-rata perolehan
suara caleg laki-laki adalah 77.54%; (3) persentase keterpilihan perempuan di DPR
pada Pemilu 2009 meningkat dibanding hasil Pemilu 2004, yaitu 103 caleg
perempuan terpilih atau 18% dari total kursi DPR. Lalu, bagaimana dengan hasil
perolehan suara pada Pemilu 2014? Apa saja yang berubah? Bagaimana perolehan
suara dan keterpilihan caleg perempuan pada Pemilu 2014 ini?
Jumlah caleg perempuan DPR-RI yang terpilih pada Pemilu 2014 adalah 97 orang
(atau 17.3% dari 560 kursi). Jumlah tersebut mengalami penurunan dibandingkan
dengan hasil Pemilu 2009 (103 orang/18%). Penurunan ini layak dikritisi karena
berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan perempuan di DPR RI, yakni 33.6%
pada pemilu 2009, yang naik mencapai 37% pada Pemilu 2014 sejalan adanya
Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur minimum 30% pencalonan perempuan dalam
Daftar Calon Tetap di setiap dapil DPR/DPRD. Temuan ini menunjukkan bahwa
hambatan dan tantangan bagi keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara
otomatis teratasi dengan dikeluarkannya peraturan teknis yang secara formal
ditujukan untuk mengawal proses pencalonan perempuan.
Calon anggota perempuan DPD yang terpilih adalah 26.51%. Jumlah calon anggota
perempuan DPD-RI (Dewan Perwakilan Daerah) yang terpilih pada Pemilu 2014
adalah 35 orang (atau 26.51% dari total 132 orang). Jumlah tersebut mengalami
penurunan dibandingkan dengan hasil Pemilu 2009, yaitu 38 orang (28.78%). Caleg
perempuan yang terpilih pada Pemilu 2014 didominasi oleh “wajah-wajah baru” di
parlemen nasional. Dari 103 anggota perempuan di DPR RI pada periode 2009–
2014, hanya ada 38 orang yang terpilih kembali. Dengan kata lain, hanya sebagian
kecil (6.78% dari total 560 kursi) caleg perempuan petahana lolos kembali menjabat
di DPR RI sementara sebagian besar terpental keluar. Dibandingkan dengan jumlah
caleg perempuan terpilih pada Pemilu 2014 (n=97), persentase caleg perempuan
petahana adalah 39.17%.
Sementara itu, mengikuti Sali Susiana (2014), dari 560 orang caleg terpilih, 79,1% di
antaranya adalah mereka yang menduduki nomor urut satu dan dua dalam Daftar
Calon Tetap (DCT). Bila dilihat dari jumlah perolehan suara setiap caleg, posisi 10
caleg dengan suara terbanyak diduduki oleh caleg petahana. Empat orang caleg
dengan suara terbanyak berasal dari PDI-P, yaitu: Karolin Margret Natasa, dari
daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat dengan 397.481 suara; Puan Maharani
dari Dapil Jawa Tengah V dengan 369.927 suara; I Wayan Koster dari Dapil Bali
Meskipun 3 dari 4 orang caleg dengan suara terbanyak adalah caleg perempuan,
namun secara keseluruhan jumlah caleg perempuan yang terpilih mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu 2014 kembali menegaskan bahwa kebijakan afirmatif hanya sebatas
diadopsi oleh partai politik yang didorong oleh UU/peraturan. Partai politik belum
mengimplementasikan kebijakan afirmatif di pihak internalnya dengan tujuan
meningkatkan keterwakilan politik perempuan di parlemen. Pembaruan internal
partai sudah sangat mendesak, khususnya dalam kaderisasi dan rekrutmen caleg.
Partai harus memberikan perhatian khusus pada penguatan perempuan di partai
politik, bukan sekadar mencalonkan perempuan secara instan untuk memenuhi
kuota pencalonan.
Agenda ke Depan.
Sali Susiana (2014), dengan mengutip Hanna Pitkin, menggambarkan bahwa ada
empat pandangan yang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu: (1) keterwakilan
formal; (2) keterwakilan simbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4) keterwakilan
substantif. Keterwakilan formal merupakan keterwakilan yang terbentuk sebagai
hasil pengaturan institusional yang dilakukan sebelum keterwakilan ada.
