Anda di halaman 1dari 56

MANHAJ IJTIHAD FIQIH AJNABI:

PERSPEKTIF KONSTRUKSI EPISTEMOLOGIS

Disusun oleh:
KHOTIM ZAINI ASHIDDIQ

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R ANG
2024

1
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1
A. LATAR BELAKANG………………………………………………....... 1
B. TUJUAN………………………………………………………………… 2
C. RUMUSAN MASALAH……………………………………………….. 3
II. LANDASAN TEORI……………………………………………………….. 3
A. Manhaj Ijtihad Islam dan Manhaj Ijtihad Ajnabi………………….. 3
1. Pendekatan Manthiq dan Kalam ………………………………… 5
2. Pendekatan Kebahasaan ………………………………………… 6
3. Pendekatan Tujuan Hukum……………………………………… 9
4. Pendekatan Kaidah Hukum……………………………………… 10
B. Epistemologi …………………………………………………………… 12
III. METODE…………………………………………………………………… 13
IV. HASIL KAJIAN……………………………………………………………. 15
A. Teori Hermeneutika …………………………………………………. 16
C. Teori Dialektika………………………………………………………. 23
D. Teori Semiotik………………………………………………………………… 25
V. PEMBAHASAN…………………………………………………………….. 29
A. Topik Kajian Fiqih yang Menggunakan Manhaj Ajnabi ………….. 29
B. Pengusung Manhaj Ajnabi …………………………………………… 32
C. Penentang Penggunaan Manhaj Ajnabi …………………………….. 41
D. Pergulatan Epistemologis …………………………………………… 44
VI. KESIMPULAN……………………………………………………………… 49
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 52

2
MANHAJ IJTIHAD FIQIH AJNABI:
PERSPEKTIF KONSTRUKSI EPISTEMOLOGIS

I. PENDAHULUAN
D. LATAR BELAKANG
Aktivitas ekonomi sangatlah luas dan komplek1, serta aktivitas ekonomi
itu sendiri menggambarkan dinamika sosial, budaya, dan teknologi serta pola-
pola interaksi masyarakat warga bangsa atau masyarakat warga dunia yang
senantiasa akan terus berubah secara dinamis baik positif maupun negatif.
Proses dinamika interaksi ekonomi secara alami akan terjadi proses tawar-
manawar, negosiasi, komitmen, transaksi, dan kontrak-kontrak ekonomi.
Semua proses tersebut baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat besar potensi
risiko terjadinya spekulasi, manipulasi, rekayasa, kecurangan, kebohongan,
yang kemudian juga berpotensi terjadinya kerugian, kekecawaan, konflik,
pertikaian, dan sebagainya. Hal itu juga karena aktivitas ekonomi itu bisa
dilakukan oleh individu, kelompok, organisasi, perusahaan, lembaga maupun
pemerintah atau negara2 baik dalam satu entitas negara maupun antar negara
yang masing-masing memiliki karakter, kepentingan, ego, tradisi, kebudayaan,
tujuan yang berbeda-beda.
Oleh karena itulah untuk mitigasi risiko terjadinya spekulasi,
manipulasi, rekayasa, kecurangan, kebohongan, yang kemudian juga
berpotensi terjadinya kerugian, kekecawaan, konflik, pertikaian, bahkan perang
antara negara diperlukan standar moral, etika, dan hukum. Dari sinilah
menuntut adanya peran dari fiqih mu’amalah untuk terus secara dinamis
mengkaji sumber-sumber hukum yang ada (Al-Qur’an, Al-Hadits, dan yang
lainnya), melalui berbagai metode dan pendekatan untuk merumuskan, dan
menformulasikan ketentuan-ketentuan hukum yang aktual sesuai dengan
dinamika sosial, budaya dan teknologi untuk dipatuhi dan ditaati oleh

1
nited Nations, Department of Economic and Social Affairs. International Standard Industrial
Classification of All Economic Activities (ISIC). Revision 4. (New York: United Nation, 2008).
2
Doyle, Eleanor. The Economic System. (Chichester, England: John Wilay & Son, Ltd. 2005). 155.

3
masyarakat muslim. Terlepas dari sudut pandang yang sangat spesifik Fiqih
Mu’amalah, dalam konteks kajian fiqih yang luas meliputi semua aspek
kehidupan manusia juga sama adanya tuntutan peran dari para ahli fiqih untuk
terus secara dinamis mengkaji sumber-sumber hukum yang ada (Al-Qur’an, Al-
Hadits, dan yang lainnya), melalui berbagai metode dan pendekatan untuk
merumuskan, dan menformulasikan ketentuan-ketentuan hukum yang aktual
sesuai dengan dinamika sosial, budaya dan teknologi untuk dipatuhi dan dapat
ditaati oleh masyarakat muslim.
Studi, kajian, telaah dan bentuk lainnya untuk dapat memformulasikan
ketentuan-ketentuan hukum Islam yang tetap genuine (bersumber dari Al-
Qur’an dan Al-Hadits) melalui ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih juga terus
dituntut untuk adaptif, akomodatif dan dinamis untuk dapat tetap menghasilkan
formula ketentuan hukum Islam yang aktual dan mendorong masyarakat
muslim tetap produktif, tidak kontra produktif, puritan, bahkan primitif.
Bertolak dari tantangan inilah barangkali sekarang banyak akademisi dan
praktisi fiqih mencoba untuk menggunakan berbagai teori, metodologi, konsep,
dan paradigma dari luar kalangan ahli fiqih dan ushul fiqih sebelumnya, tapi
terinspirasi dari teori, metodologi, konsep, paradigma keilmuan dan filsafat
barat yang non Islam (ajnabi). Trend ini tentunya tidak perlu kita curigai
(apriori) juga tidak perlu eforia dan latah, tapi harus terus menerus kita kawal
dan kita promosikan secara cermat (kritis) agar dapat memperkaya hasanah
keilmuan dan hikmah dalam mencerna setiap fenomena serta problem-problem
yang kemungkinan tidak lagi mampu dicerna melalui teori, konsep, paradigma,
metode dan pendekatan yang telah ada di kalangan ahli fiqih dan ushul fiqih
yang terdahulu.
Bertolak dari hal itu makalah ini akan mencoba melakukan kajian secara
epistemologis atas berbagai teori, metode dan pendekatan dari Barat yang non
Islam (ajnabi) yang diterapkan oleh akademisi serta praktisi fiqih dan sejauh
mana sumbangsihnya terhadap ilmu fiqih dan ushul fiqih kita, apakah
medekonstruksi, apakah merekonstruksi, atau bahkan mendistruksi tatanan ilmu
fiqih dan ushul fiqih kita yang telah ada dan mapan.

4
E. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain adalah:
1. Untuk memahami secara epistemologis dari landasan teori-teori ajnabi yang
telah dipergunakan untuk melakukan kajian dan memformulasikan
ketentuan fiqih atau hukum Islam, agar dapat dipahami secara benar,
objektif dan proporsional.
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing teori ajnabi
baik secara epistemologis maupun implementasinya dalam mengkaji dan
memformulasikan ketentuan fiqihnya, sehingga bisa mensinkronisasikan
dan mendiakronikan dalam praktek kajiannya.
3. Untuk mengetahui sejauh mana konstruksi tori dan pendekatan ajnabi
dalam pergulatan dan perkembangan ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih,
sehingga bisa mengambil manfaatnya dan mengeliminasi mafsadahnya.

F. RUMUSAN MASALAH
Kehadiran teori, metode dan pendekatan baru di bidang kajian ke-Islam-
an yang tidak memiliki akar keilmuan Islam (ajnabi) telah menimbulkan hiruk-
pikuk di kalangan akademisi maupun praktisi (pengamal), beragam tanggapan
dan kritik serta penolakan. Agar kehadiran teori, metode dan pendekatan ajnabi
tersebut tidak menimbulkan kontra produktif, maka perlu dikaji secara objektif
dan proporsional melaui konstruksi akar keilmuannya (epistemologis) agar bisa
disikapi dan diperlakukan secara bijak dan proporsional. Apakah teori, metode
dan pendekatan ajnabi tersebut benar-benar sangat membantu untuk melakukan
kajian-kajian ke-Islama-an atau justru menimbulkan kesesatan pemahaman dan
tidak bermanfaat sama sekali untuk melakukan kajian-kajian ke-Islama-an?

II. LANDASAN TEORI


Kata kunci dari kajian ini adalah “Manhaj Ijtihad Fiqih Ajnabi” dan
“Epistemologi”, namun agar diketahui mana metodologi yang dari tradisi Islam dan
mana yang ajnabi sebelum melakukan kajian akan terlebih dulu dibahas tentang
landasan teori dari Metodologi Kajian Keilmuan Islam dari tradisi Islam serta
Epistemologi.

5
A. Manhaj Ijtihad Islam dan Manhaj Ijtihad Ajnabi
Tujuan dari penelitian di antaranya adalah menyempurnakan metodologi
penelitian itu sendiri.3 Fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan
teknologi terus berkembang baik dalam polaritas sekularisme maupun dalam
relasionalitas keagamaan. Kompleksitas fenomena sosial, budaya, ekonomi,
politik, hukum, dan teknologi menuntut adanya peningkatan dan penguatan
metodologi penelitian secara terus-menerus, agar setiap fenomena bisa
dipahami, disikapi secara benar dan tepat sehingga problem sosial, budaya,
ekonomi, politik, hukum, dan teknologi bisa diprediksi, diantisipasi, dan
dimitigasi. Faktanya, penelitian apa pun mempunyai tanggung jawab terhadap
kontribusi bagi pengayaan metodologis.
Metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang berhubungan
dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji
gejala-gejala yang terjadi pada alam atau manusia. Suatu metode ilmiah adalah
aturan-aturan yang “wajib” diikuti oleh peneliti dalam melakukan kajian
terhadap pokok persoalan yang dikajinya. Sedangkan metodologi penelitian
dalam kajian Islam, secara sederhana, adalah ilmu tentang cara-cara atau
metode-metode yang digunakan secara runtut dalam meneliti, memahami dan
menggali ajaran-ajaran atau pengetahuan-pengetahuan dari sumber-sumber
yang diakui oleh pedoman otoritatif, Al-Qur`an. Dalam paradigma Al-Qur`an,
pengetahuan itu dapat diperoleh melalui wahyu (haqq al-yaqin), rasionalisme
atau inferensi yang didasarkan pada pertimbangan akal dan bukti (‘ilm al-
yaqin), empirisisme dan melalui persepsi, yakni dengan observasi, eksperimen,
laporan sejarah, deskripsi pengalaman (‘ain al-yaqin),4 suluk dan tariqah
dengan taqarrub, tawakal, dan ikhlas (ma’rifat al-yaqin).
Selama ini dalam hasanah keilmuan Islam hasil kajian dan
metodologi kajian ke-Islam-an dari masa ke masa dan dari wilayah ke wilayah

3
Shraddha Bhome, dkk. Research Methodology. (New Delhi: Himalaya Publishing
House. 2013). p.11.

4
Abd al-Rasyid Moten, “Islamization of Knowledge” Methodology of Research in
Political Science, American Journal of Islamic Social Science, (1990), p. 164

6
terus berkembang sangat variatif dan majemuk dengan segala dinamikanya.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, paling tidak ada empat macam
metodologi penelitian dalam kajian Islam yang pernah dikembangkan oleh para
pemikir Islam, yaitu: metode bayani, metode burhani, metode tajribi dan
metode ‘irfani. Melalui metode-metode ini, baik dilakukan secara sendiri-
sendiri maupun secara terpadu, bukan hanya dapat menyentuh persoalan hablm
min Allah dan hablm min al-‘alam, tetapi juga akan merambah kepada hablm
min an-nas atau persoalan-persoalan sosial.
Dalam tradisi keilmuan Islam epistemologi yang dapat digunakan
dalam penelitian dan pengembangan pengetahuan adalah: membaca, berpikir,
eksperimen, penelitian, observasi, dan at-taqarrub ila Allah, yang dalam
beberapa kondisi sering direduksi menjadi epistemologi bayani, epistemologi
burhani, epistemologi tajribi dan epistemolgi ‘irfani. Dalam studi Islam,
bangunan penting dari suatu ilmu adalah ‘ilm al-‘amal, yaitu aspek
implimentasi dan aktualisasi dari suatu ilmu yang telah didapatkan melalui
berbagai epistemologi di atas. Al-‘amal tersebut haruslah didasarkan kepada
nilai-nilai positif (al-qiyam al-ijabiyah) yang dapat membawanya kepada apa
yang disebut dengan al-‘amal ash-shalih. Nilai-nilai dimaksud adalah: nilai-
nilai keagamaan (al-qiyam ad-diniyah), nilai-nilai akhlak, etika dan moral (al-
qiyam al-khuluqiyah wa mahasin al-‘adat), nilai-nilai kemanusiaan (al-qiyam
al-insaniyah), nilai-nilai sosial (al-qiyam al-ijtima’iyah), nilai-nilai estetika
atau keindahan (al-qiyam al-jamaliyah). Al-‘amal ash-shalih dengan dasar dan
kriteria di atas, haruslah diarahkan kepada pemeliharaan lima hal (al-kulliyat al-
khams), yaitu: memelihara agama (hifz ad-din), memelihara jiwa (hifz an-nafs),
memelihara akal (hifz al-‘aql), memelihara keturunan (hifz an-nasl), dan
memelihara harta (hifz al-mal).5
Dalam hasanah tradisi keilmuan Islam masing-masing bidang
keilmuan telah dikembangkan metodologinya masing-masing, misalnya dalam
ilmu Hadits ada Musthalah Hadits, dalam bidang Al-Qur’an ada Al-‘Ilm At-
Tafsir, secara epistemologi ilmu tafsir adalah menggabungkan antara naql dan

5
Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiah),
p. passim 18 - 275.

7
aql atau metode riwayah dan dirayah, dalam bidang Aqidah ada Al-‘Ilm Al-
Kalam, dalam bidang ilmu Fiqih ada Ushul Fiqih, dan seterusnya.
Dalam metodologi Ushul Fiqih metode ijtihad Fiqih yang telah
dikembangkan dalam tradisi keilmuan Islam antara lain:
1. Pendekatan Manthiq dan Kalam
Selama kajian ini dilakukan terhadap refrensi yang didapati dari
para tokoh ahli fiqih yang bereputasi Internasional hanya Imam Ghazali6
yang seara tersirat menganjurkan penggunaan pendekatan Ilmu Manthiq
dan Ilmu Kalam. Imam Al-Ghazali dalam Muqadimah bukunya yang
berjudul Al-Mustashfa ‘Ilmi Al-Ushul membahas pentingnya ilmu Mantiq
bagi kajian semua ilmu termasuk ‘Ilmu Ushul Fiqih. Imam Al-Ghazali
dalam bab ini juga menyinggung tentang konsepsi penggunaan Ilmu
Kalam pada saat menyampaikan atas pentingya pemahaman tentang
hakekat tunggal yang qadim dan azali dalam mengambil istimbath fiqih.7
Bahkan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa:

” ‫“ ومن ال يحيط بها وال ثقط له بعلومه اصال‬


(Barang siapa tidak memahami bahasan dalam pendahuluan ini (tentang
Mantiq dan Kalam) maka ilmu yang ada padanya sama sekali tidak
kredibel).8

Penguasaan Filsafat Logika (Ilmu Mantiq) dan penguasaan


Theology/Filsafat Ketuhanan/Aqidah (Ilmu Kalam) akan sangat membantu
dalam menganalisis dan memahami kasus-kasus, peristiwa, dan prilaku
hukum dari berbagai aspeknya sehingga dapat memberikan argumentasi
(burhan) dan menarik kesimpulan (hadd) dengan tepat dan benar. Dalam
hal ini Imam Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya menguasai konsep
dan kaidah tentang tashawwur (konsepsi), tashdiq (proposisi), idrak
(persepsi), tashawwur awwali (apriori), perumusan hadd

6 Imam Al-Ghazali adalah ulama mujadid abad 11, pernah menjadi rektor Universitas

Nizzamiyya di Baghdad, karya menumentalnya adalah Iḥyā’ ‘ulūm ad-dīn (Kebangkitan Ilmu Agama)
dan Tahāfut al-Falāsifa (Incoherence of the Philosophers).
7
Imam Al-Ghazali. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul. (Bairut-Libanan: Al-Maktbah Al-Asyriyah,
2008). Juz I, 20 – 21.
8
Al-Ghazali. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul.Juz I, 20.

8
(batasan/definisi)9, perumusan burhan (argumentasi), dilalah (asosiatif),
istidlal (dalil kebenaran) dan sebagainya.

