Anda di halaman 1dari 13

Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664

Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

KONSTRUKSI SOSIAL REALITAS MASYARAKAT


INDONESIA DI TENGAH KONTEN PENYIARAN TELEVISI
YANG JAKARTASENTRIS

Eric Fernardo1

ABSTRAK
Konten penyiaran televisi di Indonesia tersentralisasi pada berita Jakarta, gaya hidup Jakarta, maupun tata
bahasa tentang Jakarta. Agar dapat menghasilkan keuntungan, stasiun televisi bersama-sama menyajikan
siaran yang Jakartasentris untuk mengejar rating yang bias Jakarta dan secara ironis keuntungan tersebut
hanya dinikmati oleh sebagian besar industri televisi yang berkantor di Jakarta. Dominasi konten
Jakartasentris ini harus disaksikan oleh seluruh penduduk Indonesia secara berulang-ulang. Penelitian ini
menggunakan pisau analisa konstruksi sosial realitas dan teori kultivasi menemukan bahwa konten
penyiaran yang Jakartasentris membentuk sosial realitas antara lain masyarakat luar Jakarta merasa bahwa
bergaya Jakarta itu keren dan prestise sementara masyarakat Jakarta menilai bahwa orang yang tidak bergaya
Jakarta sebagai kampungan ataupun aneh.

Kata kunci: Televisi, Jakartasentris, Sosial Realitas, Kultivasi

ABSTRACT
Indonesia television content was centralized into everything about Jakarta like Jakarta news, Jakarta
lifestyle, even Jakarta languange. To maximize its functions in order to generate profits, television station
pursue rating that was biased Jakarta, ironically the profits generated only enjoyed by television stations
based in Jakarta. Domination content of Jakartasentris must be watched by all of Indonesian people
repeatedly. Using social reality and cultivation theory, this research found that Jakartasentris television
content have an impact on social reality, people outside Jakarta think using Jakarta style was cool and more
prestige while Jakartans think that people who do not use Jakarta style were weird.

Keywords: Television, Jakartasentris, Social Reality, Cultivation

1
FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Email: eric.fernaRdo01@ui.ac.id

1
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

PENDAHULUAN ‘massa’ menjelaskan jumlah penerima pesan


yang banyak seperti televisi, radio (Luhmann,
Ketika menyebut kata media, kita dapat
2000). Dalam perkembangannya di Indonesia,
langsung membayangkan berbagai peralatan
media massa memainkan peran penting dalam
yang menjadi medium atau perantara
konstruksi sosial realitas masyarakat, misalnya
penyebaran informasi seperti radio, koran,
sewaktu Soekarno memproklamasikan
internet ataupun televisi. Namun, medium
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
atau perantara tersebut tidaklah cukup
kabar tentang proklamasi kemerdekaan segera
menggambarkan secara komprehensif makna
disebarkan ke seluruh penjuru negeri agar
sesungguhnya dari media. Secara linguistik,
penduduk mengetahui terbentuknya Negara
media merupakan penjabaran dari medium
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
dimana medium merupakan sesuatu yang
mendukung kemerdekaan tersebut, kabar
berada di antara dua pihak, dalam konteks
kemerdekaan segara diberitakan melalui radio,
komunikasi media merupakan perantara
koran, kantor berita Antara, maupun pamflet,
yang digunakan pengirim pesan untuk
poster, spanduk (Utami, 2015).
disalurkan dan diterima penerima pesan
Terkait perkembangan televisi di
(Long & Wall, 2012). Selain media,
Indonesia sejak era kemerdekaan, siaran
penggunaan yang sering digunakan adalah
televisi pertama adalah liputan perayaan hari
kata media massa yakni sebuah medium yang
ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-17
dapat mengirimkan pesan dari satu sumber
pada tanggal 17 Agustus 1962, beberapa hari
kepada banyak pihak sekaligus secara
setelahnya warga Jakarta dapat menyaksikan
simultan dan dapat diterima oleh penerima
siaran langsung pembukaan Asian Games pada
pesan dalam jumlah banyak. Dalam media
24 Agustus 1962 yang kini diperingati sebagai
massa, pengirim pesan tidak menentukan
hari lahirnya Televisi Republik Indonesia atau
siapa yang menjadi penerima pesannya, yang
yang akrab disingkat TVRI (Arsan, 2016).
mana hal ini berbeda jika manusia
TVRI tercatat selama dua puluh tujuh tahun
menggunakan media komunikasi seperti
dari tahun 1962-1989 menjadi pemain tunggal
telepon, jika menggunakan telepon tentunya
atau memonopoli siaran televisi di Indonesia,
kita akan menentukan terlebih dahulu siapa
sebagai stasiun televisi yang dimiliki
yang menjadi penerima pesan (Long & Wall,
pemerintah Indonesia dan berada di bawah
2012).
Departemen Penerangan, tentunya TVRI harus
Dalam media massa tidak ada interaksi
tunduk pada keputusan pemerintah yang
untuk mencapai kesepakatan antara pengirim
berkuasa, isi siaran harus selaras dengan
pesan dan penerima pesan, sehingga makna
kepentingan pembangunan dan stabilitas politik
2
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

