Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ISLAM INTERDISIPLINER

ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI PANGAN

Disusun oleh :
Millen Natael (1800033104)
Ahmad Vicky Hasan (1800033121)
Kevin Bagus Pamukti (1800033123)
Ilham Machfudy Sukirno (1800033125)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................4

A. Etika islam dalam penerapan ilmu........................................................................................4

B. Peran Islam dalam Perkembangan IPTEK...........................................................................4

C. Kaitan Islam Dalam Perkembangan IPTEK.........................................................................6

D. Etika Islam dalam penerapan Teknologi Pangan................................................................10

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................16

A. Kesimpulan.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

2
BAB I
PENDAHULUAN
Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait
dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara
singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan huruk dari setiap perbuatan
manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai
teori dan perbuatan baik dan buruk (ethics atau „ilm al-akhlaq) dan moral (akhlaq) adalah
praktiknya. Akhlah merupakan bentuk praksis ajaran Islam dalam mengatur tindakan moral
manusia. Akhlak juga sering didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara
mendapatkannya, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari dan ilmu tentang hal
yang buruk dan bagaimana cara menjauhinya (Taufik, 2016).
Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas
dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk. Etika adalah salah satu cabang filsafat yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu
Ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau kelompok
orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah
sekelompok masyarakat tersebut (Badroen, 2006).
Di dalam agama Islam pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya
terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku
manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal
pikiran. Sedangkan akhlak dengan menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama (al-Quran
dan al- Sunnah) (Badroen, 2006).
Sumber etika dalam Islam (etika Islam) adalah al-Qur‟an dan Sunnah yang mana kedua
sumber tersebut selalu menjadi tolak ukur akan baik buruknya perbuatan yang dilakukan oleh
kaum muslimin. Kedua sumber ini juga selalu menjadi pedoman atau bisa disebut juga penuntun
kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia maupun diakhirat.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika islam dalam penerapan ilmu
Harorld H. Titus mendefinisikan istilah moral dan etik memiliki hubungan yang
eratdengan arti asalnya, moral berasal dari kata Latin moralitas dan istilah ethic berasal dari
kataYunani ethos. Keduanya berarti kebaikan atau cara hidup. Istilah tersebut terkadang
dipakaisebagai sinonim, sekarang biasanya orang cenderung memakai “morality” untuk
menunjukan tingkah laku itu sendiri. Sedangkan ethic menunjuk tentang penyelidikan
tentang tingkahlaku, sehingga dapat kita katakan bahwa moral act dan etchical code. Dan
istilah yang seringdipakai etika dan moral seperti benar dan baik.
Etika islam merupakan ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah
laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku buruk sesuai dengan ajaran Islam yang
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Istilah lain yang digunakan untuk etika
islam adalah sebuah sistem yang lengkap terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau
tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istemewa. Karakteristik-karakteristik ini
membentuk kerangka psikologi dan membuatnya berprilaku sesuai dengan dirinya dan nilai
yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbedabeda. Dari beberapa pengertian di
atas maka yang dimaksud dengan etika islam ilmu yang mengajarkan manusia kepada
tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa.
B. Peran Islam dalam Perkembangan IPTEK
Kemajuan peradaban umat Islam dalam ilmu pengetahuan dapat dilihat pada era dinasti
Abbasiyah maupun pada abad pertengahan, ketika umat Islam tidak hanya tampil sebagai
komunitas ritual namun juga sebagai komunitas intelektual. Secara historis umat Islam
mengalami kemajuan dengan majunya ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang disiplin
ilmu saat itu. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan di sini beberapa cendekiawan yang telah
memberikan kontribusi kreatif, misalnya observasi astronomikal dari Mahani (855-866),
risalah atromosforik dan spherical astrolobe serta tabel-tabel astronomikal karya Naziri dan
observasi astronomikal karya Qurra Al Bittani, seorang astronom besar pada tahun 880 telah
berhasil menyusun buku katalog bintang-bintang yang didasarkan pada observasinya
(Nakosteen, 2003).

