Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN STUDI KASUS

KELAINAN GENETIK ACHONDROPLASIA

OLEH KELOMPOK VII


Novriantri Yuliana Boymau (2106050004)
Evarista Kollo (2106050017)
Irene Putri Fangidae (2106050020)
Jaeniva Irlani Nahak (2106050021)
Maria Ines Divana Wea (2106050026)
Dosen Pengampuh : Ibu Ermelinda D. Meye, S. Si, M. Sc

PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
KELAINAN GENETIK ACHONDROPLASIA

I. Tujuan
1) Untuk mengetahui Kelainan Achondroplasia secara teoritis
2) Untuk mengetahui informasi terkait kasus kelainan Achondroplasia yang terjadi di
lapangan.

II. Tinjauan Pustaka

Istilah Achondroplasia pertama kali digunakan oleh Parrot (1878). Achondroplasia


berasal dari bahasa Yunani yaitu; achondros: tidak ada kartilago dan plasia: pertumbuhan.
Secara harfiah Achondroplasia berarti tanpa pembentukan/ pertumbuhan kartilago, walaupun
sebenarnya individu dengan Achondroplasia memiliki kartilago. Masalahnya adalah
gangguan pada proses pembentukan kartilago menjadi tulang terutama pada tulang-tulang
panjang.
Achondroplasia adalah dwarfisme atau kekerdilan yang disebabkan oleh gangguan
osifikasi endokondral akibat mutasi gen FGFR 3 (fibroblast growth factor receptor 3) pada
lengan pendek kromosom 4p16.3. Sindroma ini ditandai oleh adanya gangguan pada tulang-
tulang yang dibentuk melalui proses osifikasi endokondral, terutama tulang-tulang panjang.
Selain itu, Achondroplasia memberikan karakteristik pada kraniofasial. Achondroplasia juga
dikenal dengan nama Achondroplastic Dwarfism, Chondrodystrophia Fetalis,
Chondrodystrophy Syndrome atau Osteosclerosis Congenital.
Fibroblast growth factor receptor 3 adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh gen
FGFR3.[5] FGFR3 juga telah ditunjuk sebagai CD333 (cluster of diferensiasi 333). Gen yang
terletak pada kromosom 4, lokasi q16.3, diekspresikan dalam jaringan seperti tulang rawan,
otak, usus, dan ginjal.( Wang Y,dkk (2013))
Kelainan Achobdroplasia Secara Teoritis
a. Etiologi Achondroplasia
Adanya mutasi pada gen yang mengode Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3)
dan bersifat autosomal dominan. Sekitar 80% mutasi merupakan mutasi baru yang terjadi
sejak masa embrional. Mutasi pada gen FGFR3 menyebabkan protein tidak berfungsi secara
normal, sehingga mengganggu perubahan tulang rawan menjadi tulang. Kondisi ini
menyebabkan tulang tumbuh lebih pendek dan memiliki bentuk abnormal, terutama tulang di
bagian lengan dan tungkai. Khu, Adrian. (2018).
b. Patofisiologi Achondroplasia
Achondroplasia terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang mengode Fibroblast Growth
Factor Receptor 3 (FGFR3). Pada mamalia, FGFRs terdiri dari 4 macam reseptor Tirosin
Kinase (FGFR1-4) yang memiliki afinitas yang berbeda-beda terhadap Fibroblast Growth
Factors (FGFs). Adapun FGF 1, 2, 4, 8, dan memiliki afinitas tinggi untuk mengaktifkan
FGFR3. FGFs terdiri dari 18 protein struktural misalnya, heparin-binding polypeptides yang
memegang peranan pada pertumbuhan dan differensiasi berbagai jenis sel yang berasal dari
mesenkim dan neuroektodermal. Selain itu, FGFs juga memenggaruhi kemotaksis,
angiogenesis, dan apoptosis sel tersebut. Khu, Adrian. (2018).
Pada keadaan normal, adanya akitivasi pada FGFR3 membuka jalur STAT1, MAPK-
ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya untuk menginhibisi proliferasi kondrosit, sintesis
matriks post-mitotik, dan diferensiasi akhir (hipertrofi) sel. Dengan teraktvasinya FGFR3
maka, teraktivasi pula C-type Natriuretic Peptide (CNP) melalui interaksi dengan
reseptornya, Natriuretic Peptide Receptor B (NPR-B). CNP menginduksi Cyclic Guanosine
Monophosphate (cGMP) sehingga menginhibisi jalur MAPK yang akhirnya akan
menyebabkan proliferative dan pra-hipertrofi pada zona lempeng pertumbuhan .

