Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TEKNIK PERUBAHAN PERILAKU

(RELAKSASI, SYSTEMATIC DESENSITIZATION, IN VIVO DESENSITIZATION)

Disusun oleh:

Dea Ananda Safitri 2130901152

Laura Fitriana 2130901162

Amelia Novitasari 2130901172

Dosen Pengampu:

Siti Khosiyah, M.Psi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berjudul "Teknik
Perubahan Perilaku (Relaksasi, Systematic Desensitization, In Vivo Desensitization)".

Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para Nabi
sekaligus satu-satunya Uswa tun khasanah kita, Nabi Muhammad SAW, tidak lupa pula saya
ucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Khosiyah, M.Psi, selaku dosen mata kuliah Modifikasi
Perilaku.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi dan pemahaman yang
bermanfaat bagi pembaca mengenai Teknik Perubahan Perilaku (Relaksasi, Systematic
Desensitization, In Vivo Desensitization). Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam makalah ini dan kami sangat mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan dapat menjadi bahan referensi yang berguna.

Palembang, 1 juni 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB 1 ........................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................................................. 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
A. Relaksasi ........................................................................................................................ 6
B. Jenis Relaksasi ............................................................................................................... 7
1. Progressive muscle relaxation ................................................................................. 7
2. Autogenic Training .................................................................................................. 7
3. Meditasi ................................................................................................................... 8
C. Teknik Desensitisasi Sistematis ..................................................................................... 8
1. Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling ................................ 10
2. Prinsip Dan Manfaat Dari Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling .. 10
3. Jenis Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling ................................... 11
4. Evaluasi Kritis Penggunaan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Pelaksanaan
Konseling .................................................................................................................. 11
BAB III .................................................................................................................................... 13
PENUTUP................................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Modifikasi perilaku adalah salah satu teknik pengubahan perilaku yang paling populer
di kalangan para pendidik ataupun psikolog. Teknik ini mudah untuk dilakukan dengan syarat
para penata laksana modifikasi perilaku harus dapat memahami prinsip-prinsip yang
mendasarinya. Dalam modifikasi perilaku analisis terhadap perilaku yang akan diubah harus
dilakukan menjadi perilaku yang tunggal, sehingga berbeda dengan perilaku yang lain.
Prosedur dan hasil modifikasi perilaku ada kemungkinan dapat diterapkan ke perilaku lain
selama ada kemiripan karakteristik perilaku yang akan diubah dengan perilaku yang telah
berhasil diubah. Modifikasi perilaku secara mendasar mempunyai dua tujuan, pertama,
mendukung dan mempromosikan perilaku-perilaku anak yang adaptif. Perilaku adaptif yang
dimaksud adalah perilaku yang diterima oleh lingkungan baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat danbermanfaat untuk perkembangan diri si anak sendiri. Kedua,
modifikasi perilaku bertujuan menekan atau meniadakan munculnya perilaku anak yang tidak
adaptif. Perilaku tidak adaptif adalah perilaku yang cenderung tidak diterima oleh lingkungan
keluarga, sekolah, atau masyarakat dan cenderung merugikan perkembangan anak itu sendiri
(Purwanta, 2012).
Menurut pandangan behavioristik, modifikasi perilaku dapat diartikan sebagai
penggunaan secara sistematik teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan
perubahan frekuensi perilaku tertentu dengan mengontrol lingkungan perilaku tersebut.
Apabila teknik kondisioning dilakukan secara ketat dengan memfokuskan pada stimulus,
respon, dan akibat konsekuensi diharapkan dapat membentuk perilaku baru yang diharapkan
sesuai dengan tujuan. Konsep modifikasi perilaku menurut Eysenk adalah usaha mengubah
perilaku dan emosi manusia dengan cara yang menguntungkan berdasarkan hukumhukum
teori modern proses belajar. Sedangkan Powers dan Osborn mendefinisikan modifikasi
perilaku sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk
menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol
lingkungan perilaku tersebut (Asri & Suharni, 2021).
Dalam perkembangannya, perilaku seseorang dapat berubah-ubah sesuai dengan hal-hal
yang memungkinkan perubahan itu terjadi dalam perkembangannya di kehidupan, perilaku
manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor intern dan ekstern yang memungkinkan suatu
perilaku mengalami perubahan. Perubahan perilaku merupakan suatu paradigma bahwa
manusia akan berubah sesuai dengan apa yang mereka pelajari baik dari keluarga, teman,
sahabat ataupun ataupun belajar dari diri mereka sendiri, proses pembelajaran diri inilah yang
nantinya akan membentuk seseorang tersebut, sedangkan pembentukan tersebut sangat
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan orang tersebut baik dalam kesehariannya ataupun
dalam keadaan tertentu. Individu yang akan mengadopsi atau mengubah perilakunya harus
melalui proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relative lama. Perubahan yang
efektif tergantung individu yang terlibat, tertarik, dan berupaya selalu untuk berkembang dan
maju serta mempunyai suatu komitmen untuk bekerja dan melaksanakannya (Irwan, 2017).