penguasa oleh karenanya dalam kurun waktu pertama MNC Group dengan pemimpin
monopoli TVRI tidak muncul perdebatan utamanya Hary Tanoesoedibjo melalui RCTI,
terkait penataan penyiaran di Indonesia, tidak Global TV, MNC TV; kedua Kompas
ada isu kompetisi maupun kepemilikan Gramedia Group dengan pemimpin utamanya
(Armando, 2011). Lilik Oetama (dahulu Alm. Jakob Oetama)
Barulah pada 24 Agustus 1989, muncul melalui Kompas TV; ketiga EMTEK Group
stasiun televisi swasta pertama di Indonesia dengan pemimpin utama Eddy Kusnadi
yakni Rajawali Citra Televisi Indonesia Sariaatmadja melalui SCTV dan Indosiar;
(RCTI) dan ditandai kemunculan stasiun keempat Bakrie & Brothers dengan pemimpin
televisi swasta lainnya seperti Surya Citra utama Anindya Bakrie (anak dari Aburizal
Televisi (SCTV), TPI, Indosiar dan Bakrie) melalui ANTV dan TVOne; kelima
seterusnya (Ishadi, 2011). Dalam Media Group dengan pemimpin utama Surya
perkembangan media massa di Indonesia, Paloh melalui Metro TV; keenam Trans
terdapat dua belas grup konglomerasi dan Corpora (Para Group) dengan pemimpin utama
satu lembaga penyiaran publik milik Chairul Tanjung melalui Trans TV dan Trans 7
pemerintah yang mendominasi media di (Merlyna, 2012).
Indonesia antara lain lembaga penyiaran Media di satu sisi dapat mendorong
publik, Media Nusantara Citra (MNC) proses transparansi informasi namun, perlu
Group, Mahaka Media Group, Kompas diingat selain menjadi entitas yang mengejar
Gramedia Group, Jawa Pos Group, Media keuntungan, dominasi kepemilikan media di
Bali Post Group, Elang Mahkota Teknologi Indonesia oleh konglomerasi, dapat
(EMTEK) Group, Lippo Group, Bakrie & mempengaruhi produksi konten sehingga
Brothers (Visi Media Asia), Femina Group, konten-konten yang diproduksi berpihak pada
Media Group (Metro TV), Mugi Reka Abadi kepentingan pemiliknya (Nugroho dkk, 2013),
(MRA) Group, Trans Corpora (Para) Group selain persoalan kepemilikan media di
(Merlyna, 2012). Indonesia yang didominasi oleh kelompok
Terkhusus untuk televisi, di Indonesia konglomerasi tertentu, masalah lain yang
sekurang-kurangnya terdapat seratus stasiun menjadi krusial adalah soal konten atau isi
televisi di tingkat lokal, namun untuk stasiun penyiaran, dalam riset yang dilakukan oleh
televisi nasional hanya terdapat 6 pemain Nugroho dan kawan-kawan di tahun 2013
utama dari sektor swasta dan satu stasiun melalui metode analisis konten terhadap
televisi milik pemerintah yakni TVRI, tayangan televisi, ditemukan hasil
stasiun televisi swasta tingkat nasional hanya bahwasannya tidak ada keberagaman konten
dimiliki oleh enam grup konglomerasi yakni dalam media Indonesia, isi media Indonesia
3
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