Gambar 1: Aktivasi FGFR3 oleh FGF membuka jalur STAT1, MAPK-ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya serta, induksi CNP yang
menghambat jalur MAPK.
Sumber: https//www.academia.edu
Achondroplasia disebabkan oleh mutasi dominan autosomal pada gen FGFR3 (fibroblast
growth factor receptor 3) pada lengan pendek kromosom 4 p16.3. Gen FGFR3 berfungsi
memberi instruksi dalam hal pembentukan protein yang terlibat dalam pembentukan dan
pemeliharaan tulang, khususnya pembentukan tulang secara osifikasi endokondral. Dua
mutasi spesifik pada gen FGFR3 bertanggungjawab pada hampir semua kasus
Akondroplasia. Sekitar 98% kasus, terjadi mutasi G ke A pada nukleotida 1138 pada gen
FGFR3. Sebesar 1% kasus disebabkan oleh mutasi G ke C. Mutasi-mutasi ini mengakibatkan
protein tidak bekerja sebagaimana mestinya, sehingga mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan tulang. Khu, Adrian. (2018).
Berikut gambaran radiologi penderita kelainan acondroplasia

 Foto konvensional
Pada pemeriksaan foto konvensional, didapatkan :
Pelebaran tulang cranium (kalvari) dengan bagian frontal yang menonjol
disertai hipoplasia midface.

Gambar 2: Gambar menunjukkan adanya pembesaran kalvaria dengan


bagian basis cranium yang mengecil disertai bagian frontal cranium yang
menonjol.
Sumber: https//www.academia.edu

Ekstremitas dan tulang rusuk yang lebih pendek dari panjang batang tubuh
(ratio ekstremitas dan costa dibanding trunkus bertambah).
Gambar 3: Gambar menunjukkan adanya pemendekan tulang rusuk
Sumber: https//www.academia.edu

Rongga pelvis yang menyempit dan adanya pemendekan jarak interpedikular


serta tampak gambaran champagne glass-pelvis.

Gambar 4: Champagne-glass appereance dengan berkurangnya sudut


acetabulum, dan sayap iliaca berbentuk persegi.
Sumber: https//www.academia.edu

Adanya tridend hand, dimana tulang-tulang falang yang memendek dengan


jarak antara jari yang melebar (gambaran trisula).
Gambar 5 : Tridend hand
Sumber: https//www.academia.edu

Berkurangnya jarak interpedicular pada kolumna vertebra dilihat dari arah


caudal dan berkurangnya diameter anteroposterior dari vertebra.

Gambar 6: Gambar 7:
Berkurangnya jarak interpedicular vertebra dilihat dari arah Gambar vertebra dari posisi lateral dimana menunjukkan
caudal gambaran berkurangnya diameter anteroposterior (AP) tulang
Sumber: https//www.academia.edu belakang
Sumber: https//www.academia.edu

 Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi biasanya dilakukan saat perawatan antenatal
oleh ibu hamil yang beresiko tinggi memiliki anak dengan achondroplasia.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan achondroplasia yang bersifat
homozigot dan heterozigot.
Pada achondroplasia yang bersifat homozigot, didapatkan panjang batang
tubuh yang normal, tengkorak yang berbentuk daun semanggi (cloverleaf), dan
adanya perbedaan proporsi yang nyata antara ukuran tengkorak dan/atau diameter
biparietal (BPD) dengan panjang tungkai dimana, panjang femur berada di bawah
percentile ke-3 sesuai usia gestasinya. Gambaran ini sudah dapat dinilai pada usia
gestasi 13 minggu. Adapun kasus ini bersifat letal akibat hipoplasia paru yang
dihubungkan dengan hambatan pertumbuhan rongga dada.
Pada achondroplasia yang bersifat heterozigot, gambaran ultrasonografi
trimester awal kehamilan menunjukkan gambaran normal dan kelainan baru dapat
diamati pada akhir trimester II (usia gestasi >24-28 minggu). Dimana kelainan
dari gambaran ultrasonografi bersifat ringan dengan ekstremitas yang pendek,
ukuran batang tubuh yang kecil, peningkatan lingkar kepala dan BPD, dahi
menonjol, dan jarak interpendikular pada tulang belakang berkurang.
 CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sering digunakan untuk menilai ukuran foramen
magnum pada penderita achondroplasia. Hal itu dikarenakan, pada 96% penderita
achondroplasia, ukuran foramen magnumnya berada pada 3 standar deviasi
dibawah rata-rata.
Selain itu, periksaan CT-Scan juga digunakan untuk menilai adanya
penjepitan maupun penekanan pada medullaspinalis akibat kompresi dari corpus
vertebra cervical I dengan foramen magnum yang berukuran kurang dari normal.
Adapun komplikasi otitis media yang sering didapatkan pada penderita
achondroplasia dapat pula dinilai melalui pemeriksaan tulang temporal pada CT-
Scan.
 MRI
Pemeriksaan MRI yaitu pemeriksaan craniocervical dilakukan untuk menilai
adanya kompresi pada medulla spinalis yang melewati kanal vertebra cervical I.
Selain itu, dengan pemeriksan MRI dapat pula dinilai adanya penyempitan ruang
subarachnoid pada pertemuan cervical dan medulla otak, adanya
ventriculomegaly derajat ringan hingga sedang serta anomali-anomali lain yang
sering menyertai achondroplasia.