Keterwakilan deskriptif merupakan sebuah bentuk keterwakilan yang berdasarkan
pada persamaan atau kemiripan antara wakil dan yang diwakili (konstituen atau
pemilih). Adapun keterwakilan substantif merupakan konsep keterwakilan yang
menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang wakil adalah untuk
kepentingan yang diwakilinya.
Salah satu penyebabnya adalah karena sistem pemilu yang tidak ramah terhadap
hadirnya keterwakilan perempuan. Ketika pemilu menggunakan sistem
proporsional terbuka didasarkan atas urutan suara terbanyak, maka calon
perempuan membutuhkan energi ekstra, tidak hanya modal sosial berupa
pengaruh, cara kampanye, popularitas, tetapi juga faktor modal materi, baik uang
maupun benda lainnya yang tidak kecil jumlahnya. Dengan sistem suara terbanyak
tersebut, kebijakan affirmative action 30% dalam hal pencalonan melalui aturan 1 di
antara 3 calon harus perempuan tetap tidak cukup membantu keterpilihan calon
perempuan. Selain faktor tersebut, yang harus diperhatikan adalah bagaimana
perempuan menghadapi persaingan secara kualitatif dengan calon laki-laki. Hal
itulah yang tidak mudah diwujudkan dan membutuhkan perhatian khusus dari
parpol serta lembaga non-pemerintah dalam mendorong perempuan agar mau
terjun ke dunia politik praktis disertai bekal pengetahuan dan energi yang cukup.
Dengan demikian, ke depan akan terwujud cita-cita keterwakilan perempuan
minimal 30% atau bahkan lebih di parlemen.
Dengan demikian, mengikuti Sali Susiana (2014), dua agenda penting pasca-Pemilu
2014 terkait dengan upaya untuk meningkatkan derajat keterwakilan dari yang
bersifat deskriptif menjadi keterwakilan substantif adalah bagaimana mengubah
konsep “stand for” menjadi “acting for” yang dapat menjadi critical actors dalam
memperjuangkan kepentingan perempuan. Peran sebagai critical actors yang dapat
memotori perubahan keterwakilan perempuan yang deskriptif menjadi substantif
ini tidak hanya dapat diambil oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki.
Aktivitas
Kegiatan pembelajaran untuk pokok bahasan ini dilakukan dalam bentuk diskusi
kelas (in-class discussion) dan pembahasan kasus (studi kasus), dan tugas mandiri.
Diskusi kelas dengan pembahasan kasus ini dilakukan untuk mendorong kreativitas
berpikir mahasiswa terhadap isu-isu dan dimensi-dimensi gender dalam pemilu.
Dosen bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan arahan dan kemudian
memberikan pandangan kritis sebagai kesimpulan diskusi.
Tugas
Latihan
Rangkuman
Gender merujuk pada peran dan hubungan, ciri kepribadian, sikap, perilaku, dan
nilai-nilai tertentu yang dihubungkan masyarakat dengan pria dan wanita. Karena
itu, ‘gender’ merujuk pada perbedaan yang dipelajari antara pria dan wanita,
sedangkan ‘jenis kelamin’ merujuk pada perbedaan biologis antara lelaki dan
perempuan. Peran gender sangat bervariasi di dalam dan antarkebudayaan dan
dapat berubah sepanjang waktu. Gender tidak hanya merujuk pada wanita atau pria
tetapi juga pada hubungan antara mereka. Jadi, ada hubungan peran dan bahkan
perbedaan peran di antara laki-laki dan perempuan, yang selama ini dipahami lebih
banyak merugikan perempuan.
Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan.
Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat,
pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan
sosial, peran gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang
berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan di antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks politik, kesetaraan gender dan keadilan gender mengacu pada
keterwakilan perempuan dalam politik, yang memiliki dua makna. Pertama, untuk
mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan
Demokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik. Kedua, ditujukan untuk
mewujudkan keadilan gender secara substantif (substantive equality), yaitu keadilan
bagi laki-laki dan perempuan dalam politik. Artinya keadilan dalam menjangkau
(akses), ikut serta (partisipasi), dan pengambilan keputusan (kontrol) dalam
pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan hasil-hasil
pembangunan. Dengan demikian, keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan
perempuan merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil dan bukan sekadar
memperjuangkan jumlah dan proses.