4
Dapat dikatakan bahwa majunya sebuah peradaban adalah karena majunya ilmu
pengetahuan di kalangan umat manusia. Begitu juga sebaliknya kemunduran suatu
peradaban selalu diawali dengan memudarnya budaya ilmu dalam masyarakat di suatu
negeri. Ketika materi menjadi satu-satunya ukuran dalam pencapaian individu maka hal itu
harus diiringi dengan kehancuran berbagai aspek kehidupan. Termasuk bidang pendidikan
yang seharusnya menjadi ruh dari peradaban itu sendiri. Kondisi tersebut terjadi karena umat
Islam tidak menjadikan pendidikan sebagai sarana strategis untuk mengembalikan kembali
peradaban Islam yang telah lama tidak berkembang karena telah tertinggal jauh dari
perdaban materialistik Barat. Tanpa terciptanya tradisi intelektual yang dilandasi oleh iman
kepada Allah SWT dalam sebuah masyarakat, cita-cita tentang kebangkitan Islam adalah
utopis (Kania, 2010).
Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada dua. Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya
dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam
ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah)
bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber
segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan.
Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua,
menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan
iptek dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam boleh memanfaatkan iptek jika telah
dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan telah diharamkan oleh
Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau menghasilkan manfaat
sesaat memenuhi kebutuhan manusia (Arsyam, M. 2020).
Salah satu teknologi yang harus berkaitan dengan islam adalah teknologi pengolahan
pangan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengolahan berarti cara membuat atau
mengolah, sedangkan makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan. Peraturan kepala
badan pengawas obat dan makanan (BPOM) No. 11 Tahun 2014, pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Sedangkan olahan pangan adalah

5
makanan dan/atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa
bahan tambahan. Pengolahan pangan harus memperhatikan keamanan pangan, yaitu kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk
dikonsumsi. Dalam proses produksi juga harus sesuai dengan cara produksi pangan olahan
yang baik (CPPOB), produksi harus aman, bermutu, dan layak untuk dikonsumsi.
Islam mengajarkan hukum muamalah yaitu mubah, dalam artian segala sesuatu adalah
halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. Pengolahan pangan termasuk bisnis
yang sangat rentan dengan kecurangan, karena dalam setiap pengolahannya penjual bisa saja
mencampurkan bahan yang tidak boleh dikonsumsi atau haram bagi umat Islam. Urusan
pangan bukan hanya sekedar urusan perut belaka. Namun, pangan dapat membangun
individu yang beradab sehingga dari individu-individu tersebut menciptakan efek positif dan
mengelompok menjadi komunitas atau entitas masyarakat berkarakter dan berakhlak
Qur’ani, yang kemudian secara sendirinya peradaban Islam dalam suatu bangsa akan
terbentuk karena sejatinya kualitas makananan yang dikonsumsi akan berpengaruh terhadap
kualitas dan perilaku hidup manusia seperti yang Allah firmankan: 

Artinya:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezeki kan
kepadamu dan bertakwalah nikmat Allah” (QS. Al Maidah : 88).
C. Kaitan Islam Dalam Perkembangan IPTEK
1. Paradigma hubungan islam dan IPTEK
Paradigma Islam berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita
memahami realitas sebagaimana al-Quran memahaminya. Konstruksi bangunan yang
dibangun dengan al-Quran adalah semata-mata agar kita memiliki hikmah yang atas dasar
itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Quran, baik pada
level moral maupun level sosial. Di tataran sosial inilah konstruksi ilmu pengetahuan juga
perlu atau memungkinkan untuk diangkat rumusan desain besarnya mengenai sistem Islam,
termasuk dalam hal ini adalah sistem ilmu pengetahuannya. Sehingga selain gambaran
aksiologis, paradigma al-Quran juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan

6
epitemologis. Inilah kerangka dasar dari islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer tersebut
(Kuntowijoyo, 2007).
Berdasarkan tinjauan ideologis terdapat tiga jenis paradigma pengembangan IPTEKS.
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah
terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan
dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Kedua, paradigma
sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama
sekali. Dalam
paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-
exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma
yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam
menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa
yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia. Paradigma Islam memandang bahwa agama adalah dasar dan
pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah
Islam yang terwujud dalam apa-ala yang ada dalam al-Quran dan al-hadits menjadi landasan
pemikiran, yaitu suatu asas yang diatasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia (Bustanudin, 1999).
2. Aqidah Islam Sebagai Dasar IPTEK
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus
dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana
yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Paradigma Islam inilah yang seharusnya
diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap
membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya
hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah
yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam,
diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram.
Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep

7
pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya
Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada
saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham
sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari Al-
Qur`an dan Al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar
salahnya dengan tolok ukur AlQur`an dan Al-Hadits dan tidak boleh bertentangan
dengan keduanya.16
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa
ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu,
atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu
adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat QS. An-Nisaa`
[4]:126 dan QS AthThalaq [65]:12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada
ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan
bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (QS Nuh [71]: 16), bahwa langit
(bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari
kondensasi (pemekatan) gas tersebut (QS. Fushshilat [41]: 11-12), dan seterusnya. Ada
sekitar 750 ayat dalam Al-Qur`an yang semacam ini.17 Ayat-ayat ini menunjukkan
betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur
kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat
tertentu.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah
bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi yang
dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada Al-Qur`an dan Al-Hadits. Ringkasnya, Al-
Qur`an dan Al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar)
iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan Al-
Qur`an dan Al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur`an dan AlHadits itu.
Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka konsep itu