2. Pendekatan Kebahasaan
Pendekatan kebahasaan adalah kajian dan eksplorasi hukum syariah
melalui pendekatan pendalaman aspek bahasa dari nash-nash yang menjadi
sumber dan objek kajian hukumnya, baik dari aspek struktur
kebahasaannya/ ketatabahasaannya (makna leksikal, frasal, klausal,
ideomatik, semantic, makna gramatikal, dan makna
kontekstual/tagmemik), maupun dari aspek gaya bahasanya (makna
denotative, konotatif, muhkamat, mutasabihat, tersurat, tersirat). Semua
ahli Fiqih dan ahli Ushul Fiqih telah menggunakan metode dan pendekatan
kebahasaan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ahli Ushul
Fiqih telah sepakat dalam menggali dan mengeksplorasi ketentuan-
ketentuan Fiqih (Hukum Islam/Syari’ah) untuk menggunakan pendekatan
kebahasaan.
1). Imam Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa fi ‘Ilmi al_Ushul dari
halaman 47 sampai halaman 81 dibahas bagaimana menarik makna dari
berbagai ungkapan bahasa dan gaya bahasa sebagai dalil landasan
pijakan hukum. Dimulai dari pembahasan tentang cara memahami
makna dari gaya bahasa dilalah al-muthabaqah, dilalah tadhammun
(sinekdoke pars pro toto), dilalah iltizam (sinekdoke totem proparte),
lafadz mu’ayyan, lafadz muthlaq, mutaradifah, mutabayinah,
mutawathi’ah, dan musytarikah. Dibahas juga tentang makna tunggal
dan makna komposit. Makna tunggal diantaranya dibahasa tentang
makna dzatiyah, ‘ardhiyah, lazimah, mahsusah (terindera),
mutakhayyilah (terimajinasi), dan ma’qulah (ternalarkan). Makna
komposit yaitu mengambil makna sebagai hujah dari rangkaian lebih
dari satu kata bisa berupa frasa, klausa, dan idiom yang di antaranya

9
Al-Ghazali. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul.Juz I, 22-43.

9
dibahas tentang Qadiyah – Maqdhi’alaih (ta’yin, ihmal, ‘umum),
Qadiyah ‘Am, Qadhiyah Khas, dan Qadhiyah – Muhmalah.10

2). ‘Abdul Wahab Khallaf11 dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al_Fiqh dari
mulai halaman 134 sampai dengan 184 membahas tentang Fi al-
Qawa’idi al-Ushuliyati al-Lughawiyati. Ada 7 metodologi ushuli
dalam melakukan eksplorasi nash sumber hukum/fiqih melalui aspek
kebahsaan yang disebutnya al-Qawa’idu al-Ushuliyatu al-
Lughawiyah, yang meliputi:
a) Fi Turuqi Dalalati An-Nash (‘Ibaratu An-Nash, Isyaratu an-Nash,
Dalalatu An-Nash, I’tidha’u An-Nash)
b) Fi Mafhumi al-Mukhalafah (Mafhumu al-washfi, Mafhumu al-
Ghayah, Mafhumu Asy-Syarth, Mafhumu al-‘Adad, Mafhumu al-
Liqab )
c) Fi al-Wadhihi ad-Dalalati wa Muratabihi (Dalalah yang Jelas dan
Tingkatan-tingkatannya)
d) Fi Ghairi al-Wadhih wa Muratabihi (Dalil yang tidak Jelas dan
Tingkat-tingkatannya)
e) Fi al-Musytaraki wa Dalalatihi
f) Fi al-‘Am wa Dalalatihi
g) Fi al-Khash wa Dalalatihi12

3) Muhammad bin Shalih Al’Atsimin13 dalam bukunya Syarhu al_Ushul


min ‘Ilmi al-Ushul, telah membahas kajian Ushul Fiqih dengan
pendekatan kebahasaan cukup panjang dari halaman 119 sampai 586.
Dimulai dari bab Majaz, Shigha Amr, Shigha Nahyi, Khithab Amr dan

10
Al-Ghazali. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul.Juz I, 47 - 81
11
Abdul Wahab Khallaf adalah seorang Guru Besar Ilmu Fiqih di Universitas Al-Azhar dan
Hakim di Mahkamah Syar'iyyah Mesir.
12 ‘Abdu Al-Wahab Khallaf. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. (Al-Qahirah: Daru al-Fikri al-‘Araby. 1996). p.134-184
13
Muhammad bin Shalih Al’Atsimin, seorang ulama yang keilmuannya sangat produktif, tidak
kurang dari 40 buku telah dihasilkannya hampir semuanya tentang fiqih, pernah menjabat sebagai ketua
di Hai'ah Kibarul Ulama (semacam MUI di Kerajaan Arab Saudi), dan mengajar di fakultas syari’ah dan
ushuludin di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah di Qasim

10
Nahyi, Shigha Umum. Shiga al-Khash, Mutlaq dan Muqayad, Mujmal,
Dhahir wa Mu’awwal, An-Nash, dan Al-Akhbar.14

4) Shofwan Daudi15 dalam bukunya Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin


menguraikan penggunaan pendekatan kebahasaan tidak dikelompokkan
secara spesifik tersendiri tapi disandingkan dengan pendekatan yang
lainnya. Akan tetapi dapat dinukilkan di sini beberapa pendekatan
kebahasaan yang diteorikan, yaitu diantaranya tentang metode Shigha al-
Amr,16 Shighatu An-Nahyi,17 Al-‘Am wa al-Khash,18 al-Muthlaq wa al-
Muqayyad.,19

3. Pendekatan Tujuan Hukum


Para ahli fiqih dalam menggali, merekonstruksi, dan membangun
hukum syari’ah disamping menggunakan metode dan pendekatan Ilmu
Mantiq, Ilmu Kalam, dan Ilmu Kebahasaan (Balaghah) juga dilengkapi
dengan konsep dari tujuan dibentuknya suatu tatanan hukum (Maqashid
Asy-Syari’ah). Jumhur ulama fiqih sepakat bahwa hukum Islam itu
dibangun untuk menjaga bagi tercapainya suatu kemaslahatan umat manusia
yang diantaranya meliputi kesejahteraan, kedamaian, keberadaban,
kemartabatan, prikemanusiaan, kemajuan, kemakmuran, keadilan,
kemerdekaan, terlindungi dan terpenuhinya hak-hak dasar pada diri setiap
manusia. Itu semua adalah hikmah dari struktur ekosistem hukum Islam. 20
Dengan pendekatan Maqashid Asy-Syari’ah para fuqaha’ dalam
menggali dan menetapkan hukum-hukum Syari’ah senantiasa akan
memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keterpenuhan dan

14
Al’Atsimin, Muhammad bin Shalih. Syarhu al_Ushul min ‘Ilmi al-Ushul (Al-Mamlakah Al-
‘Arabiyah As-Su’udiyah: Daru Ibnu Al-Juziyah. 1435H). p.119 - 586.
15
Sofwan Daudi adalah ahli Ushul Fiqih kelahiran Damsyik, tinggal di Madinah gelar Magister
dan Doktornya diperoleh dari Universitas Amerika, banyak buku yang telah dihasilkannya, 3 buku di
antaranya buku Ushul Fiqih yang telah diterbitkan.
16
Shofwan Daudi. Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin.(Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah
AsSu’udiyah, Jedah: Jami’u al-Huquq al-Mahfudhah. 2003). p.151 - 601
17
Shofwan Daudi. Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin.p.221-247.
18
Shofwan Daudi. Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin.p.259-301.
19
Shofwan Daudi. Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin.p.307-317.
20
Jasser Auda. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Low. (London, UK: The
International Institute of Islamic Thought (IIIT). 2007). P.1.

11
keterlindungan serta keterjaminnya 3 strata kebutuhan hidup manusia, yang
meliputi al-Hajah al-Dzaruriyat (Kebutuan Primer), al-Hajah al-Hajiyat
(Kebutuhan Sekunder) dan al-Hajah al-Tahsiniyat (Kebutuhan Tersier).
Sedangkan al-Hajah Al-Dzaruriayat meliputi Hifdhu al-Diin (Terjaganya
Agama), Hifdhu al-‘Aql (Terjaganya Akal), Hifdhu al-Nafs (Terjaganya
Jiwa), Hifdhu al-Nashl (Terjaganya Keturunan), Hifdhu al-Aml (Terjaganya
Harta).21

4. Pendekatan Kaidah Hukum


Jumhur Ulama Fiqih sepakat bahwa dalam menarik istimbath hukum
Syari’ah harus mematuhi kaidah-kaidah Fiqih yang berlaku diantaranya:
1) Qaidah Induk
Dar’ul Mafashid Jalbul Mashalih (Menolak segala yang dapat merusak,
dan menarik segala yang maslahat)

2) Qawa’idu al-Khams
Qawa’idu al-Khams merupakan kaidah fiqih utama yang terdiri dari
formulasi kaidah berikut:
a. Al-Yaqinu La Yuzalu bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dikalahkan
oleh keraguan).
b. Al-Masyaqqah Tajlibu al-Taisir (Kesukaran akan Menarik
Kemudahan)
c. Al-Dhararu Yuzalu (Kemudharatan harus Dilenyapkan)
d. Al-‘Adah Muhkamah (Adat Istiadat dapat ditetapkan sebagai
hukum)
e. Al-Umur Bimaqashidiha (Segala urusan tergantung pada
tujuannya).22

21
Jasser Auda. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Low.p.3-4. ‘Abdu Al-Wahab
Khallaf. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh.p.186, Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi. Maqashidu al-Syari’ah al-
Islamiyah. (Riyadh, Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah al-Shu’udiyah: Jami’u al-Huquq Mahfudhah. 1998). p.32
22
Al-Sadlan, Shalih bin Ghanim Al-Sadlan. Al-Qawa’idu al-Fiqhiyah al-Kubra. (al-
Mamlakah Al-‘Arabiya Al-Su’udiyah, Riyadh: Daru al-Balansiyah Linashr wa Attauzigh. 1417H). p. 9.

12
3) Qawa’idu al-Kulliyah
Jumlah Qawa’idu Fiqhiyah Kulliyah tidak terbatas jumlahnya berikut
disampaikan beberapa saja, belum keseluruhannya.

a) Idza ijtama’a al-halalu wa al-haramu ghuliba al-haramu (Bila Halal


dan Haram bertemu maka Haram yang dimenangkan).
b) Al-Hudud Tasqutu bi al-Syubuhat (Hukuman had gugur karena
samar-samar)
c) Tasharrufu al-imam ‘ala al-ra’iyati manuthun bi al-mashlahah
(Perlakuan pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan
kemaslahatan)
d) Al-Khuruju min al-khilafi mustahabbun (Keluar dari perselisihan,
terpuji)
e) Al-'iitsar bi al-ibadat makruhun wa bi al-dunya mahjub (Altruisme
dalam beribadah makruh dan dalam soal keduniawian disukai).
f) Al-Taabi’u taabi’ (Pengikut itu engikuti)
g) Al-Harimu lahu hukmu ma hua harimun lahu (Harim mempunyai
hukum harim lahu)
h) Ma kaana aktsara fi’lan kaana aktsara fadhlan (Sesuatu yang
banyak dikerjakan lebih banyak keutamaannya)
i) Al-Fardhu afdhal min al-Nafli (Fardu itu lebih baik daripadah
sunah)
j) Ma hurima isti’malluhu hurima itikhaduhu (Sesuatu yang
diharamkan menggunakannya diharamkan mengambilnya)
k) Ma Hurrima akhdzuhu hurrima I’thaa ‘uhu (Sesuatu yang
diharamkan mengambilnya diharamkan memberikannya)
l) Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak
tercapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya).

Namun demikian dengan munculnya tantangan atas berbagai


fenomena sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik, komunikasi, gaya hidup,
dan lain sebagainya sebagai akibat dan konsekuensi logis dari adanya
transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat yang

13
tentunya telah merekonstruksi secara redikal paradigma kehidupan
masyarakatnya, telah memunculkan kesadaran akan perlunya sistem
penjelasan dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang lebih
kontekstual dan aktual dengan fenomena dan persoalan-persoalan
kontemporer yang dihadapi masyarakat yang ada saat ini. Mereka merasa
bahwa metodologi kajian Islam yang sudah ada yang merupakan warisan
tradisi keilmuan Islam tidak lagi mampu menjawab dan menjelaskannya,
maka di antara mereka ada yang mencoba mengeksplorasi hasanah
metodologi keilmuan di luar Islam (manhaj ajnabi). Manhaj Ajnabi yang
sampai saat ini getol dan marak dipromosikan oleh para akademisi ke-
Islama-an diantaranya adalah Hermeneutika, Semiotik, Dialektika,
Fenomenologi, dan Hiuristik.
Akan tetapi masalahanya apakah teori-teori dan metodologi tersebut
mampu menggantikan teori dan metodologi yang telah ada dalam tradisi
Islam dan mampu menjawab serta menjelaskan seluruh fenomena dan
persoalan yang ada tanpa ada kehawatiran akan tercerabut dari landasan
otoritatif Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits serta aqidah Islam sebagai
ruhnya. Hal inilah yang kemudian diharapkan akan terjadi pertarungan
ilmiah yang burhani sehingga diharapkan akan terjadi dialektika yang akan
melahirkan sintesa keilmuan teoritik dan metodologis, epistemologis dan
aksiologis. Pada gilirannya akan terjadi ekstensi kemajuan budaya,
ekonomi, politik, dan teknologi pada masyarakat muslim yang selama ini
masih menjadi keprihatinan dan terasa terbelakang.

B. Epistemologi
Misi epistemologi sebagai cabang filsafat ilmu, adalah untuk
memperjelas apa yang dimaksud dengan konsepsi suatu pengetahuan yang
sebenarnya, bagaimana konsep itu diterapkan, dan untuk menjelaskan
mengapa konsep itu terjadi dan juga menjelaskan gagasan tentang

14
pengetahuan yang meliputi keyakinan, dugaan, kemungkinan, dan
rasionalitas.23
Menurut Omoregbe “epistemologi adalah studi tentang
pengetahuan manusia, studi tentang sifat pengetahuan manusia, asal-
usulnya, ruang lingkupnya, batas-batasnya, pembenarannya,
keandalannya, atau jika tidak, kepastiannya atau sebaliknya”. Apa yang
telah disoroti dengan jelas oleh definisi ini untuk perhatian anda adalah
bahwa epistemologi berkaitan dengan pengetahuan manusia dan semua
masalah yang terkait dengannya.24
Dalam epistemologi kontemporer, internalisme tentang justifikasi
gagasan atau teori adalah bahwa segala sesuatu perlu disediakan
pembenaran atas suatu keyakinan harus segera tersedia pada kesadaran
seorang agen gagasan. Penting untuk membedakan internalisme
pembenaran dari internalisme tentang pengetahuan. Penganut paham
internalis tentang pengetahuan kemungkinan besar akan berpendapat bahwa
kondisi-kondisi yang membedakan keyakinan sejati dan pengetahuan
belaka serupa internal dengan perspektif individu atau didasarkan pada
kondisi mental subjek. Sedangkan internalisme tentang pembenaran adalah
pandangan yang didukung secara luas oleh perdebatan tentang internalisme
pengetahuan. Ini diklaim demikian karena menunjukkan bahwa
pengetahuan bukan sekadar keyakinan sejati yang dibenarkan, 25 Tapi
kebenaran yang didukung oleh persyaratan, prosedur dan bukti-bukti
empirik yang valid yang bisa diuji ulang oleh siapapun.
Dari uraian di atas epistemologi dapat dipahami sebagai filsafat
yang membahas tentang hakikat pengetahuan, yang meliputi bahasan
tentang asal mula, sumber, ruang lingkup, nilai validitas, dan kebenaran dari

23
Nicholas Rescher. Epistemology An Introduction to the Theory of Knowledge. (New York:
State University of New York. 2003). p. xiii
24
Dr Adekunle Ibrahim. Introduction to Epistemology. (Uyo: Department of Philosophy
University of Uyo. tt). p.9
25
Stewart Cohen. “Justification and Truth”, Philosophical Studies 46, (1984) p. 279–296.
(https://www.jstor.org/stable/4319711. Diakses tgl: 04-03-2024), Ernest Sosa. “Reliabilism and
Intellectual Virtue,” in E. Sosa, Knowledge In Perspective, (Cambridge: Cambridge University
Press.1991). p. 131–145. (dapat diakses pertopik: https://www.cambridge.org/core/books/knowledge-in-
perspective/68B3AB7E152E5FC131BEB39A41CAF6D3. Diakses tgl: 04-03-2024)

15
suatu konsep dan teori dari pengetahuan. Epistemologi mempelajari tentang
hakikat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan sebagai
kebenaran.