Penutup
Test Formatif
Aspek-aspek yang dinilai sebagai umpan balik pembelajaran ini adalah meliputi:
Tindak Lanjut
Arimaswati, dkk. 2011. Modul Dilema Etik. Kendari: Program Studi Pendidikan
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Haluoleo.
Deliar Noer. 1997. “Etika Politik dan Negara Demokrasi”. Unisia No. 35. Yokyakarta:
Universitas Islam Indonesia.
Desi Fernanda. 2006. Etika Organisasi Pemerintah: Modul Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan Golongan III. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1998. Jakarta: Departemen P dan K.
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
__________________. 1979. Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Jakarta: Kanisius.
Nurchalis Madjid. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina. Jakarta.
Code of Conduct and Ethics for Employees and Directors. TD Bank Group, 2014.
Annan, Kofi A., 2010. Global Commission on Elections, Democracy & Security.
September 2012.
Norris, Pippa. Why Electoral malpractices matter: For Legitimacy. Harvard dan
Sidney Universities. www.electoralintegrityproject.com
Norris, Pippa, Ferran Martinez i Coma dan Max Gromping. 2015. The Year in
Elections, 2014. The World’s Flawed and Failed Contests. Sidney, Australia:
The Electoral Integrity Project. Department of Government and International
Relations. Merewether Building, HO4. University of Sidney, Sidney NSW.
Pope, Jeremy. 2008. Strategi Memberantas Korupsi. Edisi Ringkas. Jakarta:
Transparency International Indonesia.
Surbakti, Ramlan, dkk. 2011. Menjaga Integritas Pemungutan dan Penghitungan
Suara, Seri Demokrasi Elektoral: Buku 13. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan.
Ade Irawan, dkk. 2014. Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu. Jakarta: Indonesian
Corruption Watch.
Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati (Eds). 2015. Politik Uang di Indonesia:
Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov-
UGM.
Bambang Trim. 2014. Buku Ajar Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Indonesian Coruption Watch. 2010. Korupsi Pemilu di Indonesia. Jakarta: ICW.
Indonesian Coruption Watch. 2014. Manifesto Indonesian Corruption Watch. Lima
Arah Pemberantasasn Korupsi. Usulan Agenda Antikorupsi Calon Presiden dan
Wakil Presiden Periode 2014-2019. Jakarta: ICW.
Indonesian Coruption Watch. 2014. Mendorong Pemilu Berintegritas: Mengawasi
Korupsi Pemilu. Jakarta: ICW.
Laporan Narasi Memperkuat Pengetahuan dan Peran Perempuan dalam
Memberantas Korupsi (Strengthening Women’s Knowledge and Role in
Combating Corruption). Kerja Sama Koalisi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan dan Demokrasi dengan United Nation Office on Drugs and Crime
(UNODC) Januari-Desember 2012.
Lembaga Administrasi Negara. 2014. Percepatan Pemberantasan Korupsi. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Mohammad Najib. 2015. “Keterlibatan Penyelenggara Pemilu dalam Vote Trading”.
Dalam Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati (Eds). Politik Uang di Indonesia:
Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov-
UGM, hlm. 511-536.
Ari Pradhanawati. 2010. “Perempuan dan Politik dari Pemilu ke Pemilu: Mengawal
Keterwakilan Perempuan Melalui Affirmative Action”, MMH Jilid 39 No. 2, Juni
2010. Semarang: UNDIP.
Dede Wiliam de Vries dan Nurul Sutarti. 2006. Adil Gender Mengungkap Realitas
Perempuan Jambi: Governance Brief No. 29b, Januari 2006. Bogor: Center for
International Forestry Research, CIFOR.
Dian Kartikasari. 2013. “Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan
Keadilan ke Depan”. Disampaikan dalam Konferensi INFID, Pembangunan
Untuk Semua, Jakarta 26‐27 November2013.
_____________. 2014. Strategi Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen.
Dalam Semiloka Strategi Pemenangan Perempuan dalam Pemilu 2014 di
Padang-Sumatera Barat tanggal 26 Juni 2012.
Megan Bastick dan Kristin Valasek (Eds). 2008. Gender and Security Sector Reform
Toolkit. Geneva: OSCE.
International IDEA. 2002. Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta:
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International
IDEA).
International IDEA. 2003. Strengthening Women’s Political Participation in Indonesia.
Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2003.