4
Terdapat beberapa teknik perubahan perilaku yang termasuk didalam Cognitive
Behavior Modification yang dapat dilakukan untuk modifikasi perilaku. Cognitive Behavioral
Modification merupakan cara modifikasi kognitif yang dilakukan untuk mengubah perilaku
manusia. Modifikasi perilaku-kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia
secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya
pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak
hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya
(Riduwan, 2010). Didalam makalah ini kami akan membahas teknik relaksasi, teknik
systematic desensitization, dan in vivo desensitization yang ada dalam Cognitive Behavior
Modification.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah penting
diantaranya, yaitu sebagai berikut :
1. Apa saja jenis-jenis dari teknik relaksasi?
2. Bagaimana penerapan teknik desentisasi sistematis dalam konseling?
3. Bagaimana Tujuan dari Desensitisasi sistematis in vivo ?

C. Tujuan
Dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat memberi tahukan
tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis dari teknik relaksasi?
2. Untuk melihat bagaimana penerapan teknik desentisasi sistematis dalam konseling?
3. Untuk mengatahui tujuan dari Desensitisasi sistematis in vivo ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Relaksasi
Cormier dan Cormier, 1985; Abimanyu & Manrihu: 1996 (Berliana, Giyono, &
Syaifuddin Latif, 2013) memberi pengertian relaksasi (otot) sebagai usaha mengajari
seseorang untuk relaks, dengan menjadikan orang itu sadar tentang perasaan-perasaan tegang
dan perasaan-perasaan rileks kelompok-kelompok otot utama seperti tangan, muka dan leher,
dada, bahu, punggung, dan perut, dan kaki. Dengan cara itu seseorang mengalami dan
menyadari tentang perasaan-perasaan tersebut untuk beberapa saat lamanya. Dengan adanya
perubahan perasaan tegang ke perasaan rileks itu dapat mempengaruhi tekanan darah
seseorang, kecepatan jantung, kecepatan pernafasan, dan juga mempengaruhi proses-proses
di dalam tubuh serta cara-cara seseorang berbuat atau merespon secara lahiriah. Tujuan
jangka panjang dari relaksasi otot adalah agar tubuh dapat memonitor sesegera mungkin
semua sinyal kontrolnya dan secara otomatis membebaskan tegangan yang tidak diinginkan.
Cormier & Cormier, 1985; Subandi, dkk: 2003 (Berliana, Giyono, & Syaifuddin Latif, 2013)
mengemukakan bahwa strategi relaksasi terdiri atas 7 (tujuh) tahapan sebagai berikut: (1)
Rasional penggunaan treatment relaksasi, (2) Petunjuk tentang berpakaian, (3) Menciptakan
suasana yang nyaman, (4) Permodelan oleh konselor, (5) Petunjuk untuk melakukan
relaksasi, (6) Penilaian pasca relaksasi, (7) Pekerjaan rumah dan tindak lanjut.
Jacobson dalam walker dkk., 1981 (Wulandari, 2004) teknik relaksasi dilakukan
berdasar pada asumsi bahwa individu dapat secara sadar untuk belajar merilekskan otot-
ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis. Ada bermacam-
macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go agar subjek
mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa ketegangan.
Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan menegangkan otot-ototnya dan
berusaha untuk sedapat mungkin mengurang dan menghilangkan ketegangan otot tersebut.
Selain itu dilatihkan pula teknik differential relaxation yang mengajarkan kepada subjek
ketrampilan untuk merilekskan otot-otot yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan,
karena dalam keadaan cemas seluruh otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang
berperan dalam aktivitas tertentu.
Relaksasi adalah kondisi dimana seseorang tenang secara psikologis dan fisiologis
ditandai dengan rendahnya ketegangan dan gejolak baik secara fisik maupun psikologis. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam relaksasi yaitu:
1. Setting: tempat pelaksanaan relaksasi haruslah tempat yang nyaman dan bebas dari
interupsi dan hal-hal yang bersifat distraksi. Seseorang yang ingin melaksanakan
relaksasi dalam posisi duduk dan nyaman tapi tidak sampai tertidur. Melonggarkan
pakain yang dipakai.
2. Panjangnya pelaksanaan relaksasi: relaksasi dilaksanakan sekitar 10 sampai dengan
30 menit, dalam fase belajar relaksasi biasanya bisa lebih lama lagi. Penting untuk
mempraktikkan relaksasi ini sekali atau dua kali dalam seminggu sebagai “PR” bagi
klien.