III. METODE
Penelitian ini mengambil format penelitian kualitatif yang memadukan
antara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan virtual
(virtual field research). Disebut penelitian kepustakaan karena data-data tentang
teori ajnabi maupun kajian ke-Islam-an yang menggunakan metode ajnabi
diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan. Penelitian ini juga disebut penelitian
lapangan virtual karena sebagian besar data-data penelitian ini diperoleh secara
virtual berbasis format digital terkonversi file seperti pdf, doc, txt, html, js, sql,
csv, jpg, png, dan lainnya di dunia maya sebagai big data.
Karena data sampling surveinya berupa bigdata virtual bukan
perpustakaan fisik maka pendekatan yang dipergunakan juga pendekatan data
minning, yaitu melalui mesin pencari berbasis semantic Web dengan metode
KMP (Knuth Morris Pratt). Metode KMP dipergunakan sebagai metode string matching
penggalian datanya dengan keyword judul buku, nama pengarang, topic jurnal, nama
penulis, nama jurnal, nama objek bahasan misalnya studi al-Qur’an dengan
hermeneutika, studi tafsir dengan semiotik, kajian Hadits dengan dialektika.
Proses pembuatan aplikasi KMP dengan bahasa PHP dapat digambarkan
secara ringkas sebagai berikut, pertama tahap crawling domain web, tahap kedua
hasil crawling berupa link halaman web disimpan ke dalam database, tahap ketiga
proses indexing database, tahap keempat data yang ada di database yang sudah
terindex akan di markup dengan menggunakan smore sesuai dengan ontology yang
telah dibuat, tahap kelima hasil data markup berupa metadata ini akan disimpan dan
dipisah antara frasa dan klausa, antara subjek, predikat dan objek. Proses pemisahan
subjek, predikat dan objek menggunakan library JENA Framework untuk
mengubah hasil smore dari bentuk .owl menjadi .sql. Tahap keenam hasil dari
pemisahan ntriple menggunakan library JENA Framework yang digunakan untuk
menyajikan hasil proses pencarian.
Dari data yang dihasilkan melalui metode KMP selanjutnya akan dilakukan
klasifikasi berdasarkan format file datanya (pdf, doc, text, html, dll.), kemudian

16
yang diambil hanya format pdf, doc, dan docx, jenis file yang lain akan
disingkirkan. Kemudian file-file tersebut (pdf dan doc) diklustering sesuai dengan
kelompok berdasarkan metodologi atau pendekatan ajnabi (mana yang membahas
teori, mana yang merupakan penelitian/kajian, mana yang membahasa teori atau
kajian yang menggunakan teori hermeneutika, semiotic, dialektikan,
fenomenologi, dan lainnya), mana yang berupa buku, disertasi, tesis, skripsi,
paper, jurnal, blog, artikel, berita, dan lainnya (yang diambil hanya berupa buku
yang ditulis oleh penulis berkompetensi S3 atau bereputasi internasional, Jurnal dan
Paper yang ditulis oleh penulis setara S3/S2 dan terpublikasi, tesis dengan
pembimbing guru besar dan berupa disertasi. Selain kualifikaksi tersebut akan
disingkirkan). Kemudian data-data itu diaosiasikan dengan objek kajiannya mana
yang kajian Al-Qur’an, mana yang kajian Hadits, mana yang kajian ke-Islam-an
lainnya. Selanjutnya akan dilakukan analisis secara kualitatif satu-persatu melalui
pendekatan sinkronis, diakronis, dan komparatif dan disajikan melalui pendekatan
diskriptif.

IV. HASIL KAJIAN


Data yang dihasilkan melalui survey dengan menggunakan pendekatan
data minning bigdata virtual di dunia maya dapat dikemukakan bahwa, metode
kajian ke-Islam-an (Al-Qur’an, Hadits, Aqidah, Fiqih, dan Ke-Islam-an lainnya)
ajnabi yang banyak dipergunakan oleh para akademisi dan peneliti Indonesia
adalah metode/pendekatan Hermeneutika, Semiotika, Dialektika, Fenomenologi,
Hiuristik. Ada tiga besar manhaj ajnabi yang paling banyak dan sangat signifikan
penggunaannya bagi kajian ke-Islam-an di Indonesia yaitu metode Hermeneutika
dipergunakan sebanyak 825 pada objek kajian atau sebesar 36% dari seluruh kajian
ke-Islam-an di Indonesia, menyusul metode Semiotika dipergunakan sebanyak 545
pada objek kajian atau sebesar 24% dari keseluruhan kajian ke-Islam-an di
Indonesia, dan yang ketiga metode Dialektika dipergunakan sebanyak 431 pada
objek kajian atau sebesar 19%, sedangkan manhaj ajnabi yang lain kurang
signifikan penggunaannya di Indonesia. Lihat table-1 di bawah. Oleh karena itu
maka kajian epistemologinya hanya difokuskan pada tiga metode tersebut.
TABEL SURVEY STUDI ISLAM DENGAN MANHAJ AJNABI
NO PENDEKATAN OBJEK STUDI TOTAL %

17
AL-
HADITS KEISLAMAN
QUR'AN

1 DIALEKTIKA 207 73 151 431 19%

2 SEMIOTIKA 236 96 213 545 24%

3 HERMENEUTIKA 302 197 326 825 36%

4 FENOMENOLOGI 76 11 193 280 12%

LAINNYA (Heuristik,
5 63 69 92 224 10%
dll.)

JUMLAH 884 446 975 2,305 100%

Tabel: 1
Keterangan:
1. Servei dilakukan pada tanggal 4 Maret 2024
2. Survei menggunakan teknik data minning bigdata yaitu metode semantic Web KMP
(Knuth Morris Pratt). Lihat bab Metode. Bagi yang cukup memiliki kesabaran dan
ketekunan dapat dilakukan secara manual dengan cara sebagai berikut:
a. Survei dilakukan secara manual dengan searching menggunakan aplikasi Bing
yang embedded di Browser Edge, yang telah menggunakan teknologi AI, atau
browser apa saja yang telah terembeded teknologi AI.
b. Penggunaan teknologi AI yang disertai Deep Learning dan Machine Learning
memungkinkan searching yang berulang dengan keyword yang sama akan
semakin mencerdaskan AI, sehingga hasilnya akan semakin akurat, sehingga
setiap berulang melakukan searching hasilnya sangat dimungkinkan akan
berbeda.
c. Servei dibatasi hanya sampai 25 page pertopiknya, sehingga dapat dipastikan
jumlah topik kajian yang sebenarnya lebih banyak dari yang dijadikan sampling.
d. Objek surveinya adalah berupa Skripsi, Tesis, Disertasi dan Jurnal terpublikasi,
sedangkan yang berupa artikel blog, konten web, berita media digital (bukan
kategori karya ilmiah) telah dikesampingkan atau tidak dimasukkan.

A. Teori Hermeneutika
Etimologi hermeneutika berasal dari kata hermes yang
merupakan tokoh mitologi Yunani yang bertindak sebagai utusan
dewa-dewa untuk menyampaikan pesan-pesan para dewa kepada
manusia. Hermes menyampaikan pesan para dewa kepada
manusia, artinya, dia tidak hanya mengumumkannya kata demi
kata tetapi juga bertindak sebagaimana mestinya seorang
'penerjemah' yang membuat kata-katanya dapat dimengerti dan
bermakna - yang mungkin memerlukan beberapa poin klarifikasi
atau lainnya, tambahan, komentar. Konsekuensinya adalah
hermeneutika terlibat dalam dua tugas: satu, memastikan yang

18
sebenarnya makna-isi suatu kata, kalimat, teks, dan sebagainya;
kedua, penemuan petunjuk tersebut mengandung bentuk
simbolik. 26
Stanley E. Porter & Jason C. Robinson dalam bukunya yang
berjudul Hermeneutics An Introduction to Interpretive Theory
mengkategorikan hermeneutika sebagai berikut: (a).Romantic
Hermeneutics; (b).Phenomenological and Existential Hermeneutics;
(c).Philosophical Hermeneutics; (d).Hermeneutic Phenomenology;
(e).Critical Hermeneutics; (f).Structuralism Hermeneutic;
(g). Poststructuralism Hermeneutic; (h).Dialectical Theology and Exegesis
Hermeneutic; (i). Theological Hermeneutics; (j).Literary Hermeneutics.27
Tokoh Hermeneutika cukup banyak, dan masing -masing
menyodorkan orientasi, gagasan, konsep, dan teori yang berbeda
dan bercirikhas. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768 -
1834), Wilhelm Dilthey (1833–1911), Martin Heidegger (1889 – 1976),
Hans-Georg Gadamer (11/02/1900 – 13/03/2002) , dan Jean Paul Gustave
Ricœur (1913 –2005). Berdasarkan pengkategorian hermeneutika oelh
Stanley E. Porter & Jason C. Robinson di atas para tokoh tersebut
diasosiasikan sebagai tokoh kategori hermeneutika sebagai berikut:
Friedrich Schleiermacher termasuk kategori Romanticism
Hermeneutic, the Enlightenment Hermeneutical, Hermeneutic Method and
the Art of Understanding. Wilhelm Dilthey termasuk kategori Human
Sciences, Understanding and Expressions, Historicism, Methodological
Interpretation and the Hermeneutical Circle. Edmund Husserl termasuk
kategori Hermeneutic Phenomenology and Transcendental
Phenomenology Hermeneutic. Martin Heidegger termasuk kategori
Phenomenology Hermeneutic, Dasein and the Existential Analytic,
Questions of Situation and Hermeneutics of Facticity Understanding and
Interpretation. Hans-Georg Gadamer's termasuk kategori Philosophical

26
Josef Bleicher. Contemporary Hermeneutics. (London, Boston and Henley: Routledge &
Kegan Paul. 1980). p.11.
27
Stanley E. Porter & Jason C. Robinson. Hermeneutics An Introduction to Interpretive
Theory. (Cambridge, U.K.: William B. Eerdmans Publishing Company. 2011). p.7 -18

19
Hermeneutics. Paul Ricoeur's termasuk kategori Hermeneutic
Phenomenology. Jiirgen Habermas's termasuk kategori Critical
Hermeneutics. Daniel Patte termasuk kategori Hermeneutic Structuralism.
Jacques Derrida termasuk kategori Hermeneutic Deconstruction. Karl Barth
and Rudolf Bultmann termasuk kategori Hermeneutic Dialectical
Theology and Exegesis. Anthony Thiselton and Kevin Vanhoozer termasuk
kategori Theological Hermeneutics. Alan Culpepper and Stephen Moore
termasuk kategori Literary Hermeneutics.28

Wilhelm Dilthey (1833–1911), menyodorkan teori hermeneutika


sebagai epistemologi dan metodologi. Dia membahas yang pertama dalam
konteks 'Kritik Nalar Sejarah' yang berusaha bersifat transendental
penyelidikan terhadap kondisi kemungkinan historis pengetahuan dengan
aspek metodologis dipersempit pada penafsiran dokumen-dokumen yang
ditetapkan secara linguistik yang mewakili kasus khusus penggunaan
metode verstehen sebagai mode kognisi yang sesuai dalam kasus di mana
hubungan subjek-objek adalah hubungan di mana 'kehidupan bertemu
kehidupan'. Dilthey pada mulanya berusaha memecahkan masalah
hermeneutika, yang merupakan 'kesadaran sejarah', dengan cara mengulangi
perhatian Romantisis dengan 'pengalaman hidup'. Kemudian beralih ke teori
Hegel tentang semangat objektif dan adopsi perbedaan antara makna dan
ekspresi.29
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834),
menyodorkan dua tradisi ke dalam karya hermeneutikanya yaitu filsafat
transendental dan romantisme. Dari sini dia memperoleh suatu bentuk
pertanyaan atas kondisi kemungkinan interpretasi yang valid dan konsepsi
baru tentang proses pemahaman. Pemahaman kini dipandang sebagai
reformulasi kreatif dan rekonstruksi. Schleiermacher menyodorkan hukum
hermeneutikanya bahwa setiap pemikiran penulis harus dikaitkan pada

28
Josef Bleicher. Contemporary Hermeneutics. (London, Boston and Henley: Routledge &
Kegan Paul. 1980). p.1 - 303
29
Josef Bleicher. Contemporary Hermeneutics. (London, Boston and Henley: Routledge &
Kegan Paul. 1980). p.2

20
kesatuan subjek yang aktif dan berkembang secara organik: suatu hubungan
antara individualitas dan totalitas menjadi focus inti dari hermeneutika
romantisme.
Individu mampu memahami tanpa harus mempermasalahkan
aktivitasnya – sampai mereka mendapati dirinya tidak mampu memahami
makna yang diungkapkan dalam ucapan atau tulisan, Schleiermacher
mempelopori hermeneutika yang sistematis. Sistematikanya memuat dua
bagian, penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis. Untuk yang
pertama, dia mengembangkan empat puluh empat ‘canon’ (Kanun). Dua
yang pertama adalah yang paling penting dan tentu saja menjelaskan
pendekatan Schleiermacher secara keseluruhan: Satu, ‘Segala sesuatu yang
memerlukan penentuan yang lebih penuh dalam suatu teks tertentu hanya
dapat ditentukan dengan mengacu pada bidang bahasa yang dibagikan oleh
penulis dan masyarakat aslinya’; Dua, 'Suatu arti setiap kata dalam suatu
bagian harus ditentukan dan mengacu pada koeksistensinya dengan kata-
kata di sekitarnya'. Penekanannya pada pemahaman kebahasaan, selain dari
membuktikan Schleiermacher berhutang kepada J.G. Herder, tentu saja
membedakan hermeneautika Schleiermacher dari pendahulunya dan
menunjuk ke masa depan sebagai tema yang berulang dalam diskusi
hermeneutik.30
Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002), berupaya untuk
mengambil kembali konsepsi positif tentang prasangka (Jerman Vorurteil)
yang kembali ke arti istilah tersebut sebagai pra-penilaian (dari bahasa Latin
prae-judicium) yang hilang pada masa Renaisans. Dalam karyanya Truth
and Method, Gadamer menerapkan kembali gagasan tentang situasi
hermeneutis sebelumnya sebagaimana yang dijelaskan secara lebih khusus
dalam Being and Time karya Heidegger (pertama kali diterbitkan pada tahun
1927) dalam kaitannya dengan 'struktur depan' pemahaman, yaitu dalam
istilah struktur antisipatif yang memungkinkan apa yang ditafsirkan atau
dipahami untuk dipahami secara awal. Fakta bahwa pemahaman beroperasi

30
Josef Bleicher. Contemporary Hermeneutics. (London, Boston and Henley: Routledge &
Kegan Paul. 1980). p.14

21
melalui struktur antisipatif seperti itu berarti bahwa pemahaman selalu
melibatkan apa yang disebut Gadamer sebagai 'antisipasi kelengkapan'
pemahaman selalu melibatkan anggapan yang dapat direvisi bahwa apa
yang harus dipahami merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, yaitu
sesuatu yang dapat dipahami, didasari sebagai satu kesatuan yang koheren
dan bermakna.
Konsepsi positif Gadamer tentang prasangka sebagai pra-penilaian
dihubungkan dengan beberapa gagasan dalam pendekatannya terhadap
hermeneutika. Prioritas hermeneutis yang diberikan Gadamer pada
prasangka juga terkait dengan penekanan Gadamer pada prioritas
pertanyaan dalam struktur pemahaman. Komitmen Gadamer terhadap
karakter pemahaman yang terkondisi secara historis, ditambah dengan
keharusan hermeneutik yang digunakan dengan situasi historis kita, berarti
bahwa ia menganggap filsafat berada dalam hubungan kritis dengan sejarah
filsafat. Pemikiran Gadamer sendiri tentunya mencerminkan komitmen
hermeneutis terhadap dialog filosofis dan keterlibatan sejarah. Dialog
dengan filsafat dan sejarahnya juga merupakan bagian besar dari karya
Gadamer yang diterbitkan.
Hermeneutika yang diangkat oleh Gadamer telah menuntunnya ke
dalam gagasan-gagasan dialogis dan kebijaksanaan praktis, untuk
menguraikan sebuah teori filosofis terhadap pemahaman teks.
Hermeneutika telah memberikan penjelasan tentang hakikat pemahaman
dalam universalitasnya (di mana hal ini mengacu pada karakter fundamental
ontologis dari situasi hermeneutika dan sifat praktik hermeneutik yang
mencakup semua) dan dalam prosesnya, untuk mengembangkan respons
terhadap pemahaman sebelumnya. Keasyikan tradisi hermeneutika dengan
masalah metode penafsiran, dalam hal ini, karya Gadamer, mewakili
pengerjaan ulang secara radikal gagasan hermeneutika yang merupakan
terobosan terhadap tradisi hermeneutika sebelumnya. Komitmen Gadamer