Gambar 8:
Gambaran MRI pada anak berusia 6 tahun yang merupakan penderita achondroplasia dengan defisit
neurologis. Gambar ini menunjukkan adanya penyempitan foramen magnum pada cervical I dan penyempitan
ruang subarachnoid
Sumber: https//www.academia.edu

c. Pengobatan Achondroplasia
Sampai sekarang, masih belum ada cara pengobatan yang bisa sepenuhnya mengatasi
kondisi achondroplasia. Penanganan hanya dilakukan dengan tujuan untuk membantu
meringankan gejala atau mencegah terjadinya komplikasi yang lebih serius. Penanganan
yang bisa dilakukan, yaitu:
 Medical check-up
Pemeriksaan medis secara rutin sangat penting dilakukan guna mengetahui
pertumbuhan tubuh pengidap. Pemeriksaan ini termasuk mengukur rasio tubuh bagian
atas dan bawah, juga berat badan. Menjaga berat badan tentu perlu dilakukan sehingga
komplikasi tidak terjadi karena obesitas.
 Terapi hormone
Anak dengan kondisi achondroplasia mungkin dianjurkan untuk melakukan terapi
hormon rutin guna membantu meningkatkan pertumbuhan tulang. Hal ini dilakukan agar
anak bisa mendapatkan postur tubuh lebih baik ketika dewasa nantinya.
 Obat-obatan
Obat seperti antibiotik biasanya diresepkan oleh dokter pada pengidap achondroplasia
yang mengalami infeksi telinga, salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi. Lalu,
obat antiradang bisa dikonsumsi apabila pengidap mengalami radang sendi.
 Operasi
Penanganan lainnya adalah operasi, yang dilakukan guna meringankan gejala yang
dirasakan atau mengatasi komplikasi yang muncul. Pilihan operasinya adalah:

Operasi caesar untuk ibu hamil dengan kondisi achondroplasia dengan tulang panggul
yang kecil. Prosedur serupa dianjurkan untuk dilakukan apabila janin mengidap
achondroplasia dengan ukuran kepala lebih besar untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan.
Ortopedi, dilakukan apabila pengidap memiliki bentuk kaki seperti huruf O.
Ventriculoperitoneal shunt, yang dilakukan apabila pengidap memiliki kondisi
hidrosefalus.
Lumbar laminektomi, yang dilakukan untuk mengatasi kondisi stenosis spinal.

 Mengelola gejala
Pengelolaan gejala difokuskan pada penanganan komplikasi yang potensial, misalnya:

Mengelola berat badan dan menjalankan kebiasaan makan yangs ehat untuk
mencegah obesitas.
Pembedahan shunt ventriculoperitoneal, untuk mengurangi tekanan cairan pada otak.
Selain itu dengan kompresi persimpangan craniocervical, untuk memperbaiki
komplikasi yang mengancam jiwa.
Pengangkatan kelenjar gondok dan amandel melalui operasi.
Mengelola hormon pertumbuhan.
Penggunaan masker hidung continuous positive airway pressure (CPAP) untuk
apnea.
Menggunakan tabung telinga atau antibiotik untuk mencegah infeksi telinga.
Mendapatkan dukungan sosial dari keluarga, teman terdekat, dan lingkungan.

d. Pencegahan Achondroplasia
Tindakan pencegahan terhadap achondrplasia belum diketahu hingga saat ini. Jika
mengidap atau memiliki riwayat achondrplasia dalam keluarga, disarankan untuk
berdiskusi dengan ahli genetika untuk mengetahui lebih lanjut tentang resiko resiko
terjadinya achondroplasia.
Pengidap achondrplasia juga dapat melakukan pencegahan dengan menghindari
berbagai aktivitas berbahaya yang berisiko terhadap rusaknya tulang belakang sehingga
hal ini bisa menjadi cara pencegahan kekeredilan pada tubuh.
III. METODELOGI
a. Waktu dan Tempat Wawancara