6
B. Jenis Relaksasi
Dilansir dari web Psikologi Multitalent, terdapat 3 jenis relaksasi, yaitu: (Multitalent, 2016)
1. Progressive muscle relaxation
Progressive muscle relaxation atau progressive relaxation: secara bergantian membuat
anggota tubuh tegang dan rileks. Ada dua hal yang penting dalam menggunakan progressive
relaxation yaitu hasil riset menunjukkan hal yang tidak konsisten mengenai menegangkan
bagian tubuh tertentu dalam progressive relaxation sebagai proses yang penting dan
progressive relaxation bisa menggunakan audio-recorded, langkah petunjuk melakukan
relaksasi.
Prosedur progressive relaxation adalah:
 Tangan kanan: kepalkan tangan kanan dan kencangkan, tahan sebentar kemudian
rileks-kan
 Tangan kiri: kepalkan tangan kiri dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-
kan
 Lengan kanan: kepalkan lengan kanan dan kencangkan, tahan sebentar kemudian
rileks-kan
 Lengan kiri: kepalkan lengan kiri dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-
kan
 Alis: tegangkan alis dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-kan
 Wajah: tegangkan wajah dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-kan
 Leher bagian belakang: tegangkan leher belakang dan kencangkan, tahan sebentar
kemudian rileks-kan
 Leher bagian depan: tegangkan leher bagian depan dan kencangkan, tahan sebentar
kemudian rileks-kan
 Bernafas: tarik nafas dalam-dalam, tahan dan kemudian lepaskan
 Bahu: tegangkan bahu dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-kan
 Perut: tegangkan perut dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-kan
 Kaki: tegangkan kaki dan kencangkan, tahan sebentar kemudian rileks-kan
 Ambil nafas dalam-dalam, tahan dan lepaskan (lakukan 5 kali)

2. Autogenic Training
Autogenic Training adalah teknik relaksasi dimana individu membayangkan berada di
situasi yang menyenangkan dan tenang. Lebih lanjut menggunakan pengalaman sensasi pada
tubuh seperti: perasaan berat dan hangat. Istilah autogenic merupakan teknik psikologi dan
fisiologis yang bisa dilakukan sendiri.
Prosedur dari Autogenic Training adalah sebagai berikut:
 Bersikap pasif dan relaks
 Memberikan kesempatan pada tubuh untuk berubah mengikuti proses secara alamiah