22
terhadap hermeneutika yang mempunyai keterlibatan filosofisnya adalah
yang paling signifikan dan berkelanjutan.31

Jean Paul Gustave Ricœur (1913 –2005), menyatakan


pentingnya kajian secara rinci pola linguistik dari teks yang merupakan
dimensi "objektif' dari kegiatan interpretasi, juga pentingnya kajian
yang teliti terhadap perspektif dari penafsir sendiri yang merupakan
dimensi "subjektif' interpretasi. Kedua dimensi tersebut sama-sama
penting dalam setiap interpretasi. Namun, ada perbedaan di antara
keduanya. Ricoeur mau memahami makna dan referensi teks itu sendiri
dalam konteks komunikatif yang baru. Di sini Ricoeur menganggap
interpretasi teks sebagai kegiatan yang bermakna eksistensial. Dalam
proses interpretasi teks dapat membuka kemungkinan eksistensial,
dunia baru atau "cara-berada-di-dunia" yang baru.32

Ricoeur menolak pemisahan antara "pengertian" sebagai


konsep kunci ilmu-ilmu kemanusiaan dan "penjelasan" sebagai konsep
kunci ilmu-ilmu alam. Menurut Ricoeur, keduanya merupakan langkah
yang perlu dalam kegiatan interpretasi Keduanya secara dialektis
terkait. Pandangan baru mengenai hubungan keduanya memungkinkan
Ricoeur memandang sifat aktual lingusitik dari suatu teks sebagai suatu
peristiwa lingusitik. Ricoeur memanfaatkan berbagai metodologi dalam
hermeneutikanya, seperti teori-teori strukturalis dan psikoanalisis
Freudian.
Ricoeur menyetujui bahwa "Kesadaran hermeneutik tidaklah
lengkap sepanjang ia tidak memasukkan ke dalam dirinya refleksi
mengenai keterbatasan pengertian hermeneutik". Ricoeur mengikuti
pandangan Heidegger bahwa teks dapat membuka kemungkinan
eksistensial baru, dunia baru, atau "cara-berada-di-dunia" yang baru,
yang diperoleh bukan dengan memasuki secara harmonis horizon teks,

31
Hans-Georg Gadamer dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanfor
d.edu/entries/gadamer/#pagetop right diakses tgl.25-02-2024.
32
Paul Ricœur. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas: The
Texas Christian University Press. 1976). p.87

23
tetapi kemungkinan-kemungkinan baru tersebut "dibuka" dalam
tindakan interpretasi yang kritis dan kritik-diri dalam interpretasi. Di
samping itu, fase "penjelasan" Ricoeur tidak terbatas pada analisis
strukturalis atau linguistik, tetapi juga termasuk analisis aspek psikologis
Pemikiran Paul Ricoeur mencakup bidang yang sangat luas,
hermeneutika filosofis, sejarah filsafat dan agama, filsafat sejarah dan
filsafat agama, psikologi, etika, teori politik, antropologi filosofis, studi
simbol dan mitos, kritisisme alkitabiah, filsafat bahasa, dan lain-lain.
Bahasa mitos dan simbolik merupakan sumber di mana kita dapat
menggali pemahaman mengenai manusia melalui hermeneutika bahasa
yang khusus, yaitu bahasa mitos dan simbol. Karena simbol merupakan
bahasa yang dipadatkan semaksimal mungkin, simbolisme
mengungkapkan secara tidak langsung dimensi-dimensi eksistensi
manusiawi yang tak dapat direduksi ke dalam abstraksi konseptual.
Simbolisme merangkumkan realitas dengan cara yang tidak mungkin
dilakukan melalui pemikiran filsafat atau pemikiran ilmiah. Tak ada cara
untuk memahami pengalaman-pengalaman tertentu, seperti situasi-batas
manusia atau pengalaman kejahatan, kecuali melalui interpretasi bahasa
simbolik.33
Ricoeur juga menekankan pentingnya kritisisme pada fase
hermeneutik. Melalui metode seperti strukturalisme, kita dapat
menyelidiki teks lebih dalam. Suatu teks memiliki kehidupannya
sendiri, berbeda dari intensi pengarang. Penuangan ke dalam teks herarti
bahwa suatu karya yang terstruktur berhadapan tidak hanya dengan
pengarang, tetapi juga pembaca. Kita tak dapat menjadikan teks
mempunyai arti apa pun sebagaimana kita kehendaki. Struktur bahasa
teks bukan bahasa pribadi dan tak bisa diubah begitu saja. Dimensi
publik dan objektif ini memberikan perlindungan terhadap subjektivitas
ekstrem, dan menggarisbawahi hakikat ilmiah hermeneutik.
Konsep-konsep hermeneutika tersebut di atas dapat dibaca
lebih detil dan teknis metodologis dalam bukunya yang berjudul

33
Paul Ricœur. The Symbolism of Evil. (New York: Harper & Row. 1967). p.349

24
Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Dalam topik
“Bahasa sebagai Wacana” dibahas tentang pemahaman model
Strukturalisme, Semantik dan Semiotik, dialektika peristiwa dan makna,
makna pembicaraan dan makna ucapan, makna nalar dan refrensi. 34 Dalam
topik “Percakapan dan Penulisan” dalam rangka proses memahami teks,
dibahas tentang pola-pola percakapan menjadi tulisan yaitu pesan dan
medium, pesan pembicara, pesan dan pendengar, pesan dan kode, pesan dan
refrensi. Desakan untuk menulis, lawan dari penulisan serta penulisan dan
ikonisasi.35
Dalam topik “Metafora dan Simbol” dibahas tentang teori
metafora, momen simantik dari simbol, momen non-simantik dan simbol.36
Pada topik “Penjelasan dan Pemahaman“ dibahasa tentang Tak sekedar
hermeneutika romantik, dari tebakan sampai ke keabsahan, dari penjelasan
sampai ke pemahaman yang lengkap.37
Hermeneutika sangat konsen dengan aturan seni penafsiran dan
pemahaman, ia merupakan aliran teks dalam filologi, teologi, dan kritik
sastra. Istilah hermeneutika digunakan dalam kajian makna tentang studi
dan interpretasi teks agama dan sekuler. Filsafat adalah prinsip ideal yang
melaluinya, ada juga fakta sosial (dan mungkin fakta alam) simbol atau teks,
yang pada gilirannya harus ditafsirkan daripada mendeskripsikannya.
Adapun pengertian hermeneutika dalam teologi Kristen adalah seni
menafsirkan dan menerjemahkan Kitab Suci. Definisi dan konteks
hermeneutika berbeda-beda antara satu ilmu dengan ilmu lainnya, namun
sebagai seni interpretasi di disiplin ilmu apapun tetap ada38.

B. Teori Dialektika

34
Paul Ricœur. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas:
The Texas Christian University Press. 1976). p.1-21
35
Paul Ricœur. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas: The
Texas Christian University Press. 1976). p.25 – 44.
36
Paul Ricœur. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas: The
Texas Christian University Press. 1976). P.45-70
37
Paul Ricœur. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas: The
Texas Christian University Press. 1976). P.71-88
38
Ahmad Salah Al-Quzuaini. Al-Hermeneutiqa. (2018).p.7

25
Ekspositor teori dialektika yang dikenal dengan teori triadnya yaitu
thesis-antithesis-synthesis memang Hegel, dengan nama lengkapnya Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831 M). Namun setelah ditelusuri benih
teori tersebut sudah disemai oleh filusuf Yunai yang bernama Heraclitus (540
- 480 SM), yang menekankan kesatuan yang berlawanan dalam dunia
perubahan.39 Namun karena eksegesis dialektikanya sangat karakterisitk
dengan formulasi triadnya yaitu tesis, antitesis, dan sintesis (Thesa,
Antithesa, Synthesa), maka ketika berbicara tentang dialektika tidak akan
lepas dari penyematan nama Hegel.
Landasan konsep dialektika Hegel adalah suatu perwujudan baru
merupakan suatu synthesa, yang terbentuk dari proses wujud yang ada
sebagai suatu thesa ditentang oleh suatu kebutuhan wujud baru atau
antithesa. Proses dialektika akan mengkompromikan dengan mengambil
unsur-unsur yang bisa direkonsoliasikan dengan tuntutan perwujudan baru
dan menjinakan aspek-aspek ekstrim yang dapat merusak dan meniadakan
perwujudan baru dari tuntutan perwujudan baru atau perubahan yang
dituntut. Dengan demikian kontradiksi dan pertentangan dalam perwujudan
yang baru tidak akan ada lagi. Bentuk perubahan tidak menolak anasir-anasir
(tatanan hukum, social, ekonomi, budaya, politik) wujud yang telah ada
(Thesa), tapi direkonsiliasikan, dieliminasikan dan disesuaikan. Sedangkan
kontradiksi-kontradiksi (antithesa) dijinakkan dan diakomodir sehingga
tesis dan antithesis memperoleh makna keseluruhannya dari sintesis
sehingga kontradiksi tidak ada lagi. Sehingga sintesis merupakan wujud
perdamaian dan penyatuan antara tesis dan antithesis, atau sintesis adalah
wujud baru dari tesis dan antithesis atau disebut aufheben (membatalkan dan
melestarikan).40
Sistem pemerintahan diktator (tesa) akan memunculkan perlawanan
dari kaum yang menginginkan kebebasan (antitesa). Namun apabila
kebebasan itu tidak disertai dengan peraturan yang membatasi kebebasan

39
Pillai, N. Vijayamohanan. You Cannot Swim Twice in the Same River: The Genesis of
Dialectical Materialism. (Trivandrum, India: Centre for Development Studies. 2013). p. 2)
40
McTaggart, John and Ellis McTaggart. Studies in the Hegelian Dialectic.( Ontario, Canada:
Cambridge University Press. Second Edition: 1922). p. 15.

26
yang akan melanggar, mengganggu, dan merampas kebebasan orang lain
maka kebebasan itu tidak lebih baik dari diktatorian, maka ditemukan formula
“demokrasi konstitusional” sebagai sintesa.
Konsep logika yang banyak dikutip oleh para pengkaji dialektika
Hegel adalah bahwa “Ada” adalah suatu yang tidak terdefinisi yang
dimaksudkan sebagai kehadiran, sedangkan “Tiada” adalah suatu yang tidak
terdefinisi, yang dimaksudkan untuk ketidakhadiran. Konsep logika ketiga
yang digunakan untuk menggambarkan momen spekulatif menyatukan dua
momen pertama dengan menangkap akibat positif dari pertentangan antara
dua momen “ada” dan “tiada” adalah “Menjadi”. Konsep “Menjadi” adalah
pemikiran yang isinya tidak terdefinisi, diambil sebagai kehadiran (Being) dan
kemudian dianggap sebagai ketidakhadiran (Nothing), atau dianggap sebagai
ketidakhadiran (Nothing) dan kemudian dianggap sebagai kehadiran (Being).
“Menjadi” berarti berpindah dari “Ada” ke “Ketiadaan” atau dari
“Ketiadaan” ke “Ada”. “Menjadi” adalah sintesa dari “Ada” (tesa) dan
“Tiada” (antitesa). 41
Pada perkembangan berikutnya teori dialektika berkembang
menjadi beberapa aliran, diantaranya ada dialektika idealis dan dialektika
materialis .42. Dialektika Idealis dipelopori oleh Georg Wilhelm Friedrich
Hegel, Dialektika Materialis dipelopori oleh Karl Heinrich Marx (1818 –
1883) seorang filsuf, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan sosialis
revolusioner asal Jerman dan Friedrich Engels (1820 – 1895) keduanya
adalah pencetus Manifesto Partai Komunis (1848).

Terlepas dari perdebatan panjang antara Dialektika Idealis dan


Dialektika Materialis, pada dasarnya dialektika perubahan tidak hanya terjadi
pada struktur poliltik, tatanan sosial, budaya dan perjalanan sejarah suatu
bangsa atau negara. Dialektika juga bisa terjadi pada prilaku dan sikap

41
Michael Forster. “Hegel’s Dialectical Method”, in The Cambridge Companion to Hegel,
Frederick C. Beiser (ed.), (Cambridge: Cambridge University Press. 1993). pp. 130–170 (131).
Fritzman, J.M., Hegel, Cambridge: Polity Press. 2014. pp. 3–5. dan Harris, Errol E., An Interpretation
of the Logic of Hegel, (Lanham, MD: University Press of America. 1983). p. 93
42
Maurice Cornforth. Materialsm and The Dialectical Method. (New York: International
Publisher.1978). pp. 17 – 28. dan Hafli, Qadri Mahmud Al-Ustadz ad-Duktur. Al-Madiyah Dialiktikiyah
wa Al-Madiyah at-Tarihiyah. (Damsiq at-Thab’ah wa Nasr, 2007). p. 19.

27
individu atau kelompok organisasi atau perusahaan, maupun pada pola pikir
dan cara pandang sesorang.

C. Teori Semiotik
Menurut Daniel Chandler dalam bukunya The Basic Semiotics dalam
pengantarnya dikatakan bahwa cabang semiotic ada human semiotic,
zoosemiotics, biosemiotic, dan mathematical atau computer semiotics.
Dalam pembahasan teori semiotik di sini difokuskan pada human semiotic.
Bahkan walaupun masih dalam lingkup human semiotic sub cabang seperti
semiotika musikal, semiotika arsitektur43 dan semiotika iklan di sini tidak
akan disinggung.
Menurut Ferdinand de Saussure (1857- 1913) “semiologi” adalah
“suatu ilmu yang mempelajari peran tanda-tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial”, bagi filsuf Charles Sanders Pierce (1839-1914) bidang
studi yang disebutnya “semiotik” adalah “formal doktrin tanda”, yang
berkaitan erat dengan logika.44
Bertolak dari perbedaan penggunaan istilah dan terminologi
“semiologi” dan “semiotik” di sini akan lebih banyak menggunakan istilah
“semiotik”, dalam pengertian yang relative sama dengan maksud dari istilah
“semiologi” maupun istilah “semiotika”.
Semiotik sebagai bidang ilmu yang mempelajari peran tanda-tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial yang memiliki interelasi logis, tidak
terlepas dari konsep dasar semiotik yang meliputi: Sign, Signified, Signifier.
(Tanda, Petanda, Penanda).
Tanda (sign), mencakup aspek material berupa suara, huruf, gambar,
gerak, dan bentuk.