secara spasial sangat berpusat pada gambaran dari realitas dan proses reifikasi yakni tahapan
tentang Ibukota Jakarta, dalam konteks realitas dianggap bukan hasil ciptaan manusia
keagamaan sangat didominasi oleh (Berger & Luckmann, 1966).
penggambaran agama Islam serta dalam ‘Realitas’ dan ‘pengetahuan’ menjadi dua
identitas etnis didominasi oleh budaya Jawa. kata kunci utama dalam karya Berger &
Keseragaman konten media Luckmann bahwasannya realitas adalah hal
dipengaruhi oleh kepentingan untuk objektif yakni fakta sosial yang bersifat
menghasilkan keuntungan sehingga konten- eksternal, umum serta mampu memaksa
konten yang diproduksi akan berpacu pada kesadaran tiap individu baik hal tersebut
pola yang sudah pasti akan menghasilkan disukai maupun tidak, sementara pengetahuan
keuntungan sehingga terjadilah pemusatan adalah hal subyektif yakni realitas yang hadir
konten dimana konten yang dihasilkan antara dalam kesadaran individu. Realitas sosial
satu media dengan media lainnya sama terjadi dan dialami individu saat berinteraksi
dengan tingkat keberagaman yang rendah, dengan individu lainnya yang dikenal dengan
hal ini menimbulkan potensi terpinggirnya istilah eksternalisasi; selanjutnya objektivasi
kelompok minoritas karena konten-konten berupa proses menghasilkan objek yang
yang diproduksi hanya menggambarkan menampilkan maksud subyek pelaku, terdapat
kelompok mayoritas semata (Nugroho dkk, proses penting dalam objektivasi yakni
2013). Televisi sebagai media massa yang produksi isyarat yang disebut signifikansi
dapat diakses 91% penduduk Indonesia dan berupa proses penandaan oleh manusia dan
ditonton setidaknya oleh penduduk seminggu perlu diketahui juga pertukaran bahasa
sekali (Merlyna, 2011). menghasilkan pengetahuan (Berger &
Dalam karyanya, berjudul The Social Luckmann, 1966).
Construction of Reality: A Treatise The Realitas objektif dalam masyarakat
Sociology of Knowledge di tahun 1966, Peter muncul karena individu mengeksternalisasi
Ludwig Berger dan Thomas Luckmann dirinya melalui aktivitas untuk menggunakan
menyampaikan bahwa realitas merupakan pemikirannya dalam mempertahankan hidup,
hasil konstruksi sosial, dan untuk aktivitas yang diulang-ulang akan membentuk
menganalisis hal tersebut diperlukan habituasi atau pembiasaan yakni
pengetahuan sosiologi (Berger & Luckmann, kecenderungan untuk mengulang serangkaian
1966). Manusia menghasilkan realitas aktivitas saat menghadapi hal-hal yang sama.
berdasarkan hasil interaksi dengan struktur Dalam habituasi ini kemudian dapat
sosial yang selanjutnya terjadi objektivasi mendorong munculnya tipifikasi, yang akan
dimana temuan baru manusia menjadi bagian menghasilkan pranata sosial dan bila telah
4
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

berlaku luas, eksternal maupun koersif pada dari sepuluh jam setiap harinya (Koblin, 2016).
gilirannya akan menjadi institusi sosial yang Gerbner meyakini bahwa televisi telah menjadi
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi sumber utama dalam percakapan maupun cerita
selanjutnya dan tetap terjaga karena di Amerika Serikat, bahkan diyakini oleh
legitimasi masyarakat terhadap makna Gerbner bahwa pengaruh dari televisi sebagai
objektif yang terkandung di dalamnya, ketika sumber cerita telah melebihi percakapan antar-
manusia telah menerima institusi sosial pribadi, buku, bahkan agama (Gerbner, 1998).
tersebut maka terjadilah proses internalisasi Asumsi kedua adalah televisi
(Berger & Luckmann, 1966). mempengaruhi konstruksi sosial realitas
Teori kultivasi merupakan salah satu penonton sehingga membentuk budaya
teori yang menjadi pisau analisa dalam Amerika Serikat termasuk dalam hubungan
mengamati efek media, lebih khusus lagi sosial seseorang maupun cara berpikir
yakni dalam medium televisi, George seseorang, meskipun televisi hanya
Gerbner dan koleganya mengamati selama 5 menggambarkan bagian-bagian tertentu dari
dekade pengaruh tayangan kekerasan di kehidupan sosial yang ditampilkan dalam
televisi dan menemukan bahwa konten liputan berita, cerita, drama, komedi. Gerbner
kekerasan yang terdapat di televisi berpendapat bahwa pengulangan tayangan
mempengaruhi konstruksi sosial realitas kehidupan sosial merupakan sesuatu yang
penonton, secara lebih detail dijelaskan diharapkan oleh penonton (Dainton, 2019).
bahwa penonton yang banyak menyaksikan Asumsi ketiga yang perlu digarisbawahi
tontonan kekerasan di televisi akan melihat adalah pengaruh televisi itu terbatas atau tidak
dunia sebagai tempat yang seram dan tunggal, dalam kata lain televisi bukanlah satu-
menakutkan (Dainton, 2019). satunya faktor yang mempengaruhi pandangan
Asumsi dari teori kultivasi antara lain individu tentang realitas sosial, meskipun
pertama, televisi telah menjadi bagian inti televisi diyakini secara konsisten memiliki
dari kehidupan dan budaya yang terbukti dampak terhadap individu meskipun tidak
dalam konteks Amerika Serikat (Gerbner, besar tetapi pengaruh televisi akan selalu ada
1998). 99% penduduk di Amerika Serikat dan menciptakan perbedaan yang signifikan
setidaknya memiliki satu televisi di dalam cara pandang, merasakan dan
rumahnya dan menonton rata-rata lima jam berinteraksi seseorang di realitas sosialnya
tayangan televisi setiap harinya, di era digital (Gerbner dkk, 1980).
saat ini 50% masyarakat juga berlanggan Efek media tidak berlaku bagi semua
siaran streaming seperti Netflix atau Hulu orang, dalam teori kultivasi diyakini bahwa
yang menyebabkan konsumsi media lebih perubahan konstruksi sosial realitas terjadi
5
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