8
berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia
adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi
melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia
modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi
Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman
Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh
manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya
sebagaimana fantasi Teori Darwin .18 Firman Allah SWT (artinya): “(Dialah Tuhan)
yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya
dari sari pati air yang hina (mani).” (QS AsSajdah [32]: 7). “Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS
Al-Hujuraat [49]: 13).
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits hanyalah standar
iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari
sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi SAW menerapkan penggalian parit
di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang
beragama Majusi. Dulu Nabi SAW juga pernah memerintahkan dua sahabatnya
memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya
adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi
dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama
Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat
diadopsi dari kaum kafir.
3. Syariah Islam Standar Pemanfaatan IPTEK
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus
dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah
Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga
bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah
Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan
syariah Islam.

9
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits
yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan
iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah (artinya):
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan…” (QS An-Nisaa` [4] : 65). “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…” (QS Al-
A’raaf [7] : 3). Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang
tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim)
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri
muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan
iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun
utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan
manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu
diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat
mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan
bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh
ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas
(misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti
manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara
serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti
dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki
bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar
itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan
konkret adalah syariah Islam.
D. Etika Islam dalam penerapan Teknologi Pangan
Etika berasal dari bahasa bahasa Yunani (Greek) yaitu ethos dalam bentuk jamaknya (ta
etha) yang berarti “adat istiadat” atau“kebiasaan”.14 Etika adalah a code or self of principle

10
which people live (kaidah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).15Ini
berarti secara etimologi, etika identik dengan moral karena telah umum diketahui bahwa
istilah moral berasal dari kata mos (dalam bentuk tunggal) dan mores (dalam bentuk jamak)
dalam bahasa Latin yang artinya kebiasaan atau cara hidup (Siagiaan, 1996).
Moral berasal dari bahasa Inggris yaitu moral, Bahasa Latin mores dan bahasa Belanda
moural yang bermakna budi pekerti, kesusilaan dan adat kebiasaan. Secara terminologi,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang moral (kesusilaan). Setiap orang memiliki
moralitasnya masing-masing namun tidak semua orang perlu melakukan pemikiran secara
kritis terhadap moralitas yang menjadi kegiatan etika. Etika ialah teori tentang perilaku
perbuatan manusia dipandang dari nilai baik dan buruk sejauh yang dapat ditentukan oleh
akal (Sidi, 2002).
Secara filosofis esensi makna dari dua istilah (moral dan etika) itu dapat dibedakan.
Menurut Frans Magnis Suseno yang dimaksud dengan moral adalah ajaranajaran, wejangan-
wejangan, patokan-patokan, lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Dengan demikian etika adalah ilmu
pengetahuan tentang moral (kesusilaan) (Frans, 1991).
Dalam Islam istilah moral identik dengan akhlâq. Kata akhlâq merupakan bentuk jama’
dari kata khalq yang bermakna budi pekerti, menghargai, tingkah laku dan tabiat. Akhlak
berarti character, disposition dan moral constitution. Secara linguistik perkataan akhlâq
ialah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
(Mustofa, 1997).
Etika lebih bersifat teori dan moral bersifat praktik. Etika membicarakan bagaimana
seharusnya sedangkan moral bagaimana adanya. Etika menyelidiki, memikirkan dan
mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk, moral menyatakan ukuran yang baik
tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial tertentu. Etika memandang laku-perbuatan
manusia secara universal, moral secara temporal. Moral menyatakan ukuran, etika
menjelaskan ukuran itu. Moral sesungguhnya dibentuk oleh etika. Ia merupakan muara atau
buah dari etika (Sidi, 2002).
1. Sertifikasi dan Labelisasi Halal sebagai Wujud Perlindungan Konsumen Muslim