43
Daniel Chandler. The Basic Semiotics. Second Edititon. (London & New York:
Roudledge.2007). p. xiv
44
Ferdinand de Saussoure. Course in General Linguistics. Translated by Wade Baskin. New
(York: Columbia University Press. 2011). p. 3

28
Penanda (signifier), mencakup aspek material bahasa, yakni apa
yang dikatakan atau didengarkan; dan apa yang ditulis atau dibaca, apa yang
digambar, digerakan, dan dibentuk atau dilihat.
Petanda (signified), mencakup aspek mental bahasa, yakni gambaran
mental, pikiran, psikologis, dan konsep (makna, maksud). 45
Bila dilihat dari sudut relasi antara penanda dan petandanya,
menurut Peirce, tanda dapat dibedakan menjadi Icon, Index, dan Symbol:46
Ikon (icon), ia merupakan sebuah tanda yang mengacu pada objek
yang dilambangkannya dan semata-mata mengacu pada karakternya sendiri,47
atau sebuah tanda yang penanda dan petandanya memiliki hubungan
alamiah. Icon rumah merupakan tanda dengan penanda yaitu gambar
rumah sebagai petanda bahwa ada atau menuju rumah yang sebenarnya
secara alami. Icon pensil merupakan tanda dengan penanda yaitu gambar
pensil, sebagai petanda pensil (yang dimaksud adalah memang pensil yang
sebenarnya (alami), icon masjid tanda dengan gambar penanda yaitu masjid
itu merupakan petanda bahwa di situ ada sebuah masjid.
Indeks (Index), sebagai sebuah tanda yang menunjuk pada obyek
yang ditunjuknya karena benar-benar terpengaruh oleh sifat-sifat dari obyek
itu,48 atau adanya hubungan alami sebab akibat antara penanda dan petanda.
Misalnya penanda “asap” sebagai petanda adanya “api”, karena api yang
menimbulkan asap, atau keberadaan asap karena disebabkan oleh adanya api.
Ditemui tanda dengan penanda mendung, itu berarti petanda bahwa hari
akan hujan.
Simbol (Symbol) adalah penanda (signifier) yang tidak sepenuhnya
arbitrer (sewenang-wenang, semaunya) walaupun tidak memiliki hubungan
alami dangan petanda (signified), hubungan antara penanda dan petanda
ditentukan oleh komunitas penggunanya (sebagai suatu konvensi) dan setiap
individu tidak akan mampu mengubah suatu simbol semaunya tanpa

45
Ibid. pp. 65-79.
46
Thomas A. Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics. Second Edition. (Toronto:
Universitiy of Toronto Press. 2001). p. 33.
47
Umberto Eco. Semiotics and the philosophy of language. (Bloomington: Indiana
University Press.1986). p. 138
48
Ibid

29
disepakati oleh komunitas penggunanya.49 Misalnya simbol keadilan adalah
gambar timbangan dengan berat seimbang, itu tidak bisa seenaknya diganti
dengan gambar yang lain untuk menggambarkan keadilan, karena gambar
timbangan sudah menjadi simbol yang sudah menjadi kesepakatan bersama
masyarakat walaupun tidak tertulis (konvensi). Seorang sukarelawan yang
mengenakan emblem bendera merah putih di rompinya orang lain akan
memahaminya bahwa dia berasal dari Indonesia, hal ini karena emblem
bendera merah-putih sudah menjadi simbol dari Negara Indonesia.
Sebeok menambahkan jenis tanda dengan signal dan Symptom.
Signal (isyarat) dalah suatu tanda yang bersifat mekanis (alamiah) atau
konvensi, ini (secara artifisial) memicu beberapa reaksi di pihak penerima.
Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa 'sinyal mungkin' disediakan secara
alami, namun bisa juga diproduksi secara artifisial. Perhatikan bahwa
penerima dapat berupa mesin atau organisme, bahkan mungkin merupakan
personifikasi supranatural.50 Misalnya telegram merupakan sinyal/isyarat
artifisial yaitu isyarat yang dibuat dan sepakati oleh manusia. Bunyi burung
hantu di malam hari terus-menerus di atas rumah sesorang berarti salah
seorang penghuni rumah itu aka nada yang meninggal (isyarat supranatural).
Udara terasa panas, gerah, dan pengab itu sebagai isyarat akan datangnya
hujan, ini merupakan isyarat yang bersifat mekanis atau alami.
Symptom (gejala) adalah tanda yang kompulsif, otomatis, dan tidak
arbitrer (sewenang-wenang) bahwa penanda keterhubungannya dengan
petanda dengan cara tautan alami.51 Misalnya sesorang suhu badannya panas
menunjukan orang tersebut sakit, tapi sakitnya apa belum bisa dipastikan
(undetermined), karena hampir semua orang yang sakit ditandai dengan gejala
panas.
Secara sederhana antara tanda, penanda, dan petanda serta proses
memahaminya dapat digambarkan seperti pada tabel berikut:

TANDA PENANDA PETANDA PROSES

49
Ferdinand de Saussoure. Op. Cit. pp. 68 - 69
50
Thomas A. Sebeok. Op. Cit. p. 44.
51
Thomas A. Sebeok. Op. Cit.. p. 47.

30
Kesamaan dengan
Sesuai dengan gambar atau bentuk yang Bisa langsung
objeknya berupa
ICON ditunjukkan (ada gambar masjid berarti dilihat dan
gambar atau bentuk
ada masjid) dimengerti
(artifisial).
Tanda natural atau Sesuai dengan tanda alami atau Dapat
artifisial yang perbuatan mahluk sebagai sebab atau diperkirakan
INDEX
menunjukkan sebab akibat (ada petir dan mendung berarti berdasarkan sebab
atau akibat mau hujan, ada asap berarti ada api) atau akibatnya
Sesuai kesepakatan (konvensi), simbol Harus dipelajari
Tanda sesuai keadilan disepakati dengan gambar terlebih dulu
SYMBOL kesepakatan atau timbangan dengan posisi seimbang, untuk bisa
konvensi (artifisial) mengibarkan bendera putih berarti mengerti masing-
berdamai. masing simbol.
Harus dipelajari
Tanda sebagai isyarat Sesuai dengan kesepakatan bagi isyarat
terlebih dahulu
yang bersifat natural yang bersifat artifisial, sesuai dengan
SIGNAL untuk bisa
atau artifisial dan kebiasaan atau mekanisme alam bagi
mengerti dan
mekanistik isyarat yang bersifat natural.
memahaminya.
Sesuai dengan gejala yang bersifat
Tanda berupa gejala karakteristik dan konstan serta alami. Bisa diprediksi
SYMPTOM
yang bersifat natural. Suhu badan seseoarang panas berarti isa dan dipelajari.
sakit.

Melalui pendekatan Semiotik diharapkan mampu mengungkap makna


yang sebenarnya (objektif) atau yang sesuai (subjektif) dari objek dan konteks
pemaknaan tanda (icon, index, symbol, signal, symptom) untuk bisa dipahami dan
direspon dengan tepat sesuai tujuan dan konteksnya.

V. PEMBAHASAN

Dalam pembahasanya akan tetap dalam perspektif epistemologi dengan


sistematika sebagai berikut: pertama, akan dikemukakan topic-topik kajian fiqih
yang menggunakan manhaj ajnabi, kedua, akan dikemukakan argumentasi-
argumentasi dari kalangan yang setuju, menerima dan menggunakan pendekatan
ajnabi. Ketiga, akan dikemukakan argumentasi-argumentasi dari kalangan yang
tidak setuju, menolak dan menentang penggunaan pendekatan ajnabi. Keempat,
akan dilakukan analisis kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pendekatan
ajnabi dibanding pendekatan yang berkembang dari tradisi kalangan Islam sendiri.
Kelima, akan dipaparkan apa manfaat dan mafsadatnya dari penggunaan
pendekatan ajnabi.

E. Topik Kajian Fiqih yang Menggunakan Manhaj Ajnabi


Kajian ke-Islam-an khususnya ijtihad Fiqih kontemporer dengan
menggunakan manhaj ajnabi khususnya Hermeneutika, Dialektika, dan

31
Semiotik sangat popular, digemari dan banyak dipraktekan di kalangan
akademisi perguruan tinggi agama Islam (PTAI) di seluruh Indonesia. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyak dan meratanya kajian-kajian Fiqih yang
menggunakan pendekatan Hermeneutika, Dialektika, dan Semiotik di hampir
semua jurnal dari PTAI Fakultas keagamaan di seluruh Indonesia dari yang
berstatus Universitas, Institut, maupun Sekolah Tinggi. Bahkan tidak sedikit
yang berupa buku, Disertasi, Tesis, dan Skripsi.
Berikut akan dicoba untuk dipaparkan sampling kajian-kajian di bidang
Fiqih yang menggunakan pendekatan Hermeneutika, Dialektika, dan Semiotik
secara acak baik asal perguruan tingginya, wilayahnya, dan topic objek
kajiannya..
- Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, oleh Arip Purkon,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di muat dalam
Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013.

- Pendekatan Hermeneutika Dalam Studi Hukum Islam, oleh Pathurrahman


guru SMP Islam Ibadurrahman Maskur, dimuat dalam Jurnal Mu’amalat:
Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah.

- Studi Islam Pendekatan Hermeneutik oleh Elok Noor Farida dan Kusrini
LPGG Kudus: Jawa Tengah, Indonesia, dimuat di Jurnal Penelitian, Vol. 7,
No. 2, Agustus 2013.

- Aplikasi Hermeneutika dalam Fiqih Perempuan oleh Iman Fadhilah dari


Universitas Wahid Hasyim Semarang dimuat di Jurnal IQTIŞĂD – Volume 3
Nomor 1, Oktober 2016.

- Hermeneutika dan Teks Ushul Fiqih, oleh Amhar Rasyid, Dosen Ilmu Fiqh
Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, dimuat di Jurnal Al-
Risalah JISH Vol. 13, No. 1, Juni 2013.

- Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-Fadl: Membongkar Otoriter


Membangun Fiqih Otoritatif, oleh Ahmad Zayyadi, Middle Eastern Studies,
Center for Religion and Cross Cultural Studies Universitas Gajah Mada
Yogyakarta,

- Zakat Komoditas Pertanian dalam Perpektif Hermeneutikan Etik, oleh Arif


Al Wasim Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo,
dimuat di Jurnal Syariati, Vol. III No. 02, November 2017.

- Kajian Hermeneutika Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Hikmah Al-Tasyri’


Hukum Wali Pernikahan dalam Kitab Al-Umm, oleh Siti Aisyah, Dosen STIS

32
Miftahul Ulum Lumajang, dimuat di Jurnal Asy-Syari’ah, Volume II, Nomer
II, Juni 2016.

- Pemikiran Hermenautika Khalid M. Abou El Fadl: dari Fikih Otoriter ke


Fikih Otoritatif, oleh M. Taufiq STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan
Riau, Bintan, Indonesia dan Muhammad Ilham STAIN Sultan Abdurrahman
Kepulauan Riau, Bintan, Indonesi, dimuat di Jurnal Taqnin : Jurnal Syariah
dan Hukum Vol. 03, No. 01, Januari-Juni 2021.

- Dialog Antara Teks, Pengarang dan Pembaca (Kajian Terhadap Relevansi


Hermeneutika Gadamer Dalam Studi Hukum Islam), oleh Said Subhan
Posangi, IAIN Sultan Amai Gorontalo, dimuat di Jurnal Al-Himayah Volume
4 Nomor 1 Oktober 2020.

- Dialog Teori Konflik Dialektika Fungsional: Meneropong Dinamika Sidang


Itsbat di Indonesia, oleh Nihayatur Rohmah, dari Institut Agama Islam
Ngawi, di muat di Annual Confrence Muslim Scholars, 21 - 22 APRIL 2018.

- Paradigma baru Fiqih Perdagangan Bebas: Dialektika Ulum al-Din dan


Hukum Negara oleh Akmal Bashori Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ
Wonosobo Jawa Tengah, dimuat di Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan, Volume 18, No. 1, Juni 2018: 81-98.

- Nalar Dialektika Hegel dalam Transformasi Fikih Qaul Qadim-Jadid Imam


Syafi’I, oleh Muhammad Aly Mahmudi dari Institut Agama Islam Tarbiyatut
Tholabah, Lamongan, Indonesia dan Lalu Fitriyadi Bajuri dari Institut Agama
Islam Qomarul Huda Mataram, Indonesia, dimuat di Madinah : Jurnal Studi
Islam Volume 100, Nomor 2, Desember 2023.

- Pembelajaran Fiqih Kontekstual Pesantren di Kota Bekasi (Analisis


Dialektika Teks dan Konteks), oleh Muhamad Ibrohim PAI, STIT Al
Marhalah Al Ulya Bekasi dan Nabil PAI, STIT Al Marhalah Al Ulya Bekas,
Al Marhalah, dimuat di Almarhalah Jurnal Pendidikan Islam, Volume. 5, No.
1 Mei.

- Membangun Fikih Berorientasi Sosial: Dialektika Fikih dengan Realitas


Empirik Masyarakat, oleh Zubaedi dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Bengkulu, dimuat di Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 2, 2006 M/1427 H.

- Analisis Semiotika Roland Barthes pada Prosesi Pernikahan Adat Sunda


“Sawer Penganten” oleh Aida Nuraida, Tantan Hermansyah dan Nasichah
dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimuat di Jurnal Bimas Islam Vol 16
No. 1.

- Pesan Dakwah dalam Kemasan Kartun (Analisis Semiotik Model Charles


Sanders Peirce Pada Halaman Instagram @ustadzabdulsomad_official) oleh
Putri Nurbadri Sukanda Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Institut

33
Nahdlatul Ulama Tasikmalaya, dimuat di Jurnal Annhadhiyah Vol.2, No.1,
tahun: 2023 hal. 12 – 37.

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa penyebaran, pemahaman, dan


penggunaan manhaj ajnabi dalam kajian Fiqih sudah sangat masif dan merata
bukan saja di perguruan tinggi agama Islam tua dan besar serta di kota-kota
besar, tapi juga sudah merambah perguruan tinggi agama Islam yang masih
muda, di pelosok dan pinggiran, seperti PTAI dari Kudus, Jambi, Wonosobo,
Lumajang, Tasikmalaya, Ngawi, Kepulauan Riau-Bintan, Gorontalo, Mataram,
Bekasi, dan Bengkulu. Jadi hal yang wajar bila PTAI senior, besar, dan berada
di kota-kota besar seperti dari Makasar, Aceh, Lampung, Banjarmasin,
Semarang, Yogyakarta, Malang, Bandung, Surabaya dan Jakarta sudah sangat
familier dengan manhaj ajnabi tersebut.

F. Pengusung Manhaj Ajnabi


Terkait dengan asal-usul penyebaran, penerimaan, dan penggunaan
manhaj ajnabi ke dunia Islam dapat dilihat dan ditelursuri dari pemaparan
karya-karya dan argumen pemikiran para pendukung manhaj ajnabi, bahwa
sebagian besar gagasan penerapan hermeneutika, dialektika, dan semiotik
dalam studi al-Qur’an, Hadits, dan Fiqih, mendapat pengaruh, atau setidaknya
inspirasi dari para pemikir Muslim kontemporer yang terlebih dahulu
mengaplikasikan hermeneutika, dialektika, dan semiotik dalam kajian mereka,
seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan
Khaled Abou el Fadl. Berikut untuk mengetahui kualifikasi dan reputasi tokoh-
tokoh tersebut masing-masing secara ringkas akan didiskripsikan sebagai
berikut:
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo. Sejak tahun 1952 sampai dengan
1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Pada
tahun 1956 sampai 1966 Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas
Sorborne, Perancis. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk
mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh
negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah

34
ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun
bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang
reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan
sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran
dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari
Profesor Masnion.
Sejak pulang dari Perancis tahun 1966, semangat Hanafi semakin
tinggi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan
pemikiran Islam. Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas
Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu
di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975
ia mengajar di Universitas Temple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke
Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap
aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap
meneruskan aktivitasnya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya,
aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak
menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi. Setelah kembali dari
Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la kemudian
memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Melalui tulisan-tulisannya
yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981 yang kemudian tersusun
menjadi buku Al-Din wa AI- Tsaura Hanafi mencoba memberikan pencerahan
dan mendobrak paradigma berfikir dan gerakan pemikiran Islam kontemporer.
Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di
Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang
berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-
1984.6 Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia,
Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan
sebagainya antara tahun 1980-1987. 52

52
https://en.wikipedia.org/wiki/Hassan_Hanafi (diakses tgl. 16 Maret 2024), https://
tirto.id/jihad-besar-hassan-hanafi-imam-syafii-dari-abad-ke-20-flvk (diakses tgl. 16 Maret 2024),
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta/ sejarah-
pendidikan-islam/hassan-hanafi/37563469 (diakses tgl. 16 Maret 2024). https://books.google.co.id/
books?id=xDdTEAAAQBAJ&pg=PA140&lpg=PA140&dq=Hassan+Hanafi&source=bl&ots=5p_RC8rYnA&

35
Fazlur Rahman Malik (12 September 1919 – 26 Juli 1988), lahir
di Distrik Hazara, Pakistan, ayahnya bernama Maulana Shihab al-Din, adalah
seorang ulama terkenal pada masa itu yang pernah belajar di Deoband dan
mencapai pangkat alim, melalui studinya tentang hukum Islam, narasi
kenabian, tafsir Al-Qur'an, logika, filsafat dan mata pelajaran lainnya.
Meskipun Fazlur Rahman mungkin tidak pernah bersekolah di Darul Ulum
(pusat ilmu pengetahuan Islam tradisional), ayahnya mengenalkannya dengan
ilmu-ilmu Islam tradisional, dan dia akhirnya menghafal seluruh Al-Qur'an
pada usia sepuluh tahun.
Fazlur-Rahman belajar bahasa Arab di Universitas Punjab, dan
melanjutkan ke Universitas Oxford, di mana dia menulis disertasi tentang Ibnu
Sina. Setelah itu, ia memulai karir mengajar, pertama di Universitas Durham,
tempat ia mengajar filsafat Persia dan Islam, dan kemudian di Universitas
McGill, tempat ia mengajar studi Islam hingga tahun 1961. Fazlur Rahman,
adalah seorang sarjana modernis, reformis dan filsuf Islam liberal terkemuka,
yang mengabdikan dirinya pada reformasi pendidikan dan kebangkitan
penalaran independen (ijtihad). Karya-karyanya mendapat perhatian dan kritik
luas di negara-negara mayoritas Muslim. Ia diprotes oleh lebih dari seribu
ulama, faqih, mufti, dan guru di negaranya sendiri dan diusir.
Pada tahun 1963 ia kembali ke Pakistan diangkat menjadi kepala
Institut Pusat Penelitian Islam Pakistan, namun kemudian ia meninggalkan
Pakistan lagi pada tahun 1968 menuju Amerika Serikat di mana dia mengajar
di Universitas California, Los Angeles dan Universitas Chicago di UCLA
sebagai profesor tamu selama satu tahun. Dia pindah ke Universitas Chicago
pada tahun 1969 dan menempatkan dirinya di sana menjadi Profesor Pemikiran
Islam Harold H. Swift Distinguished Service. Di Chicago dia berperan penting
dalam membangun program Studi Timur Dekat yang kuat dan terus menjadi
yang terbaik di dunia. Fazlur-Rahman juga menjadi pendukung reformasi
pemerintahan Islam dan menjadi penasihat Departemen Luar Negeri. Fazlur-

sig=ACfU3U2v3Juc_gBqQju_fYuMLSFAJt406w&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjr7Nu8pvyEAxU6zTgGHRh
pB8w4MhDoAXoECAIQAw#v=onepage&q=Hassan%20Hanafi&f=false (diakses tgl. 16-03-2024)