ketika durasi menonton televisinya cerita dan pesan dari televisi. Dalam arus
meningkat, atau dalam kata lain semakin utama, penggambaran tayangan televisi tentang
sering seseorang menonton televisi maka kehidupan serta-merta akan mempengaruhi
semakin mungkin seseorang memiliki konstruksi sosial realitas penonton (Dainton,
konstruksi sosial realitas sesuai tayangan 2019).
televisi (Dainton, 2019). Pengaruh dari teori Sementara jika melalui resonansi,
kultivasi juga dapat dicermati dalam riset lain asumsinya adalah penonton akan melihat
yang dikemukakan oleh Nabi dimana dalam tayangan yang ada di televisi dan
risetnya Nabi menyampaikan bahwa semakin membandingkannya dengan pengalaman
sering seseorang menyaksikan program kehidupannya sendiri, misalnya terkait
kecantikan, maka semakin tidak puas dengan kekerasan, jika seseorang mengalami
penampilannya sehingga semakin tinggi pengalaman hidup tentang kekerasan maka
peluangnya untuk menjalankan operasi ketika menonton tayangan kekerasan di
plastik dibandingkan seseorang yang tidak televisi, dirinya akan memutar ulang situasi
sering menonton program kecantikan (Nabi, kehidupannya sendiri. Tayangan kekerasan
2009). yang disaksikan di televisi dapat memperkuat
Selain pengaruh televisi, peneliti lain ataupun beresonansi dengan pengalaman
juga meneliti efek kultivasi dalam media lain hidupnya. Hal ini memungkinkan terjadinya
misalnya pengaruh terpaan iklan cetak obat- akibat yakni penonton akan semakin menyadari
obatan untuk mengatasi depresi dengan bahwa dunia sungguh kejam dan menakutkan
perasaan menyimpang seseorang menderita sehingga tidak mungkin tidak ada kekerasan
depresi klinis (Park dan Grow, 2008). Media ataupun seseorang yang merasa dirinya pernah
lain yakni pemberitaan di koran tentang menjadi korban akan melihat tayangan di
kejahatan antar etnis menyebabkan etnis televisi sebagai sesuatu yang kemudian
mayoritas merasa terancam oleh etnis dianggap norma dalam masyarakat (Dainton,
minoritas (Vergeer dkk, 2000). 2019).
Teori kultivasi menilai ada 2 cara Berangkat dari latar belakang fenomena
media mengubah konstruksi sosial realitas sentralisasi pemberitaan yang berpusat di
penonton, yakni arus utama dan resonansi Ibukota, riset ini akan mengkaji lebih dalam
(Gerbner, 1998). Arus utama melihat bagaimana konstruksi sosial realitas
penonton terutama penonton berat masyarakat Indonesia di tengah konten
mengembangkan konstruksi sosial realitas penyiaran televisi yang Jakartasentris.
berdasarkan seringnya terpaan media atas
tayangan berulang dan dominan gambar,
6
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode ANALISIS DAN DISKUSI

kualitatif dimana peneliti berupaya untuk Sentralisasi penyiaran televisi lebih jauh

menangkap dan menemukan makna dijelaskan oleh Ade Armando bagaikan ironi di

mendalam dari suatu peristiwa, analisis tengah pertumbuhan ekonomi, siaran televisi

dalam riset kualitatif akan mengekstraksi hanya berfokus memotret keadaan di Jakarta

tema berdasarkan temuan yang didapat sehingga hanya tersisa sedikit ruang bagi konten

untuk disajikan secara komprehensif dan regional maupun lokal yang merefleksikan

konsisten (Neuman, 2014). Studi kualitatif ketertarikan dan selera penonton di daerah, hal

cenderung berangkat dari fenomena sosial ini terjadi karena stasiun televisi di Indonesia

yang terjadi di masyarakat untuk dikaji, yang berbasis di Jakarta mampu melakukan

dan bisa berangkat dari gagasan ataupun siaran hingga ke pelosok negeri tanpa perlu

ide para peneliti sebelumnya. Penelitian mendirikan stasiun lokal (Armando, 2014).

kualitatif mendokumentasikan data dari Siaran yang Jakartasentris ini menyebabkan

peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat, penonton di daerah tidak mendapatkan informasi

mengamati pendapat seseorang atas suatu terkait kondisi ekonomi, sosial, politik di

kejadian, ataupun melalui studi wilayahnya sendiri (Armando, 2014).