11
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi
Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain seperti
kapitalisme dan sosialisme cenderung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak
begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem
tersebut dari wacana moralitas karena keduanya memang tidak berangkat dari etika
tetapi dari kepentingan (interest).36Islam memiliki prinsip-prinsip tersendiri dalam
kegiatan ekonomi yang bersumber dari Alquran dan Hadis. Prinsip-prinsip tersebut
bersifat abadi, seperti prinsip tauhid, adil, maslahat, kebebasan disertai tanggung jawab,
persaudaraan dan sebagainya (Veithzal, 2012).
Adanya regulasi tentang sertifikasi halal sebuah produk baik makanan, obat-obatan
maupun kosmetik merupakan bagian dari perlindungan terhadap konsumen khususnya
yang beragama Islam. Islam sendiri dalam ajarannya diperintahkan untuk
mengkonsumsi produk yang halal. Dari segi makanan dan barang, orang-orang Islam
diperintahkan supaya memakan dan menggunakan bahan-bahan yang baik, suci dan
bersih. Hal itu termaktub dalam Alquran:

‫اش ُكر ُۡوا هّٰلِل ِ اِ ۡن ُک ۡنتُمۡ اِيَّاهُ تَ ۡعبُ ُد ۡون‬ ِ ‫ٰيٓا َ يُّهَا الَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡوا ُکلُ ۡوا ِم ۡن طَي ِّٰب‬
ۡ ‫ت َما َر َز ۡق ٰن ُكمۡ َو‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari bendabenda yang baik (yang halal)
yang telah Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika betul kamu
hanya beribadat kepada-Nya”. (Q.s. Al-Baqarah [2]: 172)
Perlindungan atas konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam.
Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan
semata melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas bahkan menyangkut
hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Dalam konsep hukum Islam perlindungan
atas tubuh terkait dengan hubungan vertikal (manusia dengan Allah Swt) dan horizontal
(sesama manusia). Dalam Islam, melindungi manusia dan juga masyarakat sudah
merupakan kewajiban sebuah negara sehingga melindungi konsumen atas barang-
barang yang sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan secara fokus dan serius
(Fokky, 2009).
Prinsip etika dalam produksi pangan yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim
baik individu maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan oleh

12
Allah dan tidak melewati batas. Pada dasarnya produsen pada tatanan ekonomi
konvensional tidak mengenal istilah halal dan haram, tetapi yang ada adalah untung dan
rugi. Prioritas bagi para pengusaha liberalis adalah memenuhi keinginan pribadi dengan
mengumpulkan laba, harta dan uang. Produsen yang dilahirkan dalam pola pikir
liberalis itu tidak mementingkan apakah yang diproduksinya itu bermanfaat atau
berbahaya, baik atau buruk dan etis atau tidak etis (Lukmanul, 2004).
Sertifikasi halal menjadi kewajiban negara untuk memproteksi hak-hak konsumen
Muslim dari mengkonsumsi makanan, obat-obatan dan kosmetika yang berasal dari
jenis dan zat yang haram. Oleh karena itu perlu regulasi yang lebih jauh dan tegas untuk
dapat menjangkau hak-hak konsumen Muslim. Hal ini urgen untuk dilakukan
mengingat tidak semua umat Muslim paham bahwa apa yang mereka konsumsi
belumlah halal menurut hukum syariat. Disamping itu perlu juga untuk memberikan
pemahaman, penegasan serta pengetahuan terhadap produsen untuk menjaga hak-hak
konsumen Muslim. Sebagai negara dengan basis umat Islam terbesar di dunia sudah
selaiknya para produsen lebih mementingkan tercapainya keamanan dan kenyamanan
terhadap konsumen Muslim. Hal yang paling penting untuk diketahui bagi para
produsen adalah bahwa sertifikasi dan labelisasi halal bukan hanya untuk keamanan
bagi konsumen Muslim, melainkan juga memberikan keuntungan ekonomis bagi
produsen. Sertifikasi dan labelisasi halal merupakan etika bisnis yang harus dijalankan
oleh para produsen untuk melindungi hakhak kaum Muslim di Indonesia.
2. Adab-adab Makan dan Minum
a) Berdo’a sebelum makan
Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh
sebagian kaum muslimin, yaitu berdo’a sebelum makan. Padahal lebih ringan
daripada sekedar mengangkat sesuap nasi ke mulut dan tidak lebih berat dari
menahan rasa lapar.
Rasulullah saw bersabda:

‫ بِس ِْم هللاِ فِ ْي أَ َّو لِ ِه َوآ ِخ ِر ِه‬: ْ‫ فَإ ِ ْن ن َِس َي فِ ْي أَ َّولِ ِه فَ ْليَقُل‬,‫ بسم هللا‬: ْ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم طَ َعا ًما فَ ْليَقُل‬
“Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia
mengucapkan “Bismillah” (Dengan nama Allah), dan bila dia lupa diawalnya
hendaklah dia mengucapkan “Bismillah fii awwalihi wa akhirihi” (Dengan nama