36
Rahman meninggal di Chicago, Illinois 26 Juli 1988 di Pusat Medis
Universitas Chicago akibat komplikasi operasi bypass koroner. Seorang
penduduk pinggiran kota Naperville, Illinois, pada saat kematiannya, dia
dimakamkan di Pemakaman Arlington, Elmhurst, Illinois.
Sejak wafatnya Fazlur-Rahman, tulisannya terus populer di
kalangan cendekiawan Islam dan Timur Dekat di banyak negara (termasuk
Pakistan, Malaysia, Indonesia, Turki, dan kawasan Arab). Kontribusinya
kepada Universitas Chicago masih terlihat jelas dalam program-program
unggulannya di bidang ini. Dalam ingatannya, Pusat Studi Timur Tengah di
Universitas Chicago menamai area umum tersebut dengan namanya, karena
pengabdiannya selama bertahun-tahun di pusat tersebut dan di Universitas
Chicago pada umumnya. Dia adalah seorang poliglot yang, selain menguasai
bahasa Urdu, ia juga menguasai bahasa Persia, Arab, dan Inggris sejak awal
hidupnya, pada akhirnya juga mempelajari bahasa Yunani klasik, Latin,
Jerman, dan Prancis untuk dapat menguasai bahasa Yunani, Latin, Jerman, dan
Prancis klasik.53
Muhammad Arkoun (2 Januari 1928 - 14 September 2010) lahir
di Desa Berber, Aljazair. Profesor Kajian Islam di Lyon (1969-1972), Profesor
di New Sorbonne Paris (hingga pensiun, 1992), Profesor Tamu di Institute of
Ismaili Studies (IIS) & Aga Khan University (AKU) London. Ia adalah
seorang filsuf Islam Modern. Pemikirannya mempengaruhi
reformasi Islam saat ini. Selama 30 tahun kariernya ia mengkritik ketegangan
antar agama dan antara bangsa yang ia temukan, selama studi ia
mengutamakan Islam yang modern dan humanis.

Muhammad Arkoun juga merupakan seorang intelektual yang


pertama kali mengarahkan pemikirannya pada pembaca di Barat dan juga
orang-orang yang hidup di dalam wilayah mayoritas Islam. Kebanyakan
tulisannya adalah berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya. Ia telah menulis 100 buku dan artikel-

53
https://en.wikipedia.org/wiki/Fazlur_Rahman_Malik. (diakses tgl. 17-03-2024),
https://tirto.id/fazlur-rahman-ijtihad-sang-pemikir-modernis-pakistan-dari-chicago-eRVj. (diakses tgl:
17-03-2024), https://www.academia.edu/5004879/BIOGRAFI_DAN_PEMIKIRAN_FAZLUR_RAHMAN.
(diakses tgl: 17-03-2024).

37
artikel. Selain itu ia juga pernah memberikan kuliah di berbagai
negara. Arkoun bersikap skeptis terhadap formulasi tradisional yang terwujud
dalam doktrin-doktrin, institusi, dan juga praktik keislaman di sepanjang
sejarah. Ia percaya bahwa penguasa-penguasa Islam yang takut terhadap
timbulnya kekacauan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dihasilkan.
Menurutnya, Islam harus membebaskan dirinya dari penindasan keterpaksaan
dari Islam "ortodoks" dan bekerjasama dengan penganut agama lain untuk
menciptakan dunia yang berakar pada kedamaian.54

Nasr Hamid Abu Zayd, (lahir pada tanggal 10 Juli 1943 dan wafat
pada tanggal 5 Juli 2010) Zayd lahir di Quhafa, sebuah desa kecil sekitar 120
km dari Kairo, dekat Tanta, Mesir. Abu Zayd menjalani sistem sekolah agama
tradisional dan merupakan Qāriʾ yang bisa membaca Al-Qur'an dengan aturan
bacaan yang tepat, dan seorang Hafiz yang telah menghafal Quran sepenuhnya
sejak usia muda. Ia merupakan seorang akademisi Qur'an asal Mesir dan juga
bagian dari salah satu teolog liberal terkemuka dalam Islam. Ia mempunyai
proyek yang cukup terkenal terkait hermeneutika Al-Qur'an humanistik,
proyek tersebut menentang beberapa topik terkait Al-Qur'an yang
menyebabkan perdebatan panjang, menurutnya Al-Quran merupakan "produk
budaya". Abu Zayd juga mengkritik terkait penggunaan Al-Qur'an sebagai
kepentingan politik.

Pada usia 12 tahun, Abu Zayd dipenjara karena diduga bersimpati


dengan Ikhwanul Muslimin. Ia juga dipengaruhi oleh tulisan-tulisan tokoh
Islam revolusioner Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb, yang dieksekusi oleh
negara Mesir pada tahun 1966, namun menjauh dari gagasan Ikhwan dan Qutb
seiring bertambahnya usia. Setelah menerima pelatihan teknis, dia bekerja
untuk Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo. Pada waktu bersamaan, dia
mulai belajar di Universitas Kairo, di mana dia memperoleh gelar BA di Studi

54
Ensyclopedia of Islam TREE: https://referenceworks.brillonline.com/search?
s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopae dia-of-islam-3&search-go=&s.q=Muhammad+Arkoun (diakses
tgl: 17-03-2024). Wikipedia: https://id.wikipedia. org/wiki/Muhammad_Arkoun, (diakses tgl: 17-03-
2024)

38
Arab (1972), dan kemudian gelar MA (1977) dan PhD (1981) di Islamic
Studies, dengan karya-karya tentang penafsiran Qur'an.55
Khaled Abou el Fadl, Nama lengkap dari Khaled Abou el-Fadhl
adalah Khaled Medhiat Abou el-Fadhl. Khaled Abou el Fadl lahir di Kuwait
pada tanggal 23 Oktober 1963. Namun kedua orang tuanya berasal dari
Mesir. Nama ayahnya adalah Abou el Fadl dan nama ibunya adalah Afaf el-
Nimr. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pengacara. Orang tua dari Khaled
Abou el Fadl merupakan muslim yang memiliki pemikiran yang terbuka.
Khaled Abou el Fadl menyelesaikan pendidikan dasar dan
pendidikan menengah di Kuwait. Ayahnya juga memberikannya pengajaran
mengenai permasalahan hukum khususnya hukum Islam. Khaled Abou el Fadl
juga belajar menghafal Al-Qur'an mengikuti tradisi hafalan bangsa Arab. Ia
telah menghafal Al-Qur'an sejak usia 12 tahun. Khaled Abou el Fadl juga
mengikuti kelas-kelas ilmu Al-Qur'an dan ilmu syariat Islam di Masjid Al-
Azhar Kairo. Kelas yang paling sering diikutinya adalah kelas yang diajarkan
oleh Muhammad al-Ghazâlî.[5] Khaled Abou el Fadl melanjutkan pendidikan
tinggi di Mesir.
Khaled Abou El Fadl bekerja sebagai profesor di bidang hukum
Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat.[4] Pekerjaan Khaled Abou el-
Fadl selalu dikaitkan dengan tradisi Islam klasik. Ia memiliki koleksi kitab-
kitab klasik yang disimpannya pada perpustakaan pribadi yang ada di rumah
maupun di kantor tempatnya bekerja. Khaled Abou el
Fadl adalah cendekiawan hukum Islam asal Kuwait keturunan Mesir. Ia
bekerja sebagai profesor di UCLA School of Law, Amerika Serikat. Khaled
dikenal sebagai salah satu tokoh Islam moderat yang menggunakan nilai-nilai
moral dan kemanusiaan untuk membela hak-hak perempuan.
Khaled Abou el-Fadl dikenal sebagai cendekiawan dalam bidang
hukum Islam yang sering mengemukakan pandangannya ke publik. Ia banyak
menulis tulisan ilmiah dalam bidang agama menggunakan pendekatan nilai-

55
Ensyclopedia of Islam TREE: https://referenceworks.brillonline.com/search?
s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-islam-3&search-go=&s.q=Nasr+Hamid+Abu+Zayd. (diak
ses tgl: 17-03-2024). Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Nasr_Hamid_Abu_Zaid (diakses tgl: 17-
03-2024)

39
nilai moral dan kemanusiaan. Khaled Abou el-Fadl juga dikenal sebagai aktivis
pembela hak-hak perempuan yang sangat menentang puritan Islam
dan Wahabisme. Khaled Abou el Fadl menyatakan bahwa moral yang dimiliki
oleh pembaca menentukan pemaknaannya atas sebuah teks suci. Suatu teks
suci dapat dimaknai dengan sikap intoleran dan penuh kebencian ketika moral
yang dimiliki oleh pemberi maknanya juga demikian.

Khaled Abou El Fadl mengartikan moderasi sebagai sesuatu yang


mirip sekaligus berbeda dengan modernis, progresif, dan reformis. Ia memilih
menggunakan istilah moderasi dalam menggambarkan perbandingan
kelompok dengan kelompok puritan. Ia menjadikan istilah moderasi sebagai
perwakilan sikap yang dipilih oleh mayoritas umat Islam pada masa modern.
Khaled Abou El Fadl tidak menggunakan istilah modernis karena menurutnya
istilah ini berarti satu kelompok yang berusaha mengatasi tantangan
permasalahan modernitas. Ia juga tidak menggunakan istilah progresif karena
berkaitan dengan isu liberalisme, reformasi dan kemajuan. Menurutnya,
progresivitas dan reformisme tidak mewakili mayoritas umat Islam dan hanya
mewakili kaum elite.Khaled Abou El Fadl memilih moderasi dengan
melandasinya dari tindakan Nabi Muhammad yang selalu memilih jalan tengah
jika memiliki dua pilihan yang sifatnya ekstrem. Ia kemudian mengartikan
moderasi sebagai tindakan yang tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Khaled Abou El Fadl mengemukakan enam tahapan dalam
pembacaan hadis-hadis misoginis. Tahapan pertama adalah mengumpulkan
hadis-hadis yang temanya sama. Tujuannya untuk mengetahui perbedaan dan
variasi matan hadis dan penambahannya. Tahapan kedua adalah menganalisis
redaksi matan pada teks. Fokus analisisnya pada struktur teks dan asosiasi
simbolis. Tahapan ketiga adalah membandingkan hadits-hadits ini dengan Al-
Qur'an dan hadis lainnya. Tahapan keempat adalah menganalisis konteks hadis
sesuai dengan kondisi kehidupan Nabi Muhammad di lingkungan masyarakat
Arab. Tahapan kelima adalah menganalisis kredibilitas dari Sahabat Nabi yang
menjadi perawi pertama di tiap hadits. Tahapan keenam adalah

40
mempertimbangkan pengaruh hadits secara teologis, moral dan sosial ketika
diterapkan.56
Dari para tokoh inilah “Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, M. Arkoun,
Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou el Fadl” penggunaan teori dan metode
ajnabi (Hermeneutika, Dialektika, Semiotika) dalam kajian, studi, penelitian
dan ijtihad di berbagai aspek keislaman merambah dan menyebar ke berbagai
negara Islam termasuk Indonesia. Hal ini bisa dilacak dari kajian pemikiran para
tokoh tersebut di berbagai jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi dari berbagai
perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia.
Di Indonesia Nurcholish Madjid dan Harun Nasution adalah diantara
tokoh yang getol memperkenalkan paradigma pemahaman baru tentang Islam
dan sebagian orang menyebutnya pembaharuan Islam atau Islam neo-modernis
dan Islam Liberal.57 Dalam setiap kajiannya kedua tokoh tersebut senantiasa
menggunakan metode dan pendekatan yang dipengaruhi dosennya di
Universitas Chicago yaitu Fazlur Rahman, diantaranya adalah hermeneutika
dan dialektika. Hal ini juga didukung oleh para koleganya seperti Djohan
Effendi, Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin
Anshari dan Imaduddin Abdul Rahim.58 Gerakan pemikiran ini kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya diantara M. Amin Abdullah (Guru Besar
UIN Suka Yogyakarta) yang sangat mengagumi pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid, dan Kiyai Sahiron Syamsuddin dari Cirebon (Pelopor Kajian
Hermeneutika Tafsir di Indonesia, Ketua Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir
(AIAT) se-Indonesia), yang juga kemudian dilanjutkan oleh kelompok yang
menamakan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didirikan pada 8 Maret 2001
dengan koordinatornya Ulil Abshar Abdalla dan anggotanya, antara lain Luthfi
Assyaukanie, Nong Darol Mahmada, Novriantoni, Burhanuddin Muhtadi, Rizal
Malaranggeng, Saeful Mujani, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Syamsu

56
Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Khaled_Abou_el_Fadl (diakses tgl: 17-03-2024)
57
M. Atho Mudzhar. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia. Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI. 30 Juni 201. https://balitbangdiklat.kemenag.go.id
/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia (diakses tgl: 17-03-2024). Samsudin dan Nina Herlina
Lubis. “Sejarah Munculnya Pemikiran Islam Liberal di Indonesia 1970 -2015” dalam Patanjala Vol.
11 No. 3 September 2019: 483 – 498.
58
Ibid.

41
Rizal Pangabean, Ahmad Sahal, Budi Munawar-Rahman, dll. Adapun
tujuannya untuk mendukung pemikiran Islam Liberal.59
Di kalangan Muhammadiyah muncul gerakan kaum Muda
Muhammadiyah menamakan diri sebagai Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah ( JIMM). Dari para anggota JIMM, hermeneutika ditawarkan
kembali sebagai salah satu tool of analysis untuk menghasilkan makna baru
(reproduction of new meaning), terutama dalam menafsirkan jargon “kembali
kepada al-Qur’an dan as-sunnah” dalam kerangka zaman yang terus berubah.
Wacana hermeneutika kemudian ditransformasikan dalam kurikulum JIMM
dan disemaikan melalui serangkaian kegiatan workshop. Menurut Ahmad Najib
Burhan, sejak awal pendiriannya, JIMM telah menggelar sejumlah workshop
atau pelatihan. Workshop yang pertama kali diselenggarakan di Bogor pada
tanggal 9-12 Oktober 2003 dengan tema “Membangun Tradisi Inteletual Baru
yang Visioner, Terbuka, dan Kritis”. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 70
anak-anak muda Muhammadiyah dari berbagai daerah. Workshop yang kedua
diselenggarakan di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 13-16 November 2003
dan diikuti oleh 50 anak-anak muda Muhammadiyah. Sedangkan workshop
yang ketiga dilaksanakan di Malang pada tanggal 20- 28 November 2003 yang
diberi tema “Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke al-Qur’an: Menaksir
Makna Zaman.” Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 129 kalangan muda
Muhammadiyah ini merupakan workshop yang terbesar. Selain melalui
workshop, wacana hermeneutika juga disosialisasikan melalui penerbitan
sejumlah buku yang memuat tulisan-tulisan para anggota JIMM. Termasuk
kategori ini adalah buku Islam Dialektis: Membendung Dogmatisme, Menuju
Liberalisme, (2005) yang ditulis oleh Pradana Boy ZTF, presidium JIMM Jawa
Timur dan dosen agama Islam di UMM. Buku ini merupakan kumpulan tulisan
gagasan penulis di sejumlah media massa. Dalam buku ini, Pradana Boy
menawarkan hermeneutika sebagai salah satu kerangka metodologi dalam
memahami dialektika antara teks wahyu dengan konteks zaman yang selalu
berubah. Selain karya di atas, pemikiran JIMM juga disosialisasikan melalui

59
Samsudin dan Nina Herlina Lubis. “Sejarah Munculnya Pemikiran Islam Liberal di
Indonesia 1970 -2015” dalam Patanjala Vol. 11 No. 3 September 2019: 483 – 498.