kepustakaan yang bertujuan untuk melihat Dalam tulisannya, Ade Armando

gambaran konkrit yang terjadi di menjelaskan bahwa penggunaan frekuensi siaran

masyarakat (Neuman, 2014). televisi di Indonesia pada prinsipnya hanya

Konteks sosial dalam penelitian dikuasai oleh sepuluh perusahaan besar di Jakarta

kualitatif merupakan hal kunci yang dan TVRI sedangkan masyarakat di luar Jakarta

memberikan makna bagi tindakan sosial, hanya menjadi penonton, lebih jauh lagi stasiun

peristiwa ataupun pendapat tergantung saat televisi swasta nasional di Jakarta mampu

kemunculannya. Konteks sosial dapat menjangkau ratusan juta rakyat Indonesia dengan

terdiri dari waktu (kapan suatu peristiwa memanfaatkan frekuensi siaran di daerah-daerah

terjadi), lokasi (dimana suatu peristiwa se-Indonesia tanpa menghadirkan manfaat secara

terjadi), emosional (perasaan yang muncul ekonomi, politik, sosial, budaya bagi masyarakat

atas suatu peristiwa), sosial-budaya di daerah tersebut hal ini mengakibatkan manfaat

(kondisi sosial maupun budaya saat ekonomi dari industri pertelevisian hanya

peristiwa terjadi). Hal-hal ini memberikan mengalir ke Jakarta (Armando, 2011).

warna mendalam bagi peneliti dalam Isu media yang memusatkan konten di

memaknai satu fenomena yang hadir di Jakarta turut dibahas dalam riset yang dilakukan

masyarakat (Neuman, 2014). oleh Lindawati, menurutnya terdapat dua


7
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

kecenderungan dalam pemberitaan media arus besar di Indonesia dan 57% sampelnya
utama pertama dalam bentuk konten yang merupakan penonton Jakarta, inilah yang
diangkat oleh media cenderung Jakartasentris menyebabkan tayangan TV menjadi elitis dan
dalam hal ini isu-isu daerah kurang menjadi Jakartasentris (Hanum, 2013).
perhatian utama karena pemberitaan media Bukti lain penggambaran tentang Jakarta
kebanyakan merupakan permasalahan Jakarta mendominasi konten media ditunjukkan dalam
dan selalu berkaitan dalam aspek politik, riset yang dilakukan oleh Centre for Innovation
kedua media arus utama sering memarginalkan Policy and Governance (CIPG) dtemukan bahwa
desa karena pemberitaan tentang desa sebesar 34,1% konten media melakukan
cenderung bernada negatif misalnya penggambaran tentang Jakarta; sedangkan
pembahasan terkait kemiskinan, kriminalitas penggambaran tentang Jawa sebesar 69,9%.
ataupun peristiwa bencana, dalam kata lain Agama Islam mendominasi konten media dengan
desa digambarkan sebagai komunitas yang penggambaran sebesar 96,7% dalam keagamaan,
tidak berdaya (Lindawati, 2014). Pemberitaan selain itu budaya Jawa sebesar 42,8%
tentang desa lebih banyak menempatkan desa mendominasi konten dalam hal etnisitas
sebagai obyek ketimbang subyek yang aktif (Nugroho dkk, 2013).
mengembangkan dirinya sendiri, desa juga Penelitian lain yang dilakukan oleh
diidentikkan dengan masalah bukan sebagai Heychael dan Wibowo pada tahun 2014 terhadap
potensi untuk dikembangkan, narasumber 10 stasiun televisi swasta nasional juga
terkait isu desa juga lebih banyak menunjukkan bahwasannya berdasarkan daerah
mengutamakan pemerintah daerah ketimbang asal berita (tempat terjadinya sebuah peristiwa
komunitas desa itu sendiri (Lindawati, 2014). dilaporkan) 41% asal berita bersumber dari
Anggapan bahwa konten media di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
Indonesia yang Jakartasentris turut diamini (Jabodetabek) sementara non-Jabodetabek 48%,
oleh salah satu pengamat media yakni selain itu dari sisi durasi 48% didominasi
almarhum Amir Effendi Siregar, dalam suatu Jabodetabek sedangkan non-Jabodetabek 38%,
diskusi di tahun 2013 yang digelar di aspek lain yakni dimensi berita juga didominasi
Kementerian Komunikasi dan Informatika, oleh Jabodetabek, berita lokal merujuk pada
beliau menyampaikan bahwa media banyak pemberitaan tentang aktor lokal yakni warga
menyiarkan konten Jakartasentris karena lokal, kepala daerah, tokoh masyarakat setempat,
mengejar rating sehingga tidak ada ketua atau anggota organisasi masyarakat
keberagaman dalam isi berita, terlebih riset setempat, pemerintahan daerah, pengadilan
terkait rating hanya dilakukan oleh lembaga daerah, kepolisian daerah, hasilnya berita lokal
riset Nielsen yang hanya menjangkau 10 kota Jabodetabek mendominasi pemberitaan
8
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