7
 Memilih gambaran tempat yang tenang dan menyenangkan seperti: di pantai atau di
kebun di musim semi.
Training ini melewati 6 fase, tiap tema terkait dengan tipe sensasi pada tubuh klien.
Setiap terapi melibatkan perasaan berat dan hangat.
3. Meditasi
Meditasi berasal dari ajaran Budha menghasilkan relaksasi dan kesadaran sadar akan
arti setiap pengalaman, tidak terbebani oleh distorsi kognitif atau emosional. Menerima
sensasi sakit yang dirasakan dibadan tanpa memblokirnya, dan memisahkan perasaan sakit
yang dirasakan fisik dengan reaksi emosional yang ditimbulkan dari rasa tersebut. Seseorang
sadar akan rasa sakit tersebut namun tidak berefek pada pikiran dan perasaan orang tersebut.
C. Teknik Desensitisasi Sistematis
Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling merupakan tehnik pergantian prilaku
yang didasari oleh pendekatan konseling behavioral. Teknik desensitisasi sistematis didalam
konseling dikembangkan oleh Joseph Wolpe yang merupakan salah satu pionir didalam terapi
behavioral yang mengatakan bahwa semua prilaku neurotic adalah ekspresi berasal dari
kecemasan. Dia termasuk mengatakan bahwa kecemasan kecemasan dapat dieliminasi
bersama menemukan tanggapan yang antagonistik. Teknik desensitisasi didalam konseling,
klien atau konseli dilatih untuk enjoy dan menghubungkan kondisi enjoy itu bersama
memikirkan pengalaman-pengalaman yang mencemaskan, menggusarkan atau
mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara sistematis berasal dari yang kurang
mengkuatirkan hingga terhadap yang paling mengkuatirkan (Willis, 2004:71).
Teknik desensitisasi didalam konseling didasarkan terhadap komitmen pengkondisian
klasik, terhadap tehnik desensitisasi didalam konseling ini klien atau konseli diminta untuk
memikirkan kondisi yang sebabkan kecemasan secara terus menerus layaknya mereka hadapi
kondisi yang nyata. Secara bertahap atau secara sistematis klien atau konseli bakal kurangi
tingkat sensitifitasnya terhadap kondisi yang sebabkan kecemasan. Teknik desensitisasi
didalam konseling ini termasuk dapat dikatakan sebagai eksposure terapi. sebab klien atau
konseli diminta untuk menghidupkan kondisi yang sebabkan kecemasan.
Teknik desensitisasi didalam konseling merupakan salah satu tehnik yang diterapkan
secara luas dan kerap kali jadi objek didalam penelitian. Meskipun sistem tehnik desensitisasi
didalam konseling merupakan prosedur yang membutuhkan pas relatif lama, tetapi tehnik
desensitisasi didalam konseling ini telah terbukti efektif untuk kurangi gangguan kecemasan
(Latipun, 2008). Sebelum jalankan tehnik desensitisasi sistematis, seorang konselor kudu
menyatukan Info tentang gangguan yang dialami oleh klien atau konseli. Teknik desensitisasi
sistematis didalam konseling termasuk melibatkan tehnik relaksasi.
Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling menerapkan tehnik relaksasi yang
digunakan untuk menghapus prilaku yang diperkuat secara negatif biasanya berwujud
kecemasan, dan ia melampirkan tanggapan yang berlawanan bersama prilaku yang bakal
dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak diinginkan dapat
dihilangkan secara bertahap. Cara yang digunakan didalam kondisi enjoy stimulan yang
mengakibatkan kecemasan dipasangkan bersama stimulan yang mengakibatkan kondisi
santai.