42
buku “Kembali ke-Al-Qur’an, Menafsir Makna Zaman: Suara-suara kaum
Muda Muhammadiyah” (2004). Buku ini merupakan kumpulan makalah para
aktivis JIMM yang dipresentasikan dalam diskusi ”Tadarus Pemikiran Islam”
yang diselenggarakan oleh JIMM bekerjasama dengan UMM, tanggal 18-20
November 2003. Dalam buku ini, hermeneutika dipromosikan sebagai ”cara
baru” dalam menafsirkan al-Quran dalam konteks zaman yang terus berubah.60

G. Penentang Penggunaan Manhaj Ajnabi


Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim
pertama yang sudah mengingatkan bahaya penggunaan hermeneutika dalam
penafsiran al-Qur’an. Jauh sebelum gelombang hermeneutika menerpa
kalangan intelektual di Indonesia, Prof al-Attas sudah menjelaskan perbedaan
antara hermeneutika dengan Ilmu Tafsir.Prof. Dr. Wan Mohd. 33
SahironSyamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan, Nor Wan Daud, dalam
bukunya, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib
al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1998), menilai bahwa tafsir benar-benar tidak identik dengan
hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan
tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.
Gagasan penolakan hermeneutika pertama kali ini disampaikannya dalam
Konferensi Internasional Islam Kedua tentang Pendidikan Islam di Islamabad.
Dalam kesempatan tersebut, al-Attas menegaskan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu
pertama yang berkembang di kalangan Muslim dan tetap memadai untuk
menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Ilmu Tafsir ini tidak identik dengan
hermeneutika Yunani atau Kristen atau metode interpretasi kitab suci dari
budaya atau agama apapun.61
Di Indonesia tokoh yang pertama kali menolak penggunaan ijtihad
dengan manhaj ajnabi (yang dianggap sekuler dan liberal) adalah Prof. Dr.
H.M. Rasjidi alumni Universitas Cairo Mesir dan Universitas Sorbone Perancis,
Guru Besar Ilmu Hukum dan Filsafat, pernah mengajar di McGill University,

60
Dr. H. Safrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag. Hermeneutika Kontroversi Kaum Intelektual
Indonesia. (Jember: IAIN Jember Press. 2019). p.55.
61
Ibid. p.44-45.

43
Montreal, mengajar Hukum Islam dan Sejarah di Institute of Islamic Studies,
mengajar di UI, UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, Menteri Agama RI, Duta Besar,
dan Mentri Luar Negeri. Khusus untuk melakukan penyanggahan akademis
terhadap gerakan sekulerisme dan leberalisme serta penggunaan manhaj ajnabi
atas kajian dan studi keislaman Prof. Rasjidi menulis buku berjudul ‘Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi” dan buku berjudul
‘Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya’.62
Kemudian muncul gerakan yang terorganisir dengan pendekatan
akademis dari para dosen, mahasiswa dan alumni International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia asal Indonesia pada tahun
2003 mendirikan INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations) untuk melakukan counter dan penetrasi akademis terhadap
gerakan pemikiran Islam Liberal yang gencar mengintrodusir pemikiran sekuler
liberal dan manhaj ajnabi. Para pendiri adan aktivis INSISTS diantaranya Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang meraih gelar doktor dari ISTAC (kini
Direktur INSISTS). Ada pula Adnin Armas (Mahasiswa saat itu), Dr. Ugi
Suharto, pakar Ekonomi Islam alumnus ISTAC yang juga mengajar mata kuliah
Sejarah dan Metodologi Hadits di kampus tersebut, Dr. Syamsuddin Arif,
doktor dari ISTAC dan kemudian menulis disertasi keduanya di Frankfurt
Jerman. Ada pula Dr. Anis Malik Thoha, alumnus Universitas Islam
Internasional Islamabad Pakistan yang dikenal sebagai pakar Pluralisme Agama
(Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, untuk masa bakti
2014-2018), Dr. Nirwan Syafrin, Muhammad Arifin Ismail M.A., Adian
Husaini yang sedang menempuh program Ph.D. di ISTAC (2003) yang menulis
Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002).63
IBSISTS aktif menyelenggarakan seminar, lokakarya, penulisan jurnal,

62 Kmunitas NuuN. Biografi Singkat Prof. Dr. H. M. Rasjidi diimuat di Nuun.id.


https://nuun.id/biografi-singkat-prof-dr-h-m-rasjidi diakses tgl: 17-03-2024)

63
Profile, Latar Belakang INSISTS dimuat di web: https://insists.id/latar-belakang/ pada
tanggal 19 Maret 2024. Diakses tgl: 19-03-2024.

44
penulisan buku dan menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi
Islam.
Dari kalangan aktivis organisasi Islam yang menentang penyebaran
pemikiran sekulerisme dan liberalism dengan praktek kajian keislaman berbasis
manhaj ajnabi ada K.H. Mas Subadar, kiai sepuh NU yang pernah menjadi
Wakil Rais Syuriah NU Jawa Timur, dari Muhammadiyah ada salah seorang
ketua PP Muhammadiyah yaitu Yunahar Ilyas yang menilai virus liberal telah
64
menyebar di Muhammadiyah dengan keberadaan JIMM.
Kegelisahan ulama NU terhadap pemikiran Islam Liberal antara
lain terungkap dalam rekomendasi (tausiyah) Konferensi Wilayah Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, yang diselenggarakan pada
tanggal 11-13 Oktober 2003. Isi tausiyah tersebut intinya berupa anjuran kepada
PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar
mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam masyarakat. Apabila
pemikiran Islam Liberal dimunculkan oleh pengurus NU di semua tingkatan,
PWNU meminta agar diberikan sanksi yang tegas, baik berupa teguran keras
maupun sanksi organisasi (termasuk dianulir dari kepengurusan). 65
Tokoh yang menolak hermeneutika dan paradigma manhaj ajnabi
lainnya yang menjadi sandaran gerakan liberalism sikuler pada umumnya
menganggap metode ini berbeda dengan prinsip dan metode tafsir yang selama
ini telah digunakan oleh ulama. Adian Husaini mengemukakan terdapat tiga
persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an:
pertama, Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung
curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari kepentingan-
kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat
pada saat teks itu dilahirkan; kedua, hermeneutika cenderung memandang teks
sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya
transenden (ilahiyyah); ketiga, aliran hermeneutika sangat plural, karenanya

64
Dr. H. Safrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag. Hermeneutika Kontroversi Kaum Intelektual
Indonesia. (Jember: IAIN Jember Press. 2019). p.56.
65
Ibid. p.53.

45
kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot
untuk diterapkan.66
Adalah wajar menurut M. Quraish Shihab, bila kecurigaan
dimunculkan hermeneutika ketika berhadapan dengan teks Bibel, karena Bibel
berbeda dengan al-Qur’an. Bibel menghadapi kritik sejarah, dan dalam
kandungannya terdapat sesuatu yang dinilai bertolak belakang dan sulit
diselesaikan, penulisannya pun jauh sesudah kepergian Nabi Isa, bahkan
indikator, kalau enggan mengatakannya sebagai buktibukti ketidakasliaannya
sedemikian banyak, sehingga ia mengundang kecurigaan. Terlebih,
sebagaimana diakui oleh cendekiawan Kristen sekalipun, bahwa Bibel yang
beredar dewasa ini adalah sejarah dan ucapan Yesus Kristus serupa dengan
hadis nabi. Atas dasar itu, sikap kehati-hatian – sebagaimana yang dilakukan
ulama Islam terhadap hadis – adalah wajar. Sedang al-Qur’an, tidak ada
keraguan bahwa ia berasal dari Allah dan ditulis sahabat langsung setelah ia
turun berdasarkan perintah rasul. Bila kecurigaan terhadap teks al-Qur’an tidak
lagi menjadi objek bahasan para ulama Islam, tidaklah wajar orang yang
mengaku muslim mencurigai al-Qur’an dan menilainya memiliki 143
kekurangan dan kesalahan, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat
keislamannya.67

H. Pergulatan Epistemologis

Penggunaan manhaj ajnabi khususnya hermeneutika dalam ijtihad ilmu-


ilmu keislaman khususnya tafsir Al-Qur’an dan Fiqih Islam dalam tema besar
gerakan pembaharuan yang mendapat stigma sekulerisme dan liberalisme telah
menimbulkan pergulatan epistemologis di kalangan akademisi antara yang
mendukung dan menentangnya. Dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya
berkenaan dengan permasalahan manhaj atau metode pemahaman atau

66
Relita. Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an). Dalam Jurnal Ushuluddin Vol. 24 No.2, Juli-Desember
2016. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Balitbang Kemenag RI.
67
Relita. Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an). Dalam Jurnal Ushuluddin Vol. 24 No.2, Juli-Desember
2016. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Balitbang Kemenag RI.

46
interpretasi Al-Qur’an terdapat dua kubu yang sepanjang sejarah cenderung
menampakkan disparitas dan polemik tidak hanya karena munculnya gerakan
sekulerisme dan liberalism, yaitu kelompok tekstualis-skriptualis-dogmatif-
normatif di satu sisi, dengan kelompok kontekstualis-rasional-historis di sisi lain.
Kelompok pertama pada umumnya memahami teks-teks keagamaan
secara literalis, tekstualis, atau skripturalis. Sedangkan kelompok kedua,
pemahamannya tentang Islam tidak hanya mengacu kepada bunyi teks, namun
lebih kepada esensi makna terdalam (esoterik), tujuan atau pesan moral dari teks
yang ada, sehingga dalam aplikasinya selalu mempertimbangkan konteks ruang
dan waktu, situasi dan kondisi sosial kultural serta historisnya. Kelompok
pertama cenderung tertutup untuk menerima paradigma baru atau pembaharuan,
apriori dan sangat hati-hati (curiga) menerima anasir-anasir dari luar. Kelompok
inilah yang sering dituduh tradisionalis, ortodok dan puritan. Kelompok kedua
cenderung lebih terbuka dan lebih cair untuk menerima pemikiran, konsep,
metode dan paradigm baru dari luar.
Keduanya sejatinya memiliki maksud dan tujuan sama baiknya yang
sama mulianya sebagai insan beragama dalam menjaga amalan agamanya.
Kelompok pertama bermaksud menjaga kemurnian akidah, ibadah dan
amaliahnya, sedangkan kelompok kedua bermaksud keberagamaanya mampu
memberi kontribusi bagi solusi berbagai persoalan masyarakat di sekitarnya
secara realtime dan realcase, sehingga keberadaan agama dan umat beragama
itu memberikan manfaat dan maslahat bagi lingkungannya (rahmatan lil
‘alamin), bukan sebaliknya menjadi penghambat kemajuan masyarakat dan
umatnya selalu menjadi beban masalah bagi masyarakat. Dengan demikian
sebenarnya keduanya tidak perlu dipertentangkan, dibentur-benturkan, dan tidak
perlu diprovokasi.
Namun demikian kenyataan di lapangan tidak bisa menutup mata
adanya pergulatan sengit sampai masing-masing pihak membangun dan
mengorganisir kekuatan politik maupun kekuatan literasi dan narasi epistemologis.
Adanya JIL adanya JIMM, adanya INSISTS serta munculnya fatwa MUI yang
melarangnya, itu adalah ekses pertarungan dan pergulatan kedua kubu tersebut.
Sampai mengorganisir kekuatan politk itu yang dirasa berlebihan dan tidak

47
mencerdaskan masyarakat, tetapi literasi dan narasi epistemologis melalui diskusi,
seminar, lokakarya, kajian, dan perkuliahan, itu bagus akan mencerdaskan dan
sangat dimungkinkan ada potensi terjadinya proses dialektika yang akan
melahirkan sebuah sintesis teoritik dan metodologis, yang pada akhirnya akan
menumbuhkembangkan dirayah dan hasanah keilmuan Islam.

Jejak pergulatan epistemologis di Indonesia antara pihak yang pro dan


kontra dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan kedua kubu di berbagai media tulis, baik
manual maupun digital sebagai berkut:

Secara garis besar, para penggagas manhaj ijtihad ajnabi


mengemukakan bahwa, perlunya memadukan Tradisi Berfikir Keilmuan Islamic
Studies dan Religious Studies. Dalam kata pengantar di buku Hermeneutika Al-
Qur’an Mazhab Yogya, Amin Abdullah menyatakan bahwa problem yang bersifat
metodologis atau epistemologis dari ulumul Qur’an adalah ketertutupannya
terhadap kontribusi metodologis ilmu-ilmu modern (terutama ilmu sosial (social
sciences), humaniora dan filsafat ilmu) dalam diskursus penafsiran AlQur’an.
Padahal, menurut Kaelan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
membawa pengaruh yang cukup besar terhadap upaya mengkaji AlQur’an.
Terlebih lagi, kontribusi metodologis ilmu linguistik modern, semiotik dan
hermeneutik sangat berperan dalam pengembangan diskursus studi Al-Qur’an.
Oleh karena itu, menurut Amin Abdullah, menginterkoneksikan Islamic studies
dengan religious studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori
dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad
Syahrur, Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, dan Fazlur Rahman adalah sebuah
keniscayaan. 68

Terkait dengan hal di atas, Sahiron Syamsuddin berasumsi bahwa


hermeneutika dapat diaplikasikan ke dalam ilmu tafsir dan bahkan dapat
memperkuat metode penafsiran Al-Qur’an. Ia berargumen bahwa, pertama,

68
Asep Setiawan. Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na
Cum-Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an) dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 17,
No. 1, Januari 2016 .

48
secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”)
dan ilmu tafsir, pada dasarnya tidak berbeda. Keduanya mengajarkan bagaimana
memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat. Kedua, yang
membedakan antara keduanya adalah sejarah kemunculannya, ruang lingkup dan
objek pembahasannya. Menurutnya, hermeneutika mencakup seluruh obyek
penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa dan
teks), sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks.69

Dalam hubungannya dengan gagasan di atas Naquib al-Atas


menjelaskan bahwa proses Islamisasi ilmu ini perlu diawali dengan pengetahuan
secara mendalam atas pandangan hidup Islam dan Barat. Kemudian diikuti
dengan dua proses yang saling terkait, yaitu; pertama, mengisolir unsur dan
konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Dan kedua,
memasukan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang
dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. 70
Para penentang lain mengatakan, dengan hermeneutika, dari aspek
perkembangan historisnya, ia berasal dari tradisi Kristen, Barat, dan juga tradisi
Filsafat, sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai yang tidak
pasti sesuai dengan Islam. Kemunculan hermeneutika berawal dari trauma umat
Kristen saat itu terhadap otoritas gereja dan problematika teks Bibel. Di sisi lain,
pada mulanya kajian hermeneutika berkutat pada wilayah teologis yang kemudian
bergeser memasuki diskursus filsafat. Ketika ia masuk ke dalam kajian filsafat,
maka tradisi intelektual Barat dengan segenap nilai pandangan hidupnya yang
sekular dan anti agama, ikut memberikan makna baru terhadap hermeneutika.
Pada saat itu, ia sudah bukan lagi metode interpretasi kitab suci. Jika metode
tersebut diaplikasikan untuk kajian Al-Qur’an, maka ia akan merusak sendi-sendi
agama, karena agama disubordinasikan di bawah filsafat. Sebagai sebuah metode
filsafat, hermeneutika sarat dengan presupposisi epistemologis yang bersumber

69
Asep Setiawan. Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na
Cum-Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an) dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 17,
No. 1, Januari 2016 .