sebanyak 34%, dalam temuannya Heychael televisi melakukan penggunaan kata ‘lo’, ‘gue’
dan Wibowo mendefinisikan dengan istilah yang seolah tanpa hal tersebut dianggap kurang
separuh Indonesia adalah Jabodetabek kekinian dan kurang metropolis, banyak
(Heychael & Wibowo, 2014). presenter siaran televisi menggunakan gaya
Dalam suatu diskusi yang digelar oleh Jakarta saja (Tarigan, 2019).
Centre for Innovation Policy and Governance Salah satu tayangan televisi yang banyak
(CIPG), pengamat media Ignatius Haryanto menampilkan tentang Jakarta adalah sinetron ‘Si
mengungkapkan bahwa isi televisi di Doel Anak Sekolahan’ yang mengangkat potret
Indonesia terlalu Jakartasentris padahal keluarga Betawi dimana dalam film tersebut
Indonesia bukan hanya Jakarta, misalnya budaya Betawi sangat dipertahankan di tengah
pemberitaan di televisi terkait banjir Jakarta modernisasi, sinetron ini juga turut
dengan intensitas tinggi padahal informasi mempromosikan dialek Betawi seperti
tersebut bisa jadi kurang relevan bagi penggunaan imbuhan akhir ‘in’ pada kata kerja
masyarakat yang tinggal di luar Jakarta, hal ini misalnya dalam bahasa Indonesia ‘melestarikan’
menunjukkan bagaimana terjadinya bias maka dalam dialek Betawi menjadi ‘ngelestariin’
konten di media penyiaran terlebih lagi televisi ataupun penggunaan kata yang turut dipengaruhi
yang sangat didominasi oleh informasi dari budaya Tionghoa dan Betawi seperti lima ribu
dan tentang Jakarta, konten selain berita dengan kata ‘goceng’, sepuluh ribu dengan kata
seperti sinetron pun banyak menampilkan hal- ‘ceban’, dua puluh ribu dengan kata ‘noban’
hal seputar Jakarta misalnya dari cara ataupun lima puluh ribu dengan kata ‘goban’,
berbicara, masalah yang disuguhkan sangat meskipun dialek Betawi tidak jauh berbeda
kental dengan nuansa Jakarta (Yang, 2016). dengan bahasa Indonesia, namun timbul konotasi
Televisi dianggap sebagai media yang bahwa dialek Betawi digunakan dalam situasi
sempurna untuk melakukan konstruksi tidak formal sedangkan bahasa Indonesia untuk
terhadap pengetahuan masyarakat karena situasi formal (Artiyono, 2019).
berfungsi audio-visual, selain itu televisi di Pendapat lain terkait Jakartasentris juga
masyarakat memiliki posisi legitimasi sosial diungkapkan oleh Katharina Endriati Sukamto
yang populer karena mampu menghadirkan hal yang merupakan Ketua Masyarakat Linguistik
yang dianggap sebagai kebenaran yang Indonesia, bahwasannya ketika orang daerah
mampu mempengaruhi perilaku, sikap hingga memakai ragam Jakarta akan merasa terangkat
pandangan, persepsi, moral, kepribadian dan dan dinilai lebih keren, hal ini disebabkan oleh
kebudayaan (Ngadino, 2010). Menurut Mulyo dominasi ragam Jakarta baik dari sisi jumlah
Hadi P selaku Wakil Ketua Komisi Penyiaran maupun prestise yang ditampilkan oleh
Indonesia (KPI), dalam perkembangannya, tayangan-tayangan televisi misalnya penggunaan
9
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