8
Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling biasanya digunakan terkecuali
seseorang mengalami kecemasan terhadap suatu stimulan tertentu. Teknik desensitisasi
sistematis didalam konseling Bersandar terhadap fakta bahwa seseorang tidak bakal secara
seiring mulai rileks dan cemas. Wolpe memanfaatkan tehnik relaksasi sebagai langkah
didalam mengimbangi stimulan yang ditakuti. Ketika berada didalam kondisi rileks, seorang
individu tidak bakal mengalami kecemasan dan untuk itulah tehnik relaksasi digunakan.
Asumsi dasar teknik desensitisasi di dalam konseling adalah berdasarkan respon
keresahan yang merupakan prilaku yang dipelajari dan bisa dicegah bersama
menggantikannya bersama kesibukan yang berlawanan bersama respon keresahan tersebut.
respon kuatir berwujud keresahan terhadap sesuatu yang kurang beralasan tersebut digantikan
bersama relaksasi. Asumsi dasar yang melatarbelakangi teknik relaksasi adalah bahwa
individu punyai keresahan yang nampak berasal dari situasi fisik maupun psikisnya, sehingga
dibutuhkan usaha untuk menyalurkan berlebihan kekuatan di dalam dirinya melalui suatu
kesibukan yang menggembirakan dan menenangkan. Jadi komitmen dasar teknik
desensitisasi sistematis di dalam konseling adalah bersama memasukkan suatu respon yang
bertentangan bersama kecemasan, yaitu relaksasi.
Relevansi tehnik desensitisasi sistematis didalam konseling, tehnik ini digunakan
utamanya bagi individu yang mengalami gangguan perasaan risau berlebihan (fobia) pada
sesuatu. Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling ini bersifat "mengajar" klien atau
konseli yang punya perasaan risau pada sesuatu, yang memang tidak mesti ditakuti.
Berikut adalah 3 Fase Dalam Pelaksanaan Konseling Dengan Teknik Desensitisasi
Sistematis:
1. Fase Pertama : Konseli diajari teknik relaksasi otot dalam dan latihan pernapasan.
Misalnya kontrol atas pernapasan, pelepasan otot atau meditasi. Langkah ini sangat penting
karena penghambatan timbal balik, di mana sekali respons terhambat karena tidak kompatibel
dengan yang lain. Dalam kasus fobia, ketakutan melibatkan ketegangan dan ketegangan tidak
sesuai dengan relaksasi.
2. Fase Kedua : Konseli menciptakan hierarki rasa takut yang dimulai dari rangsangan
yang paling tidak menimbulkan kecemasan (ketakutan) dan berkembang secara bertahap
hingga gambar yang paling menimbulkan rasa takut. Daftar ini sangat penting karena
memberikan struktur untuk terapi.
3. Fase Ketiga : Konseli meningkatkan hierarki rasa takut, memulai setidaknya
rangsangan yang tidak menyenangkan dan mempraktikkan teknik relaksasi mereka saat
mereka pergi. Ketika mereka merasa nyaman dengan ini (mereka tidak lagi takut), mereka
melanjutkan ke tahap berikutnya dalam hierarki. Jika klien menjadi marah, mereka dapat
kembali ke tahap sebelumnya dan mendapatkan kembali keadaan santai mereka. Konseli
akan berulang kali membayangkan (atau dihadapkan pada) situasi ini sampai gagal
membangkitkan kecemasan sama sekali, yang menunjukkan bahwa terapi telah berhasil.
Proses ini diulangi saat mengerjakan semua situasi dalam hierarki kecemasan sampai yang
paling memicu kecemasan.
Sebagai contoh; Misalnya, ada seorang konseli yang memiliki phobia dengan laba-laba.
Phobia ini mungkin akan membuat konseli berfikir bahwa seekor laba-laba kecil yang diam
sejauh 5 meter hanya sebagai ancaman ringan, tetapi laba-laba besar yang bergerak cepat

9
sejauh 1 meter sebagai ancaman yang sangat tinggi. Konseli mencapai keadaan relaksasi
yang dalam, dan kemudian diminta untuk membayangkan (atau dihadapkan pada) situasi
yang paling tidak mengancam dalam hierarki kecemasan.
1. Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Menurut Willis (2004: 71)teknik desensitisasi sistematis punya tujuan mengajarkan
konseli untuk beri tambahan respon yang tidak terus-menerus dengan ketakutan yang dialami
konseli. Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling ini mengajarkan pada konseli
untuk santai dan menghubungkan kondisi santai itu dengan memikirkan pengalaman yang
mencemaskan, menggusarkan dan mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara
sistematis berasal dari yang kurang merisaukan hingga pada yang paling mencemaskan.
Secara lebih spesifik, tujuan dari tehnik desensitisasi sistematis didalam konseling
adalah sebagai berikut ini:
1) Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif
dan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus
2) Menciptakan sistem baru bagi sistem belajar, karena segenap tingkah laku adalah bisa
dipelajari
3) Teknik desensitisasi sistematis didalam konseling berniat mengajarkan konseli untuk
beri tambahan respon yang tidak terus-menerus dengan ketakutan yang dialami oleh
konseli
4) Mengurangi sensitifitas emosional yang berkenaan dengan kelainan pribadi atau
persoalan sosial