Wawancara terkait kasus kelainan genetik Achondroplasia dilakukan pada :

Hari/tanggal: Sabtu, 25 februari 2023

Tempat :Kaniti, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang

b. Alat dan Bahan

1. Alat tulis
2. Camera (hp)

c. Prosedur

Pada laporan ini memuat prosedur berupa wawancara narasumber yang mengalami kelainan
genetic (Achondroplasia) yang sudah bersedia untuk diwawancarai. Sebelum melakukan
wawancara perlu disiapkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Sejak kapan narasumber mengalami kelainan Achondroplasia?


2) Apakah ada anggota keluarga narasumber (orang tua, saudara/saudari) yang mengalami
kelainana Achondropolasia?
3) Bagaimana kondisi ibu narasumber selama masa kehamilan?
4) Bagaimana kondisi narasumber ketika dilahirkan?
5) Apakah narasumber pernah melakukan pengobatan baik secara medis maupun nonmedis,
jika pernah melakukan pengobatan apakah ada perubahan yang dialami oleh narasumber?
6) Apakah ada komplikasi yang dialami oleh narasumber
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kegiatan wawancara yang telah dilakukan di Kaniti, Desa Penfui Timur
diperoleh informasi bahwa narasumber kami berusia mengalami kelainan acodroplasia sejak
lahir. Kondisi ibu narasumber selama masa kehamilan sangat kritis karena mengalami stroke
dan juga nyeri di bagian perut dan kaki namun tidak dilakukan perawatan secara medis
maupun uji ultrasonografi (USG) sehingga kondisi bayi dalam kandungan (narasumber) tidak
diketahui. Ketika dilahirkan telapak kaki narasumber terbalik sehingga tidak dapat berjalan
hingga berusia 4 tahun barulah dilakukan terapi di salah satu klinik, setelah melakukan terapi
secara teratur terjadi perubahan dimana telapak kaki narasumber membalik seperti telapak
kaki anak pada umumnya dan dapat berjalan. Narasumber memiliki postur tubuh yang kerdil,
kedua lengan dan kaki yang pendek, serta memiliki dahi yang lebar dan sedikit menonjol.
Dapat dilihat pada gambar morfologi tubuh narasumber dibawah ini.

Pada kondisi normal osifikasi endokondral berjalan dengan baik dimana pertumbuhan
tulang sel mesenkim yang tidak berdiferensiasi langsung berkondensasi dan berdifferensiasi
membentuk kondroblas. Kondroblas berproliferasi dan berdifferensiasi membentuk kondrosit
yang secara bertahap menjadi matur membentuk hipertrofik kondrosit. Setelah itu, hipertrofik
kondrosit akan mengalami apoptosis (kematian sel) dan pada regio tersebut terjadi kalsifikasi
matriks ekstraseluler. Proses ini akan membentuk pelat pertumbuhan (growth plate) dan
pertumbuhan normal tulang panjang tercapai melalui differensiasi dan maturasi kondrosit
yang sinkron.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh narasumber kami dengan
adanya mutasi gen FGFR3 menyebabkan gangguan pada proses osifikasi endokondral,
dimana kecepatan perubahan sel kartilago menjadi tulang pada pelat pertumbuhan (growth
plates) menurun sehingga pertumbuhan dan perkembangan tulang terganggu. Adanya mutasi
pada FGFR3 menyebabkan aktivasi berlebih pada FGRF3 sehingga menyebabkan hambatan
pertumbuhan dan diferensiasi pada kondrosit.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kedua orang tua tidak mempunyai
kelainan acondroplasia (nomal carrier) sehingga kemungkinan memiliki anak yang memiliki
kelainan acondroplasia adalah sebagai berikut
P1: ♂Kk × ♀Kk
G1: K,k K,k
F1:

♂ K K
K KK Kk
(Normal) (normal)
K Kk Kk
(normal) (Acondroplasia)
Rasio perbandingan genotype KK:Kk:kk, (1:2:1)
Rasio fenotip (3:1)
3
Rasio Fenotipe Normal = ×100 %=¿ 75%
4
1
Rasio Fenotip Acondroplasia = ×100 %=25 %
4
Dari hasil persilangan diatas diketahui bahwa fenotip anak normal 75% sedangkan anak
yang mengalami kelainan acondroplasia sebesar 25% jika terpaut autosomal resesif.
Kemungkinan ini dapat diterima karena sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa kedua
orang tua dari narasumber merupakan normal carrier dimana jika dilihat dari kondisi fisik
kedua orang tua normal namun membawa gen acondroplasia.
Jika dilihat dari kondisi orang tua narasumber yang normal namun memiliki satu anak
dengan kelainan acondroplasia maka telah terjadi mutasi gen FGFR3 yang tidak diturunkan
secara langsung dari orang tua melainkan dari faktor lain misalnya kekurangan nutrisi akibat
penyakit yang diderita oleh ibu narasumber selama masa kehamilan menyebabkan
berkurangnya beberapa nutrisi yang mendukung pertumbuhan tulang yaitu :
 Kalsium
Perannya sangat penting untuk kesehatan tulang. Selain itu, kalsium berfungsi untuk
menciptakan hormon dan enzim, membantu kontraksi otot, dan menggerakkan darah
ke seluruh tubuh. Jika tubuh kekurangan, kalsium akan dikeluarkan dari tulang.
Akibatnya, kepadatan tulang bisa berkurang.
 Vitamin D
Kekurangan vitamin D jangka panjang telah dikaitkan dengan demineralisasi
(kehilangan mineral penting) tulang. Jika kekurangan vitamin D, tubuh kesulitan
menyerap kalsium.
 Magnesium
Magnesium adalah mineral penting untuk menjaga kesehatan tulang. Mineral ini
memengaruhi kepadatan mineral tulang secara langsung, sehingga bisa mencegah
risiko penyait tulang, seperti osteoporosis.
Magnesium dan kalsium adalah dua mineral yang saling bekerja sama untuk menjaga
kesehatan tulang, jika terjadi kekurangan Magnesium akan menyebabkan :
1. Kekuatan tulang menurun (tulang menjadi rapuh dan gampang patah).
2. Volume dan ukuran tulang menurun
3. Pertumbuhan tulang lambat
4. Lepasnya kelebihan kalsium dari tulang ke dalam darah yang tanpa disertai
pembentukan tulang baru.
 Fosfor
Fosfor membantu membentuk kepadatan mineral tulang yang mencegah patah tulang,
patah tulang dan osteoporosis, yang semuanya lebih mungkin terjadi seiring
bertambahnya usia. Tanpa kehadiran fosfor yang cukup, kalsium tidak dapat membangun
dan memelihara struktur tulang secara efektif, karena kedua mineral tersebut dibutuhkan
untuk membentuk massa tulang.

V. Kesimpulan
Achondroplasia berasal dari bahasa Yunani yaitu; achondros: tidak ada kartilago dan
plasia: pertumbuhan. Secara harfiah Achondroplasia berarti tanpa pembentukan/ pertumbuhan
kartilago, walaupun sebenarnya individu dengan Achondroplasia memiliki kartilago.
Achondroplasia adalah dwarfisme atau kekerdilan yang disebabkan oleh gangguan
osifikasi endokondral akibat mutasi gen FGFR 3 (fibroblast growth factor receptor 3) pada
lengan pendek kromosom 4p16.3. Sindroma ini ditandai oleh adanya gangguan pada tulang-
tulang yang dibentuk melalui proses osifikasi endokondral, terutama tulang-tulang panjang.
Selain itu, Achondroplasia memberikan karakteristik pada kraniofasial.
Sampai sekarang, masih belum ada cara pengobatan yang bisa sepenuhnya mengatasi
kondisi achondroplasia. Penanganan hanya dilakukan dengan tujuan untuk membantu
meringankan gejala atau mencegah terjadinya komplikasi yang lebih serius. Penanganan
yang bisa dilakukan, yaitu: medical check-up, terapi hormone, mengonsumsi obat-obatan dan
melakukan operasi.
VI. Kritik dan Saran
Laporan masih memiliki banyak kekurangan, olehkarena itu perlu dilakukan penelitian
sekaligus literasi dan numerasi agar dapat melengkapi laporan studi kasus terkait kelainan
genetic Achondroplasia.
VII. Daftar Pustaka
Khu, Adrian. (2018). Paper Achodroplasia. Diakses pada 27 Februari 2023 dari
https://www.academia.edu
Pauli, M. Rhicard. (2019). Achodroplasia: a comprehensive clinical review. Pauli Orphanet
journal Of Rare Disease, 14 (1), 1-11. Diakses pada 27 Februari 2023 dari
https://www.researchgate.net
LAMPIRAN

Foto bersama Narasumber

Foto Narasumber

Anda mungkin juga menyukai