13
Allah di awal dan diakhirnya).”(Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/167 no.1513 oleh
Asy-Syaikh Al-Albani )
Dalam hadits yang lain dari Shahabat yang membantu Rasulullah saw selama 18
tahun, dia bercerita bahwa:  “Dia selalu mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam apabila mendekati makanan mengucapkan ‘bismillah’.”(HR. Muslim)
Berdasarkan dalil yang shahih dan sharih (tegas) di atas, menerangkan bahwa
membaca ‘bismillah’ ketika makan dan minum adalah wajib dan berdosa bila
meninggalkannya. Rasulullah saw  berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

َ‫ َس ِّم هللاَ َو ُكلْ بِيَ ِم ْينِك‬,‫…يَا ُغالَ ُم‬


“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan
kananmu…”(HR.Al Bukhari dan Muslim).
b) Menggunakan tangan kanan
Makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, dan bila seseorang makan
dan minum dengan tangan kiri maka berdosa karena dia telah menyelisihi perintah
Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta merupakan bentuk perbuatan
tasyabbuh (meniru) perilaku setan dan orang-orang kafir. Rasulullah saw bersabda:
‫ب فَ ْليَ ْش َربْ بِيَ ِم ْينِ ِه فَإِ َّن ال َّش ْيطَانَ يَأْ ُك ُل بِ ِش َمالِ ِه َويَ ْش َربُ بِ ِش َمالِ ِه‬
َ ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَأْ ُكلْ بِيَ ِم ْينِ ِه َوإِ َذا َش ِر‬
“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah makan dengan
tangan kanan dan apabila dia minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena
setan apabila dia makan, makan dengan tangan kiri dan apabila minum, minum
dengan tangan kiri.”(HR. Muslim)
c) Duduk saat makan
Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentunya
hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Sifat duduk Rasulullah saw ketika
makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu: “Nabi memiliki
sebuah qas’ah (tempat makan/nampan) dan qas’ah itu disebut Al-Gharra’ dan
dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat
Dhuha, lalu dibawalah qas’ah tersebut ¬dan padanya ada tsarid (sejenis roti) ¬
mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi
(badui) bertanya: “Duduk apa ini, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”

14
Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang
dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seorang yang angkuh dan
penentang.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih)
Kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua
lutut dan kaki)? Ibnu Baththal mengatakan: “Beliau melakukan hal itu sebagai salah
satu bentuk tawadhu’ beliau.” {Fathul Bari, 9/619}
Al Hafidzh Ibnu Hajar juga menerangkan:”…maka cara duduk yang disunnahkan
ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan
kedua punggung kaki, atau dengan mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas
kaki kiri.”(Fathul Bari)

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika Islam mempunyai karakteristik yang khas, yaitu
1) Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
2) Etika Islam menetapkan bahwa, yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan
buruknya perbuatan seseorang didasarkan pada al-Qur‟an dan As- Sunnah.
3) Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan
pedoman oleh seluruh umat manusia, kapanpun dan di manapun mereka berada.
4) Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur
dan mulia, serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan
manusia dan sering kita sebut yaitu humanisme. Untuk itu sumber etika dalam Islam
juga membentuk manusia insan kamil.

16
DAFTAR PUSTAKA
Arsyam, M. (2020). PENGARUH KEMAMPUAN SUPERVISIONAL KEPALA SEKOLAH DAN
PERAN KOMITE SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU SMA NEGERI DI KOTA
MAKASSAR. https://doi.org/10.31219/osf.io/j84ew.
Bustanudin, Agus. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial : Studi Banding Antara Pandangan
Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press. h. 29.
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,
1991), Cet. III, h. 14.
Fokky, “Perlindungan Konsumen Pangan dalam Perspektif I - lam”, dalam www.uai.ac.id.
diunduh tanggal 10 Maret 2009.
Kania, Dinar Dewi. 2010. “Pemikiran Pendidikan dalam Muqaddimah Ibn Khaldun”. Tawazun
Vol.4 No.4.
Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Lukmanul Hakim, Labelisasi Halal sebagai Wujud Perlindungan Konsumen, Makalah, (Jakarta:
Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia,2004), h. 4.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia. 1997) h. 11.
Nakosteen, Mehdi. 2003. Kontribusi Islam Atas Dunia Inteletual Barat,Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti. hlm. 213.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, No. 11 Tahun 2014.
Siagiaan, Sondang P., Etika Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Keempat Pengantar kepada Teori Nilai, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002), h. 50.
Veithzal Rivai, Amiur Nuruddin, Faisar Ananda Arfa, Islamic Business And Economics Ethics
Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah Saw dalam Bisnis, Keuangan
dan Ekonomi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 13.

17
18

Anda mungkin juga menyukai