70
S.M. Naquib al-Atas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam. (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 114.,

49
pada konsep realitas dan kebenaran dalam perspektif Barat yang tidak
mempertimbangkan aspek-aspek realitas yang bersifat metafisis, kosmologis dan
ontologis. Di samping itu, metodologi humaniora Barat jika diterapkan untuk
mengkaji Islam, maka akan menimbulkan dambak buruk. Di antaranya, akan
terjadi sinkretisme dan eklektisme metodologi. 71

Amin Abdullah menggunakan trilogi epsitemologi keilmuan Islam


untuk memperkenalkan model penafsiran teks yang disebutnya sebagai proyek at-
Ta’wil al-’Ilmi. Menurutnya, at-ta’wil al-‘ilmi adalah model pembacaan yang
menggunakan gerak lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguh-
sungguh antara berbagai paradigma epistemologi ilmu-ilmu keislaman yang
berbeda, dalam hal ini trilogi paradigma epistemologi al-Jabiri, yaitu bayani,
burhani, dan ‘irfani, dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, mengritik,
memperbaiki, dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-
masing paradigma, khususnya jika masing-masing paradigma berdiri sendiri-
sendiri, terpisah antara yang satu dan lainnya. Ketiganya dihubungkan dengan
pola hubungan sirkular, yaitu setiap paradigma dapat memahami keterbatasan,
kekuatan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus
bersedia mengambil manfaat dari tradisi keilmuan lain, serta memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada dirinya.72
Buku yang berjudul Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan
Kontekstualisasi karya Fakhruddin Faiz, buku ini berusaha membuktikan tesis
Farid Essack yang menyatakan bahwa sejatinya metode hermeneutika telah
diterapkan dalam oleh para mufassir muslim baik klasik maupun kontemporer.
Dengan merujuk tafsir Al-Manar dan tafsir Al-Azhar yang menjadi objek
penelitian buku ini, penulis menegaskan bahwa praktek hermeneutika telah
dikembangkan oleh penyusun kedua kitab tafsir tersebut, yang mewujud dalam
model penafsiran yang digunakan kedua mufassir tersebut, yang tidak hanya
berkutat pada persoalan logika bahasa dan makna literer ayat-ayat al-Qur’an;

71
Asep Setiawan. Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na
Cum-Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an) dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 17,
No. 1, Januari 2016
72
Dr. H. Safrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag. Hermeneutika Kontroversi Kaum Intelektual
Indonesia. (Jember: IAIN Jember Press. 2019). p.35

50
namun juga mengupayakan kontekstualisasi, yaitu dengan menjadikan penafsiran
keduanya fungsional dan applicable pada masa ketika kedua kitab tafsir itu ditulis.

Menurut Amin Abdullah, hubungan antara kedua pendekatan


tersebut tidak selamanya akur dan seirama. Hubungan antara keduanya seringkali
diwarnai dengan tension atau ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun
destruktif. Ketegangan bersifat destruktif jika masing-masing pendekatan saling
menegasikan eksistensi dan menghilangkan nilai manfaat yang melekat pada
pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh tradisi keilmuan lain. Ketegangan akan
menjadi kreatif bila kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang sangat
berharga untuk mengembangkan dan memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Ketegangan antara para pegiat studi Islam dalam penelitian disertasi ini dapat dan
akan dilihat dari perspektif ketegangan yang kreatif ini. Sebagai sebuah disiplin
keilmuan yang otonom, ilmu tafsir sejatinya telah mengalami berbagai
perkembangan yang signifikan, dari model tafsir yang sangat sederhana (practical
exegesis) hingga kajian tafsir yang melibatkan berbagai perspektif kelimuan yang
complicated. Para mufassir telah berusaha mengembangkan dan memperbaharui
teori-teori, metode-metode dan cara-cara melakukan penelitian (penafsiran).73

VI. KESIMPULAN
Metafisika, ma’rifat dan esoterisme dalam Islam adalah keyakinan yang
paling subtantif terkait dengan konsep perenialis, karena antropomorfisme, wadag,
dan jasadi biologis itu fana, sedangkan shalat, puasa, zakat, dan haji adalah eksoteris
liturgy religiusitas sebagai amaliyah yang menuntut pembuktian keihlasan dan
tawakal menuju kebenaran ma’rifat dan hakekat yang transendental. Inilah
perbedaan yang paling kritis antara epistemologi Islam dan Barat yang menganut
epistemologi positivisme dan materialisme yang eksoterik. Epistemologi Barat
modern tidak mengenal metafisika, ma’rifat, esoterisme dan transendensi yang bagi
mereka itu irrasional dan tidak empirik. Kebenaran dalam Islam ada kebenaran
gnosis (makrifat) yang bersifat transendental, perennial dan absolut, juga ada

73
Ibid.p.35

51
kebenaran empiris yang bersifat logik posivistik dan relativistik, juga ada
kebenaran awam yang visualistik, mekanistik dan wujudiyah (antropomorfistik,
tidak abstrak).

Teorema tersebut perlu disampaikan agar tidak mudah terjebak pada


eksotisitas teori dan metodologi Barat yang pijakan ontologis, aksiologis, dan
epsitemologisnya sangat berbeda karena adanya perbedaan pandangan hidup.
Namun demikian disadari atau tidak disadari hukum alam atau sunatullah pasti
terjadi walaupun dengan sekuat apapun kita menolaknya, yaitu suatu bangsa yang
lebih kuat, lebih maju dan dominan dari aspek ilmu pengetahuan, teknologi,
ekonomi dan politik akan mempengaruhi dan mewarnai bangsa lain yang lebih
lemah, lebih terbelakang, lebih miskin. Hal ini sudah menjadi fakt sejarah berulang-
ulang dan tidak bisa dibantah serta tidak mungkin disembunyikan.

Ketika bangsa Yunani mencapai puncak kegemilangannya (pada abad


ke-5 sampai abad ke-4 SM) di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya,
teknologi dan politik hampir semua bangsa di dunia berkiblat kepadanya. Ketika
bangsa Romawi mengalami kemajuan (abad ke-2M sampai abad ke-15M) di bidang
ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya, teknologi dan politik hampir semua bangsa di
dunia juga berkiblat kepadanya. Ketika Islam mengalami kemajuan (650 M -1250
M yang diwakili Daulah Umayyah dan Daulah Abasiyah) di bidang ilmu
pengetahuan, ekonomi, budaya, teknologi dan politik hampir semua bangsa di dunia
termasuk bangsa Barat juga berkiblat kepadanya. Demikian juga sekarang dimana
Amerika dan Eropa (Barat) mengalami dominasi di bidang ilmu pengetahuan,
ekonomi, budaya, teknologi dan politik hampir semua bangsa di dunia juga
berkiblat kepadanya. Jadi suka atau tidak suka, mau atau tidak mau pengaruh Barat
khususnya di bidang ilmu pengatahuan terhadap Islam pasti terjadi. Akan tetapi
seberapa besar pengaruh itu, dan pengaruhnya akan merekonstruksi atau
mendistruksi nilai-nilai budaya, ilmu pengetahuan dan agama itu sangat tergantung
dari kemampuan intelektualitas kita. Apabila tingkat intelektualitasnya rendah,
tidak memiliki kemampuan kritis dan tidak memiliki kapasitas dialektis, apa lagi
memiliki jiwa inverior (rendah diri dan “gumunan”) maka kita akan menjadi
pengekor dan terjajah.

52
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pertama komunitas
muslim dan keilmuan Islam tidak mungkin bisa menerima manhaj ijtihad ajnabi
secara utuh apa adanya begitu saja tanpa ada pergumulan dan pergualatan
epistemologis. Hal ini dikarenakan adanya latarbelakang dan basis lahirnya
manjhaj ijtihad tersebut sangat berbeda baik tata nilai, pandangan hidup, dan tradisi
keilmuannya dengan Islam. Penerimaannya dibutuhkan proses diskusi dialektis
panjang dan sengit serta mememrlukan proses eksternalisasi, kemudian proses
objektivasi, dan proes internalisasi epistemologis.

Kedua, problem epistemologis di bidang teori dan metodologi adalah


ranah akademis dan keilmuan, yang sebenarnya akan lebih elegan dan
bermanfaatguna jika literasinya melalui perkuliahan, seminar, lokakarya, kajian,
penerbitan jurnal, dan buku, bukan melalui penggalangan politik dan organisasi
fisik. Hal ini akan menimbulkan kegaduhan dan hiruk pikuk serta kontra produktif.

Ketiga, konsep dan teori serta metodologi kajian dan studi keislaman
baik Tafsir Qur’an, Hadits, dan Fiqih dari tradisi Islam sendiri sudah sangat mapan
dan sophisticated sampai-sampai tidak semua orang bisa menguasai dan
melakukannya. Hanya orang-orang tertentu yang memimiliki kuailfikasi tertentu
yang sangat ketat yang dapat menguasai konsep, teori dan metodologi tersebut dan
dapat melakukan ijtihad serta ta’wil terhadap manhaj fiqih atau hukum Islam..

Keempat, dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing


manhaj ijtihad ajnabi implememntasinya dalam kajian keislaman bersifat opsional
komplementer, bukan untuk menggantikan teori dan metodologi genuine tradisi
Islam, yang terlebih dulu mengalami proses sintesis epistemologi. Hal ini karena
yang melatarbelakangi dan membidani kelahiran masing-masing manhaj ijtihad
ajnabi tersebut sangat berbeda dengan epistemology dan metodologi hasanah
tradisi Islam.

53
DAFTAR PUSTAKA

Al-’Atsimin, Muhammad bin Shalih. Syarhu al_Ushul min ‘Ilmi al-Ushul (Al-
Mamlakah Al-‘Arabiyah As-Su’udiyah: Daru Ibnu Al-Juziyah.
1435H).
Al-Ghazali, Imam Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul. (Bairut-Libanan: Al-Maktbah Al-
Asyriyah, 2008). Juz I,
Al-Jabiri, Abed. Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-
Arabiah).
Al-Rasyid Moten, Abd. “Islamization of Knowledge” Methodology of Research in
Political Science, American Journal of Islamic Social Science,
(1990)
Al-Sadlan, Shalih bin Ghanim Al-Sadlan. Al-Qawa’idu al-Fiqhiyah al-Kubra. (al-
Mamlakah Al-‘Arabiya Al-Su’udiyah, Riyadh: Daru al-Balansiyah
Linashr wa Attauzigh. 1417H).
Al-Wahab Khallaf, ‘Abdu ‘Ilmu Ushul al-Fiqh.
A. Sebeok, Thomas. Signs: An Introduction to Semiotics. Second Edition. (Toronto:
Universitiy of Toronto Press. 2001).
Auda, Jasser. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Low. (London, UK: The
International Institute of Islamic Thought (IIIT). 2007).
Auda, Jasser.Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Low.
Bhome, Shraddha dkk. Research Methodology. (New Delhi: Himalaya Publishing
House. 2013).
Bleicher, Josef Contemporary Hermeneutics. (London, Boston and Henley: Routledge
& Kegan Paul. 1980).
Cohen, Stewart.“Justification and Truth”, Philosophical Studies 46, (1984)
Cornforth, Maurice. Materialsm and The Dialectical Method. (New York: International
Publisher.1978).
Chandler, Daniel. The Basic Semiotics. Second Edititon. (London & New York:
Roudledge.2007).
De Saussoure, Ferdinand. Course in General Linguistics. Translated by Wade Baskin.
New (York: Columbia University Press. 2011).
Daudi, Shofwan. Ushul al-Fiqh Qabla ‘Ashri at-Tadwin.(Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah
AsSu’udiyah, Jedah: Jami’u al-Huquq al-Mahfudhah. 2003).
Doyle, Eleanor. The Economic System. (Chichester, England: John Wilay & Son, Ltd.
2005).
Eco, Umberto. Semiotics and the philosophy of language. (Bloomington: Indiana
University Press.1986).
Edi Wibowo, Safrudin. Hermeneutika Kontroversi Kaum Intelektual Indonesia.
(Jember: IAIN Jember Press. 2019).

54
Ensyclopedia of Islam TREE: https://referenceworks.brillonline.com/search?
s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-islam-3&search-go=&s.q
=Muhammad+Arkoun (diakses tgl: 17-03-2024).
Ensyclopedia of Islam TREE: https://referenceworks.brillonline.com/search?
s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-islam-3&search-
go=&s.q=Nasr+Hamid+Abu+Zayd. (diak ses tgl: 17-03-2024).
Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Nasr_Hamid_Abu_Zaid
(diakses tgl: 17-03-2024)
Fakhry, Madjid. A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University
Forster, Michael “Hegel’s Dialectical Method”, in The Cambridge Companion to
Hegel, Frederick C. Beiser (ed.), (Cambridge: Cambridge University
Press. 1993).
Fritzman, J.M., Hegel, Cambridge: Polity Press. 2014. pp. 3–5. dan Harris, Errol E., An
Interpretation of the Logic of Hegel, (Lanham, MD: University Press
of America. 1983).
Georg Gadamer, Hans. dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy.
https://plato.stanfor d.edu/entries/gadamer/#pagetop right diakses
tgl.25-02-2024.
Hafli, Qadri Mahmud Al-Ustadz ad-Duktur. Al-Madiyah Dialiktikiyah wa Al-Madiyah
at-Tarihiyah. (Damsiq at-Thab’ah wa Nasr, 2007).
(https://www.jstor.org/stable/4319711. Diakses tgl: 04-03-2024),
https://en.wikipedia.org/wiki/Hassan_Hanafi (diakses tgl. 16 Maret 2024),
https:// tirto.id/jihad-besar-hassan-hanafi-imam-syafii-dari-abad-ke-20-flvk (diakses
tgl. 16 Maret 2024),
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-
jakarta/sejarah-pendidikan-islam/hassan-hanafi/37563469 (diakses
tgl. 16 Maret 2024).
https://books.google.co.id/books?id=xDdTEAAAQBAJ&pg=PA140&lpg=PA140&d
q=Hassan+Hanafi&source=bl&ots=5p_RC8rYnA&sig=ACfU3U2v
3Juc_gBqQju_fYuMLSFAJt406w&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjr
7Nu8pvyEAxU6zTgGHRhpB8w4MhDoAXoECAIQAw#v=onepag
e&q=Hassan%20Hanafi&f=false (diakses tgl. 16-03-2024)
https://en.wikipedia.org/wiki/Fazlur_Rahman_Malik. (diakses tgl. 17-03-2024),
https://tirto.id/fazlur-rahman-ijtihad-sang-pemikir-modernis-pakistan-dari-chicago-
eRVj. (diakses tgl: 17-03-2024),
https://www.academia.edu/5004879/BIOGRAFI_DAN_PEMIKIRAN_FAZLUR_RA
HMAN. (diakses tgl: 17-03-2024).
Ibrahim, Adekunle Introduction to Epistemology. (Uyo: Department of Philosophy
University of Uyo. tt).
Kmunitas NuuN. Biografi Singkat Prof. Dr. H. M. Rasjidi diimuat di Nuun.id.
https://nuun.id/biografi-singkat-prof-dr-h-m-rasjidi diakses tgl: 17-
03-2024)
McTaggart, John and Ellis McTaggart. Studies in the Hegelian Dialectic.( Ontario,
Canada: Cambridge University Press. Second Edition: 1922).
Mudzhar, M. Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia. Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI. 30 Juni 201.
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id /berita/perkembangan-islam-
liberal-di-indonesia (diakses tgl: 17-03-2024).

55
Pillai, N. Vijayamohanan. You Cannot Swim Twice in the Same River: The Genesis of
Dialectical Materialism. (Trivandrum, India: Centre for
Development Studies. 2013))
Porter, Stanley E. & Jason C. Robinson. Hermeneutics An Introduction to Interpretive
Theory. (Cambridge, U.K.: William B. Eerdmans Publishing
Company. 2011).
Profile, Latar Belakang INSISTS dimuat di web: https://insists.id/latar-belakang/ pada
tanggal 19 Maret 2024. Diakses tgl: 19-03-2024.
Relita. Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an). Dalam Jurnal
Ushuluddin Vol. 24 No.2, Juli-Desember 2016. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an Balitbang Kemenag RI.
Rescher, Nicholas. Epistemology An Introduction to the Theory of Knowledge. (New
York: State University of New York. 2003).
Ricœur, Paul. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. (Texas:
The Texas Christian University Press. 1976).
Ricœur, Paul. The Symbolism of Evil. (New York: Harper & Row. 1967).
Salah Al-Quzuaini, Ahmad Al-Hermeneutiqa. (2018).
Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi, Muhammad Maqashidu al-Syari’ah al-Islamiyah.
(Riyadh, Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah al-Shu’udiyah: Jami’u al-
Huquq Mahfudhah. 1998).
Samsudin dan Nina Herlina Lubis. “Sejarah Munculnya Pemikiran Islam Liberal di
Indonesia 1970 -2015” dalam Patanjala Vol. 11 No. 3 September
2019.
Setiawan, Asep. Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na
Cum-Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an) dalam Jurnal Studi Ilmu-
Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 17, No. 1, Januari 2016.
S.M. Naquib al-Atas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam. (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1995).
Sosa, Ernest. “Reliabilism and Intellectual Virtue,” in E. Sosa, Knowledge In
Perspective, (Cambridge: Cambridge University Press.1991). (dapat
diakses pertopik: https://www.cambridge.org/core/books/
knowledge-in-perspective/68B3AB7E152E5FC131BEB39A41CA
F6D3. Diakses tgl: 04-03-2024)
United Nations, Department of Economic and Social Affairs. International Standard
Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC). Revision
4. (New York: United Nation, 2008).
Wikipedia: https://id.wikipedia. org/wiki/Muhammad_Arkoun, (diakses tgl: 17-03-
2024)
Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Khaled_Abou_el_Fadl (diakses tgl: 17-03-
2024)

56

Anda mungkin juga menyukai