kata lu, gue, maupun kata-kata berakhiran-‘in’ orang yang berasal dari luar daerah Jakarta akan
seperti nemen-in, buat-in penggunaan kata cenderung dianggap aneh jika muncul di televisi
tersebut ditiru oleh orang daerah karena sehingga akan menjadi obyek perundungan atau
dianggap lebih prestise yang dipengaruhi oleh bully-ing, sebagai contohnya menurut Ignatius
dominasi konten Jakartasentris dalam media Haryanto misalnya kehadiran Arie Kriting yang
yang terkonsentrasi pada hal-hal di ibukota, merupakan salah satu komedian di layar kaca
hal ini menimbulkan semacam ironi karena acapkali dianggap aneh, dianggap tidak beres,
orang daerah memakai dialek Jakarta karena berbeda (Yang, 2016). Konten Jakartasentris
superioritas. (Artiyono, 2019). Realitas sosial turut memengaruhi konstruksi realitas
ini terbangun melalui proses eksternalisasi masyarakat Jakarta sendiri, ketika orang Jakarta
individu dengan individu lainnya yang sama- berhadapan dengan seseorang yang berasal dari
sama menonton televisi, yang mengalami daerah dengan penggunaan logat yang khas atau
objektivasi kemudian signifikansi. Tayangan medok, nyaplak maka cenderung dianggap
televisi juga membentuk habituasi di ‘kampungan’ hal ini disadari atau tidak
masyarakat dan mendorong tipifikasi karena mendorong masyarakat luar Jakarta untuk
individu menyetujui yang ditayangkan oleh berbahasa ala Jakarta agar dianggap lebih
televisi hingga terjadi pranata sosial yang tetap prestisius (Mubarok, 2019). Hal ini terjadi
terjaga melalui legitimasi masyarakat karena sebagaimana diungkapkan dalam konstruksi
sama-sama menonton televisi Jakartasentris sosial realitas dari teori kultivasi arus utama yang
hingga hal ini diterima secara luas dan meyakini bahwa seringnya seseorang terpapar
terinternalisasi di individu sebagai suatu konten yang disaksikannya di televisi maka akan
kebenaran. mempengaruhi konstruksi sosial realitas
Ditinjau dari pisau analisa teori kultivasi, penonton dimana akan menjadikan
terpaan yang berulang-ulang dari konten penggambaran tentang kehidupan sebagai suatu
penyiaran Jakartasentris yakni orang daerah kebenaran (Gerbner, 1998; Dainton, 2019).
yang menganggap dirinya lebih keren jika
menggunakan bahasa Jakarta, dampak dari
konten yang Jakartasentris ini adalah orang-

10
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

SIMPULAN

Konten penyiaran televisi di hanya dinikmati sebagian besar oleh industri


Indonesia cenderung seragam dan televisi di Jakarta.
tersentralisasi di Jakarta yang dikenal dengan Dominasi konten Jakartasentris
istilah Jakartasentris. Stasiun-stasiun televisi mengakibatkan masyarakat di luar Jakarta
yang berkantor di Jakarta dapat menyiarkan tidak memiliki informasi sosial, ekonomi,
tayangan dan diakses oleh penduduk politik ataupun kebudayaan di daerahnya
Indonesia di berbagai penjuru negeri, ketika sendiri. Sejalan dengan teori kultivasi,
menonton televisi maka penduduk Indonesia terpaan berulang-ulang di televisi yang
harus menyaksikan tayangan yang kental kontennya Jakartasentris di Indonesia
dengan nuansa Jakarta dari berbagai unsur, menghasilkan konstruksi sosial realitas
mulai dari pemberitaan tentang Jakarta, gaya masyarakat Indonesia yakni orang di luar
hidup Jakarta, tata bahasa Jakarta dan hal Jakarta akan merasa lebih terangkat, keren
lainnya. Keseragaman ini dipicu oleh upaya dan prestise ketika menggunakan gaya
stasiun televisi dalam mengejar rating yang Jakarta yang disaksikannya di televisi,
juga bias Jakarta sehingga memicu sementara orang Jakarta akan menganggap
keseragaman konten penyiaran di televisi, orang yang tidak bergaya Jakarta sebagai
ironisnya lagi hanya keuntungan tersebut ‘kampungan’ bahkan dianggap aneh.

DAFTAR PUSTAKA
indonesia pada 9 Desember 2020
Armando, Ade. (2011). Televisi Jakarta
pukul 19.07 WIB
di Atas Indonesia. Indonesia:
Mizan Media Utama. Berger, L. Peter & Luckmann, Thomas.
Armando, Ade. (2014). The Greedy (1966). The Social Construction of
Giants: Centralized Television in Reality: A Treatise in The
Post-Authoritarian Indonesia. Sociology of Knowledge. New
International Communication York: Penguin Books.
Gazette, 76:390. Dainton, Marianne & Zelley, Elaine D.
doi:10.1177/1748048514524106 (2019). Applying Communication
Artiyono, Sabar. (2019). Lu, Gue dan Theory for Professional Life: a
Practical Introduction. 4th Edition.
Fenomena Jakarta Sentris dalam
Berbahasa Indonesia. Diakses dari Thousand Oaks: SAGE
Publications, Inc
https://kumparan.com/kumparanne
ws/lu-gue-dan-fenomena-jakarta- Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M., &
sentris-dalam-berbahasa-indonesia- Signorielli, N. (1980). The
1qpTVPOEIvR/full pada 13 “Mainstreaming” of America:
Desember 2020 pukul 20.02 WIB Violence Profile No. 11. Journal of
Communication, 30(3), 10–29.
Arsan, M. (2016). Sejarah Pertama Kali
Televisi Masuk ke Indonesia. doi:10.1111/j.1460-
2466.1980.tb01987.x
Diakses dari
https://techno.okezone.com/read/20 Gerbner, G. (1998). Cultivation
16/02/16/207/1313559/sejarah- Analysis: An Overview, Mass
pertama-kali-televisi-masuk-ke- Communication and Society, 1:3-4,
11
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

175-194, doi: Sentris dalam Berbahasa Indonesia.