2. Prinsip Dan Manfaat Dari Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling


Prinsip teknik desensitisasi sistematis dalam konseling adalah perubahan tingkah laku
juga dalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan dari persoalan yang mampu
diatasi bersama dengan pakai teknik desensitisasi sistematis dalam konseling layaknya fobia,
anxiety dan lain-lain tidak harus untuk dihilangkan seutuhnya dari diri seorang klien atau
konseli. Setiap individu harus untuk tetap punya perasaan-perasaan layaknya takut, cemas
asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak punya perasaan-perasaan
layaknya yang disebutkan diatas maka justru individu akan mempunyai masalah atau tidak
normal.
Manfaat teknik desensitisasi dalam konseling antara lain adalah sebagai berikut ini:
1) Desensitisasi sistematis sering digunakan untuk mengurangi mal-adaptasi kegelisahan
yang dipelajari melalui conditioning (seperti: fobia) tapi juga mampu diterapkan
terhadap masalah lain, bila kegelisahan dalam menghadapi ujian.
2) Teknik desensitisasi sistematis mampu menolong konseli dalam melemahkan atau
mengurangi tingkah laku negatif tanpa menghilangkannya
3) Konseli juga mampu mengaplikasikan teknik desensitisasi sistematis ini dalam
kehidupan sehari-hari tanpa harus ada konselor yang memandu

10
3. Jenis Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Secara umum, teknik desensitisasi sistematis dalam konseling dibagi menjadi 2 yaitu in
vivo (nyata) dan in vitro (imajinasi).
1) Desensitisasi Sistematis in vivo
Desensitisasi sistematis in vivo (kehidupan nyata), dimana klien atau konseli secara
bertahap menghadapi rasa takut terhadap stimulus sambil mempertahankan relaksasi. Setelah
klien atau konseli terbiasa dengan relaksasi maka akan lebih efektif jika menghadapkan klien
atau konseli pada situasi nyata, yaitu dengan desensitisasi sistematis in vivo. Tujuannya
adalah agar klien atau konseli benar-benar mampu menghadapi ketakutan-nya. Hal ini
terutama tepat diterapkan pada klien atau konseli yang memiliki kesulitan dalam
membayangkan suatu hal yang menyebabkan kecemasan sehingga mereka tidak dapat
merasakan perasaan emosional.
2) Desensitisasi Sistematis in vitro
Desensitisasi sistematis in vitro merupakan proses khusus dalam imajinasi: 1)Klien atau
konseli diminta untuk menghayalkan hal-hal yang menimbulkan kecemasan dimulai dari
tingkatan yang paling rendah; 2)Klien atau konseli diminta untuk mengacungkan jari
telunjuknya jika dirinya merasa cemas saat membayangkan; 3)Berfikir tentang hal yang
ditakutkan dan relaksasi lagi; 4)Disajikan kecemasan pada tingkat selanjutnya.
4. Evaluasi Kritis Penggunaan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Pelaksanaan
Konseling

1) Masalah Praktis
Fakta bahwa penggunaan tehnik desensitisasi sistematis bisa diterapkan dalam gambar
berarti bahwa banyak kerugian praktis yang terlibat dalam eksposisi di vivo bersama dengan
model fobia ini bisa dihilangkan. Salah satu kelemahan eksposisi in vitro adalah bahwa hal
itu tergantung terhadap konseli untuk bisa membayangkan suasana yang menakutkan.
Beberapa orang tidak bisa membawa dampak gambar yang hidup dan bersama dengan
demikian desensitisasi sistematis tidak tetap efisien (ada perbedaan terhadap tiap-tiap diri
individu).
Desensitisasi sistematis adalah proses yang lambat, biasanya memakan sementara 6-8
sesi. Meskipun, menyatakan bahwa makin lama tehnik tersebut digunakan, maka akan makin
efektif. Struktur progresif desensitisasi sistematis memungkinkan pasien untuk mengontrol
beberapa langkah yang perlu dia melakukan sampai rasa cemas diatasi. Tidak terdapatnya
unsur-unsur yang mengganggu ini membawa dampak tehnik ini condong tidak
memprovokasi penanggulangannya terapi.
2) Masalah Teoritis
Desensitisasi sistematis benar-benar efisien kalau masalah kegalauan dipelajari dari
objek situasi tertentu, apabila fobia (McGrath et al., 1990). Namun, desensitisasi sistematis
tidak efisien didalam mengobati problem mental betul-betul layaknya depresi dan
skizofrenia. Penelitian sudah tunjukkan bahwa baik relaksasi maupun hierarki tidak

11
dibutuhkan dan faktor pentingnya sebatas keterpaparan terhadap objek atau situasi yang
ditakuti.
Desensitisasi sistematis didasarkan terhadap ide bahwa tabiat abnormal yang dipelajari.
Pendekatan biologis dapat tidak setuju dan menyatakan kita dilahirkan dengan tabiat dan oleh
dikarenakan itu wajib ditangani secara medis. Mengobati gejala bukan penyebab fobia.
desensitisasi sistematis cuma menangani gejala fobia yang dapat dicermati dan diukur. Ini
adalah kelemahan yang vital dikarenakan kognisi dan emosi kerap menjadi motivator tabiat
agar pengobatannya cuma menangani gejala, bukan penyebab yang mendasarinya.
Fobia sosial dan agorafobia tampaknya tidak tunjukkan banyak perbaikan. Mungkinkah
ada penyebab lain untuk fobia tidak cuman pengkondisian klasik? Misalnya, kalau rasa risau
berbicara di depan umum berasal dari keterampilan sosial yang buruk maka pengurangan
fobia lebih mungkin berjalan didalam pengobatan yang termasuk pembelajaran keterampilan
sosial yang efisien daripada desensitisasi sistematis saja.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relaksasi adalah kondisi dimana seseorang tenang secara psikologis dan fisiologis
ditandai dengan rendahnya ketegangan dan gejolak baik secara fisik maupun psikologis.
Adapun Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling bertujuan untuk mengajarkan pada
konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami
konseli. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling ini mengajarkan pada konseli untuk
santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan pengalaman yang
mencemaskan. Tujuan Desensitisasi sistematis in vivo (kehidupan nyata), adalah agar klien
atau konseli benar-benar mampu menghadapi ketakutan-nya. Hal ini terutama tepat
diterapkan pada klien atau konseli yang memiliki kesulitan dalam membayangkan suatu hal
yang menyebabkan kecemasan sehingga mereka tidak dapat merasakan perasaan emosional.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asri, D. N., & Suharni. (2021). Modifikasi Perilaku: Teori dan Penerapannya. Jawa Timur:
UNIPMA Press (Anggota IKAPI).
Berliana, Giyono, & Syaifuddin Latif. (2013). Penggunaan Cognitive Behavior Therapy
Teknik Relaksasi Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan Berkomunikasi. Jurnal
Bimbingan dan Konseling.
Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. Absolute Media.
Multitalent, P. (2016). Pengertian Restrukturisasi Kognisi, Relaksasi, Desensitisasi.
https://www.psikologimultitalent.com/2016/11/pengertian-restrukturisasi-kognisi.html
McGrath, T., Tsui, E., Humphries, S., & Yule, W. (1990). Successful Treatment of a Noise
Phobia in a Nine‐year‐old Girl with Systematic Desensitisation in vivo. Educational
Psychology, 10(1), 79-83.
Purwanta, E. (2012). Modifikasi Perilaku: Alternatif Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riduwan. (2010). Belajar Mudah Penelitian . Bandung: Al Fabeta.
Wulandari, L. H. (2004). Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif Untuk Mengurangi
Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi.
Willis, Sofyan. (2004). Konseling Individual: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta
Wolpe, J. (1964). behavior therapy in complex neurotic states. The British Journal of
Psychiatry, 110(464), 28-34.

14

Anda mungkin juga menyukai