10.1080/15205436.1998.9677855 Kajian KSM Eka Prasetya
Universitas Indonesia. Diakses dari
Hanum, Nadia (2013). Rating Nielsen
https://ksm.ui.ac.id/sikap-jakarta-
Bias Jakarta. Diakses dari
https://www.remotivi.or.id/kabar/1 sentris-dalam-berbahasa-indonesia/
pada 19 Desember 2020 pukul
06/rating-nielsen-bias-jakarta pada
13 Desember 2020 pukul 18.48 23.11 WIB
WIB. Nabi, R. L. (2009). Cosmetic Surgery
Makeover Programs and Intentions
Heychael, M. & Wibowo, A. K. (2014).
Melipat Indonesia Dalam Berita to Undergo Cosmetic
Enhancements: A Consideration of
Televisi: Kritik Atas Sentralisasi
Penyiaran. Indonesia: Publikasi Three Models of Media Effects.
Human Communication Research,
Remotivi.
35(1), 1–27. doi:10.1111/j.1468-
Ishadi. (2011). Television Industry 2958.2008.01336.x
Dynamics in New Order Era The
Effect of Broadcasting Policy Neuman, W. Lawrence. (2014). Social
Towards News Report. Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches 7th
Internasional Journal of
Administrative Science & Edition. Pearson.
Organization Vol 18 (2), 133-143. Ngadino, Agus. (2010). Program Televisi
Indonesia Dalam Perspektif
Koblin, J. (2016). How much do we love
TV? Let us count the ways. The Hukum Lingkungan. Simbur
New York Times. Diakses dari Cahaya, 43, 2145-2166.
https://www.nytimes.com/2016/07/ Nugroho, Yanuar dkk. (2013). Produksi
01/business/media/nielsen-survey- Konten, Penentuan Hidup
mediaviewing.html?mcubz=2&_r= Bersama: Sejauh Mana Media
0 Menjunjung Prinsip
Kewarganegaraan. Indonesia:
Laughey, Dan. (2007). Key Themes in
Centre for Innovation Policy and
Media Theory. New York:
McGraw-Hill. Governance.
Park, S. J. & Grow, M. J. (2008). The
Lindawati, Lisa. (2014). Media Lokal
Social Reality of Depression: DTC
dan Suara Desa: Analisis Isi Surat
Kabar Lokal Online di Kabupaten Advertising of Antidepressants and
Perceptions of the Prevalence and
Banyumas. Jurnal Komunikasi
Indonesia Vol III (2), 109-118. Lifetime Risk of Depression.
Journal of Business Ethics, Vol 79,
Long, Paul & Wall, Tim. (2012). Media No. 4, 379-393.
Studies: Texts, Production, jstor.org/stable/25482124
Context. 2nd Edition. London:
Routledge Tarigan, M. (2019). KPI Soroti Lo-Gue
Gaya Jakarta di TV dan Radio.
Luhmann, N. (2000). The Reality of the Diakses dari
Mass Media. Cambridge: Polity. https://gaya.tempo.co/read/126477
Merlyna, L. (2012). The League of 1/kpi-soroti-lo-gue-gaya-jakarta-di-
Thirteen: Media Concentration in tv-dan-radio/full&view=ok pada 19
Indonesia Research Report. USA: Desember 2020 pukul 22.52 WIB
Arizona State University. Utami, M. (2015). Cerita Perang
Mubarok, Farid. (2019). Sikap Jakarta Kemerdekaan Indonesia.
Indonesia: Wahyu Media.Vergeer,
12
Nivedana : Jurnal Komunikasi & Bahasa E-ISSN : 2723-7664
Volume 2, Nomor 1, Juli 2021

M., Lubbers, M., & Scheepers, P.


(2000). Exposure to Newspapers
and Attitudes toward Ethnic
Minorities: A Longitudinal
Analysis. Howard Journal of
Communications, 11(2), 127–143.
doi:10.1080/106461700246661
Yang, K. C. (2016). Jakartasentris:
Permasalahan Pertelevisian di
Indonesia. Diakses dari
https://ultimagz.com/event/jakartas
entris-permasalahan-pertelevisian-
di-indonesia/ pada 13 Desember
2020 pukul 19.18 WIB

13

Anda mungkin juga menyukai